ii. tinjauan pustaka 2.1 krimer nabati (non-dairy creamer)eprints.umm.ac.id/50770/44/bab ii.pdf ·...

19
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Krimer Nabati (Non-Dairy Creamer) Krimer nabati (non-dairy creamer) disebut sebagai krimer tiruan yang dibuat berdasarkan bahan penyusun berupa minyak nabati, protein, penstabil, emulsifier yang digabungkan menjadi suatu larutan dan kemudian di keringkan dengan pengeringan semprot (Kelly, 1998). Produk ini disebut sebagai krimer non-susu atau krimer nabati karena memanfaatkan minyak nabati sebagai bahan baku seperti halnya pemanfaatan lemak susu dalam produk krimer susu. Menurut Badan Standarisasi Nasional (1998), krimer nabati adalah produk olahan dari lemak nabati ditambah karbohidrat yang sudah ditambahkan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk bubuk, dan dipergunakan sebagai padanan rasa untuk makanan dan minuman. Terdapat tiga macam bentuk krimer non-susu yang beredar di pasaran dewasa ini, yaitu serbuk, cair dan beku yang semuanya dibuat dalam bentuk konsentrat emulsi. Diantara ketiga bentuk tersebut, krimer non-susu dalam bentuk serbuk paling banyak diminati di pasaran karena kemudahan dalam penanganan dan penyimpanan. Krimer berfungsi untuk mengembangkan perubahan warna yang dikehendaki dan untuk memberikan body pada makanan atau minuman yang ditambahkan krimer ke dalamnya. Formulasi yang tepat akan menghasilkan cream-like flavor dan tekstur yang disukai oleh konsumen (Affandi dkk., 2003). Krimer non susu telah dikembangkan sampai kepada titik dimana secara visual mereka tidak dapat lagi dibedakan dari krim susu biasa. Selain itu, krimer non-susu

Upload: others

Post on 09-Jan-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Krimer Nabati (Non-Dairy Creamer)

Krimer nabati (non-dairy creamer) disebut sebagai krimer tiruan yang dibuat

berdasarkan bahan penyusun berupa minyak nabati, protein, penstabil, emulsifier

yang digabungkan menjadi suatu larutan dan kemudian di keringkan dengan

pengeringan semprot (Kelly, 1998). Produk ini disebut sebagai krimer non-susu atau

krimer nabati karena memanfaatkan minyak nabati sebagai bahan baku seperti halnya

pemanfaatan lemak susu dalam produk krimer susu.

Menurut Badan Standarisasi Nasional (1998), krimer nabati adalah produk

olahan dari lemak nabati ditambah karbohidrat yang sudah ditambahkan bahan

tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk bubuk, dan dipergunakan sebagai

padanan rasa untuk makanan dan minuman.

Terdapat tiga macam bentuk krimer non-susu yang beredar di pasaran dewasa

ini, yaitu serbuk, cair dan beku yang semuanya dibuat dalam bentuk konsentrat

emulsi. Diantara ketiga bentuk tersebut, krimer non-susu dalam bentuk serbuk paling

banyak diminati di pasaran karena kemudahan dalam penanganan dan penyimpanan.

Krimer berfungsi untuk mengembangkan perubahan warna yang dikehendaki dan

untuk memberikan body pada makanan atau minuman yang ditambahkan krimer ke

dalamnya. Formulasi yang tepat akan menghasilkan cream-like flavor dan tekstur

yang disukai oleh konsumen (Affandi dkk., 2003).

Krimer non susu telah dikembangkan sampai kepada titik dimana secara visual

mereka tidak dapat lagi dibedakan dari krim susu biasa. Selain itu, krimer non-susu

5

mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan krimer susu. Kelebihan krimer

non-susu antara lain umur produk yang lebih panjang, serta kemudahan dalam

penyimpanan, disribusi, dan penanganan. Selain keuntungan tersebut, krimer non-

susu juga dapat memenuhi kebutuhan segmentasi pasar dimana terdapat kondisi yang

memaksa seseorang tidak bisa mengkonsumsi krimer dari bahan susu. Penting untuk

diketahui bahwa krimer non-susu mengunakan asam lemak jenuh yang tinggi dengan

kandungan asam lemak trans. Krimer non-susu dengan asam lemak jenuh yang tinggi

diketahui mempunyai ketahanan dan stabil terhadap oksidasi dan ketengikan untuk

jangka waktu yang lama (Affandi dkk., 2003).

Secara fungsional, non-dairy creamer memiliki banyak kelebihan di banding

dengan produk susu pada umumnya, sehingga produk ini dipertimbangkan sebagai

pengganti krimer berbahan baku susu, susu evaporasi, maupun susu segar. Bahan

baku non-dairy creamer menggunakan minyak nabati sebagai sumber lemaknya.

Salah satu keunggulan lemak nabati adalah tidak mengandung laktosa, sehingga

penggunaan lemak nabati pada produk non-dairy creamer sangat aman terutama bagi

penderita lactose intolerance. Selain itu non-dairy creamer juga memiliki kelebihan

antara lain umur simpannya yang panjang dan kemudahan dalam penyimpanan,

distribusi, serta penanganannya. Krimer nabati (non-dairy creamer) disebut sebagai

krimer tiruan yang dibuat berdasarkan bahan penyusun berupa minyak nabati,

protein, stabilizer, emulsifier yang digabungkan menjadi suatu larutan dan kemudian

dikeringkan dengan pengeringan semprot (Putri dkk., 2016).

6

Syarat mutu untuk krimer nabati berdasarkan SNI Tahun 2009 disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Krimer Nabati

Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Bau - Normal

Rasa - Normal

Warna - Putih sampai dengan putih

kekuningan (light cream)

Penampakan - Tidak boleh ada gumpalan

Kadar air (b/b) % Maksimal 4,0

Kadar abu (b/b) % Maksimal 4,0

Kadar lemak (b/b) % Minimal 30,0

Sumber: SNI 4444 (2009)

2.2 Bahan-bahan Penyusun Krimer Nabati (Non-Dairy Creamer)

2.2.1 Kacang Hijau ( Vigna radiata )

Kacang hijau dikenal dengan beberapa nama, seperti “mungo”, “mung bean”,

green bean” dan “mung”. Di Indonesia, kacang hijau juga memiliki beberapa nama

daerah, seperti artak (Madura), wilis (Bali), buwe (Flores), tibowang cadi (Makassar).

Buah kacang hijau merupakan polong bulat memanjang antara 6 – 15 cm. Di dalam

setiap buah terdapat 5 – 10 buji kacang hijau. Biji tersebut ada yang mengkilap dan

ada pula yang kusam, tergantung jenisnya (Made, 2008).

7

Gambar 1. Kacang Hijau

(Sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Kacang_hijau)

Taksonomi tanaman kacang hijau (Vigna radiata) menurut Mustakim (2014)

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plant Kingdom

Divisio : Spermatophyta

Subdivision : Angiospermae

Class : Dycotyledonae

Ordo : Polypetalae

Famili : Papilionidae

Subfamili : Leguminosae

Genus : Vigna

Spesies : Vigna radiate

Tanaman kacang hijau merupakan tanaman semusim berupa semak yang tumbuh

tegak. Tanaman kacang hijau ini diduga berasal dari India. Tanaman kacang hijau

adalah tanaman semusim berumur pendek (60 hari). Panen kacang hijau dilakukan

beberapa kali dan berakhir pada hari ke-80 setelah tanam. Kacang hijau termasuk

dalam keluarga Leguminosae. Morfologi kacang hijau terdiri atas akar, batang, daun,

bunga, buah, dan biji (Mustakim, 2014).

Biji kacang hijau berbentuk bulat atau lonjong, umumnya berwarna hijau, tetapi

ada juga yang berwarna kuning, coklat atau berbintik-bintik hitam. Dua jenis kacang

hijau yang paling terkenal adalah golden gram dan green gram. Biji kacang hijau

8

terdiri atas tiga bagian utama, yaitu kulit biji (10%), kotiledon (88%) dan lembaga

(2%). Kotiledon banyak mengandung pati dan serat, sedangkan lembaga merupakan

sumber protein dan lemak. Dalam perdagangan kacang hijau di Indonesia hanya

dikenal dua macam mutu yaitu kacang hijau biji besar dan biji kecil. Kacang hijau

berbiji besar digunakan untuk bubur dan tepung, sedangkan kacang hijau berbiji kecil

digunakan untuk pembuatan tauge (Astawan, 2009).

Tabel 3. Kandungan Gizi Kacang Dalam 100 g Kacang Hijau

Zat Gizi Biji Kacang Hijau

Energi (kkal)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Serat (g)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Besi (mg)

Vitamin A (IU)

Vitamin B1 (mg)

Vitamin C (mg)

345

22,2

1,2

62,9

4,1

125

320

6,7

157

0,64

6

Sumber : Mustakim (2008)

Komposisi kimia kacang hijau sangat beragam, tergantung dari varietas, faktor

genetik, iklim, maupun lingkungan. Karbohidrat merupakan komponen terbesar biji

kacang hijau yaitu sebesar 55 persen, yang terdiri dari pati, gula, dan serat.

Berdasarkan jumlahnya, protein merupakan penyusun utama kedua setelah

karbohidrat. Kacang hijau mengandung 20-25 persen protein. Protein kacang hijau

kaya asam amino leusin, arginine, isoleusin, valin, dan lisin, meskipun proteinnya

dibatasi oleh asam amino bersulfur seperti metionin dan sistein (Mustakim, 2014).

Tabel 2 menunjukkan kandungan asam amino kacang hijau. Menurut Marzuki dan

9

Suprapto, 2005 dalam Setyaningtyas (2008), menyatakan bahwa kacang hijau

merupakan bahan yang cukup tinggi kandungan proteinnya. Beberapa asam amino

esensial terdapat dalam jumlah yang tinggi. Asam amino esensial adalah asam amino

yang hanya dapat diperoleh melalui asupan makanan. Kacang hijau tinggi kandungan

asam amino glutamat dan asam amino leusin tetapi rendah kandungan metioninnya.

Leusin dan metionin merupakan asam amino esensial. Namun dibanding jenis kacang

lainnya, kandungan metionin dan sistein pada kacang hijau relatif lebih tinggi.

Keseimbangan asam amino pada kacang hijau mirip dan sebanding dengan kedelai

(Astawan, 2009).

Menurut Astawan (2004) dalam Yuwono (2015), tepung kacang hijau

merupakan salah satu tepung yang bebas gluten yang berasal dari biji kacang hijau.

Tepung kacang hijau dapat digunakan sebagai produk mie yang kaya akan kandungan

kalsium, magnesium dan fosfor. Penambahan tepung kacang hijau dengan tepung

lainnya (serealia, beras, gandum) dapat digunakan sebagai bahan makanan bayi dan

balita yang bergizi dan bermutu tinggi. Penambahan ini memiliki manfaat untuk

meningkatkan kandungan gizi protein karena adanya efek saling melengkapi

kekurangan pada masing-masing bahan. Sedangkan menurut SNI (1995), tepung

kacang hijau adalah bahan makanan yang diperoleh dari biji tanaman kacang hijau

(Vigna radiata) yang sudah dihilangkan kulit arinya dan diolah menjadi tepung.

Pembuatan tepung kacang hijau dilakukan dengan merendam biji di dalam air

selama tujuh jam. Selanjutnya ditiriskan, dikeringkan dan disosoh. Penyosohan dapat

dilakukan dengan menggunakan mesin penyosoh beras, kacang hijau tanpa kulit

(dhal) selanjutnya digiling dan diayak untuk memperoleh tepung kacang hijau.

10

Tepung kacang hijau dapat digunakan untuk membuat aneka kue basah (cake),

cookies dan kue tradisional, produk bakery, kembang gula dan makaroni (Astawan,

2008).

Tabel 4. Komposisi Proksimat Tepung Kacang Hijau

Komposisi Konsentrasi

Kadar air

Kadar protein

Kadar Lemak

Kadar abu

Kadar karbohidrat

9,01

23,25

2,61

3,02

62,11

Sumber : Ekafitri dan Isworo (2014)

2.2.2 Kacang Mete (Anacardium Occidentale)

Jambu monyet atau sering dikenal jambu mete memiliki nama lain Anacardium

occidentale, yaitu sejenis tumbuhan dari suku anacardiaceae yang berasal dari Brasil

serta mempunyai buah yang bisa dimakan. Menurut ilmu botani, tumbuhan ini bukan

dari jenis jambu-jambuan (myrtaceae) ataupun kacang-kacangan (fabaceae), akan

tetapi kekerabatannya lebih dekat dengan mangga (anacardiaceae) (Saputra, 2013).

Gambar 2. Jambu Mete (Sumber: https://tanamanmart.com/jambu-mete/)

11

Menurut Saputra (2013), taksonomi jambu monyet (Anacardium occidentale)

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Phylum : Eudicots

Class : Rosids

Ordo : Sapindales

Famili : anacardiaceae

Genus : Anacardium

Species : Anacardium occidentale

Buah mete terdiri atas dua bagian, yaitu buah semu dan buah sejati. Buah

yang selama ini dikenal sebagai buah jambu mete sebenarnya adalah buah semu,

terbentuk dari tangkai buah (pedunculus) yang membengkak atau mengembang dan

berdaging. Buah sejati jambu mete adalah yang dikenal sebagai biji mete. Buah

jambu mete termasuk kelompok buah batu, berbentuk seperti ginjal, tertanam pada

bagian ujung buah semu, dan berwarna hijau hingga cokelat keabu-abuan. Buah

jambu mete terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan kulit keras, lapisan kulit ari, dan

lapisan kernel (Suprapti, 2004).

Kandungan energi per 100 gram kacang mete mentah adalah 566 kkal. Kadar

protien pada 100 gram kacang mete mentah sebesar 18 gram. Asam amino yang

paling potensial pada kacang mete adalah leusin, valin, arginin, asam aspartat, asam

glutamat dan serin. Asam glutamat dan asam aspartat sangat berkontribusi penting

akan timbulnya rasa gurih pada kacang mete (Astawan, 2009). Menurut Reza (2013),

kacang mete kaya akan zat besi, fosfor, selenium, magnesium dan seng, selain itu

mete merupakan sumber fitokimia, antioksidan dan protein.

Kadar lemak total pada 100 gram kacang mete mentah adalah 47 gram.

Tingginya kadar lemak pada biji mete sangat berperan penting dalam peningkatan

12

kadar energi dan cita rasa. Lemak pada kacang mete 78-80% merupakan asam lemak

tak jenuh dilihat dari minyak kacang mete. Senyawa bioaktif seperti asam lemak tak

jenuh MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid) dan PUFA (Polyunsaturated Fatty

Acid), fenol, dan tokoferol yang terkandung di dalam kacang mete cukup tinggi dan

sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia (Alasavar dan Shahidi, 2009). Berikut

kandungan gizi kacang mete mentah dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Kandungan Gizi Kacang Mete Mentah

Zat Gizi Kandungan/100 g

Energi

Protein (g)

Karbohidrat (g)

Lemak total (g)

Lemak Jenuh (g)

Lemak tidak jenuh tunggal (g)

Lemak tidak jenuh ganda (g)

Natrium (mg)

Kalium (mg)

566

18

27

47

8

25

8

12

650

Sumber : Astawan (2009)

2.2.3 Sirup Glukosa

Sirup glukosa (C6H12O6) yang mempunyai nama lain dextrose adalah suatu

larutan kental yang termasuk golongan monosakarida yang diperoleh dari pati dengan

cara hidrolisis lengkap dengan menggunakan katalis asam atau enzim selanjutnya

dimurnikan serta dikentalkan. Biasanya sirup glukosa ini dibuat dari tapioka, pati

umbi-umbian, sagu, dan juga pati jagung sirup glukosa atau sering juga disebut gula

cair terbuat dari campuran dari glukosa, maltose, dan dekstrin. Karakteristik dari

13

dextrose ini adalah bentuknya cairan, tidak berbau dan tidak berwarna. Selain itu

sirup glukosa memiliki pH yang cenderung asam dan juga cukup mudah larut dalam

air. Sirup glukosa dalam pembuatan non-dairy creamer berfungsi sebagai pemberi

rasa manis. Sirup glukosa lebih dipilih dari pada menggunakan sukrosa (gula pasir)

karena memiliki tingkat kemanisan yang lebih rendah, sehingga diharapkan produk

krimer yang dihasilkan tidak memiliki rasa yang terlalu manis (Richana, 2016).

Sirup glukosa dalam pembuatan krimer non-susu berfungsi sebagai pemberi rasa

manis. Sirup glukosa lebih dipilih daripada menggunakan sukrosa (gula pasir) karena

memiliki tingkat kemanisan yang lebih rendah, sehingga diharapkan produk krimer

yang dihasilkan tidak memiliki rasa yang terlalu manis. Disamping itu, sirup glukosa

juga memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan pemanis lainnya, antara lain :

mencegah pembentukan kristal, tahan panas, serta memiliki cia rasa yang baik

(Abidin dkk., 2001).

2.2.4 Dekstrin

Definisi dekstrin menurut SNI 06-1451-1989 tenang Dekstrin Industri Non-

Pangan adalah produk hidrolisis zat pati, berbentuk amorf, dan berwarna putih sampai

kekuning-kuningan. Menurut Acton (1979), dekstrin merupakan produk degradasi

pati sebagai hidrolisis tidak sempurna antara pati dengan katalis asam atau enzim

pada kondisi yang terkontrol. Sedangkan menurut Satterwaite dan Iwinski (1973),

dekstrin merupakan hasil hidrolisa pati, sehingga dihasilkan zat dengan berat molekul

yang lebih kecil dan lebih larut air.

Dekstrin mempunyai rumus molekul (C6H10O5)n dan struktur molekulnya lebih

kecil dn bercabang jika dibandingkan dengan pati (Acton, 1979). Dalam pembuatan

14

deksrin, rantai Panjang pati mengalami pemutusan oleh suatu enzim atau hidrolisa

asam menjadi dekstrin dengan Panjang molekul yang lebih pendek, denagn jumlah

glukosa 6-10 unit. Dengan makin pendeknya rantai, akan menyebabkan terjadinya

perubahan sifat, dimana pati yang tidak larut dalam air menjadi dektrin yang mudah

larut dalam air (Somaatmadja, 1970).

Dektrinisasi adalah proses untuk mendapatkan dekstrin dan merupakan cara tertua

untuk memodifikasi pati. Molekul-molekul pati yang besar dan tidak larut dalam air

dingin dihidrolisa sehingga menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil, dalam hal ini

ukuran molekul dikurangi sampai tingkat dimana molekul tersebut menjadi mudah

larut dalam air dingin. Karena melibatkan panas, proses dekstrinisasi sering disebut

pula pyroconversions. Menurut Wurzburg (1989), ada tiga reaksi utama yang terjadi

selama proses pyroconversions, yaitu :

1. Hidrolisa

Merupakan pemutusan ikatan α-1,4 dan α-1,6 glukosidik antara unit-unit glukosa.

Reaksi ini akan menyebabkan pengurangan ukuran molekul serta penurunan

viskositas dan nilai reduksi.

2. Transglukosidasi

Merupakan pemecahan ikatan glukosidik dan pembentukan kembali pada titik

yang lain sehingga diperoleh polimer dengan cabang yang lebih banyak. Reaksi ini

tidk mengubah berat molekul ataupun nilai reduksi, tetapi meningkatkan stabilitas

dari larutan dekstrin karena dikurangi sejumlah komponen linear (amilosa).

3. Repolimerisasi

Pada suhu tinggi, glukosa mempunyai kemampuan untuk membentuk polimer

15

dengan bantuan asam sebagai katalisator sehingga terjadi penurunan nilai reduksi.

Menurut Wurzburg (1989), kelarutan dekstrin putih lebih rendah daripada kelarutan

British Gum, sedangkan kelarutan British Gum lebih rendah daripada kelarutan

dekstrin kuning.

Dekstrin putih dihasilkan pada temperatur rendah serta tingkat kelembaban dan

keasaman tinggi dengan reaksi utama adlah hidrolisa. Dekstrin kuning dihasilkan

dengan menggunakan suhu cukup tinggi dengan keasaman sedang dan kelembaban

rendah. Proses hidrolisa dominan pada tahap awal,tetapi pada tahap selanjutnya

proses transglukosodasi dan repolimerisasi menjadi lebih dominan. Sedangkan

British Gum dihasilkan dengan suhu yang tinggi dengan sedikit atau tanpa asam

dengan transglukosidasi menjadi reaksi yang paling dominan (Wurzburg,1989).

2.3 Proses Pembuatan Krimer Nabati

Menurut Putri, dkk (2016), proses produksi non-dairy creamer atau krimer

nabati secara umum terdiri dari beberapa tahapan proses. Pada proses pembuatan

krimer nabati terjadi perubahan fase dari cairan menjadi bubuk menggunakan alat

spray dryer. Beberapa bahan baku (raw material) dimasukkan dan dicampur dalam

keadaan fase cair, sehingga perlu adanya perubahan fase. Proses produksi krimer

nabati yaitu :

1. Proses Pencampuran Bahan

Proses ini merupakan tahapan awal dari pembuatan krimer nabati. Tahap pertama

yang dilakukan adalah membuat beberapa campuran larutan. Pertama,

mencampurkan emulsifier dengan lemak (palm oil) dengan menggunakan mesin

pengaduk, sehingga terbentuklah larutan A. Kedua, membuat larutan B dengan

16

mencampurkan sodium caseinate dengan sirup glukosa. Ketiga membuat larutan C

dari bahan stabilizer dan garam yang dilarutkan ke dalam air. Setelah ketiga

campuran tersebut jadi, barulah dilakukan pencampuran antara larutan C dan B

dengan menggunakan mesin pengaduk yang dilengkapi dengan paddle mixer dengan

kecepatan 500 rpm. Terakhir larutan C dan B disatukan, barulah dicampur dengan

larutan A, dimana dalam proses penambahan larutan A dilakukan dalam kondisi

pengadukan pelan.

2. Homogenisasi

Hasil dari proses mixing antara tiga jenis larutan akan menghasilkan suatu larutan

yang sudah tercampur. Namun, untuk memastikan ketiganya sudah tercampur dengan

baik, dilakukan proses homogenisasi menggunakan homogenizer dengan tekanan 170

bar pada suhu ruang. Proses ini akan mengubah partikel globula lemak menjadi lebih

kecil dan seragam sehingga tidak terjadi pemisahan saat krimer di diamkan.

3. Proses Pengeringan

Proses ini merupakan tahapan terpenting dalam pembuatan krimer nabati karena

akan mengubah fase krimer dari cair menjadi padat (bubuk) dimana hasil tersebut

harus memiliki karakteristik fisik yang sesuai dengan keinginan. Proses ini

menggunakan alat spray dryer.

17

Palm Oil

Pengaduk Pengaduk Pengaduk

Sodium

CaseinateAir

EmulsiSirup

Glukosa

Garam

Stabilizer

Larutan B Larutan C

Dilakukan

Pengadukan 500

rpm

Dilakukan

pengadukan pelan

Dihomogenisasi

dengan tekanan 170

bar pada suhu ruang

Dilakukan

pengeringan

menggunakan Spray

Dryer

Hasil

Larutan A

Gambar 3. Proses Produksi Krimer Nabati

(Sumber: Putri dkk., 2016)

2.4 Konsentrat Protein

Konsentrat merupakan suatu produk pekatan protein dengan kadar protein 50-

70%. Konsentrat dibuat dengan cara menghilangkan komponen selain protein, seperti

lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air, sehingga diperoleh kadar protein yang

tinggi dibandingkan dengan bahan baku awal (Amoo, Adebayo dan Oyelele, 2006).

Sementara itu Tiwari dan Singh (2012) memberikan definisi yang hampir sama, yaitu

kemurnian konsentrat protein dapat mencapai lebih dari 70% dan komposisi dari

konsentrat akan dipengaruhi oleh setiap metode yang digunakan dalam ekstraksi.

18

Pada prinsipnya konsentrat protein dapat dibuat dengan cara menghilangkan

sebagian besar kandungan lemaknya dan komponen bukan protein yang tidak larut

dalam air (Sudarmanto dan Tranggono, 1987). Menurut Riaz (2004), kandungan gula

pada konsentrat protein telah dikurangi, sehingga produk yang menggunakan

konsentrat protein lebih mudah dicerna dan lebih sedikit menyebabkan flatulensi.

Konsentrat protein dapat dengan mudah dibentuk teksturnya, namun membutuhkan

jumlah air dan energi mekanik yang lebih besar daripada produk tepung rendah

lemak.

Pembuatan konsentrat protein dilakukan dengan ekstraksi mineral dan

karbohidrat yang larut air. Mineral dan karbohidrat larut air dapat diekstrak dengan

larutan asam, campuran air-etanol, atau air panas. Terdapat tiga cara yang umumnya

digunakan dalam proses produksi konsentrat protein, yaitu proses pencucian dengan

alkohol, proses pencucian dengan asam, proses denaturasi protein dengan panas.

Proses pembuatan konsentrat protein dengan pencucian alkohol didasarkan pada

kemampuan alkohol rantai pendek (metanol, etanol, atau isopropil alkohol) untuk

mengekstrak fraksi gula larut air tanpa melarutkan protein. Umumnya konsentrasi

alkohol optimum yang digunakan adalah 60%. Setelah proses ekstraksi gula, alkohol

dievaporasi dari protein dengan menggunakan prinsip destilasi dan protein

dikeringkan (FAO, 2009).

Konsentrat protein dapat ditambahkan dalam bahan pangan untuk

meningkatkan penampilan, mengontrol, tekstur, atau viskositas, menurunkan susut

masak, meningkatkan umur simpan, meningkatkan sifat penanganan adonan dan

kebutuhan nutrisi. Konsentrasi kedelai sering digunakan sebagai pengikat dan

19

pengkondisi pada sosis karena kemampuannya untuk mengikat air dan lemak

(Pomeranz, 1991).

2.5 Sifat Fungsional Konsentrat Protein

Sifat fungsional protein membantu sifat-sifat mutu, sifat organoleptik, dan hasil

pengolahan pangan. Seringkali dikehendaki untuk mengkarakterisasi sifat fungsional

protein pangan untuk mengoptimalkan penggunaannya dalam produk pangan

(Khotibul Umam, 2017).

1. Daya Serap Air

Daya serap air (water holding capacity) adalah jumlah air yang terperangkap

dalam matriks protein pada kondisi tertentu. Daya serap air berhubungan dengan

jumlah gugus asam amino polar yang terdapat dalm molekul protein. Gugus asam

amino polar yang terdapat dalam molekul protein. Gugus asam amino polar, seperti

hidroksil, amino, karboksil dan sulfihidril memberikan sifta hidrofilik bagi molekul

protein sehingga dapat menyerap air berperan dalam pembentukan tekstur produk

pangan. Semakin banyak air yang diserap, maka semakin baik tekstur dan mouthfeel

bahan pangan tersebut. Pengikatan air bergantung pada komposisi dan komformasi

antara molekul-molekul protein. Interaksi antara air dan gugus hidrofilik dari rantai

samping protein dapat terjadi melalui ikatan hidrogen. Jumlah air yang dapat ditahan

oleh protein bergantung pada komposisi asam amino, hidrofobisitas permukaan, dan

proses pengolahan. Jumlah air yang diikat akan meningkat jika kepolaran protein

meningkat (Suwarno, 2003).

Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi daya serap air adalah pH,

suu, dan kekuatan ion. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan

20

konformasi dan polaritas molekul protein (Hutton dan Campbell, 1981). Menurut

Zayas (1997), daya serap air oleh protein juga dipengaruhi oleh konsentrasi protein

dan adanya komponen lain, seperti polisakarida hidrofilik, lemak, garam, lamanya

pemanasan dan konsidi penyimpanan. Semakin tinggi konsentrasi protein dalm suatu

bahan pangan, maka daya serap airnya pun semakin baik.

Suhu tinggi dapat mengurangi daya serap air oleh protein. Adanya pemanasan,

pemekatan, pengeringan atau pembentukan tekstur ini dapat mengakibatkan

denaturasi protein dan transisi konformasi sehingga terjadi pembukaan rantai

polipeptida dan jumlah asam amino polar pada protein berkurang (Zayas, 1997).

Menurut Hutton dan Campbell (1981), pemanasan, agregasi dan denaturasi tersebut

dapat juga menyebabkan perubahan konformasi tertentu sehingga daya serap air

meningkat (Hutton dan Campbell, 1981).

2. Daya Serap Minyak

Daya serap minyak adalah kemampuan protein untuk menyerap dan menahan

lemak. Daya minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel

protein, kondisi proses pengolahan, zat aditif lain, suhu dan derajat denaturasi protein.

Ukuran dan tekstur protein yang lebih halus, lebih seragam, dan lebih porous

memudahkan penyerapan dan pengikatan minyak. Denaturasi protein dapat

meningkatkan daya serap minyak karena terbukanya struktur protein sehingga asam

amino non polarnya terpapar. Namun, denaturasi yang berlebihan dapat menurunkan

kemampuan protein mengikat lemak karena rusaknya rantai hidrofobik ptotein

(Suwarno, 2003).

21

Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi antar lipid.

Ikatan yang berperan dalam interaksi tersebut adalah ikatan hidrofobik, elektrostatik,

ikatan hidrogen, dan ikatan non kovalen. Ikatan hidrofobik penting untuk stabilitas

kompleks lipid-protein. Interaksi antara protein dengan anion asam lemak dapat

mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul.

Daya serap minyak sutau protein tergantuk pada strukturnya. Struktur yang

bersifat lipolitik dengan kandungan cabang protein nonpolar yang lebih dominan,

berkontribusi terhadap peningkatan daya serap minyak (Lin dkk., 1974). Menurut

Suwarno (2003), daya serap minyak bermanfaat dalam aplikasi protein pada produk

daging sintesis dan berperan penting dalam memperbaiki karakteristik citarasa.

3. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi

Emulsi adalah dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, dimana

molekul kedua cairan ini tidak saling berbaur, tetapi saling antagonis. Tiga bagian

utama dalam suatu sistem emulsi adalah bagian pendispersi juga dikenal sebagai

continous phase yang biasanya berupa air, bagian terdispersi yang biasanya terdiri

dari butiran-butiran lemak, serta bagian emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir-

butir lemak tetap tersuspensi dalam air (Winarno, 1997).

Sifat emulsifikasi protein dipengaruhi oleh laju adsorbsi antarmuka minyak-air,

jumlah protein teradsorbsi, serta kemampuan untuk membentuk sebuah film yang

kental, kohesif, dan kontinyu melalui interaksi kovalen dan non kovalen (Widowati

dkk, 1998). Menurut Zayas (1997), selain itu, sifat emulsi suatu protein juga

dipengaruhi oleh desain peralatan yang digunakan, suhu minyak dan suhu larutan

protein.

22

Daya kerja emulsifier dipengaruhi oleh bentuk molekul yang dapat terikat, baik

pada air (polar) dan pada minyak (non polar). Emulsi minyak dalam air (𝑜 𝑤⁄ ) terjadi

bila emulsifier lebih terikat pada air (polar), sedangkan emulsi air dalam minyak

(𝑤 𝑜⁄ ) terjadi bila emulsifier lebih terikat pada minyak (non polar) (Winarno, 1997).

Sedangkan menurut Zayas (1997), daya emulsi bergantung pada bentuk, hidrasi grup

polar, hidrofobisitas molekul dan muatan. Emulsi yang stabil terbentuk karena protein

yang larut dan dapat teradsorbsi dalam lapisan.