interelasi umara dan ulama dalam menata kehidupan sosio...

158
Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio-Keagamaan di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda 1607 1636. Gazali NIM: 2112022100002 Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016

Upload: phungkiet

Post on 19-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan

Sosio-Keagamaan di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda

1607 – 1636.

Gazali

NIM: 2112022100002

Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam

Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2016

Page 2: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan

Sosio-Keagamaan di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda

1607 – 1636.

Gazali

NIM: 2112022100002

Diajukan Kepada Program Pascasarjana

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Magister Humaniora (M.Hum)

Didalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam

Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam

Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2016

Page 3: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

i

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puja dan puji penulis munajatkan kepada Allah SWT Azza

wa Jalla, Tuhan yang telah memberikan keluasan ilmu serta kemerdekaan bergerak

untuk menunaikan tugas akhir (tesis) Ini. Shawalat beriring salam, saya

kumadangkan kepada Raja Manusia, Sang Terpercaya (Al-Amin) Muhammad

SAW, seorang yang mulia, dan tidak gentar melapangan jalan Islam ke tanah-tanah

lainnya di luar kampung halamannya, di Jazirah Arab hingga sampai ke Nusantara.

Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan, hingga membuat

penulis alpa memperhatikan peredaran waktu. Ada batas yang memisahkan

keasyikkan ini, yakni masa akhir studi yang kian dekat. Untuk itu, penulis

menyingsingkan lengan baju, menyatukan konsentrasi, kembali ke meja tulis dan

mulai merapikan kembali draf tesis yang telah dikerjakan, hingga menjadi bentuk

utuh seperti sekarang ini.

Hubungan ulama dan pemerintah Aceh merupakan suatu pergaulan yang unik

untuk diketahui. Kajian historis mengenainya, membawa penulis menaiki mesin

waktu, untuk bersua dengan Sultan Iskandar Muda, Teungku Nuruddin ar-Raniri

hingga Teungku di Bitay. Dengan catatan menjumpai mereka hanya melalui media

makam dan sumber tertulis mengenainya. Hubungan meraka begitu padu dan

saling bahu membahu membawa masyarakat Aceh pada sememsta kesejahteraan,

ketinggian peradaban dan salah satu kutub keilmuan di Asia Tenggara.

Penulis menyadari, tidaklah ada kerja manusia yang sempurna, termasuk dalam

tulisan ini. sebab itu, penulis membuka kesempatan seluasnya terhadap saran dan

kritik untuk perbaikan tesis ini. hal tersebut akan penulis jadikan landasan untuk

selalu teliti dan cermat tatkala menulis atau meneliti di kemudian hari.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai

pihak, yakni:

1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M.Ag, yang telah meluangkan waktu,

berdiskusi dalam berbagai kesempatan, utamanya ketika saya dan kawan-

kawan sedang gamang akan masalah akademik, beliau menjadi pendegar

yang baik, serta memberikan solusi yang bisa diandalkan untuk

memecahkan masalah

2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus

Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama

Page 4: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

ii

kepada Dr. Abdullah M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib

Misbahul Islam M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI

yang telah banyak memberikan petunjuk, menyokong dan memberi

semangta kepada penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban intelektual

ini.

3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada ayahanda Prof. Dr. M. Dien

Madjid dan keluarga, seorang ayah, kakak, dan saudara penulis.

Terimakasih atas segala nasehat, bantuan serta untaian kata motivasinya,

berizin.

4. Kalimat terima kasih saya sampaikan pula pada teman-teman seperjuangan

di Magister SKI, utamanya angkatan 2012. Kalian adalah rekan-rekan yang

bijak, selalu memberikan semangat dan keceriaan kepada penulis. Semoga

yang belum menyelesaikan tesis dapat segera menyusul.

5. Terimakasih kepada istri tercinta, Sri Rezeki Wahyu Widawati, wanita

terhebat, serta pendamping terkuat, selalu memberikan kemesraan dan kasih

sayang, menjadi tempat bersandar penulis yang memberikan keteduhan di

kala sulit. Kepada anak-anak penulis: Tengku Ihya Raja Gazali, Cut Nyak

Soraya Azahra Gazali dan Cut Nyak Kirana Marwah Gazali, kalian adalah

pelita hati, pikiran serta kehidupan Ama.

6. Tidak lupa, terima kasih saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, ,

yang telah berpulang. Semoga keduanya selalu diberi ampunan serta rahmat

kasih sayang dari Allah SWT.

7. Terakhir, terima kasih penulis sampaikan pula bagi kawan-kawan, serta

pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir

ini.

Sebaik-baiknya perbuatan adalah yang berlamdaskan ibadah, dan sebaik-baiknya

ibadah adalah yang dilakukan dengan iklas. Semoga apa yang kalian lakukan

senantiasa dibalas oleh Allah SWT berupa kebahagiaan, kemudahan serta nikmat

yang banyak.

Saya berharap, semoga tesis saya ini bisa menjadi bagian dari kepusatakaan sejarah

Islam Nusantara dan memberikan pengetahuan bagi sesama.

Wasalam

Depok, 17 Desember 2015

Gazali S. Ag

Page 5: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,
Page 6: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,
Page 7: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

v

Abstrak

Hubungan antara ulama dan umara (pemerintah) mempunyai ikatan historis yang

kuat. Sudah sejak masa yang lama, dibuktikan dengan uraian-urain sumber tertulis

lokal, seperti Kronik Gayo, Bustanussalatin maupun Tajussalatin, keduanya

terlibat dalam kebersamaan membangun negeri dan menyejahterakan masyarakat.

Pemerintah membutuhkan bantuan ulama, utamanya sebagai penasehat juga

sumber mendapatkan berbagai keputusan yang dilandasi oleh hukum agama.

Sedangkan ulama, membutuhkan umara, untuk mendukung aktivitasnya dalam

pelbagai bidang seperti peradilan, pendidikan, kesufian bahkan sampai hal-hal

strategis lainnya, seperti membangun angkatan perang.

Muara dari kerjasama ini adalah bagaimana caranya menciptakan

kesejahteraan masyarakat. Sama-sama diketahui, orang Aceh sudah mencapai tahap

examiner (penilai) dalam hal keagamaan. Mereka sudah berada pada taraf

pemahaman agama yang di atas rata-rata. Mereka bukan hanya membutuhkan

sosok ulama yang tidak saja berkecimpung dalam pendidikan Islam, zikir (dike)

maupun dalam perayaan-perayaan tertentu, melainkan juga mereka yang juga siap

mengabdikan diri demi kemakmuran. Begitu juga dengan umara, Aceh mempunyai

paham kepemimpinan yang bertumpu pada ketundukan rakyat. Ketaatan orang

banyak pada pemimpinnya, akan berimbas pada upaya umaramengutamakan

kepentingan umat.

Tesis ini akan mengupas empat pertanyaan sebagai bahan telaah; 1)

Bagaimana hubungan yang terjalain antara ulama dan umara; 2) Bagaimana

pandangan masyarakat Aceh terhadap eksistensi ulama dan umara?; 3) Apa saja

bentuk kebijakan yang digulirkan umara yang terindikasi dipengaruhi ulama? 4)

Apa saja yang dilakukan ulama dan umara dalam memajukan intelektualitas dan

pendidikan?

Fokus dari kajian ini adalah membincangkan masalah interelasi ulama dan

umara dalam mengusahakan kemajuan pada era Sultan Iskandar Muda (1607-

1636). Umara pada pengertian di sini, dimaknai bukan hanya sebatas Sultan,

melainkan juga Imam Mukim, Mukim hingga Keuchik (kepala gampong).

Sedangkan ulama yang dimaksud, adalah mereka yang menjalankan peran

tradisional mereka, yakni sebagai pengajar agama, guru sekaligus tokoh

masyarakat, namun juga mereka yang tergabung dalam perankepemerintahan.

Kemudian, turut pula dibahas dampak kerjasama keduanya dalam membangun

suatu masyarakat yang kuat, berdayaguna, dan dipenuhi dengan nuansa sejahtera.

Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah menggunakan sudut

pandang sosiologis, kaitannya dengan interaksi sosial. Interaksi yang terbangun di

antara ulama dan umara, melahirkan kebijakan-kebijakan yang bernuansa pada

pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Komunikasi yang terbangun antara

keduanya, berkaitan dengan bagaimana mengelaborasi maksud serta tujuan mereka

dalam mencanangkan kemajuan bidang keagamaan dan sosial.

Page 8: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

vi

Pedoman Transliterasi

Huruf Arab Huruf Latin

tidak dilambangkan ا

b ة

t ت

ث

j ج

ح

kh خ

d د

ذ

r ر

z ز

s س

sy ش

ص

ض

ط

ظ

‘ ع

g غ

f ف

q ق

k ك

l ل

m م

n ن

w و

h ه

ء

y ي

Page 9: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

vii

Vokal Pendek

_____ = a كتت kataba

_____ = i سئل su ila

_____ = u يذهت ya

Vokal Panjang

q قبل = ... ا

qilaقيلi = اي

yaq lu =يقول

Diftong

يا = kaifaكيف

و ا = aula حول

Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987-

Nomor: 0543 b/u/1987.

Page 10: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................

KATA PENGANTAR..................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.....................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI................

ABSTRAKSI.................................................................................................

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN..........................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

-

i

iii

iv

v

vi

viii

BAB I

BAB II

BAB III

BAB IV

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................

B. Identifikasi Masalah..............................................................

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........................................

E. Penelitian Terdahulu..............................................................

F. Landasan Teoritis..................................................................

G. Metode Penelitian..................................................................

H. Sistematika Penulisan............................................................

KEADAAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH

DARUSSALAM.........................................................................

A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh..........................

B. Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam..............................

C. Terbentuknya Masyarakat Muslim Aceh..............................

EKSISTENSI ULAMA DI ACEH DARUSSALAM.................

A. Pengertian Ulama..................................................................

B. Pembagian Peran Ulama Kesultanan.....................................

C. Ulama dalam Pergaulan Masyarakat Bawah.........................

UMARA DALAM MASYARAKAT ACEH..............................

A. Pengertian Umara..................................................................

1

11

12

14

15

17

19

20

22

22

37

38

51

51

53

69

76

76

Page 11: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,
Page 12: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang memiliki

warna sendiri dalam perjalanan sejarah bangsa. Posisinya yang

strategis di ujung utara pulau Sumatra, tepatnya berdiri di kawasan

pesisir, menjadi bukti bahwa kerajaan ini memiliki corak

kehidupan maritim. Dalam bentangan nuansa kelautan, kerajaan ini

juga menjadi salah satu pusat pelayaran dan perdagangan.

Potensinya ini belakangan mampu digarap secara serius hingga

menghasilkan berbagai kemajuan yang di kemudian hari dapat

dimanfaatkan pula oleh penduduk Nusantara lainnya.

Pelayaran dan perdagangan amat kental dalam sejarah

Nusantara. Keberadaan rempah-rempah disinyalir menjadi magnet

yang mengundang orang asing berdatangan ke gugusan kepulauan

ini. Berita Cina yang berangka sekitar permulaan Masehi

mengatakan bahwa wilayah Nusantara, yang disebutkan dengan

lafal Cina, yang setelah melalui penelitian lebih lanjut diketahui

terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, menjadi tempat terjadinya

perdagangan lintas benua. Bentangan wilayah Barat Nusantara

hingga Maluku menjadi jalur penting pedagang asal Cina dan

India.1

Pelabuhan Aceh, merupakan satu tujuan penting bagi

saudagar dunia. Tercatat, kapal dagang dari Arab, Persia, India,

Turki, Cina, Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda serta kapal lintas

benua lainnya bersauh di Aceh.2 Kehidupan heterogen inilah yang

1Taufik Abdullah dkk, Sejarah Ummat Islam Indonesia (Jakarta:

Majelis Ulama Indonesia, 1991) hlm. 33. 2 Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda

(1607-1636) (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 150-165; lihat juga H.M.

Zainuddin, Tarikh Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961)

hlm. 250.

Page 13: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

2

membuat lingkungan pesisir Aceh lebih terbuka dengan pengaruh

luar. Perdagangan antar bangsa membawa banyak produk baru

yang memperkaya khazanah hidup masyarakat Aceh Salah satu

produk penting yang dihasilkan melalui interaksi antarbangsa di

pelabuhan adalah Islamisasi.

Sebenarnya, mengenai letak secara pasti dimana awalnya

Islam datang ke negeri ini, masih banyak diperdebatkan. Bahkan,

posisi awal Aceh sebagai tempat semula kehadiran Islam di

Nusantara pun belum disepakati secara umum oleh sidang

sejarawan Indonesia. Satu diantara pendapat yang banyak

diketahui adalah bersandar pada berdirinya kerajaan Perlak

(Peureulak) menginjak abad 12.3 Berdirinya lembaga pemerintahan

ini, merupakan puncak gunung es dari interaksi antara masyarakat

dengan para pemimpinnya yang telah beralih agama menjadi

Muslim.

Sebagaimana diketahui, masuknya Islam ke Nusantara,

termasuk ke Aceh, adalah melalui beberapa saluran. Paling tidak

ada lima saluran utama, yang dianggap sebagai corong

berbondong-bondongnya penduduk negeri ini meninggalkan

agama lamanya kemudian beralih ke Islam, yakni: perdagangan,

pernikahan, tasawuf, pendidikan dan kesenian. Hubungan mesra

yang terjalin antara para penjual dan pembeli di pelabuhan pesisir,

nyatanya merambah ke arah agama, hingga menyentuh masalah

keimanan. Dalam pergaulan kerajaan, pernikahan silang antara

saudagar India dan Arab dengan putri para pembesar pribumi turut

pula membawa pengaruh baru, khususnya dalam segi kepercayaan

di lingkungan istana yang lantas menyebar hingga ke tataran

bawah. Tasawuf dan pendidikan menjadi elemen penting dalam

segi kebatinan dan intelektualitas. Kesenian turut pula diyakini

sebagai wadah tepat mempromosikan agama baru tersebut.4

Di balik upaya keras yang dilakukan guna mendakwahkan

Islam ke tanah-tanah Nusantara, tersimpan kiprah para pembaharu

yang melatarbelakangi munculnya upaya tersebut yang

3 Zainuddin, Tarikh Atjeh ..., hlm. 95.

4 Noor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di

Indonesia (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 45-50.

Page 14: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

3

dikategorikan sebagai gerakan sosial baru itu, ia lazim disebut

ulama. Ulama diasosiasikan sebagai kalangan cerdik pandai yang

memiliki pemahaman yang luas akan ilmu-ilmu keislaman.

Keberadaan mereka menjadi penting tatkala dakwah Islam mulai

disosialisasikan. Walaupun sarana dakwah yang digunakan

seringkali beragam dan berbeda-beda antara satu ulama dengan

yang lain, namun esensinya tetaplah sama, yakni tersebarnya Islam

secara merata ke seluruh penjuru Nusantara.

Merujuk pada penjelasan Ismuha, sebutan ulama berasal

dari bahasa Arab, yang berupa kata jamak atau plural. Ulama

merupakan kata jamak dari „alim yang bermakna orang yang

mengetahui, bisa juga diartikan orang yang berilmu. Ulama dapat

dipahami pula sebagai para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan

atau para ilmiawan.5 Dalam pada itu, ulama yang diangkat dalam

penelitian ini adalah ulama Islam, oleh karena wilayah

pembahasannya adalah kerajaan Aceh yang juga merupakan

kerajaan Islam.

Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang memiliki

dimensi keagamaan yang kuat. Cikal bakal kerajaan ini merupakan

kelanjutan dari kerajaan yang semula didirikan oleh Meurah Johan,

seorang bangsawan kerajaan Linge Gayo yang diberi tugas dakwah

selepas pendidikannya di Dayah Cot Kala pimpinan Syekh

Abdullah Kanaan pada abad 13. Dari sekelumit uraian mengenai

berdirinya kerajaan Aceh, diketahui, aspek keagamaan sudah

sangat kental melingkupi kerajaan Aceh sejak masa berdirinya.

Bukan hanya ilmu agama saja yang didapatkan Meurah Johan,

melainkan juga ilmu-ilmu lain yang berguna bagi kehidupannya di

kemudian hari, salah satunya adalah ilmu ketatanegaraan.6

Peran ulama memiliki sejarah tersendiri dalam kerajaan

Aceh Darussalam. Mereka menjadi garda terdepan dalam

mengawal jalannya pemerintahan. Nasihat-nasihatnya bukan hanya

terbatas pada hal ihwal agama, melainkan menjadi rujukan pula

5 Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (Jakarta: LIPI, 1976)

hlm.1. 6 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit

Beuna, 1983) hlm. 55.

Page 15: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

4

dalam menggulirkan pelbagai kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini

semakin menandaskan peran sentral ulama dalam memajukan tata

ruang bermasyarakat yang baik. Dengan kata lain, posisi mereka

mewakili “golongan luar” keluarga kerajaan yang bertugas

membantu kerja aparatur kerajaan dalam menghadirkan kondisi

ranah keagamaan dan kemasyarakatan yang stabil dan teratur.

Menginjak abad 17, Aceh telah menjadi kekuatan penting

dalam peta pepolitikan Asia Tenggara. Kegigihan para rajanya

menghalau Portugis di hampir sepanjang abad 16, ikut pula

menerbangkan reputasi kerajaan ini sebagai lawan tanding utama

dalam menghadapi dominasi bangsa Kulit Putih itu. Iklim kerajaan

yang semakin kondusif turut menyokong berseminya masyarakat

yang makmur. Kesejahteraan ikut pula menghampiri aspek

keagamaan. Sektor pendidikan menjadi perhatian penting yang

terus diupayakan pertumbuhannya. Di era ini Aceh telah lepas

landas menjadi negeri yang kental dengan nuansa intelektual.

Kenyataan ini, ditandai dengan hilir mudiknya para sarjana, ulama,

pelajar pribumi, regional maupun mancanegara di pelbagai

lembaga pendidikan yang tersebar di wilayah Aceh.

Di abad ini, terdapat beberapa nama ulama yang memiliki

andil besar dalam meengelola dinamika intelektual Aceh.

Disamping itu, beberapa dari mereka juga berkiprah di bidang

pemerintahan. Syamsuddin as-Sumatrani (wafat 1630)7 salah

satunya, dipercaya menjadi penasehat Iskandar Muda, raja terbesar

Aceh Darussalam, dalam membina pemerintahan dan segi sosial

kemasyarakatan di Aceh. Ulama ini, memiliki andil besar dalam

mengembangkan tradisi tasawuf Aceh yang dikenal dengan paham

Wujudiyyah. Syamsuddin merupakan murid dari sufi besar Aceh,

Hamzah Fansuri (hidup pada paruhan kedua abad ke 16 dan awal

abad 17)8 yang dikenang sebagai salah satu sufi terkemuka

Nusantara. Kelihaiannya dalam menata kehidupan beragama

membuat dirinya dipercaya menduduki jabatan penasehat raja.

7 Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2010) hlm. 159. 8 Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 71

Page 16: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

5

Terlepas dari kontroversi aliran Wujudiyyah yang lekat

dalam diri Syamsuddin, tergelarnya ajaran Islam yang terpadu di

Aceh hingga tersohor reputasinya di dunia internasional.

Kebesaran nama Syamsuddin sejatinya tidak terlepas dari

kontribusi Hamzah Fansuri sebelumnya. Sebagaimana diketahui,

Hamzah Fansuri merupakan sosok penting dalam dinamika

intelektual Aceh Darussalam. Syair-syairnya amat kental dengan

nuansa sufiistik. Konsep panteisme (paham yang menyatakan

kebersatuan dzat Tuhan dengan Makhluk-Nya) yang digagasnya

memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan agama dan masyarakat.9

Menarik kiranya ketika menimbang posisi lembaga

pendidikan sebagai penyiar ajaran-ajaran Islam. Beragam masalah

keagamaan yang berkembang di Aceh, amat berkaitan dengan

eksistensi lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Dari sini para

ilmuwan dan ulama lahir, lantas berperan aktif dalam

meningkatkan taraf kemajuan Aceh. Di lembaga-lembaga

pendidikan ini, ulama-ulama memberikan pengajaran dengan sabar

dan penuh ketenangan. Hal ini dapat terjadi dilatarbelakangi oleh

tata ekonomi yang telah sedemikian rupa baik terbentuk. Stabilitas

politik turut pula mempengaruhi kinerja para ulama. Dengan kata

lain, kondisi politik yang telah tertata turut menumbuhkan

pemikiran-pemikiran untuk memajukan ranah intelektualitas.

Denys Lombard memberikan komentarnya mengenai

kemajuan intelektualitas Aceh dengan menyatakan bahwa Aceh

era Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607 – 1636,

dipenuhi dengan para pengarang dan pemikir. Mereka bukan hanya

berasal dari dalam negeri saja, melainkan ada pula yang datang

dari luar negeri. Beberapa ada yang berasal dari Sumatra, tidak

sedikit pula yang berasal dari India. Para cerdik pandai India

datang ke Aceh dengan mengikuti jejak kaum dagang. Walaupun

mereka berasal dari berbagai belahan dunia, namun ketika mereka

masuk ke Aceh dan akan menulis suatu risalah maka mereka tetap

menggunakan bahasa lokal, yakni Melayu. Dengan kata lain, para

ulama yang ingin menulis buah pemikirannya diharuskan terlebih

dahulu memahami tata bahasa Melayu dan sistematika

9 Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 217-219.

Page 17: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

6

penulisannya. Hal ini tercermin dalam tindakan Nuruddin ar-Raniri

asal Gujarat, daripada ia menonjolkan kedudukannya sebagai

“orang asing” dalam menulis Bustanussalatin, lebih baik ia

menggunakan bahasa Melayu yang ditulisnya beberapa bulan

setelah kedatangannya ke Aceh.10

Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kondisi

masyarakat Aceh sebagai medan dakwahnya. Bahasa Melayu

dianggap sebagai bahasa populer yang harapannya dapat dipahami

oleh seluruh kalangan pribumi. Disamping itu, “keseragaman”

pemilihan bahasa tersebut, menjadi indikator betapa ulama kala itu

sudah memahami realitas tempat bermukimnya. Ajaran yang

dipahami secara luas tentu lebih penting dibanding mengutamakan

egoisme pribadi kesukuan atau kebangsaan aslinya, seperti Arab

dan Persia. Dengan kata lain, bahasa Melayu dapat dikatakan

sebagai bahasa intelektual kala itu. Faktor sosial Aceh, yang secara

kebahasaan, dalam kesehariannya menggunakan bahasa Aceh dan

Melayu tentu telah dipikirkan secara matang oleh para penulis

Muslim kala itu.

Penduduk Aceh Darussalam terdiri dari struktur yang unik.

Selain terbentuk karena keanekaragaman bangsa, tingkat

pemahaman keberagamaan disana pun boleh dikatakan telah

mencapai taraf menengah ke atas. Hal ini tidak bisa dipungkiri dari

realitas sejarah Aceh yang merupakan salah satu tempat

berpijaknya Islam pada masa awal perkembangannya di Nusantara.

Bangunan masyarakat Islam telah terbentuk jauh sebelum Aceh

Darussalam berdiri. Berdirinya beberapa kerajaan sebelumnya,

seperti Perlak, Linge dan Samudra Pasai telah ikut membentuk

cikal bakal masyarakat Islam yang terstruktur dan senantiasa

berkembang dari masa ke masa.

Masyarakat Aceh abad 17 memiliki pandangan tersendiri

akan kebersatuan pemerintah dan ulama dalam kehidupan

kerajaan. Keharmoniasan di lingkungan istana dapat terjadi berkat

adanya dua unsur ini. Hal ini dapat ditemukan melalui berbagai

karya historiografi tradisional semisal Bustanussalatin yang salah

10

Lombard, Kerajaan Aceh ... hlm. 204-205.

Page 18: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

7

satu penggalan isinya menyebutkan bahwa seorang penguasa yang

adil, memiliki pengetahuan yang mendalam dan menghormati

ulama akan sampai pada tingkat kemakmuran yang tinggi.

Sebaliknya, seorang penguasa tiran (diktator), melanggar

ketentuan agama, dan tidak memuliakan para ulama akan

mendapatkan ujian yang nyata dalam pemerintahannya, dan

kekuasaannya akan berakhir secara tragis.

Menurut kacamata masyarakat Aceh, sebagaimana

disebutkan oleh para ulama, jabatan seorang raja/sultan memiliki

muatan politis dan agama. Dengan kata lain, seorang penguasa

memiliki kuasa atas “politik” dan “agama”. Nilai agamis pada

posisi tersebut sebenarnya sama dengan yang telah ditampilkan

oleh para pemikir Islam. Melalui lembaga kenegaraan,

kekhalifahan atau kesultanan, ajaran-ajaran Islam dapat

diberlakukan dengan baik. Oleh sebab itu, sebagaimana yang

dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, pengadaan lembaga kenegaraan

menjadi suatu keniscayaan yang dibebankan pada keagamaan. Hal

ini dapat pula ditengok dalam bentangan sejarah Aceh, dimana

gelar penguasa serta struktur kekuasaan adalah hasil penalaran dan

kompromi yang berdasarkan ajaran agama. Beberapa gelar selain

sultan yang dinisbatkan pada tata kelola pemerintahan Islam antara

lain seperti Khalifat Allah fi al-Ard, Zill Allah fi al-Ard atau Zill

Allah fi al-Alam.11

Unsur keislaman yang melekat dalam manajemen

pemerintahan Aceh sudah barang tentu membutuhkan peran atau

kontribusi dari ulama. Pandangan harmonisasi masyarakat akan

keadaan kerajaan yang makmur dan sejahtera menitikberatkan

pada hal tersebut. Dengan kata lain, jika tidak ada salah satu dari

keduanya atau justru kedua pihak tersebut terlibat dalam

perseteruan maka harapan akan ketahanan kerajaan yang baik akan

mendapat ancaman serius, utamanya dari sisi internal.

Keberadaan ulama di tataran pemerintahan turut membawa

aura positif dalam kinerja istana. Saran-saran mereka bagaikan

pohon teduh di tengah padang gersang. Tidak jarang, Sultan Aceh

11

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 161-162.

Page 19: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

8

sampai kepala pemerintahan di bawahnya, seperti uleebalang dan

keuchik menjadikan ulama sebagai tempat bertanya atas segala

permasalahan yang tidak mampu diselesaikannya. Paling tidak,

ulama selain menjadi guru agama, juga memiliki tugas sebagai

motivator jika pemerintah sedang dalam keadaan gundah gulana.

Terkait posisinya tersebut, Erawadi menambahkan bahwa

para ulama kerapkali menjadi penasehat dan mitra keilmuan dari

seorang sultan/raja. Para ulama disamping menulis karya

keagamaan, juga menulis ketentuan-ketentuan atau hukum-hukum

yang berhubungan dengan masalah sosial dan politik, yang

beberapa diantaranya ditulis atas pesanan penguasa. Ulama yang

berkecimpung dalam pemerintahan, biasanya yang memiliki

keahlian di bidang hukum (fuqaha). Mereka menduduki jabatan

sebagai mufti, qadhi, atau syaikh al-Islam serta menempati peran

penting dalam penetapan dan pelaksanaan hukum dan berbagai

kebijakan penguasa.

Terdapat sejumlah ulama yang tersohor yang menyokong

pemerintahan Iskandar Muda. Di era ini dikenal nama-nama besar

yang ikut serta bersama kalangan istana. Selain Syamsuddin as-

Sumatrani dan Hamzah Fansuri, yang sempat disinggung

sebelumnya, masih ada nama besar lain seperti Ibrahim asy-Syami

asy-Syafi‟i, seorang fakih yang mengabdi dalam dunia pendidikan

Aceh khususnya dalam pengajaran fikih.12

Mereka, serta ulama

lainnya telah ikut serta mewarnai banyak ketentuan yang

diberlakukan oleh pihak istana. Sebagaimana dikemukakan oleh

Amirul Hadi, peran dari ulama Aceh abad ini bukan hanya terbatas

pada lapangan ilmu pengetahuan dan keagamaan, akan tetapi telah

merambah ke dimensi kenegaraan dan politik,13

termasuk pula

bidang kemasyarakatan.

Selain vital dalam memandu jalannya kerajaan, ulama juga

memiliki fungsi strategis membangun kehidupan sosial

masyarakat. Kedudukan mereka menempati posisi yang sejajar

dengan pemerintah wilayah yakni tingkat mukim

(keuleebalangan), hingga gampong. Teungku meunasah memiliki

12

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, hlm. 16. 13

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 158.

Page 20: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

9

memiliki tanggung jawab besar dalam menata kehidupan rohani

masyarakat bawah. Seorang yang dipilih menduduki jabatan ini,

bukan hanya mereka yang memiliki pemahaman agama yang

dalam, tapi juga pengalaman mengurus aspek sosial. Selain

menjalankan tugas sebagai guru mengaji dan imam sembahyang,

mereka juga diminta memandu acara khitanan, pernikahan dan

memandikan jenazah. Selain itu mereka juga menjadi tempat

bertukar pikiran teungku lain serta uleebalang.

Disamping itu, ulama memiliki peran yang cakupannya

meluas, bukan hanya terbingkai dalam ranah agama semata. Dalam

persidangan tingkat gampong misalnya, ulama kerap mendampingi

imeum, waki, keuchik serta orang-orang tua dalam menyelesaikan

suatu perkara. Terlebih ketika, masalah yang dibahas tergolong

wilayah syariat, seperti warisan dan sebagainya, nasehat serta

keputusan ulama sangat dibutuhkan.14

Ulama Aceh memiliki kesamaan juga perbedaan dengan

ulama pada abad 17 di wilayah Nusantara pada umumnya.

Kesamaan yang bisa diketahui adalah mereka sama-sama memiliki

kemampuan agama, yang membuatnya mempunyai kedudukan

tinggi di mata masyarakat dan pemerintahannya. Perbedaan

terdapat tatkala merambah lajur politik. Ulama Aceh cenderung

enggan melakukan manuver-manuver politik yang menguntungkan

ambisinya. Apalagi jika harus berseberangan dengan kebijakan

Sultan maupun perangkatnya.

Sebaliknya, di Jawa misalnya, terdapat banyak kasus ulama

yang ikut dalam kontestasi politik. Di masa ketika Sultan Agung

berkuasa atas Mataram (1613-1646), sekitar tahun 1633, terjadi

pertikaian antara Sultan dengan para ulama Tembayat. Belum jelas

apa yang melatarbelakangi motif pertengkaran ini, yang jelas,

Sultan Agung sampai harus mendatangkan kekuatan militer untuk

menenangkan keadaan yang bergolak di sana.

14

K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa

Kesultanan, Terj. Aboe Bakar ( Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen

Informasi Aceh, 2002) hlm. 40-41.

Page 21: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

10

Hal yang sama juga dilakukan Sultan Agung kepada

golongan santri di kawasan Giri Kedaton. Perlawanan santri

dilatarbelakangi oleh legitimasi keagamaan. Sekitar tahun 1636,

Sultan Agung menghancurkan tempat yang menjadi basis

perlawanan itu. Ia mengangkat Pangeran Pekik, yang masih

memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel, untuk menyerang

Giri. Pada umumnya orang di Giri enggan untuk melawan

seseorang yang masih keturunan orang suci, terlebih yang masih

keturunan seorang ulama yang memiliki kontribusi luas dalam

islamisasi Jawa. Pertempuran ini dimenangkan oleh Sultan

Agung.15

Dua kasus tersebut hampir tidak ditemukan di Aceh

Darussalam tatkala dipimpin oleh Iskandar Muda. Kebanyakan

ulama tidak mempunyai hasrat untuk mengungkapkan pandangan

politiknya atau sekedar mengkritik kebijakan sang Sultan.

Perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari setting sosial keadaan

Jawa dan Aceh pada masa itu. Aceh secara umum sedang berada

pada masa stabilitas kerajaan yang teruji. Sedangkan kekuasaan

Sultan Agung, mendapat ancaman nyata dari Surabaya dan Banten,

kemudian VOC. Dengan kata lain, pemberontakan ulama

Tembayat maupun Giri sebetulnya dilatarbelakangi oleh

kepentingan politik.

Tesis ini akan mengangkat suatu permasalahan mengenai

interaksi antara pihak pemerintahan Aceh mulai dari tingkat

kerajaan hingga gampong dengan ulama kaitannya upaya

mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera, utamanya di bidang

sosio-keagamaan. Sebagaimana diketahui, agama menjadi aspek

penting dalam komposisi masyarakat Aceh. Untuk itu sematan

agama dalam pola kehidupan sosial, menjadi suatu keniscayaan

tersendiri. Tentu saja aspek ini akan diulas lebih lanjut dalam bab-

bab berikutnya.

Komunikasi yang terjalin antara umara dan para ulama

agaknya masih belum banyak diungkap secara mendalam. Peran

ulama dalam pemerintahan Aceh agaknya memang sudah banyak

15

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 1995) hlm. 71-72.

Page 22: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

11

dibahas dalam karya-karya terdahulu. Namun demikian, masih

belum tajam menukik ke salah satu wilayah sentral dari tujuan

pemerintahan itu sendiri terkait memakmurkan masyarakatnya.

Sebagaimana diketahui, jika menimbang kebesaran kerajaan Aceh

tentu saja tidak bisa hanya ditilik dari satu sektor semata.

Terbukanya gerbang ekonomi dunia turut pula membawa semangat

baru bagi tumbuh kembang masyarakatnya. Pada wilayah ini peran

raja dibantu oleh pejabat istana terkait tentu menjadi amat

dominan. Pejabat istana di sini tentu saja bersikan seorang ulama

yang dipilih sebagai penasehat kerajaan.16

Tinjauan mendalam terkait hubungan ulama dengan umara

dalam kerajaan Aceh serta wilayah bawahannya tentu amat

menarik untuk dikaji lebih lanjut kaitannya dengan upaya

mengembangkan kemasyarakatan dan keagamaan. Memang, dalam

beberapa karya maupun tulisan yang lalu, hal ini telah dibahas.

Namun demikian, keberadaannya belum dikedepankan secara

serius oleh karena harus berbagi ruang dengan pembahasan

lainnya.

B. Identifikasi Masalah

Tesis yang akan ditulis menitikberatkan pada aktivitas,

komunikasi dan kerjasama yang terjalin antara ulama dan umara

di Kerajaan Aceh Darussalam selama masa pemerintahan Sultan

Iskandar Muda (1607-1636). Umara di sini dimaknai sebagai

pemerintah kerajaan Aceh, mulai dari tataran pusat (kerajaan)

hingga satuan terkecil pemerintahan, yakni gampong. Objek lain

yang diungkap adalah terkait kebijakan bidang sosio-keagamaan,

baik yang berasal dari kerajaan sampai dengan gampong, yang

perumusannya sudah barang tentu dibantu pula oleh kalangan

ulama. Termasuk pula dalam bahasan, adalah peran mereka dalam

16

Aceh dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara.

Devisa Aceh berasal dari hasil buminya. Menurut Denis Lombard, Aceh dapat

dipastikan mengekspor gajah, kuda dan belerang. Dari suatu laporan Eropa

dituliskan bahwa komoditas perdagangan di Aceh menjamin distribusi barang

untuk “seluruh Nusantara”. Barbagai jenis kayu, rempah-rempah seperti lada

dan campli puta. Kesmeua barang ini didistribusikan melalui pelabuhan-

pelabuhan Aceh. Lihat juga Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 147-148.

Page 23: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

12

dunia intelektual pendidikan di lingkungan istana, mukim dan

gampong.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Oleh karena tema yang diangkat memiliki wilayah

pembahasan yang meluas, maka perlu kiranya melakukan

pembatasan-pembatasan guna memfokuskan pembahasan. Hal

pertama yang perlu diperhatikan adalah batas waktu tema yang

diteliti, yakni hanya berkutat Kerajaan Aceh Darussalam di bawah

kepemimpinan Iskandar Muda, yakni sejak 1607-1636.17

Perlu diutarakan, wilayah kekuasaan Aceh masa Sultan

Iskandar Muda mencakup hampir sebagian besar Sumatra. Hal ini

bisa terjadi mengingat di era itu, Aceh giat melakukan pelebaran

pengaruh ke luar wilayah Aceh. Kebanyakan wilayah yang

dikuasai, adalah wilayah pelabuhan dan kawasan pantai. Denys

Lombard mengutip penjelasan Agustine de Beulieu, pelaut Prancis

yang sempat mengunjungi Aceh pada masa Iskandar Muda, bahwa

wilayah Aceh masa itu mencakup “bagian yang paling

menguntungkan”. Di sebelah timur Aceh memerintah Pedir, Pasai

sampai Deli dan Aru. Sedangkan di sebelah barat mencakup Daya,

Labu, Singkel, Barus, Bataham, Pasaman, Tiku, Pariaman dan

Padang.18

Penggunaan kata umara dalam judul yang memiliki makna

pemimpin, presiden, raja, atau ratu, digunakan untuk menyebut

pemimpin kerajaan Aceh serta perangkat pemerintahan Aceh pada

umumnya, dari tataran kerajaan hingga gampong. Diharapkan, kata

ini dapat mewakili peristilahan perangkat pemerintahan masa itu

yang mencakup pusat hingga daerah.

Sebagaimana diketahui selain pemerintahan tingkat istana

yang dikepalai raja, dikenal pula bentuk pemerintahan bawahan

yakni mukim/keuleebalangan diketuai oleh imam mukim atau

uleebalang, lalu dibawahnya lagi adalah keuchik atau kepala

kampung (gampong), yang disebut keuchik. Struktur pemerintahan

tersebut baru terbentuk di kala Sultan Iskandar Muda bertahta.

17

Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 403-409. 18

Lombard, Kerajaan Aceh ... hlm. 132-133.

Page 24: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

13

Mukim, merupakan gagasan baru yang ditetapkan oleh sang Raja.

Kawasan ini terbentuk dari tempat-tempat atau kampung-

kampung yang melakukan ibadah shalat Jum‟at dalam masjid yang

sama. Belakangan pemimpin dari wilayah ini, yang disebut imam

mukim, merangkap juga sebagai panglima perang, maka sering

juga imam mukim disebut uleebalang.19

Perlu disinggung pula mengenai aktifitas ulama di kancah

pemerintahan. Ulama yang termasuk dalam kategori ini adalah

ulama yang memiliki jabatan struktural sebagai mufti, walaupun di

perjalanan kisahnya tetap bersinggungan dengan ulama lain di luar

kerajaan. Dengan kata lain, perhatian utama dari ulama yang

diangkat dalam tesis ini adalah mereka yang bertindak sebagai

fungsionaris kerajaan. Selain itu, ulama dalam penelitian ini, juga

dimaknai sebagai pengembang tradisi intelektual di lingkungan

istana, sebagaimana yang dilakukan oleh Syamsuddin as-

Sumatrani yang ikut meramaikan forum diskusi kalangan ulama di

lingkungan istana.

Selain itu pengertian ulama di sini juga diartikan sebagai

pengayom masyarakat. Dalam lingkungan luar kerajaan, golongan

ulama ini disebut teungku meunasah. Selain mengurusi kebutuhan

agama masyarakat, seperti mengaji, mengatur zakat, menjadi imam

shalat 5 waktu, mereka juga menjalankan fungsi sosial sebagai

pemberi nasehat dalam pengadilan kecil, utamanya mengenai

aspek peradilan syariat, seperti pembagian warisan. Beberapa

mereka ditunjuk sebagai wakil ketua kampung.20

Ulama pada

tataran ini turut pula bermakna sebagai guru bagi masyarakat

Aceh.21

Selanjutnya, hal lain yang agaknya perlu diperhatikan

adalah berhubungan dengan aspek sosio-keagamaan masyarakat

Aceh. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dimensi kerja

raja maupun ulama senantiasa berhubungan dengan upaya

memajukan kerajaan, tidak terkecuali aspek kemasyarakatannya.

Istilah sosio-keagamaan ini berhubungan dengan bangunan

19

Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 11-13. 20

Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 13 dan 40-41. 21

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 160.

Page 25: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

14

kemasyarakatan Aceh yang tersusun di atas unsur keagamaan.

Bahkan, mereka yang digelari ulama pun bukan hanya menuntut

kedalaman ilmu agama melainkan pula pengakuan dari

masyarakat.22

Oleh sebab itulah maka aspek kemasyarakatan menjadi

wilayah kajian yang menarik ketika membicarakan hubungan raja

dan ulama dalam pemerintahan. Rumusan mengenai sosio-

keagamaan ini dapat disistematisasikan ke dalam beberapa aspek

turunan seperti wilayah sosial (kemasyarakatan), pendidikan,

keagamaan bahkan tidak menutup kemungkinan adalah ranah

ekonomi dan cakupan lainnya.

Untuk lebih memperjelas masalah yang diangkat, maka

akan dirumuskan beberapa pertanyaan di bawah ini:

1. Bagaimana hubungan yang terjalin antara ulama dengan

umara ?

2. Bagaimana pandangan masyarakat Aceh terhadap

eksistensi ulama dan umara ?

3. Apa saja bentuk kebijakan yang digulirkan umara yang

terindikasi dipengaruhi ulama?

4. Apa saja yang dilakukan ulama dan umara dalam

memajukan intelektualitas dan pendidikan ?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penulisan tesis ini bertujuan untuk:

1. Memperkaya pengetahuan mengenai eksistensi ulama

dalam pemerintahan Aceh Darussalam

2. Mengetahui efektifitas hubungan ulama-umara dalam

membentuk iklim sosio-keagamaan yang tertata dengan

baik

3. Memahami secara lebih jelas sejarah Aceh Darussalam,

khususnya pada wilayah kepemerintahan dan

kemasyarakatan

Sedangkan kegunaan tesis ini adalah:

22

Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 14.

Page 26: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

15

1. Menambah khazanah pengetahuan sejarah Nusantara,

khususnya Aceh Darussalam

2. Menjadi inspirasi bagi Fakultas Adab dan Humaniora UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dalam mengembangkan wacana

kesejarahan Aceh. Selain pula menjadi acuan bagi

Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan dalam menggulirkan kebijakan-kebijakan

strategis yang terkait dengan tema yang diangkat.

3. Menjadi bahan penelitian lanjutan bagi institusi-institusi

terkait lainnya, baik negeri maupun swasta.

E. Penelitian Terdahulu

Sebenarnya, sudah ada beberapa tulisan terkait mengenai

interaksi antara umara dan ulama Aceh Darussalam yang

termaktub dalam beberapa buku maupun laporan penelitian

mengenai sejarah Aceh. Keberadaannya masih terserak dan kerap

dijadikan bahasan sepintas. Dalam pemaparannya pun masih

belum disentuh secara mendalam. Studi ini, sebagaimana yang

disinggung sebelumnya, akan menyentuh lebih dalam tema terkait

yang berarti pembahasan tema yang dipilih, harapannya akan

mendekati tingkat komprehensif sebagai pelengkap beberapa karya

sebelumnya.

Salah satu penelitian yang menekankan objek ulama dalam

wawasan kesejarahan Aceh Darussalam adalah apa yang

dikerjakan oleh Ismuha yang dipaparkan secara tertulis dalam

Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (1976). Penelitian ini

terselenggara atas kerjasama Leknas LIPI dengan Departemen

Agama RI. Karya ini masuk dalam seri monografi “Agama dan

Perubahan Sosial” dengan mengambil objek mengenai aktivitas

ulama yang mengambil kasus sejarah Aceh. Laporan ini

sebenarnya menyentuh posisi ulama dalam setiap masa yang

ditampilkan secara kronologis, yakni dari kedatangan Islam hingga

masa terbentuknya provinsi Daerah Istimewa Aceh. Informasi

yang didapat dari karya ini adalah kedudukan ulama dalam

masyarakat Aceh serta dinamikanya.

Aspek kajian sosial amat dikedepankan dalam karya ini,

sehingga pembahasan peran ulama terasa lebih cenderung dekat ke

Page 27: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

16

masyarakat. Namun begitu, penjelasan mengenai aktivitas ulama

Aceh kaitannya dengan kepemerintahan Aceh belum banyak

dibahas dengan tuntas.23

Babakan abad 17 hanya disentuh di

bagian pendahuluan, sedangkan bahasan lebih besar

mengetengahkan ulama di era kontemporer, yakni sejak mulai era

kolonial hingga Indonesia merdeka. Telaah keulamaan Aceh ini

amat berbeda dengan judul yang diangkat dalam tesis ini.

Penjelasannya masih bersifat umum, dan belum mengetengahkan

analisa mendalam, terutama seputar aktivitas ulama era Sultan

Iskandar Muda.

Literatur lain yang memiliki kesamaan tema yang diangkat

dalam tesis ini adalah suatu penelitian Erawadi berjudul Tradisi,

Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX

(2009). Dalam bukunya ini, Erawadi lebih memberatkan perhatian

pada tradisi keilmuan, wacana serta dinamika intelektual yang

muncul, berkembang lantas berubah dalam ruang lingkup sejarah

yang berlanjut dan berkesinambungan. Batasan waktu yang diteliti

mencakup abad 18 dan 19.24

Memang, tidak dapat dipungkiri,

banyak informasi penting yang didapatkan terkait dengan tema

yang diangkat. Erawadi juga dalam beberapa pembahasan turut

mengemukakan bagaimana posisi serta kegiatan ulama dalam

membantu kerja aparatur kerajaan, salah satunya dari segi wacana

intelektualitas. Satu informasi yang menarik adalah ketika sampai

pada pembahasan mengenai eksistensi keilmuan Hamzah Fansuri,

Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri yang melalui

pelbagai tinjauan karya-karyanya.25

Fokus yang diketengahkan

Erawadi ini tentu amat berbeda dengan penelitian tesis ini yang

lebih menekankan pada aspek sosial dari ulama itu sendiri,

utamanya terkait hubungannya dalam memetakan kemasyarakatan

yang bukan hanya penuh dengan kemakmuran melainkan juga

disemaraki oleh ajaran agama.

Tulisan lain yang memiliki tema serupa terdapat dalam

buku Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (2010) yang ditulis oleh

23

Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 2 24

Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh

Abad XVIII dan XIX (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009) hlm. 16. 25

Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 32-39.

Page 28: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

17

Amirul Hadi. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan

ilmiah yang disajikan secara tematik dalam setiap babnya.

Terdapat beberapa informasi terkait yang terhimpun dalam

beberapa judul antara lain; “Menyingkap Tabir Kehidupan

Hamzah Fansuri”, “Kerajaan dan Tradisi Intelektual Aceh”, serta

“Adat dan Kajian Hukum Islam di Aceh pada Abad ke-17: Sebuah

Kajian Awal”. Dalam tulisan kedua, banyak dipaparkan seputar

peran lembaga pendidikan, para intelektual dan ulama serta tidak

ketinggalan adalah peran dari kerajaan (pusat kekuasaan). Ketiga

elemen ini, diyakini Amirul Hadi, merupakan fondasi utama bagi

tegak dan berkelanjutannya tradisi intelektual Aceh abad 17.

Aspek sosio-keagamaan yang menitikberatkan pada aktivitas

masyarakat terkait kebijakan pihak istana yang berhubungan

dengan anjuran ulama. Jikapun disentuh, porsinya sangat sedikit,

seperti pandangan masyarakat terhadap eksistensi ulama-raja

dalam kepemerintahan Aceh.26

F. Landasan Teoritis

Penelitian tesis yang diangkat ini amat dekat kaitannya

dengan peran-peran antar subjek. Oleh sebab itu, tepat kiranya

jika tesis ini menggunakan pendekatan llmu sosial dalam

analisanya. Pendekatan ini bukan hanya menyentuh pergaulan

istana, melainkan turut pula menyinggung bagaimana peran

mereka dalam menciptakan suatu kemajuan dan kemakmuran di

tataran masyarakat. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,

masyarakat Aceh bukan hanya terbentuk melalui sekumpulan

individu yang tinggal dalam satu daerah dan memiliki visi

kehidupan yang cenderung seragam dengan landasan adat istiadat

semata, melainkan turut pula diikat dengan kesatuan agama Islam.

Jika menyinggung masalah ini, kiprah ulama menjadi penting

keberadaannya.

Menurut Taufik Abdullah, ulama di Aceh mengalami fase

dinamis, yang berujung pada peranan mereka di tengah

26

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 161.

Page 29: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

18

masyarakat. Ketika masa kerajaan Aceh Darussalam berkuasa

menyentuh abad 17, ulama banyak berkarya diluar sistem

pemerintahan. Mereka aktif mengembangkan keilmuan dan

menjaga tradisi keagamaan masyarakat dan istana. Keadaan ini

berubah tatkala era kolonial terjadi, terlebih saat menyentuh abad

21, ulama mulai masuk ke dalam sistem pemerintahan. Mereka

adalah sosok pengajur perang fi sabilillah juga pemimpin rakyat.

Ulama mengalami perluasan profesi yakni ke arah pendidikan dan

politik.27

Pada tesis ini konsep ulama yang diusung adalah ulama

sebagai guru masyarakat juga menjalankan fungsi sosial dan

profesionalnya di lingkungan istana dan masyarakat luar istana.

Baik raja, ulama maupun masyarakat memiliki

keterhubungan yang dapat dibahas melalui suatu pendekatan

sosiologis, yakni menggunakan konsep “interaksi sosial”. Interaksi

sosial adalah hubungan-hubungan sosial dinamis yang terkait pada

relasi antarindividu dengan kelompok, dan kelompok dengan

kelompok lainnya. Interaksi sosial sendiri adalah kunci bagi

keberlangsungan aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara

sederhana, interaksi sosial bisa terjadi apabila dua orang saling

bertemu, saling menegur, saling memperkenalkan diri, bahkan

saling mempengaruhi.28

Pendekatan dengan penekanan interaksi sosial dipandang

baik guna mengungkap lebih jauh hal ihwal komunikasi yang

terjalin antara umara dengan ulama. Tentu akan banyak

pengetahuan-pengetahuan yang dapat dituai dari interaksi antara

dua elite istana tersebut. Tambahannya, adalah bagaimana hasil

perbincangan mereka yang kemudian ditelurkan dalam bentuk

kebijakan dapat memajukan kehidupan sosio-agama masyarakat

Aceh.

G. Metode Penelitian

27

Taufik Abdullah, pengantar, dalam buku Taufik Abdullah, ed,

Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV Rajawali, 1983) hlm. 9. 28

Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar (Ciputat: Laboratorium

Sosiologi Agama, 2008) hlm. 57.

Page 30: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

19

Metode penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif

yang berbasiskan pada library research atau riset literatur. Tujuan

akhir dari proses riset ini adalah penulisan sejarah (historiografi).

Untuk sampai pada tingkat tersebut, terlebih dahulu harus

melewati upaya rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah.

Tahap awal yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber-sumber

terkait.

Sumber-sumber tersebut dapat dikategorikan dalam dua

jenis, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sejauh pantauan

penulis, sumber primer yang dapat digunakan adalah salah satu

karya Nuruddin ar-Raniri berjudul Bustanussalatin, suatu karya

tulis sezaman yang berisi informasi seputar sejarah Aceh dan

kerajaan-kerajaan Melayu. Pemaparan yang sifatnya historis dalam

naskah ini, hanya terdapat dalam bait 12 dan 13.29

Bab 12 berisi

tentang raja-raja Melayu keturunan Iskandar Dzulkarnain yang

berkedudukan di negeri-negeri Melayu, sedangkan bab 13,

menceritakan hal ihwal keadaan Aceh Darussalam era

kepemimpinan Sultan Ali Mughayyatsyah sampai Sultanah Tajul

Alam Safiatuddin. Sedangkan sumber sekunder adalah data-data

yang bukan berasal dari masa seputar kajian historis yang

diangkat. Sumber-sumber ini amat berguna dalam merekonstruksi

peristiwa masa lalu.

Sumber-sumber yang telah terhimpun kemudian diuji

keaslian dan kesahihan muatan datanya melalui kritik ekstern dan

intern. Setelah fase pengujian dan analisis dilakukan, fakta-fakta

yang dikumpulkan kemudian disintesiskan melalui suatu

penjelasan atau eksplanasi sejarah. Historiografi sebagai tujuan

akhir dari perjalanan penelitian ini, diupayakan dengan selalu

mengedepankan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya

didasarkan pada tampilan tema-tema penting dari setiap

perkembangan tema terkait.30

29

Versi Bustanussalatin yang digunakan adalah bentuk print-out dari

microfilm Bustanussalatin bait 12 dan 13 Perpustakaan Nasional dengan nomor

panggil ML 422. 30

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang:

Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.

Page 31: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

20

H. Sistematika Penulisan

Penyajian tesis ini terdiri atas tiga bagian: Pengantar, Hasil

Penelitian dan Kesimpulan. Bagian pertama berisikan bab

pendahuluan, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya.

Didalamnya memaparkan beberapa pembahasan pokok mengenai

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, pembatasan masalah, penelitian terdahulu, landasan

teorotis, metodologi penelitian dan terakhir, adalah sistematika

penelitian.

Hasil penelitian kemudian disajikan dalam empat bab

berikutnya. penjelasan bab per bab ditampilkan sebagai satu

kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bab dua

mengetengahkan pokok tinjauan terkait dengan tumbuh dan

berkembangnya kerajaan Aceh Darussalam. Permasalahan yang

dibahas dalam bab ini terkait uraian geografis Aceh, pemetaan

wilayah kekuasaan kerajaan, modalitas sumber daya alam, serta

mengenai kehidupan sosio-keagamaan masyarakatnya. Dijelaskan

pula mengenai tradisi intelektual yang terbangun di Aceh.

Selanjutnya, pembahasan pada bab tiga, berkaitan dengan

tinjaun mendalam terkait kedudukan ulama dalam pemerintahan

Aceh Darussalam. Sebelum itu, sebagai pengayaan, akan

dijelaskan mengenai pengertian ulama itu sendiri. Turut pula

disampaikan bagaimana seorang ulama dapat memperoleh

pengakuan kalangan istana serta masyarakat luas terkait

keulamaannya. Tidak ketinggalan, dijelaskan pula mengenai

dinamika keulamaan yang terjadi di istana. Hal ini mencakup

kegiatan ulama, forum diskusi, pertikaian yang terjadi dengan

ulama lainnya maupun hal lain yang berhubungan dengan aktivitas

ulama di lingkungan kerajaan.

Kemudian, bab empat mengetengahkan perihal latar

belakang sosio-keagamaan masyarakat Aceh masa Sultan Iskandar

Muda. Termasuk dalam pembahasan ini adalah bagaimana

masyarakat Aceh terbentuk, kemudian disinggung pula mengenai

aspek pelayaran internasional di Aceh yang berkontribusi dalam

Page 32: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

21

membantuk masyarakat Aceh yang multietnik. Selain itu, dibahas

pula mengenai kedudukan agama dalam masyarakat Aceh. Hal lain

yang turut dibahas adalah mengenai pandangan mereka terkait

keberadaan ulama dan umara.

Pada bab kelima, pembahasan menukik lebih tajam dengan

membedah seputar pergaulan dan komunikasi yang terjalin antara

umara dan ulama. Disinggung pula mengenai media-media apa

saja yang membuat hubungan kedua elite istana ini harmonis.

Disinggung pula mengenai pengaruh ulama di lingkungan kerajaan

yang berkaitan dengan pengajaan kebijakan istana pada segi sosio-

keagamaan.

Bagian akhir merupakan kesimpulan atas seluruh

pemaparan tesis ini. Diharapkan, pada bagian ini dapat ditarik

benang merah dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya

sehingga menjadi suatu rumusan yang dipahami. Bab ini sekaligus

menjadi bab penutup.

Page 33: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

22

BAB II

KEADAAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH DARUSSALAM

Aceh merupakan wilayah Indonesia yang memiliki

peradaban Islam yang menyejarah. Keberadaannya dalam peta

sebaran Islam negeri ini amatlah vital. Tidak aneh jika Aceh

seringkali dijuluki negeri Serambi Mekkah. Islam di sana telah

berurat akar dan membentuk suatu daur kehidupan yang dipenuhi

oleh nuansa keagungan. Membaca kembali sejarah Aceh, ibarat

masuk dalam dunia yang sesak dengan kibar-kibar peristiwa masa

lampau yang menentukan jalan sejarah bangsa.

Membincang sejarah Aceh, tidak bisa dilepaskan dari

keberadaan Aceh Darussalam, suatu kerajaan yang telah

menanamkan komitmen kebangsaan dan keislaman yang

nuansanya masih amatlah terasa hingga dewasa ini. Kebesaran

kerajaan amat disokong oleh pelbagai elemen vital, salah satunya

adalah aspek keagamaannya. Mulai dari pergaulan istana hingga

lingkungan yang paling sederhana, Islam menjadi ritual kehidupan

yang amat dekat dengan nafas keseharian. Hal ini kiraya yang turut

membentuk Aceh sebagai motor dakwah Islam Nusantara.

Sebelum melangkah lebih jauh perlu kiranya diterangkan

mengenai bagaimana Islam dapat tumbuh dan berkembang di

Aceh.

A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh

Sekitar tahun 1978, ditetapkan suatu keputusan yang

bersejarah, yang merupakan hasil telaah Seminar sejarah Masuk

dan Berkembangnya Islam di Aceh mengenai kapan dan di mana

masuknya Islam ke Aceh. Seminar ini diselenggerakan oleh

Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh dari tanggal 10

Page 34: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

23

sampai 16 Juli di Banda Aceh. Melalui keputusan tersebut,

pertanyaan yang sejak lama menggelayut di pikiran para sejarawan

dari masa ke masa seakan sampai pada terminal akhirnya,

kendatipun ungkapan terakhir ini tentulah sementara. Minimal,

sebagian sejarawan Tanah Air telah membulatkan tekad akan

sesuatu perbincangan sekaligus polemik yang tak kunjung usai,

mengenai misteri sejarah yang sejak lama belum terungkap.

Dalam edaran keputusan itu, diungkapkan bahwa

menginjak abad pertama Hijriyah atau abad 6 M, Islam sudah

berkembang di Aceh. Perlahan namun pasti Islam mulai

berkembang di lingkungan tanpa sekat, yakni mulai dari wilayah

pergaulan istana hingga masyarakat bawah, mulai banyak di antara

mereka yang meyakini kebenaran Islam. Terserapnya Islam dalam

pemikiran orang-orang Aceh, nyatanya tidak hanya sampai pada

sebatas keyakinan, tapi telah meluncur jauh hingga ambang batas

yang lebih luas, yakni masalah pendirian suatu institusi

kepemerintahan. Kemunculan Perlak, Lamuri dan Pasai,

menandaskan bahwa Islam telah membuktikan diri sebagai

pembentuk peradaban baru.31

Kemunculan Islam di tanah Aceh erat kaitannya dengan

tradisi perdagangan maritim yang telah hidup sejak ratusan tahun

yang lampau. H. M. Zainuddin mengatakan bahwa pelabuhan

Aceh telah dikenal oleh saudagar internasional sejak waktu yang

lama. Pada permulaan abad ke-4, tepatnya pada tahun 301 M,

Ptolomeus menyebutkan bahwa pulau Ergiyre (pulau Perak) telah

dikenal oleh orang-orang Asia Tengah, Asia Barat, bahkan sampai

Afrika dan Eropa. Pulau yang dimaksud Ptolomeus ini adalah

sebutan lain dari pulau Andalas (Perca). Pernah diberitakan bahwa

kamper dari Barus dikapalkan ke Mesir dan menjadi salah satu

kelengkapan ramuan pengawet mumi raja Mesir sekitar beberapa

ratus tahun sebelum masehi.32

31

A. Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (t.tp: Al-

Ma‟arif, 1981) hlm. 12. 32

H.M. Zainuddin,Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I (Medan: Pustaka

Iskandar Muda, 1961) hlm. 75.

Page 35: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

24

Pesisir Aceh menjadi saksi bisu bagaimana pemukiman di

sekitar hingga pedalaman disemikan oleh pelita Islam. Para

pendatang yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang mampu

merebut hati warga pribumi sehingga terjadi konversi keyakinan

yang jauh dari ketegangan. Inilah yang perlu digarisbawahi, salah

satu keputusan seminar Aceh tahun 1978 di atas adalah

mengatakan bahwa tersebarnya Islam di Aceh adalah dengan

kebijaksanaan atau dengan kata lain jauh dari unsur pertikaian.33

Wan Hussein Azmi mengungkapkan bahwa sekitar abad

12, reputasi utara Sumatra sebagai pusat grosir rempah masih

bersinar kemashurannya. Di sekitar lokasi niaga itu juga

merupakan tempat yang tepat untuk menanti musim anginTimur

Laut yang membawa kapal-kapal asing kembali ke Tanah Arab.

Oleh sebab itu pula kawasan utara Sumatra menjadi tempat yang

istimewa bagi perkembangan dakwah Islam dan masyarakat Islam.

Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang mendorong

perkembangan masyarakat Muslim di daerah itu, yakni:

1. Perhubungan baik antara saudagar-saudagar Arab dengan

pihak pemerintah setempat

2. Saudagar-saudagar Arab Muslim itu tidak mencampuri

masalah politik setempat

3. Saudagar-saudagar Muslim mempraktekkan ajaran Islam

atas dirinya dan dalam perhubungan dengan masyarakat.

4. Tidak ada paksaan dalam pendakwahan

5. Syiar Islam berjalan menurut acuan yang ditentukan Allah

Swt, yang termaktub dalam Quran surah an-Nahl ayat 125.

6. Keindahan ajaran Islam tidak dibandingkan dengan ajaran

Hindu dan Budha yang banyak dianut penduduk kala itu.34

Kerajaan Islam pertama yang dicatat sejarah adalah Perlak.

Informasi otentik yang memberitakan tentang keberadaan kerajaan

ini adalah berasal dari seorang pengembara Italia, Marco Polo,

yang pernah mengungjungi Perlak dan beberapa wilayah pesisir

33

Hasjmy, Masuk dan berkembangnya ..., hlm. 12. 34

Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya

Hingga Abad ke XVI” dalam Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya ..., hlm. 182-

183.

Page 36: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

25

Sumatra Utara lainnya di penghujung abad 13, terkait Perlak ia

mengatakan:35

We shall begin with the kingdom of Felech, which

is one of the eight. Its inhabitants are for the most

part idolaters, but many of those who dwell in the

seaport towns have been converted to the religion

of Mahomet, by the Saracen merchants who

constantly frequent them. Those who inhabit the

mountains live in a beastly manner. They eat

human flesh, and indiscriminately all other sorts

of flesh, clean and unclean. Their worship is

directed to a variety of objects, for each

individual adores throughout the day the first

thing that presents itself to his sight when he rises

in the morning.

( ... Dimulai dari kerjaaan Felech, satu dari

delapan kerajaan. Banyak dari penduduknya

sebelumnya adalah penyembah berhala , dan

sebagian besar yang tinggal di kota-kota

pelabuhan telah memeluk agama Muhammad

karena diajak oleh para pedagang Arab yang

sering mengunjungi mereka. Mereka yang

mendiami pegunungan masih hidup secara liar.

Mereka makan daging manusia serta daging

apapun, bersih maupun tidak. Mereka

menyambah banyak objek. Bagi setiap individu

menyembah sesuatu yang dilihatnya ketika

bangun tidur di pagi hari)

Hal positif yang dapat diketahui dari informasi di atas

adalah ternyata sejak abad 13, sudah ada orang-orang islam yang

mendirikan kerajaan di Perlak. Pedagang Arab memainkan peran

penting dalam proses konversi keyakinan penduduk lokal.

Kalangan niagawan nyatanya tidak saja menjadikan bandar-bandar

35

Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian (New

York: W.W. Norton, 1930) hlm. 155.

Page 37: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

26

Aceh sebagai perluasan pangsa pasar semata, melainkan juga

menggunakan kesempatan itu sebagai tukar pendapat mengenai

keyakinan yang berujung pada kebersediaan penduduk tepi pantai

menganut Islam.

Perlak muncul sebagai bandar kerajaan yang terkemuka

tidak terlepas dari harmonisasi yang dijalin antara penduduk lokal

dengan kalangan pendatang. Perilaku terbuka yang dimiliki oleh

penduduk pribumi membuat kalangan pendatang betah dan

menerbitkan suatu persepsi bahwa kawasan negeri Bawah Angin

ini memiliki potensi besar bagi perkembangan Islam kelak.

Sepertinya menjadi sesuatu yang dapat dipercaya, bahwa Islam di

Aceh telah tersebar dengan cara kebijaksanaan.

Satu diantara sumber yang bisa ditelisik mengenai awal

mula munculnya kerajaan Perlak adalah diceritakan oleh A.

Hasjmy yang menyebutkan bahwa sekitar tahun 173 H atau abad 9

M, berlabuh rombongan orang Arab, Persia dan India, bernama

Nakhoda Khalifah yang kira-kira berjumlah 100 orang di Bandar

Perlak. Kapal ini sesungguhnya merupakan suatu angkatan dakwah

yang menyamar sebagai kapal dagang. Istilah “Khalifah” merujuk

pada nama kapten atau nakhoda kapal tersebut, sehingga disebut

Nakhoda Khalifah.

Di kalangan penduduk Perlak yang kala itu masih

menganut agama Hindu Budha bahkan masih ada yang Perbegu

(Animisme), nakhoda khalifah dianggap sebagai sosok yang

bijaksana dan visioner, sehingga dapat menyatu dengan keadaan

masyarakat. Dalam waktu yang kurang dari setengah abad, pihak

keluarga dan pejabat kerajaan tertarik untuk mengenal Islam dan

mulai banyak yang memutuskan beralih agama, sehingga tanpa

menunggu waktu lama kerajaan Perlak menjadi kerajaan Islam.

Para rombongan angkatan dakwah pun banyak yang menikahi

gadis-gadis Perlak, sehingga semakin eratlah hubungan dua

golongan yang berbeda budaya itu. salah seorang pendakwah

menikah dengan putri kerajaan Perlak dan beranakan seorang

putera bernama Sayid Abdul Aziz. Sang anak inilah yang

kemudian didaulat sebagai raja Islam pertama Perlak bergelar

Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.

Page 38: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

27

Kisah kedatangan rombongan Arab hingga diangkatnya

Sayid Abdul Aziz sebagai raja Perlak pertama terdapat dalam suatu

kitab bernama Idharul Haq Fi Mamlakah Ferlak, tulisan Abu

Ishak Makarani al-Pasi. Seiring dengan berjalannya waktu, bandar

Perlak kemudian dirubah namanya menjadi bandar Khalifah yang

perekonomiannya disokong oleh perniagaan maritim lintas

benua.36

Pada 1271, datang serangan dari pasukan Sriwijaya ke

Perlak. Kemunculan mereka disinyalir guna memperluas wilayah

pengaruh Sriwijaya yang ketika itu sedang bergeliat menjadi

kerajaan terkuat di Sumatera. Akibat serbuan ini keluarga kerajaan

menyelamatkan diri keluar dari istana. Salah satu bangsawan

Perlak yang masih keturunan Raja Perlak bernama Meurah Ishak

memilih kawasan pedalaman Aceh sebagai tempat pelariannya.

Tidak berselang lama menetap, ia membangun kerajaan Lingga

(Linge) yang kini terletak di wilayah dataran tinggi Gayo, Aceh

Tengah. Bukan hanya di sekitar Aceh, peredaran sebaran

keturunan raja Perlak yang semula melarikan diri ini berada jauh

hingga di Aru (Karo) dan Minangkabau.37

Salah seorang keturunan Adi Genali, raja Lingga

berikutnya, yang bernama Meurah Johan menjadi murid Syekh

Abdullah Kan‟an, mahaguru di Dayah Cot Kala, pusat pendidikan

agama terbesar masa Perlak. Suatu ketika, ia mendengar bahwa

kerajaan Indrapurba yang masih beragama Hindu diserang oleh

pasukan Cina dibawah pimpinan putri Nian Nio. Meurah Johan

pun terlibat dalam serangakaian peristiwa yang berupaya untuk

menyelamatkan Indrapurba dari invasi Cina. Setelah melalui

pertempuran yang besar antara pasukan Indrapurba dan Perlak

dipimpin oleh Meurah Johan melawan Cina, kerajaan Indrapurba

berhasil dipertahankan, bahkan raja hingga seluruh aparat istana

dan rakyatnya menyatakan keislamannya. Sebagai bentuk balas

budinya, Meurah Johan dinikahkan dengan anak raja Indrapurba

36

A. Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di

Asia tenggara: dalam Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya ..., hlm. 146-147. 37

H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 96-97.

Page 39: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

28

bernama putri Indra Kusuma dan diberi sebidang tanah yang

menjadi bandar dagang ramai bernama Lamuri.38

Terkait dengan keberadaan Lamuri, Marco Polo yang

sempat mengunjungi kerajaan ini memiliki catatan tersendiri,

yakni:39

LAMBRI, in like manner, has its own king and its

peculiar language. The country produces

camphor, with a variety of other drugs. They sow

brazil and when it springs up and begins to throw

out shoots, they transplant it to another spot,

where it is suffered to remain for three years. It is

then taken up by the roots, and used as a dye-

stuff. Marco Polo brought some of the seeds of

this plant with him to Venice, and sowed them

there; but the climate not being sufficiently warm,

none of them came up. In this kingdom are found

men with tails, a span in length, like those of the

dog, but not covered with hair. The greater

number of them are formed in this manner, but

they dwell in the mountains, and do not inhabit

towns. The rhinoceros is a common inhabitant of

the woods, and there is abundance of all sorts of

game, both beasts and birds.

(Lambri, sebagaimana lazimnya kerajaan

lainnya, memiliki raja dan bahasa yang khas.

Negeri ini memproduksi camphor (kamper),

dengan berbagai macam pengolahannya dalam

bentuk obat-obatan. Para petaninya menebarkan

biji-bijiannya dan ketika telah tumbuh mereka

memindahkannya ke tempat lain, di mana di

tempat itu tanaman ini dibiarkan tumbuh selama

38 Pocut Haslinda MD Azwar, Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh

Hubungannya dengan Raja-Raja Islam Melayu Nusantara (Jakarta: Yayasan

Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 88; A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah

(Jakarta: Beuna, 1983) hlm. 55. 39

Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157.

Page 40: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

29

tiga tahun. Kemudian, akar-akarnya mulai

dipanen dan diolah menjadi bahan-bahan

penyeduhan. Saya (Marco Polo) membawa

beberapa biji-bijian ini ke Venezia dan

menanamnya di sana. Namun, karena iklimya

tidak hangat, tumbuhan ini gagal berkembang. Di

kerajaan ini juga ditemukan manusia berekor

panjang seperti anjing, namun tidak berbulu.

Sebagian besar dari mereka memiliki perangai

yang sama dan tinggal di kawasan pegunungan

dan tidak mendiami perkotaan. Badak menjadi

penghuni di hutan-hutannya. Di sana juga

diramaikan dengan tingkah polah burung-burung

dan banyak binatang buas.)

Manuel Komroff yang menyunting kisah A Travel of

Marco Polo ini menyebutkan bahwa dalam perbincangan masa,

telah berkembang kisah mengenai sosok manusia berekor seperti

di atas baik di Afrika, Borneo, kepulauan India dan Cina. Namun,

pada kenyataannya hingga sekarang, tidak pernah terbukti

kesahihamnnya mengenai penangkapannya. Di Eropa abad

Pertengahan juga pernah beredar informasi bahwa terdapat orang-

orang Inggris (Eglishmen) yang memiliki ekor pendek.40

Pada tahun 1205, Pasca meninggalnya Maharaja Indra

Sakti, Raja Indrapurba, Meurah Johan diangkat menjadi raja Indra

Purba bergelar Sultan Alaiddin Johan Syah. Kerajaan Indrapurba

dirubah menjadi kerajaan Islam bernama Darussalam. Tidak

berapa lama dibangunlah ibukota baru yang terletak di tepi sungai

Kuala Naga (Krueng Aceh sekarang) yang diberi nama Bandar

Darussalam.41

Samudra Pasai menjadi kerajaan lain yang tidak kalah

penting dalam era keemasan Aceh sebagai pusat Islam berikutnya.

Merujuk pada penjelasan Uka Tjandrasasmita, Samudra Pasai

didirikan oleh Meurah Silu yang diprakarsai oleh para saudagar

40

Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157 41

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 55-56

Page 41: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

30

Arab yang sejak beberapa waktu sebelumnya telah rajin

menyambangi bandar yang masih sederhana itu untuk berniaga.

Kemunculan kerajaan ini juga ditengarai akibat melemahnya peran

Sriwijaya dalam mengelola pelabuhannya, sehingga para pedagang

Arab mulai menimbang keberadaan pelabuhan alternatif yang

kapasitas serta standarisasinya tidak kalah dengan Sriwijaya.

Selain itu, ditilik dari jarak tempuh, tidaklah sejauh Sriwjaya

sehingga dapat memangkas biaya perjalanan.42

Sumber tertulis yang menjadi acuan keberadaan kerajaan

Samudra Pasai dapat ditelisik dari prasasti raja pertamanya,

Malikus Saleh yang sebagaimaa tertulis di nisannya, meninggal

pada tahun 1297. Informasi historis mengenai mangkatya tertulis

di sisi badan nisan yang isinya sebagai berikut:

Dunia ini akan musnah; sifatnya berubah-ubah.

Ibaratnya seperti rumah tenunan laba-laba.

Wahai orang-orang yang mengejar keduniawian,

mereka itu hanya akan puas dengan sarana

hidup. Berilah perhatian kepada hidupmu, karena

setiap orang yang lahir di dunia ini akan mati.

Inilah kubur orang saleh, terhormat, darah luhur,

orang besar, tawakal, seorang pahlawan yang

bergelar Sultan Malikus Saleh.

Ia meninggal dalam bulan Ramadhan tahun 696

sepeninggal Nabi.

Slamet Muljana memberikan catatan tersendiri perihal

tahun wafatnya Sultan Samudra Pasai pertama ini. Penyataan

mengenai perhitungan tahun Islam dengan ungkapan “pasca

meninggalnya Nabi” terdengar janggal, karena tarikh Islam itu

biasanya disebutkan dengan ungkapan “hijrah Nabi”. Hal ini pula

yang menyebabnya dalam sistem tanggalan Islam dikenal dengan

tahun hijriyah atau hijrah. Antara “hijrah Nabi” dan “Wafat Nabi”

terdapat selisih 10 tahun. Dengan begitu tahun berpulangnya

42

Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota

Muslim di Indonesia Dari Abad XIII Sampai XVIII Masehi (Kudus: Penerbit

Menara Kudus, 2000) hlm. 19.

Page 42: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

31

Sultan Malikus Saleh bisa jatuh pada 1297 atau 1307, namun

sampai sekarang yang masih diyakini adalah 1297.

Selain itu, Marco Polo juga sempat mengunjungi kerajaan

ini, yang dalam catatannya disebut dengan Samara. Di tempat ini

Marco Polo melihat penduduk pribumi yang memakan daging

temannya sendiri. Di samping itu, di sekitar lingkungannya

terdapat suatu parit besar yang berakhir di pantai tempat

bersandarnya kapal-kapal. Dikatakan pula bahwa ikan yang ada di

perairan Samara adalah yang terbaik di dunia.

Di negeri ini tidaklah ditemukan tepung, melainkan nasi.

Wine pun tidak ada di sini, namun penduduknya terampil

menyuling air tanaman sejenis palm guna dihidangkan dalam

sajiannya. Disebutkan pula bahwa di sini ditemukan banyak

“kacang India” (Indian-nut) yang merupakan sebutan Marco Polo

atas kelama (coco-nut) besarnya se-kepala manusia, rasanya enak

dan buahnya seputih susu.43

Memasuki pertengahan abad 14, Ibnu Batutta dikabarkan

pernah mengunjungi kerajaan Samudra. Ia mengabadikan

kunjungannya itu dalam catatan perjalanannya yang berjudul

Rihla. Dalam catatannya ini, Samudra dikatakan terletak di sisi

sebuah sungai yang mengalir ke bawah dari pegunungan liar di

daerah pedalaman sebelah barat laut. Kunjungannya ini terjadi

ketika Samudra dipimpin oleh Malikuz Zahir, raja ketiga Samudra

Pasai.

Di kerajaan ini ia dan rombongannya disambut dengan

hangat oleh sang raja yang berdiam di dalam kota yang berdinding

kayu itu. kota itu terletak beberapa mil di sebelah hulu sungai dari

pemukiman pelabuhan. Ia menyimpan kesan bahwa sang raja amat

menikmati perbincangan mengenai hukum Islam dengan sejumlah

kecil sarjana hukum. Tradisi di istana memiliki corak hasil adopsi

dari unsur Hindu-Budha yang lazim ditemukan di Melayu.

Ibnu Batutta memiliki pengalaman unik, yakni ketika

menukar celananya dengan kain sarung, dan sebelum tampil di

43

Manuel Komproff, Travel of Marco Polo ..., hlm. 156-157.

Page 43: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

32

istana ia memakai seperangkat pakaian mewah adat setempat.

Ketika ia datang ke Samudra ia mendatangi seorang perwira tinggi

militer yang dikenalnya. Ia berkenalan ketika sang perwira yang

beberapa tahun sebelumnya pernah mengunjungi Delhi dalam

rangka misi diplomatik. Sang perwira pula yang mengantarkan

Ibnu Batutta menghadap sultan Samudra. Ia duduk di samping kiri

sang raja dan terlibat pembicaraan seputar perjalanan dan

urusannya di Delhi. Menurut penuturannya ia hanya tinggal 2

minggu di Samudra.44

Adanya ketiga bandar dagang itu, memiliki fungsi utama

dalam tersebarnya Islam di Aceh. Para pedagang bukan hanya

bertindak sebatas kebutuhan ekonomi, namun juga mengupayakan

motif lain,yakni sebagai wahana memperkenalkan Islam.

Belakangan, sebagaimana yang dijelaskan Uka Tjandrasasmita,

mereka juga berkeinginan menjalin suatu kemitraan dengan

penguasa lokal untuk membangun institusi pemerintahan dalam hal

ini adalah kerajaan guna mengakarkan tali silaturahmi sekaligus

memperkuat tradisi niaga yang sebelumnya telah dibangun para

pedagang pendahulu.

Jika dilihat dalam perilakunya, para ulama memainkan

peran penting dalam pembentukan institusi pemerintahan lokal.

Dilihat dari kasus berdirinya Perlak, Sayid Abdul Aziz bukanlah

sosok birokrat tulen, melainkan adalah seorang yang paham akan

ajaran agama. Pun dengan Syekh Abdullah Kan‟an, mahaguru

Dayah Cot Kala, menjadi mentor utama dalam pembentukan

karakter seorang Meurah Johan. Besar kemungkinan, hubungan

mereka bukan hanya sebatas guru, malainkan juga seperti orang

tua. Syekh Abdullah bukan hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu

agama, melainkan juga budi pekerti sekaligus ilmu kepemimpinan

sehingga Meurah Johan percaya diri memimpin bala tentara

gabungan Perlak dan Indra Purba. Kejadian serupa agaknya juga

dialami Meurah Silu. Kebulatan tekadnya semakin kuat dengan

44

Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta Seorang Musafir Muslim

Abad 14, terj. Amir Sutaarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 291-

291.

Page 44: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

33

disokong para saudagar Arab yang tentu saja beberapa dari mereka

memiliki tingkat pemahaman agama yang tinggi.

Tradisi kemitraan ulama dengan umara (pemimpin) bukan

hanya terpahat di kawasan pesisir Aceh. Melainkan telah terjadi

pula di pedalaman Aceh, yakni di negeri sultan Aceh pertama

Meurah Johan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ia

merupakan anak dari Adi Genali yang merupakan Raja kerajaan

Linge. Salah satu sumber menyebutkan bahwa ia merupakan

menantu Raja Rum (Turki?) asal usul Adi Genali dalam Kronik

Gayo45

adalah seorang anak negeri Rum yang menikah dengan

sepupunya, Putri Terus Mata. Pasangan ini sebenarnya merupakan

dua orang yang berasal dari satu garis keturunan. ayah mereka

adalah kakak beradik. Hal ini dapat diketahui dari kronika Gayo

berikut ini:

Ara roa jema i negeri Rum. Jema wa murum sara

ine a-ma. Keta si bensu memega-ng hukum.

Abenge umum rakyat jelata. Tentang ni tun ne

gere ara maklum. Gere sahpe mepum kedelen

jema. Lagi menulis gere ara maklum. Ike rakyat

umum i waktu oya. Kati selese ku ulaki miyen.

Enti muligen kati terang nyata. Ngiye si bensu

menjadi sultan. Keta abange rakyat biasa. Si

bensu pitu anake banan. Nguk iperinen bewene

peteri. Si tue pitu anake rawan. Menurut bilangan

tujuh lelaki.

Ada dua orang di negeri Rum. Orang itu kumpul

satu ibu bapa. Lalu yang bungsu memegang

hukum. Abangnya umum rakyat jelata. Tentang

tahunnya tidak ada yang tentu. Tidak seorang pun

faham kebanyakan orang. Lagi pula menulis tidak

ada maklum. Jika rakyat umum di waktu itu.

45

Kronik Gayo merupakan istilah Mukhlis PaEni yang menampilkan

suatu bentangan tradisi bertutur yang memiliki muatan historis terhadap tumbuh

kembang etnis Gayo. Seperti banyak legenda lainnya, dalam kronik ini juga

didapati beberapa hal yang irasional dan belum banyak diungkap secara

akademik.

Page 45: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

34

Supaya jelas kuulangi lagi. Jangan keliru supaya

terang nyata. Maka abangnya si bungsu menjadi

sultan. Lantas abangnya rakyat biasa. Yang

bungsu tujuh anaknya perempuan. Boleh

dikatakan semua puteri. Yang tua tujuh anaknya

jejaka. Menurut hitungan tujuh lelaki.

Genali sendiri merupakan anak dari seorang rakyat biasa,

sedangkan bakal istrinya merupakan anak sang raja. Nasib pun

berbalik, Genali yang sebelumnya anak seorang biasa mendapat

bantuan dari Raja Rum yang dibawa bersamaan dengan

kedatangan calon istrinya itu ke Buntul Linge, pulau tempat Genali

terdampar, ketika sebelumnya terombang-ambing ketika

memancing. Di sana pasangan ini mendirikan kerajaan Linge. Hal

ini tersebut pula dalam Kronika Gayo, sebagai berikut:

... Hukum i osah ku Bujang Genali. Sah kin suami

peteri Terus Mata. Umur lanyut rum mudah

rejeki. Laki isteri aman sentosa. Jema ini le mulo

menjadi reje. I Nenggeri Gayo menjadi kepala.

Nge ara tanoh tempat ni kute. Kenak ni Tuhen te

menjadi pora-pora. Ini le mulo asal kerejeen

Linge. Kati sudere mumuham makna. I jemen

kelamin beta kedah mulo. Menurut berite dahulu

kala. Asal ni Linge ari Leinge, Ara i penge gere

berjema. Sewaktu kapal mulo i talue. Ling i penge

nggih telas ku mata.

Hukum (nikah) diberikan kepada Bujang Genali.

Sah menjadi suami “Puteri Terus Mata”. Umur

lanjut rezeki mudah. Suami isteri aman sentosa.

Orang inilah menjadi mula-mula raja. Di negeri

Gayo menjadi kepala. Sudah ada tanah tempat

dijadikan kota. Kehendak Tuhan menjadi sedikit-

sedikit. Inilah mula-mula asal kerajaan Linge.

Supaya saudara tahu akan makna. Di zaman

dahulu kala begitu kira-kira. Menurut berita

dahulu kala. Asalnya Linge dari suaranya. Ada di

dengar tidak ada berorang. Sewaktu kapal

Page 46: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

35

dipanggilnya. Suara di dengar tidak tampak di

mata.

Dalam tradisi pemerintahan yang dikenal di Gayo, dikenal

pula suatu dewan kerajaan yang bernama Sagi Pendari, yakni

suatu dewan penasihat yang terdiri dari menteri dan ulama. Hal ini

disebutkan pula dalam Kronika Gayo. Penjelasan istilah ini

dibumbui cerita ketika Raja Rum, yang tak lain adalah paman

Genali, bingung akan rumahnya yang dikirimi Genali ikan yang

didalamnya berisi emas dan intan, redaksinya sebagai berikut:46

Emas urum entan nge mureruah. Wan si belah

tuke e pedet. Sulthan mengucep alhamdu lillah.

Kurnie Allah ini nge depat. Delem pede beta

Sulthan tenggersah. Kerna gere penah ara

beta buet. Ini mulo hal sana diye surah. Tentu

le udah ara sara alamat. I talu Sulthan sagi

pendari. Perdana menteri si mupangkat. Alim

ulama si pane mengaji. Rakyat rami genap

mupakat.

Emas dan intan berlimpah ruah. Dalam perut

ikan telah padat. Sulthan mengucap alhamdu

lillah. Karunia Allah ini telah dapat. Dalam

pada begitu pun Sulthan gelisah. Karena tidak

pernah ada begini kejadian. Ini suatu hal apa

gerangan makna. Tentu saja ada barangkali

suatu alamat. Dipanggil sultan sagi pendari.

Perdana menteri yang berpangkat. Alim ulama

yang pandai mengaji. Rakyat ramai teman

bermufakat/musyawarah.

Kronik Gayo merupakan salah satu sumber lokal Aceh

Tengah yang belum banyak diungkap dalam menelisik

perkembangan Islam di Aceh kawasan Tengah. Memang, dalam

46

Lihat lampiran Kronika Gayo di Mukhlis PaEni, Riak di laut Tawar;

Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah (Jakarta:

Arsip Nasional Republik Indonesia dan Gadjah Mada University Press, 2003)

hlm. 233-245.

Page 47: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

36

sumber ini tidak dijelaskan secara spesifik mengenai kapan Islam

datang ke Aceh Tengah, oleh karena pengkisahannya berangkat

dari negeri bernama Rum, yang kerap dikaitkan sebagai daerah

Turki atau Istanbul. Terkait hubungan lebih jauh antara Gayo dan

Turki memang belum dibuktikan secara menyeluruh dan perlu

diadakan penelitian lebih lanjut.

Terdapat penjelasan lain mengenai terbentuknya entitas

masyarakat Gayo. Menurut H.M. Zainuddin dengan mengutip dari

Gerini, masyarakat Gayo sebenarnya berasal dari nenek moyang

yang awalnya tinggal di kawasan pesisir, yakni orang-orang

Samudra. Ketika terjadi penyebaran Islam, mereka memutuskan

untuk mengundurkan diri di kawasan pedalaman sebagai yakni ke

kawasan hulu sungai Peusangan. Karena hal ini mereka disebut

“Kayo” yang berarti “ketakutan” yang kemudian berubah menjadi

“Gayo”. 47

Kerajaan-kerajaan pesisir ditambah kerajaan Linge di atas

menjadi pintu dari tersiarnya Islam di bumi Aceh. Perlahan

komunitas Muslim mulai terbentuk, utamanya mereka yang berasal

dari negeri asing. Di beberapa sisi pasar maupun tempat keramaian

mulai disesaki oleh para pedagang asing dan beberapa dari mereka

mulai mencari tempat persinggahan untuk memperlancar

urusannya dengan penduduk lokal. Tidak jarang mereka

membangun suatu koloni tersendiri.

Hal tersebut disepakati oleh Uka Tjandrasasmita yang

menyebutkan bahwa besar kemungkinan para pedagang Muslim

yang datang ke suatu tempat perdagangan di Nusantara tidak lantas

kembali ke tempat asal mereka. Mungkin mereka menunggu

barang dagangannya habis terjual dan kembali dengan mengangkut

komoditas hasil bumi setempat. Masa jeda pulang pergi sang

saudagar juga dimungkinkan terjadi karena menunggu waktu

pelayaran kembali yang tergantung pada musim. Untuk itu mereka

pun harus bermukim selama beberapa bulan.

Lambat laun, para pedagang itu berkumpul dalam suatu

pemukiman tersendiri. Pemukiman semacam ini adalah satu

47

H.M. Zainuddin. Tarich Atjeh ..., hlm. 26.

Page 48: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

37

kawasan yang dihuni kaum Muslim yang berasal dari Persia, India

dan Arab. Perlahan, akan terbangun pula komunikasi sekumpulan

orang asing ini dengan masyarakat setempat yang memungkinkan

terhubungnya islamisasi, terlebih di antara penduduk setempat

terjadi perkawinan sehingga terbentuklah keluarga-keluarga

Muslim yang kian banyak yang kemudian menjelma menjadi

masyarakat Muslim.48

B. Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam

Bentuk-bentuk penyempurnaan Aceh sebagai suatu

peradaban Islam sampai ketika masa pemerintahan Aceh

Darussalam. Terdapat dua pendapat besar mengenai sejak kapan

kerajaan ini berdiri. Pertama, ada yang menganggap bahwa Aceh

Darussalam merupakan bentuk pengembangan dari kerajaan Aceh

yang dirintis oleh Meurah Johan pada abad 13. Atau ada pula yang

mengatakan baru dimulai sejak masa Ali Mughayat Syah.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Busatanus Salatin yang

mengatakan bahwa yang pertama mengampukan kerajaan Aceh

Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah pada hari ahad

bulan Jumadil Awal tahun 913 H.

Disebutkan pula bahwa Ali Mughayat Syah merupakan

sultan pertama yang masuk Islam dan menetapkan (mengersakan)

agama Islam dalam kerajaannya. Ar-Raniri juga menyebutnya

sebagai penguasa perkasa yang menaklukkan Pedir, Samudra dan

negeri-negeri kecil. Ia turun tahta pada 928 H.49

Terlepas dari polemik tersebut, Aceh Darussalam

merupakan wajah kegemilangan pemerintahan Islam di Aceh yang

menabalkan kerajaan ini sebagai kekuatan yang paling

diperhitungkan di tataran regional Asia Tenggara. Hal ini bisa

dilihat dari kemunculannya sebagai emporium yang memiliki

pasukan kuat sehingga siap menghadapi gempuran Portugis, lawan

politiknya, yang pada tahun 1511 telah menguasai Malaka.

48

Uka Tjandrasasmita, Kota-Kota Muslim ..., hlm. 28-30. 49

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, hlm. 12.

Page 49: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

38

Di masa-masa setelahnya Aceh Darussalam disemaraki

oleh hari-hari yang amat sibuk dan kosmopolit. Selain

mempersiapkan diri dalam perang estafet menghadapi Portugis,

para rajanya tidak begitu saja abai dalam pembangunan

kerajaannya. Dikuasainya Pedir dan Pasai merupakan satu babakan

penting dalam tumbuh kembang ekonomi maritim kerajaan ini.

Dua kerajaan ini telah memiliki keunggulan dalam perniagaan

antar bangsa, sehingga penguasaan atasnya turut memperbanyak

kas perbendaharaan kerajaan.50

Dalam bidang intelektualitas, Aceh menjadi sentra ilmu

pengetahuan terkemuka di dunia. Tidak dapat dipungkiri,

perdagangan antar bangsa ikut menggiring kebesaran tradisi

keilmuan Aceh ke pentas dunia. Sejak itu, para sarjana Islam mulai

berdatangan ke kerajaan ini, baik untuk belajar dan mengajar.

C. Terbentuknya Masyarakat Muslim Aceh

Pada masa sebelum datangnya Islam, kehidupan

masyarakat Aceh, sebagaiana yang terjadi di negeri-negeri

Nusantara lainnya, masih diliputi oleh suasana keagamaan dan

kebudayaan Hindu Budha. Hubungan dagang India dan Nusantara,

termasuk dengan Aceh, yang terbangun sejak masa lampau,

disinyalir menjadi jembatan maraknya bentuk-bentuk peradaban

India di ruang pergaulan masyarakat Aceh.

Merujuk pada catatan Cut Nyak Kusmiati, pengaruh Hindu

terhadap masyarakat purba Indonesia, hendaknya jangan

disempitkan hanya pada wilayah agama Hindu semata. Lebih jauh,

Hindu telah merasuk dalam alam pikiran dan tingkah laku manusia

Nusantara. Pengaruh ini menyebabkan perubahan cara hidup

manusia Nusantara baik dalam segi kehidupan bermasyarakat,

perekonomian dan keagamaan.

50

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah Tradisi dan Budaya (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 200) hlm. 15.

Page 50: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

39

Sudah sejak masa prasejarah telah terbangun hubungan

maritim India dan Nusantara. Di antara mereka sudah terbangun

pengertian dan toleransi oleh sebab tradisi yang mereka punya

terdapat kesamaan, sehingga kedatangan orang-orang India tidak

dimaknai sebagai suatu bentuk penjajahan.

Uraian dari Cut Nyak Kusmiati tersebut agaknya masih

membicarakan kehidupan bangsa Nusantara secara umum dan

belum menukik lebih jauh perihal kehidupan masyarakat Aceh pra

Islam. Jikapun ada, maka informasinya belumlah dikatakan cukup.

Ia hanya menambahkan bahwa kemungkinan masyarakat Aceh pra

Islam masih menjalani kehidupan mengembara ataupun

berkelompok.51

Namun begitu, pendapat lain terkait eksistensi kerajaan-

kerajaan pra Islam Aceh agaknya dapat dijadikan acuan bahwa

Aceh telah mengenal suatu bentuk kepemerintahan jauh sebelum

Islam datang. Jika ada pemerintahan ditambah perdagangan seperti

telah disinggung sebelumnya, maka sudah barang tentu masyarakat

Aceh sudah mencapai taraf yang tinggi dan telah jauh lepas landas

dari pola hidup yang dikatakan masih sederhana. Adanya kerajaan

Indrapurba seperti diungkapkan sebelumnya, menjadi tonggak

informasi bahwa penduduk Aceh sudah mengenal suatu bentuk

produk peradaban, dalam hal ini kepemerintahan, yang di kala itu

dapat dikatakan merupakan suatu bukti kemajuan pola pikir

manusia.

Masuknya Islam ke Aceh sudah barang tentu ikut

merenovasi arsitektur pergaulan masyarakat Aceh. Jika ditilik dari

beberapa sumber seperti Bustanussalatin dan Kronik Gayo, di atas,

maka dapat diperoleh gambaran Islam telah merasuk dan

membumi dalam sendi kehidupan lokal. Bukan hanya itu, ajaran

51

Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang

Kedatangan Islam”, dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk Islam ..., hlm. 90-91.

Beberapa peninggalan arkeologis yang menandakan adanya pengaruh Hindu di

Aceh adalah terdapat di Aceh Besar, dekat Krueng Raya, di kaki gunung

Seulawah. Menurut riwayat lama, di Lamu Panaih (Lam Panaih), Kalee, Biheue

dan Laweueng pernah berdiri kerajaan-kerajaan kecil Hindu. Luhat Zainuddin,

Tarich Atjeh ..., hlm. 42,

Page 51: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

40

Islam kemudian dimanifestasikan dalam undang-undang

kenegerian yang mengatur hampir di setiap bidang kehidupan

masyarakat.

Pengaruh Islam tentu saja bertalian dengan gelombang

dakwah yang dilakukan oleh para pendatang dari Arab, India

maupun Persia. Budaya dan adat baru sudah tentu mereka bawa.

Awalnya masyarakat hanya menjadi penyimak, lalu kemudian,

setelah terjalin keakraban di antara mereka melalui kepentingan

niaga, barulah dialog yang lebih intensif merambah ke ranah

tradisi, budaya maupun agama. Hubungan yang tadinya hanya

sebatas ekonomi pun telah mencair digantikan dengan

pembicaraan yang lebih ringan, renyah, dan melebar ke topik-topik

lain.

Baik si pedagang maupun pembeli, sudah tentu harus

membangun hubungan yang intens. Terlebih jika sudah menjadi

pelanggan, tentu ada beberapa manfaat yang diberikan penjual

untuk memanjakan pembelinya agar tidak berpindah ke lain

pedagang. Bentuk-bentuk pergaulan sederhana seperti inilah yang

kemudian bergulir ke arah yang lebih serius, termasuk dalam hal

kepercayaan, jika tidak demikian niscaya dakwah di kalangan

penduduk yang telah memiliki keyakinan, dalam hal ini Hindu

maupun Budha, tentu menapaki jalan terjal.

A.K. dasgupta menambahkan, bukan hanya peradaban

India yang larut dalam komposisi peradaban Aceh, melainkan juga

dipengaruhi dari Batak. Keduanya menjadi dua aliran yang turut

mewarnai corak kebudayaan Aceh. Dasgupta mencatat bahwa baik

Batak dan Aceh sebenarnya merupakan daerah landasan peradaban

India, keduanya mengadakan liberalisasi bahasa Sanskrit yang

kemudian digunakan sebagai bahasa Sanskrit model lokal. Ia

masih menyangsikan, kapan waktu dua aliran kebudayaan ini ikut

serta menjadi komposisi Aceh. Belum ada kejelasan waktu, apakah

dua-duanya datang di masa awal pembentukan Aceh atau di masa

setelahnya.52

India mungkin memiliki daya pengaruh yang lebih

kuat dibanding Batak, mengingat banyak pula para ahli yang

52

A.K. Dasgupta, Aceh In Indonesian Trade and Politics: 1600-1641

(England: Universisebagaty of Microfilm, 1962) hlm. 3.

Page 52: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

41

menyatakan bahwa budaya India turut hidup dan berkembang di

Aceh.

Kepentingan bermukim bagi para saudagar asing sudah

tentu akan bersinggungan dengan izin dari penguasa, selain pula

mereka sudah dipertemukan ketika membayar bea masuk dan

bongkar muat di pelabuhan. Intensitas pertemuan yang demikian

tinggi ketika mengurus suatu kepentingan birokratis, turut

melapangkan hubungan para saudagar dengan para penguasa dari

tataran bawah hingga mereka yang duduk di istana. Ini pula yang

kemudian membuka jalur komunikasi antara saudagar serta ulama

asing pada para raja maupun jajarannya, sehingga Islam kemudian

dapat diperkenalkan dan belakangan bahkan menjadi agama

kerajaan atau justru menginisiasi lahirnya kerajaan baru.

Dasgupta mengutip suatu kronik yang mengatakan bahwa

pada 601 H (1205) datang seorang asing dari barat yang

memperkenalkan Islam menikah dengan bidadari dan tinggal di

kawasan Kandang Aceh. Ia mendapat gelar kehormatan dari Sultan

Johan Syah, Sultan Aceh pertama. Beredarnya legenda seperi ini

menunjukkan sudah demikian dekatnya komunitas Arab sehingga

muncul kisah dimana ia menikah dan tinggal di Kandang, suatu

kawasan yang hanya dihuni oleh keluarga kerajaan Aceh terlebih

mendapat orang asing itu dianugrahi gelar oleh Sultan Johan

Syah.53

Sebagaimana telah diungkapkan di bab 1, penulis

membatasi studi sejarah Aceh pada abad 17. Dengan begitu,

seputar kehidupan sosio-keagamaan yang diterangkan hanya

terfokus di abad tersebut. Sebagaimana diketahui, dalam sumber-

sumber lokal berbahasa Melayu, tidak dipaparkan secara spesifik

mengenai gambaran bentangan kehidupan masyarakat Aceh. Yang

terekam, hanyalah bahwa raja memiliki perhatian yang besar

terhadap tumbuh kembang bidang keagamaan. Dalam memotret

sosok Iskandar Muda contohnya, Bustanussalatin menceritakannya

sebagai raja yang menegakkan ajaran Islam, menyuruh rakyatnya

53

Dasgupta, Aceh In Indonesian ..., hlm. 12.

Page 53: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

42

sembahyang, puasa ramadhan, puasa sunnah, melarang rakyatnya

minum arak dan berjudi.54

Namun begitu, sumber ini memberikan semacam clue

lainnya yang memang menandakan terdapat perhatian pemerintah

yang cukup besar terhadap perkembangan Islam di seantero Aceh.

Dari segi fisik, Baitul Maal mulai direorganisasi fungsinya dan

pembangunan masjid Baiturrahman. Dalam uraian sebelumnya, ar-

Raniri tidak menjelaskan secara spesifik kemajuan apa yang dituai

di masa Sultan Aceh pra Iskandar Muda. Besar kemungkinan, ar-

Raniri merasakan betul kemajuan yang telah ditorehkan oleh

Iskandar Muda, sehingga harus dicatat dalam karyanya.

Tidak dapat dipungkiri, dalam mengunduh informasi dari

sumber lokal, terdapat kelemahan tersendiri, yakni munculnya

kesan amat dekatnya arah tulisan ke lingkungan istana. Hal ini erat

kaitannya dengan pertimbangan si penulis dalam menimbang

segala kemungkinan akan setiap bait yang ditulisnya. Tentu akan

menimbulkan masalah yang cukup pelik jika karyanya ini

mengungkap banyak keburukan yang berarti pula berseberangan

dengan garis kekuasaan kala itu.

Namun begitu, hal tersebut jangan dijadikan suatu

pembenaran untuk keharusan meminggirkan sumber lokal hanya

karena subjektifitasnya. Banyak hal lain yang tentu dapat diperoleh

utamanya mengenai informasi awal akan suatu kejadian maupun

peristiwa masa lampau. Hal ini diingatkan lebih lanjut oleh Uka

Tjandrasasmita yang mengatakan bahwa dalam menyusun sejarah

Indonesia, khususnya sejarah Islam, sumber-sumber manuskrip

lokal memiliki kontribusi yang penting. Naskah-naskah tersebut

mengandung informasi melimpah tentang masyarakat pada

zamannya.55

Bersandar pada pendapat Uka, posisi Bustanussalatin

nyataya memiliki fungsi serupa guna merekonstruksi kembali

54

Bustanussalatin, hlm. 16. 55

Uka Tjandrasasmita,Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian

Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan badan Litbang dan Diklat Kementeriaan Agama RI, 2012) hlm. 17.

Page 54: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

43

bentangan keadaan masyarakat Aceh abad 17. Pembangunan

masjid yang disponsori pihak kerajaan menjadi indikasi betapa

Islam telah dikembangkan oleh penguasa yang nantinya digunakan

sebagai kepentingan bersama. Dengan begitu dapat ditarik suatu

gambaran, masyarakat Islam telah terbentuk dengan baik

disamping pula terdapat seruan dari penguasa untuk melakukan

perintah agama dan menjauhi larangannya.

Kemungkinan selanjutnya yang dapat ditarik dari seruan

iskandar Muda untuk menjauhi judi dan arak adalah suatu

penegasan bahwa kerajaannya ingin memberantas dua penyakit

masyarakat tersebut. Larangan tentu saja tidak akan begitu saja

terucap, jika tidak ada sesuatu yang melatarbelakangi larangan

tersebut. Pendapat ini boleh dikatakan masih terlalu dini, oleh

sebab belum adanya informasi yang valid mengenai penyimpangan

sosial yang direkam oleh sumber lokal.

Adalah petualang asal Prancis, Agustin de Beaulieu, pada

1621 sempat mengunjungi Aceh Darussalam. Dalam catatannya, ia

merekam orang-orang yang dijatuhi pidana, yakni:56

... Setiap hari raja memerintahkan dilaksanakan

hukum potong atas rakyatnya, kadangkala

memotong hidung, telinga, kaki, mencungkil

mata, kadangkala mengebiri seseorang hanya

karena kesalahan sepele dengan cara yang begitu

kejam dan memilukan sehingga algojo meminta

upah sejumlah uang kepada para korban untuk

mempersingkat derita mereka. Uang tersebut

harus dibayar di muka supaya hukuman dapat

dipercepat, jika tidak, hidung korban akan

dipotong sedalam-dalamnya sehingga bagian

otaknya terurai dari luka itu. jika kaki yang

dipotong, dapat dilakukan dengan sekali tebas

atau beberapa kali. Jika telinga yang dipotong,

bagian pipi bisa ikut terpotong, begitu seterusnya.

56

Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis; Dari Abad

XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006)

hlm. 71-72.

Page 55: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

44

Jika benar apa yang diungkapkan maka wajah Aceh

mercerminkan kehidupan seperti ditemukan di tempat lain, di

mana kebaikan dan kejahatan beriringan. Dua catatan dari saksi

sejarah itu setidaknya menyokong pendapat demikian. Sulit

kiranya jika hanya menyandarkan rekontruksi perilaku masyarakat

Aceh dari Bustanussalatin, perlu pula kiranya menengok catatan-

catatan lain yang merekam suatu masa yang sama.

Hasjmy mengatakan bahwa penduduk Aceh sebelum

datangnya Islam berasal dari suku-suku dari negeri-negeri Atas

Angin lainnya seperti dari Hindia (India), Siam, Funan, Kamboja

dan Campa. Mereka semua adalah pecahan dari bangsa Mon

Khmer dan suku Mantra (Mantir, yang kemudian oleh orang Aceh

disebut Manteu.

Setelah Aceh telah didakwahi ajaran Islam, terjadi

perubahan komposisi masyarakatnya, menjadi lebih kaya dan

heterogen. Orang Persia, Arab dan Afrika berdatangan dan

menetap menjadi warga negara. Belakangan, mereka pun banyak

yang duduk di kursi pemerintahan. Seiring berjalannya waktu,

tidak ada lagi sekat pembeda diantara mereka, dan bangsa Aceh

yang disaksikan sekarang ini merupakan campuran di antara anasir

suku yang pernah mendiami Aceh.57

Denys Lombard memberikan catatan tambahan mengenai

hadirnya orang asing ke Aceh. Seperti di Malaka dan di Ayuthia

(Thailand), bangsa yang beragam ini dikelompokkan dalam

kampungnya masing-masing. John Davis, seorang pelaut Belanda

pertama yang datang ke Aceh pada 1625 mengungkapkan bahwa

di Aceh kala itu ada kampung Portugis, kampung Gujarat,

kampung Arab, Kampung Bengali dan Kampung Pegu. Mereka

yang menyembah berhala pun mempunyai meru-meru (tempat

ibadah) mereka sendiri. Ada pula kampung Cina dan Eropa yang

rumahnya saling berhimpitan dan ada pula kampung lain yang

rumahnya letaknya berjauhan.58

57

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 140-141. 58

Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda

(1607-1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 61.

Page 56: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

45

Masyarakat pribumi, selain berdagang, juga

menggantungkan hidup pada beberapa mata pencaharian. Menurut

Lombard, orang Aceh pada umumnya sejak dahulu dikenal bangsa

Eropa sebagai nelayan yang hilir mudik di teluk dengan

mengendarai perahu mereka yang bercadik dua. Menangkap ikan

adalah bagian penting dalam keseharian orang Aceh. Ikan di

perairannya sangat melimpah di sungai maupun laut. Ikan

termasuk dalam makanan sehari-hari. Guillaume Dampier, pelaut

asal Prancis, mengatakan bahwa nelayan tergolong yang paling

kaya dari semua orang yang mempunyai keahlian.

Selain nelayan, pengrajin merupakan profesi yang juga

populer. Masih menurut Dampier, di Aceh banyak terdapat pandai

besi yang baik-baik mengerjakan segala macam pekerjaan besi,

baik yang termasuk pekerjaan berat maupun yang berupa pisau,

keris, mata lembing dan senjata lainnya. Sepertinya sulit mencari

padanan atas keahlian mereka. De Beaulieu juga mengatakan

bahwa terdapat tukang-tukang tuang meriam. Mereka juga

menuang berbagai macam alat dari kuningan seperti kandil, lampu,

bokor. Mereka juga banyak melakukan pelarikan, baik yang

berbahan tembaga atau kayu. Pandai emas juga dianggap sebagai

profesi yang istimewa. Dikatakan bahwa Sultan Iskandar Muda

amat besar perhatianya pada batu permata dan emas.59

Masyarakat yang terbentuk di Aceh adalah berkomposisi

heterogen. Bukan hanya diikat oleh hubungan dagang, melainkan

juga persamaan keyakinan. Kondisi ini dianggap sebagai kekuatan

potensial yang harus terus dijaga, salah satu bentuk penjagaannya

adalah dengan membangun fasilitas yang mendukung agar

hubungan antara penduduk pribumi dengan pendatang yang

kemudian bermukim dapat menguat. Fasilitas yang paling efektif

untuk merawat keharmonisan ini adalah masjid.

Ar-Raniri menyebutkan bahwa ketika Iskandar Muda

bertahta, pembangunan masjid menjadi kegiatan kerajaan yang

banyak dilakukan. Bukan hanya Baiturrahman, aparat kerajaan

juga banyak membangun masjid di tempat lainnya.60

Gagasan ini

59

Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 64-65. 60

Bustanussalatin, hlm. 16.

Page 57: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

46

agaknya masih dilakukan ketika Iskandar Thani naik tahta, di

Bandar Darussalam yang semakin ramai, dibangun masjid yang

bernama Baitul Musyahadah. Ramainya pasar-pasar pesisir

menyebabkan kebutuhan akan tempat ibadah tentu saja meningkat.

Pembangunan masjid ini sekaligus membuktikan bahwa aparatur

kerajaan tidak hanya menilik eksistensi umat pesisir hanya melalui

kacamata ekonomi, melainkan turut pula memberikan suatu tempat

yang layak bagi mereka untuk beribadah sambil melepas lelah.

Denys Lombard menyokong uraian tersebut dengan

mengatakan bahwa Iskandar Muda selalu berusaha membangun

masjid dalam jumlah besar. Masjid Baiturrahman sendiri dibangun

pada 1614. Bangunan ini pernah mengalami kebakaran ketika

masa pemerintahan putri Nurul Alam (1675-1678). Merupakan

suatu keuntungan tersendiri bahwa Peter Mundy yang singgah di

Aceh pada 1637 masih memiliki gambaran masjid ini. Disebutkan

bahwa bangunan itu sangat khas, bentuknya persegi empat,

dikelilingi tembok dengan atap susun empat dan bubungan yang

langsing; seperti meru (atap yang biasa di temukan di pura) di Bali

daripada masjid di Timur Tengah.

Uraian ini agaknya masih memiliki kemiripan dengan

gambaran William Dampier yang menceritakan arsitektur masjid

lain di Aceh pada 1888. Katanya: “Hampir semuanya dibangun

empat persegi dan beratap genteng; tetapi tidak tinggi atau luas.

Setiap pagi ada laki-laki yang berisik sekali di atas atap itu (orang

sedang azan). Tetapi tak saya lihat ada menara atau menara

lonceng untuk naik ke atas atap seperti biasa terdapat di Turki.”

Dengan ini diketahui bahwa arsitetur keagamaan lokal berhasil

dipertahankan terlepas dari segala model Barat. Di masjid ini raja

dan rakyatnya bersembahyang pada hari-hari raya dengan upacara

besar.61

Semakin membludaknya penduduk Aceh Darussalam di

masa Iskandar Muda diakui pula oleh Uka Tjandrasasmita.

Menurutnya, saat menginjak abad 17, pembangunan di bidang

politik, ekonomi-perdagangan serta kebudayaan semakin pesat

61

Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 60-61 dan 185.

Page 58: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

47

disesuaikan dengan peran Banda Aceh sebagai ibukota kerajaan.

Menurut Thomas Bowrey, di kota ini terdapat sekitar 7.000 atau

8000 rumah. Oleh sebab begitu padatnya pemukiman di Aceh dan

sekitarnya itu, sehingga di saat Iskandar Muda mengumpulkan

40.000 orang tentara bukanlah perkara yang terlampau sulit.62

Kemeriahan yang terpancar dari aneka ragamnya suku

bangsa yang ada di Aceh tergambar dalam momen perayaan

keagamaan. Anthony Reid berhasil mengumpulkan sumber-

sumber Eropa yang menceritakan hal ini. Upacara-upacara setelah

dan sebelum puasa dirayakan dengan penuh kemegahan. Idul Adha

suatu “perayaan besar”, yang termaktub dalam tanggalan Islam

tampaknya memang hari besar yang paling penting di Aceh.

Perayaan Idul Adha di Aceh, jelas Reid,selain pula dapat

dijumpai dalam Adat Aceh juga ditemukan rekamannya dalam

catatan-catatan bangsa Eropa. Salah satu bagian yang menarik

perhatian, adalah arak-arakan besar dari istana ke masjid

Baiturrahman. Dalam Adat Aceh diterengkan terdapat 30

kelompok yang ikut dalam arak-arakan itu. Sultan sendiri sambil

menunggang gajah kerajaan bernama Lela Manikam, termasuk

dalam kelompok ke-24.

Perayaan itu juga dimeriahkan oleh pedagang asing yang

mengambil tempat masing-masing di kelompok ke-27, tapi jumlah

terbesar jutru berada di barisan terakhir dari iring-iringan besar itu.

dalam kelompok ke-28 dan 30, ada 30 gajah berhias dan 7.000

prajurit berbagai ragam; semua menyandang senjata dan

mengenakan pakaian yang indah; dalam kelompok ke-29 sama;

dalam kelompok ke-30 ada 50 gajah, banyak di antaranya yang

memiliki nama, dan ribuan prajurit.63

Di tempat pemberhentian akhir, yakni di masjid itu, Sultan

dan para pembesar masuk ke dalam untuk melaksaakan ibadah

yang diperintahkan. Lalu kemudian Sultan keluar ke halaman

masjid untuk melakukan sayatan pertama pada hewan kurban.

62

Uka Tjandrasasmita, Kota-Kota Muslim .... 37. 63

Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2011) hlm. 117-119.

Page 59: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

48

Akhirnya seluruh iring-iringan kembali ke dalam disemarakkan

dengan musik. Dikabarkan, upacara ini sangat indah, sampai-

sampai penonton yang melihatnya amatlah mebeludak hingga sulit

untuk ditertibkan. Reid mengutip sedikit uraian dari masalah ini,

sebagai berikut:64

Ibu-ibu sedang hamil yang jua keluar pada hari

raya itu untuk menyaksikan Johan „Alam, banyak

yang melahirkan anak di jalan atau di pasar, dan

ada kelompok-kelompok orang yang tidak

menemukan tempat perayaan kaarena banyaknya

orang yang berkeliaran ke sana-sini.

Reid menengarai kemungkinan angka-angka yang terdapat

dalam kitab syair istana ini adalah hasil dari penggelembungan

atau dibesar-besarkan. Hal ini menurutnya kerena merupakan

kesulitan tersendiri ketika membayangkan berapa banyak manusia

dan gajah yang dapat ditampung di tanah yang hanya seluas 500

meter antara istana dan masjid itu.

Namun begitu, inti dari penjelasan upacara ini dipertegas

oleh Peter Mundy, yang menyaksikan sendiri upacara Idul Adha

yang pertama di bawah Sultan Iskandar Thani pada 1637. Seperti

kata Takeshi Ito, jumlah prajurit dalam upacara itu mungkin sudah

berkurang akibat kekalahan besar yang dialami Aceh dan posisi

Isknadar Thani yang lebih lemah dibandingkan dengan

pendahulunya. Walaupun demikian, Mundy menyaksikan secara

langsung sebuah iring-iringan yang luar biasa besar dari istana ke

masjid:

... Kemudian muncul iring-iringan gajah dengan

sesuatu seperti sebuah menara kecil di punggung

masing-masing, dan di dalam setiap menara itu

terdapat seorang prajurit berseragam merah dan

bersenjatakan sebuah tombak dalam tangannya

sembari berdiri tegap ... Barisan pertama

pasukan gajah (ada empat baris pasukan gajah),

masing-masing gajah memiliki dua pedang besar,

64

Anthony Reid, Menuju Sejarah .., hlm. 117-119;

Page 60: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

49

atau sebenarnya dua belah besi pipih panjang

yang diikatkan kepada kedua gadingnya ...

Kemudian setelah itu tampil iring-iringan gajah

dengan menara kecil ... di atasnya ditempatkan

meriam kecil ... setelah ini muncul gajah-gajah

lain dengan menara kecil di punggung masing-

masing dan di dalam tiap menaranya ada 2 orang

pasukan ... lalu muncul barisan gajah dengan

bendera-bendera panjang ... ; gajah-gajah yang

lain berselimut dari kepala hingga kaki ...65

Sama halnya dengan perayaan di bulan Kurban, festival

Idul Fitri juga disemarakkan dengan iring-iringan dari masjid ke

istana, bentuknya kurang lebih sama dengan momen di atas.

Bunyi-bunyian gegap gempita mewarnai dan tembakan-tembakan

senjata di sekitar istana terjadi waktu memulai dan mengakhiri

puasa. Dalam catatan Reid, hal ini diselenggarakan untuk

mengagungkan raja yang dikemas dalam perayaan-perayaan hari

besar Islam ortodoks.

Momen Idul Fitri di Aceh yang serba ramai tidak luput dari

perhatian orang asing. Satu hal yang menjadi ingatan mereka

adalah suasana hiruk pikuk. Pada 1600, Frederick de Houtman

mencatat bahwa semua kaum bangsawan mengenakan pakaian

masing-masing yang terindah untuk datang ke istana pada 29

Sya‟ban, awal bulan puasa. Begitu aba-aba diberikan, semua

gendang ditabuh dan trompet ditiup serta semua bedil

ditembakkan, demikian pula dengan tujuh arquebus (kanon kaki

tiga) di luar istana. Hal ini merupakan tanda dimulainya puasa.66

65

Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 117-119; Tekeshi Ito, “The

World of the Adat Aceh. A Historical Study of the Sultanate of Aceh”, tesis

PhD ( Canberra: Australian National University, 1984) hlm. 231-238 dan 243;

Adat Aceh dari satu Manuscript India Office Library, disalin oleh Teungku

Anzib Lamnyong (Banda Aceh:PLPIS, 1978) hlm. 34-46; Sir Richard Temple,

ed, The Travels of Peter Mundy in Europe and Asia, 1608-1667, Vol. III, Part I

(Londona, 1919). 66

Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 120.

Page 61: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

50

Kehidupan meriah ini menandakan betapa kondisi sosio-

keagamaan berada pada tataran yang matang. Kematangan di sini

diukur dengan meriahnya perayaan agama yang menyatukan

segenap elemen masyarakat Aceh yang asalnya bukanlah etnik

yang seragam. Perayaan ini hendaknya jangan hanya dimakanai

sebatas keramaian, melainkan adalah perwujudan dari upaya raja

menciptakan suasana keagamaan yang dirasakan oleh seluruh

rakyat Aceh. Keadaan ini memungkinkan raja dan rakyatnya

bersua dan hanyut dalam suka cita. Makna lain yang dapat

diungkap adalah merawat stabilitas negeri dan memupuk semangat

keagamaan melalui sesuatu yang dapat dinikmati orang banyak.

Page 62: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

51

BAB III

EKSISTENSI ULAMA DI ACEH DARUSSALAM

A. Pengertian Ulama

Sebagaimana telah disinggung di atas, ulama menempati

posisi penting dalam struktur masyarakat Aceh. Wilayah

profesinya bukan hanya ditelisik di lapangan terbawah dalam

pergaulan masyarakat Aceh, melainkan seperti angin, melesat

meliuk sampai ke ranah teratas yakni pergaulan istana. Perannya

yang fleksibel ini, membuatnya dekat, baik dengan para penganjur

kebijakan hingga ke objek kebijakan itu sendiri, yakni masyarakat.

Melalui lembaga pendidikan, para ulama memainkan peran

penting dalam tumbuh kembang pengetahuan yang berimplikasi

pada perkembangan masyarakat.

Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu diketahui

dahulu pegertian ulama.

Ditinjau secara kebahasaan, menurut Ismuha, kata ulama

berasal dari bahasa Arab yang secara gramatika berbentuk jamak

(plural) dari kata alim, yang berarti orang yang mengetahui atau

orang yang berilmu. Dengan demikian ulama berarti para ahli ilmu

atau para ahli pengetahuan atau juga para ilmuwan.

Dalam konteks Indonesia, pemakaian kata ulama

mengalami sedikit pergeseran dari pengertian asalnya dari bahasa

Arab. Di Indonesia alim diartikan sebagai orang yang jujur dan

tidak banyak bicara. Perkataan ulama digunakan dalam arti mufrad

(singular), sehingga jika digunakan dalam konteks jamak,

ditambahkan kata pendahulu “para” menjadi “para ulama” atau

“ulama-ulama”. Di Aceh khususnya dan di Indonesia pada

umumnya, sebutan ulama hanya dialamatkan bagi ahli agama

Islam saja.

Page 63: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

52

Terdapat dinamika menarik terkait perjalanan sebutan

ulama. Soekarno lewat Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959,

menggunakan juga sebutan ulama untuk para ahli agama Budha

dan Hindu, juga bagi para ahli agama Kristen katolik dan

Protestan. Atas hal tersebut, dalam golongan MPRS terdapat

golongan ulama yang terdiri dari ulama Islam, Ulama Katolik,

Ulama Protestan, Ulama Hindu dan Ulama Budha. Dalam konteks

Aceh dan Indonesia pada umumnya, sebutan ulama hanya merujuk

pada ahli agama Islam.67

Awalnya orang yang disematkan gelar ulama, bukanlah

mereka yang berasal dari kalangan penduduk pribumi, melainkan

orang asing yang tinggal di sekitar pelabuhan Aceh. Mereka

memiliki hubungan yang cukup dekat dengan kalangan istana.

Besar kemungkinan kedatangan mereka berhubungan dengan

motif dagang antara orang Islam luar negeri dengan penduduk

lokal. Hal ini telah banyak disinggung di bab 2.68

Menurut Snouck Hurgronje, pengertian ulama di mata

masyarakat Aceh merupakan sosok cerdik pandai yang luas

ilmunya. Seorang ulama dapat dikategorikan sebagai doktor yang

dapat memberi penjelasan meyakinkan mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan hukum dan doktrin agama. Ulama merupakan

tingkat tertinggi dalam tatanan ilmuwan Aceh. Banyak warga Aceh

yang karena kedudukannya mereka diharuskan menjadi sosok yang

banyak belajar. Beberapa dari mereka ada yang sudah merasa puas

dengan sekedar menelaah kitab-kitab bahasa Melayu karena sudah

cukup sebagai kelengkapan memegang jabatan tertentu seperti

teungku meunasah atau bahkan sebagai kali.

Selain itu, di antara sarjana agama dikenal pula dengan

sebutan leube atau malem atau juga alem. Baik teungku meunasah,

kali, leube maupun malem belum disebut menempati posisi seperti

ulama, jika tidak memiliki persyaratan dan pengalaman khusus

yang ditempuh oleh sarjana yang di kemudian hari digelari ulama.

67

Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 1. 68

James T. Siegel, The Rope of God (Barkeley & Los Angeles:

University of California Press, 1969) hlm. 48.

Page 64: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

53

Untuk mendapatkan gelar doktor atau ulama, demikian

Hurgronje, bukan hanya mensyaratkan rajin belajar, melainkan

juga berada di bawah bimbingan ilmuwan kompeten yang

memandu pengajaran hukum dan doktrin agama melalui kitab-

kitab berbahasa Arab. Disebutkan pula bahwa di Aceh terdapat

perbedaan metode belajar yang lain dari yang dipakai oleh orang

Jawa maupun Sunda sejak dulu kala. Metode ini sepertinya lebih

rasional namun mengandung banyak kesulitan sehingga bagi para

penggunanya sering patah semangat sebelum tujuan mereka

tercapai.

B. Pembagian Peran Ulama Kesultanan

Sejak masa yang lama, Aceh menjadi daerah pesisir

terbuka bagi pergaulan masyarakat dunia. Angin-angin yang

berasal dari Negeri Atas Angin berhasil membawa para pencari

rempah dari Barat untuk datang dan mendiami dunia Timur. Aceh

menjadi spot penting bagi mereka. Selain karena daya tarik pasar-

pasar yang menjajakan rempah dan emas, kota ini juga

menawarkan sejuta pesona sehingga membuat para pelancongnya

betah berlama-lama, bahkan tak jarang mereka memutuskan untuk

menetap di sini.

Kalangan ulama, menjadi pendatang luar negeri yang

memang telah mempersiapkan diri untuk tinggal di Aceh dalam

waktu yang tidak sebentar. Mereka menjadikan pesisir Aceh

sebagai ladang untuk menegakkan syiar Islam ke wilayah yang

lebih jauh. Perlahan namun pasti, mereka berhasil menyita para

pemuka masyarakat setempat sehingga bermurah hati dalam

rangka menyebarkan lebih luas beragam bentuk kemajuan yang

dikemas dengan nilai-nilai kenabian (profetik).

Bustanussalatin mencatat beberapa kunjungan ulama luar

negeri yang memiliki reputasi mengagumkan dalam dunia

intelektual Tanah Arab. Ketika kerajaan Aceh dipimpin oleh

Sultan Ali Riayatsyah (1567-1575), diberitakan bahwa Aceh

kedatangan ulama bermazhab Syafi‟i asal Mesir bernama

Muhammad Azhari, bergelar Syekh Nuruddin. Di Aceh ia

Page 65: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

54

mengajar ilmu ma‟kulat (akal). Pengabdiannya di Aceh berujung

sampai ia wafat.

Nuruddin ar-Raniri memberitakan pula bahwa ketika Aceh

dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah yang berasal dari

Perak (Malaka), ulama-ulama yang berdiam di Aceh merasakan

kasih dan perhatian yang diberikan pihak kerajaan. Sang raja

dikenal sebagai sosok yang relijius dan menjauhkan diri dari

gelimang kebesaran duniawi laiknya yang disandang oleh seorang

raja sebagaimana mestinya. Diceritakan, dalam kesehariannya ia

hanya memakai jubah dan sorban. Dengan tak jemu-jemunya, ia

menyerukan kepada rakyatnya untuk rajin menunaikan shalat 5

waktu, puasa dan zakat.

Di masa pemerintahan sultan ini, datang seorang cerdik

pandai dari Mekkah bernama Syekh Abul Khair bin Syekh Ibnu

Hajar. Ia adalah penulis kitab Syaiful Qoti‟ dan mengajar fikih di

Aceh. Beberapa waktu kemudian datang pula cendikiawan lain

bernama Syekh Muhammad Yamani yang diketahui merupakan

pakar ushul fikih. Dalam suatu kesempatan, kedua ulama ini

pernah berjumpa dan terlibat dalam perdebatan sengit mengenai

a‟yan al-tsabitah. Pokok pembahasan itu bukanlah suatu masalah

yang mudah dipecahkan, oleh sebab telah berkaitan dengan

masalah tasawuf atau hubungan intim antara hamba dengan

Tuhannya.

Merujuk pada uraian Erawadi, Pengetahuan atau ilmu

Tuhan menyatakan dirinya dalam bentuk “yang dikenal” dan

“yang diketahui”. Pengetahuan Tuhan yang dikenal disebut al-

a‟yan al-tsabitah yakni kenyataan mengenai segala sesuatu. Al-

a‟yan al-tsabitah disebut juga suwar al-„ilmiyyah, yakni bentuk

yang dikenal, atau dengan istilah lain, al-haqiqat al-asyya‟, yakni

hakekat segala sesuatu di alam semesta dan ruh idhafi, yaitu ruh

yang terpaut.69

Perdebatan mereka berjalan dengan ketat, masing-masing

pihak melemparkan masalah-masalah yang amat menguras pikiran

dalam menjawabnya. Oleh sebab tidak ditemukanya titik terang

69

Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 254.

Page 66: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

55

berupa jawaban yang meyakinkan keduanya, akhirnya mereka

sepakat menghentikan sementara debat mereka dan bersama-sama

berlayar ke Gujarat guna bertemu dengan Syekh Muhammad

Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid guna meminta

pendapatnya. Syekh Muhammad Jailani sendiri merupakan ulama

yang berasal dari Ranir, namun ia bukanlah asli orang Gujarat

melainkan berdarah Persia. Ia dikenal pula sebagai ulama mazhab

Syafi‟i. Tidak dijelaskan lagi, apakah kedua ulama yang berdebat

itu menemukan jawaban yang memuaskan dari ulama itu.

Syekh dari Gujarat itu belakangan mulai tertarik datang ke

Aceh. Lawatan lintas negeri itu baru terlaksana ketika kerajaan

Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah

(Sayyidil Mukammil) (1585-1604). Di negeri ini, Syekh

Muhammad Jailani mengajar ilmu mantik (logika), pelbagai

cabang ilmu bahasa Arab seperti ma‟ani, ilmu bayan dan badi,

serta ilmu fikih dan ushul fikih. Selain beberapa bidang ilmu itu,

animo pelajar yang ingin belajar tasawuf padanya pun tidak kalah

mebludak. Ia pun segera mengalokasikan waktu yang tepat bagi

mereka yang ingin belajar menyucikan jiwa melalui serangkaian

metode tasawuf yang ia kuasai. Menurut ar-Raniri, Syekh

Muhammad Jailani sempat menuntut ilmu ke Mekkah.70

Membincang komposisi masyarakat Aceh, demikian

Siegel, terdiri dari empat kelompok besar. Sultan, uleebalang,

ulama dan rakyat. Dalam pengelompokkan ini sultan dan

uleebalang sebenarnya menempati posisi yang serupa yakni

pengatur kerajaan, perbedaannya hanya pada porsi dan

wewenangnya. Di antara ketiga kelompok ini, ulama berada pada

tempat yang spesial. Mereka terlahir di tengah kehidupan

masyarakat luas dan memiliki kebebasan untuk meninggalkan

masyarakatnya untuk menggapai status yang lebih tinggi.

Meninggalkan di sini bisa dimaknai sebagai perpindahan karir dari

yang sebelumnya berpusat dari desa ke desa, kini bisa mencapai

wilayah yang lebih tinggi seperti antar kesagian atau bahkan

langsung berkiprah di istana.

70

Bustanussalatin, hlm. 15.

Page 67: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

56

Peran pengabdian dalam hal penyelenggaraan lembaga

pendidikan, sebagaimana diungkapkan dalam Bustanussalatin di

atas, juga menjadi tanggung jawab ulama. Siegel tidak menampik,

bahwa terkadang unsur kekerabatan dengan aparatur pemerintahan,

turut mempermudah peran ulama dalam membuka suatu sekolah

agama atau menata masyarakat Muslim. Ini tentu saja bukanlah

suatu persyaratan, mengingat ulama dinilai dari kepakaran

pengetahuan agama,bukan semata hanya pertalian darahnya

dengan penguasa.

Ulama juga dicirikan sebagai golongan yang memiliki

mobilitas luas, tidak sebatas pada realitasnya di tempat ia hidup.

Mereka yang tinggal di istana dapat leluasa memberikan

pengajaran bagi orang banyak. Pun bagi mereka yang tinggal di

kawasan terpencil, tidak menutup kemungkinan, memiliki akses

luas untuk masuk di pusaran pergaulan istana. Pengadaan lembaga

pendidikan merupakan manifetasi akan eksistensinya. Setiap dari

mereka, demikian Siegel, memandang diri sebagai wakil dari

masyarakat Aceh yang dihubungkannya pada pengabdian di

kancah sosial maupun sekolah agama. Ini pula yang menjadi daya

tawar kuat mereka ketika kalangan pemerintah, baik raja maupun

uleebalang, terlibat suatu hubungan yang saling melengkapi.71

Menginjak abad 17, ulama dalam daur kehidupan istana

Aceh, memiliki kontribusi penting dalam berbagai hal. Untuk

mempermudah pembahasan, selanjutnya akan dipaparkan peran

ulama dalam pelbagai bidang, yakni:

1. Ulama dan Pemerintah

Pergaulan hidup istana, amat terpusat pada satu

kekuatan, yakni berada ditangan raja. Hal seperti ini

merupakan karakter yang tidak bisa dilepaskan dalam pola

pemerintahan sistem monarki. Raja memiliki otoritas penting

dalam pusaran kepemimpinan kerajaan. Namun begitu, tentu

tidak semua tugas negara dapat diselesaikan oleh seorang raja.

Ia tentu membutuhkan staf khusus guna menjalankan suatu

tugas. Di saping itu, raja biasanya memiliki penasehat yang

71

Siegel, The Rope of God ..., hlm. 11.

Page 68: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

57

berasal dari kalangan cerdik padai. Ulama di kalangan

pemerintah Aceh.

Penjelasan cukup gamblang coba diketengahkan oleh

K.F.H. van Langen yang memaparkan peran-peran ulama di

kepemerintahan Aceh. Awalnya ulama memang banyak

berkontribusi di bidang kerohanian. Wilayah aktivitas mereka

tidak dapat dilepaskan dari masjid. Ulama mulai tersebar di

lapangan kerja lain, baru ketika Iskandar Muda berkuasa, yakni

ketika ditetapkannya pembagian ketatanegaaan Aceh dalam

bentuk mukim.

Iskandar Muda menyadari akan posisinya. Semakin

luasnya wilayah Aceh dan urgensi dakwah Islam yang juga

harus terus diperlebar, menuntutnya untuk memodifikasi tata

pemerintahannya agar dapat terdesentralisir hingga

menjangkau semua titik kekuasaannya. Sebagai raja yang

terlahir dari rahim peradaban Islam yang tinggi, ia pun

menggunakan potensi keislaman untuk membentuk tata negara

Islam yang dapat mempererat kalangan istana dan

masyarakatnya. Hal ini bisa tercapai, manakala sistem kerajaan

terorganisir dengan baik.

Zainuddin mengingatkan bahwa ulama merupakan

elemen sentral dalam penyelenggaraan kerajaan serta hukum

dalam masyarakat Aceh. Iskandar Muda menetapkan formula

tata negara yang disokong oleh 4 pilar, yakni:

a. Adat merupakan wilayah Sultan dibantu dengan para

penasehat dan staf kerajaannya (Orang Besar)

b. Urusan hukum menjadi tanggung jawab Syekh

Nuruddin ar-Raniri dan Syekh Abdurrauf Singkel

sebagai Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil serta

ulama-ulama lainnya

c. Urusan Kanun, tata cara bermajelis, sopan satun dan

tata tertib dalam pernikahan menjadi kebijakan

Maharani (Putri Pahang, permaisuri Iskandar Muda)

d. Perihal Resam, diserahkan kepada Panglima Kaum atau

Bentara yang tersebar di masing-masing kenegerian.

Page 69: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

58

Keempat pilar itu terekam dalam peribahasa:

Adat bak po teumereuhom

Hukom bak syiah kuala

Meujeuleueih kanun bak potue phang

Resam bak bentara-bentara

Dalam masa pemerintahanya, Iskandar Muda

pernah menyelenggarakan sidang rancangan dengan

mengundang pejabat terkait dan ulama-ulama serta para

uleebalang dan Orang Kaya untuk merumuskan adat yang

nantinya menjadi acuan bersama dari kalangan istana

sampai masyarakat luas. Undang-undang ini juga

belakangan diberlakukan di seluruh wilayah taklukan di

luar Aceh Besar. Pertemuan ini diselenggarakan di balai

masjid Baiturrahman.

Setelah melewati perdebatan yang sehat, maka

ditetapkanlah hasil dari sidang itu, yakni berupa undang-

undang yang dinamakan Adat Meukuta Alam. Dalam

undang-undang ini terdapat bagian mengenai pembagian

tugas aparatur kerajaan hingga tingkat keuleebalangan,

termasuk pula kedudukan ulama di pemerintahan.

Walaupun Sultan Aceh merupakan pemegang

supremasi tertinggi di seantero wilayah kekuasannya,

namun dalam praktik penyelenggaraannya, ia diwajibkan

untuk mengangkat beberapa staf yang membantunya yang

sekaligus menjadi kontrol atas setiap kebijakan yang

diambilnya. Untuk itu, sultan yang berkuasa wajib

mengangkat:

a. Mengangkat para ahli hukum, yakni para ulama

b. Mengangkat orang-orang bijak, yakni para pakar yang

kredibel mengurus negara (wazir, menteri, dan lain-

lain)

c. Mengangkat orang yang perkasa yang bertugas

mempertahankan negeri, yakni para uleebalang,

panglima perang dan lain-lain

Page 70: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

59

Peran dari ketiga pejabat itu juga dijabarkan dalam

perundangan, adapun para ulama memiliki tugas:

a. Menjadi penasihat sultan menyangkut perkara agama

dan memberikan pengajaran kepada rakyat tentang

keteguhan iman mereka kepada Tuhan serta kebajikan

yang berlandaskan ajaran agama

b. Menjadi qadhi sultan dalam memutuskan kebijakan

dalam negeri

c. Menerima wilayah (limpahan wewenang) dari sultan,

panglima sagi ataupun uleebalang, untuk menikahkan

orang yang tidak berwali

d. Dan lain-lain yang menyangkut hukum agama72

Terkait hubungan agama dengan sultan, Amirul

Hadi memberikan catatan tersendiri. Ia mengatakan bahwa

kalangan istana, dalam hal ini raja, sebenarnya turut pula

memegang otoritas keagamaan. Hal ini ditunjukkan dengan

banyaknya gelar kebesaran seperti khalifatullah fil ardi,

zillullah fil ardi atau juga zillullah fil alam. Meskipun

begitu, gelar-gelar itu tidak serta merta menunjukkan

bahwa sang sultan memiliki kedalaman ilmu agama. Tentu

saja bukanlah larangan, jika para raja memiliki

pengetahuan agama yang tinggi bahkan digelari sebagai

ulama. Namun, dalam bentangan sejarah kerajaan -

khususnya abad 16 dan 17- tidak ada seorang raja pun yang

mempunyai pemahaman agama luas, sehingga pantas

digelari ulama.

Oleh sebab itu, keberadaan ulama di lingkungan

istana, dianggap sebagai pemegang otoritas keagamaan

yang sejatinya. Semementara itu, otoritas keagamaan yang

digenggam oleh penguasa bisa dikatakan sebagai “otoritas

yang diberikan nilai keagamaan” (religiously sanctioned

authority). Di wilayah inilah makna penting kehadiran

golongan agamawan dalam masyarakat dan kerajaan.

Ketergantungan penguasa terhadap ulama adalah

keniscayaan. Karena itu, banyak ulama yang ditempatkan

72

Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 89-98.

Page 71: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

60

di posisi strategis dalam struktur pemerintahan, baik

sebagai penggenggam otoritas agung keagamaan, yaitu

Syaikhul Islam, deputi sultan. Penasihat sultas, sekaligus

guru bagi penguasa. Lebih jauh, peran mereka merambah

ke bidang lainnya seperti sosial, politik, budaya bahkan

ekonomi.73

2. Ulama dan Masalah Keagamaan

Beberapa lembaga terkait yang di kemudian hari

merupakan wilayah gerak ulama mulai dibangun.

Belakangan diketahui, peran ulama mengalami “evolusi”

dari sebelumnya hanya terlibat di sekitar masjid dan

pengajaran agama, menjadi lebih banyak menangani

masalah kepemerintahan dan kemasyarakatan. Beberapa

diantaranya adalah Imam Masjid Raya.

Masjid merupakan tempat aktivitas asal kalangan

ulama. Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya,

golongan ini ruang lingkup hanya kegiatannya awalnya

hanya pada masalah seputar masjid, namun kemudian

mengalami desentralisasi profesi sehingga banyak pula

ulama yang kemudian menyebar di jabatan-jabatan lain.

Masjid Raya Baiturrahman merupakan tempat

berkumpulnya para ulama. Meskipun begitu, di abad 17

belum ada organisasi yang mengikat para ulama masjid.

Agamawan yang berada di lingkungan masjid,

dibagi dalam tiga bagian; imeum (imam shalat), khatib

(pembaca khotbah) dan bilal (penyeru azan). Imam masjid

pertama yang diketahui adalah Syekh Abdurrauf Singkel.

Dialah yang kemudian diserahi tugas dalam melaksanakan

peraturan-peraturan agama semasa Iskandar Muda. Ia juga

merangkap sebagai khatib Masjid Raya.

Jabatan Imam Masjid Raya tidaklah turun-menurun,

namun, pada tahun-tahun terakhir kerajaan Aceh, jabatan

ini bisa diwariskan ke anak cucunya, dengan catatan ia

memiliki kadar pengetahuan agama yang luas.

73

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 162.

Page 72: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

61

Penghidupan Imam Masjid Raya bergantung pada

hasil bumi berupa sawah, kebun kelapa dan kebun rumbia

yang dihadiahkan oleh raja.Di kalangan orang Aceh, sawah

tersebut dikenal dengan sebutan umong sara yang

terhampar di daerah Blang Punge dan Blang Padang.

Sawah-sawah ini tidak boleh dijual atau diwariskan

melainkan hanya sebagai sumber penghasilan Imam

Masjid. Dalam pengerjaannya, sang imam diperbolehkan

menggunakan jasa buruh tani atau orang lain.

Apabila imam tidak bisa merangkap tugasnya

sebagai khatib, maka orang lain dapat diangkat menempati

posisi itu, setelah sebelumnya mendapat restu sultan. Tidak

seperti jabatan Imam Masjid Raya, Khatib Masjid Raya

biasanya tidak bisa diturunkan. Untuk itu, maka dalam

setiap periodenya, dipilih seorang khatib yang memiliki

suara yang merdu dan dikenal saleh serta memiliki

pemahaman hukum-hukum Islam yang tidak diragukan.

Sekiranya imam mendaulat khatib sebagai

pendampingnya ketika menyampaikan khotbah atau

melakukan tugas-tugas keagamaan lainnya, maka imam

harus pula menjamin nafkahnya. Jika ini tidak bisa

dilakukan, maka Panglima Masjid Raya, yakni uleebalang

mukim setempat, menyeru rakyat di bawah kuasanya agar

sebagian zakat padi dan barang-barang lain yang bisa

dijadikan zakat atau fitrah diberikan pada sang khatib.

Khatib juga mendapatkan penghasilan sampingan lain dari

side job-nya, seperti ketika ia didapuk sebagai pembaca doa

ketika sultan mangkat, kematian uleebalang, ulama, sayid,

atau tokoh masyarakat lainnya.

Jabatan bilal biasanya juga tidak bisa diturunkan.

Sering ditemukan kasus, seorang imam mengangkat bilal

seorang asing yang miskin. Kadang-kadang jumlah bilal

bisa bertambah dan sementara yang lain azan, yang satunya

memukul tabuh, yakni sejenis gendrang besar tanda

masuknya waktu shalat.

Page 73: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

62

Pendapatan bilal diatur sebagaimana tugas bilal. Di

samping itu, mereka juga mendapat hadiah dari sultan

dalam bentuk emas setiap hari baik yakni ketika perayaan

besar Islam. Van Langen memberikan catatan tambahan

bahwa yang disebut hari-hari besar yakni; hari Asyura atau

hari ke 10 bulan Muharram, hari kelahiran Nabi

Muhammad SAW, hari pertama bulan Syawal (lebaran),

hari idhul adha, malam peringatan isra mi‟raj Nabi SAW.

Para bilal juga dikenakan tugas tambahan mengumpulkan

zakat padi dari orang-orang yang wajib zakat di daerah

Masjid Raya dan mukim-mukim lain yang ingin

menyerahkan zakat mereka.

Imam juga mengangkat para garim (orang yang

terbebani masalah hutang) dari kalangan orang miskin yang

diserahi tugas membersihan Masjid Raya dan sekitarnya.

Di antara mereka ada yang menjabat sebagai badal bilal,

jika dalam suatu kesempatan bilal yang ditunjuk

berhalangan hadir. Upah garim diatur oleh imam. Mereka

juga biasa menerima makanan dari penduduk sekitar

masjid.

Imam masjid atau ulama yang beraktivitas di masjid

sering memberikan pengajian kepada publik. Materi yang

mereka sampaikan biasanya ringan dan bukan termasuk

ajaran yang sulit dicerna jamaah yang berasal dari kalangan

umum. Sebagai contoh materi yang disampaikan adalah

mengenai shalat, puasa dan zakat.

Walaupun mereka lebih banyak menghabiskan hari-

harinya di lingkungan masjid, namun tidak membuat

mereka terasingkan dari pergaulan sekitar maupun istana.

Mereka menjadi tempat bertanya ulama lain, pejabat

kerajaan dan uleebalang. Dalam beberapa kesempatan

pendapat mereka banyak digunakan sebagai inspirasi

memutuskan suatu perkara di bidang pemerintahan dan

peradilan.

Page 74: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

63

Para ulama masjid juga kerap diundang dalam

perayaan-perayaan baik di lingkungan istana maupun luar

istana. Mereka juga sering mendapat hadiah uang atau

barang ketika dimintakan nasihat atau ketika ia ditunjuk

sebagai mediator dalam suatu perkara. Hadiah lain juga

didapatkan ketika mereka diundang ke pernikahan,

penguburan, sunatan. Pembagian warisan, perkara perdata,

menghadiri sidang-sidang pengadilan serta memberikan

pandangan dalam suatu pelanggaran atau kejahatan. Di

samping itu mereka juga mendapat sebagian penghasilan

dari zakat dan fitrah.

Zakat dan fitrah dikumpulkan oleh teungku

meunasah atas perintah para uleebalang. Zakat itu berupa:

a. Padi, yaitu 1 gunca setiap 10 gunca hasil padi

b. Hewan ternak, yaitu 1 ekor sapi setiap 40 ekor

c. Emas urai yang digali sebayak 1 dari 12 jumlah yang

diperoleh

d. Keuntungan perdagangan sebanyak 2 ½ %

Zakat itu diperutukkan bagi empat golongan, yakni:

a. Orang-orang fakir

b. Orang-orang miskin

c. Orang-orang mualaf

d. Orang-orang yang berhutang akibat ditipu orang,

kebakaran, kapal karam atau perampokan

Agak aneh memang, demikian pula yang dirasakan

Van Langen, mengapa zakat hanya didistribusikan bagi

empat golongan, sedangkan dalam ajaan Islam disebutkan

bahwa ada delapan golongan yang berhak mendapatkan

zakat.

Page 75: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

64

Sedangkan fitrah yang dimaksud adalah suatu hasil

penyisihan harta yang dikategorikan dalam pajak berupa

beras sebanyak 2 bambu. Bambu di sini adalah sejenis

takaran yang kurang lebih setara dengan 1,6 kg. Fitrah ini

setara dengan 48 ringgit Spanyol yang dikeluarkan pada

akhir bulan puasa.

Tanah-tanah wakaf yang ada di sana dikerjakan oleh

orang lain. 1/3 hasilnya dipergunakan sebagai biaya

pemeliharaan masjid, keperluan para pengurusnya.

Kemudian, untuk perbaikan-perbaikan yang memakan dana

besar, maka dibebankan kepada penduduk. Setiap orang

yang merasa terpanggil untuk mengajar, mereka akan

datang memberikan pengetahuan agama. Tempat dan

materinya ia sendiri yang menentukan. Gelar haji tidak

terlalu diperlukan. Pun dengan pakaian model orang Arab,

jarang dikenakan di Aceh.74

3. Ulama dan Peradilan

Peradilan merupakan tempat berkumpulnya para

pengadil. Tidak jarang, di antara mereka ada yang memiliki

pengetahuan agama yang luas, terutama di bidang hukum

Islam. Aceh merupakan negeri yang menjunjung tinggi

hukum yang berlaku. Untuk itu, lembaga-lembaga terkait

banyak didirikan guna memandu keadilan dalam kehidupan

masyarakatnya. Berikut merupakan lembaga-lembaga yang

ditunjuk melaksanakan hukum, yakni:

a. Balai Majelis Mahkamah Agung

Balai ini merupakan lembaga tertinggi dalam bidang

kehakiman (sama dengan Mahkamah Agung yang

dipimpin oleh Wazir Sultan Menteri Mizan (Menteri

Kehakiman). Lembaga ini dibantu oleh 10 ulama fakih

yang merangkap Hakim Agung. Kanun Meukuta Alam

74

K.F.H. Van Lengen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa

Kesultanan, Terj. Aboe Bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen

Informasi Aceh, 2002) hlm. 38-42.

Page 76: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

65

menyatakan bahwa tugas dari Balai Majelis Mahkamah

Agung adalah mengurus setiap perkara dan memeriksa

setiap perkara kehakiman negeri, maupun dari mereka

yang berasal dari luar negeri.

b. Qadhi Malikul Adil

Qadhi Malikul adil sebenarnya merupakan salah satu

jabatan tertinggi di tataran istana Aceh. Orang yang

mendudukinya dikenal pula sebagai tangan kanan raja.

Selain itu, mereka juga menjalankan tugas sebagai

Penuntut Umum (Jaksa Agung), yang tugasnya

menuntut hukuman atas terdakwa yang terbukti

melanggar kanun negara. Siapapun akan dituntut oleh

qadhi tanpa pandang bulu.

Jabatan Qadhi Malikul Adil sudah dianggap sebagai

jabatan yang berhak mengurus masalah agama di istana

maupun daerah-daerah bawahan. Ketetapan ini sudah

dinyatakan dalam Sarakata Sultan Syamsul Alam yang

dikeluarkan pada tahun 1726 yang menerangkan bahwa

Qdhi Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan,

Orang Kaya Raja Bendahara dan semua ahli fiqih

diinstruksikan menerapkan hukum Islam di beberapa

wilayah tertentu, bukan hukum adat. Ketentuan ini

belakangan juga ditemukan dalam kumpulan peraturan

masa Iskandar Muda, yang dikenal dengan sebutan

Adat Meukuta Alam. Di ayat 25, 26, 27 dan 28, dari

ketentuan Iskandar Muda itu, membicarakan tentang

hukuman qisas dan diyyat (denda).75

Qadhi Malikul Adil menampilkan diri sebagai kepala

kantor kehakiman (adhyaksa). Ia tidak segan

berseberangan dengan ulama lainnya mengenai suatu

pendapata agama. Hal ini pernah terjadi ketika Hamzah

Fansuri mengungkapkan dalam syairnya mengenai

anjuran meminum arak. Pendapat ini ditentang oleh

qadhi pada masa itu. Hamzah menjelaskan bahwa arak

75

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 177.

Page 77: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

66

yang dimaksud adalah semacam “minuman mistis”

yang mengantarkan seseorang untuk menyatu dengan

Tuhannya. Bahkan Hamzah mengatakan qadhi pun

perlu meminumnya.

Bait-bait sajak Hamzah di atas mendapat tentangan

keras pula dari kalangan fuqaha. Besar kemungkinan,

Hamzah meminjam arak sebagai istilah untuk

mengungkapkan sesuatu. Namun, di satu sisi lainnya,

pada saat itu, masyarakat Aceh maupun orang asing

banyak yang mengonsumsi minuman yang

memabukkan. Dengan demikian apa yang diungkapkan

Hamzah dianggap bertentangan dengan hukum

agama.76

c. Mufti Empat

Para ulama yang duduk di jabatan ini digelari Syaikhul

Islam. Mereka adalah cerdik pandai yang memiliki

otoritas mengeluarkan fatwa atau mufti untuk satu

mazhab. Para hakim yang akan memutuskan perkara,

boleh berpedoman pada mazhab Syafi‟i. Maliki. Hanafi

atau Hambali.

d. Qadhi Panglima Sagi dan Qadhi Uleebalang.

Mereka yang duduk di jabatan ini, selain sebagai orang

kedua (wakil dari Panglima Sagi dan Uleebalang)

dalam suatu pemerintahan daerah, juga bertugas

menjadi hakim.

e. Qadhi Mukim

Selain sebagai pembantu Imam Mukim, Qadhi Mukim

juga biasanya merangkap sebagai hakim, qadhi nikah

dan imam shalat Jumat.

f. Imam Rawatib

76

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 178.

Page 78: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

67

Selain memiliki tugas pokok sebagai imam shalat lima

waktu, mereka juga bertugas membantu keuchik, saksi

nikah dan pembantu hakim damai.

Selain beberapa jabatan di atas, dalam peradilan Aceh

dikenal pula suatu derajat mahkamah, yang setiap

tingkatnya mengurusi kasus-kasus yang disesuaikan dengan

kadar perkaranya. Mahkamah ini terdiri dari beberapa

tingkat yakni:

a. Hukom-Peujroh, yaitu peradilan pendamai yang ada di

setiap gampong. Ketuanya adalah keuchik, wakilnya

imam meunasah (imam rawatib) dan anggota-

aggotanya adalah tuha peuet (para tetua kampung).

Tugasnya adalah mendamaikan pihak-pihak yang

bersengketa.

b. Mahkamah Mukim, yakni pengadilan tingkat rendah.

Ketuanya adalah imam mukim, Wakilnya adalah qadhi

mukim dan anggotanya adalah beberapa keuchik dan

ulama terkemuka. Pengadilan ini bertugas mengadili

setiap perkara, dan apabila tidak bisa diselesaikan,

maka perkaranya diserahkan kepada pengadilan yang

lebih tinggi (pengadilan uleebalang).

c. Mahkamah Uleebalang, pengadilan tingkat ini disebut

juga pengadilan negeri yang bertugas mengadili

perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan di tingkat

Mahkamah Mukim, atau yang bersengketa tidak

menerima keputusannya. Hakimnya adalah uleebalang,

wakilnya qadhi uleebalang dan anggotanya beberapa

imam dan qadhi mukim.

d. Mahkamah Panglima Sagi, pengadilan ini memiliki

tanggung jawab menuntaskan perkara-perkara yang

tidak selesai di tingkatan Mahkamah Uleebalang.

Ketuanya adalah panglima sagi, wakilnya qadhi

panglima sagi dan anggotanya adalah beberapa

uleebalang dan qadhi uleebalang.

Page 79: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

68

e. Mahkamah Agung, pengadilan ini adalah pengadilan

tertinggi dalam kerajaan yang bertugas menyelesaikan

perkara-perkara banding dari mahkamah-mahkamah

bawahannya, serta mengadili perkara-perkara besar

yang ditentukan oleh keputusan sultan. Ketuanya

adalah sultan sendiri, wakilnya qadhi malikul adil,

anggota-anggotanya: wazir sultan, menteri sultan,

ulama-ulama faqih dan mufti empat.

Van Langen menyebutkan bahwa terjadi

perombakan besar di tubuh peradilan Aceh ketika masa

desentralisasi kekuasaan dari istana ke tangan para

uleebalang pada abad 18. Pedoman hukum yang telah ada,

kendati tidak banyak dijadikan acuan lagi, namun tetap

menjadi inspirasi di peradilan tingkat daerah. Meskipun

demikian, kedudukan ulama tetaplah menjadi elemen vital

dalam penyelenggaraan peradilan baik di pusat maupun

daerah.

Jika terjadi suatu perkara kejahatan, si korban akan

mencari sendiri yang berbuat jahat padanya dan

diselesaikan secara kekeluargaan. Atau jika tidak, ia akan

menempuh jalan hukum yakni “menuntut bela” dengan

membawa si pelanggar ke hadapan ketua meunasah atau

kampung. Persengketaan kecil atau kejahatan ringan

biasanya diselesaikan oleh teungku meunasah yang dibantu

oleh orang-orang tua setempat. Penjatuhan vonis jarang

terjadi, sebisa mungkin dua belah pihak didamaikan

melalui suatu kesepakatan bernama hukuman kebaikan

(hukom peujroh).

Kasus-kasus yang diselesaikan secara demikian

berkisar pada kejahatan skala kecil seperti pencurian. Si

pencuri diperintahkan mengembalikan barang yang

diambilnya kepada pemiliknya atau menggantinya dengan

uang dan meminta maaf kepada si korban. Biasanya sang

mediatornya adalah teungku setempat, yang setelah selesai

perkara itu diberi sedikit upah. Kejahatan perdata ringan

juga diselesaikan dengan cara serupa, namun tidak disertai

formalitas permohonan ampun. Dua orang yang berkelahi,

dapat didamaikan jika mereka yang bertikai mau

Page 80: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

69

didamaikan. Bagi mereka yang memulai perkara atau

setelah disinyalir menjadi penyebab perkelahian,

diwajibkan menyerahkan sirih kepada pihak lawannya.

Di tataran masyarakat bawah, yakni setingkat

gampong atau mukim, ulama setempat memiliki andil yang

sama besar dengan keuchik atau imam mukim dalam

penyelenggaraan suatu peradilan. Sebelum sidang dimulai,

yakni sebatas perkara perdata, pihak yang mengajukan

perkara menyerahkan uang jaminan yang dalam istilah

Aceh disebut hak ganceng, yang tujuannya bukan hanya

agar pemutusan hukum berjalan dengan baik, tapi juga

berfungsi sebagai jaminan, bahwa ongkos-ongkos perkara

akan dilunasi sebagaimaa mestinya sesaat setelah pihak

yang bersengketa menerima keputusan hakim. Ongkos

perkara (hak bale) berjumlah untuk setiap empat ringgit

yang dipersengketakan, satu sukee (seperempat) yang

dibagi di antara para hakim. Jumlah tersebut didapatkan

dari potongan uang jaminan, atau digantikan dengan uang

jika jaminannya berbentuk barang berharga seperi

perhiasan atau senjata-senjata hias.77

C. Ulama dalam Pergaulan Masyarakat Bawah

Merujuk pada uraian Erawadi, dalam tradisi istana Islam,

nafas intelektual menjadi sesuatu yang dekat dengan keseharian

hidup istana. Mereka yang mengemban fungsi ini adalah ulama

yang memang memiliki kompetensi dalam mengembangkan

bidang tersebut. Untuk itu, ulama kerapkali diangkat menjadi

patron keilmuan sultan namun juga merangkap sebagai penasehat

istana.78

Lebih jauh, nasehat ulama bukan hanya didengar di

lingkungan istana, namun juga telah mendarah daging hingga ke

kehidupan sosial rakyat.

Di tingkat gampong (desa) terdapat tiga unsur utama yang

bertanggung jawab atas pelbagai kepentingan masyarakat

gampong, yaitu keuchik, teungku dan ureung tuha. Keuchik adalah

77

Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 44-45. 78

Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 27.

Page 81: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

70

pemimpin atau kepala gampong yang diserahi wewenang dari

uleebalang, terkadang juga dari imeum mukim, di wilayah yang

membawahi gampong tersebut. Di masa kesultanan, biasanya

jabatan ini diwariskan secara turun temurun. tugas keuchik

berkisar pada urusan adat. Selain itu, ia juga bertanggungjawab

menyeru penduduk gampong untuk beribadah dan memakmurkan

masjid atau meunasah.

Unsur kedua, adalah teungku meunasah. Ia bertugas

memandu hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan.

Penguasaan ilmu agama sudah seyogyanya dimiliki oleh seorang

teungku meunasah, namun hal ini tidak berarti membutakan

dirinya akan realitas sosial, utamanya terhadap adat tradisi

masyarakat setempat. Untuk itu, persyaratan lain yang tidak boleh

tertinggal baginya adalah pengetahuan akan tradisi walaupun

hanya sekedarnya, minimal pada hal-hal yang prinsipil. Sedangkan

ureung tuha adalah kaum yang dituakan di lingkungannya,

berpengalaman, bijaksana, dan memahami adat dalam suatu

gampong. Umumnya mereka telah berusia lanjut. Orang muda

yang memiliki kapasitas pengetahuan adat yang memadai pun

dapat dijadikan ureueng tuha. Ketiga unsur tersebut termasuk pada

tingkat elit di gampong.79

Perbendaharaan lama masyarakat Aceh juga menampilkan

“adat” dan “agama” sebagai dua unsur dominan dalam

kepemerintahan masyarakat ujung utara Sumatra ini. Dalam

lapisan masyarakat Aceh, Sultan dan uleebalang (hulubalang)

merupakan dua pilar yang mendukung nuansa adat masyarakat.

Dua wajah pemerintah ini bahkan menjadi simbol eksistensi dan

corak pengaruh adat dalam kehidupan rakyat Aceh. Di pihak lain,

ulama menjadi pilar utama yang menyokong serta

memperjuangkan agama sebagai ide yang melandasi kehidupan

ritual serta sosial masyarakat.

Ditinjau dari kacamata politis, baik sultan, uleebalang

maupun ulama, merupakan sekumpulan peran yang saling

berkaitan dan saling mempengaruhi. Dalam menjalankan roda

79

Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 74; Snouck, Aceh vol. 1 ..., hlm.

80-85.

Page 82: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

71

kerajaannya, sultan membutuhkan kedua pilar lainnya sebagai

penghubung antara dirinya yang bermukim di puncak stratifikasi

sosial dengan rakyat biasa yang berada di struktur terbawah. Di

wilayah lain, uleebalang dan ulama memerlukan sultan. Bagi

kalangan uleebalang, yang dikenal pula sebagai raja kecil, pada

dasarnya sultan merupakan distributor tongkat kekuasaan bagi

mereka.

Pada umumnya, seorang uleebalang diakui sebagai

penguasa ketika telah mendapat pengakuan dan atau pengesahan

dari sultan. Pihak kerajaan mengeluarkan sarakata sebagai

legitimasi kekuasaan seorang uleebalang dalam wilayah tertentu.

Sarakata sendiri berbentuk surat pernyataan pengakuan yang

dibubuhi Cap Sikureung (Cap Sembilan) yang merupakan stempel

resmi kerajaan.

Selanjutnya, kehadiran dan kekuasaan sultan juga

dibutuhkan ulama. Sultan menjadi naungan yang memberi

perlindungan diri dan kepentingan mereka. Kepentingan yang

dimaksud adalah terletak pada penegakan nilai, norma dan

pelaksanaan perintah agama. Mereka juga membutuhkan dukungan

serta penjagaan sultan ketika mengupayakan tersiarnya ajaran

Islam tanpa dibatasi oleh otoritas yang dimiliki para uleebalang.

Dengan berpayungkan perlindungan dan pengakuan sultan

terhadap kehadiran dan peran ulama dalam masyarakat, para ulama

mengharapkan kerjasama dengan para uleebalang yang menguasai

daerah-daerah tertentu.

Kesalinghubungan di antara ketiga pilar tersebut

sebenarnya sudah berlangsung lama terhitung sampai Belanda

menaklukkan Aceh secara resmi pada tahun 1903. Tidak bisa

dipungkiri, dalam perjalananya, keadaan hubungan ulama dan

pemerintah mengalami fluktuasi dilatarbelakangi oleh suatu

kejadian tertentu. Terkadang, satu pilar ingin lebih terdepan

dibanding pilar lainnya, namun secara garis besar tidak merubah

pola koneksi kedua pilar itu dan dapat dikatakan berjalan dalam

keadaan yang cukup stabil. Kondisi ini semakin menunjukkan

harmonisasi hubungan antarsegmen dalam masyarakat Aceh yang

Page 83: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

72

sudah tentu didukung pula oleh kuatnya stabilitas di lapisan

bawah.80

Sumber lain mengatakan bahwa terbentuknya pemerintahan

di daerah-daerah tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya yang

berakar pada ritual shalat berjamaah di masjid. Ketika Sultan

Iskandar Muda bertahta, dibangun banyak masjid, di antara yang

terkenal adalah:

1. Masjid Baiturrahim terletak di Kotaraja (Dalam)

2. Masjid Baiturrahman

3. Masjid Indrapuri di XXII Mukim

4. Masjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu di VI Mukim

sagi XXV

5. Tiga buah masjid di Ladong Cadek dan Krueng Raya di XXVI

Mukim

Masjid berperan sentral dalam penguatan masyarakat Islam

Aceh. Awalnya, masjid hanya digunakan sebagai pusat kegiatan

ibadah, utamanya shalat 5 waktu, yang dipimpin oleh imam. Lama

kelamaan, para imam masjid mulai mengetahui dan memahami

kondisi di mana ia hidup dan bersosialisasi. Ketika masjid

digunakan menunaikan shalat Jum‟at, jumlah jamaahnya bisa

semakin membengkak, bukan hanya berasal di sekitaran masjid

melainkan mengundang pula penduduk dari kampung-kampung

lain. Kenyataan ini membuat para imam semakin rajin bersua

dengan masyarakat yang tentu saja dalam momen-momen tertentu,

dimungkinkan terjadi interaksi hal-hal yang sifatnya duniawi atau

juga mengupas kepentingan sosial. Para imam pun mendapat tugas

tambahan sebagai sosok yang dihormati bukan hanya sebagai

imam shalat melainkan juga imam bermasyarakat.

Lambat laun, ketika sudah tidak sanggup lagi

menyelesaikan urusan-urusan keagamaan, mereka pun memilih

berkonsentrasi di bidang kemasyarakatan, dan menyerahkan

tugasnya semula kepada orang-orang lain, untuk lebih

mengefektifkan kedua peran tersebut. Atas dasar itulah, maka

kerapkali dijumpai seorang ketua yang memerintah suatu mukim

80

Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 74-76.

Page 84: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

73

dinamakan imeum mukim atau imam adat untuk membedakan

dengan imeum seumayang di dalam masjid.

Seiringan dengan dinamika peran itu, ikut pula

memunculkan fenomena baru dalam tatanan pemerintahan lokal

yang sebelumnya tidak ada. Model pemerintahan asli, yakni

gampong, melebur dalam ketatanegaraan yang diwakili oleh

mukim. Implikasinya, kepala kampung atau keuchik menjadi

bawahan seorang imeum mukim.

Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan meluasnya

lahan pemukiman, dengan sendirinya memunculkan permasalahan

baru di antara para anggota keluarga yang terkendala dalam

mengurus suatu kepentingan keluarga dan umum, salah satunya

adalah dalam hal ibadah. Timbul keinginan untuk lebih

merekatkan diri dalam ikatan kesatuan agama agar lebih

merasakan kebersamaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan

agama, seperti shalat lima waktu, melaksanakan pendidikan agama

bagi anak-anak dan sebagainya. Harapan ini terobati dengan

dibangunnya tempat ibadahnya yang bangunannya lebih kecil dari

masjid, namun tidak mengurangi fungsinya di bidang sosio-

keagamaan. Tempat ini dinamakan binasah atau meunasah.

Demikian, semakin banyaknya pemukiman, maka semakin banyak

pula dibangunnya meunasah di lorong-lorong kampung. Seorang

teungku meunasah terkadang dianggap sebagai wakil keuchik oleh

karena perannya yang tidak bisa dilepaskan dari pelayanan

kepentingan umum.81

Adat Meukuta Alam ikut pula mengatur

fenomena meluasnya wilayah Aceh dengan membangun meunasah

dan tempat pendidikan.82

Fungsi meunasah dalam bagi masyarakat Aceh memiliki

dimensi yang lebih kaya ketimbang suatu tempat untuk

sembahyang. Merujuk pada penjelasan A. Verheul, bagi orang

Aceh, meunasah merupakan perwujudan dari suatu keutamaan

dalam perjalanan hidupnya. Bertambahnya kadar keimanan,

ketentraman jiwa dan ketetapan beragama amat dipengaruhi oleh

81

Ridwan Azwad, peny, Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh

(Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 2-4. 82

Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 100-101.

Page 85: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

74

intensitas mendatangi meunasah. Bukan terbatas hanya dalam

tataran individu, pemahaman ini juga bertalian pula dengan

keluarga si muslim dan masyarakatnya. Pelbagai bentuk perayaan

Muslim, seperti perkawinan dan kematian, adalah pula

kepentingan meunasah. 83

Di beberapa belahan persada Aceh, seperti di Pasai (Pase),

meunasah mengalami perluasan makna, dari yang hanya

disandarkan pada kepentingan sosio-keagamaan menjadi lebih luas

hingga ke tataran pemerintahan. Di kenegerian ini, meunasah

dimaknai sebagai kesatuan teritorial. Daerah Pasai yang

merupakan suatu kenegerian kemudian dibagi dalam beberapa

meunasah. Di luar daerah meunasah, hanya dijumpai hutan-hutan

dan rawa-rawa yang tidak didiami manusia. Daerah-daerah tak

berpenghuni itu, merupakan daerah kerajaan Aceh Darussalam,

namun dianggap orang Pasai bukan merupakan wilayah meunasah.

Setiap orang Aceh di Pasai termasuk dalam suatu

meunasah tertentu. Oleh sebab itulah, meunasah dapat dipahami

pula sebagai model organisasi terkecil yang membentuk suatu

kenegerian. Setiap meunasah memiliki suatu penghasilan sendiri

dan ini merupakan suatu kekhasan dari pola kumpulan manusia ini.

Teritorial ini memiliki suatu lingkungan kepentingan yang dikuasai

oleh organ-organnya sendiri tanpa intervensi raja atau orang lain di

luarnya.

Pembentukan meunasah sendiri bukan hanya dilakukan di

wilayah Pasai, namun di setiap tempat yang didiami oleh

sekumpulan orang Pasai. Bagi mereka, sekalipun jauh di

perantauan, meunasah tidak bisa ditiadakan. Hanya saja perlu

adanya keterbukaan dengan tradisi lokal di mana mereka hidup

sehingga dapat meminimalisir gap tradisi yang mungkin saja bisa

terjadi.

Belakangan diketahui, sistem sosial meunasah bukanlah

lahir dan tumbuh di Pasai, melainkan merupakan bentuk

“penyempurnaan” dari model serupa yang dibawa dari Pidie dan

Meuredu. Konsep ini kemudian dibawa ke Pasai dalam suatu

83

Ridwan Azwad, Lembaga-lembaga ..., hlm. 22.

Page 86: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

75

rentangan migrasi yang lama. Di Pasai, maket kekerabatan ini

kemudian mengalami beberapa penyesuaian kemudian mulai

digunakan sebagai pengikat antarindividu dalam suatu kelompok

tradisional setempat.

Pada awalnya, keberadaan meunasah dalam suatu kampung

Aceh hanyalah berbentuk rumah bersama yang digunakan sebagai

tempat bermusyawarah dan melakukan kewajiban-kewajiban

agama. Sebagai perbandingan, di wilayah Aceh Besar, bangunan

meunasah dianggap sebagai titik pusat sebuah masyarakat hukum

yang kemudian dinamakan meunasah.

Setiap meunasah memiliki nama sendiri-sendiri. Biasanya,

pemberian nama terinspirasi dari nama sejenis pohon atau keadaan

topografis (berkaitan dengan keadaan geografis suatu tempat;

misal, atas ngarai, bawah bukit, samping hutan dan lain

sebagainya) tempat tersebut. nama itu, selain digunakan bagi

meunasah, sering digunakan pula pada suatu komunitas hukum

setempat. penetapan nama dilakukan secara bersama-sama tanpa

ada upacara-upacara khusus.84

84

Ridwan Azwad, Lembaga-lembaga ..., hlm. 23-24.

Page 87: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

76

BAB IV

UMARA DALAM MASYARAKAT ACEH

A. Pengertian Umara

Kata Umara yang digunakan dalam tesis ini, diambil dari

kata Arab yang berarti pemimpin atau dalam konteks kerajaan

biasa dikenal dengan raja. Merujuk pada Kamus Arab-Indonesia

yang disusun oleh Mahmud Yunus, Umara adalah jamak taksir

(bentuk perubahan kata yang menyatakan lebih dari dua, dan

bentuk katanya berubah menjadi tidak beraturan) dari kata amir

yang bermakna raja atau anak raja. Umara berasal dari kata amara,

yang bermakna menyuruh.85

Golongan umara memiliki otoritas serta kebijakan dalam

mengendalikan suatu sistem pemerintahan. Porsi mereka amat

besar dan paling berpengaruh, yakni sebagai pusat perintah

sekaligus tanggung jawab dari setiap kebijakan kerajaan. Antara

keputusan dan tanggung jawab yang dimiliki mereka, berada

dalam satu kepalan tangan. Jika keputusan yang diambil tepat,

maka tata kelola kerajaan beserta masyarakatnya akan mengarah

pada suatu keberaturan dan kesejahteraan, namun sebaliknya jika

keputusan yang diambil adalah salah, maka mereka beserta

rakyatnya akan menanggung beban dari suatu keadaan yang tidak

diinginkan. Baik dan buruk langkah kerajaan, amat bergantung

dengan seni seorang raja memimpin bawahannya.

Sebelum membincang perkembangan kerajaan Aceh,

agaknya perlu dikemukakan cikal bakal tumbuhnya sistem

kerajaan sebagai sistem pemerintahan di Aceh. Sistem kerajaan

model pemerintahan Aceh awalnya dikenal sejak masa yang belum

diketahui kepastiannya. Namun dalam suatu keterangan yang

dipaparkan K.F.H. Van Langen menunjukkan bahwa sejak masa

85

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia ( Jakarta: P.T. Hidakarya

Agung, tanpa tahun) hlm. 48

Page 88: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

77

Aceh didiami oleh orang Mante, leluhur dari masyarakat Aceh,

sistem pengakatan raja sudah mulai dikenal dan mengalami

perkembangan ketika beranjak ke masa kejayaan Hindu-Budha

yang dimulai sejak tahun satu masehi.86

Selain dikenal dari penemuan batu-batu nisan dan makam-

makam bertulisan di Tanoh Abee dan Reueng-reueng (di

pedalaman XII Mukim), yang merupakan beberapa temuan

arkeologis tentang keberadaan pengaruh Hindu di Aceh, di

masyarakat Aceh juga terdapat cerita mengenai Raja Hindu di

Indrapuri bernama Rawana yang kerajaannya terbentang

mencakup kerajaan Hindu yang bernama Indra Purwa yang

terdapat di Kuala Neujid atau Pancu dan Indra Patra yang berdiri

kira-kira di sekitar Lam Nga dekat Kuala Gigieng.87

Cerita tentang

Raja Rawana menandaskan bahwa di masa Hindu, masyarakat

Aceh telah mengenal sistem kerajaan yang tetap dipelihara hingga

berdirinya kerajaan Aceh Darussalam.

Sebelumnya struktur model pemerintahan Aceh masa

Hindu-Budha sedikit banyak mempunyai kemiripan dengan yang

terjadi di negeri-negeri Melayu pada umumnya. Dalam konsep

Hindu dinyatakan bahwa masyarakat harus tunduk kepada para

dewa. Dewa dianggap sebagai simbol dari suatu kekuasaan atau

pemimpin. dalam struktur masyarakat Hindu, golongan masyarakat

dibagi dalam empat kasta, yakni: Brahmana, Ksatria, Waisya dan

Sudra. golongan yang berhak menjadi pemimpin adalah kalangan

berkasta tertinggi. masyarakat Hindu mengenal konsep

kepemimpinan beraja-raja atau aristokrasi, dan dalam masyarakat

Melayu dikenal dengan nama ketemanggungan. konsep ini

kemudian diturunkan dalam banyak contoh tentang kesetiaan

rakyat atau perangkat kerajaan kepada rajanya, seperti yang

tergambar dalam cerita kepatuhan Hang Tuah pada Sultan Malaka.

Untuk membuktikan kesetiaannya, Hang Tuah sampai tega

membunuh kawan karibnya, Hang Jebat dan Hang Kesturi.

86

K.F.H. Van Langen,Susunan Kesultanan Aceh Semasa Kesultanan,

Terj. Aboe bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen Informasi

Aceh, 2012) hlm. 4 87

.F.H. Van Langen,Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 5.

Page 89: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

78

Berbeda dengan Hindu, masyarakat yang mengamalkan

ajaran Budha tidaklah mengenal kasta. status kemuliaan orang,

termasuk di kalangan penguasa, adalah kemampuannya

menunaikan ajaran Budha sembari meninggalkan segala yang

dilarang. Setidaknya ada lima larangan yang harus dihindari di

antaranya membunuh, mencuri, main perempuan, minum-

minuman keras dan alkohol. Keputusan ini ditetapkan atas mufakat

perangkat masyarakat.88

Perlu pula disampaikan bagaimana pengaruh Islam

meresap kemudian merubahan tata pola penyelenggaraan kerajaan

model Hindu. Tentu saja ini terjadi tatkala munculnya kerajaan

Islam pertama di Aceh. Dalam Seminar Sejarah Masuk dan

Berkembangnya Islam di Aceh yang diselenggarakan oleh Majelis

Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dimulai tanggal 10 sampai

dengan 16 Juli 1978 menyimpulkan bahwa Perlak, Lamuri dan

Pasai merupakan tiga kerajaan kerajaan Islam pertama di Aceh.89

Di antara ketiganya, Perlak lah yang merupakan kerajaan Islam

Aceh terawal. Dengan begitu bisa dikatakan sejak masa Perlaklah

pola pemerintahan Islam sedikit banyaknya sudah dikenal dan

diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam butir kesimpulan seminar di atas yang lain,

disebutkan pula bahwa di masa Perlak dan Pasai struktur

pemerintahan sudah teratur.90

Kegoncangan sebenarnya biasa

muncul dari perubahan penguasa di Perlak. Merupakan suatu

keniscayaan bahwa friksi atau gesekan politik lahir dari pergantian

rezim penguasa. Jika di tingkat elite, dalam hal ini di lingkungan

keluarga raja, tidak terjadi, disebabkan ayah dari Raja Perlak Islam

pertama, seorang Arab keturunan Sayid menikah dengan putri Raja

Perlak yang belum beragama Islam, kegoncangan yang lain

mungkin terjadi, hanya saja keberadaannya tidak sampai

menggoyahkan stabilitas kerajaan.

88

Suwardi, Raja Alim Raja Disembah; Eksistensi Kebudayaan Melayu

dalam Menghadapi Era Global (Pekan Baru: Alaf Riau, 2005) hlm. 42-43. 89

A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia

(t. tp: Almaarif, tanpa tahun) hlm. 12 90

A. Hasjmy, Sejarah Masuk ..., hlm. 12.

Page 90: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

79

Suwardi menyebutkan bahwa sepeninggal konsep

kepemimpinan Hindu-Budha, tradisi ketaatan rakyat kepada

rajanya memperoleh format baru tatkala langgam pemerintahan

Islam menjadi tren di kerajaan Melayu termasuk Aceh. Ajaran

Islam menyatakan bahwa Sultan adalah wakil Tuhan di dunia.

Sejak dianutnya Islam menjadi agama legal di kerajaan hingga

wilayah bawahannya, perlahan-lahan ketentuan serta hukum Islam

juga mulai digunakan sebagai hukum kerajaan. Meskipun begitu,

ajaran Islam yang digunakan sebagai hukum kerajaan diperkaya

serta mengalami pribumisasi, melebur dengan ketentuan adat

setempat. Perkawinan hukum Islam dan hukum adat inilah yang

tercermin dalam ungkapan adat bersendi syara, syara bersendikan

kitabullah. Dalam tradisi Melayu sendiri dan juga populer di

sejarah pemerintahan Aceh Darussalam, masyarakat tidak

membabi buta tunduk di hadapan raja. Tetap ada kontrol dan kritik

yang dilayangkan perangkat kerajaan maupun tokoh masyarakat

apabila sang raja lalai dalam tugasnya. Keadaan tersebut terpancar

dalam ungkapan raja alim raja disembah, raja lalim raja

disanggah.91

Kedudukan raja yang sedemikian tinggi biasanya

mendapatkan ketundukan yang besar dan luas di kalangan

rakyatnya. Kemuliaan raja berjalan bersamaan dengan karya-karya

yang kemudian diciptakannya. Namun, dalam spektrum Asia

Tenggara khususnya Melayu, keagungan dan kebesaran raja juga

membutuhkan umpan balik berbentuk ketaatan rakyatnya. Dua

elemen tersebut saling bertalian dan tidak bisa dilepaskan.

A. C. Milner mengatakan bahwa masyarakat Melayu

menganggap dirinya tidaklah hidup di bawah kuasa Tuhan,

melainkan di bawah kekuasaan raja. Tentu saja pendapat ini bukan

dilihat dari sisi keagamaan, melainkan dari sudut tata

pemerintahan. Pandangan ini merupakan warisan yang mengakar

bersumber dari tradisi India. kata “kerajaan” yang merupakan

padanan dari kata state maupun government, secara harfiah dapat

diartikan sebagai “keadaan yang mempunyai raja”. Raja diaggap

sebagai pusat dari kesetiaan sekaligus pusat bagi setiap aspek

kehidupan orang Melayu. Segala bentuk kemajuan di sektor

91

Suwardi, Raja Alim ..., hlm. 43.

Page 91: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

80

strategis, ekonomi dan militer misalnya, tidaklah banyak berarti

jika berada di luar kerajaan. raja dianggap sebagai pemegang

legitimasi sekaligus orang yang dijunjung tinggi.92

Lebih lanjut C. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa

penghormatan masyarakat Aceh terhadap raja terletak pada adat.

Dari junjungannya tersebut, adat dan ketentuan hukum Aceh

disusun dan menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Hukum adat

yang dirumuskan oleh sultan dan perangkatnya dianggap sebagai

suatu sumbangan yang besar dalam merekonstruksi hubungan

masyarakat agar tertib, teratur dan mengedepankan keadilan.

Dalem (istana) yang merupakan tempat tingga raja, dianggap

sebagi simbolisasi kekuasaan raja yang sejak masa yang lampau

ikut serta mengembangkan peradaban Aceh.93

B. Pemerintahan Kesultanan

Aceh era Sultan Iskandar Muda merupakan kerajaan Islam

yang tersohor di Nusantara, utamanya di kawasan selat Malaka dan

sekitarnya. Sebagaimana telah disebutkan di bab yang lalu,

berbagai bentuk kemajuan ditorehkan Iskandar Muda sehingga

disebut-sebut sebagai masa keemasan Aceh. Kesejahteraan yang

perlahan mampu dibangun, tidak lepas dari kemahiran dan

kecermatannya mengelola biduk kerajaan serta keberaniannya

menelurkan beragam kebijakan strategis yang dialamatkan tidak

saja bagi kalangan elit, melainkan juga masyarakat bawah.

Potret kedekatan Iskandar Muda pada masyarakat bawah

disebutkan oleh Nuruddin ar-Raniri bahwa Sultan Aceh ini amat

memperhatikan kelangsungan hidup kaum papa. Hampir setelah

melakukan ibadah shalat Jumat, Raja ini menyedekahkan sebagian

hartanya bagi kalangan miskin.94

Ini menjadi kekhasan tersendiri,

92

A.C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” dalam Ahmad

Ibrahim dkk, peny, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah(Jakarta: LP3ES,

1989) hlm. 48-49. 93

C. Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jilid II, Terj. Ng.

Singarimbun (Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985) hlm. 160. 94

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, bait 12 dan 13, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional, Tanpa Tahun) hlm. 16.

Page 92: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

81

di mana Raja berupaya mendekatkan diri pada golongan yang tidak

berpunya. kesejahteraan massa bawah, menunjukkan pada

keseriusan kerajaan membangun kubah sosial masyarakatnya yang

kuat dan bisa menaungi semua kelompok masyarakat tanpa

terkecuali.

Penetapan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh dengan visi

pembangunannya yang memukau, merupakan prestasi tersendiri

bagi sistematika uji kelayakan calon Sultan Aceh. Kepemimpinan

di Aceh ternyata tidak hanya didasarkana pada keturunan semata,

melainkan juga prinsip kepemimpinannya yang tepat dengan

semangat zaman dan yang terpenting mampu menuntaskan segala

problem kerajaan dan masyarakat. Kepemerintahan yang tertib

menjadi prasyarat menjemput segala bentuk manfaat tergelarnya

kemajuan. Memang, dalam sejarahnya, tidak semua raja dan ratu

Aceh memiliki potensi kepemimpinan sebaik Iskandar Muda.

Paling tidak dari sosok Sultan Aceh ini, gambaran seorang raja

yang luhur, mengedepankan paradigma kepemimpinan baik dan

didukung segenap pejabat kerajaan dan rakyatnya bisa didapatkan

dan ditelaah relevansinya.

Dalam tata pengangkatan Sultan Aceh Darussalam, ulama

dan orang-orang besar kerajaan memiliki wewenang menguji

kelayakan dan kecakapan calon Sultan Aceh baru. Calon Sultan

Aceh harus memenuhi persyaratan yang merupakan cerminan dari

hukum agama Islam dan adat Aceh. Dua unsur tersebut adalah

dasar yang dijadikan tempat berpijak seluruh tindakan kerajaan,

termasuk dalam pengangkatan Raja Baru. Oleh karena itu dikenal

pepatah yang menyebutkan bahwa hukum dan adat bagaikan zat

dengan sifat (lagee zat ngon sipheuet).

Adapun syarat-syarat kelayakan Sultan Aceh menurut

hukum agama adalah sebagai berikut:

1. mempunyai kecakapan untuk menjadi kepala negara

a. merdeka

b. dewasa

c. berpengetahuan (hukum dan adat), dan

d. adil

cakap mengurus negeri, hukum dan peperangan

Page 93: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

82

2. mempunyai kebijaksanaan dalam menimbang dan

melaksanakan hukum dan adat

Peristiwa penobatan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh

merupakan momentum yang tepat terjadinya. Denys Lombard

mengutip informasi dari Agustine de Beaulieu mengenai kejadian

yang menyebabkan diangkatnya Iskandar Muda menjadi raja.

Dikisahkan, pada suatu hari Iskandar Muda berselisih paham

dengan Sultan Muda atau Sultan Ali Riayatsyah, Sultan Aceh yang

memerintah pada 1604 -1607, yang menyebabkan Iskandar Muda

mencari suaka pada gubernur Pedir. Di sana, Iskandar Muda

berhasil mempengaruhi penguasa Pedir menggerakkan pasukan

Pedir menyerbu istana Aceh. Sultan Muda, yang tidak lain adalah

pamannya, sudah mengetahui kabar datangnya pasukan

pemberontak, telah lebih dulu pula menyiapkan garda pasukan

Aceh.

Pertempuran pecah, pasukan Aceh menahan serbuan

pasukan Pedir. Lama kelamaan, pasukan Aceh berhasil memukul

mundur kekuatan Pedir. Tidak lama kemudian, Iskandar Muda

berhasil diringkus dan dibawa ke istana Aceh dengan kaki dirantai

lalu dimasukkan ke istana. Di pihak lain, Portugis yang mendapat

kabar tentang perselisihan internal para penguasa Aceh,

mengambil kesempatan dengan mendaratkan pasukan di pantai

Aceh dan mengadakan penyerbuan di tengah kemelut kerajaan.

Raja Muda yang telah mengetahui kedatangan Portugis,

menimbang untuk mencari panglima yang mampu mengusir

Portugis.

Raja Muda teringat, Iskandar Muda merupakan salah satu

panglima perang terbaik kepunyaan Aceh. Segera ia membebaskan

keponakannya itu dan memeberikan gelar panglima dan memimpin

pasukan Aceh. Perang segera berkecamuk, Iskandar Muda dengan

serangkaian taktik andalannya berhasil mengusir musuh. Pada

malam harinya, suatu peristiwa menyedihkan terjadi, Sultan Aceh

berpulang. Dengan tanpa menunggu waktu lama, dinobatkanlah

Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh. Ia menganggap pamannya

Page 94: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

83

yang lain, penguasa Pedir, sebagai ancaman. dikirimlah sejumlah

pembunuh bayaran untuk membunuh pamannya itu.95

Terdapat versi lain yang dikemukakan terkait dengan latar

belakang naiknya Iskandar Muda ke tampuk tertinggi

kepemimpinan Aceh Darussalam. M. Zainuddin menceritakan

bahwa Sultan Ali Riayat Syah atau Muda Syah, Sultan Aceh,

terlibat pertengkaran serius dengan saudaranya Raja Hussain Syah,

penguasa Pidie (Pedir). Muda Syah telah berbuat culas dengan

memaksa ayahnya, Sultan Alaiddin Riayat Syah Sayidil

Mukammil, Sultan Aceh sebelumnya (1585-1604) turun tahta.

Pertikaian itu memuncak dengan perang saudara antara pasukan

Aceh dan pasukan Pidie di kaki gunung Seulawah. Saat itu Raja

Hussain dibantu oleh seorang panglima perang bernama Perkasa

Alam. Nama terakhir itulah yang kelak menjadi Sultan Iskandar

Muda.

Pertempuran dapat dimenangkan pasukan Aceh dan

berakhir dengan kematian Raja Hussain dan ditawannya Perkasa

Alam. Ditangkapnya Perkasa Alam ternyata menimbulkan masalah

baru, yakni munculnya gelora perlawanan dari para simpatisannya.

Keadaan ini sempat mengacaukan keadaan dan membuat

perekonomian mundur. Keadaan tersebut diperparah dengan

ketidakcakapan raja memberikan solusi atas masalah kelaparan

rakyat akibat gagal panen dikarenakan musim kemarau.

Kerajaan Aceh seketika jatuh dalam kemelut. Dari

kejauhan, Portugis melihat kemunduran Aceh sebagai peluang

untuk menguasai kerajaan itu. Pasukan Portugis datang

berbondong-bondong memasuki wilayah Aceh. Sultan Aceh

kemudian mengeluarkan Perkasa Alam dan menitahkannya

memimpin pasukan menghalau kedatangan musuh. Pertempuran

Aceh-Portugis pun segera berkecamuk. dalam suatu kesempatan.

Perkasa Alam berhasil mengalahkan Portugis. Wibawa kerajaan

dapat diselamatkan. Tidak lama setelah kemenangan penting itu,

95

Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda

(1607 – 1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 94.

Page 95: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

84

Sultan Aceh mangkat dan diangkatlah Perkasa Alam sebagai

Sultan Aceh.96

Peristiwa pengangkatan Iskandar Muda di atas perlu

disampaikan sebagai salah satu kasus bahwa kepala kerajaan yang

dipilih, haruslah orang yang memiliki kapabilitas menjaga dan

mengatur kerajaan. Ikut sertanya Iskandar Muda dalam konflik

antarelit penguasa Aceh hingga didapuknya dirinya menjadi Sultan

Aceh boleh saja dinilai sebagai kejadian politik semata, namun jika

melihat pengalaman serta kedudukan Iskandar Muda ditambah

keberhasilannya mengalahkan armada Portugis merupakan prestasi

yang memenuhi kelayakan seorang raja. Beberapa penyelesaian

tugas Iskandar Muda bisa dikatakan sebagai pembuktian bahwa

dirinya merupakan kandidat raja terkuat sepeninggal

pendahulunya.

Ketika seseorang telah berhasil menduduki jabatan

Raja/Sultan Aceh, kepadanya diberi tiga hak yang menyokong

penyelenggaraan pemerintahannya, yaitu:

1. mengangkat kalangan ahli hukum (ulama)

2. mengangkat orang-orang yang bijak (cerdik pandai, yaitu

orang-orang yang patut menguru negara seperti wazir, menteri

dan lain-lain, dan

3. mengangkat orang yang perkasa untuk menjaga keamanan

negeri yakni uleebalang, panglima perang dan lain-lain.

Ketiga golongan tersebut berperan penting dalam

penyelenggaraan kebijakan-kebijakan kerajaan. Mereka menjadi

tulang punggung akan teratur dan lancarnya tugas-tugas kerajaan

dalam mengurusi kepentingan masyarakat. Kesuksesan dan

konsistensi mereka amat bertalian dengan kesejahteraan kerajaan.

Di samping itu, kepada merekalah Sultan menyerahkan sebagian

perintahnya yang langsung diterjemahkan dan diberdayakan sesuai

dengan tugas dan posisi mereka.

Adapun tugas dari ketiga golongan tersebut dalam

pemerintahan Aceh adalah:

Ulama

96

H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I (Medan:

Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 403-404.

Page 96: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

85

1. menjadi penasehat Sultan dan pemerintahan dalam

permasalahan keagamaan serta memberikan edukasi ke

masyarakat akan pentingnya keteguhan iman dan

senantiasa berbuat kebajikan di jalan agama

2. menjadi kadi Sultan dalam menyelesaikan masalah-

masalah dalam negeri

3. bertugas menikahkan orang yang tidak mempunyai wali,

baik di kalangan kerajaan, maupun di pemerintahan

uleebalang dan panglima sagi.

menteri-menteri

1. menjadi penasehat dan pembimbing raja

2. memikirkan urusan tata negara

3. menjalankan suatu langkah-langkah diplomatik dan siasat,

serta mengurus pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan

dengan peraturan negeri sesuai dengan arahan Sultan.

Uleebalang

1. menjaga negeri (peutimang nanggroe)

2. menjalankan setiap perintah Sultan terkait penangkapan

orang-orang yang mengingkari keputusan hukum dan adat

3. mempersiapkan pasukan pertahanan negeri97

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kalangan

agamawan atau ulama sebenarnya berdiri di dua wilayah, di dalam

pemerintahan dan di luar pemerintahan. Pendek kata mereka

memainkan peran ganda. Tatkala tugasnya terkait pada pengurusan

masalah-masalah dalam negeri maka saat itulah ia menjadi umara,

namun ketika ia berada di tengah masyarakat maka kedudukannya

adalah sebagai ulama yang tidak terikat dengan permasalahan

kerajaan dan bertugas sebagai guru agama semata.

Dengan kata lain, ketika berada di tengah masyarakat, ia

tidaklah memberikan pengetahuan atau segala informasi mengenai

kerajaan beserta urusan yang dikelolanya. Ia hanya

mengedepankan diri sebagai pelayan masyarakat yang

membimbing ritual keagamaan. Posisi ini sebenarnya unik, karena

di antara para pejabat kerajaan pusat, ulamalah yang bisa dikatakan

paling dekat dengan masyarakat. Bisa dikatakan, pintu rumah

97

H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 333-334.

Page 97: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

86

mereka akan senantiasa terbuka menerima aduan serta keluhan

masyarakat. Ini berbeda dengan para pejabat kerajaan yang selesai

menjalankan tugasnya di kantor istana, mereka kembali ke rumah

berkumpul dengan keluarganya dan bisa disebutkan bahwa

persentuhan dengan masyarakat bawah tidaklah sesering kalangan

ulama.

Peran ulama di masyarakat juga berguna membantu

evaluasi kinerja kerajaan. Dapat dibayangkan, dalam suatu acara

rakyat di daerah, semisal pernikahan atau upacara kematian,

mereka menjadi golongan yang dipercaya menghadiri dan tidak

jarang memimpin acara tersebut, khususnya ketika acara doa

maupun ceramah. Dalam satu sesi, mereka juga mendengarkan

keluh kesah para pemimpin daerah. Mereka juga bisa mendapatkan

informasi dari murid-murid yang berasal dari masyarakat

kebanyakan tentang keadaan masyarakat. Ulama menjadi kalangan

yang dihormati sekaligus dijadikan sebagai pengayom masyarakat.

oleh sebab itu, seakan tidak ada batasan birokratis yang menyekat

ulama sebagai pemerintah tatkala di istana dengan masyarakat

yang diperintah. Batasan itu perlahan lenyap dalam suatu

pertemuan yang melibatkan tokoh masyarakat bawah.

Dalam penyelenggaraan kerajaan, Sultan Iskandar Muda

membentuk pula Mahkamah Agung sebagai salah satu alat

kelengkapan pemerintahannya yang berdasarkan pada hukum

Islam. Jabatan kadi, yang merupakan kepala mahkamah agung

memiliki tempat penting dalam struktur pemerintahan Islam.

jabatan kadi atau lengkapnya Kadi Malikul Adil bertugas

menyesuaikan hukum Islam dan adat kebiasaan. Dengan begitu,

keputusan kadi memiliki kekhasan tersendiri dan sedikit

banyaknya berbeda dengan kadi di kerajaan Islam lainnya,

utamanya di belahan dunia Islam mancanegara.

Kehadiran kadi dalam suatu persidangan amatlah

dinantikan, karena kemunculannya dianggap syarat mutlak

keabsahan mahkamah agung. Dalam perkara-perkara kejahatan

yang tidak berat, yang merupakan bentuk pidana ringan dan

termasuk dalam kategori pelanggaran menengah ke bawah, dapat

diputuskan oleh kadi atau ulama yang menjadi staf peradilan di

luar ikut sertanya anggota-anggota majelis Sultan lainnya. Namun

Page 98: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

87

jika perkaranya termasuk “hukuman besar”, dalam rangka

mendapatkan vonis yang diketahui segenap pejabat kerajaan, maka

kehadiran seluruh anggota majelis sangat diutamakan sebagai

bentuk absahnya vonis sidang.98

Kadi biasanya juga dibantu oleh

empat orang mufti yang menetapkan hukum-hukum Islam.99

Selain itu, pemimpin militer bergelar laksamana juga

diangkat mengepalai balai laksamana, yang merupakan markas

besar ketentaraan Aceh yang dibagi dalam dua divisi, darat dan

laut. menteri dirham juga diangkat mengurus masalah finansial

kerajaan. mereka semua bertanggung jawab langsung kepada

Sultan.

Terdapat badan kerajaan lainnya yakni Baitul Maal

(perbendaharaan negara) yang memiliki jawatan bawahan bernama

Balai Furdah yang bertugas memungut bea dan cukai pelabuhan.

Administrasi kerajaan juga merupakan badan inti kerajaan, yang

mengepalai lembaga ini dinamakan keureukon katibulmuluk.

Jabatan tersebut dipegang oleh dua orang, masing-masing bergelar

Sri Indrasura dan Sri Indramuda. Seluruh jabatan tersebut boleh

dikatakan sama dengan jabatan-jabatan eksekutif pada

pemerintahan zaman sekarang.

A. Hasjmy menambahkan beberapa lembaga musyawarah

kerajaan antara lain adalah Balai Rong Sari, yakni suatu majelis

permusyawaratan kerajaan beranggotakan menteri-menteri inti

yang bergelar “hulubalang empat” dan “ulama tujuh”. Ada pula

yang bernama Balai Gading yakni majelis perdana menteri yang

beranggotakan para menteri kabinet yang bergelar “hulubalang

delapan” dan “ulama tujuh”. Selanjutnya, adalah Balai Majelis

Mahkamah yang merupakan kantor mahkamah tertinggi yang

beranggotakan 10 orang fuqaha (ulama fikih atau ahli hukum) di

bawah koordinasi menteri kehakiman atau Wazir Mizan.

Aceh Darussalam juga sudah mengenal sistem

pemerintahan semi-demokrasi yakni dibuktikan dengan adanya

lembaga legislatif, penyeimbang pemerintahan raja, dan

98

K.F.H. van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh ..., hlm. 49. 99

Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Th. 1520 – 1675

(Medan: Monora, tanpa tahun) hlm. 91.

Page 99: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

88

merupakan representasi wakil rakyat. Adalah Balai Majelis

Mahkamah Rakyat, yakni semacam Dewan Perwakilan Rakyat

masa kini. lembaga ini beranggotakan 73 orang yang mewakili

mukim-mukim di daerah federasi Aceh Besar.

Selain lembaga-lembaga tersebut, Hasjmy menambahkan

terdapat lembaga-lembaga lain yang termasuk dalam jenis

“jawatan pusat” atau “balai”. Orang yang mengepalai lembaga-

lembaga tersebut digelari imam. jawatan-jawatan itu adalah:

1. Balai Malikul Islam, yakni kantor Sultan sendiri

2. Balai Qadli Malikul Adil, yakni kantor Qadli Malikul Adil

3. Balai Malikul Habib (belum jelas kegunaannya)

4. Balai Setia Hukama, mungkin tempat berkumpulnya

cerdik pandai/hukama

5. Balai Sri Suara (belum jelas kegunaannya)

6. Balai Setia Ulama, kantor tempat para ulama

bermusyawarah

7. Balai Setia Purba (belum jelas kegunaannya)

8. Balai Malikul Mahmud (tidak jelas maksudnya)

9. Balai Sri Purba Wangsa (tidak jelas kegunaannya)

10. Balai Sri Setia Salih (tidak jelas tugasnya)

11. Balai Sri Purba Setia (mungkin kantor seorang pejabat

tinggi)

12. Balai Ahli Siyasah (kantor urusan politik)

13. Balai Musafir (kantor urusan pariwisata atau perjalanan)

14. Balai Silaturahim (mungkin semacam kantor biro)

15. Balai Mufti Empat (kantor mufti empat)

16. Balai Baitul Rijal (kantor urusan kaum pria, mungkin juga

kantor urusan ketenagakerjaan)

17. Kantor Balai Baitur Rahim (kantor sekretariat masjid

istana)

18. Balai Taubah (kantor urusan grasi dari Sultan)

19. Balai Safinah (kantor urusan perkapalan atau pelayaran)

20. Balai Darul Asyikin (belum jelas maksudnya)

21. Balai Baitul Fakir Miskin (kantor urusan kesejahteraan

sosial, utamanya fakir miskin)100

100

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah (Jakarta: Beuna,

1983) hlm. 77-79

Page 100: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

89

Agustin de Beaulieu sempat mengamati sekitar istana Aceh

ketika ia diundang menemui Sultan Iskandar Muda. Ia

menyebutkan bahwa di sekitar bangunan istana terdapat beberapa

bangunan lembaga yang beberapa fungsinya sama dengan yang

dipaparkan di atas. Berikut kutipan lengkap pengamatannya:101

... mereka juga mempunyai pengadilan sendiri

dan beberapa pengelompokan dengan kapten

masing-masing, bahkan punya pangoulou cavalo

(penghulu kepala ?) atau jabatan perwira jaga

sendiri seperti halnya di luar istana.

Sistem pemerintahan kerajaan di Aceh mengalami evolusi

yang cepat tatkala kerajaan Aceh Darussalam berdiri serta

mengalami puncaknya tatkala Iskandar Muda berkuasa.102

Kuatnya

aturan pemerintahan disinyalir bersumber dari Hadih Maja, suatu

Undang-Undang yang disahkan kerajaan dan dirumuskan untuk

mengatur kehidupan orang Aceh, dari tingkatan atas hingga

bawah.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan,

Iskandar Muda dibantu oleh suatu kabinet yang terdiri dari perdana

menteri (mangkubumi) dan beberapa orang menteri (wazir).

Mahkamah agung berwenang sebagai badan pengadilan yang

paling tinggi dan terletak di Kotaraja. Sedangkan untuk urusan

administrasi kerajaan Aceh, diangkatlah dua orang sekretaris

(keureukon katibulmuluk) dengan titel Sri Indasura dan Sri

Indramuda. jabatan sekretaris biasanya turun temurun, namun

dengan syarat harus memiliki kecakapan dan dipilih dari kalangan

famili di sekretaris yang digantikan sebelumnya.

Di samping itu, Masa Iskandar Muda juga diwarnai dengan

reorganisasi pemerintahan, menjadi lebih dinamis dan mengakar

hingga ke masyarakat bawah. Sang Sultan kemudian melatih

keempat divisi pemerintahan Aceh yakni: kaum lhee reutoih, kaum

Tok Batee, kaum Imeum peuet dan kaum ja sandang. Keempat

101

Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Pracis; Dari Abad

XVI sampai dengan Abad XX, Terj. Tim Penerjemah UI (Jakarta: KPG,

2001)hlm. 65. 102

A. Hasjmy, Sejarah Masuk ..., hlm. 13.

Page 101: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

90

divisi pemerintahan tersebut dalam tugasnya berdiri kokoh di atas

aturan serta ketetapan agama (ketuhanan), relijius (kepercayaan

dan sastra (kecerdasan). Distribusi tugas dan kekuasaan membuat

pemerintahan Aceh tertib dan teratur.

K.F.H. van Langen memberikan catatan tersendiri terkait

empat kaum tersebut. terbentuknya keempat golongan itu terjadi di

kala Aceh Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan

Alaiddin al-Kahar (1530-1552). Sukee lhee reutoih (suku tiga

ratus) berasal dari orang-orang Mante-Batak, golongan Hindu

termasuk kaom imeum peuet (kaum imam empat), orang-orang

yang berdatangan dari berbagai tempat dinamakan kaom tok batee

(kaum yang mencukupi batu). Terakhir yang terbentuk adalah

kaom ja sandang (kaum penyandang). Kaom imeum peuet adalah

orang Hindu yang kemudian memeluk Islam. awalnya mereka

bermukim di Tanoh Abee, Lam Leuot, Montasiek dan Lam Nga.

Keempat kaum atau golongan ini masing-masing dipimpin oleh

panglima kaom.103

Meraka inilah yang mewarnai struktur sosial

dan pemerintahan Aceh Darussalam.

Segera setelah, Iskandar Muda menetapkan susunan adat

yang disebut Adat Meukuta Alam yang juga disebut-sebut sebagai

undang-undang kerajaan Aceh, peran serta fungsi dari panglima

mukim dihapuskan. Tugas mereka digantikan oleh teungku

meunasah yang merupakan kepala dari suatu meunasah (tempat

beribadah) serta keuchik yang membawahi suatu gampong.

Dengan begitu, saat terciptanya komponen pemerintahan

administratif yang kemudian disahkan kerajaan, yakni uleebalang,

mukim, gampong dan meunasah, sistem pemerintahan di bawah

panglima kaom tidak digunakan lagi.104

Menurut Denys Lombard, pemaknaan jabatan raja, di masa

Iskandar Muda, tidak sebatas pada pemeliharaan keserasian dan

ketertiban alam, tapi termasuk pula pada jaminan ketertiban moral

dalam masyarakat. Raja dianggap sebagai sumber segala bentuk

tata moral, sehingga suaranya ditaati oleh pejabat dan bawahannya.

Namun, seiring dengan reorganisasi tata kelola pemerintahan,

103

K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 6-8 104

H.M. Zainuddin, Singa Atjeh; Biographi Seri Sulthan Iskandar

Muda (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 100.

Page 102: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

91

peran ini kemudian diemban pula oleh para polisi atau bawahan

raja yang loyal yang menjalankan tugas yang datang dari lisan raja.

Keberadaan cap wangsa Moghul Besar dalam suatu surat cukup

menggantikan keberadaan fisik raja, terlebih dalam kepatuhan

terhadap perintah dan wewenang.105

C. Pemerintahan Daerah

Sepenuhnya disadari bahwa pusat kerajaan tidaklah mampu

mengurus seluruh keperluan negeri yang menjadi bawahan Aceh.

Pemerintah pusat membutuhkan kepanjangtanganan yang

memegang otoritas pemerintahan di setiap daerahnya. Sultan Aceh

tidak saja bertindak sebagai kepala pemerintahan melainkan juga

kepala agama. Untuk itu sektor agama di setiap daerah juga tentu

membutuhkan sosok yang dipercaya mampu mengemban amanah

ummat. Setelah dirundingkan, maka Sultan akhirnya memutuskan

membentuk pemerintahan-pemerintahan daerah atau yang lazim

disebut Mukim, yang jumlahnya sesuai dengan lingkungan masjid

yang biasa digunakan untuk ibadah shalat jumat. Dengan kata lain

satu masjid shalat jumat ditetapkan menjadi satu mukim.

Pendapat yang negatif disuarakan Denys Lombard yang

mengatakan bahwa tata pemerintahan Aceh di wilayah pedalaman

belumlah terungkap secara spesifik. Sebetulnya, Aceh Darussalam

merupakan kerajaan yang menjalankan pemerintahan model kota

dagang. Belakangan, setelah wilayah Aceh meluas ke pedalaman,

barulah kampung-kampung ditetapkan sebagai federasi. Sultan

Iskandar Muda tentu memiliki orang-orang kepercayaan yang

mengawasi ladang-ladang padi dan daerah-daerah pinggiran kota

yang luas serta para gubernur setia yang berkedudukan di wilayah

pesisir. Model pemerintahan bawahan tingkat daerah ini belumlah

dirawat dan diatur secara terstruktur.106

Uraian lain justru menerangkan pemerian organisasi

pemerintahan Aceh dengan cukup memadai. Dalam tata

pemerintahan Aceh dikenal 5 jenis tumpuk atau organisasi

105

Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 233-234. 106

Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 104.

Page 103: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

92

pemerintahan dari tingkat atas (pusat) hingga bentuk yang paling

kecil, yakni:

1. negeri (kerajaan, pusat)

2. mukim

3. gampong/kampung

4. meunasah (surau)

5. seuneubok

Negeri (nanggroe) merupakan tingkat pemerintahan daerah

yang berada persis di bawah pemerintah pusat yang dikepalai oleh

uleebalang. Uleebalang sebenarnya sama dengan hulubalang yang

keduanya berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam pemerintahan

kerajaan-kerajaan Indonesia, khususnya di tanah Melayu,

hulubalang merupakan jabatan perangkat kerajaan dalam bidang

ketentaraan. Di Aceh, uleebalang juga memiliki tugas serupa,

hanya saja mereka juga ditugasi untuk mengepalai suatu negeri.

Di daerah inti Aceh (Aceh Besar) uleebalang menerima

jabatannya langsung dari Sultan. Di wilayah luar daerah inti Aceh,

sebelum terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam, banyak wilayah

pesisir dan kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri merdeka. Di antara

mereka ada yang menggunakan gelar sultan, meurah, syahbandar

dan lain sebagainya. ketika Aceh Darussalam melebarkan

pengaruhnya dan memasukkan kerajaan kecil dan daerah yang

diperintah mandiri lainnya menjadi bawahannya, status daerah

tersebut disamakan dengan negeri atau nanggroe, dan kepala-

kepala daerah tersebut digelari uleebalang. Struktur pemerintahan

negeri itu juga disamakan dengan negeri yang terdapat di Aceh

Besar. Di Gayo dan Alas, daerah yang diperintah oleh uleebalang

disebut kejurun dan pemimpinnya disebut reje. Para reje juga

langsung menerima kekuasaan dari Sultan Aceh.

Kedudukan uleebalang umumnya dapat diwariskan turun

temurun. Mereka yang menduduki kursi uleebaang, biasanya

adalah kalangan bangsawan, dan mendapat sebutan “teuku” di

depan namanya. Panggilan terhadap seorang uleebalang adalah

“teuku ampon”. Mekipun bisa diwariskan secara turun temurun,

pengangkatan uleebalang harus mendapat persetujuan sultan,

dibuktikan dengan adanya surat pengangkatan yang disebut

sarakata. Surat tersebut dibubuhi cap kerajaan yang dinamakan

Page 104: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

93

cap sikureung (cap sembilan). Cap ini merupakan lambang

kekuasaan Sultan Aceh. Di antara uleebalang, ada yang menerima

hak-hak istimewa dan tugas-tugas khusus dari Sultan. Mereka

dinamakan uleebalang poteu.

Kekuasaan uleebalang amatlah luas. Mereka memimpin

wilayah yang terbentang lebar dan memiliki sumber daya alam dan

manusia yang melimpah. Banyak pula urusan-urusan strategis

yang tidak mampu dijangkau pemerintah kerajaan diserahkan pada

uleebalang. Urusan seperi pengelolaan hasil bumi,

perkebunan,persawahan hingga pertahanan negeri dengan

membentuk barisan pasukan di daerahnya, juga menjadi sebagian

tugas uleebalang. Oleh sebab luasya wilayah kerja uleebalang,

tidak salah kiranya jika suatu negeri menjadi potret dari

pemerintahan otonom dalam kerajaan Aceh. Uleebalang memiliki

cara tersendiri, terlepas dari intervensi pusat, dalam mengelola

wilayah kuasanya. Seringkali dijumpai,uleebalang tampil sebagai

pemimpin yang merdeka, sedangkan kuasa Sultan hanyalah

dianggap sebagai formalitas.

Uleebalang memiliki tugas utama yakni memimpin suatu

negeri, menjalankan setiap perintah Sultan yang tertulis dalam

sarakata, menjalankan instruksi sultan, adat dan hukum serta

menyediakan angkatan perang ketika dibutuhkan. Dalam tugas-

tugasnya, ia banyak dibantu oleh imam mukim (pemimpin mukim)

dan keuchik (pemimpin gampong). Uleebaang dibantu pula oleh

seorang kali (berasal dari bahasa Arab, qadhi), yakni seorang

hakim pengadilan. Dalam wilayah militer, uleebalang mengangkat

seorang panglima perang, yang memiliki ciri khas sematan “pang”

di depan namanya, sebagai gelar ia adalah seorang panglima

perang. Panglima perang ini bertugas melatih dan menyiapkan

penduduk nanggroe menjadi prajurit yang siap tatkala dbutuhkan.

Di samping itu, banyak pula pembantu uleebalang lainnya yang

membantu kerja atasannya.107

Mukim, sebagaimana yang disebutkan di atas, adalah

tingkat pemerintahan yang bergantung dengan keberadaan masjid

untuk shalat Jumat. Di masa pemerintahan Iskandar Muda, jumlah

107

Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 89 – 90.

Page 105: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

94

masjid di wilayah Aceh belumlah banyak. Dengan begitu,

penetapan pemerintahan berdasarkan keberadaan masjid dianggap

logis mengingat masjid merupakan simbolisasi tempat

berkumpulknya masyarakat. Suatu mukim dijabat oleh imam

mukim. Imam dimaknai sebagai orang yang berdiri di depan atau

kurang lebih adalah pemimpin.

Nuruddin ar-Raniri memberitakan bahwa di masa Sultan

Iskandar Muda mulai digiatkan pembangunan masjid.108

Termasuk

dalam proyek tersebut adalah pembangunan masjid Baiturrahman.

Ini menandakan bahwa pemerintahan tingkat mukim baru diinisiasi

setelah masjid-masjid tersebut terbangun dan mulai digunakan

sebagai sarana ibadah lantas kemudian digunakan pula sebagai

sarana sosial masyarakat. Adapun Pemerintahan mukim terbentuk

manakala kedua fungsi utama masjid telah berjalan dengan baik.

Dari manfaat tersebut mulai tumbuh kesadaran di kalangan

penguasa serta masyarakat akan pentingnya pengadaan

pemerintahan di wilayah luar ibukota kerajaan.

K.F.H. Van Langen menyebutkan bahwa di masa

pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di Aceh Besar baru berdiri 5

masjid, yaitu:

1. Masjid Baiturrahim terletak di Kutaraja (Dalem)

2. Masjid Baiturrahman

3. Masjid Indrapuri di Mukim XXII

4. Masjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu di Mukim

XXV

5. Ketiga buah Masjid di Ladong, Cadek dan Krueng Raya di

Mukim XXVI109

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Imam mukim

awalnya dijabat oleh orang-orang yang mengurus kepentingan

kerohanian di masjid. Lambat laun, oleh karena masjid mengalami

perluasan fungsi dari yang awalnya hanya memperhatikan masalah

agama bergeser menjadi pusat perkumpulan warga dalam

108

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 16. 109

K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche Staatbestuur

Onder het Sultanaat” (s‟Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1888) hlm. 10-12; Lihat

Juga Ridwan Azwad (peny), Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh (Banda

Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 3.

Page 106: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

95

bermufakat. Meluasnya fungsi masjid, ikut pula menambah peran

imam masjid sebagai kepala pengurus kepentingan masyarakat.

Tugas mereka akhirnya berubah menjadi kepala pemerintahan

dalam suatu mukim.110

Biasanya,masjid tersebut berdiri di tengah gampong-

gampong yang secara administratif berada di bawah mukim. Jika

tidak di tengah, paling tidak terletak di satu tempat yang paling

dekat diakses oleh penduduk dari gampong-gampong sekitarnya.

Terciptanya mukim merupakan dampak dari kuatnya pengaruh

ulama di pemerintahan Aceh. Pada awalnya, seorang yang

diangkat menjadi imum haruslah memiliki pengetahuan agama

yang luas atau di Aceh dikenal dengan sebutan malem. Namun,

sejalan dengan perkembangan zaman, setelah urusan masjid

diserahkan pada petugas khusus, imum diangkat dari kalangan

cerdik pandai dan jabatannya pun umunya bersifat turun

temurun.111

Adapun gampong atau kampung adalah pemerintahan

wilayah yang dikepalai oleh keuchik yang bertanggung jawab pada

imam mukim. wilayah suatu gampong terbentang seluas

pemukiman rakyat yang mengerjakan sembahyang lima waktu dan

pengajian tingkat anak-anak di suatu meunasah atau dayah

(pesantren). Meunasah sendiri biasanya dikepalai oleh teungku

meunasah. Awalnya teungku menasah hanya membaktikan diri

pada masalah-masalah ibadah namun belakangan ia terlibat aktif

dalam masalah sosio-keagamaan seperti pernikahan, perceraian,

waris, zakat, kematian di lingkungannya. Dalam membina

masyarakatnya, biasanya keuchik dan teungku meunasah saling

bahu membahu. Namun demikian,wewenang teungku meunasah

berada dibawah keuchik.

Gampong merupakan bentuk pemerintahan terkecil di

kerajaan Aceh. Dalam suatu gampong terdapat satu atau dua

meunasah. bangunan tersebut selain digunakan sebagai sarana

ibadah, juga merupakan tempat rapat dan seringkali dijadikan

110

K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche ...”, hlm. 10-

12; lihat juga Ridwan Azwad, Lembaga-Lembaga ..., hlm. 3 111

Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 88 – 89.

Page 107: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

96

tempat tidur pada pemuda lajang dan persinggahan atau

penginapan para musafir.112

Zakaria Ahmad menyebutkan bahwa gampong merupakan

susunan pemerintahan terbawah dari kerajaan Aceh. Gampong

dapat disamakan dengan Desa di Jawa, Dusun di Sumatera

Selatan, Huta di Batak dan Kampung di daerah-daerah Melayu

lainnya. Bagian dari sebuah kota, atau wilayah pelabuhan atau

bandar termasuk dalam kategori gampong. Mengenai proses

terbentuknya gampong, tidaklah berbeda dengan proses

terbentuknya daerah-daerah hukum terbawah di daerah-daerah

lainnya.

Serupa dengan tata pemerintahan kerajaan, gampong juga

memiliki struktur pemerintahan, meskipun bentuknya masih

sederhana. Dalam tugasnya, keuchik dibantu oleh wakilnya yang

dinamakan waki. Staf-staf yang membantu kerja keuchik lainnya

adalah teungku meunasah dan ureung tuha atau para cerdik pandai

dan tokoh masyarakat yang berpengalaman dan mengetahui seluk

beluk tradisi dan adat suatu gampong. Dalam masalah peradilan,

keuchik dan perangkatnya bertindak sebagai hakim yang memandu

jalannya sidang beserta pemberi ganjaran bagi suatu pelanggaran

atau dalam istilah Aceh disebut adat meulangga. Umumnya

mereka mempersidangkan perkara pidana yang kecil, cakupannya

hanya ditingkat gampong.113

Selain gampong, dikenal pula pemerintahan tingkat petani

yang disebut seuneubok yang dikepalai oleh peutua. Anggota

masyarakatnya terdiri dari para petani. Wewenang peutua

hanyalah mengurus masalah ekonomi dan pertanian masyarakat.

Dalam bertugas, ia bisa langsung berkoordinasi dengan para imam

mukim, uleebalang bahkan sampai Sultan serta kalangan yang

memiliki modal. Peutua sama sekali tidak berhak mengurus

kepentingan pemerintahan sekalipun di kalangan masyarakatnya.

Jika peutua berhalangan biasanya ia menunjuk seorang yang

menjadi wakilnya yang disebut seunebok peutua bibeueh.

112

Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 314-315. 113

Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 86.

Page 108: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

97

Seiring berjalannya waktu, banyak mukim-mukim baru

tumbuh. Muncul penggunaan model pemerintahan federatif yang

membawahi beberapa mukim. Federasi inilah yang dikepalai oleh

uleebalang. Seorang yang diangkat uleebalang memperoleh

sarakata, yakni semacam surat pengesahan dari Sultan Aceh.

Uleebalang diberi mandat untuk mengatur sendiri wilayahnya,

membuka perkebunan baru (seuneubok), memperluas lahan

persawahan, mengurus sektor perikanan, peternakan dan lain

sebagainya. Rakyat diberikan kebebasan membuka sawah dan

kebun. Jika suatu lahan telah menjadi sawah atau kebun, rakyat

boleh memilikinya asalkan membayar biaya raja talu (radja taloe),

semacam pajak sawah dan kebun.114

Seneubok, menurut Zakaria Ahmad, bisa berubah menjadi

gampong apabila telah memenuhi persyaratan memadai pendirian

suatu gampong. Terdapat perbedaan informasi mengenai

penjelasan terjadinya seuneubok menurut Zainuddin di atas.

Zakaria berpendapat bahwa seuneubok merupakan daerah yang

dihuni sekumpulan orang yang datang dari berbagai gampong.

Keadaan ini bisa terjadi karena gampong seringkali mengalami

ledakan penduduk, sehingga salah satu solusinya adalah membuka

wilayah baru sebagai tempat tinggal. Boleh dikatakan seuneubok

merupakan wilayah pra-gampong.115

Seuneubok sebenarnya tidak hanya dipandang sebagai

pelengkap struktur kepemerintahan Aceh, melainkan adalah simbol

dari persatuan masyarakat agraris. Sebagaimana yang sudah

dipaparkan, wilayah perkebunan serta pertanian Aceh merupakan

sumber penting bagi penghasilan kerajaan. Untuk itu, pengawasan

untuk menjaga mutu hasil kebun dan tani sudah semestinya

dilakukan. Merupakan suatu bentuk dari pengawasan, apabila

menjadikan sekumpulan petani ke dalam suatu kelompok

administratif tertentu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah

konsolidasi yang bersifat kooperatif, serta mempermudah

komunikasi antara peutua seunebok dengan pejabat yang

mengurusi masalah pertanian dan pejabat lainnya.

114

H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 315 115

Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 86.

Page 109: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

98

Selain itu, keberadaan seuneubok merupakan bentuk

layanan terpadu yang difasilitasi kerajaan bagi masyarakat petani.

Sebagaimana diketahui, sebaran lahan pertanian dan perkebunan

yang luas, seringkali membuat petaninya sedikit terasing dengan

komunitas gampongnya. Jarak menjadi pemisah ditambah dengan

akses jalan yang terkadang masih sulit di tempuh antara daerah

pemukiman dengan lokasi perkebunan. Keberadaan seuneubok

bisa pula membantu kerja keuchik dan teungku meunasah untuk

mengurus masalah-masalah sosial masyarakat yang tergabung

dalam komplek perkebunan atau pertanian yang sama. Dengan

begitu, seuneubok memaksimalkan fungsinya pula sebagai agen

pemberdayaan sosial.

Tingkatan pemerintahan Aceh mulai dari negeri smpai

gampong hanya ditemui di wilayah Aceh Besar atau Aceh Tiga

Sagi. Adapun nama Tiga Sagi baru dijumpai tatkala masa

pemerintahan Sultahan Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Kala

itu mukim-mukim seluruh Aceh Besar masuk ke dalam federasi

Tiga Sagi, yakni; Sagi XXII, Sagi XXV dan Sagi XXVI. Kesagian

dipimpin oleh Panglima Sagi yang secara administratif berada di

bawah Ratu Aceh. Adapun wilayah-wilayah takluk Aceh yang

berada di luar kawasan Aceh Besar atau Aceh Tiga Sagi, berada

langsung di bawah Sultan Aceh.116

Daerah kekuasaan Aceh amatlah luas dan memiliki

kedudukan administratif yang berbeda. Ada yang sifatnya hanya

pengakuan biasa, atau merupakan suatu bawahan yang dikenakan

pembayaran upeti tahunan. Teuku Iskandar menyebutkan bahwa

dalam surat Iskandar Muda yang dikirimkan kepada Raja James I,

Raja Inggris kala itu, menyebutkan bahwa dirinya adalah penguasa

banyak daerah dan raja yang diberkati Tuhan. Termasuk dalam

kekuasaan kerajaannya di sebelah Timur meliputi Lubuk, Pidir,

Samarlanga, Pesangan, Pasai, Perlak, Besitang, Tamiang, Deli,

Asahan, Tanjung, Panai, Batu Sawar, Perak, Pahang dan

Inderagiri. Sedangkan di sebelah Barat mencakup daerah Calang,

Daya, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida, Inderapura,

Selebar, Palembang dan Jambi menyatakan kesetiannya. Kecuali

Palembang dan Jambi, seluruh daerah yang telah disebutkan dalam

116

H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 314-316

Page 110: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

99

masa yang pendek atau panjang menjadi bawahan Aceh. Tujuan

terdepan dari politik regional Aceh ini bukan hanya sebatas

menguasai, namun ingin menciptakan Pan- Melayu.117

Dalam skema perkembangan politik, A.F.K. Organski

memasukkan periode masa dimana kerajaan menjadi tren pola

pemerintahan dalam tipe politik unifikasi primitif. Pada tahap ini,

tujuan dari para pemerintah amatlah banyak, di antaranya adalah

meningkatkan harga diri dan kekuasaan nasional, sebagian yang

lain juga turut menyisipkan agenda perkembangan ekonomi.

Meskipun begitu, fungsi utama pemerintah tetaplah satu, yakni

menciptakan persatuan nasional. Apapun masalah-masalah

kenegaraan yang dihadapi, sumbernya adalah problem unifikasi.

Hal tersebut dikarenakan suatu kerajaan biasanya berdiri di atas

negeri-negeri yang saling berbeda dan ini selalu menjadi masalah

yang membuat frustasi pemimpin kerajaan.118

Pendapatan Sultan, menurut Denys Lombard, berasal dari

dua sektor, yakni tanah dan laut. Panen hasil ternak, kebun serta

perikanan darat menjadi komoditas yang setiap hari dibawa

pedagang ke ibukota. Tugas bendahara kerajaan menyisihkan

jumlah yang diperlukan untuk pangan istana. Termasuk beras,

disisihkan untuk kemudian dibagikan kepada hamba-hamba

Sultan. Pajak tahunan juga menjadi sumber pendapatan raja.

Dikisahkan bahwa Sultan Iskandar Muda memperhatikan

pengelolaan tanah-tanah pertanian, terutama beras. Sultan Aceh

tersebut berhasil mendongkrak produktivitas beras dari yang

sebelumnya mengalami kelangkaan menjadi bahan pangan yang

melimpah ruah.

Di samping itu, pendapatan raja lainnya berasal dari

kedudukannya sebagai pewaris harta masyarakatnya yang

meninggal dan tidak memiliki anak laki-laki, dan anak gadis yang

belum menikah sewaktu ayahnya meninggal. Para gadis tak

117

Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th

19th

Century)”, makalah dibawakan dalam First International Conference of

Aceh and Indian Ocean Studies di Banda Aceh 24 – 27 Februari 2007, hlm. 17-

18. 118

A.F.K. Organski, Tahap-Tahap Perkembangan Politik, Terj.

Nooroso Kuhardjo (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985) hlm. 7.

Page 111: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

100

berorangtua lengkap banyak yang dijadikan dayang istana dan

warisannya masuk ke perbendaharaan kerajaan. Terpidana mati

atau yang menjalani masa hukuman, sesuai dengan ketentuan yang

berlaku, hartanya ada yang disita dan menjadi sumber kekayaan

kerajaan.

Pajak kapal-kapal asing yang biasanya datang ke pelabuhan

Aceh untuk berniaga masuk dalam kas istana. Sultan juga

merupakan pewaris harta dan kekayaan orang-orang asing yang

meninggal di wilayahnya dan surat wasiat mereka tidaklah berlaku.

Di samping itu, Raja juga mendapatkan penghasilan dari Hak

Tawan Karang. Hak tersebut adalah suatu kebijakan bahwa semua

kapal yang bisa diselamatkan dari kapal karam dan mencapai

pesisir pantai disita oleh kerajaan Aceh.

Agustin de Beaulieu, pelaut Prancis yang sempat

mengunjungi Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Muda

menerangkan pula bahwa hadiah merupakan bentuk penghasilan

lain yang diterima sultan. Kedudukan hadiah agaknya setara

dengan pajak dan hampir dianggap sebagai suatu kewajiban yang

harus dipenuhi. Menurutnya, bentuk hadiahnya macam-macam,

ada yang berupa cendera mata seperti senjata bernilai tinggi, batu-

batuan indah dan ada pula yang memberikan intan. Hadiah ini

dianggap sebagai biaya tambahan yang tidak bisa diremehkan

keberadaannya.119

Adakalanya, Sultan memerlukan dana khusus untuk

pengeluaran-pegeluaran istimewa. Biasanya, Sultan akan mengirim

utusan ke daerah-daerah bawahannya dengan membawa surat

perintah khusus yang isinya diantaranya mencantumkan sejumlah

biaya yang dibutuhkan.120

Penghasilan utama dari uleebalang serta panglima sagi

yang diantaranya adalah imam mukim mengandalkan pada hasil

sawah sendiri atau dari sawah-sawah Sultan yang dipinjam dan

pengerjaannya diserahkan kepada rakyat. Para buruh tani tersebut

mendapat bayaran sebesar 1/3 dari penghasilan sawah tersebut.

119

Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 96-100. 120

K.F.H. Van Langen, Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 54.

Page 112: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

101

Di samping itu, uleebalang juga mendapat bagian dari

denda serta biaya dari perkara-perkara. Rakyat diwajibkan

memberikan bantuan material ringan berupa pengadaan bambu,

atap dan sebagainya untuk rumah-rumah yang ditinggali

uleebalang atau anak-anaknya. Rakyat juga berkewajiban

memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil dari tempat tinggal

uleebalang, pembangunan pagar, mengatapi rumah hingga

membantu renovasi rumah pemimpinnya itu. Juga merupakan

kegiatan lumrah ditemui bahwa para rakyat mengambil

keuntungan dari penggarapan sawah-sawah uleebalang, sementara

sang pemimpinnya menyediakan makanan bagi mereka.

Sebenarnya, tidak ada peraturan spesifik yang mewajibkan

rakyat memberikan jasa atau pemberian lain kepada para

uleebalang mereka. Semua itu bersandar pada wibawa pribadi dan

otoritas pribadi masing-masing uleebalang.121

Terlihat, betapa rekatnya hubungan rakyat dengan

uleebalangnya. Hal yang sama sepertinya juga terbentuk dalam

lingkungan pemerintahan di tingkat gampong dan meunasah.

Bahkan, bisa dikatakan pada tingkatan inilah persentuhan

masyarakat dengan pemerintahan administratif terkecil bisa dilihat

keberadaannya. Pendapatan keuchik dan teungku meunasah juga

diperkirakan sama dengan yang didapat para uleebalang dan imam

mukim, hanya saja jumlahnya saja yang mungkin tidak sama.

Pada praktiknya, antara tugas pemerintah sebagai

administratur negeri dengan pemerintah sebagai sosok yang

memahami agama tidaklah bisa dipisahkan.

121

K.F.H. Van Langen, Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 55.

Page 113: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

102

BAB V

KERJASAMA ULAMA-UMARA DALAM MEMBENTUK

KEHIDUPAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH DARUSSALAM

A. Terbentuknya Relasi Umara-Ulama

Jika dilihat di bab sebelumnya, antara ulama dengan umara

dalam beberapa segi, terhubungkan dalam peran yang serupa.

Seorang pejabat kerajaan seperti Kadi Malikul Adil yang banyak

bertugas memimpin dan menyelenggarakan peradilan di istana

harus memiliki spesialisasi yang mumpuni dalam bidang hukum

Islam, begitu pula dengan staf pembantunya. Kadi merupakan

salah satu contoh yang mewakili peran umara. Di pihak lain,

seorang mufti kerajaan, yang berasal dari kalangan ulama, di

samping memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa, juga

dituntut mampu bersinergi dengan kebijakan raja selaku pemimpin

kerajaan. Sudah barang tentu sang mufti juga dilengkapi dengan

pengetahuan akan tata pemerintahan yang baik.

Mufti Aceh, sebagai contoh, ketika dijabat oleh Syekh

Syamsuddin as-Sumatrani, merupakan jabatan yang fleksibel

dengan keadaan. Mufti Aceh ini, disamping menjalankan perannya

sebagai mufti, juga memegang tugas-tugas lain yang penting di

istana Aceh. Lombard mengutip Hikayat Aceh yang menyebutkan

bahwa ia disebut sebagai pemimpin rohaniah masyarakat. Dia yang

membaca al-Fatihah (dalam momen-momen besar atau tertentu)

dan menerima laporan dari para peziarah yang kembali dari

Mekkah. Ia juga menjadi orang yang diserahi tugas menjamu tamu,

penjelajah atau duta yang berasal dari Eropa. Antara rentang waktu

1600 hingga 1630, dalam beberapa catatan Eropa, para tamu asing

Page 114: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

103

itu kerap menyebut jabatan as-Sumatrani dengan sebutan “uskup”

(bishop atau eveque).122

Pekerjaan menjamu tamu-tamu asing sudah tentu harus

ditunjang dengan pengetahuan manca negara dan bahasa yang

baik. Bukan tidak mungkin, orang seperti as-Sumatrani

mempunyai keahlian berbahasa asing agar pembahasan-

pembahasan mengenai perekonomian serta sekedar

membincangkan keadaan dua negara dapat berjalan dengan baik,

dan yang terpenting memberikan keuntungan dua belah pihak.

Kualifikasi ini pula kiranya yang membuat nama as-Sumatrani

begitu diperhitungkan tidak hanya sebagai ulama namun juga

dalam wilayah penting seperti ekonomi dan kebijakan

internasional.

Dengan begitu, dapat disebutkan bahwa sesungguhnya

antara ulama adan umara, tidaklah terkelompokkan secara

dikotomis, melainkan dua unsur yang dalam beberapa peran,

bersama ketika menjalankan tugasnya. Kadang – kadang, umara

pun bisa bertindak sebagai ulama, dalam kapasitas keilmuannya.

Masa di kala Iskandar Muda memimpin kerajaan,

merupakan masa-masa krusial bagi dinamika keagaamaan di

lingkungan istana, lantas menyebar ke wilayah lainnya. Sejak awal

pemerintahannya, sudah banyak nama-nama besar ulama yang

muncul, yang kedudukannya amat dihormati oleh sesama ulama,

pemerintah juga masyarakat luas. Kepopuleran mereka tidaklah

semata-mata disandarkan hanya pada posisi mereka yang dekat

dengan raja, melainkan dedikasi mereka dalam membangun

pancang-pancang kuat yang menjadi titik pijak pembangunan

aspek religio-sosial di masa-masa setelahnya.

Beberapa waktu sebelum Sultan Iskandar Muda

ditahbiskan sebagai raja, publik Aceh dan dunia Melayu telah

mengenal kebesaran sosok Hamzah Fansuri. Azyumardi Azra

menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri merupakan sosok ulama

besar yang banyak melakukan lawatan ke sejumlah negara di luar

122

Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda

(1607 – 1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 218.

Page 115: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

104

Aceh. Dikabarkan, ia pernah mengunjungi beberapa pusat-pusat

keilmuan di Timur Tengah, seperti di Mekkah, Madinah,

Yerussalem dan Baghdad. Di kota terakhir itu, Hamzah dikabarkan

masuk dalam tarekat Qadariyah. Dilaporkan pula, ia juga sempat

mengunjungi tempat-tempat lain di Pahang, Kedah dan Jawa. Di

pulau terakhir ia bahkan menyebarkan ajaran-ajarannya.

Hamzah dikenal banyak menguasai bahasa asing seperti

Arab, Persia dan besar kemungkinan Urdu. Ia merupakan penulis

produktif dalam bidang keagamaan dan beberapa bentuk

tulisannya adalah prosa-prosa yang memuat ajaran tasawuf. Oleh

karena kepakarannya dalam dunia sastra itulah ia diyakini

menempati posisi penting dalam perkembangan awal tulisan sufi di

kawasan Melayu-Indonesia serta tokoh tersohor dalam tradisi

kesusatraan Melayu.

Amirul Hadi menambahkan, sejak masa Sultan Alaiddin

Riayatsyah al-Mukammil, Hamzah menjalin hubungan yang baik

dengan penguasanya itu. Selain menjalankan perannya sebagai

pejabat tinggi keagamaan atau mungkin bergelar Syaikhul Islam.

Saat mengunjungi Aceh pada tahun 1599, John Davis

menyebutkan bahwa di kerajaan Aceh terdapat seorang pemuka

agama yang dihormati oleh rakyat serta penguasa. Saat melakukan

audiensi dengan Sultan Aceh pada September 1599, Frederick de

Houtman sempat melihat seorang syekh yang bertindak selaku

penasehatnya. Syekh ini pula yang kemudian pada Januari 1601,

membujuknya untuk masuk Islam, setelah sebelumnya Kadi gagal

melakukan hal yang sama.

James Lancaster, duta kerajaan Inggris, pada tahun 1602,

mengunjungi Aceh untuk melakukan perjanjian niaga. Di sana ia

dihadapkan pada “uskup kepala” yang di kerajaan ini dikenal

dengan gelar Syaikhul Islam. Orang yang disaksikan ketiga orang

Eropa tersebut barangkali adalah Hamzah. Jika muncul pendapat

bahwa orang itu adalah Syamsuddin as-Sumatrani, maka peluang

pendapat itu amat kecil kebenarannya. Hal ini mengingat di masa

Page 116: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

105

itu, Syamsuddin belumlah menjadi pejabat penting di istana, dan

bisa dikatakan ia masih merintis karirnya.123

Antara Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin as-Sumatrani

terlibat dalam hubungan yang tidak jelas. Kebanyakan dari para

ahli menyebut mereka bersahabat, namun yang lain berpendapat

hubungan keduanya adalah seperti guru dan murid. Akan tetapi,

yang diceritakan lebih banyak berkiprah di pemerintahan era

Sultan Iskandar Muda adalah Syamsuddin as-Sumatrani. Dialah

yang disebut-sebut sebagai chiefte bishop.124

Di bawah asuhan gurunya, Syamsuddin as-Sumatrani tentu

saja mendapat pengetahuan lain disamping pengetahuan agama,

seperti tata pemerintahan Aceh, pengetahuan geografis dunia dan

amat mungkin bahasa. Kedudukannya sebagai perwakilan atau

juru bicara Sultan tatkala menyambut para penjelajah Aceh, sedikit

banyak dipelajarinya dari mendiang gurunya. Sepertinya, Hamzah

Fansuri benar-benar mencetak Syamsuddin as-Sumatrani sebagai

penggantinya di pemerintahan Aceh.

Tidak bisa dipungkiri, ketokohan Syamsuddin di kancah

pemerintahan Aceh, membuat Sultan Iskandar Muda mendapat

partner yang sepadan, yang siap menyokong visi

pemerintahannya. Sebagian besar kemajuan intelektual dan agama

di Aceh merupakan wujud dari dedikasi tinggi Syamsuddin

melayani atau menaggapi ide-ide sang Raja. Tentu tidak semua

bentuk pembaruan berasal dari buah pikiran Iskandar Muda.

Kebedaraan kabinet pemerintahan yang telah diterangkan di bab

sebelumnya, merupakan organisasi pemerintahan yang juga

banyak menyumbangkan gagasan serta menjalankan pekerjaan

yang dititahkan oleh sang Sultan.

Yusny Saby mengungkapkan bahwa as-Sumatrani, dan

Hamzah Fansuri, juga berperan sebagai guru tarekat atau sufi bagi

Sultan. Profesi inilah yang ikut menaikkan wibawanya di

123

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2010)hlm. 76. 124

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) cet. 3, hlm. 198-200.

Page 117: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

106

lingkungan kerajaan Aceh. Hubungan antara guru rohani dan

murid dalam dunia sufi terjalin dengan amat dekat. Bahkan, sang

guru sufi kerap dianggap sebagai penuntun ke arah penyingkapan

rahasia keilahian. Perannya semakin kompleks manakala as-

Sumatrani dipercaya sebagai perwakilan Aceh menemui Sir James

Lancaster, utusan Kerajaan Inggris pada 1602. Kemungkinan

besar, kala itu Sultan Iskandar Muda belum lama naik tahta

sebagai Sultan Aceh, sehingga membutuhkan bantuan

pembimbingn menjalankan roda pemerintahan. Untuk persoalan

yang menyangkut hubungan internasional, adalah layak jika

dirinya menunjuk as-Sumatrani sebagai wakilnya. Di sisi lain,

Lancaster menaruh penghormatan yang besar kepasa sosok as-

Sumatrani.125

Amirul Hadi menambahkan bahwa kerjasama antara ulama

dan umara pada masa Iskandar Muda, sampai-sampai termaktub

dalam penerbitan sarakata. Amirul Hadi mengutip G.L. Tichelman

yang menyebutkan bahwa sarakata adalah surat kesepakatan,

jaminan, keputusan penguasa, keputusan pemerintahan, kode

(undang-undang) penyelenggara pemerintahan. Meskipun sarakata

dikeluarkan oleh Sultan, namun pada praktiknya, sebelum

dikeluarkan, umumnya juga mengadopsi masukan dari para ulama.

Setiap sarakata mungkin saja memuat isi yang saling berbeda.

Namun, kesemuanya merupakan hasil dari kerja bersama dari

Sultan, bangsawan dan ulama.126

Kepaduan bertindak antara Iskandar Muda dan Syamsuddin

as-Sumatrani inilah yang diantaranya membentuk model kerjasama

umara-ulama yang kemudian dianut pula oleh pemerintahan

tingkat daerah, dari mukim hingga gampong dikemudian hari.

Harapannya tentu saja, agar formula kesepadanan berkarya yang

dilakukan umara dan ulama di tingkat pusat dapat menular dan

semakin berkembang di seluruh wilayah Aceh.

125

Yusny Saby, “The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey”, on

Studia Islamika, Vol. 8, no. 1, 2001, hlm. 17. 126

Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeeth-

Century Aceh (Leiden: Brill, 2004) hlm. 52.

Page 118: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

107

Sebagai kerajaan yang memiliki wilayah supremasi politik

yang luas dan besar, sudah sepatutnya Sultan dan jajaran stafnya

memformulasikan suatu maket pemerintahan yang mampu

menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan mengikat keloyalan

mereka kepada rajanya. Maksud tersebut sepertinya mendasari

pembentukan tata kelola pemerintahan bawahan istana seperti

mukim, gampong, meunasah hingga seuneubok. pihak istana

berupaya mengikat ketundukan masing-masing negeri dengan

memberikan sarakata, yang berarti pula suatu simbol bahwa

wilayah tersebut, secara de facto, berada di bawah pemerintahan

Sultan Aceh, yang kedaulatannya diwakili lewat sosok Imam

Mukim.

Hal yang terjadi di lingkungan istana, terkait dengan

kesamaan fungsi dan tugas umara dan ulama, agaknya terjadi pula

di wilayah tingkat daerah. Di wilayah gampong misalnya, sebagai

potret satuan administratif pemerintahan Aceh terkecil, tugas-tugas

sosio-kemasyarakatan yang diemban oleh keuchik, juga ada pula

yang dibantu oleh teungku meunasah, tertutama ketika kegiatan

tersebut berhubungan dengan nuansa keagamaan. Kedua belah

pihak sudah saling mengetahui pembagian kerja masing-masing

sehingga kekhawatiran terjadinya kompetisi yang tidak sehat, kecil

kemungkinan terjadi.

Kerekatan hubungan umara dan ulama di Aceh, sebenarnya

terbentuk sudah sejak masa yang lama. Bisa dipastikan, dalam

bentangan sejarahnya, tumbuh dan berkembangnya suatu kerajaan

di wilayah Aceh, sejak masa Perlak, Linge hingga Aceh

Darussalam, baik itu di wilayah pedalaman hingga pesisir Aceh,

selalu melibatkan kontribusi ulama maupun sosok yang mengerti

ajaran agama Islam lainnya.

Di samping itu, persekutuan yang begitu mendarah daging

antara dua kelompok masyarakat tersebut, ditopang pula oleh

kondisi latar kehidupan rakyat Aceh yang memang disamping

teratur dalam segi sosial, namun juga tertib pula dalam

menjalankan ajaran agama. Bahkan, penghayatan agama di

keseharian masyarakat Aceh sudah bukan lagi dimaknai sebagai

keyakinan individu melainkan sudah mencapai taraf keyakinan

Page 119: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

108

kolektif. dengan bahasa lain, agama sudah benar-benar menjelma

menjadi faktor elemental penyokong kubah pergaulan hidup orang

Aceh.

Tidak berfungsinya peran pemerintah, tentu saja dapat

membahayakan stabilitas kerajaan. Jika dilihat dari kesehariannya

saja, ulama sudah amat disibukkan dengan pelbagai kegiatan

keagamaan seperti mengajar, dari tingkatan anak-anak yang

pendidikannya berjenjang, belum lagi siang atau sore harinya

mengisi kegiatan kerohanian orang dewasa atau memenuhi

undangan dari masyarakat yang memiliki hajat tertentu. Bisa

dipastikan, untuk mengurusi administrasi pemerintahan berikut

pelayanan publik lainnya, seorang ulama hampir kesulitan

mengatur waktunya untuk menutaskan tugas-tugas itu seluruhnya.

Sebaliknya, umara tidak memiliki pengetahuan agama yang luas

untuk kemudian dapat memenuhi segala macam kegiatan yang

berhubungan dengan profesi ulama. Jikapun ia mempunyai

pengetahuan agama yang dalam, kendala lainnya adalah

tersedianya waktu yang amat terbatas, mengingat dalam

kesehariannya umara banyak mengurus masalah pemerintahan dan

sosial masyarakat.

Di masa Iskandar Muda, perhatian yang besar dicurahkan

untuk memajukan syiar Islam. Bustanussalatin menyebutkan

bahwa di masa ini pembangunan masjid-masjid di seantero

pelosok Aceh mulai digalakkan.127

Ini merupakan suatu bentuk

penghargaan pemerintah terhadap kegigihan para tokoh agama

membangun kejiwaan dan moralitas masyarakat. Sultan Aceh kala

itu kelihatannya sudah merencanakan bahwa pembangunan

kerajaan bisa dikatakan berhasil tidak hanya sebatas pelebaran

wilayah serta manajemen birokrasi yang luas dan teratur,

melainkan juga akan mengarah pada upaya pembenahan kondisi

keagamaan masyarakatnya. Untuk menunjang lancarnya visi

tersebut, maka ulama sebagai pihak yang berkecimpung dalam

aktivitas tersebut sudah selayaknya difasilitasi.

127

Nuruddin ar- Raniri, Bustanussalatin, bait 12 dan 13 (microfilm)(

Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tanpa tahun) hlm. 16.

Page 120: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

109

Perhatian dari pihak kerajaan, ditanggapi pihak ulama

dengan kooperatif. Mulai sejak itu, syiar Islam semakin rata

memasuki wilayah-wilayah pedalaman Aceh, dari yang masih

minim pengaruh Islam hingga wilayah-wilayah yang masuk dalam

kategori belum memeluk Islam. Keberadaan masjid membuat

penyelenggaraan agenda-agenda dakwah Islam dapat berjalan

dengan lancar, yang berarti pula semakin meluasnya sebaran Islam

di tengah masyarakat.

Belakangan, masjid ternyata dipandang tidak mampu

mewadahi umat Islam yang jumlahnya semakin membesar.

Pendirian meunasah kemudian dimanfaatkan untuk merawat tradisi

keagamaan masyarakat dalam cakupan lingkungan yang lebih

kecil. berdirinya meunasah, selain belakangan juga dijadikan

tempat bermusyawarah, juga dijadikan wahana untuk mempelajari

ajaran Islam. Seorang teungku meunasah memiliki tanggung jawab

dalam mengajarkan ilmu-ilmu dasar Islam seperti bacaan al-

Qur‟an, fikih, tauhid serta beberapa pengetahuan dasar lainnya

kepada anak-anak kecil yang tinggal di lingkungan meunasah.

Di antara anak-anak muridnya, biasanya ada yang memiliki

keinginan tinggi untuk memahami seluk beluk seluruh ajaran

agama. Setelah menamatkan pelajarannya di meunasah, mereka

akan melanjutkan pendidikannya dengan materi yang jauh lebih

kaya di lembaga pendidikan yang disebut dayah.128

Untuk sampai

ke dayah, pengetahuan yang didapat di meunasah menjadi sesuatu

yang harus dikuasai, sehingga ketika nanti sudah di dayah tidak

harus mengulang lagi dari awal. Teungku meunasah merupakan

figur yang mengayomi dan mempunyai otoritas penuh dalam

membentuk orang Aceh sejak dini yang taat agama serta mau

berkorban demi kepentingan agamanya kelak.

Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa sejak lebih dari tiga

abad yang lalu, yakni abad 16, 17 dan 18, 3 cabang keilmuan Islam

(fiqih, usul dan tasawwuf; atau dalam istilah Aceh disebut pikah,

128

Ada pendapat yang menyebutkan bahwa penyebutan dayah berasal

dari kata bahasa Arab zawiyah. Lihat Oman Fathurrahman dkk, peny, Katalog

Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar (Depok: Penerbit Komunitas Bambu,

2010) hlm. X.

Page 121: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

110

usuy dan teusawoh), sudah menjadi mata pelajaran yang amat

populer dikaji oleh para pelajar Aceh. Biasanya mereka juga

melengkapinya dengan pengetahuan tata bahasa Arab. Dari ketiga

cabang ilmu tersebut, Hukum (fikih) menjadi pelajaran yang paling

digemari oleh karena bisa langsung dirasakan kegunaan

praktisnya. Banyak pelajar yang mencari ilmu di daerah sendiri,

namun tidak sedikit pula yang belajar hingga sampai ke Mekkah

dan Malaka.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa, oleh karena sejak abad 16

dan 17, raja-raja pesisir Aceh sudah mendulang begitu banyak

keuntungan, kemakmuran tersebut menular pula pada gairah

intelektual di Aceh. Pada rentang waktu tersebut, sudah banyak

ditemukan kitab berbahasa Melayu mengenai ajaran Islam yang

beredar di Aceh. Di antara para pengarang yang terkenal, baik

yang berhaluan mistik (tasawwuf) maupun ortodoks (hukum),

lebih banyak yang berasal dari negeri asing (luar Aceh) dan tidak

ditemukan ulama asli Aceh yang menulis kitab serupa.129

B. Kiat-Kiat Ulama-Umara Dalam Menyelesaikan Problem

Sosial

Sebagaimana telah disampaikan, kuatnya pemerintahan

Iskandar Muda adalah karena di tubuh pemerintahan Aceh terdapat

manajemen organisasi yang kuat dan sehat. Hampir setiap

komponen kerajaan berjalan dengan teratur sehingga bisa

dikatakan suhu politik dalam negeri stabil. Tentu tidaklah mungkin

terjadi, manakala kebijakan politik sang raja, yang mengusung

misi menjadikan Aceh sebagai sentra kekuatan maritim di

Sumatra, ternyata keropos di dalam. Jikapun terjadi, tentu saja

masanya tidak lama, mengingat pergolakan internal kerapkali

mengganggu stabilitas kerajaan.

Keharmonisan antara penguasa dengan ulama menjadi

kunci penting dalam merumuskan langkah-langkah strategis

129

C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid I, Terj. Ng.

Singarimbun (Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985) hlm. 21.

Page 122: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

111

mengenai pemberdayaan sosial. Yahaya bin Jusoh menyitir suatu

manuskrip berjudul Majlis Aceh atau Adat Aceh, tertulis bahwa:

Apabila raja itu hormat akan segala

pendita jadilah berdiri agama dan

apabila raja hormat akan segala menteri

menakuti oleh segala rakyat akan menteri

barang pekerjaan raja oleh menteri itu

Secara lebih spesifik Yahaya bin Jusoh menarik benang

merah bahwa rangkaian bait di atas adalah pentingnya fungsi

konsultasi di kalangan pejabat kerajaan.130

Konsultasi dicontohkan

misalnya saja terjadi tatkala sedang menghadapi suatu

persidangan, baik penguasa maupun ulama, saling memberikan

pandangan terkait putusan yang tepat dijatuhkan akan suatu

perkara. Pemerintah yang dikatakan sebagai menteri, meskipun

memiliki otoritas mengeluarkan putusan, tetap saja diharuskan

meminta pertimbangan para ulama (pendita). Suatu putusan yang

datang dari keduanya adalah menjadi putusan yang dianggap

sebagai kebijaksaaan.

Lebih jauh Yahaya bin Jusoh menegaskan bahwa

konsultasi dalam negara (kerajaan) yang berbasiskan hukum Islam

sudah menjadi suatu identitas. Pertemuan atau suatu musyawarah

untuk mencapai mufakat merupakan satu bentuk konsultasi, yang

seiring berjalannya waktu, telah menjelma menjadi adat.131

Kesalinghubungan ini berimbas pada penguatan ikatan yang

seterusnya menjadi suatu tradisi. Mufakat bagi penguasa berarti

pula adanya restu dari kalangan ulama, utamanya ulama yang

menjadi pendamping selama masa jabatannya.

Kerekatan penguasa dengan ulama dalam kepemerintahan

ditengarai sebagai faktor penting tergelarnya keharmonisan serta

kemakmuran bagi masyarakat Aceh. Namun, tujuan tersebut tentu

saja tidaklah mudah dicapai, mengingat banyak cara maupun

tindakan yang dilakukan. Agar pembahasan menjadi lebih rinci,

begikut akan disampaikan kiat apa saja yang dilakukan penguasa

130

Yahaya bin Jusoh, “Majlis Aceh (Adat Aceh)” tesis, University of

Kent , 1986 (tidak dipublikasikan) hlm. 109 – 110. 131

Yahaya bin Jusoh, “Majlis Aceh ...”, hlm. 111.

Page 123: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

112

dan ulama dalam mengupayakan kesejahteraan di tengah rakyat

Aceh:

1. Memperteguh persatuan melalui adat

Adat menjadi salah satu alat perekat sosial. Sekumpulan

manusia yang hidup bersama bisa saling merasakan dan

menghargai manakala di antara mereka sudah muncul suatu

identitas yang menunjukkan bahwa mereka adalah sama satu

dengan lain, dan di antara mereka ada sesuatu yang mengikat.

Salah satu ikatan kelompok manusia itu adalah adat.

Adat Aceh merupakan hasil dari perpaduan hukum lokal

dengan hukum Islam. Di dalam tata peraturannya, hukum Islam

tidaklah dimaknai dengan kearifan lokal. Meskipun nuansa

keilslaman begitu dominan, namun antara hukum Aceh dengan

pelaksanaan hukum Islam di belahan bumi lainnya, sedikit banyak

mempunyai perbedaan. Perbedaan ini sifatnya khas, ini

dilatarbelakangi dengan proses dialog antara ajaran Islam dengan

latar budaya masyarakat setempat.

Posisi ibukota Aceh yang berada di wilayah pesisir, ikut

mempengaruhi pola pikir masyarakat Aceh. Banyaknya orang

asing yang datang perlahan membuat mata mereka semakin

terbuka melihat betapa semaraknya bangsa-bangsa dunia dengan

beragam adat tradisinya. Lama kelamaan, semakin terbiasa orang

Aceh mengenal dan berdialog dengan para pendatang asing,

utamanya dalam urusan perdagangan. Kian akrab, pembicaraan

kian mengarah ke bidang lain seperti keluarga, tradisi dan tema

lain adalah keyakinan atau keagamaan.

Jika dibayangkan, kurang lebih, ilustrasi dialektika di atas

bisa dikatakan sebagai pintu masuk dikenalnya Islam di

lingkungan orang Aceh. Dalam lingkungan yang penuh

kekerabatan antara kaum pendatang dan pemukim itulah, perlahan

Islam dipeluk oleh masyarakat Aceh secara luas, hingga

menyentuh wilayah pedalaman. Pada akhirnya, orang Aceh pun

mengetahui, di antara para pedagang asing itulah ada kelompok

ulama, yakni sosok yang dianggap paham mengenai hukum Islam.

Page 124: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

113

Oleh karena kekurangan tenaga ahli yang mengajarkan Islam,

maka ulama-ulama dari mancanegara itupun diminta untuk

mengajari pribumi dalam mengenal agama barunya. Pada tahap

ini, ulama bukan lagi dianggap orang lain, namun sudah dianggap

sebagai pengayom masyarakat, yakni sosok yang menampung

kegelisahan batin dan sesekali masalah kehidupan seseorang.

Ulama di tengah masyarakat menjadi pemegang supremasi

utama dalam bidang agama. Kedudukannya ini mempunyai

dimensi luas, yakni membuatnya fleksibel menjelajahi segenap

ruang – ruang kehidupan manusia. Mulai dari tingkat pemerintahan

hingga tataran masyarakat bawah, ulama mampu bersinergi dengan

para tokoh yang relevan sehingga ilmu yang dimilikinya bukan

hanya diamalkan, namun juga menjadi petunjuk bagi para raja,

pejabat serta tokoh masyarakat serta rakyat luas.

Rushdi Ali Muhammad mengatakan bahwa dalam beberapa

literatur klasik, ulama dikenal dengan istilah al-ijtihad, yaitu

segolongan orang yang mempunyai keahlian atau kepakaran

sehingga dianggap pantas melakukan ijtihad, yakni upaya

maksimal dari seorang ahli fikih (fakih) dalam menyelesaikan

masalah hukum syariat yang bersifat zhanni. Orang yang

mengeluarkan ijtihad disebut mujtahid. Seorang mujtahid diyakini

mampu memberikan nasihat serta arahan guna menuntaskan

masalah – masalah yang tidak saja berdimensi agama namun juga

sosial.

Rushdi mengatakan bahwa seorang ulama yang telah

digelari mujtahid, hendaknya mampu memenuhi persyaratan

spesifik yang meliputi:

a. Menguasai al-Qur‟an dan hadis

b. Mengetahui ijma‟ (ketetapan tertentu sebagian besar

ulama) sehingga ia tidak sampai mengeluarkan fatwa yang

bertentangan dengan ijma‟.

c. Menguasai bahasa Arab sehingga memungkinkannya

menggali hukum dari al-Qur‟an dan Sunnah secara baik

dan benar

d. Menguasai ilmu Ushul Fiqih, karena melalui ilmu inilah

diketahui dasar – dasar serta metode berijtihad

Page 125: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

114

e. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh

(yang dihapusakan)

f. Mengetahui perkara seputar qiyas, mencakup persyaratan –

persyaratannya, illat – illat hukum serta metodologi

istinbath-nya dari nash

g. Memiliki pemahaman mengenai maqashid al-syar‟iyyah

dalam menetapkan hukum. Yang dimaksud dengan

maqashid al-syar‟iyyah adalah usaha menjaga

kemaslahatan manusia dengan cara mengambil manfaat

serta menolak mudharat bagi manusia.

Dengan mengutip pendapat Imam Gazali, Rushdi

meringkas ketentuan – ketentuan di atas menjadi dua, yaitu;

a. Menguasai tujuan syariat serta mampu menangkap maksud

pengerjaan hukum Islam dengan mengerahkan kemampuan

nalarnya dan dapat men-taqdim-kan atau men-ta‟khir-kan

sesuatu menurut seharusnya.

b. Bersifat adil dan jauh dari perilaku maksiat; sebab orang

yang maksiat fatwanya tidak bisa dipegang sebagai suatu

hukum

Setiap persyaratan di atas, tentu bukanlah sesuatu yang

sifatnya baku. Beberapa pendapat lain justru memberikan

persyaratan yang lebih berat atau sebaliknya. Misalnya saja

pengetahuan tentang al-Qur‟an, ada yang mencukupkan hanya

sebatas ayat – ayat hukum saja. Demikian pula halnya dengan

hadis, ada yang mengatakan cukup dengan penguasaan 500 hadis.

Namun, Ahmad bin Hanbal, dalam suatu riwayat, menyebutkan

harus menguasai 500.000 hadis.132

Seiring berjalannya waktu, ulama yang telah bersinergi

menjadi elemen vital dalam kerajaan Aceh, semakin menemukan

penguatan tatkala di masa Iskandar Muda dirumuskan suatu

perundang-undangan yang mengatur kehidupan bernegeri seluruh

Aceh Darussalam yang dinamakan Adat Meukuta Alam. Undang –

132

Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh;

Problem, Solusi dan Implementasi ( Jakarta: Logos, tanpa tahun) hlm. 75 – 76.

Page 126: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

115

undang ini merupakan suatu produk dari komposisi hukum agama

dan adat yang menjadi pembuktian bahwa antara umara dan ulama

memiliki komitmen untuk bersama membangun kerajaan yang

lebih teratur dan bermartabat.

Adat Meukuta Alam membagi empat tugas yang berkisar

pada masalah adat, agama, kanun dan pertahanan. Kanun yang bisa

diartikan sebagai majelis yang mengurus masalah sopan santun

dan perkawinan sejatinya bisa disamakan dengan adat. Sedangkan

pertahanan menyangkut masalah teknis penjagaan kerajaan atas

serangan musuh dari dalam dan luar. Dengan begitu dapat

disimpulkan bahwa unsur yang membentuk perundangan Aceh

adalah sebagian besar diambil dari produk adat dan hukum agama.

Dua sosok yang memiliki andil mengurus wilayah itu adalah raja

(umara) dengan ulama.133

Undang – undang Aceh tersebut menjadi pembuktian

tersendiri bagi ulama, bahwa kedudukan mereka masih sangat

berpengaruh dalam pemerintahan Aceh. Wawasan hukum agama

yang dimilikinya merupakan keistimewaan yang begitu dihargai di

lingkungan pemerintahan. Terlebih, Aceh menjadi kerajaan besar

berkat perkembangannya yang senantiasa disokong oleh

perekonomian di mana bangsa – bangsa asing yang menjadi

penggeraknya adalah orang Islam. Sosok – sosok asing yang

kemudian turut mewarnai pemerintahan serta kehidupan sosial

Aceh kelak, dan belakangan menjadi pribumi yang disebut orang

Aceh itu sendiri.

Menghargai dan menggunakan pengetahuan ulama sebagai

landasan merumuskan kebijakan merupakan suatu manfaat

tersendiri. Perpaduan antara simbolisasi raja dengan kebesaran

adat yang dijaga secara turun temurun dengan ulama sebagai

pemasok hukum – hukum Islam nyatanya mampu membawa

masyarakat Aceh sebagai bangsa yang besar dengan mentalitasnya.

Tentu saja, ini bisa dimaknai sebagai suatu kerjasama filosofis

merumuskan dasar kenegerian yang menjadi landasan masyarakat

Aceh di masa – masa setelahnya.

133

Zainuddin, Singa Aceh; Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda

(Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 89.

Page 127: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

116

Pada tahun 1642, Pieter Willemz melaporkan suatu kisah

mengenai proses hukum yang pernah terjadi di Aceh ketika

Sultanah Safiatuddin berkuasa. Terdapat seorang Aceh yang

divonis mati oleh Qadhi Malikul Adil dan dewan hakim lainnya

dalam kasus pembunuhan. Sang terpidana mengajukan

permohonan untuk mengganti hukuman itu dengan denda berupa

uang sebanyak 388 tahil. Permohonan itu dibawa kehadapan Sang

Sultanah. Sang Ratu tidak segera memberikan keputusan, namun ia

memeirntahkan agar perkara itu diselesaikan menurut suatu

kebiasaan yang berlaku dan hukum yang dianut.134

Potret peristiwa di atas, menunjukkan kerjasama yang

sudah matang terpelihara antara pihak kerajaan dengan dewan

kehakiman. Sang Ratu tidak lantas segera menjatuhkan

perintahnya, dengan alasan bahwa tugas itu sebenarnya adalah

bukan wewenangnya. Namun, keberadaan permohonan yang

diajukan terpidana ke hadapan Sultanah, mengindikasikan bahwa

dalam beberapa kasus qadhi juga membutuhkan arahan atau

masukan dari orang yang berpengaruh di kerajaan.

Jika dikatakan kerjasama semacam ini pernah terjadi di

masa lampau, maka, apa yang dirumuskan pemerintahan Iskandar

Muda dengan perangkat istananya ini, adalah suatu penyegaran

akan cita perundangan Aceh. Suatu satuan hukum kerajaan yang

dirumuskan sebagai alat mengatur kenegerian dan sebagai wahana

menciptakan ketertiban sosial dan kesepemahaman sosial. Sesuatu

yang kemudian membawa dampak positif pula bagi

keberlangsungan kehidupan beragam di tataran daerah luar istana.

2. Pendidikan

Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, salah

satu fungsi ulama adalah transformator ilmu pengetahuan bagi

masyarakat luas. Melalui pengajian atau temu ilmiah, baik yang

diadakan di balai pendidikan ibukota hingga dayah – dayah yang

tersebar di gampong – gampong, ulama tampil sebagai sosok

pemberi jawaban bagi kegelisahan intelektual masyarakat Aceh.

Ulama dianggap sebagai sekelompok orang yang di balik sisi

kemanusiaannya terkandung berlimpah – limpah pengetahuan

134

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 175.

Page 128: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

117

yang memang menyiapkan diri sebagai tempat bertanya sekaligus

penyebar kebijaksanaan bagi orang banyak.

Rusjdi Ali Muhammad mengatakan bahwa dalam sejarah

Aceh, ulama sebenarnya mempunyai fungsi sebagai pewarta ilmu

dan dakwah Islam, di samping fungsinya sebagai pendamping

kekuasaan atau raja. Ulama dan sultan dipandang sebagai mitra

sejajar yang bekerja memimpin dan mendidik masyarakat serta

membangun kehidupan yang adil dan makmur berbasiskan

kecerdasan tingkat berpikir masyarakatnya.135

Ulama beserta

pemerintah memandang kesejahteraan yang diwujudkan tidak

semata – mata ditunjukkan dengan perkembangan pesat ekonomi

serta stabilitas politik semata. Terciptanya kehidupan masyarakat

yang agamis dan ilmiah justru merupakan tujuan yang lebih luhur

ketimbang dua aspek itu.

Sebagaimana yang telah dipaparkan, Banda Aceh, di era

Sultan Iskandar Muda menjadi mercusuar intelektual yang dikenal

di Sumatera dan di dunia Melayu serta tidak menutup

kemungkinan di belahan Nusantara lainnya. Tidak dapat

dipungkiri, tersohornya Aceh sebagai kiblat intelektual di Asia

Tenggara mampu dicapai berkat kerja keras serta pengabdian para

ulama, yang memang membawa misi penerang bagi kegelapan

berpikir dan bernalar suatu umat. Melalui pelbagai kegiatan

intelektual, mulai dari diskusi, ceramah, debat serta penulisan kitab

merupakan sebagain cara efektif yang dikerjakan ulama berikut

para muridnya untuk membudayakan langgam belajar di tengah

kehidupan rakyat.

Erawadi menyebutkan bahwa dalam tradisi intelektual

Islam, nilai – nilai relijius sesungguhnya telah pula mempengaruhi

kehidupan istana.136

Keadaan itu disebabkan oleh semakin

rekatnya hubungan para pembesar kerajaan dengan kalangan

cerdik pandai, penasehat, mufti yang kebanyakan dari mereka

adalah ulama. Posisi mereka yang tidak tergantikan sebagai sosok

135

Rusjdi Ali, Revitalisasi …, hlm. 80. 136

Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh

Abad XVIII dan XIX (Jakarta: Departemen Agama Puslitbang Lektur

Keagamaan , 2009) hlm. 27.

Page 129: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

118

yang dituakan, dianggap sebagai pengasuh dan pemberi

ketenangan bagi raja di kala menghadapi keadaan yang serba sulit,

membuat aktivitas mereka begitu intens mengembangkan misi

mereka sendiri yakni sebagai agen penyebar ajaran Islam dan tidak

menutup kemungkinan pengetahuan lainnya, baik di dalam

maupun dilur tembok istana.

Lebih lanjut, para ulama menjadi pendamping setia Sultan

serta perangkat pemerintah lainnya, (termasuk hingga tataran

pemerintah daerah), dengan memberikan pandangan –

pandangannya terkait bagaimana mengatur masalah sosial dan

politik kerajaan. Tidak jarang, raja meminta para ulama untuk

merumuskan dan menuliskan hukum serta undang – undang yang

berlaku di kerajaan. Akibat pengabdiannya itulah, pihak kerajaan

menaruh perhatian lebih untuk memfasilitasi keperluan para ulama

dalam berdakwah di samping memang adanya keinginan luhur dari

pihak istana akan hal itu. Begitu pula halnya terhadap keadaan

pendidikan dan pengajaran di lingkungan kota hingga pedesaan.

Sebenarnya, keterkaitan ulama dan umara bukanlah terjadi

begitu saja di masa Iskandar Muda. Apa yang banyak diuraikan

sebelumnya hanyalah suatu tampilan yang sudah terbentuk sejak

masa yang lama. Dengan kata lain dapat dikatakan, kegiatan

intelektual yang diagendakan kerajaan di masa ulama terlibat di

dalamnya, sudah dilakukan dan ditumbuhkan sejak masa yang

lama.

Erawadi menambahnkan bahwa pada masa perdana

perkembangan lembaga kesultanan, tradisi dan aktivitas keilmuan

tidak hanya dilakukan oleh para ulama, tetapi juga Sultan

berkecimpung di dalamnya. Dalam kasus Aceh, contoh perihal

keterlibatan Sultan dalam dunia intelektual diceritakan oleh Ibnu

Bathutah, seorang pengembara asal Maroko yang berkunjung ke

Pasai pada 1345 dan 1346. Ia menyatakan bahwa raja negeri itu

sebagai pribadi yang saleh dan gemar berdiskusi dengan para

ulama fikih mazhab Syafi‟i. Oleh sebab itu, ia membentuk suatu

majlis khusus tempat para ulama menelaah dan mengkaji hal – hal

yang berhubungan dengan agama. Setiap Jumat, Sultan berjalan

kaki menuju masjid sebagaimana orang kebanyakan. Sepanjang

Page 130: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

119

jalan, digunakannya untuk bertatap muka dengan rakyatnya.

Setelah shalat Jumat, Sultan meneruskannya dengan membuka

pengajian hingga menjelang Ashar. Sultan juga giat mendukung

tersebarnya Islam hingga ke pedalaman Sumatera.

Di kesempatan yang lain, masih di Aceh, Ibnu Batutta

berjumpa dengan dua orang pejabat istana Pasai, yang pertama

adalah ahli fikih dari kelompok orang – orang Timur Tengah

bernama al-Qadhi al-Syarif Amir Sayyid al-Syirazi dan Taj al-Din

al-Isfahani dari Persia. Erawadi menyitir keterangan Yusuf bin

Ismail al-Nabbani dalam kitabnya Jami‟ Karamat al-Auliya,

menyatakan bahwa seorang ulama bernama al-Yafi‟i, seorang

syekh tasawwuf terkenal di Mekkah berguru pada seorang “al-

Jawi” (Melayu) yang bernama Syekh Abu Abdillah Mas‟ud bin

Abdillah al-Jawi pada sekitar abad 13 H. Informasi itu

menunjukkan bahwa di Mekkah sudah ada seorang ahli tasawwuf

asal Nusantara.

Hikayat – hikayat Melayu juga mengisahkan adanya

kegiatan intelektual di kalangan istana dan di lingkungan

masyarakat. Hikayat Raja – Raja Pasai misalnya, juga

menyebutkan adanya sejumlah pembesar negeri di masa Malik al-

Saleh yang melibatkan diri dalam dunia akademik. Di antara

mereka adalah Sayyid Ali Ghiatuddin (Tun Sri Kaya) dan Sayyid

Asmayuddin (Tun Baba Kaya). Keduanya berprofesi sebagai guru

kerajaan. Paska mangkatnya Sultan Malik al-Zhahir (putra Malik

al-Saleh) kedua anaknya yang bernama Sultan Malik al-Mahmud

dan Sultan Malik al-Manshur, menjadi murid dari dua guru istana

di atas. Sayyid Ali Ghiatuddin menjadi pengasuh dan guru Sultan

Malik al-Mahmud, sedangkan Sayyid Asmayuddin menjadi

pengasuh dan guru Sultan Malik al-Manshur. Ketika Sultan Malik

al-Mahmud didapuk menjadi Sultan Pasai, Sayyid Ghiatuddin

dipercaya sebagai perdana menteri Kerajaan Pasai, sedangkan

Sayyid Asyamuddin menjadi perdana menteri Kerajaan Samudra.

Kegiatan keilmuan di Aceh semakin menunjukkan

kemajuan tatkala memasuki abad XVI. Munculnya beberapa ulama

dan ahli tasawwuf yang menulis buah pemikirannya menjadi salah

satu indikator utamanya. Semangat keilmuan dan kecintaan akan

Page 131: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

120

tradisi kesufian membawa kemajuan pula pada aspek sastra. Syair-

syair bernuansa sufi semakin dicintai dan didendangkan di Aceh.

Di antara ulama sufi tersebut adalah bernama Hamzah Fansuri. Ia

menjadi sosok sufi Nusantara yang syair – syairnya memiliki

tingkat spiritualitas yang tinggi.137

Ia dan muridnya, Syamsuddin

as-Sumatrani menjadi sosok yang berpengaruh dalam kemajuan

intelektual di Aceh hingga menyentuh pertengahan abad 17.

Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang rajin menulis

buah pemikirannya. Di antara karya-karyanya antara lain; 1)

Syarabul Asyikin, Zinatul Muwahhidin, yang membahas masalah

tarekat, hakikat dan makrifat; 2) Asrarul Arifin Fi Bayani Ilmis

Suluk Wat Tauhid, yang mengupas masalah ilmu suluk dan tauhid;

3) al-Muntahi, yang berisi masalah-masalah Wahdatul Wujud, dan;

4) Rubai Fansuri, yakni berisi kumpulan puisi-puisi.138

Sedangkan

beberapa karya Syamsuddin as-Sumatrani antara lain; Miratul

Mukminin (cermin perbandingan bagi orang mukmin), Jauharul

Haqaaiq (permata kebenaran), Risalatul Baijin Mulahadhatil

Muwahhidin „alal Mulhidi fi Zikrillah (Tinjauan para ahli Tauhid

tentang orang-orang yang menyesatkan Allah), Kitabul Harakah

(mungkin tentang ilmu bahasan), Nurul Daqaaiq (cahaya yang

murni) dan lain sebagainya.139

Perbincangan mengenai ilmu sepertinya menjadi topik

yang cukup mengesankan di lingkungan masyarakat Aceh. Kitab –

kitab yang belakangan ditulis ulama Aceh, menunjukkan bahwa

kebebasan intelektual telah tercipta meskipun dengan keadaan

yang bisa dikatakan tidak boleh berseberangan dengan kepentingan

kerajaan. Menjadi suatu hal yang lumrah jika karir seorang ulama

di istana amat berhubungan dengan bagaimana ia bergaul dengan

kalangan istana. Jika mereka pandai mencairkan suasana dan

menunjukkan keterbukaan serta pribadi yang santun, maka mereka

akan mendapat tempat dalam pergaulan istana.

Satu contoh menarik dari hal tersebut adalah tergambar

dalam kisah hidup serta dedikasi Nuruddin ar-Raniri dalam

137

Erawadi, Tradisi dan Wacana …, hlm. 29. 138

Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 196 – 197. 139

Untuk lebih lengkapnya mengenai karya as-Sumatrani lihat Hasjmy,

Kebudayaan Aceh ..., hlm. 198.

Page 132: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

121

memadukan antara hasrat intelektual yang tetap berpijak pada

realitas politik di mana ia hidup. Sebagaimana telah disinggung di

bagian sebelumnya, Nuruddin ar-Raniri merupakan ulama yang

kontra dengan paham Wujudiyah yang sebelumnya disebarkan

oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Saat ia

menjabat sebagai penasehat kerajaan, menggantikan Syamsuddin

as-Sumatrani, ternyata, ia menunjukkan ketidaksetujuan akan

paham Wujudiyah dengan jalan menulis suatu kitab.

Nuruddin ar-Raniri merupakan salah satu ulama kaliber

internasional yang berkarir di Aceh. Setelah menamatkan

pendidikan dasarnya di Ranir, ia melanjutkan pendidikannya ke

Hadramaut, Yaman. Namun, pendapat lain mengatakan ia

langsung pergi ke Haramain, untuk melanjutkan studinya sekaligus

menunaikan ibadah haji. Sangat mungkin di sana ia sempat

berkenalan dan bergaul dengan jamaah haji Jawi sebelum kembali

ke Gujarat. Salah satu guru yang paling terkenal dari ar-Raniri,

bernama Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban at-Tarimi al-

Hadrami(w. 1656). Ba Syaiban inilah yang menurunkan dan

mengajarkan amalan tarekat Rifaiyah kepada ar-Raniri.140

Hermansyah melakukan penelisikan terkait kitab Tibyan fi

Ma‟rifat al-Adyan yang merupakan salah satu karya Nuruddin ar-

Raniri. Kitab ini ditulis untuk memenuhi permintaan Sultanan

Safiatuddin Tajul Alam Syah untuk memperkuat fatwa Nuruddin

ar-Raniri mengenai kesesatan penganut Wujudiyah, yang

dikeluarkannya sejak era Sultan Iskandar Thani. Naskah ini ditulis

untuk menjembatani kelompok – kelompok yang saling bertikai

mengenai paham keagamaan di Aceh. Dalam naskah ini

disebutkan pula kesetujuan Nuruddin atas kepemimpinan seorang

ratu di Aceh. Mungkin, yang terakhir merupakan bentuk terima

kasih atau semacamnya, sebagai penghormatan pada ratu yang

memeberikan kepercayaannya pada dirinya.141

140

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abd XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 205. 141

Hermansyah, “Naskah Tibyan fi Ma‟rifat al- Adyan: Interpretasi

Aliran Sesat di Aceh Menurut Nuruddin ar – Raniri” dalam Jumantara, edisi 01,

Vol. 5 Tahun 2014. hlm. 45.

Page 133: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

122

Meskipun pada masa itu Aceh disibukkan dengan silang

sengkarut paham keagamaan, Nuruddin ar-Raniri agaknya masih

tetap menjaga martabatnya sebagai seorang ulama Aceh yang

bijak. Memang dalam beberapa redaksi dikatakan bahwa gesekan

antara penganut Wujudiyah dengan mereka yang tidak

menghendaki keberadaan paham ini cukup memanas, namun ar-

Raniri dapat tampil dengan solusi yang di masa itu menginspirasi

lahirnya kebijakan kerajaan. Ar-Raniri menampilkan sisinya

sebagai sosok penyokong kebijakan kerajaan di tengah pertikaian

antargolongan di Aceh.

Jika melihat dari aktivitas ar-Raniri di atas, menunjukkan

bahwa tradisi kepengarangan sudah menemukan bentuknya yang

modern di masanya. Ar – Raniri tampil bukan hanya sebagai sosok

yang rajin memberikan nasihat serta pendapat di istana, melainkan

juga masih mendawamkan aktivitas kepengarangannya. Suatu

kegiatan yang memang sudah dimulai sejak masa sebelumnya.

Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, merupakan dua

tokoh yang paling dikenal dan bukan tidak mungkin Nuruddin ar-

Raniri mendapatkan inspirasi dari aktivitas dua seniornya itu,

utamanya mengenai bagaimana ia membangun komunikasi efektif

dengan pemerintah Aceh. Tradisi kepengarangan di Aceh era ar-

Raniri, bisa dikatakan merupakan masa lanjutan dari apa yang

dimulai oleh dua pendahulunya.

Ar-Raniri juga merupakan ulama yang mendedikasikan

aktivitasnya dalam dunia kepenulisan. Banyak di antara fatwa

maupun buah pemikirannya yang dituangkan dalam catatan-

catatan. beberapa dari karyanya antara lain; ash-Shiratal Mustaqim

(tentang fiqih), Busthanussalatin fi Zikril Awwalin wal Akhirin

(tentang sejarah dan akhlak), Darul Faraid Bisyahril Aqaid

(tentang tauhid dan filsafat), Akhbarul Akhirah fi Ahwali Yaumal

Qiyamah (tentang hari kiamat dan akhirat), Maul Hayati fi Ahlil

Mamati, Umdatul I‟tiqad, dan lain sebagainya.142

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Ulama yang

bertempat di luar istana, mulai dari tataran mukim hingga

gampong, dikenal sebagai pamong rakyat. Bahkan, teungku

meunasah pun dipercaya sebagai jabatan yang dihormati dan

142

Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 201.

Page 134: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

123

memiliki legitimasi dalam memutuskan suatu perkara.

Pendapatnya bisa memperkuat suatu mufakat, atau juga

membatalkannya, jika menurut hematnya bertentangan dengan

ketentuan adat dan agama, sekaligus memperhitungkan baik dan

buruk implikasi yang kemudian diciptakan.

Ulama melengkapi tugas yang diemban keuchik, imam

mukim hinga tingkat uleebalang. Oleh karena itu, seorang ulama

dituntut memahami serta selalu siap memberikan solusi ketika

pemimpin dan masyarakatnya ditimpa suatu masalah yang berat.

Keakraban antara ulama, umara serta masyarakat tidak begitu saja

tercipta, jika di antara ketiganya tidak ada suatu sinergi yang kuat.

Mereka harus masuk dalam lingkaran saling membutuhkan dan

menggantungkan agar roda kehidupan sosial dapat terus berjalan

dengan baik.

Satu tugas awal yang harus dilakukan agar seorang ulama

mampu berperan banyak hingga mencapai kedudukan yang

berpengaruh, adalah seberapa lihai ia menjalin komunikasi dengan

kedua perangkat sosial lainnya, yakni pemerintah dan rakyat.

Komunikasi di sini jangan dipersempit dengan persepsi bahwa

ulama harus terkesan menghamba pada pemerintah dan melakukan

segala cara agar pandangannya di terima rakyat, termasuk dengan

sogokan atau langkah teror misalnya, melainkan harus diartikan

dalam wilayah yang lebih luas. Komunikasi yang dijalin oleh

ulama luar pemerintahan bisa di mulai dari kedekatannya dengan

umat.

Masjid serta meunasah merupakan areal di mana ulama

memiliki andil besar. Berduyun – duyun masyarakat melakukan

ibadah wajib lima waktu, serta berbagai aktivitas sosial lainnya,

membuat rumah ibadah serasa menjadi rumah kedua yang harus

ada dalam lingkungan masyarakat Aceh, meskipun hanya sebesar

meunasah. Orang Aceh merasa dirinya memiliki ketergantungan

dengan ulama oleh kerana di sini ulama mampu menjelma menjadi

pelindung serta orang yang dituakan sekaligus dituruti nasihatnya.

Hal itu tentu saja tidak terlepas dari keseharian ulama yang

memang harus berinteraksi dengan umatnya.

Masjid Baiturrahman, yang menjadi simbol kebesaran

kesultanan Aceh Darussalam, dikatakan M. Dien Majid sebagai

Page 135: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

124

salah satu universitas besar di Banda Aceh. Ketika masa Sultan

Iskandar Muda, masjid ini dipenuhi oleh ulama dan pelajar dari

banyak negeri Muslim seperti dari India, Turki, Arab dan Persia.

Mereka senantiasa terlibat dalam diskusi hangat mengenai pelbagai

topik dari beragam disiplin ilmu.143

Amirul Hadi mengutip pada catatan seorang pengembara

Eropa bernama John Davis yang mengunjungi Aceh Darussalam

selama dua tahun (1599 – 1601) menyebutkan bahwa di Aceh

Darussalam sudah ditemukan anak – anak yang belajar di banyak

sekolah di sekitar kerajaan. Meskipun catatan ini sedikit, paling

tidak dapat diketahui bahwa kegiatan belajar mengajar sudah

banyak dikenal oleh masyarakat Aceh.144

Belum dapat diketahui

benar bagaimana format pembelajaran, kurikulum serta metode

pembelajaran Aceh Darussalam. Sepertinya, masalah ini masih

perlu banyak diungkap ke depannya. Khususnya mengenai

lembaga pendidikan di tingkat daerah atau luar tembok istana.

Hikayat Aceh yang disunting oleh Teuku Iskandar

memberikan sedikit informasi mengenai pendidikan di Aceh

menjelang awal abad 17. Diceritakan bahwa seorang kerabat

kerajaan bernama Pancagah - yang tidak lain adalah panggilan

Iskandar Muda semasa belia -, cucu Sultan Aceh yang bernama

Syah Alam, diajar oleh seorang ulama bernama Fakih Raja Indera

Purba. Ia mengaji di halaman istana, di bangunan balai angkat –

angkatan (rangkang ?) bertiang gading beratapkan emas permata.

Oleh sebab keberhasilan sang ulama mengajar cucu raja, maka ia

dinobatkan menjadi Kadi Malikul Adil kerajaan Aceh.145

Jika

benar bahwa tempat belajar model rangkang sudah dikenal di masa

itu, maka dapat dipastikan bahwa model pengajaran rangkang

sudahlah ada di masa Iskandar Muda naik tahta. Di masa sekarang

pun, masih dapat dijumpai tempat belajar agama di rangkang yang

berada di bagian depan suatu dayah atau pesantren di Aceh.

143

M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2013) hlm. 118; lihat juga A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam

Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983) hlm. 194. 144

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 159. 145

T. Iskandar, De Hikajat Atjeh ( „S-Gravenhage: Martinus Nijhoff,

1958) hlm. 149 – 150.

Page 136: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

125

Ulama di Aceh jangan diartikan sebagai sosok yang

berdiam di menara gading, dengan hanya mengharapkan sedekah

dan penghormatan dari masyarakat sekitar. Mereka justru dikenal

sebagai pribadi yang ramah, yang tidak segan menegur serta

menjadi teman pembicaraan yang membangun lawan bicaranya.

Hubungan antara seorang teungku meunasah dengan para

muridnya, biasanya akan meluas kearah hubungan dengan orang

tuanya, saudara – saudara si murid yang kebetulan berdiam di

kampung yang sama hingga meluas ke tetangga – tetangga orang

tua si murid dan seterusnya.146

Muhammad AR menjelaskan bahwa di Aceh, antara guru

dan murid memiliki hubungan yang khusus yang bisa bertalian

pula pada hubungan dengan orang tua si murid. Dalam suatu dayah

misalnya, tempat di mana seorang anak menuntut ilmu, maka

orang tua si anak pun dalam momen tertentu akan berjumpa

dengan guru dayah tersebut. Kedatangan mereka selain menjenguk

anaknya, juga tidak jarang mereka ingin berkonsultasi dengan sang

guru mengenai masalah yang sedang dihadapi. Orang tua maupun

masyarakat memang sengaja datang ke kediaman ulama dayah

untuk menanyakan masalah perkawinan, talak, rujuk, persoalan

halal dan haram yang biasanya dilakukan pada waktu – waktu

tertentu seperti musim libur belajar, bulan puasa serta waktu –

waktu yang disesuaikan dengan para penanya. Tentu saja hal ini

dilakukan tatkala sang guru selesai menjalankan tugas utamanya

sebagai pendidik serta pengajar santri-santrinya.147

Uraian di atas merupakan suatu ikatan tradisional yang

telah begitu kuat dijaga oleh masyarakat Aceh. Tentu saja, suatu

tradisi tidaklah terjadi begitu saja tanpa mengalami proses

pembentukan yang panjang. Boleh jadi, apa yang sudah menjadi

tradisi di Aceh tersebut mengalami penguatan pada abad 17, di

masa Iskandar Muda memimpin Aceh Darussalam. Nuansa Islam

146

Ilustrasi ini diambil dari hasil penelitian yang menyatakan ada

akulturasi nilai – nilai persaudaraan dari dayah Aceh ke masyarakat sekitarnya.

Lihat Muhammad A.R, Akulturasi Nilai – Nilai Persaudaraan Islam Model

Dayah Aceh (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Kementerian Agama, 2010)

hlm. 141. 147

Muhammad AR, Nilai – nilai ..., hlm. 141.

Page 137: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

126

telah sedemikian tersebar dan menguat menjadi adat sejalan

dengan kebijakan penguasa mendirikan masjid – masjid148

serta

menghidupkan fungsi ulama sebagai sosok yang berperan

membantu kinerja pemerintahan, mulai dari pusat hingga daerah.

Konsep mengenai dayah memiliki kemiripan dengan

pesantren yang ada di Jawa. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan

bahwa terdapat lima elemen yang menyokong keberadaan

pesantren yakni: pondok, masjid, pengajaran kitab Islam klasik,

santri dan kyai.149

Unsur-unsur demikian terdapat pula dalam

suatu dayah, meskipun dengan beberapa elemen mengalami

perbedaan nama. Misalnya, sebutan kyai di Aceh tidak dikenal,

diganti dengan sebutan teungku. Sebutan mureb (murid) lebih

populer dibanding santri.

Contoh dari geliat tumbuhnya lembaga pendidikan di

tengah masyarakat Acah adalah tercermin dari kisah pendirian

Dayah Tanoh Abee, Seulimum. Sekitar paruh kedua abad 17, ini

masih dikategorikan masa ketika Sultan Iskandar Muda baru

beberapa tahun akan atau bahkan sudah turun tahta, Dayah Tanoh

Abee didirikan oleh seorang anak Syekh Fayrus al-Baghdadi,

bernama Syekh Nayan.150

Dua saudara Syekh Nayan lainnya

mendirikan dayah di wilayah Seulimum lainnya yakni di Klut dan

Leupung Ngoum. Satu saudaranya lagi mendirikan dayah di

Lampucuk, Inderapuri.

Syeikh Nayan sendiri merupakan sosok ulama keturunan

yang gemar menuntut ilmu pada ulama Aceh lainnya. Ia

merupakan salah satu murid dari Syeikh Baba Daud, seorang

ulama yang juga berasal dari mancanegara, yakni Turki. Syekh

Baba Daud bernama asli Daud bin Ismail Rumi dan lebih dikenal

dengan nama kesehariannya yakni Teungku Chik di Leupeu.

148

Ridwan Azwad, peny, Lembaga – Lembaga Tradisional di Aceh

(Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 3. 149

Zamakhsyari Dhofier, TradisiPesantren; Studi Pandangan Hidup

Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011)

hlm. 79 – 99. 150

Syekh Nayan adalah salah satu murid Syekh Abdurrauf Singkel.

Lebih lanjut lihat Fakhriari, “Tradisi Intelektual Aceh Di Dayah Tanoh Abee

dan Dayah Ruhul Fata”, dalam al-Qalam, Vol. 20, No. 2, Desember 2014, hlm.

180.

Page 138: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

127

Syeikh Baba Daud juga diceritakan pernah menimba ilmu

mengenai Terekat Syattariyah pada Syekh Abdurrauf bin Ali al-

Jawi al-Fansuri. Dayah ini mengalami masa keemasan ketika

dipimpin oleh Teungku Tanoh Abee atau Syekh Abdul Wahab.

Kala itu dayah ini menampilkan diri sebagai skriptorium, yakni

tempat pengumpulan dan penyalinan manuskrip – manuskrip

berbahasa Arab, Arab-Melayu (Jawi) dan Aceh.151

Tentu saja masa

keemasan yang dituai Syekh Abdul Wahab merupakan puncak dari

kerja keras dari para pendahulunya menguatkan sendi-sendi

dakwah Islam melalui pendidikan.

Syekh Fayrus al-Baghdadi (pendatang dari Persia)

Syekh Nayan Anak ke II

Anak ke III (pend. dayah di Seulimun)

(pendiri Dayah Tanoh Abee)

(pend. dayah di Indrapuri)

Jejaring kekerabatan dayah Tanoh Abee

(Sumber: Oman Fathurrahman: 2010, x-xi)

Oman Fathurrahman menyebut bahwa Syekh Baba Daud

merupakan salah seorang yang murid dari Syekh Abdurrauf

Singkel. Panggilan Baba, biasanya disematkan pada syekh atau

ahli yang mendalami pengetahuan mistik di Turki dan India.

Namanya terdapat dalam kolofon kitab Tarjuman al-Mustafid yang

ditulis oleh sang guru. Di dalam kolofon kitab itu, Baba menyebut

dirinya sebagai “murid yang paling miskin dan pelayan yang

paling sederhana bagi dia (Syekh Abdurrauf Singkel). Memang

tidak mudah untuk melacak keberadaan pemukiman Turki pada

abad ke 17, namun dengan adanya Baba Dawud, maka menambah

informasi mengenai adanya ulama Turki yang ikut

151

Oman Fahurrahman, Katalog Naskah ..., hlm. x-xi.

Page 139: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

128

mengembangkan dan menyemarakkan intelektualitas Aceh

Darussalam.152

3. Penguatan bidang strategis

Hal lain, yang bisa dilakukan oleh para ulama dan umara

dalam membentuk masyarakat Aceh yang sejahtera, adalah dengan

memberdayakan masyarakat itu sendiri. Dalam beberapa kasus

yang ditemukan, di samping pendidikan, di mana pengajaran ilmu

keagamaan menjadi kegiatan utamanya, ulama dan pemerintah

Aceh juga gencar melakukan pembangunan sektoral di bidang –

bidang lain, khususnya mengenai masalah – masalah strategis,

seperti ekonomi dan pertahanan.

Salah satu informasi yang menarik mengenai hal tersebut

adalah ditemukan dalam aktivitas keberadaan orang Turki di Aceh.

Turki Usmani merupakan kerajaan Muslim kuat yang sempat

menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan Aceh Darussalam

sejak awal abad 16.153

Selain melakukan kontak internasional di

bidang modernisasi persenjataan, tenyata, jejak – jejak pengaruh

Turki juga terlihat di kehidupan sosial masyarakat Aceh. Pengaruh

ini memang tidak bisa dikatakan adalah jiplakan dari Turki, namun

merupakan wujud dari keragaman budaya yang memperkaya

budaya dan tradisi Aceh.

Baiquni Hasbi mengungkapkan bahwa salah satu pengaruh

Turki yang melekat dalam tradisi Aceh adalah terlihat di bidang

pakaian. Banyak penduduk Aceh hingga menyentuh abad modern

menggunakan ikat pinggang di mana di sisi kiri atau kanan

diselipkan senjata. Selain itu di kalangan wanita Aceh dikenal

pakaian model rok lebar yang pada masa ketika hubungan Turki

dan Aceh sedang menguat, yakni abad 16 dan 17, merupakan tren

di Turki. Yang paling mencolok, tentu saja adalah penggunaan

kopiah merah tinggi yang disebut sebagai kopiah fez, yang amat

152

Oman Fathurrahman, “New Textual Evidence for Intellectual and

Religious Connections between the Ottomans and Aceh” dalam A.C.S. Peacock

and Annabel Teh Gallop, ed, From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks and

Southeast Asia (Oxford: Oxford University Press, 2015) hlm. 308-309. 153

Baiquni Hasbi, Relasi Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan

Turki Usmani (Banda Aceh: LSAMA, 2014) hlm. 49.

Page 140: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

129

identik dengan kopiah yang ada di Turki. Masih sulit memang

menyebutkan apakah itu semua pengaruh dari Turki secara

langsung, mengingat budaya Aceh juga terbentuk dari beragam

tradisi lainnya, seperti India dan Persia.154

Di wilayah Banda Aceh terdapat suatu kampung yang

bernama kampung Bitay. Kampung ini dahulunya dikenal sebagai

tempat pemukiman orang – orang Turki, di mana di dalamnya juga

dibangun suatu tempat pendidikan militer yang bernama Bayt al-

Askari Muqaddas. Keseharian kampung ini juga dihidupkan

dengan aktivitas pendudukanya menempa alat – alat militer

termasuk rencong. Suatu zawiyah (tempat kaum sufi) juga

dikatakan pernah didirikan di sini dan tempat ini cukup terkenal di

masanya. Besar kemungkinan, kampung ini didiami orang Turki

sejak pertengahan abad 16. Masa di mana banyak tenaga

diperbantukan dari Turki didatangkan ke Aceh untuk mereformasi

persenjataan dan ketentaraan Aceh.

Sebenarnya, dalam suatu kampung seperti Bitay, di mana

tempat latihan militer dalam hal ini pusat aktivitas manusia

berdampingan dengan zawiyah merupakan suatu yang lumrah.

Selain diajari seni dan metode berperang, besar kemungkinan

orang Turki juga mengajarkan tentang pengetahuan agama,

khususnya mengenai jihad melawan bangsa asing Kristen yang

dikatakan bukan hanya musuh Aceh tapi juga musuh Tuhan. Fikih

jihad menjadi asupan tambahan yang penting diketahui oleh para

prajurit dan perwira Aceh yang menyebutkan bahwa mereka bukan

hanya berperang membela negerinya melainkan memperjuangkan

agar agama Islam dapat terus tegak dan menyebar luas.

Pengetahuan semacam ini besar kemungkinan dimasukkan dalam

kurikulum pendidikan militer di Aceh kala itu.

Nama Bitay begitu dikenal dalam sejarah Aceh, karena di

sana dimakamkan seorang ulama yang dikenal dengan panggilan

Teungku di Bitai. M. Zainuddin mengungkapkan bahwa ulama ini

sempat menjadi guru Perkasa Alam (Sultan Iskandar Muda) ketika

masih kecil. Secara berkala ia dan teman sebayanya datang ke

154

Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan ..., hlm. 109.

Page 141: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

130

Bitai untuk mendalami agama. Teungku di Bitai dikenal sebagai

sarjana Islam yang ahli ilmu falak dan ilmu firasat.155

Meskipun Teungku di Bitay mengajar seorang anak raja, ia

bukanlah ulama yang aktivitas politiknya setenar Hamzah Fansuri

atau Syamsuddin as-Sumatrani. Oleh sebab itu, ia lebih tepat jika

dikategorikan sebagai ulama luar istana. Di literatur-literatur

penting sejarah Aceh, seperti Adat Aceh, Bustanussalatin dan

Sulalatussalatin, namanya tidak disebut – sebut mengemban

jabatan penting dalam kepemerintahan Aceh Darussalam.

Pengajian yang diasuh oleh Teungku di Bitay ini tidak menutup

kemungkinan adalah satu potret lembaga pendidikan di era

Iskandar Muda.

Belum diketahui secara lengkap mengenai aktivitas

kampung Bitay semasa Sultan Iskandar Muda. Namun, bisa

disebutkan bahwa banyak prajurit senior maupun perwira Aceh

yang ikut dalam peperangan melawan Portugis semasa Iskandar

Muda di antaranya adalah alumni dari sekolah – sekolah militer

yang diasuh oleh guru – guru militer Turki. Di antara para guru

perang dari Turki sudah tentu ada yang memiliki pengetahuan

agama yang mendalam, sehingga ia ditunjuk oleh kaumnya untuk

memberikan pengajaran agama bagi pribumi Aceh di sela – sela

latihan militer.

Dalam surat balasannya kepada Sultan Alaiddin Riayatsyah

al-Kahhar, Sultan Salim II, Raja Turki menyebutkan sebagai

berikut:

Kalian harus melakukan yang terbaik dalam

segala persoalan menyangkut agama dan

negara kita; dengan berusaha merebut benteng

– benteng kaum yang tidak beriman dan

menghapuskan intimidasi terhadap kaum

Muslimin, dengan bantuan Allah kalian harus

membersihkan daerah tersebut dari noda –

noda kekafiran. Dengan demikian kaum Muslim

155

H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 25.

Page 142: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

131

di wilayah itu dapat hidup tenang dan damai di

bawah daulat kita.156

Dari petikan surat di atas, Sultan Salim II mengharapkan

agar ahli militer yang dikirimkan dari Turki tidak saja mengemban

misi mengajarkan pengetahuan perang pada pasukan Aceh,

melainkan lebih dari itu yakni membebaskan Muslim tertindas dan

menjaga kondisi keagamaan di daerah setempat. Para ahli militer

yang disediakan pun sudah barang tentu adalah pilihan. Mereka

tidak saja dituntut mampu mengajarkan cara perang a la Turki

dengan baik, namun juga bagaimana bersikap sebagai pasukan

Muslim yang kuat, jiwa maupun raganya. Untuk masalah

memperteguh kejiwaan prajurit Aceh, guru – guru perang yang

juga pandai memberikan pengetahuan agama dan akhlak sudah

tentu tersedia di antara para guru Turki lainnya.

Potret dari keberadaan sosok ulama dalam kelompok guru

– guru perang Turki di atas merupakan satu kasus di mana ulama

dan umara memiliki tanggung jawab besar dalam membangun

kejiwaan masyarakat Aceh, khususnya mereka yang tergabung

dalam barisan tentara Aceh. Ulama dan umara tampil bukan hanya

sebagai kalangan elite yang hanya bisa mempekerjakan prajurit di

medan perang, tapi juga menanamkan ajaran luhur dalam jiwanya

tentang bagaimana menjadi prajurit yang siap membela negara dan

agama. Jika raja, laksamana serta perwira pandai mengobarkan

semangat perang melalui seruannya, maka ulama menjadi sosok

penyeru bahwa apa yang dilakukan pasukan Aceh dalam

menumpas kekuatan asing, semata – mata adalah ibadah dan

jikalau ia mati maka matinya adakah syahid dan tidak ada balasan

lain dari Allah kecuali surga. Bukan tidak mungkin apa yang

diserukan ulama Aceh di masa perang melawan Portugis, adalah

bentuk awal dari semangat jihad Aceh yang begitu ditakuti hingga

menyentuh permulaan abad 20, ketika orang Aceh berhadapan

dengan tentara Belanda.

Ilustrasi mengenai eratnya hubungan orang Aceh dengan

bangsa Turki juga ditunjukkan oleh pengkisahan Francois Martin

yang mengunjungi Aceh pada 1604. Angka tahun tersebut

156

Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan ..., hlm. 150.

Page 143: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

132

menunjukkan tiga tahun sebelum Iskandar Muda diangkat menjadi

Sultan Aceh. Martin melihat, orang Turki tinggal dalam suatu

koloni di Aceh. Mereka membeli lada dari penduduk Aceh. Satu di

antara mereka bahkan menawarkan kepada Martin untuk membeli

lada mereka. Besar kemungkinan hubungan ini masih terus terjadi

di masa – masa setelahnya. Belum jelas benar, di manakah letak

koloni Turki yang dimaksud Martin. Gampong Bitay, menjadi

indikasi kuat mengingat di kampung ini banyak ditemukan makam

– makam orang – orang Turki yang berdiam sebelum Iskandar

Muda ditabalkan sebagai Sultan Aceh.157

Ibrahim Alfian menyebutkan bahwa, sejak masa Sultan

Iskandar Muda yang giat melawan kedudukan Portugis di Malaka,

wacana mengenai Perang di Jalan Allah (war in the path of Allah)

sudah dikumandangkan. Ungkapan tersebut bahkan terdapat dalam

seuatu hikayat158

yang ditulis sekitar abad 17, yakni Hikayat

Malem Dagang, yakni:159

Why are you afraid of going to war againts the Jews (sic!)

Such a war originally was from the Prophet

Why are you afraid of going to war in the way of Allah

Our Master Ali is in command

Today the King (Iskandar Muda) is waging war

Malem Dagang has been appointed as commander

157

Ismail Hakki Goksoy, “Hubungan Turki Usmani – Aceh yang

Terekam dalam Sumber – Sumber Turki”, dalam R. Michael Feener dkk, ed,

Memetakan Masa Lalu Aceh (Jakarta: KITLV, 2011) Hlm. 79. 158

Ada perbedaan yang signifikan antara hikayat di Aceh dengan di

kawasan Melayu lainnya. Hikayat Aceh biasanya berbentuk puisi, sedangkan

hikayat di Melayu berbentuk ceita prosa. Lebih lanjut lihat G.W.J. Drewes, ed,

Hikajat Potjut Muhamat (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979) hlm. 3. 159

Teuku Ibrahim Alfian, “Aceh and The Holy War (Prang Sabil)”

dalam Anthony Reid, ed, Verandah of Violance; The Background to the Aceh

Problem (Singapore: NUS Press, 2006) hlm. 11.

Page 144: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

133

C. Skema piramida terbalik interaksi umara, ulama dan

masyarakat

Umara, ulama dan masyarakat merupakan tiga elemen

yang membentuk konstruksi sosial Aceh Darussalam. Baik

sebelum dan sesudah era Iskandar Muda, ketiganya sudah terlibat

dalam jalin jemalin yang harmonis. Pemerintah memposisikan diri

sebagi pelindung kedua elemen tersebut. Ulama bertanggung

jawab memberikan arahan atau masukan agar pemerintahan

berjalan dengan baik. Masyarakat, sebagi objek dari relasi kedua

elemen tersebut, menjadi objek dari beragam produk

menyejahterakan yang dikeluarkan kerajaan.

Baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah,

agaknya memiliki pola yang hampir sama terkait bagaimana

membentuk tatanan yang teratur dan makmur. Istana, sebagai pusat

legitimasi Aceh yang melahirkan beragam kebijakan

pengembangan daerah, turut pula bekerjasama dengan para

pemimpin daerah. Keberadaan masjid yang imamnya kemudian

diangkat menjadi imam mukim merupakan fenomena khas di mana

aktivitas agama mampu bertransformasi menjadi aktivitas sosial.

Demikian halnya dengan yang terjadi di gampong. Keuchik

sebagai pemimpin gampong membutuhkan nasihat dan arahan dari

teungku meunasah untuk mendapatkan keputusan paripurna dalam

menghadapi suatu perkara.

Masyarakat Aceh pun dikenal sebagai entitas yang berada

di taraf dewasa dalam beragama. Merujuk pada penjelasan

Mohammad Said, masyarakat Aceh, sekitar abad 17, sudah mampu

menganalisa beberapa perbedaan pandangan di kalangan ulama.

Pertanyaan yang menyulitkan Nuruddin ar-Raniri dari para

mahasiswa Aceh kala pertama ia menjadi guru di salah satu

lembaga pendidikan di sana, menjadi salah satu buktinya.

Keterbatasannya memberikan penjelasan yang memuaskan inilah

yang menyebabkan dirinya bertolak ke Makkah untuk

memperdalam ilmunya, hingga sampai masanya ia kembali ke

Aceh.160

160

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid I (Medan: Waspada,

1981) hlm. 252

Page 145: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

134

Masyarakat

Ulama Umara

Pengetahuan agama yang cukup memadai diterima

masyrakat merupakan imbas dari kesejahteraan yang terjamin.

Anak – anak yang rajin menuntut ilmu di lembaga – lembaga

pendidikan menunjukkan bahwa sudah ada pembagian peran

secara umum dalam keluarga Aceh. Paling tidak dapat dikatakan

bahwa pemuda – pemuda Aceh sudah sadar bahwa menuntut ilmu

sebagai bekal hidup merupakan kewajiban. Meskipun mereka akan

sampai pada saat di mana harus memilih apakah akan meneruskan

diri sebagai ulama atau profesi lainnya, mereka telah mengetahui

hukum – hukum pokok Islam.

Gambaran zawiyah Bitay di mana penduduk Aceh tidak

hanya diajarkan seni berperang namun juga pelajaran Islam

menjadi contoh betapa sudah ada semacam pendidikan ketentaraan

Islam terpadu, di mana mereka yang belajar perang harus pula

mengikuti materi – materi keislaman, salah satunya mungkin

adalah fikih jihad. Loyalitas serta totalitas perang pasukan Aceh

yang mentradisi hingga menyentuh perang melawan kolonial

Belanda beberapa abad setelahnya, merupakan bukti bahwa

profesionalisme beriringan dengan pemahaman agama yang

memadai.

Aceh Darussalam abad 17 disemaraki dengan kerjasama

rekat antara agamawan dengan penguasa. Masyarakat, sebagai

tujuan dari kerjasama itu, juga merespon dengan ketaatan pada raja

serta kesungguhan melaksanakan perintahnya. Dari situ, maka

akan didapati suatu skema seperti di bawah ini:

Skema Piramida Terbalik

Page 146: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

135

Skema tersebut diberi nama skema piramida terbalik

mengingat bentuknya sepeti segita terbalik. Keterlibatan ulama

dalam pemerintahan Aceh, baik di tingkat pusat maupun daerah,

pada umumnya membawa dampak positif di kalangan masyrakat

Aceh. Hal ini dari keterlibatan ketiga unsur di atas. Panah – panah

di atas menunjukkan relasi di antara ketiganya. Ulama

berkolaborasi dengan raja dan perangkat kerajaan untuk bersama –

sama mengusahakan kesejahteraan di tataran rakyat. Di samping

itu, baik ulama maupun umara memiliki cara tersendiri dalam

membangun masyarakat. Misalnya saja, ulama bertindak sebagai

agen pencerah di bidang pendidikan serta pemimpin relijius

masyarakat, sedangkan pemerintah bertindak melalui kebijakan –

kebijakan yang tidak saja bermanfaat membangun masyarakat,

namun juga menghidupkan kerajaan. Meskipun keduanya

mempunyai cara masing – masing dalam perencanaan maupun

tindakannya.

Sebelum masa Iskandar Muda, di kalangan pemerintahan

istana Aceh sudah dikenal nasehat-nasehat yang memberitahukan

kedudukan penting ulama di sisi raja. Adalah Bukhari Jauhari161

,

dalam kitabnya Tajussalatin, dalam pasal ke 17, menyeru pada

raja-raja agar jangan melalaikan aktivitas para ahli ilmu dan ahli

beramal (berbuat kebajikan) dan agar senantiasa mengikuti kata

mereka.162

Nasehat ini sepertinya masih diingat dan dilakukan oleh

sebagian raja-raja Aceh sampai kepada Sultan Iskandar Muda.

161

Belum ada jawaban yang pasti mengenai siapa sebenarnya Bukhari

Jauhari, R. O. Winstedt menyatakan bahwa ia adalah ahli perhiasan (mutiara)

dari Persia. Kitab ini bukanlah ditulis di Melayu, melainkan di Persia. Kitab ini

sampai di Melayu melalui sumber India, oleh karena pada abad 17 hubungan

Melayu dan Persia terputus. Berbeda dengan Teuku Iskandar yang menyebutkan

bahwa kitab ini ditulis di Melayu dan menggunakan bahasa Melayu oleh

seorang yang berkebangsaan Persia. Nama penulisnya, Bukhari al-Jauhari

bukanlah merujuk pada ahli permata, melainkan lebih dekat dengan sebutan

Bukhari al-Johori (orang Bukhara dari kerajaan Johor. Lihat Saleh Partaonan

Daulay, Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari (Sebuah Kajian Filologi dan

Refleksi Filosofis) (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan

Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011) hlm. 25 – 26. 162

Bukhari al-Jauhari, Tajussalatin, hlm. 99. naskah berbahasa Arab

Melayu versi Dewan Bahasa Malaysia, diunduh dari www.sabrizain.org pada

Minggu 29 Maret 2015, pukul 21. 25.

Page 147: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

136

Keterlibatan Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan

Nuruddin ar-Raniri di istana Aceh menjadi bukti bahwa sultan dan

perangkatnya membutuhkan arahan dari para ulama.

Sebagai informasi, kitab Tajussalatin, ditulis Bukhari

Jauhari pada sekitar tahun 1603, sebagai persembahan kepada

Sultan Aceh kala itu, Sultan Alaiddin Riayat Syah yang memimpin

Aceh Darussalam sejak 1589 hingga 1604.163

Dari kitab ini didapat

gambaran betapa penghormatan akan ulama merupakan sesuatu

yang sudah menjadi tradisi di lingkungan istana Aceh. Bukan

hanya menghormati, para sultan maupun perangkat istana Aceh

telah terbiasa mendengarkan dan menjadikan nasehat ulama

sebagai bahan renungan guna merumuskan suatu kebijakan.

Dalam terminologi sosiologi, antara umara, ulama dan

masyarakat Aceh terlibat dalam hubungan yang dikatakan sebagai

interaksi sosial. Soerjono Soekanto mengakatan bahwa interaksi

sosial sebagai stimulasi dan tanggapan antar manusia, atau

hubungan timbal balik antara pihak – pihak tertentu.164

Relasi

sosial mendasari keterjalinan seorang manusia dengan manusia

lainnya. Keragaman peran dan ketidakmampuan manusia

melakukan seluruh hal membuat dirinya perlu mendapatkan orang

lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Interaksi antara umara dan ulama sebenarnya telah

teranyam secara kuat dibuktikan dengan kontribusi keduanya

dalam pembangunan Aceh. Di istana Aceh, ulama begitu

dimulyakan, hingga hampir jabatan – jabatan penting distana,

sebagaimana banyak diterangkan dalam bab sebelumnya, dijabat

oleh kalangan cerdik pandai atau orang yang mengerti akan

masalah agama. Dari sosok ulama kerajaan seperti Hamzah

Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri, dapat

ditarik benang merah mengenai begitu khususnya hubungan ulama

dengan penguasa. Kencangnya laju gerak intelektualitas di Aceh,

163

Saleh Partaonan, Tajussalatin ..., hlm. 4; lihat juga Denys Lombard,

KerajaanAceh di Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1632) (Jakarta: Balai

Pustaka, 1991) hlm. 201; V. I. Barginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal;

Sejarah Sastra Melayu Abad 7 – 19 (Jakarta: INIS, 1998) hlm. 322. 164

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: CV Rajawali, 1985)

hlm. 245.

Page 148: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

137

di mana ulama menjadi katalisatornya, pun didukung penuh oleh

penguasa.

Besar kemungkinan, kedekatan Iskandar Muda dengan

kalangan ulama, di masa mudanya, menjadi inspirasi, betapa

kehadiran orang – orang berilmu ini sangat penting dalam istana

Aceh. Syamsuddin as-Sumatrani dan Teungku di Bitay menjadi

dua guru Iskandar Muda yang berpengaruh dalam kehidupannya

kelak. Syamsuddin as-Sumatrani belakangan menjadi orang

berpengaruh di lingkungan istana, mendampingi Sultan Iskandar

Muda. Begitu pula dengan kampung Bitay, yang dikenal sebagai

tempat mukim orang Turki, menjadi besar dan dikenal luas karena

keberadaan zawiyah dan tempat menuntut ilmu di mana Teungku

di Bitay mengajar. Di sana, pusat pendidikan militer berada. Besar

kemungkinan Iskandar Muda banyak mendapat imajinasi

kebesaran Aceh kelak ketika berguru di Bitay. Sembari mengaji,

tentu ia melihat bagaimana kebesaran pasukan Aceh dibangun.

Intensitas kedatangannya ke Bitay, perlahan membentuk hasrat

kebesaran Aceh yang diusahakannya kelak ketika menjadi raja.165

Mukim dan gampong sebagai sentra perkumpulan

masyarakat, juga tidak lepas dari relasi umara dan ulama. Bisa

dikatakan keberadaan keuchik dan teungku meunasah ibarat ayah

dan ibu bagi sebuah gampong. Keuchik bertugas memimpin

administrasi pemerintahan, teungku meunsah bertindak sebagai

imam shalat, serta mengajar al-Qur‟an dan ilmu Islam lainnya.

Dalam suatu persidangan atau musyawarah, keuchik tampil sebagai

pemeberi putusan dan teungku meunasah bertindak sebagai

penasehat, yang tugasnya antara lain seperti memberikan

pertimbangan berdasarkan wawasan keagamaan akan suatu

keputusan. Kerjasama keuchik dan teungku meunasah merupakan

cerminan diberlakukannya hukum adat dan agama dalam

kepemimpinan Aceh.

165

Menurut sumber lisan, dikatakan bahwa bukan hanya Sultan Iskandar

Muda saja yang pernah berguru di kampung Bitay, melainkan juga Sultan Deli

dan Raja Daya. Banyak pula ulama dari Persia dan Palestina yang pernah belajar

di sana. Lihat http://atjehpost.co/m/read/60/Riwayat-Kampung-Turki-di-Aceh,

diunduh pada pukul 09.08, 13 Februari 2015.

Page 149: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

138

Tuha peut atau ureung tuha yang biasanya terdiri dari

empat orang, bertindak selaku DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Biasanya tuha peut terdiri dari pemuda yang belum menikah,

orang kaya, orang pandai dan ahli agama. Mereka yang duduk

dalam dewan tuha peut memiliki pengalaman dan berpengetahuan

luas mengenai kepemerintahan gampong berikut serba – serbi

keadaannya serta memahami hukum adat.166

Kualifikasi

pengetahuan agama dalam kepengurusan tuha peut menjadi unsur

yang juga tidak boleh tertinggal.

Keberadaan ulama sebagai pemandu jalannya pemerintahan

di Aceh, nyatanya belum bisa dikatakan berjalan secara sempurna.

Dalam beberapa segi masih terdapat ketidakhadiran mereka dalam

menyuarakan persamaan hak dan kewajiban rakyat yang setara.

Hal ini tercermin tatkala Sultan Iskandar Muda melakukan

penyerangan terhadap wilayah-wilayah tertentu, beberapa di

Semenanjung Melayu misalnya, setelahnya terdapat suatu

fenomena yang begitu membuat rakyat negeri musuh menderita,

yakni ancaman perbudakan.

Di masa ini, banyak orangkaya-orangkaya yang memiliki

budak, dan banyak diantara mereka adalah rakyat dari negeri

taklukan. Dalam Bustanussalatin, padahal sosok Iskandar Muda

dilukiskan sebagai sosok yang egaliter dan dekat dengan fakir

miskin, namun pada kenyataannya ia tidak bisa menghapuskan

perbudakan. Fakta ini didapatkan dari catatan para pelancong asing

menyebutkan perbudakan adalah dampak dari suatu peperangan

Aceh. Begitu pula dengan kelompok ulama Aceh, belum

ditemukan bukti-bukti terpercaya tentang pembelaan hak-hak

rakyat taklukan, di mana pemulihan status terjadi dan integrasi ke

dalam rakyat Aceh berjalan dengan baik. Pada titik ini, kelompok

ulama Aceh absen dalam menyuarakan suatu pandangan tentang

penghargaan atas rakyat negeri terjajah.167

166

Septi Satriani, “Dinamika Sejarah Gampong dan kampung di Aceh”,

artikel ini didapatkan dari perpustakaan LIPI, Hlm. 57. 167

Ingrid Saroda Mitrasing, “The Age of Aceh; The Evolution of

Kingship 1599-1641”, (disertasi), Universitas Leiden, belum diterbitkan, 2011.

hlm. 234-235.

Page 150: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

139

Masyarakat, sebagai tujuan dari pelayanan pemerintah serta

penyerap ilmu serta gagasan ulama, memberikan reaksi dengan

kepatuhannya kepada ulama dan umara-nya. Tradisi penghormatan

kepada ulama serta pemerintah, sebagaimana yang ditemukan di

Aceh, tidak dapat dimaknai dalam konteks seremonial semata, di

mana yang dibawah harus menghormati yang di atas saja. Lebih

dari itu, pihak kerajaan serta ulama menyadari, bahwa loyalitas

serta kepatuhan rakyat tentu amat berhubungan dengan bagaimana

pemerintahnya bersinergi dengan mereka. Jaminan keamanan serta

kesejahteraan dari sektor perniagaan merupakan dua faktor kunci,

mengapa rakyat begitu patuh pada kelas penguasa (the ruling

class). Hal ini pula yang kemudian mengkristal dalam suatu

ungkapan Melayu, raja alim raja disembah, raja zalim raja

disanggah.

Page 151: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

140

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tesis ini dapat disimpulkan dalam empat poin, antara lain:

Pertama, hubungan yang tercipta dari kerjasama antara

umara dan ulama dalam membangun etalase sosial di Aceh bisa

dikatakan harmonis dan kooperatif. Masing – masing pihak

sejatinya mempunyai strategi tersendiri mengenai bagaimana

menyejahterakan masyarakat. Pada umumnya ulama menggunakan

kepandaiannya dalam ilmu agama sebagai modalitas untuk bisa

berkontribusi menghidupkan intelektualitas yang berujung pada

peningkatan pemahaman keagamaan masyarakat. Umara

mengeluarkan regulasi di bidang politi, ekonomi, pertahanan dan

lain – lain untuk mengupayakan ketenraman dan menjamin

kelangsungan hidup warganya. Namun, seringkali di bidang sosio-

keagamaan, ulama terlibat hubungan serius dengan umara guna

menelurkan gagasan serta aksi memecahkan masalah – masalah

sosial di Aceh.

Kedua, Masyarakat Aceh begitu menghargai kedudukan

umara dan ulama. Bagi mereka, sosok umara merupakan pusat

kekuasaan, yang dalam doktrin kepemimpinan Islam – Melayu

merupakan bayangan Allah di bumi (zillullah fil ardhi). Menaati

pemimpin tidak ubahnya menaati Tuhan. Hukum – hukum yang

dikeluarkan kerajaan, yang saripatinya banyak didapatkan dari adat

dan ajaran agama, haruslah mereka taati, karena hukum kenegerian

dianggap penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.

Pemimpin yang mereka harapkan tentu saja haruslah

memperhatikan kelangsungan hidup mereka, sebagaimana terekam

dalam pepatah raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.

Ulama, menjadi kelompok elit yang juga begitu diagungkan

Page 152: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

141

masyarakat Aceh. Mereka tidak ubahnya sebagai penyambung

ajaran Nabi Muhammad SAW yang risalahnya berasal dari Tuhan.

Untaian kata serta uraian mereka, di mana pertimbangan agama

menjadi dasarnya, dianggap penting dalam mufakat. Fatwa-fatwa

mereka kerap dijadikan pegangan dalam menelurkan suatu

kebijakan. Dalam hal lain, mereka juga memiliki posisi sangat vital

sebagai pemimpin upacara seremonial keagamaan, seperti

kematian, pernikahan, serta acara doa bersama. Di kerajaan serta di

lembaga kepemimpinan bawahannya, mereka dikenal sebagai

golongan yang kerap memainkan fungsi sebagai penasehat raja,

imam mukim, serta keuchik.

Ketiga, banyak dari kebijakan – kebijakan Kerajaan Aceh

Darussalam yang dikeluarkan berdasarkan fatwa para ulama.

Kebijakan mengenai pendirian masjid – masjid serta

menghidupkan aktivitas sosial seperti pendidikan dan musyawarah

warga merupakan beberapa kebijakan masa Iskandar Muda yang

ikut pula didukung oleh ulama. Perumusan Adat Meukuta Alam,

sebagai dasar undang – undang kenegerian Aceh pun tidak lepas

dari peran ulama. Dalam perumusan peraturan kenegerian tersebut,

ulama mampu bersinergi dengan pemerintah dan kalangan cerdik

pandai yang memahami tentang adat Aceh, sehingga ajaran agama

mampu dikawinkan dengan peraturan adat sebagai muatan undang-

undang. Pendirian lembaga – lembaga pendidikan di dalam dan di

luar tembok istana juga diinisiasi oleh kalangan ulama.

Keempat, umara menampilkan diri sebagai pengayom

masyarakat. Ketaatan serta kepatuhan yang didapat dari

masyarakat, beriringan dengan upaya mereka membangun

masyarakat mereka sendiri. Wilayah perdagangan dan perkebunan

menjadi sektor strategis yang difasilitasi kerajaan agar masyarakat

dapat menuai penghidupan yang layak. Kesejahteraan tersebut

pada akhirnya ikut membangun geliat intelektual di Aceh. Masjid

– masjid yang dibangun era Iskandar Muda mnampakkan diri

sebagai tempat ibadah, pengajaran agama, serta sentra

berkumpulnya maysrakat. Secara berkala, ulama – ulama yang

berasal dari mancanegara, seperti sosok Teungku datang atau

didatangkan untuk menambah amunisi pengajar Islam di Aceh.

Page 153: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

142

Sudah menjadi takdir sejarah, bahwa kebersamaan ulama

dan umara di Aceh mendapat tantang ketika memasuki masa

pendudukan Belanda. Kerjasama mereka mendapat ujian tatkala

Belanda mengupayakan pendudukan atas Aceh sejak abad 19

hingga menyentuh awal abad 21.

B. Saran

Saran yang disampaikan adalah bahwa tesis ini kedepan

bisa dijadikan inspirasi bagi mulculnya penulisan serupa. Memang

banyak penulis maupun peneliti yang mengupas masalah hubungan

ulama dan pemerintah, namun belum banyak yang mengangkat

dialog antarkeduanya yang terjadi di luar istana Aceh. Sosok

ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani,

Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkel sudah begitu banyak

dikupas para peneliti, namun kajian serupa mengenai ulama Aceh

lainnya seperti Teungku di Bitai, Teungku di Leupeu, Teungku

Imum Lueng Bata dan ulama yang nama dan makamnya terdengar

dan terlihat, belum ada informasi mengenainya.

Disadari, penulisan sejarah yang mengungkap kerjasama

pemerintah dan ulama di wilayah yang lebih spesifik seperti

mukim atau gampong masuk dalam kajian sejarah lokal. Dinamika

yang terjadi di istana tentulah mempunyai karakteristik berbeda

dengan yang terjadi di daerah. Topik mengenai relasi antara ulama

dan pemerintah menjadi topik yang krusial dalam bentangan

sejarah Nusantara. Dari tema tersebut, keteladanan, sikap serta

pelajaran dapat dituai untuk kemudian diaplikasikan sebagai

langkah masa kini.

Page 154: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

143

Daftar Pustaka

Sumber Primer

Ar-Raniri, Nuruddin. Bustanussalatin, bait 12 dan 13 (microfilm),

Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tanpa

tahun.

Dorleans, Bernard.Orang Indonesia dan Orang Prancis; Dari

Abad XVI sampai dengan Abad XX, Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2006.

Iskandar, Teuku. De Hikajat Atjeh, „S-Gravenhage: Martinus

Nijhoff, 1958.

Jauhari, Bukhari, Tajussalatin, ditulis tahun 1967, edisi Dewan

Bahasa Malaysia diunduh dari sabrizain.org.

Kronik Gayo dalam PaEni, Mukhlis.Riak di laut Tawar;

Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial di Gayo

Aceh Tengah, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia

dan Gadjah Mada University Press, 2003.

Temple, Sir Richard, ed. The Travels of Peter Mundy in Europe

and Asia, 1608-1667, Vol. III, Part I, Londona, 1919.

Sumber Sekunder

Abdullah, Taufik dkk. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta:

Majelis Ulama Indonesia, 1991.

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Tangerang:

Logos Wacana Ilmu, 1999.

Ahmad, Zakaria.Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Th. 1520 – 1675,

Medan: Monora, tanpa tahun.

A.R, Muhammad. Akulturasi Nilai – Nilai Persaudaraan Islam

Model Dayah Aceh, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan

Kementerian Agama, 2010.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007.

Azwad, Ridwan. Peny. Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh.

Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,

2003.

Page 155: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

144

Barginsky, V. I. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah

Sastra Melayu Abad 7 – 19, Jakarta: INIS, 1998.

Dasgupta, A.K..Aceh In Indonesian Trade and Politics: 1600-

1641, England: Universisebagaty of Microfilm, 1962.

Daulay, Saleh Partaonan. Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari

(Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis), Jakarta:

Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan

Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011.

Dhofier, Zamakhsyari. TradisiPesantren; Studi Pandangan Hidup

Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,

Jakarta: LP3ES, 2011.

Drewes, G.W.J., ed. Hikajat Potjut Muhamat, The Hague:

Martinus Nijhoff, 1979.

Dunn, Ross E. Petualangan Ibnu Batutta Seorang Musafir Muslim

Abad 14, terj. Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2011.

Erawadi. Tradisi, Wacanadan Dinamika Intelektual Islam Aceh

Abad XVIII danXIX. Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.

Fakhriari, “Tradisi Intelektual Aceh Di Dayah Tanoh Abee dan

Dayah Ruhul Fata”, dalam al-Qalam, Vol. 20, No. 2,

Desember 2014.

Fathurrahman, Oman dkk, peny. Katalog Naskah Dayah Tanoh

Abee Aceh Besar, Depok: Penerbit Komunitas Bambu,

2010.

Feener, R. Michael dkk, ed. Memetakan Masa Lalu Aceh, Jakarta:

KITLV, 2011.

Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeeth-

Century Aceh, Leiden: Brill, 2004.

_____. Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2010.

Hasbi, Baiquni. Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan

Turki Usmani, Banda Aceh: LSAMA, 2014.

Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di

Indonesia. Jakarta: Almaarif, tanpa tahun.

_____. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Beuna,

1983.

Page 156: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

145

Haslinda, Pocut MD Azwar.Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh

Hubungannya dengan Raja-Raja Islam Melayu Nusantara,

Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011.

Hermansyah, “Naskah Tibyan fi Ma‟rifat al- Adyan: Interpretasi

Aliran Sesat di Aceh Menurut Nuruddin ar – Raniri” dalam

Jumantara, edisi 01, Vol. 5 Tahun 2014.

Huda, Noor. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di

Indonesia.Yogyakarta: Arruz Media, 2007.

Hurgronje, Snouck. Aceh di Mata Kolonialis. Vol. 1. Terj. Ng.

Singarimbun dkk. Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985.

_____. Aceh di Mata Kolonialis. Vol. 2. Terj. Ng. Singarimbun

dkk. Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985.

Ibrahim, Ahmad dkk, peny. Islam di Asia Tenggara Perspektif

Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989.

_____. “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th

– 19th

Century)”, makalah dibawakan dalam First International

Conference of Aceh and Indian Ocean Studies di Banda

Aceh 24 – 27 Februari 2007.

Ismuha. Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah. Jakarta: LIPI,

1976.

Ito, Tekeshi. “The World of the Adat Aceh. A Historical Study of

the Sultanate of Aceh”, Tesis, Canberra: Australian

National University, 1984.

Jusoh, Yahaya bin. “Majlis Aceh (Adat Aceh)” tesis, (tidak

dipublikasikan), University of Kent , 1986.

Komroff, Manuel, ed.The Travel of Marco Polo The Venetian,

New York: W.W. Norton, 1930..

Lamnyong, Teungku Anzib. Adat Aceh, Banda Aceh:PLPIS, 1978.

Lombard, Denys. Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda

(1607-1636). Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Madjid, M. Dien. Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2013.

Mitrasing, Ingrid Saroda. “The Age of Aceh; The Evolution of

Kingship 1599-1641”, (disertasi), Universitas Leiden,

belum diterbitkan, 2011.

Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh;

Problem, Solusi dan Implementasi, Jakarta: Logos, tanpa

tahun.

Page 157: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

146

Organski, A.F.K..Tahap-Tahap Perkembangan Politik, Terj.

Nooroso Kuhardjo, Jakarta: Akademika Pressindo, 1985.

PaEni, Mukhlis.Riak di laut Tawar; Kelanjutan Tradisi dalam

Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah, Jakarta: Arsip

Nasional Republik Indonesia dan Gadjah Mada University

Press, 2003.

Peacock, A.C.S dkk, ed.From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks

and Southeast Asia, Oxford: Oxford University Press,

2015.

Razak, Yusron. Sosiologi Sebuah Pengantar. Ciputat:

Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.

Reid, Anthony, ed.Verandah of Violance; The Background to the

Aceh Problem, Singapore: NUS Press, 2006.

____________. Menuju Sejarah Sumatra, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2011.

Saby, Yusny. “The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey”, on

Studia Islamika, Vol. 8, no. 1, 2001.

Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad Jilid I, Medan: Waspada,

1981.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 1995.

Satriani, Septi. “Dinamika Sejarah Gampong dan kampung di

Aceh”, artikel ini didapatkan dari perpustakaan LIPI.

Siegel, James T. The Rope of God, Barkeley & Los Angeles:

University of California Press, 1969.

Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, Jakarta: CV Rajawali, 1985.

Suwardi. Raja Alim Raja Disembah; Eksistensi Kebudayaan

Melayu dalam Menghadapi Era Global, Pekan Baru: Alaf

Riau, 2005.

Tjandrasasmita, Uka. Kota-Kota Muslim di Indonesia; Dari Abad

XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara Kudus, 2000.

_____. Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah

Islam di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur dan

Khazanah Keagamaan badan Litbang dan Diklat

Kementeriaan Agama RI, 2012.

Van Langen, K.F.H. “De Inrichting van Het Atjehsche

Staatbestuur Onder het Sultanaat”, s‟Gravenhage: Martinus

Nijhoff, 1888.

Page 158: Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31757/1/GAZALI... · Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan,

147

_____. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Terj.

Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan

Dokumen Informasi Aceh, 2002.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: P.T. Hidakarya

Agung, tanpa tahun.

Zainuddin, H.M. Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda,

1957.

_____, Tarikh Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar

Muda, 1961.

On Line

http://atjehpost.co/m/read/60/Riwayat-Kampung-Turki-di-Aceh.

http://sabrizain.org.