humas pemerintah di era keterbukaan
DESCRIPTION
Diskusi Publik Etika Komunikasi di Ruang Publik, Quo Vadis? Yogya 27 Maret 2013TRANSCRIPT
Humas Pemerintah di Era Keterbukaan Informasi
Publik1
Oleh: Suprawoto2
PendahuluanDalam catatan sejarah di negeri ini, setiap rezim yang berkuasa, pada
awal pemerintahannya, agar memperoleh dukungan masyarakat secara luas
selalu menjanjikan akan kemerdekaan untuk memperoleh informasi. Namun
pada akhirnya, janji akan kemerdekaan memperoleh informasi itu kemudian
terjadi dinamika. Hal ini dapat dirunut, mulai awal lahirnya negara yang kita
cintai bersama ini.
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, sebagai founding fathers,
Sukarno dan Hatta pernah mengalami pahitnya dibelenggu dalam ketidak
bebasan berpendapat, baik selaku pribadi maupun melalui media. Oleh sebab
itu, sebagai Negara yang merdeka sudah selayaknya menjamin dengan tegas
kebebasan berpendapat dan juga pers yang kemudian diatur dalam Pasal 28
UUD 1945 yang berbunyi,” kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang”.
Kemudian Menteri Penerangan waktu itu, Mr Amir Sariffudin, pada bulan
Oktober 1945 menegaskan kembali melalui maklumatnya, yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus bersendikan asas pers merdeka.
Oleh karena itu, kebijakan komunikasi dan penerangan yang dianut pemerintah,
dijanjikan sebagai berikut: "Pikiran masyarakat umum (public opinions) itulah
sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tak merdeka tidak
1 Sebagian tulisan ini pernah dimuat dalam bentuk artikel dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional dengan judul “Mengapa Media Selalu Curiga” pada harian Sindo 9 Pebruari 2009.
2 Staf Ahli Menkominfo Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya.
1
mungkin menyatakan pikiran masyarakat, tetapi hanya pikiran beberapa orang
yang berkuasa. Maka, asas kita ialah pers harus merdeka."
Sejarah kemudian mencatat, pers masa perjuangan waktu itu bahu
membahu mendukung pemerintah untuk berjuang mengusir penjajah. Akan
tetapi, setelah Belanda pergi dan pers mulai kritis terhadap pemerintah,
pembatasan dan malahan pembredelan mulai dilakukan. Tafsir pemerintah atas
kemerdekaan pers hanya digunakan untuk memperkuat status quo dibandingkan
membangun keseimbangan sebagai kontrol publik terhadap pemerintah. Surat
Kabar Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara menjadi saksi atas
pengingkaran janji pemerintah di masa kepemimpinan Sukarno. Sinar Harapan
pun sempat mengalami pembredelan oleh pihak penguasa pada awal Oktober
1965 ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI.
Kelahiran Orde Baru, di bawah kepimpinan Presiden Suharto juga dihiasi
dengan janji akan kebebasan pers. Sebagai koreksi atas Orde Lama yang mulai
mengekang kebebasan pers, pemerintah menjamin kebebasan pers melalui
undang-undang tentang Pers. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966
Pasal 4 yang secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa,”pers bebas dari kontrol
dan pembredelan”. Bahkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967,
sebagai revisi atas undang-undang sebelumnya hanya mengubah klausul yang
berkaitan dengan media cetak dimana Jaksa Agung tidak memiliki wewenang
untuk melakukan pembredelan.
Pada periode awal Orde Baru, pers memperoleh kembali
kemerdekaannya. Namun sayang, bulan madu kebebasan berakhir usai
peristiwa Malari tahun 1975. Upaya pemerintah melakukan pengekangan mulai
muncul kembali. Kontrol atas kebebasan pers makin mengerucut dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 pasal II butir 13 yang mengharuskan
setiap penerbitan pers harus memiliki SIUPP. Kemudian dijabarkan dalam
Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Permenpen/1984 yang mengatur
tentang prosedur dan persyaratan untuk memperoleh SIUPP (Surat Ijin Usaha
Penerbitan Pers). Dalam peraturan ini Menteri juga dapat mencabut SIUPP
terhadap pers yang dipandang melanggar ketentuan. Dalih yang dimunculkan
2
pemerintah atas keluarnya peraturan perundangan ini adalah mengedepankan
konseptuasi kebebasan yang bertanggung jawab. Sejarah mencatat, pada masa
Orde Baru banyak pembredelan dilakukan dan ”budaya telepon” berkembang
yang pada dasarnya mengekang kemerdekaan pers.
Musim Semi Awal Kemudahan Akses InformasiPendulum sejarah berganti. Pemerintah era reformasi di bawah pimpinan
Presiden B.J. Habibie lahir. Pemerintahan Habibie tercatat sebagai
pemerintahan yang mengakomodasi kebebasan pers. Bahkan dalam masa awal
pemerintahannya, janji kebebasan pers dituangkan langsung dalam undang-
undang pertama yang disahkan, yaitu Undang-undang No 40 Tahun 1999
tentang Pers. Pers tak perlu lagi ijin dan sejenisnya dan malahan ada sanksi bagi
yang menghambat kemerdekaan pers.
Pemerintahan Habibie hanya sebentar digantikan oleh pemerintahan
Abdurrahman Wahid. Sebagai jaminan dan memastikan kontrol dan
pembredelan terhadap pers tidak ada lagi, ”Gus Dur” langsung membubarkan
Departemen Penerangan pada Oktober 1999 yang selama ini identik dengan
lembaga yang membelenggu pers. Salah satu alasan Presiden Wahid
membubarkan Deppen karena, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi
menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai
hilangnya kontrol pemerintah. Selanjutnya sesuai dengan Undang-undang
Nomor: 40tahun 1999 tentang Pers, yang mengontrol media adalah Media
watch, Ombudsman masing-masing media, Dewan Pers dan masyarakat
tentunya.
Ketika fungsi kontrol media mulai dilakukan, pada saat itu bila terjadi
masalah sering tidak diselesaikan sesuai dengan rute yang diamanatkan
undang-undang. Baik melalui hak jawab atau melalui Dewan Pers. Banyak
persoalan yang berkaitan dengan pemberitaan yang mulai kritis, dan pekerja
pers, kebebasan tersebut oleh yang merasa dirugikan pers, ditafsirkan secara
sempit dengan idiom ”pengerahan massa”. Tentu ingatan kita tak akan lupa dari
3
pendudukan kantor Jawa Pos oleh simpatisan Presiden Wahid untuk meminta
klarifikasi atas pemberitaan dan pemuatan karikatural media yang mulai kritis.
Ketika pemerintahan berganti, dari Presiden Wahid kepada Presiden
Megawati Soekarnoputri, kembali juga menjanjikan kemerdekaan pers. Gaya
pemerintahan Megawati memang berbeda dengan gaya pemerintahan
Abdurrahman Wahid. Namun tatkala pers mulai kritis terhadap pemerintah,
Presiden Megawati juga pernah menyampaikan keluhannya terhadap pers yang
selalu mengkritisi pemerintah, yaitu pada pidato Hari Pers Nasional yang
dilaksanakan di Banjarmasin.
Pada masa pemerintahannya, pernah menggugat media massa (Kasus
Harian Rakyat Merdeka). Langkah itu diambil nampaknya sebagai salah satu
akumulasi pemberitaan yang menyerang secara terus-menerus dan dianggap
tidak adil. Namun demikian, memang sesuai janjinya Presiden Megawati
menyatakan tidak pernah (memang tidak pernah) membredel media massa.
Pemilu 2004, menempatkan pasangan Capres Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemenang. Pada awal pemerintahan,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan dengan tegas komitmen
kepada demokrasi dan kebebasan pers. Selain menjamin tidak akan ada lagi
pembredelan terhadap pers, Yudhoyono juga berjanji membuat pers terus
berkembang dan mendapatkan peran dalam kebebasannya. Sebagai wujud
realisasi terhadap komitmen tersebut, dalam pidato pada Hari Pers Nasional
Tahun 2008, Presiden Yudhoyono menyampaikan, seandainya diminta memilih
untuk memberikan kebebasan kepada pers atau mengatur pers, dengan tegas
Presiden menyatakan akan memilih yang pertama yaitu memberikan kebebasan
kepada pers. Namun tatkala media balik dikritisi karena dianggap memihak dan
dipandang oleh Dipo Alam (yang kebetulan selaku Sekab) tidak berimbang
dalam pemberitaan, kemudian akan melakukan boikot terhadap media tertentu
(detik, 22 Pebruari 2011), malahan mendapat kritik dari beberapa kalangan yang
menganggap, bahwa hal tersebut dapat mengganggu kemerdekaaan pers.
Oleh sebab itu, tidaklah salah dari rangkaian sejarah seperti tersebut di
atas, kemudian masih menimbulkan anggapan bahwa akses informasi dan
4
kebebasan pers yang telah dijamin dalam pasal 28 UUD 1945 selama ini
dipandang masih akan mengalami ancaman dengan berbagai cara dan
bentuknya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, dan sebagai hasil reformasi selain
amandemen UUD-RI tahun 1945 khususnya pasal 28 dan lahirnya UU No: 40
tahun 1999 , UU No: 32 tahun 2004 tentang Penyiaran, serta sudah barang tentu
lahirnya UU No: 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik lebih
menjamin kembali, bahwa tidak mudah bagi siapa pun yang berkuasa untuk
menafsirkan sendiri tentang pasal 28. Selain sebagaimana telah dengan tegas
dinyatakan dalam Undang-undang Dasar juga secara lebih rinci diatur dalam UU
No: 14 tahun 2008.
Dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, yang disahkan
pada saat pemerintahan SBY-JK tentunya semakin memberikan rambu-rambu
yang jelas dan tegas mana informasi yang bisa dibuka dan informasi yang
ditutup. Undang-undang yang telah berlaku tiga tahun tersebut, bagaimana
implementasinya di lapangan. Apakah masih ada kendala dalam
pelaksanaannya? Demikian pula tujuan ditetapkannya undang-undang ini
apakah sudah pada jalur yang semestinya. Bagaimana peran Humas
Pemerintah yang secara langsung terkait dengan keberadaan UU ini selalu
menjadi pertanyaan yang mengemuka.
Undang-undang dan Perkembangan Teknologi Sebagai Daya Dorong mempermudah dan Memperluas Akses Informasi
Hukum sebagai law as a tool of social angineering , artinya menurut
Mochtar Kusumaatmadja hukum sebagai sarana untuk melakukan perubahan
dalam rangka tertib hukum. Hukum dalam konsep ini, menurut Mochtar tidak
diartikan sebagai “alat” tetapi sebagai “sarana” pembaharuan masyarakat (Lili
Rasjidi: 183). Pokok-pokok pikiran yang melandasi, konsep tersebut adalah (1)
bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembaharuan di masyarakat
sangat diperlukan, bahkan mutlak perlu. (2) Dalam hal ini hukum diharapkan
5
dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki dan
pembaharuan itu. Untuk itulah diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang
tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi). [3] tentunya hukum
positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Keterbukaan
Informasi Publik tersebut, sejak awal diharapkan sebagai sarana atau law as a
tool of social angineering untuk merubah perilaku badan publik yang selama ini
ada kecenderungan tertutup. Untuk kemudian, lebih mudah masyarakat
mendapatkan akses informasi secara luas. Tentunya hal ini, tidaklah mudah.
Namun usaha untuk merubah perilaku dengan pemberlakuan undang-undang
tersebut merupakan usaha yang sangat strategis, sebagaimana cita-cita pada
saat undang-undang ini digagas dan dibahas.
Selain hukum sebagai sarana untuk perubahan yang diharapkan bersama
maka tak kalah pentingnya adalah adanya perkembangan teknologi yang
demikian cepat seperti sekarang ini, khususnya teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) yang diyakini sebagai salah satu pemicu perubahan. Dalam
memahami mekanisme perubahan sosial, ada tiga perspektif penting yaitu (1).
Perpektif materialis. (2). perspektif idealis; dan (3). perspektif mekanisme
interaksional (Mustain Mashud: 382).
Dalam perspektif materialis, perspektif ini menempatkan budaya material
(baca khususnya TIK) sebagai pendorong utama mekanisme perubahan. Dalam
perspektif materialis, teknologi sangat determinan dalam perubahan sosial.
Tokoh teknokratis ini adalah Thorstein Veblen (1857-1929). Veblen melihat
teknologilah yang mewarnai tatanan sistem sosial. Oleh sebab itu ia mengajukan
preposisi bahwa perilaku manusia mencerminkan perkembangan teknologi dan
ekonominya. Statement Vablen ini secara implisit mengisyaratkan kemampuan
teknologi dalam mempengaruhi perilaku manusia. Jika demikian, maka teknologi
itu membawa nilai-nilai tertentu.
Teknologi telah berkembang sangat cepat dan perkembangan ilmu
pengetahuan memungkinkan untuk itu. Dan malahan tingkat percepatan
6
perkembangan teknologi khususnya TIK seringkali jauh dari prediksi kita semua.
Maka seiring dengan kecenderungan seperti itu munculah konsep yang
dikemukakan Veblen dan Ouburn- culture lag atau ketertinggalan budaya.
Juga diyakini, dengan cepatnya perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) akan menimbulkan dampak dalam kehidupan masyarakat yang
kemudian akan menjadi bagian dari budaya manusia. Hal ini bisa kita rasakan,
bahwa penerapan TIK semestinya telah merubah cara kerja, cara berkomunikasi
maupun berpemerintahan. Lebih lanjut peran TIK saat ini tidak hanya sebatas
sebagai alat (tools) saja, tetapi sudah menjadi pemungkin (enabler) atau bahkan
menjadi peubah (transformer) (Supangkat, 2009 : 1).
Dengan perkembangan TIK tersebut dan juga TIK tidak sebatas alat,
tetapi sudah menjadi pemungkin bahkan peubah. Yang menjadi pertanyaan
selanjutnya adalah apakah TIK sudah merubah cara dalam akses dan pelayanan
informasi secara substansial di lingkungan badan publik. Ini tentunya menjadi
pertanyaan krusial, menilik pada saat dibahasnya undang-undang ini juga sudah
terpikir bahwa perkembangan TIK akan memudahkan, baik yang mengakses
maupun badan publik dalam memberikan dan menjalankan kewajiban serta
pelayanan informasi Oleh sebab itu, UU No: 14 tahun 2008, dalam pasal 7 ayat
(3) dinyatakan bahwa untuk melaksanakan kewajiban dalam menyediakan
informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan diharuskan
membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk
mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses
dengan mudah.
Tantangan terbesar Humas Pemerintah dalam membangun sistem
informasi dan komunikasi publik yang berkualitas, adalah mengemas sebuah
sistem pengelolaan informasi dan pengemasan informasi yang dibutuhkan publik
dan memiliki kualitas, akurat dan menarik. Sebab dengan adanya informasi yang
sesuai dengan kebutuhan publik dan acceptable maka kepuasan publik akan
bisa tercapai. Dengan informasi yang berkualitas maka kredibilitas badan publik
khususnya lembaga pemerintah akan semakin diandalkan di mata publik.
7
Menurut Indrajit (2002) menyebutkan tiga tantangan besar dalam
pengembangan layanan informasi publik yang menggunakan teknologi informasi
yakni (1) pengembangan kanal akses yang dapat digunakan secara efektif oleh
masyarakat dan pemerintah, (2) keterlibatan lembaga swasta dalam
pengembangan infrastruktur, dan (3) penyusunan strategi institusi, terutama
strategi investasi dan operasional.
Ada pula tantangan lain, yaitu mengubah budaya pelayanan yang bisa
mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (lihat Bourn,
2002). Hal terakhir ini yang membutuhkan kehandalan Humas Pemerintah dan
peran kepemimpinan untuk mengawal dan memastikan layanan informasi publik
dan kemudahan akses bisa berlangsung dengan baik.
Humas Pemerintah yang Serba Salah di Era Keterbukaan Informasi PublikKalau kita menyimak keterlibatan Pemerintah utamanya pada masa Orde
Baru yang sangat mengatur media, maka menjadi Humas Pemerintah pada
masa itu boleh dikatakan sangatlah mudah. Ibaratnya menjadi Humas
Pemerintah begitu mudahnya seperti memencet tombol listrik. Tinggal memencet
on atau off, semua informasi seperti yang dikehendaki. Demikian juga informasi
dan opini bisa dikonsrtuksi sedemikian rupa. Tergantung kemauan Pemerintah.
Karena media sepenuhnya ada pada kontrol Pemerintah.
Apabila media tidak tunduk pada kemauan Pemerintah akan dicabut
ijinnya. Banyak fakta yang menunjukkan hal tersebut. Sampai media seperti TV,
Radio milik swasta tidak dapat menyiarkan berita. Apabila akan menyiarkan
berita harus relay dari RRI atau TVRI.
Sejak era reformasi, lembaga perijinan bagi media cetak sudah tidak
diperlukan lagi. TV dan Radio sudah tidak lagi dalam kontrol Pemerintah.
Malahan RRI dan TVRI sudah menjadi radio dan TV publik. Terjadi interaksi luar
biasa. Siapapun saat ini bisa membicarakan setiap kebijakan Pemerintah
dengan leluasa. Kenaikan harga bawang, daging di Indonesia akhir-akhir ini
direspon dengan interaktif di media dengan cepatnya. Namun sayang, pejabat
Humas Pemerintah tidak muncul untuk memberikan penjelasan yang memadai.
8
Yang muncul biasanya, pejabat yang memiliki tugas yang berhubungan dengan
pemberitaan tersebut.
Menurut catatan, Humas Pemerintah yang aktif di Pusat menyampaikan
tanggapan terhadap pemberitaan yang menyangkut lembaganya seperti Humas
Polri, Humas TNI, Humas Kominfo, Humas Kemlu dan beberapa yang lain.
Sedang di Daerah, Humas Pemda belum banyak yang menonjol dalam bertindak
sebagai Humas Pemda.
Ada beberapa alasan, mengapa Humas Pemerintah belum berperan
maksimal seperti yang diharapkan. Salah satunya alasan yang muncul, Humas
Pemerintah rata-rata di Kementerian belum memiliki tingkat eselon yang
memadai. Sehingga akses informasi dari sumber informasi di lembaganya
sangat amat terbatas. Rapim saja tidak berhak ikut serta. Sehingga tidak dapat
menjadi narasumber bagi media. Namun tidak demikian di tubuh Polri dan TNI.
Humas di kedua lembaga tersebut dijabat oleh pejabat setingkat bintang dua.
Namun tidak juga sepenuhnya benar, eselon menentukan keberhasilan.
Dibeberapa Kementerian, Humas dijabat oleh eselon II juga cukup bagus.
Seperti di Kominfo, Humas dijabat oleh pejabat setingkat eselon II, namun cukup
berhasil. Terbukti, beberapa tahun ini, secara berturut-turut Humas Kementerian
kominfo mendapat predikat terbaik dari sebuah lembaga peringkat privat.
Yang menyulitkan Humas Pemerintah di era sekarang ini adalah masih
adanya anggapan, Humas harus bisa membentuk citra lembaganya dengan
baik, sedang Humas tidak cukup diberikan akses informasi yang cukup. Yang
lebih tragis, Humas dianggap berhasil apabila mampu menutupi penyimpangan
dari akses media. Kalau sampai tidak berhasil dianggap gagal. Ada beberapa
keluhan, dari dialog pertemuan Bakohumas yang mengemuka mengenai hal
tersebut.
Sebagai Humas Pemerintah sekaligus (biasanya) sebagai pejabat PPID
(pejabat pengelola informasi dan dokumentasi sebagaimana amanat UU No:14
tahun 2008) harus membuka akses informasi seluas-luasnya. Namun disatu sisi
harus menutupinya. Hal ini, salah satu yang kemudian menyulitkan Humas
Pemerintah dalam meningkatkan profesionalnya.
9
Menuju good governance yang dicita-citakan.Konsep good governance dimaknai secara beragam oleh banyak pihak,
baik individu, negara maupun lembaga. Di Indonesia, good governance sering
diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Bank Dunia mendefinisikan good
governance sebagai “suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar
yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi
baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran dan
penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha”. Bank
Dunia sangat percaya bahwa di negara-negara Dunia Ketiga, perilaku perburuan
rente maupun korupsi kalangan elite yang menyebabkan memburuknya
efektivitas pemerintahan (LAN, 2000). Konsep good governance, dalam
pandangan Irfan (2000:1), menunjukkan adanya perubahan makan
pemerintahan yaitu merujuk kepada (1) a new process of governing (2) a
changed condition of ordered rule dan (3) the news method by which society is
governed. Dengan konsep ini, tujuan utama pemerintahan untuk lebih
menekankan pada memberikan pelayanan-pelayanan dan keuntungan bagi
kesejahtaeraan masyarakat.
UNDP mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut: (1)
partisipasi setiap warga negara dalam pembuatan keputusan, (2) rule of law atau
penegakan hukum, (3) transparansi dengan penyediaan informasi publik, (4)
responsiveness terhadap kebutuhan stakeholders, (5) consensus orientation
atau menjadikan good governance sebagai pilihan terbaik, (6) kesempatan yang
sama bagi warga negara atau equity, (7) effectiveness and efficiency dalam
penyelenggaraan pemerintahan, (8) akuntabilitas publik, dan (9) kejelasan
perspektif pemimpin tentang good governance atau strategic vision (dalam
Subarsono, 2005: 20).
10
Dalam konteks good governance, prinsip dasar yang mengemuka adalah
birokrasi pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya, tidak
saja kepada atasan langsung, tetapi juga kepada masyarakat. Pertanggung-
jawaban kepada publik dicerminkan antara lain dengan transparansi pengelolaan
sumberdaya pada institusi publik, sehingga amat penting untuk senantiasa
menyediakan akses informasi mengenai kegiatan tersebut kepada masyarakat
luas (Rusli, 2004: 55).
Dengan menyimak prinsip-prinsip good governance tersebut di atas, maka
tujuan dari diundangankannya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik
adalah dalam rangka menuju good governance. Hal ini dapat dilihat dan
dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang No: 14 tahun 2008 pasal 3
Namun sayangnya Undang-undang yang diharapkan dapat menuju
keperintahan yang baik, nampaknya masih belum seperti yang diharapkan.
Terbukti masih hampir semua lembaga Negara tidak bersih dari kasus korupsi,
seperti mulai birokrasi pemerintahan, parat penegak hukum, maupun masyarakat
umum. Hingga saat ini tidak kurang dari 158 Kepala Daerah mulai dari Gubernur,
Bupati/Walikota tersangkut kasus korupsi. Demikian juga aparat sejumlah
lembaga Negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, DPR
dan DPRD, Kejaksaan, Kepolisian dll (Kompas 20 Juni 2011). Dengan demikian
semua Badan Publik (baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain)
sebagaimana dimaksud dalam UU No: 14 tahun 2008 sudah pernah terkait
dengan kasus korupsi.
Oleh sebab itu tidak salah apabila Darajad Wibowo menyatakan bahwa
reformasi birokrasi yang sudah berjalan lama, ternyata belum efektif mengurangi
korupsi (detik, 19 Mei 2011). Wapres Boediono saat membuka rapat koordinasi
Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tingkat
Nasional 2010 di Hotel Sahid Jaya, Jl Jenderal Sudirman menyatakan bahwa
reformasi birokrasi perlu waktu lima belas tahun. Itupun dengan syarat setiap
institusi dilakukan sistem evaluasi yang intens., karena reformasi birokrasi perlu
waktu yang panjang. (detik , 24 Nopember 2010).
11
Yang menjadi catatan adalah betapa berat menjadi Humas Pemerintah di
era saat ini bila cara padang, bahwa humas yang berhasil justru Humas yang
bisa menutupi akses media dari penyimpangan yang terjadi. Bukan menjelaskan
suatu peristawa pada proporsi yang sebenarnya.
PenutupSaat ini secara yuridis, kemerdekaan media dan akses informasi telah
terlindungi. Setiap usaha dari siapa pun pemerintah yang berkuasa, untuk
membatasi kembali, saya yakin akan mendapatkan perlawanan. Dan
kemungkinan itu akan kecil dilakukan, mengingat rambu-rambu yang telah
menjadi keputusan politik. Demikian juga kemudian kemudahan akses informasi,
apakah digunakan sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan sebagaimana
pasal 3 UU No: 14 tahun 2008, salah satunya meningkatkan partisipasi
masyarakat.
Undang-undang telah dibuat, demikian juga teknologi telah berkembang
demikian pesat. Secara teoritis, kedua hal tersebut akan mendorong perubahan
dalam akses dan pelayanan informasi. Prinsip-prinsip good governance yakni
transparansi dan akuntabilitas yang menjadi tuntutan semua pihak,sudah
semestinya dipegang teguh bukan saja di lingkup pemerintahan, namun juga di
seluruh elemen masyarakat. Kehadiran Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik secara sistemik diharapkan dapat mewujudkan transparansi, peningkatan
pelayanan dan pada gilirannya menghilangkan penyimpangan-penyimpangan
seperti korupsi, minimal dapat ditekan ke tingkat yang paling rendah. Tentunya
Humas Pemerintah yang mempunyai tugas di bidang ini, harus sadar betul peran
dan tantangannya sungguh sangat besar.
Daftar Pustaka.
Bourn, John. 2002. Better Public Services through e-Government: Academic Article in support of Better Public Services through e-Government. National Audit Office. London.
12
Indrajit, R.E. 2002. E-Government: Strategi Pembanguan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik berbasis Teknologi Digital. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Islamy, Irfan. 2001. Agenda Kebijaksanaan Reformasi Administrasi Negara. Jurnal Administrasi Negara II (1).
Lembaga Administrasi Negara dan BPKP. 2000 Akuntabilitas dan Good Governance, LAN-BPKP, Jakarta.
Lili Rasjidi dan Wyasa Putra 2003 “ Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung,
Mustain Mashud: Perubahan Sosial oleh Mustain Mashud.2004. dalam ”Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan”, Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (ed).Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Rusli, Alexander (ed). 2004. Telematika Indonesia: Kebijakan dan Perkembangan. Tim Koordinasi Telematika Indonesia Kementerian Komunikasi dan Infomasi Republik Indonesia. Jakarta.
Subarsono, AG. 2005. “Kebijakan dan Administrasi Negara di Era Reformasi”. Dalam E.A. Purwanto dan W. Kumorotomo (ed.). 2005. Birokrasi Publik Dalam Sistem Politik Semi-Parlementer. Gava Media. Yogyakarta.
Supangkat, Suhono Harso. 2009. Inovasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Untuk Pembangunan Generasi Yang Lebih Baik, Pidato Pengukuhan Guru Besar ITB. Bandung.
Media:
Kompas, 20 Juni 2011detik.com
Undang-undang:
Undang-undang Nomor: 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
13