ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · rumah yang memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat...

47
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumahan dan Permukiman Perkotaan Menurut UU RI No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, disebutkan bahwa pengertian perumahan adalah kelompok rumah- rumah yang memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sementara pengertian permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian, dan tempat melakukan kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Kebijakan tentang perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000-2020 antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kemenpera, 2007). Didalam UU RI No. 1/2011 dikatakan bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai kebutuhan dasar melalui penataan untuk mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur, pengembangan perumahan dan permukiman juga mempunyai tujuan untuk memberi arahan pada pertumbuhan wilayah dan penyebaran penduduk yang rasional serta menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain. Didalam undang-undang tentang perumahan dan kawasan permukiman dijelaskan beberapa hal penting yang terkait dengan pengadaan perumahan di Indonesia, yaitu: 1. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati/menikmati/ memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. 2. Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana, menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan secara bertahap. 3. Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman dalam bentuk pengaturan dan bimbingan, pemberian bantuan, kemudahan, penelitian dan pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian.

Upload: trinhdang

Post on 06-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumahan dan Permukiman Perkotaan Menurut UU RI No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman, disebutkan bahwa pengertian perumahan adalah kelompok rumah-

rumah yang memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan

hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sementara

pengertian permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan

lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian, dan tempat melakukan

kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Kebijakan tentang perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000-2020

antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan

jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan,

tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kemenpera,

2007).

Didalam UU RI No. 1/2011 dikatakan bahwa selain untuk memenuhi

kebutuhan rumah sebagai kebutuhan dasar melalui penataan untuk mewujudkan

perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman,

serasi dan teratur, pengembangan perumahan dan permukiman juga mempunyai

tujuan untuk memberi arahan pada pertumbuhan wilayah dan penyebaran

penduduk yang rasional serta menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial,

budaya dan bidang-bidang lain.

Didalam undang-undang tentang perumahan dan kawasan permukiman

dijelaskan beberapa hal penting yang terkait dengan pengadaan perumahan di

Indonesia, yaitu:

1. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati/menikmati/ memiliki

rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

2. Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan

kawasan permukiman skala besar yang terencana, menyeluruh dan terpadu

dengan pelaksanaan secara bertahap.

3. Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman

dalam bentuk pengaturan dan bimbingan, pemberian bantuan, kemudahan,

penelitian dan pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan, serta

pengawasan dan pengendalian.

10

Menurut Komarudin (1996), perumahan dan permukiman merupakan

tempat aktifitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari suatu kawasan budidaya.

Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan

sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktifitas lain. Dalam

kenyataannya hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara

optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu,

diperlukan upaya perencanaan dan perancangan pembangunan perumahan yang

kontributif terhadap tujuan penataan ruang.

Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa aspek perumahan dan

permukiman sangat terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan

ruang, dimana lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dalam

berbagai bentuk dan ukuran dengan panataan tanah dan ruang, prasarana, dan

sarana lingkungan yang terstruktur. Sementara itu, prasarana lingkungan

merupakan kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan

permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Berbagai fakta menunjukkan

banyaknya permukiman yang dibangun tidak dilengkapi dengan sarana dan

prasarana yang memadai sebagai kelengkapan fasilitas, kalaupun ada kualitasnya

sangat rendah atau tidak berfungsi dengan baik.

2.1.1 Rumah dan Perumahan Rumah memiliki pengertian sebagai bangunan yang direncanakan dan

digunakan sebagai tempat kediaman atau tempat tinggal oleh satu keluarga atau

lebih. Perumahan adalah sekelompok tempat kediaman yang dilengkapi dengan

prasarana lingkungan dan fasilitas sosial, sedangkan tempat kediaman adalah

tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari ruangan dan

pekarangan. (Buku Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana –

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986). Jadi, rumah dan

perumahan merupakan satu kesatuan sebagai tempat bermukim manusia.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

829/Menkes/SK/VII/1999, rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia

yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk

berlindung dari iklim dan makhluk hidup lainnya, serta sebagai tempat

pengembangan kehidupan keluarga. Rumah terdiri dari ruangan, halaman dan

area sekelilingnya, sedangkan perumahan terdiri dari rumah-rumah atau kelompok

rumah, baik kelompok rumah dalam satu tapak ataupun kelompok rumah dalam

11

satu bangunan seperti rumah susun atau kondominium, beserta sarana dan

prasarana pendukungnya.

Menurut Kirmanto (2002) beberapa permasalahan di bidang perumahan

yang terjadi saat ini adalah: a) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat,

b) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan,

c) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan, d) masalah lingkungan

dan eksploitasi sumberdaya alam, dan e) komunitas lokal yang tersisih dimana

orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu. Kirmanto

(2002) juga mengemukakan tantangan perkembangan pembangunan perumahan

yang akan datang antara lain:

1. Urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk

berupaya agar pertumbuhan lebih merata,

2. Perkembangan tak terkendali pada daerah yang memiliki potensi untuk

tumbuh,

3. Marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global,

4. Kegagalan implementasi dari kebijakan penentuan lokasi perumahan.

Permen PU RI No. 45 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan

Bangunan Gedung Negara. menjelaskan bahwa berdasarkan luasannya,

perumahan dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu: tipe rumah mewah, tipe rumah

menengah, dan tipe rumah sederhana. Lebih jauh dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan tipe rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah

dengan luas kavling lebih dari > 600 m2 atau biaya pembangunan per m2 diatas

harga satuan tertinggi per m2 untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah

kelas A yang berlaku. Tipe rumah menengah adalah rumah yang dibangun di atas

tanah dengan luas kavling antara 200 m2 – 600 m2 atau biaya pembangunan per m2

diatas harga satuan tertinggi per m2 untuk pembangunan perumahan dinas

pemerintah kelas C sampai A yang berlaku. Sementara tipe rumah sederhana

adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 54 m2

sampai 200 m2 atau biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan tertinggi per

m2

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia selain kebutuhan

sandang dan pangan. Menurut Maslow (1954) dalam memenuhi kebutuhan dasar

manusia terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu:

untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas C yang berlaku.

1. Kebutuhan fisiologis, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang meliputi:

12

a. Udara segar dan lingkungan yang hijau, b. Air bersih (minum, masak, MCK, dll), c. Makanan yang sehat dan pakaian yang layak, d. Tempat tinggal yang memadai.

2. Kebutuhan keamanan, yaitu kebutuhan dimana manusia terbebas dari rasa takut, yang meliputi : a. Perlindungan dari bencana alam dan kriminalitas, b. Perlindungan dari kemiskinan, kelaparan, dan penyakit, c. Struktur Kelembagaan, hukum, pemerintahan dan adat istiadat.

3. Kebutuhan interaksi sosial, yaitu kebutuhan dalam hidup bermasyarakat atau berkelompok, meliputi : a. Rasa setia kawan, dicintai dan disenangi di dalam kelompok, b. Mau bekerja sama dalam hal positif.

4. Kebutuhan penghargaan dan pengakuan diri, meliputi : a. Penghargaan dari orang lain, b. Memperoleh keadilan dan kebebasan, c. Mendapatkan kepercayaan diri, d. Prestise.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri, yaitu harapan untuk memenuhi kebutuhan dan

keinginan sesuai dengan potensi tanpa mengganggu orang lain, serta

memberikan kebaikan kepada orang lain.

UU RI No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

menjelaskan definisi rumah yaitu sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa

ruang yang memiliki fungsi yang berbeda. Berdasarkan pedoman teknis

pembangunan perumahan, persyaratan bangunan rumah secara umum harus

cukup memenuhi syarat teknis dan kesehatan, yaitu:

1. Udara di dalam ruangan tidak boleh lembab atau harus ada sirkulasi udara

yang baik, yaitu dengan adanya ventilasi sehingga udara dapat mengalir

dengan baik dan selalu berganti.

2. Penetrasi sinar matahari harus cukup bisa masuk ke dalam ruangan untuk

membunuh bibit-bibit penyakit dan menghindari kelembaban.

3. Perletakan rumah sebaiknya mempertimbangkan arah mata angin guna

memperlancar sirkulasi udara dari luar ke dalam bangunan atau sebaliknya.

4. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain harus memiliki jarak yang

cukup agar memperoleh sinar matahari yang cukup, menghindari bahaya

kebakaran dan penyakit menular, serta untuk tujuan keindahan (estetika).

5. Kebutuhan ruang-ruang di dalam rumah harus sesuai dengan kebutuhan.

Biasanya tergantung dari adat dan kebiasaan, serta kemampuan penghuni.

13

6. Rumah harus memberikan rasa nyaman, aman dan tenteram bagi

penghuninya.

Rumah sebagai tempat pertemuan berbagai kegiatan keluarga mempunyai

arti penting dalam memberikan ruang dan suasana yang dapat menunjang

kegiatan itu sendiri. Oleh karena itu, rumah yang sehat sangat diperlukan agar

tercipta suasana hidup yang tentram, aman dan tertib.

Menurut Komarudin (1997) rumah sehat harus memenuhi persyaratan

penyehatan lingkungan, ketertiban, dan keserasian lingkungan. Komponen

lingkungan perumahan yang mempengaruhi kesehatan masyarakat hendaknya

dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, antara lain penyediaan prasarana lingkungan

yang memadai dan sesuai dengan jumlah penghuni, serta pengamanan

lingkungan perumahan terhadap pencemaran (pemeliharaan sumber air bersih,

pengelolaan air limbah dan sampah).

Ditjen Cipta Karya menegaskan bahwa rumah sehat harus memenuhi

4 (empat) persyaratan yaitu: aspek kesehatan, kekuatan bangunan, kenyamanan,

dan keterjangkauan. United Nation Center for Human Settlement (UNCHS)

menetapkan 11 (sebelas) persyaratan rumah sehat, yaitu: 1) Proteksi terhadap

penyakit yang dapat menular, 2) Proteksi terhadap kecelakaan dan gangguan

pencemaran pada peralatan rumah tangga, polusi udara, zat kimiawi, dan

penggunaan rumah untuk tempat kerja, 3) Promosi kesehatan mental, 4) Promosi

kesehatan lingkungan permukiman, 5) Promosi kebersihan rumah dan lingkungan

yang mendorong penghuni untuk selalu menjaga kesehatan keluarga, 6)

Penciptaan keamanan lingkungan dan upaya peniadaan gangguan terhadap ibu,

wanita, dan anak-anak. 7) Penciptaan kesehatan sejalan dengan kebijaksanaan

pemerintah dan swasta, 8) Penciptaan kesehatan yang selalu dikaitkan dengan

daya dukung tanah, ruang terbuka dan lingkungan, 9) Rumah merupakan wadah

proses pengembangan sosial ekonomi, 10) Pendidikan kesehatan umum dan

profesi hendaknya secara langsung mendorong upaya penciptaan rumah sehat,

11) Partisipasi masyarakat harus diwujudkan dalam proses pembangunan

perumahan sehat dalam lingkungan yang sehat (UNCHS, 1999). Komarudin

(1997) menjelaskan beberapa indikator rumah sehat, yaitu:

1. Perilaku hidup sehat penduduk kota. Membuang sampah ke sungai, buang

hajat besar di sungai, membiarkan selokan kotor dan air tergenang di halaman,

merupakan perilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup sehat adalah budaya

hidup bersih di rumah, halaman, dan lingkungan.

14

2. Berkenaan denga kondisi fisik perumahan, yaitu ukuran rumah dan

pengaruhnya terhadap kesehatan, lingkungan fisik perumahan, kualitas udara

permukiman, ventilasi, dan sarana kesehatan lingkungan permukiman.

Program Perbaikan Kampung di DKI Jakarta telah mendefinisikan dengan

jelas bahwa lingkungan permukiman sehat harus memenuhi persyaratan berikut:

1. Fisik, yaitu tersedianya sarana air bersih yang memenuhi syarat fisik,

bakteriologis, dan kimia, sarana sanitasi, pengelolaan sampah, air limbah, dan

perumahan sehat.

2. Biologis, yaitu lingkungan bebas dari binatang serangga dan pengerat.

3. Sosial, yaitu perilaku hidup bersih dan sehat. Indikator penting adalah

menurunnya angka penyakit saluran pencernaan, pernapasan, dan kulit.

Komarudin (1997) mengatakan sehat tidaknya rumah ditentukan oleh

sistem pengadaan air di rumah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan.

Tersedianya fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus, sistem pembuangan air bekas

atau limbah, pembuangan tinja, tersedianya ventilasi dan jendela untuk sirkulasi

udara, serta kekuatan bangunan rumah. Komarudin (1997) menyimpulkan bahwa

Rumah Sehat harus memenuhi 4 (empat) persyaratan utama, yaitu:

1. Memenuhi kebutuhan fisik penghuni, meliputi: suhu lingkungan dapat

dipertahankan, cukup penerangan, ventilasi yang sempurna, dan terlindung

dari pengaruh bising.

2. Memenuhi kebutuhan kejiwaan, menjamin hubungan yang serasi antar

anggota keluarga, menyediakan sarana tanpa menimbulkan kelelahan,

membina dan menjamin kepuasan estetis, sesuai dengan kehidupan

masyarakat di sekitarnya.

3. Dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit.

4. Dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya/kecelakaan.

2.1.2 Permukiman dan Degradasi Lingkungan Menurut Sujarto (1990), permukiman sebagai salah satu fungsi kawasan

memiliki 3 (tiga) komponen utama, yaitu : tempat tinggal (place), tempat kerja

(work), dan tempat bermasyarakat (folk), Sujarto juga menjelaskan bahwa

Permukiman Manusia merupakan suatu totalitas lingkungan yang terbentuk oleh

unsur-unsur yang eksistics yang terdiri dari ‘Alam’ (nature) yaitu bahwa

permukiman akan sangat ditentukan oleh adanya alam baik sebagai lingkungan

hidup maupun sebagai sumber daya (geografis, topografi, geologi, iklim, flora dan

fauna).

15

Kualitas suatu lingkungan permukiman sangat ditentukan oleh

ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Dengan demikian masyarakat

yang tinggal di lingkungan permukiman yang bersih dan sehat akan dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik pula. Sebaliknya permukiman yang

tidak direncanakan dengan baik, lambat laun akan mengalami penurunan kualitas

lingkungan (degradasi) yang menyebabkan lingkungan permukiman menjadi tidak

layak huni.

Pertumbahan penduduk yang sangat drastis serta derasnya arus

urbanisasi, menyebabkan pembangunan perumahan dan permukiman menjadi

suatu kegiatan industri yang sangat kompleks. Menurut Budihardjo (1987), bahwa

pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman merupakan prakondisi

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan produktivitas

manusia sangat tergantung pada tersedianya wadah yang memadai untuk bekerja,

beristirahat, berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat.

Budihardjo (1987) juga mengatakan bahwa permukiman memiliki dwi fungsi

yaitu fungsi pasif, sebagai penyedia sarana dan prasarana fisik dan fungsi aktif

yaitu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kehendak, aspirasi, adat

istiadat dan tata cara hidup para penghuni dengan segenap dinamika

perubahannya.

Menurut Sinulingga et al. (1995) permukiman yang ideal harus memenuhi

beberapa ketentuan seperti lokasi terletak sedemikian rupa sehingga tidak

terganggu oleh kegiatan lain misalnya aktifitas pabrik, jauh dari lokasi pembuangan

sampah, mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan

pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta mempunyai saluran drainase yang

dapat mengalirkan air hujan dengan cepat sehingga tidak menimbulkan genangan

air disaat hujan lebat. Selain itu juga harus tersedia fasilitas penyediaan air bersih,

dilengkapi dengan pembuangan air limbah/tinja, pembuangan sampah, jaringan

listrik, jaringan telepon serta fasilitas umum seperti taman bermain dan ruang

terbuka umum (public open space).

Sinulingga et al. (1995) juga menyatakan bahwa secara garis besar

permukiman terdiri dari berbagai komponen, yaitu:

1. Pertama, lahan atau tanah yang diperuntukan untuk permukiman, dimana

kondisi tanah akan mempengaruhi harga rumah yang dibangun diatas lahan

tersebut.

16

2. Kedua, prasarana lingkungan yaitu jalan lokal, jaringan air bersih, saluran air

hujan, saluran air limbah dan tempat pembuangan sampah, yang kesemuanya

sangat menentukan kualitas permukiman yang dibangun.

3. Ketiga, yaitu perumahan (unit rumah) yang dibangun sebagai tempat tinggal.

4. Keempat, fasilitas umum dan fasilitas sosial, yaitu termasuk fasilitas

pendidikan, kesehatan, peribadatan, perdagangan, jaringan listrik dan telepon,

serta taman bermain atau ruang terbuka dalam lingkungan permukiman

tersebut.

2.1.3 Developer dan Industri Perumahan

Ledakan penduduk dan derasnya arus urbanisasi menyebabkan

pembangunan perumahan menjadi suatu kegiatan industri yang sangat kompleks.

Industri perumahan kemudian dikenal dengan istilah real estate yang sekarang

diubah menjadi realestat. Profesi realestat di Indonesia dapat dikatakan masih

relatif baru sekalipun berbagai disiplin dari profesi tersebut telah lama diterapkan.

Usaha realestat pada dasarnya adalah suatu usaha yang kegiatannya

berhubungan dengan persoalan tanah, termasuk segala kegiatan yang dilakukan

di atasnya. Dari berbagai usaha dibidang realestat yang berkembang di Indonesia

baru berupa pengembangan tanah dan bangunan. Usaha ini mencakup

pengembangan wilayah dan pembangunan permukiman, pengadaan papan dan

tempat usaha seperti gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat rekreasi dan

bangunan komersial lainnya.

Para pengusaha realestat tergabung dalam suatu wadah organisasi yang

disebut REI (Real Estate Indonesia) yang didirikan pada tanggal 11 Pebruari 1972

di Jakarta. Pembangunan oleh para pengembang yang seperti yang disebutkan di

atas dengan istilah populernya real estate dilaksanakan dengan cara membeli

sejumlah lahan yang direncanakan untuk pembangunan permukiman dan setelah

selesai dibangun kemudian dijual kepada masyarakat. Budihardjo (1987)

menjelaskan bahwa pembangunan yang dilaksanakan oleh pengembang memiliki

beberapa keuntungan, yaitu:

1. Rencana tapak (tata bangunan), intensitas pembangunan dan lebar jalan dapat

disesuaikan dengan rencana kota dan standar yang ada karena rencana

permukiman ini dibuat secara menyeluruh dengan terlebih dahulu diperiksa

oleh aparat pemerintah kota, apabila mendapat persetujuan baru dapat

dilaksanakan.

17

2. Lahan untuk fasilitas umum dan sosial dapat sekaligus disediakan oleh para

pengembang karena sudah merupakan ketentuan dalam standar perencanaan.

Hal ini mengurangi beban pemerintah dalam hal pengadaan lahan bahkan

bangunannya pun terkadang dikerjakan oleh pihak swasta.

3. Lingkungan permukiman selain tertata dengan baik juga harus memperhatikan

estetika lingkungan dan bangunan mengingat persaingan antar para

pengembang sehingga mereka akan berupaya untuk menciptakan lingkungan

dengan nilai estetika yang baik untuk memasarkan produknya.

4. Oleh karena pembangunan lingkungan ini terorganisasi melalui pengembang

maka semua bangunan akan mempunyai ijin bangunan, sehingga

meningkatkan pendapatan pemda kota disamping turut menunjang pengadaan

permukiman dengan tata hunian yang tertib.

Disamping keuntungan yang diperoleh juga terdapat faktor-faktor negatif

yang terjadi apabila pembangunan dilaksanakan oleh pengembang, yaitu:

1. Harga rumah akan lebih mahal karena pengembang cenderung memperoleh

keuntungan yang setinggi-tingginya.

2. Kualitas rumah sering tidak sesuai dengan yang ditawarkan karena

pelaksanaan dalam jumlah yang besar sehingga kurang pengawasan.

Seringkali pembeli merasa kecewa ketika menempati rumah tersebut seperti

terjadi kebocoran, air yang tidak lancar, pembuangan air kotor tidak berfungsi

dan lain-lain. Demikian juga untuk fasilitas umum dan sosial yang seharusnya

diadakan oleh pengembang seringkali tidak tersedia.

3. Para pengembang hanya memfokuskan pada prasarana di lokasi permukiman

saja padahal sistem prasarana dan sarana lingkungan permukiman misalnya

drainase, berkaitan dengan sistem di luar kawasan permukiman. Hal ini

menyebabkan kawasan permukiman yang baru dibangun dan daerah

disekitarnya sering terkena genangan air.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permukiman

realestat adalah suatu satuan lingkungan permukiman yang merupakan kawasan

perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang,

sarana dan prasarana lingkungan yang terstruktur, serta dibangun oleh

perusahaan swasta yang disebut developer atau pengembang.

18

2.2 Infrastruktur Berwawasan Lingkungan (Green Infrastructure)

Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi,

pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya yang

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan

ekonomi (Grigg et al., 1988). Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama

fungsi-fungsi sistem sosial dan system ekonomi dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau

struktur-struktur dasar, peralatan ataupun instalasi yang dibangun dan dibutuhkan

untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg, 2000).

Sebagai salah satu konsep atau pola pikir, Grigg et al. (2000)

mengilustrasikan diagram tentang peranan infrastruktur dalam suatu sistem yang

saling terkait (Gambar 2).

(Sumber: Grigg et al., 2000)

Gambar 2. Peran infrastruktur dalam suatu sistem lingkungan

Gambar 2 menjelaskan bahwa lingkungan alam merupakan pendukung dasar dari

semua sistem yang ada. Peran infrastruktur sebagai mediator antara sistem

ekonomi dan sosial dalam tatanan kehidupan manusia menjadi sangat penting.

Infrastruktur yang kurang atau bahkan tidak berfungsi, akan memberikan dampak

yang besar bagi manusia. Sebaliknya, infrastruktur yang terlalu berlebihan tanpa

memperhitungkan kapasitas dan daya dukung lingkungan akan merusak alam,

yang pada hakekatnya akan merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Social System

Economic System

Technology & Infrastructure

Environment & Natural Resources

Carrying Capacity of Environment

19

Lebih lanjut Grigg et al., (2000) membagi infrastruktur ke dalam 7 (tujuh)

kelompok kategori yang meliputi:

1. Transportasi (jalan dan jembatan) 2. Pelayanan transportasi (stasiun, bandara, dan pelabuhan) 3. Komunikasi 4. Keairan (sumber daya air, air limbah, sungai, saluran, dan pipa) 5. Pengelolaan limbah (sampah) 6. Bangunan 7. Distribusi dan produksi energi.

Menurut Sinulingga et al., (1995), permukiman pada garis besarnya terdiri

dari berbagai komponen yaitu pertama, lahan atau tanah yang diperuntukan untuk

permukiman dimana kondisi tanah akan mempengaruhi harga dari satuan rumah

yang dibangun diatas lahan itu; kedua, prasarana lingkungan yaitu jalan lokal,

saluran air hujan, saluran air limbah, jaringan air bersih, serta tempat

penampungan sampah, yang semuanya juga turut menentukan kualitas

permukiman yang dibangun. Ketiga, perumahan (tempat tinggal) yang dibangun.

Keempat, fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti fasilitas pendidikan, kesehatan,

peribadatan, penerangan, telekomunikasi, dan lapangan bermain didalam

lingkungan permukiman.

Berbagai fakta menunjukkan banyaknya permukiman yang dibangun tidak

dilengkapi dengan sarana dan prasarana sebagai kelengkapan dasar fisik yang

memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagimana mestinya.

Kalaupun ada, kualitasnya sangat rendah atau tidak berfungsi dengan baik.

Selain konsep infrastruktur konvensional yang dikenal sebagai ‘grey

infrastructure’, belakangan dikenal juga konsep pembangunan kota berbasis

infrastruktur hijau (green infrastructure). Konsep ini juga menjadi trend dalam

pembangunan wilayah di Amerika Serikat dan berbagai belahan dunia lainnya.

Benedict et al. (2006) dalam Suhono (2008) mendefinisikan infrastruktur hijau

sebagai ‘jejaring ruang terbuka lainnya (termasuk kawasan alamiah dan

kelengkapannya, daerah konservasi, kawasan budidaya yang mempunyai nilai

konservasi, dan kawasan terbuka yang dilindungi) yang saling berhubungan baik

yang direncanakan maupun dikelola agar berfungsi melindungi nilai-nilai dan

fungsi ekosistem alam dan menyediakan berbagai manfaat bagi manusia dan

makhluk hidup lainnya’. Infrastruktur hijau juga diartikan sebagai keterhubungan

jaringan ruang hijau yang direncanakan dan dikelola bagi kepentingan nilai sumber

20

daya dan manfaatnya bagi penduduk di sekitarnya. Perkembangan infrasruktur

hijau sebenarnya merupakan solusi dari kompleksitas pembangunan ekonomi

yang semakin maju yang menuntut adanya pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan.

Green Infrastructure terdiri dari 3 (tiga) sistem utama yakni a) Hubs,

merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau yang menyediakan komponen

ekosistem alam. Hubs bisa berdiri sendiri dari berbagai bentuk dan ukuran seperti

daerah perlindungan, hutan lindung, taman nasional dan sebagainya. b) Links,

merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs tersebut. Links dapat

berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan penyangga (green belt) maupun

jaringan jalan. c) Sites, merupakan komponen yang lebih kecil dari hubs dan bisa

terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian penting dalam

jaringan infrastruktur hijau. Sites pada kenyataannya dapat berupa taman ataupun

ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun di

kawasan rekreasi/tempat wisata alam.

Lebih lanjut Benedict et al. (2006) dalam Suhono (2008) menyatakan bahwa

green infrastructure memiliki sepuluh prinsip dasar agar ia dapat bekerja dengan

lebih efektif yaitu : 1) keterhubungan, 2) konteks kepentingan, 3) berlandaskan

pada teori dan dasar ilmiah yang kuat, 4) berfungsi sebagai kerangka berwawasan

lingkungan, konservasi, dan pembangunan, 5) direncanakan dan dilindungi

sebelum dilakukan pembangunan, 6) investasi publik harus didanai lebih awal (up

front), 7) harus memberikan manfaat kepada alam dan manusia, 8) respek

terhadap kepentingan pemilik lahan dan stakeholders, 9) membutuhkan hubungan

antar kegiatan didalam dan diluar komunitas, dan 10) memerlukan komitmen

jangka panjang.

Posisi infrastruktur hijau ini dibanding dengan modal-modal lainnya seperti

sumber daya alam (natural capital), human and social capital, dapat dilihat pada

Gambar 3 berikut ini. Grigg et al. (2000) dalam gambar tersebut juga menjelaskan

bahwa green infrastructure merupakan landasan utama untuk grey infrastructure

yang merupakan ujung tombak dari piramida keberlanjutan.

21

(Sumber : Grigg et al., 2000)

Gambar 3. Piramida keberlanjutan dan posisi green infrastructure

Dalam kenyataannya, green infrastruktur dapat meningkatkan kualitas

kehidupan dan kesehatan kepada masyarakat yang tertinggal. Disamping itu

membuat lingkungan menjadi lebih asri, secara psikologis dapat mengurangi

stress. Menghirup udara yang segar dengan kualitas udara yang baik akan

memberikan kesempatan kepada alam untuk melakukan water recharge dan

penyerapan air yang lebih maksimal sehingga akan mengurangi kemungkinan

terjadinya banjir pada musim penghujan dengan mempertahankan daerah hulu

sebagai daerah konservasi dan peningkatan ruang terbuka hijau didaerah

perkotaan serta greenway dibantaran sungai yang melewati kawasan perkotaan

dan mempertahankan keberadaan hutan kota.

2.3 Konsep dan Teori Perkotaan

Kota pada umumnya berawal dari suatu permukiman kecil, yang secara

spasial mempunyai lokasi yang strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,

1978) dalam Sujarto (2005). Seiring dengan berjalannya waktu, kota mengalami

perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan kondisi

sosial, ekonomi dan budaya, serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah

disekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari

Built Capital

(Grey Infrastructure)

Human and Social Capital

(People, place, connection)

Natural Capital (land, water, energy, etc)

Viable Ecosystem (Green Infrastructure)

22

penduduknya yang semakin bertambah dan makin padat, bangunan-bangunannya

yang semakin rapat, dan wilayah terbangun terutama permukiman yang cenderung

semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan

sosial–ekonomi kota.

Kota-kota di Indonesia pada umumnya merupakan hasil perkembangan

dari suatu desa. Keragaman aktivitas yang berlangsung di suatu kota akan sangat

menentukan besar kecilnya klasifikasi kota tersebut, disamping luas wilayah dan

jumlah penduduknya. Bentuk suatu kota juga bergantung pada fisiografi atau

aspek perencanaan kota itu sendiri. Kota yang berada pada kondisi alam yang

banyak rintangannya, dalam perkembangannya akan melakukan penyesuaian

bentuk sehingga pola kota menjadi tidak teratur. Ciri khas sebuah kota adalah

bahwa pada umumnya kota bersifat mandiri (self contained), yang berarti para

penduduknya mencari nafkah, memenuhi kebutuhan, dan berkreasi di dalam kota

itu sendiri.

Budihardjo et al. (1993) menyatakan, kota sebagai bagian integral dari

suatu lingkungan terutama di Indonesia pada umumnya berkembang secara

laissez-faire yaitu perkembangan tanpa dilandasi perencanaan kota yang

menyeluruh dan terpadu. Kota-kota tersebut tidak betul-betul dipersiapkan atau

direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam

kurun waktu yang relatif singkat. Seharusnya semenjak awal proses penyusunan

perencanaan, terutama dalam penentuan tujuan dan perumusan masalah

perkotaan segenap pihak (stakeholders) harus terlibat secara aktif.

Budihardjo et al. (1999) menjelaskan beberapa pandangan para perencana

kota (urban planner) tentang berbagai pengertian dan defini kota adalah sebagai

berikut :

Dickinson menjelaskan bahwa kota adalah suatu permukiman dengan bangunan

rumah yang rapat dan penduduknya bermata pencaharian bukan pertanian.

Christaller menyatakan fungsi kota adalah sebagai penyelenggara dan penyedia

jasa-jasa bagi daerah di sekitarnya. Dengan kata lain, pada awalnya kota adalah

sebuah pusat pelayanan dan bukan tempat bermukim.

Mayer melihat kota sebagai tempat bermukim penduduknya. Baginya yang

terpenting bukanlah rumah tinggal, kantor, tempat ibadah, jalan raya, taman dan

sebagainya, melainkan penghuni kota lah yang menciptakan semua itu. Kota

memiliki peradaban yang berbeda dengan pedesaan, kota memiliki jiwa tersendiri

dengan kebudayaannya sendiri, sedangkan desa merupakan kawasan yang

melingkupi sebuah kota.

23

Wirth merumuskan kota sebagai permukiman yang relative besar, padat dan

permanen dengan penduduk yang heterogen kedudukan sosialnya. Karena itu

hubungan sosial antar penghuninya serba longgar, acuh dan relasinya bukan

pribadi (impersonal relations).

Harris dan Ullman melihat kota sebagai pusat permukiman dan pemanfaatan

sumber daya alam oleh manusia. Manusia menempati serta mengeksploitasi

sumber daya alam yang ada, sehingga mendorong pertumbuhan kota menjadi

sangat pesat, tetapi menimbulkan terjadinya pemiskinan dan berbagai masalah

sosial.

Freeman mengemukakan bahwa kota mempunyai 4 (empat) ciri, yang meliputi:

a) penyedia fasilitas untuk seluruh penduduknya, b) penyedia jasa (tenaga),

c) penyedia jasa professional (bank, kesehatan, dan pendidikan), d) memiliki

pabrik-pabrik (industri).

Berdasarkan jumlah penduduk di perkotaan, maka dapat diklasifikasikan

kota-kota di Indonesia menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :

1. Kota Metropolitan dengan jumlah penduduk > 1.000.000 juta jiwa 2. Kota Besar dengan jumlah penduduk 500.000 – 1.000.000 jiwa 3. Kota Sedang dengan jumlah penduduk 100.000 – 500.000 jiwa 4. Kota Kecil dengan jumlah penduduk < 100.000 jiwa

Jumlah penduduk suatu kota sangat mempengaruhi tingkat kepadatan

penduduk kota tersebut, dimana kepadatan penduduk dihitung berdasarkan jumlah

jiwa dalam satu kilometer persegi lahan (jiwa/km2). Terdapat 5 (lima) klasifikasi

kepadatan penduduk yaitu :

1. Sangat tinggi > 5.000 jiwa/km2. Tinggi 1.000 – 5.000 jiwa/km

2

3. Sedang 500 – 1.000 jiwa/km

2

4. Rendah 100 – 500 jiwa/km

2

5. Sangat rendah < 100 jiwa/km

2

Perencanaan kota mempunyai tujuan untuk menciptakan keselarasan

sosial dan ekonomi bagi kepentingan publik maupun individu. Perencanaan kota

yang baik akan mengalokasikan lahan secara efisien. Perencanaan kota

merupakan seni untuk menduga perubahan, mengatur kekuatan tertentu seperti

fisik, sosial, ekonomi, dan politik dalam menentukan lokasi dan bentuk sektor

tertentu (Osborn et al., 1963). Sedangkan tujuan dari perencanaan kota adalah

untuk meningkatkan lingkungan fisik yang harmonis, menyenangkan dan nyaman,

untuk kepuasan dan kebahagiaan penduduknya.

2

24

Menyadari gejala perkotaan yang semakin rusak, Howard (1902)

mengajukan perencanaan humanopolis yaitu kota yang lembut dan manusiawi

dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang

sewenang-wenang terhadap alam dengan cara mengolah lingkungan manusia dan

lingkungan binaannya secara lebih akrab, arif dan bijaksana.

2.3.1 Teori Spasial Perkotaan Kota sebagai perwujudan spasial akan cenderung mengalami perubahan-

perubahan baik secara fisik maupun non fisik. Perkembangan perkotaan adalah

suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu kondisi ke kondisi yang lain

dalam suatu periode waktu yang berbeda. Perkembangan kota dapat terjadi

secara alami, maupun terjadi secara artifisial dengan campur tangan manusia

yang mengatur arah perubahan keadaan tersebut.

Terdapat 3 (tiga) teori klasik tentang struktur keruangan (spasial) kota,

yaitu: teori konsentris, teori sektoral, dan teori inti ganda (Rahardjo, 2004):.

A. Teori Konsentris (Burgess - Tahun 1925)

Teori ini dikemukakan oleh E.W Burgess seorang sosiolog beraliran human

ecology pada tahun 1925. Teori ini merupakan hasil penelitiannya mengenai

morfologi kota Chicago, yang diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul

‘The City’. Menurut teori cincin konsentris Burgess ini, bahwa kota-kota besar

memiliki kecenderungan berkembang atau memekarkan diri kearah luar di

semua bagian kota tersebut. Oleh karena semua bagian berkembang ke

segala arah, maka pola keruangan yang di hasilkan akan membentuk lingkaran

yang berlapis-lapis, dimana daerah pusat kegiatan berfungsi sebagai intinya

(Gambar 4).

Secara berurutan, tata guna lahan yang mengikuti pola konsentris ini

adalah sebagai berikut :

1. Zona Kawasan Pusat Bisnis (KPB) atau dikenal juga dengan istilah

Central Bussines District (CBD), merupakan kawasan pusat bisnis yang

disebut sebagai loop dan menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial, budaya

dan politik. Fungsi bangunan yang terdapat pada zona ini antara lain :

perkantoran, pertokoan, bank, gedung pertunjukan, dan sebagainya.

2. Zona transisi atau disebut juga zona peralihan, pada awalnya merupakan

perumahan tua dan beralih fungsi menjadi perkantoran dan industri ringan.

25

3. Zona perumahan masyarakat penghasilan rendah, merupakan daerah

tempat tinggal para buruh pabrik berupa rumah tua dengan kepadatan

tinggi.

4. Zona perumahan masyarakat penghasilan menengah keatas, merupakan

kawasan hunian masyarakat berkelas dengan tingkat kerapatan bangunan

sedang karena masih terdapat jarak antar bangunan.

5. Zona penglaju (commuter), yaitu zona pinggiran yang merupakan tempat

bermukim masyarakat penglaju yaitu masyarakat yang tinggal di daerah

pinggiran namun bekerja di pusat kota.

Gambar 4. Teori Konsentri (Burgess)

B. Teori Sektoral (Homer Hoyt – tahun 1939)

Teori ini dikemukakan oleh seorang ekonom bernama Homer Hoyt pada

tahun 1939. Hoyt mengemukakan bahwa perkembangan yang terjadi pada

suatu kota akan mengarah keluar pusat kota dan membentuk sektor-sektor

baru, dimana pengelompokan tata guna lahan yang terjadi akan membentuk

pola seperti irisan kue tar. Perkembangan dalam sector-sektor tersebut

kemudian oleh para analis ruang dihubungkan lagi dengan latar belakang

kondisi geografi dari kota yang bersangkutan dan jalur transportasi yang ada.

Hoyt juga mengemukakan bahwa pajak tanah dan bangunan juga berbeda-

beda berdasarkan sektor-sektor yang terbentuk. Jadi, tidak berarti bahwa pajak

tertinggi harus berada di dekat pusat kota seperti halnya teori Burgess.

Secara berturut-turut tata guna lahan yang terbentuk pada teori sektoral dapat

dilihat pada Gambar 5.

Keterangan :

1. Zona Kawasan Pusat Bisnis 2. Zona Pabrik Ringan 3. Zona Permukiman kelas

Rendah 4. Zona Permukiman kelas

Menengah Keatas 5. Zona Penglaju (commuter)

26

Gambar 5. Teori Sektoral (Homer Hoyt)

Berdasarkan teori sektoral ini, ditemukan pula bahwa makin ke pusat kota

(dalam sektor yang sama) bangunan gedung atau perumahan makin kuno, dan

juga makin ke pusat kota fungsi industri semakin berkurang atau mengalami

perubahan. Sebaliknya perindustrian lebih berkembang pesat di wilayah

pinggiran kota dimana zona sektornya cenderungan lebih besar.

C. Teori Inti Ganda (Harris & Ullman - Tahun 1945)

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Harris dan Ullman pada tahun

1945, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Readings

In Urban Georaphy. Mereka berpendapat, meskipun pola konsentris dan pola

sektoral suatu kota memang ada, namun kenyataannya lebih kompleks dari

apa yang sekedar di teorikan oleh Burgess dan Hoyt. Dijelaskan secara khusus

bahwa pertumbuhan kota yang bermula dari suatu pusat akan menjadi lebih

kompleks polanya. Hal ini disebabkan oleh munculnya pusat-pusat baru yang

masing-masing akan berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Di sekitar kutub-

kutub baru tersebut akan mengelompok tata guna lahan yang bersambungan

secara fungsional. Keadaan seperti itu akan melahirkan struktur kota yang

memiliki sel-sel pertumbuhan.

Tempat-tempat yang merupakan inti-inti (Nucleus) dapat berupa pelabuhan

udara, universitas, kawasan industry, pelabuhan laut, ataupun stasiun-stasiun

besar. Yang memiliki Nucleus bukan hanya kota, melainkan juga desa-desa

besar atau kota-kota kecil yang pusatnya merupakan pusat pelayanan bagi

penduduk. Kemudian di sekitarnya terjadi pengelompokan tata guna lahan

dengan pertimbangan keuntungan ekonomis. Industri mencari lokasi dekat

terminal transportasi, sedangkan perumahan baru mencari lokasi dekat dengan

pusat-pusat perbelanjaan.

Keterangan :

1. Zona Kawasan Pusat Bisnis (CBD) 2. Zona Industri (pabrik ringan) 3. Zona Permukiman kelas Rendah 4. Zona Permukiman kelas Menengah 5. Zona Permukiman kelas Atas

27

Secara berturut-turut tata guna lahan yang terbentuk pada teori inti ganda

ini dijelaskan pada Gambar 6:

Keterangan :

1. Zona CBD 2. Zona pabrik ringan 3. Perumahan masyarakat kelas rendah 4. Perumahan masyarakat kelas sedang 5. Zona perumahan masyarakat kelas atas 6. Zona pabrik-pabrik besar 7. Pusat perdagangan dipinggiran kota 8. Zona perumahan penglaju (Commuter) 9. Zona daerah industry diluar kota

Gambar 6. Teori Inti Ganda (Harris & Ullman)

2.3.2 Teori Wilayah Inti dan Hinterland

Urban Fringe dapat diartikan sebagai wilayah pinggiran. Selain dalam

pengertian batas administratif, wilayah pinggiran biasanya juga merupakan daerah

transisi antara built up areas dan non built up areas. Secara fisik, wilayah pinggiran

tersebut dapat dicirikan oleh kegiatan pedesaan (rural) yang bercampur dengan

kegiatan perkotaan (rural-urban), atau dapat juga wilayah tersebut sudah fully

build-up. Bergantung pada lokasinya, setiap wilayah pinggiran mempunyai

karakteristik unik tersendiri.

Friedmann (1967) menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta

persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang

lingkup yang lebih general. Friedmann mengemukakan teori wilayah intinya yang

berjudul ‘A General Theory of Polarized Development’ dan teori lainnya tentang

pengembangan wilayah yang berjudul ‘Regional Development and Planning’.

Menurut Friedmann, di sekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran atau

periphery regions atau hinterland. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut juga

daerah pedalaman atau daerah sekitar.

Pengembangan dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinu tetapi

kumulatif yang berasal dari sejumlah kecil pusat-pusat pertumbuhan, yang terletak

pada titik interaksi yang memiliki potensi tertinggi. Pembangunan inovatif

28

cenderung menyebar keluar dari pusat-pusat (wilayah inti) ke daerah-daerah yang

lebih rendah yang mempunyai potensi interaksi yang baik (Gambar 7).

Gambar 7. Daerah inti dan daerah pinggiran (urban fringe)

Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, atau kota

metropolitan, ataupun kota megapolitan yang dikategorikan sebagai daerah-

daerah inti (sentral), sedangkan daerah-daerah pinggiran yang relatif statis

merupakan subsistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh aktifitas

di daerah inti yang artinya bahwa daerah pinggiran berada dalam suatu hubungan

ketergantungan yang substansial. Wilayah inti dan daerah pinggiran secara

bersama-sama membentuk suatu sistem spasial yang lengkap.

Proses dimana daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap

daerah pinggiran dilakukan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik. Menurut

Hasen (1972) dalam Rahardjo (2004) pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:

a. Pengaruh dominasi, yaitu dengan cara melemahkan perekonomian didaerah

pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya SDA/SDM dan modal ke wilayah inti.

b. Pengaruh informasi, yaitu peningkatan dalam interaksi potensial yang dapat

menunjang pembangunan inovatif.

c. Pengaruh psikologis, penciptaan kondisi yang memicu terjadinya kegiatan

inovatif yang lebih nyata.

d. Pengaruh mata rantai, yaitu kecenderungan inovasi-inovasi yang ada untuk

menghasilkan inovasi baru lainnya.

e. Pengaruh produksi, yaitu penciptaan struktur balas jasa yang menarik untuk

menghasilkan interaksi yang lebih inovatif.

Pada umumnya daerah inti melaksanakan fungsi pelayanan terhadap

daerah sekitarnya. Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsi yang khusus,

Daerah Inti

Daerah Pinggiran

Daerah Pinggiran

29

seperti : sebagai pusat perdagangan dan industri, serta pusat pemerintahan.

Sehubungan dengan peranan wilayah inti dalam pembangunan spasial, Friedmann

(1967) mengemukakan 5 (lima) preposisi utama sebagai berikut :

1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah sekitarnya

melalui sistem suplai, pasar, dan wilayah administrasi.

2. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke

daerah sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya.

3. Sampai pada suatu titik tertentu, pertumbuhan daerah inti cenderung

mempunyai pengaruh positif dalam proses pembangunan system spasial, akan

tetapi mungkin pula mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran

pembangunan wilayah inti ke daerah sekitarnya tidak berhasil diciptakan

sehingga nilai ketergantungannya menjadi rendah.

4. Dalam suatu system spasial, hirarki daerah inti ditetapkan berdasarkan

kedudukan fungsionalnya masing-masing, seperti karakteristik dan prestasi

yang dimiliki.

5. Kemungkinan inovasi-inovasi akan ditingkatkan ke seluruh sistem spasial

dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.

Meskipun hubungan antara daerah inti – daerah pinggiran sebagai

kerangka dasar kebijakan dan perencanaan pembangunan regional masih

dianggap sederhana dan masih bersifat umum, namun hal ini dapat digunakan

sebagai acuan untuk menjelaskan hubungan dan ketergantungan antara daerah

pusat dengan wilayah disekitarnya.

2.3.3 Perkembangan Kota Baru (New Town)

Fenomena kota baru sesungguhnya bukanlah hal baru dalam sejarah

pengembangan kota di Indonesia. Dalam dasawarsa terakhir, pengembangan kota

baru menjadi trend sebagai salah satu isu pokok dalam pengembangan kota di

Indonesia, khususnya dalam rangka pengembangan kota-kota Metropolitan.

Pengembangan kota baru akhir-akhir ini seringkali diartikan sebagai

pengembangan permukiman skala besar di wilayah-wilayah metropolitan. Dalam

hal ini, pembangunan kota baru menjadi sangat kompleks dan sangat terkait

dengan berbagai aspek kehidupan, seperti: masalah lingkungan, pertanahan,

transportasi, pembebasan lahan, peluang lapangan kerja dan sektor bisnis yang

cukup menggiurkan sampai pada aspek perencanaan kota.

30

A. Pengertian Umum Kota Baru

Advisory Commission on Inter-governmental Relations (Pei dan Verma,

1972) dalam Sujarto (1993) memberikan pengertian tentang kota baru sebagai

“Permukiman yang mandiri dan berencana dengan skala yang cukup besar

sehingga: a) memungkinkan untuk menunjang kebutuhan berbagai jenis rumah

tinggal dan kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam

permukiman itu sendiri; b) dikelilingi oleh jalur hijau yang menghubungkan secara

langsung dengan wilayah pertanian di sekitarnya dan juga sebagai pembatas

perkembangan kota dari segi jumlah penduduk dan luas wilayahnya; c) dengan

mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu

proporsi peruntukan lahan yang sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan,

perumahan, fasilitas dan utilitas umum serta ruang terbuka, pada proses

perencanaannya; dan d) dengan mempertimbangkan fungsi kota serta lahan yang

tersedia dapat ditentukan pola kepadatan penduduk yang serasi”.

Berdasarkan masa perencanaan dan perkembangannya, Osborn dan

Whittick (1963) menekankan bahwa kota baru sebenarnya merupakan alternatif

upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah pertumbuhan permukiman

yang tersebar secara tidak terkendali serta kemacetan di kota-kota besar yang

disebabkan semakin berkembangnya kegiatan usaha dan penduduk kota besar

akibat perkembangan industri secara besar-besaran pada awal abad ke-20.

Yudohusodo (1988) menjabarkan beberapa pengertian Kota Baru menurut

beberapa ahli perencana kota sebagai berikut:

Von Hertzen dan Spreiregen (1973), memberikan pengertian kota baru dari

segi letak geografisnya adalah suatu kota yang direncanakan, didirikan, dan

dibangun di atas suatu lahan perawan yang terlepas sampai suatu jarak

tertentu yang jelas dari suatu kota induk yang lebih besar.

Golany (1978) mengemukakan pengertian kota baru sebagai kota khusus yang

dikembangkan sehubungan adanya upaya pengembangan fungsi tertentu

seperti kota pengusahaan industri, kota pertambangan, kota perkebunan, kota

penunjang instalasi tertentu seperti instalasi militer. Selanjutnya dikemukakan

dalam wawasan yang lebih luas suatu pengertian kota baru bahwa tidaklah

selalu dibangun sama sekali baru di atas suatu wilayah lahan perawan, tetapi

juga mungkin merupakan suatu pengembangan dan pembaharuan

permukiman pedesaan atau kota kecil secara total menjadi kota lengkap yang

mandiri.

31

Dengan melandaskan pada beberapa pengertian tentang kota baru di atas,

maka secara umum kota baru dapat diartikan sebagai berikut (Sujarto dan

Benedictus, 1989):

1. Ditinjau dari segi letak geografisnya, kota baru adalah kota yang mandiri yang

direncanakan, didirikan atau dibangun di atas suatu lahan perawan pada suatu

jarak tertentu yang jelas, terlepas dari kota induk yang lebih besar atau kota-

kota lainnya sebagai alternatif mengatasi masalah perkotaan (pertumbuhan

permukiman yang tidak terkendali, kekurangan perumahan, dan kemacetan

lalulintas), yang kemudian dikembangkan secara lengkap dengan

pertimbangan proporsi peruntukan lahan yang sesuai.

2. Ditinjau dari segi fungsionalnya, kota baru adalah kota khusus yang

dikembangkan sehubungan dengan adanya upaya pengembangan fungsi

tertentu misalnya kota pemerintahan, kota industri, kota pertambangan, kota

perkebunan, kota penunjang instalasi, dan lain-lain, sehingga kota tersebut

tidak selalu dibangun di atas suatu wilayah lahan perawan, akan tetapi

merupakan suatu pengembangan dan pembaharuan permukiman pedesaan

atau kota kecil secara total.

B. Faktor Perkembangan dan Klasifikasi Kota Baru Pengembangan dan perkembangan kota baru dalam berbagai kurun waktu

dilandasi oleh berbagai motivasi yang berbeda. Perwujudan pengembangan kota-

kota baru ini kemudian sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh berbagai faktor.

Secara deskriftif mengenai evolusi kota baru, maka dapat diidentifikasikan

bahwa sesuai dengan fungsi tujuannya kota baru sangat bervariasi dari segi lokasi,

jenis, dan pola fisiknya. Golany (1978) menjelaskan bahwa ditinjau dari letak

geografisnya, kota baru dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu:

1. Kota baru dalam kota (New Town in Town), yaitu suatu lingkungan baru

berskala besar yang dikembangkan pada wilayah kantong yang belum

terbangun di dalam kota atau di wilayah pinggiran yang berbatasan langsung

dengan kota induk.

2. Kota baru satelit (Dormitory Town), yaitu suatu lingkungan baru berskala besar

yang dikembangkan sebagai tempat tinggal yang letaknya terpisah pada jarak

tertentu dari kota induk, tetapi secara fungsional sangat tergantung pada kota

induk.

32

3. Kota baru mandiri (Independent New Town), yaitu suatu kota baru yang

dikembangkan dengan tujuan membentuk kota yang mandiri dalam memenuhi

kebutuhan dan kegiatan usaha penduduknya. Contoh: kota baru pemerintahan

4. Kota baru khusus, yaitu kota baru yang dikembangkan sehubungan dengan

kegiatan tertentu, seperti: kemiliteran, pertambangan, dan perkebunan. Kota

baru khusus ini dapat bersifat mandiri ataupun satelit terhadap kota induknya.

Selanjutnya, Sujarto (1993) mengklasifikasikan kota baru secara fungsional

menjadi 2 (dua) macam yaitu kota baru mandiri dan kota baru penunjang (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi Kota Baru di Indonesia

Sifat dan Kemampuan Jenis Kota Baru Fungsi Kota Kota Baru

1. Kota Baru Mandiri 1. Kota Umum Pusat Pemerintahan

2. Kota Perusahaan Industri Pertambangan Kehutanan

3. Kota Khusus Militer Pusat Penelitian Pusat Rekreasi Permukiman Khusus

2. Kota Baru Penunjang 1. Kota Baru Satelit Permukiman skala besar

2. Kota Baru Metropolitan Permukiman skala besar tetapi sebagian besar penduduknya bekerja di kota inti.

Sumber : Sujarto D (1993)

2.3.4 Pola Perkembangan Kota A. Pola dasar lokasi kota Pola perkembang kota menggambarkan pola perkembangan suatu kota

dilihat dari aspek dimensi (ukuran) dan bentuk ruang yang berbeda-beda. Setiap

pola merupakan hasil pembentukan dari fungsi-fungsi dan infrastruktur, yang telah

ditetapkan pada lokasi tertentu. Gallion et al. (1992) menjelaskan bahwa terdapat 3

(tiga) pola dasar lokasi kota dalam ukuran dan bentuk, yaitu :

1. Pola linier, yaitu pola perkembangan kota yang berjajar disepanjang jalur

transportasi (misalnya : jalan, rel kereta api, sungai, dan garis pantai).

2. Pola berkelompok, yaitu pola kota yang terbentuk akibat dari pemusatan

aktivitas (misalnya: kota industri yang menyebabkan aktivitas penduduk

terkonsentrasi pada kegiatan industri di kota tersebut).

33

3. Pola hierarki, yaitu pola yang terbentuk dari kumpulan beberapa kota dengan

ukuran yang berbeda dalam suatu wilayah, sehingga membentuk pola yang

teratur.

Gambar 8. Pola dasar lokasi kota dalam ukuran dimensi dan bentuk

B. Pola umum perkembangan permukiman perkotaan

Semakin besar skala suatu kota semakin beragam pula aktivitas komersial

penduduk kota tersebut, yang ditunjukkan dengan semakin beragamnya

penggunaan lahan oleh berbagai kategori bangunan. Secara fungsi, kategori

utama penggunaan bangunan di daerah perkotaan terdiri dari : permukiman,

komersial, industri, pusat pemerintahan, sarana dan prasarana kota serta fasilitas

umum lainnya.

Jalur-jalur transportasi yang direpresentasikan dalam bentuk jaringan jalan

merupakan pembentuk pola penggunaan lahan yang paling dominan. Pada

awalnya penempatan bangunan-bangunan hanya menunjukkan pola sirkulasi

setempat, dimana bangunan-bangunan tersebut diatur menurut pola jalan yang

tersedia. Seiring dengan perkembangan yang terjadi, akan terbentuk kelompok-

kelompok bangunan yang saling berhubungan satu dengan lainnya, demikian juga

dengan jaringan utilitas dan fasilitas umum lainnya.

Jalur transportasi dan utilitas kota menjadi pembentuk utama pola

penggunaan lahan dan penyebaran bangunan di kota. Sejak awal pertumbuhan,

berbagai kegiatan usaha akan memilih lokasi strategis di sepanjang jalur-jalur lalu

lintas utama dan di tempat-tempat yang menjadi konsentrasi aktivitas komersial.

34

Gambar 9 berikut adalah contoh pola umum perkembangan permukiman kota:

Gambar 9. Pola umum perkembangan permukiman perkotaan

2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Sejak tahun 1984 konsep pembangunan berkelanjutan menjadi pusat

perhatian dalam pertimbangan kebijakan di seluruh dunia sebagai basis dari upaya

mewujudkan pembangunan yang seimbang. Laporan WCED (World Commision on

Environment and Development dalam ‘Our Common Future’ (1984),

menyampaikan tentang konsep pembangunan berkelanjutan sebagai berikut:

‘sustainable development is development which meets the needs of the

present without compromising the ability of future generations to meet

their own needs’.

Prinsipnya bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk

memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan

generasi mendatang.

Pembangunan berkelanjutan merupakan kerangka pikir yang telah menjadi

wacana internasional. Kerangka pikir ini kemudian disepakati oleh negara-negara

di dunia termasuk Indonesia didalam KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 untuk

digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pembangunan. Hasil KTT Bumi

tersebut dikenal dengan Agenda 21.

Menurut Soemarwoto (2002) pembangunan berkelanjutan dapat

didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan

kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak

berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh

35

jika tergantung pada keterbatasan sumber daya alam yang tersedia. Beberapa

sumber daya alam seperti bahan mineral (tambang) termasuk non-renewable dan

sumber daya alam seperti tanaman pangan, air dan udara termasuk renewable.

Lebih lanjut Timmer dan Kate (2006) menjelaskan bahwa keberlanjutan

(sustainability) adalah menyeimbangkan upaya untuk memenuhi kebutuhan saat

ini dengan keharusan untuk menyisakan warisan positif kepada generasi masa

yang akan datang. Semua komponen ekonomi, lingkungan dan sosial sebenarnya

saling berkaitan dan tidak dapat digarap sendiri-sendiri. Oleh karena itu perlu

mengembangkan pendekatan kemitraan terhadap semua permasalahan.

Menurut WCED – World Commision on Environment and Development

(1987) terkandung 2 gagasan penting dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu :

a. Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia

yang harus diprioritaskan.

b. Gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan yang bersumber pada kondisi

teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan.

Beberapa pengertian lain terkait pembangunan berkelanjutan dalam

Agenda 21 Sektoral (UNDP, 1997) sebagai berikut:

Dunia masa mendatang tergantung pada keterkaitan antara pertumbuhan

penduduk, pengelolaan sumber daya energy dan proteksi lingkungan secara

harmonis.

Pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting suatu pendekatan

nasional dan internasional untuk mengintegrasikan aspek ekonomi,

lingkungan, sosial, dan etika sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi

generasi sekarang dan genersai mendatang dapat dipenuhi.

Penafsiran tentang pembangunan yang berkelanjutan diartikan sebagai daya

upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan

kebutuhan generasi mendatang. Dengan kata lain, proses pembangunan harus

bisa berlangusng secara terus menerus dan berkesinambungan.

International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan

pembangunan berkelanjutan adalah membuat semua anggota masyarakat

mendapatkan elemen-elemen kunci bagi kehidupan, seperti: pangan yang cukup,

sandang, pemukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya mengkombinasikan kebutuhan

mendesak dengan pentingnya melindungi lingkungan Saroso (2002) dalam

Santoso (2009).

36

Munasinghe et al. (1995) mengemukakan bahwa aspek-aspek penting

pembangunan berkelanjutan meliputi: 1) keberlanjutan ekonomi, 2) keberlanjutan

ekologi dan 3) keberlanjutan sosial. Menurut Djayadiningrat (2001) bahwa tujuan

pembangunan berkelanjutan secara ideal membutuhkan pencapaian hal-hal

sebagai berikut : (1) keberlanjutan ekologis, (2) keberlanjutan ekonomi, (3)

keberlanjutan sosial budaya, (4) keberlanjutan politik, dan (5) keberlanjutan

pertahanan keamanan.

Pembangunan berkelanjutan menjadi gagasan yang sangat penting karena

pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan eksploitasi sumberdaya yang

berlebihan sehingga menyebabkan bencana lingkungan hidup. Penggunaan

sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti energi, bahan tambang,

dan mineral memiliki keterbatasan dalam pemanfaatannya. Pembangunan

berkelanjutan menuntut bahwa jauh sebelum batas-batas tersebut terlampaui,

dunia harus menjamin seimbangnya akses ke sumber-sumber yang terbatas

jumlahnya, serta sudah harus merubah arah teknologi yang dapat mengurangi

tekanan terhadap sumber tersebut. Disamping itu, disadari bahwa setiap

ekosistem tidak dapat dilestarikan secara persis karena pertumbuhan ekonomi dan

kegiatan pembangunan akan selalu membawa perubahan terhadap ekosistem

(WCED, 1987).

Didalam publikasi Our Common Future, dikemukakan beberapa

pedoman/prinsip pembangunan berkelanjutan, antara lain :

a. Prinsip Lingkungan (Ekologi) meliputi : melindungi sistem penunjang

kehidupan, memelihara integritas ekosistem, mengembangkan dan

menerapkan strategi prefentif dan adoktif untuk menangggapi ancaman

perubahan lingkungan global.

b. Prinsip Sosial Politik meliputi : mempertahankan skala fisik dari kegiatan

manusia dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari

kegiatan manusia, meyakinkan adanya kesamaan sosial, politik, dan ekonomi

dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan.

Soemarwoto (2002) mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan

untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut

meliputi : (1) terpeliharanya proses ekologi yang essensial, (2) tersedianya sumber

daya yang cukup, dan (3) lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.

Selanjutnya Murdiyarso (2006) mengemukakan pokok-pokok pikirannya

terhadap pembangunan berkelanjutan yakni perlu dijadikan pertimbangan karena

37

adanya keterbatasan planet bumi yang dapat disimpulkan menjadi 4 asumsi dasar

yaitu: a) terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui

(non renewable resources), b) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat

menyerap polusi, c) terbatasnya lahan yang dapat ditangani, dan d) terbatasnya

produksi per satuan luas lahan atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk

dan kapital.

Dari berbagai definisi tersebut di atas secara umum dapat diartikan bahwa

pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang

tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan

ekonomi dan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, dengan manusia sebagai

tema sentralnya.

2.4.1 Pembangunan Kota Berkelanjutan (Sustainable Urban Development) Sebuah paradigma yang menjadi fokus pembangunan kota berkelanjutan

adalah keberkelanjutan kota itu sendiri (sustainable city). Konteks keberlanjutan

tersebut tidak hanya terbatas pada wilayah administrasi kota melainkan lebih luas

lagi cakupannya meliputi seluruh fungsi wilayah perkotaan (urban sustainability).

Ketika akan mewujudkan kota berkelanjutan disadari bahwa daya dukung

lingkungan yang terbatas menyebabkan ekspansi kota sulit dilakukan, yang pada

akhirnya tidak membuat wilayah perkotaan menjadi berkelanjutan.

Menciptakan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan sangat krusial

karena aktifitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan

memegang peranan penting dalam kebaikan kesejahteraan manusia dengan

memfasilitasi pembangunan sosial, cultural dan ekonomi (Sujarto, 2005). Lebih

lanjut Sujarto (2005) menyatakan bahwa suatu kota berkelanjutan adalah:

1. Mencakup aspek kultural, sosial dan ekonomi dari seluruh lingkungan

perkotaan-pedesaan,

2. Memberikan manfaat bagi pelaku individual dalam masyarakat,

3. Kriteria tersebut harus didefinisikan dalam kaitannya dengan kondisi lokal dan

dibangun dengan partisipasi masyarakat,

4. Konservasi sumber daya, menjaga keragaman hayati dan ekosistem,

5. Mendukung kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisinya,

6. Menyediakan akses yang sama terhadap pelayanan untuk semua warga,

7. Memprioritaskan opsi dan mensinergikan sosial, ekonomi dan lingkungan,

8. Mendukung proses pembuatan keputusan yang demokratis, dan

9. Menghormati ilmu pengetahuan dan kreatifitas penduduk lokal.

38

Menurut Sarosa (2002) bahwa kota berkelanjutan memiliki beberapa

karakteristik antara lain : a) tata guna lahan yang terintegrasi dengan rencana

transportasi; b) pola tata guna lahan; c) tata guna lahan yang membantu

melindungi sember daya air; d) kontrol penggunaan lahan untuk setiap orang; e)

kota yang manusiawi, pasar, ruang hijau, pedestrian; f) mendukung kota menjadi

lebih kompak.

Manuwoto (2006) menyarankan manajemen perkotaan yang efektif untuk

mendukung keberhasilan pembangunan perumahan yang berwawasan

lingkungan. Pembangunan perumahan masa depan yang bertumpu pada

kemandirian masyarakat dengan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan,

kekeluargaan, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Untuk mencapai keberlanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak

yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak akan dapat memecahkan

permasalahannya sendiri, dimana peran pemerintah kota semakin lama semakin

bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya sistem pelaku majemuk akan

menggantikan sistem pelaku tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah.

Dimasa depan akan terdapat titik majemuk kewenangan, pengaruh, dan tantangan

yaitu bagaimana memberdayakan pihak pihak tersebut agar dapat bekerjasama

secara kooperatif. Manfaatnya adalah terciptanya kepercayaan dan koneksi sosial

(Social Capital) yang terus terakumulasi, dan pada gilirannya akan mencapai tiga

sasaran yaitu : menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak

korup, menurunkan sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non

pemerintah (Alexander, 1977).

2.4.2 Pembangunan Permukiman Berkelanjutan Pembangunan permukiman yang berkelanjutan merupakan pembangunan

permukiman yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi masa kini maupun

masa depan secara merata. Ciri-ciri model pembangunan yang berkelanjutan

adalah berwawasan lingkungan dan memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi,

politik, budaya, falsafah, hukum, dan perundang-undangan. Model ini berusaha

mencapai keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup

sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, terkendalinya

pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Terwujudnya manusia Indonesia

yang mampu membina lingkungan hidup, dan terlaksananya pembangunan yang

berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

39

Dengan pola pembangunan berkelanjutan, kualitas lingkungan ditingkatkan dan

kerusakan lingkungan ditekan menjadi sekecil mungkin.

Menurut Hertzen et al. (1973) bahwa pembangunan perumahan

berkelanjutan adalah pembangunan perumahan yang memperhatikan

perencanaan sosial mencakup pelayanan sosial, partisipasi masyarakat,

organisasi dan metode, informasi, ketrampilan dalam perencanaan, komunikasi,

dan manajemen. Pembangunan permukiman yang berkelanjutan diartikan sebagai

upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas

lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Sehingga dalam mewujudkan

pembangunan permukiman yang berkelanjutan sangatlah penting untuk

mempertimbangkan permukiman yang berwawasan lingkungan (Kirmanto, 2002).

Beberapa konsep yang pernah dikemukakan para pakar dalam

melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah : pelestarian

ekologi, teknologi hijau, dan mengatasi pencemaran lingkungan (Budiharjo et al.,

1999). Lebih lanjut dijelaskan beberapa prinsip dasar pembangunan yang

berkelanjutan terdiri atas: 1) Ekonomi, 2) Ekologi, 3) Equity, 4) Engagement, dan

5) Energi. Dua aspek yang sangat terkait dengan fisik pembangunan berkelanjutan

adalah aspek ekologi dan energi yang dijabarkan sebagai berikut (Budihardjo,

1999):

1. Aspek ekologi :

Pemanfaatan Sumberdaya Alam: konservasi sumber daya alam,

pencegahan polusi dan penanggulangan bencana.

Peraturan penggunaan tanah: penggunaan lahan campuran, menciptakan

ruang-ruang terbuka, menetapkan batas perkembangan/pemekaran kota.

2. Aspek energi:

Sumber energi: penghematan energi dan pemilihan sumber energi

alternatif.

Sistem transportasi: optimalisasi transportasi missal (public transportation).

Bangunan: optimalisasi pencahayaan dan penghawaan alami.

Berbagai konsep perencanaan kota yang berkelanjutan sudah dipaparkan

oleh para pakar perencana kota seperti : ‘The City of Tomorrow’ (Corbusier, 1977),

‘Garden City’ (Howard, 1902), dan ‘New Town’ (Osborn dan Whittick, 1963).

Konsep-konsep para urban designer tersebut tidak akan dapat mencapai tujuan

dari Kota yang Berkelanjutan apabila manusia yang menghuni kota tersebut tidak

menjalankan peran yang semestinya. Dengan kata lain dibutuhkan keterpaduan

40

dari semua bidang kehidupan dalam mewujudkan pembangunan yang

berkelanjutan. Konsep permukiman yang berwawasan lingkungan bertujuan untuk

mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Indikator-indikator permukiman

berwawasan lingkungan dijelaskan pada Gambar 10.

(Sumber: Maclaren, 1996)

Gambar 10. Indikator permukiman yang berwawasan lingkungan

Pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan didominasi oleh

penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu perlu dipertimbangkan 4

(empat) hal utama, yaitu (Campbell, 1996):

a. Socially and culturally suitable and accountable, yaitu pembangunan yang

secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung jawabkan;

b. Politically acceptable, yaitu pembangunan yang secara politik dapat diterima;

c. Economically feasible, yaitu pembangunan yang layak secara ekonomis; dan

d. Environmentally sound and sustainable, yaitu pembangunan yang bisa

dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan.

Menurut Maclaren (1996) dalam mewujudkan permukiman yang

berwawasan lingkungan ada 4 komponen yang digunakan sebagai indikator, yaitu:

Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan Budaya. Jadi ketika kita berbicara tentang

permukiman yang berwawasan lingkungan tidak hanya melibatkan indikator fisik

saja melainkan juga indikator non-fisiknya. Kirmanto (2002) menjelaskan bahwa

salah satu upaya untuk mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan

adalah dengan menciptakan kawasan perumahan ekologis yang lebih

memperhatikan aspek lingkungan dalam merencanakan huniannya.

41

Gambar 11 menjelaskan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk

terwujudnya sebuah permukiman :

(Sumber: Huovilla dan Pekka, 1999)

Gambar 11. Komponen-komponen sebuah kawasan perumahan

Gambar diatas menjelaskan tentang komponen-komponen apa saja yang saling

terkait dalam suatu kawasan perumahan mulai dari konsep perencanaan sampai

kepada perumahan yang siap huni. Komponen tersebut yang akan berperan dalam

mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan.

Beberapa strategi perencaan kawasan permukiman yang berwawasan

lingkungan dapat dilihat pada prinsip-prinsip dibawah ini (Grant et al., 1996):

Mengelola dan memelihara lingkungan supaya berfungsi dengan semestinya,

seperti: tempat pembuangan sampah, drainase lingkungan dan sistem

pembuangan air limbah.

Meminimalisasi pengaruh bangunan pada lingkungan sekitar, contoh

pemanfaatan ruang, fasilitas pelayanan, dan perencanaan infrastruktur yang

efisien.

Melindungi sumber-sumber alam dan sumberdaya lahan untuk generasi

mendatang, seperti melindungi sumberdaya air, tanah, dan udara.

Mengurangi dan mengolah limbah yang dihasilkan dari hunian agar tidak

mencemari lingkungan.

Meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam memelihara

lingkungan.

Menciptakan lingkungan sosial yang sehat, seperti keamanan dan kesehatan

lingkungan (sanitasi).

42

Campbell (1996) mengatakan bahwa ada 3 (tiga) konflik yang dapat terjadi

dalam usaha mencapai tujuan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan, yaitu :

1. Konflik Properti (Property Conflict), yaitu konflik yang terjadi antara

pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi, konflik antara pemilik rumah

dan penyewa, atau konflik antara pengelola kawasan dan pekerja.

2. Konflik Sumberdaya (Resource Conflict), yaitu konflik tentang prioritas

sumberdaya alam. Dari aspek bisnis sedapat mungkin memanfaatkan

sumberdaya alam secara bijaksana, namun pada saat yang bersamaan juga

dibutuhkan kebijakan tentang konservasi sumberdaya alam tersebut untuk

kepentingan masa yang akan datang.

3. Konflik Pembangunan (Development Conflict), yaitu melaksanakan kegiatan

pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa harus

merusak lingkungan hidup.

Untuk mendukung pembangunan perumahan dan permukiman yang

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Sustainable Development), undang-

undang penataan ruang dan undang-undang perumahan dan permukiman perlu

ditaati dan kemampuan pemerintah perlu ditingkatkan. Pembangunan yang tidak

memperhatikan kondisi kemampuan daya dukung serta kelestarian lingkungan

akan cenderung menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan tersebut

(degradasi lingkungan). Oleh karena itu pembangunan permukiman harus

diarahkan pada kondisi ideal atau berada pada kondisi daya dukung lingkungan

yang optimal.

2.4.3 Pengembangan Bangunan Tinggi Berwawasan Lingkungan

Salim (2000) dalam bukunya ‘Kembali ke Jalan Lurus’ mengemukakan

bahwa pengalaman negara maju menunjukkan proses pembangunan yang

mengubah struktur ekonomi pertanian menjadi ekonomi industri yang selalu

disertai dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Keperluan pembangunan dalam

memenuhi kebutuhan permukiman mendorong permintaan akan ruang

(lingkungan). Keterbatasan ruang di kota mendorong tumbuhnya kebutuhan untuk

membangun ke atas sehingga melahirkan konsep bangunan tinggi (high rise

building).

Di Indonesia, beberapa kota besar telah menunjukkan perkembangan

bangunan tinggi yang cukup pesat. Meningkatnya jumlah penduduk dan semakin

mahalnya harga lahan di kota menjadikan pembangunan bangunan tinggi tak

43

dapat dihindari. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana

menata bangunan tinggi yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan

bahwa kehadiran bangunan tinggi membawa 2 (dua) dampak penting: Pertama,

kehadiran bangunan tinggi yang mempengaruhi 1) sirkulasi udara/angin, penetrasi

sinar matahari, ancaman api pada saat terjadi kebakaran, potensi kehancuran

pada saat terjadi gempa, meningkatkan kebutuhan air dan menghasilan limbah

buangan. Kedua, meningkatnya konsentrasi penduduk sehingga meningkatkan

kepadatan penduduk.

Lebih lanjut Salim (2000) menjelaskan bahwa pembangunan bangunan

tinggi umumnya dilaksanakan oleh pihak swasta mengingat dana yang dibutuhkan

sangat besar sehingga terjadi pertumbuhan secara parsial yang menghasilkan

serangkaian egoisme bangunan tinggi sebagai wajah kota. Danishworo mengecam

tumbuhnya bangunan tinggi yang tidak tertata menyebabkan pola parcel

development dimana setiap arsitektur berlomba-lomba menunjukkan ke-akuannya,

sehingga menyebabkan polusi arsitektur. Hal ini ditengarai belum adanya sistem

zonasi yang mantap pada suatu kawasan perkotaan. Bangunan tinggi juga

membutuhkan aksesibilitas yang tinggi, sehingga gejala yang ditimbulkan

selanjutnya adalah pola ribbon development di sepanjang jalan yang

menyebabkan kemacetan lalu lintas yang serius. Oleh karena itu, untuk

menghindari pola parcel and ribbon development, perlu kiranya dilakukan zonasi

seperti yang tertuang dalam rencana tata ruang.

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuka jalan bagi

pengembangan zonasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota/

Kabupaten, sehingga dapat menjadi acuan bagi pengembangan bangunan tinggi

dalam proporsi yang wajar.

2.5 Ekosistem Lahan Gambut Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas didunia yaitu sekitar 20,6

juta hektar. Luasan tersebut setara dengan 50% luas gambut tropis dunia atau

sekitar 10.8% dari luas daratan Indonesia (WI-IP, 2007). Indonesia juga

merupakan negara ke-4 pemilik lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada,

Rusia, dan Amerika Serikat.

2.5.1 Pengertian Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk

oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal

44

dari reruntuhan vegetasi diatasnya dalam kurun waktu yang lama. Akumulasi ini

terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan

bahan organik yang cenderung basah dan selalu dalam kondisi tergenang air.

Noor (2010) menjelaskan pengertian gambut secara harfiah sebagai

onggokan sisa tanaman yang tertimbun dalam masa ratusan bahkan sampai

ribuan tahun. Secara epistemologi, gambut adalah material atau bahan organik

yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air,

bersifat tidak mampat dan hanya mengalami dekomposisi sebagian.

Beberapa ahli mengelompokkan lahan gambut sebagai lahan rawa dimana

menurut Subagyo et al. (2005) lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi

peralihan antara daratan dan perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau dalam

waktu yang panjang selalu jenuh air atau tergenang (waterlogged). Sementara

menurut PP No. 27 Tahun 1991 lahan rawa adalah genangan air secara alamiah

yang terjadi secara terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang

terhambat dan mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimiawi maupun biologis.

Menurut Subagyo et al. (2005) lahan gambut atau rawa gambut khususnya

di daerah tropis tidak terdapat suatu definisi yang dapat memberikan suatu

batasan yang jelas. Beberapa istilah mengenai lahan gambut lebih banyak merujuk

pada daerah beriklim sedang atau yang memiliki empat musim (temperate),

dimana padanan kata yang mengacu kepada lahan gambut adalah: bog, fen,

peatland, mire, dan moor. Menurut Mitsch dan Gosselink (1986) dalam Subagyo et

al. (2005) beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut:

Bog : A wetland that accumulates peat with no significant hydrological

inflow or outflow that support acidophilic mosses, particularly

sphagnum.

Fen : A wetland that accumulates peat that receives some drainage

from surrounding mineral soil and usually supports marsh like

vegetation.

Peatland : A generic term of any wetland that accumulates partially

decayed plant matter.

Mire : Synonymous with any peat-accumulating wetland.

Moor : Synonymous with any peat-accumulating wetland. A high moor

is a raised bog, while a low moor is a peatland in a basin or depression

that is not elevated above it’s perimeter.

45

(Sumber: WI-IP, 2002)

Gambar 12. Ilustrasi penampang kubah gambut (dome)

Gambut merupakan tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari

65% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 50 cm (Driessen, 1980).

Menurut Soil Taxonomy, gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik

dengan ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm tergantung dari berat jenis (Bulk

Density) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya.

Tanah gambut adalah tanah-tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah

organik yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan

ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi baru (taksonomi tanah), tanah

gambut disebut histosol (histos = tissue = jaringan). Dalam sistem klasifikasi lama,

tanah gambut disebut dengan organosol yaitu tanah yang tersusun dari bahan

tanah organik (WI-IP, 2007). Histosol adalah tanah yang tidak mempunyai sifat-

sifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan diantara permukaan tanah dan

kedalaman 60 cm atau diantara permukaan tanah dan kontak densik, litik, paralitik

atau duripan apabila lebih dangkal. Histosol memiliki bahan tanah organik yang

memenuhi satu atau lebih sifat-sifat berikut (Subagyo et al., 2005):

a. Terletak di atas bahan-bahan sinderi, pragmental atau batu apung dan mengisi

celah-celah diantara batu-batuan tersebut dan langsung dibawah bahan-bahan

tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik.

b. Jenuh air selama 30 hari atau lebih, tiap tahun pada tahun-tahun normal (telah

di drainase) mempunyai batas atas didalam 40 cm dari permukaan tanah.

Lahan gambut mempunyai penyebaran pada lahan rawa, yaitu lahan yang

menempati posisi peralihan di antara ekosistem daratan dan perairan. Sepanjang

Kubah Gambut

Tanah Organik

Tanah Mineral Sungai Sungai

46

tahun atau dalam jangka waktu yang panjang, lahan gambut selalu jenuh air

(waterlogged) atau tergenang air. Tanah gambut menempati cekungan, depresi,

atau bagian-bagian terendah di daerah lembah, yang penyebarannya terdapat di

dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan adalah lahan gambut yang

terdapat didaerah rawa dataran rendah sepanjang dataran pantai. Hamparan

lahan gambut yang sangat luas, pada umumnya menempati cekungan-cekungan

yang terdapat diantara aliran sungai-sungai besar didekat muara, dimana gerakan

naik turunnya tanah dipengaruhi pasang surut air laut.

Masyarakat Kalimantan Barat mengenal tanah gambut sebagai ‘tanah

sepuk’. Menurut Andriesse (1988) tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari

akumulasi bahan organik pada kondisi anaerob. Gambut terbentuk dari timbunan

bahan organik yang berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga

mencapai ketebalan > 40 cm. Pembentukan gambut diduga terjadi pada periode

Holosin antara 10.000 – 5.000 tahun silam. Gambut di daerah tropis terbentuk

kurang dari 10.000 tahun lalu. Hardjowigeno dan Abdulah (1989) mengemukakan

bahwa proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik

yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama.

2.5.2 Luas Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Indonesia Luas lahan gambut dunia diperkirakan sekitar 400 juta ha. Indonesia

merupakan Negara keempat dengan luas lahan gambut terluas didunia yaitu

sekitar 17,2 juta ha, setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha) dan Amerika

Serikat (40 juta ha) (Euroconsult 1984 dalam laporan WI-IP 2007). Namun

berdasarkan beberapa data penelitian (Tabel 2), Indonesia sesungguhnya

merupakan negara dengan kawasan gambut tropis terluas didunia, yaitu antara

13,5 – 26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Jika luas gambut Indonesia sekitar 20

juta ha, maka angka tersebut setara dengan 50% luas gambut tropis dunia yang

luasnya sekitar 37,8 juta ha (Rieley et al., 1997).

Sebagai catatan, hingga saat ini data luas lahan gambut di Indonesia

belum dibakukan, oleh karena itu data luasan yang dapat digunakan masih

berkisar antara 13,5 – 26,5 juta ha. Menurut data Wetland International (2007),

luas lahan gambut di Pulau Kalimantan tercatat 5.769.246 ha dengan prediksi

kandungan karbon sebesar 11.274,55 juta ton karbon. Provinsi yang memiliki

lahan gambut terluas adalah Kalimantan Tengah (3.010.640 ha) atau sekitar 52%

dari luas total gambut Kalimantan, menyusul Kalimantan Barat di urutan kedua

(1.729.980 ha) atau sekitar 29% dari luasan total.

47

Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia dan Kalimantan

disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini:

Tabel 2. Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia menurut beberapa sumber.

(Sumber: WI-IP, 2007)

Tabel 3. Luas sebaran dan kandungan karbon gambut di Kalimantan

(Sumber: Subagyo et al., 2005)

Luas gambut di Provinsi Kalimantan Barat tersebar di 9 (Sembilan)

Kabupaten. Kabupaten dengan lahan gambut terluas adalah Kabupaten Ketapang

(501.429 ha), Kabupaten Pontianak pada urutan kedua (482.190 ha) dan

Kabupaten Kapuas Hulu pada urutan ketiga (419.865 ha). Berdasarkan data yang

disajikan pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa kandungan karbon rata-rata per

hektar lahan gambut adalah sebesar 2.095 juta ton karbon/hektar.

Provinsi Luas Gambut (ha) Kandungan Karbon

Kalimantan Barat 1.729.980 3.625,19 juta ton

Kalimantan Tengah 3.010.640 6.351,52 juta ton

Kalimantan Timur 696.997 1.211,91 juta ton

Kalimantan Selatan 331.629 85,94 juta ton

KALIMANTAN 5.769.246 11.274,55 juta ton

Sumber Data Luas Penyebaran Gambut (juta ha)

Total Sumatera Kalimantan Papua Lainnya

Driessen (1978) 9.7 6.3 0.1 - 16.1 Puslittanah (1981) 8.9 6.5 10.9 0.2 26.5 Euroconsult (1984) 6.84 4.93 5.46 - 17.2 Soekardi & Hidayat 4.5 9.3 4.6 0.1 18.4 (1988) Deptrans (1988) 8.2 6.8 4.6 0.4 20.1 Subagyo et al. (1990) 6.4 5.4 3.1 - 14.9 Deptrans (1990) 6.9 6.4 4.2 0.3 17.8 Nugroho et al. (1992) 4.8 6.1 2.5 0.1 13.5 Radjagukguk (1993) 8.25 6.79 4.62 0.4 20.1 Dwiyono & Rahman 7.16 4.34 8.4 0.1 20.0 (1996)

48

Tabel 4. Luas sebaran dan kandungan karbon pada lahan gambut di Kalbar

*pemekaran (Kab. Kubu Raya dan Kab. Pontianak) (Sumber : Subagyo et al., 2005) Tabel 5. Tingkat kedalaman gambut di Kalimantan Barat

(Sumber: Subagyo et al., 2005)

Keterangan:

1. Gambut Sangat Dangkal : < 0.5 m 2. Gambut Dangkal : 0.5 – 1 m 3. Gambut Sedang : 1 – 2 m 4. Gambut Dalam : 2 – 4 m 5. Gambut Sangat Dalam : 4 – 8 m

Kabupaten Luas Gambut (ha) Kandungan Karbon

Bengkayang 40.078 38,21 juta ton

Kapuas Hulu 419.865 1.013,19 juta ton

Ngabang 70.433 70,55 juta ton

Pontianak* 482.190 1.156,47 juta ton

Sambas 95.202 137,65 juta ton

Sanggau 67.582 94,43 juta ton

Singkawang 18.121 44,32 juta ton

Sintang 35.080 25,32 juta ton

Ketapang 501.429 1.045,03 juta ton

Kalimantan Barat 1.729,980 3.625,19 juta ton

Luas Gambut berdasarkan ketebalan (ha)

Kabupaten < 0.5 m 0.5-1 m 1-2 m 2-4 m 4-8m

Bengkayang 0 23.870 16.153 55.000 0

Kapuas Hulu 21.242 146.193 99.838 29.351 123.241 Ngabang 0 43.979 15.946 10.508 0

Pontianak* 0 52.519 262.728 69.752 97.191

Sambas 0 64.576 0 24.519 6.107

Sanggau 5.003 12.903 40.992 6.626 2.058

Singkawang 0 0 1.319 16.802 0

Sintang 0 28.386 6.694 0 0

Ketapang 10.428 65.746 293.441 56.092 75.722

Kalimantan Barat 36.673 438.172 737.111 213.705 304.319

49

Berdasarkan tingkat kedalamannya, maka jenis gambut yang paling luas

yang terdapat di Kalimantan Barat adalah jenis ‘Gambut Sedang’ (737.111 ha)

atau sekitar 42% dari luas total gambut di Kalimantan Barat.

2.5.3 Sifat dan Karakteristik Gambut Tanah gambut juga memiliki sifat dan karakteristik yang spesifik. Sifat-sifat

fisik, kimia, dan biologi sebagai berikut :

a. Sifat-sifat Fisik Sifat fisik gambut yang perlu dipahami antara lain menyangkut kematangan,

warna, berat jenis, porositas, kering tak balik (irreversible), penyusutan

(subsidence) dan mudah terbakar. Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya

dengan pengelolaan air gambut. Bahan penyusun gambut terdiri dari empat

komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan udara. Perubahan

kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubah sifatsifat fisik lainnya

(Andriesse, 1988). Mengingat sifat-sifat fisik tanah gambut saling berhubungan

maka pembahasan sifat fisik dari tanah gambut tidak dapat dilakukan secara

terpisah. Uraian tentang sifat-sifat fisik gambut ini akan dihubungankan dengan

sifat-sifat kimia tanah gambut. Pemahaman akan sifat-sifat fisik akan sangat

bermanfaat dalam menentukan strategi pemanfaatan gambut.

Menurut Hardjowigeno dan Abdullah (1989) sifat-sifat fisik tanah gambut

yang penting adalah: tingkat dekomposisi gambut; kerapatan lindak, irreversible,

dan subsidensi. Noor (2010) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan

bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat fisik yang perlu mendapat

perhatian dalam pemanfaatan gambut. Berdasarkan tingkat pelapukan

(dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi:

1. Gambut kasar (fibrik) yaitu gambut yang memiliki > 2/3 bahan organik kasar.

2. Gambut sedang (hemik) yaitu memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan

3. Gambut halus (saprik) yaitu jika bahan organik kasar kurang dari 1/3.

Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak atau berat volume (bulk density-

BD) yang sangat rendah yaitu < 0,1 gr/cm3 untuk gambut fibrik, 0.1 – 0.18 gr/cm3

untuk gambut hemik, dan > 0,2 gr/cm3 untuk gambut saprik. Dibanding dengan

tanah mineral yang memiliki kerapatan lindak 1,2 gr/cm3 maka kerapatan lindak

gambut adalah sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya

dukung gambut (bearing capasity) menjadi sangat rendah, keadaan ini

menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti kelapa dan kelapa sawit pada

tanah gambut. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari gambut

50

saprik dan hemik, namun kemampuan fibris memegang air lebih lemah dari

gambut hemik dan saprik (Noor, 2010). Tingginya kemampuan gambut menyerap

air menyebabkan tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya

kerapatan lindak dan daya dukung gambut.

Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan

kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah

mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering tidak

balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka

air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut

menurun. Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut

menjadi menyusut dan permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase

akan menyebabkan air keluar dari gambut kemudian oksigen masuk kedalam

bahan organic dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme, akibatnya terjadi

dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence)

sehingga permukaan gambut mengalami penurunan.

Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi

pada suatu kawasan. Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin

dekat dengan sungai ketebalan gambut menipis, kearah kubah gambut akan

menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di Sungai Selamat dapat mencapai 8

m, demikian pula pada daerah Rasau Jaya.

Gambut juga memiliki warna yang bervariasi. Meskipun bahan asal gambut

berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul

senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna

coklat sampai kehitaman (Rumbang et al., 2009). Warna gambut menjadi salah

satu indikator kematangan gambut, dimana semakin matang warna gambut

semakin gelap. Gambut fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan

saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin

gelap.

b. Sifat Kimia Sifat kimia gambut lebih merujuk pada kondisi kesuburannya yang bervariasi,

tetapi secara umum ia memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hal ini ditandai

dengan sifat tanah yang masam (pH rendah), ketersediaan sejumlah unsure hara

makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah. Gambut juga

mengandung senyawa asam-asam organik yang beracun. Dengan demikian,

51

pengelolaan lahan gambut untuk pertanian membutuhkan perhatian ekstra dan

biaya yang tidak sedikit.

2.5.4 Transformasi Karbon Gambut Transformasi karbon dari lahan gambut ditandai dengan terbentuknya

asam-asam organik, CH4 (methan) dan CO2

Reaksi sederhana pelepasan CH

(karbon dioksida) sebagai hasil akhir.

4 dan CO2 berasal dari gugus metoksil asam

fenolat membentuk OH-fenolat dan melepaskan formaldehida (HCHO). HCHO

yang dalam keadaan tereduksi akan menghasilkan CH4, dan apabila teroksidasi

akan menghasilkan CO2. Pada kondisi lingkungan jenuh air (tergenang) dan

kandungan O2 yang rendah, dekomposisi lahan gambut akan melepaskan CO2

dan CH4

Perubahan penggunaan lahan (konversi) gambut akan mempengaruhi

ketinggian muka air tanah gambut dan perubahan suhu yang drastis. Pada saat

terjadi penurunan muka air tanah gambut, pada kondisi lahan terbuka tanpa

vegetasi, akan mempercepat penetrasi sinar matahari dan menyebabkan suhu

tanah gambut meningkat dan akan mencapai maksimum pada suhu 30º-40º C

(Alexander, 1977). Kondisi ini menyebabkan meningkatnya rata-rata fluktuasi

suhu harian. Suhu harian maksimum dan radiasi matahari sangat berkorelasi

dengan meningkatnya emisi CH

.

4 dan CO2

2.5.5 Fungsi Ekologis Gambut

, dimana emisi tertinggi terjadi pada

siang hari sekitar pukul 12.00 waktu setempat.

Lahan gambut mengemban fungsi lingkungan yang sangat besar, yaitu

fungsi hidrologi, cadangan karbon, dan cadangan plasma nutfah.

a. Fungsi Hidrologi Salah satu sifat yang menjadikan gambut berperan penting dalam system

hydrology adalah kemampuannya yang bersifat seperti spons. Tanah gambut

merupakan tanah organik yang menyerap air dalam jumlah yang sangat besar

sehingga air hujan yang jatuh dapat diserap dan dapat mengurangi bahya banjir.

Sabaliknya pada musim kemarau lahan gambut dapat melepas kembali air

tawarnya sebagai aliran sungai/permukaan yang dapat dipergunakan oleh

pemukiman disekitarnya (Andriesse,1988). Jika tidak mengalami gangguan, lahan

gambut dapat menyimpan air sebanyak 0.8 – 0.9 m3/m3 (WI-IP,2003). Gambut

disebut memiliki porositas yang tinggi karena daya serapnya yang sangat besar,

52

sehingga dalam kondisi jenuh gambut saprik dapat menyerap air sebesar 450%,

sementara hemik 450-850% dan fibrik lebih dari 850% dari bobot keringnya.

Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu apabila

mengalami kondisi drainase yang berlebihan karena gambut memiliki sifat

irreversible drying, porositas tinggi, dan daya hantar vertikal yang rendah, serta

daya horizontal yang tinggi. Gambut yang telah mengalami kering tak balik akan

memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan.

Strukturnya lepas-lepas seperti lembaran serasah, mudah terbakar, sulit menyerap

air kembali dan sulit ditanami kembali.

Fungsi hidrologi gambut tidak hanya di bidang pertanian dan pencegah banjir

saja, tetapi juga berkaitan dengan fungsi sosial ekonomi seperti transportasi,

kesehatan, dan ketersediaan ikan. Lahan gambut yang berada di daerah pesisir

juga berfungsi untuk mencegah intrusi air laut

b. Pengatur Iklim Global

Perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai dengan

berubahnya suhu dan distribusi curah hujan secara periodik. Menurut laporan

IPPC (2001) bahwa selama abad 20, terjadi peningkatan rata-rata suhu

permukaan bumi sebesar 0,6º ± 0,2º C. Kontribusi emisi CO2 terhadap efek rumah

kaca sebesar 48%, yang diikuti oleh sumber emisi lain seperti Freon (26%), ozon

(10%), metan (8%) dinitrogen oksida (6%), dan gas lain (2%). Dalam laporan IPCC

(2001) juga dijelaskan bahwa kontribusi karbon dioksida (CO2) terhadap pemanasan global sebesar 60%, metan (20%) dan nitro oksida (6%). Sejak tahun

1980, konsentrasi CO2

Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai rosot karbon (gudang

karbon). Total karbon pada lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 44,5 Gt,

dimana konversi atau alih fungsi lahan gambut akan menjadi sumber emisi CO

di atmosfir meningkat sekitar 0,4 % per tahun, sekarang

konsentrasinya diperkirakan sebesar 367 ppmb.

2

Lahan gambut tropika merupakan cadangan karbon terrestrial yang

terpenting untuk diperhitungkan. Menurut WI-IP (2006) jika diasumsikan bahwa

kedalaman rata-rata gambut di seluruh Indonesia adalah 5 meter, bobot isi 114

kg/m3 dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon terhitung besarnya 16 giga

ton (1 giga ton = 1.000.000.000 ton).

(Rieley et al., 2001).

c. Biodiversity

53

Selain penyimpan cadangan karbon, hutan gambut juga mempunyai fungsi

lain yang penting yaitu sebagai habitat bagi satwa-satwa liar. Musim berbunga dan

berbuah di hutan gambut berbeda dengan tipe hutan dataran rendah lainnya,

dimana hutan gambut menjadi tempat mengungsi dan mencari makan berbagai

jenis hewan pada saat hutan dataran rendah yang lain mengalami musim paceklik.

Sementara di Sumatera lebih dari 300 jenis tumbuhan ditemukan di hutan gambut.

(WI-IP, 2007).

Beberapa jenis tumbuhan spesifik lahan gambut antar lain: Jelutung, Ramin,

Meranti, Terentang, Bungur dan lain-lain (WI-IP, 2007). Sedangkan satwa langka

pada habitat ini antara lain: Orang Utan, Harimau Sumatera, Beruang Madu, dan

Tapir. Rawa gambut juga memiliki ketersediaan ikan yang tinggi. Airnya yang

asam dan miskin oksigen tidak menjadi hambatan bagi jenis ikan rawa yang

umumnya disebut black fish. Salah satu jenis ikan yang hidup di rawa gambut

adalah ikan arwana / siluk (scleropagus formosus) yang merupakan jenis ikan hias

yang langka dan dilindungi.

2.6 Pendekatan Sistem dan Pemodelan Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan

interpretasi beragam, akan tetapi berkonotasi tentang sesuatu yang utuh dan

keutuhan (wholeness) (Eriyatno, 2003). Banyak definisi sistem yang telah

dikemukakan oleh para penulis. Forester (1971) mendefinisikan sistem sebagai

sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai

tujuan tertentu. Manetsh dan Park (1977) mendefinisikan sistem sebagai suatu

gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu

tujuan atau suatu gugus dari tujuan. Handoko (2005) mendefinisikan sistem

sebagai suatu mekanisme dimana berbagai komponen saling berinteraksi

sedemikian rupa untuk melakukan fungsinya. Sistem adalah suatu mekanisme

yang beroperasi di dunia nyata, sementara model adalah penyederhanaan dari

sebuah sistem (Handoko, 2005).

Dari beragam definisi sistem yang ada, terlihat bahwa sistem memiliki

karakteristik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun system.

Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan

sebagai berikut (Sushil, 1993) dalam Eriyatno (2003):

1. Dibangun oleh kelompok komponen yang saling berinteraksi

2. Memiliki sifat yang ‘utuh’ dan ‘keutuhan’ (wholeness)

3. Memiliki satu atau segugus tujuan

54

4. Terdapat proses transformasi input menjadi output

5. Terdapat mekanisme pengendalian (feedback) yang berkaitan dengan

perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem.

Fenomena dunia nyata seperti kawasan perkotaan, menunjukkan

kompleksitas yang tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin

keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk memahami fenomena dunia

nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak

konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan dan gagal memberikan

penjelasan yang utuh (Eriyatno, 2003). Pendekatan sistem merupakan cara

penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap

sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang

efektif. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu

mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh (Forester,

1971) dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata.

Dengan demikian kajian mengenai kebijakan pembangunan permukiman pada

wilayah bergambut dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, untuk membangun

model permukiman perkotaan berkelanjutan.

Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem yang dapat memiliki

beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan (Forester, 1971). Dalam pengertian

yang relatif sama, Eriyatno (2003) menyatakan bahwa model merupakan suatu

abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak

langsung serta kaitan timbal balik dengan istilah sebab akibat. Model dan

manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam

sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang

sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Dengan

menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam

waktu yang singkat dan biaya yang murah.

Hartrisari (2007) menjabarkan pengertian ‘model’ menurut beberapa ahli

sistem sebagai berikut:

Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi dari dunia kita

yang sangat beranekaragam sifatnya, dengan cara memilih sekian banyak

pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang

sedang dihadapi.

Hole (1977) model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari

kenyataan. Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk

55

meyakinkan bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat

atau tidak.

Hanen (1997) model adalah pusat pemahaman terhadap dunia karena model

dapat mempresentasikan dan memanipulasi fenomena nyata. Dengan

membangun model kita dapat memahami pengaruh positif terhadap keputusan

dalam kinerja ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok

kajian atau derajat keabstrakannya, namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi

tiga (Eriyatno, 2003), yaitu:

1. Model Ikonik (Model Fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik

dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model Ikonik dapat

berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototype. Dalam hal

model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara

fisik sehingga perlu dikategorikan model simbolik.

2. Model Analog (Model Diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi

analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji.

Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi

yang khas. Contoh dari model analog adalah kurva permintaan, distribusi,

frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses.

3. Model Simbolik (Model Matematik), menyajikan format dalam bentuk angka,

simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu system lebih terpusat pada

penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah

persamaan matematis (equation).

Model merupakan suatu alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan

didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu

gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya. Dalam

pendekatan sistem pengembangan model (modelling atau pemodelan) merupakan

titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara

keseluruhan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi

konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitifitas,

analisis stabilitas, dan aplikasi model.