hubungan sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare

61
HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI KELURAHAN BABAKANSARI KECAMATAN KIARACONDONG KOTA BANDUNG TAHUN 2019 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat SILMI FARHAH ABIYYAH NPM: BK.1.15.021 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG 2019

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

16 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN

DIARE PADA BALITA DI KELURAHAN BABAKANSARI

KECAMATAN KIARACONDONG KOTA BANDUNG

TAHUN 2019

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai

Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

SILMI FARHAH ABIYYAH

NPM: BK.1.15.021

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS

BHAKTI KENCANA BANDUNG

2019

Page 2: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

i

Page 3: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

ii

Page 4: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

iii

Page 5: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

iv

ABSTRAK

Diare merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, terutama di kalangan balita. Ketersediaan sarana sanitasi dasar lingkungan seperti air bersih, pemanfaatan jamban dan pembuangan sampah merupakan upaya untuk mencegah meningkatnya kejadian penyakit diare. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare pada balita di Kelurahan Babakansari Kecamatan Kiaracondong Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus kontrol. Populasi kasus adalah balita yang menderita diare pada bulan Januari-April tahun 2019 yang tercatat di UPT Puskesmas Babakansari berjumlah 31 orang. Sedangkan populasi kontrol adalah semua keluarga yang memiliki balita dan tidak menderita diare pada bulan Januari-April tahun 2019 yang bertempat tinggal di kelurahan Babakansari. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah total sampling dan purposive sampling untuk sampel kontrol. Sampel penelitian yaitu 31 kasus dan 62 kontrol. Instrumen penelitian berupa lembar observasi. Hasil dari uji chi square penelitian ini tidak ditemukan hubungan sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare pada balita dengan hasil sumber air bersih (p= 0,712), jamban sehat (p= 0,420) dan sarana pembuangan sampah (p= 1,000). Simpulan tidak ada hubungan antara sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare pada balita di Kelurahan Babakansari Kecamatan Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019. Saran perlu adanya observasi lebih lanjut untuk melihat apa yang menjadi faktor lain yang menyebabkan diare pada balita di Kelurahan Babakansari tinggi. Kata Kunci : Sanitasi Dasar Lingkungan, Sumber Air Bersih,

Jamban Sehat, Sarana Pembuangan Sampah, Diare. Daftar Pustaka : 83 (Tahun 2004 – 2019)

Page 6: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

v

ABSTRACT

Diarrhea is a public health problem with high morbidity and mortality rates, especially among toddlers. The availability of basic environmental sanitation facilities such as clean water, latrine utilization and garbage disposal are efforts to prevent the increasing of diarrheal diseases. The purpose of this study was to determine the relationship between basic environmental sanitation and the incidence of diarrhea in toddlers in Babakansari Sub-District, Kiaracondong District, Bandung. This research used a case-control approach. The population case were toddlers suffering from diarrhea from January to April 2019 which were recorded at UPT Puskesmas Babakansari (Babakansari Community Health Centre) with 31 people (toddlres). Meanwhile the population control were families who have children under five years old and do not suffer from diarrhea from January to April 2019 that reside in the Babakansari village. The technique used in sampling waere total sampling and purposive sampling for control samples. The research sample were 31 cases and 62 controls. The research instrument was in form of an observation sheet. The results of the chi square test of this study found no relationship between basic environmental sanitation with the incidence of diarrhea in infants with the results of clean water sources (p= 0.712), healthy latrines (p= 0.420) and waste disposal facilities (p= 1,000). In conclusion, there was no relationship between basic environmental sanitation and the incidence of diarrhea in infants in Babakansari Sub-district, Kiaracondong Sub-District, Bandung in 2019. It is suggested for further observation to see what are other factors that caused diarrhea in infants in Babakansari Sub-District high. Keywords : Basic Environmental Sanitation, Clean Water Sources, Healthy Latrines, Waste Disposal Facilities, Diarrhea. References : 83 (2004 - 2019)

Page 7: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat illahi rabbi, Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga saya sebagai penyusun dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tak lupa saya panjatkan shalawat serta

salam bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Dalam kesempatan ini saya sebagai penulis berbahagia karena telah dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan judul “HUBUNGAN SANITASI DASAR

LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI

KELURAHAN BABAKANSARI KECAMATAN KIARACONDONG KOTA

BANDUNG TAHUN 2019”. Skripsi penelitian ini diajukan sebagai salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Program Studi

S1 Kesehatan Masyarakat.

Penyusunan skripsi ini tak lepas dari dukungan dan dorongan semangat

dari berbagai pihak, sehingga saya sebagai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan tepat waktu. Oleh karenaitu, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar

besarnya kepada :

1. H. Mulyana SH.,MPd selaku Ketua Yayasan Adhi Guna Kencana.

2. Dr. Entis Sutrisno, MH.Kes.,Apt selaku Rektor Universitas Bhakti Kencana.

3. Dr. Ratna Dian K,M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan sekaligus

pembimbing utama yang telah memberikan pengarahannya selama proses

bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

Page 8: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

vii

4. Nova Oktavia, SKM.,MPH selaku Ketua Prodi Sarjana Kesehatan

Masyarakat Universitas Bhakti Kencana.

5. Agung Sutriyawan, SKM.,M.Kes pembimbing kedua yang telah memberikan

pengarahan selama proses bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

6. dr. Gemi Hafitiani Otafirda selaku Kepala UPT Puskesmas Babakansari yang

telah memberikan izin selama penyusunan skripsi penelitian ini.

7. Teh Ima dan Teh Khusnul selaku petugas promosi kesehatan yang telah

memberikan dukungan saat melakukan studi penelitian.

8. Seluruh rekan-rekan S1 Kesehatan Masyarakat angkatan 2015 yang sedang

sama-sama berjuang dan saling memberikan dukungan untuk kelancaran

dalam penyusunan skripsi ini.

Serta terimakasih yang paling utama kepada kedua orang tua yang

senantiasa memberikan dukungan dan do’a nya untuk kelancaran penyusunan

skripsi penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan, penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan

kesempurnaan skripsi ini.

Bandung, Agustus 2019

Silmi Farhah Abiyyah

Page 9: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iii

ABSTRAK ................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................. vi

DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii

DAFTAR BAGAN .................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 8

1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 9

1.3.1. Tujuan Umum ................................................................................ 9

1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................................... 9

1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 10

1.4.1. Manfaat Praktis ............................................................................ 10

1.4.2. Manfaat Teoritis .......................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 12

2.1. Sanitasi ............................................................................................... 12

2.1.1 Definisi Sanitasi........................................................................... 12

Page 10: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

ix

2.1.2 Sarana Sanitasi Dasar .................................................................. 12

2.2. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Diare ................. 13

2.3. Lingkungan ........................................................................................ 13

2.3.1. Sarana Air Bersih ........................................................................ 13

2.3.2. Jamban Sehat .............................................................................. 19

2.3.3. Tempat Pembuangan Akhir Tinja .............................................. 23

2.3.4. Sarana Pembuangan Air Limbah ................................................ 25

2.3.5. Sarana Pembuangan Sampah ...................................................... 27

2.4. Perilaku .............................................................................................. 29

2.4.1. Pemberian ASI Ekslusif ............................................................ 29

2.4.2. Mencuci Tangan dengan Sabun ................................................. 30

2.4.3. Imunisasi .................................................................................... 31

2.4.4. Pemberian MP-ASI ................................................................... 32

2.5. Pelayanan Kesehatan .......................................................................... 33

2.6. Keturunan (Genetik) ........................................................................... 33

2.5. Diare ................................................................................................... 34

2.5.1. Pengertian Diare ......................................................................... 34

2.5.2. Jenis-Jenis Diare ......................................................................... 34

2.5.3. Penyebab diare ........................................................................... 36

2.5.4. Cara Penularan Diare .................................................................. 39

2.5.5. Prinsip Tatalaksana Diare ............................................................ 42

2.6. Balita ................................................................................................... 44

2.6.1 Definisi Balita .............................................................................. 44

Page 11: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

x

2.6.2 Karakteristik Balita ...................................................................... 45

BAB III METODELOGI PENELITIAN ................................................. 47

3.1. Rancangan Penelitian ......................................................................... 47

3.2. Paradigma Penelitian .......................................................................... 48

3.3. Hipotesa Penelitian ............................................................................. 51

3.4. Variabel Penelitian ............................................................................. 52

3.4.1. Variabel Independen .................................................................... 52

3.4.2. Variabel Dependen ...................................................................... 52

3.5. Definisi Konseptual dan Definisi Oprasional ..................................... 53

3.5.1. Definisi Konseptual ..................................................................... 53

3.5.2. Definisi Oprasional ...................................................................... 54

3.6. Populasi dan Sampel ........................................................................... 55

3.6.1. Populasi Penelitian ...................................................................... 55

3.6.2. Sampel Penelitian ........................................................................ 55

3.7. Pengumpulan Data .............................................................................. 56

3.7.1. Jenis Data..................................................................................... 56

3.7.2. Cara Pengumpulan Data .............................................................. 57

3.7.3. Instrumen Penelitian .................................................................... 58

3.8. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 58

3.8 1. Teknik Pengolahan Data.............................................................. 58

3.8 2. Teknik Analisa Data .................................................................... 60

3.9. Etika Penelitian ................................................................................... 62

3.10. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 65

Page 12: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

xi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 66

4.1. Hasil Penelitian ................................................................................... 66

4.1.1. Gambaran Kejadian Diare Pada Balita ....................................... 66

4.1.2. Gambaran Sumber Air Bersih ..................................................... 66

4.1.3. Gambaran Jamban Sehat ............................................................. 67

4.1.4. Gambaran Sarana Pembuangan Sampah ..................................... 67

4.1.5. Hubungan Sumber Air Bersih dengan Kejadian Diare ............... 68

4.1.6. Hubungan Jamban Sehat dengan Kejadian Diare ....................... 69

4.1.7. Hubungan Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian Diare 70

4.2. Pembahasan ........................................................................................ 70

4.2.1. Gambaran Kejadian Diare pada balita ......................................... 70

4.2.2. Gambaran sanitasi dasar lingkungan ........................................... 71

4.2.3. Hubungan sumber air bersih dengan kejadian diare .................... 72

4.2.4. Hubungan jamban sehat dengan kejadian diare ......................... 75

4.2.5. Hubungan sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare .. 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 79

5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 79

5.2. Saran ................................................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 82

LAMPIRAN ....................................................................................................

Page 13: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................ 54

Tabel 3.2 Kriteria Univariat ............................................................................. 61

Tabel 3.3 Cara Menghitung Odds Ratio .......................................................... 62

Tabel 4.1 Gambaran Kejadian Diare pada Balita.............................................. 66

Tabel 4.2 Gambaran Sarana Air Bersih ............................................................ 66

Tabel 4.3 Gambaran Jamban Sehat ................................................................... 67

Tabel 4.4 Gambaran Sarana Pembuangan Sampah........................................... 67

Tabel 4.5 Hubungan Sarana Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Balita ... 68

Tabel 4.6 Hubungan Jamban Sehat dengan Kejadian Diare pada Balita .......... 69

Tabel 4.7 Hubungan Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian Diare ..... 70

Page 14: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

xiii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Perjalanan Penyakit ......................................................................... 40

Bagan 2.2 Skema Penularan Penyakit dari Tinja .............................................. 41

Bagan 3.1 Rancangan Penelitian Case Control ................................................. 47

Bagan 3.2 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................ 50

Page 15: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 3 Lembar Observasi

Lampiran 4 Master Tabel dan Koding

Lampiran 5 Analisis Data Univariat dan Bivariat

Lampiran 6 Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan

Lampiran 7 Surat Balasan Kesbangpol Kota Bandung

Lampiran 8 Surat Balasan Penelitian Dinas Kesehatan Kota Bandung

Lampiran 9 Surat Permohonan Izin Penelitian Puskesmas

Lampiran 10 Surat Balasan dari Puskesmas Bersedia di Jadikan Tempat

Penelitian

Lampiran 11 Surat Balasan dari Puskesmas Bahwa Telah Melakukan

Penelitian di UPT Puskesmas Babakansari

Lampiran 12 Lembar Bimbingan

Lampiran 13 Dokumentasi

Page 16: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sustainable Development Goals (SDG’s) sebagai program kelanjutan

dari Millenium Development Goals (MDG’s), dalam pesan yang ke-3

mengemas tujuan untuk menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan

kesejahteraan seluruh penduduk semua usia dengan salah satu indikatornya

adalah menurunkan angka kematian balita per 1000 kelahiran hidup (BPS,

2017).

Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2017,

penyakit diare merupakan penyebab utama kematian kedua pada anak di

bawah lima tahun. Setiap tahunnya terdapat sekitar 1,7 miliar kasus

penyakit diare pada anak-anak dengan membunuh sekitar 525.000 anak

balita (WHO, 2017).

United Nation Childhren’s Fund (UNICEF) mencatat sebanyak 5% dari

jumlah kematian balita akibat diare terjadi di kawasan Asia Tenggara. Di

Indonesia angka kematian balita akibat diare pada tahun 2015 sebanyak

8.600 balita yang menempati peringkat 12 dari 15 negara dengan angka

kematian balita tertinggi di dunia dan tertinggi di Asia Tenggara. India

menempati urutan pertama untuk kasus kematian balita mencapai 117.300

balita (UNICEF, 2016).

Page 17: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

2

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang dilaksanakan

oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan RI prevalensi diare di Indonesia untuk kategori semua umur

sebesar 6,8%, sedangkan untuk kategori usia balita sebesar 11%. Prevalensi

diare pada balita tertinggi berada di provinsi Sumatra Utara sebesar 14,2%,

Papua 13,9%, dan Aceh 13,8%. Sedangkan prevalensi diare pada balita

terendah berada di provinsi Kepulauan Riau sebesar 5,1%, Bangka Belitung

6% dan Maluku Utara 7,3%. Sedangkan untuk Provinsi Jawa Barat berada

di urutan ke-8 dengan prevalensi diare sebesar 12,8% (Riskesdas, 2018).

Di Jawa Barat pada tahun 2018, cakupan penderita diare balita berada

diperingkat pertama yang diperkirakan terdapat 732.324 kasus diare,

sedangkan kasus yang ditangani di sarana kesehatan hanya sebanyak

166.103 kasus atau 22,68%. Angka tersebut menunjukkan bahwa cakupan

kejadian diare di Jawa Barat masih tinggi (Kemenkes, 2018).

Penyakit diare dapat mempengaruhi derajat kesehatan menurut

HL.Blum ada empat faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan

masyarakat yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan, faktor pelayanan

kesehatan dan faktor keturunan. Menjaga kebersihan lingkungan dan

sanitasi adalah faktor penentu tertinggi demi meningkatkan kesehatan

masyarakat (Notoatmodjo, 2011).

Sanitasi dasar merupakan syarat kesehatan lingkungan minimal yang

harus dimiliki oleh setiap keluarga untuk memenuhi keperluan sehari-hari.

Page 18: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

3

Sanitasi mempunyai arti pemeliharaan kondisi yang higienis seperti sarana

pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air limbah domestik.

Sedangkan sanitasi dasar adalah sanitasi minumum yang diperlukan untuk

menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan dan

menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang

mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat (Azwar, 1995). Ruang lingkup

sanitasi dasar rumah tangga meliputi penyediaan air bersih, pembuangan

kotoran manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air

limbah.

Sanitasi mempunyai peranan penting dalam mewujudkan rumah sehat

dan sebagai penunjang untuk mencegah penyakit berbasis lingkungan.

Laporan UNICEF dan WHO tahun 2015 terkait fasilitas sanitasi terdapat 2,4

miliyar manusia di dunia masih menggunakan fasilitas sanitasi yang buruk.

Menurut Laporan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017 persentase rumah

tangga yang memiliki akses terhasap sanitasi layak adalah sebesar 67,89%

(Kementerian Kesehatan, 2017).

Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang dapat

mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Dampak dari rendahnya

tingkat cakupan sanitasi dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup

masyarakat, tercemarnya sumber air minum bagi masyarakat, dan

meningkatnya penularan penyakit berbasis lingkungan seperti diare

(Kementerian Kesehatan, 2017).

Page 19: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

4

Ketersediaan air bersih sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari seperti mandi, cuci, kakus, dan untuk dikonsumsi. Sarana air

bersih harus memenuhi persyaratan agar air tidak terkontaminasi. Sarana air

bersih yang memenuhi persyaratan adalah sumber air terlindungi yang

mencakup PDAM, sumur pompa, sumur gali dan mata air terlindungi

(Kementerian Kesehatan, 2017). Air yang terkontaminasi dapat

mengganggu kesehatan masyarakat seperti diare. berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh (Dini et al., 2015) bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara sarana air bersih dengan kejadian diare pada balita.

Responden dengan sumber air tidak sehat mempunyai risiko 3,7 kali

mengalami diare dibandingkan responden dengan sumber air yang sehat.

Diare dapat disebabkan oleh buruknya perilaku buang air besar (BAB)

sembarangan di masyarakat dan penggunaan fasilitas BAB yang belum

merata. Berdasarkan (Riskesdas, 2013), diketahui bahwa rumah tangga di

Indonesia menggunakan fasilitas buang air besar milik sendiri sebesar

76,2%, milik bersama 6,7% dan fasilitas umum 4,2%. Meskipun sebagian

besar rumah tangga memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga

yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan

yaitu sebesar 12,9%. Padahal salah satu target dari Sustainable Development

Goals (SDGs) adalah eliminasi perilaku BAB sembarangan (Kementerian

Kesehatan, 2015). Eliminasi perilaku dari BAB sembarangan menjadi

prioritas untuk meningkatkan kesehatan, gizi dan produktivitas masyarakat

di negara berkembang.

Page 20: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

5

Sampah dan pengelolaan sampah mempunyai peranan penting dalam

tercapainya lingkungan yang bersih dan tercapainya sanitasi masyarakat.

Pengeloolaan sampah yang baik yaitu dengan menggunakan 3R yaitu reuse,

reduce, dan recycle. Sampah dan pengelolaan sampah di Indonesia

umumnya dikelola dengan cara dibakar (49,5%) dan hanya 34,9% rumah

tangga yang pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Cara lain

pengelolaan sampah rumah tangga dengan cara ditimbun dalam tanah

(1,5%), dibuat kompos (0,4%), dibuang ke kali/selokan (7,8%), dan dibuang

sembarangan (5,9%) (Riskesdas, 2018). Pengelolaan sampah kini menjadi

masalah yang kian mendesak, sebab apabila tidak dilakukan penanganan

yang baik dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan seperti

pencemaran air, tanah dan udara serta dapat menganggu kesehatan

masyarakat. Timbulan sampah akan mengundang binatang pembawa

penyakit seperti tikus dan lalat yang dapat berpotensi terjangkit penyakit

pes, tifus dan diare (Hermawati et al., 2015)

Menurut data Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2017,

jumlah kasus diare tertinggi di Jawa Barat berada di kabupaten Bogor

dengan jumlah kasus 122.301 kasus, kabupaten Bandung sebanyak 78.273

kasus dan kabupaten Bekasi sebanyak 74.900 kasus. Sedangkan kasus diare

terendah berada di kota Banjar dengan jumlah kasus 3.903 kasus, kota

Cirebon 6.705 kasus, dan kota Sukabumi 6.929 kasus. Sedangkan jumlah

kasus diare di kota Bandung mengalami fluktasi dari tahun 2015 sampai

tahun 2017. Tahun 2015 tercatat sebanyak 25.209 kasus, di tahun 2016

Page 21: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

6

mengalami kenaikan sebanyak 57.425 kasus dan tahun 2017 menurun

sebanyak 53.456 kasus. Kota Bandung pada tahun 2017 menempati urutan

ke-6 yang artinya jumlah kasus di kota Bandung masih cukup tinggi (BPS,

2018).

Penderita diare di Kota Bandung tahun 2017 tercatat sebanyak 57.525

kasus dan di tahun 2018 jumlah kasus diare mengalami peningkatan

sebanyak 59.511 kasus. Dimana kasus diare tertinggi berada di Kecamatan

Andir dengan jumlah 3.832 kasus dengan 604 kasus diare pada balita,

Kecamatan Kiaracondong sebanyak 3.644 kasus dengan 796 kasus diare

pada balita, dan Kecamatan Astana Anyar sebanyak 3.256 kasus dengan

1194 kasus diare pada balita. Sedangkan kecamatan terendah berada di

Kecamatan Sumur Bandung dengan jumlah kasus diare sebanyak 881

dengan 331 kasus diare pada balita (Dinkes Kota, 2019).

Kecamatan Kiaracondong membawahi tiga Puskesmas yaitu UPT

Puskesmas Babakansari, UPT Puskesmas Babakan Surabaya, dan UPT

Puskesmas Ibrahim Adjie. UPT Puskesmas Babakansari pada tahun 2018

tercatat kasus diare pada balita sebanyak 630 kasus, UPT Puskesmas

Babakan Surabaya 166 kasus dan UPT Puskesmas Ibrahim Adjie 505 kasus

(Dinkes Kota, 2019).

Kondisi sanitasi dasar yang kurang memadai dapat mengakibatkan

penyakit berbasis lingkungan seperti diare. Berdasarkan data dari UPT

Puskesmas Babakansari pada tahun 2019 bulan januari sampai april

terdapat 279 kasus diare dengan kasus terbanyak terjadi pada balita. UPT

Page 22: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

7

Puskesmas Babakansari membawahi empat kelurahan yaitu Kelurahan

Babakansari, Kelurahan Sukapura, Kelurahan Kebon Jayanti dan Kelurahan

Kangkung dimana Kelurahan Babakansari menjadi wilayah yang tertinggi

kasus diare dan wilayah yang padat penduduk. Di kelurahan Babakansari

terdapat 130 kasus diare dimana 31 kasus terjadi pada balita.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 16 Mei 2019,

sarana air bersih yang digunakan masyarakat setempat kebanyakan

menggunakan air PDAM dan sumur pompa tangan (SPT). Ada juga yang

menggunakan sumur gali (SGL) dan jetpam sebagai sarana air bersih yang

digunakan. Namun ada juga warga yang belum mempunyai sarana sumber

air bersih yang menyebabkan cakupan sarana air bersih masih belum

memenuhi target yaitu sebesar 75% dari target yang harus dicapai sebesar

80%.

Fasilitas jamban masyarakat setempat menggunakan closet, namun

masih terdapat masyarakat yang buang air besar (BAB) di cemplung/sungai

yang menyebabkan cakupan jamban masih belum memenuhi target yaitu

sebesar 62% dari target yang harus dicapai sebesar 75% dan persentase

masyarakat yang melakukan buang air besar sembarangan (BABS) sebesar

38%. Kepemilikan sarana pengolahan air limbah domestik belum semua

rumah mempunyai drainase.

Sarana pengelolaan sampah dimasyarakat masih banyak yang tidak

terdapat fasilitas penampungan sampah sementara di setiap gang. Masih

terdapat masyarakat yang membakar sampah dan membuang sampah ke

Page 23: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

8

sungai yang menyebabkan cakupan TPS masih kurang yaitu sebesar 66%

dari target yang harus dicapai sebesar 80%.

Berdasarkan fenomena dan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk

mengkaji sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare pada balita di

kelurahan Babakansari kecamatan Kiaracondong kota Bandung.

1.2. Rumusan Masalah

Sanitasi dasar merupakan syarat kesehatan lingkungan minimal yang

harus dimiliki oleh setiap keluarga untuk memenuhi keperluan sehari-hari.

Ruang lingkup sanitasi meliputi sarana air bersih, jamban keluarga, sarana

pembuangan air limbah dan sarana pengelolaan sampah. Pemenuhan syarat

sanitasi dasar dapat mencegah penyakit berbasis lingkungan seperti diare.

UPT Puskesmas Babakansari merupakan puskesmas dengan jumlah

kasus diare balita yang cukup tinggi dimana berada diurutan ke enam di

Kota Bandung dengan wilayah pemukiman padat penduduk dengan kondisi

sanitasi dasar masih tergolong rendah dari segi sarana air bersih, jamban,

dan sarana pengelolaan sampah dimana Kelurahan Babakansari menjadi

wilayah kasus tertinggi diare dengan jumlah penduduk yang cukup padat

dan sanitasi yang masih kurang. Maka rumusan masalah dalam penelitian

ini apakah ada hubungan sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare

pada balita di Kelurahan Babakansari Kecamatan Kiaracondong Kota

Bandung tahun 2019?

Page 24: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

9

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi hubungan sanitasi dasar lingkungan

dengan kejadian diare pada balita di Kelurahan Babakansari Kecamatan

Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi gambaran kejadian diare pada balita di kelurahan

Babakansari kecamatan Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019.

2. Untuk mengidentifikasi gambaran sanitasi dasar lingkungan (sumber air

bersih, jamban sehat, dan sarana pembuangan sampah) di kelurahan

Babakansari kecamatan Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019.

3. Untuk mengidentifikasi hubungan sumber air bersih dengan kejadian

diare pada balita di kelurahan Babakansari kecamatan Kiaracondong

Kota Bandung tahun 2019.

4. Untuk mengidentifikasi hubungan jamban sehat dengan kejadian diare

pada balita di kelurahan Babakansari kecamatan Kiaracondong Kota

Bandung tahun 2019.

5. Untuk mengidentifikasi hubungan sarana pembuangan sampah dengan

kejadian diare pada balita di kelurahan Babakansari kecamatan

Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019.

Page 25: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

10

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan agar data yang dihasilkan dapat

bermanfaat dalam pengembangan program kesehatan dan sebagai

informasi yang mempunyai kontribusi terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan terutama di bidang kesehatan masyarakat.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Bagi Prodi Kesehatan Masyarakat STIKes Bhakti Kencana Bandung

Untuk menambah kepustakaan baru yang dapat dijadikan dalam

rangka meningkatkan kualitas dan pengetahuan mahasiswa maupun

mahasiswi program studi kesehatan masyarakat STIKes Bhakti Kencana

Bandung mengenai hubungan sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian

diare pada balita.

2. Bagi UPT Puskesmas Babakansari

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi

sebagai acuan dalam rangka peningkatan program pencegahan dan

sebagai acuan dalam perencanaan program yang akan datang.

3. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk

memberikan stimulus kepada masyarakat agar masyarakat tahu, mau dan

mampu merubah perilaku yang kurang baik dan membiasakan diri

berprilaku hidup bersih dan sehat, khususnya dalam upaya pencegahan

terhadap penyakit diare.

Page 26: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

11

4. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan,

ilmu, sarana pembelajaran dan dapat dipakai sebagai bahan referensi dan

perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

Page 27: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sanitasi

2.1.1 Definisi Sanitasi

Sanitasi merupakan suatu usaha pencegahan penyakit yang

menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia

(Lestari et al., 2015). Sedangkan menurut World Health Organization

(1992), Sanitasi adalah keadaan atau kondisi yang dapat mempengaruhi

kesehatan, terutama mengenai kotoran manusia dan infeksi yang secara

khusus berkaitan dengan drainase, pembuangan kotoran dan sampah dari

rumah tangga.

2.1.2 Sarana Sanitasi Dasar

Sanitasi dasar merupakan syarat kesehatan lingkungan minimal yang

harus dimiliki oleh setiap keluarga. Sanitasi dasar menurut (Azwar, 1995)

sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk

menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan dan

menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang

mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Ruang lingkup sanitasi dasar

meliputi sarana air bersih, ketersediaan jamban, sarana pembuangan air

limbah dan sarana pengelolaan sampah. Sanitasi merupakan elemen yang

penting untuk menunjang kesehatan masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi

akan berdampak negative pada aspek kehidupan mulai dari turunnya

Page 28: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

13

kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum

bagi masyarakat, meningkatnya jumlah kejadian diare dan penyakit

lainnya (Kemenkes, 2016).

2.2. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Diare

Menurut H.L Blum, dikutip (Notoatmodjo, 2011), derajat kesehatan

dipengaruhi 4 (empat) macam faktor yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan

kesehatan dan keturunan (genetik). Faktor-faktor tersebut memiliki peranan

yang sangat besar dalam meningkatkan status kesehatan baik individu

maupun masyarakat.

2.3. Lingkungan

2.3.1 Sarana Air Bersih

Air merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat penting bagi

kelangsungan hidup manusia. Air digunakan untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari seperti untuk minum, masak, mandi, mencuci (Notoatmodjo,

2011). Air bersih merupakan air yang digunakan untuk keperluan sehari-

hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum

apabila telah dimasak (Kemenkes, 2010). Sedangkan air minum adalah air

yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung

diminum.

Sumber air berasal dari air hujan, air permukaan dan air tanah. Didalam

urutan prioritas, umumnya air tanah merupakan urutan pertama

(Machfoedz, 2004). Air tanah berasal dari air hujan yang mengalami

perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses filtrasi

Page 29: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

14

secara alamiah. Proses filtrasi alamiah ini membuat air tanah menjadi lebih

baik dan lebih murni dibandingkan dengan air permukaan (Sumantri,

2013).

Sumber air bersih memiliki peranan penting dalam penyebaran

beberapa penyakit menular salah satunya adalah diare yang ditularkan

melalui fecal oral. Diare disebabkan oleh bakteri E.coli yang dapat masuk

ke dalam air dengan capa pasa saat hujan turun, air membawa limbah dari

kotoran hewan maupun manusia kemudian meresp kedalam tanah melalui

pori-pori tanah atau mengalir dalam sumber air (Langit, 2016).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang

Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan

Keluarga, sarana air bersih yang memenuhi persyaratan adalah sumber air

bersih yang terlindungi yang mencakup PDAM, sumur pompa, sumur gali,

dan mata air terlindungi (Kemenkes, 2016).

Satara air bersih merupakan sarana yang dapat menghasilkan sumber air

bersih seperti sumur gali, sumur dalam, penampungan air hujan, sistem

perpipaan.

a. Sumur Dangkal

Sumur dangkal merupakan pengambilan sumber mata air di dalam

tanah dengan kedalaman sekitar 5-15 meter. Diperkirakan sampai

kedalaman 3 meter tanah dan belum dipastikan aman dikonsumsi

karena masih mengandung kuman-kuman akibat kontaminasi kotoran

Page 30: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

15

dari permukaan tanah yang masih ada. Dan dinding sumur sebaiknya

dibuat lapisan dari semen untuk menghindari pencemaran air tanah.

b. Sumur Dalam

Sumur dalam berasal dari air tanah yang kedalamannya lebih dari

15 meter. Sebagian besar air sumur dalam sudah cukup sehat untuk

dijadikan air minum (Notoatmodjo, 2011).

c. PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum)

PDAM adalah badan usaha milik pemerintah yang mencakup

usaha dalam pengelolaan air minum untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. PDAM biasanya menggunakan sistem

perpipaan untuk mendistribusikan air bersih kepada masyarakat.

Sistem perpipaan air bersih digunakan untuk menyalurkan air bersih

dengan jarak sumber air dengan pemukiman warga sangat jauh.

Sistem perpipaan memudahkan masyarakat memperoleh air bersih.

d. Mata Air Terlindungi

Mata air terlindungi merupakan sumber air yang berasal dari

permukaan tanah dimana air timbul dengan sendirinya. Digolongkan

menjadi sumber mata air terlindungi jika sumber air bersih yang

digunakan berasal hanya dari mata air tanpa sistem perpipaan atau

pompa dan tanpa melalui proses penyaringan/pengolahan dimana

penduduk harus pergi ke sumber mata air tersebut untuk mendapatkan

air bersih (Yayasan Cipta Sarana Mandiri, 2013 )

Page 31: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

16

e. Penampungan Air Hujan

Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum.

Biasanya air hujan ditampung melalui paralon dan wadah hujan sering

terkena debu dari lingkungan sekitar rumah, maka air hujan harus

dilakukan penyaringan. Penampungan air hujan apabila tidak rutin

dibersihkan dan dikuras dapat menjadi sarang perkembangbiakan

nyamuk dan dapat menyebabkan penyakit demam berdarah.

Persyaratan kualitas menggambarkan mutu atau kualitas dari air

baku air bersih. Persyaratan ini meliputi persyaratan fisik, kimia, biologis

dan radiologis. Syarat-syarat tersebut berdasarkan permenkes No.416

/MENKES/PER/IX/1990 tentang persyaratan kualitas air bersih.

1. Syarat Fisik

Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berbau, dan tidak berasa.

Selain itu juga suhu air bersih sebaiknya sama dengan suhu udara atau

kurang lebih 25°c dan apabila terjadi perbedaan maka batas yang

diperbolehkan adalah 25° ± 3°c

a. Bau

Bau air dapat memberi petunjuk akan kualitas air. Air yang berbau

tidak akan disukai oleh masyarakat.

b. Rasa

Air yang bersih biasanya tidak memberi rasa/tawar. Air yang tidak

tawar dapat menunjukkan kehadiran berbagai zat yang dapat

membahayakan kesehatan.

Page 32: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

17

c. Warna

Air sebaiknya tidak berwarna dan untuk mencegah keracunan dari

berbagai zat kimia maupun mikroorganisme yang berwarna. Warna

dapat disebabkan adanya taannin dan asam humat yang terdapat

secara alamiah di air rawa., berwarna kuning muda menyerupai

urin, oleh karenanya orang tidak mau menggunakannya. Selain itu,

zat organik ini bila terkena khlor dapat membentuk senyawa-

senyawa khloroform yang beracun. Warna pun dapat berasal dari

buangan industri.

d. Suhu

Suhu air sebaiknya sejuk atau tidak panas terutama agar tidak

terjadi perlarutan zat kimia yang ada pada saluran/pipa yang dapat

membahayakan kesehatan, menghambat reaksi-reaksi biokimia di

dalam saluran/pipa, mikro organisme patogen tidak mudah

berkembang biak dan bila diminum air dapat menghilangkan

dahaga.

e. Jumlah Zat Padat Terlarut (TDS)

Jumlah zat padat terlarut biasanya terdiri atas zat organik, garam

anorganik, dan gas terlarut. Bila TDS bertambah maka keadaan

akan naik pula.

f. Kekeruhan

Kekeruhan air disebabkan oleh zat padat yang tersuspensi, baik

yang bersifat anorganik maupun yang organik. Zat organik,

Page 33: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

18

biasanya berasal dari lapukan batuan dan logam, sedangkan yang

organik dapat berasal dari lapukan tanaman atau hewan. Buangan

industri dapat juga merupakan sumber kekeruhan

2. Syarat Kimia

Kandungan zat kimia dalam air bersih yang digunakan sehari-hari

hendaknya tidak melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan.

Penggunaan air yang mengandung bahan kimia beracun dan zat-zat

kimia lainnya yang melebihi ambang batas berakibat tidak baik bagi

kesehatan dan material yang digunakan manusia seperti Besi (Fe), pH,

Tembaga (Cu), Klorida, Seng (Zn) dan Mangan (Mn).

3. Syarat Mikrobiologis

Pada umumnya sumber-sumber air yang terdapat di alam bumi ini

mengandung bakteri. Jumlah dan jenis bakteri bermacam-macam dan

berbeda-beda sesuai dengan tempat dan kondisi yang

mempengaruhinya. Oleh karena itu, air yang digunakan untuk

keperluan sehari-hari haruslah bebas dari bakteri patogen. Bakteri

golongan coli tidaj nerupakan bakteri golongan patogen, namun

bakteri ini merupakan indikator dari pencemaran air oleh bakteri

patogen.

4. Syarat Radiokativitas

Apapun bentuk radioaktivitas efeknya adalah sama dilihat dari segi

parameternya, yakni dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel yang

terpapar. Kerusakan dapat berupa kematian dan juga perubahan

Page 34: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

19

komposisi genetik. Kematian sel dapat diganti kembali apabila tidak

seluruh sel mati. Perubahan genetis dapat menimbulkan berbagai

penyakit seperti kanker dan mutasi.

5. Syarat Bakteriologis

Air minum tidak boleh mengandung bakteri-bakteri penyakit dan

juga tidak boleh mengandung bakteri-bakteri penyakit dan juga tidak

boleh mengandung bakteri-bakteri coli yang telah melebihi batas

tertentu yaitu 1 coliper 100ml air. Bakteri golongan ini berasal dari

usus besar dan tanah. Bakteri patogen yang mungkin terdapat didalam

air seperti bakteri Typosium, Vibrio Colerae, Bakteri Dysentriae,

Entamoeba Hystolotica, Bakteri Enteristis (penyakit perut)

(Permenkes, 2016).

Hasil penelitian yang dilakukan (Bumulo, 2014) menunjukan

terdapat hubungan antara sarana penyediaan air bersih dengan kejadian

diare pada balita dimana nilai p= 0,005. Sedangkan hasil penelitian

(Laela Mardriyatun, 2016) menunjukkan penggunaan air bersih dengan

kejadian diare bernilai p= 0,762 yang berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna.

2.3.2 Jamban Sehat

2.3.2.1. Ketersediaan Jamban

Jamban merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat

membuang dan mengumpulkan kotoran manusia yang biasanya disebut

dengan kakus atau wc dengan atau tanpa kloset dan dilengkapi dengan

Page 35: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

20

sarana penampungan kotoran/tinja sehingga tidak menjadi penyebab atau

peyebar penyakit dan mengotori lingkungan rumah (Kemenkes, 2016).

Tinja merupakan sumber penyebaran penyakit seperti diare, disentri,

kolera, kecacingan, Schistosomiasis dan penyakit pencernaan lainnya.

Upaya pencegahan kontaminasi tinja terhadap lingkungan dapat

dilakukan dengan pengelolaan pembuangan kotoran manusia dengan baik

yaitu dengan menggunakan jamban sehat. Persyaratan jamban sehat

sebagai berikut :

1. Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban

2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya

3. Tidak mengotori air tanah sekitarnya

4. Tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa

5. Tidak menimbulkan bau

6. Mudah digunakan dan diperlihara

7. Desain sederhana

8. Dapat diterima oleh pemakainya

9. Bangunan jamban tertutup untuk melindungi dari panas dan hujan

serta binatang, terlindungi dari pandangan orang (privacy)

10. Bangunan jamban mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak

kuat

Ketersediaan jamban sehat adalah kepemilikan jamban berbentuk

leher angsa oleh sebuah keluarga. Jika dalam satu rumah terdiri dari

beberapa keluarga dan menggunakan jamban leher angsa yang sama,

Page 36: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

21

maka dikatakan seluruh keluarga tersebut dinyatakan memiliki jamban

keluarga. Jamban komunal (Umum) tidak termasuk dalam ketersediaan

jamban keluarga karena biasanya digunakan oleh beberapa keluarga yang

tidak tinggal pada rumah yang sama (Kemenkes, 2016).

Ketersediaan jamban berperan penting dalam perilaku buang air

besar masyarakat. Penelitian yang dilakukan (Ratnawati and Trisno)

(Ratnawati and Trisno), menunjukan bahwa risiko balita terkena diare

akut lebih besar pada penggunaan jamban dan penggunaan sarana air

bersih yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan, penelitian oleh (Galman

and Wahyuni, 2014) menyatakan terdapat hubungan yang bermakna

antara sanitasi/jamban dengan kejadian diare pada balita.

Masih banyak terdapat masyarakat yang BAB disembarang tempat

atau BAB di tempat terbuka karena tidak tersedianya jamban di rumah

maupun jamban umum. Menurut laporan Progress on Sanitation and

Drinking Water 2015, tujuh dari 10 orang tanpa fasilitas jamban masih

melakukan BAB ditempat terbuka.

Berdasarkan laporan WHO dan UNICEF (2015) dalam

(Komarulzaman et al., 2017) Indonesia menduduki peringkat ke 2 dalam

jumlah masyarakat yang masih buang air besar sembarangan yaitu

sebesar 54 juta. Setiap tahun sekitar 136.000 sampai 190.000 balita

meninggal akibat terserang penyakit diare di Indonesia. MDGs

mempunyai target untuk meneliminasi BAB sembarangan.

Page 37: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

22

Masyarakat yang masih melakukan BAB di tempat terbuka biasanya

memanfaatkan sungai, danau dan pinggir laut untuk dijadikan tempat

pembuangan tinja. Perilaku BAB sembarangan atau BAB ditempat

terbuka mempunyai risiko terhadap pencemaran lingkungan dan

gangguan kesehatan.

2.3.2.2. Jenis Jamban

Jenis jamban yang digunakan untuk membuang tinja terdapat

beberapa jenis antara lain :

1. Jamban Leher Angsa

Jamban leher angsa merupakan salah satu jenis jamban saniter

dengan bentuk kloset (tempat jongkok) yang digunakan

menggunakan sistem water seal. Ciri-ciri jamban leher angsa sistem

water seal adalah adanya genangan air pada lubang kloset yang

berfungsi untuk menahan bau atau mencegah masuknya serangga

(Kemenkes, 2016). Jamban ini dilengkapi dengan bak penampung

kotoran yang kedap air (septic tank) dan sumur resapan. Air limbah

yang dihasilkan dari jamban akan dialirkan ke septic tank agar tidak

merembes ke air tanah (Asmadi et al., 2012). Jamban leher angsa

adalah jenis jamban yang sering digunakan oleh masyarakat

Indonesia.

2. Jamban Cemplung

Jamban cemplung merupakan jenis jamban yang sering digunakan

di daerah pedesaan dan daerah yang sulit dalam pengadaan air

Page 38: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

23

bersih. Kontruksi jamban cemplung sangat sederhana yaitu dengan

cara menggali tanah sebagai lubang penampungan, lalu diperkuat

dengan bahan penguat misalnya anyaman bambu (Asmadi et al.,

2012). Biasanya desainnya kurang sempurna seperti tanpa rumah

jamban dan tidak terdapat atap. Hal ini dapat menimbulkan bau dan

serangga mudah masuk. Ketika hujan akan terpenuhi dengan air,

sehingga jamban tidak dapat dipakai (Notoatmodjo, 2011). Bila tinja

dibuang pada jamban cemplung, maka mikroorganisme dapat masuk

ke dalam tanah vertical paling dalam 3 meter (Machfoedz, 2004)

3. Jamban Empang

Jamban empang merupakan jenis jamban yang dibangun diatas

empang. Kolam/empang terdapat ikan-ikan yang secara sengaja

dipelihara untuk memakan tinja yang dibuang secara langsung.

Biasanya ikan-ikan tersebut dibudidaya dan sebagian akan

dikonsumsi oleh masyarakat. Jamban jenis ini masih banyak terdapat

didaerah pedesaan terutama didaerah budidaya ikan.

2.3.3 Tempat Pembuangan Akhir Tinja

Septic tank merupakan salah satu cara pengolahan limbah cair

domestik seperti tinja dan air seni yang paling sederhana. Sistem septic

tank menggunkan bak kedap air yang berfungsi sebagai penampungan

limbah kotoran manusia (tinja dan urine) (Kemenkes, 2014). Septic tank

menggunakan proses perombakan limbah cair secara anaerobic yang

Page 39: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

24

dilengkapi dengan fasilitas resapan efluen. Jarak septik tank dengan

sumber air minimal 10 meter (Depkes, 1999a).

Menurut Wardhana (2001) dalam (Angeline et al., 2013) bahwa

rendahnya penggunaan jamban yang sehat kan berpengaruh terhadap

tingginya angka kesakitan diare. penyebaran kuman secara bakterologis

di sekitar jaman dikarenakan jamban yang tidak memenuhi syarat

kesehatan sehingga kemungkinan adanya mata rantai penularan penyakit

dari tinja dan berkembangbiak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh (Cronin et al., 2016) bahwa terdapat hubungan antara pembuangan

feses balita di jamban dengan kejadian diare (p= 0,0001).

Buang air besar sembarangan mempunyai risiko untuk terkena

penyakit diare. Kementrian Kesehatan telah melakukan himbauan

mengenai stop buang air besar sembarangan yang tercantum pada

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat. Stop Buang Air Besar Sembarangan adalah kondisi

ketika individu dalam suatu komunitas tidak lagi melakukan perilaku

buang air besar sembarangan yang berpotensi menyebarkan penyakit.

Stop buang air besar sembarangan dapat diwujudkan melalui kegiatan

membudayakan perilaku buang air besar sehat yang dapat memutuskan

alur kontaminasi kotoran manusia sebagai sumber penyakit secara

berkelanjutan dan menyediakan serta memelihara sarana buang air besar

yang memenuhi standar dan persyaratan kesehatan.

Page 40: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

25

Perilaku buang air besar yang sehat menggunakan fasilitas sanitasi

yang saniter berupa jamban sehat. Jamban sehat yaitu jamban leher angsa

yang dilengkapi dengan septic tank. Jamban sehat efektif untuk memutus

mata rantai penularan penyakit. Jamban sehat harus dibangun, dimiliki

dan digunakan oleh keluarga dengan penempatan yang mudah dijangkau

oleh penghuni rumah (Kemenkes, 2014).

2.3.4 Sarana Pembuangan Air Limbah

Air limbah merupakan sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang

berwujud cair. Air limbah dapat berasal dari kegiatan industri dan rumah

tangga (domestik). Air limbah domestik adalah hasil buangan dari

perumahan, bangunan perdagangan, perkantoran dan sarana sejenisnya

(Asmadi et al., 2012). Menurut Hammer 1997 dalam Asmadi (2012)

volume limbah cair dari perumahan bervariasi mulai dari 200 liter sampai

400 liter per orang per hari. Air limbah rumah tangga terdiri dari 3

macam yaitu tinja, air seni dan grey water. Grey water merupakan air

bekas cucian dapur, mesin cuci dan kamar mandi. Campuran tinja dan

urin disebut dengan extreta. Extreta tersebut mengandung mikroba dan

pathogen yang dapat berpotensi menyebarkan penyakit melalui

kontaminasi air. Air limbah domestik harus dilakukan pengelolaan agar

tidak mencemari lingkungan sekitarnya.

Pengelolaan air limbah dapat dilakukan secara alami maupun dengan

bantuan peralatan. Pengolahan air secara alami biasanya menggunakan

kolam stabilisasi. Kolam stabilisasi direkomendasikan digunakan pada

Page 41: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

26

daerah tropis dan negara berkembang karena biaya yang diperlukan

untuk membuat kolam stabilisasi relatif murah tetapi membutuhkan

waktu yang cukup lama. Kolam stabilisasi yang umum digunakan adalah

kolam anaerobic, kolam fakultatif dan kolam matrasi. Kolam anaerobic

biasanya digunakan untuk mengolah air limbah dengan kandungan bahan

organik yang sangat pekat, sedangkan kolam maturasi biasanya

digunakan untuk memusnahkan mikroorganisme patogen dalam air.

Penanganan pembuangan air limbah rumah tangga dapat

dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu (Ditjen Cipta Karya, 2009) :

1. Cara setempat, yaitu jika satu atau beberapa rumah tangga

membuang air limbah/kotoran manusia pada suatu bangunan

pengolahan yang terletak dekat dengan rumah mereka, umumnya

berupa cubluk atau tangki septic tank dan untuk air limbah dapur

(dapur, cuci, mandi) dibuang ke saluran pembuangan air limbah.

2. Cara terpusat, yaitu pembuangan seluruh air limbah rumah tangga

(air limbah, jamban dan air limbah) dari rumah tangga satu

lingkungan pemukiman (RW, desa) yang dialirkan melalui sistem

saluran (riool, pipa) menuju tempat pengolahan akhir (instalasi

pengolahan air limbah) .

Hasil penelitian (Sohor, 2013) menunjukkan bahwa adanya

hubungan erat antara kondisi SPAL (OR= 3,588) dengan kejadian diare.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan

Page 42: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

27

(Langit, 2016), yang menyatakan ada hubungan antara kondisi saluran

pembuangan air limbah dengan kejadian diare dengan nilai p= 0,000.

2.3.5 Sarana Pembuangan Sampah

Sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia dan proses

alam yang berbentuk padat. Menurut Environment Protection Agency

(2009) diartikan sebagai sesuatu yang tidak digunakan kembali, tidak

terpakai tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari

manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut Undang-undang

Nomor 18 tahun 2008 sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari

manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengertian sampah

yang lain menurut (Machfoedz, 2004), sampah merupakan segala sesuatu

yang oleh pemiliknya dianggap tidak berguna lain dan harus dibuang.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sampah merupakan hasil

buangan yang berasal dari manusia, yang sudah tidak digunakan kembali,

dan sudah dianggap tidak berguna lagi dan dibuang.

Sampah yang dihasilkan oleh manusia akan membusuk karena

aktifitas mikroorganisme di alam, sehingga sampah sering menimbulkan

bau tidak sedap dan sebarusnya sampah harus dilakukan pengelolaan

yang baik. Pengeolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis,

menyeluruh dan berkesinambungan. Penyelenggaraan pengelolaan

sampah yaitu dengan melakukan 3 R (Reduce, Reuse, Recyle) sedangkan

penaganan sampah pemilihan, pengumpulan sampah ke Tempat

Page 43: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

28

Penampungan Sementara (TPS) dan pengangkutan dari TPS ke Tempat

Pemrosesan Akhir (TPA).

Setiap individu diwajibkan mempunyai sarana atau tempat

pewadahan sampah agar tidak menimbulkan bau dan mencemari

lingkungan sekitarnya. Syarat pewadahan individu menurut Dirjen

Pekerjaan Umum Nomor 3 tahun 2013 sebagai berikut :

1. Kedap air dan udara

2. Mudah dibersihkan

3. Ringan dan mudah diangkat

4. Memiliki tutup

5. Volume pewadahan dapat digunakan ulang

Pengelolaan sampah di Indonesia umumnya mengelola sampah

dengan cara dibakar (49,5%) dan hanya 34,9% rumah tangga yang

pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Cara lain pengelolaan

sampah rumah tangga dengan cara ditimbun dalam tanah (1,5%), dibuat

kompos (0,4%), dibung ke kali/parit/laut (7,8%) dan dibuang

sembarangan (5,9%) (Riskesdas, 2018).

Sampah yang dibakar dapat menyebabkan polusi udara disekitarnya

sehingga pembakaran sampah tidak dianjurkan untuk dilakukan oleh

masyarakat. Presentase sampah yang dibakar masih tinggi dibandingkan

dengan sampah yang diangkut ke TPA. Hal ini dikarenakan masih belum

terpenuhinya akses dan pemerataan dalam pengangkutan sampah di

berbagai daerah. Sampah yang sering diangkut oleh petugas berlokasi di

Page 44: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

29

perkotaan. Sampah masyarakat pedesaan memilih untuk membakar

sampahnya. Sampah yang dibuang sembarangan dan dibuang ke

laut/sungai berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan dan banjir.

Sampah-sampah tersebut akan memenuhi aliran air dan dapat

menyebabkan mampet di saluran sehingga rawan terjadi banjir.

Hasil penelitian (Syahrizal, 2016) menunjukkan ada hubungan

antara penanganan sampah dengan kejadian diare pada balita dengan

nilai p= 0,001. Penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang telah

dilakukan (Laela Mardriyatun, 2016) yang mununjukkan terdapat

perbedaan signifikan dengan nilai p= 0,005 terdapat hubungan antara

penggunaan jamban responden dengan kejadian diare.

2.4. Perilaku

2.4.1 Pemberian ASI Ekslusif

ASI adalah makanan paling baik untuk bayi, karena komponen zat

makanan yang tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk

dicerna dan diserap secara optimal oleh alat pencernaan bayi. ASI saja

sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur bayi mencapai 6

bulan. ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu

formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan

dapat terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa

cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol, mengindarkan

anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan

diare. keadaan seperti ini disebut disusui secara penuh (memberikan ASI

Page 45: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

30

Ekslusif). Bayi harus disususi secara penuh sampai mereka berumur 6

bulan. Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus

diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).

Hal ini didukung pula dengan hasil penelitian (Herawati and Murni,

2018), menunjukkan ada hubungan pemberian susu formula dengan

kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan dengan nilai p= 0,021.

Sedangkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan (Galman and

Wahyuni, 2014), menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara memberi bayi ASI ekslusif dengan kejadian diare.

2.4.2 Mencuci Tangan dengan Sabun

Mencuci tangan merupakan suatu kebiasaan seseorang yang

berkaitan langsung dengan kebersihan diri dalam penyebaran dan

penularan kuman diare. Kebiasaan yang dapat mengurangi penularan

kuman diare yaitu mencuci tangan dengan menggunakan sabun baik

sesudah buang air besar, sebelum menyuapi makan bayi dan anak

(Depkes, 2012).

Perilaku cuci tangan pakai sabun (CTPS) dapat mencegah berbagai

penyakit infeksi yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan atau

kematian jutaan anak di indonesia. Perilaku CTPS merupakan

pengetahuan yang sudah umum di masyarakat, tetapi perilakunya tidak

dilakukan secara berkesinambungan, ini disebabkan karena tidak

tersedianya sarana di tempat mereka. Keuntungan perilaku CTPS adalah

menurunkan hampir separuh kasus diare dan seperempat kasus infeksi

Page 46: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

31

saluran nafas atas (ISPA), mencegah infeksi kulit, mata dan orang yang

terkena HIV/AIDS (Depkes, 2011c). Lima waktu penting melakukan

CTPS adalah setelah buang air besar, setelah membersihkan anak yang

buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan, setelah

memegang atau menyentuh hewan, serta menggunakan lap khusus untuk

mengeringkan tangan.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian (Riki, 2013), yang menyatakan

terdapat hubungan antara mencuci tangan sebelum kegiatan menyuapi

anak makan dengan kasus diare pada balita dimana nilai p=0.015. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Rifai et al., 2016) , yang

menunjukkan ibu yang cuci tangan tidak pakai sabun berpeluang 6,6 kali

anak mereka mengalami diare dibandingkan dengan ibu yang mencuci

tangan dengaan sabun.

2.4.3 Imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu program pemerintah untuk dapat

menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi. Imunisasi campak adalah imunisasi yang

berkaitan erat dengan kejadian diare pada balita. Penyakit diare akan

diperparah dengan kejadian campak dalam empat minggu terakhir. Hal

tersebut diakibatkan oleh adanya penurunan kekebalan tubuh penderita,

karena virus campak menyerang sistem mukosa tubuh dan dapat

menyerang saluran cerna (Depkes, 2007a).

Page 47: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

32

Hasil penelitian yang dilakukan (Azizah et al., 2012), menunjukkan

balita yang mendapatkan imunisasi lengkap berisiko lebih kecil terkena

diare dibandingkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap

dengan nilai p= 0,432. Hal ini juga sama dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh (Mano et al., 2015) yang menunjukkan ada hubungan

antara kelengkapan imuniasi terhadap kejadian diare dengan nilai p=

0,003.

2.4.4 Pemberian MP-ASI

Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang

mengandung zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna

memenuhi kebutuhan gizi selain dari air susu ibu. Beberapa penyakit

sering muncul akibat dari pengenalan MP-ASI dini salah satunya

terjadinya diare. Dalam makanan tambahan bayi biasaya terkandung

konsentrasi tinggi karbohidrat dan gula yang masih sukar untuk dicerna

oleh organ pencernaan bayi apabila diberikan terlalu dini, karena

produksi enzim-enzim khususnya amylase pada bayi masih rendah.

Akibatnya akan terjadi gangguan pencernaan pada bayi yang salah

satunya adalah diare (Hariyani, 2011)

Hasil penelitian (Sasongko and Huriah, 2012) menunjukkan ada

hubungan pemberian MP-ASI dengan kejadian diare dengan nilai p=

0,001. Hal ini juga sama seperti penelitian yang dilakukan (Nutrisiani,

2010) menunjukkan bahwa ada hubungan pemberian MP-ASI dengan

nilai p= 0,000 dan OR= 14,043.

Page 48: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

33

2.5. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi

derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat

menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap

penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang

memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh

lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga kesehatan

pemberi pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi

fasilitas dalam memperoleh pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu

sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan

(Anggraini and Lisyaningsih, 2013).

2.6. Keturunan (Genetik)

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia

yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti

diabetes melitus dan asma bronehial. Selain itu, faktor keturunan juga dapat

dikaji dari kondisi balita dan ibu hamil. Masa kehamilan dan balita sangat

menentukan perkembangan otak anak. Dalam hal ini perilaku ibu memegang

peranan karena kesehatan balita sangat tergantung oleh ibunya (Anggraini and

Lisyaningsih, 2013).

Page 49: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

34

2.7. Diare

2.7.1 Pengertian Diare

Menurut (WHO, 2009) diare adalah buang air besar encer atau cair

lebih dari tiga kali sehari. Diare adalah buang air besar dengan frekuensi

yang lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari)

dengan konsistensi tinja lembek/cair bahkan dapat berupa air saja (Depkes,

2011a).

2.7.2 Jenis-Jenis Diare

Penyakit diare dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu berdasarkan

lamanya diare, berdasarkan sudut pandang klinis praktis dan berdasarkan

tingkat dehidrasi.

a. Berdasarkan lamanya diare, diare dibagi menjadi :

1) Diare Akut

Diare akut adalah buang air besar yang lembek/cair bahkan dapat

berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya

(biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari) dan berlangsung kurang

dari 14 hari (Depkes, 2011a). Menurut WHO (2009) diare akut

(termasuk kolera), adalah berlangsung beberapa jam atau beberapa

hari dengan bahaya utamanya adalah dehidrasi.

2) Diare Kronik

Diare kronik adalah buang air besar yang cair/lembek dengan jumlah

lebih banyak dari normal dan berlangsung lebih dari 15 hari. Batasan

kronik di Indonesia, dipilih waktu lebih dari 15 hari agar dokter lebih

Page 50: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

35

waspada, serta dapat lebih cepat menginvestigasi penyebab diare

dengan tepat.

3) Diare Persisten

Diare persisten adalah diare yang merupakan kelanjutan dari diare

akut biasanya berlangsung 15-30 hari, dan menurut WHO bahaya

utama dari diare persisten adalah malnutrisi, infeksi usus dan

dehidrasi.

b. Berdasarkan sudut pandang klinis praktis

Menurut (WHO, 2009) hal ini praktis untuk pengobatan dasar

diare, dengan mudah dan dapat ditentukan ketika seorang anak pertama

kali diperiksa serta tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Ada

empat jenis klinis penyakit diare berdasarkan patologi dan perubahan

fisiologinya :

1) Diare akut (termasuk kolera), diare dapat berlangsung beberaoa jam

atau beberapa hari, bahaya utamanya adalah terjadinya dehidrasi dan

akan terjadi penurunan berat badan jika anak tidak mau makan

2) Diare berdarah akut, disebut juga disentri, bahayanya adalah

terjadinya kerusakan mukosa usus, sepsis dan gizi buruk serta

dehidrasi.

3) Diare persisten, diare dapat berlangsung selama 14 hari atau lebih,

bahaya utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non usus serius serta

dehidrasi.

Page 51: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

36

4) Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor), bahaya

utamanya adalah infeksi sistemik yang parah, dehidrasi, gagal

jantung dan kekurangan vitamin dan mineral.

c. Berdasarkan dehidrasi

Berdasarkan tingkat dehidrasinya, diare dapat dibedakan menjadi

tiga, yaitu (Depkes, 2011c) :

1) Diare tanpa dehidrasi

Diare tanpa dehidrasi adalah buang air besar dengan konsistensi tinja

cair/lembek serta frekuensi lebih sering dari biasanya, dimana tidak

cukup tanda-tanda untuk diklasifikasi sebagai dehidrasi berat atau

ringan/sedang.

2) Diare dengan dehidrasi ringan/sedang

Diare dengan dehidrasi ringan/sedang adalah diare yang disertai dua

atau lebih tanda-tanda: gelisah, rewel/mudah marah, mata cekung,

haus, serta sangat lahap apabila diberikan minum, cubitan kulit perut

kembali lambat.

3) Diare dengan dehidrasi berat

Diare dengan dehidrasi berat adalah diare yang disertai dua atau

lebih tanda-tanda: letargis atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa

minum atau malas minum, cubitan kulit perut kembali sangat lambat.

2.7.3 Penyebab Diare

Penyebab diare secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi enam

golongan yaitu (Depkes, 2007a) :

Page 52: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

37

a. Infeksi

Diare yang disebabkan karena infeksi paling sering ditemui di

lapangan. Proses ini dapat diawali dengan adanya mikroorganisme yang

masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam

usus dan mengakibatkan kemampuan fungsi usus. Agen penyebab

penyakit diare karena infeksi, dapat di golongkan menjadi tiga yaitu:

1) Bakteri

Bakteri penyebab penyakit diare, diantaranya: Shigella, Salmonella,

Eshericia coli (E.coli), Golongan vibrio, Bacilus cereus, Clostridium

perfringrns, Staphylococcus aureus, Camphylo bacter, serta

Aeromonas.

2) Virus

Selain bakteri, virus juga dapat menyebabkan penyakit diare seperti;

Rotavirus, Norwalk dan Norwalk Like, serta Adenovirus. Penyebab

utama diare pada balita adalah Rotavirus. Rotavirus diperkirakan

menyebabkan diare balita sebesar 20%-80% di dunia, serta

merupakan penyebab utama kematian balita diare (Depkes, 2007b).

Penularan rotavirus terjadi melalui faecal-oral, virus ini

menyebabkan diare cair akut dengan masa inkubasi 24-72 jam, dapat

menyebabkan dehidrasi berat yang berujung pada kematian.

Tingginya angka kematian akibat rotavirus ini tidak dapat diatasi

dengan hanya higiene dan sanitasi saja.

Page 53: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

38

3) Parasit

Parasit yang dapat menyebabkan diare diantaranya :

a) Protozoa seperti : Entamoeba histolytica, Giardia lambia,

Balantidium coli, Cryptosporidium.

b) Cacing perut, seperti : Ascaris, Trichuris, Stongloides, dan

Blastissistis huminis.

b. Malabsorpsi

Merupakan kegagalan usus dalam melakukan absorpsi yang

mengakibatkan tekanan osmotik meningkat kemudian akan terjadi

pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan

isi rongga usus, atau dapat diartikan dengan ketidak mampuan usus

menyerap zat-zat makanan tertentu sehingga menyebabkan diare.

c. Alergi

Yaitu tubuh tidak tahan terhadap makanan tertentu, seperti alergi

terhadap laktosa yang terkandung dalam susu sapi.

d. Keracunan

Keracunan yang dapat menyebabkan diare dapat dibedakan menjadi dua

yaitu keracunan dari bahan-bahan kimia, serta keracuanan oleh bahan

yang dikandung dan diproduksi oleh mahluk hidup tertentu (seperti

racun yang dihasilkan oleh jasad renik, algae, ikan, buah-buahan, sayur-

sayuran).

Page 54: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

39

e. Immunodefisiensi

Immunodefisiensi dapat bersifat sementara (misalnya sesudah infeksi

virus), atau bahkan berlangsung lama seperti pada penderita HIV/AIDS.

Penurunan daya tahan tubuh ini menyebabkan seseorang lebih mudah

terserang penyakit termasuk penyakit diare.

f. Sebab-sebab lain

Berasal dari faktor perilaku, yaitu tidak memberikan ASI,

menggunakan botol susu, tidak menerapkan kebiasaan mencuci tangan,

penyimpanan makanan yang tidak higienis dan faktor lingkungan, yaitu

ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan

jamban, kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk.

2.7.4 Cara Penularan Diare

Berbagai agen penyakit umumnya menumpang pada media udara,

air, pangan, serangga ataupun manusia melalui kontak langsung. Berbagai

agen penyakit beserta medianya disebut sebagai komponen lingkungan

yang memiliki potensi bahaya penyakit (Achmadi, 2011). Komponen

lingkungan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan berbagai macam

penyakit diantaranya adalah air, pangan, serangga, udara dan manusia.

Diare merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, dengan rantai

penularannya melalui media air, makanan, serangga dan manusia.

Page 55: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

40

1) Udara Sakit 2) Air 3) Pangan 4) Vektor Sehat 5) Manusia

Bagan 2.1 Perjalanan Penyakit (Achmadi, 2011)

Sumber penyakit penyebab diare biasanya masuk ke dalam tubuh

manusia melalui:

a. Makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja penderita diare.

b. Tangan yang terkontaminasi agen penyebab diare.

c. Air yang terkontaminasi agen penyebab diare.

Penyakit diare terutama ditransmisikan melalui kotoran manusia yang

terinfeksi melalui rute transmisi faecal-oral.

Tinja yang dibuang sembarangan akan mencemari lingkungan

(tanah,air), jika dibuang ke tempat terbuka tinja akan dihinggapi lalat,

kemudian lalat hinggap pada makanan/minuman dengan membawa

penyakit yang melekat pada anggota tubuhnya, makanan/minuman yang

telah dicemari lalat dikonsumsi oleh manusia, sehingga penyakitnya

masuk melalui mulut manusia. Tangan/kuku yang tidak bersih setelah

Manajemen Penyakit

Sumber Agen Penyakit

Komunitas (perilaku, umur, gender, ras)

Agen Penyakit

Lingkungan strategis/politik, iklim, topografi, suhu, dll

Page 56: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

41

berhubungan dengan tinja merupakan sumber penyakit masuk melalui

mulut manusia melalui makanan/minuman (Soemirat, 2011).

Bagan 2.2 Skema Penularan Penyakit dari Tinja (Suyono, 2010)

Beberapa faktor risiko lain yang berhubungan dengan cara penularan

penyakit diare antara lain (WHO, 2009) :

a. Tidak tersedianya air bersih yang memenuhi standar kesehatan.

b. Air yang tercemar oleh agen penyebab diare.

c. Pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

d. Perilaku yang tidak sehat dan lingkungan yang kurang bersih.

e. Pengolahan, penyediaan, dan penyajian makanan yang tidak

memenuhi standar kesehatan. Pencemaran pada makanan dapat

terjadi karena:

1) Kontaminasi oleh mikroorganisme, pada saat penggunaan

peralatan makan yang terkontaminasi oleh orang yang

terinfeksi, penggunaan bahan pangan mentah yang

terkontaminasi, kontaminasi silang, dan akibat penambahan zat

Tinja

Tangan

Tanah

Lalat Sayuran

Makanan Minuman

Mati

Host

Sakit

Air

Page 57: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

42

kimia toksik atau penggunaan bahan pangan yang mengandung

toksik dari alam.

2) Bertahan hidupnya mikroorganisme, akibat pemanasan atau

proses pengolahan makanan yang tidak memadai.

3) Pertumbuhan mikroorganisme akibat refrigerasi yang tidak

memadai, misalnya pendinginan yang tidak memadai atau

penyimpanan masakan yang panasnya tidak memadai.

2.7.5 Prinsip Tatalaksana Diare

Kebijakan pengendalian penyakit diare di Indonesia bertujuan untuk

menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare bersama lintas

program dan lintas sektor terkait (Depkes, 2011b). Kebijakan tersebut

diantaranya adalah melaksanakan tatalaksana diare yang sesuai standar,

baik di sarana kesehatan maupun di tingkat rumah tangga. Tujuan

penatalaksanaan diare adalah mencegah terjadinya dehidrasi, mencegah

adanya gangguan gizi dan memperpendek lamanya sakit dan mencegah

diare menjadi lebih berat.

Prinsip tatalaksana diare pada balita adalah Lintas Diare (Lima Langkah

Tuntaskan Diare), hal ini telah ditetapkan sebagai prinsip dasar

penatalaksanaan diare atas rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-

satunya cara untuk mengatasi diare, tetapi memperbaiki usus dan

mempercepat penyembuhan diare dan mencegah anak kekurangan gizi

akibat diare menjadi cara untuk mengobati diare (Depkes, 2011a). Lima

Page 58: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

43

Langkah Tuntaskan Diare (Lintas Diare) yang telah ditetapkan oleh

Kementrian Kesehatan antara lain adalah :

1. Rehidrasi menggunakan Oralit Osmolaritas rendah

Cara mencegah dehidasi yaitu dengan mengembalikan cairan tubuh

yang hilang akibat diare, dan bisa dilakukan sejak awal balita

menderita diare di rumah. Oralit adalah campuran garam elektrolit

yang terdiri dari Natrium Clorida (NaCl), Kalium Clorida (KCl),

citrat dan glucose. Oralit osmolaritas rendah telah direkomendasikan

oleh WHO dan UNICEF. Manfaat oralit adalah untuk mencegah dan

mengobati dehidrasi sebagai pengganti cairan yang terbuang saat

diare.

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

Tablet zinc diberikan berturut-turut selama 10 hari walaupun diare

sudah berhenti, untuk efektifitas zinc dalam mempercepat

penyembuhan, mengurangi parahnya diare dan mencegah terjadinya

diare 2-3 bulan kedepan. Berdasarkan hasil penelitian WHO zinc

terbukti sebagai obat diare, dapat mengurangi pemakaian antibiotik

yang tidak rasional, dapat mengurangi biaya pengobatan dan aman

diberikan kepada anak.

3. Teruskan pemberian ASI dan makanan

Meberikan makanan pada balita selama diare akan membantu anak

tetap kuat dan tumbuh seta mencegah berkurangnya berat badan. Jika

balita selama mengalami kurang gizi dan mudah terkena diare

Page 59: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

44

kembali. Selama diare dan selama masa penyembuhan berikan ASI

lebih sering dan lebih lama dari biasanya dan berikan makanan lebih

sering sesuai dengan umur balita.

4. Antibiotik selektif

Antibiotik tidak boleh diberikan kecuali atas indikasi, misalnya pada

diare berdarah dan kolera. Pemberian antibiotik yang tidak tepat akan

memperpanjang lamanya diare dan akan mengganggu flora usus.

Selain itu dengan memberikan antibiotik yang tidak akan

mengakibatkan resistensi kuman penyebab penyakit.

5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh

Nasihat diberikan kepada orang tua/pengasuh tentang bagaimana

melakukan pengobatan dirumah, menganjurkan pemberian makanan

dan segera kembali ke petugas kesehatan jika terdapat tanda-tanda

bahaya, berupa demam, diare berdarah, muntah berulang, makan atau

minum sedikit, anak terlihat sangat haus dan diare makin sering.

2.8. Balita

2.8.1 Definisi Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun

atau lebih populer dengan pengertian usia anak dibawah lima tahun

(Muaris, 2006).

Menurut (Sutomo and Anggraini, 2010), Balita adalah istilah umum

bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat

usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk

Page 60: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

45

melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.

Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun

kemampuan lain masih terbatas.

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang

manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu

keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.

Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung

cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age

atau masa keemasan.

2.8.2 Karakteristik Balita

(Septiari, 2012) menyatakan karakteristik balita dibagi menjadi dua

yaitu :

1. Anak usia 1-3 tahun

Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak menerima

makanan yang disediakan orang tuanya. Laju pertumbuhan usia balita

lebih besar dari usia prasekolah, sehingga diperlukan jumlah makanan

yang relatif besar. Perut yang lebih kecil menyebabkan jumlah

makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil

bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih besar oleh sebab

itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi

sering.

Page 61: HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

46

2. Anak usia prasekolah (3-5 tahun)

Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah mulai

memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan anak

cenderung mengalami penurunan, disebabkan karena anak beraktivitas

lebih banyak dan mulai memilih maupun menolak makanan yang

disediakan orang tuanya.