inkes-vol-3-no-1

49
Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 HUBUNGAN ANTARA MOBILISASI DINI DENGAN INVOLUSI UTERI PADA IBU NIFAS (Penelitian Analitik di BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya) (1) Ratna Kautsar (1) Dosen STIKES Insan Insan Se Agung Bangkalan ABSTRAK  Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berada pada angka 304/100.000 kelahiran hidup berdasarka n Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2005. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah kehamilan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifudin, 2002) salah satu penyebab utamanya adalah perdarahan pasca persalinan (40%) sehingga perlu dilakukan suatu upaya mengatasi perdarahan pasca salin salah satu caranya yaitu dengan mobilisasi dini. Penelitian ini penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional. Populasi yang diambil adalah semua ibu nifas 24 jam  post  partum di BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya. Data dikumpulkan menggunakan lembar observasi. Sampel pada penelitian ini adalah Total Populasi  dan dilakukan uji statistik dengan chi-square . Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 37 responden yang melakukan mobilisasi dini dengan baik sebanyak 20 (54,1%) responden, sedangkan mengalami involusi  cepat setelah 24 jam  post partum sebanyak 24 (64,9%) responden. Dengan uji Chi-Square  didapatkan nilai perhitungan χ 2 hitung (3,02) dan χ 2  tabel (3,84). Dengan demikian χ 2 hitung < χ 2 tabel maka Ho diterima, artinya tidak ada hubungan antara mobilisasi dini  dengan involusi uteri . Untuk mempercepat proses involusio uteri, bidan sebagai pemberi asuhan yang terdekat dan terlama bersama klien dapat memberikan perhatian khusus pada ibu hamil setelah masa nifas diantaranya adalah memberikan informasi tentang mobilisasi dini. Kata kunci : Mobilisasi Dini, Involusi Uteri

Upload: ami-current

Post on 05-Jul-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 1/49

Page 2: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 2/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

PENDAHULUAN

 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berada pada angka304/100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survey Demografi danKesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2005. Diperkirakan 60%kematian ibu terjadi setelah kehamilan dan 50% kematian masanifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifudin, 2002) dimana

penyebab utamanya adalah perdarahan pasca persalinan (40%)sehingga perlu dilakukan suatu upaya mengatasi perdarahanpasca salin, salah satu caranya yaitu dengan mobilisasi dini.

Segera setelah perang dunia II, perubahan penting mulaiterjadi dalam penatalaksanaan masa nifas menuju ke arahambulasi dini. Para wanita mengatakan bahwa mereka merasalebih kuat dan lebih baik setelah mobilisasi dini (Williams, 2005).(2)Mobilisasi dini memperlancar pengeluaran lochea  sehinggadapat mempercepat proses kembalinya alat kandungan dan jalanlahir setelah bayi dilahirkan hingga mencapai keadaan sepertisebelum hamil (Christina, 1996) yang ditandai dengan penurunantinggi fundus uteri  dan pengeluaran lochea.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan pada bulan Juli2009 di BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya terdapat 5 (16,6%)yang mengalami perdarahan dan 10 (33,3%) ada yang tidak

melakukan mobilisasi dini dengan baik. Hal ini disebabkan karenaperasaan takut terjadi perdarahan, nyeri, takut jahitan lepas atauibu-ibu nifas malas melakukan gerakan karena lelah setelahmelahirkan. Akan tetapi petugas kesehatan harus selalumemberikan motivasi pada ibu nifas untuk melakukan mobilisasidini. (2) Apabila penderita terus menerus tiduran atau takut dudukatau berjalan maka peredaran darah akan kurang lancar, otot-ototakan pasif dengan demikian mengurangi peredaran zat asam danzat-zat makanan dalam tubuh yang sangat diperlukan untukmemulihkan kesehatan ibu dan pembentukan air susu. Selain itu,apabila penderita tidak selekas mungkin melakukan mobilisasidini bisa terjadi perdarahan  post partum  akibat otot uterus yangtidak berkontraksi.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Hubungan antaraMobilisasi Dini dengan Involusi Uteri Pada Ibu Nifas di BPS

Vinsentia Ismijati, SST Surabaya.

TINJAUAN PUSTAKA

Involusi UteriPeningkatan kadar estrogen dan progesterone

bertanggung jawab untuk pertumbuhan masif uterus selamamasa hamil. Pertumbuhan uterus pada masa prenatal tergantungpada hyperplasia, peningkatan jumlah sel-sel otot dan hipertropi ,yaitu pembesaran sel  –  sel yang sudah ada. Pada masapostpartum penurunan kadar hormon – hormon ini menyebabkanadanya autolisis.

Involusi uterus ini dari luar dapat diamati denganmemeriksa tinggi fundus uteri. Segera setelah plasenta lahiruterus masuk ke dalam rongga panggul dan fundus uteri dapatteraba dari dinding perut pertengahan sympisis pusat. Dalamwaktu 2-4 jam setelah persalinan tinggi fundus uteri meningkatmenjadi 2 cm di atas pusat (12 cm di atas sympisis pubis).Selanjutnya tinggi fundus uteri menurun 1 jari (1 cm) tiap hari.Pada hari ke-7 post partum tinggi fundus uteri 5 cm di atassympisis. Pada hari ke-12 tinggi fundus uteri tidak dapat dirabalagi melalui dinding perut(3).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Involusi1. Status Gizi

(2)Status gizi yang kurang pada ibu pasca salin makapertahanan dasar pada ligamentum latum  yang terdiri darikelompok infiltrat   sel-sel bulat yang disamping mengadakanpertahanan terhadap penyerbuhan kuman juga untukmenghilangkan jaringan nerkotic . Pada ibu pasca salin denganstatus gizi yang baik akan terhindar dari infeksi dan mempercepatinvolusi uterus.

2. Mobilisasi DiniMobilisasi dini adalah kemampuan untuk bergerak bebas

dalam lingkungan. (2)Mobilisasi dini memperlancar pengeluaranlochea  sehingga dapat mempercepat involusi uteri   . Meskipunmobilisasi dini banyak membawa keuntungan, tetapi tidakdinasehatkan bagi penderita yang mengalami  partus lama  atauterlalu banyak mengeluarkan banyak darah.

(1)Tahapan mobilisasi dini adalah :1)  Sesudah 2-8 jam melahirkan, klien miring kanan dan kiri2)  Melakukan latihan nafas dalam3)  Latihan kaki ringan4)  Klien duduk tegak lurus di tempat tidur dengan posisi

miring, klien membuat gerakan yang membuat dirinyaturun dari tempat tidur.

5)  Klien menggerakkan kakinya ke samping mengarah keluar

tempat tidur dan kedua tangan sebagai alat untukmenumpu

6)  Dengan suatu gerakan mengayun klien akhirnya dapatturun dari tempat tidur, pada gerakan ini kedua tanganklien sebagai penopang

7)  Klien dapat mendorong badannya dengan keduatangannya dari tempat tidur, maka klien dapat membawabadannya turun dari tempat tidur

8)  Klien sekarang berdiri disamping tempat tidur dan tetapberpegangan pada tempat tidur untuk memperoleh rasaaman

9)  Klien berjalan pelan-pelanLakukan adaptasi berhadapan. Perbaikan keluhan klien baik

verbal maupun non verbal seperti pusing, pucat, dan keringatdingin.(4)cara-cara melakukan mobilisasi dini antara lain:

1)  15 menit pertama setelah 2 jam  post partum  ibu belajarmiring kiri dan kanan.

2)  15 menit kedua setelah 2 jam  post partum  ibu belajarduduk ditempat tidur.

3)  15 menit ketiga setelah 2 jam  post partum  ibu belajarberdiri di sebelah tempat tidur dan diikuti berjalan.

4) 3. Paritas (Jumlah Anak)

(6)Involusi uterus bervariasi pada ibu pasca salin, biasanyaibu yang paritasnya tinggi proses involusinya menjadi lebihlambat, karena makin sering hamil uterus akan sering mengalamiregangan.4. Usia

(5)Ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi olehproses penuaan dimana mengalami perubahan metabolismeyaitu terjadi peningkatan jumlah lemak, penurunan otot,penurunan penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat dan halini akan menghambat involusio uterus. 5. Laktasi/Menyusui

(5)Menyusui merupakan rangsangan psikis dan jugamerupakan refleks dari mata ibu ke otak yang mengakibatkanpengeluaran oksitosin, sehingga uterus  akan berkontraksi lebihbaik dan pengeluaran lochea lebih lancar, oleh sebab itu ibu yangmenyusui involusio uterus lebih cepat dari yang tidak menyusui.

Page 3: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 3/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

6. Senam Nifas

(5) Apabila otot rahim di rangsang dengan latihan dangerakan senam maka kontaraksi uterus semakin baik sehinggamempengaruhi proses pengecilan uterus.

METODE PENELITIANPenelitian ini penelitian analitik observasional

menggunakan desain cross sectional.  Data dikumpulkanmenggunakan lembar observasi. Sampel pada penelitian iniadalah Total Populasi  yaitu semua ibu nifas 24 jam post partum diBPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktober 2009sebanyak 37 orang kemudian dilakukan uji chi-square.Variabelindependen dalam penelitian ini adalah mobilisasi dini, Variabeldependen dalam penelitian ini adalah involusi uterus.

Tabel 1 Distribusi frekuensi menurut umur di BPS VinsentiaIsmijati, SST Surabaya bulan Oktober sampaiNovember 2009.

Umur Frekuensi Prosentae (%)

< 20 th

20-35 th

> 35 th

5

26

6

13,5

70,3

16,2

Jumlah 37 100

Sumber : Data Primer, 2009

Tabel 2 Distribusi frekuensi menurut paritas di BPSVisentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktobersampai November 2009.

Jumlah anak Frekuensi Prosentase (%)

1

2-3

> 4

19

16

2

51,4

43,2

54

Jumlah 37 100

Sumber : Data Primer, 2009

Tabel 3 Distribusi frekuensi menurut pendidikan di BPSVisentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktobersampai November 2009.

Pendidikan Frekuensi Prosentase (%)

SD/SMP

SMA/SMEA

 Akademik/S1

11

19

7

29,7

51,4

18,9

Jumlah 37 100

Sumber : Data Primer, 2009

Tabel 4 Distribusi frekuensi menurut pekerjaan di BPSVisentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktobersampai November 2009.

Pekerjaan Frekuensi Prosentase (%)

IRT

Swasta

Pegawai Negeri

16

15

6

43,2

40,6

16,2

Jumlah 37 100

Sumber : Data Primer, 2009

Tabel 5 Distribusi responden dalam mobilisasi dini di BPSVisentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktober sampaiNovember 2009.

Mobilisasi Dini Frekuensi Prosentase (%)

Baik

Tidak baik

20

17

54,1

45,9

Jumlah 37 100

Tabel 6 Distribusi involusi uteri   di BPS Visentia Ismijati,SST Surabaya bulan Oktober sampai November2009.

Involusi Uteri Frekuensi Prosentase (%)Cepat

Lambat

24

13

64,9

35.1

Jumlah 37 100

Tabel 7 Tabulasi Silang Mobilisasi Dini terhadap Involusi Uteri

Mobilisasi DiniInvolusi Uteri

Prosentase (%)Cepat Lambat

Baik

Tidak baik

16 (80%)

8 (47%)

4 (20%)

9 (53%)

20 (100%)

17 (100%)

Jumlah 24 (64,9%) 13 (35,1%) 37 (100%)

Tabel 8 Tabulasi silang antara umur dengan involusi uteri

UmurInvolusi Uteri Prosentase

(%)Cepat Lambat

< 20 tahun 5 (100%) - (0%) 5 (100%)

Page 4: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 4/49

Page 5: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 5/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

\

PERBEDAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN ISTIRAHAT TIDUR SEBELUM DAN SESUDAH

DIBERI TERAPI RELAKSASI DAN DISTRAKSI PADA LANSIA

DI KARANG WERDHA MEIDINA BANGKALAN

DI FFERENCE OF ACCOMPL ISHMENT A REQUIREMENT OF REST AND SLEEP BEFORE AND AFTER

GIVEN BY THERAPY RELAXATI ON AND DI STRACTION AT ELDELY

IN KARANG WERDHA MEI DINA BANGKALAN.

(1)Suci Kurniya(1)Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan

ABSTRAK

Prevalensi masalah tidur pada lansia cenderung meningkat setiap tahun. Untuk mengatasi hal tersebut dalam proseskeperawatan terdapat terapi relaksasi dan distraksi yang dapat membantu mengurangi masalah dalam pemenuhan kebutuhan

istirahat tidur. Dimana tujuan penelitian ini adalah Menganalisis perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dansesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan.

Desain penelitian ini adalah action research tipe pra eksperimental dengan desain the pre test post test design. Jumlah populasinya 20 dan sample yang digunakan 20 dengan tehnik  sampling jenuh. Variabel dalam penelitian ini adalah pemenuhan

kebutuhan istirahat tidur. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan kuesioner, uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidur lansia sebelum diberi terapi relaksasi

dan distraksi adalah 20% (4) baik, 50% (10) cukup, 30% (6) kurang. Sedangkan tingkat pemenuhan kebutuhan tidur lansia

sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi adalah 30% (6) baik, 65% (13) cukup, dan 5% (1) kurang. Dari hasil uji statistikdengan wilcoxon sign rank test didapatkan hasil p=0,020. Dimana p<0,05 (0,020<0,05) ini berarti ada perbedaan dalam

 pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang WerdhaMeidina Bangkalan.

Tehnik relaksasi dan distraksi dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur seseorang karena dapat mengurangi

ketegangan di otak maupun di otot sehingga stres dapat berkurang dan timbul perasaan tenang dan rileks yang memudahkanseseorang masuk kekondisi tidur.

Melihat hasil penelitian ini maka pentingnya penerapan tehnih-tehnik keperawatan dalam memberikan asuhankeperawatan untuk mengatasi masalah  pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia sehingga dapat mewujudkan lansia yang

sehat dan bahagia.

Kata kunci : relaksasi distraksi, kebutuhan, istirahat tidur, lansia 

ABSTRACT

Prevalence of sleep problem at elderly tend to increase every year. To overcome the mentioned in nurse treatment thereare therapy relaxation and distraction able to decrease the problem of accomplishment a requirement of sleep and rest.

This Research Desain is action research of pre eksperimental  type  with the  pre test post test design. Amount of the populations is 20 and the samples is 20 technicsly saturated sampling. Variable in this research is accomplishment a requirement

of sleep and rest. This Research result is taken by using quesioner, statistical test use Wilcoxon Sign Rank Test.Research result indicate that level accomplishment a requirement of rest ans sleep at eldely  before given by therapy

relaxation and distraction is 20% ( 4) good, 50% enough, 30% ( 6) less. The level accomplishment a requirement of sleep and

rest at eldely after given by therapy relaxation and distraction is 30% ( 6) good, 65% ( 13) enough, and 5% ( 1) less. Result of

statistical test with Wilcoxon Sign Rank Test got result of p=0,020. Where p<0,05 ( 0,020<0,05) it means there is having  

difference of accomplishment a requirement of rest and sleep before and after given by therapy relaxation and distraction ateldely in Karang Werdha Meidina Bangkalan.

Therapy relaxation and distraction can increase accomplishment a requirement of rest and sleep so stress in muscle and brain be decrease because by Therapy relaxation and distraction stresses can decrease and can peep out feeling peace and rileks

where it will easy to enter sleep.See result of this research hence important of applying of nurse treatment in giving treatment upbringing to overcome the

 problem of accomplishment a requirement of rest and sleep at eldely so that can realize eldely the healthyness and happy.Keyword : relaxation distraction, requirement, sleep, rest, eldely.

Page 6: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 6/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

PENDAHULUAN

Pada zaman modern ini kegiatan yang dilakukan olehseseorang saat ini sangat melelahkan, karena setiap orangberjuang dan berusaha keras untuk bekerja. Untuk itu kita semuamembutuhkan istirahat untuk melawan kepenatan. Tidurmerupakan istirahat yang paling bermanfaat bagi tubuh dan

pikiran karena selama tidur terjadi proses pembentukan sel-seltubuh yang baru, perbaikan sel-sel tubuh yang rusak, waktu bagiorgan tubuh untuk beristirahat maupun untuk menjagakeseimbangan metabolisme dan biokimiawi tubuh. Selain ituhormon-hormon penting banyak diproduksi pada saat tidursehingga dapat meningkatkan vitalitas dan keseimbangan tubuh.Oleh karena itu Jonson beranggapan bahwa tidur merupakansalah satu kebutuhan fisiologis dasar manusia yang perubahankesadarannya terjadi secara periodik (Setiyo dan Zulaikah, 2007).

Kebutuhan tidur bervariasi pada masing-masing orang,pada umumnya seseorang perlu tidur antara 4 sampai 9 jamselama 24 jam untuk dapat berfungsi secara normal (Linda G.Copel, 2007). Agar kesehatan tetap terjaga yang perludiperhatikan dalam tidur selain kuantitasnya tetapi juga kualitasdari tidur tersebut. Seseorang dapat dikatakan kebutuhan

tidurnya terpenuhi apabila sudah melalui dua tahap tidur yaitu:NREM sleep (Non Rapid Eye Movement ) tidur dimana mata tidakbergerak dengan cepat dan REM sleep  (Rapid Eye Movement )tidur dimana mata bergerak dengan cepat waktu mimpi (Dian, 2008).

Berdasarkan data awal yang dilakukan di Karang WerdhaMeidina Bangkalan pada 31 Januari 2009 melalui wawancaralansung sekitar 5% lansia tidur kurang dari empat jam sehari,30% mengeluhkan sering terjaga pada malam hari dan 10% sulituntuk memulai tidur.

Menurut data international   of sleep disorder prevalensipenyebab kurang terpenuhinya kebutuhan istirahat tidur antaralain: penyakit asma (60%-74%), gangguan pusat pernafasan (5%-15%), ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur(5%-10%), depresi (65%), demensia (5%), gangguan perubahan

 jadwal kerja (2%-5%), gangguan obstruksi saluran nafas (1%-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%), narcolepsy   atau mendadaktidur (0,03%-0,16%) (Iskandar japardi, 2002).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adakah perbedaanpemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberiterapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang WerdhaMeidina BangkalaN.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep terapi relaksasiRelaksasi adalah hal yang menunjukkan pada pengenduran otot-otot yang dalam. Sedangkan tehnik relaksasi adalah tehniklatihan keterampilan mengolah tubuh, menenangkan pikiran danmenetralkan pengaruh stress (Patricia & Limbreg, 1998).

Menurut Patricia dan Limberg (1998) tehnik relaksasidibagi dua macam yaitu:1.  Relaksasi aktif

Relaksasi aktif meliputi: pengolahan tubuh, atau pikiranyang secara mendalam atau disebut juga sebagai relaksasipenenangan yang dilakukan diri sendiri.tehnik relaksasi aktif menurut latihannya sebagai berikut:

a.  Latihan-latihan yang menggunakan gerakan tubuhuntuk mengendurkan otot-otot tubuh dan padagilirannya dapat mengendurkan pikiran

b.  Kegiatan yang menggunakan pikiran untukmengendurkan tubuh

2.  Relaksasi pasif

Relaksasi pasif meliputi: tehnik pengolahan tubuh ataupikiran yang secara mendalam dan menenangkan yangdilakukan oleh orang lain.a.  Perlakuan pada tubuh untuk mengendurkan pikiranb.  Perla kuan pada pikiran untuk mengendurkan tubuh

Tehnik distraksi atau visualisasi

Tehnik distraksi atau visualisasi adalah suatu tehnikdimana klien menciptakan kesan dalam pikiran, berkonsentarasipada kesan tersebut, sehingga klien secara bertahap dalamkeadaan tentram. Perawat melatih klien dalam membangunkesan dan berkonsentrasi pada pengalaman sensori (Potter &Perry, 2005).

Visualisasi atau yang lebih dikenal dengan tehnik distraksi

adalah suatu latihan untak membentuk suatu gambaran dalampikiran lalu menciptakan penyataan mental yang jelas tentangsuatu hal yang ingin diwujudkan (Patricia & Limberg, 1998).

Petunjuk untuk tehnik distraksi atau visualisasi1.  Tentukan tujuan mental anda misalnya: hilangnya perasaan

cemas yang muncul berulang-ulang.2.  Siapkan diri anda melakukan tehnik distraksi3.  Bawa pikiran anda ke tempat istimewa seperti pantai tropis.

Biarkan diri anda menggunakan semua indra untukmenjelajahi tempat tersebut, seperti merasakan kehangatansinar matahari, mencium wangi tanaman, mendengar suaraburung, merasakan percikan air ditubuh anda dan pasiryang menggelitik jari kaki anda.

4.  Setelah merasakan tempat istimewa tadi, bayangkan

sebuah gambaran untuk mencapai tujuan. Pikiran yang rilekdapat menerima gagasan apapun.

5.  Buatlah pernyataan mental yang positif mengenai diri anda,seperti “saya merasa tenang dan terkendali”.  

6.  Pergilah perlahan-lahan dari tempat istimewa anda. Saatmembuka mata, anda akan merasa rileks dan segar.Jangan langsung bangun karena penurunan tekanan darahmungkin membuat anda pusing (Jan Clark, 2005).

Konsep TidurTidur adalah keadaan istirahat normal yang perubahan

kesadaranya terjadi secara periodik. Tidur mempunyai efekrestoratif   dan sangat penting bagi kesehatan dan kelangsunganhidup. Pada umumnya seseorang perlu tidur antara 4 sampai 9 jam selama 24 jam untuk dapat berfungsi secara normal (LindaG. Copel, 2007).

Tidur oleh Johnson dianggap sebagai salah satukebutuhan fisiologis dasar manusia. Tidur terjadi secara alami,dengan fungsi fisiologis dan psikologis yang melekat merupakansuatu proses perbaikan tubuh.

Page 7: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 7/49

Page 8: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 8/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

1)   Ajarkan keluarga perihal gangguan tidur, pola tidurbangun yang sehat, perlunya rutinitas waktu tidur danvariabel lingkungan yang menghalangi danmeningkatkan tidur.

2)  Dorong anggota keluarga untuk merencanakanbebagai peristiwa penting di sekitar waktukewaspadaan optimal klien.

3) 

Diskusikan penurunan waktu tidur berlebihanmempengaruhi kemampuan klien untukmempertahankan fungsi kesehariannya, mengatasistressor setiap hari, mengambil keputusan dan merasapositif tentang dirinya sendiri.

4)  Monitor pola tidur yang berfungsi untuk memberiinformasi tentang kecenderungan klien mengalamidepresi, mania, atau masalah kesehatan lainnya.

5)  Identifikasi mimpi dimana mimpi buruk dapatdihubungkan dengan beberapa gangguan tidur danbagaimana semua itu dapat memberi pengaruh negatifpada kesejahteraan seseorang.

6)  Ceritakan pada anggota keluarga bagaimanamembantu klien menggunakan metode evaluasi untukmengkaji gangguan tidur.

7)  Bersama keluarga mengidentifikasi semua stressordan membuat cara- cara untuk mengatasi ataumengubah situasi yang memberi pengaruh negatifpada tidur klien.

8)  Bantu keluarga untuk mengkomunikasikan masalahtidur secara efektif tanpa menyalahkan orang yangmengalaminya.

9)  Diskusikan perlunya mencegah klien agar tidak ragumembedakan antara periode aktifitas berlebih(hiperaktif) dan periode kurang aktif.

10)  Dorong anggota keluarga untuk mengidentifikasibagaimana kesulitan tidur dapat mempengaruhi setiaporang dan secara buruk menghilangkan kuantitas tidurbeberapa orang.

11)  Diskusikan dengan keluarga bagaimana perubahan

gaya hidup lebih berpeluang terjadi jika masing-masing anggota keluarga turut berpatisipasi dalamproses perubahan tersebut.

12)  Bantu anggota keluarga mengidentifikasi danmembangun kekuatan mereka dan juga kekuatanklien.

13)  Kuatkan penggunaan keterampilan penyelesaianmasalah dalam keluarga.

14)   Anjurkan pada keluarga untuk mendorong klienmencari bantuan jika diperlukan untuk mengatasimasalah tidurnya.

15)  Buat rujukan pada kelompok swabantu atau kelompokpendukung j ika diperlukan.

2.1  Konsep lansia

a.  Definisi lansiaMengikuti definisi secara umum, dikatakan lansia apabila

usianya 65  tahun ke atas (Setianto, 2004). Lansia bukan suatupenyakit, namun merupakan suatu tahap lanjut dari suatu proseskehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuhuntuk beradaptasi dengan stess lingkungan. Lansia adalahkeadaan yang ditandai oleh kegagalan dari seseorangmempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologik(Pujiastuti, 2003). Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan

daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaansecara individual (Darmojo R Boedhi, 2001).

Berikut adalah batasan lansia (Wahyudi Nugroho, 2000):1.  Menurut WHO (World Health Organization)

1)  Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun.2)  Lansia (elderly ) : 60-74

tahun.3)  Lansia tua (old ) : 75-90tahun.

4)  Usia sangat tua (very old ) : diatas 90tahun;

2.  Menurut UU No.13 th 1998Dalam BAB 1 pasal 1 ayat 2 berbunyi “lanjut usia adalahseseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahunkeatas”. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan meliputi:1.  Hereditas (keturunan/genetik)2.  Nutrisi (makanan)3.  Status kesehatan

4.  Pengalaman hidup5.  Lingkungan6.  Stress

Perubahan yang terjadi pada lansia

Menjadi tua bukanlah menjadi sakit, tetapi suatu prosesperubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuanberadaptasi menjadi berkurang, dimana sering dikenal denganGeriatric Giant.1.  Imobilitas

Imobilitas merupakan masalah yang sering dijumpai padalansia akibat berbagai masalah fisik, psikologis danlingkungan yang dialami mereka. Penyebab terseringadalah gangguan musculoskeletal, neurologi, dan

kardiovaskuler. Penyakit sendi generatif, osteoporosis, danfraktur pinggul merupakan masalah tersering menyebabkanimobilitas pada lansia (Czeresna H. Soejono, 2001).

2.  Instabilitas (mudah jatuh)Jatuh seringkali dialami lansia beberapa faktor yangberperan di dalamnya antara lain faktor intrinsik pada lansiaseperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ektrimitasbawah, serta faktor ekstrinsik seperti lantai licin dan tidakrata, tersandung benda-banda, penglihatan kurang karenacahaya kurang terang dan sebagainya (Darmojo B, 2004).

3.  Intelektualitas terhambat (demensia)Demensia sering terdapat pada lansia karena pembuluhdarah otak pada lansia menderita arteriosklerosis(penebalan pembuluh darah). Gejala yang tampak berupagangguan ingatan, bingung, kacau dan gelisah (Oeswari,1997).

4.  Isolasi (depresi)Depresi merupakan suatu perasaan sedih dan pesimis yangberhubungan dengan suatu penderitaan. Pada lansiadimana stres lingkungan sering menyebabkan depresi dankemampuan beradaptasi sudah menurun (WahyudiNugroho, 2000)

5.  InkontinensiaInkontinensia merupakan salah satu keluhan utama padalansia. Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin atau

Page 9: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 9/49

Page 10: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 10/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

q = I-P (0,5)

Zα = Harga kurva normal yang tergantung dari harga alpha (α)

(1,96)

N = Besar unit populasi

d = Derajat kepercayaan = 5% = 0,05

N . Za2 . p . qn =

d2 . (N-1) + Za2 . p . q

20 x (1,96)2 . (0,5) (0,5)n =

(0.05)2. (19) + (1,96)2. (0,5) (0,5)

19,208n = = 19,0574462

1,0079

n = 19

Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 19 orang.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan simple random sampling   yaitu pengambilan sampel dengan cara acak tanpamemperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi (A. Aziz Alimul, 2003).

Variabel Univariet

Variabel merupakan konsep dari berbagai konsep dari berbagailevel dari abstrak yang didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk

pengukuran atau manipulasi suatu penelitian

Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi operasional penelitian perbedaan pemenuhankebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudahdiberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansiaDi Karang Werdha Meidina Bangkalan.

Variabel

DefinisiOperasional

ParameterAlatUkur

Skala Krit

VariabelUnivariet:pemenuhankebutuhan istirahattidur

Suatu kebutuhandasar manusiayang secarafisiologis danpsikologis bergunauntuk perbaikantubuh danmerupakankeadaan istirahatnormal yangperubahankesadarannya

terjadi secaraperiodik .

Frekuensi tidur >4 jam, tidak terjagasaat tidur, perasaansegar saat banguntidur, tidak sulituntuk memulai tidur,bangun tidur tidakterlalu dini di pagihari, dapatberkonsentrasidengan baik, tidakmengantuk

berlebihan saatsiang, tidakmengalami depresidan kecemasan.

kuesioner

ordinal 1. ku(<55%2. cu(56%75%)3. ba(76%100%

Jenisperlakuan: Terapirelaksasi

TerapiDistraksi

- Salah satu jenisterapi yangdiberikan padapasien dalampemenuhanistirahat kebutuhantidur yangdilakukan dengancaramengendurkanotot-otot denganlatihan pernafasan.- Salah satu jenisterapi yangdiberikan padapasien dalampemenuhankebutuhan istirahattidur yangdilakukan denganmenciptakan kesanistimewapemandanganalam dalam pikiran.

Frekuensi kehadiranlansia pada tiapkegiatan terapirelaksasi dandistraksi yangdilakukan setiapsatu kali semingguselama 30 menitdalam 1 bulan.

Pengumpulan dan Pengolahan Data

1.  Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat bantu yang dipilih dan digunakanoleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agarkegiatan tersebut menjadi sistematis dan lebih mudah (Arikunto,2006). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalahkuesioner yang di berikan pada lansia yang ada di KarangWerdha Meidina Bangkalan.

1.  Lokasi dan Waktu Penelitian

Page 11: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 11/49

Page 12: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 12/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

2.  Pemberian terapi relaksasi dan distraksi pada lansia olehpeneliti sangat singkat.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian akan diuji dalam dua bagian meliputi data

umum dan data khusus. Data umum berupa gambaran umumlokasi penelitian dan karakteristik lansia yang meliputi jeniskelamin, usia, tingkat pendidikan, riwayat pekerjaan, dan statusperkawinan lansia. Data khusus berupa pemenuhan kebutuhanistirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dandistraksi pada lansia yang disajikan dalam bentuk distribusifrekuensi.

Data umumKarang Werdha Meidina berada di kabupaten

Bangkalan tepatnya di jalan kemayoran. Dengan batasan sebagaiberikut:Sebelah barat : Jalan rayaSebelah timur : Rumah pendudukSebelah selatan : Jalan raya

Sebelah utara : Rumah penduduk

1.  Karakteristik lansia berdasarkan jenis kelaminTabel 1. Distribusi frekuensi lansia berdasarkan jenis kelamin

lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni2009

No Jenis kelamin Frekuensi Persentase(%)

1 Laki-laki 7 36,8

2 Perempuan 12 63,2

Jumlah 19 100

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa

lansia yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 12 orang(63,2%) dan lansia yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 7orang (36,8%).5.1.1  Karakteristik lansia berdasarkan tingkat pendidikan lansiaTabel 2 Distribusi frekuensi lansia berdasarkan tingkat pendidikan

lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni2009

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwalansia yang tidak sekolah sebanyak 0 (0%), lansia yang tingkatpendidikannya SD sebanyak 1 orang (5,3%), lansia yang tingkatpendidikannya SMP sebanyak 5 orang (26,3%), lansia yangtingkat pendidikannya SMA sebanyak 8 orang (42,1%), dan lansiayang tingkat pendidikannya perguruan tinggi sebanyak 5 orang(26,3%).

3.  Karakteristik lansia berdasarkan riwayat pekerjaan lansia

Tabel 3 Distribusi frekuensi lansia berdasarkan pekerjaan lansiadi Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni 2009

No Pekerjaan FrekuensiPersentase -

(%)1 Tidak bekerja 3 15,8

2 Pensiunan 16 84,23 Wiraswasta/swasta 0 0

Jumlah 19 100

Berdasarkan tabel 3 di atas diketahui bahwa lansiayang tidak bekerja sebanyak 3 orang (15,8%), lansia yangpensiunan sebanyak 16 orang (84,2%), lansia yang pekerjaannyaberwiraswasta sebanyak 0 orang (0%) dan lansia yang swastasebanyak 0 orang (0%).

1.  Karakteristik lansia berdasarkan status perkawinanTabel 4 Distribusi frekuensi lansia berdasarkan status perkawinan

lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni 2009

No

Status

perkawinan Frekuensi

Persentase

(%)1 Tidak kawin 0 0

2 Kawin 11 57,9

3 Janda/duda 8 42,1

Jumlah 19 100

Berdasarkan tabel 4 di atas  diketahui bahwa lansiayang tidak kawin sebanyak 0 orang (0%), lansia yang kawinsebanyak 11 orang (57,9%), dan lansia yang janda/dudasebanyak 6 orang (42,1%).

Data khususBerdasarkan hasil penelitian tentang pemenuhan

kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi

relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha MeidinaBangkalan didapatkan data sebagai berikut.

1.  Karaktristik lansia berdasarkan tingkat pemenuhankebutuhan istirahat tidur sebelum di beri terapi relaksasi dandistraksi.

Tabel 5 Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pemenuhankebutuhan istirahat tidur lansia sebelum diberi terapirelaksasi dan distraksi di Karang Werdha MeidinaBangkalan Juni 2009

No

Tingkatpemenuhankebutuhan

istirahat tidur

FrekuensiPersentase

(%)

1 Baik 4 21,12 Cukup 9 47,43 Kurang 6 31,5

Jumlah 20 100

Berdasarkan tabel 5 di atas diketahui tingkat pemenuhankebutuhan tidur lansia sebelum diberi terapi relaksasi dandistraksi adalah lansia yang tigkat pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya baik berjumlah 4 orang (21,1%), lansia yang tingkatpemenuhan kebutuhan tidurnya cukup 9 orang (47,4%), dan

No Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

1 Tidak sekolah 0 02 SD 1 5,33 SMP 5 26,34 SMA 8 42,15 Perguruan tinggi 5 26,3

Jumlah 19 100

Page 13: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 13/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

lansia yang tingkat pemenuhan kebutuhan tidurnya kurangberjumlah 6 orang (31,5%).

2.  Karakteristik lansia berdasarkan tingkat pemenuhankebutuhan istirahat tidur setelah diberi terapi relaksasi dandistraksi.

Tabel 6 Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pemenuhankebutuhan istirahat tidur lansia sesudah diberi terapirelaksasi dan distraksi di Karang Werdha MeidinaBangkalan Juni 2009

No

Tingkatpemenuhankebutuhan

istirahat tidur

FrekuensiPersentase

(%)

1 Baik 6 31,5

2 Cukup 12 63,2

3 Kurang 1 5,3

Jumlah 19 100

Berdasarkan tabel 6 di atas diketahui tingkat pemenuhan

kebutuhan tidur lansia sebelum diberi terapi relaksasi dandistraksi adalah lansia yang tingkat pemenuhan kebutuhanistirahat tidurnya baik berjumlah 6 orang (31,5%), lansia yangtingkat pemenuhan kebutuhan tidurnya cukup 13 orang (63,2%),dan lansia yang tingkat pemenuhan kebutuhan tidurnya kurangberjumlah 1 orang (5,2%).2.   Analisis perbedaan tingkat pemenuhan kebutuhan

istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terap relaksasidan distraksi

Tabel 7 Tabel perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidursebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksidi Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni 2009

No

TerapiRelaksasi

danDistraksi

Pemenuhan Kebutuhan Istirahat TidurTotal

Cukup Kurang

∑  % ∑  % ∑  % ∑  %

1 Sebelum 421,1

9 47,4 6 31,5 19 100

2 Sesudah 631,5

12

63,2 1 5,3 19 100

Dari tabel 7 tabel perbedaan antara pemenuhan kebutuhanistirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dandistraksi didapatkan bahwa sebelum diberi terapi relaksasi dandistraksi ditemukan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya kurang sebanyak 6 lansia (31,5%), lansia yangpemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebanyak 9orang (47,4%), dan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat

tidurnya baik sebanyak 4 orang (21,1%). Sedangkan pemenuhankebutuhan istirahat tidur lansia setelah diberi terapi relaksasi dandistraksi ditemukan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya kurang sebanyak 1 lansia (5,3%), lansia yangpemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebanyak 12orang (63,2%), dan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya baik sebanyak 6 orang (31,5%). Dari pernyataan inidapat diketahui bahwa ada peningkatan pemenuhan kebutuhanistirahat tidur pada lansia sesudah diberi terapi relaksasi dandistrakasi yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah lansiayang pemenuhan kebutuhan istirahat tidur yang baik dan cukup

dan menurunnya jumlah lansia yang pemenuhan kebutuhanistirahat tidur sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi.

Kemudian dilakukan uji statistik dengan menggunakanwilcoxon sign rank test diperoleh nilai probability p lebih kecil daritaraf signifikan yang diharapkan (p=0,020). Dimana p<0,05(0,020<0,05) Berarti Ho ditolak dan HI diterima ini berarti adaperbedaan dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum

dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia.

PEMBAHASAN

Setelah hasil pengumpulan data diproses maka didapatkangambaran bahwa terdapat perbedaan tingkat pemenuhankebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapirelaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha MeidinaBangkalan. Adapun pembahasan dari hasil penelitian adalahsebagai berikut:

Gambaran tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidursebelum diberi terapi relaksasi dan distraksi

Berdasarkan hasil penelitian di Karang Werdha Meidina

Bangkalan menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan istirahattidur pada lansia sebelum diberi terapi relaksasi dan distraksihampir setengahnya (47,4%) sudah cukup terpenuhi dan hampirsepertiganya (31,5%) yang pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya kurang. Namun hanya sebagian kecil (21,1%) yangpemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya baik. Rendahnya tingkatpemenuhan kebutuhan tidur yang baik pada lansia di KarangWerdha Meidina Bangkalan disebabkan kerena proses patologisterkait usia dimana lansia lebih mudah terserang penyakit karenafungsi-fungsi tubuh pada lansia mengalami penurunan sehinggaselama proses penuaan juga terjadi perubahan pada pola tiduryang membedakan dari usia muda. Menurut Jonson (2005) lansiaberisiko tinggi mengalami penurunan terhadap pemenuhankebutuhan istirahat tidur hingga terjadi gangguan tidur. Keadaanini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya faktor jenis

kelamin. Dimana sebagian besar lansia yang ada di KarangWerdha Meidina Bangkalan berjenis kelamin perempuan yaitu63,2% (12 orang) sedangkan yang berjenis kelamin laki-lakihanya sebagian kecil yaitu 36,8% (7 orang). Seorang perempuandalam bertindak lebih banyak menggunakan perasaan dan emosidari pada laki-laki sehingga perempuan lebih cenderung untukmengalami stress yang pada akhirnya akan mengganggupemenuhan kebutuhan istirahat tidur seseorang. Pernyataan diatas juga di dukung oleh Imam musbikin (2005) yang menyatakanpemenuhan kebutuhan istirahat tidur dipengaruhi oleh jeniskelamin seseorang, dimana sebagian besar gangguan tidur yangterjadi pada seseorang yang berjenis kelamin perempuan.

Penurunan aktifitas pada lansia yang biasa dilakukansebelumnya juga dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhanistirahat tidur lansia. Di Karang Werdha Meidina Bangkalansebagian besar lansia adalah pensiunan (84,2%) dan tidakbekerja (15,8%), keadaan yang seperti ini dapat meningkatkanangka kecemesan seseorang. Pada lansia yang pensiunan akantimbul perasaan diasingkan oleh keluarga dan masyarakat karenasudah dianggap tidak berguna lagi dengan keterbatasan fisikyang dialami lansia akibatnya lansia mengalami kecemasan dankesedian yang mendalam. Cemas dan depresi akanmenyebabakan gangguan pada frekuensi tidur. Hal inidisebabkan karena pada kondisi cemas akan meningkatkannorepinefrin darah melalui sistem syaraf simpatik. Zat ini akan

Page 14: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 14/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

mengurangi tahap IV NREM dan REM (Asmadi, 2008).Pernyataan ini juga didukung oleh pendapat Perry & Potter yangmenyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhipemenuhan kebutuhan tidur seseorang antara lain: statuskesehatan, Obat-obatan dan Substansi, Usia, Gaya hidup, Stresemosional (Pensiunan, status perkawinan, kematian orang yangdicintai), Lingkungan dan diet.

Gambaran tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidursesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi

Berdasarkan hasil penelitian di Karang Werdha MeidinaBangkalan menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan istirahattidur pada lansia sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksisebagian besar pemenuhan kebutuhan tidur yang cukup 12 orang(63,2%), hampir setengahnya pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya baik berjumlah 6 orang (31,5%), dan hanya sebagiankecil lansia yang tingkat pemenuhan kebutuhan tidurnya kurangberjumlah 1 orang (5,3%). Terapi relaksasi akan membantu tubuhsegar kembali dan beregenerasi setiap hari. Karena denganterapi relaksasi dan distraksi membuat tubuh seseorang menjadirilek dan pikiran menjadi tenang. Keadaan ini juga disebabkan

karena pada terapi relaksasi terjadi pengaktifan dari syarafparasimpatis yang menstimulasi turunnya semua fungsi yangdinaikkan oleh syaraf simpatis dan menstimulasi naiknya semuafungsi yang diturunkan oleh saraf simpatis. Ketika seseorangmengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya maka terdapat ketegangan dalam otak dan otot sehinggadengan mengaktifkan saraf parasimpatis dengan tehnik relaksasidan distraksi maka secara otomatis ketegangan berkurangkeadaan ini menyebabkan seorang akan mudah untuk masukkekondisi tidur. Selain itu terapi relaksasi dapat memunculkanperasaan tenang dan rileks dimana gelombang otak mulaimelambat semakin melambat akhirnya membuat seseorangdapat beristirahat dan tidur (Setiyo & Siti Zulaekah, 2007).

Pada terapi distraksi atau visualisasi dapat membantumembawa pikiran & tubuh menuju keselarasan. Selain itu terapi

distraksi merupakan sebuah cara menyeimbangkan kehidupanyang aktif dengan rasa tenang untuk melakukan refleksi diri. Caraini juga membantu agar tidur mudah dan nyenyak. Visualisasisering disebut sebagai terowongan kereta api yang tujuannyaadalah membantu kita memusatkan diri pada masa kini danmembebaskan diri dari kekhawatiran masa lalu. Cara ini bisamenjadi sarana yang lebih efektif untuk membuka jalan menujutidur yang lelap (Kelly, 2005).

Analisis perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidursebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi

Dari tabel 6 tabel perbedaan antara pemenuhan kebutuhanistirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dandistraksi didapatkan bahwa sebelum diberi terapi relaksasi dandistraksi ditemukan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya kurang sebanyak 6 lansia (31,5%), lansia yangpemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebanyak 9orang (47,4%), dan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya baik sebanyak 4 orang (21,1%). Sedangkan pemenuhankebutuhan istirahat tidur lansia setelah diberi terapi relaksasi dandistraksi ditemukan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya baik sebanyak 6 orang (31,5%), lansia yang pemenuhankebutuhan istirahat tidurnya cukup sebanyak 12 orang (63,2%),dan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya kurang

sebanyak 1 lansia (5,3%). Dari 5 orang yang pemenuhankebutuhan istirahat tidur kurang sebelum terapi mengalamipeningkatan menjadi cukup sesudah terapi, dan 3 orang yangpemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebelum terapimengalami peningkatan menjadi baik sesudah terapi. Daripernyataan di atas dapat diketahui bahwa ada peningkatanpemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia sesudah diberi

terapi relaksasi dan distrakasi yang ditunjukkan denganmeningkatnya jumlah lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahattidur yang baik dan cukup dan menurunnya jumlah lansia yangpemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya kurang sesudah diberiterapi relaksasi dan distraksi.

Berdasarkan data tersebut juga menunjukkan bahwamasih adanya lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahattidurnya kurang setelah diberi terapi relaksasi dan distraksi inidisebabkan karena terapi relaksasi dan distraksi yang diberikankurang dipahami sehingga lansia dalam melakukan terapirelaksasi dan distraksi kurang fokus. Selain faktor di atas jumlahdan frekuensi kegiatan terapi yang kurang intensif juga dapatmempengaruhi keberhasilan dan tujuan pemberian terapirelaksasi dan distraksi.

Dari hasil uji wilcoxon sign rank test diperoleh nilai

probability  p  lebih kecil dari taraf signifikan yang di harapkan(p=0,020). Dimana p<0,05 (0,020<0,05) Berarti Ho ditolak dan HIditerima ini berarti ada perbedaan dalam pemenuhan kebutuhanistirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dandistraksi pada lansia.

 Adanya perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidursebelum dan sesudah diberi terapi relakssi dan distraksi sesuaidengan manfaat terapi relaksasi dan distraksi oleh Perry & Potter(2005) yang menyatakan manfaat terapi relaksasi dan distraksiantara lain: penurunan frekuensi nadi, penurunana tekanandarah dan pernafasan, penurunan konsumsi oksigen, penurunanketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme,peningkatan kesadaran global, perasaan damai dan sejahtera,dan menetralkan efek-efek respon stress pada tingkat fisiologis.Suasana ini diperlukan untuk mencapai gelombang alpha yaitu

suatu keadaan yang diperlukan seseorang untuk memasuki fasetidur awal.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari analisis data penelitian yang telahdilaksanakan sejak tanggal 1 Juni 2009 sampai dengan 30 Juni2009 yang berjudul “perbedaan  pemenuhan kebutuhan istirahattidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksipada lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan.” denganmenggunakan sampel sebanyak 20 orang lansia diperolehkesimpulan sebagai berikut:1.  Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia sebelum

diberi terapi relaksasi dan distraksi di Karang WerdhaMeidina Bangkalan hampir setengahnya (47,4%) sudahcukup terpenuhi.

2.  Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur setelah diberi terapirelaksasi dan distraksi sebagian besar (63,2%) cukupterpenuhi.

3.  Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia lebih baiksetelah diberikan terapi relaksasi dan distraksi. Hal inimenujukkan bahwa ada pebedaan pemenuhan kebutuhanistirahat tidur pada lansia sebelum dan sesudah diberi terapi

Page 15: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 15/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

relaksasi dan distraksi di Karang Werdha MeidinaBangkalan.” 

Saran1.  Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan adanya penelitian yang lebih lanjut tentangpemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia denganmenggunakan terapi relaksasi dan distraksi ataupun terapiyang lain pada lansia, dengan menggunakan jumlah sampelyang lebih representatif dan alat ukur yang telah terujivaliditas dan reliabilitasnya dalam permasalahan yangserupa.

2.  Bagi pelayanan keperawatanPelayanan keperawatan hendaknya lebih mampumenerapakan tehnih-tehnik keperawatan dalammemberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi masalahkesehatan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1.   Arikunto, Suharsimi (2006). Prosedur Penilitian SuatuPendekatan Praktek . Jakarta: Rienika Cipta 

2.   Arsiniati (2008). Pedoman Penyusunan Proposal Penelitiandan Penulisan Skripsi STIKES Insan Unggul Surabaya

3.   Asmadi (2008). Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.Jakarta: Salemba Medika 

4.  Carpenito, L. J (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Edisi kedelapan. Jakarta: EGC

5.  Clark, Jan (2005). Fit dan Bugar Saat Menopouse. Jakarta:EGC

6.  Copel, Linda G (2007). Kesehatan Jiwa dan PsikiatriPedoman Klinis Perawat. Jakarta: EGC

7.  Darmojo, B dan Martono, H (2000). Geriatri (Ilmu KesehatanUsia Lanjut ). Jakarta: EGC

8.  Darmojo, R Boedhi (2001). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisiketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

9.  Definite (2008). Epworth Sleeping Scale.http://www.mendengkur.com. Selasa, 18 Maret 2008. 15:16 

10. Dian (2008).  Istirahat  tidur. http://www.dianweb.org. Selasa,18 Maret 2008. 15:30

11. Doengoes, M.E,dkk (2000).  Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan PendokumentasianPerawatan Pasien. Cetakan I. Jakarta: EGC

12. Doengoes, M.E,dkk, (2006).  Rencana asuhan keperawatan psikiatri . Edisi ketiga. Jakarta: EGC

13. Erfandi (2008).  Mengkaji pemenuhan kebutuhan istirahattidur. http://puskesmas-oke.blogspot.com.  21 December

2008. 16:0014. Fajarqimi (2008). Terganggu kantuk saat tidur. http://fajarqimi.com. Minggu, 17 Februari 2008. 16:35

15. Hidayat, Alimul A. A. (2007). Riset Keperawatan dan TeknikPenulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika

16. Japardi, Iskandar (2002).  Gangguan tidur .http://library.usu.ac.id. 18 Januari 2009.

17. Kaplan dan Sadock (1997). Sinopsis Psikiatri IlmuPengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis. Edisi ketujuh. Jilid 2.Jakarta: Binaaksara

18.  Kelly, Tracey (2005). 50 Rahasia Alami Tidur yangBerkualitas. Jakarta: Erlangga

19.  Klinis (2007). Terapi Insomnia. http://klinis.wordpress.com. 16 Agustus 2007. 15:59

20.  Nevid, J.S. dan Rathus, S.A (2005).Psikologi Abnormal. Edisi kelima. Jilid 2. Jakarta: Erlangga

21.  Maramis, W.F (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.

Cetakan kesembilan. Surabaya: Airlangga University Press22.  Musbikin, Imam (2005). Kiat-Kiat Sukses Melawan Stress.Madiun: Jawara

23.  Nugroho,Wahyudi (2000). Keperawatan Gerontik . Jakarta:EGC

24.  Nurmiati, Amir (2009). Gangguan Tidur pada Lanjut Usia:Diagnosis dan Penatalaksanaanya. http://www.kalbe.co.id. 09 Februari 2009 16:54

25.  Nursalam (2003). Konsep  & Penerapan MetodologiPenelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis danInstrumen Penelitian Keperawatan. Adisi pertama. Jakarta:Salemba Medika

26.  Oeswari, E (1997). Menyongsong Usia Lanjut DenganBugar dan Bahagia. Jakarta:

27.  Sinar Harapan

28.  Patricia & limberg, (1998). Mengatasi Stress secara Positif.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

29.  Potter & Perry, (2005). Buku Ajar FundamentalKeperawatan Konsep, Proses dan Praktik.  Edisikedelapan. Jakarta: EGC

30.  Setiyo dan Siti Zulaikah (2007).  Pengaruh PelatihanRelaksasi Religius untuk Mengurangi Gangguan Insomnia.http://klinis.wordpress.com. 28 Agustus 2007. 16:00

31.  Sintia (2007). Stress Picu Insomnia. Metropolis. Kamis, 7Juni 2007. 16:15

32.  Soejono, C,H, Setiati,S, Raharjo,T,W (2000). PedomanPengelola Kesehatan Pasien Geriatri. Jakarta: FK-UI

33.  Sugiono (2005). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alphabeta

34.  Tom, A.D (2003). Buku saku psikiatri . Edisi keenam.

Jakarta: EGC35.  Weller, stella (2005). Yoga terapi. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Page 16: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 16/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASANKELUARGA PASIEN YANG DIRAWAT DI RUANG ICURSUD

SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN

1 Rodiyatun, S.Kep.Ns.,M.Pd2 Ansori

1 Dosen Stikes Insan Se Agung Bangkalan2 Mahasiswa Insan Se Agung Bangkalan

ABSTRAK

Pada umumnya pasien yang ada di unit intensif adalah dalam keadaan yang tidak berdaya, sehingga keluarga pasien datang denganwajah bermacam-macam stressor. Hal demikian terjadi karena pelaksanaan komunikasi yang tidak efektif atau kurang baik antara perawatdengan pasien dan keluarganya sehingga menyebabkan mereka sering kesulitan bekerja sama dengan perawat. Tujuan penelitian ini untukmengetahui hubungan komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga yang di rawat yang di rawat ruang ICU Syarifah AmbamiRato Ebu Bangkalan.

Desain penelitian ini yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan penelitian c ross sectional. Jenis sampling yang di gunakanadalah  probability sampling dengan tindakan sistematic sampling, jumlah populasi 27 orang keluarga pasien dengan besar sampel 22keluarga pasien. Variabel independennya adalah komunikasi perawat dan variabel dependennya adalah tingkatkecemasan keluarga. Cara pengambilan data dengan menggunakan kuesioner. Analisa data dilakukan dengan korelasi spearman.Dari hasil penelitian menggambarkan (40,9%) komunikasi parawat kurang, dengan tingkat kecemasan keluarga pasien berat yaitu (55,6). Dariuji spearman rho nilai ρ = 0,007 < derajat kemaknaan α = 0,05, menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara komunikasi perawatdengan tingkat kecemasan keluarga.

Saran yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh perawat, mampu menjalankan komunikasi dengan baik dan tepat dalammelaksanakan perannya sebagai care giver dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan menggunakan dirinya secara efektif dalammelaksanakan asuhan keperawatan profesional.

Kata kunci = komunikasi perawat, kecemasan keluarga

ABSTRACT

In general, patients in the intensive unit is in a state of helplessness, so that the patient's family came to face a variety of stressors. It sohappens because the implementation of the communication was not effective or less well among nurses with patients and their families so

that they often cause difficulties in cooperation with the nurses. The purpose of this study to determine the relationship of anxiety level ofcommunication with family caregivers who cared for the in-patient ICU room Syarifah Ambami Rato.Ebu BangkalanThis research design used is analytic approach cross-sectional study. Type of sampling used is a probability sampling with sampling

sistematic action, a population of 27 patients with a large family of 22 samples of the patient's family. The independent variable is thecommunication of nurses and the dependent variable is the level of family anxiety. How to capture data using a questionnaire. Analysis of datawas spearmen rho.

From the results of the study describes (40,9%) less parawat communication, with the level of anxiety that is severe the patient's family(55.6%). From the test spearman rho value ρ = 0.007 < significance degrees α = 0,05, showed no significant relationship between anxietylevel of communication with family caregivers

Suggestions that need to be considered and implemented by nurses, capable of running well and proper communication in carrying outits role as a care giver in the implementation of nursing care by using him effectively in the implementation of professional nursing care.

Keyword = nurse communication, family anxiet

Page 17: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 17/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

PENDAHULUANLatar Belakang

Pasien gawat darurat merupakan seseorang atau banyakorang yang mengalami suatu keadaan yang mengancam jiwanyayang memerlukan pertolongan secara cepat, tepat dan cermatyang mana bila tidak ditolong maka seseorang atau banyak orang

tersebut dapat mati atau mengalami kecacatan. Secara medispasien dengan kondisi gawat darurat membutuhkan unit layanankhusus yang menyediakan fasilitas memadai yaitu intensive careunit (ICU). Merupakan tempat atau unit tersendiri di dalam rumahsakit yang menangani pasien-pasien gawat karena penyakit,trauma atau komplikasi penyakit lain. (Hartono A, 2007)

Penanganan terhadap pasien dengan kondisi gawatdarurat, membutuhkan penanganan ektra, baik penangananmedis maupun psikologis. (Kaplan, H.I & Soddock, B. J)

Pasien yang dirawat di ICU tidak hanya membutuhkantehnologi dan terapi tapi juga memerlukan perawatan humanistikdari keluarganya. Pada umumnya pasien yang ada di unit intensifadalah dalam keadaan yang tidak berdaya, hal ini yangmenyebabkan keluarga dari pasien datang dengan wajah yangmerengus dengan bermacam-macam stressor yaitu ketakutan

akan kematian, ketidakpastian hasil, perubahan pola,kekhawatiran akan biaya perawatan, situasi dan keputusanantara hidup dan mati, rutinitas yang tidak beraturan,ketidakberdayaan untuk tetap atau selalu berada disampingorang yang disayangi sehubungan dengan peraturan kunjunganyang ketat, tidak terbiasa dengan perlengkapan atau lingkungandi ruang perawatan, personel atau staf di ruang perawatan, danrutinitas ruangan.

Penelitian Sri Asih Rusmini tahun 2002 pada RSU DorisSylvanus Palangkaraya didapatkan bahwa perilaku perawatkhususnya dalam berkomunikasi kurang baik. Juga penelitianyang dilakukan Hj. Indirawaty di RSU Haji Sukolilo Surabayabahwa bahwa 74,2 % keluarga pasien yang masuk rumah sakitmengalami kecemasan karna sikap komunikasi perawat yangtidak efektif. (Kompas, 2003).

Kecemasan disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif(Hawari, 2004). Pasien dan orang-orang terdekatnya mungkindiberi informasi dalam bentuk yang tidak keluarga pasienmengerti (istilah-istilah medis). Keluarga pasien tidak mampuuntuk cukup asertif untuk meminta penjelasan dan akibatnyacemas mereka meningkat karena kurangnya pemahaman.Cemas juga mempengaruhi kemampuan seseorang untukberkonsentrasi, rentang perhatian juga bisa sangat berkurang danmenyebabkan kurangnya kemampuan mengingat informasi.

Banyak faktor penyebab terjadinya kecemasan dalam diripasien dan keluarganya selama pasien di rumah sakit, salahsatunya adalah faktor komunikasi perawat. Keluarga akanmengalami ansietas  (cemas) dan perasaan yang tidak menentuketika anggota keluarganya mengalami sakit yang harus dirawatdi rumah sakit yang berada di ruang ICU.

Semua stressor ini menyebabkan keluarga jatuh padakondisi krisis dimana koping mekanisme yang digunakan menjaditidak efektif dan perasaan menyerah atau apatis dan kecemasanakan mendominasi perilaku keluarga. Pada saat demikianperawat kurang atau tidak dapat melaksanakan komunikasi yangefektif sehingga keluarga akan terus terpuruk dalam situasi yangdemikian dan pada akhirnya asuhan keperawatan yang kitaberikan secara komperhensif dan holistik tidak akan tercapaidengan baik (Kelliat, 1998).

Sebenarnya hal demikian tidak akan terjadi apabila sejakdari pertama kali pasien masuk ruang intensif care unit (ICU),perawat mampu memberikan pengertian dan pendekatan yangterapeutik kepada pasien dan keluarganya yang diwujudkandengan pelaksanaan komunikasi yang efektif antara perawatdengan pasien dan keluarganya berupa komunikasi terapeutik.Tapi ternyata dari beberapa riset dinyatakan bahwa komunikasi

terapeutik perawat masih kurang baik. (perry and potter 2005).Perawat harus menyadari bahwa komunikasi terapeutikadalah elemen penting dari kemampuan perawat. Sehinggaberkomunikasi yang asertif dalam praktek keperawatanprofesional sangat berpengaruh atau membantu pasien dankeluarganya dalam proses penyembuhan atau dalam memenuhikebutuhan dasarnya serta memberikan perasaan tenang tanpakecemasan selama dirawat di rumah sakit.

Disisi lain pasien dan keluarga sebagai komunikan dapatmemberikan respon atau persepsi yang obyektif terhadap nilai-nilai sikap atau ketrampilan yang ada dalam komunikasi yangditampilkan oleh perawat selama terjadinya interaksi denganpasien dan keluarganya. Evaluasi yang dibangun atas dasarpersepsi yang benar dari pasien dan keluarganya akanmembantu memperbaiki kinerja perawat dalam asuhan

keperawatan yang pada akhirnya akan meningkatkan mutupelayanan keperawatan menuju profesionalisme keperawatan.

Penggunaan komunikasi terapeutik merupakan hal yangperlu mendapat perhatian dari perawat untuk mendapatkaninformasi yang akurat dan membina hubungan saling percayapada klien dan keluarganya (Sacharin, 1996), membangun rasapercaya antara perawat dan klien dan keluarganya sangatlahberguna dalam berkomunikasi secara efektif (Ellis & Nowlis,2006).

Berdasarkan hasil wawancara langsung peneliti dengan 4orang (2,2%) keluarga dari klien yang dirawat di Ruang ICURSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan pada tanggal 17 januari 2011, menunjukan bahwa ketika melakukan tindakan,perawat tidak selalu mengajak keluarga dari klien untukberkomunikasi. Wawancara langsung peneliti dengan kepala

ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu bangkalan dariobservasi yang peneliti lakukan terhadap 3 orang (1,7%) perawatdidapatkan keterangan bahwa komunikasi terhadap keluargasudah dilakukan perawat dalam melayani klien dan keluarganya,tetapi hasil penelitian atau evaluasi yang berkaitan dengankomunikasi untuk menurunkan kecemasan terhadap keluargaklien belum pernah dilakukan.

Berdasarkan pemikiran dan fenomena di atas, makapenulis tertarik untuk meneliti hubungan antara komunikasiperawat dengan tingkat kecemasan keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapatdirumuskan permasalahan sebagai berikut Apakah adaHubungan antara komunikasi perawat dengan tingkat kecemasankeluarga pasien yang dirawat di ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu.

Page 18: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 18/49

Page 19: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 19/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan,kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan hargadiri, kegagalan pertahanan, perasaan terisolasi (Hudak dan Gallo,1999).

Penyebab Kecemasan1. Faktor Predisposisi

Menurut Stuart & Sundeen (1998), beberapa teori yangmengemukakan faktor predisposisi (pendukung) terjadinyakecemasan antara lain :

a.  Teori psikoanalitikKecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi

antara 2 elemen kepribadian yaitu Id dan super ego. Idmelambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super egomencerminkan hati nurani seseorang, sedangkan ego atau akudigambarkan sebagai mediator dari tuntutan Id dan super ego.Kecemasan berfungsi untuk memperingatkan ego tentang suatubahaya yang perlu diatasi.

b.  Teori interpersonalKecemasan terjadi dari ketakutan dan penolakan

interpersonal, hal ini digabungkan dengan trauma pada masapertumbuhan seperti kehilangan atau perpisahan yang

menyebabkan seseorang tidak berdaya. Individu yangmempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untukmengalami kecemasan berat.

c.  Teori behavior (perilaku)Kecemasan merupakan hasil frustasi segala sesuatu yang

mengganggu kemampuan untuk mencapai tujuan yang diingikan.Para ahli prilaku menganggap kecemasan merupakan suatudorongan yang mempelajari berdasarkan keinginan untukmenghindari rasa sakit. Pakar teori meyakini bahwa bila padaawal kehidupan dihadapkan pada rasa takut yang berlebihanmaka akan menunjukkan kecemasan yang berat pada masadewasanya.

d. Kajian keluargaGangguan kecemasan dapat terjadi dan timbul secara

nyata dalam keluarga, biasanya tumpang tindih antara gangguan

cemas dan depresi.e. Kajian biologis

Kajian biologi menunjukkan bahwa otak mengandungreseptor spesifik untuk benzodiasepin. Reseptor ini mungkinmempengaruhi kecemasan.

2. Faktor Presipitasia.  Faktor internal

Menurut Soewardi (1997), kemampuan individudalam merespon terhadap penyebab kecemasanditentukan oleh :

a.  Potensi stresorStresor psikososial merupakan setiap keadaan atau

peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupanseseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakanadaptasi.

 b.  MaturitasIndividu yang memiliki kematangan kepribadian lebih

sukar mengalami gangguan cemas. Karena individu yangmatur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadapkecemasan.

c.  Keadaan fisik

Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperticedera akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebihmudah mengalami kecemasan.

d.  Lingkungan dan situasiSeseorang yang berada pada suatu lingkungan yang

asing ternyata lebih mudah mengalami kecemasan dibandingberada pada lingkungan yang biasa ia tempati.

e.  Pendidikan dan status ekonomiTingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah

pada seseorang akan memudahkan orang tersebutmengalami kecemasan. Tingkat pendidikan dan pengetahuanindividu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir,semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudahberfikir secara rasional dan menangkap informasi, termasukdalam menguraikan masalah yang baru.

 b.  Faktor eksternal

a.   Ancaman integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologisatau gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, traumafisik, pembedahan yang akan dilakukan).

b.   Ancaman konsep diri antara lain : ancaman terhadapidentitas diri, harga diri, dan hubungan interpersonal,kehilangan serta perubahan status atau peran (Stuart &Sundeen, 1998).

Konsep Komunikasi

Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan(stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak(non verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain(Notoatmodjo, 2003).

Komunikasi adalah peristiwa sosial, peristiwa yangterjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain(Rakhmat, 2007).

Komunikasi merupakan alat yang efektif untukmempengaruhi tingkah laku manusia, sehingga komunikasi

dikembangkan dan dipelihara terus-menerus. Ada empat alasanyang mengharuskan orang untuk berkomunikasi yaitu :1.  Mengurangi ketidakpastian

Ketidakpastian dapat terletak pada seluruh kehidupan,segala rencana dan perkiraan yang kadang begitu saja mudahberubah. Dalam hal ini alat yang ampuh untuk mengatasiketidakpastian adalah dengan komunikasi.2.  Memperoleh informasi

Informasi sebagai salah satu pendukung berhasil tidaknyakebutuhan manusia dan mutlak  diperlukan agar dapat bergauldalam lingkungan masyarakat.

3.  Menguatkan keyakinanDengan diperolehnya informasi sebaai hasil dari

komunikasi akan menguatkan keyakinan untuk melangkahmencapai tjuan yang diharapkan.4.  Pengungkapan perasaan

Melalui komunikasi dapat diungkapkan perasaan senangatau tidak terhadap orang lain atau sekelompok orang sehinggaterdapat koreksi bagi orang lain dan diharapkan terjadi hubunganharmonis terhadap manusia.

 Ada 3 (tiga) macam komunikasi (Kariyoso, 1994) :1.  Komunikasi searah

Page 20: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 20/49

Page 21: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 21/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

27 x 1,96 2  x 0,5 x 0,5n =

0,10 2 x (27-1) + 1,96 2  x 0,5 x 0,5

25,93n = = 21,25 

1,22n = 22

Cara pemilihan Sampel (sampling)Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi

untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2008). Dalampenelitian ini menggunakan Probability  Sampling , SystematicSampling yaitu pengambilan secara sistematik dapat dilakukan jika tersedia daftar subjek yang dibutuhkan.. (Heriyanto B, 2010)

Definisi operasional

Tabel Operasional Hubungan antara Komunikasi Perawat

Dengan Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien yang Dirawat di

Ruang ICURS

Jenis

Variabel

Definisi

Operasional

Parameter Alat

Ukur

Kriteria Skala

Ukur

Komunikasiperawat

Prosespenyampaian pesandariperawatkepadakeluargapasienyangdirawat diruang ICU

Komunikasi perawatmeliputi 3 item yaitu:1.  Sikap perawat

dalamkomunikasi

2.  Tehnikkomunikasiperawat

3.  Tahapankomunikasiperawat

Kuesioner

Terdiri dari15pertanyaan:

1.  Baik:13-15

2.  Cukup :8-12

3.  Kurang :

< 7

Ordina

Kecemasankeluar ga

PerasaankhawatiryangDi alamikeluargapasienyang dirawat diruang ICU

Meliputi 14 item:1.  Perasaan cemas2.  Ketergangan3.  Ketakutan4.  Gangguan tidur5.  Gangguan

kecerdasan6.  Persaan depresi7.  Gejala somatik8.  Gejala sensorik9.  Gejala sensorik10.  Gejala

pernafasan11.  Gejala gastro

inestinal

12.  Gejalaurogenital

13.  Gejalavegetatif atauotonom

14.  Tingkah laku(sikap) padawawancara.

KuesionerDenganskalaHARS

.  Cemasringan

 jika skor6-14

.  Cemassedang

 jika skor15-27

.  Cemasberat,

 jika skor> 27

Ordina

Page 22: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 22/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

Sumber data dan Instrumen Penelitian

Sumber dataData yang di peroleh dengan teknik wawancara

menggunakan acuan kuisoner dengan responden pada keluargapasien yang di rawat di ruang ICU.

Instrument Penelitian.Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalahkuesioner yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakanuntuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporantentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2006).

Pengolahan DataPengolahan data merupakan suatu proses dalam

memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan denganmenggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu. Adapunlangkah-langkah dalam melakukan pengolahan data yaitu:

1.  Editing  (Pemeriksaan Data)Editing adalah proses pengecekan atau pengoreksian

data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang

dimasukkan (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis danmeragukan. Tujuan editing adalah untuk menghilangkankesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapanganatau bersifat koreksi.2  Coding  (Pemberian Kode)

Merupakan kegiatan untuk merubah data berbentukhuruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan.

1)  Komunikasi perawatBaik : 1Cukup : 2Kurang : 3

2)  Kecemasan keluargaCemas ringan : 1Cemas sedang : 2Cemas berat : 3

3. ScoringPemberian scoring dilakukan untuk variable independent

dan variable dependent dengan langkah peneliti melakukanobservasi

Untuk menentukan kategori komunikasi digunakankuesioner dengan 15 pertanyaan, jika dijawab ya skor 1, tidakskor 0, selanjutnya di kategorikan sebagai berikut:

Baik : nilai yang di capai 70% - 100%Cukup : nilai yang di capai 56% - 70%Kurang : nilai yang di capai < 55%

Sedangkan untuk kategori kecemasan menggunakan kuesionerHARS

Score 6-14 : kecemasan RinganScore 15-27 : kecemasan SedangScore >27 : kecemasan Berat

4.  TabulatingKegiatan memasukkan data hasil penelitian ke dalam tabel

kemudian diolah dengan bantuan komputer.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan di uraikan tentang hasil penelitiandan pembahasan sesuai dengan tujuan yang di tetepkan, di mulaidari gambaran tempat penelitian, kemudian data umum tentangkarakteristik responden yang meliputi jenis kelamin keluarga, usiakeluarga, pendidikan keluarga, pekerjaan keluarga, dan data

khusus yang meliputi kecemasan keluarga dan komunikasiperawat, serta hubungan antara variabel independent(kecemasan keluarga) dengan dependen (komunikasi perawat).Dan selain itu akan akan di uraikan pembahasannya.

HASIL PENELITIANGambaran tempat penelitian1. lokasi Penelitian

Lokasi pada penelitian ini di laksanakan di Ruang ICURSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan yang terletak disamping IRNA B.2. Fasilitas

Di ruang ICU terdapat 1 kamar untuk pasien dengankapasitas 5 Bed medical, 1 ruang untuk perawatan dengan 1kamar mandi, tiap tempat tidur dilengkapi dengan ventilator dan

monitor pasien dengan 1 parameter, terdapat meja untukkonsultasi dokter. Di ruangan tersebut tidak terdapat ruangtunggu untuk keluarga pasien sehingga keluarga pasienmenunggunya di ruangan yang lainya.3. Sumber Daya Manusia

Di ruangan tersebut terdapat tenaga perawat sebanyak9 oarang perawat dengan pendidikan terakhir S1 sebanyak 5orang, D3 sebanyak 4 orang, dan SMA/SPK sebanyak 2 orang.4. jenis pasien yang di rawat

Jenis pasien yang masuk ICU adalah pasien yangkedaanya terancam jiwanya sewaktu waktu karena kegagalanatau disfungsi satu atau multiple organ atau sistem dan masihada kemungkinan dapat di sembuhkan kembali melaluikeperawatan, pemantauan dan pengobatan intensif.

Pasien yang ada di rungan tersebut kebanyakan

kiriman dari ruangan yang lainya, baik dari rawat inap maupunlangsung dari IRD, pasien yang yang di kirim harus di setujui olehdokter dari runagan yang telah mengirimnya dan pasienya harusmengalami kritis.

Data KhususDi dalam poin ini akan menjelaskan tentang data

khusus responden yang meliputi variabel Independen (KomuniasiPerawat) dan variabel Dependen (Kecemasan Keluarga.)1.  Komunikasi Perawat

Tabel 1 : Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Komunikasi Perawatdi Ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato EbuBangkalan tahun 2011

Komunikasi perawat Frekuensi Persentase(%)

Baik 6 orang 27,3

Cukup 7 orang 31,1

Kurang 9 orang 40,9

Total 22 orang 100

Berdasarkan tabel 1 di atas dari 22 orang rata-rataresponden mengatakan komunikasi perawat adalah kurang yaitusebanyak 9 orang (40,9%).

Page 23: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 23/49

Page 24: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 24/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

Kedekatan anggota keluarga wanita (ibu,istri dananak) terbentuk dari komunikasi intens dengan anggota keluargalainya. Dalam proses komunikasi tersebut sejatinya merupakankomunikasi psikologis yang sangat menguntungkan dalamkeharmonisan keluarga. Oleh sebab itu apabila ada salah satuanggota keluarga yang mengalami musibah atau sakit, makaanggota keluarga yang paling merasa cemas adalah anggota

keluarga wanita terutama istri dan ibu. Hal ini terlihat darikeluarga pasien di ruang ICU yang telah disinggung di atas(Kartini Kartono, 2009).

Peran seorang ibu atau istri dalam membinakedekatan antar sesama anggota keluarga sangat penting karenaseorang ibu mempunyai dua modal unsur psikologis dalammenjaga kedekatan dalam keluarga yaitu ; narsisme danmesochisme. Narsisme merupakan bentuk psikologis wanita yangmenggambarkan bahwa seorang wanita membutuhkan perhatiandan perlindungan dari orang lain (anggota keluarga yang lain).Sedangkan Mesochisme merupakan sikap mental seorang wanitayang ingin mencintai sehingga rasa cinta yang ada dalam dirinyamelebihi cintanya pada dirinya. Hal ini bermamfaat dalammembina hubungan keluarga yang didasari rasa cinta mendalamseorang wanita (ibu, istri dan anak) (Kartini Kartono, 2009).

Hubungan Komunikasi Perawat Dengan Tingkat KecemasanKeluarga

Berdasarkan hasil tabulasi silang sesuai tabel 5.7 di atasdiketahui bahwa dari 6 keluarga pasien (27,3%) yangmengatakan komunikasi perawat baik, mengalami kecemasanringan yaitu sebanyak 4 keluarga pasien (66,7%). Sedangkan dari9 keluarga pasien (40,9%) yang mengatakan komunikasi parawatkurang, mengalami kecemasan berat yaitu sebayak 5 keluargapasien (55,6).

Hasil uji korelasi Spearmant dengan nilai α = 0,05 didapatkan hasil ρ = 0,007. Dimana ρ = 0,007 < nilai α = 0,05menunjukan bahwa Ho di tolak dan H1 di terima yang berarti “AdaHubungan antara Komunikasi Perawat Dengan TingkatKecemasan Keluarga Pasien yang Dirawat di Ruang ICU RSUD

Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan”. Dari data di atas menandakan bahwa komunikasi yang

dilakukan perawat mempengaruhi kecemasan keluarga pasienyang dirawat di ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato EbuBangkalan. Komunikasi disini dikaitkan dengan pemberianinformasi tentang keadaan pasien yang dirawat dengan adanyainformasi tersebut cukup membuat kecemasan keluarga yangada.

Komunikasi mempengaruhi tingkat kecemasan keluargapada pasien yang dirawat di ruang ICU, hal ini disebabkan karenakeluarga sangat membutuhkan adanya informasi dan penjelasantentang keadaan anggota keluarganya yang sedang terbaring dandirawat di ruang ICU. Selama pasien dirawat di ruang ICU,keluarga sangat membutuhkan informasi dan bantuan dariperawat untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan pasien. Apabilakeluarga tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkankemungkinan kecemasan akan meningkat.

Pemberian informasi dan penejelasan ini dapat dilakukandengan baik apabila didukung oleh pelaksanaan komunikasiperawat yang efektif yaitu untuk menyampaikan informasi tentangkeadaan pasien sesuai dengan wewenangnya sehinggakecemasan yang dialami oleh keluarga pasien dapat diturunkanyaitu dengan keluarga mengetahui bagaimana keadaan anggotakeluarganya yang terbaring di ruang ICU sehingga asuhankeperawatan kepada individu, keluarga dan masyarakat dapat

terlaksana dengan baik sebagaimana pasien tidak hanyamembutuhkan pengobatan dan terapi tapi juga membutuhkanperawatan dari keluarga dan orang-orang terdekat yangmenyayangi mereka.

Peristiwa masuk rumah sakit itu sendiri sudahmenyebabkan kecemasan dan paling sering disebabkan karenakomunikasi yang tidak efektif. Pasien dan orang-orang

terdekatnya mungkin telah diberi informasi tetapi dalam bentukyang tidak mereka mengerti (istilah-istilah medis). Mereka tidakmampu untuk cukup asertif untuk meminta penjelasan danakibatnya cemas mereka meningkat karena kurangnyapemahaman terhadap informasi yang diberikan perawat tentangkeadaan anggota keluarga yang sakit. Cemas jugamempengaruhi kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi;rentang perhatian juga bisa sangat berkurang dan menyebabkankurangnya kemampuan mengingat informasi (Ellis, 1999).

Ketakutan dan rasa cemas dihubungkan dengankurangnya infomasi mengenai prosedur dan pengobatan atautidak familiar dengan peraturan rumah sakit (Nursalam, 2005).Bila orang berada dalam keadaan yang mencemasakan atauharus memikul tekanan emosional, ia akan menginginkankehadiran orang lain. Keuntungan komunikasi dalam tatap muka

yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secaralangsung. Ketika perawat memberikan informasi tentang diri, ide,nilai, perasaan dan sikapnya sendiri untuk memfasilitasikerjasama, proses belajar, atau dukungan klien ditemukan bahwapeningkatan keterbukaan melalui komunikasi antara perawat-klien-keluarga menurunkan tingkat kecemasan (Purba, 2006).

Dalam memberikan informasi/ komunikasi yang tepattentang situasi dapat menurunkan cemas akibat hubungan yangasing antara perawat dengan klien serta dapat membantu klienatau orang terdekatnya untuk menerima situasi secara nyata(Rahma, 2000). Perawat yang berhubungan langsung denganklien selama 24 jam berperan penting dalam pemberian informasiyang dibutuhkan klien. Dalam berhubungan tersebut perawatharus mempunyai keterampilan komunikasi sehingga interaksiakan berdampak positif bagi klien dan keluarga.

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapatdisimpulkan sebagai berikut :1.  Sebanyak 9 orang keluarga pasien (40,9%) dari 22 keluaga

pasien mengatakan komunikasi perawat di ruang ICURSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan adalahkurang.

2.  Sebanyak 8 orang keluarga pasien (36,4%) dari 22 orangresponden mengalami tingkat kecemasan sedang.

3.   Ada hubungan yang signifikan antara komunikasi perawatdengan tingkat kecemasan keluarga dari pasien dengan ρ =0,007 yang berarti ρ < 0,05.

Sarana)  Bagi rumah sakit

Rumah sakit hendaknya senantiasa mendorongpeningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan,khususnya sikap dan kemampuan komunikasi perawatnyadengan melaksanakan pelatihan dan kursus-kursus tentangbagaimana komunikasi perawat dengan pasien dankeluarganya.

Page 25: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 25/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

b)  Bagi perawatDiharapkan perawat mampu menjalankan komunikasidengan baik dan tepat dalam melaksanakan perannyasebagai care giver dalam pelaksanaan asuhan keperawatandengan menggunakan dirinya secara efektif dalammelaksanakan asuhan keperawatan profesional.

c)  Bagi pasien dan keluarga

Pasien dan keluarga dapat menerima informasi yangdiberikan oleh perawat melalui komunikasi yang dilakukanoleh perawat kepada pasien dan keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

1.   Atkinson, R.L. at all. (2000). Pengantar psikolog.Batam:Interaksara.

2.  Depkes RI (1994). Pedoman perawatan psikiatri . Jakarta:Depkes RI.

3.  Friedman, MM 2003. Family Nursing  : Research, Theory

& Practice (5thed), Appleton-Century-Cropts

4.  Ellis, Roger B., Gates, Robert J. & Kenworthy, Neil.(2006). Komunikasi Interpersonal dalam KeperawatanTeori dan Praktik. Jakarta: EGC.

5.  Hamid, Achiryani S. (1996).  Komunikasi terapeutik. Jakarta: Pelatihan keperawatan jiwa.

6.  Hawari, D. (2004). Manajemen stres, cemas, dandepresi . Jakarta : Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia.

7.  Herawati, N. (1997).  Asuhan keperawatan klienansietas. Jakarta: FKUI.

8.  Heriyanto, B. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif  :Pengkok jaya plastic. Surabaya

9.  Hudak dan Gallo. (1999). Keperawatan kritis pendekatan holisti (Volume I Edisi VI Jakarta: EGC.

10.  Kapplan, H. I. & Soddock, B. J. (1998). Ilmu kedokteran jiwa darurat (terjemahan). Jakarta : Widya Medika.

11.  Kariyato. (1994). Pengantar komunikasi bagi siswa perawat . Jakarta: EGC.

12.  Kartini Kartono. (2009). Psikologi Perkembangan.Jakarta :EGC

13.  Keliat. B.A. (1996). Hubungan terapeutik perawat – klien. Jakarta: EGC.

14.  Mulyana, D. (2005). Ilmu komunikasi.  Bandung: PTRemaja Rosdakarya.

15.  Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi penelitiankesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

16.  Nurjannah, I. (2001). Hubungan terapeutik perawat danklien. Yogyakarta: Program Studi Ilmu KeperawatanFakultas Kedokteran UGM.

17.  Purba, Jenny Marlindawani. (2006). Komunikasi dalamkeperawatan. http://inna-ppni.or.id/index.php.

18. urwanto, Heri (1994). Komunikasi untuk perawat. Editor: Ni Luh Gede Yasmin Asih. EGC Jakarta.

19. otter, Patricia A. & Perry, Anne Griffin. (2005). Buku ajarfundamental keperawatan : konsep, proses dan praktik(volume I ). Jakarta: EGC.

20. ahmat, Jalaluddin. (2007). Psikologi komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

21.  Stuart, Gail W., & Sandra J. Sunden. (1998). Buku saku

keperawatan jiwa (edisi 3). Jakarta: EGC.

22.  Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga:aplikasi dalam praktik/penulis. Jakarta: EGC.

Page 26: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 26/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

ANALISIS RESPONS IMUNITAS YANG RENDAHPADA TUBUH MANUSIA USIA LANJUT

1 Andri Setiya Wahyudi1 Dosen Stikes Insan Se Agung Bangkalan

 Abstrak

Penuaan  (aging) dikaitkan dengan sejumlah besar perubahan fungsi imunitas tubuh, terutama penurunan   Cell Mediated Immunity  (CMI)

atau imunitas yang diperantarai sel. Kemampuan imunitas kelompok lanjut usia menurun sesuai peningkatan usia termasuk kecepatan

respons imun melawan infeksi penyakit. Hal itu berarti bahwa kelompok lansia beresiko tinggi terserang penyakit seperti infeksi, kanker,

 jantung koroner, kelainan autoimmun atau penyakit kronik lainnya. Seluruh penyakit ini mudah terjadi pada lansia karena produksi

imunoglobulin menurun. Akibatnya vaksinasi yang diberikan pada kelompok orang tua seringkali tidak efektif melawan penyakit. Orang-

orang tua yang umumnya menderita kekurangan gizi makro dan mikro akan memiliki respons sistem dan fungsi imun yang rendah. Oleh

karena itu, kasus malnutrisi pada lansia seharusnya memiliki perhatian khusus secara dini, termasuk pemberian vaksinasi untuk

pencegahan penyakit. Penyakit infeksi yang dialami oleh lansia dapat dicegah atau diturunkan melalui upaya- upaya perbaikan gizi karena

sistem imun akan meningkat. Jika fungsi imun lansia dapat ditingkatkan, maka kualitas hidup individu meningkat dan biaya pelayanankesehatan dapat ditekan.

 Abstract

Low Immunity Response in the Elderly.  Aging is related to a number of changes in the immunity function, mainly the reducing of Cell

Mediated Immunity (CMI). The immunocompetence of elderly worsen with age including the rate of immune respons against infection. It

means that older people have a high risk of getting diseases such as infection, cancer, cardiovascular, autoimmune disorder, or other

chronic diseases. All of these diseases occured in elderly due to the immunoglobulin production decrease. Thus, vaccination given to

elderly often might not be effective against diseases. Older people who commonly suffer from a decrease of macro and micronutrients will

have a low function and response of the immune system. Therefore, malnutrition cases in elderly should have early specific attention

including consideration in given vaccination for preventing diseases. Infectious diseases mostly suffered by older people can be prevented

or reduced through improving nutrition efforts because the immune system will be improved. If the immune function of the elderly can be

improved, the individual quality of life increases and the health cost can be suppressed.

Keywords: elderly, immune response, vaccination, infectious disease

Page 27: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 27/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

PENDAHULUAN

Populasi penduduk usia lanjut (usila) di dunia terus meningkat

tanpa disadari. Dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran,

perbaikan pelayanan kesehatan, dan gizi yang lebih baik, maka

mereka hidup lebih lama dari sebelumnya khususnya di negara

maju sehingga usia harapan hidup (UHH) meningkat dua kali lipat

dari 45 tahun di tahun 1900 menjadi 80 tahun di tahun 2000 1.Sementara itu dalam dua dekade terakhir ini terdapat

peningkatan populasi penduduk usia lanjut (usila) di Indonesia.

Proporsi penduduk usila di atas 65 tahun meningkat dari 1,1%

menjadi 6,3% dari total populasi. Dalam 20 tahun terakhir ini ada

peningkatan 5,2% penduduk usila di Indonesia pada tahun 1997.

Hal itu mencerminkan bahwa proporsi penduduk usila akan

meningkat dua kali pada tahun 2020 menjadi 28,8 juta atau

11,34% dari seluruh populasi 2. Fenomena terjadinya

peningkatan itu disebabkan oleh perbaikan status kesehatan

akibat kemajuan teknologi dan penelitian-penelitian kedokteran,

transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit

degeneratif, perbaikan status gizi yang ditandai peningkatan

kasus obesitas usila daripada  underweight,  peningkatan Usia

Harapan Hidup (UHH) dari 45 tahun di awal tahun 1950 ke arah65 tahun pada saat ini, pergeseran gaya hidup dari urban  rural

lifestyle  ke arah  sedentary urban lifestyle,  dan peningkatan 

income per kapita sebelum krisis moneter melanda Indonesia.

Peningkatan jumlah manula mempengaruhi aspek kehidupan

mereka seperti terjadinya perubahan- perubahan fisik, biologis,

psikologis, dan sosial sebagai akibat proses penuaan atau

munculnya penyakit degeneratif akibat proses penuaan tersebut.

Secara signifikan orang tua mengalami kasus mortalitas dan

morbiditas lebih besar daripada orang muda. Kerentanan orang

tua terhadap penyakit disebabkan oleh menurunnya fungsi

sistem imun tubuh.

Untuk memahami terjadinya perubahan respons imunitas tubuh

pada orang tua dibutuhkan suatu kajian mendalam tentang

sistem imun yaitu salah satu sistem tubuh yang dipengaruhi oleh

proses penuaan  (aging). Ilmu yang mempelajari sistem imun

pada kelompok lansia (elderly) disebut Immuno-gerontologi. Ilmu

ini sebenarnya relatif baru dan memiliki banyak temuan- temuanbaru di dalamnya seperti yang akan diulas dalam makalah ini.

2. Isi

Pengaruh Aging  terhadap Perubahan Sistem Imun Tubuh

Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan

DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur,

bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi

(sejenis protein yang disebut imunoglobulin) untuk memerangi

serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Tugas sistem

imun adalah mencari dan merusak  invader   (penyerbu) yang

membahayakan tubuh manusia.

Fungsi sistem imunitas tubuh  (immunocompetence) menurun

sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi

menurun termasuk kecepatan respons imun dengan peningkatan

usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang

penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan

meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun,

atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah

penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya

tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu,

produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua

 juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan

pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah

lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan

untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuhatau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri.

Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan

usia adalah proses thymic involution 3. Thymus yang terletak di

atas jantung di belakang tulang dada adalah organ tempat sel T

menjadi matang. Sel T sangat penting sebagai limfosit untuk

membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain dalam sistem

imun. Seiring perjalanan usia, maka banyak sel T atau limfosit T

kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan penyakit.

Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada saat lahir. Saat

itu tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih rendah

dibandingkan sebelumnya (saat usia muda), dan juga tubuh

kurang mampu mengontrol penyakit dibandingkan dengan masa-

masa sebelumnya. Jika hal ini terjadi, maka dapat mengarahpada penyakit autoimun yaitu sistem imun tidak dapat

mengidentifikasi dan melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah

alasan mengapa resiko penyakit kanker meningkat sejalan

dengan usia.

Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel

T, suatu bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari

 jenis penyakit pathogen lalu merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh

kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk menghasilkan

antibodi melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah

banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya

melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang

banyak dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan usia maka

 jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan rentannya

tubuh terhadap serangan penyakit.

Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk

sistem imun. Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang

cepat bereaksi dan kurang efektif daripada sel yang ditemukan

pada kelompok dewasa muda. Ketika antibodi dihasilkan, durasi

respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang

dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk

limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap

infeksi daripada kelompok dewasa tua. Di samping itu, kelompok

dewasa tua khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung

menghasilkan autoantibodi yaitu antibodi yang melawan

antigennya sendiri dan mengarah pada penyakit autoimmune.

 Autoantibodi adalah faktor penyebab rheumatoid arthritis dan

atherosklerosis. Hilangnya efektivitas sistem imun pada orangtua biasanya disebabkan oleh perubahan kompartemen sel T

yang terjadi sebagai hasil involusi timus untuk menghasilkan

interleukin 10 (IL-10). Perubahan substansial pada fungsional

dan fenotip profil sel T dilaporkan sesuai dengan peningkatan

usia.

Fenotip resiko imun dikenalkan oleh Dr. Anders Wikby yang

melaksanakan suatu studi imunologi longitudinal untuk

mengembangkan faktor-faktor prediktif bagi usia lanjut. Fenotip

Page 28: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 28/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

resiko imun ditandai dengan ratio CD4:CD8 < 1, lemahnya

proliferasi sel T in vitro, peningkatan jumlah sel-sel CD8+CD28-,

sedikitnya jumlah sel B, dan keberadaan sel-sel CD8T adalah

CMV (Cytomegalovirus). Efek infeksi CMV pada sistem imun

lansia juga didiskusikan oleh Prof. Paul Moss dengan sel T clonal

expansion (CD8T) 4.

Secara khusus jumlah sel CD8 T berkurang pada usia lanjut. SelCD8 T mempunyai 2 fungsi yaitu: untuk mengenali dan merusak

sel yang terinfeksi atau sel abnormal, serta untuk menekan

aktivitas sel darah putih lain dalam rangka perlindungan jaringan

normal. Para ahli percaya bahwa tubuh akan meningkatkan

produksi berbagai jenis sel CD8 T sejalan dengan bertambahnya

usia. Sel ini disebut TCE  (T cell clonal expansion)  yang kurang

efektif dalam melawan penyakit. TCE mampu berakumulasi

secara cepat karena memiliki rentang hidup yang panjang dan

dapat mencegah hilangnya populasi TCE secara normal dalam

organisme. Sel-sel TCE dapat tumbuh lebih banyak 80% dari

total populasi CD8. Perbanyakan populasi sel TCE memakan

ruang lebih banyak daripada sel lainnya, yang ditunjukkan

dengan penurunan efektifitas sistem imunitas dalam memerangi

bakteri patogen. Hal itu telah dibuktikan dengan suatu studi yangdilakukan terhadap tikus karena hewan ini memiliki fungsi sistem

imunitas mirip manusia. Ilmuwan menemukan tifus berusia lanjut

mempunyai tingkat TCE lebih besar daripada tikus normal,

populasi sel CD8 T yang kurang beragam, dan penurunan

kemampuan melawan penyakit. Peningkatan sel TCE pada tikus

normal menggambarkan berkurangnya kemampuan melawan

penyakit. Ilmuwan menyimpulkan bahwa jika produksi TCE dapat

ditekan pada saat terjadi proses penuaan, maka efektifitas sistem

imunitas tubuh dapat ditingkatkan dan kemampuan melawan

penyakit lebih baik lagi.

 Aging  juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk makrofag,

monosit, neutrofil, dan eosinofil. Namun hanya sedikit data yang

tersedia menjelaskan efek penuaan terhadap sel-sel tersebut.

• Jumlah dan Sub-populasi Limfosit

 Aging   mempengaruhi fungsi sel T dengan berbagai cara.

Beberapa sel T ditemukan dalam thymus  dan sirkulasi

darah yang disebut dengan sel T memori dan sel T  naive. 

Sel T naive adalah sel T yang tidak bergerak/diam dan tidak

pernah terpapard engan antigen asing, sedangkan sel T

memori adalah sel aktif yang terpapar dengan antigen. Saat

antigen masuk, maka sel T  naive menjadi aktif dan

merangsang sistem imun untuk menghilangkan antigen

asing dari dalam tubuh, selanjutnya merubah diri menjadi

sel T memori. Sel T memori menjadi tidak aktif dan dapat

aktif kembali jika menghadapi antigen yang sama. Pada

kelompok usila, hampir tidak ada sel T  naive  sejak

menurunnya produksi sel T oleh kelenjar timus secara cepatsesuai usia. Akibatnya cadangan sel T naive  menipis dan

sistem imun tidak dapat berespons secepat respons

kelompok usia muda. Jumlah sel B, sel T helper (CD4+)

 juga berubah pada orang tua 4.

Selain terjadi perubahan jumlah sel T, pada kelompok usila

 juga mengalami perubahan permukaan sel T. Ketika sel T

menggunakan reseptor protein di permukaan sel lalu

berikatan dengan antigen, maka rangsangan lingkungan

harus dikomukasikan dengan bagian dalam sel T. Banyak

molekul terlibat dalam  transduksi signal, proses

perpindahan ikatan signal-antigen melalui membran sel

menuju sel. Sel T yang berusia tua tidak menunjukkan

antigen CD28, suatu molekul penting bagi transduksi signal

dan aktivasi sel T. Tanpa CD28, sel T tidak berespons

terhadapnya masuknya patogen asing. Pada tubuh

kelompok elderly   juga terdapat kandungan antigen CD69yang lebih rendah. Sel T dapat menginduksi antigen CD69

setelah berikatan dengan reseptor sel T. Bila ikatan signal-

antigen tidak dipindahkan ke bagian dalam sel T, maka

antigen CD69 akan hilang di permukaan sel dan terjadi

penurunan transduksi signal.

• Respons Proliferasi Limfosit 

Perubahan utama pada fungsi imun orang tua adalah

perubahan respons proliferatif limfosit seperti berkurangnya

Interleukin-2 (IL-2) yang tercermin dari rusaknya proses

signal pada orang tua, minimnya kadar Ca dalam tubuh, dan

perubahan membran limfosit sehingga mempengaruhi

fungsi imun. Penurunan Calcium (Ca) pada orang tua

mempengaruhi perpindahan signal dengan gagalnyamerangsang enzim termasuk protein kinase C, MAPK dan

MEK; serta menghambat produksi cytokines, protein yang

bertanggung jawab untuk koordinasi interaksi dengan

antigen dan memperkuat respons imun. Salah satu cytokine

yang dikenal adalah interleukin 2 (IL -2), cytokine diproduksi

dan disekresi oleh sel T untuk menginduksi proliferasi sel

dan mendukung pertumbuhan jangka panjang sel T. Sesuai

peningkatan usia sel T, maka kapasitas sel T untuk

menghasilkan IL-2 menurun. Jika terpapar antigen, maka

sel T memori akan membelah diri menjadi lebih banyak

untuk melawan antigen. Jika produksi IL-2 sedikit atau sel T

tidak dapat berespons dengan IL-2, maka fungsi sel T

rusak. Perubahan cytokine lain adalah interleukin 4, tumor

necrosis factor alpha, dan gamma interferon.

Viskositas membran sel T juga berubah pada orang tua,

tetapi viskositas sel B tetap. Kompoisisi lipid pada membran

limfosit orang tua menunjukkan peningkatan proporsi

kolesterol dan fosolipid dibandingkan orang muda. Serum

darah orang tua mengandung banyak VLDL dan LDL.

Perubahan komposisi lipid di atas dapat meningkatkan

penurunan imunitas tubuh orang tua. Pembatasan asupan

lemak mempengaruhi komposisi membran lipid limfosit,

meningkatkan level asam linoleat, menurunkan kadar asam

docosatetraenoat dan arakhidonat.

Produksi Cytokine

Respons limfosit diatur oleh cytokine. Respons limfosit atau sel T

helper dibagi menjadi 2 jenis yaitu: 1. Th-1 dan 2. Th-2. Respons

antibodi biasanya diperoleh dari Th-2 cytokine. Perubahan

produksi cytokine merubah imunitas perantara sel (Cell Mediated

Immunity) pada roang tua. Respons limfosit pada makrofag

berubah pada orang tua di mana terdapat sensitivitas yang lebih

tinggi terhadap efek inhibitor 4.

Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi

fungsi sel B karena sel T dan sel B bekerjasama untuk mengatur

Page 29: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 29/49

Page 30: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 30/49

Page 31: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 31/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

dapat memperbaiki respons limfosit yang menyerang sistem

imun, berperan penting dalam produksi protein dan asam nukleat.

Defisiensi vitamin B6 menimbulkan atrofi pada jaringan limfoid

sehingga merusak fungsi limfoid dan merusak sintesis asam

nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan imunitas

sellular.

Penutup

 Aging  (penuaan) dihubungkan dengan sejumlah perubahan pada

fungsi imun tubuh, khususnya penurunan imunitas mediated sel.

Fungsi sistem imunitas tubuh  (immunocompetence)  menurun

sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi

menurun termasuk kecepatan respons immun dengan

peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering

terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko

kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan

autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh

perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat

dan gejala- gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun

kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang

dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnyasehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang

efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah

tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan

benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda

itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri (autobody immune). 

Defisiensi makro dan mikronutrient umum terjadi pada orang tua

yang menurunkan fungsi dan respons sistem imun tubuh.

Malnutrisi pada kelompok lansia harus diwaspadai sejak dini

termasuk memikirkan kembali efektifitas pemberian vaksin bagi

orang tua dalam mencegah penyakit infeksi seperti influenza.

Penyakit infeksi yang banyak diderita oleh orang tua dapat

dicegah atau diturunkan tingkat keparahannya melalui upaya-

upaya perbaikan nutrisi karena dapat meningkatkan kekebalan

tubuh. Jika fungsi imun orang tua dapat diperbaiki, maka kualitas

hidup individu meningkat dan biaya pelayanan kesehatan dapat

ditekan.

Daftar Acuan

1.   Abikusno N, Rina KK. Characteristic of Elderly Club

Participants of Tebet Health Center South Jakarta.   Asia

Pacific J Clinical Nutrition 1998; 7: 320-324.

2.  Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia

Lanjut untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Gizi

Masyarakat Ditjen Binkesmas Depkes RI, 2003.

3.   Aspinall R. Ageing and the Immune System in vivo:

Commentary on the 16th  session of British Society for

Immunology Annual Congress Harrogate December 2004.  Immunity and Ageing 2005; 2: 5.

4.  Bell R, High K. Alterations of Immune Defense Mechanisms

in The Elderly: the Role of Nutrition. Infect Med^ 1997; 14:

415-424.

5.  Nikolich-Zugich J, T cell aging: naive but not young.   J Exp

Med  2005; 201: 837-840.

6.  Scanlan JM, Vitaliano PP, Zhang P, Savage M, Ochs HD,

Lymphocyte Proliferation Is Associated with Gender,

Caregiving, and Psychosocial Variables in Older Adults.  

Journal of Behavioural Medicine 2001; 24: 537-555.

7.  Dunhoff C.  Sleep May Have Negative Impact on Immune

System. UPMC News Bureau, 1998. 

8.  Dickinson A.  Benefits of Nutritional Supplements: Immune

Function in the Elderly.  The Benefits of Nutritional

Supplements 2002. 

9.  Daniels S.  Folate Supplements could Improve Immune  System in the Elderly.

http://www.nutraingredients.com. 2002. 

10.  Murray F.  Vitamin E can Boost Immune Response in

Elderly People.  Better Nutrition 1989-1990.

http://www.findarticles.com. 1991. 

\

Page 32: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 32/49

Page 33: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 33/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

PENDAHULUANPenyakit kardiovaskuler yang sering terjadi pada

masyarakat yaitu penyakit hipertensi. Hipertensi sering kalidisebut dengan pembunuh gelap (silent killer), karena termasukpenyakit yang mematikan tanpa disertai gejala-gejala telebihdahulu sebelum serangan (Sustrany dkk, 2005). Banyak faktoryang berpengaruh terhadap timbulnya penyakit hipertensi.

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat diklasifikasikanmenjadi dua yaitu hipertensi primer yang disebabkan oleh gayahidup modern, genetika, pola makan yang salah, obesitas, usia,kehamilan, dan stres. Sedangkan hipertensi sekunderdisebabkan oleh penyakit lain misalnya gangguan hormonal,penyakit jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atauberhubungan dengan kehamilan. Penyebab terbesar padaumumnya adalah hipertensi primer. Pola makan seseorang dapatdipengaruhi oleh salah satu dari Teori Lawrence Green yaitufaktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan,sikap,kepercayaan, keyakinan,dan nilai-nilai (Notoatmojo, 2003). Parapakar menemukan faktor makanan modern sebagai penyebabutama terjadinya hipertensi misalnya bahan pengawet, pewarna,MSG (Mono Sodium Glutamat) yang bisa disebut penyedap rasa,penggunaan garam dapur secara berlebihan, makanan siap saji,

lemak dan minyak yang dapat menyebabkan penyempitanpembuluh darah. Konsumsi minuman yang mengandung kafeinmisalnya kopi dan teh juga dapat meningkatkan tekanan darahkarena sifat kafein yang dapat mempengaruhi cara kerja jantungdalam memompa darah (8). 

Berdasarkan riset kesehatan dasar kesehatan(riskedas) 2007 prevalensi hipertensi di Indonesia sangat tinggi,yaitu mencapai 37,1 persen dari total jumlah penduduk dewasa.Jumlah hipertensi itu lebih tinggi dibanding dengan Singapurayang mencapai 27,3 persen, Thailan 22,7 persen, dan Malaysiayang hanya mencapai 20 persen. Sedangkan data di RSUDSyarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan selama tahun 2010, jumlah kunjungan pasien hipertensi yang memeriksakan diri kepoliklinik penyakit dalam RSUD Syarifah Ambami Rato EbuBangkalan pada tahun tersebut berjumlah 1147 orang.

Pola makan yang buruk dapat menyebabkan masalahgizi ganda yaitu masalah gizi lebih dan masalah gizi kurang.Selain itu pola makan yang buruk juga merupakan faktor utamayang dapat menyebabkan hipertensi. Dan komplikasi yangditimbulkan hipertensi itu sendiri yaitu rusaknya organ-organtubuh yang sering rusak antara lain otak, mata, jantung,pembuluh arteri, dan ginjal (4).

Penyakit hipertensi sebenarnya merupakan penyakityang dapat dicegah bila faktor resiko dapat dikendalikan. Upayatersebut meliputi monitoring tekanan darah secara teratur,program hidup sehat tanpa asap rokok, peningkatan aktifitasfisik,pola makan teratur (rendah lemak dan rendah garam). Hal inimerupakan kombinasi upaya mandiri oleh individu/masyarakatdan didukung oleh program pelayanan kesehatan yang ada,misalnya seperti program penyuluhan kepada masyarakat. Hal inimerupakan salah satu upaya meningkatkan kesadaranmasyarakat tentang bahaya penyakit hipertensi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuiHubungan Pola Makan dengan Kejadian Hipertensi di PoliklinikPenyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.

TINJAUAN PUSTAKA1.  Konsep Perilaku

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baikyang dapat diamati langsung maupun yang tidak bisa diamati

oleh pihak luar. Perilaku itu sendiri dapat dibedakan menjadi duamacam yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilakuterbuka (overt behavior)(5).

a.  Perilaku tertutup (covert behavior)Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentukterselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadapstimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi padaorang yang menerima stimulus tersebut, dan belumdapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b.  Perilaku terbuka (overt behavior)Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuktindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulustersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek,yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh oranglain.

 A. Perilaku kesehatanPerilaku kesehatan adalah suaatu respon seseorang

(organisme) terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengansakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan danminuman, serta lingkungan.

Perilaku kesehatan dapat dibedakan menjadi tiga

kelompok yaitu :1.  Perilaku pemeliharaan kesehatan (health

maintanance)2.  Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau

fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebutperilaku pencarian pengobatan (health seekingbehavior)

B. Perubahan (adopsi) perilaku dan indikatornyaPerubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses

yang kompleks dan memerlukan waktu yang relative lama.Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima ataumengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahapyaitu pengetahuan, sikap, dan praktek atau tindakan.

Menurut teori Lawrence Green, perilaku dapat dipengaruhioleh tiga faktor yaitu :

1.  Faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan,sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dansebagainya.

2.  Faktor pendukung yang terwujud dalam lingkunganfisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitaskesehatan.

3.  Faktor pendorong yang terwujud dalam sikap danperilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain,yang merupakan kelompok referensi dari perilakumasyarakat.

2.  Konsep Pola MakanBanyak penyakit berat bersumber dari makanan atau pola

makan yang salah. Seperti hipertensi, asam urat, ginjal,kolesterol, dan kanker. Makanan memang erat kaitannya dengankondisi kesehatan.

Perubahan gaya hidup dan perilaku makan telahmenimbulakan masalah gizi ganda yaitu masalah gizi lebih dangizi kurang dengan berbagai resiko penyakit yang ditimbulkannya.Upaya menanggulangi masalah gizi ganda adalah membiasakanhidup sehat dan teratur serta mengkonsumsi makanan sehari-haridengan susunan zat gizi yang seimbang berdasarkan 13 pesanPedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).

Page 34: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 34/49

Page 35: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 35/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

epidemologis, gambaran hipertensi, keterlibatan ginjal,adanyahiperaldosteronisme, dan gambaran lainnya.

c.  Sindrom cushing gejala klinisnya tergantung dari aktifitasglukokortikoid yaitu mudah lelah, striae, moon face,obesitas daerah perut, hipertensi, gangguan toleransiglukosa, dan sebagainya.

d.  Hiperaldosteronisme primer

Gejala yang sering timbul adalah tanda-tanda hipertensi,hiperaldosteronisme, renin plasma rendah, danhipokalemia.

e.  FeokromositomaGejalanya adalah hipertensi bersifat labil dan beratdisertai sakit kepala, berkeringat, palpitasi, dan tremorpada tangan. Pada penderita bisa terjadi hiperglikemiaatau diabetes resistensi insulin. Kebanyakan penderitaadalah kurus.

D. Obat-obat antihipertensiDiuretika :1.  Thiazide2.  Loop-duretika

Furesemide (lasix), Etacrynic acid (Edecrin)

3.  Obat penahan kalium (Potassium sparing agents)Spironoloctone, Ameloride, Triamterene

Obat-obat penghalang simpatik (adrenergic) :1.  Yang bekerja sentral : Clonidine2.  Penghalang simpatik di ganglion

Trimetaphan, Pentolinium, Pempidine3.  Penghalang transmissi neuro-efektor

Guanetidine, Betadhine, Debrisoquine, Reserpine4.  Yang bekerja sentral dan perifer menghalang simpatik

Methyldopa5.  Penhalang reseptor adrenergic

a.  Penghalang alpha adrenoreseptorPhentolamine, Phenoxibenzamine (pre-possynaptic), Prazosin (post synaptic)

b.  Penghalang beta adrenoreseptorNon kardioselektif beta 1 dan beta 2,Kardioselektif beta 1

c.  Kombinasi penghalang alpha dan betaadrenergic reseptorLabetolol

6.  Tak jelas bekerjanyaMAO- : Inhibitor, Pargyline

Vasodilator langsunga.   Arterial vasodilator

Hidralazyne, Diazoxide, Minoxidilb.  Vasodilator arterial dan vena

Sodiumnitroprusside (nipride)Penghalang convertin enzyme : Captopril 

E. KomplikasiKomplikasi terjadi karena kerusakan organ yang

diakibatkan adanya peningkatan darah yang sangat tinggi dalamwaktu lama. Organ-organ yang sering rusak antara lain otak,mata, jantung, pembuluh arteri, dan ginjal (Marliani, 2007).

Pada otak hipertensi akan menimbulkan komplikasi yangsangat berbahaya dan dapat menimbulakan kematian.Berdasarkan penelitian, sebagian besar kasus stroke disebabkanoleh hipertensi. Selain itu komplikasi pada otak akibat hipertensi

adalah demensia (penyakit kehilangan daya ingat dankemampuan mental yang lain).

Pada mata hipertensi dapat menimbulkan kerusakanpembuluh darah halus mata. Hipertensi menyebabkan pembulu-pembuluh darah halus pada retina robek. Darah merembes ke jaringan sekitarnya sehingga dapat menimbulkan kebutaan.

Komplikasi juga banyak terjadi pada jantung dan pembuluh

darah, antara lain :1.   Arteriosklerosis atau pengerasan pembululuh darah arteriPengerasan pada dinding arteri ini terjadi karena terlalubesarnya tekanan, karena hipertensi lama-kelamaanmembuat dinding arteri menjadi tebal dan kaku. Hal ini jugadapat disebabkan oleh penumpukan lemak pada lapisanpembuluh arteri yang disebut dengan plak. Pengerasan inidapat mengakibatkan tidak lancarnya aliran darah sehinggadibutuhkan tekanan yang lebih kuat sebagai kompensasinya.

2.   AneurismaMerupakan gambaran seperti balon pada dinding pembuluhdarah akibat melemah atau tidak elastisnya pembuluh darahakibat kerusakan yang timbul. Aneurisma ini sangatberbahaya karena bias pecah yang bias mengakibatkaperdarahan yang sangat fatal. Gejala yang dapat timbul dari

aneurisma ini adalah sakit kepala hebat yang tidak bisahilang bila terjadi pada arteri otak, dan sakit perutberkepanjangan jika terjadi pada daerah perut.

3.  Penyakit pada arteri koronaria Arteri koronaria adalah pembuluh utama yang memberpasokan darah pada otot jantung. Apabila arteri inimengalami gangguan misalnya karena plak, maka alirandarah ke jantung akan terganggu sehingga menyebabkankekurangan darah.

4.  Gagal jantungMerupakan suatu keadaan ketikan jantung tidak kuat lagiuntuk memompa darah ke seluruh tubuh sehingga banyakorgan lain yang rusak akibat kekurangan darah.

5.  Gagal ginjalKomplikasi hipertensi timbul karena pembuluh darah dalam

ginjal mengalami arteriesklerosis karena tekanan darahterlalu tinggi sehingga aliran darah ke ginjal menurun danginjal tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Danbila ginjal tidak berfungsi, bahan sisa akan menumpuk dalamdarah dan ginjal akan mengecil dan berhenti berfungsi.

BAHAN DAN CARA PENELITIANDesain yang digunakan adalah observasional analitik

dengan cross sectional untuk mengetahui hubungan pola makandengan hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasienhipertensi yang memeriksakan diri ke Poliklinik Penyakit DalamRSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan pada bulan Meitahun 2010 yang diperkirakan berjumlah ± 55 orang.

Sampel pada penelitian ini berjumlah 48 orang diambildengan menggunakan Probability   Sampling , yaitu secara simplerandom sampling.

Pengumpulan data yang digunakan adalah data primermenggunakan kuesioner kemudian dilakukan tabulasi silangmenggunakan computer dengan cara SPSS, dan diuji dengan ujispearmen rank  dengan derajat kemaknaan p ≤ 0,05 artinya adahubungan yang bermakna antara 2 variabal, maka H0 ditolak. 

Page 36: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 36/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

HASIL PENELITIAN1.  Data Pola Makan Responden

Tabel 6 Distribusi Pola Makan Pasien Hipertensi di PoliklinikPenyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan

TingkatPola Makan

Frekuensi Persentase (%)

Pola Makan Baik 4 8,33

Pola Makan Sedang 29 60,42Pola Makan Tidak Baik 15 31,25

Total 48 100

Sumber: Data Primer 2011

Secara umum pola makan yang salah diterapkan oleh parapasien hipertensi, diantaranya dalam mengkonsumsi makanandan mengolah makanan itu sendiri. Misalnya, pemakaian garamyang berlebihan, pemakaian penyedap rasa yang berlebihan, dancara penggunaan minyak goreng yang tidak baik. Oleh karena itukonsumsi lemak yang dikonsumsi cukup tinggi.

Menurut teori Lawrence Green pola makan (prilaku)seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunyafaktor predisposisi yang terdiri dari pengetahuan, sikapkepercayaan, keyakinan, dan lain-lain. Menurut Emilia, 2003bahwa berdasarkan kemudahan proses pencernaan, lemakdibagi menjadi 3 yaitu : lemak yang mengandung asam lemak tak jenuh ganda, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak jenuh. Asam lemak tak jenuh ganda dan asam lemak tak jenuhtunggal mudah dicerna dan berasal dari sumber pangan nabati(kecuali minyak kelapa). Sedangkan asam lemak jenuh tidakmudah dicerna yang berasal dari sumber pangan hewani, dimanapengkonsumsian lemak hewani yang berlebihan dapatmenyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit jantung koroner.

2.  Data Tingkat Hipertensi Responden

Tabel 7 Distribusi Tingkat Pasien Hipertensi di Poliklinik PenyakitDalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan

Tingkat Hipertensi Frekuensi Persentase (%)Pra Hipertensi 3 6,25

Hipertensi Derajat 1 31 64,58

Hipertensi Derajat 2 14 29,17

Total 48 100

Sebagian besar responden mengalami hipertensi derajat1 yang disebabkan oleh pola makan sedang. Hal ini tidakmenutup kemungkinan adanya beberapa faktor yangmenyebabkan hipertensi tersebut seperti usia, jenis kelamin, danlain-lain.

Menurut Sustrani dkk, 2005 yaitu hipertensi disebabkanoleh beberapa faktor diantaranya gaya hidup modern, pola makanyang salah, obesitas, genetik, usia, dan jenis kelamin.

Faktor gaya hidup modern, dalam gaya hidup moderndimana orang lebih mengutamakan kesuksesan, kerja keras,dalam situasi penuh tekanan, dan stress berkepanjangan adalahhal yang paling umum terjadi. Dalam kondisi tertekan, adrenalindan kortisol dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkanpeningkatan tekanan darah agar tubuh siap untuk bereaksi.Disamping itu, gaya hidup modern yang penuh kesibukan jugadapat membuat orang kurang berolah raga yang juga dapatmenyebabkan peningkatan tekanan darah.

Pola makan yang salah. Para pakar telah menemukanfaktor makanan modern sebagai penyebab terjadinya hipertensi.

Makanan yang diawetkan, garam dapur, serta bumbu penyedaprasa yang berjumlah tinggi yang dapat menyebabkan tekanandarah meningkat karena mengandung natrium dalam jumlahberlebih. Selain konsumsi natrium dalam jumlah berlebihan, faktormakan modern juga dapat memicu tekanan darah misalnyamakanan siap saji yang kaya daging dan mengandung empat zatyaitu gula, garam, minyak (lemak), dan zat kimia yang tidak alami

seperti pengawet dan pewarna sehingga menjadi faktorpeningkatan tekanan darah.Faktor yang ketiga yaitu obesitas atau berat badan yang

berlebihan yang dapat membuat seseorang susah untuk bergerakdengan bebas. Oleh sebab itu jantung harus bekerja lebih kerasuntuk memompa darah agar bisa menggerakkan beban yangberlebihan dari tubuh tersebut.

Faktor genetik merupakan faktor ke empat dimana dapatmenimbulkan perubahan pada ginjal dan membrane sel, aktifitassaraf simpatis dan sistem renin-angiotensin yang mempengaruhikedaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolism natriumdalam ginjal. Peran faktor genetik pada hipertensi primerdibuktikan dengan berbagai fakta yaitu adanya bukti bahwakeejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien kembarmonozigot daripada heterozigot. Jika salah satu diantaranya

menderita hipertensi, menyokong pendapat bahwa faktor genetikmempunyai pengaruh terhadap timbulnya hipertensi.

Faktor usia merupakan faktor kelima dimana terdapatperubahan structural dan fungsional pada sistem pembuluhperifer yang bertanggung jawab pada perubahan tekanan darahyang terjadi pada usia lanjut.perubahan tersebut meliputiarteriosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunanpada relaksasi otot polos pembuluh darah. Konsekuensinya,aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalammengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung yangmengakibatkan curah jantung dan peningkatan tekanan perifer.

Yang terakhir yaitu faktor jenis kelamin. Sekitar 60%hipertensi lebih banyak menyerang wanita setelah usia 55 tahun.Hal ini sering dikaitkan dengan pemakaian pil kontrasepsi dengankandungan estrogen dan progesterone yang berlebihan, selain itu

 juga karena terapi hormone yang digunakan setelah terjadiperubahan hormon karena menopause.

3.  Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Hipertensi

Tabel 8 Tabulasi Silang Hubungan Pola Makan Dengan KejadianHipertensi Pada Pasien Hipertensi di Poliklinik Penyakit DalamRSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan

Hipertensi

TotalPra

hipertensi

Hipertensiderajat 1

Hipertensiderajat 2

Polamakanbaik

3 1 0 4

75,0% 25,0% 0% 100%

Polamakansedang

0 26 3 29

0% 89,7% 10,3% 100%

Polamakantidak baik

0 4 11 15

0% 26,7% 73,3% 100%

total3 31 14 48

6,2% 64,6% 29,2% 100%

Page 37: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 37/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011 

Dan berdasarkan analisa hasil penelitian, hasil ujistatistik dengan spearman  tampak pada tabel 5.7 bahwa nilai  p

value (0.000) <    (0,05), maka hipotesis diterima. Dapatdiputuskan bahwa ada hubungan yang signifikan pola makandengan kejadian hipertensi di Poli Dalam RSUD Syarifah AmbamiRato Ebu Bangkalan.

Faktor peningkatan tekanan darah sangat perlu

diperhatikan karena faktor pola makan merupakan salah satufaktor yang paling sering diremehkan oleh masyarakat. Olehsebab itu masyarakat perlu memperhatikan pola makannyasecara maksimum agar terhindar dari segala macam penyakit,terutama penyakit hipertensi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Sustrani dkk, 2005bahwa para pakar menemukan faktor makanan modern sebagaifaktor utama penyebab terjadinya hipertensi. Makanan yangdiawetkan, garam dapur, serta bumbu penyedap rasa dalam jumlah tinggi yang dapat meningkatkan tekanan darah karenakandungan natrium yang berlebihan. Selain konsumsi natriumyang berlebihan, faktor makanan modern juga dapat memicumeningkatnya tekanan darah misalnya makanan siap saji yangkaya daging dan mengandung empat zat yaitu gula, garam,minyak-lemak, dan zat kimia yang tidak alami seperti pengawet

dan pewarna sehingga menjadi faktor peningkatan tekanandarah.DAFTAR PUSTAKA

1.  Emilia, Esi 2003, Tiga Belas Pesan Pedoman Umum Gizi

Seimbang (PUGS) Sebagai Pedoman Untuk Hidup Sehat.

http://tumotou.net/702-07134/esi-emilia.htm. 

2.  Marliani, Lili Dr. & H. Tantan S 2007, 100 questions &

 Answers Hipertensi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

3.  Notoadmodjo, soekidjo 2003, Pendidikan dan Perilaku

Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

4.  Rachmi, Cut Novianty Dr 2006, Konsultasi Kesehatan.

http.//www.pikiran rakyat.com.htm.

5.  Smeltzer, Suzanne C 2001, Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta: EGC.

6.  Sustrani, Lani. dkk 2005, Hipertensi . Jakarta: PT. GramediaPustaka Utama.

Page 38: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 38/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES I NSANE SE AGUNG BANGKALAN

TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA TENTANG TOILETTRAINING  DENGAN KEBERHASILAN PENGGUNAAN TOILET

PADA ANAK USIA 3 TAHUN 

(1)Faridah (1) Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya

ABSTRAK

Pemilihan waktu yang tepat untuk toilet training akan memberi dampak keberhasilan pada anak. Masih tingginya angkakejadian ngompol pada anak pra sekolah disebabkan kurang berhasilnya orang tua mengajarkan penggunaan toilet. Tujuanpenelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tentang toilet training  dengan tingkat keberhasilanpenggunaan toilet  pada anak usia 3 tahun.

Jenis penelitian ini observasional desain penelitian analitik   dengan pendekatan Cross Sectional . Jumlah populasi 40orang dan besar samplenya 36 orang yang dilakukan melalui simple randem sampling. Data penelitian ini diambil dengan kuesionertertutup. Setelah ditabulasi data yang ada dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman Rank  dengan tingkat kemaknaan0,05.

Hasil penelitian menunjukkan hampir seluruhnya pengetahuan orang tua pada kategori baik yaitu sebanyak 24 orang(66,7%) kemudian kategori kurang sebanyak 6 orang (16,7%). Hampir seluruhnya sikap orang tua baik sebanyak 16 orang (44,4%)kemudian kategori kurang sebanyak 8 orang (22,2%) Hampir seluruhnya toilet training   berhasil sebanyak 18 orang (50,0%),

sebagian kecil tidak berhasil 8orang (22,2%). Sedangkan dari hasil pengujian statistik diperoleh hasil ada hubungan tingkatpengetahuan orang tua dengan keberhasilan penggunaan toilet training   dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,031. dan nilaisikap orang tua dengan keberhasilan dengan signifikan 0,001 dimana (P < 0,05).Hasil penelitian ini menjadi perlu adanya peningkatan pengetahuan orang tua terutama penggunaan toilet agar dapat meningkatkankeberhasilan dalam penggunaan toilet dan mengurangi angka kejadian ngompol pada anak, oleh karena itu perawat perlumemberikan penyuluhan kepada orang tua tentang bagaimana cara mengajarkan toilet training .

Kata kunci : pengetahuan, sikap, toilet training

Page 39: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 39/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES I NSANE SE AGUNG BANGKALAN

PENDAHULUAN

 Anak membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologismaupun secara intelektual, agar anak mampu mengontrol buang airkecil atau besar secara mandiri (Hidayat, 2005). Cara orang tuamendidik anaknya agar terbiasa untuk dapat pipis dan buang airbesar (BAB) atau toilet   training   adalah dengan mengenalkan dan

membiasakan si kecil untuk buang air kecil (BAK) dan BAB di toilet ,mengajari anak untuk mengatakan bahwa ia akan BAK atau BAB,kurangi minum sebelum anak tidur, membawa si kecil ke toilet   padawaktu-waktu akan BAK (misal bangun tidur) dan ajari menggunakantoilet . Istilah yang digunakan adalah ”tatur”, pujilah anak jika berhasildan jangan tergesa dimarahi jika melakukan kesalahan (Asti, 2008).

Beberapa anak mencapai kontrol buang air kecil atau kontrolbuang air besar lebih awal pada usia 18 sampai 24 bulan akan tetapitoilet training   harus dimulai ketika anak telah memperlihatkan tandakesiapan sehingga pelatihan buang air besar biasanya dilakukanpada saat anak berumur 2-3 tahun, sedangkan pelatihan buang airkecil dapat dilakukan pada usia 3-4 tahun. Dikarenakan kontrol buangair besar sering kali lebih cepat dikuasai daripada kontrol buang airkecil sehingga pada kenyataannya akan lebih sering dijumpaipermasalahan buang air kecil dari pada buang air besar, kegagalan

tidak dapat menahan keluarnya air kencing disebut enuresis (Anonymous, 2001).

Suatu survei di Indonesia didapatkan prevalensi enuresis sekitar 30% anak berusia 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3%anak berumur 12 tahun sedangkan di negara Eropa dan AmerikaUtara menunjukkan bahwa enuresis didapatkan 15% pada anakberusia 5 tahun, 7% pada anak berusia 10 tahun, 1-2% pada anakberusia 15 tahun. Hal ini disebabkan terlambatnya prosespendewasaan, kelainan fisik, masalah psikologis, maturasi cerebral  pada anak perempuan lebih cepat dari pada anak laki-laki. Olehkarena itu, insiden pada anak laki-laki menyebabkan lebih banyak daripada anak perempuan. (Hansakunachai, 2005).

Dampak kegagalan dalam toilet training memberikan pengaruhpada anak sehingga anak tidak percaya diri, rendah diri, malu,hubungan sosial dengan teman-temannya terganggu, anak

berkepribadian ekspresif dimana anak menolak untuk latihan toilettraining , emosional, cenderung ceroboh dan sesuka hati dalammelakukan kegiatan sehari-hari (Harjaningrum,2005).

Hasil survei pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 anakdidapatkan anak yang tidak bisa mengungkapkan keinginannyauntuk BAK sebesar 60 %, anak yang tidak dapat mengungkapkankeinginannya untuk BAB 40%, anak yang mampu melepaskan celanasendiri sebelum BAB/BAK 50%.

Cara terbaik untuk menghindari timbulnya masalah pelatihanbuang air (toilet training)  adalah dengan mengenali kesiapan anak,adapun tanda dari kesiapan anak sebagai berikut: selama beberapa jam pakaian dalamnya kering, anak menginginkan pakaian dalamnyadiganti jika basah, anak menunjukkan ketertarikan duduk diatas  pottychair   (pispot khusus untuk anak-anak) atau di atas toilet (jamban,kakus) sehingga anak mampu mengikuti petunjuk atau aturan lisansederhana dari orang tua (Prince, 2001). Orang tua memiliki peranyang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak,dimana keluarga merupakan lingkungan primer bagi setiap individusejak lahir sampai tiba masanya untuk meninggalkan rumah danmembentuk keluarga sendiri. Sebelum anak mengenal lingkunganyang lebih luas, terlebih dahulu anak mengenal lingkungankeluarganya melalui pengenalan norma-norma dan nilai-nilai dalamkeluarga untuk dijadikan bagian dari pribadinya melalui prosespengasuhan. Rumusan masalah dalam penelitian ini “adakahhubungan tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tentang toilet

training   dengan keberhasilan penggunaan toilet padaanak usia 3 tahun?

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini observasional disain yangdigunakan adalah analitik yang bertujuan untukmenggali bagaimana dan mengapa fenomena

kesehatan itu terjadi, dengan pendekatan crosssectional  yakni penelitian yang menekankan pada waktupengukuran data variabel independen dan dependensekaligus pada satu saat (Soekidjo, 2005). Instrumenpenelitian menggunakan kuesioner terstruktur. Populasidari penelitian ini adalah semua orang tua siswa PAUDPelita Harapan kelas A dan B yang berusia 3 tahunyang berjumalah 40. Sampel berjumlah 52 ibu. Tekniksampling pada penelitian ini dengan purposivesampling.

Pada penelitian ini yang menjadi variabeldependen adalah Tingkat Keberhasilan Toilet   Training  Pada Anak Usia 3 Tahun di PAUD Pelita Harapan danvariabel independennya adalah Pengetahuan dan SikapOrang tua Tentang Toilet  Training . Analisis data dengan menggunakan SPSS untukmengetahui hubungan antara variabel independen(bebas) Pengetahuan dan Sikap Orang tua TentangToilet   Training   dengan variabel dependen (terikat)Tingkat Keberhasilan Toilet  Training  Pada Anak Usia 3Tahun dilakukan dengan uji statistik menggunakan ujiRank Spearman  karena skala data variabel ordinal &ordinal

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

1.  Tingkat Pengetahuan Orang Tua

baik

24

66,7%

cukup

6

16,7%

kurang

6

16,7%

pengetahuan

 Gambar 1. Distribusi Frekuensi TingkatPengetahuan Orang Tua siswa PAUD Pelita

Harapan Tahun 2010

Dari gambar di atas diperoleh data pengetahuanorang tua baik sebanyak 66,7% orang tua, cukup dankurang didapatkan persentase sama yaitu 16,7% orangtua.

Page 40: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 40/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES I NSANE SE AGUNG BANGKALAN

2.  Sikap Orang Tua

baik

16

44,4%

cukup

12

33,3%

kurang

8

22,2%

sikap

 

Gambar 2. Distribusi frekuensi sikap orang tua pada anak umur3 tahun di PAUD Pelita Harapan pada Tahun 2010.

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sikap orang tuabaik sebanyak 44,4% orang tua, sikap orang tua cukup sebanyak33,3% dan sikap kurang sebanyak 22,2%.

3.  Keberhasilan Penggunaan Toilet  Pada Anak

berhasil

18

50,0%

kurang

berhasil

10

27,8%

tidak

berhasil

8

22,2%

Keberhasilan

 

Gambar 3. Distribusi frekuensi orang tua berdasarkankeberhasilan penggunaan toilet   pada anak umur 3 tahun diPAUD Pelita Harapan Tahun 2010

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa keberhasilanpenggunaan toilet   pada anak diperoleh hasil sebagian besar orangtua menyatakan berhasil sebanyak 50,0%, kurang 27,8%, dan tidakberhasil sebanyak 22,2%.

4.  Hubungan Pengetahuan Orang Tua denganKeberhasilan Penggunaan Toilet pada anakusia 3 tahun.

Tabel 1. Tabulasi silang pengetahuan orangtua dengan keberhasilanpenggunaan toilet

pada anak di PAUD PelitaHarapan Tahun 2010.

KeberhasilanPenggunaanToilet

Pengetahuan

Berhasil KurangBerhasil

TidakBerhasil

Total

n % N % N % N %

Baik 15 62,5 5 20,8 4 16,7 24 100

Cukup 2 33,3 3 50,0 1 16,7 6 100

Kurang 1 16,7 2 33,3 2 50,0 6 100

Total 18 50,0 10 27,8 8 22,2 36 100

Dari tabel 1 Disimpulkan bahwa keberhasilanpenggunaan toilet, berhasil didapatkan proporsipengetahuan baik 62,5% lebih besar daripada cukup33,3% maupun kurang 16,7%. Penggunaan toiletkurang berhasil proporsi pengetahuan ibu cukup 50,0%lebih besar daripada kurang 33,3% maupun baik 20,8%.Sedangkan Penggunaan toilet tidak berhasil proporsipengetahuan kurang 50,00% lebih besar biladibandingkan dengan pengetahuan cukup maupunkurang yaitu 16,7%.

Hasil uji hubungan dengan Korelasi RangkSpearman Rho antara pengetahuan dengankeberhasilan diperoleh nilai korelasi positif sebesar

0,359 dengan signifikansi P = 0,031 dimana P < 0,05.Maka Ho ditolak H1 diterima, artinya terdapat hubunganantara tingkat pengetahuan orang tua dengankeberhasilan toilet training .

Pembahasan

1.  Pengetahuan Ibu tentang Toilet Training  Sebagian besar orang tua sebanyak 66,7% (24)

orang mempunyai pengetahuan baik, dan sebagiankecil orang tua sebanyak 16,7% (6) orang mempunyaipengetahuan kurang.

Pengetahuan seseorang juga dipengaruhi olehtingkat pendidikannya, karena semakin tinggipendidikan seseorang maka orang tersebut akan lebihmudah untuk menerima dan menerapkan informasiyang telah diterimanya. Hal ini diperkuat oleh hasilpenelitian penulis bahwa orang tua yang berpendidikanSMA dan Sarjana berhasil dalam melakukan toilettraining   sedangkan yang berpendidikan SMP cukupberhasil. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggipendidikan seseorang makin mudah pula merekamenerima informasi, dan akhirnya makin banyak pulapengetahuan yang dimilikinya.

Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannyarendah, akan menghambat perkembangan sikap

Page 41: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 41/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES I NSANE SE AGUNG BANGKALAN

seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang barudiperkenalkan.Lingkungan pekerjaan juga mempunyai pengaruhterhadap seseorang terutama mengenai pengetahuan karenadilingkungan pekerjaan seseorang memperoleh pengalaman baik itupengalaman yang diperoleh secara langsung maupun cerita dariteman kerja, sehingga hal tersebut akan menambah pengetahuanseseorang. Jadi semakin banyak kita bertemu orang lain terutama

dilingkungan kerja maka semakin banyak pula pengetahuan baruyang kita peroleh. Sesuai dengan pendapat Iqbal Mubarak, Wahiddan kawan kawan (2007) Lingkungan pekerjaan dapat menjadikanseseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secaralangsung maupun secara tidak langsung.

2.  Sikap Orang Tua Tentang Toilet Training  

Berdasarkan gambar 2 dapat dijelaskan bahwa sikap orang tuadalam toilet training sebanyak 44,4% mempunyai sikap baik, dan22,2% orang tua mempunyai sikap kurang.

Sikap yang positif merupakan gambaran tentng keberhasilan. Akan tetapi sikap dapat menimbulkan pola-pola cara berfikir tertentudalam masyarakat dan sebaliknya, pola-pola cara berfikir inimempengaruhi tindakan dan kelakuan masyarakat, baik dalam

kehidupan sehari-hari maupun dalam hal membuat keputusan yangpenting dalam hidup.

Dengan sikap secara minimal, orang tua memiliki pola berfikirdiharapkan dapat berubah dengan diperolehnya pengalaman,pendidikan, dan pengetahuan melalui interaksi denganlingkungannya. Seperti halnya yang terjadi pada orang tua disini,sikapnya dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi.Dibuktikan dengan adanya suatu peningkatan nilai dari yang kurangbaik menjadi lebih baik.

Pembentukan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitupengetahuan pengalaman pribadi, lembaga agama, dan vaktor emosidalam diri individu (Azwar, 2005).

3.  Keberhasilan Tentang Toilet Training

Keberhasilan penggunaan toilet  diperoleh 50,0% anak berhasildan sebagian kecil anak tidak berhasil yaitu 22,2%. Urutan anak jugamenjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian eneuresis pada anak, dimana anak terkadang akan ngompol dan tidak maubelajar untuk ketoilet saat akan BAK jika menginginkan perhatian dariorang tuanya, karena anak merasa orang tuanya lebihmemperhatikan adiknya. Dimana ini menjadi hal yang sedikitmenguntungkan dimana anak terakhir tidak perlu mengalamikecemburuan/sibling rivalry  sehingga dari data diatas diperoleh hasilhampir setengah dari jumlah anak yang merupakan anak bungsuberhasil dalam toilet training   atau tidak ngompol. Diperkuat olehpendapat Nelson (1999) Tipe ngompol regresif   dipercepat olehperistiwa-peristiwa lingkungan yang penuh tekanan, seperti pindahkerumah baru, konflik perkawinan, kelahiran saudara kandung, ataukematian dalam keluarga. Ngompol demikian adalah sebentar-sebentar (intermitten).

Menurut Nursalam (2005) Reaksi sibling rivalry  atau perasaancemburu dan benci yang biasanya dialami oleh seseorang anakterhadap kehadiran/kelahiran saudara bisa diluapkan dengan caramengompol.

4.  Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan KeberhasilanPenggunaan Toilet pada anak usia 3 tahun

Dari hasil uji Rank Spearman variabelpengetahuan menunjukkan tingkat kemaknaan ( p < α )yaitu 0,031 <0,005 maka H1 diterima H0 ditolak. Makadi simpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuandan keberhasilan toilet training  di PAUD Pelita HarapanDesa Kemelaten Sidoarjo.

Dari hasil uji Rank Spearman dan di perkuat

dengan data tabulasi silang menunjukkan bahwakeberhasilan penggunaan toilet, berhasil didapatkanproporsi pengetahuan baik 62,5%, kurang berhasilproporsi pengetahuan ibu cukup 50,0% sedangkanPenggunaan toilet tidak berhasil proporsi pengetahuankurang 50,00%.

Usia merupakan salah satu faktor yangmempengaruhi seseorang untuk belajar dan menjadilebih tahu, sehingga informasi yang diperoleh dari manadan dari siapapun terutama mengenai anak bisadengan mudah diterima dan diterapkan pada anaknya.Karena dengan bertambahnya usia maka orangtersebut akan bisa lebih matang dalam berpikir danmempertimbangkan hal-hal yang lebih baik untukdirinya ataupun orang yang ada disekitarnya. Ini sesuai

dengan pendapat Iqbal Mubarak, Wahid dan kawan-kawan (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhipengetahuan adalah pendidikan, pekerjaan, umur,minat, pengalaman, kebudayaan dan informasi. Denganbertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahanpada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhanpada fisik secara garis besar ada empat ketegoriperubahan  pertama, perubahan ukuran, kedua,perubahan proporsi, ketiga, hilangnya ciri-ciri lama,keempat , timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibatpematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis ataumental taraf berpikir seseorang semakin matang dandewasa.

Didalam hasil penelitian anak yang berusia 3tahun lebih berhasil dalam toilet training, hal ini

menandakan bahwa pengajaran kencing dan berakharus sesuai dengan usia dan perkembangan anakagar tingkat keberhasilannya lebih tinggi, meskipunpada usia yang lebih dini toilet training   bisadiperkenalkan pada anak akan tetapi orang tua janganmenuntut anak untuk langsung bisa, karena dari teoridiatas anak belum mencapai fase perkembangannyauntuk bisa merasakan keinginan dan bisa mengontroldalam BAB dan BAK kalau belum berusia 3-5 tahun.Karena Menurut Freud dalam Hidayat, (2005)  padaumur 3-5 tahun anak berada dalam fase phalik denganperkembangan sebagai berikut: kepuasan pada anakterletak pada rangsangan autoerotic yaitu meraba-raba,merasakan kenikmatan dari beberapa daeraherogennya..

5.  Hubungan Sikap Dengan KeberhasilanPenggunaan Toilet pada anak usia 3 tahun

Dari hasil uji Rank Spearman variabel sikapmenunjukkan tingkat kemaknaan ( p < α ) yaitu 0,001<0,005 maka H1 diterima H0 ditolak. Maka di simpulkanbahwa ada hubungan antara sikap dan keberhasilantoilet training  di PAUD Pelita Harapan Desa KemelatenSidoarjo.

Page 42: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 42/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES I NSANE SE AGUNG BANGKALAN

Dari hasil uji Rank Spearman dan di perkuat dengan datatabulasi silang menunjukkan bahwa yang sikapnya baik palingdominan memiliki proporsi keberhasilan dalam penggunaan toiletberhasil 81,2% sedangkan yang paling dominan pada pengetahuancukup yaitu kurang berhasil 50,0%, dan yang berpengetahuan kurangyang paling dominan adalah tidak berhasil 50,0%.

Sikap yang positif merupakan gambaran tentang keberhasilan

di mana sikap yang baik menggambarkan kemauan seseorangterhadap suatu hal tertentu. Begitu juga orang tua harus lebih salingmemberikan informasi antar orang tua lainnya supaya pengetahuanwarga lebih banyak, sehingga sikap positif orang tua akan terbentukterutama sikap tentang toiltet training. Menurut New Comb setelahseorang ahli psikologi sosial yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003),menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untukbertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikapbelum merupakan suatu tindakan aktivitas akan tetapi merupakanreaksi tetap, bukan reaksi terbuka atau reaksi terbuka.

Mengajarkan anak secara dini tentang penggunaan toilet  memang bagus tetapi jika masih belum berhasil tidak ada salahnyaanak diajarkan lagi pada usia 1 tahun karena pada usia 1 tahun anakmengalami fase anal dan pada fase inilah saat yang tepat untuk anakdiajarkan penggunaan  toilet . Pengetahuan akan hal ini penting bagi

orang tua dan harus diketahui agar latihan toilet training  bisa berhasil.Pengetahuan orang tua mempengaruhi keberhasilan dalam

penggunaan  toilet , terutama kapan saat yang tepat anak diajarkanuntuk ke toilet, karena anak mempunyai fase dalam tumbuh kembangyang akan mempermudah anak dalam pembelajaran penggunaantoilet . Sehingga akan lebih meningkatkan keberhasilan dalampenggunaan toilet .

KESIMPULAN

1.  Sebagian besar orang tua anak pra sekolah PAUD PelitaHarapan yang berpengetahuan baik 66,7%, sikap yang baik44,4%, keberhasilan anak pra sekolah Paud Pelita Harapandalam penggunaan toilet berhasil 50,0%.

2.   Ada hubungan antara Pengetahuan dengan keberhasilan

penggunaan toilet pada anak umur 3 tahun dengan hasil uji RankSpearman menunjukkan tingkat kemaknaan ( p < α ) yaitu 0,031<0,005 maka H1 diterima H0 ditolak

3.   Ada hubungan antara sikap orang tua dengan keberhasilanpenggunaan toilet pada anak umur 3 tahun, dengan nilai P=0.001<0,005 maka H1 diterima H0 ditolak di PAUD Pelita Harapan.

SARAN

1.  Untuk mengatasi kejadian eneuresis pada anak makapenggunaan toilet   perlu diajarkan kepada anak, oleh karena itupengetahuan orang tua tentang toilet training perlu ditingkatkanagar berhasil dalam mengajarkan penggunaan toilet   padaanaknya 

2.  Sosialisasi informasi tentang toilet training juga perlu diberikan

pada guru di PAUD Pelita Harapan sehingga dapat memberikanpembelajaran pada anak selama anak berada di PAUD. 

KEPUSTAKAAN1.  Budiarti, Eko, (2001). Biostatistika Untuk

Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat ,Jakarta :EGC

2.  Hansakunachai T. (2005). Epidemiologi ofenuresis among pre-schools agehttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/pubmed.htm.

Di askses tanggal 30 Desember 2009 jam:11.15WIB. 

3.  Harjaningrum Tri, Agnes. 2005. Sudah BesarMasih Ngompol, Bolehkah Dibiarkan?  http://wrm-indonesia.htm. di akses tanggal 01Januari 2010 jam:17.00 WIB.

4.  Hawari, Dadang.( 2007). Our Children OurFuture Dimensi Psikoloreligi Pada TumbuhKembang Anak Dan Remaja.  Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.

5.  Hidayat, Aziz Alimul. (2005). Pengantar IlmuKeperawatan Anak 1. Jakarta:Salemba Medika.

6.  Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatandan Teknik Penulisan Ilmiah Edisi   2.Jakarta:Salemba Medika.

7.  Iqbal Mubarak, Wahid, dkk., (2008). PromosiKesehatan:Sebuah Pengantar Proses BelajarMengajar Dalam Pendidikan, Yogyakarta:GrahaIlmu

8.  Notoatmodjo, Soekidjo, (2003). Ilmu KesehatanMasyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar),Jakarta:Rineka Cipta.

9.  Notoatmodjo, Soekidjo, (2005). MetodologiPenelitian Kesehatan, Jakarta:Rineka Cipta.

10.  Notoatmodjo, Soekidjo (2007). PromosiKesehatan dan Ilmu Perilaku , Jakarta:RinekaCipta.

11.  Nursalam, (2005).  Asuhan Keperawatan Bayidan Anak (Untuk Perawat dan Bidan), Jakarta:Salemba Medika

12.  Nursalam, (2008). Konsep dan PenerapanMetodologi Penelitian Ilmu KeperawatanPedoman Skripsi, Tesis dan InstrumenPenelitian Keperawata, Jakarta:Salemba Medika.

13.  Prince, Silvia (2001). Toilet Trainning to yourchild . http.//www.Family doctor.Org/about.xml.Diaskes tanggal 1 januari 2010 jam 17.30

14.  Sherk, Stepnanie. (2006).Gale Enclopedia OfChildren’s Health 

15.  http://www.healthline.com/directory/disease-and-conditions. Diakses tanggal 1 Januari 2010.Jam:17.20

Page 43: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 43/49

Page 44: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 44/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES I NSANE SE AGUNG BANGKALAN

PENDAHULUAN

Dalam siklus kehidupannya, masa remaja merupakan masakeemasan. Pada masa ini terjadi banyak perubahan dan masalah, Apabila masalah tersebut tidak cepat ditangani maka akan menjadimasalah yang berkepanjangan dan berdampak serius pada remaja.Salah satu masalah remaja yang memerlukan perhatian adalah

masalah kesehatan, dimana kesehatan merupakan elemen pentingmanusia untuk dapat hidup produktif. Remaja yang sehat adalahremaja yang produktif sesuai dengan tingkat perkembangannya(Depkes, 2010).

Pada masa remaja juga terjadi pertumbuhan fisik yang cepatdisertai dengan banyak perubahan, termasuk didalamnya adalahpertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) sehinggatercapai kematangan yang ditunjukkan dengan kemampuanmelaksanakan fungsi reproduksi. Perubahan yang terjadi padapertumbuhan tersebut diikuti munculnya tanda-tanda seks primer dantanda-tanda seks sekunder (Widya stuti, 2009). Ciri masa remajayang paling menonjol adalah tercapainya kematangan organ-organseks secara bio-fisiologis yang diikuti kemampuan untuk melakukanhubungan seks sekaligus munculnya hasrat untuk melakukanhubungan tersebut (Gunarsa, 2001). Berdasarkan data Survei

Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007) didapatkanbahwa sebanyak 83,4% remaja setuju dengan hubungan seksualsebelum menikah .

Pada suatu survey di sekolah menengah yang baru-baruini dilakukan di USA, Mc Carry mendapatkan bahwa kebanyakan darimurid-murid tersebut melontarkan kritik terhadap orang tua karenatidak pernah memberikan informasi seks (pendidikan seks) kepadaanak-anaknya. Dua pertiga dari mereka sama sekali tidakmendapatkan informasi apa-apa, sedangkan sisanya hanyamendapatkan informasi sekedarnya. Pengetahuan anak-anak mudatentang seks biasanya didapat dari kawan-kawan seumur melaluilelucon-lelucon yang kotor dan cabul, sehingga sering timbultanggapan yang salah atau emosi yang negatif (Sulistyo, 2001).

Berdasarkan gambaran tersebut di atas maka peneliti tertarikuntuk mengetahui Bagaimana gambaran pengetahuan remaja awal

tentang perubahan organ reproduksi berdasarkan sumber informasi diSMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan.

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dikemukakan tentang: pertama; konsepdasar pengetahuan yang meliputi; Definisi pengetahuan,pengetahuan tentang seks, pembentukan pengetahuan, tingkatpengetahuan, macam-macam pengetahuan. Yang kedua konsepdasar informasi seks yang meliputi pengertian sumber informasi seks,sumber-sumber informasi seks, macam-macam informasi seks, danrencana informasi seks menurut umur. Ketiga Konsep remaja awaldan perubahan organ reproduksi, penyebab terjadinya perubahan,kreteria seksual,ciri-ciri seks primer dan seks sekunder, Keempatdampak kematangan organ reproduksi.

Konsep Dasar Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil “teliti” dalam  hal initerjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objektertentu , penginderaan terjadi melalui indra penglihatan,pendengaran dan penciuman (Notoatmodjo, 2005).

Pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untukmenunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang suatu

hal (Purwodarminto, 2005). pengetahuan datang daripendidikan dan pengalaman dan itu dapat dibuktikankebenarannya (Soemirat, 2000)

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh daripengalaman yang berasal dari berbagai sumber,misalnya: petugas kesehatan, buku petunjuk, media,poster dan lain-lain, kerabat keluarga dan sebagainya

(Istiarti, 2000).Disini pengetahuan sangat berpengaruh sekali

pada seseorang terutama pada remaja sehinggaremaja tidak mudah dipengaruhi untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, dan remaja ini akan menjadi generasi bangsa yangberkwalitas.

Pengetahuan datang dari pendidikan,pengajaran,dan pengalaman dan itu dapat dibuktikankebenarannya (Soemirat, 2000). Pengetahuan ibusebagian besar dipengaruhi karakteristik ibu yangmeliputi umur, pendidikan, intelegensi dan socialekonomi (Latipum, 2001).

Pengetahuan Yang Dicakup Dalam Domain Kognitif  

Kognitif adalah perolehan, penataan danpenggunaann pengetahuan (Purwodarminto, 2005).Maka kognitif merupakan domain yang sangat pentinguntuk bentuknya tindakan seseorang, karena daripengalaman dan penelitian ternyata, perilaku yangdidasari pengetahuan akan lebih langgeng dari padaperilaku yang tidak didasari pengetahuan. Pengetahuanyang dicakup dalam domain kognitif tersebutmempunyai enam tingkatan yaitu :1.  Tahu (Know )2.  Memahami (Comprehension)  3.   Aplikasi ( Aplication) 4.   Analisis (Analysis)5.  Sintesis (Syntesis)

Macam-macam pengetahuan menurut polanya :

1.  Tahu, BahwaPengetahuan bahwa adanya pengetahuan tentang

informasi tertentu, jenis pengetahuan ini disebut jenispengetahuan teoritis, pengetahuan ilmiah.

2.  Tahu, BagaimanaPengetahuan ini menyangkut jenis bagaimana

melakukan sesuatu dikenal dengan know-knowberkaitan dengan keterampilan dalam melakukansesuatu, ini tidak berarti hanya bersifat praktis tapi tetapmempunyai landasan teoritis tertentu.

3.  Tahu, Akan/ Mengenai Adalah suatu yang sangat spesifik menyangkut

pengetahuan akan sesuatu atau seseorang melaluipengalaman atau pengenalan pribadi . Ciri pengetahuanmodel ini adalah mempunyai tingkat obyektifitas tinggi.

Page 45: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 45/49

Page 46: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 46/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES I NSANE SE AGUNG BANGKALAN

Kemudian terjadi pertumbuhan pesat selama 1atau2tahun, dan berkembang penuh pada usia 20 tahun atau 21tahun segera setelah itu, maka pertumbuhan penismeningkat pesat, yang mula-mula meningkat adalahpanjangnya, kemudian dengan besarnya.

2.  Ciri-ciri seks sekundera.  Wanita :

1)  Panggul menjadi lebar dan bulat akibatmembesarnya tulang pinggul dan berkembangnyalemak bawah kulit.

2)  Rambut kemaluan tumbuh setelah pinggul ataupayudara ayudara berkembang, putting susumembesar dan menonjol.

3)  Berkembang, bulu ketiak atau bulu wajah nampaksetelah haid.

4)  Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat danpori-pori membesar, lemak dapat menyebabkan jerawat, kelenjar keringat diketiak mengeluarkanbanyak keringat dan baunya menusuk sebelum danselama haid.

5)  Suara menjadi lebih jernih atau semakin merdu.b.  Laki-laki :

1)  Rambut kemaluan tumbuh sekitat setahun setelahtestis dan penis membesar,rambut ketiak dandiwajah tumbuh kalau pertumbuhan rambutkemaluan sudah selesai. Pada mulanya rambut yangtumbuh sedikit, halus dan warnanya agak terang,kemudian habis gelap, kasar, subur dan agakkeriting.

2)  Kulit menjadi kasar, tidak jernih warna pucat danpori-pori meluas, otot bertambah besar dan kuat,sehingga memberi bentuk lengan, tungkai, kaki danbahu.

3)  Kelenjar lemak dan keringat menjadi aktif sehinggasering menimbulkan jerawat.

4)  Suara berubah setelah rambut kemaluan tumbuh,mula-mula serak kemudian menurun, volume

meningkat dan mencapai pada yang lebih baik.5)  Benjolan dada (benjolan kecil disekitar kelenjar susu)

timbul sekitar umur 12-14 tahun, setelah beberapaminggu besar dan jumlahnya menurun.

Dampak kematangan organ reproduksi. Apabila ada sperma yang memasuki kawasan reproduksi

wanita pada saat subur maka terjadinya pembuahan dan kehamilan(Ned, 2001) sedangkan menurut (Depkes, 2010), perilaku seksualyang menyimpang akan berakibat tertular penyakit seksual berbahayadan kehamilan yang tidak diinginkan

METODE PENELITIANMetode penelitian merupakan cara untuk memecahkan

masalah berdasarkan ilmu pengetahuan (Nursalam danPariani,2003). Pada bab ini akan disajikan metode penelitian yangdigunakan untuk menjawab tujuan penelitian berdasarkan masalahyang ditetapkan antara lain:1)  Rancangan penelitian2)  Populasi, sampel penelitian dan cara pengambilan3)  Definisi operasional varabel4)  Sumber data dan instrument penelitian5)  Pengolahan data.6)   Analisa data7)  Etika penelitian

8)  Keterbatasan penelitian9)  Kerangka kerja10)  Jadwal penelitian11)  Lokasi penelitian.

Populasi, Sampel Penelitian Dan Cara PengambilanSampel

Populasi adalah keseluruhan dari suatuvariable yang menyangkut masalah yang diteliti(Nursalam, dan Pariani, S. (2001). Populasi yangdipakai dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 SMPDarul Mustofa Tonjung Bangkalan yang berumur 11-13tahun dengan jumlah 59 siswa dan yang bersedia ditelitipada tahun 2010. Tehnik pengambilan sampel yangdigunakan dalam penelitian ini adalah total sampling(sampling penuh).

Definisi operasional variabel

Tabel 4.1 Definisi operasional variable

Jenisvariabel

Definisioperasional Parameter

Alatukur Kriteria

Pengetahuantentangperubahanorganreproduksi

Segala yangdiketahui ataupemahamanremajatentangperubahanorganreproduksi

Remajamampumengeta huitentangperubahanorganreproduksibaik sekundermaupunprimer:a  Ciri-ciri

perubahan sekssekunder pada

wanitadan pria

b  Ciri-ciriperubahan seksprimerpadawanitadanpria.

kuession 

1.  Baik :Jika nilai≥ 70 

2.  Cukup :Jika nilai61-69

3.  Kurang :Jika nilai≤ 60 

Page 47: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 47/49

Page 48: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 48/49

Page 49: INKES-Vol-3-no-1

8/15/2019 INKES-Vol-3-no-1

http://slidepdf.com/reader/full/inkes-vol-3-no-1 49/49

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Pengetahuan berdasarkan sumber informasi pada remaja awaltentang perubahan organ reproduksi di SMP Darul MustofaTonjung Bangkalan.

Pada tabel 5 menunjukkan banyak pengetahuan yang kurang35 siswa (87,5%) tidak pernah mendapat sumber informasi dan jugamasih kurang sumber informasi dari orang tua, guru, teman sehinggapengetahuannya kurang.

Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan yang sumberinformasi didapatkan dari orang tua, guru banyak yang kurangmungkin disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua dan adanyaanggapan bahwa pendidikan organ reproduksi adalah sesuatu yangtabu, porno yang akan menstimulasi perilaku yang kurang baiksehingga enggan untuk disampaikan. Sedangkan dari pendidikandisekolah dikarenakan keterbatasan waktu untuk diberikan. Dalam halini perlu mengimbangi orang tua mungkin melalui bacaan, kursus-kursus atau konsultasi dengan ahlinya. Menurut Gunarsa (2001)pendidikan seks yang terbaik diberikan oleh orang tuanya sendiri.Faktor pendidikan disekolah juga mendukung, peranan guru sangatdiperlukan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dimanauntuk mengimbangi kurangnya atau orang tua yang tidakmemberikan informasi kepada anaknya. Dalam penyampaian perluketerbukaan dan pengulangan agar informasi dapat diterima.

Informasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, misalnya bagian-bagian alat-alat kelamin, perubahan-perubahan, dampak dariperubahan organ tersebut baik secara fisik, psikologis dan perilaku.Sehingga pada saat terjadi perubahan tersebut tidak timbulkekhawatiran pada anak. Sebagaimana teori yang dikemukakan olehSoemirat (2001) pengetahuan datang dari pendidikan, pengajarandan pengalaman.

Informasi dari teman menunjukkan banyak pengetahuan yangkurang ini mungkin disebabkan karena pada masa remaja inicenderung untuk berkumpul dengan teman sebaya yangpengaruhnya cepat. Tetapi kemungkinan informasi yang didapatkeliru karena ketidak tahuannya dan kadang-kadang disampaikanmelalui lelucon yang kotor dan cabul sehingga menimbulkan persepsiyang salah (Sulistyo, 2001).

Informasi dari media massa menunjukkan pengetahuan kurang

ini mungkin disebabkan kecenderungan remaja untukmempergunakan Sesuatu yang menarik, canggih dan serba modern,media massa dalam menyampaikan informasi yang dikemas secaramenarik. Sehingga mudah diterima oleh remaja dan ini mudahmempengaruhi pengetahuan dan perilaku remaja. Karena itudiperlukan pendidikan moral, agama disertai dengan informasi yangbenar.

Menurut Alatas (2004) media massa dan elektronik merupakanakses utama bagi remaja dalam mendapatkan informasi

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanGambaran pengetahuan remaja awal tentang organ reproduksi diSMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagian besarpengetahuannya kurang (74,58%).Gambaran sumber informasi perubahan organ reproduksi padaremaja awal di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagianbesar tidak mendapatkan sumber informasi (67,80%).Gambaran pengetahuan berdasarkan sumber informasi pada remajaawal di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagian besar

t h k dik k tid k h d t b

SaranDari hasil penelitian diatas dapat disarankan antara lainBagi sekolah1.  Pendidikan yang diberikan disekolah sebaiknya

diberikan waktu yang cukup sehingga dapatdievaluasi baik dari segi kwalitas dan kwantitas.

2.  Pihak sekolah dapat menyarankan kepada

keluarga untuk menberikan pendidikan perubahanorgan reproduksi sedini mungkin serta pendidikanmoral dan agama.

DAFTAR PUSTAKA

1.   Alatas A. (2004). Remaja Gaul Nggak MestiNgawur . Bandung: Mizan

2.   Arikunto,S. (2007). Prosedur Penelitian SuatuPendekatan Praktek Edisi Revisi IV Carpanite.Rineka Cipta. Jakarta

3.  Depkes (2010). Kesehatan Remaja Problem danSolusinya, Jakarta: Salemba Medika.

4.  Gunarsa,SD (2001). Psikologi Praktis Anak,Remaja dan Keluarga. Jakarta Gunung Mulia.

5.  Latipum. (2001). Psikologi Konseling , Malang:UMM Press.

6.  Notoatmodjo.S. (2005). Metodologi PenelitianKesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

7.  Nursalam dan Pariani, S. (2001). PendekatanPraktis Metodologi Riset Keperawatan . Jakarta :CV Agung Solo

8.  Nursalan dan Pariani, S. (2003). Konsep danPenerapan Metodologi Penelitian IlmuKeperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis danInstrumen Penelitian keperawatan. Jakarta:Salemba Medika

9.  Nursalam dan Pariani, S. (2007). PendekatanPraktis Metode Riset Keperawatan. Jakarta: CVInfomedika.

10.  Purwodarminto,S. (2005). Kamus Besar BahasaIndonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

11.  Rono, S. (2001). Pendidikan sex.  Bandung:Universitas Padjadjaran Bandung.

12.  Soemirat, J. (2000). Epidemiologi LIngkungan .Yogyakarta: Gajah mada University Press.

13.  Sulistyo. (2001). Pendidikan sex.  Bandung:Universitas Padjadjaran Bandung.

14.  SKRRI. (2007). Survei Kesehatan ReproduksiRemaja, Jakarta.

15.  Widyastuti. (2009). Kesehatan Reproduksi ,Yogyakarta: Fitramaya.