implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan …puspijak.org/uploads/info/irma y.pdf · nilai...

15
29 IMPLIKASI KETENTUAN ADAT DALAM PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI PAPUA The Implication of Traditional Laws/Conventions in forest Management of Papua Oleh/by : The system on traditional usage of forest produces is basically defined by traditional Laws and Conventions. This research is aimed to identity and describe traditional values must be mantained and sustained to generate continous and sustainable forest management. Descriptive methode is used in this research, with case study technoque where village district is a village with high interaction between the people and forest. The result shows that there are aspects in traditional Laws and Conventons still relevant to natular resource profection and conservation and therefore, they are urgely to be maintained and re- fonud for forest management and security proposes. ” is one of the aspects should be maintained to give a relief or idle period to the forest to- regenerate, rejuvenile it self for future utilization or harvest. Forest utilization that primerally open with traditional procession must be maintained as the Adat Community, the owner of the ulayat, and also as the way of investment and company working in the area. Key words : Implication, Traditional Law Irma Yeny 1) ABSTRACT Sasi ABSTRAK Sistem pemanfaatan tradisional hasil hutan diperkuat dengan aturan-aturan adat setempat yang disebut adat istiadat dan hukum adat. Penelitian bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan nilai kearifan lokal yang perlu dilestarikan untuk diaplikasikan dalam pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan teknik studi kasus dimana wilayah desa merupakan desa dengan tingkat interaksi tinggi terhadap hutan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa masih ditemuinya aspek adat istiadat dan hukum adat sangat relevan dengan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam dan perlu di hidupkan kembali untuk mendukung pengelolaan dan pengamanan kawasan hutan antara lain : “ ” yang perlu dilestarikan sebagai upaya memberi masa bera bagi pemanfaatan hasil hutan. Selain itu bentuk sasi 1) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)

Upload: leduong

Post on 06-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

29

IMPLIKASI KETENTUAN ADAT DALAM PEMANFAATANHUTAN ALAM PRODUKSI DI PAPUA

The Implication of Traditional Laws/Conventions in forestManagement of Papua

Oleh/by :

The system on traditional usage of forest produces is basically defined by traditional Laws and

Conventions. This research is aimed to identity and describe traditional values must be mantained and

sustained to generate continous and sustainable forest management.Descriptive methode is used in this research, with case study technoque where village district is a

village with high interaction between the people and forest.The result shows that there are aspects in traditional Laws and Conventons still relevant to

natular resource profection and conservation and therefore, they are urgely to be maintained and re-

fonud for forest management and security proposes.

“ ” is one of the aspects should be maintained to give a relief or idle period to the forest to-

regenerate, rejuvenile it self for future utilization or harvest.Forest utilization that primerally open with traditional procession must be maintained as the

Adat Community, the owner of the ulayat, and also as the way of investment and company working in

the area.

Key words : Implication, Traditional Law

Irma Yeny1)

ABSTRACT

Sasi

ABSTRAK

Sistem pemanfaatan tradisional hasil hutan diperkuat dengan aturan-aturan adat setempat

yang disebut adat istiadat dan hukum adat. Penelitian bertujuan untuk mengindentifikasi dan

mendeskripsikan nilai kearifan lokal yang perlu dilestarikan untuk diaplikasikan dalam

pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan.Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan teknik studi kasus

dimana wilayah desa merupakan desa dengan tingkat interaksi tinggi terhadap hutan. Hasil

Penelitian menunjukkan bahwa masih ditemuinya aspek adat istiadat dan hukum adat sangat

relevan dengan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam dan perlu di hidupkan kembali

untuk mendukung pengelolaan dan pengamanan kawasan hutan antara lain : “ ” yang perlu

dilestarikan sebagai upaya memberi masa bera bagi pemanfaatan hasil hutan. Selain itu bentuk

sasi

1)Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)

30Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43

pemanfaatan lahan yang diawali dengan prosesi adat perlu dilestarikan sebagai bentuk penghargaan

kepada pemilik ulayat serta sebagai sarana sosialisasi keberadaan investor pada wilayah tersebut.

Kata Kunci : Implikasi, Hukum Adat

patrineal ambilineal

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan dan Sasaran

Papua dengan luas kawasan hutan 40.546.360 ha atau 32,79 % dari luas

hutan Indonesia (Dinas Kehutanan Propinsi Papua, 2002), seluruhnya dibebani

oleh hak milik adat suku asli Papua. Kepemilikan hutan secara adat selanjutnya dikenal

dengan hak kepemilikan marga yang diwariskan secara turun temurun menurut system

dan . Hak marga tersebut diwariskan mulai dari marga tertua sampai

marga termuda.Masyarakat hukum adat dalam mengatur kepemilikan, penguasaan dan

pemanfaatan hutan untuk pemenuhan berbagai keperluan hidup sesungguhnya telah

berlangsung sejak mereka hadir dan hidup disuatu wilayah. Pemanfaatan hutan

masyarakat hukum adat umumnya dalam bentuk pemanfaatan lahan hutan untuk

usaha pertanian, sumber kayu bangunan, kayu bakar, obat-obatan tradisional serta

tempat kegiatan binatang liar.Sistem pemanfaatan tradisional tersebut diperkuat dengan aturan-aturan adat

yang dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat hukum adat bersangkutan yang dikenal

dengan kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut, apabila dikaji secara mendalam terdapat

nilai-nilai yang sangat mendukung upaya konservasi. Permasalahannya apakah nilai-

nilai kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan suberdaya hutan masih

dipertahankan oleh generasi sekarang? Untuk menjawab masalah ini perlu dilakukan

kajian nilai-nilai adat (kearifan lokal) yang dapat mendukung upaya-upaya konservasi

sumberdaya hutan.

Penelitian bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan kearifan

lokal yang perlu dilestarikan untuk diaplikasikan dalam pengelolaan hutan yang lestari

dan berkelanjutan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam merumuskan

kebijakan dan model pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat adat di wilayah

Papua.

31Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)

Ket : Lokasi Sasaran Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Papua

Subyek penelitian adalah masyarakat hukum adat yang bermukim di desa-desadi sekitar kawasan konsesi HPH pada terpilih. Pengambilan responden contohdilakukan secara terhadap anggota marga yang secara turun temurunbertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Responden contoh dipilihberdasarkan status sosial dalam komunitas adat dengan kategori : (1) tua-tua adat,

purposif

II. METODOLOGI

Lokasi penelitian ditentukan secara disengaja ( ) dan

berdasarkan pertimbangan rumpun bahasa dari komunitas masyarakat adat yang

bermukim di suatu wilayah. Atas pertimbangan tersebut maka dipilih Kabupaten

Sorong perwakilan rumpun bahasa Kabupaten Teluk Bintuni dan

Kabupaten Teluk Wondama perwakilan rumpun bahasa , Kabupaten

Fak-fak dan Kabupaten Sarmi perwakilan rumpun bahasa Desa-desa yang

dipilih sebagai sasaran penelitian adalah desa-desa yang terdapat di sekitar areal

konsesi IUPHHK/HPH. Pemilihan IUPHHK/HPH dilakukan dengan

mempertimbangkan aksesibilitas. IUPHHK/HPH yang menjadi lokasi penelitian

adalah PT. Intimpura Co Sorong, PT. Yotefa Teluk Bintuni, IPKMA Dusner Mandiri

di Teluk Wondama, PT. Arfak Indra di Fakfak dan PT. Wapoga Mutiara Timber di

Sarmi. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

purposive sampling

West Papuana,

Austronesian

Gelvink Bay.

(2) Tokoh agama (3) masyarakat adat yang telah berkeluarga pemilik areal konsesi.Jumlah responden dari masing-masing lokasi adalah 30 orang, yang terdiri dari 3 (tiga)orang tua-tua adat, 2 (dua) orang tokoh agama dan 25 orang warga masyarakat yangtelah berkeluarga dan merupakan marga pemilik areal konsesi.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan teknikstudi kasus dimana wilayah desa dengan tingkat interaksi masyarakat yang tinggiterhadap hutan.

P

Ketentuan adat yang berkembang dan diberlakukan di dalam setiap suku padadasarnya merupakan seperangkat kebiasaan yang menjamin tatanan kehidupananggota masyarakat yang membentuk kelompok etnis atau suku bersangkutan.Sesungguhnya ketentuan adat itu merupakan ekspresi cara-cara masyarakat generasiawal memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya secara layak berdasarkan kriteriakelayakan yang mereka pahami. Selanjutnya ketentuan adat ini dalam setiap kelompoketnis diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses pewarisan. Dalam prosespembentukan ketentuan adat terjadi perbedaan yang cukup mendasar pada definisiketentuan adat dan adat itu sendiri. Ketentuan adat adalah peraturan yang dibuat olehadat atau kekuasaan yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak. Ketentuanadat tersebut juga dikenal dengan nama hukum adat. Sedangkan adat merupakanukuran besar masyarakat, dan besar masyarakat adat secara umum dapat berbeda-beda, mulai dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar.

Lebih lanjut Vollenhoven seperti di kutip Sorojo, 1983 menyatakan :“Ada perbedaan antara adat-istiadat dan ketentuan adat. Adat istiadat ataunorma adalah nilai yang dihormati namun tidak mengandung sanksi danmengandung prinsip-prinsip pengatur yang menjadi pedoman bagi manusia,bagaimana seharusnya sebagai manusia berkelakuan Ketentuan adat adalahaturan adat yang mengandung sanksi. Bentuk sanksinya dapat berupa reaksidari masyarakat hukum yang bersangkutan khususnya penguasa masyarakathukum tersebut.”

Pada rumpun bahasa yaitu wilayah hukum adat Suku MooiSorong membagi komunitas hukum adat berdasarkan keturunan komunitas hukumadat menjadi tiga kelompok menurut struktur yang terkecil hingga terbesar yaitu :keluarga, marga dan suku. Pembagian tersebut berlaku sama pada rumpun bahasa

yaitu wilayah hukum adat suku Wamesa dan Wondama. Namun padarumpun bahasa khususnya wilayah hukum adat suku Baham membagikomunitas adat menurut strata sosial yaitu raja, tetua adat dan rakyat biasa. Lebih lanjut

1992 dalam . 1994 mengungkapkan pembagianmasyarakat Arfak berdasarkan struktur menjadi empat kelompok marga yaitukeluarga, , dan suku.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. roses Pembentukan Ketentuan Adat

Ampofires. B. Ter Haar Bzn

West Papuana

AustronesianGelvink bay

virilokal keret

32Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43

Masing-masing suku memiliki adat istiadat atau norma yang berlaku untuk sukubersangkutan dan seringkali norma-norma tersebut memiliki kesamaan. Umumnyasuku-suku di Papua memiliki kepercayaan bahwa tanah sebagai sumber kehidupandan diasosiasikan sebagai seorang ibu yang melahirkan, membesarkan, menjaga danmenyimpan manusia ketika ia mati. Kepercayaan tersebut melahirkan suatu nilaibahwa hutan memiliki fungsi sosial, religius dan ekonomi bagi masyarakat adat Papua.Berdasarkan fungsi hutan tersebut, maka dalam pemanfaatan hutan terdapat aturan-aturan yang mengikat secara adat. Misalnya suku Mooi yang memiliki norma dalampemanfataan hutan yaitu :

1. Menghargai pemilik ulayat, suatu marga yang hidup bukan pada tanahulayatnya, menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya sehinggatidak mudah menjualbelikan tanah tersebut.

2. Memanfaatkan lahan/hutan/kebun sebatas kebutuhan hidup dan tidak bolehlebih. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa dalam memanfaatkan lahan/hutan/kebun tidak boleh serakah sehingga dapat dimanfaatkan oleh keturunanlainnya.

3. Pembukaan kebun tidak boleh dilakukan di kanan kiri sungai dengan alasanbahwa sungai tempat mengalirnya air sebagai sumber kehidupan, sehinggatidak boleh tercemar oleh aktifitas pertanian.Ketiga norma tersebut dalam kehidupan masyarakat suku Mooi

mengindikasikan bahwa norma tersebut diketahui oleh seluruh kelompok umurbaik laki-laki maupun perempuan. Namun implementasinya masih diragukan karenapada kelompok usia 12 - 25 tahun hanya sebatas mengetahui namun tidakmempraktekkannya. Sanksi atas ketidakpatuhan terhadap aturan tersebut tidaklagi dilaksanakan. Timbulnya sikap toleransi atas ketidakpatuhan disebabkan olehsemakin tingginya jumlah penduduk yang secara tidak langsung meningkatkankebutuhan akan lahan, dan tuntutan ekonomi uang.

Ketentuan adat dalam bentuk norma tersebut merupakan buntuk kearifanlokal yang memilki kesamaan dengan sistem pemanfaatan hutan berdasarkan UUKehutanan No. 41 Tahun 1999 yang mengandung asas kelestarian hutan.

.

Ketentuan adat dalam pemanfaatan hutan di Papua merupakan bentuk kearifanlokal yang dapat menyadarkan komunitas adatnya akan pentingnya memanfaatkanhutan secara rasional, baik atas pertimbangan kelestarian hutan dan kelestarianproduksi.

Tabel 1. Hasil penelitian yang dideskripsikan berdasarkan pengelompokkankearifan lokal menurut

B. Ketentuan Adat dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan

Mustofa A.S, 2004.

33Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)

* Terdapatnya jenis pohon bembuk danciskua menunjukkan lahan tersebut subur(suku Arfak)

4. Praktek dan TradisiPengelolaan Hutan/Lahan

Melindungi wilayah sekitar sungai danbudaya “sasi” sebagai masa bera dalammemanfaatkan sumber daya alam (sebagianbesar suku di Papua)

(sumber : Irma Yeny, dkk, 2004)

Uraian berikut menjelaskan ketentuan adat berdasarkan jenis sumberdayayang dimanfaatkan.

Masyarakat Papua pada umummya membagi lahan menurut ekosistemnya.Masyarakat Mioko membuat katagori ekosistem, yaitu ' (hutan), '(dusun sagu), ' (kebun) (sungai), ' (kampung) dan '(pekarangan). Dari berbagai studi hak kepemilikan dapat dikelompokkan dalam 2(dua) sifat besar, yaitu (1) komunal dan (2) Individual. Lahan komunal sendiridibedakan berdasarkan pada kelompok keturunan adat masing-masing wilayah baik,Klen/ Suku/ keret ataupun gabungan dari beberapa klen. Terlihat bahwa lahan hutandan sungai menjadi milik bersama yang dibatasi oleh alam (gunung, sungai, batu,pohon besar), kampung dikuasai oleh kelompok keturunan (klen/suku/keret),sedangkan dusun sagu dimiliki oleh individu.

1. Ketentuan Adat dalam Penentuan Status Kepemilikan Tanah

ikuwa' amambako'kauti' 'aminta' kamota' kamimapu'

34

Tabel 1. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Papua

No. Bentuk Kearifan Lokal Contoh1. Kepercayaan dan Pantangan * Pantangan dalam menebang pohon jenis

Merbau yang perawakannya tinggi besardan berbeda dengan jenis yang sama padasuatu luasan (suku Bugu .i)

* Wanita yang dalam keadaan Menstruasitidak diperbolehkan ke kebun, karenadiyakini dapat mendatangkan babi yangdapat merusak tanaman (suku Arfak).

2. Etika dan Aturan Menebang Pohon hanya sebatas kebutuhansaja dan jika terjadi kebakaran danmenimbulkan kerusakan pohon pemiliklainnya, maka orang yang menyebabkankerusakan tersebut diwajibkan menanamkembali (suku Mooi)

3. Teknik dan Teknologi * Menumpukkan pohon yang baru ditebasdisekeli ling lahan yang berfungsi sebagaisekat bakar pada saat pembukaan lahanpertanian (sebagian besar suku di Papua).

* Membuat berbagai perlengkapan alatrumah tangga, pertanian dan berburu(sebagian besar suku di Papua).

Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43

Berdasarkan hak kepemilikan adat maka lahan komunal dan lahan individualmerupakan bagian dari hutan adat yang tertuang dalam UU 41 Tahun 1999. Hutanadat atau yang lebih dikenal dengan sebutan hutan marga tersebut merupakan hutannegara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat sepanjangkenyataannya masyarakat hukum adat bersangkutan masih ada dan diakuikeberadaannya.

Lahan atau tanah dalam satu kampung sebagai bagian dari kepemilikankomunal oleh salah satu marga pendistribusiannya diatur dalam ketentuan adatdengan istilah hak tanah. Hak tanah ini dimiliki oleh semua anggota keluarga denganjumlah atau ukuran sesuai dengan keinginan dan kebiasaan adat pemberi haktanah tersebut. Di Papua pewarisan tanah berdasarkan struktur sosial padawilayah tersebut. Misalnya suku Bugui di pedalaman Sarmi memiliki strukturbilateral dimana bisa mengikuti garis ayah atau ibu. Namun demikian hak pewarisantanah terbesar diberikan kepada anak pertama laki-laki. Jika dalam satu keluargatidak terdapat anak laki-laki maka pembagiannya diputuskan berdasarkan musyawarahdengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan lahan masing-masing anak.Tanah-tanah tersebut sampai sekarang tidak pernah di sertifikatkan bahkan tidakpula pernah dipetakan. Batas kepemilikan hanya ditentukan dengan batas alam sepertigunung, sungai, batu ataupun sebuah pohon besar. Namun demikian bataskepemilikan lahan tersebut sampai saat ini sangat dipahami oleh masing-masing kepalasuku atau yang dikenal juga dengan kepala suku. Oleh karena itu setiap penentuanstatus kepemilikan tanah dan perselisihan batas tanah tersebut selalu diselesaikanoleh kepala suku atau tua-tua adat. Jika dalam suatu areal terdapat kesamaan pendapatbahwa dua suku yang memiliki lahan tersebut, maka suku tertua dan terkuat yang dapatdiputuskan menjadi penguasa wilayah tersebut.

Pemberian hak atas tanah juga terlihat pada suku Mooi pada wilayah kelurahanAimas kabupaten Sorong. Suku Mooi rumpun bahasa West Papuana mempunyaihukum adat yang sangat terperinci tentang pemberian hak atas tanah yang dikenal

dengan hak (hak pemanfaatan tanah yang diwariskan secara turuntemurun) berupa:a. merupakan hak pemberian atas tanah yang dikenal dengan hak

milik. Hak ini diberikan pada anak kandung (masih satu system kekerabatanpatrilenal).

b. merupakan hak pakai, hak ini diberikan kepada anak yang dipeliharasejak kecil namun bukan anak kandung untuk dipakai tapi tidak dimiliki.

c. merupakan hak pemberian atas tanah kepada anak perempuansebagai tempat berladang. Apabila anak tersebut menetap pada wilayah tersebutmaka, lahan tersebut menjadi miliknya namun jika anak tersebut tidak menetapmaka tanahnya dikembalikan.

d. merupakan hak pemberian tanah kepada orang yang telah membantu /melindungi dalam perang (balas jasa).

e. merupakan penyerahan hak ulayat kepada orang luar karena wilayahtersebut dianggap tidak aman.

Pewarisan ketentuan adat tersebut dari generasi ke generasi terus berlangsungsejalan dengan masuknya peradaban baru didalam komunitas adat itu sendiri. Kondisiini lama-kelamaan menempatkan ketentuan adat tentang pemberian hak atas tanah

tegestemoi

Hak Egefmun,

Hak Subey

Hak Sukubang

Hak Woti

Hak Somala

35Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)

tidak lagi dapat dikatakan sebagai ketentuan adat yang mengandung sanksi melainkanmenjadi suatu norma yang dalam pelaksanaanya mengandung banyak pertimbangankemanusiaan. Misalnya hak yang merupakan hak pakai, dewasa ini seringkaliberubah menjadi hak milik sebagai akibat tidak ada tindak lanjut pengurusan haktanah oleh pemda setempat melalui instansi yang berwenang. Demikian juga halnyadengan hak yang merupakan hak pakai sementara, namun dalampelaksanaannya jika lahan tersebut telah dijual belikan maka walaupun hak pakai tanahtersebut sudah hilang namun pemegang hak seringkali merasa masih punyabagian hak kepemilikan pada tanah tersebut.

Berbeda dengan Suku Bugui, Wamesa, Baham dan Wondama dimana prosespenguasaan tanah tidak diatur secara rinci, sehingga kepemilikan tanah dilakukandengan persetujuan ketua klen, kepala suku atau keret sebagai penguasa tanahkomunal.

Masyarakat adat suku Mooi mengenal 2 jenis hutan, yaitu hutan keramat

( ) dan hutan produksi biasa ( ). Pengelompokkan hutan menjadi hutankeramat dan hutan biasa berlaku diseluruh Papua dengan istilah yang berbeda padamasing-masing suku. Hutan keramat merupakan hutan yang dilindungi oleh hukumadat dan dianggap sakral. Pada hutan ini dipercaya terdapat arwah-arwah nenek

moyang dan timbunan harta yang disimpan di dalam tanah. Hutan biasa ( )dapat dimanfaatkan oleh pemilik ulayat dalam berbagai bentuk dan skala kegiatan.Pemanfaatan seperti tempat berladang, berburu dan meramu hasil hutan dikenaldengan pemanfaatan skala kecil, sedangkan pemanfaatan hasil hutan oleh HPH,transmigrasi dan pembangunan pemukiman dikenal dengan pemanfaatan skala besar.

Bentuk-bentuk pemanfaatan skala besar sebelum era otonomi seringkali tidakmemperhatikan batasan hutan produksi biasa dan hutan keramat menyebabkanterjadinya konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan di era reformasi(kebebasan). Namun demikian ada yang akhirnya dapat diselesaikan melalui pesta adatdan pihak pemerintah maupun investor menyetujui keinginan pemilik ulayat melaluiganti rugi ulayat.

Pada suatu wilayah hukum adat tersusun struktur adat dan perangkatnya.Institusi adat ini terdiri dari perangkat adat yang terdiri dari keturunan darah (tuaadat/kepala suku) dan lembaga formal yang dibentuk untuk mengakomodir beberapasuku yang berbeda keturunannya yang terdapat dalam suatu wilayah (LembagaMasyarakat Adat /LMA). Kedua lembaga tersebut mempunyai pengaruh adat yangberbeda. Tua adat atau kepala suku berperan dalam menyelesaikan konflik horisontal(sesama masyarakat adat), sedangkan LMA mengatasi konflik vertikal (masyarakatdengan investor, ataupun masyarakat dengan pemerintah).

Bentuk pemanfaatan hutan menurut hukum adat yang membagi hutanmenjadi hutan keramat dan hutan produksi biasa tidak terakomodir dalam UUKehutanan No. 41 Tahun 1999. Hal ini disebabkan kawasan hutan di kelompokkanberdasarkan fungsinya menjadi 3 (tiga) 1. Hutan Konservasi, 2. Hutan Lindungdan 3. Hutan Produksi. Lebih lanjut PP 34 Tahun 2002 menyebutkan Pemanfaatanhutan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecualipada hutan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Dalam kontek

subey

sukubang

sukubang

2. Hukum Adat dalam Pemanfaatan Lahan Hutan

kufok kuwos

kuwos

36Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43

ini maka, hutan keramat dapat dikelompokkan dalam zona inti yang terdapat padasetiap wilayah hutan, baik hutan produksi maupun hutan konversi. Bentukpemanfaatannya harus bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagikesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarianhutan dan memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari yangmempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan ekologi setempat sesuai amanat PP 34Tahun 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.

Pemanfaatan hasil hutan dikelompokkan menjadi 2 yaitu, (a) pemanfaatan kayudan hasil hutan bukan kayu, dan (b) pemanfaatan Margasatwa.

Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayuDalam pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu, dapat dikelompokkan

menjadi bentuk pemanfaatan komersil dan non komersil. Pemanfaatan komersil dapatterlihat pada kesepakatan bersama dalam pemanfaatan hutan produksi pada wilayahhak ulayat beberapa (1) sub Suku Mooi dengan (2) HPH Intimpura Timber.Co, sebagaipemegang ijin hak pemanfaatan kayu dan bukan kayu dari pemerintah, serta (3) pihakpemerintah. Pemanfaatan hasil hutan tersebut dilakukan melalui beberapa tahapanaturan adat, sebagai wujud penghargaan terhadap hak-hak adat dan penghormatanterhadap arwah-arwah yang mendiami hutan tersebut sebagai berikut :

menyamakan keinginan dan persepsi antara pengusaha dan pemilikhak ulayat dalam hal bentuk pemanfaatan serta kompensasi yang diberikan.

melakukan upacara adat dengan tujuan membuka pintu bagi arwah-

arwah ( ) sehingga tidak menimbulkan bencana/malapetaka. Dalam upacaratersebut pihak perusahaan, pemerintah dan lembaga-lembaga adat serta pemilikhak ulayat duduk bersama untuk melaksanakan prosesi adat. Prosesi adat diawalidengan penyiapan bahan-bahan persembahan berupa kain timur, sirih, pinang,kapur, tembakau yang diletakkan di atas sebuah piring. Setelah benda-benda tersebutlengkap sesuai permintaan tetua adat, maka Ketua Adat yang memimpin upacara adatakan membacakan doa/mantra-mantra yang diucapkan dalam bahasa Mooi.Doa/mantra-mantra tersebut berisikan permohonan ijin pada arwah-arwah danpenguasa tanah agar dalam pelaksanaannya kelak perusahaan tidak terkena musibah.Pembacaan sumpah selama ± 30 menit diiringi lantunan lagu yang dinyanyikanoleh tetua adat lainnya. Setelah doa/mantra-mantra tersebut dibacakan, prosesiselanjutnya adalah makan bersama yang diawali dengan sajian pinang/sirih dari sesajitersebut. Sesaji tersebut dimakan oleh ketiga belah pihak yakni (1) perusahaan, (2)pemerintah dan (3) pemegang hak ulayat. Setelah makan bersama upacara adat /ritualdapat dikatakan selesai yang diakhiri dengan jabat tangan sebagai tanda persaudaraan.

Ritual adat tersebut pada umumnya dilakukan pada bentuk pemanfaatan hasilhutan kayu, sedangkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang tidak memiliki ijinpemanfaatan hasil hutan kayu pada areal tersebut dalam bentuk pemanfaatannyahanya melakukan kesepakatan bersama dengan kepala suku (pemilk lahan komunal)tanpa melalui ritual adat.

Selain perusahaan pemegang ijin konsesi, masyarakat adat yang tinggal disepanjang jalan HPH juga melakukan bentuk pemanfaatan hutan komersil skala kecil,

3. Ketentuan Adat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan.

a.

Langkah pertama :

Langkah Kedua :

Muiwe

37Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)

yang merupakan sumber bahan baku sawmil-sawmil illegal. Pemanfaatan hasil hutankayu yang dilakukan pada umumnya di luar areal HPH yang merupakan kawasan hutankonversi maupun hutan lindung. Berdasarkan kesepakatan ritual adat yang dilakukanpada awal kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dan ijin pemanfaatan yang dikeluarkan oleh pemerintah maka, bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu olehmasyarakat adat dalam areal HPH tidak diijinkan. Pemanfaatan hasil hutan kayukomersil skala kecil yang di ketahui sumber bahan baku dari areal HPH akanmendapat sanksi dari institusi adat. Namun demkian jika dalam pelaksanaanyamasyarakat adat membutuhkan sejumlah hasil hutan kayu untuk kebutuhan rumahtinggal atau fasilitas umum yang kebutuhannya bersifat insedentil maka, pihakperusahaan dan institusi adat memberi kebijakan ijin pengambilan hasil hutan kayupada areal HPH kepada yang membutuhkan.

Sedangkan untuk pemanfaatan non-komersil terlihat pada kegiatanpengambilan hasil hutan kayu untuk kepentingan pembuatan rumah. Kayu-kayu yangdibutuhkan biasanya berdiameter kecil dan dalam jumlah kecil. Selain pengambilankayu untuk rumah, pemanfaatan kayu lainnya terlihat untuk kayu bakar danpembuatan alat berburu dan pertanian seperti tombak dan tugal. Bentuk pemanfaatandalam skala kecil/rumah tangga ini dilakukan hanya melalui kesepakatan pemegangulayat saja, sehingga tidak membutuhkan prosesi adat yang besar.

Pemanfaatan hasil hutan dalam jumlah besar maka, prosesi adat tersebut masihdilakukan pada sebagian besar suku di Papua. Namun demikian hal yang membedakanadalah tatacara dan jenis sajian yang diberikan. Dalam pelaksanaan kegiatan adattersebut masyarakat suku Baham, Wondama dan Bugui memiliki frekwensi lebih kecildibandingkan suku Mooi.

Pemanfaatan Marga SatwaPemanfaatan satwa ini diatur dalam hukum adat yang dikenal dengan

pemanfaatan untuk kebutuhan sehari-hari. Satwa berupa hewan buruan, burung sertaikan dapat dimanfaatkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup saja. Jika jumlahyang diambil dan direncanakan untuk dijual maka sebelum mengadakan kegiatanberburu atau menangkap ikan penduduk harus berdoa kepada arwah-arwah agardimudahkan dalam berburu. Penduduk percaya jika tidak dilakukan hal tersebut makahewan buruan tidak akan tampak oleh mata sehingga tidak dapat ditangkap.

Kepercayaan terhadap arwah tersebut dilakukan juga dalam bentuk “ ”.Budaya oleh suku Mooi merupakan larangan atau pantangan mengambil danmemanfaatkan tumbuhan dan hewan buruan tertentu ataupun secara keseluruhanpada suatu luasan tertentu yang dikenal dengan sebutan “ . Laranganpemanfaatan dusun yang dikenal dengan sasi memiliki kurun waktu 1 5 tahun. Kurunwaktu berlakunya sasi pada umumnya di tentukan berdasarkan kesakralan arwah yangdipercaya menjaga wilayah tersebut. Pelaksanaan sasi dilakukan dengan 1) upacarapenutupan dan 2) upacara pembukaan. Sasi yang sering dilakukan oleh suku Mooiadalah sasi terhadap dusun buah ataupun sungai. Sasi ini ditujukan untukmenghormati Tetua dusun yang telah meninggal, serta sebagai salah satu bentuk untukmengenang kebaikan orang tersebut. Dusun/sungai yang akan disasi terlebih dahuludidoakan oleh tetua adat dan sekelilingnya ditanam bambu kecil dengan bentuk silangsebagai tanda tidak boleh dimanfaatkan. Sasi tersebut biasanya berumur satu tahun

b.

sasisasi

dusun”

38Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43

dan diakhiri dengan upacara adat serta doa kepada arwah agar buah/ikan yang akandipanen akan membawa berkah. Pencabutan bambu dilakukan oleh penduduk yangingin memanen buah/ikan tersebut. Budaya “ ” tersebut merupakan bentukkearifan tradisonal dalam pemanfaatan dan mengelola sumberdaya alam yang ada disekitar mereka.

Pada beberapa ketentuan adat tersebut, jika terjadi pelanggaran akan diberikansanksi adat. Sanksi adat diberikan berdasarkan berat ringannya suatu pelanggaran.Jika pelanggaran yang dilakukan bersifat ringan (mencuri hasil kebun dengan jumlahsedikit), maka sanksi yang diberikan relatif ringan dan biasanya hanya berupa dendasejumlah uang dengan batas waktu yang tidak terlalu ketat. Berbeda denganpelanggaran berat seperti pemanfaatan lahan dalam jumlah besar tanpa ijin. Padapelanggaran seperti ini akan dilakukan penegakkan sanksi adat berupa denda yangcukup besar dan dengan waktu pembayaran yang ditentukan. Pada masa lalupenentuan lamanya batas waktu pembayaran denda dilakukan dengan cara tradisionalseperti menuangkan sejumlah air ke tanah. Lamanya air tersebut meresap ke tanahmerupakan jumlah hari atau batas waktu pembayaran denda. Namun dewasa inipenentuan waktu tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Penentuan waktu dilakukanberdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan diketahui oleh para saksi.

Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa terdapat ketentuan adat dalampemanfaatan hasil hutan baik hasil hutan kayu/non kayu maupun margasatwa yangterdapat pada suku Mooi. Ritual adat yang dilakukan untuk mengawali pemanfaatanhutan dan sasi bagi jenis flora dan fauna selain dilakukan oleh suku Mooi jugadilakukan oleh suku Bugui di pedalaman Sarmi. Namun demikian pelaksanaannyadewasa ini sudah mulai melemah, bahkan untuk pelaksanaan sudah semakin sulitditemui di lapangan. Khususnya pada ritual adat yang dilakukan mengawalipemanfaatan flora dan fauna pelaksanaanya hanya dilakukan pada bentukpemanfaatan skala besar. Selain itu sejalan dengan masuknya injil di Papua, ritual adatyang seringkali dilakukan sudah mulai bergeser menjadi ritual keagamaan. Dalamkegiatan ritual sudah tidak lagi ditemui sesaji, bahkan nyanyian yang biasanya diucapkan untuk para arwah sudah diganti dengan puji-pujian kepada Tuhan Y.M.E.

Implementasi ketentuan adat dalam pengelolaan hutan tampak pada bentukpemanfaatan hutan seperti Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA) diPapua. Menurut sebagian besar masyarakat ijin tersebut dianggap cukupmengakomodir kepentingan adat terutama dalam aturan-aturan adat dalampemanfaatan hutan. Masyarakat adat yang memiliki hak marga dapat diberikan ijinpemanfaatan hutan dengan membentuk Koperasi. Selanjutnya koperasi yangberanggotakan masyarakat adat dapat menentukan investor yang mampumemanfaatkan hasil hutan dengan system kompensasi hak marga serta fee bagianggota dan pengurus koperasi tersebut. Jika areal hutan adat yang diusulkan jugamerupakan areal konsesi HPH yang telah memiliki ijin pemanfaatan sebelumnya,maka masyarakat adat terlebih dahulu meminta ijin pemanfaatan kepada pemegangijin HPH untuk bekerjasama dalam memanfaatan hutan tersebut. Teknikpemanenanpun diatur menurut kesepakatan adat yang berlaku di wilayah hukum adattersebut.

sasi

sasi

c. Implementasi Ketentuan Adat dalam Pengelolaan Hutan

39Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)

Namun ijin ini kemudian disalah gunakan oleh oknum adat yang duduk dalampengurus, bahkan sejak tahun 2004 SK Gubernur Papua tersebut dicabut karenasebagian investor tidak memperhatikan kaidah penebangan yang ramah lingkungan.

Berbeda dengan model HPH dimana masyarakat hanya mendapat kompensasihak marga yang dihitung berdasarkan produksi kayu yang dihasilkan dan tidakmemiliki kuasa penuh dalam menggerakkan perusahaan. Bahkan oleh sebagian pihakdianggap sama sekali tidak mengakomodir aturan adat.

Untuk mengakomodir kepentingan adat dalam mengelola hutan, PT. WapogaMutiara Timber Unit II Bonggo sejak tahun 2003 mencoba melakukan beberapakesepakatan dengan pihak adat. Ketentuan adat yang menjadi kesepakatan bersamadan sudah mulai diterapkan oleh PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II Bonggo antaralain :1) Pelibatan masyarakat adat dalam penentuan areal rencana kerja tahunan (RKT)

untuk menghindari masuknya RKT pada areal hutan keramat atau yang dilindungidan menghindari tebangan melebihi RKT yang telah disepakati,

2) Hasil tebangan tidak boleh ditinggalkan pada areal hutan tanpa dikelola secaralanjut atau dimanfaatkan, jika terdapat sisa tebangan yang tidak dimanfaatkanmaka pemilik ulayat berhak memanfaatkan hasil tebangan tersebut.

3) Dilakukan upacara adat yang dikenal dengan “para-para adat” sebelum kegiatanpenebangan awal pada setiap RKT. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinyakecelakaan dalam kegiatan penebangan akibat roh-roh halus.

Perubahan managemen perusahaan dengan membuka peluang sebesar-besarnya untuk masyarakat adat tampak pada pemberian kesempatan kerja melaluipelibatan tenaga masyarakat local dalam kegiatan HPH khusunya dalam kegiatanTPTI dan produksi.

Selain kesepakatan tersebut ketentuan adat masyarakat lokal yang dewasa iniseringkali menjadi perhatian khusus para inverstor di Papua antara lain :1). Tanah tidak dapat dijual (investor hanya memanfaatkan kayu kayu bukan

lahannya),2) Kayu merbau yang terlihat besar diantara lainnya tidak boleh ditebang dan hanya

dimanfaatkan untuk keperluan pembibitan serta dianggap sakral,3) Penebangan tidak boleh dilakukan sepadan sungai dan wilayah yang dianggap

keramat,4) Setiap survey RKT harus melibatkan pemegang ulayat, untuk menghindari

terjadinya penebangan pohon keramat, serta menjadi sarana untuk menentukanbatas hak marga masing-masing marga pemilik lahan hutan.

Aturan adat yang menjadi perhatian khusus tersebut, sebenarnya sebagianbesar telah di terapkan dalam kegiatan HPH yang melakukan kegiatan pemanenandengan system TPTI. Jika dikaji secara teliti bahwa dalam petunjuk TPTI telahmengadopsi beberapa ketentuan yang dalam masyarakat adat teleh diatur olehketentuan adat yang dianutnya. Ketentuan-ketentuan di maksud seperti :1). Radius 200 m dari tepi mata air2). Sekurang-kurangnya 100 m di kiri dan kanan sungai besar dan 50 m di kiri kanan

anak sungai yang berada diluar pemukiman.3). Jurang dan tebing curam >40 %4). Lokasi yang ditetapkan sebagai areal konservasi dan penelitian.

40Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43

Pengelolaan Hutan BerisikoKecil Penebangan Illegal

Pelibatan MasyarakatHukum Adat

PengawasanInstansi Teknis

Penegakkan Hukum

Gambar 2. Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat

: Masyarakat adat dilibatkan dalam setiap tahap mulaidari perencanaan lokasi, areal penebangan (RKT), serta kegiatan penanaman padaareal bekas tebangan. Pelibatan ini dilakukan sebagai kontrol agar hal-hal yangtidak diijinkan dalam adat dapat terlindungi. Selain itu pelibatan masyarakat tersebutsecara tidak langsung dapat meningkatkan wawasan dan ketrampilan masyarakat sertayang tidak kalah pentingnya peningkatnya tingkat pendapatan dan kesejahteraanmasyarakat.

Pelibatan Masyarakat Adat

41Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)

Selanjutnya dalam Tahapan kegiatan TPTI khususnya pada kegiatanpenebangan telah ditetapkan asas-asas meliputi :a). Menebang pohon besar yang telah mencapai ukuran siap tebang untuk

dimanfaatkan agar perusahaan memperoleh keuntungan financial, danmemberikan ruang tumbuh kepada permudaan yang dapat menghasilkan riap kayuleboh besar dari padapohon tua.

b). pemanfaatan potensi hutan per satuan luas seoptimal mungkin denganmeminimalkan limbah pembalakan

c). Penebangan menggunakan arah rebah menuju pangkal jalan sarad agar dapatmemperkecil kerusakan dan tegakan tinggal.

d). penomoran kayu bulat secara konsisten berdasarkan nomor berdri yang dibuat dandipetakan dalam kegiatan ITSP.

Tahapan kegiatan TPTI tersebut sangat identik dengan kearifan tradisionalmasyarakat setempat khususnya dalam pemanfaatan hasil hutan yang lestari. Namunberbagai keterbatasan yang dimilki oleh pemegang konsesi dalam hal pelaksanaan daninstansi teknis dalam pengawasan, mengakibatkan banyak terjadi pelanggaran dalamsystem TPTI tersebut. Ketidakmurnian pelaksanaan ini menyebabkan masyarakatmelalui tokoh adat mengambil bagian dalam pengawasan yang mengacu pada aturanadat setempat. Kesepakatan tersebut selanjutnya dijadikan alat kontrol bagi penguasahutan. Jika pelaku ekonomi tersebut tidak mengindahkan maka, masyarakat tidaksegan-segan menuntut ganti rugi dan menutup areal kerja tersebut. Kondisi ini sudahterlihat pada masyarakat suku baham pada areal konsesi PT. Arfak Indra.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan adat yang memiliki nilai konservasi makadiusulkan suatu model pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat yang dapatmeminimalkan tingkat degradasi hutan seperti pada Gambar 2 :

Pengawasan Instansi Teknis

Penegakkan Hukum

Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat adat :

sasi

flora fauna

: Instansi teknis ikut serta dalam pengawasan danpemberian ijin sesuai undang-undang yang berlaku.

: Pada kasus perambahan hutan illegal yang melibatkancukong, sebagian besar dimodali oleh oknum TNI/POLRI, dimana penegakkanketentuan adat tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu penegakkan hukum formalharus ditegakkan, jika penegakkan hukum formal tidak ditegakkan maka dapatmemperparah kondisi hutan di Papua. Dengan demikian rantai pelibatan aparat dalambisnis perdagangan kayu sedikit banyak dapat diputuskan.

Masyarakat adat pemilik hak margaatas tanah merupakan pemegang ijin pemanfaatan hasil hutan, sedangkan dalampelaksanaan pemanfaatan dan modal dapat bermitra dengan HPH pemegang ijin baikdalam satu areal maupun areal lainnya.

1. Ketentuan masyarakat adat terhadap ketentuan adat dalam pemanfaatan hutanadat terhadap ketentuan adat dalam pemanfaatan hutan adat mulai melemah yangdisebabkan beberapa faktor-faktor seperti : Tingginya interaksi masyarakat lokaldengan pihak luar, terjadinya alih pengetahuan dan teknologi luar, desakanekonomi dan kebijakan pemerintah.

2. Pada suku tertentu seperti suku Mooi, Baham dan Bugui, penghargaan terhadapkepala suku dan tua-tua adat masih cukup tinggi terutama dalam penyelesaianmasalah-masalah adat.

3. Adat istiadat yang di temui berupa sasi dan prosesi adat atau “para-para adat”sangat relevan dengan konservasi sumber daya alam seperti : bentuk sasi sebagaiupaya memberi masa bera bagi pemanfaatan hasil hutan. Pemanfaatan lahan yangdiawali dengan prosesi adat sebagai bentuk penghargaan kepada pemilik ulayatserta sebagai sarana sosialisasi keberadaan investor pada wilayah tersebut.

1. Budaya dan bentuk-bentuk pemanfaatan yang konservatif sudah mulaimemudar, namun perlu ditegakkan kembali untuk melindungi kepunahan suatujenis maupun , sehingga perlu dibuat perangkat hukumnya agar dapatmengikat seluruh masyarakat.

2. Agar peran adat tetap terjaga maka baik dalam pemanfaatkan hutan maupundalam hal penegakkan sanksi, perangkat adat perlu selalu alih generasi melaluipembinaan-adat sehingga jika kepala suku suatu wilayah tersebut meninggaltidak terjadi kevakuman dan hilangnya proses regenerasi adat. Pembinaan danpengembangan tersebut harus didukung dengan pembinaan dan pengembanganterhadap institusi adat yang terdapat ditingkat desa hingga ke tingkat RT, misalnyadengan mengangkat kepala adat atau pengurus adat yang sudah wafat. Tindakanitu akan memperkuat kembali aturan-aturan atau kebiasaan yang barangkali sudahada yang mulai dilupakan masyarakat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan :

B. Saran

42Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43

3. Pergeseran kebijakan di bidang kehutanan dalam mengelola hutan lebihmenekankan pada aspek kesejahteraan masyarakat harus diikuti denganperubahan mendasar pada perangkat yuridisnya.

, 2000. Kajian Peran Hukum Adat danHak Ulayat dalam Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Infoteknis BPK Manokwari No. 10 Tahun 2000. Balai Penelitian KehutananManokwari.

. 1994. Begin selen en stelsel van het adatrecht.(terjemahan).Pradnya Paramita. Jakarta.

. 1970. The Social Order, Tata. Mc Graw-Hill Publising C.Ltd.Bombay-New Delhi.

, 2002. Pembangunan Kehutanan Pada EraOtonomi Khusus Provinsi Papua. (tidak diterbitkan)

, 1999. Sekitar Masalah Hak Ulayat dan Hukum Adat padaUmumnya. Hlm. 1-8 Didik Suharjito Hak-hak Penguasaan Atas HutanIndonesia. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat(P3KM). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

2004. Kajian Hukum Adat dalam Upaya Pengentasan IllegalLogging di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Papua-Maluku. Tidak diterbitkan.

. 2003. Pembalakan Haram di Papua. Tropika Indonesia. ConcervationInternasional Indonesia.

2004 Mosaik Sosiologis Kehutanan; Masyarakat Lokal,Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press, 2004.

,S.H, 1983. Pengantar dan Asas- asas Hukum Adat. GunungAgung. Jakarta.

, 1954. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Penerbit Soeroengan Jakarta.

. Pasal 5 UUPA Tahun 1960.Penerbit Staf Penguasa Perang Tertinggi, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Ahcmad Rizal, Abdullah Tuharea, Ifhendri

B. Ter Haar Bzn

Bierstedl, Robert

Dinas Kehutanan Provinsi Papua

Gunawan Wiradi

Irma yeny,dkk,

Kayoi,M

Mustofa Agung Sardjono, .

Surojo Wignjodipuro

Soekanto

Undang-undang Pokok-pokok Agraria Tahun 1960

Dalam

43Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)