repository.umrah.ac.idrepository.umrah.ac.id/2246/1/karya ilmiah devi.docx · web viewthe...
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOTA LAYAK ANAK
KOTA TANJUNGPINANG
ARTIKEL E-JURNAL
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Pemerintahan (S.IP)
Oleh
DEVY AFRIANTYNIM. 110565201179
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2018
ABSTRAK
Pemenuhan hak-hak anak harus dilakukan oleh pemerintah untuk kelangsungan pembangunan di masa depan. Masih banyaknya anak yang belum terpenuhi hak sipilnya, minimnya sarana dan prasarana menuju Kota Layak Anak, serta kurangnya peran aktif beberapa pelaksana. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Bagaimana Implementasi Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak Kota Tanjungpinang. Penelitian ini menggunakan teori implementasi Van Metter dan Van Horn dalam Agustino. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah model Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak Kota Tanjungpinang secara umum sudah baik karena sudah adanya inisiatif pemerintahan setempat yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak-Hak Anak dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk pemenuhan hak-hak anak. Meskipun, pemenuhan hak-hak anak belum sepenuhnya optimal karena kurangnya koordinasi dan kepedulian masyarakat serta lemahnya sosialisasi. Saran yang dapat diberikan yaitu melakukan komunikasi yang lebih intensif di antara Gugus Tugas KLA dan monitoring secara berkala, meningkatkan sinkronisasi dengan menyamakan pandangan tentang urgensi atas pemenuhan hak anak bagi setiap pelaksana dan menindaklanjuti setiap hasil rapat koordinasi, serta sosialisasi yang lebih merata sehingga kepedulian dan peran aktif masyarakat bisa lebih ditingkatkan.
Kata kunci : Implementasi, Kebijakan, Kota Layak Anak
1
ABSTRACT
The fulfillment of the rights of the child must be made by the Government to the continuity of development in the future. Still large number of children who have not yet met the civil rights, lack of infrastructure and facilities to Deserving Children, as well as the lack of an active role some implementers. The purpose of this research was to find out how the City Development Policy Implementation Worth child the town of Tanjung Pinang. This research uses the theory of implementation that Metter and Van Van Horn in Agustino. The method used is descriptive qualitative. Data collection techniques used are interviews, observation and documentation. The analysis of the data used is models, Miles and Huberman. The results showed that the implementation of the policy of development of the KLA in the town of Tanjung Pinang has generally been good since the existence of a local government initiative that lead to the transformation effort is the Convention on the rights of the child in the form of policies, program and development activities aimed at fulfilling the rights of the child. Although, the fulfillment of the rights of the child is not fully optimized for a lack of coordination and awareness as well as weak socialization. Advice can be given i.e. doing more intensive communication between the KLA and the task force on monitoring at regular intervals, improving synchronization with equate views on urgency over the fulfillment of the rights of the child for all implementers and follow up on any of the results of the meeting coordination, and dissemination is more evenly so that the concern and active role of the community could be further improved.
Keywords: Implementation, policy, Decent Kid City
2
A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 menimbang bahwa
Negara Republik Indonesia
menjamin kesejahteraan setiap
warga negaranya termasuk
perlindungan terhadap hak-hak
anak yang merupakan hak asasi
manusia.
Pemerintah berupaya
meningkatkan pembangunan
disemua bidang, hal ini sejalan
dengan komitmen dunia untuk
menciptakan sebuah dunia layak
anak sebagaimana yang tertuang
dalam dokumen A World Fit for
Children (WFC) bahwa
pengembangan manusia yang
berkelanjutan dengan
mempertimbangkan kepentingan
terbaik anak, dilandaskan pada
prinsip demokrasi, persamaan, non-
diskriminasi, perdamaian dan
keadilan serta sifat segala hak asasi
manusia yang universal, termasuk
hak atas perkembangan anak
(Unicef, 2002:19).
Berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2011
tentang Kebijakan Pengembangan
Kota Layak Anak, KLA adalah kota
yang mempunyai sistem
pembangunan berbasis hak anak
melalui pengintegrasian komitmen
dan sumberdaya pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha yang
terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam kebijakan,
program dan kegiatan untuk
menjamin terpenuhinya hak anak.
Kendati demikian, pelaksanaan
Kebijakan Pengembangan Kota
Layak Anak di Kota Tanjungpinang
3
bukan tanpa hambatan. Masih
terdapat beberapa masalah dalam
pelaksanaannya seperti halnya
fasilitas umum, sarana prasana yang
mendukung yang ramah anak seperti
Puskesmas, sekolah yang ramah
terhadap lingkungan anak, taman
bermain, anggaran yang tersedia
untuk kegiatan yang berkaitan
dengan anak, dan regulasi menjadi
bagian penilaian yang terdapat pada
24 kriteria penilaian
Demi mewujudkan Dunia Layak
Anak dibutuhkan komitmen dari
semua pihak dalam mendahulukan
kepentingan anak, mendidik setiap
anak, melindungi anak dari
kekerasan dan eksploitasi,
mendengarkan anak dan pastikan
partisipasi mereka. Untuk
mempercepat komitmen ini
Pemerintah Indonesia
mengembangkan kebijakan Kota
Layak Anak (KLA).
Kedepannya Tanjungpinang
harus dapat lebih memperbaiki
sarana dan prasarana untuk fasilitas
anak. Anggaran dari APBD untuk
permainan anak cukup besar, namun
karena saat ini masih terjadi defisit
anggaran, maka disesuaikan dengan
kebutuhan yang menjadi skala
perioritas.
Kondisi tersebut berdampak pada
tidak maksimalnya implementasi
kebijakan Peraturan Daerah tentang
pengembangan Kota Layak Anak
(KLA), dan ini berlangsung terus
menerus dari waktu ke waktu
sehingga belum di temukan solusi
yang tepat untuk mengatasinya,
maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitan lebih jauh
dengan judul peneltian :
“Implementasi Kebijakan
4
Pengembangan Kota Layak Anak
Kota Tanjungpinang”.
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Sugiyono (2009:11),
menyatakan bahwa “Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui nilai
variabel mandiri, baik satu
variabel maupun lebih tanpa
membuat suatu perbandingan,
atau menghubungkan satu
variabel dengan variabel lain”.
Tujuan penelitian ini adalah
untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat serta
hubungan antar fenomena yang
diselidiki.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
beberapa tempat di Kota
Tanjungpinang dengan
pertimbangan sebagai berikut :
a) Kota Tanjungpinang sebagai
salah satu kota yang
mengimplementasikan
Kebijakan pengembangan
Kota Layak Anak
b) Dinas Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan
Anak dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota
Tanjungpinang sebagai
leading sector dalam
pelaksanaan Kebijakan
Pengembangan Kota Layak
Anak (KLA).
c) Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A) Kota
Tanjungpinang sebagai salah
satu anggota Kelompok Kerja
5
(POKJA) Bidang
Perlindungan Anak yang
melayani permasalah
Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) termasuk
kekerasan anak.
d) Forum Anak di Kota
Tanjungpinang sebagai salah
satu anggota Kelompok Kerja
(POKJA) Bidang
Perlindungan Anak yang
merupakan salah satu
stakeholder dalam kebijakan
pengembangan Kota Layak
Anak, dan
e) Tokoh pemerhati anak
sebagai bagian dari
stakeholder dalam Kebijakan
Pengembangan Kota Layak
Anak (KLA) yang
memperhatinkan pemenuhan
hak-hak anak.
3. Informan
Informan dalam penelitian ini
adalah beberapa tokoh yang
terlibat langsung dalam
pengembangan Kota Layak Anak
di Kota Tanjungpinang. Adapun
informan yang dijadikan kunci
informasi dalam memberikan
jawaban terhadap penelitian ini
diantaranya ; Kepala Dinas
Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak sebagai
informasi kunci (key informan).
Selanjutnya adapun yang
dijadikan informan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
No Posisi / Jabatan Jumlah (orang)
1 Kepala Bidang Perlindungan Anak
1
2 Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Kemitraan
1
3 Kepala Seksi Perlindungan Hak Anak
1
4 Kepala Seksi Tumbuh Kembang Anak
1
5 Tokoh 1
6
Pemerhati Anak6 Peserta Forum
Anak5
Jumlah 104. Jenis dan Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data
pokok yang diambil secara
langsung dari sumber aslinya
melalui wawancara kepada
masing-masing informan
yang dimintai informasi
dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data
primer yang sudah tersedia di
Dinas Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan
Anak dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota
Tanjungpinang dalam bidang
perlindungan anak yang
berupa literatur, dokumen
meliputi struktur organisasi,
visi dan misi Dinas
Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak dan
Pemberdayaan Masyarakat
Kota Tanjungpinang.
5. Teknik dan Alat
Pengumpulan Data
a. Observasi
Secara umum, pengertian
observasi atau pengamatan
secara langsung merupakan
suatu teknik atau cara
mengumpulkan data dengan
jalan mengadakan
pengamatan terhadap
kegiatan yang berlangsung.
Pengamatan dilakukan pada
faktor-faktor keadaan yang
berkaitan dengan pelaksanaan
kebijakan yang telah
dilakukan.
b. Wawancara
Menurut Sugiyono
(2009:194), wawancara
7
digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila
peneliti akan melaksanakan
studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan
yang harus diteliti, dan juga
apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari
informan yang lebih
mendalam dan jumlah
informannya sedikit atau
kecil.
c. Dokumentasi
Menurut Sugiyono
(2009:240) Dokumentasi
merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu.
Dokumentasi bisa berbentuk
tulisan, gambar. Alat yang di
gunakan adalah camera
handphone.
C. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang
peneliti gunakan berupa
penelitian deskriptif kualitatif,
yaitu menganalisa data yang
diperoleh dilapangan dalam
bentuk kualitatif. Menurut Miles
dan Huberman (Sugiyono,
2011:247) mengemukakan bahwa
aktifitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung terus
menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Aktivitas
dalam analisis data, yaitu data
reduction, data display, dan
conclusion drawing/verification.
a. Reduksi data (data reduction)
Reduksi data merupakan
proses dimana peneliti
melakukan pemilahan dan
penyerdahanaan data hasil
penelitian. Mereduksi data berarti
merangkum, memilah hal-hal
8
yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting. Data yang
sudah direduksi akan
memberikan gambaran yang
dapat mempermudah peneliti
untuk mencari kembali data yang
diperlukan nantinya.
b. Penyajian data (data display)
Penyajian data merupakan
sekumpulan informasi tersusun
sehingga memberikan
kemudahan dalam penarikan
kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data
dimaksud diwujudkan dalam
bentuk tabel sebagai gambaran
dari hasil yang telah peneliti
lakukan pada saat wawancara,
sehingga menjadi panduaan
informasi tentang apa yang
terjadi dan data yang disajikan
sesuai dengan apa yang diteliti
dan untuk mempermudah
penelitian dalam melihat
penelitian
c. Penarikan Kesimpulan
(conclusion
drawing/verification)
Penarikan kesimpulan
merupakan usaha untuk
memahami data yang diperoleh.
Pada tahap ini peneliti melakukan
penggambaran makna dari data
yang diperoleh. Proses penarikan
kesimpulan merupakan proses
yang membutuhkan
pertimbangan yang matang.
Kesimpulan yang ditarik segera
diverifikasi dengan cara melihat
dan mempertanyakan kembali
sambil melihat catatan lapangan
agar memperoleh pemahaman
yang lebih jelas dan mudah
dimengerti.
D. Landasan Teori
1. Implementasi Kebijakan
9
Menurut George Edward di
dalam (Tangkilisan, 2003)
implementasi kebijakan publik
dapat dilihat dari beberapa
perspektif atau pendekatan. Salah
satunya ialah implementation
problems approach. Edwards III
mengajukan pendekatan masalah
implementasi dengan terlebih
dahulu mengemukakan dua
pertanyaan pokok, yakni :
a) Faktor apa yang mendukung
keberhasilan implementasi
kebijakan? dan,
b) Faktor apa yang menghambat
keberhasilan implementasi
kebijakan?
Berdasarkan kedua
pertanyaan tersebut empat faktor
yang merupakan syarat utama
keberhasilan proses
implementasi, yakni komunikasi,
sumber daya, sikap birokrasi atau
pelaksana dan struktur organisasi,
termasuk tata aliran kerja
birokrasi :
1) Komunikasi
Keberhasilan implementasi
kebijakan mensyaratkan agar
implementor mengetahui apa
yang harus dilakukan. Apa yang
menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan
kepada kelompok sasaran (target
group) sehingga mengurangi
distorsi implementasi.
2) Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah
dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi apabila
implementator kekurangan
sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan
efektif. Sumberdaya tersebut
dapat berwujud sumberdaya
manusia, yakni kompetensi
10
implementor, dan sumberdaya
finansial. Tanpa sumberdaya,
kebijakan hanya tinggal di kertas
menjadi dokumen saja.
3) Disposisi
Disposisi adalah watak atau
karakteristik yang dimiliki oleh
implementator, seperti komitmen,
kejujuran, sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik, maka dia
akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa
yang diinginkan oleh pembuat
kebijakan.
4) Stuktur birokrasi
Stuktur birokrasi yang
bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap
implementasi kebijakan. Salah
satu dari aspek struktur yang
penting dari setiap organisasi
adalah adanya prosedur operasi
yang standard (SOP) yang
menjadi pedoman bagi setiap
implementator dalam bertindak.
2. Kota Layak Anak
Kota Layak Anak merupakan
istilah yang diperkenalkan
pertama kali oleh Kementerian
Negara Pemberdayaan
Perempuan pada tahun 2005
melalui kebijakan Kota Layak
Anak. Karena alasan untuk
mengakomodasi pemerintahan
Kota, belakangan istilah Kota
Layak Anak menjadi Kota Layak
Anak dan kemudian disingkat
menjadi KLA. Dalam Kebijakan
tersebut digambarkan bahwa
KLA merupakan upaya
pemerintahan kota untuk
mempercepat implementasi
Konvensi Hak Anak (KHA) dari
kerangka hukum ke dalam
11
definisi, strategi, dan intervensi
pembangunan seperti kebijakan,
institusi, dan program yang layak
anak. Kota Layak Anak juga
sering disebut juga Kota Ramah
Anak, kedua istilah ini dipakai
dalam arti yang sama untuk
menjelaskan pentingnya
percepatan implementasi
Konvensi Hak Anak (KHA)
dalam pembangunan sebagai
langkah awal untuk memberikan
yang terbaik bagi kepentingan
anak (Hamid Patilima, Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia).
Kota Ramah Anak adalah kota
yang menjamin hak setiap anak
sebagai warga kota. Sebagai
warga kota, berarti anak :
1) Keputusannya mempengaruhi
kotanya,
2) Mengekspresikan pendapat
mereka tentang kota yang
mereka inginkan
3) Dapat berperan serta dalam
kehidupan keluarga,
komuniti, dan sosial
4) Menerima pelayanan dasar
seperti kesehatan dan
pendidikan
5) Mendapatkan air minum
segar dan mempunyai akses
terhadap sanitasi yang baik
6) Terlindungi dari eksploitasi,
kekejaman, dan perlakuan
salah
7) Aman berada di jalanan
8) Bertemu dan bermain dengan
temannya
9) Mempunyai ruang hijau
untuk tanaman dan hewan
10) Hidup di lingkungan yang
bebas polusi
12
11) Berperan serta dalam
kegiatan budaya dan sosial
12) Setiap warga secara seimbang
dapat mengakses setiap
pelayanan, tanpa
memperhatikan suku bangsa,
agama, kekayaan, gender, dan
kecacatan.
E. Hasil Penelitian
1. Ukuran dan tujuan
kebijakan
Adapun yang menjadi nilai
tambah sehingga Kota
Tanjungpinang meraih
penghargaan sebagai Kota Layak
Anak tingkat pratama
disampaikan oleh Kepala Plt
Bidang Perlindungan Anak
DP3APM Kota Tanjungpinang,
beliau mengatakan:
“Pertama adalah komitmen dari Kepala Daerah yang disertai dengan komitmen dari semua lapisan. Memang belum semuanya, tapi ada komitmen untuk melangkah kesana. Karena
Kebijakan Pengembangan KLA ini pada dasarnya semua instansi sudah melaksanakan, hanya mereka masih terkotak-kotak, masih parsial atau masing-masing. Dengan DP3APM sebagai leading sector, kita mengumpulkan mereka agar lebih terarah.” (Wawancara dengan Ibu Lindawati, 24 Juli 2018, Pukul 09.18 WIB).
Hal ini juga ditambahkan
oleh Kepala Seksi Perlindungan
Hak Anak DP3APM Kota
Tanjungpinang. Beliau
mengatakan hal yang menjadikan
Kota Tanjungpinang meraih
penghargaan Kota Layak Anak
tingkat pratama adalah:
“Karena Kota Tanjungpinang dilihat dan dievaluasi. Ada Zona Selamat Sekolah-nya, ada kantin sehat, taman bermainnya, ada Peraturan Walikota dan Perda yang mendukung, Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Nah, semua kasus ditangani pemerintah meskipun kasusnya banyak. Kita kan sudah mempunyai P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Kalau ada kasus pun kita menyediakan, apakah perlu bantuan hukum, psikolog, dan
13
sebagainya.” (Wawancara dengan Ibu Indah Yuliet, 24 Juli 2018, Pukul 11.19 WIB).
Hal senada juga disampaikan
oleh Kepala Bidang Perlindungan
Perempuan dan Kemitraan
DP3APM Kota Tanjungpinang.
Beliau mengatakan alasan Kota
Tangerang Selatan mendapat
penghargaan sebagai Kota Layak
Anak tingkat pratama adalah:
“Pertama, karena adanya komitmen pimpinan pemerintah daerah. Kedua, komitmen pimpinan daerah itu kita detailkan dalam bentuk program atau kegiatan yang mengarah pada tujuan kebijakan KLA itu sendiri. Langkah selanjutnya kemudian penganggaran, memang tidak ideal, tapi paling tidak hal-hal minimal yang dibutuhkan pada program atau kegiatan tersebut kita sediakan. Ketiga, adanya dukungan pelaksanaan program atau kegiatan tersebut oleh SKPD, baik DP3APM sebagai leading sector maupun SKPD-SKPD lainnya yang mendukung kebijakan KLA. Keempat, adanya evaluasi yang bermuara pada penilaian.” (Wawancara dengan Ibu Linggawati, 25 Juli 2018, Pukul 09.30 WIB)
Dari berbagai wawancara di
atas terlihat bahwa keberhasilan
Kota Tanjungpinang hingga
memperoleh penghargaan KLA
tingkat pratama adalah lebih
karena komitmen dari pemimpin
daerah untuk memperhatikan
pemenuhan hak-hak anak dalam
pembangunan di daerahnya.
Penguatan komitmen itu juga
dilakukan oleh SKPD yang
tentunya didukung dengan
sumber daya manusia dan
anggaran untuk bisa
melaksanakan program atau
kegiatan yang mendukung
Kebijakan Pengembangan KLA.
Di samping itu, peran DP3APM
sebagai leading sector kebijakan
tersebut membuat unsur
pelaksana kebijakan menjadi
lebih terarah dan saling
berintegrasi. Penilaian itu juga
14
dilihat berdasarkan indikator
Kota Layak Anak yang tertuang
dalam Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 12
Tahun 2011 tentang Indikator
Kota Layak Anak.
Berdasarkan uaian yang terdapat
pada dimensi ukuran dan tujuan
kebijakan, dapat dikatakan bahwa
tujuan Kebijakan Pengembangan
KLA di Kota Tanjungpinang
sudah sesuai dengan apa yang
tertuang dalam Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 11
Tahun 2011 tentang Kebijakan
Pengembangan Kota Layak
Anak, yakni untuk membangun
inisiatif pemerintahan kota yang
mengarah pada upaya
transformasi Konvensi Hak-Hak
Anak (Convention on The Rights
of The Child) dari kerangka
hukum ke dalam definsi, strategi
dan intervensi pembangunan,
dalam bentuk: kebijakan,
program dan kegiatan
pembangunan yang ditujukan
untuk pemenuhan hak-hak anak,
pada suatu wilayah kota.
2. Sumber daya
Bedasarkan wawancara
tersebut di atas juga terlihat
bahwa sumber daya finansial
memang mencukupi, meskipun
tetap masih dirasa terbatas
terutama untuk kegiatan
sosialisasi. Sementara itu, terkait
sumber daya waktu, jika dilihat
dari kebijakan Pemerintah
Daerah Kota Tanjungpinang,
tidak ada target waktu yang jelas
mengenai Kebijakan
Pengembangan Kota Layak
Anak. Sesuai pernyataan Kepala
15
Plt Bidang Perlindungan Anak
DP3APM Kota Tanjungpinang
berikut ini:
“Kota Layak Anak itu tidak bisa ditargetkan, karena itu jangka waktu kebijakannya amat sangat panjang. Tapi kita akan terus ke arah sana. Kalau hanya mengikuti kriteria dari Kementerian, mengejar prestasi untuk reward, mungkin masih bisa ditargetkan, tapi kalau kita berbicara tentang pemenuhan hak anak, kita kembali lagi ke hati nurani kita, apakah betul kota kita ini sudah menjadi kota layak anak?” (Wawancara dengan Ibu Lindawati, 24 Juli 2018, Pukul 09.18 WIB).
Begitupun yang disampaikan
oleh Kepala Seksi Tumbuh
Kembang Anak DP3APM
mengenai target waktu Kebijakan
Pengembangan Kota Layak Anak
di Kota Tanjungpinang bahwa:
“Tidak ada dalam RPJMD, adanya kekerasan saja.” (Wawancara dengan Ibu Karmila Sari, 24 Juli 2018, Pukul 10.09 WIB).
Hal serupa juga ditambahkan
oleh Kepala Kepala Dinas
DP3APM Kota Tanjungpinang.
Beliau mengatakan bahwa:
“Kalau target waktu pembangunan daerah itu ada di RPJMD. Kalau secara eksplisit terkait kebijakan KLA belum ada target waktunya, yang ada target waktu hanya misalkan pada kegiatan penguatan kelembagaan terkait perempuan dan anak oleh DP3APM itu ada targetnya, tahun sekian ada berapa lembaga. Atau misalnya penanganan kekerasan anak, itu ada target waktunya berapa persen. Jadi, lebih kepada target program atau kegiatannya saja. Apalagi Kota Tanjungpinang ini baru terbentuk, ini RPJMD pertama. Karena banyak persoalan yang ditinggalkan oleh kota induk yang harus kita benahi dulu, terutama dalam hal pelayanan dasar.” (Wawancara dengan Bapak Ahmad Yani, 25 Juli 2018, Pukul 13.35 WIB).
Berdasarkan wawancara
tersebut, dapat dilihat bahwa
Kebijakan Pengembangan KLA
harus berkelanjutan. Lain halnya
jika hanya mengejar penilaian
dan indikator KLA, mungkin bisa
saja ditargetkan.
Berdasarkan uraian yang
teradapat pada dimensi sumber
16
daya di atas, terlihat bahwa
sumber daya manusia dalam
implementasi Kebijakan
Pengembangan KLA di Kota
Tanjungpinang sudah mencukupi
dan keanggotaannya sudah sesuai
dengan bidangnya dan tugasnya
masing-masing, seperti yang ada
dalam Gugus Tugas KLA.
Terkait sumber daya finansial.
sekitar 21% APBD Kota
Tanjungpinang tahun 2017
dialokasikan untuk Kebijakan
Pengembangan KLA. Kendati
pun anggaran cukup besar,
anggaran tersebut masih dirasa
dikurang, terutama untuk
kegiatan sosialisasi, dan juga
untuk pembangunan sarana dan
prasarana dalam pemenuhan
klaster hak-hak anak. Untuk
sumber daya waktu, secara
nasional target KLA sudah
tercapai. Sementara untuk
Kebijakan Pengembangan KLA
di Kota Tanjungpinang sendiri
tidak ada target waktu secara
eksplisit
3. Karakteristik agen
pelaksana
Dalam menganalisis dimensi
karakteristik agen pelaksanana,
cakupan atau luas wilayah
implementasi kebijakan perlu
juga diperhitungkan manakala
hendak menentukan agen
pelaksana. Semakin luas cakupan
implementasi kebijakan, maka
seharusnya semakin besar pula
agen yang dilibatkan. Dalam
implementasi Kebijakan
Pengembangan KLA di Kota
Tanjungpinang, agen
pelaksananya yakni Gugus Tugas
KLA sudah sesuai dengan luas
cakupan kebijakannya.
17
Sebagaimana yang disampaikan
oleh Kepala Plt Bidang
Perlindungan Anak DP3APM
Kota Tanjungpinang sebagai
berikut:
“Ya, sudah sesuai karena seluruh instansi pemerintahan, SKPD, DPRD, camat, kemudian dari perwakilan dunia usahanya dan masyarakatnya itu ada di dalam Gugs Tugas KLA. (Wawancara dengan Ibu Lindawati, 24 Juli 2018, Pukul 09.18 WIB).
Begitu pun pernyataan
Kepala Bidang Perlindungan
Perempuan dan Kemitraan
DP3APM Kota Tanjungpinang.
Beliau mengatakan bahwa:
“Harusnya sesuai. Karena untuk mewujudkan KLA tidak bisa dilaksanakan oleh satu atau dua SKPD saja, tapi semua SKPD harus terlibat, ada 38 SKPD dan 4 kecamatan yang terlibat.” (Wawancara dengan Linggawati, 25 Juli 2018, Pukul 09.30 WIB).
Berdasarkan wawancara
tersebut, terlihat bahwa agen
pelaksana atau implementor dari
Kebijakan Pengembangan KLA
sudah sesuai dengan luas
cakupan kebijakannya.
Berdasarkan uraian pada dimensi
karakteristik agen pelaksana
tersebut di atas, bentuk tindakan
agen pelaksana Kebijakan
Pengembangan KLA di Kota
Tanjungpinang belum maksimal
dalam memprioritaskan
pemenuhan hak-hak anak di
dalam sistem pembangunan
daerahnya, disebabkan banyak
persoalan yang harus dibenahi
terlebih dahulu. Namun, luas
cakupan kebijakan tersebut sudah
sesuai dengan agen pelaksana
kebijakannya yakni Gugus Tugas
KLA meskipun masih diperlukan
penguatan lagi agar lebih
sinkron.
4. Sikap dan kecenderungan
Keterlibatan Forum Anak
dalam Musrenbang Kota
18
Tanjungpinang belum
sepenuhnya digunakan secara
optimal sebagai bentuk partispasi
anak dalam pembangunan oleh
Forum Anak itu sendiri.
Hal ini sesuai dengan
pernyataan Kepala Dinas
DP3APM Kota Tanjungpinang.
Beliau mengatakan bahwa:
“Karena Forum Anak ini masih baru dan masih perlu ditingkatkan pembinannya terkait peran dan fungsinya, jadi sejauh ini keterlibatan Forum Anak dalam Musrenbang belum mengambil porsi yang sebenarnya. Mereka belum sepenuhnya berani dalam mengusulkan suatu kebijakan, program atau kegiatan hasil aspirasi anak. Jadi mereka baru sebatas peserta, sepertinya belum berani dan belum terbiasa, belum out spoken. Jadi usulan mereka lebih kepada menguatkan apa yang memang sebelumnya sudah ada dalam RAD (Rencana Aksi Daerah) daripada memberikan usulan kegiatan yang baru. Mereka lebih kepada menyampaikan bahwa „Forum Anak itu ada dan kami juga perlu diakomoodir kebutuhannya‟, tapi belum mengerucut ini lho kebutuhan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dari Forum Anak. (Wawancara
dengan Bapak Ahmad Yani, 25 Juli 2018, Pukul 13.35 WIB).
Berdasarkan wawancara
tersebut, dapat dilihat bahwa
Pemerintah Kota Tanjungpinang
telah memilik inisiatif untuk
mewujudkan hak anak untuk
dapat berpartisipasi dalam
pembangunan, yakni dengan cara
melibatkan Forum Anak dalam
Musrenbang Kota
Tanjungpinang.
Namun, keterlibatan Forum
Anak Kota Tanjungpinang untuk
berpartisiasi dalam proses
perencanaan pembangunan
tersebut belum sepenuhnya
maksimal. Masukan yang mereka
sampaikan memang sudah ada
sebelumnya dalam RAD Kota
Layak Anak.
Di samping upaya penguatan
kelembagaan tersebut, sikap
19
penerimaan Pemerintah Kota
Tanjungpinang juga ditunjukkan
melalui program atau kegiatan
SKPD yang mendukung
Kebijakan Pengembangan KLA,
serta pembangunan fasilitas serta
sarana dan prasarana dalam
mewujudkan KLA dalam rangka
pemenuhan klaster hak-hak anak.
Merujuk pada Konvensi Hak
Anak (KHA), klaster hak-hak
anak terbagi lima, yaitu: hak sipil
dan kebebasan; lingkungan
keluarga dan pengasuhan
altenatif, kesehatan dasar dan
kesejahteraan, pendidikan,
pemanfaatan waktu luang, dan
kegiatan budaya; dan
perlindungan khusus. Berikut ini
akan dipaparkan lebih lanjut
mengenai klaster hak anak
tersebut.
5. Komunikasi antar
organisasi dan aktivitas
pelaksana
Koordinasi dengan
stakeholder lainnya yang dalam
hal ini adalah Forum Anak,
terbilang baik. Hal ini karena
Forum Anak Kota
Tanjungpinang yang memiliki
jaring komunikasi luas. Seperti
pernyataan Forum Anak Kota
Tanjungpinang berikut:
“Kalau kita koordinasi dengan DP3APM, dengan Kabid PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak). Kalau saya sendiri koordinasinya dengan Forum Anak Kota dan Pusat. Kita kan punya jaring komunikasi antara kota, ke kecamatan, ke kelurahan, bahkan ke pusat pun kita punya. Jadi secara top down dan bottom up, kita punya jaringan.” (Wawancara dengan Aidil, 23 Juli 2018, Pukul 14.30 WIB).
Berdasarkan wawancara
tersebut, terlihat bahwa pihak
Forum Anak sebagai salah satu
stakeholder yang menjadi unsur
20
penting dalam implementasi
Kebijakan Pengembangan KLA
di Kota Tanjungpinang memiliki
jaringan komunikasi antar Forum
Anak Kota, ke bawah pada
Forum Anak tingkat kecamatan,
maupun ke pusat pada Forum
Anak Nasional. Apalagi ketua
Forum Anak Kota
Tanjungpinang juga aktif di
tingkat nasional. Ini tentunya
memberikan kontribusi bagi
penilaian Kota Tanjungpinang
sebagai KLA di mata nasional.
Berdasarkan wawancara tersebut,
terlihat bahwa koordinasi dengan
pihak dunia usaha juga masih
belum maksimal. Selain
stakeholder, koordinasi yang
dilakukan oleh agen pelaksana
Kebijakan Pengembangan KLA
di Kota Tanjungpinang. Sesuai
pernyataan Kepala Dinas
DP3APM Kota Tanjungpinang.
Beliau mengatakan bahwa:
“Untuk Tupoksi Pokja ini secara detail dijelaskan dalam SK Gugus Tugas KLA, hubungan antar Pokja ini harusnya saling mendukung, meskipun pada kenyataannya memang sulit melakukan sinkronisasi satu sama lain. Mungkin karena follow up dari hasil rapat koordinasi masih kurang. Rapat sudah, tapi rapat lagi untuk menindaklanjuti dari rapat sebelumnya sepertinya belum.” (Wawancara dengan Bapak Ahmad Yani, 25 Juli 2018, Pukul 13.35 WIB).
Berdasarkan wawancara
tersebut, terlihat bahwa
sinkronisasi sulit dilakukan
karena masih kurangnya tindak
lanjut dari hasil koordinasi yang
sudah dilakukan. Berdasarkan
uraian yang terdapat pada
dimensi komunikasi antar
organisasi dan aktivitas
pelaksana, terlihat bahwa
koordinasi agen pelaksana
Kebijakan Pengembangan KLA
masih kurang maksimal. Padahal,
21
kebijakan ini sifatnya koodinatif,
jadi koordinasi menjadi hal yang
amat sangat vital dalam
pelaksaannya. Kendati pun sudah
dilakukan upaya untuk
meningkatkan koordinasi dengan
rapat evaluasi secara rutin setiap
tri wulan dengan SKPD pada
Gugus Tugas KLA serta jaringan
komunikasi yang dibangun oleh
stakeholder sudah cukup baik,
namun ada beberapa agen
pelaksana yang belum benar-
benar paham akan tugas dan
fungsinya sehingga kerjasama
yang baik sulit terjalin.
Sinkronisasi pun sulit dicapai
karena kurangnya tindak lanjut
dari koordinasi yang telah
dilakukan.
6. Lingkungan ekonomi, sosial
dan politik
Sifat opini publik yang ada di
lingkungan implementasi suatu
kebijakan publik juga turut
berpengaruh pada keberhasilan
suatu kebijakan. Opini publik
terkait Kebijakan Pengembangan
Kota Layak Anak di Kota
Tanjungpinang, mulai dari
stakeholder sampai ke objek dari
kebijakan publik itu sendiri yakni
masyarakat secara umum baik.
Seperti penuturan pihak Forum
Anak, Ketua Forum Anak Kota
Tanjungpinang menyampaikan
pendapatnya tentang pelaksanaan
Kebijakan Pengembangan Kota
Layak Anak. Dia mengatakan
bahwa:
“Bagus, tapi masyarakat masih kurang peka, karena proses sosialisasinya yang kurang. Kebijakan KLA ini baru tenar di kalangan SKPD, tapi di kalangan masyarakat luas, kebijakan KLA ini belum begitu terkenal.” (Wawancara dengan Aidil, 23 Juli 2018, Pukul 14.30 WIB).
22
Tak jauh berbeda dengan
pendapat tokoh pemerhati anak
bahwa:
“Tentu sangat positif. Namun kebijakan KLA ini tentunya harus didukung penuh oleh pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.”. (Wawancara dengan ibu sofiar fauzi, 16 Juli 2018, Pukul 13.08 WIB).
Berdasarkan wawancara
tersebut, opini publik dalam hal
ini yakni pihak stakeholder
sangat mendukung, namun
mereka menilai perlu adanya
dukungan penuh dari berbagai
pihak dalam pelaksanaan
Kebijakan
Berdasarkan wawancara
tersebut, terlihat bahwa sifat
berbagai opini publik dari
partisipan kebijakan mulai yakni
stakeholder dan masyarakat
sangat mendukung Kebijakan
Pengembangan Kota Layak Anak
di Kota Tanjungpinang. Namun,
publik mengaharapkan adanya
sosialisasi juga digencarkan agar
kebijakan lebih dikenal dan
dirasakan manfaatnya oleh
berbagai pihak. Berdasarkan
uaraian di atas yang terdapat
pada dimensi lingkungan
ekonomi, sosial, dan politik
bahwa lingkungan ekonomi
secara umum mendukung
pelaksanaan Kebijakan
Pengembangan Kota Layak Anak
di Kota Tanjungpinang,
meskipun di sisi lain juga
menjadi penghambat
F. Daftar Pustaka
1. Buku
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung : CV Alfabeta
Akib dan Tarigan. 2008. Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya, Jurnal Kebijakan Publik
23
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Yogyakarta. Rineka Cipta
Nugroho D. Riant, 2011. Public Policy Edisi Ketiga. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Subarsono. 2006. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta
..............., 2009. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta
..............., 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI
Unicef. 2002, A Study On Street Children In Zimbabwe. New York (Usa): Unicef
Wahab. 1991. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan, Bumi Aksara Jakarta
..............., 2005. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Impelementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik, Teori dan Proses. Jakarta: Media Pressindo
Zainal Abidin.2004. Kebijakan Publik. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah.
2. Undang-Undang :
Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kota Layak Anak
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Penegembangan Kota Layak Anak.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak
Peraturan Walikota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2009 Tentang
24
Penjabaran Proses dan Fungsi Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Tanjungpinang
25