hkjh
DESCRIPTION
hhkjTRANSCRIPT
-
5/24/2018 hkjh
1/16
1
BAB I
PENDAHULUAN
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah merupakan sektor ekonomi yang
mempunyai peran cukup besar dalam perekenomian nasional. Berdasarkan data ProduksiDomestik Bruto (PDB) tahun 2011, UMKM mempunyai kontribusi kurang lebih 57% total
PDB. Namun demikian apabila dibandingkan dengan kontribusi UMKM terhadap
penerimaan pajak, terdapat miss-match dimana kontribusi UMKM pada penerimaan
perpajakan sangat kecil, yaitu kurang lebih 0.5% dari total penerimaan pajak. Ketidak
imbangan kontribusi UMKM tersebut merupakan suatu indikasi bahwa tingkat ketaatan
UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakan masih sangat rendah.
Dalam upanya untuk mendorong pemenuhan kewajiban perpajakan secara sukarela
(voluntary tax compliance) serta mendorong kontribusi penerimaan negara dari UMKM,
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 46/2013). Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur
pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dengan batasan peredaran bruto tertentu.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini merupakan aplikasi dari model
presumptive regime dalam perpajakan. Presumptive regime sendiri merupakan suatu bentuk
pendekatan pengenaan pajak yang diterapkan dalam ekonomi yang pelakunya nya masih
memiliki keterbatasan kemampuan administrasi dan pembukuan. Untuk itu perlu ada desian
pemajakan khusus, dengan tujuan meminimalisir cost of compliance. Dalam bagian
selanjutnya pada tulisan ini, akan dibahas mengenai model pemajakan UMKM, karakteristik
UMKM di Indonesia, dan kerangka kebijakan Perpajakan UMKM, sebagaimana kemudian
dituangkan dalam PP 46/2013. strategi yang tepat untuk meningkatkan compliance adalah
pemberian asistensi dan kemudahan/kesederhanaan bagi UMKM dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Untuk dapat memberikan kemudahan pemenuhan kewajiban
perpajakan tersebut, maka model presumptive regime adalah model yang lebih tepat untuk
diterapkan ke UMKM.
PP 46 Tahun 2013 sebagai pelaksanaan Presump tive Tax
Istilah Presumptive Tax mencakup sejumlah prosedur dimana dasar pengenaan
pajak yang diinginkan (langsung maupun tidak langsung) tidak dihitung , melainkan dihitung
melalui indikator sederhana yang lain yang lebih mudah diukur dari dasar pengenaan pajak
itu sendiri.
-
5/24/2018 hkjh
2/16
2
Presumptive taxsendiri umumnya diterapkan dalam kondisi dimana pembayar pajak
di suatu negara didominasi oleh wajib pajak yang tergolong dalam kriteria hard to tax. Di
negara-negara ini, sebagian besar pembayar pajak tidak memiliki transparansi keuangan
yang memungkinkan pemajakan yang efektif oleh pemerintah. Sehingga pemerintah
memperkirakan atau mengasumsikan jumlah pendapatan yang harus dikenakan pajak.Kriteria hard to taxsendiri antara lain :
1. Jumlah Wajib Pajaknya sangat besar sehingga sangat tidak mungkin bagi otoritas pajak
untuk melakukan pengawasan terhadap semua wajib pajak tersebut.
2. Penghasilan wajib pajak tersebut rendah, cenderung di bawah garis kemiskinan.
3. Kondisi bisnis yang mereka jalani, tidak mengharuskan mereka untuk melakukan
pembukuan.
4. Pada umumnya mereka menjual ke pembeli akhir, sehingga mekanisme withholding
tax untuk pemungutan pajaknya menjadi tidak efektif.
Secara singkat, akibat kondisi di atas membuat mereka sangat mudah untuk
menyembunyikan penghasilannya.
Dengan melihat ketentuan dari PP 46 Tahun 2013 dapat disimpulkan bahwa salah
satu tujuan Pemberlakuannya adalah untuk menyasar wajib-pajak yang tergolong kriteria
hard to tax tadi, hal ini senada dengan pernyataan Dirjen Pajak yang menyebutkan bahwa
baru 10% UKM yang membayar pajak dan sulitnya untuk memajaki UKM.
Tetapi semangat untuk memajaki wajib pajak yang tergolong kriteria hard to tax tadimenjadi agak bias apabila kita lihat pengecualian dalam pasal 2 ayat 3 PP 46 tahun 2013
tersebut yang menyatakan bahwa tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiat an usaha
perdagangan dan/ atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau prasarana
yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap dan
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
PP 46 tahun 2013 sendiri tidak menjelaskan secara spesifik kenapa wajib pajak
tersebut dikecualikan, dan apakah kewajiban pajak mereka dibebaskan atau tidak, tetapi
melihat sifat usahanya yang informal terkesan pemerintah tidak ingin membebani mereka
dengan pengenaan PPh Final ini.
Yang cukup mengherankan dalam aturan pelaksanaan PP 46 tahun 2013 ini melalui
peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-107/PMK.11/2013 tanggal 6 Agustus 2013 dalam
pasal 12 ayat 2 disebutkan bahwa kewajiban perpajakan bagi pedagang pedagang informal
tadi dilaksanakan melalui mekanisme tarif umum Pajak Penghasilan.
-
5/24/2018 hkjh
3/16
3
Jadi jika tujuan penerapan PP 46 tahun 2013 adalah untuk menyasar wajib pajak
yang termasuk kriteria hard to tax tadi, mengapa justru pedagang sektor informal yang
notabene merupakan wajib pajak yang paling sulit untuk dipajaki malah dikenakan
mekanisme perpajakan sesuai dengan mekanisme umum yang sangat tidak mungkin untuk
mereka penuhi.
PP 46 tahun 2013 sebagai Sumber Penerimaan Pajak Baru
Pemerintah dalam beberapa pernyataan menegaskan bahwa tujuan pengenaan PP
46 tahun 2013 ini bukan semata-mata untuk peningkatan penerimaan pajak, tetapi juga
untuk mengedepankan aspek keadilan dalam pengenaan pajak.
Jumlah UKM di Indonesia jauh melebihi negara-negara lainnya. UKM di Indonesia
mencapai 99% dari usaha yang ada di Indonesia, dan menyerap 97% dari keseluruhan
tenaga kerja tetapi hanya memberikan 57% nilai tambah.
Melihat data di atas tergambar dengan jelas adanya suatu potensi pajak yang
selama ini belum tergali.
Dalam Survey terhadap negara-negara OECD tentang motivasi penerapan
presumptive tax, jawaban terbagi menjadi dua kategori besar:
1. Tujuan penerapan untuk penyederhanaan pembukuan dan pelaporan pajak
(simplification motive).
2. Meningkatkan kepatuhan Pajak dan perpajakan yang lebih adil (revenue motive).
Motivasi tersebut tergambar pula dalam aturan pengecualian terhadap wajib pajak
yang menjadi subyek pemajakan, dimana di negara-negara dengan kriteria pertama Wajib
Pajak dapat memilih untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan mekanisme
umum, sedangkan dalam negara-negara dengan kriteria kedua, aturan pemajakan tersebut
tidak bersifat opsional.
PP 46 Tahun 2013 sendiri tidak memberikan opsi bagi Wajib Pajak untuk memilih
mekanisme umum Pajak Penghasilan dalam penghitungan pajaknya, semua Wajib pajak
yang menjadi Subyek pengenaan PP 46 tahun 2013 baik dia orang pribadi, PMDN bahkan
PMA sekalipun dapat dikenakan PPh Final melalui mekanisme ini, pengecualian Bentuk
Usaha tetap dari aturan ini lebih didasarkan pada adanya Perjanjian Penghindaran pajak
berganda yang melarang pengenaan Presumptive Tax kepada non resident.
Sebenarnya sekalipun yang mejadi motivasi penerapan Peraturan Pemerintah No.46
tahun 2013 ini adalah Penerimaan Pajak, hal tersebut sah-sah saja. Tetapi pemerintah perlu
lebih selektif dalam menetapkan kriteria Wajib Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
aturan ini untuk menghindari wajib pajak dengan kriteria higher income dan wajib pajak
yang dapat menyelenggarakan pembukuan. Opsi untuk memilih untuk tidak dikenakan Pajakpenghasilan berdasarkan aturan ini, harus tetap dibuka.
-
5/24/2018 hkjh
4/16
4
BAB II
LANDASAN TEORI
Dasar Hukum
Dalam Konsideran PP 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa penerbitan aturan iniadalah dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat 2 huruf e Pasal 17 (7) UU
Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 4 ayat 2 berbunyi sebagai berikut :
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
2. penghasilan berupa hadiah undian;
3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan
5. penghasilan tertentu lainnya;
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Dalam penjelasan pasal 4 ayat (2), penghasilan yang dapat dikenakan PPh final
harus memenuhi pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat
2. Kesederhanaan dalam pemungutan pajak
3. Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Dirjen Pajak
4. Pemerataan dalam pengenaan pajak. Dan
5. Memperhatikan perkembangan ekonomi moneter
Maksud dan Tujuan
Penerbitan PP No 46 Tahun 2013 memiliki maksud dan tujuan sebagai berikut:
Maksud:
a. untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan;
b. mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi;
c. mengedukasi masyarakat untuk transparansi;
d. memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan
negara.
-
5/24/2018 hkjh
5/16
5
Tujuan:
a. kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan;
b. meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat;
c. terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Subjek PP 46 Tahun 2013
Sesuai dengan awal dikenalkannya, yang dikenakan PP ini adalah UMKM.
Pengertian secara harfiah UMKM adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. UMKM
mendapat prioritas yang sangat besar dari Pemerintah, sampai-sampai dibentuk sebuah
kementerian yang mengurusi UMKM tersebut. Alasannya tentu karena merupakan sumber
penerimaan Negara yang besar (sekitar 61% dari PDB) dan tidak rentan terhadap krisis
ekonomi global.
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) Pengertian UMKM dapat kita simak sebagai berikut :
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini. Usaha Mikro memiliki kriteria asset maksimal sebesar 50 juta dan omzet
sebesar 300 juta.
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria
Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Usaha Kecil memiliki
kriteria asset sebesar 50 juta sampai dengan 500 juta dan omzet sebesar 300 juta
sampai dengan 2,5 miliar.
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan
bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Usaha Menengah memiliki kriteria asset sebesar 500 juta sampai dengan 10 miliar dan
omzet sebesar 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar.
Dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini ternyata tidak terdapat istilah UMKM sesuai
pengertian diatas dan batasan omzetnya juga tidak mengikuti ketentuan UU tentang UMKM
diatas meskipun masih dalam lingkupnya karena kurang dari 50 Milyar. PP ini mengatur
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
-
5/24/2018 hkjh
6/16
6
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan
(tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap) dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Milyar.
Dikecualikan dari pengenaan PP ini adalah adalah penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas yang diperoleh :
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan
penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek
h. perantara
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau
jasa yang dalam usahanya:
1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan
Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud diatas adalah :
1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Objek Pajak PP No 46 Tahun 2013
Yang dikenai Pajak Penghasilan (PPh) ini adalah penghasilan dari usaha yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi
Rp4,8 miliar dalam 1 tahun Pajak. Adapun peredaran bruto (omzet) merupakan jumlah
peredaran bruto (omzet) semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun
cabangnya.
Objek pajak yang dikecualikan dari PP No 46 Tahun 2013 adalah sebagai berikut:
-
5/24/2018 hkjh
7/16
7
a. Penghasilan dari jasa sehubungan dengan Pekerjaan Bebas, seperti misalnya: dokter,
advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara,
dan sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP tersebut.
b. Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2)), seperti misalnya sewa
kamar kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan),PPh usaha migas, dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah
tersendiri.
c. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
Mekanisme Penghitungan
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat
final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pajak Penghasilan terutang dihitung
berdasarkan tarif sebesar 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak dan bersifat final.
Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4,8 Miliar ditentukan berdasarkan peredaran bruto
dari setiap bulan, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
b. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
c. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Mekanisme Penyetoran dan PelaporanSetoran bulanan merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh Pasal 25. Kode Akun
Pajak adalah 411128 dan Kode Jenis Setoran 420. Jika penghasilan semata-mata dikenai
PPh final, tidak wajib PPh Pasal 25. Jika ada penghasilan lain selain yang dikenai PPh
Pasal 4 ayat (2) sesuai ketentuan PP ini, maka atas penghasilan tersebut dikenai PPh
sesuai dengan ketentuan umum. Jika ada angsuran PPh Pasal 25 atau PPh yang
dipotong/dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap PPh terutang tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
-
5/24/2018 hkjh
8/16
8
BAB III
PEMBAHASAN
PP 46 tahun 2013 akan mempunyai dampak yang tidak bisa dihindari, karena setiap
kebijakan akan mempunyai dampak positif maupun dampak negatif.1. Sisi Positif
Dengan berlakunya PP ini terlihat sekilas memang sangat memudahkan Wajib Pajak
dan juga Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini sesuai dengan pertimbangan pemerintah
sebagaimana tercantum dalam penjelasan PP 46 tahun 2013 diantaranya :
kesederhanaan dalam pemungutan pajak, mengingat tarif tunggal sebesar 1% dari
peredaran bruto.
berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak, karena hanya membutuhkan
untuk mencatat peredaran bruto saja. Bagi Direktorat Jenderal Pajak juga akan
memudahkan dalam melakukan administrasi dan pengawasan.
Memudahkan juga dalam penyetoran pajak, apalagi telah diterbitkannya Peraturatan
Dirjen Pajak Nomor PER 37/PJ/2013 tentang Tata Cara penyetoran PPh atas melalui
Anjungan tunai Mandiri (ATM)
Dalam salah satu konsideran PP 46 Tahun 2013 tersebut disebutkan bahwa
pertimbangan dikeluarkannya aturan tersebut adalah : untuk memberikan kemudahan
kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memiliki peredaran tertentu, perlu
memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan , penyetoran, dan
pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang
Dalam perhitungan pajaknya memang Wajib Pajak dimudahkan dimana, dalam
perhitungan pajaknya Wajib pajak tidak perlu lagi melakukan rekonsiliasi fiskal dalam
mengitung kewajiban perpajakannya. Hanya saja yang perlu diingat adalah, pengenaan PPh
Final ini bukan berarti meniadakan kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan
menyampaikan laporan keuangan.
Berbeda dengan Wajib Pajak Orang Pribadi yang dibebaskan dari kewajiban
melakukan pembukuan dikarenakan menghitung Pajaknya dengan menggunakan Norma
Penghitungan penghasilan Netto berdasarkan Pasal 14 ayat 2 Undang-undang Pajak
Penghasilan, Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46 tahun 2013 tetap
harus melakukan pembukuan sesuai dengan Pasal 28 ayat 1 UU KUP.
Menariknya penerapan PP 46 tahun 2013 ini secara tidak langsung merengut hak
Wajib Pajak Orang pribadi yang melakukan usaha, yang sebelumnya dapat menghitung
pajaknya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang notabene
dibebaskan dari kewajiban melakukan pembukuan dan hanya diwajibkan melakukan
pencatatan menjadi wajib melakukan pembukuan. Sebagai perbandingan Austria tidak
-
5/24/2018 hkjh
9/16
9
mewajibakan Wajib Pajak yang tidak berbentuk badan hukum dengan peredaran usaha
sampai dengan $519.960 menyampaikan laporan keuangan (hanya melaporkan pendapatan
dan biaya). Untuk Perusahaan di Jerman sampai dengan peredaran usaha tertentu dapat
menggunakan pembukuan berdasarkan Basis Kas, dalam menghitung kewajiban
perpajakannya.Untuk itu perlu dipahami bahwa simplified tax system tidak melulu terletak pada
simplified tax calculation, tetapi secara utuh harus dipahami sebagai upaya mereduksi cost
of compliance bagi wajib pajak, yang meliputi banyak aspek salah satunya termasuk juga
penyederhanaan sistem pembukuan dan dokumen dokumen yang dipersyaratkan.
2. Sisi Negatif
Terlepas dari kemudahan dan kesederhanaan yang ditawarkan PP Nomor 46 Tahun 2013,
jika ditelaah lebih dalam menurut Penulis ada beberapa hal yang sebenarnya berpotensi
menyulitkan wajib pajak diiantaranya :
a. Tumpang tindih Peraturan
Terkait dengan UMKM, sebelumnya sudah ada ketentuan perpajakan yang mengatur
tarif khusus PPh untuk UMKM tetapi hanya berlaku untuk yang berbentuk badan usaha.
Dalam Undang-undang No.36 Tahun 2008 (UU PPh) pasal 31 E dinyatakan bahwa Wajib
Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.50 milyar mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum sebagaimana diatur dalam
pasal 17 ayat (2) UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp.4,8 milyar. Dengan tarif PPh Badan yang berlaku saat
ini yaitu 25%, maka bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang memenuhi syarat, tarif
efektifnya menjadi 12,5% atas penghasilan sampai dengan Rp.4,8 milyar. Pengenaan PPh
dalam hal ini dilakukan terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari perhitungan
laba-rugi akuntansi (pembukuan) setelah dilakukan koreksi fiskal karena berdasarkan pasal
28 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP).
PP 46/2013 jika dilihat dari pihak oposisi adalah hal yang cacat hukum, kenapa?
Pertimbangan tarif 1% dari peredaran usaha (omzet) adalah hal yang aneh, Pajak
Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas tambahan ekonomis, bukan dari peredaran
usaha. Begitupun dikalangan pengusaha, bagi mereka yang dikatakan penghasilan ialah
omzet dikurangi biaya-biaya, dari gambaran sederhana ini maka tidak selamanya
pengusaha beromzet besar otomatis penghasilannya besar, bisa jadi malah mengalami
kerugian.
Mari kita lihat apa yang menjadi pertimbangan pemerintah, mengeluarkan Peraturan
ini. Jawabannya ialah untuk memperluas jaring penerimaan negara, sehingga potensi
-
5/24/2018 hkjh
10/16
10
penerimaan negara lebih maksimal, yang akan membuat langkah bangsa menuju
kemandirian pembiayaan negara maju selangkah.
Sudah menjadi fakta dilapangan bahwa banyak saudara-saudara kita yang menjadi
pengusaha di mall-mall, pusat perbelanjaan,pasar tradisional dsb, yang ternyata memiliki
omzet usaha yang besar dan keuntungan yang juga besar, namun sulit ditelusuri karenapembukuan yang mereka miliki belum standar , hal ini berakibat mereka asal melaporkan
saja keuntungan bersihnya,namun disamping itu banyak juga diantara para pengusaha ini
yang sangat ingin berpartisipasi membangun bangsa ini melalui pajak, tapi pusing begitu
membaca cara menghitungnya. Untuk mematahkan segala halangan dan masalah tersebut
maka PP 46/2013 ini dibuat,dengan rumus yang sederhana 1% dari omzet.
Dilihat dari segi landasan hukum, apakah PP 46/2013 tidak cacat hukum? PP
46/2013 ini merupakan peraturan tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang diatur oleh
UU PPh No.36 tahun 2008, yang menjadi landasan PP 46/2013 dalam UU PPh No.36 tahun
2008 ialah pasal 4 ayat 2 bagian E berbunyi PPh final bisa dikenakan terhadap penghasilan
lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah dalam penjelasannya
penghasilan yang bisa dikenakan PPh final harus memenuhi pertimbangan-pertimbangan
antara lain :
1. Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat
2. Kesederhanaan dalam pemungutan pajak
3. Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Dirjen Pajak
4. Pemerataan dalam pengenaan pajak. Dan
5. Memperhatikan perkembangan ekonomi moneter
Jika melihat hal ini maka PP 46/2013 memiliki landasan hukum, sesuai dengan
pertimbangan kesederhanaan dalam pemungutan pajak, dan pemerataan dalam pengenaan
pajak.
Walaupun demikian, sampai titik ini tetap ada satu kendala berarti yakni kata omzet,
dalam Penjelasan UU PPh No.36 tahun 2008, tentang penghasilan berbunyi bahwa pada
prinsipnya pemajakan dalam pengertian yang luas yaitu Pajak dikenakan atas setiap
tambahan ekonomis yang diterima Wajib Pajak. Sampai saat ini belum ditemukan referensi
yang menyatakan omzet adalah bagian dari penambahan ekonomis.
b. PPh Final tidak Adil
Ditinjau dari konsep keadilan dalam pemajakan (equity principle), pengenaan PPh
Final tidak sesuai dengan keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar
(ability to pay). Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka
semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Ini disebut dengan keadilan vertikal atau
-
5/24/2018 hkjh
11/16
11
vertical equity (Musgrave & Musgrave, 1976). Penghasilan yang dimaksud disini adalah
penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan biaya-biaya pengurang penghasilan bruto
yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan yang berlaku (Mansury R, 1996).
PPh Final dihitung langsung dari peredaran bruto, maka pemajakan tersebut tidak
sesuai dengan konsep keadilan dalam pemajakan. Betapa tidak, besar kecilnya penghasilanneto seseorang atau badan usaha tidak akan mempengaruhi besarnya pajak yang akan
dibayar karena pajak dihitung dengan mengalikan tarif langsung terhadap peredaran bruto.
Bahkan dalam keadaan rugi pun, dengan pengenaan PPh Final seseorang atau badan
usaha tetap harus membayar pajak.
PP ini juga mengebiri hak pengusaha peorangan untuk mendapatkan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai pengurang penghasilan yang akan dikenai pajak.
Dengan demikian, tidak ada lagi pertimbangan jumlah keluarga yang harus dihidupi.
Pengusaha dengan omset yang sama harus membayar pajak yang sama, walaupun status
dan tanggungan mereka berbeda.
c. Sederhana Tetapi Mundur Dari Sistim Self-Assessment
Penerapan PPh Final 1% terhadap UMKM yang mempunyai peredaran bruto tidak
lebih dari Rp.4,8 milyar setahun adalah tepat jika hanya dilihat dari sisi kemudahan dalam
penghitungan pajak bagi kelompok perorangan dan badan usaha yang selama ini kesulitan
menyelenggarakan pembukuan. Namun bagi UMKM perorangan atau badan usaha yang
selama ini telah menyelenggarakan pembukuan dengan tertib dan menghitung PPh dari
penghasilan kena pajak yang senyatanya dari hasil pembukuan setelah dilakukan koreksi
fiskal, ketentuan ini menjadi suatu kemunduran bagi mereka. Betapa tidak, untuk kelompok
ini, konsep self assessment yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya jelas
menjadi tidak bermakna. Kebijakan pengenaan PPh Final terhadap UMKM mundur dan tidak
selaras dengan tujuan utama dari sistim selfassesment yaitukepatuhan membayar pajak
secara sukarela (voluntary compliance).
d. Ada yang diuntungkan dan ada juga yang dirugikan
Dengan mengenakan PPh Final berdasarkan tarif 1%, UMKM yang berbentuk badan
usaha tidak diuntungkan dan tidak dirugikan apabila persentase Penghasilan Kena Pajak
terhadap peredaran bruto dapat mencapai 8%. Hal tersebut dapat dirumuskan dengan: 1%
x peredaran bruto sebulan = 12,5% x 8% x peredaran bruto sebulan. Tarif 12,5% adalah
merupakan tarif pasal 31 E dari UU PPh. Apabila UMKM dalam bentuk badan usaha mampu
meraih persentase penghasilan kena pajak di atas 8%, maka UMKM dalam bentuk badan
usaha akan diuntungkan karena membayar PPh lebih kecil dari ketentuan sebelumnya.
-
5/24/2018 hkjh
12/16
12
Demikian sebaliknya akan membayar PPh lebih besar apabila persentase penghasilan kena
pajak kurang dari 8% terhadap peredaran bruto, bahkan akan tetap membayar PPh Final
meskipun dalam keadaan merugi. Persentase minimum atas penghasilan kena pajak yang
harus dicapai oleh UMKM perorangan akan lebih besar dari 8% agar tidak dirugikan dengan
berlakunya pengenaan PPh Final 1% dari peredaran bruto.Sebagai contoh, omset PT. A dalam satu tahun adalah 1 miliar dengan laba kena
pajak 7%. Pajak yang terutang berdasarkan tarif PP adalah 1% x 1 miliar = 10 juta.
Sedangkan pajak yang terutang menurut tarif umum hanyalah 25% x 50% x 70 juta = 8,75
juta. Sebaliknya, bila laba kena pajak yang diperoleh adalah 9%, maka, pajak terutang
berdasarkan tarif umum adalah 25% x 50% x 90 juta = 11,25 juta. Sementara, pajak
terutang berdasarkan tarif PP hanyalah 1% x 100 juta = 10 juta.
e. Berpotensi menimbulkan disortasi ekonomi
Jumlah wajib pajak baik yang memenuhi kriteria, maupun yang dikecualikan di
seluruh Indonesia jumlahnya mencapai ribuan bahkan mungkin ratusan ribu. Direktorat
Jenderal Pajak dikhawatirkan tidak mampu mengidentifikasi mana wajib pajak yang
memenuhi kriteria dan mana yang dikecualikan. mengingat mengelola wajib pajak yang
normal-normal saja keteteran.
Jika pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak dikelola
dengan baik, akan menimbulkan disortasi ekonomi yang luar biasa, karena akan terdapat
ribuan bahkan puluhan ribu wajib pajak yang membayar pajak dan yang tidak membayar
pajak. Akibat lanjutannya, wajib pajak yang membayar pajak akan menjual barang-barang
atau memberikan jasa yang lebih mahal dibandingkan dengan mereka yang tidak
terjangkau pajak. Akibat lanjutannya akan banyak perusahaan yang bangkrut karena kalah
bersaing.
PP 46 tahun 2013 akan mempunyai dampak yang tidak bisa dihindari, karena setiap
kebijakan akan mempunyai dampak positif maupun dampak negatif. Kecenderungan negatif
dari pengusaha akan menurunkan tarif atau menjaga omzet untuk tidak lebih dari 4,8 M. Hal
ini tentunya akan merugikan negara karena akan menurunkan pendapat negara dari yang
seharusnya diterima.
Pengusaha akan melakukan tax planning atas peraturan ini, bagaimana bisa
menghindari pajak (tax avoidance) untuk mendapatkan insentif tersebut. Misalnya
pengusaha akan menutup usaha pada bulan desember karena omzet usahanya sudah
mencapai 4,7 M tentunya perilaku ini merugikan konsumen dan bahkan perekonomian.
Dengan cara demikian pengusaha UKM akan mendapatkan tarif pajak yang murah untuk
memanfaatkan peraturan tersebut.
-
5/24/2018 hkjh
13/16
13
f. Berpotensi menimbulkan kecemburuan dan perselisihan
PP ini dapat memicu timbulnya kecemburuan dari para pengusaha yang
penghasilannya dikenakan pajak bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan tersendiri
seperti usaha jasa konstruksi. Walaupun omset mereka dalam satu tahun tidak melebihi 4,8
miliar rupiah, mereka tidak berhak menggunakan tarif 1% ini. Sementara, tarif pajak palingrendah untuk usaha mereka adalah 2%.
PP baru ini juga berpotensi menimbulkan perselisihan antara para pengusaha
dengan pemotong atau pemungut pajak penghasilan seperti bendahara pemerintah dan
pihak-pihak lainnya. Para pengusaha tidak akan bersedia pajaknya dipotong atau dipungut
lantaran tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak. Sebaliknya, pemotong atau
pemungut pajak akan bersikeras untuk melakukan pemotongan atau pemungutan karena
tidak ingin dikenakan sanksi.
g. Adanya mekanisme Surat Keterangan Bebas (SKB)
Karena dikenakan PPh Final, maka akan berimbas kepada mekanisme
Pemotongan/Pemungutan Pajak terhadap WP yang dikenakan PPh berdasarkan PP ini.
Kalau dilakukan Pemotongan/Pemungutan oleh pihak lain, PPh ini tentu tidak dapat
dikreditkan oleh WP bersangkutan. Oleh karena itu, telah dikeluarkan Peraturan Dirjen Pajak
Nomor PER 32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan PPh bagi WP yang dikenai PPh Berdasarkan PP 46 Tahun 2013. Dalam
peraturan ini WP harus mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak
melalui Surat Keterangan Bebas (SKB)
Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud diatas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan
Tahunan dengan syarat:
1. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar
pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
2. menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib
Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh
termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran
jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat
-
5/24/2018 hkjh
14/16
14
Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama
dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
3. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja,
Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen
pendukung sejenis lainnya.4. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima
fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Permohonan
legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan
Tahunan dengan syarat:
1. menunjukkan Surat Keterangan Bebas.
2. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong
dan/atau pemungut berupa Surat Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat
validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang
dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas : impor, pembelian bahan bakar
minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, pembelian hasil produksi industri semen,
industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industry farmasi, pembelian kendaraan
bermotor di dalam negeri.
3. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan nilai
transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
4. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Dari ketentuan tentang SKB ini jelas ternyata Wajib Pajak akan membutuhkan
tambahan beban yang cukup besar untuk melaksanakan administrasi perpajakan dimaksud,
apalagi yang bertransaksi dengan bendaharawan pemerintah yang tidak cukup diberikan
pemahaman oleh DJP sendiri.
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15293http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15293 -
5/24/2018 hkjh
15/16
15
Bagi Direktorat Jenderal Pajak, pemberlakuan PP ini berpotensi untuk mengalami
kesulitan dalam pengawasan karena Wajib Pajak yang nakal dapat lebih leluasa dalam
melakukan aksi untuk menyembunyikan omzet, apalagi dengan tidak dapat diberlakukannya
withholding taxatas WP dalam cakupan PP 46 ini, cenderung menimbulkan potensial loss
bagi DJP sendiri.Dari tulisan diatas, menurut Penulis, PP 46 Tahun 2013 memang baik dari sisi
kemudahan dan baik untuk meningkatkan penerimaan pajak bagi DJP. Namun menurut
Penulis, ternyata ada beberapa kesulitan yang dapat dihadapi Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai PP ini dan juga kesulitan bagi DJP sendiri. Oleh
karena itu, menurut Penulis yang dimasukkan dalam cakupan pengenaan PPh sesuai PP 46
tahun 2013 sebaiknya perlu dibatasi kembali. Misalnya bagi kelompok UMKM orang pribadi
maupun badan usaha yang selama ini telah sanggup menyelenggarakan pembukuan
dengan tertib seyogianya tidak dimasukkan dalam cakupan ketentuan PP 46 Tahun 2013.
Dengan memasukkan kelompok ini dalam ketentuan PP 46 Tahun 2013, dorongan agar
Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan sebagai bagian dari sistim self-assessment
menjadi berkurang, padahal salah satu tugas Fiskus adalah pembinaan Wajib Pajak
termasuk dalam hal kepatuhan penyelenggaraan pembukuan.
-
5/24/2018 hkjh
16/16
16
BAB IV
SARAN
Ruang untuk memberikan candy kepada UMKM dapat dilakukan oleh DJP dengan
cara yang dimungkinkan oleh hukum formil atau hukum materiil. DJP dapat memberikanberbagai fasilitas dan pengaturan khusus yang diperuntukkan oleh UMKM dalam konteks
pemajakan ini. Ada beberapa ide yang bisa dimunculkan agar efek psikologis kompensatif
ini muncul dan sedikit menyamankan para pelaku UMKM.
1. DJP dapat memberikan pengaturan bahwa bagi UMKM yang telah mendaftarkan diri dan
melaporkan pajak terhutangnya sejak 1 Juli 2013 tidak akan dilakukan pemeriksaan atau
verifikasi untuk tahun-tahun sebelumnya dengan persyaratan menghitung sendiri pajak
yang terutang sejak 5 tahun sebelum 1 Juli 2013.
2. Kemudian bagi UMKM yang sudah memperoleh NPWP sebelum 1 Juli 2013, atas pajak
yang sudah dibayar menjadi pasti besarnya dengan cara dikeluarkan ketetapan SKPN.
3. Penggunaan formulir pelaporan dan perhitungan pajak yang lebih sederhana dan
ringkas.
4. Terhitung sejak 1 Juli 2013 hingga batas waktu yang ditetapkan DJP, DJP tidak akan
melakukan pemeriksaan terhadap UMKM dengan syarat formil yang ditetapkan misal:
menjadi WP Patuh dengan jangka waktu tertentu.
5. Membuka layanan khusus semisal KPP Khusus UMKM di setiap Kanwil agar lebih
mampu mengetahui karakteristik UMKM dan lebih mampu memberikan pelayanan yang
lebih bernuansa UMKM, contohlah strategi BRI dalam melayani nasabah mikro di tingkat
pedesaan.