imunisasi

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia kesehatan dikenal tiga pilar utama dalam meningkatkan kesehatan masyarakat yaitu preventif atau pencegahan, kuratif atau pengobatan, dan rehabilitatif. Dua puluh tahun terakhir, upaya pencegahan telah membuahkan hasil yang dapat mengurangi kebutuhan kuratif dan rehabilitatif. Melalui upaya pencegahan penularan dan transmisi penyakit infeksi pada anak, terutama kelompok di bawah umur lima tahun. Penyediaan air, bersih, nutrisi yang seimbang, pemberian air susu ibu eksklusif, menghindari pencemaran udara di dalam rumah, keluarga berencana dan vaksinasi (atau sering juga disebut imunisasi) merupakan unsur utama dalam upaya pencegahan. Penyakit infeksi yang berbahaya berarti penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan menyebabkan beban masyarakat dikemudian hari. Mempelajari vaksinasi, dunia telah menapaki jalan yang panjang. Sejak para ahli dalam bidang vaksinasi yaitu Edward Jenner, Louis Pasteur, Emil von Behring dan Shibasaboru Kitasato, Johan Salk, dan Albert Sabin, selama hampir 3 abad yaitu antara tahun 1689 sampai tahun 1950-an telah meletakkan dasar – dasar imunisasi yang kita kenal saat ini. Sampai akhirnya kini telah dikenal secara luas adanya vaksin sebagai alat yang efektif dan murah untuk perbaikan kesehatan umat REFERAT IMUNISASI 1

Upload: mutiarasartikasuhardi

Post on 28-Sep-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

imunisasi pada anak

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia kesehatan dikenal tiga pilar utama dalam meningkatkan kesehatan masyarakat yaitu preventif atau pencegahan, kuratif atau pengobatan, dan rehabilitatif. Dua puluh tahun terakhir, upaya pencegahan telah membuahkan hasil yang dapat mengurangi kebutuhan kuratif dan rehabilitatif. Melalui upaya pencegahan penularan dan transmisi penyakit infeksi pada anak, terutama kelompok di bawah umur lima tahun. Penyediaan air, bersih, nutrisi yang seimbang, pemberian air susu ibu eksklusif, menghindari pencemaran udara di dalam rumah, keluarga berencana dan vaksinasi (atau sering juga disebut imunisasi) merupakan unsur utama dalam upaya pencegahan. Penyakit infeksi yang berbahaya berarti penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan menyebabkan beban masyarakat dikemudian hari.

Mempelajari vaksinasi, dunia telah menapaki jalan yang panjang. Sejak para ahli dalam bidang vaksinasi yaitu Edward Jenner, Louis Pasteur, Emil von Behring dan Shibasaboru Kitasato, Johan Salk, dan Albert Sabin, selama hampir 3 abad yaitu antara tahun 1689 sampai tahun 1950-an telah meletakkan dasar dasar imunisasi yang kita kenal saat ini. Sampai akhirnya kini telah dikenal secara luas adanya vaksin sebagai alat yang efektif dan murah untuk perbaikan kesehatan umat manusia. Anak anak di semua negara secara rutin telah mendapat imunisasi untuk mencegah penyakit berbahaya sehingga imunisasi merupakan dasar kesehatan masyarakat. Namun, disayangkan masih banyak negara berkembang yang masih belum dapat mencapai universal child immunization (UCI) karena cakupan imunisasi yang rendah. Sebenarnya apabila UCI dapat dicapai maka kita dapat menyelamatkan tiga juta anak yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi setiap tahun.

Upaya imunisasi di Indonesia dapat dikatakan telah mencapai tingkat yang memuaskan. Namun, dari Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia (SKDI) diketahui bahwa pada dua tahun terakhir cakupan imunisasi dan kualitas vaksinasi tampak menurun. Penurunan cakupan imunisasi sangat dirasakan dengan ditemukannya kembali kasus polio dan difteria di negara kita. Tiga ratus enam orang anak menderita poliomielitis pada periode Mei 2005 sampai dengan Februari 2006 sebagai akibat cakupan vaksinasi polio yang menurun didaerah Cidahu Sukabumi. Angka kejadian difteria yang masih tinggi pada tahun 2000 ditemukan 1036 kasus dan 174 kasus pada tahun 2007 merupakan bukti bahwa vaksinasi DPT tidak merata. Keadaan yang memprihatinkan ini ditambah lagi dengan maraknya kampanye anti vaksin yang disuarakan oleh kelompok tertentu. Pandangan negatif terhadap vaksinasi bukan saja dikemukakan oleh masyarakat awam namun juga oleh sebagian petugas kesehatan.

B. Tujuan

Setelah menyelesaikan pembuatan tugas ini diharapkan dapat mengetahui dan menjelaskan tentang Imunisasi dan mengaplikasikannya dalam bidang pediatri.

C. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan ini yaitu :

1. Bagi institusi pendidikan

Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi bahan referensi untuk penulisan referat lainnya.

2. Bagi mahasiswa

a. Mahasiswa mampu mengaplikasikan semua ilmu yang diperoleh selama proses penulisan referat ini.

b. Menambah wawasan mahasiswa dalam memahami ilmu diperoleh selama proses penulisan referat ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ASPEK IMUNOLOGI IMUNISASI

Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia tidak menjadi sakit. Kekebalan diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif disebut imunisasi pasif dengan memberikan antibodi atau faktor kekebalan pada seseorang yang membutuhkan. Contohnya adalah pemberian imunoglobulin antitetanus untuk penderita penyakit tetanus. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh, seperti misalnya pada kekebalan pasif alamiah antibodi yang diperoleh janin dari ibu akan perlahan menurun dan habis.

Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yang disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi. Kekebalan yang diperoleh dengan vaksinasi berlangsung lebih lama dari kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi alamiah. Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori imunologis yang efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan oleh produsen vaksin melalui bukti uji klinis yang telah dilakukan.

B. Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti yang kita lihat pada keberhasilan cacar variola. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria dan poliomielitis.

C. Respon Imun

Respon imun adalah respons sistem pertahanan tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks terhadap stimulasi antigen (Ag), yang bertujuan untuk mengeliminasi antigen tersebut. Pada dasarnya sistem pertahanan tubuh dibedakan dalam sistem imun nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik disebut juga imunitas nonadaptif atau innate immunity, artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen tetapi untuk berbagai macam antigen. Sistem imun spesifik atau imunitas adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen. Imunitas adaptif akan membangun memori imunologis dengan membentuk sel memori sehingga pada kontak berikutnya dengan antigen yang sama akan memproduksi antibodi lebih cepat dan lebih banyak.

Jalur aktivasi respon imun spesifik terdiri dari dua fase, yaitu fase afektor atau efektor. Fase afektor atau pengenalan diperankan oleh sel yang mempersentasikan antigen (APC), serta sel limfosit B dan limfosit T afektor yang diaktivasi oleh antigen. Fase afektor diperankan oleh antibodi imunoglobulin produk sel limfosit B dan limfosit T efektor yang telah teraktivasi.

Bila pada kontak pertama pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan ditangkap oleh sel makrofag yang merupakan komponen imunitas nonspesifik, dan dipresentasikan pada sel limfosit T dan limfosit B yang merupakan komponen imunitas spesifik. Sel makrofag yang mempresentasikan antigen pada sel limfosit disebut sebagai sel APC (antigen-presenting cell)

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri dari imunitas seluler dan imunitas humoral. Imunitas seluler diperankan oleh kelompok sel limfosit T yang merupakan sentral dari seluruh respons imun tubuh. Sel limfosit T memproduk sitokin dan mediator setelah teraktivasi oleh stimulasi antigen. Imunitas humoral merupakan aktivasi sel limfosit B yang menghasilkan antibodi berupa imunoglobulin (Ig). Imunoglobulin dibentuk sel limfosit B oleh stimulasi antigen yang mengaktivasi sel limfosit T terlebih dahulu (T-dependent antigen), atau secara langsung oleh antigen tanpa melalui aktivasi sel limfosit T (T-independent antigen). Imunoglobulin dapat dipindahkan kepada individu lain melalui imunisasi pasif dengan cara penyuntikan serum. Imunitas seluler hanya dapat dipindahkan melalui transfer seluler seperti contohnya pada transplantasi organ yang menimbulkan reaksi graft versus-host-disease.

D. Kualitas respon imun

Kualitas respons imun yang timbul tergantung pada faktor intrinsik Ag dan faktor lain seperti,

Jumlah dan dosis antigen

Cara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal (ID), intramuskular (IM), subkutan (SC) organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional, sedangkan pemberian intravena (IV) sasaran berada di limpa, pemberian secara oral akan ke plaque peyers dan melalui inhalasi berada di jaringan limfoid bronkial.

Penambahan zat yang bekerja sinergis dengan antigen, misalnya kongujat, ajuvan atau antigen lainnya.

Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya larutnya

Faktor genetik penjamu.

E. Respon Imun Seluler

Respons imun seluler diperankan oleh populasi sel limfosit Th (T-helper, CD4) dan limfosit Tc (T-cytotoxic, CD8). Kelompok sel Th terdiri dari subpopulasi Th1 dan Th2. Sel Th memerankan peran sentral dalam respons imun, dan bila teraktivasi oleh antigen. Produk sitokin, suatu produk sel imun yang teraktivasi oleh antigen. Produk sitokin tersebut dapat membedakan subpopulasi Th1 dan Th2. Misalnya Th1 menghasilkan sitokin IL-2, IL-3, TNF-, dan Th-2 mengeluarkan sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sitokin Th1 menginduki respons imun seluler yang berperan pada reaksi inflamasi pada penyakit infeksi, sepsis, dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Sitokin Th2 menginduksi respons imun humoral yang menghasilkan imunoglobulin dan berperan pada inflamasi alergi.

Sel Tc dan sel Th berperan pada infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti infeksi virus, parasit dan beberapa bakteri. Sel imun selular yang sudah mengenal antigen mikroorganisme penyebab infeksi akan bereaksi secara spesifik. Sel Th mengeluarkan sitokin untuk mengeliminasi mikroorganisme. Komponen sistem imun terpenting untuk tujuan tersebut adalah imunitas humoral sehingga peran utama sel Th adalah membantu sel limfosit B menghasilkan imunoglobulin.

Sel Th juga menginduksi sel Tc untuk bereaksi terhadap antigen pada sel target. Sel Tc mengenal struktur antigen tersebut yang dipresntasikan bersama molekul MHC (mayor histocompatibility complex) kelas I oleh APC. Dengan induksi sel Th maka sel Tc akan melisis sel terinfeksi yang mengekspresikan struktur antigen penyebab infeksi yang telah dikenalnya. Karena fungsi untuk melisis sel target tersebut maka sel Tc disebut juga sebagai sel cytotoxic T lymphocyte (CTL). Umumnya antigen bersifat T-dependent (TD) artinya antigen akan merangsang sel imun afektor setelah mengaktivasi sel Th dengan bantuan sitokin dan mediator yang dilepaskan sel Th yang dilepaskan sel Th yang teraktivasi tersebut. Sedangkan antigen yang tidak memerlukan sel T (TI) secara langsung merangsang sel limfosit B memproduksi imunoglobulin. Antigen TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus, dan antigen yang bersifat hapten. Antigen TI mempunyai struktur sederhana dan berulang, biasanya merupakan molekul besar yang merangsang produksi IgM, IgG2, dan sel memori yang lemah. Contoh antigen TI adalah polisakarida komponen endotoksin yang terdapat pada dinding sel bakteri, yang dapat mengaktivasi sel B memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai stimulan sel B poliklonal.

Limfosit Th akan mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC kelas II serta molekul CD (cluster differentiation) penanda klonal sel. Antigen setelah diproses oleh sel makrofag akan dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II dan CD kepada sel Th dan Tc sehingga terjadi ikatan antara antigen dengan reseptor sel T (TCR = T-cell receptor). Akibat ikatan tersebut akan terjadi serangkaian aktivasi sel Th dan Tc yang menginduksi diferensiasi menjadi sel Th dan Tc efektor, serta sel Th danTc memori. Sel imun efektor tersebut juga menghasilkan berbagai sitokin dan mediator yang mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun lainnya, misalnya sel Th efektor mengaktivasi makrofag dan sel Tc.

F. Respon Imun Humoral

Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi dengan antigen. Mulanya imunoglobulin permukaan sel ini adalah kelas IgM dan IgD, kemudian pada perkembangan selanjutnya akan terdapat klonal sel limfosit B yang memperlihatkan kelas IgG, IgA, dan mungkin IgE pada individu atopi. Perkembangan kelas imunoglobulin (regio Fc) tidak memerlukan rangsangan antigen tertentu, tetapi perkembangan regio penangkap antigen (Fab) membutuhkan pengenalan dan stimulasi antigen spesifik.

G. Pajanan Antigen pada sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan menginduksi aktivasi sel B menjalani rangkaian proses transformasi blast, proliferasi, serta differensiasi menjadi sel plasma (sel B matang penghasil immunoglobulin) dan sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th. Produk antibodi spesifik tersebut akan berikatan dengan Ag untuk menetralkan Ag sehingga virulensinya hilang atau membuat kompleks Ag-Ab sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag. Fagositosis dapat melibatkan komplemen dalam proses opsonisasi untuk membantu penghancuran Ag. Ikatan Ag-Ab juga mempermudah lisis oleh sel Tc dan peristiwa ini disebut antibody dependent cellular mediated cytotoxi city (ADCC). Selain produk Ig maka hasil akhir aktivasi sel B adalah pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan Ag serupa akan cepat berpoliferasi dan berdeferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang diperoleh dengan vaksinasi cukup tinggi mencapai kadar protektif dalam waktu cukup lama. Kadar antibodi protektif ini dapat diperoleh dan dipertahankan dengan vaksinasi ulang untuk memperoleh efek penguatan (boostering effect).

H. Respon antibodi terhadap antigen

Respon imun primer adalah respon imun yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Respon imun sekunder terjadi pada pajanan antigen serupa setelah itu. Antibodi yang terbentuk pada respon imun primer terutama adalah IgM sedangkan sebagian besar antibodi pada respon imun sekunder adalah IgG, dengan titer dan afinitasnya lebih tinggi serta phase lag lebih pendek. Respons imun sekunder merupakan aktivitas memori imunologis spesifik. Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah yang kelak diharapkan akan memberi respons adekuat dan efektif bila terpajan pada antigen yang serupa.

I. Memori Imunologis

Peran utama vaksinasi adalah untuk menimbulkan memori imunologis yang adekuat dan efektif. Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal. Antigen dan antibodi yang membentuk kompleks Ag-Ab akan berikatan dengan komplemen (C) membentuk kompleks Ag-Ab-C. Kompleks Ag-Ab-C dapat berikatan dengan sel dendrit folikel (FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di permukaan sel dendrit. Sel FDC ini akan mempresentasi dan mengaktivasi sel T dan sel B sehingga terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B membentuk sel plasma penghasil antibodi dan sel B memori. Untuk mendapat sel B memori yang adekuat dan efektif maka vaksinasi harus mengikuti jalur infeksi alamiah dengan baik, dalam arti bahwa antigen yang dipergunakan harus dapat berikatan dengan sel dendrit folikel serta bersifat T-dependent. Antigen vaksin yang tidak berikatan dengan baik dengan FDC dan bersifat T-independent dapat merangsang sel B untuk membuat antibodi tapi tidak dapat membentuk memori imunologis yang diharapkan.

Sel B memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan bermigrasi ke sumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid dan bertemu dengan antigen serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dengan menghasilkan antibodi lebih banyak dengan afinitas lebih tinggi.

Sel T memori dibentuk melalui beberapa tahapan. Antigen ekstraseluler akan diproses APC menjadi peptida yang akan dikenal oleh molekul MHC kelas II, sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APC akan dikenal oleh molekul MHC kelas I. Sel APC akan mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya pada sel limfosit T dalam kompleks molekul TCR-MHC-CD pada permukaan sel limfosit T di jaringan limfoid perifer sehingga sl T akan teraktivasi dan mengeluarkan berbagai produk sitokin. Sitokin tersebut merangsang proliferasi dan diferensiasi sel limfosit T menjadi sel efektor terhadap Ag spesifik dan sel T memori. Sel T efektor akan bermigrasi dari jaringan limfoid ke tempat infeksi untuk mengeliminasi mikroorganisme penyebab infeksi, sedangkan sel T memori dalam bentuk tidak aktif berada di sirkulasi untuk jangka waktu lama. Pajanan berikut terhadap antigen serupa akan mengaktifkan sel T memori menjadi sel T efektor. Sel limfosit T CD4 memproduksi sitokin Th untuk mengaktifkan mekanisme eliminasi mikroba ekstraseluler, sedangkan sel CD8 yang mempunyai fungsi sitolitik (CTL) akan memusnahkan mikroorganisme intrasel

J. Keberhasilan Imunisasi

1. Status Imun Penjamu

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin. Kemampuan tubuh untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap vaksin yang adekuat dan efisien sangat menentukan keberhasilan vaksinasi. Kemampuan tersebut dapat terganggu antara lain oleh tingkat kemampuan respons imun atau oleh gangguan pengenalan antigen vaksin. Gangguan pengenalan vaksin misalnya dapat terjadi karena masih terdapat antibodi maternal dalam sirkulasi bayi. Antibodi terhadap virus campak pada bayi yang diperoleh melalui transmisi maternal semasa janin akan menetralisasi antigen vaksin campak sehingga hasil vaksin tidak memuaskan. Tetapi kandungan antibodi sekretorik sIgA antipolio dalam air susu ibu (ASI) tidak memengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Laporan penelitian Divisi Alergi Imunologi Anak FKUI/RSCM Jakarta menunjukkan bahwa kadar sIgA antipolio tinggi hanya terdapat pada kolostrum dan tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Karena itu pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir) sebaiknya ASI tidak diberikan dahulu dalam waktu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi polio oral.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (human leucocyte antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas kemotatik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts (T supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak sehingga memerlukan imunisasi ulang dan imunisasi penguat.

Status imun memperngaruhi hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti, campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan memurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas seluler menurun dan imunitas humoral spesifitasnya rendah . meskipun kadar globulin- normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

2.Faktor genetik pejamu

Interaksi antara sel sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respon rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.

Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC (major histocompatibility complex) dan gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang bersosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan sel Tc serta sel Th akan mengenal antigen yang bersosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia yang terkait dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki- laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam respons imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.

3. Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas dan toksisitasnya berkurang atau hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul, misalnya vaksin polio akan menimbulkan imunitas lokal samping sistemik, sednagkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja

Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respon imun yang diharapkan, sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang teoat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.

Frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun yang terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respon imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, dan produksi serta afinitas lebih tinggi. Disamping frekuensi, jarak pemberian vaksin juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik yang masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamaka reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang (boster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan produsen vaksin sesuai dengan hasil uji klinis.

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respon imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.

Jenis vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibandingkan vaksin mati atau yang diinaktivasi, atau vaksin komponen mikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi, karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi(dilemahkan) untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggib atau rendah, kondisi aerobm atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorgnisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

K. Persyaratan Vaksin

Apabila dilihat dari sudut pandang mekanisme respons imun terhadap pajanan antigen maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu :

1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi sitokin

2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori

3. Mengaktivasi sel Th dan sel Tc terhadap beberapa epitop antigen untuk mengatasi varian respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC

4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikuler dendrit jaringan limfoid tenpat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap tinggi

Vaksin yang memenuhi keempat syarat tersebut adalah vaksin hidup. Pada umumnya antibodi yag terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan. Pada penyakit difteri dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi toksin.

L. Jadwal Imunisasi

Jadwal imunisasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk penyempurnaan berdasarkan perubahan epidemiologi penyakit, kebijakan Kementrian Kesehatan/WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di Indonesia.

Terdapat beberapa perbedaan antara jadwal imunisasi tahun 2011 dengan jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2008

a. Pada jadwal imunisasi 2011, tidak dibedakan lagi antara vaksinasi Program Pengembangan Imunisasi (PPI, wajib) dan Program Imunisasi Non-PPI (dianjurkan). Mengingat semua vaksinasi untuk mencegah kematian dan kecacatan harus diberikan pada bayi dan anak

b. Vaksinasi varisela dapat diberikan sejak usia 12 bulan

c. Program BIAS, mulai tahun 2011 memberikan vaksinasi Td untuk menggantikan vaksin TD

d. penambahan dalam foot-note

e. memasukka vaksin rotavirus dalam jadwal imunisasi

Pemberian heptitis B saat lahir sangat dianjurkan untu mengurangi penularan hepatitis B dari ibu ke bayi

Pemberian vaksin kombinasi, dengan maksud untuk mempersingkat jadwal, mengurangu jumlah suntikan dan mengurangi kunjungan tetap dianjurkan. Selain vaksin kombinasi DTP dengan Hib (baik DTwP/Hib maupun DtaP/Hib, atau DTaP/Hib/IPV), Kementerian Kesehatan memberikan vaksin kombinasi DTwP dengan hepatitis B (DTwP/HepB) dalam program imunisasi nasional.

Gambar 1. Jadwal Imunisasi

Gambar 2. Keterangan Jadwal Imunisasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman RE., et.el. Ilmu Kesehatan Anak NELSON Edisi 12 Bagian 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2000.

2. Imunisasi pada anak. Available moslem.blogspot.com

3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta. 1985.

4. Kuliah Imunisasi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar. 2003.

5. JAdwal Imunisasi di Indonesia. Available Wikipedia_indonesia.

6. Imunisasi Anak. Available at small living

7. Jadwal imunisasi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Periode 2004. Available at idai.com

REFERAT IMUNISASI 14