immunological tolerance and autoimmunity s2 usb 2015

67
Immunological Tolerance and Autoimmunity Immunological Tolerance -Secara normal, sistem imun tubuh kita tidak menyerang sel-sel tubuh kita sendiri = self- tolerance. -Immunologic Tolerance bisa terjadi karena pemaparan antigen pada sistem imun yang baru dikembangkan.

Upload: albert

Post on 10-Sep-2015

28 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bahn kuliah

TRANSCRIPT

  • Immunological Tolerance and AutoimmunityImmunological Tolerance-Secara normal, sistem imun tubuh kita tidak menyerang sel-sel tubuh kita sendiri = self- tolerance.-Immunologic Tolerance bisa terjadi karena pemaparan antigen pada sistem imun yang baru dikembangkan.

  • Self toleranceSENTRALdiinduksi pengenalan self-Ag oleh limfosit immaturedi organ limfoid generative.PERIFERdiinduksi oleh pengenalanself-Ag oleh limfosit maturedi organ limfoid perifer

  • Delesi: kematian sel akibat apoptosisAnergi: inaktivasi fungsi tanpa kematian selPenekanan aktivasi limfosit dan fungsi efektor oleh limfosit regulator

    Toleransi sentral biasanya akibat delesi

    Toleransi perifer akibat delesi, anergi dan penekanan aktivasi limfosit/fungsi efektor

    Mekanisme Toleransi

  • Antigen yang tidak berkaitan dapat memberikan respon normal pada individual yang sama. Toleransi dapat bersifat total (yaitu tanpa respon pada antigen yang dapat terdeteksi) atau dapat melibatkan kegagalan menghasilkan antibodi kelas tertentu atau tipe respon imun tertentu.

  • Sel Treg dapat terbentuk dengan berbagai caraDapat terbentuk dari perkembangan sel T pada timus professional regulatory T cell atau natural occuring regulatory T cell.Yang terbentuk di daerah periferal induced regulatory T cell

  • Peran sel Treg: supresor terhadap sel efektor; mencegah produksi IL-2, juga mencegah proliferasi sel targetDapat secara langsung melakukan regulasi tanpa APC.Mencegah produksi IL-2 dengan intervensi sel dendritik sel dendritik tolerogenik

  • Natural atau Professional regulatory T cell, mempunyai molekul penanda CD4+ CD25+ Foxp3CD25+, merupakan rantai dari reseptor IL-2Inokulasi sel T CD4+ atau CD4+CD8- dari tikus normal, menghambat perkembangan autoimun.Foxp3, mengatur perkembangan dan fungsi Treg

  • Penghilangan timus pada mencit yang berumur kurang dari 3 hari, menyebabkan hilangnya sel Treg dalam darah maupun organ limfoid periferal.

    Autoimun

  • Mencit yang dihilangkan Foxp3 nya, akan menderita autoimun yang parah, meskipun ekspresi CD25 nya normal

  • Faktor-faktor penyebab autoimun:GenetikEnvironment: Hormon Diet Obat Toksin Infeksi

  • Genetik30%+Autoimun Environmental70%

  • Efek defisiensi Treg pada tikus dan manusia

  • IPEX (Immune dysregulation, polyendocrinopathy, X-linked syndrome)IPEX: keadaan cacat genetik terkait dengan Foxp3 Dapat disembuhkan dengan mentransfer sel Treg CD4+CD25+Foxp3+ yang berasal dari mencit normalFoxp3 pada mencit tidak dapat diinduksi dengan aktivasi TCR, sedang pada manusia dapat diinduksi dengan aktivasi TCR

  • Peran IL-2 dalam fungsi imun homeostasis

  • Interaksi Tregs, sel non Treg dan APC dan negatif feed back control fungsi Treg via IL-2.Foxp3, bersama faktor transkripsi yang lain dan koaktivator/korepresor merepres pembentukan IL-2 dalam Treg.CTLA-4: Cytotoxic T cell-associated antign-4GITR: glucocoticoid-induced TNF receptor

  • Interleukin 2 (IL-2)Sitokin yang mengatur aktivitas leukosit, limfosit yang bertanggung jawab dalam sistem imun. IL-2 berfungsi dalam natural response terhadap microbial infection, dalam membedakan antara foreign ("non-self") dan "self". Efek IL-2 diperantarai ikatannya dengan IL-2 receptors, yang diekspresi oleh limfosit.

  • Sifat khas sitokin

  • Medical useSebagai Proleukin, untuk pengobatan kankerInterking Denileukin diftitox: kombinasi IL-2 dengan toksin difteri.Mempunyai dosis terapi sempitSide efek: diantaranya diare, mual, sakit kepala, gatal.

  • Faktor-faktor penyebab autoimun:GenetikEnvironment: Hormon Diet Obat Toksin Infeksi

  • Kontrol fungsi Treg oleh Foxp3

  • NFAT (nuclear factor of activated T cells)Aktivitas NFAT dikontrol oleh calcium dan the calcium-dependent protein phosphatase calcineurinAML1/Runx1 (acute myeloid leukemia-1)/Runx1HAT/HDAC (histone acetyl transferase/histone diacetyl transferase complexNF-B

  • Komposisi Foxp3 subpopulasi timosit

  • Komposisi Foxp3 dalam setiap subpopulasi timosit dinyatakan dalam persentase.Di periferal, sel CD4+ non-Treg dapat didefrensiasi menjadi Foxp3 pada kondisi tertentu.Perkembangan Foxp3 dalam timus, melibatkan interaksi dengan sel stromal timus antara TCR dan MHC.

  • Diferensiasisel TCD4+ naive menjadi Treg atau Teff

  • Diferensiasi CD4+ naive menjadi Treg atau sel Teff.Beberapa Sitokin dan faktor transkripsi yang memacu diferensiasi CD4+naive.Faktor Transkripsi: T-bet dan Runx3, GATA3 atau RCORyt.RA: Retinoic AcidGATA3:

  • Kegagalan bereaksi secara normal pada antigen tertentu dapat bermanfaat karena reaksi hipersensitivitas yang berbahaya dapat dihindari.

  • Keluasan, durasi dan tipe toleransi yang diperoleh dipengaruhi oleh ukuran dosis antigen yang menginduksi (toleragen), sifat antigen, rute respon, dan kondisi kedewasaan imunologis individual saat toleransi terinduksi; induksi toleransi dihambat oleh kimiawi dan dibantu oleh kompetisi antigenik dan imunosupresi non spesifik.Durasi toleransi dapat diperluas dengan pemberian antigen berulang

  • Mekanisme induksi toleransi ada banyak, termasuk penguatan penekan aktivitas sel T, dan berbagai tipe toleransi dapat melibatkan banyak mekanisme.

  • Descrimination of self from nonselfDapat membedakan antigen asing dari komponen sendiri. Limfosit akan bereaksi terhadap stimulasi antigen asing tetapi tidak memberi respon pada molekul & komponen sendiri toleransi imun (immune tolerance).Kegagalan toleransi imun pada komponen sendiri kelainan/penyakit autoimun menimbulkan konsekuensi patologi tertentu.

  • Biasanya antigen tergantung timus (misalnya protein) dapat menghasilkan toleransi saat diberikan dalam dosis lebih tinggi dari pada dosis imunisasi normal (toleransi zona tinggi) atau kurang dari dosis imunisasi normal (toleransi zona rendah); pada toleransi zona tinggi, baik klon sel B dan sel T menjadi tidak responsif (delesi klonal), sementara pada toleransi zona rendah, hanya klon sel T pembantu yang tidak responsif. Antigen yang mandiri dari timus biasanya hanya menginduksi toleransi zona tinggi. Akses langsung antigen pada sistem pencernaan membantu induksi toleransi.

  • Secara umum, toleransi pada antigen tertentu lebih siap di induksi pada janin atau bayi baru lahir daripada dewasa, dan dalam subjek rentan daripada yang kebal.

  • Paparan pada limfosit B yang belum dewasa pada antigen tertentu atau pada anti-Ig membuatnya tidak responsif (tidak mampu mengeluarkan antibodi) saat terpaparkan pada antigen tertentu (aborsi klonal); hal ini memberikan alasan mengapa toleransi dapat di induksi lebih mudah pada janin atau bayi baru lahir daripada dewasa.

  • AUTO IMUNITAS

    Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.

  • Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan. Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi. Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu menimbulkan penyakit.

  • Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).

  • Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau respons imun selular yang terbentuk setelah timbulnya penyakit.

  • SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUNPenyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang bersifat organ spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik. Pada penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ tunggal dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam organ tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu atau beberapa kelenjar endokrin.

  • Target antigen dapat berupa molekul yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama reseptor hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler). Sedangkan penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ multipel dan biasanya berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang tersebar di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler yang berperan dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur inti sel lainnya) .

  • Spektrum penyakit autoimun

    Antigen diri: Reseptor hormon Reseptor TSH; Reseptor insulinPenyakit: Hiper atau hipotiroidisme Hiper atau hipoglikemiaAntigen diri: Reseptor neurotransmiter Reseptor asetilkolinPenyakit: Miastenia gravis

  • Antigen diri: Molekul sel adesi Molekul sel adesi epidermalPenyakit: Penyakit kulit yang melepuhAntigen diri: Protein plasma Faktor VIII2 glikoprotein I dan protein antikoagulan lainPenyakit:Hemofili didapat Sindrom antifosfolipid

  • Antigen diri: Antigen permukaan sel Sel darah merah (antigen multipel)PlateletPenyakit: Anemia hemolitik Purpura trombositopeniaAntigen diri: Enzim intraseluler Peroksidase tiroid Steroid 21-hidroksilase (korteks adrenal)Penyakit:Tiroiditis, kemungkinan hipotiroidisme; Kegagalan adrenokortikal (penyakit Addison)

  • Antigen diri: Glutamat dekarboksilase (sel di pulau pankreas)Enzim lisosom (sel fagositik)Enzim mitokondria (terutama piruvat dehidrogenase)Penyakit: Diabetes autoimunVaskulitis sistemik; Sirosis biliar primer

  • Antigen diri: Molekul intraseluler yang melibatkan transkripsi dan translasiRantai dua DNA Histon Penyakit: SLEAntigen diri: Topoisomerase IPenyakit: Skleroderma difusAntigen diri: Amino-acyl t-RNA sintasePenyakit: PolimiositisAntigen diri: Protein sentromerPenyakit: Skleroderma lokal

  • Autoimunitas dan toleransi diri

    Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B yang bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-regulation. Sel T (terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi sel T lebih penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi sel B. Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat memproduksi autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan yang tepat dari sel Th.

  • Toleransi timusPerkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui apoptosis.

  • Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan dengan molekul MHC dan kompleks peptida diri yang ada di timus dengan afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang rendah akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing dengan afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya. Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus dengan afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection (Gambar 15-1)

  • Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang cukup di timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar peptida yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun protein yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein spesifik jaringan

  • Toleransi periferTerdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif

  • IgnoranceProses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut secara efektif tidak terlihat oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi sel T

  • Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigenAntigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas. Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme pembersihan debris lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan perkembangan autoimunitas terhadap molekul intraseluler.

  • AKTIVASI SEL T

  • Penyakit AutoimunAutoimmune diseases terjadi ketika sistem imun tubuh menyerang sel self. Penyakit Autoimun most prevalensi problem kesehatan masyarakat.Contoh:Penyebab Diabetes tipe I (T1D) adalah adanya kerusakan sel-sel pankreas yang memproduksi insulin, yang disebabkan oleh sistem.

  • Apabila sel limfosit T menyerang jaringan nerve , menyebabkan terjadinya multiple sclerosis.Dasar autoimmune disease adalah sistem imun yang kehilangan kemampuan toleransi terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Sistem imun gagal mengenali jaringan tubuhnya sendiri, yang seharusnya tidak diserang.

  • Pengobatan autoimmune diseases dengan imunosupresan, yang menurunkan aktivitas sistem imun, sehingga tidak menyerang jaringan tubuhnya sendiri atau organ atau jaringan yang ditransplantasikan (e.g. islet transplants as treatment of T1D).

  • Kerugian dari penggunaan imunosupresan, adalah tidak hanya menyerang pada sel pasien itu saja, tetapi juga menyerang mengganggu kemampuan sistem imun untuk menyerang penyebab infeksi. Sebaliknya, terapi imun toleran, adalah pengobatan yang secara langsung mencegah sistem imun menyerang jaringan tbuhnya sendiri. Terapi imun toleran, didesign hanya aktif terhadap sel T yang telah diketahui dapat menyebabkan penyakit, misal T1D.

  • Naturally occurring regulatory T cells (Tregs) play a pivotal role in the maintenance of self-tolerance due to their intrinsic immunosuppressive activity. We observed more inhibition when Tregs and CD8 killer T cells were incubated during the in vitro activation (stimulation) stage of the cytotoxic T lymphocytes (CTL) than when they were added later at the start of the effector phase. Interestingly, Tregs from B6 mice demonstrated higher suppression of CD8(+) T cell killing than Tregs from NOD mice. Moreover, IL-2/anti-IL-2 mAb complexes induced expansion of Tregs in vivo, as well as enhancing the Treg's suppressive activity per cell. Therefore, this novel non-radioactive, luminescence based cytotoxicity assay mediated by clonal islet antigen-specific CD8 T cells can be used to measure, characterize, and quantitate the immunosuppressive activity of natural Tregs, representing a useful approach to characterize the functions of Tregs in the setting of autoimmune diseases and to elucidate the mechanisms for Treg cell-mediated immunoregulation

  • Currently, a number of human clinical trials are being conducted to investigate the roles of Tregs in treating various immune-mediated disorders. Traditionally, the suppressive activity of Tregs is measured using either a thymidine incorporation assay, which is a radioactive assay; or CFSE based flow cytometry assay, which requires a relatively large number of cells.

  • Then we used this assay to measure if Tregs could inhibit the cytotoxicity of CD8 effector T cells. This assay does not involve the use of radioisotopes and only needs relatively low number of Tregs. Since normally Tregs only constitute 5-10% of peripheral CD4(+) T cells, this advantage is noteworthy compared with other methods. With the assay we developed, we demonstrated that regulatory T cells (Tregs) could inhibit the antigen-specific killing of an adherent target cell monolayer by the CD8(+) cytotoxic T cells.

  • Naturally occurring regulatory T cells (Tregs) play a pivotal role in the maintenance of self-tolerance due to their intrinsic immunosuppressive activity. Currently, a number of human clinical trials are being conducted to investigate the roles of Tregs in treating various immune-mediated disorders. Traditionally, the suppressive activity of Tregs is measured using either a thymidine incorporation assay, which is a radioactive assay; or CFSE based flow cytometry assay, which requires a relatively large number of cells. Consequently, there is an increasing need to develop novel alternative bioassays that can characterize various aspects of the immunosuppressive function of Tregs in vitro. In this study, using murine clonal CD8(+) T cells specific for an islet antigen as responder T cells, we first established a novel, sensitive and quantitative in vitro luminescence based cell viability assay to measure cytotoxicity. Then we used this assay to measure if Tregs could inhibit the cytotoxicity of CD8 effector T cells. This assay does not involve the use of radioisotopes and only needs relatively low number of Tregs. Since normally Tregs only constitute 5-10% of peripheral CD4(+) T cells, this advantage is noteworthy compared with other methods. With the assay we developed, we demonstrated that regulatory T cells (Tregs) could inhibit the antigen-specific killing of an adherent target cell monolayer by the CD8(+) cytotoxic T cells. We observed more inhibition when Tregs and CD8 killer T cells were incubated during the in vitro activation (stimulation) stage of the cytotoxic T lymphocytes (CTL) than when they were added later at the start of the effector phase. Interestingly, Tregs from B6 mice demonstrated higher suppression of CD8(+) T cell killing than Tregs from NOD mice. Moreover, IL-2/anti-IL-2 mAb complexes induced expansion of Tregs in vivo, as well as enhancing the Treg's suppressive activity per cell. Therefore, this novel non-radioactive, luminescence based cytotoxicity assay mediated by clonal islet antigen-specific CD8 T cells can be used to measure, characterize, and quantitate the immunosuppressive activity of natural Tregs, representing a useful approach to characterize the functions of Tregs in the setting of autoimmune diseases and to elucidate the mechanisms for Treg cell-mediated immunoregulation.

    *

    *