ika heri kustanti_1003000069

140
PENGARUH SUBTITUSI PASTA TALAS BELITUNG (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott), TEPUNG TEMPE KEDELAI DAN TEPUNG TAPIOKA TERHADAP NILAI ENERGI, MUTU KIMIA, MUTU FISIK DAN MUTU ORGANOLEPTIK MIE BASAH UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS Karya Tulis Ilmiah ini Disusun sebagai Salah Satu Persyaratan Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Gizi Oleh : IKA HERI KUSTANTI 1003000069 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA MANUSIA KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MALANG JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI DIPLOMA III MALANG 2013

Upload: angsihno-rosy

Post on 27-Dec-2015

223 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Karya Tulis (Poltekkes kemenkes Malang)Penulis : Ika Heri K.Sharer : Angsihno Nur R.Jurusan Gizi (Dietetition of Health)

TRANSCRIPT

Page 1: Ika Heri Kustanti_1003000069

PENGARUH SUBTITUSI PASTA TALAS BELITUNG

(Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott), TEPUNG TEMPE KEDELAI DAN

TEPUNG TAPIOKA TERHADAP NILAI ENERGI, MUTU KIMIA,

MUTU FISIK DAN MUTU ORGANOLEPTIK MIE BASAH

UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS

Karya Tulis Ilmiah ini Disusun sebagai Salah Satu Persyaratan

Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Gizi

Oleh :

IKA HERI KUSTANTI

1003000069

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA

MANUSIA KESEHATAN

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG

JURUSAN GIZI

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

MALANG

2013

Page 2: Ika Heri Kustanti_1003000069

iii

Page 3: Ika Heri Kustanti_1003000069

iv

PENGARUH SUBTITUSI PASTA TALAS BELITUNG

(XANTHOSOMA SAGITTIFOLIUM (L.) SCHOTT), TEPUNG TEMPE

KEDELAI DAN TEPUNG TAPIOKA TERHADAP NILAI ENERGI, MUTU

KIMIA, MUTU FISIK DAN MUTU ORGANOLEPTIK MIE BASAH

UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS

Ika Heri Kustanti1, Astutik Pudjirahaju

2, Sulistiastutik

2,Theresia Puspita

2

Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan KEMENKES Malang, [email protected]

Abstract : Prevalence of Diabetes Mellitus (DM) is increasing from year to year. One alternative

of therapy for diabetic is healthy diet to reduce elevated levels of blood glucose and reduce of

clinical symptoms that may increase the risk of complications. One alternative is the use of local

food consumption belitung taro that have a low GI and carbohydrate sources. Wet noodle is one

alternative to increase the added value of taro belitung. In a wet noodle processing can be

substituted soybean cake flour and tapioca flour to increase nutritional value. The purpose of

research analyzing the effect of substitution belitung taro paste, soybean cake flour and tapioca

flour to the value of the energy, chemical quality, physical quality and organoleptic test wet noodle

for diabetic. Types of experimental studies with research designs completely randomized design

(CRD). Level of treatment is the ratio of wheat flour, pasta belitung taro, tapioca flour and soybean

cake flour is P0 = (100: 0: 0: 0), P1 = (50: 30: 15: 5), P2 = (40: 35: 15: 10), P3 = (35: 40: 10: 15).

The results is treatment P3 (35% wheat, 40% belitung taro paste, 10% tapioca flour and 15%

soybean cake flour) is the best standard of treatment because it contains 252 Calories of energy

lower than 30% of the rice, carbohydrate 37.41% and mostly in the form of oligosaccharides so

reducing sugar is low (0.173 mg /dl), the resulting reduction sugar level lower than P0. Wet pasta

noodles taro belitung have 3x more fiber than a wet noodle from wheat flour, protein 11.9 g/100 g

fulfill of 15% / 100 g (2000 Calories / day), 6.1% fat in the form of saturated fat and fulfill of

10%/100 g (2000 Calories/day), 1.5% ash content and a water content of 41%. Elasticity wet

noodle treatment P3 level by 20% and power dropped 0.7 N. The panelists prefered the wet

noodle pasta belitung taro treatment P3. Other research to determine how many levels of

oligosaccharides wet noodle pasta belitung taro.

Kata kunci : Diabetic , Wet Noodles, Belitung Taro, Tapioca flour, Soybean Cake Flour

Abstrak : Prevalensi penderita Diabetes Melitus (DM) meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu

upaya terapi bagi penderita DM adalah pengaturan pola makan yang sehat untuk menekan

peningkatan kadar glukosa darah dan menekan timbulnya gejala klinik yang dapat meningkatkan

resiko komplikasi. Salah satu alternatif pemanfaatan pangan lokal adalah konsumsi talas belitung

yang memiliki IG rendah dan sumber karbohidrat. Mie basah merupakan salah satu alternatif

untuk meningkatkan nilai tambah talas belitung. Dalam pengolahan mie basah disubtitusi tepung

tempe kedelai dan tepung tapioka untuk meningkatkan nilai gizi. Tujuan penelitian menganalisis

pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe dan tepung tapioka terhadap nilai energi,

mutu kimia, mutu fisik dan mutu organoleptik mie basah bagi penderita DM. Jenis penelitian

eksperimen dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL). Taraf perlakuan adalah

perbandingan tepung terigu, pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe yaitu P0 = (100

: 0 : 0 : 0), P1= (50 : 30 : 15 : 5), P2= (40 : 35 : 15 : 10), P3= (35 : 40 : 10 : 15). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa taraf perlakuan P3 (35% terigu, 40% pasta talas belitung, 10% tepung tapioka

dan 15% tepung tempe) merupakan taraf perlakuan terbaik karena mengandung energi 252 Kalori

lebih rendah 30% dibandingkan nasi, karbohidrat 37.41% dan sebagian besar berupa oligosakarida

sehingga kadar gula reduksinya sedikit (0.173 mg/dl), Selain itu, kadar gula reduksi yang

dihasilkan lebih rendah dibandingkan taraf perlakuan P0. Mie basah pasta talas belitung

mengandung serat 3x lebih besar dibandingkan mie basah dari tepung terigu, protein 11.9 g/100 g

memenuhi kebutuhan 19%/100 g (2100 Kalori/hari), lemak 6.1% memenuhi kebutuhan 11.5%/100

g (2100 Kalori/ hari) dan berupa lemak tidak jenuh, kadar abu 1,5% dan kadar air 41%.

Elastisitas mie basah taraf perlakuan P3 sebesar 20% dan daya putus 0.7 N. Panelis menyatakan

suka (3) terhadap mie basah taraf perlakuan P3. Penelitian lanjutan untuk mengetahui berapa kadar

oligosakarida mie basah pasta talas belitung.

Page 4: Ika Heri Kustanti_1003000069

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Karya

Tulis Ilmiah yang berjudul : ”Pengaruh Subtitusi Talas Belitung (Xanthosoma

Sagittifolium (L.) Schott), Tepung Tempe Kedelai dan Tepung Tapioka Terhadap

Nilai Energi, Mutu Kimia, Mutu Fisik dan Mutu Organoleptik Mie Basah Untuk

Penderita Diabetes Melitus”. Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah

sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan program pendidikan Diploma III

Gizi.

Sehubungan dengan terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini, penulis ingin

menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang.

2. Ketua Jurusan Gizi Malang.

3. Ketua Prodi Diploma III Gizi Malang.

4. Theresia Puspita, S.TP, MP selaku Penguji

5. Ir. Astutik Pudjirahaju, M.Si selaku Dosen Pembimbing Utama

6. Dra. Sulistiastutik, M. Kes selaku Dosen Pembimbing Pendamping

7. Para dosen dan staff karyawan Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Malang

yang telah memberi ilmu yang bermanfaat

8. Staff perpustakaan Poltekkes Kemenkes Malang yang telah membantu

memberikan literatur.

9. Keluarga yang banyak memberikan bantuan moril dan spiritual serta doa bagi

penulis

10. Teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan dukungan moril

maupun spiritual dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini

Penulis menyadari Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak memiliki

kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat

penulis harapkan.

Malang, 29 Juli 2013

Penulis

Page 5: Ika Heri Kustanti_1003000069

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan disebuah kota dengan julukan

kota “Santri”, yaitu Kota Jombang. Penulis dengan nama

lengkap Ika Heri Kustanti lahir di Jombang pada tanggal 1

Januari 1992. Penulis merupakan anak pertama dari 2

bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Tohari dan Ibu

Muatin. Penulis menempuh pendidikan di RA.Muslimat

NU Tapen, MI Darul Ulum Tapen, SMPN 1 Kudu

selanjutnya SMAN 3 Jombang dan akhirnya merantau ke Malang untuk

melanjutkan pendidikan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, Jurusan Gizi

tahun 2010 – 2013. Karya tulis ilmiah ini merupakan karya yang dibuat sebagai

syarat kelulusan di Politeknik tersebut. Sebelumnya, penulis juga kerap menulis

karya tulis ilmiah baik sewaktu di SMA maupun semasa kuliah. Karya tulis ilmiah

yang dibuat sering diikutkan dalam perlombaan karya ilmiah tingkat Nasional dan

masuk dalam kategori finalis. Selain sebagai syarat kelulusan, karya ilmiah

berjudul Mie Basah Pasta Talas Belitung ini telah dipublikasikan di ajang seminar

Nasional PATPI (Perkumpulan Ahli Teknologi Pangan Indonesia). Selama

menempuh pendidikan perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi

mahasiswa seperti BPMJ Gizi tahun 2010/2011, HMJ Gizi 2011/2012 dan KI

(Kelompok Ilmiah) Poltekkes KEMENKES Malang. Motto hidupnya adalah

lakukan yang terbaik untuk hasil terbaik. Man Jaddah Wa Jaddah dan Man

Shabara Zhafira. Lihatlah proses sebelum kita menilai hasil karena kehidupan

berawal dari Proses.

Page 6: Ika Heri Kustanti_1003000069

vii

Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?!

Page 7: Ika Heri Kustanti_1003000069

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 10

DAFTAR ISI............................. ............................................................................ 10

DAFTAR TABEL ............................................................................................... 11

DAFTAR GAMBAR........ ...................................................................................... 1

DAFTAR LAMPIRAN........ ....................................................................................

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 10

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 11

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 11

1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Diabetes Melitus ......................................................... 12

2.2 Tipe Diabetes Melitus dan Faktor Penyebab .............................. 13

2.3 Dampak Diabetes Melitus ............................................................ 12

2.3.1 Terjadi Komplikasi dengan Penyakit Lain ...................... 12

2.3.2 Biaya Pengobatan dan Perawatan Tinggi ........................ 12

2.4 Pengelolaan Diabetes (Indeks Glikemik) .................................... 13

2.5 Mie Basah .......................................................................................

2.6 Metode Pengolahan Mie .................................................................

2.7 Bahan-bahan Pengelolaan Mie ........................................................

2.7.1 Tepung Terigu .................................................................. 12

2.7.2 Talas Belitung .................................................................. 12

2.7.3 Tepung Tempe ......................................................................

2.7.4 Tepung Tapioka ....................................................................

2.7.5 Telur .....................................................................................

2.7.6 Bahan Tambahan (Food Addictive) dalam

Pengelolaan Mie……………… ...........................................

2.8 Mutu Kimia .....................................................................................

2.8.1 Karbohidrat ....................................................................... 12

2.8.2 Protein .............................................................................. 12

2.8.3 Lemak ...................................................................................

2.8.4 Serat .................................................................................. 12

2.8.5 Kadar Air .......................................................................... 12

2.8.6 Kadar Abu ........................................................ Karbohidrat 12

2.8.7 Gula Reduksi ........................................................................

2.9 Mutu Fisik .......................................................................................

2.9.1 Elastisitas .......................................................................... 12

2.9.2 Daya Putus ........................................................................ 12

2.10 Mutu Organoleptik ..........................................................................

Halaman

iv

v

vi

x

xi

1

5

5

6

7

7

8

8

10

10

13

14

15

15

17

19

20

20

21

22

23

24

25

26

27

27

28

28

29

7727

Page 8: Ika Heri Kustanti_1003000069

ix

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep ......................................................................... 14

3.2 Hipotesis ....................................................................................... 15

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Desain Penelitian .......................................................... 16

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 18

4.3 Variabel Penelitian ......................................................................... 18

4.4 Definisi Operasional Variabel ........................................................ 18

4.5 Alat dan Bahan ............................................................................... 20

4.6 Tahap-tahap Penelitian ................................................................... 23

4.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data ...............................................

4.7.1 Nilai Energi dan Mutu Kimia ........................................... 12

4.7.2 Mutu Fisik ........................................................................ 12

4.7.3 Mutu Organoleptik ...............................................................

4.7.4 Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik……………

4.7.5 Instrument Analisis Data………………………

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Deskripsi Produk ..............................................................................

5.2 Mutu Kimia .....................................................................................

5.2.1 Kadar Air ......................................................................... 12

5.2.2 Kadar Abu ........................................................................ 12

5.2.3 Kadar Protein .................................................................... 12

5.2.4 Kadar Lemak ................................................................... 12

5.2.5 Kadar Serat ...................................................................... 12

5.2.6 Kadar Gula Reduksi ........................................................ 12

5.2.7 Kadar Karbohidrat ...............................................................

5.3 Nilai Energi……………………………………………

5.4 Mutu Fisik .................................................................................... 18

5.4.1 Elastisitas .............................................................................

5.4.2 Daya Putus ....................................................................... 12

5.5 Mutu Organoleptik ............................................................................

5.5.1 Warna ............................................................................... 12

5.5.2 Aroma .............................................................................. 12

5.5.3 Rasa ................................................................................. 12

5.5.4 Tekstur .................................................................................

5.6 Taraf Perlakuan Terbaik ................................................................. 18

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41

LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................................

31

32

1

33

34

34

34

36

41

52

52

52

53

54

55

34

56

58

58

59

60

62

63

65

66

68

70

70

72

73

73

75

77

80

82

87

89

94

1

Page 9: Ika Heri Kustanti_1003000069

x

DAFTAR TABEL

Nomor

2.1

2.2

2.3

4.1

4.2

4.3

5.1

5.2

5.3

5.4

5.5

5.6

5.7

5.8

5.9

5.10

5.11

Teks

Nilai Indeks Glikemik Beberapa Jenis Pangan ....................................................... 6

Komposisi Tepung Terigu dalam 100 g bahan……………………………

Komposisi Kimia Umbi Talas Belitung ....................................................................

Rancangan Acak Lengkap ....................................................................................... 9

Proporsi Bahan Penelitian ..................................................................................... 16

Komposisi Tiap Perlakuan dalam Pengolahan Mie Basah………………….

Rata-rata Kadar Air Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan ………………………………………………………………..

Rata-rata Kadar Abu Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan…………………………………………………………………

Rata-rata Kadar Protein Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan…………………………………………………………………

Rata-rata Kadar Lemak Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan…………………………………………………………………

Rata-rata Kadar Serat Kasar Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan…………………………………………………………………

Rata-rata Kadar Gula Reduksi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap

Taraf Perlakuan …………………………………………………………

Rata-rata Kadar Karbohidrat Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan…………………………………………………………………

Rata-rata Nilai Energi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan…………………………………………………………………

Modus Tingkat Kesukaan terhadap Warna Mie Basah Sebelum dan

Setelah Menjadi Hidangan .................................................................................... 24

Modus Tingkat Kesukaan terhadap Aroma Mie Basah Sebelum dan

Setelah Menjadi Hidangan……………………………………………...

Modus Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Mie Basah Sebelum dan

Setelah Menjadi Hidangan ........................................................................................

Halaman

100

16

18

33

41

41

58

59

60

62

63

65

67

69

74

76

78

Page 10: Ika Heri Kustanti_1003000069

xi

5.12

5.13

5.14

5.15

5.16

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Modus Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur Mie Basah Sebelum dan

Setelah Menjadi Hidangan ………………………………………………

Rata- rata dan Rangking Variabel dalam Penentuan Taraf Perlakuan

Terbaik…………………………………………………………………..

Karakteristik Mie Basah Pada Taraf Perlakuan P3………………………………….

Perbandingan Kandungan Gizi Mie Basah Pasta Talas

Belitung………………………………………………………………..………………………………….

Angka Kecukupan Gizi Per Takaran Saji …………………………………………….

Lampiran

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Air Mie basah Hasil Substitusi .........................................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Abu Mie Basah Hasil Substitusi ......................................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Kadar Protein Mie Basah Hasil Substitusi .....................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Kadar Lemak Mie Basah Hasil Substitusi .....................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Kadar Serat Mie Basah Hasil Substitusi ........................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Kadar Gula Reduksi Mie Basah Hasil Substitusi ...........................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Kadar Karbohidrat Mie Basah Hasil Substitusi .............................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Nilai Energi Mie Basah Hasil Substitusi ........................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Elastisitas Mie Basah Hasil Substitusi ...........................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) untuk Daya Putus Mie Basah Hasil Substitusi .........................................

81

83

84

84

86

107

108

109

110

111

112

113

114

115

116

Page 11: Ika Heri Kustanti_1003000069

xii

11

12

13

14

Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Tingkat Penerimaan Warna

mie basah Hasil Substitusi .......................................................................................

Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Tingkat Penerimaan Aroma

Mie Basah Hasil Substitusi .......................................................................................

Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Tingkat Penerimaan Rasa Mie

Basah Hasil Substitusi ..............................................................................................

Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Tingkat Penerimaan Tekstur

Mie Basah Hasil Substitusi .......................................................................................

117

122

123

124

Page 12: Ika Heri Kustanti_1003000069

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks

4.1 Nomor urut, Bilangan Random, dan Ranking ................................. 17

4.2 Lay Out Penelitian dengan Desain RAL .......................................... 17

4.3 Diagram Alir Pengolahan Tepung Tempe Kedelai ........................... 24

4.4 Diagram Alir Pengolahan Pasta Talas Belitung ............................... 25

4.5 Diagram Alir Pengolahan Mie Basah .............................................. 25

4.6 Diagram Alir Analisis Kadar Protein ................................................ 27

4.7 Diagram Alir Analisis Kadar Lemak ................................................ 28

4.8 Diagram Alir Analisis Kadar Serat ................................................... 29

5.7 Diagram Alir Analisis Kadar Air ..........................................................

4.10 Diagram Alir Analisis Kadar Abu ........................................................

4.11 Diagram Alir Analisis Kadar Gula Reduksi ..................................... 29

4.12 Diagram Alir Analisis Mutu Fisik ........................................................

5.1 Visualisasi Warna Mie Basah ...............................................................

5.2 Elastisitas Mie Basah tiap Taraf Perlakuan ...................................... 29

5.3 Daya Putus Mie Basah tiap Taraf Perlakuan .................................... 29

5.4 Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Warna Mie basah…..

5.5 Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Aroma Mie

basah……………………………………………………….

5.8 Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Rasa Mie

basah……………………………………………………….

5.7 Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Tekstur Mie basah…

Halaman

33

33

42

42

43

44

45

46

47

48

49

50

57

71

73

74

76

78

80

Page 13: Ika Heri Kustanti_1003000069

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Teks

SNI Mie Basah ................................................................................................. .. 42

Gambar Randomisasi dan Penentuan Desain Lay Out ....................................... 43

Formulis Uji Skala Kesukaan (Hedonic Scale Test) .......................................... 43

Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik ...................................................................

Daftar Indeks Glikemik Bahan Pangan ..............................................................

Hasil Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik ..........................................................

Data Organoleptik Mie Basah Tanpa Bumbu ....................................................

Data Organoleptik Mie Basah Dengan Bumbu ..................................................

Hasil Analisis Mutu Kimia dan Fisik Mie Basah Pasta Talas

Belitung ..............................................................................................................

Halaman

94

97

98

99

100

101

104

105

106

Page 14: Ika Heri Kustanti_1003000069

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Diabetes Melitus (DM) saat ini menjadi masalah paling umum di

dunia, baik di negara maju maupun berkembang (PERKENI, 2006). Pada tahun

2000 terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap DM

(Soegondo, 2006). WHO memperkirakan pada tahun 2025, Indonesia akan

menempati peringkat lima di dunia dengan jumlah penderita DM sebanyak 12,4

juta jiwa (Suyono, 2006).

Persatuan Diabetes Indonesia (2011) melaporkan bahwa jumlah penderita

DM di Jawa Timur sebesar 6% dari total jumlah penduduk sebanyak 37.476.757

orang (Sensus Penduduk, 2010). Kondisi tersebut terlihat pada salah satu

Kabupaten di Jawa Timur yaitu Kabupaten Jombang dimana terjadi peningkatan

prevalensi penderita DM sebesar 20% dari tahun 2010 sampai 2011 (Dinas

Kesehatan Kabupaten Jombang).

PERKENI (2006) menyebutkan bahwa penyakit DM ditandai dengan

kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl dan gejala DM berupa poliuria (buang

air kecil yang berlebihan, > 2,5 liter per hari pada orang dewasa), polidipsia (rasa

haus yang berlebihan), dan polifagia (rasa lapar yang berlebihan). Terapi bagi

penderita DM dilakukan dengan tujuan memelihara dan menjaga kesehatan secara

optimal agar dapat melakukan aktivitas seperti biasanya. Terapi ini meliputi

penyuluhan/pendidikan bagi penderita, pemberian insulin, olah raga, serta

pengaturan pola makan untuk menekan timbulnya gejala klinik yang dapat

meningkatkan resiko komplikasi. Mahalnya biaya terapi dengan insulin

berimplikasi pada tingginya angka kematian akibat tidak tertanganinya pasien

dengan tingkat ekonomi rendah.

Waspadji (2002) menjelaskan bahawa alternatif lain yang kemudian

menjadi pilihan adalah pengaturan pola makan yang sehat untuk menekan

peningkatan kadar glukosa darah. Penderita DM tidak dianjurkan mengkonsumsi

pangan dengan indeks glikemik (IG) tinggi karena akan memicu kenaikan kadar

glukosa darah yang cukup signifikan. Penatalaksanaan diet bagi penderita DM

Page 15: Ika Heri Kustanti_1003000069

2

sampai saat ini masih mementingkan komposisi mutu kimia dengan komposisi 55

- 70% karbohidrat, 15 - 20% protein, dan 20 - 30% lemak dari total energi. Bahan

makanan memiliki pengaruh terhadap peningkatan kadar glukosa darah yang

berbeda-beda, karena sifat bahan makanan itu sendiri maupun cara memasak.

Adanya perbedaan ini, penting untuk diperhatikan dalam pengaturan diet bagi

penderita DM, agar didapatkan pengendalian diet seoptimal mungkin dan

akhirnya mengarah kepada pengendalian DM dengan komplikasinya.

Pengenalan jenis dan pemilihan jumlah karbohidrat yang tepat dapat

memberikan sumbangan penting bagi kualitas hidup manusia. IG berguna untuk

menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang

dikonsumsi. Konsep IG merupakan pendekatan yang relatif baru untuk memilih

pangan yang baik, khususnya pangan sumber karbohidrat. Konsep ini berguna

untuk membina kesehatan, mencegah obesitas, memilih pangan untuk

berolahraga, dan mengurangi resiko menderita penyakit degeneratif (Waspadji,

2002). Lebih lanjut Rimbawan dan Siagian (2004) mengatakan bahwa konsep IG

menekankan pada pentingnya mengenal pangan sumber karbohidrat berdasarkan

kecepatannya meningkatkan kadar glukosa darah. Pangan yang memiliki IG

tinggi akan meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat, demikian pula

sebaliknya.

Pengetahuan tentang IG pangan membuat penderita DM secara mandiri

dengan mudah dapat memilih makanan yang mengenyangkan namun tidak cepat

meningkatkan kadar glukosa darah. Memilih makanan dengan IG rendah, secara

tidak langsung menunjukkan konsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh

karena itu, pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep IG juga

mendukung upaya penganekaragaman makanan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Pada umumnya penderita DM melakukan diet non nasi dan mengganti dengan

kentang. Hal tersebut memang memiliki dampak positif karena dapat mengurangi

jumlah konsumsi beras. Saat ini, Indonesia telah melakukan import bahan pangan

hampir 70% untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, dimana beras di

import sebanyak 2 juta ton/tahun (Winarno, 2012). Selain itu, beras yang

dikonsumsi di Indonesia telah mengalami penyosohan lanjut sehingga rendah

serat dan umumnya memiliki IG tinggi. Namun, peralihan konsumsi pangan yang

Page 16: Ika Heri Kustanti_1003000069

3

dilakukan penderita DM dari beras menjadi kentang tidak banyak memberi

kontribusi penyembuhan yang signifikan. Rimbawan dan Siagian (2004)

menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena IG kentang termasuk sedang

(41 - 59). Sehingga perlu upaya pemanfaatan bahan pangan lain yang memiliki

IG rendah sebagai upaya promotif dan preventif penyakit DM.

Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu adanya modifikasi produk makanan

yang berbahan baku dengan IG rendah dimana makanan tersebut tetap mampu

memberikan kontribusi kecukupan mutu kimia bagi penderita DM. Produk

makanan tersebut merupakan produk makanan yang lazim dan banyak dikonsumsi

masyarakat, antara lain adalah mie basah. Kecenderungan dan pola hidup

masyarakat modern yang menuntut makanan siap saji akibat aktivitas yang padat,

menjadikan mie basah sebagai salah satu pangan pengganti nasi karena

kandungan dalam mie meliputi protein, karbohidrat, vitamin dengan dominasi

pada karbohidrat (Rustandi, 2011). Hal ini sangat menguntungkan ditinjau dari

sudut pandang penganekaragaman konsumsi pangan agar masyarakat tidak terlalu

bergantung kepada beras sebagai makanan pokok. Selain itu, mie banyak disukai

masyarakat Indonesia dalam hal tekstur, rasa dan kenampakan. Keunggulan lain

dari mie adalah harganya terjangkau dan cara penyajian yang mudah.

Mie basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan

atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan yang diijinkan,

berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Anonymous, 1992). Tepung terigu

merupakan bahan pangan yang memiliki IG rendah (42) namun Indonesia tidak

mampu memproduksi sendiri sehingga tepung terigu masih harus diimpor.

Menurut BPS (2007), pada tahun 2003 impor tepung terigu mencapai 343.144,9

ton sedangkan tahun 2006 meningkat 19% mencapai 536.961,6 ton. Adanya

kebijakan baru tentang regulasi gandum sebagai bahan tepung terigu dimana

pembelian gandum dan penjualan tepung terigu tidak dibatasi dan dilakukan oleh

importir gandum atau tepung terigu yang ada Indonesia (press release APTINDO,

2005 dalam Findi, 2008), memicu defisit perdagangan Indonesia pada tahun 2010

sebesar 24 triliun rupiah dengan total import 6,47 juta ton. Akibatnya gandum

menjadi penyumbang defisit terbesar di subsektor pangan (BPS, 2012). Sehingga

perlu dilakukan penelitian untuk mencari bahan pengganti tepung terigu tersebut.

Page 17: Ika Heri Kustanti_1003000069

4

Salah satu bahan pangan lokal yang dapat digunakan sebagai pengganti

terigu dan memiliki IG rendah adalah talas belitung dengan IG (29 – 45) lebih

rendah dibanding kentang (41 - 59) dan ubi jalar ungu (54 - 68), (Rimbawan dan

Siagian, 2004). Talas belitung (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) adalah

salah satu jenis umbi-umbian sumber karbohidrat yang belum dimanfaatkan

secara optimal dan pada umumnya dibudidayakan sebagai tanaman sela di antara

palawija lain. Talas belitung dikonsumsi sebagai makanan pokok bagi penduduk

asli Kepulauan Mentawai dan Papua, Daerah Sumatera Barat juga memiliki

potensi talas terutama di Kabupaten Mentawai, Pesisir Selatan, dan Padang

Pariaman, namun belum terdata dengan jelas (Jusuf dan Marzempi, 1993). Saat

ini, talas belitung biasanya diolah secara sederhana dengan cara dikukus, direbus

atau dengan sedikit variasi dibuat berbagai produk olahan, antara lain getuk,

keripik, dan perkedel (Marinih 2005).

Talas yang sudah umum dikembangkan masyarakat menjadi beberapa

produk adalah jenis (Colocasia esculenta (L) Schott). Talas Colocasia telah

dikembangkan menjadi produk es krim (Syahbania, 2012), mie basah

(Permatasari, 2009) dan alternatif sumber pati di Indonesia (Rahmawati dkk,

2012). Sedangkan jenis talas Belitung telah dikembangkan menjadi produk

cookies (Indrasti, 2004). Namun talas (Colocasia esculenta (L) Schott) dan talas

belitung (Xanthosoma sagittifolium) memiliki perbedaan IG masing- masing

sebesar 44 - 68 dan 29 – 45 (Rimbawan dan Siagian, 2004). Dengan demikian,

talas belitung lebih cocok dikembangkan menjadi produk makanan berbasis

pangan lokal yang memiliki IG rendah.

Talas belitung merupakan sumber karbohidrat yang murah dan memiliki

IG rendah namun memiliki kandungan protein dan vitamin yang rendah.

Alternatif peningkatan nilai gizi talas belitung dengan penambahan tepung tempe.

Tempe mengandung asam amino esensial dan non esensial yang lengkap, kadar

lemak jenuh rendah, isoflavon tinggi, serat tinggi, IG rendah (glycemic index

<55), dan mudah dicerna (Muchtadi, 2010). Kandungan tempe kedelai yang dapat

menurunkan kadar glukosa darah adalah protein, isoflavon, serat, serta IG rendah

(Villegas dkk, 2008). Lebih lanjut Bhathena (2002), menjelaskan bahwa tempe

tinggi kandungan arginin dan glisin, yang terkait dengan sekresi insulin dan

Page 18: Ika Heri Kustanti_1003000069

5

glukagon dari pankreas. Kandungan isoflavon berupa genistein dapat

menghambat α-glukosidase yang berperan pada beberapa kelainan metabolik

seperti DM (Ghozali dkk, 2010). Serat dapat mempengaruhi kadar glukosa darah

karena memperlambat absorbsi glukosa sehingga mempengaruhi penurunan

glukosa (Waspadji, 2003). Dengan demikian, IG tempe yang rendah menjadikan

respon glukosa darah tubuh rendah sehingga peningkatan kadar glukosa darah

relatif kecil.

Pengolahan mie basah menggunakan talas belitung dan tepung tempe

kurang optimal tanpa adanya senyawa pengikat yang lain. Tepung tapioka

merupakan bahan pengikat yang mengandung 17% amilosa dan 73% amilopektin

(Belitz dan Grosch, 1999). Kandungan amilopektin yang tinggi dapat

memperlambat penyerapan karbohidrat dalam tubuh sehingga berpotensi untuk

mengendalikan kadar glukosa darah. Berat molekul amilopektin lebih besar

dibandingkan amilosa sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin

memerlukan waktu lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa

(Lehninger, 1982). Semakin besar ukuran partikel bahan pangan, semakin sulit

pati terdegradasi oleh enzim sehingga semakin lambat pencernaan karbohidrat

yang menyebabkan IG pangan tersebut semakin rendah (Rimbawan dan Siagian,

2004).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan fakta- fakta yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka

diperlukan kajian penelitian dengan rumusan masalah :

Bagaimana pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan

tepung tapioka terhadap nilai energi, mutu kimia, mutu fisik dan mutu

organoleptik mie basah untuk penderita Diabetes Melitus ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe

kedelai dan tepung tapioka terhadap nilai energi, mutu kimia, mutu fisik dan mutu

organoleptik pada mie basah untuk penderita Diabetes Melitus.

Page 19: Ika Heri Kustanti_1003000069

6

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Menganalisis nilai energi mie basah hasil substitusi pasta talas belitung, tepung

tempe kedelai dan tepung tapioka

b. Menganalisis mutu kimia (karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, abu, gula

reduksi dan air) mie basah hasil substitusi pasta talas belitung, tepung tempe

kedelai dan tepung tapioka

c. Menganalisis mutu fisik (elastisitas dan daya putus) mie basah hasil substitusi

pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung tapioka

d. Menganalisis mutu organoleptik (warna, tekstur, aroma dan rasa) mie basah

hasil substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung tapioka

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi kepada masyarakat

untuk pengembangan makanan sehat bagi penderita DM berupa mie basah hasil

substitusi pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai guna

meningkatkan derajat kesehatan. Diharapkan produk mie basah tersebut mampu

mengurangi prevalensi masalah gizi khususnya mencegah komplikasi maupun

keparahan penyakit penderita DM.

1.4.2 Manfaat Keilmuan

Dapat memberi informasi secara ilmiah tentang penganekaragaman pangan

(diversifikasi pangan) berupa mie basah hasil substitusi pasta talas belitung,

tepung tapioka dan tepung tempe kedelai serta dapat mengkonsumsi makanan

berupa mie basah yang enak dengan energi dan protein cukup terutama bagi

penderita DM.

Page 20: Ika Heri Kustanti_1003000069

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prevalensi Diabetes Melitus

Prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia pada tahun 1980 berkisar

1,5 - 2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Beberapa daerah

menunjukkan adanya peningkatan prevalensi DM yang cukup signifikan.

Penelitian di Jakarta, di daerah urban pada tahun 1982, didapatkan prevalensi

1,7% dan pada tahun 1993 prevalensinya meningkat menjadi 5,7% serta pada

tahun 2001 di daerah Depok prevalensi ini meningkat menjadi 12,8%. Penelitian

di Ujung Pandang menunjukkan peningkatan prevalensi walaupun tidak setinggi

di Jakarta yaitu 1,5% pada tahun 1981 menjadi 2,9% pada tahun 1998. Pada

tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia yang berumur lebih dari 20 tahun sebesar

125 juta. Dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% maka jumlah pengidap

DM sebesar 5,6 juta (PERKENI, 2002).

Penyakit Diabetes Melitus (DM) saat ini menjadi masalah paling umum di

dunia, baik di negara maju maupun berkembang (PERKENI, 2006). DM

termasuk salah satu problem kesehatan utama dunia. Hasil survei WHO

menunjukkan Indonesia menempati urutan ke-4 dengan penderita DM terbanyak

di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat (Widowati, 2007).

2.2 Tipe Diabetes Melitus dan Faktor Penyebab

Diabetes Melitus (DM) atau biasa disebut diabetes adalah penyakit kronis

yang ditandai dengan suatu manifestasi umum yaitu hiperglikemia atau kadar

glukosa darah yang terlalu tinggi diatas batas normal. Badan kesehatan dunia

(WHO) membagi diabetes menjadi dua kelompok utama yaitu insulindependent

DM (IDDM) dan non-insulin-dependent DM (NIDDM). Kemudian klasifikasi

baru dari Expert Committee on the Diagnosis on Classification of DM

(ECDCDM) membagi DM menjadi DM tipe 1 yang sama dengan IDDM, DM tipe

2 yang sama dengan (NIDDM) dan gestational diabetes (Rimbawan dan Siagian,

2004).

Page 21: Ika Heri Kustanti_1003000069

8

Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas penghasil insulin

akibat infeksi virus atau kasus autoimun yang biasanya bersifat genetis sehingga

penderitanya mengalami defisiensi insulin absolut. Injeksi insulin dan kontrol

yang ketat terhadap konsumsi karbohidrat sangat penting untuk memelihara kadar

glukosa darah penderita pada kisaran normal. IDDM umumnya berkembang pada

masa kanak-kanak sehingga disebut sebagai juvenile-onset diabetes.

Diabetes tipe 2 (NIDDM) merupakan kasus berupa penurunan sensitifitas

reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel (resistensi terhadap insulin) dan

gangguan sekresi insulin oleh sel β pankreas. Resistensi reseptor insulin ini

mengakibatkan glukosa darah yang diperoleh dari diet tidak dapat masuk ke

dalam sel sehingga kadar gula darah tetap tinggi. NIDDM terjadi secara gradual

dan berkembang pada kisaran usia paruh baya sehingga disebut sebagai maturity-

onset diabetes (Bender dalam Wiyono, 2004). DM tipe 2 ini yang paling lazim

terjadi selain oleh faktor riwayat diabetes keluarga, juga karena usia lanjut,

obesitas, pola hidup yang tidak sehat. Penderitanya tidak begitu tergantung

kepada injeksi insulin karena kondisi hiperglikemia yang terjadi dapat dikontrol

dengan pengaturan diet, akivitas fisik, atau dengan obat hipoglikemik (Sardesai

dalam Wiyono, 2003). ADA (American Diabetic Association) menetapkan batas

kadar glukosa darah untuk dapat dijadikan diagnosis kejadian DM yaitu > 200

mg/dl saat tidak puasa, dan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl

(Wijayakusuma dalam Wiyono, 2006).

2.3 Dampak Diabetes Melitus

2.3.1 Terjadi Komplikasi dengan Penyakit Lain

Penderita DM kronis yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami

komplikasi berbagai penyakit seperti jantung koroner, cerebrovaskuler yang

mengakibatkan stroke, gagal ginjal dan retino pati diabetik yang dapat

mengakibatkan kebutaan. Individu yang berisiko tinggi terkena penyakit ini

adalah mereka yang mempunyai berat badan berlebih (obesitas), umur di atas 40

tahun, perokok, pola makan tidak benar, dan gaya hidup santai (kurang olah raga

atau aktivitas fisik). Kadar gula darah penderita DM dapat dikendalikan dengan

melakukan pengelolaan dan pemilihan jenis pangan yang benar (Widowati, 2007).

Page 22: Ika Heri Kustanti_1003000069

9

Pencegahan DM dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu pencegahan primer,

sekunder dan tersier. Pencegahan tersier adalah usaha untuk mencegah terjadinya

komplikasi pada DM. Komplikasi akut meliputi hipoglikemia, koma ketoasidosis

diabetika, koma/keadaan hiperosmoler non ketotik dan terjadinya infeksi.

Komplikasi kronis merupakan akibat mikroangiopati maupun makroangiopati.

Komplikasi kronis akibat mikroangiopati meliputi retinopati, nefropati dan

neuropati, sedang komplikasi akibat makrongiopati berupa aterosklerosis dengan

akibat dapat terjadinya stroke, penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh

darah tepi terutama pada kaki. Pencegahan tersier terhadap komplikasi kronis

berupa pencegahan terhadap timbulnya komplikasi, pencegahan terhadap

progresivitas komplikasi dan pencegahan terhadap terjadinya cacat atau

ketidakmampuan akibat kegagalan fungsi organ (Wiyono, 2004).

Usaha terhadap timbulnya komplikasi ini antara lain pengendalian yang

ketat dari kelainan metabolik pada DM (glukosa darah, lipid) dan faktor-faktor

lain yang berpengaruh terhadap kerusakan pembuluh darah misalnya tekanan

darah, merokok dan sebagainya. Pengendalian glukosa darah yang ketat telah

dibuktikan pada penelitian Diabetes Control and Complication Trial (DCCT

dalam Wiyono, 2004) pada DM tipe 1 dimana pengendalian ketat tersebut dapat

menurunkan risiko retinopati sebesar 35 – 74%, mikroalbuminuria sebesar 35%

dan neuropati sebesar 60%. Penelitian United Kingdom Prospective Diabetes

Study (UKPDS 1998 dalam Wiyono, 2004) pada DM tipe 2 juga membuktikan

penurunan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko komplikasi mikrovaskuler 25%.

Intervensi diet bertujuan untuk mengoreksi obesitas, mengoptimalkan

pengendalian glukosa darah, mengendalikan dislipidemia, mengendalikan

hipertensi dengan mengurangi garam, dan mengendalikan nefropati dengan

mengurangi protein. Secara umum, hal itu berarti mengendalikan masukan

energi, membatasi masukan lemak sampai 30% dari total kalori (lemak jenuh

kurang dari 10%, meningkatkan masukan mono/poly unsaturated fatty acid),

mengurangi kolesterol < 300 mg/hari, mengurangi gula murni, meningkatkan

masukan karbohidrat yang tidak terlalu diproses (unrefined), meningkatkan

masukan serat yang larut (soluble) dan mengurangi konsumsi alkohol (WHO,

1994). Aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan kolesterol HDL (high

Page 23: Ika Heri Kustanti_1003000069

10

density lipoprotein) yang bersifat protektif, membantu mengurangi obesitas dan

tekanan darah dan meningkatkan sensitivitas insulin.

2.3.2 Biaya Pengobatan dan Perawatan Tinggi

Pencegahan terhadap suatu penyakit sebaiknya memenuhi beberapa alasan

(American Diabetes Association National Institute of Diabetes and Digestive and

Kidney Disesases, 2004). Pertama, penyakit tersebut merupakan masalah

kesehatan yang penting dan merupakan beban bagi masyarakat. DM adalah

penyakit seumur hidup dengan biaya yang besar terlebih jika sudah terjadi

komplikasi kronis. Kedua, perkembangan awal dan perjalanan penyakitnya harus

diketahui. DM tipe 2 biasanya selalu diawali dengan terjadinya tes toleransi

glukosa terganggu (IGT) atau glukosa puasa yang terganggu (IFG). Walaupun

faktor risiko yang lain berperan seperti riwayat DM dalam keluarga, obesitas,

hipertensi dan dislipidemia tetapi predictor yang paling kuat adalah IGT dan IFG

tersebut. Ketiga, adanya tes untuk IGT dan IFG yang sederhana, aman, mudah

dikerjakan dan prediktif. Keempat, adanya metode yang aman, efektif dan

reliable untuk dapat melakukan pencegahan tersebut. Penelitian Diabetes

Prevention Programme (Knowler, 2002) dan di Finlandia (Tuomehlito, dkk.

2001) menunjukkan hasil yang memenuhi hal tersebut. Kelima, biaya untuk

menemukan individu berisiko tinggi dan biaya intervensi bukan merupakan beban

dan sebaiknya cost-effective.

Pemerintah dan badan-badan asuransi kesehatan perlu memikirkan alokasi

dana yang cukup untuk program pencegahan DM. Jika pencegahan berjalan baik

komplikasi kronis yang memerlukan biaya sangat besar (90% dari total biaya)

dapat dicegah atau dihambat. Dengan demikian, biaya untuk komplikasi yang

sangat besar itu dapat diturunkan, sehingga biaya pengelolaan DM secara

keseluruhan diharapkan akan turun (Wiyono, 2004)

2.4 Penatalaksanaan Diet Berdasarkan Indeks Glikemik

Tujuan pengelolaan diabetes dapat dibagi atas tujuan jangka pendek dan

jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya keluhan/gejala diabetes

sehingga penderita dapat menikmati kehidupan yang sehat dan nyaman. Tujuan

Page 24: Ika Heri Kustanti_1003000069

11

jangka panjang adalah mencegah berbagai komplikasi baik pada pembuluh darah

(mikroangiopati dan makroangiopati) maupun pada susunan saraf (neuropati)

sehingga dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas. Tujuan pengelolaan

DM tersebut dapat dicapai dengan senantiasa mempertahankan kontrol metabolik

yang baik seperti dicerminkan oleh normalnya kadar glukosa darah dan lemak

darah.

Secara umum, pengelolaan diabetes dimulai dengan perencanaan makan

dan latihan jasmani yang dipertahankan sampai 4 - 8 minggu. Apabila setelah

kadar glukosa darah masih belum terkendali baik, perlu ditambahkan obat

hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam

dekompensasi metabolik misalnya ketoasidosis, stress berat, penurunan berat

badan dengan cepat, perlu segera diberikan insulin. Menurut Waspadji, (2006)

pengelolaan diabetes dikenal 4 pilar utama pengelolaan yaitu penyuluhan

(edukasi), perencanaan makan (diet), latihan jasmani, dan obat hipoglikemik.

Diet adalah penatalaksanaan yang terpenting dari penyakit DM, makanan yang

masuk harus dibagi merata sepanjang hari, ini harus konsisten dari hari ke hari.

Diet DM adalah tata laksana diet yang diberikan kepada diabetes oleh dokter yang

merawatnya dan seharusnya mengikuti 3 J, yaitu tepat jadwal, jumlah dan jenis

(Tjokroprawiro, 2004).

Pemilihan makanan dengan indeks glikemik (IG) rendah secara tidak

langsung berarti mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam. Hal ini akan

meningkatkan zat secara keseluruhan makanan yang dikonsumsi. Hasil penelitian

sejak tahun 80an bahwa kecepatan pencernaan karbohidrat dalam saluran

pencernaan berpengaruh penting pada peran karbohidrat pada kesehatan. Dengan

mengenal karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar gula darah dan respon

insulin, yaitu karbohidrat menurut indeks glikemik maka akan lebih mudah

memilih jumlah dan jenis bahan makanan yang tepat untuk meningkatkan dan

menjaga kesehatan (Rimbawan dan Siagian , 2004).

Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar gula darah

dan respons insulin dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan

jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga

kesehatan. Informasi IG bermanfaat bagi semua individu. Pangan IG rendah

Page 25: Ika Heri Kustanti_1003000069

12

akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap dan perlahan-lahan,

sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah, berarti fluktuasi peningkatan

kadar gula relatif pendek. Hal ini sangat penting bagi penderita diabetes dalam

mengendalikan kadar gula darah. Informasi IG pangan dapat membantu penderita

DM dalam memilih makanan yang tidak meningkatkan kadar gula darah secara

drastis, sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.

Pangan IG rendah membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera

makan, dan kadar gula darah (Widowati, 2007).

Kategori indeks glikemik pangan dibedakan menjadi:

a. IG rendah, rentang IG <55.

b. IG sedang, rentang IG 55 – 70.

c. IG tinggi, rentang IG > 70 (Rimbawan dan Siagian, 2004)

Daftar bahan makanan berdasarkan indeks glikemik disajikan pada Lampiran 5.

Faktor-faktor yang mempengaruhi IG pangan, antara lain :

1. Proses pengolahan dewasa ini menggunakan teknik pengolahan pangan yang

menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran dan rasa lebih enak. Proses

penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan

tersebut mudah dicerna dan diserap. Pangan yang mudah cerna dan diserap

menaikan kadar gula darah dengan cepat. Penumpukan dan penggilingan biji-

bijian memperkecil ukuran partikel sehingga mudah menyerap air. Makin

kecil ukuran partikel maka indeks glikemik pangan makin tinggi. Butiran utuh

serealia, seperti gandum menghasilkan glukosa dan insulin yang rendah.

Namun ketika biji-bijian digiling sebelum direbus, respon glokusa dan insulin

mengalami peningkatan yang bermakna (Rimbawan dan Siagian, 2004).

2. Perbandingan kadar amilosa dan amilopektin bahan makanan. Berdasarkan

mekanisme kerja enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan satu

enzim saja yaitu α-amilase. Sedangkan amilopektin memerlukan dua jenis

enzim yakni α-amilase dan α-(1-6) glukosidase karena mempunyai rantai

cabang. Selain itu berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan amilosa

sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin memerlukan waktu

lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Lehninger, 1982).

Semakin besar ukuran partikel bahan pangan, semakin sulit pati terdegradasi

Page 26: Ika Heri Kustanti_1003000069

13

oleh enzim sehingga semakin lambat pencernaan karbohidrat yang

menyebabkan IG pangan tersebut semakin rendah (Rimbawan dan Siagian,

2004).

3. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan. Pengaruh gula secara alami terdapat

didalam pangan dalam berbagai porsi dan respon gula darah sangat sulit

diprediksi. Setiap makanan yang mengandung karbohidrat akan dicerna dan

diserap dengan kecepatannya masing-masing. Kecepatan penyerapan ini

dipengaruhi oleh bentuk makanan, kandungan serat dan jenis karbohidrat yang

terkandung. Kadar gula dalam bahan makanan yang tinggi akan mempercepat

peningkatan kadar glukosa darah dalam tubuh (Rimbawan dan Siagian, 2004).

4. Kadar Serat Pangan. Pengaruh serat pada indeks glikemik pangan tergantung

pada jenis seratnya. Bila masih utuh serat dapat bertindak sebagai penghambat

fisik pada pencernaan. Akibatnya indeks glikemik cenderung lebih rendah.

Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam

saluran pencernaan. Hal ini memperlambatnya lewatnya makanan pada saluran

pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian proses

pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon glukosa darah menjadi lebih

rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Pemberian diet bagi penderita DM dapat dilakukan dalam bentuk makanan

mie basah. Mie dapat dijadikan menu pengganti nasi karena kandungan energi di

dalamnya. Mie basah subtitusi pasta talas belitung karena talas belitung

merupakan bahan pangan lokal sumber karbohidrat dengan IG rendah, sumber

serat, dan harga ekonomis. Mie basah pasta talas belitung disubtitusi dengan

tepung tempe kedelai karena tempe mampu menurunkan kadar kolesterol, tinggi

protein dan serat. Selain itu, mie juga disubtitusi tepung tapioka untuk membantu

pembentukan tekstur mie. Tepung tapioka juga termasuk bahan pangan yang

memiliki IG rendah.

2.5 Mie Basah

Mie adalah bahan pangan bentuk pipih dengan diameter 0,07 – 0,125

inchi, dibuat dari tepung terigu dengan penambahan air, telur, dan air abu melalui

proses ekstrusi basah. Mie basah adalah mie yang berkadar air 25 – 35%

Page 27: Ika Heri Kustanti_1003000069

14

(Badrudin, 1994, dalam Yustiareni, 2000). Anonymous (1992) mendefinisikan

bahwa mie basah adalah produk makanan yang terbuat dari terigu baik dengan

atau tanpa penambahan bahan baku lain, dan bahan tambahan makanan yang

diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan, serta mempunyai kadar air

maksimal 35%. Syarat mutu mie basah berdasarkan SNI 01‐2897‐1992 disajikan

pada Lampiran 1.

Mie basah atau disebut mie kuning adalah mie yang mengalami proses

perebusan/ pengukusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan dengan

kadar air yang relatif tinggi sebesar 52% (Rustandi, 2011).

2.6 Metode Pengolahan Mie

Astawan (2008) menyatakan bahwa tahap-tahap pengolahan mie mentah

meliputi :

1. Pencampuran

Pengolahan mie diawali dengan proses percampuran tepung terigu dengan

air. Adonan yang baik dapat dibuat dengan memperhatikan jumlah air yang

ditambahkan, lama pengadukan, dan suhu adonan. Air yang ditambahkan

umumnya berjumlah 28 - 38% dari berat tepung. Jika penambahan air lebih

dari 38%, adonan akan menjadi basah dan lengket. Bila penambahan air

kurang dari 28% menyebabkan adonan menjadi keras, rapuh dan sulit untuk

dibentuk menjadi lembaran.

2. Pengadukan

Tepung terigu, tepung tapioka dan bahan tambahan lainnya dicampur dan

diaduk dalam mixer berkapasitas 125 kg selama 2 menit. Selanjutnya,

ditambahkan larutan pengembang dan larutan telur untuk jenis mie kering

tertentu. Adonan ini dicampur hingga matang yang dicirikan dengan struktur

kompak, penampakan mengkilat, halus, elastis, tidak lengket, dan tidak mudah

terberai, lunak serta lembut.

3. Pengepresan

Adonan yang telah tercampur dijatuhkan dari bak penampungan (feeder)

masuk kedalam mesin roll press yang akan mengubah adonan menjadi

lempengan-lempengan. Saat pengepresan, gluten ditarik keatu arah sehingga

Page 28: Ika Heri Kustanti_1003000069

15

seratnya menjadi sejajar. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya kehalusan

dan elastisitas mie. Tujuan tersebut dicapai dengan jalan melewatkan adonan

berulang-ulang diantara dua rol logam. Jarak antara rol dapat diatur untuk

mendapatkan ketebalan lembaran yang diinginkan.

4. Penyisiran (Slitting)

Lembaran tipis selanjutnya masuk ke mesin pencetak mie (Stiller) yang

berfungsi mengubah lembaran mie menjadi untaian mie yang bergelombang.

Kerapatan gelombang ini dapat ditentukan dengan mengatur kecepatan net

stiller atau net steam.

5. Pengukusan (Steaming)

Proses selanjutnya setelah pencetakan adalah pemasakan mie dengan

pemanasan. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi pati dan koagulasi

gluten. Proses gelatinisasi ini dapat menyebabkan :

- Pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi

penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mie

- Meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie

2.7 Bahan-bahan Pengolahan Mie

2.7.1 Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu

diperoleh dari gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu

diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan

mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan

dan pemasakan. Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar

air 14%, kadar protein 8 - 12%, kadar abu 0,025 - 0,60% dan glutein basah 24 -

36% (Astawan, 2008). Komposisi tepung terigu disajikan pada Tabel 2. 2.

Tepung terigu merupakan produk serealia dari gandum yang mengandung

protein. Protein merupakan komponen yang tertinggi bila dibandingkan dengan

komponen yang lain pada gandum. Gandum keras yang ditanam di musim dingin

mengandung 14% protein (Kent, 1975). Bila ingin mendapatkan mutu mie yang

lebih baik dapat menggunakan terigu jenis hard flour dengan kadar gluten yang

lebih tinggi. Namun, harga mie yang dihasilkan akan mejadi lebih mahal

Page 29: Ika Heri Kustanti_1003000069

16

(Widyaningsih dan Murtini, 2006). Lebih lanjut, Astawan (2008) menjelaskan

bahwa berdasarkan kandungan glutein (protein), tepung terigu yang beredar

dipasaran dapat dibedakan atas 3 macam yaitu:

Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12 -

13%. Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mie

berkualitas tinggi. Contohnya, terigu dengan merk dagang Cakra Kembar.

Medium hard flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 9,5 - 11%.

Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mie dan macam-macam

kue, serta biskuit. Contohnya terigu dengan merk dagang segitiga biru.

Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7 - 8,5%. Penggunaannya

cocok sebagai bahan pembuatan kue dan biscuit. Contohnya terigu dengan

merk dagang kunci biru.

Tabel 2. 2 Komposisi Tepung Terigu/100 g Bahan

Komposisi Jumlah

Energi (Kalori)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Serat (g)

333

9

1

77,3

0,3

Sumber: Mahmud (2004)

Jenis tepung terigu yang umumnya digunakan dalam pengolahan mie

terdiri dari campuran dua jenis terigu hard flour dan medium hard flour.

Pencampuran kedua jenis tepung tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan

konsentrasi protein yang dikehendaki sehingga akan menghasilkan tekstur,

konsistensi dan rasa yang khas dari produk yang bersangkutan (Astawan, 2008).

Tingginya nilai impor tepung terigu dimana terigu merupakan bahan

utama dalam pembuatan mie, diperlukan penelitian untuk mencari bahan

pengganti tepung terigu tersebut. Salah satu alternatif adalah pembuatan mie

basah adalah dengan pemanfaatan bahan pangan lokal tinggi karbohidrat yaitu

subtitusi talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung tapioka Selain untuk

mengurangi pengeluaran negara juga dapat digunakan sebagai menu diet penderita

DM sehingga mengurangi biaya pengobatan dan menurunkan angka kematian

akibat komplikasi.

Page 30: Ika Heri Kustanti_1003000069

17

2.7.2 Talas Belitung

Talas Belitung (Xanthosoma sagitifolium) adalah nama yang diberikan

masyarakat Bogor pada umbi kimpul. Nama lain tanaman ini berbeda untuk

masing-masing daerah. Misal “mbothe” atau kimpul di Jawa Tengah dan Jawa

Timur sedangkan di Banyumas umbi ini dikenal dengan nama busil. Diluar jawa

talas belitung disebut tannia, yautia, new cocoyam, taro dan lain- lain. Orang

sering mencampur adukkan kimpul (Xanthosoma sp.) dengan talas (Colocasia

esulenta), yang keduanya dalam bahasa Sunda disebut taleus. Xanthosoma sp.

dapat dibedakan dengan C. esulenta dari bentuk umbi, bentuk daun dan letak

tangkai daunnya.

Menurut data dari Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami Solok, di

Sumatera Barat terdapat 60 varietas lokal talas yang banyak tersebar di beberapa

daerah dengan nama yang berbeda-beda. Jenis talas yang banyak ditemui di pasar

tradisional Sumatera Barat adalah talas kimpul atau bondang dengan nama ilmiah

(Xanthosoma sagittifolium) atau disebut juga talas belitung, busil, bote

(Anonimous, 2010), disamping itu juga ada talas batang ungu dan talas batang

hijau.

Umbi talas belitung seringkali menimbulkan gatal terutama pada umbi

induknya. Gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit tersebut disebabkan

adanya kristal kecil berbentuk jarum halus yang tersusun dari kalsium oksalat

yang disebut raphides. Metode fisik yang paling umum dilakukan untuk

mengurangi atau menghilangkan rasa gatal akibat kandungan kalsium oksalat

adalah dengan pemanasan. Kalsium oksalat bersifat labil terhadap panas.

Pemanasan dilakukan melalui perebusan dan pengukusan (Muchtadi dan

Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004).

Perlakuan tertentu yang didasarkan kepada sifat kimiawi kalsium oksalat

juga dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan kristal kalsium oksalat dalam

talas belitung. Perlakuan tersebut adalah dengan melarutkan kalsium oksalat

dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat

(Schumm, 1978 dalam Ridal, 2003). Asam kuat yang digunakan dalam perlakuan

adalah asam cuka sehingga sebelum pengolahan, talas belitung direndam dengan

asam cuka sebanyak 1 sendok makan/ liter air selama 30 menit. Komposisi kimia

Page 31: Ika Heri Kustanti_1003000069

18

umbi talas belitung bergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah dan umur

panen. Komposisi kimia umbi talas belitung disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2. 3 Komposisi Kimia Umbi Talas Belitung/100 g Bahan

Komposisi Kimia Talas Belitung Kukus

Air (%) 63.1

Protein (%) 1.2

Lemak (%) 0.4

Karbohidrat (%) 34.2

Serat (%) 1.0

Abu (%) 1.1

Vitamin C ( mg) 1.0

Kalsium (mg) 21

Fe (mg) 0.9

Sumber : Mahmud (2004)

2.7.2.1 Bahan Tambahan Pengolahan Pasta Talas Belitung

Sodium Tripoliphosfat (STPP)

Sodium Tripoliphosfat (Na4P3O10) digunakan sebagai bahan pengikat air,

agar air dalam adonan tidak menguap, sehingga adonan tidak mengalami

pengerasan atau kekeringan di permukaan sebelum proses pembentukan adonan.

Sodium Tripoliphosfat merupakan bentuk polimer rantai lurus panjang. Beberapa

fungsi umum dari bentuk fosfat dalam makanan adalah bereaksi kimia secara

langsung dengan bahan makanan, penstabil PH, pendispersi bahan makanan,

penstabil emulsi, meningkatkan daya ikatan air dan hidrasi, menurunkan PH,

pencegahan pengerasan dan pengawetan makanan (Ellinger, 1972 dalam Harahap,

2009). Penggunaan STTP dalam pengolahan pasta talas belitung bertujuan untuk

membentuk tekstur pasta yang liat tidak terlalu lembek. Pemberian STTP sebesar

0.02% dari berat talas belitung kukus menghasilkan tekstur pasta yang lebih liat

(sebagai bahan pengisi).

2.7.3 Tepung Tempe Kedelai

Mie basah disubtitusi dengan tepung tempe karena dalam rangka mencapai

standart SNI mie basah tentang kandungan protein. Mie basah pasta talas belitung

akan memiliki kadar protein yang lebih rendah akibat penurunan proporsi tepung

terigu sehingga untuk menanggulangi hal tersebut disubtitusi tepung tempe

Page 32: Ika Heri Kustanti_1003000069

19

kedelai. Kandungan gizi tempe yang cukup tinggi diharapkan mampu

meningkatkan nilai gizi mie basah pasta talas belitung sebagaimana disajikan pada

Tabel 2.4. Tempe mengandung beberapa jenis kapang yang bermanfaat bagi

tubuh. Sebagaimana dijelaskan Koswara (1995) bahwa jenis kapang yang terlibat

dalam fermentasi tempe tidak memproduksi racun (toxin), namun sebaliknya

mampu melindungi tempe terhadap racun aflatoksin dari kapang yang

memproduksinya. Lebih lanjut, Syarief (1998) menambahkan proses fermentasi

tempe mampu meningkatkan aktifitas dan jumlah enzim superoksida dismutase,

salah satu enzim antioksidan yang dipergunakan untuk menjaga tubuh dari

serangan radikal oksigen bebas yang tidak terkendali yaitu penyakit kanker.

Tabel 2.4 Komposisi Kimia Tepung Tempe Kedelai/100 g Bahan

Komposisi Kimia Tepung Tempe Kedelai

Protein (%) 48

Karbohidrat (%) 13.5

Lemak (%) 24.7

Abu (%) 2.3

Sumber : Mardiah (1994)

Tempe juga mengandung vitamin B12 yang sangat tinggi dan diperlukan

oleh mereka yang menu sehari-harinya terdiri dari bahan makanan nabati

(Koswara, 1998). Vitamin B12 diperlukan dalam pembentukan butir-butir darah

merah dan bila dikonsumsi sebanyak 100 g/hari jumlahnya lebih dari cukup sesuai

yang dianjurkan oleh FAO (3 mcg/orang dewasa), sehingga dapat mencegah

penyakit anemia. Tempe kedelai memiliki serat kasar yang merupakan

karbohidrat atau polisakarida sebanyak 7,2 g/100 g bahan yang tidak dapat

dicerna oleh tubuh. Walaupun serat kasar tidak memberi nilai gizi yang tidak

berarti bagi tubuh tetapi berperan sangat penting bagi kesehatan pencernaan.

(Sarwono, 2003).

Tempe mempunyai daya hipokolesterolemik yaitu kemampuan untuk

menurunkan kadar kolesterol sehingga dapat mencegah penyakit degeneratif

seperti jantung koroner, stroke dan kanker (Suprapti, 2003). Menurut Syarief

(1999), efek hipokolesterolemik tempe atau potensi tempe dalam menurunkan

kadar kolesterol telah teruji baik yaitu dengan mengkonsumsi tempe sebanyak 200

gram setiap hari dapat mencegah peningkatan kadar kolesterol. Namun tempe

yang dikonsumsi tersebut tidak diolah dengan digoreng karena kolesterol dalam

Page 33: Ika Heri Kustanti_1003000069

20

makanan juga dapat disintesa didalam tubuh dari asam lemak jenuh yang terdapat

pada makanan yang digoreng. Pemanfaatan tempe secara optimal dan agar tempe

semakin digemari oleh masyarakat adalah dengan diversifikasi produk tempe yang

memiliki variasi pada warna, bentuk, aroma dan rasa. Diversifikasi tempe dalam

bentuk tepung tempe menjadikan tempe lebih fleksibel dalam penggunaannya dan

lebih lama masa simpannya. Salah satu fleksibilitas tepung tempe yaitu dapat

digunakan sebagai bahan kering dalam pembuatan mie basah.

2.7.4 Tepung Tapioka

Penggunaan tapioka sebagai bahan substitusi tepung terigu digunakan

sebagai salah satu alternatif penganekaragaman pangan dan usaha untuk menekan

ongkos produksi. Tepung tapioka memiliki sifat sebagai bahan pengikat sehingga

digunakan sebagai bahan subtitusi mie basah. Tapioka mengandung 17% amilosa

dan 73 % amilopektin (Belitz dan Grosch, 1999). Perbandingan amilosa dan

amilopektin yang terdapat pada tepung dapat mempengaruhi sifat tepung.

Semakin rendah kadar amilosa maka semakin tinggi kadar amilopektin. Jika

kadar amilosa rendah maka pati akan semakin kental dan lekat demikian

sebaliknya (Winarno, 2004). Berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan

amilosa sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin memerlukan

waktu lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Lehninger, 1982).

Semakin besar ukuran partikel bahan pangan, semakin sulit pati terdegradasi oleh

enzim sehingga semakin lambat pencernaan karbohidrat yang menyebabkan IG

pangan tersebut semakin rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstrak ubi kayu melalui

proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan pati dan pengeringan.

Pati terdiri dari dua komponen yang dapat dipisahkan yaitu amilosa dan

amilopketin. Kedua jenis pati ini mudah dibedakan berdasarkan reaksinya

terhadap iodium, yaitu amilosa berwarna biru dan amilopektin berwarna

kemerahan. Kadar pati pada ubi kayu yaitu 65,5-74,1% (Astawan, 2008).

Page 34: Ika Heri Kustanti_1003000069

21

2.7.5 Telur

Penambahan telur pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan mutu

protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak muda terputus-

putus. Putih telur berfungsi untuk mencegah kekeruhan mie waktu pemasakan.

Penggunaan putih telur harus secukupnya saja karena pemakaian yang berlebihan

akan menurunkan kemampuan menyerap air (daya dehidrasi) waktu direbus.

Kuning telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur mengandung

lesitin. Selain sebagai pengemulsi, lesitin juga dapat mempercepat hidrasi air

pada tepung dan untuk mengembangkan adonan. Penambahan kuning telur juga

akan memberikan warna yang seragam (Astawan, 2008).

Penambahan telur pada pengolahan mie basah akan menghasilkan produk

akhir mie dengan tekstur elastisitas maksimal dan warna kuning seragam namun

penggunaan air harus dikurangi karena kadar air telur cukup tinggi sebesar 74%

(Mahmud, 2004). Pengurangan penggunaan air bertujuan untuk menghasilkan

adonan yang kalis dan tidak lembek sehingga dapat dicetak (Wirdayanti, 2012 ).

2.7.6 Bahan Tambahan (Food Addictive) dalam Pengolahan Mie

Garam

Garam dapur selain untuk memberi rasa, juga memperkuat tekstur mie,

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie, serta untuk mengikat air. Garam

dapur akan menghambat aktivitas enzim amylase sehingga mie tidak bersifat

lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2008). Selain itu,

garam berfungsi untuk meningkatkan temperatur gelatinisasi pati. Garam

berpengaruh pada aktivitas air (aw) selama gelatinisasi yaitu menurunkan aw

untuk gelatinisasi. Garam digunakan untuk memberi rasa gurih dan meningkatkan

pengikatan gluten dimana sebagai bahan pemadat (pengeras) sehingga

meningkatkan elastisitas. Apabila adonan tidak memakai garam, adonan tersebut

akan menjadi agak basah. Garam memperbaiki butiran dan susunan pati menjadi

lebih kuat serta secara tidak langsung membantu pembentukan warna (Rustandi,

2011). Penggunaan garam 1 - 2% akan meningkatkan kekuatan lembaran adonan

dan mengurangi kelengketan. Pengolahan mie di Jepang pada umumnya

menambahkan garam sebesar 2 - 3% ke dalam adonan. Jumlah ini merupakan

Page 35: Ika Heri Kustanti_1003000069

22

kontrol terhadap α-amilase jika aktivitas rendah (Widyaningsih dan Murtini,

2006).

Air

Air berfungsi sebagai media rekasi antara gluten dengan karbohidrat,

larutan garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya

memiliki pH 6 - 9. Makin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah

patah karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air

yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan sebagai air minum,

diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2008).

Kegunaan air pada pengolahan mie adalah untuk media reaksi antara

glutein dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat kenyal dari

glutein (Soenaryo, 1985). Jumlah air yang ditambahkan pada pengolahan mie

basah sebesar 28 - 38% dari berat tepung terigu. Jika lebih dari 38% adonan akan

menjadi sangat lengket dan jika kurang 28% adonan akan menjadi sangat rapuh

sehingga sulit dicetak (Rustandi, 2011).

2.8 Mutu Kimia

2.8.1 Karbohidrat

Karbohidrat memegang peran penting dalam kehidupan, karena

merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang mempunyai harga

relatif lebih murah (Kartasapoetra, 2005). Sumber karbohidrat adalah serealia,

umbi-umbian, kacang-kacangan kering dan gula (Almatsier, 2004). Karbohidrat

yang terdapat dalam makanan pada umumnya hanya tiga jenis yaitu

monosakarida, disakarida, dan polisakarida (Sediaoetama, 1985). Untuk

memelihara kesehatan, WHO (1990) menganjurkan agar 55 - 75% konsumsi

energi total berasal dari karbohidrat kompleks dan paling banyak hanya 10%

berasal dari gula sederhana (Almatsier, 2004).

Karbohidrat mempunyai banyak fungsi bagi tubuh. Adapun fungsi utama

karbohidrat menurut Winarno (2004) yaitu sumber energi dimana satu gram

karbohidrat setara dengan 4 Kalori. Paradigma baru tentang indeks glikemik

bahan makanan membuat masyarakat harus memilih mana makanan yang mampu

Page 36: Ika Heri Kustanti_1003000069

23

meningkatkan indeks glikemik secara cepat maupun makanan dengan jenis

karbohidrat yang lambat diserap oleh usus. Pengenalan karbohidrat berdasarkan

efek terhadap kadar gula darah dan respon insulin (berdasarkan IG-nya) berguna

sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat

yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Dengan mengetahui IG

pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak meningkatkan kadar

gula darah secara drastis sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat

yang aman. Makanan yang memiliki IG rendah membantu orang untuk

mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar gula darah (Rimbawan dan

Siagian, 2004). Mie basah subtitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung

tempe kedelai merupakan produk makanan sumber karbohidrat yang berbahan

pangan lokal dengan IG rendah sehingga mampu mengendalikan kadar glukosa

darah khususnya bagi penderita DM.

2.8.2 Protein

Protein dalam tubuh manusia, terutama dalam sel jaringan bertindak

sebagai bahan membran sel. Disamping itu protein dapat bekerja sebagai enzim,

bertindak sebagai plasma (albumin), dan bertindak sebagai membran sel yang

bergerak (protein otot) (Winarno, 2004). Menurut Soediatama (1985), protein

mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh mutu kimia lain, yaitu

membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan-jaringan tubuh, selain itu

protein mempunyai fungsi yang penting bagi tubuh kita antara lain pertumbuhan

dan pemeliharaan, mengatur keseimbangan air, pembentukan antibodi, dan

mengangkut zat- zat sumber energi.

Kekurangan protein dalam waktu lama dapat mengganggu berbagai proses

dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit (Kartasapoetra,

2005). Berdasarkan SNI 01‐2897‐1992 tentang syarat mutu kadar protein dalam

mie basah adalah min 8% b/b dimana protein tersebut dihitung atas dasar bahan

kering. Bahan baku dalam pembuatan mie pada umumnya menggunakan tepung

terigu dengan protein tinggi (11- 13%) sehingga kadar proteinnya juga tinggi.

Tepung terigu banyak mengandung gluten yang terdiri atas gliadin dan glutenin.

Page 37: Ika Heri Kustanti_1003000069

24

Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein tepung terigu sehingga

mempengaruhi kadar protein dan elastisitas pada mie basah (Astawan, 2008).

Pengolahan mie basah menggunakan subtitusi tepung tempe kedelai selain

untuk meningkatkan kadar protein dalam mie basah juga sebagai penganeka

ragaman menu bagi penderita DM. Bhathena (2002), menjelaskan bahwa protein

pada tempe kedelai tinggi kandungan arginin dan glisin, yang terkait sekresi

insulin dan glukagon dari pankreas. Pemberian asam amino arginin dan glisin

saat terjadi peningkatan kadar glukosa darah, menyebabkan sekresi insulin yang

diinduksi oleh glukosa meningkat 2 kali lipat sehingga memperkuat rangsangan

glukosa terhadap sekresi insulin, kemudian insulin akan meningkatkan transpor

glukosa ke dalam hati, otot, dan sel-sel lain sehingga kadar glukosa darah kembali

normal. Sedangkan peran arginin pada sekresi glukagon yaitu glukagon memacu

konversi cepat asam amino menjadi glukosa sehingga banyak glukosa yang

tersedia di jaringan. Namun, respon glukagon dan insulin tidak bertentangan satu

sama lain. Protein kedelai mempunyai efek positif bagi tubuh. Selain itu, protein

kedelai juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada DM tipe 2 (Anderson,

2006 dalam Rahadiyanti, 2011).

2.8.3 Lemak

Lemak merupakan mutu kimia yang penting untuk menjaga kesehatan

tubuh manusia (Kartasapoetra, 2005). Lemak berfungsi sebagai penyedia energi

kedua setelah karbohidrat, oksidasi lemak akan berlangsung jika ketersediaan

karbohidrat telah menipis akibat konsumsi karbohidrat yang rendah (Almatsier,

2004). Walaupun energi yang dihasilkan dari oksidasi satu molekul lemak lebih

tinggi (9 Kalori) dari energi hasil oksidasi karbohidrat, lemak disebut sebagai

sumber energi kedua setelah karbohidrat.

Lemak juga berfungsi sebagai pembentuk struktur tubuh karena

menunjang letak organ tubuh. Organ penting seperti jantung, hati, paru-paru, dan

ginjal diselubungi oleh lapisan lemak agar tertahan di tempatnya dan terlindungi

dari bahaya benturan (Winarno, 2004). Lemak dalam pangan memberi kepuasan

cita rasa, menimbulkan rasa dan keharuman pada makanan, sebagai agen

pengemulsi, seperti lesitin, selain itu lemak pangan merupakan sumber penyedia

Page 38: Ika Heri Kustanti_1003000069

25

asam lemak esensial yang penting bagi tubuh, yaitu asam linoleat dan asam

linolenat (Soediatama, 1985).

Penyakit diabetes mellitus dapat menyebabkan peningkatan lipid plasma.

Widyastuti (2001) mengatakan bahwa peningkatan lipid pada penderita diabetes

disebabkan karena defisiensi insulin. Insulin meningkatkan aktivitas lipoprotein

lipase di permukaan sel endotel dalam mengkatalisa perombakan trigliserida dari

kilomikron dan defisiensi insulin akan menurunkan enzim ini. Lipid plasma

terdiri atas kolesterol, phosfolipid dan free fatty acid. Dzulkarnaen (1999)

menambahkan, bahwa 2 komponen penting dari kolesterol adalah LDL (Low

Density Lipoprotein) yang disebut pula kolesterol jahat dan HDL (Hight Density

Lipoprotein) yang disebut kolesterol baik.

Kadar lemak yang berasal dari bahan subtitusi tempe memberikan manfaat

bagi tubuh. Asam linoleat merupakan asam lemak utama pada tempe, secara

spesifik bersifat meningkatkan HDL dan menurunkan LDL. Jika konsumsi energi

dari SAFA diganti oleh asam linoleat, maka secara bermakna akan menurunkan

kolesterol darah sehingga tidak terjadi hiperlipidemia akibat heperglikemik

(Mann, 2007). Selain itu, Lemak akan meningkatkan nilai energi dan cita rasa

pada mie basah. Menurut (Sunoko, 2008 dalam Hermianti, 2011), semakin tinggi

kadar lemak pada mie akan meningkatkan jumlah air dan akan mempercepat

proses oksidasi serta tumbuhnya mikroorganisme sehingga umur produk menjadi

pendek. Maksimal jumlah lemak dalam mie berkisar 15- 20%.

2.8.4 Serat

Serat didefinisikan sebagai bagian dari komponen bahan pangan nabati

yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan manusia (Winarno, 2004). Serat

dalam makanan digolongkan menjadi dua golongan yaitu :

1. Serat yang larut atau SDF (Soluble Dietary Fiber) adalah serat makanan yang

dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendap oleh air yang telah

dicampur dengan empat bagian etanol seperti gum, pektin, dan sebagian

hemiselulosa larut yang terdapat dalam dinding sel tanaman merupakan sumber

serat makanan.

Page 39: Ika Heri Kustanti_1003000069

26

2. Serat yang tidak larut atau IDF (Insoluble Dietary Fiber) adalah serat makanan

yang tidak larut dalam air panas maupun dingin. Sumber IDF yaitu selulosa,

lignin dan sebagian besar hemiselulosa, sejumlah kecil kutin, lilin yang

terdapat hampir di semua jenis bahan pangan nabati khususnya buah dan

sayuran.

Serat yang tidak larut seperti selulosa dan hemiselulosa baik untuk

kesehatan usus, memperlancar keluarnya feses, mencegah wasir, dan mengontrol

berat badan. Sedangkan serat larut seperti pektin, gum, dan agar-agar baik untuk

menurunkan kadar kolesterol dan gula darah sehingga lebih tepat untuk kesehatan

jantung dan mengurangi resiko diabetes (Kartasapoetra, 2005). Makanan berserat

merupakan makanan yang liat, sukar dicerna dan memberikan isi sehingga untuk

mencerna perlu waktu lebih lama karena makanan berserat tinggal lebih lama di

dalam lambung. Selain itu, serat banyak terdapat pada kacang- kacangan seperti

kacang kedelai beserta produk olahannya seperti tempe memiliki pengaruh yang

besar terhadap penyerapan karbohidrat. Dalam penanganan diabetes mellitus,

serat kasar memiliki sifat memperlambat penyerapan karbohidrat sehingga

mampu mengontrol peningkatan kadar glukosa darah (E. Mary. 1993). Serat larut

memiliki kemampuan memperlambat penyerapan glukosa sehingga menunda dan

mengurangi kenaikan kadar glukosa darah sedangkan serat tidak larut mengurangi

proses glukoneogenesis yang berpengaruh terhadap peningkatan sekresi insulin

sehingga dapat mengurangi kenaikan kadar glukosa (Meyes, 2003).

2.8.5 Kadar Air

Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan

fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Kadar air mie basah

dapat mencapai 52% sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada

suhu kamar, mie basah hanya bertahan 10 – 12 jam karena mie akan berbau asam

dan berlendir/ basi (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Salah satu upaya untuk

menjaga keawetan mie tersebut, biasanya ditambahkan bahan pengawet (kalsium

propinat) untuk mencegah mie berlendir dan jamuran (Koswara, 2005). Air

merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat

mempengaruhi kenampakan, tekstur, serta cita rasa makanan (Winarno,1991).

Page 40: Ika Heri Kustanti_1003000069

27

Prinsip penentuan kadar air dengan metode thermogravimetri adalah

dengan menguapkan air menggunakan oven sebagai media pemanasnya, sehingga

panas yang dihasilkan dari oven dapat menguapkan air dalam bahan dan bahan

menjadi kering. Inglett (1974) dalam Lestari (2008) menyatakan bahwa tepung

terigu mengandung gluten yang tinggi sehingga membentuk adonan yang kompak

dengan bahan lain dan dapat mengikat air lebih banyak dan sebaliknya. Oleh

karena itu, dengan berkurangnya penggunaan tepung terigu dan semakin

banyaknya bahan subtitusi lain, maka air yang diikat oleh gluten akan semakin

sedikit sehingga akan menurunkan kadar air mie basah yang dihasilkan.

Berdasarkan persyaratan SNI 01‐2897‐1992 tentang kadar air mie basah harus

memenuhi 20 – 35% b/b.

2.8.6 Kadar Abu

Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi

komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan

menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut (Faridah et al.,

2008). Kadar abu pada produk pangan menunjukkan tingkat kebersihan produk yang

dapat berasal dari bahan baku, proses pembuatan, pengemasan maupun

penyimpanan. Kadar abu berasal dari unsur mineral dan komposisi kimia yang

tidak teruapkan selama proses pengabuan. Kadar abu menunjukkan jumlah

mineral yang terkandung dalam bahan, biasanya ditentukan dengan cara

pengabuan atau pembakaran (Pangloli dan Royaningsih, 1998). Kadar abu produk

mie basah harus memenuhi persyaratan SNI 01‐2897‐1992 yaitu mengandung

maksimal 3% b/b.

2.8.7 Gula Reduksi

Glukosa dalam tubuh berfungsi sebagai sumber energi. Glukosa dalam

darah berasal dari penyerapan usus dari makanan yang mengandung zat tepung/

karbohidrat seperti nasi, ubi, jagung, kentang dan lain- lain. Kadar glukosa dalam

darah dapat melonjak atau berlebihan/ hiperglikemik. Keadaan ini akan memicu

munculnya DM yang merupakan suatu kelainan yang terjadi karena tubuh

kekurangan atau kerusakan hormon insulin sehingga glukosa tetap beredar dalam

Page 41: Ika Heri Kustanti_1003000069

28

darah dan sukar menembus dinding sel (Sunita, 2004). Metode pemeriksaan

kadar glukosa darah seperti metode kimia/ gula reduksi adalah proses kondensasi

dengan akromatik amin dan asam asetat glacial pada suasana panas sehingga

terbentuk senyawa berwarna hijau yang kemudian diukur secara fotometris.

Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi

karena mengandung gugus aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang termasuk

gula reduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan galaktosa.

Gula reduksi digunakan sebagai indikator seberapa besar gula sederhana dalam

bahan pangan yang mampu diserap oleh tubuh (E. Mary, 1993).

2.9 Mutu Fisik

2.9.1 Elastisitas

Elastisitas adalah persentase dari perpanjangan dibandingkan dengan

panjang semula. Elastisitas dipengaruhi oleh bahan penyusun mie yaitu gluten.

Gluten membuat adonan menjadi kenyal dan dapat mengembang karena mampu

mengikat udara (Rustandi, 2011). Keistimewaan terigu diantara serelia lainnya

adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan mie menyebabkan mie

yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan

(Astawan, 2008).

2.9.2 Daya Putus

Daya putus merupakan besarnya gaya tiap satuan luas penampang bahan

yang dibutuhkan untuk memutuskan suatu produk (Yuwono 1998 dalam Rustandi,

2011). Bentuk khas mie yaitu pilinan panjang yang dapat mengembang sampai

batas tertentu dan lenting serta kalau direbus tidak banyak padatan yang hilang.

Semua ini termasuk sifat fisik mie yang menentukan penerimaan konsumen

(Setianingrum dan Marsono, 1999). Parameter daya putus sangat penting dalam

beberapa produk setengah basah seperti dodol, leather, mie basah dan lain- lain

(Yowono dan Tri, 2001)

Page 42: Ika Heri Kustanti_1003000069

29

2.10 Mutu organoleptik

Penilaian kualitas makanan secara organoleptik atau sensoris zat makanan

dengan menggunakan panca indra yang dimaksudkan adalah indra penglihatan,

penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran. Keadaan makanan yang dinilai dari

segi efek rangsangan makanan terhadap panca indra dapat terbentuk warna,

aroma, rasa, dan tekstur (Soekarto, 1985). Mutu organoleptik mie basah yaitu :

1. Warna adalah salah satu parameter mutu organoleptik yang menunjukkan

terjadinya perubahan/degradasi mutu kimia dengan cara penglihatan yang

terdapat pada mie basah. Warna produk pangan sangat menentukan

penerimaan atau penolakan konsumen terhadap produk tersebut. Menurut

Winarno (2004), penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat

bergantung pada beberapa faktor diantaranya citarasa, warna, tekstur, dan nilai

gizinya. Setianingrum dan Marsono (1999), menjelaskan bahwa mie yang

disukai masyarakat Indonesia adalah mie dengan warna kuning, bentuk khas

mie yaitu berupa pilinan panjang yang dapat mengembang sampai batas

tertentu dan lenting serta kalau direbus tidak banyak padatan yang hilang.

Semua ini termasuk sifat fisik mie yang sangat menentukan terhadap

penerimaan konsumen. Di Cina, mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak

dan ditambahkan Kan-sui. Kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh

garam natrium dan kalium karbonat. Larutan ini digunakan untuk

menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini

membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan mie yang kuat dengan

warna kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen

flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan alkali (Hoseney, 1994 dalam

Wiyono, 2004).

2. Aroma adalah salah satu parameter mutu organoleptik yang dapat diukur

dengan cara subyektif yaitu dengan penciuman yang terdapat pada mie basah.

Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh

syaraf-syaraf olfaktori yang berada dalam rongga hidung ketika makanan

masuk kedalam mulut (Winarno, 2004). Mie basah berdasarkan SNI

01‐2897‐1992 tentang syarat mutu aroma mie basah adalah normal. Aroma

Page 43: Ika Heri Kustanti_1003000069

30

mie yang tidak disukai adalah berbau tepung mentah atau berbau apek

(Rustandi, 2011).

3. Rasa adalah salah satu parameter mutu organoleptik yang dapat diukur dengan

cara subyektif yaitu dengan merasakan produk mie basah. rasa merupakan

faktor yang penting dalam memutuskan bagi konsumen untuk menerima atau

menolak suatu makanan. Meskipun parameter lain nilainya baik, jika rasa

tidak enak atau tidak disukai, maka produk akan ditolak Soekarto (1985). Mie

basah berdasarkan SNI 01‐2897‐1992 tentang syarat mutu rasa mie basah

adalah normal. Rasa yang tidak disukai adalah berasa adonan mentah, tepung

dan berasa alkali/ bersabun (Rustandi, 2011).

4. Tekstur adalah salah satu standar zat mie basah yang dinilai selain warna,

aroma dan rasa. Menurut Astawan (2008), tepung terigu memiliki kemampuan

untuk membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis

gluten pada adonan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses

pencetakan dan pemasakan mie. Anonim (2006) menjelaskan bahwa subtitusi/

campuran tepung lain pada produk mie yang semakin tinggi menyebabkan mie

akan mudah patah karena kandungan gluten menurun. Tekstur mie yang

disukai adalah kenyal dan sedikit keras tetapi mempunyai gigitan yang empuk

serta permukaan yang halus (Rustandi, 2011).

Page 44: Ika Heri Kustanti_1003000069

31

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel yang Diteliti

: Variabel yang Tidak Diteliti

Faktor

Genetik

Pengaturan pola makan antara lain konsumsi

bahan pangan dengan indeks glikemik

rendah

Angka perawatan dan

pengobatan meningkat

Masalah fisik ( timbulnya

komplikasi) dan tingginya angka

kematian

Prevalensi penderita Diabetes

mellitus meningkat 20%

(Dinas Kesehatan Kabupaten

Jombang, 2011)

Penyediaan bahan pangan lokal berupa talas

belitung dalam bentuk mie basah

Mutu Kimia

Subtitusi tepung tempe kedelai dan tepung

tapioka

Nilai Energi

Warna

Rasa

Aroma

Tekstur

Karbohidrat

Protein

Lemak

Serat kasar

Kadar air

Kadar abu

Gula reduksi

Organoleptik

Pola Makan

yang salah

Mutu Mie Basah

Mutu Fisik

Elastisitas

Daya Putus

Page 45: Ika Heri Kustanti_1003000069

32

3.2 Hipotesis Penelitian

a. Ada pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung

tapioka terhadap nilai energi mie basah.

b. Ada pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung

tapioka terhadap mutu kimia mie basah.

c. Ada pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung

tapioka terhadap mutu fisik mie basah.

d. Ada pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung

tapioka terhadap mutu organoleptik mie basah.

Page 46: Ika Heri Kustanti_1003000069

33

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimen laboratorium

dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 4 taraf

perlakuan, yaitu proporsi tepung terigu : pasta talas belitung : tepung tempe

kedelai : tepung tapioka dengan kadar protein mie basah berdasarkan SNI 01-

2897-1992 (Lampiran 1) sebagai penetapan proporsi yaitu minimal 8 gram per

100 gram. Membandingkan kadar serat kasar mie basah sebagai perlakuan

dengan mie basah sebagai kontrol. Masing-masing taraf perlakuan dilakukan 3

kali pengulangan (Yitnosumarto, 1993). Rancangan Penelitian disajikan pada

Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Rancangan Acak Lengkap

Taraf Perlakuan

Proporsi (%)

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung

Tempe Kedelai : Tepung Tapioka)

Pengulangan

1 2 3

P0 (100 : 0 : 0 : 0) X01 X02 X03

P1 (50 : 30 :15 : 5) X11 X12 X13

P2 (40 : 35 : 15 : 10) X21 X22 X23

P3 (35 : 40 : 10 : 15) X31 X32 X33 Keterangan :

X01 : unit penelitian pada taraf perlakuan P0 replikasi 1

X11 : unit penelitian pada taraf perlakuan P1 replikasi 1

….

X33 : unit penelitian pada taraf perlakuan P3 replikasi 3

Penempatan unit penelitian digunakan randomisasi atau pengacakan

dengan langkah- langkah yang terdapat pada Lampiran 2. Selanjutnya lay out

penelitian disajikan pada Gambar 4.2.

1

X01

2

X03

3

X21

4

X13

5

X32

6

X33

7

X11

8

X22

9

X02

10

X31

11

X12

12

X23 Keterangan:

1 - 12 : Nomor Urut (Penempatan Unit Penelitian setelah Randomisasi)

X01 - X33 : Unit Penelitian

Gambar 4.2 Lay Out Penelitian dengan Desain RAL

Page 47: Ika Heri Kustanti_1003000069

34

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari 2013 hingga Februari 2013,

bertempat di :

1) Laboratorium Ilmu Bahan Makanan Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan

Kemenkes Malang untuk proses pengolahan mie basah

2) Laboratorium Kimia Universitas Brawijaya Malang untuk analisis serat

kasar mie basah

3) Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya Malang

untuk analisis mutu fisik mie basah

4) Laboratorium Kimia Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

untuk analisis mutu kimia mie basah

5) Laboratorium Organoleptik Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes

Malang untuk uji mutu organoleptik mie basah

4.3 Variabel Penelitian

Variabel bebas : Subtitusi pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung

tempe kedelai

Variable terikat:

1. Nilai energi

2. Mutu kimia (Karbohidrat, Protein, Lemak, Serat, Air, Gula Reduksi

dan Abu)

3. Mutu Fisik (Elastisitas dan Daya Putus)

4. Mutu organoleptik (Warna, Tekstur, Aroma dan Rasa)

4.4 Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala

Data

Proporsi talas

belitung, tepung

tapioka dan

tepung tempe

kedelai

Perbandingan subtitusi

talas belitung, tepung

tapioka dan tepung

tempe kedelai dalam

pembuatan mie basah

yang dinyatakan dalam

persen (%)

P0 =100:0:0:0

P1= 50 :30 :15 :5

P2= 40 :35 :15 :10

P3= 35 :40 :10 :15

Rasio

Page 48: Ika Heri Kustanti_1003000069

35

Kandungan

mutu kimia :

1. Kadar

Karbohidrat

2. Kadar Protein

3. Kadar Lemak

4. Kadar serat

kasar

5. Kadar Air

6. Kadar Abu

Karakteristik mie basah

berdasarkan kadar

karbohidrat, protein,

lemak, air, abu, gula

reduksi dan serat

Jumlah karbohidrat mie

basah dari talas

belitung, tepung tapioka

dan tepung tempe

kedelai menggunakan

by difference

Jumlah protein mie

basah dari talas

belitung, tepung tapioka

dan tepung tempe

kedelai dianalisis

dengan semi mikro

kjeldahl

Jumlah lemak mie

basah dari talas

belitung, tepung tapioka

dan tepung tempe

kedelai dianalisis

dengan soxhlet

extraction

Jumlah serat mie basah

dari talas belitung,

tepung tapioka dan

tepung tempe kedelai

dianalisis dengan

metode Kromatografi

Kolom Alumina

Jumlah air mie basah

dari talas belitung,

tepung tapioka dan

tepung tempe kedelai

dianalisis dengan

metode

thermogravimetri

Jumlah abu mie basah

dari talas belitung,

tepung tapioka dan

Dinyatakan dalam

satuan gram/ 100 g

Dinyatakan dalam

satuan gram/ 100 g

Dinyatakan dalam

satuan gram/ 100 g

Dinyatakan dalam

satuan gram/ 100 g

Dinyatakan dalam

satuan gram/ 100 g

Dinyatakan dalam

satuan gram/ 100 g

Rasio

Rasio

Rasio

Rasio

Rasio

Rasio

Page 49: Ika Heri Kustanti_1003000069

36

7. Gula Reduksi

tepung tempe kedelai

dianalisis dengan

metode gravimetric

Jumlah gula sederhana

mie basah dari talas

belitung, tepung tapioka

dan tepung tempe

kedelai dianalisis

dengan metode

spektofotometri

Dinyatakan dalam

mg/dl

Rasio

Mutu Fisik

1. Daya Putus

2. Elastisitas

Besarnya gaya tiap

satuan luas penampang

bahan yang dibutuhkan

untuk memutuskan suatu

produk

Perbandingan panjang

akhir dan awal

Dinyatakan dalam

g/cm3

Dinyatakan dalam

%

Rasio

Rasio

Mutu

organoleptik

Tingkat kesukaan panelis

yang ditentukan dengan

uji kesukaan meliputi

warna, tekstur, aroma,

rasa terhadap

karakteristik mie basah

dari talas belitung,

tepung tapioka dan

tepung tempe kedelai

Dinyatakan dalam

skala ordinal :

1 = sangat suka

1 = suka

2 = tidak suka

3 = sangat tidak

suka

Ordinal

4.5 Alat dan Bahan

4.5.1 Alat

A. Alat Pengolahan

Alat untuk pengolahan tepung tempe kedelai adalah baskom, loyang, sendok,

blender, ayakan dan piring. Alat yang digunakan untuk pengolahan mie basah

adalah mangkuk, sendok teh, alat pencetak mie, dandang, pisau, gelas ukur,

sendok, triple beam, garpu, baskom, piring plastik dan kompor.

Page 50: Ika Heri Kustanti_1003000069

37

B. Analisis Nilai Energi

Analisis energi menggunakan faktor Atwater, yaitu 1 gram karbohidrat,

protein, dan lemak berturut- turut menghasilkan 4, 4, dan 9 kalori. (Almatsier,

2004).

C. Analisis Mutu Kimia

a. Kadar Karbohidrat

Analisis karbohidrat menggunakan metode By Difference. Kadar karbohidrat

merupakan selisih 100% dengan % kadar total (protein + lemak + air + abu +

serat kasar) (Sulaeman dkk, 1995).

b. Peralatan untuk analisis kadar protein adalah timbangan analitik, labu kjeldahl,

labu destilasi, spatula, statif, pipet ukur 25 ml, pipet ukur 5 ml, hotplate, buret,

kondensor, erlenmeyer 100 ml, beaker glass, magnetik stirrer.

c. Peralatan untuk analisis kadar lemak adalah labu lemak, soxhlet apparatus,

penjepit cawan, spatula, desikator, oven, hot plate, timbangan analitik,

erlenmeyer.

d. Peralatan untuk analisis kadar serat kasar adalah kondensator, soxhlet, cawan,

erlenmeyer, kertas saring.

e. Peralatan untuk analisis kadar air adalah oven, cawan porselen, desikator,

timbangan analitik dan penjepit cawan.

f. Peralatan untuk analisis kadar abu adalah oven, cawan porselen, desikator,

timbangan analitik, penjepit cawan, pembakar bunsen dan tanur.

g. Peralatan untuk analisis gula reduksi adalah timbangan, buret, labu takar,

Erlenmeyer.

D. Analisis Mutu Fisik

Peralatan untuk analisis mutu fisik (elastisitas dan daya putus) adalah beban/

massa, penjepit, penggantung beban.

E. Analisis Mutu organoleptik

Peralatan yuntuk analisis mutu organoleptik adalah Formulir Kuisioner

(Lampiran 3), alat tulis (bolpoint), piring kecil, sendok, gelas, nampan kecil.

F. Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik

Form kuisioner (Lampiran 4)

Page 51: Ika Heri Kustanti_1003000069

38

4.5.2 Bahan

Bahan dan Resep Standart Mie Basah

Bahan Baku Resep 1/ 100 g * Resep 2 ** Resep Modifikasi

Tepung terigu 100 g 700 g 100

Garam NaCl 4 g ½ sdt 2 g

Garam Alkali 0,1 % ½ sdt -

Telur Opsional 6 butir ½ butir

Minyak Opsional - -

Pewarna Opsional - -

Air (%) 30 Secukupnya 28 (berat terigu)

Ket. * = Rustandi (2011)

** = Alamsyah (2010)

1. Pengolahan Mie Basah

a. Jumlah bahan mie basah yang dibutuhkan tanpa bumbu :

Bahan ∑ Bahan Masing-masing Taraf

Perlakuan beserta replikasi (g) Total Bahan

(g) P0 P1 P2 P3

Talas Belitung 0 270 315 360 945

Tepung terigu 900 450 360 315 2025

Tepung tapioka 0 135 135 90 360

Tepung tempe kedelai 0 45 90 90 225

Telur ayam 315 315 315 315 1260

Garam 18 18 18 18 72

STPP 1.8 1.8 1.8 1.8 7.2

Asam cuka 15 15 15 15 60

b. Jumlah bahan mie basah yang dibutuhkan dengan bumbu

Bahan ∑ Bahan Masing-masing Taraf

Perlakuan beserta replikasi (g) Total Bahan

(g) P0 P1 P2 P3

Talas Belitung 0 180 210 240 630

Tepung terigu 600 300 240 210 1350

Tepung tapioka 0 90 90 60 240

Tepung tempe kedelai 0 30 60 90 180

Telur ayam 210 210 210 210 840

Garam 17 17 17 17 68

STPP 1.8 1.8 1.8 1.8 7.2

Asam cuka 15 15 15 15 60

Bawang merah 50 50 50 50 200

Bawang Putih 50 50 50 50 200

Gula 5 5 5 5 20

Kecap 20 20 20 20 40

Page 52: Ika Heri Kustanti_1003000069

39

c. Bahan untuk pengolahan tepung tempe kedelai:

Bahan Spesifikasi

Tempe kedelai

Tempe yang dibeli sentra industri tempe kawasan Sanan,

Jln. Tumenggung Suryo, Kec. Blimbing, Malang. Setelah

melalui proses fermentasi selama 24 jam, warna putih dan

miselium masih baru tumbuh. Tempe yang digunakan

murni dari kedelai tanpa bahan campuran yang lain.

d. Bahan yang digunakan untuk pengolahan mie basah :

Bahan Spesifikasi

Talas Belitung

Talas belitung di beli di daerah Gadang, Malang (Pasar

Gadang) dengan bentuk bulat lonjong, kulit berwarna

coklat kegelapan dan daging umbi berwarna putih

dengan umur 4-5 bulan. Persentase bagian umbi yang

dapat dimakan (BDD) sekitar 85 % sisanya berupa

kulit umbi.

Tepung tempe kedelai

Tepung tempe kedelai dibuat sesuai dengan langkah-

langkah pengolahan tepung yang baik dengan

rendemen 60-70%.

Tepung tapioka

Tepung tapioka dibeli di toko bahan makanan sesuai

dengan syarat mutu (SNI) tepung tapioka (tidak ada

kotoran/kutu, tidak berbau apek), merk Naga Mas

dengan berat 500 gram

Tepung terigu

Tepung terigu dengan kadar protein tinggi (11 - 13%),

dibeli di toko bahan makanan sesuai dengan syarat mutu

(SNI) tepung terigu (tidak ada kotoran/kutu, tidak berbau

apek), merk Cakra dengan berat 1000 gram.

Telur ayam

Telur ayam ras dibeli di ibu Jianto, Ds. Kambingan, Kec.

Tumpang, Kab. Malang. sesuai dengan syarat mutu telur

yang baik (tidak retak, tidak busuk, permukaan kulit halus)

dengan berat 55- 60 gram/ butir. Telur dihasilkan pada

umur/ hari yang sama.

Garam Garam dengan kadar KIO3 > 30-80 ppm sesuai dengan

syarat mutu (SNI), merk cap Kapal dengan berat 250 gram

STPP

Bahan kimia berbentuk serbuk dan / atau butir-butir

halus berwarna putih yang terdiri dari Na5P3O dibeli di

toko Dunia Kimia dengan berat 100 gram

2. Analisis Mutu kimia

Bahan analisis kadar protein

Bahan yang digunakan untuk analisis kadar protein adalah 12 potong mie

basah masing-masing 20 gram, CUSO4 asam laktat 10%, KMnO4 (1:9),

Page 53: Ika Heri Kustanti_1003000069

40

NaOH-thio 60%, Asam borat 3%, HCl standar , H2SO4 pekat, Indikator metil

merah, Selenium mix

Bahan untuk analisis kadar lemak

Bahan yang digunakan untuk analisis kadar lemak adalah 12 potong mie basah

masing-masing 20 gram, pelarut kloroform, kertas saring.

Bahan untuk analisis kadar serat kasar

Bahan yang digunakan untuk analisis kadar serat kasar adalah 12 potong mie

basah masing-masing 20 gram, alkohol 95%.

Bahan untuk analisis kadar air

Bahan yang digunakan untuk analisis kadar air adalah 12 potong mie basah

masing-masing 20 gram.

Bahan untuk analisis kadar abu

Bahan yang digunakan untuk analisis kadar abu adalah 12 potong mie basah

masing-masing 20 gram.

Bahan untuk analisis gula reduksi

Bahan yang digunakan untuk analisis kadar gula reduksi adalah 12 potong mie

basah masing- masing 20 gram, aquadest, natruim pospat- kalium oksalat,

fehling A, fehling B.

3. Analisis Mutu Fisik

Bahan untuk analisis daya putus

Bahan yang digunakan untuk analisis daya putus adalah sampel mie basah yang

dipotong ukuran 20 cm x1 cm x1.4 mm.

Bahan untuk analisis elastisitas

Bahan yang digunakan untuk analisis elastisitas adalah sampel mie basah yang

dipotong ukuran 20 cm x1 cm x1.4 mm

4. Analisis Mutu organoleptik

Bahan yang digunakan untuk pengujian mutu organoleptik :

- 10 gram mie basah dari masing-masing taraf perlakuan setiap panelis

- 200 cc air mineral setiap panelis.

Page 54: Ika Heri Kustanti_1003000069

41

4.5 Tahap- Tahap Penelitian

4.6.1 Penelitian Pendahuluan

1. Menentukan nilai energi optimal pada mie basah hasil substitusi talas

belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai yang disajikan pada

Tabel 4.2.

Tabel 4. 2 Proporsi Tepung Terigu, Talas Belitung, Tepung Tapioka dan

Tepung Tempe Kedelai per 100 Gram.

Proporsi (%)

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung :

Tepung Tapioka : Tepung Tempe Kedelai)

Nilai Energi

(Kalori)

Kadar

Protein

(gram)

Kadar

Serat

(gram)

P0 (100 : 0 : 0 : 0) 387 13 0,30

P1 (50 : 30 :15 : 5) 340 11 0.80

P2 (40 : 35 : 15 : 10) 322 13 1,24

P3 (35 : 40 : 10 : 15) 302 15 1.33

2. Melakukan pengolahan tepung tempe kedelai sesuai dengan Gambar 3.

agar didapatkan tepung tempe kedelai sesuai dengan spesifikasi yang

ditentukan.

4.6.2 Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan pengolahan mie basah, analisis mutu

kimia (karbohidrat, protein, lemak, serat, abu dan air), dan mutu organoleptik

mie basah.

1. Pengolahan Mie Basah

Bahan yang digunakan dalam pengolahan mie basah disajikan pada Tabel 4.3

dan diagram alir proses pengolahan mie basah disajikan pada Gambar 4.4.

Tabel 4. 3 Komposisi Tiap Perlakuan dalam Pengolahan Mie Basah

Bahan ∑ Bahan Setiap Unit Penelitian pada Masing-

masing Taraf Perlakuan (g)

P0 P1 P2 P3

Talas Belitung 0 90 105 120

Tepung terigu 300 150 120 105

Tepung tapioka 0 45 45 30

Tepung tempe kedelai 0 15 30 45

Telur ayam 105 105 105 105

Page 55: Ika Heri Kustanti_1003000069

42

a. Pengolahan Tepung Tempe Kedelai

Tempe segar

Mengukus 15 menit

Mengiris tipis ukuran 5 x 5 x 0.5 cm

Mengeringkan suhu 50 0C, 10 jam

Menggiling dan mengayak dengan ayakan tepung 50 mesh

Tepung tempe kedelai

Rendemen Tepung Tempe Kedelai = 60%

Gambar 4.3 Diagram Alir Pengolahan Tepung Tempe Kedelai (Paulu dalam

Kurniawati dan Fitriyono. 2012) dengan modifikasi.

b. Pengolahan Pasta Talas Belitung

Talas

Mengupas dan mencuci umbi talas

Memotong umbi talas dengan ukuran dadu ( 2 x 2 x1 cm)

Merendam umbi dalam larutan cuka 1 sendok makan/ 1 liter air selama 45 menit

Mencuci umbi talas

Mengukus selama 15 menit

Menghancurkan talas kukus dan menambahkan STTP 0,2% dari berat talas kukus

Pasta talas belitung

Rendemen Pasta Talas Belitung = 113%

Gambar 4.4 Diagram Alir Pengolahan Pasta Talas Belitung (Wirdayanti, 2012)

dengan Modifikasi

Page 56: Ika Heri Kustanti_1003000069

43

c. Pengolahan Mie Basah Pasta Talas Belitung

Membentuk adonan mie dari pasta talas

Mencampur tepung terigu, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai (sesuai

perlakuan)

Menambahkan kuning telur ½ butir dan putih telur 2 sendok makan

Menambahkan air 28% dan garam 2%

Menguleni adonan sampai kalis

Mendiamkan adonan selama 10 menit

Menggiling adonan dengan ketebalan no. 4 (1.8 mm)

Memotong adonan

Mengukus mie basah 15 menit

Mencampur minyak (3 g) ke mie basah setelah dikukus

Mie basah talas belitung

Gambar 4.5 Diagram Alir Pengolahan Mie Talas (Hermianti dan Silfia. 2011)

dengan Modifikasi.

2. Menganalisis Nilai Energi Mie basah (Sulaeman, A dkk, 1995)

Nilai energi per 100 gram :

(9 x % lemak + 4 x % protein + 4 x % karbohidrat) Kalori.

3. Menganalisis Mutu kimia Mie Basah

a. Karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat per 100 gram :

100 - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein + kadar serat

kasar) gram.

Page 57: Ika Heri Kustanti_1003000069

44

b. Kadar Protein

Memasukkan 10 g sampel ke dalam labu kjedhal

Menambahkan 3 g selenium mix atau mencampurkan 5 g CUSO4 dan KMnO4 dan

25 ml H2SO4 pekat

Memanaskan mula-mula dengan api kecil, kemudian dibesarkan sampai terjadi

larutan yang berwarna jernih kehijauan dan uap SO2 hilang

Memindahkan kedalam labu ukur 100 ml dan diencerkan sampai terjadi

perubahan warna

Memasukkan 10 ml kedalam labu destilasi dan menambahkan 10 ml NaOH 10%,

kemudian disuling

Menampung destilat dalam 20 ml larutan asam borat 3%, Menghentikan destilasi

bila destilat sudah bersifat basa

Melakukan titrasi dengan HCl standar dengan menggunakan indikator metil

merah

Menghitung N total dengan menggunakan rumus:

% Nitrogen Total = (A-B) x N HCl x 14.008 x 100%

Mg sampel

Keterangan :

A = Vol HCl untuk titrasi blanko

B = Vol HCl untuk titrasi sampel

N = Normalitas standar untuk HCl (0.02)

14,008 = berat atom nitrogen. Kadar protein di ukur dengan mengkalikan N total

dengan faktor konversi bahan makanan yaitu 6,25

Gambar 4.6 Diagram Alir Analisis Kadar Protein (Sulaeman, A dkk, 1995).

Page 58: Ika Heri Kustanti_1003000069

45

c. Kadar Lemak

Menimbang erlenmeyer yang sudah di oven, dikeringkan dan dibersihkan yang

akan digunakan untuk menampung minyak hasil ekstraksi.

Menimbang 5 gram bahan pada kertas saring

Membungkus kertas saring dengan rapi sehingga bahan yang telah ditimbang

tidak bocor keluar kertas saring.

Memasukkan dalam soxhlet bagian ekstraktor.

Menambahkan pelarut chlorofom secukupnya (1,5 x vol ekstraktor).

Mengekstraksi selama 4 jam (5 x ekstraksi).

Menguapkan chlorofom dari minyak hasil ekstraksi.

Melanjutkan penguapan chlorofom (30 menit).

Mendinginkan kemudian timbang dan catat beratnya

Kadar lemak dihitung dengan menggunakan rumus:

% Lemak = Berat lemak x 100%

Berat sampel

Gambar 4.7 Diagram Alir Analisis Kadar Lemak (Sulaeman, A dkk, 1995).

Page 59: Ika Heri Kustanti_1003000069

46

d. Kadar Serat Kasar

Menimbang mie basah sebanyak 2 gram dan ekstraksi lemaknya dengan soxhlet

Dan pindahkan kedalam erlenmeyer 500 ml

Menambahkan 200 ml larutan asam sulfat mendidih dan tutup dengan pendingin

balik

Mendidihkan selama 30 menit dan sewaktu-waktu digoyang-goyangkan

Menyaring suspensi dengan kertas saring

Memindahkan residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer 500 ml dengan

spatula

Mencuci sisa residu dengan larutan NaOH 1,25% sebanyak 200 ml sampai semua

residu masuk ke dalam erlenmeyer, mendidihkan selama 30 menit

Menyaring dengan kertas saring sambil dicuci dengan larutan kalium sulfat 10%,

mencuci lagi dengan aquades mendidih kemudian dengan 15 ml alkohol 95%

Mengeringkan kertas saring dan isinya pada suhu 110°C sampai berat konstan

(1 jam)

Mendinginkan dalam desikator dan menimbang kertas saring dan isinya

Adapun rumus penentuan serat kasar sebagai berikut:

% Serat Kasar = Berat (ks + residu) – berat ks – berat abu x 100%

Berat bahan

Keterangan:

ks : kertas saring

Gambar 4.8 Diagram Alir Analisis Kadar Serat (Sulaeman, A dkk, 1995).

Page 60: Ika Heri Kustanti_1003000069

47

e. Kadar Air

Mengeringkan cawan kosong dan tutupnya dalam oven pada suhu 100 0c selama

30 menit. Mendinginkan dalam desikator dan menimbang cawan

Menimbang dengan teliti 2 gram sampel dalam cawan tersebut dan tutup dengan

tepat

Meletakkan cawan tersebut dalam oven dan melonggarkan tutupnya

Memanaskan oven sampai suhu 100 0c dengan vakum dipertahankan sekitar 25

mmHg

Melakukan pengeringan sampai didapatkan berat konstan ( 5 jam)

Memasukkan udara kering ke dalam oven sampai tekanan atmosfir

Segera menutup cawan dengan penutupnya, memasukkan ke dalam desikator dan

segera menimbang setelah dingin (suhu kamar)

Kadar air dihitung dengan mengggunakan perhitungan

% kadar air = B1 – B2 X 100 %

B

% total padatan = B- (B1 – B2) 100 %

B%

Keterangan :

Berat sampel = B

Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan = B1

Berat (sampel+ cawan ) setelah dikeringkan = B2

Gambar 4.9 Diagram Alir Analisis Kadar Air (Sulaeman, A dkk, 1995).

Page 61: Ika Heri Kustanti_1003000069

48

f. Kadar Abu

Menyiapkan cawan porselin, kemudian memanaskan dalam oven

Mendinginkan dalam desikator dan menimbang berat awal (x)

Menimbang 5 gram mie basah dan memasukkan ke dalam cawan porselin

kemudian bakar diatas api bunsen

Setelah berasap, memasukkan mie basah tersebut ke dalam tanur pengabuan

sampai didapat berat sampel tetap. Pengabuan dilakukan 2 tahap : tahap pertama

suhu 450 0C dan kedua pada suhu 550

0C. Lama pengabuan sekitar 3 jam

Sesudah abu sampel berwarna putih, mengangkat abu dan mendinginkan dalam

desikator selama setengah jam menggunakan penjepit cawan

Menimbang abu (z)

Perhitungan kadar abu menggunakan rumus sebagai berikut :

% Kadar Abu = (z – x ) X 100%

berat sampel

Kadar bahan organik dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut :

Bahan organik (BO) = (Bahan Kering (BK) – Abu) %

Gambar 4.10 Diagram Alir Analisis Kadar Abu (A. Sulaeman dkk, 1995)

Page 62: Ika Heri Kustanti_1003000069

49

g. Gula Reduksi

Melarutkan 5 gram sampel dalam aquades sampai terbentuk campuran yang

homogen, supaya ekstrak gula reduksi dalam sampel maksimal melakukan

pengadukan dengan magnetic stirer selama 30 menit.

Apabila larutan keruh, melakukan penjernihan dengan menggunakan Pb asetat.

Mengambil larutan sampel yang telah jernih sebanyak 1 ml

Memasukkan dalam tabung reaksi, ditambah reagen Nelson sebanyak 1 ml

Memanaskan selama 20 menit dalam air sampai mendidih.

Setelah memanaskan segera didinginkan dalam gelas piala yang berisi air dingin

hingga suhunya mencapai 25oC.

Setelah dingin menambahkan semua tabung dengan reagen Arsenomolybdat

sebanyak 1 ml

mencampur sampai endapan yang terbentuk larut.

Menambahkan semua tabung dengan aquades sebanyak 7 ml, mencampur kembali

sampai homogen.

Selanjutnya melakukan peneraan absorbansi pada panjang gelombang 540 nm

menggunakan spektrofotometer.

Apabila dalam peneraan absorbansi terlalu pekat (nilai diatas 0,8) maka

melakukan pengenceran pada larutan sampelnya.

Gula reduksi dalam sampel dihitung menggunakan persamaan larutan baku

(standar).

Gambar 4.11 Diagram Alir Analisis Gula Reduksi (Sudarmadji et.al., 1997).

Page 63: Ika Heri Kustanti_1003000069

50

4.6.3 Menganalisis Mutu Fisik

a. Analisis Daya Putus dan Elastisitas Mie Basah

Pengujian daya putus dan elastisitas menggunakan alat Tensile Strength.

Memotong sampel ukuran 20 cm x 1 cm x 1.4 mm

Menghidupkan mesin tensile strength kurang lebih 15 menit untuk pemanasan

(sambil setting aksesoris alat sesuai dengan sampel yang akan dianalisa memakai

tekanan untuk mengetahui daya putus dan tarikan untuk mengetahui elastisitas)

Menghidupkan komputer masuk program software untuk mesin tensile strength

(Filenya ZP Recorder). Setelah antara mesin tensile strength dan computer

terjadi hubungan maka pada layar akan tampil program tersebut

Menempatkan kursor di ZERO dan meng- ON kan supaya antara alat tensile

strength dan monitor computer menunjukkan angka 0.0 pada waktu pengujian

Meletakkan sample dibawah aksesoris penekan atau penjepit sampel dengan

aksesoris penarik

Kursor diletakkan pada tanda [ ], dan meng- ON kan sehingga komputer secara

otomatis akan mencatat GAYA (N) dan jarak yang ditempuh oleh tekanan atau

tarikan terhadap sampel (perpanjangan)

Menekan tombol [▼] untuk penekanan (Compressio) dan tombol [▲] untuk

tarikan (Tension), yang ada pada alat tensile strength

Setelah pengujian selesai, menekan tombol [■] untuk berhenti dan menyimpan

data

Mencatat hasil pengukuran berupa grafik

Mematikan computer dan alat tensile strength serta membersihkan alat dari sisa

sampel yang menempel

Penentuan daya putus :

Berat beban = (g/ cm2)

Luas penampang sampel

Penentuan Elastisitas :

Perpanjangan sampel X 100 = %

Panjang awal

Gambar 4.12 Diagram Alir Analisis Daya Putus dan Elastisitas

Page 64: Ika Heri Kustanti_1003000069

51

4.6.4 Menganalisis Mutu organoleptik Mie Basah

Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode Hedonic Scale

Test. Atribut organoleptik yang digunakan adalah rasa, aroma, warna, dan tekstur

(Soekarto, 1985). Uji organoleptik dilakukan dalam 2 bentuk makanan yaitu mie

basah dan mie goreng. Hal tersebut dilakukan untuk melihat tingkat penerimaan

panelis terhadap mie basah pasta talas belitung yang masih mentah dengan mie

basah pasta talas belitung yang telah mengalami proses pengolahan lebih lanjut

(mie goreng). Panelis yang digunakan untuk uji organoleptik adalah panelis agak

terlatih yaitu 20 orang dari mahasiswa gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes

Malang dengan kriteria :

- Bersedia menjadi panelis.

- Dalam keadaan sehat.

- Tidak mempunyai pantangan terhadap produk yang dinilai.

- Sebelum pelaksanaan tidak dalam keadaan lapar atau kenyang.

Panelis diharapkan untuk menilai sampel dan diminta mengisi form penilaian

mutu organoleptik yang terlampir pada Lampiran 3.

4.6.5 Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik

Penentuan taraf perlakuan terbaik menggunakan metode indeks efektifitas.

Metode tersebut dilakukan dengan cara mengukur beberapa variabel yang

mempengaruhi mutu mie basah yang dihasilkan seperti nilai energi, mutu kimia

dan mutu organoleptik. Responden yang digunakan adalah dosen gizi Politeknik

Kesehatan Kemenkes Malang yang kemudian diminta untuk memberikan

pendapat yaitu variabel mana yang menurutnya mempengaruhi mutu dan

memberikan nilai pada variabel tersebut. Responden dapat memberikan nilai

yang sama pada variabel yang dianggap memberikan pengaruh yang sama

pentingnya terhadap mutu mie basah. Responden diharapkan untuk mengisi form

penilaian perlakuan terbaik, sebagaimana disajikan pada Lampiran 4.

Page 65: Ika Heri Kustanti_1003000069

52

4.6 Metode Pengolahan dan Analisa Data

4.6.1 Nilai Energi, Mutu kimia (Karbohidrat, Protein, Lemak, Serat Kasar,

Abu, Air, Gula Reduksi) dan Mutu Fisik (Daya Putus dan Elastisitas)

Pengolahan data pengaruh substitusi talas Belitung, tepung tapioka dan

tepung tempe kedelai terhadap nilai energi dan mutu kimia (karbohidrat, protein,

lemak, air, abu, gula reduksi dan serat) mie basah dianalisis secara statistik.

Análisis statistik One way Anova (análisis variance) pada tingkat kepercayaan

95% digunakan untuk variabel terikat (dependent variable) yang berskala data

interval atau rasio yaitu nilai energi, mutu kimia dan mutu fisik mie basah dengan

model sebagai berikut (Yitnosumarto,S, 1993) :

Y ij = µ + τi + εij

i : P0, P1, P2, P3

j : 1, 2, 3

Keterangan :

Y ij = nilai pengamatan dependent variable (nilai energi dan mutu kimia dan

mutu fisik pada taraf perlakuan ke-i replikasi ke-j

µ = nilai tengah umum

τi = pengaruh taraf perlakuan ke-i

εij = kesalahan (galat) percobaan pada taraf perlakuan ke-i replikasi ke-j

p = banyaknya taraf perlakuan

n = banyaknya replikasi pada taraf perlakuan ke-i

Hipotesis Statistik:

Ho : Tidak ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung

tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan mutu fisik pada mie

basah.

Ha : Ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe

kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan mutu fisik pada mie basah.

Penarikan kesimpulan :

Ho ditolak apabila Sig. < 0.05 berarti ada pengaruh substitusi talas belitung,

tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan

mutu fisik pada mie basah.

Ha diterima apabila Sig > 0,05 berarti tidak ada pengaruh substitusi talas

belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu

kimia dan mutu fisik pada mie basah.

Page 66: Ika Heri Kustanti_1003000069

53

Langkah- langkah pengujian One Way Anova :

Penggunaan One Way Anova dalam hal ini menggunakan data penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui pengaruh subtitusi talas belitung, tepung tempe

kedelai dan tepung tapioka. Penelitian menggunakan desain RAL sebagai

perlakuan adalah tepung terigu : talas belitung : tepung tapioka : tepung tempe

kedelai. Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali.

Langkah selanjutnya untuk mengetahui taraf perlakuan yang berbeda nyata,

digunakan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Selanjutnya data

rata-rata nilai energi dan mutu kimia disajikan secara deskriptif. Statistik Duncan

Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95% dengan model

sebagai berikut :

JNT (λ, d, v) = JND (λ, d, v) x √KTG/u

Penarikan Kesimpulan :

Perbedaan signifikan jika nilai perbedaan mean dalam satu pasang taraf

perlakuan terdapat pada kolom subset yang berbeda.

4.6.2 Mutu organoleptik (Warna, Tekstur, Aroma dan Rasa)

Pengolahan data pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan

tepung tempe kedelai pada mie basah terhadap mutu organoleptik pada tingkat

kepercayaan 95% yaitu digunakan dengan analisis statistik Kruskal Walis. Rumus

yang digunakan yaitu sebagai berikut :

KW = [ 12 / N (N + 1) ∑ nj R-2 j

] – 3 (N + 1)

Keterangan :

KW = banyaknya taraf perlakuan

Nj = banyaknya replikasi pada taraf perlakuan ke -j

N = ∑ nj

Rj = rata-rata dari rangking skor taraf perlakuan ke -j

Hipotesis statistik :

Ho : Tidak ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung

tempe kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah.

Ha : Ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe

kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah.

Page 67: Ika Heri Kustanti_1003000069

54

Penarikan kesimpulan :

Ho ditolak apabila Sig. < 0,05 berarti ada pengaruh substitusi talas belitung,

tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah

Ha diterima apabila Sig > 0,05 berarti tidak ada pengaruh substitusi talas

belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap mutu organoleptik

mie basah.

Jika Ho ditolak, maka dilanjutkan uji statistik perbandingan ganda Mann

Whitney untuk menentukan pasangan perlakuan mana yang berbeda signifikan.

Analisis ini dilakukan dengan cara menguji taraf perlakuan ke u dengan taraf

perlakuan ke v sebagai berikut:

[Ru – Rv] ≥ Zα / {k(k-1)} √{N (N-1)/12} {1/nu + 1/nv}

Keterangan :

Zα / [k (k – 1)] = nilai normal baku

K (k – 1) = banyaknya pasangan taraf perlakuan

Maka dinyatakan bahwa median taraf perlakuan ke-u dan median taraf

perlakuan ke-v adalah sama. Perbandingan ini akan ada sebanyak k (k-1)

pasangan, karena perlakuan yang dibandingkan ada sebanyak k.

Penarikan Kesimpulan :

Taraf perlakuan satu dengan taraf perlakuan yang lain yang menghasilkan

perbedaan signifikan ditunjukkan oleh angka Sig. < 0,05.

4.6.6 Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik

a. Hasil penentuan taraf perlakuan terbaik dari masing-masing responden

ditabulasi sehingga diperoleh jumlah nilai masing-masing variabel dan rata-

ratanya.

b. Ranking variabel ditentukan berdasarkan nilai rata-rata masing-masing variabel

dimana variabel yang memiliki rata-rata terbesar diberi ranking ke-1 dan

variabel dengan rata-rata terendah diberi ranking ke-9.

c. Bobot variabel ditentukan dengan membagi nilai rata-rata tiap variabel dengan

rata-rata tertinggi. Variabel dengan nilai rata-rata semakin besar, maka rata-

rata terendah sebagai nilai terjelek dan rata-rata tertinggi sebagai nilai terbaik.

Bobot Variabel = Rata-rata variabel

Rata-rata tertinggi

Page 68: Ika Heri Kustanti_1003000069

55

d. Bobot normal masing-masing variabel didapat dari variabel dibagi bobot total

variabel.

e. Setiap variabel kemudian dihitung nilai efektifitasnya (Ne) dengan rumus :

f. Nilai yang digunakan untuk menentukan taraf perlakuan terbaik adalah jumlah

nilai hasil (Nh) dimana nilai ini dapat dihitung dengan cara mengalikan bobot

normal masing-masing variabel dengan Ne dan selanjutnya dijumlahkan.

g. Taraf perlakuan terbaik adalah taraf perlakuan yang memiliki nilai hasil

tertinggi.

4.6.4 Instrument Analisis Data

Instrument untuk analisis data antara lain kalkulator scientific, computer

dengan program Microsoft word, Microsoft excel, dan SPSS 16.0 serta alat tulis.

Bobot Normal = Bobot Variabel

Bobot Total Variabel

Ne = Nilai perlakuan – Nilai terjelek

Nilai terbaik – Nilai terjelek

Nh = Bobot Normal x Ne

Page 69: Ika Heri Kustanti_1003000069

56

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5. 1 Deskripsi Produk

Mie basah pasta talas belitung merupakan produk yang ditujukan kepada

penderita DM dalam rangka menghasilkan alternatif makanan penukar sumber

energi untuk penatalaksaan diet. Mi basah pasta talas belitung bertujuan untuk

diversifikasi pangan dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang secara

empiris mengandung zat gizi yang sesuai bagi penderita DM (IG rendah) dan

belum dimanfaatkan secara optimal, yaitu talas belitung. Dilakukan subtitusi

tepung tempe kedelai dalam rangka meningkatkan mutu dan mencapai SNI

01‐2897‐1992 tentang syarat mutu mie basah akibat penurunan penggunaan

tepung terigu. Selain itu, mie basah pasta talas belitung disubtitusi tepung tapioka

agar mampu mempertahankan elastisitas dan daya putus mie. Elastisitas dan daya

putus tersebut akan mempengaruhi tekstur mie sebelum dan setelah menjadi mie

goreng.

Mie basah pasta talas belitung berbentuk lebar dan memanjang

menyerupai spaghetti dengan warna kuning gelap. Warna kuning gelap tersebut

merupakan hasil penambahan telur pada pengolahan mie basah pasta talas

belitung. Sebagaimana dijelaskan Rustandi (2011) bahwa penambahan kuning

telur akan memberikan keseragaman warna kuning pada mie sehingga dapat

meningkatkan kualitas mie. Warna kuning gelap juga berasal dari warna coklat

tepung tempe kedelai yang merupakan salah satu bahan penyusun mie basah pasta

talas belitung. Warna coklat tersebut berasal dari proses penepungan pada suhu

700 selama 10 jam. Visualisasi warna mie basah disajikan pada Gambar 5.1.

Mie basah pasta talas belitung tidak beraroma langu. Aroma mie basah

pasta belitung normal dan hampir tidak beraroma apapun sebelum dan setelah

menjadi mie goreng. Berdasarkan SNI 01‐2897‐1992 tentang syarat mutu aroma

mie basah adalah normal. Rustandi (2011) menambahkan bahwa aroma mie yang

tidak disukai konsumen adalah berbau tepung mentah atau berbau apek. Aroma

mie yang berbau apek, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas bahan baku yaitu

tepung yang digunakan. Apabila bahan baku yang digunakan beraroma apek

Page 70: Ika Heri Kustanti_1003000069

57

maka produk akhir yang dihasilkan juga beraroma apek. Sedangkan aroma tepung

mentah dipengaruhi oleh proses pengolahan yang kurang optimal seperti sebagian

adonan pada saat proses pengadukan tidak menyerap air dengan baik (tidak rata)

sehingga tidak terbentuk adonan yang kalis/tercampur rata.

P0 P1

P2 P3

Keterangan : P0 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0

P1 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5

P2 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10

P3 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15

Gambar 5. 1 Visualisasi Warna Mie Basah

Rasa mie basah pasta talas belitung adalah normal (tidak berasa). Bahan-

bahan subtitusi tidak mempengaruhi rasa mie basah yang dihasilkan. Berdasarkan

SNI 01‐2897‐1992 tentang syarat mutu rasa mie basah adalah normal. Lebih

lanjut Rustandi (2011) menjelaskan bahwa rasa mie basah yang tidak disukai oleh

konsumen adalah berasa adonan mentah, tepung dan berasa alkali/bersabun.

Page 71: Ika Heri Kustanti_1003000069

58

Tekstur mie basah pasta talas belitung agak lunak dan elastis. Semakin

rendah subtitusi tepung terigu, elastisitas mie basah pasta talas belitung cenderung

menurun. Hal tersebut disebabkan karena bahan-bahan penyusun mie basah pasta

talas belitung rendah gluten. Gluten terdapat di dalam tepung terigu dan berfungi

membentuk tekstur mie basah menjadi elastis. Sehingga apabila terjadi penurunan

subtitusi tepung terigu akan mempengaruhi elastisitas mie basah yang dihasilkan.

Sebagaimana dijelaskan Astawan (2008) bahwa tepung terigu memiliki

kemampuan untuk membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat

elastis gluten pada adonan mie berfungsi agar tidak mudah putus pada proses

pencetakan dan pemasakan mie.

5. 2 Mutu Kimia

5.2.1 Kadar Air

Hasil penelitian menunjukkan kadar air mie basah pasta talas belitung

berkisar 31.95 – 41.20 g/100 g bahan dengan rata-rata 37.72 ± 4.0 g/100 g.

Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, kadar air mie basah pasta talas

belitung cenderung meningkat sebagaimana disajikan pada Tabel 5.1. Hasil

analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan (p =

0.037) terhadap kadar air mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 1).

Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa

subtitusi pasta talas belitung 30% (P1) telah memberikan pengaruh peningkatan kadar

air yang signifikan dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung memberikan

pengaruh peningkatan kadar air yang tidak signifikan (P1-P3).

Peningkatan kadar air tersebut dipengaruhi oleh peningkatan subtitusi

pasta talas belitung karena kadar air talas belitung yang cukup tinggi.

Sebagaimana dijelaskan Mahmud (2004) bahwa kadar air pasta talas belitung

lebih tinggi dibanding tepung terigu masing-masing 63% dan 11.8%. Kadar air

mie basah pasta talas belitung yang relatif tinggi juga dipengaruhi penambahan air

pada proses pengolahan. Air dalam pengolahan mie basah berfungsi untuk

mengikat dan mencampurkan bahan-bahan subtitusi sehingga terbentuk adonan

yang kalis dan dapat dicetak. Sebagaimana dijelaskan Soenaryo (1985) bahwa

Page 72: Ika Heri Kustanti_1003000069

59

kegunaan air pada pengolahan mie adalah untuk media reaksi antara glutein

dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat kenyal dari glutein.

Tabel 5. 1 Kadar Air Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :

Tepung Tempe Kedelai

Rata- rata Kadar

Air (g/ 100 g)

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 32a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 38b

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 39b

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 41b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Kadar mie basah pasta talas belitung dimana masih diatas 35%

menunjukkan bahwa kurang memenuhi standart SNI 01‐2897‐1992 tentang syarat

mutu kadar air mie basah yaitu 20 – 35% b/b. Namun Widyaningsih dan Murtini

(2006) menjelaskan bahwa kadar air mie basah dapat mencapai 52% sehingga

daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar, mie basah hanya

bertahan 10 – 12 jam karena mie akan berbau asam dan berlendir/ basi. Sehingga

mie basah pasta talas belitung masih sesuai dengan kriteria mie basah namun daya

simpannya perlu diperhatikan karena relatif tidak tahan lama.

5.2.2 Kadar Abu

Hasil penelitian menunjukkan kadar abu mie basah pasta talas belitung

berkisar 1.07 – 2.18 g/100 g bahan dengan rata- rata 1.51 ± 0.23 g/100 g.

Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung

tempe kedelai menunjukkan bahwa kadar abu mie basah pasta talas belitung

cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada Tabel 5.2. Namun demikian,

hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang tidak signifikan

(p = 0.420) terhadap kadar abu mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 2).

Peningkatan kadar abu dipengaruhi oleh karakteristik masing-masing bahan

subtitusi. Bahan yang berkontribusi mengandung kadar abu tinggi adalah tepung

tempe kedelai karena kadar abu talas belitung rendah. Komponen terbesar talas

belitung adalah air yaitu 63% (Mahmud, 2004).

Page 73: Ika Heri Kustanti_1003000069

60

Tabel 5. 2 Kadar Abu Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :

Tepung Tempe Kedelai

Rata- rata Kadar

Abu (g/ 100 g)

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 1.1a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 1.0a

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 1.4a

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 1.5a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Kadar abu berasal dari unsur mineral dan komposisi kimia yang tidak

teruapkan selama proses pengabuan. Kadar abu menunjukkan jumlah mineral

yang terkandung dalam bahan, biasanya ditentukan dengan cara pengabuan atau

pembakaran (Pangloli dan Royaningsih, 1998). Sebagaimana dijelaskan Santoso

(1995) bahwa tepung tempe kedelai mengandung nilai gizi cukup tinggi sebagai

sumber karbohidrat, vitamin dan mineral. Lebih lanjut Sudarmaji (2006)

menjelaskan bahwa kandungan mineral total dalam bahan pangan diperkirakan

sebagai kandungan abu yang merupakan residu an-organik yang tersisa setelah

bahan-bahan organik terbakar habis. Kadar abu pada produk pangan menunjukkan

tingkat kebersihan produk yang dapat berasal dari bahan baku, proses pembuatan,

pengemasan maupun penyimpanan. Kadar abu produk mie basah harus memenuhi

persyaratan SNI 01‐2897‐1992 yaitu mengandung maksimal 3% b/b. Berdasarkan

hal tersebut, mie basah subtitusi pasta talas belitung tiap taraf perlakuan telah

memenuhi standart SNI yang ditentukan.

5.2.3 Protein

Hasil penelitian menunjukkan kadar protein mie basah pasta talas belitung

berkisar 9.76 – 11.91 g/100 g bahan dengan rata-rata 10.96 ± 0.93 g/100 g.

Kadar protein tersebut telah memenuhi syarat kadar protein pada SNI

01‐2897‐1992 yaitu mengandung minimal 8% b/b. Semakin tinggi subtitusi pasta

talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai maka kadar protein

mie basah pasta talas belitung cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada

Tabel 5.3. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%

menunjukkan bahwa peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe

kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.001) terhadap kadar protein mie

basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 10). Lebih lanjut, analisis Duncan

Page 74: Ika Heri Kustanti_1003000069

61

Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%,

tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P1) telah memberikan pengaruh

peningkatan kadar protein yang signifikan dan subtitusi tepung tempe kedelai 10%

(P2) juga memberikan pengaruh peningkatan kadar protein yang signifikan namun

setelah peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai selanjutnya, yaitu 15% (P3)

tidak memberikan pengaruh peningkatan protein yang signifikan.

Tabel 5. 3 Kadar Protein Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :

Tepung Tempe Kedelai

Rata-rata Kadar

Protein (g/ 100 g)

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 9.8a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 10.75b

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 11.43c

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 11.91c

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Kontribusi protein terbesar dalam mie basah pasta talas belitung berasal

dari tepung tempe kedelai. Subtitusi tepung tempe kedelai dalam pengolahan mie

basah pasta talas belitung bertujuan untuk mencapai SNI 01‐2897‐1992 tentang

syarat mutu kadar protein mie basah adalah min 8% b/b sehingga mie basah pasta

talas belitung telah memenuhi standart SNI yang ditentukan. Subtitusi tepung

tempe kedelai dilakukan karena tepung terigu disubtitusi talas belitung dimana

talas belitung merupakan bahan makanan yang rendah protein Semakin tinggi

subtitusi tepung tempe kedelai, protein mie basah subtitusi pasta talas belitung

cenderung meningkat. Tepung tempe kedelai mengandung protein yang cukup

tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan protein mie basah pasta talas

belitung akibat penurunan subtitusi tepung terigu. Sebagaimana dijelaskan

Cahyadi (2006) bahwa kadar protein tempe sebesar 41.5 g/100 g lebih tinggi

dibandingkan tepung terigu sebesar 9 g/ 100 g.

Pengolahan mie basah pasta talas belitung subtitusi tepung tempe kedelai

selain meningkatkan kadar protein juga sebagai penganekaragaman menu bagi

penderita DM. Kontribusi protein mie basah pasta talas belitung menyumbang

sebesar 20%/100 g dari rata-rata total kebutuhan 60 g/hari relatif lebih tinggi

dibandingkan beras dan kentang, yaitu 14%/100 g dan 13%/100 g (PERKENI,

2011). Penderita DM membutuhkan asupan protein cukup sebesar 15 %/ hari

Page 75: Ika Heri Kustanti_1003000069

62

dari total energi, yaitu 60 – 70 g/ hari untuk mencegah terjadinya katabolisme

protein dalam otot tubuh.

Protein mie basah pasta talas belitung mengandung asam amino yang

bermanfaat bagi metabolisme penderita DM, yaitu arginin dan lisin yang terkait

sekresi insulin dan glukagon dari pankreas. Sebagaimana dijelaskan Bhathena

(2002) bahwa protein pada tempe kedelai tinggi kandungan arginin dan glisin.

Pemberian asam amino arginin dan glisin saat terjadi peningkatan kadar glukosa

darah, menyebabkan sekresi insulin yang diinduksi oleh glukosa meningkat 2 kali

lipat sehingga memperkuat rangsangan glukosa terhadap sekresi insulin. Lebih

lanjut, insulin akan meningkatkan transpor glukosa ke dalam hati, otot, dan sel-sel

lain yang mengakibatkan kadar glukosa darah kembali normal. Sedangkan, peran

arginin pada sekresi glukagon yaitu glukagon memacu konversi cepat asam amino

menjadi glukosa sehingga banyak glukosa yang tersedia di dalam jaringan.

Namun, respon glukagon dan insulin tidak bertentangan satu sama lain. Selain

itu, protein kedelai juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada DM tipe 2.

Kandungan protein mie basah pasta talas belitung yang lebih tinggi dibandingkan

beras dan kentang dengan manfaat asam aminonya, diharapkan mampu menjadi

salah satu makanan penukar bagi penatalaksaan diet penderita DM untuk

meningkatkan derajat kesehatannya.

5.2.4 Lemak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak mie basah pasta talas

belitung berkisar 4.8 – 6.1 g/100 g bahan dengan rata- rata 5.4 ± 0.5 g/100 g.

Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung

tempe kedelai, kadar lemak mie basah cenderung meningkat sebagaimana

disajikan pada Tabel 5.4. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa peningkatan subtitusi pasta talas belitung

dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.002)

terhadap kadar lemak mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 4). Lebih

lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi

pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P1)

belum memberikan pengaruh yang signifikan. Sedangkan pada subtitusi pasta talas

Page 76: Ika Heri Kustanti_1003000069

63

belitung 35%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 10% (P2) telah

memberikan pengaruh peningkatan lemak yang signifikan namun semakin meningkat

subtitusi pasta talas belitung (P3), memberikan pengaruh peningkatan lemak yang

tidak signifikan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar lemak mie basah pasta talas

belitung meningkat dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung

tempe kedelai. Talas belitung sedikit memberikan kontribusi lemak karena

kandungan lemak pada talas belitung rendah (1%) sehingga bahan subtitusi mie

basah yang berkontribusi meningkatkan kadar lemak adalah tepung tempe kedelai.

Tabel 5. 4 Kadar Lemak Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :

Tepung Tempe Kedelai

Rata-rata Kadar

Lemak (g/ 100 g)

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 4.8a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 5.1a

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 5.7b

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 6.1b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Kadar lemak tepung tempe kedelai cukup tinggi sebagaimana dijelaskan

Cahyadi (2006) bahwa selain sebagai sumber protein, tepung tempe kedelai juga

merupakan sumber lemak. Tepung tempe kedelai mengandung lemak sebesar

22,2%. Sebagian besar lemak yang ada pada tepung tempe kedelai merupakan

lemak tak jenuh, yaitu asam linoleat yang merupakan asam lemak utama pada

tempe, secara spesifik bersifat meningkatkan HDL dan menurunkan LDL. Lebih

lanjut Mann (2007) menjelaskan bahwa jika konsumsi energi dari lemak jenuh

diganti oleh asam linoleat, maka secara bermakna akan menurunkan kolesterol

darah sehingga tidak terjadi hiperlipidemia akibat hiperglikemik. Selain itu,

tingginya lemak mie basah pasta talas belitung juga dipengaruhi penambahan

minyak goreng setelah mie dikukus. Mie basah pasta talas belitung memberikan

kontribusi lemak sebesar 13%/100 g dari kebutuhan 50 g/hari, lebih tinggi

dibandingkan dengan lemak dari beras dan kentang masing-masing 3.5%/100 g

dan 0.8%/100 g dengan total kebutuhan yang sama (PERKENI, 2011). Maksimal

jumlah lemak dalam mie berkisar 15 - 20% (Sunoko, 2008 dalam Hermianti,

2011).

Page 77: Ika Heri Kustanti_1003000069

64

5.2.5 Serat Kasar

Hasil penelitian menunjukkan kadar serat mie basah pasta talas belitung

berkisar 0.87 – 1.86 g/100 g bahan dengan rata-rata 1.51 ± 0.4 g/100 g. Semakin

tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai maka kadar serat

mie basah pasta talas belitung akan meningkat sebagaimana disajikan pada Tabel

5.5. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%

menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta talas belitung, tepung

tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh yang signifikan (p =

0.008) terhadap kadar serat mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 5).

Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa

subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5%

(P1) telah memberikan pengaruh peningkatan kadar serat yang signifikan, dan

semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh peningkatan

kadar serat yang tidak signifikan (P1-P3).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar serat mie basah meningkat

dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai. Talas

belitung mengandung serat kasar rendah namun mengandung serat pangan yang

tak larut (oligosakarida) cukup tinggi. Selain itu, tepung tempe kedelai juga

merupakan sumber serat. Tepung tempe kedelai memiliki serat yang merupakan

karbohidrat atau polisakarida sebanyak 7,2 g/100g bahan yang tidak dapat dicerna

oleh tubuh. Sedangkan pasta talas belitung mengandung serat kasar sebesar 1%

(Mahmud, 2004). Selain itu, bahan-bahan subtitusi mie basah mengandung serat

lebih tinggi dibandingkan tepung terigu yang hanya mengandung 0.3%

(Mahmud, 2004).

Tabel 5. 5 Kadar Serat Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :

Tepung Tempe Kedelai

Rata-rata Kadar

Serat (g)

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 0.87a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 1.60b

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 1.71b

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 1.86b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Page 78: Ika Heri Kustanti_1003000069

65

Hasil analisis berupa serat kasar dapat bermanfaat bagi penderita DM

karena serat kasar mampu menahan makanan dalam saluran pencernaan sehingga

penderita DM cepat kenyang dan tidak mudah lapar. Sebagaiman dijelaskan E.

Mary (1993) bahwa makanan berserat merupakan makanan yang liat, sukar

dicerna dan memberikan isi sehingga untuk mencerna memerlukan waktu lebih

lama karena makanan berserat berada lebih lama di dalam lambung. Selain itu,

serat kasar banyak terdapat pada kacang-kacangan seperti kacang kedelai dan

produk olahannya seperti tempe memiliki pengaruh yang besar terhadap

penyerapan karbohidrat. Dalam penatalaksanaan diet DM, serat memiliki sifat

memperlambat penyerapan karbohidrat sehingga mampu mengontrol peningkatan

kadar glukosa darah.

5.2.6 Gula Reduksi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar gula reduksi mie basah pasta

talas belitung berkisar 0.173 – 0.248 mg/dl bahan dengan rata-rata 0.203 ± 0.032

mg/dl. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai

maka kadar gula reduksi mie basah cenderung menurun sebagaimana disajikan

pada Tabel 5.6. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan

95% menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta talas belitung,

tepung tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh yang signifikan

(p = 0.041) terhadap kadar gula reduksi mie basah pasta talas belitung (Tabel

Lampiran 6). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT)

menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan

tepung tempe kedelai 5% (P1) telah memberikan pengaruh penurunan kadar gula

reduksi yang signifikan, dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung

memberikan pengaruh penurunan kadar gula reduksi yang tidak signifikan (P1-P3).

Penurunan kadar gula reduksi dipengaruhi oleh bahan-bahan subtitusi mie

basah yaitu pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai.

Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, maka kadar gula reduksi akan

semakin rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan gizi pasta talas belitung

yang banyak mengandung oligosakarida (serat pangan tak larut). Gula reduksi

adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi karena adanya gugus

Page 79: Ika Heri Kustanti_1003000069

66

aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang termasuk gula reduksi adalah

glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan galaktosa termasuk dalam jenis

karbohidrat monosakarida. Sehingga gula reduksi digunakan sebagai indikator

seberapa besar gula sederhana dalam bahan pangan yang mampu diserap oleh

tubuh.

Tabel 5. 6 Kadar Gula Reduksi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :

Tepung Tempe Kedelai

Rata-rata Kadar

Gula Reduksi

(mg/dl)

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 0.248a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 0.200b

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 0.193b

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 0.173b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Gula reduksi berkaitan dengan kemampuan cepat lambatnya makanan

diserap oleh tubuh karena gula reduksi merupakan indikator jumlah glukosa

dalam bahan makanan. Apabila makanan tersebut mengandung gula reduksi

tinggi maka kadar glukosa darah cepat meningkat demikian sebaliknya. Gula

reduksi berkaitan pula dengan indeks glikemik (IG) pangan dimana bahan

makanan yang memiliki gula reduksi tinggi kemungkinan IG tinggi. IG Pasta

talas belitung sebesar 29 – 45, lebih rendah dibanding kentang (41 - 59) dan ubi

jalar ungu (54 - 68) (Rimbawan dan Siagian, 2004). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung maka kadar

gula reduksi cenderung menurun. Bagi penderita DM, konsumsi makanan dengan

kadar gula reduksi rendah menjadi saat penting karena makanan tersebut tidak

cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Makanan dengan kadar gula reduksi

tinggi akan meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat setelah dikonsumsi

dan hal tersebut berbahaya bagi penderita DM.

5.2.7 Karbohidrat

Hasil penelitian menunjukkan kadar karbohidrat mie basah pasta talas

belitung hasil penelitian berkisar 37.41 – 51.59 g/100 g bahan dengan rata-rata

43.13 g/100 g. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe

kedelai maka kadar karbohidrat mie basah cenderung menurun sebagaimana

Page 80: Ika Heri Kustanti_1003000069

67

disajikan pada tabel 5.7. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta

talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh

yang signifikan (ρ = 0.003) terhadap kadar karbohidrat mie basah pasta talas

belitung (Tabel Lampiran 7). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test

(DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15%

dan tepung tempe kedelai 5% (P1) telah memberikan pengaruh penurunan kadar

karbohidrat yang signifikan, dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung

memberikan pengaruh penurunan kadar karbohidrat yang tidak signifikan (P1-P3).

Tabel 5. 7 Kadar Karbohidrat Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf

Perlakuan

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :

Tepung Tempe Kedelai

Rata- rata Kadar

Karbohidrat (g)

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 51.59a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 42.97b

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 40.53b

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 37.41b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Penurunan karbohidrat dipengaruhi oleh kadar air, abu, protein, lemak dan

serat kasar mie basah. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, kadar

karbohidrat cenderung menurun. Hal tersebut disebabkan kandungan karbohidrat

pada pasta talas belitung lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu masing-

masing 34% dan 77% (Mahmud, 2004). Peningkatan subtitusi tepung tempe juga

tidak memberikan kontribusi karbohidrat yang besar karena tepung tempe kedelai

termasuk dalam bahan pangan dengan karbohidrat rendah. Sebagaimana

dijelaskan Cahyadi (2006) bahwa kandungan karbohidrat tepung tempe kedelai

sebesar 29.6% sehingga penurunan subtitusi tepung terigu akan menurunkan

kadar karbohidrat mie basah pasta talas belitung. Kadar protein, lemak, dan serat

terendah adalah taraf perlakuan P0 dengan subtitusi 100% tepung terigu yaitu 4.8

g/100 g, 9.8 g/100 g dan 0.87 g/100 g namun memiliki kadar karbohidrat tertinggi

yaitu 51.59 g/100 g. Sedangkan kadar karbohidrat terendah terdapat pada mie

basah taraf perlakuan P3 dengan subtitusi pasta talas belitung 40%, tepung tapioka

10% dan tepung tempe 15% yang memiliki kadar protein, lemak dan serat

tertinggi sebesar 6.1 g/100 g, 12 g/100 g dan 1.86 g/100 g.

Page 81: Ika Heri Kustanti_1003000069

68

Rendahnya karbohidrat mie basah pasta talas belitung merupakan

keunggulan tersendiri apabila dikonsumsi penderita DM. Berbagai jenis

karbohidrat termasuk monosakarida, disakarida dan polisakarida. Bagi penderita

DM harus membatasi konsumsi karbohidrat jenis monosakarida karena

meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat. Berbeda dengan karbohidrat

jenis polisakarida termasuk oligosakarida yang banyak terdapat pada umbi-

umbian, antara lain talas belitung. Jenis karbohidrat polisakarida (kompleks) akan

merespon glukosa secara lambat sehingga tidak terjadi peningkatan kadar glukosa

darah secara cepat. Karbohidrat mempunyai banyak fungsi bagi tubuh. Fungsi

utama karbohidrat yaitu sumber energi dimana satu gram karbohidrat setara

dengan 4 Kalori (Winarno, 2004). Energi tersebut berasal dari metabolisme

makanan. Makanan yang dimetabolisme akan menghasilkan glukosa, cepat

lambatnya proses metabolisme tergantung pada jenis karbohidrat yang ada di

dalam makanan. Makanan yang mengandung karbohidrat monosakarida akan

cepat dimetabolisme sehingga kadar glukosa darah cepat meningkat. Berbeda

dengan jenis karbohidrat oligosakarida (kompleks) yang melalui beberapa tahap

pemecahan dalam proses metabolisme sebelum menghasilkan glukosa sehingga

proses metabolisme relatif lebih lama. Makanan dengan jenis karbohidrat

kompleks baik bagi penderita DM karena tidak meningkatkan kadar glukosa darah

secara cepat.

5. 3 Nilai Energi

Nilai energi mie basah pasta talas belitung berkisar 252 – 288 Kalori/100 g

dengan rata-rata 264.95 ± 16 Kalori/100 g. Semakin tinggi subtitusi pasta talas

belitung maka nilai energi mie basah pasta talas belitung cenderung menurun,

sebagaimana disajikan pada Tabel 5.8. Hasil analisis statistik Oneway Anova

pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas Belitung

memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.025) terhadap nilai energi mie basah

pasta talas belitung (Tabel Lampiran 8). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple

Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30% (P1) telah

memberikan pengaruh penurunan nilai energi yang signifikan dan semakin tinggi

Page 82: Ika Heri Kustanti_1003000069

69

subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh penurunan nilai energi yang

tidak signifikan (P1-P3).

Penurunan nilai energi mie basah pasta talas belitung dipengaruhi oleh

kandungan zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, protein dan lemak.

Sebagaimana dijelaskan Almatsier (2003) bahwa nilai energi ditentukan oleh

kandungan karbohidrat, protein dan lemak makanan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa zat gizi menentukan penurunan nilai energi mie basah pasta

talas belitung adalah kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat menurun dengan

meningkatnya subtitusi pasta talas belitung karena kadar karbohidrat pasta talas

belitung lebih rendah dibanding tepung terigu masing-masing 34.2% dan 77.3%

(Mahmud, 2004). Secara empiris, nilai energi tepung terigu lebih tinggi

dibanding pasta talas belitung masing-masing 333 Kalori/100 g dan 145

Kalori/100 g.

Tabel 5. 8 Nilai Energi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung

Tapioka : Tepung Tempe Kedelai

Rata-rata Nilai Energi

(Kalori/100 g)

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 288a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 261b

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 259b

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 252b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Penurunan nilai energi yang dipengaruhi oleh penurunan karbohidrat

diikuti dengan peningkatan kadar serat dan protein dalam mie basah pasta talas

belitung. Hal ini sesuai dengan tujuan pengolahan mie basah pasta talas belitung

yaitu menghasilkan makanan yang baik bagi penderita DM, dimana makanan

tersebut tidak hanya sumber energi tetapi juga sumber oligosakarida (serat pangan

tak larut). Oligosakarida mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran

makanan dalam saluran pencernaan sehingga penderita DM akan merasa kenyang

dan tidak cepat lapar. Sebagaimana dijelaskan Rimbawan dan Siagian (2004)

bahwa serat pangan tak larut memperlambat lewatnya makanan pada saluran

pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses

pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon glukosa darah menjadi lebih

rendah.

Page 83: Ika Heri Kustanti_1003000069

70

Mie basah pasta talas belitung memberi kontribusi energi 13%/100 g dari

kebutuhan energi penderita DM sebesar 1900 Kalori/ hari. Energi tersebut lebih

rendah dibandingkan dengan beras dan kentang, yaitu 18%/100 g dan 17%/100 g

dengan total kebutuhan yang sama (PERKENI, 2011). Walaupun nilai energi mie

basah pasta talas belitung lebih rendah namun energi tersebut berasal dari

karbohidrat dalam bentuk oligosakarida (serat pangan tak larut) sehingga

memperlambat respon glukosa darah dan tidak mempercepat peningkatan kadar

glukosa darah.

5. 4 Mutu Fisik

5.4.1 Elastisitas

Hasil penelitian menunjukkan elastisitas mie basah pasta talas belitung

berkisar 10.00 – 46.67% dengan rata-rata 30.83 ± 12%. Semakin tinggi subtitusi

pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai, elastisitas mie basah pasta talas

belitung cenderung menurun sebagaimana disajikan pada Gambar 5.2. Hasil

analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan (p =

0.005) terhadap elastisitas mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 9).

Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa

subtitusi pasta talas belitung 35%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai

10% (P2) telah memberikan pengaruh penurunan elastisitas yang signifikan.

Penurunan elastisitas mie basah pasta talas belitung disebabkan karena

bahan subtitusi mie basah yang digunakan (pasta talas belitung, tepung tapioka

dan tepung tempe kedelai) merupakan bahan yang rendah gluten. Penurunan

subtitusi tepung terigu membuat elastisitas mie basah pasta talas belitung

cenderung menurun. Gluten terdapat di dalam tepung terigu. Sebagaimana

dijelaskan Astawan (2008) bahwa keistimewaan terigu diantara serealia lainnya

adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan mie menyebabkan mie

yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan.

Lebih lanjut, Rustandi (2011) mengatakan bahwa gluten merupakan campuran

protein gliadin dan glutenin yang terkumpul bersama pati di dalam lapisan

endosperm gandum. Gluten membuat adonan menjadi kenyal dan dapat

Page 84: Ika Heri Kustanti_1003000069

71

mengembang karena mampu mengikat udara. Pengurangan terigu dalam

pengolahan mie basah pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap elastisitas mie basah pasta talas belitung.

Pada taraf perlakuan P1-P3 disubtitusi dengan tepung tapioka untuk

memperbaiki elastisitas mie basah pasta talas belitung akibat penurunan proporsi

tepung terigu karena tepung tapioka memiliki sifat mengikat. Sebagaimana

dijelaskan Belitz dan Grosch (1999) bahwa tepung tapioka memiliki sifat sebagai

bahan pengikat. Tapioka mengandung 17% amilosa dan 73% amilopektin.

Lebih lanjut, Winarno (2004) menambahkan bahwa perbandingan amilosa dan

amilopektin yang terdapat pada tepung dapat mempengaruhi sifat tepung.

Semakin rendah kadar amilosa maka semakin tinggi kadar amilopektin. Jika

kadar amilosa rendah maka pati akan semakin kental dan lekat demikian

sebaliknya. Namun, tetap terjadi penurunan elastisitas pada taraf perlakuan P1-P3.

Keterangan : P0 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0

P1 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5

P2 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka :Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10

P3 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka :Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α= 0.05)

Gambar 5. 2 Rata-rata Elastisitas Mie Basah tiap Taraf Perlakuan

Penurunan subtitusi tepung terigu yang membuat penurunan elastisitas tiap

taraf perlakuan. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein

dan sumber karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan

Page 85: Ika Heri Kustanti_1003000069

72

dalam pengolahan mie adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari gliadin

(prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk

pengolahan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis

dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksi (Rustandi, 2011).

Elastisitas taraf perlakuan subtitusi tepung terigu 50% (P1) relatif sama

dengan taraf perlakuan P0 karena subtitusi tepung terigu yang cukup tinggi

dibandingkan taraf perlakuan yang lain. Elastisitas merupakan parameter uji fisik

bagi produk mie dimana semakin tinggi nilai elastisitas mie maka menunjukkan

tekstur mie semakin baik. Sebagaimana dijelaskan Kusrini (2008) dalam

Rustandi (2011) bahwa kualitas mie yang ideal adalah kenyal, elastis, halus

permukaannya dan tidak lengket. Salah satu upaya untuk mengolah mie basah

agar tidak lengket adalah dengan menambahkan tepung tapioka.

5.4.2 Daya Putus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya putus mie basah pasta talas

belitung berkisar 0.3 – 2.9 N dengan rata-rata sebesar 1.15 ± 0.93 N. Semakin

tinggi subtitusi pasta talas belitung maka nilai gaya daya putus mie basah pasta

talas belitung cenderung menurun, sebagaimana disajikan pada Gambar 5.3.

Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%

menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung

tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.000) terhadap daya

putus mie basah pasta talas belitung. Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple

Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa penambahan subtitusi pasta talas

belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P1) telah

memberikan pengaruh penurunan daya putus yang signifikan (Tabel Lampiran

10).

Daya putus merupakan besarnya gaya tiap satuan luas penampang bahan

yang dibutuhkan untuk memutuskan suatu produk (Yuwono, 1998). Rendahnya

daya putus mie basah pasta talas belitung dipengaruhi oleh sifat masing-masing

bahan subtitusi. Pasta talas belitung bersifat lunak dan tidak mengandung gluten

sehingga membuat tekstur mie basah pada taraf perlakuan (P1-P3) lebih lunak

dibandingkan mie basah pada taraf perlakuan (P0). Hal tersebut membuat beban

Page 86: Ika Heri Kustanti_1003000069

73

gaya yang diberikan untuk memotong/memutus mie basah pasta talas belitung

lebih kecil dibandingkan dengan mie basah pada taraf perlakuan P0. Selain itu,

kadar air pasta talas belitung relatif tinggi, yaitu 63% (Mahmud, 2004) dan rendah

gluten sehingga tidak mampu memperkuat tektur mie basah pasta talas belitung.

Bahan semi basah (pasta) talas belitung apabila bercampur dengan bahan kering

(tepung-tepungan) akan mempengaruhi tekstur yang terbentuk, salah satunya

adalah mudah putus.

Subtitusi tepung tapioka tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap

nilai gaya putus mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P1-P3. Hal

tersebut berbeda dengan taraf perlakuan P0 dimana nilai gaya putusnya relatif

lebih tinggi meskipun tanpa subtitusi tepung tapioka. Hal tersebut dipengaruhi

kandungan tepung tapioka yang rendah gluten sehingga tidak mampu memperkuat

tekstur mie basah pasta talas belitung saat diberikan gaya. Daya putus merupakan

parameter kualitas fisik mie selain elastisitas. Daya putus menggambarkan

ketahanan mie selama pengolahan terutama terhadap perlakuan mekanis. Mie

basah pasta talas belitung memiliki nilai daya putus cenderung rendah sehingga

rawan putus selama proses pengolahan karena teksturnya cenderung lebih lunak

dibandingkan mie dari tepung terigu (taraf perlakuan P0).

Keterangan : P0 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0

P1 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5

P2 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10

P3 (Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α= 0.05)

Gambar 5. 3 Rata-rata Daya Putus Mie Basah tiap Taraf Perlakuan

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

P0 P1 P2 P3

Daya P

utu

s (N

)

Taraf Perlakuan

a0.7

0.50.8

2.5

bb

b

Page 87: Ika Heri Kustanti_1003000069

74

5. 5 Mutu Organoleptik

5.5.1 Warna

Tingkat penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung

pada saat menjadi mie basah dan mie goreng masing-masing sebesar 40 – 85%

dan 70 – 90%. Warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng

adalah kuning gelap. Hal tersebut dipengaruhi oleh bahan penyusun mie basah

yang mampu menghasilkan reaksi selama proses pengolahan antara lain reaksi

Maillard. Warna kuning gelap tersebut membuat penerimaan kesukaan panelis

terhadap warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng

cenderung menurun. Berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung

tapioka dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p =

0.004) terhadap warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie

goreng. Uji lanjut, Mann-Whitney menunjukkan bahwa pasangan taraf perlakuan

yang memberikan pengaruh signifikan adalah antara P0 dengan P2 dan P0 dengan

P3, namun berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung

tapioka dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p

= 0.884) terhadap warna mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie

goreng (Tabel Lampiran 11). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaan

penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung pada tiap taraf

perlakuan saat masih berupa mie basah dan settelah menjadi mie goreng relatif

sama.

Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap

warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng adalah tidak

suka (2) sampai suka (3). Sedangkan modus tingkat kesukaan terhadap warna

setelah menjadi mie goreng adalah suka (3). Tingkat penerimaan dan modus hasil

uji kesukaan terhadap warna mie basah disajikan pada Gambar 5. 4 dan Tabel

5.9.

Page 88: Ika Heri Kustanti_1003000069

75

Tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung

cenderung menurun sebelum menjadi mie goreng salah satunya dipengaruhi oleh

subtitusi tepung tempe kedelai. Peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai

menghasilkan mie basah dengan warna kuning gelap. Warna kuning gelap ini

cenderung menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie basah.

Rustandi (2011) menjelaskan bahwa warna yang disukai konsumen adalah warna

krem segar untuk mie segar (mie ayam) sedangkan untuk mie basah biasanya

berwarna kuning.

Tabel 5. 9 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Warna Mie Basah Sebelum dan

Setelah Menjadi Mie goreng

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas

Belitung : Tepung Tapioka : Tepung

Tempe Kedelai

Modus

Mie Basah

Mie Goreng

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 3a 3

a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 3a 3

a

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 2b 3

a

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 2b 3

a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Warna kuning gelap pada mie basah pasta talas belitung dapat berasal dari

warna tepung tempe kedelai yang merupakan salah satu bahan penyusun mie

0

10

20

30

40

50

60

P0 P1 P2 P3

53.78

42.85

34.4530.92

37.3242.4 41.2 41.08

Mea

n R

an

k

Taraf PerlakuanMie Basah

Mie Goreng

Gambar 5. 4

Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Warna Mie basah

Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng

Page 89: Ika Heri Kustanti_1003000069

76

basah dan reaksi Maillard yang terjadi selama pemanasan mie basah.

Sebagaimana dijelaskan Winarno (2008) bahwa ada lima hal yang menyebabkan

suatu bahan makanan berwarna gelap antara lain reaksi Maillard yang terjadi

akibat reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi.

Peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai kedelai menyebabkan semakin

coklatnya warna mie basah. Hal ini membuktikan bahwa terjadi reaksi Maillard

yang lebih besar apabila subtitusi tepung tempe kedelai semakin tinggi.

Visualisasi warna mie basah sebelum pemberian bumbu disajikan pada Gambar

5. 1.

Warna kuning gelap mie basah pasta talas belitung dapat perbaiki dengan

pemberian bumbu sehingga menjadi mie goreng. Panelis memberikan penilaian 3

(suka) pada mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie goreng. Bumbu

mie basah akan bercampur dengan mie sehingga berdasarkan analisis statistik

Kruskal Walis menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung tapioka

dan tepung tempe kedelai pada tingkat penerimaan panelis terhadap warna

memberikan pengaruh yang tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa

tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas

belitung pada tiap taraf perlakuan setelah menjadi mie goreng relatif sama

5.5.2 Aroma

Tingkat penerimaan panelis terhadap aroma mie basah pasta talas belitung

sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing sebesar 60 – 70% dan 70

–95%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap

aroma mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng adalah 3 (suka).

Tingkat penerimaan dan modus hasil uji kesukaan terhadap aroma mie basah

disajikan pada Gambar 5.5 dan Tabel 5.10. Berdasarkan analisis statistik Kruskal

Walis dengan tingkat kepercayaan 95% memberikan pengaruh yang tidak

signifikan terhadap aroma mie basah pasta talas belitung sebelum (p = 0.760) dan

setelah menjadi mie goreng (p = 0.539) (Tabel Lampiran 12). Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap aroma mie

basah pasta talas belitung pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi

mie goreng relatif sama.

Page 90: Ika Heri Kustanti_1003000069

77

Gambar 5. 5

Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Aroma Mie

basah Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng

Tabel 5. 10 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Aroma Mie Basah Sebelum dan

Setelah Menjadi Mie goreng

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas

Belitung : Tepung Tapioka : Tepung

Tempe Kedelai

Modus

Mie Basah Mie Goreng

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 3a 3

a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 3a 3

a

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 3a 3

a

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 3a 3

a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie basah pasta talas belitung

cenderung menurun dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung

tempe kedelai. Berdasarkan modus tingkat kesukaan terhadap aroma mie basah

pasta talas belitung relatif sama antara sebelum dan setelah menjadi mie goreng.

Peningkatan subtitusi pasta talas belitung tidak berpengaruh besar terhadap aroma

mie basah pasta talas belitung karena talas belitung tidak beraroma mencolok.

Penurunan tingkat penerimaan kesukaan panelis terhadap aroma mie basah pasta

talas belitung antara lain dipengaruhi peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai.

Semakin tinggi subtitusi tepung tempe kedelai, mie basah pasta talas belitung

akan beraroma langu sehingga tingkat penerimaan panelis terhadap aroma mie

0

10

20

30

40

50

P0 P1 P2 P3

40.0244.85

38.92 38.2

46.4

39.2 38.737.7

Mea

n R

an

k

Taraf PerlakuanMie Basah

Mie Goreng

Page 91: Ika Heri Kustanti_1003000069

78

basah pasta talas belitung cenderung menurun. Aroma langu pada tepung tempe

kedelai disebabkan oleh aktivitas enzim lipoksigenase yang secara alami terdapat

dalam kedelai. Enzim lipoksigenase dapat menghidrolisis asam lemak tak jenuh

ganda dan menghasilkan senyawa-senyawa volatil penyebab aroma langu,

khususnya etil fenil keton.

Pada subtitusi tepung tempe kedelai 5%, aroma mie basah pasta talas

belitung normal sama seperti mie basah pada umumnya. Peningkatan subtitusi

tepung tempe kedelai sampai 15% pada mie basah pasta talas belitung

menimbulkan aroma langu namun tidak mencolok. Pada penelitian ini, sebelum

dilakukan proses penepungan, tempe yang digunakan di-blanching terlebih dahulu

pada suhu 100°C selama 15 menit sehingga aroma langu dapat diminimalisir. Hal

ini dilakukan untuk menginaktivasi enzim lipoksigenase yang terdapat dalam

tempe. Cowan dalam Paula (2006) menyebutkan bahwa proses steam blanching

dengan pengukusan pada suhu 70 – 100°C selama 10 sampai 15 menit pada

pembuatan tepung tempe kedelai telah mampu menginaktivasi enzim

lipoksigenase dan memperbaiki aroma tepung yang dihasilkan.

5.5.3 Rasa

Tingkat penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung

sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing berkisar 35 – 70 dan 60

– 75%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap

rasa mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing adalah

tidak suka (2) sampai suka (3) dan 3 (suka). Tingkat penerimaan dan modus hasil

uji kesukaan terhadap aroma mie basah disajikan pada Gambar 5.6 dan Tabel

5.11. Berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat kepercayaan

95% mie basah pasta talas belitung sebelum dan setelah menjadi mie goreng

memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0.422) dan (p = 0.585) terhadap

rasa mie basah (Tabel Lampiran 13). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

kesukaan penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung pada

tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif sama.

Page 92: Ika Heri Kustanti_1003000069

79

Gambar 5. 6

Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Rasa Mie basah

Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng

Tabel 5. 11 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Mie Basah Sebelum dan

Setelah Menjadi Mie goreng

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas

Belitung : Tepung Tapioka : Tepung

Tempe Kedelai

Modus

Mie Basah Mie Goreng

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 3a 3

a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 2b 3

a

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 2b 3

a

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 2b 3

a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung

sebelum menjadi mie goreng cenderung menurun dengan peningkatan subtitusi

pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai. Semakin tinggi subtitusi pasta

talas belitung, rasa mie basah akan terasa hambar. Rasa hambar tersebut mungkin

dipengaruhi oleh talas belitung yang tidak berasa. Sebenarnya, talas akan

meninggalkan rasa gatal setelah dikonsumsi karena talas mengandung kalsium

oksalat. Namun, kalsium oksalat dapat hilang dengan cara merendam talas

belitung ke dalam larutan cuka selama 45 menit sebelum pengolahan menjadi

pasta. Sehingga pasta talas belitung yang digunakan tidak menimbulkan rasa

gatal tetapi rasanya menjadi hambar. Sebagaimana dijelaskan Schumm (1978)

dalam Ridal (2003) bahwa perlakuan tertentu yang didasarkan kepada sifat

0

10

20

30

40

50

P0 P1 P2 P3

47.45

38.75 37.65 38.1542.1

35.6

44.1 40.2

Mea

n R

an

k

Taraf PerlakuanMie Basah

Mie Goreng

Page 93: Ika Heri Kustanti_1003000069

80

kimiawi kalsium oksalat juga dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan

kristal kalsium oksalat dalam talas belitung. Perlakuan tersebut adalah dengan

melarutkan kalsium oksalat dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium

oksalat menjadi asam oksalat.

Rasa mie basah pasta talas belitung tidak jauh berbeda dengan mie basah

pada taraf perlakuan kontrol (P0) yaitu normal dan hampir tidak berasa apapun.

Hal tersebut dikarenakan bahan baku P0, berupa tepung terigu memang tidak

memiliki rasa apapun. Mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie goreng

menjadi lebih berasa karena pengaruh pemberian bumbu. Hal tersebut membuat

tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung

pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif sama.

Produk mie basah harus memenuhi persyaratan SNI 01‐2897‐1992 dimana syarat

mutu rasa mie basah adalah normal. Berdasarkan hal tersebut, rasa mie basah

subtitusi pasta talas belitung tiap taraf perlakuan telah memenuhi standart SNI

yang ditentukan. Lebih lanjut Rustandi (2011) menjelaskan bahwa rasa mie basah

yang tidak disukai oleh konsumen adalah berasa adonan mentah, tepung dan

berasa alkali/bersabun. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah

kurang lamanya mengaduk adonan sehingga bahan-bahan mie belum tercampur

secara merata sehingga adonan masih berasa tepung serta penambahan garam

alkali yang terlalu banyak (> 0.1 – 0.75%) akan membuat mie berasa alkali

bahkan berasa pahit.

5.5.4 Tekstur

Tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas belitung

sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing- masing berkisar 50 – 65% dan

55 – 75%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan

terhadap tekstur mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng adalah suka

(3). Tingkat penerimaan dan modus hasil uji kesukaan terhadap tekstur mie

basah disajikan pada Gambar 5.7 dan Tabel 5.12. Berdasarkan analisis statistik

Kruskal Walis dengan tingkat kepercayaan 95% mie basah subtitusi pasta talas

belitung, tepung tempe dan tepung tapioka memberikan pengaruh yang tidak

signifikan sebelum (p = 0.485) dan setelah (p = 0.135) menjadi mie goreng

Page 94: Ika Heri Kustanti_1003000069

81

terhadap tekstur mie basah (Tabel Lampiran 14). Hal ini menunjukkan bahwa

tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas

belitung pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif

sama.

Tabel 5.12 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur Mie Basah Sebelum dan

Setelah Menjadi Mie goreng

Taraf Perlakuan

(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung :

Tepung Tapioka : Tepung Tempe Kedelai

Modus

Mie Basah

Mie Goreng

P0 ( 100 : 0 : 0 : 0 ) 3a 3

a

P1 ( 50 : 30 : 15 : 5) 2b 3

a

P2 ( 40 : 35 : 15 : 10) 2b 3

a

P3 ( 35 : 40 : 10 : 15) 2b 3

a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α = 0.05)

Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas belitung

cenderung menurun. Peningkatan subtitusi pasta talas belitung mempengaruhi

tingkat penerimaan kesukaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas

belitung. Tekstur mie menunjukkan kualitas dari mie yang dihasilkan. Hasil

analisis menunjukkan bahwa terjadi penurunan elastisitas dan daya putus mie

basah seiring dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung. Hal tersebut

0

10

20

30

40

50

P0 P1 P2 P3

46.1

41.137.6 36.9

4038 37.2 36.8

Mea

n R

an

k

Taraf PerlakuanMie BasahMie Goreng

Gambar 5.7 Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Tekstur Mie

basah Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng

Page 95: Ika Heri Kustanti_1003000069

82

dipengaruhi oleh penurunan penggunaan tepung terigu yang mengandung gluten

dimana gluten merupakan pembentuk tekstur mie basah. Keistimewaan terigu

diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan

mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan

dan pemasakan. Rustandi (2011) menjelaskan bahwa tekstur mie yang disukai

adalah kenyal dan sedikit keras tetapi mempunyai gigitan yang empuk serta

permukaan halus. Salah satu parameter pengujian tekstur mie adalah elastisitas

dan daya tahan putus.

Berdasarkan analisis daya putus mie basah dimana daya putus mie basah

pasta talas belitung (P1-P3) memiliki nilai gaya putus lebih kecil dibandingkan

dengan mie basah pada taraf perlakuan kontrol (P0) dan nilai elastisitas yang

semakin menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat masing-masing bahan

subtitusi. Semakin rendah elastisitas dan daya putus mie basah maka mie tersebut

akan mudah hancur selama proses pengolahan. Namun, hal itu tidak

mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur setelah menjadi mie

goreng karena hasilnya relatif sama dengan tingkat kesukaan panelis pada saat

mie basah. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama proses pengolahan, mie

basah pasta talas belitung tetap mampu menjaga teksturnya (tingkat

kekerasan/kemudahan hancur relatif sama antara saat mie basah dan setelah

menjadi mie goreng) sehingga modus tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur

juga meningkat.

5. 6 Taraf Perlakuan Terbaik

Berdasarkan hasil penilaian taraf perlakuan terbaik menunjukkan bahwa

variabel yang terpenting untuk mie basah adalah karbohidrat, gula reduksi, nilai

energi dan serat kasar. Karbohidrat memegang peran penting dalam kehidupan,

karena merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang

mempunyai harga relatif lebih murah (Kartasapoetra, 2005). Sumber karbohidrat

adalah serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan dan gula (Almatsier, 2004).

Karbohidrat yang terdapat dalam makanan pada umumnya hanya tiga jenis yaitu

monosakarida, disakarida, dan polisakarida (Sediaoetama, 1985). Untuk

memelihara kesehatan, WHO (1990) menganjurkan agar 60 - 75% konsumsi

Page 96: Ika Heri Kustanti_1003000069

83

energi total berasal dari karbohidrat kompleks dan paling banyak hanya 10%

berasal dari gula sederhana (Almatsier, 2004). Paradigma baru tentang indeks

glikemik bahan makanan membuat masyarakat harus memilih mana makanan

yang mampu meningkatkan indeks glikemik secara cepat maupun makanan

dengan jenis karbohidrat yang lambat diserap oleh usus. Pengenalan karbohidrat

berdasarkan efek terhadap kadar gula darah dan respon insulin (berdasarkan IG)

berguna sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber

karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Dengan

mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak

meningkatkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah

dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Makanan yang memiliki IG rendah

membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar glukosa

darah (Rimbawan danSiagian, 2004).

Makanan berserat merupakan makanan yang liat, sukar dicerna dan

memberikan isi sehingga untuk mencerna perlu waktu lebih lama karena makanan

berserat tinggal lebih lama di dalam lambung. Selain itu, serat banyak terdapat

pada kacang-kacangan seperti kacang kedelai beserta produk olahannya seperti

tempe memiliki pengaruh yang besar terhadap penyerapan karbohidrat. Dalam

penatalaksanaan diet penderita DM, serat memiliki sifat memperlambat

penyerapan karbohidrat sehingga mampu mengontrol peningkatan kadar glukosa

darah (E. Mary. 1993). Serat larut memiliki kemampuan memperlambat

penyerapan glukosa sehingga menunda dan mengurangi kenaikan kadar glukosa

darah sedangkan serat tidak larut mengurangi proses glukoneogenesis yang

berpengaruh terhadap peningkatan sekresi insulin sehingga dapat mengurangi

kenaikan kadar glukosa (Meyes, 2003). Hal tersebut yang menjadikan serat kasar

penting bagi penderita DM.

Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi.

Hal ini dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang

termasuk gula reduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan

galaktosa (Budiyanto, 2002). Glukosa dalam tubuh berfungsi sebagai sumber

energi. Glukosa dalam darah berasal dari penyerapan usus dari makanan yang

mengandung karbohidrat dari nasi, ubi, jagung, kentang dan lain- lain. Kadar

Page 97: Ika Heri Kustanti_1003000069

84

glukosa dalam darah dapat melonjak atau berlebihan/ hiperglikemik. Keadaan ini

akan memicu munculnya DM yang merupakan suatu kelainan yang terjadi karena

tubuh kekurangan atau kerusakan hormon insulin sehingga glukosa tetap beredar

dalam darah dan sukar menembus dinding sel. Hasil taraf perlakuan terbaik untuk

rata- rata rangking variabel disajikan pada Tabel 5. 13.

Taraf perlakuan P3 dalam pengolahan mie basah dengan subtitusi talas

belitung 40%, tepung tapioka 10% dan tepung tempe 15% memiliki total nilai

tertinggi yaitu 0.64 (Lampiran 6). Karakteristik nilai energi dan kadar zat gizi

mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P3 disajikan pada Tabel 5. 14.

Tabel 5. 13 Rata- rata dan Rangking Variabel dalam Penentuan Taraf Perlakuan

Terbaik

Variabel Rata- rata Rangking

Karbohidrat 1.266 1

Gula reduksi 0.308 2

Serat Kasar 0.126 3

Nilai Energi 0.054 4

Protein 0.030 5

Tekstur 0.021 6

Rasa 0.015 7

Elastisitas 0.011 8

Lemak 0.009 9

Daya putus 0.006 10

Aroma 0.004 11

Warna 0.003 12

Abu 0.002 13

Air 0.002 14

Hal terpenting dalam penatalaksanaan diet penderita DM adalah

pengontrolan asupan karbohidrat. Kadar karbohidrat P3 lebih rendah dibanding

dengan beras dan kentang. Pada taraf perlakuan P3 dimana subtitusi pasta talas

belitung paling tinggi sebesar 40% mempengaruhi kadar karbohidrat dan gula

reduksi. Gula reduksi merupakan jumlah glukosa yang mampu diserap oleh

tubuh. Talas belitung merupakan jenis umbi yang kaya karbohidrat jenis

oligosakarida sehingga kadar gula reduksinya rendah. Hal tersebut terlihat dari IG

talas belitung, yaitu 29 – 45 lebih rendah dibanding kentang (41 - 59) dan ubi jalar

ungu (54 - 68), (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Page 98: Ika Heri Kustanti_1003000069

85

Tabel 5. 14 Karakteristik Mie Basah Pada Taraf Perlakuan (P3)

Karakteristik Mie Basah Pasta Talas

Belitung

Syarat Mutu Mie

Basah

(SNI 01‐2891‐1992)

Energi (Kalori) 252 -

Kadar Karbohidrat (g) 37.41 -

Kadar Protein (g) 12 Min 8

Kadar Lemak (g) 6.1 -

Kadar Serat Kasar (g) 1.86 -

Kadar Abu (g) 1.5 Maks 3

Kadar Air (g) 41 20 – 35

Kadar Gula Reduksi (mg/dl) 0.173 -

Elastisitas (%) 20 -

Daya Putus (N) 0.7 -

Warna Kuning gelap Normal

Aroma Tidak beraroma Normal

Rasa Hambar Normal

Tekstur Elastis dan agak lunak Normal

Tabel 5. 15 Perbandingan Kandungan Gizi Mie Basah Pasta Talas Belitung

Kalori/ hari 1900 2100

Bahan

Makanan

(g)

Mie Pasta

Talas

Belitung

(100)

Beras

(100)

Kentang

(200)

Mie Pasta

Talas

Belitung

(100)

Beras

(100)

Kentang

(200)

Energi (%) 13 18 17 12 17 16

Karbohidrat

(%) 12.5 26 25 12 24 24

Protein (%) 20 14 13 19 13.5 13

Lemak(%) 13 3.5 0.8 11.5 3 3.2

Serat (%) 7 0.8 8 7 0.8 8

Sumber: PERKENI (2011)

Pengetahuan tentang IG pangan membuat penderita DM secara mandiri

dengan mudah dapat memilih makanan yang mengenyangkan namun tidak cepat

meningkatkan kadar glukosa darah. Memilih makanan dengan IG rendah, secara

tidak langsung menunjukkan konsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh

karena itu, pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep IG juga

mendukung upaya penganekaragaman makanan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Pada umumnya penderita DM melakukan diet non nasi dan mengganti dengan

kentang. Hal tersebut memang memiliki dampak positif karena dapat mengurangi

jumlah konsumsi beras namun harga kentang yang relatif lebih mahal dan nilai IG

Page 99: Ika Heri Kustanti_1003000069

86

yang relatif lebih tinggi dapat menjadikan talas belitung alternatif pangan lokal

untuk penatalaksanaan diet penderita DM.

Mie basah pasta talas belitung yang diolah dengan bahan-bahan pilihan

berupa pasta talas belitung, tepung tempe dan bahan pengikat berupa tepung

tapioka memiliki keunggulan kandungan gizi dibandingkan dengan mie basah

pada umumnya (100% tepung terigu). Faktor lain untuk mengkonsumsi mie

basah pasta talas belitung karena beras yang dikonsumsi di Indonesia telah

mengalami penyosohan lanjut sehingga rendah serat dan secara umum memiliki

IG tinggi (Winarno, 2012) sehingga diharapkan para penderita DM mengurangi

asupan beras. Pada taraf perlakuan P3, hasil uji kesukaan terhadap warna, aroma,

rasa dan tekstur mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng

cenderung menurun. Namun, setelah menjadi mie goreng rata-rata meningkat

atau relatif sama dibandingkan sebelum menjadi mie goreng. Sehingga mie basah

pasta talas belitung pada taraf perlakuan P3 masih bisa dikembangkan dan

dipromosikan sebagai bahan makanan penukar sumber energi bagi penderita DM

mengingat kandungan gizi dan manfaatnya yang cukup besar selain bahan

bakunya banyak tersedia di masyarakat.

Tabel 5. 16 Angka Kecukupan Gizi Per Takaran Saji

Kandungan

Gizi

(Makan

Siang)

Energi (Kkal)

1900 2100

Kecukupan*)

Mie

Talas

(150 g)

Tingkat

konsumsi

(%)

Kecukupan*)

Mie

Talas

(200 g)

Tingkat

Konsumsi

(%)

Energi

(Kkal) 570 378 67 630 504 80

Karbohidrat

(g) 90 56.11 62 96 74.82 78

Protein (g) 18 18 100 18.6 24 129

Lemak (g) 14.4 9.1 63 16 12.2 76

*PERKENI (2011)

Tabel 5.16 menunjukkan jumlah takaran saji mie basah pasta talas belitung

yang bisa dikonsumsi sebagai menu sehari-hari. Namun, tidak dianjurkan hanya

mengkonsumsi mie basah pasta talas belitung saja meskipun dengan konsumsi

200 g telah memenuhi kebutuhan protein satu kali makan (makan siang = 30%

total energi, 1900 Kalori/hari) karena masih ada zat-zat gizi lain yang mengalami

defisit seperti karbohidrat. Selain itu, kurang sesuai dengan PUGS (Pesan Umum

Page 100: Ika Heri Kustanti_1003000069

87

Gizi Seimbang) tentang makanlah makanan yang beraneka ragam. Sehingga, mie

basah pasta belitung dapat dikonsumsi dengan menambahkan sayuran untuk

melengkapi zat-zat gizi lain yang mengalami defisit sekaligus menambah sumber

serat. Mie basah pasta talas belitung aman dikonsumsi bagi penderita DM tipe

apapun dengan tetap memperhatikan total kebutuhan zat gizi sehari-hari seperti

penderita DM dengan komplikasi nefropati yang membatasi jumlah konsumsi

protein sehingga dalam mengkonsumsi mie basah pasta talas belitung harus

menambahkan asupan serat dari sayuran (apabila protein dalam satu kali waktu

makan penderita telah tercukupi dari mie basah pasta talas belitung).

Page 101: Ika Heri Kustanti_1003000069

88

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung maka nilai energi mie basah

pasta talas belitung cenderung menurun. Demikian dengan mutu kimia

yaitu kadar karbohidrat dan gula reduksi cenderung menurun namun kadar

air, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat cenderung meningkat dan

kadar abu relatif sama. Analisis mutu fisik menunjukkan bahwa semakin

tinggi subtitusi pasta talas belitung maka elastisitas dan daya putus mie

basah pasta talas belitung cenderung menurun.

2. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung maka tingkat penerimaan

panelis terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur mie basah pasta talas

belitung sebelum menjadi mie goreng cenderung menurun. Namun,

setelah menjadi mie goreng tingkat penerimaan panelis terhadap warna,

aroma, rasa dan tekstur mie basah pasta talas belitung relatif sama bahkan

cenderung meningkat.

3. Taraf perlakuan P3 dalam pengolahan mie basah dengan subtitusi talas

belitung 40%, tepung tapioka 10% dan tepung tempe 15% merupakan taraf

perlakuan terbaik dengan total nilai, yaitu 0.64. Energi dan karbohidrat

yang dihasilkan taraf perlakuan P3 lebih rendah namun kadar protein dan

lemak mie basah pasta talas belitung lebih tinggi dibandingkan beras

maupun kentang. Lemak dan protein tersebut membantu proses

metabolisme penderita DM. Keunggulan lainnya adalah talas belitung

kaya akan oligosakarida sehingga kadar gula reduksinya rendah.

Walaupun tingkat penerimaan panelis terhadap warna dan tekstur

cenderung menurun namun setelah mie basah pasta talas belitung menjadi

mie goreng, tingkat penerimaan tersebut akan meningkat.

Page 102: Ika Heri Kustanti_1003000069

89

6.2 Saran

1. Mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P3 dapat dijadikan

salah satu makanan penukar sumber energi dalam penatalaksaan diet

penderita DM dan merupakan taraf perlakuan terbaik karena memiliki

energi, karbohidrat dan gula reduksi yang relatif rendah. Selain itu, mie

basah pada taraf perlakuan P3 memiliki protein (asam amino lisin dan

arginin) yang bermanfaat bagi penderita DM dan kandungan serat yang

lebih tinggi dibanding mie basah pada taraf perlakuan P0.

2. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menjadikan mie basah pasta talas

belitung menjadi mie instan agar memiliki daya simpan yang lebih lama

dan analisis kadar oligosakarida dalam mie basah pasta talas belitung

untuk melihat bagaimana hubungannya dengan gula reduksi.

Page 103: Ika Heri Kustanti_1003000069

90

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Yuyun. 2010. Aneka Resep dan Kiat Usaha Mi Ayam Gerobak dan

Bakmi Resto. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama.

Anomin. 2006. Teknologi Mie Instan. http://www.ebookpangan.com.

Dikunjungi 02 januari 2013.

Anonim. 2010b.[KlasifikasiTalas Belitung. http://www.plantamor.com/index.php]

. Dikunjungi 25 November 2012.

Astawan,M., 2008. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya : Jakarta.

Badan Standardiasi Nasional, 1992, SNI 01-2897-1992 tentang Mie Basah. Badan

Standardiasi Nasional, Jakarta.

Belitz HD, Grosch W (1999) Food Chemistry. Edisi ke-2. Terjemahan:

Burghagen et al. (ed). Lehrbuch der Lebbensmittelchemie. Edisi ke-4.

Springer Verlag, Berlin.

Bhathena SJ, Velasquez MT. Beneficial role of dietary phytoestrogens in obesity

and diabetes. Am J Clin Nutr 2002;76:1191–1201.

BPS. 2007 .Stastika Indonesia 2007. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

BPS. 2012. Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian dan Perkebunan.

[http://m.koran-jakarta.com/?id=109044&mode_beritadetail=1] diakses

tanggal 28 Desember 2012.

Departemen Perdagangan Indonesia, 2008. Import Tepung Terigu.

http://www.depdag.go.id/ . Jakarta. Dikunjungi tanggal 27 Desember

2012.

Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. Profil Kesehatan Kabupaten Jombang

2011. Jombang : Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

Dzulkarnain, B. 1999. Kolesterol Tinggi? Hajar Pakai Seledri.

://www.indomedia.com/intisari/1996/april/seledri.htm, diakses 02 Januari

2013.

E. Mary. 1993. Ilmu Gizi dan Diet. Yayasan Essentia Medica : Yogyakarta

Page 104: Ika Heri Kustanti_1003000069

91

Faridah, D.N. dkk. 2008. Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi

pangan, IPB, Bogor.

Findi, Muhammad. 2008. Skirpsi. Perkembangan Industri Tepung Terigu di

Indonesia. FISIP. UI.

Ghozali DS, Handharyani E, Rimbawan. Pengaruh Tempe terhadap Kadar Gula

Darah dan Kesembuhan Luka pada Tikus Diabetik. Cermin Dunia

Kedokteran April 2010 Vol. 37 No. 3 : 167-173.

Harahap, Nur. 2007. Skripsi. Pembuatan Mie Basah dengan Penambahan

Wortel ( Daucus Carota L.). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera

Utara.

Hermianti, W. dan Silfia. 2011. Pengaruh Beberapa Jenis Talas (Xanthosoma sp)

dan Bahan Fortifikasi Pangan dalam Pembuatan Mie. Jurnal Litbang

Industri, (Vol. I No. 1. 2011 : 39 -45).

Indrasari, Siti. Korelasi Amilosa terhadap Konsistensi Gel, Nisbah Penyerapan

Air (NPP) dan Nisbah Pengembangan Volume (NPV) pada Beras Varietas

Lokal. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Indrasti, Dias. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma

sagitifolium) dalam pembuatan cookis. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Jusuf, M., & Marzempi, M.S., 1993. Pengolahan palawija dalam pengembangan

agroindustri. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami, Solok.

Kartasapoetra. 2005. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi Kesahatan dan Produktifitas

Kerja). Jakarta : Rineka Cipta.

Koswara, Sutrisno. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta : Pustaka Sinar

Harapan.

Kurniawati dan Fitriyono. 2012. Pengaruh Subtitusi Tepung Terigu dengan

Tepung Tempe dan Tepung Ubi Jalar Kuning terhadap Kadar Protein,

Kadar β- Karoten dan Mutu Organoleptik Roti Manis. Journal of Nutrition

College. Volume 1. Nomor 1. Hal 299- 312.

Lehninger A.L. 1982. Principles of Biochemistry (Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1)

Terjermahan: M. Theawijaya. Jakarta: Erlangga.

Mahmud, Mien dkk. 2004. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: Elex

Media Komputindo

Page 105: Ika Heri Kustanti_1003000069

92

Mann, Jim and A. Stewart Truswell (ed). Essentials of human nutrition (Third

edition). London: Oxford University Press, 2007.

Mardiah, 1994. Sifat Fungsional & Nilai Gizi Tepung Tempe Serta

Pengembangan Produk Olahannya Sebagai Makanan Tambahan Bagi

Anak. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Marinih. 2005. Pembuatan Keripik Kimpul Bumbu Balado dengan Tingkat Pedas

yang Berbeda. Semarang. Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi.

Univeristas Negeri Semarang.

Meyes PA. Glukoneogenesis dan Pengontrolan Kadar Glukosa Darah. Dalam :

Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia Harper 25th

edition. Jakarta: EGC; 2003. Hal. 178-216.

Moehyi, S. 1997. Pengaturan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Muchtadi D. 2010. Kedelai Komponen untuk Kesehatan. Bandung : Alfabeta. Hal

20-160.

Munarso, S dan Haryanto, Bambang. 2012. Perkembangan Teknologi

Pengolahan Mie. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen

Pertanian dan Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri,

BPPT.

Paula Kartika Dewi. Pengaruh lama fermentasi dan suhu pengeringan terhadap

jumlah asam amino lisin dan karakter fisiko kimia tepung tempe. [skripsi].

Semarang: Fakultas Pertanian Universitas Katolik Soegijapranata

Semarang. 2006.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan

DMTipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB. PERKENI; 2006. Hal 3-14, 30-31.

PERKENI. 2002. Konsensus pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia

Permatasari, Siti. dkk. 2009. Pengaruh Rasio Tepung Talas dan Tepung Terigu

terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Mie Basah. ISBN 978-602-8659-

02-4. Prosiding Seminar Nasional FTP UNUD 2009.

Persatuan Diabetes Indonesia. 2011. Gambaran Kepatuhan Penderita Diabetes

Melitus dalam Menjalankan Diet.

[http://hstw4n.blogspot.com/2012/08/gambaran-kepatuhan-penderita

diabetes.html] diakses 17 Desember 2012.

Page 106: Ika Heri Kustanti_1003000069

93

Rahadiyanti, Ayu. 2011. Artikel Penelitian. Pengaruh Tempe Kedelai terhadap

Kadar Glukosa darah pada Prediabetes. Universitas Diponegoro.

Semarang.

Rahmawati, Wida. Dkk. 2012. Karakterisasi Pati Talas ((Colocasia esculenta)

sebagai Alternative Sumber Pati Industri di Indonesia. Jurnal Teknologi

Kimia dan Industri, Vol 1. No. 1 Hal 347 – 351.

Richana, Widaningrum, Widowati S. 2008. Potensi Komoditas Harapan (Aneka

Umbi Lokal) dalam Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Teknologi

Pengolahan untuk Penganekaragaman Konsumsi Pangan. ISBN 978-979-

1116-14-5. Hlm 109-135. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Pascapanen Pertanian. Bogor.

Rimbawan, dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih

Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rustandi, Deddy. 2011. Produksi Mi. Solo : Metagraf

Sarwono,B.2003. Membuat Tempe Dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1985. Ilmu Gizi utuk mahasiswa dan profesi jilid

1. Jakarta: Dian Rakyat.

Setianingrum, A.W. dan Marsono, 1999. Pengkayaan vitamin A dan vitamin E

dalam Pembuatan Mie instant Menggunakan Minyak Sawit Merah.

Kumpulan Penelitian Terbaik Bogasari 1998-2001, Jakarta.

Soegondo, Sidartawan. 2006. Diabetes, The Silent Killer.

http://medicastore.com/diabetes/2009. [27 November 2012].

Soekarto, Soewarno T. 1985. Penilaian Organoleptik Jakarta: Bhratara aksara.

Soenaryo, E., 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan

Teknologi Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan

Makanan Pertanian. Liberty, Yogyakarta

Sulaeman, A, dkk. 1995. Metode Analisis Mutu kimia dan Komponen Kimia

Lainnya Dalam Makanan. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Suprapti,M.L. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta.

Page 107: Ika Heri Kustanti_1003000069

94

Suyono S. DM di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 4.

Jakarta : Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 1852-56.

Syahbania, Nur. 2012. Studi Pemanfaatan talas (Colocasia esculenta) sebagai

bahan pengisi dalam pembuatan es krim. Skripsi. Universitas Hasanuddin

Makasar.

Syarief, R dan A.Irawati.1988. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian.

Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Ubaidillah, M., 2000. Penambahan Pengental pada Mie. Karya Ilmiah, F-MIPA,

USU, Medan.

Villegas R, Gao YT, Gong Y, Li HL, Elasy TA, Zheng W, et al. Legume and soy

food intake and the incidence of type 2 diabetes in the Shanghai Women’s

Health Study. Am J Clin Nutr 2008;87:162–7.

Waluyo, S. 2009. 100 Question&Answer Diabetes. Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko K. Hasil Penelitian Indeks

Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. Hal 10-16.

Waspadji, S. dkk. 2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Balai Penerbit FK UI:

Jakarta.

Widowati, Sri. 2007. Sehat dengan Pangan Indks Glikemik Rendah. Warta

Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, No. 3.

Widyaningsih, T.B. dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada

Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya.

Widyastuti, S.K., dkk. 2001. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) sebagai

Model Diabetes Mellitus : Pengaruh Hiperglikemia pada Lipid Darah,

Serum Oksida, Nitrit, dan Tingkah Laku Monyet. Jurnal Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Vol 2 (2).

Winarno, F. G, 2012 dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Diabetes

dan Indeks Glikemik Penurunan Konsumsi Beras. Jakarta.

Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wirdayanti. 2012. Studi Pembuatan Mie Kering dengan Penambahan Pasta Ubi

Jalar, Pasta Kacang Tunggak dan Pasta Tempe Kacang Tunggak.

Skripsi. Teknologi Pertanian : Universitas Hasanuddin

Page 108: Ika Heri Kustanti_1003000069

95

Wiyono, Paulus. 2004. Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 sebagai Usaha

Menghambat Peningkatan Prevalensi dan Komplikasinya. Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah

Mada.

Yitnosumarto, Suntoyo. 1993. Percobaan Perancangan Analisis dan

Interpretasinya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Yuwono. S. dan Tri Susanto. 2001. Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi

Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya.

Page 109: Ika Heri Kustanti_1003000069

96

Lampiran 1. Syarat Mutu Mie Basah

MI BASAH

SNI 01‐2897‐1992

1. Ruang Lingkup

Standar ini meliputi definisi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara

uji, syarat penandaan dan cara pengemasan mi basah.

2. Acuan

SNI 01‐0222‐1995, Bahan Tambahan Makanan

SNI 19‐0428‐1989, Petunjuk Pengambilan Contoh Padatan.

SNI 01‐2891‐1992, Cara Uji Makanan dan Minuman.

SNI 01‐2894‐1992, Cara Uji Bahan Tambahan Makanan/Bahan Perngawet.

SNI 01‐2895‐1992, Cara Uji Pewarna Tambahan Makanan.

3. Definisi

Mi basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau

tanpa pengambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang

diijinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan.

4. Cara Pengambilan Contoh

Cara pengambilan contoh sesuai dengan SNI 19‐0428‐1989, Petunjuk

Pengambilan Contoh padatan.

5. Cara Uji

5.1. Keadaan

Cara uji keadaan sesuai dengan SNI 01‐2891‐1992, Cara Uji Makanan

dan Minuman, butir 1.2.

5.2 Persiapan conoth untuk uji kimia

Cara persiapan contoh sesuai dengan SNi 01‐2891‐1992, Cara Uji

Makanan dan Minuman Untuk Contoh Padatan, butir 4

5.3. Air

Cara uji air sesuai dengan SNI 01‐2891‐1992, butir 5.1

5.4. Abu

Cara uji abu sesuai dengan SNI 01‐2891‐1992, Cara Uji Makanan dan

Minuman, butir 6.1.

Page 110: Ika Heri Kustanti_1003000069

97

5.5. Protein

Cara uji protein sesuai dengan SNI 01‐2891‐1992, Cara Uji Makanan

dan Minuman, butir 7.1.

5.6. Bahan tambahan makanan

5.6.1. Cara uji boraks dan asam borat sesuai dengan SNI 01‐2894‐1992,

Cara uji Bahan Tambahan yang Dilarang untuk Makanan, butir 3.1.

5.6.2. Cara uji pewarna makanan sesuai dengan SNI 01‐2895‐1992

5.6.3. Cara uji formalin sesuai dengan SNI 01‐2894, Cara Uji untuk

Bahan untuk Bahan Tambahan Makanan yang Dilarang untuk

Makanan.

5.6.4. Cemaran logam

Cara uji cemaran logam sesuai dengan SNI 19‐2896‐1992, Cara Uji

Cemaran Logam, butir 3.

5.6.5. Cemaran Arsen (As)

Cara uji cemaran arsen sesuai dengan SNI 19‐2896‐1992, Cara Uji

Cemaran Logam, butir 6.

5.6.6. Cemaran Mikroba

Cara uji cemaran mikroba sesuai dengan SNI 19‐2897‐1992, Cara

Uji Cemaran Mikroba.

6. Syarat Penandaan

Sesuai dengan Dep. Kes. R.I. yang belaku tentang label dan periklanan

makanan.

8. Syarat Pengemasan

Mi basah dikemas dalam wadah yang baik dan dapat melindungi isi dari

pencemaran tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi.

Page 111: Ika Heri Kustanti_1003000069

98

8. Syarat Mutu

Syarat mutu mi basah sesuai dengan Tabel di bawah ini :

Tabel Syarat mutu mi basah

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan :

1.1 Bau Normal

1.2 Rasa Normal

1.3 Warna Normal

2 Air %b/b 20 - 35

3 Abu (dihitung atas dasar bahan kering %b/b Maks. 3

4 Protein (N x 6.25) (dihitung atas dasar

bahan kering)

% b/b Min. 8

5 Bahan tambahan makanan

5.1 Boraks dan asam borat Tidak boleh ada

5.2 Pewarna Tidak boleh ada

5.3 Formalin Tidak boleh ada

6 Cemaran logam

6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 1.0

6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10

6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40

6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05

7 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5

8 Cemaran Mikroba

8.1 Angka lempeng total Koloni/ g Maks. 106

8.2 E. coli APM/g Maks. 10

8.3 Kapang Koloni/ g Maks. 1 x 104

Page 112: Ika Heri Kustanti_1003000069

99

Lampiran 2. Gambar Randomisasi dan Penentuan Desain Lay Out

Besar unit penelitian mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan

perlakuan, maka dalam penempatan unit penelitian digunakan randomisasi atau

pengacakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memberi nomor urut pada semua unit penelitian, yaitu 1 - 12

b. Mengambil bilangan random dari kalkulator menggunakan 3 digit sebanyak

jumlah unit penelitian sebagaimana disajikan pada Gambar 4.1.

c. Memberi ranking pada bilangan random yang diperoleh (Gambar 4.1).

1

158

1

2

378

3

3

495

7

4

460

6

5

897

11

6

915

12

7

385

4

8

530

8

9

264

2

10

615

10

11

443

5

12

554

9

Baris pertama : Nomor urut (Penempatan Unit Penelitian sebelum Randomisasi)

Baris kedua : Bilangan Random

Baris Ketiga : Ranking (Penempatan Unit Penelitian setelah Randomisasi)

Gambar 4.1 Nomor urut, Bilangan Random, dan Ranking

d. Dengan menggunakan prinsip permutasi sederhana, maka nomor ranking dapat

dianggap mewakili nomor urut sesuai dengan jumlah unit penelitian. Dengan

demikian taraf perlakuan P0 akan diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit

penelitian nomor 1, 9, dan 2. Taraf perlakuan P1 akan diulang 3 kali dan

ditempatkan pada unit penelitian nomor 7, 11, dan 4. Taraf perlakuan P2 akan

diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit penelitian 3, 8, dan 12. Taraf

perlakuan P3 akan diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit penelitian 10, 5,

dan 6.

e. Memasukkan unit penelitian dalam lay out.

Urutan 1 ditempati oleh unit penelitian X01, urutan 2 ditempati oleh unit

penelitian X03, urutan 3 ditempati oleh unit penelitian X21, dan seterusnya

sampai urutan 12 ditempati unit penelitian X23.

Page 113: Ika Heri Kustanti_1003000069

100

Lampiran 3. Formulir Uji Skala Kesukaan (Hedonic Scale Test)

Formulir Uji Skala Kesukaan (Hedonic Scale Test)

Nama Panelis :

Tanggal :

Contoh : “Mie Basah bagi penderita Diabetes Mellitus”

Instruksi : Dihadapan Saudara disajikan contoh “Mie Basah”. Saudara

diminta untuk memberikan penilaian terhadap tekstur, aroma, warna, dan rasa

dengan menggunakan skala penilaian sebagai berikut :

4 = Sangat Suka

3 = Suka

2 = Tidak Suka

1 = Sangat Tidak Suka

Setelah saudara mencicipi salah satu sampel saudara diminta berkumur

dengan air putih yang telah disediakan sebelum mencicipi sampel yang lain.

Selain itu saudara juga diminta memberikan kritik dan saran.

Kode

Sampel

Kriteria Penilaian

Tekstur Aroma Warna Rasa

385

460

158

264

Kritik dan Saran:

…………………………………………………………………………………………………………………………………………

Terima Kasih Atas Partisipasinya.

Page 114: Ika Heri Kustanti_1003000069

101

Lampiran 4. Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik

Panelis :

Tanggal :

Produk : “Mie Basah bagi penderita Diabetes Melitus”

Saudara diminta untuk mengemukakan pendapat tentang variabel yang

terpenting untuk menentukan Parameter Mutu Produk. Dengan cara merangking

(mengurutkan) 9 variabel dari tertinggi ke terendah dengan mencantumkan 1-9.

Angka terendah untuk variabel kurang penting dan angka tertinggi untuk variabel

yang terpenting. Pemberian nilai boleh sama apabila dirasa variabel yang dinilai,

sama penting.

Variabel Rangking

Nilai energi

Kadar karbohidrat

Kadar protein

Kadar serat

Kadar gula reduksi

Kadar lemak

Kadar air

Kadar abu

Elastisitas

Daya putus

Warna

Aroma

Rasa

Tekstur

Terima Kasih Atas Partisipasinya

Page 115: Ika Heri Kustanti_1003000069

102

Lampiran 5. Daftar Indeks Glikemik Bahan Pangan

Tabel 2.1 Nilai Indeks Glikemik Beberapa Jenis Pangan

No. Jenis/Nama Pangan Indeks glikemik

I.

Kue-kue

Kue pisang (dengan gula)

Kue bolu (plain)

Donat

39 - 55

40 - 52

76

II.

Minuman

Soft drink

Yakult

Jus tomat (tanpa gula)

46 - 74

40 - 52

34 – 42

III.

Roti

Oat bread

Roti tepung beras

roti tepung terigu

60

63 - 81

50 – 56

IV.

Biji Serealia

Barley

Jagung (USA)

Beras putih (Oryza sativa)

Tepung terigu

24 - 26

60

54 – 84

42

V.

Buah

Apel

Pisang

Semangka

Papaya

Nanas

36 - 40

46 - 51

59 - 85

58 - 60

51 – 67

VI.

Sayur dan Umbi

Wortel

Kentang rebus

Ubi jalar

Talas (Colocasia esculenta)

Yam (mbote)

Ubi kayu

31 - 63

41 - 59

54 - 68

44 - 68

29 - 45

46

VII.

Kacang-kacangan

Kacang kedelai

Kacang hijau

Kacang polong

Kacang merah

Kacang tanah

15 - 21

32

22

27

23

VIII. Snack

pop corn

potato crispy (Kanada)

48 - 62

44 – 58

Sumber : Foster-Powel K,dkk (2002) dan Marsono, dkk (2002) dalam Rimbawan

(2004).`

Page 116: Ika Heri Kustanti_1003000069

103

Lampiran 6. Hasil Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik

No Variabel Panelis

Jumlah Rata-Rata Ranking BV 1 2 3 4 5 6 7

1 Nilai Energi 13 10 10 11 12 12 11 79 11.3 4 0.84

2 KH 14 14 14 14 14 12 11 93 13.3 1 0.99

3 Protein 12 10 11 10 11 10 9 73 10.4 5 0.78

4 Serat Kasar 11 14 13 13 14 11 12 88 12.6 3 0.94

5 Lemak 8 10 11 12 14 9 6 70 10.0 9 0.75

6 Air 7 10 6 4 10 9 5 51 7.3 14 0.54

7 Abu 7 10 10 5 10 9 4 55 7.9 13 0.59

8 Gula reduksi 12 14 12 14 14 11 14 91 13.0 2 0.97

9 Elastisitas 10 12 7 7 11 12 14 73 10.4 6 0.78

10 Daya putus 9 12 7 6 11 12 13 70 10.0 10 0.75

11 Warna 6 10 8 8 9 10 9 60 8.6 11 0.64

12 Aroma 6 10 7 10 9 9 8 59 8.4 12 0.63

13 Rasa 13 10 9 10 10 9 10 71 10.1 8 0.76

14 Tekstur 11 12 8 9 11 9 12 72 10.3 7 0.77

Page 117: Ika Heri Kustanti_1003000069

104

Perlakuan Energi KH Protein Lemak Air Abu

Gula

Reduksi Elastisitas

Daya

Putus Serat Warna Aroma Rasa Tekstur

P0 288.0 51.59 9.76 4.73 31.95 1.10 0.248 43.33 2.53 0.87 3.2 2.6 2.6 2.6

P1 261.0 42.97 10.75 5.13 38.48 1.07 0.200 38.89 0.80 1.60 2.8 2.6 2.5 2.4

P2 259.0 40.53 11.43 5.67 39.27 1.39 0.193 21.11 0.53 1.71 2.5 2.9 2.3 2.7

P3 252.0 37.41 11.91 6.07 41.20 1.55 0.173 20.00 0.73 1.86 2.4 2.6 2.4 2.4

Min 288.0 51.59 9.76 4.73 31.95 1.07 0.248 20.00 0.53 0.87 2.4 2.6 2.3 2.4

Max 252.0 37.41 11.91 6.07 41.20 1.55 0.173 43.33 2.53 1.86 3.2 2.9 2.6 2.7

Max -

Min [-36.0] [-14.2] 2.2 1.3 9.3 0.5 [-0.1] 23.3 2.0 1.0 0.8 0.3 0.3 0.3

Page 118: Ika Heri Kustanti_1003000069

105

Hasil Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik Tiap Taraf Perlakuan

No Variabel BV BN

Perlakuan

P0 P1 P2 P3

NE NH NE NH NE NH NE NH

1 Nilai Energi 0.85 0.08 0.00 0.00 0.75 0.06 0.81 0.07 1.00 0.08

2 KH 1.00 0.10 0.00 0.00 0.61 0.06 0.78 0.07 1.00 0.10

3 Protein 0.79 0.08 0.00 0.00 0.46 0.03 0.78 0.06 1.00 0.08

4 Lemak 0.76 0.07 0.00 0.00 0.30 0.02 0.70 0.05 1.00 0.07

5 Air 0.48 0.05 0.00 0.00 0.71 0.03 0.79 0.04 1.00 0.05

6 Abu 0.54 0.05 0.06 0.00 0.00 0.00 0.67 0.03 1.00 0.05

7 Gula reduksi 0.99 0.09 0.00 0.00 0.64 0.06 0.73 0.07 1.00 0.09

8 Elastisitas 0.73 0.07 1.00 0.07 0.81 0.06 0.05 0.00 0.00 0.00

9 Daya putus 0.69 0.07 1.00 0.07 0.14 0.01 0.00 0.00 0.10 0.01

10 Serat Kasar 0.94 0.09 0.00 0.00 0.74 0.07 0.85 0.08 1.00 0.09

11 Warna 0.60 0.06 1.00 0.06 0.50 0.03 0.13 0.01 0.00 0.00

12 Aroma 0.60 0.06 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.06 0.00 0.00

13 Rasa 0.78 0.07 1.00 0.07 0.67 0.05 0.00 0.00 0.33 0.02

14 Tekstur 0.76 0.07 0.67 0.05 0.00 0.00 1.00 0.07 0.00 0.00

Jumlah 10.51

0.32

0.48

0.60

0.64

Page 119: Ika Heri Kustanti_1003000069

106

Lampiran 7. Data Organoleptik Mie Basah Tanpa Bumbu

Panelis Tekstur Aroma Warna Rasa

P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3

1 2 3 3 2 3 3 3 3 4 4 4 4 3 4 3 2

2 3 2 3 3 3 2 3 3 2 2 2 2 2 3 3 2

3 3 3 4 2 3 3 3 3 4 2 3 1 3 2 2 1

4 3 3 3 2 2 1 2 3 3 3 3 3 1 1 2 2

5 2 2 3 3 3 2 4 1 3 2 2 3 3 1 1 1

6 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3

7 3 2 2 3 3 2 4 3 4 2 2 2 3 3 3 2

8 3 2 2 2 3 4 2 2 3 3 2 2 3 2 2 2

9 2 4 3 3 3 3 4 3 4 3 1 1 3 3 3 3

10 3 1 2 3 1 3 1 2 4 3 2 2 3 2 2 3

11 3 1 2 3 1 3 1 2 3 3 2 1 3 2 2 3

12 3 2 4 2 3 3 3 3 4 4 3 3 3 4 3 3

13 2 2 2 2 3 3 2 2 3 2 2 2 3 2 2 2

14 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3

15 2 3 3 3 2 2 4 3 2 2 3 3 3 2 2 3

16 2 2 3 3 3 2 2 4 2 3 3 4 2 2 2 3

17 3 1 2 2 3 3 3 2 4 3 2 3 3 2 2 2

18 4 3 2 1 2 3 4 1 3 3 3 2 2 4 3 1

19 2 3 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2 1 2 2 2

20 2 3 3 2 4 4 4 4 3 3 3 2 4 4 3 4

Jumlah 52 48 55 49 53 53 57 52 64 56 50 47 53 49 47 47

Rata-

Rata 2.6 2.4 2.7 2.4 2.6 2.6 2.9 2.6 3.2 2.8 2.5 2.4 2.6 2.5 2.3 2.4

Median 3 2.5 3 2.5 3 3 3 3 3 3 2.5 2 3 2 2 2

Modus 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 2 2 2

Page 120: Ika Heri Kustanti_1003000069

107

Lampiran 8. Data Organoleptik Mie Basah Dengan Bumbu

Panelis Tekstur Aroma Warna Rasa

P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3

1 2 3 3 2 4 4 4 4 3 2 2 3 3 4 3 3

2 2 3 3 2 3 4 2 1 3 3 3 2 1 3 4 2

3 2 3 3 3 2 3 2 3 3 4 3 3 1 3 2 3

4 2 2 3 2 4 3 3 3 3 4 2 2 4 1 3 3

5 3 3 4 3 3 2 3 3 4 4 4 4 3 3 3 3

6 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3

7 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3

8 3 3 3 3 1 3 4 4 3 3 3 3 2 1 3 4

9 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3

10 3 2 4 1 3 3 2 3 4 4 4 4 3 3 3 3

11 3 3 2 3 3 4 4 4 4 3 4 4 3 3 3 3

12 4 3 2 2 3 3 3 3 4 3 4 4 2 2 4 2

13 2 3 4 4 3 3 3 3 1 2 3 4 3 3 3 2

14 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3

15 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 2 3

16 2 2 3 2 4 4 3 2 2 3 3 3 3 3 4 3

17 2 2 4 2 3 3 3 3 4 3 4 2 3 2 1 2

18 3 3 2 3 4 3 3 2 2 3 2 3 4 3 2 2

19 3 2 4 3 3 3 2 2 1 3 4 2 3 3 3 2

20 3 2 2 2 3 3 4 4 2 3 3 3 3 3 2 3

Jumlah 52 51 60 51 61 63 58 57 57 62 61 61 55 51 57 55

Rata-

Rata 2.6 2.6 3 2.6 3 3.2 2.9 2.9 2.9 3.1 3 3 2.8 2.6 2.9 2.8

Median 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Modus 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Page 121: Ika Heri Kustanti_1003000069

108

Lampiran 9. Hasil Analisis Mutu Kimia dan Fisik Mie Basah Pasta Talas

Belitung

Hasil Analisis Mutu Kimia (Kadar Air, Kadar Abu, Protein, Lemak, dan Gula

Reduksi) di Laboratorium Kimia Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes

Malang

Kode Taraf

Perlakuan

Kadar (g/100 g)

Air Abu Protein Lemak Gula Reduksi

554 2 38.4 0.95 10.92 5.2 0.223

615 1 42.1 0.92 10.93 4.8 0.189

530 2 41.2 1.39 11.44 6 0.169

443 1 33.0 1.38 10.42 5.2 0.197

158 0 33.5 1.43 9.93 4.6 0.288

264 1 40.4 0.91 10.91 5.4 0.215

897 3 45.0 0.96 11.42 6 0.190

385 2 38.2 1.83 11.92 5.8 0.186

460 3 37.8 1.85 11.90 6 0.153

495 0 30.2 0.93 9.43 5 0.212

378 0 32.1 0.94 9.92 4.6 0.243

915 3 40.8 1.83 12.40 6.2 0.175

Page 122: Ika Heri Kustanti_1003000069

109

Pembuatan Kurva Standart Gula Reduksi

Rumus Mencari Kurva Standart ( y = c + β x)

X C B β x Y

0.02 0.0917 2.185 0.0437 0.1354

0.04 0.0917 2.185 0.0874 0.1791

0.06 0.0917 2.185 0.1311 0.2228

0.08 0.0917 2.185 0.1748 0.2665

0.1 0.0917 2.185 0.2185 0.3102

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

1 2 3 4 5

KURVA GULA REDUKSI STANDART

Y

Blanko X Y Xi = x- xj Yi = y- yj Xi . Yi Xi2

1 0.02 0.166 -0.04 -0.0568 0.002272 0.0016

2 0.04 0.187 -0.02 -0.0358 0.000716 0.0004

3 0.06 0.145 0 -0.0778 0 0

4 0.08 0.276 0.02 0.0532 0.001064 0.0004

5 0.1 0.34 0.04 0.1172 0.004688 0.0016

Jumlah 0.3 1.114

0.00874 0.004

Rata- rata 0.06 0.2228

β = Xi . Yi 2.185

Xi2

C = y - (β.x)

hasil β . X

0.2228 - (2.185 X 0.06 ) 0.1311

Hasil C = 0.0917

Page 123: Ika Heri Kustanti_1003000069

110

Tabel Lampiran 1. Kadar Air Mie Basah

Descriptives

Air

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

P0 3 31.9333 1.65630 .95627 27.8189 36.0478 30.20 33.50

P1 3 38.5000 4.83839 2.79344 26.4808 50.5192 33.00 42.10

P2 3 39.2667 1.67730 .96839 35.1000 43.4333 38.20 41.20

P3 3 41.2000 3.61663 2.08806 32.2158 50.1842 37.80 45.00

Total 12 37.7250 4.57148 1.31967 34.8204 40.6296 30.20 45.00

ANOVA

Air

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 145.789 3 48.596 4.623 .037

Within Groups 84.093 8 10.512

Total 229.882 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Air

LSD

(I)

Perlaku

an

(J)

Perlaku

an

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 -6.56667* 2.64722 .038 -12.6712 -.4622

P2 -7.33333* 2.64722 .024 -13.4378 -1.2288

P3 -9.26667* 2.64722 .008 -15.3712 -3.1622

P1 P0 6.56667* 2.64722 .038 .4622 12.6712

P2 -.76667 2.64722 .779 -6.8712 5.3378

P3 -2.70000 2.64722 .338 -8.8045 3.4045

P2 P0 7.33333* 2.64722 .024 1.2288 13.4378

P1 .76667 2.64722 .779 -5.3378 6.8712

P3 -1.93333 2.64722 .486 -8.0378 4.1712

P3 P0 9.26667* 2.64722 .008 3.1622 15.3712

P1 2.70000 2.64722 .338 -3.4045 8.8045

P2 1.93333 2.64722 .486 -4.1712 8.0378

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 124: Ika Heri Kustanti_1003000069

111

Tabel Lampiran 2. Kadar Abu Mie Basah

Descriptives

Abu

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

P0 3 1.1000 .28583 .16503 .3900 1.8100 .93 1.43

P1 3 1.0700 .26851 .15503 .4030 1.7370 .91 1.38

P2 3 1.3900 .44000 .25403 .2970 2.4830 .95 1.83

P3 3 1.5467 .50817 .29339 .2843 2.8090 .96 1.85

Total 12 1.2767 .39200 .11316 1.0276 1.5257 .91 1.85

ANOVA

Abu

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups .479 3 .160 1.055 .420

Within Groups 1.211 8 .151

Total 1.690 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Abu

LSD

(I)

Perlaku

an

(J)

Perlaku

an

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 .03000 .31771 .927 -.7026 .7626

P2 -.29000 .31771 .388 -1.0226 .4426

P3 -.44667 .31771 .197 -1.1793 .2860

P1 P0 -.03000 .31771 .927 -.7626 .7026

P2 -.32000 .31771 .343 -1.0526 .4126

P3 -.47667 .31771 .172 -1.2093 .2560

P2 P0 .29000 .31771 .388 -.4426 1.0226

P1 .32000 .31771 .343 -.4126 1.0526

P3 -.15667 .31771 .635 -.8893 .5760

P3 P0 .44667 .31771 .197 -.2860 1.1793

P1 .47667 .31771 .172 -.2560 1.2093

P2 .15667 .31771 .635 -.5760 .8893

Page 125: Ika Heri Kustanti_1003000069

112

Tabel Lampiran 3. Kadar Protein Mie Basah

Descriptives

Protein

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

P0 3 9.7600 .28583 .16503 9.0500 10.4700 9.43 9.93

P1 3 10.7533 .28885 .16677 10.0358 11.4709 10.42 10.93

P2 3 11.4267 .50013 .28875 10.1843 12.6691 10.92 11.92

P3 3 11.9067 .49003 .28292 10.6894 13.1240 11.42 12.40

Total 12 10.9617 .90958 .26257 10.3837 11.5396 9.43 12.40

ANOVA

Protein

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 7.790 3 2.597 15.848 .001

Within Groups 1.311 8 .164

Total 9.101 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Protein

LSD

(I)

Perlaku

an

(J)

Perlaku

an

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 -.99333* .33050 .017 -1.7555 -.2312

P2 -1.66667* .33050 .001 -2.4288 -.9045

P3 -2.14667* .33050 .000 -2.9088 -1.3845

P1 P0 .99333* .33050 .017 .2312 1.7555

P2 -.67333 .33050 .076 -1.4355 .0888

P3 -1.15333* .33050 .008 -1.9155 -.3912

P2 P0 1.66667* .33050 .001 .9045 2.4288

P1 .67333 .33050 .076 -.0888 1.4355

P3 -.48000 .33050 .184 -1.2421 .2821

P3 P0 2.14667* .33050 .000 1.3845 2.9088

P1 1.15333* .33050 .008 .3912 1.9155

P2 .48000 .33050 .184 -.2821 1.2421

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 126: Ika Heri Kustanti_1003000069

113

Tabel Lampiran 4. Kadar Lemak Mie Basah

Descriptives

Lemak

N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

P0 3 4.7333 .23094 .13333 4.1596 5.3070 4.60 5.00

P1 3 5.1333 .30551 .17638 4.3744 5.8922 4.80 5.40

P2 3 5.6667 .41633 .24037 4.6324 6.7009 5.20 6.00

P3 3 6.0667 .11547 .06667 5.7798 6.3535 6.00 6.20

Total 12 5.4000 .58465 .16877 5.0285 5.7715 4.60 6.20

ANOVA

Lemak

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3.093 3 1.031 12.373 .002

Within Groups .667 8 .083

Total 3.760 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Lemak

LSD

(I)

Perlaku

an

(J)

Perlaku

an

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 -.40000 .23570 .128 -.9435 .1435

P2 -.93333* .23570 .004 -1.4769 -.3898

P3 -1.33333* .23570 .000 -1.8769 -.7898

P1 P0 .40000 .23570 .128 -.1435 .9435

P2 -.53333 .23570 .053 -1.0769 .0102

P3 -.93333* .23570 .004 -1.4769 -.3898

P2 P0 .93333* .23570 .004 .3898 1.4769

P1 .53333 .23570 .053 -.0102 1.0769

P3 -.40000 .23570 .128 -.9435 .1435

P3 P0 1.33333* .23570 .000 .7898 1.8769

P1 .93333* .23570 .004 .3898 1.4769

P2 .40000 .23570 .128 -.1435 .9435

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 127: Ika Heri Kustanti_1003000069

114

Tabel Lampiran 5. Kadar Serat Mie Basah

Descriptives

Serat

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

P0 3 .8667 .08505 .04910 .6554 1.0779 .78 .95

P1 3 1.5967 .42477 .24524 .5415 2.6519 1.14 1.98

P2 3 1.7067 .27062 .15624 1.0344 2.3789 1.41 1.94

P3 3 1.8567 .14012 .08090 1.5086 2.2047 1.70 1.97

Total 12 1.5067 .45743 .13205 1.2160 1.7973 .78 1.98

ANOVA

Serat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1.741 3 .580 8.273 .008

Within Groups .561 8 .070

Total 2.302 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Serat

LSD

(I)

Perlaku

an

(J)

Perlaku

an

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 -.73000* .21623 .010 -1.2286 -.2314

P2 -.84000* .21623 .005 -1.3386 -.3414

P3 -.99000* .21623 .002 -1.4886 -.4914

P1 P0 .73000* .21623 .010 .2314 1.2286

P2 -.11000 .21623 .625 -.6086 .3886

P3 -.26000 .21623 .264 -.7586 .2386

P2 P0 .84000* .21623 .005 .3414 1.3386

P1 .11000 .21623 .625 -.3886 .6086

P3 -.15000 .21623 .508 -.6486 .3486

P3 P0 .99000* .21623 .002 .4914 1.4886

P1 .26000 .21623 .264 -.2386 .7586

P2 .15000 .21623 .508 -.3486 .6486

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 128: Ika Heri Kustanti_1003000069

115

Tabel Lampiran 6. Kadar Gula Reduksi Mie Basah

Descriptives

Glukosa

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

P0 3 .24767 .038214 .022063 .15274 .34260 .212 .288

P1 3 .20033 .013317 .007688 .16725 .23341 .189 .215

P2 3 .19267 .027610 .015941 .12408 .26125 .169 .223

P3 3 .17267 .018610 .010745 .12644 .21890 .153 .190

Tota

l 12 .20333 .036405 .010509 .18020 .22646 .153 .288

ANOVA

Glukosa

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .009 3 .003 4.411 .041

Within Groups .005 8 .001

Total .015 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Glukosa

LSD

(I)

Perlaku

an

(J)

Perlaku

an

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 .047333 .021394 .058 -.00200 .09667

P2 .055000* .021394 .033 .00566 .10434

P3 .075000* .021394 .008 .02566 .12434

P1 P0 -.047333 .021394 .058 -.09667 .00200

P2 .007667 .021394 .729 -.04167 .05700

P3 .027667 .021394 .232 -.02167 .07700

P2 P0 -.055000* .021394 .033 -.10434 -.00566

P1 -.007667 .021394 .729 -.05700 .04167

P3 .020000 .021394 .377 -.02934 .06934

P3 P0 -.075000* .021394 .008 -.12434 -.02566

P1 -.027667 .021394 .232 -.07700 .02167

P2 -.020000 .021394 .377 -.06934 .02934

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 129: Ika Heri Kustanti_1003000069

116

Tabel Lampiran 7. Kadar Karbohidrat Mie Basah

Descriptives

Karbohidrat

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

P0 3 51.4367 2.14050 1.23582 46.1194 56.7540 49.27 53.55

P1 3 42.9467 4.47135 2.58153 31.8392 54.0541 39.58 48.02

P2 3 40.5433 2.20998 1.27594 35.0534 46.0332 38.20 42.59

P3 3 37.4233 3.21612 1.85683 29.4340 45.4126 33.94 40.28

Total 12 43.0875 6.06372 1.75045 39.2348 46.9402 33.94 53.55

ANOVA

Karbohidrat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 324.852 3 108.284 10.882 .003

Within Groups 79.604 8 9.951

Total 404.456 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Karbohidrat

LSD

(I)

Perlaku

an

(J)

Perlaku

an

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 8.49000* 2.57559 .011 2.5507 14.4293

P2 10.89333* 2.57559 .003 4.9540 16.8327

P3 14.01333* 2.57559 .001 8.0740 19.9527

P1 P0 -8.49000* 2.57559 .011 -14.4293 -2.5507

P2 2.40333 2.57559 .378 -3.5360 8.3427

P3 5.52333 2.57559 .064 -.4160 11.4627

P2 P0 -10.89333* 2.57559 .003 -16.8327 -4.9540

P1 -2.40333 2.57559 .378 -8.3427 3.5360

P3 3.12000 2.57559 .260 -2.8193 9.0593

P3 P0 -14.01333* 2.57559 .001 -19.9527 -8.0740

P1 -5.52333 2.57559 .064 -11.4627 .4160

P2 -3.12000 2.57559 .260 -9.0593 2.8193

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 130: Ika Heri Kustanti_1003000069

117

Tabel Lampiran 8. Nilai Energi Mie Basah

Descriptives

Energi

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum

Lower Bound

Upper

Bound

P0 3 2.8807E2 6.83805 3.94795 271.0800 305.0533 281.80 295.36

P1 3 2.6100E2 17.96401 10.37153 216.3749 305.6251 245.24 280.56

P2 3 2.5888E2 5.60328 3.23506 244.9607 272.7993 252.56 263.24

P3 3 2.5192E2 12.58005 7.26309 220.6694 283.1706 239.36 264.52

Total 12 2.6497E2 17.55008 5.06627 253.8159 276.1175 239.36 295.36

ANOVA

Energi

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2269.822 3 756.607 5.413 .025

Within Groups 1118.238 8 139.780

Total 3388.060 11

Post Hoc Tests Multiple Comparisons

Energi

LSD

(I)

Perlakua

n

(J)

Perlakua

n

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 27.06667* 9.65331 .023 4.8061 49.3273

P2 29.18667* 9.65331 .016 6.9261 51.4473

P3 36.14667* 9.65331 .006 13.8861 58.4073

P1 P0 -27.06667* 9.65331 .023 -49.3273 -4.8061

P2 2.12000 9.65331 .832 -20.1406 24.3806

P3 9.08000 9.65331 .374 -13.1806 31.3406

P2 P0 -29.18667* 9.65331 .016 -51.4473 -6.9261

P1 -2.12000 9.65331 .832 -24.3806 20.1406

P3 6.96000 9.65331 .491 -15.3006 29.2206

P3 P0 -36.14667* 9.65331 .006 -58.4073 -13.8861

P1 -9.08000 9.65331 .374 -31.3406 13.1806

P2 -6.96000 9.65331 .491 -29.2206 15.3006

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 131: Ika Heri Kustanti_1003000069

118

Tabel Lampiran 9. Elastisitas Mie Basah

Descriptives

Elastisitas

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

P0 3 43.3333 3.33500 1.92546 35.0487 51.6179 40.00 46.67

P1 3 38.8867 5.09211 2.93993 26.2372 51.5362 33.33 43.33

P2 3 21.1100 11.70454 6.75762 -7.9657 50.1857 10.00 33.33

P3 3 20.0000 3.33000 1.92258 11.7278 28.2722 16.67 23.33

Total 12 30.8325 12.31889 3.55616 23.0055 38.6595 10.00 46.67

ANOVA

Elastisitas

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1299.031 3 433.010 9.355 .005

Within Groups 370.274 8 46.284

Total 1669.306 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Elastisitas

LSD

(I)

Perlakua

n

(J)

Perlakua

n

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 4.44667 5.55483 .447 -8.3628 17.2561

P2 22.22333* 5.55483 .004 9.4139 35.0328

P3 23.33333* 5.55483 .003 10.5239 36.1428

P1 P0 -4.44667 5.55483 .447 -17.2561 8.3628

P2 17.77667* 5.55483 .013 4.9672 30.5861

P3 18.88667* 5.55483 .009 6.0772 31.6961

P2 P0 -22.22333* 5.55483 .004 -35.0328 -9.4139

P1 -17.77667* 5.55483 .013 -30.5861 -4.9672

P3 1.11000 5.55483 .847 -11.6995 13.9195

P3 P0 -23.33333* 5.55483 .003 -36.1428 -10.5239

P1 -18.88667* 5.55483 .009 -31.6961 -6.0772

P2 -1.11000 5.55483 .847 -13.9195 11.6995

. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 132: Ika Heri Kustanti_1003000069

119

Tabel Lampiran 10. Daya Putus Mie Basah

Descriptives

Putus

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval

for Mean

Minimum Maximum

Lower

Bound Upper Bound

P0 3 2.5333 .32146 .18559 1.7348 3.3319 2.30 2.90

P1 3 .8000 .00000 .00000 .8000 .8000 .80 .80

P2 3 .5333 .20817 .12019 .0162 1.0504 .30 .70

P3 3 .7333 .15275 .08819 .3539 1.1128 .60 .90

Total 12 1.1500 .85865 .24787 .6044 1.6956 .30 2.90

ANOVA

Putus

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 7.770 3 2.590 60.941 .000

Within Groups .340 8 .043

Total 8.110 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Putus

LSD

(I)

Perlakua

n

(J)

Perlakua

n

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

P0 P1 1.73333* .16833 .000 1.3452 2.1215

P2 2.00000* .16833 .000 1.6118 2.3882

P3 1.80000* .16833 .000 1.4118 2.1882

P1 P0 -1.73333* .16833 .000 -2.1215 -1.3452

P2 .26667 .16833 .152 -.1215 .6548

P3 .06667 .16833 .702 -.3215 .4548

P2 P0 -2.00000* .16833 .000 -2.3882 -1.6118

P1 -.26667 .16833 .152 -.6548 .1215

P3 -.20000 .16833 .269 -.5882 .1882

P3 P0 -1.80000* .16833 .000 -2.1882 -1.4118

P1 -.06667 .16833 .702 -.4548 .3215

P2 .20000 .16833 .269 -.1882 .5882

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 133: Ika Heri Kustanti_1003000069

120

Tabel Lampiran 11.1 Warna Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Warna P0 20 53.78

P1 20 42.85

P2 20 34.45

P3 20 30.92

Total 80

Test Statisticsa,b

Warna

Chi-Square 13.363

Df 3

Asymp. Sig. .004

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Warna P0 20 23.60 472.00

P1 20 17.40 348.00

Total 40

Test Statisticsb

Warna

Mann-Whitney U 138.000

Wilcoxon W 348.000

Z -1.862

Asymp. Sig. (2-tailed) .063

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .096a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan

Page 134: Ika Heri Kustanti_1003000069

121

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Warna P0 20 25.40 508.00

P2 20 15.60 312.00

Total 40

Test Statisticsb

Warna

Mann-Whitney U 102.000

Wilcoxon W 312.000

Z -2.861

Asymp. Sig. (2-tailed) .004

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .007a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Warna P0 20 25.78 515.50

P3 20 15.22 304.50

Total 40

Test Statisticsb

Warna

Mann-Whitney U 94.500

Wilcoxon W 304.500

Z -3.012

Asymp. Sig. (2-tailed) .003

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004

a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan

Page 135: Ika Heri Kustanti_1003000069

122

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Warna P1 20 22.80 456.00

P2 20 18.20 364.00

Total 40

Test Statisticsb

Warna

Mann-Whitney U 154.000

Wilcoxon W 364.000

Z -1.389

Asymp. Sig. (2-tailed) .165

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .221

a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Warna P1 20 23.65 473.00

P3 20 17.35 347.00

Total 40

Test Statisticsb

Warna

Mann-Whitney U 137.000

Wilcoxon W 347.000

Z -1.843

Asymp. Sig. (2-tailed) .065

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .091a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan

Page 136: Ika Heri Kustanti_1003000069

123

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Warna P2 20 21.65 433.00

P3 20 19.35 387.00

Total 40

Test Statisticsb

Warna

Mann-Whitney U 177.000

Wilcoxon W 387.000

Z -.673

Asymp. Sig. (2-tailed) .501

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .547

a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan

Page 137: Ika Heri Kustanti_1003000069

124

Tabel Lampiran 11.2 Warna Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Warna P0 20 37.32

P1 20 42.40

P2 20 41.20

P3 20 41.08

Total 80

Test Statisticsa,b

Warna

Chi-Square .653

Df 3

Asymp. Sig. .884

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan

Page 138: Ika Heri Kustanti_1003000069

125

Tabel Lampiran 12. 1 Aroma Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Aroma P0 20 40.02

P1 20 44.85

P2 20 38.92

P3 20 38.20

Total 80

Test Statisticsa,b

Aroma

Chi-Square 1.171

Df 3

Asymp. Sig. .760

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan

Tabel Lampiran 12.2 Aroma Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Aroma P0 20 46.40

P1 20 39.20

P2 20 38.70

P3 20 37.70

Total 80

Test Statisticsa,b

Aroma

Chi-Square 2.164

Df 3

Asymp. Sig. .539

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan

Page 139: Ika Heri Kustanti_1003000069

126

Tabel Lampiran 13.1 Rasa Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Rasa P0 20 47.45

P1 20 38.75

P2 20 37.65

P3 20 38.15

Total 80

Test Statisticsa,b

Rasa

Chi-Square 2.806

Df 3

Asymp. Sig. .422

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan

Tabel Lampiran 13.2 Rasa Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Rasa P0 20 42.10

P1 20 35.60

P2 20 44.10

P3 20 40.20

Total 80

Test Statisticsa,b

Rasa

Chi-Square 1.941

Df 3

Asymp. Sig. .585

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan

Page 140: Ika Heri Kustanti_1003000069

127

Tabel Lampiran 14.1 Tekstur Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank

tekstur P0 20 46.10

P1 20 41.40

P2 20 37.60

P3 20 36.90

Total 80

Test Statisticsa,b

Tekstur

Chi-Square 2.445

Df 3

Asymp. Sig. .485

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: perlakuan

Tabel Lampiran 14.2 Tekstur Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Tekstur P0 20 40.00

P1 20 38.00

P2 20 37.20

P3 20 36.80

Total 80

Test Statisticsa,b

Tekstur

Chi-Square 5.5514

Df 3

Asymp. Sig. .135

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan