hubungan personal hygiene dan sanitasi lingkungandengan keja

10

Click here to load reader

Upload: fakhrur-rozi

Post on 15-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

628

HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE DAN SANITASI LINGKUNGANDENGAN KEJADIAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN

AL-KAUTSAR PEKANBARU

Desmawati1, Ari Pristiana Dewi2, Oswati Hasanah3

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau1

Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau2,3

Email: [email protected]

Abstract

The aim of this research is to know the relationship between personal hygiene and environmentalsanitation with incident of scabies of Al-Kautsar boarding school in Pekanbaru. The methodology onthis research was a descriptive correlation with cross sectional approach. There are 100 participantscollected by using proportionate stratified random sampling. Measuring instrument used was aquestionnaire sheet consisting of personal hygiene and environmental sanitation also an observationsheet consisting of signs of scabies. In this research, we use bivariat analysis with chi square test.Basic on statistical result, p value= 0.781 (p value > 0.05) it’s did not show relationship betweenpersonal hygiene with incident of scabies, and also statistical result p value=0.306 (p value > 0.05) it’sdid not show relationship between environmental sanitation with incident of scabies. This researchsuggest to Al-Kautsar boarding school to maintain good personal hygiene and environmentalsanitation so that students avoid scabies.

Keyword: personal hygiene, environmental sanitation, scabies.

PENDAHULUANSkabies adalah penyakit infeksi kulit

menular yang disebabkan tungau betinaSarcoptes scabiei varieta hominis yangtermasuk dalam kelas Arachnida. Penyakit inipaling tinggi terjadi di negara-negara tropisyang merupakan negara endemik penyakitskabies. Prevalensi skabies di seluruh duniadilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun(Chosidow, 2006 dalam Setyaningrum, 2013).di Negara Asia seperti India, prevalensi skabiessebesar 20,4% (Baur, 2013). Zayyid (2010)melaporkan sebesar 31% prevalensi skabiespada anak berusia 10-12 tahun di Penang,Malaysia. Prevalensi skabies di IndonesiaIndonesia sebesar 4,60% - 12,95% dan penyakitskabies ini menduduki urutan ketiga dari 12penyakit kulit tersering (Notobroto, 2009).

Berdasarkan data dari Dinas KesehatanProvinsi Lampung tahun 2011, jumlah kasusbaru penyakit skabies berjumlah 1135 orang,

tahun 2012 mengalami peningkatan lebih dari2x lipat dari tahun 2011 yaitu dari 1135 orangmenjadi 2941 orang (Dinkes ProvinsiLampung, 2013). Kejadian skabies juga terjadidi Palembang dengan laporan kejadian tahun2012 sebesar 61,2% (Amanata, 2012).Kabupaten Pesawaran yang merupakan salahsatu kabupaten yang terdapat di ProvinsiPalembang dengan prevalensi skabies adalah4% (Dinkes Pesawaran, 2013). Data yangdiperoleh dari Poliklinik Pesantren DarelHikmah tiap tahunnya angka kejadian penyakitskabies pada santri tetap terjadi dari tahun ketahun. Terdapat kejadian penyakit skabies 86kasus pada tahun 2008, dan 98 kasus padatahun 2009, serta 115 kasus pada tahun 2010dari 474 santri (Frenki, 2011).

Faktor yang berperan dalam tingginyaprevalensi skabies terkait dengan personalhygiene yang kurang. Masih banyak orang yang

Page 2: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

629

tidak memperhatikan personal hygiene karenahal-hal seperti ini dianggap tergantungkebiasaan seseorang. Personal hygiene yangburuk dapat menyebabkan tubuh terserangberbagai penyakit seperti penyakit kulit,penyakit infeksi. (Perry & Potter, 2010).

Personal hygiene ini ternyatamerupakan faktor yang berperan dalampenularan skabies. Berdasarkan penelitian yangdilakukan oleh Ma’rufi (2005) dalamRohmawati (2010) didapatkan data bahwa padaPondok Pesantren Lamongan terdapat 63%santri mempunyai personal hygiene yang burukdengan prevalensi skabies 73,70%. Personalhygiene meliputi kebiasaan mencuci tangan,pemakaian handuk yang bersamaan, frekuensimandi, frekuensi mengganti pakaian, frekuensimengganti sprei tempat tidur, dan kebiasaankontak langsung dengan penderita skabies,kebiasaan yang lain juga seperti menggunakansabun batangan secara bersama-sama.Kebiasaan seperti di atas ini banyak terjadipada pondok pesantren. Hal lain yang menjadifaktor-faktor terjadinya penyakit skabies yaitusanitasi lingkungan.

Sanitasi lingkungan merupakan usahakesehatan masyarakat untuk menjaga danmengawasi faktor lingkungan yang dapatmempengaruhi derajat kesehatan. Sanitasilingkungan adalah kebersihan tempat tinggalatau asrama dapat dilakukan dengan caramembersihkan jendela atau perabotan miliksantri, menyapu dan mengepel lantai, mencuciperalatan makan, membersihkan kamar, sertamembuang sampah. Sanitasi lingkungan perludijaga kebersihannya dimulai dari halaman,saluran pembuangan air dan jalan di depanasrama. Sumber air bersih yang di gunakanharusnya memenuhi standar, tidak berwarna,tidak berbau dan tidak berasa. Wijaya (2011)menyatakan bahwa 34% santri di PondokPesantren Al-Makmur Tungkar Kabupaten 50Kota memiliki sanitasi lingkungan burukdengan prevalensi 49% santri menderitaskabies. Sanitasi lingkungan yang buruk sangat

erat keterkaitannya dengan angka kejadianskabies, dan kejadian skabies akan lebihmeningkat lagi apabila didukung oleh hunianyang padat. Hal ini dipertimbangkan sebagaiancaman kesehatan dikarenakan ruang yangpadat dapat menyebabkan sirkulasi udara yangkurang baik, dan pencahayaan kamar terhadapmatahari berkurang. Kelembapan kamar yangtinggi akan mempercepat perbiakan tungau(Monsel & Chosidow, 2012).

Hasil penelitian Ratnasari tahun 2014prevalensi skabies dan faktor-faktor yangberhubungan di Pesantren X, Jakarta Timurdidapatkan 51,6% dengan kepadatan hunianyang tinggi. Pada umumnya, kepadatan yangdialami oleh santri di asrama dikarenakan satukamar di isi oleh 30 santri yang melebihikapasitas. Berdasarkan data hasil observasiyang dilakukan oleh peneliti secara langsung dipondok pesantren Al - Kautsar, kamar denganluas 8 x 8 m2 diisi dengan jumlah 25 santri danjuga terdapat dua belas lemari dua pintu dengansusunan yang tidak teratur. Kondisi iniberdampak pada tertutup nya penyinaranmatahari di dalam ruangan, sehingga ruanganmenjadi lembab. Hal ini masih kurangmendapatkan penanganan, khususnya daripihak pondok pesantren untuk memperbaikisanitasi lingkungan pondok pesantren denganmenambah jumlah kamar dan ventilasisehingga berdampak pada kesehatan santri dankenyamanan santri berada di pondok pesantren.

Berdasarkan hasil observasi yangdilakukan, peneliti melihat adanya kebiasaanyang dilakukan oleh para santri di pondokpesantren,dari 25 santri didapatkan 10 santrimenggunakan handuk yang bersamaan,sebanyak 6 santri tidak mengganti pakaiansetelah mandi, terdapat 5 orang santrimenggunakan peralatan mandi seperti sabunbatangan secara bersamaan. Berdasarkan hasilobservasi terlihat sanitasi lingkungan pondokpesantren yang kurang terjaga kebersihannya,seperti terdapat tumpukan sampah pada sudutkamar santri, serta kepadatan hunian yang

Page 3: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

630

dialami santri pada Pondok Pesantren Al-Kautsar Pekanbaru. Hasil survey dari penelitisecara wawancara terdapat 42% dari totalkeseluruhan santri yang pernah mengalamiskabies kurang dari enam bulan belakangan ini.Rata-rata santri mengalami skabies pada tahunpertama pendidikan.

Melihat fenomena dan latar belakangdiatas maka peneliti ingin mengetahuibagaimana hubungan antara personal hygienedan sanitasi lingkungan dengan kejadianskabies di Pondok Pesantren Al-KautsarPekanbaru.

TUJUAN PENELITIANMengidentifikasi hubungan personal

hygiene dan sanitasi lingkungan dengankejadian Skabies pada Santri di PondokPesantren Al-Kautsar Pekanbaru

MANFAAT PENELITIANHasil penelitian ini diharapkan akan

memperluas wawasan ilmu keperawatantentang penyakit skabies serta dapat digunakansebagai masukan dalam mencegah penularanpenyakit skabies di Pondok Pesantren. Manfaatbagi santri agar mampu mencegah penularanyang dapat mengakibatkan peningkatan jumlahpenderita skabies di lingkungan PondokPesantren.

METODEDesain Penelitian: Jenis penelitian ini

adalah deskriptif korelasi yaitu penelitian yangdiarahkan untuk mendeskripsikan ataumenguraikan suatu keadaan di dalam suatukomunitas atau masyarakat. Penelitian inidilakukan dengan pendekatan Cross Sectional(potong silang) yang merupakan suatupenelitian yang mempelajari hubungan antaravariabel bebas atau risiko dengan variabelterikat dan akan dikumpulkan dalam waktuyang bersamaan atau sekaligus (Notoatmodjo,2010).

Sampel: sampel yang digunakansebanyak 100 responden yang diambil dari 8kelas yang ada di Pondok Pesantren AL-Kautsar Pekanbaru. Pada penelitian ini 100santri yang akan diteliti memiliki kriteria, yaitusiswa yang telah menempuh pendidikanakademik minimal satu semester dan siswayang bersedia menjadi responden.

Instrument: instrumen yang digunakanberupa lembar kuesioner dan lembar observasiyang disusun sendiri oleh peneliti.

Prosedur: tahapan awal penelitimengajukan surat permohonan izin penelitianke PSIK UR yang selanjutnya Penelitimenyeleksi responden sesuai dengan kriteriainklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti.Sebelum kuesioner disebarkan, peneliti terlebihdahulu melakukan uji validitas dan reabilitas.Peneliti mendatangi responden penelitian untukmengisi kuesioner, dimana sebelumnya penelitimenjelaskan tujuan dan prosedur penelitianserta menjamin hak-hak responden. Penelitimeminta responden untuk menandatanganilembar persetujuan. Peneliti membagikanlembar kuesioner kepada responden danmenjelaskan cara pengisian. Setelah kuesionerdiisi, peneliti langsung melakukanpengumpulan data untuk diperiksakelengkapannya.

HASIL PENELITIANAnalisa UnivariatTabel 1.Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur

No. Kelompokremaja

Jumlah Persentase(%)

1. Remaja awal 65 652. Remaja

pertengahan31 31

3. Remaja akhir 4 4Total 100 100

Tabel 1 menunjukkan mayoritasresponden berada pada rentang usia remajaawal dengan jumlah 65 orang responden(65%).

Page 4: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

631

Tabel 2Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanLama Tinggal

No. Lama tinggal(bulan)

Jumlah Persentase(%)

1. 6 bulan 50 502. 18 bulan 29 293. 30 bulan 21 21

Total 100 100

Tabel 2 menunjukkan sebagian besarresponden telah tinggal selama 6 bulan denganjumlah 50 orang responden (50%).

Tabel 3Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanTingkat Pendidikan

No. Tingkatpendidikan

Jumlah Persentase(%)

1. SMP 81 812. SMA 19 19

Total 100 100

Tabel 3 menunjukkan mayoritasresponden dengan tingkat pendidikan SMPdengan jumlah 81 orang responden (81%).

Tabel 4Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanPersonal Hygiene

No. Personal hygiene Jumlah Persentase (%)1. Baik 61 612. Kurang baik 39 39

Total 100 100

Tabel 4 menunjukkan sebagian besarresponden memiliki personal hygiene yangbaik dengan jumlah 61 orang responden (61%).

Tabel 5Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanKeadaan Sanitasi Lingkungan

No. Sanitasilingkungan

Jumlah Persentase(%)

1. Baik 58 582. Kurang baik 42 42

Total 100 100

Tabel 5 menunjukkan mayoritasresponden dengan sanitasi lingkungan yangbaik dengan jumlah 58 orang responden (58%).

Tabel 6Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanKejadian Skabies

No. skabies Jumlah Persentase (%)1. Terjadi 18 182. Tidak

terjadi82 82

Total 100 100

Tabel 6 menunjukkan mayoritasresponden tidak memiliki 3 dari 4 tandakejadian skabies dengan jumlah 82 orangresponden (82%).

Analisa BivariatTabel 7Hubungan Personal Hygiene dengan KejadianSkabies

Variabel Kejadianskabies

Total OR(95%CI)

Pvalu

ePersonalhygiene

Ya Tidak

Baik 12(19.7%)

49(80.3%)

61(100%) 0.742

(0.253-2.175)

0.781Kurang

baik6

(15.4%)

33(84.6%)

39(100%)

Total 18(18%)

82(82%)

88(100%)

Page 5: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

632

Tabel 7 menunjukkan responden yangmemiliki personal hygiene yang baik berjumlah61 responden (61%) dengan 12 responden(19.7%) mengalami skabies dan 49 responden(80.3%) tidak mengalami skabies. Berdasarkanhasil uji statistik Chi-square didapatkan p value= 0.781 > (0.05), berarti Ho gagal ditolaksehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adahubungan antara personal hygiene dengankejadian skabies.

Tabel 8Hubungan Sanitasi Lingkungan denganKejadian Skabies

Variabel Kejadianskabies

Total OR(95%CI)

Pvalue

Sanitasilingkungan

Ya Tidak

Baik 8(13.8%)

50(86.2%)

58(100%)

1.953(0.697-5.472)

0.306Kurang

baik10

(23.8%)

32(76.2%)

42(100%)

Total 18(18%)

82(82%)

88(100%)

Tabel 8 menunjukkan respondenmempunyai sanitasi lingkungan yang baiksebanyak 58 responden (58%) dengan 8responden (13.8%) mengalami skabies dan 50responden (86.2%) tidak mengalami skabies.Berdasarkan hasil uji statistik Chi-squaredidapatkan p value = 0.306 > (0,05), berartiHo gagal ditolak sehingga dapat disimpulkanbahwa tidak ada hubungan antara sanitasilingkungan dengan kejadian skabies.

PEMBAHASAN1. Karakteristik responden

a. UmurMenurut Notoadmodjo (2003) usia

mempengaruhi terhadap daya tangkap dan polapikir seseorang, semakin bertambah usia akansemakin berkembang pula daya tangkap dan

pola pikirnya sehingga pengetahuan yangdiperolehnya semakin membaik.

Dalam kaitannya dengan kejadianskabies pada seseorang, pengalamanketerpaparan sangat berperan karena merekayang berumur lebih tinggi dan mempunyaipengalaman terhadap skabies tentu merekaakan lebih tahu cara pencegahan sertapenularannya (Muin, 2009). Di beberapa negarayang sedang berkembang prevalensi skabiespada populasi umum dan cenderung tinggi padaanak-anak serta remaja (Djuanda, 2007).

b. Lama tinggalSkabies sering dinyatakan sebagai

penyakit anak pesantren sebab tinggal bersamadengan sekelompok orang di pondok pesantrenmemang beresiko mudah tertular berbagaipenyakit terutama penyakit kulit (Sudirman,2006).

Menurut Iskandar (2000) skabiesmerupakan penyakit yang sulit diberantas, padamanusia terutama dalam lingkunganmasyarakat pada hunian padat tertutup, karenakutu Sarcoptes scabiei penyebab skabiesmudah menular di lingkungan yang padat dantertutup, sehingga semakin lama individutinggal di lingkungan yang padat dan tertutupmaka semakin mudah ia tertular skabies.Namun menurut hasil penelitian yang dilakukanoleh Pawening (2004) terhadap 30 santri padapenelitian I dan 36 santri pada penelitian IIdidapatkan hasil bahwa tidak terdapatperbedaan angka kejadian skabies yangbermakna antar kelompok santri berdasar lamabelajar di pesantren.

c. Tingkat pendidikanPada komunitas dengan tingkat

pendidikan yang tinggi, prevalensi penyakitmenular umumnya lebih rendah dibandingkandengan komunitas yang mempunyai tingkatpendidikan rendah. Orang berpendidikanrendah memiliki kesadaran rendah mengenaipentingnya higiene pribadi dan tidak

Page 6: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

633

mengetahui bahwa higiene pribadi yang burukberperan penting dalam penularan penyakit.Hasil penelitian Ratnasari (2014) didapatkanbahwa prevalensi skabies lebih rendah padasantri yang memiliki tingkat pendidikan aliyahdibandingkan tsanawiyah.

2. Gambaran tingkat personal hygieneHigiene atau kebersihan adalah upaya

untuk memelihara hidup sehat yang meliputikebersihan pribadi, kehidupan bermasyarakat,dan kebersihan kerja. Pada higieneperseorangan yang cukup penularan skabieslebih mudah terjadi. Melakukan kebiasaanseperti kebiasaan mencuci tangan, mandimenggunakan sabun, menganti pakaian danpakaian dalam, tidak saling bertukar pakaian,kebiasaan keramas menggunakan shampo, tidaksaling bertukar handuk dan kebiasaanmemotong kuku, dapat mengurangi resikoterkena skabies (Manjoer, 2000).

Banyak faktor yang dapatmempengaruhi timbulnya skabies selainpersonal hygiene. Fatmasari (2013)menyatakan bahwa tidak ada hubungannyakebersihan pakaian, kebersihan kulit,kebersihan tangan dan kuku, kebersihanhanduk, kebersihan tempat dengan kejadianskabies.

3. Gambaran kondisi sanitasi lingkunganPenyakit skabies adalah penyakit kulit

yang berhubungan dengan sanitasi yang buruk(Ratnasari, 2014). Faktor yang berperan padatingginya prevalensi skabies di negaraberkembang terkait dengan kemiskinan yangdiasosiasikan dengan rendahnya tingkatkebersihan, akses air yang sulit, dan kepadatanhunian. Tingginya kepadatan hunian daninteraksi atau kontak fisik antar individumemudahkan perpindahan tungau skabies. Olehkarena itu, prevalensi skabies yang tinggiumumnya ditemukan di lingkungan dengankepadatan penghuni dan kontak interpersonal

tinggi seperti penjara, panti asuhan, dan pondokpesantren (Ratnasari, 2014).

4. Gambaran kejadian skabiesPenyebaran tungau skabies adalah

dengan kontak langsung oleh penderita skabiesatau dengan kontak tak langsung seperti melaluipenggunaan handuk bersama, alas tempat tidur,dan segala hal yang dimiliki pasien skabies.

Penularan penyakit ini erat kaitannyadengan kebersihan perseorangan dan kepadatanpenduduk, oleh karena itu skabies seringmenyebar dalam anggota keluarga, satu asrama,kelompok anak sekolah, pasangan seksualbahkan satu kampung atau desa. Keadaan inijuga dapat ditemukan di pesantren sehinggainsiden skabies di pesantren cukup tinggi.Meskipun skabies tidak berdampak pada angkakematian akan tetapi penyakit ini dapatmengganggu kenyaman dan konsentrasi belajarpara santri. Kebiasaan seperti pemakaianhanduk yang bersamaan, kebiasaan kontaklangsung dengan penderita skabies danmenggunakan sabun batangan secara bersama-sama banyak terjadi pada pondok pesantrensehingga skabies sering terjadi pada santri dipondok pesantren (Ratnasari, 2014).

Pada penelitian ini banyak santri yangtidak mengalami skabies karena para santriyang tinggal di asrama pondok pesantren Al-Kautsar menjaga perilaku hidup bersih dansehat. Kebiasaan tersebut menyangkut tidakpinjam meminjam barang santri lain yang dapatmempengaruhi timbulnya penyakit menularseperti baju, sabun mandi dan handuk. Parasantri dapat menghindari penyakit skabiesdengan menjaga kebersihan pakaiannya denganrajin mencuci dan menjemur pakaian sampaikering dibawah terik matahari.

5. Hubungan personal hygiene dengankejadian skabies

Berdasarkan hasil uji statistik dapatdisimpulkan bahwa tidak ada hubungan antarapersonal hygiene dengan kejadian skabies. Hal

Page 7: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

634

ini karena tidak hanya personal hygiene yangdapat mempengaruhi timbulnya skabies.

Hasil penelitian ini sama dengan hasilpenelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2011)yang menyatakan bahwa tidak ada hubunganantara personal hygiene dengan kejadianskabies karena faktor sanitasi lingkungan yangdapat meningkatkan kejadian skabies di pondokpesantren. Fatmasari (2013) di dalam hasilpenelitiannya juga menyatakan bahwa tidak adahubungannya kebersihan pakaian, kebersihankulit, kebersihan tangan dan kuku, kebersihanhanduk, dan kebersihan tempat dengan kejadianskabies kaena ada faktor lain yangmempengaruhi timbulnya skabies yaitu sanitasilingkungan.

Banyak faktor yang dapatmempengaruhi timbulnya skabies, salahsatunya adalah padatnya hunian dalam kamartidur. Ratnasari (2014) menyatakan tingginyaprevalensi skabies di pesantren disebabkanpadatnya hunian kamar tidur. Dengankepadatan hunian yang tinggi, kontak langsungantar santri menjadi tinggi sehinggamemudahkan penularan skabies. Kepadatanhunian di kamar tidur santri tergolong padatkarena kamar yang berukuran 8x8 meter harusdihuni oleh 25 orang santri.

Faktor lain adalah tingkat pendidikan.Pada komunitas dengan tingkat pendidikanyang tinggi, prevalensi penyakit menularumumnya lebih rendah dibandingkan dengankomunitas yang mempunyai tingkat pendidikanrendah. Raza (2009) melaporkan tingkatpendidikan rendah (< 10 tahun) merupakanfaktor yang berpengaruh signifikan terhadapkejadian skabies. Dalam penelitian tersebutdinyatakan orang berpendidikan rendahmemiliki kesadaran rendah mengenaipentingnya hygiene pribadi dan tidakmengetahui bahwa hygiene pribadi yang burukberperan penting dalam penularan penyakit.

6. Hubungan sanitasi lingkungan dengankejadian skabies

Berdasarkan hasil uji statistik tidak adahubungan antara sanitasi lingkungan dengankejadian skabies karena tidak hanya sanitasilingkungan yang dapat mempengaruhitimbulnya skabies. Hasil penelitian ini samadengan hasil penelitian yang dilakukan olehPutri (2011) dimana kejadian skabies justrudipengaruhi oleh hygiene perseorangan danstatus gizi. Kejadian skabies tidak hanyadipengaruhi oleh kondisi sanitasi lingkungan,dimana kejadian skabies dan responden yangmemiliki sanitasi lingkungan rumah yang tidakmemenuhi syarat belum tentu merupakan faktorrisiko untuk terkena penyakit skabies (Yuni,2006).

Azizah (2012) menyatakan adahubungan antara peran ustadz dengan perilakupencegahan penyakit skabies pada santri.Ustadz memberi contoh perilaku hidup bersihdan sehat. Dukungan dan bimbingan dari ustadzjuga berpengaruh terhadap perilaku pencegahanpenyakit skabies dengan cara ustadzmemberikan contoh tentang cara menjagakebersihan diri dan lingkungan, serta tentangdampak apabila tidak mandi dengan air bersih.Audhah (2012) menyatakan salah satu factorresiko utama adalah ada kontak denganpenderita. Siswa saling berinteraksi antara yangsatu dengan yang lainnya sehingga interaksi inibisa menjadi media penularan skabies.

Haeri (2013) menyatakan bahwa skabiesdipengaruhi oleh sikap santri. Sikap baik yangdimiliki santri antara lain tidak salingmenukarkan pakaian dengan penderita skabiesdan sikap untuk menjaga jarak denganpenderita skabies. Kondisi ini dapat dipahamisebagai bentuk ketakutan mereka dapat ditularipenyakit tersebut. Perubahan sikap santri jugadapat didasari keinginan mereka untukmemperlihatkan identitas diri mereka. (Azwar,2007).

Haeri (2013) menyatakan bahwa adahubungan antara sikap dengan kejadian skabieskarena sikap seseorang dapat mempengaruhiorang tersebut dalam menghadapi masalah

Page 8: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

635

kesehatan yang dihadapinya. Haeri (2013)menyatakan bahwa tingkat pengetahuan jugamempengaruhi timbulnya skabies. Haeri (2013)membahas bahwa pengetahuan tentangkesehatan dapat membantu individu-individuuntuk beradaptasi dengan penyakitnya,mencegah komplikasi dan mematuhi programterapi dan belajar untuk memecahkan masalahketika menghadapi situasi baru. Peningkatanpengetahuan untuk santri dapat melibatkan UnitKesehatan Sekolah (UKS) yang ada dilingkungan pesantren. Peran UKS sangatpenting dalam meningkatkan kesehatan padasantri, karena mereka memiliki wewenangtentang kesehatan. Pengetahuan merupakan halyang sangat penting untuk terbentuknyatindakan seseorang. Perilaku yang didasari olehpengetahuan akan lebih baik dari pada perilakuyang tidak didasari oleh pengetahuan.

KESIMPULAN DAN SARANHasil penelitian didapatkan bahwa

sebagian besar responden memiliki personalhygiene yang baik dengan jumlah 61 orangresponden (61%) dan keadaan sanitasilingkungan yang baik yang berjumlah 58 orangresponden (58%). Dari 100 responden sebagianbesar tidak memiliki 3 dari 4 tanda kejadianskabies dengan jumlah 82 orang responden(82%). Hasil uji statistik adalah tidak adahubungan antara personal hygiene dan sanitasilingkungan terhadap kejadian skabies.

Hasil penelitian ini dapat berguna bagipeneliti lainnya sebagai pembanding untukmelakukan penelitian lebih lanjut dan perludikembangkan dengan metode yang berbedauntuk mengetahui faktor-faktor yangmempengaruhi timbulnya skabies di lingkunganpondok pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

Audhah, N.A., Umniyati, S.R., & Siswati, A.S.(2012). Faktor resiko skabies pada

siswa pondok pesantren. Diperolehtanggal 03 Februari 2015 darihttp://download.portalgaruda.org/article.php?article=80782&val=4903.

Azizah, U. (2012). Hubungan antarapengetahuan santri tentang PHBS danperan ustadz dalam mencegah penyakitskabies dengan perilaku pencegahanpenyakit scabies. Diperoleh tanggal 03Februari 2015 darihttp://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/5588/Skripsi.pdf?sequence=1.

Azwar, S. (2007). Sikap manusia teori danpengukurannya. Jakarta: PustakaPelajar.

Baur, B., Sarkar, J., Manna, N., &Bandyopadhyay, L. (2013). The patternof dermatological disorders amongpatients attending the skin O.P.D of atertiary care hospital in Kolkata, India.Journal of Dental and Medical Sciences3. Diperoleh tanggal 25 Agustus 2014dari http://iosrjournals.org/iosr-jdms/papers/Vol3-issue4/B0340409.pdf.

Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran. (2014).Diperoleh tanggal 01 Oktober 2014 daripesawarankab.go.id.

Djuanda, A. (2007). Ilmu penyakit kulit dankelamin fakultas kedokteran universitasindonesia. Jakarta: UniversitasIndonesia.

Fatmasari, A. (2013). Hubungan hygieneperorangan dan sanitasi lingkunganterhadap kejadian scabies pada santridi pondok pesantren rudhotul muttaqinmijen semarang. Diperoleh tanggal 27

Page 9: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

636

Januari 2015 darieprints.dinus.ac.id/6495.

Frenki. (2011). Hubungan personal hygienesantri dengan kejadian penyakit kulitinfeksi scabies dan tinjauan sanitasilingkungan pondok pesantren darelhikmah kota pekanbaru. Diperolehtanggal 21 januari 2015 darihttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30846/5/Chapter%20I.pdf.

Haeri, U., Kartini & Agustian. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengankejadian skabies di Pondok pesantrendarul huffadh di wilayah kerjapuskesmas Kajuara kab. Bone.Diperoleh tanggal 27 Januari 2015 darilibrary.stikesnh.ac.id.

Masjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran.Jakarta : Media Aesculapius.

Monsel, G. & Chosidow,O. (2012),Managemen of scabies. Diperolehtanggal 25 Agustus 2014http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22446818.

Muin. (2009). Hubungan umur, pendidikan,jenis kelamin dan kepadatan hunianruang tidur terhadap kejadian skabies.Diperoleh tanggal 27 Januari 2015 darirepository.usu.ac.id.

Noor, N. (2008). Epidemiologi penyakitmenular . Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan perilakukesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2010). Metodologi penelitiankesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notobroto. (2009). Faktor sanitasi lingkunganyang berperan terhadap prevalensipenyakit skabies. Surabaya: FKMUNAIR.

Pawening, N.A. (2004). Perbedaan angkakejadian skabies antar kelompok santriberdasarkan lama belajar di pesantren.Diperoleh tanggal 27 Januari 2015 darihttp://digilib.uns.ac.id/abstrak_1262_perbedaan-angka-kejadian-skabies-antar-kelompok-santri-berdasar-lama-belajar-di-pesantren.html.

Perry, A.G., & Potter,P. (2010). Fundamentalkeperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Ratnasari, A.F. & Sungkar, S. (2014).Prevalensi scabies dan faktor-faktoryang berhubungan di Pesantren X,Jakarta Timur. Diperoleh tanggal 03September 2014 darihttp://journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/article/viewFile/3177/2470.

Raza, N., Qadir, S.N.R., Agha, H. (2009) Riskfactors for scabies among male soldiersin Pakistan: case–control study.Diperoleh tanggal 27 Januari 2015 darihttp://www.emro.who.int/emhj-volume-15-2009/volume-15-issue-5/risk-factors-for-scabies-among-male-soldiers-in-pakistan-casecontrol-study.html.

Setyaningrum, Y.I. (2013). Skabies penyakitkulit yang terabaikan : Prevalensi,tantangan dan pendidikan sebagaisolusi pencegahan. Diperoleh tanggal25 Agustus 2014 darihttp://download.portalgaruda.org/article.php?article=139099&val=4058

Wijaya, Y. (2011). Faktor-faktor yangberhubungan dengan kejadian skabies

Page 10: Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungandengan Keja

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

637

pada santri di pondok pesantren al-makmur tungkar kabupaten 50 kota.Diperoleh tanggal 25 Agustus 2014 darihttp://repository.unand.ac.id/17642/

Yasin. (2009). Prevalensi skabies dan factor-faktor yang mempengaruhinya padasiswa siswi pondok pesantren darulmujahadah kabupaten tegal. Diperolehtanggal 27 Januari 2015 darihttp://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/909/1/YASIN-FKIK.pdf.

Yuni, W. (2006). Hubungan sanitasilingkungan dan higiene perorangandengan penyakit skabies di desa gentingkecamatan jambu, kabupaten semarang.Diperoleh tanggal 27 Januari 2015 dariotomasi.unnes.ac.id.

Zayyid, M., Saadah, M.S., Adil, R., Rohela,A.R., & Jamaiah, I. (2010). Prevalenceof skabies and head lice among childrenin a welfare home in Pulau Pinang,Malaysia. Diperoleh tanggal 25 Agustus2013 darihttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21399584.