hipertensi dalam kehamilan

20

Click here to load reader

Upload: chairul-adilla-ardy

Post on 09-Aug-2015

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

II

TRANSCRIPT

Page 1: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

ANALISIS KASUS

1. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?

Pasien ini didiagnosis sebagai hipertensi gestasional karena dari anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengarahkan pasien ke dalam

diagnosa ini yaitu timbulnya hipertensi dipicu oleh kehamilannya dan selama

tidak hamil pasien tidak pernah mengalami tekanan darah yang tinggi.

2. Apakah penanganan pada kasus ini sudah tepat?

Penanganan pada kasus ini sudah tepat yaitu diberikan dexametason untuk

pematangan paru janin, nifedipin sebagai antihipertensi lini pertama dan

tokolitik dengan dosis yang dianjurkan yaitu 10 – 20 mg per oral, diulangi

setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam. Kemudian diberikan obat

anti kejang yaitu MgSO4 sesuai protap. Pemberian MgSO4 diberikan pada

penderita dengan tekanan darah baik sistole atau diastole > 160/110 mmHg.

MgSO4 40% 10 cc (4 gr) diberikan secara IV pelan-pelan selama 5 menit.

Selanjutnya MgSO4 40% 15 cc (6 gr) / drip 20 tetes/ menit atau habis dalam

6 jam. Kemudian setiap 6 jam dengan dosis 15 cc (6 gr)/ drip 20 tetes/ menit.

Page 2: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15 % penulit kehamilan dan

merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu

bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga

masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, uga oleh

perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medis dan system

ruukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh

semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi

dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medic baik di

pusat maupun di daerah.

Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the National

High Blood Pressure Education Proggram Working Group on High Blood

Pressure in Pregnancy tahun 2001 ialah:

1. Hipertensi kronik

Adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau

hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20

minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.

2. Preeklampsi-eklampsi

PE adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai

dengan proteinuria. Eklampsia adalah preeklampsi yang disertai dengan

kejang-kejang dan/koma.

3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi

kronik disertai tanda-tanda preeclampsia atau hipertensi kronik disertai

proteinuria.

4. Hipertensi gestasional atau transient hypertension adalah hipertensi yang

timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi

menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-

tanda preeclampsia tetapi tanpa proteinuria.

Page 3: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Hipertensi Kronik

Definisi

Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan sebelum

timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum

kehamilan, maka hipertensi kronik didefinikan bila didapatkan tekanan darah

sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolic >= 90 mmH sebelum umur

kehamilan 20 minggu.

Etiologi Hipertensi Kronik

Hipertensi kronik dapat disebabkan primer : idiopatik 90% dan sekunder 10%,

berhubungan dengan penyakit ginjal, vascular kolagen, endokrin, dan pembuluh

darah.

Diagnosis Hipertensi Kronik pada Kehamilan

Diagnosis hipertensi kronik ialah bila didapatkan hipertensi yang telah timbul

sebelum kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu umur kehamilan.

Cirri-ciri hipertensi kronik :

- Umur ibu relative tua di atas 35 tahun

- Tekanan darah sangat tinggi

- Umumnya multipara

- Umumnya ditemukan kelainan jantung, ginjal, dan diabetes mellitus

- Obesitas

- Penggunaan obat-obat antihipertensi sebelum kehamilan

- Hipertensi yang menetap pascapersalinan

Dampak Hipertensi Kronik pada Kehamilan

Dampak pada ibu

Bila perempuan hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya, dan hipertensi

dapat terkendali, maka hipertensi kronik tidak berpengaruh buruk pada kehamilan,

Page 4: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

meski tetap mempunyai risiko terjadinya solusio plasenta, ataupun superimposed

preeclampsia.

Hipertensi kronik yang diperberat oleh kehamilan akan member tanda :

- Kenaikan mendadak tekanan darah, yang akhirnya disusul proteinuria

- Tekanan darah sistolik > 200 mmHg diastolic > 130mmHg, dengan akibat

segera terjadi oliguria dan gangguan ginjal.

Penyulit hipertensi kronik pada kehamilan ialah :

- Solusio plasenta,risiko terjadinya solusio plasenta 2- 3 kali pada hipertensi

kronik

- Superimposed preeklampsi

Dampak pada Janin

Dampak hipertensi kronik pada janin ialah pertumbuhan janin terhambat atau fetal

growth restriction, intra uterine growth restriction (IUFG). Insiden fetal growth

restriction berbanding langsung dengan derajat hipertensi yang disebebakna

menurunnya perfusi uteroplasenta, sehingga menimbulkan insufisiensi plasenta.

Dampak lain pada janin peningkatan persalinan preterm.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan khusus berupa ECG (eko kardiografi), pemeriksaan mata, dan

pemeriksaan USG ginjal. Pemeriksaan lain ialah fungsi ginjal, fungsi hepar, Hb,

hematokrit, dan trombosin.

Pemeriksaan Janin

Perlu dilakukan pemeriksaan USG janin. Bila dicurigai IUGR, dilakukan NST dan

profil biofisik.

Pengelolaan pada Kehamilan

Tujuan pengelolaan hipertensi kronik dalam kehamilan adalah meminimalkan

atau mencegah dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat hipertensinya sendiri

ataupun akibat obat-obat antihipertensi.

Page 5: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Secara umum ini berarti mencegah terjadinya hipertensi yang ringan menjadi

lebih berat, yang dapat dicapai dengan cara farmakologik atau perubahan pola

hidup : diet, merokok, alcohol, dan substance abuse.

Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu, tanpa

memandang status kehamilan. Hal ini untuk menghindari terjadinya CVA, infark

miokard, serta disfungsi jantung dan ginjal.

Antihipertensi diberikan :

- Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada

stage I hipertensi tekanan darah sistolik >= 140 mmHg, tekanan diastolic

>= 90 mmHg.

- Bila terjadi disfungsi end organ.

Obat Antihipertensi

Jenis antihipertensi yang digunakan pada hipertensi kronik, ialah :

- Alfa-metildopa : dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal 3 gr per hari.

- Calcium-channel blockers : nifedipin dengan dosis bervariasi antara 30 –

90 mg per hari.

- Diuretic thiazide : tidak diberikan karena akan mengganggu volume

plasma sehingga mengganggu aliran darah utero-plasenta.

Evaluasi Janin

Untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau kronik, perlu

dilakukan nonstress test dan pemeriksaan USG bila dicurigai terjadinya fetal

growth restriction atau terjadi superimposed PE.

Hipertensi Kronik dengan Superimposed PE

Diagnosis superimposed PE sulit, apalagi hipertensi kronik disertai kelainan ginjal

dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed PE pada hipertensi kronik,

adalah :

Page 6: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

- Adanya proteinuria, gejala-gejala neurologic, nyeri kepala hebat,

gangguan visus, edema patologik yang menyeluruh (anasarka), oliguria,

edema paru.

- Kelainan laboratorium : berupa kenaikan serum kreatinin,

trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.

Page 7: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Preeklampsi

PE adalah gangguan sistemik yang berkaitan dengan kehamilan, ditandai dengan

hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan > 20 minggu. PE merupakan

penyebab utama kesakitan dan kematian ibu, meningkatkan masalah perinatal

karena Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran premature.

Sebanyak 5 – 7 % ibu hamil berkembang menjadi PE. PE masih menjadi

penyebab persalinan premature sejak dini dan diterapi dengan tepat.

PE lebih sering pada perempuan dengan hipertensi kronis, dengan insiden sebesar

25% dan terutama terjadi ada kehamilan pertama. Nullipara 6-8 kali lebih mudah

terkena dibandingkan multipara. Perempuan yang hamil pertama pada usia lebih

tua, mempunyai risiko PE lebih besar. PE juga sering terjadi pada perempuan

dengan janin kembar, mola hidatidosa dan diabetes mellitus. PE memiliki

kecenderunan herediter yang dapat berkembang pada 25% anak dan cucu dari

perempuan dengan riwayat PE.

PE dibadi menjadi dua yaitu PE brat dan ringan. PE berat adalah hi[ertensi awitan

baru dan proteinuria diikuti disfungsi susunan saraf pusat (sakit kepala,

pandangan kabur, kejang, koma), peningkatan TD bermakna (>160/110 mmHg),

proteinuria berat (> 5 gram per 24 jam), oliguria atau gagal ginjal, edema paru,

kerusakan sel hati (> 2x batas atas normal), trombositopenia (jumlah trombosit <

100.000/mikro L) atau disseminated intravascular coagulation (DIC). PE ringan

adalah hipertensi awitan baru, proteinuria, dan edema tanpa diikuti tanda-tanda PE

berat. Sementara itu, dikatakan juga bahwa pasien yang terlihat seperti PE ringan

(misalnya remaja hami dengan TD 140/85 mmHg dan proteinuria trace) dapat

kejang mendadak/berkembang menjadi eklampsi, sehingga istilah ringan dan berat

dapat melenakan dokter. Keadaan tersebut akan hilang setelah persalinan.

Faktor Risiko PE

Factor risiko terkait partner (nullipara, primigravida, kehamilan remaja,

inseminasi donor, orang tua hasil kehamilan dengan PE).

Page 8: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

1. Factor risiko ibu ( riwayat PE sebelumnya, usia tua ibu, jarak kehamilan

pendek, riwayat keluarga, ras kulit hitam, pasien yang membutuhkan

donor oosit, inaktivitas fisik, riwayat hipertensi sejak >= 4 tahun yang lalu,

hipertensi pada kehamilan sebelumnya)

2. Adanya penyakit penyerta lain yaitu hipertensi kronis dan penyakit ginjal,

obesitas, resistensi insulin, berat badan ibu rendah, tubuh yang pendek

(short stature), migraine, diabetes gestasional, DM tipe 1, penyakit

Raynaud, resisten protein C aktif, defisiensi protein S, antibody

antifosfolipid, SLE, hiperhomosisteinemia, talasemia dan inkompatibilitas

rhesus.

3. Factor eksogen (merokok, stress, ketegangan psikis terkait pekerjaan,

makanan yang tidak adekuat), factor risiko terkait kehamilan (kehamilan

kembar, infeksi saluran kemih, anomaly structural congenital, hidrops

fetalis, kelainan kromosom, dan mola hidatidosa).

Ada beberapa kaitan dengan mekanisme imunologi yang melibatkan durasi dan

besarnya paparan antigen pada sperma laki-laki. Paparan berulang terhadap

ejakulat ayah dapat mencegah PE. Jika kehamilan terjadi dengan ayah yang baru,

risiko lebih tinggi. Begitu juga pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi

yang menghalangi pajanan sperma.

Predisposisi Genetik

Genetic merupakan factor predisposisi terjadinya PE. Di Swedia, sesame saudara

kandung perempuan, risiko terjadinya PE 3,3 kali, sedangkan antara ibu dan

putrid kandung 2,6 kali. Banyak factor genetic berperan antara lain dihubungkan

dengan NOS endotelin, trombofili, mutasi factor V Leiden, TNF alfa,

angiotensinogen, lipoprotein lipase dan DM, namun tidak satupun yang terbukti

secara konsistensi.

Walaupun dasar genetic kelainan ini belum jelas, beberapa penelitian

epidemiologi menyatakan adanya kecenderungan gen yang sama dimiliki oleh

perempuan dengan kehamilan pertama yang mengalami PE. Kelompok

perempuan dengan golongan darah AB secara bermakna lebih rentan terhadap PE,

Page 9: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

namun pemeriksaan polimorisme HLA-G dari peta keluarga tidak menunjukkan

kecenderungan tersebut. Jadi, golongan darah AB sebagai factor genetic masih

kontroversi.

Pada PE didapatkan angiotensinogen T235 yang mengalami mutasi.

Angiotensinogen merupakan salah satu factor yang mempunyai keterkaitan

genetic dengan hipertensi sesnsial, tetapi pada trimester kedua, tes angiotensin II

yang positif gagal memperlihatkan hubungan peranan gen tersebut dengan

peningkatan TD. Adanya gen yang berperan atau hilangnya gen tertentu pada PE

masih dalam penelitian lebih lanjut.

Pathogenesis PE

PE merupakan sindrom yang gejalanya mengenai banyak system organ,

diantaranya otak, hati, ginjal, pembuluh darah, dan plasenta. Kegagalan invasi

sitotrofoblas dari arteri spiralis uterus adalah salah satu awal dari gangguan ini.

Pembuluh darah tersebut tidak bertransformasi menjadi pembuluh darah yang

berdilatasi seperti pada kehamilan normal. Kelainan itu menyebabkan perfusi

plasenta buruk dan menghambat pertumbuhan. Banyak penelitian yang

menitikberatkan pada perubahan abnormal molecule adhesi sitotrofoblas, integrin

dan interaksi ligan-reseptor factor pertumbuhan endotel vascular plasenta.

Bukti lain menunjukkan vasokontriksi merupakan salah satu pathogenesis PE.

Vasokonstriksi merupakan hasil perubahan hormonal dan vascular berupa

angiogenesis yang terhambar dan adanya disfungsi endotel yang mengganggu

pembentkan plasenta. System rennin angiotensin dirangsang pada kehamilan

normal dan ditekan pada PE, namun, sensitivitas pasien PE terhadap efek tekanan

angiotensi II meningkt sehingga terjadi peningkatan TD.

Penelitian terbaru juga melaporkan perubahan fungsi sel endotel vascular sebagai

patofisiologi PE. Sel endotel menghasilkan zat yang penting dalam mengatur

tonus pembuluh darah dan koagulasi (misalnya nitrit oksida/NO, prostasiklin, dan

endotelin). Penelitian hipertensi gestasional pada hewan dan pemeriksaan klinis

terbatas menunjukkan bahwa penurunan NO dan prostasiklin, peningkatan

endotelin, dan semua sekuele disfungsi endotel menyebabkan vasokonstriksi,

Page 10: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

agregasi trombosit dan peningkatan koagulasi intravascular yang kemudian

menyebabkan manifestasi klinis PE pada ibu.

Kemampuan ekskresi natrium data terganggu pada PE, namun derajatnya

bervariasi. PE yang berat dapat terjadi tanpa edema (dry PE). Bahkan ketika

edema terjadi, volume plasma kurang dari kehamilan normal dan sering terjadi

homokonsentrasi. Fenomena tersebut berhubungan dengan vaskularisasi yang

kurang, dimana hipoalbuminemia terjadi karena tiga factor yaitu kehilangan

protein ginjal, disungsi ginjal, dan ekstravasasi dari intravascular ke ruang

interstitial.

Diagnosis PE

Hipertensi yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu, dengan proteinuria,

terutama pada nullipara muda dapat disurigai sebagai PE. Terutama jika pasien

mempunyai riwayat PE di keluarga. PE umumnya tidak menunjukkan gejala dan

dapat dideteksi hanya dengan penapisan berkala. Gejala yang paling sering, bila

ada, adalah sakit kepala, gangguan penglihatan (sering melihat kilatan cahaya),

muntah, nyeri epigastrium dan edema.

Penapisan PE adalah salah satu target penting kunjungan antenatal, terutama pada

trimester ketiga kehamilan. Pengukuran TD dan urinalisis harus diperiksa,

terutama pada perempuan dengan factor risiko PE. Meskipun PE paling banyak

terjadi di trimester ketiga, dapat juga berkembang sampai 1 minggu setelah

melahirkan sehingga TD harus dipantau sekitar waktu tersebut. Sementara itu,

banyak studi dan ribuan artikel yang telah ditulis, menyimpulkan tidak ada tes

penapisan yang berguna secara klinis untuk memprediksi perkembanagan PE.

Saat ini tes penapisan yang masih dalam penelitian yaitu tes Doppler pemeriksaan

arteri uterin dan pengukuran factor II C plasma ibu.

Criteria hipertensi pada ibu hamil dengan TD >= 140/90 mmHg berdasarkan

pengukuran dua kali atau lebih dengan jarak 6 jam atau lebih.proteinuria pada PE

didefinisikan sebagai ekskresi protein lebih dari 300 mg dalam urin 24 jam (lebih

dari +1 pada pemeriksaan dipstick). Pada ibu hamil, tidak mungkin dilakukan

Page 11: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

konfirmasi diagnosis hipertensi kembali lebih dari beberapa mingguseperti pada

perempuan tidak hamil.

Terapi

Terapi PE bersifat paliatif berupa rawat inap untuk tirah baring, mengendalikan

TD, profilaksis kejang jika ada tanda-tanda impending PE dan persalinan tepat

waktu, bahkan ada kepustakaan yang menganjurkan pemberian sedasi.

Page 12: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Eklampsi

Gambaran Klinik

Eklampsi adalah kasus akut pada penderita preeklampsi, yang disertai dengan

kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan PE, eklampsi dapat timbul

pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsi postpartum umumnya hanya terjadi

dalam waktu 24 jam pertama setelah melahirkan.

Pada penderita PE yang akan kejang, umumnya member gejala-gejala atau tanda-

tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya

kejang. PE yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai

impending eclampsia atau imminent eclampsia.

Diagnosis Banding

Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit

lain. Oleh karena itu, diagnosis eklsmpsia menjadi sangat penting, misalnya

perdarahan otak, hipertensi, lesi otak, kelainan metabolic, meningitis, epilepsy

iatrogenic. Eklampsia selalu didahului oleh PE. Perawatan prenatal untuk

kehamilan dengan predisposisi PE perlu ketat dilakukan agar dapat dikenal sedini

mungkin gejala-gejala prodoma eklampsia. Sering dijumpai perempuan hamil

yang tampak sehat mendadak menjadi kejang-kejang eklampsia, karena tidak

terdeteksi adanya preeclampsia sebelumnya.

Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang tonik ialah

dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otot-tot muka khususnya

sekitar mulut, yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi otot-otot tubuh

yang menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah

penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan

menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh pada saat

ini dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15- 30 detik.

Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik dimulai

dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutu kembali dengan kuat

disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul

Page 13: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

dengan kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh.

Begitu kuat kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga seringkali penderita terlempar

dari tempat tidur. Seringkali pula lidah tergigit akibat kontraksi otot rahang yang

terbuka dan tertutup dengan kuat. Dari mulut keluar liur berbusa yang kadang-

kadang disertai bercak-bercak darah. Wajah tampak membengkak karena kongesti

dan pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan.

Pada waktu timbul kejang, diafragma terfiksir, sehingga pernafasan tertahan,

kejang klonik berlangsung kurang lebih 1 menit. Setelah itu berangsur-angsur

kejang melemah, dan akhirnya penderita diam tidak bergerak.

Lama kejang klonik ini kurang lebih 1 menit, kemudian berangsur-angsur

kontraksi melemah dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam koma.

Pada waktu timbul kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat. Demikian juga

suhu badan meningkat, yang mungkin oleh karena gangguan serebral. Penderita

mengalami inkontinensia disertai dengan oliguria atau anuria dan kadang-kadang

terjadi aspirasi bahan muntah.

Perawatan Eklampsia

Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi supertif untuk stabilisasi

fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation (ABC),

mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia, mencegah

trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya

pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan

cara yang tepat.

Pengobatan Medikamentosa

Obat antikejang

Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat. Bila

dengan jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis lain,

misalnya thiopental.

Page 14: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Perawatan pada Waktu Kejang

Pada pendertia yang mengalami kejang, tujuan pertama pertolongan ialah

mencegah penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut. Dirawat di

kamar isolasi cukup terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera

dapat diketahui. Penderita dibaringkan di tempat tidur yang lebar, dengan rail

tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan kuat.

Pengobatan Obstetrik

Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia harus

diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan

diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan

metabolism ibu. Pada perawatan pascapersalinan, bila persalinan terjadi

pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.

Prognosis

Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala

perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah

persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami

perbaikan. Dieresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan.