i made domy astika
TRANSCRIPT
TESIS
ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤ 200 SEL/µL SEBAGAIFAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADA
PENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUSDI RSUP SANGLAH DENPASAR
I MADE DOMY ASTIKA
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2014
TESIS
ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤200 SEL/µL SEBAGAIFAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADA
PENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUSDI RSUP SANGLAH DENPASAR
I MADE DOMY ASTIKANIM 0914068201
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR
2014ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤200 SEL/µL SEBAGAI
FAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADAPENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAHDENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magisterpada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I MADE DOMY ASTIKANIM 0914068201
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIKPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR
2014
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 17 APRIL 2014
Pembimbing I,
Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, SpS(K)NIP 195902151985102001
Pembimbing II,
Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K)NIP 195610101983121001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu BiomedikProgram PascasarjanaUniversitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACSNIP 194612131971071001
DirekturProgram PascasarjanaUniversitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)NIP 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 17 April 1014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana no. : 951/UN.14.4/HK/2014
Ketua : Prof. Dr. dr. A.A. Raka sudewi, SpS (K)
Sekretaris : Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K)
Anggota :
1. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
2. dr. IGN. Purna Putra, Sp.S(K)
3. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapanIda Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung waranugraha-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan sebagai persyaratan untukmendapatkan gelar dokter spesialis saraf
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yangsebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), pembimbingutama penelitian dan Dr. dr. Thomas Eko Purwata selaku pembimbing II yang denganpenuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, semangat, bimbingandan saran selama penulis mengikuti pendidikan, khususnya dalam menyelesaikantesis ini. Terimakasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dr. I Made OkaAdnyana, Sp.S(K), Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu PenyakitSaraf FK UNUD/ RSUP Sanglah atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepadapenulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I IlmuPenyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada RektorUniversitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD), atas kesempatandan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikanPendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Dekan Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) MKes, atas ijin yangdiberikan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I IlmuPenyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Ungkapan terimakasih juga penulissampaikan kepada Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar dr. I Wayan Sutarga,MPH atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan. Terimakasih sebesar-besarnyapenulis sampaikan kepada Kepala Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Saraf FKUNUD/RSUP Sanglah Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K), atas kesempatan danfasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikanPendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua TKPPPDS I FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. Wayan Kondra, Sp.S(K), Ketua LitbangBagian/ SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. Thomas EkoPurwata, Sp.S(K), atas segala dorongan, bimbingan dan saran yang sangat berartibagi penulis selama mengikuti pendidikan ini. Terimakasih yang sebesar-besarnyajuga penulis haturkan kepada Kepala Divisi Tropik Bagian/ SMF Ilmu penyakitDalam FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar, Prof. Dr. dr. Ketut Tuti Parwati Merati,Sp.PD(KPTI), yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk dilaksanakannyapenelitian ini di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh supervisor diBagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. A.A.B.N. Nuartha,Sp.S(K), dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S, dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), dr. Anna MaritaGelgel, Sp.S(K), dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S,dr. I Komang Arimbawa, Sp.S, dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, dr. Desak Ketut IndrasariUtami, Sp.S, dr. Putu Eka Widyadharma, MSc, Sp.S, dr. Kumara Tini, Sp.S, dr. NiMade Susilawathi, Sp.S, dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S yang telah memberikansegala arahan, dorongan, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikanini.
Ungkapan terimakasih penulis tujukan kepada dr. Ni Ketut Ayu Sudiariani,Sp.S atas dorangan, motivasi dan doa spiritualnya selama saya mengikuti pendidikan.Ungkapan terimakasih penulis tujukan kepada dr. Dewa Ngurah Satriawan, dr.Yoanes, dr Ni Putu Witari, dr IGN Putra Martin Widanta, dr Ni Md Yuli Artini, drKhristi Handayani, dr Ernesta P. Ginting dan seluruh teman sejawat lainnya, pesertaPPDS I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, atas kerjasama dan doronganselama penulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini.Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada seluruh peserta PPDS I IlmuPenyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, atas kerjasama dan dorongan selamapenulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini, tenagaparamedis dan non medis di bangsal dan poliklinik penyakit Saraf RSUP Sanglah,tenaga paramedis dan non medis di poliklinik VCT RSUP Sanglah atas jalinankerjasama, bantuan dan dorongan semangat selama penulis melaksanakan penelitianini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulusdisertai penghargaan kepada seluruh pasien HIV dan keluarganya atas bantuan dankerjasamanya selama melaksanakan penelitian ini. Akhirnya penulis menyampaikanterimakasih yang tulus kepada kedua orangtua yang saya cintai, I Wayan Suatra danNi Wayan Dastri; ayah dan ibu mertua yang saya hormati, Drs. I Nyoman Sutjahya,Ida Ayu Rupini, Spd; istri dan anak-anak tersayang, Pande Dwi Intan Cahyani, S.H.,Ni Putu Ardhia Pramesti Putri Astika dan I Made Dwi Pramastha Putra Astika, yangtelah memberikan semangat dan dorongan baik material maupun moral dengan penuhpengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebihberkonsentrasi menyelesaikan pendidikan ini.
Penulis telah berusaha membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya namun tetapmenyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan baik dari aspek materi danpenyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demiperbaikan tesis ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa akan selalumelimpahkan karunia-NYA kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaandan penyelesaian tesis ini.
Jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri dan selembut air dalam melayaniorang lain (Gede Prama)
ABSTRAK
ANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤ 200 SEL/µLSEBAGAI FAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK
PADA PENDERITA HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUSDI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
Neuropati perifer adalah komplikasi neurologi yang paling sering dijumpaipada pasien dengan HIV/AIDS. Angka CD4 nadir yang rendah diduga berperanterhadap timbulnya kejadian nyeri neuropatik pada penderita HIV. Angka CD4 nadiryang rendah menunjukkan adanya viral load yang tinggi. Penyebab utama terjadinyanyeri neuropatik adalah kerusakan saraf tepi karena virus itu sendiri melalui sistemimunitas atau karena obat ARV. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui CD4 nadirrendah sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol terhadap 66 penderita HIVyang menjalani pengobatan di poliklinik VCT RSUP Sanglah selama bulanNopember 2013 sampai Januari 2014. Subyek yang memenuhi kriteria eligibilitasdikelompokkan sebagai kasus dan kontrol masing-masing berjumlah 33 orang. Nyerineuropatik pada penderita HIV dinilai dengan Skala nyeri LANSS. Seluruh datadianalisis menggunakan SPSS 16.0 for windows. Data karakteristik dianalisis secaradeskriptif. Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantungberskala nominal dengan metode Chi-Square. Tingkat hubungan antar variabel dinilaidengan Odds Ratio dan tingkat kemaknaan dengan α = 5%.
Hasil analisis data didapatkan penderita HIV dengan CD4 nadir ≤ 200 yangmengalami nyeri neuropatik sebanyak 27orang (81,8%) dengan karakteristik umurterbanyak pada kelompok ≥ 30 tahun yaitu 81,8% dan jenis kelamin terbanyak adalahperempuan (57,6%), sebagian besar ditemukan pada stadium HIV tinggi (stadium IIIdan IV) yaitu 90,9%. Lama menderita HIV ≤ 1 th sebanyak 75,8%, lama terapi ARV≤ 6 bulan sebanyak 63,6% dan tinggi badan < 170 cm sebanyak 72,7%. Padaanalisis bivariat didapatkan hubungan bermakna antara CD4 nadir ≤ 200 dengannyeri neuropatik pada penderita HIV (p<0,001) dengan OR 7,88; IK 95% (2,53-24,47).
Dapat disimpulkan bahwa CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risikonyeri neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah.
Kata Kunci : HIV, CD4 nadir rendah, nyeri neuropatik
ABSTRACT
LOW NADIR CD4 ≤ 200 CELL/µl AS RISK FACTOR FOR NEUROPATHICPAIN IN HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS PATIENT AT SANGLAH
GENERAL HOSPITAL DENPASAR
Peripheral neuropathy is a common neurological complication seen in patientwith HIV/AIDS. Low nadir CD4 presumably causes neuropathic pain in HIV patient.Low nadir CD4 corelates to high viral load. Main cause of neuropathic pain isperipheral nerve damage caused by the virus itself through immune system or ARVtherapy. This study was aimed at testing that low nadir CD4 was a risk factor forneuropathic pain on HIV patient at Sanglah General Hospital Denpasar.
This was a case control study enrolled in 66 HIV patients admitted to VCTclinic at Sanglah General Hospital in December 2013 until February 2014. Eligiblepatients categorized as case and control group, each of which included 33 patients.LANSS pain scale was applied to measure neuropathic pain in HIV patients. All dataanalyzed with SPSS 16.0 for Windows. Characteristic data analyzed by descriptivemethod. Bivariate analysis for independent and dependent variable was performedusing Chi square test. Level of significance described using Odds Ratio, withsignificance level α = 5%.
There was 27 (81,8%) HIV patient with nadir CD4 ≤ 200 who hadneuropathic pain,with the most affected ones are patients ≥ 30 years old (81,8%) andmostly female (57,6%). High stage HIV (stage III and IV) patients were 90,9%,duration infected with HIV ≤ 1 years was 75,8%, duration on ARV treatment ≤ 6months was 63,6%, and body height < 170 cm was 72,7%. In bivariate analyze, therewas significant relationship between nadir CD4 ≤ 200 and incidence of neuropathicpain on HIV patients (p<0,001) with OR 7,88; CI 95% (2,53-24,47).
In conclusion, nadir CD4 ≤ 200 cell/µl was a risk factor for neropathic pain inHIV patients at Sanglah General Hospital Denpasar.
Keywords : HIV, low nadir CD4, neuropathic pain
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ……………………………………………………… i
PRASYARAT GELAR …………………………………………………. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………............. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI…………………………………….. iv
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………. v
ABSTRAK ………………………………………………………………. viii
ABSTRACT …………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI………………………………………………….................. x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. xiii
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………… xiv
DAFTAR TABEL……………………………………………………… xvii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….... xviii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 7
1.4.1 Manfaat ilmiah ......................................................... 7
1.4.2 Manfaat praktis ........................................................ 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA....................................................................... 9
2.1 Neuropati Sensorik HIV ............................................................ 9
2.3.1 Definisi ................................................................... 9
2.3.2 Gambaran klinis ...................................................... 10
2.3.3 Gambaran patologi ................................................. 11
2.2 Patofisiologi Neuropati Sensorik HIV ...................................... 13
2.2.1 Aktivasi makrofag .................................................. 13
2.2.2 Peranan gp120 ........................................................ 14
2.3 Patofisiologi Nyeri pada Neuropati Sensorik HIV.................... 15
2.4 Angka CD4 Sebagai Faktor Risiko Nyeri Neuropatik .............. 18
2.5 Penilaian Nyeri Neuropatik Pada Penderita HIV.................... 25
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS…….. 27
3.1 Kerangka Berpikir...................................................................... 27
3.2 Konsep ....................................................................................... 29
3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................... 30
BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................. 31
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................. 31
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 32
4.3 Ruang Lingkup Penelitian.......................................................... 32
4.4.Populasi dan Sampel Penelitian ................................................. 32
4.4.1 Populasi target........................................................... 32
4.4.2 Populasi terjangkau ................................................... 32
4.4.3 Kriteria sampel .......................................................... 32
4.4.3.1 Kriteria kasus ............................................ 32
4.4.3.2 Kriteria kontrol........................................... 33
4.4.3.3 Kriteria eksklusi kasus dan kontrol ............ 33
4.4.4 Besar sampel ............................................................. 33
4.4.5 Teknik pengambilan sampel ..................................... 34
4.5 Variabel Penelitian..................................................................... 34
4.6 Definisi Operasional Variabel.................................................... 34
4.7 Alat Pengumpul Data ................................................................. 36
4.8 Prosedur Penelitian .................................................................... 37
4.9 Pengolahan dan Analisa Data .................................................... 38
BAB V HASIL PENELITIAN………………………………………….. 39
5.1 Uji Normalitas……... ………………………………………….. 39
5.2 Karakteristik Demografi……………………...…………………... 40
5.3 Hubungan antara CD4 nadir rendah dengan Nyeri Neuropatik
pada penderita HIV……………………………………………. 43
BAB VI PEMBAHASAN ………………………………………………... 44
6.1 Karakteristik Demografi…………………………………………... 44
6.2 Hubungan antara Angka CD4 nadir dengan Gangguan Nyeri
Neuropatik pada Penderita HIV…………………………………. 49
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 55
7.1 Simpulan…………………………………………………………. 55
7.2 Saran……………………………………………………………... 55
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 57
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………. 66
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Tipe Neuropati Pada Penderita HIV/AIDS .......................... 10
Gambar 2.2 Ganglion Radiks Dorsalis Pada DSP.................................... 12
Gambar 2.3 Patogenesis Kerusakan Saraf Perifer oleh HIV.................... 15
Gambar 2.4 Model Hipotetik Patogenesis Nyeri pada DSP..................... 18
Gambar 2.5 Jumlah CD4, Viral Load dan Perjalanan Infeksi HIV.......... 20
Gambar 2.6 Jalur Ekstrisik dan Intrinsik Apoptosis Sel Limfosit CD4... 21
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir ..................................................... 27
Gambar 3.2 Konsep Penelitian................................................................. 29
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol....................... 31
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian .......................................................... 37
DAFTAR SINGKATAN
ADCC : Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity
AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome
ALLRT : ACTG Longitudinal Linked Randomized trials
APAF : Apoptotic Protease Activating Factor
ARV : Anti Retroviral
BAX : BCL2 Associated X Protein
BCL-2 : B Cell Lymphoma Protein 2
BPNS : Brief Peripheral Neuropathy Screening
Caspase : Cysteinyl Aspartic Acid Protease
CCR5 : CC Chemokine Receptor 5
CTL : Cytotoxic T Lymphocyte
CXCR4 : CXC Chemokine Receptor 4
CD4 : Cluster of Differentiation 4
ddC : Zalcitabine
ddI : Didanosine
d4T : Stavudine
DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
DRG : Dorsal Root Ganglion
DSP : Distal Sensory Polineuropathy
EMG : Electromyographi
FADD : Fas-Associated Death Domain
FasL : Fas Ligand
gp120 : glycoprotein120
HAART : Highly Active Anti-retroviral Theraphy
HAD : HIV Associated Dementia
HAND : HIV-Associated Neurocognitive Disorder
HIV : Human Immunodeficiency Virus
HIV-SN : HIV Associated Sensory Neuropathy
HOPS : HIV Outpatient Study
IASP : International Association for the Study of Pain
Kca : Calcium-Activated Potassium
LANSS : Leed Assessment of Neuropathic Symptoms and Sign
MACS : Multicenter AIDS Cohort Study
MND : Mild Neurocognitive Disorder
mtDNA : mitochondrial DNA
Nef : The Negative Effector
NRTI : Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
NNRTI : Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
PGP 9.5 : Protein Gene Product 9.5
PTPC : Permeability Transition Pore Complex
PY : Person years
RANTES : Regulated on Activation, Normal T cells Expressed and
Secreted
RCT : Randomized clinical trial
RNA : Ribonucleic Acid
SPNS : Subjective Peripheral Neuropathy Screen
SSP : Susunan Saraf Pusat
Tat : The Transactivator of Transcription
TCR : T Cell Receptor
3TC : Lamivudine
TNF-α : Tumor Necrosis Factor Alpha
VCT : Voluntary Counseling and Testing
Vpr : Viral protein R
WHO : World Health Organization
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Uji Normalitas……………………………….. 39
Tabel 5.2 Karakteristik Demografi…………………….. 42
Tabel 5.3 Analisis Bivariat CD4 nadir rendah sebagai
faktor risiko nyeri neuropatik………………. 43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian ....................... 66
Lampiran 2 Kuisioner Penelitian ............................................................ 68
Lampiran 3 Skala Nyeri LANSS ............................................................ 70
Lampiran 4 Keterangan Kelaikan Etik.................................................... 73
Lampiran 5 Surat Ijin dari RSUP Sanglah .............................................. 74
Lampiran 6 Daftar sampel penelitian………………………………….. 75
Lampiran 7 Analisis SPSS 16 ................................................................. 81
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) telah menjadi epidemi di
seluruh dunia termasuk Indonesia. Departemen Kesehatan RI melaporkan jumlah
kasus acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) secara kumulatif pada 33
propinsi dan 300 kabupaten/kota di Indonesia hingga 31 Desember 2012 sebanyak
39.434 kasus dengan 3.541 kasus di antaranya merupakan kasus baru, sedangkan
sejak 1 April 1987 jumlah kasus kumulatif HIV sebanyak 92.251 dengan 15.572
kasus baru, sedangkan jumlah kematian sebanyak 7.293 kasus. Angka kumulatif
kasus AIDS nasional adalah 16,59 per 100.000 penduduk dan Bali menempati urutan
kedua yaitu 4,6 kali angka nasional. Untuk propinsi Bali kota Denpasar menempati
urutan pertama dengan jumlah kumulatif kasus AIDS 1.292 dan HIV sebanyak 1.319
kasus (Depkes, 2012).
Susunan saraf pusat (SSP) dan perifer dapat mengalami gangguan/kerusakan
pada fase awal maupun lanjut akibat infeksi HIV. Konsekuensi neurologis infeksi
HIV dapat dibedakan menjadi kelainan primer dan sekunder. Komplikasi neurologis
primer mencakup dimensia pada usia dewasa, ensefalopati pada anak, mielopati yang
berhubungan HIV dan polineuropati perifer distal. Kelainan sekunder disebabkan
oleh infeksi oportunistik akibat imunosupresi oleh virus HIV. Komplikasi pada SSP
berupa gangguan fungsi kognitif pada penderita HIV sering terjadi (Verma dkk,
2004; Gonzales-Duarte dkk, 2006). Insiden HIV-associated neurocognitive disorder
(HAND) paling berat yaitu HIV-associated dementia (HAD) mengalami penurunan
setelah digunakannya antiretroviral (ARV) sedangkan prevalensi gangguan
neurokognitif ringan berupa Mild Neurocognitive Disorder (MND) semakin
meningkat yaitu berkisar 51,5% (Robertson dkk, 2009; Ciccarelli dkk, 2010).
Sedangkan HIV associated sensory neuropathy (HIV-SN), merupakan komplikasi
pada sistem saraf perifer yang sering terjadi (Keswani dkk, 2002).
Virus HIV terdiri dari dua tipe, HIV-1 dan HIV-2, dan infeksi pada manusia
terutama adalah HIV-1. HIV-1 adalah virus HIV yang pertama diidentifikasi oleh
Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris tahun 1983. Karakteristik virus sepenuhnya
diketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun
1984. HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika Barat tahun 1986 (Nasronudin,
2007). Pasien dengan HIV-1 positif sering mengalami komplikasi sistem saraf, baik
pusat maupun perifer yaitu sekitar 35-63%. Neuropati perifer merupakan bentuk
komplikasi neurologis tersering dari infeksi HIV-1(Verma dkk, 2004; Nicholas dkk,
2007). Sekitar 30-60% infeksi HIV-1 mengalami neuropati perifer secara klinis dan
bahkan pada otopsi orang yang meninggal dengan AIDS terdapat bukti kelainan saraf
perifer sampai mendekati 100% (Ferrari dkk, 2006; Kamerman dkk, 2012).
Nyeri, rasa seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta hiperalgesia
merupakan gambaran Distal sensory polineuropathy (DSP) tipe painful (gejala
sensoris positif) sedangkan rasa tebal dan hipoalgesia merupakan gambaran DSP tipe
painless (gejala sensoris negatif). DSP dapat juga terjadi bersamaan dengan bentuk
gangguan neurologis terkait HIV-1 lainnya seperti mielopati dan demensia. Meski
kondisi ini tidak membahayakan nyawa, tetapi secara bermakna dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien (Verma dkk, 2004).
Patofisiologi neuropati HIV-1 belum diketahui dengan pasti. Toksisitas
protein virus HIV-1, respon imun terhadap virus dan kerusakan mitokondria akibat
pemakaian obat antiretroviral khususnya nucleoside reverse trancriptase inhibitor
(NRTI) semuanya berpotensi neurotoksik. Ketiga faktor ini baik secara sendiri
maupun kombinasi merupakan mediator terpenting untuk terjadinya neuropati HIV
(Gonzales-Duarte dkk, 2007; Kamerman dkk, 2012).
Pemeriksaan penunjang neuropati antara lain adalah electromyografi (EMG),
biopsi saraf suralis, punch skin biopsies yang dikatakan mudah, valid dan secara
diagnosis dikatakan berguna namun bersifat invasif (Cherry dan Wesselingh, 2003).
Pemeriksaan neurofisiologi rutin tidak dapat menyediakan petunjuk yang bermakna
untuk diagnosis neuropati ini. Studi konduksi saraf sensorik biasanya dikerjakan
untuk dapat mengevaluasi polineuropati serabut saraf diameter besar yang
berselubung mielin, tetapi hasilnya sering normal pada small fiber neuropathy. Biopsi
kulit untuk menentukan densitas serat saraf intraepidermal saat ini menjadi tes
diagnostik yang reliabel untuk pasien dengan small fiber sensory neuropathy.
Penurunan densitas serabut saraf intraepidermal berhubungan dengan meningkatnya
nyeri neuropatik, menurunnya angka CD4, dan peningkatan viral load plasma pada
neuropati HIV (Polydefkis dkk, 2002).
Alat diagnostik yang tidak bersifat invasif adalah skala nyeri Leed
Assessment of Neuropathic Symptoms and Sign (LANSS) yang bermanfaat
memberikan informasi pada kondisi klinis dan membantu membedakan nyeri
nosiseptif dengan nyeri neuropatik berdasarkan gambaran sensorik dan pemeriksaan
bedside, dan memberikan informasi yang cepat (Martinez-Lavin dkk, 2003). Skala
nyeri LANSS merupakan alat untuk menilai nyeri neuropatik yang memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu 80% (Bennet, 2001).
Penanda imunosupresi tingkat lanjut seperti viral load plasma HIV yang
tinggi dan menurunnya limfosit cluster of differentiation 4 (CD4) yang mengenai
hampir sepertiga pasien yang terinfeksi HIV sering dihubungkan dengan kejadian
neuropati HIV. Hal ini sering terjadi sebelum penggunaan highly active anti-
retroviral theraphy (HAART). Usia tua juga dapat meningkatkan risiko nyeri
neuropatik (Pettersen dkk, 2006; Nakamoto dkk, 2010). Usia berbanding lurus
dengan viral load yang lebih tinggi. Usia juga berhubungan dengan gangguan imun
berupa penurunan angka CD4, penurunan respon proliferatif sel T, dan menurunnya
kemampuan untuk berespons terhadap patogen (Keswani dkk, 2005). Morgello dkk.
(2004) menjelaskan bahwa kejadian neuropati didapatkan lebih banyak laki-laki
dibandingkan wanita. Nyeri neuropatik juga sering terjadi pada HIV stadium lanjut.
Semakin meningkatnya stadium HIV sering diikuti oleh infeksi oportunistik yang
menunjukkan rendahnya kadar CD4 dan meningkatnya viral load. Nyeri neuropatik
juga sering ditemukan pada penderita dengan jumlah sel CD4 yang mencapai kadar
<50 sel/µl (Smyth dkk, 2007). Meningkatnya tinggi badan (p=0,001) secara
independen dikaitkan dengan kejadian neuropati. Tinggi badan dengan cut offs ≥ 170
cm diprediksi dapat mengalami neuropati HIV (Cherry dkk, 2009).
Penelitian yang dilakukan Imran dkk. (2005) di RSCM Jakarta terhadap 72
pasien dengan infeksi HIV-1 dengan usia antara 21-45 tahun diperoleh bukti adanya
DSP secara klinis maupun elektrodiagnostik terjadi pada 20,8% pasien. Kondisi ini
berhubungan signifikan dengan angka CD4 rendah (p=0,002).
Penelitian mengenai hubungan antara jumlah CD4 dengan derajat DSP pada
penderita HIV/AIDS dengan menggunakan Subjective Peripheral Neuropathy Screen
(SPNS) dilakukan di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan
jejaringnya mulai bulan September sampai dengan Desember 2012. Dengan uji chi-
square didapatkan hubungan yang bermakna pada jumlah CD4 terhadap derajat klinis
DSP (p < 0,05), dan disimpulkan bahwa makin rendah jumlah CD4 (< 200 sel/µl)
makin berat derajat klinis DSP yang dialami oleh penderita HIV/AIDS (Sompa dkk,
2012).
Perkiraan yang akurat mengenai insiden neuropati perifer yang simptomatik
yang berhubungan dengan pemakaian NRTI masih terbatas, tetapi diperkirakan
memiliki rentang antara 10-50% setelah 1 tahun penggunaan ARV dan lebih dari
50% setelah 2 tahun terpapar terhadap obat-obatan NRTI yang lebih neurotoksik
(Kalianpur dan Hulgan, 2009).
Satu studi potong lintang pasien AIDS yang menjalani rawat inap di rumah
sakit umum San Fransisco pada awal tahun 1980-an menunjukkan bahwa 13 dari 37
pasien (35%) menunjukkan bukti DSP secara klinis maupun elekrofisiologis. Data
insiden dari Multicenter AIDS Cohort Study (MACS) pada era sebelum penggunaan
HAART memperkirakan insiden tahunan neuropati HIV sebesar 7% pada penderita
dengan CD4 < 200 sel/µl. Namun seberapa rendah angka CD4 nadir sebagai faktor
risiko nyeri neuropatik masih kontroversial karena Evans dkk. (2011) mendapatkan
kejadian DSP simptomatik pada penderita HIV sebanyak 70,3% dengan CD4 >200
sel/µl, sedangkan Oshinaike dkk. (2012) menyatakan jumlah sel CD4 yang rendah
tidak berhubungan dengan peningkatan risiko nyeri neuropatik. Lebih dari 34%
anak-anak yang terinfeksi HIV-1 mengalami DSP walaupun terdapat kecenderungan
tidak separah penderita dewasa (Keswani dkk, 2002; MacArthur dkk, 2005).
Rekomendasi pemberian ARV pada penderita HIV dengan angka CD4 < 200
sel/µl menyebabkan terjadinya peningkatan angka CD4 current. Pemberian ARV
menyebabkan peningkatan angka CD4 sehingga angka CD4 saat ini (CD4 current)
kurang berguna sebagai biomarker klinis untuk menentukan status kelainan
neurologis. Angka CD4 terendah yang pernah terjadi (CD4 nadir) mungkin dapat
sebagai suatu marker penting yang menunjukkan keparahan penyakit yang terjadi
sebelumnya (Valcour dkk, 2006).
Sampai saat ini belum didapatkan penelitian tentang hubungan antara angka
CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl terhadap nyeri neuropatik pada penderita HIV di
RSUP Sanglah, Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl merupakan faktor risiko nyeri
neuropatik pada penderita HIV ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko
nyeri neuropatik pada penderita HIV.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat ilmiah
Untuk mendapatkan data mengenai angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl
meningkatkan risiko nyeri neuropatik pada komunitas penderita HIV di RSUP
Sanglah Denpasar.
1.4.2 Manfaat praktis
Dengan mengetahui angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl sebagai faktor
risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV diharapkan dapat dilakukan upaya deteksi
dini dan penatalaksanaan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya nyeri
neuropatik dan komplikasi lebih lanjut pada penderita HIV.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Neuropati Sensorik HIV
2.1.1 Definisi
Neuropati HIV merupakan komplikasi pada sistem saraf perifer dengan
bentuk yang paling sering terjadi adalah DSP. DSP merupakan neuropati sensorik
tipe aksonal terutama mengenai serabut saraf kecil (small fiber) dan sebagian besar
ditandai oleh gejala sensorik, mencakup nyeri yang timbul bisa secara spontan
ataupun provokasi dengan penyebab subakut maupun kronis yang biasanya
berkembang selama stadium lanjut dari AIDS. DSP dengan gejala nyeri menjadi
lebih sering ditemukan pada imunosupresi tingkat lanjut dan meningkatnya replikasi
virus disamping penggunaan kombinasi dideoxynukleosida (Pardo dkk, 2001;
Luciano dkk, 2003).
Neuropati perifer pada HIV dapat terjadi dalam beberapa bentuk, dan dapat
dibedakan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan. Selain DSP bentuk
neuropati lainnya dapat berupa mononeuropati yang hanya mengenai satu
ekstremitas. Mononeuropati multipel mengenai saraf secara multipel dalam bentuk
yang asimetris, keterlibatan pleksus brakhialis, atau keterlibatan seluruh tubuh seperti
yang terlihat pada inflammatory demyelinating polyneuropathy yang juga dikenal
sebagai sindrom Guillain-Barre (Gonzales-Duarte, 2006).
Gambar 2.1.
Tipe Neuropati pada Penderita HIV/AIDS (Gonzales-Duarte, 2006)
2.1.2 Gambaran klinis
Gambaran klinis DSP dengan gejala sensoris positif berupa rasa nyeri. Nyeri
terjadi secara bilateral dengan onset yang terjadi secara perlahan dan sering
digambarkan sebagai rasa kesemutan dan sensasi seperti rasa terbakar pada
ekstremitas bawah secara simetris terutama pada telapak kaki, sering memberat pada
malam hari atau setelah berjalan tanpa kelemahan otot-otot yang bermakna. Pasien
juga sering mengalami hiperalgesia dan alodinia (Abrams dkk, 2007). Kaki peka
terhadap sentuhan, memakai sepatu terasa nyeri dan gaya berjalan menjadi antalgic.
Keterlibatan ekstremitas atas mengikuti seiring bertambahnya progresifitas penyakit
(distribusi sarung tangan dan kaos kaki). Pemeriksaan neurologis menunjukkan
menurunnya refleks tendon khususnya ankle, menurunnya sensasi tusukan dan
peningkatan ambang vibrasi ektremitas bawah. DSP merupakan diagnosis klinis,
tetapi pada pasien dengan infeksi HIV-1 stadium lanjut, penentuan densitas serabut
saraf epidermal berkorelasi dengan tingkat keparahan DSP secara klinis dan
elektrofisiologis (Gonzales-Duarte, 2006; Acharjee dkk, 2011; Smith, 2011).
Neuropati sensorik yang secara klinis dan fenotip tidak bisa dibedakan
(indistinguishable) dengan DSP dapat pula disebabkan oleh obat antiretroviral
golongan NRTI. Daftar obat-obatan yang paling sering menyebabkan neuropati
adalah sebagai berikut: Zalcitabine (ddC), Stavudine (d4T), Didanosine (ddI), dan
Lamivudin (3TC). Neuropati nukleosida dapat terjadi 4-6 minggu setelah dimulainya
terapi ARV (Williams dkk, 2002; Brew dan Tomlinson, 2004; Pettersen dkk, 2006) .
2.1.3 Gambaran patologi
Degenerasi aksonal serabut sensorik yang length-dependent, mengenai serabut
saraf yang berselubung atau tanpa selubung mielin merupakan karakteristik DSP.
DSP ditandai oleh degenerasi bagian distal dari akson yang panjang. Serabut saraf
kecil dan besar yang berselubung mielin, serta khususnya serabut saraf yang tidak
berselubung mielin jumlahnya berkurang serta berkurangnya densitas saraf
intraepidermal (Keswani dkk, 2006; Hoke dkk, 2009). Kelainan yang serupa dapat
ditemukan pada diabetes dan amiloidosis dimana terutama melibatkan serabut saraf
kecil dan dikelompokkan ke dalam kategori small fiber neuropathy. Biopsi Skin
punch menunjukkan denervasi epidermal, gambaran khas small fiber neuropathy
(Polydefkis dkk, 2002). Gambaran patologis DSP sesuai dengan tanda dying back
neuropathy, dengan degenerasi traktus gracilis rostral dan distal terminal akson
perifernya. Perubahan neuropatologis yang jelas pada DSP meliputi infiltrat limfosit
yang mengalami inflamasi dan makrofag yang teraktivasi, dengan pengecatan
imunokimia menunjukkan adanya sitokin inflamatori seperti tumor necrosis factor
(TNF-α), interferon-γ dan interleukin-6 (Keswani dkk, 2002; Mc Arthur dkk, 2005;
Zhu dkk, 2007; Kamerman dkk, 2012).
Studi imunopatologis pada DSP telah menunjukkan adanya aktivasi makrofag
yang jelas disertai pelepasan sitokin inflamatori lokal pada daerah akson yang
mengalami degenerasi. Terjadi juga penurunan jumlah neuron pada ganglion radik
dorsalis dan peningkatan jumlah nodul Nageotte. Nodul Nageotte merupakan hasil
dari akumulasi sel satelit, sel Schwann, dan makrofag teraktivasi di daerah ganglion
radiks dorsalis (DRG) yang mengalami proses degenerasi (Authier dan Gheradi,
2003). Gambaran patologis DSP dapat dilihat pada gambar 2.2
Gambar 2.2Ganglion Radiks Dorsalis pada DSP (McArthur dkk, 2005)
Kiri: gambaran fotomikrograf menunjukkan neuron sensorik ukuran besar padaganglion radik dorsal dan infiltrasi sel radang. Tengah: hilangnya neuron (panah) daninflamasi. Kanan: pewarnaan CD68 menunjukkan aktivasi dan infiltrasi makrofag
2.2 Patofisiologi Neuropati Sensorik HIV
2.2.1 Aktivasi makrofag
Makrofag memegang peranan penting pada patogenesis terjadinya DSP.
Aktivasi makrofag sebenarnya belum diketahui pasti penyebabnya. Ada 2 hipotesis
yang menjelaskan hal ini. Teori pertama menjelaskan terjadinya degenerasi aksonal
distal yang ringan akibat defisiensi nutrisi, paparan alkohol, penyalahgunaan obat
atau faktor nonspesifik lainnya. Kerusakan aksonal dalam bentuk degenerasi
Wallerian ini akan mengakibatkan rekrutmen makrofag ke lokasi kerusakan. Pada
infeksi HIV-1 ditemukan hiperaktivitas dari makrofag yang menyebabkan inflamasi
multifokal di serabut saraf dan DRG. Teori kedua menyatakan monosit teraktivasi
yang bersirkulasi dan sitokin proinflamatori memasuki DRG dan serabut saraf tepi
dalam jumlah yang berlebihan melalui kebocoran blood-nerve barrier. Reaksi
inflamasi lebih lanjut diakibatkan oleh sel-sel ini melalui pelepasan sitokin dan
kemokin diikuti kerusakan aksonal dan DRG. Teori ketiga menyatakan pelepasan
protein HIV-1 yang neurotoksik yaitu gp120 dan Tat memegang peranan penting
untuk terjadinya degenerasi aksonal dalam bentuk dying back (Keswani dkk, 2002;
2006).
2.2.2 Peranan gp120
Glikoprotein gp120 mampu mengeksitasi neuron DRG dengan memobilisasi
ion kalsium dan menurunkan ambang rangsang pembentukan potensial aksi, gp120
juga mampu menyebabkan neurotoksisitas langsung (Keswani dkk, 2003).
Mekanisme neurotoksisitas langsung akan terjadi jika gp120 langsung
dipaparkan pada akson (Melli dkk, 2006). Glikoprotein gp120 akan berikatan dengan
reseptor kemokin aksonal yaitu CXC Chemokine Receptor 4 (CXCR4)/ CC
Chemokine Receptor 5 (CCR5) dan menginduksi degenerasi akson (Hoke dkk, 2009).
Paparan gp120 terhadap neuron memicu neurotoksisitas dengan menyebabkan
kerusakan mitokondria akibat depolarisasi membran, degenerasi neural, pelepasan
sitokrom C mitokondria neuronal, dan fragmentasi DNA inti yang tergantung pada
caspase-3 (Wallace dkk, 2007; Kamerman dkk, 2012).
Mekanisme neurotoksisitas tidak langsung melibatkan sel makrofag dan sel
Schwann di DRG (Melli dkk, 2006). Ikatan gp120 dengan reseptor CXCR4/CCR5 di
makrofag akan membuka kanal Calcium-activated potassium (KCa), klorida, dan
kalsium. Masuknya ion melalui kanal spesifik akan menginduksi sekresi produk
makrofag berupa sitokin proinflamatori menyebabkan toksisitas neuron. Sedangkan
interaksi gp120 terhadap CXCR4 di sel Schwann dengan menghasilkan kemokin beta
dan Regulated on Activation, Normal T cells Expressed and Secreted ( RANTES).
RANTES akan berikatan dengan reseptor kemokin CCR5 di neuron dan menginduksi
peningkatan produksi tumor necrosis factor α (TNFα). Peningkatan TNFα
menghasilkan proses kematian neuron sensorik melalui apoptosis. Degenerasi
aksonal secara parsial dihambat oleh inhibitor caspase dan berpotensi sebagai terapi
di masa mendatang (Liu dkk, 2000; Ahr dkk, 2004; Cornblath dan Hoke, 2006;
Kamerman dkk, 2012).
Gambar 2.3
Patogenesis Kerusakan Saraf Perifer oleh HIV (Kamerman dkk, 2012)
2. 3 Patofisiologi Nyeri pada Neuropati Sensorik HIV
Terjadinya degenerasi traktus gracilis rostral dan akson sensorik distal
menunjukkan dugaan bahwa proses patologis primer DSP terjadi pada tingkat DRG.
Selain nyeri gangguan vibrasi dan numbness juga sering ditemukan. Hal ini
menunjukkan berbagai populasi neuronal juga terkena. Respon inflamasi terjadi di
DRG diduga mengalami gangguan diikuti degenerasi neuronal bentuk dying back.
Proses ini belum menerangkan mengapa pada DSP nyeri merupakan gambaran utama
DSP (Brew dan Tomlinson, 2004).
Terdapat dua teori utama yang menjelaskan mekanisme nyeri pada DSP.
Teori pertama atau hipotesis perifer menduga nyeri terjadi akibat aktivitas spontan
serabut C (nosiseptif/nyeri) setelah kerusakan serabut sekitarnya. Adanya gambaran
makrofag yang mengalami inflamasi pada DSP diduga akan terjadi pelepasan
sitokin proinflamatori yang mensensitisasi serabut saraf. TNF-α di DRG meningkat
pada aktivasi makrofag ini. Pada model binatang yang diberi injeksi TNF-α kedalam
saraf skiatik menunjukkan sensitisasi dan menghasilkan nyeri neuropatik. Teori
kedua yang disebut juga dengan hipotesis sentral menyatakan terjadi perubahan
ekspresi dan fungsi kanal ion natrium dan kalsium di DRG sehingga menghasilkan
respon abnormal berupa nyeri setelah kerusakan serabut saraf perifer. Remodeling
sentral di kornu dorsalis dari medulla spinalis diperkirakan memainkan peranan
penting dalam proses nyeri neuropatik. Beberapa penelitian pada model binatang
telah menunjukkan bahwa kerusakan saraf perifer menyebabkan terjadinya
serangkaian sprouting serabut Aβ di sentral terminal dan pembentukan kontak
sinaptik baru di luar zona terminalnya ke lamina II kornu dorsalis, area yang secara
normal menerima input nosiseptif dari serabut tak bermielin. Plastisitas dan
organisasi serabut ini pada kornu dorsalis kemungkinan dimodulasi oleh beberapa
faktor, termasuk induksi growth factor, reseptor growth factor, dan sitokin (Keswani
dkk, 2002).
Temuan pada percobaan binatang juga mendapatkan hasil bahwa paparan
glikoprotein gp120 pada saraf skiatik maupun injeksi intratekal dapat menginduksi
nyeri. Neuron DRG mengekspresikan reseptor kemokin, termasuk CXCR4 dan
CCR5, yang merupakan koreseptor penting protein membran HIV. Kemokin dan
glikoprotein gp120 juga menimbulkan efek eksitatorik pada neuron nosiseptor DRG
dan memicu pelepasan substansi P. Kemokin dan gp120 juga menyebabkan allodinia
setelah disuntikkan pada model binatang tikus. Hasil ini menyediakan bukti bahwa
kemokin dan gp120 dapat menimbulkan efek nyeri melalui aksi langsung pada
reseptor kemokin yang diekspresikan oleh neuron nosiseptif (Oh dkk, 2001).
Makrofag yang terinfeksi HIV banyak terdapat pada DRG pasien dengan
DSP. Sel ini mampu mempertahankan paparan gp120 dalam bentuk partikel solubel
maupun virion lengkap karena berperan sebagai reservoir pada infeksi HIV, sehingga
selama infeksi HIV berlangsung, gp120 dalam kadar yang signifikan akan ditemukan
pada DRG (Keswani dkk, 2005).
Gambar 2.4Model Hipotetik Patogenesis Nyeri pada DSP (McArthur dkk, 2005).
Kerusakan serabut saraf perifer akibat inflamasi multifokal dan produk sekresi
makrofag teraktivasi menimbulkan aktivitas spontan serabut nosiseptif (sensitisasi
perifer). Respon inflamasi yang menyimpang di DRG mengakibatkan perubahan
kanal natrium dan kalsium menyebabkan impuls ektopik. Remodeling sentral di
kornu dorsalis akibat sprouting serabut A dan pembentukan sinaptik dengan serabut
penghantar nyeri di lamina II, yang mempertahankan nyeri neuropatik (sensitisasi
sentral) (McArthur dkk, 2005).
2.4 Angka CD4 Sebagai Faktor Risiko Nyeri Neuropatik
CD4 merupakan bagian dari limfosit T yang disebut juga sel T helper.
Konsensus internasional mengelompokkan antibodi dalam berbagai cluster of
differentiation (CD) sesuai dengan antigen permukaan yang dideteksi. Limfosit CD4
merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun tubuh. Virus
mengalami replikasi dan meninggalkan CD4 yang hancur, selanjutnya mencari dan
menginfeksi CD4 yang baru sehingga jumlah CD4 dalam tubuh semakin rendah.
Jumlah CD4 normal berkisar antara 500-1500 sel/µl (> 29% limfosit total) dan CD4 <
200 sel/µl (<14%) berisiko untuk mendapatkan infeksi oportunistik (Kresno, 2001).
Angka CD4 akan menurun sejalan dengan perkembangan penyakit AIDS. Hal
ini menandakan perkembangan penyakit dan memburuknya kemampuan sistem imun.
Sejak fase awal infeksi HIV, sel limfosit T CD4 telah menjadi target utama infeksi
dan efek sitopatik langsung HIV akan menghancurkan sel limfosit CD4. Penurunan
jumlah sel limfosit CD4 merupakan marker imunologis yang berarti bertambahnya
imunodefisiensi. Sejalan dengan itu viral load yang ditandai dengan meningkatnya
titer HIV-RNA menunjukkan proses penyakit yang semakin parah, termasuk reaksi
inflamasi dan imunologis. Berbagai mediator inflamasi yang dilepaskan selama
infeksi HIV seperti IL-1β, IL-2, TNF-α dan IFN-∂, sehingga kadarnya meningkat
dalam darah serta berpengaruh terhadap peningkatan kadar ROS yang dapat merusak
merusak sistem saraf, baik pusat maupun perifer. Banyak penelitian telah
membuktikan bahwa angka CD4 yang rendah, viral load plasma HIV-1 yang tinggi,
penyakit stadium lanjut dan bertambahnya usia berhubungan dengan peningkatan
risiko terjadinya DSP. Berkurangnya angka CD4 juga dapat meningkatkan risiko
DSP simtomatik. (Schifitto dkk, 2002; Simpson dkk, 2006; Nasronudin, 2007).
Gambar 2.5Jumlah CD4, Viral Load dan Perjalanan Infeksi HIV (Depkes, 2009)
Penurunan jumlah limfosit CD4 bisa juga proses apoptosis. Proses apoptosis
limfosit T CD4 terjadi melalui 3 jalur yaitu pertama melalui jalur ekstrinsik (death
receptor mediated pathway), kedua jalur intrinsik (mitochondria mediated pathway)
dan ketiga melalui sitolisis oleh sel killer dan antibody dependent cellular cytotoxicity
(ADCC) (Ahr dkk, 2004; Nasronudin, 2007). Protein utama virus HIV yang
mempengaruhi kematian sel adalah the envelope glycoprotein 120 (gp120), the
negative effector (Nef), the transactivator of transcription (Tat), dan viral protein R
(Vpr). Pada jalur ekstrinsik HIV menggunakan CD4 pada permukaan sel T serta
CCR5 dan CXCR4 sebagai ko-reseptor untuk masuknya virus dan meningkatkan Fas-
ligand (FASL) pada sel ini. Protein nef yang terlarut berinteraksi langsung dengan
CXCR4 untuk menginduksi apoptosis. Protein nef eksogen secara langsung
menstimuli komplek TCR-CD3 dan meningkatkan ekspresi FAS/FASL pada
permukaan sel serta menghambat protein anti apoptosis famili Bcl-2. Seperti halnya
protein endogen nef, Tat meningkatkan jalur FAS/FASL dan secara langsung
mengaktivasi caspase 8. Pada jalur intrinsik, Tat dan vpr menghambat famili BCL-2
serta meningkatkan terjadinya disfungsi mitokondria dan pengeluaran sitokrom C
yang menyebabkan terbentuknya formasi apoptosome. Vpr juga menyebabkan
tertahannya siklus sel pada fase G2 (Fevrier, 2011).
Gambar 2.6Jalur Ekstrinsik dan Intriksik Apoptosis Sel Limfosit CD4 (Fevrier, 2011).TCR: T cell receptor; CTL: cytotoxic T lymphocyte; FasL: Fas Ligand;FADD: Fas-associated Death Domain; Caspase: cysteinyl aspartic acidprotease; BCL-2: B cell lymphoma protein 2; BCL-X: BCL-2 like1; BAX:BCL2 associated X protein; APAF: Apoptotic protease activating factor;PTPC: Permeability transition pore complex
Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan melalui stadium klinis menurut
Word Health Organization (WHO). Stadium klinis I dapat berupa asimptomatis atau
limfadenopati persistent generalisata. Stadium klinis II dapat berupa penurunan berat
badan < 10% dari berat badan sebelumnya, manifestasi mukokutaneus minor, herpes
zoster dalam 5 tahun terakhir dan infeksi berulang pada saluran pernafasan atas.
Stadium klinis III dapat berupa penurunan berat badan > 10%, diare kronis > 1 bulan,
demam dengan penyebab tidak jelas > 1 bulan, kandidiasis oris dan infeksi bakterial
berat. Stadium klinis IV berupa HIV wasting syndrome, ensefalitis toksoplasmosis
dan berbagai penyakit akibat infeksi oprtunistik lainnya. Berkurangnya angka CD4
terjadi pada HIV stadium lanjut dan terjadi berbagai infeksi oportunistik seperti
pneumonia pneumokistik karinii, infeksi sitomegalovirus, infeksi virus herpes serta
berbagai jenis malignansi termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma
Kaposi (Nasronudin, 2007). Pada era sebelum HAART kondisi nyeri neuropatik
semakin meningkat dan sering didapatkan bersamaan dengan adanya infeksi
Mycobacterium avium complex yang secara khas sering terjadi pada infeksi stadium
lanjut dengan angka CD4 mencapai <50 sel/µl (Symth, 2007).
Pemakaian HAART menyebabkan semakin bertambahnya jumlah penderita
HIV dengan usia lebih tua akibat bertambahnya survival. Usia tua berhubungan
dengan proses perburukan yang cepat menuju stadium AIDS baik pada penderita
tanpa HAART maupun pemakai HAART. Oleh Karena itu pemakaian HAART
dengan kadar CD4 lebih tinggi tampaknya lebih bermanfaat pada penderita HIV usia
tua dibandingkan dengan usia yang lebih muda (Li dkk, 2011). Tinggi badan secara
biologis merupakan faktor predisposisi terjadinya neuropati pada HIV. Tinggi badan
juga dilaporkan mempengaruhi berbagai neuropati lainnya. Saraf sensorik perifer
memerlukan dukungan energi tinggi yang tergantung pada proses transport aktif
senyawa penting yang turun dari DRG. Hal ini mungkin sangat rentan bagi individu
dengan tinggi badan yang lebih tinggi (Cherry dkk, 2009).
Pada analisis regresi logistik, faktor non obat yang secara signifikan
merupakan faktor resiko terjadinya DSP adalah usia lebih dari 40 tahun (adjusted
odds ratio [aOR], 1.17), diabetes mellitus (aOR, 1.79), ras kulit putih (aOR, 1.33),
jumlah sel limfosit CD4 nadir < 50 sel/µl pada saat pertama pengukuran (aOR, 1.64),
jumlah sel limfosit CD4 50-199 sel/µl (aOR, 1.40) dan viral load > 10.000 copies/µl
pada saat pertama pengukuran (aOR, 1.44). Walaupun penggunaan awal didanosine,
stavudine (40 mg b.i.d), nevirapine, atau 4 protesae inhibitor dihubungkan dengan
terjadinya DSP (OR untuk keempat pengobatan 1.41), kekuatan hubungan menurun
seiring dengan berlanjutnya pemakaian obat (Lichtenstein dkk, 2005; Cornblath dan
Hoke, 2006).
Usia juga berhubungan dengan gangguan imun berupa penurunan angka CD4,
penurunan respon proliferatif sel T, dan menurunnya kemampuan untuk berespons
terhadap patogen. Kondisi perancu dapat berupa defisiensi makro dan mikronutrisi,
penggunaan vitamin B6 berlebihan, neuropati sensorimotor herediter, neuropati
jebakan (karpal, kubital, dan tarsal), penggunaan alkohol kronik dan uremia juga
merupakan faktor risiko DSP. Studi kohort menunjukkan bahwa peningkatan kadar
trigliserida (odds ratio = 1.4, p = 0.01) dan diabetes mellitus tipe 2 (odds ratio = 1.4,
p = 0.01) merupakan faktor risiko terjadinya DSP (Keswani dkk, 2005; Ances dkk,
2009; Banerjee dkk, 2011).
Moore dkk. (2000) sebelumnya melaporkan bahwa risiko DSP meningkat
pada pemakaian gabungan obat antiretroviral dibanding penggunaan obat tunggal.
Penggunaan antiretroviral golongan NRTI terutama stavudin dan didanosin dianggap
meningkatkan kejadian DSP (Smyth dkk, 2007).
Delta trial untuk mengetahui insiden neuropati perifer pada pemberian
zidovudin sendiri atau kombinasi dengan didanosine atau zalcitabine menunjukkan
bahwa penderita dengan CD4 < 150 sel/µl memiliki resiko relatif untuk terjadinya
neuropati perifer sebesar 2.27 jika dibandingkan dengan CD4 ≥ 350 ( 95% CI 1.55-
3.44) dan penderita yang berusia 35 tahun atau lebih memiliki resiko 2 kali lipat
untuk terjadinya DSP. Sedangkan untuk jenis kelamin tidak didapatkan adanya
perbedaan yang bermakna (p=0.57) (Arenas-Pinto dkk, 2008).
Stavudine (d4T) dapat mengakibatkan neuropati sensorik yang dose limiting
dan berhubungan dengan dosis serta durasi penggunaan d4T. Dosis tinggi d4T
berhubungan dengan neuropati pada lebih dari 70% pasien, dengan risiko tinggi pada
pasien yang mengalami imunosupresi. Penghentian d4T menyebabkan gejala
neuropati membaik (Cherry dan Wesselingh, 2003).
2.5 Penilaian Nyeri Neuropatik pada Penderita HIV
Pemeriksaan elektrofisiologi mungkin menunjukkan polineuropati sensorik
tipe aksonal yang length dependent, tetapi pada fase awal penyakit sering
menunjukkan temuan normal pada sekitar 20% kasus. Terdapat penurunan amplitudo
potensial aksi motorik dan sensorik dengan kecepatan hantar saraf normal atau
sedikit menurun, sedangkan EMG menunjukkan berkurangnya rekrutmen dengan
komponen signifikan potensial polifasik selama kontraksi volunter maksimal pada
otot kaki distal. Temuan pemeriksaan elektrofisiologi ini sesuai dengan DSP terutama
akibat kerusakan fungsi sensorik tipe aksonal (Brew dan Tomlinson, 2004; McArthur
dkk, 2005; Keswani dkk, 2005).
Pemeriksaan biopsi kulit dengan teknik Punch Skin Biopsies telah menjadi
alat yang berguna untuk mengevaluasi kejadian neuropati pada HIV. Pertama kali
digunakan oleh Bolton dan Dyck untuk mengevaluasi neuropati sensorik. Pengenalan
terkini analisis serabut saraf intraepidermal adalah dengan menggunakan tehknik
imunohistokimia dan memakai penanda protein gene product 9.5 (PGP 9.5) yang
merupakan suatu ubiquitin hidrolase neuronal. Studi ini memungkinkan untuk
memeriksa epidermis yang di persarafi oleh serabut saraf kaliber kecil C dan serabut
saraf A∂ (Pardo dkk, 2001). Prediksi positif biopsi kulit untuk mendiagnosis small
fiber neuropathy diperkirakan mempunyai nilai spesifisitas antara 93% sampai 97%
dan sensitivitas antara 69% sampai 82% Biopsi saraf suralis telah lama digunakan
sebagai diagnosis histopatologis pada sebagian besar kasus neuropati perifer tetapi
memiliki keterbatasan. Hal ini merupakan prosedur yang invasif dan memiliki resiko
yang potensial seperti nyeri dan hilangnya sensorik bagian distal tempat biopsi
(Lauria dan Lombardi, 2007).
LANSS merupakan suatu alat yang digunakan untuk menilai ada/tidaknya
nyeri neuropatik pada penderita dan tidak bersifat invasif. Pada penelitian ini
digunakan skala nyeri LANSS untuk memeriksa pasien HIV yang mengalami DSP
yang mengalami nyeri neuropatik. LANSS terdiri dari 5 item deskripsi sensoris dan 2
item pemeriksaan disfungsi sensoris. Pada skala nyeri LANSS skor 12 atau lebih
diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik dan skor dibawah 12 diklasifikasikan
sebagai nyeri nosiseptik (Bennet, 2001; Martinez-Lavin dkk, 2003). LANSS sudah
dilakukan tes realibilitas di Indonesia dan dinyatakan reliabel/dapat dipercaya dengan
kappa coefficient agreement adalah 0.76 (Widyadharma dkk, 2008).
Instrumen lainnya yang dapat digunakan untuk menilai nyeri neuropatik
adalah Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ) dengan sensitifitas 66% dan spesifitas
74%, Douleur Neuropathique en 4 questions (DN4) dengan sensitifitas 83% dan
spesifitas 90% dan painDETECT dengan sensitifitas 85% dan spesifitas 80% namun
belum dilakukan uji reliabilitas di Indonesia (Bennett dkk, 2007).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Berpikir
Infeksi HIV primer
Penurunanlimfosit CD4
Respon Imun
Protein virus Gp120 dan Tat pada saraf perifer
Neurotoksisitaslangsung (Protein virus)
Neurotoksisitas tidaklangsung (Neuroinflamasi)
Sel Akson Neuronal Makrofag dan Sel Schwanperineuronal
Degenerasi AksonNeuronal dan DRG
Nyeri neuropatik
Peningkatan viral load
SitokinproinflamatoriTNF-α, IL-1β,
Sindrom Metabolik- Diabetes Mellitus tipe 2- Hipertrigliseridemia
Infeksi HIV primer ditandai dengan sejumlah efek pada sistem imun host.
Terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD4 dan peningkatan viral load. CD4 yang
rendah mencerminkan tingginya viral load serta rendahnya sistem imun penderita
HIV. Pelepasan protein viral HIV-1 yang neurotoksik (gp120 dan Tat) memegang
peranan penting untuk terjadinya degenerasi aksonal saraf perifer dalam bentuk
dying back, dan gp120 mampu menyebabkan neurotoksisitas langsung. Kerusakan
saraf inisial diperkirakan akibat induksi dari gp120 yang berikatan dengan mielin.
Pada infeksi HIV-1 juga ditemukan hiperaktivitas dari makrofag yang
menyebabkan inflamasi multifokal di serabut saraf dan DRG. Kerusakan aksonal
dalam bentuk degenerasi Wallerian ini akan mengakibatkan rekrutmen makrofag ke
lokasi kerusakan. Mekanisme neurotoksisitas tidak langsung terutama melalui
aktivasi reseptor kemokin di makrofag dan sel Schwan perineuronal. Ikatan gp120
dengan reseptor CXCR4 di makrofag akan membuka kanal Calcium-activated
potassium (KCa), klorida, dan kalsium. Masuknya ion melalui kanal spesifik akan
menginduksi sekresi produk makrofag berupa sitokin proinflamasi memasuki DRG
dan serabut saraf tepi dalam jumlah yang berlebihan melalui kebocoran blood-nerve
barrier dan menyebabkan toksisitas neuron. Risiko nyeri neuropatik meningkat pada
diabetes mellitus tipe 2 dan hipertrigliseridemia. Keduanya meningkatkan resiko
nyeri neuropatik pada populasi dengan HIV walaupun mekanismenya belum jelas.
3.2 Konsep
Gambar 3.2
Konsep Penelitian
Keterangan:
= ditampilkan sebagai karakteristik sampel
= dikendalikan pada tahap rancangan penelitian
= variabel yang akan diteliti
Penderita HIV
Angka CD4Nadir Rendah
≤ 200 sel/µl
Nyerineuropatik
Stadium HIV Lama
pengobatanARV
Hipertrigliseridemia Diabetes mellitus Neuropati jebakan Penggunaan alkohol Uremia
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusunlah konsep penelitian
sebagai berikut:
1. Nyeri neuropatik dapat terjadi pada penderita HIV. Perlu diketahui faktor-
faktor yang mempengaruhi nyeri neuropatik pada penderita HIV. Angka CD4
nadir rendah ≤ 200 sel/µl merupakan faktor risiko nyeri neuropatik pada
penderita HIV.
2. Beberapa faktor lainnya juga berperan dalam proses terjadinya nyeri
neuropatik pada penderita HIV, antara lain stadium HIV dan lama pengobatan
ARV yang selanjutnya ditampilkan sebagai karakteristik sampel. Faktor risiko
lainnya yaitu hipertrigliseridemia , diabetes mellitus, neuropati jebakan,
penggunaan alkohol, dan uremia dikendalikan pada tahap rancangan
penelitian.
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, maka disusun
hipotesis penelitian sebagai berikut:
Angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl meningkatkan risiko nyeri neuropatik
pada penderita HIV di RSUP Sanglah Denpasar.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan
rancangan penelitian kasus kontrol untuk mengetahui angka CD4 nadir rendah ≤
200 sel/µl sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV.
Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol
HIV (+)
Nyeri Neuropatik (+)(Kasus)
Nyeri Neuropatik (-)(Kontrol)
CD4 nadir > 200 sel/µl
CD4 nadir ≤ 200 sel/µl
CD4 nadir ≤ 200 sel/µl
CD4 nadir > 200 sel/µl
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di poliklinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) RSUP
Sanglah. Waktu penelitian dimulai dari bulan Nopember 2013 sampai Januari 2014.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk ruang lingkup faktor risiko
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian
4.4.1 Populasi target
Populasi target penelitian ini adalah seluruh penderita HIV.
4.4.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita HIV positif yang
menjalani pengobatan di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar periode Nopember
2013 – Januari 2014.
4.4.3 Kriteria sampel
Semua penderita HIV positif yang menjalani pengobatan di poliklinik VCT
RSUP Sanglah Denpasar dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.3.1 Kriteria kasus
Kriteria inklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Penderita HIV positif dengan nyeri neuropatik.
2. Penderita berusia 18-40 tahun.
3. Penderita memiliki angka CD4 nadir.
4. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan (informed consent).
4.4.3.2 Kriteria kontrol
1. Penderita HIV positif tanpa nyeri neuropatik.
2. Penderita berusia 18-40 tahun.
3. Penderita memiliki angka CD4 nadir.
4. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini dengan
menandatangani surat persetujuan (informed consent).
4.4.3.3 Kriteria eksklusi kasus dan kontrol
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah:
1. Penderita sedang dalam pengobatan ARV > 12 bulan.
2. Penderita dengan penurunan kesadaran.
3. Memiliki faktor risiko nyeri neuropatik seperti: diabetes mellitus,
hipertrigliseridemia, neuropati jebakan, penggunaan alkohol, uremia.
4. Tidak mampu melakukan fungsi sehari-hari secara independen.
4.4.4 Besar sampel
Besar sampel (n) ditetapkan berdasarkan rumus (Dahlan, 2009) :
n1 = n2= (Zα2PQ + ZP1Q1 +P2Q2)²
(P1-P2)²
α : kesalahan tipe I, ditetapkan 5% sehingga Zα = 1,96
: kesalahan tipe II, ditetapkan 80% sehingga Z = 0,842
P : proporsi total = ½ (P1+P2)
P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti
Q1 : 1- P1 Q2 : 1- P2
Proporsi nyeri neuropatik pada penderita HIV dengan angka CD4 rendah
adalah 0,2 (Imran dkk, 2005). Besar sampel berdasarkan rumus diatas didapatkan n1
= n2 = 33. Jadi jumlah sampel masing-masing kelompok yaitu kelompok kasus dan
kelompok kontrol adalah 33 orang sehingga sampel keseluruhan berjumlah 66 orang.
4.4.5 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling non random
jenis consecutive yaitu semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria eligibilitas
dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.
4.5 Variabel Penelitian
Variabel tergantung adalah nyeri neuropatik.
Variabel bebas adalah angka CD4 nadir rendah
Variabel pengganggu adalah stadium HIV dan lama pengobatan ARV
4.6 Definisi operasional variabel
1. HIV (+) adalah penderita dengan gejala klinis infeksi HIV dan hasil pemeriksaan
serologis HIV menunjukkan hasil positif. Pemeriksaan HIV dilakukan dengan
rapid test dan penderita dinyatakan HIV (+) bila didapatkan hasil reaktif pada
pemeriksaan rapid test tersebut (Depkes, 2009).
2. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang ditimbulkan atau disebabkan oleh lesi atau
gangguan primer pada susunan saraf (Konsensus Nasional 1 Pokdi Nyeri
PERDOSSI, 2011). Adanya nyeri neuropatik menggunakan skala nyeri LANSS.
Terdiri dari 5 item deskripsi sensoris dan 2 item pemeriksaan disfungsi sensoris.
Skor 12 atau lebih diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik dan skor dibawah 12
diklasifikasikan sebagai nyeri nosiseptik (Martinez-Lavin dkk, 2003). Data
menggunakan skala nominal (dikotom).
3. Angka CD4 adalah jumlah sel CD4 dalam tiap mikroliter serum darah penderita
HIV (Depkes, 2009). Pemeriksaan angka CD4 dilakukan di laboratorium RSUP
Sanglah Denpasar menggunakan reagen BD FACS count reagen kit dengan alat
BD FACS count.
4. Angka CD4 nadir adalah angka CD4 paling rendah yang pernah dicapai oleh
penderita HIV. Angka CD4 nadir dibagi menjadi 2 kelompok yaitu < 200 sel/µl
dan > 200 sel/µl (Lichtenstein dkk, 2005). Angka CD4 nadir rendah bila pada
pemeriksaan angka CD4 didapatkan angka CD4 nadir < 200 sel/µl dan angka
CD4 nadir tinggi bila pada pemeriksaan angka CD4 didapatkan angka CD4
nadir > 200 sel/µl. Data menggunakan skala nominal (dikotom).
5. Umur ditentukan berdasarkan tanggal lahir yang tertera pada KTP, dibagi dalam
2 kelompok yaitu < 30 tahun dan > 30 tahun (Arenas-Pinto dkk, 2008). Data
menggunakan skala nominal (dikotom).
6. Stadium HIV ditentukan berdasarkan stadium yang ditetapkan oleh WHO, yaitu
(1) stadium 1, (2) stadium 2, (3) stadium 3, dan (4) stadium 4 dan dibedakan
menggunakan skala nominal (dikotom) yaitu stadium rendah (stadium 1 dan 2)
dan stadium tinggi (stadium 3 dan 4) (Depkes, 2009).
7. Lama pengobatan ARV adalah waktu sejak penderita mulai meminum obat
ARV, dibedakan menggunakan skala nominal (dikotom) yaitu < 6 bulan dan 7
bulan - 12 bulan (Forna, 2007).
8. Tinggi badan ditentukan dengan melakukan pengukuran memakai alat ukur
dibagi dalam 2 kelompok menggunakan skala nominal (dikotom) yaitu ≥ 170 cm
dan < 170 cm (Cherry dkk, 2009).
9. Penyakit seperti hipertrigliseridemia, diabetes mellitus, neuropati jebakan,
penggunaan alkohol dan uremia ditentukan berdasarkan anamnesis,
heteroanamnesis dan catatan medis.
4.7 Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data berupa formulir pengumpulan data yang memuat tentang
karakteristik sampel dan pemeriksaan gangguan nyeri neuropatik berupa skala nyeri
LANSS.
a. Karakteristik penderita ditelusuri dari catatan medik.
b. Pemeriksaan gangguan nyeri neuropatik dengan tes , antara lain :
1. Skala Nyeri LANSS. Terdiri dari 5 item deskripsi sensoris dan 2 item
pemeriksaan disfungsi sensoris. Uji reliabilitas dilakukan oleh Widyadharma
dkk untuk mengetahui nyeri neuropatik pada pasien NIDDM. Skala nyeri
LANSS dalam bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai instrumen
pemeriksaan yang reliabel/dapat dipercaya dengan kappa coefficient
agreement adalah 0.76 (Widyadharma dkk, 2008). Dibedakan menggunakan
skala nominal (dikotomi) : ya / tidak.
4.8 Prosedur Penelitian
Penderita HIV yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya
bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent, maka
dilakukan wawancara terstruktur dengan kuesioner. Data yang diperoleh ditabulasi
dan diolah untuk mendapatkan hasil penelitian.
Gambar 4.2
Bagan Alur Penelitian
Populasi target:penderita HIV
Populasi terjangkau: penderita HIV yang rawat jalan dipoliklinik VCT RSUP Sanglah
Kriteria inklusi dan eksklusieksklusi
Skala Nyeri LANSS
Nyeri Neuropatik (+) Nyeri Neuropatik (-)
CD4 nadir ≤200
CD4 nadir >200
CD4 nadir ≤200
CD4 nadir >200
Analisis Data
Laporan Hasil
4.9 Pengolahan dan Analisis Data
Analisis dan penyajian data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif untuk mengetahui frekuensi dan persentase karakteristik
pada kelompok kasus dan kontrol.
2. Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung
berskala nominal dengan metode Chi-Square. Tingkat kemaknaan dinyatakan
dengan p dan hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio dengan
confidence interval (CI) 95%.
Seluruh data dianalisis dengan program SPSS 16.0 for windows.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Uji Normalitas
Uji normalitas terhadap variabel penelitian dilakukan sebelum uji statistik untuk
mengetahui distribusi variabel penelitian. Sampel pada penelitian ini berjumlah lebih dari 50
orang, maka uji normalitas yang dipergunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov (Dahlan,
2009). Didapatkan hasil bahwa karakteristik yang berdistribusi normal adalah tinggi badan
(p=0,058) dan yang tidak berdistribusi normal adalah umur (p=0,005), lama pengobatan HIV
(p=0,002), angka CD4 nadir (p=0,002) dan stadium HIV (p=0,000)(Tabel 5.1). Hal ini
disebabkan karena sampel menggunakan variabel katagorik sehingga walaupun distribusi
sampel pada penelitian ini tidak normal, uji hipotesis yang digunakan adalah Chi-square
(komparatif tidak berpasangan dengan variabel katagorik)(Dahlan, 2009).
Tabel 5.1
Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Umur subyek penelitian .134 66 .005 .939 66 .003
Lama pengobatan HIV .143 66 .002 .920 66 .000
Tinggi badan subyek .107 66 .058 .962 66 .041
Angka CD 4 Nadir .143 66 .002 .912 66 .000
Stadium HIV WHO .388 66 .000 .669 66 .000
5.2 Karakteristik Demografi
Penelitian ini dilakukan terhadap 66 orang penderita HIV yang menjalani rawat jalan
di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar dari bulan November 2013 sampai dengan
Januari 2014. Subyek yang mengalami nyeri neuropatik dikelompokkan sebagai kasus dan
subyek tanpa nyeri neuropatik sebagai kontrol masing-masing sebanyak 33 orang.
Karakteristik demografi subyek penelitian disajikan pada tabel 5.2.
Pada kelompok umur, persentase subyek penelitian yang memiliki umur ≥ 30 tahun
lebih banyak yaitu 81,8%, sedangkan pada kelompok kontrol persentase subyek penelitian
yang memiliki umur ≥ 30 tahun sebanyak 75,8%. Subyek penelitian pada kelompok kasus
lebih banyak berjenis kelamin perempuan yaitu 57,6% dan jumlah yang sama didapatkan
pada kelompok kontrol.
Sebagian besar subyek penelitian berstatus menikah yaitu pada kelompok kasus
78,8% dan pada kelompok kontrol 60,6%. Seluruh subyek menjalani pendidikan formal
mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi dengan persentase paling banyak
berpendidikan SMA yaitu 51,5% pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Latar
belakang pekerjaan yang dimiliki subyek penelitian beranekaragam mulai dari PNS sampai
ibu rumah tangga dimana persentase yang terbanyak untuk kelompok kasus adalah lain- lain
(ibu rumah tangga, polisi, dan tidak bekerja dengan nilai total sebanyak 36,4% sedangkan
pada kelompok kontrol adalah sebagai pegawai swasta (42,4%).
Faktor risiko penularan paling banyak adalah mereka yang memiliki pasangan
heteroseksual yaitu 51,5% pada kelompok kasus dan 48,5% pada kelompok kontrol. Pada
lama menderita HIV secara karakteristik didapatkan hasil yang hampir sama. Persentase
jumlah subyek penelitian yang menderita HIV ≤ 1tahun yaitu 75,8% sedangkan pada
kelompok kontrol subyek yang menderita HIV ≤ 1 tahun 72,7%.
Sebagian besar subyek penelitian pada kelompok kasus ditemukan pada HIV
stadium tinggi (stadium III dan IV) yaitu 90,9% sedangkan pada kelompok kontrol
ditemukan juga pada HIV stadium tinggi (stadium III dan IV) yaitu 54,5%.
Pada kelompok kasus jumlah subyek yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 87,9%
sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 90,9 %. Pada kelompok kasus sebagian besar
subyek mendapat terapi ≤ 6 bulan yaitu sebanyak 63,6%. Begitu juga pada kelompok kontrol
sebagian besar subyek mendapat terapi ARV ≤ 6 bulan yaitu sebanyak 66,7%. Pada
kelompok kasus lebih banyak didapatkan tinggi badan < 170 cm yaitu sebanyak 72,7%,
demikian juga halnya pada kelompok kontrol yaitu 78,8%.
Tabel 5.2
Karakteristik Demografi Subyek Penelitian
Karakteristik Kasus (n=33) Kontrol (n=33) pUmur (tahun)
< 30 th≥ 30 th
6 (18,2%)27 (81,8%)
8 (24,2%)25 (75,8%)
Jenis KelaminLakiPerempuan
14 (42,4%)19 (57,6%)
14 (42,4%)19 (57,6%)
Status pernikahanMenikahTidak menikah
26 (78,8%)7 (21,2%)
20 (60,6%)13 (39,4%)
PendidikanSDSMPSMADiploma/PT
6 (18,2%)6 (18,2%)
17 (51,5%)4 (12,1%)
5 (15,2%)7 (21,2%)
17 (51,5%)4 (12,1%)
PekerjaanPNSSwastaWiraswastaBuruh/TaniLain-lain
2 (6,1%)7 (21,2%)
10 (30,3%)2 (6,1%)
12 (36,4%)
014 (42,4%)
6 (18,2%)2 (6,1%)
11 (33,3%)Cara penularan
IDUHeteroseksualHomoseksualPasangan heteroseksualBiseksual
014 (42,4%)
2 (6,1%)17 (51,5%)
0
1 (3,0%)12 (36,4%)2 (6,1%)
16 (48,5%)2 (6,1%)
Stadium HIV WHOStadium rendah (I & II)Stadium tinggi (III & IV
3 (9,1%)30 (90,9%)
0,00415 (45,5%)18 (54,5%)
Lama menderita (tahun)≤ 1th> 1 th
Terapi ARVYaTidak
25 (75,8%)8 (24,2%)
29 (87,9%)4 (12,1%)
24 (72,7%)9 (27,3%)
30 (90,9%)3 (9,1%)
Lama Terapi ARV (bulan)≤ 6 bulan7- 12 bulan
21 (63,6%)12 (36,4%)
0,60922 (66,7%)11 (33,3%)
Tinggi badan (cm)≥ 170< 170
9 (27,3%)24 (72,7%)
7 (21,2%)26 (78,8%)
5.3 Hubungan antara CD4 nadir rendah dengan Nyeri Neuropatik pada Penderita HIV
Hubungan antara CD4 nadir rendah sebagai variabel bebas dengan nyeri neuropatik
sebagai variabel tergantung dinilai dengan menggunakan analisis bivariat. Uji hipotesis untuk
variabel tergantung berskala katagorikal dan variabel bebas berskala pengukuran katagorikal
yang tidak berpasangan digunakan uji Chi-Square. Didapatkan nilai Odds ratio (OR) dengan
interval kepercayaan 95%. Kemaknaan penelitian ini ditetapkan pada nilai probabilitas (p) <
0,05. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3
Analisis Bivariat CD4 nadir rendah sebagai Faktor risiko Nyeri Neuropatik
Kasus Kontrol OR pn (%) n (%) IK 95%
CD4 nadir rendah ≤ 200> 200
27 (81,8%)6 (18,2%)
12 (36,4%)21 (63,6%)
7,88(2,53-24,47)
<0,001*
*bermakna secara statistik
Penderita HIV dengan CD4 nadir ≤ 200 sel/µl yang mengalami nyeri neuropatik
didapatkan sebanyak 27 orang (81,8%) dan tidak nyeri neuropatik sebanyak 12 orang
(36,4%) dengan OR 7,88; IK 95% (2,53-24,47). Terdapat hubungan bermakna antara CD4
nadir rendah ≤ 200 sel/µl dengan nyeri neuropatik pada penderita HIV (p<0,001).
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Demografi
Penderita HIV yang mengalami gangguan nyeri neuropatik pada penelitian ini
terbanyak berumur ≥ 30 tahun (81,8%). Karakteristik subyek pada penelitian yang dilakukan
Evans dkk. (2011) terhadap 116 penderita HIV berusia 18-60 tahun didapatkan bahwa
gangguan nyeri neuropatik terbanyak pada umur lebih dari 30 tahun yaitu sebesar 86%. Hasil
yang sama didapatkan pada penelitian Giubellan dkk. (2014) yaitu kejadian nyeri neuropatik
pada penderita HIV mempunyai rerata umur adalah 31,54 tahun dengan simpang baku 14,64,
sedangkan Konchalard dkk. (2007) mendapatkan rerata 38,7 tahun dengan simpangan baku
8,8. Jumlah penderita HIV dengan usia lebih tua semakin banyak akibat pemakaian HAART
dan bertambahnya survival. Usia berbanding lurus dengan viral load yang lebih tinggi,
penurunan angka CD4, penurunan respon proliferatif sel T, dan menurunnya kemampuan
untuk berespons terhadap patogen (Keswani dkk, 2005). Individu usia 50 tahun atau lebih
juga terjadi peningkatan frekuensi DSP simtomatik yang signifikan dibandingkan usia lebih
muda terutama berhubungan dengan hilangnya sensasi vibrasi dan meningkatnya keparahan
gangguan sensasi tusukan (Watters dkk, 2004).
Pada penelitian ini diperoleh subyek yang mengalami gangguan nyeri neuropatik
terbanyak adalah perempuan (57,6%) dengan perbandingan 1,4:1. Penelitian lain juga
menemukan nyeri neuropatik lebih banyak pada perempuan dengan perbandingan 10:7
(Konchalard dkk, 2007). Temuan berbeda ditemukan pada laporan Depkes bahwa sampai
dengan 31 Desember 2009 penderita HIV lebih banyak laki-laki dibanding perempuan
dengan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Demikian juga halnya Morgello dkk.
(2004) menemukan bahwa nyeri neuropatik lebih tinggi pada laki yaitu 58%.
Sebagian besar subjek penelitian yang mengalami gangguan nyeri neuropatik
terinfeksi HIV melalui hubungan seksual dengan pasangannya (pasangan heteroseksual) yaitu
sebanyak 51,5%, sedangkan data Depkes sampai 31 Desember 2009 melaporkan bahwa cara
penularan kasus AIDS paling banyak terjadi secara heteroseksual (50,3%). Lebih besarnya
jumlah subyek perempuan dibandingkan laki-laki pada penelitian ini karena selama periode
Nopember-Desember 2013 sampai dengan Januari 2014 sebagian besar penderita HIV yang
berkunjung ke poli VCT RSUP Sanglah yang mengalami nyeri neuropatik berjenis kelamin
perempuan dengan status sudah menikah. Penyakit HIV ini ditularkan melalui hubungan
seksual oleh suaminya dan beberapa pasien juga melaporkan suaminya yang telah meninggal
karena komplikasi penyakit HIV-AIDS yang dideritanya.
Sebagian besar subyek penelitian yang nyeri neuropatik ditemukan pada stadium
HIV tinggi (stadium III dan IV) yaitu 90,9%. Nyeri neuropatik lebih sering terjadi pada HIV
stadium lanjut. Pada stadium lanjut sering terjadi infeksi oportunistik dan daya tahan tubuh
yang rendah akibat tingginya viral load dan rendahnya sel CD4 (Smyth dkk, 2007). Menurut
Ferrari dkk. (2006) DSP ini dapat juga terjadi pada setiap stadium dari HIV/AIDS tergantung
rendahnya sel CD4, dan > 90% mengalami nyeri neuropatik seperti dikemukakan Ballantyne
dkk, (2010) pada jurnal International Association for the Study of Pain (IASP). Hubungan
antara nyeri neuropatik dengan HIV stadium lanjut konsisten dengan data in vitro dan in vivo
yang menunjukkan kerusakan langsung maupun tidak langsung serabut saraf tepi dan
ganglion radik dorsal oleh protein virus HIV yang dimurnikan dan model percobaan infeksi
HIV pada binatang kucing dan kera (Kamerman dkk, 2012). Hipotesis lainnya juga menduga
bahwa defisiensi nutrisi, alkohol, zat toksik lainnya atau akibat HIV itu sendiri dapat
menyebabkan kerusakan aksonal dan menarik makrofag yang hiperaktif. Sitokin yang
dikeluarkan oleh sel ini lebih bersifat toksik terhadap sel saraf (Lichtenstein dkk, 2005 ).
Prosentase jumlah subyek penelitian yang menderita HIV ≤ 1tahun yaitu 75,8%
sedangkan pada kelompok kontrol subyek yang menderita HIV ≤ 1 tahun 72,7%. Pada
kelompok kasus jumlah subyek yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 87,9% sedangkan
pada kelompok kontrol sebanyak 90,9 % dan sebagian besar subyek mendapat terapi ARV ≤
6 bulan namun tidak satupun pasien menggunakan obat stavudin, didanosin atau zalcitabine.
Faktor obat yang secara independen berhubungan dengan terjadinya nyeri neuropatik pada
pemakaian obat lebih dari setahun adalah didanosin, dosis stavudin yang lebih tinggi (40 mg
b.i.d), atau zalcitabine. Untuk pasien yang tidak mengalami DSP pada tahun pertama
pemakaian obat, obat-obatan ini (kecuali regimen yang mengandung efavirens dan stavudin
dosis tinggi) akan mempunyai hubungan yang negatif untuk terjadinya DSP setelah setahun
pemakaian obat dan tidak terdapat hubungan antara insiden DSP dan peningkatan lama
pemakaian obat (Lichtenstein dkk, 2005). Perubahan mitokondria yang prominen terlihat
sehubungan dengan penggunaan NRTI, dan diperkirakan mendasari terjadinya neuropati
akibat terapi ARV. Mitokondria mengandung enzim DNA polimerase yang esensial dalam
pembentukan DNA mitokondria. Mekanisme kerja NRTI terhadap HIV adalah menghambat
enzim reverse transcriptase, enzim yang berperan sebagai DNA polimerase viral. NRTI
dalam aksinya juga dapat menghambat enzim polimerase DNA, mengakibatkan gangguan
pembentukan rantai DNA mitokondria yang berperan penting pada proses fosforilasi
oksidatif. Akibatnya terjadi deplesi energi yang dibutuhkan jaringan (Cherry dan Wesselingh,
2003).
Pada penelitian ini sebagian besar subyek penelitian yang mengalami nyeri
neuropatik tinggi badannya < 170 cm (72,7%). Hasil penelitian yang berbeda didapatkan oleh
Cherry dkk. (2009) pada program skrining terhadap 3 studi kohort di Jakarta, Kualalumpur
dan Melbourne menyatakan bahwa tinggi badan dengan cut offs ≥ 170 cm secara signifikan
merupakan faktor risiko indipenden untuk terjadinya nyeri neuropatik (p=0,001). Tinggi
badan dengan cut offs 170 cm juga dikatakan mempunyai sensitivitas 61% dan spesifisitas
58% untuk prevalensi neuropati HIV. Hal ini karena penelitian dilakukan di negara barat
dengan subyek penelitian yang sebagian besar memiliki tinggi badan > 170 cm sedangkan di
Indonesia sebagian besar subyek penelitian memiliki tinggi badan < 170 cm dan pada
penelitian ini sedikit jumlah subyek penelitian yang mempunyai tinggi badan > 170 cm.
Tinggi badan juga dilaporkan mempengaruhi berbagai neuropati lainnya. Saraf sensorik
perifer memerlukan dukungan energi tinggi yang tergantung pada proses transport aktif
senyawa penting yang turun dari DRG. Hal ini mungkin sangat rentan bagi individu dengan
tinggi badan yang lebih tinggi.
Pada penelitian ini didapatkan angka CD4 nadir pada penderita nyeri neuropatik
sebagian besar ≤ 200 sel/µl (81,8%). Lichtenstein dkk. (2005) menemukan bahwa angka
CD4 nadir < 200 sel/µl (50–199 cells/mm) dan viral load > 10.000 copies/ml (p=0,005)
merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian neuropati HIV (p=0,018). Pada
penelitian ini juga didapatkan angka CD4 nadir < 50 sel/µl sebagai faktor risiko yang
signifikan terjadinya nyeri neuropatik pada penderita HIV yang tidak mendapatkan ARV
(p=0.002). Pada penelitian lainnya oleh Konchalard dkk. (2010) mendapatkan rerata angka
CD4 nadir yang merupakan faktor risiko signifikan terhadap kejadian neuropati HIV adalah
96 dengan simpangan baku 107 sel/µl (p=0.010). Nakamoto dkk. (2012) pada penelitiannya
yang terbaru mendapatkan bahwa angka CD4 nadir yang merupakan faktor risiko signifikan
terhadap kejadian neuropati HIV adalah < 100 sel/µl (p=0.03). Sejak fase awal infeksi HIV,
CD4 telah menjadi target utama infeksi dan efek sitopatik langsung HIV akan
menghancurkan CD4. Penurunan jumlah CD4 berarti bertambahnya imunodefisiensi. Sejalan
dengan itu viral load yang ditandai dengan meningkatnya titer HIV-RNA menunjukkan
kondisi imunosupresi yang berat, proses penyakit yang semakin parah dan rentan terhadap
infeksi oportunistik, termasuk juga reaksi inflamasi dan imunologis yang merusak sistem
saraf, baik pusat maupun perifer (Devadas dkk, 2005). Banyak penelitian telah membuktikan
bahwa angka CD4 .yang rendah berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya nyeri
neuropatik. Schifitto dkk. (2002) dan Simpson dkk. (2006) membuktikan bahwa
berkurangnya angka CD4 meningkatkan risiko terjadinya nyeri neuropatik.
6.2 Hubungan antara Angka CD4 Nadir Rendah dengan Gangguan Nyeri Neuropatik
pada Penderita HIV
Angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ µl pada penelitian ini merupakan faktor risiko
gangguan nyeri neuropatik (OR 7,88; IK 95% (2,53-24,47) yang bermakna secara statistik
(p<0.001). Artinya bahwa penderita HIV yang memiliki sel CD4 nadir ≤ 200 sel/ µl
mempunyai risiko terjadinya nyeri neuropatik 7,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
penderita HIV yang memiliki sel CD4 > 200 sel/ µl. Penelitian ini menggunakan nilai cut off
angka CD4 nadir rendah adalah < 200 sel/ µl.
Beberapa penelitian sebelum era HAART seperti Barohn dkk. (1993) studi cross-
sectional tahun 1985-1989 (798 subyek penelitian), So dkk. (1987) studi cross sectional
tahun 1987(37 subyek penelitian) dan Wooley dkk. (1997) studi cross sectional tahun
1993(94 subyek subyek penelitian) mendapatkan angka prevalensi neuropati HIV secara
berturut-turut sebesar 1,5%, 35%, dan 14%. Faktor- faktor yang berhubungan neuropati HIV
adalah penyakit HIV stadium lanjut yang ditandai oleh adanya infeksi Mycobacterium avium
complex dan penurunan sel CD4 <300 sel/ µl (Ballantyne dkk, 2010).
Pengamatan kohort observasional insiden neuropati perifer pada studi HIV
Outpatient Study (HOPS) terhadap 1969 subyek yang mulai menggunakan HAART dari
bulan Maret 1993 sampai bulan September 2006. Analisis univariat menyatakan CD4 nadir
yang rendah meningkatkan kejadian neuropati perifer pada HIV. Angka insiden neuropati
perifer 5,69 per 100 person years (PY) pada angka CD4 < 50 sel/ µl (p<0,001) dan 4,04 per
100 PY pada angka CD4 < 200 sel/ µl (p=0,023) (Lichnenstein dkk, 2008).
Cherry dkk. (2006) juga menyatakan faktor non obat yang secara signifikan
berhubungan dengan neuropati HIV adalah usia 40 tahun, diabetes mellitus, ras kulit putih,
CD4 nadir 50 sel/ µl dan kadar plasma virus HIV >10.000 copies/µl.
Studi cross sectional untuk menentukan prevalensi neuropati HIV dan faktor
risikonya pada rumah sakit umum Douala, Kamerun antara 1 Juli sampai dengan 31
desember 2011 dengan dengan menggunakan Brief Peripheral Neuropathy Screening
(BPNS), dari total 295 pasien terdapat 21% mengalami neuropati HIV. Jumlah CD4 yang
rendah dengan median 153 ( dengan rentang 80-280) memiliki hubungan yang kuat dengan
terjadinya neuropati HIV dengan (p=0,003; aOR 2.5; IK95% 1.3-4.6)(Luma dkk, 2012).
Nakamoto dkk. (2010) menemukan bahwa angka CD4 nadir dan usia juga
merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap insiden nyeri neuropatik pada era HAART
sedangkan Petersen dkk. (2006) juga menemukan bahwa selain CD4 nadir dan usia, faktor
tingginya viral load, konsumsi alkohol, dan pemakaian NRTI atau protease inhibitor
merupakan faktor risiko terjadinya nyeri neuropatik. Hubungan antara CD4 nadir dengan
insiden dan prevalensi kasus nyeri neuropatik kemungkinan karena hasil kerusakan sistem
saraf tepi yang terjadi ketika plasma viral load HIV lebih tinggi dan sel CD4 jumlahnya
lebih rendah. CD4 nadir yang rendah merupakan faktor risiko yang signifikan untuk
terjadinya nyeri neuropatik [hazard ratio (HR) =0.79; p=0,03; IK95% 0,64-0,97]. Penelitian
The CHARTER Study oleh Ellis. dkk (2010) juga menyatakan bahwa angka CD4 nadir
rendah merupakan faktor risiko terjadinya nyeri neuropatik pada HIV (p<0,001; aOR 1.16;
IK95% 1.08-1.24).
Sompa dkk. (2012) melakukan penelitian cross sectional, pada pasien yang
didiagnosis HIV-AIDS di unit rawat jalan dan rawat inap RS dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar dan jejaringnya yang dilaksanakan mulai September sampai Desember 2012. Pada
62 responden dengan DSP klinis, 45 diantaranya memiliki jumlah CD4 < 200 sel/µl (72,6%)
dan 17 lainnya memiliki jumlah CD4 ≥ 200 sel/ µl. Responden dengan DSP subklinis
sebanyak 11 orang, 8 diantaranya memiliki jumlah CD4 ≥ 200 sel/µl (72,7%) dan 3 lainnya
(27,3%) memiliki jumlah CD4 < 200 sel/ µl. Nilai probabilitas menunjukkan p= 0,006 yang
artinya terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah CD4 dengan derajat nyeri
neuropatik. Angka CD4 nadir dikatakan sebagai marker yang ireversibel akibat terjadinya
perubahan inflamasi di jaringan saraf perifer. Perubahan ini berkaitan dengan kerusakan
sistem imun akibat HIV sehingga terjadi disfungsi limfosit yang menimbulkan kerusakan
jaringan saraf perifer. Fungsi jaringan saraf perifer lebih dipengaruhi oleh supresi imun
sistemik dan dengan terapi ARV kemampuan jaringan saraf perifer dapat meningkat namun
pemulihannya tidak terjadi pada semua individu yang menjalani terapi.
Penurunan angka CD4 nadir dibawah 100 sel/µl akan mempengaruhi terjadinya nyeri
neuropatik dan outcome neurologi. Kemungkinan kondisi imunokompromais memfasilitasi
masuknya virus dan terjadinya kerusakan sel saraf perifer. Gangguan nyeri neuropatik pada
subyek makin memberat dengan menurunnya angka CD4 nadir.
Temuan berbeda Oshinaike dkk. (2012) saat melakukan studi cross sectional dengan
mempergunakan BPNS terhadap 323 pasien dengan infeksi HIV (142 pasien mendapat
HAART dan 181 tanpa HAART untuk menentukan neuropati sensorik HIV. Pada kelompok
pemakai HAART prevalensi neuropati HIV adalah 43,2% sedangkan pada kelompok tanpa
HAART sebesar 36,5%. Nilai rerata sel CD4 pada kelompok HAART adalah 246±152,2 dan
189,7±150 pada kelompok tanpa HAART (p=0,001). Pada analisis multivariat, faktor risiko
independent yang dapat meningkatkan neuropati sensoris HIV adalah bertambahnya usia
(p=0,03) dan pemakaian stavudin (p=0,00). Jenis kelamin (p=0,99), tinggi badan (p=0.07),
penggunaan HAART (p=0,50) lama penggunaan HAART (p=0,10) dan jumlah sel CD4
(p=0,12) yang rendah tidak berhubungan dengan peningkatan risiko neuropati HIV.
Evans dkk. (2011) melakukan penelitian terhadap 2141 subyek penelitian dari
Januari 2000 sampai Juni 2007. Subyek penelitian yang ikut ambil bagian diseleksi dari
ACTG Longitudinal Linked Randomized trials (ALLRT), sebuah studi metaanalisis dengan
peserta secara prospektif diikutkan dalam randomized clinical trial (RCT) dari terapi
kombinasi antiretrovirus. Penilaian neuropati HIV menggunakan BPNS. Sebelum
penggunaan kombinasi ART prevalensi neuropati perifer dan neuropati perifer simptomatik
IK95% adalah 22,6% (19,0-26,4) dan 4,3% (2,7-6,4) dan nilai rerata sel CD4 236 sel/ µl
dengan simpangan baku 199. Tanda dari neuropati perifer menetap walaupun telah dilakukan
kontrol terhadap virus HIV dan perbaikan fungsi sistem imun dengan pemberian awal
kombinasi obat antiretrovirus.
Beberapa studi pada masa penggunaan HAART menunjukkan kurangnya hubungan
antara nyeri neuropatik dan derajat imunosupresi, termasuk jumlah sel CD4 yang rendah dan
viral load. Neuropati HIV bukan hanya disebabkan oleh kedua faktor tersebut diatas.
Morgello dkk. (2004) menduga bahwa perbedaan pada penemuan ini mungkin karena
populasi pasien yang berbeda. Pada era HAART rekonstitusi sistem imun memperberat
gejala DSP seperti pada penyakit kelainan rekonstitusi sistem imun lainnya. Mungkin juga
bahwa kondisi perancu tidak tergantung pada status virus atau imunologis seperti misalnya
ART yang bersifat neurotoksik, diabetes mellitus dan obat lainnya atau penggunaan zat
menjadi hal yang lebih penting terhadap pathogenesis DSP pada era HAART.
Alasan lainnya mungkin mencakup adanya sisa kerusakan sel aksonal walaupun
dengan perbaikan fungsi sistem imun, kelainan rekonstitusi sistem imun atau dengan adanya
kelainan lain yang menyebabkan kerusakan sel saraf seperti defisiensi zat nutrisi atau
vitamin. Begitu juga hubungan antara nyeri neuropatik dengan jumlah sel CD4 nadir yang
lebih tinggi menduga bahwa fungsi sistem imun yang dapat memberikan kontribusi terhadap
stimulasi nyeri. Selain pemakaian HAART, genotip subyek penelitian juga dikatakan
berhubungan dengan risiko neuropati HIV pada penderita HIV yang menggunakan HAART.
Konsisten dengan mekanisme pathogenesis neuropati HIV, hubungan lainnya juga mencakup
haplogrup mitokondria dan gen-gen yang berhubungan dengan inflamasi. Hubungan dengan
polimorphisme gen hemokromatosis juga telah dilaporkan (Oshinaike dkk, 2012)
Kelemahan pada penelitian ini adalah sulit membedakan secara pasti apakah nyeri
neuropatik disebabkan oleh CD4 nadir yang rendah atau ARV atau faktor lainnya seperti
defisiensi vitamin B12 serta belum dilakukan pemeriksaan viral load untuk menentukan
status imun penderita HIV. Penelitian ini juga hanya mengetahui salah satu faktor risiko
terjadinya nyeri neuropatik pada penderita HIV. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap faktor
risiko lainnya yang mungkin menjadi faktor risiko seperti umur, stadium HIV dan lama
pengobatan ARV. Perlu juga dilakukan punch biopsi untuk membandingkan dan
mengkonfirmasi hasil penelitian. Biopsi kulit dengan teknik Punch Skin Biopsies telah
digunakan untuk mengidentifikasi penurunan densitas serabut saraf tak bermielin pada
neuropati sensorik HIV. Polydefkis dk. (2002) menemukan bahwa penurunan densitas
serabut saraf intraepidermal berhubungan dengan meningkatnya nyeri neuropatik,
menurunnya angka CD4, dan peningkatan viral load plasma pada neuropati sensorik HIV.
Terhadap kemungkinan adanya penyakit pengganggu seperti hiperkolesterolemia,
diabetes mellitus, neuropati jebakan, penggunaan alkohol, dan uremia sudah dilakukan
eleminasi melalui kriteria eksklusi untuk mengatasi keterbatasan akibat tidak dilakukannya
pemeriksaan punch biopsi.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan sebagai berikut :
1. CD4 nadir ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV di
RSUP Sanglah.
2. Penderita HIV dengan CD4 nadir ≤ 200 sel/µl mempunyai risiko terjadinya nyeri
neuropatik 7,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita HIV dengan CD4 >
200 sel/µl.
7.2 Saran
Sebagai saran dalam hasil penelitian ini :
1. Penderita HIV dengan CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl perlu pemberian terapi ARV
tanpa efek samping neuropati untuk meningkatkan kadar CD4 sehingga dapat
mengurangi terjadinya nyeri neuropatik.
2. Penderita HIV dengan CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/µl yang menderita nyeri
neuropatik perlu pemberian terapi medikamentosa berupa obat-obat anti nyeri
neuropatik.
3. Perlu dilakukan evaluasi pada setiap penderita HIV dengan CD4 nadir rendah ≤ 200
sel/µl yang belum mengalami nyeri neuropatik.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode penelitian yang
berbeda untuk menentukan faktor risiko lainnya, atau dengan baku standar
pemeriksaan neuropati dengan punch skin biopsy.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, D.I., Jay, C.A., Shade, S.B., Vizoso, H., Reda, H., Press, S., Kelly,
M.E., Rowbotham, M.C., Petersen, K.L., 2007. Cannabis in painful HIV-associated
sensory neuropathy, A randomized placebo-controlled trial, Neurology, 68: 515-521.
Acharjee, S., Zhu, Y., Maingat, F., Pardo, C., Ballanyi, K., Hollenberg,
M.D., Power, C., 2011. Proteinase-activated receptor-1 mediates dorsal root ganglion
neuronal degeneration in HIV/AIDS. Brain , 134; 3209–3221.
Ahr, B., Robert-Hebmann, V., Devaux, C., Biard-Piechaczyk, 2004.
Apoptosis of uninfected cells induced by HIV envelope glycoproteins, Retrovirology,
1:1-12.
Ances, B.M., Vaida, F., Rosario, D., Marquie-Beck, J., Ellis, R.J.,
Simpson, D.M., Clifford, D.B., McArthur, J.C., Grant, I., McCutchan, J.A., 2009.
Role of metabolic syndrome components in HIV-associated sensory neuropathy,
AIDS, 23:2317–2322.
Arenas-Pinto, A., Bhaskaran, K., Dunn, D., Weller, I.V.D., 2008. The Risk of
Developing Peripheral Neuropathy Induced by Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitors Decreases Over Time: Evidence from The Delta Trial. Antiviral Therapy ;
13:289–295.
Authier, F.J., Gheraldi, R.K., 2003. Peripheral Neuropathies in HIV-infected
Patients in the Era of HAART, Brain Pathol, 13:223-228.
Ballantyne, J.C., Cousins, M.J., Giamberardini, M.A., McGrath, P.A.,
Rajagopal, M.R., Smith, M.T., Sommer, C., Wittink, H.M., 2010. Painful HIV-
Associated Neuropathy, IASP; 18(3):1-8.
Banerjeea, S., McCutchanb, J.A., Ancesc, B.M., Deutschd, R., Riggsd, P.K.,
Way, L., Ellisa, R.J., 2011. Hypertriglyceridemia in combination antiretroviraltreated
HIV-positive individuals: potential impact on HIV sensory polyneuropathy, AIDS,
25:F1–F6.
Bennett, M., 2001. The LANSS Pain Scale : The Leeds assessment of
neuropathic pain symtoms and sign, Pain, 92: 147-157.
Bennett, M.I., Attal, N, Backonja, M.M Baron, R, Bouhassira, D,
Freynhagen, R, Scholz, J., Tolle, T.R., Wittchen, H., Jensen, T.S. 2007. Using
screening tools to identify neuropathic pain. Pain; 127 ;199–203
Brew, B.J., Tomlinson, S.E., 2004. HIV neuropathy: time for new therapies,
Drug Discovery Today, 1(2):171-176.
Cherry, C.L., Wesselingh, S.L., 2003. Nucleoside analogues and HIV: the
combined cost to mitochondria, Journal of Antimicrobial Chemotheraphy, 51: 1091-
1093.
Cherry, C.L., Skolasky, R.L., Lal, L., Creighton, J., Hauer, P., Raman, S.P.,
Moore, R., Carter, K., Thomas, D., Ebenezer, G.J., Wesselingh, S.L., McArthur, J.C.
2006. Antiretroviral Use and Other Risk for HIV-associated Neuropathies in an
International Cohort. Neurology ; 66 : 867–873.
Cherry, C.L., Affandi, J.S., Imran, D., Yunihastuti, D., Smyth, K., Vanar, S.,
Kamarulzaman, A., Price, P., 2009. Age and height predict neuropathy risk in
patients with HIV prescribed stavudine, Neurology ;73:315–320.
Ciccarelli N., Fabbiani M., GiambenedettoD., Fanti I., Colafigli M., Bracciale
L., Tamburrini E., Cauda R., De Luca A., Silveri M.C. 2010. Persistence and
Progression of HIV-associated Neurocognitive Disorder. Conference on Retroviruses
and Opportunistic Infections. San francisco
Cornblath, D.R., Hoke, A., 2006. Recent advances in HIV neuropathy, Curr
Opin Neurol, 19:446-450.
Dahlan, M.S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta. Edisi kedua.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Saat memulai terapi ARV pada Odha
dewasa dan remaja. Dalam : Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Edisi kedua.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2012. Laporan triwulan situasi perkembangan
HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Desember 2012. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Devadas, K., Lal, R.B., Dhawan, S., 2005. Immunology of HIV-1. In:
Gendelman, H.E., Grant, I., Everall, I.P., Lipton, S., Swindels, S. (eds). The
Neurology of AIDS, 2nd ed, Oxford University Press, New York. Pp 29-47.
Ellis, R.J., Rosario, D., Clifford, D.B., McArthur, J.C., Simpson, D.,
Alexander, T., Gelman, B.B., Vaida, F., Collier, A., Marra, C.M., Ances, B.,
Atkinson, J.H., Dworkin, R.H., Morgello, S., Grant, I., 2010. Continued High
Prevalence and Adverse Clinical Impact of Human Immunodeficiency Virus-
Associated Sensory Neuropathy in the Era of Combination Antiretroviral Therapy.
The CHARTER Study. Arch Neurol, 67(5):552-558.
Evans, S.R., Ellis, R.J., Chen, H., Yeh, T., Lee, A.J., Schifitto, G., Wu,
K., Bosch, R.J., McArthur, J.C., David M. Simpson, D.M., David B. Clifford,
D.B., 2011. Peripheral neuropathy in HIV: prevalence and risk factors, AIDS ,
25:919–928.
Ferrari,S., Vento, S., Monaco, S., Cavallaro, T., Cainelli, F., Rizutto, N.,
Temesgen, Z., 2006. Human Imunodefficiency Virus-Associated Periferal
Neuropathies, Mayo Clinic Proceeding, 81(2): 213-291.
Fevrier, M., Dorgham, K., Rebollo, A., 2011. CD4+ T Cell Depletion in
Human Imunodefficiency Virus (HIV) Infection: Role of Apoptosis, Viruses, 3: 586-
612.
Forna, F., Liechty, C.A., Solberg, P., Asiimwe, F., Were, W., Mermin, J.,
Behumbiize, P., Tong, T., Brooks, J.T., Weidle, P.J. 2007. Clinical Toxicity of
Highly Active Antiretroviral Therapy in a Home-based AIDS Care Program in Rural
Uganda. J. Acquir. Immune Defic. Syndr ; 44 : 456–462.
Giubelan, L.I., Cupsa, A., Dumitrescu, F., Niculescu, I., Stoian., A.C., 2014.
Considerations About Risk Factors for Peripheral Neuropathies in Romanian HIV-
Infected Patients, Current Health Sciences Journal, 40(1):42-46
Gonzales-Duarte, A., Cikurel, K., Simpson, D.M., 2007. Managing HIV
Peripheral Neuropathy, Current HIV/AIDS Report, 4:114-18.
Gonzales-Duarte, A., Cikurel, K., Simpson, D.M., 2006. Selected Neurologic
complication of HIV and Antiretroviral therapy, The PRN Notebook, 11(2) : 24-29.
Hoke, A., Morris, M., Haughey, N.J., 2009. GPI-1046 protects dorsal root
ganglia from gp120-induced axonal injury by modulating store-operated calcium
entry, J Peripher Nerv Syst, 14(1): 27–35.
Imran, D., Wibowo, B.S., Jannis, J., 2005. Polineuropati Simetrik Distal pada
HIV, Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI-SMF Saraf RSUPNCM Jakarta
Kallianpur, A.R., Hulgan, T., 2009. Pharmacogenetics of nucleoside reverse-
transcriptase inhibitor associated peripheral neuropathy, Pharmacogenomics. 2009
April ; 10(4): 623–637.
Kamerman, P.R., , Moss, P.J., Weber, J.,. Wallace, V.C.J., Rice, A.S.C., and
Wenlong Huang, W., 2012. Pathogenesis of HIV-associated sensory neuropathy:
evidence from in vivo and in vitro experimental models, Journal of the Peripheral
Nervous System 17:19–31.
Kelompok Studi Nyeri. 2011. Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri
neuropatik. Purwata, T.E., Suryamiharja, A., Surhajanti, I., Yudiyanta., editors.
Konsensus Nasional 1. PERDOSSI.
Keswani, S.C., Jack, C., Zhou, C., Hoke, A., 2006. Establishment of a Rodent
Model of HIV –Associated Sensory Neuropathy, The Journal of Neuroscience,
26(40): 10299-10304.
Keswani, S.C., Luciano, C., Pardo, C., Cherry, C.L., Hoke, A., McArthur,
J.C., 2005. The spectrum of peripheral neuropathies in AIDS. In: In: Gendelman,
H.E., Grant, I., Everall, I.P., Lipton, S., Swindels, S. (eds). The Neurology of AIDS,
2nd ed, Oxford University Press, New York. pp 423-443.
Keswani, S.C., Plooey, M., Pardo, C.A., Grifin, J.W., McArthur, J.C., Hoke,
A., 2003. Schwann Cell Chemokine Receptors Mediate HIV-1 gp120 Toxicity to
Sensory Neurons, Ann Neurol, 54:287-296.
Keswani, S.C., Pardo, C.A., Cherry, C.L., Hoke, A., MacArthur, J.C., 2002.
HIV-associated neurophaties, AIDS, 16: 2105-2117.
Konchalard, K., Wangphonpattanasiri, K. 2007. Clinical and
Electrophysiologic Evaluation of Peripheral Neuropathy in a Group of HIV-Infected
Patients in Thailand. J Med Assoc Thai ; 90 (4): 774-81.
Kresno, S.B., 2001. Uji Serologi Infeksi HIV. Imunologi : Diagnosis dan
Prosedur Laboratorium, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
pp.369-377.
Lauria, G., Lombardi, R., 2007. Skin biopsy : a new tool for diagnosing
peripheral neuropthy, BMJ, 334:1159-62
Li, X., Margolick, J., Jamieson, B., Rinaldo, C., Phair, J , Jacobson, L.,
2011. CD4+ T-cell counts and plasma HIV-1 RNA levels beyond 5 years of highly
active antiretroviral therapy (HAART), J Acquir Immune Defic Syndr, 57(5): 421–
428.
Lichtenstein, K.A., Armon, C., Baron, A., Moorman, A.C., Wood, K.C.,
Holmberg, S.D., 2005. Modification of the Incidence of Drug-Associated
Symmetrical Peripheral Neuropathy by Host and Disease Factors in the HIV
Outpatient Study Cohort, Clinical Infectious Diseases, 40:148–57.
Lichtenstein, K.A., Carl Armon, C., Buchacz, K., Chmiel, J.S., Moorman,
A.C., Wood, K.C., Holmberg, S.D., Brooks, J.T., 2008. Initiation of Antiretroviral
Therapy at CD4 Cell Counts ≥ 350 Cells/mm3 Does Not Increase Incidence or Risk
of Peripheral Neuropathy, Anemia, or Renal Insufficiency, J Acquir Immune Defic
Syndr, 47:27–35.
Liu, Q., Williams, D.A., McManus, C., Baribaud, F., Doms, R.W., Schols,
D., De Clercq, E., Kotlikoff, M.I., Collman, R.G., Freedman, B.D., 2000, HIV-1
gp120 and chemokines activate ion channels in primary macrophages through CCR5
and CXCR4 stimulation, PNAS, 97(9): 4832-4837.
Luciano, C.A., Pardo, C.A., McArthur, J.C., 2003. Recent development in the
HIV neuropathies, Lippincott & Wilkins, Current Opinion in Neurology, 16:403-409.
Luma, H.N, Tchaleu, B.C.N, Doualla, M.S, Temfack, E, Sopouassi, V.N.K, 4,
Mapoure, Y.N, Djientcheu, V. 2012. HIV-associated sensory neuropathy in HIV-1
infected patients at the Douala General Hospital in Cameroon: a cross-sectional
study. AIDS Research and Therapy 9:35
Martinez-Lavin, M., Lopez, S., Medina, M., Nava, A., 2003. Use of the Leeds
Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs Ouestionare in Patients With
Fibromialgia, Semin Arthritis Rheum, 32: 407-411.
McArthur, J.C., Brew, B.J., Nath, A., 2005. Neurological Complications of
HIV infection, Lancet Neurol, 4:543-55.
Melli, G., Keswani, S.C., Fischer, A., Chen, W., Hoke, A., 2006. Spatially
distinct and functionally independent mechanisms of axonal degeneration in a model
of HIV-associated sensory neuropathy, Brain , 129: 1330–1338.
Moore, R.D., Wong, W.E., Keruly, J.C., McArthur, J.C., 2000. Incidence of
neuropathy in HIV-infected patients on monotherapy versus those on combination
therapy with didanosine, stavudin and hydroxyurea, AIDS, 14:273-278.
Morgello, S, Estanislao L, Simpson, D, Geraci, A, DiRocco, A, Gerits, P,
Ryan, E, Yakoushina, T, Khan, S, Mahboob, R, Naseer, M, Dorfman, D, Sharp, V.
2004. HIV-Associated Distal Sensory Polyneuropathy in the Era of Highly Active
Antiretroviral Therapy. Arch Neurol.61:546-551
Nakamoto, B.K., McMurtray, A., Davis, J., Valcour, V., Watters, M.R.,
Shiramizu, B., Chow, D.C., Kallianpur, K., Shikuma, C.M., 2010. Incident
Neuropathy in HIV-Infected Patients on HAART, Aids Research And Human
Retroviruses, 26( 7): 759-765.
Nasronudin, 2007. Dasar Virologi dan Infeksi HIV, Dalam: Barakbah, J.,
Soewandojo, E., Suharto, Hadi, U., Astuti, W.D., (editor), HIV dan AIDS:
Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial, Airlangga University Press,
Surabaya, pp. 1-9.
Nicholas, P.K., Mauceri, L., Ciampa, A.S., Corless, I.B., Raymond, N., Barry,
D.J., Ros, A.V., 2007. Distal Sensory Polyneuropathy in the Context of HIV/AIDS,
JANAC, 18(4):32-40.
Oh S.B., Tran, P.B., Gillard, S.E., Hurley, R.W., Hammond, D.L., Miller,
R.J., 2001. Chemokines and Glycoprotein120 Produce Pain Hypersensitivity by
Directly Exciting Primary Nociceptive Neurons, The Journal of Neuroscience,
21(14):5027-5035.
Oshinaike, O., Akinbami, A., Ojo, O., Ogbera, A., Okubadejo, N., Ojini, F.,
Danesi, M. 2012. Influence of Age and Neurotoxic HAART Use on Frequency of
HIV Sensory Neuropathy AIDS Research and Treatment.
Pardo, C.A., McArthur, J.C., Griffin, J.W., 2001. HIV Neuropathy : Insight in
The pathology of HIV peripheral nerve disease, Journal of the Peripheral Nervous
System, 6: 21-27.
Pettersen, J.A., Jones, G., Worthington, C., Krentz, H.B., Keppler, O.T.,
Hoke, A Gill, M.J., Power, C., 2006. Sensory Neuropathy in Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome Patients: Protease
Inhibitor–Mediated Neurotoxicity, Ann Neurol, 59:816–824.
Ploydefkis, M., Yiannoutsos, C.T., Cohen, B.A., Hollander, H., Schifitto, G.,
Clifford, D.B., Simpson, D.M., Katzenstein, D., Shriver, S., Hauer, P., Brown, A.,
Haidich, A.B., Moo, L., McArthur, J.C., 2002. Reduced intraepidermal nerve fiber
density in HIV-associated sensory neuropathy, Neurology, 58: 115-119.
Robertson,K., Liner, J.,Heaton, R. 2009. Neuropsycological Assessment of
HIV-Infected Populations in International Settings. Neuropsychol Rev;19:232-249
Schifitto, G., McDermott, M.P., McArthur, J.C., Marder, K., Sacktor, N.,
Epstein, L., Kieburtz, K., 2002. Incidence of and risk factors for HIV-associated
distal sensory polyneuropathy, Neurology, 58: 1764-1768.
Simpson, D.M., Kitch, D., Evans, S.R., McArthur, J.C., Asmuth, D.M.,
Cohen, B., Goodkin, K., Gerchenson, M., So, Y., Marra, C.M., Diaz-Arrastia, R.,
Shiver, S., Millar, L., Clifford, D.B., and the ACTG A5117 Study Group, 2006. HIV
neuropathy natural history cohort study: Assessment measures and risk factors,
Neurology, 66:1679-1687.
Smith, H.S., 2011. Treatment Consideration in Painful HIV-Related
Neuropathy, Pain Physician, 14: 505-524.
Smyth, K., Affandi, J.S., Bowtell-Harris, C., Mijch, A.M., Watson, K.,
Woolley, I.J., Price, P., Wesselingh, S.L., Cherry, C.L., 2007. Prevalence of and risk
factors for HIV-associated neuropathy in Melbourne, Australia 1993-2006, HIV
Medicine, 8:367-373.
Sompa,A.W., Kaelan, C., Goysal, Y., 2012. Hubungan Jumlah CD4 Dengan
Derajat Distal Symmetrical Polyneuropathy (DSP) Pada Penderita HIV-AIDS,
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar
Valcour V., Yee P., Williams A.E., Shiramizu B., Watters M., Selnes O., Paul
R., Shikuma C., Sacktor N. 2006. Lowest ever CD4 lymphocyte count (CD4 nadir) as
a predictor of current cognitive and neurological status in HIV- 1 infection—The
Hawaii Aging with HIV Cohort. J Neurovirol;12(5):387-391
Verma, S., Estanislao, L., Mintz, L., Simpson, D., 2004. Controlling
Neuropathic Pain in HIV, Current HIV/AIDS Reports, 1:136-141.
Wallace, V.C.J., Blackbeard, J., Segerdahl, A.R., Hasnie, F., Pheby, T.,
McMahon, S.B., Rice, A.S.C., 2007. Characterization of rodent models of HIV-
gp120 and anti-retroviral-associated neuropathic pain, Brain, 130: 2688-2702.
Watters, M.R., Poff, P.W., Shiramizu, B.T., Holck, P.S., Fast, K.M.S.,
Shikuma, C.M., Valcour, V.G., 2004. Symptomatic distal sensory polyneuropathy in
HIV after age 50, Neurology, 62:1378-1383.
Widyadharma, E., Yudiyanta., 2008. Uji Reliabilitas Leeds Assessment of
Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS) Scale pada Penderita Diabetes Melitus
tipe II. CPD Neurodiabetes. Yogyakarta
Williams, D., Geraci, A., Simpson, D.M., 2002. AIDS and AIDS-treatment
Neuropathies, Current Pain and Headache Reports, 6:125-130.
Zhu, Y., Antony, J.M., Martinez, J.A., Glerum, D.M., Brussee, V., Ahmet
Hoke, A., Zochodne, D., Power, C., 2007. Didanosine causes sensory neuropathy
in an HIV/AIDS animal model: impaired mitochondrial and neurotrophic factor gene
expression, Brain, 130: 2011-2023.
Lampiran 1. Surat Persetujuan Ikut Dalam Penelitian
INFORMASI PASIEN
Penulis mengharapkan partisipasi bapak/ibu/Saudara dalam penelitian ilmiah yang
dilaksanakan oleh dr. I Made Domy Astika.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka CD4 nadir rendah ≤ 200 sel/ul
sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada penderita HIV.
Secara keseluruhan 33 pasien HIV dengan nyeri neuropatik (kasus) dan 33 pasien
HIV tanpa nyeri neuropatik (kontrol) yang datang ke poliklinik VCT RSUP Sanglah
Denpasar, termasuk Bapak/Ibu/ Saudara akan berperan serta pada penelitian ini. Dengarkan
dengan seksama informasi yang penulis berikan sebelum Bapak/Ibu/ Saudara memutuskan
akan ikut serta berpartisipasi ataupun tidak. Jika ada hal yang belum dimengerti, mohon
bertanya kepada penulis. Bila Bapak/Ibu/ Saudara telah menyetujui sebagai partisipan,
penulis mengharapkan kesediaannya untuk dilakukan wawancara sesuai kuesioner.
Penelitian ini dikerjakan oleh peneliti atau petugas yang telah dilatih oleh peneliti,
nantinya akan dilakukan penilaian nyeri neuropatik saat pemeriksaan di poliklinik VCT
RSUP sanglah. Tidak ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh Bapak/Ibu/ Saudara
untuk penelitian ini.
Data-data yang dikumpulkan akan disimpan dalam data komputer tanpa
mencantumkan nama Bapak/Ibu/ Saudara dan hanya diketahui oleh peneliti. Hasil penelitian
ini dapat dipublikasikan di forum ilmiah terbatas tanpa menyertakan identitas Bapak/Ibu/
Saudara. Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ini, dapat ditanyakan
langsung kepada peneliti : dr. I Made Domy Astika, No. Telp : 081338525057
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
Telah membaca dengan seksama keterangan/informasi yang berkenaan dengan penelitian ini
dan setelah mendapat penjelasan saya mengerti, serta bersedia ikut serta dalam penelitian ini.
Menyetujui Peneliti/ Petugas
Pasien Yang memberikan penjelasan
( ) ( )
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian
LEMBAR PENGUMPULAN DATAANGKA CD4 NADIR RENDAH ≤ 200 SEL/µL
SEBAGAI FAKTOR RISIKO NYERI NEUROPATIK PADA PENDERITAHUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DI RSUP SANGLAH DENPASAR
NOPEMBER 2013 – JANUARI 2014
No. Tanggal Pemeriksaan1. Pemeriksa 1.
2.2. No. Rekam Medik3. Nama4. Umur5. Alamat6. Jenis Kelamin Laki-laki (1) [ ]
Perempuan (2)7. Status perkawinan Kawin (1) [ ]
Tidak Kawin (2)8. Pendidikan Tidak Sekolah (1) [ ]
SD (2)SMP (3)SMA (4)Akademi/Diploma/PT (5)
9. Pekerjaan Pegawai Negeri (1) [ ]Pegawai Swasta (2)Wiraswasta (3)Buruh/Tani (4)Lain-lain (5)
10. Cara Penularan IDU (1) [ ]Heteroseksual (2)Homoseksual (3)Biseksual (4)Tatto (5)Transfusi (6)Pasangan heteroseks (7)Pasangan IVDU (8)Multiple risk (9)
11. Waktu sejak diagnosis HIV12. Lama Menderita HIV < 1 tahun (1) [ ]
No. ID
> 1 tahun (2)13. Stadium HIV WHO Stadium 1 (1) [ ]
Stadium 2 (2)Stadium 3 (3)Stadium 4 (4)
14.
15.
16.
Terapi ARV Ya (1) [ ]Tidak (2)
Lama pengobatan ARV < 6 bulan (1) [ ]7-12 bulan (2)
Tinggi badan < 170 cm (1) [ ]≥ 170 cm (2)
Pemeriksaan Laboratorium16. Angka CD4 nadir (tgl )17. Angka CD4 nadir ≤ 200 sel/mm3 (1) [ ]
> 200 sel/mm3 (2)Pemeriksaan Penunjang
21. Skala Nyeri LANSS < 12 (1) [ ]≥ 12 (2)
Lampiran 3. Skala Nyeri LANSS
Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs
Nama:_____________________________________________________Tanggal_____________________
Skala nyeri ini dapat membantu untuk menentukan saraf yang membawa rangsang nyeri andabekerja normal atau tidak. Hal ini penting untuk menentukan apakah terapi yang berbedadiperlukan untuk mengatasi nyeri anda
A. KUESIONER NYERI Pikirkan bagaimana nyeri yang anda rasakan dalam 1 minggu terakhir Nyatakan gambaran nyeri seperti apa yang paling cocok untuk nyeri
anda1. Apakah nyeri yang anda rasakan seperti suatu perasaan aneh, perasaan tidak
menyenangkan pada kulit? Perkataan seperti tertusuk jarum atau pin, kesemutan(kebas) mungkin menggambarkan perasaan ini.a. Tidak – Nyeri yang saya rasakan tidak seperti
itu.........................................................................(0)b. Ya – Saya agak sering merasakan sensasi seperti
itu.........................................................................(5)
2. Apakah nyeri anda menyebabkan kulit di daerah nyeri terlihat berbeda darinormal? Perkataan seperti kulit terlihat merah, atau merah jambu mungkinmenggambarkan keadaannya.a. Tidak – Nyeri saya tidak menyebabkan perubahan warna di
kulit......................................................................(0)b. Ya – Saya menemukan bahwa nyeri saya menyebabkan kulit saya berbeda
dari normal...........................................................(5)
3. Apakah nyeri anda menyebabkan kulit di daerah yang terkena secara abnormalsensitif terhadap rabaan? Merasakan sensasi tidak nyaman saat kulit dirabasecara halus, atau merasakan nyeri saat memakai pakaian ketat mungkin dapatmenggambarkan sensitifitas yang abnormal.a. Tidak – Nyeri saya tidak menyebabkan kulit di daerah tersebut sensitif
abnormal………………………………………..(0)b. Ya – Kulit di daerah itu tampaknya sensitif abnormal saat
disentuh...............................................................(3)
4. Apakah nyeri anda datang secara tiba-tiba/mendadak dan memuncak tanpa alasanyang jelas saat anda sedang diam? Perkataan seperti tersengat listrikmenggambarkan sensasi ini.a. Tidak – Nyeri saya tidak terasa seperti
ini.........................................................................(0)b. Ya - Saya sering merasakan sensasi seperti
ini.........................................................................(2)
5. Apakah nyeri anda terasa seperti seolah-olah suhu kulit di daerah nyeri berubahabnormal? Perkataan seperti rasa panas dan terbakar menggambarkan sensasi ini.a. Tidak – Saya tidak merasakan sensasi
ini........................................................................(0)b. Ya – Saya sering merasakan sensasi
ini........................................................................(1)
B. PEMERIKSAAN SENSORIK
Sensitivitas kulit dapat diperiksa dengan membandingkan area nyeri dengan daerahkontralateralnya atau daerah di dekatnya yang tidak terasa nyeri untuk adanya alodinia danperubahan ambang rangsang tusukan.
1. ALODINIAPeriksa respon terhadap sentuhan halus dengan menggunakan kapas sepanjangarea tidak nyeri lalu di area nyeri. Jika pada area tidak nyeri terasa sensasinormal, tetapi nyeri atau perasaan tidak nyaman di area nyeri, maka alodinia ada.
a. Tidak – sensasi pada kedua areanormal..................................................................... .(0)
b. Ya – alodinia hanya pada daerahnyeri..........................................................................(5)
2. PERUBAHAN AMBANG RANGSANG TUSUKANTentukan ambang rangsang tusukan dengan menggunakan jarum suntik no 23yang terpasang pada syringe 2 ml yang ditempatkan secara lembut di kulit padaarea tidak nyeri dan area nyeri.
Jika terasa tajam pada area tidak nyeri, tetapi sensasi berbeda di area nyeri,misalnya sensasi tumpul (peningkatan ambang rangsang tusukan) atau sensasisangat nyeri (penurunan ambang rangsang tusukan, maka terjadi perubahanambang rangsang tusukan.
Jika tidak terasa sensasi tajam pada kedua area, ulangi pemeriksaan denganmenambah tambah jarum sedikit tekanan pada jarum.
a. Tidak – Sensasi di kedua areasama............................................................................(0)
b. Ya – terjadi perubahan ambang rangsang tusukan di areanyeri............................................................................(3)
Skor Total:
Jumlahkan keseluruhan skor pada kuesioner nyeri dan pemeriksaan sensorik untukmendapatkan total skor
Skor Total (maksimum 24)
Jika skor <12, mekanisme neuropatik tampaknya tidak berperan pada nyeri yang dirasakanpasien
Jika skor ≥12, mekanisme neuropatik tampaknya berperan pada nyeri yang dirasakan pasien.
LAMPIRAN 4. Keterangan Kelaikan Etik
LAMPIRAN 5. Surat Ijin dari RSUP Sanglah
LAMPIRAN 6. DAFTAR SAMPEL PENELITIAN
No Nama Umur Jenis Status Pendidikan Pekerjaan(tahun) Kelamin Nikah
1 NKS 34 P Kawin SMAPegawaiSwasta
2 IWD 34 LTidakkawin SMP
PegawaiSwasta
3 I GN AP 31 L Kawin PTPegawaiNegeri
4 STR 36 L Kawin SMPPegawaiSwasta
5 I NM 39 L Kawin SMA Buruh6 IDR 32 P Kawin SMA IRT
7 AT 34 L Kawin SMAPegawaiSwasta
8 RA 35 P Kawin PTPegawaiNegeri
9 TF 27 LTidakkawin Diploma Wiraswasta
10 NKS 33 PTidakkawin SMA Tidakbekerja
11 PUW 25 LTidakkawin PT Tidakbekerja
12 PS 27 LTidakkawin SMA Wiraswasta
13 NND 38 P Kawin SD IRT14 IWS 40 L Kawin SMP Wiraswasta15 NWS 23 P Kawin SMP Buruh16 I MAA 32 L Kawin SMP Wiraswasta17 NKW 39 P Kawin SMA Wiraswasta18 NKWi 24 P Kawin SMA Wiraswasta19 AS 40 P Kawin SMA IRT20 KE N 32 P Kawin SMA Wiraswasta
21 IGS 22 LTidakkawin SMA
PegawaiSwasta
22 HaR 38 P Kawin SMA IRT
23 KD 37 LTidakkawin SMP
PegawaiSwasta
24 IKH 39 L Kawin SD Wiraswasta
25 IKS 34 L Kawin SMAPegawaiSwasta
26 NNA 40 P Kawin SD IRT27 Am 33 P Kawin SD IRT28 NWDP 38 P Kawin SMP Wiraswasta
29 CH 23 LTidakkawin SMA
PegawaiSwasta
30 LI f 30 P Kawin SDPegawaiSwasta
31 YD 25 PTidakkawin SMA Wiraswasta
32 NKAr 34 PTidakkawin PT
PegawaiSwasta
33 DAW 25 p Kawin SMA IRT34 IMW 33 L Kawin SD Tani
35 AGJ 32 LTidakkawin SMP
PegawaiSwasta
36 NMS 38 P Kawin SMA IRT
37Ni NyomanCiri 23 P Kawin SD IRT
38 NWW 40 P Kawin SMPPegawaiSwasta
39 I T 25 P Kawin SMA IRT40 AR 30 L Kawin SD Tani41 NMLW 26 P Kawin SMA IRT
42 AI 34 P Kawin SMPPegawaiSwasta
43 IWEM 39 L Kawin SMAPegawaiSwasta
44 NKH 28 P Kawin SMP IRT
45 IwS 35 LTidakkawin SMA
PegawaiSwasta
46 IMS 33 LTidakkawin SMA
PegawaiSwasta
47 NKYP 40 P Kawin SMAPegawaiSwasta
48 NNS 40 P Kawin SMA Wiraswasta
49 IAU 19 LTidakkawin SMA Tidakbekerja
50 Yun 34 P Kawin Diploma Wiraswasta51 GJ 30 L Tidak SMA Pegawai
kawin Swasta52 NNWi 34 L Kawin SD IRT
53 NPSM 36 P Kawin SMAPegawaiSwasta
54 IWB 32 LTidakkawin SMA
PegawaiSwasta
55 Pr 40 LTidakkawin SMA Wiraswasta
56 RI 33 PTidakkawin SMP Tidakbekerja
57 SF 34 L Kawin PTPegawaiSwasta
58 BBR 33 LTidakkawin PT Tidakbekerja
59 FR 25 LTidakkawin SMA Wiraswasta
60 EV 30 P Kawin SMP Tidakbekerja61 NKSP 32 P Kawin SD IRT62 LP 30 P Kawin SMA IRT63 NWWA 40 P Kawin SMA Wiraswasta64 NLPA 35 P Kawin SMA Wiraswasta65 NNK 36 P Kawin SD IRT66 I P S 33 L Kawin SMA Polisi
No Nama Cara Penularan Lama Stadium ARV Lama ARVHIV (tahun)
1 NKS Pasangan heteroseks 6 4 Ya 52 IWD Heteroseksual 7 4 Tidak 03 I GN AP Heteroseksual 13 4 Ya 104 STR Heteroseksual 6 4 Ya 35 I NM Heteroseksual 12 4 Tidak 06 IDR Pasangan heteroseks 11 4 Ya 107 AT Heteroseksual 37 4 ya 98 RA Pasangan heteroseks 6 4 Ya 49 TF Heteroseksual 10 4 Ya 10
10 NKS Heteroseksual 9 4 Ya 111 PUW Homoseksual 15 4 Ya 212 PS Homoseksual 8 4 Ya 213 NND Pasangan heteroseks 8 4 Ya 714 IWS Heteroseksual 10 4 Ya 515 NWS Pasangan heteroseks 19 4 Ya 1116 I MAA Heteroseksual 30 4 Ya 1117 NKW Pasangan heteroseks 6 4 Ya 518 NKWi Pasangan heteroseks 15 4 Ya 1119 AS Pasangan heteroseks 6 1 Ya 320 KE N Pasangan heteroseks 6 4 Ya 421 IGS Heteroseksual 6 4 Ya 422 HaR Pasangan heteroseks 6 4 Ya 123 KD Heteroseksual 6 4 Ya 124 IKH Heteroseksual 6 4 Tidak 025 IKS Heteroseksual 6 4 Ya 226 NNA Pasangan heteroseks 10 4 Ya 927 Am Pasangan heteroseks 14 4 Ya 1028 NWDP Pasangan heteroseks 6 1 Ya 629 CH Homoseksual 12 2 Ya 830 LI f Pasangan heteroseks 13 2 Ya 1031 YD Heteroseksual 7 1 Ya 632 NKAr Heteroseksual 6 1 Ya 333 DAW Pasangan heteroseks 7 1 Ya 134 IMW Heteroseksual 6 4 Ya 135 AGJ Heteroseksual 11 3 Ya 10
No Nama Cara Penularan Lama Stadium ARVLamaARV
HIV (tahun)36 NMS Pasangan heteroseks 6 3 Tidak 0
37Ni NyomanCiri Pasangan heteroseks 6 2 Ya 5
38 NWW Pasangan heteroseks 14 4 Ya 1139 I T Pasangan heteroseks 27 1 Ya 340 AR Heteroseksual 6 4 Ya 441 NMLW Pasangan heteroseks 9 3 Ya 842 AI Pasangan heteroseks 53 3 Ya 1143 IWEM Heteroseksual 6 2 Ya 544 NKH Pasangan heteroseks 9 1 Ya 945 IwS IDU 7 2 Tidak 046 IMS Heteroseksual 9 1 Ya 747 NKYP Pasangan heteroseks 6 1 Ya 748 NNS Pasangan heteroseks 6 3 Tidak 049 IAU Heteroseksual 7 4 Ya 550 Yun Pasangan heteroseks 13 4 Ya 1051 GJ Heteroseksual 6 4 Ya 252 NNWi Pasangan heteroseks 7 4 Ya 153 NPSM Pasangan heteroseks 8 4 Ya 554 IWB Heteroseksual 8 2 Ya 555 Pr Biseksual 7 2 Ya 556 RI Heteroseksual 13 4 Ya 257 SF Heteroseksual 15 4 Ya 458 BBR Biseksual 16 4 Ya 1159 FR Homoseksual 8 4 Ya 560 EV Pasangan heteroseks 6 4 Ya 561 NKSP Pasangan heteroseks 7 3 Ya 262 LP Pasangan heteroseks 8 1 Ya 763 NWWA Pasangan heteroseks 8 4 Ya 564 NLPA Pasangan heteroseks 6 4 Tidak 065 NNK Pasangan heteroseks 25 4 Ya 1166 I P S Heteroseksual 7 1 Ya 3
No Nama Tinggi CD4 Nyeri LANSSBadan (cm) nadir Neuropatik
1 NKS 160 4 Ya 242 IWD 165 6 Ya 143 I GN AP 160 8 Ya 144 STR 160 6 Ya 145 I NM 165 4 Ya 146 IDR 152 57 Ya 147 AT 170 14 Ya 148 RA 159 99 Ya 149 TF 172 15 Ya 14
10 NKS 155 2 Ya 1411 PUW 168 10 Ya 1412 PS 170 4 Ya 1413 NND 160 17 Ya 1414 IWS 170 95 Ya 1415 NWS 153 30 Ya 1416 I MAA 177 50 Ya 1417 NKW 160 76 Ya 1418 NKWi 155 51 Ya 1419 AS 165 130 Ya 1420 KE N 150 121 Ya 1421 IGS 167 38 Ya 1422 HaR 150 47 Ya 1423 KD 160 47 Ya 1424 IKH 165 12 Ya 1425 IKS 178 81 Ya 1426 NNA 150 11 Ya 1427 Am 150 65 Ya 1428 NWDP 160 266 Tidak 029 CH 167 244 Tidak 030 LI f 162 507 Tidak 031 YD 169 293 Tidak 032 NKAr 162 247 Tidak 033 DAW 155 283 Tidak 034 IMW 164 310 Tidak 035 AGJ 170 292 Tidak 0
No Nama Tinggi CD4 Nyeri LANSSBadan (cm) nadir Neuropatik
36 NMS 170 309 Tidak 0
37Ni NyomanCiri 161 234 Tidak 0
38 NWW 153 291 Tidak 039 I T 165 274 Tidak 040 AR 170 233 Tidak 041 NMLW 155 251 Tidak 042 AI 156 256 Tidak 043 IWEM 160 294 Tidak 044 NKH 160 293 Tidak 045 IwS 162 273 Tidak 046 IMS 170 349 Tidak 047 NKYP 152 339 Tidak 048 NNS 165 279 Tidak 049 IAU 164 20 Tidak 050 Yun 165 151 Tidak 051 GJ 165 22 Tidak 052 NNWi 155 103 Tidak 053 NPSM 153 174 Tidak 054 IWB 172 176 Tidak 055 Pr 165 179 Tidak 056 RI 163 31 Tidak 057 SF 165 50 Tidak 058 BBR 170 165 Tidak 059 FR 171 119 Tidak 060 EV 147 146 Tidak 061 NKSP 160 211 Ya 1462 LP 150 208 Ya 1463 NWWA 170 237 Ya 1464 NLPA 160 391 Ya 1465 NNK 150 204 Ya 1466 I P S 170 244 Ya 14
LAMPIRAN 7. ANALISIS SPSS
Lampiran 7.1 Umur subyek penelitian (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid 22 1 3.0 3.0 3.0
23 1 3.0 3.0 6.1
24 1 3.0 3.0 9.1
25 1 3.0 3.0 12.1
27 2 6.1 6.1 18.2
30 1 3.0 3.0 21.2
31 1 3.0 3.0 24.2
32 4 12.1 12.1 36.4
33 3 9.1 9.1 45.5
34 4 12.1 12.1 57.6
35 2 6.1 6.1 63.6
36 2 6.1 6.1 69.7
37 1 3.0 3.0 72.7
38 2 6.1 6.1 78.8
39 3 9.1 9.1 87.9
40 4 12.1 12.1 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.2 Umur subyek penelitian (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid 19 1 3.0 3.0 3.0
23 2 6.1 6.1 9.1
25 4 12.1 12.1 21.2
28 1 3.0 3.0 24.2
30 4 12.1 12.1 36.4
32 2 6.1 6.1 42.4
33 4 12.1 12.1 54.5
34 5 15.2 15.2 69.7
35 1 3.0 3.0 72.7
36 2 6.1 6.1 78.8
38 2 6.1 6.1 84.8
39 1 3.0 3.0 87.9
40 4 12.1 12.1 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.3 Umur subyek penelitian (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid <30 6 18.2 18.2 18.2
=>30 27 81.8 81.8 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.4 Umur subyek penelitian (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid <30 8 24.2 24.2 24.2
=>30 25 75.8 75.8 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.5 Jenis kelamin subyek (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Laki-laki 14 42.4 42.4 42.4
Perempuan 19 57.6 57.6 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.6 Jenis kelamin subyek (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Laki-laki 14 42.4 42.4 42.4
Perempuan 19 57.6 57.6 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.7 Status pernikahan (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Nikah 26 78.8 78.8 78.8
Belum menikah 7 21.2 21.2 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.8 Status pernikahan (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Nikah 20 60.6 60.6 60.6
Belum menikah 13 39.4 39.4 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.9 Status pendidikan (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid SD 6 18.2 18.2 18.2
SMP 6 18.2 18.2 36.4
SMA 17 51.5 51.5 87.9
Akademi/Diploma/PT 4 12.1 12.1 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.10 Status pendidikan (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid SD 5 15.2 15.2 15.2
SMP 7 21.2 21.2 36.4
SMA 17 51.5 51.5 87.9
Akademi/Diploma/PT 4 12.1 12.1 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.11 Jenis pekerjaan subyek (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Pegawai Negeri 2 6.1 6.1 6.1
Pegawai Swasta 7 21.2 21.2 27.3
Wiraswasta 10 30.3 30.3 57.6
Buruh/Tani 2 6.1 6.1 63.6
Lain-lain 12 36.4 36.4 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.12 Jenis pekerjaan subyek (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Pegawai Swasta 14 42.4 42.4 42.4
Wiraswasta 6 18.2 18.2 60.6
Buruh/Tani 2 6.1 6.1 66.7
Lain-lain 11 33.3 33.3 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.13 Cara penularan HIV (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Heteroseksual 14 42.4 42.4 42.4
Homoseksual 2 6.1 6.1 48.5
Pasangan heteroseksual 17 51.5 51.5 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.14 Cara penularan HIV (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid IDU 1 3.0 3.0 3.0
Heteroseksual 12 36.4 36.4 39.4
Homoseksual 2 6.1 6.1 45.5
Biseksual 2 6.1 6.1 51.5
Pasangan heteroseksual 16 48.5 48.5 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.15 Lama menderita HIV (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid > 1 tahun 8 24.2 24.2 24.2
=< 1 tahun 25 75.8 75.8 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.16 Lama menderita HIV (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid > 1 tahun 9 27.3 27.3 27.3
=< 1 tahun 24 72.7 72.7 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.17 Stadium HIV WHO (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Stadium 4 29 87.9 87.9 87.9
Stadium 3 1 3.0 3.0 90.9
Stadium 1 3 9.1 9.1 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.18 Stadium HIV WHO (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Rendah 3 9.1 9.1 9.1
Tinggi 30 90.9 90.9 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.19 Stadium HIV WHO (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Stadium 4 13 39.4 39.4 39.4
Stadium 3 5 15.2 15.2 54.5
Stadium 2 7 21.2 21.2 75.8
Stadium 1 8 24.2 24.2 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.20 Stadium HIV WHO (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Rendah 15 45.5 45.5 45.5
Tinggi 18 54.5 54.5 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.21 Konsumsi ARV (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Ya 29 87.9 87.9 87.9
Tidak 4 12.1 12.1 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.22 Konsumsi ARV (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Ya 30 90.9 90.9 90.9
Tidak 3 9.1 9.1 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.23 Lama pengobatan HIV (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid 6-11 bulan 12 36.4 36.4 36.4
< 6 bulan 21 63.6 63.6 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.24 Lama pengobatan HIV (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid 6-11 bulan 11 33.3 33.3 33.3
< 6 bulan 22 66.7 66.7 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.25 Tinggi badan subyek (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid => 170 cm 9 27.3 27.3 27.3
< 170 cm 24 72.7 72.7 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.26 Tinggi badan subyek (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid => 170 cm 7 21.2 21.2 21.2
< 170 cm 26 78.8 78.8 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.27 Angka CD 4 Nadir (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid 2 1 3.0 3.0 3.0
4 3 9.1 9.1 12.1
6 2 6.1 6.1 18.2
8 1 3.0 3.0 21.2
10 1 3.0 3.0 24.2
11 1 3.0 3.0 27.3
12 1 3.0 3.0 30.3
14 1 3.0 3.0 33.3
15 1 3.0 3.0 36.4
17 1 3.0 3.0 39.4
30 1 3.0 3.0 42.4
38 1 3.0 3.0 45.5
47 2 6.1 6.1 51.5
50 1 3.0 3.0 54.5
51 1 3.0 3.0 57.6
57 1 3.0 3.0 60.6
65 1 3.0 3.0 63.6
76 1 3.0 3.0 66.7
81 1 3.0 3.0 69.7
95 1 3.0 3.0 72.7
99 1 3.0 3.0 75.8
121 1 3.0 3.0 78.8
130 1 3.0 3.0 81.8
204 1 3.0 3.0 84.8
208 1 3.0 3.0 87.9
211 1 3.0 3.0 90.9
237 1 3.0 3.0 93.9
244 1 3.0 3.0 97.0
391 1 3.0 3.0 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.28 Angka CD 4 Nadir (Kasus)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid =<200 27 81.8 81.8 81.8
>200 6 18.2 18.2 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.29 Angka CD 4 Nadir (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid 20 1 3.0 3.0 3.0
22 1 3.0 3.0 6.1
31 1 3.0 3.0 9.1
50 1 3.0 3.0 12.1
103 1 3.0 3.0 15.2
119 1 3.0 3.0 18.2
146 1 3.0 3.0 21.2
151 1 3.0 3.0 24.2
165 1 3.0 3.0 27.3
174 1 3.0 3.0 30.3
176 1 3.0 3.0 33.3
179 1 3.0 3.0 36.4
233 1 3.0 3.0 39.4
234 1 3.0 3.0 42.4
244 1 3.0 3.0 45.5
247 1 3.0 3.0 48.5
251 1 3.0 3.0 51.5
256 1 3.0 3.0 54.5
266 1 3.0 3.0 57.6
273 1 3.0 3.0 60.6
274 1 3.0 3.0 63.6
279 1 3.0 3.0 66.7
283 1 3.0 3.0 69.7
291 1 3.0 3.0 72.7
292 1 3.0 3.0 75.8
293 2 6.1 6.1 81.8
294 1 3.0 3.0 84.8
309 1 3.0 3.0 87.9
310 1 3.0 3.0 90.9
339 1 3.0 3.0 93.9
349 1 3.0 3.0 97.0
507 1 3.0 3.0 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.30 Angka CD 4 Nadir (Kontrol)
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid =<200 12 36.4 36.4 36.4
>200 21 63.6 63.6 100.0
Total 33 100.0 100.0
Lampiran 7.31 Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Umur subyekpenelitian
.134 66 .005 .939 66 .003
Lama pengobatan HIV .143 66 .002 .920 66 .000Tinggi badan subyek .107 66 .058 .962 66 .041Angka CD 4 Nadir .143 66 .002 .912 66 .000Stadium HIV WHO .388 66 .000 .669 66 .000a. Lilliefors Significance Correction
Lampiran 7.32 Nyeri neuropatik * Angka CD 4 NadirCrosstabulation
Angka CD 4 Nadir
Total=<200 >200
nyerineuropatik
ya Count 27 6 33
Expected Count 19.5 13.5 33.0
tidak Count 12 21 33
Expected Count 19.5 13.5 33.0
Total Count 39 27 66
Expected Count 39.0 27.0 66.0
Lampiran 7.33 Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig. (2-
sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 14.103a 1 .000
Continuity Correctionb 12.285 1 .000
Likelihood Ratio 14.746 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-LinearAssociation
13.889 1 .000
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Angka CD4 Nadir (=<200 / >200)
7.875 2.534 24.472
For cohort nyerineuropatik = ya
3.115 1.492 6.504
For cohort nyerineuropatik = tidak
.396 .237 .660
N of Valid Cases 66