ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · tenaga kerja diantar a mereka akan menciptakan...

35
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Perdaga nga n Bebas Perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan merupakan konsep ekonomi yang merujuk kepada sistem perdagangan barang dan jasa antar negara tanpa adanya intervensi pemerintah dalam bentuk tariff dan hambatan perdagangan lainya, seperti kuota, subsudi, dan pajak (Krugman dan Obstfeld, 2000; Husted dan Melvin, 2004). Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi, kebijakan perdagagan bebas dengan menghapuskan berbagai intervensi dan hambatan perdagangan diyakini dapat memperluas akses pasar yang diperlukan untuk mengembangkan ekspor (Wibowo, 2009). Perdagangan bebas, disamping akan meningkatkan impor negara yang membuka pasarnya melalui penghapusan tarif, juga akan meningkatan ekspor, sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selama periode 1999-2009 perdagangan telah menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. Selama periode tersebut total perdagangan dunia meningkat hampir tiga kali lipat dari US$ 12 trilyun pada tahun 1999 menjadi sekitar US$ 33 trilyun pada tahun 2009. Selama periode yang sama PDB dunia meningkat dari US$ 31 trilyun pada tahun 1999 menjadi US$ 58 trilyun pada tahun 2009. Hardono et al (2004) mengemukakan bahwa perdagangan bebas, minimum akan memberikan lima keuntungan yaitu: (1) akases pasar akan lebih luas karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling

Upload: doankhuong

Post on 21-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Perdaga ngan Bebas

Perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan merupakan konsep

ekonomi yang merujuk kepada sistem perdagangan barang dan jasa antar negara

tanpa adanya intervensi pemerintah dalam bentuk tariff dan hambatan

perdagangan lainya, seperti kuota, subsudi, dan pajak (Krugman dan Obstfeld,

2000; Husted dan Melvin, 2004). Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi,

kebijakan perdagagan bebas dengan menghapuskan berbagai intervensi dan

hambatan perdagangan diyakini dapat memperluas akses pasar yang diperlukan

untuk mengembangkan ekspor (Wibowo, 2009). Perdagangan bebas, disamping

akan meningkatkan impor negara yang membuka pasarnya melalui penghapusan

tarif, juga akan meningkatan ekspor, sehingga akan mendorong pertumbuhan

ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selama periode

1999-2009 perdagangan telah menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan

ekonomi dunia sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. Selama periode

tersebut total perdagangan dunia meningkat hampir tiga kali lipat dari US$ 12

trilyun pada tahun 1999 menjadi sekitar US$ 33 trilyun pada tahun 2009. Selama

periode yang sama PDB dunia meningkat dari US$ 31 trilyun pada tahun 1999

menjadi US$ 58 trilyun pada tahun 2009.

Hardono et al (2004) mengemukakan bahwa perdagangan bebas, minimum

akan memberikan lima keuntungan yaitu: (1) akases pasar akan lebih luas karena

liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang

menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling

31

menunjang, sehingga dapat diperoleh efisiensi; (2) iklim usaha lebih kompetitif,

sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi

dalam penggunaan sumberdaya; (3) mendorong terjadinya alih teknologi untuk

meningkatkan produktivitas dan efisiensi sebagaa akibat dari adanya arus

perdangangan dan investasi yang lebih bebas; (4) signal harga yang dihasilkan

lebih “benar”, sehingga dapat meningkatkan efisiensi investasi; dan (5)

kesejahteraan kosumen baik ditingkat individu maupun perusahaan akan

meningkat. Kesejahteraan individu meningkat karena tersedia beragam jenis

barang dengan harga relaif lebih murah sehingga daya beli (purchasing power)

bertambah, sementara dipihak lain perusahaan memperoleh keuntungan dari

kemudahan akses untuk mendapat sumber bahan baku, komponen, dan jasa yang

lebih kompetitif (Wibowo, 2009).

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

USD Triliun

Negara maju Negara Emerging dan Berkembang

Sumber: IMF, 2010 Gambar 5. Perkembangan Produk Domestik Bruto Dunia Tahun 1999-2009

32

0

5

10

15

20

25

30

35

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Trili

un U

S$Total Perdagangan

Ekspor

Sumber: WTO, 2010. Gambar 6. Perkembangan Ekspor dan Total Perdagangan Dunia Tahun 1999-

2009

Kebijakan perdagangan bebas pertama kali diprakarsai oleh negara-negara

Eropa dan Amerika setelah berakhirnya Perang Dunia II. Sistem perdagangan

bebas multilateral pada awal pembentukannya disebut dengan GATT (General

Agreement on Tariffs and Trade) yaitu suatu perjanj ian internasional mengenai

tarif dan perdagangan. Selama tiga dekade sejak kesepakatan GATT (1950-1980)

sistem multilateral telah mendominasi kebijakan perdagangan internasional

(Krueger,1999; Krugman dan Obstfeld, 2000). Namun sejak akhir 1980-an,

kebijakan perdagangan bebas mulai bergeser dari sistem multiteral ke sistem

regional melalui pembentukan Regional Trade Agreements (RTAs), baik dalam

bentuk kesepakatan pemberian konsesi tarif (Prefential Tariff Arranggements),

perdagangan bebas regional (Regional Free Trade ) maupun penyatuan sistem

pabean (Costums Union) (Wibowo, 2009).

Berkembang dan meluasnya berbagai kesepakatan RTAs yang dimulai sejak

awal tahun 1990-an dipicu oleh lamba nnya penyelesaian sistem perdagangan

multilateral dalam kerangka WTO, sehingga fenomena munculnya berbagai

33

bentuk RTAs menimbulkan banyak perdebatan diantara ahli ekonomi mengenai

relevansi RTAs dan masa depan sistem multilateral di bawah kerangka

GATT/WTO. Terkait dengan isu tersebut, terdapat dua kubu yang pro dan kontra

atas meluasnya fenomena RTAs tersebut. Kubu yang pro terhadap kebijakan

perdagangan bebas regional (Bergsten, 1997; Baldwin,1997; Ethier,1998; dan

Lawrence,1999) mengemukakan bahwa RTAs adalah langkah maju menuju

perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi WTO serta

sistem perdagangan internasional. Sementara itu, Michalak dan Gibb (1997), juga

mengemukakan pendapat yang hampir sama bahwa regionalisasi perdagangan

merupakan salah satu strategi awal bagi sebuah negara sebelum melibatkan diri

dalam proses perdagangan multiteral. Disamping itu, secara politis RTAs akan

lebih mudah dikelola oleh sebuah pemerintah dibandingkan dengan sistem

multilateral yang komplek dan berlarut larut (Desker, 2004). Dengan RTAs

diharapkan negara-negara di suatu kawasan dapat mengintegrasikan ekonomi

mereka kedalam sebuah sistem ekonomi yang lebih terbuka dengan melakukan

perdagangan intra-kawasan (Wibowo, 2009).

Sementara itu kelompok yang kontra terhadap kebijakan perdagangan bebas

regional (Bhagwati,1995; Krueger,1995; dan Panagariya,1999) berpendapat

bahwa RTAs justru akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral

karena akan memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota RTAs,

tetapi di sisi lainnya memproteksi pasar bagi negara-negara di luar angota RTAs.

Bhagwati (1995) mengeluarkan istilah yang sampai sekarang seringkali diingat

oleh berbagai pihak yang memahami kebijakan perdagangan sebagai efek

“spaghetti bowl”, yaitu keracunan atau kesulitan dalam menentukan asal usul

34

barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan

Preferential Trade Area (PTA).

Pembentukan Preferential Trade Area antara sebuah ekonomi besar dengan

ekonomi negara-negara berkembang seperti NAFTA, bertentangan dengan sistem

perdagangan bebas multilateral, sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar

tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbang

(Bhagwati dan Panagariya, 1996). Oleh karena itu, PTA akan lebih sesuai dengan

sistem perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang

yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif sama dan telah memiliki

hubungan pe rdagangan secara tradisional, seperti MERCOSUR, COMESA,

AFTA, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk diantara negara-

negara Amerika Selatan, negara-negara Afrika bagian Selatan dan negara-negara

anggota ASEAN. Jika PTA dilakukan antara negara maju dengan negra

berkembang, maka cakupan produk maupun subtansi kerjasama diantara

keduanya harus memasukan aspek ke rjasama ekonomi yang lebih luas di luar

perdagangan termasuk kerjasama dalam bentuk Capacity Bulding dan Technical

Assistance dari negara maju ke negara berkembang yang sepka t membentuk PTA

tersebut.

Sementara itu, sistem perdagangan bebas multilateral dimulai sejak adanya

kesepakatan GATT yang dibentuk pada tahun 1948. Selanjutnya, setelah

berakhirnya Putaran Uruguay tahun 1994, GATT diagantikan dengan WTO

(World Trade Organization), yang dibentuk pada tahun 1995. Indonesia sebagai

anggota GATT, selanjutnya meratifikasi pembentukan WTO melalui Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga Indonesia sebagai negara anggota dan

35

sekaligus bagian dari pendiri WTO memiliki kewajiban untuk memenuhi semua

perjanjian yang disepakati dalam WTO.

Prinsip prinsip perdagangan multilateral yang dianut dalam GATT/WTO

(WTO, 2010) adalah:

1. Trade without discrimination, yang berarti bahwa perdagangan dilakukan

tanpa diskriminasi, sehingga semua negara anggota WTO berhak atas

perlakuan yang sama atau Most-favoured Nation (MFN).

2. Free trade, yang berarti penghapusan dan penurunan hambatan perdagangan

ba ik tarif maupun non dilakukan secara bertahap melalui proses negosiasi.

3. Predictable through binding and transparency, artinya suatu negara (negara

anggota) tidak boleh memberlakukan hambatan perdagangan baik tarif

maupun non-tarif secara sepihak. Prinsip ini juga mengandung makna bahwa

tingkat tarif dan komitmen untuk membuka pasar domestik bersifat mengikat

(binding) dan untuk diketahui (notification) oleh semua anggota WTO.

4. Fair competion trade, artinya persaingan pe rdagangan harus dilakukan secara

sehat.

5. Encouranging development and economic reform, yang berarti bahwa sistem

perdagangan dibawah aturan WTO harus memberikan fleksibilitas kepada

kelompok negara berkembang untuk melaksanakan kesepakatan WTO.

Disamping itu, prinsip ini juga memberikan perlakuan kepada kelompok

negara berkembang agar diberi bantuan teknis dan konsesi perdagangan

tertentu guna mendukung pembagunan ekonomi nasionalnya.

Sampai saat ini perundingan perdagangan multilateral telah dilakukan

sebanyak sepuluh (10) kali putaran, dimulai tahun 1947 di Geneva hingga putaran

36

terakhir yang dikenal dengan putarn Doha atau Doha Development Agenda/DDA

(2001-sekarang) seperti terlihat pada tabel 12. Pada awalnya perundingan GATT

yang diikuti oleh beberapa negara anggota yang terutama dari kelompok negara

industri maju, .hanya membahas penurunan tarif perdagangan barang. Namun

dalam perkembangan selanjutnya topik perundingan GATT diperluas hingga

mencakup hampir semua aspek perdagangan, seperti tarif, tekstil, produk

pertanian, sumberdaya alam, perlindungan hak intelektual, investasi, jasa, dan

lain- lain (Wibowo, 2009). Perkembangan perundingan dan ruang lingkup yang

dibahas dalam GATT disajika n pada tabel 12. Putaran Doha atau DDA adalah

merupakan putaran perundingan perdagangan bebas multilateral yang paling lama

dalam sejarah WTO yaitu sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Disamping putaran

Doha, Putaran Uruguay ada lah juga putaran perundinga n yang terbesar dalam

catatan sejarah GATT, selain memakan waktu yang lama yaitu lebih dari tujuh

tahun (1986-1994), tetapi juga membahas hampir semua aspek liberalisasi

perdagangan internasional yang dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya

proteksionisme di negara-negara maju.

Hasil yang paling menonjol dari putaran Uruguay antara lain adalah

disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa (the General Agreement of

Trade in Services/GATS), perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait

dengan perdagangan (Trade-related Intelectual Property Rights/TRIPS),

perjanjian di sektor investasi (Trade-related Investement Mesures/TRIMSs) dan

pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) (Wibowo, 2009). Putaran

Uruguay juga telah berhasil menurunkan tingkat tarif produk manufaktur di

negara-negara indutri secara sugnifikan dari 6.3 persen menjadi 3.9 persen atau

37

penurunan sekitar 40 persen. Sedangkan di negara-negara industri sedang

berkembang, tarif manufaktur diturunkan dari rata-rata 15.3 persen menjadi 12.3

persen atau penurunan sebesar 30 persen (OECD,1998). Selanjutnya berdasarkan

hasil studi yang dilakukan oleh OECD (1998), menyimpulkan bahwa liberalisasi

perdagangan barang berdasarkan hasil Putaran Uruguay akan meningkatkan GDP

dunia sebesar US$ 94 Milyar setiap tahunya (dihitung pada tahun 1992), dan

apabila ditambah dengan hasil liberalisasi di sektor investasi, maka kenaikan GDP

dunia tersebut mencapai US$ 214 Milyar per tahun atau sekitar 1 persen dari total

output dunia pada 1992. Kesimpulan lainnya dari hasil studi yang dilakukan oleh

OECD tersebut juga menytakan bahwa manfaat liberalisasi perdagangan akan

dinikmati oleh negara-negara berkembang.

Di sektor pertanian, Uruguay Round Agreement on Agriculture (URAA)

telah disepakati oleh negara-negara GATT/WTO. Berdasarkan URAA, hambatan

non-tarif dalam perdagangan produk pertanian digantikan dengan tarif yang

meningkat (bound tariffs), dan disepakati untuk memperluas akses pasar dengan

mengurangi subsidi domestik dan subsidi eskpor (Wibowo, 2009). Menurut

Malian (2004) ada 3 kesepakatan penting di sektor pertanian yang dihasilkan

da lam putaran Uruguay, yaitu:

1. Penurunan tarif di negara-negara berkembang sebesar 24 persen selama 10

tahun. Sementara itu, penurunan tarif di negara-negara maju rata-rata sebesar

36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif selama 6 tahun.

2. Subs idi do mestik yang ada di negara-negara maju diturunkan sebesar 20

persen tanpa batas waktu, dan bagi negara berkembang subsidi domestik di

turunkan sebesar 13.3 persen selama 10 tahun. Selanjutnya, subsidi domestik

38

dibawah 5 persen yang ada di negara-negara maju dan 10 pe rsen di negara-

negara berkembang dari total nilai produk pertanian diperbolehkan.

3. Subsidi ekspor di negara-negara maju yang mencakup 24 persen dari jumlah

komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 36 persen.

Sedangkan untuk negara-negara berkembang yang mencakup 16 persen dari

jumlah komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 20 persen

selama 10 tahun.

Meskipun kesepakatan dalam sektor pertanian tersebut telah dicapai melalui

Putran Uruguay, pada kenyataannya masih banyak negara maju yang

memproteksi sektor pertaniannya secara berlebihan. Menurut Duncan et al, (1999)

beberapa fakta empirirs menunjukkan bahwa proteksi terhadap komoditi pertanian

di negara-negara maju cukup besar yaitu di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan

Jepang berkisar antara 116-463 persen. Pada tahun 1998, ketiga negara tersebut

memberikan subsidi ekspor kepada produk pertaniannya masing-masing sebesar

US$101.5 Milyar (Amerika Serikat), US$ 142.2 milyar (Uni Eropa), dan US$

56.8 milyar (Jepang). Selanjutnya OECD (1998) juga mencatat bahwa negara-

negara anggota OECD harus menanggung rata-rata sekitar 35 persen dari nilai

total produksi sektor pertaniannya untuk memproteksi pasar komoditi pertanian

tersebut. Tingginya proteksi sektor pertanian di negara-negara maju sangat

merugikan produsen di negara berkembang karena tertutupnya akses pasar untuk

ekspor dan penurunan harga komoditi pertanian (Wibowo, 2009). Malian (2004)

juga mencatat beberapa kelemahan dalam perjanjian sektor pertanian di WTO,

yaitu : (1) akses pasar ke negara maju relatif sulit karena sejak awal mereka telah

memiliki ”initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi; (2) dengan kekuatan kapital

39

yang dimiliki, negara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi

domestik yang tinggi untuk menorong ekspor dari surplus produksi komoditi

pertanian yang dimiliki; dan (3) dalam perjanjian WTO tidak terdapat fleksibilitas

yang memadai bagi negara-negara be rkembang untuk melakukan penyesuaian

tarif yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan setrategis

perdagangan komod iti di negara-negara tersebut.

Sejak dibentuknya WTO tahun 1995 dan dihasilkannnya Putaran Doha, di

bulan Nopember 2001, WTO memulai babak perundingan baru yang disebut

dengan Doha Development Agenda (DDA). Cakupan agenda yang dirundingkan

lebih luas dan lebih sulit dalam mencapai keepka tan diantara gap yang terjadi

antara negara maju dan negara berkembang. Agenda yang dirundingkan

mencakup: perdagangan produk pertanian, produk non pertanian, investasi, jasa,

isu lingkungan, dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa,

dan peraturan WTO. Menurut Wibowo (2009), perundingan di sektor pertanian

mencakup tiga isu penting yaitu: (1) perluasan akses pasar melalui penurunan

tarif; (2) penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan

ekspor yang kompetitif; dan (3) penghapusan/penurunan subsidi domestik kepada

petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar. Berdasarkan

program kerja Doha atau juga sering disebut dengan ”Paket Juli”

1. Subsidi domestik di negara-negara maju khusunya Eropa dan Amerika Serikat

harus dipotong sebesar 20 persen dari total subsidi domestiknya pada tahun

pertama implementasi perjanjian di sektor pertanian, dan membatasi subsidinya

sebesar 5 persen dari total produksi pertanian untuk kategori blue box.

perundingan

ketiga pilar sektor pertanian tersebut dilakukan atas dasar (Wibowo, 2009):

40

2. Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara pa ralel dengan

penghapusan elemen subsidi program yaitu: kredit ekspor, garansi kredit

ekspor atau program asuransi.

3. Untuk akses pasar, dilakukan penurunan tarif dengan menggunakan formula

bertingkat (tiered formula) terhadap tarif terikat (bound tariff). Dengan fomula

tersebut, maka akan memangkas tarif untuk beberapa produk yang bound tariff

nya masih tinggi seperti seperti komoditi beras dan gula di Indonesia.

Paket Juli 2004 juga memberikan pengecualian perubahan pada beberapa

jenis produk (Wibowo, 2009), yaitu: (1) produk khusus (special products) bagi

negara berkembang dapat menentukan jumlah produk khusus berdasarkan kriteria:

ketahanan pangan (food security); (2) ketahanan kehidupan masyarakat pedesaan

(livelihood security) dan pembangunan masyarakat pedesaan (rural development).

Namun demikian, produk yang masuk dalam kategori produk khusus (special

product) oleh suatu negara (negara berkembang), negara tersebut tetap harus

menyediakan dalam jumlah presentase tarif tertentu atas produk pertaniannya

untuk membuka akses pasar impornya atau mengikuti ketentuan Tariff Rate

Quotas (TRQs). Dengan demikian, Indonesia misalnya, tetap terkena ketentuan

untuk membuka pasar impor atas produk seperti gula dan beras melalui penerapan

sistem kuota tarif. Di lain pihak, negara–negara maju juga diberikan fleksibilitas

untuk memasukan produk pertanian tertentu ke dalam kategori produk sensitif

(sensitive product), sehingga mereka masih memiliki peluang untuk memproteksi

komoditi pertaniannya dari ancaman masuknya komoditi pertanian yang sama dari

negara berkembang.

41

Menur ut Achterbosch et.al (2004), perundingan DDA diperkirakan hanya

memberikan dampak relatif kecil terhadap GDP Indonesia, karena sektor

pertanian di Indonesia sudah cukup liberal, dimana tarif impor komoditi pertanian

telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen, kecuali komoditi beras dan gula pasir, dan

subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998. Oleh sebab itu, dengan

mengacu pada kerangka teori perdagangan internasional, maka kebijakan proteksi

terhadap beras dan gula hanya akan berakibat pada penurunan kesejahteraaan

terutama bagi konsumen yang notabene sebagian besar adalah petani padi atau

tebu itu sendiri. Kebijakan pembatasan impor yang akan menyebabkan kenaikan

harga di pasar domestik harus dihindari, karena selain tidak efektif untuk

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani juga akan menambah beban

masyarakat miskin (Wibowo, 2009). Oleh sebab itu, pilihan terbaik bagi

Indonesia adalah tetap melanjutkan upaya liberalisasi perdagangan, termasuk di

sektor pertanian, dan mengikuti perundingan DAA untuk memperjuangkan agar

segala bentuk subsidi pertanian di negara maju dapat dihapuskan (Erwidodo dan

Ratnawati, 2004).

Pada tahun 2006, ketua Committee on Agriculture-Special Session (CoA-

SS) mengeluarkan draft text modalits perundingan Bidang Pertanian yang

ditujukan untuk mencapai hasil yang seimbang. Selanjutnya pada bulan Juli 2008,

pembahasan draft text ketua Revisi- ke-3 pada Putaran Tingkat menteri (PTM) di

Geneva tidak mencapai kesepakatan mengenai full modalities di bidang isu utama

modalitas pe rundingan pe rtanian dan non pertanian. Salah satu isu yang banyak

diperdebatkan dan ditentang negara maju khususnya Amerika Serikat adalah

Special Safeguard Mechanism (SSM) di bidang pertanian.

42

Tabel 12. P utaran Perundingan General Agreement on Tariff and Trade

Tahun Tempat/Nama

Perundingan Topik Nasional Jumlah Negara

Peserta 1947 Geneva Tarif 23

1949 Annecy, Perancis Tarif 13

1951 Torquay, Inggris Tarif 38

1956 Geneva Tarif 26

1960-1961 Geneva/Dillon Round Tarif 26

1964-1967 Geneva/Kennedy

Round

Tarif dan anti dumping 62

1973-1979 Geneva/Tokyo Round Tarif, non-tarif dan kerangka perjanjian

102

1986-1994 Geneva/Uruguay Round

Tarif, non-tarif, jasa, hak cipta intelektual, penyelesaian sengketa, tekstil, pertanian, pembentukan WTO, d ll.

123

1995-2000 Doha-Qatar/Doha Round

Menghasilkan Doha Development Agenda (DDA-WTO) yang mencakup isu : (Agirulture), non-pertanian (Non Agricuture Market Acces-NAMA), services, TRIPs, Rules, Trade and Environment, dan Trade Facilitation.

123

2001-sekarang DDA-WTO Round Isu yang dibahas mencakup: pertanian (Agirulture), non-pertanian (Non Agricuture Market Acces-NAMA), services, TRIPs, Rules, Trade and Environment, dan Trade Facilitation

153

Sumber: WTO, 2011

Sampai akhir tahun 2009 putaran DDA-WTO tidak mencapai kesepakatan

yang disebabka n oleh adanya pe rtentangan yang cukup be sar diantara negara maju

dan negara berkembang terutama di bidang akses pasar bidang pertanian. Setelah

mengalami kegagalan, maka negara anggota melakukan berbagai pertemuan dan

konsultasi informal yang bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen untuk

menyelesaikan perundingan. Pada berbagai pertemuan yang dilakukan ditekankan

pentingnya segera menyelesaikan Putaran Doha sebagai putaran yang dapat

43

menciptakan sistem perdagangan yang adil dan seimbang bagi sektor pertanian

dengan meningkatkan peluang akses pasar produk pertanian, pengurangan subsidi

domestik serta penghapusan subsidi ekspor (Kementerian Perdagangan, 2010).

2.2. Perubahan Iklim dan Perkiraan Perubahan Suhu di Indonesia

Sejak tahun 2001, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan

menunjukkan bahwa suhu global terus menghangat mendekati permukaan bumi

(IPCC 2007a). Menurut laporan IPCC (2007) suhu rata-rata global setiap

tahunnya sejak 2001 hingga 2005 adalah diantara 10 tahun terhangat sejak

dimulainya pencatatan suhu global. Rata-rata suhu global merata terhadap

permukaan tanah dan lautan dengan kenaikan sebesar 0.76°C ± 0.19°C antara 50

tahun pengamatan (1850-1899) dan periode lima tahun 2001-2005, dengan trend

kenaikan suhu sebesar 0.74°C ± 0.18°C selama lebih dari 100 tahun (1906-2005).

Selain itu, rata-rata kenaikan suhu selama lebih dari 50 tahun terakhir juga

meningkat dua kali lipat terhadap 100 tahun terakhir yaitu dari rata-rata 0.07°C ±

0.02°C menjadi 0.13°C ± 0.03°C per satu dekade.

Suhu rata-rata global sebenarnya tidak meningkat secara perlahan sejak

tahun 1990 sebagaimana diharapkan jika hal tersebut hanya dipengaruhi oleh

kekuatan dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Meningkatnya suhu di

dekat permukaan juga terjadi dalam beberapa dekade selama pertengahan abad

ke-21, yang diikuti oleh suatu periode (lebih dari tiga dekade) ketika suhu global

menunjukkan tidak terjadi trend kenaikan yang signifikan. Namun sejak tahun

1970-an permukaan tanah bumi lebih hangat dibandingkan permukaan lautan baik

di belahan bumi selatan maupun belahan bumi utara.

44

Sejak tahun 1880 sampai dengan tahun 2007 terjadi peningkatan rata-rata

temperatur global (tren meningkat) dan tahun 1998 (Elnino terjadi) merupakan

tahun terpanas selama periode pengamatan 1880-2007 (Marpaung Sartono, et al.,

2008). Untuk wilayah Indonesia, dari data pengamatan sudah terdeteksi adanya

peningkatan temperatur permukaan yang signifikan terutama daerah perkotaan

seperti: Jakarta, Cilacap, Medan, dan Surabaya. Suhu Jakarta misalnya tercatat

telah mengalami peningkatan sebesar 1.4°C pada bulan Juli (bulan kering) dan

1.04°C pada bulan Januari (bulan basah) selama 100 tahun pengamatan

(Marpaung Sartono, et al., 2008).

Untuk melihat proyeksi temperatur permukaan pada masa yang akan datang

di Indonesia, Marpaung Sartono, et al. (2008) menggunakan data model iklim

MICROC3.2 Hires (Model for Interdisciplinary Research on Climate Change

High Resolution, Japan) skenario A1B dengan lokasi kajian 28 kota. Model iklim

tersebut merupakan model iklim global dengan resolusi 1.1° x 1.1° dan

merupakan salah satu model iklim dari 23 model iklim global yang digunakan

IPCC dalam skenario perubahan iklim. Hasil analisis menunjukkan bahwa

proyeksi temperatur permukaan untuk 28 lokasi kajian di indonesia dari tahun

2009 sampai dengan 2050 pada umumnya menunjukkan peningkatan temperatur

untuk semua lokasi kajian.

Hasil studi Marpaung Sartono, et al. (2008) tersebut lebih lanjut

mengemukakan bahwa meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi berdampak

pada naiknya permukaan air laut. Permukaan laut naik akibat es di kutub mencair

dan mengembangnya volume air laut akibat pemanasan yang terjadi. Dampaknya

45

diperkirakan akan menaikkan muka laut sebesar 1.1 meter pada tahun 2100 dan

akan mengakibatkan tenggelamnya 115 pulau di Indonesia.

2.3 Perubahan Iklim Global dan Produktivitas Pertanian

Deressa dan Hassan (2009) melakukan studi menggunakan model Ricardian

untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor

lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman

pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya

iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan

neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya.

Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta

curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu,

variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe

tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak

(livestock), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input,

dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah

nitosols dan lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel

iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan

neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan

tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien

positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif

sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda positif.

Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan

curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan (2009)

menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim

46

panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing-masing

sebesar US$ 997.85 dan US$ 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim

semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar

US$ 375.83 dan US$ 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi

penerimaan neto per hektar sebesar US$ 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak

signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi

penerimaan neto per hektar sebesar US$ 322.75.

Prediksi menggunakan model iklim Special Report on Emition Scenario

(SRES) juga dilakukan pada studi Deressa dan Hassan (2009) untuk melihat

dampak perubahan iklim terhadap penerimaan neto per hektar petani Ethiopia

pada tahun 2050 dan 2100. Hasil analisis mengindikasikan bahwa perubahan

iklim mengurangi penerimaan neto per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan

pengurangan terbesar terjadi pada tahun 2100 untuk semua skenario.

Sementara itu, Surmaini. et al. (2008) yang meneliti mengenai dampak

perubahan iklim terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda

yaitu daerah dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur

dan dataran rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah

kenaikan suhu sampai 20C dapat menurunkan produktivitas padi hampir 40

persen, sementara di dataran sedang dan tinggi sekitar 20 persen. Hasil penelitian

tersebut juga menemukan bahwa penurunan produksi pada tahun 2050 tertinggi

terjadi di Kabupa ten Bandung yaitu sekitar 65 000 ton pada musim hujan dan 50

000 ton pada musim kemarau dan terendah di Kabupaten Semarang yaitu sekitar

40 000 ton pada musim hujan dan 30 000 ton pada musim kemarau.

47

Banyak studi memperkirakan bahwa iklim bumi akan meningkat antara 1.5

sampai dengan 5.0°C untuk abad berikutnya (Manabe dan Wetherald, 1987;

Wilson dan Mitchell, 1987; Hansen, et a., 1988; dan Schlesinger dan Zhao, 1989

da lam Roy Darwin et al., 1995). Dari hasil studi yang dilakukan tersebut

menyatakan bahwa hal yang terpenting dari pemanasan ini kemungkinan akan

terjadi meskipun usaha globa l dilakukan untuk mengurangi emisi karbon yang

menimbulkan efek gas rumah kaca. Oleh karena itu, lebih lanjut hasil studi

tersebut menyatankan bahwa estimasi dampak ekonomi dan ekologi dari

pemanasan global dan perubahan yang terka it dengan po la-po la curah hujan

diperlukan bagi pengambil keputusan untuk menentukan seberapa besar upaya

yang perlu dilakukan untuk mengendalikan emisi dan bagaimana cara terbaik

untuk mengadaptasi perubahan iklim yang tidak mungkin terhindarkan.

Menurut Darwin et al. (1995), konsekuensi pertanian dari perubahan iklim

tersebut ada dua hal. Pertama, perubahan iklim kemungkinan akan mempengaruhi

produktivitas tanaman pangan dan ternak. Kedua, adanya respon ekonomi

kemungkinan akan merubah distribusi dan intensitas pertanian. Oleh kerana itu

menurut Darwin et.al (1995), hal ini berarti bahwa untuk beberapa wilayah, (1)

produktivitas jangka panjang dan daya saing pertanian kemungkinan berada dalam

risiko, (2) komunitas pertanian dapat terganggu, dan (3) konflik antara dampak

lingkungan pada pertanian terhadap lahan dan sumber daya air dapat terus

berlanjut.

Sementara itu, untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap

produktivitas pertanian, Australian Bureau on Agriculture Resource

Economics/ABARE (2008) menyusun suatu model yang menghubungkan antara

48

emisi karbon, perubahan iklim dan dampaknya terhadap produktivitas di sektor

prtanian. Secara skematis model tersebut disajikan pada gambar 7.

Sumber: ABARE, 2008

Keterangan: = Menunjukkan sub model

= Variabel yang berhubungan dengan model

Gambar 7. Struktur Dasar da ri Globa l Irrigated Area Map Projects

Model yang dibangun oleh ABARE sebagaimana digambarkan diatas

mencakup suatu fasilitas yang memproyeksikan po la emisi gas rumah kaca yang

bersamaan dengan aktivitas ekonomi. Pola emisi dari skenario ekonomi awal

menjadi bahan penyusunan dua sub model iklim yaitu sub model Carbon-cycle

yang memproyeksikan akumulasi gas rumah kaca di atmos fer dan sub model

Climate-system yang memproyeksikan perkembangan iklim global berdasarkan

konsentrasi atmosfer tersebut. Bagian terakhir adalah suatu sistem Damage

Function menterjemahkan perubahan iklim yang diproyeksikan ke dalam

perubahan variabel yang relevan terhadap pembangunan ekonomi misalnya

produktivitas pertanian. Sebagaimana diilustrasikan pada gambar tersebut output

dari Damage Function menjadi umpan balik terhadap sub model Economy dan

proses tersebut berulang sampai kepuasan secara konvergen tercapai.

Emissions Carbon cycle Atmosphere

Concentration

ECONOMY Clymate System

Productivity Damage Function Temperature

49

2.4 Produksi dan Perdaga ngan Komoditi Pertanian di Pasar Global

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh organisasi PBB untuk Pangan dan

Pertanian (FAO), kecenderungan perdagangan pangan internasional tahun 2015-

2030 menunjukkan bhawa negara berkembang akan berubah dari pengekspor

komoditi pangan menjadi negara pengimpor komoditi pangan. Akibatnya devisa

negara-negara kurang berkembang dan negara berkembang akan tersedot

dalam jumlah besar hanya untuk impor pangan mencapai 4-5 persen dari

produk domestik bruto (Gatra, 24- 30 Januari 2008).

Masalah pangan global diperkirakan akan semakin rumit akibat adanya dua

kepentingan yang saling berebut untuk mendapatkan pasokan pangan yaitu di satu

sisi terjadinya penurunan produksi pangan akibat perubahan iklim global,

sementara di sisi lainnya adalah adanya konversi bahan pangan ke energi

karena dipicu oleh semakin tingginya harga bahan bakar fosil atau minya

bumi. Kelangkaan pangan juga dipicu oleh meningkatnya permintaan akibat

adanya kepanikan negara berpenduduk besar untuk membeli stok pangan dunia

karena kekhawatiran stok pangan domestik tidak mencukupi permintaan dalam

negeri (Sawit, 2008).

Berdasarkan data FAO (2010), produksi gandum Amerika Serikat (AS),

Australia, Kanada dan Rusia menurun dari 622 juta ton tahun 2005 menjadi

593 juta ton pada tahun 2007 yang memicu kenaikan harga dari US$ 4.52 per

bushel pada 2006 menjadi US$ 9.93 per bushel tahun 2007. Fenomena persaingan

kebutuhan pangan antara manusia, ternak dan energi akan terus berlanjut di masa

yang akan datang (Kompas, 2008).

50

Sementara itu, Sawit (2008) mengemukakan bahwa kelangkaan pangan di

Indonesia juga di perparah oleh faktor internal antara lain adanya konversi lahan

pertanian yang terus meningkat dari 110 ribu ha tahun 2002 menjadi 145 ribu ha

pada tahun 2006. Hal ini dipicu oleh menurunnya produktivitas sektor pertanian

yang pada tahun 1997 sebesar Rp 1.7 juta sedangkan sektor industri mencapai

Rp 9.5 juta (1 : 5,58) sedangkan kondisi pada tahun 2005 adalah sebesar Rp 6,1

juta untuk sektor pertanian dan Rp 41.1 juta untuk sektor industri (1:6.73). Hal

ini menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi semakin tidak menarik.

Pada awal Juni 2008, di markas besar WTO ada sekitar 237 orang yang

berasal dari 55 negara mewakili NGO terkemuka, seperti Action Aid, Oxfam;

Sarikat Perdagangan (Trade Union); Organisasi Petani dan Organisasi

Kemasyarakatan menyampaikan berbagai pernyataan dan keprihatinan (Sawit,

2008). Mereka menyuarakan kekhawatiranya karena perang dagang ini ternyata

belum mengarah ke penyelesaian masalah krisis pangan global, tetapi masih saja

terperangkap untuk terus memperdalam liberalisasi perdagangan (Sawit, 2008).

Mereka juga prihatin atas harga pangan yang terus bergejolak, meningkatnya

ketergantungan impor pangan negara berkembang, dan semakin menguatkan

peran Multinational Corporations (MNCs) da lam pasar agribisnis pangan dan

pertanian (TWN, 2008b).

Berdasarkan data WTO (2005) di tingkat global, peran produk pertanian

dibandingkan dengan total barang (merchandise) yang diperdagangkan adalah

relatif kecil. Barang yang dominan adalah produk manufaktur dan bahan bakar

minyak/hasil tambang. Pada 2004 misalnya, produk pertanian mengambil peran

hampir 9 persen. Namun apabila dilihat dalam produk pertanian global itu sendiri,

51

pangan mengambil peran yang dominan yaitu sekitar 80 persen belum termasuk

produk perikanan (WTO, 2005).

Walaupun peran pangan atau produk pertanian adalah kecil, namun

perannya besar buat negara berkembang. Itu tidak hanya menyangkut ekspor

untuk memperoleh devisa yang sangat diperlukan untuk pembangunan, tetapi juga

keterlibatan banyak petani peternak kecil serta miskin dan menggantungkan hidup

dari sektor itu (Sawit, 2008). Sawit (2008), lebih lanjut mengemukakan bahwa

sebagian besar penduduk di negara berkembang mengantungkan harapan pada

subsektor itu agar dapat mendorong pembangunan desa, mengatasi kemiskinan

dan kelaparan, serta sebagai filter terhadap urbanisasi. Penelitian di tingkat globa l

dan dalam negeri menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan

pangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan penduduk

miskin dan untuk mengatasi kerawanan pangan (food insecurity) (Sawit, 2008).

Data FAO (2010) juga menunjukkan bahwa konsentrasi produksi pangan

dan perdagangan pangan berada di negara maju, bukan di negara berkembang.

Hasil penelitian Sawit (2007a) memperlihatkan bahwa dalam dua dasa warsa

terakhir, terungkap bahwa trend produksi pangan semakin mengerucut ke

sejumlah kecil negara maju yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Selandia

Baru dan Kanada. Hasil studi tersebut lebih lanjut menunjukkan bahwa Amerika

Serikat menghasilkan pangan terutama jagung, minyak kedelai, gandum, daging

unggas, beras, kedelai, buah dan sayur, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju.

Uni Eropa memproduksi buah dan sayur, jagung, gula, gandum, daging sapi,

daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju. Selandia Baru menghasilkan

daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Australia manghasilkan jagung,

52

gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Kanada

memproduksi mentega, daging sapi, buah dan sayur, minyak kedelai, gandum dan

jagung.

Sawit (2008) menemukan bahwa AS mensubsidi paling tinggi terhadap 4

dari 20 komoditi pangan/nonpangan penting yaitu: beras, jagung, kedelai, dan

gandum. Subsidi itu cenderung meningkat dari periode sebelum ke periode setelah

Perjanjian Pertanian disepakati akhir 2004, itu sesuai dengan UU Usahatani (Farm

Bill) (Sawit, 2008). IATP (Institute for Agruculture ond Trade Policy) (2007)

menyebutkan bahwa hal tersebut telah menyebabkan tingkat dumping kedelai

meningkat dari rata-rata 2 persen/tahun pre-1996 Farm Bill menjadi 11.8 persen

post-1996 Farm Bill. Hal yang sama untuk beras, dari 13.5 persen menjadi 19.2

persen; jagung dari 6.8 persen menjadi 19.2 persen. Hal ini berarti bahwa semakin

rendah harga pangan tersebut di pasar dunia, berarti semakin tinggi tingkat subsidi

yang diberikan ke petani mereka, atau sebaliknya kalau harga pangan tinggi.

Sawit (2008) mengemukakan bahwa implikasi dari kebijakan negara

produsen pangan di atas, atau perubahan kebijakan pangan negara maju, akan

besar pengaruhnya terhadap negara berkembang, termasuk Indonesia. Setidak-

tidaknya melalui 3 cara, yaitu: (1) pada saat subsidi besar-besaran itu dilakukan,

harga pangan di pasar dunia menjadi rendah. Harga pangan rendah itu bukanlah

gambaran efisiensi. Persaingan menjadi tidak fair. Itu telah berpengaruh negatif

buat petani di negara berkembang, baik petani di negara impor netto, maupun

petani di negara ekspor netto, sehingga sama-sama sulit bersaing secara fair; (2)

pada saat kebijakan pangan mereka berubah, misalnya pengalihan ke subsidi bio-

fuel seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir, maka itu akan berdampak negatif

53

buat konsumen di negara berkembang impor netto pangan, seperti Indonesia.

Harga pangan menjadi mahal dan inflasi akan meningkat; dan (3) bila terjadi

serangan hama dan penyakit, serta bencana alam, maka dampaknya adalah

meluas, ke seluruh dunia dan global. Negara impor netto tentu akan kesulitan

dalam akses pangan dan keterbatasan devisa.

Sawit (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa konsentrasi perdagangan

juga terlihat dari peran Multinational Corporations (MNCs), yang menguasai

industri hulu (seperti industri benih/pupuk/pestisida) dan hilir (seperti

pengolahan/pengepakan/standarisasi). Oleh karena itu, mereka semakin perkasa

dan bertambah kuat, sehingga dapat mengatur suplai dan harga produk pangan,

sesuai dengan kepentingannya.

Braun (2008a) dari hasil penelitian International Food Policy Research

Institute (IFPRI) memperkiraka n 6.5 milyar konsumen global dilayani oleh

berbagai pemasok (suplier), tersebar ke Afrika, Asia, Amerika, dan benua lainnya.

Pasar swalayan telah dilayani oleh para pedagang dan industri pengolahan.

Industri ini juga disuplai oleh sektor usahatani. Sedangkan sektor usahatani juga

menerima input dari industri pupuk, industri kimia, industri benih, dan industri

input lainnya (Braun, 2008a). Dalam sistem itu, mereka telah menjadi

konglomerat baru sebagian kongklomerat lama, yang kekuatan (power) dan

pengaruh (leverage)-nya secara global, termasuk ke Indonesia semakin

meningkat. Berdasarkan hasil studi tersebut, diketahui bahwa antara tahun 2004

dan 2006 dilaporkan bahwa: (1) 10 penjual pangan retail menguasai lebih dari 40

persen, (2) tingkat penjualan dari 10 pengolah pangan dan industri input tumbuh

masing-masing sebesar 13 persen dan 10 persen.

54

Sawit (2008) mengemukakan bahwa di Indonesia konsumen akan

berhadapan dengan pengecer pangan global yang telah merambah ke berbagai

kota lain di Jawa dan Luar Jawa seperti Carrefour. Namun demikian, belum ada

hasil penelitian secra menyeluruh mengenai dampak berkembangnya pengecer

global tersebut terhadap keberadaan pasar traditional di Indonesia. Di Bangkok

dalam sebuah koran disebutkan bahwa sepertiga jumlah retail lokal telah menutup

usahanya dalam beberapa tahun terakhir, karena tidak mampu bersaing dengan

retail raksasa seperti Wal-Mart (Sawit, 2008).

Reardon dan Gulati (2008) dari IFPRI melaporkan bahwa revolusi

supermarket bermata dua. Satu sisi dapat mempermurah harga pangan buat

konsumen dan menciptakan peluang buat petani dan pengolah pangan. Namun

disisi lain, dapat pula mengancam pengecer kecil, petani, dan pengolah pangan

yang tidak mampu menghadapi pesaing baru, sebagian diantaranya raksasa,

mereka akan sulit memenuhi sejumlah persyaratan pasar swalayan. Berdasarkan

Reardon dan Gulati (2008) dikemukakan bahwa supermarket di negara

berkembang Afrika, Asia dan Amerika Latin berkembang dalam 4 gelombang,

yang pertumbuhannya lebih pesat daripada pertumbuhan Produk Domestik Bruto

(PDB) di negara berkembang itu sendiri.

2.5 Peranan Sektor Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto Nasional Indonesia

Sektor pertanian memegang peran strategis dalam perekonomian nasional

dan daerah, bahkan dalam era reformasi dan otonomi daerah ini diharapkan untuk

berperan di garis depan dalam mengatasi krisis ekonomi (Siregar, 2008). Sektor

pertanian mempunyai peran strategis sehingga sektor ini patut menjadi sektor

55

andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, yang dapat digambarkan;

(1) penyedia bahan pangan, (2) penyedia lapangan kerja, (3) penyedia bahan baku

bagi industri, (4) sumber devisa, dan (4) penjaga kelestarian lingkungan

(konservasi lahan, mencegah banjir, dll) (Siregar, 2008).

Terkait dengan kontribusi pertanian pada ekonomi nasional, meskipun

kontribusinya terhadap PDB cenderung menurun, tetapi pertanian tetap

memberikan peran yang signifikan. Pada tahun 1961 pertanian di Indonesia masih

menyumbang 51.8 persen PDB, namun berdasarkan atas dasar harga berlaku pada

triwulan II-2008 sektor pertanian memberi kontribusi 14.7 persen, dan menempati

peringkat kedua setelah sektor industri pengolahan (27.3 persen). Ditinjau dari

jumlah tenaga kerja yang diserap, pada tahun 1995 sektor pertanian menyerap 44

persen dari seluruh angkatan kerja di Indonesia. Pada tahun 2006 yang bekerja di

sektor pertanian meningkat menjadi 44.3 persen (BPS, 2008), namun pada tahun

2009 turun menjadi 41.2 persen (BPS, 2009).

Pentingnya peran sektor pertanian menjadikan perhatian utama pemerintah

ke depan pada revitalisasi pertanian dalam arti luas atau dikenal sebagai

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanaan (RPPK) (Siregar, 2008). Dalam

perspektif pergerakan pertanian, revitalisasi tersebut dimaksudkan untuk

membangkitkan kesadaran memposisikan kembali peranan penting sektor

pertanian secara proporsional dan kontekstual melalui penggalian kembali

vitalitas; pemberdayaan kemampuan; dan peningkatan kinerja pertanian dengan

tidak mengabaikan sinerginya dengan sektor lain (Siregar, 2008).

Siregar (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa revitalisasi pertanian

belum banyak mengubah orientasi kebijakan pertanian di daerah. Misalnya di

56

Jawa Timur, seperti yang dilaporkan Mazhida (2006), total anggaran untuk sektor

pertanian secara umum masih relatif kecil, yaitu sekitar 0.54 persen dari total

APBD. Secara nominal, rata-rata alokasi anggaran untuk Dinas Pertanian hanya

Rp 2,05 miliar. Pemerintah daerah seharusnya sadar bahwa sebagian besar

penduduknya berada di sektor pertanian dan di perdesaan dengan tingkat

kesejahteraan rendah, sehingga menurut Siregar (2008) sangat ironis kalau proses

pengembangan otonomi daerah tidak meningkatkan kemampuan sektor pertanian

dengan dukungan alokasi anggaran yang memadai.

Pada dasarnya sektor pertanian dapat dijadikan sebagai basis pembangunan

perekonomian di daerah karena memiliki keterkaitan dengan sektor lain, baik

yang berbentuk kaitan “ke depan” (forward linkages) maupun kaitan “ke

belakang” (backward linkages) (Siregar 2008). Keterkaitan langsung ke depan

dapat ditunjukkan dengan banyaknya output sektor pertanian yang dipakai oleh

sektorsektor lain sebagai input, sementara keterkaitan langsung ke belakang

ditunjukkan dengan banyaknya input yang berasal dari produksi berbagai sektor,

yang dipakai oleh sektor pertanian dalam suatu proses produksi (Siregar 2008).

Besarnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain di daerah sangat

tergantung pada komponen-komponen faktor kunci, seperti sumberdaya manusia,

penelitian dan pengembangan, pasar, akses kepada modal, infrastruktur dan bahan

baku/sarana prasarana produksi, serta iklim usaha (Siregar, 2008). Dengan

semakin kuatnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain, maka posisi

sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi

suatu daerah (Siregar, 2008).

57

Menurut Siregar (2008), umumnya pengembangan sektor pertanian di

daerah ditujukan antara lain: untuk peningkatan kemampuan daerah dalam

penyediaan pasokan atau cadangan pangan dan hasil-hasil pertanian lainnya;

peningkatan daya beli dan akses masyarakat terhadap pangan serta peningkatan

pendapatan terutama dari kelompok rumah tangga tani. Keberhasilan

pembangunan tersebut diharapka n akan mempengaruhi jumlah permintaan akhir,

yang kemudian akan membawa pada perubahan terhadap keseluruhan

perekonomin daerah (Siregar, 2008).

2.6 Tinjauan Studi Terdahulu

Zhai et al. (2009) menganalisis mengenai dampak potensial perubahan iklim

global jangka panjang terhadap produksi sektor pertanian dan perdagangan RRC

menggunakan model Computable General Equillibrium (CGE). Hasil penelitian

dengan menggunakan sekenario baseline menunjukkan bahwa perubahan iklim

akan mengakibatkan penurunan PDB sebesar 1.3 persen dan mengakibatkan

welfare loss equivalent sebesar 1.1 persen pada tahun 2080 untuk RRC. Pada

tataran global, dampak perubahan iklim diproyeksikan menurunkan PDB riil

dunia sebesar 1.4 persen dan mengakibatkan penurunan welfare sebesar 1.3

persen.

Pada tahun 2080, Zhai et al. (2009) memprediksikan bahwa produksi

tanaman pangan global turun sebesar 7.4 persen dika renakan negara-negara

berkembang mengalami dampak perubahan iklim yang lebih parah dibandingkan

dengan negara-negara maju. Sebagai konsekuensi dari meningka tnya biaya input,

sektor hilir tanaman pangan seperti livestock dan makanan olahan juga mengalami

penurunan produksi global, masing-masing sebesar 5.9 persen dan 4.6 persen.

58

Meskipun kerugian produktivitas tanaman pangan RRC akibat perubahan

iklim cukup besar yaitu 7.2 persen, namun penurunan produksi tanaman pangan

relatif kecil. Output tanaman pangan RRC kecuali gandum, mengalami penurunan

antara 0.2 hingga 0.5 persen pada tahun 2080. Sementara itu, output gandum

mengalami peningkatan sebesar 4.2 persen relatif terhadap baseline. Dikarenakan

penurunan produktivitas RRC akibat perubahan iklim masa datang yang lebih

rendah daripada rata-rata dunia, maka harga tanaman pangan di tingkat produsen

akan turun dibandingkan harga tanaman pangan dunia, sehingga menyebabkan

peningkatan ekspor dan penurunan impor di sektor tanaman pangan RRC. Dalam

hal ini, ekpor beras RRC diproyeksikan meningkat 46.8 persen, gandum

meningkat 126.7 persen, biji-bijian lainnya meningkat 63.7 persen, dan tanaman

pangan lainnya meningkat 110.4 persen. Sementara itu, impor beras RRC

diproyeksikan mengalami penurunan 43.1 persen, gandum menurun 17.6 persen,

biji-bijian lainnya menurun 14.9 persen, dan tanaman pangan lainnya menurun

30.1 persen. Secara umum disimpulkan bahwa, sektor makanan olahan RRC

diprediksikan mengalami kerugian yang paling besar dari perubahan produktivitas

sektor pertanian akibat perubahan iklim global, sedangkan beberapa sektor

tanaman pangan (seperti gandum) di RRC mengalami perkembangan positif

karena peningkatan permintaan dari wilayah lain di dunia.

Darwin et al. (1995) melakukan evaluasi dampak perubahan iklim global

terhadap pertanian dunia dengan suatu model yang menghubungkan antara

kondisi iklim terhadap kondisi tanah, sumber daya air, produksi, perdagangan, dan

konsumsi 13 komoditi di seluruh dunia. Skenario perubahan iklim yang

digunakan didasarkan pada model meteorologi pada Goddard Institute for Space

59

Studies, Geophisical Fuid Dynamic Laboratory, United Kingdom Meteorological

Office dan Oregon State University dengan rentang perubahan temperatur global

rata-rata 2.8-5.2°C dan perubahan curah hujan sebesar 7.8-15.0 persen.

Hasil penelitannya menyimpulkan beberapa temuan sebagai berikut:

Pertama, perubahan temperatur dan pola curah hujan untuk 100 tahun ke depan

tidak mengancam produksi makanan di dunia secara keseluruhan. Meskipun

produksi dunia untuk tanaman bukan biji-bijian cenderung menurun (0.2-1.3

persen), namun produksi gandum cenderung meningkat (0.5-3.3 persen) demikian

juga produksi livestock (0.7-0.9 persen). Produksi dunia untuk kelompok makanan

olahan juga mengalami peningkatan sebesar 0.2-0.4 persen.

Kedua, adaptasi petani merupakan mekanisme utama untuk menjaga agar

produksi makanan dunia tetap meningkat di tengah prediksi perubahan iklim

global. Dengan pemilihan kombinasi input dan output yang paling

menguntungkan atas lahan pertanian yang tersedia, petani dapat memperoleh

keuntungan sebesar 79 hingga 88 persen atas 19-30 persen pengurangan suplai

sereal dunia secara langsung akibat perubahan iklim. Dengan menyesuaikan

terhadap pasar domestik dan perdagangan internasional (lahan pertanian

diasumsikan tetap) akan mengurangi 97 persen dampak negatif perubahan iklim.

Petani juga dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan meningka tkan luas

lahan pertanian (7.1-14.8 persen) yang akan meningkatkan produksi sereal dunia

sebesar 0.2-1.2 persen.

Ketiga, biaya dan manfaat atas perubahan iklim global tidak berdampak

secara merata di seluruh dunia. Semakin hangatnya temperatur di daerah kutub

dan pegunungan akan meningkatkan kualitas tanah yang sesuai untuk pertanian

60

dan kehutannan, sebaliknya semakin tinggi temperatur di daerah tropis akan

mengurangi kelembaban tanah sehingga menurunkan produktivitas pertanian dan

kehutanan. Selain itu, PDB di wilayah dengan garis lintang yang tinggi (misalkan

Kanada) cenderung akan meningkat akibat perubahan iklim, sedangkan PDB di

daerah tropis cenderung menurun.

Keempat, perubahan iklim cenderung mempengaruhi seluruh struktur

pertanian dan makanan olahan di Amerika Serikat. Tanah yang cocok digunakan

untuk pertanian dan kehutanan cenderung meningkat, namun kelembaban tanah

berkurang yang berpotensi mengurangi produksi pertanian di Corn Belt dan

Southeast. Petani akan beradaptasi dengan meningkatkan produksi gandum dan

mengurangi produksi biji-bijian lainnya, terutama jagung. Sebagai hasil dari

berkurangnya bahan makanan, produksi livestock juga mengalami penurunan.

Produksi komoditi makanan olahan secara umum mengalami penurunan.

Kelima, PDB dunia dimungkinkan mengalami penurunan jika perubahan

iklim cukup signifikan atau perluasan lahan pertanian tidak bisa dilakukan.

Berdasarkan skenario perubahan iklim, dampak tahunan neto terhadap PDB dunia

berkisar antara -0.1 hingga 0.1 persen. Output dunia untuk makanan olahan juga

mengalami penurunan 0.002 hingga 0.58 persen. Hasil ini mengindikasikan

bahwa temperatur dan pola hujan yang baru akibat perubahan iklim cenderung

mengurangi rata-rata produktivitas pertanian dengan asumsi lahan pertanian dunia

tidak berubah.

Keenam, perubahan penggunaan tanah akibat perubahan iklim

menyebabkan pergeseran lahan pertanian dan padang rumput permanen, sehingga

akan meningkatkan isu sosial dan lingkungan. Walaupun terdapat peningkatan

61

neto pada lahan pertanian di dunia secara keseluruhan, namun sebesar 4.2-10.5

persen lahan pertanian yang ada diubah unt uk keperluan lain di bawah skenario

perubahan iklim. Selain itu, lahan hutan cenderung menur un di bawah perubahan

iklim globa l (3.6-9.1 persen, neto). Hal ini dapat menyebabkan konflik

konsekuensi lingkungan atas lahan pertanian di beberapa wilayah. Di wilayah

tropis, kompetisi dari produksi tanaman pangan dapat memperburuk dampak

langsung perubahan iklim terhadap hutan hujan tropis.

Ketujuh, walaupun suplai air cenderung meningkat di dunia secara

keseluruhan seiring dengan perubahan iklim, kekurangan dapat terjadi di beberapa

wilayah. Berdasarkan simulasi, supplai air dunia meningkat 6.4-12.4 persen. Di

Jepang, perubahan supplai air berkisar antara -9,4 hingga 10,2 persen, namun

harga air di Jepang meningkat lebih dari 75 persen.

Deressa dan Hassan (2009) melakukan studi menggunakan model Ricardian

untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor

lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman

pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya

iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan

neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya.

Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta

curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu,

variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe

tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak

(livestock), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input,

dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah

62

nitosols dan lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel

iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan

neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan

tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien

positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif

sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda positif.

Seperti yang diharapkan pula, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan

kepemilikan hewan ternak berpengaruh positif terhadap penerimaan neto per

hektar. Jarak terhadap lokasi pasar input berdampak negatif dikarenakan petani

mengeluarkan banyak biaya, dari segi uang maupun waktu. Ukuran rumah tangga

juga berpengaruh negatif terhadap penerimaan neto per hektar dikarenakan

banyaknya orang yang menjadi tanggungan dan tidak produktif di wilayah

pedasaan di Ethiopia.

Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan

curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan (2009)

menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim

panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing-masing

sebesar US$ 997.85 dan US$ 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim

semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar

US$ 375.83 dan US$ 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi

penerimaan neto per hektar sebesar US$ 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak

signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi

penerimaan neto per hektar sebesar US$ 322.75.

63

Prediksi menggunakan model iklim SRES juga dilakukan pada studi

Deressa dan Hassan (2009) untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap

penerimaan neto per hektar petani Ethiopia pada tahun 2050 dan 2100. Hasil

analisis mengindikasikan bahwa perubahan iklim mengurangi penerimaan neto

per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan pengurangan terbesar terjadi pada

tahun 2100 untuk semua skenario.

Surmaini. et al. (2008) yang meneliti mengenai dampak perubahan iklim

terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda yaitu daerah

dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur dan dataran

rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah kenaikan suhu

sampa i 20

2.7. Kebaruan (Novelty)

C dapat menurunkan produktivitas padi hampir 40 persen, sementara di

dataran sedang dan tinggi sekitar 20 persen. Hasil penelitian tersebut juga

menemukan bahwa penurunan produksi pada tahun 2050 tertinggi terjadi di

Kabupaten Bandung yaitu sekitar 65 000 ton pada musim hujan dan 50 000 ton

pada musim kemarau dan terendah di Kabupaten Semarang yaitu sekitar 40 000

ton pada musim hujan dan 30 000 ton pada musim kemarau.

Penelitian ini didasari oleh adanya 2 isu yang sampai saat ini menjadi

pembahasan skala global yaitu “Isu Perubahan Iklim” dan “Isu Liberalisasi

Perdagangan”. Berdasarkan be rbagai studi yang telah dilakukan (Zhai et.al, 2009;

Darwin, et.al , 1995; Deressa dan Hasan, 2009; Surmaini et.al, 2008 ), perubahan

iklim berdampak terhadap penurunan produktivitas pertanian.

Sementara itu, terkait liberalisasi perdagangan terdapa t dua kubu yang

berbeda yaitu pro dan kontra. Kubu yang pro ((Bergsten,1997; Baldwin,1997;

64

Ethier,1998; dan Lawrence,1999) berpendapat bahwa RTAs merupakan langkah

maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi

WTO serta sistem perdagangan internasional. Sedangkan kubu yang kontra

(Bhagwati,1995; Krueger,1995; dan Panagariya,1999) berpendapat sebaliknya.

Secara khusus, dari berbagai studi yang dilakukan (Sawit, 2003; Khor, 2000; dan

Elwood, 2002) menunjukkan bahwa liberalisasi sektor pertanian lebih banyak

dinikmati oleh negara maju dibandingkan Negara berkembang.

Kebaruan penelitian ini adalah: (1) pe rubahan iklim berdampak negatif dan

lebih dominan mempengaruhi perekonomian (PDB) semua negara yang diteliti

dibandingkan dampak liberalisasi perdagangan; (2) Negara maju relatif memiliki

ketahanan ekonomi terhadap pe rubahan iklim dan liberalisasi perdagangan.