hidup bermakna - biografi poerwoatmodjo

Upload: kisahprabawati

Post on 14-Jan-2016

89 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Biografi Poerwoatmodjo

TRANSCRIPT

PERJALANAN HIDUP

Hidup Bermakna

PAIMIN TOELOES HIDAYAT POERWOATMODJO

Nama saya memang panjang

PAIMIN TOELOES HIDAYAT POERWOATMODJO

Seolah bercerita perjalanan hidup saya yang panjang dan berlikucerita yang ingin saya tuangkan dalam buku ini

Buku yang kupersembahkan untuk istriku tercinta, belahan jiwakuS U N A R T I

yang telah tulus ikhlas mendampingiku dalam suka dan duka sejak lima puluh tahun yang lalu hingga akhir nanti,untuk sembilan anak yang selalu kami banggakan,untuk para menantu yang kami sayangi seperti anak kami sendiridanuntuk semua cucu-cucu yang senantiasa kami doakan siang-malam,

untuk semua keturunan mereka kelak di mana pun berada PENGANTAR PENULISDengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan YME, buku ini akhirnya dapat diselesaikan. Saya bukan penulis buku. Saya hanyalah seorang ayah dari 9 anak dan kakek dari 18 cucu. Saya mendapat dorongan menulis dari anak-anak saya. Mereka selalu berkata, Pak, sejarah kehidupan Bapak itu penuh pelajaran bagi orang lain. Sayang kalau tidak ditulis. Saya pikir hal itu ada benarnya. Kalau pun tidak bagi orang lain, setidaknya akan bisa bermanfaat bagi anak-cucu saya sendiri di kemudian hari. Saya pun mulai membeli buku tulis kosong. Saya mulai mencatat dengan pena bagian-bagian dari perjalanan hidup yang masih saya ingat. Sampai akhirnya, selesai juga catatan saya itu walaupun saya yakin masih banyak yang terlewatkan.Selanjutnya saya serahkan catatan saya tersebut ke anak saya kedua Ir. Jaka Sumanta, ME yang tinggal di Jakarta. Ia lah yang menyunting tulisan saya supaya bisa mudah dibaca dengan runut. Kadang-kadang ia menelpon saya dan istri untuk menanyakan lebih dalam bagaimana cerita yang sebenarnya. Saya tahu ia juga menelpon Pak Budi Waluyo, orang yang telah berjasa dalam hidup saya, untuk menggali pandangan-pandangan beliau. Saya yakin ia telah berdiskusi dengan kakaknya tertuanya dr. Singgih Setyono, MMR untuk minta saran dan koreksi. Ia juga ternyata menghubungi semua anak-anak saya yang lain, para mantu dan cucu-cucu saya untuk menulis kesan-kesan mereka terhadap saya dan istri. Akhirnya buku ini benar-benar membuat saya sangat bahagia. Apalagi saya bisa menjadikannya sebagai hadiah ulang tahun perkawinan ke-50, ulang tahun emas, bagi istri saya tercinta Sunarti. Satu hadiah yang tidak berarti dibandingkan cinta sejati yang telah diberikannya dengan tulus kepada saya selama ini.Saya secara khusus ingin mengucapkan terima kasih Bapak Budi Waluyo dan keluarga besar Eyang Raden Ngabehi Dirjopranoto yang telah mengangkat saya dari seorang anak yatim menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Yang telah membimbing dan mendorong saya untuk terus belajar menuntut ilmu setinggi-tungginya.

Kami dan istri ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua kami Bapak Soikromo (alm) dan Ibu Samiyem (alm), Bapak Somopawiro (alm) dan Ibu Somopawiro (alm) yang telah berjuang membesarkan, merawat dan membimbing kami sejak masih kecil. Semoga almarhum orang tua kami mendapat kebaikan dari Tuhan YME di alam selanjutnya.Terima kasih kami kepada semua anak-anak, para mantu dan cucu-cucu yang telah berusaha berbuat yang terbaik dalam hidupnya masing-masing. Telah berbakti kepada orang tua dengan sebaik-baiknya. Kami merasa bersyukur dan bangga atas semua prestasi yang telah mereka capai dalam bidang masing-masing. Betapa senangnya hati kami berdua, sampai kami meneteskan air mata haru, melihat mereka bahagia, melihat mereka lulus atau mencapai sesuatu dalam hidup. Karena kebahagiaan mereka adalah kebahagian kami, kesedihan mereka adalah kesedihan kami pula.

Kami dengan istri juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para besan dan keluarganya yang telah ikut membimbing anak-anak dan cucu-cucu kami dalam menjalani hidup mereka yang tidak mudah. Penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua guru, mentor, rekan kerja, dan orang-orang yang telah berjasa dalam hidup anak-anak dan cucu-cucu kami. Kami selalu bersyukur kepada Tuhan YME yang selalu mengirimkan orang-orang yang baik budinya kepada anak-anak dan cucu-cucu kami di mana pun mereka berada ketika mereka membutuhkan pertolongan atau dalam kesulitan.

Di tengah arus zaman yang mengutamakan harta benda seperti saat ini, kami ingin berpesan kepada anak cucu. Harta benda memang penting dalam hidup, tetapi ada yang lebih penting dari itu semua, ialah bagaimana hidup kita bermakna atau bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain. Hanya dengan hidup seperti itulah kita akan menuai kebahagiaan. Bukan untuk kita sendiri, bahkan sampai anak keturunan pun nanti akan ikut menikmati. Itulah pengalaman hidup yang bisa kami tuliskan, semoga sumua anak-cucu dapat mengambil hikmahnya, dapat meneruskan dan mengamalkan apabila itu dipandang baik. Sebaliknya, kami mohon anak-cucu untuk menutupi kekurangan dan kesalahan kami selama ini.Saya mengucapkan terima kasih pula kepada para pembaca dan semua pihak yang telah ikut membantu sehingga buku ini dapat diterbitkan

Sumberlawang, 25 Februari 2014

Paimin Toeloes Hidayat Poerwoatmodjo

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

EPISODE PAIMIN1. Anak Yatim itu

2. Menggembala KambingEPISODE TOELOES HIDAYAT3. Budi Waluyo4. Sekali Mendayung5. Kereta Api Pagi6. Pegawai Padi Sentra 7. Cinta Bersemi di Atas Sepeda8. Mandi Tujuh Sumur EPISODE POERWOATMODJO9. Warung Bakmi10. Sembilan Mutiara11. Pelita Bangsa12. Wakil Rakyat13. Kalah dan Menang14. Desa Teladan

15. Lurah SepuhBUKAN PENUTUPKESAN PESANEPISODE PAIMIN

BAB 1

ANAK YATIM ITU

Nglimbangan adalah nama salah satu dusun di Desa (kelurahan) Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Dari kota Solo, dusun itu berjarak kurang lebih 35 km ke arah utara mengikuti jalan raya Solo-Purwodadi. Setelah sampai di pasar Kecamatan Sumberlawang, kemudian belok kanan ke arah Timur menyusuri jalan Sumberlawang Sragen kurang lebih 2 km, kita akan sampai di Balai Desa Jati. Untuk sampai di Nglimbangan, dari Balai Desa Jati, kita harus menempuh lagi jalan desa kurang lebih 1 km. Memang lokasinya terpencil, jauh dari keramaian.Penduduk dusun Nglimbangan sebagian besar beragama Hindu. Mereka bersembahyang di Pura seperti masyarakat Bali. Pada umumnya mereka bertani sambil memelihara kambing atau sapi. Tanaman utama pada waktu musim hujan adalah padi, sedangkan pada musim kemarau adalah jagung, ketela atau palawija lainnya. Rumah-rumah mereka berbentuk limasan, berdinding kayu atau bambu. Lantainya sebagian besar langsung beralaskan tanah. Kambing dan sapi sering dimasukkan ke dalam rumah bersatu dengan penghuni rumah sehingga bagi yang tidak terbiasa akan merasakan bau yang tidak sedap. Suatu kehidupan desa yang sangat sederhana, lekat sekali dengan kekurangan dan kemiskinan. Di lingkungan dusun seperti itulah saya dilahirkan. Tepatnya pada hari Selasa Pahing tanggal 15 Desember 1943, lahir seorang bayi laki-laki dari rahim seorang Ibu bernama Samiyem dan Ayah bernama Soikromo. Bayi tersebut diberi nama Paimin, terlahir sebagai anak bungsu dari 4 bersaudara. Itulah saya, Paimin. Saya memiliki 3 orang kakak yaitu Kanem (perempuan), Kamilah (perempuan), dan Paiman (laki-laki). Menurut cerita Ibu, saya memiliki tanda-tanda istimewa, tidak seperti bayi Ibu lainnya. Pertama ketika saya terlahir dengan berkalung usus. Kemudian saat ditidurkan di lantai, badan bayi tersebut dilewati ular besar. Ibu Samiyem hanya bisa berdoa semoga tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda kebaikan bagi anaknya kelak

Masa kecil saya tidak lah masa kecil yang bahagia sebagaimana anak-anak lain. Ketika saya berumur kurang dari 6 tahun, tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1949, ayah saya tercinta Soikromo meninggal dunia akibat sakit diare. Sejak saat itu, saya adalah seorang yatim yang diasuh oleh seorang Ibu yang janda.Kesedihan saya sebagai anak yatim seolah tertutup oleh kasih sayang tulus dari Ibu saya Samiyem. Beliau seorang yang mulia, sabar dan memutuskan tidak menikah lagi hingga akhir hayatnya. Dapat dibayangkan sulitnya membesarkan 4 anak seorang diri bagi seorang janda buruh tani yang hidup seadanya seperti beliau. Beliau lah yang selalu menjadi penghibur, penyemangat dan sumber inspirasi saya sejak kecil hingga selama-lamanya.

BAB 2

MENGGEMBALA KAMBING

Dalam hidup yang serba kekurangan, Ibu Samiyem terpaksa bekerja apa saja untuk bertahan hidup untuk keempat anaknya. Beliau sering menjadi buruh tani di sawah tetangga, baik ketika musim menanam padi (tandur), membersihkan rumput (matun) atau panen. Kadang-kadang beliau juga pergi ke pasar untuk berdagang jual beli apa saja (candak kulak). Saya dan kakak-kakak, walaupun masih kecil, tentu harus membantu beliau semampunya.

Pada saat saya berumur 6 tahun, Ibu Samiyem pun terpaksa merelakan saya menjadi buruh penggembala kambing milik tetangga. Di keluarga Bu Painah selama setahun, kemudian setahun berikutnya di keluarga Pak Rejo Pawiro. Bekerja dan tinggal di keluarga orang lain seperti itu sering disebut ngenger. Menjadi adat saat itu, setelah satu tahun ngenger menggembala kambing, biasanya akan mendapat upah berupa satu ekor kambing. Itu yang menjadi alasan saya rela ngenger karena akan bisa membantu ekonomi Ibu.

Dari pagi hingga sore, pekerjaan saya adalah dari kambing ke kambing. Mengeluarkan kambing-kambing dari kandang, membawa mereka ke sawah, tegalan, atau tempat-tempat yang rumputnya subur. Mencari rumput (ngarit) untuk makanan kambing. Begitulah, kambing-kambing itu seolah adalah teman saya di waktu kecil.Pada malam hari, saya sempatkan ikut sekolah Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Saat itu PBH hanya ada di tingkat desa, yaitu berada di dusun Jati, di rumah Bapak Joyokaryo. Dari dusun Nglimbangan, saya harus berjalan 2 km (pulang pergi) setiap malam untuk mengikuti PBH. Sampai akhirnya pada usia 8 tahun saya mendapat ijazah PBH.Setelah dua tahun bekerja ngenger menjadi penggembala kambing, saya pun mendapat upah berupa dua ekor kambing. Dengan modal dua ekor kambing tersebut, saya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah, berhenti dari ngenger di keluarga Bapak Rejo Pawiro.Sejak kembali ke rumah, saya tetaplah menjadi penggembala kambing, hanya bedanya sekarang kambing milik sendiri. Setiap kali menggembala kambing, saya melihat anak-anak lain berangkat ke Sekolah Rakyat (SR) Sumberlawang. Saya melihat mereka bisa sekolah dengan gembira, sementara saya tidak bisa. Saya tidak kuat menahan keinginan untuk pergi sekolah. Saya pun minta ijin Ibu untuk sekolah ke Sumberlawang seperti anak-anak yang lain. Tetapi Ibu tidak mengijinkan dengan alasan nanti tidak ada yang mengurus kambing. Saya terus mencari cara bagaimana supaya diijinkan sekolah. Akhirnya saya temukan caranya. Waktu menggembala kambing saya ubah menjadi sore hari sambil mencari rumput. Di pagi hari, kambing tetap di kandang dan diberi makan rumput hasil kemarin. Setelah saya buktikan cara itu berjalan, akhirnya Ibu mengizinkan saya untuk ikut Sekolah Rakyat (SR) di Sumberlawang. Tidak dapat diceritakan betapa gembiranya hati saya bisa sekolah seperti anak-anak lain.Tugas membantu ekonomi Ibu pun berjalan baik sambil sekolah. Dari semula 2 ekor, kambing-kambing tersebut tersebut beranak pinak menjadi 5 ekor induk dan 7 ekor anak kambing. Lalu kambing-kambing tersebut kelak saya tukarkan dengan seekor sapi betina (lembu) yang diberi nama Klumpuk yang artinya terkumpul. Sapi itupun berkembang biak dan kelak bisa saya pakai untuk berumah tangga. Bahkan rumah yang saya tinggali sampai sekarang pun sebagian adalah hasil berkembangnya si Klumpuk itu.EPISODETOELOES HIDAYAT

BAB 3

BUDI WALUYO

Setelah diizinkan Ibu, pada usia 9 tahun saya mendaftar di Sekolah Rakyat (SR) 2 Sumberlawang. Saya diterima langsung di kelas 3, karena sudah memiliki ijazah PBH. Setiap pagi, saya pergi sekolah dari dusun Nglimbangan ke Sumberlawang. Pulang sekolah, saya langsung menggembala kambing dan mencari rumput untuk pakan kambing esok harinya. Sedangkan malam harinya, saya harus belajar di rumah tetangga yang memiliki meja dan lampu teplok. Rumah Ibu saya gelap tidak bisa untuk belajar dengan baik. Di rumah Mbah Darko yang saat itu menjadi Lurah biasanya saya belajar setiap malam. Begitu setiap harinya, saya harus bisa mengatur waktu sebaik-baiknya.

Pada mulanya banyak teman yang mendaftar di SR, sehingga banyak teman pula di perjalanan pulang-pergi ke sekolah. Tetapi ternyata lambat-laun banyak teman-teman yang tidak kuat bersekolah dan akhirnya keluar atau drop out, termasuk kakak saya Paiman. Satu per satu teman saya berguguran. Akhirnya tinggal saya seorang diri dari dusun Nglimbangan yang masih bersemangat sekolah ke Sumberlawang. Setiap pagi, saya berjalan kaki seorang diri dari Nglimbangan ke Sumberlawang, 6 km pulang pergi, dengan pakaian tidak pernah ganti, tidak pernah memakai sepatu dan tidak pernah sarapan. Di sekolah, saya merasa sangat disayangi kepala sekolah dan guru kelas karena saya berusaha rajin dan patuh pada mereka. Saya dinilai sebagai anak pintar dan memiliki tulisan paling rapi. Saya pun ditunjuk menjadi ketua kelas ketika duduk di kelas 4 dan kelas 5.

Saat saya di kelas 5, suatu hari saya dipanggil guru kelas yang bernama Pak Budi Waluyo. Saya diminta beliau membawakan pekerjaan murid-murid kelas 5 ke rumah beliau untuk dikoreksi. Pak Budi Waluyo tinggal di Ngandul, salah satu kelurahan di Kecamatan Sumberlawang yang dekat dengan sekolah, dekat pula dengan pasar, stasiun kereta api dan pusat keramaian. Setelah sampai di rumah Pak Budi Waluyo, saya mendapatkan kejutan yang tidak saya sangka-sangka. Kejutan yang di kemudian hari akan mengubah kehidupan saya. Saya ditawari Pak Budi Waluyo untuk ikut dan tinggal bersama beliau sebagai anak asuh dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (ngenger). Jika saya bersedia, beliau akan membiayai sekolah saya lebih tinggi lagi. Saya juga akan diikutkan ujian kelas 6, walaupun saya baru kelas 5 karena saya dianggap pandai oleh beliau. Tanpa berfikir panjang, semua tawaran Pak Budi Waluyo saya terima dan saya sanggupi karena sekolah yang tinggi memang menjadi idaman saya. Apalagi saya sudah pernah merasakan hidup ngenger memelihara kambing di tetangga selama dua tahun, sehingga saya tidak merasa berat lagi. Hari itu saya tidak pulang ke rumah dan menginap di rumah Pak Budi Waluyo.

Esok harinya, saya bersekolah seperti biasa, berangkat dari rumah Pak Budi Waluyo tetapi pulang ke rumah Ibu saya di Nglimbangan. Ketika pulang ke rumah, saya menceritakan semua tawaran Pak Budi Waluyo kepada Ibu dan kakak-kakak saya. Ibu terkejut dan merasa keberatan. Pertama beliau keberatan karena tidak ada yang mengurus kambing, karena kakak-kakak juga masing-masing sudah ngenger ikut menjadi pembantu rumah tangga orang lain. Kedua, saya menduga karena Ibu tidak mau berpisah dengan anak bungsu yang disayanginya. Menghadapi penolakan Ibu, saya menjadi bimbang. Satu sisi, saya memahami keberatan-keberatan beliau. Tetapi di sisi lain, inilah kesempatan emas untuk saya bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dari SR, yaitu SMP bahkan SMA di Solo.

Dengan berat hati, saya nekat pergi tidak pamit Ibu untuk tinggal ngenger di rumah Pak Budi Waluyo dan tidak pulang ke rumah. Saya yakin saat itu Ibu saya marah, namun semoga di kemudian hari beliau memahami keputusan saya dan memaafkan. Saya bertekad, biarlah saya terima menjadi pembantu di rumah Pak Budi Waluyo, yang penting saya bisa bersekolah lebih tinggi. Setelah lima hari tidak pulang ke rumah, Ibu saya bersama Pakde Kertosidi datang mencari saya ke rumah Pak Budi Waluyo. Saat mereka datang, saya bersembunyi di salah satu ruangan. Saya menguping pembicaraan antara Ibu saya, Pakde Kertosidi dan Pak Budi Waluyo. Inti pembicaraannya, Ibu ingin mengajak saya kembali pulang, karena di rumah repot sekali dan kambing-kambing tidak ada yang mengurusi. Pak Budi Waluyo meyakinkan Ibu, bahwa anaknya yang bernama Paimin (yaitu saya) adalah anak yang pintar dan akan beliau sekolahkan lebih tinggi. Akhirnya Ibu mengijinkan saya tinggal ngenger di rumah Pak Budi Waluyo, guru saya di Sekolah Rakyat yang baik dan mulia hatinya. Beliau sangat berjasa mengangkat semangat saya untuk maju dan bersekolah tinggi.Selama saya ngenger di rumah Pak Budi Waluyo, akhirnya kambing-kambing saya dipelihara oleh Ibu dibantu oleh kakak saya Paiman yang sudah tidak sekolah lagi.

BAB 4SEKALI MENDAYUNGDidorong keinginan kuat untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, maka semua perintah Pak Budi Waluyo, istri beliau dan para putra beliau yang berjumlah 5 orang, saya lakukan dengan gembira. Di samping beliau guru saya di Sekolah Rakyat, beliau adalah bapak asuh saya. Beliau juga adalah putra Camat/ Wedana Tirtomoyo Wonogiri, yang bernama Eyang Raden Ngabehi Dirjopranoto, priyayi terhormat saat itu. Beliau dan keluarga beragama Katolik.Pekerjaan yang setiap hari saya lakukan adalah mencuci piring, gelas, alat-alat dapur, mencuci pakaian, menanak nasi, menyapu lantai, membersihkan rumah, belanja di pasar Sumberlawang, dan menyetrika pakaian. Saya juga mengasuh para putra Pak Budi Waluyo yang masih kecil-kecil. Hampir semua pekerjaan wanita dapat saya lakukan karena diajari oleh Bu Budi Waluyo setiap hari. Saya dapat gemblengan dalam bekerja, dengan peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlewati. Saya buktikan dalam tugas sehari-hari, misalnya ketika menanak nasi, bisa sambil mengisi bak mandi, mencuci piring dan menyapu lantai. Mulai kendil diberi air sampai mendidih dan diberi beras, bisa dikerjakan sambil mengisi bak mandi. Sambil mengisi bak mandi bisa mengaduk beras di kendil. Kalau bak mandi sudah penuh, langsung menyapu lantai dan mencuci piring sampai nasi matang.

Pekerjaan-pekerjaan itu saya lakukan dengan tulus, ikhlas, gembira, tidak boleh kasar dalam bicara, dan harus selalu rapi dalam berpakaian. Setiap hari saya mendapat gemblengan tata krama dan sopan santun dari Pak Budi Waluyo dan istri. Saya dapat nama tambahan dari Pak Budi Waluyo. Kata beliau, Namamu jelek, saya ganti saja. Karena kamu itu jujur, bertanggung jawab, tulus dalam bekerja, bakti dengan guru, rupamu tampan, maka saya diberi nama kamu Toeloes Hidayat. Nama itu saya terima dengan senang, tetapi nama pemberian orang-tua tetap saya pakai, tidak saya tinggalkan. Sehingga nama saya yang tercantum di ijazah SR sampai sarjana adalah Paimin Toeloes Hidayat.

Pada tahun pelajaran 1955/1956, saya lulus ujian Sekolah Rakyat walaupun waktu itu saya masih kelas 5. Selanjutnya saya diantar Pak Budi Waluyo untuk mendaftar ke SMP Arjuna Solo, di Jalan Gajah Mada. Sekarang lokasi SMP Arjuna Solo telah menjadi Hotel Sahid, hotel terkenal di Solo. SMP Arjuna Solo sendiri sudah pindah ke Kartosuro. Mimpi untuk sekolah yang lebih tinggi pun kian menjadi kenyataan, walaupun untuk itu saya harus bekerja menjadi pembantu di rumah Pak Budi Waluyo.

BAB 5

KERETA API PAGISetelah diterima di SMP Arjuna Solo, Pak Budi Waluyo berpesan, Karena kamu sudah sekolah di SMP, maka mulai besok Senin, kamu sudah harus bangun jam 4 pagi. Kamar tidurmu sudah diberi jam weker yang setiap jam 4 berdering membangunkan Sejak saat itu, saya selalu bangun jam 4 pagi bahkan kadang-kadang lebih awal. Kemudian semua tugas rumah tangga saya selesaikan seperti biasanya supaya Pak Budi Waluyo dan keluarga senang. Mencuci piring, gelas, alat-alat dapur, mencuci pakaian, menanak nasi, menyapu lantai, membersihkan rumah dan menyetrika pakaian. Saya selesaikan semuanya lebih cepat lagi karena jam 05.00 tepat Kereta Api sudah berangkat dari Stasiun Sumberlawang menuju Solo Balapan. Saya sarapan dari memasak sendiri, kadang-kadang saya bawa naik kereta, mengambil sedikit dari masakan untuk keluarga Pak Budi Waluyo. Kereta biasanya tiba di Stasiun Solo Balapan jam 6.30 kemudian saya berjalan kaki menuju SMP Arjuna yang jaraknya kurang lebih 1,5 km dari stasiun. Masih bisa terkejar sampai ke sekolah sebelum bel masuk sekolah jam 7.15. Selama sekolah di SMP, saya tidak membawa uang jajan sepeserpun sehingga saya tidak pernah jajan di sekolah. Tiket kereta api pun sudah berlangganan (abonemen) dan dibayar oleh Pak Budi Waluyo. Setelah bel pulang sekolah berbunyi pukul 14, saya langsung mengejar Kereta Api dari Solo Balapan yang berangkat pukul 15 menuju Sumberlawang. Tiba kembali di rumah Pak Budi Waluyo sekitar jam 17. Setelah itu saya melanjutkan kembali pekerjaan rumah tangga yang menjadi tugas saya.Hari demi hari saya jalani rutinitas itu dengan senang dan ikhlas, tidak merasa berat sedikitpun. Saya harus bisa mengatur waktu antara sekolah, belajar dan menjadi pembantu di rumah Pak Budi Waluyo. Sampai akhirnya saya lulus ujian SMP pada tahun 1961.Selama saya sekolah di SMP Arjuna, saya hanya memiliki tiga stel baju. Paling sering yang saya pakai adalah baju berwarna putih lengan pendek, celana pendek berwarna biru. Kadang satu stel baju saya pakai dua-tiga hari berturut-turut. Ketika masuk SMP pertama kali, saya belum memakai sepatu (nyeker). Untuk membantu Pak Budi Waluyo dalam membiayai sekolah, saya menjual anakan sapi dari si Klumpuk. Waktu itu laku terjual sekitar Rp. 600 dan saya serahkan semuanya kepada Pak Budi Waluyo. Ketika naik ke kelas 2, baru lah saya dibelikan sepatu oleh Pak Budi Waluyo. Saya terima dan pakai dengan perasaan bangga dan senang bukan kepalang. Setelah duduk di kelas 3 SMP di tahun 1960, pada saat lebaran saya diajak Pak Budi Waluyo sowan ke orang tua beliau yaitu Eyang Raden Ngabehi Dirjopranoto di Tirtomoyo Wonogiri. Seperti yang selalu diceritakan Pak Budi Waluyo, saya melihat sendiri Eyang adalah orang terhormat dan disegani. Oleh Eyang, saya disunat di Rumah Sakit Wonogiri. Menjadi kebanggaan tersendiri saya disunat di rumah sakit, karena teman-teman di desa biasanya disunat di rumah masing-masing oleh juru sunat dengan alat tradisional yang katanya sakit sekali.Setelah lulus SMP tahun 1961, saya diminta Pak Budi Waluyo untuk terus melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Kebetulan, kakak dari Pak Budi Waluyo, namanya Pak Sucipto, adalah Kepala Sekolah SMEA Negeri 1 Solo. Akhirnya saya didaftarkan dan diterima di SMEA Negeri 1 Solo. Saya merasa senang dan bangga.

Lokasi SMEA Negeri 1 Solo adalah di Jalan Tembaga, daerah Lojiwetan. Lebih jauh dari SMP Arjuna. Dari Stasiun Solo Balapan kira-kira 7 km. Dari Stasiun Solo Balapan, saya harus berjalan kaki lebih cepat, hampir seperti lari, melewati Pasar Legi, Widuran, lalu ke Jalan Tembaga menuju sekolah agar tidak terlambat. Selama sekolah di SMEA Negeri 1 Solo, saya terus menjalankan dengan disiplin bangun jam 4 pagi dan kemudian menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, untuk secepatnya mengejar kereta jam 5 pagi dari Sumberlawang. Walaupun saya sudah masuk SMEA, namun saya tidak pernah diberi uang saku. Saya hanya sarapan dari rumah hasil masakan saya sendiri.

Namun itu semua saya jalani dengan ikhlas dan dengan hati gembira, karena saya punya impian besar yaitu saya ingin sekolah untuk merubah nasib. Masa remaja hanya saya habiskan untuk mencari ilmu.

BAB 6

PEGAWAI PADI SENTRA

Pada tahun 1962, saat saya duduk di kelas 2 SMEA Negeri 1 Solo, saya mendengar pemerintah membuka perusahaan Padi Sentra yang akan membimbing para petani untuk mengikuti program intensifikasi pertanian. Para petani didorong mengubah pola bertani tradisional menuju intensifikasi, dengan menggunakan bibit unggul, pupuk kimia dan pemberantasan hama. Padi Sentra ternyata membuka cabang hingga di kecamatan-kecamatan, termasuk di Sumberlawang. Saya mendengar telah dibuka lowongan pegawai Padi Sentra di Sumberlawang dengan persyaratan minimal lulus SMP. Saat itu memang mencari lulusan SMP di tingkat Kecamatan sudah cukup sulit.Di perjalanan kereta api Sumberlawang-Solo, saya merenung apakah saya akan terus menyelesaikan sekolah di SMEA atau ikut mendaftar lowongan pegawai Padi Sentra itu. Saya berfikir, selama ini saya telah membebani Pak Budi Waluyo. Beliau memang bukan orang yang kekurangan, tetapi bukan pula orang yang kaya raya. Beliau pegawai negeri (guru) yang jujur dan memiliki tanggungan 5 orang anak pula. Saya ingin mengurangi beban Pak Budi Waluyo. Saya juga ingin agar cepat mandiri, cepat bekerja, tidak ngenger terus ikut orang lain. Saya ingin cepat mewujudkan impian saya untuk bisa membantu Ibu kandung saya di Nglimbangan. Saya berfikir sekolah bisa saya selesaikan nanti sambil bekerja. Akhirnya saya minta izin Pak Budi Waluyo untuk mendaftarkan diri melamar menjadi karyawan Padi Sentra di Sumberlawang. Tepatnya bulan Agustus 1962, saat saya duduk di kelas 3 SMEA Negeri 1 Solo, saya mendapat kabar gembira. Lamaran saya ternyata diterima. Saya diangkat menjadi pegawai Padi Sentra Sumberlawang di Bagian Perkreditan. Dengan berat hati, saya harus putus sekolah atau keluar dari SMEA Negeri 1 Surakarta. Menjadi pegawai, bukan main senang dan gembira hati saya. Saat itu semua pegawai mendapat kendaraan dinas berupa sepeda Fongers baru seharga Rp 17.000. Sebagai bandingannya, harga seekor sapi waktu itu kurang lebih Rp 1.000 sampai Rp. 1.500. Dalam waktu 2 tahun, sepeda akan menjadi hak milik pegawai. Saya mendapat gaji Rp 1.750 sebulan, cukup untuk hidup dan menabung. Walaupun saya sudah menjadi pegawai, tetapi saya tetap patuh kepada Pak Budi Waluyo dan keluarganya. Saya tetap melaksanakan tugas-tugas rutin sebagai pembantu rumah tangga. Mencuci piring, gelas, alat-alat dapur, mencuci pakaian, menanak nasi, menyapu lantai, membersihkan rumah dan menyetrika pakaian. Saya jalankan semuanya dengan tertib dan sabar setelah pulang kerja.Dalam rutinitas baru sebagai pegawai Padi Sentra yang masih hidup ngenger menjadi pembantu, saya sering merenung bila malam tiba. Apakah saya akan terus hidup menumpang di rumah orang seperti ini? Padahal saya sudah menjadi pegawai dan bisa mandiri. Saya memilih untuk segera mandiri. Masalahnya adalah bagaimana caranya mencari alasan untuk pamit dari keluarga Pak Budi Waluyo yang telah berjasa besar kepada saya selama ini. Saya harus mencari alasan yang tepat, halus dan penuh hormat sehingga Pak Budi Waluyo dan istri bisa memaklumi dan tidak tersinggung.

Akhirnya saya menemukan alasan yang cocok dan tidak mengada-ada, yaitu bahwa saya ingin cepat menikah. Dengan cepat menikah, saya akan segera mandiri. Pikiran juga tenang tidak terpengaruh hal-hal yang negatif. Andaikata punya anak pun, saya yakin bisa membiayai sekolah mereka. Saya sudah terbiasa mengandalkan tenaga dan pikiran sejak kecil. Saya sudah terbiasa tidak tergantung orang tua. Itulah menurut saya alasan yang tepat untuk pamit dari keluarga Pak Budi Waluyo.

Saya mulai ancang-ancang menyampaikan alasan tersebut ke pak Budi Waluyo, namun saya masih harus menahan sementara. Saya harus menabung dahulu uang gaji secara terus menerus untuk biaya pernikahan. Walaupun anak seorang janda, saya bertekad harus mampu membiayai pernikahan sendiri, jangan kalah dengan orang lain yang kaya, jangan kalah dengan orang lain yang masih memiliki ayah kandung. Saya harus mampu memenuhi syarat pernikahan saya sendiri seperti sarana lamaran, mas kawin dan lain-lain. Dengan perencanaan seperti itu, saya mulai membuka diri untuk melihat-lihat siapa calon istri saya. Saya berani melangkah karena saya tiap bulan saya sudah mendapat gaji. Saya juga punya kendaraan dinas sepeda Fongers yang bisa untuk berjalan-jalan, melaksanakan tugas sekaligus kalau ada sambil mencari jodoh. Masa remaja saya benar-benar hanya saya gunakan untuk mencari ilmu dan bekerja, tidak untuk kumpul-kumpul yang negatif. Saya pun masih bertekad menyelesaikan SMA, namun sementara saya tunda dulu. Saya konsentrasi untuk segera menikah. Karena hanya dengan menikah itulah saya bisa pamit dengan baik-baik dari keluarga Pak Budi Waluyo.BAB 7

CINTA BERSEMI DI ATAS SEPEDASebagai karyawan Padi Sentra Sumberlawang, saya ditugaskan di Bagian Perkreditan. Tugas saya melakukan penyuluhan ke desa-desa untuk mengenalkan pupuk kimia kepada para petani agar produktifitas pertanian meningkat. Pupuk kimia seperti ES, TS, UREA, ZA, dan KCL saat itu adalah hal yang baru bagi para petani. Mereka biasanya hanya memakai pupuk kandang secara tradisional. Bila para petani tidak mampu beli kontan, Padi Sentra akan melayani dengan sistem kredit. Bukan hanya kredit untuk pupuk, tetapi juga kredit untuk bibit dan biaya-biaya produksi pertanian lainnya.

Untuk memperlancar fungsi Padi Sentra, di setiap desa diangkat Penghubung Desa. Mereka mempunyai tugas menjaga gudang pupuk di masing-masing desa. Mereka juga menjadi penghubung antara petugas Padi Sentra dengan para petani di desanya. Para Penghubung Desa itulah yang menjadi partner kerja atau boleh juga disebut bawahan saya di lapangan. Dengan demikian, setiap hari saya harus bertemu dengan para Penghubung Desa tersebut untuk melayani para petani. Melalui para Penghubung Desa itu juga, saya sering ditawari untuk dikenalkan dengan gadis-gadis yang menurut mereka cocok untuk saya. Ada yang mengenalkan dengan putri Pak Lurah, putri Pak Carik atau perangkat desa lainnya. Ada pula yang menawarkan adik atau keluarga para Penghubung Desa sendiri. Tetapi semuanya belum ada yang menarik hati saya.

Suatu ketika, saya sedang bertugas di Desa Jati yang dekat dengan dusun kelahiran saya Nglimbangan. Nama Penghubung Desa Jati saat itu adalah Pak Somopawiro. Kalau tidak salah saat itu hari Jumat sekitar jam 12.30. Saat kami sedang melayani para petani, hujan turun deras sekali. Pak Somopawiro kemudian mengajak saya mampir ke rumahnya. Saya diberi suguhan minuman dan makan siang. Kebetulan perut juga sedang lapar, sehingga saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dan kami makan siang bersama. Sambil menunggu hujan reda, kami berdua ngobrol dan diperkenalkan dengan putrinya yang bernama Sunarti. Pak Somopawiro menerangkan bahwa Sunarti masih sekolah di SMEP Negeri Solo dan saat itu naik ke kelas 3. Saya menjadi teringat kembali pada waktu saya sekolah di SMEA Negeri 1 Solo, memang ada gadis siswi SMEP Negeri Solo yang katanya berasal dari Desa Jati. SMEP Negeri Solo memang letaknya berdampingan dengan SMEA Negeri 1 Solo di Jalan Tembaga. Saat itu saya belum tahu namanya dan belum kenal sama sekali, tetapi sudah ada rasa dalam hati tertarik untuk mengenalnya.

Pak Somopawiro lalu menerangkan bahwa Sunarti juga menggunakan kereta api Sumberlawang-Solo pulang pergi setiap hari, sama seperti dahulu ketika saya sekolah ke Solo. Bedanya, karena jarak Jati ke Sumberlawang jauh, supaya tidak terlambat mengejar kereta pagi, kadang-kadang Sunarti diantar terlebih dahulu oleh Pak Somopawiro ke rumah Bu Parto Surahmi di Sumberlawang untuk menginap. Baru esok harinya, Sunarti berangkat ke stasiun Sumberlawang dari jarak yang lebih dekat. Pulang sekolah, Sunarti juga sering menginap di rumah Bu Parto Surahmi sampai dijemput ayahnya.Hari Jumat itu memang hujan turun cukup lama, baru sekitar pukul 16 reda. Kami berdua dengan Pak Somopawiro bisa ngobrol cukup lama. Saya akhirnya pamit pulang ke Sumberlawang. Tidak lain adalah pulang ke rumah pak Budi Waluyo tempat saya ngenger. Ketika pamit, sesuatu yang tidak saya duga-duga terjadi. Pak Somopawiro dan istri menitipkan Sunarti putrinya untuk ikut bersama saya ke Sumberlawang naik sepeda. Saya diminta mengatar Sunarti sampai di Rumah Bu Parto Surahmi di Sumberlawang untuk persiapan berangkat sekolah ke Solo esok harinya. Bisa meringankan Pak Somopawiro daripada mengantarkannya sendiri. Permintaan Pak Sumopawiro pun saya sanggupi dengan hati yang berdebar-debar.Di atas sepeda Fongers, kendaraan dinas Padi Sentra, saya menggoncengkan Sunarti dengan perasaan campur aduk antara gembira dan takut. Karena baru pertama kali itu dalam hidup, saya berani menggoncengkan seorang gadis. Dalam perjalanan di atas sepeda, tidak banyak yang kami bicarakan, kami hanya bicara seperlunya karena memang belum saling kenal betul.Setelah melewati perbatasan desa Jati, karena jalan licin dan menanjak, saya mengajak turun Sunarti dari sepeda. Kami berdua berjalan kaki mulai dari jembatan desa Jati sampai ke pertigaan desa Hadiluwih. Selama berjalan kaki itulah kami berdua bisa berbicara lebih banyak dan lebih cair. Setelah pertigaan desa Hadiluwih, saya kembali mengayuh sepeda menggoncengkan Sunarti. Saat itu saya beranikan diri untuk menyampaikan ke Sunarti perkenalan saya dan benih cinta di hati saya. Saya tidak tahu dari mana munculnya keberanian itu. Belum sempat dijawab, perjalanan sudah sampai di rumah Bu Parto Surahmi Sumberlawang. Akhirnya saya dan Sunarti berpisah, tetapi saya sempat berjanji bahwa minggu depan saya siap mengantar dan menjemputnya di stasiun Sumberlawang. Itulah perkenalan pertama kami yang tidak terduga-duga, cinta bersemi, yang berbuntut saling mencintai, saling berjanji sehidup semati sampai akhir nanti.

BAB 8MANDI TUJUH SUMURKantor Padi Sentra Sumberlawang tidak begitu jauh dari rumah Bu Parto Surahmi, tidak jauh pula dari stasiun Sumberlawang. Saya bisa melihat dari kantor setiap kereta api yang lewat baik dari arah maupun menuju Solo. Kereta sore yang membawa anak-anak sekolah dari Solo biasanya tiba di stasiun Sumberlawang jam 16.30. Ada keinginan kuat dalam hati untuk menemui dan menjemput Sunarti di stasiun, tetapi saya ragu. Suatu ketika saya beranikan diri untuk menjemput, namun Sunarti tidak mau karena takut dimarahi orang tuanya. Dan memang benar, ternyata ia sudah ditunggui dan dijemput sendiri oleh ayahanda Pak Somopawiro. Sebagai pemuda, saya belum pernah kenal dengan gadis lainnya, Sunarti adalah gadis yang pertama saya kenal. Saya tidak banyak memiliki waktu karena masa muda saya gunakan untuk menuntut ilmu dan bekerja. Belum lagi saya masih berstatus ngenger di rumah Pak Budi Waluyo. Di samping harus membantu semua tugas rumah tangga, beliau juga disiplin sekali . Kalau saya pergi harus jelas kepentingannya, harus pamit ke beliau dan harus segera pulang.

Saya tidak putus asa untuk terus berusaha mendekati Sunarti. Walaupun usaha menjemputnya di stasiun tidak berhasil, tetapi saya meyakini dalam hati bila Sunarti juga memiliki perasaan suka terhadap saya. Seberapa dalam, itu yang saya belum tahu. Akhirnya saya mencoba menulis surat kepadanya. Saya sampaikan isi hati saya. Saya tulis sejujurnya bahwa saya sebenarnya saya adalah anak seorang janda yang miskin di Nglimbangan. Sedangkan saya di Sumberlawang adalah ngenger di rumah Pak Budi Waluyo, jadi beliau bukan orang tua kandung saya. Saya tulis pula bahwa saya mencintainya dan berjanji akan bertanggung jawab penuh dan akan membahagiakan dia sebagai istri kelak. Namun saya minta satu syarat, yaitu kalau cinta dengan saya, dia harus mencintai Ibu kandung dan keluarga saya. Surat saya sampaikan langsung ke Sunarti ketika bertemu.Tidak seberapa lama, saya mendapat jawaban surat dari Sunarti. Dia memberikannya ke saya juga secara langsung ketika bertemu. Dengan berdebar-debar saya membukanya. Puji syukur, dia menjawab dengan kata-kata yang baik yang selalu menjadi kenangan indah di hati saya. Dia menulis bahwa baginya cinta bukan lah karena harta benda, tetapi kecocokan hati dan perasaan masing-masing. Dengan jawaban itu, semakin mantap lah tekad saya untuk menyuntingnya.

Tuhan YME mungkin sudah menjodohkan kami. Sebetulnya saya takut untuk menyatakan cinta kepadanya. Takut karena saya berasal dari keluarga miskin, ayah pun sudah tiada, tinggal Ibu kandung yang seorang janda. Sementara dia dibesarkan di keluarga yang kaya, kedua orang tuanya lengkap, anak tunggal dan wajahnya cantik. Pasti sangat banyak pemuda yang ingin menyuntingnya. Itulah ketakutan saya.

Namun perkenalan yang hanya sebentar di atas sepeda Fongers dari Jati ke Sumberlawang, kemudian saya lanjutkan berkirim surat, tidak bertepuk sebelah tangan. Kami saling berkirim surat dengan menyampaikan langsung ketika bertemu. Surat-surat saya berikutnya selalu dibalas dengan kalimat yang baik dan menyejukkan hati saya. Sunarti adalah gadis yang tidak silau oleh harta benda dalam mencintai seseorang. Ia benar-benar adalah jodoh sempurna yang diberikan Tuhan untuk saya.

Walaupun Sunarti telah menerima saya, tetapi masalah belum selesai. Bagaimana dengan orang tuanya. Bagaimana dengan keluarga besarnya yang merupakan orang-orang terpandang. Apakah mereka bisa menerima saya? Sambil menunggu Sunarti lulus dari SMEP, saya terus melakukan penjajakan kepada orang tuanya di sela-sela tugas saya sebagai pegawai Padi Sentra. Saya menangkap gelagat Pak Somopawiro dan istri nampaknya kurang setuju terhadap hubungan kami, mungkin karena status dan keadaan orang tua saya. Orang-orang membicarakan bila Sunarti akan dijodohkan dengan salah satu rekan bisnis ayahnya, sampai-sampai ia tidak mau pulang ke rumah dan tidur di rumah kakeknya Eyang Martopawiro di Hadiluwih. Peristiwa itu membuat beliau berdua melihat bahwa kami berdua sudah tidak dapat dipisahkan. Beliau mungkin juga melihat setiap minggu kami berdua saling berkirim surat.Keinginan saya untuk segera melamar Sunarti tidak dapat ditahan lagi setelah ia lulus SMEP Negeri Solo. Saya harus percaya diri karena saya sudah bekerja, mempunyai gaji dan mampu menghidupi isteri. Saya juga ingin segera lepas dari ngenger di keluarga Pak Budi Waluyo. Dengan menimbang itu semua, saya akhirnya datang sowan menghadap Pak Somopawiro dan istri. Waktu itu saya datang seorang diri. Saya sampaikan bahwa saya bermaksud melamar Sunarti. Bapak/ibu saat itu tidak dapat menjawab dan akan berunding dulu dengan keluarga. Legalah hati saya walaupun belum ada jawaban pasti. Saya semakin semangat bekerja, dan gaji terus saya tabung untuk persiapan pernikahan.Berselang lima bulan, saya mendapat surat dari Sunarti. Saya buka dengan hati berdebar-debar. Apakah lamaran saya ditolak orang tuanya ? Ternyata setelah saya baca pelan-pelan, orang tuanya setuju. Saya diminta untuk mengirim utusan orangtua untuk mengadakan lamaran secara resmi sesuai adat Jawa. Surat itu adalah berita yang paling menggembirakan dalam hidup saya.

Saya segera mempersiapkan lamaran dengan biaya saya sendiri. Untuk menghormati Sunarti dan keluarganya, saya menyiapkan yang terbaik. Saya menyiapkan baki lamaran yang berisi pernik-pernik lamaran sebagaimana cara orang kota. Saya siapkan cincin untuk tukar cincin. Saya belikan busana lengkap untuk Sunarti termasuk sandal, kain dan kosmetik. Saya siapkan pula mas kawin/mahar berupa kalau tidak salah sekitar Rp. 3,000. Juga tidak lupa makanan-makanan sebagai buah tangan rombongan lamaran. Saya persiapkan semua sebaik-baiknya. Rombongan lamaran dipimpin oleh Pakdhe Kertosidi, sementara Ibu kandung saya tidak ikut.Beberapa hari setelah lamaran, tepatnya pada hari Selasa Pahing tanggal 25 Februari 1964, saya menikah secara resmi. Usia saya saat itu adalah 21 tahun, sementara istri saya baru 17 tahun karena ia lahir tanggal 7 September 1947. Pernikahan kami terbilang sangat sederhana, tidak ada pesta besar-besaran, tidak ada wayangan dan lain-lain. Bukan karena tidak ada biaya, tetapi ini karena pesan Eyang Martopawiro, kakek dari Sunarti yang tinggal di Hadiluwih, demi keselamatan dan kelanggengan perkawinan kami. Beliau juga menasehati, sebelum pernikahan saya harus mandi di tujuh sumur atau mata air. Itu semua saya lakukan dengan tulus dan sungguh-sungguh demi belahan jiwa saya Sunarti. Oleh Eyang Martopawiro Hadiluwih, setelah menikah saya pun diberi nama tambahan: Poerwoatmodjo, yang berarti Anak Pembuka. Setelah menikah, saya pamit dari keluarga Pak Budi Waluyo dengan baik-baik. Beliau tidak menyangka secepat itu saya akan menikah dan pamitan. Tetapi beliau merestui dan hadir di pernikahan kami.

EPISODEPOERWO ATMODJO

BAB 9WARUNG BAKMISetelah menikah, kami tinggal bersama di rumah orang tua istri seperti kebiasaan zaman itu. Kami berdua mulai merencanakan langkah-langkah mewujudkan rumah tangga yang dicita-citakan. Kami menyadari bahwa modal kami yang utama hanyalah saling mencintai. Kami harus bisa menjaga kekompakan dan kerukunan walaupun di antara kami berdua ada perbedaan-perbedaan. Kami harus saling menghargai dan saling menghormati. Untuk itu, kami sering berdiskusi dan membuat kesepakatan-kesepakatan.Kesepakatan yang pertama adalah kami harus meningkatkan pendidikan kami masing-masing. Walaupun kami sudah menikah atau memiliki anak nanti, kami harus terus berusaha mengembangkan diri melalui pendidikan. Untuk itu, saya kemudian melanjutkan sekolah tingkat SMA, yang sempat terhenti ketika dulu menjadi pegawai Padi Sentra. Saya melanjutkan ke SMA Pegawai Solo yang masuk sore. Di pagi hari, saya bekerja di Padi Sentra, kemudian siang berangkat ke Solo untuk menyelesaikan SMA. Akhirnya saya pun lulus SMA tahun 1964 saat saya sudah berkeluarga. Setelah lulus SMA, sambil bekerja, saya terus kuliah di IKIP Solo sampai semester 4. Saya berhenti kuliah, karena berbenturan dengan waktu kerja saya sebagai PNS saat itu. Istri saya juga melanjutkan pendidikan. Karena saat itu banyak kebutuhan guru di Indonesia sebagai akibat dari G30S-PKI, saya mendorong istri untuk menjadi guru. Walaupun hanya lulusan SMEP, tapi karena kebutuhan guru sangat banyak, istri saya diterima mengajar di SDUD Sekolah Dasar Usaha Desa (SDUD) Jati tahun 1967. Untuk mengembangkan diri, istri sambil ikut KPG (Kursus Pendidikan Guru). Kemudian melanjutkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Sumberlawang dan lulus ujian tahun 1971 saat sudah mempunyai tiga anak. Ia juga selalu saya dorong untuk ikut semua kursus-kursus di Sumberlawang. Satu di antaranya adalah kursus merias pengantin.

Kesepakatan kami kedua adalah kami harus segera memiliki rumah tangga mandiri. Kami bertekad tidak akan berlama-lama tinggal bersama orang tua. Seenak-enaknya tinggal dengan orang tua, kami berpikir masih lebih baik segera memiliki rumah tangga yang mandiri. Untuk itulah, gaji saya selalu ditabung selama masih ikut orangtua. Setelah anak pertama kami, Singgih Setyono, lahir, kira-kira satu tahun usia pernikahan, kami minta izin orang tua untuk hidup terpisah. Orang tua awalnya merasa keberatan karena istri saya adalah anak tunggal dan mereka belum lama menimang cucu. Tetapi tekad kami sudah bulat, mereka pun mengizinkan kami pindah ke dusun lain yaitu di Sendangrejo yang berjarak 1 km dari Jati. Orang tua memberikan sebidang tanah dan satu rumah sederhana. Rumah yang diberikan kepada kami adalah bagian dapur dari rumah beliau saat itu. Berbentuk lajuran dengan ukuran 7 x 12 meter.Dari semula hidup bersama orang tua di rumah yang luas dan mapan, kami mulai merintis membangun rumah tangga kami sendiri mulai dari bawah. Untuk menambah penghasilan di luar gaji, kami mulai merintis berbagai usaha dengan bekerja keras bahu membahu. Kami ingin membuktikan kepada orangtua bahwa kami tidak akan merepotkan mereka dan bisa mandiri.Saya sendiri waktu itu masih terus melanjutkan karier sebagai pegawai di Padi Sentra Sumberlawang. Setelah lulus SMA tahun 1964, ada lowongan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu Mantri Statistik di Kec. Sumberlawang. Itu merupakan kesempatan emas, sehingga saya melamar dan akhirnya diterima menjadi PNS. Saya bekerja sebagai Mantri Statistik hingga tahun 1969 di Sumberlawang. Setelah itu, saya memutuskan untuk berhenti dari PNS karena ingin kembali ke desa. Saya ingin membangun tanah kelahiran saya. Kebetulan saat itu ada lowongan jabatan Sekretaris Desa (Carik) di Jati. Saya melamar bersama tiga calon lain. Setelah diseleksi dan ujian, saya lulus terbaik dan diangkat menjadi Sekretaris Desa sejak tahun 1969 sampai 1987. Sejak menjadi Carik, gaji saya tidak lagi berupa uang, tetapi berupa sawah bengkok, sehingga saya harus bertani untuk mendapatkan penghasilan.Karena saya bekerja sebagai pegawai, saya mendorong isteri saya untuk berwirausaha. Berbagai usaha kami coba dengan sungguh-sungguh dengan penuh perjuangan. Usaha pertama kami adalah membuka toko kelontong di siang hari dan warung bakmi di malam hari, bertempat di rumah kami sendiri. Setelah itu, istri saya pun mencoba menjadi bakul beras di pasar Gabugan dan Gundih. Lalu menyewakan pengeras suara (sound system) untuk hajatan. Lalu kami lengkapi dengan jasa rias pengantin dan dekorasi. Saya kemudian juga mencoba menjadi juragan becak, yaitu menyewakan becak kepada para tukang becak di terminal Sumberlawang. Usaha-usaha tersebut kemudian bisa berkembang, hingga kami bisa membeli bus mini sebanyak 3 buah secara kredit untuk jurusan Pasar Legi Solo-Sukodono Sragen. Kami kembangkan lagi dengan membeli bus Harum sebanyak 6 buah untuk jurusan Sumberlawang-Sragen. Melalui usaha-usaha itu lah, kami bisa membiayai kebutuhan rumah tangga kami, membiayai sekolah anak-anak dan melakukan kegiatan sosial-masyarakat. Akhirnya kami bisa membuktikan kepada orang tua bahwa kami bisa mandiri. Selama kami berumah tangga, hampir tidak pernah kami minta sesuatu kepada orang tua, walaupun mereka orang berada. Sampai sekarang, usaha yang masih berjalan adalah rias pengantin, menyewakan dekorasi, busana kejawen dan usaha transportasi bis. Istri saya selain berprofesi sebagai guru sampai pensiun tahun sept 2008, ia adalah juru rias pengantin ternama di wilayah Kecamatan Sumberlawang, bahkan melebar ke wilayah lain di Kabupaten Sragen. Ia bukan ibu rumah tangga biasa, tetapi ia adalah ibu rumah tangga yang luar biasa. Perannya sangat besar untuk menyokong ekonomi keluarga. Kami mampu menyekolahkan anak-anak sampai semuanya lulus sarjana. Melalui wirausaha itu pula, kami bisa menyediakan beberapa lapangan pekerjaan untuk sanak keluarga dan masyarakat luas.BAB 10SEMBILAN MUTIARA

Walaupun istri saya anak tunggal, tetapi Tuhan YME ternyata menitipkan kepada kami berdua anak yang jumlahnya banyak. Kami mempunyai anak banyak sembilan orang anak, terdiri dari enam laki-laki dan tiga perempuan. Setelah menikah, berturut-turut lahirlah buah cinta kami berdua: (1) Singgih Setyono, lahir di Sragen, hari Minggu Pon, 13 September 1964; (2) Jaka Sumanta, lahir di Sragen, hari Rabu Kliwon, 14 Desember 1966; (3) Tri Setyo Budiyanto, lahir di Sragen, hari Jumat Pon, 21 Nopember 1969; (4) Eny Hidayati Setyaningsih, lahir di Sragen, hari Sabtu Wage, 29 Juli 1972; (5) Andi Kusnanto, lahir di Sragen, hari Rabu Wage, 10 Maret 1976; (6) Agung Tulus Hidayat, lahir di Sragen, hari Sabtu Kliwon, 15 April 1978; (7) Lindarti Purwaningsih, lahir di Sragen, hari Kamis Wage, tanggal 12 Februari 1981; (8) Titik Endah Wulaningsih, lahir di Sragen, hari Selasa Wage, 22 Februari 1983; dan terakhir (9) Anom Sigit Suryawan, lahir di Sragen, hari Selasa Pon, 3 September 1985.

Anak kami nomor sembilan, Anom Sigit Suryawan, lahir pada saat anak pertama kami, Singgih Setyono, sudah berusia 21 tahun dan duduk di bangku kuliah di Fakultas Kedokteran UNDIP. Sebagai calon dokter ia tahu bahayanya melahirkan di atas usia 38 tahun. Sebelum kelahiran, ia menasehati kami untuk ikut Keluarga Berencana (KB) karena ia malu dengan teman-temannya. Kalau tidak ikut KB, ia akan berhenti kuliah. Dokter kandungan istri saya sempat juga mengatakan bahwa kalau tidak KB, istri saya akan melahirkan anak 7 lagi menjadi 16 anak. Akhirnya istri saya menurut dan mengikuti KB dengan sterilisasi setelah melahirkan anak nomor sembilan. Seluruh kelahiran anak-anak kami berjalan normal dan lancar. Tidak ada yang melalui proses operasi cesar. Sebagian besar dilahirkan di rumah kami sendiri dengan dibantu bidan. Hanya anak pertama Singgih Setyono lahir di RS Mardi Lestari Sragen dan anak terakhir Anom Sigit Suryawan lahir di RS Panti Kosala Solo. Mengandung dan melahirkan anak bukan menjadi penghalang bagi istri saya untuk terus bekerja. Ia masih saja tekun bekerja sebagai guru dan berwirausaha selama mengandung sampai tinggal beberapa hari sebelum melahirkan. Setelah melahirkan, ia hanya perlu istirahat beberapa hari, kemudian bangkit lagi untuk bekerja. Pada saat melahirkan anak keempat Eny Hidayati Setyaningsih, bahkan 4 hari sesudah melahirkan, ia harus merias pengantin ke desa Gulan karena sang pengantin tidak mau menikah kalau tidak dirias istri saya. Kesehatan dan ketahanan tubuhnya luar biasa. Banyak tetangga yang geleng-geleng kepala tidak percaya akan kegesitan istri saya. Semua anak kami yang sembilan mendapatkan air susu ibu (ASI) dengan sempurna sekitar 2 tahun. Bahkan anak bungsu kami masih menyusui hingga usia kelas 2 SD.Karena memiliki anak kecil-kecil dan bekerja, dalam mengasuh anak dibantu oleh saudara-saudara yang tinggal bersama kami. Mereka sangat berjasa dalam membantu istri saya mengasuh anak-anak dan menyiapkan makanan untuk mereka. Diantara mereka yang kami ingat adalah Yu Waginah, Yu Marni, Yu Parmi, Yu Jayem dan Yu Partiyem. Sembilan anak-anak kami semua melewati jenjang sekolah dasar di SD Jati 1, tempat istri saya mengajar. Sehingga selain mendapat kasih sayang ibu di rumah, mereka juga mendapatkannya di sekolah. Istri saya adalah ibu guru mereka terutama ketika masih kelas 1 atau 2 SD. Kami selalu membimbing, mengarahkan, membina, mengawasi anak-anak dalam belajar setiap harinya. Setiap hari sampai jam 9 malam dan jam-jam kosong harus membaca buku. Kami sabar menunggui saat anak-anak belajar, walaupun mungkin kami tidak dapat mengerjakan soal ujian yang dikerjakan anak-anak.

Setelah lulus SD, mereka kemudian melanjutkan ke SMP Negeri Sumberlawang atau SMP di Solo. Untuk jenjang SMA, semuanya bersekolah ke SMA di Solo. Saya selalu mendorong anak-anak masuk sekolah yang bagus untuk mendorong mereka berkompetisi. Setelah masuk SMP/ SMA di Solo, mereka semua berpisah dari kami dan tinggal kos di sekitar sekolah. Dalam hal keuangan, kami mencukupi kebutuhan anak secara minimal (pas-pasan), tidak berlebihan, supaya mereka memiliki rasa hemat dan disiplin dalam mengatur keuangan. Untuk yang sudah kos, biaya untuk makan 1 minggu atau 1 bulan, kami serahkan kepada Ibu Kos. Kami memberikan uang saku dalam 1 minggu dengan batas tertentu. Seragam dan sepatu juga kami belikan seperlunya, tidak berlebihan. Untuk kelancaran transportasi kami membelikan sepeda onthel. Selama masih di SD, SMP, atau SMA, kami melarang anak-anak membawa sepeda motor sebelum dewasa. Baru kami ijinkan membawa sepeda motor nanti setelah kuliah. Kami juga menunjukkan kepada anak-anak bagaimana susahnya mencari uang. Setiap anak selalu mendapat giliran tugas mengantarkan ibunya merias pengantin. Mereka menjadi sadar ibunya harus berjalan ke desa-desa yang jauh terpencil dengan kondisi jalan tidak bagus. Mereka menjadi sadar itu dilakukan ibunya dengan tidak mengenal lelah pagi, siang dan malam. Untuk yang laki-laki, saya mengajaknya turun ke sawah agar mengetahui bahwa ayahnya adalah adalah petani. Mereka menjadi sadar sulitnya mencangkul, menanam padi, matun dan panen.Di setiap kesempatan, kami selalu memberi tahu apa mimpi kami terhadap mereka. Tidak bosan-bosannya kami selalu bercerita di setiap kesempatan bahkan anak yang kami impikan adalah anak yang sukses, berprestasi dan berbakti kepada orang tua. Kami sampaikan bahwa kami siap berkorban apa saja asal-asal anak sukses. Kami selalu berpesan untuk tidak meniru kelakukan anak-anak lain yang frustasi. Dalam hal bergaul, kami selalu berpesan agar mencari teman-teman yang pintar dan rajin belajar. Mencari teman yang berkelakukan baik, yang tidak merokok apalagi memakai narkoba.

Kami sering melakukan kunjungan mendadak ke sekolah. Kami tidak memberitahu anak-anak, tetapi langsung menemui wali kelas atau kepala sekolah mereka. Kalau mereka menanyakan apa tujuannya, kami sampaikan bahwa itu merupakan bukti cinta kami kepada mereka. Mereka menjadi sadar, apapun yang mereka lakukan di sekolah pasti diketahui oleh orang tuanya. Mereka menjadi hati-hati dan belajar dengan baik di sekolah. Saya selalu membubuhkan tanda tangan di rapor mereka. Walaupun sesibuk apapun, saat pembagian rapor kami sempatkan untuk hadir walaupun sering menjadi orang terakhir yang menghadap wali kelas. Setiap pulang sekolah, kami selalu menanyakan nilai ulangan mereka. Kalau nilainya bagus, kami selalu memberikan hadiah sekedarnya misalnya kami ajak makan di warung. Kami juga mendorong anak-anak berani tampil pada berbagai kesempatan. Kami selalu memotivasi untuk selalu optimis, berani pidato, baca puisi, menyanyi, menari, mengikuti lomba-lomba yang diadakan sekolah, antar sekolah dan antar wilayah. Kami bangga karena anak-anak sering menjadi juara di berbagai perlombaaan, bahkan sampai ke tingkat provinsi. Saat mereka berprestasi, kami kian bersemangat untuk berjuang.Akhirnya dengan perjuangan yang berat, semua anak kami lulus sarjana. Bahkan di antaranya lulus S2 dan S3. Anak pertama kami, Singgih Setyono, lulus Fakultas Kedokteran Undip Semarang dan mengambil master manajemen rumah sakit dari UGM. Ia sekarang adalah dokter dan Kepala Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Demak. Anak kedua, Jaka Sumanta, lulus Jurusan Teknik Informatika ITB Bandung dan mengambil master ekonomi dari UI. Ia sekarang adalah pimpinan beberapa perusahaaan Kogas Startegic Alliance di Jakarta. Anak ketiga, Tri Setyo Budiyanto, juga lulus Jurusan Teknik Informatika ITB Bandung. Ia sekarang adalah konsultan IT (information technology) beberapa kementerian di Jakarta. Anak keempat, Eny Hidayati Setyaningsih, lulus dari FISIP Undip. Ia sekarang adalah guru PAUD di Wonogiri. Anak kelima, Andi Kusnanto, lulus dari Institut Koperasi Indonesia Bandung. Ia sekarang adalah pengusaha di Sumberlawang. Anak keenam, Agung Tulus Hidayat, lulus dari FISIP Undip. Ia sekarang bekerja di perusahaan konstruksi nasional di Jakarta. Anak ketujuh, Lindarti Purwaningsih, lulus dari Jurusan Kimia ITB Bandung, kemudian mengambil master kimia di ITB dan doktor kimia dari Jerman. Saat ini ia bekerja di perusahaan multinasional di Jerman. Anak kedelapan, Titiek Endah Wulaningsih, lulus sebagai dokter dari Universitas Maranatha Bandung. Saat ini ia bekerja sebagai dokter di Bandung. Anak terakhir, Anom Sigit Suryawan, lulus dari Fakultas Hukum UI Jakarta. Saat ini ia sedang menyelesaikan program S3 di Jepang. Mereka adalah sembilan mutiara dalam hidup kami. Pada saat kami ditimpa kesulitan dalam rumah tangga, setelah mengingat mereka menjadikan kami merasa ringan untuk menjalani. Bukan hanya kami yang menyemangati mereka, tetapi sebenarnya mereka lah yang menyemangati kami sejak dulu hingga sekarang. BAB 11PELITA BANGSASetelah diangkat menjadi Carik Desa pada tahun 1969, saya bertekad untuk memajukan desa Jati, termasuk di dalamnya dusun Nglimbangan tanah kelahiran saya. Tetapi ada masalah besar untuk kemajuan desa Jati, yaitu pendidikan. Saat itu, sebagian besar penduduk masih buta huruf, sebagian kecil pernah bersekolah di tingkat SD. Tetapi sangat sulit mencari lulusan SMP saat itu, setahu saya tidak ada kecuali kami berdua dengan istri. Padahal seperti yang saya alami sendiri, pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Saya pun terpanggil dan mencari jalan keluar. Saya harus mendirikan sekolah yang lokasinya dekat dengan masyarakat agar mereka mudah bersekolah. Itu lah tekad saya setelah menjadi Carik Desa.

Saat itu sekolah yang ada adalah SDUD (Sekolah Dasar Usaha Desa) yang kelak menjadi cikal bakal SD Negeri Jati. Saya kemudian mendirikan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Jati. Itu merupakan SMP pertama di desa Jati, bahkan di tingkat Kecamatan Sumberlawang. Saya tidak perlu membuat gedung baru, karena bisa masuk sore dan meminjam gedung SDUD setelah selesai dipakai. Sumber muridnya adalah lulusan SDUD, ditampung dengan biaya gratis sejak tahun 1970 sampai 1974. Guru-guru saya ambil dari SDUD dan teman-teman kuliah saya di IKIP Solo. Mereka semua mengajar dengan sukarela dan berjuang bersama. Setelah berjalan beberapa tahun, SMEP tersebut akhirnya oleh pemerintah dilebur menjadi SMP Persiapan Negeri di Jati dan akhirnya pada 1977 menjadi SMP Negeri Sumberlawang. Setelah pemerintah mengambil alih, SMP Negeri Sumberlawang dipindahkan lokasinya dari desa Jati ke Sumberlawang. Sekolah yang saya dirikan itu nantinya akan menjadi sekolah dari sebagian besar anak-anak kami di jenjang SMP. Setelah SMP Negeri dipindahkan dari desa Jati ke Sumberlawang, saya tidak berhenti berjuang di bidang pendidikan. Saya kemudian mendirikan PGAH (Pendidikan Guru Agama Hindu) untuk mengisi kekosongan guru agama Hindu di sekolah-sekolah. Padahal jumlah murid yang beragama Hindu di Kecamatan Sumberlawang dan sekitarnya cukup banyak. PGAH berjalan mulai tahun 1978 sampai dengan 1983.

Setelah tidak ada lagi pengangkatan guru agama Hindu dari pemerintah, PGAH ditutup dan saya kembali merintis SMP baru bernama SMP Saraswati Sumberlawang mulai 16 Juli 1983. Tujuannya adalah untuk menampung anak-anak dari keluarga yang tidak mampu di sekitar Sumberlawang. Saya menjadi Kepala Sekolah SMP tersebut hingga saat ini. Statusnya adalah terakreditasi pemerintah (diakui). Saya sering mendatangi sendiri anak-anak yang tidak sekolah dari desa-desa terpencil. Saya meyakinkan orang tuanya bahwa sekolah adalah lebih baik bagi anak-anak. Bila mereka beralasan tidak mampu membayar biayanya, saya sampaikan bahwa uang sekolah di SMP Saraswati adalah seikhlasnya dan semampunya.Karena saya menjadi Kepala Sekolah, saya bertekad untuk menyelesaikan pendidikan S1 saya. Saya melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten dan lulus sarjana pada tahun 1989, pada saat saya sudah punya sembilan anak. Saya kuliah dan lulus pada saat sebagian anak-anak sudah kuliah atau lulus sarjana. Saya ingin memberi contoh kepada anak-anak bahwa ayahnya pun bisa lulus sarjana walaupun dalam kondisi beban kesibukan pekerjaan dan rumah tangga. Mereka harus lebih baik dari ayahnya.Setelah mendirikan SMP, saya menyadari karena kemajuan zaman, lulusan SMP di daerah saya tetap akan kalah bersaing dalam mencari pekerjaan. Itu karena kebutuhan dunia kerja saat ini adalah minimal lulusan SMA, itupun dengan keterampilan tertentu. Banyak lulusan SMP yang kemudian lontang-lantung tidak ada pekerjaan, sehari-hari bergerombol menjadi remaja yang nakal. Saya melihat mereka bahkan ada yang sudah menjadi pemakai narkoba dan peminus miras karena tidak bersekolah lagi. Untuk itu, sejak tahun 2011 saya mengajak anak-anak saya untuk mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang diberi nama SMK Pelita Bangsa Sumberlawang. Anak saya kedua Ir. Jaka Sumanta, ME, walaupun ia masih bekerja di Jakarta, namun ia bersedia menjadi Kepala Sekolahnya. Kebetulan bidang kejuruan SMK Pelita Bangsa juga sesuai dengan pendidikan S1 anak saya kedua, yaitu Teknik Komputer dan Jaringan. Di tengah kesibukannya sebagai pemimpin beberapa perusahaan di Jakarta, ia harus mondar-mandir Jakarta-Sumberlawang tanpa ada imbalan apapun. Sementara anak-anak saya yang lain memberikan bantuan dana untuk pembangunan sekolah dari sebagian penghasilan mereka. Nampaknya sebagian jiwa saya nampaknya telah menjadi jiwa mereka pula.SMK Pelita Bangsa saat ini telah memiliki murid lebih dari 300 orang yang berasal dari berbagai desa di sekitar Kecamatan Sumberlawang. Seperti misi SMP Saraswati, SMK Pelita Bangsa juga diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Tidak ada uang gedung, SPP seikhlasnya dan semampunya. Dengan niat baik tersebut, ada saja para dermawan yang kemudian membantu pembangunan dan operasi SMK Pelita Bangsa hingga saat ini.BAB 12WAKIL RAKYATSaya memiliki prinsip hidup yang sederhana. Hidup itu harus bermakna. Saya senang mengabdi kepada keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Sejak muda, saya tertarik dan aktif mengikuti berbagai kegiatan dan organisasi baik ada uangnya maupun tidak. Dengan aktif di berbagai kegiatan, badan saya selalu sehat dan banyak orang bilang bahwa saya awet muda.

Pada saat bekerja sebagai Mantri Statistik, sudah ikut Paguyuban Mantri Statistik. Setelah menikah tahun 1964, saya ikut organisasi pemuda di desa, yaitu menjadi Ketua Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) desa Jati. Ini karena mertua saya adalah salah satu Ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) ranting desa Jati. Saya memimpin GPM desa Jati hingga tahun 1969.

Setelah diangkat menjadi Carik Desa tahun 1969, saya adalah pegawai pemerintah. Saya harus masuk KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia). Saya menjadi pengurus KORPRI ranting desa Jati. Sebagai pegawai pemerintah, saya mengikuti ketentuan pemerintah saat itu. Saya kemudian menjadi Sekber Golongan Karya sampai dengan terbentuknya Golkar.

Di Golkar, tahun 1971 hingga 1977 saya menjadi pengurus harian Komisariat Kecamatan (Komcat) Golkar Sumberlawang. Tahun 1977 hingga tahun 1982 saya ditunjuk menjadi Ketua Komcat Golkar Sumberlawang. Itu adalah jabatan tertinggi kepengurusan Golkar di tingkat Kecamatan.

Sebagai pengurus Golkar tertinggi di tingkat Kecamatan, saya dicalonkan menjadi anggota DPRD Kab Sragen. Pencalonan saya berlangsung dua kali selama periode 1982 hingga 1987, namun saat itu belum terpilih. Barulah pada periode 1987 hingga 1992 saya terpilih menjadi anggota DPRD Kab. Sragen dari Golkar selama 5 tahun. Karena terpilih menjadi anggota DPRD, maka saya melepaskan jabatan saya sebagai Carik Desa Jati. Tetapi jabatan Ketua Komcat Golkar Sumberlawang tetap saya pegang.

Selama aktif di politik, saya berusaha dekat dengan rakyat melalui kunjungan-kunjungan. Saya rajin melayat, kumpulan dan menghadiri hajatan. Saya harus bermental baja untuk memperjuangkan aspirasi dari bawah hingga berkoordinasi ke dinas-dinas terkait di pemerintah daerah. Saya pun harus secara cepat belajar menguasai undang-undang dan semua peraturan. Yang paling sulit adalah bagaimana berinteraksi dengan sesama politisi karena politik saling menjatuhkan. Teman jadi lawan, lawan partai jadi teman.

Berkat prestasi saya selama menjadi kader Golkar, saya terpilih lagi menjadi anggota DPRD Kab. Sragen dari Golkar periode kedua (1992 1997). Ini merupakan prestasi yang tidak terbayangkan bagi anak desa seperti saya. Dengan hanya modal jiwa mengabdi, tidak dengan modal uang seperti saat ini, saya adalah orang pertama dari desa Jati yang terpilih menjadi wakil rakyat di DPRD Kabupaten Sragen. BAB 13KALAH DAN MENANGSetelah menjadi wakil rakyat di DPRD Kabupaten Sragen selama dua periode (1987-1997), saya meneruskan cita-cita saya memajukan tanah kelahiran saya. Saya pun kemudian aktif di koperasi menjadi Ketua KUD Tani Mulyo Sumberlawang. Saya juga ditunjuk masyarakat menjadi Ketua LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Jati. Namun nampaknya masyarakat menghendaki saya berkarya lebih banyak. Pada akhir tahun 1988, setelah Lurah Jati saat itu, Pak Ciptosuwarno, tidak dapat mencalonkan lagi karena sudah 2 periode menjabat, banyak masyarakat yang datang ke rumah, mengharapkan saya bersedia mencalonkan diri menjadi Lurah berikutnya. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga seluruh perangkat desa. Saya menyampaikan hal tersebut kepada istri dan anak-anak. Tanggapan mereka terutama anak-anak adalah tidak setuju. Barangkali mereka masih ingat peristiwa di tahun 1975, saat saya menjadi Carik Desa, saya pernah kalah dan gagal dalam pemilihan Lurah. Saat itu ada enam calon, tetapi dua di antaranya tidak lulus seleksi administrasi yang dilakukan oleh Pemda Sragen, sehingga tersisa empat calon. Tiga di antaranya termasuk saya adalah perangkat (pamong) desa, sedangkan satu lagi Pak Ciptosuwarno adalah dari unsur masyakarat. Dua calon yang tidak lulus tersebut berhasil menyebarkan isu kepada masyarakat bahwa mereka tidak lulus karena dijegal oleh perangkat desa. Padahal itu tidak benar, mereka tidak lulus atas keputusan pemda Sragen. Tetapi sebagian masyarakat terlanjur percaya. Dampaknya kami bertiga dari perangkat desa menjadi pihak yang dirugikan. Apalagi kami bertiga calon dari perangkat desa juga bersaing sangat sengit. Singkat cerita, pemilihan lurah tahun 1975 terpilihlah Pak Ciptosuwarno. Saya gagal dan menarik pelajaran bahwa segala sesuatu ada waktunya. Tahun 1975 bukan lah waktu saya, ia milik Pak Ciptosuwarno. Oleh karena itu, setelah pemilihan, saya tetap tekun dan loyal membantu beliau dalam posisi sebagai Carik Desa.

Berkaca pada kekalahan tahun 1975 tersebut, anak-anak tidak setuju saya mencalonkan diri menjadi lurah. Mereka tidak ingin melihat suami atau ayahnya kalah dua kali dan kemudian jatuh sakit. Mereka mengetahui bahwa pemilihan lurah membutuhkan biaya yang besar. Mereka sadar bahwa ayahnya memiliki kelemahan yaitu bahwa ia beragama Hindu, yang bukan merupakan agama mayoritas penduduk desa Jati, kecuali satu dusun kecil Nglimbangan. Mereka sadar bahwa akan muncul suasana panas dan permusuhan selama proses pencalonan dan pemilihan yang bisa membahayakan keselamatan keluarga. Banyak penjudi yang ikut nimbrung sehingga pemilihan lurah saat itu bisa lebih menegangkan dibanding pemilihan presiden. Saya memahami pertimbangan-pertimbangan mereka tersebut. Saya menimbang-nimbang pendapat anak-anak sebelum mengambil keputusan. Jabatan lurah menurut kepercayaan di Jawa adalah hanya untuk orang yang mendapatkan wahyu Tuhan YME (kewahyon). Saya melakukan berbagai penjajakan kepada semua tokoh dan sesepuh masyarakat dalam setiap hajatan. Saya ingin mengetahui dengan jernih suara mereka. Saya ingin mendengar dari mereka apakah saya pantas mendapatkan wahyu itu. Dari penjajakan tersebut, saya menangkap sebagian besar masyarakat memang menganggap saya pantas dan mengharapkan saya menjadi lurah. Saya sampaikan kesimpulan itu kepada anak-anak dan akhirnya mereka bisa mengerti. Saya pun mendapat restu dari ibu kandung dan bapak ibu mertua. Pada awal tahun 1999, saya resmi mencalonkan diri sebagai calon lurah Jati.Setelah melalui berhari-hari kampanye siang malam, hari yang mendebarkan pun tiba. Pada tanggal 25 Februari 1999, dilaksanakanlah pemilihan lurah Jati. Masyarakat berduyun-duyun menuju lapangan bola, tempat dilaksanakannya pemilihan. Saya duduk di panggung bersama calon yang lain, sambil terus melihat masyarakat satu per satu menggunakan hak pilihnya. Saya hanya bisa berdoa dengan memandangi mereka. Setelah suara dihitung, saya mendapatkan suara terbanyak dan terpilih menjadi lurah. Hari itu, 25 Februari 1999 yang kebetulan adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-35, istri saya mendapatkan kado hadiah dari Tuhan YME yaitu suaminya menjadi lurah. Ia kini dipanggil Bu Lurah.

BAB 14DESA TELADAN

Setelah menang dalam pemilihan, saya kemudian dilantik oleh Bupati Sragen menjadi Lurah Jati pada tanggal 11 Maret 1999 di Pendopo Kabupaten. Saya memakai pakaian kebesaran lurah yaitu baju putih celana putih dengan topi khusus warna hitam seperti baju bupati atau gubernur. Sementara istri saya mendampingi dengan baju kebaya. Saya melihat rona gembira di wajahnya.Setelah dilantik, saya menghadapi ujian pertama yaitu pertentangan antara para kader pendukung saya dan calon lurah yang kalah. Hal ini biasa terjadi di semua desa setelah pemilihan. Bila lurah tidak lulus ujian ini, sangat sulit ia akan berhasil. Untuk itu, saya harus menggunakan pendekatan yang arif dan bijaksana untuk mengatasinya.

Di awal masa jabatan, saya banyak mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan bahwa pemilihan sudah selesai. Setiap pemilihan pasti ada yang menang dan kalah. Wajar bila setiap orang punya pilihan yang tidak sama, itulah namanya demokrasi. Saya juga mengadakan pertemuan dengan pengurus lembaga-lembaga desa, para tokoh agama dan tokoh masyarakat agar membantu menyadarkan masyarakat untuk tidak saling bermusuhan.Saya harus mengalah untuk mendatangi rival yang kalah, mendatangi dusun yang tidak memilih saya. Baik diundang maupun tidak, saya datang ke sana saat gotong royong, ada hajatan, kematian dan lain-lain. Saya harus berjiwa besar dan tidak pendendam untuk bisa menyatukan masyarakat. Di samping itu, dalam pelayanan kepada masyarakat, saya harus adil, tidak boleh membeda-bedakan pada kelompok pendukung dengan yang tidak. Saya adalah lurah bagi semua lapisan masyarakat, bukan untuk pendukung saya saja.Setelah ujian pertama berhasil dilewati, saya kemudian menyusun visi dan misi selama delapan tahun masa jabatan saya. Visi saya tidak muluk-muluk, yaitu: terwujudnya pemerintahan desa yang bersih untuk membangun masyarakat desa seutuhnya baik lahir maupun batin.Berdasarkan visi tersebut, saya menetapkan tiga misi utama yaitu: (1) mengatur pemerintahan desa, kelembagaan desa dengan menggunakan manajemen profesional dan transparan; (2) melayani masyarakat dengan cepat, cermat, murah dan memuaskan; (3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya keluarga miskin di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomiUntuk mewujudkan visi-misi tersebut, saya meyakini perlu kerja bersama. Oleh karena itu, saya selalu melibatkan semua unsur perangkat desa, BPD dan lembaga-lembaga desa, tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua lapisan masyarakat. Saya harus memikirkan kesejahteraan perangkat desa, pengurus RT/RW dan Badan Permasyarakatan Desa (BPD) yang selama ini kurang diperhatikan. Saya tidak jemu-jemu berbicara langsung dengan masyarakat untuk mendorong partisipasi mereka untuk ikut serta bergotong-royong membangun desa dan dusun masing-masing.

Dalam hubungan dengan masyarakat, saya harus mempunyai rasa kepekaan. Walaupun ada tiga atau empat hajatan dalam semalam, saya selalu hadir di semua tempat, dengan cara membagi kunjungan. Setiap ada kematian, saya usahakan hadir melayat. Untuk mengeratkan hubungan dengan masyarakat, saya aktif mengikuti paguyuban masyarakat di masing-masing dusun. Jam kerja saya 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu. Dalam pelayanan kepada masyarakat, saya menetapkan keputusan desa tentang prosedur pelayanan kepada masyarakat. Antara lain diatur jam kerja kantor sesuai ketentuan Pemda. Masyarakat yang membutuhkan pelayanan harus membawa pengantar dari ketua RT. Mereka dilayani di kantor desa. Oleh perangkat desa, mereka harus segera dilayani. Surat-surat yang dibutuhkan harus diketik rapi dan benar. Semua pelayanan harus cepat, tepat, cermat, murah dan memuaskan masyarakat. Dalam masa jabatan saya, sertifikasi tanah berjalan lancar, mencapai 1.685 buah sertifikat. Sertifikasi ini menjadi masalah besar di desa-desa lain karena biasanya tidak segera diselesaikan oleh lurah padahal masyarakat sudah membayar biayanya. Tetapi di desa Jati itu tidak terjadi. Semua perselisihan dan persengketaan tanah diusahakan dapat diselesaikan di tingkat desa dengan seadil-adilnya. Dengan dilandasi semangat dan tekad yang kuat, dengan didukung oleh semua lapisan masyarakat, lembaga masyarakat maupun perangkat desa, program pembangunan desa dapat dilaksanakan dengan baik. Pada tahun pertama (1999), Desa Jati dapat melunasi tunggakan PBB sejak tahun 1996, 1997, dan 1998 dan bisa lunas sebelum 17 Agustus 1999. Atas hal ini, desa Jati mendapat hadiah dari pemerintah. Tahun kedua (2000), ditunjuk mewakili Kec. Sumberlawang untuk mengikuti lomba desa tingkat Kab. Sragen dan mendapat juara pertama. Tahun ketiga (2001), mengikuti lomba K3 (Ketertiban, Kebersihan dan kesehatan) tingkat Kab. Sragen dan mendapat juara dua. Tahun kelima (2003), juara pertama dapur sehat di tingkat Kec. Sumberlawang. Prestasi desa Jati terus menanjak hingga ke tingkat provinsi. Tahun keenam (2004), mendapat penghargaan dari Gubernur Jateng tentang kesadaran berswadaya dalam membangun desanya. Saya pun mendapat penghargaan kepala desa teladan Kab. Sragen. Tahun ketujuh (2005), mendapat penghargaan dari Bupati Sragen karena telah tentang merintis industri rumah tangga makanan ringan intip. Produk intip ini diekspor ke berbagai daerah dan bisa menggerakkan ekonomi desa. Tahun kedelapan (2006), mampu menyelesaikan gedung olahraga (GOR) milik desa dan diberi nama Gedung Rukun Agawe Santoso.

Untuk percepatan pembangunan desa, mengingat keterbatasan sumber pendanaan dari desa sendiri, maka saya sebagai lurah harus memiliki banyak terobosan yang kreatif guna mendapatkan bantuan dari pemerintah. Saya rajin mengajukan proposal usulan pembangunan kepada pemerintah pusat, gubernur, bupati, untuk mengalokasikan programnya ke desa Jati. Saya tidak jarang melakukan pendekatan ke DPRD dan Bupati secara langsung. Hasilnya setiap tahun, desa Jati pasti mendapatkan bantuan proyek pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat. Selain GOR, selama delapan tahun masa jabatan saya, pembangunan prasarana desa juga berlangsung dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dari berbagai sumber pendanaan, kami membangun kantor desa, balai desa, mushala, kantor badan perwakilan desa, kantor RP2MD, kantor TPPKK Desa, dapur desa, rumah dinas bidan desa, Poliklinik Kesehatan Desa (PKD), toilet untuk umum, kantor Badan Kredit Desa (BKD). Kami juga membeli 1 unit foto copy untuk usaha desa, membuat tempat parkir sepeda, dan membangun ruang IT (Informasi Telekomunikasi Desa). Selain sarana perkantoran tersebut, kami juga membangun jembatan antar dusun di Sendangrejo dan Sadeyan. Dalam bidang pendidikan, kami membangun sarana pendidikan TK Melati di dua tempat, kemudian merehab tiga gedung SD, dan menyelenggarakan kejar paket A, B dan C.Sebagian cita-cita saya telah tercapai. Desa Jati mulai dikenal di tingkat kabupaten dan provinsi. Oleh pemerintah daerah, desa Jati dijuluki desa teladan yang selalu dibicarakan para pejabat di berbagai acara agar dicontoh desa yang lain.

BAB 15

LURAH SEPUH

Masa jabatan saya sebagai Lurah berakhir tahun 2007. Masyarakat kembali banyak yang mendatangi rumah saya. Mereka menghendaki saya untuk bersedia mencalonkan kembali sebagai lurah untuk periode kedua 2007-2013. Saya sampaikan hal ini kepada istri dan anak-anak. Seperti yang saya duga, anak-anak tidak setuju. Kali ini bukan karena takut saya tidak terpilih, tetapi lebih karena mereka menghendaki saya mengurangi kesibukan karena faktor usia. Memang benar saat itu usia saya sudah 64 tahun. Tidak muda lagi untuk menjalankan tugas-tugas lurah yang jam kerjanya 24 jam sehari, tujuh hari seminggu tidak ada liburnya.Kembali saya merenung mendengarkan saran anak-anak itu. Karena ibu kandung dan bapak ibu mertua semuanya telah wafat, saya hanya bisa minta pertimbangan istri saya. Bersama istri, kami kembali mengingat tujuan hidup kami yaitu hidup yang bermakna. Kami berprinsip setiap hari harus bermanfaat untuk keluarga dan orang lain yang membutuhkan selama badan masih sehat. Hidup kami bukan untuk diri dan keluarga sendiri, tetapi juga harus kami baktikan kepada sesama. Walaupun saya sudah tua, tetapi saya merasa badan saya masih sehat. Saya justru takut berhenti bekerja karena banyak teman-teman saya yang meninggal setelah berhenti bekerja. Saya sampaikan hal ini kepada anak-anak, akhirnya mereka bisa menerima. Saya pun secara resmi mencalonkan diri kembali maju sebagai lurah Jati periode 2007-2013.

Semula saya menduga, proses pemilihan kedua tidak segenting kompetisinya dibanding pemilihan periode pertama. Saya menduga pemilihan akan berlangsung mulus, bahkan mungkin tidak ada rival. Hal ini karena saya adalah lurah incumbent yang diakui keberhasilannya oleh masyarakat sendiri. Tetapi ternyata dugaan saya meleset. Pemilihan tetaplah pemilihan. Selalu ada yang bermain dalam kompetisi itu untuk tujuan mereka masing-masing. Para penjudi lah yang paling memiliki kepentingan. Mereka akan kehilangan bisnisnya kalau tidak ada kompetisi atau sudah diketahui hasilnya dari awal. Oleh karena itu mereka berkepentingan agar muncul kompetisi yang panas kembali. Itu dilakukan mereka dengan memanfaatkan orang-orang tertentu yang tidak senang terhadap keberhasilan Jati selama ini. Saya akhirnya menyadari bahwa sesukses apapun kita, selalu ada orang yang tidak senang dengan berbagai alasan. Inilah yang terjadi dalam pencalonan saya kedua.

Setelah pencalonan itu, saya memperoleh banyak serangan. Beberapa orang melakukan provokasi untuk tidak menerima saya sebagai calon tunggal dan berusaha merayu tokoh lain untuk menjadi rival. Mereka berhasil merayu salah satu perangkat desa untuk bersedia maju menjadi rival saya. Saya tidak tahu bagaimana mereka merayunya, karena yang bersangkutan pernah menyatakan bahwa ia loyal akan mendukung saya dan tidak akan mencalonkan diri. Yang kemudian saya ketahui, situasi menjadi panas setelah para provokator rajin mencari-cari kelemahan dan kesalahan saya. Karena nampaknya mereka tidak berhasil, akhirnya mereka mengumpulkan para kyai dan ustad dengan memanfaatkan isu agama. Mereka menyebarkan fatwa bahwa memilih pemimpin harus yang beragama Islam. Memilih Purwoatmodjo yang beragama Hindu adalah haram. Itu yang mereka sampaikan dari pertemuan ke pertemuan. Menghadapi serangan-serangan itu, saya ikhlas dan percaya diri. Saya ikhlas karena niat saya mencalonkan ialah semata-mata ingin mengabdi kepada masyarakat. Saya tidak ada beban sedikitpun, terpilih atau tidak saya serahkan kepada Tuhan YME dan masyarakat. Semua kader dan pendukung saya minta untuk tetap sabar, tidak perlu emosi, tidak membalas walaupun dicaci maki. Saya berprinsip, becik ketitik olo ketoro, yang baik dan yang buruk akhirnya akan terbukti. Terhadap serangan dan cacian, saya berprinsip, trimoa sing mbales sing kuasa, terimalah itu karena Tuhan yang akan membalasnya. Akhirnya pada hari Senin Pahing tanggal 9 Juli 2007, saya menang dalam pemilihan dan terpilih kembali menjadi lurah desa Jati periode 2007-2013. Pada hari Jumat Legi tanggal 13 Juli 2007 saya dilantik di pendopo Kec. Sumberlawang. Perasaaan saya dan istri dalam pelantikan kedua ini tidak segembira seperti pelantikan yang pertama. Kami menganggap ini amanah dari Tuhan YME untuk saya laksanakan sebaik-baiknya. Satu saja yang membuat kami bersyukur adalah karena kami telah berhasil menerapkan salah satu prinsip hidup yaitu tetap sabar dalam menghadapi serangan dan cacian. Dengan tetap sabar dan tidak melawan, saya memperoleh keuntungan yang tidak ternilai yaitu masyarakat menjadi tidak terpecah belah setelah pemilihan. Saya kembali berbesar hati mendatangi rival dan pendukungnya untuk mengajak bersatu kembali membangun desa.Selama menjabat lurah periode kedua selama 6 tahun, desa Jati dinilai semakin maju dan tetap menjadi desa teladan di kabupaten. Kantor desa, kantor lembaga desa terbangun lengkap. Balai desa, mushola, dapur, tempat sepeda terawat dengan baik. Poliklinik desa dibangun dengan rumah bidannya dan berfungsi baik. Gedung olah raga telah dibangun dan dimanfaatkan masyarakat. Perpustakaan desa telah dibangun dan berjalan. Bank Kredit Desa dapat berjalan. Jalan antar dukuh dan di dalam dukuh telah dirabat beton semua. Program perbaikan sanitasi perdesaan berjalan setiap tahun. Fasilitas pendidikan berupa tiga buah SD, satu MI dan satu SMP Negeri saat ini ada di Desa Jati. TK Melati 1 dan 2 berjalan. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berjalan di 3 (tiga) tempat. Masjid desa dibangun menjadi masjid yang representatif. Pura di Nglimbangan juga dibangun. Dan yang utama adalah hampir 2.500 sertifikat pada masa jabatan kedua diserahkan kepada masyarakat, tidak ada beban sertifikat yang tertunda.Setelah selesai masa jabatan kedua di bulan Juli 2013, saya masih diperpanjang oleh pemda untuk menjabat sampai terpilihnya lurah baru. Setelah lurah baru terpilih, saya pamit kepada semua perangkat desa dan masyarakat. Saat perpisahan, mereka menyebut saya Lurah Sepuh, bukan Mantan Lurah. Saya merasa mendapat penghormatan dengan sebutan itu. Itu bermakna dalam sekali bagi saya. Walaupun saya tidak menjadi lurah di balai desa, tetapi semoga saya masih dianggap sebagai lurah di hati masyarakat sampai akhir nanti.Saya tidak berhenti bekerja setelah itu. Saya terus membimbing guru-guru SMP Sarawasti dan SMK Pelita Bangsa untuk bersemangat memajukan sekolahnya dalam kondisi serba kekurangan. Saya terus membimbing anak-anak muda untuk tidak menyerah terhadap keterbelakangan melalui pendidikan. Lurah Sepuh tidak akan berhenti berkarya

BUKAN PENUTUPSaya belum ingin menutup buku ini. Suatu hari saya ingin menambah lagi catatan-catatan baru dalam sisa hidup saya. Tetapi untuk menutup sementara buku ini, saya ingin memberikan sejumlah pelajaran penting dari perjalanan hidup saya.

Dalam berumah tangga, sangat penting untuk memiliki cita-cita dan impian bersama. Cita-cita yang pasti mampu mempersatukan suami-istri selamanya adalah cita-cita untuk membahagiakan orang tua. Karena ingin membuat orang tua bahagia, suami-istri akan terus menghindari hal-hal yang membuat orang tua sedih. Juga akan berusaha mandiri secepatnya, supaya tidak membebani pikiran orang tua. Tekad segera mandiri ini kemudian menjadikan suami-istri bahu-membahu bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, mendidik anak dan mengatasi masalah rumah tangga. Semua masalah rumah tangga akan dimudahkan oleh cita-cita membahagiakan orang tua.

Dalam mendidik anak, suri teladan orang tua adalah kunci keberhasilan. Tidak perlu banyak berkata-kata, keharmonisan suami-istri akan mengajari dengan sendirinya anak-anak menjadi pribadi yang baik. Kerja keras suami-istri akan mengajari dengan sendirinya anak-anak menjadi pribadi yang sukses. Cinta kasih orang-tua yang adil kepada anak-anaknya, yang tidak membedakan anak satu dengan lainnya, akan mendidik dengan sendirinya anak-anak menjadi pribadi yang penyayang.

Hidup harus memilih. Kadang-kadang semua pilihan sulit, semua pilihan mengandung risiko. Dalam menghadapi pilihan sulit, orang tua, istri dan anak-anak adalah orang yang paling tepat untuk dimintakan pertimbangannya. Saran mereka adalah saran terbaik dari semua saran yang ada karena mereka memberikannya dengan dilandasi kasih dan sayang.

Hidup juga tidak akan lepas dari konflik dengan orang lain. Sabar dan memaafkan adalah kunci utama dalam setiap perselisihan. Sedangkan marah dan dendam adalah awal dari kehancuran. Orang mulia adalah orang mengalah untuk menemui setelah pertikaian, menyampaikan permohonan maaf dan memberi maaf walaupun merasa tidak bersalah.

Semua orang mencari hidup yang bahagia, tetapi tidak semua mampu menemukannya. Kebahagiaan bukan berada pada harta benda, tetapi berada pada hidup yang bermakna atau bermanfaat bagi orang banyak. Hanya dengan hidup seperti itulah kita akan menuai kebahagiaan. PESAN KESANSURAT UNTUK ANAK-ANAK

Sumberlawang, 25 Februari 2014

Untuk Anak-Anak yang selalu kami banggakan,Dan para menantu yang kami sayangi seperti anak kami sendiri

Hari ini kami orang tuamu mengingat kembali hari pernikahan kami lima puluh tahun yang lalu. Pernikahan sederhana yang dilandasi cinta suci. Yang terus kami jaga utuh hingga saat ini. Semoga itu bisa menyemangati kalian untuk mewujudkan keluarga yang utuh, rukun, tenteram, bahagia, keluarga sakinah mawadah warohmah. Keluarga yang saling mengisi, saling menjaga, saling mengembangkan diri.Kami saat ini sudah tidak punya orang tua yang masih hidup, tetapi kalian masih memilikinya. Saat ini kami hanya bisa berdoa untuk para almarhum orang tua kami, tetapi kalian masih bisa berbuat banyak. Kami tahu kalian sibuk sehingga tidak bisa mengunjungi kami. Tetapi sudah cukup terobati rasa rindu hati kami bila kalian menelpon. Senang hati kami mendengar khabar baikmu, kesehatanmu dan perkembangan cucu-cucu. Lakukan yang terbaik untuk orang tua kalian semasa masih hidup, tetapi apabila sudah meninggal kunjungilah makamnya. Kalau dekat bisa setiap Jumat sekali, tetapi bila jauh kunjungilah setahun sekali bersama keluargamu. Kami sangat bersyukur kepada Tuhan YME dikaruniai sembilan anak-anak seperti kalian. Kami gembira dengan keberhasilan kalian masing-masing. Tetapi kami lebih gembira lagi bila kalian ber-sembilan hidup rukun, kompak, bersatu, tidak memandang pangkat, jabatan dan kekayaan, hidup di desa atau kota. Bagaimana pun perbedaan pendapat di antara kalian, tetap lah menyadari bahwa kalian berasal dari darah dan daging yang sama. Apabila sulit untuk saling mengunjungi, cobalah sebulan sekali untuk saling menelponWalaupun hidup di kota-kota, janganlah kalian lupakan dari mana asalmu. Tanah kelahiranmu yang menantikan dharma baktimu. Kembangkan yayasan keluarga yang sudah berbadan hukum yaitu Yayasan Pelita Bangsa sebagai wadah pengabdian kepada tanah kelahiranmu. Selain SMK Pelita Bangsa, dengan bersatu kalian bisa mewujudkan mimpi kami yang belum terwujud. Dirikan lah Perguruan Tinggi, Rumah Sakit dan Perusahaan-Perusahaan untuk membantu tanah kelahiranmu.Walaupun kalian berbeda agama, kalian harus bisa membuktikan bahwa perbedaan itu justru menjadi kekuatan kalian. Buktikan bahwa Pancasila itu ada mulai dari keluarga kita. Jadilah teladan masyarakat dalam toleransi beragama yang tidak hanya pada ucapan tetapi dibuktikan sehari-hari. Dalam beragama, jangan mengikuti kelompok dan faham yang eksklusif atau menyimpang, tetapi ikuti yang memberikan rahmat bagi seluruh alam semesta. Akhirnya kami hanya bisa berdoa semoga kalian bisa menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga, masyarakat dan bangsa. Kami yang menyayangimu selalu.Poerwoatmodjo - SunartiSURAT UNTUK CUCU-CUCU

Sumberlawang, 25 Februari 2014

Untuk Cucu-Cucu

Yang senantiasa kami doakan siang malamHari ini kami, kakek-nenekmu, mengingat kembali hari pernikahan kami lima puluh tahun yang lalu. Pernikahan sederhana yang dilandasi cinta suci dan kemudian melahirkan orang tuamu. Kami yakin kedua orang tuamu pun menikah di atas landasan cinta suci sebagaimana kami. Kelak kami pun berdoa kalian menikah karena cinta suci.Kalian telah melihat sendiri bagaimana orang tuamu berbakti kepada kami selama ini. Maka berbaktilah kepada kedua orang sebagaimana bakti orang tuamu kepada kami.

Orang tuamu senantiasa berusaha membuat kami bahagia dan berusaha untuk tidak menyusahkan kami sejak kecil. Kalian pun sudah seharusnya tidak menyusahkan orang tuamu dengan menjadi diri dari perbuatan tercela.Orang tuamu telah kami sekolahkan hingga menjadi sarjana. Untuk menjadi sarjana, mereka belajar keras sejak muda dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mereka berusaha tidak kalah bersaing dengan teman-teman sebayanya karena hidup itu kompetisi. Kami mengharapkan kalian bisa melebihi orang tuamu. Kami berdoa semoga kalian memiliki gelar S2 semua.

Orang tuamu juga telah menorehkan prestasi di bidangnya masing-masing. Kalian bisa melihatnya jejaknya dari penghormatan orang lain kepada mereka saat ini. Dengan berprestasi, mereka telah membuat nama kami ikut terbawa harum. Itu pula yang kami harapkan kepada kalian, torehkan prestasi di bidangmu masing-masing. Prestasi tertinggi adalah apabila hidup kalian bermakna bagi orang lain.Kalian adalah bagian dari keluarga besar Poerwoatmodjo dan penerusnya. Kami bahagia apabila kalian hidup rukun saling menyayangi dengan kakak adikmu serta kakak-kakak dan adik-adik keponakan lainnya.Kami kakek-nenekmu menyayangimu selalu.Poerwoatmodjo Sunarti