hubungan antara regulasi emosi dengan resiliensi …psychologyforum.umm.ac.id/files/file/prosiding...
TRANSCRIPT
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8
47
HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DENGAN RESILIENSI
PADA REMAJA BINAAN LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK
KELAS 1A BLITAR
Ana Lailatul Magfiroh, Dwi Sarwindah Sukiatni, Rahma Kusumandari
[email protected], [email protected], [email protected]
Fakultas Psikologi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
A B S T R A K
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan
resiliensi pada remaja binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak di Blitar. Subyek dalam penelitian ini
sebanyak 78 remaja binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang diperoleh dengan menggunakan
teknik Random Sampling. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif.
Instrumen penilitian dalam penelitian ini menggunakan skala regulasi emosi dan skala resiliensi dengan
model skala Likert yang telah dimodifikasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik
korelasi Product Moment Pearson dengan bantuan SPSS versi 16.0 IBM for Windows. Berdasarkan hasil
pengujian menggunakan analisis korelasi Product Moment Pearson diperoleh hasil koefisien korelasi
sebesar r = 0, 650 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Artinya ada hubungan positif yang signifikan antara
regulasi emosi dengan resiliensi.
Kata Kunci : Regulasi Emosi, Resiliensi, Remaja Binaan Lapas
L A T A R B E L A K A N G
Di Indonesia banyak terjadi pelanggaran norma hukum yang terjadi tidak hanya melibatkan orang dewasa
sebagai pelakunya, namun juga dilakukan oleh remaja. Pelanggaran norma hukum yang dilakukan oleh
remaja antara lain seperti pencurian, pencabulan, pelecehan seksual, narkoba, dan perundungan atau
bullying yang berakhir dengan melukai korban. Remaja yang menjadi pelaku pelanggaran norma hukum
harus mempertanggung jawabkan perbuatannya sesuai dengan ketentuan hukum sesuai dengan
peraturan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 dimana remaja dibawah usia 21 tahun yang
terbukti melakukan tindak pidana akan dikenakan sanksi yang diputuskan melalui peradilan anak yang
berada dibawah peradilan umum. Remaja yang terbukti melakukan pelanggaran hukum akan
ditempatkan ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) untuk mendapatkan pengawasan dan
pembinaan.
Remaja yang berada di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) tentunya memiliki beberapa
kesulitan yang dirasakan. Setelah melakukan observasi dan wawancara di LPKA Klas IA Blitar, peneliti
menemukan beberapa permasalahan atau kesulitan yang dialami oleh remaja binaan di LPKA Blitar
diantaranya harus menghadapi perubahan seperti berpisah dengan keluarga dan teman – teman terdekat
yang membuat remaja binaan merasakan kesedihan. Remaja binaan LPKA Blitar harus kehilangan
kebebasan sementara waktu untuk berinteraksi secara fisik dengan masyarakat luas.
Disamping itu, remaja binaan harus menjalani kegiatan rutin yang terbatas secara fisik yang
memungkinkan remaja merasa bosan dan jenuh. Remaja binaan secara tidak langsung juga diminta untuk
mampu menyesuaikan diri serta harus mentaati aturan – aturan yang berada di lingkungan lembaga
pembinaan. Hal-hal inilah yang membuat remaja merasa takut dan tertekan.
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8
48
Menurut Whitehead dan Steptoe (dalam Sholichatun, 2011) pengalaman kehidupan dalam lembaga
pembinaan merupakan pengalaman yang penuh dengan tekanan dibandingkan dengan semua kejadian
hidup yang bersifat negatif lainnya. Hal ini disebabkan adanya kombinasi yang tidak sesuai dan
ketidaknyamanan antara keadaan psikologis individu dan lingkungan serta kondisi lingkungan yang tidak
jarang menakutkan dan mengkhawatirkan, oleh karena itu remaja yang sedang menjalani pembinaan
membutuhkan resiliensi yang tinggi untuk menjalani tekanan hidup dalam lembaga pembinaan.
Reivich & Shatte (dalam Desmita, 2009) mengatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang
untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang sulit. Kemampuan individu untuk
dapat bangkit dan bertahan serta menyesuaikan dengan kondisi sulit dapat melindungi individu dari efek
negatif yang ditimbulkan dari permasalahan. Resiliensi bukan merupakan faktor bawaan diri individu
sejak lahir. Untuk menjadikan seorang individu tersebut menjadi individu yang resilien, perlu adanya
proses pembentukan resiliensi. Resiliensi yang sudah terbentuk dalam diri individu bukanlah sebuah hasil
akhir yang akan bertahan dan menetap selamanya dalam diri individu. Resiliensi yang dimiliki oleh remaja
binaan dapat digunakan untuk menghadapi dan mengatasi tekanan dan situasi sulit, mempertahankan
serta meningkatkan kualitas hidupnya dalam lembaga pembinaan.
Sejalan dengan diperlukannya resiliensi pada remaja binaan penghuni LPKA, terdapat beberapa faktor
pendukung yang juga dibutuhkan dalam menumbuhkan resiliensi tersebut. Salah satu faktor yang
berpengaruh dan dibutuhkan oleh individu untuk menumbuhkan resiliensi adalah keterampilan
mengatur emosi (regulasi emosi). Gross (dalam jurnal Widuri, 2012) bahwa regulasi emosi adalah
kemampuan untuk tetap tenang dibawah tekanan, dimana regulasi emosi yang dimaksudkan lebih kepada
kemampuan individu untuk mengatur dan mengekspresikan emosi serta perasaan dalam kehidupan
sehari-hari. Individu yang tidak mampu mengelola emosinya dengan baik dapat dikatakan bahwa individu
tersebut gagal mencapai tujuan emosinya. Apabila individu tersebut gagal mencapai tujuan emosinya
maka akan mengalami tekanan psikologis dan memilih serta menunjukkan reaksi emosi yang sesuai
dengan kondisi tersebut.
Regulasi emosi yang dimiliki mengajarkan individu cara mengidentifikasi dan menggambarkan emosi,
mengurangi kerentanan terhadap emosi negatif dan meningkatkan emosi positif. Individu yang mampu
meregulasi emosinya dapat dikatakan bahwa individu tersebut mampu memodifikasi emosi negatif akibat
dari pengalaman buruk dan mendapatkan emosi yang positif untuk meraih keseimbangan di dalam emosi,
sehingga individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi mampu mengendalikan dirinya apabila
sedang kesal, mampu mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah serta mampu dengan cepat
menyelesaikan suatu permasalahan.
M E T O D E P E N E L I T I A N
Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu Resiliensi sebagai variabel terikat (Y) dan Regulasi Emosi
sebagai variabel bebas (X). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kuantitatif. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua skala yaitu skala
resiliensi yang dimodifikasi berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Connor & Davidson (2003)
dan skala regulasi emosi yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Thompson
(1994). Pernyataan dalam skala menggunakan model adaptasi LIkert dengan empat pilihan jawaban.
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Subyek dalam penelitian ini adalah remaja
binaan lembaga pembinaan anak Blitar sejumlah 78. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
analisis Korelasi Product Moment Pearson dengan software pengolah data SPSS 16.0.
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8
49
HASIL D A N P E M B A H A S A A N
Penelitian ini memiliki hipotesis ada hubungan positif antara regulasi emosi dengan resiliensi
pada remaja binaan LPKA Blitar. Uji coba dilakukan pada subyek yang memiliki kriteria sama
dengan remaja binaan. Skala resiliensi didapatkan 32 aitem valid dengan koefisien reliabilitas
sebesar 0,881. Sedangkan skala regulasi emsoi didapatkan item valid sebayak 17 aitem denagn
koefisien reliabilitas sebesar 0,878.
Hasil analisis data deskriptif pada data penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor resiliensi
pada remaja binaan LPKA didapatkan sebesar 80. Hasil lebih lanjut menunjukkan bahwa
sebanyak 39 remaja binaan atau 50% subyek memiliki resiliensi yang sedang, dan 39 remaja
binaan atau 50% lainnya tergolong tinggi. Dari hasil analisa data deskriptif resiliensi
menunjukkan bahwa tidak ada subyek yang memiliki resiliensi yang rendah. Persentase dan
jumlah subyek dari hasil kategorisasi resiliensi dapat dilihat pada tabel 1.
Hasil kategorisasi skor skala regulasi emosi yang dimiliki remaja binaan LPKA memiliki nilai
rata- rata 42,5. Sebanyak 1 remaja binaan atau 1,3% dari sbuyek penelitian memiliki kemampuan
regulasi emosi rendah, kemudian 58 remaja binaan atau 74,7% memiliki kemampuan regulasi
emosi sedang, dan sisanya 19 remaja binaan atau 24,4% memiliki kemampuan regulasi emosi
tinggi. Dari hasil analisis data deskriptif regulasi emosi diatas dapat disimpulkan bahwa rata-rata
regulasi emosi remaja binaan LPKA berada pada kategori sedang. Persentase dan jumlah subyek
dari hasil kategorisasi regulasi emosi dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan uji prasyarat yang dilakukan yang meliputi uji normlaitas dan uji linieritas dapat
disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini berdistribusi normal dan memiliki hubungan yang
linier antara variabel bebas dan vatiabel terikatnya. Hal ini dibuktikan dengan angka pada
sebaran data skala resiliensi yang memiliki koefisien signifikansi sebesar 0,416. Adanya
hubungan linier dibuktikan dengan nilai F sebesar 1,220 dan deviation from linearity sebasar p
= 0,268 (p > 0,05). Berdasarkan hasil pengujian menggunakan analisis korelasi Product Moment
Pearson diperoleh hasil koefisien korelasi sebesar r = 0, 650 dengan p = 0,000 (p < 0,05).
Artinya ada hubungan positif yang signifikan antara regulasi emosi dengan resiliensi.
Tabel 1. Kategorisasi Resiliensi
Variabel Rentang Nilai Kategori Jumlah Persentase
Resiliensi
X < 64 Rendah 0 0%
64 ≤ x < 96 Sedang 39 50%
X ≥ 96 Tinggi 39 50%
Jumlah 78 100%
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8
50
Tabel 2. Kategorisasi Regulasi Emosi
Variabel Rentang Nilai Kategori Jumlah Persentase
Regulasi
Emosi
X < 34 Rendah 1 1,3%
34 ≤ x < 51 Sedang 58 74,4%
X ≥ 51 Tinggi 19 24,4%
Jumlah 78 100%
Pembahasan
Hasil dari penelitian diketahui bahwa korelasi antara regulasi emosi dengan resiliensi pada remaja binaan
lembaga pembinaan khusus anak bernilai positif atau signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi
individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah regulasi emosi. Hasil penelitian ini
sesuai dengan teori-teori yang dikemukakan sebelumnya oleh Reivich dan Shatte (2002) yang
mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah regulasi emosi. Hasil penelitian
ini juga mendukung penelitian-penelitian sebelumnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Sukmaningpraja dan Santhoso (2016). Dalam jurnal Sukmaningpraja dan Santhoso (2016) yang
melakukan penelitian tentang resiliensi pada siswa sekolah berasrama berbasis semi militer dapat
diketahui bahwa regulasi emosi yang dimiliki oleh siswa berperan penting dalam menumbuhkan resiliensi
siswa. Dalam penelitiannya, siswa yang resilien dapat diketahui dengan melihat karakteristik resiliensi
menurut Reivich dan Shatte (2002) yang mengatakan bahwa orang yang resilien mampu
untukmengendalikan emosi mereka terutama dalam menghadapi tantangan atau kesulitan untuk tetap
fokus pada tujuan.
Setiap remaja memiliki kemampuan untuk bertahan dan bangkit dari tekanan dan kesulitan yang
dihadapi, tidak terkecuali remaja binaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Tekanan dan kesulitan
yang dihadapi oleh remaja binaan membuat remaja binaan mengalami peristiwa – peristiwa emosional
yang menjadikan remaja binaan kurang mampu untuk mengendalikan emosi, mudah terpancing
emosinya, dan melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan seperti mengucapkan kata-kata
kasar dan melakukan tindakan adu fisik, sehingga perlu memiliki kemampuan meregulasi emosi yang
baik. Remaja binaan yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik akan mampu untuk mengatur
emosinya dan tetap tenang ketika dihadapkan pada permasalahan. Regulasi emosi menurut Thompson
(2007) dapat diartikan sebagai kemampuan mengontrol atau mengatur status emosi dan perilaku sebagai
cara mengekspresikan emosi agar sesuai dengan lingkungan di sekitarnya.
Thompson (dalam, Wibowo 2012) mengatakan bahwa ada tiga komponen yang dapat mengukur regulasi
emosi. Pertama, kemampuan memonitor emosi dimana individu mampu untuk menyadari dan
memahami keseluruhan proses yang terjadi dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latar belakang
dari tindakannya. Kedua, kemampuan mengevaluasi emosi, dimana individu mampu mengelola emosi
khususnya negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam sehingga individu tidak terbawa dan
terpengaruh secara mendalam yang dapat mengakibatkan individu tidak dapat berpikir secara rasional.
Ketiga, kemampuan memodifikasi emosi, dimana individu mampu untuk merubah emosi dan memotivasi
diri sehingga menjadikan individu yang mampu bertahan ketika menghadapi masalah.
Menurut Widuri (2012) dalam penelitiannya tentang regulasi emosi dan resiliensi pada mahasiswa tahun
pertama Universitas Ahmad Dahlan mengatakan bahwa antara regulasi emosi dengan resiliensi memiliki
hubungan positif yang signifikan, dimana apabila regulasi emosi mahasiswa baik, maka resiliensi
mahasiswa akan tinggi. Individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi akan mampu mencapai
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8
51
keseimbangan emosional baik dalam sikap dan perilakunya, sehingga individu tersebut akan merasa
bahwa dirinya mampu menjalankan fungsinya dalam lingkungan (Gross, dalam jurnal Widuri 2012).
Ketika remaja binaan memiliki aspek – aspek regulasi emosi yang disebutkan, remaja binaan akan
memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik sehingga resiliensi yang dimiliki juga akan tinggi.
Remaja binaan yang memiliki resiliensi yang tinggi akan mampu mengatasi peristiwa – peristiwa
emosional yang pernah dialaminya, seperti perpisahan dengan orangtua, menjalani kehidupan dengan
peraturan dan dibatasi, adanya konflik dengan sesama penghuni lembaga pembinaan, dan lain sebagainya.
Smith et. al (2008, dalam Rizkina, 2008) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang
dibutuhkan dalam kehidupan seseorang karena kehidupan manusia tidak terlepas dari kondisi yang tidak
menyenangkan. Reivich dan Shatte (dalam Nasution, 2011) mengatakan bahwa resiliensi merupakan
pola pikir yang memungkinkan manusia mencari berbagai pengalaman dan memandang hidupnya sebagai
suatu kegiatan yang sedang berjalan. Ciri-ciri individu yang resilien adalah memiliki keyakinan untuk
dapat mengatasi masalah, memiliki cara pandang yang positif dalam menghadapi masalah, menerima dan
memahami risiko yang terjadi serta menemukan makna dan tujuandalam hidup (Reivich dan Shatte,
2002).
Dengan adanya resiliensi pada diri individu, akan menjadikan individu mampu untuk mengatasi setiap
kesulitan dan tekanan yang dihadapi, mampu melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk menjadi lebih
baik, dan menerima setiap kegagalan yang dialami sebagai sebuah pelajaran. Individu yang resilien juga
tidak akan merasa malu ketika mereka mengalami kegagalan, dan mampu memahami bahwa kegagalan
bukanlah akhir dari segalanya. Individu yang memiliki resiliensi tinggi akan menerima dan menjadikan
kegagalan tersebut motivasi untuk menjadi lebih baik.
S I M P U L A N
Berdasarkan hasil analisis data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara regulasi emosi dengan resiliensi pada remaja
binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas 1A Blitar, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa
“Ada hubungan positif antara regulasi emosi dengan resiliensi pada remaja binaan Lembaga Pembinaan
Khusus Anak Klas 1A Blitar” diterima. Artinya, semakin baik regulasi emosinya,maka semakin tinggi
resiliensi yang dimiliki remaja binaan dan juga sebaliknya. Jadi hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini diterima.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka beberapa saran
yang dapat diberikan oleh peneliti antara lain :
Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti variabel lainnya seperti dukungan sosial atau kontrol
terhadap impuls yang dapat mempengaruhi resiliensi dan belum diungkap dalam penelitian ini agar
memperoleh gambaran resiliensi yang lengkap, serta menggunakan subyek atau populasi yang lebih
variatif agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan secara lebih luas. Disamping itu, peneliti selanjutnya
juga dapat memberikan pelatihan tentang regulasi emosi sebagai langkah atau cara untuk membantu
remaja binaan dalam mengatur emosinya ketika berada dalam keadaan tertekan.
Bagi subyek penelitian, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi emosi memiliki hubungan yang
positif dengan resiliensi pada remaja binaan lembaga pembinaan khusus anak. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat digunakan acuan bagi remaja binaan agar mampu mengontrol emosi yang dikeluarkan
dengan cara mengalihkan pada kegiatan lain seperti menulis, atau menggambar sehingga remaja binaan
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8
52
tidak selalu melamun, berkata kasar atau melakukan adu fisik serta mampu bertahan dalam keadaan sulit
ketika dihadapkan pada permasalahan.
D A F T A R P U S T A K A
Amelia, R.6 & Savira, S. I. (2018). Hubungan Antara Regulasi Emosi dengan Sikap Terhadap Kenakalan
Remaja pada Siswa MTS Swasta “X” Surabaya. Jurnal Psikologi, No. 02. Arikunto. (2010).
Prosedur penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Azwar, S. (2012).
Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Connor, K. M. dan Davidson, J.R.T. (2003). Development of A Resilience Scale: The Connor - Davidson
Resilience Scale (CD-RISC). Depression and Anxiety. 18, 76-82.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Echols, John M. & Hassan Shadily. (2003). Kamus Inggris Indonesia :An English – Indonesian Dictionary
ed.3
(direvisi dan diedit oleh John U. Wolff dan James T. Collins). Jakarta: PT Gramedia.
Gross, J. J. & Thompson, R. A. (2007). Emotion Regulation: Conceptual Foundations dalam James J.
Gross (as editor)., Handbook of Emotion Regulation, 3-24. New York: The Guilford Press.
Gross, J. J. dan John O.P. (2003). Individual Differences in Two Emotion Regulation Divergent
Consequences for Experience, Expression and Physiology. Journal of Personality and Social
Psychology. 74 (1), 224-237.
Gross, J., J. (2002). Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequence.
Psychophysiology Journal, 39: 281-291.
Hadi, Sutrisno. (2004). Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, Sutrisno. (2015).
Metodologi Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Issacson, B. (2002). Characteristics And Enhancement Of Resiliency In Young People. A Research
Paper.
The Graduate School, University of Wisconsin-Stout.
Maslihah, S. (2017). Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subyektif Anak Didik Lembaga
Pembinaan Khusus Anak. Jurnal Psikologi Insight, 1(1), 82-94
Mawardah, M. & Adiyanti, M. G. (2014). Regulasi Emosi dan Kelompok Teman Sebaya. Jurnal Psikologi,
41(1), 60-73
Nasution, S. M. (2011). Resiliensi: Daya Pegas Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan: USU Press
Nisfiannoor & Yuni, K. (2004). Hubungan antara Regulasi Emosi dan Penerimaan Kelompok
Teman
Sebaya pada Remaja. Jurnal Psikologi. 2 (2) 165-166
Pasudewi, C.Y. & Undarwati, A. (2014). Resiliensi pada Remaja Binaan Bapas Ditinjau dari Coping Stress.
Jurnal Ilmiah Psikologi, No. 6 (2)
Reivich & Shatte A. (2002). The Resiliency Factor : 7 Essential Skills for Overcoming Life’s Inevitable
Obstacles.
New York: Random House, inc
Rizki, B. M. (2010). Hubungan antara Strategi Regulasi Emosi dan Faktor Demografi dengan Resiliensi
pada Perempuan Narapidana. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Rizkina, S. (2008). Pengaruh Dukungan Sosial dan Harapan Terhadap Resiliensi Anak Didik Lapas Kelas
IIA Salemba. Jurnal Psikologi. No. 02
Sholichatun, Y. (2011). Stress dan Strategi Coping pada Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Psikoislamika, Jurnal Psikologi Islam (JPI). No. 123-42
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:
Alfabeta
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019) ISBN : 978-60274420-7-8
53
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sukmaningpraja, A. & Santhoso, F. H., (2016). Peran Regulasi Emosi Terhadap Resiliensi pada Siswa
Sekolah Berasrama Berbasis Semi Militer. Jurnal Psikologi, No. 3, 164-191
Thompson, G. (1994). Emotion Regulation : A Theme in Search of Definition. New York: ohn Willey
sons Inc.
Undang-undang No. 11 Tahun 2012. Sistem Peradilan Anak. Undang-undang No. 23 Tahun 2002.
Perlindungan Anak.
Wibowo, I. T. (2017). Hubungan Antara Regulasi Emosi dengan Kecenderungan Prokrastinasi pada
Mahasiswa Tingkat Semester Akhir Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Skripsi Psikologi
UNTAG Surabaya, No. 83
Widuri, E. L. (2012). Regulasi Emosi dan Resiliensi pada Mahasiswa Tahun Pertama. Jurnal Psikologi,
No.
2
Wismayanti, Y.F. (2007). Permasalahan dan Kebutuhan Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lapas
Anak Blitar. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, No. 1, 64-73