ideologi pengarang dalam novel kitab omong … · cerita. penggunaan ramayana sebagai dasar cerita...
TRANSCRIPT
IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA PENDEKATAN EKSPRESIF
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana S-1
Disusun oleh Maria Bekti Lestari
NIM: 034114026
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
JUNI 2008
ii
iii
iv
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 1 Juli 2008
Penulis
Maria Bekti Lestari
vi
ABSTRAK
Lestari, Maria Bekti. 2008. Ideologi Pengarang Dalam Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma: Pendekatan Ekspresif. Skripsi S-1. Yoyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma dengan pendekatan ekspresif. Analisis struktur dibatasi pada alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Langkah- langkah yang ditempuh adalah menganalisis alur, tokoh utama, penokohan tokoh utama, dan pengarang implisit, kemudian menggunakan pendekatan ekspresif untuk memahami ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong.
Tokoh utama dalam novel Kitab Omong Kosong adalah Satya, Maneka, Hanoman, Walmiki, dan Rama. Tokoh-tokoh utama dalam sebuah karya sastra menjadi alat penting pengarang dalam menyampaikan idealismenya. Pengarang juga biasa menjelma sebagai orang lain yang berada di belakang karyanya atau yang biasa disebut sebagai pengarang implisit. Keberadaan pengarang implisit merupakan jalan untuk memahami ideologi pengarang. Alur, tokoh, penokohan tokoh utama dan keberadaan pengarang implisit menjadi alat untuk mengetahui ideologi pengarang.
Penelitian mengenai pengarang implisit mengkaji keberadaan pengarang nyata sebagai sosok lain dalam karyanya. Pengarang implisit berusaha menyampaikan pandangannya mengenai dunia dan kekompleksannya. Melalui analisis mengenai pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong, didapat enam pokok ideologi pengarang. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu: ideologi pengarang mengenai kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, ideologi pengarang mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai cinta, ideologi pengarang mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan.
Ideologi adalah sistem kepercayaan, pandangan dunia yang menjadi acuan seseorang dalam menerangkan setiap permasalahan hidup. Ideologi pengarang mengenai kekuasaan, penguasa harus mampu membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan negara. Ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, mereka sering menjadi korban atas setiap tindakan penguasa. Ideologi pengarang mengenai perempuan, perempuan seringkali menjadi korban atas setiap peristiwa, seperti yang dialami Maneka dan Sinta. Ideologi pengarang mengenai cinta, cinta adalah sesuatu yang suci, sakral dan cinta tidak membutuhkan pembuktian. Dalam ideologi Seno mengenai kebebasan, setiap manusia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri dan kebebasan yang diharapkan harus diperjuangkan. Dalam ideologi Seno mengenai ilmu pengetahuan, proses belajar adalah salah satu jalan memperoleh pengetahuan.
vii
ABSTRACT
Lestari, Maria Bekti. 2008. The Author’s Ideology In Novel Kitab Omong Kosong
Written By Seno Gumira Ajidarma: An Expressive Approah. An Undegraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters, Sanata Dharma University.
This study examines the author’s ideology in the novel Kitab Omong Kosong written by Seno Gumira Ajidarma using expressive approach. The structural analysis is limited on the plot, the main charaters, and the characterization of the main charaters. The step which are done are analyzing the plot, the main charaters, the characterization of the main charaters, and the implied authour. Thus, using expressive approach to understand the author’s ideology in the novel Kitab Omong Kosong. The main charaters are Satya, Maneka, Hanoman, Walmiki, dan Rama. The main charaters in a literary work becomes an important tool of the author to convey his idealism. The author usually take a role as the other person behind his work or usually called as implied author. The existence of implied author is a way to understand the author’s ideology. The plot, the main charater, the characterization of the main charaters, and the implied authour becomes a tool to know the author’s ideology. The study about implied author examines the existence of the author as the other character in his works. The implied author try to explain the perspective about the world and its complexity. After analyzing the implied author in the novel Kitab Omong Kosong, there are six primary ideologies of the author. Those six primary ideologies are the author’s ideology about authority, about marginal people, about women, about love, about freedom, and about knowledge. Ideology is the trust system which becomes reference to explain every problem in life.The author’s ideology about authority, the authority must be able to differentiate between personal and national interest. The author’s ideology about marginal people, they always become the victim of the authority’s action. The author’s ideology about women that women always become the victim of every incident.. The author’s ideology about love, love is pure, sacred, and has no proof. In Seno’s ideology about freedom, people have a right to determine they way of life and freedom must be struggled. In Seno’s ideology about knowledge, learning process is way to get knowledge.
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta :
Nama : Maria Bekti Lestari
Nomor Mahasiswa : 034114026
demi mengembangkan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG
KARYA SENO GUMIRA JIDARMA PENDEKATAN EKSPRESIF
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas,
dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 30 Juni 2008
Yang menyatakan,
Maria Bekti Lestari
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya skripsi ini. Penulis menusun skripsi ini
dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Sastra
Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi menyempurnakan skripsi ini.
Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat
kepada pihak-pihak yang penulis sebutkan sebagai berikut:
1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum selaku pembimbing I yang sudah
membimbing penulisan skripsi ini dan menjadi sosok yang bisa dijadikan
tempat mengadu.
2. Ibu S. E. Peni Adjie, S.S, M. Hum selaku pembimbing II yang telah
memberikan spirit pada penulis untuk maju dan tidak berhenti di tengah
jalan. Selamat atas kelahiran putrinya.
3. Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum selaku pembimbing akademik angkatan
2003 yang selalu setia ngopyak-opyak dan memberikan dukungan.
4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi Sastra
Indonesia. Pak Prap, Pak Ari, Pak San, Bu Candra, terima kasih atas ilmu
yang dibagikan dan perhatian yang diberikan.
ix
5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia untuk rasa nyaman
dan persahabatan yan indah.
6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf secretariat Fakultas Sastra,
Mbak Ros dan Mas Tri, untuk pelayanannya.
7. Bapak, Mamak, Mbak Ari, Apri. Terima kasih atas kepercayaan, dukungan,
dan cinta yang membuat penulis termotivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabatku, Dhita, Erlita, dan Surya, yang selalu mendorong penulis
untuk cepat lulus. Terima kasih atas persahabatan indah kita yang telah
terjalin 10 tahun ini. Heheheheh…akhirnya aku lulus!!!
9. Pour mon coeur R. Adhitya Respati Maulidarma, terima kasih atas segala
rasa sayang, cinta, dukungan dan doanya. Terima kasih telah mengajarkan
banyak hal untuk bertahan dalam setiap cobaan.
10. Teman-teman di Sastra Indonesia 2003 yang telah mengisi kisah hidupku dan
memberi kenangan indah dalam kehidupanku di bangku kuliah. Ayo kita
lulus bareng! Semangat!
11. Astri, Aning, Anton, Aic, Bayu, Dita, Doan, Diar, Ecix, Emak, Epita, Firla,
Gondhez, Helen ‘Teteh’, Icha, Jati, Rinto, Simply, Uci, Nenex, dan Yeni.
Nuwun atas persahabatan, tingkah aneh kalian yang selalu membuat penulis
tersenyum, cerita-cerita konyol maupun mengharukan, serta kesempatan
nongkrong di kantin yang selalu penulis rindukan. Terima kasih sudah
menjadi bagian terindah dalam hidupku.
x
12. Teman-teman di Pik@ Grup. Terima kasih atas chatting yang membuat
penulis tidak jenuh. Mbak Wuri, Mas Made, terima kasih sudah
diperbolehkan nunut ngetik dan browsing gratis.
13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan
skripsi ini. Tidak ada kata yang mampu mengungkapkan syukur ini selain
ucapan terima kasih yang tulus dari dalam hati.
Semoga Tuhan Yang Maha Kasih membalas semua kebaikan dan kasih
sayang yang telah diberikan. Penulis memohon maaf jika terjadi kesalahan yang
disengaja maupun yang tidak disengaja dalam penulisan skripsi ini. Segala bentuk
kesalahan yang terjadi dalam penulisan skripsi ini merupakan tanggung jawab
penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkan.
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii
MOTO .................................................................................................................. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... viii
DAFTAR ISI........................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................... 8
1.4 Manfaat Hasil Penelitian.......................................................................... 9
1.5 Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 10
1.6 Landasan Teori......................................................................................... 12
1.6.1 Alur .................................................................................................. 12
1.6.2 Tokoh dan Penokohan..................................................................... 15
1.6.3 Pengarang Implisit........................................................................... 17
xii
1.6.4 Ideologi............................................................................................ 17
1.6.5 Pendekatan Ekspresif ...................................................................... 20
1.7 Metode Penelitian..................................................................................... 21
1.7.1 Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 21
1.7.2 Pendekatan ...................................................................................... 21
1.7.3 Metode............................................................................................. 22
1.8 Sumber Data ............................................................................................. 22
1.9 Sistematika Penyajian .............................................................................. 23
BAB II ALUR, TOKOH UTAMA, DAN PENOKOHAN TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG KARYA SENO GUMIRA
AJIDARMA ................................................................................................... 24
2.1 Alur ........................................................................................................... 25
2.2 Tokoh Utama ............................................................................................ 40
2.3 Penokohan Tokoh Utama ......................................................................... 42
2.3.1 Maneka............................................................................................ 42
2.3.2 Satya ................................................................................................ 46
2.3.3 Hanoman ......................................................................................... 50
2.3.4 Walmiki........................................................................................... 57
2.3.5 Rama................................................................................................ 61
2.4 Rangkuman Alur, Tokoh Utama, dan Penokohan Tokoh Utama ............ 66
xiii
BAB III PENGARANG IMPLISIT DALAM NOVEL KITAB OMONG
KOSONG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA ...................................... 68
3.1 Pengarang Implisit.................................................................................... 68
3.2 Rangkuman Pengarang Implisit ............................................................... 79
BAB IV IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG
KOSONG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA ...................................... 81
4.1 Ideologi Pengarang................................................................................... 82
4.1.1 Ideologi Pengarang Mengenai Kekuasaan...................................... 83
4.1.2 Ideologi Pengarang Mengenai Kaum Pinggiran ............................. 89
4.1.3 Ideologi Pengarang Mengenai Perempuan...................................... 93
4.1.4 Ideologi Pengarang Mengenai Cinta ............................................... 95
4.1.5 Ideologi Pengarang Mengenai Kebebasan...................................... 99
4.1.6 Ideologi Pengarang Mengenai Ilmu Pengetahuan........................... 105
4.2 Rangkuman Ideologi Pengarang .............................................................. 112
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................... 115
5.1 Kesimpulan............................................................................................... 115
5.2 Saran......................................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 122
BIOGRAFI PENULIS.......................................................................................... 125
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kelahiran suatu karya sastra tidak bisa dipisahkan dari keberadaan karya-
karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah dicerap oleh sang sastrawan (Pradopo,
1987: 228). Cerita inti Ramayana diperkirakan ditulis oleh Walmiki dari India
disekitar tahun 400 SM yang kisahnya dimulai antara 500 SM sampai tahun 200, dan
dikembangkan oleh berbagai penulis (http://www.karatonsurakarta.com/
ramayana.html). Salah satu contoh bentuk akulturasi Ramayana adalah wayang yang
banyak menggunakan pakem atau cerita Ramayana. Ramayana juga diadaptasi oleh
R.A. Kosasih sebagai dasar cerita dalam komiknya yang berjudul Ramayana.
Sindhunata mengangkat cerita Ramayana dalam novelnya yang berjudul Anak Bajang
Menggiring Angin. Novel Kitab Omong Kosong (selanjutnya disingkat KOK) karya
Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya Seno) juga menjadikan Ramayana sebagai dasar
cerita.
Penggunaan Ramayana sebagai dasar cerita membentuk suatu karya baru
yang menuntut pemahaman dan pendalaman para pembaca atau penikmatnya.
Perbedaan maupun kejanggalan cerita sering ditemui dalam bentuk modifikasinya.
Hal ini bukanlah sesuatu yang tidak sengaja terjadi. Berbagai kejanggalan cerita ini
menjadi salah satu sarana pengarang untuk menuangkan ideologinya. Wellek dan
Austin Warren (1989: 134) mengungkapkan bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu
2
bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi,
sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat.
Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin setia menggali cerita
Ramayana sesuai dengan pakem-nya, tetapi diekspresikan melalui bahasa yang indah
dan puitis. Karena gaya bahasa sastranya yang khas, karena imajinasi simboliknya
yang kaya, dan karena penggalian makna-makna filosofis yang dalam, buku ini tak
dapat dianggap sebagai sekadar salah satu versi dari kisah Ramayana, melainkan
sebagai penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah
kisah sastra (www.gramedia.com). Seno mengeksploitasi cerita Ramayana dengan
cara yang lebih unik. Seno memilih bahan dari kitab Ramayana yang tidak popular,
yaitu tragedi keluarga Rama setelah perang besar dengan Rahwana. Seno juga
memberi tafsir baru dalam cerita Ramayana. Rama yang biasanya merupakan tokoh
hero bagi masyarakat Jawa ditelanjanginya sebagai pemimpin yang tak menghargai
kesetiaan, ambisius, dan haus akan kekuasaan. Di tangan Seno, cerita-cerita dari
parwa terakhir Ramayana menjadi sangat membumi. Hal ini diwujudkan dengan
ditampilkannya dua tokoh dari kalangan rakyat biasa sebagai penggerak cerita.
kehadiran Satya dan Maneka membuat cerita Ramayana tidak lagi terfokus pada
tokoh-tokoh raja dan ksatria.
Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi
penghayatan sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja
lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang
3
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab sebagai sebuah karya seni
(Nurgiyantoro, 1998: 3). Dalam proses kreatif penciptaan sebuah karya sastra,
seorang sastrawan tidak begitu saja menuliskan semuanya. Melalui hasil pengamatan
dan penghayatan terhadap lingkungannya seorang sastrawan menciptakan sebuah
karya yang bisa dipertanggungjawabkan. Tidak jarang pula apa yang ditulis seorang
sastrawan merupakan pengalaman yang sungguh-sungguh dialaminya sendiri.
Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston, USA pada tanggal 19 Juni 1958.
Dia menyelesaikan program diploma dan S-1 dalam bidang film di Institut Kesenian
Jakarta (IKJ). Seno menempuh jenjang S-2 dalam bidang Filsafat di FIB UI. Dia
meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu Susastra dengan disertasi berjudul Tiga Panji
Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan.
Latar belakang pendidikan yang pernah ditempuh Seno berpengaruh dalam
proses kreatif KOK. Ide maupun gagasan yang tertuang dalam karya sastra tentu
mengekspresikan pula jiwa pengarangnya. Sebuah karya sastra menjadi wadah
tersendiri bagi pengarang untuk menuangkan seluruh ide dan gagasannya ke dalam
bentuk yang tidak nyata. Tidak nyata yang dimaksudkan di sini adalah
ketersembunyian maksud yang terletak di dalam karya sastra. Selanjutnya karya
sastra juga mengusung ideologi yang dianut oleh pengarang. Ideologi
(http://id.wikipedia.org/wiki) adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa
konsepsi rasional, yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan
manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk
mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta
4
metode menyebarkannya ke seluruh dunia. Metode yang digunakan Seno dalam KOK
adalah dengan mengungkapkan kehidupan kaum terpinggirkan sebagai bentuk
penyampaian aspirasinya. Pemikiran Seno diaktualisasikan dengan memunculkan
tokoh Satya dan Maneka. Kedua tokoh dari kalangan rakyat biasa sebagai tokoh
utama dalam alur Ramayana merupakan cara Seno mengungkap sisi lain sebuah
cerita.
Rasa seni atau sense of art pengaranglah yang sebenarnya membuat kenyataan
menjadi kisah yang menarik dalam fiksi. Dalam rasa ini, kreativitas mengambil
peranan. Seorang pengarang yang memiliki rasa seni tinggi atau kreatif, tidak akan
melihat kenyataan sebagai kenyataan begitu saja. Kenyataan yang ia lihat tidak ia beri
makna umum sebagaimana masyarakat kebanyakan mengartikannya. Namun, ia
dapat melihat dengan sudut pandang yang berbeda, menciptakan dunia makna yang
tersendiri sehingga kenyataan atau pengalaman tersebut menjadi suatu hal yang
mengesankan bahkan memberi banyak pelajaran (Dahana, 2001: 59-60). KOK
sebagai karya sastra memuat ideologi Seno sebagai pengarang. Hal tersebut tentu
saja berhubungan erat pula dengan proses kreatif yang dilalui Seno sebelum menulis
KOK. Kreativitas itu tampak pada penambahan tokoh sentral Maneka dan Satya,
selain Rama dan Sinta. Adanya beberapa perbedaan ini menunjukkan hasil
pengendapan pengarang atas cerita Ramayana.
Seno tidak melihat Ramayana sebagai cerita yang mutlak harus diterima
kebenarannya. Seno membuat Ramayana-nya sendiri dalam KOK sebagai sarana
dalam penyampaian pandangan-pandangannya. Bukanlah hal yang mengherankan,
5
jika ditemui beberapa bagian yang dirasa tidak sesuai sama sekali dengan cerita
aslinya. Salah satu ketidaksamaan itu salah satunya terdapat dalam kutipan berikut:
Perempuan itu merangkak.
“Tidak juga Rama, titisan Batara Wisnu yang maha
Dan maha menghancurkan….” (Ajidarma, 2004:26)
Dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa di balik sifatnya yang perkasa, Rama
titisan Batara Wisnu juga maha menghancurkan. Dalam budaya Hindu, Wisnu adalah
dewa pemelihara alam semesta, sedangkan dewa penghancur adalah Siwa.
Penjungkirbalikkan yang dilakukan Seno ini tentu berkaitan pula dengan ideologi dan
kepercayaan yang dianutnya. Ada maksud lain yang hendak disampaikan lewat cerita
ini. Seno (dalam Ajidarma, 2005: 42) mengatakan bahwa dengan mengatakan semua
ini, saya bukannya ingin menjadi pahlawan. Saya hanya ingin menjelaskan gagasan-
gagasan macam apa yang ada di kepala saya ketika menulis cerita-cerita itu.
Ada yang berpendapat bahwa dalam berekspresi sastrawan bebas
memperlakukan tokoh-tokoh dalam karya sastra. Akan tetapi, sastrawan dituntut
membuat alur cerita yang logis bagi tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang dari awal
dicitrakan dengan sifat tertentu, tidak logis bila memerankan cerita yang di luar
kemampuannya. Tidak logis tokoh yang sejak awal dicitrakan berprilaku buruk
kemudian menjadi baik tanpa sebab. Tokoh-tokoh ciptaan itu harus dihormati
kedaulatannya agar mereka berbicara sendiri, bukan karena kekuasaan sastrawan.
Keyakinan agama, pandangan hidup, bahkan ideologi politik seorang sastrawan juga
6
berpengaruh pada karyanya, tetapi kelogisan alur cerita harus dipertahankan oleh
sastrawan (Lubis, 1997: 4, 5, 7). Bukan tanpa sebab Seno menggambarkan tokoh
Rama sebagai dewa penghancur. Semula Rama seorang yang bijaksana dan lemah
lembut. Akan tetapi dia dibutakan oleh rasa cemburu dan kehilangan kepercayaannya
kepada Sinta sehingga Rama pun menjadi brutal dan kejam. Gelembung Rahwana
pembawa benih-benih kejahatan itupun mampu merasuk ke dalam diri Rama dan
membuatnya menjadi penghancur.
Sastrawan menulis karya sastra, antara lain, untuk menyampaikan model
kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Dengan
karya sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-
sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu
pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca diharapkan
dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan
nyata (Nurgiyantoro, 1998: 321). Pengarang kadang menjelmakan diri sebagai tokoh
dalam karyanya atau sekadar sebagai pencerita. Di sinilah pengarang mulai
menuangkan ide maupun gagasan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penelitian ini akan menganalisis alur, tokoh, penokohan, dan pengarang implisit
sebelum menganalis ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong karya
Seno Gumira Ajidarma. Tokoh-tokoh utama dalam sebuah karya sastra biasanya
menjadi alat penting pengarang dalam menyampaikan idealismenya. Pengarang juga
biasa menjelma sebagai orang lain yang berada di belakang karyanya atau yang biasa
7
disebut sebagai pengarang implisit. Alur, tokoh, penokohan tokoh utama dan
keberadaan pengarang implisit menjadi alat untuk mengetahui ideologi pengarang.
Plot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para
tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 1998:114). Dalam perjalanan ceritanya, para
tokoh mengalami konflik dan tegangan yang membuat karakter maupun
pemikirannya ikut berkembang pula. Dalam hal ini alur atau plot cerita berpengaruh
pada perkembangan pola pikir atau ideologi tokoh.
Ideologi merupakan suatu kerangka berpikir dalam menanggapi suatu
permasalahan. Seorang pengarang memiliki suatu ideologi yang terkandung dalam
karyanya. Ideologi pengarang adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut dan
dipercayai oleh seorang pengarang ketika dia hendak menuangkannya dalam karya
sastra. Althusser (dalam Barker, 2005: 76) mengatakan bahwa ideologi membentuk
kondisi-kondisi nyata kehidupan manusia, membentuk pandangan dunia yang dipakai
orang untuk hidup dan mengalami dunia.
Penelitian ini memfokuskan masalah ideologi pengarang dalam novel KOK
karya Seno melalui pendekatan ekspresif. Topik ini dipilih sebagai bahan penelitian
karena selama ini studi sastra mempunyai kecenderungan hanya tertuju pada karya
sastra itu sendiri. Karya sastra secara menyeluruh setidaknya melibatkan empat
aspek, yaitu aspek semesta yang menjadi latar penciptaan, pencipta yang menciptakan
sebuah karya, pembaca yang mengapresiasi karya, dan karya sastra itu sendiri sebagai
hasil dari proses kreatif yang dilakukan oleh seorang pengarang. Oleh karena itu,
8
studi sastra yang ideal seharusnya tidak hanya tertuju pada karya sastra semata, tetapi
harus pula memperhatikan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan proses
penciptaan karya sastra tersebut. Salah satu aspek yang selama ini kurang mendapat
perhatian peneliti sastra adalah penelitian terhadap karya sastra sebagai proses kreatif
yang telah dituliskan pengarang, padahal terdapat banyak kemungkinan informasi
yang dapat digali untuk mendukung penelitian terhadap karya sastra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam
novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma?
1.2.2 Bagaimana pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong
karya Seno Gumira Ajidarma?
1.2.3 Bagaimana ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong
karya Seno Gumira Ajidarma?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1.3.1 Mendeskripsikan alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama
dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.
9
1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan pengarang implisit dalam novel
Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.
1.3.3 Menganalisis dan mendeskripsikan ideologi pengarang dalam novel
Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebut di atas, penelitian diharapkan
memberi manfaat sebagai berikut.
1.4.1 Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan
kritik sastra dan ilmu sastra, khususnya dalam telaah sastra dengan
pendekatan ekspresif.
1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu pembaca, peneliti,
maupun sastrawan dalam memahami ideologi pengarang yang
terkandung dalam sebuah karya sastra.
1.4.3 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun
sastrawan dalam menafsirkan keterkaitan antara ideologi tokoh-tokoh
dalam karya sastra dengan ideologi pengarangnya.
1.4.4 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun
sastrawan dalam menafsirkan keterkaitan antara pengarang implisit
dan ideologi pengarang.
10
1.4.5 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun
sastrawan dalam menafsirkan keterkaitan antara ideologi tokoh-tokoh
dalam karya sastra dengan perkembangan alur.
1.4.6 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun
sastrawan dalam memahami proses kreatif seorang pengarang dan
keterkaitannya dengan karya yang dihasilkan.
1.5 Tinjauan Pustaka
Mursidi (2005) dalam artikel berjudul Epik Ramayana dalam Berbagai
Narasi mengatakan bahwa setelah Walmiki tiada, kisah Ramayana lalu menjelma
menjadi ilham bagi para pujangga untuk menyalin serta menyadurnya dalam cerita
yang terus memikat sepanjang zaman. Menurutnya Seno bisa dikategorikan menulis
cerita Ramayana dengan ”versi lain”. Dalam KOK, Seno tak saja membongkar alur
cerita Ramayana dan mencoba menjadikan kisah Ramayana sebagai entry point,
untuk merangkai peristiwa demi peristiwa, tetapi juga memberikan sisipan cerita
dengan menambahkan dua tokoh sentral, Maneka dan Satya.
Mursadi (Ibid) juga menyebutkan bahwa meski terdapat perbedaan jalan
cerita, antara satu versi dengan versi yang lain, tetap saja inti dari kisah Ramayana
(karya Walmiki) tak terkurangi. Pesan dan nilai pelajaran itu, setidaknya bentuk
keteladanan tokoh utama yang bisa dijadikan cermin dalam menjalani hidup ini.
Sebab, di tengah ”krisis” keteladanan sekarang ini, figur Rama, Sinta (juga Maneka
dan Satya) telah memberikan gambaran akan sifat-sifat seorang ksatria, raja dan istri
11
yang baik. Apalagi, ”gelembung kejahatan” Rahwana —meminjam istilah Seno—
sampai kapan pun membumbung terus sebelum bumi ini kiamat, dan tugas kesatria
adalah menumpas kejahatan, berlaku adil, dan bijak.
Widijanto (2007) dalam tulisannya yang berjudul Membongkar Mitos Wayang
Kitab Omong Kosong Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan bahwa pengarang
mencoba mengukuhkan kembali mitos pewayangan Ramayana sekaligus, pada
beberapa hal, mencoba memberontak dan membongkar mitos dan nilai-nilai tentang
Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat.
Dalam tulisan Widijanto juga dipaparkan keberpihakan Seno kepada kaum
yang selama ini dipandang sebelah mata, yakni mereka yang tidak pernah dicatat
bahkan cenderung disepelekan, diabaikan, dan dipinggirkan. Widijanto
mengungkapkan bahwa munculnya tokoh baru, Satya dan Maneka, merupakan upaya
Seno untuk membongkar dan memberontak terhadap mitos pewayangan di Jawa.
Mitos pewayangan Jawa adalah kebudayaan ksatria, dalam arti bahwa konsep
manusia ideal dalam budaya wayang adalah satriya pinandita, cita-cita ksatria.
Munculnya tokoh Satya dan Maneka sebagai tokoh protagonis dari rakyat jelata yang
berhasil menyelamatkan kebudayaan dunia, maka robohlah mitos kebudayaan satriya.
Para satriya tak lebih mulia dari rakyat jelata. Rama, Laksmana, Wibisana, Sugriwa,
tak lebih luhur, lebih unggul, dan lebih mulia dibanding Satya anak petani atau
Maneka seorang pelacur.
Narendra (2007) dalam tulisannya yang berjudul Pengetahuan, Paranoia
Masa Depan dan Omong Kosong Tentang Dunia, Membaca Kitab Omong Kosong
12
Karya Seno Gumira Ajidarma mengatakan bahwa karya Seno ini seolah
merupakan penjelasan pasca-Ramayana. Dengan demikian, pertanyaan tentang
bagaimana kisah Ramayana berlanjut seolah terjawab. Pengetahuan yang dicari
dalam Kitab Omong Kosong disebut Narendra pada praktiknya menjadi proyeksi
pemenuhan hasrat manusia, yang disalahfungsikan sebagai alat untuk merayu,
mengorupsi, menipu, serta menggoda. Hal itu akan terjadi jika pengetahuan
dihubungkan secara intim dengan hasrat. Namun hasrat manusia tidak selalu “jahat”.
Terkadang hasrat itu muncul semata karena keingintahuan manusia akan masa
depannya. Suatu hal yang tubuh manusia tak sanggup lakukan adalah mengetahui
masa depan dan hal itulah yang menjadi kelemahan utama tubuhnya, dengan berbagai
kelengkapan indera yang ada. Pengetahuan seolah menjadi jawaban manusia
untuk mengatasi tubuhnya. Lebih lanjut lagi, semakin manusia mengekplorasi
pengetahuan, semakin pula ia mengetahui bahwa masih sangat banyak hal yang
belum diketahuinya, dan semakin merasa terkurunglah ia dalam penjara tubuhnya.
Narendra (ibid) juga menyebut jika pada akhirnya pertanyaan manusia
sepanjang hayat tentang masa depan kembali pada “desire”, maka tidak heran jika
Kitab Keheningan yang menjadi bagian penutup Kitab Omong Kosong itu
hanya berisi lembaran kosong. Siklus paranoia masa depan, hasrat dan pengetahuan
akan terulang. Pengetahuan diciptakan manusia untuk omong kosong belaka. Berarti,
manusia menjadi paranoid oleh omong kosongnya sendiri.
13
Dengan demikian, dari paparan penelitian yang pernah dilakukan terhadap
novel KOK di atas, topik penelitian mengenai ideologi pengarang belum pernah
dibahas.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Alur
Nurgiyantoro (1998: 111) mengatakan bahwa untuk menyebut plot,
secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan
cerita. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1998:113) mengemukakan bahwa plot
adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Plot sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan
waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu,
dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian-
kejadian berikutnya dan barangkali ada pula akhirnya. Namun, plot sebuah
karya fiksi sering tak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis dan
runtut, melainkan penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian
yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengakhiri
dengan kejadian awal dan kejadian (ter-)akhir. Dengan demikian, tahap awal
cerita tidak harus berada di awal cerita atau di bagian awal teks, melainkan
dapat terletak di bagian mana pun.
14
Menurut Aristoteles untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end). 1. Tahap awal Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap
perkenalan. Pada tahap awal cerita, di samping untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan.
2. Tahap tengah Tahap tengah cerita yang dapat juga dicebut sebagai tahap
pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal, konflik atau pertentangan yang terjadi antar tokoh cerita, antara tokoh (-tokoh) protagonist dan tokoh (-tokoh) antagonis, atau keduanya sekaligus. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, ya itu ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi.
3. Tahap akhir Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut tahap peleraian,
menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. (dalam Nurgiyantoro, 1998:142-146)
Tasrif membedakan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut. 1. Tahap situation: tahap penyituasian 2. Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik 3. Tahap rising action: tahap peningkatan konflik 4. Tahap climax: tahap klimaks 5. Tahap denouement : tahap penyelesaian
(dalam Nurgiyantoro, 1998:149-150)
Nurgiyantoro (1998:153) mengemukakan bahwa pembedaan plot
berdasarkan kriteria urutan waktu, secara teoritis dapat dibedakan plot ke
dalam dua kategori: kronologis dan tak kronologis. Yang pertama disebut
sebagai plot lurus, maju, atau dapat juga dinamakan progresif, sedang yang
15
kedua adalah sorot-balik, mundur, flash back, atau dapat juga disebut sebagai
regresif.
Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang
dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh
(atau:menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau,
secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan,
pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir
(penyelesaian), sedangkan urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi
yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap
awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan
mungkin dari tahap tengah atau bahkan akhir, baru kemudian tahap awal
cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 1998:154).
1.6.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 1988: 165).
Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 1998:165) penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
cerita. Sudjiman (1988:23) mengatakan bahwa penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh disebut penokohan.
16
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian,
tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam
tiap halaman buku cerita yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998: 176).
Pada novel-novel lain, tokoh utama tidak muncul dalam setiap
kejadian, atau tak langsung ditunjuk dalam setiap bab, namun ternyata dalam
kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan, atau dapat dikaitkan, dengan
tokoh utama (Nurgiyantoro, 1998: 177).
Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan
dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara
keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan
konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Tokoh utama dalam
sebuah novel, mungkin lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak
(selalu) sama (Nurgiyantoro, 1998: 177).
1.6.3 Pengarang Implisit
Penulis nyata adalah pengarang sendiri yang terlibat dan bertanggung
jawab terhadap kalimat-kalimat yang diajukan dalam karyanya. Jadi kalimat-
kalimatnya sesuai dengan intensi pengarang itu sendiri, namun intensi itu
bukanlah rencana yang dipikirkan sebelum penciptaan/motif yang mendorong
17
penulisan, melainkan apa yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan
dalam karyanya (Taum, 1997:29).
Implied author atau pengarang adalah seseorang yang ada di balik
pengarang dan dipakai pada saat menulikan karyanya (Taum, 1997: 28). Yang
dimaksud implied author ialah sebuah instansi yang tersembunyi diandaikan
oleh erita dan yang lain daripada juru cerita. Setiap cerita merupakan hasil
sebuah seleksi, evaluasi dan merupakan perpaduan dari unsur-unsur sosial,
moral dan emosional. Implied author berdiri di tengah-tengah si juru cerita
dan pengarang sendiri. Juga disebut persona poetica yang lain dari persona
practica (pengarang sendiri) (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986: 64).
1.6.4 Ideologi
Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama
struktur kekuasaan,sedemikian rupa sehingga orang menganggapnnya sah,
padahal tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena
memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki
legitimasi (Magnis-Suseno,2001: 22)
Gramsci menyebut ideologi dalam pengertian yang luas adalah suatu
konsepsi mengenai dunia yang secara implisit memanifestasikan dirinya
dalam seni, hukum, aktivitas ekonomi, dan dalam kehidupan individual
maupun kolektif. Fungsi dari ideologi adalah pemeliharaan persatuan blok
sosial yang menyeluruh, sebagai penyemen dan alat pemersatu antara
18
kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan (Pujiharto 2001:
9).
Lebih lanjut Pujiharto (2001: 9) menyatakan bahwa dalam praktiknya,
ideologi ini dijabarkan kaum intelektual dalam rangka mengemban tugas
melaksanakan reformasi moral dan intelektual. Tugas yang dilaksanakan itu
bukan dalam ruang kosong. Sifat perjuangan ideologi tidaklah sepenuhnya
dari permulaan. Perjuangan itu adalah proses transformasi beberapa unsur
untuk disusun kembali dan dikombinasikan dengan cara yang berbeda dengan
inti baru atau prinsip pokok. Sistem ideologi tidak bisa dibuat sekali jadi
sebagai jenis konstruksi intelektual yang dikerjakan oleh para pemimpin
partai politik. Ia harus dihadapkan dan secara bertahap dibangun melalui
perjuangan politik dan ekonomi dan karakternya akan bergantung pada
hubungan berbagai kekuatan yang ada selama ia dibangun.
Menurut arti yang umum ideologi menunjukkan ide- ide yang
mendasari sebuah sistem filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok
tertentu. Dalam kalangan Marxis ideologi berarti sejumlah keyakinan yang
dianut oleh suatu golongan tertentu dan yang dianggap tidak perlu dibuktikan
lagi, tetapi yang sebetulnya menghalalkan kepentingan golongan tertentu itu.
Di sini ideologi berarti ideologi yang sedang berkuasa tetapi yang keliru dan
menyesatkan. Alam pikiran yang ditentukan oleh hubungan ekonomis
mempergunakan sarana-sarana ideologis yang melestarikan dan meneguhkan
ideologi tertentu itu. Adapun sarana-sarana itu misalnya tata hukum, sistem
19
pendidikan, kaidah-kaidah dalam dunia seni, norma estetik yang dianut, dan
sebagainya. Citra manusia ideal yang dianut Cicero dan kaum Humanis juga
mengandalkan suatu ideologi. Sastra pun dapat dijadikan sarana untuk
mewujudkan atau mencerminkan suatu ideologi. Tetapi sebaliknya, demikian
kaum Marxis, sastra dapat juga menelanjangi ideologi yang sedang berkuasa.
Tetapi mau tidak mau kritik ideologi juga berpangkal pada suatu ideologi
tertentu (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986: 62).
Menurut Magnis-Suseno (1992: 43), ideologi dimaksud sebagai
keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah
gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai
suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya
dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk
hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi
mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan
masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat
menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah
persoalan dan harus berbuat apa untuk menyikapi persoalan tersebut. Dalam
konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali
diabaikan.
Ideologi merupakan pandangan dunia (world view) yang, menurut
Geertz, berupa konsepsi-konsepsi tentang alam, diri, dan masyarakat. Ideologi
atau pandangan dunia inilah yang menjadi latar belakang bagi sudut pandang
20
yang diambil tokoh-tokoh cerita untuk melihat di dalam atau di luar dirinya
(Budiman, 1994: 46).
Berdasarkan berbagai teori mengenai ideologi yang telah diungkapkan
di atas, penulis membatasi pengertian ideologi sebagai sistem kepercayaan,
kerangka berpikir, pandangan dunia yang menjadi acuan seseorang dalam
menerangkan setiap permasalahan hidup.
1.6.5 Pendekatan ekspresif
Pendekatan ekspresif menurut Ratna (2004:68) lebih banyak
memanfaatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas
pengarang sebagai subjek pencipta, jadi sebagai data literer. Menurut Taum
(1997: 28) teori ekspresif adalah pendekatan yang digunakan dalam
berpedoman atau berpegang pada biografis pengarang.
Kritik ekspresif (expressive criticism) memandang karya sastra
terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini
mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau
ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja
dengan persepsi-persepsinya, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya
(Pradopo, 1988: 32).
Ekspresivisme pertama kali dipelopori oleh Longinus. Ia menyatakan
bahwa ciri khas dan ukuran seni sastra yang bermutu adalah keluhuran (yang
luhur, agung, unggul, mulia) sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan
21
pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain karya yang mengekspresikan
daya wawasan yang agung, emosi yang mulia, retorika yang unggul,
pengungkapan dan penggubahan yang mulia (Ibid).
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik catat atau library search. Teknik catat atau library search dilakukan
dengan mempelajari berbagai literasi mengenai topik yang diangkat. Teknik
catat atau library search yaitu teknik penyediaan data dengan cara mencatat
data-data yang dijadikan objek penelitian. Menurut Ratna (2004: 39)
penelitian ini terbatas pada pemanfaatan teknik kartu data. Pelaksanaannya
yaitu dengan menelaah data-data kepustakaan yang berhubungan dengan
objek penelitian ini, yaitu ideologi pengarang dalam novel KOK karya Seno
dengan menggunakan pendekatan ekspresif.
1.7.2 Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekspresif dan pendekatan
struktural. Pendekatan ekspresif untuk menganalisis pengarang implisit dan
ideologi pengarang dalam KOK. Pendekatan struktural yang digunakan hanya
untuk telaah alur, tokoh dan penokohan. Telaah alur, tokoh dan penokohan
22
melalui pendekatan struktural digunakan untuk mendeskripsikan alur, tokoh
utama, dan penokohan tokoh utama dalam KOK.
1.7.3 Metode
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analitik. Menurut
Keraf (1981) metode analisis merupakan cara membagi suatu objek yang
berupa gagasan-gagasan, organisasi, makna struktur maupun proses ke dalam
komponen-komponennya. Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu
pokok permasalahan agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat.
Sedangkan metode deskriptif adalah metode melukiskan sesuatu yang
digunakan untuk memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang
dilakukan.
1.8 Sumber Data
Novel : Kitab Omong Kosong
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma
Tahun terbit : 2004
Tebal buku : vii + 623
Cetakan : Pertama
Penerbit : Bentang
23
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Sistematika penyajian dalam
penelitian ini sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi analisis alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam
novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.
Bab III berisi analisis pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong
karya Seno Gumira Ajidarma.
Bab IV berisi analisis ideologi pengarang yang terdapat dalam novel Kitab
Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan hasil analisis data dan
saran. Bagian ini diakhiri dengan daftar pustaka.
24
BAB II
ALUR, TOKOH UTAMA, DAN PENOKOHAN TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
Alur dan tokoh merupakan bagian penting dalam sebuah cerita. Melalui
tokohlah sebuah cerita dapat disampaikan kepada para pembaca. Melalui watak dan
kebiasaannya, tokoh meleburkan diri dalam penceritaan. Melalui tokoh-tokoh pula,
seorang pengarang menyampaikan ide dan gagasannya. Berbagai hal yang mewakili
pikiran pengarang disampaikan melalui tokoh-tokoh dalam karyanya. Melalui alur,
dapat dilihat perkembangan karakter tokoh. Perkembangan alur membuat tokoh
memiliki cara berpikir yang juga ikut berkembang.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998: 165) tokoh adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau dalam drama yang oleh pembaca
akan ditafsirkan secara moral. Penafsiran ini cenderung melihat pada ekspresi,
ucapan, dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh. Menurut Sudjiman (1988: 30)
sesungguhnya pengaluran adalah pengaturan urutan penampilan peristiwa untuk
memenuhi beberapa tuntutan. Dengan demikian peristiwa-peristiwa dapat juga
tersusun dengan memperhatikan hubungan kausalnya (sebab-akibat).
Tokoh utama merupakan pemegang peranan paling penting dalam sebuah
cerita. Kehadiran tokoh utama menjadikan sebuah cerita lebih hidup dan penuh
makna. Melalui tokoh-tokoh utama pula konflik berkembang. Terjadinya interaksi
25
antara tokoh utama dengan tokoh lain serta lingkungannya dalam perkembangan alur
membuat seorang tokoh memiliki pola pikir atau pandangan tertentu dalam
memahami masalah-masalah kehidupan. Interaksi tokoh utama dengan tokoh lain
maupun lingkungannya terjalin dalam satu kesatuan alur.
Analisis ideologi pengarang dalam KOK dapat dilakukan setelah melihat
bagaimana alur, tokoh utama dan penokohan kelima tokoh utama, yaitu Rama,
Maneka, Satya, Hanoman, dan Walmiki. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data
tentang cara berpikir, karakter dan ideologi para tokoh utama melalui ekspresi,
ucapan, dan tindakan yang dilakukannya. Melalui tokoh dan penokohan dapat dilihat
bagaimana tokoh-tokoh utama menuangkan ideologi ataupun pemikirannya. Melalui
penelusuran alur, dapat dilihat bagaimana perkembangan pola pikir maupun karakter
para tokoh utama.
2.1 Alur
KOK beralur maju. Cerita dalam KOK disusun urut dari awal sampai akhir.
Peristiwa dalam KOK disusun secara kronologis. Di bagian tengah novel ini,
diselipkan beberapa dongeng dan cerita yang dituturkan Satya. Akan tetapi, kehadiran
cerita lain ini tidak mengubah alur KOK.
KOK dibagi dalam tiga bab. Bab I Persembahan Kuda, bab II Perjalanan
Maneka, bab III Kitab Omong Kosong. Tiap bab mempunyai fokus penceritaan yang
berbeda-beda, tetapi saling berhubungan. Bab I menceritakan riwayat Rama dan Sinta
pasca-penculikan Sinta oleh Rahwana. Di sini juga diceritakan bagaimana Rama
26
meragukan kesetiaan Sinta. Sinta meyakinkan Rama dan seluruh rakyat Ayodya
bahwa dirinya masih suci dan cintanya tetap kepada Rama. Akan tetapi, rakyat
Ayodya tidak mempercayainya. Rama yang masih mencintai Sinta akhirnya
terpengaruh omongan rakyatnya, dan ia memilih keinginan rakyatnya untuk mengusir
Sinta. Cinta dan kuasa, dilema bagi Rama, tetapi kuasalah akhirnya yang dipilih oleh
Rama.
Rama yang mulai terpengaruh Gelembung Rahwana melakukan Persembahan
Kuda untuk menaklukkan anak benua. Persembahan Kuda adalah upacara memantrai
kuda, kemudian melepaskan kuda tersebut lari sebebasnya. Daerah-daerah yang
dilewati oleh kuda yang telah dimantrai tersebut harus tunduk dan takhluk pada
negara atau raja yang melakukan Persembahan Kuda. Akibatnya, hancurlah semua
wilayah yang dilalui oleh pasukan tersebut. Kuda yang digunakan untuk
Persembahan Kuda tersebut berasal dari rajah di punggung seorang pelacur. Bab ini
juga menceritakan perpecahan yang mulai terjadi antara Rama dan Hanoman. Bab ini
berjalan terus hingga pasukan Ayodya dan balatentara Gua Kiskenda dikalahkan oleh
dua orang anak kembar berusia belasan tahun bernama Lawa dan Kusa yang tak lain
adalah anak kandung Rama. Bab ini ditutup dengan kematian Rama dan Sinta.
Bab II dimulai dengan perkenalan pelacur bernama Maneka yang mempunyai
rajah kuda yang digunakan dalam Persembahan Kuda. Maneka bertemu Satya, anak
laki- laki berusia 16 tahun yang menjadi salah satu korban kekacauan Persembahan
Kuda. Ditemani Satya, Maneka melakukan perjalanan mencari Walmiki. Mereka
27
berdua melakukan petualangan berkeliling negeri untuk mencari Walmiki sang
pendongeng yang konon sang pembuat cerita Ramayana.
. Bab ini berisi perjuangan Maneka dan Satya, dua orang anak muda yang
berusaha mengubah nasibnya. Satya menemani Maneka yang ingin menggugat
Walmiki atas nasibnya yang malang. Dalam perjalanannya, mereka mengalami
banyak petualangan. Selama petualangan itulah lebih banyak kisah pewayangan
diungkap. Selama perjalanan ini pula mereka menemukan sebuah misi baru, yaitu
mencari Kitab Omong Kosong yang terbagi menjadi lima bagian. Bab ini ditutup
dengan ditemukannya bagian pertama Kitab Omong Kosong.
Bab III dimulai dengan pertemuan Maneka-Satya dengan Hanoman. Setelah
melalui perjuangan panjang keduanya berhasil mencapai Gunung Kendalisada dan
bertemu Hanoman yang menyimpan Kitab Omong Kosong. Selama pertemuan itu,
Hanoman memberi petunjuk tentang pencarian Kitab Omong Kosong. Setelah itu
Satya dan Maneka melanjutkan perjalanan untuk mencari bagian-bagian lain dari
Kitab Omong Kosong. Bab ini menceritakan penemuan-penemuan bagian Kitab
Omong Kosong oleh Satya dan Maneka. Bab ini ditutup dengan kematian Hanoman
dan kelanjutan hidup Maneka-Satya.
Bagian awal cerita dimulai dengan peristiwa Persembahan Kuda yang
dilakukan Rama sebagai Raja Ayodya untuk menaklukkan anak benua. Awal cerita
dimulai dengan kegemparan yang diakibatkan balatentara Ayodya dan Goa Kiskenda
yang menghancurkan dan memusnahkan apa pun yang mereka lewati. Negara yang
tunduk dan mau menyerah akan aman, tetapi negara yang menolak untuk tunduk pada
28
Ayodya akan dibumihanguskan. Peristiwa ini merupakan tahap pengenalan dalam
KOK, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.
(1) Dari atas bukit, anak-anak itu melihat seekor kuda putih berlari melintasi padang rumput (Ajidarma, 2004: 9)
(2) Balatentara yang membuat bumi berge tar itu menyapu para jagabaya dan penduduk desa bagaikan air bah. Orang-orang itu mati dilindas kaki-kaki kuda tanpa sempat berteriak lagi, yang masih berdiri dihujam sekian banyak tombak begitu rupa sehingga tubuhnya terpancang tidak menyentuh bumi. Sejuta pasukan kuda yang perkasa masuk desa, memburu siapa pun yang masih berlarian dengan panah, tombak, maupun kelewang. Tanpa ampun desa itu dibakar. Rumah-rumah diambrukkan, patung-atung dilempar ke dalam api, tempat pemujaan dihancurkan, segalanya dilenyapkan sampai tidak ada lagi yang tersisa. Sapi, kambing, kucing, dan ayam pun dimusnahkan. Ketika desa itu mereka tinggalkan, semuanya sudah rata dengan tanah. (Ajidarma, 2004: 13)
Cerita berlanjut dan dikisahkan Shinta yang terlunta- lunta di hutan setelah
dirinya pergi dari Ayodya karena kesetiaannya pada Rama diragukan rakyat Ayodya
dan oleh Rama sendiri. Sinta yang sedang mengandung putra Rama, menjadi
pemaisuri yang terusir dari negerinya sendiri. Ia tersaruk-saruk di hutan, meratapi
nasibnya seperti telihat dalam kutipan (3). Para siluman pun merasa iba dengan
keadaan Sinta yang sangat menyedihkan itu. Mereka membawa Sinta keluar dari
hutan dan meletakkannya di rumah seorang pertapa bernama Walmiki. Bagian ini
mulai menampilkan konflik
(3) Dari hari ke hari, dari malam ke malam, perempuan itu berjalan tersaruk-saruk kadangkala bahkan merangkak-rangkak dan merayap-rayap. (Ajidarma, 2004: 23)
(4) Maka para siluman yang tidak memiliki tubuh, tetapi memiliki hati itu berusaha meringankan penderitaannya. Ketika perempuan itu tertidur, mereka memindahkannya keluar dari rimba. Perempuan itu merasa seperti bermimpi ketika merasa dirinya
29
terbang melayang menembus rimba raya. Para siluman meletakkannya di tepi sebuah sungai di luar rimba, tak jauh dari pondok seorang pertapa. (Ajidarma, 2004: 33)
Konflik berlanjut ketika Hanoman dan Rama mulai berselisih paham.
Hanoman yang tidak setuju dengan tindakan Rama mengusir Sinta dan melakukan
Persembahan Kuda, memutuskan untuk pergi dari Ayodya seperti terlihat dalam
kutipan (5). Pada bagian awal cerita juga mulai ditampilkan tokoh Satya dan Maneka
sebagai korban Persembahan Kuda. Pada bagian ini juga mulai diceritakan
pengenalan konflik pada diri Satya dan Maneka.
(5) ”Rama Raja Ayodya, Rama Sang Titisan, ketahuilah aku Hanoman tidak akan datang. Sejak semula sudah kukatakan seluruh Ayodya bersalah ketika kesucian Sinta dipersoalkan. Aku sendiri yang membawa cincin kesetiaan itu ke Alengka. Kita semua sudah membuktikan sekali lagi kesucian seorang perempuan, dengan pembakaran. Apalagi yang harus dibuktikan? Lagi pula, di dalam cinta, kesucian tidak usah dipersoalkan...” (Ajidarma, 2004: 76)
Konflik berlanjut ketika pasukan Ayodya dan Goa Kiskenda mendapat lawan
yang tangguh. Mereka adalah Lawa dan Kusa yang tak lain putra kembar Rama dan
Sinta. Lawa dan Kusa yang berhasil mengalahkan pasukan Ayodya dan Goa
Kiskenda membuat Rama penasaran dan memanggil mereka. Saat keduanya
menembangkan Ramayana, seperti yang diperintahkan Walmiki, Rama menyadari
bahwa mereka adalah putranya dan berniat memboyong Lawa, Kusa dan Sinta
kembali ke Ayodya. Rama yang berniat membawa Sinta serta kedua putranya
kembali ke Ayodya, lagi- lagi melakukan kesalahan fatal. Rama kembali
30
mempertanyakan kesucian Sinta. Sinta marah sehingga dia moksa ke dalam bumi.
Rama pun akhirnya menemui ajalnya dan moksa.
(6) Ketika melihat Lawa dan Kusa, Sugriwa merasa sangat kecewa. Balatentara Ayodya dikalahkan dua remaja? (Ajidarma, 2004: 70)
(7) Di istana Ayodya, Lawa dan Kusa menembangkan Ramayana. (Ajidarma, 2004: 79)
(8) Bumi bergetar dan awan di langit berputar-putar setelah Sinta mengucapkan sumpahnya. Tanah di bawahnya merekah dan Sinta melayang ke bawah tanpa suara. (Ajidarma, 2004: 89)
Cerita beralih pada Maneka, seorang pelacur yang malang. Maneka memiliki
rajah kuda di punggung. Rajah kuda itu adalah kuda yang digunakan Rama untuk
Persembahan Kuda. Setelah Persembahan Kuda berakhir, kuda itu kembali ke
punggung Maneka. Akibatnya, seisi kota, pria maupun wanita, ingin tidur dengan
Maneka. Maneka mengalami konflik batin karena hal tersebut. Dia sebenarnya tidak
ingin menjadi seorang pelacur. Karena ayahnyalah dirinya menjadi pelacur. Maneka
dijual ke rumah bordil dan dijadikan pelacur karena ayahnya sangat miskin dan
membutuhkan uang. Maneka semakin tersiksa ketika penduduk kota berebut ingin
tidur dengannya, hanya karena dirinya memiliki rajah kuda yang digunakan untuk
Persembahan Kuda.
(9) Semenjak peristiwa itu kehidupan Maneka penuh dengan penderitaan. Hampir semua pria maupun wanita di kota itu ingin tidur dengan Maneka. Maneka sang pelacur muda yang penuh pesona kini menjadi perempuan yang paling menderita. (Ajidarma, 2004: 105)
Karena konflik batin yang begitu menyiksanya, Maneka memutuskan untuk
melarikan diri dari rumah pelacuran itu. Ditemani Sarita, sahabatnya dan seorang pria
bersorban yang tak dikenalnya, Maneka berhasil lari. Maneka berhasil lolos dari
31
kejaran pemilik rumah bordil, tetapi Sarita dan pria bersorban mati dan menjadi
korban. Maneka bertemu Satya yang menyelamatkannya dari derasnya arus sungai.
Maneka memutuskan untuk mencari Walmiki, empu yang meriwayatkan Ramayana,
dan berniat menggugat jalan cerita yang telah dituliskan untuknya. Satya mulai
mengalami konflik batin karena dirinya jatuh cinta pada Maneka, tetapi Maneka tidak
menanggapinya. Karena rasa sayangnya pada Maneka, Satya memutuskan untuk
menemani Maneka melakukan perjalanan mencari Walmiki.
(10) Dari jendela terlihat sesosok tubuh semapai melompat langsung masuk ke dalam keranjang di punggung keledaiitu. Kemudian muncul sesosok lagi, juga semampai, lantas masuk juga ke dalam keranjang. Lelaki bersorban itu lantas menutupi keranjang-keranjang itu dengan tumpukan sabut kelapa. (Ajidarma, 2004: 110)
(11) ”Jadi kau mau mencari Walmiki ke mana pun dia pergi?” ”Ya, aku ingin mengubah nasib yang telah ditulisnya untukku.”
(Ajidarma, 2004: 123-124) (12) Satya yang sejak semula telah jatuh cinta kepada Maneka
memaksakan diri untuk mengantarnya. (Ajidarma, 2004: 125)
Konflik berlanjut ketika Satya dan Maneka kebingungan ke mana harus
mencari Walmiki. Keduanya kemudian menemukan petunjuk mencari Walmiki ke
arah senja. Akan tetapi, selama perjalanan mereka, keduanya selalu berselisih jalan
dengan Walmiki. Ketika keduanya tiba di suatu tempat, ternyata Walmiki telah
berada di tempat tersebut sebelumnya. Selama dalam perjalanan mencari Walmiki,
konflik batin terus melingkupi Satya dan Maneka. Satya yang menjadi korban
Persembahan Kuda semakin sedih dan perih hatinya menyaksikan kehancuran dan
kerusakan yang diakibatkannya. Satya yang memendam rasa cintanya pada Maneka,
semakin bertambah besar cintanya, tetapi cintanya tak berbalas. Sementara itu,
32
Maneka mengetahui perasaan yang dipendam Satya untuknya, tetapi masa lalunya
tidak memberinya celah untuk menerima cinta seorang pria.
(13) ”Inilah jalan ke arah senja, jika kita masih mau mencari Walmiki.” (Ajidarma, 2004: 131)
(14) ”Lihat,” kata Satya, ”itu orang-orang yang kehilangan keluarganya. Tidak ada seorang pun di seluruh anak benua yang tidak kehilangan keluarganya karena Persembahan Kuda. Banyak keluarga yang habis musnah seluruhnya, meninggalkan rumah-rumah kosong.” (Ajidarma, 2004: 155)
(15) Maneka dengan segala kepahitan pengalamannya, tak pernah mampu mengarahkan perasaan dan pikiran ke arah percintaan. Sementara Satya, yang meskipun darah mudanya terkadang bergelora, dan sungguh memendam cinta diam-diam, sangat rapat menahan diri dan menjaga kepribadian.” (Ajidarma, 2004: 161)
Selama perjalanan, Satya banyak menuturkan cerita seperti kisah Lubdhaka,
Siwaratrikalpa dan lain sebagainya. Maneka sangat senang mendengarkan kisah-kisah
yang dituturkan Satya, sehingga Maneka selalu meminta Satya untuk mendongeng
untuknya. Maneka yang bodoh selalu ingin belajar membaca dan menulis, sehingga
dia tidak malu-malu meminta satya untuk mengajarinya. Konflik lain terjadi ketika
keduanya mulai kehabisan ongkos dalam perjalanan mencari Walmiki. Satya berhasil
bekeraja di sebuah perpustakaan sebagai penyalin buku. Tugasnya adalah menuliskan
kembali buku-buku yang masih tersisa setelah bencana Persembahan Kuda.
(16) Setelah menjadi asisten tukang martabak, kurir toko sepatu, dan asisten juru catat di pejagalan, Satya menjadi tim penyalin naskah di perpustakaan negara. (Ajidarma, 2004: 159)
(17) Maka, berceritalah Satya tentang Lubdhaka...(Ajidarma, 2004: 168)
Konflik meningkat ketika Satya dan Maneka bertemu seorang penunggang
kuda yang memberi mereka sebuah peta yang menunjukkan keberadaan sebuah kitab
33
yang menjadi rebutan yaitu Kitab Omong Kosong. Kitab Omong Kosong disebut-
sebut sebagai kitab yang berisi segala ilmu pengetahuan sehingga mampu
mengembalikan peradaban dan ilmu pengetahuan yang musnah akibat Persembahan
Kuda. Barangsiapa berhasil mendapatkan kelima bagian dari Kitab Omong Kosong,
dia akan mampu menguasai dunia. Maneka merasa bahwa mereka berdua harus
mencari kitab tersebut. Sementara itu, Satya mengingatkan Maneka untuk fokus ke
tujuan awal mencari Walmiki. Maneka bersikeras bahwa mencari kitab terlebih
dahulu, kemudian mencari Walmiki. Mereka pun memutuskan untuk mencari kelima
bagian Kitab Omong Kosong, walaupun arah yang mereka tempuh berlawanan
dengan arah perginya Walmiki.
(18) ”Tanda-tanda silang ini pasti suatu tempat yang penting, kalu tidak mengapa ia harus menyelamatkannya sampai kehilangan nyawa?” Satya bertanya-tanya. ”Ke selatan katanya,” Maneka menyahut, ”apa maksudnya?” ”Mungkin tempat-tempat ini ada di arah selatan.” ”Mungkin bukan selatan, tetapi orang yang harus menerima peta ini ada di selatan.” ”Mungkin bukan semuanya, tapi ia meminta kita membawanya ke selatan.” ”Tujuan kita ke arah matahari terbenam, apakah kita akan berbelok ke selatan?” (Ajidarma, 2004: 194-195)
Masalah kembali muncul karena ternyata Kitab Omong Kosong disimpan
oleh Hanoman di Gunung Kendalisada, padahal menurut cerita gunung tersebut
hanya ada dalam dongeng. Awalnya meraka ragu bisa menemukan tempat tersebut,
tetapi Satya dan Maneka memantapkan langkah dan tetap mencari kitab tersebut.
Dalam perjalanan, Satya menceritakan riwayat Hanoman sang wanara.
34
(19) ”Kitab itu disimpan oleh Sang Hanoman yang bijaksana. Persoalan yang muncul kemudian, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana Sang Hanoman bersemayam.”
”Bukankah ia tinggal di Gunung Kenalisada?” ”Memang, tapi di manakah Gunung Kendalisada itu? Kita hanya
mengetahui nama gunung yang menjadi tempat pertapaannya itu dari cerita Walmiki. Dalam kenyataannya, tidak seorang pun pernah mengetahui adanya Gunung Kendalisada itu.” (Ajidarma, 2004: 201)
(20) Meskipun Maneka tahu betapa kebenaran perkara ini sulit diperiksanya, ia merasa nyaman dan bahagia membuat peta-peta perjalanan yang akan ditempuhnya sendiri, dengan segala risiko yang siap dihadapinya. Walmiki pergi ke arah matahari terbenam, ia pergi ke selatan. (Ajidarma, 2004: 207)
(21) Maka, sembari bunyi genta sapi Benggala itu terdengar kluntang-kluntung, Satya bercerita... (Ajidarma, 2004: 209)
Bagian yang menceritakan riwayat Hanoman ini beralur mundur karena cerita
kembali ke masa sebelum Persembahan Kuda dan konflik antara Rama dan Hanoman
terjadi. Dikisahkan Hanoman yang perkasa berusaha membebaskan Sinta dari tangan
Rahwana. Hanoman berhasil mengobrak-abrik dan membakar Alengka serta
membawa Sinta kembali ke Ayodya. Akan tetapi, Rama justru meragukan kesetian
dan kesucian Sinta.
(22) Hanoman terbang membawa sepotong kayu yang menyala, sisa rumah yang belum terbakar,atau masih akan lama terbakarnya, disulut seperti menyulut sumbu yang mudah terbakar. Alengka betul-betul terbakar, api mennari-nari menjilat langit, Hanoman berkelebat ke sana kemari dengan ganas. (Ajidarma, 2004: 279)
Cerita kembali pada Satya dan Maneka. Konflik semakin meningkat ketika
Maneka diculik oleh bandit-bandit Gurun Thar. Satya tidak menyadari saat Maneka
dibawa lari karena dirinya sedang tertidur lelap. Para bandit Gurun Thar ini berniat
menjadikan Maneka sebagai korban persembahan agar suku mereka kembali
35
berkuasa. Syarat agar suku mereka bisa kembali berkuasa adalah dengan
mengorbankan seorang perempuan yang memiliki rajah kuda di punggung yang
digunakan untuk Persembahan Kuda. Maneka sangat ketakutan seorang diri berada di
tengah-tengah bandit. Dirinya kembali menyesalkan rajah kuda yang dimilikinya.
Karena rajah kuda itulah dirinya kembali mengalami peristiwa yang membuatnya
sengsara. Ketika Maneka hampir dibunuh untuk dijadikan korban persembahan,
Hanoman datang menolongnya.
(23) Maneka dibekap dengan tangan. Setelah itu jalan darahnya ditotok, sehingga ia menjadi lumpuh. Ia masih sadar,bisa berpikir, dan melihat semuanya, tapi terkulai seperti seonggok karung, tidak bisa berkata-kata. Sosok-sosok berbaju hitam seperti sosok yang memanggulnya itu berkelebat cepat di antara semak belukar dan pepohonan yang terdapat di tepi danau. (Ajidarma, 2004: 301)
(24) ”Saudara-saudaraku, kita akan menguliti punggung perempuan ini, memajang gambar kuda itu di kuil pemujaan kita sebagai tolak bala, dan mengubur perempuan ini hidup-hidup di puncak gunung, sebagai persembahan kepada para dewa!” (Ajidarma, 2004: 310)
(25) Sang Hanoman datang dari angkasa tepat pada waktunya. Pisau melengkung itu sudah terayun menuju punggung Maneka. (Ajidarma, 2004: 314)
Klimaks terjadi saat Hanoman mengubur semua orang Gurun Thar tersebut
dan menanamkan sebuah totem sebagai peringatan tentang orang jahat yang
terhukum. Dengan kemarahan yang luar biasa, Hanoman menghukum semua orang
Gurun Thar tanpa ampun.
(26) Mereka melepaskan pisau-pisau terbang mereka, namun Hanoman cukup mengibaskan tangan untuk menepisnya.
”Laknat! Nyahlah Kalian!” Hanoman menjejakkan kakinya ke bumi dan melesaklah tanah
tempat berpijak orang-orang itu dan amblaslah orang-orang
36
biadab itu ditelan bumi. Lolongannya terdengar jauh dan tidak menerbitkan rasa iba. Tiga ratus manusia, termasuk perempuan dan kanak-kanak yang berkemungkinan besar menjadi iblis pengacau dunia terkubur seketika. Lubang yang direncanakan untuk mengubur Maneka masih terbuka. Hanoman mengangkat tangannya dan tertanamlah sebuah totem di lubang itu, tinggi menjulang di puncak bukit, berkisah tentang 300 manusia jahat yang terhukum. (Ajidarma, 2004: 315)
Sementara itu, Satya kebingungan mencari Maneka. Satya mengikuti jejak
Maneka, menyusuri lembah, bukit, dan sungai. Dalam pencariannya Satya tiba di
sebuah desa yang mengetahui kisah bandit Gurun Thar yang menculik Maneka. Satya
tersentak karena mengetahui bandit-bandit tersebut berniat menjadikan Maneka
sebagai korban. Dia kembali terkejut karena ternyata mereka mencari perempuan
berajah kuda untuk dijadikan korban berdasarkan cerita Walmiki. Tanpa disengaja
Satya berhasil bertemu Walmiki di pasar. Satya pun mulai bercerita tentang Maneka
yang ingin menuntut nasibnya pada Walmiki sang penulis cerita. Walmiki terharu
dengan kisah Satya, padahal dirinya sendiri pun lupa telah menuliskan kisah yang
begitu mengharukan tentang seorang pelacur bernama Maneka.
(27) Satya bangkit. Ia berjalan menuju ke tepi danau. Dengan segera tujuan hidupnya menjadi lebih pasti, yakni mencari Maneka sampai ketemu, meski ia tak tahu apakah mungkin. (Ajidarma, 2004: 322)
(28) Cerita Satya sangat lama, Walmiki bagaikan tenggelam dalam dunia yang dibangunnya sendiri. (Ajidarma, 2004: 365)
Cerita Satya tentang Maneka membuat Walmiki sadar betapa tiada berartinya
mereka yang kehidupannya sudah ditentukan dan takdirnya di dunia sudah
disuratkan. Walmiki berniat membebaskan mereka dari jalan cerita yang telah
ditulisnya dan memberi kebebasan pada tokoh-tokohnya untuk menulis jalan cerita
37
mereka sendiri. Walmiki pun menemui Maneka. Perbincangan antara Walmiki dan
Maneka berlangsung lama sekali karena banyak hal yang dijelaskan Maneka dan
Walmiki tidak mengerti. Maneka pun akhirnya berhasil undur diri dari cerita yang
ditulis Walmiki.
(29) ”Apakah engkau tidak pernah bahagia, anakku?” Maneka teringat Satya. Ia mengangguk. Walmiki melihat cahaya
kabahagiaan di matanya, dan tersenyum. ”Aku tidak bisa memberikan kebahagiaan itu,” katanya. Maneka ternganga. Engkau harus mencarinya sendiri.”
Maneka dan Satya akhirnya bertemu dan keduanya berhasil menemukan Kitab
Omong Kosong bagian pertama, Dunia Seperti Adanya Dunia. Setelah pertemuan
Walmiki dan Satya, ternyata Walmiki menuntun Satya agar dapat menemukan
Maneka dan demikian pula sebaliknya. Keduanya pun bertemu dalam suasana haru.
Dalam pertemuan itulah, tanpa sengaja keduanya berhasil menemukan Kitab Omong
Kosong.
(30) Maneka berlari ke luar dari hutan pinus dan melihat Satya. Ah, benar-benar Satya! Ia sudah mengira! Satya menunggang kuda zanggi yang perkasa dan sedang menuju ke arahnya. Keduanya makin dekat. Angin menghembuskan bau tanah basah. Satya melompat turun dan berlari. (Ajidarma, 2004: 378)
(31) Cahaya senja yang menipis berakhir pada sebuah keropak di atas kotak batu setinggi satu meter. Satya mendekatinya, dan membaca lembarannya yang pertama tanpa menyentuh.
Kitab Omong Kosong Bagian Pertama: Dunia Seperti Adanya Dunia. (Ajidarma, 2004: 381-382)
Klimaks menurun ketika keduanya bertemu Hanoman. Saat pertemuan dengan
Hanoman, Maneka dan Satya saling bertukar pikiran dengan Hanoman mengenai
38
banyak hal. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Gunung
Kedalisada dan mencari keempat bagian Kitab Omong Kosong yang lain.
(32) Untuk sesaat keduanya masih ragu. Rasanya mereka telah mengambil terlalu banyak hal tanpa pernah memberi. Namun kehadiran Sang Hanoman tidaklah seperti sosok yang membuat mereka harus takut berbuat salah, sinar matanya yang penuh kasih dan suaranya yang lembut dan halus, membuat Satya dan Maneka tidak ragu menyendok pasta kentang itu ke piring dan memakannya dengan lahap. (Ajidarma, 2004: 388)
(33) Mereka masih ingat apa yang dikatakan wanara berbulu putih keperak-perakkan itu, bahwa mereka harus mencari empat bagian Kitab Omong Kosong. (Ajidarma, 2004: 400)
Penyelesaian terjadi ketika Satya dan Maneka menemukan semua bagian
Kitab Omong Kosong dan berhasil memahami isinya. Bagian kedua adalah Dunia
Seperti Dipandang Manusia. Bagian ini mengatakan bahwa segala hal yang dikatakan
manusia hanya dapat berlaku dalam cara pandang manusia. Tanpa disadari manusia,
keberadaan sebuah benda sebenarnya tidak pernah ada. Dunia menjadi ada, karena
manusia memandangnya dan memahaminya. Dengan demikian sungguh sebuah
omong kosong bila manusia mengatakan adanya dunia ketika ia sendiri berada di
dalamnya dan masih berusaha memahaminya. Hal ini merupakan penjelasan dari
bagian ketiga, Dunia Yang Tidak Ada.
Manusia hanya dapat memahami cara penggambaran dunia itu untuk
menyatakannya ada. Jika mustahil manusia menyatakan dunia itu ada karena tidak
pernah sungguh-sungguh keluar dari dalamnya, maka dibuatlah cara untuk
memahami dunia tanpa harus keluar darinya. Melalui “omong kosong” ini maka
manusia menemukan kesahihan untuk menciptakan kembali dunia yang
39
sesungguhnya masih dipertanyakan ada atau tidaknya. Hal ini merupakan
penjelasan bagian keempat, Mengadakan Dunia.
Bagian terakhir Kitab Omong Kosong yaitu Kitab Keheningan. Kitab
Keheningan berupa sekumpulan halaman kosong, tanpa ada tulisan apa pun di
dalamnya. Ketika dunia telah dapat diadakan kembali maka tidak ada lagi apa-apa
yang dapat dilakukan terhadap dunia itu. Manusia dengan mudah dapat
menghancurkan dan membangunnya kembali.
(34) Maneka berhenti. Dari kantong dalam rompinya, Satya mengeluarkan sebuah bungkusan. Maneka membuka bungkusan itu. Ternyata sebuah keropak. Tak lain dan tak bukan Kitab Omong Kosong Bagian Dua: Dunia Seperti Dipandang Manusia. (Ajidarma, 2004: 450)
(35) Satya mulai mempelajari Kitab Omong Kosong Bagian Tiga: Dunia yang Tidak Ada. (Ajidarma, 2004: 520)
(36) Kitab Omong Kosong Bagian Empat berbicara tentang bagaimana mengadakan kembali dunia, bagaimanakah caranya dunia bisa ada? (Ajidarma, 2004: 582)
(37) Ia teringat Kitab Keheningan yang tidak berhuruf itu, dan seketika Satya mendapat pencerahan. (Ajidarma, 2004: 613)
Selesaian juga terjadi pada Walmiki. Tokoh-tokohnya bermunculan dan
menuntut untuk lepas dari cerita Walmiki. Walmiki pun memberi kebebasan pada
mereka untuk undur diri dan menulis cerita sendiri. Walmiki pun akhirnya
meninggal. Selesaian juga terjadi pada Hanoman. Hanoman yang sudah tua akhirnya
moksa.
(38) Setelah tiga hari tiga malam terus menerus diguyur hujan, Prabu Somli mati di bawah pohon. Tubuhnya kaku kedinginan. Walmiki menghela napas, apakah ia akan mati seperti Prabu Somali? Udara makin lama makin terasa dingin dank abut tidak juga berpendar. Walmiki sudah tidak bisa melihat lantai kapal,
40
juga tidak bisa lagi melihat tangannya sendiri, akan kemanakah ia kan pergi? (Ajidarma, 2004: 600)
(39) Setelah mati tubuh Hanoman menyatu dengan tanah. Ia moksa tetapi tidak mau bersatu dengan dewa. Hanya senja yang langitnya kemerah-merahan manjadi saksi kematiannya. (Ajidarma, 2004: 616)
2.2 Tokoh Utama
Tokoh-tokoh utama dalam KOK adalah Rama, Satya, Maneka, Hanoman dan
Walmiki. Pemilihan tokoh-tokoh utama sebagai bahan penelitian karena melalui
tokoh utamalah biasanya seorang pengarang menjelmakan diri. Melalui tokoh utama
pula pengarang bebas berbicara tentang hal-hal yang disetujui maupun ditolaknya.
Tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki intensitas kehadiran yang
tinggi dalam sebuah cerita. Tokoh utama selalu diutamakan penceritaannya. Tokoh
utama biasanya hadir dalam peristiwa-peristiwa penting dalam cerita dan mengambil
bagian dalam peristiwa tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh
Rama, Maneka, Satya, Hanoman, dan Walmiki digolongkan sebagai tokoh utama
karena mereka mengambil peranan penting dalam cerita. Tokoh-tokoh ini juga
mendapat porsi paling banyak dalam penceritaan.
Satya dan Maneka merupakan tokoh utama karena keduanya selalu hadir
dalam penceritaan. Satya dan Maneka diriwayatkan sejak awal dalam KOK sebagai
rakyat biasa yang menjadi korban Persembahan Kuda yang dilakukan Rama.
Keduanya ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar
cerita. Sejak bab I sampai bab III, Satya dan Maneka terus-menerus diceritakan.
41
Dilihat dari hubungannya dengan tokoh-tokoh lain, Satya dan Maneka tidak
berhubungan secara langsung dengan Rama, tetapi memiliki hubungan secara tidak
langsung. Walaupun memiliki hubungan secara tidak langsung dengan Rama, Satya
dan Maneka mendapat imbas dari Persembahan Kuda yang dilakukan Rama. Karena
kehancuran yang diakibatkannya, Satya dan Maneka bertekad mengubah nasib
mereka. Maneka bahkan memiliki rajah kuda yang digunakan Rama untuk
Persembahan Kuda.
Rama merupakan tokoh utama, karena kehadiran Rama dalam cerita adalah
sebagai penyebab segala kejadian lain dalam KOK. Walaupun Rama diceritakan pada
awal saja, tetapi dia adalah tokoh yang menentukan perkembangan plot. Persembahan
Kuda yang dilakukannya menyebabkan Satya dan Maneka menderita, Hanoman
bahkan meninggalkan Ayodya karena tidak sejalan lagi dengan Rama. Sinta yang
terlunta- lunta juga menjadi korban keragu-raguan Rama yang mulai terpengaruh
Gelembung Rahwana.
Hanoman juga menempati posisi sebaga i tokoh utama. Hanoman banyak
diceritakan dalam KOK, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun
tidak muncul dalam setiap bab, Hanoman merupakan tokoh yang berpengaruh besar
dalam perkembangan plot. Dialah pemegang Kitab Omong Kosong yang selama ini
menjadi rebutan. Hanoman dicari-cari orang banyak, termasuk Satya dan Maneka.
Walmiki merupakan tokoh utama. Walmiki adalah empu yang meriwayatkan
Ramayana. Kehadirannya dalam cerita tidak banyak, tetapi Walmiki merupakan
tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan plot.
42
2.3 Penokohan Tokoh Utama
Penokohan merupakan cara penggambaran tokoh baik secara fisik maupun
kejiwaannya. Penokohan menjadi salah satu cara pemaknaan tokoh dalam sebuah
karya fiksi. Melalui penokohan pula dapat diungkap sikap-sikap yang mendasari
suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang tokoh.
2.3.1 Maneka
Maneka adalah perempuan berusia 20 tahun. Saat usianya masih belia,
dia dijual ke rumah bordil. Semenjak itu Maneka menjalani kehidupan
sebagai pelacur. Secara fisik, Maneka digambarkan sebagai pelacur muda
yang cantik dan menawan. Kulitnya putih dan rambutnya panjang.
(40) Seorang pelacur memutar badan Maneka, dan di punggungnya yang terbuka, setelah menyampingkan rambut panjangnya, memang terlihat rajah seekor kuda yang berlari. (Ajidarma, 2004: 104)
(41) “Tahukah kamu mengapa kita dijual ayah kita?” “Tentu, karena kita miskin dan kita bodoh dan kita orang paria.”
(Ajidarma, 2004: 107)
Maneka memiliki seorang sahabat bernama Sarita. Maneka dan Sarita
sudah saling mengenal sejak keduanya sama-sama dijual ke rumah bordil dan
dijadikan pelacur. Bersama Sarita, Maneka melarikan diri dari rumah
pelacuran yang selama ini mengurungnya.
(42) Namun Sarita dan Maneka saling menyayangi seperti saudara… (Ajidarma, 2004: 106)
(43) Akan halnya dirinya, semua orang tahu Sarita sahabat Maneka. Jika Maneka menghilang, tiada orang lain yang biasa dianiaya selain Sarita. Maka ia tak mungkin hanya membantu
43
pelariannya, melainkan harus ikut lari juga. (Ajidarma, 2004: 113)
Maneka adalah perempuan yang memiliki kemauan keras. Dia juga
digambarkan sebagai perempuan yang mempunyai rasa ingin tahu yang begitu
besar. Walaupun dia bodoh dan tidak bisa membaca maupun menulis, Maneka
memiliki keinginan kuat untuk terus berkembang. Maneka juga sangat suka
mendengarkan cerita. Maneka sering meminta Satya untuk bercerita. Jika
dalam perjalanan Maneka menemukan seorang tukang cerita sedang berkisah,
Maneka selalu mendengarkan dengan saksama.
(44) Sepanjang perjalanan Maneka mempelajari huruf-huruf yang diberitahukan Satya. Kata pertama yang ingin diketahuinya adalah cinta, karena begitu banyak kata itu dalam Ramayana. Ia berpikir betapa suatu hari bisa menuliskan cerita. (Ajidarma, 2004: 126)
(45) “Maneka!” Maneka menoleh. “Kamu jadi makan daging bakarnya atau tidak?” “Aku mau dengar dulu.” “Terserah, aku sudah lapar sekali, aku makan dulu.” Maneka memerhatikan tukang cerita lagi. (Ajidarma, 2004: 133)
(46) “Aku ingin bisa menulis Satya.” (Ajidarma, 2004: 164)
Akibat Persembahan Kuda yang dilakukan Rama, kehidupan Maneka
sebagai pelacur juga mengalami perubahan. Rajah kuda yang dimilikinya
sejak lahir ternyata adalah kuda yang digunakan dalam Persembahan Kuda
yang telah membumihanguskan anak benua. Akibatnya, Maneka harus
menanggung beban berat karena seluruh penduduk kota, laki- laki maupun
perempuan, berebut untuk tidur dengannya. Karena peristiwa ini pula Maneka
mempertanyakan mengenai nasibnya. Dia memiliki keinginan kuat untuk bisa
44
mengubah nasibnya. Didorong oleh keinginan yang kuat pula Maneka
berusaha melarikan diri dari rumah bordil. Dibantu seorang pria bersorban
yang tak dikenal dan Sarita, Maneka memulai perjalanannya mencari Walmiki
untuk mengubah nasibnya.
(47) Maneka menggaruk-garuk seluruh tubuh sebisanya. Ia meringkuk di dalam keranjang seperti seonggok karung. Risiko perempuan yang lari dari rumah pelacuran sudah jelas, hukumannya adalah dirajam. Para pelacur hidup seperti budak belian, tidak memiliki kebebasan, dipergunakan tubuhnya seperti sapi perahan. (Ajidarma, 2004: 111)
(48) Maneka kini mengerti bahwa dunia tidak terbatas kepada apa yang bisa dilihatnya, di balik semesta ada semesta, dan ia tahu bahwa masih terlalu banyak hal bisa dipela jarinya. (Ajidarma, 2004: 123)
(49) Itulah yang membuat Maneka ingin mencari Walmiki. Jika ia bisa menentukan nasib para raja, kenapa ia harus tidak peduli kepada seorang pelacur seperti Maneka? Empu yang baik bukan hanya peduli kepada orang besar, justru terutama mereka harus peduli kepada orang-orang kecil. Maneka percaya, jika memang kehidupannya dituliskan oleh Walmiki, maka Walmiki bisa mengubah suratan takdirnya yang malang. (Ajidarma, 2004: 124)
Sebagai pelacur yang telah berpengalaman menghadapi laki- laki,
Maneka tahu benar bahwa Satya menyimpan perasaan cinta padanya. Akan
tetapi, Maneka lebih suka menganggap Satya tidak lebih dari seorang teman.
Masa lalunya membuat Maneka trauma dan lebih berhati-hati dalam
menghadapi laki- laki.
(50) Maka berangkatlah mereka, dengan pedati yang ditarik sapi Benggala. Selama perjalanan itu, Satya mengerti betapa Maneka tidak mempunyai perasaan yang sama dengan dirinya. Maneka mengerti apa yang ada di hati Satya. Meski tidak bisa membaca, ia terlalu berpengalaman dalam menafsirkan perilaku pria. Namun ia menyukai Satya, lagi pula anak muda itulah yang
45
menolongnya di sungai itu, dan kini mengajarinya membaca pula. (Ajidarma, 2004: 125)
Maneka memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar tentang segala hal.
Selain itu, dia juga memiliki jiwa petualang yang selalu haus akan
pemenuhan. Maneka adalah tipe orang yang percaya bahwa tujuan hidupnya
tidak akan meninggalkannya, walaupun dia memiliki keinginan-keinginan
lain. Karena itulah, saat Maneka harus memilih antara mencari Kitab Omong
Kosong atau mencari Walmiki, Maneka dengan pasti memutuskan untuk
mencari Kitab Omong Kosong.
Maneka merasa memiliki tanggung jawab karena memilki peta yang
menunjukkan di mana Kitab Omong Kosong berada. Tanggung jawab ini
berhubungan dengan masa depan ilmu pengetahuan dan peradaban yang telah
hancur lebur akibat bencana Persembahan Kuda.
Maneka sebenarnya bimbang apakah jalan hidupnya benar harus
diubah dengan menuntut Walmiki menuliskan cerita yang berbeda atau
memang demikian adanya. Saat memutuskan untuk mencari Kitab Omong
Kosong, Maneka merasa menemukan sesuatu yang baru dalam dirinya.
(51) “Tapi adanya peta itu pasti bermakna,” ujar Maneka, “kalau tidak, untuk apa peta itu ada?”
Mereka berdua memandangi peta itu. “Kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan peta itu,”
kata Satya. ‘Tapi peta itu ikut menentukan nasib kita.” (Ajidarma, 2004:
205) (52) “Bagaimana dengan Walmiki?” Maneka termenung. Ia mencari Walmiki untuk mengubah
nasibnya. Menggugat sang empu yang telah menuliskan kodrat
46
hidupnya. Namun benarkah garis kehidupan manusia ditentukan seperti itu? Selama dalam perjalanan Maneka merasa sesuatu tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang dirasanya tumbuh dari dalam dirinya, bukan seperti kodrat, bukan seperti takdir, sesuatu yang ditentukannya sendiri. Meskipun Maneka tahu betapa kebenaran perkara itu sulit diperiksanya, ia merasa nyaman dan bahagia membuat peta-peta perjalanan yang akan ditempuhnya sendiri, dengan segala risiko yang siap dihadapinya. (Ajidarma, 2004: 206-207)
Saat Maneka diculik oleh para bandit Gurun Thar, Maneka
menunjukkan sikap teguh dan berpegang pada kepribadian. Walaupun dia
hanya seorang bekas pelacur, dia tidak mau orang lain meremehkannya.
Maneka tidak mau memberikan apa pun pada para bandit itu.
(53) “Tapi karena ia diculik, sama seperti Rahwana menculik Sinta, ia tidak akan pernah sudi memberikan apa pun yang mereka kehendaki.
Berdasarkan analisis penokohan Maneka yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa Maneka adalah seorang perempuan bekas pelacur yang
berkemauan keras, pantang menyerah, memiliki keinginan kuat untuk
mempelajari segala hal, pemberontak, dan tertutup dalam menanggapi cinta.
2.2.2 Satya
Satya adalah seorang pemuda penggembala berusia 16 tahun. Keluarga
dan sanak saudaranya telah mati terbunuh terbunuh saat balatentara Ayodya
menyerang desanya dan menghancurkan segalanya. Akibat bencana
Persembahan Kuda itu, Satya hidup sebatang kara.
47
(54) Sampai sekarang masih terasa olehnya luka ibarat sembilu menyilang, karena seluruh keluarga, kerabat, dan handai taulan, lenyap musnah hilang dalam pembantaian desanya oleh balatentara Ayodya. Betapa memilukan kehilangan orang-orang tercinta dalam seketika karena pembunuhan. (Ajidarma, 2004:90)
(55) Satya masih 16 umurnya, tapi dia sedang jatuh cinta. (Ajidarma, 2004:125)
Hidup sebatang kara tidak membuat Satya lantas menjadi manusia
yang tanpa harapan. Satya adalah gambaran pemuda yang selalu optimis
menghadapi masa depannya. Hal ini terbukti saat seluruh sanak saudaranya
telah mati, Satya tetap menjalankan kegiatannya sehari-hari seperti mencangkul
dan menggembalakan ternak. Kesedihan sebenarnya masih dirasakan Satya,
tetapi dia tidak mau larut dalam kesedihan dan berusaha melupakan semuanya.
Satya pun berusaha membangun kembali kehidupannya, berusaha
mengembalikan keadaan seperti saat sebelum bencana Persembahan Kuda
menghancurkan semuanya.
(56) Setelah mencangkul seharian, rasanya tidak ada lagi yang bisa dilakukan Satya. Untuk pertama kalinya tiba-tiba ia merasa puas. Sudah lama perasaan seperti ini tidak dialaminya. Setidaknya perlu satu tahun setelah bencana Persembahan Kuda itu berlalu, ia merasa mulai bisa merasakan sesuatu yang berhubungan dengan rasa senang. Sebelumnya dunia selalu terasa muram, berat, dan menekan. Sampai sekarang masih terasa olehnya luka ibarat sembilu menyilang, karena seluruh keluarga, kerabat, dan handai taulan, lenyap musnah hilang dalam pembantaian desanya oleh balatentara Ayodya. Betapa memilukan kehilangan orang-orang tercinta dalam seketika karena pembunuhan. (Ajidarma, 2004:91)
(57) Satya melihat kambing-kambingnya merumput. Ia tersenyum riang. Bersama kawan-kawan sebayanya mereka berusaha melupakan kesedihan. Mereka dirikan kembali pemukiman yang telah rata dengan tanah, menjadi sesuatu mirip kehidupan. Satya
48
tak pernah menduga bahwa ia kini harus membangun kembali semuanya seperti nenek moyangnya. (Ajidarma, 2004: 91)
Walaupun usianya masih muda, Satya adalah sosok pemuda yang
bijaksana dan penuh kesabaran. Hal ini terbukti setiap timbul permasalahan
antara Satya dan Maneka, Satya selalu mampu tampil sebagai pemecah
masalah. Satya juga mengajarkan banyak hal pada Maneka yang kurang
berpengalaman menghadapi dunia luar.
(58) “Barangkali nanti…’’ Satya berpikir tentang keadaan mereka. Penderitaan yang disebabkan Persembahan Kuda telah membuatnya bijaksana. (Ajidarma, 2004:126)
Satya sangat mencintai Maneka. Sejak pertama kali menemukan
Maneka terbawa arus sungai, Satya sudah menyimpan rasa cinta yang
mendalam pada Maneka. Walaupun ia tahu cintanya tak berbalas, Satya tidak
pernah putus asa. Demi rasa cintanya pula, Satya memaksa menemani Maneka
berkelana mencari Walmiki. Satya juga selalu menuruti segala permintaan
Maneka. Rasa cintanya yang begitu besar pada Maneka membuat Satya sangat
kasih dan sayang pada perempuan itu. Satya sangat berhati-hati dalam menjaga
Maneka. Dia tidak mau Maneka kembali jatuh ke jalan kelam yang pernah
dilaluinya.
(59) Satya yang sejak semula telah jatuh cinta kepada Maneka memaksakan diri mengantarnya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana perempuan muda seperti Maneka akan mencari Walmiki yang belum jelas ada di mana. (Ajidarma, 2004: 125)
(60) Namun Satya tahu bahwa menjadi pelacur adalah pekerjaan merana, ia sangat khawatir Maneka terjebak dalam lingkaran setan perbudakan berikutnya. (Ajidarma, 2004:125)
49
(61) “Sampai manakah kita akan mencari Walmiki?’’ Maneka bertanya. “Ke mana pun kamu menghendakinya.” (Ajidarma, 2001:153)
(62) … Satya akan melakukan segalanya demi Maneka. (Ajidarma, 2004:206)
Satya adalah pemuda yang sabar dan penuh pengertian. Dia berusaha
memahami perasaan Maneka yang menutup diri pada laki- laki. Satya tidak mau
memaksakan rasa cintanya pada Maneka. Dia tahu masa lalu Maneka yang
suram tidak mudah untuk dihapuskan.
(63) Sementara Satya, yang meskipun darah mudanya bergelora, dan sungguh memendam cinta diam-diam, sangat rapat menahan diri dan menjaga kepribadian. (Ajidarma, 2004:161)
Walaupun hanya seorang pemuda penggembala, Satya memiliki
wawasan yang luas. Dia juga gemar bercerita. Satya sering memperdengarkan
cerita-cerita kepada Maneka selama dalam perjalanan. Kegemarannya membaca
membuat Satya memiliki keropak di dalam peti yang berisi berbagai cerita.
Satya juga memiliki kemampuan membaca dan menulis yang cukup
mengagumkan. Dengan memanfaatkan kemampuannya ini, Satya bekerja di
perpusatakaan sebagai penyalin naskah-naskah yang telah rusak akibat
Persembahan Kuda. Dia bahkan sangat menyukai pekerjaan barunya ini, bahkan
seandainya tidak merasa bertanggung jawab mengantar Maneka dan rasa
cintanya yang begitu besar pada Maneka, Satya memilih tinggal dan bekerja
sebagai penyalin naskah di perpustakaan Negara.
(64) “Aku hanya bisa bercerita tentang upacara itu, kuceritakan padamu tentang Siwaratrikalpa,” kata Satya, “aku menyalinnya mulai kemarin.”
50
(65) Setelah menjadi asisten tukang martabak, kurir toko sepatu, dan asisten juru catat di pejagalan, Satya menjadi anggota tim penyalin naskah di bekas perpustakaan Negara. (Ajidarma, 2004: 159)
(66) Satya senang dengan pekerjaannya ini karena merasa kemampuannya membaca dan menulis ada gunanya. Selain itu ia senang karena pebgetahuan yang didapatkan dari naskah-naskah yang disalinnya. Kalau ia tidak ingat janjinya kepada Maneka, untuk bersama-sama mencari Walmiki penulis Ramayana, barangkali ia akan lebih suka tinggal di kota ini saja. (Ajidarma, 2004: 160)
(67) Satya memiliki keropak dalam peti, yang pernah ditunjukkan kepada Maneka. Dari keropak itulahmengalir sebuah dunia yang mungkin dijelajahi manusia. (Ajidarma, 2004:125)
(68) Maka, sembari bunyi genta sapi Benggala itu terdengar kluntang-kluntung, Satya bercerita tentang perselingkuhan Trijata. (Ajidarma, 2004: 209)
Berdasarkan analisis penokohan Satya yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa Satya adalah seorang pemuda yang sabar, penuh
pengertian, pandai, berkemauan kuat, dan sangat menghargai kesucian cinta.
2.2.3 Hanoman
Hanoman berwujud seekor kera putih yang memiliki kesaktian yang
luar biasa. Dia adalah anak Dewi Anjani, cucu Resi Gotama. Sejak dia
dilahirkan sudah tampak tanda-tanda kesaktian Hanoman di masa depan. Dia
menguasai segala macam ilmu dan menyerap tenaga alam secara alami.
Hanoman besar di swargaloka, tempat tinggal para dewa. Di sana dia dilatih
oleh Batara Bayu yang mengajarkannya berbagai ilmu. Hanoman juga
memiliki nama lain yaitu Bayutanaya, Maruta, dan Bayudara.
51
(69) Ketika Hanoman dilahirkan sebagai bayi monyet yang merah, segenap cahaya yang ada dalam semesta pada detik itu meraga sukma kepadanya, sehingga seketika ia menjadi wanara putih cemerlang keperak-perakan, dan untuk sekejap semesta gelap gulita bahkan tanpa setitik cahaya semesta, dan segala gagasan tentang ahaya akan dikuasainya sama seperti penguasaan Batara Surya. (Ajidarma, 2004: 242)
(70) Bayangkan, ada monyet putih di swargaloka, tempat pemukiman para dewa… Anak yang berasal dari daun sinom itu dididik oleh Batara Bayu yang sakti mandraguna. Segenap ilmu Sang Dewa Angin itu dikuasainya, sehinggga ia juga bernama Bayutanaya atau Maruta atau Bayudara. Batara Bayu mengajarkan kepadanya ilmu terbang dan berjalan bersama angin. (Ajidarma, 2004: 243)
Secara fisik, Hanoman digambarkan sebagai seekor kera putih setinggi
manusia. Tingginya 180 cm dan dia selalu mengenakan kain kotak-kotak
hitam putih sebagai tanda mewarisi kesaktian Batara Bayu.
(71) Wanara putih setinggi manusia yang berbelit kain kotak-kotak hitam putih, tanda mewarisi kesaktian Bayu. (Ajidarma, 2004: 265-266)
(72) Hanoman mendongak, makhluk 180 sentimeter di antara lautan raksasa-raksasa 20 meter. (Ajidarma, 2004: 269)
(73) Api pendiangan menyala. Cahayanya yang merah menimpa sesosok tubuh yang selama ini hanya bisa mereka bayangkan. Seluruh tubuhnya ditutup oleh bulu yang lebat, putih bersih keperak-perakkan, dan lembut seperti serat-serat sutra. Wajahnya juga dipenuhi dengan bulu, sehingga matanya nyaris tertutup, namun mata itu begitu jernih dan tajam, seperti kemurnian mata kanak-kanak. Ekornya berjalin dengan rambutnya yang putih dalam suatu Andaman yang indah. Ia mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih sereti yang mereka pakai. (Ajidarma, 2004:387)
Hanoman mengabdi pada Rama dan menjadi kepercayaan Rama di
Ayodya. Hanoman digambarkan sebagai tokoh yang setia dan mengabdi
dengan penuh ketulusan. Hal ini dibuktikan dengan pengabdiannya kepada
Rama yang tidak menuntut balasan. Hanoman selalu menuruti titah rajanya
52
itu, termasuk ketika dia dikirim ke Alengka untuk membebaskan Dewi Sinta
dari tangan Rahwana yang jahat. Hanoman setia menjalankan tugasnya dan
berhasil membawa Dewi Sinta kembali ke Ayodya dan menyerahkannya pada
Sri Rama.
(74) Ia bisa terbang membawa terbang Sinta, tetapi bukan itu perintah Sri Rama kepadanya. (Ajidarma, 2004: 277)
Hanoman juga kera putih yang pemberani. Dia tidak gentar
menghadapi lawan, sekuat apapun lawannya itu. Sewaktu berada di Alengka,
Hanoman harus berhadapan dengan raksasa-raksasa yang tinggi rata-ratanya
20 meter, padahal tingginya sendiri hanya 180 cm.
(75) Hanoman melempari mereka dengan buah-buah mangga. Para raksasa yang rata-rata tingginya 20 meter kebingungan dengan gerakan Hanoman yang gesit dan cepat. (Ajidarma, 2004: 268)
(76) Hanoman mendongak, makhluk 180 sentimeter di antara lautan raksasa-raksasa 20 meter. (Ajidarma, 2004: 269)
Walaupun secara fisik Hanoman berwujud seekor kera putih, dia
adalah makhluk yang sangat beradab. Disebutkan bahwa para dewa pun
terkagum-kagum dan tidak bisa mengalahkannya. Hanoman sangat suka
mempelajari berbagai hal. Hanoman juga sangat suka berdiskusi dan berdebat.
Kegemarannya belajar membuat Hanoman semakin hari semakin cemerlang
dan tidak tertandingi. Dia pun sering terlihat bersama para dewa untuk
berdebat atau mempelajari pengetahuan baru. Karena kepintarannya yang luar
biasa, para dewa dan bidadari mampu dikalahkannya.
(77) Mempelajari angin ternyata berarti mempelajari segala-galanya. Apa pun yang digerakkan dan membuatnya suntuk mendalami
53
berbagai pengetahuan, dari ilmu pasti sampai puisi. Meskipun jamaninya wanara, Hanoman tumbuh sebagai makhluk yang beradab luar biasa, bahkan dewa tak bisa mengunggulinya. Ia terlihat sering berdebat dengan Narada, dan dewa yang pandai berdebat dipojokkannya; ia belajar meditasi dari Batara Mahadwa, dan dewa mulia itu mengakui keteguhannya; ia mempelajari strategi pertempuran di darat dan di laut dari Batara Brahma, dan dewa itu menyatakan ia layak menjadi panglima; ia belajr main catur dari para bidadari, sampai mereka semua tidak pernah menang lagi. (Ajidarma, 2004: 249)
(78) Hanoman juga sangat rajin mengunjungi Sanghyang Sakra, dewa penyimpan surat-surat pusaka. Di sana ia pelajari segala hal yang mungkin ada di dunia. (Ajidarma, 2004: 249)
Keberanian Hanoman mampu mengecilkan nyali para raksasa, bahkan
Rahwana pun dibuatnya ketakutan. Hanoman memiliki tatapan mata tajam
yang mampu membuat lawan ciut nyalinya. Dengan penuh keberanian
Hanoman menghadapi hukuman yang ditimpakan Rahwana padanya.
Hanoman dibakar, tetapi dia sama sekali tidak terbakar. Hanoman justru
berbalik mengobrak-abrik dan membakar Alengka sehingga raksasa-raksasa
bodoh itu dibuatnya panik dan ketakutan.
(79) Di hadapan Rahwana ketika semua orang menyembah dan bersujud tak berani mendongakkan muka, Hanoman memandang raja raksasa yang tingginya 30 meter itu dengan tatapan tajam. Ia berdiri dengan tubuh terikat, tetapi pandangan matanya membuat Rahwana berkeringat dingin. Untuk mengatasi ketakutannya, Rahwana melemparkan sebuah pot bunga. (Ajidarma, 2004: 273)
(80) Ia tidak terbakar, ia berbusana api itu sendiri. Hanoman menjadi Wanara Api. Kepanikan luar biasa mengharu biru Alengka, bukan hanya rumah-rumah sepanjang labirin itu terbakar dan menyala. Para raksasa juga menyala tubuhnya, meraung-raung kesakitan dengan penuh penderitaan. Hanoman terbang membawa sepotong kayu yang menyala, sisa rumah yang belum terbakar, atau masih akan lama terbakarnya, disulut seperti menyulut sumbu yang mudah terbakar. Alengka betul-betul
54
terbakar, api menari-nari menjilat langit. Hanoman berkelebat ke sana kemari dengan ganas. (Ajidarma, 2004: 279)
Walaupun Hanoman sangat menjunjung tinggi Sri Rama sebagai
junjungannya, dia tetap tidak bisa menerima tindakan Rama yang mulai
kelewatan. Hanoman mulai berselisih paham dengan Rama. Di sini
ditunjukkan bagaimana Hanoman tetap mempertahankan kebenaran di atas
segalanya, meskipun dia harus berhadapan langsung dengan Rama sekali pun.
Hanoman telah membuktikan sendiri bagaimana setianya Sinta pada Rama
sehingga dia pun mulai mempertanyakan keragu-raguan Rama.
Hanoman khawatir dengan rakyat Ayodya yang sudah mulai
terpengaruh Gelembung Rahwana. Ketika ketegangan antara dirinya dan
Rama mulai berkembang, Hanoman tetap bersikap ksatria dan tetap setia pada
rajanya itu. Hanoman menurut saja ketika Rama menyuruhnya untuk tidak
ikut campur lagi dalam urusannya. Hanoman kemudian memulai kembali
pertapaannya di Gunung Kendalisada.
(81) “Hanoman aku telah mendengar kata-katamu. Kunyatakan masalah ini bukan urusanmu. Pergilah kembali ke pertapaan. ” (Ajidarma, 2001:45)
(82) Hanoman pamit dan mengundurkan diri dengan sopan. Meskipun begitu Laksmana tahu, inilah sengketa yang tiada pernah terbayangkan. (Ajidarma, 2001:45)
(83) Tetapi jika Rama menyatakan kepadanya jangan ikut campur, bagaimana mungkin ia menolongnya? (Ajidarma, 2001:46)
Hanoman adalah wanara agung yang bijaksana. Dialah pemegang
kitab yang menjadi kunci segala ilmu pengetahuan, Kitab Omong Kosong.
55
Hanoman adalah tokoh yang lemah lembut dan halus. Hanya Hanoman saja
yang bisa mengartikan Kitab Omong Kosong.
(84) Namun kehadiran Sang Hanoman tidaklah seperti sosok yang membuat mereka harus takut berbuat salah, sinar matanya yang penuh kasih dan suaranya yang lembut dan halus, membuat Satya dan Maneka tidak ragu menyendok pasta kentang itu ke piring dan memakannya dengan lahap. (Ajidarma, 2001:388)
(85) “Siapa yang bisa memahami kitab semacam ini selain Sang Hanoman?’’ pikirnya. (Ajidarma, 2001: 404)
Meski telah mengasingkan diri dari dunia luar dan melakukan tapa
abadi di Gunung Kendalisada, tidak berarti Hanoman mengabaikan dunia luar.
Hanoman tetap prihatin dengan memburuknya dunia akibat ketamakan
manusia. Dia juga tetap merasa bertanggung jawab atas bencana besar yang
menimpa anak benua akibat Persembahan Kuda. Oleh karena itu, Hanoman
membuat peta keberadaan Kitab Omong Kosong agar manusia bisa
membangun kembali peradaban dan ilmu pengetahuan lebih singkat. Dia tidak
mau hanya menyimpan kitab tersebut. Hanoman juga ingin agar manusia
mengetahui keberadaannya. Akan tetapi, keberadaan Kitab Omong Kosong
justru menjadi rebutan untuk menguasai dunia.
(86) “Sebelumnya tidak banyak yang tahu keberadaan peta itu. Tetapi ketika kebudayaan runtuh dan semua perpustakaan hancur, orang teringat tentang Kitab Omong Kosong itu, yang bisa menghemat waktu proses pencarian kembali kesadaran manusia selama tiga ratus tahun. Tentu tidak satupun yang tahu bagaimana bisa membaca peta itu.” (Ajidarma, 2004: 391)
(87) “Saya masih ingat peta itu.” Hanoman tertawa, seperti teringat sesuatu. “Akulah yang membuatnya, karena aku tidak bisa menyimpannya terus menerus. Sedangkan tempat ini terlalu terpencil.” (Ajidarma, 2004: 390)
56
(88) ”Kitab ini telah mengakibatkan rentetan pembunuhan. Aku menyalahkan diriku sendiri untuk itu, namun kitab ini memang tidak boleh jatuh ke sembarang orang, hanya merekayang cukup keras hatinya dan cukup berakal pula akan sampai kepada kitab ini.” (Ajidarma, 2004: 396)
Hanoman akhirnya mati setelah Kitab Omong Kosong berhasil didapat
oleh Satya dan Maneka. Sebelum mati, Hanoman menulis sebuah kitab yang
tidak diketahui keberadaannya dan menulis surat untuk Trijata mantan
istrinya, yang sudah lama mati. Hanoman mengumpulkan segala macam
makhluk, kecuali manusia, sebelum akhirnya meregang nyawa. Hanoman
akhirnya moksa, tetapi ia tidak mau bersatu dengan dewa.
(89) Setelah menyelesaikan kitab itu Hanoman bersiap untuk mati. Sebelum mati ia menulis surat untuk Trijata yang sudah lama mati. (Ajidarma, 2001: 615)
(90) Kemudian kepada seekor bajing ia berkata dengan bahasa antarmakhluk, “Aku akan pergi selama-lamanya, aku akan mati. Kumpulkan mereka semua di sini.” (Ajidarma, 2004: 615)
(91) Setelah mati tubuh Hanoman menyatu dengan tanah. Ia moksa tetapi tidak mau bersatu dengan dewa. Hanya senja yang langitnya kemerah-merahan manjadi saksi kematiannya. (Ajidarma, 2004: 616)
Berdasarkan analisis penokohan Hanoman yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa Hanoman adalah tokoh yang pemberani, setia,
menjunjung tinggi kebenaran, berani melawan arus jika hal yang diyakininya
benar, bijaksana, dan membenci ketidakadilan.
57
2.2.4 Walmiki
Walmiki adalah seorang empu pencipta cerita Ramayana. Dia hidup di
sebuah gubuk di pingir hutan. Walmiki hidup bersama Sinta, Lawa, dan Kusa.
Walmiki menyelamatkan Sinta yang sedang hamil tua dan lari dari Ayodya.
Walmiki merawatnya seperti anaknya sendiri sampai tiba saat Sinta
melahirkan kedua anak kembarnya, Lawa dan Kusa, dan membesarkan
mereka. Walmiki setiap harinya menulis dan menembangkan riwayat
Ramayana. Walmiki bisa tenggelam dalam menulis selama bermingu-minggu
untuk mengisahkan Ramayana.
(92) Di tepi sungai itu terdapat sebuah rumah panggung dengan teras terbuka. Dewi Sinta sedang merenda, benang warna-warni di hadapannya. Ia merenda sambil memerhatikan Walmiki menggores-gores lembaran karas dengan alat tulis yang disebut tanah. (Ajidarma, 2004: 47)
(93) Di rumah panggung, Sinta melihat Walmiki menggoreskan karas dengan tanah, sambil menggumamkan apa yang ditulisnya. (Ajidarma, 2004:63)
(94) “Sudah sampai di manakah Ramayana itu, Paman?” (Ajidarma, 2004: 47)
(95) Wamiki meneliti tumpukan karas itu, setelah meletakkan tanah di sebelahnya. Sudah berminggu-minggu ia tenggelam dalam penulisan Ramayana. (Ajidarma, 2004: 48)
Secara fisik, Walmiki digambarkan sebagai seorang laki- laki tua yang
memiliki paras yang cerah dan tatapan lembut yang mampu membuat hati
damai. Walmiki adalah seorang pengembara. Dia mulai mengembara saat
masih berusia 21 tahun dan telah 50 tahun melakukan pengembaraan.
(96) Tukang cerita itu berangkat mengembara semenjak usia 21 tahun, dan setelah 50 tahun mengembara tentu sudah banyak peristiwa yang dialaminya. (Ajidarma, 2004: 593)
58
(97) Pada usia 71 tahun, tukang cerita itu masih sehat dan ternyata masih mampu bergerak lincah mempertahankan diri dari serangan bajak laut yang berlompatan di atas kapal. (Ajidarma, 2004: 593)
(98) Seorang tua yang cerah parasnya dan lembut matanya mengusap kening perempuan itu. Tubuhnya serasa hancur, namun pandangan orang tua itu membuat hatinya merasa damai. (Ajidarma, 2004: 34)
Walmiki selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya.
Walmiki terkenal sebagai tukang cerita yang sangat piawai membawakan
kisah Ramayana. Kemampuannya bercerita membuat para pendengarnya
terkagum-kagum dan larut dalam penceritaan Walmiki.
(99) Sembari mengulung keropak, mulut Walmiki berbunyi. Orang-orang terpesona, susunan nadanya menghanyutkan, seperti mimpi. Kemudian ia melompat, lantas menari. (Ajidarma, 2004:97)
(100) “Ini Walmiki tukang cerita?” “Iya, kemarin dia bercerita di jalanan sana, dikerumuni banyak orang.” (Ajidarma, 2004: 156)
Walmiki adalah pencipta Ramayana. Semua jalinan cerita ditentukan
olehnya. Ketika Sinta khawatir dengan keadaan Lawa dan Kusa yang sedang
melawan balatentara Ayodya, Walmiki dengan tenang mengatakan bahwa
semua ditentukan olehnya. Akan tetapi, dia sendiri sebenarnya juga tidak tahu
apa yang akan terjadi kemudian dengan para tokoh ciptaannya.
(101) Walmiki, orang tua itu, berkata kepada Rama yang masih saja duduk di atas kudanya. ‘Kembalilah Raja, kalau engkau bisa hidup 15 tahun tanpa Sinta, engkau akan mampu hidup tanpa Sinta untuk seterusnya. Kembalilah ke Ayodya, aku masih harus menamatkan cerita. (Ajidarma, 2004:89)
(102) “Bukan aku berteka-teki. Aku pun belum tahu apa yang akan terjadi.” (Ajidarma, 2004:57)
59
(103) “Walmiki menjawab sambil menulis. “Tenang saja Sinta, aku yang menentukan.” (Ajidarma, 2004:63)
Walmiki bahkan mulai menyadari bahwa tokoh-tokoh ciptaannya
mulai berusaha melepaskan diri dari jalinan ceritanya. Satu persatu tokoh
ceritanya berpamitan dan mulai meriwayatkan kisah mereka sendiri.
(104) Bahkan engkau lupa tokoh ciptaanmu sendiri, wahai Walmiki. (Ajidarma, 2004:512)
(105) Para tokoh ciptaannya kemudian mengurus dirinya sendiri. (Ajidarma, 2004: 518)
(106) “Aku juga akan pamit darimu Walmiki, karena aku juga berhak mencari kebahagiaanku.” (Ajidarma, 2004: 569)
(107) Hanoman yang berumur panjang, menghadap untuk pamit, mengundurkan diri dari cerita Walmiki. (Ajidarma, 2004: 600)
Ketika semua tokohnya mulai melepaskan diri, Walmiki mulai
menyadari betapa dirinya selama ini sendiri. Di sini Walmiki mulai
merasakan kesepian dan mempertanyakan tujuan hidupnya. Walmiki
kemudian memutuskan untuk berlayar ke negeri yang belum pernah
dikunjunginya. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpanginya diserbu
gerombolan bajak laut.
Di akhir kisah digambarkan bagaimana Walmiki ketakutan
menghadapi kematiannya. Bahkan seorang tukang cerita seperti Walmiki
tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Walmiki membayangkan
bahwa dirinya akan mati dengan cara yang mengenaskan seperti Prabu
Somali yang mati setelah kehujanan selama tiga hari tiga malam.
(108) Ia berpikir, usianya sudah 71, apalagi yang dicarinya dalam hidup ini? Tetapi banyak orang hidup dengan pikiran jernih sampai usia 80 tahun, bahkan 90 tahun, kenapa ia yang baru 71
60
tahun seperti sudah bosan hidup? Aku tidak bosan hidup, jawabnya sendiri, aku juga tidak ingin mati, meskipun bertanya-tanya pa yang dicarinya dalam hidup ini? (Ajidarma, 2004: 598)
(109) Setelah tiga hari tiga malam terus menerus diguyur hujan, Prabu Somli mati di bawah pohon. Tubuhnya kaku kedinginan. Walmiki menghela napas, apakah ia akan mati seperti Prabu Somali? Udara makin lama makin terasa dingin dank abut tidak juga berpendar. Walmiki sudah tidak bisa melihat lantai kapal, juga tidak bisa lagi melihat tangannya sendiri, akan kemanakah ia kan pergi? (Ajidarma, 2004: 600)
Walmiki merupakan sosok tokoh yang bijaksana. Melalui cerita
Ramayana yang diperdengarkannya pada orang banyak, Walmiki ingin
mengajarkan mengenai cinta dan kesetiaan. Kebijaksanaannya juga terlihat
saat dia masih bersama Sinta, Lawa, dan Kusa. Walmiki mengajarkan
banyak hal mengenai hidup dan kehidupan.
(110) Ketika ia masih menjadi seorang cantrik di sebuah padepokan, Walmiki pernah mendapat pelajaran bahasa antarbangsa, namun yang kemudian tidak pernah dipakainya, karena ia belum pernah keluar dari batas anak benua. Tepatnya ia belum pernah berlayar ke negeri orang. Walmiki kemudian merasa bodoh dirinya itu. Terkungkung dalam sengketa anak benua yang menumpahkan darah, mengembara ke sana kemari sampai tua, berkisah tentang Ramayana di pasar-pasar dan kaki lima, sia-sia menularkan gagasan kesetiaan dan cinta. (Ajidarma, 2004: 512)
(111) Walmiki mencoba membuat daftar tokoh-tokoh yang hanya menjadi pelengkap penderita. Tokoh-tokoh yang hanya muncul untuk mati. (Ajidarma, 2004: 508)
(112) Walmiki sedang berada di geladak. Layar terkembang membuat kapal melaju. Mereka seperti sedang mendekati daratan. Orang tua yang mencari nafkah dengan bercerita itu terkesiap. Ia akan turun di sebuah negeri yang bahasanya maupun adat istiadatnya tak ia mengerti. (Ajidarma, 2004: 509)
(113) Walmiki teringat bagaimana ia membuat Sinta ditelan bumi. Jadi siapakah sebenarnya ibu Dewi Sinta ini? Dewi Tari atau Dewi Pertiwi? Walmiki inin sekali menjauh dari dunia cerita, tapi jika bahkan tokoh-tokohnya menjadi hidup dan menggugat pula,
61
bagaimana bisa? Ia melihat ke atas, bulan sabit seperti kapal yang ikut berlayar di angkasa. (Ajidarma, 2004: 518)
Berdasarkan analisis penokohan Walmiki yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa Walmiki adalah orang tua yang bijaksana, penuh
pengertian, dan kesepian.
2.2.5 Rama
Rama adalah Raja Ayodya yang sangat berkuasa dan dihormati.
Wibawanya membuatnya menjadi raja yang sangat dihormati dan disegani
masyarakat. Rama merupakan titisan Wisnu yang menjelma sebagai manusia,
sehingga keberadaan Rama semakin membuatnya disegani.
(114) “Rama, titisan Wisnu, pembela umat manusia, penghancur segala kejahatan…” (Ajidarma, 2004: 37)
Rama digambarkan sebagai sosok laki- laki yang lemah lembut dan
tenang. Ketenangannya ini memancarkan kewibawaan yang luar biasa
dalam dirinya. Secara fisik, Rama berwajah tampan. Rambutnya panjang
sebahu dan bergelombang. Dia juga mengenakan anting-anting di kedua
telinganya
(115) Lantas Trijata melihat Rama dan Laksmana. Mereka berkilau seperti permata. Meski mereka hanya berbusana seperti pemburu sederhana, sudah jelas keduanya titisan dewa. Wajah mereka begitu bersih, seperti siapa pun yang ahli yoga, dan tindak tanduk mereka begitu tenang, seperti ketenanan jiwa di dalamnya. Rambut keduanya panjang dan bergelombang dengan anting-anting berkilatan. Wajah kedua ksatria itu memancarkan kedamaian. (Ajidarma, 2004: 291)
62
(116) Saat itulah ia melihat Rama, cahaya memancar nan perkasa. Rambutnya panjang bergelombang seperti singa, dengan paras tampan halus mulus penuh pesona. Kedua anting-antingnya yang panjang di kiri dan kanan berkilatan kertap permata. Meski hanya mengenakan jubah pengembara, Rama dan Laksmana tak bisa menyembunyikan cahaya kesatriaannya. (Ajidarma, 2004: 28)
Rama memiliki seorang istri yang sangat cantik bernama Sinta.
Keduanya saling mencintai dan hidup penuh kebahagiaan sampai Rahwana
menculik Sinta dan membawanya ke Alengka. Rama yang sangat mencintai
Sinta mengutus Hanoman untuk membebaskan Sinta dari cengkraman
Rahwana.
Cinta Rama rupanya tidak sebesar kepercayaannya pada Sinta.
Berkali-kali Rama mempertanyakan kesetiaan Sinta. Di sini Rama
digambarkan sebagai tokoh yang penuh keragu-raguan dalam menentukan
benar dan salah. Keraguannya ini dibuktikan dengan menyuruh Sinta
mengenakan cincin bukti kesetian dan membakar diri dalam api sebagai
bukti kesuciannya.
(117) Pertama, ketika Rama mengutus Hanoman, wanara putih yang perkasa itu, untuk menyelundup ke Taman Argasoka, tempat ia disekap Rahwana di Alengka, dititipkannya sebuah cincin. Rama meminta ia memakainya, jika jarinya bias masuk, tandanya ia masih setia. (Ajidarma, 2004: 29)
(118) Kedua, setelah peperangan selesai, dan Rahwana terjepit Gunung Sondara-Sondari jelmaan kepala anak-anaknya sendiri, masih juga Rama meminta ia membuktikan kesetiaan dengan cara dibakar api. (Ajidarma, 2004: 30)
Keragu-raguan Rama semakin dikuatkan dengan tuntutan rakyat
Ayodya untuk membuktikan kesetiaan Sinta. Rama digambarkan sebagai
63
sosok raja yang sangat memperhatikan rakyatnya. Karena hal ini pulalah
Rama tidak berani mempercayai keyakinannya sendiri bahwa Sinta masih
suci. Rama tidak kuasa menolak keinginan rakyat untuk mengusir Sinta dari
Ayodya. Rama tidak berani mengambil kembali cintanya dari Sinta karena
dia terlalu takut kehilangan rakyatnya. Rama lebih peduli pada
kelangsungan kekuasaannya di Ayodya daripada Sinta.
(119) “Tidak juga Rama, titisan BataraWisnu yang mahaperkasa dan maha menghancurkan itu bisa menentukan nasibku. Sungguh tiada pernah kukira betapa ksatria Ayodya yang kukira begitu lembut dan begitu mulia ternyata begitu rendah diri sebagai manusia. O lelaki mana kiranya yang tidak bias disebut rendah diri jika tiada pernah percaya betapa suci istrinya meski istrinya itu sudah begitu setia dalam cengkraman Rahwana yang kaya raya? Rama telah membakar aku dalam api unggun raksasa yang nyala apinya memerahkan langit demi kepercayaan dirinya maupun orang-orang Ayodya. Mengapa begitu penting bagi Rama untuk meyakinkan orang-orang Ayodya bahwa rahwana sungguh-sungguh tiada pernah menyentuh apalagi menjamahku? Kalau dia memang cinta kepadaku, mengapa dia tidak terima saja aku apa adanya, meski seandainya Rahwana telah memerkosa diriku? Kalau dia memang cinta kepadaku, bahkan jika aku telah berbuat seperti seorang pelacur kepada Rahwana, yang menyerahkan tubuh demi keselamatanku, tak juga Rama harus menimbang-nimbang diriku. Cinta adalah cinta. Terimalah aku seperti apa adanya.” (Ajidarma, 2004: 26)
(120) “Aku hanya mencintaimu o Rama, tetapi bagimu cinta orang-orang Ayodya lebih penting ketimbang cintaku kepadamu. Apakah itu hanya karena kamu seorang raja o Rama? Apakah karena kamu seorang penguasa?” (Ajidarma, 2004: 27)
Pada akhirnya, Rama lebih mempercayai desas desus yang
berkembang di Ayodya daripada istrinya sendiri. Begitu takutnya Rama
kehilangan kepercayaan rakyat Ayodya, bahkan peringatan Hanoman tidak
digubrisnya sama sekali.
64
(121) Rama terlalu peduli pada desas desus yang berkembang di Ayodya. (Ajidarma, 2004: 30)
(122) Sebagai raja titisan dewa, mengapa ia begitu percaya kepada desas-desus Ayodya, mengapa ia begitu peduli? Bahkan peringatan Hanoman yang turun dari pertapaannya di Kendalisada tiada digubrisnya. (Ajidarma, 2004: 31)
Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Rama menyimpan rasa sesal yang
begitu mendalam karena telah meragukan Sinta. Akan tetapi, penyesalan
akan cintanya ini justru menimbulkan bencana. Demi menghapus rasa
rindunya pada Sinta, Rama melakukan Persembahan Kuda. Persembahan
Kuda ini pada akhirnya berujung pada penghancuran dan perusakan. Anak
benua rata dengan tanah akibat nafsu berkuasa Rama. Rama yang semula
disegani dan dicintai berubah menjadi sosok yang ditakuti. Tanpa
disadarinya, Rama sudah terpengaruh Gelembung Rahwana yang tak henti-
hentinya menebarkan kejahatan.
(123) Di seluruh anak benua, bukanlah mustahil menahan kemarahan Sri Rama titisan Wisnu, dewa penghancur itu sendiri? (Ajidarma, 2001: 15)
(124) Maka berlangsunglah Persembahan Kuda, sebuah upacara untuk dewa-dewa atas nama perdamaian yang menginjak- injak hak asasi manusia. (Ajidarma, 2004: 15)
(125) Dalam waktu singkat nama Sri Rama yang begitu harum sebagai penakluk negeri Alengka, berubah menjadi nama yang sangat menakutkan. (Ajidarma, 2001: 16)
(126) “Bahkan Rama telah kerasukan Gelembung Rahwana,” pikirnya. (Ajidarma, 2004: 46)
Rama juga tidak menyadari bahwa hasil Persembahan Kuda yang
dilakukannya telah membuat banyak orang, termasuk Satya dan Maneka,
kehilangan keluarga dan harta bendanya. Rama hampir gila karena diburu
65
rasa bersalah, tetapi tidak bias mengambil sikap bijaksana sebagai seorang
pimpinan. Di sini Rama digambarkan sebagai tokoh yang terlalu terbawa
nafsu. Segala tindakannya tidak dipikirkan terlebih dahulu apa akibatnya.
Karena keteledorannya inilah anak benua kehilangan peradaban.
(127) Rama memang tidak mencarinya Namun diburu perasaan bersalah sampai hampir gila. Tahu dirinya bersalah Tapi seperti bukan orang bij aksana… Rama kehilangan daya Sampai dibuatnya Persembahan Kuda Betapa gawatnya pengaruh Gelembung Rahwana Anak benua gempar karena persembahan yang menuntut banyak korban (Ajidarma, 2004: 52)
(128) Nafsu kekuasaan menghasilkan penindasan… Semuanya akibat rindu dendam kegilaan Rama yang tak tersalurkan (Ajidarma, 2004:52)
(129) Kepada setiap Negara di seluruh anak benua telah dimaklumatkan suatu keputusan: Ayodya melaksanakan persembahan kuda.
Pada akhirnya Rama bisa dikalahkan oleh Lawa dan Kusa. Lawa dan
Kusa sebenarnya adalah anak kembarnya sendiri. Begitu mengetahui bahwa
kedua bocah itu adalah putranya, Rama meminta mereka untuk mengantarnya
menemui Sinta. Akan tetapi, lagi- lagi Rama meminta Sinta untuk
membuktikan kesetiannya. Sinta yang kecewa moksa dan menyatu dengan
tanah. Sementara itu, Rama yang merasa putus asa dan tidak memiliki harapan
lagi juga moksa.
(130) “Sinta istriku, ibu anak-anakku, aku datang kemari tidak untuk bertengkar. Aku tidak mempertaruhkan cinta untuk kekuasaan. Baiklah kutanyakan saja sekarang, apakah engkau bisa membuktikan kesucian?” (Ajidarma, 2004: 88)
66
(131) Bumi bergetar dan awan di langit berputar-putar setelah Sinta mengucapkan sumpahnya. Tanah di bawahnya merekah dan Sinta melayang ke bawah tanpa suara. (Ajidarma, 2004: 89)
(132) Setelah berkuasa selama 10.000 tahun, Rama merasakan akhir kehidupan… Rama menuju Sungai Serayu Terlihat tian-tiang cahaya. (Ajidarma, 2004: 95)
(133) Rama dan Sinta, masing-masing moksa Yang satu membumi, yang lain mengudara Mungkinkah keduanya disatukan cinta? (Ajidarma, 2004: 96)
Berdasarkan analisis penokohan Rama yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa Rama adalah sosok raja yang penuh keraguan, ambisius,
dan arogan.
2.4 Rangkuman Alur, Tokoh Utama, dan Penokohan Tokoh Utama
Analisis alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam KOK dapat
disimpulkan secara umum. Alur yang digunakan dalam KOK adalah alur maju.
Bagian awal cerita yang berisi perkenalan dimulai dengan peristiwa Persembahan
Kuda yang dilakukan Rama sebagai Raja Ayodya untuk menaklukkan anak benua.
Balatentara Ayodya dan Goa Kiskenda menghancurkan dan memusnahkan apa pun
yang mereka lewati. Konflik berlanjut ketika pasukan Ayodya dan Goa Kiskenda
mendapat lawan yang tangguh. Mereka adalah Lawa dan Kusa yang tak lain adalah
putra kembar Rama dan Sinta. Konflik juga terjadi pada Satya dan Maneka yang
menjadi korban Persembahan Kuda. Satya dan Maneka yang bertemu secara tidak
sengaja, memutuskan untuk mencari Walmiki untuk mengubah nasib. Konflik
semakin meningkat ketika Satya dan Maneka memutuskan untuk mencari Kitab
67
Omong Kosong. Konflik batin juga terjadi pada Satya dan Maneka. Satya diam-diam
mencintai Maneka. Sementara itu, Maneka berusaha mengabaikan perasaan Satya
karena trauma akan masa lalunya sebagai pelacur. Konflik memuncak ketika Maneka
diculik para bandit Gurun Thar dan hampir dijadikan korban persembahan.
Klimaks terjadi saat Hanoman mengubur semua orang Gurun Thar tersebut dan
menanamkan sebuah totem sebagai peringatan tentang orang jahat yang terhukum.
Dengan kemarahan yang luar biasa, Hanoman menghukum semua orang Gurun Thar
tanpa ampun. Klimaks menurun saat Satya dan Maneka akhirnya bertemu. Mereka
juga berhasil menemui Walmiki dan meminta undur diri dari cerita yang ditulisnya.
Satya dan Maneka juga berhasil bertemu dengan Hanoman . Penyelesaian terjadi
ketika Satya dan Maneka berhasil menemukan semua bagian dari Kitab Omong
Kosong dan berhasil memahami isinya.
Tokoh utama dalam KOK adalah Satya, Maneka, Hanoman, Walmiki, dan
Rama. Maneka adalah seorang perempuan bekas pelacur berusia 20 tahun yang
berkemauan keras, pantang menyerah, memiliki keinginan kuat untuk mempelajari
segala hal, pemberontak, dan tertutup dalam menanggapi cinta. Satya adalah seorang
pemuda berusia 16 tahun yang sabar, penuh pengertian, pandai, berkemauan kuat, dan
sangat menghargai kesucian cinta. Hanoman adalah wanara putih yang pemberani,
setia, menjunjung tinggi kebenaran, berani melawan arus jika hal yang diyakininya
benar, bijaksana, dan membenci ketidakadilan. Walmiki adalah penulis Ramayana
yang sangat termashur. Dia adalah orang tua yang bijaksana, penuh pengertian, dan
kesepian. Rama adalah sosok raja yang penuh keraguan, ambisius, dan arogan.
68
BAB III
PENGARANG IMPLISIT
DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
3.1 Pengarang Implisit
Implied author atau pengarang implisit adalah seseorang yang ada di balik
pengarang dan dipakai pada saat menuliskan karyanya (Taum, 1997: 28). Seno
sebagai pengarang nyata melibatkan diri dalam karya yang ditulisnya. Penulis nyata
adalah pengarang sendiri yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap kalimat-
kalimat yang diajukan dalam karyanya itu. Jadi kalimat-kalimatnya sesuai dengan
intensi pengarang itu sendiri, namun intensi itu bukanlah rencana yang dipikirkan
sebelum penciptaan atau motif yang mendorong penulisan, melainkan apa yang
diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan dalam karyanya (Taum, 1997: 29).
Tamba dalam tulisannya yang berjudul Wayang dalam Sastra: Tertawa Versus
Ketegangan mengatakan bahwa dalam novel KOK, Seno mencoba mengukuhkan mitos
wayang Ramayana namun sekaligus pula mencoba membongkar, memberontak dan
mendekontruksi mitos dan nilai-nilai tentang lakon Ramayana yang sudah mengakar
di masyarakat. Upaya pembongkaran ini pertama sekali terletak pada penyusunan alur
cerita. Kalau kitab Ramayana asli dibagi dalam urut-urutan tujuh kanda, yakni Bala
Kanda, Ayodya Kanda, Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha
Kanda dan Utara Kanda, dalam novel KOK, Seno justru memulai dari ide cerita Utara
69
Kanda yang justru merupakan bagian akhir Ramayana yang tidak populer di Jawa
(http://www.ppsjs.com.htm)
Seno sebagai pengarang nyata (real author) berada dalam karyanya sebagai
sosok lain, yaitu pengarang implisit (implied author). Seno Gumira Ajidarma
dilahirkan di Boston pada tanal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Ayahnya
Prof. Dr. MSA Sastromidjojo adalah guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah
Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang
dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu pasti tidak jelek-jelek
amat, ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan
harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno (http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2006/012006/26/kampus/buku.htm).
Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang
terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus
yang terjadi di sekolahnya. “Aku pernah diskors karena membolos,” tutur Seno.
Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita
petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman
Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Selama tiga bulan ia
mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT
Bulaksumur yang gela rnya profesor doktor. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik
kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit pada ibunya. Tapi ibunya
mengirim tiket untuk pulang. Seno pulang dan meneruskan sekolah (ibid).
70
Ketika SMA ia sengaja memilih SMA yang tidak memakai seragam. “Jadi
aku bisa pakai celana jeans, rambut gondrong.” Komunitas yang dipilih sesuai
dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elit perumahan dosen
Bulaksumur UGM, tetapi komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan
ngebut di Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, dan tidak ada aturan.” (ibid).
Seno mengalami banyak hal selama berkarir sebagai seorang wartawan. Seno
dikenal sebagai wartawan yang berani mengungkapkan fakta dalam setiap tulisannya.
Sastra merupakan salah satu caranya dalam mengungkapkan kebenaran. Dalam
kumpulan esainya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno
menyatakan bahwa ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika
jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran (Ajidarma,
2005: 40).
Seno sebagai pengarang implisit melihat kekuasaan sering digunakan sebagai
alat penindasan. Hal tersebut terlihat saat Rama menggunakan kekuasaannya dengan
semena-mena. Penaklukan anak benua yang dilakukan dengan berbagai perusakan
dianggap suatu hal yang sah. Seno sebagai pengarang implisit tidak setuju dengan hal
tersebut. Kutipan berikut menunjukkan ketidaksetujuan Seno.
(134) Satu pembunuhan menimbulkan luka satu keturunan, seribu pembantaian menimbulkan luka satu generasi. Bagaimanakah suatu bangsa akan tumbuh dengan luka panjang dalam sejarahnya? Bagaimanakah suatu kesakitan harus diterima? (Ajidarma, 2004: 190)
(135) Mudah untuk menyerbu, membantai, dan menghancurkan peradaban, tetapi tidak pernah mudah membangunnya kembali (Ajidarma, 2004: 128).
71
(136) Maka berlangsunglah Persembahan Kuda, sebuah upacara untuk dewa-dewa atas nama perdamaian yang menginjak- injak hak asasi manusia. (Ajidarma, 2004: 15)
(137) Penderitaan tidak melahirkan perenungan, melainkan dendam terhadap kemapanan. Kejahatan marak di mana-mana. Perampokan, pemerkosaan, danpembunuhan bukan lagi suatu kesalahan (Ajidarma, 2004: 128).
Pemberontakan Seno sebagai pengarang implisit terhadap penguasa dalam
KOK juga tercermin dalam kehidupan Seno sebagai pengarang nyata. Seno adalah
sosok yang tidak suka dengan tindakan semena-mena penguasa yang kadang
meremehkan rakyat kecil. Seno juga sosok ayah yang sangat menyayangi anaknya.
Jiwa Seno kembali terusik ketika Timur Angin, anaknya, menjadi salah satu korban.
Timur Angin terlibat demonstrasi di boulevard UGM pada 3 April 1998 yang
berakhir dengan penyerbuan aparat keamanan ke dalam kampus. Dia mengirim
somasi kepada Panglima ABRI yang saat itu berkuasa untuk meminta maaf secara
terbuka. Kutipan berikut merupakan penggalan surat terbuka Seno yang ditujukan
pada Panglima ABRI.
(138) Seperti telah diketahui, saya melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta telah mengajukan tuntutan kepada Panglima Angkatan Bersenata Republik Indonesia, berhubungan dengan Tragedi 3 April di Universitas Gadjah Mada. Dalam peristiwa itu, anak saya, Timur Angin, 19, telah diseret dan diinjak- injak kepalanya oleh para petugas keamanan. (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/08/0027.html)
(139) Saya telah mengajukan tuntutan, dan hal ini telah dipublikasikan. Sehubungan dengan hal itu banyak pihak telah memperingatkan saya bahwa “seperti yang lain- lain” pasti akan diteror. Maksudnya? Tekanan tidak resmi supaya saya mencabut gugatan. Saya bukan orang yang begitu beraninya melawan teror, melainkan saya masih percaya bahwa jiwa ksatria seperti yang ada pada diri Kolonel (Pol) Chaerul belum hilang sama
72
sekali dari ABRI milik rakyat Indonesia ini. (http:// www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/08/0027.html)
Pada usia 17 tahun ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar A.N.
sejak itu , ia terus terlibat dalam dunia kesenian. Seno memulai kegiatan sastranya
dengan menulis puisi, cerita pendek, baru kemudian menulis esai. Puisinya yang
pertama dimuat dalam rubrik Puisi Lugu majalah Aktuil asuhan Remy Silado.
Cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional dan esainya yang
pertama tentang teater dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat (http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2006/012006/26/kampus/buku.htm).
Pada tahun 1997 Seno pindah ke Jakarta dan kuliah di Departemen
Sinematografi Lembaga Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta). Pada tahun
yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka.
Tidak lama kemudian ia menerbitkan majalah kampus bernama Cikini dan majalah
film bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman
dan ikut menerbitkan majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan
sebagai wartawan terus dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai (ibid).
Pada tahun 1992 Seno dibebastugaskan dari jabatan redaktur pelaksana
Jakarta-Jakarta berkaitan dengan pemberitaan tentang insiden Dili pada tahun 1991.
Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas
Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun
kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra pada akhir tahun 1993,
73
Seno kembali diminta memimpin Jakarta Jakarta yang telah berubah menjadi
majalah hiburan (ibid).
Pengarang implisit dalam KOK melihat bahwa tindakan semena-mena
penguasa tidak harus diterima dengan rasa takut, tetapi dilawan. Hal ini terlihat dari
tokoh Hanoman yang berani melawan Rama yang sudah mulai dibutakan oleh
kekuasaan. Hanoman mengambil tindakan berani untuk meninggalkan Rama, raja
yang selama ini dijunjungnya, karena Rama tidak lagi menjadi penguasa yang
mengayomi rakyat. Tindakan berani yang diambil Hanoman merupakan upaya
pemberontakan pengarang implisit dalam mempertahankan kebenaran. Hanoman
berani melawan arus, walaupun dengan konsekuensi dia harus meninggalkan Ayodya
karena prinsipnya.
Seno dalam KOK melihat kaum miskin dan terpinggirkan sebagai kaum yang
istimewa. Hal ini terlihat dari cara Seno mengangkat Satya dan Maneka ke dalam alur
cerita Ramayana-nya. Seno sebagai pengarang implisit membuat Satya dan Maneka
yang semula hanya tokoh tak berarti menjadi bagian penting dalam perjuangan
manusia mencapai kesempurnaan peradaban dan ilmu pengetahuan. Melalui tokoh
Satya dan Maneka ini, pengarang implisit hendak menegaskan betapa pentingnya
peran kaum terpinggirkan dalam dunia ini, walaupun kehadiran mereka banyak
terlupakan. Penguasa sekalipun tidak akan memperoleh kekuasaannya tanpa bantuan
mereka. Akan tetapi, betapa pun pentingnya kehadiran kaum terpinggirkan ini,
mereka selalu menjadi korban atas segala tindakan penguasa. Kutipan berikut
menunjukkan pengarang implisit yang berpihak pada kaum terpinggirkan.
74
(140) Selalu rakyat yang jadi korban (Ajidarma, 2004: 136)
Melalui perjalanan Maneka dan Satya dalam mencari Walmiki dan Kitab
Omong Kosong, terlihat usaha pengarang implisit untuk memperlihatkan usaha kaum
terpinggirkan dalam mengubah nasibnya. Maneka dan Satya diceritakan begitu gigih
dalam mencari Walmiki untuk menuntut perubahan jalan hidupnya. Mereka juga
sangat total dalam mencari Kitab Omong Kosong. Kedua hal tersebut mereka jalani
walaupun jalan berliku harus dilewati. Tak jarang mereka menghadapi masalah dalam
perjalanan, bahkan Maneka sampai diculik oleh para bandit Gurun Thar dan hampir
dijadikan korban persembahan. Usaha keras keduanya bukannya tanpa hasil. Mereka
berhasil menemukan Walmiki dan menuntut keluar dari jalan ceritanya. Mereka juga
berhasil menemui Hanoman dan menemukan Kitab Omong Kosong, bahkan berhasil
memahami isinya. Akan tetapi, segala perjalanan dan lika- liku yang ditempuh seakan
tidak menunjukkan hasil yang luar biasa. Hal tersebut tidak lantas membuat mereka
menjadi orang yang paling berkuasa atau orang yang paling pandai. Keduanya
menjalani kehidupan biasa setelah berhasil melewati semua itu. Perbedaannya, kini
mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Maneka tidak lagi tersiksa dengan
masa lalunya sebagai pelacur dan bisa menjalani kehidupan normal, demikian juga
Satya. Pengarang implisit seakan ingin menunjukkan bahwa usaha kaum
terpinggirkan untuk mengubah hidupnya, terkadang juga berimbas pada perubahan
dunia. Walaupun hal tersebut tidak disadari orang, toh rakyat kecil juga ikut ambil
bagian penting dalam membawa perubahan.
75
Di bagian paling akhir KOK, diketahui bahwa ternyata Togog- lah yang
menuliskan cerita ini. Togog dikenal sebagai abdi para tokoh jahat dalam dunia
pewayangan. Dia adalah saudara Semar. Togog selalu mengabdi pada tokoh-tokoh
yang memiliki sifat buruk. Tugasnya adalah menjadi penasihat bagi para tuannya
yang jahat agar bisa melaksanakan setiap niat liciknya. Akan tetapi, Togog juga
selalu diabaikan dan dianggap tidak penting. Di sini, Seno sebagai pengarang implisit
hendak menampilkan Togog sebagai pencerita. Seorang Togog-pun patut untuk
didengarkan. Tidak selamanya tokoh yang dianggap jahat selamanya memiliki sifat
buruk dan tokoh yang baik memiliki sifat yang terpuji. Tokoh yang dianggap buruk
sifatnya pun bisa mengungkapkan kebenaran dari sudut pandangnya.
(141) Saya Togog, penulis cerita ini, mohon maaf kepada Pembaca yang Budiman, telah menghabiskan waktu Pembaca sekian lama untuk mengikuti cerita ini. Saya Togog hanyalah tukang cerita yang bodoh tidak diberkati para dewa. Saya Togog, hanyalah orang terbuang, tidak disayang seperti Semar, memang tidak layak diperhatikan, buruk rupa, terlalu banyak bicara, banyak bohong, berpanjang-panjang mengarang cerita (Ajidarma, 2004 618).
Pengarang implisit dalam KOK memiliki kepedulian terhadap masalah-
masalah perempuan. Sinta dan Maneka adalah dua tokoh perempuan yang tertindas.
Sinta adalah istri Rama yang harus pergi meninggalkan Ayodya dan terlunta- lunta di
hutan akibat ketidakpercayaan suaminya sendiri. Maneka adalah pelacur malang yang
menderita akibat rajah kuda yang dimilikinya sama dengan kuda yang digunakan
Rama dalam Persembahan Kuda. Sinta dan Maneka adalah dua wanita dari dua kelas
sosial yang berbeda, tetapi mengalami nasib yang hampir sama. Keduanya menjadi
76
korban kekuasaan. Pengarang implisit melihat bahwa perempuan dari berbagai
kalangan selalu menjadi korban.
(142) “Menyerahlah perempuan dengan rajah kuda di punggung! Menyerahlah! Kamu terkutuk untuk menadi korban!” (Ajidarma, 2004: 313)
(143) “Ia tak pernah peracaya aku setia, ia mencintaiku atau menguasaiku?” (Ajidarma, 2004: 82)
Sinta berjuang mempertahankan cinta dan kesetiaannya selama berada dalam
tawanan Rahwana. Sementara itu, Rama justru terpengaruh dengan hasutan rakyat
dan mengusir Sinta dari Ayodya karena menganggapnya sudah tidak suci lagi. Di sini
terlihat pengarang implisit yang peduli pada permasalahan-permasalahan perempuan.
Pengarang implisit juga melihat kompleksnya cinta yang harus dijalani Sinta,
Satya, dan Maneka. Bagi sebagian orang, cinta dan kesetian harus mampu dibuktikan.
Hal ini juga yang dituntut Rama. Dia ingin istrinya membuktikan bahwa dirinya
masih suci. Sementara itu, cinta yang dipendam Satya pada Maneka adalah cinta yang
suci dan tidak menuntut.
Sejak kecil Seno dikenal sebagai sosok yang pembangkang. Karena
kebebasannya untuk menuliskan Insiden Dili dalam pemberitaan telah dipasung, Seno
berusaha menuliskannya ke dalam bentuk lain yaitu sastra. Dari sinilah lahir
kumpulan cerpen Saksi Mata dan sebuah novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang
berlatar belakang insiden Dili. Menulis cerpen merupakan usaha lain untuk
mengungkapkan kebenaran. Dalam kumpulan esainya Ketika Jurnalisme Dibungkam
Sastra Harus Bicara, Seno mengungkapkan proses kreatifnya perihal cerpen dan
novelnya yang berlatar insiden Dili. Dalam bukunya ini, Seno dengan juga
77
mengungkapkan cara berpikirnya dalam ‘pembungkaman’ yang dilakukan
pemerintah Orde Baru atas Jakarta Jakarta. Kutipan berikut menunjukkan pengakuan
Seno seputar pemberhentiannya dari Jakarta Jakarta dan usaha perlawanan yan
dilakukan untuk mengungkap kebenaran.
(144) Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari Insiden Dili yang bisa menjadi cerpen – sebagai suatu cara untuk melawan (Ajidarma, 2005: 40).
(145) Peristiwa yang saya alami – tanpa merujuk lembaga apapun – saya anggap merupakan keangkuhan kekuasaan, yang begitu tidak rela terusik, meski melakukan kesalahan. Angkuh bukanlah suatu kesalahan, kesalahannya adalah karena harus mengorbankan orang lain. Tapi jika orang lain itu adalah saya, dengan rendah hati, meski tanpa saya kehendaki, saya akan melawan. Dalam bahasa preman, “acing diinjak pun menggeliat, apalagi manusia.” Dengan ini saya ingin menyatakan, perlawanan saya bukanlah suatu tindakan heroik – itu hanya soal naluri alamiah (Ajidarma, 2005: 97-98)
(146) Saya diberhentikan karena meloloskan berita mengenai Insiden Dili 12 November 1991: laporan 17 saksi mata mengenai peristiwa berdarah itu, yang jelas berbeda dengan berita-berita di media massa resmi. Saya menafsirkan pemberhent ian saya sebagai usaha pembungkaman untuk mengungkap fakta seputar Insiden Dili, saya menganggap perlawanan paling tepat adalah mengungkapkan kembali fakta tersebut. Namun karena saat itu saya mengalami pencekalan dalam dunia fakta, maka saya hanya berpeluang mengungkapkannya dalam dunia fiksi (Ajidarma, 2005:180-181)
Seno yang berjiwa bebas juga tercermin dalam karyanya. Seno sebagai
pengarang implisit berbicara mengenai kebebasan. Satya dan Maneka adalah dua
tokoh yang menuntut perubahan dalam jalan hidupnya. Keduanya mencari Walmiki
untuk menuntut jalan cerita yang telah dituliskan untuk mereka. Satya dan Maneka
bukan satu-satunya tokoh yang minta keluar dari jalinan cerita yang ditulis Walmiki.
78
Ada Talamariam, Kapi Moda, dan beberapa tokoh tak bernama yang menemui
Walmiki dan minta undur diri untuk menuliskan cerita mereka sendiri. Tokoh-tokoh
yang dikisahkan menggugat Walmiki ini adalah tokoh-tokoh kecil dalam alur cerita
Ramayana. Seno sebagai pengarang implisit melihat bagaimana tokoh kecil atau
kaum terpinggirkan selalu berusaha menuntut perubahan nasib, tetapi kehadiran
mereka bahkan tidak disadari dan cenderung dilupakan.
(147) “Walmiki,” kata wanara tua itu, “kamu lupa membunuhku.” (Ajidarma, 2004: 484)
(148) Walmiki, meskipun ingat akan Kapimoda, lupa- lupa ingat akan perannya (Ajidarma, 2004: 485).
(149) “Itulah masalahnya, Walmiki, riwayatku berubah-ubah daris atu penulis ke penulis lain. Mereka menafsirkanku dengan cara yang berbeda-beda sama sekali, kadang-kadang dengan sangat bertolak belakang. Akumerasa terpontang-panting dari watak satu ke watak lain.” (Ajidarma, 2004: 513).
(150) “Itulah masalahnya, setelah pribadiku tidak jelas, aku tak berperan apa pun, para pengarang tidak pernah peduli lagi kepadaku, aku menadi terlantar.s etelah berubah-ubah begitu rupa, aku menadi bukan siapa-siapa. Padahal aku ini tetap ada. Siapakah aku, wahai pengarangku, engkau harus memberekan aku.” (Ajidarma, 2004: 513-514)
(151) Itulah pertanyaannya. Seberapa jauh seorang juru cerita bertanggung jawab atas nasib tokoh-tokohnya? (Ajidarma, 2004: 369)
“Jalan ilmu pengetahuan terstruktur membukakan kesadaran bahwa realitas
‘yang benar’ adalah konvensi, kesepakatan; bahwa yang bernama ‘realitas’
sebenarnya merupakan konstruksi sosio-historis. Segala sesuatu diciptakan karena
ada kebutuhan. Teori juga begitu. Mereka lahir dari yang sudah ada. Posmodernisme
lahir karena modernisme, dekonstruksi lahir karena konstruksi, poststruktularisme
lahir karena strukturalisme,” ujarnya (http://www.kompas.com/kompas-
79
cetak/0508/19/Sosok/197999.htm). Dalam KOK ilmu pengetahuan menjadi kunci
utama membangun peradaban yang hancur akibat bencana Persembahan Kuda. Kitab
Omong Kosong menjadi kunci untuk menyatukan lagi segala ilmu pengetahuan dan
membangun peradaban yang telah hancur. Akan tetapi, ilmu pengetahuan menjadi
alat untuk memperebutkan kekuasaan. Kitab Omong Kosong dianggap mampu
membuat seseorang berkuasa jika berhasil mendapatkan dan memilikinya. Seno
sebagai pengarang implisit melihat ilmu pengetahuan dalam KOK menjadi salah satu
alat pemenuh hasrat manusia untuk berkuasa.
3.2 Rangkuman Pengarang Implisit
Pengarang implisit dalam KOK menuturkan berbagai hal yang mewakili cara
pandangnya dalam melihat setiap permasalahan yang ada dalam KOK. Seno sebagai
pengarang implisit melihat kekuasaan yang dijalankan Rama sebagai sebuah usaha
yang dijalankan Rama untuk memuaskan hasrat pribadinya. Pengarang implisit
mengisahkan kekuasaan yang membuat rakyat kecil menjadi tertindas. Pengarang
implisit ingin menegaskan bahwa tindakan sewenang-wenang penguasa terhadap
rakyat kecil harus bisa dilawan. Penguasa sering lupa akan peran rakyat kecil atau
kaum pinggiran, padahal merekalah yang menentukan jalannya kekuasaan.
Melalui tokoh Satya dan Maneka ini, pengarang implisit hendak menegaskan
betapa pentingnya peran kaum terpinggirkan dalam dunia ini, walaupun kehadiran
mereka banyak terlupakan. Akan tetapi, betapa pun pentingnya kehadiran kaum
terpinggirkan ini, mereka selalu menjadi korban atas segala tindakan penguasa.
80
Seno sebagai pengarang implisit juga mengangkat masalah-masalah
perempuan. Sinta dan Maneka ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang
mengalami penindasan akibat hasrat berkuasa Rama yang begitu membabi-buta.
Pengarang implisit menampilkan perempuan dari dua strata sosial yang berbeda,
tetapi mengalami kemiripan nasib. Cinta Sinta yang begitu besar pada Rama, ternyata
masih memerlukan pembuktian. Keraguan Rama membuatnya kehilangan Sinta.
Sementara itu, Satya yang memendam rasa cinta pada Maneka tidak menuntut banyak
hal. Dia hanya menanti saat yang tepat untuk mengungkapkannya.
Satya dan Maneka menjadi sarana pengarang implisit dalam menggambarkan
perjuangan manusia dalam menggapai kebebasan. Seno sebagai pengarang implisit
melihat bahwa usaha yang dilakukan Satya dan Maneka untuk mengubah suratan
takdirnya merupakan usaha yang patut dicontoh. Hidup memang harus selalu
diperjuangkan. Melalui Kitab Omong Kosong yang berusaha mereka pahami, Satya
dan Maneka akhirnya menemukan pencerahan. Mereka juga berhasil memperoleh
kebebasan yang mereka idam-idamkan. Akan tetapi, dalam perjalanan mencari Kitab
Omong Kosong banyak hal yang mereka pahami. Pengarang implisit menuturkan
bagaimana ilmu pengetahuan yang diincar banyak orang dalam Kitab Omong Kosong
telah membuat banyak orang ingin menguasai dunia.
81
BAB IV
IDEOLOGI PENGARANG
DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
Destut de Tracy memunculkan kata ideologi sebagai istilah untuk menunjuk
pada “ilmu tentang gagasan” (Sobur, 2004: 211). Seorang pengarang memiliki cara
yang unik dalam menangkap permasalahan dibandingkan dengan masyarakat pada
umumnya. Jiwa yang selalu gelisah, benturan antarnilai akibat kompleksitas cara
memandang berbagai persoalan kehidupan, serta perbedaan cara memandang
persoalan kehidupan tersebut dengan pandangan masyarakat di sekitarnya
merupakan sebuah karakteristik umum yang menghinggapi seorang pengarang karya
sastra.
Dalam KOK terdapat tokoh-tokoh yang mendukung jalannya cerita. Tokoh-
tokoh ini kemudian membentuk suatu kesatuan yang saling menguatkan tentang
adanya pola berpikir atau ideologi mereka. Penelitian ini hanya mengkaji ideologi
pengarang jika dihubungkan dengan alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama
dalam KOK karya Seno kemudian dicari hubungannya dengan pengarang impisit.
Tokoh utama yang diteliti yaitu Rama, Maneka, Satya, Hanoman, dan Walmiki.
Kelima tokoh ini dianggap mampu mewakili pemikiran pengarang. Kelima tokoh ini
juga menjadi sentral penceritaan dalam KOK. Sebelum mengkaji ideologi pengarang,
penulis mencoba mengkaji implied author (pengarang implisit) sebagai jembatan atau
82
penghubung. Analisis mengenai pengarang implisit ini merupakan suatu cara untuk
melihat diri lain pengarang dalam karyanya sebelum masuk dalam analisis ideologi.
Hal ini telah dilakukan penulis pada bab sebelumnya.
Pengertian ideologi di sini akan lebih memperlakukan sebagai sistem
kepercayaan, nilai-nilai, dan kategori-kategori yang menadai acuan dalam
memahami, menanggapi, dan menerangkan setiap permasalahan hidup (Budiman,
1994:47). Pengarang sebagai pencipta karya sastra tidak bisa diabaikan
keberadaannya dalam proses penciptaan karya sastra. Karya sastra merupakan hasil
perenungan hidup seorang sastrawan yang diwujudkan dalam cerita.
Kenangan dan harapan kita membuat kita hidup tidak hanya bersama apa yang
kita pandang, tidak cuma yang kita alami, tapi juga termasuk apa yang kita impikan.
Begitulah mimpi-mimpi menjadi bagian dari dunia konkret seorang penulis. Bukan
hanya penulis sebetulnya, setiap manusia, namun bagi seorang penulis semua hal
abstrak ini menjadi dunia nyata yang bisa dijelajahi – yang tidak lebih dan tidak
kurang juga berarti: bisa dituliskan (Ajidarma, 2005: 126-127).
4.1 Ideologi Pengarang
Berdasarkan penelitian mengenai pengarang implisit dalam KOK yang telah
dilakukan pada bab sebelumnya, penulis menemukan enam pokok ideologi
pengarang. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu: ideologi pengarang mengenai
kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, ideologi pengarang
83
mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai cinta, ideologi pengarang
mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan.
4.1.1 Ideologi Pengarang Mengenai Kekuasaan
Seno membuat sebuah cerita yang menunjukkan dua sisi kehidupan,
yaitu antara penguasa dan rakyatnya. Melalui tokoh Rama, Seno
menunjukkan lika-liku seorang penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Seno juga menjungkirbalikkan pandangan umum mengenai Rama sebagai raja
yang dikagumi. Dalam KOK, Seno juga mengungkap borok tersembunyi
Rama sebagai seorang penguasa. Sementara itu, melalui Satya dan Maneka,
Seno hendak menunjukkan kehidupan rakyat kecil yang tertindas akibat ulah
penguasa yang semena-mena.
Kekuasaan yang membabi buta yang dijalankan Rama, membuat
Hanoman yang dikenal sebagai kepercayaan Rama angkat bicara atas
ketidaksetujuannya. Hanoman berani menolak dan memprotes tindakan Rama
melakukan Persembahan Kuda yang telah menghancurkan anak benua. Di sini
Seno seperti hendak menegaskan bahwa bawahan pun berhak menolak
kemauan penguasa. Hanoman dikenal sebagai bawahan Rama yang setia dan
selalu mengikuti setiap perintah tuannya itu. Akan tetapi, dalam KOK
Hanoman justru berselisih paham dengan Rama. Hanoman bahkan
meninggalkan Ayodya untuk bertapa karena tidak sejalan lagi dengan Rama.
Hanoman tidak setuju dengan sikap Rama yang meragukan kesetiaan Sinta.
84
Honoman juga tidak setuju dengan tindakan Rama yang melakukan
Persembahan Kuda untuk menaklukan anak benua. Walaupun Hanoman
sangat menghormati Rama, tetapi hatinya tidak bisa menerima tindakan Rama
yang mulai di luar kendali. Hanoman pun memutuskan untuk meninggalkan
Ayodya dan tidak ikut campur lagi dengan semua permasalahan Ayodya.
(152) Namun di hadapan Rama, Sang Hanoman bicara terus terang. “Saya melihat Gelembung Rahwana turun dari langit. Kita dikuasai sifat-sifat jahat Rahwana. Lihatlah bagaimana rakyat Ayodya menjadi edan. Sinta yang setia dituduh bukan-bukan. Bahkan Rama suaminya, tidak peduli kepada nasib ibu yang mengandung anaknya.” (Ajidarma, 2004: 45)
(153) “Aku Hanoman sudah melihat bermiliar-miliar Gelembung Rahwana di udara, itulah semua pembangkit kebencian. Kudengar juga tentang Persembahan Kuda, darah tumpah di seluruh anak benua, karena cintamu meradang dalam kesalahan. Inilah pelajaran bagi kekuasaan Rama. Kita bisa menguasai dunia, tapi tidak bisa menguasai cinta. Renungkanlah Rama, dan terimalah. Aku Hanoman berkirim salam.” (Ajidarma, 2004: 76)
Hanoman adalah tokoh yang dikenal bijaksana. Sebagai kepercayaan
Rama, Hanoman seharusnya membela dan membantu setiap hal yang dilakukan
junjungannya. Akan tetapi, Hanoman justru menentang segala tindakan Rama
yang mulai tak terkendali akibat Gelembung Rahwana. Hanoman juga
menyayangkan sikap Rama yang meragukan kesetian Sinta. Kutipan (100)
menunjukkan kekecewaan Hanoman pada Rama.
(154) “Rama Raja Ayodya, Rama Sang Titisan, ketahuilah aku Hanoman tidak akan datang. Sejak semula sudah kukatakan, seluruh Ayodya bersalah ketika kesucian Sinta dipersoalkan. Aku sendiri yang membawa cincin kesetian itu ke Alengka. Kita semua sudah membuktikan sekali lagi kesucian seorang perempuan, dengan sebuah pembakaran. Apalagi yang harus
85
dibuktikan? Lagi pula, di dalam cinta, kesucian tidak usah dipersoalkan.” (Ajidarma, 2004: 76)
Hanoman memandang bahwa segala perbuatan pemimpin tidak
selamanya benar. Segala hal yang mulai menyimpang dan mulai berada di luar
batas harus mampu dilawan. Seorang bawahan sekalipun harus mampu
berbicara dan mengutarakan ketidaksetujuannya. Tidak selamanya seorang
penguasa harus diikuti. Rakyat harus mampu mengambil sikap atas segala
tindakan penguasa. Hal tersebut juga tercermin dari sikap Hanoman yang
memilih meninggalkan Ayodya dan melanjutkan tapanya karena mulai tidak
sejalan dengan Rama. Hanoman merasa bahwa dirinya benar. Walaupun Rama
adalah atasannya, Hanoman tidak mau begitu saja menyetujui setiap tindakan
Rama. Orang rendahan pun berhak menolak keinginan penguasa. Kutipan
berikut memperlihatkan bagaimana Rama terpana atas penolakan Hanoman.
(155) Rama terpana dengan penolakan Hanoman. (Ajidarma, 2004: 76) (156) “Rama Raja Ayodya, Rama Sang Titisan, ketahuilah aku
Hanoman tidak akan datang.” (Ajidarma, 2004: 76)
Sebagai bawahan Rama, Hanoman memiliki sikap dalam menanggapi
setiap keputusan Rama sebagai pemimpin. Hal-hal yang dirasanya tidak pantas
dan membawa dampak buruk akan ditolak Hanoman. Jika sikap penguasa dan
keyakinan yang dianutnya mulai tidak sejalan dan bertentangan, Hanoman tidak
ragu-ragu untuk mengambil jalannya sendiri. Akan tetapi, Hanoman tetap
menghormati pemimpinnya. Kutipan (103) dan (104) menunjukkan ketaatan
Hanoman pada Rama, walaupun dirinya tak lagi sejalan dengan rajanya itu.
86
(157) “Hanoman, aku telah mendengar kata-katamu. Kunyatakan masalah ini bukan urusanmu. Pergilah kembali ke pertapaanmu.” (Ajidarma, 2004: 45)
(158) Tetapi jika Rama telah menyatakan kepadanya jangan ikut campur, bagaimana mungkin ia menolongnya? (Ajidarma, 2004: 46)
Kita tidak bisa sembarangan menyebut seseorang pengkhianat, karena
setiap orang dewasa dapat dianggap bisa mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Namun satu hal boleh dipertimbangkan, dalam dunia politik –
maupun dalam cinta – para pengkhianat selalu akan lebih menderita daripada
yang dikhianatinya (Ajidarma, 2002: 51). Sikap Hanoman yang demikian bagi
Seno merupakan suatu kewajaran. Ketika seseorang mulai terusik hati
nuraninya, dia harus mulai berani memutuskan. Sebesar apa pun pengaruh
penguasa, kita harus berani mengambil sikap.
Penguasa memiliki tanggung jawab besar sebagai pemimpin rakyat.
Dialah penentu segala kebijakan dan penentu kesejahteraan rakyat. Karena
itulah, seorang penguasa harus bijak mengambil keputusan sehingga tidak
merugikan rakyat. Akan tetapi, terkadang manusia terlena dan menjadi lupa diri.
Penguasa yang seharusnya mengayomi rakyat, tanpa disadari justru menjadi
penghancur. Namun menurut Ajidarma (2002:107) kekuasaan yang berlumuran
darah tak membuat tenang. Seno ingin menunjukkan hal tersebut dalam KOK.
Rama yang mulai buta karena cinta melampiaskannya dengan melakukan
Persembahan Kuda.
(159) “Biarlah Sinta jauh dari Ayodya, toh Rama pun tak mencarinya.” Namun diburu perasaan bersalah sampai hampir gila.
87
Tahu dirinya bersalah. Tapi seperti bukan orang bijaksana Hati kacau tiada menentu, tak tahu harus berbuat apa Alih-alih mencari Sinta, Patung emas Sinta dibuatnya pula Sinta dibanding patung, Tiada perbedaan yan lebih menyakitkan Lelaki sekuat Rama bukan perkecualian Apalah artinya patung emas, Dibanding kekasih berhati emas? Rama kehilangan daya Sampai dibuatnya Persembahan Kuda Betapa gawatnya pengaruh Gelembung Rahwana (Ajidarma, 2004:52)
Semakin tinggi kekuasaan seseorang, semakin dia sibuk melihat ke
kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, mencari-cari siapa tahu ada orang
yang akan menggulingkannya dari singgasana kekuasaan (Ajidarma,
2002:153). Itulah yang terjadi pada Rama yang mulai sibuk memikirkan bisik-
bisik rakyatnya tentang Sinta. Antara rasa cinta dan kecurigaan membuat
Rama bingung memikirkan kemungkinan bahwa Sinta sudah tidak suci lagi.
Rama pun mulai menghadapi dilema dalam hidupnya. Mendengarkan rakyat
yang berarti kehilangan istrinya atau mempertahankan Sinta yang berarti
kehilangan kekuasaannya. Di sinilah Seno menunjukkan bagaimana seorang
penguasa mulai gelisah ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Pada
akhirnya kekuasaan yang menang.
(160) Ternyata esok harinya beribu-ribu orang menemur dirinya di alun-alun, sampai alun-alun Ayodya tidak cukup lagi menampung mereka. Orang-orang yang menjemur diri, laki- laki maupun perempuan, memanjang sampai ke gerbang kota. Rama yang telah mendengar keinginan mereka terhenyak. Apakah ia harus mengusir Sinta, karena ia berpihak kepada keinginan orang
88
banyak? Ataukah ia mengusirnya, karena ia sendiri sejak dulu sebenarnya tidak terlalu percaya? (Ajidarma, 2004: 42)
Kekuasaan memang sulit, terutama bagi penguasa sendiri, karena
kemampuannya untuk menentukan nasib orang lain (Ajidarma, 2002:150).
Seno menghadirkan kisah Rama yang memiliki kuasa untuk menentukan
pemerintahan di Ayodya. Pengaruhnya bahkan telah membuat anak benua
bertekuk lutut dalam kekuasaannya. Akan tetapi, Rama mengalami dilema
ketika harus memilih antara istrinya dan rakyatnya. Hal yang sulit dilakukan,
tetapi Rama harus memilih. Bumi cuma sebesar biji merica, lebih kecil lagi
manusia, tapi toh mereka memimpikan kekuasaan (Ajidarma, 2002:43).
Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kekuasaan yang
telah dilakukan, dapat disimpulkan ideologi Seno dalam menyikapi masalah
kekuasaan dalam KOK. Dalam ideologi Seno, kekuasaan cenderung dijadikan
sebagai alat pemenuh hasrat menguasai dan bukan untuk membuat kehidupan
rakyat menjadi lebih baik. Penguasa sering terjebak pada memenuhi keinginan
rakyat yang keliru atau mempertahankan kebenaran, seperti yang dialami
Rama. Dalam ideologi Seno, kekuasaan harus bisa dijalankan dengan penuh
kebijakan sehingga setiap keputusan yang dilaksanakan tidak berakibat buruk
bagi masyarakat, seperti yang dilakukan Rama dengan Persembahan Kuda-
nya. Penguasa harus mampu memilah dan membedakan kepentingan pribadi
dan kepentingan negara agar tidak terjadi pencampuradukkan kepentingan
yang bisa berakibat buruk.
89
4.1.2 Ideologi Pengarang Mengenai Kaum Pinggiran
Keberpihakan Seno kepada kaum yang selama ini dipandang sebelah
mata, yakni mereka yang tidak pernah dicatat bahkan cenderung disepelekan,
diabaikan dan dipinggirkan, sangat mendominasi keseluruhan novel.
Keberpihakan pengarang secara implisit terlihat ketika dalam beberapa bagian
novel pengarang sering mengangkat cerita-cerita lama yang banyak
menceritakan nasib kaum terpinggirkan itu (Widijanto, 2007: 25). Satya dan
Maneka merupakan dua tokoh yang mewakili kaum terpinggirkan yang dibela
Seno. Maneka adalah seorang bekas pelacur yang berusaha mengubah
nasibnya dengan mencari Walmiki. Maneka ingin agar garis kehidupannya
dituliskan berbeda. Dia ingin mempertanyakan jalan hidupnya yang menderita
akibat rajah kuda di punggungnya. Maneka ingin keluar dari cerita yang telah
ditulis Walmiki dan menentukan ceritanya sendiri. Sementara Satya adalah
pemuda lugu yang menjadi korban Persembahan Kuda. Keluarga dan hartanya
lenyap seketika diterjang ganasnya Persembahan Kuda yang
memporakporandakan kampungnya.
Tokoh pinggiran, sekecil apa pun mereka, selalu dibutuhkan
kehadirannya. Mereka jugalah yang menentukan jalannya kekuasaan. Seno
memiliki ketertarikan tersendiri pada kaum kecil dan terpinggirkan. Dalam
KOK justru orang yang terpinggirkanlah yang menjadi penentu jalannya
cerita. Bahkan, mereka diberi tanggung jawab besar. Satya dan Maneka,
sebagai rakyat biasa, menjalani takdirnya untuk mencari Kitab Omong
90
Kosong dan mengembalikan peradaban yang telah hancur lebur akibat
Persembahan Kuda. Seno (dalam Ajidarma, 2002:159) mengatakan bahwa
tokoh-tokoh pinggiran ini selalu diperlukan
Kehadiran Satya dan Maneka dalam KOK memberi warna berbeda
dalam alur cerita Ramayana. Satya dan Maneka adalah dua orang anak muda
dari golongan rakyat biasa yang menjadi tokoh utama di cerita ini. Melalui
Satya dan Maneka, Seno banyak mengungkapkan keberpihakannya pada
kaum terpinggirkan. Kaum kecil dan terpinggirkan pun bisa ambil bagian
dalam kisah yang luar biasa ini, bahkan menjadi tokoh utama yang
menentukan jalan cerita. Dengan kepiawaiannya bercerita, Seno membuat
tokoh Satya dan Maneka yang semula tak berarti menjadi penentu jalannya
cerita. Maneka dan Satya diberi tanggung jawab besar untuk menemukan
Kitab Omong Kosong dan mengembalikan peradaban yang hancur akibat
Persembahan Kuda. Kutipan berikut memperlihatkan bagaimana Satya dan
Maneka memperoleh peta yang menunjukkan letak Kitab Omong Kosong.
(161) Satya tak sempat berbuat apa-apa ketika panah bersiut menembus angin dan menancap seketika di kerai pedati. Penunggang kuda yang tampaknya seorang petugas pos itu berbelok ke barat, sambil berteriak, “Tolong teruskan ke selatan.” Satya turun memerikasa panah itu. Ternyata ada gulungan suratnya. (Ajidarma, 2004: 193)
(162) Ketika gulungan surat itu dibuka, ternyata merupakan sebuah peta. (Ajidarma, 2004: 194)
Keberpihakan Seno kepada kaum kecil dan terpinggirkan juga
ditampilkan melalui tokoh Hanoman dan Walmiki. Dalam Kitab KOK,
91
Walmiki ditampilkan sebagai salah seorang tokoh sekaligus penulis
Ramayana. Hanoman sebagai pemegang Kitab Omong Kosong
mempercayakan kitab tersebut kepada Satya dan Maneka yang termasuk
dalam kaum terpinggirkan. Hanoman juga tampil sebagai penyelamat saat
Maneka ditawan oleh bandit-bandit Gurun Thar. Kutipan berikut
memperlihatkan bagaimana Hanoman menolong Maneka saat dia hampir
dijadikan korban persembahan oleh para bandit Gurun Thar.
(163) Tetapi derita yang paling kelam pun memiliki cahayanya sendiri, membuka mata Sang Hanoman dari tapanya yang panjang. Dengan segera Sang Hanoman membaca cahaya itu, dan matanya mendadak menjadi beringas, merah menyala-nyala, pertanda kemarahannya langsung naik ke puncak. Mega-mega di atas Gunung Kendalisada yang berarak tenang terbakar menyala-nyala. Sang Hanoman melayang- layang bahana murka. Ia melesat ke Gurun Thar. (Ajidarma 2004, 313-314)
(164) Sang Hanoman datan dari angkasa tepat pada waktunya. Pisau melengkung itu sudah terayun menuju punggung Maneka. Tiba-tiba pemegang pisau itu menjerit ketika pergelangan tangannya terasa panas, ternyata dipegang oleh tangan berbulu putih. Hanoman berdiri tegak di sana, memegang tangan seorang bandit yang terkulai lemas. Dengan ringan diputar-putarnya tubuh bandit itu, dan dilemparkannya ke arah gerombolan biadab yang tidak menyadari siapa berada di hadapan mereka. Hanoman mengambil Maneka, menyandangkannya ke punggung, sementara gerombolan itu maju mengepungnya di puncak bukit itu. Mereka melepaskan pisau terbang mereka, Hanoman cukup menibaskan tangan untuk menepiskannya. (Ajidarma, 2004: 314)
(165) Bumi menjadi sunyi dan senyap. Hanya angin semilir bertiup perlahan. Hanoman membawa Maneka ke tepi sungai, merawatnya di sana. Dibasuhnya wajahnya. Dibersihkannya darah di seluruh tubuhnya. Diciptakannya sari baru yang langsung menggulung tubuh Maneka. Debu-debu sirna dan ketika Maneka membuka mata ia merasa seperti baru pulang dari sebuah perjalanan yang panjang. (Ajidarma, 2004:315)
92
Dalam pandangan Seno, rakyat kecil pun berhak menuntut haknya. Tidak
selamanya rakyat kecil hanya menerima segala perlakuan dari penguasa. Seno (dalam
Ajidarma, 2002:145) mengatakan bahwa kursi kekuasaan, seperti yang ditulis banyak
orang, adalah tempat yang paling sepi di dunia. Seseorang yang jatuh dari kursi
kekuasaan akan lebih tahu makna: betapa ia ternyata lahir dan mati sendiri, tanpa
orang-orang di sekitarnya.
Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, dapat
disimpulkan ideologi Seno dalam menyikapi masalah kaum pinggiran dalam KOK.
Dalam KOK, kaum pinggiran atau rakyat kecil adalah kaum yang paling merasakan
imbas dari setiap kebijakan. Rakyat kecil seringkali menjadi korban atas setiap
kebijakan yang diambil oleh para penguasa. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran
pun berhak menyuarakan aspirasinya atas setiap kebijakan yang dibuat oleh
penguasa. Kaum pinggiran paling mudah dilupakan keberadaannya dan mereka
cenderung dianggap tidak penting, padahal justru dari merekalah segala hal penting
berasal. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran harus mampu bangkit dari
keterpurukannya. Seringkali usaha kaum pinggiran untuk mengubah hidupnya
terjebak pada keterbatasan, tetapi dalam ideologi Seno, kaum terpinggirkan ini harus
mampu mencari jalan untuk mengangkat harkat dan martabatnya.
93
4.1.3 Ideologi Pengarang Mengenai Perempuan
Perempuan menjadi salah satu tokoh utama dalam KOK. Maneka
adalah salah satu tokoh perempuan utama perempuan yang hadir sebagai
penentu jalannya cerita. Maneka adalah tokoh perempuan yang ditunjuk Seno
sebagai penggerak cerita.
Seno menjadikan Maneka yang hanya seorang pelacur dan berasal dari
kaum pinggiran menjadi sosok yang istimewa dalam karyanya. Kuda yang
digunakan dalam Persembahan Kuda pun bersal dari rajah kuda di punggung
Maneka. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
(166) Bodoh kamu! Dasar pelacur tidak sekolah! Semua orang melihat sendiri kuda putih itu datang dari padang terbuka, berlari masuk kota, berderap di lorong- lorong, lantas melompat ke kamarmu lewat jendela!” (Ajidarma, 2004: 104)
(167) “Kuda itu, semua terjadi setelah peristiwa kuda yang melompat jendela lantas menempel ke punggungku.” (Ajidarma, 2004: 108)
Sinta juga salah seorang tokoh perempuan dalam KOK yang
dikisahkan di sini. Sinta hidup terlunta- lunta karena ulah Rama, suaminya
sendiri.
(168) Para siluman mendekati perempuan itu, yang sambil merangkak-rangkak mengeluh pelan tertahan-tahan (Ajidarma, 2004: 25)
(169) “Dewa o dewa! Betapa ingin aku menolak kuasamu! Kamu tidak mempunyai hak untuk mengatur hidupku! Meskipun tubuhku hancur, hatiku tersayat, aku sendirilah yang telah memilih jalanku!” (Ajidarma, 2004: 25-26)
(170) Mungkinkah cinta meminta korban? Tidakkah ini cuma bencana, pandangan dunia kaum pria? (Ajidarma, 2004: 51)
94
Seno melihat masalah perempuan sebagai hal yang patut
diperbincangkan dalam KOK. Di sini terlihat bagaimana Seno melihat
perempuan sebagai sosok yang tertindas. Maneka menderita, demikian juga
Sinta. Keduanya berasal dari kelas sosia l yang jelas berbeda, tetapi mengalami
kemalangan yang serupa. Yang membedakan, Sinta memilih mati untuk
mengakhiri segala kecurigaan yang terarah padanya, sedangkan Maneka
berusaha menemukan Walmiki dan Kitab Omong Kosong untuk mengubah
nasibnya.
(171) “Menyerahlah perempuan dengan rajah kuda di punggung! Menyerahlah! Kamu terkutuk untuk menjadi korban!” (Ajidarma, 2004: 313)
(172) Maneka merasakan penderitaan yang luar biasa. Kepahitan dan kesakitan serta buncah-buncah luka yang terpendam meruap seketika (Ajidarma, 2004: 313)
Setelah melalui pembahasan di atas, dapat disimpulkan ideologi Seno
sebagai pengarang mengenai perempuan. Perempuan dalam KOK adalah
tokoh utama atau tokoh sentral, terlihat dari usaha Seno mengangkat
perempuan sebagai ‘pejuang’ dalam KOK. Perempuan dari berbagai kalangan
adalah kaum yang harus mampu melawan tindakan semena-mena dan
membangun kembali hidup mereka. Perempuan seringkali menjadi korban
atas setiap peristiwa, seperti yang dialami Maneka dan Sinta. Keduanya
adalah korban Persembahan Kuda yang mengatasnamakan perdamaian, tetapi
menghasilkan kehancuran. Dalam ideologi Seno, perempuan sebagai kaum
95
lemah yang sering menjadi korban harus mampu menunjukkan kekuatannya
untuk melawan setiap tindakan semena-mena yang sering mereka terima.
4.1.4 Ideologi Pengarang Mengenai Cinta
Dalam hal cinta, Maneka tidak terlalu berharap dapat menemukan
cinta yang muluk-muluk. Maneka sudah terlalu lama bergelut dengan dunia
yang hanya menawarkan cinta palsu. Masa lalunya sebagai pelacur
membuatnya tidak memberikan ruang untuk cinta. Maneka berusaha
mengubur semua kenangannya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan apa
itu cinta. Hal ini juga yang membuatnya tidak begitu menanggapi cinta Satya,
walaupun sebenarnya dia tahu dan menyadarinya. Maneka masih berusaha
menyembuhkan luka yang telah lama menggerogoti dirinya.
Bagi Maneka, cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta hadir tanpa dibuat-
buat. Semuanya berjalan wajar dan alami. Itu juga yang dirasakannya saat
menyadari bahwa Satya mencintainya. Semua terasa berbeda dengan cinta
palsu para lelaki yang hanya menginginkan tubuhnya. Jauh di dalam lubuk
hatinya, Maneka juga berharap dapat menemukan sebuah cinta yang tak
menuntut apa pun.
Satya tidak mau menyerah begitu saja dalam menggapai cinta Maneka.
Bagi Satya, cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Satya tahu bahwa
Maneka tidak menanggapi cintanya, tetapi hal tersebut tidak membuatnya
patah semangat. Justru hal inilah yang membuat Satya semakin mencintai
96
Maneka. Satya sadar luka yang pernah dialami Maneka, membuatnya sulit
menerima cinta laki- laki mana pun, termasuk dirinya. Menurut Satya, cinta
harus diperjuangkan dengan penuh kesabaran. Ketika Maneka diculik oleh
bandit-bandit Gurun Thar, Satya mencarinya tanpa mengenal lelah dan tidak
peduli berapa lama waktu yang harus dilaluinya untuk menemukan Maneka
kembali. Kutipan berikut memperlihatkan bagaimana Satya dengan gigihnya
mencari Maneka yang dicintainya.
(173) Dengan hati yang tiba-tiba kosong dan tersayat Satya meluncur menuruni bukit. Ia terus menyeberangi padang alang-alang bermaksud mencari sebuah desa untuk menyisir kembali jejak Maneka. Pasti setidaknya ada orang yang pernah melihat Maneka, pikir Satya, betapapun ia harus menemukan Maneka, meskipun akan makan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan berpuluh-puluh tahun – sampai mati pun akan mencari Maneka. (Ajidarma, 2004: 357)
(174) Orang muda bernama Satya ini mengembara meinggalkan kampung halamannya hanya demi mengantarkan Maneka, seorang pelacur malang yang terlantar dan terlunta- lunta karena ingin mempertanyakan suratan nasibnya. Walmiki telah menulis kisah cinta Rama dan Sinta yang membanjirkan darah, namun ia merasa lebih tersentuh oleh cinta Satya yang tak terucapkan. Cinta yang hanya memberi, dan tidak pernah sekali pun meminta. (Ajidarma, 2004: 370)
Saat bertemu dengan Walmiki, Satya terlibat pembicaraan panjang
dengan orang tua itu. Bukannya mempertanyakan jalan cerita yang ditulis
Walmiki untuknya, Satya justru menanyakan nasib Maneka yang malang.
Bagi Satya tidak ada yang lebih penting dari Maneka. Bagi Satya cinta hanya
memberi dan tidak pernah sekali pun meminta. Karena prinsip itulah Satya
selalu setia menemani Maneka ke mana pun dan mengabulkan segala
97
permintaannya. Kutipan berikut memperlihatkan usaha Satya membantu
Maneka mempertanyakan nasibnya.
(175) “Empu Walmiki. Sudikah dikau mendengarkan aku bicara? seseorang ingin mengubah nasib yang dituliskan olehmu’” (Ajidarma, 2004:365)
(176) “Engkau menggugat atas nasib siapa?” “Barangkali ia juga tidak ingin menggugat, ia hanya ingin bertanya, mengapa engkau memilih dia, seorang perempuan yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, untuk menjadi korban.” (Ajidarma, 2004: 369)
Sebagai empu yang meriwayatkan Ramayana, Walmiki dikenal
sebagai orang tua yang bijak. Kepiawaiannya bercerita mampu memukau
banyak orang. Lewat bercerita pula Walmiki mananamkan makna cinta dan
kesetiaan pada pendengarnya. Dalam pandangan Walmiki cinta Rama pada
Sinta sudah merupakan takdir yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta sejak
awal mula. Akan tetapi, bagi Walmiki cinta Rama tidak lebih mulia daripada
cinta rakyat jelata. Cinta yang sesungguhnya tidak meminta korban. Kutipan
berikut menunjukkan pemikiran Walmiki dalam memandang makna cinta.
(177) “Begini Lawa, begini Kusa,” ujar Walmiki sambil menyeruput kopi, “ibumu memberi harga kepada penciptaan. Memang boleh-boleh saja berkesenian tanpa merasa berkewajiban, karena kesenian memang hakikatnya hanya permainan. Tanpa inilah suatu cara menghargai kehidupan. Burung-burung dan angin boleh bertiup, melayang, dan hilang, karena mereka adalah peristiwa alam. Namun suara-suara serulingmu adalah penciptaan, bukan peristiwa alam. Suara serulingmu adalah pemberian nama kepada alam dan kehidupan, dalam matamu maupun hatimu, merupakan suatu tanggapan kemanusiaan. Itulah bedanya kalian dengan beruang.” (Ajidarma, 2004:54)
(178) Mungkinkah cinta meminta korban dunia? Tidakkah ini cuma bencana, pandangan dunia kaum pria? (Ajidarma, 2004:51)
98
Walmiki banyak menyampaikan pemikirannya tentang cinta dan
kekuasaan dalam Ramayana. Berdasarkan kutipan di atas, Walmiki
memandang cinta sebagai sesuatu yang mulia dan penuh kesetiaan. Ketika
nafsu menguasai muncul dalam cinta, maka cinta tidak lagi bisa disebut cinta.
Menurut Wamiki cinta murni adanya tanpa campur tangan hal-hal lain,
termasuk kekuasaan.
Upacara Persembahan Kuda yang dilakukan Rama adalah akumulasi
rasa dendam sekaligus cintanya pada Sinta. Seno melihat bahwa Rama terlalu
dangkal dalam memahami makna cinta dan kesetian. Kutipan berikut
memperlihatkan cara pandang Walmiki dalam melihat cinta yang mulai
dinodai oleh ambisi berkuasa.
(179) Tiada percintaan lain yang begitu menelan korban, selain percintaan dalam persaingan kekuasaan. (Ajidarma, 2004: 51)
(180) Cinta adalah mulia dalam setia Setia tidak dimungkinkan oleh kuasa Cinta dalam kuasa, tipu daya namanya Kuasa dalam cinta, penjajahan namanya. (Ajidarma, 2004: 83)
Melalui analisis ideologi pengarang mengenai cinta diperoleh ideologi
Seno dalam memandang cinta. Dalam ideologi Seno, cinta adalah sesuatu
yang suci dan sakral seperti yang dituliskan Walmiki dalam Ramayana-nya.
Cinta yang sebenar-benarnya tidak menuntut banyak hal seperti yang
ditunjukkan Satya pada Maneka. Cinta tidak membutuhkan pembuktian. Cinta
adalah cinta yang harus diterima apa adanya dan tanpa pertanyaan. Ketika
99
cinta mulai dipertanyakan, maka cinta mulai kehilangan makna yang
sebenarnya.
4.1.5 Ideologi Pengarang Mengenai Kebebasan
Seno ingin menyadarkan pembacanya bahwa setiap manusia
mempunyai potensi untuk baik dan jahat sekaligus (Widijanto, 2007: 25).
Dalam cerita Ramayana klasik, diceritakan perang antara Rama melawan
Rahwana yang merupakan penggambarkan kebaikan melawan kejahatan.
Dalam KOK kebaikan dan kejahatan justru menjadi kabur dan tidak jelas.
Seno berhasil menggambarkan kompleksitas pribadi manusia yang tidak
melulu baik dan jahat, tetapi bisa menjadi baik dan jahat sekaligus. Tokoh
Rama dalam KOK digambarkan sebagai tokoh yang semula melawan
Rahwana sebagai simbol kejahatan, kemudian menjadi tokoh penghancur
anak benua karena Persembahan Kuda yang dilakukannya. Seno (dalam
Ajidarma, 2002:135) mengatakan bahwa kita memang bisa menjadi bingung,
siapa yang sebenarnya baik dan jahat di muka bumi ini. Celakanya, memang
ada kekuasaan yang bisa menentukan siapa yang bisa disebut jahat dan siapa
oran baik-baik. Penguasa itu tentu saja akan selalu secara resmi tergolong
orang baik-baik – selama ia tidak berada di dalam penjara
Maneka dengan masa lalunya yang suram sebagai pelacur, memiliki
keinginan kuat untuk mengubah nasibnya. Dia tidak ingin nasibnya yang
malang terus menerus menghantui hidupnya. Maneka memiliki keyakinan
100
bahwa dengan menemukan Walmiki, jalan hidupnya bisa diubah. Dengan kata
lain, nasib manusia ditentukan tergantung bagaimana manusia itu
menjalaninya. Dengan perjuangan, manusia bisa membuat hidupnya lebih
baik dari sebelumnya. Akan tetapi, terkadang manusia harus mau menerima
suratan takdir yang sudah digariskan. Sama halnya dengan Maneka dan Satya
yang harus mengubah tujuannya semula mencari Walmiki untuk kemudian
mencari Kitab Omong Kosong.
Maneka adalah seorang bekas pelacur yang berusaha mengubah
nasibnya dengan mencari Walmiki. Maneka ingin agar garis kehidupannya
dituliskan berbeda. Dia ingin mempertanyakan jalan hidupnya yang menderita
akibat rajah kuda di punggungnya. Maneka ingin keluar dari cerita yang telah
ditulis Walmiki dan menentukan ceritanya sendiri. Kutipan berikut
memperlihatkan keputusasaan dan protes Maneka atas rajah kuda di
punggungnya yang telah menyebabkan hidupnya menderita.
(181) “Kuda itu, semua ini terjadi setelah peristiwa kuda yang melompat jendela lantas menempel di punggungku. Kalau nasib pelacur miskin seperti kita, itu cerita biasa dan kita tidak perlu menderita. Tapi peristiwa kuda itu luar biasa.” (Ajidarma, 2004: 108)
Maneka memiliki tekad yang kuat. Dia tidak mau terus menerus
terpuruk dalam kesengsaraan. Maneka percaya bahwa nasibnya bisa diubah
asalkan dia bisa bertemu dengan Walmiki. Pada akhirnya Maneka bisa
bertemu Walmiki dan bisa menggugat jalan cerita yang dituliskan untuknya.
Di sini Maneka mulai memahami bahwa nasib setiap orang bisa berubah
101
asalkan orang yang bersangkutan mau berjuang sungguh-sungguh dan
pantang menyerah.
(182) Maneka termenung. Ia mencari Walmiki untuk mengubah nasibnya. Menggugat sang empu yang menuliskan kodrat hidupnya. Namun benarkah kehidupan manusia ditentukan seperti itu? Selama dalam perjalanan Maneka merasa sesuatu tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang dirasanya tumbuh dari dalam dirinya sendiri, bukan seperti kodrat, bukan seperti takdir, sesuatu yang ditentukannya sendiri. Meskipun Maneka tahu betapa kebenaran perkara uni sulit diperiksanya, ia merasa nyaman dan bahaia membuat peta perjalanan yang akan ditempuhnya sendiri, dengan segala risiko yang siap dihadapi. (Ajidarma, 2004: 206-207)
Dalam KOK Seno menegaskan bahwa manusia berhak menentukan
jalan hidupnya dan memperoleh kebahagiaan atas pilihan hidupnya. Hal ini
terlihat saat Satya, Maneka, Hanoman dan beberapa tokoh lain berusaha
melepaskan diri dari jalan cerita Ramayana yang ditulis Walmiki dan menulis
cerita mereka sendiri. Walmiki sebagai penulis cerita pun memberikan
kebebasan pada para tokohnya untuk keluar dari alur cerita Ramayana dan
menulis cerita mereka sendiri. Terlihat jelas di sini bagaimana ideologi Seno
melihat jalan hidup seseorang merupakan suatu pilihan yang harus dijalani
manusia, apakah menerimanya atau berusaha memperbaikinya. Seno melihat
bahwa seseorang harus mampu bangkit dari keterpurukannya, seperti yang
dilakukan Maneka.
Hanya kebebasan yang diperjuangkan bisa disebut kebebasan
(Ajidarma, 2005: 165). Maneka begitu ingin menemukan Walmiki untuk
102
mengubah nasibnya yang malang. Dengan berbekal kenekatan, Maneka yang
ditemani Satya mencari Walmiki. Seno menunjukkan bahwa usaha Maneka
untuk mengubah nasibnya adalah sebuah cara untuk memperbaiki hidup.
Seorang rakyat kecil pun berhak mendapat kehidupan yang lebih baik. Usaha
yang terus-menerus mampu membuat kita lepas dari keterpurukkan. Seno
(dalam Ajidarma, 2002:149) menyatakan bahwa kita memang tidak pernah
tahu, apa yang telah menjadi suratan takdir – tapi, itu bukan berarti kita tidak
perlu berbuat apa-apa toh? Rakyat, yang paling kecil pun, tidak perlu nrimo
ing pandum, yang artinya kurang lebih menyerah kepada takdir.
Di dalam KOK secara tersirat dinyatakan bahwa dalam hidup, putih
dan hitam dapat bercampur, manusia bisa saja tak pernah mau mengalah pada
kejahatan, namun juga tak dapat dipaksa menyandang kebaikan itu sendiri.
Adakalanya yang jahat bisa demikian berkuasa dan yang baik bisa sangat
menderita, demikian pula sebaliknya (Widijanto, 2007: 25). Seno dengan
kemahirannya mengolah cerita menampilkan tokoh-tokoh dalam KOK secara
lebih unik. Tidak selamanya orang yang dianggap baik akan selamanya
menjadi orang baik. Orang baik pun ternyata memiliki sisi negatifnya sendiri.
Kita sering melihat orang berstatus bebas sering secara sukarela
memenjarakan dirinya dalam dendam dan kebencian, dan dengan itu hidupnya
menjadi kurang bahagia, sehingga tak salah jika kita berpikir orang-orang
seperti itu lebih patut dikasihani – untuk tidak mengatakannya mehong
(Ajidarma, 2002:101). Rama yang telah buta hatinya karena rasa cemburu
103
telah menjebloskan dirinya sendiri ke dalam lingkaran dendam yang tak
berakhir. Rasa cintanya kepada Sinta telah membaur dengan kebencian dan
dendam sekaligus. Seno menjadikan sosok Rama sebagai orang yang
menyedihkan karena tidak mampu membebaskan diri sendiri dari rasa
dendam. Kutipan berikut memperlihatkan Rama yang mulai frustasi karena
cinta dan mulai melakukan Persembahan Kuda.
(183) Panji-panji Ayodya berkibar mencipratkan darah Semua akibat rindu dendam Kegilaan Rama yang tak tersalurkan Masihkah juga Sinta yang akan disalahkan? (Ajidarma, 2004:52)
Tokoh-tokoh Walmiki berusaha lepas dan keluar dari jalinan cerita
yang ditulisnya. Dalam hal ini Walmiki memberi kebebasan kepada mereka
untuk menentukan jalan ceritanya sendiri. Dalam pandangan Walmiki, setiap
manusia berhak menentukan jalan hidupnya dan memulai sendiri kisahnya
tanpa harus ditentukan oleh orang lain. Walmiki memandang bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk melakukan semua itu. Walaupun tercipta sebagai
golongan rendah, bukan berarti manusia tidak mempunyai hak untuk
mengubah nasibnya. Semua ditentukan dari bagaimana manusia itu berusaha.
Cara pandang Walmiki ini mewakili ideologi Seno dalam memandang takdir
dan nasib manusia. Kutipan berikut memperlihatkan usaha Walmiki dalam
memberi kebebasan kepada para tokohnya untuk keluar dari ceritanya dan
menulis sendiri cerita mereka.
(184) “Tulislah ceritamu sendiri, maka engkau akan menjadi sebuah pribadi,” katanya. (Ajidarma, 2004:515)
104
(185) Walmiki melihat bagaimana kekuasaan bisa menjadi sangat menindas tetapi sekaligus juga begitu rapuh. Ia telah menyaksikan bagaimana suatu balatentara yang dahsyat bisa menguasai suatu wilayah yang luar biasa luasnya dalam waktu singkat, tetapi dengan pasti, cepat atau lembat…, akan kehilangan kekuasaan itu. (Ajidarma, 2004: 595)
(186) Bagaimana mungkin makhluk yang berpikir bisa melakukan pembantaian dengan kesadaran. (Ajidarma, 2004: 595)
(187) Perdamaian yang dipaksakan adalah penjajahan Kehormatan manusia membangkitkan perlawanan Nafsu kekuasaan menghasilkan penindasan. (Ajidarma, 2004:52)
Kebebasan yang bermartabat, di mana setiap orang berkepentingan
atas kebebasan orang lain, ternyata masih harus diperjuangkan (Ajidarma,
2005: 162). Kebebasan ternyata melahirkan anarki. Kebebasan yang muncul
adalah kebebasan saling menindas (Ajidarma, 2005: 159). Betapa kasihan,
betapa mengerikan, membayangkan jiwa manusia bisa begitu keruh, penuh
dengan lumpur dendam, menjadi kerak-kerak siksaan yang menyayat
perasaan. Astaga, apakah kehidupan ini memang begitu kejam, sehingga
seseorang bisa sama sekali tidak melihat peluang lain dalam hidup ini, selain
mengungkapkan kemarahan? (Ajidarma, 2002: 26).
Kematian, maut, bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan. Itu
sudah takdir. Sebagai manusia beragama, kita semua menerima takdir bukan?
Begitulah kita semua memang harus selalu siap, untuk sebuah perpisahan,
duka – dan rasa kehilangan itu (Ajidarma, 2002: 35). Rama dengan segala
keraguannya pada Sinta ternyata tetap tidak bisa menghapus rasa ragunya,
bahkan sampai akhir hayatnya. Rama tetap mempertanyakan kesetian Sinta,
sampai akhirnya Sinta moksa dan membawa semua kebenaran yang
105
diyakininya. Rama telah kehilangan Sinta untuk kedua kalinya. Seno (dalam
Ajidarma, 2002: 29) mengatakan bahwa setiap orang di dunia ini sudah
mempunyai panggilan tugas hidupnya masing-masing, dan apapun tugas itu,
ia mempunyai hak mempertahankan keyakinan dalam tugasnya sampai mati.
Bedasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kebebasan yang
telah dilakukan, dapat dilihat ideologi Seno dalam menyikapi masalah
kebebasan dalam KOK. Dalam ideologi Seno, setiap manusia berhak
menentukan jalan hidupnya sendiri dan kebebasan yang diharapkan harus
diperjuangkan. Setiap hal yang telah dipilih dalam kehidupan harus bisa
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
4.1.6 Ideologi Pengarang Mengenai Ilmu Pengetahuan
Walaupun hanya seorang pelacur, Maneka mempunyai keinginan
untuk bisa membaca dan menulis. Keinginannya ini bukan tanpa sebab.
Menurut Maneka, segala ilmu pengetahuan bisa dipelajari jika dia bisa
membaca dan menulis. Maneka menganggap penting kemampuan membaca
dan menulis karena menurutnya semua itu bisa membantunya mengubah
nasib. Walaupun bodoh, Maneka tidak mau terpuruk dalam kebodohan dan
ketidaktahuan. Karena itulah, Maneka selalu meminta Satya untuk bercerita
atau membacakan berbagai hal yang ingin diketahuinya. Di sini dapat dilihat
bahwa Maneka memiliki pandangan positif mengenai pendidikan. Walaupun
sudah tumbuh dewasa, Maneka tidak merasa terlambat untuk belajar.
106
(188) “Kalau aku bisa menulis seperti Walmiki, kukira aku bisa mengubah perjalanan hidupku,” katanya.. (Ajidarma, 2004: 126)
(189) Di balik keluguannya Maneka sebetulnya terus-menerus berpikir, seperti mengebor ladang minyak di laut, sangat bernafsu menemukan pengetahuan baru. (Ajidarma, 2004: 206)
Maneka yang hanya rakyat kecil merasa iba dan kasihan setiap kali
menemui para korban Persembahan Kuda yang ditemuinya di perjalanan,
seperti terlihat pada kutipan (135). Kehancuran yang diakibatkan
Persembahan Kuda membuat banyak orang kehilangan sanak keluarga dan
harta benda mereka. Maneka melihatnya sebagai suatu hal yang harus
diperjuangkan. Keadilan harus kembali ditegakkan. Ilmu pengetahuan yang
hancur pun harus kembali disusun agar peradaban bisa berlangsung.
(190) Maneka melihat para pengungsi. Di sepanjang jalan hanya terlihat berjuta-juta pengungsi, dari segala penjuru saling bersimpangan arah menuju ke berbagai tujuan. Dunia kacau dan kehidupan berantakan. Mudah untuk menyerbu, membantai, dan menghancurkan peradaban, tetapi tidak pernah mudah untuk membangunnya kembali. (Ajidarma, 2004: 128)
Dalam perjalanan mencari Kitab Omong Kosong, Maneka semakin
pandai dalam berargumentasi. Pola pikir Maneka pun berkembang sejak Satya
banyak membacakan cerita-cerita dan berbagai ilmu pengetahuan untuknya.
Hal ini terlihat saat Maneka dan Satya berdiskusi mengenai penciptaan. Bagi
Maneka bukanlah suatu hal yang salah jika seseorang hanya mampu menjadi
penyalin. Seorang penyalin pun menurut Maneka sama dengan pencipta.
Kutipan berikut berisi pandangan Maneka mengenai seorang penyalin.
(191) “Penyalin pun baik Satya.” (Ajidarma, 2004: 164)
107
(192) “Dalam hal itulah engkau telah memperkaya dunia Satya, karena dalam penerjemahan berlangsung penciptaan. Bukankah itu berarti kamu menciptakan kembali sebuah dunia?” (Ajidarma, 2001: 165)
Satya merupakan pemuda yang pandai. Walaupun hanya seorang anak
petani, kegemarannya membaca membuatnya lebih pandai daripada anak
petani pada umumnya. Kegemarannya membaca dan mendengarkan cerita
dari para tukang cerita semakin memperkaya wawasan dan pandangannya atas
dunia. Hal ini menyebabkan pola pikir Satya yang maju. Karena itulah Satya
tumbuh menjadi pemuda yang tidak mempercayai hal-hal mistis tanpa adanya
pembuktian secara ilmiah. Bagi Satya, segala pertanyaan atas dunia bisa
dijelaskan tanpa harus melibatkan hal-hal mistis. Satya adalah orang yang
realistis sehingga dia menganggap bodoh segala hal yang dirasanya tidak
masuk akal. Kutipan berikut merupakan contoh pemikiran Satya mengenai
para penyembah berhala dan pemuja hal mistis.
(193) Di sepanjang jalan ia melihat patung-patung berhala yang sudah tidak terawat lagi. Satya merasa aneh, menyadari betapa masih ada orang menyembah berhala. Seperti dunia ini mundur lima ratus tahun, pikirnya. (Ajidarma, 2004: 353)
(194) “Orang-orang bodoh yang percaya mistik,’ pikirnya, ‘mengira rajah sejak lahir sebagai kutukan. Apa yang lebih bodoh dari ini?” (Ajidarma, 2004: 354)
Tulisan itu sendiri tidak penting, karena tulisan hanyalah suatu produk.
Yang penting adalah prosesnya, karena dalam proses itu seorang penulis
berusaha menciptakan ruang kebebasan (Ajidarma, 2005: 165). Menurut
ideologi Seno, keberadaan ilmu pengetahuan sebagai penunjang hidup sangat
108
penting. Dengan ilmu pengetahuan, seorang manusia mampu menjelaskan
kerumitan dan kebingungan mengenai semesta. Proses belajar adalah salah
satu jalan memperoleh pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang
manusia ditempa untuk menjadi lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh,
proses menuju hasil inilah yang paling penting dalam keseluruhan proses
belajar.
Maneka dengan segala kebodohannya mampu belajar dari proses
hidup yang tengah dijalaninya. Bersama Satya, Maneka mengalami sebuah
proses yang membuatnya mampu mencerap ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan di sini tak hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis,
tetapi lebih kepada pengetahuan akan dunia dan is inya. Dengan mempelajari
Kitab Omong Kosong, Maneka dan Satya memperoleh sebuah pemahaman
baru tentang dunia. Melalui Kitab Omong Kosong, dapat dilihat ideologi Seno
dalam memandang dunia dan isinya.
Bagian pertama menceritakan Dunia Sebagaimana Adanya Dunia.
Segala hal mengenai dunia dicatat dengan rinci, seperti “umur sebuah pohon
kelapa dan berapa buah kelapa akan dihasilkan oleh pohon tersebut”
dapat memberikan pemahaman tentang dunia. Bagian kedua adalah Dunia
Seperti Dipandang Manusia. Bagian ini mengatakan bahwa segala hal yang
dikatakan manusia hanya dapat berlaku dalam cara pandang manusia. Tanpa
disadari (dan dipandang) manusia, maka sebuah benda sebenarnya tidak
pernah ada. Dunia menjadi ada, karena manusia memandangnya dan
109
memahaminya. Dengan demikian sungguh sebuah omong kosong bila
manusia mengatakan adanya dunia ketika ia sendiri berada di dalamnya dan
masih berusaha memahaminya. Hal ini merupakan penjelasan dari bagian
ketiga, Dunia Yang Tidak Ada. Manusia hanya dapat memahami cara
penggambaran dunia itu untuk menyatakannya ada. Jika mustahil manusia
menyatakan dunia itu ada karena tidak pernah sungguh-sungguh keluar dari
dalamnya, maka dibuatlah cara untuk memahami dunia tanpa harus keluar
darinya. Melalui “omong kosong” ini maka manusia menemukan cara untuk
menciptakan kembali dunia yang sesungguhnya masih dipertanyakan ada
atau tidaknya. Hal ini merupakan penjelasan bagian keempat,
Mengadakan Dunia. Bagian terakhir Kitab Omong Kosong yaitu Kitab
Keheningan. Setelah dunia akhirnya kembali dibuat “ada” melalui
“omong kosong” maka bagian terakhir adalah Kitab Keheningan, yang
berupa sekumpulan halaman kosong, tanpa ada tulisan apapun di dalamnya.
Ketika dunia telah dapat diadakan kembali maka tidak ada lagi apa-apa yang
dapat dilakukan terhadap dunia itu. Manusia dengan mudah dapat
menghancurkan dan membangunnya kembali.
Sepertinya dunia ini makin canggih dalam mengesahkan nafsu
kemaruknya, hidup seperti cuma mengabdi kepada pengerukan keuntungan
(Ajidarma, 2002: 36). Kitab Omong Kosong yang selama ini diyakini mampu
mengembalikan peradaban dan ilmu pengetahuan yang hancur akibat
Persembahan Kuda telah membuat banyak orang terbunuh. Mereka begitu
110
berhasrat memperoleh Kitab Omong Kosong sehingga tega menghabisi nyawa
orang lain demi mendapatkannya. Para pencari kitab ini yakin dan percaya
bahwa siapa saja yang memiliki Kitab Omong Kosong, dia akan menguasai
dunia. Mereka menganggap Kitab Omong Kosong berisi ilmu yang mampu
membuat segala keinginan terkabul. Padahal kitab tersebut hanya bisa
dipahami isinya oleh orang yang benar-benar bersih hatinya.
(195) “Masalahnya manusia yang menginginkan agar kita semua tetap bodoh dan buas, supaya kita semua tenggelam dalam kegelapan, sehingga dengan menjadi penguasa tunggal atas pengetahuan, bisa berkuasa dalam segala bidang. Padahal pengetahuan itu hak semua orang. Dengan demikian kitab itu sekarang menadi rebutan, baik antara pihak-pihak yang ingin menguasainya maupun dengan pihak yang ingin menyelamatkan dan menyebarkannya. Sejumlah penjahat besar telah mengumpulkan modal untuk menghimpun sisa-sisa peneliti yang bisa ditemukan, dan bersedia dibayar untuk kepentingan mereka, agar menemukan tempat itu. Setelah berbulan-bulan penyelidikan, diketahuilah bahwa kitab itu disimpan oleh Sang Hanoman.” (Ajidarma, 2004: 200-201)
Kita hidup di dalam dunia makna, segala sesuatu adalah simbol yang
masih selalu bisa ditafsirkan kembali secara kritis (Ajidarma, 2005: 158).
Manusia ternyata tidak dapat mengatasi perkembangannya sendiri.
Pengetahuan sebagai hasil kebudayaan manusia seolah telah dapat berpikir
sendiri dan mulai mengatur manusia. Seno ( dalam Ajidarma, 2005: 153)
menyatakan bahwa fakta maupun fiksi hanyalah cara manusia memberi
makna kepada dunia dan kehidupannya.
111
Kitab Omong Kosong yang ada pada Hano man adalah satu-
satunya kitab pengetahuan yang tersisa. Kitab itu dianggap begitu
berharga karena kelangsungan peradaban dan masa depan manusia
bergantung pada pengetahuan yang ada dalam buku itu. Akan tetapi, buku
itu justru menyatakan sebaliknya. Jangankan pengetahuan, bahkan dunia
pun dikatakan tidak ada. Oleh karena itu, dunia harus dibuat ada terlebih
dahulu agar masa depan menjadi ada. Seno (dalam Ajidarma, 2005: 163-164)
mengatakan bahwa kebenaran itu mustahil diketahui, karena manusia selalu
berada dalam kondisi ketercakrawalaannya sendiri: saya tidak akan pernah
mampu menengok seberang cakrawala itu, sedangkan apa yang saya ketahui
antara diri saya sampai di batas cakrawala itu, seberapa ilmiah pun, hanyalah
merupakan pengetahuan manusiawi – dan saya tak pernah tahu pasti seberapa
jauh sudut pandang manusiawi ini sahih, meskipun untuk secuil saja dari
kebenaran itu.
Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan
yang telah dilakukan, dapat disimpulkan ideologi Seno dalam memandang
ilmu pengetahuan. Dalam ideologi Seno, proses belajar adalah salah satu jalan
memperoleh pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang manusia
ditempa untuk menjadi lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh, proses
menuju hasil inilah yang paling penting dalam keseluruhan proses belajar.
Dalam ideologi Seno, ilmu pengetahuan adalah alat untuk membawa
perubahan yang baik dalam masyarakat bukan alat untuk menguasai.
112
4.2 Rangkuman Ideologi Pengarang
Berdasarkan analisis ideologi pengarang yang telah dilakukan, terdapat enam
pokok ideologi pengarang dalam KOK. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu
ideologi pengarang mengenai kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum
pinggiran, ideologi pengarang mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai
cinta, ideologi pengarang mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai
ilmu pengetahuan.
Ideologi pengarang mengenai kekuasaan adalah kekuasaan cenderung
dijadikan sebagai alat pemenuh hasrat menguasai dan bukan untuk membuat
kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Penguasa sering terjebak pada memenuhi
keinginan rakyat yang keliru atau mempertahankan kebenaran, seperti yang dialami
Rama. Dalam ideologi Seno, kekuasaan harus bisa dijalankan dengan penuh
kebijakan sehingga setiap keputusan yang dilaksanakan tidak berakibat buruk bagi
masyarakat, seperti yang dilakukan Rama dengan Persembahan Kuda-nya. Penguasa
harus mampu memilah dan membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan negara
agar tidak terjadi pencampuradukkan kepentingan yang bisa berakibat buruk.
Kaum pinggiran atau rakyat kecil adalah kaum yang paling merasakan imbas
dari setiap kebijakan. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran harus mampu bangkit
dari keterpurukannya. Seringkali usaha kaum pinggiran untuk mengubah hidupnya
terjebak pada keterbatasan, tetapi dalam ideologi Seno, kaum terpinggirkan ini harus
mampu mencari jalan untuk mengangkat harkat dan martabatnya.Rakyat kecil
seringkali menjadi korban atas setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa.
113
Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran pun berhak menyuarakan aspirasinya atas
setiap kebijakan yang dibuat oleh penguasa.
Dalam ideologi Seno, perempuan adalah tokoh utama atau tokoh sentral,
terlihat dari usaha Seno mengangkat perempuan sebagai ‘pejuang’ dalam KOK.
Perempuan dari berbagai kalangan adalah kaum yang harus mampu bangkit dari
keterpurukan dan membangun kembali hidup mereka. Dalam ideologi Seno,
perempuan sebagai kaum lemah yang sering menjadi korban harus mampu
menunjukkan kekuatannya untuk melawan setiap tindakan semena-mena yang sering
mereka terima
Dalam ideologi Seno, cinta adalah sesuatu yang suci dan sakral seperti yang
dituliskan Walmiki dalam Ramayana-nya. Cinta yang sebenar-benarnya tidak
menuntut banyak hal seperti yang ditunjukkan Satya pada Maneka. Cinta tidak
membutuhkan pembuktian. Cinta adalah cinta yang harus diterima apa adanya dan
tanpa pertanyaan. Ketika cinta mulai dipertanyakan, maka cinta mulai kehilangan
makna yang sebenarnya.
Dalam ideologi Seno, setiap manusia berhak menentukan jalan hidupnya
sendiri dan kebebasan yang diharapkan harus diperjuangkan. Setiap hal yang telah
dipilih dalam kehidupan harus bisa dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Kebebasan merupakan hak asasi setiap manusia. Seno memandang orang paling
terlupakan sekalipun, seperti Satya dan Maneka, juga berhak menuntut kebebasannya.
Ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan juga terlihat dalam KOK.
Dalam ideologi Seno, proses belajar adalah salah satu jalan memperoleh
114
pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang manusia ditempa untuk menjadi
lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh, proses menuju hasil inilah yang paling
penting dalam keseluruhan proses belajar. Dalam ideologi Seno, ilmu pengetahuan
adalah alat untuk membawa perubahan yang baik dalam masyarakat bukan alat untuk
menguasai.
115
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Novel KOK karya Seno ini merupakan novel yang mengangkat cerita
Ramayana sebagai dasar cerita. Cerita dalam KOK dimulai setelah Sinta berhasil
diselamatkan Hanoman dari cengkraman Rahwana. Dalam novel ini, kisah Ramayana
banyak mengalami perubahan. Seno menambahkan tokoh utama dari kalangan rakyat
biasa, Satya dan Maneka, dalam novelnya. Rama yang dalam Ramayana dikenal
sebagai raja yang arif bijaksana menjadi raja yang haus akan kekuasaan dalam KOK.
Alur cerita dibuat unik dengan menambahkan dongeng-dongeng dalam penceritaan.
Sebenarnya setiap cerpen, atau karya apa pun, lahir karena obsesi: sesuatu
yang terpikirkan terus menerus (Ajidarma, 2005: 45). Novel KOK merupakan hasil
imajinasi Seno sebagai pengarang. Ideologinya sebagai pengarang juga tertuang
dalam novel ini. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis meneliti lebih jauh
bagaimana ideoloi pengarang dalam KOK dengan melihat alur, tokoh utama, dan
penokohan tokoh utamanya. Pengarang sering menjelmakan diri sebagai tokoh dalam
ceritanya. Melalui tokoh pula seorang pengarang menuangkan ideologinya. Melalui
alur cerita dapat dilihat perkembangan pola pikir tokoh maupun pengarang. Tokoh-
tokoh utama dalam sebuah karya sastra biasanya menjadi alat penting pengarang
dalam menyampaikan idealismenya. Pengarang juga biasa menjelma sebagai orang
lain yang berada di belakang karyanya atau yang biasa disebut sebagai pengarang
116
implisit. Alur, tokoh, penokohan tokoh utama dan keberadaan pengarang implisit
menjadi alat untuk mengetahui ideologi pengarang. Pengarang juga menjelma sebagai
orang lain atau pengarang implisit dalam karyanya.
Berdasarkan analisis alur yang telah dilakukan, KOK beralur maju. Peristiwa
tersususun urut dari awal sampai akhir cerita. Alur KOK terdiri dari bagian awal,
tengah dan akhir. Bagian awal adalah tahap perkenalan. Bagian tengah menampilkan
konflik mulai muncul, konflik memuncak, dan klimaks. Bagian akhir berisi peleraian.
Bagian awal yaitu perkenalan cerita dimulai dengan peristiwa Persembahan
Kuda yang dilakukan Rama. Persembahan Kuda ini meminta banyak korban serta
menghancurkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada bagian tengah cerita, konflik
muncul ketika Sinta terlunta- lunta di hutan setelah diusir dari Ayodya serta awal
perselisihan antara Hanoman dan Rama. Perkenalan konflik juga terjadi saat Maneka,
seorang pelacur, yang ingin ditiduri seisi kota karena dia memiliki rajah kuda di
punggung. Maneka pun melarikan diri serta berniat mencari Walmiki untuk
mengubah nasibnya. Maneka kemudian bertemu Satya yang menemaninya mencari
Walmiki. Konflik meningkat Satya dan Maneka menemukan tujuan baru untuk
mencari Kitab Omong Kosong. Maneka bahkan diculik oleh para bandit Gurun Thar.
Klimaks terjadi saat Satya dan Maneka saling bertemu dan mereka berhasil
menemukan Kitab Omong Kosong baian pertama. Bagian akhir cerita yang berisi
peleraian dan pemecahan masalah terjadi saat Satya dan Maneka berhasil menemui
Hanoman. Keduanya juga berhasil menemui Walmiki dan mengundurkan diri dari
cerita yang ditulis Walmiki. Pada baian ini Hanoman akhirnya moksa dan Walmiki
117
mati. Satya dan Maneka berhasil menemukan seluruh bagian Kitab Omong Kosong
dan memahami artinya.
Berdasarkan analisis tokoh yang telah dilakukan, yang termasuk dalam tokoh
utama adalah Maneka, Satya, Hanoman, Walmiki, dan Rama. Kelima tokoh ini
menjadi tokoh utama karena intensitas kemunculannya dalam cerita serta interaksinya
dengan tokoh lain, baik langsung maupun tidak langsung. Kelima tokoh ini memiliki
porsi penceritaan yang paling besar dalam KOK. Kehadiran mereka juga berpengaruh
terhadap perkembangan alur.
Penokohan tokoh utama yang telah dianalisis semakin mempertegas karakter
tiap tokoh. Maneka adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang menjadi pelacur
sejak kecil karena dijual oleh ayahnya. Maneka adalah perempuan yang gigih dan
pantang menyerah. Dengan penuh tekad, dia mencari Walmiki untuk mengubah
nasibnya. Akan tetapi, Maneka agak tertutup dalam menanggapi cinta lawan jenisnya.
Satya adalah seorang pemuda petani berusia 16 tahun. Satya pandai bercerita dan dia
pintar. Satya digambarkan sebagai tokoh yang tenang dalam menghadapi setiap
masalah. Dia juga memendam rasa cinta pada Maneka. Hanoman berwujud seekor
kera putih, tingginya 180 cm, dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Hanoman
digambarkan sebagai tokoh yang setia dan mengabdi dengan penuh ketulusan.
Hanoman adalah wanara agung yang bijaksana. Walmiki adalah seorang empu
pencipta cerita Ramayana. Walmiki digambarkan sebagai seorang laki- laki tua yang
memiliki paras yang cerah dan tatapan lembut yang mampu membuat hati damai.
Walmiki adalah seorang pengembara. Dia mulai mengembara saat masih berusia 21
118
tahun dan telah 50 tahun melakukan pengembaraan. Secara fisik, Rama berwajah
tampan dengan rambut sebahu. Rama digambarkan sebagai tokoh yang lemah lembut
dan tenang. Akan tetapi, Rama kemudian berubah menjadi tokoh yang haus akan
kekuasaan dan sulit mempercayai orang lain, termasuk istrinya.
Hasil analisis alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama tersebut
digunakan sebagai dasar untuk menganalisis ideologi pengarang dalam novel KOK
karya Seno. Selanjutnya penulis meneliti pengarang implisit dalam KOK. Penelitian
mengenai pengarang implisit yang telah dilakukan berfungsi sebagai penghubung
untuk melihat hubungan antara pengarang nyata dengan pengarang implisit. Seno
sebagai pengarang nyata (real author) berada dalam karyanya sebagai sosok lain,
yaitu pengarang implisit (implied author). Penulis melihat bahwa Seno sebagai
pengarang implisit menuangkan ideologinya ke dalam KOK.
Berdasarkan penelitian mengenai pengarang implisit dalam KOK yang telah
dilakukan pada bab sebelumnya, penulis menemukan enam pokok ideologi
pengarang. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu: ideologi pengarang mengenai
kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, ideologi pengarang
mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai cinta, ideologi pengarang
mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan.
Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kekuasaan yang telah
dilakukan, Seno melihat kekuasaan cenderung dijadikan sebagai alat pemenuh hasrat
menguasai dan bukan untuk membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Penguasa
sering terjebak pada memenuhi keinginan rakyat yang keliru atau mempertahankan
119
kebenaran, seperti yang dialami Rama. Dalam ideologi Seno, kekuasaan harus bisa
dijalankan dengan penuh kebijakan sehingga setiap keputusan yang dilaksanakan
tidak berakibat buruk bagi masyarakat, seperti yang dilakukan Rama dengan
Persembahan Kuda-nya. Penguasa harus mampu memilah dan membedakan
kepentingan pribadi dan kepentingan negara agar tidak terjadi pencampuradukkan
kepentingan yang bisa berakibat buruk.
Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, dapat
disimpulkan ideologi Seno dalam menyikapi masalah kaum pinggiran dalam KOK.
Dalam KOK, kaum pinggiran atau rakyat kecil adalah kaum yang paling merasakan
imbas dari setiap kebijakan. Rakyat kecil seringkali menjadi korban atas setiap
kebijakan yang diambil oleh para penguasa. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran
pun berhak menyuarakan aspirasinya atas setiap kebijakan yang dibuat oleh
penguasa. Kaum pinggiran paling mudah dilupakan keberadaannya dan mereka
cenderung dianggap tidak penting, padahal justru dari merekalah segala hal penting
berasal. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran harus mampu bangkit dari
keterpurukannya. Seringkali usaha kaum pinggiran untuk mengubah hidupnya
terjebak pada keterbatasan, tetapi dalam ideologi Seno, kaum terpinggirkan ini harus
mampu mencari jalan untuk mengangkat harkat dan martabatnya.
Perempuan dalam KOK adalah tokoh utama atau tokoh sentral, terlihat dari
usaha Seno mengangkat perempuan sebagai ‘pejuang’ dalam KOK. Perempuan dari
berbagai kalangan adalah kaum yang harus mampu melawan tindakan semena-mena
dan membangun kembali hidup mereka. Perempuan seringkali menjadi korban atas
120
setiap peristiwa, seperti yang dialami Maneka dan Sinta. Keduanya adalah korban
Persembahan Kuda yang mengatasnamakan perdamaian, tetapi menghasilkan
kehancuran. Dalam ideologi Seno, perempuan sebagai kaum lemah yang sering
menjadi korban harus mampu menunjukkan kekuatannya untuk melawan setiap
tindakan semena-mena yang sering mereka terima.
Dalam ideologi Seno, cinta adalah sesuatu yang suci dan sakral seperti yang
dituliskan Walmiki dalam Ramayana-nya. Cinta yang sebenar-benarnya tidak
menuntut banyak hal seperti yang ditunjukkan Satya pada Maneka. Cinta tidak
membutuhkan pembuktian. Cinta adalah cinta yang harus diterima apa adanya dan
tanpa pertanyaan. Ketika cinta mulai dipertanyakan, maka cinta mulai kehilangan
makna yang sebenarnya.
Bedasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kebebasan yang telah
dilakukan, dapat dilihat ideologi Seno dalam menyikapi masalah kebebasan dalam
KOK. Dalam ideologi Seno, setiap manusia berhak menentukan jalan hidupnya
sendiri dan kebebasan yang diharapkan harus diperjuangkan. Setiap hal yang telah
dipilih dalam kehidupan harus bisa dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Mengenai ilmu pengetahuan, Seno memandang proses belajar adalah salah
satu jalan memperoleh pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang manusia
ditempa untuk menjadi lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh, proses menuju
hasil inilah yang paling penting dalam keseluruhan proses belajar. Dalam ideologi
Seno, ilmu pengetahuan adalah alat untuk membawa perubahan yang baik dalam
masyarakat bukan alat untuk menguasai.
121
5.2 Saran
Novel KOK merupakan karya sastra yang memperkaya khasanah sastra
Indonesia. Novel ini sangat menarik untuk dijadikan bahan bacaan dan pembelajaran
karena isinya sarat dengan ajaran-ajaran yang menambah wawasan pembaca. Cerita-
cerita yang dituturkan dalam novel ini dikemas dengan bahasa yang indah dan
mengalir.
Novel ini mengangkat cerita Ramayana sebagai dasar cerita. Banyak novel
atau karya sastra lain yang juga mengangkat Ramayana sebagai dasar cerita. Penulis
menyadari masih banyak hal yang bisa dipelajari dalam KOK dan dapat dijadikan
sebagai bahan penelitian selanjutnya. Akan sangat baik jika dalam penelitian
selanjutnya dilakukan analisis sastra perbandingan. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan meneliti karya sastra lain yang juga mengangkat Ramayana sebagai dasar
cerita, lalu dibandingkan dengan KOK yang juga mengangkat Ramayana sebagai
dasar cerita. Tentunya dengan adanya banyak penelitian mengenai novel ini akan
menghasilkan suatu pengetahuan baru yang menarik.
122
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Surat Dari Palmerah, Indonesia dalam Politik
Mehong: 1996-1999. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
______ . 2004. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta: Bentang.
______ . 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang.
Ariwibowo, Luita dkk. 2005. “Ideologi Kepengarangan Tiga Pengarang Wanita
Indonesia: Perspektif Teks Sastra Feminis Terhadap Teks Proses Kreatif
Titis Basino P.I., Toety Heraty, dan M. Poppy Donggo Huta Galung”.
Jurnal Penelitian Dinamika Sosial ,Vol. 6, No. 1, April 2005, hlm. 81-
89.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Bandung: PT Bentang
Pustaka. Budiman, Kris. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dahana, Radhar Panca. 2001. Kebenaran Dan Dusta Dalam Sastra. Magelang:
Indonesia Tera. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius. Keraf,Gorys. 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Flores: Nusa Indah dan Kanisius.
Lubis, Mochtar. 1997. Sastra dan Tekniknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Luxemburg, Jan Van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
123
Nugiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset. ______ . 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Magnis-Suseno, Frans. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialis Utopis Ke Perselisihan
Revolusi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______ . 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan Dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: Penerbit Lukman. Pujiharto. 2001. “Ideologi Cerpen-Cerpen Koran Di Yogyakarta” Laporan Penelitian.
Lembaga Penelitian UGM Departemen Pendidikan Nasional. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.
Wellek, Renne dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia.
Widijanto, Tjahjono. 2007. “Membongkar Mitos Wayang Kitab Omong Kosong Seno
Gumira Ajidarma”. Horison Edisi September 2007. Jakarta: PT Metro Pos.
Internet:
Ajidarma, Seno Gumira. 1998. “Apakah Teror Sudah Dimulai: Surat Terbuka Seno Gumira Ajidarma”. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/08/0027.html. Download Juli 2007.
124
Hartiningsih, Maria. 2005. “Transformasi Seno Gumira”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/19/Sosok/197999.htm. Download 25 Maret 2007.
Mursadi,Nur. 2005. “Epik Ramayana Dalam Berbagai Narasi”.
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0528/bud2.html. Download 25 Maret 2007.
Narendra, Yuka Dian. 2007. “Pengetahuan, Paranoia Masa Depan Dan Omong
Kosong Tentang Dunia, Membaca Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”. http://www.jccs-online.info/index. Download 16 Januari 2008.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/26/kampus/buku.htm. Download
Juli 2007. http://id.wikipedia.org/wiki. Download Juni 2007. http://www.karatonsurakarta.com/ ramayana.html. Download Desember 2007.
125
BIOGRAFI PENULIS
Maria Bekti Lestari lahir di Kotabaru,
Kalimantan Selatan pada tanggal 12 Mei 1985.
Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Kanisius
Babadan, pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama di SLTP N 4 Depok, dan pendidikan Sekolah
Menengah Umum di SMU N 1 Depok Yogyakarta. Bekti aktif menulis dan
beberapa karyanya dimuat di Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan detik.com.
Novelnya yang berjudul Galaniza diterbitkan oleh Andi Ofset. Pada Juni 2008
mendapatkan gelar Sarjana Sastra dari Universitas Sanata Dharma dengan skripsi
yang berjudul Ideologi Pengarang Dalam Novel Kitab Omong Kosong Karya
Seno Gumira Ajidarma. Kini tinggal di Demangan RT 02/RW 07, Wedomartani,
Ngemplak, Sleman, Yogyakarta.