interelasi umara dan ulama dalam menata kehidupan sosio...
TRANSCRIPT
Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan
Sosio-Keagamaan di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda
1607 – 1636.
Gazali
NIM: 2112022100002
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2016
Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan
Sosio-Keagamaan di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda
1607 – 1636.
Gazali
NIM: 2112022100002
Diajukan Kepada Program Pascasarjana
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Humaniora (M.Hum)
Didalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2016
i
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puja dan puji penulis munajatkan kepada Allah SWT Azza
wa Jalla, Tuhan yang telah memberikan keluasan ilmu serta kemerdekaan bergerak
untuk menunaikan tugas akhir (tesis) Ini. Shawalat beriring salam, saya
kumadangkan kepada Raja Manusia, Sang Terpercaya (Al-Amin) Muhammad
SAW, seorang yang mulia, dan tidak gentar melapangan jalan Islam ke tanah-tanah
lainnya di luar kampung halamannya, di Jazirah Arab hingga sampai ke Nusantara.
Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan, hingga membuat
penulis alpa memperhatikan peredaran waktu. Ada batas yang memisahkan
keasyikkan ini, yakni masa akhir studi yang kian dekat. Untuk itu, penulis
menyingsingkan lengan baju, menyatukan konsentrasi, kembali ke meja tulis dan
mulai merapikan kembali draf tesis yang telah dikerjakan, hingga menjadi bentuk
utuh seperti sekarang ini.
Hubungan ulama dan pemerintah Aceh merupakan suatu pergaulan yang unik
untuk diketahui. Kajian historis mengenainya, membawa penulis menaiki mesin
waktu, untuk bersua dengan Sultan Iskandar Muda, Teungku Nuruddin ar-Raniri
hingga Teungku di Bitay. Dengan catatan menjumpai mereka hanya melalui media
makam dan sumber tertulis mengenainya. Hubungan meraka begitu padu dan
saling bahu membahu membawa masyarakat Aceh pada sememsta kesejahteraan,
ketinggian peradaban dan salah satu kutub keilmuan di Asia Tenggara.
Penulis menyadari, tidaklah ada kerja manusia yang sempurna, termasuk dalam
tulisan ini. sebab itu, penulis membuka kesempatan seluasnya terhadap saran dan
kritik untuk perbaikan tesis ini. hal tersebut akan penulis jadikan landasan untuk
selalu teliti dan cermat tatkala menulis atau meneliti di kemudian hari.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak, yakni:
1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M.Ag, yang telah meluangkan waktu,
berdiskusi dalam berbagai kesempatan, utamanya ketika saya dan kawan-
kawan sedang gamang akan masalah akademik, beliau menjadi pendegar
yang baik, serta memberikan solusi yang bisa diandalkan untuk
memecahkan masalah
2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama
ii
kepada Dr. Abdullah M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib
Misbahul Islam M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI
yang telah banyak memberikan petunjuk, menyokong dan memberi
semangta kepada penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban intelektual
ini.
3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada ayahanda Prof. Dr. M. Dien
Madjid dan keluarga, seorang ayah, kakak, dan saudara penulis.
Terimakasih atas segala nasehat, bantuan serta untaian kata motivasinya,
berizin.
4. Kalimat terima kasih saya sampaikan pula pada teman-teman seperjuangan
di Magister SKI, utamanya angkatan 2012. Kalian adalah rekan-rekan yang
bijak, selalu memberikan semangat dan keceriaan kepada penulis. Semoga
yang belum menyelesaikan tesis dapat segera menyusul.
5. Terimakasih kepada istri tercinta, Sri Rezeki Wahyu Widawati, wanita
terhebat, serta pendamping terkuat, selalu memberikan kemesraan dan kasih
sayang, menjadi tempat bersandar penulis yang memberikan keteduhan di
kala sulit. Kepada anak-anak penulis: Tengku Ihya Raja Gazali, Cut Nyak
Soraya Azahra Gazali dan Cut Nyak Kirana Marwah Gazali, kalian adalah
pelita hati, pikiran serta kehidupan Ama.
6. Tidak lupa, terima kasih saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, ,
yang telah berpulang. Semoga keduanya selalu diberi ampunan serta rahmat
kasih sayang dari Allah SWT.
7. Terakhir, terima kasih penulis sampaikan pula bagi kawan-kawan, serta
pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir
ini.
Sebaik-baiknya perbuatan adalah yang berlamdaskan ibadah, dan sebaik-baiknya
ibadah adalah yang dilakukan dengan iklas. Semoga apa yang kalian lakukan
senantiasa dibalas oleh Allah SWT berupa kebahagiaan, kemudahan serta nikmat
yang banyak.
Saya berharap, semoga tesis saya ini bisa menjadi bagian dari kepusatakaan sejarah
Islam Nusantara dan memberikan pengetahuan bagi sesama.
Wasalam
Depok, 17 Desember 2015
Gazali S. Ag
v
Abstrak
Hubungan antara ulama dan umara (pemerintah) mempunyai ikatan historis yang
kuat. Sudah sejak masa yang lama, dibuktikan dengan uraian-urain sumber tertulis
lokal, seperti Kronik Gayo, Bustanussalatin maupun Tajussalatin, keduanya
terlibat dalam kebersamaan membangun negeri dan menyejahterakan masyarakat.
Pemerintah membutuhkan bantuan ulama, utamanya sebagai penasehat juga
sumber mendapatkan berbagai keputusan yang dilandasi oleh hukum agama.
Sedangkan ulama, membutuhkan umara, untuk mendukung aktivitasnya dalam
pelbagai bidang seperti peradilan, pendidikan, kesufian bahkan sampai hal-hal
strategis lainnya, seperti membangun angkatan perang.
Muara dari kerjasama ini adalah bagaimana caranya menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Sama-sama diketahui, orang Aceh sudah mencapai tahap
examiner (penilai) dalam hal keagamaan. Mereka sudah berada pada taraf
pemahaman agama yang di atas rata-rata. Mereka bukan hanya membutuhkan
sosok ulama yang tidak saja berkecimpung dalam pendidikan Islam, zikir (dike)
maupun dalam perayaan-perayaan tertentu, melainkan juga mereka yang juga siap
mengabdikan diri demi kemakmuran. Begitu juga dengan umara, Aceh mempunyai
paham kepemimpinan yang bertumpu pada ketundukan rakyat. Ketaatan orang
banyak pada pemimpinnya, akan berimbas pada upaya umaramengutamakan
kepentingan umat.
Tesis ini akan mengupas empat pertanyaan sebagai bahan telaah; 1)
Bagaimana hubungan yang terjalain antara ulama dan umara; 2) Bagaimana
pandangan masyarakat Aceh terhadap eksistensi ulama dan umara?; 3) Apa saja
bentuk kebijakan yang digulirkan umara yang terindikasi dipengaruhi ulama? 4)
Apa saja yang dilakukan ulama dan umara dalam memajukan intelektualitas dan
pendidikan?
Fokus dari kajian ini adalah membincangkan masalah interelasi ulama dan
umara dalam mengusahakan kemajuan pada era Sultan Iskandar Muda (1607-
1636). Umara pada pengertian di sini, dimaknai bukan hanya sebatas Sultan,
melainkan juga Imam Mukim, Mukim hingga Keuchik (kepala gampong).
Sedangkan ulama yang dimaksud, adalah mereka yang menjalankan peran
tradisional mereka, yakni sebagai pengajar agama, guru sekaligus tokoh
masyarakat, namun juga mereka yang tergabung dalam perankepemerintahan.
Kemudian, turut pula dibahas dampak kerjasama keduanya dalam membangun
suatu masyarakat yang kuat, berdayaguna, dan dipenuhi dengan nuansa sejahtera.
Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah menggunakan sudut
pandang sosiologis, kaitannya dengan interaksi sosial. Interaksi yang terbangun di
antara ulama dan umara, melahirkan kebijakan-kebijakan yang bernuansa pada
pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Komunikasi yang terbangun antara
keduanya, berkaitan dengan bagaimana mengelaborasi maksud serta tujuan mereka
dalam mencanangkan kemajuan bidang keagamaan dan sosial.
vi
Pedoman Transliterasi
Huruf Arab Huruf Latin
tidak dilambangkan ا
b ة
t ت
ث
j ج
ح
kh خ
d د
ذ
r ر
z ز
s س
sy ش
ص
ض
ط
ظ
‘ ع
g غ
f ف
q ق
k ك
l ل
m م
n ن
w و
h ه
ء
y ي
vii
Vokal Pendek
_____ = a كتت kataba
_____ = i سئل su ila
_____ = u يذهت ya
Vokal Panjang
q قبل = ... ا
qilaقيلi = اي
yaq lu =يقول
Diftong
يا = kaifaكيف
و ا = aula حول
Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987-
Nomor: 0543 b/u/1987.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.....................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI................
ABSTRAKSI.................................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN..........................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
-
i
iii
iv
v
vi
viii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................
B. Identifikasi Masalah..............................................................
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........................................
E. Penelitian Terdahulu..............................................................
F. Landasan Teoritis..................................................................
G. Metode Penelitian..................................................................
H. Sistematika Penulisan............................................................
KEADAAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH
DARUSSALAM.........................................................................
A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh..........................
B. Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam..............................
C. Terbentuknya Masyarakat Muslim Aceh..............................
EKSISTENSI ULAMA DI ACEH DARUSSALAM.................
A. Pengertian Ulama..................................................................
B. Pembagian Peran Ulama Kesultanan.....................................
C. Ulama dalam Pergaulan Masyarakat Bawah.........................
UMARA DALAM MASYARAKAT ACEH..............................
A. Pengertian Umara..................................................................
1
11
12
14
15
17
19
20
22
22
37
38
51
51
53
69
76
76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang memiliki
warna sendiri dalam perjalanan sejarah bangsa. Posisinya yang
strategis di ujung utara pulau Sumatra, tepatnya berdiri di kawasan
pesisir, menjadi bukti bahwa kerajaan ini memiliki corak
kehidupan maritim. Dalam bentangan nuansa kelautan, kerajaan ini
juga menjadi salah satu pusat pelayaran dan perdagangan.
Potensinya ini belakangan mampu digarap secara serius hingga
menghasilkan berbagai kemajuan yang di kemudian hari dapat
dimanfaatkan pula oleh penduduk Nusantara lainnya.
Pelayaran dan perdagangan amat kental dalam sejarah
Nusantara. Keberadaan rempah-rempah disinyalir menjadi magnet
yang mengundang orang asing berdatangan ke gugusan kepulauan
ini. Berita Cina yang berangka sekitar permulaan Masehi
mengatakan bahwa wilayah Nusantara, yang disebutkan dengan
lafal Cina, yang setelah melalui penelitian lebih lanjut diketahui
terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, menjadi tempat terjadinya
perdagangan lintas benua. Bentangan wilayah Barat Nusantara
hingga Maluku menjadi jalur penting pedagang asal Cina dan
India.1
Pelabuhan Aceh, merupakan satu tujuan penting bagi
saudagar dunia. Tercatat, kapal dagang dari Arab, Persia, India,
Turki, Cina, Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda serta kapal lintas
benua lainnya bersauh di Aceh.2 Kehidupan heterogen inilah yang
1Taufik Abdullah dkk, Sejarah Ummat Islam Indonesia (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991) hlm. 33. 2 Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 150-165; lihat juga H.M.
Zainuddin, Tarikh Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961)
hlm. 250.
2
membuat lingkungan pesisir Aceh lebih terbuka dengan pengaruh
luar. Perdagangan antar bangsa membawa banyak produk baru
yang memperkaya khazanah hidup masyarakat Aceh Salah satu
produk penting yang dihasilkan melalui interaksi antarbangsa di
pelabuhan adalah Islamisasi.
Sebenarnya, mengenai letak secara pasti dimana awalnya
Islam datang ke negeri ini, masih banyak diperdebatkan. Bahkan,
posisi awal Aceh sebagai tempat semula kehadiran Islam di
Nusantara pun belum disepakati secara umum oleh sidang
sejarawan Indonesia. Satu diantara pendapat yang banyak
diketahui adalah bersandar pada berdirinya kerajaan Perlak
(Peureulak) menginjak abad 12.3 Berdirinya lembaga pemerintahan
ini, merupakan puncak gunung es dari interaksi antara masyarakat
dengan para pemimpinnya yang telah beralih agama menjadi
Muslim.
Sebagaimana diketahui, masuknya Islam ke Nusantara,
termasuk ke Aceh, adalah melalui beberapa saluran. Paling tidak
ada lima saluran utama, yang dianggap sebagai corong
berbondong-bondongnya penduduk negeri ini meninggalkan
agama lamanya kemudian beralih ke Islam, yakni: perdagangan,
pernikahan, tasawuf, pendidikan dan kesenian. Hubungan mesra
yang terjalin antara para penjual dan pembeli di pelabuhan pesisir,
nyatanya merambah ke arah agama, hingga menyentuh masalah
keimanan. Dalam pergaulan kerajaan, pernikahan silang antara
saudagar India dan Arab dengan putri para pembesar pribumi turut
pula membawa pengaruh baru, khususnya dalam segi kepercayaan
di lingkungan istana yang lantas menyebar hingga ke tataran
bawah. Tasawuf dan pendidikan menjadi elemen penting dalam
segi kebatinan dan intelektualitas. Kesenian turut pula diyakini
sebagai wadah tepat mempromosikan agama baru tersebut.4
Di balik upaya keras yang dilakukan guna mendakwahkan
Islam ke tanah-tanah Nusantara, tersimpan kiprah para pembaharu
yang melatarbelakangi munculnya upaya tersebut yang
3 Zainuddin, Tarikh Atjeh ..., hlm. 95.
4 Noor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 45-50.
3
dikategorikan sebagai gerakan sosial baru itu, ia lazim disebut
ulama. Ulama diasosiasikan sebagai kalangan cerdik pandai yang
memiliki pemahaman yang luas akan ilmu-ilmu keislaman.
Keberadaan mereka menjadi penting tatkala dakwah Islam mulai
disosialisasikan. Walaupun sarana dakwah yang digunakan
seringkali beragam dan berbeda-beda antara satu ulama dengan
yang lain, namun esensinya tetaplah sama, yakni tersebarnya Islam
secara merata ke seluruh penjuru Nusantara.
Merujuk pada penjelasan Ismuha, sebutan ulama berasal
dari bahasa Arab, yang berupa kata jamak atau plural. Ulama
merupakan kata jamak dari „alim yang bermakna orang yang
mengetahui, bisa juga diartikan orang yang berilmu. Ulama dapat
dipahami pula sebagai para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan
atau para ilmiawan.5 Dalam pada itu, ulama yang diangkat dalam
penelitian ini adalah ulama Islam, oleh karena wilayah
pembahasannya adalah kerajaan Aceh yang juga merupakan
kerajaan Islam.
Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang memiliki
dimensi keagamaan yang kuat. Cikal bakal kerajaan ini merupakan
kelanjutan dari kerajaan yang semula didirikan oleh Meurah Johan,
seorang bangsawan kerajaan Linge Gayo yang diberi tugas dakwah
selepas pendidikannya di Dayah Cot Kala pimpinan Syekh
Abdullah Kanaan pada abad 13. Dari sekelumit uraian mengenai
berdirinya kerajaan Aceh, diketahui, aspek keagamaan sudah
sangat kental melingkupi kerajaan Aceh sejak masa berdirinya.
Bukan hanya ilmu agama saja yang didapatkan Meurah Johan,
melainkan juga ilmu-ilmu lain yang berguna bagi kehidupannya di
kemudian hari, salah satunya adalah ilmu ketatanegaraan.6
Peran ulama memiliki sejarah tersendiri dalam kerajaan
Aceh Darussalam. Mereka menjadi garda terdepan dalam
mengawal jalannya pemerintahan. Nasihat-nasihatnya bukan hanya
terbatas pada hal ihwal agama, melainkan menjadi rujukan pula
5 Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (Jakarta: LIPI, 1976)
hlm.1. 6 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit
Beuna, 1983) hlm. 55.
4
dalam menggulirkan pelbagai kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini
semakin menandaskan peran sentral ulama dalam memajukan tata
ruang bermasyarakat yang baik. Dengan kata lain, posisi mereka
mewakili “golongan luar” keluarga kerajaan yang bertugas
membantu kerja aparatur kerajaan dalam menghadirkan kondisi
ranah keagamaan dan kemasyarakatan yang stabil dan teratur.
Menginjak abad 17, Aceh telah menjadi kekuatan penting
dalam peta pepolitikan Asia Tenggara. Kegigihan para rajanya
menghalau Portugis di hampir sepanjang abad 16, ikut pula
menerbangkan reputasi kerajaan ini sebagai lawan tanding utama
dalam menghadapi dominasi bangsa Kulit Putih itu. Iklim kerajaan
yang semakin kondusif turut menyokong berseminya masyarakat
yang makmur. Kesejahteraan ikut pula menghampiri aspek
keagamaan. Sektor pendidikan menjadi perhatian penting yang
terus diupayakan pertumbuhannya. Di era ini Aceh telah lepas
landas menjadi negeri yang kental dengan nuansa intelektual.
Kenyataan ini, ditandai dengan hilir mudiknya para sarjana, ulama,
pelajar pribumi, regional maupun mancanegara di pelbagai
lembaga pendidikan yang tersebar di wilayah Aceh.
Di abad ini, terdapat beberapa nama ulama yang memiliki
andil besar dalam meengelola dinamika intelektual Aceh.
Disamping itu, beberapa dari mereka juga berkiprah di bidang
pemerintahan. Syamsuddin as-Sumatrani (wafat 1630)7 salah
satunya, dipercaya menjadi penasehat Iskandar Muda, raja terbesar
Aceh Darussalam, dalam membina pemerintahan dan segi sosial
kemasyarakatan di Aceh. Ulama ini, memiliki andil besar dalam
mengembangkan tradisi tasawuf Aceh yang dikenal dengan paham
Wujudiyyah. Syamsuddin merupakan murid dari sufi besar Aceh,
Hamzah Fansuri (hidup pada paruhan kedua abad ke 16 dan awal
abad 17)8 yang dikenang sebagai salah satu sufi terkemuka
Nusantara. Kelihaiannya dalam menata kehidupan beragama
membuat dirinya dipercaya menduduki jabatan penasehat raja.
7 Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2010) hlm. 159. 8 Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 71
5
Terlepas dari kontroversi aliran Wujudiyyah yang lekat
dalam diri Syamsuddin, tergelarnya ajaran Islam yang terpadu di
Aceh hingga tersohor reputasinya di dunia internasional.
Kebesaran nama Syamsuddin sejatinya tidak terlepas dari
kontribusi Hamzah Fansuri sebelumnya. Sebagaimana diketahui,
Hamzah Fansuri merupakan sosok penting dalam dinamika
intelektual Aceh Darussalam. Syair-syairnya amat kental dengan
nuansa sufiistik. Konsep panteisme (paham yang menyatakan
kebersatuan dzat Tuhan dengan Makhluk-Nya) yang digagasnya
memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan agama dan masyarakat.9
Menarik kiranya ketika menimbang posisi lembaga
pendidikan sebagai penyiar ajaran-ajaran Islam. Beragam masalah
keagamaan yang berkembang di Aceh, amat berkaitan dengan
eksistensi lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Dari sini para
ilmuwan dan ulama lahir, lantas berperan aktif dalam
meningkatkan taraf kemajuan Aceh. Di lembaga-lembaga
pendidikan ini, ulama-ulama memberikan pengajaran dengan sabar
dan penuh ketenangan. Hal ini dapat terjadi dilatarbelakangi oleh
tata ekonomi yang telah sedemikian rupa baik terbentuk. Stabilitas
politik turut pula mempengaruhi kinerja para ulama. Dengan kata
lain, kondisi politik yang telah tertata turut menumbuhkan
pemikiran-pemikiran untuk memajukan ranah intelektualitas.
Denys Lombard memberikan komentarnya mengenai
kemajuan intelektualitas Aceh dengan menyatakan bahwa Aceh
era Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607 – 1636,
dipenuhi dengan para pengarang dan pemikir. Mereka bukan hanya
berasal dari dalam negeri saja, melainkan ada pula yang datang
dari luar negeri. Beberapa ada yang berasal dari Sumatra, tidak
sedikit pula yang berasal dari India. Para cerdik pandai India
datang ke Aceh dengan mengikuti jejak kaum dagang. Walaupun
mereka berasal dari berbagai belahan dunia, namun ketika mereka
masuk ke Aceh dan akan menulis suatu risalah maka mereka tetap
menggunakan bahasa lokal, yakni Melayu. Dengan kata lain, para
ulama yang ingin menulis buah pemikirannya diharuskan terlebih
dahulu memahami tata bahasa Melayu dan sistematika
9 Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 217-219.
6
penulisannya. Hal ini tercermin dalam tindakan Nuruddin ar-Raniri
asal Gujarat, daripada ia menonjolkan kedudukannya sebagai
“orang asing” dalam menulis Bustanussalatin, lebih baik ia
menggunakan bahasa Melayu yang ditulisnya beberapa bulan
setelah kedatangannya ke Aceh.10
Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kondisi
masyarakat Aceh sebagai medan dakwahnya. Bahasa Melayu
dianggap sebagai bahasa populer yang harapannya dapat dipahami
oleh seluruh kalangan pribumi. Disamping itu, “keseragaman”
pemilihan bahasa tersebut, menjadi indikator betapa ulama kala itu
sudah memahami realitas tempat bermukimnya. Ajaran yang
dipahami secara luas tentu lebih penting dibanding mengutamakan
egoisme pribadi kesukuan atau kebangsaan aslinya, seperti Arab
dan Persia. Dengan kata lain, bahasa Melayu dapat dikatakan
sebagai bahasa intelektual kala itu. Faktor sosial Aceh, yang secara
kebahasaan, dalam kesehariannya menggunakan bahasa Aceh dan
Melayu tentu telah dipikirkan secara matang oleh para penulis
Muslim kala itu.
Penduduk Aceh Darussalam terdiri dari struktur yang unik.
Selain terbentuk karena keanekaragaman bangsa, tingkat
pemahaman keberagamaan disana pun boleh dikatakan telah
mencapai taraf menengah ke atas. Hal ini tidak bisa dipungkiri dari
realitas sejarah Aceh yang merupakan salah satu tempat
berpijaknya Islam pada masa awal perkembangannya di Nusantara.
Bangunan masyarakat Islam telah terbentuk jauh sebelum Aceh
Darussalam berdiri. Berdirinya beberapa kerajaan sebelumnya,
seperti Perlak, Linge dan Samudra Pasai telah ikut membentuk
cikal bakal masyarakat Islam yang terstruktur dan senantiasa
berkembang dari masa ke masa.
Masyarakat Aceh abad 17 memiliki pandangan tersendiri
akan kebersatuan pemerintah dan ulama dalam kehidupan
kerajaan. Keharmoniasan di lingkungan istana dapat terjadi berkat
adanya dua unsur ini. Hal ini dapat ditemukan melalui berbagai
karya historiografi tradisional semisal Bustanussalatin yang salah
10
Lombard, Kerajaan Aceh ... hlm. 204-205.
7
satu penggalan isinya menyebutkan bahwa seorang penguasa yang
adil, memiliki pengetahuan yang mendalam dan menghormati
ulama akan sampai pada tingkat kemakmuran yang tinggi.
Sebaliknya, seorang penguasa tiran (diktator), melanggar
ketentuan agama, dan tidak memuliakan para ulama akan
mendapatkan ujian yang nyata dalam pemerintahannya, dan
kekuasaannya akan berakhir secara tragis.
Menurut kacamata masyarakat Aceh, sebagaimana
disebutkan oleh para ulama, jabatan seorang raja/sultan memiliki
muatan politis dan agama. Dengan kata lain, seorang penguasa
memiliki kuasa atas “politik” dan “agama”. Nilai agamis pada
posisi tersebut sebenarnya sama dengan yang telah ditampilkan
oleh para pemikir Islam. Melalui lembaga kenegaraan,
kekhalifahan atau kesultanan, ajaran-ajaran Islam dapat
diberlakukan dengan baik. Oleh sebab itu, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, pengadaan lembaga kenegaraan
menjadi suatu keniscayaan yang dibebankan pada keagamaan. Hal
ini dapat pula ditengok dalam bentangan sejarah Aceh, dimana
gelar penguasa serta struktur kekuasaan adalah hasil penalaran dan
kompromi yang berdasarkan ajaran agama. Beberapa gelar selain
sultan yang dinisbatkan pada tata kelola pemerintahan Islam antara
lain seperti Khalifat Allah fi al-Ard, Zill Allah fi al-Ard atau Zill
Allah fi al-Alam.11
Unsur keislaman yang melekat dalam manajemen
pemerintahan Aceh sudah barang tentu membutuhkan peran atau
kontribusi dari ulama. Pandangan harmonisasi masyarakat akan
keadaan kerajaan yang makmur dan sejahtera menitikberatkan
pada hal tersebut. Dengan kata lain, jika tidak ada salah satu dari
keduanya atau justru kedua pihak tersebut terlibat dalam
perseteruan maka harapan akan ketahanan kerajaan yang baik akan
mendapat ancaman serius, utamanya dari sisi internal.
Keberadaan ulama di tataran pemerintahan turut membawa
aura positif dalam kinerja istana. Saran-saran mereka bagaikan
pohon teduh di tengah padang gersang. Tidak jarang, Sultan Aceh
11
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 161-162.
8
sampai kepala pemerintahan di bawahnya, seperti uleebalang dan
keuchik menjadikan ulama sebagai tempat bertanya atas segala
permasalahan yang tidak mampu diselesaikannya. Paling tidak,
ulama selain menjadi guru agama, juga memiliki tugas sebagai
motivator jika pemerintah sedang dalam keadaan gundah gulana.
Terkait posisinya tersebut, Erawadi menambahkan bahwa
para ulama kerapkali menjadi penasehat dan mitra keilmuan dari
seorang sultan/raja. Para ulama disamping menulis karya
keagamaan, juga menulis ketentuan-ketentuan atau hukum-hukum
yang berhubungan dengan masalah sosial dan politik, yang
beberapa diantaranya ditulis atas pesanan penguasa. Ulama yang
berkecimpung dalam pemerintahan, biasanya yang memiliki
keahlian di bidang hukum (fuqaha). Mereka menduduki jabatan
sebagai mufti, qadhi, atau syaikh al-Islam serta menempati peran
penting dalam penetapan dan pelaksanaan hukum dan berbagai
kebijakan penguasa.
Terdapat sejumlah ulama yang tersohor yang menyokong
pemerintahan Iskandar Muda. Di era ini dikenal nama-nama besar
yang ikut serta bersama kalangan istana. Selain Syamsuddin as-
Sumatrani dan Hamzah Fansuri, yang sempat disinggung
sebelumnya, masih ada nama besar lain seperti Ibrahim asy-Syami
asy-Syafi‟i, seorang fakih yang mengabdi dalam dunia pendidikan
Aceh khususnya dalam pengajaran fikih.12
Mereka, serta ulama
lainnya telah ikut serta mewarnai banyak ketentuan yang
diberlakukan oleh pihak istana. Sebagaimana dikemukakan oleh
Amirul Hadi, peran dari ulama Aceh abad ini bukan hanya terbatas
pada lapangan ilmu pengetahuan dan keagamaan, akan tetapi telah
merambah ke dimensi kenegaraan dan politik,13
termasuk pula
bidang kemasyarakatan.
Selain vital dalam memandu jalannya kerajaan, ulama juga
memiliki fungsi strategis membangun kehidupan sosial
masyarakat. Kedudukan mereka menempati posisi yang sejajar
dengan pemerintah wilayah yakni tingkat mukim
(keuleebalangan), hingga gampong. Teungku meunasah memiliki
12
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, hlm. 16. 13
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 158.
9
memiliki tanggung jawab besar dalam menata kehidupan rohani
masyarakat bawah. Seorang yang dipilih menduduki jabatan ini,
bukan hanya mereka yang memiliki pemahaman agama yang
dalam, tapi juga pengalaman mengurus aspek sosial. Selain
menjalankan tugas sebagai guru mengaji dan imam sembahyang,
mereka juga diminta memandu acara khitanan, pernikahan dan
memandikan jenazah. Selain itu mereka juga menjadi tempat
bertukar pikiran teungku lain serta uleebalang.
Disamping itu, ulama memiliki peran yang cakupannya
meluas, bukan hanya terbingkai dalam ranah agama semata. Dalam
persidangan tingkat gampong misalnya, ulama kerap mendampingi
imeum, waki, keuchik serta orang-orang tua dalam menyelesaikan
suatu perkara. Terlebih ketika, masalah yang dibahas tergolong
wilayah syariat, seperti warisan dan sebagainya, nasehat serta
keputusan ulama sangat dibutuhkan.14
Ulama Aceh memiliki kesamaan juga perbedaan dengan
ulama pada abad 17 di wilayah Nusantara pada umumnya.
Kesamaan yang bisa diketahui adalah mereka sama-sama memiliki
kemampuan agama, yang membuatnya mempunyai kedudukan
tinggi di mata masyarakat dan pemerintahannya. Perbedaan
terdapat tatkala merambah lajur politik. Ulama Aceh cenderung
enggan melakukan manuver-manuver politik yang menguntungkan
ambisinya. Apalagi jika harus berseberangan dengan kebijakan
Sultan maupun perangkatnya.
Sebaliknya, di Jawa misalnya, terdapat banyak kasus ulama
yang ikut dalam kontestasi politik. Di masa ketika Sultan Agung
berkuasa atas Mataram (1613-1646), sekitar tahun 1633, terjadi
pertikaian antara Sultan dengan para ulama Tembayat. Belum jelas
apa yang melatarbelakangi motif pertengkaran ini, yang jelas,
Sultan Agung sampai harus mendatangkan kekuatan militer untuk
menenangkan keadaan yang bergolak di sana.
14
K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa
Kesultanan, Terj. Aboe Bakar ( Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen
Informasi Aceh, 2002) hlm. 40-41.
10
Hal yang sama juga dilakukan Sultan Agung kepada
golongan santri di kawasan Giri Kedaton. Perlawanan santri
dilatarbelakangi oleh legitimasi keagamaan. Sekitar tahun 1636,
Sultan Agung menghancurkan tempat yang menjadi basis
perlawanan itu. Ia mengangkat Pangeran Pekik, yang masih
memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel, untuk menyerang
Giri. Pada umumnya orang di Giri enggan untuk melawan
seseorang yang masih keturunan orang suci, terlebih yang masih
keturunan seorang ulama yang memiliki kontribusi luas dalam
islamisasi Jawa. Pertempuran ini dimenangkan oleh Sultan
Agung.15
Dua kasus tersebut hampir tidak ditemukan di Aceh
Darussalam tatkala dipimpin oleh Iskandar Muda. Kebanyakan
ulama tidak mempunyai hasrat untuk mengungkapkan pandangan
politiknya atau sekedar mengkritik kebijakan sang Sultan.
Perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari setting sosial keadaan
Jawa dan Aceh pada masa itu. Aceh secara umum sedang berada
pada masa stabilitas kerajaan yang teruji. Sedangkan kekuasaan
Sultan Agung, mendapat ancaman nyata dari Surabaya dan Banten,
kemudian VOC. Dengan kata lain, pemberontakan ulama
Tembayat maupun Giri sebetulnya dilatarbelakangi oleh
kepentingan politik.
Tesis ini akan mengangkat suatu permasalahan mengenai
interaksi antara pihak pemerintahan Aceh mulai dari tingkat
kerajaan hingga gampong dengan ulama kaitannya upaya
mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera, utamanya di bidang
sosio-keagamaan. Sebagaimana diketahui, agama menjadi aspek
penting dalam komposisi masyarakat Aceh. Untuk itu sematan
agama dalam pola kehidupan sosial, menjadi suatu keniscayaan
tersendiri. Tentu saja aspek ini akan diulas lebih lanjut dalam bab-
bab berikutnya.
Komunikasi yang terjalin antara umara dan para ulama
agaknya masih belum banyak diungkap secara mendalam. Peran
ulama dalam pemerintahan Aceh agaknya memang sudah banyak
15
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1995) hlm. 71-72.
11
dibahas dalam karya-karya terdahulu. Namun demikian, masih
belum tajam menukik ke salah satu wilayah sentral dari tujuan
pemerintahan itu sendiri terkait memakmurkan masyarakatnya.
Sebagaimana diketahui, jika menimbang kebesaran kerajaan Aceh
tentu saja tidak bisa hanya ditilik dari satu sektor semata.
Terbukanya gerbang ekonomi dunia turut pula membawa semangat
baru bagi tumbuh kembang masyarakatnya. Pada wilayah ini peran
raja dibantu oleh pejabat istana terkait tentu menjadi amat
dominan. Pejabat istana di sini tentu saja bersikan seorang ulama
yang dipilih sebagai penasehat kerajaan.16
Tinjauan mendalam terkait hubungan ulama dengan umara
dalam kerajaan Aceh serta wilayah bawahannya tentu amat
menarik untuk dikaji lebih lanjut kaitannya dengan upaya
mengembangkan kemasyarakatan dan keagamaan. Memang, dalam
beberapa karya maupun tulisan yang lalu, hal ini telah dibahas.
Namun demikian, keberadaannya belum dikedepankan secara
serius oleh karena harus berbagi ruang dengan pembahasan
lainnya.
B. Identifikasi Masalah
Tesis yang akan ditulis menitikberatkan pada aktivitas,
komunikasi dan kerjasama yang terjalin antara ulama dan umara
di Kerajaan Aceh Darussalam selama masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Umara di sini dimaknai sebagai
pemerintah kerajaan Aceh, mulai dari tataran pusat (kerajaan)
hingga satuan terkecil pemerintahan, yakni gampong. Objek lain
yang diungkap adalah terkait kebijakan bidang sosio-keagamaan,
baik yang berasal dari kerajaan sampai dengan gampong, yang
perumusannya sudah barang tentu dibantu pula oleh kalangan
ulama. Termasuk pula dalam bahasan, adalah peran mereka dalam
16
Aceh dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Devisa Aceh berasal dari hasil buminya. Menurut Denis Lombard, Aceh dapat
dipastikan mengekspor gajah, kuda dan belerang. Dari suatu laporan Eropa
dituliskan bahwa komoditas perdagangan di Aceh menjamin distribusi barang
untuk “seluruh Nusantara”. Barbagai jenis kayu, rempah-rempah seperti lada
dan campli puta. Kesmeua barang ini didistribusikan melalui pelabuhan-
pelabuhan Aceh. Lihat juga Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 147-148.
12
dunia intelektual pendidikan di lingkungan istana, mukim dan
gampong.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Oleh karena tema yang diangkat memiliki wilayah
pembahasan yang meluas, maka perlu kiranya melakukan
pembatasan-pembatasan guna memfokuskan pembahasan. Hal
pertama yang perlu diperhatikan adalah batas waktu tema yang
diteliti, yakni hanya berkutat Kerajaan Aceh Darussalam di bawah
kepemimpinan Iskandar Muda, yakni sejak 1607-1636.17
Perlu diutarakan, wilayah kekuasaan Aceh masa Sultan
Iskandar Muda mencakup hampir sebagian besar Sumatra. Hal ini
bisa terjadi mengingat di era itu, Aceh giat melakukan pelebaran
pengaruh ke luar wilayah Aceh. Kebanyakan wilayah yang
dikuasai, adalah wilayah pelabuhan dan kawasan pantai. Denys
Lombard mengutip penjelasan Agustine de Beulieu, pelaut Prancis
yang sempat mengunjungi Aceh pada masa Iskandar Muda, bahwa
wilayah Aceh masa itu mencakup “bagian yang paling
menguntungkan”. Di sebelah timur Aceh memerintah Pedir, Pasai
sampai Deli dan Aru. Sedangkan di sebelah barat mencakup Daya,
Labu, Singkel, Barus, Bataham, Pasaman, Tiku, Pariaman dan
Padang.18
Penggunaan kata umara dalam judul yang memiliki makna
pemimpin, presiden, raja, atau ratu, digunakan untuk menyebut
pemimpin kerajaan Aceh serta perangkat pemerintahan Aceh pada
umumnya, dari tataran kerajaan hingga gampong. Diharapkan, kata
ini dapat mewakili peristilahan perangkat pemerintahan masa itu
yang mencakup pusat hingga daerah.
Sebagaimana diketahui selain pemerintahan tingkat istana
yang dikepalai raja, dikenal pula bentuk pemerintahan bawahan
yakni mukim/keuleebalangan diketuai oleh imam mukim atau
uleebalang, lalu dibawahnya lagi adalah keuchik atau kepala
kampung (gampong), yang disebut keuchik. Struktur pemerintahan
tersebut baru terbentuk di kala Sultan Iskandar Muda bertahta.
17
Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 403-409. 18
Lombard, Kerajaan Aceh ... hlm. 132-133.
13
Mukim, merupakan gagasan baru yang ditetapkan oleh sang Raja.
Kawasan ini terbentuk dari tempat-tempat atau kampung-
kampung yang melakukan ibadah shalat Jum‟at dalam masjid yang
sama. Belakangan pemimpin dari wilayah ini, yang disebut imam
mukim, merangkap juga sebagai panglima perang, maka sering
juga imam mukim disebut uleebalang.19
Perlu disinggung pula mengenai aktifitas ulama di kancah
pemerintahan. Ulama yang termasuk dalam kategori ini adalah
ulama yang memiliki jabatan struktural sebagai mufti, walaupun di
perjalanan kisahnya tetap bersinggungan dengan ulama lain di luar
kerajaan. Dengan kata lain, perhatian utama dari ulama yang
diangkat dalam tesis ini adalah mereka yang bertindak sebagai
fungsionaris kerajaan. Selain itu, ulama dalam penelitian ini, juga
dimaknai sebagai pengembang tradisi intelektual di lingkungan
istana, sebagaimana yang dilakukan oleh Syamsuddin as-
Sumatrani yang ikut meramaikan forum diskusi kalangan ulama di
lingkungan istana.
Selain itu pengertian ulama di sini juga diartikan sebagai
pengayom masyarakat. Dalam lingkungan luar kerajaan, golongan
ulama ini disebut teungku meunasah. Selain mengurusi kebutuhan
agama masyarakat, seperti mengaji, mengatur zakat, menjadi imam
shalat 5 waktu, mereka juga menjalankan fungsi sosial sebagai
pemberi nasehat dalam pengadilan kecil, utamanya mengenai
aspek peradilan syariat, seperti pembagian warisan. Beberapa
mereka ditunjuk sebagai wakil ketua kampung.20
Ulama pada
tataran ini turut pula bermakna sebagai guru bagi masyarakat
Aceh.21
Selanjutnya, hal lain yang agaknya perlu diperhatikan
adalah berhubungan dengan aspek sosio-keagamaan masyarakat
Aceh. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dimensi kerja
raja maupun ulama senantiasa berhubungan dengan upaya
memajukan kerajaan, tidak terkecuali aspek kemasyarakatannya.
Istilah sosio-keagamaan ini berhubungan dengan bangunan
19
Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 11-13. 20
Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 13 dan 40-41. 21
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 160.
14
kemasyarakatan Aceh yang tersusun di atas unsur keagamaan.
Bahkan, mereka yang digelari ulama pun bukan hanya menuntut
kedalaman ilmu agama melainkan pula pengakuan dari
masyarakat.22
Oleh sebab itulah maka aspek kemasyarakatan menjadi
wilayah kajian yang menarik ketika membicarakan hubungan raja
dan ulama dalam pemerintahan. Rumusan mengenai sosio-
keagamaan ini dapat disistematisasikan ke dalam beberapa aspek
turunan seperti wilayah sosial (kemasyarakatan), pendidikan,
keagamaan bahkan tidak menutup kemungkinan adalah ranah
ekonomi dan cakupan lainnya.
Untuk lebih memperjelas masalah yang diangkat, maka
akan dirumuskan beberapa pertanyaan di bawah ini:
1. Bagaimana hubungan yang terjalin antara ulama dengan
umara ?
2. Bagaimana pandangan masyarakat Aceh terhadap
eksistensi ulama dan umara ?
3. Apa saja bentuk kebijakan yang digulirkan umara yang
terindikasi dipengaruhi ulama?
4. Apa saja yang dilakukan ulama dan umara dalam
memajukan intelektualitas dan pendidikan ?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan tesis ini bertujuan untuk:
1. Memperkaya pengetahuan mengenai eksistensi ulama
dalam pemerintahan Aceh Darussalam
2. Mengetahui efektifitas hubungan ulama-umara dalam
membentuk iklim sosio-keagamaan yang tertata dengan
baik
3. Memahami secara lebih jelas sejarah Aceh Darussalam,
khususnya pada wilayah kepemerintahan dan
kemasyarakatan
Sedangkan kegunaan tesis ini adalah:
22
Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 14.
15
1. Menambah khazanah pengetahuan sejarah Nusantara,
khususnya Aceh Darussalam
2. Menjadi inspirasi bagi Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dalam mengembangkan wacana
kesejarahan Aceh. Selain pula menjadi acuan bagi
Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dalam menggulirkan kebijakan-kebijakan
strategis yang terkait dengan tema yang diangkat.
3. Menjadi bahan penelitian lanjutan bagi institusi-institusi
terkait lainnya, baik negeri maupun swasta.
E. Penelitian Terdahulu
Sebenarnya, sudah ada beberapa tulisan terkait mengenai
interaksi antara umara dan ulama Aceh Darussalam yang
termaktub dalam beberapa buku maupun laporan penelitian
mengenai sejarah Aceh. Keberadaannya masih terserak dan kerap
dijadikan bahasan sepintas. Dalam pemaparannya pun masih
belum disentuh secara mendalam. Studi ini, sebagaimana yang
disinggung sebelumnya, akan menyentuh lebih dalam tema terkait
yang berarti pembahasan tema yang dipilih, harapannya akan
mendekati tingkat komprehensif sebagai pelengkap beberapa karya
sebelumnya.
Salah satu penelitian yang menekankan objek ulama dalam
wawasan kesejarahan Aceh Darussalam adalah apa yang
dikerjakan oleh Ismuha yang dipaparkan secara tertulis dalam
Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (1976). Penelitian ini
terselenggara atas kerjasama Leknas LIPI dengan Departemen
Agama RI. Karya ini masuk dalam seri monografi “Agama dan
Perubahan Sosial” dengan mengambil objek mengenai aktivitas
ulama yang mengambil kasus sejarah Aceh. Laporan ini
sebenarnya menyentuh posisi ulama dalam setiap masa yang
ditampilkan secara kronologis, yakni dari kedatangan Islam hingga
masa terbentuknya provinsi Daerah Istimewa Aceh. Informasi
yang didapat dari karya ini adalah kedudukan ulama dalam
masyarakat Aceh serta dinamikanya.
Aspek kajian sosial amat dikedepankan dalam karya ini,
sehingga pembahasan peran ulama terasa lebih cenderung dekat ke
16
masyarakat. Namun begitu, penjelasan mengenai aktivitas ulama
Aceh kaitannya dengan kepemerintahan Aceh belum banyak
dibahas dengan tuntas.23
Babakan abad 17 hanya disentuh di
bagian pendahuluan, sedangkan bahasan lebih besar
mengetengahkan ulama di era kontemporer, yakni sejak mulai era
kolonial hingga Indonesia merdeka. Telaah keulamaan Aceh ini
amat berbeda dengan judul yang diangkat dalam tesis ini.
Penjelasannya masih bersifat umum, dan belum mengetengahkan
analisa mendalam, terutama seputar aktivitas ulama era Sultan
Iskandar Muda.
Literatur lain yang memiliki kesamaan tema yang diangkat
dalam tesis ini adalah suatu penelitian Erawadi berjudul Tradisi,
Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX
(2009). Dalam bukunya ini, Erawadi lebih memberatkan perhatian
pada tradisi keilmuan, wacana serta dinamika intelektual yang
muncul, berkembang lantas berubah dalam ruang lingkup sejarah
yang berlanjut dan berkesinambungan. Batasan waktu yang diteliti
mencakup abad 18 dan 19.24
Memang, tidak dapat dipungkiri,
banyak informasi penting yang didapatkan terkait dengan tema
yang diangkat. Erawadi juga dalam beberapa pembahasan turut
mengemukakan bagaimana posisi serta kegiatan ulama dalam
membantu kerja aparatur kerajaan, salah satunya dari segi wacana
intelektualitas. Satu informasi yang menarik adalah ketika sampai
pada pembahasan mengenai eksistensi keilmuan Hamzah Fansuri,
Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri yang melalui
pelbagai tinjauan karya-karyanya.25
Fokus yang diketengahkan
Erawadi ini tentu amat berbeda dengan penelitian tesis ini yang
lebih menekankan pada aspek sosial dari ulama itu sendiri,
utamanya terkait hubungannya dalam memetakan kemasyarakatan
yang bukan hanya penuh dengan kemakmuran melainkan juga
disemaraki oleh ajaran agama.
Tulisan lain yang memiliki tema serupa terdapat dalam
buku Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (2010) yang ditulis oleh
23
Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 2 24
Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh
Abad XVIII dan XIX (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009) hlm. 16. 25
Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 32-39.
17
Amirul Hadi. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan
ilmiah yang disajikan secara tematik dalam setiap babnya.
Terdapat beberapa informasi terkait yang terhimpun dalam
beberapa judul antara lain; “Menyingkap Tabir Kehidupan
Hamzah Fansuri”, “Kerajaan dan Tradisi Intelektual Aceh”, serta
“Adat dan Kajian Hukum Islam di Aceh pada Abad ke-17: Sebuah
Kajian Awal”. Dalam tulisan kedua, banyak dipaparkan seputar
peran lembaga pendidikan, para intelektual dan ulama serta tidak
ketinggalan adalah peran dari kerajaan (pusat kekuasaan). Ketiga
elemen ini, diyakini Amirul Hadi, merupakan fondasi utama bagi
tegak dan berkelanjutannya tradisi intelektual Aceh abad 17.
Aspek sosio-keagamaan yang menitikberatkan pada aktivitas
masyarakat terkait kebijakan pihak istana yang berhubungan
dengan anjuran ulama. Jikapun disentuh, porsinya sangat sedikit,
seperti pandangan masyarakat terhadap eksistensi ulama-raja
dalam kepemerintahan Aceh.26
F. Landasan Teoritis
Penelitian tesis yang diangkat ini amat dekat kaitannya
dengan peran-peran antar subjek. Oleh sebab itu, tepat kiranya
jika tesis ini menggunakan pendekatan llmu sosial dalam
analisanya. Pendekatan ini bukan hanya menyentuh pergaulan
istana, melainkan turut pula menyinggung bagaimana peran
mereka dalam menciptakan suatu kemajuan dan kemakmuran di
tataran masyarakat. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
masyarakat Aceh bukan hanya terbentuk melalui sekumpulan
individu yang tinggal dalam satu daerah dan memiliki visi
kehidupan yang cenderung seragam dengan landasan adat istiadat
semata, melainkan turut pula diikat dengan kesatuan agama Islam.
Jika menyinggung masalah ini, kiprah ulama menjadi penting
keberadaannya.
Menurut Taufik Abdullah, ulama di Aceh mengalami fase
dinamis, yang berujung pada peranan mereka di tengah
26
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 161.
18
masyarakat. Ketika masa kerajaan Aceh Darussalam berkuasa
menyentuh abad 17, ulama banyak berkarya diluar sistem
pemerintahan. Mereka aktif mengembangkan keilmuan dan
menjaga tradisi keagamaan masyarakat dan istana. Keadaan ini
berubah tatkala era kolonial terjadi, terlebih saat menyentuh abad
21, ulama mulai masuk ke dalam sistem pemerintahan. Mereka
adalah sosok pengajur perang fi sabilillah juga pemimpin rakyat.
Ulama mengalami perluasan profesi yakni ke arah pendidikan dan
politik.27
Pada tesis ini konsep ulama yang diusung adalah ulama
sebagai guru masyarakat juga menjalankan fungsi sosial dan
profesionalnya di lingkungan istana dan masyarakat luar istana.
Baik raja, ulama maupun masyarakat memiliki
keterhubungan yang dapat dibahas melalui suatu pendekatan
sosiologis, yakni menggunakan konsep “interaksi sosial”. Interaksi
sosial adalah hubungan-hubungan sosial dinamis yang terkait pada
relasi antarindividu dengan kelompok, dan kelompok dengan
kelompok lainnya. Interaksi sosial sendiri adalah kunci bagi
keberlangsungan aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara
sederhana, interaksi sosial bisa terjadi apabila dua orang saling
bertemu, saling menegur, saling memperkenalkan diri, bahkan
saling mempengaruhi.28
Pendekatan dengan penekanan interaksi sosial dipandang
baik guna mengungkap lebih jauh hal ihwal komunikasi yang
terjalin antara umara dengan ulama. Tentu akan banyak
pengetahuan-pengetahuan yang dapat dituai dari interaksi antara
dua elite istana tersebut. Tambahannya, adalah bagaimana hasil
perbincangan mereka yang kemudian ditelurkan dalam bentuk
kebijakan dapat memajukan kehidupan sosio-agama masyarakat
Aceh.
G. Metode Penelitian
27
Taufik Abdullah, pengantar, dalam buku Taufik Abdullah, ed,
Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV Rajawali, 1983) hlm. 9. 28
Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar (Ciputat: Laboratorium
Sosiologi Agama, 2008) hlm. 57.
19
Metode penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif
yang berbasiskan pada library research atau riset literatur. Tujuan
akhir dari proses riset ini adalah penulisan sejarah (historiografi).
Untuk sampai pada tingkat tersebut, terlebih dahulu harus
melewati upaya rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah.
Tahap awal yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber-sumber
terkait.
Sumber-sumber tersebut dapat dikategorikan dalam dua
jenis, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sejauh pantauan
penulis, sumber primer yang dapat digunakan adalah salah satu
karya Nuruddin ar-Raniri berjudul Bustanussalatin, suatu karya
tulis sezaman yang berisi informasi seputar sejarah Aceh dan
kerajaan-kerajaan Melayu. Pemaparan yang sifatnya historis dalam
naskah ini, hanya terdapat dalam bait 12 dan 13.29
Bab 12 berisi
tentang raja-raja Melayu keturunan Iskandar Dzulkarnain yang
berkedudukan di negeri-negeri Melayu, sedangkan bab 13,
menceritakan hal ihwal keadaan Aceh Darussalam era
kepemimpinan Sultan Ali Mughayyatsyah sampai Sultanah Tajul
Alam Safiatuddin. Sedangkan sumber sekunder adalah data-data
yang bukan berasal dari masa seputar kajian historis yang
diangkat. Sumber-sumber ini amat berguna dalam merekonstruksi
peristiwa masa lalu.
Sumber-sumber yang telah terhimpun kemudian diuji
keaslian dan kesahihan muatan datanya melalui kritik ekstern dan
intern. Setelah fase pengujian dan analisis dilakukan, fakta-fakta
yang dikumpulkan kemudian disintesiskan melalui suatu
penjelasan atau eksplanasi sejarah. Historiografi sebagai tujuan
akhir dari perjalanan penelitian ini, diupayakan dengan selalu
mengedepankan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya
didasarkan pada tampilan tema-tema penting dari setiap
perkembangan tema terkait.30
29
Versi Bustanussalatin yang digunakan adalah bentuk print-out dari
microfilm Bustanussalatin bait 12 dan 13 Perpustakaan Nasional dengan nomor
panggil ML 422. 30
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang:
Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.
20
H. Sistematika Penulisan
Penyajian tesis ini terdiri atas tiga bagian: Pengantar, Hasil
Penelitian dan Kesimpulan. Bagian pertama berisikan bab
pendahuluan, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya.
Didalamnya memaparkan beberapa pembahasan pokok mengenai
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, pembatasan masalah, penelitian terdahulu, landasan
teorotis, metodologi penelitian dan terakhir, adalah sistematika
penelitian.
Hasil penelitian kemudian disajikan dalam empat bab
berikutnya. penjelasan bab per bab ditampilkan sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bab dua
mengetengahkan pokok tinjauan terkait dengan tumbuh dan
berkembangnya kerajaan Aceh Darussalam. Permasalahan yang
dibahas dalam bab ini terkait uraian geografis Aceh, pemetaan
wilayah kekuasaan kerajaan, modalitas sumber daya alam, serta
mengenai kehidupan sosio-keagamaan masyarakatnya. Dijelaskan
pula mengenai tradisi intelektual yang terbangun di Aceh.
Selanjutnya, pembahasan pada bab tiga, berkaitan dengan
tinjaun mendalam terkait kedudukan ulama dalam pemerintahan
Aceh Darussalam. Sebelum itu, sebagai pengayaan, akan
dijelaskan mengenai pengertian ulama itu sendiri. Turut pula
disampaikan bagaimana seorang ulama dapat memperoleh
pengakuan kalangan istana serta masyarakat luas terkait
keulamaannya. Tidak ketinggalan, dijelaskan pula mengenai
dinamika keulamaan yang terjadi di istana. Hal ini mencakup
kegiatan ulama, forum diskusi, pertikaian yang terjadi dengan
ulama lainnya maupun hal lain yang berhubungan dengan aktivitas
ulama di lingkungan kerajaan.
Kemudian, bab empat mengetengahkan perihal latar
belakang sosio-keagamaan masyarakat Aceh masa Sultan Iskandar
Muda. Termasuk dalam pembahasan ini adalah bagaimana
masyarakat Aceh terbentuk, kemudian disinggung pula mengenai
aspek pelayaran internasional di Aceh yang berkontribusi dalam
21
membantuk masyarakat Aceh yang multietnik. Selain itu, dibahas
pula mengenai kedudukan agama dalam masyarakat Aceh. Hal lain
yang turut dibahas adalah mengenai pandangan mereka terkait
keberadaan ulama dan umara.
Pada bab kelima, pembahasan menukik lebih tajam dengan
membedah seputar pergaulan dan komunikasi yang terjalin antara
umara dan ulama. Disinggung pula mengenai media-media apa
saja yang membuat hubungan kedua elite istana ini harmonis.
Disinggung pula mengenai pengaruh ulama di lingkungan kerajaan
yang berkaitan dengan pengajaan kebijakan istana pada segi sosio-
keagamaan.
Bagian akhir merupakan kesimpulan atas seluruh
pemaparan tesis ini. Diharapkan, pada bagian ini dapat ditarik
benang merah dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya
sehingga menjadi suatu rumusan yang dipahami. Bab ini sekaligus
menjadi bab penutup.
22
BAB II
KEADAAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH DARUSSALAM
Aceh merupakan wilayah Indonesia yang memiliki
peradaban Islam yang menyejarah. Keberadaannya dalam peta
sebaran Islam negeri ini amatlah vital. Tidak aneh jika Aceh
seringkali dijuluki negeri Serambi Mekkah. Islam di sana telah
berurat akar dan membentuk suatu daur kehidupan yang dipenuhi
oleh nuansa keagungan. Membaca kembali sejarah Aceh, ibarat
masuk dalam dunia yang sesak dengan kibar-kibar peristiwa masa
lampau yang menentukan jalan sejarah bangsa.
Membincang sejarah Aceh, tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan Aceh Darussalam, suatu kerajaan yang telah
menanamkan komitmen kebangsaan dan keislaman yang
nuansanya masih amatlah terasa hingga dewasa ini. Kebesaran
kerajaan amat disokong oleh pelbagai elemen vital, salah satunya
adalah aspek keagamaannya. Mulai dari pergaulan istana hingga
lingkungan yang paling sederhana, Islam menjadi ritual kehidupan
yang amat dekat dengan nafas keseharian. Hal ini kiraya yang turut
membentuk Aceh sebagai motor dakwah Islam Nusantara.
Sebelum melangkah lebih jauh perlu kiranya diterangkan
mengenai bagaimana Islam dapat tumbuh dan berkembang di
Aceh.
A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
Sekitar tahun 1978, ditetapkan suatu keputusan yang
bersejarah, yang merupakan hasil telaah Seminar sejarah Masuk
dan Berkembangnya Islam di Aceh mengenai kapan dan di mana
masuknya Islam ke Aceh. Seminar ini diselenggerakan oleh
Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh dari tanggal 10
23
sampai 16 Juli di Banda Aceh. Melalui keputusan tersebut,
pertanyaan yang sejak lama menggelayut di pikiran para sejarawan
dari masa ke masa seakan sampai pada terminal akhirnya,
kendatipun ungkapan terakhir ini tentulah sementara. Minimal,
sebagian sejarawan Tanah Air telah membulatkan tekad akan
sesuatu perbincangan sekaligus polemik yang tak kunjung usai,
mengenai misteri sejarah yang sejak lama belum terungkap.
Dalam edaran keputusan itu, diungkapkan bahwa
menginjak abad pertama Hijriyah atau abad 6 M, Islam sudah
berkembang di Aceh. Perlahan namun pasti Islam mulai
berkembang di lingkungan tanpa sekat, yakni mulai dari wilayah
pergaulan istana hingga masyarakat bawah, mulai banyak di antara
mereka yang meyakini kebenaran Islam. Terserapnya Islam dalam
pemikiran orang-orang Aceh, nyatanya tidak hanya sampai pada
sebatas keyakinan, tapi telah meluncur jauh hingga ambang batas
yang lebih luas, yakni masalah pendirian suatu institusi
kepemerintahan. Kemunculan Perlak, Lamuri dan Pasai,
menandaskan bahwa Islam telah membuktikan diri sebagai
pembentuk peradaban baru.31
Kemunculan Islam di tanah Aceh erat kaitannya dengan
tradisi perdagangan maritim yang telah hidup sejak ratusan tahun
yang lampau. H. M. Zainuddin mengatakan bahwa pelabuhan
Aceh telah dikenal oleh saudagar internasional sejak waktu yang
lama. Pada permulaan abad ke-4, tepatnya pada tahun 301 M,
Ptolomeus menyebutkan bahwa pulau Ergiyre (pulau Perak) telah
dikenal oleh orang-orang Asia Tengah, Asia Barat, bahkan sampai
Afrika dan Eropa. Pulau yang dimaksud Ptolomeus ini adalah
sebutan lain dari pulau Andalas (Perca). Pernah diberitakan bahwa
kamper dari Barus dikapalkan ke Mesir dan menjadi salah satu
kelengkapan ramuan pengawet mumi raja Mesir sekitar beberapa
ratus tahun sebelum masehi.32
31
A. Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (t.tp: Al-
Ma‟arif, 1981) hlm. 12. 32
H.M. Zainuddin,Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I (Medan: Pustaka
Iskandar Muda, 1961) hlm. 75.
24
Pesisir Aceh menjadi saksi bisu bagaimana pemukiman di
sekitar hingga pedalaman disemikan oleh pelita Islam. Para
pendatang yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang mampu
merebut hati warga pribumi sehingga terjadi konversi keyakinan
yang jauh dari ketegangan. Inilah yang perlu digarisbawahi, salah
satu keputusan seminar Aceh tahun 1978 di atas adalah
mengatakan bahwa tersebarnya Islam di Aceh adalah dengan
kebijaksanaan atau dengan kata lain jauh dari unsur pertikaian.33
Wan Hussein Azmi mengungkapkan bahwa sekitar abad
12, reputasi utara Sumatra sebagai pusat grosir rempah masih
bersinar kemashurannya. Di sekitar lokasi niaga itu juga
merupakan tempat yang tepat untuk menanti musim anginTimur
Laut yang membawa kapal-kapal asing kembali ke Tanah Arab.
Oleh sebab itu pula kawasan utara Sumatra menjadi tempat yang
istimewa bagi perkembangan dakwah Islam dan masyarakat Islam.
Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang mendorong
perkembangan masyarakat Muslim di daerah itu, yakni:
1. Perhubungan baik antara saudagar-saudagar Arab dengan
pihak pemerintah setempat
2. Saudagar-saudagar Arab Muslim itu tidak mencampuri
masalah politik setempat
3. Saudagar-saudagar Muslim mempraktekkan ajaran Islam
atas dirinya dan dalam perhubungan dengan masyarakat.
4. Tidak ada paksaan dalam pendakwahan
5. Syiar Islam berjalan menurut acuan yang ditentukan Allah
Swt, yang termaktub dalam Quran surah an-Nahl ayat 125.
6. Keindahan ajaran Islam tidak dibandingkan dengan ajaran
Hindu dan Budha yang banyak dianut penduduk kala itu.34
Kerajaan Islam pertama yang dicatat sejarah adalah Perlak.
Informasi otentik yang memberitakan tentang keberadaan kerajaan
ini adalah berasal dari seorang pengembara Italia, Marco Polo,
yang pernah mengungjungi Perlak dan beberapa wilayah pesisir
33
Hasjmy, Masuk dan berkembangnya ..., hlm. 12. 34
Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya
Hingga Abad ke XVI” dalam Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya ..., hlm. 182-
183.
25
Sumatra Utara lainnya di penghujung abad 13, terkait Perlak ia
mengatakan:35
We shall begin with the kingdom of Felech, which
is one of the eight. Its inhabitants are for the most
part idolaters, but many of those who dwell in the
seaport towns have been converted to the religion
of Mahomet, by the Saracen merchants who
constantly frequent them. Those who inhabit the
mountains live in a beastly manner. They eat
human flesh, and indiscriminately all other sorts
of flesh, clean and unclean. Their worship is
directed to a variety of objects, for each
individual adores throughout the day the first
thing that presents itself to his sight when he rises
in the morning.
( ... Dimulai dari kerjaaan Felech, satu dari
delapan kerajaan. Banyak dari penduduknya
sebelumnya adalah penyembah berhala , dan
sebagian besar yang tinggal di kota-kota
pelabuhan telah memeluk agama Muhammad
karena diajak oleh para pedagang Arab yang
sering mengunjungi mereka. Mereka yang
mendiami pegunungan masih hidup secara liar.
Mereka makan daging manusia serta daging
apapun, bersih maupun tidak. Mereka
menyambah banyak objek. Bagi setiap individu
menyembah sesuatu yang dilihatnya ketika
bangun tidur di pagi hari)
Hal positif yang dapat diketahui dari informasi di atas
adalah ternyata sejak abad 13, sudah ada orang-orang islam yang
mendirikan kerajaan di Perlak. Pedagang Arab memainkan peran
penting dalam proses konversi keyakinan penduduk lokal.
Kalangan niagawan nyatanya tidak saja menjadikan bandar-bandar
35
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian (New
York: W.W. Norton, 1930) hlm. 155.
26
Aceh sebagai perluasan pangsa pasar semata, melainkan juga
menggunakan kesempatan itu sebagai tukar pendapat mengenai
keyakinan yang berujung pada kebersediaan penduduk tepi pantai
menganut Islam.
Perlak muncul sebagai bandar kerajaan yang terkemuka
tidak terlepas dari harmonisasi yang dijalin antara penduduk lokal
dengan kalangan pendatang. Perilaku terbuka yang dimiliki oleh
penduduk pribumi membuat kalangan pendatang betah dan
menerbitkan suatu persepsi bahwa kawasan negeri Bawah Angin
ini memiliki potensi besar bagi perkembangan Islam kelak.
Sepertinya menjadi sesuatu yang dapat dipercaya, bahwa Islam di
Aceh telah tersebar dengan cara kebijaksanaan.
Satu diantara sumber yang bisa ditelisik mengenai awal
mula munculnya kerajaan Perlak adalah diceritakan oleh A.
Hasjmy yang menyebutkan bahwa sekitar tahun 173 H atau abad 9
M, berlabuh rombongan orang Arab, Persia dan India, bernama
Nakhoda Khalifah yang kira-kira berjumlah 100 orang di Bandar
Perlak. Kapal ini sesungguhnya merupakan suatu angkatan dakwah
yang menyamar sebagai kapal dagang. Istilah “Khalifah” merujuk
pada nama kapten atau nakhoda kapal tersebut, sehingga disebut
Nakhoda Khalifah.
Di kalangan penduduk Perlak yang kala itu masih
menganut agama Hindu Budha bahkan masih ada yang Perbegu
(Animisme), nakhoda khalifah dianggap sebagai sosok yang
bijaksana dan visioner, sehingga dapat menyatu dengan keadaan
masyarakat. Dalam waktu yang kurang dari setengah abad, pihak
keluarga dan pejabat kerajaan tertarik untuk mengenal Islam dan
mulai banyak yang memutuskan beralih agama, sehingga tanpa
menunggu waktu lama kerajaan Perlak menjadi kerajaan Islam.
Para rombongan angkatan dakwah pun banyak yang menikahi
gadis-gadis Perlak, sehingga semakin eratlah hubungan dua
golongan yang berbeda budaya itu. salah seorang pendakwah
menikah dengan putri kerajaan Perlak dan beranakan seorang
putera bernama Sayid Abdul Aziz. Sang anak inilah yang
kemudian didaulat sebagai raja Islam pertama Perlak bergelar
Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
27
Kisah kedatangan rombongan Arab hingga diangkatnya
Sayid Abdul Aziz sebagai raja Perlak pertama terdapat dalam suatu
kitab bernama Idharul Haq Fi Mamlakah Ferlak, tulisan Abu
Ishak Makarani al-Pasi. Seiring dengan berjalannya waktu, bandar
Perlak kemudian dirubah namanya menjadi bandar Khalifah yang
perekonomiannya disokong oleh perniagaan maritim lintas
benua.36
Pada 1271, datang serangan dari pasukan Sriwijaya ke
Perlak. Kemunculan mereka disinyalir guna memperluas wilayah
pengaruh Sriwijaya yang ketika itu sedang bergeliat menjadi
kerajaan terkuat di Sumatera. Akibat serbuan ini keluarga kerajaan
menyelamatkan diri keluar dari istana. Salah satu bangsawan
Perlak yang masih keturunan Raja Perlak bernama Meurah Ishak
memilih kawasan pedalaman Aceh sebagai tempat pelariannya.
Tidak berselang lama menetap, ia membangun kerajaan Lingga
(Linge) yang kini terletak di wilayah dataran tinggi Gayo, Aceh
Tengah. Bukan hanya di sekitar Aceh, peredaran sebaran
keturunan raja Perlak yang semula melarikan diri ini berada jauh
hingga di Aru (Karo) dan Minangkabau.37
Salah seorang keturunan Adi Genali, raja Lingga
berikutnya, yang bernama Meurah Johan menjadi murid Syekh
Abdullah Kan‟an, mahaguru di Dayah Cot Kala, pusat pendidikan
agama terbesar masa Perlak. Suatu ketika, ia mendengar bahwa
kerajaan Indrapurba yang masih beragama Hindu diserang oleh
pasukan Cina dibawah pimpinan putri Nian Nio. Meurah Johan
pun terlibat dalam serangakaian peristiwa yang berupaya untuk
menyelamatkan Indrapurba dari invasi Cina. Setelah melalui
pertempuran yang besar antara pasukan Indrapurba dan Perlak
dipimpin oleh Meurah Johan melawan Cina, kerajaan Indrapurba
berhasil dipertahankan, bahkan raja hingga seluruh aparat istana
dan rakyatnya menyatakan keislamannya. Sebagai bentuk balas
budinya, Meurah Johan dinikahkan dengan anak raja Indrapurba
36
A. Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di
Asia tenggara: dalam Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya ..., hlm. 146-147. 37
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 96-97.
28
bernama putri Indra Kusuma dan diberi sebidang tanah yang
menjadi bandar dagang ramai bernama Lamuri.38
Terkait dengan keberadaan Lamuri, Marco Polo yang
sempat mengunjungi kerajaan ini memiliki catatan tersendiri,
yakni:39
LAMBRI, in like manner, has its own king and its
peculiar language. The country produces
camphor, with a variety of other drugs. They sow
brazil and when it springs up and begins to throw
out shoots, they transplant it to another spot,
where it is suffered to remain for three years. It is
then taken up by the roots, and used as a dye-
stuff. Marco Polo brought some of the seeds of
this plant with him to Venice, and sowed them
there; but the climate not being sufficiently warm,
none of them came up. In this kingdom are found
men with tails, a span in length, like those of the
dog, but not covered with hair. The greater
number of them are formed in this manner, but
they dwell in the mountains, and do not inhabit
towns. The rhinoceros is a common inhabitant of
the woods, and there is abundance of all sorts of
game, both beasts and birds.
(Lambri, sebagaimana lazimnya kerajaan
lainnya, memiliki raja dan bahasa yang khas.
Negeri ini memproduksi camphor (kamper),
dengan berbagai macam pengolahannya dalam
bentuk obat-obatan. Para petaninya menebarkan
biji-bijiannya dan ketika telah tumbuh mereka
memindahkannya ke tempat lain, di mana di
tempat itu tanaman ini dibiarkan tumbuh selama
38 Pocut Haslinda MD Azwar, Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh
Hubungannya dengan Raja-Raja Islam Melayu Nusantara (Jakarta: Yayasan
Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 88; A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah
(Jakarta: Beuna, 1983) hlm. 55. 39
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157.
29
tiga tahun. Kemudian, akar-akarnya mulai
dipanen dan diolah menjadi bahan-bahan
penyeduhan. Saya (Marco Polo) membawa
beberapa biji-bijian ini ke Venezia dan
menanamnya di sana. Namun, karena iklimya
tidak hangat, tumbuhan ini gagal berkembang. Di
kerajaan ini juga ditemukan manusia berekor
panjang seperti anjing, namun tidak berbulu.
Sebagian besar dari mereka memiliki perangai
yang sama dan tinggal di kawasan pegunungan
dan tidak mendiami perkotaan. Badak menjadi
penghuni di hutan-hutannya. Di sana juga
diramaikan dengan tingkah polah burung-burung
dan banyak binatang buas.)
Manuel Komroff yang menyunting kisah A Travel of
Marco Polo ini menyebutkan bahwa dalam perbincangan masa,
telah berkembang kisah mengenai sosok manusia berekor seperti
di atas baik di Afrika, Borneo, kepulauan India dan Cina. Namun,
pada kenyataannya hingga sekarang, tidak pernah terbukti
kesahihamnnya mengenai penangkapannya. Di Eropa abad
Pertengahan juga pernah beredar informasi bahwa terdapat orang-
orang Inggris (Eglishmen) yang memiliki ekor pendek.40
Pada tahun 1205, Pasca meninggalnya Maharaja Indra
Sakti, Raja Indrapurba, Meurah Johan diangkat menjadi raja Indra
Purba bergelar Sultan Alaiddin Johan Syah. Kerajaan Indrapurba
dirubah menjadi kerajaan Islam bernama Darussalam. Tidak
berapa lama dibangunlah ibukota baru yang terletak di tepi sungai
Kuala Naga (Krueng Aceh sekarang) yang diberi nama Bandar
Darussalam.41
Samudra Pasai menjadi kerajaan lain yang tidak kalah
penting dalam era keemasan Aceh sebagai pusat Islam berikutnya.
Merujuk pada penjelasan Uka Tjandrasasmita, Samudra Pasai
didirikan oleh Meurah Silu yang diprakarsai oleh para saudagar
40
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157 41
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 55-56
30
Arab yang sejak beberapa waktu sebelumnya telah rajin
menyambangi bandar yang masih sederhana itu untuk berniaga.
Kemunculan kerajaan ini juga ditengarai akibat melemahnya peran
Sriwijaya dalam mengelola pelabuhannya, sehingga para pedagang
Arab mulai menimbang keberadaan pelabuhan alternatif yang
kapasitas serta standarisasinya tidak kalah dengan Sriwijaya.
Selain itu, ditilik dari jarak tempuh, tidaklah sejauh Sriwjaya
sehingga dapat memangkas biaya perjalanan.42
Sumber tertulis yang menjadi acuan keberadaan kerajaan
Samudra Pasai dapat ditelisik dari prasasti raja pertamanya,
Malikus Saleh yang sebagaimaa tertulis di nisannya, meninggal
pada tahun 1297. Informasi historis mengenai mangkatya tertulis
di sisi badan nisan yang isinya sebagai berikut:
Dunia ini akan musnah; sifatnya berubah-ubah.
Ibaratnya seperti rumah tenunan laba-laba.
Wahai orang-orang yang mengejar keduniawian,
mereka itu hanya akan puas dengan sarana
hidup. Berilah perhatian kepada hidupmu, karena
setiap orang yang lahir di dunia ini akan mati.
Inilah kubur orang saleh, terhormat, darah luhur,
orang besar, tawakal, seorang pahlawan yang
bergelar Sultan Malikus Saleh.
Ia meninggal dalam bulan Ramadhan tahun 696
sepeninggal Nabi.
Slamet Muljana memberikan catatan tersendiri perihal
tahun wafatnya Sultan Samudra Pasai pertama ini. Penyataan
mengenai perhitungan tahun Islam dengan ungkapan “pasca
meninggalnya Nabi” terdengar janggal, karena tarikh Islam itu
biasanya disebutkan dengan ungkapan “hijrah Nabi”. Hal ini pula
yang menyebabnya dalam sistem tanggalan Islam dikenal dengan
tahun hijriyah atau hijrah. Antara “hijrah Nabi” dan “Wafat Nabi”
terdapat selisih 10 tahun. Dengan begitu tahun berpulangnya
42
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota
Muslim di Indonesia Dari Abad XIII Sampai XVIII Masehi (Kudus: Penerbit
Menara Kudus, 2000) hlm. 19.
31
Sultan Malikus Saleh bisa jatuh pada 1297 atau 1307, namun
sampai sekarang yang masih diyakini adalah 1297.
Selain itu, Marco Polo juga sempat mengunjungi kerajaan
ini, yang dalam catatannya disebut dengan Samara. Di tempat ini
Marco Polo melihat penduduk pribumi yang memakan daging
temannya sendiri. Di samping itu, di sekitar lingkungannya
terdapat suatu parit besar yang berakhir di pantai tempat
bersandarnya kapal-kapal. Dikatakan pula bahwa ikan yang ada di
perairan Samara adalah yang terbaik di dunia.
Di negeri ini tidaklah ditemukan tepung, melainkan nasi.
Wine pun tidak ada di sini, namun penduduknya terampil
menyuling air tanaman sejenis palm guna dihidangkan dalam
sajiannya. Disebutkan pula bahwa di sini ditemukan banyak
“kacang India” (Indian-nut) yang merupakan sebutan Marco Polo
atas kelama (coco-nut) besarnya se-kepala manusia, rasanya enak
dan buahnya seputih susu.43
Memasuki pertengahan abad 14, Ibnu Batutta dikabarkan
pernah mengunjungi kerajaan Samudra. Ia mengabadikan
kunjungannya itu dalam catatan perjalanannya yang berjudul
Rihla. Dalam catatannya ini, Samudra dikatakan terletak di sisi
sebuah sungai yang mengalir ke bawah dari pegunungan liar di
daerah pedalaman sebelah barat laut. Kunjungannya ini terjadi
ketika Samudra dipimpin oleh Malikuz Zahir, raja ketiga Samudra
Pasai.
Di kerajaan ini ia dan rombongannya disambut dengan
hangat oleh sang raja yang berdiam di dalam kota yang berdinding
kayu itu. kota itu terletak beberapa mil di sebelah hulu sungai dari
pemukiman pelabuhan. Ia menyimpan kesan bahwa sang raja amat
menikmati perbincangan mengenai hukum Islam dengan sejumlah
kecil sarjana hukum. Tradisi di istana memiliki corak hasil adopsi
dari unsur Hindu-Budha yang lazim ditemukan di Melayu.
Ibnu Batutta memiliki pengalaman unik, yakni ketika
menukar celananya dengan kain sarung, dan sebelum tampil di
43
Manuel Komproff, Travel of Marco Polo ..., hlm. 156-157.
32
istana ia memakai seperangkat pakaian mewah adat setempat.
Ketika ia datang ke Samudra ia mendatangi seorang perwira tinggi
militer yang dikenalnya. Ia berkenalan ketika sang perwira yang
beberapa tahun sebelumnya pernah mengunjungi Delhi dalam
rangka misi diplomatik. Sang perwira pula yang mengantarkan
Ibnu Batutta menghadap sultan Samudra. Ia duduk di samping kiri
sang raja dan terlibat pembicaraan seputar perjalanan dan
urusannya di Delhi. Menurut penuturannya ia hanya tinggal 2
minggu di Samudra.44
Adanya ketiga bandar dagang itu, memiliki fungsi utama
dalam tersebarnya Islam di Aceh. Para pedagang bukan hanya
bertindak sebatas kebutuhan ekonomi, namun juga mengupayakan
motif lain,yakni sebagai wahana memperkenalkan Islam.
Belakangan, sebagaimana yang dijelaskan Uka Tjandrasasmita,
mereka juga berkeinginan menjalin suatu kemitraan dengan
penguasa lokal untuk membangun institusi pemerintahan dalam hal
ini adalah kerajaan guna mengakarkan tali silaturahmi sekaligus
memperkuat tradisi niaga yang sebelumnya telah dibangun para
pedagang pendahulu.
Jika dilihat dalam perilakunya, para ulama memainkan
peran penting dalam pembentukan institusi pemerintahan lokal.
Dilihat dari kasus berdirinya Perlak, Sayid Abdul Aziz bukanlah
sosok birokrat tulen, melainkan adalah seorang yang paham akan
ajaran agama. Pun dengan Syekh Abdullah Kan‟an, mahaguru
Dayah Cot Kala, menjadi mentor utama dalam pembentukan
karakter seorang Meurah Johan. Besar kemungkinan, hubungan
mereka bukan hanya sebatas guru, malainkan juga seperti orang
tua. Syekh Abdullah bukan hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu
agama, melainkan juga budi pekerti sekaligus ilmu kepemimpinan
sehingga Meurah Johan percaya diri memimpin bala tentara
gabungan Perlak dan Indra Purba. Kejadian serupa agaknya juga
dialami Meurah Silu. Kebulatan tekadnya semakin kuat dengan
44
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta Seorang Musafir Muslim
Abad 14, terj. Amir Sutaarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 291-
291.
33
disokong para saudagar Arab yang tentu saja beberapa dari mereka
memiliki tingkat pemahaman agama yang tinggi.
Tradisi kemitraan ulama dengan umara (pemimpin) bukan
hanya terpahat di kawasan pesisir Aceh. Melainkan telah terjadi
pula di pedalaman Aceh, yakni di negeri sultan Aceh pertama
Meurah Johan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ia
merupakan anak dari Adi Genali yang merupakan Raja kerajaan
Linge. Salah satu sumber menyebutkan bahwa ia merupakan
menantu Raja Rum (Turki?) asal usul Adi Genali dalam Kronik
Gayo45
adalah seorang anak negeri Rum yang menikah dengan
sepupunya, Putri Terus Mata. Pasangan ini sebenarnya merupakan
dua orang yang berasal dari satu garis keturunan. ayah mereka
adalah kakak beradik. Hal ini dapat diketahui dari kronika Gayo
berikut ini:
Ara roa jema i negeri Rum. Jema wa murum sara
ine a-ma. Keta si bensu memega-ng hukum.
Abenge umum rakyat jelata. Tentang ni tun ne
gere ara maklum. Gere sahpe mepum kedelen
jema. Lagi menulis gere ara maklum. Ike rakyat
umum i waktu oya. Kati selese ku ulaki miyen.
Enti muligen kati terang nyata. Ngiye si bensu
menjadi sultan. Keta abange rakyat biasa. Si
bensu pitu anake banan. Nguk iperinen bewene
peteri. Si tue pitu anake rawan. Menurut bilangan
tujuh lelaki.
Ada dua orang di negeri Rum. Orang itu kumpul
satu ibu bapa. Lalu yang bungsu memegang
hukum. Abangnya umum rakyat jelata. Tentang
tahunnya tidak ada yang tentu. Tidak seorang pun
faham kebanyakan orang. Lagi pula menulis tidak
ada maklum. Jika rakyat umum di waktu itu.
45
Kronik Gayo merupakan istilah Mukhlis PaEni yang menampilkan
suatu bentangan tradisi bertutur yang memiliki muatan historis terhadap tumbuh
kembang etnis Gayo. Seperti banyak legenda lainnya, dalam kronik ini juga
didapati beberapa hal yang irasional dan belum banyak diungkap secara
akademik.
34
Supaya jelas kuulangi lagi. Jangan keliru supaya
terang nyata. Maka abangnya si bungsu menjadi
sultan. Lantas abangnya rakyat biasa. Yang
bungsu tujuh anaknya perempuan. Boleh
dikatakan semua puteri. Yang tua tujuh anaknya
jejaka. Menurut hitungan tujuh lelaki.
Genali sendiri merupakan anak dari seorang rakyat biasa,
sedangkan bakal istrinya merupakan anak sang raja. Nasib pun
berbalik, Genali yang sebelumnya anak seorang biasa mendapat
bantuan dari Raja Rum yang dibawa bersamaan dengan
kedatangan calon istrinya itu ke Buntul Linge, pulau tempat Genali
terdampar, ketika sebelumnya terombang-ambing ketika
memancing. Di sana pasangan ini mendirikan kerajaan Linge. Hal
ini tersebut pula dalam Kronika Gayo, sebagai berikut:
... Hukum i osah ku Bujang Genali. Sah kin suami
peteri Terus Mata. Umur lanyut rum mudah
rejeki. Laki isteri aman sentosa. Jema ini le mulo
menjadi reje. I Nenggeri Gayo menjadi kepala.
Nge ara tanoh tempat ni kute. Kenak ni Tuhen te
menjadi pora-pora. Ini le mulo asal kerejeen
Linge. Kati sudere mumuham makna. I jemen
kelamin beta kedah mulo. Menurut berite dahulu
kala. Asal ni Linge ari Leinge, Ara i penge gere
berjema. Sewaktu kapal mulo i talue. Ling i penge
nggih telas ku mata.
Hukum (nikah) diberikan kepada Bujang Genali.
Sah menjadi suami “Puteri Terus Mata”. Umur
lanjut rezeki mudah. Suami isteri aman sentosa.
Orang inilah menjadi mula-mula raja. Di negeri
Gayo menjadi kepala. Sudah ada tanah tempat
dijadikan kota. Kehendak Tuhan menjadi sedikit-
sedikit. Inilah mula-mula asal kerajaan Linge.
Supaya saudara tahu akan makna. Di zaman
dahulu kala begitu kira-kira. Menurut berita
dahulu kala. Asalnya Linge dari suaranya. Ada di
dengar tidak ada berorang. Sewaktu kapal
35
dipanggilnya. Suara di dengar tidak tampak di
mata.
Dalam tradisi pemerintahan yang dikenal di Gayo, dikenal
pula suatu dewan kerajaan yang bernama Sagi Pendari, yakni
suatu dewan penasihat yang terdiri dari menteri dan ulama. Hal ini
disebutkan pula dalam Kronika Gayo. Penjelasan istilah ini
dibumbui cerita ketika Raja Rum, yang tak lain adalah paman
Genali, bingung akan rumahnya yang dikirimi Genali ikan yang
didalamnya berisi emas dan intan, redaksinya sebagai berikut:46
Emas urum entan nge mureruah. Wan si belah
tuke e pedet. Sulthan mengucep alhamdu lillah.
Kurnie Allah ini nge depat. Delem pede beta
Sulthan tenggersah. Kerna gere penah ara
beta buet. Ini mulo hal sana diye surah. Tentu
le udah ara sara alamat. I talu Sulthan sagi
pendari. Perdana menteri si mupangkat. Alim
ulama si pane mengaji. Rakyat rami genap
mupakat.
Emas dan intan berlimpah ruah. Dalam perut
ikan telah padat. Sulthan mengucap alhamdu
lillah. Karunia Allah ini telah dapat. Dalam
pada begitu pun Sulthan gelisah. Karena tidak
pernah ada begini kejadian. Ini suatu hal apa
gerangan makna. Tentu saja ada barangkali
suatu alamat. Dipanggil sultan sagi pendari.
Perdana menteri yang berpangkat. Alim ulama
yang pandai mengaji. Rakyat ramai teman
bermufakat/musyawarah.
Kronik Gayo merupakan salah satu sumber lokal Aceh
Tengah yang belum banyak diungkap dalam menelisik
perkembangan Islam di Aceh kawasan Tengah. Memang, dalam
46
Lihat lampiran Kronika Gayo di Mukhlis PaEni, Riak di laut Tawar;
Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah (Jakarta:
Arsip Nasional Republik Indonesia dan Gadjah Mada University Press, 2003)
hlm. 233-245.
36
sumber ini tidak dijelaskan secara spesifik mengenai kapan Islam
datang ke Aceh Tengah, oleh karena pengkisahannya berangkat
dari negeri bernama Rum, yang kerap dikaitkan sebagai daerah
Turki atau Istanbul. Terkait hubungan lebih jauh antara Gayo dan
Turki memang belum dibuktikan secara menyeluruh dan perlu
diadakan penelitian lebih lanjut.
Terdapat penjelasan lain mengenai terbentuknya entitas
masyarakat Gayo. Menurut H.M. Zainuddin dengan mengutip dari
Gerini, masyarakat Gayo sebenarnya berasal dari nenek moyang
yang awalnya tinggal di kawasan pesisir, yakni orang-orang
Samudra. Ketika terjadi penyebaran Islam, mereka memutuskan
untuk mengundurkan diri di kawasan pedalaman sebagai yakni ke
kawasan hulu sungai Peusangan. Karena hal ini mereka disebut
“Kayo” yang berarti “ketakutan” yang kemudian berubah menjadi
“Gayo”. 47
Kerajaan-kerajaan pesisir ditambah kerajaan Linge di atas
menjadi pintu dari tersiarnya Islam di bumi Aceh. Perlahan
komunitas Muslim mulai terbentuk, utamanya mereka yang berasal
dari negeri asing. Di beberapa sisi pasar maupun tempat keramaian
mulai disesaki oleh para pedagang asing dan beberapa dari mereka
mulai mencari tempat persinggahan untuk memperlancar
urusannya dengan penduduk lokal. Tidak jarang mereka
membangun suatu koloni tersendiri.
Hal tersebut disepakati oleh Uka Tjandrasasmita yang
menyebutkan bahwa besar kemungkinan para pedagang Muslim
yang datang ke suatu tempat perdagangan di Nusantara tidak lantas
kembali ke tempat asal mereka. Mungkin mereka menunggu
barang dagangannya habis terjual dan kembali dengan mengangkut
komoditas hasil bumi setempat. Masa jeda pulang pergi sang
saudagar juga dimungkinkan terjadi karena menunggu waktu
pelayaran kembali yang tergantung pada musim. Untuk itu mereka
pun harus bermukim selama beberapa bulan.
Lambat laun, para pedagang itu berkumpul dalam suatu
pemukiman tersendiri. Pemukiman semacam ini adalah satu
47
H.M. Zainuddin. Tarich Atjeh ..., hlm. 26.
37
kawasan yang dihuni kaum Muslim yang berasal dari Persia, India
dan Arab. Perlahan, akan terbangun pula komunikasi sekumpulan
orang asing ini dengan masyarakat setempat yang memungkinkan
terhubungnya islamisasi, terlebih di antara penduduk setempat
terjadi perkawinan sehingga terbentuklah keluarga-keluarga
Muslim yang kian banyak yang kemudian menjelma menjadi
masyarakat Muslim.48
B. Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam
Bentuk-bentuk penyempurnaan Aceh sebagai suatu
peradaban Islam sampai ketika masa pemerintahan Aceh
Darussalam. Terdapat dua pendapat besar mengenai sejak kapan
kerajaan ini berdiri. Pertama, ada yang menganggap bahwa Aceh
Darussalam merupakan bentuk pengembangan dari kerajaan Aceh
yang dirintis oleh Meurah Johan pada abad 13. Atau ada pula yang
mengatakan baru dimulai sejak masa Ali Mughayat Syah.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Busatanus Salatin yang
mengatakan bahwa yang pertama mengampukan kerajaan Aceh
Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah pada hari ahad
bulan Jumadil Awal tahun 913 H.
Disebutkan pula bahwa Ali Mughayat Syah merupakan
sultan pertama yang masuk Islam dan menetapkan (mengersakan)
agama Islam dalam kerajaannya. Ar-Raniri juga menyebutnya
sebagai penguasa perkasa yang menaklukkan Pedir, Samudra dan
negeri-negeri kecil. Ia turun tahta pada 928 H.49
Terlepas dari polemik tersebut, Aceh Darussalam
merupakan wajah kegemilangan pemerintahan Islam di Aceh yang
menabalkan kerajaan ini sebagai kekuatan yang paling
diperhitungkan di tataran regional Asia Tenggara. Hal ini bisa
dilihat dari kemunculannya sebagai emporium yang memiliki
pasukan kuat sehingga siap menghadapi gempuran Portugis, lawan
politiknya, yang pada tahun 1511 telah menguasai Malaka.
48
Uka Tjandrasasmita, Kota-Kota Muslim ..., hlm. 28-30. 49
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, hlm. 12.
38
Di masa-masa setelahnya Aceh Darussalam disemaraki
oleh hari-hari yang amat sibuk dan kosmopolit. Selain
mempersiapkan diri dalam perang estafet menghadapi Portugis,
para rajanya tidak begitu saja abai dalam pembangunan
kerajaannya. Dikuasainya Pedir dan Pasai merupakan satu babakan
penting dalam tumbuh kembang ekonomi maritim kerajaan ini.
Dua kerajaan ini telah memiliki keunggulan dalam perniagaan
antar bangsa, sehingga penguasaan atasnya turut memperbanyak
kas perbendaharaan kerajaan.50
Dalam bidang intelektualitas, Aceh menjadi sentra ilmu
pengetahuan terkemuka di dunia. Tidak dapat dipungkiri,
perdagangan antar bangsa ikut menggiring kebesaran tradisi
keilmuan Aceh ke pentas dunia. Sejak itu, para sarjana Islam mulai
berdatangan ke kerajaan ini, baik untuk belajar dan mengajar.
C. Terbentuknya Masyarakat Muslim Aceh
Pada masa sebelum datangnya Islam, kehidupan
masyarakat Aceh, sebagaiana yang terjadi di negeri-negeri
Nusantara lainnya, masih diliputi oleh suasana keagamaan dan
kebudayaan Hindu Budha. Hubungan dagang India dan Nusantara,
termasuk dengan Aceh, yang terbangun sejak masa lampau,
disinyalir menjadi jembatan maraknya bentuk-bentuk peradaban
India di ruang pergaulan masyarakat Aceh.
Merujuk pada catatan Cut Nyak Kusmiati, pengaruh Hindu
terhadap masyarakat purba Indonesia, hendaknya jangan
disempitkan hanya pada wilayah agama Hindu semata. Lebih jauh,
Hindu telah merasuk dalam alam pikiran dan tingkah laku manusia
Nusantara. Pengaruh ini menyebabkan perubahan cara hidup
manusia Nusantara baik dalam segi kehidupan bermasyarakat,
perekonomian dan keagamaan.
50
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah Tradisi dan Budaya (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 200) hlm. 15.
39
Sudah sejak masa prasejarah telah terbangun hubungan
maritim India dan Nusantara. Di antara mereka sudah terbangun
pengertian dan toleransi oleh sebab tradisi yang mereka punya
terdapat kesamaan, sehingga kedatangan orang-orang India tidak
dimaknai sebagai suatu bentuk penjajahan.
Uraian dari Cut Nyak Kusmiati tersebut agaknya masih
membicarakan kehidupan bangsa Nusantara secara umum dan
belum menukik lebih jauh perihal kehidupan masyarakat Aceh pra
Islam. Jikapun ada, maka informasinya belumlah dikatakan cukup.
Ia hanya menambahkan bahwa kemungkinan masyarakat Aceh pra
Islam masih menjalani kehidupan mengembara ataupun
berkelompok.51
Namun begitu, pendapat lain terkait eksistensi kerajaan-
kerajaan pra Islam Aceh agaknya dapat dijadikan acuan bahwa
Aceh telah mengenal suatu bentuk kepemerintahan jauh sebelum
Islam datang. Jika ada pemerintahan ditambah perdagangan seperti
telah disinggung sebelumnya, maka sudah barang tentu masyarakat
Aceh sudah mencapai taraf yang tinggi dan telah jauh lepas landas
dari pola hidup yang dikatakan masih sederhana. Adanya kerajaan
Indrapurba seperti diungkapkan sebelumnya, menjadi tonggak
informasi bahwa penduduk Aceh sudah mengenal suatu bentuk
produk peradaban, dalam hal ini kepemerintahan, yang di kala itu
dapat dikatakan merupakan suatu bukti kemajuan pola pikir
manusia.
Masuknya Islam ke Aceh sudah barang tentu ikut
merenovasi arsitektur pergaulan masyarakat Aceh. Jika ditilik dari
beberapa sumber seperti Bustanussalatin dan Kronik Gayo, di atas,
maka dapat diperoleh gambaran Islam telah merasuk dan
membumi dalam sendi kehidupan lokal. Bukan hanya itu, ajaran
51
Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang
Kedatangan Islam”, dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk Islam ..., hlm. 90-91.
Beberapa peninggalan arkeologis yang menandakan adanya pengaruh Hindu di
Aceh adalah terdapat di Aceh Besar, dekat Krueng Raya, di kaki gunung
Seulawah. Menurut riwayat lama, di Lamu Panaih (Lam Panaih), Kalee, Biheue
dan Laweueng pernah berdiri kerajaan-kerajaan kecil Hindu. Luhat Zainuddin,
Tarich Atjeh ..., hlm. 42,
40
Islam kemudian dimanifestasikan dalam undang-undang
kenegerian yang mengatur hampir di setiap bidang kehidupan
masyarakat.
Pengaruh Islam tentu saja bertalian dengan gelombang
dakwah yang dilakukan oleh para pendatang dari Arab, India
maupun Persia. Budaya dan adat baru sudah tentu mereka bawa.
Awalnya masyarakat hanya menjadi penyimak, lalu kemudian,
setelah terjalin keakraban di antara mereka melalui kepentingan
niaga, barulah dialog yang lebih intensif merambah ke ranah
tradisi, budaya maupun agama. Hubungan yang tadinya hanya
sebatas ekonomi pun telah mencair digantikan dengan
pembicaraan yang lebih ringan, renyah, dan melebar ke topik-topik
lain.
Baik si pedagang maupun pembeli, sudah tentu harus
membangun hubungan yang intens. Terlebih jika sudah menjadi
pelanggan, tentu ada beberapa manfaat yang diberikan penjual
untuk memanjakan pembelinya agar tidak berpindah ke lain
pedagang. Bentuk-bentuk pergaulan sederhana seperti inilah yang
kemudian bergulir ke arah yang lebih serius, termasuk dalam hal
kepercayaan, jika tidak demikian niscaya dakwah di kalangan
penduduk yang telah memiliki keyakinan, dalam hal ini Hindu
maupun Budha, tentu menapaki jalan terjal.
A.K. dasgupta menambahkan, bukan hanya peradaban
India yang larut dalam komposisi peradaban Aceh, melainkan juga
dipengaruhi dari Batak. Keduanya menjadi dua aliran yang turut
mewarnai corak kebudayaan Aceh. Dasgupta mencatat bahwa baik
Batak dan Aceh sebenarnya merupakan daerah landasan peradaban
India, keduanya mengadakan liberalisasi bahasa Sanskrit yang
kemudian digunakan sebagai bahasa Sanskrit model lokal. Ia
masih menyangsikan, kapan waktu dua aliran kebudayaan ini ikut
serta menjadi komposisi Aceh. Belum ada kejelasan waktu, apakah
dua-duanya datang di masa awal pembentukan Aceh atau di masa
setelahnya.52
India mungkin memiliki daya pengaruh yang lebih
kuat dibanding Batak, mengingat banyak pula para ahli yang
52
A.K. Dasgupta, Aceh In Indonesian Trade and Politics: 1600-1641
(England: Universisebagaty of Microfilm, 1962) hlm. 3.
41
menyatakan bahwa budaya India turut hidup dan berkembang di
Aceh.
Kepentingan bermukim bagi para saudagar asing sudah
tentu akan bersinggungan dengan izin dari penguasa, selain pula
mereka sudah dipertemukan ketika membayar bea masuk dan
bongkar muat di pelabuhan. Intensitas pertemuan yang demikian
tinggi ketika mengurus suatu kepentingan birokratis, turut
melapangkan hubungan para saudagar dengan para penguasa dari
tataran bawah hingga mereka yang duduk di istana. Ini pula yang
kemudian membuka jalur komunikasi antara saudagar serta ulama
asing pada para raja maupun jajarannya, sehingga Islam kemudian
dapat diperkenalkan dan belakangan bahkan menjadi agama
kerajaan atau justru menginisiasi lahirnya kerajaan baru.
Dasgupta mengutip suatu kronik yang mengatakan bahwa
pada 601 H (1205) datang seorang asing dari barat yang
memperkenalkan Islam menikah dengan bidadari dan tinggal di
kawasan Kandang Aceh. Ia mendapat gelar kehormatan dari Sultan
Johan Syah, Sultan Aceh pertama. Beredarnya legenda seperi ini
menunjukkan sudah demikian dekatnya komunitas Arab sehingga
muncul kisah dimana ia menikah dan tinggal di Kandang, suatu
kawasan yang hanya dihuni oleh keluarga kerajaan Aceh terlebih
mendapat orang asing itu dianugrahi gelar oleh Sultan Johan
Syah.53
Sebagaimana telah diungkapkan di bab 1, penulis
membatasi studi sejarah Aceh pada abad 17. Dengan begitu,
seputar kehidupan sosio-keagamaan yang diterangkan hanya
terfokus di abad tersebut. Sebagaimana diketahui, dalam sumber-
sumber lokal berbahasa Melayu, tidak dipaparkan secara spesifik
mengenai gambaran bentangan kehidupan masyarakat Aceh. Yang
terekam, hanyalah bahwa raja memiliki perhatian yang besar
terhadap tumbuh kembang bidang keagamaan. Dalam memotret
sosok Iskandar Muda contohnya, Bustanussalatin menceritakannya
sebagai raja yang menegakkan ajaran Islam, menyuruh rakyatnya
53
Dasgupta, Aceh In Indonesian ..., hlm. 12.
42
sembahyang, puasa ramadhan, puasa sunnah, melarang rakyatnya
minum arak dan berjudi.54
Namun begitu, sumber ini memberikan semacam clue
lainnya yang memang menandakan terdapat perhatian pemerintah
yang cukup besar terhadap perkembangan Islam di seantero Aceh.
Dari segi fisik, Baitul Maal mulai direorganisasi fungsinya dan
pembangunan masjid Baiturrahman. Dalam uraian sebelumnya, ar-
Raniri tidak menjelaskan secara spesifik kemajuan apa yang dituai
di masa Sultan Aceh pra Iskandar Muda. Besar kemungkinan, ar-
Raniri merasakan betul kemajuan yang telah ditorehkan oleh
Iskandar Muda, sehingga harus dicatat dalam karyanya.
Tidak dapat dipungkiri, dalam mengunduh informasi dari
sumber lokal, terdapat kelemahan tersendiri, yakni munculnya
kesan amat dekatnya arah tulisan ke lingkungan istana. Hal ini erat
kaitannya dengan pertimbangan si penulis dalam menimbang
segala kemungkinan akan setiap bait yang ditulisnya. Tentu akan
menimbulkan masalah yang cukup pelik jika karyanya ini
mengungkap banyak keburukan yang berarti pula berseberangan
dengan garis kekuasaan kala itu.
Namun begitu, hal tersebut jangan dijadikan suatu
pembenaran untuk keharusan meminggirkan sumber lokal hanya
karena subjektifitasnya. Banyak hal lain yang tentu dapat diperoleh
utamanya mengenai informasi awal akan suatu kejadian maupun
peristiwa masa lampau. Hal ini diingatkan lebih lanjut oleh Uka
Tjandrasasmita yang mengatakan bahwa dalam menyusun sejarah
Indonesia, khususnya sejarah Islam, sumber-sumber manuskrip
lokal memiliki kontribusi yang penting. Naskah-naskah tersebut
mengandung informasi melimpah tentang masyarakat pada
zamannya.55
Bersandar pada pendapat Uka, posisi Bustanussalatin
nyataya memiliki fungsi serupa guna merekonstruksi kembali
54
Bustanussalatin, hlm. 16. 55
Uka Tjandrasasmita,Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian
Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan badan Litbang dan Diklat Kementeriaan Agama RI, 2012) hlm. 17.
43
bentangan keadaan masyarakat Aceh abad 17. Pembangunan
masjid yang disponsori pihak kerajaan menjadi indikasi betapa
Islam telah dikembangkan oleh penguasa yang nantinya digunakan
sebagai kepentingan bersama. Dengan begitu dapat ditarik suatu
gambaran, masyarakat Islam telah terbentuk dengan baik
disamping pula terdapat seruan dari penguasa untuk melakukan
perintah agama dan menjauhi larangannya.
Kemungkinan selanjutnya yang dapat ditarik dari seruan
iskandar Muda untuk menjauhi judi dan arak adalah suatu
penegasan bahwa kerajaannya ingin memberantas dua penyakit
masyarakat tersebut. Larangan tentu saja tidak akan begitu saja
terucap, jika tidak ada sesuatu yang melatarbelakangi larangan
tersebut. Pendapat ini boleh dikatakan masih terlalu dini, oleh
sebab belum adanya informasi yang valid mengenai penyimpangan
sosial yang direkam oleh sumber lokal.
Adalah petualang asal Prancis, Agustin de Beaulieu, pada
1621 sempat mengunjungi Aceh Darussalam. Dalam catatannya, ia
merekam orang-orang yang dijatuhi pidana, yakni:56
... Setiap hari raja memerintahkan dilaksanakan
hukum potong atas rakyatnya, kadangkala
memotong hidung, telinga, kaki, mencungkil
mata, kadangkala mengebiri seseorang hanya
karena kesalahan sepele dengan cara yang begitu
kejam dan memilukan sehingga algojo meminta
upah sejumlah uang kepada para korban untuk
mempersingkat derita mereka. Uang tersebut
harus dibayar di muka supaya hukuman dapat
dipercepat, jika tidak, hidung korban akan
dipotong sedalam-dalamnya sehingga bagian
otaknya terurai dari luka itu. jika kaki yang
dipotong, dapat dilakukan dengan sekali tebas
atau beberapa kali. Jika telinga yang dipotong,
bagian pipi bisa ikut terpotong, begitu seterusnya.
56
Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis; Dari Abad
XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006)
hlm. 71-72.
44
Jika benar apa yang diungkapkan maka wajah Aceh
mercerminkan kehidupan seperti ditemukan di tempat lain, di
mana kebaikan dan kejahatan beriringan. Dua catatan dari saksi
sejarah itu setidaknya menyokong pendapat demikian. Sulit
kiranya jika hanya menyandarkan rekontruksi perilaku masyarakat
Aceh dari Bustanussalatin, perlu pula kiranya menengok catatan-
catatan lain yang merekam suatu masa yang sama.
Hasjmy mengatakan bahwa penduduk Aceh sebelum
datangnya Islam berasal dari suku-suku dari negeri-negeri Atas
Angin lainnya seperti dari Hindia (India), Siam, Funan, Kamboja
dan Campa. Mereka semua adalah pecahan dari bangsa Mon
Khmer dan suku Mantra (Mantir, yang kemudian oleh orang Aceh
disebut Manteu.
Setelah Aceh telah didakwahi ajaran Islam, terjadi
perubahan komposisi masyarakatnya, menjadi lebih kaya dan
heterogen. Orang Persia, Arab dan Afrika berdatangan dan
menetap menjadi warga negara. Belakangan, mereka pun banyak
yang duduk di kursi pemerintahan. Seiring berjalannya waktu,
tidak ada lagi sekat pembeda diantara mereka, dan bangsa Aceh
yang disaksikan sekarang ini merupakan campuran di antara anasir
suku yang pernah mendiami Aceh.57
Denys Lombard memberikan catatan tambahan mengenai
hadirnya orang asing ke Aceh. Seperti di Malaka dan di Ayuthia
(Thailand), bangsa yang beragam ini dikelompokkan dalam
kampungnya masing-masing. John Davis, seorang pelaut Belanda
pertama yang datang ke Aceh pada 1625 mengungkapkan bahwa
di Aceh kala itu ada kampung Portugis, kampung Gujarat,
kampung Arab, Kampung Bengali dan Kampung Pegu. Mereka
yang menyembah berhala pun mempunyai meru-meru (tempat
ibadah) mereka sendiri. Ada pula kampung Cina dan Eropa yang
rumahnya saling berhimpitan dan ada pula kampung lain yang
rumahnya letaknya berjauhan.58
57
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 140-141. 58
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 61.
45
Masyarakat pribumi, selain berdagang, juga
menggantungkan hidup pada beberapa mata pencaharian. Menurut
Lombard, orang Aceh pada umumnya sejak dahulu dikenal bangsa
Eropa sebagai nelayan yang hilir mudik di teluk dengan
mengendarai perahu mereka yang bercadik dua. Menangkap ikan
adalah bagian penting dalam keseharian orang Aceh. Ikan di
perairannya sangat melimpah di sungai maupun laut. Ikan
termasuk dalam makanan sehari-hari. Guillaume Dampier, pelaut
asal Prancis, mengatakan bahwa nelayan tergolong yang paling
kaya dari semua orang yang mempunyai keahlian.
Selain nelayan, pengrajin merupakan profesi yang juga
populer. Masih menurut Dampier, di Aceh banyak terdapat pandai
besi yang baik-baik mengerjakan segala macam pekerjaan besi,
baik yang termasuk pekerjaan berat maupun yang berupa pisau,
keris, mata lembing dan senjata lainnya. Sepertinya sulit mencari
padanan atas keahlian mereka. De Beaulieu juga mengatakan
bahwa terdapat tukang-tukang tuang meriam. Mereka juga
menuang berbagai macam alat dari kuningan seperti kandil, lampu,
bokor. Mereka juga banyak melakukan pelarikan, baik yang
berbahan tembaga atau kayu. Pandai emas juga dianggap sebagai
profesi yang istimewa. Dikatakan bahwa Sultan Iskandar Muda
amat besar perhatianya pada batu permata dan emas.59
Masyarakat yang terbentuk di Aceh adalah berkomposisi
heterogen. Bukan hanya diikat oleh hubungan dagang, melainkan
juga persamaan keyakinan. Kondisi ini dianggap sebagai kekuatan
potensial yang harus terus dijaga, salah satu bentuk penjagaannya
adalah dengan membangun fasilitas yang mendukung agar
hubungan antara penduduk pribumi dengan pendatang yang
kemudian bermukim dapat menguat. Fasilitas yang paling efektif
untuk merawat keharmonisan ini adalah masjid.
Ar-Raniri menyebutkan bahwa ketika Iskandar Muda
bertahta, pembangunan masjid menjadi kegiatan kerajaan yang
banyak dilakukan. Bukan hanya Baiturrahman, aparat kerajaan
juga banyak membangun masjid di tempat lainnya.60
Gagasan ini
59
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 64-65. 60
Bustanussalatin, hlm. 16.
46
agaknya masih dilakukan ketika Iskandar Thani naik tahta, di
Bandar Darussalam yang semakin ramai, dibangun masjid yang
bernama Baitul Musyahadah. Ramainya pasar-pasar pesisir
menyebabkan kebutuhan akan tempat ibadah tentu saja meningkat.
Pembangunan masjid ini sekaligus membuktikan bahwa aparatur
kerajaan tidak hanya menilik eksistensi umat pesisir hanya melalui
kacamata ekonomi, melainkan turut pula memberikan suatu tempat
yang layak bagi mereka untuk beribadah sambil melepas lelah.
Denys Lombard menyokong uraian tersebut dengan
mengatakan bahwa Iskandar Muda selalu berusaha membangun
masjid dalam jumlah besar. Masjid Baiturrahman sendiri dibangun
pada 1614. Bangunan ini pernah mengalami kebakaran ketika
masa pemerintahan putri Nurul Alam (1675-1678). Merupakan
suatu keuntungan tersendiri bahwa Peter Mundy yang singgah di
Aceh pada 1637 masih memiliki gambaran masjid ini. Disebutkan
bahwa bangunan itu sangat khas, bentuknya persegi empat,
dikelilingi tembok dengan atap susun empat dan bubungan yang
langsing; seperti meru (atap yang biasa di temukan di pura) di Bali
daripada masjid di Timur Tengah.
Uraian ini agaknya masih memiliki kemiripan dengan
gambaran William Dampier yang menceritakan arsitektur masjid
lain di Aceh pada 1888. Katanya: “Hampir semuanya dibangun
empat persegi dan beratap genteng; tetapi tidak tinggi atau luas.
Setiap pagi ada laki-laki yang berisik sekali di atas atap itu (orang
sedang azan). Tetapi tak saya lihat ada menara atau menara
lonceng untuk naik ke atas atap seperti biasa terdapat di Turki.”
Dengan ini diketahui bahwa arsitetur keagamaan lokal berhasil
dipertahankan terlepas dari segala model Barat. Di masjid ini raja
dan rakyatnya bersembahyang pada hari-hari raya dengan upacara
besar.61
Semakin membludaknya penduduk Aceh Darussalam di
masa Iskandar Muda diakui pula oleh Uka Tjandrasasmita.
Menurutnya, saat menginjak abad 17, pembangunan di bidang
politik, ekonomi-perdagangan serta kebudayaan semakin pesat
61
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 60-61 dan 185.
47
disesuaikan dengan peran Banda Aceh sebagai ibukota kerajaan.
Menurut Thomas Bowrey, di kota ini terdapat sekitar 7.000 atau
8000 rumah. Oleh sebab begitu padatnya pemukiman di Aceh dan
sekitarnya itu, sehingga di saat Iskandar Muda mengumpulkan
40.000 orang tentara bukanlah perkara yang terlampau sulit.62
Kemeriahan yang terpancar dari aneka ragamnya suku
bangsa yang ada di Aceh tergambar dalam momen perayaan
keagamaan. Anthony Reid berhasil mengumpulkan sumber-
sumber Eropa yang menceritakan hal ini. Upacara-upacara setelah
dan sebelum puasa dirayakan dengan penuh kemegahan. Idul Adha
suatu “perayaan besar”, yang termaktub dalam tanggalan Islam
tampaknya memang hari besar yang paling penting di Aceh.
Perayaan Idul Adha di Aceh, jelas Reid,selain pula dapat
dijumpai dalam Adat Aceh juga ditemukan rekamannya dalam
catatan-catatan bangsa Eropa. Salah satu bagian yang menarik
perhatian, adalah arak-arakan besar dari istana ke masjid
Baiturrahman. Dalam Adat Aceh diterengkan terdapat 30
kelompok yang ikut dalam arak-arakan itu. Sultan sendiri sambil
menunggang gajah kerajaan bernama Lela Manikam, termasuk
dalam kelompok ke-24.
Perayaan itu juga dimeriahkan oleh pedagang asing yang
mengambil tempat masing-masing di kelompok ke-27, tapi jumlah
terbesar jutru berada di barisan terakhir dari iring-iringan besar itu.
dalam kelompok ke-28 dan 30, ada 30 gajah berhias dan 7.000
prajurit berbagai ragam; semua menyandang senjata dan
mengenakan pakaian yang indah; dalam kelompok ke-29 sama;
dalam kelompok ke-30 ada 50 gajah, banyak di antaranya yang
memiliki nama, dan ribuan prajurit.63
Di tempat pemberhentian akhir, yakni di masjid itu, Sultan
dan para pembesar masuk ke dalam untuk melaksaakan ibadah
yang diperintahkan. Lalu kemudian Sultan keluar ke halaman
masjid untuk melakukan sayatan pertama pada hewan kurban.
62
Uka Tjandrasasmita, Kota-Kota Muslim .... 37. 63
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011) hlm. 117-119.
48
Akhirnya seluruh iring-iringan kembali ke dalam disemarakkan
dengan musik. Dikabarkan, upacara ini sangat indah, sampai-
sampai penonton yang melihatnya amatlah mebeludak hingga sulit
untuk ditertibkan. Reid mengutip sedikit uraian dari masalah ini,
sebagai berikut:64
Ibu-ibu sedang hamil yang jua keluar pada hari
raya itu untuk menyaksikan Johan „Alam, banyak
yang melahirkan anak di jalan atau di pasar, dan
ada kelompok-kelompok orang yang tidak
menemukan tempat perayaan kaarena banyaknya
orang yang berkeliaran ke sana-sini.
Reid menengarai kemungkinan angka-angka yang terdapat
dalam kitab syair istana ini adalah hasil dari penggelembungan
atau dibesar-besarkan. Hal ini menurutnya kerena merupakan
kesulitan tersendiri ketika membayangkan berapa banyak manusia
dan gajah yang dapat ditampung di tanah yang hanya seluas 500
meter antara istana dan masjid itu.
Namun begitu, inti dari penjelasan upacara ini dipertegas
oleh Peter Mundy, yang menyaksikan sendiri upacara Idul Adha
yang pertama di bawah Sultan Iskandar Thani pada 1637. Seperti
kata Takeshi Ito, jumlah prajurit dalam upacara itu mungkin sudah
berkurang akibat kekalahan besar yang dialami Aceh dan posisi
Isknadar Thani yang lebih lemah dibandingkan dengan
pendahulunya. Walaupun demikian, Mundy menyaksikan secara
langsung sebuah iring-iringan yang luar biasa besar dari istana ke
masjid:
... Kemudian muncul iring-iringan gajah dengan
sesuatu seperti sebuah menara kecil di punggung
masing-masing, dan di dalam setiap menara itu
terdapat seorang prajurit berseragam merah dan
bersenjatakan sebuah tombak dalam tangannya
sembari berdiri tegap ... Barisan pertama
pasukan gajah (ada empat baris pasukan gajah),
masing-masing gajah memiliki dua pedang besar,
64
Anthony Reid, Menuju Sejarah .., hlm. 117-119;
49
atau sebenarnya dua belah besi pipih panjang
yang diikatkan kepada kedua gadingnya ...
Kemudian setelah itu tampil iring-iringan gajah
dengan menara kecil ... di atasnya ditempatkan
meriam kecil ... setelah ini muncul gajah-gajah
lain dengan menara kecil di punggung masing-
masing dan di dalam tiap menaranya ada 2 orang
pasukan ... lalu muncul barisan gajah dengan
bendera-bendera panjang ... ; gajah-gajah yang
lain berselimut dari kepala hingga kaki ...65
Sama halnya dengan perayaan di bulan Kurban, festival
Idul Fitri juga disemarakkan dengan iring-iringan dari masjid ke
istana, bentuknya kurang lebih sama dengan momen di atas.
Bunyi-bunyian gegap gempita mewarnai dan tembakan-tembakan
senjata di sekitar istana terjadi waktu memulai dan mengakhiri
puasa. Dalam catatan Reid, hal ini diselenggarakan untuk
mengagungkan raja yang dikemas dalam perayaan-perayaan hari
besar Islam ortodoks.
Momen Idul Fitri di Aceh yang serba ramai tidak luput dari
perhatian orang asing. Satu hal yang menjadi ingatan mereka
adalah suasana hiruk pikuk. Pada 1600, Frederick de Houtman
mencatat bahwa semua kaum bangsawan mengenakan pakaian
masing-masing yang terindah untuk datang ke istana pada 29
Sya‟ban, awal bulan puasa. Begitu aba-aba diberikan, semua
gendang ditabuh dan trompet ditiup serta semua bedil
ditembakkan, demikian pula dengan tujuh arquebus (kanon kaki
tiga) di luar istana. Hal ini merupakan tanda dimulainya puasa.66
65
Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 117-119; Tekeshi Ito, “The
World of the Adat Aceh. A Historical Study of the Sultanate of Aceh”, tesis
PhD ( Canberra: Australian National University, 1984) hlm. 231-238 dan 243;
Adat Aceh dari satu Manuscript India Office Library, disalin oleh Teungku
Anzib Lamnyong (Banda Aceh:PLPIS, 1978) hlm. 34-46; Sir Richard Temple,
ed, The Travels of Peter Mundy in Europe and Asia, 1608-1667, Vol. III, Part I
(Londona, 1919). 66
Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 120.
50
Kehidupan meriah ini menandakan betapa kondisi sosio-
keagamaan berada pada tataran yang matang. Kematangan di sini
diukur dengan meriahnya perayaan agama yang menyatukan
segenap elemen masyarakat Aceh yang asalnya bukanlah etnik
yang seragam. Perayaan ini hendaknya jangan hanya dimakanai
sebatas keramaian, melainkan adalah perwujudan dari upaya raja
menciptakan suasana keagamaan yang dirasakan oleh seluruh
rakyat Aceh. Keadaan ini memungkinkan raja dan rakyatnya
bersua dan hanyut dalam suka cita. Makna lain yang dapat
diungkap adalah merawat stabilitas negeri dan memupuk semangat
keagamaan melalui sesuatu yang dapat dinikmati orang banyak.
51
BAB III
EKSISTENSI ULAMA DI ACEH DARUSSALAM
A. Pengertian Ulama
Sebagaimana telah disinggung di atas, ulama menempati
posisi penting dalam struktur masyarakat Aceh. Wilayah
profesinya bukan hanya ditelisik di lapangan terbawah dalam
pergaulan masyarakat Aceh, melainkan seperti angin, melesat
meliuk sampai ke ranah teratas yakni pergaulan istana. Perannya
yang fleksibel ini, membuatnya dekat, baik dengan para penganjur
kebijakan hingga ke objek kebijakan itu sendiri, yakni masyarakat.
Melalui lembaga pendidikan, para ulama memainkan peran
penting dalam tumbuh kembang pengetahuan yang berimplikasi
pada perkembangan masyarakat.
Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu diketahui
dahulu pegertian ulama.
Ditinjau secara kebahasaan, menurut Ismuha, kata ulama
berasal dari bahasa Arab yang secara gramatika berbentuk jamak
(plural) dari kata alim, yang berarti orang yang mengetahui atau
orang yang berilmu. Dengan demikian ulama berarti para ahli ilmu
atau para ahli pengetahuan atau juga para ilmuwan.
Dalam konteks Indonesia, pemakaian kata ulama
mengalami sedikit pergeseran dari pengertian asalnya dari bahasa
Arab. Di Indonesia alim diartikan sebagai orang yang jujur dan
tidak banyak bicara. Perkataan ulama digunakan dalam arti mufrad
(singular), sehingga jika digunakan dalam konteks jamak,
ditambahkan kata pendahulu “para” menjadi “para ulama” atau
“ulama-ulama”. Di Aceh khususnya dan di Indonesia pada
umumnya, sebutan ulama hanya dialamatkan bagi ahli agama
Islam saja.
52
Terdapat dinamika menarik terkait perjalanan sebutan
ulama. Soekarno lewat Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959,
menggunakan juga sebutan ulama untuk para ahli agama Budha
dan Hindu, juga bagi para ahli agama Kristen katolik dan
Protestan. Atas hal tersebut, dalam golongan MPRS terdapat
golongan ulama yang terdiri dari ulama Islam, Ulama Katolik,
Ulama Protestan, Ulama Hindu dan Ulama Budha. Dalam konteks
Aceh dan Indonesia pada umumnya, sebutan ulama hanya merujuk
pada ahli agama Islam.67
Awalnya orang yang disematkan gelar ulama, bukanlah
mereka yang berasal dari kalangan penduduk pribumi, melainkan
orang asing yang tinggal di sekitar pelabuhan Aceh. Mereka
memiliki hubungan yang cukup dekat dengan kalangan istana.
Besar kemungkinan kedatangan mereka berhubungan dengan
motif dagang antara orang Islam luar negeri dengan penduduk
lokal. Hal ini telah banyak disinggung di bab 2.68
Menurut Snouck Hurgronje, pengertian ulama di mata
masyarakat Aceh merupakan sosok cerdik pandai yang luas
ilmunya. Seorang ulama dapat dikategorikan sebagai doktor yang
dapat memberi penjelasan meyakinkan mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan hukum dan doktrin agama. Ulama merupakan
tingkat tertinggi dalam tatanan ilmuwan Aceh. Banyak warga Aceh
yang karena kedudukannya mereka diharuskan menjadi sosok yang
banyak belajar. Beberapa dari mereka ada yang sudah merasa puas
dengan sekedar menelaah kitab-kitab bahasa Melayu karena sudah
cukup sebagai kelengkapan memegang jabatan tertentu seperti
teungku meunasah atau bahkan sebagai kali.
Selain itu, di antara sarjana agama dikenal pula dengan
sebutan leube atau malem atau juga alem. Baik teungku meunasah,
kali, leube maupun malem belum disebut menempati posisi seperti
ulama, jika tidak memiliki persyaratan dan pengalaman khusus
yang ditempuh oleh sarjana yang di kemudian hari digelari ulama.
67
Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 1. 68
James T. Siegel, The Rope of God (Barkeley & Los Angeles:
University of California Press, 1969) hlm. 48.
53
Untuk mendapatkan gelar doktor atau ulama, demikian
Hurgronje, bukan hanya mensyaratkan rajin belajar, melainkan
juga berada di bawah bimbingan ilmuwan kompeten yang
memandu pengajaran hukum dan doktrin agama melalui kitab-
kitab berbahasa Arab. Disebutkan pula bahwa di Aceh terdapat
perbedaan metode belajar yang lain dari yang dipakai oleh orang
Jawa maupun Sunda sejak dulu kala. Metode ini sepertinya lebih
rasional namun mengandung banyak kesulitan sehingga bagi para
penggunanya sering patah semangat sebelum tujuan mereka
tercapai.
B. Pembagian Peran Ulama Kesultanan
Sejak masa yang lama, Aceh menjadi daerah pesisir
terbuka bagi pergaulan masyarakat dunia. Angin-angin yang
berasal dari Negeri Atas Angin berhasil membawa para pencari
rempah dari Barat untuk datang dan mendiami dunia Timur. Aceh
menjadi spot penting bagi mereka. Selain karena daya tarik pasar-
pasar yang menjajakan rempah dan emas, kota ini juga
menawarkan sejuta pesona sehingga membuat para pelancongnya
betah berlama-lama, bahkan tak jarang mereka memutuskan untuk
menetap di sini.
Kalangan ulama, menjadi pendatang luar negeri yang
memang telah mempersiapkan diri untuk tinggal di Aceh dalam
waktu yang tidak sebentar. Mereka menjadikan pesisir Aceh
sebagai ladang untuk menegakkan syiar Islam ke wilayah yang
lebih jauh. Perlahan namun pasti, mereka berhasil menyita para
pemuka masyarakat setempat sehingga bermurah hati dalam
rangka menyebarkan lebih luas beragam bentuk kemajuan yang
dikemas dengan nilai-nilai kenabian (profetik).
Bustanussalatin mencatat beberapa kunjungan ulama luar
negeri yang memiliki reputasi mengagumkan dalam dunia
intelektual Tanah Arab. Ketika kerajaan Aceh dipimpin oleh
Sultan Ali Riayatsyah (1567-1575), diberitakan bahwa Aceh
kedatangan ulama bermazhab Syafi‟i asal Mesir bernama
Muhammad Azhari, bergelar Syekh Nuruddin. Di Aceh ia
54
mengajar ilmu ma‟kulat (akal). Pengabdiannya di Aceh berujung
sampai ia wafat.
Nuruddin ar-Raniri memberitakan pula bahwa ketika Aceh
dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah yang berasal dari
Perak (Malaka), ulama-ulama yang berdiam di Aceh merasakan
kasih dan perhatian yang diberikan pihak kerajaan. Sang raja
dikenal sebagai sosok yang relijius dan menjauhkan diri dari
gelimang kebesaran duniawi laiknya yang disandang oleh seorang
raja sebagaimana mestinya. Diceritakan, dalam kesehariannya ia
hanya memakai jubah dan sorban. Dengan tak jemu-jemunya, ia
menyerukan kepada rakyatnya untuk rajin menunaikan shalat 5
waktu, puasa dan zakat.
Di masa pemerintahan sultan ini, datang seorang cerdik
pandai dari Mekkah bernama Syekh Abul Khair bin Syekh Ibnu
Hajar. Ia adalah penulis kitab Syaiful Qoti‟ dan mengajar fikih di
Aceh. Beberapa waktu kemudian datang pula cendikiawan lain
bernama Syekh Muhammad Yamani yang diketahui merupakan
pakar ushul fikih. Dalam suatu kesempatan, kedua ulama ini
pernah berjumpa dan terlibat dalam perdebatan sengit mengenai
a‟yan al-tsabitah. Pokok pembahasan itu bukanlah suatu masalah
yang mudah dipecahkan, oleh sebab telah berkaitan dengan
masalah tasawuf atau hubungan intim antara hamba dengan
Tuhannya.
Merujuk pada uraian Erawadi, Pengetahuan atau ilmu
Tuhan menyatakan dirinya dalam bentuk “yang dikenal” dan
“yang diketahui”. Pengetahuan Tuhan yang dikenal disebut al-
a‟yan al-tsabitah yakni kenyataan mengenai segala sesuatu. Al-
a‟yan al-tsabitah disebut juga suwar al-„ilmiyyah, yakni bentuk
yang dikenal, atau dengan istilah lain, al-haqiqat al-asyya‟, yakni
hakekat segala sesuatu di alam semesta dan ruh idhafi, yaitu ruh
yang terpaut.69
Perdebatan mereka berjalan dengan ketat, masing-masing
pihak melemparkan masalah-masalah yang amat menguras pikiran
dalam menjawabnya. Oleh sebab tidak ditemukanya titik terang
69
Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 254.
55
berupa jawaban yang meyakinkan keduanya, akhirnya mereka
sepakat menghentikan sementara debat mereka dan bersama-sama
berlayar ke Gujarat guna bertemu dengan Syekh Muhammad
Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid guna meminta
pendapatnya. Syekh Muhammad Jailani sendiri merupakan ulama
yang berasal dari Ranir, namun ia bukanlah asli orang Gujarat
melainkan berdarah Persia. Ia dikenal pula sebagai ulama mazhab
Syafi‟i. Tidak dijelaskan lagi, apakah kedua ulama yang berdebat
itu menemukan jawaban yang memuaskan dari ulama itu.
Syekh dari Gujarat itu belakangan mulai tertarik datang ke
Aceh. Lawatan lintas negeri itu baru terlaksana ketika kerajaan
Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah
(Sayyidil Mukammil) (1585-1604). Di negeri ini, Syekh
Muhammad Jailani mengajar ilmu mantik (logika), pelbagai
cabang ilmu bahasa Arab seperti ma‟ani, ilmu bayan dan badi,
serta ilmu fikih dan ushul fikih. Selain beberapa bidang ilmu itu,
animo pelajar yang ingin belajar tasawuf padanya pun tidak kalah
mebludak. Ia pun segera mengalokasikan waktu yang tepat bagi
mereka yang ingin belajar menyucikan jiwa melalui serangkaian
metode tasawuf yang ia kuasai. Menurut ar-Raniri, Syekh
Muhammad Jailani sempat menuntut ilmu ke Mekkah.70
Membincang komposisi masyarakat Aceh, demikian
Siegel, terdiri dari empat kelompok besar. Sultan, uleebalang,
ulama dan rakyat. Dalam pengelompokkan ini sultan dan
uleebalang sebenarnya menempati posisi yang serupa yakni
pengatur kerajaan, perbedaannya hanya pada porsi dan
wewenangnya. Di antara ketiga kelompok ini, ulama berada pada
tempat yang spesial. Mereka terlahir di tengah kehidupan
masyarakat luas dan memiliki kebebasan untuk meninggalkan
masyarakatnya untuk menggapai status yang lebih tinggi.
Meninggalkan di sini bisa dimaknai sebagai perpindahan karir dari
yang sebelumnya berpusat dari desa ke desa, kini bisa mencapai
wilayah yang lebih tinggi seperti antar kesagian atau bahkan
langsung berkiprah di istana.
70
Bustanussalatin, hlm. 15.
56
Peran pengabdian dalam hal penyelenggaraan lembaga
pendidikan, sebagaimana diungkapkan dalam Bustanussalatin di
atas, juga menjadi tanggung jawab ulama. Siegel tidak menampik,
bahwa terkadang unsur kekerabatan dengan aparatur pemerintahan,
turut mempermudah peran ulama dalam membuka suatu sekolah
agama atau menata masyarakat Muslim. Ini tentu saja bukanlah
suatu persyaratan, mengingat ulama dinilai dari kepakaran
pengetahuan agama,bukan semata hanya pertalian darahnya
dengan penguasa.
Ulama juga dicirikan sebagai golongan yang memiliki
mobilitas luas, tidak sebatas pada realitasnya di tempat ia hidup.
Mereka yang tinggal di istana dapat leluasa memberikan
pengajaran bagi orang banyak. Pun bagi mereka yang tinggal di
kawasan terpencil, tidak menutup kemungkinan, memiliki akses
luas untuk masuk di pusaran pergaulan istana. Pengadaan lembaga
pendidikan merupakan manifetasi akan eksistensinya. Setiap dari
mereka, demikian Siegel, memandang diri sebagai wakil dari
masyarakat Aceh yang dihubungkannya pada pengabdian di
kancah sosial maupun sekolah agama. Ini pula yang menjadi daya
tawar kuat mereka ketika kalangan pemerintah, baik raja maupun
uleebalang, terlibat suatu hubungan yang saling melengkapi.71
Menginjak abad 17, ulama dalam daur kehidupan istana
Aceh, memiliki kontribusi penting dalam berbagai hal. Untuk
mempermudah pembahasan, selanjutnya akan dipaparkan peran
ulama dalam pelbagai bidang, yakni:
1. Ulama dan Pemerintah
Pergaulan hidup istana, amat terpusat pada satu
kekuatan, yakni berada ditangan raja. Hal seperti ini
merupakan karakter yang tidak bisa dilepaskan dalam pola
pemerintahan sistem monarki. Raja memiliki otoritas penting
dalam pusaran kepemimpinan kerajaan. Namun begitu, tentu
tidak semua tugas negara dapat diselesaikan oleh seorang raja.
Ia tentu membutuhkan staf khusus guna menjalankan suatu
tugas. Di saping itu, raja biasanya memiliki penasehat yang
71
Siegel, The Rope of God ..., hlm. 11.
57
berasal dari kalangan cerdik padai. Ulama di kalangan
pemerintah Aceh.
Penjelasan cukup gamblang coba diketengahkan oleh
K.F.H. van Langen yang memaparkan peran-peran ulama di
kepemerintahan Aceh. Awalnya ulama memang banyak
berkontribusi di bidang kerohanian. Wilayah aktivitas mereka
tidak dapat dilepaskan dari masjid. Ulama mulai tersebar di
lapangan kerja lain, baru ketika Iskandar Muda berkuasa, yakni
ketika ditetapkannya pembagian ketatanegaaan Aceh dalam
bentuk mukim.
Iskandar Muda menyadari akan posisinya. Semakin
luasnya wilayah Aceh dan urgensi dakwah Islam yang juga
harus terus diperlebar, menuntutnya untuk memodifikasi tata
pemerintahannya agar dapat terdesentralisir hingga
menjangkau semua titik kekuasaannya. Sebagai raja yang
terlahir dari rahim peradaban Islam yang tinggi, ia pun
menggunakan potensi keislaman untuk membentuk tata negara
Islam yang dapat mempererat kalangan istana dan
masyarakatnya. Hal ini bisa tercapai, manakala sistem kerajaan
terorganisir dengan baik.
Zainuddin mengingatkan bahwa ulama merupakan
elemen sentral dalam penyelenggaraan kerajaan serta hukum
dalam masyarakat Aceh. Iskandar Muda menetapkan formula
tata negara yang disokong oleh 4 pilar, yakni:
a. Adat merupakan wilayah Sultan dibantu dengan para
penasehat dan staf kerajaannya (Orang Besar)
b. Urusan hukum menjadi tanggung jawab Syekh
Nuruddin ar-Raniri dan Syekh Abdurrauf Singkel
sebagai Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil serta
ulama-ulama lainnya
c. Urusan Kanun, tata cara bermajelis, sopan satun dan
tata tertib dalam pernikahan menjadi kebijakan
Maharani (Putri Pahang, permaisuri Iskandar Muda)
d. Perihal Resam, diserahkan kepada Panglima Kaum atau
Bentara yang tersebar di masing-masing kenegerian.
58
Keempat pilar itu terekam dalam peribahasa:
Adat bak po teumereuhom
Hukom bak syiah kuala
Meujeuleueih kanun bak potue phang
Resam bak bentara-bentara
Dalam masa pemerintahanya, Iskandar Muda
pernah menyelenggarakan sidang rancangan dengan
mengundang pejabat terkait dan ulama-ulama serta para
uleebalang dan Orang Kaya untuk merumuskan adat yang
nantinya menjadi acuan bersama dari kalangan istana
sampai masyarakat luas. Undang-undang ini juga
belakangan diberlakukan di seluruh wilayah taklukan di
luar Aceh Besar. Pertemuan ini diselenggarakan di balai
masjid Baiturrahman.
Setelah melewati perdebatan yang sehat, maka
ditetapkanlah hasil dari sidang itu, yakni berupa undang-
undang yang dinamakan Adat Meukuta Alam. Dalam
undang-undang ini terdapat bagian mengenai pembagian
tugas aparatur kerajaan hingga tingkat keuleebalangan,
termasuk pula kedudukan ulama di pemerintahan.
Walaupun Sultan Aceh merupakan pemegang
supremasi tertinggi di seantero wilayah kekuasannya,
namun dalam praktik penyelenggaraannya, ia diwajibkan
untuk mengangkat beberapa staf yang membantunya yang
sekaligus menjadi kontrol atas setiap kebijakan yang
diambilnya. Untuk itu, sultan yang berkuasa wajib
mengangkat:
a. Mengangkat para ahli hukum, yakni para ulama
b. Mengangkat orang-orang bijak, yakni para pakar yang
kredibel mengurus negara (wazir, menteri, dan lain-
lain)
c. Mengangkat orang yang perkasa yang bertugas
mempertahankan negeri, yakni para uleebalang,
panglima perang dan lain-lain
59
Peran dari ketiga pejabat itu juga dijabarkan dalam
perundangan, adapun para ulama memiliki tugas:
a. Menjadi penasihat sultan menyangkut perkara agama
dan memberikan pengajaran kepada rakyat tentang
keteguhan iman mereka kepada Tuhan serta kebajikan
yang berlandaskan ajaran agama
b. Menjadi qadhi sultan dalam memutuskan kebijakan
dalam negeri
c. Menerima wilayah (limpahan wewenang) dari sultan,
panglima sagi ataupun uleebalang, untuk menikahkan
orang yang tidak berwali
d. Dan lain-lain yang menyangkut hukum agama72
Terkait hubungan agama dengan sultan, Amirul
Hadi memberikan catatan tersendiri. Ia mengatakan bahwa
kalangan istana, dalam hal ini raja, sebenarnya turut pula
memegang otoritas keagamaan. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya gelar kebesaran seperti khalifatullah fil ardi,
zillullah fil ardi atau juga zillullah fil alam. Meskipun
begitu, gelar-gelar itu tidak serta merta menunjukkan
bahwa sang sultan memiliki kedalaman ilmu agama. Tentu
saja bukanlah larangan, jika para raja memiliki
pengetahuan agama yang tinggi bahkan digelari sebagai
ulama. Namun, dalam bentangan sejarah kerajaan -
khususnya abad 16 dan 17- tidak ada seorang raja pun yang
mempunyai pemahaman agama luas, sehingga pantas
digelari ulama.
Oleh sebab itu, keberadaan ulama di lingkungan
istana, dianggap sebagai pemegang otoritas keagamaan
yang sejatinya. Semementara itu, otoritas keagamaan yang
digenggam oleh penguasa bisa dikatakan sebagai “otoritas
yang diberikan nilai keagamaan” (religiously sanctioned
authority). Di wilayah inilah makna penting kehadiran
golongan agamawan dalam masyarakat dan kerajaan.
Ketergantungan penguasa terhadap ulama adalah
keniscayaan. Karena itu, banyak ulama yang ditempatkan
72
Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 89-98.
60
di posisi strategis dalam struktur pemerintahan, baik
sebagai penggenggam otoritas agung keagamaan, yaitu
Syaikhul Islam, deputi sultan. Penasihat sultas, sekaligus
guru bagi penguasa. Lebih jauh, peran mereka merambah
ke bidang lainnya seperti sosial, politik, budaya bahkan
ekonomi.73
2. Ulama dan Masalah Keagamaan
Beberapa lembaga terkait yang di kemudian hari
merupakan wilayah gerak ulama mulai dibangun.
Belakangan diketahui, peran ulama mengalami “evolusi”
dari sebelumnya hanya terlibat di sekitar masjid dan
pengajaran agama, menjadi lebih banyak menangani
masalah kepemerintahan dan kemasyarakatan. Beberapa
diantaranya adalah Imam Masjid Raya.
Masjid merupakan tempat aktivitas asal kalangan
ulama. Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya,
golongan ini ruang lingkup hanya kegiatannya awalnya
hanya pada masalah seputar masjid, namun kemudian
mengalami desentralisasi profesi sehingga banyak pula
ulama yang kemudian menyebar di jabatan-jabatan lain.
Masjid Raya Baiturrahman merupakan tempat
berkumpulnya para ulama. Meskipun begitu, di abad 17
belum ada organisasi yang mengikat para ulama masjid.
Agamawan yang berada di lingkungan masjid,
dibagi dalam tiga bagian; imeum (imam shalat), khatib
(pembaca khotbah) dan bilal (penyeru azan). Imam masjid
pertama yang diketahui adalah Syekh Abdurrauf Singkel.
Dialah yang kemudian diserahi tugas dalam melaksanakan
peraturan-peraturan agama semasa Iskandar Muda. Ia juga
merangkap sebagai khatib Masjid Raya.
Jabatan Imam Masjid Raya tidaklah turun-menurun,
namun, pada tahun-tahun terakhir kerajaan Aceh, jabatan
ini bisa diwariskan ke anak cucunya, dengan catatan ia
memiliki kadar pengetahuan agama yang luas.
73
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 162.
61
Penghidupan Imam Masjid Raya bergantung pada
hasil bumi berupa sawah, kebun kelapa dan kebun rumbia
yang dihadiahkan oleh raja.Di kalangan orang Aceh, sawah
tersebut dikenal dengan sebutan umong sara yang
terhampar di daerah Blang Punge dan Blang Padang.
Sawah-sawah ini tidak boleh dijual atau diwariskan
melainkan hanya sebagai sumber penghasilan Imam
Masjid. Dalam pengerjaannya, sang imam diperbolehkan
menggunakan jasa buruh tani atau orang lain.
Apabila imam tidak bisa merangkap tugasnya
sebagai khatib, maka orang lain dapat diangkat menempati
posisi itu, setelah sebelumnya mendapat restu sultan. Tidak
seperti jabatan Imam Masjid Raya, Khatib Masjid Raya
biasanya tidak bisa diturunkan. Untuk itu, maka dalam
setiap periodenya, dipilih seorang khatib yang memiliki
suara yang merdu dan dikenal saleh serta memiliki
pemahaman hukum-hukum Islam yang tidak diragukan.
Sekiranya imam mendaulat khatib sebagai
pendampingnya ketika menyampaikan khotbah atau
melakukan tugas-tugas keagamaan lainnya, maka imam
harus pula menjamin nafkahnya. Jika ini tidak bisa
dilakukan, maka Panglima Masjid Raya, yakni uleebalang
mukim setempat, menyeru rakyat di bawah kuasanya agar
sebagian zakat padi dan barang-barang lain yang bisa
dijadikan zakat atau fitrah diberikan pada sang khatib.
Khatib juga mendapatkan penghasilan sampingan lain dari
side job-nya, seperti ketika ia didapuk sebagai pembaca doa
ketika sultan mangkat, kematian uleebalang, ulama, sayid,
atau tokoh masyarakat lainnya.
Jabatan bilal biasanya juga tidak bisa diturunkan.
Sering ditemukan kasus, seorang imam mengangkat bilal
seorang asing yang miskin. Kadang-kadang jumlah bilal
bisa bertambah dan sementara yang lain azan, yang satunya
memukul tabuh, yakni sejenis gendrang besar tanda
masuknya waktu shalat.
62
Pendapatan bilal diatur sebagaimana tugas bilal. Di
samping itu, mereka juga mendapat hadiah dari sultan
dalam bentuk emas setiap hari baik yakni ketika perayaan
besar Islam. Van Langen memberikan catatan tambahan
bahwa yang disebut hari-hari besar yakni; hari Asyura atau
hari ke 10 bulan Muharram, hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW, hari pertama bulan Syawal (lebaran),
hari idhul adha, malam peringatan isra mi‟raj Nabi SAW.
Para bilal juga dikenakan tugas tambahan mengumpulkan
zakat padi dari orang-orang yang wajib zakat di daerah
Masjid Raya dan mukim-mukim lain yang ingin
menyerahkan zakat mereka.
Imam juga mengangkat para garim (orang yang
terbebani masalah hutang) dari kalangan orang miskin yang
diserahi tugas membersihan Masjid Raya dan sekitarnya.
Di antara mereka ada yang menjabat sebagai badal bilal,
jika dalam suatu kesempatan bilal yang ditunjuk
berhalangan hadir. Upah garim diatur oleh imam. Mereka
juga biasa menerima makanan dari penduduk sekitar
masjid.
Imam masjid atau ulama yang beraktivitas di masjid
sering memberikan pengajian kepada publik. Materi yang
mereka sampaikan biasanya ringan dan bukan termasuk
ajaran yang sulit dicerna jamaah yang berasal dari kalangan
umum. Sebagai contoh materi yang disampaikan adalah
mengenai shalat, puasa dan zakat.
Walaupun mereka lebih banyak menghabiskan hari-
harinya di lingkungan masjid, namun tidak membuat
mereka terasingkan dari pergaulan sekitar maupun istana.
Mereka menjadi tempat bertanya ulama lain, pejabat
kerajaan dan uleebalang. Dalam beberapa kesempatan
pendapat mereka banyak digunakan sebagai inspirasi
memutuskan suatu perkara di bidang pemerintahan dan
peradilan.
63
Para ulama masjid juga kerap diundang dalam
perayaan-perayaan baik di lingkungan istana maupun luar
istana. Mereka juga sering mendapat hadiah uang atau
barang ketika dimintakan nasihat atau ketika ia ditunjuk
sebagai mediator dalam suatu perkara. Hadiah lain juga
didapatkan ketika mereka diundang ke pernikahan,
penguburan, sunatan. Pembagian warisan, perkara perdata,
menghadiri sidang-sidang pengadilan serta memberikan
pandangan dalam suatu pelanggaran atau kejahatan. Di
samping itu mereka juga mendapat sebagian penghasilan
dari zakat dan fitrah.
Zakat dan fitrah dikumpulkan oleh teungku
meunasah atas perintah para uleebalang. Zakat itu berupa:
a. Padi, yaitu 1 gunca setiap 10 gunca hasil padi
b. Hewan ternak, yaitu 1 ekor sapi setiap 40 ekor
c. Emas urai yang digali sebayak 1 dari 12 jumlah yang
diperoleh
d. Keuntungan perdagangan sebanyak 2 ½ %
Zakat itu diperutukkan bagi empat golongan, yakni:
a. Orang-orang fakir
b. Orang-orang miskin
c. Orang-orang mualaf
d. Orang-orang yang berhutang akibat ditipu orang,
kebakaran, kapal karam atau perampokan
Agak aneh memang, demikian pula yang dirasakan
Van Langen, mengapa zakat hanya didistribusikan bagi
empat golongan, sedangkan dalam ajaan Islam disebutkan
bahwa ada delapan golongan yang berhak mendapatkan
zakat.
64
Sedangkan fitrah yang dimaksud adalah suatu hasil
penyisihan harta yang dikategorikan dalam pajak berupa
beras sebanyak 2 bambu. Bambu di sini adalah sejenis
takaran yang kurang lebih setara dengan 1,6 kg. Fitrah ini
setara dengan 48 ringgit Spanyol yang dikeluarkan pada
akhir bulan puasa.
Tanah-tanah wakaf yang ada di sana dikerjakan oleh
orang lain. 1/3 hasilnya dipergunakan sebagai biaya
pemeliharaan masjid, keperluan para pengurusnya.
Kemudian, untuk perbaikan-perbaikan yang memakan dana
besar, maka dibebankan kepada penduduk. Setiap orang
yang merasa terpanggil untuk mengajar, mereka akan
datang memberikan pengetahuan agama. Tempat dan
materinya ia sendiri yang menentukan. Gelar haji tidak
terlalu diperlukan. Pun dengan pakaian model orang Arab,
jarang dikenakan di Aceh.74
3. Ulama dan Peradilan
Peradilan merupakan tempat berkumpulnya para
pengadil. Tidak jarang, di antara mereka ada yang memiliki
pengetahuan agama yang luas, terutama di bidang hukum
Islam. Aceh merupakan negeri yang menjunjung tinggi
hukum yang berlaku. Untuk itu, lembaga-lembaga terkait
banyak didirikan guna memandu keadilan dalam kehidupan
masyarakatnya. Berikut merupakan lembaga-lembaga yang
ditunjuk melaksanakan hukum, yakni:
a. Balai Majelis Mahkamah Agung
Balai ini merupakan lembaga tertinggi dalam bidang
kehakiman (sama dengan Mahkamah Agung yang
dipimpin oleh Wazir Sultan Menteri Mizan (Menteri
Kehakiman). Lembaga ini dibantu oleh 10 ulama fakih
yang merangkap Hakim Agung. Kanun Meukuta Alam
74
K.F.H. Van Lengen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa
Kesultanan, Terj. Aboe Bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen
Informasi Aceh, 2002) hlm. 38-42.
65
menyatakan bahwa tugas dari Balai Majelis Mahkamah
Agung adalah mengurus setiap perkara dan memeriksa
setiap perkara kehakiman negeri, maupun dari mereka
yang berasal dari luar negeri.
b. Qadhi Malikul Adil
Qadhi Malikul adil sebenarnya merupakan salah satu
jabatan tertinggi di tataran istana Aceh. Orang yang
mendudukinya dikenal pula sebagai tangan kanan raja.
Selain itu, mereka juga menjalankan tugas sebagai
Penuntut Umum (Jaksa Agung), yang tugasnya
menuntut hukuman atas terdakwa yang terbukti
melanggar kanun negara. Siapapun akan dituntut oleh
qadhi tanpa pandang bulu.
Jabatan Qadhi Malikul Adil sudah dianggap sebagai
jabatan yang berhak mengurus masalah agama di istana
maupun daerah-daerah bawahan. Ketetapan ini sudah
dinyatakan dalam Sarakata Sultan Syamsul Alam yang
dikeluarkan pada tahun 1726 yang menerangkan bahwa
Qdhi Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan,
Orang Kaya Raja Bendahara dan semua ahli fiqih
diinstruksikan menerapkan hukum Islam di beberapa
wilayah tertentu, bukan hukum adat. Ketentuan ini
belakangan juga ditemukan dalam kumpulan peraturan
masa Iskandar Muda, yang dikenal dengan sebutan
Adat Meukuta Alam. Di ayat 25, 26, 27 dan 28, dari
ketentuan Iskandar Muda itu, membicarakan tentang
hukuman qisas dan diyyat (denda).75
Qadhi Malikul Adil menampilkan diri sebagai kepala
kantor kehakiman (adhyaksa). Ia tidak segan
berseberangan dengan ulama lainnya mengenai suatu
pendapata agama. Hal ini pernah terjadi ketika Hamzah
Fansuri mengungkapkan dalam syairnya mengenai
anjuran meminum arak. Pendapat ini ditentang oleh
qadhi pada masa itu. Hamzah menjelaskan bahwa arak
75
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 177.
66
yang dimaksud adalah semacam “minuman mistis”
yang mengantarkan seseorang untuk menyatu dengan
Tuhannya. Bahkan Hamzah mengatakan qadhi pun
perlu meminumnya.
Bait-bait sajak Hamzah di atas mendapat tentangan
keras pula dari kalangan fuqaha. Besar kemungkinan,
Hamzah meminjam arak sebagai istilah untuk
mengungkapkan sesuatu. Namun, di satu sisi lainnya,
pada saat itu, masyarakat Aceh maupun orang asing
banyak yang mengonsumsi minuman yang
memabukkan. Dengan demikian apa yang diungkapkan
Hamzah dianggap bertentangan dengan hukum
agama.76
c. Mufti Empat
Para ulama yang duduk di jabatan ini digelari Syaikhul
Islam. Mereka adalah cerdik pandai yang memiliki
otoritas mengeluarkan fatwa atau mufti untuk satu
mazhab. Para hakim yang akan memutuskan perkara,
boleh berpedoman pada mazhab Syafi‟i. Maliki. Hanafi
atau Hambali.
d. Qadhi Panglima Sagi dan Qadhi Uleebalang.
Mereka yang duduk di jabatan ini, selain sebagai orang
kedua (wakil dari Panglima Sagi dan Uleebalang)
dalam suatu pemerintahan daerah, juga bertugas
menjadi hakim.
e. Qadhi Mukim
Selain sebagai pembantu Imam Mukim, Qadhi Mukim
juga biasanya merangkap sebagai hakim, qadhi nikah
dan imam shalat Jumat.
f. Imam Rawatib
76
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 178.
67
Selain memiliki tugas pokok sebagai imam shalat lima
waktu, mereka juga bertugas membantu keuchik, saksi
nikah dan pembantu hakim damai.
Selain beberapa jabatan di atas, dalam peradilan Aceh
dikenal pula suatu derajat mahkamah, yang setiap
tingkatnya mengurusi kasus-kasus yang disesuaikan dengan
kadar perkaranya. Mahkamah ini terdiri dari beberapa
tingkat yakni:
a. Hukom-Peujroh, yaitu peradilan pendamai yang ada di
setiap gampong. Ketuanya adalah keuchik, wakilnya
imam meunasah (imam rawatib) dan anggota-
aggotanya adalah tuha peuet (para tetua kampung).
Tugasnya adalah mendamaikan pihak-pihak yang
bersengketa.
b. Mahkamah Mukim, yakni pengadilan tingkat rendah.
Ketuanya adalah imam mukim, Wakilnya adalah qadhi
mukim dan anggotanya adalah beberapa keuchik dan
ulama terkemuka. Pengadilan ini bertugas mengadili
setiap perkara, dan apabila tidak bisa diselesaikan,
maka perkaranya diserahkan kepada pengadilan yang
lebih tinggi (pengadilan uleebalang).
c. Mahkamah Uleebalang, pengadilan tingkat ini disebut
juga pengadilan negeri yang bertugas mengadili
perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan di tingkat
Mahkamah Mukim, atau yang bersengketa tidak
menerima keputusannya. Hakimnya adalah uleebalang,
wakilnya qadhi uleebalang dan anggotanya beberapa
imam dan qadhi mukim.
d. Mahkamah Panglima Sagi, pengadilan ini memiliki
tanggung jawab menuntaskan perkara-perkara yang
tidak selesai di tingkatan Mahkamah Uleebalang.
Ketuanya adalah panglima sagi, wakilnya qadhi
panglima sagi dan anggotanya adalah beberapa
uleebalang dan qadhi uleebalang.
68
e. Mahkamah Agung, pengadilan ini adalah pengadilan
tertinggi dalam kerajaan yang bertugas menyelesaikan
perkara-perkara banding dari mahkamah-mahkamah
bawahannya, serta mengadili perkara-perkara besar
yang ditentukan oleh keputusan sultan. Ketuanya
adalah sultan sendiri, wakilnya qadhi malikul adil,
anggota-anggotanya: wazir sultan, menteri sultan,
ulama-ulama faqih dan mufti empat.
Van Langen menyebutkan bahwa terjadi
perombakan besar di tubuh peradilan Aceh ketika masa
desentralisasi kekuasaan dari istana ke tangan para
uleebalang pada abad 18. Pedoman hukum yang telah ada,
kendati tidak banyak dijadikan acuan lagi, namun tetap
menjadi inspirasi di peradilan tingkat daerah. Meskipun
demikian, kedudukan ulama tetaplah menjadi elemen vital
dalam penyelenggaraan peradilan baik di pusat maupun
daerah.
Jika terjadi suatu perkara kejahatan, si korban akan
mencari sendiri yang berbuat jahat padanya dan
diselesaikan secara kekeluargaan. Atau jika tidak, ia akan
menempuh jalan hukum yakni “menuntut bela” dengan
membawa si pelanggar ke hadapan ketua meunasah atau
kampung. Persengketaan kecil atau kejahatan ringan
biasanya diselesaikan oleh teungku meunasah yang dibantu
oleh orang-orang tua setempat. Penjatuhan vonis jarang
terjadi, sebisa mungkin dua belah pihak didamaikan
melalui suatu kesepakatan bernama hukuman kebaikan
(hukom peujroh).
Kasus-kasus yang diselesaikan secara demikian
berkisar pada kejahatan skala kecil seperti pencurian. Si
pencuri diperintahkan mengembalikan barang yang
diambilnya kepada pemiliknya atau menggantinya dengan
uang dan meminta maaf kepada si korban. Biasanya sang
mediatornya adalah teungku setempat, yang setelah selesai
perkara itu diberi sedikit upah. Kejahatan perdata ringan
juga diselesaikan dengan cara serupa, namun tidak disertai
formalitas permohonan ampun. Dua orang yang berkelahi,
dapat didamaikan jika mereka yang bertikai mau
69
didamaikan. Bagi mereka yang memulai perkara atau
setelah disinyalir menjadi penyebab perkelahian,
diwajibkan menyerahkan sirih kepada pihak lawannya.
Di tataran masyarakat bawah, yakni setingkat
gampong atau mukim, ulama setempat memiliki andil yang
sama besar dengan keuchik atau imam mukim dalam
penyelenggaraan suatu peradilan. Sebelum sidang dimulai,
yakni sebatas perkara perdata, pihak yang mengajukan
perkara menyerahkan uang jaminan yang dalam istilah
Aceh disebut hak ganceng, yang tujuannya bukan hanya
agar pemutusan hukum berjalan dengan baik, tapi juga
berfungsi sebagai jaminan, bahwa ongkos-ongkos perkara
akan dilunasi sebagaimaa mestinya sesaat setelah pihak
yang bersengketa menerima keputusan hakim. Ongkos
perkara (hak bale) berjumlah untuk setiap empat ringgit
yang dipersengketakan, satu sukee (seperempat) yang
dibagi di antara para hakim. Jumlah tersebut didapatkan
dari potongan uang jaminan, atau digantikan dengan uang
jika jaminannya berbentuk barang berharga seperi
perhiasan atau senjata-senjata hias.77
C. Ulama dalam Pergaulan Masyarakat Bawah
Merujuk pada uraian Erawadi, dalam tradisi istana Islam,
nafas intelektual menjadi sesuatu yang dekat dengan keseharian
hidup istana. Mereka yang mengemban fungsi ini adalah ulama
yang memang memiliki kompetensi dalam mengembangkan
bidang tersebut. Untuk itu, ulama kerapkali diangkat menjadi
patron keilmuan sultan namun juga merangkap sebagai penasehat
istana.78
Lebih jauh, nasehat ulama bukan hanya didengar di
lingkungan istana, namun juga telah mendarah daging hingga ke
kehidupan sosial rakyat.
Di tingkat gampong (desa) terdapat tiga unsur utama yang
bertanggung jawab atas pelbagai kepentingan masyarakat
gampong, yaitu keuchik, teungku dan ureung tuha. Keuchik adalah
77
Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 44-45. 78
Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 27.
70
pemimpin atau kepala gampong yang diserahi wewenang dari
uleebalang, terkadang juga dari imeum mukim, di wilayah yang
membawahi gampong tersebut. Di masa kesultanan, biasanya
jabatan ini diwariskan secara turun temurun. tugas keuchik
berkisar pada urusan adat. Selain itu, ia juga bertanggungjawab
menyeru penduduk gampong untuk beribadah dan memakmurkan
masjid atau meunasah.
Unsur kedua, adalah teungku meunasah. Ia bertugas
memandu hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan.
Penguasaan ilmu agama sudah seyogyanya dimiliki oleh seorang
teungku meunasah, namun hal ini tidak berarti membutakan
dirinya akan realitas sosial, utamanya terhadap adat tradisi
masyarakat setempat. Untuk itu, persyaratan lain yang tidak boleh
tertinggal baginya adalah pengetahuan akan tradisi walaupun
hanya sekedarnya, minimal pada hal-hal yang prinsipil. Sedangkan
ureung tuha adalah kaum yang dituakan di lingkungannya,
berpengalaman, bijaksana, dan memahami adat dalam suatu
gampong. Umumnya mereka telah berusia lanjut. Orang muda
yang memiliki kapasitas pengetahuan adat yang memadai pun
dapat dijadikan ureueng tuha. Ketiga unsur tersebut termasuk pada
tingkat elit di gampong.79
Perbendaharaan lama masyarakat Aceh juga menampilkan
“adat” dan “agama” sebagai dua unsur dominan dalam
kepemerintahan masyarakat ujung utara Sumatra ini. Dalam
lapisan masyarakat Aceh, Sultan dan uleebalang (hulubalang)
merupakan dua pilar yang mendukung nuansa adat masyarakat.
Dua wajah pemerintah ini bahkan menjadi simbol eksistensi dan
corak pengaruh adat dalam kehidupan rakyat Aceh. Di pihak lain,
ulama menjadi pilar utama yang menyokong serta
memperjuangkan agama sebagai ide yang melandasi kehidupan
ritual serta sosial masyarakat.
Ditinjau dari kacamata politis, baik sultan, uleebalang
maupun ulama, merupakan sekumpulan peran yang saling
berkaitan dan saling mempengaruhi. Dalam menjalankan roda
79
Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 74; Snouck, Aceh vol. 1 ..., hlm.
80-85.
71
kerajaannya, sultan membutuhkan kedua pilar lainnya sebagai
penghubung antara dirinya yang bermukim di puncak stratifikasi
sosial dengan rakyat biasa yang berada di struktur terbawah. Di
wilayah lain, uleebalang dan ulama memerlukan sultan. Bagi
kalangan uleebalang, yang dikenal pula sebagai raja kecil, pada
dasarnya sultan merupakan distributor tongkat kekuasaan bagi
mereka.
Pada umumnya, seorang uleebalang diakui sebagai
penguasa ketika telah mendapat pengakuan dan atau pengesahan
dari sultan. Pihak kerajaan mengeluarkan sarakata sebagai
legitimasi kekuasaan seorang uleebalang dalam wilayah tertentu.
Sarakata sendiri berbentuk surat pernyataan pengakuan yang
dibubuhi Cap Sikureung (Cap Sembilan) yang merupakan stempel
resmi kerajaan.
Selanjutnya, kehadiran dan kekuasaan sultan juga
dibutuhkan ulama. Sultan menjadi naungan yang memberi
perlindungan diri dan kepentingan mereka. Kepentingan yang
dimaksud adalah terletak pada penegakan nilai, norma dan
pelaksanaan perintah agama. Mereka juga membutuhkan dukungan
serta penjagaan sultan ketika mengupayakan tersiarnya ajaran
Islam tanpa dibatasi oleh otoritas yang dimiliki para uleebalang.
Dengan berpayungkan perlindungan dan pengakuan sultan
terhadap kehadiran dan peran ulama dalam masyarakat, para ulama
mengharapkan kerjasama dengan para uleebalang yang menguasai
daerah-daerah tertentu.
Kesalinghubungan di antara ketiga pilar tersebut
sebenarnya sudah berlangsung lama terhitung sampai Belanda
menaklukkan Aceh secara resmi pada tahun 1903. Tidak bisa
dipungkiri, dalam perjalananya, keadaan hubungan ulama dan
pemerintah mengalami fluktuasi dilatarbelakangi oleh suatu
kejadian tertentu. Terkadang, satu pilar ingin lebih terdepan
dibanding pilar lainnya, namun secara garis besar tidak merubah
pola koneksi kedua pilar itu dan dapat dikatakan berjalan dalam
keadaan yang cukup stabil. Kondisi ini semakin menunjukkan
harmonisasi hubungan antarsegmen dalam masyarakat Aceh yang
72
sudah tentu didukung pula oleh kuatnya stabilitas di lapisan
bawah.80
Sumber lain mengatakan bahwa terbentuknya pemerintahan
di daerah-daerah tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya yang
berakar pada ritual shalat berjamaah di masjid. Ketika Sultan
Iskandar Muda bertahta, dibangun banyak masjid, di antara yang
terkenal adalah:
1. Masjid Baiturrahim terletak di Kotaraja (Dalam)
2. Masjid Baiturrahman
3. Masjid Indrapuri di XXII Mukim
4. Masjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu di VI Mukim
sagi XXV
5. Tiga buah masjid di Ladong Cadek dan Krueng Raya di XXVI
Mukim
Masjid berperan sentral dalam penguatan masyarakat Islam
Aceh. Awalnya, masjid hanya digunakan sebagai pusat kegiatan
ibadah, utamanya shalat 5 waktu, yang dipimpin oleh imam. Lama
kelamaan, para imam masjid mulai mengetahui dan memahami
kondisi di mana ia hidup dan bersosialisasi. Ketika masjid
digunakan menunaikan shalat Jum‟at, jumlah jamaahnya bisa
semakin membengkak, bukan hanya berasal di sekitaran masjid
melainkan mengundang pula penduduk dari kampung-kampung
lain. Kenyataan ini membuat para imam semakin rajin bersua
dengan masyarakat yang tentu saja dalam momen-momen tertentu,
dimungkinkan terjadi interaksi hal-hal yang sifatnya duniawi atau
juga mengupas kepentingan sosial. Para imam pun mendapat tugas
tambahan sebagai sosok yang dihormati bukan hanya sebagai
imam shalat melainkan juga imam bermasyarakat.
Lambat laun, ketika sudah tidak sanggup lagi
menyelesaikan urusan-urusan keagamaan, mereka pun memilih
berkonsentrasi di bidang kemasyarakatan, dan menyerahkan
tugasnya semula kepada orang-orang lain, untuk lebih
mengefektifkan kedua peran tersebut. Atas dasar itulah, maka
kerapkali dijumpai seorang ketua yang memerintah suatu mukim
80
Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 74-76.
73
dinamakan imeum mukim atau imam adat untuk membedakan
dengan imeum seumayang di dalam masjid.
Seiringan dengan dinamika peran itu, ikut pula
memunculkan fenomena baru dalam tatanan pemerintahan lokal
yang sebelumnya tidak ada. Model pemerintahan asli, yakni
gampong, melebur dalam ketatanegaraan yang diwakili oleh
mukim. Implikasinya, kepala kampung atau keuchik menjadi
bawahan seorang imeum mukim.
Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan meluasnya
lahan pemukiman, dengan sendirinya memunculkan permasalahan
baru di antara para anggota keluarga yang terkendala dalam
mengurus suatu kepentingan keluarga dan umum, salah satunya
adalah dalam hal ibadah. Timbul keinginan untuk lebih
merekatkan diri dalam ikatan kesatuan agama agar lebih
merasakan kebersamaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan
agama, seperti shalat lima waktu, melaksanakan pendidikan agama
bagi anak-anak dan sebagainya. Harapan ini terobati dengan
dibangunnya tempat ibadahnya yang bangunannya lebih kecil dari
masjid, namun tidak mengurangi fungsinya di bidang sosio-
keagamaan. Tempat ini dinamakan binasah atau meunasah.
Demikian, semakin banyaknya pemukiman, maka semakin banyak
pula dibangunnya meunasah di lorong-lorong kampung. Seorang
teungku meunasah terkadang dianggap sebagai wakil keuchik oleh
karena perannya yang tidak bisa dilepaskan dari pelayanan
kepentingan umum.81
Adat Meukuta Alam ikut pula mengatur
fenomena meluasnya wilayah Aceh dengan membangun meunasah
dan tempat pendidikan.82
Fungsi meunasah dalam bagi masyarakat Aceh memiliki
dimensi yang lebih kaya ketimbang suatu tempat untuk
sembahyang. Merujuk pada penjelasan A. Verheul, bagi orang
Aceh, meunasah merupakan perwujudan dari suatu keutamaan
dalam perjalanan hidupnya. Bertambahnya kadar keimanan,
ketentraman jiwa dan ketetapan beragama amat dipengaruhi oleh
81
Ridwan Azwad, peny, Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh
(Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 2-4. 82
Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 100-101.
74
intensitas mendatangi meunasah. Bukan terbatas hanya dalam
tataran individu, pemahaman ini juga bertalian pula dengan
keluarga si muslim dan masyarakatnya. Pelbagai bentuk perayaan
Muslim, seperti perkawinan dan kematian, adalah pula
kepentingan meunasah. 83
Di beberapa belahan persada Aceh, seperti di Pasai (Pase),
meunasah mengalami perluasan makna, dari yang hanya
disandarkan pada kepentingan sosio-keagamaan menjadi lebih luas
hingga ke tataran pemerintahan. Di kenegerian ini, meunasah
dimaknai sebagai kesatuan teritorial. Daerah Pasai yang
merupakan suatu kenegerian kemudian dibagi dalam beberapa
meunasah. Di luar daerah meunasah, hanya dijumpai hutan-hutan
dan rawa-rawa yang tidak didiami manusia. Daerah-daerah tak
berpenghuni itu, merupakan daerah kerajaan Aceh Darussalam,
namun dianggap orang Pasai bukan merupakan wilayah meunasah.
Setiap orang Aceh di Pasai termasuk dalam suatu
meunasah tertentu. Oleh sebab itulah, meunasah dapat dipahami
pula sebagai model organisasi terkecil yang membentuk suatu
kenegerian. Setiap meunasah memiliki suatu penghasilan sendiri
dan ini merupakan suatu kekhasan dari pola kumpulan manusia ini.
Teritorial ini memiliki suatu lingkungan kepentingan yang dikuasai
oleh organ-organnya sendiri tanpa intervensi raja atau orang lain di
luarnya.
Pembentukan meunasah sendiri bukan hanya dilakukan di
wilayah Pasai, namun di setiap tempat yang didiami oleh
sekumpulan orang Pasai. Bagi mereka, sekalipun jauh di
perantauan, meunasah tidak bisa ditiadakan. Hanya saja perlu
adanya keterbukaan dengan tradisi lokal di mana mereka hidup
sehingga dapat meminimalisir gap tradisi yang mungkin saja bisa
terjadi.
Belakangan diketahui, sistem sosial meunasah bukanlah
lahir dan tumbuh di Pasai, melainkan merupakan bentuk
“penyempurnaan” dari model serupa yang dibawa dari Pidie dan
Meuredu. Konsep ini kemudian dibawa ke Pasai dalam suatu
83
Ridwan Azwad, Lembaga-lembaga ..., hlm. 22.
75
rentangan migrasi yang lama. Di Pasai, maket kekerabatan ini
kemudian mengalami beberapa penyesuaian kemudian mulai
digunakan sebagai pengikat antarindividu dalam suatu kelompok
tradisional setempat.
Pada awalnya, keberadaan meunasah dalam suatu kampung
Aceh hanyalah berbentuk rumah bersama yang digunakan sebagai
tempat bermusyawarah dan melakukan kewajiban-kewajiban
agama. Sebagai perbandingan, di wilayah Aceh Besar, bangunan
meunasah dianggap sebagai titik pusat sebuah masyarakat hukum
yang kemudian dinamakan meunasah.
Setiap meunasah memiliki nama sendiri-sendiri. Biasanya,
pemberian nama terinspirasi dari nama sejenis pohon atau keadaan
topografis (berkaitan dengan keadaan geografis suatu tempat;
misal, atas ngarai, bawah bukit, samping hutan dan lain
sebagainya) tempat tersebut. nama itu, selain digunakan bagi
meunasah, sering digunakan pula pada suatu komunitas hukum
setempat. penetapan nama dilakukan secara bersama-sama tanpa
ada upacara-upacara khusus.84
84
Ridwan Azwad, Lembaga-lembaga ..., hlm. 23-24.
76
BAB IV
UMARA DALAM MASYARAKAT ACEH
A. Pengertian Umara
Kata Umara yang digunakan dalam tesis ini, diambil dari
kata Arab yang berarti pemimpin atau dalam konteks kerajaan
biasa dikenal dengan raja. Merujuk pada Kamus Arab-Indonesia
yang disusun oleh Mahmud Yunus, Umara adalah jamak taksir
(bentuk perubahan kata yang menyatakan lebih dari dua, dan
bentuk katanya berubah menjadi tidak beraturan) dari kata amir
yang bermakna raja atau anak raja. Umara berasal dari kata amara,
yang bermakna menyuruh.85
Golongan umara memiliki otoritas serta kebijakan dalam
mengendalikan suatu sistem pemerintahan. Porsi mereka amat
besar dan paling berpengaruh, yakni sebagai pusat perintah
sekaligus tanggung jawab dari setiap kebijakan kerajaan. Antara
keputusan dan tanggung jawab yang dimiliki mereka, berada
dalam satu kepalan tangan. Jika keputusan yang diambil tepat,
maka tata kelola kerajaan beserta masyarakatnya akan mengarah
pada suatu keberaturan dan kesejahteraan, namun sebaliknya jika
keputusan yang diambil adalah salah, maka mereka beserta
rakyatnya akan menanggung beban dari suatu keadaan yang tidak
diinginkan. Baik dan buruk langkah kerajaan, amat bergantung
dengan seni seorang raja memimpin bawahannya.
Sebelum membincang perkembangan kerajaan Aceh,
agaknya perlu dikemukakan cikal bakal tumbuhnya sistem
kerajaan sebagai sistem pemerintahan di Aceh. Sistem kerajaan
model pemerintahan Aceh awalnya dikenal sejak masa yang belum
diketahui kepastiannya. Namun dalam suatu keterangan yang
dipaparkan K.F.H. Van Langen menunjukkan bahwa sejak masa
85
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia ( Jakarta: P.T. Hidakarya
Agung, tanpa tahun) hlm. 48
77
Aceh didiami oleh orang Mante, leluhur dari masyarakat Aceh,
sistem pengakatan raja sudah mulai dikenal dan mengalami
perkembangan ketika beranjak ke masa kejayaan Hindu-Budha
yang dimulai sejak tahun satu masehi.86
Selain dikenal dari penemuan batu-batu nisan dan makam-
makam bertulisan di Tanoh Abee dan Reueng-reueng (di
pedalaman XII Mukim), yang merupakan beberapa temuan
arkeologis tentang keberadaan pengaruh Hindu di Aceh, di
masyarakat Aceh juga terdapat cerita mengenai Raja Hindu di
Indrapuri bernama Rawana yang kerajaannya terbentang
mencakup kerajaan Hindu yang bernama Indra Purwa yang
terdapat di Kuala Neujid atau Pancu dan Indra Patra yang berdiri
kira-kira di sekitar Lam Nga dekat Kuala Gigieng.87
Cerita tentang
Raja Rawana menandaskan bahwa di masa Hindu, masyarakat
Aceh telah mengenal sistem kerajaan yang tetap dipelihara hingga
berdirinya kerajaan Aceh Darussalam.
Sebelumnya struktur model pemerintahan Aceh masa
Hindu-Budha sedikit banyak mempunyai kemiripan dengan yang
terjadi di negeri-negeri Melayu pada umumnya. Dalam konsep
Hindu dinyatakan bahwa masyarakat harus tunduk kepada para
dewa. Dewa dianggap sebagai simbol dari suatu kekuasaan atau
pemimpin. dalam struktur masyarakat Hindu, golongan masyarakat
dibagi dalam empat kasta, yakni: Brahmana, Ksatria, Waisya dan
Sudra. golongan yang berhak menjadi pemimpin adalah kalangan
berkasta tertinggi. masyarakat Hindu mengenal konsep
kepemimpinan beraja-raja atau aristokrasi, dan dalam masyarakat
Melayu dikenal dengan nama ketemanggungan. konsep ini
kemudian diturunkan dalam banyak contoh tentang kesetiaan
rakyat atau perangkat kerajaan kepada rajanya, seperti yang
tergambar dalam cerita kepatuhan Hang Tuah pada Sultan Malaka.
Untuk membuktikan kesetiaannya, Hang Tuah sampai tega
membunuh kawan karibnya, Hang Jebat dan Hang Kesturi.
86
K.F.H. Van Langen,Susunan Kesultanan Aceh Semasa Kesultanan,
Terj. Aboe bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen Informasi
Aceh, 2012) hlm. 4 87
.F.H. Van Langen,Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 5.
78
Berbeda dengan Hindu, masyarakat yang mengamalkan
ajaran Budha tidaklah mengenal kasta. status kemuliaan orang,
termasuk di kalangan penguasa, adalah kemampuannya
menunaikan ajaran Budha sembari meninggalkan segala yang
dilarang. Setidaknya ada lima larangan yang harus dihindari di
antaranya membunuh, mencuri, main perempuan, minum-
minuman keras dan alkohol. Keputusan ini ditetapkan atas mufakat
perangkat masyarakat.88
Perlu pula disampaikan bagaimana pengaruh Islam
meresap kemudian merubahan tata pola penyelenggaraan kerajaan
model Hindu. Tentu saja ini terjadi tatkala munculnya kerajaan
Islam pertama di Aceh. Dalam Seminar Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Aceh yang diselenggarakan oleh Majelis
Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dimulai tanggal 10 sampai
dengan 16 Juli 1978 menyimpulkan bahwa Perlak, Lamuri dan
Pasai merupakan tiga kerajaan kerajaan Islam pertama di Aceh.89
Di antara ketiganya, Perlak lah yang merupakan kerajaan Islam
Aceh terawal. Dengan begitu bisa dikatakan sejak masa Perlaklah
pola pemerintahan Islam sedikit banyaknya sudah dikenal dan
diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam butir kesimpulan seminar di atas yang lain,
disebutkan pula bahwa di masa Perlak dan Pasai struktur
pemerintahan sudah teratur.90
Kegoncangan sebenarnya biasa
muncul dari perubahan penguasa di Perlak. Merupakan suatu
keniscayaan bahwa friksi atau gesekan politik lahir dari pergantian
rezim penguasa. Jika di tingkat elite, dalam hal ini di lingkungan
keluarga raja, tidak terjadi, disebabkan ayah dari Raja Perlak Islam
pertama, seorang Arab keturunan Sayid menikah dengan putri Raja
Perlak yang belum beragama Islam, kegoncangan yang lain
mungkin terjadi, hanya saja keberadaannya tidak sampai
menggoyahkan stabilitas kerajaan.
88
Suwardi, Raja Alim Raja Disembah; Eksistensi Kebudayaan Melayu
dalam Menghadapi Era Global (Pekan Baru: Alaf Riau, 2005) hlm. 42-43. 89
A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia
(t. tp: Almaarif, tanpa tahun) hlm. 12 90
A. Hasjmy, Sejarah Masuk ..., hlm. 12.
79
Suwardi menyebutkan bahwa sepeninggal konsep
kepemimpinan Hindu-Budha, tradisi ketaatan rakyat kepada
rajanya memperoleh format baru tatkala langgam pemerintahan
Islam menjadi tren di kerajaan Melayu termasuk Aceh. Ajaran
Islam menyatakan bahwa Sultan adalah wakil Tuhan di dunia.
Sejak dianutnya Islam menjadi agama legal di kerajaan hingga
wilayah bawahannya, perlahan-lahan ketentuan serta hukum Islam
juga mulai digunakan sebagai hukum kerajaan. Meskipun begitu,
ajaran Islam yang digunakan sebagai hukum kerajaan diperkaya
serta mengalami pribumisasi, melebur dengan ketentuan adat
setempat. Perkawinan hukum Islam dan hukum adat inilah yang
tercermin dalam ungkapan adat bersendi syara, syara bersendikan
kitabullah. Dalam tradisi Melayu sendiri dan juga populer di
sejarah pemerintahan Aceh Darussalam, masyarakat tidak
membabi buta tunduk di hadapan raja. Tetap ada kontrol dan kritik
yang dilayangkan perangkat kerajaan maupun tokoh masyarakat
apabila sang raja lalai dalam tugasnya. Keadaan tersebut terpancar
dalam ungkapan raja alim raja disembah, raja lalim raja
disanggah.91
Kedudukan raja yang sedemikian tinggi biasanya
mendapatkan ketundukan yang besar dan luas di kalangan
rakyatnya. Kemuliaan raja berjalan bersamaan dengan karya-karya
yang kemudian diciptakannya. Namun, dalam spektrum Asia
Tenggara khususnya Melayu, keagungan dan kebesaran raja juga
membutuhkan umpan balik berbentuk ketaatan rakyatnya. Dua
elemen tersebut saling bertalian dan tidak bisa dilepaskan.
A. C. Milner mengatakan bahwa masyarakat Melayu
menganggap dirinya tidaklah hidup di bawah kuasa Tuhan,
melainkan di bawah kekuasaan raja. Tentu saja pendapat ini bukan
dilihat dari sisi keagamaan, melainkan dari sudut tata
pemerintahan. Pandangan ini merupakan warisan yang mengakar
bersumber dari tradisi India. kata “kerajaan” yang merupakan
padanan dari kata state maupun government, secara harfiah dapat
diartikan sebagai “keadaan yang mempunyai raja”. Raja diaggap
sebagai pusat dari kesetiaan sekaligus pusat bagi setiap aspek
kehidupan orang Melayu. Segala bentuk kemajuan di sektor
91
Suwardi, Raja Alim ..., hlm. 43.
80
strategis, ekonomi dan militer misalnya, tidaklah banyak berarti
jika berada di luar kerajaan. raja dianggap sebagai pemegang
legitimasi sekaligus orang yang dijunjung tinggi.92
Lebih lanjut C. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa
penghormatan masyarakat Aceh terhadap raja terletak pada adat.
Dari junjungannya tersebut, adat dan ketentuan hukum Aceh
disusun dan menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Hukum adat
yang dirumuskan oleh sultan dan perangkatnya dianggap sebagai
suatu sumbangan yang besar dalam merekonstruksi hubungan
masyarakat agar tertib, teratur dan mengedepankan keadilan.
Dalem (istana) yang merupakan tempat tingga raja, dianggap
sebagi simbolisasi kekuasaan raja yang sejak masa yang lampau
ikut serta mengembangkan peradaban Aceh.93
B. Pemerintahan Kesultanan
Aceh era Sultan Iskandar Muda merupakan kerajaan Islam
yang tersohor di Nusantara, utamanya di kawasan selat Malaka dan
sekitarnya. Sebagaimana telah disebutkan di bab yang lalu,
berbagai bentuk kemajuan ditorehkan Iskandar Muda sehingga
disebut-sebut sebagai masa keemasan Aceh. Kesejahteraan yang
perlahan mampu dibangun, tidak lepas dari kemahiran dan
kecermatannya mengelola biduk kerajaan serta keberaniannya
menelurkan beragam kebijakan strategis yang dialamatkan tidak
saja bagi kalangan elit, melainkan juga masyarakat bawah.
Potret kedekatan Iskandar Muda pada masyarakat bawah
disebutkan oleh Nuruddin ar-Raniri bahwa Sultan Aceh ini amat
memperhatikan kelangsungan hidup kaum papa. Hampir setelah
melakukan ibadah shalat Jumat, Raja ini menyedekahkan sebagian
hartanya bagi kalangan miskin.94
Ini menjadi kekhasan tersendiri,
92
A.C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” dalam Ahmad
Ibrahim dkk, peny, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah(Jakarta: LP3ES,
1989) hlm. 48-49. 93
C. Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jilid II, Terj. Ng.
Singarimbun (Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985) hlm. 160. 94
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, bait 12 dan 13, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional, Tanpa Tahun) hlm. 16.
81
di mana Raja berupaya mendekatkan diri pada golongan yang tidak
berpunya. kesejahteraan massa bawah, menunjukkan pada
keseriusan kerajaan membangun kubah sosial masyarakatnya yang
kuat dan bisa menaungi semua kelompok masyarakat tanpa
terkecuali.
Penetapan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh dengan visi
pembangunannya yang memukau, merupakan prestasi tersendiri
bagi sistematika uji kelayakan calon Sultan Aceh. Kepemimpinan
di Aceh ternyata tidak hanya didasarkana pada keturunan semata,
melainkan juga prinsip kepemimpinannya yang tepat dengan
semangat zaman dan yang terpenting mampu menuntaskan segala
problem kerajaan dan masyarakat. Kepemerintahan yang tertib
menjadi prasyarat menjemput segala bentuk manfaat tergelarnya
kemajuan. Memang, dalam sejarahnya, tidak semua raja dan ratu
Aceh memiliki potensi kepemimpinan sebaik Iskandar Muda.
Paling tidak dari sosok Sultan Aceh ini, gambaran seorang raja
yang luhur, mengedepankan paradigma kepemimpinan baik dan
didukung segenap pejabat kerajaan dan rakyatnya bisa didapatkan
dan ditelaah relevansinya.
Dalam tata pengangkatan Sultan Aceh Darussalam, ulama
dan orang-orang besar kerajaan memiliki wewenang menguji
kelayakan dan kecakapan calon Sultan Aceh baru. Calon Sultan
Aceh harus memenuhi persyaratan yang merupakan cerminan dari
hukum agama Islam dan adat Aceh. Dua unsur tersebut adalah
dasar yang dijadikan tempat berpijak seluruh tindakan kerajaan,
termasuk dalam pengangkatan Raja Baru. Oleh karena itu dikenal
pepatah yang menyebutkan bahwa hukum dan adat bagaikan zat
dengan sifat (lagee zat ngon sipheuet).
Adapun syarat-syarat kelayakan Sultan Aceh menurut
hukum agama adalah sebagai berikut:
1. mempunyai kecakapan untuk menjadi kepala negara
a. merdeka
b. dewasa
c. berpengetahuan (hukum dan adat), dan
d. adil
cakap mengurus negeri, hukum dan peperangan
82
2. mempunyai kebijaksanaan dalam menimbang dan
melaksanakan hukum dan adat
Peristiwa penobatan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh
merupakan momentum yang tepat terjadinya. Denys Lombard
mengutip informasi dari Agustine de Beaulieu mengenai kejadian
yang menyebabkan diangkatnya Iskandar Muda menjadi raja.
Dikisahkan, pada suatu hari Iskandar Muda berselisih paham
dengan Sultan Muda atau Sultan Ali Riayatsyah, Sultan Aceh yang
memerintah pada 1604 -1607, yang menyebabkan Iskandar Muda
mencari suaka pada gubernur Pedir. Di sana, Iskandar Muda
berhasil mempengaruhi penguasa Pedir menggerakkan pasukan
Pedir menyerbu istana Aceh. Sultan Muda, yang tidak lain adalah
pamannya, sudah mengetahui kabar datangnya pasukan
pemberontak, telah lebih dulu pula menyiapkan garda pasukan
Aceh.
Pertempuran pecah, pasukan Aceh menahan serbuan
pasukan Pedir. Lama kelamaan, pasukan Aceh berhasil memukul
mundur kekuatan Pedir. Tidak lama kemudian, Iskandar Muda
berhasil diringkus dan dibawa ke istana Aceh dengan kaki dirantai
lalu dimasukkan ke istana. Di pihak lain, Portugis yang mendapat
kabar tentang perselisihan internal para penguasa Aceh,
mengambil kesempatan dengan mendaratkan pasukan di pantai
Aceh dan mengadakan penyerbuan di tengah kemelut kerajaan.
Raja Muda yang telah mengetahui kedatangan Portugis,
menimbang untuk mencari panglima yang mampu mengusir
Portugis.
Raja Muda teringat, Iskandar Muda merupakan salah satu
panglima perang terbaik kepunyaan Aceh. Segera ia membebaskan
keponakannya itu dan memeberikan gelar panglima dan memimpin
pasukan Aceh. Perang segera berkecamuk, Iskandar Muda dengan
serangkaian taktik andalannya berhasil mengusir musuh. Pada
malam harinya, suatu peristiwa menyedihkan terjadi, Sultan Aceh
berpulang. Dengan tanpa menunggu waktu lama, dinobatkanlah
Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh. Ia menganggap pamannya
83
yang lain, penguasa Pedir, sebagai ancaman. dikirimlah sejumlah
pembunuh bayaran untuk membunuh pamannya itu.95
Terdapat versi lain yang dikemukakan terkait dengan latar
belakang naiknya Iskandar Muda ke tampuk tertinggi
kepemimpinan Aceh Darussalam. M. Zainuddin menceritakan
bahwa Sultan Ali Riayat Syah atau Muda Syah, Sultan Aceh,
terlibat pertengkaran serius dengan saudaranya Raja Hussain Syah,
penguasa Pidie (Pedir). Muda Syah telah berbuat culas dengan
memaksa ayahnya, Sultan Alaiddin Riayat Syah Sayidil
Mukammil, Sultan Aceh sebelumnya (1585-1604) turun tahta.
Pertikaian itu memuncak dengan perang saudara antara pasukan
Aceh dan pasukan Pidie di kaki gunung Seulawah. Saat itu Raja
Hussain dibantu oleh seorang panglima perang bernama Perkasa
Alam. Nama terakhir itulah yang kelak menjadi Sultan Iskandar
Muda.
Pertempuran dapat dimenangkan pasukan Aceh dan
berakhir dengan kematian Raja Hussain dan ditawannya Perkasa
Alam. Ditangkapnya Perkasa Alam ternyata menimbulkan masalah
baru, yakni munculnya gelora perlawanan dari para simpatisannya.
Keadaan ini sempat mengacaukan keadaan dan membuat
perekonomian mundur. Keadaan tersebut diperparah dengan
ketidakcakapan raja memberikan solusi atas masalah kelaparan
rakyat akibat gagal panen dikarenakan musim kemarau.
Kerajaan Aceh seketika jatuh dalam kemelut. Dari
kejauhan, Portugis melihat kemunduran Aceh sebagai peluang
untuk menguasai kerajaan itu. Pasukan Portugis datang
berbondong-bondong memasuki wilayah Aceh. Sultan Aceh
kemudian mengeluarkan Perkasa Alam dan menitahkannya
memimpin pasukan menghalau kedatangan musuh. Pertempuran
Aceh-Portugis pun segera berkecamuk. dalam suatu kesempatan.
Perkasa Alam berhasil mengalahkan Portugis. Wibawa kerajaan
dapat diselamatkan. Tidak lama setelah kemenangan penting itu,
95
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607 – 1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 94.
84
Sultan Aceh mangkat dan diangkatlah Perkasa Alam sebagai
Sultan Aceh.96
Peristiwa pengangkatan Iskandar Muda di atas perlu
disampaikan sebagai salah satu kasus bahwa kepala kerajaan yang
dipilih, haruslah orang yang memiliki kapabilitas menjaga dan
mengatur kerajaan. Ikut sertanya Iskandar Muda dalam konflik
antarelit penguasa Aceh hingga didapuknya dirinya menjadi Sultan
Aceh boleh saja dinilai sebagai kejadian politik semata, namun jika
melihat pengalaman serta kedudukan Iskandar Muda ditambah
keberhasilannya mengalahkan armada Portugis merupakan prestasi
yang memenuhi kelayakan seorang raja. Beberapa penyelesaian
tugas Iskandar Muda bisa dikatakan sebagai pembuktian bahwa
dirinya merupakan kandidat raja terkuat sepeninggal
pendahulunya.
Ketika seseorang telah berhasil menduduki jabatan
Raja/Sultan Aceh, kepadanya diberi tiga hak yang menyokong
penyelenggaraan pemerintahannya, yaitu:
1. mengangkat kalangan ahli hukum (ulama)
2. mengangkat orang-orang yang bijak (cerdik pandai, yaitu
orang-orang yang patut menguru negara seperti wazir, menteri
dan lain-lain, dan
3. mengangkat orang yang perkasa untuk menjaga keamanan
negeri yakni uleebalang, panglima perang dan lain-lain.
Ketiga golongan tersebut berperan penting dalam
penyelenggaraan kebijakan-kebijakan kerajaan. Mereka menjadi
tulang punggung akan teratur dan lancarnya tugas-tugas kerajaan
dalam mengurusi kepentingan masyarakat. Kesuksesan dan
konsistensi mereka amat bertalian dengan kesejahteraan kerajaan.
Di samping itu, kepada merekalah Sultan menyerahkan sebagian
perintahnya yang langsung diterjemahkan dan diberdayakan sesuai
dengan tugas dan posisi mereka.
Adapun tugas dari ketiga golongan tersebut dalam
pemerintahan Aceh adalah:
Ulama
96
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I (Medan:
Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 403-404.
85
1. menjadi penasehat Sultan dan pemerintahan dalam
permasalahan keagamaan serta memberikan edukasi ke
masyarakat akan pentingnya keteguhan iman dan
senantiasa berbuat kebajikan di jalan agama
2. menjadi kadi Sultan dalam menyelesaikan masalah-
masalah dalam negeri
3. bertugas menikahkan orang yang tidak mempunyai wali,
baik di kalangan kerajaan, maupun di pemerintahan
uleebalang dan panglima sagi.
menteri-menteri
1. menjadi penasehat dan pembimbing raja
2. memikirkan urusan tata negara
3. menjalankan suatu langkah-langkah diplomatik dan siasat,
serta mengurus pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan
dengan peraturan negeri sesuai dengan arahan Sultan.
Uleebalang
1. menjaga negeri (peutimang nanggroe)
2. menjalankan setiap perintah Sultan terkait penangkapan
orang-orang yang mengingkari keputusan hukum dan adat
3. mempersiapkan pasukan pertahanan negeri97
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kalangan
agamawan atau ulama sebenarnya berdiri di dua wilayah, di dalam
pemerintahan dan di luar pemerintahan. Pendek kata mereka
memainkan peran ganda. Tatkala tugasnya terkait pada pengurusan
masalah-masalah dalam negeri maka saat itulah ia menjadi umara,
namun ketika ia berada di tengah masyarakat maka kedudukannya
adalah sebagai ulama yang tidak terikat dengan permasalahan
kerajaan dan bertugas sebagai guru agama semata.
Dengan kata lain, ketika berada di tengah masyarakat, ia
tidaklah memberikan pengetahuan atau segala informasi mengenai
kerajaan beserta urusan yang dikelolanya. Ia hanya
mengedepankan diri sebagai pelayan masyarakat yang
membimbing ritual keagamaan. Posisi ini sebenarnya unik, karena
di antara para pejabat kerajaan pusat, ulamalah yang bisa dikatakan
paling dekat dengan masyarakat. Bisa dikatakan, pintu rumah
97
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 333-334.
86
mereka akan senantiasa terbuka menerima aduan serta keluhan
masyarakat. Ini berbeda dengan para pejabat kerajaan yang selesai
menjalankan tugasnya di kantor istana, mereka kembali ke rumah
berkumpul dengan keluarganya dan bisa disebutkan bahwa
persentuhan dengan masyarakat bawah tidaklah sesering kalangan
ulama.
Peran ulama di masyarakat juga berguna membantu
evaluasi kinerja kerajaan. Dapat dibayangkan, dalam suatu acara
rakyat di daerah, semisal pernikahan atau upacara kematian,
mereka menjadi golongan yang dipercaya menghadiri dan tidak
jarang memimpin acara tersebut, khususnya ketika acara doa
maupun ceramah. Dalam satu sesi, mereka juga mendengarkan
keluh kesah para pemimpin daerah. Mereka juga bisa mendapatkan
informasi dari murid-murid yang berasal dari masyarakat
kebanyakan tentang keadaan masyarakat. Ulama menjadi kalangan
yang dihormati sekaligus dijadikan sebagai pengayom masyarakat.
oleh sebab itu, seakan tidak ada batasan birokratis yang menyekat
ulama sebagai pemerintah tatkala di istana dengan masyarakat
yang diperintah. Batasan itu perlahan lenyap dalam suatu
pertemuan yang melibatkan tokoh masyarakat bawah.
Dalam penyelenggaraan kerajaan, Sultan Iskandar Muda
membentuk pula Mahkamah Agung sebagai salah satu alat
kelengkapan pemerintahannya yang berdasarkan pada hukum
Islam. Jabatan kadi, yang merupakan kepala mahkamah agung
memiliki tempat penting dalam struktur pemerintahan Islam.
jabatan kadi atau lengkapnya Kadi Malikul Adil bertugas
menyesuaikan hukum Islam dan adat kebiasaan. Dengan begitu,
keputusan kadi memiliki kekhasan tersendiri dan sedikit
banyaknya berbeda dengan kadi di kerajaan Islam lainnya,
utamanya di belahan dunia Islam mancanegara.
Kehadiran kadi dalam suatu persidangan amatlah
dinantikan, karena kemunculannya dianggap syarat mutlak
keabsahan mahkamah agung. Dalam perkara-perkara kejahatan
yang tidak berat, yang merupakan bentuk pidana ringan dan
termasuk dalam kategori pelanggaran menengah ke bawah, dapat
diputuskan oleh kadi atau ulama yang menjadi staf peradilan di
luar ikut sertanya anggota-anggota majelis Sultan lainnya. Namun
87
jika perkaranya termasuk “hukuman besar”, dalam rangka
mendapatkan vonis yang diketahui segenap pejabat kerajaan, maka
kehadiran seluruh anggota majelis sangat diutamakan sebagai
bentuk absahnya vonis sidang.98
Kadi biasanya juga dibantu oleh
empat orang mufti yang menetapkan hukum-hukum Islam.99
Selain itu, pemimpin militer bergelar laksamana juga
diangkat mengepalai balai laksamana, yang merupakan markas
besar ketentaraan Aceh yang dibagi dalam dua divisi, darat dan
laut. menteri dirham juga diangkat mengurus masalah finansial
kerajaan. mereka semua bertanggung jawab langsung kepada
Sultan.
Terdapat badan kerajaan lainnya yakni Baitul Maal
(perbendaharaan negara) yang memiliki jawatan bawahan bernama
Balai Furdah yang bertugas memungut bea dan cukai pelabuhan.
Administrasi kerajaan juga merupakan badan inti kerajaan, yang
mengepalai lembaga ini dinamakan keureukon katibulmuluk.
Jabatan tersebut dipegang oleh dua orang, masing-masing bergelar
Sri Indrasura dan Sri Indramuda. Seluruh jabatan tersebut boleh
dikatakan sama dengan jabatan-jabatan eksekutif pada
pemerintahan zaman sekarang.
A. Hasjmy menambahkan beberapa lembaga musyawarah
kerajaan antara lain adalah Balai Rong Sari, yakni suatu majelis
permusyawaratan kerajaan beranggotakan menteri-menteri inti
yang bergelar “hulubalang empat” dan “ulama tujuh”. Ada pula
yang bernama Balai Gading yakni majelis perdana menteri yang
beranggotakan para menteri kabinet yang bergelar “hulubalang
delapan” dan “ulama tujuh”. Selanjutnya, adalah Balai Majelis
Mahkamah yang merupakan kantor mahkamah tertinggi yang
beranggotakan 10 orang fuqaha (ulama fikih atau ahli hukum) di
bawah koordinasi menteri kehakiman atau Wazir Mizan.
Aceh Darussalam juga sudah mengenal sistem
pemerintahan semi-demokrasi yakni dibuktikan dengan adanya
lembaga legislatif, penyeimbang pemerintahan raja, dan
98
K.F.H. van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh ..., hlm. 49. 99
Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Th. 1520 – 1675
(Medan: Monora, tanpa tahun) hlm. 91.
88
merupakan representasi wakil rakyat. Adalah Balai Majelis
Mahkamah Rakyat, yakni semacam Dewan Perwakilan Rakyat
masa kini. lembaga ini beranggotakan 73 orang yang mewakili
mukim-mukim di daerah federasi Aceh Besar.
Selain lembaga-lembaga tersebut, Hasjmy menambahkan
terdapat lembaga-lembaga lain yang termasuk dalam jenis
“jawatan pusat” atau “balai”. Orang yang mengepalai lembaga-
lembaga tersebut digelari imam. jawatan-jawatan itu adalah:
1. Balai Malikul Islam, yakni kantor Sultan sendiri
2. Balai Qadli Malikul Adil, yakni kantor Qadli Malikul Adil
3. Balai Malikul Habib (belum jelas kegunaannya)
4. Balai Setia Hukama, mungkin tempat berkumpulnya
cerdik pandai/hukama
5. Balai Sri Suara (belum jelas kegunaannya)
6. Balai Setia Ulama, kantor tempat para ulama
bermusyawarah
7. Balai Setia Purba (belum jelas kegunaannya)
8. Balai Malikul Mahmud (tidak jelas maksudnya)
9. Balai Sri Purba Wangsa (tidak jelas kegunaannya)
10. Balai Sri Setia Salih (tidak jelas tugasnya)
11. Balai Sri Purba Setia (mungkin kantor seorang pejabat
tinggi)
12. Balai Ahli Siyasah (kantor urusan politik)
13. Balai Musafir (kantor urusan pariwisata atau perjalanan)
14. Balai Silaturahim (mungkin semacam kantor biro)
15. Balai Mufti Empat (kantor mufti empat)
16. Balai Baitul Rijal (kantor urusan kaum pria, mungkin juga
kantor urusan ketenagakerjaan)
17. Kantor Balai Baitur Rahim (kantor sekretariat masjid
istana)
18. Balai Taubah (kantor urusan grasi dari Sultan)
19. Balai Safinah (kantor urusan perkapalan atau pelayaran)
20. Balai Darul Asyikin (belum jelas maksudnya)
21. Balai Baitul Fakir Miskin (kantor urusan kesejahteraan
sosial, utamanya fakir miskin)100
100
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah (Jakarta: Beuna,
1983) hlm. 77-79
89
Agustin de Beaulieu sempat mengamati sekitar istana Aceh
ketika ia diundang menemui Sultan Iskandar Muda. Ia
menyebutkan bahwa di sekitar bangunan istana terdapat beberapa
bangunan lembaga yang beberapa fungsinya sama dengan yang
dipaparkan di atas. Berikut kutipan lengkap pengamatannya:101
... mereka juga mempunyai pengadilan sendiri
dan beberapa pengelompokan dengan kapten
masing-masing, bahkan punya pangoulou cavalo
(penghulu kepala ?) atau jabatan perwira jaga
sendiri seperti halnya di luar istana.
Sistem pemerintahan kerajaan di Aceh mengalami evolusi
yang cepat tatkala kerajaan Aceh Darussalam berdiri serta
mengalami puncaknya tatkala Iskandar Muda berkuasa.102
Kuatnya
aturan pemerintahan disinyalir bersumber dari Hadih Maja, suatu
Undang-Undang yang disahkan kerajaan dan dirumuskan untuk
mengatur kehidupan orang Aceh, dari tingkatan atas hingga
bawah.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan,
Iskandar Muda dibantu oleh suatu kabinet yang terdiri dari perdana
menteri (mangkubumi) dan beberapa orang menteri (wazir).
Mahkamah agung berwenang sebagai badan pengadilan yang
paling tinggi dan terletak di Kotaraja. Sedangkan untuk urusan
administrasi kerajaan Aceh, diangkatlah dua orang sekretaris
(keureukon katibulmuluk) dengan titel Sri Indasura dan Sri
Indramuda. jabatan sekretaris biasanya turun temurun, namun
dengan syarat harus memiliki kecakapan dan dipilih dari kalangan
famili di sekretaris yang digantikan sebelumnya.
Di samping itu, Masa Iskandar Muda juga diwarnai dengan
reorganisasi pemerintahan, menjadi lebih dinamis dan mengakar
hingga ke masyarakat bawah. Sang Sultan kemudian melatih
keempat divisi pemerintahan Aceh yakni: kaum lhee reutoih, kaum
Tok Batee, kaum Imeum peuet dan kaum ja sandang. Keempat
101
Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Pracis; Dari Abad
XVI sampai dengan Abad XX, Terj. Tim Penerjemah UI (Jakarta: KPG,
2001)hlm. 65. 102
A. Hasjmy, Sejarah Masuk ..., hlm. 13.
90
divisi pemerintahan tersebut dalam tugasnya berdiri kokoh di atas
aturan serta ketetapan agama (ketuhanan), relijius (kepercayaan
dan sastra (kecerdasan). Distribusi tugas dan kekuasaan membuat
pemerintahan Aceh tertib dan teratur.
K.F.H. van Langen memberikan catatan tersendiri terkait
empat kaum tersebut. terbentuknya keempat golongan itu terjadi di
kala Aceh Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan
Alaiddin al-Kahar (1530-1552). Sukee lhee reutoih (suku tiga
ratus) berasal dari orang-orang Mante-Batak, golongan Hindu
termasuk kaom imeum peuet (kaum imam empat), orang-orang
yang berdatangan dari berbagai tempat dinamakan kaom tok batee
(kaum yang mencukupi batu). Terakhir yang terbentuk adalah
kaom ja sandang (kaum penyandang). Kaom imeum peuet adalah
orang Hindu yang kemudian memeluk Islam. awalnya mereka
bermukim di Tanoh Abee, Lam Leuot, Montasiek dan Lam Nga.
Keempat kaum atau golongan ini masing-masing dipimpin oleh
panglima kaom.103
Meraka inilah yang mewarnai struktur sosial
dan pemerintahan Aceh Darussalam.
Segera setelah, Iskandar Muda menetapkan susunan adat
yang disebut Adat Meukuta Alam yang juga disebut-sebut sebagai
undang-undang kerajaan Aceh, peran serta fungsi dari panglima
mukim dihapuskan. Tugas mereka digantikan oleh teungku
meunasah yang merupakan kepala dari suatu meunasah (tempat
beribadah) serta keuchik yang membawahi suatu gampong.
Dengan begitu, saat terciptanya komponen pemerintahan
administratif yang kemudian disahkan kerajaan, yakni uleebalang,
mukim, gampong dan meunasah, sistem pemerintahan di bawah
panglima kaom tidak digunakan lagi.104
Menurut Denys Lombard, pemaknaan jabatan raja, di masa
Iskandar Muda, tidak sebatas pada pemeliharaan keserasian dan
ketertiban alam, tapi termasuk pula pada jaminan ketertiban moral
dalam masyarakat. Raja dianggap sebagai sumber segala bentuk
tata moral, sehingga suaranya ditaati oleh pejabat dan bawahannya.
Namun, seiring dengan reorganisasi tata kelola pemerintahan,
103
K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 6-8 104
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh; Biographi Seri Sulthan Iskandar
Muda (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 100.
91
peran ini kemudian diemban pula oleh para polisi atau bawahan
raja yang loyal yang menjalankan tugas yang datang dari lisan raja.
Keberadaan cap wangsa Moghul Besar dalam suatu surat cukup
menggantikan keberadaan fisik raja, terlebih dalam kepatuhan
terhadap perintah dan wewenang.105
C. Pemerintahan Daerah
Sepenuhnya disadari bahwa pusat kerajaan tidaklah mampu
mengurus seluruh keperluan negeri yang menjadi bawahan Aceh.
Pemerintah pusat membutuhkan kepanjangtanganan yang
memegang otoritas pemerintahan di setiap daerahnya. Sultan Aceh
tidak saja bertindak sebagai kepala pemerintahan melainkan juga
kepala agama. Untuk itu sektor agama di setiap daerah juga tentu
membutuhkan sosok yang dipercaya mampu mengemban amanah
ummat. Setelah dirundingkan, maka Sultan akhirnya memutuskan
membentuk pemerintahan-pemerintahan daerah atau yang lazim
disebut Mukim, yang jumlahnya sesuai dengan lingkungan masjid
yang biasa digunakan untuk ibadah shalat jumat. Dengan kata lain
satu masjid shalat jumat ditetapkan menjadi satu mukim.
Pendapat yang negatif disuarakan Denys Lombard yang
mengatakan bahwa tata pemerintahan Aceh di wilayah pedalaman
belumlah terungkap secara spesifik. Sebetulnya, Aceh Darussalam
merupakan kerajaan yang menjalankan pemerintahan model kota
dagang. Belakangan, setelah wilayah Aceh meluas ke pedalaman,
barulah kampung-kampung ditetapkan sebagai federasi. Sultan
Iskandar Muda tentu memiliki orang-orang kepercayaan yang
mengawasi ladang-ladang padi dan daerah-daerah pinggiran kota
yang luas serta para gubernur setia yang berkedudukan di wilayah
pesisir. Model pemerintahan bawahan tingkat daerah ini belumlah
dirawat dan diatur secara terstruktur.106
Uraian lain justru menerangkan pemerian organisasi
pemerintahan Aceh dengan cukup memadai. Dalam tata
pemerintahan Aceh dikenal 5 jenis tumpuk atau organisasi
105
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 233-234. 106
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 104.
92
pemerintahan dari tingkat atas (pusat) hingga bentuk yang paling
kecil, yakni:
1. negeri (kerajaan, pusat)
2. mukim
3. gampong/kampung
4. meunasah (surau)
5. seuneubok
Negeri (nanggroe) merupakan tingkat pemerintahan daerah
yang berada persis di bawah pemerintah pusat yang dikepalai oleh
uleebalang. Uleebalang sebenarnya sama dengan hulubalang yang
keduanya berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam pemerintahan
kerajaan-kerajaan Indonesia, khususnya di tanah Melayu,
hulubalang merupakan jabatan perangkat kerajaan dalam bidang
ketentaraan. Di Aceh, uleebalang juga memiliki tugas serupa,
hanya saja mereka juga ditugasi untuk mengepalai suatu negeri.
Di daerah inti Aceh (Aceh Besar) uleebalang menerima
jabatannya langsung dari Sultan. Di wilayah luar daerah inti Aceh,
sebelum terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam, banyak wilayah
pesisir dan kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri merdeka. Di antara
mereka ada yang menggunakan gelar sultan, meurah, syahbandar
dan lain sebagainya. ketika Aceh Darussalam melebarkan
pengaruhnya dan memasukkan kerajaan kecil dan daerah yang
diperintah mandiri lainnya menjadi bawahannya, status daerah
tersebut disamakan dengan negeri atau nanggroe, dan kepala-
kepala daerah tersebut digelari uleebalang. Struktur pemerintahan
negeri itu juga disamakan dengan negeri yang terdapat di Aceh
Besar. Di Gayo dan Alas, daerah yang diperintah oleh uleebalang
disebut kejurun dan pemimpinnya disebut reje. Para reje juga
langsung menerima kekuasaan dari Sultan Aceh.
Kedudukan uleebalang umumnya dapat diwariskan turun
temurun. Mereka yang menduduki kursi uleebaang, biasanya
adalah kalangan bangsawan, dan mendapat sebutan “teuku” di
depan namanya. Panggilan terhadap seorang uleebalang adalah
“teuku ampon”. Mekipun bisa diwariskan secara turun temurun,
pengangkatan uleebalang harus mendapat persetujuan sultan,
dibuktikan dengan adanya surat pengangkatan yang disebut
sarakata. Surat tersebut dibubuhi cap kerajaan yang dinamakan
93
cap sikureung (cap sembilan). Cap ini merupakan lambang
kekuasaan Sultan Aceh. Di antara uleebalang, ada yang menerima
hak-hak istimewa dan tugas-tugas khusus dari Sultan. Mereka
dinamakan uleebalang poteu.
Kekuasaan uleebalang amatlah luas. Mereka memimpin
wilayah yang terbentang lebar dan memiliki sumber daya alam dan
manusia yang melimpah. Banyak pula urusan-urusan strategis
yang tidak mampu dijangkau pemerintah kerajaan diserahkan pada
uleebalang. Urusan seperi pengelolaan hasil bumi,
perkebunan,persawahan hingga pertahanan negeri dengan
membentuk barisan pasukan di daerahnya, juga menjadi sebagian
tugas uleebalang. Oleh sebab luasya wilayah kerja uleebalang,
tidak salah kiranya jika suatu negeri menjadi potret dari
pemerintahan otonom dalam kerajaan Aceh. Uleebalang memiliki
cara tersendiri, terlepas dari intervensi pusat, dalam mengelola
wilayah kuasanya. Seringkali dijumpai,uleebalang tampil sebagai
pemimpin yang merdeka, sedangkan kuasa Sultan hanyalah
dianggap sebagai formalitas.
Uleebalang memiliki tugas utama yakni memimpin suatu
negeri, menjalankan setiap perintah Sultan yang tertulis dalam
sarakata, menjalankan instruksi sultan, adat dan hukum serta
menyediakan angkatan perang ketika dibutuhkan. Dalam tugas-
tugasnya, ia banyak dibantu oleh imam mukim (pemimpin mukim)
dan keuchik (pemimpin gampong). Uleebaang dibantu pula oleh
seorang kali (berasal dari bahasa Arab, qadhi), yakni seorang
hakim pengadilan. Dalam wilayah militer, uleebalang mengangkat
seorang panglima perang, yang memiliki ciri khas sematan “pang”
di depan namanya, sebagai gelar ia adalah seorang panglima
perang. Panglima perang ini bertugas melatih dan menyiapkan
penduduk nanggroe menjadi prajurit yang siap tatkala dbutuhkan.
Di samping itu, banyak pula pembantu uleebalang lainnya yang
membantu kerja atasannya.107
Mukim, sebagaimana yang disebutkan di atas, adalah
tingkat pemerintahan yang bergantung dengan keberadaan masjid
untuk shalat Jumat. Di masa pemerintahan Iskandar Muda, jumlah
107
Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 89 – 90.
94
masjid di wilayah Aceh belumlah banyak. Dengan begitu,
penetapan pemerintahan berdasarkan keberadaan masjid dianggap
logis mengingat masjid merupakan simbolisasi tempat
berkumpulknya masyarakat. Suatu mukim dijabat oleh imam
mukim. Imam dimaknai sebagai orang yang berdiri di depan atau
kurang lebih adalah pemimpin.
Nuruddin ar-Raniri memberitakan bahwa di masa Sultan
Iskandar Muda mulai digiatkan pembangunan masjid.108
Termasuk
dalam proyek tersebut adalah pembangunan masjid Baiturrahman.
Ini menandakan bahwa pemerintahan tingkat mukim baru diinisiasi
setelah masjid-masjid tersebut terbangun dan mulai digunakan
sebagai sarana ibadah lantas kemudian digunakan pula sebagai
sarana sosial masyarakat. Adapun Pemerintahan mukim terbentuk
manakala kedua fungsi utama masjid telah berjalan dengan baik.
Dari manfaat tersebut mulai tumbuh kesadaran di kalangan
penguasa serta masyarakat akan pentingnya pengadaan
pemerintahan di wilayah luar ibukota kerajaan.
K.F.H. Van Langen menyebutkan bahwa di masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di Aceh Besar baru berdiri 5
masjid, yaitu:
1. Masjid Baiturrahim terletak di Kutaraja (Dalem)
2. Masjid Baiturrahman
3. Masjid Indrapuri di Mukim XXII
4. Masjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu di Mukim
XXV
5. Ketiga buah Masjid di Ladong, Cadek dan Krueng Raya di
Mukim XXVI109
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Imam mukim
awalnya dijabat oleh orang-orang yang mengurus kepentingan
kerohanian di masjid. Lambat laun, oleh karena masjid mengalami
perluasan fungsi dari yang awalnya hanya memperhatikan masalah
agama bergeser menjadi pusat perkumpulan warga dalam
108
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 16. 109
K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche Staatbestuur
Onder het Sultanaat” (s‟Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1888) hlm. 10-12; Lihat
Juga Ridwan Azwad (peny), Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh (Banda
Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 3.
95
bermufakat. Meluasnya fungsi masjid, ikut pula menambah peran
imam masjid sebagai kepala pengurus kepentingan masyarakat.
Tugas mereka akhirnya berubah menjadi kepala pemerintahan
dalam suatu mukim.110
Biasanya,masjid tersebut berdiri di tengah gampong-
gampong yang secara administratif berada di bawah mukim. Jika
tidak di tengah, paling tidak terletak di satu tempat yang paling
dekat diakses oleh penduduk dari gampong-gampong sekitarnya.
Terciptanya mukim merupakan dampak dari kuatnya pengaruh
ulama di pemerintahan Aceh. Pada awalnya, seorang yang
diangkat menjadi imum haruslah memiliki pengetahuan agama
yang luas atau di Aceh dikenal dengan sebutan malem. Namun,
sejalan dengan perkembangan zaman, setelah urusan masjid
diserahkan pada petugas khusus, imum diangkat dari kalangan
cerdik pandai dan jabatannya pun umunya bersifat turun
temurun.111
Adapun gampong atau kampung adalah pemerintahan
wilayah yang dikepalai oleh keuchik yang bertanggung jawab pada
imam mukim. wilayah suatu gampong terbentang seluas
pemukiman rakyat yang mengerjakan sembahyang lima waktu dan
pengajian tingkat anak-anak di suatu meunasah atau dayah
(pesantren). Meunasah sendiri biasanya dikepalai oleh teungku
meunasah. Awalnya teungku menasah hanya membaktikan diri
pada masalah-masalah ibadah namun belakangan ia terlibat aktif
dalam masalah sosio-keagamaan seperti pernikahan, perceraian,
waris, zakat, kematian di lingkungannya. Dalam membina
masyarakatnya, biasanya keuchik dan teungku meunasah saling
bahu membahu. Namun demikian,wewenang teungku meunasah
berada dibawah keuchik.
Gampong merupakan bentuk pemerintahan terkecil di
kerajaan Aceh. Dalam suatu gampong terdapat satu atau dua
meunasah. bangunan tersebut selain digunakan sebagai sarana
ibadah, juga merupakan tempat rapat dan seringkali dijadikan
110
K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche ...”, hlm. 10-
12; lihat juga Ridwan Azwad, Lembaga-Lembaga ..., hlm. 3 111
Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 88 – 89.
96
tempat tidur pada pemuda lajang dan persinggahan atau
penginapan para musafir.112
Zakaria Ahmad menyebutkan bahwa gampong merupakan
susunan pemerintahan terbawah dari kerajaan Aceh. Gampong
dapat disamakan dengan Desa di Jawa, Dusun di Sumatera
Selatan, Huta di Batak dan Kampung di daerah-daerah Melayu
lainnya. Bagian dari sebuah kota, atau wilayah pelabuhan atau
bandar termasuk dalam kategori gampong. Mengenai proses
terbentuknya gampong, tidaklah berbeda dengan proses
terbentuknya daerah-daerah hukum terbawah di daerah-daerah
lainnya.
Serupa dengan tata pemerintahan kerajaan, gampong juga
memiliki struktur pemerintahan, meskipun bentuknya masih
sederhana. Dalam tugasnya, keuchik dibantu oleh wakilnya yang
dinamakan waki. Staf-staf yang membantu kerja keuchik lainnya
adalah teungku meunasah dan ureung tuha atau para cerdik pandai
dan tokoh masyarakat yang berpengalaman dan mengetahui seluk
beluk tradisi dan adat suatu gampong. Dalam masalah peradilan,
keuchik dan perangkatnya bertindak sebagai hakim yang memandu
jalannya sidang beserta pemberi ganjaran bagi suatu pelanggaran
atau dalam istilah Aceh disebut adat meulangga. Umumnya
mereka mempersidangkan perkara pidana yang kecil, cakupannya
hanya ditingkat gampong.113
Selain gampong, dikenal pula pemerintahan tingkat petani
yang disebut seuneubok yang dikepalai oleh peutua. Anggota
masyarakatnya terdiri dari para petani. Wewenang peutua
hanyalah mengurus masalah ekonomi dan pertanian masyarakat.
Dalam bertugas, ia bisa langsung berkoordinasi dengan para imam
mukim, uleebalang bahkan sampai Sultan serta kalangan yang
memiliki modal. Peutua sama sekali tidak berhak mengurus
kepentingan pemerintahan sekalipun di kalangan masyarakatnya.
Jika peutua berhalangan biasanya ia menunjuk seorang yang
menjadi wakilnya yang disebut seunebok peutua bibeueh.
112
Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 314-315. 113
Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 86.
97
Seiring berjalannya waktu, banyak mukim-mukim baru
tumbuh. Muncul penggunaan model pemerintahan federatif yang
membawahi beberapa mukim. Federasi inilah yang dikepalai oleh
uleebalang. Seorang yang diangkat uleebalang memperoleh
sarakata, yakni semacam surat pengesahan dari Sultan Aceh.
Uleebalang diberi mandat untuk mengatur sendiri wilayahnya,
membuka perkebunan baru (seuneubok), memperluas lahan
persawahan, mengurus sektor perikanan, peternakan dan lain
sebagainya. Rakyat diberikan kebebasan membuka sawah dan
kebun. Jika suatu lahan telah menjadi sawah atau kebun, rakyat
boleh memilikinya asalkan membayar biaya raja talu (radja taloe),
semacam pajak sawah dan kebun.114
Seneubok, menurut Zakaria Ahmad, bisa berubah menjadi
gampong apabila telah memenuhi persyaratan memadai pendirian
suatu gampong. Terdapat perbedaan informasi mengenai
penjelasan terjadinya seuneubok menurut Zainuddin di atas.
Zakaria berpendapat bahwa seuneubok merupakan daerah yang
dihuni sekumpulan orang yang datang dari berbagai gampong.
Keadaan ini bisa terjadi karena gampong seringkali mengalami
ledakan penduduk, sehingga salah satu solusinya adalah membuka
wilayah baru sebagai tempat tinggal. Boleh dikatakan seuneubok
merupakan wilayah pra-gampong.115
Seuneubok sebenarnya tidak hanya dipandang sebagai
pelengkap struktur kepemerintahan Aceh, melainkan adalah simbol
dari persatuan masyarakat agraris. Sebagaimana yang sudah
dipaparkan, wilayah perkebunan serta pertanian Aceh merupakan
sumber penting bagi penghasilan kerajaan. Untuk itu, pengawasan
untuk menjaga mutu hasil kebun dan tani sudah semestinya
dilakukan. Merupakan suatu bentuk dari pengawasan, apabila
menjadikan sekumpulan petani ke dalam suatu kelompok
administratif tertentu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
konsolidasi yang bersifat kooperatif, serta mempermudah
komunikasi antara peutua seunebok dengan pejabat yang
mengurusi masalah pertanian dan pejabat lainnya.
114
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 315 115
Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 86.
98
Selain itu, keberadaan seuneubok merupakan bentuk
layanan terpadu yang difasilitasi kerajaan bagi masyarakat petani.
Sebagaimana diketahui, sebaran lahan pertanian dan perkebunan
yang luas, seringkali membuat petaninya sedikit terasing dengan
komunitas gampongnya. Jarak menjadi pemisah ditambah dengan
akses jalan yang terkadang masih sulit di tempuh antara daerah
pemukiman dengan lokasi perkebunan. Keberadaan seuneubok
bisa pula membantu kerja keuchik dan teungku meunasah untuk
mengurus masalah-masalah sosial masyarakat yang tergabung
dalam komplek perkebunan atau pertanian yang sama. Dengan
begitu, seuneubok memaksimalkan fungsinya pula sebagai agen
pemberdayaan sosial.
Tingkatan pemerintahan Aceh mulai dari negeri smpai
gampong hanya ditemui di wilayah Aceh Besar atau Aceh Tiga
Sagi. Adapun nama Tiga Sagi baru dijumpai tatkala masa
pemerintahan Sultahan Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Kala
itu mukim-mukim seluruh Aceh Besar masuk ke dalam federasi
Tiga Sagi, yakni; Sagi XXII, Sagi XXV dan Sagi XXVI. Kesagian
dipimpin oleh Panglima Sagi yang secara administratif berada di
bawah Ratu Aceh. Adapun wilayah-wilayah takluk Aceh yang
berada di luar kawasan Aceh Besar atau Aceh Tiga Sagi, berada
langsung di bawah Sultan Aceh.116
Daerah kekuasaan Aceh amatlah luas dan memiliki
kedudukan administratif yang berbeda. Ada yang sifatnya hanya
pengakuan biasa, atau merupakan suatu bawahan yang dikenakan
pembayaran upeti tahunan. Teuku Iskandar menyebutkan bahwa
dalam surat Iskandar Muda yang dikirimkan kepada Raja James I,
Raja Inggris kala itu, menyebutkan bahwa dirinya adalah penguasa
banyak daerah dan raja yang diberkati Tuhan. Termasuk dalam
kekuasaan kerajaannya di sebelah Timur meliputi Lubuk, Pidir,
Samarlanga, Pesangan, Pasai, Perlak, Besitang, Tamiang, Deli,
Asahan, Tanjung, Panai, Batu Sawar, Perak, Pahang dan
Inderagiri. Sedangkan di sebelah Barat mencakup daerah Calang,
Daya, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida, Inderapura,
Selebar, Palembang dan Jambi menyatakan kesetiannya. Kecuali
Palembang dan Jambi, seluruh daerah yang telah disebutkan dalam
116
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 314-316
99
masa yang pendek atau panjang menjadi bawahan Aceh. Tujuan
terdepan dari politik regional Aceh ini bukan hanya sebatas
menguasai, namun ingin menciptakan Pan- Melayu.117
Dalam skema perkembangan politik, A.F.K. Organski
memasukkan periode masa dimana kerajaan menjadi tren pola
pemerintahan dalam tipe politik unifikasi primitif. Pada tahap ini,
tujuan dari para pemerintah amatlah banyak, di antaranya adalah
meningkatkan harga diri dan kekuasaan nasional, sebagian yang
lain juga turut menyisipkan agenda perkembangan ekonomi.
Meskipun begitu, fungsi utama pemerintah tetaplah satu, yakni
menciptakan persatuan nasional. Apapun masalah-masalah
kenegaraan yang dihadapi, sumbernya adalah problem unifikasi.
Hal tersebut dikarenakan suatu kerajaan biasanya berdiri di atas
negeri-negeri yang saling berbeda dan ini selalu menjadi masalah
yang membuat frustasi pemimpin kerajaan.118
Pendapatan Sultan, menurut Denys Lombard, berasal dari
dua sektor, yakni tanah dan laut. Panen hasil ternak, kebun serta
perikanan darat menjadi komoditas yang setiap hari dibawa
pedagang ke ibukota. Tugas bendahara kerajaan menyisihkan
jumlah yang diperlukan untuk pangan istana. Termasuk beras,
disisihkan untuk kemudian dibagikan kepada hamba-hamba
Sultan. Pajak tahunan juga menjadi sumber pendapatan raja.
Dikisahkan bahwa Sultan Iskandar Muda memperhatikan
pengelolaan tanah-tanah pertanian, terutama beras. Sultan Aceh
tersebut berhasil mendongkrak produktivitas beras dari yang
sebelumnya mengalami kelangkaan menjadi bahan pangan yang
melimpah ruah.
Di samping itu, pendapatan raja lainnya berasal dari
kedudukannya sebagai pewaris harta masyarakatnya yang
meninggal dan tidak memiliki anak laki-laki, dan anak gadis yang
belum menikah sewaktu ayahnya meninggal. Para gadis tak
117
Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th
–
19th
Century)”, makalah dibawakan dalam First International Conference of
Aceh and Indian Ocean Studies di Banda Aceh 24 – 27 Februari 2007, hlm. 17-
18. 118
A.F.K. Organski, Tahap-Tahap Perkembangan Politik, Terj.
Nooroso Kuhardjo (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985) hlm. 7.
100
berorangtua lengkap banyak yang dijadikan dayang istana dan
warisannya masuk ke perbendaharaan kerajaan. Terpidana mati
atau yang menjalani masa hukuman, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, hartanya ada yang disita dan menjadi sumber kekayaan
kerajaan.
Pajak kapal-kapal asing yang biasanya datang ke pelabuhan
Aceh untuk berniaga masuk dalam kas istana. Sultan juga
merupakan pewaris harta dan kekayaan orang-orang asing yang
meninggal di wilayahnya dan surat wasiat mereka tidaklah berlaku.
Di samping itu, Raja juga mendapatkan penghasilan dari Hak
Tawan Karang. Hak tersebut adalah suatu kebijakan bahwa semua
kapal yang bisa diselamatkan dari kapal karam dan mencapai
pesisir pantai disita oleh kerajaan Aceh.
Agustin de Beaulieu, pelaut Prancis yang sempat
mengunjungi Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Muda
menerangkan pula bahwa hadiah merupakan bentuk penghasilan
lain yang diterima sultan. Kedudukan hadiah agaknya setara
dengan pajak dan hampir dianggap sebagai suatu kewajiban yang
harus dipenuhi. Menurutnya, bentuk hadiahnya macam-macam,
ada yang berupa cendera mata seperti senjata bernilai tinggi, batu-
batuan indah dan ada pula yang memberikan intan. Hadiah ini
dianggap sebagai biaya tambahan yang tidak bisa diremehkan
keberadaannya.119
Adakalanya, Sultan memerlukan dana khusus untuk
pengeluaran-pegeluaran istimewa. Biasanya, Sultan akan mengirim
utusan ke daerah-daerah bawahannya dengan membawa surat
perintah khusus yang isinya diantaranya mencantumkan sejumlah
biaya yang dibutuhkan.120
Penghasilan utama dari uleebalang serta panglima sagi
yang diantaranya adalah imam mukim mengandalkan pada hasil
sawah sendiri atau dari sawah-sawah Sultan yang dipinjam dan
pengerjaannya diserahkan kepada rakyat. Para buruh tani tersebut
mendapat bayaran sebesar 1/3 dari penghasilan sawah tersebut.
119
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 96-100. 120
K.F.H. Van Langen, Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 54.
101
Di samping itu, uleebalang juga mendapat bagian dari
denda serta biaya dari perkara-perkara. Rakyat diwajibkan
memberikan bantuan material ringan berupa pengadaan bambu,
atap dan sebagainya untuk rumah-rumah yang ditinggali
uleebalang atau anak-anaknya. Rakyat juga berkewajiban
memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil dari tempat tinggal
uleebalang, pembangunan pagar, mengatapi rumah hingga
membantu renovasi rumah pemimpinnya itu. Juga merupakan
kegiatan lumrah ditemui bahwa para rakyat mengambil
keuntungan dari penggarapan sawah-sawah uleebalang, sementara
sang pemimpinnya menyediakan makanan bagi mereka.
Sebenarnya, tidak ada peraturan spesifik yang mewajibkan
rakyat memberikan jasa atau pemberian lain kepada para
uleebalang mereka. Semua itu bersandar pada wibawa pribadi dan
otoritas pribadi masing-masing uleebalang.121
Terlihat, betapa rekatnya hubungan rakyat dengan
uleebalangnya. Hal yang sama sepertinya juga terbentuk dalam
lingkungan pemerintahan di tingkat gampong dan meunasah.
Bahkan, bisa dikatakan pada tingkatan inilah persentuhan
masyarakat dengan pemerintahan administratif terkecil bisa dilihat
keberadaannya. Pendapatan keuchik dan teungku meunasah juga
diperkirakan sama dengan yang didapat para uleebalang dan imam
mukim, hanya saja jumlahnya saja yang mungkin tidak sama.
Pada praktiknya, antara tugas pemerintah sebagai
administratur negeri dengan pemerintah sebagai sosok yang
memahami agama tidaklah bisa dipisahkan.
121
K.F.H. Van Langen, Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 55.
102
BAB V
KERJASAMA ULAMA-UMARA DALAM MEMBENTUK
KEHIDUPAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH DARUSSALAM
A. Terbentuknya Relasi Umara-Ulama
Jika dilihat di bab sebelumnya, antara ulama dengan umara
dalam beberapa segi, terhubungkan dalam peran yang serupa.
Seorang pejabat kerajaan seperti Kadi Malikul Adil yang banyak
bertugas memimpin dan menyelenggarakan peradilan di istana
harus memiliki spesialisasi yang mumpuni dalam bidang hukum
Islam, begitu pula dengan staf pembantunya. Kadi merupakan
salah satu contoh yang mewakili peran umara. Di pihak lain,
seorang mufti kerajaan, yang berasal dari kalangan ulama, di
samping memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa, juga
dituntut mampu bersinergi dengan kebijakan raja selaku pemimpin
kerajaan. Sudah barang tentu sang mufti juga dilengkapi dengan
pengetahuan akan tata pemerintahan yang baik.
Mufti Aceh, sebagai contoh, ketika dijabat oleh Syekh
Syamsuddin as-Sumatrani, merupakan jabatan yang fleksibel
dengan keadaan. Mufti Aceh ini, disamping menjalankan perannya
sebagai mufti, juga memegang tugas-tugas lain yang penting di
istana Aceh. Lombard mengutip Hikayat Aceh yang menyebutkan
bahwa ia disebut sebagai pemimpin rohaniah masyarakat. Dia yang
membaca al-Fatihah (dalam momen-momen besar atau tertentu)
dan menerima laporan dari para peziarah yang kembali dari
Mekkah. Ia juga menjadi orang yang diserahi tugas menjamu tamu,
penjelajah atau duta yang berasal dari Eropa. Antara rentang waktu
1600 hingga 1630, dalam beberapa catatan Eropa, para tamu asing
103
itu kerap menyebut jabatan as-Sumatrani dengan sebutan “uskup”
(bishop atau eveque).122
Pekerjaan menjamu tamu-tamu asing sudah tentu harus
ditunjang dengan pengetahuan manca negara dan bahasa yang
baik. Bukan tidak mungkin, orang seperti as-Sumatrani
mempunyai keahlian berbahasa asing agar pembahasan-
pembahasan mengenai perekonomian serta sekedar
membincangkan keadaan dua negara dapat berjalan dengan baik,
dan yang terpenting memberikan keuntungan dua belah pihak.
Kualifikasi ini pula kiranya yang membuat nama as-Sumatrani
begitu diperhitungkan tidak hanya sebagai ulama namun juga
dalam wilayah penting seperti ekonomi dan kebijakan
internasional.
Dengan begitu, dapat disebutkan bahwa sesungguhnya
antara ulama adan umara, tidaklah terkelompokkan secara
dikotomis, melainkan dua unsur yang dalam beberapa peran,
bersama ketika menjalankan tugasnya. Kadang – kadang, umara
pun bisa bertindak sebagai ulama, dalam kapasitas keilmuannya.
Masa di kala Iskandar Muda memimpin kerajaan,
merupakan masa-masa krusial bagi dinamika keagaamaan di
lingkungan istana, lantas menyebar ke wilayah lainnya. Sejak awal
pemerintahannya, sudah banyak nama-nama besar ulama yang
muncul, yang kedudukannya amat dihormati oleh sesama ulama,
pemerintah juga masyarakat luas. Kepopuleran mereka tidaklah
semata-mata disandarkan hanya pada posisi mereka yang dekat
dengan raja, melainkan dedikasi mereka dalam membangun
pancang-pancang kuat yang menjadi titik pijak pembangunan
aspek religio-sosial di masa-masa setelahnya.
Beberapa waktu sebelum Sultan Iskandar Muda
ditahbiskan sebagai raja, publik Aceh dan dunia Melayu telah
mengenal kebesaran sosok Hamzah Fansuri. Azyumardi Azra
menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri merupakan sosok ulama
besar yang banyak melakukan lawatan ke sejumlah negara di luar
122
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607 – 1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 218.
104
Aceh. Dikabarkan, ia pernah mengunjungi beberapa pusat-pusat
keilmuan di Timur Tengah, seperti di Mekkah, Madinah,
Yerussalem dan Baghdad. Di kota terakhir itu, Hamzah dikabarkan
masuk dalam tarekat Qadariyah. Dilaporkan pula, ia juga sempat
mengunjungi tempat-tempat lain di Pahang, Kedah dan Jawa. Di
pulau terakhir ia bahkan menyebarkan ajaran-ajarannya.
Hamzah dikenal banyak menguasai bahasa asing seperti
Arab, Persia dan besar kemungkinan Urdu. Ia merupakan penulis
produktif dalam bidang keagamaan dan beberapa bentuk
tulisannya adalah prosa-prosa yang memuat ajaran tasawuf. Oleh
karena kepakarannya dalam dunia sastra itulah ia diyakini
menempati posisi penting dalam perkembangan awal tulisan sufi di
kawasan Melayu-Indonesia serta tokoh tersohor dalam tradisi
kesusatraan Melayu.
Amirul Hadi menambahkan, sejak masa Sultan Alaiddin
Riayatsyah al-Mukammil, Hamzah menjalin hubungan yang baik
dengan penguasanya itu. Selain menjalankan perannya sebagai
pejabat tinggi keagamaan atau mungkin bergelar Syaikhul Islam.
Saat mengunjungi Aceh pada tahun 1599, John Davis
menyebutkan bahwa di kerajaan Aceh terdapat seorang pemuka
agama yang dihormati oleh rakyat serta penguasa. Saat melakukan
audiensi dengan Sultan Aceh pada September 1599, Frederick de
Houtman sempat melihat seorang syekh yang bertindak selaku
penasehatnya. Syekh ini pula yang kemudian pada Januari 1601,
membujuknya untuk masuk Islam, setelah sebelumnya Kadi gagal
melakukan hal yang sama.
James Lancaster, duta kerajaan Inggris, pada tahun 1602,
mengunjungi Aceh untuk melakukan perjanjian niaga. Di sana ia
dihadapkan pada “uskup kepala” yang di kerajaan ini dikenal
dengan gelar Syaikhul Islam. Orang yang disaksikan ketiga orang
Eropa tersebut barangkali adalah Hamzah. Jika muncul pendapat
bahwa orang itu adalah Syamsuddin as-Sumatrani, maka peluang
pendapat itu amat kecil kebenarannya. Hal ini mengingat di masa
105
itu, Syamsuddin belumlah menjadi pejabat penting di istana, dan
bisa dikatakan ia masih merintis karirnya.123
Antara Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin as-Sumatrani
terlibat dalam hubungan yang tidak jelas. Kebanyakan dari para
ahli menyebut mereka bersahabat, namun yang lain berpendapat
hubungan keduanya adalah seperti guru dan murid. Akan tetapi,
yang diceritakan lebih banyak berkiprah di pemerintahan era
Sultan Iskandar Muda adalah Syamsuddin as-Sumatrani. Dialah
yang disebut-sebut sebagai chiefte bishop.124
Di bawah asuhan gurunya, Syamsuddin as-Sumatrani tentu
saja mendapat pengetahuan lain disamping pengetahuan agama,
seperti tata pemerintahan Aceh, pengetahuan geografis dunia dan
amat mungkin bahasa. Kedudukannya sebagai perwakilan atau
juru bicara Sultan tatkala menyambut para penjelajah Aceh, sedikit
banyak dipelajarinya dari mendiang gurunya. Sepertinya, Hamzah
Fansuri benar-benar mencetak Syamsuddin as-Sumatrani sebagai
penggantinya di pemerintahan Aceh.
Tidak bisa dipungkiri, ketokohan Syamsuddin di kancah
pemerintahan Aceh, membuat Sultan Iskandar Muda mendapat
partner yang sepadan, yang siap menyokong visi
pemerintahannya. Sebagian besar kemajuan intelektual dan agama
di Aceh merupakan wujud dari dedikasi tinggi Syamsuddin
melayani atau menaggapi ide-ide sang Raja. Tentu tidak semua
bentuk pembaruan berasal dari buah pikiran Iskandar Muda.
Kebedaraan kabinet pemerintahan yang telah diterangkan di bab
sebelumnya, merupakan organisasi pemerintahan yang juga
banyak menyumbangkan gagasan serta menjalankan pekerjaan
yang dititahkan oleh sang Sultan.
Yusny Saby mengungkapkan bahwa as-Sumatrani, dan
Hamzah Fansuri, juga berperan sebagai guru tarekat atau sufi bagi
Sultan. Profesi inilah yang ikut menaikkan wibawanya di
123
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2010)hlm. 76. 124
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) cet. 3, hlm. 198-200.
106
lingkungan kerajaan Aceh. Hubungan antara guru rohani dan
murid dalam dunia sufi terjalin dengan amat dekat. Bahkan, sang
guru sufi kerap dianggap sebagai penuntun ke arah penyingkapan
rahasia keilahian. Perannya semakin kompleks manakala as-
Sumatrani dipercaya sebagai perwakilan Aceh menemui Sir James
Lancaster, utusan Kerajaan Inggris pada 1602. Kemungkinan
besar, kala itu Sultan Iskandar Muda belum lama naik tahta
sebagai Sultan Aceh, sehingga membutuhkan bantuan
pembimbingn menjalankan roda pemerintahan. Untuk persoalan
yang menyangkut hubungan internasional, adalah layak jika
dirinya menunjuk as-Sumatrani sebagai wakilnya. Di sisi lain,
Lancaster menaruh penghormatan yang besar kepasa sosok as-
Sumatrani.125
Amirul Hadi menambahkan bahwa kerjasama antara ulama
dan umara pada masa Iskandar Muda, sampai-sampai termaktub
dalam penerbitan sarakata. Amirul Hadi mengutip G.L. Tichelman
yang menyebutkan bahwa sarakata adalah surat kesepakatan,
jaminan, keputusan penguasa, keputusan pemerintahan, kode
(undang-undang) penyelenggara pemerintahan. Meskipun sarakata
dikeluarkan oleh Sultan, namun pada praktiknya, sebelum
dikeluarkan, umumnya juga mengadopsi masukan dari para ulama.
Setiap sarakata mungkin saja memuat isi yang saling berbeda.
Namun, kesemuanya merupakan hasil dari kerja bersama dari
Sultan, bangsawan dan ulama.126
Kepaduan bertindak antara Iskandar Muda dan Syamsuddin
as-Sumatrani inilah yang diantaranya membentuk model kerjasama
umara-ulama yang kemudian dianut pula oleh pemerintahan
tingkat daerah, dari mukim hingga gampong dikemudian hari.
Harapannya tentu saja, agar formula kesepadanan berkarya yang
dilakukan umara dan ulama di tingkat pusat dapat menular dan
semakin berkembang di seluruh wilayah Aceh.
125
Yusny Saby, “The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey”, on
Studia Islamika, Vol. 8, no. 1, 2001, hlm. 17. 126
Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeeth-
Century Aceh (Leiden: Brill, 2004) hlm. 52.
107
Sebagai kerajaan yang memiliki wilayah supremasi politik
yang luas dan besar, sudah sepatutnya Sultan dan jajaran stafnya
memformulasikan suatu maket pemerintahan yang mampu
menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan mengikat keloyalan
mereka kepada rajanya. Maksud tersebut sepertinya mendasari
pembentukan tata kelola pemerintahan bawahan istana seperti
mukim, gampong, meunasah hingga seuneubok. pihak istana
berupaya mengikat ketundukan masing-masing negeri dengan
memberikan sarakata, yang berarti pula suatu simbol bahwa
wilayah tersebut, secara de facto, berada di bawah pemerintahan
Sultan Aceh, yang kedaulatannya diwakili lewat sosok Imam
Mukim.
Hal yang terjadi di lingkungan istana, terkait dengan
kesamaan fungsi dan tugas umara dan ulama, agaknya terjadi pula
di wilayah tingkat daerah. Di wilayah gampong misalnya, sebagai
potret satuan administratif pemerintahan Aceh terkecil, tugas-tugas
sosio-kemasyarakatan yang diemban oleh keuchik, juga ada pula
yang dibantu oleh teungku meunasah, tertutama ketika kegiatan
tersebut berhubungan dengan nuansa keagamaan. Kedua belah
pihak sudah saling mengetahui pembagian kerja masing-masing
sehingga kekhawatiran terjadinya kompetisi yang tidak sehat, kecil
kemungkinan terjadi.
Kerekatan hubungan umara dan ulama di Aceh, sebenarnya
terbentuk sudah sejak masa yang lama. Bisa dipastikan, dalam
bentangan sejarahnya, tumbuh dan berkembangnya suatu kerajaan
di wilayah Aceh, sejak masa Perlak, Linge hingga Aceh
Darussalam, baik itu di wilayah pedalaman hingga pesisir Aceh,
selalu melibatkan kontribusi ulama maupun sosok yang mengerti
ajaran agama Islam lainnya.
Di samping itu, persekutuan yang begitu mendarah daging
antara dua kelompok masyarakat tersebut, ditopang pula oleh
kondisi latar kehidupan rakyat Aceh yang memang disamping
teratur dalam segi sosial, namun juga tertib pula dalam
menjalankan ajaran agama. Bahkan, penghayatan agama di
keseharian masyarakat Aceh sudah bukan lagi dimaknai sebagai
keyakinan individu melainkan sudah mencapai taraf keyakinan
108
kolektif. dengan bahasa lain, agama sudah benar-benar menjelma
menjadi faktor elemental penyokong kubah pergaulan hidup orang
Aceh.
Tidak berfungsinya peran pemerintah, tentu saja dapat
membahayakan stabilitas kerajaan. Jika dilihat dari kesehariannya
saja, ulama sudah amat disibukkan dengan pelbagai kegiatan
keagamaan seperti mengajar, dari tingkatan anak-anak yang
pendidikannya berjenjang, belum lagi siang atau sore harinya
mengisi kegiatan kerohanian orang dewasa atau memenuhi
undangan dari masyarakat yang memiliki hajat tertentu. Bisa
dipastikan, untuk mengurusi administrasi pemerintahan berikut
pelayanan publik lainnya, seorang ulama hampir kesulitan
mengatur waktunya untuk menutaskan tugas-tugas itu seluruhnya.
Sebaliknya, umara tidak memiliki pengetahuan agama yang luas
untuk kemudian dapat memenuhi segala macam kegiatan yang
berhubungan dengan profesi ulama. Jikapun ia mempunyai
pengetahuan agama yang dalam, kendala lainnya adalah
tersedianya waktu yang amat terbatas, mengingat dalam
kesehariannya umara banyak mengurus masalah pemerintahan dan
sosial masyarakat.
Di masa Iskandar Muda, perhatian yang besar dicurahkan
untuk memajukan syiar Islam. Bustanussalatin menyebutkan
bahwa di masa ini pembangunan masjid-masjid di seantero
pelosok Aceh mulai digalakkan.127
Ini merupakan suatu bentuk
penghargaan pemerintah terhadap kegigihan para tokoh agama
membangun kejiwaan dan moralitas masyarakat. Sultan Aceh kala
itu kelihatannya sudah merencanakan bahwa pembangunan
kerajaan bisa dikatakan berhasil tidak hanya sebatas pelebaran
wilayah serta manajemen birokrasi yang luas dan teratur,
melainkan juga akan mengarah pada upaya pembenahan kondisi
keagamaan masyarakatnya. Untuk menunjang lancarnya visi
tersebut, maka ulama sebagai pihak yang berkecimpung dalam
aktivitas tersebut sudah selayaknya difasilitasi.
127
Nuruddin ar- Raniri, Bustanussalatin, bait 12 dan 13 (microfilm)(
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tanpa tahun) hlm. 16.
109
Perhatian dari pihak kerajaan, ditanggapi pihak ulama
dengan kooperatif. Mulai sejak itu, syiar Islam semakin rata
memasuki wilayah-wilayah pedalaman Aceh, dari yang masih
minim pengaruh Islam hingga wilayah-wilayah yang masuk dalam
kategori belum memeluk Islam. Keberadaan masjid membuat
penyelenggaraan agenda-agenda dakwah Islam dapat berjalan
dengan lancar, yang berarti pula semakin meluasnya sebaran Islam
di tengah masyarakat.
Belakangan, masjid ternyata dipandang tidak mampu
mewadahi umat Islam yang jumlahnya semakin membesar.
Pendirian meunasah kemudian dimanfaatkan untuk merawat tradisi
keagamaan masyarakat dalam cakupan lingkungan yang lebih
kecil. berdirinya meunasah, selain belakangan juga dijadikan
tempat bermusyawarah, juga dijadikan wahana untuk mempelajari
ajaran Islam. Seorang teungku meunasah memiliki tanggung jawab
dalam mengajarkan ilmu-ilmu dasar Islam seperti bacaan al-
Qur‟an, fikih, tauhid serta beberapa pengetahuan dasar lainnya
kepada anak-anak kecil yang tinggal di lingkungan meunasah.
Di antara anak-anak muridnya, biasanya ada yang memiliki
keinginan tinggi untuk memahami seluk beluk seluruh ajaran
agama. Setelah menamatkan pelajarannya di meunasah, mereka
akan melanjutkan pendidikannya dengan materi yang jauh lebih
kaya di lembaga pendidikan yang disebut dayah.128
Untuk sampai
ke dayah, pengetahuan yang didapat di meunasah menjadi sesuatu
yang harus dikuasai, sehingga ketika nanti sudah di dayah tidak
harus mengulang lagi dari awal. Teungku meunasah merupakan
figur yang mengayomi dan mempunyai otoritas penuh dalam
membentuk orang Aceh sejak dini yang taat agama serta mau
berkorban demi kepentingan agamanya kelak.
Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa sejak lebih dari tiga
abad yang lalu, yakni abad 16, 17 dan 18, 3 cabang keilmuan Islam
(fiqih, usul dan tasawwuf; atau dalam istilah Aceh disebut pikah,
128
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa penyebutan dayah berasal
dari kata bahasa Arab zawiyah. Lihat Oman Fathurrahman dkk, peny, Katalog
Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar (Depok: Penerbit Komunitas Bambu,
2010) hlm. X.
110
usuy dan teusawoh), sudah menjadi mata pelajaran yang amat
populer dikaji oleh para pelajar Aceh. Biasanya mereka juga
melengkapinya dengan pengetahuan tata bahasa Arab. Dari ketiga
cabang ilmu tersebut, Hukum (fikih) menjadi pelajaran yang paling
digemari oleh karena bisa langsung dirasakan kegunaan
praktisnya. Banyak pelajar yang mencari ilmu di daerah sendiri,
namun tidak sedikit pula yang belajar hingga sampai ke Mekkah
dan Malaka.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, oleh karena sejak abad 16
dan 17, raja-raja pesisir Aceh sudah mendulang begitu banyak
keuntungan, kemakmuran tersebut menular pula pada gairah
intelektual di Aceh. Pada rentang waktu tersebut, sudah banyak
ditemukan kitab berbahasa Melayu mengenai ajaran Islam yang
beredar di Aceh. Di antara para pengarang yang terkenal, baik
yang berhaluan mistik (tasawwuf) maupun ortodoks (hukum),
lebih banyak yang berasal dari negeri asing (luar Aceh) dan tidak
ditemukan ulama asli Aceh yang menulis kitab serupa.129
B. Kiat-Kiat Ulama-Umara Dalam Menyelesaikan Problem
Sosial
Sebagaimana telah disampaikan, kuatnya pemerintahan
Iskandar Muda adalah karena di tubuh pemerintahan Aceh terdapat
manajemen organisasi yang kuat dan sehat. Hampir setiap
komponen kerajaan berjalan dengan teratur sehingga bisa
dikatakan suhu politik dalam negeri stabil. Tentu tidaklah mungkin
terjadi, manakala kebijakan politik sang raja, yang mengusung
misi menjadikan Aceh sebagai sentra kekuatan maritim di
Sumatra, ternyata keropos di dalam. Jikapun terjadi, tentu saja
masanya tidak lama, mengingat pergolakan internal kerapkali
mengganggu stabilitas kerajaan.
Keharmonisan antara penguasa dengan ulama menjadi
kunci penting dalam merumuskan langkah-langkah strategis
129
C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid I, Terj. Ng.
Singarimbun (Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985) hlm. 21.
111
mengenai pemberdayaan sosial. Yahaya bin Jusoh menyitir suatu
manuskrip berjudul Majlis Aceh atau Adat Aceh, tertulis bahwa:
Apabila raja itu hormat akan segala
pendita jadilah berdiri agama dan
apabila raja hormat akan segala menteri
menakuti oleh segala rakyat akan menteri
barang pekerjaan raja oleh menteri itu
Secara lebih spesifik Yahaya bin Jusoh menarik benang
merah bahwa rangkaian bait di atas adalah pentingnya fungsi
konsultasi di kalangan pejabat kerajaan.130
Konsultasi dicontohkan
misalnya saja terjadi tatkala sedang menghadapi suatu
persidangan, baik penguasa maupun ulama, saling memberikan
pandangan terkait putusan yang tepat dijatuhkan akan suatu
perkara. Pemerintah yang dikatakan sebagai menteri, meskipun
memiliki otoritas mengeluarkan putusan, tetap saja diharuskan
meminta pertimbangan para ulama (pendita). Suatu putusan yang
datang dari keduanya adalah menjadi putusan yang dianggap
sebagai kebijaksaaan.
Lebih jauh Yahaya bin Jusoh menegaskan bahwa
konsultasi dalam negara (kerajaan) yang berbasiskan hukum Islam
sudah menjadi suatu identitas. Pertemuan atau suatu musyawarah
untuk mencapai mufakat merupakan satu bentuk konsultasi, yang
seiring berjalannya waktu, telah menjelma menjadi adat.131
Kesalinghubungan ini berimbas pada penguatan ikatan yang
seterusnya menjadi suatu tradisi. Mufakat bagi penguasa berarti
pula adanya restu dari kalangan ulama, utamanya ulama yang
menjadi pendamping selama masa jabatannya.
Kerekatan penguasa dengan ulama dalam kepemerintahan
ditengarai sebagai faktor penting tergelarnya keharmonisan serta
kemakmuran bagi masyarakat Aceh. Namun, tujuan tersebut tentu
saja tidaklah mudah dicapai, mengingat banyak cara maupun
tindakan yang dilakukan. Agar pembahasan menjadi lebih rinci,
begikut akan disampaikan kiat apa saja yang dilakukan penguasa
130
Yahaya bin Jusoh, “Majlis Aceh (Adat Aceh)” tesis, University of
Kent , 1986 (tidak dipublikasikan) hlm. 109 – 110. 131
Yahaya bin Jusoh, “Majlis Aceh ...”, hlm. 111.
112
dan ulama dalam mengupayakan kesejahteraan di tengah rakyat
Aceh:
1. Memperteguh persatuan melalui adat
Adat menjadi salah satu alat perekat sosial. Sekumpulan
manusia yang hidup bersama bisa saling merasakan dan
menghargai manakala di antara mereka sudah muncul suatu
identitas yang menunjukkan bahwa mereka adalah sama satu
dengan lain, dan di antara mereka ada sesuatu yang mengikat.
Salah satu ikatan kelompok manusia itu adalah adat.
Adat Aceh merupakan hasil dari perpaduan hukum lokal
dengan hukum Islam. Di dalam tata peraturannya, hukum Islam
tidaklah dimaknai dengan kearifan lokal. Meskipun nuansa
keilslaman begitu dominan, namun antara hukum Aceh dengan
pelaksanaan hukum Islam di belahan bumi lainnya, sedikit banyak
mempunyai perbedaan. Perbedaan ini sifatnya khas, ini
dilatarbelakangi dengan proses dialog antara ajaran Islam dengan
latar budaya masyarakat setempat.
Posisi ibukota Aceh yang berada di wilayah pesisir, ikut
mempengaruhi pola pikir masyarakat Aceh. Banyaknya orang
asing yang datang perlahan membuat mata mereka semakin
terbuka melihat betapa semaraknya bangsa-bangsa dunia dengan
beragam adat tradisinya. Lama kelamaan, semakin terbiasa orang
Aceh mengenal dan berdialog dengan para pendatang asing,
utamanya dalam urusan perdagangan. Kian akrab, pembicaraan
kian mengarah ke bidang lain seperti keluarga, tradisi dan tema
lain adalah keyakinan atau keagamaan.
Jika dibayangkan, kurang lebih, ilustrasi dialektika di atas
bisa dikatakan sebagai pintu masuk dikenalnya Islam di
lingkungan orang Aceh. Dalam lingkungan yang penuh
kekerabatan antara kaum pendatang dan pemukim itulah, perlahan
Islam dipeluk oleh masyarakat Aceh secara luas, hingga
menyentuh wilayah pedalaman. Pada akhirnya, orang Aceh pun
mengetahui, di antara para pedagang asing itulah ada kelompok
ulama, yakni sosok yang dianggap paham mengenai hukum Islam.
113
Oleh karena kekurangan tenaga ahli yang mengajarkan Islam,
maka ulama-ulama dari mancanegara itupun diminta untuk
mengajari pribumi dalam mengenal agama barunya. Pada tahap
ini, ulama bukan lagi dianggap orang lain, namun sudah dianggap
sebagai pengayom masyarakat, yakni sosok yang menampung
kegelisahan batin dan sesekali masalah kehidupan seseorang.
Ulama di tengah masyarakat menjadi pemegang supremasi
utama dalam bidang agama. Kedudukannya ini mempunyai
dimensi luas, yakni membuatnya fleksibel menjelajahi segenap
ruang – ruang kehidupan manusia. Mulai dari tingkat pemerintahan
hingga tataran masyarakat bawah, ulama mampu bersinergi dengan
para tokoh yang relevan sehingga ilmu yang dimilikinya bukan
hanya diamalkan, namun juga menjadi petunjuk bagi para raja,
pejabat serta tokoh masyarakat serta rakyat luas.
Rushdi Ali Muhammad mengatakan bahwa dalam beberapa
literatur klasik, ulama dikenal dengan istilah al-ijtihad, yaitu
segolongan orang yang mempunyai keahlian atau kepakaran
sehingga dianggap pantas melakukan ijtihad, yakni upaya
maksimal dari seorang ahli fikih (fakih) dalam menyelesaikan
masalah hukum syariat yang bersifat zhanni. Orang yang
mengeluarkan ijtihad disebut mujtahid. Seorang mujtahid diyakini
mampu memberikan nasihat serta arahan guna menuntaskan
masalah – masalah yang tidak saja berdimensi agama namun juga
sosial.
Rushdi mengatakan bahwa seorang ulama yang telah
digelari mujtahid, hendaknya mampu memenuhi persyaratan
spesifik yang meliputi:
a. Menguasai al-Qur‟an dan hadis
b. Mengetahui ijma‟ (ketetapan tertentu sebagian besar
ulama) sehingga ia tidak sampai mengeluarkan fatwa yang
bertentangan dengan ijma‟.
c. Menguasai bahasa Arab sehingga memungkinkannya
menggali hukum dari al-Qur‟an dan Sunnah secara baik
dan benar
d. Menguasai ilmu Ushul Fiqih, karena melalui ilmu inilah
diketahui dasar – dasar serta metode berijtihad
114
e. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh
(yang dihapusakan)
f. Mengetahui perkara seputar qiyas, mencakup persyaratan –
persyaratannya, illat – illat hukum serta metodologi
istinbath-nya dari nash
g. Memiliki pemahaman mengenai maqashid al-syar‟iyyah
dalam menetapkan hukum. Yang dimaksud dengan
maqashid al-syar‟iyyah adalah usaha menjaga
kemaslahatan manusia dengan cara mengambil manfaat
serta menolak mudharat bagi manusia.
Dengan mengutip pendapat Imam Gazali, Rushdi
meringkas ketentuan – ketentuan di atas menjadi dua, yaitu;
a. Menguasai tujuan syariat serta mampu menangkap maksud
pengerjaan hukum Islam dengan mengerahkan kemampuan
nalarnya dan dapat men-taqdim-kan atau men-ta‟khir-kan
sesuatu menurut seharusnya.
b. Bersifat adil dan jauh dari perilaku maksiat; sebab orang
yang maksiat fatwanya tidak bisa dipegang sebagai suatu
hukum
Setiap persyaratan di atas, tentu bukanlah sesuatu yang
sifatnya baku. Beberapa pendapat lain justru memberikan
persyaratan yang lebih berat atau sebaliknya. Misalnya saja
pengetahuan tentang al-Qur‟an, ada yang mencukupkan hanya
sebatas ayat – ayat hukum saja. Demikian pula halnya dengan
hadis, ada yang mengatakan cukup dengan penguasaan 500 hadis.
Namun, Ahmad bin Hanbal, dalam suatu riwayat, menyebutkan
harus menguasai 500.000 hadis.132
Seiring berjalannya waktu, ulama yang telah bersinergi
menjadi elemen vital dalam kerajaan Aceh, semakin menemukan
penguatan tatkala di masa Iskandar Muda dirumuskan suatu
perundang-undangan yang mengatur kehidupan bernegeri seluruh
Aceh Darussalam yang dinamakan Adat Meukuta Alam. Undang –
132
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh;
Problem, Solusi dan Implementasi ( Jakarta: Logos, tanpa tahun) hlm. 75 – 76.
115
undang ini merupakan suatu produk dari komposisi hukum agama
dan adat yang menjadi pembuktian bahwa antara umara dan ulama
memiliki komitmen untuk bersama membangun kerajaan yang
lebih teratur dan bermartabat.
Adat Meukuta Alam membagi empat tugas yang berkisar
pada masalah adat, agama, kanun dan pertahanan. Kanun yang bisa
diartikan sebagai majelis yang mengurus masalah sopan santun
dan perkawinan sejatinya bisa disamakan dengan adat. Sedangkan
pertahanan menyangkut masalah teknis penjagaan kerajaan atas
serangan musuh dari dalam dan luar. Dengan begitu dapat
disimpulkan bahwa unsur yang membentuk perundangan Aceh
adalah sebagian besar diambil dari produk adat dan hukum agama.
Dua sosok yang memiliki andil mengurus wilayah itu adalah raja
(umara) dengan ulama.133
Undang – undang Aceh tersebut menjadi pembuktian
tersendiri bagi ulama, bahwa kedudukan mereka masih sangat
berpengaruh dalam pemerintahan Aceh. Wawasan hukum agama
yang dimilikinya merupakan keistimewaan yang begitu dihargai di
lingkungan pemerintahan. Terlebih, Aceh menjadi kerajaan besar
berkat perkembangannya yang senantiasa disokong oleh
perekonomian di mana bangsa – bangsa asing yang menjadi
penggeraknya adalah orang Islam. Sosok – sosok asing yang
kemudian turut mewarnai pemerintahan serta kehidupan sosial
Aceh kelak, dan belakangan menjadi pribumi yang disebut orang
Aceh itu sendiri.
Menghargai dan menggunakan pengetahuan ulama sebagai
landasan merumuskan kebijakan merupakan suatu manfaat
tersendiri. Perpaduan antara simbolisasi raja dengan kebesaran
adat yang dijaga secara turun temurun dengan ulama sebagai
pemasok hukum – hukum Islam nyatanya mampu membawa
masyarakat Aceh sebagai bangsa yang besar dengan mentalitasnya.
Tentu saja, ini bisa dimaknai sebagai suatu kerjasama filosofis
merumuskan dasar kenegerian yang menjadi landasan masyarakat
Aceh di masa – masa setelahnya.
133
Zainuddin, Singa Aceh; Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda
(Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 89.
116
Pada tahun 1642, Pieter Willemz melaporkan suatu kisah
mengenai proses hukum yang pernah terjadi di Aceh ketika
Sultanah Safiatuddin berkuasa. Terdapat seorang Aceh yang
divonis mati oleh Qadhi Malikul Adil dan dewan hakim lainnya
dalam kasus pembunuhan. Sang terpidana mengajukan
permohonan untuk mengganti hukuman itu dengan denda berupa
uang sebanyak 388 tahil. Permohonan itu dibawa kehadapan Sang
Sultanah. Sang Ratu tidak segera memberikan keputusan, namun ia
memeirntahkan agar perkara itu diselesaikan menurut suatu
kebiasaan yang berlaku dan hukum yang dianut.134
Potret peristiwa di atas, menunjukkan kerjasama yang
sudah matang terpelihara antara pihak kerajaan dengan dewan
kehakiman. Sang Ratu tidak lantas segera menjatuhkan
perintahnya, dengan alasan bahwa tugas itu sebenarnya adalah
bukan wewenangnya. Namun, keberadaan permohonan yang
diajukan terpidana ke hadapan Sultanah, mengindikasikan bahwa
dalam beberapa kasus qadhi juga membutuhkan arahan atau
masukan dari orang yang berpengaruh di kerajaan.
Jika dikatakan kerjasama semacam ini pernah terjadi di
masa lampau, maka, apa yang dirumuskan pemerintahan Iskandar
Muda dengan perangkat istananya ini, adalah suatu penyegaran
akan cita perundangan Aceh. Suatu satuan hukum kerajaan yang
dirumuskan sebagai alat mengatur kenegerian dan sebagai wahana
menciptakan ketertiban sosial dan kesepemahaman sosial. Sesuatu
yang kemudian membawa dampak positif pula bagi
keberlangsungan kehidupan beragam di tataran daerah luar istana.
2. Pendidikan
Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, salah
satu fungsi ulama adalah transformator ilmu pengetahuan bagi
masyarakat luas. Melalui pengajian atau temu ilmiah, baik yang
diadakan di balai pendidikan ibukota hingga dayah – dayah yang
tersebar di gampong – gampong, ulama tampil sebagai sosok
pemberi jawaban bagi kegelisahan intelektual masyarakat Aceh.
Ulama dianggap sebagai sekelompok orang yang di balik sisi
kemanusiaannya terkandung berlimpah – limpah pengetahuan
134
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 175.
117
yang memang menyiapkan diri sebagai tempat bertanya sekaligus
penyebar kebijaksanaan bagi orang banyak.
Rusjdi Ali Muhammad mengatakan bahwa dalam sejarah
Aceh, ulama sebenarnya mempunyai fungsi sebagai pewarta ilmu
dan dakwah Islam, di samping fungsinya sebagai pendamping
kekuasaan atau raja. Ulama dan sultan dipandang sebagai mitra
sejajar yang bekerja memimpin dan mendidik masyarakat serta
membangun kehidupan yang adil dan makmur berbasiskan
kecerdasan tingkat berpikir masyarakatnya.135
Ulama beserta
pemerintah memandang kesejahteraan yang diwujudkan tidak
semata – mata ditunjukkan dengan perkembangan pesat ekonomi
serta stabilitas politik semata. Terciptanya kehidupan masyarakat
yang agamis dan ilmiah justru merupakan tujuan yang lebih luhur
ketimbang dua aspek itu.
Sebagaimana yang telah dipaparkan, Banda Aceh, di era
Sultan Iskandar Muda menjadi mercusuar intelektual yang dikenal
di Sumatera dan di dunia Melayu serta tidak menutup
kemungkinan di belahan Nusantara lainnya. Tidak dapat
dipungkiri, tersohornya Aceh sebagai kiblat intelektual di Asia
Tenggara mampu dicapai berkat kerja keras serta pengabdian para
ulama, yang memang membawa misi penerang bagi kegelapan
berpikir dan bernalar suatu umat. Melalui pelbagai kegiatan
intelektual, mulai dari diskusi, ceramah, debat serta penulisan kitab
merupakan sebagain cara efektif yang dikerjakan ulama berikut
para muridnya untuk membudayakan langgam belajar di tengah
kehidupan rakyat.
Erawadi menyebutkan bahwa dalam tradisi intelektual
Islam, nilai – nilai relijius sesungguhnya telah pula mempengaruhi
kehidupan istana.136
Keadaan itu disebabkan oleh semakin
rekatnya hubungan para pembesar kerajaan dengan kalangan
cerdik pandai, penasehat, mufti yang kebanyakan dari mereka
adalah ulama. Posisi mereka yang tidak tergantikan sebagai sosok
135
Rusjdi Ali, Revitalisasi …, hlm. 80. 136
Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh
Abad XVIII dan XIX (Jakarta: Departemen Agama Puslitbang Lektur
Keagamaan , 2009) hlm. 27.
118
yang dituakan, dianggap sebagai pengasuh dan pemberi
ketenangan bagi raja di kala menghadapi keadaan yang serba sulit,
membuat aktivitas mereka begitu intens mengembangkan misi
mereka sendiri yakni sebagai agen penyebar ajaran Islam dan tidak
menutup kemungkinan pengetahuan lainnya, baik di dalam
maupun dilur tembok istana.
Lebih lanjut, para ulama menjadi pendamping setia Sultan
serta perangkat pemerintah lainnya, (termasuk hingga tataran
pemerintah daerah), dengan memberikan pandangan –
pandangannya terkait bagaimana mengatur masalah sosial dan
politik kerajaan. Tidak jarang, raja meminta para ulama untuk
merumuskan dan menuliskan hukum serta undang – undang yang
berlaku di kerajaan. Akibat pengabdiannya itulah, pihak kerajaan
menaruh perhatian lebih untuk memfasilitasi keperluan para ulama
dalam berdakwah di samping memang adanya keinginan luhur dari
pihak istana akan hal itu. Begitu pula halnya terhadap keadaan
pendidikan dan pengajaran di lingkungan kota hingga pedesaan.
Sebenarnya, keterkaitan ulama dan umara bukanlah terjadi
begitu saja di masa Iskandar Muda. Apa yang banyak diuraikan
sebelumnya hanyalah suatu tampilan yang sudah terbentuk sejak
masa yang lama. Dengan kata lain dapat dikatakan, kegiatan
intelektual yang diagendakan kerajaan di masa ulama terlibat di
dalamnya, sudah dilakukan dan ditumbuhkan sejak masa yang
lama.
Erawadi menambahnkan bahwa pada masa perdana
perkembangan lembaga kesultanan, tradisi dan aktivitas keilmuan
tidak hanya dilakukan oleh para ulama, tetapi juga Sultan
berkecimpung di dalamnya. Dalam kasus Aceh, contoh perihal
keterlibatan Sultan dalam dunia intelektual diceritakan oleh Ibnu
Bathutah, seorang pengembara asal Maroko yang berkunjung ke
Pasai pada 1345 dan 1346. Ia menyatakan bahwa raja negeri itu
sebagai pribadi yang saleh dan gemar berdiskusi dengan para
ulama fikih mazhab Syafi‟i. Oleh sebab itu, ia membentuk suatu
majlis khusus tempat para ulama menelaah dan mengkaji hal – hal
yang berhubungan dengan agama. Setiap Jumat, Sultan berjalan
kaki menuju masjid sebagaimana orang kebanyakan. Sepanjang
119
jalan, digunakannya untuk bertatap muka dengan rakyatnya.
Setelah shalat Jumat, Sultan meneruskannya dengan membuka
pengajian hingga menjelang Ashar. Sultan juga giat mendukung
tersebarnya Islam hingga ke pedalaman Sumatera.
Di kesempatan yang lain, masih di Aceh, Ibnu Batutta
berjumpa dengan dua orang pejabat istana Pasai, yang pertama
adalah ahli fikih dari kelompok orang – orang Timur Tengah
bernama al-Qadhi al-Syarif Amir Sayyid al-Syirazi dan Taj al-Din
al-Isfahani dari Persia. Erawadi menyitir keterangan Yusuf bin
Ismail al-Nabbani dalam kitabnya Jami‟ Karamat al-Auliya,
menyatakan bahwa seorang ulama bernama al-Yafi‟i, seorang
syekh tasawwuf terkenal di Mekkah berguru pada seorang “al-
Jawi” (Melayu) yang bernama Syekh Abu Abdillah Mas‟ud bin
Abdillah al-Jawi pada sekitar abad 13 H. Informasi itu
menunjukkan bahwa di Mekkah sudah ada seorang ahli tasawwuf
asal Nusantara.
Hikayat – hikayat Melayu juga mengisahkan adanya
kegiatan intelektual di kalangan istana dan di lingkungan
masyarakat. Hikayat Raja – Raja Pasai misalnya, juga
menyebutkan adanya sejumlah pembesar negeri di masa Malik al-
Saleh yang melibatkan diri dalam dunia akademik. Di antara
mereka adalah Sayyid Ali Ghiatuddin (Tun Sri Kaya) dan Sayyid
Asmayuddin (Tun Baba Kaya). Keduanya berprofesi sebagai guru
kerajaan. Paska mangkatnya Sultan Malik al-Zhahir (putra Malik
al-Saleh) kedua anaknya yang bernama Sultan Malik al-Mahmud
dan Sultan Malik al-Manshur, menjadi murid dari dua guru istana
di atas. Sayyid Ali Ghiatuddin menjadi pengasuh dan guru Sultan
Malik al-Mahmud, sedangkan Sayyid Asmayuddin menjadi
pengasuh dan guru Sultan Malik al-Manshur. Ketika Sultan Malik
al-Mahmud didapuk menjadi Sultan Pasai, Sayyid Ghiatuddin
dipercaya sebagai perdana menteri Kerajaan Pasai, sedangkan
Sayyid Asyamuddin menjadi perdana menteri Kerajaan Samudra.
Kegiatan keilmuan di Aceh semakin menunjukkan
kemajuan tatkala memasuki abad XVI. Munculnya beberapa ulama
dan ahli tasawwuf yang menulis buah pemikirannya menjadi salah
satu indikator utamanya. Semangat keilmuan dan kecintaan akan
120
tradisi kesufian membawa kemajuan pula pada aspek sastra. Syair-
syair bernuansa sufi semakin dicintai dan didendangkan di Aceh.
Di antara ulama sufi tersebut adalah bernama Hamzah Fansuri. Ia
menjadi sosok sufi Nusantara yang syair – syairnya memiliki
tingkat spiritualitas yang tinggi.137
Ia dan muridnya, Syamsuddin
as-Sumatrani menjadi sosok yang berpengaruh dalam kemajuan
intelektual di Aceh hingga menyentuh pertengahan abad 17.
Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang rajin menulis
buah pemikirannya. Di antara karya-karyanya antara lain; 1)
Syarabul Asyikin, Zinatul Muwahhidin, yang membahas masalah
tarekat, hakikat dan makrifat; 2) Asrarul Arifin Fi Bayani Ilmis
Suluk Wat Tauhid, yang mengupas masalah ilmu suluk dan tauhid;
3) al-Muntahi, yang berisi masalah-masalah Wahdatul Wujud, dan;
4) Rubai Fansuri, yakni berisi kumpulan puisi-puisi.138
Sedangkan
beberapa karya Syamsuddin as-Sumatrani antara lain; Miratul
Mukminin (cermin perbandingan bagi orang mukmin), Jauharul
Haqaaiq (permata kebenaran), Risalatul Baijin Mulahadhatil
Muwahhidin „alal Mulhidi fi Zikrillah (Tinjauan para ahli Tauhid
tentang orang-orang yang menyesatkan Allah), Kitabul Harakah
(mungkin tentang ilmu bahasan), Nurul Daqaaiq (cahaya yang
murni) dan lain sebagainya.139
Perbincangan mengenai ilmu sepertinya menjadi topik
yang cukup mengesankan di lingkungan masyarakat Aceh. Kitab –
kitab yang belakangan ditulis ulama Aceh, menunjukkan bahwa
kebebasan intelektual telah tercipta meskipun dengan keadaan
yang bisa dikatakan tidak boleh berseberangan dengan kepentingan
kerajaan. Menjadi suatu hal yang lumrah jika karir seorang ulama
di istana amat berhubungan dengan bagaimana ia bergaul dengan
kalangan istana. Jika mereka pandai mencairkan suasana dan
menunjukkan keterbukaan serta pribadi yang santun, maka mereka
akan mendapat tempat dalam pergaulan istana.
Satu contoh menarik dari hal tersebut adalah tergambar
dalam kisah hidup serta dedikasi Nuruddin ar-Raniri dalam
137
Erawadi, Tradisi dan Wacana …, hlm. 29. 138
Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 196 – 197. 139
Untuk lebih lengkapnya mengenai karya as-Sumatrani lihat Hasjmy,
Kebudayaan Aceh ..., hlm. 198.
121
memadukan antara hasrat intelektual yang tetap berpijak pada
realitas politik di mana ia hidup. Sebagaimana telah disinggung di
bagian sebelumnya, Nuruddin ar-Raniri merupakan ulama yang
kontra dengan paham Wujudiyah yang sebelumnya disebarkan
oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Saat ia
menjabat sebagai penasehat kerajaan, menggantikan Syamsuddin
as-Sumatrani, ternyata, ia menunjukkan ketidaksetujuan akan
paham Wujudiyah dengan jalan menulis suatu kitab.
Nuruddin ar-Raniri merupakan salah satu ulama kaliber
internasional yang berkarir di Aceh. Setelah menamatkan
pendidikan dasarnya di Ranir, ia melanjutkan pendidikannya ke
Hadramaut, Yaman. Namun, pendapat lain mengatakan ia
langsung pergi ke Haramain, untuk melanjutkan studinya sekaligus
menunaikan ibadah haji. Sangat mungkin di sana ia sempat
berkenalan dan bergaul dengan jamaah haji Jawi sebelum kembali
ke Gujarat. Salah satu guru yang paling terkenal dari ar-Raniri,
bernama Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban at-Tarimi al-
Hadrami(w. 1656). Ba Syaiban inilah yang menurunkan dan
mengajarkan amalan tarekat Rifaiyah kepada ar-Raniri.140
Hermansyah melakukan penelisikan terkait kitab Tibyan fi
Ma‟rifat al-Adyan yang merupakan salah satu karya Nuruddin ar-
Raniri. Kitab ini ditulis untuk memenuhi permintaan Sultanan
Safiatuddin Tajul Alam Syah untuk memperkuat fatwa Nuruddin
ar-Raniri mengenai kesesatan penganut Wujudiyah, yang
dikeluarkannya sejak era Sultan Iskandar Thani. Naskah ini ditulis
untuk menjembatani kelompok – kelompok yang saling bertikai
mengenai paham keagamaan di Aceh. Dalam naskah ini
disebutkan pula kesetujuan Nuruddin atas kepemimpinan seorang
ratu di Aceh. Mungkin, yang terakhir merupakan bentuk terima
kasih atau semacamnya, sebagai penghormatan pada ratu yang
memeberikan kepercayaannya pada dirinya.141
140
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abd XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 205. 141
Hermansyah, “Naskah Tibyan fi Ma‟rifat al- Adyan: Interpretasi
Aliran Sesat di Aceh Menurut Nuruddin ar – Raniri” dalam Jumantara, edisi 01,
Vol. 5 Tahun 2014. hlm. 45.
122
Meskipun pada masa itu Aceh disibukkan dengan silang
sengkarut paham keagamaan, Nuruddin ar-Raniri agaknya masih
tetap menjaga martabatnya sebagai seorang ulama Aceh yang
bijak. Memang dalam beberapa redaksi dikatakan bahwa gesekan
antara penganut Wujudiyah dengan mereka yang tidak
menghendaki keberadaan paham ini cukup memanas, namun ar-
Raniri dapat tampil dengan solusi yang di masa itu menginspirasi
lahirnya kebijakan kerajaan. Ar-Raniri menampilkan sisinya
sebagai sosok penyokong kebijakan kerajaan di tengah pertikaian
antargolongan di Aceh.
Jika melihat dari aktivitas ar-Raniri di atas, menunjukkan
bahwa tradisi kepengarangan sudah menemukan bentuknya yang
modern di masanya. Ar – Raniri tampil bukan hanya sebagai sosok
yang rajin memberikan nasihat serta pendapat di istana, melainkan
juga masih mendawamkan aktivitas kepengarangannya. Suatu
kegiatan yang memang sudah dimulai sejak masa sebelumnya.
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, merupakan dua
tokoh yang paling dikenal dan bukan tidak mungkin Nuruddin ar-
Raniri mendapatkan inspirasi dari aktivitas dua seniornya itu,
utamanya mengenai bagaimana ia membangun komunikasi efektif
dengan pemerintah Aceh. Tradisi kepengarangan di Aceh era ar-
Raniri, bisa dikatakan merupakan masa lanjutan dari apa yang
dimulai oleh dua pendahulunya.
Ar-Raniri juga merupakan ulama yang mendedikasikan
aktivitasnya dalam dunia kepenulisan. Banyak di antara fatwa
maupun buah pemikirannya yang dituangkan dalam catatan-
catatan. beberapa dari karyanya antara lain; ash-Shiratal Mustaqim
(tentang fiqih), Busthanussalatin fi Zikril Awwalin wal Akhirin
(tentang sejarah dan akhlak), Darul Faraid Bisyahril Aqaid
(tentang tauhid dan filsafat), Akhbarul Akhirah fi Ahwali Yaumal
Qiyamah (tentang hari kiamat dan akhirat), Maul Hayati fi Ahlil
Mamati, Umdatul I‟tiqad, dan lain sebagainya.142
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Ulama yang
bertempat di luar istana, mulai dari tataran mukim hingga
gampong, dikenal sebagai pamong rakyat. Bahkan, teungku
meunasah pun dipercaya sebagai jabatan yang dihormati dan
142
Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 201.
123
memiliki legitimasi dalam memutuskan suatu perkara.
Pendapatnya bisa memperkuat suatu mufakat, atau juga
membatalkannya, jika menurut hematnya bertentangan dengan
ketentuan adat dan agama, sekaligus memperhitungkan baik dan
buruk implikasi yang kemudian diciptakan.
Ulama melengkapi tugas yang diemban keuchik, imam
mukim hinga tingkat uleebalang. Oleh karena itu, seorang ulama
dituntut memahami serta selalu siap memberikan solusi ketika
pemimpin dan masyarakatnya ditimpa suatu masalah yang berat.
Keakraban antara ulama, umara serta masyarakat tidak begitu saja
tercipta, jika di antara ketiganya tidak ada suatu sinergi yang kuat.
Mereka harus masuk dalam lingkaran saling membutuhkan dan
menggantungkan agar roda kehidupan sosial dapat terus berjalan
dengan baik.
Satu tugas awal yang harus dilakukan agar seorang ulama
mampu berperan banyak hingga mencapai kedudukan yang
berpengaruh, adalah seberapa lihai ia menjalin komunikasi dengan
kedua perangkat sosial lainnya, yakni pemerintah dan rakyat.
Komunikasi di sini jangan dipersempit dengan persepsi bahwa
ulama harus terkesan menghamba pada pemerintah dan melakukan
segala cara agar pandangannya di terima rakyat, termasuk dengan
sogokan atau langkah teror misalnya, melainkan harus diartikan
dalam wilayah yang lebih luas. Komunikasi yang dijalin oleh
ulama luar pemerintahan bisa di mulai dari kedekatannya dengan
umat.
Masjid serta meunasah merupakan areal di mana ulama
memiliki andil besar. Berduyun – duyun masyarakat melakukan
ibadah wajib lima waktu, serta berbagai aktivitas sosial lainnya,
membuat rumah ibadah serasa menjadi rumah kedua yang harus
ada dalam lingkungan masyarakat Aceh, meskipun hanya sebesar
meunasah. Orang Aceh merasa dirinya memiliki ketergantungan
dengan ulama oleh kerana di sini ulama mampu menjelma menjadi
pelindung serta orang yang dituakan sekaligus dituruti nasihatnya.
Hal itu tentu saja tidak terlepas dari keseharian ulama yang
memang harus berinteraksi dengan umatnya.
Masjid Baiturrahman, yang menjadi simbol kebesaran
kesultanan Aceh Darussalam, dikatakan M. Dien Majid sebagai
124
salah satu universitas besar di Banda Aceh. Ketika masa Sultan
Iskandar Muda, masjid ini dipenuhi oleh ulama dan pelajar dari
banyak negeri Muslim seperti dari India, Turki, Arab dan Persia.
Mereka senantiasa terlibat dalam diskusi hangat mengenai pelbagai
topik dari beragam disiplin ilmu.143
Amirul Hadi mengutip pada catatan seorang pengembara
Eropa bernama John Davis yang mengunjungi Aceh Darussalam
selama dua tahun (1599 – 1601) menyebutkan bahwa di Aceh
Darussalam sudah ditemukan anak – anak yang belajar di banyak
sekolah di sekitar kerajaan. Meskipun catatan ini sedikit, paling
tidak dapat diketahui bahwa kegiatan belajar mengajar sudah
banyak dikenal oleh masyarakat Aceh.144
Belum dapat diketahui
benar bagaimana format pembelajaran, kurikulum serta metode
pembelajaran Aceh Darussalam. Sepertinya, masalah ini masih
perlu banyak diungkap ke depannya. Khususnya mengenai
lembaga pendidikan di tingkat daerah atau luar tembok istana.
Hikayat Aceh yang disunting oleh Teuku Iskandar
memberikan sedikit informasi mengenai pendidikan di Aceh
menjelang awal abad 17. Diceritakan bahwa seorang kerabat
kerajaan bernama Pancagah - yang tidak lain adalah panggilan
Iskandar Muda semasa belia -, cucu Sultan Aceh yang bernama
Syah Alam, diajar oleh seorang ulama bernama Fakih Raja Indera
Purba. Ia mengaji di halaman istana, di bangunan balai angkat –
angkatan (rangkang ?) bertiang gading beratapkan emas permata.
Oleh sebab keberhasilan sang ulama mengajar cucu raja, maka ia
dinobatkan menjadi Kadi Malikul Adil kerajaan Aceh.145
Jika
benar bahwa tempat belajar model rangkang sudah dikenal di masa
itu, maka dapat dipastikan bahwa model pengajaran rangkang
sudahlah ada di masa Iskandar Muda naik tahta. Di masa sekarang
pun, masih dapat dijumpai tempat belajar agama di rangkang yang
berada di bagian depan suatu dayah atau pesantren di Aceh.
143
M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2013) hlm. 118; lihat juga A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam
Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983) hlm. 194. 144
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 159. 145
T. Iskandar, De Hikajat Atjeh ( „S-Gravenhage: Martinus Nijhoff,
1958) hlm. 149 – 150.
125
Ulama di Aceh jangan diartikan sebagai sosok yang
berdiam di menara gading, dengan hanya mengharapkan sedekah
dan penghormatan dari masyarakat sekitar. Mereka justru dikenal
sebagai pribadi yang ramah, yang tidak segan menegur serta
menjadi teman pembicaraan yang membangun lawan bicaranya.
Hubungan antara seorang teungku meunasah dengan para
muridnya, biasanya akan meluas kearah hubungan dengan orang
tuanya, saudara – saudara si murid yang kebetulan berdiam di
kampung yang sama hingga meluas ke tetangga – tetangga orang
tua si murid dan seterusnya.146
Muhammad AR menjelaskan bahwa di Aceh, antara guru
dan murid memiliki hubungan yang khusus yang bisa bertalian
pula pada hubungan dengan orang tua si murid. Dalam suatu dayah
misalnya, tempat di mana seorang anak menuntut ilmu, maka
orang tua si anak pun dalam momen tertentu akan berjumpa
dengan guru dayah tersebut. Kedatangan mereka selain menjenguk
anaknya, juga tidak jarang mereka ingin berkonsultasi dengan sang
guru mengenai masalah yang sedang dihadapi. Orang tua maupun
masyarakat memang sengaja datang ke kediaman ulama dayah
untuk menanyakan masalah perkawinan, talak, rujuk, persoalan
halal dan haram yang biasanya dilakukan pada waktu – waktu
tertentu seperti musim libur belajar, bulan puasa serta waktu –
waktu yang disesuaikan dengan para penanya. Tentu saja hal ini
dilakukan tatkala sang guru selesai menjalankan tugas utamanya
sebagai pendidik serta pengajar santri-santrinya.147
Uraian di atas merupakan suatu ikatan tradisional yang
telah begitu kuat dijaga oleh masyarakat Aceh. Tentu saja, suatu
tradisi tidaklah terjadi begitu saja tanpa mengalami proses
pembentukan yang panjang. Boleh jadi, apa yang sudah menjadi
tradisi di Aceh tersebut mengalami penguatan pada abad 17, di
masa Iskandar Muda memimpin Aceh Darussalam. Nuansa Islam
146
Ilustrasi ini diambil dari hasil penelitian yang menyatakan ada
akulturasi nilai – nilai persaudaraan dari dayah Aceh ke masyarakat sekitarnya.
Lihat Muhammad A.R, Akulturasi Nilai – Nilai Persaudaraan Islam Model
Dayah Aceh (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Kementerian Agama, 2010)
hlm. 141. 147
Muhammad AR, Nilai – nilai ..., hlm. 141.
126
telah sedemikian tersebar dan menguat menjadi adat sejalan
dengan kebijakan penguasa mendirikan masjid – masjid148
serta
menghidupkan fungsi ulama sebagai sosok yang berperan
membantu kinerja pemerintahan, mulai dari pusat hingga daerah.
Konsep mengenai dayah memiliki kemiripan dengan
pesantren yang ada di Jawa. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan
bahwa terdapat lima elemen yang menyokong keberadaan
pesantren yakni: pondok, masjid, pengajaran kitab Islam klasik,
santri dan kyai.149
Unsur-unsur demikian terdapat pula dalam
suatu dayah, meskipun dengan beberapa elemen mengalami
perbedaan nama. Misalnya, sebutan kyai di Aceh tidak dikenal,
diganti dengan sebutan teungku. Sebutan mureb (murid) lebih
populer dibanding santri.
Contoh dari geliat tumbuhnya lembaga pendidikan di
tengah masyarakat Acah adalah tercermin dari kisah pendirian
Dayah Tanoh Abee, Seulimum. Sekitar paruh kedua abad 17, ini
masih dikategorikan masa ketika Sultan Iskandar Muda baru
beberapa tahun akan atau bahkan sudah turun tahta, Dayah Tanoh
Abee didirikan oleh seorang anak Syekh Fayrus al-Baghdadi,
bernama Syekh Nayan.150
Dua saudara Syekh Nayan lainnya
mendirikan dayah di wilayah Seulimum lainnya yakni di Klut dan
Leupung Ngoum. Satu saudaranya lagi mendirikan dayah di
Lampucuk, Inderapuri.
Syeikh Nayan sendiri merupakan sosok ulama keturunan
yang gemar menuntut ilmu pada ulama Aceh lainnya. Ia
merupakan salah satu murid dari Syeikh Baba Daud, seorang
ulama yang juga berasal dari mancanegara, yakni Turki. Syekh
Baba Daud bernama asli Daud bin Ismail Rumi dan lebih dikenal
dengan nama kesehariannya yakni Teungku Chik di Leupeu.
148
Ridwan Azwad, peny, Lembaga – Lembaga Tradisional di Aceh
(Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 3. 149
Zamakhsyari Dhofier, TradisiPesantren; Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011)
hlm. 79 – 99. 150
Syekh Nayan adalah salah satu murid Syekh Abdurrauf Singkel.
Lebih lanjut lihat Fakhriari, “Tradisi Intelektual Aceh Di Dayah Tanoh Abee
dan Dayah Ruhul Fata”, dalam al-Qalam, Vol. 20, No. 2, Desember 2014, hlm.
180.
127
Syeikh Baba Daud juga diceritakan pernah menimba ilmu
mengenai Terekat Syattariyah pada Syekh Abdurrauf bin Ali al-
Jawi al-Fansuri. Dayah ini mengalami masa keemasan ketika
dipimpin oleh Teungku Tanoh Abee atau Syekh Abdul Wahab.
Kala itu dayah ini menampilkan diri sebagai skriptorium, yakni
tempat pengumpulan dan penyalinan manuskrip – manuskrip
berbahasa Arab, Arab-Melayu (Jawi) dan Aceh.151
Tentu saja masa
keemasan yang dituai Syekh Abdul Wahab merupakan puncak dari
kerja keras dari para pendahulunya menguatkan sendi-sendi
dakwah Islam melalui pendidikan.
Syekh Fayrus al-Baghdadi (pendatang dari Persia)
Syekh Nayan Anak ke II
Anak ke III (pend. dayah di Seulimun)
(pendiri Dayah Tanoh Abee)
(pend. dayah di Indrapuri)
Jejaring kekerabatan dayah Tanoh Abee
(Sumber: Oman Fathurrahman: 2010, x-xi)
Oman Fathurrahman menyebut bahwa Syekh Baba Daud
merupakan salah seorang yang murid dari Syekh Abdurrauf
Singkel. Panggilan Baba, biasanya disematkan pada syekh atau
ahli yang mendalami pengetahuan mistik di Turki dan India.
Namanya terdapat dalam kolofon kitab Tarjuman al-Mustafid yang
ditulis oleh sang guru. Di dalam kolofon kitab itu, Baba menyebut
dirinya sebagai “murid yang paling miskin dan pelayan yang
paling sederhana bagi dia (Syekh Abdurrauf Singkel). Memang
tidak mudah untuk melacak keberadaan pemukiman Turki pada
abad ke 17, namun dengan adanya Baba Dawud, maka menambah
informasi mengenai adanya ulama Turki yang ikut
151
Oman Fahurrahman, Katalog Naskah ..., hlm. x-xi.
128
mengembangkan dan menyemarakkan intelektualitas Aceh
Darussalam.152
3. Penguatan bidang strategis
Hal lain, yang bisa dilakukan oleh para ulama dan umara
dalam membentuk masyarakat Aceh yang sejahtera, adalah dengan
memberdayakan masyarakat itu sendiri. Dalam beberapa kasus
yang ditemukan, di samping pendidikan, di mana pengajaran ilmu
keagamaan menjadi kegiatan utamanya, ulama dan pemerintah
Aceh juga gencar melakukan pembangunan sektoral di bidang –
bidang lain, khususnya mengenai masalah – masalah strategis,
seperti ekonomi dan pertahanan.
Salah satu informasi yang menarik mengenai hal tersebut
adalah ditemukan dalam aktivitas keberadaan orang Turki di Aceh.
Turki Usmani merupakan kerajaan Muslim kuat yang sempat
menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan Aceh Darussalam
sejak awal abad 16.153
Selain melakukan kontak internasional di
bidang modernisasi persenjataan, tenyata, jejak – jejak pengaruh
Turki juga terlihat di kehidupan sosial masyarakat Aceh. Pengaruh
ini memang tidak bisa dikatakan adalah jiplakan dari Turki, namun
merupakan wujud dari keragaman budaya yang memperkaya
budaya dan tradisi Aceh.
Baiquni Hasbi mengungkapkan bahwa salah satu pengaruh
Turki yang melekat dalam tradisi Aceh adalah terlihat di bidang
pakaian. Banyak penduduk Aceh hingga menyentuh abad modern
menggunakan ikat pinggang di mana di sisi kiri atau kanan
diselipkan senjata. Selain itu di kalangan wanita Aceh dikenal
pakaian model rok lebar yang pada masa ketika hubungan Turki
dan Aceh sedang menguat, yakni abad 16 dan 17, merupakan tren
di Turki. Yang paling mencolok, tentu saja adalah penggunaan
kopiah merah tinggi yang disebut sebagai kopiah fez, yang amat
152
Oman Fathurrahman, “New Textual Evidence for Intellectual and
Religious Connections between the Ottomans and Aceh” dalam A.C.S. Peacock
and Annabel Teh Gallop, ed, From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks and
Southeast Asia (Oxford: Oxford University Press, 2015) hlm. 308-309. 153
Baiquni Hasbi, Relasi Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan
Turki Usmani (Banda Aceh: LSAMA, 2014) hlm. 49.
129
identik dengan kopiah yang ada di Turki. Masih sulit memang
menyebutkan apakah itu semua pengaruh dari Turki secara
langsung, mengingat budaya Aceh juga terbentuk dari beragam
tradisi lainnya, seperti India dan Persia.154
Di wilayah Banda Aceh terdapat suatu kampung yang
bernama kampung Bitay. Kampung ini dahulunya dikenal sebagai
tempat pemukiman orang – orang Turki, di mana di dalamnya juga
dibangun suatu tempat pendidikan militer yang bernama Bayt al-
Askari Muqaddas. Keseharian kampung ini juga dihidupkan
dengan aktivitas pendudukanya menempa alat – alat militer
termasuk rencong. Suatu zawiyah (tempat kaum sufi) juga
dikatakan pernah didirikan di sini dan tempat ini cukup terkenal di
masanya. Besar kemungkinan, kampung ini didiami orang Turki
sejak pertengahan abad 16. Masa di mana banyak tenaga
diperbantukan dari Turki didatangkan ke Aceh untuk mereformasi
persenjataan dan ketentaraan Aceh.
Sebenarnya, dalam suatu kampung seperti Bitay, di mana
tempat latihan militer dalam hal ini pusat aktivitas manusia
berdampingan dengan zawiyah merupakan suatu yang lumrah.
Selain diajari seni dan metode berperang, besar kemungkinan
orang Turki juga mengajarkan tentang pengetahuan agama,
khususnya mengenai jihad melawan bangsa asing Kristen yang
dikatakan bukan hanya musuh Aceh tapi juga musuh Tuhan. Fikih
jihad menjadi asupan tambahan yang penting diketahui oleh para
prajurit dan perwira Aceh yang menyebutkan bahwa mereka bukan
hanya berperang membela negerinya melainkan memperjuangkan
agar agama Islam dapat terus tegak dan menyebar luas.
Pengetahuan semacam ini besar kemungkinan dimasukkan dalam
kurikulum pendidikan militer di Aceh kala itu.
Nama Bitay begitu dikenal dalam sejarah Aceh, karena di
sana dimakamkan seorang ulama yang dikenal dengan panggilan
Teungku di Bitai. M. Zainuddin mengungkapkan bahwa ulama ini
sempat menjadi guru Perkasa Alam (Sultan Iskandar Muda) ketika
masih kecil. Secara berkala ia dan teman sebayanya datang ke
154
Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan ..., hlm. 109.
130
Bitai untuk mendalami agama. Teungku di Bitai dikenal sebagai
sarjana Islam yang ahli ilmu falak dan ilmu firasat.155
Meskipun Teungku di Bitay mengajar seorang anak raja, ia
bukanlah ulama yang aktivitas politiknya setenar Hamzah Fansuri
atau Syamsuddin as-Sumatrani. Oleh sebab itu, ia lebih tepat jika
dikategorikan sebagai ulama luar istana. Di literatur-literatur
penting sejarah Aceh, seperti Adat Aceh, Bustanussalatin dan
Sulalatussalatin, namanya tidak disebut – sebut mengemban
jabatan penting dalam kepemerintahan Aceh Darussalam.
Pengajian yang diasuh oleh Teungku di Bitay ini tidak menutup
kemungkinan adalah satu potret lembaga pendidikan di era
Iskandar Muda.
Belum diketahui secara lengkap mengenai aktivitas
kampung Bitay semasa Sultan Iskandar Muda. Namun, bisa
disebutkan bahwa banyak prajurit senior maupun perwira Aceh
yang ikut dalam peperangan melawan Portugis semasa Iskandar
Muda di antaranya adalah alumni dari sekolah – sekolah militer
yang diasuh oleh guru – guru militer Turki. Di antara para guru
perang dari Turki sudah tentu ada yang memiliki pengetahuan
agama yang mendalam, sehingga ia ditunjuk oleh kaumnya untuk
memberikan pengajaran agama bagi pribumi Aceh di sela – sela
latihan militer.
Dalam surat balasannya kepada Sultan Alaiddin Riayatsyah
al-Kahhar, Sultan Salim II, Raja Turki menyebutkan sebagai
berikut:
Kalian harus melakukan yang terbaik dalam
segala persoalan menyangkut agama dan
negara kita; dengan berusaha merebut benteng
– benteng kaum yang tidak beriman dan
menghapuskan intimidasi terhadap kaum
Muslimin, dengan bantuan Allah kalian harus
membersihkan daerah tersebut dari noda –
noda kekafiran. Dengan demikian kaum Muslim
155
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 25.
131
di wilayah itu dapat hidup tenang dan damai di
bawah daulat kita.156
Dari petikan surat di atas, Sultan Salim II mengharapkan
agar ahli militer yang dikirimkan dari Turki tidak saja mengemban
misi mengajarkan pengetahuan perang pada pasukan Aceh,
melainkan lebih dari itu yakni membebaskan Muslim tertindas dan
menjaga kondisi keagamaan di daerah setempat. Para ahli militer
yang disediakan pun sudah barang tentu adalah pilihan. Mereka
tidak saja dituntut mampu mengajarkan cara perang a la Turki
dengan baik, namun juga bagaimana bersikap sebagai pasukan
Muslim yang kuat, jiwa maupun raganya. Untuk masalah
memperteguh kejiwaan prajurit Aceh, guru – guru perang yang
juga pandai memberikan pengetahuan agama dan akhlak sudah
tentu tersedia di antara para guru Turki lainnya.
Potret dari keberadaan sosok ulama dalam kelompok guru
– guru perang Turki di atas merupakan satu kasus di mana ulama
dan umara memiliki tanggung jawab besar dalam membangun
kejiwaan masyarakat Aceh, khususnya mereka yang tergabung
dalam barisan tentara Aceh. Ulama dan umara tampil bukan hanya
sebagai kalangan elite yang hanya bisa mempekerjakan prajurit di
medan perang, tapi juga menanamkan ajaran luhur dalam jiwanya
tentang bagaimana menjadi prajurit yang siap membela negara dan
agama. Jika raja, laksamana serta perwira pandai mengobarkan
semangat perang melalui seruannya, maka ulama menjadi sosok
penyeru bahwa apa yang dilakukan pasukan Aceh dalam
menumpas kekuatan asing, semata – mata adalah ibadah dan
jikalau ia mati maka matinya adakah syahid dan tidak ada balasan
lain dari Allah kecuali surga. Bukan tidak mungkin apa yang
diserukan ulama Aceh di masa perang melawan Portugis, adalah
bentuk awal dari semangat jihad Aceh yang begitu ditakuti hingga
menyentuh permulaan abad 20, ketika orang Aceh berhadapan
dengan tentara Belanda.
Ilustrasi mengenai eratnya hubungan orang Aceh dengan
bangsa Turki juga ditunjukkan oleh pengkisahan Francois Martin
yang mengunjungi Aceh pada 1604. Angka tahun tersebut
156
Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan ..., hlm. 150.
132
menunjukkan tiga tahun sebelum Iskandar Muda diangkat menjadi
Sultan Aceh. Martin melihat, orang Turki tinggal dalam suatu
koloni di Aceh. Mereka membeli lada dari penduduk Aceh. Satu di
antara mereka bahkan menawarkan kepada Martin untuk membeli
lada mereka. Besar kemungkinan hubungan ini masih terus terjadi
di masa – masa setelahnya. Belum jelas benar, di manakah letak
koloni Turki yang dimaksud Martin. Gampong Bitay, menjadi
indikasi kuat mengingat di kampung ini banyak ditemukan makam
– makam orang – orang Turki yang berdiam sebelum Iskandar
Muda ditabalkan sebagai Sultan Aceh.157
Ibrahim Alfian menyebutkan bahwa, sejak masa Sultan
Iskandar Muda yang giat melawan kedudukan Portugis di Malaka,
wacana mengenai Perang di Jalan Allah (war in the path of Allah)
sudah dikumandangkan. Ungkapan tersebut bahkan terdapat dalam
seuatu hikayat158
yang ditulis sekitar abad 17, yakni Hikayat
Malem Dagang, yakni:159
Why are you afraid of going to war againts the Jews (sic!)
Such a war originally was from the Prophet
Why are you afraid of going to war in the way of Allah
Our Master Ali is in command
Today the King (Iskandar Muda) is waging war
Malem Dagang has been appointed as commander
157
Ismail Hakki Goksoy, “Hubungan Turki Usmani – Aceh yang
Terekam dalam Sumber – Sumber Turki”, dalam R. Michael Feener dkk, ed,
Memetakan Masa Lalu Aceh (Jakarta: KITLV, 2011) Hlm. 79. 158
Ada perbedaan yang signifikan antara hikayat di Aceh dengan di
kawasan Melayu lainnya. Hikayat Aceh biasanya berbentuk puisi, sedangkan
hikayat di Melayu berbentuk ceita prosa. Lebih lanjut lihat G.W.J. Drewes, ed,
Hikajat Potjut Muhamat (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979) hlm. 3. 159
Teuku Ibrahim Alfian, “Aceh and The Holy War (Prang Sabil)”
dalam Anthony Reid, ed, Verandah of Violance; The Background to the Aceh
Problem (Singapore: NUS Press, 2006) hlm. 11.
133
C. Skema piramida terbalik interaksi umara, ulama dan
masyarakat
Umara, ulama dan masyarakat merupakan tiga elemen
yang membentuk konstruksi sosial Aceh Darussalam. Baik
sebelum dan sesudah era Iskandar Muda, ketiganya sudah terlibat
dalam jalin jemalin yang harmonis. Pemerintah memposisikan diri
sebagi pelindung kedua elemen tersebut. Ulama bertanggung
jawab memberikan arahan atau masukan agar pemerintahan
berjalan dengan baik. Masyarakat, sebagi objek dari relasi kedua
elemen tersebut, menjadi objek dari beragam produk
menyejahterakan yang dikeluarkan kerajaan.
Baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah,
agaknya memiliki pola yang hampir sama terkait bagaimana
membentuk tatanan yang teratur dan makmur. Istana, sebagai pusat
legitimasi Aceh yang melahirkan beragam kebijakan
pengembangan daerah, turut pula bekerjasama dengan para
pemimpin daerah. Keberadaan masjid yang imamnya kemudian
diangkat menjadi imam mukim merupakan fenomena khas di mana
aktivitas agama mampu bertransformasi menjadi aktivitas sosial.
Demikian halnya dengan yang terjadi di gampong. Keuchik
sebagai pemimpin gampong membutuhkan nasihat dan arahan dari
teungku meunasah untuk mendapatkan keputusan paripurna dalam
menghadapi suatu perkara.
Masyarakat Aceh pun dikenal sebagai entitas yang berada
di taraf dewasa dalam beragama. Merujuk pada penjelasan
Mohammad Said, masyarakat Aceh, sekitar abad 17, sudah mampu
menganalisa beberapa perbedaan pandangan di kalangan ulama.
Pertanyaan yang menyulitkan Nuruddin ar-Raniri dari para
mahasiswa Aceh kala pertama ia menjadi guru di salah satu
lembaga pendidikan di sana, menjadi salah satu buktinya.
Keterbatasannya memberikan penjelasan yang memuaskan inilah
yang menyebabkan dirinya bertolak ke Makkah untuk
memperdalam ilmunya, hingga sampai masanya ia kembali ke
Aceh.160
160
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid I (Medan: Waspada,
1981) hlm. 252
134
Masyarakat
Ulama Umara
Pengetahuan agama yang cukup memadai diterima
masyrakat merupakan imbas dari kesejahteraan yang terjamin.
Anak – anak yang rajin menuntut ilmu di lembaga – lembaga
pendidikan menunjukkan bahwa sudah ada pembagian peran
secara umum dalam keluarga Aceh. Paling tidak dapat dikatakan
bahwa pemuda – pemuda Aceh sudah sadar bahwa menuntut ilmu
sebagai bekal hidup merupakan kewajiban. Meskipun mereka akan
sampai pada saat di mana harus memilih apakah akan meneruskan
diri sebagai ulama atau profesi lainnya, mereka telah mengetahui
hukum – hukum pokok Islam.
Gambaran zawiyah Bitay di mana penduduk Aceh tidak
hanya diajarkan seni berperang namun juga pelajaran Islam
menjadi contoh betapa sudah ada semacam pendidikan ketentaraan
Islam terpadu, di mana mereka yang belajar perang harus pula
mengikuti materi – materi keislaman, salah satunya mungkin
adalah fikih jihad. Loyalitas serta totalitas perang pasukan Aceh
yang mentradisi hingga menyentuh perang melawan kolonial
Belanda beberapa abad setelahnya, merupakan bukti bahwa
profesionalisme beriringan dengan pemahaman agama yang
memadai.
Aceh Darussalam abad 17 disemaraki dengan kerjasama
rekat antara agamawan dengan penguasa. Masyarakat, sebagai
tujuan dari kerjasama itu, juga merespon dengan ketaatan pada raja
serta kesungguhan melaksanakan perintahnya. Dari situ, maka
akan didapati suatu skema seperti di bawah ini:
Skema Piramida Terbalik
135
Skema tersebut diberi nama skema piramida terbalik
mengingat bentuknya sepeti segita terbalik. Keterlibatan ulama
dalam pemerintahan Aceh, baik di tingkat pusat maupun daerah,
pada umumnya membawa dampak positif di kalangan masyrakat
Aceh. Hal ini dari keterlibatan ketiga unsur di atas. Panah – panah
di atas menunjukkan relasi di antara ketiganya. Ulama
berkolaborasi dengan raja dan perangkat kerajaan untuk bersama –
sama mengusahakan kesejahteraan di tataran rakyat. Di samping
itu, baik ulama maupun umara memiliki cara tersendiri dalam
membangun masyarakat. Misalnya saja, ulama bertindak sebagai
agen pencerah di bidang pendidikan serta pemimpin relijius
masyarakat, sedangkan pemerintah bertindak melalui kebijakan –
kebijakan yang tidak saja bermanfaat membangun masyarakat,
namun juga menghidupkan kerajaan. Meskipun keduanya
mempunyai cara masing – masing dalam perencanaan maupun
tindakannya.
Sebelum masa Iskandar Muda, di kalangan pemerintahan
istana Aceh sudah dikenal nasehat-nasehat yang memberitahukan
kedudukan penting ulama di sisi raja. Adalah Bukhari Jauhari161
,
dalam kitabnya Tajussalatin, dalam pasal ke 17, menyeru pada
raja-raja agar jangan melalaikan aktivitas para ahli ilmu dan ahli
beramal (berbuat kebajikan) dan agar senantiasa mengikuti kata
mereka.162
Nasehat ini sepertinya masih diingat dan dilakukan oleh
sebagian raja-raja Aceh sampai kepada Sultan Iskandar Muda.
161
Belum ada jawaban yang pasti mengenai siapa sebenarnya Bukhari
Jauhari, R. O. Winstedt menyatakan bahwa ia adalah ahli perhiasan (mutiara)
dari Persia. Kitab ini bukanlah ditulis di Melayu, melainkan di Persia. Kitab ini
sampai di Melayu melalui sumber India, oleh karena pada abad 17 hubungan
Melayu dan Persia terputus. Berbeda dengan Teuku Iskandar yang menyebutkan
bahwa kitab ini ditulis di Melayu dan menggunakan bahasa Melayu oleh
seorang yang berkebangsaan Persia. Nama penulisnya, Bukhari al-Jauhari
bukanlah merujuk pada ahli permata, melainkan lebih dekat dengan sebutan
Bukhari al-Johori (orang Bukhara dari kerajaan Johor. Lihat Saleh Partaonan
Daulay, Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari (Sebuah Kajian Filologi dan
Refleksi Filosofis) (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011) hlm. 25 – 26. 162
Bukhari al-Jauhari, Tajussalatin, hlm. 99. naskah berbahasa Arab
Melayu versi Dewan Bahasa Malaysia, diunduh dari www.sabrizain.org pada
Minggu 29 Maret 2015, pukul 21. 25.
136
Keterlibatan Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan
Nuruddin ar-Raniri di istana Aceh menjadi bukti bahwa sultan dan
perangkatnya membutuhkan arahan dari para ulama.
Sebagai informasi, kitab Tajussalatin, ditulis Bukhari
Jauhari pada sekitar tahun 1603, sebagai persembahan kepada
Sultan Aceh kala itu, Sultan Alaiddin Riayat Syah yang memimpin
Aceh Darussalam sejak 1589 hingga 1604.163
Dari kitab ini didapat
gambaran betapa penghormatan akan ulama merupakan sesuatu
yang sudah menjadi tradisi di lingkungan istana Aceh. Bukan
hanya menghormati, para sultan maupun perangkat istana Aceh
telah terbiasa mendengarkan dan menjadikan nasehat ulama
sebagai bahan renungan guna merumuskan suatu kebijakan.
Dalam terminologi sosiologi, antara umara, ulama dan
masyarakat Aceh terlibat dalam hubungan yang dikatakan sebagai
interaksi sosial. Soerjono Soekanto mengakatan bahwa interaksi
sosial sebagai stimulasi dan tanggapan antar manusia, atau
hubungan timbal balik antara pihak – pihak tertentu.164
Relasi
sosial mendasari keterjalinan seorang manusia dengan manusia
lainnya. Keragaman peran dan ketidakmampuan manusia
melakukan seluruh hal membuat dirinya perlu mendapatkan orang
lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Interaksi antara umara dan ulama sebenarnya telah
teranyam secara kuat dibuktikan dengan kontribusi keduanya
dalam pembangunan Aceh. Di istana Aceh, ulama begitu
dimulyakan, hingga hampir jabatan – jabatan penting distana,
sebagaimana banyak diterangkan dalam bab sebelumnya, dijabat
oleh kalangan cerdik pandai atau orang yang mengerti akan
masalah agama. Dari sosok ulama kerajaan seperti Hamzah
Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri, dapat
ditarik benang merah mengenai begitu khususnya hubungan ulama
dengan penguasa. Kencangnya laju gerak intelektualitas di Aceh,
163
Saleh Partaonan, Tajussalatin ..., hlm. 4; lihat juga Denys Lombard,
KerajaanAceh di Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1632) (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991) hlm. 201; V. I. Barginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal;
Sejarah Sastra Melayu Abad 7 – 19 (Jakarta: INIS, 1998) hlm. 322. 164
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: CV Rajawali, 1985)
hlm. 245.
137
di mana ulama menjadi katalisatornya, pun didukung penuh oleh
penguasa.
Besar kemungkinan, kedekatan Iskandar Muda dengan
kalangan ulama, di masa mudanya, menjadi inspirasi, betapa
kehadiran orang – orang berilmu ini sangat penting dalam istana
Aceh. Syamsuddin as-Sumatrani dan Teungku di Bitay menjadi
dua guru Iskandar Muda yang berpengaruh dalam kehidupannya
kelak. Syamsuddin as-Sumatrani belakangan menjadi orang
berpengaruh di lingkungan istana, mendampingi Sultan Iskandar
Muda. Begitu pula dengan kampung Bitay, yang dikenal sebagai
tempat mukim orang Turki, menjadi besar dan dikenal luas karena
keberadaan zawiyah dan tempat menuntut ilmu di mana Teungku
di Bitay mengajar. Di sana, pusat pendidikan militer berada. Besar
kemungkinan Iskandar Muda banyak mendapat imajinasi
kebesaran Aceh kelak ketika berguru di Bitay. Sembari mengaji,
tentu ia melihat bagaimana kebesaran pasukan Aceh dibangun.
Intensitas kedatangannya ke Bitay, perlahan membentuk hasrat
kebesaran Aceh yang diusahakannya kelak ketika menjadi raja.165
Mukim dan gampong sebagai sentra perkumpulan
masyarakat, juga tidak lepas dari relasi umara dan ulama. Bisa
dikatakan keberadaan keuchik dan teungku meunasah ibarat ayah
dan ibu bagi sebuah gampong. Keuchik bertugas memimpin
administrasi pemerintahan, teungku meunsah bertindak sebagai
imam shalat, serta mengajar al-Qur‟an dan ilmu Islam lainnya.
Dalam suatu persidangan atau musyawarah, keuchik tampil sebagai
pemeberi putusan dan teungku meunasah bertindak sebagai
penasehat, yang tugasnya antara lain seperti memberikan
pertimbangan berdasarkan wawasan keagamaan akan suatu
keputusan. Kerjasama keuchik dan teungku meunasah merupakan
cerminan diberlakukannya hukum adat dan agama dalam
kepemimpinan Aceh.
165
Menurut sumber lisan, dikatakan bahwa bukan hanya Sultan Iskandar
Muda saja yang pernah berguru di kampung Bitay, melainkan juga Sultan Deli
dan Raja Daya. Banyak pula ulama dari Persia dan Palestina yang pernah belajar
di sana. Lihat http://atjehpost.co/m/read/60/Riwayat-Kampung-Turki-di-Aceh,
diunduh pada pukul 09.08, 13 Februari 2015.
138
Tuha peut atau ureung tuha yang biasanya terdiri dari
empat orang, bertindak selaku DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Biasanya tuha peut terdiri dari pemuda yang belum menikah,
orang kaya, orang pandai dan ahli agama. Mereka yang duduk
dalam dewan tuha peut memiliki pengalaman dan berpengetahuan
luas mengenai kepemerintahan gampong berikut serba – serbi
keadaannya serta memahami hukum adat.166
Kualifikasi
pengetahuan agama dalam kepengurusan tuha peut menjadi unsur
yang juga tidak boleh tertinggal.
Keberadaan ulama sebagai pemandu jalannya pemerintahan
di Aceh, nyatanya belum bisa dikatakan berjalan secara sempurna.
Dalam beberapa segi masih terdapat ketidakhadiran mereka dalam
menyuarakan persamaan hak dan kewajiban rakyat yang setara.
Hal ini tercermin tatkala Sultan Iskandar Muda melakukan
penyerangan terhadap wilayah-wilayah tertentu, beberapa di
Semenanjung Melayu misalnya, setelahnya terdapat suatu
fenomena yang begitu membuat rakyat negeri musuh menderita,
yakni ancaman perbudakan.
Di masa ini, banyak orangkaya-orangkaya yang memiliki
budak, dan banyak diantara mereka adalah rakyat dari negeri
taklukan. Dalam Bustanussalatin, padahal sosok Iskandar Muda
dilukiskan sebagai sosok yang egaliter dan dekat dengan fakir
miskin, namun pada kenyataannya ia tidak bisa menghapuskan
perbudakan. Fakta ini didapatkan dari catatan para pelancong asing
menyebutkan perbudakan adalah dampak dari suatu peperangan
Aceh. Begitu pula dengan kelompok ulama Aceh, belum
ditemukan bukti-bukti terpercaya tentang pembelaan hak-hak
rakyat taklukan, di mana pemulihan status terjadi dan integrasi ke
dalam rakyat Aceh berjalan dengan baik. Pada titik ini, kelompok
ulama Aceh absen dalam menyuarakan suatu pandangan tentang
penghargaan atas rakyat negeri terjajah.167
166
Septi Satriani, “Dinamika Sejarah Gampong dan kampung di Aceh”,
artikel ini didapatkan dari perpustakaan LIPI, Hlm. 57. 167
Ingrid Saroda Mitrasing, “The Age of Aceh; The Evolution of
Kingship 1599-1641”, (disertasi), Universitas Leiden, belum diterbitkan, 2011.
hlm. 234-235.
139
Masyarakat, sebagai tujuan dari pelayanan pemerintah serta
penyerap ilmu serta gagasan ulama, memberikan reaksi dengan
kepatuhannya kepada ulama dan umara-nya. Tradisi penghormatan
kepada ulama serta pemerintah, sebagaimana yang ditemukan di
Aceh, tidak dapat dimaknai dalam konteks seremonial semata, di
mana yang dibawah harus menghormati yang di atas saja. Lebih
dari itu, pihak kerajaan serta ulama menyadari, bahwa loyalitas
serta kepatuhan rakyat tentu amat berhubungan dengan bagaimana
pemerintahnya bersinergi dengan mereka. Jaminan keamanan serta
kesejahteraan dari sektor perniagaan merupakan dua faktor kunci,
mengapa rakyat begitu patuh pada kelas penguasa (the ruling
class). Hal ini pula yang kemudian mengkristal dalam suatu
ungkapan Melayu, raja alim raja disembah, raja zalim raja
disanggah.
140
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tesis ini dapat disimpulkan dalam empat poin, antara lain:
Pertama, hubungan yang tercipta dari kerjasama antara
umara dan ulama dalam membangun etalase sosial di Aceh bisa
dikatakan harmonis dan kooperatif. Masing – masing pihak
sejatinya mempunyai strategi tersendiri mengenai bagaimana
menyejahterakan masyarakat. Pada umumnya ulama menggunakan
kepandaiannya dalam ilmu agama sebagai modalitas untuk bisa
berkontribusi menghidupkan intelektualitas yang berujung pada
peningkatan pemahaman keagamaan masyarakat. Umara
mengeluarkan regulasi di bidang politi, ekonomi, pertahanan dan
lain – lain untuk mengupayakan ketenraman dan menjamin
kelangsungan hidup warganya. Namun, seringkali di bidang sosio-
keagamaan, ulama terlibat hubungan serius dengan umara guna
menelurkan gagasan serta aksi memecahkan masalah – masalah
sosial di Aceh.
Kedua, Masyarakat Aceh begitu menghargai kedudukan
umara dan ulama. Bagi mereka, sosok umara merupakan pusat
kekuasaan, yang dalam doktrin kepemimpinan Islam – Melayu
merupakan bayangan Allah di bumi (zillullah fil ardhi). Menaati
pemimpin tidak ubahnya menaati Tuhan. Hukum – hukum yang
dikeluarkan kerajaan, yang saripatinya banyak didapatkan dari adat
dan ajaran agama, haruslah mereka taati, karena hukum kenegerian
dianggap penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.
Pemimpin yang mereka harapkan tentu saja haruslah
memperhatikan kelangsungan hidup mereka, sebagaimana terekam
dalam pepatah raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.
Ulama, menjadi kelompok elit yang juga begitu diagungkan
141
masyarakat Aceh. Mereka tidak ubahnya sebagai penyambung
ajaran Nabi Muhammad SAW yang risalahnya berasal dari Tuhan.
Untaian kata serta uraian mereka, di mana pertimbangan agama
menjadi dasarnya, dianggap penting dalam mufakat. Fatwa-fatwa
mereka kerap dijadikan pegangan dalam menelurkan suatu
kebijakan. Dalam hal lain, mereka juga memiliki posisi sangat vital
sebagai pemimpin upacara seremonial keagamaan, seperti
kematian, pernikahan, serta acara doa bersama. Di kerajaan serta di
lembaga kepemimpinan bawahannya, mereka dikenal sebagai
golongan yang kerap memainkan fungsi sebagai penasehat raja,
imam mukim, serta keuchik.
Ketiga, banyak dari kebijakan – kebijakan Kerajaan Aceh
Darussalam yang dikeluarkan berdasarkan fatwa para ulama.
Kebijakan mengenai pendirian masjid – masjid serta
menghidupkan aktivitas sosial seperti pendidikan dan musyawarah
warga merupakan beberapa kebijakan masa Iskandar Muda yang
ikut pula didukung oleh ulama. Perumusan Adat Meukuta Alam,
sebagai dasar undang – undang kenegerian Aceh pun tidak lepas
dari peran ulama. Dalam perumusan peraturan kenegerian tersebut,
ulama mampu bersinergi dengan pemerintah dan kalangan cerdik
pandai yang memahami tentang adat Aceh, sehingga ajaran agama
mampu dikawinkan dengan peraturan adat sebagai muatan undang-
undang. Pendirian lembaga – lembaga pendidikan di dalam dan di
luar tembok istana juga diinisiasi oleh kalangan ulama.
Keempat, umara menampilkan diri sebagai pengayom
masyarakat. Ketaatan serta kepatuhan yang didapat dari
masyarakat, beriringan dengan upaya mereka membangun
masyarakat mereka sendiri. Wilayah perdagangan dan perkebunan
menjadi sektor strategis yang difasilitasi kerajaan agar masyarakat
dapat menuai penghidupan yang layak. Kesejahteraan tersebut
pada akhirnya ikut membangun geliat intelektual di Aceh. Masjid
– masjid yang dibangun era Iskandar Muda mnampakkan diri
sebagai tempat ibadah, pengajaran agama, serta sentra
berkumpulnya maysrakat. Secara berkala, ulama – ulama yang
berasal dari mancanegara, seperti sosok Teungku datang atau
didatangkan untuk menambah amunisi pengajar Islam di Aceh.
142
Sudah menjadi takdir sejarah, bahwa kebersamaan ulama
dan umara di Aceh mendapat tantang ketika memasuki masa
pendudukan Belanda. Kerjasama mereka mendapat ujian tatkala
Belanda mengupayakan pendudukan atas Aceh sejak abad 19
hingga menyentuh awal abad 21.
B. Saran
Saran yang disampaikan adalah bahwa tesis ini kedepan
bisa dijadikan inspirasi bagi mulculnya penulisan serupa. Memang
banyak penulis maupun peneliti yang mengupas masalah hubungan
ulama dan pemerintah, namun belum banyak yang mengangkat
dialog antarkeduanya yang terjadi di luar istana Aceh. Sosok
ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani,
Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkel sudah begitu banyak
dikupas para peneliti, namun kajian serupa mengenai ulama Aceh
lainnya seperti Teungku di Bitai, Teungku di Leupeu, Teungku
Imum Lueng Bata dan ulama yang nama dan makamnya terdengar
dan terlihat, belum ada informasi mengenainya.
Disadari, penulisan sejarah yang mengungkap kerjasama
pemerintah dan ulama di wilayah yang lebih spesifik seperti
mukim atau gampong masuk dalam kajian sejarah lokal. Dinamika
yang terjadi di istana tentulah mempunyai karakteristik berbeda
dengan yang terjadi di daerah. Topik mengenai relasi antara ulama
dan pemerintah menjadi topik yang krusial dalam bentangan
sejarah Nusantara. Dari tema tersebut, keteladanan, sikap serta
pelajaran dapat dituai untuk kemudian diaplikasikan sebagai
langkah masa kini.
143
Daftar Pustaka
Sumber Primer
Ar-Raniri, Nuruddin. Bustanussalatin, bait 12 dan 13 (microfilm),
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tanpa
tahun.
Dorleans, Bernard.Orang Indonesia dan Orang Prancis; Dari
Abad XVI sampai dengan Abad XX, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2006.
Iskandar, Teuku. De Hikajat Atjeh, „S-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1958.
Jauhari, Bukhari, Tajussalatin, ditulis tahun 1967, edisi Dewan
Bahasa Malaysia diunduh dari sabrizain.org.
Kronik Gayo dalam PaEni, Mukhlis.Riak di laut Tawar;
Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial di Gayo
Aceh Tengah, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia
dan Gadjah Mada University Press, 2003.
Temple, Sir Richard, ed. The Travels of Peter Mundy in Europe
and Asia, 1608-1667, Vol. III, Part I, Londona, 1919.
Sumber Sekunder
Abdullah, Taufik dkk. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Tangerang:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ahmad, Zakaria.Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Th. 1520 – 1675,
Medan: Monora, tanpa tahun.
A.R, Muhammad. Akulturasi Nilai – Nilai Persaudaraan Islam
Model Dayah Aceh, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan
Kementerian Agama, 2010.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007.
Azwad, Ridwan. Peny. Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh.
Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,
2003.
144
Barginsky, V. I. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah
Sastra Melayu Abad 7 – 19, Jakarta: INIS, 1998.
Dasgupta, A.K..Aceh In Indonesian Trade and Politics: 1600-
1641, England: Universisebagaty of Microfilm, 1962.
Daulay, Saleh Partaonan. Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari
(Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis), Jakarta:
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011.
Dhofier, Zamakhsyari. TradisiPesantren; Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,
Jakarta: LP3ES, 2011.
Drewes, G.W.J., ed. Hikajat Potjut Muhamat, The Hague:
Martinus Nijhoff, 1979.
Dunn, Ross E. Petualangan Ibnu Batutta Seorang Musafir Muslim
Abad 14, terj. Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011.
Erawadi. Tradisi, Wacanadan Dinamika Intelektual Islam Aceh
Abad XVIII danXIX. Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.
Fakhriari, “Tradisi Intelektual Aceh Di Dayah Tanoh Abee dan
Dayah Ruhul Fata”, dalam al-Qalam, Vol. 20, No. 2,
Desember 2014.
Fathurrahman, Oman dkk, peny. Katalog Naskah Dayah Tanoh
Abee Aceh Besar, Depok: Penerbit Komunitas Bambu,
2010.
Feener, R. Michael dkk, ed. Memetakan Masa Lalu Aceh, Jakarta:
KITLV, 2011.
Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeeth-
Century Aceh, Leiden: Brill, 2004.
_____. Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010.
Hasbi, Baiquni. Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan
Turki Usmani, Banda Aceh: LSAMA, 2014.
Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia. Jakarta: Almaarif, tanpa tahun.
_____. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Beuna,
1983.
145
Haslinda, Pocut MD Azwar.Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh
Hubungannya dengan Raja-Raja Islam Melayu Nusantara,
Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011.
Hermansyah, “Naskah Tibyan fi Ma‟rifat al- Adyan: Interpretasi
Aliran Sesat di Aceh Menurut Nuruddin ar – Raniri” dalam
Jumantara, edisi 01, Vol. 5 Tahun 2014.
Huda, Noor. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia.Yogyakarta: Arruz Media, 2007.
Hurgronje, Snouck. Aceh di Mata Kolonialis. Vol. 1. Terj. Ng.
Singarimbun dkk. Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985.
_____. Aceh di Mata Kolonialis. Vol. 2. Terj. Ng. Singarimbun
dkk. Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985.
Ibrahim, Ahmad dkk, peny. Islam di Asia Tenggara Perspektif
Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989.
_____. “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th
– 19th
Century)”, makalah dibawakan dalam First International
Conference of Aceh and Indian Ocean Studies di Banda
Aceh 24 – 27 Februari 2007.
Ismuha. Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah. Jakarta: LIPI,
1976.
Ito, Tekeshi. “The World of the Adat Aceh. A Historical Study of
the Sultanate of Aceh”, Tesis, Canberra: Australian
National University, 1984.
Jusoh, Yahaya bin. “Majlis Aceh (Adat Aceh)” tesis, (tidak
dipublikasikan), University of Kent , 1986.
Komroff, Manuel, ed.The Travel of Marco Polo The Venetian,
New York: W.W. Norton, 1930..
Lamnyong, Teungku Anzib. Adat Aceh, Banda Aceh:PLPIS, 1978.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Madjid, M. Dien. Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2013.
Mitrasing, Ingrid Saroda. “The Age of Aceh; The Evolution of
Kingship 1599-1641”, (disertasi), Universitas Leiden,
belum diterbitkan, 2011.
Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh;
Problem, Solusi dan Implementasi, Jakarta: Logos, tanpa
tahun.
146
Organski, A.F.K..Tahap-Tahap Perkembangan Politik, Terj.
Nooroso Kuhardjo, Jakarta: Akademika Pressindo, 1985.
PaEni, Mukhlis.Riak di laut Tawar; Kelanjutan Tradisi dalam
Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah, Jakarta: Arsip
Nasional Republik Indonesia dan Gadjah Mada University
Press, 2003.
Peacock, A.C.S dkk, ed.From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks
and Southeast Asia, Oxford: Oxford University Press,
2015.
Razak, Yusron. Sosiologi Sebuah Pengantar. Ciputat:
Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.
Reid, Anthony, ed.Verandah of Violance; The Background to the
Aceh Problem, Singapore: NUS Press, 2006.
____________. Menuju Sejarah Sumatra, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011.
Saby, Yusny. “The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey”, on
Studia Islamika, Vol. 8, no. 1, 2001.
Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad Jilid I, Medan: Waspada,
1981.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1995.
Satriani, Septi. “Dinamika Sejarah Gampong dan kampung di
Aceh”, artikel ini didapatkan dari perpustakaan LIPI.
Siegel, James T. The Rope of God, Barkeley & Los Angeles:
University of California Press, 1969.
Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, Jakarta: CV Rajawali, 1985.
Suwardi. Raja Alim Raja Disembah; Eksistensi Kebudayaan
Melayu dalam Menghadapi Era Global, Pekan Baru: Alaf
Riau, 2005.
Tjandrasasmita, Uka. Kota-Kota Muslim di Indonesia; Dari Abad
XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara Kudus, 2000.
_____. Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah
Islam di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan badan Litbang dan Diklat
Kementeriaan Agama RI, 2012.
Van Langen, K.F.H. “De Inrichting van Het Atjehsche
Staatbestuur Onder het Sultanaat”, s‟Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1888.
147
_____. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Terj.
Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Dokumen Informasi Aceh, 2002.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: P.T. Hidakarya
Agung, tanpa tahun.
Zainuddin, H.M. Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda,
1957.
_____, Tarikh Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar
Muda, 1961.
On Line
http://atjehpost.co/m/read/60/Riwayat-Kampung-Turki-di-Aceh.
http://sabrizain.org.