hubungan antara infeksi cacing usus dengan status gizi pada anak usia sekolah dasar di sdn 2...
DESCRIPTION
WHO menyebutkan lebih dari satu milliar penduduk dunia menderita penyakit cacingan. Sekitar 40% hingga 60% penduduk Indonesia menderita cacingan.TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gizi merupakan bagian terpenting dalam proses kehidupan dan proses
tumbuh kembang anak sehingga pemenuhan kebutuhan gizi adekuat turut
menentukan tumbuh kembang sebagai sumber daya manusia di masa yang
akan datang. Secara umum gizi sebagai bagian dari kesehatan untuk semua,
mempunyai peran yang strategis dalam upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia terutama dalam menciptakan generasi baru yang berkualitan
maju, mandiri dan cerdas.1
Kebutuhan gizi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam
membantu proses pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan anak,
mengingat manfaat gizi dalam tubuh dapat membantu proses pertumbuhan
dan perkembangan anak, serta mencegah terjadinya berbagai penyakit akibat
kurang gizi dalam tubuh. Adapun salah satu penyebab dari gangguan status
gizi adalah penyakit cacingan.1
WHO menyebutkan lebih dari satu milliar penduduk dunia menderita
penyakit cacingan. Sekitar 40% hingga 60% penduduk Indonesia menderita
cacingan. Menurut survey yang pernah dilakukan oleh Sub Direktorat
Penanggulangan dan Pencegahan Diare, Cacingan, dan ISPL, Departemen
Kesehatan Jakarta di suatu daerah terutama pada anak usia sekolah dasar (SD)
1
2
menyebutkan sekitar 49,5% dari 3160 siswa di 13 SD ternyata menderita
cacingan.2
Studi pendahuluan yang dilaksanakan di SDN 2 Hanura di kabupaten
Pesawaran pada bulan September 2013 didapat satu kasus penyakit cacingan.
Lima siswa yang diperiksa ditemukan satu siswa yang positif terdapat telur
cacing pada saat pemeriksaan kesehatan berkala oleh puskesmas. Tetapi di
wilayah ini belum pernah dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
hubungan antara infeksi cacing usus dengan status gizi pada anak usia sekolah
dasar.3
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Hubungan antara infeksi cacing usus dengan status gizi anak usia
sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran”.
1.2 Perumusan Masalah
“Bagaimana Hubungan Antara Infeksi Cacing Usus dengan Status Gizi Anak
usia sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara infeksi cacing usus dengan status gizi
anak usia sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui gambaran infeksi cacing usus pada anak usia
sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran.
3
b. Untuk mengetahui gambaran status gizi pada anak usia sekolah dasar
di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran.
1.4 Ruang Lingkup
Mengingat banyaknya cacing yang menginfeksi Usus maka pada
penelitian ini dibatasi pada parasit Nematoda Usus, yang akan
dilaksanakan pada bulan Maret 2014 dengan populasi anak usia sekolah
dasar kelas 4, 5 dan 6 di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran
menggunakan rancangan penelitian cross sectional.
1.5 Manfaat Penelitian
Bagi Peneliti
- Penelitian ini merupakan sarana latihan untuk melakukan
penelitian.
- Penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai Hubungan
Infeksi Cacing Usus dengan status gizi pada anak usia sekolah
dasar.
Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lanjutan
yang terkait dengan Hubungan Infeksi Cacing Usus dengan status
gizi pada anak usia sekolah dasar.
Bagi Institusi
4
- Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai Hubungan
Infeksi Cacing Usus dengan status gizi pada anak usia sekolah
dasar.
- Penelitian ini ikut berperan dalam peningkatan bidang penelitian.
Bagi Keilmuan
Hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan ilmu
kesehatan.
BAB II
5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cacing Usus
2.1.1 Definisi
Cacingan merupakan parasit manusia dan hewan yang sifatnya
merugikan. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian
besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Diantara nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang
ditularkan melalui tanah dan disebut“ Soil Transmitted Helmints” dan
yang terpenting adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus,
Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura.4
2.1.2 Jenis Cacing Usus
A. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing
jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Cacing betina
dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari pada stadium
dewasa hidup dirongga usus halus, terdiri dari telur yang dibuahi dan
telur yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu dalam 22 lingkungan yang
sesuai. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi
larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju 5
6
pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu
mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh
darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian
naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus, larva menuju ke
faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan
masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi
cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2
bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa.4
Gambar 2.1 Lingkaran hidup cacing gelang
Patofisiologi
7
Gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-
paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus
yang disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh
cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan
konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi
gangguan penyerapan makanan (Malabsorbtion). Keadaan yang serius,
bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan
pada usus (Ileus obstructive).2
Gejala Klinis
Gejala penyakit cacingan memang tidak nyata dan sering
dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Permulaan mungkin ada
batuk-batuk dan eosinofelia. Orang (anak) yang menderita cacingan
biasanya lesu, tidak bergairah, dan konsentrasi belajar kurang.2
Anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya
nampak buncit (karena jumlah cacing dan perut kembung), biasanya
matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan seperti batuk
pilek.2
Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Karena
orang (anak) masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali
tidak dianggap sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan salah
pengobatan. Padahal secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian
8
yaitu menurunkan produktifitas kerja dan mengurangi kemampuan
belajar.2
Diagnosis
Karena gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan
pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan
menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur
juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya
infeksi.2
Epidemiologi
Lingkungan Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan
yang kumuh terutama didaerah kota atau daerah pinggiran. Jumlah
prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan,
dan jumlah prevalensi tertinggi ditemukan didaerah pinggiran atau
pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar masih hidup dalam
kekurangan.5
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan
seperti kebiasaan ibu dan anak mencuci tangan sebelum makan,
kebiasaan memakai alas kaki, frekuensi memotong kuku, kebiasaan
bermain ditanah, kepemilikan jamban, lantai rumah, ketersediaan air.5
Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada
masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam
9
obat misalnya Preparat piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau
Mebendazole. Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus
memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat,
mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga
dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing dan harganya murah.2
B. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina
panjangnya sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa
hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam
mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur
sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32
mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang
jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-
kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi
dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi
larva dan infektif) dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang
lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan
merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur
yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan
keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon
asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai
menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari.4
10
Gambar 2.2 Lingkaran hidup cacing cambuk
Patofisiologi
Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat
juga ditemukan di dalam kolon asendens. Infeksi berat, terutama pada
anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang
terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan
kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Tempat
pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini
menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia.4
Gejala Klinis
Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan
11
infeksi cacing cambuk yang berat dan menahun terutama pada anak
menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan
menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi cacing
cambuk yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya
atau protozoa.4
Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja.4
Epidemiologi
Penyebaran penyakit disebabkan oleh kontaminasi tanah
dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh
dengan suhu optimum kira-kira 30 derajat celcius. Pemakaian tinja
sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi di berbagai negara.
Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi.4
Frekuensinya berkisar antara 30-90 % di beberapa daerah
pedesaan di Indonesia. Infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis di daerah yang sangat endemik, pembuatan
jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan
perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci
dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di
negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk.4
Pengobatan
12
Dahulu infeksi cacing cambuk sulit sekali diobati. Obat seperti
tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing
cambuk (Trichuris trichiura) adalah Albendazole/Mebendazole dan
Oksantel pamoat.4
C. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Morfologi dan Daur Hidup
Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di
rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing
betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina
mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm,
cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya
ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut :
telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah,
telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar
3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus
kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing
tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan
mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva
rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva
filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus
kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-
paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea
13
dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus
halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan.2
Gambar 2.3 Lingkaran hidup cacing tambang (Necator americanus)
Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat
dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing
tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan
sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya
dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi
14
kekurangan darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai
cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh banyak sebab.2
Gejala Klinik
Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu,
tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap
penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia (anemia hipokrom
micrositer). Di samping itu juga terdapat eosinofilia.2
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk
membedakan spesies N.americanus dan A.duodenale dapat dilakukan
biakan misalnya dengan cara Harada-Mori.2
Epidemiologi
Kejadian penyakit (insiden) ini di Indonesia sering ditemukan
pada penduduk yang bertempat tinggal di pegunungan, terutama di
daerah pedesaan, khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing
ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang
berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat
15
menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di
tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam
penyebaran infeksi penyakit ini.4
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah
gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32 0C - 38 0C. Untuk
menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu
bila keluar rumah.4
Tabel 2.1 Jenis Telur Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah
No Species Ukuran Bentuk Warna KeteranganLainnya
1. A.lumbricoides(tidakdibuahi)
60-90 x 40-60 (micron)
Memanjangellipsoidal
Coklatsampaicoklat tua
Lebih ramping daripada telur yang dibuahi, bagian uar mempunyai tonjlan kasar dan lapisan albuminoid. Padabagian dalam penuh berisigranul.
2 A.lumbricoides(dibuahi),tanpa lapisanalbumin(decorticated)
45-70 x 35-50 (micron)
Oval Jernih Bentuk hampir menyerupai telur cacing tambang,tapi dindingnya tebal
3 A.lumbricoides(dibuahi,denganlapisanalbumin..
50-70 x 40-50 (micron
Lonjongataumembulat.
Kuningkecoklatansampaicoklat tua
Dinding tebal dan menunjukkan beberapa lapisanpada pembesaran inggi. Bagian luar dilapisi oleh lapisan yang bertonjol-tonjol, bergelombang danberwarna tengguli
4 T. trichiura 50-54 x 22-23 (micron)
Sepertitempayan/tong.
Cokatsampaicoklat tua
Pada kedua kutubnyaMempunyai “sumbat”. Bilabaru dikeluarkan melalui tinja tidak membelah.
5. CacingTambang.
55-75 x 35-46 (micron)
Oval atauellipsoidal
Jernih Dinding telur satulapis
Bila baru dikeluarkan melalui tinja intinya terdiri dari4-8 sel
16
2.2 Status Gizi Anak
Status gizi anak adalah suatu keadaan kesehatan akibat interaksi
antara makanan, tubuh manusia dan lingkungan hidup. Ketiga unsur
tersebut merupakan penggambaran dari konsep hubungan antara host–
agent–environment.6
Status gizi adalah keadaan sehat individu atau kelompok yang
ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat lain yang
diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara
antropometri.1 Pengertian status gizi adalah keadaan keseimbangan antara
asupan zat gizi dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk berbagai
keperluan proses biologi. Keseimbangan zat gizi mempengaruhi:
pertumbuhan, perkembangan, kecerdasan, pemeliharaan kesehatan,
aktivitas.6
Pertumbuhan adalah perubahan fisik dari waktu ke waktu baik dari
segi dimensi proporsi maupun komposisi tubuh. Antropometri disebut juga
ukuran fisik pada manusia (tubuh). Antropometri berasal dari kata
Antropos artinya manusia dan Metric artinya ukuran. Jadi Antropometri
adalah ukuran tubuh manusia. Perubahan pertumbuhan dapat diukur secara
kuantitatif (contoh : dari 5 kg menjadi 6 kg, dari 54 cm menjadi 60 cm).7
Perkembangan adalah perubahan kemampuan anak dalam gerakan
motorik kasar atau halus, kecerdasan, mental, perilaku dari waktu ke
waktu. Perubahannya hanya dapat diukur secara kualitatif (contoh : dari
dapat merangkap menjadi berdiri, dari tidak dapat bicara menjadi dapat
bicara dan sebagainya.6
17
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh faktor penyebab langsung
dan faktor tidak langsung. Penyebab langsung yaitu makanan yang
dikonsumsi sehari-hari dan penyakit infeksi yang diderita. Timbulnya KEP
tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit yang
diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
diserang diare atau demam akhirnya dapat menderita KEP. Sebaliknya
anak yang makan tidak cukup, daya tahan tubuhnya dapat melemah dan
dalam keadaan demikian anak mudah diserang penyakit infeksi.7
Kekurangan gizi dianggap masalah karena dapat menyebabkan
angka kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak, terganggunya
pertumbuhan, menurunnya daya kerja, gangguan perkembangan mental
dan kecerdasan. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di
keluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga adalah kemampuan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam
jumlah cukup. Konsumsi zat gizi sehari-hari dipengaruhi oleh ketersediaan
pangan dalam keluarga yang cukup. Ketersediaan pangan tergantung dari
daya beli keluarga, ketersediaan bahan pangan di pasaran dan produksi.7
2.2.3 Penilaian Status Gizi Anak
Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada anak.
Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal
dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi,
antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan
variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut:7
18
1. Berat badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang
memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh.
Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik
karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun.
Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat
Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat
perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang
dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini.7
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan
yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi
badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama
yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan
kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam
bentuk Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga
indeks BB/TB ( Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang
dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan
biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada
umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak
baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun.7
3. Berat badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter
penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya
19
yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan Indeks BB/U,
TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat
adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh.7
Penggunaan berat badan dan tinggi badan akan lebih jelas
dan sensitive/peka dalam menunjukkan keadaan gizi kurang bila
dibandingkan dengan penggunaan BB/U. Dinyatakan dalam
BB/TB, menurut standar WHO bila prevalensi kurus/wasting < -
2SD diatas 10 % menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai
masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan langsung dengan
angka kesakitan.7
Tabel 2.2 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U, TB/U, BB/TB,
Standart Baku Antropometri WHO-NCHS
No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi
1 BB/U < -3 SD Gizi buruk
- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang
- 2 s/d +2 SD Gizi baik
> +2 SD Gizi lebih
2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek
20
- 3 s/d <-2 SD Pendek
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus
- 3 s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk
Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan
mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku
Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan
Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR) atau dengan menggunakan rumus: 7
Dimana : NIS : Nilai Individual Subjek
NMBR : Nilai Median Baku Rujukan
NSBR : Nilai Simpang Baku Rujukan
Hasil pengukuran dikategorikan sbb
1. Untuk BB/U
a. Gizi Kurang Bila SSB < - 2 SD
b. Gizi Baik Bila SSB -2 s/d +2 SD
c. Gizi Lebih Bila SSB > +2 SD
2. TB/U
Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR
21
a. Pendek Bila SSB < -2 SD
b. Normal Bila SSB -2 s/d +2 SD
c. Tinggi Bila SBB > +2 SD
3. BB/TB
a. Kurus Bila SSB < -2 SD
b. Normal Bila SSB -2 s/d +2 SD
c. Gemuk Bila SSB > +2 SD
2.3 Hubungan Infeksi Kecacingan Dengan Status Gizi
Sebelum anak terkena cacingan, terlebih dahulu telur cacing keluar
dari perut manusia bersama feses. Jika limbah manusia itu dialirkan ke
sungai atau got, maka setiap tetes air akan terkontaminasi telur cacing. Jika
air yang telah tercemar dipakai oleh orang lain untuk menyirami tanaman
atau aspal jalan, telur-telur itu naik ke darat. Begitu air mengering, mereka
menempel pada butiran debu. Telur lainnya terbang ke tempat-tempat
yang sering dipegang tangan manusia. Lewat interaksi sehari-hari, mereka
bisa berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Karena menular lewat
makanan, sehingga dapat menelan telur cacing dari sayuran mentah yang
dicuci kurang bersih. Ketika menetas cacing tersebut akan tinggal di usus
halus dan akan tinggal di perut anak tersebut. Setelah mencapai umur 2-3
bulan, cacing akan menjelma menjadi seekor cacing betina dewasa yang
siap bertelur dan akan membuat siklus baru buat cacing-cacing generasi
berikutnya.8
22
Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan
dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Antara gizi
buruk dan penyakit infeksi sesungguhnya mempunyai hubungan timbal
balik yang sangat erat sehingga sering sukar untuk mengidentifikasi mana
dari kedua keadaan itu yang datang lebih dulu. Dalam banyak kejadian
terjadi synergisitas antara gizi buruk dan penyakit infeksi dan akibat yang
terjadi tentu saja sangat fatal.9
Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya sistem pertahanan
tubuh. Perubahan morfologis yang terjadi pada jaringan limphoid yang
berperan dalam sistem kekebalan akibat gizi buruk, menyebabkan
pertahanan tubuh menjadi lemah, kekebalan seluler yang dimungkinkan
oleh berfungsinya kelenjar thymus berkurang karena kelenjar thymus
mengecil akbat kekurangan gizi. Produksi berbagai antibodies juga
berkurang disamping terjadi atropi pada dinding usus menyebabkan
berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya
bibit penyakit kedalam tubuh. Keseluruhan gangguan pada sistem
pertahanan tubuh itu berlangsung serentak pada penderita gizi buruk
sehingga menjadi penderita gizi buruk sangat mudah terserang penyakit
terutama jika lingkungan anak tidak mendukung.10
Sebaliknya penyakit infeksi seperti kecacingan yang menyerang
anak menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi
anak akibat penyakit infeksi adalah akibat beberapa hal antara lain:10
1. Turunnya nafsu makan anak akibat rasa tidak nyaman yang di
alami, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal anak justru
23
memerlukan zat gizi yang lebih banyak terutama untuk mengganti
jaringan tubuhnya yang rusak akibat bibit penyakit itu.10
2. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare dan muntah yang
menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sepuluh zat gizi
seperti berbagai mineral dan sebagainya, dan adanya diare
menyebabkan penyerapan zat gizi dari makanan juga terganggu,
sehingga secara keseluruhan mendorong terjadinya gizi buruk.10
3. Naiknya metabolisme basal akibat demam menyebabkan
termobilisasinya cadangan energi dalam tubuh. Penghancuran
jaringan tubuh oleh bibit penyakit juga akan semakin banyak dan
untuk menggantinya diperlukan masukan protein yang lebih
banyak.9
4. Status gizi kurang atau buruk dapat meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit infeksi dan memperberat infeksi tersebut juga
penyakit infeksi akan memperburuk status gizinya.6
5. Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan
atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan.
Parasit dalam usus seperti cacing gelang dan sebagainya bersaing
dengan tubuh dalam memperoleh makanan dan dengan demikian
menghalangi zat gizi ke dalam arus darah, keadaan yang demikian
membantu terjadinya kurang gizi.7
6. Akibat penghisapan zat–zat makanan dan darah oleh cacing,
semakin lama tubuh akan kekurangan zat-zat makanan yang
Ascaris lumbricoides Trichuris trichiuraHookworm
Larva
Paru-paru
Perdarahan dinding alveolus
Malabsorbtion
Rongga usus halus
Dinding usus
Menghisap darah
anemia
Kolon dan rektum
Infeksi berat
Prolapsus
24
diperlukan oleh tubuh sehingga menyebabkan tubuh penderita
menjadi kurus dan status gizinya menurun.5
2.4 Kerangka Teori
INFEKSI CACING USUS
Status Gizi
25
Gambar 2.4 Kerangka teori
2.5 Kerangka konsep
Variabel Independen dalam penelitian ini infeksi cacing usus,
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status gizi pada anak usia
sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran.
Variabel independen Variabel dependen
Gambar 2.5. Kerangka Konsep
2.6 Hipotesa
H0 : Tidak ada Hubungan antara Infeksi Cacing Usus dengan Status Gizi
pada anak usia sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran
H1 : Ada Hubungan antara Infeksi Cacing Usus dengan Status Gizi pada
anak usia sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran
- Infeksi Cacing Usus
- Status Gizi
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Analitik
Deskriptif yaitu mengkaji hubungan antara variabel terikat (Variable
dependent) yaitu Infeksi Cacing Usus dengan variabel bebas (Variable
independent) yaitu status gizi pada anak usia Sekolah Dasar di SDN 2
Hanura Kabupaten Pesawaran.11
27
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran.
3.2.2 Waktu penelitian
Waktu Penelitian akan dilaksanakan bulan Maret 2014.
3.3 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan pendekatan Cross sectional
yaitu suatu penelitian analitik yang mempelajari suatu metode penelitian
yang mencoba menggali bagaimana hubungan suatu variabel bebas kasus
infeksi cacing usus dan variable terikat status gizi secara bersamaan pada
waktu yang sama.11
3.4 Subyek Penelitian
3.4.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan kumpulan obyek penelitian atau
obyek yang diteliti, yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah
semua siswa kelas 4, 5 dan 6 di SDN 2 Hanura.
3.4.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu, sehingga dapat mewakili dari populasi. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah simple random sampling yaitu estimasi
besar sampel untuk proporsi atau suatu populasi. Sampel penelitian ini
adalah anak usia sekolah dasar:
n = zα 2 P Q
27
28
d2
Keterangan:
N besar sampel minimal yang diperlukan
Zα nilai Z pada level of confidence tertentu (1,96)
P
Q
Proporsi penyakit atau keadaan yang dicari (0,4)
1-P (0,6)
D Tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki (10 %)
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel di atas diperoleh
sampel sebesar 92 anak.
3.4.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Kriteria Inklusi
a. Siswa kelas 4, 5, 6
b. Yang bersedia menjadi responden
c. Menyerahkan tinja pada waktu yang ditetapkan
Kriteria Ekslusi
a. Siswa kelas 1, 2, 3
b. Responden yang sakit
3.5 Variabel Penelitian
29
Variabel independen dalam penelitian ini infeksi cacing usus.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status gizi pada anak usia
kelas 4, 5, dan 6 SDN 2 Hanura.
3.6 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Infeksi Cacing Usus
Ditemukannya telur berdasarkan
pemeriksaan telur Cacing Gelang, Cacing Cambuk, dan Cacing Tambang pada sampel
tinja dengan
menunjukkan hasil
positif (+)
Mikroskopis
Pemeriksan Feses menggunakan metode natif
0= (-) Tidak ditemukan telur cacing dalam feses1= (+) Ditemukan telur cacing pada fese
Nominal
30
Status Gizi Keadaan sehat individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri
Antropometri
Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR
0 = Gizi buruk (<-3 SD)
1= Gizi kurang (-3SD sampai dengan -2 SD)
2= Gizi baik (-2 SD sampai dengan (+2 SD)
3= Gizi lebih (>+2SD)
Ordinal
3.7 Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu data yang didapatkan dari responden berupa
pemeriksaan telur cacing pada feses dan status gizi, sedangkan data
sekunder adalah data dari sekolah.
3.7.1 Pemeriksaan Telur Cacing
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan
kuantitatif. Salah satu metode kualitatif yang digunakan pada pemeriksaan
31
ini adalah metode natif. Tujuan pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya
telur dan larva cacing pada sampel tinja. Prinsip pemeriksaan ini adanya
telur atau larva cacing dalam tinja dapat diketahui dengan pemeriksaan
secara makroskopis dengan pengecatan lugol atau eosin, menggunakan
perbesaran 100x (lensa objektif 10x dan lensa okuler 10x).12
Alat dan Bahan
1 Mikroskop
2 Object glass
3 Deck glass
4 Lidi/ tusuk gigi
5 Kertas saring
6 Larutan lugol atau eosin
7 Sampel tinja.12
Cara Kerja
1. Menyiapkan objek glass bersih, kering dan bebas lemak.
2. Teteskan 1 tetes larutan lugol pada object glass.
3. Tambahkan 1 tetes sampel tinja pada object glass.
4. Aduk atau campur dengan tusuk gigi sampai homogen.
5. Tutup dengan deck glass posisi rapi dan simetris. Kelebihan cairan
dihisap dengan kertas saring. Jangan sampai ada gelembung udara.
6. Periksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x (lensa objektif
10x dan lensa okuler 10x) secara simetris.12
32
3.7.2 Pemeriksaan Status Gizi
Alat
- Meteran
- Timbangan Berat Badan
Prosedur Pemeriksaan
- Kesadaran, tingkah laku, ekspresi wajah, mood
- Jenis kelamin
- Usia dan gender
- Tahap perkembangan
- TB, BB
3.8 Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini melalui 4 tahap yaitu :
Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pemeriksaan tinja untuk
mengetahui adanya telur dan larva cacing.13
Coding
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan. Kegunaan coding adalah untuk mempermudah
pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data.13
33
Processing
Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga sudah
melewati perkodingan, maka langkah selanjutnya adalah memproses data
agar dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry
data hasil pemeriksaan ke paket program komputer.13
Cleaning
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali
data yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak. kesalahan
tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita meng-entry ke computer.13
Skoring Data
Pada langkah ini dilakukan pemberian skor pada setiap jawaban responden
sehingga mempermudah dalam pengolahan data selanjutnya menggunakan
scoring.13
3.9 Teknik Analisis Data
3.9.1 Analisis Univariat
Analisis ini digunakan hanya untuk memperoleh gambaran
distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti, baik
variabel dependen maupun variabel independen.13
Keterangan:
P =ΣfN
x 100 %
34
P = Prosentase
f = Jumlah frekuensi
N = Jumlah sampel (responden)
100% = Konstanta
3.9.2 Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk menganalisis hubungan dua variabel
yaitu variabel dependen dan independen yang keduanya merupakan
variabel kategorik. Uji yang digunakan dalam analisis ini adalah uji
statistik Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95%.13
X = Nilai pada distribusi Chi Square
O = Nilai Observasi (frekuensi yang terjadi)
E = Nilai Espektasi (frekuensi harapan)
Interpretasi:
1. Tentukan batas kritis α (0,05).
2. Dengan nilai X2 hitung dan nilai df, tentukan nilai p value pada tabel
Chi Square.
X 2=Σ(O-E)2
E
35
3. Bila p value <α (0,05), Ho ditolak berarti data sampel mendukung
adanya perbedaan yang bermakna (signifikan).
4. Bila p value >α (0,05), Ho gagal ditolak berarti data sampel tidak
mendukung adanya perbedaan yang bermakna (signifikan).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
36
Hasil penelitian meliputi data umum responden yaitu berdasarkan
umur, jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan. Sedangkan data khusus
menampilkan identifikasi status gizi dan identifikasi penyakit cacingan
pada anak usia sekolah dasar (SD) kelas 4, 5, dan 6, serta menganalisis
hubungan antara status gizi dan penyakit cacingan pada anak usia sekolah
dasar (SD) kelas 4, 5, dan 6.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur ditampilkan pada
tabel 4.1 dan distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin
ditampilkan pada tabel 4.2, sedangkan distribusi frekuensi berdasarkan
tinggi badan dan berat badan ditampilkan pada tabel 4.3 dan 4.4.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur
Umur Frekuensi Persentase (%)1011121314
62431238
6.526.133.725.08.7
Jumlah 92 100
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)Laki-laki 49 53.3
Perempuan 43 46.7Jumlah 92 100
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tinggi badan
Tinggi Badan Frekuensi Persentase (%)
36
37
122-125126-130131-135136-140141-145
120363113
130
39.133.714.2
Jumlah 92 100
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan berat badan
No Berat Badan Frekuensi Persentase (%)1 25-30 22 23.92 31-35 31 6.53 36-40 5 33.74 41-45 19 20.65 46-50 0 06 51-55 15 16.2
Jumlah 92 100
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi
menurut Z-Score
No Status Gizi Frekuensi Persentase (%) 1 Gizi Buruk 0 02 Gizi Kurang 8 8.73 Gizi Baik 84 91.34 Gizi Lebih 0 0
Jumlah 92 100
Tabel 4.5 menampilkan distribusi frekuensi responden
berdasarkan status gizi menurut z-score. Berdasarkan tabel tersebut tidak
ditemukan anak dengan status gizi buruk maupun gizi lebih.
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan hasil
laboratorium dari pemeriksaan feses
No Hasil Laboratorium Frekuensi Persentase (%)1 Hasil Positif (+) 17 18.52 Hasil Negatif (-) 75 81.5
Jumlah 92 100
38
Tabel 4.6 menampilkan distribusi frekuensi responden berdasarkan hasil
laboratorium dari pemeriksaan feses. Berdasarkan tabel tersebut 81,5%
tidak terinfeksi oleh cacing usus, sedangkan 18,5% terinfeksi oleh cacing
usus.
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi responden hubungan antara status gizi
dengan penyakit cacingan
No Status Gizi Hasil Laboratorium Jumlah Persentase (%)(+) (-)
1 Gizi Buruk 0 0 0 02 Gizi Kurang 3 5 8 8.73 Gizi Baik 14 70 84 91.34 Gizi Lebih 0 0 0 0
Jumlah 17 75 92 100
Tabel 4.7 menampilkan distribusi frekuensi responden hubungan
antara status gizi dengan penyakit cacingan. Berdasarkan tabel tersebut 14
anak yang bergizi baik dengan hasil positif menderita cacingan dan 3 anak
yang bergizi kurang dengan hasil positif menderita cacingan.
Tabel 4.8 Analisis Hubungan Infeksi cacing usus dengan Status gizi
Status Infeksi Cacing Usus
Penurunan Status Gizi Total p (95% CI)(+) (-)
Cacing Usus 3 14 17 0.330Non-Cacing Usus 5 70 75 (0.071-1.558)Total 8 74 92
Analisis hubungan infeksi cacing usus dengan status gizi
ditampilkan pada tabel 4.8. Hasil uji statistik Chi-square didapatkan nilai P
= 0.330 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya hubungan antara infeksi
cacing usus dengan status gizi anak.
39
4.2 Pembahasan
Di dunia prevalensi infeksi cacing usus cukup tinggi, penyakit
kecacingan ini menempati urutan ke 3 dari 10 besar penyakit infeksi yang
umum di dunia dengan angka kejadian sekitar 1,4 miliar pertahun dan
sering ditemukan 48% pada anak. Infeksi parasit khususnya kecacingan
merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap kejadian gangguan
status gizi.1
Sekitar 40 hingga 60 % penduduk Indonesia menderita cacingan
dan data dari WHO menyebutkan bahwa lebih dari satu milliar penduduk
dunia juga menderita cacingan. Infeksi cacing ini akan menyebabkan
gangguan gizi yang mana akan terjadinya penurunan status gizi.9 Dari hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan 75 anak (81,5%) dengan hasil
negatif (-) menderita penyakit cacingan, dan 17 anak (18,5%) dengan hasil
positif (+) menderita penyakit cacingan. Hal ini membuktikan bahwa dari
hasil laboratorium sebagian besar anak usia sekolah dasar di SDN 2
Hanura Kabupaten Pesawaran tidak menderita penyakit cacingan.
Hasil penelitian mengenai status gizi pada anak usia sekolah dasar
di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran didapatkan 14 anak (82,4%)
bergizi baik dan 3 anak (17,6%) bergizi kurang. Hal ini membuktikan
bahwa sebagian besar anak usia sekolah dasar di SDN 2 Hanura
Kabupaten Pesawaran tidak mengalami gizi buruk dan gizi lebih.
40
Menurut Almatsier (2001) status gizi baik atau status gizi optimal
terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara
efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhab fisik, pertumbuhan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi
mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu
atau lebih zat-zat gizi.14
Status gizi individu dipengaruhi dari pemenuhan gizi, penyakit
infeksi pada anak seperti infeksi cacingan, hygiene yang kurang, dan juga
letak demografi/tempat tinggal. Jika pada anak terdapat faktor-faktor yang
disebutkan diatas maka akan berdampak pada status gizinya yaitu
terjadinya gizi kurang bahkan gizi buruk pada anak.14
Gizi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam tubuh.
Manfaat gizi dalam tubuh dapat membantu proses pertumbuhan dan
perkembangan pada bayi dan anak, serta mencegah terjadinya berbagai
penyakit akibat kurang gizi dalam tubuh. Sehingga jika terpenuhinya
kebutuhan gizi pada anak diharapkan anak dapat tumbuh dengan cepat
sesuai dengan usia tumbuh dan dapat meningkatkan kualitas hidup serta
mencegah terjadinya morbidital dan mortalitas.14
Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi-Square Test dari hasil
pengujian p = 0,330 jika p > α (0.330), maka H0 diterima sehingga tidak
ada hubungan antara infeksi cacing usus dengan status gizi pada anak usia
sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten Pesawaran. Hal ini bisa terjadi
dikarenakan beberapa faktor seperti tingginya pengetahuan orang tua
41
tentang penyakit kecacingan sehinggaorang tua rutin memberikan obat
cacing, tempat tinggal individu yang sudah memadai, dan kebiasaan anak
mencuci tangan sebelum makan.
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Pipit Festi (2012)
di Surabaya didapatkan hasi uji statistik p = 0,310 dengan kata lain p > α
(0,05) maka tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan penyakit
cacingan pada anak usia sekolah dasar.1
Secara teori, menurut Nelson (1988) anak-anak usia sekolah dasar
kerap kali mempunyai kebiasaan makan yang tidak teratur dan tidak pada
tempatnya. Kebiasaan makan yang tidak teratur mengakibatkan kecukupan
gizi berkurang dan imunitas tubuh rendah. Sehingga dapat dikatakan,
bahwa selain penyakit cacingan, status gizi juga dipengaruhi dari faktor
yang lainnya antara lain adalah hygiene yang kurang terutama intake
makanan atau asupan gizi yang tidak seimbang dengan kebutuhan anak,
penyakit infeksi pada anak, pengetahuan keluarga, letak demografi atau
tempat tinggal individu serta pola asuh anak yang tidak memadai.15
Dari penelitian ini, memungkinkan bahwa bisa terdapat hubungan
antara infeksi cacing usus dengan status gizi apabila penelitian ini
dilakukan oleh seluruh anak sekolah di Kabupaten Pesawaran dan
melakukan pengukuran status gizi tidak hanya dengan melakukan
pengukuran antropometri tetapi juga melakukan pemeriksaan lainnya
seperti biokimia, klinis dan biofisika serta konsumsi makanan, statistik
vital, dan faktor ekologi. Kelemahan dari penelitian ini peneliti hanya
42
mengukur status gizi dengan menggunakan pengukuran antropometri dan
melakukan penelitian dengan menggunakan sampel minimum sehingga
memberikan hasil bahwa infeksi cacing usus tidak ada hubungan dengan
status gizi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
43
1. Sebagian besar anak usia sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten
Pesawaran tidak menderita penyakit cacingan (83%).
2. Sebagian besar anak usia sekolah dasar di SDN 2 Hanura Kabupaten
Pesawaran berstatus gizi baik (91,3%).
3.. Tidak ada hubungan antara infeksi cacing usus dengan status gizi.
5.2 Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian faktor-faktor lain efek
dari infeksi cacing usus selain status gizi.
2. Bagi institusi kesehatan agar rutin mengadakan penyuluhan tentang
penyakit kecacingan kepada masyarakat
3. Bagi masyarakat perlu memperhatikan kesehatan dan kebersihan
lingkungan sebagai upaya pencegahan kecacingan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pipit Festi. Hubungan antara penyakit cacingan dengan status gizi pada
anak sekolah dasar di Sekolah Dasar Al-Mustofa Surabaya (Jurnal).2013.
43
44
2. Abas B, Jahari. Pemantauan Pertumbuhan Balita, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi dan Makanan. Jakarta : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. 2003. Hal : 1-3.
3. Puskesmas Hanura. Profil Puskemas Hanura. Pesawaran. 2012.
4. Srisasi G. Parasitologi Kedokteran Edisi 3. Jakarta : EGC. 2000.
5. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Riset Kesehatan Dasar
Provinsi Lampung, Lampung. 2007.
6. Miller. Investasi Untuk Kesehatan dan Gizi di Sekolah. Jakarta : BECF.
2009.
7. Depkes. RI. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
2004.
8. Depkes RI. Parasitologi Medik Helmintologi. Pendidikan Tenaga
Kesehatan. Jakarta. 1991. Hal : 18-37.
9. Peter JH. Soil Transmitted Helminth Infection : The Nature, Causes and
Burden of the condition. WHO : Departement of Mikrobiologi and
Tropical Medicine The George Washington University. 2003.
10. Herdinaman T, Pohan. Penyakit cacingan yang ditularkan melalui tanah.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal : 1764-1766.
11. Notoadmojo, Soekidjo. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : rineka
cipta. 2002.
12. Pemeriksaan direct tinja. Diakses pada 9 November 2013 dalam
http://nurulbutterfly.blogspot.com/2013/09/pemeriksaan-direct-tinja.html.
13. Hastono. Analisa Data. Jakarta : FKMUI. 2007.
45
14. Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
15. Nelson. 1994. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian ke-2. Jakarta : EGC.