hubungan antara konsep diri dengan coping …elibrary.unisba.ac.id/files/08-6361_fulltext.pdf ·...
TRANSCRIPT
PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN COPING STRATEGY
PADA DEVELOPED KIDDIE DALAM KOMUNITAS HACKER
DI PERGURUAN TINGGI X BANDUNG
S K R I P S I
Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung untuk memenuhi Persyaratan ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
Fifit Dian N
10050000131
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2008
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN COPING STRATEGY
PADA DEVELOPED KIDDIE DALAM KOMUNITAS HACKER
DI PERGURUAN TINGGI X BANDUNG
Nama : Fifit Dian NNPM : 10050000131
Bandung, Juni 2008
FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Menyetujui,
Pembimbing II
(Drs. Hedi Wahyudi, M.Psi)
i
ii
Kupersembahkan skripsi ini kepada Mama dan Papa tercinta
sebagai ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya
atas kasih sayang yang tak terhingga yang telah kau berikan
juga untuk adik-adikku tersayang yang selama ini telah
memberikan senyum ketulusan kepada penulis.
iii
Motto :Motto :Motto :Motto :
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan” (Ali-Imran: 83).
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur peneliti panjatkan pada Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul "Hubungan antara Konsep Diri dengan Coping
Stategy pada Developed Kiddie dalam Komunitas Hacker di Perguruan Tinggi X
Bandung" ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi
strata 1 (S1) di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis menemui berbagai macam
hambatan namun dengan bantuan berbagai pihak, semua hambatan tersebut dapat
diatasi, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Papa dan Mama tercinta yang selalu hadir memberi doa disertai kasih
sayang, perhatian, dorongan moril dan meteril yang tak terhingga selama
ini.
2. Adik-adikku Firman, Lili, dan Astri terimakasih atas doa, dukungan, dan
canda tawanya.
3. Bapak Drs. Hedi Wahyudi M.Psi, selaku pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk, bimbingan dan saran
dari awal hingga selesainya skripsi ini.
4. Ibu Dra. Siti Qodariyah, selaku pembimbing II yang juga telah
meluangkan waktunya untuk membimbing, memotivasi dan membantu
penyempurnaan skripsi ini.
v
5. Ibu Dra. Suci Nugraha, selaku Dosen Wali, terimakasih atas bantuan dan
dukungannya selama ini.
6. Bapak Dr. Umar M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam
Bandung
7. Seluruh Dosen dan Staff Akademik Fakultas Psikologi Universitas Islam
Bandung yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama
menjalani perkuliahan.
8. Affiar Akhyar, terimakasih atas inspirasi, dukungan, bantuan, dan waktu
yang telah diberikan selama ini.
9. Rekan-rekan yang tergabung dalam komunitas hacker perguruan tinggi X,
terimakasih atas kerjasama dan bantuannya selama menyusun skripsi ini.
10. Seluruh responden, yaitu para developed kiddie, atas kesediaannya dan
waktu yang diluangkannya untuk membantu peneliti dalam proses
pengambilan data.
11. Ahmad Yuniardi, yang telah memberikan berbagai saran mengenai skripsi
yang penulis kerjakan dan yang telah menyempatkan diri membantu
terutama dalam pengolahan data.
12. Fikri, terimakasih atas perhatian, dukungan serta bimbingannya selama
kita satu kosan.
13. Teman-teman dekatku Dinda, Iyut, Ica, Isna, Wulan, Nila, Novi, Tika,
Dewi, Aci, terimakasih atas saran, dukungan dan perhatian yang kalian
berikan.
14. Teman-teman diskusi selama menyelesaikan skripsi Nina, Ai, Findi, Quy,
Aya, Iya, Itoy, Adut, Hany, Yuta, Riska, Uti, Tria, Okta, Rahma, Fani,
vi
hani, putri, Lucky dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu,
terimakasih atas semua masukannya.
15. Semua pihak yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki, penulis menyadari bahwa
dalam skripsi ini akan ditemui kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua. Akhir kata, penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi pembaca semua.
Bandung, Juni 2008
Peneliti
vii
ABSTRAK
Fifit Dian. N , “Hubungan antara Konsep Diri dengan Coping Strategy pada Developed Kiddie dalam Komunitas Hacker di Perguruan Tinggi X Bandung”.
Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan formal yang mempunyai peranan penting dalam menunjang tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam menjalani pendidikan di perguruan tinggi bukan hanya bidang akademik saja yang menjadi faktor utama yang harus diperhatikan tapi kemampuan berorganisasi juga menjadi suatu hal yang tidak kalah pentingnya. Bidang keorganisasian dalam perguruan tinggi bermacam-macam, salah satu diantaranya adalah organisasi yang bergelut di bidang teknologi informasi yaitu organisasi hacker dan biasa disebut dengan komunitas hacker. Sebagai seorang mahasiwa yang tergabung dalam keanggotaan komunitas hacker, tentunya harus mampu memenuhi berbagai macam tuntutan yang berkaitan dengan komunitas tersebut. Namun sebagai seorang mahasiwa, mereka juga tidak luput dari tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang yang duduk di perguruan tinggi. Pada saat tuntutan-tuntutan tersebut melampaui sumber daya individu dalam artian terdapat suatu ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan yang dimiliki, maka terjadi sebuah kondisi stres pada mahasiswa yang bersangkutan. Dalam menghadapi kondisi stres, setiap individu akan mengembangkan suatu strategi penanggulangan stres yang disebut coping strategy. Dengan adanya coping strategy yang dilakukan mahasiswa tersebut, konsep diri merupakan aspek kepribadian yang harus diperhatikan berkaitan dengan coping strategy yang digunakan mahasiswa dalam menanggulangi stresnya. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik guna mengetahui seberapa erat hubungan antara konsep diri dengan coping strategypada mahasiswa anggota organisasi hacker di perguruan tinggi X Bandung khususnya yang masih tergolong pada tahap developed kiddie. Metoda penelitian yang digunakan adalah teknik korelasional. Adapun populasinya adalah semua mahasiswa anggota komunitas hacker yang masih tergolong tahap developed kiddie di perguruan tinggi X Bandung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa angket. Untuk konsep diri, alat ukur yang digunanakan adalah TSCS yang dikembangkan oleh Fitts, dan untuk mengukur coping strategy digunakan alat ukur ways of coping yang dikembangkan oleh Lazarus. Data yang diperoleh adalah data nominal. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perhitungan statistik uji korelasi Chi-Kuadrat dan didapatkan hitung2χ sebesar 4,260. Tingkat keeratan hubungan antara konsep diri dengan coping strategy pada developed kiddie dapat diketahui melalui kriteria nilai C dengan terlebih dahulu melihat perbandingan antara nilai C dan nilai Cmaks. Dalam penelitian ini nilai C yang didapat sebesar 0,459 dan Cmaks sebesar 0,707. Berdasarkan Kriteria nilai C, perbandingan antara nilai C dengan Cmaks tersebut diatas menunjukkan adanya derajat korelasi yang sedang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara konsep diri dengan coping strategy pada developed kiddie dalam komunitas hacker di perguruan tinggi X Bandung.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...i
HALAMAN PERSEMBAHAN … … … … … … … … … … … … … … … ii
HALAMAN MOTTO … … … … … … … … … … … … … … … … … … iii
KATA PENGANTAR ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .iv
ABSTRAK ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...vii
DAFTAR ISI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... . viii
DAFTAR TABEL ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..xii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah … … … … … … … … … … … … … … … ... .1
1.2 Identifikasi Masalah … … … … … … … … … … … … … … … ... …. ..7
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian … … … … … … … … … … … … ... … ..9
1.4 Kegunaan Penelitian … … … … … … … … … … … … … … … ... … ..9
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Konsep Diri … … … … … … … … … … … ... … …… ... … … … … .11
2.1.1. Pengertian Konsep Diri … … … … … … … … … … … ... … …11
2.1.2. Dimensi-Dimensi Konsep Diri … … … … … … … … … ... … ..13
2.1.2.1. Dimensi-Dimensi Internal Self … … … … … … … … ...14
2.1.2.2. Dimensi-Dimensi Eksternal Self … … … … … … … … .25
2.1.3. Perkembangan Konsep Diri … … … … … … … … … ... … … ..28
2.1.4. Penelitian yang Berhubungan … … … … … ... … … … … … …31
2.1.5. Fungsi Konsep Diri … … … … … ... … … … … … ... … … … .45
2.1.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri … ... … … … …46
2.17. Perubahan dan Kestabilan Konsep Diri … ... … … … … … … …46
2.2. Stres … … … … … ... … … … … … ... … … … … … … … … … … ..48
2.2.1. Pengertian Stres … … … … … ... … … … … … ... … … … … .48
ix
2.2.2. Teori Stres dari Lazarus … … ... … … … … … ... … … … … …50
2.2.3. Penilaian Kognitif … … ... … … … … … ... … … … … … … ...53
2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penilaian … … … … … … ...57
2.3. Coping Strategy … … … … ... … … … … … … … … … … … … … ..59
2.3.1. Pengertian Coping Strategy … … … … ... … … … … … … … ..61
2.3.2. Fungsi Coping Strategy … … … … ... … … … … … … … … ...62
2.3.3. Kategori Coping Strategy … … … ... … … … … … … … … … 63
2.3.4. Beberapa Cara untuk Mencapai Palliative Action … … … … … ..65
2.3.5. Bentuk Coping Strategy yang Diuraikan dalam Alat Ukur
Ways Of Coping … … … … ... … … … … … … … … … … …65
2.3.6. Aspek-Aspek yang Mepengaruhi Pemilihan Coping Strategy
Individu … … … ... … … … … … … … … … … … … … … ...67
2.3.7. Hubungan antara Fungsi Strategi Penanggulangan yang
Berpusat pada Emosi dengan yang Berpusat pada Masalah … … .67
2.3.8. Hubungan Penilaian Kognitif, Stres dan Coping Strategy … … ….68
2.3.9. Sumber Daya Individu yang Menunjang Keberhasilan
Coping Strategy … … … ... … … … … … … … … … … ... … 69
2.3.10. Hambatan-Hambatan dalam Melakukan Coping Strategy … ... … 70
2.4. Hack … … … ... … … … … … … … … … … ... … … … … … …. … 71
2.4.1. Sejarah … … … ... … … … … … … … … … … ... … … … … .71
2.4.2. Definisi … … ... … … … … … … … … … … ... … … … … … 73
2.4.3. Perbedaan Hacker dan Cracker … … … … … ... … … … … … ..74
2.4.4. Hirarki/Tingkatan Hacker … … … … … ... … … … … … … … 75
2.4.5. Kode Etik Hacker … … … … ... … … … … … … … … … … ...77
2.4.6. Aturan Main Hacker … … ... … … … … … … … … … … … ...78
2.4.7. Dua Jenis Kegiatan Hacking … … … … … … … … … … … … 79
2.4.8. Akibat Yang Ditimbulkan Hacker dan Cracker … … … … … … .79
2.5. Kerangka Berpikir … … … ... … … … … … … … … … … ... … … … 80
2.6. Hipotesis Penelitian … … ... … … … … … … … … … … ... … ... … ...84
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian … ... … … … … … … … … … … ... … ... … … .85
x
3.2. Identifikasi Variabel … ... … … … … … … … … … … ... … ... … … ...85
3.3. Operasionalisasi Variabel ... … … … … … … … … … … ... … ... … …85
3.3.1. Konsep Diri … … … … … … … … … … ... … ... … … … … ...86
3.3.2. Coping Strategy … … … … … … … … … ... … ... … … … … .86
3.4. Populasi dan Sampel … … … … … … … … ... … ... … … … … … … .87
3.5. Alat Ukur … … … … … … … … ... … ... … … … … … … …. … … ..87
3.5.1. Tennessee Self Concept Scale … … ... … ... … … … … … … …88
3.5.2. Ways Of Coping … … ... … ... … … … … … … … … … … … 91
3.6. Uji Statistik … … ... … ... … … … … … … … … … … … … … … ... .94
3.6.1. Uji coba alat ukur … … … … … … … … … … … … … … ... ...94
3.6.1.1. Validitas Alat Ukur … … … … … … … … … … ... … ..95
3.6.1.2. Reliabilitas Alat Ukur … … … … … … … … … ... … ...95
3.6.2. Pengolahan Data … ... … … … … … … … … … … … … ... ... .97
3.7. Data Penunjang ... … … … … … … … … … … … … … … … … … .101
3.8. Prosedur Penelitian ... … … … … … … … … … … … … ... ... … … ..103
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Uji Korelasi antara Konsep Diri dengan Coping Strategy ... … … .106
4.2. Pembahasan ... … … … … … … … … … … … … ... ... … … … … ...108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... … … … … … … … … … … … … ... ... … … … … …116
5.2 Saran … … … … … … … … … … … … ... ... … … … … … … … ...116
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Keterangan alternative jawaban alat ukur konsep diri … … … ...88
Tabel 3.2 Kisi-kisi alat ukur konsep diri … … … … … … … … ... … …..89
Tabel 3.3 Keterangan alternative jawaban alat ukur coping strategy … … .92
Tabel 3.4 Kisi-kisi alat ukur coping strategy … … … … … … … … … ...93
Tabel 3.5 Norma Guilford … … … … … … … … ... … … … … … … ...97
Tabel 3.6 Harga Cmaks untuk m … … … … … … … … … … … … … .99
Tabel 3.7 Kriteria nilai C … … … … … … … … ... … … … … … … ..100
Tabel 4.1 Frekuensi dan Prosentase antara Konsep Diri
dengan Coping Strategy pada Developed Kiddie
dalam Komunitas Hacker di Perguaruan Tinggi X
Bandung …… … … … … … … … ... … … … … … … … ...106
Tabel 4.2 Kontingensi Konsep Diri dengan Coping Strategy
pada Developed Kiddie dalam Komunitas Hacker di
Perguaruan Tinggi X Bandung … … … … … … … … … … .107
Tabel 4.3 Hasil Uji Korelasi Chi Kuadrat antara Konsep Diri
dengan Coping Strategy pada Strategy pada
Developed Kiddie dalam Komunitas Hacker di
Perguaruan Tinggi X Bandung … … … … … .. … … … … ...107
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran - 1 Uji Validitas Alat Ukur Konsep Diri
Lampiran - 2 Uji Validitas Alat Ukur Coping Strategy
Lampiran - 3 Uji Reliabilitas Alat Ukur Konsep Diri - Metode Alpha
Cronbach
Lampiran - 4 Uji Reliabilitas Alat Ukur Coping Strategy - Metode Split Half
(Rank Spearman)
Lampiran - 5 Tabel frekuensi dan prosentase
5.a. Tabel Frekuensi dan Prosentase antara Konsep Diri
Positif dengan Coping Strategy
5.b. Tabel Frekuensi dan Prosentase antara Konsep Diri
Negatif dengan Coping Strategy
5.c. Tabel Frekuensi dan Prosentase antara Konsep Diri
dengan Coping Strategy
Lampiran - 6 Tabel Kontingensi Konsep Diri dengan Coping Strategy pada
Developed Kiddie
Lampiran - 7 Tabel Hasil Uji Korelasi Chi-Kuadrat antara Konsep Diri
dengan Coping Strategy pada Developed Kiddie
Lampiran - 8 Tabel Harga-harga Kritis Chi-kuadrat
Lampiran - 9 Tabel Frekuensi dan Prosentase Coping Strategy
9.a. Tabel Frekuensi dan Prosentase Coping Strategy pada
Developed Kiddie Konsep Diri Positif
xiii
9.b Tabel Frekuensi dan Prosentase Coping Strategy pada
Developed Kiddie Konsep Diri Negatif
Lampiran - 10 Petunjuk Pengisian Alat Ukur Kosep Diri
Lampiran - 11 Alat Ukur Konsep Diri
Lampiran - 12 Petunjuk Pengisian Alat Ukur Coping Strategy
Lampiran - 13 Alat Ukur Coping Strategy
Lampiran - 14 A. Identitas Diri
B. Data Penunjang
Lampiran - 15 Idenitas Diri Responden
Lampiran - 16 Jawaban Responden pada Data Penunjang
1
B A B I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan formal yang mempunyai
peranan penting dalam menunjang tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Ketika seseorang memasuki dunia perguruan tinggi, artinya ia telah menyandang
status sebagai seorang mahasiswa. Dalam menjalani pendidikan di perguruan
tinggi bukan hanya bidang akademik saja yang menjadi faktor utama yang harus
diperhatikan tapi pengetahuan dan kemampuan berorganisasi juga menjadi suatu
hal yang tidak kalah pentingnya. Bidang keorganisasian dalam perguruan tinggi
bermacam-macam, salah satu diantaranya adalah organisasi yang bergelut di
bidang teknologi informasi yaitu organisasi hacker yang biasa dikenal dengan
sebutan komunitas hacker. Dari beberapa organisasi hacker yang ada, salah
satunya terdapat di perguruan tinggi X di Bandung ini. Perguruan tinggi X ini
merupakan salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung yang mengedepankan
bidang teknologi informasi, dimana setiap jurusan yang ada di dalam perguruan
tinggi tersebut diberikan pengajaran mengenai teknologi komputerisasi.
Pada beberapa orang anggota komunitas hacker yang berhasil ditemui,
mengungkapkan bahwa alasan utama mereka ikut serta sebagai anggota dalam
komunitas hacker tersebut diawali dengan sering terdengarnya berita mengenai
aktivitas para hacker yang membuat mereka merasa tertarik dan ingin mendalami
PENDAHULUAN 2
dunia hacker. Selain itu alasan mereka ikut serta dalam keanggotaan komunitas
hacker adalah bahwa perkembangan teknologi informasi saat ini sudah
berkembang pesat terlebih lagi sejak adanya internet yang secara tidak langsung
menghubungan jutaan jaringan komputer di seluruh dunia, sehingga mereka
merasa penting untuk mengembangkan potensi diri dan mengikuti perkembangan
teknologi yang ada. Alasan ketiga adalah keinginan mereka yang ingin
memberikan informasi sekaligus meluruskan pemikiran negatif orang-orang yang
tidak bergelut dalam dunia IT atau orang-orang yang kurang begitu mengetahui
mengenai teknologi informasi yang menganggap bahwa hacker merupakan
kriminal dalam dunia cyber, karena individu yang tepat untuk dikatakan kriminal
dalam dunia cyber adalah cracker. Cracker merupakan individu yang merusak
dan mencari kelemahan sebuah sistem dengan tujuan mendapatkan informasi atau
data secara ilegal, contohnya mendeface situs, menghapus data atau lainnya yang
membuat sistem tidak berfungsi. Cracker terbagi-bagi lagi kedalam beberapa
istilah tergantung dari bentuk kejahatan yang dilakukan, diantaranya adalah
carding dan coder. Carding biasanya melakukan pencurian di bank dengan cara
merusak sistem komputerisasi bank, contohnya dengan cara mengcrack nomor
rekening nasabah kemudian mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya sendiri,
dan coder adalah seorang pembuat virus yang kemudian menyebarkan virus
tersebut dalam jaringan internet. Sedangkan hacker menurut Richard Mansfield
didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki keinginan untuk melakukan
eksplorasi dan penetrasi terhadap sebuah sistem operasi dan kode komputer
PENDAHULUAN 3
pengaman lainnya tetapi tidak melakukan tindakan pengrusakan apapun, tidak
mencuri uang atau informasi.
Anggota komunitas hacker lainnya menjelaskan bahwa didalam dunia
hacker maupun di komunitasnya terdapat tingkatan atau tahapan yang harus
dilewati oleh masing-masing anggotanya. Tahapan tersebut dilihat berdasarkan
kemampuan yang dimiliki. Sesuai dengan apa yang dikatakan Onno W. Purbo
dan yang terdapat dalam http://ezine.echo.or.id khususnya dalam table of content
ezine#1 all abaoutz hacking – from outside, menyebutkan bahwa di dalam dunia
hacker terdapat tingkatan-tingkatan. Tingkatan tersebut diberikan oleh komunitas
hacker kepada seorang anggotanya berdasarkan kemampuan yang dimiliki bukan
berdasarkan umur atau senioritasnya. Tingkat kemampuan yang ada dalam dunia
hacker terdiri atas elite dengan kemampuannya yang paling tinggi, semi elite,
developed kiddie, script kiddie sampai dengan lamer yang dikatakan paling
rendah kemampuannya. Dari beberapa orang anggota komunitas hacker di
perguruan tinggi X tersebut sebagaian besar diantaranya berada pada tahap
kemampuan developed kiddie, dimana pada umumnya mereka baru belajar basic
UNIX dan belum mampu menemukan kelemahan dari sistem operasi komputer.
Biasanya mereka masih membaca metoda dan cara melakukan hacking serta
masih menggunakan grafik user interface. Di dalam website tersebut juga
dikatakan bahwa kemampuan tingkat developed kiddie mayoritas umumnya
dimiliki oleh anak “abg” atau masih sekolah.
Hasil dari wawancara yang dilakukan pada sebagian developed kiddie,
terungkap bahwa terdapat beberapa hal yang oleh sebagian besar developed kiddie
PENDAHULUAN 4
dihayati sebagai suatu tekanan atau tuntutan atas statusnya sebagai seorang
anggota komunitas hacker, diantaranya adalah adanya aturan, kode etik, dan
tuntutan sikap-sikap serta keterampilan atau kemampuan yang harus dimiliki oleh
seorang anggota komunitas hacker karena adanya sebuah kondisi dimana di dalam
dunia hacker seseorang akan dihargai atau dinilai berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya. Berdasarkan kenyataan yang ada bahwa mayoritas anggota
komunitas hacker yang ada di perguruan tinggi X tersebut memiliki kemampuan
diatas developed kiddie, maka para developed kiddie tersebut merasa diacuhkan,
tidak ditanggapi dan jarang diikutsertakan dalam berbagai kompetisi.
Dilain pihak developed kiddie juga tidak dapat luput dari konsekuensi dan
tanggung jawab yang harus dilakukannya atas statusnya sebagai seorang
mahasiswa yang duduk di perguruan tinggi, yaitu harus mampu menjalani setiap
mata kuliah yang diambil dan diharapkan mendapat nilai yang baik serta
menyelesaikan setiap tugas yang diberikan oleh dosen dengan tepat waktu.
Demikian juga, mahasiswa dituntut untuk mampu menyelesaikan pendidikannya
tepat waktu serta memiliki pengetahuan dan keterampilan agar menjadi tenaga
kerja yang siap pakai jika telah menyelesaikan masa pendidikannya. Fakta yang
ada, justru kebanyakan dari mereka memiliki IPK yang rendah serta sering
mendapat label negatif dari dosen.
Dengan adanya berbagai tuntutan tersebut diatas, pada developed kiddie
banyak ditemukan gejala-gejala yang mengarah pada gangguan stres, diantaranya
berupa sering merasakan sakit kepala, sering lupa, sulit berkonsentrasi, insomnia,
gelisah, uring-uringan dan malas atau tidak semangat dalam melakukan sesuatu.
PENDAHULUAN 5
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap mereka menunjukkan bahwa sakit
kepala yang dirasakannya sering terjadi pada saat mengalami kegagalan dalam
mengaplikasikan metoda hacking yang dipelajarinya walaupun sudah berusaha
dengan sungguh-sungguh. Demikian juga ketika mereka dihadapakan pada
berbagai macam tugas mata kuliahnya di kampus yang harus diselesaikan tepat
waktu namun tetap harus mempelajari hacking, membuat mereka sering
mengalami insomnia dan sulit untuk berkonsentrasi serta sering lupa. Pada saat-
saat dimana mereka tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, mereka
menjadi gelisah dan uring-uringan bahkan sering kali menjadi tidak bersemangat
dalam menyelesaikan tugasnya.
Dalam menghadapi kondisi stres tersebut, tingkah laku yang dimunculkan
developed kiddie yang ada di perguruan tinggi X berbeda-beda. Berdasarkan data
yang peneliti peroleh melalui interview dan observasi, sebagian developed kiddie
sering melakukan chatting atau mendownload file-file yang tidak berhubungan
dengan pengetahuan hackingnya dan tugas mata kuliahnya, sering bolos, jarang
mengerjakan tugas, dan ada juga yang pasrah dan memiliki prinsip jalani saja apa
adanya yang disertai dengan berdoa.
Namun ada juga developed kiddie yang sering membuat rencana-rencana
dan berusaha membagi waktu dengan baik, berusaha untuk tetap rajin mengikuti
perkuliahan ataupun selalu tepat mengumpulkan tugas-tugas namun terkadang
tidak disertai dengan keseriusannya mengikuti perkuliahan (asal datang) dan
pengerjaan tugas kampusnya (asal mengerjakan), dan aktif belajar lewat internet
dengan cara mencari tutorial yang berhubungan dengan hacking kemudian
PENDAHULUAN 6
mempraktekan metode-metode hacking yang ada dalam tutorial tersebut walaupun
terkadang tanpa disertai dengan perencanaan yang matang mengenai metoda yang
harus dipahami terlebih dahulu oleh mereka.
Wawancara yang dilakukan lebih lanjut pada para developed kiddie
tersebut, ternyata sebagian dari mereka memandang dirinya memiliki kemampuan
melebihi teman-temannya, merasa tidak pernah mempermasalahkan penampilan
maupun fisiknya, merasa dekat dengan siapapun juga terutama keluarga dan
teman terdekatnya, merasa dirinya adalah orang yang menyenangkan dan mudah
akrab dengan setiap orang. Dilihat dari tingkahlaku yang ditunjukkanya mereka
selalu mencoba melakukan segala sesuatunya sendiri jarang minta bantuan orang
lain, berpenampilan apa adanya, sering membantu teman-teman dekatnya
terutama yang memiliki minat yang sama di bidang hacking dan terkadang
bercanda walaupun dengan orang yang baru dikenalnya.
Namun demikian, ditemukan juga bahwa ada sebagian diantara mereka
yang menganggap dirinya bukanlah orang yang menarik dan tidak begitu popular
dikalangan teman-temannya, merasa dirinya bodoh karena sering gagal dalam
mengerjakan sesuatu, sulit berkonsentrasi, merasa bukan orang yang penting
dikalangan teman-temannya, dan menganggap dirinya bukan orang yang
menyenangkan serta tidak ramah. Terlihat dari tingkah laku yang ditampilkannya
yaitu tidak mudah dekat dengan orang lain, jika berbicara seperlunya saja baik itu
kepada kerabat dekat atau teman sendiri, jarang berdandan rapih dan
menggunakan pakaian apa adanya.
PENDAHULUAN 7
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan diatas, terlihat adanya
keterkaitan antara perilaku-perilaku yang mengarah pada bagaimana individu
memandang dirinya dengan berbagai macam reaksi individu yang ditampilkan
dalam bentuk tingkahlaku sebagai upaya untuk menanggulangi tuntutan yang
membebani dirinya. Dengan demikian peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan
antara Konsep Diri dengan Coping Strategy pada Developed Kiddie dalam
Komunitas Hacker di Perguruan Tinggi X Bandung”
1.2. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan yang telah dipaparkan di latar belakang masalah, terdapat
variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini. Variabel pertama adalah konsep
diri dan variabel kedua adalah coping strategy.
Konsep diri menurut William H. Fitts (1971:43) didefinisikan sebagai
keseluruhan kesadaran atau persepsi mengenai diri yang diobservasikan, dialami
dan dinilai oleh individu itu sendiri. Fitts mengemukakan bahwa diri merupakan
subjek yang penting dalam diri seseorang, karena konsep diri merupakan
kerangka acuan (frame of reference) yang digunakan individu dalam berinteraksi
dengan lingkungan. Fitts juga mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat
dalam tingkah laku seseorang. Menurut John Kinch (Fitts, 1971:13) konsepsi
individu berasal dari interaksi sosial dan sebaliknya mengarahkan serta
mempengaruhi tingkah laku individu tersebut. Konsep diri dalam penelitian ini
adalah keseluruhan kesadaran dan penilaian mengenai diri mahasiswa yang
menjadi anggota komunitas hacker di salah satu perguruan tinggi yang
PENDAHULUAN 8
kemampuannya masih dalam tahap developed kiddie, dimana pada umumnya
mereka baru belajar basic UNIX, belum mampu menemukan kelemahan dari
sistem operasi komputer dan masih membaca metoda dalam melakukan hacking
serta masih menggunakan grafik user interface.
Dalam kesehariannya, seorang developed kiddie tidak terlepas dari
berbagai tuntutannya sebagai seorang anggota komunitas hacker dan statusnya
sebagai seorang mahasiswa. Dalam menghadapi berbagai macam tuntutan yang
membawanya pada kondisi stres tersebut, seorang developed kiddie akan
melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi stresnya atau yang dapat dikatakan
dengan coping strategy.
Coping strategy menurut Lazarus dan Folkman (1976 : 74) diartikan
sebagai upaya-upaya perilaku dan kognitif yang terus menerus dilakukan individu
untuk mengelola tuntutan-tuntutan eksternal dan atau internal yang dinilai
melebihi sumber daya yang dimiliki oleh individu tersebut. Bentuk coping
strategy terbagi menjadi dua yaitu coping strategy yang berpusat pada masalah
dan coping strategy yang berpusat pada emosi. Bentuk coping strategy yang
berpusat pada masalah orientasinya lebih mengarah pada pemecahan masalah dan
strategi untuk menyelesaikannya, artinya usaha yang dilakukan ditujukan untuk
mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau mengerahkan/memperluas
sumber daya untuk mengatasi atau mengurangi stres. Sedangkan strategi
penanggulangan yang berpusat pada emosi, ditujukan untuk mengendalikan
respon emosional pada situasi yang menimbulkan stres.
PENDAHULUAN 9
Lazarus (1976) menjelaskan bahwa penggunaan strategi penanggulangan
stres atau coping strategy dipengaruhi oleh faktor kepribadian individu dan salah
satu faktor kepribadiannya itu adalah konsep diri. Dengan demikian perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : “Sejauhmana Keeratan Hubungan antara
Konsep Diri dengan Coping Strategy pada Developed Kiddie dalam Komunitas
Hacker di Perguruan Tinggi X Bandung”
1. 3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan data empirik dengan tujuan guna mengetahui
seberapa erat hubungan antara konsep diri dengan coping strategy pada developed
kiddie dalam komunitas hacker di perguruan tinggi X Bandung.
1. 4. Kegunaan Penelitian
A. Kegunaan Teoritis
1. Diharapkan memberikan informasi yang dapat menambah atau
melengkapi ilmu pengetahuan khususnya psikologi, mengenai
konsep diri dan coping strategy pada developed kiddie dalam
organisasi hacker.
2. Diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan informasi untuk
penelitian selanjutnya, terutama bagi mereka yang tertarik untuk
membahas lebih lanjut lagi mengenai konsep diri dengan coping
strategy.
PENDAHULUAN 10
B. Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada developed kiddie atau mahasiswa
lainnya yang termasuk anggota organisasi hacker baik itu yang ada
di kehidupan nyata atau di dunia cyber mengenai pentingnya konsep
diri dan coping strategy sehingga dapat mengembangkan potensi diri
dan meningkatkan kemampuannya dalam bidamg hacking namun
tetap tidak meninggalkan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai
seorang mahasiswa.
2. Memberikan informasi kepada pihak jurusan/fakultas khususnya
bagian kemahasiswaan mengenai pentingnya peran konsep diri dan
coping strategy pada developed kiddie sehingga dapat memudahkan
mereka dalam membimbing atau menyusun program pembinaan
terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep diri dan
coping strategy.
11
B A B II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Konsep Diri
2.1.1. Pengertian Konsep Diri
Berikut beberapa pendapat para ahli tentang batasan konsep diri :
1. William H. Fitts (1971:43)
Konsep diri didefinisikan sebagai keseluruhan kesadaran atau persepsi
mengenai diri yang diobservasikan, dialami dan dinilai oleh individu iti
sendiri.
2. Hurlock (1990:103)
Konsep diri adalah pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri secara
keseluruhan sebagai hasil observasi terhadap dirinya dimasa lalu dan pada saat
sekarang ini atau image individu mengenai karakteristik dirinya, yang
mencakup karakteristik fisik, sosial, emosional, aspirasi dan prestasi.
3. Blair (1996) dan Clara R. P (1988:78)
Konsep diri merupakan salah satu penentu dalam mengarahkan motivasi
seseorang, karena konsep diri menyangkut pengetahuan akan diri sendiri.
4. Snygg dan Cambs 1946, dalam Burns (1993:46), mengemukakan bahwa
konsep diri merupakan sebuah organisasi yang stabil dan berkarakter yang
disusun dari persepsi-persepsi yang tampak bagi individu bersangkutan
sebagai hal yang mendasar baginya. Konsep diri seseorang merupakan dirinya
sendiri dari titik pandangnya sendiri, artinya setiap saat individu selalu
TINJAUAN TEORITIS 12
melakukan persepsi-persepsi terhadap kejadian-kejadian yang ada
dilingkungannya dan kemudian menjadi penentu penting dari respon terhadap
lingkungannya, jadi menunjukkan kepada cara seseorang memandang dirinya.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya,
fisiknya, kemampuannya yang bersifat sangat individual dan sangat dinamis serta
evaluatif yang dikembangkan dalam lingkup kejiwaan dan akan selalu ada dalam
kehidupan kejiwaan seseorang. Karena itu konsep diri merupakan penentu yang
penting dari respon terhadap lingkungannya.
2.1.2. Dimensi-Dimensi Konsep Diri
Konseptualisasi yang sistematis tentang diri dimulai oleh William James
(Fitts, 1971:12) pada tahun 1890-an. Ia menyatakan diri global sebagai Me dan I
yang berlangsung bersamaan. Mereka merupakan aspek-aspek pembeda dari
kesatuan yang sama yakni diri sebagai pengenal (I/knower/experiencer), suatu
proses mengalami yang aktif dan diri sebagai dikenal(Me/known/experienced),
yaitu kadar (isi) dari pengalaman tadi. Jadi pengertian diri mengandung unsur diri
sebagai obyek maupun sebagai subyek.
Sejalan dengan pernyataan James, Hall, dan Lindzey (Fitts, 1971:14),
mengungkapkan bahwa istilah diri mengacu pada dua arti yang berbeda. Perilaku-
perilaku, perasaan persepsi dan evaluasi adalah ide dari diri sebagai obyek,
sementara berpikir, merasakan (perceiving) dan melakukan aktivitas-aktivitas
didefinisikan dengan diri fenomenal yang merupakan diri yang ia sadari, yakni
TINJAUAN TEORITIS 13
diri yang diobservasi, dialami, dan dinilai oleh individu itu sendiri. Keseluruhan
kesadaran dan persepsi-persepsi inilah yang merupakan gambaran diri yang
disebut sebagai konsep siri.
Konsep diri berpadu bersama dalam keseluruhan yang satu dan dinamis.
Bagian-bagiannya berinteraksi secara bebas dan memiliki keterkaitan satu dengan
yang lainnya. Secara bersamaan beberapa bagian atau keseluruhan mungkin
berinteraksi dengan aspek-aspek eksternal dari dunia fenomenalnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka Fitts (1971) membagi konsep diri
kedalam dua dimensi pokok, yaitu :
1. Dimensi Internal, terdiri dari :
a. Diri identitas (identity self)
b. Diri tingkah laku (behavior self)
c. Diri penilai (judging self)
2. Dimensi Eksternal, terdiri dari :
a. Diri fisik (physical self)
b. Diri moral-etik (moral-ethical self)
c. Diri personal (personal self)
d. Diri keluarga (family self)
e. Diri sosial (social self)
2.1.2.1. Dimensi-Dimensi Internal Self
Dimensi intenal berkaitan dengan bagaimana individu memandang dirinya
sendiri. Hall dan Lindzey (1970) mengemukakan dalam ulasan mereka mengenai
TINJAUAN TEORITIS 14
teori self bahwa istilah self menjadi memiliki dua arti yang sangat berbeda. Sikap-
sikap, perasaan-perasaan, persepsi-persesi, dan evaluasi-evaluasi dianggap sebagai
“diri sebagai obyek” (self-as-object), sedangkan berpikir, merasakan, dan
melakukan aktivitas didefinisikan sebagai “diri sebagai proses” (self-as-process).
Kita sepakat bahwa self merupakan obyek dan pelaku sekaligus, dan bahwa
persepsi mengenai diri (self-perceptions) berkaitan dengan kedua aspek dari self
ini. Diri secara keseluruhan, sebagaimana yang dialami oleh individu, tepatnya
dijuluki “diri fenomenal” (Snygg & Combs, 1949; Combs & Snygg, 1959). Diri
fenomenal ini merupakan diri yang diamati, dialami, dan dinilai oleh individu itu
sendiri; ini merupakan diri yang ia sadari. Jumlah total dari semua kesadaran ini
atau persepsi ini merupakan gambarannya mengenai dirinya – konsep dirinya.
Konsep diri ini bercampur bersama kedalam sebuah keseluruhan yang
menyatu dan dinamis. Bagian-bagian ini berinteraksi secara bebas dengan tetap
bersatu padu satu sama lainnya. Secara bersamaan setiap bagian yang diberikan
atau keseluruhannya, dapat saja berinteraksi dengan aspek-aspek eksternal dari
dunia fenomenalnya. Snygg & Combs (1949) mendefinisikan dunia fenomenal
sebagai persepsi individu atau dunia psikologis. Dalam konseptualisasi kami
terdapat tiga bagian penting atau sublevel dari self. Tiga bagian tersebut adalah:
self-as-object (self sebagai obyek) atau Identity Self; self-as-doer (diri sebagai
pelaku) atau Behavioral self; dan self-as-observer (diri sebagai pengamat) atau
Judging Self. Berikut ini merupakan penjelasan yang lebih terperinci mengenai
ketiga sublevel dari self tersebut.
TINJAUAN TEORITIS 15
a. Diri Sebagai Obyek (The Identity Self)
Diri identitas (identity self) boleh jadi merupakan aspek yang paling
mendasar dari konsep diri. Ini merupakan ciri-ciri “siapa saya” dari konsep
diri – julukan (kata “julukan” ini diartikan dari kata aslinya “label”, yang
untuk seterusnya akan tetap digunakan kata “julukan”) dan simbol yang
diberikan kepada self oleh individu untuk menggambarkan dirinya sendiri dan
membentuk identitasnya. Pada anak kecil julukan mungkin saja hanya sedikit
dan sederhana. Saya adalah “John”, kemudian “John Jones”; “saya tinggal di
rumah putih itu; saya “manis”, “pandai”, “kecil”, “berambut merah”, dan
“baik”, atau saya adalah “Mary”, “nakal”, “tidak diinginkan”, “bodoh”, dan
“buruk”. Sebagaimana anak berkembang, lebih banyak julukan (label)
ditambahkan baik oleh dirinya maupun oleh orang lain yang mana hal ini
membantunya menggambarkan dirinya dan menjawab pertanyaannya tentang
identitas.
Setiap elemen identitas ini pada suatu saat akan mempengaruhi cara dia
merasakan dunia fenomenalnya, cara bagaimana dia berespon terhadap dunia
fenomenal, atau berinteraksi dengan dunia fenomenalnya, dan pengamatan dan
penilaian yang dia buat tentang dirinya sebagaimana dia berfungsi. Elemen-
eleman identitas ini, atau julukan, terus berkembang seiring dengan
pertumbuhan dan perluasan kemampuan-kemampuan individu, aktivitas-
aktivitas, keanggotaan kelompok, dan sumber-sumber identifikasi. Bisa jadi
sumber material utama bagi diri identitas adalah diri pelaku. Perilaku
mendahului identitas pada bayi dan hingga derajat yang lebih rendah melalui
TINJAUAN TEORITIS 16
kehidupan. Seseorang tidak dapat, secara realistis, menjuluki dirinya sendiri
sebagai seorang pemain golf atau seorang tukang kayu tanpa terlebih dahulu
berpartisipasi dalam beberapa aktivitas yang berkaitan dengan golf atau
pemotongan kayu. Pada anak kecil identitasnya seringkali adalah perilakunya.
Dalam kebebasan eksistensialnya, sebelum gambaran tentang self yang
kompleks berkembang, dia “adalah” apa yang dia “lakukan” atau bagaimana
dia merasakan. Ketika dia bergabung dengan sebuah klub golf, dia bermain
golf, dan jika anda bertanya kepadanya apakah dia seorang pegolf, dia akan
menjawab dengan “iya” (menunjukkan dia mengetahu arti dari kata-katanya).
Pada saat dia marah, sangat gembira, atau takut, perasaan ini dan perilakunya
merupakan identitasnya yang primer untuk peristiwa khusus tersebut. Ketika
dalam fantasinya, dia mengambil identitas cowboy atau tentara, kemudian ia
mulai memainkan peran tersebut, maka artinnya dia tidak membuat setiap
peran bagian dari identitasnya tanpa juga membuatnya bagian dari
perilakunya.
Para ahli teori tentang self seringkali menekankan pengaruh bahwa diri
identitas, atau diri sebagai obyek, mendahului perilaku seseorang. Pengaruh
ini jelas. Jika saya diminta untuk menari dan “penari” bukan bagian dari
identitas saya dan bukan bagian dari daftar perilaku saya, maka saya mungkin
akan menolak untuk menari. Biar bagaimanapun, kebalikannya pengaruh
bahwa perilaku mendahului identitas tidak selalu dapat dikenali. Sebagai cara
untuk “menjadi” sesuatu, seseorang secara umum harus “melakukan” sesuatu;
tetapi sebagai cara untuk “melakukan” sesuatu, seseorang secara umum harus
TINJAUAN TEORITIS 17
“menjadi” sesuatu. Sehingga sebagai cara untuk menari saya harus menjadi
penari dan sebagai cara untuk menjadi penari saya harus menari.
Terdapat berbagai macam keterkaitan antara diri identitas dan diri pelaku.
Menarik disini untuk membedakan teori-teori psikoanalisa dengan
behaviorisme, yang mendominasi konseptualisasi tentang manusia dalam
psikologi. Behaviorisme mengabaikan diri identitas dan berkonsentrasi pada
diri pelaku. Ini mengambil posisi bahwa manusia adalah perilakunya dan
bahwa jika dia memiliki konsep diri secara keseluruhan, khususnya diri
identitas, hal itu merupakan hal penting yang sekunder. Teori psikoanalisa
berkonsentrasi pada identitas manusia-ini adalah definisinya (ketentuannya),
penyimpangan dan keidaktepatannya, dan evolusinya. Posisi kita adalah
bahwa subdiri sama pentingnya, dan bahwa setiap yang satu mempengaruhi
yang lainnya. Integrasi yang sesungguhnya atau aktualisasi dari self
membutuhkan kebebasan, keberlanjutan, dan keakuratan atau interaksi yang
realistis antar keduanya.
b. Diri Sebagai Pelaku (Behavioral Self)
Diri Pelaku akan berfungsi dengan sangat bebas pada anak kecil. Dia
melakukan apapun yang disarankan kepadanya untuk dilakukan melalui
stimulus internal dan eksternal. Konsekuensi dari perilakunya mempengaruhi
keberlanjutannya atau pemadamannya; hal tersebut juga menentukan apakah
perilaku yang baru diabstakkan, disimbolisasikan, dan digabungkan ke dalam
diri identitasnya. Hal ini secara instrinsik memberikan penghargaan untuk
melakukan sesuatu yang seseorang dapat melakukannya. Maslow (1954)
TINJAUAN TEORITIS 18
berhipotesis suatu dorongan dari dalam manusia berfungsi untuk melakukan
apa yang dapat dilakukan. Sebagaimana dia mengembangkan kemampuan
untuk membuat suara, merangkak, berdiri, berjalan, dan melompat, dia melatih
hal-hal tersebut dan dengan cepat menjadi cakap. Konsekuensi internal
memperkuat perilaku, perilaku dilatih dan dikuasai, dan kemampuan untuk
melakukan perilaku tersebut menjadi bagian dari identitas seseorang, sehingga
anak-anak mengalami dorongan atau kebutuhan untuk berjalan, menikmati
berjalan, menerima banyak perkuatan internal atau kepuasan dari prestasi
tersebut, dan mengaktualisasikan kemampuan baru yang tidak ada habisnya.
Juga, mungkin saja dengan tanpa arahan kesadaran mengenai apa yang terjadi,
diri identitasnya meluas (berkembang) untuk memasukkan julukan “pejalan”
dan pengetahuan bahwa dia bisa berjalan.
Sebagai tambahan terdapat konsekuensi eksternal dari perilaku. Orang tua
dan orang lain mengijinkan dan bangga jika anak-anak belajar berjalan, dan
mereka memperkuatnya secara positif. Bagaimanapun, penerapan beberapa
perilaku yang baru memiliki konsekuensi yang lebih kompleks. Menulis di
dinding atau mengganggu saudara perempuannya dapat memiliki konsekuensi
internal yang positif tetapi memiliki konsekuensi eksternal yang negatif, yang
kemudian menciptakan konflik. Orang tua menjadi marah dan menyalahkan,
anak kecil mempelajari bahwa perilaku seperti itu adalah “buruk” dan
sebaliknya tidak menyenangkan (tidak diinginkan). Proses belajar yang kurang
diinginkan (menyenangkan) dapat mengambil bentuk yang lain. Sebagai
contoh, ketika anak melihat perilakunya dan menyatakan, “saya melakukan ini
TINJAUAN TEORITIS 19
dan saya nakal”, dia menjuluki keseluruhan self-nya, bukan perilakunya yang
khusus. Atau mungkin dia bilang, “Saya melakukan ini tetapi saya bukan
orang macam ini”, kemudian menolak perilaku tersebut. Contoh yang lebih
spesifik dari penolakan dapat mengambil bentuk, “Saya mengambil benda ini,
tetapi saat saya bukan pencuri, ini tidak benar-benar mencuri”. Aletrnatif yang
lebih sehat, tentu saja, adalah “Saya melakukan ini dan ini adalah buruk,
kemudian salah satu diantara “Saya tidak akan melakukannya lagi atau Saya
akan menerima bahwa Saya telah memilih perbuatan yang tidak diinginkan
ini”.
c. Diri Penilai (Judging Self)
Interaksi antara diri identitas dan diri pelaku, dan integrasinya kedalam
konsep diri secara keseluruhan, juga melibatkan subself (subdiri) yang ke tiga
yakni diri penilai. Kita telah menyatakan bahwa satu dari kapasitas-kapasitas
manusia adalah kemampuannya untuk menyadari dirinya sendiri, untuk
mengamati dirinya sendiri dalam bertindak, dan untuk mengevaluasi dirinya
sendiri. Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, pemimpi,
pembanding, dan kebanyakan sebagai evaluator secara keseluruhan. Ini juga
menjalankan sebagai mediator (perantara) antara dua diri lainnya. Diri penilai
mengamati diri identitas dan diri pelaku dan mengatakan, “Selamat”, atau
“Saya suka kamu”, atau “Saya bangga kepadamu”. Hal ini berbeda dengan
superego aliran Freud dalam hal bahwa hal ini bukan sepenuhnya introjeksi
(penanaman) dari nilai-nilai dan standar-standar orang lain. Tidak ada yang
selalu bersekutu melawan id, sumber kepuasan alami dan impuls agresif dalam
TINJAUAN TEORITIS 20
diri manusia. Hal ini dapat diamati pada anak yang masih sangat kecil saat
mereka setuju atau tidak setuju dengan diri mereka sendiri. Mungkin saja
terdapat kebanggaan dalam beberapa pencapaian baru aktualisasi diri seperti
menyelesaikan sebuah puzzle, mewarnai gambar, belajar bersiul, atau
mengangkat benda yang berat. Bisa jadi terdapat kemuakan dan pencelaan
pada saat menjadi kecil atau canggung atau tidak dapat berfungsi dalam
tatakrama yang diinginkan. Diri penilai dapat memasukkan kesenangan murni
dari pemuasan impuls - rasa lapar, agresi, atau seks - atau kebanggaan dalam
menahan impuls yang berbahaya.
Kami mengatakan sejak awal-awal pentingnya kecenderungan dalam diri
manusia untuk memberikan nilai pada banyak persepsinya. Orang lain, obyek
lain, dan self dikenai nilai yang lebih banyak dan lebih tinggi, boleh jadi
bahkan karena, karakteristik khusus mereka atau perilaku khusus mereka.
Julukan tidak hanya menggambarkan self tetapi merupakan muatan nilai
(value-laden). Saya dapat merasakan diri saya sendiri sebagai orang yang
tinggi, hitam, dan kuat (diri identitas), tetapi persepsi ini mungkin sekali-kali
ditujukan kepada sifat yang diingini atau sifat yang tidak diinginkan mengenai
tinggi, warna, dan kekuatan saya. Saya mungkin menyadari bahwa saya
tegang, lelah, dan mudah marah; yang lebih penting adalah apakah saya
menganggap hal ini baik atau buruk untuk memiliki perasaan ini dan untuk
bertindak berdasarkan perasaan tersebut. Kecenderungan sifat evaluatif dari
self ini merupakan komponen utama (primer) dari persepsi diri, dan hal ini
TINJAUAN TEORITIS 21
memberikan bahan atau asupan bagi self-esteem, yang mana merupakan
perhatian utama bagi kebanyakan orang (Coopersmith, 1967).
Self-esteem dan self-actualization. Combs dan Snygg (1959) mengajukan
suatu motivasi dasar pada manusia untuk memelihara dan meningkatkan diri
fenomenal. Self-esteem sangat tergantung sekali pada peningkatan diri (self-
enhancement), untuk segala hal bahwa self-enhancing meningkatkan self-
esteem. Self-esteem juga berkaitan dengan pemeliharaan diri, atau konsep diri,
dalam perbaikan konsep diri yang membawa/mengandung resiko
merendahnya self-esteem bersifat mengancam dan selanjutnya bertahan.
Maslow (1954, 1959) juga memberikan kedudukan mengenai kepentingan
yang utama bagi self-esteem. Dalam hirarki kebutuhannya, level positif dari
self-esteem merupakan prasyarat terakhir bagi aktualisasi diri, sekali self-
esteem dicapai, individu bebas untuk berkonsentrasi pada pengaktualisasian
potensi-potensi dirinya. Coopersmith (1967), Roger (1952, 1961), dan
Puerkey (1970) juga mempertimbangkan self-esteem untuk menjadi
komponen primer (utama) dari self-perception (persepsi mengenai diri-istilah
ini juga digunakan untuk merujuk kepada konsep diri).
Diri pengamat atau diri penilai mengikuti secara mendasar kepada self-
esteem sebagaimana pandangan diri identitas dan diri pelaku. Kebanyakan dari
kita adalah pejalan (walker), pembicara (talker), pemerhati (seeker), orang-
orang yang diri identitas memiliki dua tangan, dua kaki, dan sebuah tubuh.
Kita juga diri dalam tindakan diri pelaku yang mana berjalan, berbicara dan
melihat. Tetapi bagi kebanyakan kita bentuk karakteristik dan tindakan ini
TINJAUAN TEORITIS 22
memiliki sedikit relevansi (keterkaitan) langsung bagi self-esteem dan
karakteristik dan tindakan tersebut surut kedalam latar belakang self-
perception. Bisa saja, bila kita pertama kali menemukan dan
mengaktualisasikan suatu kapasitas, kapasitas tersebut dengan sangat
menyenangkan meningkatkan aktualisasi diri, sebagaimana pertumbuhan baru
lainnya terhadap aktualisasi diri. Bisa saja pada waktu itu kapasitas tersebut
merupakan sumber bagi self-esteem yang besar dan dengan cepat memberikan
posisi yang terkemuka dalam diri identitas. Bahkan sekarang, kehilangan, atau
ancaman kehilangan, dari kapasitas ini dapat dengan cepat membangkitkan
kembali vitalitas pentingnya kapasitas ini bagi self-esteem kita. Kapasitas
tersebut mungkin saja relative tidak penting dalam meningkatkan self tetapi
sangat penting untuk memelihara self.
Mari kita katakan, maka, bahwa self-perception memfokuskan secara
utama pada karakteristik dan diri identitas dan tindakan-tindakan dari diri
pelaku tersebut yang secara langsung terlibat dalam pemeliharaan atau
peningkatan self. Atribut atau keahlian yang penting di masa lalu menjadi
tidak relevan jika aribut dan keahlian tersebut tidak berkontribusi bagi self-
esteem sekarang ini. Kenyataan bahwa saya pada usia 12 tahun adalah
pemenang kelereng, atau pemilik setelan baru yang indah, sedikit berarti bagi
self-esteem saya pada usia 45 tahun; kenyataan ini tidak penting untuk konsep
diri saya saat ini. Atribut dan keahlian tersebut mungkin, biar bagaimanapun
memiliki kontribusi bagi konsep diri saya saat ini melalui penambahan kepada
keunikan atau gudang pertumbuhan self-esteem saya, sehingga membebaskan
TINJAUAN TEORITIS 23
saya untuk menuju aktualisasi diri yang lebih hebat, yang pada gilirannya,
menghasilkan self-esteem yang lebih.
Penghargaan diperoleh dari dua sumber utama – self dan orang lain.
Penghargaan dipelajari sebagaimana halnya seseorang mencapai tujuan yang
khusus, dioperasikan oleh nilai yang khusus, atau diukur dengan standar yang
khusus. Tujuan, standar dan nilai ini mungkin saja internal atau eksternal, atau
kedua-duanya. Tujuan, standar, dan nilai tersebut mungkin ditetapkan,
diregulsi, dan diaplikasikan oleh diri penilai, oleh orang lain, atau oleh
keduanya. Secara umum, nilai, tujuan, dan standar yang pada awalnya
digabungkan dari orang lain dan penghargaan dapat di peroleh hanya melalui
pengukuran atas permintaan dan pengharapan orang lain sehingga sumber
awal dari self-esteem adalah penghargaan dari orang lain. Ini merupakan
kedudukan awal teori Maslow (1954). Kami berpendapat, biar bagaimanapun,
penghargaan juga berasal dari self. Seseorang menghadapi kebutuhan
fisiologisnya sendiri, melindungi self-nya sendiri, mencintai, dan kalau tidak
mengaktualisasikan kemampuannya. Maslow (dalam Globe, 1970) kemudian
mengiyakan ide yang sama – yang mesikpun self-estem penting bagi
aktualisasi diri, aktualisasi diri juga penting bagi self-esteem.
Diri Penilai tidak hanya sebagai pengamat tetapi pengamat yang
mengevaluasi. Ia melihat kepada diri identitas dan diri pelaku dan
mengatakan, “itu baik”, atau “ini buruk”. Jika ciri, karakteristik, dan perilaku
merupakan pengaktualisasian diri, maka diri penilai senang dan mengatakan
“bagus”. Maslow dengan kuat meyakinkan bahwa nilai aktualisasi diri dengan
TINJAUAN TEORITIS 24
sangat mengagumkan konsisten di dalam dan lintas orang dan didalam dan
lintas budaya. Hal ini tidak berarti, orang tua atau orang dari setiap individu
mengoperasikan diri mereka melalui nilai pengaktualisasian diri. Mereka
mungkin menyediakan nilai dan standar yang diadopsi oleh anak meskipun
sesungguhnya bahwa standar ini bertentangan dengan nilai pengaktualisasian
diri yang dimiliki anak. Standar yang diaplikasikan diri penilai tergantung
kepada tingkat yang mana nilai pengaktualisasian diri dioperasikan
(dijalankan) dalam kaitannya dengan nilai-nilai lain yang bertentangan dan
kemajuan seseorang telah dilakukan menuju aktualisasi diri.
Apapun standar khusus yang digunakan oleh diri penilai, standar tersebut
diaplikasikan dalam dua cara – dalam cara-cara yang sudah pasti (absolute)
dan dalam cara-cara yang relative atau komparatif. Seseorang mungkin
mengatakan dalam perasaan yang pasti, “saya adalah orang baik dan apa yang
saya lakukan pada saat ini adalah baik”, atau dalam perasaan yang relative, dia
mungkin mengatakan, “tetapi apakah saya sebaik sebagaimana saya
seharusnya, atau sebagaimana yang saya inginkan, atau sebagaimana saya
dapat menjadi baik, atau sebagaimana orang lain baik? sehingga fakta bahwa
saya adalah penulis atau apakah saya menulis, mungkin tidak penting bagi
identitas saya atau bagi self-esteem saya. Tetapi, menulis atau menjadi penulis
adalah penting buat saya, dan jika saya menganggap menulis menjadi “bagus”,
self meningkat, dan dengan demikian self teraktualisasi, maka menjadi bagian
penting dari diri identitas saya, dan diri pelaku saya.
TINJAUAN TEORITIS 25
Diri penilai saya selanjutnya senang kepada saya karena menulis dan
mengijinkan saya untuk memasukkan “penulis” sebagai bagian dari identitas
saya, dan self-esteem diperoleh dalam hitungan kedua. Jika diri penilai saya
memiliki standar yang lebih tinggi, dan mengatakan saya tidak menulis
dengan cukup atau tidak menulis dengan cukup baik, maka saya akan tidak
puas dengan diri saya. Dengan demikian diri penilai menentukan kepuasan
seseorang terhadap self atau pada tingkatan yang mana ia dapat hidup dengan
dan mentolerir dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah cenderung untuk
memunculkan kesadaran diri yang berlebihan (akut), self-esteem yang rendah,
dan bisa saja dasar ketidak percayaan terhadap diri yang mengharuskan
kewaspadaan terus menerus. Kepuasan diri yang tinggi, jika berdasarkan
kepada kewaspadaan diri yang realistis, memungkinkan seseorang untuk
melupakan self, untuk memfokuskan perhatiannya dan energinya keluar dan
untuk membebaskan self untuk berfungsi dalam cara-cara yang lebih
konstruktif.
2.1.2.2. Dimensi-Dimensi Eksternal Self
Presentasi mengenai tiga subdiri utama secara tidak langsung menyatakan
dinamika interaksi antara ketiganya. Interaksi ini dapat menjadi bebas dan dengan
mudah mengarahkan kepada peningkatan kualitas diri (self-enhancement), atau
dapat menjadi menegang, berbelit-belit, sangat menyakitkan, dan melemahkan
diri (self-debilitating). Hal ini dapat menguasai tahapan pusat dari eksistensi
manusia, atau dapat mengambil tempat kerendahdirian di belakang layar pada saat
TINJAUAN TEORITIS 26
pertunjukkan terus berlabnjut di depan layar. Gambaran ini semakin diperumit
oleh fakta bahwa terdapat subdiri yang lainnya. Sarbin (1952) mengajukan
sebuah gagasan/ide dalam hal mana pengelompokkan subdiri secara bersama-
sama kepada bentuk self secara keseluruhan (total self). Subdiri ini merupakan
dimensi eksternal didalam kerangka acuan, sebagaimana berlawanan dengan
dimensi internal dari diri identitas, diri pelaku,dan diri penilai. Subdiri dari Sarbin
mengusung berbagai macam julukan yang serupa dengan diri fisik (Physical Self),
diri moral etis (Moral-Etical Self), diri pribadi (Personal Self), diri keluarga
(Family Self), dan diri sosial (Social Self) dari Tennessee Self Concept Scale atau
TSCS (Fitts, 1965). Berikut ini merupakan sedikit penjelasan mengenai subdiri
eksternal tersebut, yaitu:
a. Diri fisik (Physycal self) yaitu bagaimana individu memandang fisiknya,
seksualitas, kondisi kesehatannya, dan penampilannya.
b. Diri moral etik (moral-etical self) yaitu bagaimana seseorang mempersepsikan
dirinya sebagai individu yang dihubungkan dengan moral, etika dan agama.
c. Diri personal (personal self) yaitu bagaimana individu mempersepsikan
keberhargaan dirinya, keadekuatan pribadi, self respect dan kepercayaan
dirinmya.
d. Diri keluarga (family self) yaitu bagaimana individu mempersepsikan dirinya
berkaitan dengan kelompok primernya, (keluarga dan teman dekat) dan
perasaan keadekuatannya sebagai anggota keluarga.
e. Diri sosial (social self) yaitu bagaimana individu mempersepsikan dirinya
sendiri di dalam interaksi sosialnya dengan orang lain yang ada disekitarnya.
TINJAUAN TEORITIS 27
Mungkin saja perbedaan antara dua tipe subdiri yang berbeda ini dapat
dijelaskan melalui sebuah analogi. Jika kita memvisualisasikan (membayangkan)
total self sebagai sebuah objek dengan keseluruhan bentuknya-bulatan, kubus,
silinder, atau elips (bulat panjang), kita kemudian mungkin dapat saja membagi
lagi obyek tersebut dalam berbagai macam cara. Kita dapat mengirisnya secara
horizontal, atau kita dapat mengirisnya secara vertikal. Dua irisan ini akan tampak
sangat berbeda, sebagaimana memotong sebuah jeruk secara horizontal dan
vertikal, meskipun mereka tetap memilik porsi yang sama secara keseluruhan.
Metode lain mengenai pembagian dapat saja dengan memindahkan dari kulit
luarnya kedalam melalui lapisan, sebagaimana mengupas sebuah jeruk. Analogi
dan model tersebut memiliki keterbatasan sifat aplikatifnya. Meskipun demikian,
untuk tujuan saat ini, mari kita katakan bahwa ketiga dasar diri merupakan lapisan
yang berbeda dari total self: Diri identitas merupakan inti yang biasanya tidak
terlihat, diri pelaku merupakan kulit luar yang sudah dapat diamati, diri penilai
adalah pertengahan, bagian yang mengantarai.
Kita akan mengambil keseluruhan yang sama ini dan mengirisnya secara
horizontal kedalam deretan bertingkat yang dapat menggambarkan sub bagian
seperti ini: diri yang seharusnya aku menjadinya; diri yang dimana aku berada
dalam keadaan terbaik atau keadaan paling buruk; diri yang aku ingin menjadinya
jika aku benar-benar bebas; diri yang aku gunakan, dan sepertinya. Pendekatan
lainnya adalah untuk memvisualisasikan bagian vertikal alamiah dari jeruk, setiap
bagiannya terpisan namun memiliki beberapa interaksi dengan bagian yang
TINJAUAN TEORITIS 28
lainnya (sebagaimana halnya jika satu bagian mulai membusuk) dan setiap bagian
berkontribusi dalam bentuk dan struktur dari keseluruhan.
Subdiri vertikal ini bisa jadi sangat banyak, tergantung kepada peran,
aktivitas, dan nilai-nilaidari individu. Bagaimanapun, subdiri yang secara umum
lebih aplikatif adalah lima subdiri yang telah diukur melalui TSCS. Subdiri yang
lainnya kemungkinan besar diri sekolah, diri professional, diri sebagai kencanan
(pecinta), diri sebagai anggota masyarakat, diri ketika mabuk, atau diri ketika
menghadapi bos. Pemahaman yang lengkap atau pengukuran terhadap berbagai
konsep diri seseorang membutuhkan pertimbangan mengenai bentuk subdirinya
yang unik. Meskipun demikian, setiap potongan diri vertikal ini melalui, atau
mengandung/berisi elemen-elemen dari, tiga lapisan dasar horizontal dari Diri
Identitas, Diri Penilai, dan Diri Pelaku. Seeman (1959) berteori bahwa dalam
integritas seseorang yang baik (well-integrated) terdapat konsistensi yang kuat
antara berbagai subsistem dan didalam berbagai subsistem organisme (seperti
subsistem fisiologis, subsistem kognitif, subsistem afektif, dan subsistem
perceptual). Seperti itu juga seharusnya berbagai subdiri. Mereka divisualisasikan
sebagai lapisan, irisan horizontal, atau bidang vertikal. Derajat konsistensi internal
antara dan didalam subdiri ini semestinya saling berkaitan dengan integrasi dan
dengan efektivitas yang dengan ini keseluruhan self berfungsi.
2.1.3. Perkembangan Konsep Diri
Lebih banyak yang kita pelajari tentang bagaimana orang memandang
dirinya sendiri lebih nampak kita dapat mempengaruhi perubahan dalam
TINJAUAN TEORITIS 29
pandangan tersebut. Bagaimana individu mengembangkan bentuk khusus dari
konsep yang ia juluki “self”?. Para pekerja rehabilitasi perlu mengetahui
lingkungan, peristiwa, atau pengalaman yang signifikan yang menentukan
ketepatan, keberagaman, dan konsistensi dari self-perception, sebagaimana halnya
nilai – positif atau negatif – memiliki tempat dalam persepsi tersebut. Suatu
pengetahuan memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari
proses rehabilitasi.
Kami akan menekankan bahwa bab ini secara pokok berhadapan dengan
pertanyaan yang lebih banyak dari pada jawaban yang pasti. Bagaimana, kapan,
dan dalam cara yang bagaimana konsep diri dikembangkan? Apa yang
memfasilitasi/memudahkan atau menghambat perkembangannya? Pengalaman
seperti apa dengan orang tua dan orang lain yang mempengaruhi konsep diri?
pertanyaan-pertanyaan ini lebih mudah muncul dari pada jawabannya.
Kebanyakan dari literatur teori yang ada, bersifat spekulatif, hipotetik, dan
meragukan – terdapat sangat sedikit data penelitian.
Terdapat sejumlah alasan mengapa ini nyata. Pertama, sedikit pekerjaan
eksperimen dalam psikologi perkembangan dimunculkan melalui teori konsep
diri. Meskipun demikian, penelitian menemukan dari banyak penelitian-penelitian
perkembangan menyinggung pengaruh dan faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri individu. Penerjemahan secara hati-hati terhadap semua penelitian-
penelitian perkembangan kedalam kerangka kerja dari teori self akan menjadi
sumbangan yang penting, tetapi sayangnya tugas semacam ini berada diluar
jangkauan bab ini.
TINJAUAN TEORITIS 30
Teori tentang self, sendirinya, menghadirkan kesulitan-kesulitan dalam hal
bahwa area tersebut dikacaukan oleh istilah-istilah dan definisi-definisi yang tidak
konsisiten. Hall dan Lindzey (1970) dalam survei mereka mengenai teori self
mengekspresikan perasaan frustrasi mereka atas keadaan ini dari perkara berikut
ini: “seseorang sebaiknya berharap bahwa ada kemungkinan untuk menetapkan
definisi tentang self dan ego melalui cara yang standar dan menjadikannya tidak
sah untuk menggunakannya dalam berbagai cara lain (h.523).”
Kesulitan selanjutnya muncul dari masalah umum berkaitan dengan
pengukuran dalam teori self dan masalah yang lebih khusus berkaitan dengan
pengukuran konsep diri anak kecil. Fakta bahwa TSCS melibatkan variabel yang
lebih kompleks dibandingkan alat ukur konsep diri lainnya dan ketidak
sesuaiannya bagi anak kecil menambah masalah khusus kita. Oleh karena itu tidak
ada data langsung yang tersedia mengenai variabel-variabel konflik, variabilitas,
kejelasan, kebertahanan, penyimpangan, atau self-esteem dari TSCS pada anak
kecil. Beberapa penelitian menggunakan TSCS, biar bagaimanapun, memberikan
data yang relevan dengan gagasan tentang perkembangan konsep diri sebagai
proses yang terus berjalan (on going proses) secara berkelanjutan sepanjang
hidup.
Pada titik ini kami akan mempertimbangkan beberapa teori yang
bermaksud menghitung perkembangan konsep diri. Diskusi ini akan diikuti oleh
ulasan mengenai penelitian yang berhubungan dengan masalah-masalah
perkembangan konsep diri.
TINJAUAN TEORITIS 31
2.1.4. Penelitian yang Berhubungan
1. Perbedaan Usia
Hanya satu penelitian yang menggunakan TSCS untuk menunjukkan
perbedaan konsep diri seseorang pada tingkat usia yang bervariasi. Dalam
penelitian ini, Grant (1966) melakukan TSCS kepada 500 individu dengan
usia antara 20 hingga 69 tahun dan faktor yang digunakan menganalisis
respon melalui interval usia 10 tahun. 15 faktor pokok dimunculkan. Dia
menemukan variasi yang sistematis dalam konsep diri tingkat usia yang
berbeda dan menyimpulkan bahwa perasaan-perasaan yang orang melaporkan
tentang dirinya sendiri cenderung menjadi lebih positif seiring usia. Perasaan
mengenai diri seseorang tampak merefleksikan perkembangan perubahan
melewati masa dewasa. Pengaruhnya, sikap diri seseorang berubah, dan untuk
beberapa perluasan sikap diri tersebut berubah sebagaimana fungsi usia (h.65-
69).
Grant juga menemukan sejumlah interaksi saling mempengaruhi yang
signifikan antara usia dan jenis kelamin. Sebagai contoh, laki-laki pada usia
30 tahun lebih asertif dan laki-laki di usia 50an lebih pasif bila dibandingkan
dengan wanita, atau dengan laki-laki pada usia yang lain. Penelitian Grant
terbatas dalam hal bahwa ia tidak menggunakannya pada usia dibawah 20
tahun dan dia tidak memakai prosedur skoring yang lama dari TSCS. Sebagai
tambahan, individu tidak diteliti sepanjang waktu, tetapi lebih merupakan
cross-sectional dari berbagai tingkat usia yang diteliti secara simultan.
Relefansi penemuan ini bagi teori perkembangan, dengan demikian, terbatas.
TINJAUAN TEORITIS 32
2. Pengaruh Orang Tua
Dua penelitian lainnya meyakini bahwa perilaku anak dan konsep dirinya
dipengaruhi oleh konsep diri orang tua mereka. Bealmer, Bussell, Bussell,
Cunningham, Gideon, Gunderson, dan Livingston (1965) meneliti anak
usia 8 hingga 10 tahun dan menemukan hubungan yang signifikan antara
konsep diri orang tua dengan konsep diri anak. Dimana salah satu atau kedua
orang tua memiliki konsep diri yang sehat, positif, konsep diri anak
cenderung menjadi positif juga. Lebih lanjut, pelajar dengan prestasi tinggi
memiliki konsep diri yang lebih positif (sebagaimana orang tua mereka)
dibandingkan dengan pelajar yang memiliki prestasi rendah, meskipun
kecerdasan mereka tidak berbeda. Penelitian ke-dua (Coleman, Freeman, &
Owens, 1966) melibatkan anak-anak yang terganggu secara emosional,
berusia antara 6 hingga 12 tahun, dan orang tua mereka. Alat ukur konsep diri
(TSCS) dipakai untuk orang tua tetapi tidak pada anak; malahan anak
dikategorikan kedalam dua tipe gangguan perilaku yang berbeda – acting out
(banyak tingkah) dan pendiam. Hasilnya mengindikasikan bahwa orang tua
dari anak yang mengalami gangguan ini (klien pusat kesehatan mental) diri
mereka lebih terganggu dari pada orang dengan konsep diri yang negatif dan
menyimpang. Penelitian ini memberikan dukungan bagi hipotesis bahwa
kekhususan alamiah dari konsep diri orang tua berkaitan dengan tipe
gangguan emosi pada anak. Pada kelompok anak-anak pendiam, ayah mereka
lebih positif dan lebih defensif, sementara ibu mereka lebih berubah-ubah,
lebih neurotik dan secara umum lebih maladjustmen. Pada kelompok anak
TINJAUAN TEORITIS 33
yang banyak tingkah, ayah mereka menunjukkan lebih banyak bukti
gangguan kepribadian dan ibu mereka menampilkan lebih neurotik.
Menggunakan skor NDS sebagai kriteria, ibu pada anak-anak yang pendiam
merupakan kelompok yang lebih banyak terganggu, diikuti oleh ayah dari
anak-anak yang banyak tingkah, ibu dari anak-anak yang banyak tingkah, dan
ayah dari anak-anak yang pendiam. Pembuktian labih lanjut dari hipotesis ini
datang dari fakta bahwa anak-anak yang konsep diri ayahnya lebih sehat dari
pada ibu mereka cenderung untuk menarik diri, sedangkan anak-anak yang
konsep diri ibunya lebih kuat dari suaminya cenderung bertingkah berlebihan.
Dukungan tambahan terhadap pengaruh konsep diri orang tua atas konsep
diri anak-anak mereka diberikan oleh George (1970) dan Searles (1963).
Sebagai bagian dari penelitian mengenai aspirasi kejuruan pada remaja Negro
laki-laki (senior SMU), George memberlakukan pengukuran TSCS kepada
anak laki-laki dan orang tua mereka. Dia menemukan bahwa anak laki-laki
yang aspiratif memiliki konsep diri yang jauh lebih sehat dari pada yang tidak
aspiratif dan sama sebagaimana diri ideal mereka yang sebenarnya. Ketika
konsep diri anak dan orang tua dikorelasikan (menggunakan skor total P),
data menarik lainnya saling berkaitan. Subyek yang aspiratif menunjukkan
korelasi yang signifikan dengan konsep diri ibu (r=0.48) dan konsep diri
ayahnya (r=0.48) sekaligus. Konsep diri subyek yang tidak aspiratif
menunjukkan hubungan yang lebih rendah dengan konsep diri ibunya (r=0..4)
dan tidak ada korelasinya dengan konsep diri ayahnya (r=0.08). pada pelajar
yang digambarkan memiliki iklim rumah yang positif dan hubungan keluarga
TINJAUAN TEORITIS 34
yang positif memiliki konsep diri yang lebih positif dan lebih konsisten dan
kurang kritis terhadap diri mereka sendiri.
Sharon Thomas (1967), dalam penyelidikannya terhadap pelajar tingkat
tujuh di Utah, menemukan korelasi yang signifikan antara self-seteem dengan
perasaan penerimaan orang tua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan
merujuk pada kedua orang tua. Korelasi ini (berjarak antara 0.384 hingga
0.563) bebas dari apakah anak selalu tinggal bersama kedua orang tuanya.
Pada saat semua korelasi signifikan, yang menarik untuk dicatatat adalah
bahwa self-eteem dan penerimaan orang tua berkorelasi dengan lebih tinggi
pada anak laki-lak dari pada anak perempuan. Bila kelompok dibagi ke dalam
dua tingkat sosial ekonomi berdasarkan tingkat pendidikan ayah,
kecenderungannya meyakinkan perbedaan sosial ekonomi dalam pola-pola
interaksi orang tua-anak. Bila ayah berpendidikan tinggi, self-esteem dari anak
laki-laki secara berdekatan berkaitan dengan penerimaan keibuan (r=0.579)
dan penerimaan keayahan (0.522). Biar bagaimanapun, untuk anak
perempuan dengan pendidikan ayah, hubungan ini tidak terbukti (r=0.12 dan
r=0.147, untuk penerimaan keibuan dan penerimaan keayahan, berturut-turut).
Bila ayah memiliki sedikit pendidikan, self-esteem dan penerimaan keibuan
berkorelasi dengan tinggi bagi anak laki-laki (r=0.510) dan anak perempuan
(r=0.582). Hal ini sangat kurang sesuai dengan penerimaan keayahan (r=0.286
dan 0.342, bagi anak laki-laki dan perempuan, berturut-turut). Pada penelitian
yang relevan lainnya, Mary Ball Miller (Ball, 1969; Miller, 1970)
menghipotesiskan sebuah hubungan kurva linier antara kesehatan mental
TINJAUAN TEORITIS 35
mental dengan identifikasi terhadap orang tua dan orang lain. Dia berhipotesis
bahwa terlalu sedikit atau terlalu banyak identifikasi (salah satunya) akan
direfleksikan oleh konsep diri yang tidak sehat. Penelitiannya terhadap
mahasiswa pria menunjukkan, malahan, hubungan linier yang jelas. Subyek
dengan identifikasi yang paling kuat terhadap ibu, atau dengan ayah, jelas
sekali memiliki integrasi konsep diri yang terbaik. Diamati secara hati-hati,
subyek dengan identifikasi yang rendah memiliki konsep diri yang paling
rendah dan kelompok tengah memiliki konsep diri yang jatuh diantara dua
kelompok lainnya dalam kebanyakan skor. Hasil mengenai identifikasi
dengan beberapa orang yang signifikan selain orang tua orang tersebut
menunjukkan pola yang mirip (identik).
Sejumlah penelitian lainnya dengan TSCS merupakan beberapa relevansi
dengan pengaruh orang tua dalam konsep diri. Pekerjaan yang dilakukan oleh
Sumpter (G.Roy, Personal Communicaion, 1969) dari Universitas Auburn,
yang tidak dipublikasikan, terhadap pemuda di Alabama yang mengalami
gangguan, menyelidiki pola interaksi keluarga dalam hal lamanya melalui
angket khusus dan menghubungkan hasilnya dengan skor TSCS. Meskipun
koefisien korelasinya mungkin saja sedikit menipu dikarenakan skor self-
esteem yang terlalu rendah dari sampel tersebut, korelasi tersebut
mengungkapkan beberapa hubungan yang signifikan antara variabel konsep
diri dengan pola-pola keluarga. Sejumlah perbedaaan antara orang-orang
Negro dan kulit putih mungkin merefleksikan perbedaan latihan kebiasaan
yang melatarbelakangi anak. Bagi orang kulit putih, skor self-esteem yang
TINJAUAN TEORITIS 36
tinggi dan skor maladjustmen yang rendah berkorelasi secara signifikan
dengan keutuhan keluarga, interaksi yang menyeluruh, dan integrasi keluarga.
Anomi keluarga berhubungan secara negatif dengan variabel self-esteem. Pola
korelasi ini tidak mencakup sampel orang Negro kecuali dalam area interaksi
keseluruhan keluarga. Sebagai tambahan, pada anak Negro laki-laki, integrasi
kepribadian berkorelasi negatif dengan anomi keluarga, dan skor self-esteem
lebih rendah pada keluarga dimana kedua orang tua membagi tanggung jawab
terhadap keluarga.
Dalam penelitian yang tidak dipublikasikan lainnya, McTier (Donalyn
M. McTier, personal communication, 1959) dari Sekolah Tinggi Agnes
dilaporkan menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri
pelajar wanita yang merupakan anak tunggal versus mereka yang bukan anak
tunggal. Penelitian yang lebih baru yang dilakukan oleh Curry, Manning,
dan Monroe (1971) terhadap pemuda yang mengalami gangguan di
Tennessee, menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara konsep diri dan
urutan kelahiran dan sedikit perbedaan antara mereka yang berasal dari
keluarga yang broken home versus keluarga yang utuh. Mikesell (1970)
menemukan bahwa identitas peran jenis kelamin pada pelajar laki-laki
(sebagaimana yang diukur melalui Franck Drawing Completion Test) tidak
berhubungan dengan konsep diri. Gordon (1970) mengemukakan bahwa cara
orang tua melatih kekuatan dalam mengontrol anak mereka mempengaruhi
konsep diri dan derajat permusuhan pada anak. Sepanjang garis ini,
penyelidikan yang lebih awal oleh Toews (1966) menjelajahi hubungan antara
TINJAUAN TEORITIS 37
self-esteem (diukur melalui skot total P pada TSCS), persepsi terhadap kontrol
orang tua, dan bentuk ekspresi permusuhan pada remaja. Perempuan dengan
self-esteem yang tinggi dilaporkan kurang jelas permusuhannya dibandingkan
dengan mereka dengan self-esteem yang rendah. Fantasi permusuhan tertinggi
pada subyek dari kedua jenis kelamin yang menunjukkan self-esteem yang
rendah dan kontrol orang tua yang permisif. Secara umum, biar
bagaimanapun, tidak menunjukkan hubungan yang sangat jelas atau
signifikan lintas jenis kelamin bagi variabel-variabel yang diteliti.
Bisa saja ini mungkin mengindikasikan bahwa tidak terlalu banyaknya
kontrol orang tua pada setiap subyek yang mempengaruhi konsep diri anak
sebanyak aspek-aspek lain dari hubungannya. Sebagai contoh, beberapa
penelitian memuji tentang indikasi bahwa perbedaan sosio-kultural dalam
latar belakang anak dan hubungan orang tua–anak mempengaruhi
perkembangan konsep diri anak. Penelitian Corrigan (1970) terhadap orang-
orang Indian Amerika memberikan informasi tambahan disini. Corrigan
menemukan bahwa meskipun terdapat perbedaan kecil antara suku bangsa,
kecenderungan umum dari self-estem yang sangat rendah, kebingungan yang
berlebihan, kontradiksi, ketidaktentuan, dan persetujuan tanpa protes didalam
pelaporan diri (self-reporting) merupakan kenyataan bagi seluruh kelompok.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa orang tua memiliki pengaruh yang
signifikan atas konsep diri dari anak mereka, bahkan terhadap remaja dan
dewasa awal. Tampak hampir aman untuk mengambil kesimpulan,
sebagaimana banyak teoritis menerimanya sebagai kenyataan, bahwa
TINJAUAN TEORITIS 38
pengaruh orang tua paling kuat selama masa awal anak-anak. Hal ini juga
nampak jelas dari penelitian yang dilakukan oleh Mary Ball Miller dan yang
dilakukan oleh George bahwa individu yang melakukan identifikasi dengan
kuat terhadap orang tuanya dan orang lain yang signifikan cenderung
memiliki konsep diri yang lebih baik. Penelitian terdekat yang dilakukan
dengan cermat, biar bagaimanapun, mengindikasikan bahwa hubungan antara
aktualisasi diri (sebagaimana dibuktikan melalui konsep diri yang sehat) dan
derajat identifikasi tidaklah sederhana, hubungan yang linier. Jika memang
benar, individu yang mengindentifikasikan dirinya dengan kuat terhadap
orang tua yang menyimpang akan menyimpangkan dirinya sendiri. Bisa saja
ini secara aktual tampil dalam beberapa contoh, sebagaimana individu yang
terganggu secara emosional. Biar bagaimanapun, pekerjaan George (1970)
mungkin membantu untuk memisahkan hubungan keterkaitan ini.
Penemuannya meyakinkan bahwa remaja pria tidak mengidentifikasikan
dirinya dengan ayahnya yang memiliki konsep diri rendah. Dengan kata lain,
bila orang tua tidak nampak sebagai obyek yang dinginkan identifikasi,
kemungkinannya bahwa anak akan memilih ayahnya sebagai model
berkurang. Data dari Coleman dan kawan-kawan (1966) juga
mengindikasikan bahwa anak-anak cenderung untuk lebih beridentifikasi
dengan yang terkuat dari kedua orang tuanya.
Akan tidak mengejutkan bagi setiap orang bahwa orang tua mempengaruhi
bentuk konsep diri yang dikembangkan oleh anak mereka. Ini juga masuk
akal bahwa “orang lain yang signifikan” berkontribusi bagi perkembangan
TINJAUAN TEORITIS 39
konsep diri seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Miller (1970)
menunjukkan bahwa pelajar yang memiliki identifikasi yang kuat dengan
orang yang signifikan memiliki konsep diri yang lebih baik. Pekerjaan dari
Trowbridge (1969, 1970) dan kolega-koleganya dalam Project IMPACT di
Des Moines menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara konsep diri
guru dengan muridnya. Korelasinya lebih besar bagi guru dan murid yang
telah berada dalam satu kelas selama dua tahun dari pada merka yang telah
bersama-sama hanya untuk satu tahun. Intisari apa yang dapat diambil dari
data ini mengenai pengaruh orang tua terhadap perkembangan konsep diri?
Mari kita menempatkan ini dalam bentuk dalil: Bila orang tua memiliki
konsep diri yang sehat, konsisten, dia dapat memberikan lingkungan yang
lebih aman dalam bentuk cinta (kasih sayang), perhatian, dan penghargaan
terhadap anaknya. Jika ini terjadi anak dapat menyenangi, memberi nilai, dan
menghargai dirinya sendiri dan menghadapi dunia dengan keamanan dan
kepercayaan yang lebih hebat. Bila kedua orang tua memberikan pengasuhan
semacam ini, konsep diri anak bahkan lebih kuat. Dengan tambahan
perkuatan (reinforcement) yang diberikan oleh orang lain yang signifikan,
konsep diri selanjutnya akan semakin kuat. Pada setiap contoh anak
cenderung mengidentifikasi dan mencontoh dirinya sendiri setelah orang yang
memiliki nilai positif bagi dirinya. Banyak orang normal memiliki hubungan
yang menguntungkan dengan kedua orang tuanya sebagaimana halnya dengan
orang lain yang signifikan. Bisa saja sesungguhnya self mengaktualisasikan
orang yang mengalami suatu hubungan dengan banyak orang. Beberapa
TINJAUAN TEORITIS 40
mendapati mereka tanpa satu dari mereka dan meninggalkan
kenikmatan/kesenangan dari penarikan diri, obat-obatan, atau kondisi
katatonia. Orang tua dan keluarga dekat mungkin penting sekali bagi
perkembangan awal konsep diri, tetapi perkembangan yang selanjutnya dan
perubahan dalam self-perception dipengaruhi oleh banyak orang lain.
3. Pengaruh Lainnya
Kebanyakan ahli teori self setuju bahwa konsep diri, sekali terdiferensiasi
dan terstruktur dengan jelas, merupakan kesatuan yang hampir stabil. Mereka
juga setuju, biar bagaimanapun, bahwa melewati kehidupan konsep diri
berkembang secara berkelanjutan dan berubah. Dalam rasa hormat ini, sulit
untuk membedakan dengan jelas antara pokok pembicaraan tentang
perkembangan konsep diri dengan perubahan konsep diri. Kami memiliki
pernyataan awal bahwa pengetahuan tentang perkembangan konsep diri
mungkin ternyata penting dalam memberikan petunjuk baru atas perubahan
konsep diri. Bisa saja sebuah kasus besar yang sama-sama bagusnya dapat
dibuat untuk dalil yang bertentangan bahwa pengetahuan baru tentang
perkembangan konsep diri akan dapat membantu kita untuk memahami
dengan lebih baik perkembangan konsep diri. Jika kita boleh menetapkan
bahwa faktor-faktor yang benar-benar mempengaruhi konsep diri seseorang
secara mendasar hal yang sama melalui kehidupan, maka kita dapat
menganggap perkembangan dan perubahan menjadi istilah yang sepadan
(memiliki arti yang sama). Kita kemudian dapat mempelajari peristiwa-
peristiwa, pengalaman, dan pencapaian-pencapaian yang mempengaruhi
TINJAUAN TEORITIS 41
konsep diri remaja dan dewasa, kemudian menentukan bagaimana konsep diri
berkembang pada awalnya. Terdapat banyak sekali penelitian menggunakan
TSCS yang mengevaluasi perubahan konsep diri. Karena banyaknya
penelitian tersebut dan signifikansinya dengan literature konsep diri, kami
berencana menyediakan monograph yang terpisah untuk mengulasnya. Kami
akan memandang sekilas pada beberapa penelitian yang relefan yang tidak
memusatkan pada perubahan konsep diri.
Sekali anak meninggalkan batas-batas keluarganya yang melindunginya
banyak faktor mulai mempengaruhi konsep dirinya. Satu bentuk faktor yang
terlibat adalah bakat-bakatnya, kemampuan-kemampuannya, dan keahlian-
keahliannya. Penelitian yang dilakukan oleh Zakrajsek (1966) terhadap anak
laki-laki kelas tujuh dan kelas delapan menunjukkan hubungan positif yang
jelas antara konsep diri dengan hal-hal yang berhubungan dengan fisik,
motoris, dan kemampuan atletik. Beberapa penelitian (seperti William &
Cole, 1968; Gay, 1966) telah menunjukkan korelasi positif yang kecil, tetapi
signifikan, antara konsep diri, intelligensi, dan prestasi sekolah. Bentuk
hubungan sulit untuk diinterpretasikan pada saaat ini, ketika hal ini tidak
selalu jelas apakah performa yang superior menghasilkan konsep diri yang
sehat atau hal itu sebagai hasil dari konsep diri. Kami lebih suka penjelasan
interakasi dimana mana konsep diri yang baik berkontribusi terhadap
performa yang efektif, yang pada gilirannya berkontribusi kepada konsep diri
yang sehat. Kami mengajukan bahwa hidup dapat menjadi sebuah rangkaian
bentuk interaksi.
TINJAUAN TEORITIS 42
Tidak dapat disangsikan, konsep diri dipengaruhi oleh pengalaman yang
orang miliki, tetapi juga konsep diri mempengaruhi cara-cara dimana
seseorang mendekati dan memanfaatkan pengalamannya. Pengaruh interaksi
ini diilustrasikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lynch (1968)
mengenai intensitas pengalaman manusia. Lynch menemukan bahwa orang
dengan self-esteem yang tinggi cenderung melaporkan memiliki pengalaman
hidup yang lebih menyenangkan/memuaskan dari pada orang-orang dengan
self-esteem yang rendah. Sebagai tambahan, individu dengan self-esteem yang
tinggi lebih cerdas untuk melaporkan bahwa pengalaman negatif telah
mengarahkan kepada perkembangan yang positif. Dalam penelitian yang
mirip, Vargas (1968) menemukan bahwa konsep diri yang tinggi dari subyek
menggambarkan pengalaman masa kecil mereka lebih positif dari pada
subyek dengan konsep diri rendah. Kedua penelitian ini menunjukkan inti
pentingnya hubungan interpersonal dengan konsep diri.
William dan Cole (1968) menemukan bahwa konsep diri dari kelompok
pelajar kelas enam menunjukkan korelasi positif yang signifikan dengan
beberapa faktor penyesuaian sekolah: sikap terhadap sekolah, status sosial
dikalangan teman sebaya, penyesuaian emosional, kemampuan mental, dan
prestasi akademis. Blamick (1969) menemukan bahwa dikalangan kelompok
tingkat sembilan, skor kepuasan diri TSCS berkorelasi secara signifikan
dengan skor dalam pengukuran keterbukaan pemikiran. Dalam penelitian
lainnya dengan pelajar tingkat sembilan, Pegg (1970) menemukan bahwa skor
konsep diri secara positif berkaitan dengan efisiensi intelektual dan locus of
TINJAUAN TEORITIS 43
control internal. Pugh (1969) menandai bahwa pelajar sekolah tinggi yang
berpartisipasi dalam program yang tidak diinginkan dan tidak tepat,
menunjukkan skor konsep dirinya terdeteriorasi (menurun) selama periode
empat bulan. Dalam penelitian ini sulit untuk menentukan yang mana yang
merupakan faktor penyebab konsep diri atau perilaku: sekali lagi sebuah
pengaruh interaksi memberikan penjelasan yang tampaknya lebih.
Penelitian Hughes (1967) terhadap anak laki-laki dan perempuan tingkat
enam menunjukkan bahwa mereka yang dengan konsep diri lebih positif
menunjukkan kurang cemas dan kekuatan coping yang lebih hebat dalam
menangani stres yang dibuat dalam situasi ekperimental. Penelitian lainnya
yang berkaitan yang dilakukan oleh Gividen (1959) terhadap pasukan terjun
payung dan Schalon (1968) terhadap mahasiswa perguruan tinggi
memberikan hasil yang mirip. Hasil dari penyelidikan ini menandakan bahwa
konsep diri yang tinggi dari subyek membuat mampu menangani stres dengan
lebih baik dari pada subyek dengan konsep diri yang rendah. Sehingga
terdapat bukti yang sunguh-sungguh bahwa bentuk konsep diri yang orang
ambil dalam setiap situasi mempengaruhi cara dia berhadapan dengan situasi
tersebut.
Penelitian longitudinal dengan TSCS yang menggali pengaruh
pengalaman yang signifikan dan perubahan hidup terhadap konsep diri hanya
sedikit. Satu bentuk penelitian yang dilakukan oleh Via (1970) menguji
konsep diri mahasiswa tingkat pertama selama semester pertama mereka. Via
menemukan bahwa konsep diri mereka menunjukkan sedikit perubahan
TINJAUAN TEORITIS 44
meskipun melewati peristiwa yang signifikan selama beberapa bulan pertama
mahasiswa ini. Fitts dan Bell (1969), dalam penelitian mereka terhadap
pelajar Negro sekolah keperawatan, juga menemukan bahwa ciri unik konsep
diri dari setiap subyek menunjukkan sedikit perubahan selama periode sampai
18 bulan. Meskipun demikian, terdapat bukti nyata bahwa pengalaman
sebelumnya menggambarkan (merefleksikan) diri mereka sendiri melalui
konsep diri. Sebagai contoh, deskripsi konsep diri dari pelajar muda sekolah
tinggi yang berpotensi drop out adalah (Faunce,1967), remaja yang
terganggu secara emosional (McFern, 1968; Adams, 1969), pemuda nakal
(Fitts & Hamner, 1969), dan remaja yang dilembagakan (Boyle, 1967;
Sieveking, 1969) menandakan bahwa individu yang mengalami bentuk
pengalaman yang khusus dan yang memiliki tipe latar belakang yang spesifik
menunjukkan pola konsep diri yang khusus.
Adalah tidak mungkin, dengan TSCS sebagai pengukur, untuk
menentukan pada usia berapa konsep diri terlahir menjadi stabil. Tidak ada
kemungkinan untuk menemukan/melacak perkembangan awal dari variabel
konsep diri seperti self-esteem, tentu saja, variabilitas, konflik, dan
kebertahanan sebagaimana yang diukur melalui TSCS. Ini jelas, bahwa
melalui usia-usia yang sangat awal dimana TSCS dapat diaplikasikan (11 atau
12 tahun) konsep diri relatif telah stabil. Pada kenyataannya, banyak
penelitian yang menyelidiki efektivitas program treatment eksperimen yang
dimaksudkan secara khusus untuk memperoleh kemajuan tentang konsep diri
TINJAUAN TEORITIS 45
(Meese, 1961; Boyle, 1967; Kuntz, 1966; Faunce, 1967; Hamner, 1968;
Davis, 1969) telah menunjukkan bahwa konsep diri tidak berubah.
2.1.5. Fungsi Konsep Diri
Fungsi dari konsep diri merupakan suatu hal yang cukup penting, karena
berfungsi untuk menentukan segala sesuatu yang dilakukan individu dalam
berbagai macam situasi. Menurut Felker, 1974 (Burns, 1993:203), ada tiga
macam fungsi utama konsep diri, yaitu :
1. Konsep diri sebagai pemelihara konsistensi internal
Bila individu mempunyai ide-ide, perasaan atau persepsi yang tidak serasi
maka dapat muncul suatu situasi yang secara psikologis tidak menyenangkan
individu. Kondisi seperti ini disebut suatu keadaan dissonance. Pada kondisi
seperti ini individu mempunyai motivasi untuk mencapai keadaan yang
menyenangkan individu tersebut dan mengubah situasi-situasi yang tidak
menyenangkan, antara lain yaitu dengan cara menolak untuk menerima
kenyataan yang diungkapkan oleh lingkungan mengenai dirinya, sebagai
upaya untuk mempertahankan keserasian tersebut, atau dia berusaha merubah
dirinya sebagaimana gambaran diri yang diinginkan oleh lingkungan.
2. Konsep diri sebagai interpretasi dari pengalaman
Konsep diri merupakan salah satu aspek penentu tingkah laku. Hal ini dapat
dilihat dari bagaimana pengalaman yang dihayati diinterpretasikan. Individu
biasanya memberikan arti-arti tertentu bagi setiap pengalamannya. Jadi
pengalaman yang sama dari dua individu, akan diartikan berbeda berdasarkan
TINJAUAN TEORITIS 46
konsep yang dimilikinya. Konsep diri merupakan sarana yang dapat
memungkinkan untuk melahirkan persepsi-persepsi yang masuk kedunia
internal individu. Pemaknaan ini tergantung dari persepsi yang dimiliki
individu, yang bisa bersifat positif ataupun negatif.
3. Konsep diri sebagi satu harapan
Konsep diri menentukan apa yang diharapkan terjadi oleh individu. Individu
yang memandang dirinya sebagai suatu yang berharga, mengharapkan orang
lain untuk memperlakukan dirinya sesuai dengan apa yang ia tetapkan.
2.1.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Fitts (1971:38) mengungkapkan tentang hal-hal yang bias mempengaruhi
konsep diri, yakni :
1. Pengalaman, khususnya pengalaman interpersonal yang memunculkan
perasaan positif dan perasaan bernilai dan berharga atau sebaliknya.
2. Kompetisi dalam bidang-bidang yang berarti bagi dirinya dan orang lain.
3. Aktualisasi diri atau implementasi dan realisasi dari potensi personal nyata
dari seseorang, apapun bentuknya.
2.1.7. Perubahan dan Kestabilan Konsep Diri
1. Perubahan konsep diri
Konsep diri dapat mengalami perubahan sebagaimana dikemukakan
Ralmy dan Comb (Burns, 1993:324) :
TINJAUAN TEORITIS 47
“Self concept not only influences behaviour but it self altered and restructured
behaviour and unsatisfied”
Pandangan ini menunjukkan bahwa konsep diri yang sudah terbentuk
bukannya tidak mungkin mengalami perubahan. Perubahan konsep diri yang
terjadi pada individu bisa saja terjadi karena adanya interaksi dengan
lingkungannya yang dapat diterangkan melalui dua proses yang terlibat
didalamnya., yaitu :
a. Adanya kesadaran akan perubahan
Adanya hubungan individu dengan kultur atau lingkungan di sekitarnya
mempunyai peranan penting karena pengalaman yang diperolehnya dari
interaksi tersebut memungkinkan timbulnya perubahan pada diri individu.
Adanya perubahan yang muncul tergantung dari dua fungsi utama, yaitu
persepsi konsep diri serta kemampuan individu untuk melihat perbedaan
tersebut pada dirinya seperti orang lain melihat individu tersebut.
b. Adanya penerimaan
Adanya penerimaan konsep-konsep baru dalam diri individu. Penerimaan
ini prosesnya terbentuk secara perlahan-lahan, tiba-tiba atau dapat terjadi
tergantung dari situasi-situasi yang ada.
2. Stabilitas konsep diri
Konsep diri mempunyai peranan penting dalam penyesuaian diri individu.
Penyesuaian sosial yang baik terjadi apabila adanya stabilitas konsep diri yang
positif. Tidak mudah bagi seseorang untuk menyadari bagaimana keadaan
dirinya bila konsep dirinya selalu berfluktuasi. Konsep diri hanya bisa disadari
TINJAUAN TEORITIS 48
bila konsep tersebut secara relatif, stabil. Dengan demikian, individu dapat
menyadari identitas diri dalam keadaan sebenarnya. Beberapa fluktuasi dan
perubahan yang terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan merupakan hal yang
normal, karena memang konsep diri sedang dibangun. Berkaitan dengan
stabilitas konsep diri, Fitts (1971), menyatakan bahwa seseorang yang
memiliki konsep diri positif adalah orang yang memiliki bagian-bagian diri
yang terintegrasi, atau yang disebut well integrated person atau actualized
person. Konsep diri yang stabil akan membawa penerimaan diri dan
penyesuaian sosial yang baik. Ia akan menunjukkan tingkat self esteem yang
tinggi, mempunyai perasaan aman yang besar, merasa cukup adekuat dan
tidak rendah diri. Individu yang konsep dirinya stabil, percaya bahwa ia dapat
melihat dirinya seperti orang lain melihatnya dan hanya menunjukkan sedikit
kompensasi sebagai sikap defensif.
2.2. Stres
2.2.1. Pengertian Stres
Stres merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin stingere yang berarti
keras (strictus). Istilah itu berkembang dari straise, strest, stresce dan stress.
(Cox, 1978). Dari perkembangan istilah stres ini dirumuskan sebagai definisi yang
mencoba menjelaskan tentang stres. Beberapa diantaranya :
TINJAUAN TEORITIS 49
1. French (Dalam Steers, 1981:342)
“Stress refer to the reaction of individuals to characteristic of the invironment
which pose at treat. It point to poor fit between individuals and their
invironment in which either excessive demands are being made or individual
are ill equip to handle a given situations”.
Stres merupakan reaksi individu terhadap karakteristik lingkungan yang
mengandung ancaman. Juga menunjukkan ketidaksesuaian antara individu dan
lingkungan baik karena individu harus menghadapi tuntutan yang berlebihan
atau karena individu kurang mampu menangani situasi tersebut.
2. Cooper (1988:12)
“….any force a psychological or physical factor beyond its range of stability,
producing a strain within the individual”.
Stres merupakan suatu kekuatan faktor-faktor psikologis atau fisik pada batas-
batas stabilitas, menghasilkan ketegangan pada individu.
Meskipun yang mereka kemukakan berbeda-beda, namun pada intinya
memiliki persamaan. Para ahli sepakat mengenai konsep stres seperti yang
dikemukakan oleh Pearline, Lieberman, Managhan dan Mullan (1981) di
bawah ini :
“Stress refers to response of the organism to a noxious or threatening condition”
(Goldberger. L & Breznitz., 1982:369)
Stres menunjuk pada suatu respon organisme terhadap suatu kondisi atau keadaan
yang berbahaya atau mengancam.
TINJAUAN TEORITIS 50
Secara umum dapat didefinisikan sebagai reaksi individu terhadap
karakteristik lingkungan yang mengancam, menghasilkan ketegangan pada
individu serta tuntutan yang melebihi kemampuan individu dan mengancam
kesejahteraan dirinya.
2.2.2. Teori Stres dari Lazarus
Lazarus (1976) berpendapat bahwa stres terjadi pada seseorang jika
terdapat tuntutan yang melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk
melakukan adjustment. Hal ini bararti, bahwa kondisi stres terjadi bila terdapat
kesenjangan, ketidakseimbangan antra tuntutan dan kemampuan. Semakin tinggi
kesenjangan yang terjadi, semakin tinggi pula tingkat stres yang dialami individu
sehingga individu semakin merasa terancam.
Lazarus (1984:47) : “Psychological stress is particular relationship
between the person and the invironment that is appraised by the persons as taxing
or exceeding his or her resources and endangering his or her well-being”.
Stres merupakan bentuk interaksi antara individu dengan lingkungan yang dinilai
individu sebagai suatu yang membebani, melampaui kemampuan yang
dimilikinya, serta mengancam kesejahteraannya.
Stres dalam kehidupan juga dapat menyebabkan munculnya tingkah laku
yang tidak sesuai dengan lingkungannya. Stres dapat menyebabkan trauma yang
menghancurkan penyesuaian diri yang efektif, bila individu dikuasai oleh tuntutan
karena individu tidak dapat menemukan cara yang tepat unuk menanggulanginya.
TINJAUAN TEORITIS 51
Tuntutan adalah sesuatu jika tidak dipenuhi akan menimbulkan
konsekuensi yang tidak mnyenangkan bagi individu (Lazarus, 1976:47). Maksud
dari tuntutan adalah segala elemen fisik maupun psikososial dari suatu situasi,
yang harus ditanggapi melalui tindakan fisik maupun mental oleh individu sebagai
upaya untuk menyesuaikan diri. Tuntutan yang secara umum dapat memunculkan
stres dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu :
1. Frustrasi
Frustrasi merupakan suatu keadaan dimana keinginan dan harapan individu
tidak tercapai, atau harus mengalami penundaan dalam pencapaiannya.
Frustrasi ini mempunyai arti penting bagi timbulnya stres pada individu
karena berkaitan dengan adanya hambatan dalam pemuasan kebutuhan dan
pencapaian tujuan seseorang.
2. Ancaman
Ancaman merupakan antisipasi terhadap hal yang merugikan atau yang tidak
menyenangkan bagi dirinya mengenai suatu situasi yang terjadi pada masa
mendatang. Dengan bertambah besarnya yang dihadapi maka bertambah besar
pula ancaman yang dihadapi oleh individu. Menurut Lazarus (1976:60),
penilaian ancaman merupakan kesimpulan tentang implikasi adanya bahaya
dengan situasi baik pengalaman langsung atau tidak langsung.
3. Konflik
Konflik akan muncul disaat individu dihadapkan pada suatu keharusan untuk
memilih salah satu diantara kebutuhan yang dikehendaki.
TINJAUAN TEORITIS 52
4. Tekanan
Stres akan muncul apabila individu mendapatkan paksaan atau tekanan untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Tekanan ini memaksa seseorang untuk
meningkatkan upaya dan merubah tingkahlakunya. Dalam kondisi ini pula
individu berada dalam suatu situasi yang tidak dikehendakinya, tidak boleh
melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya.
Faktor-faktor yang menjadi munculnya stres disebut sebagai stressor.
Stressor atau faktor stres tersebut berasal dari dalam atau luar diri individu. Ada 3
macam stressor yaitu :
a. Stressor fisik, seperti rasa sakit, kebisingan, suhu, cuaca, kemacetan.
b. Stressor psikis, seperti rasa takut, kecemasan, tekanan, bahaya, kesepian,
kecewa.
c. Stressor sosio kultural, seperti kematian pasangan hidup, perceraian, berpisah
dengan keluarga, menghadapi masa pensiun, konflik dengan keluarga,
diskriminasi.
Pada dasarnya keadaan stres dihayati secara individu. Maksudnya,
walaupun individu menghadapi situasi atau stressor yang sama namun
penghayatan derajat stres berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Lazarus, tinggi rendahnya derajat stres yang dimiliki seseorang
dipengaruhi oleh proses penilaian kognitifnya. Proses penilaian kognitif
merupakan suatu proses pengkategorian terhadap stimulus atau situasi yang
dihadapi dengan memperhitungkan makna serta pengaruhnya terhadap
TINJAUAN TEORITIS 53
kesejahteraan seseorang. Jadi meskipun penyebab stres tersebut sama, namun
penghayatan masing-masing individu akan berbeda.
2.2.3. Penilaian Kognitif
Definisi penilaian kognitif menurut Lazarus dan Folkman (1984:19)
adalah :
“Cognitive appraisal is an evaluative process that determines why and to what
extent a particular transaction between the person and the environment is
strssfull”
Penilaian kognitif adalah suatu proses evaluatif yang menentukan mengapa dan
dalam keadaan apa, suatu transakasi khusus atau rangkaian transaksi antara
individu dengan lingkungannya menimbulkan stres.
Penilaian kognitif merefleksikan adanya komunikasi dan perubahan relasi
yang terjadi antara individu dengan karakteristik-karakteristik tertentu (seperti
nilai, motivasi, gaya pikir, dan gaya penerimaan) serta karakteristik lingkungan
yang harus diprediksi dan diinterpretasikan (Lazarus & Folkman, 1984:24).
Dengan demikian penilaian kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor dari
dalam diri individu maupun faktor dari lingkungan sosialnya.
Penilaian kognitif dapat dipahami dengan mudah sebagai proses
pengkategorian peristiwa atau kejadian dari berbagai segi dengan melihat
signifikansinya terhadap kesejahteraan individu. Proses ini tidak hanya sekedar
proses pengolahan informasi, tetapi bersifat evaluatif, difokuskan pada arti atau
TINJAUAN TEORITIS 54
signifikansi, serta terjadi secara terus menerus sepanjang hidup (Lazarus &
Folkman, 1984:31).
Untuk memahami perbedaan individu dalam menghadapi berbagai situasi
stres, perlu diperhatikan pula proses kognitif yang mengantarai suatu situasi
dengan reaksi yang ditampilkan oleh individu, serta faktor-faktor yang
mengantarai proses ini. Melalui suatu proses penilaian kognitif seseorang akan
mengevaluasi makna dari suatu situasi yang diterima dan mempelajari pengaruh
situasi tersebut terhadap kesejahteraan dirinya.
Malalui proses kognitif, seorang individu misalnya akan cenderung
menghayati kenaikan jabatan sebagai suatu ancaman (threat), sementara individu
yang lain cenderung menghayatinya sebagai suatu tantangan (challenge) dan yang
lainnya cenderung menghayatinya sebagai tantangan (challenge) sekaligus
ancaman (threat) dalam intensitas yang sama.
Proses penilaian kognitif yang di kemukakan oleh Lazarus ini terdiri dari
tiga tahapan, yaitu :
1. Primary appraisal (Penilaian primer)
proses ini terjadi untuk menentukan apakah suatu stimulus atau situasi yang
dihadapi oleh individu berada dalam kategori :
a. Irrelevant (tidak relevan)
Yaitu jika suatu stimulus atau situasi yang terjadi dirasakan tidak
berpengaruh terhadap kesejahteraan individu, tidak bermakna, dan tidak
ada keterikatan, sehingga dapat diabaikan. Atau dengan kata lain, individu
memandang situasi tersebut sebagai suatu situasi yang tidak mengganggu
TINJAUAN TEORITIS 55
keberadaannya, dan tidak bertentangan dengan nilai/norma, kebutuhan dan
komitmen individu sehingga individu tidak akan kehilangan atau
mendapatkan sesuatu dari situasi tersebut.
b. Benign Positive (positif-tidak berbahaya)
Yaitu jika stimulus atau situasi yang terjadi dihayati sebagai hal yang
positif dan dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan individu.
c. Stressfull (menimbulkan stres)
Yaitu jika stimulus atau situasi yang terjadi menimbulkan penghayatan
adanya suatu gangguan pada dirinya. Penilaian yang menimbulkan stres
ini dibagi menjadi tiga tipe penilaian secara spesifik yang meliputi :
a) Harm/Loss (melukai/kehiangan)
Yaitu apabila terjadi kerusakan yang sifatnya menetap, seperti sakit
atau luka yang menyebabkan cacat, kehancuran harga diri, baik sosial
maupun personal, dan kehilangan sesuatu yang berharga atau dicintai.
b) Threat (ancaman)
Penilaian ancaman berbeda dari melukai/kehilangan karena perspektif
waktunya. Pada ancaman, situasi kerusakan/kehilangan baru
diantisipasi dan belum benar-benar terjadi. Pada penilaian ancaman
yang dipusatkan pada melukai/kehilangan yang secara potensial dapat
terjadi, biasanya terdapat nominasi emosi yang negatif seperti rasa
takut, cemas dan marah.
TINJAUAN TEORITIS 56
c) Challenge (tantangan)
Penilaian ini memungkinkan mobilisasi usaha untuk strategi
penanggulangan stres. Perbedaan utama dengan ancaman adalah
bahwa penilaian tantangan lebih dipusatkan pada potensi untuk
bertambah dan berkembang karena kejadian dan ditandai dengan
emosi yang menyenangkan seperti hasrat, rasa terbangkitkan dan
gembira.
2. Secondary Appraisal (Penilaian sekunder)
Penilaian ini digunakan untuk menentukan apa yang dapat atau harus
dilakukan terhadap suatu situasi. Proses ini mencakup antara lain :
a. Evaluasi mengenai bentuk pola penanggulangan. Yang patut digunakan
adalah yang dinilai paling efektif dalam menghadapi situasi tertentu
dengan mempertimbangkan konsekuensi yang muncul sehubungan dengan
digunakannya suatu strategi atau bentuk coping tertentu.
b. Evaluasi terhadap potensi-potensi yang dimiliki individu yang dapat
mendukung upaya-upaya penanggulangan masalah atau untuk
menggunakan pola tertentu. Jadi pada prinsipnya proses ini berusaha
mempertimbangkan berbagai sumber daya yang dimiliki individu, dengan
memperhatikan tuntutan yang ada, dalam upaya menentukan bentuk
coping yang diambil.
3. Reappraisal (Penilaian kembali)
Penilaian kembali menunjukkan pada perubahan penilaian yang terjadi karena
didasari oleh masuknya informasi baru baik yang bersumber dari lingkungan
TINJAUAN TEORITIS 57
yang dapat menahan atau memperkuat tekanan bagi individu atau informasi
dari reaksi individu itu sendiri. Penilaian itu sendiri merupakan suatu penilaian
yang mengikuti penilaian sebelumnya terhadap peristiwa atau kejadian yang
sama dan modifikasinya. Pada intinya, penilaian dan penilaian kembali
tidaklah berbeda.
2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penilaian
Ada dua karakteristik individu yang berpengaruh atau menentukan suatu
proses penilaian kognitif, yaitu commitment dan belief.
1. Komitmen (Commitment)
Komitmen bisa mengekspresikan sesuatu hal yang penting dan berarti bagi
individu. Komitmen juga mengarahkan individu pada suatu kondisi stress
yang spesifik. Beberapa kondisi stres yang menyangkut komitmen yang kuat
akan dievaluasi sebagai sesuatu yang sangat berarti pada tingkat dimana hasil
dari kondisi bahaya atau mengancam dari ekspresi komitmen sendiri.
Komitmen juga yang mendasari pilihan-pilihan individu dalam membuat,
memelihara nilai-nilai ideal atau mencapai suatu tujuan.
Komitmen menentukan penilaian (appraisal) melalui beberapa mekanisme
seperti :
a. Komitmen mengarahkan idividu untuk melibatkan diri atau menghindari
diri dari situasi yang dapat menantang atau mengancam, menguntungkan
atau melukai individu.
TINJAUAN TEORITIS 58
b. Komitmen mempengaruhi penilaian melalui terbentuknya kepekaan
terhadap stimulus lingkungan.
c. Komitmen juga menentukan kerentanan psikologis individu terhadap
situasi yang dapat menimbulkan stres.
Komitmen menentukan penilaian individu, berkaitan dengan peranan
komitmen dalam tingkat kepekaan dan kerentanan individu terhadap suatu
situasi yang dapat memunculkan stres. Semakin kuat atau semakin mendalam
komitmen individu, maka kepekaan dan kerentanan individu yang
bersangkutan akan semakin meningkat.
2. Keyakinan (Belief)
Belief atau keyakinan mrupakan suatu pola pengolahan kognitif yang
terbentuk dengan sendirinya atau yang diperoleh melalui budaya. Dalam suatu
proses penilaian persepsi individu mengenai suatu hal, belief yang sangat
berpengaruh terhadap penilaian kognitif seseorang adalah :
a. Personal Control (Keyakinan terhadap kontrol diri),
Keyakinan ini mencerminkan penghayatan individu mengenai sejauhmana
individu yang bersangkutan merasa mampu mengendalikan lingkungan
atau bertahan terhadap suatu situasi atau kejadian yang mengancam
dirinya. Kepercayaan ini juga menunjukkan seberapa jauh dirinya dapat
membentuk atau mempengaruhi interaksi dirinya dengan lingkungan yang
menimbulkan stres. Keyakinan ini berkembang dari hasil evaluasi individu
terhadap tuntutan situasi, karakteristik situasi yang terjadi, kemampuan
TINJAUAN TEORITIS 59
coping yang dimilikinya, serta strategi penanggulangan yang diterapkan
terhadap situasi tertentu.
b. Existential Beliefs
Keyakinan ini merupakan keyakinan yang bersifat umum, yang
memungkinkan seseorang untuk menciptakan makna kehidupan bagi
dirinya, serta untuk menumbuhkan harapan yang positif pada saat individu
mengalami kesulitan, misalnya keyakinan akan Tuhan, takdir dan nasib.
Dengan kata lain, existential beliefs ini menjelaskan apa yang diyakini
sebagai suatu kebenaran oleh individu, tanpa individu tersebut perlu
menyukai ataupun membuktikan kebenarannya.
Commitment dan belief memberikan pengaruh pada penilaian seseorang
dengan cara :
1. Menentukan hal atau bagian yang penting dari suatu peristiwa atau situasi
yang dihadapi individu bagi keberadaan individu tersebut.
2. Membentuk pemahaman individu tentang suatu peristiwa dan konsekuensinya
bagi kehidupan perasaannya dan usaha penanggulangan masalah yang perlu
dilakukan.
3. Memberikan dasar dalam mengevaluasi hasil penanggulangan masalah yang
telah dilakukan.
2.3. Coping Strategy
Dari uraian mengenai penilaian kognitif dan bahasan mengenai stres dapat
dijelaskan bahwa stres psikologis dapat mempunyai makna berbeda–beda pada
TINJAUAN TEORITIS 60
tiap individu, karena ada dua proses yang mengantarai individu dengan
lingkungannya, yaitu penilaian kognitif (cognitive appraisal) dan strategi
penanggulangan atau coping strategy (Lazarus & Folkman 1984:19). Jadi, dapat
dikatakan bahwa stres dapat bermakna positif maupun negatif tergantung dari
penilaian individu yang mengalaminya. Stres itu akan menjadi negatif apabila
individu menghayati situasi yang dihadapinya itu sebagai ancaman, atau ia
merasakan adanya hambatan atau keterbataan dalam dirinya untuk menghadapi
tuntutan situasi tersebut. Sebaliknya bila individu menilai situasi yang
dihadapinya sebagai suatu hal yang menantang dirinya untuk lebih berusaha
melakukan sesuatu, maka ia tidak akan merasa terganggu oleh situasi tersebut.
Dalam proses demikian stres bermakna positif.
Proses penilaian ini dilakukan melalui aspek kognitif individu yang
disebut oleh Lazarus dan Folkman sebagai penilaian tahap pertama (primery
appraisal). Setelah penilaian tahap pertama ini, kemudian terjadi penilaian tahap
kedua (secondary appraisal) yang akan memberi arah pada proses individu untuk
penanggulangganya. Mereka juga menyatakan bahwa besar kecilnya derajat stres
yang dinilai oleh individu merupakan relasi integrative faktor personal dan
eksternal individu yang tercakup di dalam suatu penilaian kognitif. Selanjutnya
penilaian kognitif ini akan sangat berpengaruh pada bentuk penanggulangan yang
digunakan individu dalam mengatasi stres tersebut.
TINJAUAN TEORITIS 61
2.3.1. Pengertian Coping Strategy
Lazarus (1976:74) mengatakan bahwa, coping sinonim dengan
penyesuaian diri, hanya saja konsep penyesuaian diri lebih luas dan mengarah
pada seluruh reaksi individu, terhadap lingkungan dan dan tuntutan internal.
Coping strategy lebih mengarah pada apa yang dilakukan individu untuk
mengatasi stres atau tuntutan yang membebani secara emosional.
Coping strategy merupakan perubahan kognitif dan perilaku yang
berlangsung terus-menerus untuk mengatasi tuntutan eksternal maupun internal
yang dinilai sebagai beban atau untuk mengatasi tuntutan eksternal atau yang
dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya individu atau membahayakan
well being-nya (Lazarus & Folkman 1984:14).
Definisi diatas di jelaskan bahwa coping strategy lebih merupakan suatu
proses daripada trait dan juga mengimplikasikan adanya perbedaan antara coping
strategy dengan tingkahlaku otomatis dengan membatasi coping strategy pada
tuntutan yang dinilai membebani individu. Akibatnya membatasi coping strategy
pada kondisi stres psikologis yang membutuhkan mobilisasi dan
mengesampingkan tingkahlaku otomatis dan pikiran-pikiran yang tidak
membutuhkan usaha. Selain itu coping strategy merupakan usaha untuk mengatur,
termasuk segala hal yang dilakukan atau dipikirkan individu, tanpa
memperhatikan jalannya proses tersebut. Namun bukanlah selalu berarti reaksi
yang menyelesaikan masalah tersebut, melainkan dengan usaha menghindar,
mentolelir, meminimalkan, menerima, dan mengabaikan kondisi yang menekan
itu.
TINJAUAN TEORITIS 62
2.3.2. Fungsi Coping Strategy
Ada beberapa pendekatan dalam melakukan penelitian mengenai coping
strategy, Coping Strategy ada 2 bentuk :
1. Emotion Focused Form Of Coping
Bentuk ini dimaksudkan untuk meregulasi respon emotional terhadap suatu
masalah, dan lebih sering terjadi ketika penilaian individu menyatakan bahwa
tidak ada hal lain yang bisa di kerjakan untuk mengubah kondisi lingkungan
yang merugikan dan atau mengubah stressor. Kelompok ini terdiri dari pross-
proses kognitif yang diarahkan untuk mengurangi tekanan emosional yang
dirasakan. Bentuk kognitif tertentu dari Emotion Focused Form Of Coping
mengarah pada perubahan cara pemaknaan suatu kejadian tanpa mengubah
situasi objektif. Hal ini sering dilakukan untuk mengurangi stres, dengan
mengubah arti dari situasi. Strategi ini sama dengan penilaian kembali
(reappraisal). Tidak semua penilaian kembali sifatnya defensive dan
diarahkan untuk meregulasikan emosi. Dengan demikian, gerakan kognitif
yang mengubah arti dari situasi tanpa mengubahnya secara objektif disebut
penilaian kognitif ulang (kognitif reappraisal). Coping strategy ini ada yang
digunakan untuk memelihara harapan dan optimisme, menyangkut fakta dan
akibat yang dihadapi, menolak untuk mengakui hal terburuk dan bereaksi
seolah-olah apa yang terjadi tidak menimbulkan masalah. Proses-proses ini
memberi kemungkinan untuk suatu interpretasi yang menipu diri dan distorsi
realitas. Penipuan yang berhasil dapat terjadi tanpa adanya kesadaran
(Lazarus 1984 : 150-151).
TINJAUAN TEORITIS 63
2. Problem Focused Form Of Coping
Bentuk ini digunakan untuk mengatur atau mengubah masalah yang
menyebabkan tekanan, hambatan, sumber-sumber, prosedur lingkungan
ataupun pada diri individu, seperti merubah tingkat aspirasi, mencari cara lain
intuk kepuasan dan mempelajari keterampilan baru.
2.3.3. Kategori Coping Strategy
Berdasarkan fungsi coping strategyLazarus (1926 : 75), Coping strategy
dapat dibagi 2 kategori utama, yaitu :
1. Direct Action
Berhubungan dengan tingkahlaku aktual yag tujuannya merubah relasi
seseorang terhadap lingkungan yang mengganggu tingkah laku. Tingkah laku
coping strategy ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk :
a. Preparing again harm
Individu mempersiapkan diri secara aktif terhadap bahaya atau ancaman
yang akan terjadi sehingga jika bahaya muncul ketika individu dalam
keadaan siap, maka diharapkan akan berkurang.
b. Agression
Menyerang terhadap sesuatu yang membahayakan. Metode paling umum
untuk mempertahankan diri. Apabila bahaya meningkat maka
kemungkinan agresinya juga meningkat.
TINJAUAN TEORITIS 64
c. Avoidance
Bahaya dirasakan terlalu besar sehingga sangat memberatkan individu.
Dengan demikian maka individu mencoba atau berusaha menghindari
masalah.
d. Apathy or in action
Dalam menghadapi bahaya, individu memilih untuk mendiamkan saja atau
tidak bereaksi apapun.
2. Palliative Action
Ditujukan untuk meredakan distress yang disebabkan oleh pengalaman stres,
dan meredusir efek-efek psikologi dari pengalaman tersebut dari pada
merubah transaksi dengan lingkungan. Dengan kata lain, coping strategy ini
lebih ditujukan untuk meredusir gangguan afektif, motorik, dan fisiologik
yang menyusahkan individu.
Palliative meningkat bila Direct sulit dilakukan. Tindakan palliative,
menurut Lazarus, sebagai suatu uasah seseorang untuk melunakkan atau
meredakan distress untuk sementara. Bila gangguan-gangguan tersebut diatas
merupakan problem-problem yang mendasar maka dengan meredusirnya akan
memungkinkan untuk dapat menghadapi masalah atau situasi–situasi yang
mengancam dengan cara direct action.
TINJAUAN TEORITIS 65
2.3.4. Beberapa Cara untuk Mencapai Palliative Action
1. Symptom direct model
Coping strategy melibatkan usaha-usaha yang berorientasi somatic untuk
meringankan beban fisik dan disstres yang bersifat subjektif dengan
mengubah lingkungan internal melalui obat-obat yang menenangkan, alkohol,
ataupun tingkahlaku seperti meditasi, hipnotis, dll
2. Intrapsychis model
Lazarus membahas cara ini dalam pengertian defence mechanism. Beberapa
bentuk utamanya adalah :
e. Identifikasi
f. Displacement
g. Represi
h. Denial
i. Reaksi formasi
j. Proyeksi
k. Intelektualisasi
2.3.5. Bentuk Coping Strategy yang Diuraikan dalam Alat Ukur Ways Of
Coping
1. Problem Form Of Coping
a. Planfull Problem Solving
Suatu usaha pemecahan masalah dengan tenang dan hati-hati disertai
dengan pendekatan analitis.
TINJAUAN TEORITIS 66
b. Confrontative Coping
Suatu reaksi agresif untuk mengubah keadaan yang menggambarkan
derajat kebencian dan pengambilan keputusan.
2. Emotion Form Of Coping
a. Distancing
Suatu reaksi melepaskan diri atau usaha melarikan diri dalam
permasalahan disamping menciptakan pandangan yang positif.
b. Self Control
Suatu usaha untuk meregulasi perasaan maupun tindakan.
c. Seeking Social support
Suatu usaha untuk mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa
informasi, bantuan nyata maupun dukungan emosional.
d. Accepting Responsibility
Suatu usaha untuk mengetahui peran dirinya dalam permasalahan yang
dihadapi dan mencoba untuk menempatkan segala sesuatu dengan
sebagimana mestinya.
e. Escape Avoidance
Suatu reaksi berkhayal dan usaha menghindar atau melarikan diri dari
permasalahan yang sedang dihadapi.
f. Possitive Reappraisal
Suatu usaha untuk menciptakan makna yang positif dengan memusatkan
pada perkembangan personal dan juga melibatkan hal-hal yang bersifat
religius.
TINJAUAN TEORITIS 67
2.3.6. Aspek-Aspek yang Mepengaruhi Pemilihan Coping Strategy Individu
1. Faktor sosio demografik.
Haan (1977) mengatakan bahwa dari sejumlah penelitian didapatkan hasil
bahwa individu yang berasal dari golongan sosio ekonomi menengah keatas
lebih suka menggunakan pola coping strategy yang meliputi fleksibilitas,
logika dan realitas. Mereka kurang mempercayai pola coping strategy yang
tidak rasoinal atau defensive. Penelitian dari Pearlin dan Schooler (1978).
Menemukan bahwa individu yang memiliki pendidikan tinggi lebih percaya
dengan pola problem focused form of coping.
2. Peristiwa dalam hidup yang menekan (stressfull life event). Mc Chal (1984),
menyatakan bahwa stressor secara signifikan mempengaruhi pola coping
individu.
3. Kecenderungan kepribadian
Lazarus menyatakan bahwa kepribadian individu ikut menentukan pola
coping strategy yang digunakan.
2.3.7. Hubungan antara Fungsi Strategi Penanggulangan yang Berpusat
pada Emosi dengan yang Berpusat pada Masalah
Pada kenyataannya, individu menggunakan strategi penanggulangan yang
berpusat pada masalah dan emosi dalam menghadapi tuntutan internal dan
eksternal. Individu yang hanya menyelesaikan sumber masalah namun dengan
mengorbankan perasaan, tidak dapat dikatakan efektif dalam strategi
penanggulangannya. Demikian juga apabla individu berhasil meredakan
TINJAUAN TEORITIS 68
ketegangan emosinya, namun tidak menyelesaikan sumber masalahnya. Untuk
mencapai strategi penanggulangan yang efektif, diperlukan penggunaan kedua
fungsi strategi penanggulangan tersebut (Lazarus dan Folkman, 1984).
Jika dikaitkan dengan derajat stres yang dialami oleh individu, kedua
strategi ini dapat digunakan dalam kadar yang berbeda. Dalam penelitiannya,
Anderson (1977) menemukan bahwa pada derajat yang relatif rendah,
penanggulangan yang berpusat pada masalah dan emosi dipergunakan pada kadar
yang hamper sama. Derajat stres yang relatif moderat, strategi penanggulangan
yang berpusat pada masalah lebih sering digunakan. Sedangkan untuk derajat
stres yang lebih tinggi, maka akan lebih sering dipergunakan strategi
penanggulangan yang berpusat pada emosi.
2.3.8. Hubungan Penilaian Kognitif, Stres dan Coping Strategy
Menurut Folkman (1984), reaksi individu terhadap masalah atau situasi
sangat dipengaruhi olah bagaimana individu terhadap masalah. Individu yang
memilih situasi negatif yang dihadapinya sebagai suatu yang positif akan
memunculkan derajat stres rendah dari pada mereka yang tidak memandangnya
sebagai hal positif (Silver dan Wortman , dalam Lazarus, 1984). Perbedaan
individu dalam menilai masalah atau situasi akan mempengaruhi pula proses
pemilihan strategi penanggulangan stres, dengan kata lain, individu dapat
berespon terhadap stres yang sama.
Penelitian Anderson (1977 dalam Lazarus 1984:169) memberi masukan
mengenai keterlibatan derajat stres dengan kecenderungan penggunaan strategi
TINJAUAN TEORITIS 69
penanggulangan stres tertentu, menurutnya baik bentuk strategi penanggulangan
stres yang berpusat pada masalah atau emosi digunakan dalam frekuensi yang
berbeda tergantung tinggi rendahnya derajat stres yang dihayati individu. Individu
dengan derajat stres yang moderat, frekuensi penggunaan strategi penanggulangan
stres yang berpusat pada masalah lebih sering dilakukan. Individu dengan derajat
stres yang tinggi, lebih sering menggunakan strategi penanggulangan stres yang
berpusat pada emosi. Dan individu dengan derajat stres rendah menggunakan
kedua strategi penanggulangan stres dengan frekuensi yang sama.
2.3.9. Sumber Daya Individu yang Menunjang Keberhasilan Coping Strategy
Menurut Lazarus dan Folkman (1984:159-164) keberhasilan dari fungsi
maupun strategi dan proses penanggulangan stres ini ditentukan pula oleh sumber
daya yang dimiliki individu yang meliputi :
1. Kesehatan dan energi
Merupakan sumber-sumber fisik/psikis yang sering kali dapat mempengaruhi
upaya seseorang dalam menanggulangi stress. Seseorang yang sakit atau lelah,
kuarang mempunyai strategi untuk mengembangkan coping strategy
dibanding orang yang sehat dan kuat.
2. Pandangan positif
Memandang diri sendiri secara positif, merupakan dasar dari munculnya
harapan dan dengan demikian individu bisa mempertahankan usaha untuk
menghadapi kondisi yang dialami.
TINJAUAN TEORITIS 70
3. Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi mencari info, menganalisa situasi, untuk mengenali
masalah guna membuat alternative tindakan, menimbang untung rugi tiap
alternatif, memilih dan melakukan rencana tindakan yang tepat.
4. Keterampilan sosial
Kemampuan berkomunikasi dan bertindak dalam cara yang tepat dan efektif
secara sosial. Dengan adanya keterampilan sosial ini, akan memudahkan
proses penyelesaian masalah bersama dengan orang lain, memberi
kemungkinan untuk memperoleh kerjasama serta dukungan. Melalui interaksi
sosial yang terjalin, akan memberi kendali yang baik bagi individu yang
bersangkutan.
5. Dukungan sosial
Berupa dukungan emosional atau berupa informasi ataupun dukungan yang
nyata
6. Sumber-sumber material
Hal ini menunjukkan pada uang atau barang-barang serta layanan seperti
medis, hukum, dan yang dapat dibeli dengan uang.
2.3.10. Hambatan-Hambatan dalam Melakukan Coping Strategy
Dalam menggunakan kedua fungsi strategi penanggulangan stres yang
efektif ini, individu seringkali mengalami habatan dalam menghadapi
lingkungannya. Faktor-faktor tersebut berasal dari :
TINJAUAN TEORITIS 71
1. Hambatan personal, mencakup nilai budaya yang diinternalisasikan dan
keyakinan diri yang melarang tindakan dan perasaan tertentu serta kekurangan
psikologis yang dihasilkan dari perkembangan sebagai individu yang unik.
2. Hambatan lingkungan, mengacu pada terbatasnya atau ketiadaan sumber-
sumber material seperti uang atau barang. Sumber jasa seperti layanan medis
yang dapat dibeli dengan uang. Sumber yang berasal dari dukungan sosial
yang berupa dukungan emosional atau berupa informasi ataupun dukungan
yang nyata.
3. Derajat ancaman, derajat ancaman mempengaruhi sejauhmana sumber-sumber
yang tersedia dapat digunakan. Derajat ancaman yang tinggi menghambat
penggunaan sumber daya strategi penanggulangan stres yang efektif. Semakin
besar ancaman maka penggunaan strategi penanggulangan stres yang berpusat
pada emosi cenderung menjadi primitive atau regresif, dan penggunaan
strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah menjadi semakin
terbatas.
2.4. Hack
2.4.1. Sejarah
Hacker muncul pada awal tahun 1960-an diantara para anggota organisasi
mahasiswa Tech Model Railroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial
Massachusetts Institute of Technology (MIT). Kelompok mahasiswa tersebut
merupakan salah satu perintis perkembangan teknologi komputer dan mereka
beroperasi dengan sejumlah komputer mainframe. Kata hacker pertama kali
TINJAUAN TEORITIS 72
muncul dengan arti positif untuk menyebut seorang anggota yang memiliki
keahlian dalam bidang komputer dan mampu membuat program komputer yang
lebih baik dari yang telah dirancang bersama. Kemudian pada tahun 1983, analogi
hacker semakin berkembang untuk menyebut seseorang yang memiliki obsesi
untuk memahami dan menguasai sistem komputer. Pasalnya, pada tahun tersebut
untuk pertama kalinya FBI menangkap kelompok kriminal komputer The 414s
yang berbasis di Milwaukee AS. 414 merupakan kode area lokal mereka.
Kelompok yang kemudian disebut hacker tersebut dinyatakan bersalah atas
pembobolan 60 buah komputer, dari komputer milik Pusat Kanker Memorial
Sloan-Kettering hingga komputer milik Laboratorium Nasional Los Alamos.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya muncul kelompok lain yang
menyebut-nyebut diri hacker, walaupun sebenarnya bukan. Mereka ini (terutama
para pria dewasa) yang mendapat kepuasan lewat “membobol” komputer dan
“mengakali” telepon (phreaking). Hacker sejati menyebut orang-orang ini
'cracker' dan tidak suka bergaul dengan mereka. Hacker sejati memandang
cracker sebagai orang malas, tidak bertanggung jawab, dan tidak terlalu cerdas.
Hacker sejati tidak setuju jika dikatakan bahwa dengan menerobos keamanan
seseorang telah menjadi hacker.
Para hacker mengadakan pertemuan setiap setahun sekali yaitu diadakan
setiap pertengahan bulan Juli di Las Vegas. Ajang pertemuan hacker terbesar di
dunia tersebut dinamakan Def Con. Acara Def Con tersebut lebih kepada ajang
pertukaran informasi dan teknologi yang berkaitan dengan aktivitas hacking.
TINJAUAN TEORITIS 73
2.4.2. Definisi
1. hack
a. Pekerjaan yang dilakukan secara cepat dan berhasil, walau tidak sempurna
b. Suatu hal Mustahil, dan mungkin menghabiskan banyak waktu tetapi
menghasilkan yang diinginkan.
c. Untuk membuktikan baik secara emosional ataupun fisik bahwa ini bisa
dilakukan
d. Mengerjakan sesuatu secara bersungguh-sungguh, dengan ketelitian
yang tinggi
e. Berinteraksi dengan komputer dalam bermain dan bereksplorasi
2. hacker
a. Seseorang yang sangat senang mengeksplorasi suatu program dari suatu
sistem untuk mengetahui batas kemampuannya, dengan mengunakan cara-
cara dasar yang akan digunakan oleh orang yang tidak mengerti dan
mengetahui bagaimana program itu dibuat dan dengan pengetahuan
minimum terhadap program.
b. Seseorang yang sangat antusias dalam membuat program, dan lebih
menikmati membuat program dibandingkan berteori tentang program
tersebut.
c. Seseorang yang mampu melakukan "hack"
d. Seseorang yang sangat baik dalam memprogram
e. Ahli pemrograman, atau sering melakukan pekerjaan dengan program itu
f. Seseeorang yang senang dengan tantangan intelektual dengan ide kreatif
TINJAUAN TEORITIS 74
3. Crack
a. Memaksa masuk kedalam suatu sistem
b. Kegiatan menghilangkan copy protection
c. Program, instruksi yang digunakan untuk menghilangkan copy protection
4. Cracker
a. Seseorang yang mencoba masuk kedalam suatu jaringan secara paksa
denga tujuan mengambil keuntungan, merusak, dsb.
b. Seseorang yang menghilangkan copy protection
c. Seseorang yang melakukan kegiatan "crack"
5. Cracking
Adalah .kegiatan membobol suatu sistem komputer dengan tujuan
menggambil keuntungan merusak dan menghancurkan dengan motivasi
tertentu.
2.4.3. Perbedaan Hacker dan Cracker
1. Hacker
a. Mempunyai kemampuan menganalisa kelemahan suatu sistem atau situs.
Sebagai contoh : jika seorang hacker mencoba menguji situs Yahoo!
dipastikan isi situs tersebut tak akan berantakan dan mengganggu yang
lain. Biasanya hacker melaporkan kejadian ini untuk diperbaiki menjadi
sempurna.
b. Hacker mempunyai etika serta kreatif dalam merancang suatu program
yang berguna bagi siapa saja.
TINJAUAN TEORITIS 75
c. Seorang Hacker tidak pelit membagi ilmunya kepada orang-orang yang
serius atas nama ilmu pengetahuan dan kebaikan.
2. Cracker
a. Mampu membuat suatu program bagi kepentingan dirinya sendiri dan
bersifat destruktif atau merusak dan menjadikannya suatu keuntungan.
Sebagia contoh virus, pencurian kartu kredit, pembobolan rekening bank,
pencurian password e-mail/web server.
b. Bisa berdiri sendiri atau berkelompok dalam bertindak.
c. Mempunyai situs atau channel dalam IRC yang tersembunyi, hanya orang-
orang tertentu yang bisa mengaksesnya.
d. Mempunyai IP yang tidak bisa dilacak.
e. Kasus yang paling sering ialah carding yaitu pencurian kartu kredit,
kemudian pembobolan situs dan mengubah segala isinya menjadi
berantakan. Sebagai contoh : Yahoo! pernah mengalami kejadian seperti
ini sehingga tidak bisa diakses dalam waktu yang lama, kasus
clickBCA.com yang paling hangat dibicarakan tahun 2001 lalu.
2.4.4. Hirarki/Tingkatan Hacker
1. Elite
Ciri-ciri : mengerti sistem operasi luar dalam, sanggup mengkonfigurasi &
menyambungkan jaringan secara global, melakukan pemrograman setiap
harinya, effisien & terampil, menggunakan pengetahuannya dengan tepat,
TINJAUAN TEORITIS 76
tidak menghancurkan data-data, dan selalu mengikuti peraturan yang ada.
Tingkat Elite ini sering disebut sebagai “suhu”.
2. Semi Elite
Ciri-ciri : lebih muda dari golongan elite, mempunyai kemampuan &
pengetahuan luas tentang komputer, mengerti tentang sistem operasi
(termasuk kelemahannya), kemampuan programnya cukup untuk mengubah
program eksploit.
3. Developed Kiddie
Ciri-ciri : umurnya masih muda (ABG) & masih sekolah, mereka membaca
tentang metoda hacking & caranya di berbagai kesempatan, mencoba berbagai
sistem sampai akhirnya berhasil & memproklamirkan kemenangan ke lainnya,
umumnya masih menggunakan Grafik User Interface (GUI) & baru belajar
basic dari UNIX tanpa mampu menemukan lubang kelemahan baru di sistem
operasi.
4. Script Kiddie
Ciri-ciri : seperti developed kiddie dan juga seperti Lamers, mereka hanya
mempunyai pengetahuan teknis networking yang sangat minimal, tidak lepas
dari GUI, hacking dilakukan menggunakan trojan untuk menakuti &
menyusahkan hidup sebagian pengguna Internet.
5. Lamer
Ciri-ciri : tidak mempunyai pengalaman & pengetahuan tapi ingin menjadi
hacker sehingga lamer sering disebut sebagai ‘wanna-be’ hacker, penggunaan
komputer mereka terutama untuk main game, IRC, tukar menukar software
TINJAUAN TEORITIS 77
prirate, mencuri kartu kredit, melakukan hacking dengan menggunakan
software trojan, nuke & DoS, suka menyombongkan diri melalui IRC channel,
dan sebagainya. Karena banyak kekurangannya untuk mencapai elite, dalam
perkembangannya mereka hanya akan sampai level developed kiddie atau
script kiddie saja.
2.4.5. Kode Etik Hacker
1. Mampu mengakses komputer tak terbatas dan totalitas.
2. Semua informasi haruslah free
3. Tidak percaya pada otoritas, artinya memperluas desentralisasi.
4. Tidak memakai identitas palsu, seperti nama samaran yang konyol, umur,
posisi, dll.
5. Mampu membuat seni keindahan dalam komputer.
6. Komputer dapat mengubah hidup menjadi lebih baik.
7. Pekerjaan yang di lakukan semata-mata demi kebenaran informasi yang harus
disebarluaskan.
8. Memegang teguh komitmen tidak membela dominasi ekonomi industri
software tertentu.
9. Hacking adalah senjata mayoritas dalam perang melawan pelanggaran batas
teknologi komputer.
10. Baik Hacking maupun Phreaking adalah satu-satunya jalan lain untuk
menyebarkan informasi pada massa agar tak “gagap” dalam komputer.
TINJAUAN TEORITIS 78
2.4.6. Aturan Main Hacker
Gambaran umum aturan main yang perlu di ikuti seorang hacker seperti di
jelaskan oleh Scorpio, yaitu:
1. Di atas segalanya, hormati pengetahuan & kebebasan informasi.
2. Memberitahukan sistem administrator akan adanya pelanggaran keamanan
di keamanan yang anda lihat.
3. Jangan mengambil keuntungan yang tidak fair dari hack.
4. Tidak mendistribusikan & mengumpulkan software bajakan.
5. Tidak pernah mengambil resiko yang bodoh, selalu mengetahui kemampuan
sendiri.
6. Selalu bersedia untuk secara terbuka / bebas / gratis memberitahukan &
mengajarkan berbagai informasi & metoda yang diperoleh.
7. Tidak pernah melakukan hacking sebuah sistem untuk mencuri uang.
8. Tidak pernah memberikan akses ke seseorang yang akan membuat
kerusakan.
9. Tidak pernah secara sengaja menghapus & merusak file di komputer yang
dihack.
10. Hormati mesin yang dihack, dan memperlakukan dia seperti mesin sendiri.
Hacker sejati akan selalu bertindak berlandaskan kode etik dan aturan main
sedang cracker tidak mempunyai kode etik ataupun aturan main karena
cracker sifatnya merusak.
TINJAUAN TEORITIS 79
2.4.7. Dua Jenis Kegiatan Hacking
a. Social Hacking,
Yang perlu diketahui : informasi tentang sistem apa yang dipergunakan oleh
server, siapa pemilik server, siapa Admin yang mengelola server, koneksi
yang dipergunakan jenis apa lalu bagaimana server itu tersambung internet,
mempergunakan koneksi siapa lalu informasi apa saja yang disediakan oleh
server tersebut, apakah server tersebut juga tersambung dengan LAN di
sebuah organisasi dan informasi lainnya
b. Technical Hacking,
Merupakan tindakan teknis untuk melakukan penyusupan ke dalam sistem,
baik dengan alat bantu (tool) atau dengan mempergunakan fasilitas system itu
sendiri yang dipergunakan untuk menyerang kelemahan (lubang keamanan)
yang terdapat dalam sistem atau service. Inti dari kegiatan ini adalah
mendapatkan akses penuh kedalam sistem dengan cara apapun dan bagaimana
pun.
2.4.8. Akibat Yang Ditimbulkan Hacker dan Cracker
1. Hacker : membuat teknologi internet semakin maju karena hacker
menggunakan keahliannya dalam hal komputer untuk melihat, menemukan
dan memperbaiki kelemahan sistem keamanan dalam sebuah sistem komputer
ataupun dalam sebuah software, membuat gairah bekerja seorang
administrator kembali hidup karena hacker membantu administrator untuk
memperkuat “jaringan” mereka.
TINJAUAN TEORITIS 80
2. Cracker : merusak dan melumpuhkan keseluruhan sistem komputer, sehingga
data-data pengguna jaringan rusak, hilang, ataupun baru.
2.5. Kerangka Berpikir
Stres pada seseorang dapat terjadi pada berbagai kondisi dan situasi. Hal
ini dapat diartikan bahwa individu dapat mengalami stres dilingkungan manapun,
tidak terkecuali di lingkungan pendidikan perguruan tinggi. Dalam lingkungan
pendidikan perguruan tinggi mahasiswa dituntut untuk dapat mengikuti proses
perkuliahan dan kegiatan-kegiatan kampus dengan baik. Pada saat individu
mengkategorikan situasi atau tuntutan tersebut sebagai sesuatu yang mengancam
kesejahteraan dirinya, maka individu tersebut akan mengalami suatu kondisi yang
dinamakan stres. Seperti yang dijelaskan Lazarus dan Folkman (1976:47),
bahwa individu yang tidak mampu memenuhi tuntutan karena dirasa melebihi
sumber daya yang dimilikinya dapat menderita stres.
Demikian juga seperti yang terjadi pada para mahasiswa yang merupakan
anggota komunitas hacker yang kemampuannya masih dalam tahap developed
kiddie disalah satu perguruan tinggi X di Bandung, statusnya sebagai anggota
komunitas hacker dituntut untuk mampu memenuhi atau mematuhi aturan, kode
etik, dan tuntutan sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang anggota komunitas
hacker. Mereka juga mengalami kondisi dimana mereka di acuhkan, diabaikan,
tidak ditanggapi dan jarang diikutsertakan dalam kompetisi. Dilain pihak
statusnya sebagai mahasiswa di perguruan tinggi dituntut untuk mampu menjalani
setiap mata kuliah yang diambil dan diharapkan mendapat nilai yang baik serta
TINJAUAN TEORITIS 81
menyelesaikan setiap tugas yang diberikan oleh dosen dengan tepat waktu.
Mereka juga dituntut untuk mampu menyelesaikan pendidikannya tepat waktu
serta memiliki pengetahuan dan keterampilan agar menjadi tenaga kerja yang siap
pakai jika telah menyelesaikan masa pendidikannya. Dengan adanya tuntutan-
tuntutan tersebut diatas membawa mereka pada kondisi stres. Gejala-gejala stres
yang muncul berupa sering merasakan sakit kepala, sering lupa, sulit
berkonsentrasi, insomnia, gelisah, uring-uringan dan malas atau tidak semangat
dalam melakukan sesuatu.
Stres sangat berkaitan dengan penilaian individu terhadap situasi yang
dihadapinya. Berkaitan dengan penilaian tersebut, aspek-aspek kepribadian yang
ada dalam diri individu turut memberikan kontribusi dalam munculnya anggapan-
anggapan tertentu dalam diri mengenai kemampuan dalam kaitannya dengan
situasi lingkungan yang dinilainya.
Aspek kepribadian yang dibicarakan tersebut, salah satunya adalah konsep
diri. William H. Fitts (1971:43) mendefinisikan konsep diri sebagai keseluruhan
kesadaran atau persepsi mengenai diri yang diobservasikan, dialami dan dinilai
oleh individu iti sendiri. Fitts juga mengemukakan bahwa diri merupakan subjek
yang penting dalam diri seseorang, karena konsep diri merupakan kerangka acuan
(frame of reference) yang digunakan individu dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Fitts menyatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap
tingkah laku seseorang, dan pada umumnya tingkah laku individu berkaitan
dengan gagasan-gagasan mengenai dirinya. Konsep diri sendiri dipengaruhi oleh
TINJAUAN TEORITIS 82
faktor pengalaman, kompetisi dan aktualisasi diri. Faktor-faktor tersebut akan
mempengarui konsep diri yang dimiliki individu menjadi positif atau negatif.
Pada saat individu baik itu individu yang memiliki konsep diri positif
maupun negatif menghadapi kondisi stres, maka akan mengembangkan suatu
strategi penanggulangan stres yang disebut coping strategy. Coping strategy
diartikan sebagai upaya-upaya perilaku dan kognitif yang terus-menerus
dilakukan individu untuk mengelola tuntutan-tuntutan eksternal dan atau internal
yang dinilai melebihi sumber daya yang dimiliki oleh individu tersebut (Lazarus
& Folkman, 1984:141). Bentuk strategi penanggulangan stres dibagi menjadi
dua, yaitu yang berpusat pada emosi dan yang berpusat pada masalah
Berdasarkan Lazarus dan Folkman (1984:150), bentuk coping strategy
yang berpusat pada emosi adalah strategi penanggulangan yang diarahkan untuk
mengatasi respon emosional terhadap masalah. Sedangkan bentuk coping strategy
yang berpusat pada masalah, orientasinya lebih mengarah pada pemecahan
masalah dan strategi untuk menyelesaikannya, artinya usaha yang dilakukan
ditujukan untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau
mengerahkan/memperluas sumber daya untuk mengatasi atau mengurangi stres.
Dengan demikian strategi penanggulangan stres yang berpusat pada
masalah akan mungkin terjadi ketika individu mempunyai keyakinan bahwa
situasi atau suatu masalah yang menimbulakan stres dapat dirubah dengan
menggunakan sumber daya dan kemampuan yang dimilikinya. Tingkah laku yang
muncul pada developed kiddie sebagai anggota kounitas hacker di perguruan
tinggi X adalah berupa membuat rencana-rencana dan berusaha membagi waktu
TINJAUAN TEORITIS 83
dengan baik, rajin kuliah, mengerjakan dan mengumulkan tugas tepat waktu dan
berusaha untuk mencari tutorial yang berhubungan dengan hacking.
Sebaliknya strategi penanggulangan yang berpusat pada emosi lebih
mungkin terjadi ketika individu memandang dan menilai dirinya bahwa tidak
mampu dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah kondisi yang
mengancam, membahayakan atau yang membawanya pada kondisi stres. Tingkah
laku yang muncul pada developed kiddie sebagai anggota kounitas hacker di
perguruan tinggi X adalah berupa sering melakukan chatting atau mendownload
file-file yang tidak berhubungan dengan pengetahuan hackingnya dan tugas mata
kuliahnya, sering bolos, jarang mengerjakan tugas, dan ada juga yang pasrah dan
memiliki prinsip jalani saja apa adanya yang disertai dengan berdoa.
Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya hasil dari beberapa penelitian
menyebutkan bahwa coping merupakan suatu proses yang kompleks dan
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu karakteristik kepribadian (Bolger, 1990;
Friedman et al., 1992; Long & Sangster, 1993), situasi yang menuntut
(Folkman & Lazarus, 1986; Heim et al., 1993) dan peristiwa dalam hidupannya
(Mechanic, 1978). Penelitian lain yang dilakukan oleh Hoggard, Hughes, dan
McNelis (1987) pada beberapa orang guru, menunjukkan bahwa pada beberapa
guru yang memiliki konsep diri yang positif ketika mengalami tekanan dan stres
yang begitu tinggi, ia lebih mampu melakukan upaya menanggulangi masalah
yang membuatnya stres dibandingkan beberapa orang guru yang memiliki konsep
diri yang negatif.
TINJAUAN TEORITIS 84
Keberhasilan coping strategy juga dapat ditentukan oleh sumber daya
yang dimiliki individu, diantaranya meliputi; kesehatan dan energi, pandangan
positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial
dan sumber-sumber material. Selain itu tedapat pula hal-hal yang dapat
menghambat keberhasilan individu dalam melakukan coping strategy, antara lain
berasal dari hambatan personal, hambatan lingkungan, dan derajat ancaman
Lazarus dan Folkman (1984:159-164).
Alur berpikir :
2.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir diatas maka hipotesis yang diajukan adalah
sebagai berikut :
Terdapat hubungan yang significant antara konsep diri dengan coping strategy
pada developed kiddie dalam komunitas hacker di Perguruan Tinggi X Bandung.
Stressorr
Developed kiddie yang memiliki konsep diri
Kognitif Appraisal Stres
Coping Strategy
Problem focused of coping
Emotion focused of coping
85
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel konsep
diri dengan variabel coping strategy. Pendekatan untuk menganalisa pola
hubungan ini diperoleh melalui pendekatan yang bersifat korelasional. Penelitian
korelasional merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara dua atau beberapa variabel(Suharsimi Arikunto;
2000, hal. 326). Penelitian ini ditujukan untuk melihat sejauh mana keterkaitan
antara variabel pertama yaitu konsep diri yang berdasarkan teori William H. Fitts
(1971), dengan variabel kedua yaitu coping strategy yang berdasarkan teori
Lazarus dan Folkman (1984).
3.2. Identifikasi Variabel
Adapun variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Variabel pertama : Konsep Diri
Variabel kedua : Coping Strategy
3.3. Operasionalisasi Variabel
Dalam rangka memperolah data yang relevan dengan hipotesis penelitian
maka perlu dilakukan pengukuran terhadap variabel-variabel yang telah
didefinisikan secara konseptual. Pengukuran terhadap variabel tersebut dapat
METODA PENELITIAN 86
dilakukan setelah terlebih dahulu dibuat definisi operasionalnya. Dengan
demikian definisi operasional dalam penelitian ini adalah :
1. Konsep Diri
Konsep diri dalam penelitian ini adalah sejauh mana developed kiddie
dalam komunitas hacker di perguruan tinggi X Bandung ini memandang dan
mempersepsikan dirinya sesuai dengan apa yang diobservasi, dialami dan
dievaluasi oleh developed kiddie itu sendiri.
Konsep diri positif adalah sejauh mana developed kiddie dalam komunitas
hacker di perguruan tinggi X, memberikan pandangan dan persepsi yang positif
mengenai dirinya sendiri sesuai dengan apa yang diobservasi, dialami dan
dievaluasi oleh developed kiddie itu sendiri.
Konsep diri negatif adalah sejauh mana developed kiddie dalam komunitas
hacker di perguruan tinggi X, memberikan pandangan dan persepsi yang negatif
mengenai dirinya sendiri sesuai dengan apa yang diobservasi, dialami dan
dievaluasi oleh developed kiddie itu sendiri.
2. Coping Strategy
Coping strategy dalam penelitian ini adalah seberapa sering developed
kiddie dalam komunitas hacker di perguruan tinggi X Bandung ini melakukan
upaya-upaya perilaku maupun perubahan kognitif dalam menghadapi tuntutan
internal maupun eksternalnya. Coping strategy terbagi menjadi dua bentuk, yaitu
coping strategy yang berpusat pada masalah dan yang berpusat pada emosi.
METODA PENELITIAN 87
Coping strategy yang berpusat pada masalah yaitu seberapa sering
developed kiddie dalam komunitas hacker di perguruan tinggi X Bandung ini
melakukan upaya-upaya perilaku maupun perubahan kognitif dalam menghadapi
tuntutan internal maupun eksternalnya, yang digunakan untuk memecahkan
masalah
Sedangkan coping strategy yang berpusat pada emosi yaitu seberapa
sering developed kiddie dalam komunitas hacker di perguruan tinggi X Bandung
ini melakukan upaya-upaya perilaku maupun perubahan kognitif dalam
menghadapi tuntutan internal maupun eksternalnya, yang fungsinya untuk
meregulasi emosi terhadap stres yang dihadapi.
3.4. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh developed
kiddie yang ada di dalam komunitas hacker di perguruan tinggi X Bandung.
3.5. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat yang berupa
angket. Untuk mengukur variabel konsep diri digunakan alat ukur yang
dikembangkan oleh Fitts (1965), yaitu TSCS (Tennessee Self Concept Scale),
sedangkan untuk mengukur variabel coping strategy digunakan alat ukur Ways of
Coping yang dikembangkan olehLazarus.
METODA PENELITIAN 88
3.5.1. Tennessee Self Concept Scale
Tennessee Self Concept Scale (TSCS) dikembangkan oleh William H.
Fitts, 1965. Alat ukur ini telah dipergunakan oleh beberapa orang mahasiswa
dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Salah satunya adalah Ahmad Yuniardi,
dalam skripsinya yang berjudul konsep diri dengan orientasi masa depan area
pernikahan pada penderita lupus yang belum menikah di Yayasan Syamsy Dhuha,
dengan nilai reliabilitas 0,97.
TSCS terdiri dari 100 pernyataan yang menggambarkan diri. Sepuluh dari
item ini berasal dari MMPI L-Scale dan membentuk skor Self Criticism, yaitu
sebuah pengukuran terhadap defensiveness. 90 item lainnya merupakan
pernyataan yang sifatnya mendeskripsikan (menggambarkan) diri, yang meliputi
satu aspek dari dimensi internal dan satu aspek dari dimensi eksternal, seluruhnya
terdapat 15 kombinasi aspek internal-eksternal,
Dalam alat ukur ini, responden diminta untuk menentukan apakah
pernyataan yang ada sesuai atau tidak sesuai dengan kondisi dirinya. Setiap item
memiliki alternative jawaban yang menunjukkan derajat kesesuaian dan
ketidaksesuaian dengan diri. Keterangan alternative jawaban tertera pada tabel
berikut :
jawaban Nilai item positif Nilai item negatif
Benar-benar sesuai 5 1
Sebagian besar sesuai 4 2
Sebagian sesuai, sebagian tidak 3 3
Sebagian besar tidak sesuai 2 4
METODA PENELITIAN 89
jawaban Nilai item positif Nilai item negatif
Benar-benar tidak sesuai 1 5
Tabel 3.1
Dari cara skoring tersebut, yang dimaksud dengan konsep diri yang positif
adalah jika jumlah total nilai yang diperoleh dari data angket lebih besar dari nilai
median (nilai tengah). Sedangkan konsep diri yang negatif adalah jika skor total
yang diperoleh lebih kecil dari nilai Median.
Kisi-kisi alat ukur konsep diri, tertera pada tabel berikut ini:
Dimensi
internal
Dimensi
eksternal
indikator Favorable Unfavorable
Physical Label/simbol keadaan diri
secara fisik
1, 2, 18 3, 19, 20
Moral-etic Posisi diri dilihat dari
standar moral, etik, dan
religi
4, 5, 21 6, 22, 23
Personal Label/simbol akan sifat-
sifat dan kemampuan yang
dimiliki
7, 8, 24 9, 25, 26
Identity
Family Posisi dari keluarga dan
relasi dengan orang-orang
terdekat
10, 11, 27 12, 28, 29
METODA PENELITIAN 90
Social Posisi diri dalam
interaksinya dengan orang
lain
13, 14, 30 15, 31, 32
Physical Penilaian diri secara fisik 35, 36, 52 37, 53, 54
Moral-etic Penilaian diri akan
posisinya dilihat dari
standar moral, etik, dan
religi
38, 39, 55 40, 56, 57
Personal Penilaian akan sifat-sifat
dan kemampuan yang
dimiliki
41, 42, 58 43, 59, 60
Family Penilaian posisi diri
dikeluarga dan relasi
dengan orang-orang
terdekat
44, 45, 61 46, 62, 63
Judging
Social Penilaian diri dalam
interaksinya dengan orang
lain
47, 48, 64 49, 65, 66
Behavior Physical Kesadaran akan keadaan
fisik
69, 70, 85 71, 86, 87
METODA PENELITIAN 91
Moral-etic Kesadaran diri akan
posisinya dilihat dari
standar moral, etik, dan
religi
72, 73, 88 74, 89, 90
Personal Kesadaran akan sifat-sifat
dan kemampuan yang
dimiliki
75, 76, 91 77, 92, 93
Family Kesadaran akan posisi diri
dikeluarga dan relasi
dengan orang-orang
terdekat
78, 79, 94 80, 95, 96
Social Kesadaran diri dalam
interaksinya dengan orang
lain
81, 82, 97 83, 98, 99
Tabel 3.2
3.5.2. Ways Of Coping
Alat ukur ini digunakan untuk menjaring coping strategy yang disusun
oleh Lazarus dan Folkman (1984), yang terdiri dari dua aspek utama, yaitu
penanggulangan masalah yang berpusat pada masalah dan penanggulangan yang
berpusat pada emosi.
METODA PENELITIAN 92
Alat ukur ini terdiri dari item pernyataan digunakan untuk melihat
kecenderungan arah strategi penanggulangan yang digunakan seseorang jika
meghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau situasi stres.
Angket ini di susun dalam skala reaksi dimana pada setiap item, subjek
dihadapkan pada salah satu bentuk coping strategy dan subjek tersebut harus
menentukan seberapa sering memunculkan reaksi yang mencerminkan salah satu
pola coping strategy tersebut.
Frekuensi individu dalam memunculkan reaksi tersebut dinyatakan dalam
salah satu dari empat pilihan jawaban seperti yang tersedia pada tabel berikut ini,
yaitu :
Jawaban Skor
Tidak pernah 0
Jarang 1
Cukup sering 2
Sering 3
Tabel 3.3
Pada alat ukur ini setiap item memiliki skala 0 sampai 3, baik untuk item
yang menjaring strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah
maupun strategi penanggulangan stres yang berpusat pada emosi. Skor didapat
dengan menjumlahkan seluruh nilai yang didapat dari setiap item. Setelah itu di
buat proporsi diantara kedua strategi coping dengan cara :
1. %100×masalahpadaberpusatyangstrategycopingmaksimalskor
masalahpadaberpusatyangstrategycopingpadaskor
METODA PENELITIAN 93
2. %100×emosipadaberpusatyangstrategycopingmaksimalskor
emosipadaberpusatyangstrategycopingpadaskor
Jika prosentase yang diperoleh pada item coping strategy yang berpusat
pada masalah lebih besar dibandingkan dengan prosentase yang diperoleh untuk
item coping strategy yang berpusat pada emosi, maka dapat dikatakan bahwa
subjek lebih sering menggunakan coping strategy yang berpusat pada masalah.
Sebaliknya, jika hasil prosentase item coping strategy yang berpusat pada emosi
lebih besar dibandingkan dengan prosantase item coping strategy yang berpusat
pada masalah, maka dikatakan bahwa subjek lebih sering menggunakan coping
strategy yang berpusat pada emosi.
Bentuk coping strategy yang digunakan individu untuk menaggulangi
stress tersebut dijaring melalui item-item yang tertera pada tabel berikut :
No Indikator Sub Indikator No. item
Confrontative coping 6, 7, 17, 28, 34, 46 1. Problem Focused Coping
Planfull problem
solving
1, 24, 26, 39, 48, 49,
52
Distancing 4, 12, 13, 44, 53, 64
Self control 10, 14, 19, 35, 37,
43, 54, 62, 63
2. Emotion Focused Coping
Seeking social support 8, 18, 22, 31, 42, 45
METODA PENELITIAN 94
Accepting responsibility 2, 5, 9, 25, 29, 51,
61, 65
Escape avoidance 3, 11, 16, 21, 32, 33,
40, 41, 47, 50, 55,
57, 58, 59, 66, 67
Possitive reapraisal 15, 20, 23, 27, 30,
36, 38, 56, 60
Tabel 3.4
3.6. Uji Statistik
Perhitungan statistik dilakukan untuk dua tujuan yang berbeda yaitu untuk
uji coba alat ukur dan untuk pengolahan data.
3.6.1. Uji coba alat ukur
Meskipun alat ukur yang dipakai adalah alat ukur yang telah
dikembangkan oleh Fitts (1971) dan Lazarus & Folkman (1984), namun tetap
diperlukan pengujian, untuk melihat apakah alat ukur tersebut dapat dipakai pada
subyek yang berbeda, dan selain itu juga karena adanya sedikit modifikasi pada
kedua alat ukur tersebut. Uji alat ukur ini dimaksudkan untuk memperoleh nilai
validitas dan reliabilitas dari alat ukur yang digunakan.
METODA PENELITIAN 95
3.6.1.1. Validitas Alat Ukur
Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang
bersangkutan mampu mengukur apa yang hendak diukur (Suharsimi Arikunto,
2003;219). Suatu instrumen alat ukur dikatakan valid atau memiliki tingkat
validitas yang tinggi jika mampu memberikan hasil ukur yang akurat dan tepat
sesuai dengan maksud pengukurannya.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk
(Construct validity), yaitu bahwa alat ukur yang digunakan merupakan skala yang
dibuat berdasarkan teori yang telah valid. Untuk mengukur validitas alat ukur
dalam penelitian ini digunakan teknik koefisien korelasi “Rank Order
Correlation” dari Spearman Rho, dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Sidney Siegel, 1997; pp, 253, 256): )1(
61
2
2
−∑−=nn
dirs sedangkan jika terdapat
data kembar maka digunakan rumus : 22
222
.2 yx
dyxrs
∑∑
∑−∑+∑= .
3.6.1.2. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat
ukur dapat dipercaya dan diandalkan. Suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila
hasil alat ukur itu tidak berubah-ubah, tetap atau konsisten dari sampel ke sampel
dan dari waktu ke waktu (Muckhiar Suradinata, 1992, hlm.199). Metode
reliabilitas yang digunakan di sisni adalah Coeficient of internal Consistency,
yaitu mencari koefisien reliabilitas antara soal yang satu dengan soal yang lain di
dalam tes itu juga (Muckhiar Suradinata, 1992, hlm.200). Sedangkan tehnik
METODA PENELITIAN 96
yang digunakan oleh peneliti disini adalah adalah tehnik belah dua (split-half
methods). Langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Menyajikan alat ukur kepada sejumlah responden, kemudian dihitung
validitas itemnya. Item-item yang valid dikumpulkan menjadi satu dan yang
tidak valid dibuang.
2. Membagi item-item yang valid tersebut menjadi dua belahan yaitu dengan
cara membagi item berdasarkan nomor genap dan nomor ganjil.
Mengelompokkan item yang bernomor genap sebagai belahan pertama (X),
dan mengelompokkanitem yang benomor ganjil sebagai belahan kedua (Y).
3. Menjumlahkan skor masing-masing item pada tiap belahan. Langkah ini akan
menghasilkan dua skor total untuk masing-masing responden, yakni skor total
belahan pertama dan skor total belahan kedua.
4. Mengkorelasikan skor total belahan pertama dengan skor total belahan kedua.
Dari langkah-langkah perhitungan diatas akan menghasilkan korelasi antar
belahan, untuk mencari reliabilitas keseluruhan item adalah dengan
mengkorelasikan angka korelasi dengan menggunakan rumus: oe
oett r
rr
+=
1
2
Dimana( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )2222 ..
..
∑∑∑∑
∑ ∑∑
−−
−=
YYNXXN
YXXYNroe
Dengan digunakannya rumus tersebut, untuk alat ukur konsep diri diperoleh
nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,946 dan untuk alat ukur coping strategy
diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,850.
METODA PENELITIAN 97
Kriteria yang digunakan untuk menafsirkan tinggi rendahnya koefisien
reliabilitas alat ukur dan kekuatan korelasi atau ada tidaknya korelasi antara dua
variabel didasarkan atas norma “Guilford ” (Subino, 1987:115).
Tabel norma Guilford, sebagai berikut :
Angka Koefisien
Korelasi
Derajat Reliabilitas dan Korelasi
Kurang dari (<) 0,20 Derajat reliabilitas hampir tidak ada; hubungan
lemah sekali
0,21 – 0,40 Derajat reliabilitas rendah, hubungan rendah
0,41 – 0,70 Derajat reliabilitas sedang, hubungan cukup berarti
0,71 – 0,90 Derajat reliabilitas tinggi, hubungan tinggi
0,91 – 1,00 Derajat reliabilitas tinggi sekali, hubungan sangat
tinggi
Tabel 3.5
Dengan demikian, berdasarkan norma Guilford tersebut dapat diketahui
bahwa alat ukur konsep diri dengan nilai koefisien reliabilitas 0,946 dikatakan
memiliki derajat reliabilitas yang sangat tinggi, dan alat ukur coping strategy
dengan nilai koefisien reliabilitas 0,850 diartikan memiliki derajat reliabilitas
yang tinggi.
3.6.2. Pengolahan Data
Pada penelitian ini, variabel yang digunakan adalah konsep diri dan coping
strategy. Adapun data yang diperoleh adalah data nominal (data ordinal yang
METODA PENELITIAN 98
dikonversi menjadi data nominal yang berasal dari variabel konsep diri, dan data
nominal dari variabel coping strategy). Dengan demikian, untuk mengetahui
hubungan variabel-variabel tersebut statistik uji yang digunakan adalah analisis
koefisien kontingensi C (Chi-Kuadrat).
Alasan digunakannya teknik ini adalah :
1. Data penelitian ini berpasangan
2. Data berskala nominal (data ordinal diturunkan menjadi nominal, dan data
nominal)
3. Data statistik berbentuk non parametrik.
Analisa ini digunakan untuk menguji hipotesis dengan rumus :
2χ hit = ( )
∑∑= =
−r
i
k
j Eij
EijOij
1 1
2
Keterangan :
Oij : Jumlah observasi untuk kasus-kasus yang diaktegorikan dalam baris ke-1
pada kolom ke-j
Eij : Banyak kasus yang diharapkan di bawah Ho untuk dikategorikan dalam baris
ke-1 pada kolom ke-j
Rumus mencari Eij :
Eij = ∑
∑ ∑Χtotal
kolomskorbarisskor
Setelah mengetahui apakah Ho ditolak atau diterima, maka perlu diketahi derajat
hubungan kedua variabel, dengan rumus :
METODA PENELITIAN 99
C = nhit
hit
+2
2
χχ
Agar harga C yang diperoleh dapat dipakai untuk menilai derajat asosiasi antara
variabel, maka harga C perlu dibandingkan dengan koefisien kontingensi
maksimum. Harga Cmaks ini dihitung dengan rumus :
Cmaks = m
m 1−
Keterangan :
m : Harga minimum antara b dan k (minimum antara banyak b dan k)
Tabel harga Cmaks untuk berbagai m
m Cmaks
2 0,707
3 0,816
4 0,866
5 0,894
6 0,913
7 0,926
8 0,935
9 0,943
10 0,949
Tabel 3.6
Semakin dekat harga C kepada Cmaks maka semakin besar derajat asosiasi antara
variabel. Dengan kata lain, faktor yang satu berkaitan dengan faktor yang lain.
METODA PENELITIAN 100
Tabel Kriteria nilai C adalah sebagai berikut :
Nilai C Derajat Korelasi
C = 0 Tidak ada korelasi
0 < C < 0,2 (0,1414) Korelasi rendah sekali
0,2 (0,1414) < C < 0,4 (0,2828) Korelasi rendah
0,4 (0,2828) < C < 0,6 (0,4242) Korelasi sedang
0,6 (0,4242) < C < 0,8 (0,5656) Korelasi tinggi
0,8 (0,5656) < C < 1 (0,707) Korelasi sangat tinggi
Tabel 3.7
Langkah-langkah dalam penggunaan koefisien kontingensi menurut Siegel
(1997:248) :
1. Aturlah frekuensi-frekuensi observasi dalam suatu kontingensi b x k.
2. Tentukan frekuensi yang diharapkan di bawah Ho untuk tiap-tiap sel
dengan mengalikan kedua jumlah tepi yang sama-sama dimiliki sel itu,
dan kemudian membagi hasilnya dengan N, yakni jumlah total kasus. Jika
lebih besar dari 20% diantara sel-sel tersebut mempunyai frekuensi yang
diharapkan kurang dari lima, atau jika ada sembarang sel yang mempunyai
frekuensi yang diharapkan kurang dari satu, gabungkanlah kategori-
kategori untuk meningkatkan frekuensi-frekuensi yang diharapkan yang
tidak memadai.
3. Hitung harga 2χ untuk data itu.
4. Dengan harga 2χ , hitunglah harga C.
METODA PENELITIAN 101
5. Untuk menguji apakah ada observasi C yang memberikan petunjuk bahwa
terdapat asosiasi antara kedua variable dalam populasi, tentukan
kemungkinan yang berkaitan dengan adanya suatu harga yang sebesar
harga 2χ yang diobservasi, di bawah Ho, dengan db = (b-1) (k-1) dengan
menggunakan table C, jika kemungkinan itu = atau <2χ tabel, maka
tolaklah Ho.
3.7. Data Penunjang
Dalam rangka menambah informasi yang digunakan untuk melihat dengan
jelas mengenai coping strategy developed kiddie, maka dalam penelitian ini
digunakan data-data tambahan yang meliputi :
1. Data pribadi berupa nama, usia, lamanya mengikuti organisasi hacker,
jenis kelamin, pendidikan dan lain sebagainya, yang dianggap perlu untuk
diketahui guna melengkapi data penelitian.
2. Data penunjang lain yang diajukan dalam penelitian ini adalah berupa
kuesioner berisi pertanyaan-pertanyan yang dianggap penting oleh
peneliti. Adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pekerjaan ayah dan ibu
Haan (1977) dalam Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan
bahwa dari sejumlah penelitian didapatkan hasil bahwa individu
yang berasal dari golongan sosio ekonomi menengah keatas lebih
suka menggunakan pola coping yang fleksibilitas, logika dan
realitas.
METODA PENELITIAN 102
b. Pendapatan perbulan.
Lazarus dan Folkman (1984:159-164) mengatakan bahwa proses
coping strategy ditentukan oleh sumber daya manusia, salah
satunya adalah sumber-sumber material yang dimiliki.
c. Kegiatan organisasi yang pernah diikuti.
Lazarus dan Folkman (1984:159-164) mengatakan bahwa proses
coping strategy ditentukan oleh sumber daya manusia, salah
satunya adalah keterampilan memecahkan masalah. Sedangkan
Janis dan Mann dalam Abdurrachman (1999) menjelaskan
bahwa keterampilan memecahkan masalah dipengaruhi oleh
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.
d. Penilaian positif atau negatif terhadap setiap masalah yang
dihadapi.
Silver dan Wortman dalam Lazarus dan Folkman (1984)
mengatakan bahwa individu yang memilih situasi negatif yang
dihadapinya sebagai sesuatu yang positif akan memunculkan
derajat stres yang rendah dibandingkan dengan mereka yang
memandangnya sebagai sesuatu yang negatif. Sementara
Anderson (1977) dalam Lazarus dan Folkman (1984)
menemukan bahwa pada derajat stres yang relatif rendah
penanggulangan stres yang berpusat pada masalah dan emosi
dipergunakan pada kadar yang hampir sama.
METODA PENELITIAN 103
e. Pendidikan terkhir.
Penelitian Pearlin dan Schooler (1978) dalam Lazarus dan
Folkman (1984) menemukan bahwa individu yang memiliki
pendidikan tinggi lebih percaya dengan pola coping strategy yang
berpusat pada masalah.
3.8. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan yaitu :
1. Tahap Persiapan
a. Observasi lapangan terhadap objek penelitian
b. Perumusan masalah
c. Menentukan variabel yang akan diteliti
d. Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan
landasan teoritis yang tepat mengenai variabel penelitian
e. Mempersiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian.
f. Menetapkan jadwal pengambilan data.
g. Melakukan pengambilan data
2. Tahap Pelaksanaan
a. Uji Coba
Melakukan uji coba terpakai alat ukur konsep diri dan coping strategy
b. Pengambilan Data
a) Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta
kesediaan subjek untuk mengisi kuesioner penelitian.
METODA PENELITIAN 104
b) Melaksanakan pengambilan data dengan memberikan alat ukur
yang telah disiapkan pada subjek penelitian.
3. Tahap Pengolahan data
a. Melakukan skoring untuk setiap hasil kuesioner yang telah diisi.
b. Menghitung dan membuat tabulasi data yang diperoleh, kemudian
dibuat tabel data.
c. Melakukan analisis data dengan menggunakan metoda statistik untuk
menguji hipotesis penelitian dan korelasi antara variabel penelitian.
4. Tahap Pembahasan
a. Menginterpretasikan dan membahas hasil analisis statistik berdasarkan
teori dan kerangka pikir yang diajukan sebelumnya.
b. Merumuskan analisis dan kesimpulan yang diperoleh dari keseluruhan
data dan memberikan umpan balik berupa saran atas manfaat yang
mungkin diperoleh dalam penelitian ini.
5. Tahap Penyelesaian
a. Membuat laporan hasil penelitian
b. Mengajukan forum skripsi ke Fakultas Psikologi
c. Memperbaiki dan menyempurnakan laporan hasil penelitian secara
keseluruhan.
105
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini akan dibahas mengenai hasil-hasil pengolahan statistik
dilengkapi dengan pembahasan berdasarkan hasil tersebut. Hasil penelitian
tersebut diolah dengan uji statistik Koefisien Kontingensi Chi-Kuadrat. Koefisien
Kontingensi Chi-Kuadrat digunakan untuk menyusun indeks kekuatan atau
besarnya hubungan antar variabel kategori.
Uraian pembahasan dalam bab ini akan dibagi dalam bagian-bagian
sebagai berikut :
1. Uji statistik untuk mengukur korelasi antara konsep diri dengan coping
strategy.
2. Pembahasan hubungan antara konsep diri dengan coping strategy.
HASIL DAN PEMBAHASAN 106
4.1. Hasil Uji Korelasi antara Konsep Diri dengan Coping Strategy
Tabel 4.1
Frekuensi dan Prosentase
antara Konsep Diri dengan Coping Strategy pada Developed Kiddie dalam
Komunitas Hacker di Perguaruan Tinggi X Bandung
Coping strategy
Masalah Emosi
Total Konsep
Diri
F % F % F %
Positif 7 43,75% 1 6,25% 8 50%
Negatif 3 18,75% 5 31,25% 8 50%
Total 10 62,50% 6 37,50% 16 100%
Berdasarkan tabel diatas diperoleh :
1. Developed Kiddie yang memiliki kecenderungan konsep diri positif
sebanyak 8 orang. Dari 8 orang tersebut, 7 orang memilih menggunakan
strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah dan 1 orang
lainnya memilih menggunakan strategi penanggulangan stres yang
berpusat pada emosi.
2. Developed Kiddie yang memiliki kecenderungan konsep diri negatif
sebanyak 8 orang. Dari 8 orang tersebut, 3 orang memilih menggunakan
strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah dan 5 orang
lainnya memilih menggunakan strategi penanggulangan stres yang
berpusat pada emosi.
HASIL DAN PEMBAHASAN 107
Tabel 4.2
Kontingensi Konsep Diri dengan Coping Strategy pada Developed Kiddie
dalam Komunitas Hacker di Perguaruan Tinggi X Bandung
Coping Strategy
Masalah Emosi
Konsep
Diri
Oij Eij Oij Eij
Total
Positif 7 5 1 3 8
Negatif 3 5 5 3 8
Total 10 6 16
Tabel 4.3
Hasil Uji Korelasi Chi Kuadrat
antara Konsep Diri dengan Coping Strategy pada Strategy pada Developed
Kiddie dalam Komunitas Hacker di Perguaruan Tinggi X Bandung
Hasil Uji Kontingensi
hit2χ = ( )
∑∑= =
−B
i
k
j Eij
EijOij
1 1
2
C = nhit
hit
+2
2
χχ
4,260 0,459
Dari hasil statistik dengan menggunakan metode Koefisien Kontingensi Chi-
Kuadrat didapatkan hit2χ sebesar 4,260 dan C sebesar 0,459.
HASIL DAN PEMBAHASAN 108
Karena didapatkan C = 0,459 dan C maks = 0,707, berdasarkan norma
kontingensi menunjukkan adanya korelasi yang sedang antara konsep diri dengan
coping strategy pada developed kiddie dalam komunitas hacker di perguruan
tinggi X Bandung.
4.2. Pembahasan
Stres pada seseorang dapat terjadi pada berbagai kondisi dan situasi. Hal
ini dapat diartikan bahwa individu dapat mengalami stres dilingkungan manapun,
tidak terkecuali di lingkungan pendidikan perguruan tinggi. Dalam lingkungan
pendidikan perguruan tinggi mahasiswa dituntut untuk dapat mengikuti proses
perkuliahan dan kegiatan-kegiatan kampus dengan baik. Pada saat individu
mengkategorikan situasi atau tuntutan tersebut sebagai sesuatu yang mengancam
kesejahteraan dirinya, maka individu tersebut akan mengalami suatu kondisi yang
dinamakan stres. Seperti yang dijelaskan Lazarus dan Folkman (1976:47),
bahwa individu yang tidak mampu memenuhi tuntutan karena dirasa melebihi
sumber daya yang dimilikinya dapat menderita stres. Stres pada dasarnya
menuntut suatu penanganan yang disebut dengan coping strategy. Lazarus dan
Folkman (1984) mengartikan coping strategy sebagai upaya-upaya perilaku dan
kognitif yang terus-menerus dilakukan individu untuk mengelola tuntutan-
tuntutan eksternal dan atau internal yang dinilai melebihi sumber daya yang
dimiliki oleh individu tersebut. Coping strategy atau strategi penanggulangan stres
pada masing-masing individu berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi individu dalam pemilihan coping strategy yang akan
HASIL DAN PEMBAHASAN 109
dilakukannya, diantaranya adalah sosio demografis, pemaknaan individu terhadap
situasi yang dihadapinya, dan aspek kepribadian yang dimiliki individu, yakni
keyakinan yang positif terhadap sumber daya yang dimiliki termasuk di dalamnya
pandangan positif terhadap kemampuan diri. Pandangan dan penilaian terhadap
diri disebut juga dengan konsep diri. Lebih lengkapnya William H. Fitts
(1971:43) mendefinisikan konsep diri sebagai keseluruhan kesadaran atau
persepsi mengenai diri yang diobservasikan, dialami dan dinilai oleh individu iti
sendiri. Lazarus dan Folkman (1984:159) juga mengatakan bahwa cara pandang
individu terhadap diri mereka dapat dijadikan pemicu sumber daya psikologis
yang sangat penting untuk melakukan strategi penanggulangan stres. Hal tersebut
didukung dengan adanya hasil dari penelitian-penelitian mengenai konsep diri dan
coping strategy. Seperti Penelitian yang dilakukan oleh Hughes (1967) (dalam
Fitts, 1971), terhadap anak laki-laki dan perempuan tingkat enam menunjukkan
bahwa mereka yang dengan konsep diri lebih positif menunjukkan kurang cemas
dan kekuatan coping strategy yang lebih baik dalam menangani stres. Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Gividen (1959) terhadap pasukan terjun payung dan
Schalon (1968) (dalam Fitts, 1971) terhadap mahasiswa perguruan tinggi
memberikan hasil yang mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan Hughes
(1967). Hasil dari penyelidikan ini menandakan bahwa konsep diri yang tinggi
dari subyek membuat mereka mampu menangani stres dengan lebih baik dari
pada subyek dengan konsep diri yang rendah. Dengan demikian terdapat bukti
bahwa konsep diri yang ada pada diri individu menentukan cara dia melakukan
strategi penanggulangan stres terhadap berbagai situasi yang dihadapainya.
HASIL DAN PEMBAHASAN 110
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan perhitungan
statistik koefisien kontingensi chi-kuadrat dalam penelitian yang dilakukan pada
developed kiddie mengenai konsep diri yang dimilikinya dan coping strategy yang
dilakukannya, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara
konsep diri dengan coping strategy pada mereka. Dari perhitungan korelasi
dengan menggunakan metode koefisien kontingensi chi-kuadrat antara konsep diri
dengan coping strategy dan didasarkan pada tabel Guilford didapatkan nilai yang
termasuk kedalam kriteria derajat korelasi sedang. Ini dapat dikatakan bahwa
konsep diri memiliki arti yang cukup penting pada pemilihan penggunaan coping
strategy yang akan digunakan para developed kiddie.
Pada tabel 4.1, tercantum 8 orang developed kiddie yang memiliki konsep
diri positif. Dari 8 orang yang memiliki konsep diri positif tersebut 7 orang
diantaranya menggunakan coping strategy yang berpusat pada masalah dalam
menanggulangi berbagai tuntutannya. Menurut Lazarus dan Folkman (1984:150)
strategi penanggulangan yang berpusat pada masalah akan dipilih individu jika
individu tersebut menilai bahwa stressor dapat dirubah. Dalam tabel korelasi
frekuensi dan prosentase coping strategy pada developed kiddie konsep diri positif
(lampiran 9.a), terdapat 75% dari developed kiddie yang memiliki konsep diri
positif cenderung menggunakan coping strategy dalam bentuk confrontative
coping. Confrontative coping diartikan sebagai sebuah strategi penanggulangan
masalah yang lebih menggambarkan agresivitas seseorang dan pengambilan
resiko. Yang tergambar dalam fenomena, mereka melakukan usaha-usaha
pemecahan masalah dengan cara lebih aktif belajar lewat internet dengan cara
HASIL DAN PEMBAHASAN 111
mencari tutorial yang berhubungan dengan hacking kemudian mempraktekan
metode-metode hacking yang ada dalam tutorial tersebut namun terkadang tanpa
disertai dengan perencanaan metoda manakah yang terlebih dahulu harus
dipahami oleh mereka. Demikian juga ketika mereka menghadapi tuntutan
akademiknya, mereka berusaha untuk tetap rajin mengikuti perkuliahan ataupun
selalu tepat mengumpulkan tugas-tugas namun terkadang tidak disertai dengan
keseriusannya mengikuti perkuliahan (asal datang) dan pengerjaan tugas
kampusnya (asal mengerjakan). Dari data yang didapat dan terlampir pada
lampiran 16, mereka adalah individu yang memiliki keyakinan bahwa situasi atau
masalah yang menimbulkan stres dapat dirubah dengan menggunakan sumber
daya dan kemampuan yang dimilikinya. Mereka lebih memandang permasalahan
yang mereka hadapi sebagai suatu pelajaran atau sesuatu yang bersifat positif
dibandingkan dengan memandang permasalahan sebagai suatu beban.
Dalam tabel 4.1, diketahui bahwa terdapat 8 orang developed kiddie yang
memiliki konsep diri negatif. Dari 8 orang developed kiddie yang memiliki konsep
diri negatif tersebut 5 orang diantaranya menggunakan bentuk coping strategy
yang berpusat pada emosi. Fitts (1971) menyatakan bahwa konsep diri
berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penilaian negatif terhadap diri akan mempengaruhi penilaian dan
cara dalam menanggulangi situasi stres yang dihadapinya. Dalam hal ini karena
penilaian kemampuan yang dimilikinya negatif maka hal tersebut membuat
mereka merasa tidak ada yang dapat dilakukan dalam menghadapi kondisi stres.
Oleh karena itu, pada saat mereka menghadapi masalah, mereka hanya melakukan
HASIL DAN PEMBAHASAN 112
usaha-usaha untuk mereduksi tekanan yang mereka alami. Seperti yang tertera
pada lampiran 9.b yakni tabel frekuensi dan prosentase coping strategy pada
developed kiddie yang memiliki konsep diri negatif, cara-cara yang dilakukan para
developed kiddie dalam mereduksi tekanan yang ada antara lain escape
avoidance, accepting responsability, possitif reappraisai dan distance. Di dalam
fenomena tergambar 1 orang developed kiddie cenderung mencoba mengalihkan
kondisi stresnya dengan melakukan aktivitas lain seperti chatting, bermain game
ataupun mendowload sesuatu yang mereka sukai yang tidak berhubungan dengan
metoda hacking, 1 orang developed kiddie berusaha menganggapnya sebagai
suatu takdir yang harus diterimanya sebagai seorang developed kiddie. 1 orang
developed kiddie berusaha dengan memperbanyak berdoa dan beribadah dan 2
orang developed kiddie berusaha untuk tidak melibatkan diri lagi dengan tekanan
yang dihadapinya, yaitu sering bolos, jarang mengerjakan tugas ataupun jarang
mempelajari metoda-metoda hacking. Dari data yang didapat dan terlampir pada
lampiran 16, pada umumnya mereka memandang permasalahan yang dihadapinya
sebagai beban atau sesuatu yang lebih bersifat negatif. Disamping memiliki
pandangan negatif akan suatu permasalahan yang dihadapi, dalam lampiran 16
juga terlihat bahwa mereka tidak begitu aktif dalam mengikuti kegiatan
keorganisasian. Mengikuti berbagai kegiatan keorganisasian dapat melatih kita
dalam kemampuan berkominikasi dan berinteraksi secara efektif dilingkungan
sosial. Dengan demikian, karena mereka kurang begitu aktif maka mereka kurang
memiliki kemampuan berkomunikasi dan bertindak dalam cara yang tepat dan
HASIL DAN PEMBAHASAN 113
efektif di lingkungan sosialnya sehingga kecil kemungkinan bagi mereka untuk
memperoleh kerjasama serta dukungan dari orang lain.
Seperti yang dijelaskan Fitts (1971:23) bahwa cara individu memandang
dan menghayati dirinya akan memberi warna atau mempengaruhi pandangannya
akan situasi yang seang dihadapinya. Individu yang memiliki konsep diri positif
terlihat lebih memiliki pandangan positif dalam menanggapi berbagai
permasalahan yang mereka hadapi. Namun demikian, di dalam penelitian ini
seperti yang tertera pada tabel 4.1, terdapat 8 orang developed kiddie yang
memiliki konsep diri positif 1 orang diantaranya menggunakan coping strategy
yang berpusat pada emosi yaitu accepting responsability. Menurut Lazarus dan
Folkman (1984) terdapat beberapa hal yang menunjang seseorang dalam
melakukan coping strategy, salah satu diantaranya adalah keterampilan dalam
memecahkan masalah. Keterampilan memecahkan masalah berupa kemampuan
untuk mencari informasi, menganalisis situasi, mengidentifikasi masalah sebagai
upaya mencari alternatif tindakan, mempertimbangkannya, memilih dan
menerapkan rencana yang tepat dalam bertindak untuk mengatasi masalah.
Sedangkan keterampilan untuk memecahkan masalah tersebut menurut Janis dan
Mann (Muniroh Abdurrachman , 1999) diperoleh melalui pengalaman luas,
pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan intelektual/kognitif untuk
menggunakan pengetahuan tersebut. Developed kiddie yang berasal dari sekolah
dengan tuntutan akademik yang rendah dan tidak terbiasa dengan tuntutan
keorganisasian akan kurang memiliki pengalaman dalam menghadapi situasi stres
jika dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari SMA yang memiliki
HASIL DAN PEMBAHASAN 114
tuntutan akademik yang tinggi dan terbiasa dengan tuntutan keorganisasian yang
diikutinya. Hal tersebut sesuai dengan hasil dari jawaban responden di dalam data
penunjang yang terlampir pada lampiran 16, tampak bahwa terdapat responden
yang memang belum pernah mengikuti kegiatan organisasi sebelum mereka
menjadi mahasiswa.
Berdasarkan tabel 4.1. 3 orang dari 8 orang develeoped kiddie yang
memepunyai konsep diri negatif, memilih menggunakan bentuk coping strategy
yang berpusat pada masalah. Dalam tabel korelasi frekuensi dan prosentase
coping strategy pada developed kiddie konsep diri negatif (lampiran 9.b), terdapat
3 orang atau 37,5% dari keseluruhan developed kiddie yang memiliki konsep diri
negatif cenderung menggunakan coping strategy dalam bentuk planfull problem
solving. Di dalam fenomena, 3 orang developed kiddie yang memiliki konsep diri
negatif memperlihatkan perilaku sering berusaha membuat rencana-rencana dan
berusaha membagi waktu dengan baik mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan tuntutan-tuntutannya tersebut. Lazarus dan Folkman
(1984:159-164) mengemukakan bahwa dukungan sosial yang berupa dukungan
emosional atau berupa informasi dan dukungan nyata serta sumber-sumber
material yakni uang maupun dalam bentuk barang dapat memberikan kontribusi
yang penting bagi seseorang dalam menggunakan coping strategy yang
dilakukannya. Dengan adanya pernyataan diatas, memberikan kemungkinan yang
besar bahwa meskipun developed kiddie memiliki konsep diri yang negatif namun
dengan adannya dukungan emosioanal, dukungan informasi, dukungan nyata serta
adanya sumber-sumber materi yang dimilikinya, developed kiddie tersebut dapat
HASIL DAN PEMBAHASAN 115
menggunakan coping strategy yang berpusat pada masalah. Hal tersebut diperkuat
dengan adanya hasil dari kuesioner data penunjang yang terlampir pada lampiran
15 dan 16, bahwasannya diantara mereka ada berasal dari keluarga yang
berkecukupan dan tiap bulannya mendapatkan pendapatan diatas 1,2 juta rupiah.
116
B A B V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan,
serta pengujian hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan metode statistik,
maka dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan coping
strategy pada developed kiddie dalam komunitas hacker di perguruan
tinggi X Bandung, dengan tingkat korelasi sedang.
2. Penggunaan bentuk coping strategy yang berpusat pada masalah lebih
sering digunakan pada developed kiddie yang memiliki konsep diri positif,
3. Penggunaan bentuk coping strategy yang berpusat pada emosi lebih sering
digunakan pada developed kiddie yang memiliki konsep diri negatif.
5.2. Saran
1. Dengan melihat bahwa keterampilan memecahkan masalah
merupakan hal yang berguna untuk konsep diri dan coping strategy,
maka bagi developed kiddie atau mahasiswa lainnya yang
termasuk anggota organisasi hacker baik itu yang ada di kehidupan
nyata atau di dunia cyber diharapkan aktif dalam mengikuti
berbagai macam pelatihan - pelatihan baik itu yang diselenggarakan
oleh pihak kampus maupun di luar kampus (instansi tertentu).
Misalnya dengan mengikuti berbagai macam pelatihan
KESIMPULAN DAN SARAN 117
pengembangan diri maupun mengikuti berbagai macam seminar yang
berhubungan dengan IT khususnya yang berhubungan dengan bidang
hacking yaitu networking security, cyber war, atau hack.
2. Bagi pihak fakultas khususnya bagian kemahasiswaan yang ditangani oleh
PD III dapat memberikan pengarahan atau pembinaan mengenai
bagaimana cara membentuk persepsi terhadap diri yang positif, sehingga
dapat membentuk konsep diri yang positif, dan juga pengarahan dalam
pemilihan penggunaan coping strategy yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya. (2000), CV. Penerbit Diponegoro, Bandung.
Ancok, Djamaludin. (1989), Teknik Penyususan Skala Psikologi, Pusat
Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Arikunto, Suharsimi. (2000), Manajemen Penelitian, PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
Arius, Dony. (2005), Kamus Hacker, Penerbit Andy, Yogyakarta.
Azwar, Saifuddin. (2003), Penyusunan Skala Psikologi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Azwar, Saifuddin. (1997), Reliabilitas dan Validitas, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Bruce, D. D., Snow, P. C. (15 September 2007), Cigarret Smoking in
Teenage Girl Exploring The Role of Peer Reputations Self Concept
and Coping, Health Education Reseach, vol 18, 439-452.
Ezine. (10 Februari 2007), Indonesian Community for Hacker & Open
Source, http://ezine.echo.or.id
Fitts, W.H. (1971), The Self Concept and self Actualization, Penerbit : ——
Lazarus, Richard, S., Folkman, Susan. (1984), Stress Appraisal and Coping,
Springger Publishing Company, New York.
Maria, Ulfah. (2007), Peran Persepsi Keharmonisan Kelauarga dan Konsep
diri terhadap Kecenderungan Kenakalan Remja, Laporan Tesis,
Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Muchkiar Suradinata. (1992), Pengukuran dan Penilaian dalam Pendidikan,
University of Brunei.
Naughton, O, Fumi. (17 November 2007), Stress and Coping,
http://www.csun.edu/~cpsy00h/students/coping.htm
Ruslim, Harianto. (2005), Hack Attack-Konsep Penerapan dan Pencegahan,
Jasakom.
Siegel, S. (1997), Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudjana. (1992), Metoda Statistika. Edisi ke-5. Tarsito, Bandung.
Sugiyono. (2006), Metode Penelitian Administrasi, Penerbit Alfabeta,
Bandung.
Yuniardi, Ahmad. (2006), Hubungan antara Konsep Diri dengan Orientasi
Masa Depan Area Pernikahan Penderita Lupus Usia Dewasa
Awal yang Belum Menikah di Yayasan Syamsy Dhuha, Laporan
Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Islam Bamdung.
Y3dips. (10 Februari 2007), Hacking Defence and Case Scenario,
http://y3dips.echo.or.id
Zone, Keylav. (17 November 2007), Hacker Riwayatmu Kini,
http://keylav.wordpress.com/2007/04/24/
LAMPIRAN
Lampiran – 1
Uji Validitas Alat Ukur Konsep Diri
(rs min = 0,300)
No Validitas Kriteria No Validitas Kriteria No Validitas Kriteria 1 0,221 Tidak Valid 35 0,082 Tidak Valid 69 0,474 Valid 2 0,364 Valid 36 -0,168 Tidak Valid 70 0,390 Valid 3 0,434 Valid 37 0,607 Valid 71 0,388 Valid 4 0,193 Tidak Valid 38 0,488 Valid 72 0,324 Valid 5 0,347 Valid 39 0,510 Valid 73 0,547 Valid 6 0,533 Valid 40 0,559 Valid 74 0,343 Valid 7 0,432 Valid 41 0,408 Valid 75 -0,198 Tidak Valid 8 -0,135 Tidak Valid 42 0,302 Valid 76 -0,258 Tidak Valid 9 0,486 Valid 43 0,521 Valid 77 0,543 Valid 10 0,438 Valid 44 -0,091 Tidak Valid 78 0,405 Valid11 0,486 Valid 45 -0,102 Tidak Valid 79 -0,006 Tidak Valid 12 0,570 Valid 46 0,376 Valid 80 0,394 Valid 13 0,452 Valid 47 0,633 Valid 81 0,475 Valid 14 0,662 Valid 48 -0,022 Tidak Valid 82 0,377 Valid15 0,128 Tidak Valid 49 0,559 Valid 83 0,414 Valid 18 0,448 Valid 52 -0,278 Tidak Valid 85 0,583 Valid19 0,580 Valid 53 0,482 Valid 86 -0,072 Tidak Valid20 -0,294 Tidak Valid 54 0,452 Valid 87 0,397 Valid21 0,456 Valid 55 0,525 Valid 88 0,443 Valid 22 0,688 Valid 56 -0,237 Tidak Valid 89 0,399 Valid23 0,384 Valid 57 0,401 Valid 90 0,399 Valid 24 -0,214 Tidak Valid 58 0,408 Valid 91 -0,310 Tidak Valid 25 0,423 Valid 59 0,535 Valid 92 0,471 Valid 26 0,732 Valid 60 0,334 Valid 93 0,419 Valid 27 0,452 Valid 61 0,446 Valid 94 0,241 Tidak Valid 28 0,492 Valid 62 0,442 Valid 95 -0,002 Tidak Valid29 0,266 Tidak Valid 63 -0,048 Tidak Valid 96 0,603 Valid 30 0,458 Valid 64 0,021 Tidak Valid 97 0,582 Valid 31 0,472 Valid 65 0,502 Valid 98 0,331 Valid
32 0,287 Tidak Valid 66 0,707 Valid 99 0,292 Tidak Valid
Lampiran – 2
Uji Validitas Alat Ukur Coping Stategy
(rs min = 0,300)
No. Item rs Kriteria No. Item rs Kriteria
1 0.357 Valid 35 0.547 Valid
2 0.208 Tidak Valid 36 -0.024 Tidak Valid
3 0.133 Tidak Valid 37 0.334 Valid
4 0.296 Tidak Valid 38 0.148 Tidak Valid
5 -0.045 Tidak Valid 39 0.219 Tidak Valid
6 0.446 Valid 40 -0.28 Tidak Valid
7 0.295 Tidak Valid 41 0.412 Valid
8 0.586 Valid 42 0.592 Valid
9 0.209 Tidak Valid 43 0.291 Tidak Valid
10 0.411 Valid 44 0.462 Valid
11 0.615 Valid 45 0.289 Tidak Valid
12 0.047 Tidak Valid 46 0.286 Tidak Valid
13 0.368 Valid 47 0.256 Tidak Valid
14 0.115 Tidak Valid 48 0.658 Valid
15 0.816 Valid 49 -0.067 Tidak Valid
16 -0.032 Tidak Valid 50 0.476 Valid
17 0.351 Valid 51 0.667 Valid
18 0.613 Valid 52 0.417 Valid
19 0.015 Tidak Valid 53 0.636 Valid
20 0.766 Valid 54 0.507 Valid
21 -0.067 Tidak Valid 55 0.318 Valid
22 0.543 Valid 56 0.268 Tidak Valid
23 -0.014 Tidak Valid 57 0.139 Tidak Valid
24 0.79 Valid 58 0.122 Tidak Valid
25 0.232 Tidak Valid 59 0.785 Valid
26 0.69 Valid 60 0.304 Valid
27 0.767 Valid 61 0.289 Tidak Valid
28 -0.288 Tidak Valid 62 0.371 Valid
29 0.509 Valid 63 0.38 Valid
30 0.345 Valid 64 0.093 Tidak Valid
31 0.211 Tidak Valid 65 0.747 Valid
32 -0.328 Tidak Valid 66 0.286 Tidak Valid
33 0.581 Valid 67 0.499 Valid 34 0.428 Valid
Lampiran - 3
Uji Reliabilitas Alat Ukur Konsep Diri - Metode Alp ha Cronbach
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
16 100,0
0 ,0
16 100,0
Valid
Excludeda
Total
CasesN %
Listwise deletion based on allvariables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
,946 65
Cronbach'sAlpha N of Items
Lampiran - 4
Uji Reliabilitas Alat Ukur Coping Strategy - Metode Split Half
(Rank Spearman)
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
16 100,0
0 ,0
16 100,0
Valid
Excludeda
Total
CasesN %
Listwise deletion based on allvariables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
,814
18a
,710
18b
36
,739
,850
,850
,841
Value
N of Items
Part 1
Value
N of Items
Part 2
Total N of Items
Cronbach's Alpha
Correlation Between Forms
Equal Length
Unequal Length
Spearman-BrownCoefficient
Guttman Split-Half Coefficient
The items are: VAR00001, VAR00002, VAR00003, VAR00004,VAR00005, VAR00006, VAR00007, VAR00008, VAR00009,VAR00010, VAR00011, VAR00012, VAR00013, VAR00014,VAR00015, VAR00016, VAR00017, VAR00018.
a.
The items are: VAR00019, VAR00020, VAR00021, VAR00022,VAR00023, VAR00024, VAR00025, VAR00026, VAR00027,VAR00028, VAR00029, VAR00030, VAR00031, VAR00032,VAR00033, VAR00034, VAR00035, VAR00036.
b.
Lampiran – 5
5.a Tabel Frekuensi dan Prosentase
antara Konsep Diri Positif dengan Coping Strategy
Coping strategy Masalah Emosi
Total Konsep Diri
F % F % F % Positif 7 43,75% 1 6,25% 8 50%
5.b Tabel Frekuensi dan Prosentase
antara Konsep Diri Negatif dengan Coping Strategy
Coping strategy Masalah Emosi
Total Konsep Diri
F % F % F % Negatif 3 18,75% 5 31,25% 8 50%
5.c Tabel Frekuensi dan Prosentase
antara Konsep Diri dengan Coping Strategy
Coping strategy Masalah Emosi
Total Konsep Diri
F % F % F % Positif 7 43,75% 1 6,25% 8 50%Negatif 3 18,75% 5 31,25% 8 50%Total 10 62,50% 6 37,50% 16 100%
Lampiran – 6
Tabel Kontingensi Konsep Diri dengan Coping Strategy
pada Developed Kiddie
Coping Strategy
Masalah Emosi
Konsep
Diri
Oij Eij Oij Eij
Total
Positif 7 5 1 3 8
Negatif 3 5 5 3 8
Total 10 6 16
Lampiran - 7
Tabel Hasil Uji Korelasi Chi-Kuadrat
antara Konsep Diri dengan Coping Strategy pada Developed Kiddie
Hasil Uji Kontingensi
C = nhit
hit
+2
2
χχ hit2χ =
( )∑∑
= =
−B
i
k
j Eij
EijOij
1 1
2
0,459 4,260
Lampiran - 8
Tabel Harga-harga Kritis Chi-kuadrat *)
df .99 .98 .95 .90 .80 .70 .50 .30 .20 .10 .05 .02 .01 .001 1 .00016 .00063 .0039 .016 .064 .15 .46 1.07 1.64 2.71 3.845.41 6.64 10.832 .02 .04 .10 .21 .45 .71 1.39 2.41 3.22 4.60 5.99 7.82 9.21 13.823 .12 .18 .35 .58 1.00 1.42 2.37 3.66 4.64 6.257.82 9.84 11.3416.274 .30 .43 .71 1.06 1.65 2.20 3.36 4.88 5.99 7.78 9.49 11.6713.2818.465 .55 .75 1.14 1.61 2.34 3.00 4.35 6.06 7.29 9.24 11.07 13.39 15.0920.52 6 .87 1.13 1.64 2.20 3.07 3.83 5.35 7.23 8.56 10.64 12.59 15.03 16.8122.467 1.24 1.56 2.17 2.83 3.82 4.67 6.35 8.38 9.80 12.02 14.07 16.62 18.4824.328 1.65 2.03 2.73 3.49 4.59 5.53 7.34 9.52 11.03 13.36 15.5118.17 20.0926.129 2.09 2.53 3.32 4.17 5.38 6.39 8.34 10.66 12.24 14.68 16.92 19.68 21.6727.8810 2.56 3.06 3.94 4.86 6.18 7.27 9.34 11.78 13.44 15.99 18.31 21.16 23.2129.59
11 3.05 3.61 4.58 5.58 6.99 8.15 10.34 12.90 14.63 17.28 19.68 22.62 24.7231.2612 3.57 4.18 5.23 6.30 7.81 9.03 11.34 14.01 15.81 18.55 21.03 24.05 26.2232.9113 4.11 4.76 5.89 7.04 8.63 9.93 12.34 15.12 16.98 19.81 22.36 25.47 27.6934.5314 4.66 5.37 6.57 7.79 9.47 10.82 13.34 16.22 18.15 21.06 23.68 26.87 29.1436.1215 5.23 5.98 7.26 8.55 10.31 11.72 14.34 17.32 19.31 22.31 25.00 28.26 30.5837.70
16 5.81 6.61 7.96 9.31 11.15 12.62 15.34 18.42 20.46 23.54 26.30 29.63 32.0039.2917 6.41 7.26 8.67 10.08 12.00 13.53 16.34 19.51 21.62 24.7727.59 31.00 33.4140.7518 7.02 7.91 9.39 10.86 12.86 14.44 17.34 20.60 22.76 25.9928.87 32.35 34.8042.3119 7.63 8.57 10.12 11.65 13.72 15.35 18.34 21.69 23.90 27.20 30.14 33.69 36.1943.8220 8.26 9.24 10.85 12.44 14.58 16.27 19.34 22.78 25.04 28.41 31.41 35.02 37.5745.32
21 8.90 9.02 11.59 13.24 15.44 17.18 20.34 23.86 26.17 29.62 32.67 36.34 38.9346.8022 9.54 10.60 12.34 14.04 16.31 18.10 21.24 24.94 27.30 30.81 33.92 37.66 40.2948.2723 10.20 11.29 13.09 14.85 17.19 19.02 22.34 26.02 28.43 32.01 35.17 38.97 41.6449.7324 10.86 11.99 13.85 15.66 18.06 19.94 23.34 27.10 29.55 33.20 36.42 40.27 42.9851.1825 11.52 12.70 14.61 16.47 18.94 20.87 24.34 28.17 30.68 34.38 37.65 41.57 44.3152.62
26 12.20 13.41 15.38 17.29 19.82 21.79 25.34 29.25 31.80 35.56 38.88 42.86 45.6454.0527 12.88 14.12 16.15 18.11 20.70 22.72 26.34 30.32 32.91 36.74 40.11 44.14 46.9655.4828 13.56 14.85 16.93 18.94 21.59 23.65 27.34 31.39 34.03 37.92 41.34 45.42 48.2856.8929 14.26 15.57 17.71 19.77 22.48 24.58 28.34 32.46 35.14 39.09 42.56 46.69 49.5958.3030 14.95 16.31 18.49 20.60 23.36 25.51 29.34 33.53 36.25 40.26 43.77 47.96 50.8959.70
*) Tabel C diringkaskan dari tabel IV dalam Fisher dan Yates : Statistical tables for biological, agricultural, and medical research, diterbitklan oleh Oliver and Boyd Ltd. Edinburgh.
Lampiran – 9
9.a Tabel Frekuensi dan Prosentase Coping Strategy pada Developed Kiddie
Konsep Diri Positif
Coping strategy Indikator Subindikator F %
Confrontative coping 6 75,00% Problem focused coping Planfull problem solving 1 12,50%
Distance - - Self control - - Seeking social support - - Accepting responsibility 1 12,50%Escape avoidance - -
Emotion focused coping
Possitive reapraisal - - Total 8 100%
9.b Tabel Frekuensi dan Prosentase Coping Strategy pada Developed Kiddie
Konsep Diri Negatif
Coping strategy Indikator Subindikator F %
Confrontative coping - - Problem focused coping Planfull problem solving 3 37,50%
Distance 2 25,00% Self control - - Seeking social support - - Accepting responsibility 1 12,50% Escape avoidance 1 12,50%
Emotion focused coping
Possitive reapraisal 1 12,50% Total 8 100%
Lampiran – 10
PETUNJUK PENGISIAN
Pernyataan-pernyataan berikut ini membantu Anda untuk menggambarkan
diri sendiri sebagaimana yang Anda hayati dan rasakan, dan bukan menurut orang
pada umumnya. Jawaban dari setiap pernyataan disediakan 5 (lima) tingkatan
pilihan, yang menunjukkan kesesuaian pernyataan tersebut dengan gambaran diri
sahabat. Adapun dari kelima pilihan tersebut adalah sebagai berikut :
1 = Benar-benar tidak sesuai
2 = Sebagian besar tidak sesuai
3 = Sebagian tidak sesuai, sebagian sesuai
4 = Sebagian besar sesuai
5 = Benar-benar sesuai
Cara menjawabnya adalah dengan memberi tanda silang (X) pada kotak
dibawah pilihan jawaban yang sesuai atau yang menggambarkan keadaan diri
Anda yang sebenarnya.
Lampiran – 11
ALAT UKUR KONSEP DIRI
No. PERNYATAAN 1 2 3 4 5
1 Saya adalah orang yang menarik.
2 Saya adalah orang yang selalu tampil menyenangkan
3 Saya menganggap bahwa saya adalah orang yang jorok.
4 Saya seorang yang sopan.
5 Saya seorang yang jujur.
6 Saya seorang yang tidak peduli dengan nilai dan norma yang ada.
7 Saya adalah orang yang dapat mengontrol dan mengendalikan
diri.
8 Saya seorang yang periang.
9 Saya seorang yang mudah menaruh dendam pada orang lain.
10 Saya mempunyai keluarga yang membantu dalam setiap masalah
yang saya hadapi.
11 Saya adalah anggota dari keluarga yang bahagia.
12 Teman-teman tidak mengakui keberadaan saya.
13 Saya adalah seorang yang ramah.
14 Saya cukup dikenal dikalangan kaum pria.
15 Saya adalah orang yang tidak mau peduli dengan apa yang
dilakukan oleh orang lain.
16 Kadang-kadang saya mudah kesal.
17 Kadang-kadang saya suka memikirkan sesuatu yang terlalu buruk
untuk dapat diutarakan kepada orang lain.
18 Saya adalah orang yang mudah terserang penyakit
19 Saya lebih sering sakit dari pada sehat.
20 Saya orang yang selalu tampil rapih sepanjang waktu.
21 Saya adalah seorang yang religius.
No. PERNYATAAN 1 2 3 4 5
22 Saya orang yang kurang memperhatikan aturan-aturan yang ada
dimanapun berada.
23 Saya merupakan orang yang memiliki kendali norma dalam diri
yang lemah.
24 Saya seorang yang mudah menyesuaikan diri.
25 Saya merasa sebagai orang yang tidak berguna.
26 Saya adalah orang yang mudah terpecah konsentrasinya.
27 Kedudukan saya sangat penting diantara teman-teman dan
keluarga.
28 Saya adalah anak yang tidak dicintai oleh keluarga.
29 Oleh keluarga, saya adalah orang yang dianggap tidak dapat
dipercaya.
30 Saya dikenal dikalangan kaum wanita.
31 Saya adalah orang yang selalu merasa iri akan keberhasilan orang
lain
32 Sulit bagi saya untuk bersikap ramah kepada orang lain.
33 Kadang-kadang saya mudah marah.
34 Saya tidak selalu menyukai orang yang telah saya kenal.
35 Tubuh saya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek.
36 Saya merasa puas dengan tubuh saya
37 Saya merasa bahwa penampilan fisik saya kurang sempurna.
38 Saya merasa puas dengan perilaku moral saya.
39 Saya merasa dapat memegang teguh agama yang saya anut
40 Saya merasa bahwa saya kurang tekun beribadah.
41 Saya merasa puas dengan kemampuan yang ada pada diri saya
42 Saya merasa puas dengan pribadi saya yang menyenangkan
43 Saya merasa benci terhadap diri saya sendiri.
44 Saya merasa senang dengan suasana relasi di rumah saya.
45 Saya merasa dapat memahami keluarga saya bagaimana adanya.
No. PERNYATAAN 1 2 3 4 5
46 Saya kurang mencurahkan kasih sayang dan cinta kepada
keluarga saya.
47 Saya cukup luwes dalam bergaul.
48 Saya merasa senang dapat menyenangkan hati orang lain,
walaupun tidak berlebihan.
49 Saya merasa tidak berguna bagi orang lain.
50 Kadang-kadang saya suka bergurau
51 Kadang-kadang saya juga suka bergosip dan membicarakan
orang lain.
52 Tubuh saya tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus.
53 Saya ingin memiliki daya tarik seksual yang besar
54 Ada keinginan dalam hati saya untuk mengubah bagian tertentu
dalam tubuh saya.
55 Saya merasa puas akan hubungan saya dengan Tuhan.
56 Saya merasa bahwa saya kurang dapat dipercaya.
57 Rasanya saya terlalu banyak berbohong atau mencari-cari alasan.
58 Kepandaian yang saya miliki sesuai dengan yang saya harapkan.
59 Saya belum menjadi orang yang sebenarnya saya harapkan.
60 Saya mudah sekali menyerah dan putus asa.
61 Sebagai seorang anak, saya merasa senang telah memperlakukan
orang tua saya sebaik-baiknya.
62 Saya kurang menaruh kepercayaan kepada keluarga saya.
63 Saya kurang merasa nyaman dengan suasana di rumah saya.
64 Saya merasa puas dengan cara saya memperlakukan orang lain.
65 Saya kurang bersikap sopan kepada orang lain.
66 Saya kurang bisa bergaul dengan luwes terhadap orang lain.
67 Kadang-kadang saya tidak berkata jujur
68 Kadang-kadang, saya menunda pekerjaan yang seharusnya bisa
saya kerjakan.
No. PERNYATAAN 1 2 3 4 5
69 Saya merawat dan memelihara kondisi fisik saya.
70 Saya terus berusaha untuk tetap menjaga penampilan saya.
71 Saya jarang berpakaian resmi
72 Dalam kehidupan sehari-hari, saya selalu berusaha mentaati apa
yang Tuhan perintahkan.
73 Saya berusaha untuk berubah dan memperbaiki diri, jika
menyadari apa yang saya lakukan adalah salah.
74 Saya sulit untuk dapat melakukan hal-hal yang baik atau benar.
75 Saya berusaha mengatasi diri saya sendiri dalam situasi apapun.
76 Saya dapat menerima kesalahan saya tanpa merasa sakit hati atau
marah.
77 Saya sering berbuat sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu.
78 Saya berusaha bersikap jujur terhadap teman dan keluarga.
79 Saya benar-benar memperhatikan keluarga saya.
80 Saya tidak pernah bersikap mengalah kepada orang tua saya.
81 Saya selalu berusaha memahami dan menerima pendapat orang
lain.
82 Saya mecoba untuk dapat berinteraksi dengan baik terhadap
orang-orang yang ada di sekitar saya kapanpun dan dimanapun
83 Saya tidak mudah memaafkan kesalahan orang lain.
84 Terkadang saya merasa sangat kesal, ingin memaki-maki.
85 Saya selalu berusaha menggunakan pakaian yang membuat saya
merasa nyaman
86 Jika saya olah raga, saya tidak dapat melakukannya dengan baik.
87 Penampilan tidaklah penting untuk saya
88 Sepanjang waktu saya lebih banyak berbuat kebajikan.
89 Kadang-kadang saya melakukan kecurangan untuk meraih apa
yang saya inginkan
90 Kadang-kadang saya melakukan hal yang buruk atau jahat.
No. PERNYATAAN 1 2 3 4 5
91 Saya selalu menyelesaikan masalah-masalah saya dengan mudah.
92 Saya mudah berubah pikiran.
93 Saya berusaha melarikan diri dari permasalahan yang saya
hadapi.
94 Jika saya diberi sebuah tugas, saya selalu bertanggung jawab dan
dapat melakukannya.
95 Saya sering berselisih dengan keluarga.
96 Sikap dan tingkah laku saya tidak seperti yang diharapkan
keluarga.
97 Saya selalu berusaha untuk berpikiran positif pada setiap orang
yang saya temui.
98 Saya selalu mencoba untuk menjauh dari orang-orang disekitar
saya
99 Saya merasa kesulitan untuk bercakap-cakap dengan orang yang
belum saya kenal.
100 Dalam segala hal, saya lebih suka menang daripada kalah.
Lampiran – 12
PETUNJUK PENGISIAN
Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi
masalah atau situasi yang tidak menyenangkan (stres). Dalam angket ini disajikan
67 pernyataan yang menggambarkan berbagai cara dalam menghadapi atau
mengatasi stres.
Saudara diminta untuk memilih jawaban yang tersedia dengan memberi
tanda silang (X) pada salah satu dari empat alternatif jawaban pada kotak dibawah
lajur sebagai berikut :
0 = Jika tidak pernah dilakukan
1 = Jika kadang-kadang dilakukan
2 = Jika agak sering dilakukan
3 = Jika sering dilakukan,
Sesuai dengan keberadaan saudara sebagai seorang developed kiddie yang
tergabung dalam sebuah komunitas di perguruan tinggi X Bandung.
Lampiran – 13
ALAT UKUR COPING STRATEGY
Reaksi saya jika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau situasi yang
menimbulkan perasaan tertekan atas keberadaan saya sebagai seorang developed
kiddie yang tergabung dalam sebuah komunitas, adalah :
NO PERNYATAAN 0 1 2 3
1 Memusatkan perhatian pada kegiatan yang akan saya
lakukan selanjutnya
2 Saya berusaha menganalisa berbagai masalah sebagai upaya
untuk membuat keadaan lebih baik
3 Menjalani atau beralih pada aktivitas lain yang
menyenangkan
4 Saya rasa waktu akan merubah segalanya, dan yang bisa
saya lakukan adalah menunggu
5 Berjanji untuk mengambil hal yang positif dari situasi yang
telah dialami
6 Saya berusaha melakukan sesuatu untuk menyelesaikan
persoalan walaupun mungkin tidak memberikan hasil, tapi
setidaknya saya telah beruaha
7 Berusaha mengubah pikiran seseorang yang dianggap
bertanggung jawab terhadap masalah yang ada.
8 Bicara dengan seseorang untuk lebih mengetahui situasinya
9 Melakukan introspeksi terhadap diri sendiri
10 Mencoba untuk tidak membuat masalah tersebut semakin
menjadi, tapi berusaha untuk berlapang dada
11 Mengharapkan akan terjadi suatu keajaiban
NO PERNYATAAN 0 1 2 3
12 Menganggap sebagai takdir, kadang-kadang nasib saya
buruk
13 Jalani terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa
14 Saya mencoba untuk memendam perasaan saya
15 Tidak melihat segala sesuatu dari segi negatifnya, tapi
mencoba melihat sisi baik dari persoalan
16 Tidur lebih banyak dari biasanya
17 Mengungkapkan rasa marah pada orang yang menyebabkan
timbulnya rasa marah
18 Saya mengharapkan simpati dan pengertian dari orang lain
19 Saya menasehati diri saya sendiri yang sekiranya dapat
membuat saya merasa lebih baik
20 Menghadapkan gagasan untuk melakukan sesuatu yang
positif
21 Mencoba untuk melupakan segala sesuatunya
22 Meminta bantuan pada tenaga professional
23 Mengubah diri atau tumbuh menjadi orang dengan cara
kerja hidup yang lebih baik
24 Saya memikirkan dulu segala sesuatunya sebelum
melakukan suatu tindakan
25 Meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah saya lakukan
26 Membuat rencana untuk bertindak dan melaksanakannya
27 Melakukan hal terbaik sesuai dengan yang saya inginkan
28 Memperlihatkan perasaan saya apa adanya
29 Menyadari saya sendirilah yang menimbulkan masalah
tersebut
30 Merasa mendapatkan pengalaman hidup yang lebih baik
dibandingkan sebelumnya
NO PERNYATAAN 0 1 2 3
31 Berbicara kepada orang lain yang mampu melakukan
tindakan yang berkaitan dengan masalah tersebut
32 Lupakan untuk sementara waktu, istirahat dan rekreasi
33 Mencoba membuat perasaan lebih tenang dengan cara
makan, minum, merokok, menggunakan obat-obatan,
meditasi atau tindakan sejenisnya
34 Memanfaatkan peluang sebaik-baiknya walaupun
mengandung resiko yang tinggi
35 Mencoba untuk tidak tergesa-gesa mengikuti pikiran
pertama yang muncul
36 Temukan kembali apa yang penting dalam kehidupan
37 Tetap membanggakan diri dan berusaha agar melebihi
orang lain
38 Merenungkan kembali apa yang penting dalam
Kehidupan
39 Mengubah sesuatu sehingga segalanya menjadi lebih baik
40 Menghindar dari kumpulan orang banyak
41 Tidak membiarkan persoalan itu mempengaruhi saya, jadi
saya tidak mau memikirkan persoalan itu lebih banyak
42 Saya minta nasehat teman atau rekan
43 Menjaga jangan sampai orang tahu mengenai seberapa
buruknya masalah yang terjadi
44 Membuat situasi menjadi lebih ringan
45 Membicarakan kepada orang lain tentang apa yang saya
rasakan
46 Berpegang pada pendirian saya dan berjuang untuk hal yang
saya kehendaki
47 Menimpakan masalah tersebut kepada orang lain
NO PERNYATAAN 0 1 2 3
48 Melihat pengalaman masa lalu, saat saya berada pada situasi
yang serupa
49 Saya berusaha mewujudkan sesuatu yang saya inginkan
50 Menyangkal bahwa hal itu telah terjadi
51 Berjanji kepada diri sendiri bahwa hal itu tidak akan
terulangi kembali dimasa yang akan datang
52 Menyajikan beberapa alternative pemecahan yang berbeda
untuk mengatasi masalah
53 Menerima keadaan, karena tidak ada yang bisa dilakukan
54 Menjaga perasaan saya, jangan sampai terganggu oleh
orang lain
55 Saya percaya bahwa semuanya akan berubah di esok hari
56 Mengubah suatu hal dalam diri saya
57 Saya memimpikan atau membayangkan berada dalam
waktu dan tempat yang lebih baik dari pada yang sedang
saya alami
58 Berharap keadaan akan berlalu dan selesai dengan
sendirinya
59 Berkhayal bagaimana masalah tersebut dapat diatasi
60 Giat beribadah dan berdoa
61 Saya siapkan diri saya terhadap kemungkinan terburuk
62 Saya berpikir untuk apa yang saya katakan dan saya
lakukan
63 Berpikir tentang bagimana seseorang yang saya kagumi
mengatasi suatu keadaan dan mencoba menirunya
64 Saya mencoba untuk melihat segala sesuatu dari kelebihan
dan kekurangannya
65 Saya selalu mengingatkan diri sendiri atas kemungkinan
buruk yang akan terjadi
NO PERNYATAAN 0 1 2 3
66 Pasrah pada keadaan
67 Sedapat mungkin menghindari situasi yang menyulitkan
Lampiran – 14
A. Identitas diri
1. Nama :
2. Usia :
3. Lamanya mengikuti organisasi hacker :
4. Jenis Kelamin : P / L (Lingkari jika
dianggap sesuai)
5. Alamat Asal : Kota :
Propinsi :
6. Pendidikan terakhir : a. SMA b. D1
c. D2 c. D3
e. S1
B. Data Penunjang
1. Pekerjaan Ayah saudara :
2. Pekerjaan Ibu :
3. Kegiatan organisasi yang pernah saudara ikuti :
4. Pendapatan saudara perbulan : a. < 1,2 jt
b. 1,2 jt
c. >1,2 jt
d. Tidak tentu
5. Permasalahan yang setiap kali saudara hadapi, apakah saudara pandang
sebagai sebuah : a. Beban yang memberatkan
b. Pelajaran sebagai titik tolak untuk hari esok
Lampiran – 15
Idenitas Diri Responden
Subjek Usia Jenis
Kelamin
Lamanya menjadi
anggota hacker
Tempat Asal Pendidikan
Terakhir
1 19 L < 1 THN Bandung S1
2 21 L < 1 THN Medan S1
3 19 L < 1 THN Bandung S1
4 20 L > 1 THN Malang S1
5 20 L > 1 THN Bangka S1
6 21 L < 1 THN Bandung S1
7 18 L < 1 THN Bandung S1
8 20 L < 1 THN Balikpapan S1
9 19 L < 1 THN Jakarta S1
10 22 L < 1 THN Ciamis S1
11 21 L < 1 THN Aceh S1
12 20 L < 1 THN Bandung S1
13 20 L > 1 THN Medan S1
14 21 L < 1 THN Bandung S1
15 20 L < 1 THN Bandung S1
16 19 L < 1 THN Jakarta S1
Lampiran – 16
Jawaban Responden pada Data Penunjang
Subjek Pekerjaan Ayah
Pekerjaan Ibu
Keg. Organisasi
yang Pernah Diikuti
Pendapatan Perbulan
Pandangan terhadap
Setiap Masalah
yang Dihadapi
1 PLN IRT - Tidak tentu Beban 2 PNS IRT - Tidak tentu Pelajaran 3 Staff PT.
Chitose IRT OSIS >1,2 jt Pelajaran
4 Wiraswasta IRT Basket 1,2 jt Beban 5 Wiraswasta Wiraswa
sta - <1,2 jt Beban
6 Wiraswasta IRT Paskibra <1,2 jt Pelajaran 7 PNS Wiraswa
sta Senat >1,2 jt Pelajaran
8 Staff UNOCAL
IRT - Tidak tentu Beban
9 PNS PNS Seni Bela Diri Merpati Putih
Tidak tentu Pelajaran
10 BUMN (Staff Pos Indonesia)
PNS OSIS >1,2 jt Pelajaran
11 Pilot IRT OSIS >1,2 jt Pelajaran 12 BUMN (Staff
Pertamina) IRT OSIS >1,2 jt Beban
13 Wiraswasta IRT - <1,2 jt Beban 14 BUMN (staff
TelKom) IRT Karate >1,2 jt Beban
15 Wiraswasta Wiraswasta
>1,2 jt Beban
16 PNS PNS OSIS, Paskibra >1,2 jt Pelajaran