humas pemerintah di era keterbukaan

19
Humas Pemerintah di Era Keterbukaan Informasi Publik 1 Oleh: Suprawoto 2 Pendahuluan Dalam catatan sejarah di negeri ini, setiap rezim yang berkuasa, pada awal pemerintahannya, agar memperoleh dukungan masyarakat secara luas selalu menjanjikan akan kemerdekaan untuk memperoleh informasi. Namun pada akhirnya, janji akan kemerdekaan memperoleh informasi itu kemudian terjadi dinamika. Hal ini dapat dirunut, mulai awal lahirnya negara yang kita cintai bersama ini. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, sebagai founding fathers, Sukarno dan Hatta pernah mengalami pahitnya dibelenggu dalam ketidak bebasan berpendapat, baik selaku pribadi maupun melalui media. Oleh sebab itu, sebagai Negara yang merdeka sudah selayaknya menjamin dengan tegas kebebasan berpendapat dan juga pers yang kemudian diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi,” kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. 1 Sebagian tulisan ini pernah dimuat dalam bentuk artikel dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional dengan judul “Mengapa Media Selalu Curiga” pada harian Sindo 9 Pebruari 2009. 2 Staf Ahli Menkominfo Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya. 1

Upload: monitoring-tv-kemkominfo

Post on 23-Mar-2016

222 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Diskusi Publik Etika Komunikasi di Ruang Publik, Quo Vadis? Yogya 27 Maret 2013

TRANSCRIPT

Page 1: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

Humas Pemerintah di Era Keterbukaan Informasi

Publik1

Oleh: Suprawoto2

PendahuluanDalam catatan sejarah di negeri ini, setiap rezim yang berkuasa, pada

awal pemerintahannya, agar memperoleh dukungan masyarakat secara luas

selalu menjanjikan akan kemerdekaan untuk memperoleh informasi. Namun

pada akhirnya, janji akan kemerdekaan memperoleh informasi itu kemudian

terjadi dinamika. Hal ini dapat dirunut, mulai awal lahirnya negara yang kita

cintai bersama ini.

Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, sebagai founding fathers,

Sukarno dan Hatta pernah mengalami pahitnya dibelenggu dalam ketidak

bebasan berpendapat, baik selaku pribadi maupun melalui media. Oleh sebab

itu, sebagai Negara yang merdeka sudah selayaknya menjamin dengan tegas

kebebasan berpendapat dan juga pers yang kemudian diatur dalam Pasal 28

UUD 1945 yang berbunyi,” kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan

dengan undang-undang”.

Kemudian Menteri Penerangan waktu itu, Mr Amir Sariffudin, pada bulan

Oktober 1945 menegaskan kembali melalui maklumatnya, yang menyatakan

bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus bersendikan asas pers merdeka.

Oleh karena itu, kebijakan komunikasi dan penerangan yang dianut pemerintah,

dijanjikan sebagai berikut: "Pikiran masyarakat umum (public opinions) itulah

sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tak merdeka tidak

1 Sebagian tulisan ini pernah dimuat dalam bentuk artikel dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional dengan judul “Mengapa Media Selalu Curiga” pada harian Sindo 9 Pebruari 2009.

2 Staf Ahli Menkominfo Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya.

1

Page 2: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

mungkin menyatakan pikiran masyarakat, tetapi hanya pikiran beberapa orang

yang berkuasa. Maka, asas kita ialah pers harus merdeka."

Sejarah kemudian mencatat, pers masa perjuangan waktu itu bahu

membahu mendukung pemerintah untuk berjuang mengusir penjajah. Akan

tetapi, setelah Belanda pergi dan pers mulai kritis terhadap pemerintah,

pembatasan dan malahan pembredelan mulai dilakukan. Tafsir pemerintah atas

kemerdekaan pers hanya digunakan untuk memperkuat status quo dibandingkan

membangun keseimbangan sebagai kontrol publik terhadap pemerintah. Surat

Kabar Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara menjadi saksi atas

pengingkaran janji pemerintah di masa kepemimpinan Sukarno. Sinar Harapan

pun sempat mengalami pembredelan oleh pihak penguasa pada awal Oktober

1965 ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI.

Kelahiran Orde Baru, di bawah kepimpinan Presiden Suharto juga dihiasi

dengan janji akan kebebasan pers. Sebagai koreksi atas Orde Lama yang mulai

mengekang kebebasan pers, pemerintah menjamin kebebasan pers melalui

undang-undang tentang Pers. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966

Pasal 4 yang secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa,”pers bebas dari kontrol

dan pembredelan”. Bahkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967,

sebagai revisi atas undang-undang sebelumnya hanya mengubah klausul yang

berkaitan dengan media cetak dimana Jaksa Agung tidak memiliki wewenang

untuk melakukan pembredelan.

Pada periode awal Orde Baru, pers memperoleh kembali

kemerdekaannya. Namun sayang, bulan madu kebebasan berakhir usai

peristiwa Malari tahun 1975. Upaya pemerintah melakukan pengekangan mulai

muncul kembali. Kontrol atas kebebasan pers makin mengerucut dalam

Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 pasal II butir 13 yang mengharuskan

setiap penerbitan pers harus memiliki SIUPP. Kemudian dijabarkan dalam

Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Permenpen/1984 yang mengatur

tentang prosedur dan persyaratan untuk memperoleh SIUPP (Surat Ijin Usaha

Penerbitan Pers). Dalam peraturan ini Menteri juga dapat mencabut SIUPP

terhadap pers yang dipandang melanggar ketentuan. Dalih yang dimunculkan

2

Page 3: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

pemerintah atas keluarnya peraturan perundangan ini adalah mengedepankan

konseptuasi kebebasan yang bertanggung jawab. Sejarah mencatat, pada masa

Orde Baru banyak pembredelan dilakukan dan ”budaya telepon” berkembang

yang pada dasarnya mengekang kemerdekaan pers.

Musim Semi Awal Kemudahan Akses InformasiPendulum sejarah berganti. Pemerintah era reformasi di bawah pimpinan

Presiden B.J. Habibie lahir. Pemerintahan Habibie tercatat sebagai

pemerintahan yang mengakomodasi kebebasan pers. Bahkan dalam masa awal

pemerintahannya, janji kebebasan pers dituangkan langsung dalam undang-

undang pertama yang disahkan, yaitu Undang-undang No 40 Tahun 1999

tentang Pers. Pers tak perlu lagi ijin dan sejenisnya dan malahan ada sanksi bagi

yang menghambat kemerdekaan pers.

Pemerintahan Habibie hanya sebentar digantikan oleh pemerintahan

Abdurrahman Wahid. Sebagai jaminan dan memastikan kontrol dan

pembredelan terhadap pers tidak ada lagi, ”Gus Dur” langsung membubarkan

Departemen Penerangan pada Oktober 1999 yang selama ini identik dengan

lembaga yang membelenggu pers. Salah satu alasan Presiden Wahid

membubarkan Deppen karena, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi

menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai

hilangnya kontrol pemerintah. Selanjutnya sesuai dengan Undang-undang

Nomor: 40tahun 1999 tentang Pers, yang mengontrol media adalah Media

watch, Ombudsman masing-masing media, Dewan Pers dan masyarakat

tentunya.

Ketika fungsi kontrol media mulai dilakukan, pada saat itu bila terjadi

masalah sering tidak diselesaikan sesuai dengan rute yang diamanatkan

undang-undang. Baik melalui hak jawab atau melalui Dewan Pers. Banyak

persoalan yang berkaitan dengan pemberitaan yang mulai kritis, dan pekerja

pers, kebebasan tersebut oleh yang merasa dirugikan pers, ditafsirkan secara

sempit dengan idiom ”pengerahan massa”. Tentu ingatan kita tak akan lupa dari

3

Page 4: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

pendudukan kantor Jawa Pos oleh simpatisan Presiden Wahid untuk meminta

klarifikasi atas pemberitaan dan pemuatan karikatural media yang mulai kritis.

Ketika pemerintahan berganti, dari Presiden Wahid kepada Presiden

Megawati Soekarnoputri, kembali juga menjanjikan kemerdekaan pers. Gaya

pemerintahan Megawati memang berbeda dengan gaya pemerintahan

Abdurrahman Wahid. Namun tatkala pers mulai kritis terhadap pemerintah,

Presiden Megawati juga pernah menyampaikan keluhannya terhadap pers yang

selalu mengkritisi pemerintah, yaitu pada pidato Hari Pers Nasional yang

dilaksanakan di Banjarmasin.

Pada masa pemerintahannya, pernah menggugat media massa (Kasus

Harian Rakyat Merdeka). Langkah itu diambil nampaknya sebagai salah satu

akumulasi pemberitaan yang menyerang secara terus-menerus dan dianggap

tidak adil. Namun demikian, memang sesuai janjinya Presiden Megawati

menyatakan tidak pernah (memang tidak pernah) membredel media massa.

Pemilu 2004, menempatkan pasangan Capres Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemenang. Pada awal pemerintahan,

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan dengan tegas komitmen

kepada demokrasi dan kebebasan pers. Selain menjamin tidak akan ada lagi

pembredelan terhadap pers, Yudhoyono juga berjanji membuat pers terus

berkembang dan mendapatkan peran dalam kebebasannya. Sebagai wujud

realisasi terhadap komitmen tersebut, dalam pidato pada Hari Pers Nasional

Tahun 2008, Presiden Yudhoyono menyampaikan, seandainya diminta memilih

untuk memberikan kebebasan kepada pers atau mengatur pers, dengan tegas

Presiden menyatakan akan memilih yang pertama yaitu memberikan kebebasan

kepada pers. Namun tatkala media balik dikritisi karena dianggap memihak dan

dipandang oleh Dipo Alam (yang kebetulan selaku Sekab) tidak berimbang

dalam pemberitaan, kemudian akan melakukan boikot terhadap media tertentu

(detik, 22 Pebruari 2011), malahan mendapat kritik dari beberapa kalangan yang

menganggap, bahwa hal tersebut dapat mengganggu kemerdekaaan pers.

Oleh sebab itu, tidaklah salah dari rangkaian sejarah seperti tersebut di

atas, kemudian masih menimbulkan anggapan bahwa akses informasi dan

4

Page 5: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

kebebasan pers yang telah dijamin dalam pasal 28 UUD 1945 selama ini

dipandang masih akan mengalami ancaman dengan berbagai cara dan

bentuknya.

Berangkat dari kenyataan tersebut, dan sebagai hasil reformasi selain

amandemen UUD-RI tahun 1945 khususnya pasal 28 dan lahirnya UU No: 40

tahun 1999 , UU No: 32 tahun 2004 tentang Penyiaran, serta sudah barang tentu

lahirnya UU No: 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik lebih

menjamin kembali, bahwa tidak mudah bagi siapa pun yang berkuasa untuk

menafsirkan sendiri tentang pasal 28. Selain sebagaimana telah dengan tegas

dinyatakan dalam Undang-undang Dasar juga secara lebih rinci diatur dalam UU

No: 14 tahun 2008.

Dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, yang disahkan

pada saat pemerintahan SBY-JK tentunya semakin memberikan rambu-rambu

yang jelas dan tegas mana informasi yang bisa dibuka dan informasi yang

ditutup. Undang-undang yang telah berlaku tiga tahun tersebut, bagaimana

implementasinya di lapangan. Apakah masih ada kendala dalam

pelaksanaannya? Demikian pula tujuan ditetapkannya undang-undang ini

apakah sudah pada jalur yang semestinya. Bagaimana peran Humas

Pemerintah yang secara langsung terkait dengan keberadaan UU ini selalu

menjadi pertanyaan yang mengemuka.

Undang-undang dan Perkembangan Teknologi Sebagai Daya Dorong mempermudah dan Memperluas Akses Informasi

Hukum sebagai law as a tool of social angineering , artinya menurut

Mochtar Kusumaatmadja hukum sebagai sarana untuk melakukan perubahan

dalam rangka tertib hukum. Hukum dalam konsep ini, menurut Mochtar tidak

diartikan sebagai “alat” tetapi sebagai “sarana” pembaharuan masyarakat (Lili

Rasjidi: 183). Pokok-pokok pikiran yang melandasi, konsep tersebut adalah (1)

bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembaharuan di masyarakat

sangat diperlukan, bahkan mutlak perlu. (2) Dalam hal ini hukum diharapkan

5

Page 6: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki dan

pembaharuan itu. Untuk itulah diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang

tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi). [3] tentunya hukum

positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Keterbukaan

Informasi Publik tersebut, sejak awal diharapkan sebagai sarana atau law as a

tool of social angineering untuk merubah perilaku badan publik yang selama ini

ada kecenderungan tertutup. Untuk kemudian, lebih mudah masyarakat

mendapatkan akses informasi secara luas. Tentunya hal ini, tidaklah mudah.

Namun usaha untuk merubah perilaku dengan pemberlakuan undang-undang

tersebut merupakan usaha yang sangat strategis, sebagaimana cita-cita pada

saat undang-undang ini digagas dan dibahas.

Selain hukum sebagai sarana untuk perubahan yang diharapkan bersama

maka tak kalah pentingnya adalah adanya perkembangan teknologi yang

demikian cepat seperti sekarang ini, khususnya teknologi informasi dan

komunikasi (TIK) yang diyakini sebagai salah satu pemicu perubahan. Dalam

memahami mekanisme perubahan sosial, ada tiga perspektif penting yaitu (1).

Perpektif materialis. (2). perspektif idealis; dan (3). perspektif mekanisme

interaksional (Mustain Mashud: 382).

Dalam perspektif materialis, perspektif ini menempatkan budaya material

(baca khususnya TIK) sebagai pendorong utama mekanisme perubahan. Dalam

perspektif materialis, teknologi sangat determinan dalam perubahan sosial.

Tokoh teknokratis ini adalah Thorstein Veblen (1857-1929). Veblen melihat

teknologilah yang mewarnai tatanan sistem sosial. Oleh sebab itu ia mengajukan

preposisi bahwa perilaku manusia mencerminkan perkembangan teknologi dan

ekonominya. Statement Vablen ini secara implisit mengisyaratkan kemampuan

teknologi dalam mempengaruhi perilaku manusia. Jika demikian, maka teknologi

itu membawa nilai-nilai tertentu.

Teknologi telah berkembang sangat cepat dan perkembangan ilmu

pengetahuan memungkinkan untuk itu. Dan malahan tingkat percepatan

6

Page 7: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

perkembangan teknologi khususnya TIK seringkali jauh dari prediksi kita semua.

Maka seiring dengan kecenderungan seperti itu munculah konsep yang

dikemukakan Veblen dan Ouburn- culture lag atau ketertinggalan budaya.

Juga diyakini, dengan cepatnya perkembangan teknologi informasi dan

komunikasi (TIK) akan menimbulkan dampak dalam kehidupan masyarakat yang

kemudian akan menjadi bagian dari budaya manusia. Hal ini bisa kita rasakan,

bahwa penerapan TIK semestinya telah merubah cara kerja, cara berkomunikasi

maupun berpemerintahan. Lebih lanjut peran TIK saat ini tidak hanya sebatas

sebagai alat (tools) saja, tetapi sudah menjadi pemungkin (enabler) atau bahkan

menjadi peubah (transformer) (Supangkat, 2009 : 1).

Dengan perkembangan TIK tersebut dan juga TIK tidak sebatas alat,

tetapi sudah menjadi pemungkin bahkan peubah. Yang menjadi pertanyaan

selanjutnya adalah apakah TIK sudah merubah cara dalam akses dan pelayanan

informasi secara substansial di lingkungan badan publik. Ini tentunya menjadi

pertanyaan krusial, menilik pada saat dibahasnya undang-undang ini juga sudah

terpikir bahwa perkembangan TIK akan memudahkan, baik yang mengakses

maupun badan publik dalam memberikan dan menjalankan kewajiban serta

pelayanan informasi Oleh sebab itu, UU No: 14 tahun 2008, dalam pasal 7 ayat

(3) dinyatakan bahwa untuk melaksanakan kewajiban dalam menyediakan

informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan diharuskan

membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk

mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses

dengan mudah.

Tantangan terbesar Humas Pemerintah dalam membangun sistem

informasi dan komunikasi publik yang berkualitas, adalah mengemas sebuah

sistem pengelolaan informasi dan pengemasan informasi yang dibutuhkan publik

dan memiliki kualitas, akurat dan menarik. Sebab dengan adanya informasi yang

sesuai dengan kebutuhan publik dan acceptable maka kepuasan publik akan

bisa tercapai. Dengan informasi yang berkualitas maka kredibilitas badan publik

khususnya lembaga pemerintah akan semakin diandalkan di mata publik.

7

Page 8: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

Menurut Indrajit (2002) menyebutkan tiga tantangan besar dalam

pengembangan layanan informasi publik yang menggunakan teknologi informasi

yakni (1) pengembangan kanal akses yang dapat digunakan secara efektif oleh

masyarakat dan pemerintah, (2) keterlibatan lembaga swasta dalam

pengembangan infrastruktur, dan (3) penyusunan strategi institusi, terutama

strategi investasi dan operasional.

Ada pula tantangan lain, yaitu mengubah budaya pelayanan yang bisa

mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (lihat Bourn,

2002). Hal terakhir ini yang membutuhkan kehandalan Humas Pemerintah dan

peran kepemimpinan untuk mengawal dan memastikan layanan informasi publik

dan kemudahan akses bisa berlangsung dengan baik.

Humas Pemerintah yang Serba Salah di Era Keterbukaan Informasi PublikKalau kita menyimak keterlibatan Pemerintah utamanya pada masa Orde

Baru yang sangat mengatur media, maka menjadi Humas Pemerintah pada

masa itu boleh dikatakan sangatlah mudah. Ibaratnya menjadi Humas

Pemerintah begitu mudahnya seperti memencet tombol listrik. Tinggal memencet

on atau off, semua informasi seperti yang dikehendaki. Demikian juga informasi

dan opini bisa dikonsrtuksi sedemikian rupa. Tergantung kemauan Pemerintah.

Karena media sepenuhnya ada pada kontrol Pemerintah.

Apabila media tidak tunduk pada kemauan Pemerintah akan dicabut

ijinnya. Banyak fakta yang menunjukkan hal tersebut. Sampai media seperti TV,

Radio milik swasta tidak dapat menyiarkan berita. Apabila akan menyiarkan

berita harus relay dari RRI atau TVRI.

Sejak era reformasi, lembaga perijinan bagi media cetak sudah tidak

diperlukan lagi. TV dan Radio sudah tidak lagi dalam kontrol Pemerintah.

Malahan RRI dan TVRI sudah menjadi radio dan TV publik. Terjadi interaksi luar

biasa. Siapapun saat ini bisa membicarakan setiap kebijakan Pemerintah

dengan leluasa. Kenaikan harga bawang, daging di Indonesia akhir-akhir ini

direspon dengan interaktif di media dengan cepatnya. Namun sayang, pejabat

Humas Pemerintah tidak muncul untuk memberikan penjelasan yang memadai.

8

Page 9: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

Yang muncul biasanya, pejabat yang memiliki tugas yang berhubungan dengan

pemberitaan tersebut.

Menurut catatan, Humas Pemerintah yang aktif di Pusat menyampaikan

tanggapan terhadap pemberitaan yang menyangkut lembaganya seperti Humas

Polri, Humas TNI, Humas Kominfo, Humas Kemlu dan beberapa yang lain.

Sedang di Daerah, Humas Pemda belum banyak yang menonjol dalam bertindak

sebagai Humas Pemda.

Ada beberapa alasan, mengapa Humas Pemerintah belum berperan

maksimal seperti yang diharapkan. Salah satunya alasan yang muncul, Humas

Pemerintah rata-rata di Kementerian belum memiliki tingkat eselon yang

memadai. Sehingga akses informasi dari sumber informasi di lembaganya

sangat amat terbatas. Rapim saja tidak berhak ikut serta. Sehingga tidak dapat

menjadi narasumber bagi media. Namun tidak demikian di tubuh Polri dan TNI.

Humas di kedua lembaga tersebut dijabat oleh pejabat setingkat bintang dua.

Namun tidak juga sepenuhnya benar, eselon menentukan keberhasilan.

Dibeberapa Kementerian, Humas dijabat oleh eselon II juga cukup bagus.

Seperti di Kominfo, Humas dijabat oleh pejabat setingkat eselon II, namun cukup

berhasil. Terbukti, beberapa tahun ini, secara berturut-turut Humas Kementerian

kominfo mendapat predikat terbaik dari sebuah lembaga peringkat privat.

Yang menyulitkan Humas Pemerintah di era sekarang ini adalah masih

adanya anggapan, Humas harus bisa membentuk citra lembaganya dengan

baik, sedang Humas tidak cukup diberikan akses informasi yang cukup. Yang

lebih tragis, Humas dianggap berhasil apabila mampu menutupi penyimpangan

dari akses media. Kalau sampai tidak berhasil dianggap gagal. Ada beberapa

keluhan, dari dialog pertemuan Bakohumas yang mengemuka mengenai hal

tersebut.

Sebagai Humas Pemerintah sekaligus (biasanya) sebagai pejabat PPID

(pejabat pengelola informasi dan dokumentasi sebagaimana amanat UU No:14

tahun 2008) harus membuka akses informasi seluas-luasnya. Namun disatu sisi

harus menutupinya. Hal ini, salah satu yang kemudian menyulitkan Humas

Pemerintah dalam meningkatkan profesionalnya.

9

Page 10: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

Menuju good governance yang dicita-citakan.Konsep good governance dimaknai secara beragam oleh banyak pihak,

baik individu, negara maupun lembaga. Di Indonesia, good governance sering

diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Bank Dunia mendefinisikan good

governance sebagai “suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang

solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar

yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi

baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran dan

penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha”. Bank

Dunia sangat percaya bahwa di negara-negara Dunia Ketiga, perilaku perburuan

rente maupun korupsi kalangan elite yang menyebabkan memburuknya

efektivitas pemerintahan (LAN, 2000). Konsep good governance, dalam

pandangan Irfan (2000:1), menunjukkan adanya perubahan makan

pemerintahan yaitu merujuk kepada (1) a new process of governing (2) a

changed condition of ordered rule dan (3) the news method by which society is

governed. Dengan konsep ini, tujuan utama pemerintahan untuk lebih

menekankan pada memberikan pelayanan-pelayanan dan keuntungan bagi

kesejahtaeraan masyarakat.

UNDP mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut: (1)

partisipasi setiap warga negara dalam pembuatan keputusan, (2) rule of law atau

penegakan hukum, (3) transparansi dengan penyediaan informasi publik, (4)

responsiveness terhadap kebutuhan stakeholders, (5) consensus orientation

atau menjadikan good governance sebagai pilihan terbaik, (6) kesempatan yang

sama bagi warga negara atau equity, (7) effectiveness and efficiency dalam

penyelenggaraan pemerintahan, (8) akuntabilitas publik, dan (9) kejelasan

perspektif pemimpin tentang good governance atau strategic vision (dalam

Subarsono, 2005: 20).

10

Page 11: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

Dalam konteks good governance, prinsip dasar yang mengemuka adalah

birokrasi pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya, tidak

saja kepada atasan langsung, tetapi juga kepada masyarakat. Pertanggung-

jawaban kepada publik dicerminkan antara lain dengan transparansi pengelolaan

sumberdaya pada institusi publik, sehingga amat penting untuk senantiasa

menyediakan akses informasi mengenai kegiatan tersebut kepada masyarakat

luas (Rusli, 2004: 55).

Dengan menyimak prinsip-prinsip good governance tersebut di atas, maka

tujuan dari diundangankannya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik

adalah dalam rangka menuju good governance. Hal ini dapat dilihat dan

dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang No: 14 tahun 2008 pasal 3

Namun sayangnya Undang-undang yang diharapkan dapat menuju

keperintahan yang baik, nampaknya masih belum seperti yang diharapkan.

Terbukti masih hampir semua lembaga Negara tidak bersih dari kasus korupsi,

seperti mulai birokrasi pemerintahan, parat penegak hukum, maupun masyarakat

umum. Hingga saat ini tidak kurang dari 158 Kepala Daerah mulai dari Gubernur,

Bupati/Walikota tersangkut kasus korupsi. Demikian juga aparat sejumlah

lembaga Negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, DPR

dan DPRD, Kejaksaan, Kepolisian dll (Kompas 20 Juni 2011). Dengan demikian

semua Badan Publik (baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain)

sebagaimana dimaksud dalam UU No: 14 tahun 2008 sudah pernah terkait

dengan kasus korupsi.

Oleh sebab itu tidak salah apabila Darajad Wibowo menyatakan bahwa

reformasi birokrasi yang sudah berjalan lama, ternyata belum efektif mengurangi

korupsi (detik, 19 Mei 2011). Wapres Boediono saat membuka rapat koordinasi

Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tingkat

Nasional 2010 di Hotel Sahid Jaya, Jl Jenderal Sudirman menyatakan bahwa

reformasi birokrasi perlu waktu lima belas tahun. Itupun dengan syarat setiap

institusi dilakukan sistem evaluasi yang intens., karena reformasi birokrasi perlu

waktu yang panjang. (detik , 24 Nopember 2010).

11

Page 12: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

Yang menjadi catatan adalah betapa berat menjadi Humas Pemerintah di

era saat ini bila cara padang, bahwa humas yang berhasil justru Humas yang

bisa menutupi akses media dari penyimpangan yang terjadi. Bukan menjelaskan

suatu peristawa pada proporsi yang sebenarnya.

PenutupSaat ini secara yuridis, kemerdekaan media dan akses informasi telah

terlindungi. Setiap usaha dari siapa pun pemerintah yang berkuasa, untuk

membatasi kembali, saya yakin akan mendapatkan perlawanan. Dan

kemungkinan itu akan kecil dilakukan, mengingat rambu-rambu yang telah

menjadi keputusan politik. Demikian juga kemudian kemudahan akses informasi,

apakah digunakan sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan sebagaimana

pasal 3 UU No: 14 tahun 2008, salah satunya meningkatkan partisipasi

masyarakat.

Undang-undang telah dibuat, demikian juga teknologi telah berkembang

demikian pesat. Secara teoritis, kedua hal tersebut akan mendorong perubahan

dalam akses dan pelayanan informasi. Prinsip-prinsip good governance yakni

transparansi dan akuntabilitas yang menjadi tuntutan semua pihak,sudah

semestinya dipegang teguh bukan saja di lingkup pemerintahan, namun juga di

seluruh elemen masyarakat. Kehadiran Undang-Undang Keterbukaan Informasi

Publik secara sistemik diharapkan dapat mewujudkan transparansi, peningkatan

pelayanan dan pada gilirannya menghilangkan penyimpangan-penyimpangan

seperti korupsi, minimal dapat ditekan ke tingkat yang paling rendah. Tentunya

Humas Pemerintah yang mempunyai tugas di bidang ini, harus sadar betul peran

dan tantangannya sungguh sangat besar.

Daftar Pustaka.

Bourn, John. 2002. Better Public Services through e-Government: Academic Article in support of Better Public Services through e-Government. National Audit Office. London.

12

Page 13: Humas Pemerintah di Era Keterbukaan

Indrajit, R.E. 2002. E-Government: Strategi Pembanguan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik berbasis Teknologi Digital. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Islamy, Irfan. 2001. Agenda Kebijaksanaan Reformasi Administrasi Negara. Jurnal Administrasi Negara II (1).

Lembaga Administrasi Negara dan BPKP. 2000 Akuntabilitas dan Good Governance, LAN-BPKP, Jakarta.

Lili Rasjidi dan Wyasa Putra 2003 “ Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung,

Mustain Mashud: Perubahan Sosial oleh Mustain Mashud.2004. dalam ”Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan”, Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (ed).Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Rusli, Alexander (ed). 2004. Telematika Indonesia: Kebijakan dan Perkembangan. Tim Koordinasi Telematika Indonesia Kementerian Komunikasi dan Infomasi Republik Indonesia. Jakarta.

Subarsono, AG. 2005. “Kebijakan dan Administrasi Negara di Era Reformasi”. Dalam E.A. Purwanto dan W. Kumorotomo (ed.). 2005. Birokrasi Publik Dalam Sistem Politik Semi-Parlementer. Gava Media. Yogyakarta.

Supangkat, Suhono Harso. 2009. Inovasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Untuk Pembangunan Generasi Yang Lebih Baik, Pidato Pengukuhan Guru Besar ITB. Bandung.

Media:

Kompas, 20 Juni 2011detik.com

Undang-undang:

Undang-undang Nomor: 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

13