implementasi kebijakan peraturan daerah...

47
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (STUDI PADA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN NATUNA TAHUN 2014) NASKAH PUBLIKASI Oleh : WELLY SUTOMO NIM : 110565201176 UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PRODI ILMU PEMERINTAHAN TANJUNG PINANG 2016

Upload: hatuyen

Post on 24-May-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

NATUNA NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN

TERUMBU KARANG

(STUDI PADA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN

NATUNA TAHUN 2014)

NASKAH PUBLIKASI

Oleh :

WELLY SUTOMO

NIM : 110565201176

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PRODI ILMU PEMERINTAHAN

TANJUNG PINANG

2016

i

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah

Kabupaten Natuna Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang

(Studi Pada Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Natuna Tahun 2014)”.

Pengambilan judul ini dilatarbelakangi karena Kabupaten Natuna merupakan

daerah yang di kelilingi laut yang mempunyai potensi besar sebagai penghasil

laut, oleh karena itu peneliti bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan

daerah yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Natuna dibidang kelautan dalam

pemeliharaan konservasi laut melalui 4 (empat) faktor, yaitu: Komunikasi, sumber

daya, disposisi dan struktur birokrasi.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Data

diperoleh melalui observasi, wawancara dan studi pustaka. Informan dalam

penelitian ini adalah aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna dan

masyarakat nelayan Kabupaten Natuna.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kabupaten Natuna sudah

menjalankan tugasnya sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, tetapi masih

menemukan kekurangan yang terlihat dari masalah yang terjadi serta dalam

pemeliharaan kawasan konsevasi laut di Kabupaten Natuna.

Dengan demikian kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah

bahwa implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pemeliharaan kawasan

konservasi laut di Kabupaten Natuna belum dapat di implementasikan dengan

maksimal. Saran yang dapat diberikan adalah pemerintah daerah sebaiknya

mengoptimalkan hasil yang ada dengan dibantu oleh masyarakat agar manfaat dan

tujuan dari implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pemeliharaan

konservasi laut bisa terlaksana sesuai dengan peraturan.

Kata Kunci: Implementasi, Pengelolaan Terumbu Karang.

ii

ABSTRACT

This study entitled "Policy Implementation Natuna District Regulation No.

1 Year 2007 on Coral Reef Management (Studies in the Department of Marine

and Fisheries Natuna regency of 2014)". Taking this title background for Natuna

Regency is an area surrounded by the sea which has great potential as a producer

of the sea, therefore the researchers aimed to determine local policy

implementation by the Government in the Natuna field of marine maintenance

marine conservation through four (4) factors, namely: communication, resources,

disposition and bureaucratic structure.

The method used is descriptive method. Source of data obtained through

observation, interviews, and literature. Informants in this study is the Marine and

Fisheries Agency officials Natuna regency and Natuna fishing communities.

The results of this study indicate that district Natuna already carry out their

duties in accordance with the policy of regional autonomy, but still found

deficiencies in sight of the problems that occur in the maintenance of marine

conservation area in Natuna Regency.

Thus the conclusion from this research is that the implementation local

government policy in the maintenance of marine conservation areas in Natuna

regency can not be implemented to the maximum. Advice can be given is that

local governments should optimize the results of existing assisted by the public to

the benefits and goals of the implementation local government policy in the

maintenance of marine conservation can be accomplished in accordance with the

regulations.

Keywords: Implementation, Coral Reef Management.

1

A. Latar Belakang

Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Dua pertiga dari luas wilayah Indonesia terdiri dari laut

sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis bagi bangsa dan negara

Indonesia. Laut juga memberikan kehidupan secara langsung bagi jutaan rakyat

Indonesia dan secara tidak langsung memberikan kehidupan bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Kabupaten Natuna adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Kepulauan

Riau yang memiliki posisi strategis sekaligus rawan terhadap ancaman baik yang

datang dari luar maupun dalam negeri sendiri. Kabupaten Natuna di bentuk

berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999 memiliki karakteristik yang khas dan kaya

dengan potensi perikanan kelautan. Kabupaten Natuna memiliki potensi sumber

daya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal

yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut, ekosistem mangrove,

lamun dan karang.

Batas wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang

diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan.

Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari

wilayah laut Daerah Propinsi atau sejauh empat mil laut yang diukur dari garis

pantai arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan.

Kebijakan Otonomi Daerah, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota

mempunyai kewenangan yang sangat luas untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakatnya dalam wilayah laut yang telah ditetapkan. Melalui

2

kebijakan Otonomi Daerah di wilayah laut dan kewenangan daerah di bidang

kelautan dalam menajaga kelestarian laut diharapkan dapat diwujudkan dan

ditingkatkan dengan memberikan, salah satunya yaitu dengan upaya menjaga

ekosistem pada laut. Kewenangan daerah di bidang kelautan adalah bagian

integral dari kewenangan daerah berdasarkan kebijakan Otonomi Daerah. Oleh

sebab itu dalam membahas kewenangan daerah dalam pengelolaan di bidang

kelautan tidak bias terlepas dari kewenangan daerah secara menyeluruh dalam

rangka Otonomi Daerah.

Kabupaten Natuna yang mempunyai luas wilayah ± 264.269,2 Km2

dengan luas daratan 2.001,30 Km2 dan laut 262.197,07 Km

2. Kabupaten ini

memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan

penyelenggaraan pemerintahan. Natuna dikelilingi laut dalam dan diujung utara

berbatasan langsung dengan perairan Vietnam, Kamboja, Malaysia dan Singapura.

Dengan posisi dikelilingi laut luas Natuna menjadi terpencil, serta minim fasilitas

sosial dan fasilitas umum.

Jika dilihat dari sisi kesiapan Pemerintah Daerah dalam mengelola

kewenangan bidang kelautan, kemampuan sebagian Daerah untuk mengelola

kewenangan bidang kelautan masih terbatas. Namun demikian hal ini jangan

sampai menutup kemungkinan bagi daerah yang sudah mampu untuk mengelola

kewenangan tersebut. Sedangkan bagi daerah yang belum mampu secara bertahap

dapat di berdayakan dan dikembangkan kemampuannya.

Laut memberikan andil yang cukup besar pada kehidupan masyarakat.

Seiring dengan berjalannya waktu timbulnya berbagai permasalahan di tengah

3

masyarakat seperti terjadinya eksploitasi secara besar-besaran, fungsi laut menjadi

semakin berkurang. Oleh sebab itu perlu diadakan pelestarian terhadap ekosistem

laut seperti melakukan konservasi. Kabupaten Natuna dalam pemeliharaan

wilayah konservasi lautnya ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Natuna

Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Natuna.

Peraturan Daerah Kabupaten Natuna Nomor 1 Tahun 2007, pasal 1, ayat 9

menyebutkan bahwa :

“Kawasan Konservasi Laut Daerah adalah bagian dari wilayah laut

kewenangan pemerintah daerah, termasuk tumbuhan dan hewan di

dalamnya, serta bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya yang

dilindungi secara hukum atau cara-cara lain yang efektif, baik sebagian

maupun seluruh lingkungan alamnya”.

Peraturan Daerah Kabupaten Natuna Nomor 1 Tahun 2007, pasal 17

menjelaskan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemeliharaan

Kawasan Konservasi Laut Daerah adalah sebagai berikut :

(1) Pemerintah Daerah menetapkan bagian-bagian laut tertentu sebagai

kawasan konservasi laut daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

(2) Penetapan kawasan konservasi laut daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) bertujuan untuk melestarikan fungsi-fungsi ekologis terumbu

karang dan/atau untuk melindungi kehidupan dilautan dan daratan.

(3) Rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah dilakukan setelah

melalui proses indentifikasi, penunjukan penetapan status dan

penzonasasian yang di tetapkan dengan peraturan Bupati.

(4) Proses identifikasi calon kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) didasarkan pada kriteria tertentu yang ditetapkan bersama instansi

terkait dibawah koordinasi organisasi pengelola terumbu karang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengelolaan kawasan

konservasi laut daerah diatur dengan Peraturan Bupati.

Kabupaten Natuna terpilih menjadi pilot project Kawasan Konservasi Laut

Daerah (KKLD). Kegiatan tersebut difasilitasi Departemen Kelautan dan

4

Perikanan melalui Dinas Kelautan dan Periakan (DKP) Kabupaten Natuna.

Melalui kegiatan Coral Reef Rehabilitation and Management (COREMAP),

sebagian kawasan perairan Kepulauan Natuna diperuntukan sebagai Kawasan

Konsevasi Laut Daerah (KKLD). Kawasan Konsevasi Laut Daerah di Kabupaten

Natuna ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Natuna Nomor 299 Tahun

2007, tanggal 5 September 2007. Kawasan Konservasi Laut Daerah ini secara

keseluruhan memiliki luas 142.977 Hektar, yang terbagi dalam 3 kawasan yaitu :

1. Kawasan I, meliputi kawasan Pulau Tiga - Sedanau dan laut di sekitarnya

diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan, seluas

57.572 Hektar,

2. Kawasan II, meliputi kawasan Bunguran Utara dan laut di sekitarnya

diprioritaskan untuk suaka perikanan, seluas 52.415 Hektar, dan

3. Kawasan III, meliputi kawasan pesisir Timur Bunguran dan laut di

sekitarnya diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pariwisata bahari,

seluas 35.990 Hektar.

Berdasarkan hasil penjajakan awal terdapat beberapa indikasi yang

menunjukkan belum optimalnya kebijakan kawasan konservasi laut di Kabupaten

Natuna dengan indikasi-indikasi sebagai berikut :

1. Masih banyaknya kegiatan-kegiatan masyarakat bahkan warga negara

asing yang melakukan praktik-praktik illegal fishing seperti pengeboman,

pembiusan sehingga merusak biota laut dan menimbulkan pencemaran di

wilayah KKLD. Pada tahun 2011-2014, dalam Rekap Tindak Pidana

Perikanan (TPP) tercatat 49 kasus kapal yang melakukan illegal fishing.

5

Kasus illegal fishing ini kerap terjadi di perairan Natuna yang di dominasi

oleh Negara-negara asing seperti Vietnam, Thailand, China, dan Malaysia.

Selanjutnya perbuatan masyarakat yang merusak sumber daya kelautan

dan perikanan seperti menangkap ikan dengan bom atau racun potassium.

Hal ini akan menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut dan terumbu

karang.

2. Terbatasnya jumlah dan kualitas SDM pelaksana yang bertugas di wilayah

KKLD. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam RENSTRA DKP

Kabupaten Natuna menyatakan bahwa sumber daya aparatur masih kurang

dan masih rendahnya kualitas sumberdaya aparatur. Jika dilihat dari aparat

pengawasan, anggota pada Pengawasan dan Perlindungan masih kurang

sudah termasuk tenaga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Kegiatan

pengawasan hanya dilakukan 5 kali dalam setahun. Melihat luas laut

natuna, maka di butuhkan aparat pada bagian pengawasan yang cukup

banyak agar seluruh wilayah laut natuna terawasi secara menyeluruh.

Lemahnya pengawasan sehinggga sering terjadi penyelewengan atau

pelanggaran-pekanggran yang merugikan pendapatan daerah dari sektor

kelautan dan perikanan. Serta rendahnya kesadaran Masyarakat untuk

berpartisipasi dalam usaha perlindungan dan pelestarian lingkungan

Sumberdaya Perairan.

3. Dukungan sarana pemeliharaan kurang optimal sehingga kawasan

konservasi laut daerah tidak berfungsi sebagaimana ketentuan yang telah

6

ditetapkan. Serta masih rendahnya tingkat pengembangan industri

perikanan yang lebih mendorong penciptaan lapangan kerja.

4. Belum otimalnya SOP khusunya pengembangan teknologi tepat guna

untuk mendukung program perikanan berkelanjutan.

Permasalahan di atas menurut hemat peneliti sangat penting untuk segera

dicari penyebab dan pemecahnya. Jika dibiarkan berlarut-larut maka akan terjadi

kerusakan pada laut di Kabupaten Natuna serta dapat mempengruhi terhadap

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Natuna. Dilihat dari beberapa kenyataan diatas,

peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian sejauh mana peran pemerintah

dalam mengelola ekosistem kelautan dan menjaga kelestarian laut di Kabupaten

Natuna dalam bentuk skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 1 TAHUN 2007

TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG” (STUDI PADA DINAS

KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN NATUNA TAHUN 2014).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti mengidentifikasikan

masalah yaitu, Bagaimana Implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Dalam

Pemeliharaan Kawasan Konservasi Laut di Kabupaten Natuna Tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi kebijakan pemerintah

daerah dalam pemeliharaan kawasan konservasi laut di Kabupaten Natuna

Tahun 2014.

7

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Pemerintahan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi Dinas

Kelautan dan Perikanan dalam melaksanakan kebijakan pemerintah daerah

mengenai kawasan konservasi laut daerah.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Variabel penelitian yang

digunakan adalah variabel tunggal (univariat) atau bisa disebut juga dengan

variabel mandiri. Karena metode penelitian yang digunakan adalah metode

penelitian deskriptif maka penulis memakai pendekatan kualitatif. Bog dan dan

Taylor dalam Moleong mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai “prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dilakukan adalah Kantor Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Natuna Kepulauan Riau di Jl. DKW. Mohd. Benteng,

Komplek Mesjid Agung Ranai.

8

3. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh lansung dari hasil wawancara yang

di peroleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam

memberikan informasi yang relevan dan sebenarnya di lapangan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah sebagai pendukung data primer dari literature dan

dokumen serta data yang di ambil dari permasalahan di lapangan yang

terdapat pada lokasi penelitian berupa bahan bacaan, bahan pustaka, dan

laporan-laporan penelitian, dokumen-dokumen resmi, dan pemberitaan di

media cetak dan elektronik.

4. Informan Penelitian

Untuk mengetahui data guna kepentingan penelitian ini, maka diperlukan

informan. Adapun informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1.

Informan penelitian

NO Informan Jumlah

1

2

3

4

5

6

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna

Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Natuna.

Kepala Bidang Produksi Sarana dan Prasarana Dinas

Kelautan dan Perikanan

Kepala Bidang Sumber Daya Dinas Kelautan dan Perkanan

Masyrakat Nelayan Kabupaten Natuna

1 orang

1 orang

1 orang

1 orang

1 orang

3 orang

9

5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara triangulasi, khususnya

triangulasi terhadap metode atau teknik pengumpulan data. Seperti di katakana

Sugiyono (2005) triangulasi diartikan juga sebagai teknik pengumpulan data yang

bersifat menggabungkan diri sebagai teknik pengumpulan data dan sumber data

yang telah ada. Dalam kaitannya dengan penelitian tesebut triangulasi tidak hanya

sekedar menggabungkan data-data melainkan juga sebagai suatu proses untuk

saling membandingkan dan memeriksa kembali (check and recheck) berbagai

sumber data yang diperoleh dengan cara berbeda itu. Adapun ketiga teknik

pengumpulan data di gabungkan itu adalah :

1. Observasi

2. Wawancara

3. Dokumentasi

Untuk mempermudah mengumpulkan data peneliti menggunakan alat

bantu berupa pedoman wawancara, buku catatan, flash disk, handphone yang

dilengkapi dengan camera dan recorder.

6. Teknik Analisis Data

Untuk menjawab permasalahan penelitian, maka analisis data dalam

penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu suatu analisis yang berusaha

mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, dan makna dari data yang di

nyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, tafsiran-tafsiran setelah menggali

data dari beberapa informan yang di tabulasikan dan di presentasikan sesuai

dengan hasil temuan (observasi) dan wawancara penulis dengan hasil informan,

10

hasil pengumpulan data tersebut di olah secara manual, di reduksi selanjutnya

hasil reduksi tersebut di kelompokkan dalam bentuk segmen tertentu (display

data) dan kemudian disajikan dalam bentuk content analisis dengan penjelasan-

penjelasan, selanjutnya diberi kesimpulan, sehingga dapat menjawab rumusan

masalah, menjelaskan dan terfokus pada representasi terhadap fenomena yang

hadir dalam penelitian.

Faisal (1999) menyatakan bahwa dalam pendekatan kualitatif analisis data

dilakukan melalui sirklus reduksi, sebagai berikut :

a. Reduksi

b. Sajian Data.

c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi

Pengumpulan data, reduksi data, sajian (display) data dan pengambilan

kesimpulan berlangsung secara interaktif yang menunjukan kesungguhan peneliti

untuk memahami atau mendapatkan pengertian yang mendalam, komprehensif

dan rinci mengenai masalah penelitian sehingga pada akhirnya dapat menghsilkan

kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif. Hasil anlisis ditampilkan dalam

bentuk tabel untuk data data sekunder dan dalam bentuk kutipan utuh wawancara

untuk data data primer hasil wawancara dengan para informan.

7. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dilakukan dengan memilih terlebih dahulu setiap informan

yang akan digunakan sebagai sumber informasi dengan menggunakan

pertimbangan kedalaman pengetahuan informan terhadap masalah sebagai

acuannya. Uji reliabilitas dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan yang

11

sama kepada seseorang informan namun dalam jangka waktu yang berbeda.

Konsistensi jawaban informan terhadap pertanyaan yang sama tersebut dijadikan

acuan bagi pengukuran reliabitas data. Selain itu penulis juga melakukan cross

check data maupun informasi untuk menjaga validitas dan reliabilitas data dangan

cara mengkonfrontir data dan informan satu dengan lainnya.

Crosscheck data dan informasi antara data dan informasi yang satu dengan

yang lain menggunakan teknik triangulasi. Adapun dari beberapa macam teknik

triangulasi, yaitu triangulasi data, triangulasi pengamat, triangulasi teori, dan

triangulasi metode. Maka pada penelitian ini yang akan digunakan adalah teknik

triangulasi metode. Triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan informasi

atau data dengan cara yang berbeda. Untuk memperoleh kebenaran data dan

informasi tertentu peneliti bisa menggunakan informan yang berbeda untuk

mengecek kebenaran informasi tersebut. Melalui berbagai perspektif atau

pandangan diharapkan diperoleh hasil yang mendekati kebenaran. Karena itu,

triangulasi metode dilakukan jika data atau informasi yang diperoleh diragukan

kebenarannya.

E. Konsep Teoritis

1. Implementasi Kebijakan

Secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai suatu

aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan

sarana (Alat) untuk memperoleh hasil. Apabila pengertian implementasi diatas

dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik

dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan

12

publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan pengguna sarana (alat) untuk

mencapai tujuan kebijakan.

Lester dan Stewart dalam Winarno (2005:101-102) Winarno, menjelaskan

bahwa implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam

pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor,

organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan

kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan”. Kemudian Edwards

III (1980:1) mengemukakan bahwa: “implementasi kebijakan adalah tahap

pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi dari

kebijakan untuk orang-orang yang mempengaruhi”.

Uraian diatas diperoleh suatu gambaran bahwa implementasi kebijakan

publik merupakan suatu proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah

kebijakan ditetapkan/disetujui. Kegiatan ini terletak antara perumusan kebijakan

dan evaluasi kebijakan.

Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino (2006:154) mendefinisikan

implementasi kebijakan sebagai :

“Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-

undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-

keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

Lazimnya, keputusan tgersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin

diatasi, menyebutkan secata tegas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai,

dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses

implementasinya”.

Definisi tersebut diatas, dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan

menyangkut (minimal) tiga hal, yaitu :

1. adanya tujuan atau sasaran kebijakan,

13

2. adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan, dan

3. adanya hasil kegiatan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi

kebijakan merupakan suatu proses dinamis, dimana pelaksana kebijakan

melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan

mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu

sendiri.

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart

dalam Winarno (2005:104) dimana menurut mereka, implementasi merupakan

suatu proses sekaligus suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi

kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir

(output), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan

implementasi kebijakan publik sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini

mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-

tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka

melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil

yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.

Pengertian diatas, maka dapat dinyatkan bahwa implementasi kebijakan

merupakan suatu proses tindakan yang menggunakan sarana-sarana dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk itu implementasi kebijakan berfungsi

14

sebagai penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran

kebijakan diwujudkan sebagai hasil akhir atau berfungsi sebagai penerus

kebijakan yang terdiri dari cara-cara tertentu yang dirancang secara khusus serta

diarahkan menuju tercapainya tujuan dan sasaran yang diinginkan.

Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses

kebijakan. Proses implementasi kebijakan merupakan bagian integral dari suatu

perumusan kebijakan atau public policy formulation. Berkaitan dengan

keberhasilan implementasi Edward III (subarsono 2008:90) ada empat variabel

dalam implementasi kebijakan yaitu, komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan

struktur birokrasi. Lebih lanjut dikemukakan Edward III keempat faktor tersebut

masing-masing saling mempengaruhi satu sama lain, juga secara langsung

mempengaruhi proses implementasi kebijakan.

1. Komunikasi (Communications)

komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang mempengaruhi

implementasi kebijakan. Para pelaksana kebijakan selayaknya mengetahui secara

tepat apa yang akan mereka kerjakan. Untuk itu, ada tiga hal penting yang

berkaitan dengan komunikasi efektif yakni: transmisi, konsistensi dan kejelasan

(clarity). Tidak sempurnanya aspek komunikasi akan menyebabkan para

pelaksana kebijakan tidak mengetahui apa yang harus disampaikan secara jelas,

akurat dan konsisten. Tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur

keberhasilan variabel komunikasi. Edward III dalam Agustino (2006:157-158)

mengemukakan tiga variabel tersebut yaitu:

1. Transmisi: Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi

kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan

15

suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat

dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak

selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana nampaknya. Dalam

kenyataannya selalu terdapat hambatan untuk mentransmisikan perintah

implementasi. Edward III dalam Winarno (2005:127) Terdapat beberapa

hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu:

a. Pertentangan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang

dikeluarkan oleh pengambil kebijakan

b. Informasi melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi

dapat terjadi karena panjangnya rantai informasi yang dapat

mengakibatkan bias informasi.

c. Persepsi yang selektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk

mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan.

2. Kejelasan: Seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada para

pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu

program dilaksanakan. Tidak jelas pesan komunikasi yang disampaikan,

akan mendorong terjadinya intepretasi yang salah bahkan mungkin

bertentangan dengan makna pesan awal. Edward III mengidentifikasikan

enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi

kebijakan yaitu:

a. Kompleksitas kebijakan publik;

b. Keinginan untuk tidak menggangu kelompok-kelompok masyarakat;

c. Kurangnya konsesus mengenai tujuan kebijakan;

d. Masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru;

e. Menghindari pertanggungjawaban kabijakan;

f. Sifat pembuatan kebijakan pengadilan.

3. Konsistensi: Faktor ketiga yang mempengaruhi komunikasi kebijakan

adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif,

maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Jika terjadi

ketidak konsistenan perintah-perintah akan mendorong para pelaksana

mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan

mengimplementasikan kebijakan.

2. Sumber daya (Resources)

Menurut Edward III dalam Agustino (2006:158-159), sumberdaya

merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-

indikator yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumberdaya mempengaruhi

implementasi kebijakan terdiri dari :

16

1. Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau

pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam

implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang

tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam

bidangnya.

2. Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua

bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara

melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari

para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah

ditetapkan.

3. Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar

perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan

otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan

yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan

para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat

menggagalkan implementasi kebijakan publik.

4. Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi

kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi,

kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana

dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Sikap Pelaksana (Dispotition)

Disposisi atau sikap pelaksana memiliki konsekuensi penting bagi

efektivitas implementasi kebijakan. Disposisi diartikan sebagai keinginan atau

17

kesepakatan dikalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan. Disposisi akan

menjelaskan kecendrungan pelaksana untuk bertindak, dimana kecenderungan

untuk bertindak ini dibentuk oleh lingkungan sosial, politik, ekonomi yang ada

dalam persepsi pelaksana yang selanjutnya akan membentuk sikap mendukung

atau menolak kebijakan yang akan di implementasikan.

Menurut Edward III dalam Wianrno (2005:142-143) mengemukakan

”kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu faktor yang

mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif”. Jika

para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya

dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang

besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal.

Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap

implementasi kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan

akan menghadapi kendala yang serius.

4. Struktur Birkrasi (Bureaucratic Structures)

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara

keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Menurut Edwards III dalam Winarno

(2005:150) terdapat dua karakteristik utama (indikator) dari birokrasi

yakni: ”Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”.

”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari

tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan

penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno,

2005:150).

Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk

menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta.

18

Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang

tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat

dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan

fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.

Edward III yang dirangkum oleh Winarno (2005:152) menjelaskan bahwa :

”SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan

baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru

untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar

kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam

suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat

implementasi”

Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP

juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur

perencanaan yang luss dan kontrol yang besar atas program yang bersifat fleksibel

mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-

birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini.

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan

kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan

bahwa ”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan

kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi”. Pada

umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan

kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari

banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang

merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Winarno (2005:153-154)

menyebutkan hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi

19

berhubungan dengan implementasi kebijakan publik adalah ”Pertama, tidak ada

otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya fungsi-

fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu,

masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang,

maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda

birokrasi yang menumpuk”. ”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang

mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai

fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha

mempertahankan esensinya dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakan-

kebijakan baru yang membutuhkan perubahan”.

F. Hasil Penelitian

Peraturan Daerah Kabupaten Natuna Nomor 1 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Terumbu Karang menyebutkan “Pengelolaan ekosistem terumbu

karang adalah upaya terpadu yang meliputi perumusan kebijakan penataan,

pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan

pengendalian pemanfaatan terumbu karang serta pelestarian Fungsi-Fungsi

alamiahnya”.

Kasus illegal fishing kerap terjadi di perairan Natuna yang di dominasi

oleh Negara-negara asing seperti Vietnam, Thailand, China, dan Malaysia.

Selanjutnya perbuatan masyarakat yang merusak sumber daya kelautan dan

perikanan seperti menangkap ikan dengan bom atau racun potassium dan. Hal ini

akan menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang. Laut memberikan

andil yang cukup besar pada kehidupan masyarakat. Seiring dengan berjalannya

20

waktu timbulnya berbagai permasalahan di tengah masyarakat seperti terjadinya

eksploitasi secara besar-besaran, Oleh sebab itu perlu diadakan pelestarian

terhadap ekosistem laut seperti melakukan konservasi.

Peraturan Daerah Kabupaten Natuna Nomor 1 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Terumbu Karang menyebutkan bahwa “Kawasan Konservasi Laut

Daerah adalah bagian dari wilayah laut kewenangan pemerintah daerah, termasuk

tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta bukti peninggalan sejarah dan sosial

budaya yang dilindungi secara hukum atau cara-cara lain yang efektif, baik

sebagian maupun seluruh lingkungan alamnya”. Dan Penetapan kawasan

konservasi laut daerah bertujuan untuk melestarikan fungsi-fungsi ekologis

terumbu karang dan untuk melindungi kehidupan dilautan dan didaratan.

Proses implementasi kebijakan merupakan hal yang paling penting dalam

hal kebijakan, keberhasilan dalam kebijakan akan terlihat dari implementasi di

lapangan dan dibenturkan dengan realitas masyarakat. Implementasi kebijkan

tahap yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang di

pandang dari tahapan yang bersifat teoritis. Edward III menjelaskan bahwa

keberhasilan dalam pelaksana kebijakan di pengaruhi oleh 4 (empat) faktor yang

mendukung yang meliputi: komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur

birokrasi.

Unit analisis dalam penlitian ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Natuna sebagai pelaksana dan bertanggung jawab terhadap proses

Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No 1 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

21

Terumbu Karang. dengan indikator-indikator yang diukur yaitu, komunikasi,

sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.

1. Komunikasi

Komunikasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward III merupakan

persyaratan pertama bagi terlaksananya implementasi kebijakan yang efektif. Para

pelaksana kebijakan selayaknya mengetahui secara tepat apa yang mereka

kerjakan. Untuk itu, ada tiga hal penting yang berkaitan dengan komunikasi

efektif yakni: transmisi, konsistensi dan kejelasan. Tidak sempurnanya aspek

komunikasi akan menyebabkan para pelaksana kebijakan tidak mengetahui apa

yang disampaikan secara jelas dan konsisten. Selain itu, tidak sempurnanya

komunikasi akan mengakibatkan para pelaksana kebijakan menafsirkan kebijakan

sesuai dengan persepsi sendiri. Hal lainnya menyangkut dengan konsistensi.

Keputusan yang bertentangan akan membingungkan dan menghalangi para

pelaksana serta menghambat kemampuan mereka untuk melaksanakan kebijakan

secara efektif. Indikator yang digunakan untuk untuk mengukur komunikasi

adalah :

1. Tranmisi

Proses menyebarluaskan kebijakan pemerintah daerah dalam pemeliharaan

kawasan konservasi laut daerah Kabupaten Natuna disampaikan oleh Kepala

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna, sebagai berikut :

“Adanya peraturan daerah no 1 tahun 2007 tentang pengelolaan terumbu

karang, diawali dengan program coremap. dari kegiatan Coremap adanya perda

tersebut. kalau mengenai pemeliharaan konservasi laut dimulai sejak

perencanaan ditetapkannya kebijakan tersebut yang ditindak lanjuti dengan

sosialisasi kebijakan kepada para pelaksana kebijakan, stakeholders hingga

kemasyarakat. Pemerintah Kabupaten Natuna menghimbaukan dengan adanya

22

kebijakan tersebut diharapkan memberikan hasil yang terbaik kepada

masyarakat khususnya pada potensi dibidang perikanan dan pentinya menjaga

terumbu karang itu. (wawancara, 29 juni 2016).

Selanjutnya tidak jauh berbeda apa yang di ucapkan oleh Sekretaris Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna yang mengemukakan bahwa:

“Kita pada tahun 2008 sudah membuat KKLD, yang terdiri dari 3 kawasan.

Kawasan 1 di pulau tiga dan laut sekitarnya untuk Kawasan perikanan

berkelanjutan dan kawasan II dari kelarik samapi telok buton untuk suaka

perikanan. Kawasan III untuk wisata bahari. Itu kita sudah menetap KKLD. Jadi

setiap di daerah itu namanya kawasan coremap, setiap daerah tersebut itu kalau

ada kegiatan-kegiatan coremap ada tenaga pendamping, jadi tenaga pendaping

itulah yang mensosialisasikan kepada masyarakat dan di fasilitasi yang kita

tetapkan di setiap wilayah coremap. Apalagi di daerah kawasan yang ada di

kawasan konservasi tersebut. Mereka sacara tidak langsung yang berkomunikasi

dan pendampingi, dari dinas juga turun dan memberikan hal yang sama. Lewat

program coremap itu lah kita mencoba untuk mengakomodir masalah konservasi

tersebut. Dalam hal ini dari masyarakat juga dilibatkan”. (wawancara, 08 juni

2016).

Pernyataan Kepala Dinas dan Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan

dapat digambarkan bahwa dalam menyebarluaskan kebijakan melalui sosialisasi

kebijakan kepada para pelaksana kebijakan, stakeholders hingga kemasyarakat.

Lewat progaram coremap yang disertai dengan tenaga pendamping yang

mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai kebijakan pemerintah daerah

dalam pemeliharaan kawasan konservasi laut daerah.

Komunikasi berlangsung melalui berbagai tahap dan jenis saluran untuk

mentransmisikan kebijakan melalui hirarki organisasi yang berkaitan dalam

rangka pelaksanaan kebijakan. Pada konsteks komunikasi dengan masyarakat,

minimnya waktu dan jarak jangkauan antar pulau cukup jauh sehingga untuk

mensosialisasikan kebijakan menjadi kendala yang menyebabkan terdapatnya lack

information sehingga masyarakat kurang mengetahui isi dan kebenaran informasi

kebijakan yang pada akhirnya menimbulkan opini negatif tentang isi kebijakan

23

maupun pelaksanaannya. Seperti halnya dikemukakan salah seorang informan

berikut:

“Kalau kita ini yang masayarakat disini sudah tau mengenai kawasan

konservasi itu karena kemaren sudah ada himbauwannya, papan

himbauawannya pun juga ada. Tapi kalau untuk masyarakat yang lebih

luas, kebanyakan tidak cukup mengetahui kebijakan dari pemerintah itu

informasi yang diperoleh masih terbatas, cuma pada kalangan tertentu

dan sampai ke masyarakat tidak dalam bentuk yang tidak utuh lagi. Itulah

msayarakat cenderung kuranglah memahami arti kebijakan itu. Daerah

kita ini kan banyak pulau-pulau, dan masih banyak masayarakat kita ini

yang mengambil ikan dengan cara bius dan bom”. (wawancara, 04 Juli

2016).

Pernyataan diatas dapat dikemukakan bahwa kebanyakan dari masyarakat

yang berada di wilayah KKLD sudah mengetahui namun pada masyarakat yang

lebih luas kebnyakan masyarakat tidak cukup mengetahui tentang kebijakan dan

pemeliharaan konservasi laut itu disebabkan keterbatasan informasi dan

pemahaman oleh masyarakat mengenai kebijakan tersebut. Hambatan dan distorsi

komunikasi tersebut hendaknya dapat dikurangi kadarnya, karena semakin banyak

yang harus dijangkau dengan komunikasi maka akan semakin besar kemungkinan

kehilangan makna yang dimaksudkan oleh kebijakan. Begitu pula semakin banyak

lapisan birokrasi yang harus dilewati, maka semakin besar peluang bagi diabaikan

dan terdistorsinya makna kebijakan. Untuk itu, semakin baik dikembangkan

saluran-saluran komunikasi untuk meneruskan perintah-perintah implementasi,

akan memberikan akses positif terhadap tingkat probabilitas perintah-perintah

kebijakan untuk diterukan dengan benar.

2. Kejelasan dan Konsistensi

24

Kejelasan dan kosistensi merupakan faktor yang mempengaruhi

komunikasi kebijakan. Berkenaan dengan hal tersebut, berikut yang disampaikan

oleh kepala Dinas Kelautan dan Perikanan mengenai kejelasan dan konsisten

komunikasi kebijakan yakni :

“... kalau mengenai pemeliharaan konservasi laut dimulai sejak perencanaan

ditetapkannya kebijakan tersebut yang ditindak lanjuti dengan sosialisasi

kebijakan kepada para pelaksana kebijakan, stakeholders hingga kemasyarakat.

Pemerintah Kabupaten Natuna menghimbaukan dengan adanya kebijakan

tersebut diharapkan memberikan hasil yang terbaik kepada masyarakat

khususnya pada potensi dibidang perikanan dan pentinya menjaga terumbu

karang itu”. (wawancara, 29 juni 2016).

Selanjutnya dikemukan oleh sekretaris dinas kelautan dan perikanan

kabupaten natuna yang menyebutkan bahwa :

“Kebijakan itu sudah jelas, saya pikir adanya perda terumbu karang itu

sudah jelas, itukan struktur kita bahwa kegiatan-kegiatan sosial, merusak

lingkungan itu sangat dilarangkan untuk itu kita terapkan dengan perda.

Namun bagaimana mengimplementasi di lokasi itukan tidak menjamin

berhasil 100% menimal kita menimalisir, adanya kegiatan-kegiatan

tersebut pasti ada kita tidak akan tutup mata”. (wawancara, 08 juni 2016).

Berdasarkan dari pernyataan Kepala Dinas dan Sekretaris Dinas Kelautan

dan Perikanan Kabupaten Natuna mengenai kebijakan itu sudah sangat jelas

dengan adanya peraturan daerah tentang pengelolaan terumbu karang namun

mengimplementasikan di lokasi tidak menjamin berhasil sepenuhnya.

2. Sumber Daya

Sumber Daya dalam implementasikan kebijakan menduduki posisi yang

tidak kalah pentingnya. Ketiadaan sumber daya atau kurang optimalnya potensi

sumberdaya akan berakibat ketidak efektif penerapan kebijakan. Sumber-sumber

yang penting meliputi sumber daya manusia yang memadai serta keahlian-

keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas mereka dan wewenang serta

fasilitas-fasilitas yang diperlukan.

25

Sumber daya manusia pelaksana pengelolaan potensi perikanan dan

kelautan di Kabupaten Natuna, dipenuhi oleh berbagai unsur yang mencerminkan

struktur kewenangan dimulai dari struktur tertinggi pada Dinas Perikanan dan

Kelautan di Kabupaten Natuna sehingga kelompok jabatan fungsional yang

bertugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai kewenangan yang

dimilikinya. Aparat pada Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Natuna

terdiri dari 57 orang, dengan perincian sebagai berikut :

Tabel 4.

Tinkat Pendidikan dan Jumlah Pegawai Pada Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Natuna

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Sarjana S2 4 orang

2 Sarjan S1 23 orang

3 Diploma IV 4 orang

4 Diploma III 2 orang

5 SPP-SUPM 6 orang

6 SLTA 17 orang

7 SLTP 1 orang

JUMLAH 57 orang

(Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna)

Dilihat dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa jenjang S1 merupakan

jenjang pendidikan yang mayoritas di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Natuna. Hal tersebut sudah dirasa cukup, karena penempatan pegawai selama ini

sudah sesuai dengan kebutuhan yang berdasarkan pada jenjang pendidikan dan

kepangkatan untuk menduduki jabatan eselon II, III dan IV. Selain itu, Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten terus melakukan upaya dalam meningkatkan

kualitas manusia pelaksana dengan cara mengirimkan pegawai-pegawainya untuk

melaksanakan diklat-diklat serta bimbingan teknologi yang berkenaan dengan

teknis kelautan dan perikanan baik yang di laksanakan di dalam daerah, provinsi

26

maupun yang diselenggarakan di Jakarta atau yang di laksanakan oleh Kementrian

Kelautan dan Perikanan. Bimbingan teknologi ini merupakan keberlanjutan dari

Program COREMAP, yang diberi nama Coral Reef Information and Training

Centre (CRITC). Keberhasilan Program COREMAP, salah satunya tergantung

kepada keberhasilan CRITC. Sedangkan keberhasilan dari CRITC sendiri sangat

di tentukan oleh kualitas dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat di

dalamnya. Untuk itu peningkatan kualitas SDM CRITC seiring tingkat kebutuhan

CRITC sangatlah penting.

Salah satu tugas dan fungsi dari CRITC adalah membrikan pelayanan

kepada publik berupa informasi mengenai terumbu karang Indonesia, dimana

informasi ini akan menjadi referensi bagi peneliti, pemerintah maupun swasta.

Sehingga pemanfaatan terumbu karang tidak menyimpang dari kebijakan nasional

yaitu pemanfaatan sumber daya terumbu karang secara lestari. Pemanfaatan

terumbu karang merupakan suatu kegiatan dalam mewujudkan implementasi

kebijakan dalam pengelolaan potensi di bidang kelautan, karena pelaksanaan

pemanfaatan terumbu karang tersebut di lakukan oleh pemerintahan daerah.

Selain CRITC Nasional yang berada di Jakarta, CRITC dibentuk juga di

beberapa daerah di Indonesia. Dengan bantuan dari Asia Development Bank

(ADB) CRITC Daerah telah dibentuk di beberapa kabupaten diantaranya adalah

Kabupaten Mentawai, Nias dan Tapanuli Tengah, Kabupaten Natuna, Batam dan

Bintan.

Penguasaan ilmu dan Teknologi khususnya teknologi dibidang sistem

informasi oleh SDM CRITC Daerah sangat penting. Beberapa program sistem

27

informasi yang harus dikuasai oleh CRITC Daerah diantaranya adalah WEB,

Database dan GIS. Selain itu CRITC Daerah harus juga menguasai cara perbaikan

dan perawatan komputer karena komputer sebagai wahana dari sistem informasi

tersebut.

Tujuan dari program ini sendiri adalah untuk meningkatkan kemampuan

sumber daya manusia di tiap CRITC Daerah dalam penguasaan tingkat lanjut

teknologi sistem informasi yaitu GIS, WEB, Database dan Sistem Administrator.

Adanya sumber daya manusia di CRITC Daerah yang menguasai teknologi sistem

informasi lanjutan yaitu bidang :

1. GIS, akan ada SDM yang dapat menggunakan perangkat lunak ArcView

beserta Extension-nya untuk tingkat lanjut/mahir. Dimana pengembangan

selanjutnya dilakukan pada saat mengerjakan tugas pokok tim GIS

(learning by practicing).

2. WEB, SDM Daerah bisa memanfaatkan jaringan komputer untuk berbagai

sumberdaya, mengoperasikan program browser dan email dan memahami

teknologi internet dan intranet.

3. DATABASE, tercapainya SDM CRITC Daerah yang dapat membangun

sebuah sistem database dan mengelola data-data hasil penelitian maupun

data-data sekunder lainnya dengan menggunakan Microsoft SQL dan PHP.

4. Sistem administrator, tersedianya SDM yang mampu mengoperasikan

komputer dan merawatnya serta dapat mengatasi masalah-masalah yang

terjadi pada komputer tersebut.

28

Penguasaan dari keempat program sistem informasi tersebut dapat

membantu kelancaran proses implementasi otonomi daerah dibidang kelautan,

karena dengan dikuasainya keempat program sistem informasi tersebut keempat

program sistem informasi tersebut maka pemanfaatan terumbu karang tidak akan

menyimpang dari kebijakan yaitu pemanfaatan sumber daya terumbu karang

secara lestari.

Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Natuna berupaya untuk meningkatkan kualitas para pegawainya agar

kualitas pekerjaannya dalam pengelolaan laut di Kabupaten Natuna akan semakin

baik. Tidak hanya itu upaya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna

juga mendatangkan narasumber dari jakarta untuk memberikan pelatihan,

pendidikan, dan bimbingan pada aparat pada Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Natuna. Tindakan ini dirasa lebih efektif dari pada mengirim diklat-

diklat. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kualitas para aparat Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna, maka diklat-diklat dan bimbingan

teknologi yang dilakukan perlu diadakan secara rutin.

Jadi dapat dikatakan bahwa manusia pelaksana, yaitu aparat Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna, masih kurang dalam segi jumlah dan

pada seksi pengawasan. Kekurangan itulah yang menjadi penyebab tidak

terawasinya seluruh laut di Natuna yang memang begitu luas dan besar yaitu

264.269,2 Km2, dan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan asing

dan nelayan lokal diantaranya adalah kasus illegal fishing, di perairan laut Natuna

di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Selain itu adanya kapal ikan asing

29

yang ditangkap karena memasuki wilayah laut perairan Indonesia tanpa ijin resmi.

Oleh karena itu, maka aparat pada seksi pengawasan harus diperbanyak minimal

sesuai dengan jumlah kecamatan yang ada, karena pelanggaran-pelanggaran yang

terjadi sangat merugikan bagi pendapatan daerah dari sektor kelautan dan

perikanan.

Dari segi kualitas, aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna

dapat dikatakan masih kurang pada aparat pengawas, seperti yang dituturkan oleh

Kepala Sub Bagian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP) :

“Jadi kita mengadakan oprasional itu kalau mengandalkan dari tenaga

sumberdaya perikanan kita ada satu khusus, kita ada satu PNS, terus ada

beberapa sudah pindah pak buyung dan pak rizal efendi. Ketika

oprasianal itu kita melibatkan angkatan laut, nanti mereka mengirim

personil mereka, Kemudian pokmaswas, tergantung anggaran kalau mau

bawa banyak pihak, kasitas kapal kecil kadang-kadang kita pakai kapal

masyarakat untuk mengadakan pengawasan. ... Kalau sumberdaya kita

memang masih kurang apalagi berkaitan dengan laut dan berhadapan

dengan pengawasan masih kurang. Inipun tenaga penyuluh pengawasan

baru direkrut kemaren, merekanya mungkin membantu kerja-kerja

administrasi kita dikantor saja masih terbatas”. (wawancara, 08 juni 2016).

Pada konteks sumber daya manusia, berdasarkan apa yang dituturkan oleh

Kepala Sub Bagian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dan temuan dalam

penelitian diketahui bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan

salah satu hambatan bagi pelaksanaan kebijakan yang berimplikasi pada kinerja

yang dihasilkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna. Setiap

organisasi publik dalam melaksanakan kegiatannya ingin selalu berjalan seperti

yang diharapkan tanpa terhambat oleh suatu hal yang dapat menggangu

kelancaran kegiatan tersebut, tetapi ada kalanya hambatan-hambatan itu datang

pada saat kegiatan tersebut di laksanakan.

30

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Natuna menyatakan bahwa :

“... Kalau penghamabat saya pikir itu dari internal kita, masalah

pengawasan. Sulit melakukan pengawasan daerah-daerah yang sangat

rawan, karena aktivitas-aktivitas illegal itukan masih ada dan armada,

SDM juga yang jadi masalah kemudian kesadaran terutama kesadaran

pada masyarakat pada saat didampingi mereka masih bisa. Ketika

ditinggal program ikut ilang juga, intinya dari kesadaran ... Karena kita

juga berbentur masalah pengawasan yang sulit karena laut yang luas,

terbatas SDMnya armadanya untuk melakukan pengawasan. namun kita

bisa lokasi-lokasi yang kita tetapkan itu untuk menimal kita bisa

menimalisir. Perda ini berlaku bukan untuk kawasan coremap tapi berlaku

untuk semua nya karena ini perda ada dasar Undang-undangya.

(wawancara, 08 juni 2016).

Anggota pada Seksi Pengawasan dan Perlindungan hanya ada 4 (empat)

orang, melihat luas Laut Natuna, dibutuhkan aparat pada bagian pengawasan yang

cukup banyak agar seluruh wilayah Laut Natuna dapat terawasi secara

menyeluruh. Berkaitan dengan jumlah aparat pada Seksi Pengawasan dan

Perlindungan tersebut, minimnya jumlah di Seksi Pengawasan diatasi dengan cara

membentuk kelompok masyarakat pengawas setiap kecamatan yang ada di

Kabupaten Natuna. Dengan demikian, masyarakat pesisir dilibatkan secara

langsung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna dengan membentuk

kelompok-kelompok masyarakat pengawas, karena wilayah Natuna yang begitu

luas mengakibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna sulit untuk

melakukan pengawasan, yang mengakibatkan banyak terjadi pelanggaran yang

dilakukan baik oleh nelayan asing maupun lokal. Oleh karena itu, kesadaran dari

masyarakat itu sendiri sangat penting untuk membantu mengawasi laut diwilayah

Natuna.

31

3. Disposisi

Disposisi atau sikap pelaksana merupakan faktor ketiga yang memiliki

konsekuensi penting bagi efektivitas implementasi kebijakan. Disposisi di artikan

sebagai keinginan atau kesepakatan di kalangan pelaksana untuk menerapkan

kebijakan. Disposisi akan menjelaskan kecendrungan pelaksana untuk bertindak,

dimana kecendrungan untuk bertindak ini dibentuk oleh lingkungan sosial, politik,

ekonomi yang ada dalam persepsi pelaksana yang selanjutnya akan membentuk

sikap mendukung atau menolak kebijakan yang akan di implementasikan.

Sikap pelaksana merupakan perwujudan dari keinginan atau kesepakatan

di kalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan. Pentingnya disposisi dalam

implementasi kebijakan sebagaimana di kemukakan oleh Edward III dalam

Wianrno (2005:142-143) mengemukakan ”kecenderungan-kecenderungan atau

disposisi merupakan salah-satu faktor yang mempunyai konsekuensi penting bagi

implementasi kebijakan yang efektif”. Jika para pelaksana mempunyai

kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan terhadap implementasi

kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan

terlaksana sesuai dengan keputusan awal.

Sikap pelaksana dalam implementasi kebijakan merupakan salah satu

masalah utama yang di hadapi oleh organisasi pemerintahan. Konsisi lingkungan,

sosial maupun ekonomi dan politik beserta perubahan-perubahannya akan

mewarnai kecenderungan sikap para pelaksana dalam mengekspresikan

32

dukungannya terhadap kebijakan. Sikap pelaksana dituturkan oleh Kepala Sub

Bagian Tata Usaha Kelautan dan Perikanan mengemukakan bahwa :

“pada umumnya sikap kita para pelaksana sangat mendukung terhadap

program yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Natuna untuk

pemeliharaan laut khususnya pada terumbu karang dan sangat memahami

arti pentingnya program tersebut tersebut bagi kemajuan bidang

perikanan dan kelautan di Kabupaten Natuna”. (wawancara, 06 juni 2016).

Selanjutnya kesadaran pada sikap pelaksana yaitu pegawai Dinas Kelautan

dan Perikanan, seperti apa yang dituturkan oleh Sub Bagian Tata Usaha

mengemukakan bahwa :

“Dalam kehidupan sehari-hari secara teknis yang pertama, kitakan lebih

mengetahui dari pada orang awam. Secara umum kita bisa memberi

pengetahuan tentang terumbu karang, maksudnya harus dijaga, tidak

boleh menggunakan penangkapan yang dilarang, hal ini biasanya dari

nelayan yang pemanfaatan budi daya ikan yang mengambil ikan secara

illegal. Dari pegawai kita sudah tau, karena peraturan inikan sudah lama

jadi sudah tau. Kalau untuk di implementasikan kelapangan secara

pribadipun sudah paham. Terkadang ketika diluar atau dalam kehidupan

sehari-hari hanya terbatas dalam memberitahu saja”. (wawancara, 06 juni

2016).

Kedisiplinan pada pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan, seperti apa

yang dituturkan oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Natuna adalah sebagai berikut:

“Perilaku aparat di DKP sampai saat ini dapat dikatakan baik, untuk mengukur

kedisiplinan kita masih menggunakan absen secara manual setiap hari dibawah

sekretariat. Disiplin itukan bisa berupa kehadiran, atribut, baik tingkah laku,

untuk memantau kehadiran masih menggunakan absensi manual. Dengan alat

ukur tersebut pihak atasan bisa membantu kinerja bawahannya. Kalau

pelenggran maksudnya Yang absensi seperti sering tidak masuk, telat apel,

sanksinya yaitu ada potongan tunjangan atau gaji“. (wawancara, 06 juni 2016).

Petikan diatas dapat disimpulkan bahwa aparat Dinas Kelautan dan

Perikanan di Kabupaten Natuna mempunyai perilaku yang baik, alat yang dipakai

untuk memantau dan mengukur kedisiplinan adalah daftar absensi, yang berisi

33

uraian pekerjaan dari masuk hingga pulang kerja. Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Natuna menilai bahwa daftar absensi sangat diperlukan untuk

memantau kinerja dan kedisiplinan tiap-tiap aparat Dinas tersebut.

Berdasarkan temuan penelitian mengindikasikan bahwa disposisi sangat

menentukan terhadap perwujudan kinerja pegawai pada instansi yang terkait.

Kesulitan untuk memberikan insentif material yang memadai merupakan

fonomena yang di jumpai di lapangan. Seperti yang dikatakan oleh kepala sub

bagian Tata usaha bahwa :

“Keterbatasan dana untuk melaksanakan kebijakan adalah salah satu

penyebab sulitnya diberikan insentif materi kepada kita sebagai pelaksana

kebijakan. Insentif lainnya berupa pendidikan dan pelatihan, program-

program yang berkaitan dengan peningkatan keahlian dan mutu

personalia sudah dilakukan dan di ikuti oleh unsur kita sebagai pelaksana

kebijakan itu”. (wawancara, 06 juni 2016).

Memakai penerapan konsep disposisi sebagai pendekatan implementasi

kebijakan sebagaimana telah di kemukakan oleh informan di atas, secara empirik

memang telah di lakukan namun kiranya masih banyak yang perlu di

sempurnakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna, khusunya

kesediaan SDM yang memadai sesuai kebutuhan program-program dalam

pelaksanaan kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

Struktur Birokrasi merupakan dimensi terakhir yang mempunyai dampak

terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa penerapan kebijakan itu tidak

akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi tersebut. Birokrasi

merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan

34

manjadi pelaksana kebijakan. Prosedur pengoperasian standar atau sering di sebut

sebagai Standart Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi merupakan ukuran

yang dapat digunakan untuk menilai efektivitas suatu kebijakan. Dengan

menggunakan SOP, sebagaimana di kemukakan oleh Edward III (1980:17), para

pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia dan menjamin keseragaman

tindakan-tindakan dari para pejabat yang pada gilirannya dapat menimbulkan

fleksibilitas dan kesamaan dalam menerapkan peraturan-peraturan. Dengan

adanya SOP dapat menyederhanakan proses pembuatan keputusan-keputusan dan

menyesuaikan tanggungjawab program dengan sumber-sumber yang ada serta

keseragaman tindakan dari para pelaksana sehingga memungkinkan untuk

beradabtasi atau menyesuaikan dengan tuntutan perubahan dalam pelayanan

publik.

Mengenai SOP dalam implementasi kebijakan dalam pemeliharaan

konservasi laut, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna bahwa

“Prosedur dari pelaksanaan kajian implementasi kebijakan dalam pemeliharaan

konservasi laut telah diupayakan sedemikian rupa sehingga petunjuk pelaksanaan

program-program dapat dilaksanakan serta keseragaman tindakan. tindakan-

tindakan apa yang harus dilakukan tetap melalui prosedur”.

Kejelasan prosedur operasional standar akan memudahkan bagi aparat

untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Masing-masing pihak yang terkait

mengetahui tugas dan tanggung jawab sesuai perosedur yang berlaku. Jelasnya

tugas dan tanggungjawab akan mengeliminir timbulnya fragmentasi birokrasi

yang menghambat koordinasi dengan badan-badan yang melaksanakan program

35

yang berhubungan. Dengan demikian dapat di kurangi hal-hal negatif yang

memboroskan sumber-sumber, menimbulkan tindakan yang tidak di inginkan dan

akibat lebih jauh pada tidak sesuainya kebijakan dengan tujuan semula maupun

batas-batas organisasi.

Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab untuk sebuah bidang

kebijakan di antara unit-unti organisasional. Konsekuensi yang paling buruk dari

fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Dengan alasan

prioritas, para pejabat sering kali mempertahankan fungsi mereka masing-masing

dan menentang usaha yang memungkinkan mereka mengkoordinasikan kebijakan

dengan badan yang melaksanakan program-program yang berhubungan.

Perbedaan ini akan berpengaruh kepada implementasi kebijakan dalam beberapa

hal, yakni terhalangnya perubahan dalam kebijakan, memboroskan sumber-

sumber, menimbulkan tindakan yang tidak di inginkan, menghalangi kondisi,

membingungkan pejabat di tingkat rendah yang berakibat lebih jauh pada tidak

sesuainya kebijakan dengan tujuan semula maupun batas-batas organisasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kejelasan pembagian tugas yang

tercermin dari rancangan pekerjaan, kejelasan wewenang dan tanggung jawab,

pengembangan karier serta kejelasan koordinasi merupakan indikator-indikator

yang dapat dijadikan ukurannya. Pembagian tanggung jawab pada Dinas Kelautan

dan Prikanan Kabupaten Natuna berdasarkan Tugas pokok dan Fungsi.

G. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulakan bahwa Implementasi

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pemiliharaan Kawasan Konservasi Laut di

36

Kabupaten Natuna tahun 2014 belum maksimal. Hal tersebut disebabkan dari

beberapa indikator.

1. Komunikasi

a. Tranmisi

Pada tranmisi, ditemukan berdasarkan penelitian adalah :

1. Proses menyebarluaskan kebijakan melalui sosialisasi kebijakan kepada

para pelaksana kebijakan, stakeholders hingga kemasyarakat. Lewat

progaram coremap yang disertai dengan tenaga pendamping yang

mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai kebijakan pemerintah

daerah dalam pemeliharaan kawasan konservasi laut daerah.

2. Kendala yang dihadapi oleh pemerintah Kabupaten Natuna pada

umumnya Dinas Kelautan dan Perikanan dalam melaksanakan kegiatan

konservasi laut adalah minimnya waktu dan keterbatasan pembeitahuan

informasi kebijakan dalam pemeliharaan konservasi laut sehingga hal ini

tidak sesuai apa yang diharapkan oleh masyarakat dan menimbulkan

ketidak jelasan tentang informasi kebijakan yang di peroleh masyarakat.

3. Kebanyakan dari masyarakat yang lebih luas tidak cukup mengetahui

secara jelas dan kurangnya pemahaman dari masayrakat sehingga

masyarakat tidak cukup mengetahui kebijakan dalam pemeliharaan

kawasan konservasi laut di Kabupaten Natuna.

b. Kejelasan dan kosistensi Kebijakan

Bedasarkan hasil penelitian bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Natuna mengenai kebijakan itu sudah sangat jelas dan konsisten dengan

37

adanya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Terumbu Karang.

2. Sumber Daya

Pada sumber daya, ditemukan berdasarkan penelitian sebagai berikut :

1. Katersediaan personil dalam dalam pelaksanaan pemeliharaan konservasi

laut di Kabupaten Natuna masih kurang dari segi jumlah. Aparat pada

Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Natuna terdiri dari 57 orang.

berkaitan dengan laut dan berhadapan dengan pengawasan masih kurang

Sehingga menyebabkan tidak terawasinya laut di Kabupaten Natuna dan

lebih mudah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan asing

maupun nelayan lokal.

2. Dalam meningkatkan kualitas manusia pelaksana dengan cara

mengirimkan pegawai-pegawainya untuk melaksanakan diklat-diklat serta

bimbingan teknologi yang berkenaan dengan teknis kelautan dan

perikanan baik yang di laksanakan di dalam daerah, provinsi maupun yang

diselenggarakan di Jakarta atau yang di laksanakan oleh Kementrian

Kelautan dan Perikanan.

3. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna juga mendatangkan

narasumber dari jakarta untuk memberikan pelatihan, pendidikan, dan

bimbingan pada aparat pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Natuna. Tindakan ini dirasa lebih efektif oleh Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Natuna.

38

4. sarana dan prasarana, meiliki armada untuk melakukan pemanfaatan untuk

wilayah konservasi laut, kemudian prastruktur sosial seperti dermaga, pos-

pos pengawas. Namun beberpa histori harus dibangun untuk mendukung

di kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut

Daerah (KKLD).

3. Disposisi

Pada disposisi ditemukan berdasarkan penelitian yaitu :

1. Sikap para pelaksana sangat mendukung terhadap program yang dilakukan

oleh pemerintah Kabupaten Natuna untuk pemeliharaan laut khususnya

pada terumbu karang dan sangat memahami arti pentingnya program

tersebut tersebut bagi kemajuan bidang perikanan dan kelautan di

Kabupaten Natuna.

2. Aparat Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Natuna mempunyai

perilaku yang baik, karena tidak ada yang memiliki catatan buruk dan

semua aparat selalu datang dan pulang pada tepat waktu. Alat yang dipakai

untuk memantau dan mengukur kedisiplinan adalah daftar absensi, yang

berisi uraian pekerjaan dari masuk hingga pulang kerja.

3. Kesulitan untuk memberikan insentif material. Hal ini harus ada upaya

dalam pemberian insentif yang lebih memadai serta meninkatkan

ketersediaan SDM yang lebih memadai. Keterbatasan dana untuk

melaksanakan kebijakan adalah salah satu penyebab sulitnya diberikan

insentif materi kepada para pelaksana kebijakan. Insentif lainnya berupa

pendidikan dan pelatihan, program-program yang berkaitan dengan

39

peningkatan keahlian dan mutu personalia sudah dilakukan dan di ikuti

oleh unsur pelaksana kebijakan.

4. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna menilai bahwa daftar

absensi sangat diperlukan untuk memantau kinerja dan kedisiplinan tiap-

tiap aparat Dinas tersebut. Kalau pelenggran maksudnya yang absensi

seperti sering tidak masuk, telat apel, sanksinya yaitu ada potongan

tunjangan atau gaji.

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara

keseluruhan manjadi pelaksana kebijakan. Prosedur pengoperasian standar atau

sering di sebut sebagai Standart Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi

merupakan ukuran yang dapat di gunakan untuk menilai. Dengan adanya Standart

Operating Procedures dapat menyederhanakan proses pembuatan keputusan-

keputusan dan menyesuaikan tanggung jawab program dengan sumber-sumber

yang ada serta keseragaman tindakan-tindakan dari para pelaksana sehingga

memungkinkan untuk beradabtasi atau menyesuaikan dengan tuntutan perubahan

dalam pelayanan publik. Struktur birokrasi, berdasarkan temuan penelitian

sebagai berikut :

1. Mengenai SOP, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna telah

diupayakan, sehingga petunjuk pelaksanaan program-program dapat

dilaksanakan serta keseragaman, tindakan-tindakan apa yang harus

dilakukan melalui prosedur.

40

2. Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab untuk sebuah bidang

kebijakan di antara unit-unti organisasional. kejelasan pembagian tugas

yang tercermin dari rancangan pekerjaan, kejelasan wewenang dan

tanggung jawab, pengembangan karier serta kejelasan koordinasi

merupakan indikator yang dapat dijadikan ukurannya. Pembagian

tanggung jawab pada Dinas Kelautan dan Prikanan Kabupaten sudah

berdasarkan Tugas, Fungsi, dan Uraian Kerja Perangkat Daerah Pemeritah

Kabupaten Natuna.

Ke-empat indokator diatas dapat disimpulkan bahwa indikator yang

dominan menyebabkan belum maksimalnya implementasi kebijakan pemerintah

daerah dalam pemeliharaan kawasan konservasi laut di kabupaten natuna tahun

2014 pada indikator komunikasi dan sumberdaya. Hal tersebut dikarenakan

sebagai berikut :

1. Komunikasi

Kendala yang dihadapi minimnya waktu dan keterbatasan pembeitahuan

informasi kebijakan dalam pemeliharaan konservasi laut, sehingga hal ini

tidak sesuai apa yang diharapkan oleh masyarakat dan menimbulkan

ketidak jelasan tentang informasi kebijakan yang di peroleh masyarakat.

Kebanyakan dari masyarakat yang lebih luas tidak cukup mengetahui

secara jelas dan kurangnya pemahaman dari masayrakat sehingga

masyarakat tidak cukup mengetahui kebijakan dalam pemeliharaan

kawasan konservasi laut di Kabupaten Natuna.

2. Sumberdaya

41

Sumberdaya dalam dalam pelaksanaan pemeliharaan konservasi laut di

Kabupaten Natuna masih kurang dari segi jumlah. Berkaitan dengan laut

dan berhadapan dengan pengawasan masih kurang Sehingga menyebabkan

tidak terawasinya laut di Kabupaten Natuna dan mudah terjadinya

pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan asing maupun nelayan lokal.

Minimnya jumlah Anggota pada Seksi Pengawasan dan Perlindungan

hanya ada 4 (empat) orang, melihat luas Laut Natuna, dibutuhkan aparat

pada bagian pengawasan yang cukup banyak agar seluruh wilayah Laut

Natuna dapat terawasi secara menyeluruh.

2. Saran

1. Saran Akademis

Untuk menambah kegunaan keilmuan, disarankan pada peneliti selanjutnya

agar dapat melakukan kajian lebih jauh berupa penelitian lanjutan dengan

menggunakan pendekatan koordinasi sehingga dapat memberikan sumbangan

pemikiran yang lebih kondusif bagi perkembangan kajian Ilmu Pemerintahan.

2. Saran Praktis

1. Melakukan sosialisasi tentang pemeliharaan wilayah konservasi laut

melalui berbagai media komunikasi baik kepada masyarakat umum

maupun stakeholders yang relevan.

2. Meningkatkan kualitas maupun kuantitas SDM pelaksana kebijakan

melalui rekrutmen yang berlandaskan pada keahlian sesuai kebutuhan

dalam pemeliharaan konservasi laut.

42

3. Sebaiknya Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Natuna lebih peka

menyusun kerangka kebijakan berupa petunjuk teknis dan pelaksanaan

sebagai penjabaran dari SOP yang masih bersifat abstrak.

4. Meningkatkan kerja sama antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah

dan masyarakat.

5. Memenuhi segala sarana dan prasarana dalam pemeliharaan wilayah

konservasi laut serta bekerja sama dengan stakeholder lainnya untuk

mendapat bantuan keuangan dalam kegiatan pemeliharaan wilayah

konservasi laut agar Kabupaten Natuna bisa mendapat PAD dari sektor

kelautan yang lebih besar.

43

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku :

. 2008. Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

.2011. Pedoman Teknik Penulisan Ususlan Penelitian dan Skripsi serta

Ujian Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu pemerintahan. Umrah

Agustiono, Leo. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung : UNPAD, AIPI

dan Puslit KP2W.

Hris Herdiansyah. 2010. Metode Penelitian Untuk Ilmu sosial. Jakarta : Salemba

Hamurila

Melong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung :

PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Barda Arif. 2007. Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum

pidana dalam penanggulangan kejahatan. Jakarta ; kencana.

Sondang P. Siagan. 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jokyakarta : Rineka

Cipta

Subarsono. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : CV. Alfabeta

Syafarudin.2008. Efektivitas kebijakan pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung : AIPI dan Puslit

KP2W.

Wahab, Solihin Abdul. 2008. Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi

Negara. Jakarta : Bumi Aksara.

Winarno, Budi. 2005. Kebijakan Publik, Teori dan Proses. Jogyakarta : BPFE.

B. Perundang-Undangan :

Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Natuna.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Perda Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten

Natuna.

44

Perda Nomor 14 Tahun 2005 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna.

Peraturan Bupati Natuna Nomor 42 Tahun 2012 Tentang Tugas, Fungsi dan Uraian

Tugas Satuan Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Natuna.

C. Jurnal :

Dewi Setyo Rini 2015. Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor

6 Tahun 2011 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman

Beralkohol. (Studi Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Tahun

2013). UMRAH

Ilham 2009. Kajian dampak Konservasi laut daerah terhadap kondisi ekologi

terumbu karang (studi kasus kabupaten natuna, provinsi kepulauan riau).

Institut Pertanian Bogor

D. Skripsi :

Aditiyo Hardiyanto. 2014. Implementasi peraturan daerah kota tanjung pinang

nomor 6 tentang usaha parawisata kota tanjung pinanag oleh dinas

parawisata dan ekonomi kreatif kota ytanjung pinang. Umrah

Esi Trisriati R. 2015. Implementasi kebijakan pemerinta daerah kota tanjng

pinang nomor 6 tahun 2008 pasal 25 tentang pembinaan usaha

parawisata di kota tanjung pinang. Umrah.

E. Internet :

Data Kawasan Konservasi. Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Natuna.

Dapat diunduh di: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdatakawasan konservasi/details/1/73.

Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: Paradigma,

Perkembangan dan Pengelolaannya (2013). Dapat diunduh di :

http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/informasi-konservasi/161-kawasan-konservasi-perairan,-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil-paradigma,-perkembangan-dan-pengelolaannya.

Pola Ruang Kepri Kawasan Konservasi Kabupaten Natuna (2013). Kawasan

Konservasi Laut Kabupaten Natuna. Dapat diunduh di:

http://www.dkpkepri.info/index.php?option=com_content&view=article&i

d=221:pola-ruang-kepri-kawasan-konservasi-kabupaten-

natuna&catid=49:zonasi&Itemid=112.