implementasi sufisme dalam agama di jawa · diduga berasal dari periode hindhu-budha dalam sejarah...

22
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa Oleh: Suciati Abstract Teachings of mysticism/Sufism in Indonesia is heavily influenced by Hindu tradition. This doctrine is widely available in the Java community that fall into the cult/psychotherapy. Teachings of Sufism is looking so closely in popular religious practices in society, including the Java world. Moreover, Sufism became the largest channel in the spread of Islam. However, on the other side of the practical consequences of the doctrine of monistic was carrying (unitary form) brings a very serious threat of Islamic sharia concept itself. Key words: sufism, religion, javanese and Indonesian-ness. Abstrak Ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang masuk dalam aliran kepercayaan/kebatinan. Ajaran sufisme ini tampak begitu lekat dalam praktek agama populer di masyarakat dunia termasuk orang Jawa. Selain itu, sufisme menjadi saluran yang terbesar dalam penyebaran agama Islam. Namun, di sisi lainnya konsekuensi praktis dari doktrin monistik yang dibawanya (kesatuan wujud) membawa ancaman yang sangat fatal konsep syari’ah Islam itu sendiri. Kata kunci: sufisme, agama, jawa dan keindonesiaan. A. Pendahuluan Mistisisme merupakan istilah yang terdapat dalam sebuah agama/kepercayaan baik di dalam maupun di luar Islam yang berarti kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. 1 Mistisisme dalam Islam disebut tassawuf atau sufisme. Dengan demikian sufisme akan bersinggungan dengan aspek batin, bukan aspek lahir. Hal ini terlihat dalam doktrin monistiknya yaitu kesatuan wujud dengan Tuhan, bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas dari segala sesuatu. Dalam perkembangannya, sufisme memancarkan daya tarik yang luar biasa pada pikiran banyak orang pada abad 10 M dan 11 M. Mereka mendapatkan pengikut dengan jumlah yang luar biasa termasuk para kelompok intelegensia. Ajaran sufisme ini tampak begitu lekat dalam Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. E-mail: [email protected] 1 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI press, 1986), p. 212.

Upload: others

Post on 03-Jun-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa

Oleh: Suciati

Abstract

Teachings of mysticism/Sufism in Indonesia is heavily influenced by Hindu tradition. This doctrine is widely available in the Java community that fall into the cult/psychotherapy. Teachings of Sufism is looking so closely in popular religious practices in society, including the Java world. Moreover, Sufism became the largest channel in the spread of Islam. However, on the other side of the practical consequences of the doctrine of monistic was carrying (unitary form) brings a very serious threat of Islamic sharia concept itself.

Key words: sufism, religion, javanese and Indonesian-ness.

Abstrak

Ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang masuk dalam aliran kepercayaan/kebatinan. Ajaran sufisme ini tampak begitu lekat dalam praktek agama populer di masyarakat dunia termasuk orang Jawa. Selain itu, sufisme menjadi saluran yang terbesar dalam penyebaran agama Islam. Namun, di sisi lainnya konsekuensi praktis dari doktrin monistik yang dibawanya (kesatuan wujud) membawa ancaman yang sangat fatal konsep syari’ah Islam itu sendiri.

Kata kunci: sufisme, agama, jawa dan keindonesiaan.

A. Pendahuluan

Mistisisme merupakan istilah yang terdapat dalam sebuah agama/kepercayaan baik di dalam maupun di luar Islam yang berarti kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.1 Mistisisme dalam Islam disebut tassawuf atau sufisme. Dengan demikian sufisme akan bersinggungan dengan aspek batin, bukan aspek lahir. Hal ini terlihat dalam doktrin monistiknya yaitu kesatuan wujud dengan Tuhan, bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas dari segala sesuatu.

Dalam perkembangannya, sufisme memancarkan daya tarik yang luar biasa pada pikiran banyak orang pada abad 10 M dan 11 M. Mereka mendapatkan pengikut dengan jumlah yang luar biasa termasuk para kelompok intelegensia. Ajaran sufisme ini tampak begitu lekat dalam

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

E-mail: [email protected] 1 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI press, 1986), p.

212.

Page 2: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

182

praktek agama popular di masyarakat dunia termasuk orang Jawa. Hal ini yang tercermin dalam ajaran doktrin sufisme diadopsi oleh aliran kepercayaan/ kebatinan di Indonesia menjadi slogan :‘ Manunggaling kawulo Gusti’.

Ketika di satu sisi sufisme menjadi saluran yang terbesar dalam penyebaran agama Islam namun di sisi lainnya konsekuensi praktis dari doktrin monistik yang dibawanya (kesatuan wujud) membawa ancaman yang sangat fatal konsep syariah Islam itu sendiri. Pengikut sufisme semakin dibawa ke alamnya sendiri untuk senantiasa berkontemplasi dengan Tuhannya, sementara mereka melupakan bahwa ada syariah-syariah yang harus dipenuhi juga ketika seseorang ingin menuju ke tataran insan kamil. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan: Bagaimana bentuk implementasi ajaran sufisme pada agama popular/kepercayaan lokal masyarakat Jawa.

B. Konsep Mistisisme dan Sufisme

Kata ‘mistik’ berasal dari kata Yunani, yang dalam perkembangan selanjutnya masuk dalam khasanah kapustakaan Eropa. Adapun dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki, kata mistik erat kaitannya dengan istilah Islam, yaitu sufi. Namun demikian istilah sufi lebih mempunyai makna yang khas dan religious dibandingkan istilah mistik. Dengan kata lain bahwa sufi dapat diartikan sebagai mistik yang dianut oleh para pemeluk agama Islam. Oleh sebagian sufi , bahwa asal-usul kata sufi berasal dari bahasa Arab yaitu kemurnian. Dengan demikian seorang sufi diartikan sebagai orang yang murni hatinya atau insan yang terpilih.

Lain halnya dengan Noldeke, dalam sebuah artikelnya yang ditulis pada dua puluh tahun yang lalu:

Kata suf berasal dari bahasa Arab yang berarti bulu domba. Istilah tersebut pertama kalinya dikenakan pada orang-orang Islam yang hidup sebagai pertapa (asketis), yang meniru kehidupan para biarawan Nasrani. Orang-orang tersebut biasanya mengenakan pakaian bulu domba yang kasar, sebagai tanda tobat dan keinginannya untuk meninggalkan kehidupan duniawi ( zuhud). 2

Mistisisme juga berarti sebuah kepercayaan bahwa manusia dapat mengalami persatuan dengan penciptanya ( transcendental ). Adapun tahapan untuk menuju persatuan transcendental ini meliputi 3 hal, antara lain: membersihkan diri dari nafsu lahiriah, penyucian karsa serta penjernihan cipta. Istilah ini juga sering sekali dikaitkan dengan istilah tasawuf dalam Islam. Ajaran mistisisme banyak juga dikenal dalam filsafat Phytagoras dan Plotinus.

2 Reinold A Nicholson, Mistik dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), p. 6-7.

Page 3: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

183

C. Mistisisme Jawa

Ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang masuk dalam aliran kepercayaan/kebatinan. Berdasarkan pandangan tradisional orang Jawa, sudah banyak mengalami perubahan dibandingkan pada masa dahulu. Setiap benda, misalnya pohon, batu atau keris dianggap mengandung kekuatan ghaib. Oleh karena itu melalui kegiatan ritual mereka memohon kepada arwah yang mengisi benda-benda tersebut melalui berbagai ritual agar mereka tidak diganggu. Lebih banyak orang Jawa yang kini melakukan ritual demi keselamatan arwah nenek moyang mereka. Itulah sebabnya mengapa masih banyak orang Jawa muslim yang memperingati kematian orang yang mereka kasihi, dari hari pertama hingga hari ke tujuh, seratus atau seribu.3

Namun demikian, apa yang dipahami sebagai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seperti saat ini, pada masa lalu dikenal sebagai aliran kebatinan, kejiwaan, kerokhanian. Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa bukanlah sesuatu yang baru di bumi Indonesia ini. Kepercayaan ini sudah terlebih dulu ada, sebelum masuknya agama Hindhu, Budha, Islam, dan Kristen ( Protestan dan Katolik), datang di Indonesia. Pada saat itu kepercayaan masyarakat Indonesia sudah ada dan jumlahnya relative banyak. Kepercayaan masyarakat Indonesia yang beraneka ragam tersebut tidak didirikan oleh seorang pendiri, tetapi tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Kepercayaan yang merupakan jiwa kebudayaan Indonesia adalah milik bersama masyarakat, yang secara turun-temurun dihayati, dikembangkan dan diwariskan oleh setiap generasi. Dalam pertemuan dengan agama-agama yang datang dari luar yaitu Hindhu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik timbullah sinkretisme. Kepercayaan asli tersebut terus berlangsung meskipun agama yang datang dari luar negeri itu menjadi agama resmi Negara kita.

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yang menyebut aliran kepercayaan dengan Kejawen. Menurutnya bahwa kejawen di satu sisi merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindhu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam, adapun di sisi lain merupakan sebuah metodologi dalam kebudayaan Jawa. Metodologi ini meliputi kemahiran dalam menerapkan othak-athik gathuk ( kreatif dalam menemukan titik penyesuaian sehingga kelihatan pas), peka dalam pemaknaan simbolik (wong Jowo iku nggoning semu=orang Jawa itu tempatnya

3 Dedy Mulyana, Komunikasi Multikultiral, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2005),

p. 34.

Page 4: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

184

symbol), serta cenderung menerima fakta secara mitos yaitu cenderung melebih-lebihkan fakta yang sebenarnya.4

Konsep ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan Sejarah asal masuknya Agama Islam ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dahulu kala, sebagai agama baru di Nusantara, Islam datang dalam bentuk yang tidak semurni yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Untuk dapat sampai ke Indonesia, Islam memerlukan perantaraan tangan-tangan budaya dan filsafat Timur (bukan Timur Tengah). Budaya Persia dan Hindu merupakan racikan kebudayaan dan filsafat yang masih meninggalkan residu dalam pola kehidupan umat Islam Indonesia. Ini dapat dilihat dalam konsep-konsep keberagamaan para penganut dan penganjur tasawuf, tarekat, dan pengikut fiqih mazhab Syafi’i.

Islam memperlakukan tradisi dan budaya lokal Jawa dengan hormat dan meluruskan berbagai kekeliruannya dengan cara yang arif dan bijaksana. Dongeng, mitos, dan mistik dari unsur Budha, Hindu, Animisme, dan Dinamisme dibentuk menjadi kisah-kisah Islami versi kaum tarekat dan sufi, dalam hal ini: Walisongo. Dengan demikian, sebagai penganut agama baru, masyarakat Muslim Jawa terbentuk menjadi masyarakat yang lekat dengan nilai-nilai ruhaniah sufistik dan non-rasional. Pola hidup masyarakat Jawa yang secara struktural diciptakan, manut terhadap sabda pandita, para penguasa, dan penyelenggara pemerintahan, nrimo, dan mudah menyerah kepada keadaan -semakin mendarah-daging. Doktrin-doktrin sufistik yang mengarah kepada pola fatalistik (jabariy), yang meyakini bahwa Tuhan memegang kekuasaan dan kehendak mutlak atas manusia, mempunyai peranan yang cukup dominan dalam pembentukan pola budaya demikian.5

Niels Mulder lebih mempertegas konsep jawanisme atau kejawen ini dengan mengatakan bahwa kejawen lebih menunjuk pada etika dan gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa, sehingga ketika sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam praktek beragama, seperti dalam mistisisme maka pada hakikatnya hal itu merupakan suatu karakteristik yang secara cultural condong pada kehidupan yang mengatasi keanekaragaman religious. Elemen-elemen dalam Jawanisme ini umumnya diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam menjalani kehidupan. Kemunculan aliran kepercayaan/ kebatinan

4 Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI,

2000), p. 102. 5Http://sonysikumbang.wordpress.com/2010/10/04/beberapa-konsep-wali-

songo.

Page 5: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

185

menandakan adanya suatu gerakan rakyat yang berupaya menemukan kebenaran dan jati diri dalam warisan budaya mereka sendiri.6

Negara sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembinaan aliran kepercayaan, sebenarnya sejak awal sudah mengantisipasi terhadap keinginan beberapa aliran untuk menjadi agama baru selain agama yang diakui di Indonesia. Hal ini jelas diatur dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/ 1978, serta Tap MPR No. IV/ MPR/1988 tentang garis-garis besar Haluan Negara dikatakan bahwa Kepercayaan Kepada Tuhan yang maha Esa bukanlah merupakan agama, sehingga pembinaan yang dilakukan kepada aliran kepercayaan bertujuan antara lain: a. agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru. b. untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar

pelaksanaan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan yang maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pemberian hukum dan legalitas aliran kepercayaan menjadi sebuah agama terletak pada keberatan kaum agama yaitu akan memberikan peluang bahkan mendorong orang yang lemah iman dan perasaan keagamaannya untuk mengikuti ajaran kepercayaan tersebut. Apalagi kalau diingat bahwa sebagian orang yang menganut kepercayaan masih mengakui bahwa dia seorang penganut agama Islam, walaupun masuk dalam kategori Islam turunan.7

Bagi kebanyakan orang Jawa, sungguh membuat sedih hati mereka ketika melihat kenyataan bahwa buah mistis dari tanah mereka tidak mendapatkan pengakuan sebagai ekspresi keimanan yang sederajat dengan agama-agama ’impor’. Memang mereka jarang menyalakan doktrin-doktrin yang bermacam-macam itu, tetapi mereka melihat ekspresi religious tertentu yang betul-betul memuakkan. Bagi mereka, Tuhan terletak di hati. Dia bukanlah sosok yang jauh dan tak terjangkau, tetapi sangat dekat. Namun meski ide Islam ataupun Kristen telah mempengaruhi mistis orang Jawa, tetap saja mereka tidak bisa menerima Muhammad sebagai nabi pamungkas atau Kristus sebagai satu-satunya penyelamat. Berkat keintiman mereka dengan realitas tertinggi, mereka mengetahui bahwa wahyu bisa diturunkan setiap hari. Tetapi pesan mistiknya tidak terlalu menjanjikan penyelamatan atau surga, karena pesan itu diarahkan untuk menafsirkan eksistensi duniawi dalam sebuah perspektif kosmologis.8

6 Niels Mulder, Mistisisme Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 2001), p. 10. 7 Yunan Nasution, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang,

1988), p. 264-265. 8 Niels Mulder, Mistisisme Jawa, p. 24-25.

Page 6: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

186

Berbeda dengan Mulder, maka Simuh mencoba untuk memberi ciri sendiri terhadap kejawen. Menurutnya aspek kerokhanian ini tidak mempunyai kitab suci dan tidak mempunyai kesatuan konsep. Aspek kerohanian jawa merupakan pembauran berbagai unsur dari kebudayaan asli pribumi, Hindhu-Budha, dan Islam dengan kadar yang beraneka ragam, sesuai dengan pemahaman dan paham masing-masing guru Pembina alirannya. Ada sejumlah aliran yang lebih menekankan pada aspek mistiknya yang cukup halus, yakni mencapai penghayatan Manunggaling Kawulo Gusti, namun adapula sejumlah aliran yang mempunyai ajaran dengan sangat sederhana dan lugu, ada juga aliran yang menonjolkan aspek animisme dan dinamisme, yaitu hubungan roh-roh gaib untuk mendapatkan wangsit dari berbagai keperluan.9

Penganut-penganut kepercayaan sebenarnya sudah mengakui tidak termasuk dalam kelompok agama, walaupun mereka percaya kepada Tuhan yang maha Esa. Namun kiranya masih ada pertanyaan apakah Tuhan yang maha esa yang dimaksud adalah Allah SWT yang menciptakan alam ini? Yang jelas bahwa penganut kepercayaan tersebut tidak mempunyai kitab yang dapat dijadikan pedoman tertulis dan pegangan untuk berkonsultasi dan menjadi tempat kembali (terugval basis) dalam menghadapi ataupun memecahkan persoalan.10

Spranger menyamakan agama dengan mistik. Olehnya agama dilukiskan sebagai penyatuan alam semesta dengan eksistensi diri. Namun di pihak lain ada mistik yang bukan agama yaitu bila mistik bersifat immanen, yaitu peleburan antara insan dengan Illahi dalam kesatuan dengan alam semesta. Spranger mempersempit gejala agama dengan membatasi pengertiannya pada satu bentuk agama tertentu, yaitu pada bentuk mistik. Namun demikian hubungan manusia dengan Tuhannya tidak selalu harus berbentuk mistik. Agama dapat juga dihayati dengan bentuk yang bukan mistik. Misalnya saja dengan jalan menghayati bahwa manusia ditugasi oleh Tuhan untuk memuliakanNya dengan memelihara dunia, terutama membahagiakan sesama. Ia juga boleh percaya penuh pada bantuan Tuhan pada umatNya. Bentuk seperti ini jelas berlainan dengan mistik yang lebih mengarah pada kontemplasi Illahi. Hingga pada akhirnya perlu dicatat bahwa mistik transenden mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak mampu menerima nilai-nilai duniawi. Hal ini erat kaitannya dengan psikologisme : dimensi transenden.

Pada dasarnya praktek mistisisme merupakan upaya individual. Dalam hal ini seorang manusia melakukan penyatuan kembali dengan asalnya yang mencita-citakan pengalaman rahasia keberadaan, atau

9 Simuh, Sufisme Jawa transformasi tasawuf Islam ke mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan

Bentang Budaya, 1995), p. 65. 10 Yunan Nasution, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, p. 265.

Page 7: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

187

pelepasan dari segala kegiatan duniawi. Perjalanan mistik, oleh Mulder dikatakan melalui 4 tahap.11 a. syareat, mengindahkan dan hidup menurut pranata dan hukum agama,

misalnya sholat 5 waktu bagi orang Islam b. tarikat, yaitu orang menyadarkan diri atas perilaku yang dilakukan pada

tahap pertama, misalnya bahwa sholat bukan saja untuk menggerakkan tubuh tetapi juga menyiapkan diri ‘menemui’ Tuhan

c. hakikat, yaitu perjumpaan dengan kebenaran, yaitu pemahaman yang mendalam bahwa satu-satunya cara untuk mengada adalah menjadi ‘hamba’ Tuhan

d. makrifat, saat tujuan menyatunya hamba dengan Tuhannya sudah tercapai ( jumbuhing kawula lan gusti )

Dikatakan juga oleh Suwardi bahwa menurut Geertz ada beberapa postulat konkrit terkait dengan teori mistik. a. tujuan hidup manusia adalah tenteram ing manah ( ketenangan) b. rasa menyatu dengan individu dan individu menyatu dengan Tuhan c. tujuan manusia untuk tahu dan merasakan rasa tertinggi dalam diri

sendiri untuk membuat prestasi untuk kekuatan spiritual d. untuk memperoleh pengetahuan tentang rasa tertinggi,maka manusia

harus memusatkan pada batin. e. Pengalaman rasa f. Manusia berbeda-beda dalam kesanggupannya melakukan disiplin

spiritual g. Dalam tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua manusia

adalah satu dan sama Rupanya tahap-tahapan di atas sejalan dengan pokok-pokok ajaran

tasawuf dalam rangka mencapai makrifat, dikemukakan oleh Al Ghozali sebagai berikut: 12 a. Distansi

Berarti mengambil jarak dari nafsu-nafsu dunia yang memperbudak dirinya. Nafsu yang dimaksud adalah nafsu amarah dan lawwamah ataupun penghambaan terhadap dunia sehingga seorang manusia benar-benar menemukan ‘akunya’ sehingga benar-benar dapat berdiri sebagai khalifah. Dalam tasawuf, distansi dimaksudkan untuk membina sikap eskapisme agar bisa mencapai suasana hati yang bersih, terbebas dari ikatan-ikatan selain hanya Allah. Tahapan ini adalah yang paling berat karena merupakan aspek positif yang akan menjadi sumbangan yang paling efektif untuk kehidupan masyarakat yang

11 Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, (Jakarta: Gramedia,

1984), p. 47-48. 12 Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam, p. 28-29.

Page 8: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

188

bertanggung jawab serta jujur, menciptakan aparat yang bersih dan berwibawa, bebas dari sikap korup, aji mumpung, kolusi kekuasaan dan lain-lain.

b. Konsentrasi Maksudnya adalah berzikir kepada Allah. Konsentrasi merupakan

aspek praktis sehingga setiap orang dapat menjalankan dzikir. Meskipun yang dapat menjalankan dzikir secara benar-benar adalah orang-orang tertentu yang khawas saja ( para wali) dan bukan golongan awam yang menghormati dan berwasilah pada orang-orang suci dan dianggap keramat. Konsentrasi dengan wasilah dzikir ini dijadikan sarana untuk memfanakan dan mengalihkan pusat kesadaran alam materi ke pusat kesadaran dunia kejiwaan yang disebut dengan iluminasi.

c. Iluminasi Menurut Al-Ghozali, konsentrasi dzikir bila berhasil akam

mengalami fana terhadap kesadaran inderawi dari mulai kasyaf (tersingkap tabir) terhadap penghayatan alam ghaib dan memuncak ke dalam alam makrifat. Mulai kasyaf ini, kaum sufi mulai dengan mi’raj jiwanya, sehingga dapat bertemu dengan malaikat, ruh, para nabi dan dapat memperoleh ilmu laduni dan bahkan dapat melihat nasib di lauh mahfud. Inilah yang kemudian disebut dengan manunggaling kawulo Gusti ( mistik union).

d. Insan kamil Sebagaimana logika tasawuf, bahwa ketika orang dapat

berhubungan dengan alam ghaib dan makrifat kepada Tuhan maka merekalah yang dinamakan manusia pilihan sebagai predikat manusia sempurna (insane kamil). Maka orang-orang suci ini dalam kehidupannya akan memancarkan sifat-sifat ke-Illahi-an bahkan penjelmaan Tuhan di muka bumi. Mereka memiliki berbagai macam karomah ( saktisme).

Dalam berbagai versi cerita, maka walisanga sebagaimana yang tertulis di serat babad fungsi Walisanga, para wali dikatakan “ bisa berjalan di atas air, terbang di udara, mendatangkan hujan, berada pada beberapa tempat pada suatu waktu, menyembuhkan penyakit dengan hembusan nafasnya, menghidupkan orang mati, mengetahui dan meramalkan kehidupan mendatang, membaca pikiran orang dan lain.

Bagaimanapun juga faham Tuhan dekat dengan manusia yang merupakan ajaran dalam mistisisme/sufisme, terdapat pula dalam Al Qur’an dan Hadis: 13

13Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, p. 72-73.

Page 9: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

189

a. QS Al-Baqarah 186

jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang diriKu, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku. b. ayat 115

Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja mereka berpaling, disitu (kamu jumpai ) wajah Tuhan

c. QS Qof ayat 16

Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepada-Nya daripada pembuluh darahnya sendiri

Jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi sebenarnya tidaklah licin akan tetapi penuh duri. Dia harus merangkak dari stasion-stasion (al maqomat) secara bertahap. Stasion itu biasa disebut sebagai tobat, zuhud, sabar, tawakkal dan ridho. Disamping stasion itu, mereka juga harus melalui al-hal (keadaan mental): perasaan takut, rendah hati, rasa berteman, gembira hati dan syukur. Bedanya dengan al-maqom, maka al-hal datang bukan atas usaha manusia tetapi datang berdasarkan anugerah Tuhan, dan sifatnya sementara, datang dan pergi.14

Adapun ajaran sufisme ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam mistik kejawen yang sesungguhnya merupakan manifestasi agama Jawa. Agama Jawa merupakan manifestasi praktik religi dalam masyarakat. Sebagian orang meyakini bahwa dalam mistik Jawa terdapat pengaruh sinkretik dengan agama lain, sedikitnya Budha, Hindhu dan Islam. Sebaliknya ada juga yang meyakini bahwa mistik kejawen adalah milik manusia Jawa yang telah ada dan belum ada pengaruh dari budaya lain.15 Mistik kejawen adalah upaya spiritual ke arah pendekatan diri kepada Tuhan YME yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa.

14 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, p. 79. 15 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2006), p. 74.

Page 10: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

190

Beberapa ajaran tentang sufisme/tasawuf dalam distansi sudah merupakan nilai-nilai yang disepakati sebagai nilai-nilai luhur bangsa kita. Berikut akan dijabarkan lebih rinci nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dimaksud : 1. Ajaran tentang ketuhanan

Konsep Tuhan adalah adoh tanpo wangenan cedak tanpo senggolan yang artinya jauh tidak kelihatan, dekat tetapi tidak bersentuhan. Tuhan dekat sekali dengan manusia. Namun apabila manusia tidak mendekatkan diri pada Tuhan, maka manusia akan dijauhi oleh Tuhan. Manusia perlu melakukan perbuatan baik kepada Tuhan. Selain itu manusia juga wajib menciptakan suasana dumadi, rendah hati dan kasih sayang serta saling menyayangi pada semua ciptaan Tuhan. Manusia harus percaya kepada Tuhan yang membuat hidup, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Manusia tidak boleh percaya begitu saja tetapi harus diikuti dengan eling dan mituhu (percaya dan berdoa ). Setelah percaya, mituhu dilakukan manusia karena manusia senantiasa mengubah dan mengusik Tuhan, maka disitulah letak kesalahan baik yang terlihat maupun tidak. Oleh karenanya manusia wajib berdoa dan memuji untuk menebus kesalahan atau bertaubat atas kesalahan yang telah diperbuat.

Tuhan memiliki sifat yang serba maha ( maha kuasa, maha pemurah, maha pengasih, dsb). Sifat-sifat tersebut setelah manusia memiliki kesadaran batin. Dalam pemusatan batin, sifat tersebut harus ditiru oleh manusia, dengan demikian manusia tidak mungkin melakukan hal-hal yang tidak benar. Kekuasaan Tuhan tidak hanya tergantung pada pada hal-hal yang sudah nyata, akan tetapi hal-hal yang akan terjadi juga ada pada kekuasaan Tuhan. Misalnya saja peristiwa seperti gunung meletus, banjir, gempa serta lainnya. Manusia secara kodrat memiliki sifat yang berbeda-beda sehingga tidak mudah untuk berbuat baik dan sempurna. Hal yang harus dijalankan oleh manusia adalah tidak boleh mengurangi dan tidak boleh menambah haknya yang telah diberikan Tuhan. Menambah misalnya memuja punden, pesanggrahan, pusaka, batu, pohon, dsb. Sedangkan mengurang berarti melakukan hal-hal seperti menyiksa diri, misalnya memaksakan diri untuk berpuasa, yang akhirnya sakit.

Kemanunggalan antara sang pencipta dan ciptaan sudah terjadi dalam diri manusia. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah sampai dimanakah kesadaran manusia bahwa sang pencipta berada dalam diri kita. Hal ini dibuktikan bahwa terlalu banyak hal-hal yang kita lakukan tidak sesuai dengan kehendakNya. Sebaliknya bahwa banyak hal yang kita lakukan tanpa peduli bahwa sang Pencipta itu berada di di dalam diri kita dan mengatur, mengendalikan serta memberi arahan bagaimana berbuat benar. Orang cenderung banyak memutuskan masalah yang mendukung kebenarannya sendiri tanpa memikirkan apakah itu benar bagi orang lain.

Page 11: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

191

Sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa setiap kelompok ingin mempertahankan kebenarannya sehingga memunculkan egoisme pribadi maupun kelompok. Hal ini tentu saja akan menghambat adanya persatuan dan kesatuan.16 2. Ajaran tentang kemanusiaan

Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan mempunyai watak yang berbeda-beda. Secara sadar maupun tidak sadar sebenarnya manusia sudah mempunyai dasar iman dan percaya, sehingga tidak akan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari akal budinya. Jika sampai terjadi suatu penyimpangan karena akal budi manusia maka hal ini karena dihinggapi oleh gangguan setan, jin, iblis dan sebagainya. Oleh karenanya perlu ditanamkan adanya sikap manembah dan ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara itu diharapkan manusia akan dapat menghimpun diri pribadinya, sehingga mampu memiliki sifat-sifat yang baik. Selanjutnya manusia diharapkan akan dapat memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk, salah dan benar. Dengan demikian manusia akan dapat membentuk pribadinya lahir dan batin. Misalnya saja ketika berangkat kerja maka manusia harus berdoa agar memperoleh keselamatan dalam pekerjaannya. Setelah pulang dari kerja maka manusia kembali berdoa untuk mengucapkan terimakasih atas kuasa Tuhan. Di sisi lain apabila manusia tidak sadar dan tidak bisa menghindari nafsunya maka akan menimbulkan keresahan dan tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, tidak tekun dan tidak dapat menempatkan diri.

Sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna, maka manusia memiliki kelebihan yang berupa akal, budi, cipta, rasa, dan karsa. Dengan kelebihan itu maka manusia mempunyai kewajiban dan tugas terhadap sang pencipta. Adapun tugas dan kewajiban itu adalah manembah, dan ingat dan berdoa bersama yang diwujudkan dalam bentuk suci, damai dan penyayang. Manusia harus selalu sujud dimanapun dan kapanpun ia berada.

Adapun terhadap dirinya sendiri manusia harus selalu andhap ashor atau rendah hati, juga tidak sombong juga tidak pamer. Sedangkan dalam hubungannya dengan sesamanya maka manusia diwajibkan untuk saling menyayangi serta menghindari sifat dengki, iri, jahat, dsb, sehingga akan tercapai suatu suasana yang damai, rukun, aman, tentram. Berkaitan dengan alam maka manusia wajib mengelolanya dengan baik. Sebab dengan memanfaatkan dan mengolah dengan baik maka akan mendatangkan hasil yang baik pula. Dengan demikian kebutuhan manusia akan tercukupi dan terciptalah kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia.

16 Buletin Galih edisi 2007: p. 56

Page 12: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

192

Segala sesuatu yang dilakukan manusia di dunia akan berkaitan dengan alam langgeng nanti. Oleh sebab itu maka perbuatan manusia di dunia harus sesuai dengan kebenaran yang nyata. Yang berasal dari Tuhan yang maha Kuasa. Dengan demikian maka untuk mencapai ketentraman dunia harus dilandasi dengan takwa, yaitu ingat, sujud, dan manembah kepada Tuhan. Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pepatah leluhur kita ” wong yen nandur bakal ngunduh ” artinya bahwa orang yang menanam akan memetik buahnya adalah benar. Hal ini dapat diartikan bahwa apa yang diperbuat manusia di dunia akan mendapatkan pembalasan di akherat kelak. 3. Ajaran tentang alam semesta

Alam diciptakan oleh Tuhan untuk kelangsungan hidup mahluk yang lain. Namun demikian Tuhan tetap menguasainya dan Tuhanlah yang menentukan. Misalnya saja terjadinya gempa, banjir, gunung meletus, datangnya selalu tiba-tiba. Kadang-kadang ada tanda-tanda terjadinya musibah, misalnya cuaca gelap. Dengan tanda itu maka manusia hendaknya dapat membaca musibah itu. Alam memiliki kekuatan yang luar biasa yang disebut dengan ghaib, artinya tidak diketahui oleh manusia, namun hanya Tuhanlah yang tahu apa yang akan terjadi. Manusia harus dapat memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya. Mereka berdua saling berhubungan satu sama lain. Alam tanpa manusia tidak bermanfaat, sebaliknya, manusia tanpa alam tidak dapat hidup.

Istiasih dalam artikelnya yang berjudul ”Memayu hayuning Bawono” Sebagai Pedoman Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha esa ” mencoba untuk menegaskan konsep yang secara umum berlaku dalam hubungan manusia dengan alam.17 Istiasih menyatakan bahwa makna ”Memayu hayuning Bawono” tidak lain adalah mewujudkan keadaan dunia untuk tetap indah sekaligus selamat. Makna tersebut setidaknya dapat diwujudkan dengan sikap dan perilaku aktif berbuat kebajikan kepada siapapun dan apapun, termasuk di dalamnya menjaga serta memelihara lingkungan hidup yang sehat, asri, indah dan lestari. Dengan demikian, maka lingkungan akan selalu mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Adapun hal yang dapat mendasari sikap agar manusia senantiasa menjaga kelestarian alam dengan ” Memayu hayuning Bawono ” antara lain : a. Bahwa seseorang wajib menjaga kelestarian dan menghormati serta

memperindah alam b. Menjaga alam lingkungan agar dapat diwariskan kepada generasi

mendatang

17 Buletin Galih, edisi 2006: p. 21-22

Page 13: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

193

c. Jika alam tidak dijaga dengan baik akan merugikan masyarakat alam merupakan anugerah Tuhan untuk manusia, sehingga manusia wajib menjaga agar tetap bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Pada dasarnya alam beserta isinya termasuk manusia tidak boleh dirusak akan tetapi harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan sehingga tidak akan menimbulkan gejolak alam seperti bencana alam yang terjadi di sekitar manusia.

Menurut pemahaman ini, terjadinya bencana alam disebabkan karena banyaknya manusia yang berbuat tidak baik, curang, culas atau dengan kata lain tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Ibaratnya ketika bumi diduduki oleh pencakar langit tidak akan ambles tetapi giliran bumi diduduki oleh manusia yang jahat, maka bumi menjadi bergeser dan terjadilah gempa bumi. Dalam kaitannya dengan hal ini maka banyak orang yang masih tidak percaya bahwa perilaku manusia mempengaruhi perilaku alam.18

D. Interaksi Agama dengan Kebatinan

Berbicara tentang interaksi antara agama dengan aliran kepercayaan/ kebatinan itu sendiri ternyata melibatkan banyak pendapat yang berbeda. Ada pernyataan yang begitu tegas mengatakan bahwa aliran kebatinan berada di atas agama. Ada yang menyatakan bahwa keduanya tidak dapat dipertemukan dan adapula yang menyatakan bahwa antara agama dan aliran kepercayaan bersifat kompromis.

Sikap radikal yang menyatakan bahwa aliran kebatinan di atas semua agama didasari atas adanya faktor yang menimbulkan kekecewaan sebagaimana telah diungkap sebelumnya. Dimana agama-agama lama dianggap tidak mampu menjiwai manusia. A Wakhid dalam Rahmat Subagya mengatakan bahwa “kegagalan hirarki dan struktur-struktur agama besar di Indonesia untuk memberikan pemecahan terhadap persoalan-persoalan sosial yang pokok dari kehidupan masyarakat dewasa ini”. Demikian juga diungkapkan bahwa agama-agama besar dianggap gagal dalam menyelenggarakan perdamaian dunia. Hanya kebatinanlah yang dianggap sanggup untuk menunaikan tugas mulia yang dilakukan oleh agama-agama itu. Golongan agama katanya berkedok pada nama murni agama dan telah membangkitkan iri hati, fitnah, dengki dan dendam.19

Hal ini diperkuat oleh pendapat Mr. Wongsonegoro, bahwasannya pendidikan kebatinan mempunyai dasar lebih luas daripada pendidikan agama maupun pendidikan budi pekerti, oleh karenanya juga menyinggung

18 Buletin Galih, edisi 2007: p. 45 19 Rahmat Subagya, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan: Kepercayaan dan

Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), p. 76.

Page 14: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

194

batin manusia. Mengapa agama tidak dapat menentramkan dunia. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjalankan agama sering menitikberatkan pada satu segi saja yaitu berbakti kepada Tuhan dengan melepaskan sama sekali kebatinan. Dengan kata lain bahwa agama dan kebatinan harus dilakukan bersama supaya lebih menampakkan perannya. Menurut pemikiran ini maka kebatinan dianggap bersuperioritas di atas agama meski baru mulai dan dapat menyumbang perdamaian dunia namun cukup optimis.

Pandangan sebaliknya diungkapkan oleh S. Mertodipura menyatakan bahwa kebatinan seyogyanya masuk dalam agama, karena kebatinan menyajikan ragi dalam hidup keagamaan. Dalam konggres kebatinan II di Surakarta pada tahun 1956 dinyatakan oleh Mr. Wongsonegoro, bahwa gerakan kebatinan bukanlah suatu agama baru yang akan mendesak agama-agama yang sudah ada, akan tetapi kebatinan bahkan akan memperdalam atau sublimeren agama-agama yang sudah ada.20

Adapun untuk pendekatan yang sifatnya kompromis disampaikan dalam symposium Nasional kepercayaan 1970 yang dinyatakan oleh salah satu aliran kepercayaan yaitu Pangestu :

“Jelaslah bahwa pelajaran Sang Suksmo sejati bukan suatu agama dan tidak pula dimaksudkan untuk mengubah agama Tuhan yang telah ada, yakni Islam dan Kristen.Sang Guru Sejati menegaskan agar mereka yang telah memeluk suatu agama Islam atau Kristen hendaknya benar-benar dan sungguh-sungguh melaksanakan semua petunjuk-petunjuk rahayu yang tersimpul dalam kitab-kitab suci Al Qur’andan Injil. Bagi mereka yang belum memiliki salah satu agama, baik Islam atau Kristen, maka pelajaran Sang Suksmo Sejati dapat dipakai sebagai obor penyuluh jalan yang menuntun dan menyelamatkan kita di dunia dan akherat”.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebatinan juga mempunyai andil terhadap pembentukan jati diri masyarakat Jawa. Nilai-nilai yang bersifat transcendental dan kemanusiaan paling tidak dapat membentengi pengaruh westernisasi yang cenderung negative. Masuknya teknologi komunikasi menyebabkan arus globalisasi semakin cepat dirasakan imbasnya oleh siapapun. Pengaruh Barat bukan tidak mungkin akan masuk dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Namun ada sebuah keyakinan dari sekelompok orang Jawa, bahwa budaya Jawa yang telah mengakar kuat tidak mungkin dapat tergantikan dengan budaya Barat. Sebagai konsekuensinya, maka budaya Barat banyak membawa perubahan tata moral masyarakat. Sayang sekali tata moral ini lebih mengarah kepada hal-hal yang negatif daripada yang positip.

Tata moral yang rusak ini sering diasumsikan pada etika dan pandangan dunia yang berubah juga. Namun tidaklah demikian, bahwa

20 Ibid., p. 69.

Page 15: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

195

norma dan nilai yang berubah adalah titik beratnya saja, penekanan dan relevansinya. Konsep-konsep Jawa tentang keteraturan dan hidup baik, sedikit saja yang dipengaruhi perubahan-perubahan struktural yang pesat dan pengalaman-pengalaman politik kemerdekaan. Maka bangkitnya kebatinan dan usaha menyusun kepribadian nasional atas dasar nilai asli merupakan bukti vitalitas, dan keberlangsungan pemikiran kejawen.21

Bagaimanapun juga ketika manusia membahas tentang mistisisme tidak lain adalah pembahasan dalam arti batiniah. Pembahasan ini harus dimulai dengan pengakuan bahwa mistisisme adalah unsur dari keagamaan dalam arti luas. Dengan kata lain bahwa mistisisme dan agama saling merasuki. Sedangkan perbedaannya hanyalah pada penekanannya saja. Mistisisme lebih menekankan pada pengalaman batin dalam pengalaman individu seseorang, dan penyatuan langsung dengan sesuatu yang absolute. Sedangkan pada agama orang mengenal esensi melalui wujud luar. Dengan kata lain bahwa aspek kebatinan berada dalam agama. Secara universal, kalangan mistik mengatakan bahwa pengalaman tidak dapat dicapai oleh nalar.

E. Interaksi Tasawuf dengan Kebatinan

Mistisisme ataupun sufisme yang bertujuan untuk mengajak batin manusia untuk berkontemplasi untuk kesatuan wujud dengan Tuhan, tidak lain adalah untuk mencapai derajat spiritual yang tinggi. Namun demikian dalam praktiknya ada kecenderungan dari mereka untuk mengacaukan dengan berkompromi pada kepercayaan-kepercayaan dan praktek popular dari masyarakat yang setengah-setengah masuk Islam bahkan yang hanya masuk Islam dengan namanya saja. Sufisme membiarkan dirinya bercampur aduk dengan ajaran agama lama dari pemeluk agama Islam baru . Hal ini terjadi pada kepercayaan animisme di Afrika hingga pantheisme di India. Kecenderungan yang kuat untuk berkompromi dengan ide dan adat kebiasaan lokal dari pemeluk Islam yang baru justeru telah memecah belah Islam menjadi aneka ragam budaya social dan keagamaan.22

Pernyataan Fazlur Rahman ini terbukti dengan kondisi munculnya ajaran manunggaling kawulo gusti yang begitu didengung-dengungkan oleh aliran kebatinan di Indonesia tetapi tetap mereka tidak dapat meninggalkan pengaruh hindu (misalnya saja memperingati kematian seseorang dengan slametan/kendurenan) sebagai sebuah ritual yang justeru di dalam agama Islam dilarang. Mereka juga sama sekali tidak melakukan syari’ah-syari’ah yang semestinya dilakukan oleh orang yang

21 Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, p. 75-76. 22 Fazlur Rahman, Islam, 224-225.

Page 16: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

196

beragama Islam, misalnya shalat dan puasa. Meski yang terjadi mereka mengatakan beragama Islam.

F. Doktrin Monistik: Manunggaling Kawulo Gusti

Lebih ekstrem lagi ketika menyimak pengalaman batin dari tokoh-tokoh sufi dalam sejarah , misalnya saja Abu Yazid ataupun Syeh Siti Jenar. Lekatnya slogan Manunggaling Kawulo Gusti dalam diri mereka justeru membawa mereka kepada pemahaman yang salah terhadap makrifat. Titik tekan pada konsep makrifat ini membawa mereka menganggap dirinya sebagai Tuhan. “Tidak ada Tuhan selain aku maka sembahlah aku”, itulah pernyataan yang keluar dari Abu Yazid dan Syeh Siti Jenar, yang mengaku sebagai orang yang sudah mencapai tingkatan makrifat dalam sufi.

Lain lagi dengan tokoh sufi lainnya, yaitu Jalaluddin Rumi. Gagasan Rumi tentang Manunggaling Kawulo Gusti boleh jadi dianggap sebagai gagasan menyimpang dan memberontak syariat agama. Namun bagi Rumi semua pandangan terhadap gagasannya adalah sah-sah saja, karena menurutnya perbedaan pandangan adalah sebuah rahmat. Rumi memandang segala sesuatu dari sisi hakikatnya, bukan dari dunia bentuk atau luar. Karena itu Rumi memandang dari aspek kesejatiannya bukan dari kulit luarnya. Gagasan cinta kepada Allah sangat mendominasi pikiran dan puisinya, sering diungkapkan dengan cara di luar syariat, yaitu dengan membentuk sebuah tarian yang disebut “para darwis yang menari “the wirling dervishes” . Dengan tarian mistiknya, maka Rumi sampai kepada Allah. Jika kemudian muncul pertanyaan tentang cara-cara Rumi yang tidak melalui pintu syariat, maka ia pun siap dengan jawaban: “orang harus mendobrak dan mematahkan batas-batas pemikiran untuk menyaksikan kekuatan cinta yang tertinggi, dan untuk menyerap kebesaran Allah tercinta ”Dan semua itu bisa melalui music dan tari”.

Rumusan manusia Jawa dalam menyikapi sekaligus meyakini Tuhan diungkapkan lewat pernyataan cedhak tanpa senggolan (dekat tanpa bersinggungan) dan adoh tanpo wangenan (jauh tanpa adanya jarak). Rumusan tersebut adalah hasil pendalaman falsafah manunggaling kawulo Gusti pada awalnya disebabkan oleh kesadaran mendalam antara wong cilik dengan ningrat ( bangsawan) yang perlu dibina sebaik-baiknya hubungan kedua belah pihak tersebut agar tidak timbul gejolak yang tidak perlu, baik social maupun politik. Sementara itu ada dugaan lain bahwa manunggaling kawulo Gusti itu kelanjutan dari falsafah ngudi kasampurnan (mencapai hidup yang sempurna), yang bersifat asli pada jaman pra sejarah.

Namun Al Ghozali sebagai pemikir Islam justeru mengingatkan para ashikin (orang yang diliputi mabuk kepayang dengan Tuhan) justeru harus disikapi secara hati-hati sembari mengingatkan mereka. Dengan kata lain sebenarnya bukanlah itu yang menjadi tujuan dari sebuah mistisisme. Imam Ghozali mengatakan :

Page 17: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

197

“Di saat-saat kemabukan (ekstase), (para sufi) seharusnya tidak menceritakan kepada khalayak ramai, jadi sebaiknya disembunyikan. Alasannya mereka sendiri ketika kesadarannya mulai pulih kembali maka kembali keamampuan akalnya, sehingga mereka itu bukan benar-benar menyatu dengan Tuhan, tetapi hanya menyerupai keadaan menyatu (ittihad)”.

Al-Ghozali mengibaratkan bahwa mereka ibarat orang yang belum pernah menyaksikan sebuah cermin, kemudian tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan menyaksikan gambar dirinya di sana. Disangkanya bahwa gambar yang disaksikan pada cermin itu adalah gambar cermin yang telah menyatu dengan gambar dirinya. Al Ghazali sangat mewanti-wanti kepada mereka yang telah sampai kepada tingkatan makrifat untuk jangan sekali-sekali mengklaim dirinya sebagai Tuihan. Sebab manusia sebagaimana kodratnya adalah tetap manusia, sedangkan Tuhan adalah Dzat ghaib yang jauh berbeda dari mahluknya.23

Namun demikian aneka ragam unsur sufisme yang dilontarkan oleh Al-Ghozali berakibat pada menjurusnya pada dua arah yang berbeda dalam prakteknya. Jurusan yang pertama ke arah sufisme intelektual yang menghasilkan tasawuf, atau disebut juga dengan gnostik, sedangkan jurusan lainnya adalah ke arah popular yang diterjemahkan dalam bentuk konkret sebagai lembaga-lembaga persaudaraan keagamaan. Rupanya jurusan yang kedua inilah yang kemudian berkembang dengan pesat di praktek keberagamaan masyarakat dan inilah sebenarnya yang menjadi poin bagi kritik Fazlur Rahman sebagai bentuk penyimpangan.

Pada sufisme intelektual, kaum sufi gnostik berbicara tentang para nabi dan tugas mereka, tentang berpencarnya yang banyak dari yang satu, tentang hubungan mahluk dengan Khaliknya, tentang struktur dunia, tentang merasuknya Tuhan dalam jiwa sufi, dan sebagainya. Adapun pada tingkat prakteknya metode yang dipakai beragam dan seringkali mengeras menjadi kemahiran, berlama-lama menyiksa diri, zikr (menyerukan berulang-ulang nama Allah ), sama’ ( mendengarkan music). Usaha untuk pemanunggalan dengan Tuhan itu disertai dengan kemahiran dalam penguasaan atas alam, atas sifat manusiawi si sufi, tetapi juga atas sifat lahiriyah sesuai dengan saling pengaruh secara gnostik antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa jurusan yang ke dua inilah yang justeru berkembang dengan pesat dalam masyarakat. Persaudaraan keagamaan lebih menekankan pada ketukan Tuhan ke hati, daripada renungan-renungan gnostik. Hal ini menjadikan tersebarnya secara hebat orde-orde atau lembaga-lembaga persaudaraan di seluruh dunia

23 Sri Muryanto, Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti, (Yogyakarta: Kreasi wacana,

2009, p. 21.

Page 18: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

198

Islam. Apa yang diusahakan adalah mengetuk hati manusia, mengajaknya mendekatkan diri dengan Tuhan setulus-tulusnya. Penyebaran ini ditunjang oleh kemudahan dari ‘misionaris’ Islam dalam menerima para pemeluk baru. Apa yang mereka tuntut hanyalah keinginan masuk Islam, pembacaan dengan sungguh-sungguh, dan pengakuan keimanan (syahadah). Mereka menutup mata terhadap adat kebiasaan lama. Buah liberalism inilah yang kemudian mengubah seluruh wajah Islam yang bisa dirasakan selama beberapa abad. Orde-orde luar kota yang tersebar di desa-desa lebih banyak menjadi sasaran pengaruh lokal. Tetapi juga ada kelompok tertentu lembaga persaudaraan yang mempunyai cabang-cabangnya di kota dan tetap sangat dekat dengan ajaran resmi dan cabang-cabang di luar kota dengan sisa-sisa animisme yang masih nampak.24

G. Agama ideal

Idealnya, sebuah agama harus menekankan pada aspek lahir maupun batin secara bersama-sama. Kesalahan penyebarluasan sufisme pada kepercayaan local masyarakat ini mencerminkan adanya sebuah problem pada empat tingkatan jalan mistik yang telah diperbincangkan secara panjang lebar oleh Hamzah Fansuri dalam bukunya : Sharab Al-Ashikin ( minuman bagi para pecinta Tuhan), yang diantaranya dijelaskan bahwa empat tingkatan mistik : syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, adalah saling bergantung, sebagaimana dikatakannya: 25

“Siapa yang memagari dirinya dengan syariat maka tidak akan pernah terbujuk oleh Syaitan. Siapapun yang berpendapat bahwa syariat itu kurang penting, atau siapapun yang merendahkannya, maka ia menjadi kafir,kita memohon perlindungan Allah daripadanya: karena syariat tidak berbeda dengan tarekat, tarekat tidak berbeda dengan hakekat, dan hakekat tidak berbeda dengan makrifat. Ini seperti sebuah kapal. Syariat adalah dindingnya, tarekat adalah geladaknya, hakekat adalah muatannya, dan makrifat adalah keuntungannya.Jika dindingnya dibuang, kapal tersebut akan tenggelam dagangan dan modalnya hilang selamanya, dan menurut hukum hal ini berbahaya”.

Dengan demikian, bagaimanapun juga untuk menuju kepada insane kamil rupanya keempat tahapan mistik itu tidak boleh dipisahkan satu dengan lainnya atau mengambilnya hanya sebagian dan tidak sebagian lainnya. Inilah kemungkinan yang dimaksud oleh Fazlur Rahman sebagai terpecah belahnya Islam karena mengambil sebagian dari tingkatan mistik/ sufisme. Hal ini juga bisa kita lihat pada masa walisanga. Keberadaan

24 Beck dan Kaptein (redaktur), Pandangan Barat terhadap Literature, Hukum, Filosofi,

Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988), p. 64-68. 25 Fauzan Naif dkk., Warna Islam dalam Mistisisme Jawa, (Yogyakarta: Lembaga

Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), p. 79.

Page 19: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

199

mereka untuk tujuan penyebarluasan agama Islam melalui budaya local memang sangat efektif. Upaya sinkretisme dengan budaya Hindu kala itu dianggap sebuah strategi yang jitu untuk merangsang penerimaan masyarakat. Namun di balik itu belum terbersit kalau pencampuran syariat agama yang berbeda itu ternyata berjalan sampai dewasa ini dan sulit untuk dihilangkan.

Pernyataan Fazlur Rahman dipertegas kembali oleh Esposito yang pada dasarnya terjadi penyimpangan yang besar dalam ajaran konsep tasawuf. Tasawuf menawarkan jalan menuju ketaatan, dan cinta pada Tuhan. Muslim yang baik tidak hanya orang yang taat pada hukum Tuhan tetapi juga orang yang beriman dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berbagai cara seperti bertafakur atau merasakan kehadiran Tuhan. Paduan antara tasawuf dengan ketaatan mengubah tasawuf menjadi gerakan elite urban yang relative kecil ke gerakan kerakyatan yang meluas yang masyarakatnya banyak terdiri dari berbagai lapisan kelas social dan kelas pendidikan. Dari abad 12-14 persaudaraan sufi diubah dari perkumpulan sukarela yang kecil menjadi persaudaraan yang terorganisasi memiliki jaringan internasional pusat-pusat yang tersebar ke dunia Islam.

Di Afrika dan India Tenggara, Islam terutama disebarkan oleh persaudaraan-persaudaraan sufi dan pedagang dan bukan tentara Islam Tasawuf membawa pesan Islam yang ajaran-ajaran mistiknya serta praktik-praktiknya terbukti menarik perhatian banyak orang dan terbuka untuk berhubungan dengan adat-istiadat serta tradisi agama setempat. Jika Islam yang resmi seringkali menekankan pelaksanaan yang tepat atas hukum, maka tasawuf lebih memberikan alternatif tradisi yang fleksibel dan terbuka untuk asimilasi dan sintesis. Pengaruh-pengaruh luar yang diserap dari Kristen, neoplatonisme, Hindhu dan Budha.

Namun demikian, yang lebih khas diantara doktrin-doktrin khusus sufisme tentang kandungan kesadaran mistik adalah prinsip pengetahuan ma’rifah (gnostik) dengan sifat kepastibenaran intuitifnya, yang berpagar hak istimewa akan penuturan khusus yang tidak tersalahkan (infallibility). Tentu saja hal ini tidak akan bisa diterima dan tidak akan diterima para ulama, mengingat sufisme gnostik ini sudah melanggar apa yang disebut pada masa-masa sufisme kesalehan. Pada awal sufisme ini, hanya memberi penekanan pada kemurnian kesadaran menghadapi perbuatan-perbuatan lahiriyah. Kini kaum sufi mengklaim sebuah cara yang tidak mungkin dikoreksi dalam memperoleh pengetahuan, yang dianggap kebal dari sebuah kekeliruan. Lebih jauh lagi, kandungannya sama sekali berbeda dengan pengetahuan intelektual. Keesaan tuhan diganti dengan “persatuan” Tuhan, yang berdasarkan kata tauhid bahasa Arab berarti memandang sesuatu sebagai “satu” maupun mempersatukan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Kaum ulama menentang klaim ini tidak hanya karena ia mengancam sekumpulan doktrin yang telah mereka kembangkan dengan susah payah selama 4 abad, tetapi lebih mendasar lagi karena sufi ma’rifah tidak terbuka terhadap pengecekan dan control. Definisinya yang demikian dalam doktrinnya menjadi tidak mungkin dikoreksi lagi. Pernyataan-pernyataan tersebut dibuat dalam keadaan “mabuk” oleh karenanya tidak dapat dianggap valid. Hal ini berarti

Page 20: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

200

menutup penyelidikan kritis tentang cara teratur memperoleh pengetahuan. Doktrin sufi yang diungkapkan karena “kemabukan” cinta pada Tuhan justeru pada gilirannya menjadi sebuah bomerang terhadap ajaran sufisme sendiri.

H. Kesimpulan

Kajian kritis Fazlur Rahman bahwa sufisme melakukan beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan keberagamaan bisa dibuktikan dengan kondisi yang terjadi pada berbagai aliran kepercayaan/kebatinan di Indonesia. Kompromi terhadap kebudayaan local yang menafikan syariah membawa konsekuensi sendiri bagi eksistensi sufisme dalam pencapaian derajat spiritual tertinggi dalam beragama. Resiko fatal terhadap pelanggaran syariah agama terlihat ketika mereka yang tercatat menjadi pengikut aliran kebatinan tetap melaksanakan kebiasaan agama hindu ( mis : slametan kematian ) meskipun mereka mengaku dirinya Islam. Doktrin ‘Manunggaling kawulo gusti’ tidak lain adalah refleksi dari doktrin monistik kesatuan wujud yang didengung-dengungkan oleh sufisme. Akhirnya tujuan awal sufisme dengan doktrinnya dalam mencapai insan kamil menjadi bias oleh metode penyebarannnya yang keliru di beberapa Negara, termasuk di Indonesia.

Bagaimanapun juga sebuah mistis tidak dapat dipisahkan dari agama. Sufisme dengan doktrin monistiknya akan mampu merasuk dalam agama tanpa meninggalkan konsep syari’ah di dalamnya jika diimplementasikan dengan tahapan-tahapan yang benar. Tentu saja aspek politis untuk mencapai pengikut yang sebanyak-banyaknya harus dikesampingkan untuk tujuan pencapaian insane kamil. Hal ini menjadi syarat mutlak, sebab mistisisme/sufisme tidak berbicara tentang kuantitas pemeluk agama Islam tetapi lebih kepada kualitas beragama dari seorang muslim dalam mencapai penyatuan dengan Tuhannya. Sufisme harus dikembalikan lagi kepada konsep awal yaitu kepada sufisme intelektual bukan persaudaraan keagamaan yang menyebabkan bias tujuan dalam pencapaian hakikat kebenaran beragama.

Page 21: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

201

Daftar Pustaka

Beck dan Kaptein (redaktur), Pandangan Barat terhadap Literature, Hukum, Filosofi, Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, Jakarta: INIS, 1988

Buletin Galih edisi 2007.

Damami, Muhammad, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta, LESFI, 2000.

Endraswara, Suwardi, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi, 2006.

Http://sonysikumbang.wordpress.com/2010/10/04/beberapa-konsep-wali-songo.

Mulder, Niels, Mistisisme Jawa, Yogyakarta, LKIS, 2001.

Mulders, Niels, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984.

Mulyana, Dedy, Komunikasi Multikultiral, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2005.

Muryanto, Sri, Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti, Yogyakarta: Kreasi wacana, 2009.

Naif, Fauzan dkk., Warna Islam dalam Mistisisme Jawa, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI press, 1986.

Nasution, Yunan, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, Jakarta, Bulan Bintang, 1988.

Nicholson, Reinold A., Mistik dalam Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2000.

Simuh, Sufisme Jawa transformasi tasawuf Islam ke mistik Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995.

Subagya, Rahmat, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan : Kepercayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Page 22: Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa · diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam

Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012

202