implementasi berpakaian muslim dan...
TRANSCRIPT
i
IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN
DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR
SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi
Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan
Studi Strata Satu (S1)
Disusun oleh:
SEPTIAN RIZKI YUDHA
NIP: 106043201352
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
PERSETUJUAN PEMBIMBING
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAHSTUDI ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 04 TAHUN 2OO5TENTANG
BERPAKAIAI{ MUSLIM DAN MUSLIMAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi syaratmemperoleh gelar Sarjana Syariah
Oleh:
Septian Rizki YudhaNIM: 106043201352
Di bawah bimbingan:
Pembimbing
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 Hl 2014 M
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.NrP. 196511 19199803 i002
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul oolmplementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam
Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di
Kabupaten Pesisir Selatan" telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Konsentrasi
Perbandingan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 6 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi
Perbandingan Hukum.
J akarta, 1 0 Novemb er 2014MengesahkanDekan,
/'- -
Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A.NIP. 1 96808121999031014
PANITIA UJIAN MUNAQASY
I(etua Mailis : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.NrP. 1965 1 1 191998031002
Sekretaris Majlis : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si.NIP. 1 9742 1132003121002
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.NrP. 19651 i 19199803 1002
: Dr. DiawahirHejazziey, SH., MA., MH.NIP. 19551015197903
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si.NrP. 1 97 42rt32003r2t002
Pembimbing
Penguji I
Penguji II
ilt
Nama
NIM
Konsentrasi
Prodi
Fakultas
Judul Skripsi
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Septian Rizki Yudha
r060432013s2
Perbandingan Hukum
Perbanding an Madzhab D an Hukum
Syariah Dan Hukum
:"Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif
Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di
Kabupaten Pesisir Selatan".
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakankarya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhisalah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di Fakultas Syariahdan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah danHukum UIN Syarif Hidayatullah lakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, makasaya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan HukumUIN Syarif Hidayatullah Jakuta.
Septian Rizki Yudhat0604320r352
IV
Jakarta, 1 0 November 2014
v
ABSTRAK
Septian Rizki Yudha. NIM 106043201352. IMPLEMENTAS
BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI
KABUPATEN PESISIR SELATAN. Program Studi Perbandingan Madzhab dan
Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 / 2014 M. ix + 65
halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan yang terjadi dalam
Peraturan Daerah di Kabupaten Pesisir Selatan menurut hukum Islam dan Undang-
undang tahun 1945. Dalam pelaksanaannya Peraturan Daerah di Kabupaten Pesisir
Selatan begitu baik khususnya bagi masyarakat yang beragama Islam mereka lebih
bisa melaksanakan peraturan tersebut karena sudah perintah agamanya. Sedangkan
kalo dibandingkan dengan masyarakat non-Muslim malah sebaliknya mereka merasa
peraturan tersebut menjadi bebaban karena tidak terbiasa memakai pakaian yang
lebih tertutup untuk mematuhi peratuan tersebut. Pada penelitian ini penulis memilih
penelitian komparatif untuk membandingkan studi analisis hukum Islam. Penulis
ingin mengetahui Implementasi Perpu tentang Perda berpakaian Muslim dan
Muslimah dan hukum Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu menggunakan data berupa
buku dan karya tulis lain yang berhubungan dengan pembahasan mengenai masalah
yang di teliti dan sifatnya persepektif dan terapan. Sedangkan teknik dan
pengumpulan data adalah mereduksi berbagai ide, teori, dan konsep dari berbagai
literatur yang relevan serta menitikberatkan pada pencarian kata kunci yang diambil
dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat para ulama. Data-data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan
data, dan data display.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Daerah tentang berpakaian
Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan ternyata bertentangan sekali
dengan UUD tahun 1945 dan melanggar HAM karena Perda tersebut tidak sesuai
dengan Undang-undang yang ada. Perda tersebut seharusnya tidak bisa diterapkan
karena yang mengenai urusan Agama adalah Pemerintah Pusat karena sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag.
Daftar pustaka : Tahun 1983 sampai 2014
vi
KATA PENGANTAR
حيم الر الرحمن اهلل بسم
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam, yang
telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan ridho-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Implementasi
Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan”. Shalawat
serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW,
penunjuk jalan kebenaran dan penyampai rahmat bagi semesta alam. Tidak lupa
kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi
pengikut setia hingga akhir zaman.
Dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari akan
pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara
moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang
diharapkan karena dengan adanya mereka segala macam halangan dan hambatan
dalam penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Oleh sebab itu penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku pembimbing yang dengan penuh
kesabaran bersedia mengoreksi secara teliti seluruh isi tulisan ini yang
mulanya masih tidak sempurna sehingga menjadi lebih layak dan berarti.
Semoga kemudahan dan keberkahan selalu menyertai beliau dan keluarganya,
Amin.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tempat interaksi penyusun
selama menjalani studi pada jenjang Perguruan Tinggi di Jakarta.
6. Untuk Ayahanda (H. Noan bin Amat) dan Ibunda (Hj. Anih binti Menan)
yang sangat saya cintai, mungkin kata-kata tidaklah cukup untuk
menggambarkan kasih sayang dan cinta kalian. Terimakasih banyak Bapak,
Ibu, sudah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang dan tidak pernah
lelah untuk menyayangi, menyemangati, menasehati, dan membimbing saya
dari kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, tanpa doa dan dukungan dari
Bapak dan Ibu mungkin saya tidak bisa menjadi seperti sekarang ini.
7. Untuk kakak yang tercinta, (Nonih, Panky Wijaya, Yenih, Sumiati, Nur
Hasanah, Siti Aminah, Ahmad Yanih dan Atih Hariyati), terimakasih atas
viii
masukan dan sarannya dalam memberi semangat untuk menjalani kehidupan
adikmu ini.
8. Untuk Keponakan ku yang tersayang Nurul Safitri Panjaya S.D., yang sudah
memberikan semangat dan Doa, Teman-teman Alumni MTS. Al-Kautsar,
MTP. Makanul Abidin, MTP. Fastabikul Khoirot, Orange Speed dan yang
lainnya. Teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006 dan 2007, Fauzi
Ramdan S.Sy., Dwi Prasetyo S.Hi., Ahmad Fariz Ihsanuddin, Alfiah dan Yani
Suryani yang selalu mendukung, memberi semangat dan memberikan Doa
untuk menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, penyusun sadar bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, dan atas semua kekurangan didalamnya, baik dalam pemilihan
bahasa, teknik penyusunan dan analisisnya sudah tentu menjadi tanggung jawab
penyusun sendiri. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan
dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini, juga untuk penelitian-
penelitian selanjutnya. Penyusun berharap, skripsi ini bermanfaat khususnya bagi
penyusun dan para pembaca pada umumnya serta dapat menjadi khazanah dalam
ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum Islam. Atas semua bantuan
yang diberikan kepada penyusun, semoga ALLAH SWT memberikan balasan yang
selayaknya, Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ciputat, 10 November 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 5
D. Metode Penelitian ..................................................................... 6
E. Teknik Penulisan ...................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 10
ix
BAB II BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH MENURUT
HUKUM ISLAM
A. Pengertian Berpakaian Muslim dan Muslimah ........................ 12
B. Tata Cara Berpakaian Muslim dan Muslimah .......................... 15
C. Prinsip-Perinsip Berpakaian Muslim dan Muslimah................ 17
D. Fungsi Berpakaian Muslim dan Muslimah .............................. 22
BAB III PERATURAN DAERAH NO.4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN
PESISIR SELATAN
A. Peraturan Daearah.................................................................... 25
1. Pengertian Perda .................................................................. 26
2. Landasan Pembuatan Perda ................................................. 26
3. Muatan dan Mekanisme Penyusunan Perda ........................ 29
B. Otonomi Daerah ....................................................................... 31
C. Kebijakan Publik ...................................................................... 36
1. Pengertian Kebijakan Publik ............................................... 36
2. Kebijakan Pemerintah ......................................................... 40
3. Peraturan Daerah Sebagai Kebijakan Publik ....................... 41
x
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWAJIBAN BERPAKAIAN
MUSLIM DAN MUSLIMAH PADA PERDA NOMOR 4 TAHUN
2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
A. Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah Menurut Hukum
Islam ......................................................................................... 43
B. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang
Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten
Pesisir Selatan........................................................................... 49
1. Impelementasi Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir
Selatan ................................................................................ 49
2. Dampak Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan .. 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................... 57
B. Saran ......................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai etika normatif bagi pemeluknya diharapkan dapat
diwujudkan nilainya secara sempurna. Oleh karena itu Islam bukan agama yang
hanya terbatas dalam kehidupan pribadi yang semata-mata mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, akan tetapi memberikan pedoman hidup yang utuh
dan menyeluruh.
Lengkapnya nilai Islam dalam mengatur kehidupan manusia, maka tidak
ada fenomena kehidupan yang tidak terbatas dalam ajaran Islam, termasuk aturan
berbusana bagi kaum wanita muslimah. Hal itu nampak dari beberapa ayat Al-
Qur’an yang mengupas tentang busana muslimah, mulai dari pembahasan tentang
aurat wanita sampai pada batasan atau criteria busan muslimah itu sendiri.
Pembatasan perempuan dalam berbusana menurut Islam adalah bertujuan
untuk melindungi perempuan itu sendiri. Pencegahan awal ini untuk menjaga agar
perempuan tetap mulia dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat, serta
sebagai pembinaan ahklak agar terhindar dari persaingan, dengki dan lain-lain.
Selain itu busana muslim bagi laki-laki juga menanamkan suatu tradisi yang
universal dan fundamental untuk mencabut akar-akar kemerosotan moral dengan
2
menutup pintu pergaulan bebas.1
Busana atau pakaian, berhubungan dengan peradaban manusia. Kebutuhan
untuk berpakaian bukan hanya dirasakan manusia yang hidup diera indutrialisasi,
tetapi sejak zaman Nabi Adam AS. Sejak Nabi Adam dan Isrtinya terbujuk untuk
memakan buah kuldi dan mereka mulai mengenal rasa malu bila auratnya
terbuka, maka sejak itulah sebenarnya manusia akan pakaian sudah ada.
Keterbatasan teknologi yang menyebabkan pakaian mereka hanya daun-daun
Surga.2
Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak berkaitan dengan
kesehatan, etika, estetika, tetapi juga berhubungan dengan kondisi sosial budaya,
bahkan juga ekspresi idiologi. Bagi manusia pakian tidak berdimensi keindahan,
tetapi juga kehormatan bahkan keyakinan. Itulah sebabnya, aturan tentang pakian
termasuk yang dipandang penting oleh Allah SWT, sehingga tercantum dalam Al-
Qur’an yang mulia.
Berpakaian secara Islam, terutama bagi muslimah adalah bagian dakwah
yang penting dalam Syiar Islam diseluruh dunia, karena petunjuknya jelas
(muhkamat) dalam Al-Qur’an. Dalam dalil-dalil Al-Qur’an, busana muslimah
merupakan ketentuan tata busana bagi kaum muslimah untuk menutup auratnya
1Husein Shahab, Jilbab menurut Al-Qur’an dan As-sunnah (Jakarta: Mizan, 1983), h.18, juga
dalam Istadianta, Hikmah Jilbab dalam Pembinaan Ahklak (Sala: Ramdhani, Tt), h.Baca juga Abu
Abdillah Al Mansur, Wanita dalam Quran, (Jakarta Gema Insani Prees, 1986), h. 34
2Sitoresmi Prabuningrat, “Gejolak Kebangkitan Busana Muslimah Di Indonesia”, dalam
Aswab Machasin (eds), Ruh Islam
Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika, (Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal, 1996) h. 256-257
3
berdasarkan syariat Islam.
Persyaratan menutup aurat itu diterapkan secara integral kedalam berbagai
ragam busana daerah yang sudah ada, sehingga tercipta desain dengan berbagai
ragam, baik secara struktural (potongan, bentuk, tenunan tekstil) maupun secara
dekoratif (corak, warna, ragam hias, tekstur, motif dan aksesoris).3 Hal ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dengan mudah masuk kedalam budaya lokal
masyarakat muslim diseluruh dunia dan menyatu dengan nilai-nilai luhur yang
mereka anut. Perpaduan itu membentuk ciri khas yang unik, tanpa perlu
menghilangkan perbedaan faktor-faktor historis, geografis, ras, etnis, ataupun
mazhab.
Fungsi pakaian terutama sebagai penutup aurat, sekaligus sebagai
perhiasan, memperindah jasmani manusia. Agama Islam memerintahkan kepada
setiap orang untuk berpakaian yang baik dan bagus. Baik berarti sesuai dengan
fungsi pakaian itu sendiri, yaitu menutup aurat, dan bagus berarti cukup memadai
serasa sebagai perhiasan tubuh yang sesuai dengan kemampuan sipemakai untuk
memilikinya. Untuk keperluan ibadah misalnya untuk shalat di masjid, kita
dianjurkan memakai pakaian yang baik dan suci. Berpakaian dengan mengikuti
muda yang berkembang saat ini, bukan merupakan halangan, sejauh tidak
menyalahi fungsi menurut Islam. Namun demikian kita diperintahkan untuk tidak
berlebih-lebihan. Berpakaian bagi kaum wanita mukmin telah digariskan oleh Al-
3Beryl C. Syamwil, “Akar Sejarah Busana Muslimah Indonesia”, dalam Aswab Machasin
(eds), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika,…,h. 239
4
Qur’an adalah menutup seluruh auratnya. Hal tersebut selain sebaya identitas
mukminah juga menghindari diri dari gangguan yang tidak diinginkan pada
dasarnya pakaian muslim tidak menghalangi pemakaiannya untuk melakukan
kegiatan sehari-hari dalam bermasyarakat. Semuanya kembali kepada niat
sipemakainya dalam melaksanakan ajaran Allah.
Dengan melihat latar belakang yang dipaparkan diatas, maka penulis
terdorong untuk melakukan penelitian dan pembahasan, sehingga penulis
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Implementasi Berpakaian
Muslim Dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat keluasan dan kompleksitas masalah dalam berpakaian
muslim dan muslimah, maka untuk fokus dalam pembahasannya penulis akan
membatasi permasalahan kewajiban berpakaian muslim dan muslimah dengan
pembatasan masalah pada Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor
4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
5
2. Perumusan Masalah
Untuk memahami masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah dalam
perspektif hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di
Kabupaten Pesisir Selatan?
b. Bagaimanakah Faktor-faktor timbulnya Peraturan Daerah Kabupaten
Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan
Muslimah?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, maka tujuan penelitian yang
akan dicapai dalam penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir
Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor timbulnya Peraturan Daerah Kabupaten
Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan
Muslimah.
6
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum dan hukum islam
yang berkaitan dengan Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir
Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
b. Memberikan informasi terhadap masyarakat khususnya mengenai
Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun
2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian
skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari
suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum ada dua jenis penelitian, yaitu penelitian
normatif dan penelitian empiris/sosiologis atau penelitian lapangan. Penelitian
normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian
hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian
digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut memiliki ruang
7
lingkup yang sangat luas sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku
harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan
oleh pemerintah.4
Dalam karya ilmiah ini, penulis akan menggunakan jenis penelitian
normatif karena dalam hal ini penulis akan meneliti tentang kewajiban
berpakaian muslim dan muslimah dalam perspektif Peraturan Daerah
Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim
dan Muslimah. Penelitian ini saya lakukan melalui pendekatan yuridis
normatif, yang mempunyai pengertian bahwa penelitian ini didasarkan pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan teori-teori hukum yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
2. Sumber Data
Data-data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini adalah data
kualitatif bukan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu penelitian yang data
umumnya dalam bentuk narasi atau gambar-gambar. Sedangkan data
kuantitatif adalah data yang dapat diukur sehingga data dapat menggunakan
statistik dalam pengujiannya.5
Data yang dikumpulkan dalam skripsi ini
adalah data-data yang berkaitan dengan kewajiban berpakaian muslim dan
4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).
(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke- IV, h. 23
5 Ronny Kountur, Metode Penelitian (Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis). (Jakarta, PPM,
2004), cet. Ke-II, h. 16
8
muslimah yang terdapat dalam al-Qur’an dan Undang-Undang, kitab atau
buku.
Sejalan dengan permasalahan diatas dan untuk memperoleh data yang
sesuai, maka literatur yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:
a. Sumber data primer, yaitu:
Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama dan harus
dipenuhi dalam penulisan skripsi, ini yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits,
Undang-Undang diantaranya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Sumber data sekunder, yaitu:
Sumber data sekunder adalah sumber data pelengkap dan harus dipenuhi
dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber data sekunder mencakup
atas buku bacaan, jurnal, media cetak, website, dan sumber data lainnya
yang berkaitan langsung dengan pembahasan skripsi ini.
c. Data Tersier
Data Tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap data-data primer dan skunder, yaitu berupa kamus-kamus
9
ilmiah dan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
3. Teknik Pengumpulan Data
Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan
data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan
wawancara atau intervie.6 Dalam hal ini, penelitian yang digunakan oleh
penulis adalah menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka dan
observasi yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data
tertulis yang biasa ditemukan dalam bahan pustaka yang terdiri dari buku-
buku atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembahasan ini.
4. Penyajian dan Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk deskriptif,
yaitu penulis menggambarkan hasil penelitian tentang kewajiban berpakaian
muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan
nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah dengan
sejelas-jelasnya. Adapun tujuan dari penyajian seperti ini tidak lain adalah
agar pembaca dapat memahami dengan jelas tentang kewajiban pakaian
muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan
nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2010), h. 21
10
Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Content Analysis, yaitu melakukan analisis isi dokumen secara terperinci
dengan mengambil sari dari dokumen yang menjadi sumber data baik
dari buku-buku atau dokumen yang berisi tentang hukum positif atau
hukum Islam yang sesuai dengan kajian skripsi ini.
b. Comparative Analysis, yaitu melakukan analisis perbandingan dalam
dua hal yang berbicara pada substansi yang sama.
E. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam skripsi ini akan
penulis sajikan atau paparkan dalam 5 Bab, diantaranya:
Bab I Membahas tentang pendahuluan. Pada bab ini memuat uraian tentang
aspek-aspek rancangan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari sub-sub
bab tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tekhnik
penulisan dan sistematika penulisan.
11
Bab II Membahas tentang pengertian berpakaian muslim dan muslimah,tata
cara berpakaian muslim dan muslimah, perinsip-perinsip berpakaian
muslim dan muslimah dan fungsi berpakaian muslim dan muslimah.
Bab III Membahas tentang Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten
Pesisir selatan, otonomi daerah dan kebijakan publik.
Bab IV Membahas tinjauan yuridis tentang kewajiban berpakaian muslim dan
muslimah dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten
Pesisir Selatan.
Bab V Pada bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya ilmiah lazim
dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa persoalan
yang dibahas dan saran dari penulis untuk masyarakat umum.
12
BAB II
BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Bepakaian Muslim dan Muslimah
Pengertian berpakaian Muslim dan Muslimah adalah untuk menutup semua
aurat baik itu laki-laki dan Perempuan. Aurat berasal dari bahasa Arab, Aurat
artinya “an naqsu” atau keaiban. Menurut istilah fiqih aurat adalah bagian tubuh
seseorang yang wajib ditutupi dari pandangan. Dalam kamus dijelaskan bahwa
Aurat adalah hal yang jelek untuk dilihat atau sesuatu yang memalukan bila
dilihat. Menurut syara’ yang dikatakan aurat adalah sesuatu yang diharamkan
Allah untuk diperlihatkan kepada orang lain yang tidak dihalalkan Allah untuk
melihatnya.
Dalam kejadiannya, manusia dilahirkan kemuka bumi salah satunya
membawa potensi malu terhadap lingkungannya dimana ia tinggal. Oleh untuk
menutupinya rapat-rapat, karena jika tidak bisa menutupinya maka aib yang ada
pada dirinya akan diketahui orang lain. Karena itu, untuk menutupi malunya
manusia berusaha semaksimal mungkin secara lahiriah manusia berusaha
melindungi tubuhnya dari berbagai macam gangguan, maka dari itu busana
merupakan sesuatu yang mendasar baginya untuk menjaga gangguan tersebut.
Bagaimanapun usaha untuk selalu menutup tubuh itu akan selalu ada walaupun
dalam bentuk yang sangat minim atau terbatas sesuai dengan kemampuan
hidupnya, raga dan akal manusia.
13
Dengan pakaian manusia ingin membedakan antara dirinya atau
kelompoknya dengan orang lain. Pakaian memberikan identitas diri sehingga
dapat mempengaruhi tingkah laku si pemakai dan juga dapat mencerminkan
emosi pemakainya yang pada saat bersamaan dapat mempengaruhi emosi orang
lain.1
Pada prinsipnya Islam tidak melarang umatnya untuk berpakaian sesuai
dengan mode atau trend masa kini, asal semua itu tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Islam membenci cara berbusana seperti busana-busana orang
jahiliyah yang menampakkan lekuk-lekuk tubuh yang mengundang kejahatan dan
kemaksiatan. Konsep Islam adalah mengambil kemaslahatan dan menolak
kemudoratan.2
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan model dan coraknya. Tetapi Islam
sebagai agama yang sesuai untuk setiap masa dan tempat, memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya kepada wanita muslimah untuk merancang mode yang sesuai
dengan selera masing-masing. Tak ada mode khusus yang diperintahkan kita
dapat mengenalkan apa yang kita sukai asalkan tetap pada batas-batas Islam,
mode bukan masalah asal kita tidak mengikuti secara membabi buta. Kita harus
1
Quraish Shihab, “Wawasan Al-Quran” (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-4 h. 161.
2
Ahmad Hasan Karzun, “Adab Berpakaian Pemuda Islam” (Jakarta: Darul Falah, 1999), cet.
1, h. 13
14
mempunyai kesadaran terhadap busana yang tidak Islami, dan berani menjadi
orang yang tidak mengikuti perkembangan mode yang berlaku pada saat itu.3
Busana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang kita pakai mulai dari
kepala hingga sampai ujung kaki.4 Hal ini mencakup antara lain Pertama, semua
benda yang melekat pada badan, seperti baju, celana, sarung, dan kain panjang.
Kedua, semua benda yang melengkapi pakaian dan berguna bagi si pemakai
seperti selendang, topi, sarung tangan, dan kaos kaki. Ketiga, semua benda yang
berfungsi sebagai hiasan untuk keindahan pakaian seperti, gelang, cincin, dan
sebagainya.5
Dalam pengertian berbusana, Al-Qur’an tidak hanya menggunakan satu
istilah saja tetapi menggunakan istilah yang bermacam-macam sesuai dengan
konteks kalimatnya. Menurut Qurais Shihab paling tidak, ada 3 istilah yang
dipakai yaitu :6
1) Al-Libas (bentuk jamak dari kata Al-Lubsu), yang berarti segala
sesuatu yang menutup tubuh. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk
menunjukkan pakaian lahir dan batin.
2) Ats-Tsiyab (bentuk jamak dari Ats-Tsaubu), yang berarti kembalinya
sesuatu pada keadaan semula yaitu tertutup.
3
Huda Khattab, “Buku Pegangan Wanita Islam” (Bandung: Al-Bayan, 1990), cet. Ke-2, h. 40 4
W. J. S. Poerwa Darunuda, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka,
1987), h. 172
5
Nina Surtiretna, “Anggun Berjilbab” (Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. Ke-2 h. 28
6
Quraish, Wawasan,,,,h. 155-157.
15
3) AZ-sarabil yang berarti pakaian apapun jenis bahannya.
Dari pengertian diatas, dapat ditarik pengertian busana muslim sebagai
busana yang dipakai oleh wanita muslimah yang memenuhi, kriteria-kriteria
(prinsip-prinsip) yang ditetapkan ajaran Islam dan disesuaikan dengan kebutuhan
tempat, budaya, dan adat istiadat.
B. Tata Cara Berpakaian Muslim dan Muslimah
Busana muslim dan muslimah merupakan pakaian yang dikenakan laki-laki
dan perempuan selama tidak keluar dari ajaran Islam. Setiap laki-laki dan
perempuan muslim diharuskan untuk mengenakan busana muslim dan muslimah
agar terhidnar dari berbagai macam gangguan yang datang kepadanya.
Pokok pangkal dari berbusana muslim bukan apakah sebaliknya laki-laki
atau wanita memakai busana muslim dalam pergaulannya dengan masyarakat,
melainkan apakah laki-laki bebas mencari kelezatan dan kepuasan memandang
wanita. Laki-laki hanya dibolehkan memandang wanita dalam batas-batas
keluarga dan pernikahan saja. Hal ini dimaksudkan demi tercipatanya keluarga
yang sehat, harmonis dan saling mempercayai sebagai sendi terwujudnya
masyarakat yang sehat, damai, beriwibawa dan menjunjung tinggi harkat wanita.7
7 Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, (Bandung: Mizan, 2000), cet, ke-
10, h. 18.
16
Pakaian wanita muslimah menanamkan tradisi yang universal dan
fundamental untuk mencegah kemerosotan moral dengan menutup pergaulan
bebas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fuad M. Facruddin yang mengatakan
bahwa busana yang dikenakan seorang muslimah bukan hanya menutup badan
saja, melainkan harus menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.8
Ada 8(delapan) tata cara dalam menutup Aurat menurut Islam:
1. Pakaian itu mestilah meutup aurat.
2. Pakaian itu tidak terlalu tipis sehingga tampak bayangan tubuh badan dari
luar.
3. Pakaian itu tidak ketat atau sempit.
4. Warna pakaian itu suram atau gelap, seperti warna hitam atau kelanu asap.
Tujuannya adalah agar lelaki tidak bernafsu melihatnya (terutamanya
pakaian seperti jilbab atau abaya).
5. Tidak memakai wangi-wangin, pakaian jangan sekali-kali disemerbakan
dengan bau-bauan yang harum, demikian juga tubuh badan wanita itu,
karena bau-bauan ini menimbulkan pengaruhnya atas nafsu laki-laki.
6. Tidak seperti pakaian laki-laki, pakaian itu tidak bertashabbuh dengan
pakaian laki-laki yakni tiada meniru-niru atau menyerupai pakaian laki-
laki.
8 Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2, h. 33.
17
7. Pakaian itu tiada bertashabbuh dengan pakaian perempuan-perempuan
kafir dan musyrik
8. Pakaian itu bukanlah libasu sh-shuhrah, yakni pakaian untuk bermegah-
megahan, untuk menunjuk-nunjuk atau bergaya.
Dalam Al-Qur’an Islam telah mengatur tata cara tentang menutup aurat
dalam surat Al-A’raf ayat 26 yang berbunyi :
) )
Artinya: ”Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan
pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi, pakaian
taqwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan
Allah, mudah-mudahan mereka ingat”. (QS. Al-A’raf/7: 26).
Dari penjelasan diatas, maka seseorang muslimah harus memakai pakaian
yang menutupi seluruh auratnya sesuai dengan ajaran Islam. Apabila wanita
muslimah memakai busana secara bebas tanpa memperhatikan etika yang akan
menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk bagi mereka.
C. Prinsip-Prinsip Berpakaian Muslim dan Muslimah
Dalam perkembangannya, busana muslim mau tidak mau harus mengikuti
mode dari zaman ke zaman, busana muslim bisa selalu Survive ditengah-tengah
18
masyarakat yang selalu gandrung terhadap mode yang sedang age-trend
namannya. Dengan demikian, busana muslim tidak akan hilang "eksistensinya"
selama ia bisa menyesuaikan dengan zaman.
Berkembangnya zaman akan mengakibatkan pada berkembangnya mode
termasuk busana muslim. Namun demikian tentunya busana muslim yang
berusaha menyesuaikan dengan zamannya tetap harus berada pada prinsip-prinsip
yang berlaku sesuai dengan urutan Islam yang notabene berdasarkan Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
Adapun prinsip-prinsip yang ditentukan dalam tuntunan Islam antara lain:9
1) Prinsip Pemotongan Kain yang Akan di Jahit
Dimaksud dengan pemotongan kain (pola) busana tersebut adalah
menjahit (pembuatan busana). Jaitan busana seorang wanita, harus sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Islam dibidang penjahitan
busana tersebut, kemudian mengenai pakaiannya pada badan semua harus
memperhatikan kriteria-kriteria dibawah ini :
a) Busana harus menyelubungi seluruh badan
Hal diatas dimaksudkan agar pakaian yang dipakai dapat
menutupi seluruh badan kecuali telapak tangan dan wajah.10
Hal ini
karena Islam lebih menitik beratkan busana sebagai penutup, bukan
9 Syaik Abdullah Shahih al-Fauzan, Kriteria Busana Muslimah (Jakarta:Khazana Shun,
(1995) cet, ke-1, h. 15.
10
Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, h. 51.
19
sebagai hiasan.
Bila menampakkan perhiasan merupakan larangan, maka dalam
hal ini menampakkan letak-letaknya lebih dilarang, dan seandainya
tidak dikenakan busana tentu tampaklah letak-letak perhiasan, berupa
dada, kedua telapak kaki dan betis. Oleh karena itu seharusnya seorang
wanita mengenakan celana yang menutupi betisnya ataupun dua kaos
kaki yang menutupi kedua kakinya.
b) Busana tidak ketat yang dapat membentuk tubuh.
Pakaian yang ketat akan membentuk postur tubuh wanita ataupun
sebagainya. Wanita yang mengenakan pakaian ketat sehingga dapat
membentuk potongan-potongan postur tubuhnya dan keluar pada
perkumpulan-perkumpulan kaum laki-laki, maka busana itu
dikhawatirkan termasuk kategori diantara pakaian-pakaian telanjang.
Termasuk dalam pengertian pakaian telanjang adalah seorang
wanita yang mengenakan pakaian yang ketat yang tampak jelas lekuk-
lekuk dan bentuk asli tubuhnya. Tidak diragukan lagi bahwa busana
tersebut termasuk dalam kategori pakaian telanjang yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam.
c) Busana Wanita Tidak Menyerupai Busana Laki-Laki
Tidak diragukan lagi bahwa salah seorang diantara dua jenis
menyerupai pada jenis lainnya adalah menyimpang dari fisik, serta
sebagai bukti bahwa secara Islam tidak normal lagi. Penyerupaan
20
adalah penyakit yang tidak bisa diobati yang tertransfer ke dalam
budaya kita sebagai konsekuensi dari ikut-ikutan gaya Barat. Hal ini
merupakan hal yang dilarang agama.
d) Tidak Menyerupai Wanita Kafir
Sekarang ini, banyak wanita muslimah yang merancang
busananya dengan pola yang bertentangan dengan ketentuan syar'a
dan norma-normanya dibidang busana. Berdasarkan realita yang
muncul dewasa ini yang popular disebut dengan "mode” dimana ia
mengalami perkembangan dan perubahan setiap hari dari yang buruk
hingga yang lebih buruk. Bentuk-bentuk busana wanita dewasa ini
sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran-ajaran Islam dan sama sekali
tidak pernah dikenal dikalangan wanita-wanita muslimah. Hal ini
terbukti dengan banyaknya pakaian-pakaian yang apabila dipakai
wanita, maka aurat wanita si pemakai akan terlihat dengan jelas.
Tujuan wanita dilarang menyerupai dengan orang-orang kafir,
diantaranya adalah penyerupaan dengan mereka dalam berbusana.
2) Prinsip yang berhubungan dengan corak (bentuk) busana
Adapun kriteria-kriteria corak busana muslimah antara lain sebagai
berikut:11
a) Tidak menjadikan busana sebagai perhiasan pada dirinya
Maksud dari busana tersebut adalah pakaian yang tampak.
11
Syaik Abdullah, Kriteria Busana,,, h. 21-25.
21
Seorang wanita muslimah dilarang memakai pakaian dari sejumlah
pakaian, bilamana pakaian-pakaian itu merupakan pakaian tembus
pandang sebagaimana dalam pengertian secara umum.
b) Busana tidak tipis yang masih memperlihatkan bentuk aurat yang
berada dibaliknya.
Hal ini sesuai dengan tujuan berbusana yaitu menutup. Tujuan
tersebut tidak akan tercapai kecuali dengan busana yang tebal. Karena
busana yang tipis itu bukan merupakan busana menurut pandangan
Islam.
c) Busana tidak bercorak glamour
Dilarang bagi seorang wanita muslimah memilih berbagai corak
pakaian yang hanya menuruti tuntutan kesenangannya dan sama sekali
tidak ada relevansinya dengan prinsip-prinsip busana, tidak lain
bertujuan untuk menghilangkan pandangan kaum laki-laki kepadanya.
d) Tidak diberi wewangian atau parfum yang menimbulkan syahwat
Hal ini dilarang karena parfum dikhawatirkan membangkitkan
nafsu birahi. Para ulama bahkan mengikut yang semakna dengannya
sebagai pakaian indah, perhiasan yang tampak dan megah serta
bercampur baru dengan laki-laki.12
12
Abu al-Ghifari, Kudung Gaul. Berjilbablah Tapi Telanjang. (Bandung: Mujahid, 2002)cet.
Ke2, h. 62-63.
22
D. Fungsi Berpakaian Muslim dan Muslimah
Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi aurat, yaitu bagian tubuh
yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali yang dihalalkan dalam
agama. Dan dianjurkan untuk berpakaian terbaik yang dimilikinya dengan tidak
berlebihan.
Semakin dinamisnya budaya peradaban manusia, maka terciptalah busana
yang beraneka ragam motif dan mode. Busana dikenakan manusia tidak begitu
saja tercipta dan terpakai tanpa adanya pemikiran tentang fungsi dan tujuan dari
berbusana tersebut. Secara umum fungsi mengapa manusia menggunakan busana
adalah :13
1. Memenuhi syarat peradaban sehingga tidak menyinggung rasa kesusilaan.
2. Memenuhi syarat kesehatan, yaitu melindungi badan dari gangguan luar,
seperti panas, hujan, angin dan lain-lain.
3. Memenuhi keindahan.
4. Menutupi segala kekurangan yang ada pada tubuh kita.
Dari sudut sosiologis, busana muslimah berfungsi sebagai :14
1. Menjauhkan wanita dari pergaulan laki-laki.
2. Membedakan wanita yang berakhlak mulia dengan wanita berakhlak hina.
3. Mencegah timbulnya fitnah dari laki-laki.
13 Labib Mz, Wanita dan Jilbab (Gresik: CV. Bulan Bintang, 1999), cet. Ke 1, h. 115.
14 M. Thalik, Analisa dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: al-ikhlas, 1987) h. 23.
23
4. Memelihara kesucian agama wanita yang bersangkutan.
Menurut Istadiyanto, fungsi busana muslimah Pertama membentuk pola
sikap atau akhlak yang luhur dalam diri remaja sebagai pencegah terhadap
dorongan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran syariat. Kedua
mencegah orang lain untuk berbuat sewenang-wenang terhadap si pemakai.15
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan beberapa fungsi busana
yaitu:16
1. Sebagai penutup aurat.
2. Sebagai perhiasan, yaitu untuk penambah rasa estetika dalam berbusana.
3. Sebagai perlindungan diri dari gangguan luar, seperti panas terik matahari,
udara dingin dan sebagainya.
Menurut M. Quraish Shihab, selain tiga hal diatas, busana juga mempunyai
fungsi sebagai petunjuk identitas dan pembela antara seseorang dengan orang
lain,17
sebagian ulama bahkan menyatakan fungsi busana yang lainnya adalah
fungsi takwa dalam arti busana dapat menghindarkan seseorang terjerumus dalam
bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhwawi.18
15 lstadiyanto, Hikmah Jilbab dan Pembinaan Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1998), h. 23.
16
Nina Surtiretna, Anggun,,, h. 15.
17
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan
1998), cet. Ke-13, h. 279.
18
Quraish, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, h. 161.
24
Dari beberapa fungsi busana yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan
bahwa fungsi busana muslimah adalah sebagai petunjuk identitas, penutup aurat,
pelindung diri dan sebagai pakaian takwa. Oleh karena itu Allah SWT
memerintahkan kepada kaum wanita untuk memakai busana sesuai dengan ajaran
Islam, yakni menutup aurat (berbusana muslimah).
25
BAB III
PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR
SELATAN
A. Peraturan Daerah
Sistem Pemerintahan Daerah yang berlaku, menempatkan kepala daerah
sekaligus sebagai pimpinan daerah otonom dan perwakilan pemerintah pusat di
dalam lingkungan pemerintahan daerah dan disebut kepala wilayah. Maka pada
tingkat daerah ini dikenal ada 2(dua) macam peraturan perundang-undangan
yang mempunyai sifat mengatur, yaitu Peraturan Daerah (selanjutnya disebut
perda) dan Keputusan Kepala Daerah.1
Perda dan keputusan Kepala Daerah adalah peraturan perundang-undangan
yang dibuat untuk menyelenggarakan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah
adalah satuan Pemerintah teritorial tingkat lebih rendah yang berhak mengatur
dan mengurus sebagian urusan pemerintah sebagai urusan-urusan rumah tangga
daerah yang bersumber pada otonomi dan tugas pembantuan.2
1 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,
Yogyakarta : UII Pres, 2005. Cet. 1. h. 62
2 UUD 1945 pasal 18, ayat 2: “Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten, dan
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
M. Alfan Alfian M. Ed. Bagaimana memenangkan pilkada langsung?. Jakarta: Akbar Tanjung
Institute, 2005, Cet. 1. h. 35-36
26
1. Pengertian Perda
Peraturan Daerah adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur Pemerintah Daerah yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan daerah.3 Sedangkan Perda
menurut ketetapan MPR tahun 2000 adalah merupakan peraturan untuk
melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari
daerah yang bersangkutan.4
2. Landasan Pembuatan Perda
Perda merupakan Implementasi sarana demokrasi dan sarana komunikasi
timbal balik antara Perda dan masyarakat. Pembuatan Perda memiliki perbedaan
sifat substansi materi sebab muatan Perda dibuat kadang dalam rangka
penyelenggaraan otonomi, pembantuan maupun substansi Perda sebagai
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Oleh karena Perda adalah suatu perundang-undangan yang menjadi sarana
komunikasi dan demokrasi antara Perda itu sendiri dengan masyarakat, maka
sekurang-kurangnya dalam penyusunan Perda harus memiliki 3(tiga) landasan
dalam pembuatannya.5
3 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 58
4 TAP MPR NO. III TAHUN 2000, Pasal 3, Ayat 7
5 Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia
Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, Vol. 5, No. 2, 2004, h. 211
27
1. Landasana yuridis, yaitu landasan hukum yang menjadi dasar
kewenangan pembuatan Perda, apakah kewenangan seseorang
penjabat atau badan mempunyai dasar hukum yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar yuridis sangat
penting dalam pembuatan Perda karena akan menunjukan adanya
wewenang pembuat perda, kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan dengan materi yang diatur, mengikuti tata cara
tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya.6
Kalau tidak, maka peraturan Perundang-undangan itu akan batal demi
hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.7
Adapun dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah :
1. UUD 45 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B
2. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
3. Keputusan Presiden No. 44 tahun 1999 tentang tehnik penyusunan
peraturan perundang-undangan, bentuk rancangan undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden
4. Keputusan Mentri Dalam Negri No. 21, 22, 23 dan 24 tahun 2003
6 Tata urut Perundang-undangan Republik Indonesia adalah: (1) UUD 4; (2) Ketetapan MPR
RI; (3) Undang-undang. (4) Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu); (5) Peraturan
Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah.
7 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 54-56
28
5. Tata Tertip DPRD Propinsi Kabupaten/Kota8
6. UU NO. 23 tahun 2004
7. UU No. 10 tahun 20049
2. Landasan Sosiologis (Sosiologische Gronsleg). Suatu Perda dikatakan
mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini berarti
bahwa Perda yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai
dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada
perinsipnya yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup
(living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai,
keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak akan ada artinya. Tidak
mungkin dapat diterapkan karena tidak ditaati dan dipatuhi.
3. Landasan Filosofis (Filosofische Gronngslag). Pandangan hidup suatu
bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika yang pada dasarnya
berisi nilai-nilai yang baik dan tidak baik. Nilai yang baik adalah
pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi dari suatu daerah
tertentu. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan
berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.
8 Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21
februari tahun 2006
9 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 59
29
Perda dikatakan mempunyai nilai filosofis apabila rumusnya atau
normanya mendapat pembenaran, dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai
alasan yang dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik.10
3. Muatan dan Mekanisme Penyusunan Perda
Peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan ditingkat daerah
untuk menyelenggarakan Pemerintah Daerah dibidang urusan rumah tangga
daerah berdasarkan asas desentralisasi dan asas pembantuan.11
Jadi pada
perinsipnya Perda dibentuk untuk; Pertama, dalam rangka penyelenggaraan
otonomi,12
tugas pembatuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Kedua, Perda tidak boleh bertentangan dengan
kepentinggian umum, perda lain dan peraturan perundang-undangan yang lain.13
Sedangkan mekanisme penyusunan Perda dapat dilihat dalam penjelasan
umun UU No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kewenangan yang ada
10
Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia
Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar,, h. 218-219
11 Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 148
12 Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan: Kewenangan Daerah
mencakaup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negri, pertahanan keamanan, pengadilan, moneter, fiskal, Agama, serta kewenangan bidang
lainya. Penjelasan ayat ini berbunyi antara lain: khusus bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat
ditugaskan oleh Pemerintah Kepala Daerah sebagai upaya keikut sertaan daerah dalam
menumbuhkembangkankehidupan beragama.
13 Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia
Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar,, h. 220-222
30
pada Kepala Daerah dan DPRD mangandung pengertian bahwa pembentukan
peraturan daerah dilakukan bersama-sama. Inisiatif pembentukan Perda dapat
dilakukan Kepada Daerah atau DPRD.14
Rancangan Perda baik hasil prakarsa Kepala Daerah maupun prakarsa
DPRD, harus melalui beberapa tahapan pembahasan dalam lingkup DPRD,15
sampai pengambilan keputusan persetujuan DPRD terhadap rancangan Perda
tersebut. Pembahasan di DPRD biasanya diformat dengan tahapan pengantar
eksekutif pada sidang paripurna Dewan, pemandangan umum fraksi, pembahasan
dalam PANSUS, catatan akhir fraksi, persetujuan anggota DPRD terhadap draf
raperda yang kemudian disampaikan kembali oleh pimpinan DPRD kepada
Kepala Daerah untuk ditetapkan sebagai Perda. Penandatanganan Perda yang
sudah disetujui dilakukan oleh Kepala Daerah dan ditandatangani serta pimpinan
DPRD.16
Dalam konsep hukum, Perda tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum
materil terhadap pihak yang menyetujuinya sejak ditandatangani. Oleh sebab itu
rumusan hukum yang ada dalam raperda tersebut sudak tidak dapat diganti secara
sepihak.
14
UU No. 32 tahun 2004, Pasal 140 ayat (1) menyebutkan Rancangan Perda dapat berasal
dari DPRD, gubernur, atau Bupati/Walikota.
15 UU No. 10 tahun 2004, Pasal 10 ayat (11-14)
16 UU No. 5 tahun 1974, Pasal 44 ayat (22)
31
Pengundangan dalam lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui
agar raperda mempunyai kekuatan hukum yang memikat kepada publik. Dalam
konsep hukum, maka draf raperda sudah menjadi Perda yang berkekuatan hukum
formal dan sudah dapat diterapkan.17
B. Otonomi Daerah
Menurut sejarahnya, otonomi daerh dalam sistem kenegaraan di Indonesia
telah mengalami perkembangan yang secara konstitusional merupakan amanat
pasal 1 dan 18 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1974
dan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian di amandemen menjadi
Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang ini, otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang
dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas daerah tertentu, kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan kesatuan Republik Indonesia.18
17
Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21
februari tahun 2006
18 Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan, 2005), h.
158
32
Otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara pusat
dan daerah dalam aspek politik, ekonomi, sosial-budaya. Tidak heran mengapa
sebagian besar masyarakat meresponnya secara positif sekaligus banyak berharap
pada keputusan politik ini demi masa depan mereka yang lebih baik. Tentu ada
juga kelompok masyarakat yang menggunakan momen ini untuk
memperjuangkan kepentingan dan aspirasi polotik mereka.19
UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pusat
kepada pemerintah daerah, yaitu bidang pertahanan, pertanian pendidikan dan
kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi,
perdagangan dan industri, investasi modal dan koperasi. Ada lima(5) bidang yang
tetap menjadi wewenang pemerintah pusat, yaitu bidang politik luar negeri,
pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta
Agama. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa proses legislasi
dalam bentuk perda tidak lagi disahkan oleh Pemerintah Pusat asal tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali asas
umum penyelenggaraan negara yaitu: asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas
19
Sulis Syakhsiyah Annisa, Perda Wajib Berbusana Muslim di Sijunjung, website, http://
Syakhsiyah.wordprees.com/2009/09/18/64/, tanggal 21 April 2001
33
efektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan Negara di
dalam Undang-Undang ini tidak lain ingin mengadopsi konsep good governance
dalam kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonimi daerah.20
Adapaun prinsip dan asas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah:
a. Prinsip otonomi daerah adalah menggunakan prinsip ekonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan Pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang. Sejalan dengan perinsip tersebut
dilaksanakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip
otonomi yang nyata adalah untuk menangani urusan Pemerintah
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang telah ada
dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud otonomi yang
bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi, yang pada
dasarnya untuk meningkatkan kesejahterahan masyarakat.
b. Asas dari otonomi daerah adalah asas desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
20
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan
Sumber Daya, (Jakarta : Djambatan, 2004, h. 107-110.
34
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Kepala Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintah oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal diwilayah tertentu.
3. Tugas pembantu adalah penugasan dari Pemerintah Kepada Daerah
dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi Kepada Desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Setelah diterapkannya otonomi daerah yang ditandai dengan
diberlakukannya Undang-Undang No 20 Tahun 1999 sejak 1 Januari 2001 yang
kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang N0 32 Tahun 2004, setiap
Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) diberikan kewenangan yang sangat untuk
mengatur dan memerintah daerahnya masing-masing.
Peluang yang diberikan oleh kebijakan otonomi daerah itu diterjemahkan
beragam oleh daerah. Salah satu “terjamah” yang dipakai adalah dengan
membuat beragam peraturan daerah (Perda). Dibeberapa daerah, termasuk
Kabupaten Pesisir Selatan terdapat fenomena yang menarik untuk dikaji secara
akademik, khusususnya dari perspektif hukum Islam dan hukum. Fenomena
tersebut adalah munculnya perda yang mengatur persoalan-persoalan terkait
dengan prilaku seseorang dan/atau kelompok di masyarakat, diantaranya adalah
35
perda Kabupaten Pesisir Selatan No 4 Tahun 2005 tentang Berbusana Muslim dan
Muslimah yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai perda Syariah.21
Munculnya Perda benuansa syariah demikian munculnya pro dan kontra di
masyarakat. Bagi kalangan yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai
terobosan untuk menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar
individu maupun jaminan moral untuk individu di masyarakat. Bagi kalangan
yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah dinilai berlebihan, bahkan
ada yang mengatakan secara terbuka bahwa perda syariah tersebut bertentangan
dengan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi.22
Nilai-nilai ajaran dan budaya Islam dalam norma kehidupan sosial cukup
berpengaruh dalam kebiasaan dan landasan moral masyarakat, sehingga sering di
jadikan standar dalam menilai suatu prilaku masyarakat. Begitu juga dengan
Kabupaten Pesisir Selatan yang penduduknya mayoritas muslim sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai moral kesopanan sebagai bentuk masyarakat yang
melambangkan kondisi masyarakat Pesisir Selatan terbebas dari segala bentuk
kemaksiatan.
21
Disajikan dari majalah tempo, 14 Mei 2006, h. 29
22 Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil,
hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007, h. 116
36
C. Kebijakan Publik
1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan Publik merupakan “(wisdom) aturan-aturan yang semestinya dan
harus diakui tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapapun dengan
kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan (policy) adalah suatu ketentuan dari
pemimpim yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada
seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan
aturan yang berlaku.”23
Kebijakan Publik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Bukanlah suatu tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan
yang direncanakan.
b. Terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang
mengarah kepada tujuan-tujuan tertentu.
c. Apa yang senyatanya dilakuakn oleh pemerintah dalam bidang-bidang
tertentu.
d. Bisa berbentuk positif dan negatif.
e. Memiliki daya ikat yang kuat terhadap masyarakat/memiliki daya
paksa.
23
Subarsono, A.G. Analisis kebijakan Publik Konsep Teori dan Amplikasi, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2005), h. 2
37
Sedangkan dari model Implementasinya, kebijakan publik terdiri dari:24
a. Implementasi sistem rasional (top down)
Menurut Parson model, rasional ini berisi gagasan bahwa
Implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang di
perintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. Beberapa
Ahli yang mengembangkan model Implementasi top down adalah sebagai
berikut:
1) Van Meter dan Van Horn
Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Dwiyanto (2009),
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik,
implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
mempengaruhi kebijakan publik adalah: aktivitas implementasi dan
komunikasi antar organisasi, karakteristik agen dan
pelaksanaan/implementor, kondisi ekonomi, sosial dan publik,
kecenderungan implementor.
2) George Edward III
Salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai
dengan pernyataan abstrak, seperti; apakah yang menjadi prasyarat
bagi implementasi kebijakan, apakah yang menjadi penghambat utama
bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Sehingga untuk menjawab
24
Dwiyanto Indiahono, Kebijakan publik, Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta;
Gava Media, 2009), h. 9
38
pertanyaan tersebut Edward III mengusulkan 4(empat) variabel;
komunikasih, resourcees atau sumber-sumber, sikap dan struktur
birokrasi.
3) Model Grindle
Menurut Grindle implementasi kebijakan ditentukan oleh isi
kebijakan implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah
kebijakan di tranformasikan, barulah implementasi kebijakan
dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability
dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup hal-hal sebagai
berikut:25
- Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
- Jenis manfaat yang akan dihasilkan
- Drajat perubahan yang diinginkan
- Pelaksanaan program
- Sumber daya yang dikerahkan
Sementara itu konteks implementasinya adalah:
- Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
- Karakteristik lembaga dan pengusaha
- Kepatuhan dan daya tangkap
25
Indiahono, Kebijakan Publik, h. 10-11
39
b. Implementasi kebijakan bottom up
Model dengan implementasi bottom up muncul secara kritik terhadap
model pendekatan rasional atau top down. Ahli kebijakan yang lebih
memfokuskan terhadap model implementasi ini adalah Adam Smith.
Menurut Smith dalam Dwiyanto (2009), implementasi kebijakan
dipandang sebagai suatu proses atau alur. Smith memandang proses
implementasi kebijakan dari prose kebijakan dari perspektif perubahan
sosial dan politik. Dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat
sebagai kelompok sarana. Menurut Smith, Implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat faktor:
1) Idelized policy yaitu pada interaksi yang digagas oleh perumus
kebijakan dengan tujuan untuk memandang, mempengaruhi dan
merangsang target group untuk melaksanakannya.
2) Target groups yaitu bagian dari policy stakeholders yang
diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana
yang diharapkan oleh perumus kebijakan.
3) Impelenting organization yaitu badan-badan pelaksana yang
bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan.
40
4) Environmental factors yaitu unsur-unsur didalam lingkungan
yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek
budaya, sosial, ekonomi dan politik.26
2. Kebijakan Pemerintah
Sebuah kebijakan dapat diklasifikasikan kedalam bebera tipologi
kebijakan yaitu kebijakan distributive, Kebijakan Regulasi, dan Kebijakan
Konstituen.27
Kebijakn-kebijakan tersebut dapat digunakan oleh berbagai
lembaga baik organisasi swasta maupun pemerintah, akan tetapi pada umumnya
penggunaan istilah kebijakan merujuk kepada kebijakan yang diputuskan oleh
pemerintah bagi warganya atau sering disebut sebagai kebijakan publik.
Karenanya kebijakan publik, biasanya, sama dengan kebijakan pemerintah.
Di Indonesia, Kebijakan Pemerintah dapat berbentuk tata peraturan
perundan-undangan yang dimaksudkan untuk memandu jalanya pelaksanaan
kenegraran, pemerintahan, perlindungan masyarakat, dan pembangunan.
Sebagaimana perundang-undangan yang berlaku, jenis kebijakan pemerintah
berbentuk peraturan perundang-ndangan secara hirarkis adalah meliputi Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
26
Indiahono, Kebijakan Publik, h. 11
27 Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik dalam Konteks Indonesia, (Lemlit UMPAD;
2006), Cet.1 h. 25
41
Presiden, Peraturan Presiden, Intruksi Presiden, Peraturan Keputusan Mentri dan
Peraturan Daerah.
3. Peraturan Daerah Sebagai Kebijakan Publik
Peraturan Daerah (Perda) adalah naskah dinas yang berbentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur urusan otonomi daerah dan tugas
pembentukan untuk mewujudkan kebijaksanaan baru, melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan menetapkan suatu organisasi dalam
lingkungan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).28
Keberadaan Perda penting sebab menjadi panduan dalam penentuan
kebijakan daerah dan dalam rangka melaksanakan tugas, wewenang, kebijakan,
dan tanggungjawabnya. Kebijakan Daerah dalam Perda tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum
serta peraturan daerah lain.29
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah,
artinya prakarsa berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus
peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah
yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peratuaran
Daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur diundangkan dengan
28
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Media Presindo, 2002),
h. 32
29 Tacjhan, Implementasi Kebijakan Publik, (Lemlit UNPAD). 2006: Cet. 1.h. 11
42
penempatannya dalam Lembaga Daerah. Peraturan Daerah tertentu yang
mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD, dan tataruang,
akan berlaku jika telah melalui tahapan evaluasi dari Pemerintah Pusat. Hal
tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi ketertiban umum,
menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan/atau peraturan Daerah lainnya, terutama peraturan daerah
mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.30
30
Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, h. 34
43
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWAJIBAN BERPAKAIAN MUSLIM
DAN MUSLIMAH DALAM PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005
DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
A. Kewajiban Berbusana Muslim dan Muslimah Menurut Hukum Islam
Dalam kehidupan didunia ini, manusia seakan selalu menemukan corak
dan mode busana yang selalu berkaitan erat dengan agama, adat istiadat, dan
kebudayaan setempat. Karena di setiap tempat memiliki gaya berpakaian yang
berbeda-beda.
Pakaian yang dikenakan oleh seorang hamba memiliki nilai ibadah di sisi
Allah Ta’ala. Dia dan Rasul-Nya telah menetapkan kaidah umum dalam
berpakaian, yang intinya adalah menutup aurat seorang hamba. Melalui cara
berpakaian, sesungguhnya Allah berkehendak memuliakan manusia sebagai
makhluk yang mulia dan sebagai identitas keislaman seseorang.1
Adapun Islam menganggap bahwa pakaian memiliki karakteristik yang
sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan
penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam :
1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim dan muslimah sebagai
ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu
1 fikih-pakaian muslim dan muslimah, website http:// abu mujahidah/1 januari tahun 2014
44
berpakaian seorang muslimmemiliki nilai ibadah.
2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya
(bagaimna dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya)
dan nafsiyahnya (dengan tolak ukur apa dan seberapa banyak dia
berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan
nalurinya).
3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan
adalah taqwanya.
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seseorang muslimah haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Menutup aurat
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab,
khumur, mihnah (pakaian yang terulur langsung dari atas sampai ujung
kaki) dan memenuhi kriteria irkha’)
3. Tidak tembus pandang
4. Tidak menunjukan bentuk dan lekuk tubuh
5. Tidak tabarruj (menonjolkan keindahan betuk tubuh, kecantikan dan
perhiasan di depan laki-laki non muslim atau didalam kehidupan
umum)
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir
45
Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi aurat, yaitu bagian tubuh
yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali yang dihalalkan dalam
agama. Dan dianjurkan untuk berpakaian terbaik yang dimilikinya dengan tidak
berlebihan.
Busana juga berfungsi sebagai penutup tubuh dari cuaca dingin dan panas.
Dan karena perkembangan zaman arti berbusana menjadi lebih meluas sebagai
pernyataan lambang status pemakaiannya. Seorang muslimah yang telah
mengenakan jilbab secara tidak langsung jelas menunjukkan identitasnya yang
konsisten terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Di dalam Al-Quran tidak diharuskan mengenakan busana muslimah ala
timur tengah atau asia, karena memang pakaian sifatnya yang universal,
sedangkan modenya terserah kepada selera masing-masing pemakai untuk
memilih atau menciptakan berbagai kreasi busana, karena berbusana termasuk
dari kebudayaan atau kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya dan
dipengaruhi oleh waktu.2
Indonesia sebagai negara yang sebagian berpenduduk muslim atau
menganut ajaran islam, yang menjunjung nilai estetika dalam pergaulan sehari-
hari. Berbusana dalam islam merupakan suatu sistem yang lengkap sesuai fitrah
insani karena agama islam menuntut seluruh aspek kehidupan manusia dan
2 Hamka, Membahas Tentang Soal-Soal Islam, (Jakarta: Dhama Caraka, 1985), h. 160-161
46
memberikan pedoman untuk budaya.3
Pemakaian busana muslimah diawali dengan proses pengetahuan tentang
busana muslim yang didapat dari hasil interaksi dengan lingkungan, misalnya
hubungan keluarga, masyarakat, sekolah, maupun dari media. Pada proses ini
manusia memberikan makna dan nilai pada busana muslimah, ini sebagai bentuk
simbol keagamaan yang bersumber pada ajaran agama dan memiliki nilai-nilai
moral, namun pemberian nilai dan makna pada busana muslimah setiap individu
berbeda.
Standar berpakaian itu ialah takwa yaitu pemenuhan ketentuan-ketentuan
agama. Berbusana muslim dan muslimah merupakan pengamalan akhlak terhadap
diri sendiri, menghargai dan menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri
sebagai makhluk yang mulia. Berikut adalah kaidah umum tentang cara
berpakaian yang sesuai dengan ajaran Islam yang mulia:
1. Pakaian harus menutup aurat, longgar tidak membentuk lekuk tubuh
dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada dibaliknya.
2. Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau
sebaliknya.
3. Pakaian tidak merupakan pakaian syuhroh (untuk ketenaran).
4. Tidak menyerupai pakaian khas orang-orang non-Muslim.
5. Jangan memakai pakaian bergambar makhluk yang bernyawa.
3 Syahrul Amin, Menuju Persaingan Pokok Islam. (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983), h.
29
47
Pakaian wanita muslimah menanamkan tradisi yang universal dan
fundamental untuk mencegah kemerosotan moral dengan menutup pergaulan
bebas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fuad M. Facruddin yang mengatakan
bahwa busana yang dikenakan seorang muslimah bukan hanya menutup badan
saja, melainkan harus menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.4
Agama adalah salah satu bentuk konstruk sosial yang dimana Tuhan, ritual,
nilai, hierarki, keyakinan dan perilaku religiusitas hanya untuk memperoleh
kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih ketat dalam
dunia sosial.5 Dalam kajian sosiologi, busana muslimah tidak hanya sebagai
sarana ibadah yang dianggap sakral tetapi memiliki fungsi-fungsi sosial di
antaranya:6
1. Fungsi identitas
Dengan cara ini agama mempengaruhi pengertian individu tentang siapa ia,
dan mau apa ia. Dengan demikian manusia yang memakai busana islami
mempunyai ciri yang melekat padanya, dan pada akhirnya menjadi nilai
identitas keislaman.
4 Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2, h. 33
5 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 267
6 Thomas F.O Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal. (Jakarta: CV. Rajawali, 1985),
h. 26
48
2. Fungsi realisasi diri
Perubahan yang mendasar dan lebih cepat, khususmya meninggalkan suatu
cara tertentu diganti dengan cara hidup yang lain.
3. Fungi pelindung
Dalam islam fungsi pakaian untuk menutupi aurat, tetapi juga sebagai
fungsi pelindung dari cuaca dingin dan panas.
4. Fungsi kontrol sosial
Karena kerangka acuan pada agama yang memiliki sanksi-sanksi yang
sakral yang didalamnya sifatnya memaksa tetapi sebagai acuan individu
dalam menjalani kehidupannya.
Penerapan Perda bernuansa Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan
merupakan sebuah upaya yang lebih menitik beratkan pada pengalaman rukun
Islam dengan sungguh-sungguh baik dan benar tidak lebih dari sekedar usaha
untuk mengingatkan masyarakat Islam melaksanakan kewajibanya, seprti shalat
lima waktu, zakat, puasa, menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang
Agama, maupun undang-undang yang dikeluarkan Pemerintah seperti mabuk-
mabukan, bermain api dengan urusan drugs (narkoba) serta segala sesuatu yang
bertentangan dengan Agama dan Hukum.7
Karena didalam Islam terjadi banyak penafsiran tentang masalah
batasan aurat, maka Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun
7 Wawancara pribadi dengan Jon Hendra, A.Md
49
2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan
yang mengatur batasan berpakaian sebagaimana yang terdapat dalam perda
tersebut merupakan larangan terhadap tafsir yang berbeda dengan salah satu
paham agama (mainstream), sehingga perda tersebut merupakan pemaksaan
terhadap paham atau penafsiran tunggal.
B. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Kewajiban
Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan
1. Implementasi Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan
Penerapan Perda Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan sebuah upaya yang
lebih menitikberatkan pada pengalaman Rukun Islam dengan sungguh-sungguh
baik dan benar, tidak lebih dari sebuah usaha untuk meningkatkan masyarakat
Islam melaksanakan kewajibanya, seperti Sholat lima waktu, Zakat, Puasa,
menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, maupun undang-undang
yang dikeluarkan Pemerintah seperti mabuk-mabukan, bermain api dengan urusan
drugs (narkoba) serta segala sesuatu yang bertentangan dengan agama dan
hukum. Terjadinya penerapan Perda Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan karena
dilihat dari mayoritas agama Islam dibandingkan Agama lainnya dan adanya
peraturan dari Bupati maka terlaksana perda tersebut.
Upaya formalisasi Syariah dibanyak daerah khususnya Kabupaten Pesisir
Selatan melalui penerapan perda syariah sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari
50
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
sebagai bagian dari agenda demokratisasi di Indonesia paska runtuhnya orde baru.
Otonomi daerh dalam sistem kenegaraan di Indonesia telah mengalami
perkembangan yang secara konstitusional merupakan amanat pasal 1 dan 18
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1974 dan Undang-
Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian diamandemen menjadi Undang-
Undang No 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang ini, otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud daerah
otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu, kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan kesatuan
Republik Indonesia.8
UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pusat
kepada pemerintah daerah, yaitu bidang pertahanan, pertanian pendidikan dan
kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi,
perdagangan dan industri, investasi modal dan koperasi. Ada lima(5) bidang yang
tetap menjadi Wewenang Pemerintah Pusat, yaitu bidang politik luar negeri,
pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta
8 Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan, 2005),
h.158
51
Agama. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa proses legislasi
dalam bentuk perda tidak lagi disahkan oleh pemerintah pusat asal tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Dari penjelasan diatas bahwa Pemerintah Daerah memiliki wewenang yang
sangat luas untuk menjalankan otonomi daerah dan menetapkan peraturan daerah
serta peraturan-peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi daerah. Namun
perlu diperhatikan juga bahwa ada statemen didalam Undang-Undang Dasar
tahun 1945 pasal 18 ayat (5) yaitu: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.9 Dengan demikian maka Undang-
Undang Dasar 1945 menentukan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah,
pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan absolut terhadap daerah terutama
tentang masalah Agama, melainkan ada batasannya yang ditentukan oleh
undang-undang.
Dengan demikian, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4
tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir
9 Pasal 10. Bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999. Pada pasal 7 UU No.22 tahun
1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi
kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam, serta tegnologi tinggi
yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
52
Selatan bertentangan dengan spirit pasal 18 ayat (5) UUD 1945 jo. pasal 10 UU
No. 32 tahun 2004 yang membatasi kewenangan daerah dalam urusan agama.10
Dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 22 secara jelas juga disebutkan bahwa dalam
menyelenggarakan otonomi daerah, daerah berkewajiban menjaga persatuan,
kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 27
juga menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta siap mempertahankan dan
memelihara kedaulatan NKRI. Jika rumusan ini dipegang teguh oleh seluruh
Pemerintah Daerah di Indonesia, maka perda yang bernuansa keagamaan tidak
akan keluar dari jalur konstitusi, sebab dalam sebuah negara yang berdasarkan
Pancasila, seluruh produk hukumnya harus mengacu dan bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945.
Berbicara tentang HAM yang sudah diataur didalam Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 28I ayat 2 yaitu: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”11
Mengandung
arti bahwa salah satu hak asasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar tahun
10
Latar belakang pemberian wewenang dalam urusan agama oleh pemerintah pusat yang
telah diuraikan di atas dapat dijadikan tafsiran terhadap “urusan agama” dalam UU No. 32 Tahun
2004. Memahami peraturan perundang undangan dengan melihat pada sejarah hukum maupun sejarah
pembentukannya disebut penafsiran (interpretasi) historis. Lihat Bambang Sutiyoso, Metode
Penemuan Hukum; Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press,
2006, h. 84-85.
11
Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28I ayat 2 tentang HAM.
53
1945 adalah hak untuk mendapatkan persamaan bagi seluruh warga negara dalam
segala aspek kehidupan tanpa membedakan apapun, baik itu didasarkan pada ras,
agama, warna kulit, dan suku bangsa. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya
memberikan kebebasan kepada warganya untuk mengikuti suatu paham
keagamaan tertentu yang diyakininya, bukan memaksakan terhadap suatu paham
keagamaan tertentu.12
Berdasarkan pasal ini, Indonesia merupakan negara netral yang tidak
membedakan perbedaan ras, agama, warna kulit, maupun suku bangsa. Negara
tidak membagi masyarakat beragama menjadi keluarga minoritas dan mayoritas,
kesemuanya memperoleh hak yang sama. Kebebasan beragama adalah bagian
yang paling penting dari hak-hak sipil. Jadi, kebebasan beragama diletakkan pada
tingkat individu, sehingga tidak mengenal istilah minoritas dan mayoritas.
Bisa dilihat bahwa Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten
Pesisir Selatan Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah sangat bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan juga melanggar Hak Asasi
Manusia.
2. Dampak Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan
Munculnya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Berpakaian
Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan menimbulkan pro dan kontra
12
Gregorius Sri Nurhartanto, Upaya Memerangi Diskriminasi hak Asasi Manusia. Dalam
Ibid., h. 229.
54
di masyarakat. Bagi kalangan yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai
terobosan untuk menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar
individu maupun jaminan moral untuk individu di masyarakat. Bagi kalangan
yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah dinilai berlebihan, bahkan
ada yang mengatakan secara terbuka bahwa perda syariah tersebut bertentangan
dengan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan juga melanggar Hak
Asasi Manusia.13
Begitu juga dari kalangan non-Muslim begitu sangat memiliki dampak
karena masyarakat non-Muslim tidak terbiasa memakai pakaian yang lebih
tertutup dan itu sangat tidak nyaman sekali bagi mereka, apabila meraka tidak
mengikuti Perda tersebut maka mereka bisa terkena sanksi dari pemerinah daerah.
Karena sudah ada beberapa kasus pemaksaan seperti di Kabupaten Cianjur
seorang non-Muslim yaitu karyawan kantor pos yang dipaksa mengenakan
pakaian muslim di kantor stiap hari jumat, seorang guru di sekolah negeri harus
memakai pakaian muslimah karena tidak ada keringanan bagi guru untuk tidak
memakai pakaian muslimah karena guru lah yang mewajibkan seluruh siswinya
unutuk mengenakan jilbab di sekolahnya setiap hari jumat, dan seorang siswi
SMA (sekolah menengah keatas), Bagi siswi yang menolak, maka orang tuanya
harus mengajukan permohonan dan pernyataan bahwa siswi tersebut adalah non-
13
Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil,
hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007, h.116
55
Muslim.14
Untuk warga sipil non-Muslim tetap harus bepakai yang sopan tidak
boleh memkai pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh mereka apabila mereka
ingin melakukan aktifitas di luar rumah. Maka dari itu Peraturan Derah ini sangat
meresahkan sekali khususnya dari kalangan non-Muslim, mereka sulit sekali
melaksanakan aktifitasnya karena tidak terbiasa memakai pakaian yang sangat
tertutup, bahkan terkadang menjadi ejekan dari masyarat lain tentang
penampilannya tersebut, bahkan ada yang sampai tidak ingin melakuakan aktifitas
keluar rumah akibat ejekan tersebut.
Begitu sangat memperihatinkan peristiwa itu bisa terjadi dikalangan
masyarakat hanya karena larangan dari Peraturan Dearah tesebut. Disinilah peran
pemerintah Daerah sangat penting untuk menanggapi dan berjiwa adil untuk tidak
memberatkan salah satu dari masyarakat itu sendiri karena negara ini berpedoman
dengan Pancasila.
Dari masalah diatas penulis dapat memaparkan bahwa Peraturan Daerah
No. 4 tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan tentang Berbusana Muslim dan
Muslimah sangat bertentangan sekali dengan Undang-undang Dasar 1945 dan
melanggar HAM (hak asasi manusia). Karena peraturan yang bernuansa Agama
sudah menjadi Wewenang Pemerintah Pusat, dalam Undang-undang No. 22
Tahun 1999 yaitu: bidang politik luar negeri, pertanahan dan keamanan, peradilan
dan kebijakan moneter dan fiscal, serta Agama.
14
Ibit dan Lily Zakiyah munir, “Simbolisasi, Politisasi dan dan kontrol terhadap Perempuan
di Aceh” dalam Burhanudin( Ed), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL, tahun2003,
h. 133
56
Dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 22 secara jelas juga disebutkan bahwa
dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah berkewajiban menjaga
persatuan, kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pasal 27 juga menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban memegang teguh
dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta siap mempertahankan dan
memelihara kedaulatan NKRI. Jika rumusan ini dipegang teguh oleh seluruh
pemerintah daerah di Indonesia, maka perda-perda yang bernuansa keagamaan
tidak akan keluar dari jalur konstitusi, sebab dalam sebuah negara yang
berdasarkan Pancasila, seluruh produk hukumnya harus mengacu dan bersumber
pada Pancasila dan UUD 1945.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang di kemukakan dalam skripsi ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Munculnya Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005
Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir
Selatan menimbulkan pro dan kontra dimasyarakat. Bagi kalangan
yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai terobosan untuk
menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar
individu maupun jaminan moral untuk individu dimasyarakat. Bagi
kalangan yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah
dinilai berlebihan, bahkan ada yang mengatakan secara terbuka bahwa
perda syariah tersebut bertentangan dengan peraturan perudang-
undangan yang lebih tinggi dan juga melanggar Hak Asasi Manusia.
2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi lahirnya Peraturan Daerah Nomor
4 tahun 2005 di Kabupaten Selatan yaitu mayoritasnya Agama Islam
dibandingankan non-Muslim, orang yang kuat seprti para Ulama yang
ada di Kabupaten Pesisir Selatan, peraturan Bupati Kabupaten Pesisir
Selatan dan dukungan dari Masyarakat Islam itu sendiri maka
58
terjadinlah Peraturan Daerah berpakaian Muslim dan Muslimah di
Kabupaten Pesisisr Selatan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dikemukakan diatas,
maka dapat diajukan saran sebagai berikut :
1. Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan kedepannya dapat membuat
perda yang lebih baik dan dapat membawa perubahan yang lebih baik
lagi untuk mayarakat Kabupaten Pesisir Selatan.
2. Setiap rancangan perda harus melalui uji publik terlebih dahulu secara
terbuka dan tidak sekedar main-main. Harus ada yang diciptakan dari
Pemerintah Daerah untuk mendapatkan partisipasi masyarakat dan
tidak ada satu pun yang dirugikan.
3. Kepala Pemerintah Daerah harus lebih baik memecahkan masalah-
masalah yang riil terhadapat masyarakat, seperti kemiskinan dari pada
merespon usulan penerapan Syariah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,
Yogyakarta : UII Pres, 2005. cet. Ke-1.
Abu al-Ghifari, Kudung Gaul. Berjilbablah Tapi Telanjang. (Bandung: Mujahid,
2002). cet. Ke-2.
Ahmad Hasan Karzun, “Adab Berpakaian Pemuda Islam” (Jakarta: Darul Falah,
1999), cet. Ke-1.
Beryl C. Syamwil, “Akar Sejarah Busana Muslimah Indonesia”, dalam Aswab
Machasin (eds), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika.
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan
Sumber Daya, (Jakarta : Djambatan, 2004).
Disajikan dari majalah tempo, 14 Mei tahun 2006.
Dwiyanto Indiahono, Kebijakan publik, Berbasis Dynamic Policy Analysis
(Yogyakarta; Gava Media, 2009).
Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2.
Gregorius Sri Nurhartanto, Upaya Memerangi Diskriminasi hak Asasi Manusia.
Dalam Ibid.
Hamka, Membahas Tentang Soal-Soal Islam, (Jakarta: Dhama Caraka, 1985).
Huda Khattab, “Buku Pegangan Wanita Islam” (Bandung: Al-Bayan, 1990), cet. Ke-
2.
Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, (Bandung: Mizan, 2000),
cet, ke-10.
Husein Shahab, Jilbab menurut Al-Qur’an dan As-sunnah (Jakarta: Mizan, 1983),
h.18, juga dalam Istadianta, Hikmah Jilbab dalam Pembinaan Ahklak
(Sala: Ramdhani, Tt), h.Baca juga Abu Abdillah Al Mansur, Wanita
dalam Quran, (Jakarta Gema Insani Prees, 1986).
Ibit dan Lily Zakiyah munir, “Simbolisasi, Politisasi dan dan kontrol terhadap
Perempuan di Aceh” dalam Burhanudin( Ed), Syariat Islam Pandangan
Muslim Liberal, Jakarta: JIL, tahun 2003.
Istadiyanto, Hikmah Jilbab dan Pembinaan Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1998).
Labib Mz, Wanita dan Jilbab (Gresik: CV. Bulan Bintang, 1999), cet. Ke-1.
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan
1998), cet. Ke-13.
M. Thalik, Analisa dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: al-ikhlas, 1987).
Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan,
2005).
Nina Surtiretna, “Anggun Berjilbab” (Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. Ke-2.
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. (Yogyakarta: LkiS, 2000).
Quraish Shihab, “Wawasan Al-Quran” (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-4
Ronny Kountur, Metode Penelitian (Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis). (Jakarta,
PPM, 2004), cet. Ke-II.
Sitoresmi Prabuningrat, “Gejolak Kebangkitan Busana Muslimah Di Indonesia”,
dalam Aswab Machasin (eds), Ruh Islam
Dalam Budaya Bangsa Konsep
Estetika, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996).
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-4.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2010).
Subarsono, A.G. Analisis kebijakan Publik Konsep Teori dan Amplikasi,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005).
Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan
Sipil, hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007).
Syahrul Amin, Menuju Persaingan Pokok Islam. (Yogyakarta: Salahuddin Press,
1983).
Syaik Abdullah Shahih al-Fauzan, Kriteria Busana Muslimah (Jakarta:Khazana
Shun, (1995) cet, ke-1.
Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal
Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, Vol. 5, No. 2, 2004.
Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik dalam Konteks Indonesia, (Lemlit
UMPAD; 2006), cet.Ke-1.
Tacjhan, Implementasi Kebijakan Publik, (Lemlit UNPAD). 2006: cet. Ke-1.
Thomas F.O Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal. (Jakarta: CV. Rajawali,
1985).
W. J. S. Poerwa Darunuda, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai
Pustaka, 1987).
Wawancara pribadi dengan Jon Hendra, A.Md.
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Media Presindo,
2002).
Peraturan PnerUndang-Undang
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan: Kewenangan Daerah
mencakaup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negri, pertahanan keamanan, pengadilan, moneter, fiskal,
Agama, serta kewenangan bidang lainya. Penjelasan ayat ini berbunyi antara lain:
khusus bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah
Kepala Daerah sebagai upaya keikut sertaan daerah dalam
menumbuhkembangkankehidupan beragama.
Latar belakang pemberian wewenang dalam urusan agama oleh pemerintah pusat
yang telah diuraikan diatas dapat dijadikan tafsiran terhadap “urusan agama” dalam
UU No. 32 Tahun 2004. Memahami peraturan perundang undangan dengan melihat
pada sejarah hukum maupun sejarah pembentukannya disebut penafsiran
(interpretasi) historis. Lihat Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum; Upaya
Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006.
Pasal 10. Bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999. Pada pasal 7 UU No.22
tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang
lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia,pendayagunaa nsumber daya alam, serta
tegnologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
TAP MPR NO. III TAHUN 2000, Pasal 3, Ayat 7.
Tata urut Perundang-undangan Republik Indonesia adalah: (1) UUD 4; (2) Ketetapan
MPR RI; (3) Undang-undang. (4) Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang
(Perpu); (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah.
Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28I ayat 2 tentang HAM.
UUD 1945 pasal 18, ayat 2: “Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten, dan
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”. M. Alfan Alfian M. Ed. Bagaimana memenangkan pilkada
langsung?. Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2005, cet.Ke-1.
UU No. 5 tahun 1974, Pasal 44 ayat (22).
UU No. 32 tahun 2004, Pasal 140 ayat (1) menyebutkan Rancangan Perda dapat
berasal dari DPRD, gubernur, atau Bupati/Walikota.
UU No. 10 tahun 2004, Pasal 10 ayat (11-14).
Internet
fikih-pakaian muslim dan muslimah, website http:// abu mujahidah/1 januari tahun
2014.
Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21
februari tahun 2006.
Sulis Syakhsiyah Annisa, Perda Wajib Berbusana Muslim di Sijunjung, website,
http:// Syakhsiyah.wordprees.com/2009/09/18/64/, tanggal 21 April 2001.
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN
NOMOR : 04 TAHUN 2005 T E N T A N G
BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH KABUPATEN PESISIR SELATAN
“DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA” BUPATI PESISIR SELATAN
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-
undang dasar 1945, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
b. bahwa menutup aurat di dalam Islam hukumnya wajib baik di dalam ibadah yang bersifat mahdah (khusus) maupun yang bersifat ammah (umum).
c. bahwa sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan ajaran agama islam tercermin dari pakaian yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
d. bahwa sesuai dengan kondisi yang ada terhadap pakaian yang dipakai umat islam sebagian besar tidak lagi mencerminkan nilai agama dan budaya serta adat dalam minangkabau.
e. bahwa untuk mewujudkan suasana kehidupan masyarakat yang mencerminkan kepribadian muslim dan muslimah di masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan maka, dipandang perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Tengah Jis Undang-undang Nomor 21 Drt.Tahun 1957 Jo Undang-undang Nomor 58 Tahun 1958 ;
2. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Propinsi / Kabupaten sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara nomor 3952)
5. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaga Negara Tahun 1999 Nomor 70).
6. Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 05 tahun 2004 tentang Tiga Pilar Pembangunan.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN PESISIR SELATAN DAN
BUPATI PESISIR SELATAN MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN
TENTANG BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : a. Daerah adalah Kabupaten Pesisir Selatan; b. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahandaerah; c. Pakaian Muslim dan Muslimah adalah pakaian yang bercirikan islami d. Masyarakat adalah Masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan yang beragama islam
berdomisili dan bekerja di Kabupaten Pesisir Selatan
BAB II MAKSUD, TUJUAN DAN FUNGSI
Bagian Pertama Maksud Pasal 2
Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi Masyarakat adalah untuk menggambarkan seseorang atau masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dalam mengamalkan ajaran agama islam.
Bagian Kedua Tujuan Pasal 3
Tujuan Berpakaian Muslim dan Muslimah adalah: (1) Membentuk sikap sebagai seseorang Muslim dan Muslimah yang baik dan
beraklak mulia. (2) Membiasakan dari berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-
hari dan demi siarnya agama islam. (3) Menciptakan masyarakat yang mencintai budaya islam dan budaya
Minangkabau. (4) Melestarikan nilai-nilai adat dan budaya minang kabau sesuai dengan pitua “
Syarak Mangato Adat Memakai”
Bagian Ketiga Fungsi Pasal 4
Berpakain Muslim dan Muslimah adalah untuk menjaga kehormatan dan sebagai identitas diri umat islam serta budaya adat minang kabau.
BAB III KEWAJIBAN DAN PELAKSANAAN
Bagian pertama Kewajiban
Pasal 5
Setiap karyawan/ karyawati, mahasiswa/mahasiswi dan siswa/siswi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Madrasyah Aliyah (MA) serta pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Madrasyah Tsanawiyah (MTSN) diwajibkan berbusana Muslim dan Muslimah, sedangkan bagi warga masyarakat umum bersifat himbauan/anjuran.
Bagian Kedua Pelaksanaan
Pasal 6 (1) Berpakaian Muslim dan Muslimah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5
dilaksanakan pada : a. Instansi Pemerintah dan swasta b. Lembaga Pendidikan Sekolah dan Luar Sekolah mulai dari tingkat
SLTP/MTS. c. Acara-acara resmi.
(2) Bagi masyarakat umum dianjurkan/dihimbau untuk berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-hari termasuk pada acara hiburan umum.
Pasal 7
(1) Ketentuan mengenai pakaian Muslim dan Muslimah bagi karyawan dan karyawati pada Instansi Pemerintah dan Swasta sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut: a. Karyawan
1) Memakai celana panjang 2) Memakai baju lengan panjang/pendek
b. Karyawati 1) Memakai baju lengan panjang dan menutupi pinggul 2) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki. 3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan
dada. (2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat). (3) Ketentuan mengenai model pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Bupati.
Pasal 8 (1) Ketentuan memakai pakaian Muslim dan Muslimah bagi siswa dan mahasiswa
sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut: a. Laki-laki
1) Memakai celana panjang 2) Memakai baju lengan panjang/pendek
b. Perempuan 1) Memakai baju lengan panjang dan menutupi pinggul yang dalamnya
sampai lutut 2) Memakai rok yang menutupi sampai mata kaki. 3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan
dada. (1) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat). (2) Ketentuan mengenai model pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Bupati.
Pasal 9 Ketentuan memakai pakaian Muslim dan Muslimah pada acara resmi sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) huruf c, menyesuaikan dengan jenis acara dan ketentuan yang berlaku setempat.
BAB IV SANKSI Pasal 10
Setiap pelanggaran terhadap ketentuan peraturan daerah ini dikenakan sanksi sebagai berikut: a. Bagi karyawan/karyawati Instansi Pemerintah dilingkungan pemda Kabupaten
Pesisir Selatan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
b. Bagi Siswa dan Mahasiswa dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai berikut: 1. Ditegur secara lisan 2. Ditegur secara tertulis 3. Diberitahukan kepada orang tua/wali 4. Tidak dibolehkan mengikuti pelajaran di Sekolah 5. Dikeluarkan/dipindahkan dari sekolah Kabupaten Pesisir Selatan
c. Tata cara Pelaksanaan saksi sebagaimana dimaksud pada poin b bagi siswa dan mahasiswa diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati
d. Bagi panitia yang menyelenggarakan acara resmi, dikenakan sanksi berupa teguran secara lisan agar panitia menertibkan undangan
BAB V
PENGAWASAN Pasal 11
Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah ini dilakukan oleh Bupati dan atau pejabat lain yang ditunjuk serta tokoh masyarakat.
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 12 (1) Peraturan daerah ini ditujukan bagi masyarakat yang beragama islam dan
berdomisili atau bekerja di Daerah Kabupaten Pesisir Selatan . (2) Bagi Karyawan/karyawati, mahasiswa/mahasiswi, siswa/siswi dan pelajar serta
masyarakat yang tidak beragama islam busananya menyesuaikan dan sopan.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini, Sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 14 Peraturan Daerah ini mulai berlaku efektif 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Pesisir Selatan.
Ditetapkan : Painan Pada tanggal: 5 September 2005 BUPATI PESISIR SELATAN
d.t.o
DARIZAL BASIR
Diundangkan di : Painan Pada Tanggal : 5 September 2005 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN
d.t.o
Drs. ADRIL NIP. 010 087 271
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2005 NOMOR 14 SERI E 2
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN
NOMOR : 04 TAHUN 2005
T E N T A N G BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH
KABUPATEN PESISIR SELATAN
I. PENJELASAN UMUM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa
penyelenggaraan Otonomi Daerah menetapkan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, dan diantara kewajiban daerah adalah meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dinyatakan Pendidikan Nasional dinyatakan Pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa meningkatkan keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Maka dari itu dengan melihat persoalan krisis akhlak tersebut dipandang dari sisi berpakaian yang dipakai bagi siswa dan generasi muda serta masyarakat dan karyawan/karyawati yang merupakan kekwatiran kita bersama untuk dicarikan jalan keluarnya.
Didorong dari kegiatan tersebut dan adanya peluang bagi daerah untuk mengelola rumah tangga sendiri terutama dalam upaya meningkatkan ketentraman dan ketertiban serta kesejahteraan masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut maka daerah menyusun rancangan peraturan daerah ini menjadi pendorong kuat untuk mengambil langkah-langkah kongkrit dalam rangka mewajibkan bagi setiap karyawan/karyawati dan siswa/siswi Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Madrasah Aliyah (MA) serta pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan atau Madrasah Tsanawiyah (MTS) diwajibkan berbusana/berpakaian muslim dan muslimah, sedangkan bagi warga masyarakat umum bersifat himbauan.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 s/d Pasal 5 Cukup jelas
Pasal 6 huruf a dan b Cukup jelas Pasal 6 huruf c Berpakaian muslim dan muslimah pada Acara-acara Resmi dimaksud adalah Pada peringatan Hari-hari Besar Islam dan Nasional serta acara-acara resepsi.
Pasal 6 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 s/d Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Huruf a s/d c Cukup jelas Pasal 10 Huruf d Bagi Panitia yang dikenakan Sanksi tersebut terhadap yang melanggar ketentuan dalam pasal 9 Pasal 11 s/d Pasal 14 Cukup jelas