implementasi kebijakan pemungutan pajak bumi dan bangunan
TRANSCRIPT
i
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Tesis
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Magister
Program Studi Magister Administrasi Publik
Oleh:
Larmanto
NIM. S. 2405017
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
ii
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Oleh:
LarmantoNIM. S. 2405017
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.
Pembimbing II Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik
Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.NIP. 131 884 423
iii
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Oleh:
LarmantoNIM. S. 2405017
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.
Sekretaris Dra, Kristina Setyowati, M.Si.
Anggota Penguji Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.
Anggota Penguji Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.
Mengetahui
Ketua Program Studi MAP
Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.NIP. 131 884 423
Direktur Program PascaSarjana
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D.NIP 131 472 192
iv
PERNYATAAN
Nama : LarmantoNIM. : S. 2405017
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Implementasi Kebijakan
Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya,
dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia,
menerima sangksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari
tesis tersebut.
Surakarta, Februari 2008
Yang membuat pernyataan
Larmanto
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas limpahan
Kasih dan KaruniaNya penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan
tesis dengan judul Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Magister pada Program Studi Magister Administrasi Publik dengan
konsentrasi Kebijakan Publik. Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan dan
dukungan banyak pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D. Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta staf yang telah memberikan segala
fasilitas dan kesempatan untuk penyelesaian tesis ini..
2. Bapak. Dr. P. Israwan Setyoko, MS. selaku Pembimbing I yang dengan sabar
dan bijaksana senantiasa memberikan pengarahan dan bimbingan yang terbaik
untuk penulisan tesis ini.
4. Bapak Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si, selaku Pembimbing II yang senantiasa
dengan penuh kesabaran memberikan petunjuk dan koreksi dalam penulisan tesis
ini.yang telah membantu dan memotivasi dalam penyelasaian tesis ini.
5. Segenap staf pengajar Magister Administrasi Publik atas pengetahuan dan
ketrampilan yang telah diberikan.
vi
6. Drs. Sugiharto, Selaku Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, dan para staf yang
telah dengan sabar memberikan informasi dan data untuk tesis ini.
7. Orang Tua, Istri, dan Anakku yang tak henti-hentinya membangkitkan semangat
hidup untuk lebih maju.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Karenanya segala sesuatu yang menjadi kekurangan dari tesis ini
dapat dijadikan renungan bagi semua pihak untuk mengadakan penelitian yang lebih
tajam dan mendalam berkaitan dengan permasalahan tesis ini.
Akhirnya Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat membangkitkan
kepedulian terhadap upaya peningkatan pembangunan bangsa. Kiranya Tuhan
Memberkati kita semua, Amin.
Surakarta, Februari 2008
LarmantoS. 2405017
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul……………………………………………………..…… i.
Halaman Pengesahan Pembimbing ……………………………………. ii.
Halaman Pengesahan Tesis ……………………………………………. iii.
Pernyataan……………………………………………………………... iv.
Persembahan…………………………………………………………… v.
Kata Pengantar………………………………………………………… vi.
Daftar Isi………………………………………………………………. vii.
Daftar Tabel…………………………………………………………… viii.
Daftar Gambar………………………………………………………… ix.
Abstract………………………..……………………………………… x.
BAB I PENDAHULUAN 1A. Latar Belakang Masalah…………………..…………….. 1B. Perumusan Masalah……………………………………... 6C. Tujuan Penelitian………………………………………... 7D. Manfaat Penelitian……………………………………… 7
BAB II KAJIAN TEORI . . . . . . ………………………………….. 8A. Konsep Implementasi Kebijakan...…………………….. 8B Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik ..……….. 19C. Pemungutan dan Pembayaran PBB . . ..………………. 25D. Kerangka Berpikir ......……………………………. 32
BAB III METODE PENELITIAN 35
A Lokasi …………………….…………………………. 35B. Jenis Penelitian………………………………………… 35C. Fokus dan aspek Kajian . ……………………………… 37D. Data dan Sumber Data. ..………………………………. 37E. Teknik Teknik Penentuan Informan …………................ 38F. Teknik Pengumpulan data …………..………………… 38G. Uji Validitas Data ……………………………………. 38H. Teknik Analisis Data…………………………………… 39
viii
HalamanBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 41
A. Hasil Penelitian. .............................………………… 41B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten
Karanganyar ……………………………………44
I. Isi Kebijakan …………………………………… 46 2. Sumber Daya manusia. …………………………… 55 3. Kepatuhan Pelaksana. . . .…………………………… 59 4. Komunikasi………………………………………… 67
5. Faktor Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Implementasi Pemungutan PBB ………………
75
BAB V PENUTUP 86A. Kesimpulan………………………………………… 86B. Implikasi…………………………………………… 89C. Saran………………………………………………… 90
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005 di Kabupaten Karanganyar
2
Tabel 2 Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten 3
Tabel 3 Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten dibandingkan Penerimaan PBB Tingkat kabupaten Karanganyar 4
Tabe 4 Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
42
Tabel 5 Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten Kabupaten Karanganyar Tahun 2005 58
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Model Implementasi Kebijakan Grindle 13
Gambar 2 Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian
15
Gambar 3 Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter & Van Horn
18
Gambar 1 Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan 28
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
29
Gambar 3 Fokus dan aspek kajian penelitian 34
Gambar 4 Model Analisis Interaktif 38
xi
ABSTRAK
Larmanto S. 2405017, 2007. Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Tesis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dan untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.
Teori yang dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975) dan model Grindle (1980).
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan dukungan data kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data interaktif.
Hasil analisis dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :(1) Dalam kebijakan Pemungutan PBB terdapat pemisahan kewenangan yang bersifat administratif dan operasional antara Departemen Keuangan dengan Pemerintah Kabupaten Karanganyar (2) Sumber daya manusia terdiri dari para kepala dusun sebagai petugas pemungut yang sangat mengetahui situasi wilayahnya. (3) kepatuhan pelaksana dalam menyalurkan SPPT PBB tidak dapat dilakukan tepat sesuai dengan alokasi waktu (4) Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum berjalan dengan baik, (5) Sistem penghargaan (rewards) dan hukuman (punisment) telah dilakukan (6) Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas.
faktor yang dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar antara lain keterlambatan dan kesalahan dalam SPPT yang dikeluarkan KP PBB, belum ada shock therapyterhadap wajib pajak yang tidak membayar PBB, Kepatuhan aparat pelaksana masih kurang, lemahnya pengadministrasian dalam mutasi SPPT PBB. Banyak Pemilik tanah di Kecamatan Jaten yang berdomisili di luar wilayah Kecamatan
Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut : Komitmen pimpinan wilayah, Sistem rewards berupa hadiah undian,
Saran dalam penelitian ini adalah (1) Perlu ada shock therapy berupa sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang menunggak PBB (2) Perlu adanya penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur kewajiban dan kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah diikuti dengan mutasi SPPT PBB (3) Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara Dipenda, Kantor KP PBB, Kecamatan dan Desa (4) mekanisme upah pungut perlu ditata ulang.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman yang semakin maju,
dibutuhkan pemerintahan yang responsif dan mandiri. Sejak diberlakukannya
otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih kreatif mencari
terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Sumber-sumber
pendapatan daerah terdiri dari komponen Pendapatan Asli Daerah Sendiri
(PADS), Dana Alokasi dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari dari Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Pinjaman daerah
dan penerimaan lain yang sah. Pendapatan daerah dari sektor pajak termasuk
dalam komponen pendapatan asli daerah yang nilainya signifikan
dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Pada sektor pajak,
sumbangan terbesar untuk PADS Kabupaten Karanganyar diberikan oleh
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu sebesar 23,3 % pada tahun 2005.
Penerimaan daerah dari sektor PBB telah diatur dalam undang-undang
nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, sebagimana telah
disempurnakan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak
Bumi Dan Bangunan., dimana pembagiannya ditetapkan untuk pemerintah
pusat 10 %, Pemerintah Provinsi 16,2 %, Pemerintah Kabupaten 64,8 % dan
Upah Pungut 9 %. Bagi pemerintah daerah pemasukan dari pembagian
pemasukan PBB ini cukup penting dalam menopang jalannya
2
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, oleh karena itu
dibutuhkan adanya menajemen yang baik untuk mengendalikan penagihan
PBB ini.
Kenyataan yang terjadi di Kabupaten Karanganyar, pendapatan dari
sektor PBB belum dapat mencapai target seperti yang diharapkan. Data
penerimaan PBB dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang fluktuatif.
Kecenderungan fluktuasi Penerimaan PBB ini dapat dilihat dalam tabel 1
sebagai berikut :
Tabel 1
Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005
di Kabupaten Karanganyar
Sumber : Kantor Dipenda Kabupaten Karanganyar, 2006.
Data diatas menunjukkan rata-rata setiap tahun terjadi peningkatan
realisasi penerimaan yang cukup besar. Meskipun pada tahun sebelumnya
masih ada tunggakan tetap saja terjadi kenaikan realisasi PBB. Besarnya
tunggakan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan trend yang konstan
melainkan bersifat fluktuatif.
No Tahun Target ( Rp)
Realisasi ( Rp)
Persentase( %)
1. 2000 2.500.000.000,00 3.096.663.334,00 123,87
2 2001 5.175.278.000,00 4.397.408.000,00 84,97
3 2002 6.156.457.000,00 5.377.052.075,00 87.34
4 2003 6.323.031.000,00 6.060.879.291,00 95,85
5 2004 7.601.407.000,00 8.298.622.990,00 109,17
6 2005 10.645.923.221,00 10.004.563.346,00 98,21
3
Perolehan pemungutan PBB di tingkat kecamatan sejak tahun 2000
juga selalu menyisakan adanya tunggakan PBB sebagaimana yang terjadi di
Kecamatan Jaten seperti data berikut :
Tabel 2
Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten
Tahun Target
(Rp)
Realisasi
(Rp)
Persentase
(%)
2000 854.847.525,00 716.060.558,00 83,76
2001 1.384.583.500,00 1.327.980.832,00 95,91
2002 1.713.769.040,00 1.396.148.053,00 81,47
2003 2.100.950.110,00 1.680.916.882,00 80,01
2004 2.706.644.926,00 2.435.084.236,00 89,97
2005 2.864.118.090,00 2.443.639.849,00 85,32
Sumber : Kantor Kecamatan Jaten.
Data diatas menunjukkan dari tahun ke tahun selalu ada tunggakan PBB yang
berkisar antara 5 sampai 15 persen per tahun. Besarnya tunggakan PBB di
Kecamatan Jaten Membutuhkan perhatian serius karena Kecamatan Jaten
merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar dari penerimaan
sektor PBB dibandingkan 16 Kecamatan lainnya di wilayah Kabupaten
Karanganyar.
Kontribusi penerimaan PBB Kecamatan Jaten terhadap total
penerimaan PBB tingkat Kabupaten Karanganyar cukup signifikan
sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 3 berikut ini :
4
Tabel 3
Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten dibandingkan
Penerimaan PBB Tingkat kabupaten Karanganyar
TahunRealisasi
Kecamatan Jaten
(Rp)
Realisasi Kabupaten
Karanganyar
(Rp)
PersentaseKontribusi dari
Kecamatan jaten
(%)2000 716.060.558,00 3.096.663.334,00 23,12
2001 1.327.980.832,00 4.397.408.000,00 30,20
2002 1.396.148.053,00 5.377.052.075,00 25,96
2003 1.680.916.882,00 6.060.879.291,00 27,73
2004 2.435.084.236,00 8.298.622.990,00 29,34
2005 2.443.639.849,00 10.004.563.346,0024,43
Sumber : Kantor Kecamatan Jaten.
Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi Penerimaan PBB dari
Kecamatan Jaten menyumbangkan 23 sampai dengan 30 persen total
penerimaan PBB di Kabupaten Karanganyar.
Adanya tunggakan yang selalu terjadi setiap tahun merupakan
permasalahan rutin yang tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk menjawab
permasalahan ini dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberikan arah bagi
pelaksanaan kebijakan yang komprehensif dan menyentuh akar
permasalannya. Penyusunan strategi yang tepat membutuhkan informasi yang
cukup dan akurat mengenai hambatan-hambatan dalam proses implementasi
Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar.
5
Permasalahan yang menyebabkan tidak optimalnya pemungutan PBB
dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya dari segi kebijaksanaan publik
yang meliputi Formulasi maupun implementasi kebijakannya. Dari segi
otoritas pelaksana kebijakan pemungutan PBB, Kewenangan Pemungutan
PBB telah dilimpahkan oleh pemerintah Pusat kepada Bupati / Walikota
melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 1007/KMK/04/1995.
Pelimpahan tersebut meliputi pelimpahan mekanisme penagihannya
sedangkan urusan prinsipal mengenai pendataan subyek dan obyak pajak,
penetapan besarnya nilai PBB sampai pada pemaksaan dan sanksi masih
berada pada Departemen Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan.
Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Pemerintah Kabupaten
dan Kantor Pelayanan pajak, seringkali terjadi permasalahan dan kendala
dalam implementasi pemungutan PBB antara lain : 1. Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang (SPPT) seringkali terlambat disampaikan kepada masyarakat
maupun tempat pembayaran, 2. Setiap ada kesalahan administratif mengenai
data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
harus diselesaikan melalui KP PBB. 3. Penentuan besaran pajak oleh KP PBB
seringkali tidak akurat sehingga masyarakat yang merasa tidak diperlakukan
secara adil atau merasa keberatan tidak mau melunasi PBB, sedangkan untuk
mengajukan keberatan harus dilakukan di KP PBB. 4. KP PBB Surakarta
memiliki cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas meliputi Kabupaten
Sragen, Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar dengan jumlah Wajib
6
pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak
dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan
sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang
seharusnya diberikan.
Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai juga
menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya koordinasi antara
Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal pengadministrasian
mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya mutasi kepemilikan tanah
yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi PBB, sehingga pada saat
penagihan nama yang tercantum dalam SPPT tidak mau membayar dengan
alasan sudah tidak menguasai tanah yang tercantum dalam SPPT PBB nya
ditagihkan kepadanya. Akibatnya petugas pemungut yang notabene
merupakan aparat pemerintah desa setempat pun menemui kesulitan untuk
melakukan penagihan. Tidak adanya penegakan hukum berupa sanksi yang
tegas kepada para penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak
optimalnya pemungutan PBB.
Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan
pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100 %, tetapi selalu
menyisakan tunggakan dari tahun ketahun.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana
implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar?”
7
C. Tujuan Penelitian.
1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan
Jaten Kabupaten Karanganyar
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam
implementasi kebijakan pemungutan PBB.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan
bagi Pemerintah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dalam
rangka meningkatkan penerimaan dari sektor PBB.
2. Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh
para pembuat kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan
penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB.
3. Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk
mlelaksanakan penelitian sejenis.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan bagian dari studi kebijakan (publik),
disamping studi formulasi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan. Terdapat
beberapa pengertian mengenai apa yang disebut dengan kebijakan publik itu.
Menurut Anderson (1975 : 5) menyatakan kebijakan publik sebagai berikut :
public policy are those policies developed by govermental bodies and officials (kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah), dan maknanya adalah :a. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau suatu tindakan
berorientasi pada tujuan;b. Kebijakan tersebut berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejabat pemerintah;c. Kebijakan tersebut merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, bukan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan atau menyatakan sesuatu;
d. Kebijakan publik didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).
Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen
dasar yaitu tujuan yang luas, sasaran dan yang terakhir adalah cara mencapai
sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara
rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menerjemahkan sebagai program-
program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung beberapa
komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksana atau implementornya,
berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya,
bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan
bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dengan demikian
9
komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara, merupakan komponen yang
berfungsi untuk mewujudkan dua komponennya yang pertama, yakni tujuan dan
sasaran khusus. Cara ini biasa disebut implementasi (Samodra Wibowo,1994: 15).
Studi implementasi mengkaji seluk beluk proses implementasi kebijakan
yakni “the execution and steering of policy actions over time” (Dunn, 1994 : 85).
Studi Implementasi menurut Dunn sebagaimana dikutip Samodra Wibowo adalah
membantu mengkaji tingkat kepatuhan, menemukan konsekuensi-konsekuensi
kebijakan yang tak diharapkan, mengidentifikasi hambatan dan kendala
implementasi, dan menentukan siapa saja yang bertanggungjawab dalam
pelaksanaan kebijakan (Samodra Wibowo 1994 : 3 )
Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi
kebijakan sebagai “those actions by public and private individual (or groups) that
are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”.
Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan
mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur
rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan
(Grindle, 1980:3).
Di sini Grindle telah memperkirakan adanya berbagai hambatan yang
berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan,
sehingga setelah suatu kebijakan di terjemahkan kedalam program aksi, belum
tentu implementasi akan berjalan dengan lancar dan ini tergantung dari
kemampuan mengimplementasikan program tersebut (implementability).
10
1. Model Grindle
Implementasi suatu kebijakan, menurut grindle (1980:8-12) sangat
ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of
policy). Studi ini melihat adanya tiga dimensi analisis dalam suatu organisasi,
yakni tujuan, pelaksanaan tugas dan kaitan organisasi dengan lingkungan.
a). Isi Kebijakan mencakup :
1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan
Dalam memformulasikan suatu kebijakan hendaknya diminimalisir
terjadinya banyak kepentingan yang berbeda yang dipengaruhinya, karena
semakin kompleks kepentingan yang dipengaruhi maka proses
implementasinya akan semakin sulit.
2) Jenis manfaat yang dihasilkan
Manfaat suatu kebijakan yang dapat dinikmati secara realistis oleh
kelompok sasaran berpengaruh terhadap dukungan atas perubahan
tersebut. Kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara nyata akan
memperoleh dukungan yang kuat dalam proses implementasinya
dibanding kebijakan yang kurang dirasakan manfaatnya bagi publik.
3) Derajad perubahan yang diinginkan
Apabila suatu kebijakan mempunyai tujuan yang menyangkut perubahan
nilai-nilai atau norma-norma, diamana antara kebijakan yang telah dibuat
dan nilai yang sudah dianut oleh kelompok sasaran bertentangan sekali,
biasanya kebijakan tersebut akan sulit dimplementasikan.
11
4) Kedudukan pembuat kebijakan
Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali
bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan
harus diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan
oleh bidang diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang
gagal yang lebih besar.
5) Siapa pelaksana program
Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku
program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang
memadai. Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain
yang meliputi sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan
memudahkan dalam pencapaian tujuan kebijakan.
6) Sumber daya yang dikerahkan.
Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang memang
diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif
diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang
berkepentingan atas kebijakan tersebut.
b). Konteks kebijakan meliputi :
1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
Nilai-nilai yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam implementasi suatu
kebijakan kadangkala bertentangan dengan tujuan kebijakan, manakala
nilai-nilai tersebut sesuai dengan apa yang menjadi kepentingannyadan
mendukung jabatan yang dimbannya maka kebijakan akan semakin mudah
12
dimplementasikan. Demikian pula strategi yang dibuat seharusnya
dibangun dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang memadai.
2) Karakteristik lembaga dan penguasa
Untuk mempermudah implementasi, dibutuhkan kesesuaian nilai-nilai
budaya lembaga dan penguasa dengan apa yang seharusnya atau
diharapkan oleh kebijakan tersebut. Ketika lembaga dan penguasa yang
berperan dalam implementasi memiliki nilai-nilai budaya yang
bertentangan dengan apa yang seharusnya diharapkan dari program
kebijakan tersebut, maka hal ini akan menghambat proses implementasi.
3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana
Kebijakan yang sudah diformulasikan dari tingkat pusat, agar lebih mudah
dalam implementasinya dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan tingkat
dibawahnya sehingga ada kejelasan bagi pelaksana kebijakan tersebut.
Model implementasi Kebijakan menurut Grindle dapat digambarkan
sebagai berikut:
13
Gambar 1 : Model Implementasi Kebijakan Grindle
Tujuan Kebijakan
Melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh :
a)Isi Kebijakan
(1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan
(2) Jenis manfaat yang dihasilkan
(3) Derajad perubahan yang diinginkan
(4) Kedudukan pembuat kebijakan
(5) Siapa pelaksana program
(6) Sumber daya yang dikerahkan.
b). Konteks kebijakan meliputi :
(1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor
yang terlibat
(2) Karakteristik lembaga dan penguasa
(3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana
Hasil kebijakan:o Dampak pada
masyarakat, individu dan kelompok,
o Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat
Tujuan yang Ingin dicapai
Program aksi dan Proyek individu didesain dan dibiayai
Program yang dijalankan sesuai rencana?
Mengukur keberhasilanSumber : (Grindle, Merilee S,1980)
14
b. Model Implementasi Sabatier dan Mazmanian
Sabatier dan Mazmanian (dalam Wibawa, 1994) melihat implementasi
kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b)
struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan
yang mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor di luar peraturan
kebijakan.
Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu
kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana
mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya
model ini sering disebut sebagai model top-down. Dengan pendekatan semacam
ini sudah seharusnya tujuan dan sasaran yang akan dituju hendaknya dituangkan
dalam program maupun proyek yang jelas, dan mudah dipahami sehingga para
birokrat akan mudah untuk memahaminya kemana arah tujuan atau sasaran yang
hendak dituju. Sebagai contoh, Program Pemberdayaan Jurusan dimaksudkan
untuk memberikan kemandirian kepada jurusan, maka pengaturan hak-hak dan
kewajiban harus diatur dengan secara jelas dan terperinci tidak hanya bersifat
teoritis belaka, dengan cara seperti ini para birokrasi pelaksana akan semakin
mudah untuk menjalankannya.
Model Implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian
dapat digambarkan sebagai berikut :
15
Gambar 2 : Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan
Mazmanian
Sumber : Samodra Wibawa, 1994
Karakteristik Masalah1. Ketersedian tehnologi & teori teknis2. Keragaman perilaku kelompok sasaran3. Sifat populasi 4. Derajad perubahan perilaku yg diharapkan
Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan/konsistensi
tujuan Sasaran 2. Teori kausal yg
memadai 3. Sumber keuangan yang
Memadai4. Integrasi organisasi
pelaksana 5. Diskresi pelaksana 6. Rekrutmen pejabat
pelaksana 7. Akses formal pelaks
Variabel Non Peraturan 1. Kondisi sosio ekonomi
dan teknologi2. Perhatian pers thd masalah3. Dukungan public4. Sikap & sumber daya5. Kelompok sasaran utama6. Dukungan Komitemen dan
kemam puan pejabat pelaksana kewenangan
Kesesuaian keluaran dengan sasaran
Dampak actual keluaran kebijakan
Dampak yang diperkirakan
Keluaran Kebijakan dari pelaksana organisasi
Perbaikan peraturan
16
c. Model Van Horn dan Van Meter
Model yang dikembangkan oleh Van Horn dan Van Meter ini disebut
sebagai “A Model Of Policy Implementation Process” (model proses
implementasi kebijakan). Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan
perbedaan dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang
akan dilaksanakan. Van Horn dan Van Meter menegaskan bahwa perubahan,
kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur-
prosedur implementasi. Atas dasar konsep tersebut, maka permasalahan yang
perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apa yang terjadi
dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi?
Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994 : 19-22), suatu kebijakan
harus dapat secara eksplist menegaskan ada lima faktor yang mempengaruhi
implementasi suatu program yaitu :
1) Standar Dan Sasaran Kebijakan
Suatu kebijakan harus memiliki standar dan sasaran tertentu yang harus
dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Standar dan sasaran menjelaskan rincian
tujuan kebijakan secara menyeluruh. Penentuan standar dan sasaran berguna
untuk menilai tingkat keberhasilan atas pelaksanaan suatu program . Kinerja
kebijakan merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran.
Maka standar dan sasaran harus dirumuskan secara spesifik dan kongkret.
2) Sumber Daya
Supaya dapat diimplementasikan dengan baik kebijakan menuntut
tersedianya Sumber daya baik berupa dana, teknologi maupun sarana dan
17
prasarana. Kinerja kebijakan akan rendah jika dana yang dibutuhkan untuk
mengimplementasikan kebijakan ini tidak tersedia secara memadai.
3) Komunikasi Antar Organisasi ,
Keberhasilan Implementasi juga ditentukan oleh adanya komunikasi antar
organisasi , yaitu semua pelaksana harus memahami standar, sasaran dan tujuan
kebijakan yang akan mereka implementasikan. Komunikasai ini penting untuk
dilakukan agar implementasi program dijamin kepatuhannya terhadap standar
yang telah ditentukan.
4) Karakteristik Birokrasi Pelaksana
Struktur birokrasi pelaksana yang meliputi karakteristik, norma, pola
hubungan, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Ripley
1973:10). Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994:21) organisasi
pelaksana memiliki enam variabel yaitu (1) kompetensi dan jumlah staf, (2)
rentang kendali, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5)
derajad keterbukaan, dan (6) keterkaitan dengan pembuatan kebijakan.
5) Kondisi Ekonomi Sosial dan Politik
Kondisi sosial ekonomi dan politik berpengaruh terhadap efektifitas
implementasi kebijakan. Hal ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik
yang berkaitan dengan publik. Semua variabel diatas dapat membentuk sikap
pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk akhirnya
menentukan seberapa tinggi tingkat kinerja kebijakannya.
Model Implementasi kebijakan menurut Van Meter & Van Horn dapat
digambarkan sebagai berikut :
18
Gambar 3 : Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter & Van Horn
Komunikasi antar Organisasi dan Pengukuhan aktivitas
Standar danSasaran kebijakan
Karakteristik Organisasi Sikap Kinerja Komunikasi Pelaksana Kebijakan Antar orgs.Sumber daya
Kondisi Sosial Ekonomi dan politik
Sumber : (Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975)
Model implementasi inilah yang nantinya akan dijadikan landasan dalam
membangun kerangka teori guna menjawab pertanyaan penelitian. Dari model-
model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle, Van Meter dan
Van Horn, maupun Sabatier dan Mazmanian diambil beberapa aspek kajian yang
menurut pengamatan peneliti berdasarkan gejala umum, fakta dan data yang ada
menunjukkan pengaruh terhadap proses implementasi kebijakan pemungutan
PBB.
Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang
berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh
19
terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi
Kebijakan diadopsi dari model Grindle, (2) Sumber daya manusia. Diadopsi dari
model Van Horn Van Meter (3) Komunikasi Diadopsi dari model Van Horn Van
Meter (4) Kepatuhan petugas pelaksana diadopsi dari model Grindle.
Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan mengadopsi model-
model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh pakar studi implementasi
kebijakan dan disesuaikan dengan mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-
fakta yang yang ada di dalam masyarakat.
B. Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik
Chandler dan Plano (1988) mengemukakan bahwa Kebijakan publik
adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada
untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya
dikatakan pula bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi terus-
menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung
dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam
pembangunan secara luas. Thomas R Dye (1981) memberikan pengertian dasar
mengenai kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang
dilakukan oleh pemerintah.
Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya
produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum..
Pajak merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat untuk menyerahkan sebagian
daripada kekayaan kepada negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan
20
perbuatan memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan merupakan suatu
hukuman. Pajak ditetapkan menurut peraturan pemerintah, dapat dipaksakan,
tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara
kesejahteraan secara umum (Munawir, 2000:3) Dengan demikian pajak
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Merupakan pungutan yang dilakukan oleh negara kepada rakyat.
2. Dipungut disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.
3. Pemungutan pajak dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan peraturan yang
telah ditetapkan.
4. Pemungutannya dapat dipaksakan.
5. Pembayaran pajak oleh subyek pajak tak akan mendapat imbalan secara
langsung dari Pemerintah.
6. Pajak digunakan oleh Pemerintah untuk pembiayaan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu Pajak Negara dan Pajak Daerah (Mardiasmo, 1997). Pajak Negara adalah
pajak yang dipungut untuk kepentingan Negara atau Pemerintah Pusat. Termasuk
dalam pajak ini antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai atasa barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), Pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Bea Meterai. Sedangkan Pajak
Daerah adalah pajak yang dipungut Daerah berdasarkan peraturan pajak yang
ditetapkan oleh Daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga Daerah,
21
yang ruang lingkupnya terbatas pada obyek pajak yang belum dikenakan oleh
negara.
Bumi dan bangunan merupakan aset yang dapat memberikan keuntungan
dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang
mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, maka wajar
apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan
yang diperolehnya kepada negara melalui pajak, untuk selanjutnya negara
mendistribusikan hasil pajak tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih
luas.
Undang-undang nomor 12 tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan
menandai dicabutnya berbagai peraturan perpajakan yang meliputi Ordonansi
Pajak Rumah tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi
Verponding 1928, Ordonansi pajak kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942,
Pasal 14 huruf j,k,dan l Undang-undang darurat Nomor 11 tahun 1957 tentang
peraturan Umum Pajak Daerah, PERPU Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak
Hasil Bumi. Berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 ini bertujuan
memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia agar lebih sederhana, mudah, adil
dan memberi kepastian hukum.
Sebelum berlakunya UU pajak Bumi dan Bangunan, sebenarnya
Verponding-verponding Indonesia dan pajak hasil Bumi telah diganti dangan
IPEDA. Tetapi karena dasar Hukum Ipeda kurang kuat maka penghapusan
verponding tersebut dipertegas lagi dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1986.
Verponding mengenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum
22
barat, dan verponding Indonesia dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki
berdasarkan hukum adat yang ada di kota-kota. Pajak Hasil Bumi dikenakan atas
tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat yang ada di daerah luar kota.
Setelah verponding diganti dengan IPEDA orang merasakan membayar dua kali
untuk Obyek Pajak yang sama karena tanah dan bangunan yang ia miliki dikenai
pajak kekayaan maupun IPEDA. Dengan berlakunya Undang-undang nomor 12
tahun 1986 diharapkan ada kepastian hukum dan tidak ada lagi pajak ganda yang
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak obyektif yang dikenakan atas
bumi dan bangunan. Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986,
berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 1986. Dengan demikian yang
menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Adapun yang dimaksud
dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa dan
tambak) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan
untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan. Termasuk dalam
pengertian bangunan ini antara lain: (1) Jalan lingkungan dalam suatu kesatuan
dengan komplek bangunan, (2) Jalan tol, (3) Kolam renang, (4) Pagar mewah,
(4) Tempat Olah raga, (5) Galangan kapal, dermaga, (6) Taman mewah, (7)
Tempat penampungan/ kilang minyak, gas, air dan pipa minyak, (8) Fasilitas lain
yang memberikan manfaat. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah
23
diperhatikan faktor-faktor seperti: (1) Letak, (2) Peruntukan, (3) Pemanfaatan, (4)
Kondisi lingkungan, dll.
Menurut Rochmat Soemitro (1989 : 79) faktor-faktor itu ditambah
dengan: (1) Luas tanah, bumi, bangunan, (2) Kesuburan atau hasil
tanah/bangunan, (3) Adanya irigasi atau tidak. Sementara dalam menentukan
klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: (1) Bahan yang
digunakan, (2) Rekayasa, (3) Letak, (4) Kondisi Lingkungan dll.
Subyek pajak dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Kepada subyek pajak tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi
wajib pajak. Adapun azas dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah: (1) Memberikan
kemudahan dan kesederhanaan, (2) Adanya kepastian hukum, (3) Mudah
dimengerti dan adil, (4) Menghindari pajak berganda. Dengan memperhatikan
azas-azas tersebut diharapkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan
penetapan dan pemungutan pajak mestinya dapat dihindarkan.
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak
bergerak, maka oleh karena itu yang dipentingkan adalah obyeknya dan keadaan
atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidaklah penting, sehingga
tidak mempengaruhi besarnya pajak (Soemitro, 1989:5). Walaupun pajak ini
merupakan pajak obyektif, tetapi pemungutannya didasarkan atas surat ketetapan
pajak yang pada prinsipnya setiap tahun dikeluarkan. Setiap tahun wajib pajak
diwajibkan memasukkan surat pemberitahuan yang untuk PBB disebut sebagai
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan berdasarkan itu oleh kantor PBB
24
kemudian dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dimana untuk PBB disebut
sebagai Surat Pemberitahun Pajak Terhutang (SPPT).
Penetapan nilai jual obyek pajak dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan
mendengar pertimbangan Gubernur Provinsi yang bersangkutan. Untuk saat ini
klasifikasi nilai jual obyek pajak untuk bumi dan bangunan dikenakan sesuai
dengan keputusan menteri keuangan nomor 174/KMK.04/1993, dimana untuk
klasifikasi NJOP untuk bumi dikelompokkan menjadi 50 kelas dan untuk
bangunan menjadi 20 kelas.
Penghitungan besarnya PBB didasarkan atas besarnya nilai jual kena
pajak yaitu besarnya NJOP sesuai dengan SK Menteri Keuangan setelah dikurangi
dengan nilai jual obyek pajak tak kena pajak (NJOPTKP) yang besarnya untuk
masing-masing daerah bisa berbeda-beda. Besarnya NJKP adalah 20% dari NJOP
setelah dikurangi NJOPTKP. Adapun besarnya tarip PBB adalah 0,5%. Dengan
demikian besarnya pajak yang harus dibayar adalah 0,5% X 20% X NJOP atau
sebesar 0,5% X NJKP.
Besarnya pajak yang harus dibayar (SPPT PBB) diberikan setiap tahun
oleh kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan setelah ditentukan NJKPnya atas
dasar surat pemberitahuan obyek pajak (SPOP) yang diisi oleh wajib pajak.
Secara teoritis SPOP ini harus diisi oleh wajib pajak dan harus ditandatangani
sendiri. Namun demikian dalam banyak kasus, hal ini jarang dilakukan. Biasanya
pihak Kantor PBB meminta bantuan pada Pemerintah setempat untuk mengisinya.
Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kesenjangan yang menyebabkan tidak
selarasnya harga pasar atas nilai jual obyek pajak, yang pada akhirnya berbuntut
25
dengan munculnya berbagai penolakan serta keberatan dari wajib pajak,
khususnya jika terjadi perubahan NJOP.
Hasil Penerimaan PBB yang diterima pemerintah daerah itu dipergunakan
untuk membiayai pembangunan daerah bagi kepentingan daerah yang
bersangkutan. Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian
hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
menetapkan hasil sebagai berikut:
1) 10% dari hasil penerimaan PBB adalah bagian Pemerintah Pusat dan harus
sepenuhnya disetorkan ke Kas Negara.
2) 90% merupakan bagian pemerintah daerah setelah dikurangi dengan biaya
untuk melakukan pemungutan sebesar 10% dari 90%, kemudian dibagi untuk
pemerintah Provinsi 20% dan pemerintah kabupaten 80%. Dengan demikian
bagian masing-masing adalah sebagai berikut :
a) Pemerintah pusat : 10 %
b) Biaya pemungutan: 10% X 90% : 9 %
c) Pemerintah Provinsi: 20% X 81% : 16,2 %
d) Pemerintah kabupaten: 80% X 81% : 64,8%
C. Pemungutan dan Pembayaran PBB
Yang dijadikan subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata
sebagai pemilik dan atau orang atau badan yang menguasai bumi dan atau
bangunan. (pasal 8 ayat 1). Wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi
26
syarat obyektif, yaitu memiliki atau menguasai dan atau mendapatkan manfaat
daripadanya. Subyek pajak PBB belum tentu merupakan Wajib Pajak PBB.
Subyek Pajak baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi syarat-syarat
obyektif, yaitu mempunyai obyek pajak yang dikenai PBB. Sedangkan obyek
pajak PBB adalah Bumi dan atau Bangunan (pasal 2).
Diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah diharapkan dapat membawa perubahan nilai dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan, yaitu perubahan dari paradigma
government menuju governance. Paradigma government (paradigma klasik)
menempatkan negara (pemerintah) sebagai satu-satunya penyelenggara
pemerintahan, sedangkan paradigma governance memandang penyelenggaraan
pemerintahan sebagai proses interaksi antar aktor dalam pemerintahan dengan
kelompok sasaran atau berbagai individu dalam masyarakat (Kooiman, 1993:
255). Proses penyelenggaraan pemerintahan (governing) pada saat ini merupakan
proses koordinasi, pengendalian (steering), pemengaruhan (influencing) dan
penyeimbangan (balancing) setiap hubungan tersebut. Untuk mewujudkan proses
tersebut, maka pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang mendasarkan
diri pada persepektif hubungan “top-down” dan “rational-central-rule approach”
menjadi tidak cocok. Di sinilah kemudian dibutuhkan pendekatan governance
dalam penyelenggaraan pemerintahan (Kooiman, 1993: 255 – 258).
Secara lebih luas, masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah ditinjau
dari sudut pandang manajemen diidentifikasi oleh Hariyoso (2001) ke dalam lima
kategori, yaitu:
27
(1) Belum memadainya dukungan anggaran yang ditopang oleh adanya pengalaman serta telah dihayatinya etos dan acuan, sikap, dan etos kerja yang diwariskan oleh sejumlah masa lalu yang memerlukan pembelajaran, menyebabkan belum dapat diterapkannya manajemen pelayanan publik dalam konteks total quality management dalam era reformasi yang berciri desentralistik;
(2) Dewasa ini masih perlu diseleksi pilihan kiat, metode dan teknologi pelayanan yang mampu mengubah orientasi manajemen pelayanan konvensional yang perlu semakin diorientasikan pada etos dan budaya manajemen pelayanan publik berkualitas;
(3) Masih nampak belum seimbangnya hak dan kewajiban yang melayani (public server) kepada yang dilayani (public served) dalam bentuk pemberian kontraprestasi yang sepadan atas kotribusi/pengorbanan yang diberikan masyarakat;
(4) Masih belum diadakan internalisasi nuansa administrasi politik yang berkaibat jauh terhadap penerapan konsep local government productivity yang masih mengandung keretakan dalam penyelenggaraan manajemen pelayanan umum. Hal ini bahkan berimplikasi lebih jauh dengan kurangnya pengertian tentang pergeseran paradigma pemerintahan daerah oleh pelaksana yang terjadi dalam suasana transisional di era reformasi yang bercorak desentralistik dan globalisasi;
(5) Belum dapat diterapkannya konsep pelayanan prima sekaligus dengan adanya sindroma hubungan antara yang melayani dengan yang dilayanai dalam kedudukan sebagai pelanggan, konstituen partai, klien, dan kelompok sasaran.
Upaya untuk lebih memberdayakan pemerintah daerah dapat dilakukan
dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk
mendapatkan sumber sumber pendapatan termasuk pendapatan melalui pajak.
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya
bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional. Kewenangan
pengelolaan pajak tersebut berada di tangan pemerintah sebagai pemegang
otoritas alokasi distribusi dan stabilisasi sumberdaya dalam negara. Proses
pengelolaan pajak termnasuk PBB merupakan sebuah kebijakan publik yang
memiliki implikasi baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat.
28
Kebijakan pemerintah yang tepat akan berdampak pada peningkatan kemakmuran
masyarakat.
Kerangka dasar kebijakan perpajakan ini ditentukan oleh pusat dengan
asumsi pemerintah pusat harus menyediakan sumber-sumber keuangan untuk
daerah agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan daerah masih
sering harus dibantu pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi daerah maupun
melaksanakan program-program pusat yang ditugaskan pada daerah.
Sumber pendapatan daerah disebutkan dalam pasal 157 Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004, terdiri dari pendapatan asli daerah yaitu hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
dan lain-lain PAD yang sah. Selain jenis pajak tersebut pendapatan daerah berasal
dari dana perimbangan yang diberikan pusat dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah. Sementara pendapatan daerah cukup besar diperoleh dari Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), suatu jenis pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh
pemerintah pusat, namun hasilnya diperuntukan bagi pemerintah daerah.
Pengelolaan pajak yang terpusat juga dimaksudkan sebagai upaya untuk
memeratakan hasil penerimaan PBB yang berasal dari obyek pajak, yang letaknya
di luar wilayah yang menjadi kewenangan daerah dan untuk mempermudah
pengelolaan sistem pengadministrasian pajak daerah tersebut karena selalu terkait
dengan pengelolaan jenis pajak pusat lainnya. Pengelolaan dimaksud adalah
pembagian perimbangan hasil penerimaan PBB dibagi antara pemerintah pusat
dengan daerah yaitu imbangan pembagian 90% untuk pemerintah daerah (baik
kabupaten maupun Provinsi), sedangkan 10% merupakan bagian pemerintah
29
pusat, dan pada akhirnya juga akan dibagikan kembali kepada daerah namun
dengan mekanisme tertentu. Itulah sebabnya kewenangan sebagian besar
penarikan PBB diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.
Masyarakat adalah pelaku utama dan sekaligus merupakan obyek dari
pembangunan, sehingga keberhasilan berbagai implementasi kebijakan untuk
peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor PBB, sangat membutuhkan
keterlibatan aktif masyarakat pada umumnya, dan pemerintah berkewajiban
menjalankan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang
(Tjokroamidjojo, 1987:206). Namun banyaknya hambatan yang dihadapi dalam
pelaksanaan pemungutan pajak, pada umumnya, menurut R.Santoso Brotodiharjo
(Munawir, 2000:7) adalah:
”Adanya perlawanan pasif dari wajib pajak yang mempersulit pemungutan pajak. Hal ini erat kaitannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat pemungutan pajak, namun disebabkan oleh karena kondisi masyarakat yang kurang tahu mengenai seluk beluk pajak, maka mereka tidak bersedia membayar pajak. Penghambat kedua, adalah adanya perlawanan aktif yaitu berupa semua usaha dan perbuatan yang langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan menghindari pajak. Nyata-nyata ada usaha wajib pajak untuk tidak membayar pajak, dan mengelakkan penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak.”
Untuk mengatasi hambatan tersebut dibutuhkan perangkat kebijakan yang
tepat agar wajib pajak tidak dapat lagi menghindari pajak. Dalam proses
penyusunan kebijakan tersebut perlu adanya strategi yang memperhitungkan
segala kekuatan kelemahan peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh
30
pemerintah selaku pemegang otoritas dan sebagai implementator dari kebijakan
itu sendiri.
Pembayaran PBB dapat dilakukan ditempat pembayaran PBB di loket-
loket yang telah ditunjuk. Loket yang ditunjuk untuk ini meliputi berbagai
lembaga keuangan antara lain Bank Central Asia (BCA) dan Badan Perkreditan
Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK)) se Kabupaten Karanganyar. Cara
lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pembayaran PBB adalah melalui
petugas pemungut PBB. Petugas pemungut PBB ditunjuk berdasarkan Surat
Keputusan Bupati yang diterbitkan setiap tahun.
Penunjukan Petugas Pemungut PBB dimaksudkan untuk mendekatkan dan
memudahkan wajib pajak dalam melakukan pembayaran PBB. Petugas yang
ditunjuk sebagai petugas pemungut PBB sebagian besar adalah para Kepala
Dusun /Perangkat Desa.
Prosedur pemungutan PBB ditempuh melalui mekanisme yang telah
diatur oleh tim intensifikasi dibuat berjenjang mulai dari kabupaten hingga ke
dusun, yaitu Kepala Dusun sebagai petugas dilapangan yang membagikan SPPT
dan menagih pajak kepada wajib pajak. Berdasarkan mekanisme tersebut dapat
dilihat bahwa ujung tombak dari penerimaan PBB adalah para Kepala Dusun
sebagai petugas pemungut yang langsung berhadapan dengan wajib pajak. Lebih
jelasnya skema Tim Intensifikasi Pemungutan PBB adalah sebagai berikut.
31
Gambar 4 : Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan
Sumber : Diolah dari SK Bupati Karanganyar tanggal 9 September 2005
Nomor : 973/354 Tahun 2005.
TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KECAMATAN
KADES SELAKU KOORDINATOR PETUGAS
PEMUNGUT
PETUGAS ADMINISTRASI
PBB DESA
KADUS PETUGAS PEMUNGUT DUSUN
WAJIB PAJAK PENERIMA SPPT
BANK PERSEPSI
TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KABUPATEN
32
D. KERANGKA BERPIKIR
Gambar 5 : Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi Pemungutan PBB di
Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Salah satu aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam
pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan penerimaan
guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan .
Undang-undang No 12 tahun 1994 dan Undang-undang no. 32 tahun 2004
memberi kesempatan kepada daerah untuk mendapatkan pendapatan yang
cukup besar dari sektor PBB. Data pemungutan PBB di Kecamatan Jaten
Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir target
penerimaan PBB tidak pernah tercapai. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
masih ada permasalahan dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.
Kebijakan PBBUU No 12 Tahun
1986Disempurnakan
dengan UU no 12tahun 1994
(operasionalisasi : Kep Men Keu 1007/KMK/ 04/1995)
Implementasi Pemungutan PBB
1. Isi Kebijakan2. SDM3. Komunikasi4. Kepatuhan Pelaksana
Peningkatan penerimaan PBB
sesuai target
33
Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang
berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi
Kebijakan (2) Sumber daya manusia.(3) Komunikasi (4) Kepatuhan petugas
pelaksana. Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan
mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh
pakar studi implementasi kebijakan dan disesuaikan dengan
mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-fakta yang yang ada di dalam
masyarakat.
Isi Kebijakan merupakan salah satu fokus kajian yang diadopsi dari
model Grindle, dimana kejelasan suatu kebijakan dalam mengatur mekanisme
kewenangan dan kepentingan para pihak dalam kebijakan sangat menentukan
keberhasilan proses implementasi. Isi kebijakan dan pengaruhnya terhadap
proses implementasi dapat dilihat dari aspek kewenangan dan sistem rewards
and punishment dalam kebijakan pemungutan PBB .
Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam
pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan pendapatan atau
penerimaan guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. Pada umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan antara
penerimaan pajak dan bukan pajak. Pajak adalah suatu pungutan yang
merupakan hak prerogatif Pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada
Undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak
34
untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan
penggunaannya (Mangkusubroto, 1993:181).
Mengingat akan pentingnya peran pajak bagi kesinambungan
pembangunan di negara Indonesia maka peningkatan penerimaan dari sektor
PBB mutlak diperlukan, maka upaya mengoptimalkan faktor pendukung dan
mengatasi faktor penghambat dalam penarikan PBB perlu dilaksanakan secara
tepat.
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi
Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kecamatan Jaten
Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dengan pertimbangan Kecamatan Jaten
adalah Wilayah Kecamatan yang sebagian besar obyek pajak PBB nya adalah
pabrik / perusahaan. Karakteristik masyarakat di Kecamatan Jaten cukup
bervariasi yaitu terdiri dari masyarakat modern yang bertempat tinggal di
kompleks perumahan dan masyarakat tradisional yang berdomisili di daerah
pedesaan. Atas dasar pertimbangan itu maka menurut hemat penulis
Kecamatan Jaten tepat untuk dijadikan obyek penelitian karena akan
memberikan gambaran yang lebih lengkap berkaitan dengan proses
pemungutan PBB.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Ada beberapa pendapat tentang metode penelitian deskriptif diantaranya
adalah :
Metode penelitian deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian ( seseorang, lembaga, masyaraakat, dan lain – lain. ) pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya ( surakhmad, 1989 : 140 )
Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Dalam hubungan dengan riset kualititatif yang memusatkan pada deskriptif,
36
HB Sutopo ( 2002 : 35 ) mengemukakan bahwa data yang dikumpulkan
berwujud kata – kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih
dari sekedar angka atau jumlah. Berisi catatan yang mengambarkan situasi
sebenarnya guna mendukung penyajian data.
C. Fokus Kajian dan Aspek Kajian
Sesuai dengan kerangka pemikiran yang dibuat maka fokus dan aspek
kajian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Matrik 1
Fokus dan Aspek kajian Penelitian
No Fokus kajian Aspek Kajian
1 Isi Kebijakan a. Kewenanganb. Sistem rewards and punishment
2 SDM a. Kuantitas SDMb. Kualitas SDM
3 Kepatuhan Pelaksana a. Ketepatan waktu penyampaian SPPTb. Kepatuhan pengadministrasian
4 Komunikasi a. Komunikasi dengan wajib pajakb. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi
PBB
Dalam penelitian ini fokus kajian juga diarahkan pada upaya
mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul dan upaya yang dilakukan
dalam pelaksanaan pemungutan PBB. Dalam hal ini di identifikasi berbagai
hambatan yang bersumber pada wajib pajak dan obyek pajak, hambatan dari
37
sisi petugas pemungut pajak dan juga hambatan yang berhubungan dengan
sistem penarikan pajaknya.
D. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam dua kelompok
sebagai berikut:
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan, yaitu
pegawai Kantor Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar, Kepala Desa
dan Perangkat Desa, petugas Badan Kredit Kecamatan (BKK) Kecamatan
Jaten yang menjadi sample penelitian. Dalam hal ini pengumpulan data
primer menggunakan teknik wawancara (interview).
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data yang telah diteliti
dan dikumpulkan oleh pihak lain seperti data struktur organisasi, uraian
tugas dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian. Pengumpulan data sekunder ini menggunakan teknik
dokumenter untuk mendapatkan data pendukung yang digunakan untuk
melengkapi dan menyempurnakan hasil penelitian.
3. Adapun sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
atas Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, petugas pemungut pajak bumi
dan bangunan di Kecamatan Jaten, perangkat desa, petugas Bank persepsi
atau Badan Kredit Kecamatan (BKK) serta beberapa wajib pajak yang ada
di Kecamatan Jaten. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor
Kecamatan Jaten dan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten
Karanganyar.
38
E. Teknik Penentuan Informan
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif maka
informan atau narasumber yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan
dengan tehnik purposive sampling. Namun demikian mengingat keterbatasan
kemampuan peneliti maka dimungkinkan pula menggunakan snow ball
sampling jika penjelasan informan belum memberikan informasi secara jelas
dan perlu tambahan informasi dari informan lain di bawahnya yang lebih tau
atau yang direkomendasikan oleh informan utama. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh dan menyempurnakan data dari sumber-sumber yang belum
ditentukan peneliti dengan teknik purposive. Hal ini juga dilakukan untuk
melakukan triangulasi data atas jawaban dari nara sumber/ informan.
F. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan berbagai pertimbangan berdasar konsep teknis yang digunakan,
keinginan pribadi, karakteristik empiris dan sebagainya (Sutopo, 1988:21).
Untuk itu data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa cara yaitu:
a. Wawancara mendalam guna memperoleh data tentang berbagai upaya
pemungutan PBB yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten,
Kabupaten Karanganyar.
b. Studi dokumentasi dan observasi guna melengkapi data yang diperlukan
dalam penelitian ini.
G. Uji Validitas Data
Validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur itu mengukur apa
yang ingin diukur. Guna menjamin validitas data yang dikumpulkan dalam
39
penelitian ini maka teknik yang digunakan adalah teknik triangulasi. Teknik
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan perbandingan
terhadap data itu (Moleong, 1998:178). Triangulasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan antara
sumber yang diperoleh dari hasil wawancara satu informan dengan informan
yang lain dalam satu masalah agar didapat simpulan yang obyektif.
H. Teknik Analisis Data
Secara umum analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif,
analisis data dilakukan dengan teknik interaktif, dimana ketiga komponen
analisis yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan dilakukan
secara interaktif dengan proses pengumpulan data yang menggunakan proses
siklus. Dalam hal proses analisis data tidak dilakukan setelah semua data
terkumpul. Analisis dilakukan sepanjang penelitian, termasuk baik pada
waktu pengumpulan data. Bila analisis data dilakukan dalam penelitian, maka
peneliti dapat menyusun pertanyaan baru dan dilanjutkan dengan
pengumpulan data berikutnya.
Adapun ketiga komponen analisis data tersebut adalah:
1. Reduksi data: yaitu merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi data yang dilaksanakan selama
berlangsungnya proses penelitian dan mengatur data sedemikian rupa
sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir.
2. Sajian data: yaitu rangkaian informasi yang memungkinkan kesimpulan
penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat penyajian data maka peneliti
40
akan dapat mengerti apa yang akan terjadi serta analisis atas tindakan lain
berdasar pengertian tersebut.
3. Penarikan Kesimpulan
Aktivitas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6
Model Analisis Interaktif
Sumber : HB Sutopo, 1998:37
Pengumpulan data
Reduksi DataSajian Data
Penarikan Kesimpulan
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A Hasil Penelitian
Kecamatan Jaten adalah salah satu kecamatan di Kabupaten
Karanganyar yang berbatasan dengan Kota Surakarta dan menjadi daerah
penyangga bagi Kota Surakarta. Secara geografis Kecamatan Jaten berbatasan
dengan :
a. Sebelah utara :Kecamatan Kebakkramat
b. Sebelah timur :Kecamatan Karanganyar
c. Sebelah selatan :Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo
d. Sebelah barat :Kecamatan Jebres, Kota Surakarta.
Secara administratif Kecamatan Jaten dibagi menjadi 8 desa yaitu:
1. Desa Suruhkalang
2. Desa Jati
3. Desa Jaten
4. Desa Dagen
5. Desa Ngringo
6. Desa Jetis
7. Desa Sroyo
8. Desa Brujul
Luas wilayah Kecamatan Jaten adalah 2.554,81 Ha terdiri dari sawah
1.277,59 Ha, tanah kering 1.277,22 Ha. Diantara delapan desa yang ada di
42
Kecamatan Jaten tersebut, Desa Sroyo adalah desa yang paling luas
wilayahnya dan Desa Jetis adalah yang paling kecil wilayahnya. Adapun data
luas wilayah masing-masing desa selengkapnya adalah sebagai berikut:
Tabel 4
Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Nomor Desa Luas wilayah
( ha )
1 Suruhkalang 302,58
2 Jati 265,47
3 Jaten 277,37
4 Dagen 283,50
5 Ngringo 420,27
6 Jetis 262,61
7 Sroyo 459,78
8 Brujul 283,23
Jumlah 2.554,81
Sumber : Kecamatan Jaten dalam angka, 2005
Jumlah penduduk di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar pada akhir
bulan Desember 2005 sejumlah 68.100 jiwa yang terdiri dari laki-laki 34.556
jiwa dan perempuan 34.554 jiwa. Dibandingkan dengan tahun 2004 maka
terdapat pertambahan penduduk 930 jiwa, atau mengalami pertumbuhan
sebesar 1,38 %. Desa dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Desa
Ngringo yaitu 22.876 Jiwa (33,59 %), disusul Desa Jaten sebanyak 12.673
Jiwa (18,61%), dan Desa Sroyo Sebanyak 7.495 Jiwa (11,01%), sedangkan
desa yang paling sedikit penduduknya adalah Desa jetis dengan jumlah
43
penduduk sebanyak 7.495 Jiwa (6,78%), Desa Dagen sebanyak 4.699 Jiwa
(6,78%), kemudian Desa Suruhkalang Sebanyak 4.625 Jiwa (6,79%).
Kepadatan penduduk Kecamatan Jaten pada tahun 2005 mencapai
2.655 jiwa / Km² dengan persebaran penduduk yang belum merata. Seluruh
desa di Kecamatan Jaten sudah merupakan desa perkotaan (urban) sehingga
mempunyai kepadatan yang cukup tinggi. Desa yang memiliki kepadatan
paling tinggi adalah Desa Ngringo yaitu 5.447 jiwa / Km², dan yang paling
rendah adalah Desa Suruhkalang yaitu 1.526 jiwa/Km².
Sesuai dengan kondisi Kecamatan Jaten yang sudah mencerminkan
daerah perkotaan dengan banyak industri, maka sebagian besar penduduknya
juga menggantungkan mata pencahariannya di sektor industri. Komposisi
ketenagakerjaan di Kecamatan Jaten menunjukkan sebanyak 15.107 (26,69%)
orang bekerja di sektor industri, selanjutnya di sektor pertanian sebagai tani
dan buruh tani sebanyak 4.936 orang (8,72%), kemudian buruh bangunan
sebanyak 3.401 orang (6.01%), dan pedagang sebanyak 1.146 orang (2,02%),
selebihnya bekerja di sektor angkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan, jasa-jasa
dan lain-lain.
Potensi Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kecamatan Jaten
Kabupaten Karanganyar dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 masih
cukup besar. Potensi ini berupa masih banyaknya tunggakan yang belum
terbayar. Tidak terbayarnya PBB ini bisa terjadi karena berbagai hal karena
kesalahan dan belum sadarnya Wajib Pajak sendiri, maupun karena kesalahan
administrasi di KP PBB. Sedangkan kesulitas yang lain adalah adanya tanah
44
yang dimiliki oleh orang-orang diluar daerah dan tidak diserahkan
pengel;olaannya kepada warga setempat, sehingga pada saatnya membayar
pajak subyek pajak tersebut tidak jelas domisilinya. Jika hal ini dikejar
pelunasannya terutama pada lahan yang tidak luas akan mengakibatkan biaya
penarikan bisa lebih besar daripada besaran pajak itu sendiri.
Selama lima tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2001 sampai tahun 2005
masih ada tunggakan pajak yang belum dibayar. Adanya tunggakan yang
masih cukup banyak menggambarkan implementasi kebijakan pemungutan
PBB belum sepenuhnya mencapai sasaran seperti yang diharapkan.
B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten Karanganyar
Proses pemungutan PBB diawali dengan menyampaikan SPPT kepada
Wajib Pajak. SPPT merupakan surat ketetapan yang yang dikeluarkan oleh
Dirjen Pajak Melalui KP PBB. Mekanisme penyampaian SPPT ini di mulai
dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan oleh Dinas Pendapatan
Kabupaten Karanganyar selanjutnya baru didistribusikan ke desa/kelurahan
melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa selanjutnya di pilah-pilah perdusun
dan dibuatkan daftar nominatif PBB masing-masing dusung sambil di cek
kebenaran datanya.
Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas melaporkan
hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn kepada camat
dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan perkembangan penyampaian
SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah dengan tembusan Kepala
45
Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
Surakarta. Di tingkat desa yaitu koordinator, sebulan sekali melaporkan
perkembangan penyampaian SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan
Kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat
Camat Jaten dan menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi dan
Bangunan lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas pemungut
mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang tertera dalam
DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT Wajib pajak,
karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak jelas, Jumlah
Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang tertera dalam DHKP,
SPPT wajib pajak yang dobel nama.
Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari
Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada para
Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan hal yang
wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak masih
dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak yaitu dengan
dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan di Surakarta, di karenakan penetapan pajak yang terlalu tinggi, luas
tanah yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan atau nama Wajib Pajak
yang tertulis di SPPT tidak sesuai dengan nama yang tertera pada Kartu Tanda
Penduduk.
Untuk mendata pemasukan PBB, Petugas Pemungut di Desa harus
membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang dibuat oleh
46
petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa para wajib
pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan kepada Bank
persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah membayar lunas PBB
dan yang belum membayar PBB nya.
Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat
secara rutin oleh Camat dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar, serta
tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Kepala
Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor Pelayanan PBB
Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten, untuk mengetahui
realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta langkah-langkah apa yang
harus dilakukan untuk mengejar target yang telah ditetapkan.
1. Isi Kebijakan
a). Kewenangan
Menurut grindle (1980:8-12) Implementasi suatu kebijakan sangat
ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of
policy). Studi ini melihat adanya salah satu aspek penting dari isi kebijakan yang
sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yaitu aspek kejelasan
kebijakan dalam mengatur peran masing-masing pelaksana kebijakan Pemungutan
PBB. Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali
bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan harus
diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan oleh bidang
diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang gagal yang lebih besar.
47
Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku
program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang memadai.
Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain yang meliputi
sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan memudahkan dalam pencapaian
tujuan kebijakan. Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang
memang diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif
diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang
berkepentingan atas kebijakan tersebut.
Tentang pihak yang berwenang dan berkepentingan terhadap PPBB ini,
berdasarkan wawancara tanggal 15 Oktober 2006, Kepala Dinas Pendapatan
Daerah Kabupaten Karanganyar mengemukakan :
“Ketentuan yang ada secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan
dalam kebijakan PBB pada prinsipnya berada di Pemerintah Pusat dalam hal
ini Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dan Pemerintah Daerah. Tetapi
diluar itu sebenarnya ada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang juga perlu
berperan dalam kebijakan PBB. Selanjutnya agar kebijakan ini dapat
dijalankan secara baik maka dimana masing masing pihak mengerahkan
instansi dibawahnya yang terkait.
Berdasarkan keterangan tersebut diketahui bahwa ada lebih dari satu
pihak yang berperan dalam melaksanakan kebijakan PBB. Pemerintah Pusat
memiliki Dirjen Pajak yang menggunakan Kantor Pelayanan PBB (KP PBB)
sebagai tangan panjangnya dan Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur dan
Bupati/Walikota yang menggunakan instansi Dinas Pendapatan dan para pamong
praja yang ada di daerah sebagai pelaksana di lapangan. Instansi lain yang juga
48
terkait dengan PBB adalah badan pertanahan nasional (BPN) sebagi institusi yang
membidangi administrasi pertanahan.
Penjelasan Undang-undang PBB sebagaimana dikutip Soemitro
(1989:53) menyebutkan pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan dengan obyek
PBB antara lain adalah :
1) Pejabat pembuat Akte Tanah (PPAT) baik dipegang oleh Camat atau
Notaris.
2) Kepala kelurahan atau kepala desa.
3) Pejabat Tata Kota (berkaitan dengan perijinan mendirikan bangunan)
4) Pejabat agraria sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat tanah.
5) Pejabat Pengawasan Bangunan.
6) Pejabat balai Harta Peninggalan
Sedangkan pejabat yang bertanggung jawab secara langsung mengenai kebijakan
PBB adalah Direktorat Jenderal Pajak. Di daerah tugas Dirjen Pajak dilaksanakan
oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB).
Tugas KP PBB dalam Kebijakan PBB ini sebagaimana keterangan
petugas di kantor Pelayanan PBB dalam wawancara tanggal 16 Oktober 2006,
dikemukakan sebagai berikut :
“Kami di KP PBB menentukan Subyek Pajak, Obyekl Pajak dan besarnya
NJOP dari masing masing Obyek pajak yang nantinya akan dijadikan dasar
menentukan berapa pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Kami juga
melayani keberatan atas beban pajak terhutang dari wajib pajak. Pada
prinsipnya KP PBB melayani pelayanan secara administratif mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian sampai pada evaluasi Kebijakan
PBB.”
49
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kewenangan KP PBB adalah
melaksanakan kegiatan administratif dalam hal penentuan Obyek, Subyek dan
Nilai PBB. Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB juga
menjadi tanggung jawab KP PBB.
Peran Pemerintah Daerah dalam kebijakan PBB adalah melaksanakan
pemungutan PBB dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan yang
telah ditunjuk. Tentang peran Pemerintah daerah ini Kepala Dinas Pendapatan
dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan :
“Pemerintah Daerah sebenarnya mendapatkan manfaat yang terbesar dari
pemasukan PBB, maka Pemerintah Daerah yang diberikan kewenangan
melaksanakan Pemungutan PBB harus bekerja intensif agar target
pendapatan PBB dapat masuk. Hal ini sungguh sangat strategis untuk
dimanfaatkan secara optimal mengingat PBB Merupuakan komponen yang
memnyumbang kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PADS)”.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh camat Jaten sebagaimana terungkap
dalam hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2006 sebagai berikut :
“Tugas kami selaku aparat Pemerintah Daerah adalah mengoptimalkan
penerimaan PBB dan membantu masyarakat agar lebih mudah
melaksanakan pembayaran PBB”.
Berdasarkan berbagai informasi diatas terungkap bahwa secara umum isi
kebijakan PBB telah secara jelas mengatur kewenangan masing masing instansi
dalam mendukung proses implementasinya. Tetapi yang menjadi catatan adalah
peran BPN sebagai institusi yang menguasai data dan administrasi pertanahan
50
secara lebih komprehensif belum diatur keterlibatannya secara eksplisit.
Keterkaitan beberapa institusi dalam pelaksanaan sebuah kebijakan membutuhkan
komunikasi dan pengendalian yang baik agar terjadi hubungan sinergis yang
saling membantu demi tercapainya tujuan kebijakan tersebut.
B). Sistem Rewards And Punishmet
Kebijakan PBB telah mengatur secara jelas pembagian hasil penerimaan
PBB, dimana sebagian besar hasil PBB diserahkan kepada daerah. Dalam
Undang-undang PBB nomor 12 tahun 1986 pasal 18 ayat 1 telah diatur bahwa
hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan negara yang dibagi antara
pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dengan perimbangan sekurang-
kurangnya 90 % untuk pemda Tingkat I dan Pemda Tingkat II dan 10 %
selebihnya untuk pemerintah pusat. Dari 90 % bagian pemda, sebagian besar
diberikan kepada PemerintahKabupaten (pasal 18 ayat 2). Perimbangan hasil
sebagaimana disebutkan diatas diatur dengan Peraturan Pemerintah RI nomor 47
tahun 1985 yang mengatur sebagai berikut:
1) 10 % dari hasil penerimaan PBB merupakan bagian penerimaan pemerintah
pusat oleh karena itu harus sepenuhnya disetorkan ke kas negara.
2) 90 % dari hasil penerimaan merupakan bagian penerimaan untuk pemerintah
daerah yang harus dikurangi terlebih dahulu dengan biaya pemungutan sebesar
10 %. Dan setelah itu sisanya dibagi antara pemerintah propinsi dan kabupaten
dengan perbandingan pemerintah Propinsi sebesar 20 % dan Pemerintah
kabupaten sebesar 80 %. Bagian ini merupakan bagian pemerintah daerah
sehingga sertiap tahun harus dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan
51
Belanja Daerah (APBD). Hasil PBB ini digunakan untuk kepentingan
masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Sistem pembagian ini dapat dijadikan sebagai pemicu semangat daerah
untuk melaksanakan pemungutan PBB sebaik mungkin agar dapat meraih
pendapatan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kapasitas APBD di daerahnya.
Di sisi lain tersedianya upah pungut sebesar 10 % yang diambilkan dari bagian
Pemerintah Daerah merupakan perwujudan penghargaan bagi institusi pemungut
PBB. Dengan mekanisme ini maka setiap institusi yang terkait dengan
pemungutan PBB dan aparat yang ada didalamnya akan termotivasi meningkatkan
penerimaan dari sektor PBB.
Pajak adalah suatu pungutan oleh negara yang dikenakan kepada warga
negara yang bersifat wajib dan harus ditaati oleh setiap warga negara. Kebijakan
PBB dalam UU nomor 12 tahun 1986 sebagaimana disebutkan dalam konsideran
menimbang melihat bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan
kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang
mempunyai hak atasnya, atau memperoleh manfaat daripadanya, maka wajar jika
mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang
diperolehnya kepada negara melalui pajak. Dalam UU PBB maupun peraturan-
peraturan turunannya tidak mengatur rewards bagi wajib pajak yang telah
membayar pajak dengan baik.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang berkepentingan untuk
mendapatkan pemasukan dari sektor PBB berusaha memberikan penghargaan
kepada wajib pajak maupun institusi pemungut di lapangan yang telah
52
mendukung keberhasilan pemungutan PBB. Di Kabupaten Karanganyar rewards
atau bentuk penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak yang telah membayar
pajak lebih awal diberikan dalam bentuk pemberian hadiah undian bagi Wajib
pajak yang telah melunasi PBB sebelum bulan Agustus setip tahunnya. Tentang
hal ini Kasubdin Penagihan pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten
Karanganyar dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan sebagai
berikut :
Kami telah mendesain cara agar masyarakat tergugah untuk sadar membayar
pajak lebih awal dari jatuh tempo yang ditentukan. Cara yang kami tempuh
adalah dengan memberikan stimulan berupa berbagai hadiah yang menarik
bagi wajib pajak yang kami undi untuk para wajib pajak yang telah lunas
PBB sampai akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan. Program ini kami
mulai sejak tahun 2004 dan ternyata hasilnya luar biasa di kabupaten
Karanganyar yang pada tahun tahun sebelumnya tidak pernah menutup
terget ternyata pada tahun 2004 pemasukan PBB tahun 2004 lebih dari 100
%. Memang pasti ada indikator lain yang mendukung keberhasilan ini tetapi
tentunya pemberian hadiah ini turut memberi kontribusi yang signifikan
terhadap keberhasilan tersebut.
Keberhasilan sebagaimana diungkapkan Kasubdin Penagihan Dipenda
kabupaten Karanganyar tersebut memang benar karena berdasarkan data
pemasukan PBB (tabel 1 hal 2) sejak tahun 2001 sampai 2003 pemasukan
pungutan PBB berkisar antara 80 % sd 96 %, tetapi pada tahun 2004 meningkat
drastis menjadi 109, 17 %. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem
penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak merupakan salah satu faktor
pendukung keberhasilan implementasi kebijakan pemungutan PBB.
53
Adanya Penghargaan bagi yang berprestasi atau yang kooperatif
tentunya juga perlu dibarengi dengan adanya hukuman atau punishment bagi
yang melanggar. Kebijakan PBB telah memuat sanksi terhadap para pelanggar
kebijakan ini. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar kebijakan PBB
diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi
administratif diberikan jika wajib pajak terlambat mengembalikan Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan jika wajib pajak terlambat membayar
pajak terhutang yang telah jatuh tempo. Sanksi administratif ini dikenakan dalam
bentuk denda, misalnya untuk wajib pajak yang terlambat membayaer PBB
dikenakan denda administratif sebesar 2 % dari pajak terhutang per bulan
keterlambatan pembayaran.
Sedangkan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada wajib pajak melalui
penetapan oleh hakim pidana. Ketentuan Pidana dalam kebiajakan PBB dibagi
dalam dua kategori yaitu :
a. Tindak pidana yang disebabkan karena kealpaan (Pasal 24 UU PBB dan
Pasal 38 UU no. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
perpajakan.)
b. Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (pasal 25 UU PBB dan
Pasal 39 UU no 6 tahun 1983.
Tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana antara lain : Tidak
mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek pajak (SPOP), menyampaikan SPOP
yang isinya tidak benar, tidak lengkap, dan atau lampirannya tidak memberikan
54
keterangan yang benar, tidak mengembalikan SPOP, menunjukkan dokumen
palsu atau yang dipalsukan, dan tidak memperlihatkan dokumen yang dibutuhkan
oleh Ditjen pajak dalam penetapan PBB. Terhadap pelanggaran-pelanggaran
tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda
paling tinggi Rp. 2.000.000.000,- (dua juta rupiah).
Tentang berbagai sanksi yang diatur terhadap pelanggaran – pelanggaran
dalam UU PBB tersebut Camat Jaten dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006
mengemukakan :
“Sanksi yang diatur dalam Undang-undang PBB kebanyakan mengatur
tentang proses terbitnya SPPT, tetapi Justru yang mengatur sanksi
terhadap wajib pajak yang tidak mau membayar PBB menurut saya kurang
tegas. Dalam hal ini Wajib Pajak hanya dikenai denda 2 % setiap bulan
keterlambatan. Sebaiknya untuk meningkatkan keberhasilan pemungutan
PBB perlu ada sanksi yang lebih keras yang diberikan kepada Wajib Pajak
yang tidak membayar PBB, karena di Jaten ini ada wajib pajak yang tidak
membayar PBB selama bertahun – tahun dan kami sendiri tidak bisa
berbuat apa apa selain hanya menagih dan menagih. Disamping itu saya
belum pernah mengetahui orang yang dikurung karena pelanggaran
terhadap UU PBB. Jadi bagi saya masalah law enforcement menjadi
sebuah persyaratan yang penting untuk diwujudkan jika kita ingin
implementasi kebijakan pemungutan PBB ini sukses.
Pernyataan Camat Jaten yang mengungkap adanya kelemahan dalam
penegakan hukum tersebut diperkuat oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan Jaten
dalam wawancara tanggal 17 oktober 2006 yang mengemukakan :
“Permasalahan yang saya alami selama ini adalah selalu saja keengganan
Wajib Pajak untuk menyetor PBB, hal ini disebabkan karena mereka
55
mengamati para penunggak yang sudah lebih dari satu tahun menunggak
PBB pun tidak diberi sangksi yang tegas sehingga mendorong keberanian
mereka untuk tidak membayar PBB. Menurut saya perlu ada shok terapi
dengan memberikan hukuman kepada penunggak PBB yang sudah lebih
dari satu tahun menunggak PBB dan dipublikasikan secara luas untuk
menimbulkan efek kepatuhan bagi wajib pajak”.
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya sebuah ruang yang menjadi
celah dan dapat menjadi faktor penghambat dalam mengupayakan keberhasilan
implementasi pemungutan PBB di wilayah Kecamatan Jaten. Tidak tegasnya
sanksi terhadap para penunggak PBB dan penegakan hukum yang tidak berjalan
menyebabkan implementasi kebijakan pemungutan PBB tidak dapat berhasil
sesuai target yang diharapkan.
2. Sumber Daya Manusia (SDM)
a) Kuantitas SDM
Petugas yang terlibat dalam Pemungutan PBB terdiri dari para petugas
yang telah ditetapkan Bupati Karanganyar melalui SK Bupati Karanganyar nomor
973/354 tahun 2005 tentang Penetapan Tim Intensifikasi PBB Kabupaten
Karanganyar. Dalam Tim tersebut Tim Intensifikasi dibentuk berjenjang mulai
dari Kabupaten sampai Kacamatan. Selanjutnya di Desa / Kelurahan Kepala Desa
/Lurah ditunjuk sebagai koordinator petugas pemungut, Sekretaris Desa/Sekretaris
Kelurahan sebagai Petugas Administrasi PBB Desa dan Kepala Dusun sebagai
Petugas Pemungut PBB.
56
Di Tingkat Kecamatan Tim Intensifikasi PBB terdiri dari Camat sebagai
penanggungjawab dengan anggota Sekretaris Kecamatan, Kasi Pemerintahan dan
beberapa staf yang membidangi. Tim Tingkat Kecamatan ini bertugas
memobilisasi proses pemungutan PBB mulai dari Penyampaian SPPT sampai
pada pelaporan realisasi pelunasan PBB. Selanjutnya Tim tingkat kecamatan Ini
menendalikan dan mengkorrdinasikan Tugas Tugas Tim Intensifikasi Pemungutan
PBB Tingkat Desa yang terdiri dari Kepala Desa selaku Penanggung jawab,
Sekdes sebagai petugas administrasi dan Kepala Dusun sebagai Petugas
Pemungut PBB.
Di Kecamatan jaten Tim Intensifikasi PBB Tingkat kecamatan terdiri
dari 5 orang yang masing-masing telah memahami peran dan fungsinya masing-
masing sebagaimana diungkapkan oleh Camat jaten Sebagai Berikut :
“Tim Intensifikasi PBB di Kecamatan Jaten ini jumlahnya ada lima orang
termasuk saya, meskipun hanya lima orang saya berupaya agar yang
sedikit ini bisa bekerja dengan efektif, maka saya membagi mereka dalam
wilayah desa binaan, dimana masing masing anggota tim kecuali saya
membina di 2 desa. Dengan begitu saya harapkan mereka lebih
bertanggungjawab dan tahu betul dan fokus terhadap permasalahan di desa
binaannya masing masing. Sebenarnya saya ingin satu orang membina
satu desa saja tetapi komposisi Tim Intensifikasi ini sudah ditentukan dari
Kabupaten, mungkin ada kaitannya dengan hak upah pungut yang
diberikan. Oleh karena itu disini yang ikut saja toh 5 orang kalau bekerja
dengan efektif itu sudah cukup”.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Tim Intensifikasi Tingkat
Kecamatan yang berjumlah lima orang telah cukup berfungsi sebagai pengendali
57
proses pemungutan PBB di Kecamatan jaten. Tolok ukur yang dapat digunakan
untuk melakukan penilaian ini adalah semua administrasi PBB di Kecamatan
Jaten tertata dan berjalan dengan Baik disamping itu setiap kesulitan dari Desa
dapat teratasi dengan baik sebagimana dikemukakan Sekretaris Desa Dagen yang
mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
“Selama ini tidak ada masalah mas komunikasi dengan Kecamatan
berjalan dengan baik setiap persoalan yang muncul selalu bisa dibantu
dengan baik oleh petugas kecamatan, tetapi kalau soal lunasnya ya itu
semua sudah kami usahakan tetapi ada saja wajib pajak yang membandel”.
Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa secara administratif
persoalan-persoalan PBB dapat teratasi, tetapi tetap saja persoalan Wajib Pajak
yang menunggak masih ada. Selanjutnya untuk tingkat desa di Kecamatan Jaten,
jumlah petugas PBB terdiri dari 8 orang Koordinator Petugas Pemungut, 8 orang
petugas administrasi, dan 46 orang Petugas Pemungut. Jumlah tersebut sesuai
dengan komposisi Kecamatan jaten yang terdiri dari 8 desa dan 46 dusun. Maka
jumlah tersebut secara umum sudah cukup memadai. Permasalahan muncul ketika
sebuah dusun memiliki penduduk yang sangat besar seperti di Desa Ngringo. Di
desa ini ada satu orang Petugas Pemungut yang harus menangani lebih dari 3.000
Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena lingkungan ngringo adalah kompleks
perumahan yang sangat padat sehingga jumlah penduduknya sangat banyak. Atas
dasar kenyataan tersebut perlu dipikirkan untuk diusulkan penambahan petugas
pemungut PBB khusus untuk desa dengan karakteristik khusus seperti Desa
Ngringo tersebut.
58
b). Kualitas SDM
Secara umum kapasitas petugas PBB di Kecamatan Jaten jika ditinjau
dari aspek tingkat Pendidikan cukup baik. Hal ini terlihat pada komposisi
tingkat pendidikan Kepala Dusun di Kecamatan Jaten sebagaimana Tabel 5
berikut ini :
Tabel 5
Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten
Kabupaten Karanganyar
Tahun 2005
Sumber : Data Kecamatan Jaten
Data tersebut menunjukkan rata rata petugas pemungut PBB di
Kecamatan jaten berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan kondisi yang
cukup baik dan tingkat pendidikan yang baik ini diharapkan juga akan
berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan pemungutan PBB.
Meskipun tidak ada data yang menunjukkan kaitan langsung antara Tingkat
Pendidikan Petugas Pemungut dengan keberhasilan Pemungutan PBB,
setidaknya dengan tingkat pendidikan yang cukup maka tingkat pemahaman
dan kreatifitas seseorang dalam memahami suatu kebijakan akan lebih baik.
No Tingkat PendidikanJumlah(orang)
persentase(%)
1 SD 2 4,35
2 SLTP 11 23,91
3 SLTA 30 65,22
4 Sarjana 3 6,52
Jumlah 46 100
59
Disamping pendidikan formal juga dibutuhkan pendidikan dan pelatihan
yang lebih bersifat fungsional yang langsung mengarah pada suatu program.
Diklat semacam ini belum pernah dilaksanakan. Dalam rangka meningkatkan
kecakapan pegawai dan membantu para pegawai melaksanakan tugasnya
secara efektif dan efisien maka pendidikan dan latihan sangatlah penting
untuk dilaksanakan. Menurut Camat Jaten Pelatihan bagi Petugas pemungut
PBB Selama ini belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan sumber daya
dan dana yang ada di kecamatan Jaten, sehingga kegiatan Rapat Koordinasi
dan Apel PBB dijadikan sarana untuk meningkatkan motivasi dan pemahaman
Petugas pemungut dalam penangihan PBB.
Sedangkan menurut Kasubdin Penagihan Dinas Pendapatan Kabupaten
Karanganyar, Dipenda Pernah Mengadakan Pembinaan dalam rangka
peningkatan pemasukan PBB tetapi sasarannya masih terbatas sampai pada
tim intensifikasi tingkat kecamatan se Kabupaten Karanganyar.
3. Kepatuhan Pelaksana
a). Ketepatan Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
(SPPT)
Tugas awal yang harus dilaksanakan oleh para petugas pemungut PBB
adalah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan surat
ketetapan yang yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak Melalui KP PBB.
Penetapan Nilai PBB dalam SPPT Mengacu pada SPOP. Mekanisme
penyampaian SPPT ini sebagaimana dikemukakan oleh Kasi Pemerintahan
60
Kecamatan Jaten di mulai dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan
oleh Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar selanjutnya baru
didistribusikan ke desa/kelurahan melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa
selanjutnya di pilah-pilah perdusun dan dibuatkan daftar nominatif PBB
masing-masing dusun sambil di cek kebenaran datanya. Setelah proses
administrasi di desa selesai baru diedarkan oleh para kepala dusun kepada
masyarakat.
Menurut Kepala Dusun Jati Kecamatan Jaten SPPT sering terlambat
sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:
“Biasanya penyampaian SPPT disini agak molor pak, karena biasanya
SPPT sampai di desa bulan Juli dan baru beredar di masyarakat pada
bulan Agustus hal ini karena penelitian di desa membutuhkan waktu
yang cukup lama. Kalau SPPT dapat lebih awal kami terima tentunya
SPPT juga akan lebih cepat sampai ke masyarakat. Kalau tahun ini agak
lumayan pak bulan Mei kemarin sudah sampai di Desa makanya di
masyarakat pun tahun ini bisa lebih cepat”.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa terjadinya keterlambatan
penyampaiamn SPPT tidak terjadi karena semata-mata kesalahan petugas
Kadus di lapangan tetapi juga diakibatkan keterlambatan KP PBB
menerbitkan SPPT PBB. Keterlambatan Penyampaian SPPT ini jika tidak
diatasi akan merugikan Wajib Pajak karena sebenarnya wajib pajak diberi
kesempatan membayar pajak paling lambat enam bulan setelah SPPT
diterima. Jika SPPT terlambat diterima maka 6 bulan kedepan setelah SPPT
61
diterima bisa jadi sudah berganti tahun yang berarti jangka waktu pembayaran
menjadi lebih singkat .
Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas melaporkan
hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn kepada camat
dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan perkembangan penyampaian
SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah dengan tembusan Kepala
Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
Surakarta. Di tingkat desa yaitu koordinator, sebulan sekali melaporkan
perkembangan penyampaian SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan
Kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat
Camat Jaten dan menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi dan
Bangunan lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas pemungut
mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang tertera dalam
DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT Wajib pajak,
karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak jelas, Jumlah
Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang tertera dalam DHKP,
SPPT wajib pajak yang dobel nama.
Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari
Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada para
Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan hal yang
wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak masih
dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak yaitu dengan
dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
62
Bangunan di Surakarta, di karenakan penetapan pajak yang terlalu tinggi, luas
tanah yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan atau nama Wajib Pajak
yang tertulis di SPPT tidak sesuai dengan nama yang tertera pada Kartu Tanda
Penduduk. Alur administrasi sebagaimana diatas menimbulkan terjadinya
permasalahan dalam distribusi SPPT sampai ke wajib pajak.
2. Kepatuhan Pengadministrasian
Pengadministrasian PBB meliputi pembuatan laporan hasil
perkembangan penyampaian SPPT PBB tahun yang bersangkutan kepada
wajib pajak lewat koordinator pemungut pajak..Petugas Pemungut di Desa
harus membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang dibuat
oleh petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa para
wajib pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan kepada
Bank persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah membayar lunas
PBB dan yang belum membayar PBB nya.
Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat
secara rutin oleh Camat Jaten dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar,
serta tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah,
Kepala Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor Pelayanan
PBB Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten, untuk
mengetahui realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta langkah-
langkah apa yang harus dilakukan untuk mengejar target yang telah
ditetapkan. Keterlambatan dalam menyampaikan laporan bulanan kepada
63
Bupati Karanganyar, akan berakibat target yang telah ditetapkan dalam bulan
yang bersangkutan tidak diketahui sehingga pimpinan terlambat dalam
mengambil keputusan.
Kesulitan administrasi yang sering dijumpai adalah ketidak sesuaian
data obyek pajak dengan wajib pajaknya, hal ini disebabkan oleh tidak
terintegrasinya sistem administrasi kepemilikan dan penguasaan tanah di BPN
dengan Administrasi PBB di KP PBB. Sebagaimana dikemukakan oleh
petugas administrasi PBB Kecamatan Jaten sebagai Berikut :
“para pelaksana di lapangan sering kesulitan menyesuaikan data
PBB dengan data kepemilikan tanah yang sering terjadi perubahan.
Di Kecamatan Jaten yang merupakan daerah perkotaan, frekuensi
mutasi tanah sangat tinggi, tetapi hal ini tidak diikuti oleh mutasi
tagihan PBB sebagaimana tercatat dalam SPPT sehingga sering
terjadi komplain dan keengganan masyarakat untuk membayar PBB
karena Tanah yang menjadi obyek pajak tersebut sudah tidak berada
dalam penguasaanya atau mereka sudah tidak menikmati manfaat
atas tanah tersebut.”
Tanggung jawab administrasi perubahan atas SPPT yang diberikan
kepada wajib pajak berada di tangan KP PBB sebagai instansi induk yang
menangani PBB. Tetapi data dan informasi untuk keperluan mutasi data
Objek pajak dan wajib pajak berasal dari para Pejabat Pembuat Akte tanah
di bawah koordinasi Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan pihak yang
mendistribusilkan dan menagih PBB adalah aparat Pemda dengan
infrastrukturnya berupa aparat kecamatan dan aparat desa/kelurahan.
64
Pengadministrasian PBB juga meliputi penentuan Nilai jual Obyek
Pajak (NJOP) Yang dijadikan Dasar Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan
untuk menentukan besarnya pajak dari masing-masing obyek pajak turut
pula berpengaruh terhadap keterlambatan penyampaian SPPT sampai ke
wajib Pajak.
Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang
dievaluasi setiap tiga tahun ditetapkan oleh Menteri Keuangan kecuali untuk
daerah tertentu ditetapkan setiap tahun. Jangka waktu tiga tahun ini dianggap
wajar karena pada umumnya NJOP itu tidak cepat perubahannya kecuali
apabila terjadi perubahan klasifikasi, seperti perubahan penggunaan tanah dari
tanah ladang menjadi pemukiman atau menjadi tanah perindustrian.
Dalam menentukan nilai jual ini Menteri Keuangan mendengar dan
memperhatikan pertimbangan dari Gubernur dan Bupati setempat. Walaupun
nilai jual obyek PBB ditetapkan tiga tahun sekali, namun surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang (SPPT) dikenakan setiap tahun. Dari NJOP ini ditetapkan
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Penetapan NJKP ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah nomor 46 tahun 1985 dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 diatur NJKP
ditetapkan sebesar 20 % dari NJOP. Tentang penetapan besarnya NJKP ini
petugas KP PBB Surakarta mengemukakan :
Penetapan NJKP 20 % itu karena ada dua pertimbangan yaitu, pertama
karena PBB pada umumnya menggantikan pajak-pajak yang menjadi
sumber penerimaan daerah, maka diusahakan dengan adanya PBB
akan memberikan sumber pendapatan bagi daerah yang memadai
untuk membiayai kegiatan pembangunannya. Kedua, melihat
65
kemampuan ekonomi masyarakat secara keseluruhan untuk membayar
pajak agar tidak timbul gejolak yang terlalu memberatkan masyarakat.
Pernyataan diatas mengandung makna bahwa dengan penetapan NJKP
20 % dari NJOP penerimaan daerah tidak akan berkurang dibandingkan
dengan jika menggunakan peraturan yang lama, dan rakyat tidak terlalu berat
menanggungnya.
Tanah dan bangunan memiliki banyak keragaman yang nilainya tidak
mungkin disamaratakan, maka dalam PBB dilakukan klasifikasi dan
kategorisasi untuk mengelompokkan bumi dan bangunan berdasarkan nilai
jualnya. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor
antara lain letak, peruntukan, pemaanfaatan, dan kondisi lingkungan
Tanah/bangunan tersebut. Sedangkan secara lebih spesifik faktor yang dapat
membedakan besarnya NJOP adalah Luas tanah dan bangunan, hasil yang bisa
didapatkan dari tanah/bangunan, adanya irigasi, dan sebagainya. Sedangkan
untuk bangunan klasifikasinya memperhatikan faktor faktor bahan bangunan,
rekayasa teknologi yang digunakan, letak, kondisi lingkungan, dan lain-lain.
Nilai Jual Tanah yang dijadikan dasar penentuan NJOP adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
Mengingat transaksi jual beli tanah dalam suatu kawasan tidak sering terjadi
dan harga suatu bidang tanah belum dapat mewakili harga tanah untuk bidang
lain dalam satu kawasan, maka perlu ada metode lain dalam menentukan
besarnya NJOP. Sebagai kriteria lain yang dapat digunakan adalah
menggunakan perbandingan berdasarkan kategori dan klasifikasi tertentu.
66
Pendekatan lain yang digunakan dalam penentuan NJOP adalah metode nilai
perolehan baru, yaitu suatu pendekatan metode penetuan NJOP dengan cara
menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperolrh obyek tersebut
pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan berdasarkan
kondisi fisik obyek tersebut.
Masing masing metode yang digunakan selalu memiliki kelebihan dan
kelemahan, maka dalam tataran operasional setelah ditetapkan ternyata selalu
ada pihak yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima NJOP yang
muaranya muncul dalam SPPT. Hal Ini seperti yang dikemukakan oleh Kepala
desa Dagen sebagai berikut :
Di sini ini kebanyakan rakyatnya petani dan buruh kecil tapi pajak
PBB nya tinggi, mungkin karena lokasinya dekat dengan kawasan
industri, bagi masyarakat ini tentu sangat memberatkan, apalagi
hampir setiap tahun selalu ada peningkatan. Kami sendiri tidak tahu
benar apa yang dijadikan dasar penghitungan, yang jelas jika pajaknya
besar banyak warga kami yang tidak mau membayar. Untuk
memperlancar pembayaran terpaksa kami membantu mengurus
pengurangan ke KP PBB tetapi tahun berikutnya nilainya selalu
kembali ke nilai yang besar.
Hai ini menunjukkan bahwa kriteria dan cara penentuan besarnya PBB
yang diawali dengan penentuan NJOP tidak dipahami secara baik di tingkat
aparat pemerintahan yang terbawah. Maka dapat dipahami jika masyarakat
juga tidak mengetahui dasar-dasar pengenaan PBB. Tentang hal ini Petugas
KP PBB mengemukakan :
67
Penentuan besarnya NJOP ini telah melalui tahapan pendataan yang
melibatkan aparat pemerintah di desa dan rata rata nilai jual yang
dijadikan dasar penghitungan PBB masih berada di bawah harga pasar
yang berlaku. Atas dasar ini maka sebenarnya tidak ada alasan untuk
tidak membayar PBB. Bahkan kami juga memberi kesempatan jika
mereka merasa keberatan dengan besarnya pajak yang harus dibayar,
mereka dapat mengajukan keberatan. Jika alasannya mendasar kami
melalui Pimpinan kami di KP PBB pasti akan mengakomodasi
permohonan keberatan tersebut.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dari institusi KP PBB
sebagai tangan panjang menteri keuangan yang menetapkan besarnya PBB
yang harus dibayar masyarakat sudah berupaya memberikan layanan yang
baik kepada masyarakat, tetapi karena tidak semua informasi dapt sampai
kepada masyarakat maka masih selalu ada komplain atas penetapan
besarnya PBB atas obyek pajak yang dimiliki masyarakat.
3. Komunikasi
a. Komunikasi dengan wajib pajak
Dari sisi wajib pajak salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan memberikan penyadaran bagi wajib pajak mengenai perlunya
membayar PBB. Bentuk penyadaran terhadap wajib pajak yang pertama
kali dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan kepada wajib pajak
pada saat pertemuan tingkat RT maupun tingkat Dusun dan Desa. Dalam
hal ini pihak kecamatan bekerja sama dengan Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar. Dalam hal ini biasanya dilakukan setelah para
68
wajib pajak menerima SPPT dari Petugas pemungut pajak di tingkat
Dusun. Ini seperti dikemukakan Camat Jaten sebagai berikut :
Penyadaran terhadap wajib pajak kami lakukan dengan cara
pemberian sosialisasi pada mereka. Hal yang pertama dilakukan
melalui perangkat desa, pada saat kami memberikan SPPT lewat
Kepala Desa. Kemudian kami lanjutkan pada saat pertemuan
ditingkat Dusun maupun Desa.
Hal tersebut dibenarkan oleh seorang kepala dusun yang
menyatakan sebagai berikut :
Setiap tahun kami mendapatkan pengarahan dari Dinas Pendapatan
daerah Kabupaten Karanganyar dan Bapak Camat setelah menerima
SPPT yang harus disampaikan kepada wajib pajak. SPPT untuk
dikoreksi kebenarannya mungkin saja ada kesalahan, namun apabila
telah benar keseluruhannya, masyarakat dalam hal ini wajib pajak
dimohonkan untuk segera membayarnya tidak perlu menunggu jatuh
tempo.
Disamping dalam bentuk pertemuan secara langsung upaya
penyadaran para wajib pajak juga dilakukan melalui pemasangan spanduk
yang dipasang ditempat-tempat yang startegis misalnya perempatan jalan,
kantor desa maupun bank persepsi dalam hal ini Badan Kredit Kecamatan
(BKK) Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Jaten yang mengatakan sebagai
berikut:
Seperti petunjuk yang disampaikan oleh bapak Camat Jaten kamipun
memasang spanduk ditempat-tempat yang strategis, kami mendapatkan
3 spanduk satu kami pasang dibalai desa sedangkan yang lain di
tempat tempat yang strategis.
69
Upaya lain yang dilakukan dalam rangka penyadaran wajib pajak
untuk membayar pajak khususnya Pajak Bumi dan Bangunan juga dilakukan
melalui media elektronik yaitu lewat RSPD Karanganyar. Dalam
pemberitaan tersebut dikemukakan pentingnya membayar pajak tepat pada
waktunya dan kegunaan dana tersebut untuk kelangsungan pembangunan di
daerah Kabupaten Karanganyar.
Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten dalam
hal meningkatkan kesadaran wajib pajak tersebut nampaknya memang telah
cukup memadai, sebab semua jalan telah ditempuh misalnya memanfaatkan
pertemuan-pertemuan di tingkat Dusun, ditempat jamuan orang punya kerja,
pemasangan spanduk ditempat-tempat yang strategis serta memanfaatkan
siaran Radio RSPD Karanganyar di setiap Minggu. Berbagai kendala
khususnya dalam hal pemberian sosialisasi masih terjadi, karena dalam
pertemuan baik ditingkat RT maupun Dusun ada masyarakat wajib pajak
yang tidak bisa hadir secara pribadi, atau pada waktu siaran radio lewat
RSPD kurang diperhatikan karena media Radio sudah tidak menarik lagi
dibandingkan media Televisi.
b. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB
Dari sisi petugas pajak persoalan yang muncul biasanya
berhubungan dengan kurangnya komitmen dan pemahaman petugas pajak.
Dalam hal ini berkaitan dengan budaya sendiko dawuh. Kalau pimpinan
belum memberikan komando untuk terjun kebawah biasanya staf juga belum
70
bergerak untuk mengadakan sosialisasi, pengecekan dilapangan apakah
SPPT telah disampaikan kepada wajib pajak maupun penarikan PBB dari
wajib pajak. Dalam mengantisipasi tentang hal ini pihak Kecamatan Jaten
melakukan berbagai langkah sebagai berikut :
1) Kecamatan Jaten melibatkan beberapa Kepala Seksi dan staf untuk
menangani masalah Pajak Bumi dan Bangunan masing-masing
personil diberikan tanggung jawab per desa dari monitoring
penyampaian SPPT sampai pada wajib pajak membayar kewajibannya
dan mendapatkan STTS dari Bank persepsi dalam hal ini BKK Jaten.
Menurut Camat Jaten hal ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan
mengoptimalkan hasil pemungutan PBB, sebagaimana dikemukakan
Camat Jaten dalam wawancara sebagai berikut :
Sebenarnya PBB menjadi tugas pokok dan fungsi Kepala Seksi
Pemerintahan, namun karena banyaknya permasalahan yang
menyangkut tentang PBB, maka kami melibatkan seluruh kepala
seksi untuk ikut serta menangani PBB dan diharapkan PBB bisa
terselesaikan tepat pada waktunya.
2) Kecamatan bekerja sama dengan Kepala Desa untuk menentukan
Kepala Dusun mana yang akan diusulkan menjadi pemungut pajak,
dan Kepala Dusun mana yang tidak diusulkan serta diganti dengan
perangkat desa yang lain misalnya Kaur ditingkat desa. Hal ini penting
dilakukan karena dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, Kepala
Dusun yang itu-itu saja yang menggunakan uang setoran PBB untuk
71
kepentingan pribadinya. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Jetis
Kecamatan Jaten sebagai berikut:
Kalau memang ada petunjuk tertulis dari bapak Camat Jaten,
kaur boleh diserahi tugas untuk menarik PBB dari masyarakat,
kami harapkan sekali sebab banyak kepala dusun sebagai
pemungut pajak malah menghabiskan dana setoran PBB nya
untuk kepentingan pribadinya. Kalau sudah demikian akhirnya
Kepala Desa yang harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan
PBB yang digunakan oleh Kepala Dusun tersebut, karena Kepala
Desa merasa malu.
Sementara itu berkaitan dengan munculnya kenyataan bahwa
pajak yang telah diterima oleh petugas pemungut tidak disetorkan
semua, dalam hal ini pihak Kecamatan Jaten mengantisipasinya dengan
lebih banyak turun pada pertemuan-pertemuan ditingkat dusun dengan
cara jemput bola, walau memerlukan waktu yang cukup lama namun
cukup efektif karena wajib pajak dapat membayar pada pertemuan
tersebut secara kolektif dan pada pagi harinya telah mendapatkan Surat
tanda lunas membayar PBB dari Badan Kredit Kecamatan (BKK) Jaten.
Hal tersebut dibenarkan oleh perangkat desa di Desa Sroyo
sebagai berikut:
Kalau setiap tahun tim tingkat Kecamatan mau jemput bola
seperti ini, saya yakin sekali PBB akan lunas tepat pada
waktunya karena tidak dipakai oleh petugas pemungut,
sekaligus Bapak Camat dapat memberikan informasi kepada
masyarakat secara langsung tidak hanya masalah PBB
72
namun, informasi yang lain yang sangat diperlukan oleh
warga masyarakat.
Dalam berbagai hal nampaknya upaya ini cukup berhasil, akan
tetapi persoalannya akan kembali pada pemberian upah pungut yang
kurang jelas yang diterima oleh petugas pemungut pajak. Selama ini upah
pungut yang diberikan pada petugas pemungut PBB lewat Kepala Desa
masih terkesan belum dilakukan secara transparan, karena Kepala Desa
tidak menjelaskan secara terbuka berapa yang telah diterima. Kepala Desa
hanya diberikan upah sebesar persentase tertentu yang dipengaruhi oleh
oleh seberapa besar realisasi dari target yang diberikan. Hal ini
menyebabkan para petugas pemungut pajak tidak menyetorkan seluruh
perolehannya kepada Bank Persepsi dalam hal ini BKK Jaten. Hal ini
dibenarkan oleh seorang Kepala Dusun yang sebagai pemungut pajak di
Desa Jetis sebagai berikut:
Sebenarnya kami harus menerima upah dari jerih payah kami sebagai
pemungut pajak, namun kami tidak pernah menerima upah pungut
tersebut, kalaupun menerima upah pungut sangat sedikit sekali dan
tidak sesuai dengan apa yang telah kami keluarkan.
Berkaitan dengan hal tersebut dibenarkan oleh Sekretaris
Kecamatan Jaten yang mengatakan sebagai berikut:
Tidak semua Kepala Desa yang ada di Kecamatan Jaten ini nakal
memang ada beberapa yang nakal, yang masih berlaku jujurpun juga
banyak sehingga apa yang semestinya diterima oleh para petugas
pemungut pajak dalam hal ini upah pungut sampai juga pada
73
alamatnya misalnya di Desa Jaten tidak ada keluhan dan Desa Jetis
karena upah pungut disampaikan kepada yang berhak menerima.
Hal tersebut berarti bahwa mekanisme atau sistem penarikan dan
pemberian upah pungut belum dapat dilaksanakan secara terbuka kepada
para pemungut pajak dalam hal ini Kepala Dusun.
Persoalan yang berkaitan dengan sistem penarikan lebih banyak
berhubungan dengan mekanisme pajak dan ketidak jelasan upah
pemungutan pajak, serta ketidak jelasan sangsi terhadap para pelanggar
baik dari kalangan petugas pemungut pajak maupun dari wajib pajak.
Berkaitan dengan hal ini upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
Kecamatan Jaten seperti yang dikemukakan oleh Kepala Seksi
Pemerintahan kecamatan sebagai berikut.
Berkaitan dengan sistem penarikan PBB di daerah pedesaan kami
juga menginstruksikan kepada petugas pemungut pajak dan Kepala
Desa untuk ditarik bersama-sama pada waktu kegiatan rapat
ditingkat dusun. Jadi wajib pajak tinggal menyetor sebesar
nominal yang ada pada SPPT, petugas dari Kecamatan Jaten dan
BKK menerima setoran dan membukukan sekaligus diberikan
tanda lunas PBB. Sehingga tidak terjadi uang setoran dipakai oleh
pemungut pajak dengan alasan untuk upah pungut.
Sementara itu berkaitan dengan sangsi atas ketidak taatan
membayar pajak, pihak Kecamatan Jaten memberikan persyaratan tertentu
tentang penggunaan bukti pembayaran PBB sebagai sarana mengurus
berbagai urusan di tingkat kecamatan, seperti pembuatan KK dan KTP.
74
Hal ini seperti dikemukanan oleh Sekretaris Kecamatan Jaten sebagai
berikut :
Masyarakat kami yang akan mengurus pembuatan KK dan KTP,
diwajibkan untuk membawa juga tanda lunas telah membayar PBB
tahun yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengingatkan kepada warga selain kartu KK dan KTP membayar
PBB juga menjadi kewajiban warga masyarakat untuk
membayarnya.
Hal ini juga kami konfirmasikan kepada bapak Camat Jaten yang
menyatakan sebagai berikut:
Memang kami menganjurkan setiap pemohon kartu KK dan KTP
untuk membawa tanda lunas PBB tahun yang bersangkutan,
namun kalau mereka tidak membawa kami juga melayaninya
karena ketentuan ini memang tidak ada. Kami hanya menghimbau
saja kepada masyarakat kami untuk membayar PBB tepat pada
waktunya.
Sementara upaya di tingkat Pemerintah Desa dalam hal ini
dilakukan dengan pemberian panggilan ulang dibalai desa. Biasanya
setelah waktu akan jatuh tempo pembayaran selesai. Hal ini seperti
dikemukakan Kepala Desa Jetis Kecamatan Jaten sebagai berikut:
Apabila jatuh tempo pembayaran PBB di desa kami belum 100 %,
kami adakan pemanggilan di Kantor desa, bersama Kepala Dusun
setempat untuk mengetahui kesulitan apa yang ada saat ini dan
biasanya dapat terselesaikan dengan baik karena masih ada rasa
pakewuh kepada Kepala Desa.
75
Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten dan
Pemerintah Desa di wilayah Kecamatan Jaten, adalah wujud dari upaya
yang dilakukan dari segi pengawasan atas kewajiban membayar dari wajib
pajak dan pengawasan untuk petugas pemungut pajak untuk tidak
menggunakan dana setoran PBB.
C. Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Implementasi
Pemungutan PBB
1. Mobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pemungutan PBB
Petugas yang terlibat dalam Pemungutan PBB terdiri dari para petugas
yang telah ditetapkan Bupati Karanganyar melalui SK Bupati Karanganyar
nomor 973/354 tahun 2005 tentang Penetapan Tim Intensifikasi PBB
Kabupaten Karanganyar. Dalam Tim tersebut Tim Intensifikasi dibentuk
berjenjang mulai dari Kabupaten sampai Kacamatan. Selanjutnya Kepala
Desa ditunjuk sebagai koordinator petugas pemungut, Sekretaris Desa sebagai
Petugas Administrasi PBB Desa dan Kepala Dusun sebagai Petugas Pemungut
PBB.
Di Tingkat Kecamatan Tim Intensifikasi PBB terdiri dari Camat
sebagai penanggungjawab dengan anggota Sekretaris Kecamatan, Kasi
Pemerintahan dan beberapa staf yang membidangi. Tim Tingkat Kecamatan
ini bertugas memobilisasi proses pemungutan PBB mulai dari Penyampaian
SPPT sampai pada pelaporan realisasi pelunasan PBB. Di Kecamatan Jaten
Tim ini terdiri dari 5 orang yang masing-masing telah memahami peran dan
76
fungsinya masing-masing sebagaimana diungkapkan oleh Camat Jaten
Sebagai Berikut :
“Tim Intensifikasi PBB di Kecamatan Jaten ini jumlahnya ada lima orang
termasuk saya, meskipun hanya lima orang saya berupaya agar yang
sedikit ini bisa bekerja dengan efektif, maka saya membagi mereka dalam
wilayah desa binaan, dimana masing masing anggota tim kecuali saya
membina di 2 desa. Dengan begitu saya harapkan mereka lebih
bertanggungjawab dan tahu betul, sehingga mereka lebih fokus terhadap
permasalahan di desa binaannya masing masing. Sebenarnya saya ingin
satu orang membina satu desa saja tetapi komposisi Tim Intensifikasi ini
sudah ditentukan dari Kabupaten, mungkin ada kaitannya dengan hak upah
pungut yang diberikan. Disini ada 5 orang petugas, sebenarnya jumlah
tersebut masih kurang, tetapi kalau bekerja dengan efektif jumlah itu saya
rasa sudah cukup”.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Tim Intensifikasi Tingkat
Kecamatan yang berjumlah lima orang telah cukup berfungsi sebagai
pengendali proses pemungutan PBB di Kecamatan Jaten. Tolok ukur yang
dapat digunakan untuk melakukan penilaian ini adalah semua administrasi
PBB di Kecamatan Jaten tertata dan berjalan dengan Baik disamping itu setiap
kesulitan dari Desa dapat teratasi dengan baik sebagimana dikemukakan
Sekretaris Desa Dagen yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
“Selama ini tidak ada masalah mas komunikasi dengan Kecamatan
berjalan dengan baik setiap persoalan yang muncul selalu bisa dibantu
dengan baik oleh petugas kecamatan, tetapi kalau soal lunasnya ya itu
semua sudah kami usahakan tetapi ada saja wajib pajak yang membandel”.
77
Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa secara administratif
persoalan-persoalan PBB dapat teratasi, tetapi tetap saja persoalan Wajib
Pajak yang menunggak masih ada. Selanjutnya untuk tingkat desa di
Kecamatan Jaten, jumlah petugas PBB terdiri dari 8 orang Koordinator
Petugas Pemungut, 8 orang petugas administrasi, dan 46 orang Petugas
Pemungut. Jumlah tersebut sesuai dengan komposisi Kecamatan Jaten yang
terdiri dari 8 desa dan 46 dusun. Maka jumlah tersebut secara umum sudah
cukup memadai. Permasalahan muncul ketika sebuah dusun memiliki
penduduk yang sangat besar seperti di Desa Ngringo. Di desa ini ada satu
orang Petugas Pemungut yang harus menangani lebih dari 3.000 Wajib Pajak.
Hal ini terjadi karena Ngringo adalah kompleks perumahan yang sangat padat
sehingga jumlah penduduknya sangat banyak. Atas dasar kenyataan tersebut
perlu dipikirkan untuk diusulkan penambahan petugas pemungut PBB khusus
untuk desa dengan karakteristik khusus seperti Desa Ngringo tersebut.
Data tingkat pendidikan petugas pemungut PBB di Kecamatan Jaten
menunjukkan rata – rata berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan kondisi
yang cukup baik dan tingkat pendidikan yang baik ini diharapkan juga akan
berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan pemungutan PBB.
Meskipun tidak ada data yang menunjukkan kaitan langsung antara Tingkat
Pendidikan Petugas Pemungut dengan keberhasilan Pemungutan PBB,
setidaknya dengan tingkat pendidikan yang cukup maka tingkat pemahaman
dan kreatifitas seseorang dalam memahami suatu kebijakan akan lebih baik.
78
2. Penerapan Sistem rewards and punishmet dalam Pemungutan PBB.
Dalam UU PBB maupun peraturan-peraturan turunannya tidak
mengatur rewards bagi wajib pajak yang telah membayar pajak dengan baik.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan
pemasukan dari sektor PBB telah berusaha memberikan penghargaan kepada
wajib pajak maupun institusi pemungut di lapangan yang telah mendukung
keberhasilan pemungutan PBB. Di Kabupaten Karanganyar, rewards atau
bentuk penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak yang telah membayar
pajak lebih awal diberikan dalam bentuk pembarian hadiah undian bagi Wajib
pajak yang telah melunasi PBB sebelum bulan agustus setip tahunnya.
Tentang hal ini Kasubdin Penagihan pada Dinas Pendapatan daerah
Kabupaten Karanganyar dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006
mengemukakan sebagai berikut :
Kami telah mendesain cara agar masyarakat tergugah untuk sadar
membayar pajak lebih awal dari jatuh tempo yang ditentukan. Cara yang
kami tempuh adalah dengan memberikan stimulan berupa berbagai
hadiah yang menarik bagi wajib pajak yang kami undi untuk para wajib
pajak yang telah lunas PBB sampai akhir bulan Juli tahun yang
bersangkutan. Program ini kami mulai sejak tahun 2004 dan ternyata
hasilnya luar biasa di Kabupaten Karanganyar yang opada tahun tahun
sebelumnya tidah pernah menutup terget ternyata pada tahun 2004
pemasukan PBB tahun 2004 lebih dari 100 %. Memang pasti ada
indikator lain yang mendukung keberhasilan ini tetapi tentunya
pemberian hadiah ini turut memberi kontribusi yang signifikan terhadap
keberhasilan tersebut.
79
Keberhasilan sebagaimana diungkapkan Kasubdin Penagihan
Dipenda Kabupaten Karanganyar tersebut memang benar karena berdasarkan
data pemasukan PBB (tabel 1) sejak tahun 2001 sampai 2003 pemasukan
pungutan PBB di Tingkat Kabupaten Karanganyar berkisar antara 80 % sd 96
%, tetapi pada tahun 2004 meningkat drastis menjadi 109, 17 %. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa sistem penghargaan yang diberikan kepada wajib
pajak merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan implementasi
kebijakan pemungutan PBB.
Adanya Penghargaan bagi yang berprestasi atau yang kooperatif
tentunya juga perlu dibarengi dengan adanya hukuman atau punishment bagi
yang melanggar. Dalam Kebijakan PBB telah memuat sanksi terhadap para
pelanggar kebijakan ini. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar kebijakan
PBB diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi
administratif diberikan jika wajib pajak terlambat mengembalikan Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan jika wajib pajak terlambat membayar
pajak terhutang yang telah jatuh tempo. Sanksi administratif ini dikenakan
dalam bentuk denda, misalnya untuk wajib pajak yang terlambat membayar
PBB dikenakan denda administratif sebesar 2 % dari pajak terhutang per bulan
keterlambatan pembayaran.
Tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana antara lain : Tidak
mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek pajak (SPOP), menyampaikan
SPOP yang isinya tidak benar, tidak lengkap, dan atau lampirannya tidak
memberikan keterangan yang benar, tidak mengembalikan SPOP,
80
menunjukkan dokumen palsu atau yang dipalsukan, dan tidak memperlihatkan
dokumen yang dibutuhkan oleh Ditjen pajak dalam penetapan PBB. Terhadap
pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling
lama satu tahun atau denda paling tinggi Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).
Sanksi sebagaimana diatur dalam undang undang PBB tersebut hanya
mengatur hukuman bagi para Wajib pajak yang tidak taat dalam
menyampaikan informasi perpajakan yang menjadi tanggungjawabnya. UU
PBB tidak mengatur sanksi yang keras terhadap Wajib Pajak yang terlambat
atau tidak membayar PBB. Sanksi yang diatur hanyalah sanksi denda atas
keterlambatan pembayaran yang besarnya ditetapkan sebesar 2 % per bulan
keterlambatan dari ketetapan pajak yang telah ditentukan.
Pernyataan Camat Jaten yang mengungkap adanya kelemahan dalam
penegakan hukum tersebut diperkuat oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan
Jaten dalam wawancara tanggal 17 Oktober 2006 yang mengemukakan :
“Permasalahan yang saya alami selama ini adalah selalu saja ada
perangkat Desa yang terlambat menyetor PBB dari masyarakat ke bank
persepsi, sebenarnya kalau bicara sanksi sudah jelas bagi perangkat desa
yang melanggar dapat diproses hukuman disiplin, bahkan jika petugas
ini menggunakan uang PBB bisa dikenakan pasal KUHP tentang
penggelapan atau karena mengakibatkan kerugian negara dapat dijerat
UU Korupsi, tetapi untuk sejauh itu saya rasanya belum bisa
melaksanakannya karena berbagai pertimbangan terutama pertimbangan
manusiawi. Yang jelas menurut saya akarnya adalah masalah penegakan
hukum yang tidak berjalan seperti tadi yang saya katakan sayapun belum
mampu melakukan itu”.
81
Mencermati pernyataan diatas penerapan sanksi perlu juga
diterapkan terhadap para petugas pemungut karena menurut pengamatan Tim
Intensifikasi PBB Kecamatan Jaten kendala dalam pemungutan PBB
seringkali muncul dari petugas pemungut sendiri. Selama ini masih ada saja
petugas Pemungut yang tidak menyetorkan uang PBB yang mereka pungut
dari masyarakat. Permasalahan ini akan menimbulkan kekecewaan dari
masyarakat yang telah membayar pajak dengan tertib. Kekecewaan tersebut
jika tidak segera diatasi akan menimbulkan sikap wajib pajak yang menolak
membayar PBB karena menganggap negara sudah tidak bisa dipercaya karena
aparatnya yang nakal.
Untuk menjawab pemrmasalahan ini, tim intensifikasi Kabupaten
Karanganyar telah menjalin kerjasama dengan Kantor Satuan Polisi Pamong
Praja (SATPOL PP) yang akan mengerahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) untuk melakukan penegakan hukum terhadap para petugas pemungut
yang menggunakan atau menyelewengkan setoran PBB. PPNS dari Kantor
Satpol PP ini akan dikerahkan untuk menindaklanjuti laporan camat atas
penyelewengan yang dilakukan petugas Pemungut. Menurut Kasi Penagihan
Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar, kerjasama ini merupakan sebuah
langkah yang sudah rutin dilakukan tetapi mulai tahun 2005 ini
implementasinya akan lebih dioptimalkan sebagaimana diungkapkan dalam
wawancaera sebagai berikut :
Kerjasama ini bukan barang baru, tetapi tahun ini kami akan berusaha
agar pelaksanaannya lebih efektif, agar menimbulkan efek jera bagi
para petugas yang melanggar ketentuan. Permasalahannya selama ini
82
laporan yang disampaiakan para camat tidak jelas sehingga sulit untuk
ditindaklanjuti, maka tahun ini kita dorong para camat untuk membuat
laporan yang jelas dan valid untuk dapat ditindaklanjuti secara tepat
oleh PPNS Satpol PP.
Kerjasama tersebut disambut baik oleh Kepala Kantor Satpol PP
sebagaimana terungkap dalam wawancara sebagai berikut :
Kami siap melaksanakan kerjasama ini, apalagi secara fungsional
kami juga masuk dalam keanggotaan tim intensifikasi PBB
Kabupaten Karanganyar. Hanya saja permasalahannya hingga saat ini
kami baru memiliki petugas PPNS sebanyak 10 orang, padahal
cakupan tugas kami sangat luas meliputi penegakan semua Peraturan
Daerah di Kabupaten Karanganyar. Jika semua Kecamatan
menyerahkan sepenuhnya kepada PPNS tentu saja kami akan sangat
kesulitan, tetapi kami punya komitmen untuk mendukung program ini
dengan sebaik-baiknya.
Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa perangkat untuk melakukan
penegakan hukum telah tersedia, selanjutnya sejauh mana perangkat tersebut
dapat dimobilisasi secara efektif untuk pencapaian tujuan keberhasilan
pemungutan PBB sangat tergantung pada kesadaran pihak-pihak tersebut
dalam menjalankan tugas tanggung jawabnya masing-masing.
3. Koordinasi dalam pemungutan PBB
Koordinasi ini dilakukan untuk memadukan langkah terkait dengan
pelaksanaan intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan di kecamatan Jaten,
antara lain tim tingkat Kecamatan yang terdiri, Camat, Sekretaris Camat,
83
Petugas administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, Para Kepala seksi dan Staf
dan Kepala Bank Persepsi dalam hal ini Kepala BKK Kecamatan Jaten.
Koordinasi bersama tim tingkat kecamatan Jaten dilakukan setiap seminggu
sekali, untuk mengetahui potensi wajib pajak, realisasi pemasukan Pajak Bumi
dan Bangunan atau target dan sisa target yang ada, serta hambatan –hambatan
yang dijumpai dilapangan.
Koordinasi tim tingkat Kecamatan, bersama Kepala BKK dilakukan
setiap saat untuk mengetahui apakah hasil pemungutan kepada para wajib
pajak telah disetorkan kepada Bank persepsi, karena berdasarkan pengalaman
sudah banyak setoran yang dipungut oleh para pemungut pajak, namun tidak
segera disetorkan, bahkan dipakai oleh para pemungut pajak sehingga terjadi
tunggakan.
Koordinasi dengan Muspika juga di perlukan, terutama apabila dijumpai
para pemungut pajak dalam hal ini Kepala Dusun menggunakan uang titipan
setoran PBB tersebut untuk kepentingan pribadi. Sebelum perkara ini
diserahkan kepada tim tingkat Kabupaten Karanganyar, biasanya masalah
tersebut diselesaikan lebih dulu di tingkat kecamatan.
Koordinasi Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan Kecamatan
Jaten dengan para Kordinator pemungut pajak, dalam hal ini semua Kepala
Desa se Wilayah Kecamatan Jaten beserta para pemungut pajak dalam hal ini
Semua Kepala Dusun se Kecamatan Jatendilaksanakan satu bulan sekali.
Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan sekali pada tanggal 17 setelah
84
pelaksanaan Upacara bendera bertempat di ruang rapat Kantor Kecamatan
Jaten.
Koordinasi instansi Kecamatan Jaten dengan Tim Tingkat Kabupaten
Karanganyar dilakukan rutine setiap bulan sekali di Kantor Dinas Pendapatan
Daerah, yang dipimpin langsung oleh Bapak Wakil Bupati Karanganyar.
Dalam pertemuan ini Camat melaporkan jumlah baku Pajak Bumi dan
Bangunan yang ada diwilayahnya, realisasi selama satu bulan, sisa target yang
ada, serta langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mencapai target
yang telah ditetapkan, sekaligus untuk mengetahui kinerja Camat dalam hal
intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan.
Koordinasi dengan instusi lain seperti KP PBB dilakukan sesuai
kebutuhan. Tim Kecamatan selalu memberikan perkembangan data terutama
mengenai perubahan hak milik tanah yang dilanjutkan dengan perubahan
Wajib Pajak yang tertulis di SPPT. Untuk pengajuan perubahan ini biasa
dilakukan sendiri oleh masyarakat atau di bantu oleh petugas administrasi desa
setelah mendapatkan pengesahan dan rekomendasi dari Camat.
Keluhan yang terjadi dan adalah pengurusan perubahan terbentur pada
persyaratan birokrasi yang rumit seperti yang dikemukakan oleh Sekdes Jaten
dalam wawancara tanggal 17 Oktober 006 sebagaio berikut :
“Pengurusan Perubahan SPPT itu butuh persyaratan yang banyak dan
bertele-tele padahal kami hanya ingin membantu agar tunggakan yang
dulu menjadi terbayar. Untuk bisa meningkatkan penerimaan negara
mestinya diberi kemudahan. Dengan banyaknya persyaratan kami
kesulitan jika harus menghubungi orang-orang diluar kota padahal kan
tidak ada pos biaya untuk itu”.
85
Pernyataan Sekdes Jaten tersebut dikemukakan berkaitan dengan
perubahan data dalam SPPT mengingat wajib pajak tidak mau membayar
pajak selama data yang ada dalam SPPT tidak benar, sedangkan yang
bersangkutan tidak mau mengurus perubahannya. Beberapa wajib pajak yang
seperti itu ada yang berdomisili di luar kota, selama ini SPPT ini menjadi
beban tunggakan bagi Desa Jaten. Pihak KP PBB menanggapi hal ini,
menyatakan bahwa tidak ada yang sulit sejauh persyaratan lengkap semua
dapat terlayani dengan baik, dan menurut petugas di KP PBB hal ini sudah ada
aturan baku dan prosedur tetapnya.
Kesenjangan Koordinasi yang terjadi ketika petugas administrasi desa
mencoba membantu kelancaran PBB dengan mengurus pembetulan data
dengan institusi KP PBB yang tetap mempertahankan bahwa persyaratan
harus lengkap untuk dapat dilayani. Keadaan ini sulit untuk mendapat titik
temu karena masing masing pihak bersikap kaku pada kaca mata kepentingan
masing-masing yang sama memiliki argumen yang dapat
dipertanggungjawabkan.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan tentang
implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
sebagai berikut :
1. Kepatuhan Pelaksana dalam Menyalurkan SPPT PBB tidak dapat
dilakukan tepat sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan karena
pengiriman SPPT dari KP PBB sebagai Pihak yang mengeluarkan SPPT
sudah terlambat.
2. Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum berjalan dengan baik,
disebabkan karena belum padunya koordinasi antar instansi yang
menangani Pertanahan dan KP PBB yang menangani penerbitan SPPT
PBB.
3. Telah ada upaya memberlakukan sistem penghargaan (rewards) bagi wajib
pajak dan petugas pemunut yang patuh terhadap ketentuan PBB. Dan juga
diberlakukan hukuman (punisment) bagi pelanggar ketentuan, tetapi jenis
hukuman yang hanya berupa denda bagi para penunggak dan peringatan
bagi aparat yang tidak tertib menyetor menyebabkan masih adanya
tunggakan PBB di Kecamatan Jaten.
4. Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas terhadap para
wajib pajak yang tidak membayar pajak, sehingga petugas pemungut
87
seperti tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendorong agar wajib
pajak mau membayar PBB nya.
5. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB dilaksanakan melalui rapat
koordinasi dan konsultasi, Selanjutnya untuk mengoptimalkan
keberhasilan pemungutan PBB dijalin kerjasama dengan Satpol PP
Kabupaten Karanganyar.
Secara lebih spesifik penelitian ini menemukan beberapa faktor yang
dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan PBB di Kecamatan
Jaten Kabupaten Karanganyar sebagai berikut :
1. masih adanya keterlambatan dan kesalahan dalam SPPT yang dikeluarkan
KP PBB mengakibatkan keterlambatan dan permasalahan petugas pemungut
di lapangan.
2. Belum ada shock therapy berupa sanksi berat yang diterapkan terhadap
wajib pajak yang tidak membayar PBB mengakibatkan tidak adanya rasa
takut bagi wajib pajak yang menolak membayar PBB.
3. Jumlah petugas intensifikasi di Tingkat Kecamatan Jaten yang memiliki
target PBB tertinggi di wilayah Kabupaten Karanganyar diperlakukan sama
dengan kecamatan lain tanpa melihat besaran target yang menjadi tanggung
jawabnya.
4. Kepatuhan aparat pelaksana dalam hal ini petugas pemungut PBB masih
kurang hal ini ditandai dengan masih adanya petugas pemungut yang
menggunakan dana PBB untuk kepentingan pribadi.
88
5. Di Kecamatan Jaten yang sebagian besar merupakan wilayah perkotaan
sangat sering terjadi mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah, tetapi tidak
diikuti dengan mutasi data dalam SPPT sehingga SPPT yang disampaikan
tidak valid lagi dan dijadikan alasan untuk menolak membayar PBB.
6. Komunikasi antara pelaksana di lapangan dengan pihak KP PBB sering
tidak berjalan dengan baik karena besarnya cakupan layanan KP PBB
Surakarta yang sangat luas.
Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di
Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut :
1. Komitmen pimpinan wilayah dalam hal ini Camat dalam mensukseskan
Pemungutan PBB sangat tinggi sehingga bisa mendorong motivasi petugas
di bawahnya untuk lebih giat dalam menjalankan tugasnya.
2. Sistem rewards berupa hadiah undian bagi wajib pajak yang membayar PBB
sebelum bulan agustus cukup membantu peningkatan pemasukan PBB.
Tetapi pemberian hadiah lunas awal bagi desa yang lunas PBB 100 % belum
mampu dinikmati karena target PBB di Kecamatan Jaten sangat tinggi.
3. Sumber Daya Manusia yang dikerahkan untuk melaksanakan pemungutan
PBB sudah cukup memadai dan secara umum tahu kondisi wilayah tugasnya
masing-masing.
89
B. Implikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan
pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh pemerintah Kecamatan Jaten
didasari pada kewajiban melaksanakan UU nomor 12 tahun 1986 Juncto. UU
no 12 tahun 1994 serta sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah dari
sektor pajak. Penyadaran pada wajib pajak dan para petugas pemungut pajak
merupakan faktor penting demi keberhasilan pemungutan PBB. Disamping itu
upaya mengatasi kendala kendala lain sepeti lemahnya komunikasi dengan
wajib pajak dan koordinasi antar instansi, tidak tegasnya penegakan hukum,
penerapan sistem insentif yang tidak optimal harus segera dilakukan. Jika hal
ini tidak segera dilaksanakan akan membawa implikasi semakin meningkatnya
tunggakan PBB dari tahun ke tahun yang tentu saja semakin menjadi beban
bagi instansi dan petugas pemungut. Besarnya tunggakan tersebut dapat pula
menimbulkan preseden buruk bagi wajib pajak, dimana mereka akan
beranggapan bahwa tidak membayar PBB tidak ada resikonya, terbukti
tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya juga tidak ada sanksi yang tegas.
Hal ini akan membawa konsekuensi kurangnya efektifitas pemungutan
PBB dalam rangka peningkatan penerimaan pendapatan daerah. Membangun
kesadaran para wajib pajak adalah merupakan proses yang cukup panjang.
Ketidaktegasan pejabat yang berwenang dalam menerapkan sangsi bagi para
pelanggar, baik bagi para wajib pajak maupun petugas pemungut pajak, dapat
dijadikan alasan untuk menunda membayar pajak.
90
C. Saran
Atas dasar temuan penelitian diatas, beberapa saran yang diajukan untuk
meningkatkan keberhasilan Implementasi Kebijakan Pemungutan PBB adalah
sebagai berikut :
1. Perlu ada shock therapy berupa sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang
menunggak PBB terutama bagi yang menunggak lebih dari 1 tahun. Sanksi
tegas juga perlu diterapkan untuk petugas pemungut yang menggunakan uang
PBB dari wajib pajak untuk kepentingan pribadi.
2. Perlu adanya penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur
kewajiban dan kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan
Nasional (BPN), dan KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan
pemanfaatan tanah diikuti dengan mutasi SPPT PBB.
3. Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara Dipenda, Kantor KP
PBB, Kecalamatan dan Desa.
4. Mekanisme pemberian upah pungut perlu ditata ulang agar mekanisme upah
pungut benar-benar dapat dirasakan dan mampu memotivasi para petugas di
lapangan untuk bekerja maksimal sehingga hasilnya juga maskimal.
91
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten
Kabupaten Karanganyar
Tesis
Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajad Magister
Program Studi Magister Administrasi Publik
Oleh:
Larmanto
NIM. S. 2405017
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
92
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James E, 1975, Public Policy making An Introduction, Houghton
Miflin Company, Boston USA.
Dye, Thomas R, 1978, Understanding Public Policy, New jearsey: prentice Hall
Inc. Engelwood Cliffs,
Dunn, N. William, Muhadjir Darwin (Penyunting), 2001, Analisis Kebijaksanaan Publik : Kerangka Analisis dan Dasar Prosedur Perumusan Masalah, Yogyakarta, Hanindita.
Guritno Mangkoesoebroto, 1993, ”Ekonomi Publik”, BPFE UGM, Yogyakarta.
Grindle, Merilee S, 1980, Politics and Policy Implementation in The Third World, New York, Princenton University Press.
HB Sutopo, 1998, ”Penelitian Kualitatif” , UNS Press, Surakarta.
Josep Riwu Kaho, 1997, Prospek Otonomi daerah di negara Republik Indonesia, (Identifikasi beberapa factor yang Mempengaruhinya), Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975, The Policy Implementation Process, A Conceptual Framework, Ohio, Sage Publication inc. Ohio State University.
Mardiasmo, 1987, ”Perpajakan”, Andi Offset, Yogyakarta.
Miles dan Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta
Mikkelsen, Britha, 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan upaya-upaya pemberdayaan, sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Muhajir Darwin, 1994, ”Kebijaksanaan Publik”, UNS Press, Surakarta.
Lexy J Moleong, ,. Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung.
Munawir, H.S, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung-Jakarta.
Wahyu Nurharjadmo, 2004, Laporan Penelitian Berbagai Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Klaten Utara dalam Meningkatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). UNS Surakarta.
Pal, Leslie A., 1987, “Public Policy Analysis An Introduction”, Departement of Political Sience, University of Calgary.
93
Pariata Westra, 1994, manajemen Pembangunan Daerah, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Parkin, M & Bade, R.,1986, Macro Economics and The Australian Economy, Allen & Unwim.
Ripley, Randall B., & Franklin Grace A.,1986, “Policy Implementation and Bureaucracy”, The Dorcey Press, Chicago.
Rochmat Soemitro, 1989, “Pajak Bumi dan Bangunan”, PT Eresco, Bandung.
Syaukani, Afan Gaffar & Ryaas Rasyid, 2002, ”Otonomi Daerah”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Steers, Richard M, 1985, ”Efektivitas Organisasi”, Erlangga, Jakarta.
Sugiyono, 2003, “Metode Penelitian Administrasi”.Edisi ke-10 (edisi revisi), Bandung : Alfabeta.
Winarno Surakhmad, 1989, “Metode Penelitian Administrasi”, Bandung, Alfabeta.
Samodra Wibawa, 1994, ” Evaluasi Kebijakan” , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sumber Lain :
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.
Undang-Undang No 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.