implementasi sistem jaminan sosial nasional
DESCRIPTION
bagusTRANSCRIPT
IMPLEMENTASI SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
(SJSN) UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT: ANTARA
HARAPAN DAN TANTANGAN1
I. PENDAHULUAN
Perkembangan dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia mengacu pada
program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Sebelum menyelenggarakan
Jamsostek, program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) dilaksanakan lebih dulu
tepatnya sejak tanggal 1 Januari 1978. Selain penyelenggaraan Jamsostek, juga terdapat
program jaminan sosial bagi Pegawai Negeri yang meliputi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dan Personil TNI-Polri yang dikenal dengan Taspen dan Asabri. Akan tetapi bahasan
dalam makalah ini fokus pada penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
yang berdasarkan UU No 40/2004 yang semestinya ditopang dengan Sistem Proteksi
Sosial (SPS). Secara kronologi, sistem jaminan sosial di Indonesia telah lama diberikan
kepada masyarakat dengan berlakunya PP No 33/1977 tentang Astek yang dilaksanakan
Perum Astek dengan PP No 34/1977. Operasionalisasi program Astek selama 1978-1992
merupakan titik awal pengenalan jaminan sosial kepada tenaga-kerja sektor swasta
dengan program-program asuransi kecelakaan kerja (AKK), asuransi kematian (AK) dan
tabungan hari tua (THT). Persayaratan kepesertaan wajib program Astek berlaku untuk
setiap perusahaan yang memperkerjakan minimal 100 orang. Dengan persyaratan
1 Makalah ini disusun untuk memenuhi Permintaan Panitia Seminar Kesiapan Rumah Sakit dalam
menghadapi implementasi BPJS Kesehatan yang diselenggarakan Prodi MARS Universitas Respati
Indonesia tanggal 7 Juli 2012 di Hotel Twin Plaza Jakarta.
2 Prof. Dr. Bambang Purwoko, SE, MA adalah Guru Besar Ekonomika Jaminan Sosial dan Ilmu
Manajemen Risiko pada Fakultas Ekonomika dan Program Pasca-sarjana Universitas Pancasila. Selain
sebagai Guru Besar Universitas Pancasila, Prof. Purwoko juga sebagai Anggota Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) sejak 24 September 2008 hingga sekarang.
2
kepesertaan tersebut berarti terjadi diskriminasi dalam perlindungan jaminan sosial
khususnya bagi perusahaan yang memperkerjakan kurang dari 100 orang. Untuk
peningkatan persyaratan kepesertaan yang bersifat wajib dari 100 orang menjadi
sekurang-kurangnya 10 orang diperlukan perubahan dasar hukum PP No 33/1977 menjadi
UU Jaminan Sosial, karena PP ditengarahi tidak memiliki kekuatan hukum tetap untuk
mewajiban masyarakat berpartisipasi dalam sistem jaminan sosial. Perubahan dari PP
tersebut menjadi UU Jaminan Sosial akhirnya dapat direalisasikan dengan UU No 3/1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Alasan kepesertaan wajib kepada
perusahaan dengan minimal 10 tenaga kerja adalah sesuai survai bahwa dalam
penyelenggaraan program Jamsotek masih fokus pada perlindungan tenaga kerja sektor
formal dengan kepesertaan minimal 10 orang sedang perusahaan dengan karyawan
kurang dari 10 orang asalkan mampu memberikan upah 1 bulan Rp 1 juta juga wajib.
Dengan berlakunya UU Jamsostek yang mulai beroperasi 1 Juli 1993, maka PP
No 33/1977 dinyatakan tidak berlaku. Program Jamsostek ditujukan untuk perluasan
kepesertaan seluruh tenaga-kerja sektor swasta dan hingga sekarang telah berjasa
memberikan perlindungan kepada tenaga-kerja terhadap risiko risiko kerja yang berkaitan
dengan hubungan kerja seperti jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKm),
jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) dan jaminan hari tua (JHT)3. Perubahan dasar
hukum dari PP menjadi UU menandakan bahwa awal dibentuknya program Astek tidak
tuntas padahal sebagai program wajib semestinya didasarkan pada UU Jaminan Sosial
sedang DPR seharusnya bertanggung-jawab atas kelalaian dalam perlindungan tenagakerja,
karena penyusunan UU sebagai kewenangan DPR. Tidak hanya itu, PT Jamsostek
sebagai BUMN yang dipercaya menyelenggarakan program Jamsostek yang berdasarkan
PP No 36/1995 juga telah berhasil meningkatkan kepesertaan tenaga-kerja lebih dari 20
juta tenaga-kerja walaupun tenaga kerja aktif yang terdaftar pada program Jamsostek
hingga sekarang hanya 9 juta. Selain itu, PT Jamsostek juga berhasil menghimpun dana
Jamsostek yang membentuk aset investasi sebesar Rp 116 trilyun di tahun 2011. Dana
tersebut sebagian besar merupakan akumulasi iuran JHT milik peserta dan cadangan
teknis program JKK-JKm. Dalam penyelenggaraan Jamsostek diperlukan stabilitas
ekonomi agar perluasan kepesertaan bagi seluruh tenaga kerja sektor swasta dapat
bertambah. Akan tetapi sasaran kepesertaan seluruh tenaga kerja tidak tercapai, karena
krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Krisis ekonomi tahun 1997-1998 bermula dari contagion-effect yang terjadi di
Thailand kemudian menyebar di seluruh Negara Asia Tenggara yang ditandai dengan
flukstuasi mata uang termasuk Rupiah terhadap Dolar AS. Pemerintah Indonesia
melakukan kebijakan devaluasi Rupiah dengan penyesuaian kurs Rupiah dari Rp 2250
menjadi Rp 3700 / Dolar AS di tahun 1997 guna mengatasi pelarian modal ke luar negeri.
Dampak dari kebijakan devaluasi tersebut menimbulkan tindakan spekulatif yang memicu
nilai tukar tak terkendali hingga menembus kurs Rp 18.000 / Dolar AS di awal tahun
1998. Kurs rupiah pulih kembali di kisaran Rp 9000 / Dolar AS di tahun 1999 setelah
Pemerintah berhasil menghentikan rush dan mengajak partisipasi masyarakat untuk
menyumbang barang barang berharga yang dimiliki kepada Negara. Dengan pulihnya
kurs rupiah hingga kisaran Rp 9000 / Dolar AS masih belum menciptakan iklim usaha
yang kondusif di Indonesia. Untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar yang
menghadapi masalah likiditas dan solvabilitas agar perusahaan yang bersangkutan tetap
dalam posisi going-concern, maka dengan terpaksa perusahaan yang bersangkutan boleh
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) menyusul akuisisi badan-badan usaha
swasta investor asing, merger Bank-bank Milik Negara sebagai contoh Bank Mandiri dan
3 Program Jamsostek yang berdasarkan UU No 3 / 1992 adalah kelanjutan dari asuransi sosial tenaga kerja
(Astek) yang berdasarkan PP No 33/1977 yang dioperasikan sejak tanggal 1 Januari 1978.
3
privatisasi Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari BUMN Perum menjadi
BUMN Persero sedang BUMN Persero yang eksis diupayakan untuk Holding akan
tetapi hingga sekarang masih belum direalisasikan.
Dampak kebijakan privatisasi BUMN terhadap perekonomian nasional adalah
terbatasnya kesempatan kerja di sektor formal sehingga menutup pencari kerja baru bagi
para lulusan S1. Karena itu sektor informal menjadi satu-satunya kesempatan kerja akan
tetapi para pencari kerja yang masuk ke sektor informal pada kenyataannya tidak bertahan
lama karena alasan keterbatasan capital dan terbatasnya referensi usaha yang pada
akhirnya terjadi ketidak-pastian penghasilan. Akibatnya, tingkat pengangguran terbuka
bertambah secara terus menerus ditambah lagi dengan kasus PHK hingga tahun 1999
yang pada akhirnya Indonesia kedapatan surplus of skilled labor di tahun 2001-2003.
Sebagian surplus of skilled labor terserap bekerja di luar negeri dan sebagian besar tidak
sehingga dengan terpaksa membuka usaha sendiri hanya sebagian yang sukses dan
sebagian besar tidak sukses kemudian lama kelamaan menjadi rentan miskin hingga
mencapai jumlah yang fantastik sebesar 55% total penduduk (Bank Dunia, 2006).
Kemiskinan harus dicegah atau paling tidak direduksi, yaitu dengan program yang
kita kenal dengan istilah Poverty Strategy Reduction Program (PRSP). Pada saat terjadi
kemiskinan melanda seluruh rakyat di negeri ini diperlukan jaring pengaman sosial yaitu
bantuan sosial yang bersifat darurat untuk menyelamatkan sistem jaminan sosial yang ada
waktu itu program Jamsostek. Pemberian jaring pengaman sosial inilah yang menjadi
cikal bakal adanya bantuan langsung tunai yang bersifat sementara (Balsem), pemberian
beras bagi penguduk miskin (Raskin), beasiswa gratis dan bantuan operasional sekolah
(BOS) serta Jamkesmas-Jamkesda-Jampersal. Pemberlakuan program program tersebut
bermotif baik untuk menyelamatkan program Jamsostek yang berdasarkan UU No
3/1992. Jika tidak, bisa jadi terjadi intervensi politik dengan menggunakan dana
Jamsostek yang ditujukan untuk reduksi kemiskinan padahal dana tersebut sebagian besar
sebagai akun individual milik tenaga kerja. Program-program bantuan sosial seperti
Balsem, Raskin dan seterusnya tidak dikelola dalam 1 pintu yang menjadi tanggungjawab
1 Kementerian yang dalam hal ini Kementerian Sosial agar dapat ditindak-lanjuti
dengan program pemberdayaan. Karena pengelolaan program bantuan sosial tidak tuntas
dan cenderung dijadikan kegiatan proyek percontohan yang dibiayai APBN di
Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pendidikan.
Akibatnya, tingkat kemiskinan semakin paraf karena penangannya tidak tuntas
dan semakin rentan terhadap goncangan sosial seperti krisis ekonomi, bencana alam dan
bencana sosial. Bertambahnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari bertambahnya
tingkat pengangguran baik yang terbuka maupun pengangguran karena PHK. Karena
posisi Negara terancam sebagai akitab tingginya tingkat pengangguran yang sudah berada
dalam titik nadir, maka terjadilah reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia agar
terintegrasi dengan melibatkan Pemerintah untuk pembiayaan yang dimulai sejak 2000-
2002. Sistem jaminan sosial yang masih berlaku sekarang bersifat eksklusif yaitu
program jaminan sosial yang hanya ditujukan untuk tenaga-kerja yang masih aktif
bekerja. Bagaimana dengan tenaga kerja yang pensiun kemudian sakit dan apakah masih
mendapatkan layanan kesehatan? Apakah tenaga-kerja yang pensiun memiliki jaminan
pensiun? Jawaban-nya jelas tidak memiliki layanan kesehatan dan belum juga memiliki
jaminan pensiun. Jika dibiarkan, maka jumlah kemiskinan atau jumlah penduduk rentan
miskin semakin bertambah. Karena itu tidak ada opsi lain kecuali memberikan layanan
kesehatan gratis kepada penduduk miskin sekalipun tidak menyelesaikan masalah secara
keseluruhan. Layanan kesehatan gratis kepada penduduk miskin telah lama dirintis sejak
tahun 2002-2003 dengan tujuan untuk meringankan beban penduduk miskin yang
kemudian diusulkan menjadi salah satu pasal dalam RUU SJSN.
Tidak lama kemudian RUU SJSN disahkan menjadi UU No 40/2004 tentang
SJSN yang berlaku wajib bagi seluruh penduduk diundangkan pada tanggal 19 Oktober
4
2004. Tahap pertama untuk reduksi kemiskinan adalah perluasan kepesertaan semesta
dalam jaminan kesehatan (JK) bagi seluruh penduduk dengan ketentuan bahwa warga
masyarakat yang mampu wajib iur sedangkan penduduk miskin dan warga tak mampu
akan diberikan bantuan iuran untuk JK. Kebutuhan utama untuk reduksi kemiskinan
adalah pemberian JK oleh Pemerintah kepada penduduk miskin sedangkan tenaga kerja
wajib iur untuk mencegah kemiskinan kemudian kebutuhan berikutnya yang relevan
adalah perlunya jaminan pensiun agar para pensiunan tidak jatuh miskin di masa purna
kerja karena masih memiliki penghasilan hari tua. Adapun yang dimaksud dengan
penghasilan hari tua mengacu pada pensiun manfaat pasti yang memberikan kepastian
penghasilan secara berkala. Untuk implementasi program SJSN perlu dibentuk Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang berdasarkan Pasal 6 UU SJSN dan mulai
beroperasi pada tanggal 24 September 2008. Untuk operasionalisasi program SJSN
diperlukan Badan-badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dibentuk dengan UU
BPJS. Amanat UU SJSN untuk membentuk BPJS yang berdasarkan UU dilakukan paling
kurang 5 tahun akan tetapi kendala yang dihadapi terkait dengan inkonsisten kebijakan di
pihak Pemerintah sehingga DPR menggunakan hak inisiatifnya untuk melegalisasi RUU
BPJS menjadi UU No 24/2011 tanggal 26 November 2011 untuk mulai operasi pada
tanggal 1 Januari 2014 walaupun tertunda selam 7 tahun. Bahasan berikutnya berkaitan
dengan proses implementasi SJSN dan persiapan transformasi BUMN ke BPJS dan
perlunya eksistensi Sistem Proteksi Sosial (SPS) untuk mengamankan SJSN di masa
datang.
Metodologi-penelitian yang digunakan dalam penulisan ini melakukan observasi
penyelenggaraan system jaminan sosial baik untuk pegawai negeri, karyawan sektor
swasta maupun pekerja sektor informal termasuk proteksi komunitas. Observasi
dilakukan dengan identifikasi, analisis dan asesmen problem tentang dasar hukum baik
yang berkaitan dengan program, perluasan kepesertaan maupun badan hukum badan
penyelenggara. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia masih bersifat parsial dan
hanya didesain bagi proteksi peserta / tenaga kerja yang masih aktif bekerja terhadap
risiko-risiko sosial ekonomi dengan program yang tidak berkelanjutan. Sebagai solusi
problem terhadap implementasi UU SJSN di masa dating adalah perlunya sistem proteksi
sosial (SPS) secara bersamaan dengan operasionalisasi program SJSN. SPS adalah
seperangkat kebijakan yang terkoneksitas dengan operasionalisasi jaminan sosial disertai
dengan kelengkapan / pengadaan prasarana-sarana selain BPJS seperti Bursa Tenaga
Kerja aktif, Pusat Pemberdayaan Komunitas, Bursa Efek dan Fasilitas Kesehatan beserta
Alat Kesehatan dan SDM.
Sistematika dalam penulisan ini dibagi dalam 5 Sesi. Sesi I adalah Pendahuluan
yang mendeskripsikan latar-belakang penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia.
Dalam Sesi II disajikan beberapa temuan empirik dalam penyelenggaraan jamian sosial
bahwa ternyata landasan dasar jaminan sosial di Indonesia sangat rapuh sebagaimana
ditandai dengan rendahnya upah dan ketidak-pastian bisnis yang berkelanjutan yang pada
akhirnya berdampak terhadap berkurangnya kepesertaan tenaga-kerja. Sesi III
memaparkan tentang implementasi SJSN, penjelasan tugas pokok dan fungsi DJSN,
proses transformasi BPJS secara bertahap serta peranan BPJS sebagai operator program
SJSN. Dalam Sesi IV diuraikan secara rinci pentingnya SPS sebagai landasan dasar untuk
operasional program SJSN dan sekaligus sebagai faktor pengamanan terhadap goncangan
krisis ekonomi dan intervensi politik. Akhirnya sampailah pada Kesimpulan dalam Sesi V
bahwa dalam implementasi SJSN diperlukan kebijakan kesempatan kerja yang didukung
dengan Peranan Bursa Tenaga Kerja secara aktif agar mempermudah dalam perluasan
kepesertaan semesta.
II. BEBERAPA TEMUAN EMPIRIK DALAM PENYELENGGARAAN
5
SISTEM JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA
Sistem jaminan sosial di awal abad 21 telah menjadi isyu global yang dikaitkan
dengan bagaimana menyelenggarakan sistem jaminan agar dapat memberikan kontribusi
terhadap reduksi kemiskinan. Sudah barang tentu, tidak seluruh program jaminan sosial
memberikan dampak secara langsung terhadap reduksi kemiskinan, karena implikasi
terhadap keuangan negara. Kemiskinan yang terjadi di abad 21 yang kemudian merebak
di negara-negara berkembang adalah akibat dari kebijakan ekonomi yang terlalu
ekspansif sebagaimana diwujudkan dalam kebijakan privatisasi yang menembus pada
organ-organ Negara seperti privatisasi BUMN. Untuk respon terhadap privatisasi BUMN
tersebut diperlukan Politik Sistem Jaminan Sosial agar bagaimana menyelenggarakan
SJSN menjadi rasa aman baik bagi BPJS maupun peserta di dalam ekonomi pasar
(Wisnu, 2012). Ekonomi pasar merupakan kekuatan eksternal yang telah merubah dunia
dari mulai proses perestroika di Eropa Timur menjadi ekonomi pasar. Akan tetapi sistem
jaminan sosial yang merupakan hak konstitusi rakyat juga harus diamankan melalui
sebuah kordinasi kebijakan yang terintegrasi. Banyak Negara melakukan reformasi sistem
jaminan sosial untuk respon terhadap ekonomi pasar tetapi tidak meniadakan program
atau hak peserta yang menimbulkan defisit. Sebagai contoh, di negara maju telah
dilakukan reformasi sistem jaminan sosial untuk mengantisipasi ledakan penduduk usia
lanjut (ageing-problem) khususnya dalam penyelenggaraan program pensiun yang
mengalami defisit dalam jangka panjang karena kualitas hidup seseorang semakin baik.
Program pensiun tersebut sekalipun menimbulkan defisit dalam pembayaran manfaat
pensiun tidak ditiadakan sama sekali akan tetapi dilakukan penyesuaian bagi pekerja yang
masih aktif bekerja diminta untuk menunda usia pensiun.
Ada perbedaan yang mendasar antara penyelenggaraan sistem jaminan sosial di
abad 20 dan abad 21. Penyelenggaraan jaminan sosial dalam skala dunia di abad 20 hanya
dihadapkan pada isyu penuaan usia penduduk yang merupakan ancaman terhadap
penyelenggaraan jaminan pensiun dalam jangka panjang, karena penyelenggaraan
jaminan pensiun di negara-negara maju mengadopsi sistem anggaran atau pay as you go
(PAYG). Sistem anggaran ini diadopsi untuk memenuhi prinsip gotong-royong terutama
untuk jaminan pensiun yang memberikan manfaat berkala seumur hidup. Selanjutnya
masalah penyelenggaraan jaminan sosial yang dihadapi negara-negara berkembang
termasuk Indonesia berbeda secara mendasar dengan yang terjadi di negara negara maju
yang dilengkapi dengan prasarana yang cukup memadai, sehingga jaminan sosial-nya
terproteksi dengan baik. Berikut beberapa masalah penyelenggaraan jaminan sosial di
negara-negara berkembang di abad 20:
1. rendahnya upah pekerja,
2. rendahnya iuran jaminan sosial,
3. rendahnya kepesertaan peserta,
4. rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap program wajib jaminan sosial,
5. masih adanya penundaan pembayaran iuran oleh peserta (contribution evasion),
6. lemahnya penindakan hukum,
7. terbatasnya jumlah pengawas jaminan sosial,
8. terbatasnya anggaran operasional untuk penindakan hukum.
9. ketidak-mampun pelembagaan (building incapacity),
10. terbatasnya kewenangan badan penyelenggara jaminan sosial.
Adapun masalah masalah penyelenggaraan sistem jaminan sosial di abad 21
terkait dengan masalah penuaan usia penduduk (ageing population) yang terjadi
belakangan ini di Asia yang tumbuh dengan cepat sehingga menjadi perhatian ISSA
untuk mengkaji lebih dalam tentang perubahan demografi yang cepat. Banyaknya jumlah
6
penuaan usia penduduk identik dengan kemiskinan sebagai hasil temuan dari penelitian
aktuaria (yang disampaikan dalam Konferensi Internasional ke 17 tentang Aktuaria
Jaminan Sosial di Berlin dari tanggal 29 Mei-2 Jun 2012), karena
1. Tidak selamanya penduduk usia senja (the elderly) memiliki jaminan pensiun,
2. Para pensiunan pada umumnya jarang melakukan pekerjaan sambilan guna
menambah penghasilan sehingga menjadi bagian dari masalah penuaan usia penduduk
dengan penghasilan subsisten,
3. Masih ada para pensiunan dengan penghasilan subsisten mengasuh cucu-cucunya
karena kedua orang tua melakukan migrasi untuk mencari kehidupan baru atau kedua
orang tua meninggal,
4. Pengaruh kebijakan publik yang terkait dengan penyesuaian harga barang-barang
publik termasuk penyesuaian tarif pajak penghasilan,
5. Faktor-faktor inflasi dan flukstuasi kurs yang berpengaruh secara langsung terhadap
manfaat pensiun.
Selain adanya masalah penuaan usia penduduk yang diakibatkan perubahan
struktur demografi, juga tingginya tingkat pengangguran yang disebabkan oleh dampak
krisis ekonomi di atas rata rata 10% khususnya di negara negara maju. Masalah masalah
di negara-negara berkembang terkait dengan banyaknya pekerja sektor informal, warga
rentan miskin dan penduduk miskin permanen yang masih belum tercakup dalam sistem
jaminan sosial. Dengan kata lain, negara negara berkembang masih menghadapi masalah
sosial protection floor (SPF), yaitu terbatasnya penyediaan infrastruktur dan akses
penduduk miskin untuk pemenuhan kebutuhan sosial dasar seperti kebutuhan air bersih,
sanitasi, pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan. Karena pemenuhan SPF tersebut di
luar cakupan SJSN. Karena itu reduksi kemiskinan tak kunjung selesai dan masalahnya
semakin kompleks dari tahun ke tahun sebagai akibat dari penyelesaian solusi yang
berbasis pada kebijakan yang bersifat adhoc dalam artian tidak tuntas. Penuntasan dan
atau pengentasan kemiskinan merupakan sebuah harga yang terlalu mahal untuk
Indonesia apabila infrastruktur untuk penuntasannya seperti disebutkan di atas tidak
disediakan terlebih dulu atau dari sekarang oleh Pemerintah. Karena itu bahasan
berikutnya dalam kajian ini terbatas pada penyelenggaraan SJSN yang berdasarkan UU
No 40/2004 untuk reduksi kemiskinan melalui perluasan kepesertaan universal dalam
jaminan kesehatan.
Tujuan implementasi UU SJSN yang dijadualkan pada tanggal 1 Januari 2014
adalah suatu respon terhadap Milennium Development Goals (MDGs). Untuk mencapai
tujuan MDG tidak diperlukan lagi pertumbuhan ekonomi yang bersifat kuantitatif
melainkan perlunya menekankan kualitas pertumbuhan. Pertumbuhan yang kuantitatif
adalah dampak dari kebijakan ekonomi yang eksklusif sebagaimana diadopsi oleh negara
negara berkembang di Asia dalam dekade 1970-1990an untuk mengejar ketertinggalan
ekonomi (Meadows, 2009). Kualitas pertumbuhan tidak hanya mengacu pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif tetapi juga diperlukan multi-dimensi
pembangunan dengan memperhatikan pendekatan sosial, ekologi dan inovasi
penghematan energi agar tercapai keamanan ekonomi secara inklusif yang berkelanjutan
(Purwoko, 2009). Kebijakan publik yang bersifat eksklusif justru telah menimbulkan
krisis ekonomi, karena kebijakan eksklusif yang serba cepat dan instan itu berarti hanya
fokus pada ukuran besarnya sasaran yang dilakukan secara kuantitatif, yaitu pertumbuhan
ekonomi tinggi dengan proses serba cepat karena teknologi informasi. Akibatnya, capaian
tingkat kejenuhan belangsung dengan cepat pula sehingga menimbulkan stagnasi. Adapun
faktor faktor yang memicu kebijakan publik bersifat eksklusif di negara negara Asia
kecuali Jepang dalam periode 1970-1990an antara lain (a) pemerintahan di negara negara
Asia kecuali Jepang cenderung otoriter, (b) pemimpin di negara negara Asia pada
7
umumnya one-man show, (c) ketidakkonsistenan kebijakan publik, (d) sasaran
pembangunan tidak fokus pada potensi yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan, (e)
sistem jaminan sosial yang ada bersifat eksklusif.
Salah satu model yang digunakan untuk mengevaluasi apakah negara negara di
Asia menerapkan kebijakan ekonomi yang bersifat inklusif termasuk jaminan sosial.
Bagaimana membangun sistem jaminan sosial yang inklusif? Karena sistem jaminan
sosial yang sekarang masih bersifat eksklusif. Sistem jaminan sosial yang inklusif adalah
prinsip jaminan sosial yang berkelanjutan khususnya dalam penyelenggaraan pelkes yang
berlaku tidak hanya bagi peserta yang masih aktif bekerja. Selain itu, juga diperlukan
penyelenggaraan program pensiun dasar yang berlaku bagi setiap tenaga kerja sektor
formal. Penyelenggaraan program pelkes dan pensiun yang berkelanjutan kini hanya
berlaku bagi PNS, TNI-Polri termasuk para pensiunan. Penyelenggaraan program
jaminan sosial bagi karyawan / pekerja sektor swasta yang diselenggarakan Jamsostek
hanya berlaku bagi peserta yang masih aktif bekerja. Maka berarti terjadi pelanggaran
terhadap asas asas kemanusiaan dan keadilan. Karena Jamsostek yang berdasarkan UU
No 3/1992 belum menyelenggarakan program pensiun dan layanan kesehatan yang
berkelanjutan sekalipun jaminan hari tua (JHT) dalam program Jamsostek dapat
ditransformasi ke dalam sistem pensiun. Dengan berlakunya UU No 40/2004 tentang
SJSN, maka tujuan pembangunan mileniun melalui SJSN ini diarahkan ke sistem jaminan
sosial yang inklusif, yaitu paling tidak memberlakukan jaminan kesehatan universal yang
berlaku bagi seluruh warga negara. Akan tetapi hambatan yang akan terjadi dalam
implementasi SJSN masih terkait dengan permasalahan kordinasi kebijakan khususnya
dalam menindak-lanjuti UU yang berlaku dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat
dilihat dengan berlakunya UU SJSN masih juga belum selesai disahkan Peraturan tindaklanjut
UU SJSN padahal waktu untuk operasional SJSN kurang dari 2 tahun dari
sekarang.
UU SJSN yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004 dengan masa transisi
5 tahun semestinya UU BPJS berlaku pada tanggal 18 Otober 2009 akan tetapi
pemberlakuannya tertunda 7 tahun. Hal ini menandakan bahwa jaminan sosial
sebagaimana mestinya masih belum mendapat perhatian sepenuhnya bahkan belum
mendapat tempat padahal Pemerintah disibukan dengan urusan reduksi kemiskinan. Kita
pahami secara nyata bahwa reduksi kemiskinan hanya efektif dilakukan melalui
keikutsertaan bersama dalam jaminan kesehatan SJSN. Tim SJSN telah menghasilkan
RUU BPJS sejak tahun 2008 dan telah diajukan beberapa kali ke DPR melalui
Pemerintah untuk pengesahan akan tetapi gagal, karena Pemerintah masih mempelajari
aspek beban fiskal sebagai konsekuensi diselenggarakan jaminan kesehatan universal.
Selain itu, juga masih dipersoalkan mengenai perubahan bentuk badan hukum publik dan
bagaimana dengan status sumber daya manusia serta aset BUMN sebagai operator
jaminan sosial sebelumnya. Telah dijelaskan beberapa kali bahwa implementasi UU
SJSN ke depan tidak merubah prosedur standar operasi, status pegawai, pola perekrutan
pegawai dan remunerasi kecuali perubahan bentuk badan hukum dari BUMN Persero ke
Badan Hukum Publik sesuai prinsip SJSN dan menambah 1 program yaitu jaminan
pensiun agar tidak terjadi perlakuan diskriminasi antara pegawai sektor publik dan
karyawan sektor swasta. Kemudian agenda reformasi yang utama diharapkan agar BPJS
memiliki kewenangan penindakan hukum seperti yang terjadi negara negara Anglo Saxon
atau negara bekas koloni Inggris seperti Malaysia dan Singapura.
Timbulnya gagasan perlunya memberlakukan SJSN pada dasarnya mengacu pada
hasil penelitian ILO yang dilaksanakan pada tahun 2002 dengan tujuan untuk memperluas
kepesertaan universal atau Social Security Coverage for All. Perlunya reformasi jaminan
sosial adalah suatu respon terhadap capaian kepesertaan Jamsostek yang sekarang terjadi
masih terbatas pada tenaga kerja sektor formal (yang masih aktif bekerja) dengan tingkat
8
kepatuhan 20-30% angkatan kerja (ILO, 2002). Rendahnya tingkat kepatuhan tersebut
ditengarahi adanya kelemahan penindakan hukum yang sekaligus menandakan juga
suatu kegagalan dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial secara tidak langsung.
Penyelenggaraan SJSN ke depan dengan pensiun wajib adalah salah satu bentuk
reformasi Jamsostek. Akan tetapi, sulit diterapkan dalam situasi sekarang yang ditandai
dengan PHK masal.
Dimensi lain dalam menyoroti berlakunya UU SJSN di masa datang terkait
dengan penyelenggaraan jaminan pensiun yang bersifat wajib kepada tenaga kerja sektor
swasta. Dampaknya ditengarahi berimbas ke fiskal, akan tetapi dalam penyelenggaraan
jaminan pensiun SJSN telah dikunci sedemikian rupa bahwa hanya pekerja yang telah
memenuhi masa iur 15 tahun akan mendapatkan manfaat pensiun secara berkala, kecuali
yang mengalami cacat total tetap walau masa iur kurang dari 15 tahun. Apapun alasannya
jaminan pensiun sudah diundangkan dalam UU SJSN sehingga wajib dilaksanakan oleh
BPJS Ketenaga-kerjaan. Penundaan implementasi jaminan pensiun wajib dalam kaitan
UU SJSN sampai dengan 10-15 tahun akan melanggara UU. Pemerintah begitu khawatir
dalam penyelenggaraan jaminan pensiun yang bersifat wajib, karena keterkaitannya
dengan kekurangan dana mengingat meningkatnya usia harapan hidup. Selain itu, dalam
penyelenggaraan jaminan pensiun juga dipengaruhi faktor faktor inflasi, flukstuasi kurs
dan penaruh nilai uang dalam jangka panjang. Berikut akan dijelaskan secara khusus
mengenai pengertian, 3 (tiga) asas, 9 (sembilan) prinsip SJSN, fungsi-tugas pokok Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan kewenangan serta terbentuknya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang berdasarkan UU No 24/2011.
III. IMPLEMENTASI SJSN, FUNGSI DJSN DAN PERANAN BPJS
Sudah saatnya bagi Indonesia di dalam memasuki abad milenium untuk memulai
perluasan kepesertaan semesta melalui SJSN guna mereduksi kemiskinan secara bertahap.
Memang tidak mungkin untuk mereduksi kemiskinan secara keseluruhan dengan SJSN,
karena SJSN itu sendiri juga perlu diproteksi yang berarti bahwa implementasi SJSN
diperlukan sistem proteksi sosial (SPS) yang akan dibahas secara rinci dalam Sesi IV.
Dengan SJSN, paling tidak penduduk miskin akan diberikan akses untuk layanan
kesehatan agar tidak menambah beban karena mahalnya layanan kesehatan. Karena itu
Pemerintah jgua terlibat untuk membantu memberikan iuran kesehatan bagi penduduk
miskin dan warga tak mampu kepada BPJS Kesehatan sesuai uslan DJSN. Pelaksanaan
kepesertaan semesta hanya bisa dilaksanakan melalui SJSN yang memang beberapa
program didesain untuk reduksi kemiskinan tetapi program-program yang dimaksud tidak
masuk dalam katagori program pemberdayaan. Ada perbedaan yang mendasar antara
pelaksanaan program Jamsostek yang dalam hal ini dioperasionalkan oleh PT Jamsostek
dan penyelenggaraan SJSN yang dilaksanakan oleh BPJS. Pelaksanaan program
Jamsostek terkait semata hubungan antara pemberi-kerja (employer) dan penerima-kerja
(employee), sedangkan penyelenggaraan SJSN adalah hubungan antara Negara dan
rakyat. Karena itu kita perlu mendalami apa itu SJSN dan bagaimana implementasi serta
operasionalnya.
SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Pasal 1 Ayat 2 UU No 40/2004 tentang
SJSN). Adapun program-program SJSN sesuai Pasal 18 UU SJSN meliputi (i) jaminan
kesehatan, (ii) jaminan kecelakaan kerja, (iii) jaminan hari tua, (iv) jaminan pensiun dan
(v) jaminan kematian. Kelima program SJSN tersebut dibiayai dengan iuran peserta yang
dalam hal ini meliputi pemberi-kerja, tenaga-kerja, pemerintah dan pegawai negeri serta
masyarakat yang mampu kecuali penduduk miskin dan warga tak mampu diberikan
bantuan iuran oleh Pemerintah yang diprioritaskan untuk pembiayaan program jaminan
9
kesehatan (Pasal 17 Ayat-ayat 4-5 UU SJSN). Iuran ditetapkan sebagai persentase
tertentu dari upah atau penghasilan antara 0,24% dan 12% sedangkan iuran yang
dikenakan kepada pekerja mandiri ditetapkan berdasarkan jumlah nominal rupiah
tertentu, misalnya Rp 10 ribu / orang / bulan untuk membiayai jaminan kesehatan.
Penyelenggaraan program-program SJSN tersebut memiliki 3 (tiga) prinsip utama
yaitu gotong-royong, kepesertaan wajib dan prinsip berkelanjutan / portabel, karena
faktor mobilitas penduduk. Karena itu, SJSN diselenggarakan secara nasional untuk
tujuan perluasan kepesertaan semesta yang pada akhirnya dapat mereduksi kemiskinan
secara bertahap melalui penyelenggaraan jaminan kesehatan dengan kepesertaan wajib
bagi seluruh penduduk. Penyelenggaraan SJSN bagi seluruh penduduk berdasarkan 3
(tiga) asas yaitu: (i) asas kemanusiaan, (ii) asas manfaat dan (iii) asas keadilan. Asas
kemanusian berarti bahwa salah satu manfaat jaminan sosial merupakan penghargaan
kepada seseorang atas dasar pertimbangan harkat dan martabat manusia. Asas manfaat
adalah pemberian faedah dalam bentuk uang tunai dan layanan kesehatan sesuai
kebutuhan dasar hidup seseorang baik selagi masih aktif bekerja maupun di masa purna
bhakti agar dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk konsumsi dan kesehatan terutama
bagi keluarganya. Asas keadilan adalah sifat faedah yang berkelanjutan dan berlaku
dimana saja (portabel) yang diberikan kepada seluruh warga negara tanpa pengecualian.
Selanjutnya prinsip-prinsip SJSN secara keseluruhan sebagaimana mengacu pada Pasal 4
UU SJSN sebagai berikut:
1. Prinsip kegotong-royongan
2. Prinsip nirlaba
3. Prinsip keterbukaan
4. Prinsip kehati-hatian
5. Prinsip akuntabilitas
6. Prinsip portabilitas
7. Prinsip kepesertaan wajib
8. Prinsip dana amanat
9. Prinsip pengelolaan dana jaminan sosial yang digunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan unuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.
Untuk mengoperasionalkan kelima program SJSN secara nasional sebagaimana
disebutkan di atas perlu dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan
Undang-undang (Pasal 5 Ayat 1 UU SJSN). Untuk menyelenggarakan kelima program
SJSN dengan UU SJSN telah dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang
berdasarkan Pasal 6 UU SJSN sejak tahun 2008. Dalam pembentukan DJSN tidak
diperlukan UU tersendiri, karena fungsi utamanya merumuskan kebijakan umum tentang
jaminan sosial untuk disampaikan kepada Presiden. Berikut dipaparkan penjelasan lebih
rinci tentang DJSN, tugas pokok, fungsi dan kewenangan DJSN (lihat Bagan 1):
1. DJSN adalah salah satu lembaga negara yang dibentuk dengan UU SJSN untuk
memberikan advokasi tentang jaminan sosial kepada Pemerintah dan bertanggungjawab
secara langsung kepada Presiden.
2. Fungsi DJSN merumuskan kebijakan umum tentang jaminan sosial dan sekaligus
melakukan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Dalam melakukan sinkronisasi
perundangan-udangan dan peraturan tindak-lanjutnya, DJSN dapat meminta masukan
dari atau konsultasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah-pemerintah Provinsi
sebagai salah satu bahan untuk perumusan jaminan sosial.
3. Tugas-tugas utama DJSN mencakup 3 kegiatan utama sebagai berikut
10
a. Melakukan kajian dan penlitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan
sosial,
b. Mengusulkan kebijakan investasi dana SJSN dan mengusulkan perubahannya
dalam Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan dan pengembangan dana SJSN,
d. Mengusulkan angaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya
anggaran operasional kepada Pemerintah.
4. Keanggotaan DJSN merupakan representasi dari Tripartit plus yang berjumlah 15
orang yang terdiri dari 5 wakil pemerintah, 2 wakil pemberi-kerja, 2 wakil serikat
pekerja dan 4 wakil tokoh masyarakat serta 2 orang sebagai ahli jaminan sosial.
Keanggotaan DJSN yang berasal dari wakil-wakil pemerintah, pemberi-kerja dan
serikat pekerja bersifat eks-offisio karena dalam penunjukkan-nya sesuai jabatanjabatan
yang berhubungan dengan jaminan sosial sedangkan tokoh atau ahli jaminan
sosial tidak mewakili organisasi apapun. Kelima wakil-wakil pemerintah berasal dari
Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga-Kerja, Kementerian Sosial,
Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan.
5. Pengangkatan Anggota DJSN untuk masa jabatan 5 tahun dan pemberhentian
berdasarkan Keputusan Presiden sedangkan penunjukkan Ketua DJSN berasal dari
perwakilan pemerintah agar dapat memfasilitasi secara efektif, karena fungsi
pemerintah dalam penyelenggaraan SJSN sebagai fasilitator. Dalam melaksanakan
tugas-tugas pokok Anggota DJSN, DJSN dibantu oleh Sekretariat DJSN yang
dipimpin oleh Sekretaris DJSN yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua DJSN.
6. BPJS yang dibentuk dengan UU No 24/2011 tentang BPJS bertujuan untuk
mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan guna memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Bentuk badan
hukum BPJS yang dibentuk dalam UU ini adalah badan hukum publik yang meliputi
BPJS Kesehatan (Social security provider for health) dan BPJS Ketenaga-kerjaan
(Social security provider for employees).
7. Kewenangan DJSN
a. Berdasarkan Pasal 7 Ayat 4 UU SJSN, DJSN berwenang melakukan pemantauan
dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial, dan
b. Berdasarkan Pasal 39 Ayat 3 UU BPJS, DJSN berwenang melakukan pengawasan
eksternal BPJS bersama dengan Lembaga Pengawas Independen seperti BPK
dan/atau Otoritas Jasa Keuangan. Dalam kewenangan yang diberikan UU BPJS,
DJSN berkonsentrasi pada audit operasional yang bersifat melengkapi terhadap
audit finansial dan audit kinerja yang biasanya dilakukan BPK.
Implikasi dari Pasal-pasal di atas mengindikasikan bahwa penyelenggaraan SJSN
sarat dengan pengawasan internal dan eksternal terhadap operasional SJSN oleh BPJS
yang harus melaksanakan Pasal 47 UU SJSN tentang Pengelolaan dan Pengembangan
dana SJSN dan aset BPJS. Pengawasan internal dilakukan oleh Dewan Pengawas BPJS
dan Biro Satuan Pengawasan Internal BPJS sedangkan pengawasan eksternal dilakukan
oleh DJSN serta BPK/OJK. Dalam pengelolaan dan pengembangan dana SJSN, BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan harus memperhatikan aspek-aspek likiditas,
solvabilitas, kehati-hatian dan konservatif serta menghasilkan imbal balik yang moderat.
Sudah barang tentu, DJSN akan diberikan kewenangan pengawasan secara khusus yang
terkait dengan kegiatan utama operasional BPJS, yaitu fokus pada audit operasional.
Kemudian BPK melakukan pengawasan secara normatif yaitu audit keuangan dan audit
11
kinerja BPJS. Output yang dihasilkan dari audit operasional adalah minimalisasi moral
hazard untuk melengkapi hasil audit keuangan dan audit kinerja BPJS.
Untuk implementasi UU No 40/2004 tentang SJSN diperlukan tindak-lanjut
dengan UU No 24/2011 tentang BPJS menyusul tindak-lanjut PP dan Perpres antara lain
telah disiapkan RPP tentang Penerimaan Bantuan Iuran untuk pembiayaan Jaminan
Kesehatan bagi penduduk miskin dan warga tak mampu; RPP tentang Jaminan
Kecelakaan Kerja; RPP tentang Jaminan Hari Tua; RPP tentang Jaminan Kematian dan
RPP tentang Jaminan Pensiun serta RPP tentang Pengelolaan dan Pengembangan dana
jaminan sosial kemudian Rperpres tentang Jaminan Kesehatan; Rperpres tentang manfaat
Jaminan Pensiun. Selanjutnya diperlukan juga RPP dan Rperpres untuk tindak-lanjut UU
BPJS antara lain RPP tentang Prosedur Pengenaan Sanksi Administrasi; RPP tentang
Besarnya Iuran dan Prosedur Pembayaran Manfaat JKK-JHT-JP-JKm; RPP tentang
Sumber-sumber dan penggunaan aset BPJS; RPP tentang Dana Jaminan Sosial; RPP
tentang besarnya Biaya Operasional BPJS dan RPP tentang Prosedur Kerjasama
Pelembagaan dengan BPJS; RPP tentang Prosedur Transforasi BPJS. Selain itu, masih
juga diperlukan Rperpres antara lain Rperpres tentang Tahap Tahap Pendaftaran
Kepesertaan; Rperpres tentang Prosedur Penggantian Sementara Dewan Pengawas dan
Direksi BPJS dan Rperpres tentang Pemeriksaan Khusus bagi Personil TNI-Polri dan
seterusnya. Tindak-lanjut UU SJSN telah selesai rancangan PP dan Perpres sedangkan
tindak-lanjut PP untuk implementasi UU BPJS masih dalam proses penyusunan
rancangan (drafting process).
Bagan 1 di atas menguraikan mengenai tugas-pokok-fungsi (tupoksi) dan
kewenangan DJSN yang sekaligus menggambarkan rincian, uraian dan deskripsi kegiatan
operasional DJSN sebagai salah satu Lembaga Negara yang melakukan implementasi
SJSN bagi seluruh penduduk. Untuk suksesnya implementasi SJSN diperlukan operator
SJSN yang meliputi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan sesuai Pasal 5 UU
BPJS. Paparan dalam Bagan in dapat diharapkan untuk memberikan informasi yang
berharga kepada pihak pihak yang berkepentingan terhadap SJSN [stake-holders of
Rapat2 pleno
dan komisi
Kegiatan
DJSN
- Melakukan kajian
- Mengusulkan kebijakan
investasi
- Monitoring & evaluasi
terhadap kegiatan
operasioal
ke-dua BPJS
- Mengusulkan anggaran
bantuan
iuran
Tugas pokok DJSN
DJSNormulasi
Kebijakan
Umum Jaminan
Sosial
Kepesertaan
semesta
Implementasi
SJSN
Bagan 1. Tugas Pokok, Fungsi dan Kewenangan DJSN
a. Fungsi
b. kewenangan
DJSN
a. Fungsi Operasionalisasi
SJSN oleh BPJS
Kesehatan dan
BPJS Ke-TK-an
b. Pengawasan
12
National Social Securiy System (NSS)]. Untuk persiapan implementasi UU SJSN yang
dijadualkan pada tanggal 1 Januari 2014, maka diperlukan beberapa tahapan yang terkait
dengan penutupan laporan keuangan PT Askes dan PT Jamsostek sebagai BUMN dan
pembukaan laporan keuangan dengan BPJS baru sebagai operator. Sesuai ketentuan yang
berlaku sebagaimana dikemukakan BPK bahwa Menteri Negara BUMN akan melakukan
penutupan Laporan Keuangan PT Askes dan PT Jamsostek pada tanggal 31 Desember
2013 selanjutan Menteri Keuangan akan melakukan pembukaan Laporan Keuangan BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan pada tanggal 1 Januari 2014. Dalam hal ini BPJS
Kesehatan akan menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi PNS, TNI-Polri dan tenaga
kerja sektor swasta termasuk perluasan kepesertaan semesta bagi seluruh penduduk per 1
Januari 2014. BPJS Ketenaga-kerjaan akan meneruskan ketiga program Jamsostek yang
meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari tua per 1 Januari
2014 kemudian mengoperasionalkan program jaminan pensiun termasuk perluasan
kepada seluruh tenaga kerja per 1 Juli 2015 kecuali program pensiun PNS dan TNI-Polri,
karena kedua program tersebut baru akan ditransformasi di tahun 2029. Dengan
sendirinya PT Taspen dan PT Asabri akan ditransformasi menjadi BPJK Ketenagakerjaan
di tahun 2029 (lihat Bagan 2).
Mengapa program-pensiun PNS dan TNI-Polri ditransformasi pada tahun 2029?
Karena ada perbedaan prinsip dalam pembiayaan program pensiun bagi PNS dan TNIPolri.
Pembiayaan program pensiun pegawai negeri tersebut merupakan salah satu
komponen belanja pegawai yaitu pos anggaran pensiun yang dianggarkan melalui APBN
setiap tahun sedangkan jaminan pensiun SJSN sebagai program pensiun kontribusi yang
dibiayai secara bersama oleh peserta yang dalam hal ini majikan dan tenaga-kerja. Untuk
sementara besarnya iuran jaminan pensiun SJSN yang akan diimplementasikan per 1 Juli
2015 baru disepakati antara majikan dan tenaga-kerja sebesar 7-8% upah dan diharapkan
berubah menjadi antara 10-12% upah di tahun 2029. Adapun manfaat pensiun yang
diterima oleh para pensiunan pegawai negeri (pensiunan PNS dan purnawirawan TNIPolri)
saat sekarang jauh lebih baik. Untuk mempertahankan besarnya manfaat pensiun
sesuai golongan yang diterima sekarang oleh Pensiunan PNS kemudian apabila harus diur
diperlukan konversi berapa besarnya iuran. Secara sederhana dapat diketahui bahwa
perhitungan iuran secara kasar agar manfaat pensiun sekarng dipertahankan diperlukan
iuran antara 12-15% dengan rincian Pemerintah mengiur 10% sedangkan PNS mengiur
5%. Berarti iuran jaminan pensiun SJSN bagi tenaga-kerja sektor swasta harus ditetapkan
sama sebesar 12-15% dan hal itu tidak mungkin diterapkan sekarang. Karena itu, program
pensiun pegawai negeri yang sekarang bersumber dari APBN sebagai bagian dari belanja
pegawai dan akan ditransformasi menjadi jaminan pensiun SJSN yang bersifat kontribusi.
Jaminan pensiun kontribusi SJSN akan diiur oleh Pemerintah sebagai satu-satunya
Majikan bagi Pegawai Negeri dan Pegawai Negeri sebagai Penerima-kerja juga harus
mengiur.
Secara kronologi, proses transformasi PT Askes Persero dan PT Jamsostek
Persero sebagai BPJS yang berbentuk Badan Hukum Publik sesuai Pasal 5 UU BPJS
termasuk transformasi program tetap dilaksanakan sebelum tanggal 1 Januari 2014
sebagai berikut:
1. PT Askes Persero yang dibentuk dengan PP 6/1992 tetap melaksanakan JK bagi PNS,
pensiunan PNS dan Purnawirawan TNI-Polri termasuk menerima pendaftaran baru
pegawai negeri sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014.
2. Kementerian Kesehatan tetap melaksanakan program Jamkesmas termasuk
pertambahan peserta baru sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan per 1 Januari
2014. Jamkesmas akan menjadi jaminan kesehatan SJSN yang akan dikelola BPJS
Kesehatan per 1 Januari 2014.
13
3. Kementerian Pertahanan dan TNI-Polri tetap melaksanakan program jaminan
kesehatan bagi pesertanya sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan per 1
Januari 2014 dan kemudian menyerahkannya program jaminan kesehatan kepada
BPJS Kesehatan.
4. PT Jamsostek Persero yang dibentuk dengan PP 36/1995 tetap menyelenggarakan
proram Jamsostek yang berdasarkan UU 3/1992 sampai dengan beroperasinya BPJS
Kesehatan dan menyerahkan jaminan pemeliharaan kesehatan kepada BPJS
Kesehatan per 1 Januari 2014. PT Jamsostek tetap menyelenggarakan program
Jamsostek yang hanya meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan
jaminan hari tua sampai dengan beroperasinya BPJS Ketenaga-kerjaan per 1 Jaunari
2014. Selanjutnya BPJS Ketenaga-kerjaan akan beroperasi secara penuh dalam arti
melaksanakan perluasan kepesertaan seluruh tenaga-kerja untuk disertakan dalam
jaminan pensiun SJSN per 1 Juli 2015.
5. PT Asabri dan PT Taspen yang masing-masing dibentuk dengan PP68/1991 dan PP
26/1981 tetap melaksanakan fungsi masing masing sampai dengan dialihkannya
program pensiun pegawai negeri ke BPJS Ketenga-kerjaan di tahun 2029.
Sumber: DJSN (2012)
IV. PERLUNYA PROTEKSI SOSIAL UNTUK SUKSES
4 BUMN
Persero
A S K E S
JAMSOSTEK
T A S P E N
A S A B R I
JK bagi PNS dan
Purnawirawan
Jaminan Sosial bagi
TK Sektor Swasta
Pensiun dan THT
bagi PNS
Pensiun dan THT
bagi TNI-Polri
Operasional JK oleh
BPJS Kesehatan per 1
Januari 2014
Operasional JKK-JHTJP-
JKm oleh BPJS TK
per 1 Juli 2015
Transformasi tahun 2029
Bagan 2. Skedul Proses Transformasi BUMN ke BPJS
14
DALAM IMPLEMENTASI SJSN DI MASA DATANG
Kegagalan suatu Negara dalam mereformasi sistem jaminan sosial yang biasanya
terjadi di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia tidak disertakan atau ditindaklanjuti
dengan implementasi SPS. Sebenarnya Indonesia telah mengalami 3 (tiga) kali
perubahan dengan harapan menjadi lebih baik. Perubahan dalam operasional jaminan
sosial terbagi dalam 3 (tiga) masa yaitu periode 1967-1977; periode 1978-1992 dan
periode 1993-2013. Periode 1967-1977 telah diselenggarakan program Dana Jaminan
Sosial (DJS) yang berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Tahun 1967 dengan
bentuk badan hukum Yayasan dengan kepesertaan secara sukarela. Kepesertaan dengan
program sakit tidak berkembang sebagaimana mestinya karena bentuk badan hukum
yayasan dengan kepesertaan secara sukarela tidak diperuntukkan untuk pengelolaan
ranah jaminan sosial. Periode 1978-1992 program sakit DJS dilebur dengan Koperasi Jasa
Karyawan Raya (KJKR) yang melaksanakan program tabungan sukarela menjadi
program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) yang berdasarkan PP No 33/1977 dengan
kepesertaan wajib bagi perusahaan yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 100 orang.
Sebagaimana dijelaskan dalam Sesi I bahwa program Astek dilaksanakan oleh Perum
Astek yang berdasarkan PP No 34/1977. Program Astek juga tidak berkembang
sebagaimana mestinya karena kepesertaan Astek yang bersifat wajib dengan PP No
33/1977 tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Karena itu dalam periode 1993-2013
dilaksanakan program Jamsostek yang berdasarkan UU No 3/1992 sebagai kelanjutan
program Astek. Kepesertaan Jamsostek mengalami stagnasi setelah terjadi krisis ekonomi
tahun 1997-1998 kemudian disusul dengan lemahnya penindakan hukum di tahun 2000
setelah berlakunya Otoda dimana Pemda tidak menyiapkan SDM nya untuk dijadikan
sebagai Pengawas Ketenaga-kerjaan. Stagnasi kepesertaan yang dialami PT Jamsostek
sebagai operator program Jamsostek adalah sebagai kesalahan sistem bahwa berulang kali
kita melakukan perubahan sebagaimana disebutkan sebelumnya tetapi tidak disertakan
dengan implementasi SPS.
Purwoko (2011) mendefinisikan SPS sebagai supra-sistem jaminan sosial yang
terdiri dari 5 (lima) pilar yang satu sama lain saling terintegrasi dalam artian tidak
terpisahkan untuk mencapai keamanan ekonomi (economic-security) guna mewujudkan
negara kesejahteraan dengan rakyat sejahtera. Kelima pilar tersebut dapat berupa
kebijakan, sistem, prasarana dan program yang merupakan satu-kesatuan dalam bentuk
supra sistem jaminan sosial atau sistem proteksi sosial (lihat Gambar 1). Adapun
kelima pilar meliputi:
1. Kebijakan tentang pencipataan lapangan pekerjaan yang diawali dengan pemberian
kemudahan oleh Pemerintah kepada investor lokal atau investor asing untuk
melaksanakan program investasi langsung lokal dan atau program investasi langsung
asing. Output dari investasi langsung adalah penyerapan pekerjaan yang berdampak
terhadap pertambaha kepesertaan jaminan sosial.
2. Sistem asuransi sosial atau dikenal dengan istilah jaminan sosial adalah sebuah sistem
yang didesain untuk memberikan proteksi dasar kepada peserta dalam bentuk
substitusi penghasilan terhadap risiko-risiko atau peristiwa sakit-persalinan,
kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), kematian prematur dan hari tua
secara berkelanjutan. Tujuan diselenggarakannya jaminan sosial adalah untuk
mencegah kemiskinan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
3. Bursa Tenaga Kerja aktif adalah salah satu prasarana ekonomi yang diperlukan untuk
menindak-lanjuti pekerja yang ter-PHK diperkerjakan kembali agar tidak jatuh
miskin. Dampak dari penempatan kerja baru bagi pekerja yang ter-PHK adalah untuk
15
mempertahankan kepesertaan jaminan sosial secara berkelanjutan. Bentuk lain dari
prasarana ekonomi adalah bursa efek yang diperlukan untuk penempatan dana
jaminan sosial. Sifat hubungan antara Bursa TK aktif dan BPJS berlaku secara
otomatis bahwa pekerja yang ter-PHK boleh menganggur paling lama 1 tahun
kemudian diupayakan memperoleh pekerjaan baru melalui Bursa TK agar memenuhi
masa kepesertaan tertentu sehingga pekerja yang bersangkutan saat mencapai usia
pensiun masih mendapatkan hak pensiun.
4. Bantuan Sosial adalah suatu program yang bersifat sementara untuk reduksi atau
pengentasan kemiskinan yang pendanaannya bersumber dari APBN dan APBD.
Program-program yang diadakan untuk penduduk miskin dan atau masyarakat rentan
miskin mencakup pelayanan kesehatan, bantuan langsung tunai yang bersifat
sementara (Balsem) dan bantuan keuangan mikro yang diberikan kepada warga rentan
miskin agar dapat mendiri di kemudian hari.
5. Demogran adalah salah satu pilar jamian sosial yang berlaku bagi seluruh warga
negara termasuk penghuni tetap suatu negara yang ditujukan untuk mempertahankan
daya beli masyarakat. Program Demogran adalah pelayanan kesehatan bagi seluruh
warga negara dan atau pemberian bantuan penghasilan sesuai permintaan karena
akibat kebijakan ekonomi yang menimbulkan berkurangnya penghasilan.
SPS dapat dibedakan atas SPS barbasis sistem dan SPS berbasis kebijakan. SPS
yang berbasis sistem merupakan kompilasi dari kelima pilar sebagaimana dipaparkan
dalam Gambar 1 yang membentuk supra-sistem jaminan sosial. SPS yang berbasis
KES
KERJA
BURSA
TK
AS
S
O
S
Pembiayaan bersama antara Masyarakat
dan Pemerintah
Untuk tujuan mewujudkan keamanan ekonomi menunju Negara
Sejahtera (Welfare State)
PROTEKSI SOSIAL
Gambar 1. Sistem Proteksi Sosial
DEMOGRAN
B
ANSOS
16
kebijakan meliputi kebijakan ketenaga-kerjaan, kebijakan kesehatan dan kebijakan
jaminan sosial bahwa satu sama lain saling menunjang dan atau melengkapi dalam
penyelenggaraan jaminan sosial (lihat Tabel 1). Kebijakan ketenaga-kerjaan adalah
tercapainya tujuan harmonisasi hubungan industrial sedangkan kebijakan kesehatan
ditujukan untuk pola hidup sehat guna mewujudkan Indonesia sehat tahun 2020.
Kebijakan jaminan sosial harus mengacu pada tujuan pembangunan milenium guna
mencegah dan atau mereduksi kemiskinan. Dalam implementasi SJSN ke depan
diperlukan jaminan pekerjaan yang mencakup adanya jaminan kualitas penghasilan dalam
hal ini gaji dan tunjangan menyusul jaminan masa kerja sedangkan kepastian jaminan
sosial memiliki hubungan timbal balik dengan jaminan pekerjaan. Akan tetapi Indonesia
masih belum memiliki prasarana dan sarana yang memadai untuk menunjang
operasionalisasi program SJSN di tahun 2014 khususnya peranan Bursa TK aktif yang
berfungsi untuk penempatan kerja baik untuk menempatkan pekerjaan baru bagi
penganggur terbukan maupun untuk memperkerjakan kembali bagi pekerja yang ter-
PHK. Pengembangan akses untuk Indonesia masih juga merupakan masalah besar,
misalnya masalah akses pekerjaan dan akses ke fasilitas kesehatan. Begitu banyak
program Pemerintah yang berhubungan dengan skema pemberdayaan dan jaminan sosial
akan tetapi masih banyak pekerja sektor informal tidak memiliki akses langsung ke
jaminan sosial.
Tabel 1 Sistem Proteksi Sosial
No Kebijakan
Tujuan Jaminan
Pekerjaan
Prasarana
dan sarana
Akses
1
2
Ketenagakerjaan
dan
kesehatan
Jaminan
Sosial
Hubungan
industrial,
pola hidup
sehat
Mencegah
dan atau
mereduksi
kemiskinan
Gaji dan
tunjangan
Masa kerja
minimal 20
tahun untuk
kepesertaan
jaminan
sosial
Memberikan
kepastian
jaminan bagi
seluruh warga
negara
Bursa tenaga
kerja aktif
Fasilitas dan
alat kesehatan,
pasar
uang dan
modal
DJSN dan
BPJS yang
Independen
dan auditor
Kemudahan
untuk akses
pekerjaan dan
faskes
Kemudahan
untuk akses
manfaat dan
informasi
Sumber: Purwoko (2011)
Selain kebutuhan SPS untuk kemudahan dan atau untuk pengamanan dalam
penyelenggaraan sistem jaminan sosial agar dapat berkelanjutan seperti yang disampaikan
17
dalam Tabel 1, juga diperlukan Social Protection Floor (SPF) atau Lantai Proteksi Sosial
(LPS) bagi suatu negara yang masih memiliki jumlah penduduk miskin lebih dari 1/5
penduduk untuk mempercepat proses pengentasan kemiskinan (lihat Tabel 2). LPS adalah
kebutuhan sosial dasar seperti kebutuhan air bersih, sanitasi, pendidikan dan kesehatan
yang diadakan secara sistemik untuk reduksi kemiskinan. Kemiskinan masih tetap terjadi
walaupun Pemerintah memberikan Balsem, Raskin, BOS dan Jamkesmas, karena
pemenuhan LPS masih belum maksimal. Pengadaan LPS semestinya menjadi tanggungjawab
Kementerian Sosial sebagai sponsor atau sebagai Kementerian yang mendanai LPS
apalagi ada Program / Strategi Reduksi Kemiskinan (P/SRK). P/RSK adalah salah satu
program Pemerintah yang bersifat strategik untuk tujuan reduksi kemiskinan melalui
program-program yang sekarang dijadikan sebagai proyek percontohan seperti Balsem,
Raskin dan Beasiswa / BOS. Akan tetapi program program tersebut masih belum tuntas
karena tidak ditindak-lanjuti dengan proses pemberdayaan dalam artian terjadi
transformasi misalnya dari rentan miskin menjadi mandiri dengan usaha mikro kemudian
meningkat menjadi usaha skala kecil hingga menengah. Adapun prasarana dan sarana
yang diperlukan untuk operasional LPS berupa Puskesmas, Gedung Sekolah, Rumah
Susun dan Balai Diklat yang harus dilengkapi dengan kesiapan SDM seperti Dokter,
Guru dan Instruktur Diklat. Tidaklah mungkin untuk pengentasan / reduksi kemiskinan
tanpa disiapkan prasarana dan sarana terlebih dulu walaupun program program LPS telah
didefinitifkan. Setelah itu, pastikan lebih dulu bahwa apabila masalah kemiskinan tidak
dapat direduksi dalam jangka pendek diperlukan solusi jangka panjang dan juga perlu
dibentuk BPJS khusus sebagai operator program-program LPS.
Tabel 2 Sistem Proteksi Sosial untuk Penduduk Miskin atau dikenal
dengan istilah Social Protection Floor (SPF)
No Sponsor Sumber
pembiayaan
P/SRK Prasarana dan
sarana
Kesiapan
SDM
1
2
Kemensos
BPJS
Khusus
APBN yang
berasal dari
PPh 21 / 23
APBN yang
berasal dari
cukai rokok
APBN yang
berasal dari
pajak miniman
keras
-JK SJSN
-Balsem
-Raskin
-Beasiswa
-Bantuan sewa
hunian
-Diklat
-Skema keuangan
mikro
-Puskesmas
-Ged sekolah
-Rumah susun
-Kantor Pos
-KUD
-Balai Diklat
-Balai Desa
Dokter
Guru
Pengelola
Tukang pos
Pengurus
Instruktur
Pamong
P/SRK (Program / Strategi Reduksi Kemiskinan)
Masalah kemiskinan masih tetap terjadi, karena pertumbuhan angkatan kerja
sejalan dengan pertambahan penduduk sedang penambahan angkatan kerja semestinya
18
dapat diserap sepenuhnya atau sebagian dari kesempatan kerja yang tersedia. Tersedianya
kesempatan kerja sudah barang tentu sangat tergantung dari kegiatan investasi langsung
sebagai pintu utama untuk penyerapan kerja (direct investment as the first gate to the
work absorption). Sistem jaminan sosial berkepentingan terhadap bagaimana programprogram
jaminan sosial diselenggarakan dengan terintegrasi antara asuransi sosial,
bantuan sosial dan demogran. Integrasi antara asuransi sosial, bantuan sosial dan
demogran tidak dalam artian pembiayaan (karena sumber-sumber pembiayaan dari
masing masing pendekatan sudah jelas bahwa asuransi sosial dibiayai dengan iuran
peserta, bantuan sosial dan demogran dengan APBN) melainkan dalam bentuk
transformasi. Dengan perkataan lain, proteksi sosial adalah jaminan sosial plus
penempatan kerja dan pemberdayaan komunitas yang kurang beruntung (In other words,
social protection is social security combined with the work placement and empowerment
of the vulnerability).
Kembali pada model transformasi program program jaminan sosial bahwa dengan
pendekatan asuransi sosial diharapkan untuk mentransformasi penghasilan yang lebih dari
cukup untuk konsumsi dan belanja kesehatan agar para pensiunan tidak mencari
pekerjaan atau tidak menjadi beban generasi berikutnya di masa purna bhakti. Idealnya
adalah bahwa pekerja yang pensiun hanya mengalami kehilangan penghasilan yang
dibawa pulang (take home pay) sebesar 30% sehingga pekerja yang pensiun masih bisa
menerima 70% take home pay seperti yang terjadi di Jerman, Prancis dan Inggris.
Adapun model transformasi yang diupayakan melalui pendekatan bantuan sosial adalah
adanya pengentasan atau reduksi kemiskinan secara signifikan, karena adanya kegiatan
ekonomi yang memberikan harapan rasional seperti investasi langunsg yang dapat
menyerap angkatan kerja termasuk penyediaan kredit investasi mikro bagi warga kurang
beruntung. Selain itu, juga diperlukan pemberdayaan secara total terhadap penduduk
hampir miskin melalui program pelatihan yang difasilitasi oleh bursa tenaga kerja agar
memberikan bekal kepada yang bersangkutan untuk bekerja secara mandiri. Karena
sebagian besar penduduk hampir miskin bekerja secara tak regular di sektor informal,
maka setelah mendapatkan pelatihan dapat dipekerjakan kembali.
Proteksi sosial yang ditujukan untuk mewujudkan keamanan ekonomi menuju
negara kesejahteraan (welfare-state) mencakup 5 (lima) pilar utama (lihat Gambar 1).
Landasan utama terbentuknya proteksi sosial adalah pembiayaan bersama antara
masyarakat dan pemerintah melalui APBN. Adapun pilar-pilar yang dimaksud meliputi
tersedianya lapangan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan kemudian pilar yang
kedua adalah asuransi sosial yang memberikan proteksi terhadap hilangnya penghasilan
pekerja yang terkait dengan risiko risiko pekerjaan, sedangkan pilar yang ketiga
diperlukan keberadaan bursa tenaga kerja yang berfungsi untuk penempatan kerja sesuai
kompetensinya supaya tidak mudah diputus secara sepihak mengenai hubungan kerjanya
oleh majikan. Pilar-pilar keempat menyusul kelima meliputi bantuan sosial dan demogran
yang diadakan berdasarkan UU untuk mensejahterakan rakyat dengan dibiayai APBN
secara terbatas. Dengan kelima pilar utama tersebut ditujukan untuk mentransformasi
bukan sebaliknya memelihara penduduk miskin.
Penyelenggaraan sistem proteksi sosial sebagaimana dipaparkan dalam Gambar 1
memerlukan pembiayaan bersama antara masyarakat dan pemerintah. Pilar utama sistem
proteksi sosial adalah jaminan sosial yang berfungsi memberikan substitusi penghasilan
pekerja yang hilang akibat peristiwa peristiwa yang terkait dengan hubungan kerja, maka
diperlukan pembiayaan yang bersumber dari masyarakat yang bekerja (working-society)
untuk mengiur program jaminan sosial. Kemudian program program jaminan sosial yang
ditujukan untuk reduksi kemiskinan dilakukan dengan pendekatan bantuan sosial yang
sepenuhnya dibiayai dengan pajak penghasilan melalui APBN sedangkan program
demogran yang memberikan imunisasi anak dan bantuan langsung tunai bersyarat
(BLTB) bagi keluarga miskin yang benar benar membutuhkan bantuan lebih untuk tujuan
19
membentuk masyarakat sehat, kuat dan sejahtera. Berikut disampaikan sumber-sumber
pembiayaan untuk membangun sistem jaminan sosial yang terintegrasi satu sama lain
baik program-program yang berbasis iuran peserta maupun yang dibiayai APBN.
Bagam 3 Sumber-Sumber Pembiayaan Proteksi Sosial
Bagan 3 memberikan illustrasi tentang sumber sumber pembiayaan sistem
proteksi sosial untuk pencegahan kemiskinan. Ada 5 (lima) sumber pembiayaan, yaitu (a)
pajak penghasilan perorangan, (b) pajak penghasilan badan-badan usaha, (c) iuran-iuran
pekerja, (d) iuran-iuran pemberi-kerja / majikan dan (e) cukai rokok atau minimum yang
mengandung alkohol. Adapun komposisi pembagian pajak yang digunakan secara
proporsional untuk pembiayaan sistem jaminan sosial meliputi pajak penghasilan orang
perseorangan dan pajak penghasilan badan-badan usaha. Pajak penghasilan orang
Pajak
pengha
-silan
perorangan
(P3)
Pajak
pengha
-silan
badan
usaha
(PPB)
Iuraniuran
tenaga
kerja &
masyarakat
Iuraniuran
pemberi
kerja/
badan
usaha
Penerimaan
cukai
rokok
dan
alkohol
Skema
demogran
(keluarga)
Asuransi
sosial dan
pensiun
Skema
bantuan
sosial
Sistem
jaminan
sosial
Proteksi TK
beserta
keluarganya
Proteksi
penduduk
miskin
Proteksi
keluarga
(anak)
BPJS BPJS
Masyarakat yang kuat dan sejahtera
20
perorangan dapat digunakan untuk membiayai skema bantuan sosial yang terdiri dari JK,
pemberdayaan dan BTM termasuk skema demogran yang meliputi imunisasi keluarga
serta BTB bagi yang membutuhkan. Selanjutnya pajak penghasilan badan digunakan
untuk membiayai fasilitas-fasilitas kesehatan dan umum seperti rumah sakit beserta
kantor bursa tenaga kerja. Iuran iuran peserta asuransi sosial baik yang berasak dari
pekerja dan majikan ditujukan untuk membiayai secara langsung program program
asuransi sosial seperti JK, JKK, JPHK, JKm dan JP. Penyelenggaraan JHT biasanya
ditujukan untuk suplemen atau on top of JP sedangkan mengenai kepesertaan yang
bersifat wajib pada dasarnya merupakan kesepakatan sebagaimana dinyatakan dalam UU
jaminan sosial atau UU khusus tentang JHT seperti di Malaysia dan di Singapura.
Kmeudian cukai rokok dan cukai alkohol dapat digunakan untuk menambah pembiayaan
jaminan kesehatan, khususnya para perokok berat dan peminum alkohol dan seterusnya
aktivitas merokok itu sendiri dapat berdampak buruk terhadap kesehatan keluarga.
Dalam Bagan 3 dijelaskan dengan menggunakan garis panah dan garis panah
putus putus bahwa antara 1/8-1/10 dari total penerimaan pajak penghasilan perorangan
dialokasikan oleh kantor pajak untuk membiayai skema-skema bantuan sosial dan
demogran. Sisanya antara 82,5% dan 90% dari total penerimaan pajak penghasilan
perorangan digunakan untuk belanja pegawai negeri termasuk untuk pembiayaan
prasarana-prasarana umum yang diperlukan masyarakat itu sendiri seperti jalan-raya,
jembatan dan kemudahan-kemudahan lainnya. Pajak-penghasilan badan usaha digunakan
untuk belanja modal pemerintah dan pembangunan sarana-sarana penunjang bisnis yang
diperlukan oleh para pebisnis dan para pemodal. Adapun iuran iuran yang berasal dari
para pekerja dan majikan ditujukan untuk membiayai program program asuransi sosial
yang memang diwajibkan menurut UU Jaminan Sosial sebagai upaya untuk pencegahan
kemiskinan dalam jangka panjang. Apabila dalam penyelenggaraan asuransi sosial
kedapatan defisit dimana aliran kas masuk dalam bentuk iuran tidak dapat menutup aliran
kas keluar dalam bentuk pembayaraan manfaat karena krisis ekonomi, maka pemerintah
akan melakukan pengambil-alihan sementara dalam arti memberikan subsidi yang
bersifat sementara sampai dengan BPJS dapat beroperasi kembali secara normal.
Permasalahan yang timbul dalam pembiayaan jaminan sosial bersumber dari
penerimaan pajak penghasilan yang tak signifikan dengan terbatasnya angkatan kerja
yang bekerja di sektor formal, karena jumlah perusahaan formal juga terbatas sehingga
sebagian besar masyarakat dalam mencari nafkah terpaksa dilakukan di sektor informal
dengan penghasilan yang tak tentu. Diasumsikan bahwa apabila 2/3 angkatan kerja kita
bekerja di sektor formal, maka alokasi pajak penghasilan orang perorangan yang
ditetapkan secara maksimal sebesar 12,5% untuk sistem jaminan sosial khususnya
bantuan sosial termasuk demogran menjadi signifikan sebesar 8,375%. Sebaliknya
apabila angkatan kerja yang bekerja di sektor formal hanya 1/3 saja, maka alokasi pajak
penghasilan orang perorangan menjadi tidak signifikan sebesar 4,25%. Apalagi angkatan
kerja kita yang bekerja di sektor formal cuma 10%, maka jelas anggaran untuk
pengentasan kemiskinan menjadi terlalu kecil yaitu cuma 1,25%. Akhirnya kembali pada
masalah yang mendasar bahwa memang masyarakat harus diupayakan untuk bekerja di
sektor formal agar dapat memberikan kontribusi terhadap pajak secara signifikan yang
pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap sistem jaminan sosial secara signifikan pula.
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
21
1. Simpulan yang dapat disampaikan semoga bermanfaat untuk masukan bagi DJSN
sebagai implementator SJSN sebagai berikut:
a. Program jaminan sosial telah lama diberikan untuk perlindungan masyarakat
(yang bekerja) dan bahkan mengalami 3 (tiga) kali perubahan sejak tahun 1967
dari mulainya operasional DJS, berlanjut ke program Astek di tahun 1978
kemudian berubah menjadi program Jamsostek pada tahun 1993 hingga
direformasi menjadi program SJSN di tahun 2004.
b. Perubahan-perubahan jaminan sosial sebelum reformasi jaminan sosial dari
program Jamsostek menjadi SJSN ternyata belum terintegrasi dalam artian bahwa
sifat penyelenggaraan masih eksklusif, karena program yang dirancang ditujukan
untuk proteksi bagi tenaga kerja yang masih aktif. Setelah pensiun, maka tenaga
kerja yang bersangkutan tidak memiliki lagi sistem jaminan sosial kecuali PNS,
Personil TNI-Polri. Jika dibiarkan terus menerus, maka akan menambah jumlah
penduduk rentan miskin di masa purna bhakti.
c. Temuan empirik dalam identifikasi problem penyelenggaraan jaminan sosial di
Indonesia begitu krusial dan mendasar permasalahannya sehingga akan
menyulitkan dalam operasionalisasi SJSN di masa datang , yaitu: (i) masih
ditemukan rendahnya upah pekerja yang bervariasi antara Rp 700 ribu Rp 1,5
juta per bulan; (ii) rendahnya iuran program jaminan sosial yang sekarang berlaku
kurang dari 20% upah; (iii) rendahnya tingka kepatuhan peserta terhadap program
wajib; (iv) lemahnya penindakan hukum; (vi) terbatasnya jumlah pengawas
jaminan sosial untuk melakukan penindakan hukum dan (vii) terbatasnya
kewenangan BPJS.
d. Dalam implementasi SJSN ke depan masih dihadapkan pada tantangan-tantangan
yang berat sebagaimana dijelaskan dalam huruf c di atas bahwa apabila tidak
diatasi dalam rentang waktu paling lama 5 tahun, maka operasionalisasi program
SJSN oleh kedua BPJS akan mengulang hal yang sama yang selama ini terjadi.
Sekalipun kepesertaan program SJSN bersifat universal dengan program yang
komprehensif untuk memenuhi kebutuhan jaminan sosial bagi seluruh warga
negara telah dirancang sedemikian rupa belum menjadi jaminan.
e. Kembali pada temuan empirik tentang masalah penyelenggaraan jaminan sosial
sebagaimana dijelaskan dalam huruf huruf b dan c dapat dikemukakan bahwa
penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia sebelumnya berisiko tinggi baik bagi
Pemerintah, Peserta dan Operator itu sendiri, karena dalam implementasi-nya dan
operasionalisasi-nya tidak disertakan SPS dan LPS untuk pengentasan kemiskinan
scara mendasar. Karena itu untuk implementasi SJSN per 1 Januari 2014 agar
tidak berisiko baik bagi Pemerintah, Peserta dan BPJS serta DJSN, maka
diperlukan implementasi SPS dan LPS baik secara bersamaan maupun secara
bertahap. Perlu diketahui, bahwa implementasi SJSN dan perlunya dukungan SPS
serta LPS pada dasarnya merupakan s paket yang salaing terkait.
2. Rekomendasi mengenai perlunya SPS untuk mengamankan operasionalisasi program
di masa datang SJSN sebagai berikut
22
a. BKPM sebaiknya melakukan kordinasikan kebijakan tentang investasi langsung
(PMDN) dan Investasi langsung asing (PMA) dengan memberikan insentif kepada
investor lokal dan invstor asing untuk membuka usaha baru agar terjadi
penyerapan pekerjaan.
b. Kementerian yang terkait dengan ketenga-kerjaan sebaiknya melakukan
kordinasikan kebijakan penciptaan lapangan pekerjaan dengan memberikan upah
layak dan perlunya memangkas biaya ekonomi tinggi agar menumbuhkan usahausaha
sekala kecil menengah semakin berkembang.
c. BPJS sebagai operator SJSN diharapkan meningkatkan perluasan kepesertaan
jaminan sosial secara menyeluruh guna memenuhi hak hak dasar tenaga-kerja /
masyarakat, karena manfaat jaminan sosial yang diberikan sebenarnya sebagai
pengganti penghasilan yang hilang karena sakit, kecelakaan, sementara tidak
bekerja dan atau mencapai usia pensiun.
d. Aktifkan peranan Bursa Tenaga Kerja yang berfungsi untuk menyalurkan TK
yang ter-PHK agar diperkerjakan kembali dan atau disalurkan ke tempat-tempat
pekerjaan untuk mempertahankan kepesertaan minimal tertentu.
e. Program-program bantuan sosial seperti bantuan lansung tunai, raskin, beasiswa /
bos dan pelaksanaan skema pemberdayaan dikelola dalam 1 pintu. Kemudian
bentuklah diklat latihan kerja untuk mempermudah proses pemberdayaan dengan
biaya operasional dari APBN / APBD.
REFERENSI TERBATAS
_____ Peraturan Pemerintah No 33/1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek)
_____ Peraturan Pemerintah No 34/1977 tentang Perum Astek
_____ Peraturan Pemerintah No 36/1995 tentang PT Jamsostek Persero
_____ Undang Undang No 3/1992 tentang Jamsostek
_____ UU No 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan
_____ Undang Undang No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
_____ Undang Undang No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Meadwos, Graham, (2009), Promoting Inclusive Economic Development: the
Importance of Administrative System, Strategic-paper presented at the
Conference on the Quality of Growth sponsored by GTZ in cooperation with the
Government of India on 15 September 2009 in New Delhi,
Purwoko, Bambang, (2009), Membangun Keamanan Ekonomi melalui SJSN, Makalah
disampaikan dalam Konferensi Internasional tentang Pertumbuhan yang insklusif
yang disponsori oleh GTZ di New Delhi, Oktober 2009
Purwoko, Bambang, (2011), Sistem Proteksi Sosial dalam dimensi Ekonomi, Penerbit
Oxford Graventa Indonesia-Jakarta, ISBN 978-979-1380-08-9
Purwoko, Bambang, (2011), Sistem Jaminan Sosial di Indonesia: Problem
Implementasi, makalah disampaikan dalam acara Panel Diskusi tentang
23
Pemenuhan Hak Hak Dasar Warga DKI Jakarta yang diselenggarakan oleh The
Indonesia Institute di Hotel Akmani di Jakarta tanggal 23 Juni 2011
Purwoko, Bambang, Haris Eko Santoso, Djoko Sungkono, (2012), Masalah
Penyelengggaraan Jaminan Sosial dan Keterkaitannya dengan Ledakan Penuaan
Usia Penduduk, laporan hasil Konferensi Internasional ke 17 tentang Aktuaria
Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh ISSA di Berlin tanggal 29 Mei-2 Juni
2012.
Wisnu, Dinna, (2012), Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam
Ekonomi Pasar, Penerbit Gramedia-Jakarta, ISBN 978-979-22-8333-4
Bp.28 Juni-2 Juli 2012
Daftar Riwayat Hidup Singkat
24
Prof. Dr. H. Bambang Purwoko, SE, MA
1. No Identitas
a. Email : [email protected]
b. Hp : 0812 100 5447
c. NIDN : 03-0101-5604
d. NPWP : 07.099.182.3-411.000
e. Status : Nikah dengan 1 istri dan 2 putra
2. Pendidikan Tinggi
a. Fakultas Ekonomika Universitas Nasional (1977-1983)
b. Departemen Perencanaan Ekonomi Universitas Antwerpen - Belgia (1984-1986)
c. Departemen Ekonomika Universitas Sydney Australia (1990-1994)
(b-c dibiayai dengan beasiswa dari ABOS Belgia dan Australia Aid program)
3. Pekerjaan sekarang
a. Ketua Program Studi S3 Ekonomika Universitas Pancasila (UP) sejak tahun 2009
b. Pengalaman sebagai Dosen sejak tahun 1988 hingga sekarang
c. Guru Besar Tetap FE-UP, MM-UP dan S3 Ek UP
d. Guru Besar Tamu untuk Mkes FKMUI, MPKP FEUI untuk jaminan sosial dan
ME-Usakti serta MM-UIJ
e. Anggota DJSN mewakili ahli jaminan sosial sejak tahun 2008
4. Pekerjaan sebelumnya
a. Direktur Jamsostek 1998-2003
b. Penasihat Direksi Jamsostek 2005-2011
c. Anggota Dewan Pengawas Dana Pensiun Karyawan Jamsostek (2005-2010)
d. Kolaborator ILO Jakarta tahun 2004
5. Penelitian jaminan sosial dan ketenaga-kerjaan telah dipublikasikan dalam
berbagai jurnal.
6. Publikasi dalam bentuk buku antara lain
a. Sistem proteksi sosial dalam dimensi ekonomi
b. Implementasi sistem jaminan sosial nasional suatu konsep universal
c. Jaminan sosial dan sistem penyelenggaraannya: gagasan dan pandangan
d. Towards a social security reform in Indonesia
Jakarta, 2 Juli 2012
25