ii. tinjauan pustaka 2.1 singkongeprints.umm.ac.id/40509/3/bab 2.pdfdiantaranya suhu, konsentrasi...
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Singkong
Ketela pohon atau ubi kayu merupakan tanaman perdu. Ketela pohon
berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir ke
seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, dan Tiongkok. Tanaman ini
masuk ke Indonesia pada tahun 1852. Ketela pohon berkembang di negara- negara
yang terkenal dengan wilayah pertaniannya (Purwono, 2009).
Singkong varietas pahit atau yang biasa disebut singkong karet adalah
salah satu jenis umbi-umbian atau akar pohon yang panjang dengan fisik ratarata
bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm. Singkong jenis ini dapat
dijadikan bahan pakan alternatif oleh para peternak tradisional. Dikatakan
demikian karena didukung dengan fakta bahwa singkong karet ini merupakan
sumber karbohidrat namun minim protein, selain itu singkong karet dapat
tumbuh dengan mudah di semua jenis tanah, mampu bertahan dari hama
ataupun penyakit tanaman, dan jarang dikonsumsi oleh manusia karena
memiliki rasa yang pahit, sehingga ketersediannya sangat banyak
(Kuncoro, 1993).
Sistematika tanaman singkong karet (Manihot glaziovii) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Dicotyledonae (berkeping dua / dikotil)
5
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot glaziovii
(Lies, 2005)
Berdasarkan kadar amilosanya, ubi kayu dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
ubi kayu gembur (kadar amilosa lebih dari 20%) yang ditandai secara fisik bila
kulit ari yang berwarna coklat terkelupas dan kulit tebalnya mudah dikupas, dan
ubi kayu kenyal (kadar amilosa kurang dari 20%) yang ditandai bila kulit ari
warna coklat tidak terkelupas (lengket pada kulit tebalnya) dan kulit tebalnya sulit
dikupas (Badan Litbang Pertanian, 2011).
2.2 Pati
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Barangkali tidak ada satu senyawa
organik lain yang tersebar begitu luas sebagai kandungan tanaman seperti halnya
pati. Dalam jumlah besar, pati dihasilkan dari dalam daun-daun hijau sebagai
wujud penyimpanan sementara dari produk fotosintesis. Pati juga tersimpan dalam
bahan makanan cadangan permanen untuk tanaman, dalam biji, jari-jari teras,
kulit batang, akar tanaman menahun dan umbi. Pati berbentuk granul atau butir-
butir kecil dengan lapisan-lapisan yang karakteristik. Lapisan-lapisan ini serta
ukuran dan bentuk granul seringkali khas bagi beberapa spesies tanaman sehingga
dapat digunakan untuk identitas tanaman asalnya (Claus et al., 1970).
6
Tabel 1. Kandungan Pati Beberapa Bahan Pangan
Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering)
Biji gandum
Beras
Jagung
Biji sorghum
Kentang
Ubi jalar
Singkong
67
89
57
72
75
90
90
Sumber: Liu (2005) dalam Wahyu (2009)
Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta
yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi
(Wahyu 2009). Komponen pati dari tapioka secara umum terdiri dari 17% amilosa
dan 83% amilopektin. Granula tapioka berbentuk semi bulat dengan salah satu
dari bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 μm. Suhu gelatinisasi
berkisar antara 52-64°C, kristalinisasi 38%, kekuatan pembengkakan sebesar 42
μm dan kelarutan 31%. Kekuatan pembengkakan dan kelarutan tapioka lebih kecil
dari pati kentang, tetapi lebih besar dari pati jagung (Rickard dkk., 1992).
Singkong karet (Manihot glaziovii) adalah salah satu jenis atau varietas
singkong pohon yang mengandung senyawa beracun yaitu asam sianida (HCN)
berkadar tinggi, sehingga tidak diperjualbelikan dan kurang dimanfaatkan oleh
masyarakat. Karena berukuran lebih besar, dengan daun yang juga lebih lebar dan
lebat, maka potensi singkong karet untuk berfotosintesis juga lebih besar
dibanding dengan singkong biasa, dimana dapat menghasilkan ubi dengan berat
hampir empat kali lipat dibandingkan singkong biasa. Singkong karet (Manihot
glaziovii) mempunyai kadar karbohidrat (pati) sebesar 98,47% (Hapsari dkk.,
2013).
7
Tabel 2. Kandungan Pati Singkong Karet
Analisa Kadar 100% BK
Kadar Abu
Kadar Lemak Kasar
Kadar Serat Kasar
Kadar Protein Kasar
Kadar Karbohidrat
0,4734
0,5842
0,0067
0,4750
98,4674
Sumber: Laboratorium Ilmu Makanan Ternak FP Undip dalam Hapsari, 2013
Menurut Careda et al., (2000), konsentrasi 3% pati singkong tanpa
modifikasi akan menghasilkan pori-pori yang kecil, yang mungkin disebabkan
gelembung-gelembung kecil dari udara terlarut ketika pemanasan. Pori-pori yang
kecil mengakibatkan edible film dari pati singkong memiliki laju transmisi rendah
terhadap uap air dan gas.
2.2.1 Struktur Kimia Pati
Pati adalah karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1−> 4) unit glukosa. Derajat
polimerisasi amilosa berkisar antara 500−6.000 unit glukosa, bergantung pada
sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α-(1−> 4) unit glukosa dengan rantai
samping α-(1−> 6) unit glukosa. Dalam suatu molekul pati, ikatan α-(1−> 6) unit
glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara 4−5%. Namun, jumlah
molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat banyak dengan
derajat polimerisasi 105 − 3×106 unit glukosa (Jacobs dan Delcour 1998).
2.2.2 Amilosa
Amilosa merupakan polisakarida, polimer yang tersusun dari glukosa
sebagai monomernya. Tiap-tiap monomer terhubung dengan ikatan 1,4 glikosidik.
Amilosa merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama dengan
8
amilopektin menjadi komponen penyusun pati. Dalam masakan, amilosa memberi
efek keras bagi pati atau tepung (Whistler dan Paschall, 1984).
Menurut Taggart (2004), amilosa memilki kemampuan membentuk kristal
karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini
dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus
hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi
pada amilosa daripada amilopektin. Menurut Amin (2013), Amilosa sangat
berperan pada saat proses gelatinisasi dan lebih menentukan karakteristik pasta
pati. Pati yang memiliki amilosa yang tinggi mempunyai kekuatan ikatan
hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula,
sehingga membutuhkan energi yang besar untuk gelatinisasi.
Gambar 1. Rumus Struktur Amilosa
Kestabilan edible film dipengaruhi oleh amilosa yang berpengaruh
terhadap kekompakannya. Pati dengan kadar amilosa tinggi menghasilkan edible
film yang lentur dan kuat, karena struktur amilosa memungkinkan pembentukan
ikatan hidrogen antarmolekul glukosa penyusunnya dan selama pemanasan
mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat memerangkap air sehingga
menghasilkan gel yang kuat (Purwitasari 2001 dalam Yulianti 2012).
9
2.2.3 Amilopektin
Amilopektin merupakan polisakarida yang tersusun dari monomer G
glukosa. Amilopektin merupakan molekul raksasa dan mudah ditemukan karena
menjadi satu dari dua senyawa penyusun pati, bersama-sama dengan amilosa.
Walaupun tersusun dari monomer yang sama, amilopektin berbeda dengan
amilosa, yang terlihat dari karakteristik fisiknya. Secara struktural, amilopektin
terbentuk dari rantai glukosa yang terikat dengan ikatan 1,4 glikosidik, sama
dengan amilosa. Namun demikian, pada amilopektin terbentuk cabang-cabang
(sekitar tiap 20 mata rantai glukosa) dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilopektin
tidak larut dalam air.
Gambar 2. Rumus Struktur Amilopektin
Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses
mekar (puffing) dimana produk makanan yang berasal dari pati yang kandungan
amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah.
Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan
produk yang keras, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Whistler dan
Paschall, 1984).
10
Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin
mendukung formasi film, menjadikan film pati jadi rapuh dan kaku (Zhang dan
Han, 2006). Film yang lentur dan kuat dapat dibuat dari pati yang mengandung
amilosa dan dalam pembentukan edible film, amilopektin memberikan stabilitas
dan elastisitas (Putra, 2013).
2.3 Edible film
Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat
dimakan, yang dapat digunakan untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan
diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap
perpindahan massa misalnya kelembaban, oksigen, dan cahaya (Krochta 1992,
dalam Harris, 2001).
Menurut Arpah (1997) dalam Wahyu (2009), edible packaging pada bahan
pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis bentuk, yaitu : edible film, edible
coating, dan enkapsulasi. Menurut Hui (2006), hal yang membedakan edible
coating dengan edible film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating
langsung dibentuk pada produk, sedangkan pada edible film pembentukkannya
tidak secara langsung pada produk yang akan dilapisi/ dikemas. Enkapsulasi
adalah edible packaging yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk
serbuk.
Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air,
menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan
lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Jumlah
karbondioksida dan oksigen yang kontak dengan produk merupakan salah satu
yang harus diperhatikan untuk mempertahankan kualitas produk dan akan
11
berakibat pula terhadap umur simpan produk. Film yang terbuat dari protein dan
polisakarida pada umumnya sangat baik sebagai penghambat perpindahan gas,
sehingga efektif untuk mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang hilang
atau yang diserap oleh produk dapat diatur dengan melakukan pelapisan edible
coating atau film (Hui, 2006).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi edible film diantaranya suhu,
konsentrasi pati, serta penggunaan plasticizer. Menurut Krochta et al. (1994),
perlakuan suhu diperlukan untuk membentuk edible film yang utuh, tanpa
perlakuan panas kemungkinan terjadinya interaksi molekuler sangatlah kecil
sehingga pada saat film dikeringkan akan menjadi retak, dan untuk membentuk
pati tergelatinisasi, sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal
dari edible film. Penambahan pati yang semakin besar, maka jumlah polimer
penyusun matriks film semakin banyak sehingga dihasilkan film yang tebal.
Menurut Gontard et al. (1993), plasticizer ini mempunyai titik didih tinggi dan
penambahan plasticizer dalam edible film sangat penting karena diperlukan untuk
mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler
ekstensif.
2.4 Pembuatan Edible Film
Menurut Donhowe et al. (1994), pembuatan edible maupun coating dapat
dilakukan dengan cara koaservasi (coaservation), pemisahan pelarut (solvent
removal) dan pemadatan larutan (solidification of melt).
1. Koaservasi
Cara koaservasi telah digunakan secara ekstensif di industri farmasi,
terutama untuk ekapsulasi. Koaservasi dapat digunakan dengan pemanasan
12
larutan, pengaturan pH larutan, penambahan pelarut atau mengubah jumlah
polimer yang terlibat dalam pembuatan edible film sehingga akan mempengaruhi
kekuatan polimer tersebut. Koaservasi dibedakan menjadi koaservasi sederhana
dan kompleks berdasarkan penggunaan jumlah polimer yang digunakan dalam
pembuatan edible film. Koaservasi sederhana hanya menggunakkan satu jenis
polimer, sedangkan koaservasi kompleks menggunakan campuran dua jenis
polimer atau lebih. Penggolongan cara koaservasi berdasarkan tipe fase
pemisahan, yaitu aquaeous dan non-aquaeous biasanya melibatkan material
bersifat hidrofobik.
2. Pemisahan Pelarut
Pembuatan edible film melalui pemisahahan dilakukan dengan cara
mendispersikan material pembentuk edible film dalam larutan aquaeous dan
kemudian dilakukan penguapan pelarut hingga terbentuk lapisan film. Pembuatan
edible film dengan cara pemisahan pelarut ini harus memperhatikan pengaturan
kecepatan dan suhu penguapan dengan baik karena akan berpengaruh pada sifat
kristalinitas dan sifat mekanis edible film yang dihasilkan.
3. Pemadatan Larutan
Cara pemadatan larutan digunakan untuk pembuatan edible film berbahan
lipida melalui proses pendinginan. Sama seperti cara pemisahan pelarut, dengan
cara ini kecepatan dan suhu pendinginan memegang peranan penting dalam
menghasilkan karakteristik dari edible film yang dihasilkan.
Cara lain pembuatan edible film paling banyak digunakan adalah metode
casting. Cara ini banyak digunakan dalam penelitian karena mudah dalam
pembuatannya. Pada metode ini, mula- mula protein atau polisakarida
13
didispersikan pada campuran air dan plasticizer kemudian diaduk. Setelah
pengadukan, campuran dipanaskan lalu dituangkan pada casting plate dan
dibiarkan mengering kemudian dilepas dari cetakan (casting plate). Setelah film
lepas dari cetakan, selanjutnya dapat langsung diaplikasikan sebagai bahan
pengemas atau dilakukan berbagai pengujian untuk mengetahui karakteristiknya.
Ketebalan edible film yang diaplikasikan menggunakan metode casting dapat
diatur dengan cara mengatur penyebaran larutan edible film yang dituangkan pada
cetakan.
2.5 Gliserol
Menurut Syarief dkk. (1989), untuk memperbaiki sifat plastik maka
ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja
ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi
sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan lain-lain. Bahan
itu dapat berupa senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai
berat molekul rendah.
Plasticizer merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu proses
agar plastik lebih halus dan luwes. Fungsinya untuk memisahkan bagian-bagian
dari rantai molekul yang panjang. Plasticizer adalah bahan non volatile dengan
titik didih tinggi yang apabila ditambahkan ke dalam bahan lain akan merubah
sifat fisik dan atau sifat mekanik dari bahan tersebut (Krochta et al., 1994).
Plasticizer ditambahkan untuk mengurangi gaya intermolekul antar partikel
penyusun pati yang menyebabkan terbentuknya tekstur edible film yang mudah
patah (getas).
14
Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat dengan 3 buah gugus
hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalent). Rumus kimia gliserol adalah
C3H8O3, dengan nama kimia 1,2,3 propanatriol seperti pada Gambar 3. Berat
molekul gliserol adalah 92,1 massa jenis 1,23 g/cm2 dan titik didihnya 209°C
(Winarno, 1992). Gliserol ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas 3 atom
karbon. Jadi tiap atom karbon mempunyai gugus –OH. Satu molekul gliserol
dapat mengikat satu, dua, tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang
disebut monogliserida, digliserida dan trigliserida. Peran gliserol sebagai
plasticizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film (Bertuzzi et al.,
2007).
Gambar 3. Struktur Gliserol
Gliserol ini bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan
senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah
kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan
minuman lainnya (Austin, 1985 dalam Ginting, 2012).
Gliserol efektif sebagai plasticizer karena mampu mengurangi ikatan
hidrogen internal pada ikatan intermolekul sehingga melunakkan struktur film,
meningkatkan mobilitas rantai biopolimer, dan memperbaiki sifat mekanik film.
Gliserol bersifat humektan dan aksi plasticizing gliserol berasal dari
kemampuannya dalam menahan air pada edible coating (Lieberman dan Gilbert
1973). Penambahan gliserol dalam pembuatan edible film akan meningkatkan
fleksibilitas dan permeabilitas film terhadap gas, uap air, dan gas terlarut.
15
Penambahan plasticizer gliserol berpengaruh terhadap kehalusan permukaan film.
Hal ini karena selain sebagai plasticizer, gliserol juga membantu kelarutan pati
sehingga terbentuk ikatan hidrogen antara gugus OH pati dan gugus OH dari
gliserol, yang meningkatkan sifat mekanik. Bertambahnya jumlah gliserol dalam
campuran pati-air mengurangi nilai tegangan dan perpanjangan (elongation).
Kandungan gliserol yang rendah juga mengurangi kuat tarik edible film
(Larotonda et al. 2004).
Penambahan gliserol 1,5% pada pati garut butirat memberikan edible film
lebih baik dibandingkan dengan penambahan sorbitol dan sirup glukosa (Damat,
2008). Mendapatkan struktur film yang stabil dari campuran pati ubi kayu,
gliserol, dan lilin lebah (beeswax) pada konsentrasi gliserol < 5% (Auras et al.,
2009).
2.6 Jahe Merah
Jahe merah termasuk tanaman jenis rimpangan-rimpangan yang tumbuh di
daerah dataran rendah sampai wilayah pegunungan dengan ketinggian 0 sampai
1.500 meter dari permukaan air laut. Selain sebagai bahan untuk membuat bumbu
masak, jahe secara empiris juga digunakan sebagai salah satu komponen
penyusun berbagai ramuan obat: seperti ramuan untuk meningkatkan daya tahan
tubuh, mengatasi radang, batuk, luka, dan alergi akibat gigitan serangga
(Rahminiwati dkk., 2010).
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Anak kelas : Zingiberidae
Bangsa : Zingiberales
16
Suku : Zingiberaceae
Marga : Zingiber
Jenis : Zingiber officinale var Rubrum
Jahe merah merupakan salah satu tanaman yang memiliki berbagai
kandungan kimia dan manfaat. Minyak atsiri jahe merah mengandung
transgeraniol, geranil asetat, zingiberene, citral, curcumene, beta
sesquiphellandrene, oleoresin, gingerol, [6]-shogaol, gingerdiol, 10-
dehydroginger-dione, 10-gingerdione, 6-gingerdion, dan capsaicin (Nurliana
dkk., 2008). Kandungan minyak atsiri dalam rimpang jahe merah dapat
menghambat pertumbuhan Candida albicans (Lestari, 2007). Rimpang jahe merah
memiliki efek antifungi terhadap pertumbuhan Candida albicans secara in vitro
(Sari dan Nasir, 2009). Rimpang jahe merah mengandung 6-gingerol yang
memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, antikarsinogenik,
antimutagenik, antitumor (Kim et al., 2005).
Kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman jahe-jahean
terutama golongan flavonoid, fenol, terpenoid dan minyak atsiri. Senyawa
metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan Zingiberaceae ini umumnya dapat
menghambat pertumbuhan patogen yang merugikan kehidupan manusia,
diantaranya bakteri Escherichia coli, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus,
jamur Neurospora sp, Rhizopus sp. dan Penicillium sp. (Nursal dkk., 2006).
Menurut Mulyani (2010) menyatakan bahwa ekstrak segar rimpang jahe-
jahean mengandung beberapa komponen minyak atsiri yang tersusun dari α-
pinena, kamfena, kariofilena, β-pinena, α-farnesena, sineol, d-kamfor,
17
isokariofilena, kariofilena-oksida, dan germakron yang dapat menghasilkan
antimikroba untuk menghambat pertumbuhan mikroba.
Pada penelitian Arifin (2012), Pada hasil uji KLT menunjukkan bahwa
ekstrak etanol jahe merah positif mengandung flavonoid, minyak atsiri, polifenol,
dan saponin. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa senyawa flavonoid pada
jahe seperti katekin dan asam kafeat merupakan senyawa fenolik (Wresdiyati dkk,
2003). Menurut Singh et al. (2008), kandungan senyawa dalam jahe yaitu etanol
oleoresi jahe yang terdiri dari eugenol (49,8%), zingeron (14,5%), trans-6-shogaol
(5,9%), geraniol (3,7%), borneol (1,9%).
2.7 Salmonella
Salmonella adalah bakteri gram negatif dan terdiri dari famili
Enterobacteriaceae. Salmonella merupakan bakteri patogen enterik dan penyebab
utama penyakit bawaan dari makanan (foodborne disease) (Klotchko, 2011).
Spesies Salmonella dapat dibagi kepada dua yakni spesies typhoidal dan non
typhoidal. Bagi kelompok typhoidal bisa menyebabkan demam tifoid dan untuk
spesies non thypoidal bisa menyebabkan diare atau disebut enterokolitis dan juga
infeksi metastase seperti oesteomielitis. Spesies typhoidal adalah bakteri S.typhi
dan S.paratyphi sedangkan bakteri S.enteriditis adalah spesies non-typhoidal.
Bakteri S.choleraesuis adalah spesies yang tersering menyebabkan infeksi
metastase (Levinson, 2008).
Salmonella tidak membentuk spora. Salmonella mempunyai flagel
peritrika (peritrichous flagella) yang dapat memberikan sifat motil pada
Salmonella tersebut (Brooks et al., 2004).
18
Salmonella adalah organisme yang mudah tumbuh pada medium
sederhana namun hampir tidak pernah memfermentasikan laktosa dan sukrosa.
Selain itu, organisme ini membentuk asam dan kadang- kadang gas dari glukosa
dan manosa serta biasanya akan menghasilkan H2S. Salmonella bisa bertahan
dalam air yang membeku untuk periode yang lama. Organisme ini juga resisten
terhadap bahan kimia tertentu yang bisa menghambat bakteri enterik yang lain
(Brooks et al., 2004).