implikasi yuridis batalnya undang-undang nomor 9...
TRANSCRIPT
i
IMPLIKASI YURIDIS BATALNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TERHADAP
YAYASAN PERGURUAN TINGGI SWASTA DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
SITI ANISAH
1110048000023
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
v
ABSTRAK
SITI ANISAH, NIM : 1110048000023, Implikasi Yuridis Batalnya Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 terhadap Yayasan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta di
Indonesia, Strata Satu (S1), Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1435H/ 2013M. x +
64 Halaman + 4 Lampiran.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 11-14-21-126-136/PUU-
VII/2009 pada tanggal 31 Maret 2010, telah menutup eksistensi segala hal mengenai
Badan Hukum Pendidikan yang dirancang sebagai lembaga penyelenggara
pendidikan formal termasuk disini penyelenggara pendidikan tinggi. Dasar Hukum
mengenai Badan Hukum Pendidikan sebagaimana yang tersebut dalam Penjelasan
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, oleh karena itu hal ini akan menimbulkan permasalahan
seperti status badan hukum yayasan yang menyelenggarakan perguruan tinggi swasta
di Indonesia serta peraturan apa yang digunakan sebagai pengganti Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan
fakta serta menganalisa permasalan yang ada. Penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan
analisa terhadap yayasan penyelenggara perguruan tinggi swasta pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 penyelenggaraan perguruan tinggi swasta kembali
kepada payung hukum Undang-Undang Yayasan dan juga memperhatikan pada
peraturan perundang-undangan tentang Perguruan Tinggi, yang dipertegas kembali di
dalam Pasal 220E Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010
tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Kata Kunci : Penyelenggara Pendidikan, Badan Hukum Pendidikan, Yayasan
Perguruan Tinggi Swasta
Pembimbing Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. dan Feni Arifiani, S.Ag., M.H.
Sumber Rujukan dari tahun 1993 sampai 2014.
vi
KATA PENGANTAR
Dengan iringan doa dan puji syukur kepada Allah SWT karena atas izin-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi sebagai salah satu syarat yang
harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam tak lupa penulis
hanturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan
sahabatnya, karna berkat perjuangannya kita dapat memeluk agama Islam sampai saat
ini. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril
maupun materil, juga masukan serta saran. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Yth. Dr. H. JM. Muslimin, M.A. selaku dekan beserta seluruh jajaran dekanat
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Prodi Ilmu Hukum Bapak Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H., M.A., M.H. dan
Sekertaris Prodi Ilmu Hukum Bapak Drs. Abu Thamrin S.H., M.Hum.
3. Dosen Pembimbing Penulis, Bapak Feni Arifiani, S.Ag., M.H. dan Bapak Drs.
Abu Thamrin S.H., M.Hum yang dengan sabar telah membimbing penulis sampai
dengan selesainya penulisan skripsi ini.
4. Segenap dosen pengajar tetap maupun tidak tetap Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh staf Perpustakaan Utama dan
Perpustaan Fakultas Syariah dan Hukum yang merupakan bagian yang membantu
dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Yang tercinta ayahanda Bpk. Sa’ari Suhaimi, Alm. terimakasih telah membuat
ananda mengerti arti kata “Ikhlas”, semoga kita akan dipertemukan di Akhirat
nanti dan untuk wanita terkasih Umminda Hj. Sa’adah Dasuki. Terimakasih atas
segala do’a tulus serta dukungan tanpa pamrih yang ummi berikan. Ananda
vii
mohon maaf untuk semua rasa sakit yang pernah ananda buat. Mata’anallah
bithulli hayaatiha..
6. Untuk keluarga yang senantiasa meramaikan suasana dan selalu memberikan
dukungan moril serta materil pada penulis, yaitu kakanda Siti Rohimah, Nurlaila,
Achmad Husein (Alm.), Nurhikmah Ramadhana, Muhammad Hasan, Nur Ali,
Nurhasanah dan adikku Siti Sarah. Juga untuk keponakan-keponakanku terutama
Edgar Emir Hidhayat dan Elmira Husna Raharjo. Antenis love y’all.
7. Untuk mesin penyemangatku Dhery Faizy Pramana terimakasih untuk waktu,
tenaga, bimbingan dan support tiada henti yang kamu berikan. Serta untuk Mama,
Papa, Pepi, Abib, Aa, Kak Sahla dan Si kecil Khalisa terimakasih telah membuat
penulis merasakan kasih sayang tulus, semoga Allah SWT mentakdirkan kita
menjadi keluarga selamanya, Amin.
8. Untuk pengisi hidup paling heboh, my Dergamor Ajeng, Defi, Ocha, Bibil, Nazia
dan Kiki terimakasih telah meramaikan dikala sepi, menghibur dikala sedih,
mengingatkan dikala lupa dan menertawakan dikala terpuruk.
9. Seluruh mahasiswa Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terutama
angkatan 2010 konsentrasi Hukum Bisnis dan Kelembagaan Negara khususnya
untuk Apri, Liza, Atik, Nourma, Mona, Fika, Endah, Cantika, Kendri, Ainul,
Nadia dan seluruhnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga kita
semua menjadi Sarjana Hukum yang amanah, Amin.
Jazakumullah Khairan katsiir, semoga Allah SWT membalas kebaikan
mereka semua dan semoga jalan yang telah ditapaki bersama kini akan membawa
kebersamaan pula nanti.
Jakarta, 22 April 2014
Siti Anisah
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................... 9
F. Kerangka Konseptual ....................................................................... 10
G. Metode Penelitian............................................................................ 12
H. Sistematika Penulisan ...................................................................... 17
BAB II TINJAUAN UMUM YAYASAN PERGURUAN TINGGI SWASTA 19
A. Dasar Hukum Yayasan ..................................................................... 19
B. Yayasan Sebagai Badan Hukum ...................................................... 22
C. Yayasan Sebagai Badan Hukum Penyelenggara Perguruan
Tinggi Swasta ................................................................................... 26
D. Asas Nirlaba Pada Yayasan ............................................................. 27
ix
BAB III JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM
PENDIDIKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI ................ 31
A. Permohonan Judicial Review Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan oleh ABPPTSI ke Mahkamah Konstitusi RI ................ 31
B. Pokok Permohonan dan Putusan Judicial Review Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan oleh ABPPTSI ...................................... 40
BAB IV PERUBAHAN STATUS BADAN HUKUM YAYASAN
PERGURUAN TINGGI SWASTA PASCA BATALNYA UNDANG-
UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN ..................................... 46
A. Status Badan Hukum Yayasan Perguruan Tinggi Swasta Ditinjau Dari
Sebelum Berlakunya Undang-Undang Yayasan ................................ 46
B. Pengaturan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia ............ 48
C. Penerapan Konsep Badan Hukum Pendidikan Pada Yayasan
Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta ........................................... 52
D. Status Badan Hukum Yayasan Penyelenggara Perguruan Tinggi
Swasta Ditinjau Dari Dikabulkannya Hak Uji Materil Atas Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan Oleh Mahkamah Konstitusi ....... 56
BAB V PENUTUP ................................................................................................... 60
A. Kesimpulan ............................................................................................. 60
B. Saran ...................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 62
LAMPIRAN ............................................................................................................. 65
x
DAFTAR LAMPIRAN
Surat Permohonan Data Wawancara
Surat Keterangan Wawancara
Daftar Pertanyaan Wawancara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan
kebiasaan sekelompok orang yang di transfer dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan biasanya
berawal saat seorang bayi dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.1
Pendidikan merupakan bagian esensial dari hak asasi manusia, yang
diselenggarakan oleh setiap negara demi tercapainya cita-cita nasional
Negara. Pengaturan pendidikan dalam konstitusi negara menimbulkan hak
konstitusional bagi setiap rakyat Indonesia dan kewajiban konstitusional bagi
negara, yaitu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan
sedangkan negara berkewajiban untuk mengusahakan, menyelenggarakan,
dan membiayai pendidikan serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setiap orang memiliki kebebasan untuk membentuk dan mengelola
institusi-institusi pendidikan. Kebebasan ini mencakup pula hak untuk
membentuk dan mengelola segala bentuk institusi pendidikan,2 karena
peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas
merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan
1 Wikipedia, “Filosofi Pendidikan”, diakses pada Kamis, 8 Mei 2014 dari id.wikipedia.org
2 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan,
(Jakarta : Komnas HAM, 2005), h. 31.
2
tujuan Negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu :
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.”
Sejalan dengan itu, Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai
berikut :
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.”
Amanat dalam pasal 28C ayat (1) UUD 1945 tersebut dipertegas oleh
Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.” 3
Pesan di dalam UUD 1945 bidang pendidikan kemudian
ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950
tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, yang selanjutnya
diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dan diganti lagi menjadi Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3 Dodi Nandika, Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, Cet. I, (Jakarta : Pustaka
LP3ES Indonesia, 2007) , h. 3.
3
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa “Penyelenggara dan/ atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.” itu artinya penyelenggara pendidikan formal baik yang didirikan
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat harus berbentuk badan hukum
pendidikan.
Ketentuan mengenai badan hukum pendidikan selanjutnya diatur
dalam undang-undang tersendiri, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 53
ayat (4) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyabutkan
bahwa “Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-
undang tersendiri.” Dasar itulah yang menjadi pijakan bagi terbentuknya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Badan Hukum Pendidikan merupakan suatu bentuk badan hukum
lembaga pendidikan formal di Indonesia yang berbasis pada otonomi dan
nirlaba. Badan Hukum Pendidikan dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang disahkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 17 Desember 2008.
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bersifat
kontroversial dan menimbulkan pro-kontra dari berbagai elemen masyarakat.
Kontroversi timbul sebagai akibat adanya ketentuan unifikasi bagi
penyelenggaraan pendidikan termasuk mengenai tata kelola, komersialisasi
4
pendidikan terkait adanya otonomi pengelolaan pendidikan dengan berprinsip
nirlaba dan pengelolaan dananya secara mandiri yang berujung pada
mahalnya biaya pendidikan.
Ketentuan unifikasi dan otonomi pendidikan menimbulkan
kekhawatiran terjadi pengalihan kewajiban negara kepada pihak swasta
sehingga pada tahun 2010, bentuk Badan Hukum Pendidikan telah dihapuskan
sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 11-
14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut menyebabkan kekosongan
hukum (rechtvacum) dalan dunia pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan
di Indonesia, sehigga telah menutup eksistensi segala hal mengenai Badan
Hukum Pendidikan yang dimaksudkan sebagai lembaga penyelenggara
pendidikan formal.
Dengan demikian hal ini akan menimbulkan permasalahan seperti
status badan hukum yayasan penyelenggara perguruan tinggi swasta di
Indonesia, kedudukan hukum akta/ pengesahan Badan Hukum Pendidikan
Masyarakat, serta ketentuan hukum mengenai pendirian dan penyesuaian
yayasan yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.
Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi RI mengenai pembatalan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan jelas berpengaruh pada yayasan
5
penyelenggara perguruan tinggi swasta di Indonesia yang juga merupakan
sebuah yayasan penyelenggara pendidikan.
Melihat pada kedudukan antara Yayasan Pendidikan dan status Badan
Hukum Pendidikan, juga mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI
yang menganggap bahwa Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tidak
memiliki kekuatan hukum tetap, membuat penulis tertarik untuk membahas
penyesuaian keduanya yang disertai dengan studi kasus pada Yayasan
Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah.
Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah merupakan satu dari empat
belas yayasan pendidikan yang tergabung dalam Asosiasi Badan
Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) yang
melakukan pengajuan judicial review Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan, sehingga penulis menjadikan penelitian ini
dengan judul “IMPLIKASI YURIDIS BATALNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 9 TAHUN 2009 TERHADAP YAYASAN PERGURUAN
TINGGI SWASTA DI INDONESIA”
B. Identifikasi Masalah
1. Mengapa Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinyatakan tidak
berkekuatan hukum tetap
2. Perubahan apa yang dilakukan yayasan perguruan tinggi swasta selama
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan berlaku
6
3. Apa alasan Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia (ABPPTSI) mengajukan judicial review Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan
4. Penyesuaian apa yang dilakukan yayasan perguruan tinggi swasta di
Indonesia pasca batalnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan mengenai implikasi batalnya
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan,
maka penulis membatasi masalah dalam penelitian ini hanya mengenai
implikasinya pada yayasan pendidikan yang menyelenggarakan perguruan
tinggi swasta saja, dalam hal ini sampai pada bagaimana pengaturan
pelaksanaan pendidikan oleh yayasan perguruan tinggi swasta secara
umum dan penyesuaian apa yang harus dilakukan oleh yayasan perguruan
tinggi swasta di Indonesia.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan dan tata kelola yayasan penyelenggara
perguruan tinggi swasta di Indonesia sebelum adanya Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan ?
7
b. Penyesuaian apa yang harus dilakukan oleh yayasan perguruan tinggi
swasta di Indonesia pasca batalnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2009 tentang Badan Hukum Pendidikan ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaturan serta tata kelola yayasan penyelenggara
perguruan tinggi swasta di Indonesia sebelum adanya Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
b. Untuk mengetahui penyesuaian apa saja yang dilakukan yayasan
penyelenggara perguruan tinggi swasta di Indonesia pasca batalnya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan.
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan mengenai status beserta pengaturan tata kelola yayasan
penyelenggara perguruan tinggi swasta di Indonesia setelah batalnya
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
8
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
1) Bagi Akademis
Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang kelak
dapat diterapkan dalam dunia nyata sebagai bentuk partisipasi
dalam pembangunan Negara dan masyarakat Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta dalam kehidupan
bangsa sebagai bagian dari masyarakat internasional.
2) Bagi Masyarakat Umum
Dapat menjadi masukan bagi pengurus masyarakat umum
dan pengurus yayasan penyelenggara perguruan tinggi swasta pada
khususnya agar dapat mengetahui pengaturan mengenai
pelaksanaan yayasan perguruan tinggi swasta di Indonesia pasca
batalnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
3) Bagi Pemerintah
Dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk bisa
membuat peraturan tentang yayasan penyelenggara perguruan
tinggi swasta yang tidak menghilangkan eksistensi yayasan
sebagai salah satu penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
9
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Adapun yang menjadi tinjauan atau review kajian terdahulu penelitian
ini adalah berupa skripsi dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 Mengenai Pengujian
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Terhadap Status Universitas
Indonesia” oleh Rizka Khaira Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Skripsi tersebut menjelaskan mengenai status badan hukum
Universitas Indonesia yang telah menjadi Badan Hukum Milik Negara sesuai
dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Pasca dihapusnya
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi RI
maka Universitas Indonesia perlu melakukan penyesuaian terhadap peraturan
pengganti yang mengatur mengenai Badan Hukum Milik Negara.
Berbeda dengan Rizka Khaira, penulis disini membahas mengenai
penyesuaian yayasan penyelenggara perguruan tinggi swasta di Indonesia
setelah batalnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan melalui putusan
Mahkamah Konstitusi RI yang menganggap bahwa Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan tidak berkekuatan hukum tetap.
Penulis juga akan mencari jawaban mengenai pengaturan yayasan
penyelenggara perguruan tinggi swasta di Indonesia dan melakukan penelitian
langsung pada Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah serta Asosiasi Badan
Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) untuk dapat
10
mengetahui peraturan apa yang menjadi payung hukum yayasan
penyelenggara perguruan tinggi swasta di Indonesia saat ini.
Sejauh penelusuran penulis, belum ada yang melakukan penelitian
mengenai kedudukan yayasan pendidikan setelah batalnya Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan dan setelah melakukan inventarisasi judul skripsi
di Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, skripsi berjudul
“Implikasi Yuridis Batalnya Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 terhadap
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia” belum pernah diangkat
sebelumnya sebagai judul skripsi. Jadi, penelitian yang penulis tulis (sejauh
yang diketahui penulis) belum pernah dibahas sebelumnya.
F. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mencakup
definisi-definisi operasional.4 Adapun kerangka konseptual dalam penelitian
ini meliputi :
1. Penyelenggara Pendidikan
Yang dimaksud penyelenggara pendidikan adalah para pihak yang
berkontribusi untuk memberikan fasilitas atau kebutuhan secara umum
dalam pelaksanaan pendidikan.
4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Cet. IX, (Jakarta:Rajawali Press, 2006), h. 132-133.
11
Secara umum penyelenggara pendidikan di Indonesia adalah
Pemerintah yang secara jelas mendirikan sekolah Negeri dan pihak swasta
yang dalam hal ini organisasi formal yaitu organisasi yang secara formal
menetapkan tujuan yang akan dicapainya itu dengan tertulis berdasarkan
peraturan atau hukum yang berlaku, menetapkan pola kegiatan, dan
menekan pada koordinasi dan hierarki kewenangan.5 Termasuk dalam hal
ini Yayasan sebagai penyelenggara pendidikan.
2. Badan Hukum Pendidikan
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan, yang dimaksud Badan Hukum Pendidikan
adalah Badan Hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Namun
setelah batalnya Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan
tersebut, terdapat pengertian khusus mengenai Badan Hukum Pendidikan
yang disampaikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-
126-136/PUU-VII/2009, bahwa Badan Hukum Pendidikan dimaknai
sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai
bentuk badan hukum tertentu.
3. Yayasan Perguruan Tinggi Swasta
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi
pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi Swasta yang
5 H.M. Daryanto, Administrasi Pendidikan,Cet. VII, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), h. 3.
12
selanjutnya disingkat PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/
atau diselenggarakan oleh masyarakat.
Kemudian dalam Undang-Undang yang sama pasal 8 ayat (2)
menyatakan bahwa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) didirikan oleh
masyarakat dengan membentuk Badan Penyelenggara berbdan hukum
yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin dari Menteri. Atas
ketentuan tersebut maka yayasan sebagai badan hukum yang berprinsip
nirlaba juga dapat dikatakan sebagai penyelenggara pendidikan termasuk
penyeenggara perguruan tinggi swasta.
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian bersifat
normatif empiris yeng terdiri dari penelitian terhadap identifikasi masalah
hukum dan penelitian terhadap efektivitas hukum.6
Identifikasi masalah dilakukan dengan cara melihat sebab serta
akibat yang timbul dari batalnya Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan tertutama dampak yang dirasakan oleh yayasan penyelenggara
perguruan tinggi swasta di Indonesia. Sedangkan penelitian terhadap
efektivitas hukum dimaksudkan untuk melihat efektiv tidaknya suatu
6 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. III, (Jakarta : Rajagrafindo, 2001),
h. 42.
13
bentuk peraturan yang mengatur mengenai yayasan penyelenggara
perguruan tinggi swasta di Indonesia.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah Case Aprroach atau
pendekatan kasus. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan
telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan yang tetap.
Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio
decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai
kepada suatu putusan.7 Dalam hal ini adalah alasan mengapa Undang-
Undang tentang Badan Hukum Pendidikan dinyatakan tidak berkekuatan
hukum tetap oleh Mahkamah Konstitusi RI.
3. Sumber Data
Data yang digunakan penulis dalam penelitian ini berupa data
primer dan data sekunder.
a. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan
melalui penelitian. Salah satu sumber data primer adalah wawancara.
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya
langsung pada orang yang diwawancarai.8 Dalam penelitian ini penulis
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. V, (Jakarta : Kencana, 2009), h. 94.
8 Ronny Hanintijio Soemitro, Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. V, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1994), h. 57.
14
akan melakukan wawancara untuk mencari sumber data ke Yayasan
Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah yang merupakan satu dari empat belas
yayasan penyelenggara perguruan tinggi yang ikut serta dalam
pengajuan judicial review Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
b. Data sekunder adalah data yang sebelumnya telah diolah oleh orang
lain. Data sekunder antara lain dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, dan lain-lain.9
Adapun yang yang menjadi data sekunder dalam penulisan skripsi ini
adalah :
1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari norma (dasar) yaitu pembukaan
UUD 1945, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum
adat, traktat, dan peraturan lain yang mengikat.
Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis antara lain :
a) UUD 1945
b) Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 11-14-21-126-
136/PUU-VII/2009
c) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan
d) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
9 Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, h. 12.
15
e) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas PP No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang tentang Yayasan
f) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
g) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi
h) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan
Perguruan Tinggi
2) Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari rancangan undang-undang,
hasil-hasil karya dari kalangan hukum yang dapat memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.
3) Bahan Hukum Tersier, terdiri dari ensiklopedia dan kamus yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder.10
Bahan hukum tersier tersebut terdiri dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
4. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan bahan hukum penelitian ini adalah studi
dokumen. Studi dokumen ini dilakukan dengan cara analisa isi (content
10
Sri Mamuji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet. I, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4.
16
analysis), yaitu teknik untuk menganalisa tulisan/ dokumen dengan
mengidentifikasi secara sistematik ciri/ karakter dan pesan/ maksud yang
terkandung dalam tulisan suatu dokumen.11
Prosedur pengumpulan data melalui observasi dan wawancara juga
digunakan penulis dalam penelitian ini. Diantaranya wawancara mengenai
dampak batalnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan terhadap
yayasan penyelenggara perguruan tinggi swasta di Indonesia.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan penelitian ini dilakukan dengan menganalisis Putusan
Mahkamah Konstitusi RI mengenai pembatalan Undang-undang Badan
Hukum Pendidikan terhadap status yayasan penyelenggara perguruan
tinggi swasta di Indonesia yang disertai dengan studi terhadap Undang-
Undang pengelolaan Perguruan Tinggi di Indonesia saat ini dan studi
kasus pada Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah sebagai yayasan
yang menyelanggarakan perguruan tinggi swasta.
Metode analisis data yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian
yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan prilaku nyata.12
11
Sri Mamuji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, h. 29-30. 12
Sri Mamuji, Metode Penelitian dan Penelitian Hukum, h. 67.
17
Bentuk hasil penelitian bila dikaitkan dengan tipologi penelitian ini
adalah deskriptif-analitis. Bentuk deskriptif-analitis adalah bentuk hasil
penelitian yang menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu
gejala.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri
atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun
perinciannya sebagai berikut :
BAB I : Bab pertama skripsi ini merupakan bab pendahuluan yang
memuat mengenai latar belakang masalah yang berisi alasan
mengapa penulis mengambil judul skripsi ini. Selain latar
belakang, dalam bab ini juga dijabarkan mengenai tata cara
penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini.
BAB II : Bab ini merupakan bab pengantar untuk menjelaskan secara
umum mengenai gambaran umum skripsi ini. Berjudul tinjauan
umum yayasan perguruan tinggi swasta, menjelaskan apa yang
dimaksud dengan yayasan disertai dengan tinjauan yayasan
sebagai badan hukum. Poin berikutnya menjelaskan mengenai
18
yayasan penyelenggara perguruan tinggi swasta yang
hubungan antara yayasan dengan perguruan tinggi swasta.
BAB III : Pada bab ini penulis memasukkan profil yayasan yang
mengajukan judicial riview terhadap Undang-Undang No 9
tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan ke Mahkamah
Konstitusi disertai dengan alasan hukum pengajuan judicial
review tersebut.
BAB IV : Bab ini merupakan bab khusus yang menjawab mengenai
rumusan masalah skripsi ini yaitu mengenai pengaturan
yayasan perguruan tinggi swasta di Indonesia yang disertai
dengan penjelasan dampak dari batalnya Undang-Undang No 9
tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap
yayasan penyelenggara perguruan tinggi swasta.
BAB V : Bab ini merupakan bab penuutup. Juga merupakan bab terakhir
dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa
kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis juga
memberikan saran untuk pembahasan skripsi ini.
19
BAB II
TUNJAUAN UMUM YAYASAN PERGURUAN TINGGI SWASTA
A. Dasar Hukum Yayasan
Eksistensi yayasan di Indonesia sudah tidak diragukan lagi, bahkan
sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
kedudukan Yayasan sebagai Badan Hukum (rechtspersoon) sudah diakui, namun
status yayasan saat itu dipandang masih lemah, karena masih tunduk pada aturan-
aturan yang bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat.
Demi menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi
sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus 2001 disahkan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang mulai berlaku 1
(satu) tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6
Agustus 2002.
Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 melalui Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 kembali disahkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.1
1 Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Cet. I, (Bandung :
PT.Eresco, 1993), h. 165.
20
Peraturan mengenai yayasan juga terdapat pada Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan
dan yang paling baru terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan.
Peraturan Pemerintah terbaru tersebut secara umum bertujuan untuk
memberikan kemudahan kepada masyarakat yang mendaftarkan pendirian
dan/atau melakukan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dalam rangka
penyesuaian dengan Undang-Undang Yayasan.
Undang-Undang tentang Yayasan ini dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan juga untuk
menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi yayasan
sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaaan dan akuntabilitas.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan “Yayasan adalah badan hukum yang
terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai
anggota.”
21
Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai kegiatan yang
bersifat sosial dan mempunyai tujuan idiil.2 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yayasan diartikan sebagai badan hukum yang tidak mempunyai
anggota, dikelola oleh sebuah pengurus dan didirikan untuk tujuan sosial
(mengusahakan layanan dan bantuan seperti sekolah dan rumah sakit).3 Jadi suatu
yayasan itu tidak mempunyai anggota, tetapi harus mempunyai pengurus sebagai
pengelola.
Sedangkan menurut I.P.M Ranu Handoko, BA dalam bukunya,
Terminologi Hukum, yang dimaksud dengan yayasan adalah “Organisasi yang
biasanya bertujuan sosial/ pendidikan, badan hukum yang abstrak.”4
Menurut Black’s Law Dictionary :
“Foundation.1. The basis on which something is supported esp,
evidence or testimony that establishes the admissibility of other
evidence (laying the foundation) .2. A fund established for charitable,
educational, religious, research, or other benevolent purposes ; an
endowment (the foundation for the arts)”
“Artinya : Foundation 1. Dasar pada sesuatu yang didukung,
khususnya bukti atau pengujian yang membangun/ menetapkan
penerimaan akan bukti lain. 2. Suatu dana yang ditetapkan untuk riset/
percobaan yang bersifat social, pendidikan, agama/ religius atau untuk
kepentingan lain yang menguntungkan ; sokongan, sumbangan
(terjemah bebas).” 5
2 Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Cet. IV, (Bekasi : Kesaint Blanc, 2005) h. 3.
3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cet. III, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990) h. 1015.
4 I.P.M. Ranu Handoko, Terminologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 297.
5 Black’s Law Dictionary, 7
th ed. Bryan A. Garner editor-in chief, (St. Paul, Minnesota: West
Group, 1999) h. 666.
22
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), hanya memuat 1
pasal, yaitu Pasal 365 yang menyinggung tentang yayasan. Dalam pasal tersebut,
disebutkan bahwa yayasan itu merupakan suatu perhimpunan yang berbadan
hukum, walaupun tidak dijelaskan unsur-unsur dari yayasan itu sendiri. Isi pasal
itu hanya menekankan masalah perwalian yang dapat dilakukan oleh suatu
yayasan atau lembaga amal yang dalam anggaran dasarnya mencantumkan
kegiatan usaha untuk memelihara anak-anak yang belum dewasa, atas perintah
hakim.6
B. Yayasan Sebagai Badan Hukum
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
mengakhiri perdebatan para ahli hukum mengenai apakah yayasan merupakan
suatu badan hukum atau bukan. Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan disebutkan bahwa “Yayasan adalah badan hukum
yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”
Dengan ketentuan Pasal 1 tersebut, maka jelaslah bahwa yayasan
merupakan suatu badan hukum yang ketentuannya sudah diatur di dalam Undang-
Undang sendiri, bukan seperti sebelum adanya Undang-Undang, yakni status
yayasan yang hanya berdasarkan pada kebiasaan, doktrin dan yurisprudensi.
6 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio. Cet. 40 (Jakarta : Pradnya Paramita, 2009), ps. 365.
23
Mengenai pengaturan kekayaan yang terdapat pada badan hukum yayasan,
ada teori yang disampaikan oleh Chatamarrasid Ais dalam bukunya Badan
Hukum Yayasan bahwa suatu badan hukum dapat merupakan atau terdiri dari
kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu adalah berdasarkan
Teori Kekayaan Bertujuan, yang pada mulanya diajukan oleh A.Brinz.
Menurut teori tersebut hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum.
Akan tetapi, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya hak-
hak atas suatu kekayaan. Sedangkan tidak ada satu manusia pun mejadi
pendukung hak-hak itu. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum,
sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya, dan sebagai
gantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau
kekayaan yang dimiliki oleh tujuan tertentu. Pada teori ini secara selintas
mendukung pula pandangan bahwa yayasan adalah milik masyarakat.7
Istilah yayasan merupakan terjemahan dari istilah bahasa belanda yaitu
Stichting. Istilah ini sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari,
karena istilah Yayasan merupakan istilah baku dalam bahasa Indonesia dan telah
diterima masyarakat.
Peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia yang berlaku
saat ini, meskipun cukup banyak yang menyebutkan atau mempergunakan istilah
badan hukum tidak ada satupun yang memberikan pengertian atau definisi dari
7 Chatamarrasid Ais, Badan Hukum Yayasan, Cet. II, (Jakarta : PT Citra Aditya Bakti, 2003),
h. 40.
24
badan hukum. Badan hukum merupakan istilah terjemahan istilah hukum Belanda
yaitu rechtspersoon. Selain Undang-Undang tentang Yayasan, penggunaan istilah
badan hukum dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku, antara lain dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas misalnya.8
Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan
memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau oleh
kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas nama
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kehadiran badan hukum dalam pergaulan hukum masyarakat sejak
permulaan abad ke-19 sampai sekarang telah menarik perhatian kalangan hukum.
Berbagai tokoh dan pendukung aliran/ mahzab ilmu hukum dan filsafat hukum
telah mengemukakan pendapat mengenai eksistensi badan hukum sebagai subjek
hukum disamping manusia.9
Badan hukum di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa bagian
yaitu :
8 Gunawan Widjaja, Suatu Panduan Komprehensif Yayasan di Indonesia, Cet. I, (Jakarta :
PT. Elex Media Koraputindo, 2002), h. 7-9.
9 Chidir Ali, Badan Hukum, Cet. II, (Bandung : Alumni, 1999), h. 29.
25
1. Badan hukum menurut macamnya :
a. Badan Hukum orisinil (murni/ asli), yaitu Negara, contohnya
Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus
1945;
b. Badan Hukum yang tidak orisinil (tidak murni/asli), yaitu badan-
badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan
ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata.
2. Badan hukum menurut jenisnya :
a. Badan Hukum Publik, yaitu badan hukum yang diadakan oleh
kekuasaan umum misalnya Negara Republik Indonesia mendirikan
Badan Usaha milik Negara, bahkan daerah-daerah otonom dapat
mendirikan bank-bank daerah;
b. Badan Hukum Perdata ialah badan hukum yang terjadi atau
didirikan atas pernyataan kehendak dari orang-perorangan
misalnya antara lain, perkumpulan koperasi, Yayasan dan lain
sebagainya.
3. Badan hukum menurut sifatnya ada dua macam yaitu Korporasi dan
Yayasan, mengenai kedua badan hukum tersebut E. Utrecht menjelaskan ;
a. Korporasi ialah suatu gabungan orang dalam pergaulan hukum
bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri,
suatu personifikasi, korporasi adalah badan hukum yang
26
beranggota tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang
terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya masing-masing.
b. Yayasan ialah tiap kekayaan yang tidak merupakan kekayaan
orang atau kekayaan badan dan yang diberi tujuan tertentu. Dalam
pergaulan hukum Yayasan itu bertindak sebagai pendukung hak
kewajiban tersendiri, seperti yayasan yang menjadi dasar keuangan
bagi kelompok swasta. 10
C. Yayasan Sebagai Badan Hukum Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi telah
mengatur banyak mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi. Baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun yang diselenggarakan oleh pihak
swasta. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 60 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Pendidikan Tinggi bahwa “1) PTN didirikan oleh Pemerintah. 2) PTS didirikan
oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang
berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.”
Yayasan sebagai penyelenggara pendidikan tinggi mempunyai dasar
hukum yang kuat untuk melaksanakan kegiatannya sesuai dengan pasal 1 ayat (8)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa
“Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat PTS adalah Perguruan
Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.” Masyarakat
10
Chidir Ali, Badan Hukum, h. 55-63.
27
disini diartikan sebagai badan penyelenggara berbadan hukum yang kemudian
dijelaskan dalam pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang
berbunyi “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berbentuk yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh yayasan merupakan
kategori kegiatan sosial karena tujuan untuk memajukan pendidikan sudah pasti
termasuk di dalam tujuan sosial kemanusiaan, tanpa mempersoalkan asal
penerimaan sumbangan pendidikan, atau dengan kata lain sumber
penghasilannya, tetapi yang penting adalah tujuannya. Bidang pendidikan
merupakan bidang yang paling banyak menggunakan bentuk badan hukum
yayasan. Tujuannya adalah untuk mencerdaskan bangsa, memajukan pendidikan,
dan/ atau meningkatkan mutu pendidikan.11
D. Asas Nirlaba Pada Yayasan
Arti nirlaba sebenarnya adalah tidak mencari laba atau keuntungan. Suatu
keuntungan dapat terjadi jika suatu modal setelah diusahakan ternyata
memperoleh hasil yang melebihi modal tersebut. Untuk nirlaba, modal yang ada
tidak diolah untuk mendapatkan keuntungan, melainkan untuk melakukan suatu
kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
11
Anwar Borahima, Kedudukan Yayasan di Indonesia, (Eksistensi, Tujuan dan Tanggung
Jawab Yayasan), Cet. I, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 90.
28
Pada dasarnya Undang-Undang Yayasan menganut asas nirlaba. Undang-
Undang dengan tegas mengatur mendirikan yayasan bukan untuk bertujuan
mencari keuntungan, akan tetapi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1
tentang pengertian yayasan, bahwa tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan.
Asas tersebut juga terlihat pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang tentang
Yayasan yang menyebutkan bahwa yayasan tidak boleh membagikan hasil
kegiatan usaha kepada pembina, pengurus, dan pengawas. Ini artinya, ketiga
organ yayasan tersebut tidak boleh mencari keuntungan dengan menggunakan
lembaga yayasan.12
Berbeda dengan pandangan diatas, Soemitro mengatakan bahwa yayasan
lebih tepat disebut sebagai Organisasi Tanpa Tujuan Laba (OTTL) sebagai
terjemahan dari Non-Profit Organization. Istilah OTTL lebih tepat daripada
nirlaba, karena kata “Nir” yang berasal dari bahasa jawa berarti tanpa, sehingga
nirlaba berarti tanpa laba, sedangkan yayasan adakalanya memperoleh laba atau
keuntungan, tetapi hal ini tidak menjadi tujuan yang utama.13
Lebih jauh dijelaskan bahwa istilah OTTL ini lebih luas daripada istilah
yayasan. Yayasan ada lah OTTL, tetapi sebaliknya OTTL tidak selalu merupakan
12
Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, Cet. I, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008),
h.110.
13 Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Wakaf, h.161.
29
yayasan. Jadi yayasan merupakan salah satu organisasi tanpa tujuan laba. Oleh
karena itu kata “tujuan” harus dicantumkan dalam istilah.
Undang-Undang Yayasan sangat menekankan keterbukaan dan
akuntabilitas yayasan. Keterbukaan disini menyangkut kelangsungan usaha
yayasan yang perlu diketahui oleh public, sehingga apapun yang terjadi dengan
yayasan, wajib bagi pengurus untuk melaporkannya kepada masyarakat. Dalam
UU Yayasan ditegaskan juga mengenai bagaimana sikap pengurus dan pegawas
dalam menjalankan tugas.
Pengurus dan pengawas yayasan dituntut untuk menjalankan tugas dengan
itikad baik. Itikad baik maksudnya pengurus dan pengawas harus mengelola
dengan jujur. Jujur berarti terbuka untuk memberitahukan apa saja yang telah
terjadi pada yayasan kepada pihak-pihak yang berhak mengetahui kelangsungan
yayasan sehingga, tidak ada yang harus disembunyikan dan dirahasiakan dari
yayasan.
Keterbukaan ini harus disertai dengan ciri akuntabilitas.14
Maksudnya,
kondisi keuangan yayasan harus selalu bisa dimonitor oleh masyarakat dan
pemerintah. Hal ini nyata dalam laporan keuangan yayasan yang harus
diumumkan dalam ikhtisar laporan tahunan. Terkait kedua ciri ini, Undang-
Undang Yayasan mengatur juga mengenai keharusan yayasan untuk
mengumumkan ikhtisar laporan tahunan.
14
Rita M. Risiko Hukum Bagi Pembina, Pengawas & Pengurus Yayasan, Cet. I, (Jakarta :
Forum Sahabat, 2009), h. 45.
30
Jadi pada dasarnya yayasan merupakan sebuah badan hukum yang
terbuka. Dimana masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui segala sesuatu
berkenaan dengan berjalannya hidup suatu yayasan terutama disini yayasan
penyelenggara pendidikan.
31
BAB III
JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI
A. Permohonan Judicial Review Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
oleh ABPPTSI (Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia) ke Mahkamah Konstitusi RI
1. Profil ABPPTSI
ABPPTSI (Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia) didirikan dengan Anggaran Dasar berdasarkan Akta Nomor 24,
tanggal 26 Maret 2004 oleh Alfi Sutan Notaris di Jakarta, yang telah
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005,
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 27 tanggal 5 April 2005.
Pada saat pengajuan judicial review Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan, ABPPTSI diketuai oleh Prof. Thomas Suyatno dan Prof. Dr.
Jurnalis Uddin, dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua Umum ABPPTSI
serta Dr. Chairuman Armia, M.A., dalam kedudukannya sebagai Sekretaris
Jenderal ABPPTSI.
Dalam pasal 4 dan 5 Anggaran Dasar ABPPTSI disebutkan mengenai
Visi dan Misi ABPPTSI sebagai berikut :
32
a. Visi ABPPTSI :
“Menjadi organisasi yang profesional, kuat, dan berwibawa dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
b. Misi ABPPTSI :
1) Menumbuhkembangkan pengelolaan yang baik dan benar (good
governance) penyelenggaraan dan upaya peningkatan pelayanan
pendidikan tinggi;
2) Membantu dan memfasilitasi badan penyelenggara perguruan tinggi
swasta dalam penyelenggaraan dan upaya peningkatan pelayanan
pendidikan tinggi;
3) Memberdayakan masyarakat untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan dan upaya peningkatan pelayanan pendidikan tinggi.1
Adapun yayasan yang tergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara
Perguruan Tinggi Swasta Indonesia yang ikut serta dalam pengajuan Judicial
Review Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan adalah :
a. Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (Yayasan Yarsi)
b. Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar
c. Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah
d. Yayasan Trisakti, pada saat ini Yayasan Trisakti telah membina dan
mengelola 6 (enam) satuan pendidikan tinggi, yaitu:
1) Universitas Trisakti (USAKTI);
2) Sekolah Tinggi Manajemen Transpor Trisakti (STMTT);
3) Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti (STPT);
4) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Trisakti (STIE);
5) Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti (AKASTRI);
6) Akademi Teknologi Grafik Trisakti (ATGT);
e. Yayasan Pendidikan Dan Pembina Universitas Pancasila
1 Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, (Jakarta : Mahkamah
Konstitusi, 2010)
33
f. Yayasan Universitas Surabaya
g. Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK), Yayasan
memajukan ilmu dan kebudayaan menjalankan kegiatan pendidikan tinggi
melalui Universitas Nasional.
h. Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo2
Kesemua yayasan tersebut diatas mempunyai kepentingannya masing-
masing dalam mempertahankan badan hukum yayasan nya. Salah satunya
yayasan perguruan tinggi As-syafi’iyah yang mempunyai ciri khas model
penyelenggaraan pendidikan berbasis keislaman yang ingin dipertahankan.3
Oleh sebab alasan masing-masing, mereka semua tergabung dalam yayasan
penyelenggara perguruan tinggi swasta di Indonesia yang melakukan
pengajuan judicial review Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
2. Alasan-alasan Hukum Pengajuan Permohonan Judicial Review Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan ke Mahkamah Konstitusi RI
Yayasan merupakan suatu badan hukum yang diakui oleh peraturan
perundang-undangan di Indonesia sejak 1847 dan berdasarkan Pasal 365
KUH Perdata, yayasan telah diatur sebagai lembaga sosial yang memiliki hak
dan kewajiban sebagai seorang manusia, itulah yang menjadi alasan mengapa
ABPPTSI mengajukan permohonan Judicial Review Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan.4
2 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, h. 145-154.
3 Wawancara pribadi dengan Moh. Yasin Ardhy, Jakarta, 16 Maret 2014.
4 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, h. 161.
34
Berkenaan dengan yayasan sebagai subjek hukum, disampaikan oleh
Munir Fuadi dalam bukunya Teori Negara Hukum Modern bahwa
perlindungan terhadap hak-hak rakyat merupakan unsur utama dari suatu
negara hukum, disamping unsur-unsur lainnya. Secara lebih terperinci, unsur-
unsur minimal yang penting dari suatu negara hukum adalah sebagai berikut :
a. Kekuasaan lembaga negara tidak absolut.
b. Berlakunya prinsip trias politica.
c. Pemberlakuan sistem checks and balances.
d. Mekanisme pelaksanaan kelembagaan Negara yang demokratis.
e. Kekuasaan lembaga kehakiman yang bebas.
f. Sistem pemerintahan yang transparan.
g. Adanya kebebasan pers
h. Adanya keadilan dan kepastian hukum.
i. Akuntabilitas publik dari pemerintah dan pelaksanaan prinsp good
governance.
j. Sistem hukum yang tertib berdasarkan konstitusi
k. Keikutsertaan rakyat untuk memilih para pemimpin di bidang eksekutif,
legislatif bahkan judikatif sampai batas-batas tertentu.
l. Adanya sistem yang jelas terhadap pengujian suatu produk legislatif ,
eksekutif maupun judikatif untuk disesuaikan dengan konstitusi. Pengujian
tersebut dilakukan oleh pengadilan tanpa menyebabkan pengadilan
menjadi super body.
m. Dalam negara hukum, segala kekuasaan negara harus dijalankan sesuai
dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
n. Negara hukum haus melindungi hak asasi manusia.
o. Negara hukum harus memberlakukan prinsip due process yang
substansial.
p. Prosedur penangkapan, pengeledahan, pemeriksaan, penyidikan,
penuntutan, penahanan, penghukuman, dan pembatasan-pembatasan hak-
hak si tersangka pelaku kejahatan haruslah dilakukan secara sesuai dengan
prinsip due proses yang prosedural.
q. Perlakuan yang sama di antara warga negara di depan hukum.
r. Pemberlakuan prinsip majority rule minority protection.
s. Proses impeachment yang fair dan objektif.
t. Prosedur pengadilan yang fair, efisien, reasonable, dan transparan.
u. Mekanisme yang fair, efisien, reasonable dan transparan tentang pengujian
terhadap tindakan aparat pemerintah yang melanggar hak-hak warga
negara, seperti melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Penafsirannya yang kontemporer terhadap konsep Negara hukum mencakup
juga persyaratan penafsiran hak rakyat yang luas (termasuk hak untuk
mendapat pendidikan dan tingkat hidup berkesejahteraan), pertumbuhan
ekonomi yang bagus, pemerataan pendapatan, dan sistem politik dan
35
pemerintahan yang modern. Selanjutnya ada dua unsur dalam hukum yang
terpenting sehingga hukum tidak menabrak prinsip-prinsip Negara hukum
adalah “kepastian” (certainly) dan prediktif. 5
Yayasan telah banyak bergerak dalam bidang penyelenggaraan
pendidikan mulai dari yang terendah sampai perguruan tinggi sejak zaman
penjajahan. Secara khusus dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi,
pemerintah mengharuskan berbentuk yayasan atau badan hukum yang
bersifat sosial dengan menganut system nirlaba.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan
Tinggi yang menyebutkan bahwa “Badan Penyelenggara adalah yayasan,
perkumpulan, atau badan hukum nirlaba lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Satuan pendidikan yang berbentuk badan hukum dapat diperuntukkan
bagi pendidikan formal dan pendidikan non formal, yang bertujuan
mencerdaskan spiritual, emosional, intelektual, sosial, dan psikomotorik.
Selanjutnya, yayasan pendidikan tersebut bergerak berdasarkan prinsip-
prinsip nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjamin mutu, layanan
prima, non diskriminasi, keberagamaan, keberlanjutan dan partisipatif.6
5 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Cet. I, (Jakarta : Refika Aditama,
2010), h. 10-11.
6 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Cet. I, ( Jakarta : PT. Sofmedia, 2009), h.65.
36
Selaras dengan itu terdapat ketentuan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu
di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan (Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Yayasan).
Jika penyelenggara pendidikan hanya yang berbentuk badan hukum
pendidikan seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 5 sepanjang anak kalimat
“...dan diakui sebagai badan hukum pendidikan”, Pasal 8 ayat (3) dan Pasal
10 serta Pasal 67 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 62 ayat (1) menyangkut Pasal 67
ayat (2) tentang sanksi administratif serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal
14 sampai dengan Pasal 36) dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,
maka yayasan tidak diperbolehkan lagi menjadi penyelenggara pendidikan,
dan hak hidupnya telah dicabut secara paksa, padahal hak hidup yayasan
telah diatur dalam Undang-Undang Yayasan dan dijamin oleh UUD 1945.
Apabila yayasan tidak diperkenankan lagi menyelenggarakan
pendidikan formal, maka akan terjadi kekosongan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang selama ini dilakukan yayasan, sebab aset dan kemampuan
yayasan tidak dapat dipindah alih tangankan kepada pihak lain, kecuali ke
yayasan yang memiliki kegiatan yang sama, dengan kata lain bahwa aset dan
kemampuan yayasan tidak dapat dialihkan ke badan hukum lain termasuk
badan hukum pendidikan.
37
Jika yayasan yang bergerak di bidang penyelenggaraan pendidikan
tidak diperkenankan lagi menyelenggarakan pendidikan, berarti yayasan
tersebut harus bubar atau membubarkan diri, sementara Pasal 62 Undang-
Undang Yayasan mengatur secara tegas dan terbatas syarat bubarnya
yayasan.
Dilain sisi dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya
pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman
tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam
pembentukan norma hukum secara hierarkis yang berpuncak kepada
supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku
pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.7
Telah diketahui bahwa yayasan yang menyelenggarakan perguruan
tinggi swasta dan badan hukum lainnya yang berhimpun dalam Asosiasi
Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) telah
banyak berbuat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kegiatan
penyelenggaraan pendidikan, sehingga adalah bertentangan dengan UUD
1945 apabila tidak diperbolehkan lagi menyelenggarakan pendidikan.
Mahkamah Konstitusi RI berdasarkan kewenangan yang dimilikinya
harus mengoreksi dan menguji Pasal 1 angka 5 sepanjang anak kalimat
7 Sri Rahayu Oktoberina et al., Butir-butir pemikiran dalam hukum-Memperingati 70 Tahun
Prof.Dr.B.Arief Sidharta, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2008), h. 205.
38
“...dan diakui sebagai badan hukum pendidikan”, Pasal 8 ayat (3) dan Pasal
10 serta Pasal 67 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 62 ayat (1) menyangkut Pasal 67
ayat (2) tentang sanksi administratif serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal
14 sampai dengan Pasal 36) dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
3. Permasalahan Pada Yayasan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Dengan diundangkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
menimbulkan banyak permasalahan pada yayasan, seperti pernyataan dari
Bpk. Yasin Ardhy selaku staff Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah,
beliau mengatakan dengan adanya Badan Hukum Pendidikan akan
memperpanjang birokrasi antara yayasan dengan perguruan tinggi. Adapun
poin-poin lain dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang
menjadi masalah pada yayasan penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
adalah :
a. Berdasarkan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan, ditegaskan bahwa “Badan hukum pendidikan
penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain
sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui
sebagai baan hukum pendidikan.” Permasalahan yang kemudian
timbul yaitu dengan adanya anak kalimat “…diakui sebagai badan
hukum pendidikan” telah membuat pemberian hak kepada yayasan
sebagai Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara menjadi cara untuk
menghilangkan eksistensi yayasan. Yayasan yang formil diakui
sebagai badan hukum dalam menyelenggarakan pendidikan termasuk
disini perguruan tinggi swasta, tetapi harus menyamakan dirinya
dengan/ sebagai badan hukum pendidikan yaitu dengan cara
menyesuaikan tata kelolanya sebagaimana diatur oleh Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan. Untuk menjadi badan hukum pendidikan
maka yayasan harus mengubah Anggaran Dasar, yang untuk itu harus
mendapat persetujuan/ pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi
39
Manusia dan Menteri Pendidikan Nasional. Selain itu akan
berimplikasi pula terhadap hubungan kerja karyawan dan seterusnya.
b. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
menyatakan “Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum sejenis yang
telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP
Penyelenggara.” Akibatnya, yayasan yang telah diakui sebagai Badan
Hukum Penyelenggara harus menjadi Badan Hukum Pendidikan
dengan memenuhi kriteria sebagai badan hukum pendidikan, yang
artinya secara hukum harus sebagai badan hukum pendidikan bukan
sebagai yayasan.
c. Pasal 10 mengatur bahwa “Satuan pendidikan yang didirikan setelah
Undang-Undang ini berlaku, wajib berbentuk badan hukum
pendidikan”. Dengan ketentuan ini maka tertutup kemungkinan bagi
yayasan yang sudah ada untuk menyelenggarakan satuan pendidikan
dan yayasan yang baru tidak akan dapat ikut serta sebagai
penyelenggara pendidikan lagi. Akibatnya, dengan ketentuan ini jelas
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan hendak mengesampingkan
keberadaan yayasan sebagai penyelenggara pendidikan. Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan telah menghilangkan eksistensi
dari yayasan yang selama ini sebagai penyelenggara pendidikan dan
sekaligus menutup kemungkinan dari yayasan baru sebagai
penyelenggara pendidikan. Dengan demikian “hak hidup” dari
yayasan telah ditiadakan.
d. Selain untuk mendukung maksud dari pasal-pasal tersebut dan untuk
menghilangkan eksistensi dari yayasan termasuk perkumpulan dan
badan hukum sejenis lainnya dalam menyelenggarakan pendidikan,
diatur ketentuan peralihan. Khususnya dalam hal ini Pasal 67 ayat (2)
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang mengatur bahwa
“Yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menyesuaikan kelolanya sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini, paling lambat 6 (enam) tahun sejak
diundangkan”. Akibatnya, dengan ketentuan ini jelas bahwa Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan memaksa yayasan harus menjadi
Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara yang memenuhi kriteria
(diakui) sebagai badan hukum pendidikan dengan menyesuaikan tata
kelolanya.
e. Untuk menyesuaikan tata kelola, Pasal 67 ayat (4) yang berbunyi,
“Penyesuaian tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan mengubah akta pendiriannya”. Perubahan
Anggaran Dasar tidak hanya menimbulkan persoalan “intern” bagi
yayasan, tetapi juga menimbulkan persoalan “ekstern” dimana untuk
40
perubahan tersebut memerlukan pengesahan dari Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia dan persetujuan dari Menteri Pendidikan Nasional.
Akibatnya dengan merubah akta pendiriannya sesungguhnya
keberadaan dan eksistensi yayasan telah berakhir. Padahal dalam akta
pendirian yayasan itu termaktub cita-cita dan ciri-ciri khasnya masing-
masing yang keberadaannya dijamin dalam konstitusi. Untuk
mempertegas, penyesuaian akta pendirian itu harus dengan persetujuan
menteri.
f. Untuk terjaminnya pelaksanaan penyesuaian tata kelola dan atau untuk
tidak adanya yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain yang
bukan badan hukum pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan
selain badan hukum pendidikan yang diakui sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 1 angka (5) sepanjang anak kalimat “… dan diakui sebagai
badan hukum pendidikan” dan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan diatur sanksi administratif yang menjadi
bagian yang tidak terpisah dengan pasal-pasal yang sudah diuraikan di
atas, yang merupakan kesatuan pengingkaran terhadap hak
konstitusional dari para Pemohon, yaitu Pasal 62 ayat (1) yang
berbunyi, “Pelanggaran terhadap Pasal 40 ayat (3), Pasal 41 ayat
(7), ayat (8), dan ayat (9), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47
ayat (3), Pasal 65 ayat (2), Pasal 66 ayat (2), dan Pasal 67 ayat (2)
dikenakan sanksi administratif”. Akibatnya ada unsur keterpaksaan
dalam penyeragaman. Sanksi akan dijatuhkan apabila yayasan tidak
melakukan penyesuaian tata kelola dalam jangka 6 (enam) tahun sejak
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan diundangkan. 8
B. Pokok Permohonan dan Putusan Judicial Review Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan oleh ABPPTSI
1. Pokok Permohonan Judicial Review
Yayasan yang tergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara
Perguruan Tinggi Swasta Indonesia memohonkan kepada Mahkamah
Konstitusi RI atas pengujian Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Adapun pokok permohonan tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
8 Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. h. 133.
41
a. Para pemohon yang telah lama menyelenggarakan pendidikan formal,
tidak secara tegas diakui dan dijamin haknya sebagai penyelenggara
satuan pendidikan formal;
b. Bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan tidak dimungkinkannya lagi yayasan sebagai pelaksana
pendidikan;
c. Pemaksaan terhadap yayasan, perkumpulan dan badan hukum lain
sejenis diharuskan untuk menyesuaikan tata kelola sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan paling lambat 6
(enam) tahun setelah diundangkan, mengakibatkan kerugian besar bagi
para Pemohon, karena para Pemohon yang kegiatannya khusus untuk
menyelenggarakan pendidikan diharuskan menyesuaikan diri dengan
mengubah akta pendiriannya sehingga dibatasi haknya untuk ikut
menyelenggarakan pendidikan pada hal selama ini para Pemohon
sampai sekarang masih menyelenggarakan satuan pendidikan dan
merupakan kegiatan utama;
d. Para Pemohon kehilangan hak penyelenggaraan pendidikan formal
secara langsung yang telah digelutinya berpuluh-puluh tahun sebagai
tujuan keberadaannya dan merupakan hak asasinya;
e. Para Pemohon kehilangan kemampuan, pengalaman, sistem
penyelenggaraan, tata kelola, tata kerja dan sejenisnya yang telah
42
diperoleh, dipupuk dan dikembangkan selama puluhan tahun atau
bahkan ratusan tahun, yang membutuhkan perjuangan lama,
kehilangan modal, asset dan lain sebagainya;
f. Para Pemohon akan kehilangan waktu, pikiran, tenaga dan dana yang
harus dikeluarkan untuk menghadapi tata kerja badan hukum
pendidikan;
g. Potensi kerugian dari penyelenggara pendidikan dimana harus
merubah akta pendirian untuk dapat ikut serta sebagai penyelenggara
pendidikan;
h. Perubahan Anggaran Dasar Yayasan selain menimbulkan masalah
internal yayasan, perkumpulan dan badan hukum lainnya, juga
menimbulkan masalah ekternal yaitu harus mengajukan perubahan dan
harus disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan
mendapat persetujuan dari Menteri Pendidikan Nasional. 9
C. Pokok Putusan Mahkamah Konstitusi RI
Peradilan Konstitusional dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD
1945 sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakkan dalam kegiatan
penyelenggaraan Negara sehari-hari.10
Juga diperlukan mekanisme pengujian
9 Wawancara pribadi dengan Moh. Yasin Ardhy. Jakarta, 16 Maret 2014.
10 Sophia Hadyanto, ed. Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi” Dalam Rangka
Ulang Tahun ke-80 Prof.Solly Lubis, (Jakarta : PT. Sofmedia, 2010), h.310.
43
judisial agar undang-undang selalu konsisten dengan UUD 1945.11
Berkaitan
dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang isinya bertentangan
dengan UUD 1945, maka disini Mahkamah Konstitusi RI dengan
kewenangannya dapat melakukan pengujian undang-undang dan Peraturan
Perundang-undangan.
Pemeriksaan pengujian undang-undang dapat dilakukan secara
material (materiile toetsing) atau secara formil (formele toetsing), Jika
pengujian tersebut dilakukan atas materi undang-undang, maka pengujian
tersebut disebut pengujian formal. Misalnya pengujian atas proses prosedural
terbentuknya undang-undang itu ataupun atas proses administratif
pengundangan dan pemberlakuannya untuk umum yang ternyata bertentangan
dengan UUD 1945 ataupun prosedur menurut undang-undang yang
didasarkan atas UUD 1945, dapat disebut pengujian yang bersifat formil,12
sehingga bentuk pengujian atas Undang-Undang tergantung dari apa yang
diajukan ke depan muka sidang Mahkamah Konstitusi RI.
Berikut adalah pokok putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah
Konstitusi RI berkenaan dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
11
Moh. Mahfud M.D, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cet. I, (Jakarta :
PT.Rajagrafindo Persada, 2009), h. 260.
12
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. I, ( Jakarta :
PT.Bhuana Ilmu Populer, 2007), h .589.
44
2. Menyatakan bahwa Pasal 41 ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (9), Pasal
46 ayat (1), ayat (2), Pasal 57 huruf a, huruf b, huruf c Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2), Pasal
31 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945;
3. Menyatakan bahwa Pasal 41 ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (9), Pasal
46 ayat (1), ayat (2), Pasal 57 huruf a, huruf b, huruf c Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Dengan dikabulkannya permohonan para pemohon untuk seluruhnya
oleh Mahkamah Konstitusi RI dan juga menyatakan bahwa Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan tidak berkekuatan hukum tetap, maka yayasan
penyelenggara perguruan tinggi swasta kini mempunyai sedikit titik terang
mengenai aturan pelaksanaan pendidikan terutama pendidikan tinggi yang
dilaksanakan oleh yayasan. Selanjutnya dengan kewenangan untuk
membatalkan ketentuan undang-undang ini maka akan berkaitan dengan
fungsi pembuatan hukum.
Seperti yang dinyatakan oleh Hans Kelsen bahwa ketika membatalkan
suatu undang-undang pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi juga
menciptakan suatu norma baru dengan dihapuskannya norma yang lama itu,13
13
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. h. 592.
45
sehingga secara otomatis timbulah suatu aturan atau hukum baru yang bersifat
mengikat dalam masyarakat.
Kemudian dalam pembuatan aturan yang baru atas penggantian aturan
yang lama dengan tetap mempertimbangkan hierarki perundangan yang ada,
dimana UUD 1945 menjadi norma dasar dalam setiap pembuatan peraturan
hukum, sehingga perubahan atas aturan tersebut tidak memiliki atau
mengandung hal-hal yang dianggap salah ataupun bertentangan seperti apa
yang terkandung pada peraturan sebelumnya.
46
BAB IV
PERUBAHAN STATUS BADAN HUKUM YAYASAN PERGURUAN TINGGI
SWASTA PASCA BATALNYA UNDANG-UNDANG
BADAN HUKUM PENDIDIKAN
A. Status Badan Hukum Yayasan Perguruan Tinggi Swasta Ditinjau Dari
Sebelum Berlakunya Undang-Undang Yayasan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan, belum ada suatu
keseragaman dalam mendirikan yayasan. Pendirian yayasan hanya
berdasarkan adanya suatu kebiasaan dalam masyarakat, karena belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.1
Pengakuan yayasan sebagai badan hukum karena secara fungsional
(doelmatigheid) mengingat keberadaannya sebagai organ yang hidup di dalam
masyarakat.2 Walaupun sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan,
peraturan perundang-undangan di Indonesia juga di Belanda belum mengatur
secara khusus pada waktu itu, tetapi hukum kebiasaan dan yurisprudensi telah
memperkukuh eksistensi yayasan dalam pergaulan hukum sebagai suatu
badan hukum. Mengenai yayasan sebagai badan hukum telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya.
1Anwar Borahima, Kedudukan Yayasan di Indonesia: Eksistensi,Tujuan dan Tanggung Jawab
Yayasan, h. 22.
2Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,Cet. II
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010), h. 298.
47
Dalam praktek selalu ada kekayaan yang dipisahkan sebagaimana
dicantumkan di dalam akta pendirian. Besarnya kekayaan yang dipisahkan
tidak ada batas minimum atau maksimum, tetapi semuanya tergantung kepada
pengurus. Apabila hendak mendirikan perguruan tinggi, maka selain telah
ditentukan syarat minimal kekayaan yang harus dimiliki oleh yayasan, juga
ada persyaratan lainnya yang harus dipenuhi meliputi :
1. Rencana induk pengembangan
2. Kurikulum
3. Tenaga kependidikan
4. Calon mahasiswa
5. Statuta
6. Kode etik sivitas akademika
7. Sumber pembiayaan
8. Sarana dan prasarana
9. Penyelenggara perguruan tinggi3
Dari sudut doktrin, para ahli sepakat bahwa yayasan adalah badan
hukum, sebab telah memenuhi syarat-syarat untuk dikatakan sebagai suatu
badan hukum, walaupun tidak semua pendapat ahli menyebutkan di dalam
definisinya bahwa yayasan adalah suatu badan hukum.
Dalam prakteknya sebelum adanya Undang-Undang tentang Yayasan,
sebuah yayasan didirikan dengan akta notaris dengan memisahkan suatu harta
kekayaan oleh pendiri, yang kemudian tidak boleh dikuasai lagi oleh
pendirinya. Akta notaris memuat anggaran dasar yayasan, sehingga ketentuan
yang terdapat di dalam anggaran dasar itu merupakan ketentuan yang
3 Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Putusan No. 234/U/2000 tentng Pedoman
Pendirian Perguruan Tinggi (Jakarta : Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2010)
48
mengikat yayasan serta pengurusnya, dan bila ada juga memuat ketentuan
tentang orang-orang yang mendapat manfaat dari harta yayasan.
Dalam beberapa ketentuan perundang-undangan telah
mengelompokkan yayasan sebagai badan hukum, demikian pula putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 27 Juni 1973 Nomor 124
K/Sip/1973, telah berpendapat bahwa yayasan adalah badan hukum, hanya
saja tidak diketahui dengan pasti saat yayasan memperoleh status sebagai
badan hukum.
B. Pengaturan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengharuskan adanya
otonomi bagi perguruan tinggi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah
maupun yang diselenggarakan oleh swasta. Otonomi ini diberkaitkan dengan
kerelaan dari penyelenggara (pemerintah atau yayasan, perkumpulan) untuk
melimpahkan kekuasaan yang dimilikinya, serta pencarian dan pengelolaan
dana, kesejahteraan pendidik dan pemenuhan sarana dan prasarana.
Jika penyelenggara rela memberikan hal tersebut kepada perguruan
tinggi, maka perguruan tinggi tidak hanya memperoleh otonomi keilmuan,
tetapi juga memiliki otonomi pengelolaan pendidikan (akademik) dan
otonomi pengelolaan lembaga, seperti pengangkatan pejabat dan personalia
49
serta pencairan dan penggunaan dana dengan prinsip nirlaba dan adil,
transparan dan akuntabel.4
Pengaturan penyelenggaraan perguruan tinggi swasta di Indonesia
selain diatur melalui Undang-Undang Yayasan juga diatur dalam produk
hukum lain yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi dan peraturan terbaru ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan
Tinggi.
Pengaturan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 meliputi :
1. Tanggung jawab, tugas, dan wewenang Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbut) dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
2. Pendirian Perguruan Tinggi, Program Studi, dan program Pendidikan
Tinggi
3. Gelar, Ijazah, dan sertifikat profesi.
Adapun pengaturan pengelolaan Perguruan Tinggi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 meliputi otonomi perguruan
tinggi, pola pengelolaan Perguruan Tinggi, tata kelola Perguruan Tinggi dan
akuntabilitas publik.
4 Anwar Arifin, Format Baru Pengelolaan Pendidikan, Cet. II, (Jakarta : Pustaka Indonesia,
2006), h. 59.
50
Selain mengatur tentang penyelenggaraan dan pengaturan pengelolaan
Perguruan Tinggi, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 juga
menegaskan tentang tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yang mencakup pengaturan,
perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan
koordinasi.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi menjelaskan bahwa :
“Dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, Menteri memiliki
tugas dan wewenang mengatur mengenai:
a. sistem Pendidikan Tinggi;
b. anggaran Pendidikan Tinggi;
c. hak mahasiswa;
d. akses yang berkeadilan;
e. mutu Pendidikan Tinggi;
f. relevansi hasil Pendidikan Tinggi; dan
g. ketersediaan Perguruan Tinggi.“
Terkait dengan tugas dan tanggung jawab di bidang perencanaan itu,
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 juga menugaskan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi
melalui kebijakan umum yang terdiri atas :
1. Rencana pengembangan jangka panjang 25 tahun;
2. Rencana pengembangan jangka menengah atau rencana strategis 5 (lima)
tahunan;
3. Rencana kerja tahunan.
51
Selain itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga memiliki tugas
dan wewenang antara lain :
1. Pemberian dan pencabutan izin pendirian Perguruan Tinggi dan izin
pembukaan Program Studi, selain Pendidikan Tinggi Keagamaan
(meliputi izin pendirian dan perubahan Perguruan Tinggi Swasta (PTS)
serta pencabutan izin PTS, dan izin pembukaan Program Studi dan
pencabutan izin Program Studi pada PTN)
2. Penetapan biaya operasional Pendidikan Tinggi dan subsidi kepada
Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
3. Pemberian kesempatan yang lebih luas kepada calon mahasiswa yang
kurang mampu secara ekonomi, dan calon mahasiswa dari daerah
terdepan, terluar, dan tertinggal.
Mengenai Pengelolaan Perguruan Tinggi Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 2014 menegaskan, Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk
mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma
Perguruan Tinggi. Otonomi dimaksud terdiri atas :
1. Otonomi dibidang akademik (meliputi penetapan norma dan kebijakan
operasional serta pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
masyarakat);
52
2. Otonomi di bidang nonakademik (meliputi penetapan norma dan
kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan,
kemahasiswaan, ketenagakerjaan, dan sarana prasarana).5
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta hendaknya terdaftar pada
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Status legalitas berdampak pada
hukum, sehingga pihak Yayasan Perguruan Tinggi Swasta harus
mendaftarkan diri di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
memperoleh pengakuan dalam bentuk Surat Keputusan (SK).
Mengenai Statuta Perguruan Tinggi Swasta ditetapkan oleh badan
penyelanggara perguruan tinggi (Yayasan) atas usul Senat Perguruan Tinggi
yang bersangkutan dengan berpedoman pada lampiran Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 85 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan
Statuta Perguruan Tinggi 6
C. Penerapan Konsep Badan Hukum Pendidikan Pada Yayasan
Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Pada masa berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (16
Januari 2009 – 31 Maret 2010) jika ternyata telah ada masyarakat yang
mendirikan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat sebagai produk hukum
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, maka pemerintah harus mengatur
5 Desik Informasi, “Pemerintah Terbitkan Aturan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi”,
diakses pada Minggu 27 April 2014 dari www.setkab.go.id
6 Kemendikbud Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta, “Kewajiban Yayasan PTS”, diakses
pada Minggu 27 April 2014 dari www.kopertis12.or.id
53
hal tersebut agar kepastian hukum bagi penyelenggara pendidikan yang telah
Mendirikan Badan Hukum Pendidikan mendapatkan perlindungan dan
kepastian hukum.
Hal ini didasarkan bahwa wajah sistem hukum dalam suatu negara
hukum menurut Lon L. Fuller dalam Bukunya The Morality of Law,
menyebutkan bahwa :
1. Hukum harus dituruti oleh semua orang, termasuk oleh penguasa negara.
2. Hukum harus dipublikasikan
3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan untuk berlaku surut.
4. Kaidah hukum harus tertulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan
diterapkan secara benar.
5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi.
6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi.
7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum.Tetapi
hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah.
8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten
dengan hukum yang berlaku.7
Salah satu hal yang ditekankan dalam sistem hukum adalah hukum
harus berlaku kedepan dan bukan untuk berlaku surut, tentu saja pengertian
ini memiliki arti yang tegas bila kita kaitkan terhadap pembatalan Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi antara lain :
7 Lon L. Fuller, The Morality of Law, (Amerika : Yale University Press, 1969) h. 67.
54
1) Pasca putusan mahkamah konstitusi nomor 11-14-21-126-136/PUUVII/
2009 maka produk hukum yang telah lahir pada masa berlakunya Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan misalnya Badan Hukum Pendidikan
Masyarakat harus tetap diakui dan ”hidup” dalam lalu lintas hukum.
2) Terhadap akta badan hukum pendidikan yang telah didirikan pada masa
berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tidak boleh
dibatalkan karena hal tersebut melanggar sistem suatu negara hukum.
Guna Tercapainya kepastian hukum, maka terhadap kedudukan Badan
Hukum Pendidikan Masyarakat (akta dan badan hukum maupun
pengesahannya) maka diterapkan kaidah ex nunc yaitu bahwa suatu perbuatan
dan akibat dari akta/ surat tersebut dianggap ada sampai dilakukan
pembatalan.8
Yayasan Nusa Jaya yang diketuai oleh Nurdin Rivai, telah
menerapkan tata kelola sebagaimana yang dikenalkan oleh Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan, dan dengan tata kelola tersebut yayasan memang
telah berhasil menurunkan biaya pendidikan karena yayasan menerapkan
comercial ventures dalam tata kelola tersebut.
Yayasan Nusa Jaya yang mengadopsi tata kelola dalam Badan Hukum
Pendidikan banyak memberikan konstribusi terutama berkurangnya beban
dari masyarakat dan mahasiswa. Namun yayasan tersebut perlu melakukan
perubahan anggaran dasar yang membutuhkan proses yang cukup panjang.
8 Wikipedia, “Ex nunc” diakses pada Senin, 28 April 2014 dari id.wikipedia.org
55
Disampaikan pula oleh seorang praktisi notaris yang berulang-ulang
memproses pengesahan yayasan, perubahan anggaran dasarnya melalui
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengalami banyak sekali
kendala yang akan dihadapi dan sudah mulai dihadapi untuk penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia.
Sejak tanggal 16 Januari 2009, hak hidup yayasan untuk menjalankan
kegiatan pendidikan sudah tercabut karena apabila notaris membuat akta
yayasan maka tidak dapat lagi memasukkan kegiatan pendidikan formal di
dalamnya. Kalaupun memasukkan, maka akan dicoret oleh Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Begitu pula kalau mengubah anggaran dasar
yayasan di bidang kegiatan, tidak boleh lagi dicantumkan pendidikan formal.
Dalam badan hukum pendidikan tidak ada lagi pengurus yayasan
menjalankan haknya mengelola pendidikan, bahkan eksistensinya tidak ada
lagi. Hal ini karena hak mengelola yayasan yang juga merupakan hak asasi
tercabut dengan adanya kewajiban harus berbentuk tata kelola seperti badan
hukum pendidikan.
Pada ketentuan tersebut diatas tidak ada peran pengurus yayasan,
akibatnya peran pengurus diserahkan kepada Organisasi Penyelenggara
Pendidikan (OPP). Hal ini adalah sesuatu yang kontradiktif, karena OPP di
satu sisi akan memimpin satu sekolah, satu unit, tetapi OPP juga bertindak ke
luar mewakili unit pendidikannya. Dengan dasar ini, maka pengurus yang
56
semula menjadi pengelola dan berhak mewakili yayasan ke luar, dengan
adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tidak lagi berwenang
mewakili ke luar.
D. Status Badan Hukum Yayasan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Ditinjau Dari Dikabulkannya Hak Uji Materil atas Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi RI
Pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan mengandung prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan
formal yang baik, hanya saja yang termuat di dalam Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan tersebut tidak cocok untuk diterapkan pada Perguruan
Tinggi Swasta di Indonesia yang berada dalam naungan badan hukum
yayasan.
Hal tersebut dikarenakan dengan lahirnya Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan dianggap telah melanggar konstitusi Republik Indonesia
mengenai kebebasan berserikat yang merupakan hak dari setiap warga negara.
Hingga pada tanggal 31 maret 2010 Mahkamah Konstitusi RI membatalkan
semua pasal dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tersebut.
Kemudian dengan dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan, Mahkamah Konsitusi RI memberikan penafsiran mengenai Badan
Hukum Pendidikan, yaitu diputuskan bahwa istilah ”Badan Hukum
Pendidikan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang
57
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bukanlah nama
atas badan hukum tertentu, melainkan sebutan fungsional bagi
penyelenggaraan pendidikan dan bukan lagi sebagai badan hukum tertentu.
Apapun bentuk penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diharapkan
dapat memberikan pendidikan yang baik bagi peserta didik. Dikarenakan
setiap Warna Negara Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan.
Sejalan dengan hak pendidikan yang terdapat dalam UUD 1945 di dalam Al-
Qur’an juga dijelaskan mengenai kedudukan orang yang memiliki ilmu.
Sebagaimana diamanatkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujadilah (58) : 11
Artinya : “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah
(58) : 11)
Mengenai istilah Badan Hukum Pendidikan jika dikaitkan dengan
salah satu Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang
menyatakan bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh sebuah
badan hukum yayasan.
58
Adapun bentuk dari badan hukum yang dikenal dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu
seperti yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan sebagainya,
sehingga dengan dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
dan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 12-14-126-
136/PUU/2009, maka bentuk badan hukum bagi penyelenggara pendidikan
kembali dalam bentuk Badan Hukum Yayasan.
Hal tersebut diperkuat dengan diterimanya permohonan pengesahan
akta pendirian badan hukum penyelenggara pendidikan yang didirikan pasca
pembatalan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan, sehingga
pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut penyelenggaraan
pendidikan kembali kepada payung hukum Undang-Undang Yayasan maupun
badan hukum lain yang sejenis.9
kemudian pernyataan tersebut dipertegas kembali dengan adanya Pasal
220E Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang menyatakan bahwa
Yayasan, perkumpulan, dan badan lain yang sejenis dan telah berstatus badan
hukum tetap menyelenggarakan satuan pendidikan sepanjang tidak
9 Kementerian Pendidikan Nasional, “Amar, Implikasi, dan Solusi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009”.
59
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai badan hukum nirlaba.10
Dengan adanya pembatalan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan, maka pendaftaran bagi yayasan penyelenggara pendidikan akan
dikembalikan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagi
yayasan yang sudah ada masih dapat beroperasi selama izin-izin yang dimiliki
masih berlaku.
Menurut pandangan penulis mengenai batalnya Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan menjadikan yayasan yang menyelenggarakan
pendidikan seharusnya membuat yayasan pendidikan yang terpisah dari
kegiatan badan usaha lainnya. Dengan demikian kegiatan penyelenggaraan
pendidikan akan terfokus demi terlaksananya amanat mencerdaskan
kehidupan bangsa yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
10
Wawancara pribadi dengan Moh. Yasin Ardhy, Jakarta, 16 Maret 2014.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan dan analisis yang ada pada beberapa bab
sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1. Sebelum adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, pengaturan
dan tata kelola yayasan penyelenggara perguruan tinggi swasta di
Indonesia adalah berdasarkan pada Undang-Undang Yayasan dan
peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perguruan
tinggi.
2. Pasca putusan Mahkamah Kostitusi RI Nomor 11-14-21-126-136/PUU-
VII/2009 Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinyatakan tidak
berkekuatan hukum tetap. Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan
penafsiran tersendiri mengenai Badan Hukum Pendidikan, bahwa istilah
“Badan Hukum Pendidikan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat
(1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bukanlah nama dan
badan hukum tertentu, melainkan sebutan fungsi penyelenggara
pendidikan dan bukan sebagai badan hukum tertentu. Disebutkan dalam
Pasal 220E Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun
2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, menyatakan
61
bahwa Yayasan, perkumpulan, dan badan lain yang sejenis yang telah
berstatus badan hukum, tetap menyelenggarakan satuan pendidikan
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai badan hukum nirlaba.
B. Saran
Dari uraian bab-bab sebelumnya, maka penulis memberikan saran atau
masukan terkait pengaturan yayasan yang menyelenggarakan perguruan tinggi
swasta di Indonesia, yaitu :
1. Diharapkan kedepannya otonomi pendidikan dapat berlangsung dengan
baik tanpa mengesampingkan kewajiban Negara dalam pemenuhan hak
atas pendidikan tinggi.
2. Pemerintah dapat merancang undang-undang dalam hal mengatur badan
hukum yang menyelenggarakan pendidikan sebagai penganti Badan
Hukum Pendidikan, terutama peraturan yang mengatur penyelenggaraan
Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia.
3. Peraturan perundang-undangan yang dibuat harus bebas dari kata atau
kalimat yang berpeluang menimbulkan multitafsir/ penyelewengan
tanggung jawab, guna memberikan kepastian besaran kontribusi dalam
pembebanan tanggung jawab pemenuhan hak atas pendidikan tinggi
sehingga pemerintah tidak melepas tanggung jawabnya.
62
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ais, Chatamarrasid. Badan Hukum Yayasan. Jakarta : PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Ali, Chidir. Badan Hukum, Cet. II. Bandung : Alumni, 1999.
Arifin, Amwar. Format Baru Pengelolaan Pendidikan. Jakarta : Pustaka Indonesia,
2002.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT.
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Borahima, Anwar. Kedudukan Yayasan di Indonesia (Eksistensi, Tujuan dan
Tanggung Jawab Yayasan). Jakarta : Kencana, 2010.
Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, 2010.
Daryanto, H.M. Administrasi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta, 2010.
Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat). Bandung : PT. Refika
Aditama, 2009.
Fuller, Lon. The Morality of Law. ( Connecticut : Yale University Press, 1969) h. 67.
Hadyanto, Sophia, Ed. “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi” Dalam
Rangka Ulang Tahun ke-80 Prof.Solly Lubis. Jakarta : PT. Sofmedia, Jakarta,
2010.
Handoko, I.P.M. Ranu. Terminologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2000.
Kementrian Pendidikan Nasional, Amar, Implikasi dan Solusi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Jakarta : Kemendiknas,
2010.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas
Pendidikan. Jakarta : Komnas HAM, 2005.
M, Rita. Risiko Hukum Bagi Pembina, Pengawas & Pengurus Yayasan. Cet. I.
Jakarta : Forum Sahabat, 2009.
63
Mamuji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2008
Nandika, Dodi. Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan. Jakarta : Pustaka
LP3ES Indonesia, 2007.
Oktoberina, Sri Rahayu. et al., Butir-butir pemikiran dalam hukum-Memperingati 70
Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta. Bandung : PT. Refika Aditama, 2008.
Renvoi 12.84. VII. Jakarta : PT. Jurnal Renvoi Mediatama, Mei 2010.
Soedijarto. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta : Kompas, 2008.
Soekanto, Soerjono dan Sri, Mamuji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat. Cet. IX. Jakarta : Rajawali Press, 2006.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Pres, 2010.
Soemitro, Rochmat. Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf. Bandung : PT.
Eresco, 1993.
Soemitro, Ronny Hanintijio. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1990.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Rajagrafindo, 2006.
Supramono, Gatot. Hukum Yayasan di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. III. Jakarta : Balai Pustaka, 1990.
Widjaja, Gunawan. Suatu Panduan Komprehensif Yayasan di Indonesia. Jakarta : PT.
Elex Media Koraputindo, 2002.
Widjaya, Rai. Hukum Perusahaan, Cet. IV. Bekasi : Kesaint Blanc, 2005.
64
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan
Peraturan Pemerintan Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahnu 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Yayasan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.
Jakarta : April, 2010.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Penerjemah R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio. Cet. 40. Jakarta : Pradnya Paramita, 2009.
Internet
Desik Informasi. “Pemerintah Terbitkan Aturan Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi”. Artikel diakses pada Minggu 27 April 2014 dari www.setkab.go.id
Kemendikbud Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta. “Kewajiban Yayasan PTS”.
Artikel diakses pada Minggu 27 April 2014 dari www.kopertis12.or.id
Wikipedia. “Ex nunc”. Diakses pada Senin 28 April 2014 dari id.wikipedia.org
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
1. Apa yang menjadi pokok permasalahan pengajuan judicial review Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Yayasan Perguruan Tinggi As-
syafi’iyah ?
Jawab :
“Intinya bahwa dengan adanya yayasan sudah menjadi badan harian pengurus
yayasan mengapa harus ada BHP lagi. Itu permasalahan inti yang kemudian
akan memperpanjang birokrasi antara yayasan dengan perguruan tinggi.
Yayasan sudah badan hukum mengapa harus berubah, sudah terdaftar di
Kemenkumham. Ada kemungkinan ada perguruan tinggi yang yayasan nya
jadi satu dengan TK, SD, SMP, SMA. Kalau Yayasan Perguruan Tinggi As-
syafi’iyah berbeda. Yang selama ini berlaku sudah yayasan mengapa harus
berubah, itu akan merepotkan harus merubah anggaran dasar, satuta, tata
kelola dan lain-lain. Seakan-akan mau ada penyeragaman antara swasta dan
negeri.”
2. Konsep penyelenggara pendidikan seperti apa yang diinginkan oleh Yayasan
Perguruan Tinggi Asyafi’iyah?
Jawab :
“Model penyelenggaraan kan berbeda-beda. Perguruan Tinggi As-syafi’iyah
lebih keislaman. Ada unsur mengenai ideology keagamaan berkaitan dengan
soal ciri khas. Berhubungan langsung dengan kurikulum. Bisa jadi kurikulum
nya berubah.”
3. Menurut bapak, apakah Undang-Undang Perguruan Tinggi sudah cukup
mengakomodir Perguruan Tinggi Swasta.?
Jawab :
“Undang-Undang Perguruan Tinggi pengganti peraturan setuju, sepanjang
pasal-pasal nya tidak melegalkan apa yang sudah dianulir oleh Mahkamah
Konstitusi berkaitan dengan batal nya Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan. Undang-Undang Perguruan Tinggi cukup mengatur dengan baik.
Tidak perlu ada perbedaan peraturan untuk Perguruan Tinggi Swasta, karna
akan terjadi parsialisasi antara pendidikan dengan pendidikan lainnya.”