hakikat pendidikan, pembelajaran dan sistem
TRANSCRIPT
: HAKIKAT PENDIDIKAN, PEMBELAJARAN DAN SISTEM
PEMBELAJARAN DALAM KAITAN DENGAN SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL DAN PARADIGMA
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN DALAM UUD 1945
Pembukaan UUD Negara Republic Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional
adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi, dan keadilan social. Untuk mewujudkan tujuan
nasional tersebut, pendidikan merupakan factor yang sangat menentukan. Selanjutnya, pasal 31 UU
RI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa
1. Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan
2. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan UU.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
5. Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
Salah satu amanat UUD RI Tahun 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki Visi terwujudnya system
pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan saman yang selalu berubah.
B. PENDIDIKAN DALAM GBHN
Dalam rangka peningkatan kulitas mutu pendidikan di Indonesia, berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah baik dalam bentuk kebijakan maupun inovasi yang dicetuskan. Kebijakan-
kebijakan yang dilakukan pemerintah antara lain:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu
tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi
dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan
kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara
optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3. Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum, berupa
diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik, penyusunan kurikulum
yang berlaku nasional dan local sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis
pendidikan secara profesional
4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat
pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
5. Melakukan pembaruan dan pemantapan system pendidikan nasional berdasarkan prinsip
desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen.
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat
maupun pemerintah untuk memantapkan system pendidikan yang efektif dan efisien dalam
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan
menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar
generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan
lindungan sesuai dengan potensinya.
C. PENDIDIKAN DALAM STANDAR NASIONAL PENDIDKAN (SNP)
Bab I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang SNP yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang
berakar pada nilai nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan saman.
3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri
dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu
satuan pendidikan.
10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang
13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak
lahir sampai dengan usia 6 tahun yng dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan
pembelajarannya mengunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi,
informasi, dan media lain
16. Pendidikan berbasis manyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan
agama, social, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,
oleh, dan untuk masyarakat.
17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang system pendidikan diseluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan RI.
18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga Negara
Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar
21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelengaraan pendidikan.
22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan.
23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yng dipergunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana dan prasarana.
24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat
yang peduli pendidikan.
25. Komite sekolah/ madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/ wali
peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
26. Warga Negara adalah warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara kesatuan
republic Indonesia maupun di luar wilaya Negara kesatuan republik Indonesia.
27. Masyarakat adalah kelompok warga Negara Indonesia Non-pemerintah yang mempunyai
perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Pemerintah adalah pemerintah pusat.
29. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau pemerintah kota
30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
Bab II
DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN
Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesi Tahun 1945.
Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabad dalam rangka mencerdaskan kehdupan bangsa bertujuan untuk
berkembangnya potensi peseta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bab III
PRINSIP PENYELENGARAAN PENDIDIKAN
Pasal 4
1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan
kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan system terbuka dan
multi makna.
3. Pendidikan diselengarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kretifitas peserta didik dalam proses pembelajaran
5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6. Pendidikan diselengarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui
peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Bab IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT,
DAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 5
1. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.
2. Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan / atau social
berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil
berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
5. Tiap warga Negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pasal 6
1. Setiap warga Negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
2. Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
1. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi
tentang perkembangan pendidikan anaknya.
2. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya.
Bagian ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah dan
Pemerintah Daerah
Pasal 10
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa
diskriminasi.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia 7 sampai 15 tahun.
Bab V
PESERTA DIDIK
Pasal 12
1. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama
b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikan
d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikan
e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara
f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing
dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan
2. Setiap peserta didik berkewajiban:
a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan
keberhasilan pendidikan
b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
3. Warga Negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan dalam wilayah Negara kesatuan republic Indonesia
4. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
ayat 2, dan ayat diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
D. PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG STANDAR PENDIDIKAN NASIONAL
Bab I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang system pendidikan diseluruh
wilayah hukum Negara kesatuan republic Indonesia
2. pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi
3. pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dila-
ksanakan secara terstruktur dan berjenjang
4. standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencangkup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan
5. standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam
kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran
dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
6. standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
penbelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
7. standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan
kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
8. standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan,
laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber
belajar lain, yang diperlukan iuntuk menunjang proses pembelajaran, termasuk pengunaan
teknologi informasi dan komunikasi.
9. standar pengelolahan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiakan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercipta efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan
10. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya oprasi
satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
11. standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
mekanisme, prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik
12. biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk
membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan
pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan
13. kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
14. kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah
ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan
silabusnya pada setiap satuan pendidikan.
15. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
16. peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu
17. penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian
hasil belajar peserta didik
18. evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan
19. ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik
sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan
20. ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik
sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan
21. akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapakan
22. Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri
dan independent yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi
standar nasional pendidikan
23. departeman adalah departeman yang bertanggung jawab di bidang pendidikan
24. lembaga penjaminan mutu pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana
teknis departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu pemerintah
daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya
penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan.
25. badan akreditasi nasional sekolah/ madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah
badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan / atau satuan pendidikan
jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan.
26. badan akreditasi nasional pendidikan nonformal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah
badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan / atau satuan pendidikan
jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
27. badan akreditasi nasional perguruan tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan
evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan / atau satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
28. menteri adalah Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan
E. PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjelang era industri dan teknologi,
program-program pendidikan harus dicipta berdasarkan system pendidikan yang fleksibel dan relevan
dengan kebutuhan berbagai sektor pembangunan.
Untuk itu pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama 12 bulan
terhitung sejak berlakunya undang-undang guru dan dosen. Guru yang belum memiliki kualifikasi
akademik dan sertifikat pendidik wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidikan
paling lama 10 tahun sejak berlakunya undang-undang guru dan dosen
F. UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
Dalam proses pendidikan terdapat 2 komponen utama yaitu pendidik dan anak didik. Pendidik
dalam proses pendidikan formal disebut guru. Tanpa guru pendidikan akan berjalan timpang, karena
guru merupakan orang kunci dalam proses pelaksanaan pendidikan. Guru sangat berperan penting
dalam proses pelaksanaan pendidikan, karena guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru
sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan
peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.
Selain mempunyai kedudukan fungsi serta tujuan yang sangat penting dalam proses
pelaksanaan pendidikan, guru juga memiliki prinsip-prinsip profesionalitas, antara lain:
1. Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip sbb:
a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
b. memilki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak
mulia
c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas
d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas
e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja
g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
belajar sepanjang hayat
h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan tugas keprofesionalan guru.
2. pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui
pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan
berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
Sebagai guru yang profesional, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau
program diploma 4. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik , kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sertifikat
pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi pendidik
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objetif,
transparan ,dan akuntabel. Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki
kesempatan yang sama untuk di angkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu
BAB I
DASAR PENDIDIKAN DALAM KONSEP DAN MAKNA BELAJAR
A. Konsep Dasar Pendidikan
Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai
orang dewasa, sebaliknya bagi Jean Piaget (1896) pendidikan berarti menghasilkan, mencipta,
sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh pembandingan dengan penciptaan
yang lain. Menurut Jean Piaget pendidikan sebagai penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang
sedang tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab
pendidik untuk mendorong individu tersebut. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang,
perkembangan ini bersifat kausal. Namun terdapat komponen normatif, juga karena pendidik
menuntut nilai. Nilai ini adalah norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam mengidentifikasi apa
yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Jadi, pendidikan adalah hubungan normatif antara
individu dan nilai.
Pandangan tersebut memberi makna bahwa pendidikan adalah segala situasi hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran yang
diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sedangkan para ahli
psikologi memandang pendidikan adalah pengaruh orang dewasa terhadap anak yang belum dewasa
agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan
tugas-tugas sosialnya dalam bermasyarakat.
Ilmu pendidikan disebut juga pedagogik, yang merupakan terjemahan dan bahasa Inggris
yaitu “pedagogics”. Pedagogics sendiri berasal dan bahasa Yunani yaitu “pals” yang artinya anak,
dan “again” yang artinya membimbing. Poerbakwatja dan Harahap (1982:254) mengemukakan
pedagogik mempunyai dua arti yaitu: (1) peraktek, cara seseorang mengajar; dan (2) ilmu
pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar, membimbing, dan mengawasi pelajaran
yang disebut juga pendidikan. Dan pengertian itu dapat dipahami bahwa pendidikan mengandung
pengertian “bimbingan yang diberikan kepada anak” yaitu bimbingan tentang suatu mata pelajaran
yang diberikan oleh guru pada peserta didik secara formal.
Orang yang memberikan bimbingan kepada anak disebut pembimbing atau “pedagog”, dalam
perkembangannya, istilah pendidikan (pedagogy) berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan
kepada anak oleh orang dewasa secara sadar dan bertanggung jawab. Bimbingan dan pertolongan ini,
baik mengenai aspek jasmaniahnya maupun aspek rohaniahnya menuju ke tingkat kedewasaan anak.
Jika anak telah mencapai dewasa dalam anti jasmaniah dan rohaniah, maka berarti pendidikan itu
telah selesai. Dalam dunia pendidikan kemudian tumbuh konsep pendidikan seumur hidup (4feiong
education), yang berarti pendidikan berlangsung sampai mati, yaitu pendidikan berlangsung seumur
hidup dalam setiap saat selama ada pengaruh lingkungan.
Maka, pengertian pendidikan menjadi semakin luas, yang berarti setelah anak dewasa tetap
masih dalam proses pendidikan. Akan tetapi sifat pendidikannya berbeda dengan sebelum mencapai
kedewasaan. Batasan pendidikan yang dibuat para ahli tampak begitu beraneka ragam, dan
kandungannya juga berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut amat dipengaruhi
oleh orientasi dan konsep dasar yang dipergunakan oleh para ahli tersebut sebagai aspek yang
menjadi tekanan dan falsafah yang melandasinya. Untuk memberi pemahaman akan batasan
pendidikan berikut ini di kemukakan sejumlah batasan pendidikan yang di kemukakan para ahli
yaitu:
1. Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kainus Besan Bahasa
Indonesia, 1991).
2. Dalam pengertian yang sempit pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk
memperoleh pengetahuan (McLeod, 1989).
3. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan
sepanjang hidup serta pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (Mudyahardjo, 2001:6).
4. Dalam pengertian yang agak luas pendidikan diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-
metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cam bertingkah laku
yang sesuai dengan kebutuhan (Muhibinsyah, 2003:10).
5. Pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah)
yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai
pengetahuan, kebiasaan.. sikap, dan sebagainya (Dictionary of Psychology, 1972).
6. Dalam anti luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan usaha daii generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan keterampilannya kepada
generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agan dapat memenuhi fungsi hidupnya baik
jasmaniah maupun rohaniah. Antinya pendidikan adalah usaha secara sengaja dan orang dewasa
untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu
menimbulkan tanggung jawab moril dan segala perbuatannya (Poerbakawatja dan Harahap,
1981).
7. Menurut John Dewey pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya intelektual, maupun daya emosional atau
perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya.
8. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No. 20 tahun
2003).
Jadi pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar
menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam
lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada. Pendidikan tidak hanya mencakup
pengembangan intelektualitas saja, akan tetapi lebih ditekankan pada proses pembinaan kepribadian
anak didik secara menyeluruh sehingga anak menjadi lebih dewasa. Dan uraian dan pengertian
pendidikan di atas disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan adalah usaha manusia (pendidik)
untuk dengan penuh tanggung jawab membimbing anak-anak didik menjadi kedewasaan.
Dilihat dari sudut proses bahwa pendidikan adalah proses dalam rangka mempengaruhi
peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan yang
akan menimbulkan perubahan pada dirinya yang memungkinkan sehingga berfungsi sesuai
kompetensinya dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dan sudut pengertian atau definisi, dengan
demikian pendidikan itu ialah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang berlangsung di sekolah dan luar
sekolah. Usaha sadar tersebut dilakukan dalam bentuk pembelajaran dimana ada pendidik yang
melayani para siswanya melakukan kegiatan belajar, dan pendidik menilai atau mengukur tingkat
keberhasilan belajar siswa tersebut dengan prosedur yang ditentukan.
1. Hakikat dan Teori Pendidikan
Sebuah teori adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan, dan
memprediksi. Mudyahardjo (2001:91) menegaskan bahwa sebuah teori berisi konsep-konsep, ada
yang berfungsi sebagai: (1) asumsi atau konsep-konsep yang menjadi dasar/titik tolak pemikiran
sebuah teori; dan (2) definisi konotatif atau denotatif atau konsep-konsep yang menyatakan makna
dan istilah-istilah yang dipergunakan dalam menyusun teori. Sebuah teori pendidikan adalah sebuah
sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan dan prediktif tentang peristiwa-peristiwa
pendidikan. Teori pendidikan ada yang berperan sebagai asumsi atau titik tolak pemikiran pendidikan
dan ada yang berperan sebagai definisi menerangkan makna. Asumsi pokok pendidikan adalah: (1)
pendidikan adalah aktual, artinya pendidikan bermula dari kondisi-kondisi aktual dan individu yang
belajar dan lingkungan belajarnya; (2) pendidikan adalah normatif, artinya pendidikan tertuju pada
mencapai hal-hal yang baik atau norma-norma yang baik; dan (3) pendidikan adalah suatu proses
pencapaian tujuan, artinya pendidikan berupa serangkaian kegiatan bermula dan kondisi-kondisi
aktual dan individu yang belajar, tertuju pada pencapaian individu yang diharapkan.
Gambaran pendidikan dilihat dari teori pendidikan secara faktual adalah aktivitas sekelompok
orang dan guru yang melaksanakan kegiatan pendidikan untuk orang-orang muda dan secara
perspektif memberi petunjuk bahwa pendidikan adalah muatan, arahan, pilihan yang telah ditetapkan
sebagai wahana pengembangan masa depan anak didik yang tidak terlepas dan keharusan kontrol
manusia. Pemahaman mengenai pendidikan mengacu pada konsep tersebut menggambarkan bahwa
pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat
kompleks. Karena si1tnya yang demikian kompleks itu, maka tidak suatu batasan pun yang cukup
memadai untuk menjelaskan anti pendidikan secara lengkap.
Pendidikan menurut Charles E. Silberman tidak sama dengan pengajaran, karena pengajaran
hanya menitikberatkan pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. Sedangkan pendidikan
berusaha mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dan
aspek kognitif, apektif, dan psikomotor. Pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dan
pengajaran, tetapi pengajaran merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan.
Jadi pengajaran merupakan bagian dan pendidikan, mengacu pada konsep yang lebih luas dan
lintas kultural masyarakat Indonesia yang demikian majemuknya, maka usaha sadar memberi makna
bahwa pendidikan diselenggarakan berdasarkan rencana yang matang, mantap, jelas, dan lengkap,
menyeluruh, rasional, dan obyektif menjadikan peserta didik menjadi warga negara yang baik.
Pernyataan secara filosofis apa itu pendidikan harus diangkat pada level konsep yang tinggi, sehingga
terlepas dan pengertian yang hanya melihat pendidikan sebagai kegiatan belajar mengajar saja dan
suatu usaha membantu orang lain menjadi manusia terdidik, dan ini muncul sebagai fenomena sosial.
Secara prinsip pernyataan filosofis harus memberi identitas pada pendidikan yang berbeda dengan
yang lain bersifat “cross culture”. Artinya bahwa kita melihat pendidikan itu dengan konsep yang
lebih luas dan lintas kukural yang memandang manusia sebagai bagian dan masyarakat sosial yang
secara akumulatif mempengaruhi proses pendidikan. Ada berbagai rumusan yang di kemukakan
untuk memahami apa itu pendidikan, di antaranya ada yang melihat dan berbagai sudut pandang
keilmuan tertentu seperti pandangan:
1. Sosiologik memandang pendidikan dan aspek sosial, yaitu mengartikan pendidikan sebagai usaha
pewarisan dan generasi ke generasi. Pandangan tradisi sosial selama mi melihat bahwa
pendidikan itu bertujuan agar orang lain menjadi terdidik, dan untuk menjadi terdidik mereka
harus belajar. Ini terkait dengan persoalan pengajaran dan pendidikan yang memang berbeda
sebab pengajaran juga bisa dilakukan pada binatang. Sebagai sistem sosial, pendidikan
merupakan sistem terbuka, yang oleh Katz dan Kakn, dibataskan sebagai sistem yang
memperoleh masukan dan lingkungan.
2. Antrophologik memandang pendidikan adalah enkulturasi yaitu proses pemindahan budaya dan
generasi ke generasi. Jadi antrophologik memandang pendidikan dan aspek budaya, yaitu
mengartikan pendidikan sebagai usaha pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai kepada generasi
berikutnya.
3. Psikologik memandang pendidikan dan aspek tingkah laku individu, yaitu mengartikan
pendidikan sebagai perkembangan kapasitas individu secara optimal. Pendidikan sebagai suatu
sistem adalah suatu keseluruhan karya insani yang terbentuk dan bagian-bagian yang mempunyai
hubungan fungsional dalam membantu terjadinya proses transformasi atau perubahan tingkah
laku seseorang sehingga mencapai kualitas hidup yang diharapkan. Psikologi menurut Woodward
dan Marquis (1955:3) adalah studi tentang kegiatan-kegiatan atau tingkah laku individu dalam
keseluruhan ruang hidupnya. Konsep-konsep psikologi tentang individu menjadi dasar
pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar.
4. Ekonomi, yaitu memandang pendidikan sebagai usaha penanaman modal insani (human capital)
yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Winardi (1989:177) menegaskan
bahwa ekonomika adalah studi tentang upaya manusia memperoleh kemakmuran materiil.
manusia. Konsep ekonomi menjadi dasar atau landasan pendidikan, karena itu kondisi ekonomi
mempengaruhi kemampuan dan kegiatan pendidikan
5. Politik yang melihat pendidikan adalah proses menjadi warga negara yang diharapkan (civilisasi)
sebagai usaha pembinaan kader bangsa yang tangguh. Konsep politik menjadi dasar
penyelenggaraan sistem pendidikan makro nasional. Oleh karena itu pendidikan bagi warga
negara mempunyai kedudukan dan peranan yang penting bagi suatu bangsa dalam membangun
bangsa. Sebagaimana telah diketahui bahwa politik melibatkan aktivitas dan hubungan kelompok-
kelompok yang berpengaruh terhadap keputusan pemerintahan. Karena itu politik dimaknai
sebagai pembentukan dan aksi-aksi koalisi (kelompok-kelompok) yang bertujuan untuk
mempengaruhi nilai (tujuan) yang mana yang akan diimplementasikan pemerintah.
Pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktek, teori pendidikan adalah
pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogianya pendidikan itu dilaksanakan, sedangkan
praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara konkretnya. Teori dan praktek itu seyogianya
tidak dipisahkan, siapa yang berkecimpung di bidang pendidikan sebaiknya menguasai kedua hal itu.
Pengajaran dalam kenyataannya akan dapat mencapai sasaran bila dilandasi teori tertentu. Pengajaran
itu pada hakekatnya proses komunikasi, maka perlu dikuasai teori komunikasi yang relevan.
Komunikasi berarti menyampaikan sesuatu kepada orang lain, hingga sesuatu tersebut terjadi
miliknya. Seorang guru setiap kali mengajar berusaha mengomunikasikan atau menyampaikan
dengan metode yang sesuai agar pokok bahasan yang dipilihnya dapat dikuasai menjadi milik siswa.
O’Connor berpendapat bahwa suatu teori pendidikan perlu memiliki syarat-syarat, seperti
logis yaitu memenuhi syarat-syarat untuk berpikir lurus dan benar, deskriptif atau penggambaran
berarti dipaparkan secara jelas, dan menjelaskan berarti memberikan penerangan (Bamadib. 1996:9).
Teori pendidikan menurut Patte tidak dapat disusun seperti teori dalam ilmu pengetahuan alam. Teori
pendidikan disusun sebagai latar belakang yang hakiki dan sebagai rasional dan praktek pendidikan
serta pada dasarnya bersifat direktif. Disusun sedemikian rupa dengan maksud untuk menemukan
sejumlah penemuan dalam praktek.
Istilah direktif memberi makna bahwa pendidikan itu mengarah pada tujuan yang pada
hakekatnya untuk mencapai kesejahteraan bagi subjek didik. Oleh karena pendidikan mempunyai
objek materi manusia, maka nilai-nilai yang berkenaan dengan kemanusiaan menjadi muatan dalam
teori pendidikan. Dalam teori pendidikan tentu menjadi pertimbangan penting pengertian dasar
tentang manusia seperti materialis-spiritual yaitu terbentuknya aku, historisitas adalah pertumbuhan
dan perkembangan individu secara kontinu dengan memperhatikan latar belakang keadaan sekarang
dan masa yang akan datang, sosialitas, etis yaitu terbentuknya keterkaitan struktur kejiwaan individu
dan tata pergaulan dengan nilai-nilai kesusilaan agar dapat dicapai ketentraman dan ketenangan, dan
religius yaitu manusia berhadapan dan berhubungan dengan penciptanya yaitu Tuhan seru sekalian
alam. Nilai adalah norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam mengidentifikasi apa yang
diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang.
Dengan adanya keterlibatan norma dan nilai, teori pendidikan mempunyai muatan tanggung
jawab moral dan pihak pendidik. Disamping itu, dalam hal tindakan pendidikan, teori pendidikan
perlu menggunakan referensi hubungan pribadi dengan pribadi. Anak sebagai sasaran pendidikan
adalah subjek pendidikan, anak adalah makhluk yang mempunyai pribadi, bebas. yang dalam
berbagai hal mampu menentukan pilihannya sendiri. Oleh karena itu rumusan teori pendidikan harus
memperhitungan adanya kebebasan pada makhluk, yaitu manusia itu sendiri. Namun demikian teori
pendidikan menurut Barnadib (1996: 10) harus tetap memiliki kualitas direktif sebagai karya manusia
yang normatif.
Semula teori pendidikan itu sebagaimana dikatakan D. J. O’Connor hanyalah sebagai
penghargaan rasa hormat saja. Lebih lanjut O’Connor mengatakan bahwa teori pendidikan tidak
memiliki keterkaitan logis sebagai suatu rangkaian hipotesis dan gagal membentuk suatu paradigma
sebagai suatu teori ilmiah. Keterkaitan logis antara hipotesis akan mampu dicapai dengan
pengenalan-pengenalan abstrak dan konsep-konsep teori. Hipotesis individu dibentuk dan teori dan
kemudian direduksi dengan prinsip abstrak tinggi sehingga konsep ini berguna. Tetapi ini disangkal
oleh Langford yang berpendapat bahwa teori pendidikan tidaklah gagal menjadi suatu teori di dalam
bahasa ilmiah, kemudian persoalannya bukanlah gagal atau berhasil menjadi statu teori.
Hirst mengatakan bahwa sifat pelaksanaan dan teori pendidikan disuatu sisi itu adalah teori
dan barangkali bukan bagian dan pelaksanaan pendidikan. Sebab pendidikan mampu mengarahkan
pelaksanaan sekaligus memiliki nilai penghargaan dan itu merupakan kebenaran yang universal. Jadi
teori pendidikan yang dihasilkan adalah universal dan mampu menggiring pelaksanaan pendidikan
kemana-mana, mi tidak terkait pada pendidikan dalam konteks tradisional tetapi didesain untuk
pengajaran konteks tradisional. Kemudian ditegaskan kembali bahwa pendidikan dapat dimaknai
sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup
mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada.
Artinya pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan latihan baik yang dilaksanakan secara formal di sekolah maupun non-formal di luar
sekolah.
2. Hubungan Pendidikan dengan Pengajaran
Pertanyaan pokok dalam philosofi pendidikan ada dua; pertama, apa itu profesi dan yang-
kedua apa kekhususan pengajaran sebagai suatu profesi. Pernyataan berikutnya adalah “Apa itu
pendidikan”? Sebagaimana sering didengungkan bahwa hal mi merupakan suatu pertanyaan yang
lebih mengisolasikan antara pertimbangan individu sebagai partisan terhadap pertanyaan
pertimbangan kegiatan pengajaran sebagai suatu kelompok sosial. Kosekuensi dan pertanyaan “Apa
itu pendidikan” dan “Apa itu pengajaran” adalah apakah pertanyaan itu berusaha memisahkan atau
penggabungan pendidikan dan pengajaran menjadi suatu kesatuan.
Boleh saja pertanyaan itu diajukan sebagaimana ditemukan kenyataan bahwa ada keterkaitan
antara pendidikan dan pengajaran, tetapi tidaklah begitu penting merujuk pendidikan sebagai bagian
dan definisi pengajaran. Pada dasarnya “mengajar” adalah membantu (mencoba membantu)
seseorang untuk mempelajari sesuatu dan apa yang dibutuhkan dalam belajar itu tidak ada
kontribusinya terhadap pendidikan orang yang belajar. Misalnya: orang mengajari anjingnya untuk
berjalan dengan tumitnya, mengajari temannya bermain gasing atau mengajari anaknya merangkai
bunga membentuk rantai tanpa memikirkan kontribusinya pada pendidikan mereka.
Artinya mengajar pada hakekatnya suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi
lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa belajar. Jawaban
terhadap pertanyaan “apa itu pendidikan”, hanya muncul dalam kesepakatan terhadap kegiatan
profesional pengajar itu dan tidak diperoleh dan sifat kegiatan yang bersifat abstrak. Produk yang
ingin dihasilkan melalui proses pendidikan adalah output yang memiliki kemampuan melaksanakan
perannya dimasa yang akan datang. - Hal mi akan dapat terwujud jika dilakukan melalui proses
pengajaran dengan strategi pelaksanaan melalui: (1) bimbingan yaitu pemberian bantuan, arahan.
motivasi, nasihat dan penyuluhan agar siswa mampu mengatasi, memecahkan dan menanggulangi
masalahnya sendiri; (2) pengajaran yaitu bentuk kegiatan dimana terjamin hubungan interaksi dalam
proses belajar dan mengajar antara tenaga kependidikan dan peserta didik; dan (3) pelatihan yaitu
sama dengan pengajaran khususnya untuk mengembangkan keterampilan tertentu. Merekat boleh
melakukan atau tidak, tetapi walaupun mereka melakukan itu menurut Langford (1978) sangat
tergantung dengan sejauh mana pertimbangan untuk mengatakan bahwa mereka sedang mengajar
untuk suatu pendidikan.
Jika kesimpulan itu diterima seterusnya tidak perlu mengatakan bahwa ada keterkaitan antara
pendidikan dan pengajaran. Merujuk pada definisi di atas bahwa guru tidak perlu memikirkan bahwa
belajar itu sangat erat kaitannya dengan pendidikan anak didik. Tidak disangkal bahwa pendidikan
memiliki sedikit hubungan dengan pengajaran. Menurut Langford (1978) yang penting hubungan
yang relevan bukanlah antara pengajaran dengan pendidikan tetapi antara pengajaran sebagai suatu
profesi dengan pendidikan. Oleh sebab itu, bahwa belajar dimana guru sebagai kelompok profesi
pengajaran dicoba mengarahkan dan mendiskusikan peran pentingnya dalam pendidikan.
Gambaran umum tentang jenis kurikulum yang disiapkan untuk pendidikan guru menurut
Donald R. Cruickshank terdiri atas dua jenis utama, yaitu: (1) pendidikan umum (general education)
berisikan pengetahuan, nilai serta norma, yang diasumsikan berguna bagi tiap orang, baik untuk
pembentukan kepribadian maupun untuk pemberian bekal wawasan yang luas. Pengetahuan yang
dikembangkan sebagai dasar, pada awalnya ialah yang dikenal sejak dahulu sebagi tujuh kesenian
bebas (seven liberal arts) terdiri atas logika, gramatika, retorika, aritmetika, geometri, astronomi, dan
musik.
Komponen-komponen itu pada umumnya tidak lagi asli seperti digambarkan diatas, ada tambahan
dan perubahan di sana sini, namun tetap menggunakan pengelompokan yang sama. Tambahannya
adalah tentang bidang studi seperti psikologi, sosiologi, ilmu alamiah dasar, dan bahasa-bahasa asing
modern; dan (2) pendidikan profesional (professional education) pendidikan profesional mengandung
arti pendidikan untuk profesi. Istilah yang menunjuk hal yang sama yang lazim digunakan untuk
pendidikan guru diantaranya pedagogik (pedagogy) dan ilmu mengajar (the science of teaching).
Guru dipandang sebagai seorang profesional karena memiliki pengetahuan yang memang hanya
dapat dikuasai dengan pendidikan tertentu, mampu secara mandiri mengambil keputusan, dan
mempunyai prestise tertentu dalam masyarakat (Bernadib, 1996:60). Berkaitan dengan komponen-
komponen pendidikan itu, guru menyampaikan sebagian nilai lebih banyak daripada nilai lainnya,
dan mengajukan sebagian pertanyaan yang lebih sulit daripada pertanyaan lainnya.
3. Fungsi Pendidikan
Ajaran bahwa proses mental harus dianggap sebagai sebagian fungsi atau aktivitas dan
organisme dalam penyesuaiannya dengan lingkungan. Prosesnya adalah proses biologis dan
merupakan dasar psikologis untuk pragmatisme dan instrumentalisme dalam filsafat. Suatu
pengertian yang menyatakan bahwa fungsi dan suatu organisme menentukan strukturnya dan bukan
sebaliknya. Dalam bidang pendidikan fungsionalisme ini menurut Poerbakawatja dan Harahap
(1982:115) adalah suatu usaha untuk menentukan struktur dan pendidikan atas dasar fungsi-fungsi
hidup di dalam masa sekarang dan masa depan.
Fungsi-fungsi itu dikenal sebagai kebutuhan-kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan dan
disimpulkan dalam dua sumber yaitu: (1) pengalaman dan si anak plus suatu konsepsi tentang
perannya di dalam hidupnya; dan (2) kebudayaan. Fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala
sumber penderitaan rakyat dan kebodohan dan ketertinggalan. Diasumsikan bahwa orang yang
berpendidikan akan terhindar dan kebodohan dan juga kemiskinan. karena dengan modal ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui proses pendidikan ia mampu mengatasi
berbagai problema kehidupan yang dihadapinya.
Kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang tentu sesuai tingkat pendidikan yang
diikutinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka diasumsikan semakin tinggi pula
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya. Hal ini menggambarkan bahwa fungsi pendidikan
dapat meningkatkan kesejahteraan, karena orang yang berpendidikan dapat terhindar dan kebodohan
maupun kemiskinan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah
membimbing anak ke arah suatu tujuan yang kita nilai tinggi. Pendidikan yang baik adalah usaha
yang berhasil membawa semua anak didik kepada tujuan itu.
Apa yang diajarkan hendaknya dipahami sepenuhnya oleh semua anak. UUSPN No. 20 tahun
2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa ,yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan ada akhirnya harus diajukan pada upaya mewujudkan sebuah masyarakat yang
ditandai adanya keluhuran budi dalam diri individu, keadilan dalam negara, dan sebuah kehidupan
yang lebih bahagia dan saleh dan setiap individunya.
B. Konsep dan Makna Belajar
1. Konsep Belajar
Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan
acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Teori-teori yang
dikembangkan dalam komponen mi meliputi antara lain teori tentang tujuan pendidikan, organisasi
kurikulum, isi kurikulum, dan modul-modul pengembangan kurikulum. Kegiatan atau tingkah laku
belajar terdiri dan kegiatan psikhis dan fisis yang saling bekerja sama secara terpadu dan
komprehensif integral. Sejalan dengan itu, belajar dapat sebagai berusaha atau berlatih supaya
mendapat suatu implementasinya, belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan,
perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan ajar. Para ahli psikologi dan guru-guru pada
umumnya memandang belajar kelakuan yang berubah, pandangan ini memisahkan pengertian Yang
tegas antara pengertian proses belajar dengan kegiatan yang semata-mata sifat hafalan.
Mempelajari dalam arti memahami fakta-fakta sama sekali berlainan dengan menghafalkan
fakta-fakta. Suatu program pengajar seharusnya memungkinkan terciptanya suatu lingkungan yang
memberi peluang untuk berlangsungnya proses belajar yang efektif. Oleh karena itu menurut Staton
(1978:9) seharusnya keberhasilan suatu program pengajaran diukur berdasarkan tingkatan perbedaan
cam berfikir, merasa dan berbuat sebelum dan sesudah memperoleh pengalaman-pengalaman belajar
dalam menghadapi situasi yang serupa. Dengan kata lain, bila suatu kegiatan belaj telah berhasil,
maka seharusnya berubah pulalah cara-cara pendekatan pelajar yang bersangkutan dalam
menghadapi tugas-tugas selanjutnya.
Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan
kemampuan pada ranah-ranah: (1) kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan,
pena1ara atau pikiran terdiri dan kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, ana1y sintesis dan
evaluasi; (2) afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan Prasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang
berbeda dengan penalaran yang terjadi penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap,
01ganisasi, dan pembentukan pola hidup; dan (3) psikomotorik yaitu kemauan yang mengutamakan
keterampilan jasmani terdiri dan persepsi, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks,
penyesuaian pada gerakan, dan kreatifitas. Orang dapat mengamati tingkah laku orang telah belajar
setelah membandingkan sebelum belajar.
Akibat belajar dan ketiga ranah mi akan makin bertambah baik. Arthur T. Jersild menyatakan
bahwa belajar adalah “modificatio of behavior through experience and training” yaitu perubahan atau
membawa akbat perubahan tingkah laku dalam pendidikan karena pengalaman dan latih atau karena
mengalami latihan. Dalam mengalami itu anak belajar terus menerus antara anak didik dengan
lingkungannya secara sadar dan sengaja. Belajar sebagai proses akan terarah kepada tercapainya
tujuan (goal oriented), dalam aspek ini dapat dilibat dan pihak siswa untuk mencapai sesuatu yang
berarti baginya maupun guru sesuai dengan tujuan. Belajar merupakan komponen paling vital dalam
setiap usaha penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan, sehingga tanpa proses belajar
sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Belajar menurut Morgan (1978) adalah setiap perubahan
yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dan latihan atau pengalaman.
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar
hanya dialami oleh siswa sendiri. Dimyati dan Mudjiono (1996:7) mengemukakan siswa adalah
penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan
pendidikan amat tergantung pada proses belajar dan mengajar yang siswa dan pendidik baik ketika
pada siswa itu di sekolah maupun di lingkungan keluarganya sendiri.
Tiap ahli psikologi memberi batasan yang berbeda tentang belajar, atau terdapat keragaman
dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Diantaranya dapat
dikemukakan yaitu Hilgard dan Marquis berpendapat bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu
yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi
perubahan dalam diri. James L. Mursell mengemukakan belajar adalah upaya yang dilakukan dengan
mengalami sendiri, menjelajahi, menelusuri, dan memperoleh sendiri.
Menurut Gage (1984) belajar adalah sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah
perilakunya sebagai akibat dan pengalaman. Sedangkan Henry E. Garret berpendapat bahwa belajar
merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan maupun pengalaman
yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap Suatu perangsang
tertentu. Kemudian Lester D. Crow mengemukakan belajar ialah upaya untuk memperoleh
kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap-sikap. Belajar dikatakan berhasil manakala seseorang
mampu mengulangi kembali materi yang telah dipelajarinya, maka belajar Seperti ini disebut “rote
learning”. Kemudian jika yang telah dipelajari itu mampu disampaikan dan diekspresikan dalam
bahasa sendini, maka disebut “overlearning”.
Gagasan yang menyatakan bahwa belajar menyangkut perubahan dalam suatu organisma,
berarti belajar juga membutuhkan waktu dan tempat. Belajar disimpulkan terjadi, bila tampak tanda-
tanda bahwa perilaku manusia berubah sebagai akibat terjadinya proses pembelajaran. Perhatian
utama dalam belajar adalah perilaku verbal dan manusia, yaitu kemampuan manusia untuk
menangkap informasi mengenai ilmu pengetahuan yang diterimanya dalam belajar, untuk lebih
memahami pengertian belajar berikut mi dikemukakan secara ringkas pengertian dan makna belajar
menurut pandangan para ahli pendidikan dan psikologi.
a. Belajar Menurut Pandangan Skinner
Belajar menurut pandangan B. F. Skinner (1958) adalah suatu proses adaptasi atau
penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif. Belajar juga dipahami sebagai
suatu .perilaku, pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya bila ia tidak
belajar, maka responsnya menurun. Jadi belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau
peluang terjadinya respons. Seorang anak belajar sungguh-sungguh dengan demikian pada waktu
ulangan siswa tersebut dapat menjawab semua soal dengan benar. Atas hasil belajarnya yang baik itu
dia mendapatkan nilai yang baik, karena mendapatkan nilai yang baik mi, maka anak akan belajar
lebih giat lagi. Nilai tersebut dapat merupakan “operant conditioning” atau penguatan
(reinforcement).
Mungkin juga terjadi selain diberi nilai baik, anak itu juga oleh guru diberi ganjaran atau
pujian. Keduanya yaitu pujian dan ganjaran dapat merupakan operant conditioning yang memiliki
banyak bentuk seperti tanda penghargaan, ijazah, medali, piala, beasiswa, dan lain yang semacamnya.
Secara tidak sadar, dalam belajar, berusaha, dan bekerja tujuan bukan lagi mengejar prestasi, tetapi
mengejar operant conditioning seperti hadiah, medali, dan sebagainya. Tokoh utama operant
conditioning ini adalah Skiner yang mengembangkan suatu program pengajaran yang dikenal dengan
nama pengajaran berprogram (programmed instruction).
Menurut Skiner dalam belajar ditemukan hal-hal berikut: (1) kesempatan terjadinya peristiwa
yang menimbulkan respons belajar; (2) respons si pelajar; dan (3) konsekwensi yang bersifat
menggunakan respons tersebut, baik konsekwensinya sebagai hadiah maupun teguran atau hukuman.
Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting yaitu (1)
pemilihan stimulus yang diskriminatif dan () penggunaan penguatan. Teori menekankan apakah guru
akan meminta respons ranah kognitif atau afektif. Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai
hubungan antara perangsang dan respons. Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori
kondisionmg operan menurut Skinner adalah: (1) mempelajari keadaan kelas berkaitan dengan
perilaku siswa; (2) membuat daftar penguat positif, (3) memilih dan menentukan urutan tingkah laku
yang dipelajari serta jenis penguatnya; dan (4) membuat program pembelajaran berisi urutan perilaku
yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku, dan evaluasi.
Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi dalam pendidikan adalah normal dan mengontrol
tingkah laku dan menganggap “reward” atau “einforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses
belajar. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar yakni: (1) respondents response yaitu
respon yang terjadi karena stimuli khusus, perangsang-perangsang yang demikian ini mendahului
respons yang ditimbulkannya; dan (2) operants conditioning dalam clasical conditioning
rnenggambarkan suatu situasi belajar dimana suatu respons dibuat lebih kuat akibat reinforcement
langsung yaitu respon yang terjadi karena situasi random. Dalam pengajaran operant onditioning
menjamin respon-respon terhadap stimuli. Seorang anak yang belajar telah melakukan perbuatan, dan
perbuatannya itu lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih giat belajar, yaitu respons-nya
menjadi lebih intensif dan kuat. Dalam kenyataan, respons jenis pertama sangat terbatas adanya pada
manusia. Sebaliknya operant response merupakan bagaimana terbesar dari tingkah laku manusia dan
kemungkinan untuk memodifikasinya hampir tidak terbatas. Oleh karena itu Skiner lebih
memfokuskan kepada respons atau jenis tingkah laku yang kedua ini.
Secara faktual menunjukkan bahwa respons jenis pertama (respondent) sangat terbatas adanya
pada manusia. Sebaliknya operant conditioning merupakan bagian terbesar dari tingkah laku manusia
dan kemungkinan untuk memodifikasinya hampir tidak terbatas. Oleh karena itu Skinner lebih
memfokuskan pada respons yang kedua. Prosedur pembentukan tingkah laku dalam operant
conditioning adalah: (1) mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcer bagi tingkah laku yang
akan dibentuk; (2) menganalisis dan selanjutnya mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk tingkah laku yang dimaksud; (3) berdasarkan urutan komponen-komponen itu Sebagai
tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer untuk masing-masing komponen itu; dan (4)
melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan komponen-komponen yang telah
disusun. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimuli, guru tak mungkin dapat
membimbing tingkah lakunya kearah tujuan behavior. Guru berperanan penting dalam kelas untuk
mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.
Jenis-jenis stimuli a1ialah: (1) positive reinforcement yaitu penyajian stimuli yang meningkatkan
probabilitas suatu respons; (2) negative reinforcement pembatasan stimuli yang tidak menyenangkan,
yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respon; (3) hukurnan, yaitu pemberian
stimulus yang tidak menyenangkan; (4) primary reinforcement yaltu stimuli pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan fisiologis; (5) secondary or learned reinforcement; dan (6) modifikasi tingkah laku guru,
yaitu perlakuan guru terhadap murid-murid berdasarkan minat dan kesenangan mereka.
Dengan demikian belajar diartikan sebagai suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang
terjadinya respons. Peluang atau kemungkinan respons itu sukar mengukurnya, karena itu Skinner
menyarankan agar belajar diukur menurut angka atau frekwensi respons. Meskipun tidak persis sama
dengan peluang terjadinya unjuk perbuatan diwaktu yang akan datang, hal itu merupakan langkah
awal dalam menganalisis perubahan tingkah laku. Studi Skinner terpusat pada hubungan antara
perilaku dan konsekuensi-konsekwensinya. Menurut Skinner mengajar itu pada hakekatnya adalah
rangkaian dari penguatan yang terdiri dari (1) suatu peristiwa dimana perilaku terjadi; (2) perilaku itu
sendiri; dan (3) akibat perilaku. Penekanan rangkaian penguatan mi bahwa perilaku siswa dan
akibatnya atau penguatan perilaku merupakan unsur-unsur pokok dalam belajar.
Perilaku siswa merupakan lawan dan stimulus, bagaimana perilaku itu bisa ditimbulkan dan
diperkuat. menjadi asas dari teknologi instruksional. Kaitannya dengan teknologi instruksional
dikenal istilah “teaching machine” merupakan aplikasi langsung dan pandangan bahwa peralatan dan
bahan pengajaran harus dapat berbuat lebih banyak daripada sekedar memberi informasi, alat-alat dan
bahan pelajaran itu harus dikaitkan kepada perilaku siswa. Beberapa prinsip yang dipergunakan
Skinner dalam teaching machine adalah: (1) respons siswa diperkuat secara teratur dan secepatnya;
(2) mengusahakan agar siswa dapat mengontrol irama kemajuan belajamya sendiri; (3) tetap
memelihara agar siswa mematuhi urutan-urutan yang lengkap; dan (4) adanya keharusan partisipasi
melalui penyediaan respons (Sudjana dan Rivai, 2003, 66). Teori Skinner sangat besar pengaruhnya
terhadap pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan teknologi pembelajaran. Program-
program inovatif dalam bidang pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner.
b. Belajar Menurut Pandangan Robert M. Gagne
Belajar adalah suatu proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut Robert M. Gagne
(1970) belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya
kapabilitas disebabkan: (1) stimulasi yang berasal dan lingkungan; dan (2) proses kognitif yang
dilakukan oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai.
Dengan demikian dapat ditegaskan, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat
stimulasi Iingkungan, melewati pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas baru. Belajar terjadi
bila ada hasilnya yang dapat 4per1ihatkan, anak-anak demikian juga orang dewasa dapat mengingat
kembali I kata-kata yang telah pernah didengar atau dipelajarinya. Seseorang dapat mengingat
gambar yang telah pernah dilihatnya, mengingat kata-kata yang baru dipelajarinya, atau mengingat
bagaimana cara memecahkan hitungan. Menyatakan kembali apa yang dipelajari lebih sukar daripada
sekedar mengenal sesuatu kembali.
Gagne (1970) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam
kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh
proses pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan
mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu
sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi. Gagne berkeyakinan,
bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor luar diri dimana keduanya saling
berinteraksi. Komponen-komponen dalam proses belajar menurut Gagne (1970) dapat digambarkan
sebagai Stimulus (S) Respon). S yaitu situasi yang memberi stimulus, sedangkan R adalah respons
atau stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi
dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat syaraf dimana
terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat. Stimulus itu merupakan input yang berada
diluar individu, sedangkan respons adalah outputnya, yang juga berada diluar individu sebagai hasil
belajar yang dapat diamati (Nasution, 2000:136).
Menurut Gagne belajar terdiri dari tiga komponen penting yakni kondisi eksternal yaitu
stimulus dan lingkungan dalam acara belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal
dan proses kognitif siswa, dan hasil belajar yang menggambarkan informasi verbal, keterampilan
intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Kondisi internal belajar berinteraksi dengan
kondisi eksternal belajar. dan interaksi tersebut tampaklah hasil belajar. Untuk lebih memperjelas
interaksi tersebut dalam hal mi Dimyati dan Mujiono (1999:11) melukiskan komponen-komponen
esensial belajar dan pembelajaran tersebut dalam bentuk skema atau bagan berikut ini.
Bagan tersebut melukiskan atau menjelaskan bahwa: (1) belajar merupakan interaksi antara
“keadaan internal dan proses kognitif siswa” dengan “stimulus dani lingkungan”; (2) proses kognitif
tersebut menghasilkan suatu hasil belajar yang terdiri dan informasi verbal yaitu kapabilitas untuk
mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tertulis, keterampilan intelek
yaitu kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta
mempresentasikan konsep dan lambang, strategi kognitif yaitu kemampuan menyalurkan dan
mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, keterampilan motonik yaitu kemampuan melakukan
serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, dan sikap yaitu kemampuan menerima atau
menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut.
Menurut Gagne ada tiga tahap dalam belajar yaitu (1) persiapan untuk belajar dengan
melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan, dan mendapatkan kembali informasi; (2)
pemerolehan dan untuk perbuatan (performansi) digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik,
pembangkitan kembali, respon, dan penguatan; dan (3) alih belajar yaitu pengisyaratan untuk
membangkitkan dan memberlakukan secara umum (Dimyati dan Mudjiono, 1999:12).
Tahap dan fase belajar seperti dilukiskan pada tabel I mempermudah guru untuk melakukan
pembelajaran. Perian aspek belajar adalah hal-hal yang erat kaitannya dengan belajar mempunyai
hubungan yang erat dengan fase belajar dalam implementasinya dilakukan dalam acara pembelajaran.
Pola pembelajaran tersebut dapat digunakan untuk pedoman pelaksanaan kegiatan belajar di kelas.
Sudah barang tentu guru masih harus menyesuaikan dengan bidang studi dan kondisi kelas yang
sebenarnya. Hal yang perlu diperhatikan dan hubungan fase belajar dan acara pembelajaran mi adalah
guru masih harus menyesuaikan diri dengan bidang studi dan kondisi kelas yang sebenarnya, guru
dapat memodifikasi seperlunya. Robert M. Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang
membentuk suatu hierarkhi dan paling sederhana sampai paling kompleks yakni:
1. Belajar tanda-tanda atau isyarat (Signal Learning) merupakan isyarat atau signal yang
menimbulkan perasaan tertentu, merupakan isyarat untuk mengambil sikap tertentu, merupakan
syarat yang menimbulkan perasaan sedih atau senang dan sebagainya. Belajar berlangsung dalam
bentuk pemberian respons terhadap tanda-tanda, sehingga dengan cara yang terus menerus
terjadilah asosiasi antara tanda-tanda atau isyarat itu dengan respons yang letup. Signal learning
ini mirip dengan “Conditioning” menurut Pavlov dan timbul setelah sejumlah pengalaman
tertentu. Respons yang timbul bersifat umum, kabur, dan emosional. Selain timbulnya tak sengaja
dan tak dapat dikuasai.
2. Belajar hubungan stimulus—respons (Stimulus Response-Learning) dimana respons bersifat
spesifik, tidak umum dan kabur. Respons itu diperkuat atau di reinforces dengan adanya imbalan
atau reward. Tipe belajar ini lebih tinggi daripada tipe belajar isyarat, karena aspek pengertian
(konseptual) mulai berfungsi, segi persamaannya adalah bahwa keduanya bersifat asosiatif.
Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respons itu. Dengan belajar stimulus
respons mi seorang belajar mengucapkan kata-kata dan dalam bahasa asing. Demikian juga
seorang bayi belajar mengatakan “Mama atau Papa”.
3. Belajar menguasai rantai atau rangkaian hal (Chaining learning) tipe ini masih mengandung
asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik. Chaining learning ini terjadi
bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang
satu lagi, jadi berdasarkan “Contiguity”. Contoh dalam bahasa seperti “Ibu-Bapak”, “Kampung-
Halaman”, “Selamat Tinggal”, dan sebagainya. Juga dalam perbuatan sehari-hari juga banyak
Chaining seperti pulang dan kantor, ganti baju, makan, dan sebagainya.
4. Belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (Verbal Association), tipe belajar mi bersifat
asosiatif tingkat tinggi, karena biarpun asosiasi memegang peranan, tetapi fungsi yang
menentukan. Bentuk “Verbal Association” yang paling sederhana ialah bila diperhatikan suatu
bentuk geometnis, dan anak itu dapat mengatakan bujur sangkar, atau mengatakan “itu bola saya”
bila dilihatnya bolanya. Sebelumnya ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat
mengenal “bujur sangkar” sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal “bola”, “saya”,
dan “itu”. Hubungan itu terbentuk, bila unsur-unsur itu terdapat dalam urutan tertentu, yang satu
segera mengikuti yang satu lagi “contiguity”.
5. Belajar membedakan atau diskriminasi (Discrimination Learning) suatu tipe belajar yang
menghasilkan kemampuan membeda-bedakan berbagai gejala. Siswa dapat membedakan manusia
yang satu dengan yang lain, juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal murid serta
nama-nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi diantara murid-murid itu.
Diskriminasi didasarkan atas Chain, anak misalnya harus mengenal mobil tertentu beserta
namanya. Untuk mengenal model lain harus pula diadakannya “Chain” baru, dengan
kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satu lagi. Makin banyak yang harus
dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau
“interference” itu, dan kemungkinan satu Chain dilupakan.
6. Belajar konsep-konsep (Concept Learning) yaitu corak belajar yang dilakukan dengan
menentukan ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan sifat tertentu pula pada berbagai objek.
Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal
tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang dapat melakukan
demikian akan tetapi sangat terbatas. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan
kemampuan mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya
menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. Ia dapat
menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan
sebagainya. Menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya, suatu konsep disimpulkan dan berbagai
situasi, peristiwa, ucapan, dan pemberiannya. Konsep mi berkembang, sejalan dengan
pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam situasi, peristiwa, ucapan, perlakuan maupun
kegiatan yang lain baik diperoleh dan bacaan maupun pengalaman langsung. Dalam hal mi
kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk yang
abstrak. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
7. Belajar aturan atau hukum-hukum (Rule Learning), tipe belajar ini terjadi dengan cara
mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian tersusun dalam macam-macam aturan.
Aturan-aturan mi jadinya tersusun dan kejadian-kejadian yang khusus dan dapat disebut sebagai
hukum, dalil, kaidah, rumus, dan sebagainya. Tipe belajar ini banyak terdapat dalam pelajaran di
sekolah. Banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidik. Aturan mi terdapat
dalam tiap mata pelajaran. Misalnya, benda yang dipanaskan memuai, angin berembus dari
daerah maksimum ke daerah minimum, (a + b) (a-b)= a2-b2, untuk menjamin keselamatan negara
harus diadakan pertahanan yang ampuh, tiap warga negara harus setia kepada negaranya, dan
sebagainya. Ada yang mengatakan, bahwa anak-anak harus menemukan sendiri aturan-aturan itu.
Ada pula yang berpendirian, aturan-aturan dapat juga dipelajari dengan memberitahukannya
kepada murid dengan memberikan contoh-contoh, dan cara ini lebih singkat dan tidak kurang
efektifnya. Mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan “verbal Chain” saja dan mi
hanya menunjukkan cara belajar mengajar yang salah. Implementasinya dalam pembelajaran
belajar aturan atau hukum-hukum, dimulai dengan aturan sederhana yang dialami siswa di rumah
dan di sekolah. Kemudian anak belajar aturan yang lebih formal dan kompleks yang berkenaan
dengan kehidupan manusia, seperti aturan hukum berlalu lintas, pemeliharaan lingkungan, dan
kewajiban-kewajiban sebagai warga masyarakat. Dalam mata pelajaran tertentu siswa juga belajar
aturan atau hukum dan suatu teori tertentu, seperti hukum dalam pelajaran IPA, matematika,
ekonomi, dan. sebagainya.
8. Belajar memecahkan masalah (Problem Solving), tipe belajar mi menurut Gagne merupakan tipe
belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama
penggunaan aturan-aturan yang ada disertai proses analysis dan penyimpulan. Dalam tipe belajar
ini diperlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan
tipe belajar problem solving ini kemampuan penalaran anak dapat berkembang. Problem solving
atau memecahkan masalah sesuatu yang biasa dalam hidup setiap manusia dan tiap hari sepuluh
atau dua puluh kali ia memecahkan masalah. Ia berfikir bagaimana mengelakkan kemacetan lalu
lintas, bagaimana mengatur waktunya, bagaimana mengatasi kenakalan anaknya, membeli
pakaian untuk hari ulang tahun anak, dan berbagai permasalahan lainnya. Hidup kita penuh
dengan berbagal masalah ada yang sedikit dan ada yang banyak ada pula yang baru bagi kita. Di
sekolah murid-murid terus menerus dihadapkan pada berbagai masalah dalam tiap mata pelajaran.
Memecahkan masalah memerlukan pemikiran dengan menggunakan dan menghubungkan
berbagai aturan-aturan yang telah kita kenal menurut kombinasi yang berlainan. Dalam
memecahkan masalah sering harus dilalui berbagai langkah seperti mengenal setiap unsur
masalah itu, mencari aturan-aturan yang berkenaan dengan masalah itu dan dalam segala langkah
perlu ia berpikir. Untuk memecahkan masalah diperlukan waktu adakalanya sebentar dan
adakalanya lama, bergantung kompleksitas masalahnya. Memecahkan masalah melalui problem
solving mantap dan sukar dilupakan, apalagi mengenai pemikiran pada taraf “tinggi”.
Kemampuan memecahkan masalah, memperbesar kemampuan memecahkan masalah-masalah
lain.
Pendirian bahwa segala macam belajar itu pada prinsipnya sama, tidak dapat diterima. Jenis-
jenis atau tipe-tipe belajar mi dapat dipandang sebagai bertingkat atau hierarkis, setiap tipe belajar
yang dibawah atau rendah merupakan syarat bagi bentuk belajar yang lebih tinggi. Maka setiap hal
yang 4ihadapi mula-mula mungkin hanya memerlukan tipe yang rendah dan apabila ,ternyata
memerlukan cara yang lebih tinggi, maka barulah meningkat ke tipe belajar yang lebih tinggi pula.
Jadi untuk belajar tipe 8 harus menguasai tipe 7, untuk menguasai tipe 7 harus menguasai tipe 6, dan
demikianlah seterusnya (Nasution, 2000:140). Inti dan pembelajaran tersebut adalah interaksi dan
proses untuk mengungkapkan ilmu pengetahuan oleh pendidik dan peserta didik yang menghasilkan
suatu hasil belajar. Didasarkan atas analisis kejadian-kejadian belajar Gagne menyarankan agar guru
memperhatikan delapan 4ejadian instruksi waktu menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa.
Penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar enurut Gagne disebut
keterampilan-keterampilan. Hasil-hasil belajar dapat keterampilan-keterampilan intelektual yang
memungkinkan seseorang interaksi dengan lingkungan melalui penggunaan simbol-simbol atau
gagasan-gagasan, strategi-strategi kognitif yang merupakan proses-proses kontrol dan dikelompokkan
sesuai fungsinya. Hal ini meliputi strategi-strategi fneughafal, strategi-strategi elaborasi; strategi-
strategi pengaturan, strategi-strategi metakognitif, dan strategi-strategi aktif. Hasil-hasil belajar yang
lain adalah informasi verbal, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan motorik. Kejadian-kejadian
instruksional dalam kelas seperti mengaktifkan motivasi, memberi tahu tujuan-tujuan instruksional,
serta mengarahkan perhatian, dapat dilakukan guru secara klasikal, tetapi kejadian-kejadian
instruksional yang lain meminta guru agar memperhatikan perbedaan individu para siswa.
Kegiatan belajar memecahkan masalah ini biasanya meliputi lima Jangkah yaitu (1)
mengidentifikasi masalah; (2) merumuskan dan membatasi iasa1ah; (3) menyusun pertanyaan-
pertanyaan; (4) mengumpulkan data; dan (5) analisis dan sejumlah permasalahan belajar tersebut
sehingga dapat merumuskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting mengenai belajar serta
penarikan kesimpulan. Jika langkah-langkah memecahkan masalah belajar tersebut dapat dipenuhi
oleh guru dalam proses pembelajaran, maka tingkat akurasi pemecahan masalahnya akan sesuai atau
mendekati yang diharapkan.
Kemampuan dan ketekunan guru dalam memecahkan masalah belajar siswanya dengan
menggunakan langkah-langkah tersebut, amat penting sebagai upaya yang dapat membantu
memecahkan masalah belajar peserta didiknya. Pemecahan masalah belajar berimplikasi pada
keberhasilan belajar yang terukur dan juga mutu belajar ditandai dengan mutu lulusan yang
kompetitif. Uraian di atas memberi penegasan bahwa belajar menurut Gagne adalah seperangkat
proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan melewati pengelolaan informasi, dan
menjadi kapabilitas baru. Interaksi belajarnya melalui stimulus melalui kondisi eksternal dan
pendidik yang dapat direspons kondisi internal dan proses kognitif siswa
c. Belajar Menurut Pandangan Piaget
Jean Piaget seorang psikolog Swiss (1896-1980) mempelajari berpikir pada anak-anak, sebab
ia yakin dengan cara ini ia akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi, seperti
“bagaimanakah kita memperoleh pengetahuan” dan “bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui”.
Jean Piaget berpendapat ada dua proses yang terjadi dalam perkembangan dan pertumbuhan kognitif
anak yaitu: (1) proses “assimilation”, dalam proses ini menyesuaikan atau mencocokkan informasi
yang baru itu dengan apa yang telah ia ketahui dengan mengubahnya bila perlu; dan (2) process
“accomodation” yaitu anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa yang telah
diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru itu dapat disesuaikan dengan lebih baik. Piaget
melihat perkembangan kognitif tersebut sebagai hasil perkembangan saling melengkapi antara
asimilasi dan akomodasi dalam proses menyusun kembali dan mengubah apa yang telah diketahui.
Asimilasi tetap dan menambah terhadap yang ada dan menghubungkannya dengan yang telah lalu.
Bentuk pikiran yang paling maju dari Piaget adalah operasi formal, proses pikiran logis mi
dicirikan oleh kemampuan untuk merumuskan perangkat hipotesa, selanjutnya hipotesa yang
dirumuskan cocok dengan situasi. Piaget telah mengenali tiga cara berpikir yang berbeda secara
kualitatif yang merupakan prasyarat perkembangan berpikir operasi formal. Setiap cara interaksi
dengan lingkungan merupakan prakondisi yang esensial bagi tingkat perkembangan selanjutnya.
Teori kognitif yang dikembangkan oleh Piaget tersebut dalam konteks teori keseimbangan yang
disebut “accomodation”, memberi penjelasan bahwa struktur fungsi kognitif itu dapat berubah kalau
individu berhadapan dengan hal-hal baru yang tidak dapat diorganisasikan kedalam struktur yang
telah ada (association).
Akomodasi menurut Jean Piaget adalah hasil dan yang ditambahkan dan diciptakan oleh
lingkungan, pengamatan yang tidak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipikirkan. Asimilasi
maupun akomodasi kedua-duanya sama-sama dibutuhkan, dalam prakteknya antara keduanya tidak
seimbang. Melalui kedua proses mi manusia menjadi tidak tergantung kepada pengamatan dan lebih
bergantung pada berpikir. Teoni Jean Piaget menitikberatkan pada aspek perkembangan pikiran
secara alami dan lahir hingga dewasa. Ada tiga aspek perkembangan intelektual yang diteliti oleh
Jean Piaget yaitu:
1. Struktur, yaitu ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental, dan
perkembangan berpikir logis anak. Tindakan-tindakan (actions) menuju pada perkembangan
operasi-operasi, dan selanjutnya operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
Operasi-operasi mempunyai empat ciri yaitu: (1) merupakan tindakan terinternalisasi, baik
tindakan mental maupun tindakan fisik tanpa ada garis pemisah diantara keduanya, tindakan itu
dibimbing oleh hubungan “sama” dan “berbeda” yang diciptakan dalam pikirannya; (2) bersifat
revesibel, misalnya menambah dan mengurangi merupakan operasi yang sarna yang dilakukan
dengan arah yang berlawanan 2 dapat ditambahkan pada 1 untuk memperoleh 3, atau 1 dapat
dikurangi dan 3 untuk memperoleh 2 demikian seterusnya; (3) selalu tetap, walaupun selalu
terjadi transformasi atau perubahan; dan (4) tidak ada operasi yang berdiri sendiri, suatu operasi
selalu berhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi. Misalnya operasi penambahan-
pengurangan berhubungan dengan operasi kiasifikasi, pengurutan, dan konservasi bilangan,
dimana operasi-operasi itu saling membutuhkan. Jadi, operasi adalah tindakan mental yang
terinternalisasi, revesibel, tetap dan teriutegrasi dengan struktur dan operasi lainnya. Struktur
yang juga disebut skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi, satu tingkat lebih tinggi
dan operasi-operasi. Struktur intelektual terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan
lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih memudahkan individu untuk menghadapi tuntutan
yang makin meningkat dan lingkungannya yang berarti telah terjadi suatu perubahan dalam
perkembangan intelektual anak.
2. Isi, yaitu pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respons yang diberikannya terhadap
berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Antara tahun 1920 dan 1930 perhatian Piaget
dalam penelitiannya tertuju pada isi pikiran anak, misalnya perubahan dalam kemampuan
penalaran semenjak kecil hingga besar, konsepsi anak tentang beberapa peristiwa alam, seprti
bergeraknya awan dan sungai. Sesudah tahun l930-perhatian penelitian Piaget lebih dalam, dan
deskripsi pikiran anak ia beralih pada analisis proses-proses dasar yang melandasi dan
menentukan isi itu.
3. Fungsi, yaitu cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut
Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mensistematikkan atau
mengorganisasikan proses-proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem yang
teratur dan berhubungan atau struktur-struktur. Dalam lingkungan fisik misalnya, ikan memiliki
sejumlah struktur yang membuat ikan berfungsi secara efektif dalam air, yaitu insang, sistem
sirkulasi, mekanisme suhu. Semua struktur itu bekerja sama secara efesien untuk
mempertahankan ikan itu di lingkungannya. Koordinasi secara fisik merupakan hasil
kecenderungan organisasi. Adaptasi sebagai fungsi kedua melandasi perkembangan intelektual.
Semua organisme lahir dengan kecenderungan menyesuaikan diri atau beradaptasi pada
lingkungan mereka. Cara adaptasi mi berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang
lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang ada untuk
menanggapi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Dalam proses akomodasi seseorang
memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan
lingkungannya. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Andaikata dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada
lingkungannya, terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibirium). Akibat ketidaksetimbangan ini,
maka terjadilah akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur baru
timbul. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibiriumequilibirium). Tetapi, bila teijadi
kembali4kesetimbangan, maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi
daripada sebelumnya (Wilis Dahar, 1989:151).
Asas-asas perkembangannya menitikberatkan pada aspek perkembangan pikiran secara alami
dan lahir sampai dewasa, untuk bisa memahami teori mi bergantung pada pemahaman asumsi-asumsi
biologi yang menurunkan teori itu maupun implikasi asumsi-asumsi tersebut dalam mengartikan
pengetahuan. Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu, sebab individu
melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Konsep Piaget mengenai perkembangan
kognitif berasal dan interaksi dengan lingkungan akan semakin mengembangkan fungsi intelek
dilihat dan perkembangan usia melalui tahap-tahap (1) sensori motor (0.0-2.0 tahun) yaitu anak
mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dengan penglihatan, penciuman, pendengaran,
perabaan, dan menggerak-gerakkannya. Tingkat sensori motor menempati dua tahun pertama dalam
kepuasannya atas perkembangan biologi dan organisme tertentu. Struktur kognitif seperti halnya
struktur biologi, bukan ketentuan yang sudah ada sebelumnya, tidak ada dalam pikiran orang maupun
di dunia luar sebagaimana kita melihat dan mengorganisasikannya. Asumsi dasar yang melandasi
deskripsi demikian adalah pengertian Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya
tentang hakekat kecerdasan. Dengan demikian inteligensi individu tumbuh dan berkembang melalui
interaksi dengan lingkungannya. Kehidupan, selama periode ini anak mengatur alamnya dengan
indera-inderanya (senson) dan tindakan-tindakannya (motor) Selama periode ini bayi tidak
mempunyai konsepsi “object permanence”. Bila suatu benda disembunyikan ia gagal untuk
menemukannya, sambil pengalamannya bertambah sampat mendekati akhir periode mi, bayi itu
menyadari bahwa benda yang disembunyikan itu masih ada, dan ia mulai mencarinya sesudah
dilihatnya benda itu disembunyikan Konsep-konsep yang tidak ada pada waktu lahir, seperti konsep-
konsep yang, waktu, kausalitas, berkembang, dan tennkorporasa , ke dalam pola-pola perilaku anak;
(2) praoperasional (2.0-7.0 tahun) yaitu anak : mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas, ini
telah mampu menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan
menggolong-golongkan. Periode mi disebut praoperasional, karena pada umur .ini anak belum
mampu melaksanakan operasi-operasi mental, seperti yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu
menambah, mengurangi, dan lain-lain; (3) operasional konkret (7.0-11.0 tahun) yaitu dapat
mengembangkan pikiran logis, dapat mengikuti penalaran logis walau kadang-kadang memecahkan
masalah secara “trial and error” Tingkat merupakan permulaan berpikir rasional, ini berarti, anak
memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret. Bila
menghadapi suatu pertentangan antara pikiran dan pensepsi, anak dalam periode operasional konkret
memilih pengambilan keputusan logis, dan bukan keputusan perseptual seperti anak praoperasional.
Operasi-operasi dalam periode mi terkait pada pengalaman perorangan. Operasi-operasi itu konkret,
bukan operasi-operaSi formal Anak belum dapat berurusan dengan materi abstrak, seperti hipotesis
dan proposisi-proposisi verbal; dan (4) operasional formal (11.0 tahun-ke alas) yaitu anak dapat
berpikir abstrak seperti pada orang dewasa. Pada periode ini anak dapat menggunakan operasi-
operasi konkretnya, untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada
anak selama periode mi, ialah bahwa ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau
peristiwa-peristiwa konkret, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak.
Kecerdasan juga membentuk struktur kognitif yang diperlukan dengan melakukan
penyesuaian dengan lingkungan. Untuk mengetahui interaksi dengan lingkungan tersebut, ada dua
macam studi yang dilakukan Piaget mengenai perkembangan anak dan remaja yaitu: (1) melakukan
observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai mereka tentang aturan yang
mereka ikuti; dan (2) melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisah yang menceritakan
perbuatan salah dan benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang terdiri alas anak
dan remaja) untuk menilai kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan moral mereka sendiri.
Hasil penilaian mereka itu dapat disimpulkan bahwa mereka dalam bermain temyata mempunyai
aturan yang harus dipenuhi, jadi mereka belajar memenuhi aturan.
Berdasarkan data hasil studinya tersebut, Piaget menemukan dua tahap perkembangan moral
anak dan remaja, tahap pertama yaitu bersamaan rentang waktunya dengan tahap perkembangan
kognitif praoperasional, hal ini merupakan realisme moral, artinya anak-anak yang menganggap
moral sebagai suatu kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial. Tahap perkembangan yang kedua,
menggambarkan bahwa perkembangan moral yang bertepatan dengan tahap perkembangan kognitif
formal operasional yang menunjukkan bahwa manusia pada awal masa remaja dan masa setelah
remaja sebagai hasil belajar sudah memiliki persepsi yang jauh lebih maju daripada sebelumnya.
Perkembangan tahap pertama dengan yang kedua diselingi masa transisi. Tahap-tahap perkembangan
moral anak ini dikaitkan dengan tahap perkembangan kognitif atau intelektual anak.
Menurut Piaget, ada tiga bentuk pengetahuan yaitu: (1) pengetahuan fisik merupakan
pengetahuan tentang benda-benda yang ada di luar dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal.
Sumber pengetahuan fisik terutama terdapat dalam benda itu sendiri, yaitu dalam cara benda itu
memberikan pada subjek kesempatan-kesempatan untuk pengamatan; (2) pengetahuan logiko-
matematik terdiri atas hubungan-hubungan yang diciptakan subjek dan diintroduksikan pada objek-
objek; dan (3) pengetahuan sosial seperti fakta bahwa hari Minggu anak-anak tidak bersekolah,
didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia.
Pengetahuan sosial dapat dipindahkan dan pikiran guru ke pikiran siswa, sedangkan pengetahuan
fisik dan logikomatematik harus dibangun sendiri oleh anak. Pengetahuan fisik dan pengetahuan
sosial merupakan pengetahuan empiris, sedangkan pengetahuan logika-matematika mewakili
pengetahuan menurut tradisi rasional. Salah satu cara untuk membangun pengetahuan ialah, dengan
ekuilibrasi. Piaget dan para konstruktivis pada umumnya berpendapat bahwa dalam mengajar,
seharusnya diperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya. Dengan demikian
mengajar dianggap bukan sebagai proses dimana gagasan-gagasan guru dipindahkan pada siswa,
melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan si anak yang sudah ada yang mungkin “salah”
Dan uraian diatas dapat ditegaskan bahwa belajar dalam hal ini dapat mengandung makna
sebagai ;embahan struktural yang saling melengkapi antara asimilasi dan akomodasi dalam proses
menyusun kembali dan mengubah apa yang telah diketahui melalui belajar.
d. Belajar Menurut Pandangan Carl R. Rogers
Menurut pendapat Carl R. Rogers (ahli psikoterapi) praktek pendidikan menitikberatkan pada
segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar Praktek sebut ditandai oleh peran guru yang dominan
dan siswa hanya menghafalkan pelajaran. Alasan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan
dan pembelajaran adalah: (1) menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar, siswa
tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya: (2) siswa akan mempelajari hal-hal yang
bermakna bagi dirinya; (3) pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan
ide baru, sebagai bagian yang bermakna bagi siswa; (4) belajar yang bermakna bagi masyarakat
modern berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu,
bekerjasama dengan melakukan pengubahan diri terus-menerus; (5) belajar yang optimal akan terjadi,
bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar; (6) belajar mengalami
(experiential learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri; dan (7) belajar
mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh. Prinsip pendidikan dan
pembelajaran menunjukkan kehati hatian terhadap pilihan, sehingga hasilnya memberi arti penting
bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi para siswanya.
Langkah-langkah dan sasaran pembelajaran yang perlu dilakukan oleh guru menurut Rogers
adalah meliputi: (1) guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara
terstruktur; (2) guru dan siswa membuat kontrak belajar; (3) guru menggunakan metode inquiri atau
belajar menemukan (discovery learning); (4) guru menggunakan metode simulasi; (5) guru
mengadakan latihan kepekaan agar siswa menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelompok
lain; (6) guru bertindak sebagai fasilitator belajar; dan (7) sebaiknya guru menggunakan pengajaran
berprogram agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreatifitas dalam belajar (Dimyati dan
Mudjiono, 1999:17). Langkah-langkah tersebut memberi gambaran bahwa belajar dan pembelajaran
itu berlangsung secara sistematis baik dalam merumuskan bahan ajaran maupun menggunakan
pendekatan belajar. Rogers berpendapat murid-murid tidak hanya secara bebas, artinya tanpa dipaksa
menyelesaikan tugas-tugas dalam waktu tertentu, akan tetapi juga belajar membebaskan dirinya
untuk menjadi manusia yang berani memilih sendiri apa yang dilakukannya dengan penuh tanggung
jawab.
Dalam psiko terapmya Carl R. Rogers memberi kebebasan pada kliennya untuk mengeluarkan
segala isi hatinya sepuas-puasnya, yang baik maupun yang buruk dengan metode “non directive
counseling”. Rogers mencoba memahami dan merasakan jiwa kliennya kemudian menjauhi diri dan
penilaian normatif tentang ucapan, pikiran, perasaan, atau perbuatan klien itu. Dengan demikian klien
itu akan lebih mengenal, menerima dirinya sebagaimana adanya, dan akhirnya merasa bebas memilih
dan berbuat menurut individualitasnya dengan penuh tanggung jawab. Non directive counseling tidak
mudah bagi seorang pendidik, karena pendidikan itu selalu normatif dan setiap pendidik cenderung
untuk menilai tiap kelakuan anak didiknya menurut nilai-nilai yang dianut oleh pendidik.
Tiap pendidik ingin menanamkan nilai-nilai tertentu pada anak didik dan mengharapkan,
mendorong dan bila perlu mengharuskan anak didik untuk berbuat sesuai dengan norma-norma yang
ditentukan. Namun kebebasan sendiri merupakan norma. yang perlu mendapat penghargaan yang
setinggi-tingginya. Teori Rogers ini dapat diterapkan dalam pendidikan untuk mengembangkan
individu yang merdeka yang dapat memilih dengan bebas atas tanggung jawab penuh, manusia yang
kreatif yang dapat senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan dunia.
Rogers selanjutnya mengatakan pengajaran yang berpusat pada murid memberi kebebasan
agar murid dapat memilih kegiatan yang dirasanya perlu atas tanggung jawab sendiri. Belajar bebas
berbeda sama sekali dengan belajar yang terikat oleh peraturan dan pengawasan yang ketat. Belajar
terikat jauh lebih mudah dilaksanakan dan dapat dilakukan oleh setiap guru, karena banyak sedikit
dapat dijalankan secara maksimal (Nasution, 2000:84). Sebaliknya belajar bebas hanya dapat
dilaksanakan bila syarat-syarat tertentu dapat dipenuhi seperti adanya masalah, kepercayaan akan
kesanggupan manusia, keterbukaan guru, dan kemampuan guru menghadapi murid menurut pribadi
masing-masing dan dapat menghargai sifat-sifat mereka. Pendidikan akhirnya bertujuan untuk
membimbing anak ke arah kebebasan dan kemerdekaan, mengetahui apa yang baik dan yang buruk,
dapat melakukan pilihan tentang apa yang dilakukannya dengan penuh tanggung jawab sebagai hasil
belajar. Kebebasan itu hanya dapat dipelajari dengan memberi anak didik kebebasan mulanya sejauh
ia dapat memikulnya sendiri, hal mi dilakukan dalam konteks belajar.
Carl R. Rogers tidak dapat menerima manusia itu sebagai hasil “conditioning” semata-mata.
Sekalipun seseorang dipenjarakan atau hidup dalam negara yang diktator, namun manusia atau
seseorang itu masih mempunyai suatu kebebasan yaitu kebebasan bathin. Ia masih dapat memilih dan
menentukan hidupnya dengan penuh keberanian atas pilihan dan keputusan sendiri dan bertanggung
jawab penuh atas segala akibat pilihannya itu. Begitu juga di tengah-tengah pengaruh segala macam
conditioning manusia tidak sepenuhnya dikuasai oleh kuasa-kuasa lain. Hingga batas tertentu, ia turut
menentukan pribadi dan hidupnya serta mengembangkan bakat-bakat yang ada padanya. Kesadaran
akan adanya kebebasan batin mi banyak membantu klienklien dan kesulitannya dan membuka
kesempatan baginya untuk menjadi manusia yang mempunyai pribadi sendiri dalam hubungannya
dengan manusia lainnya. Untuk mengembangkan kebebasan ini kepada anak didik menurut Carl R.
Rogers perlu diperhatikan hal berikut.
1. Pendidik harus berkelakuan wajar dan benar menurut apa yang terkandung dalam dirinya. Jangan
berbuat pura-pura seakan-akan berkedok, berbuat lebih baik daripada hakekat pribadinya yang
sesungguhnya. Untuk mengembangkan kebebasan pada individu, pendidik tidak boleh
bersandiwara, harus jujur dengan ucapannya, jangan berbuat seakan-akan ia orang yang
seumpuma tanpa kesulitan. Berbuat jujur sesuai atau kongruen dengan pribadi yang sebenarnya
tidaklah mudah, karena kita sering menyembunyikan kelemahan dan kekurangan kita untuk
menimbulkan kesan yang baik tentang diri kita sendiri.
2. Pendidik harus menerima anak didik dengan segala aspek-aspek pribadinya. Anak didik boleh
berperilaku marah, jengkel, benci, senang, lembut, ramah, malu, berani, takut dan sebagainya.
Pendidik selalu menerima anak itu dengan penuh pengertian dan penghargaan tanpa menyatakan
penilaiannya tentang perilaku anak itu. Jadi pendidik harus selalu menghargai anak didik tanpa
syarat, meskipun kelakuan anak itu tidak menyenangkan hatinya.
3. Pendidik memiliki rasa empaday yaitu mampu melihat dan merasakan sesuatu seperti dilihat atau
dirasakan oleh anak didik. Memandang atau merasakan dunia sekitar seperti dipandang atau
dialami orang lain, bukan sesuatu yang mudah karena kita terikat oleh pandangan kita sendiri
yang terbentuk selama hidup kita. Namun pendidik yang ingin membebaskan anak didiknya harus
berusaha dan belajar memupuk empati ini. Anak didik memerlukan perhatian dan orang lain yang
dapat memandang sesuatu seperti ia memandangnya, bukan penilaian apalagi kecaman. Jika ada
orang lain bersedia mendengarkan dan memahaminya, maka anak didik mulai mendengarkan dan
mengamati apa yang terjadi dalam dirinya. Sambil belajar mengenal dirinya, mengetahui apa
yang bergejolak dalam dirinya, anak didik itu mulai menerima keadaan dirinya seperti pendidik
juga menerimanya tanpa syarat. Anak didik berangsur-angsur dapat menerima dirinya dengan
segala kebaikan dan kekurangannya. Anak didik lebih terbuka untuk mengungkapkan perasaan-
perasaan yang semula disembunyikannya dan menjadi lebih. jujur dalam ucapan, perasaan,
maupun perilakunya. Sikap untuk mengecam dan menilai diri sendiri berkurang. Lambat laun
anak didik tersebut mulai mengenal dirinya dan menerima kenyataan dirinya. Sikap defensif yang
menyatakan dininya benar sendiri, sikap membela diri untuk mengamankan diri yang menurutnya
benar mulai berkurang dan ia mulai berkembang dengan wajar ke arah yang dipilihnya secara
bebas ke arah yang lebih konstruktif.
Ketiga hal yang perlu menjadi perhatian pendidik tersebut memberi makna bahwa, pendidik
harus memiliki sikap sabar yang tinggi, mengenal perilaku anak dan sudut psikologis, dan menjaga
etika sebagai pendidik dengan mengembangkan sikap jujur dan perilaku wajar. Perilaku wajar dan
bersahaja mi, menjadikan guru sebagai profil yang sederhana sarat dengan ilmu pengetahuan dan
pengalaman. Muncul suatu gerakan teori belajar yang menitikberatkan pada upaya membantu siswa
agar ia sanggup mencapai perwujudan dirinya (self realization) sesuai dengan kemampuan dasar dan
keunikan (uniqueness) yang dimilikinya. Gerakan ini pada dasarnya bertolak dan prinsip-prinsip
dasar teori kepnibadian oleh Carl Rogers (Syamsudin Makmun, A., 2003:236). Cam pendekatannya,
sebenarnya masih bersifat “enquiry discovery based approaches”.
Karakteristik utama metode ini, antara lain guru tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam
dengan siswa, tetapi menempatkan diri berdampingan dengan siswa dengan posisi siap memberi
bantuan belajar. Karakteristik ini sejalan dengan konsep tutwuri handayani yang dikembangkan Ki
Hajar Dewantoro yaitu membimbing anak belajar dengan menuntunnya sampai anak itu berhasil
dalam belajarnya. Jadi dapat ditegaskan belajar menurut Carl adalah kebebasan dan kemerdekaan
mengetahui apa yang baik dan yang anak dapat melakukan pilihan tentang apa yang dilaksanakannya
dengan tanggung jawab. Nilai yang dikembangkan di sini adalah kebebasan dan yang merupakan
sikap dasar manusia, jika anak itu terkungkung terintimidasi, maka akan sulit bagi anak untuk dapat
mengetahui apa yang kebebasan dan kemerdekaan menurut Rogers mengandung nilai jawab yang
penuh. Belajar bebas berbeda sama sekali dengan belajar yang terikat oleh peraturan dan pengawasan
yang ketat. Belajar yang terikat jauh lebih mudah dilaksanakan dan dapat dilakukan oleh setiap guru
karena sedikit banyak dapat dijalankan secara maksimal.
e. Belajar Menurut Pandangan Benjamin Bloom
Keseluruhan tujuan pendidikan dibagi atas hierarki atau taksonomi? menurut Benjamin
Bloom (1956) menjadi tiga kawasan (domain) yaitu: (1) omain kognitif mencakup kemampuan
intelektual mengenal lingkungan yang terdiri atas enam macam kemampuan yang disusun secara
hienarkis dani yang paling sederhana sampai yang paling kompleks yaitu pengetahuan (kemampuan
mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari), pemahaman (kemampuan menangkap makna atau
anti sesuatu hal), penerapan (kemampuan mempergunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk
menghadapi situasi-situasi baru dan nyata), analisis (kemampuan menjabarkan sesuatu menjadi
bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat dipahami), sintesis (kemampuan memadukan
bagian-bagian menjadi sate keseluruhan yang berarti), dan penilain (kemampuan memberikan harga
sesuatu hal berdasarkan kriteria intern, kelompok, ekstern atau yang telah ditetapkan terlebih dahulu),
(2) domain afektif mencakup kemampuan-kemampuan emosional dalam mengalami dan menghayati
sesuatu hal yang meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara hierarkis yaitu:
kesadaran (kemampuan untuk ingin memperbatikan sesuatu hal), partisipasi (kemampuan untuk turut
serta atau terlibat dalam sesuatu hal), penghayatan nilai (kemampuan untuk menerima nilai dan
terikat kepadanya), pengorganisasian nilai (kemampuan untuk memiliki sistem nilai dalam dirinya),
dan karakterisasi diri (kemampuan untuk memiliki pola hidup dimana sistem nilai yang terbentuk
dalam dirinya mampu mengawasi tingkah lakunya); dan (3) domain psikomotor yaitu kemampuan-
kemampuan motorik menggiatkan dan mengkoordinasikan gerakan terdiri dan: gerakan reneks
(kemampuan melakukan tindakan-tindakan yang terjadi secara tak sengaja dalam menjawab sesuatu
perangsang), gerakan dasar (kemampuan melakukan pola-pola gerakan yang bersifat pembawaan dan
terbentuk dan kombinasi gerakan-gerakan reneks), kemampuan perseptual (kemampuan
menterjemahkan perangsang yang diterima melalui alat indera menjadi gerakan-gerakan yang tepat),
kemampuan jasmani (kemampuan dan gerakan-gerakan dasar merupakan inti untuk
memperkembangkan gerakan-gerakan yang terlatih), gerakan-gerakan terlatih (kemampuan
melakukan gerakan-gerakan canggih dan rumit dengan tingkat efisiensi tertentu), dan komunikasi
nondiskursif (kemampuan melakukan komunikasi dengan isyarat gerakan badan).
Taksonomi tujuan-tujuan dan Bloom mi disebut dengan “Taksonomi Bloom” dapat
menjelaskan tentang kualitas basil pendidikan. Tujuan langsung pendidikan adalah perubahan
kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Peningkatan mi tidak sekadar meningkatkan
belaka, tetapi peningkatan yang hasilnya dapat dipergunakan meningkatkan taraf hidupnya sebagai
pribadi, pekerja, profesional, warga masyarakat, warga negara, dan sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Hasil pendidikan diberikan kepada lingkungan dan diterima oleh lingkungan, sebagai
masukan yang digunakan sesuai kepentingannya. Dapat ditegaskan bahwa belajar adalah perubahan
kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk meningkatkan taraf hidupnya sebagai
pribadi, sebagai masyarakat, maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
f. Belajar Menurut Pandangan Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner (1960) seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar
kognitif. Bruner tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis, yang penting baginya
ialah cara-cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransfonnasi informasi secara
efektif, inilah menurut Bruner inti dan belajar. Menurut Bruner (1960) dalam proses belajar dapat
dibedakan pada tiga fase yaitu: (1) informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi,
ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan
memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui
sebelumnya, misainya bahwa tidak ada energi yang lenyap; (2) transformasi, informasi itu harus
dianalisis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak, atau konseptual agar dapat
digunakan untuk hal-hal yang lebih luas dalam hal mi bantuan guru sangat diperlukan; dan (3)
evaluasi, kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu
dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar ketiga episode mi selalu ada, yang menjadi masalah ialah berapa banyak
informasi diperlukan agar dapat ditransfontlasi. Lama tiap episode tidak selalu sama, hal ini antara
lain juga bergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untuk
mengetahui, dan dorongan untuk menemukan sendiri. Selanjutnya Bruner (1960) mengemukakan
empat tema pendidikan, tema pertama, mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan.
Kurikulum hendaknya mementingkan struktur pengetahuan. Hal ini perlu, sebab dengan
struktur pengetahuan, kita menolong para siswa untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang
kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain, dan pada informasi yang
telah mereka miliki. Tema kedua, ialah tentang kesiapan (readines) untuk belajar, menurut Bruner
(1960:29) kesiapan terdiri atas, penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang
dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi.
Kesiapan untuk geometri euclidian misalnya, dapat diperoleh dengan memberikan
kesempatan pada para siswa untuk membangun konstruksi-konstruksi yang makin kompleks dengan
menggunakan poligon-poligon. Tema yang ketiga menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan,
dengan intuisi, dimaksudkan oleh Bruner (1960:13) teknik-teknik intelektual untuk sampai pada
formulasi-formulaSi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah
formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-keSimPulan yang sahih atau tidak. Pendapat yang
dikemukakan oleh Bruner ini adalah semacam educated guess yang kerap kali digunakan oleh para
saintis, artis, dan orang-orang kreatif lainnya.
Tema keempat dan terakhir, ialah tentang motivasi atau keinginan untuk belajar, dan cara-cara
yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu. Pengalaman-pengalaman pendidikan
yang merangsang motivasi ialah, pengalaman-pengalaman dimana para siswa berpartisipasi secara
aktif dalam menghadapi alamnya. Pengalaman belajar semacam ini dapat dicontohkan oleh
pengalaman belajar penemuan yang intuitif.
Pendekatan Bruner terhadap belajar dapat diuraikan sebagai suatu pendekatan kategorisasi.
Bruner beranggapan bahwa semua interaksi-interaksi kita dengan alam melibatkan kategori-kategori
yang dibutuhkan bagi memfungsikan manusia. Tanpa kategori-kategori kita harus mempunyai satu
laci dalam lemari map kita untuk setiap objek, benda, dan gagasan dalam pengalaman kita.
Kategorisasi menyederhanakan kekompleksan dalam lingkungan kita. Karena sistem kategori kita
dapat mengenal objek-objek baru. Oleh karena itu objek-objek baru memiliki kemiripan dengan
objek-objek yang telah ada dalam sistem kode kita, kita dapat mengklasifikasikan dan memberikan
ciri-ciri tertentu pada benda-benda atau gagasan-gagasan baru.
Dalam kenyataannya, jika kita dihadapkan pada suatu benda baru, dan kita tidak dapat
mengkategorisasikannya dengan cara-cara tertentu, kita tidak dapat menentukannya, kita tidak dapat
menempatkannya dalam sistem penyimpanan kita, selanjutnya yang penting menurut Bruner ialah,
bahwa kategorisasi dapat membawa kita ketingkat yang lebih tinggi daripada informasi yang
diberikan. Kita menentukan objek-objek yang mengasosiasikan objek-objek itu dengan suatu kelas.
Bila kita mengklasifikasikan suatu objek, kita pengaruhi objek itu dengan sekumpulan sifat-sifat,
atribut-atribut kritis, dan hubungan-hubungan. Kita melakukan hal ini melalui inverensi, menemukan
lebih banyak daripada yang kita peroleh langsung dan objek itu.
Ringkasannya, Bruner beranggapan, bahwa belajar merupakan pengembangan kategori-
kategori dan pengembangan suatu sistem pengkodean (coding). Berbagai kategori-kategori saling
berkaitan sedemikian rupa, hingga setiap individu mempunyai model yang unik tentang alam. Dalam
model ini belajar baru dapat terjadi dengan mengubah model itu. Hal ini terjadi melalui pengubahan
kategori-kategori menghubungkan kategori-kategori dengan suatu cuma baru, atau dengan
menambahkan kategori-kategori baru. Anak sebagai sosok yang mampu memecahkan masalah
sendiri secara aktif (active problem solver), yang memiliki cara sendiri untuk memahami dunia. Jika
anak didik memahami langkah-langkah penting dalam suatu mata pelajaran, ia dapat terus berpikir
secara produktif tentang masalah-masalah baru, mengetahui bagaimana sesuatu terjadi sama
pentingnya dengan ribuan fakta tentang sesuatu tersebut.
Bruner menegakkan hipotesis bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara efektif
dengan kejujuran intelektual kepada anak dalam tahap perkembangan manapun. Ia meyakini bahwa
anak kecilpun dapat mengatasi masalah yang sulit, maka kurikulum harus berisi tema-tema hidup
dikonseptualisasi menjawab tiga pertanyaan yaitu: (1) apa yang menjadi ciri khas manusia (2)
bagaimana manusia mendapatkan ciri khas itu; dan (3) bagaimana ciri khas manusia itu dibentuk.
Bruner menyimpulkan bahwa pendidikan bukan sekedar persoalan teknik pengelolaan informasi,
bahkan bukan penerapan “teori belajar” di kelas atau menggunakan hasil yang berpusat pada mata
pelajaran (subject centered “achievmenr testing”). Pendidikan merupakan usaha yang kompleks
untuk menyesuaikan kebudayaan dengan kebutuhan anggotanya, dan menyesuaikan anggotanya cara
mereka mengetahui kebutuhan kebudayaan.
2. Teori Belajar
Bertitik tolak dan berbagai pandangan sejumlah ahli tersebut mengenai belajar, meskipun di
antara mereka para ahli tersebut ada perbedaan mengenai pengertian belajar, namun baik secara
eksplisit maupun implisit diantara mereka Irdapat kesainaan maknanya, yaitu definisi manapun
konsep belajar itu selalu unjukkan kepada “suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seorang
berdasarkan peraktek atau pengalaman tertentu”. Hal-hal pokok alam pengertian belajar adalah
belajar itu membawa perubahan tingkah laku karena pengalaman dan latihan, perubahan itu pada
pokoknya didapatkannya kecakapan baru, dan perubahan itu terjadi karena usaha yang disengaja
Aliran forkologi kognitif menganggap bahwa belajar pada dasarnya merupakan peristiwa mental,
bukan peristiwa behavioral yang bersifat jasmaniah.
Perubahan tingkah laku bukan dilihat dan perubahan sifat-sifat fisik %isa1nya tinggi dan berat
badan, kekuatan fisik misalnya untuk mengangkat, yang terjadi sebagai suatu perubahan fisiologis
dalam besar otot atau efisiensi dan proses-proses sirkulasi dan respirasi, perubahan ini tidak termasuk
belajar Perilaku berbicara, menulis, bergerak, dan lainnya memberi kesempatan kepada manusia
untuk mempelajari perilaku-perilaku seperti berpikir, merasa, mengingat, memecahkan masalah,
berbuat kreatif, dan lain-lainnya, pembalan ini termasuk hasil belajar. Sedangkan istilah pengalaman
membatasi macam- macam perubahan perilaku yang dapat dianggap mewakili belajar.
Batasan ini penting dan sulit untuk didefinisikan, biasanya batasan ini dilakukan dengan
memperhatikan penyebab-penyebab pembahan dalam perilaku yang tidak dapat dianggap sebagai
hasil pengalaman. Jadi, perubahan perilaku yang disebabkan oleh kelelahan, adaptasi indera, obat-
obatan, dan kekuatan mekanis tidak dianggap sebagai perubahan yang disebabkan oleh pengalaman,
dan karena itu tidak dapat dianggap, bahwa belajar telah terjadi. Wilis Dahar (1989: 12) memberi
ilustrasi, bila seseorang masuk ke dalam kamar yang gelap, lambat laun ia akan melihat lebih jelas,
perubahan yang dialami orang ini diakibatkan oleh pembukaan pupil dan perubahan-perubahan
fotokimia dalam retina, hal mi merupakan suatu yang fisiologis, dan tidak mewakili belajar.
Perubahan-perubahan dalam perilaku yang disebabkan oleh alkohol atau obat-obatan lainnya tidak
dapat dianggap sebagai belajar, sebab perubahan-perubahan mi juga bersifat fisiologis.
Proses lain yang menghasilkan perubahan perilaku, yang tidak termasuk belajar adalah
kematangan, yaitu perubahan perilaku disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan dan
organisma-organisma secara fisiologis. Pemikiran tentang belajar mengacu pada proses: (1) belajar
tidak hanya sekedar menghafal, siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri;
(2) anak belajar dan mengalami, anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dan pengetahuan baru,
dan bukan diberi begitu saja oleh guru; (3) para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki
seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang suatu persoalan
(subject matter); (4) pengetahuan tidak bisa dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang
terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan; (5) manusia mempunyai
tingkatan yang berbeda dalam menyikap situasi baru; (6) siswa perlu dibiasakan memecahkan
masalah menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide; (7) proses
belajar dapat mengubah struktur otak, perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan
perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus menerus ditajamkan, akan
mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku. Suatu
tingkat kematangan tertentu merupakan prasyarat belajar berbicara, walaupun pengalaman dengan
orang dewasa yang berbicara dibutuhkan untuk membantu kesiapan yang dibawa oleh kematangan.
Jadi, belajar dihasilkan dan pengalaman dengan lingkungan, dimana terjadi hubungan-hubungan
antara stimulus-stimulus dan respons-respons. Hal ini memberi makna bahwa belajar adalah proses
aktif individu dalam membangun pengetahuan dan pencapaian tujuan.
Artinya, diperlukan sebuah pendekatan belajar yang lebih memberdayakan siswa. Proses
belajar tidak hanya tergantung kepada orang lain, akan tetapi sangat tergantung pada individu yang
belajar (student centered), anak belajar tidak hanya verbalisme tetapi juga dani mengalami sendiri
dalam lingkungan yang alasniah, mengkonstruksi pengetahuan, dan memberi makna pada
pengetahuan itu. Anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta keterampilan
yang telah diperoleh untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Karena itu, belajar merupakan proses terbentuknya tingkah laku baru orang disebabkan
individu merespon lingkungannya, melalui pengalaman pribadi yang tidak termasuk kematangan,
pertumbuhan atau instink. Belajar sebagai proses akan terarah kepada tercapainya tujuan (goal
oriented) dan pihak siswa maupun dan pihak guru Tujuan itu dapat identifikasi dan bahkan dapat
diarahkan sesuai dengan maksud pendidikan Banyak sekali teori belajar menurut literatur psikologi,
teori itu bersumber dan teori atau aharan-aharan psiko1ogi. Secara garis besar dikenal ada tiga
rumpun besar teori belajar menurut pandangan psikologi yaitu teori disiplin mental, teori
behavionsme idan teon cognitive gestalt-filed.
a. Teori Disiplin Mental
Sebelum abad ke-20 telah berkembang beberapa teori belajar yaitu teori mental, teori
pengembangan alamiah (natural unfoldment) atau “self actualization” dan teori apersepsi. Hingga
sekarang teori-teori ini masih pengaruhnya di sekolah-sekolah. Teori belajar ini dikembangkan
dilandasi eksperimen, ini berarti dasar orientasinya adalah “filosofis atau spekulatif. Teori disiplin
mental (Plato, Anistoteles) menganggap bahwa dalam belajar mental siswa didisiplinkan atau dilatih.
Dalam mengajar siswa membaca misalnya, guru pengikut teori mi melatih, “otot-otot” mental siswa.
Guru-guru ini mula-mula akan memberikan daftar kata-kata yang diinginkannya dengan
menggunakan kartu-kartu dimana tertulis setiap kata itu.
Selanjutnya mereka melatih siswa-siswa mereka, dan setiap hari diberi tes, dan siswa-siswa
yang belum pandai harus kembali sesudah jam sekolah untuk dilatih lagi. Menurut rumpun psikologi
teori disiplin mental ini individu memiliki kekuatan, kemampuan, atau potensi-potensi tertentu.
Belajar adalah mengembangkan diri dan kekuatan, kemampuan, dan potensi-potensi individu, proses
pengembangan kekuatan-kekuatan tersebut tiap aliran atau teori mengemukakan pandangan yang
berbeda. Menurut psikologi daya atau “faculty psychology” individu memiliki sejumlah daya-daya
yaitu daya mengindera, mengenal, mengingat, menanggap, menghayal, berpikir, merasakan, berbuat,
dan sebagainya. Daya-daya itu dapat dikembangkan melalui latihan dalam bentuk ulangan-ulangan,
seperti latihan mengamati benda, gambar, latihan mendengarkan bunyi dan suara, latihan mengingat
kata, arti kata, dan letak suatu kota dalam peta. Kalau anak dilatih banyak mengulang-ulang
menghafal sesuatu, maka ia akan terus ingat akan hal itu (Syaodih Sukmadinata, 2003: 167) hal mi
sesuai dengan pepatah melayu “Lancar kaji karena diulang”. Latihan mi bukan hanya berkenaan
dengan daya-daya fisik dan motorik, tetapi juga daya mental.
Herbart (1776-1841) melanjutkan gagasan Pestalozzi tentang mempsikologikan pendidikan,
dengan jalan menyusun pedagogik yang memadukan filsafat dan psikologi dalam menerangkan
peristiwa pendidikan. Harbart menyebut teorinya sebagai teon Vorstellungen yang dapat
diterjemahkan sebagai tanggapan-tanggapan yang tersimpan dalam kesadaran. Tanggapan ini
meliputi tiga bentuk yaitu: (1) impresi indera; (2) tanggapan atau bayangan dan impresi indera yang
lalu; dan (3) perasaan senang atau tidak senang. Tanggapan-tanggapan tersebut tidak semuanya
berada dalam kesadaran, adakalanya juga berada dalam ketidaksadaran. Tanggapan tersebut berbeda
kekuatannya, tanggapan-tanggapan yang kuat, besar pengaruhnya terhadap kehidupan individu.
Jadi belajar adalah mengusahakan adanya tanggapan sebanyak-banyaknya dan sejelas-
jelasnya pada kesadaran individu. Hal yang berkaitan dengan tanggapan itu diperoleh melalui
pemberian bahan yang sederhana tetapi penting dan juga menarik, kemudian memberikannya
seseorang mungkin. Jadi dalam teori Herbart juga tetap menekankan pentingnya ulangan-ulangan.
Jean Jacques Rousseau mengemukakan anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam,
melalui belajar anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi
tersebut. Sesungguhnya anak mempunyai kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan,
dan mengembangkan dirinya sendiri. Artinya pendidik tidak perlu melakukan intervensi yang
berlebihan atau terlalu banyak turut campur mengatur anak, biarkan dia belajar sendiri, yang penting
bagi guru adalah perlu diciptakan situasi belajar yang permissif (rileks), menarik dan bersifat
alamiah. Teori yang berlawanan sekali dengan teori disiplin mental ialah teori perkembangan alamiah
(natural unfoldment). Menurut teori ini, anak akan berkembang secara alamiah. Pengembang-
pengembang teori ini adalah Jean J. Rousseau (1712-1778), ahli pendidik Swis Hainrich Pestalozzi
(1746- 1827), dan ahli filsafat, penemu pendidikan “Kindergarten” Friedrich Frobel 1782-1 852).
Para guru yang mengikuti teori ini, mula-mula akan menunggu hingga siswa-siswa
menyatakan keinginannya untuk belajar membaca misalnya, sebelum mereka mencoba mengajar
siswa-siswa ini membaca. Guru-guru lebih mementingkan perkembangan kematangan (maturational
development) daripada menanamkan keterampilan-keterampilan tertentu. Lagi pula mereka inginkan
agar belajar itu merupakan pengalaman yang menyenangkan anak. Teori yang berlawanan dengan
teori disiplin mental dan alamiah adalah teori apersepsi, yang merupakan suatu nama mental yang
dinamis, didasarkan pada premis fundamental, bahwa ada gagasan bawaan sejak lahir, apapun yang
diketahui seseorang datang luar dirinya. Menurut teori apersepsi, belajar merupakan suatu proses
gagasan-gagasan baru dengan gagasan-gagasan lama yang sudah pikiran (mind). Para pengikut teori
ini akan mengajar siswa-siswa misalnya, mulai dengan abjad, dan berusaha agar para siswa dapat dan
mengucapkan setiap huruf. Kemudian mereka akan mengatakan huruf-huruf itu digabung-
digabungkan untuk membentuk kata-kata, huruf-huruf membuat bunyi, bagaimana bunyi menjadi
bersatu, dan utuma huruf-huruf hidup dan huruf-huruf mati berperan. Dengan kata lain, guru akan
memberikan aturan-aturan pada siswa, membicarakan benda-benda atau makhluk-makhluk hidup
yang telah dikenal para siswa, misalnya kucing, anjing, kuda, kambing, sapi, dan lain-lain. Kemudian
guru menulis di papan tulis “K u d a” dan menerangkan bahwa kata ini menggambarkan kuda. Guru
mi berkeinginan terutama untuk membuat pelajaran membaca itu menarik, dan berusaha agar para
siswa memperoleh gagasan-gagasan yang benar dan membaca. Nama yang paling banyak
dihubungkan dengan teori ini adalah Johann Friedrich Herbat (1776.4841), yang pertama kali
mengembangkan psikologi belajar secara sistematis dan teori tabularasa mengenai pikiran.
b. Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku
yang dapat diamati atau diukur. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang
kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya melokul-molekul. Ada beberapa ciri dan
rumpun teori ini yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil; (2) bersifat
mekanistis; (3) menekankan peranan lingkungan; (4) mementingkan pembentukan reaksi atau respon;
dan (5) menekankan pentingnya latihan (Syaodth Sukmadinata, 2003: 168). Koneksionisme
merupakan teori yang paling awal dan rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia
tidak lain dan suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus respons sebanyak-
banyaknya. Siapa yang menguasai hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya ialah orang
pandai atau berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui
ulangan-ulangan. Dengan demikian teori mi memiliki kesamaan dalam cara mengajarnya dengan
teori psikologi daya atau herbartisme.
Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori ini adalah Thomdike (1874-1949), dengan
eksperimennya belajar pada binatang yang juga berlaku bagi manusia yang disebut Thorndike dengan
“trial and error”. Thorndike menghasilkan teori belajar “connectionism” karena belajar merupakan
proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mengemukakan tiga
prinsip atau hukum dalam belajar yaitu: (1) law of readines, belajar akan berhasil apabila individu
memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut; (2) law of exercise yaitu belajar akan
berhasil apabila banyak latihan dan ulangan; dan (3) law of effect yaitu belajar akan bersemangat
apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Teori pengkondisian (conditioning),
merupakan perkembangan lebih lanjut dan koneksionisme. Teori mi dilatarbelakangi oleh percobaan
Ivan Pavlov (1849- 1936) dengan keluarnya air liur. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau
mencium bau makanan. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan
makanan pada anjing.
Setelah diulang berkali-kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun
makanannya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan.
Artinya belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau
respons terhadap sesuatu. Ivan Pavlov (1849-1936) menghasilkan teon belajar yang disebut “classical
conditioning” atau “stimulus substitution”. Teori penguatan atau “reinforcement” merupakan
pengembangan lebih lanjut dan teori oneksionisme. Kalau pada pengkondisian (conditioning) yang
diberi kondisi adalah perangsangannya (stimulus), maka pada teori penguatan yang dikondisi atau
diperkuat adalah responsnya.
Seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam
ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan pihak itu dengan nilai yang tinggi, pujian,
atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin dan lebih
bersemangat lagi. Prinsip-prinsip belajar menurut teori behaviorisme yang kemukakan oleh Harley
dan davis (1978) yang banyak dipakai adalah: (1) proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila
siswa ikut terlibat secara aktif a1aninya; (2) materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil
dan pitur sedemikian rupa sehingga hanya perlu memberikan suatu respons tertentu (3) tiap-tiap
respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga dapat dengan segera mengetahui apakah
respons yang diberikan betul tidak; dan (4) perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan
apakah bersifat positif atau negatif. Penguatan yang bersifat positif lebih baik karena memberikan
pengalaman yang menyenangkan bagi sehingga ia ingin mengulang kembali respons yang telah
diberikan.
Jadi suatu respon diperkuat oleh penghargaan berupa nilai yang tinggi r kemampuannya
menyelesaikan soal-soal ujian. Pemberian nilai adalah jlcrapan teori penguatan yang disebut juga
“operant conditioning” tokoh utamanya adalah Skinner yang mengembangkan program pengajaran
dengan berpegang pada teori penguatan tersebut. Program pembelajaran yang terkenal dari Skinner
adalah “programmed instruction” dengan menggunakan media buku atau mesin pengajaran. Dalam
pengajaran berprogram, bahan ajaran susun dalam potongan bahan kecil-kecil, dan disajikan dalam
bentuk informasi dan tanya jawab.
Anak belajar dengan cara membaca informasi dan soal, lalu memberikan atau memilih
jawaban yang tersedia. Jawaban anak segera dicocokkan dengan kunci jawaban, dan segera diketahui
hasilnya yang dinyatakan dengan kualifikasi nilai tertentu.
Nilai yang baik akan mendapatkan pengelola belajar terutama menyangkut teori
behaviorisme, kritik-kritik ini adalah: pujian, sedangkan nilai yang kurang baik akan mendapatkan
peringatan. Pengajaran berprogram disajikan dalam berbagai bentuk media pengajaran yaitu dalam
bentuk buku program, mesin pengajaran, kaset audio, kaset video, atau komputer. Melalui
penggunaan pelajaran berprogram dimungkinkan anak belajar secara individual, guru dalam hal ini
sebagai pengarah, pendorong dan pengelola belajar.
Skinner adalah seorang pakar teoni belajar berdasarkan proses “conditioning” yang pada
prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara
stimulus dengan respons. Psikologi penguatan atau “operant conditioning” merupakan perkembangan
lebih lanjut dan teori koneksionisme atau “conditioning”. Pada pertengahan 1950 dan 1960-an
menurut Harley dan davis (1978) timbul kritik-kritik tajam terhadap prinsip-prinsip belajar yang
diterapkan untuk sistem instruksional terutama menyangkut teori behaviorisme, kritik-kritik ini
adalah :
1. Apakah hasil penelitian tentang proses belajar, terutama yang menyangkut hubungan S-R yang
diperoleh dengan memakai binatang sebagai subjek, karakteristik ini sama atau dapat diterapkan
pada manusia Binatang yang berlainan species akan memberi respons yang berlainan apabila
diberi bermacam-macam stimulus penguatan.
2. Apakah hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium akan relevan dengan situasi belajar
sesungguhnya? Dalam laboratorium, peneliti dapat mengatur dan mengukur pengaruh variabel-
variabel yang ingin diteliti hubungannya dengan hasil belajar, karena variabel lainnya dapat
dikontrol. Esksperimen-eksperimen dalam laboratorium terlalu sederhana sifatnya, dan
kompleksitas karakteristik belajar pada manusia seakan-akan diabaikan di sini.
3. Apakah faktor-faktor sosial juga diperhatikan dalam penelitian-penelitian eksperimental di
laboratorium? Seperti diketahui proses belajar manusia tidak merupakan suatu yang berdiri
sendiri tanpa dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya. Lingkungan dapat merubah tingkah laku
hewan dan manusia.
4. Kecuali faktor-faktor sosial, nampaknya penelitian di laboratorium juga mengesampingkan faktor
perkembangan lainnya seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya. Bagaimana seseorang
belajar sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, merupakan pertanyaan penting, baik secara
teoritik maupun dalam praktek. Perkembangan adalah pembentukan keterampilan baru dan
keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana dan yang telah diperoleh sebelumnya. Dengan
demikian pada prinsipnya pengalaman-pengalaman sebelumnya merupakan sesuatu yang perlu
diperhatikan pada proses belajar.
5. Kritik utama mengenai prinsip-prinsip tersebut ialah bahwa prinsip-prinsip ‘ lebih mengutamakan
pernyataan yang bersifat deskriptif dan tidak preskriptif. Semua pengajar mengetahui bahwa
aktivitas diperlukan dalam proses belajar, tetapi mereka belum mengetahui dengan jelas aktivitas
seperti apa, sejauh mana aktivitas tersebut diperlukan dan kapan aktivitas ini justru dapat
merupakan penghambat proses belajar?
Untuk menanggulangi kritik-kritik mi dalam pengembangan sistem truksiona1 diterapkan
prinsip-prinsip teori psikologi seperti teori kepribadian , psikologi sosial, hal ini dikarenakan: (1)
belajar merupakan proses ilmiah prosedur yang ilmiah pula; (2) sikap orang mempunyai kebutuhan
dan yang merupakan keinginan untuk belajar tanpa dapat dibendung oleh lain; (3) belajar akan lebih
lancar apabila materi yang dipelajarinya dengan pribadi orang yang belajar, dan ia diberi kesempatan
untuk jawab atas proses belajarnya sendiri; (4) proses belajar jarang merupakan proses yang terjadi
dalam keadaan menyendiri; dan (5) proses dengan pengikutsertaan emosi dan perasaan siswa akan
memberikan yang lebih baik. Artinya belajar benar-benar diperuntukkan untuk kemampuan pribadi
siswa dengan mengembangkan potensinya melalui berbagai aktivitas belajar.
c. Teori Cognitive Gestalt-Filed
Teori kognitif, dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif teori ini beda dengan
behaviorisme, bahwa yang utama pada kehidupan manusia mengetahui (knowing) dan bukan respons.
Psikologi Gestalt dipandang agal anak dan aliran strukturalisme, pada tahun 1912 sebagai reaksi
terhadap strukturatisme dalam psikologi (structural psychology) yaitu sistem psikologi yang
dikaitkan dengan William Max Wundt (1832-1920) Bapak psikologi eksperimen dan Edward
Bradferd Titchner. Aliran struictural ini memandang pengalaman manusia dan sudut pengalaman
pribadi. Sedangkan psikologi Gestalt memandang kejiwaan manusia terikat kepada pengamatan sang
berwujud kepada bentuk menyeluruh.
Teori belajar Gestalt (Gestalt Theory) ini lahir di Jennan tahun 1912 dipe1opori dan
dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem
solving, dan pengamatannya ia menyesalkan pengalaman sebelumnya merupakan sesuatu yang perlu
diperhatikan pada proses belajar penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki agar
murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis. Sumbangannya mi diikuti tokoh-tokoh
lainnya adalah Wolfgang Kohier (1887-1959) yang meneliti tentang “insight” pada simpanse yaitu
mengenai mentalitas Simpanse (ape) di pulau Canary yang memperkembang psikologi Gestalt.
Pandangannya ini bertentangan dengan pandangan Thorndike mengenai belajar, yang menganggap
sebagai proses “trial and error”.
Kohler menyatakan bahwa belajar serta mencapai hasil adalah proses yang didasarkan insight.
Kecuali itu, pengamatan menurut psikologi elemen berlangsung dan bagian-bagian menuju
keseluruhan. Sedangkan psikologi Gestalt berpendapat bahwa, pengamatan adalah bersifat totalitas,
kesan pertama pengamatan adalah totalitas atau keseluruhan, bagian-bagian barulah muncul
kemudian secara analitis. Kurt Koffica (1886-194 1) yang menguraikan secara terperinci tentang
hukum-hukum pengamatan, dan Kurt Lewin (1892-1947) yang mengembangkan suatu teori belajar
(cognitive field) dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin
berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dan
dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun dan luar diri individu
seperti tantangan dan permasalahan.
Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut “life space” yang mencakup
perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya orang-orang yang ia jumpai, objek
materiil yang ia hadapi, dan fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Menurut Lewin belajar
berlangsung sebagai akibat dan perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu
adalah hasil dan dua macam kekuatan, satu dan struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dan
kebutuhan dan motivasi internal individu. Apabila seseorang belajar, maka ia akan tambah
pengetahuannya, Lewin memberikan peranan yang lebih penting pada motivasi dan reward
(Soemanto, 1998:129). Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan psikologi Gestalt yang
menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam pengalaman.
Kalau rumpun psikologi behaviorisme bersifat molekular atau menekankan unsur-unsur,
maka rumpun kognitif Gestalt bersifat molar yaitu menekankan keseluruhan yang terpadu, alam
kehidupan manusia dan perilaku manusia selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu keterpaduan.
Kaum “Gestaltis” berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu
keseluruhan. Orang yang belajar, mengamati stimuli dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan
dalam bagian-bagian yang terpisah.
Teori Gestalt ini merupakan salah satu dan teori rationalist dalam psikologi. Para ahli
psikologi Gestalt memulai teorinya dan ide abstrak mengenai sifat pengamatan, berpikir, dan struktur
pengalaman kejiwaan manusia.
Gestalt dalam bahasa Jerman berarti “whole configuration” atau bentuk utuh, pola, kesatuan,
dan keseluruhan artinya Gestalt adalah keseluruhan lebih berarti dan bagian-bagian. Dalam belajar,
siswa harus mampu menangkap makna dan hubungan antara bagian yang satu dengan bagian ya.
Penangkapan makna hubungan jumlah yang disebut memahami, mengerti atau “insight”. Menurut
pandangan Gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan “insight” atau pemahaman terhadap
hubungan-hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan. Menurut
psikologi Gestalt tingkat kejelasan atau keberantian dan apa yang diamati dalam pas belajar, adalah
lebih meningkatkan belajar seseorang daripada hukuman, ganjaran.
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang yaitu pengamatan dan
pemahaman mendadak terhadap hubungan antara bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan.
Dalam pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan atau bagian-bagian bahan ajaran,
tetapi selalu satu kesatuan utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang persoalan-
persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan antan bagian, memperoleh insight agar ia dapat
memahami situasi atau bahan ajaran tersebut. “Insight” itt sening dihubungkan pernyataan spontan
seperti “aha” atau “oh, see-now”. Menurut teori mi pengamatan manusia pada awalnya bersifat global
terhadap objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dan keseluruhan baru berproses kepada
bagian-bagian. Pengamatan antinya proses menafsirkan, dan memberi anti rangsangan yang masuk
melalui indera-indera seperti mata dan telinga. Belajar Gestalt menekankan pemahaman atau
“insight” dan pengamatan sebagai suatu alternatif. Berkat pengalaman seorang siswa akan mampu
mencapai pengamatan yang benar objektif sebelum mencapai pengertian. Suatu keseluruhan terdiri
atas bagian-bagian yang mempunyai hubungan yang bermakna satu sama lain. Dalam belajar siswa
harus memahami makna hubungan antar satu bagian dengan bagian yang lainnya. Ketika para pakar
psikologi mulai meluaskan pandangannya dan sekedar soal pengamatan ke soal belajar, maka dasar
pandangan tentang pengamatan itu dibawanya ke dalam studi tentang belajar. Dikatakannya bahwa
hukum-hukum tentang pengamatan berlaku bagi proses belajar.
Hal ini di kemukakan berdasar kenyataan, belajar itu pada hakekatnya merupakan
penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungan, yaitu untuk mendapatkan respons yang tepat.
Penemuan respons yang tepat ini tergantung pada strukturalisasi daripada bahan yang tersedia di
depan siswa, maka mudah atau sulitnya masalah tergantung pada pengamatan. Insight sebagaimana
hasil penelitian ternyata memegang peranan penting, maka insight pun mendapat tempat yang penting
dalam teori belajar. Belajar dipandang sebagai fenomena dan apa yang dipelajari sebagai produk, dan
ditentukan oleh keadaan jiwa dan oleh hukum susunan pengamatan. Hukum pengamatan menurut
teori Gestalt meliputi: (I) hukum keterdekatan, artinya yang terdekat merupakan Gestalt; (2) hukum
ketertutupan, artinya yang tertutup merupakan Gestalt; dan (3) hukum kesamaan, artinya yang sama
merupakan Gestalt.
Hubungannya dengan Gestalt ruang pada indera penglihatan akan berhubungan dengan
Gestalt waktu dalam indera pendengaran membentuk suatu kesatuan yang mengatasi sifat
keterbatasan daripada waktu. Penglihatan terhadap objek yang sudah jelas strukturnya dalam proses
belajar, maka kesan yang diperoleh adalah tergantung kepada objek yang diamati. Akan tetapi kesan
penglihatan terhadap objek yang kurang jelas strukturnya oleh Soemanto (1998:20) akan lebih
bergantung kepada subjek yang dalam hal mi adalah peranan sikap batin si subjek itu sendiri.
Kejiwaan manusia terikat kepada pengamatan yang dimilikinya, pengamatan ini adalah perwujudan
keadaan kejiwaan manusia. Manusia adalah mahkluk secara psikologis mempunyai kesadaran atas
pengertian atau insight yang ada dalam jiwanya.
Manusia yang dihadapkan pada problema atau “problem solving” untuk mencoba
memahaminya dengan melakukan upaya menghubungkan unsur-unsur dalam problema tersebut
dengan menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian unsur berpikir atau
inteligen ikut berperan, sehingga timbul dalam jiwa yang bersangkutan pengertian atau insight.
Setelah ia menemukan insight, maka ia akan menyatakan insight itu dengan suatu ekspresi yaitu “aku
mengerti sekarang”, “aku dapat menyelesaikannya”, dan sebagainya yang menimbulkan rasa puas,
karena mampu menyelesaikan problema yang dihadapinya. Jadi dalam belajar pemahaman atau
memegang peranan amat penting bagi tuntasnya kegiatan belajar.
Belajar bukanlah aktivitas reaktif mekanistis belaka, tetapi juga adanya pemahaman terhadap
perangsang yang datang yang tengah dihadapi diwaktu orang melakukan aktivitas belajar. Menurut
teori Gestalt perbuatan belajar tidak berlangsung seketika, tetapi berlangsung berproses kepada hal-
hal esensial, sehingga aktivitas belajar itu akan menimbulkan makna yang (meaningfidl). Sebab itu
dalam proses belajar, makin lama akan timbul ini pemahaman yang mendalam terhadap materi
pelajaran yang dipelajar, perhatian makin ditujukan kepada obyek yang dipelajari itu telah mengerti
dan dapat apa yang dicari. Sebab itu menurut Rasyad (2003 :77) hendaknya timbul rasa kebutuhan
belajar dalam diri, bahwa belajar itu perlu dan harus dilakukan untuk memperoleh sesuatu dengan
memahami bagian dan hubungan antar bagian hingga terjadi proses penguraian (analysis) dan
pemaduan (sintesis). Situasi uar merupakan keseluruhan konfigurasi Gestalt dan proses pengamatan
yang dalam diri manusia melalui sensorinya kemudian perangsang (R) bergabung dengan respon dan
menyatu membentuk aktivitas, karena kesatuan dengan respons dan diproses oleh kecerdasan
sehingga pemahaman atau pengertian terhadap masalah yang tengah Dalam jiwa akan terdapat “Aha
Erlebnis” sebagaimana dikemukakan dengan percobaannya, “Aha Erlebnis” oleh orang Jerman
diartikan tingkah laku hasil belajar. Melalui teori Gestalt mi pengamatan kita awalnya betul-betul
global, kita melihat secara awal adalah Vas bunga, h kita amati dengan seksama barulah kita
menemukan bagian-bagiannya ki-ta ada melihat sejumlah lekukan, ornamen, dan isinya yang menjadi
bagian yang terpisahkan dan Vas bunga tersebut dari sebagainya (Rasyad, :74). Suatu hukum yang
terkenal dan teori Gestalt yaitu hukum Pragnanz, kurang lebth berarti teratur, seimbang, simetri, dan
harmonis. Hukum pragnanz ini menunjukkan tentang berarahnya segala kejadian, Pragnanz dapat
sebagai daya muat yaitu keadaan seimbang, suatu Gestalt yang baik. Belajar adalah mencari dan
mendapatkan Pragnanz, menemukan keteraturan, kesederhanaan, kestabilan, simetri, keharmonisan
dan sebagainya dan sesuatu, sebaliknya dan itu keadaan yang problematis menurut Suryabrata :277)
adalah keadaan yang tidak pragnaz.
Pemecahan problem itu ialah mengadakan perubahan dalam ZF medan atau hal itu dengan
memasukkan hal-hal yang dapat membawa hal yang problematis kearah yang bersifat pragnaz. Untuk
menemukan Pragnanz diperhikan adanya pemahaman atau insight, menurut Ernest Hilgard ada enam
ciri dan belajar pemahaman mi yaitu: (1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, individu
yang satu dengan yang lain mempunyai kemampuan dasar yang berbeda; (2) pemahaman dipengaruhi
oleh pengalaman belajar yang lalu yang relevan, namun pengalaman masa lalu tersebut belum
menjamin dapat menyelesaikan problem, sebab pemecahan-pemecahan problem berarti penerapan
operation-operation yang telah dipelajari terlebih dahulu; (3) pemahaman tergantung kepada
pengaturan situasi, sebab insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar itu diatur
sedemikian rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati; (4) pemahaman didahului oleh
usaha coba-coba, sebab insight bukanlah hal yang dapat jatuh dan langit dengan sendirinya,
melainkan adalah hal yang harus dicari; (5) belajar dengan pemahaman dapat diulangi, jika sesuatu
problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali diberikan lagi kepada pelajar yang
bersangkutan, maka dia akan dengan langsung dapat memecahkan problem itu lagi; dan (6) suatu
pemahaman dapat diaplikasikan atau dipergunakan bagi pemahaman situasi lain (Suryabrata,
2001:279 dan Syaodih Sukmadinata, 2003:171). Menurut teori ini dapat ditegaskan bahwa belajar
adalah berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan.
d. Makna dan Ciri Belajar
Meskipun terdapat titik pertemuan antara berbagai pendapat para ahli mengenai apa itu
hakekat atau esensi dan perbuatan belajar ialah perubahan perilaku dan pribadi, namun mengenai apa
sesungguhnya yang dipelajari dan bagaimana manifestasinya masih tetap merupakan permasalahan
yang mengundang interpretasi paling fundamental mengenai hal mi. Dengan demikian inti dan
belajar yang di kemukakan oleh para ahli tersebut dilihat dan psikologi adalah adanya perubahan
kematangan bagi anak didik sebagai akibat belajar sedangkan dilihat dan proses adalah adanya
interaksi antara peserta didik dengan pendidik sebagai proses pembelajaran. Perubahan kematangan
mi akibat dan adanya proses pembelajaran, dan perubahan ini tampak pada perubahan tingkah laku
yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang diperolehnya dan proses belajar.
Secara singkat dan berbagai pandangan itu oleh Syamsudin Makmur (2003:159) dapat
dirangkumkan bahwa yang dimaksud dengan perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat
fungsional atau struktural, material, dan behavioral, serta keseluruhan pribadi (Gestalt atau sekurang-
kurangnya multidimensional). Pendapat mi sejalan dengan pendapat Hilgand dan Bower (l98 1) yang
mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagal perubahan tingkah laku yang relatif permanen
dan yang merupakan hasil proses pembelajaran bukan disebabkan oleh adanya proses kedewasaan.
Edward Thorndike (1933) berpendapat belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan,
keterampilan, dan sikap. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai
tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri.
Karakteristik perilaku belajar ini dilihat dan sudut psikologi pendidikan disebut juga prinsip-
prinsip belajar. Tindakan belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar yang tampak dari luar.
Berkaitan dengan konsep perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau
struktural, material, dan bavioral, serta keseluruhan pribadi, secara singkat dijelaskan bahwa: (1)
belajar merupakan perubahan fungsional (pendapat ini dikemukakan oleh menganut paham teori daya
atau “faculty psychology” termasuk dalam paham nativisme”) yaitu jiwa manusia itu terdiri atas
sejumlah fungsi-fungsi yang memiliki daya atau kemampuan tertentu misalnya daya mengingat,
daya, dan sebagainya; (2) belajar merupakan pelayanan materi pengetahuan, dan atau perkayaan
pola-pola sambutan (respons) perilaku baru behavior), pandangan ini di kemukakan penganut paham
ilmu jiwa asosiasi atau paham empirismenya John Locke; dan (3) belajar merupakan perubahan
perilaku dan pribadi secara keseluruhan, pendapat ini di kemukakan oleh menganut ilmu jiwa Gestalt
bersumber pada paham “organismic psychology”.
Pemahaman terhadap berbagai teori belajar diperlukan dan penting bagi para pendidik untuk
melaksanakan tugas profesionalnya. Chaplin (1989:272) ienegaskan bahwa belajar (learning) adalah:
(1) perolehan dan sebarang perubahan yang relatif permanen dalam tingkah laku, sebagai hasil dari
praktek atau hasil pengalaman; dan (2) proses mendapatkan reaksi-reaksi, bagai hasil dan praktek dan
latihan khusus. Dalam mempelai hal belajar lewat pengkondisian atau persyaratan, ada tersedia dua
model yaitu pengkondisian klasikal dan pengkondisian operan.
Dalam penglcondisian klasikal proses asasi yang tercakup di adalah pengulangan berpasangan
yaitu yang dipasangkan dan suatu perangsang yang dikondisioning (yang harus dipelajari), dan satu
perangsang yang tidak dikondisionir atau dipersyaratkan (berkenaan dengan penguatan). Untuk
memahami konsep belajar lebih mendalam berikut ini di kemukakan pendapat beberapa ahli yang di
introdusir oleh Dimyati dan Mujiono (1999:9-16) berikut :
Dari ketiga pandangan diatas dapat dipahami bahwa perbuatan dan hasil belajar itu mungkin
dapat dimanifestasikan dalam wujud: (1) pertambahan materi pengetahuan yang berupa fakta,
informasi, prinsip hukum atau kaidah, prosedur atau pola kerja atau teori sistem nilai-nilai dan
sebagainya; (2) penguasaan pola-pola perilaku kognitif (pengamatan) proses berpikir, .mengingat
atau mengenal kembali, perilaku afektif (sikap-sikap apresiasi, penghayatan, dan sebagainya)
perilaku psikomotorik termasuk yang bersifat espresi dan (3) perubahan dalam sifat-sifat kepribadian
baik yang tangible maupun yang intangible. Setiap perilaku belajar tersebut selalu ditandai oleh ciri-
ciri perubahan yang spesifik antara lain seperti dikemukakan berikut ini.
a. Belajar menyebabkan perubahan pada aspek-aspek kepribadian yang berfungsi terus menerus,
yang berpengaruh pada proses belajar selanjutnya.
b. Belajar hanya terjadi melalui pengalaman yang bersifat individual
c. Belajar merupakan kegiatan yang bertujuan, yaitu arah yang ingin dicapai melalui proses belajar.
d. Belajar menghasilkan perubahan yang menyeluruh, melibatkan keseluruhan tingkah laku secara
integral
e. Belajar adalah proses interaksi
f. Belajar berlangsung dan yang paling sederhana sampai pada kompleks
Dari pembahasan tersebut ditegaskan bahwa ciri khas belajar adalah perubahan, yaitu belajar
menghasilkan perubahan perilaku dalam diri peserta dik. Belajar menghasilkan perubahan perilaku
yang secara relatif tetap dalam berpikir, merasa, dan melakukan pada diri peserta didik. Perubahan
tersebut terjadi sebagai hasil latihan, pengalaman, dan pengembangan yang hasilnya dapat diamati
secara langsung.
e. Prinsip-prinsip Belajar
Belajar menurut teori psikologi asosiasi (koneksionisme) adalah proses bentukan asosiasi atau
hubungan antara stimulus (perangsang) yang mengenai individu melalui penginderaan dan response
(reaksi) yang diberikan terhadap rangsangan tadi, dan proses memperkuat hubungan tersebut.
eksperimen dilakukan para ahli-ahli psikologi tentang proses belajar berhasil mengungkapkan serta
menemukan sejumlah prinsip atau yang merupakan dasar-dasar dalam melakukan proses dan
mengajar atau Sehubungan dengan itu, ada berbagai prinsip belajar yang oleh para ahli dibidang
psikologi pendidikan, antara Lain prinsip belajar sebagaimana berikut ini :
a. Law of Effect yaitu bila hubungan antara stimulus dengan respon terjadi dan diikuti dengan
keadaan memuaskan, maka hubungan itu diperkuat. Sebaliknya jika hubungan itu diikuti dengan
perasaan tidak menyenangkan, maka hubungan itu akan melemah. Jadi, hasil belajar akan
diperkuat apabila menumbuhkan rasa senang atau puas (Thorndike)
b. Spread of Effect yaitu reaksi emosional yang mengiringi kepuasan itu tidak terbatas kepada
sumber utama pemberi kepuasan, tetapi kepuasan mendapat pengetahuan baru
c. Law of Exercice yaitu hubungan antara perangsang dan reaksi diperkuat dengan latthan dan
penguasaan, sebaliknya hubungan itu melemahkan jika dipergunakan. Jadi, hasil belajar dapat
lebih sempurna apabila sering diulang dan sering dilatih
d. Law of Readiness yaitu bila satuan-satuan dalam sistem syaraf telah siap berkonduksi, dan
hubungan itu berlangsung, maka terjadinya hubungan itu akan memusakan. Dalam hubungan ini
tingkah laku baru akan terjadi apabila yang belajar telah siap belajar
e. Law of Primacy yaitu hasil belajar yang diperoleh melalui kesan pertama, akan sulit digoyahkan
f. Law of Intensity yaitu belajar memberi makna yang dalam apabila diupayakan melalui kegiatan
yang dinamis
g. Law of Recency yaitu bahan yang baru dipelajari, akan lebih mudah diingat
15. Dalam proses belajar mengajar dapat meliputi belajar informasi (pengetahuan), belajar konsep.
belajar prinsip belajar sikap dan belajar keterampilan.
16. Insight timbul jika individu berhasil menemukan hubungan antara bagian-bagian atau unsur-unsur
dan suatu keseluruhan konfigurasi, insight dapat timbul secara tiba-tiba ataupun secara berangsur-
angsur
17. Proses belajar mengajar bersifat individual, artinya tiap individu memperlihatkan perbedaan
dalam kecepatan belajar, tingkat dan batas-batas dalam berbagai bidang.
Proses belajar mengajar dapat terjadi tanpa diikuti oleh gejala-gejala ahiriah dan perubahan
tingkah laku individu. Sumbangan pandangan E. L. Thomdike terhadap belajar diantaranya: (I)
kematangan, kesiapan belajar dan motivasi berperanan penting dalam keberhasilan belajar; (2)
perubahan tingkah 1aku data basil belajar dapat diperkuat melalui penggunaan hadiah
(reward), ,sebaliknya dapat diperlemah dengan penggunaan hukuman; dan (3) dalam beberapa aspek
belajar bidang kognitif, dan bidang psikomotor terutama dalam keterampilan, peranan trial and error
cukup besar pengaruhnya.
f. Syarat Agar Peserta Didik Berhasil Belajar
Agar peserta didik dapat berhasil belajar diperlukan persyaratan tertentu lain seperti di
kemukakan berikut ini: (1) kemampuan berfikir yang tinggi para siswa, hal mi ditandai dengan
berpikir kritis, logis, sistematis, dan (Scholastic Aptitude Test); (2) menimbulkan minat yang tinggi
mata pelajaran (Interest Inventory); (3) bakat dan minat yang khusus siswa dapat dikembangkan
sesuai potensinya (Differential Aptitude Test); menguasai bahan-bahan dasar yang dip erlukan untuk
meneruskan pelajaran sekolah yang menjadi lanjutannya (Achievement Test); (5) menguasai salah
bahasa asing, terutama Bahasa Inggris (English Comprehension Test) bagi yang telah memenuhi
syarat untuk itu; (6) stabilitas Psikis (tidak i masalah penyesuaian diti dan seksual); (7) kesehatan
jasmani; (8) lingkungan yang tenang; (9) kehidupan ekonomi yang memadai; (1) menguasai teknik
belajar di Sekolah dan di luar sekolah.
Belajar dalam satu bidang tidaklah menjamin dalam bidang yang lain, misalnya guru pada
suatu kursus memperkembangkan suatu keterampilan pada tingkat yang tinggi dengan membagi-bagi
personil dalam kelas-kelas laboratons atau ruang-ruang kelas, tapi dia mungkin tidak berminat untuk
mengusahakan agar ketarampilan ini dilengkapi dengan bagian-bagian belajar itu tidak dapat
diperoleh. Belajar tidak terjadi dalam artian yang lebih luas; padahal belajar adalah tentang
perubahan kelakukan seorang individu, bilamana sedang mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu.
g. Cara Belajar yang Balk
Proses pembelajaran tidak selalu efektif dan efisien dan hasil proses belajar mengajar tidak
selalu optimal, karena ada sejumlah hambatan. Karena itu, guru dalam memberikan materi pelajaran
hanya yang berguna dan bermanfaat bagi para siswanya. Materi tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan mereka akan pelajaran tersebut. Belajar seperti mi akan lebih mengutamakan penguasaan
ilmu, dan diyakini akan memberi peluang untuk siswa lebih kreatif dan guru lebih profesional.
Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna dimana guru mampu menciptakan kondisi
belajar yang dapat membangun kreatifitas siswa untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Cara belajar yang baik secara umum menggambarkan bahwa: (1) belajar secara efisien
(mampu) yang ditampakkan pada komitmen yang tinggi untuk memenuhi waktu yang telah diatur,
mampu mengatur keuangan, rajin melaksanakan tugas-tugas belajar, sungguh-sungguh menghadiri
pelajaran, datang ke sekolah selalu tepat waktu, cahaya ruang belajar yang cukup dan lingkungan
yang tenang, menyusun catatan pelajaran yang lengkap dan rapi, dan tersedia buku pelajaran yang
baik dan cukup di sekolah (perpustakaan); (2) mampu membuat berbagai catatan yaitu selalu
mencatat pelajaran dan tertib dalam membuat catatan; (3) mampu membaca yaitu mampu memahami
isi bacaan dan mata pelajaran, mampu membaca cepat (bagi siswa tertentu 1 halaman 1 menit), mata
pelajaran yang dibaca lama tersimpan dalam ingatan, tahu mana yang perlu dihafal mana yang tidak,
lama dan banyaknya membaca, dan membaca utuh bukan bagian-bagian; (4) siap belajar yaitu belajar
sebelumlsesudah mengikuti mata pelajaran, menguasailmemahami isi bacaan dari materi pelajaran,
belajar berangsur atau bertahap agar tidak jenuh, dan mengulang bacaan untuk menokohkan ingatan;
(5) keterampilan belajar yaitu membaca cepat dan faham apa yang dibaca, mencatat materi pelajaran
secara sistematis. memiliki kemampuan bahasa untuk memahami pelajaran, mampu mengerjakan
hitungan sesuai tingkat sekolahnya, dan mengerti dan mampu menyatakan pikirannya baik tertulis
maupun lisan; (6) memahami perbedaan belajar pada tingkatan sekolah seperti SD, SLTP dan SMU
yaitu apa yang dipelajari jauh lebih banyak, rangking di kelasnya atau di sekolah, berusaha belajar
secara mandiri, ada keseimbangan belajar tatap muka di kelas dengan
h. Fenomena kejenuhan adalah suatu penyebab yang menjadi perhatian signifikan dalam
pembelajaran. Kejenuhan adalah suatu sumber frustrasi fundamental bagi peserta didik dan juga
pendidik di lain pihak intervensi pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan selalu tidak
memecahkan masalah yang esensial. Kejenuhan belajar (plateauing) adalah rentang waktu
tertentu yang dipakai untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil, karena antara lain keletihan
mental dan indera-indera. Plateau Belajar yaitu periode kegiatan yang tidak menyebabkan
perubahan pada individu karena berbagai faktor: (1) kesulitan bahan yang dipelajari meningkat,
sehingga yang belajar tidak mampu menyelesaikan. Sekalipun yang belajar terus berusaha; (2)
metode belajar yang dipergunakan individu tidak memadai, sehingga upaya yang dilakukannya
akan sia-sia belaka; dan (3) kejenuhan belajar yang disebabkan oleh keletihan atau kelelahan
badan
i. Belongingness yaitu keterikatan bahan yang dipelajari pada situasi belajar, akan mempermudah
berubahnya tingkah laku. Hasil belajar yang memberikan kepuasan dalam proses belajar dan
latihan yang diterima erat kaitannya dengan kehidupan belajar. Proses belajar yang demikian ini
akan meningkatkan prestasi hasil belajar peserta didik.
Untuk memberi pemahaman yang lebih mengenai prinsip-prinsip belajar yang telah
dikemukakan sebelumnya, beberapa prinsip atau kaidah dalam proses pembelajaran sebagai hasil
eksperimen para ahli psikologi yang berlaku secara umum sebagaimana dikemukakan Rusyan (1993 :
20) di bawah ini :
1. Motivasi, kematangan dan kesiapan diperlukan dalam proses belajar mengajar, tanpa motivasi
dalam proses belajar mengajar, terutama motivasi intristik proses belajar mengajar tidak akan
efektif dan tanpa kematangan organ-organ biologis dan fisiologis, upaya belajar sukar
berlangsung, demikian misalnya anak kecil tidak akan mampu belajar mengucapkan kata-kata
atau berbicara jika fungsi dan organ-organ bicara belum mencapai taraf kematangan untuk itu.
Demikian pula halnya dalam belajar di sekolah.
2. Pembentukan persepsi yang tepat terhadap rangsangan sensoris merupakan dasar dari proses
belajar mengajar yang tepat. Bila interprestasi dan persepsi individu terhadap objek, benda,
situasi, rangsangan disekitarnya keliru atau salah, terutama pada tahap-tahap awal belajar, maka
belajar selanjutnya merupakan akumulasi kesalahan di atas kesalahan. Sebagai contoh, peserta
didik yang baru tahap awal belajar matematika tehambat dalam interpretasi dan persepsi yang
tepat untuk selanjutnya peserta didik tersebut akan mengalami kesulitan mempelajari matematika.
3. Kemajuan dan keberhasilan proses belajar mengajar ditentukan oleh antara lain bakat khusus,
taraf kecerdasan, minat serta tingkat kematangan dan jenis, sifat dan intensitas dan bahan yang
dipelajari.
4. Proses belajar mengajar dapat dangkal. luas dan mendalam. tergantung pada materi yang menjadi
pembahasan dalam pembelajaran tersebut.
5. Feedback atau pengetahuan akan hasil-hasil proses belajar mengajar yang lampau dapat
merangsang atau sebaliknya menghambat kemajuan proses belajar mengajar berikutnya. Sukses
dimasa lampau atau pada salah satu mata pelajaran cenderung untuk diikuti dengan sukses
sekarang dan masa yang akan datang serta pada mata pelajaran lainnya.
6. Proses belajar mengajar dalam suatu situasi dapat ditransferkan untuk kegiatan belajar situasi atau
bidang lainnya, dikenal dengan transfer of learning dan transfer of training dalam pembelajaran.
7. Response yang kacau, kaku dan acak-acakan serta proses belajar mengajar secara trial and error
tidak terencana menandai proses belajar mengajar yang amburadul dan pembelajaran itu
cenderung gagal.
8. Untuk mengukur kemajuan belajar, maka ulangan, latihan akan memperkuat hasil belajar,
sebaliknya tanpa latihan, ulangan dan penggunaan maka hasil belajar akan hilang atau melemah.
9. Trial and error, response tak beraturan dan jamak, umumnya menandai tahap-tahap awal beberapa
mata pelajaran untuk mencari bentuk pembelajaran yang cocok.
10. Proses belajar mengajar dapat bersifat internasional artinya pembelajaran tersebut direncanakan,
teroraganisir, bahan pelayanan tersusun secara sistematis dan dibimbing guru atau petugas yang
terlatih untuk itu. Belajar mi akan menjadi sangat efektif dan didukung oleh minat, yang kuat dan
peserta didik.
11. Transfer dalam belajar dapat positif atau negatif dan transfer positif terjadi bila belajar kemudian
dipermudah atau dibantu oleh belajar yang mendahului, sedangkan transfer negatif terjadi apabila
yang telah dipelajari sebelumnya menghambat belajar yang kemudian.
12. Proses belajar-mengajar berlangsung dari yang sederhana meningkat kepada yang kompleks, dari
yang konkret kepada yang abstrak, dan yang khusus ke umum dan yang mudah ke sulit, dari
induksi ke deduksi
13. Proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan kurang bisa dan secara insidentil. Sejumlah
sikap minat, reaksi-reaksi emosional individu yang di perlambangkan secara tidak atau kurang
disadari, pengetahuan anak tentang bahasa (bahasa daerah dan bahasa pergaulan sehari-hari)
umumnya dipelajari/dimiliki dengan tidak di sengaja, mengingat dan mengenal kembali suatu
pengetahuan objek situasi yang pernah dilihat dibaca didengar banyak terjadi karena belajar yang
tidak sengaja.
14. Proses belajar mengajar yang disertai oleh pemahaman yang jelas tentang tujuan yang mudah
dicapai akan menjadi lebih baik efektif dan pada belajar tanpa tujuan- tujuan dari arah yang jelas
belajar sendiri, dan pengendalian belajar tidak ketat agar tidak jenuh dan kaku; (7) dukungan
orang tua yang paham akan perbedaan belajar di masing-masing tingkatan sekolah dimana
anaknya belajar; dan (8) status harga diri lebih/kurang.
Cara belajar yang baik, tentu harus mampu mengatasi kesulitan belajar. Untuk membantu
peserta didik mengatasi kesulitan belajar, dibutuhkan suatu prosedur yang sistematis dan terencana.
Artinya membantu mengatasi kesulitan belajar siswa dikerjakan secara sungguh-sungguh, bukan
setengah hati. Rusyan (1993:31) menawarkan petunjuk umum cam dan teknik mengatasi kesulitan
belajar yakni: (1) menetapkan target dan tujuan belajar yang jelas; (2) menghindari saran dan kritik
yang negatif (3) menciptakan situasi belajar yang sehat dan kompetitif, (4) menyelenggarakan
remedial program; dan (5) memberi kesempatan agar peserta didik memperoleh pengalaman yang
sukses.
h. Strategi Mempelajari Buku Teks (Melalui SQ3R)
Salah satu hal yang penting dalam belajar adalah membaca buku teks yang berisi tulisan
materi pelajaran untuk dibaca baik berupa buku paket maupun buku-buku lainnya yang berkaitan
dengan mata pelajaran. Kiat yang secara spesifik dirancang untuk memahami teks disebut metode
SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, dan Review) yang dikembangkan oleh Francis P. Rbinson
dan Ohio University. Metode membaca buku teks tersebut bersifat praktis dan dapat diaplikasikan
dalam berbagai pendekatan belajar untuk semua liata pelajaran (Muhibbinsyah, 2003:130). Dimulai
dengan melakukan survey yaitu menjelajahi seluruh buku yang tersedia di perpustakaan dan tempat
lain yang berkaitan dengan mata pelajaran dengan menelusuri daftar isi (Bab demi b, gambar, tabel,
kesimpulan).
Hasil survey tersebut menentukan buku-buku mana saja yang sesuai dengan mata pelajaran,
buku ini dijadikan sebagai buku wajib maupun buku pendukung dalam mendukung mata pelajaran.
Dilanjutkan dengan Question yaitu bertanya dalam mengarahkan membaca kritis. Kemudian
membaca (Read) rnenurut Poerwadanminta (1983:71) ialah melihat tulisan dan mengerti atau dapat
melisankan apa yang tertulis itu, dalam menggunakan pendekatan SQ3R membaca yaitu: (1)
membaca bertujuan; (2) menangkap gagasan isi buku pelajaran; (3) membaca dengan mata dan
pikiran yang terang (tidak hanya komat-kamit); (4) latihan mempercepat waktu belajar; (5) membaca
menurut urutan pikiran dalam pelajaran; dan (6) mengumpulkan istilah & pengertian yang berkaitan
dengan mata pelajaran yang dipelajari.
Kemudian dilakukan recite, yaitu mengulang isi buku pelajaran yang telah dipelajari
(berkaitan dengan Ide, pengertian, dan analisis) sehingga mendapatkan ide-ide pokok dan buku
tersebut. Sedangkan review: yaitu meninjau kembali seluruh bahan pelajaran yang telah dipelajari
secara menyeluruh. Alokasi waktu yang diperlukan untuk memahami sebuah teks dengan
menggunakan pendekatan SQ3R, bisa saja tidak begitu berbeda dengan mempelajari teks dengan cara
biasa atau cam lainnya. Akan tetapi, hasil pembelajaran siswa dengan menggunakan SQ3R dapat
diharapkan lebih memuaskan dan dapat lebih memberikan pemahaman yang luas tentang materi
pelajaran yang terdapat dalam buku teks tersebut.
Karena dengan metode atau pendekatan ini siswa menjadi pembaca yang aktif dan terarah
langsung pada intisari atau kandungan-kandungan pokok materi yang tersirat dan tersurat dalam teks.
Membaca menggunakan pendekatan SQ3R untuk mata pelajaran apa saja, pendekatan ini saling
melengkapi dengan menggunakan pendekatan kontekstual sebagaimana dibahas sebelumnya.
Membaca memerlukan penguasaan bahasa, kecepatan menangkap jalan dan buah pikiran orang lain
yang didukung oleh perbendaharaan kata yang luas. Seorang pelajar harus dapat membaca dengan
cepat dan memahami apa yang dibacanya, makin cepat ia membaca, makin banyak yang dapat ia
pelajari dalam waktu tertentu. Untuk mempelajari membaca yang demikian mi perlu ketekunan, dan
juga perlu berkonsultasi dengan guru bagaimana cara yang mungkin dapat dilakukan, karena masing-
masing orang mungkin saja mempunyai kemampuan membaca dan memahami yang berbeda-beda.
Karena itu yang berkaitan dengan kendala dan hambatan sebaiknya dikonsultasikan pada gum atau
yang lebih ahli seperti psikolog, dokter, konselor, dan sebagainya.
BAB II
KONSEP DAN MAKNA PEMBELAJARAN
A. Arti dan Makna Pembelajaran
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas maupun teori belajar merupakan
penentu utama keberhasilan Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar oleh
pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh anak didik atau murid. Konsep
pembelajaran menurut Corey (1986:195) suatu proses di mana lingkungan seseorang secara disengaja
dikelola memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau
menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dan
pendidikan. Mengajar menurut Jiam H. Burton adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan
pengarahan, dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar konsep Pembelajaran
1. Konsep Pembelajaran
Seiring dikatakan mengajar adalah mengorganisasikan aktivitas siswa arti yang luas. Peranan
guru bukan semata-mata memberikan informasi, 1ainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas
belajar (directing and ilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai. Pembelajaran
mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu
kemampuan dan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk
mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya,
latar belakang akademisnya, latar belakang sosial ekonominya, dan dalam sebagainya. Kesiapan guru
untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian
bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran.
Bahan pelajaran dalam proses pembelajaran hanya merupakan perangsang tindakan pendidik
atau guru, juga hanya merupakan tindakan memberikan dorongan dalam belajar yang tertuju pada
pencapaian tujuan belajar. Antara belajar dan mengajar dengan pendidikan bukanlah sesuatu yang
terpisah atau bertentangan. Justru proses pembelajaran adalah merupakan aspek yang terintegrasi dan
proses pendidikan.
Hanya saja sudah menjadi kelaziman bahwa proses pembelajaran dipandang sebagai aspek
pendidikan jika berlangsung di sekolah saja. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran
merupakan proses yang mendasar dalam aktivitas pendidikan di sekolah. Dan proses pembelajaran
tersebut siswa memperoleh basil belajar yang merupakan hasil dan suatu interaksi tindak b1ajar yaitu
mengalami proses untuk meningkatkan kemampuan mentalnya dan tindak mengajar yaitu
membelajarkan siswa. Guru sebagai pendidik melakukan kayasa pembelajaran berdasarkan
kurikulum yang berlaku, dalam tindakan tersebut guru menggunakan asas pendidikan maupun teori
pendidikan. Guru membuat desain instruksional, mengacu pada desain ini para siswa menyusun
program pembelajaran di rumah dan bertanggung jawab sendiri atas jadwal belajar yang dibuatnya.
Sementara itu siswa sebagai pembelajar di sekolah menii1iki kepribadian, pengalaman, dan tujuan.
Siswa tersebut mengalami perkembangan jiwa sesuai asas emansipasi dirinya menuju keutuhan dan
kemandirian.
Untuk memahami lebih mendalam apa itu pembelajaran, mari kita telusuri konsep dan
pengertiannya. Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:297) adalah kegiatan guru secara
terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan
pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas
berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan
mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap
materi pelajaran.
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya
sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami
berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan
perencanaan pengajaran yang matang oleh guru. Pendapat mi sejalan dengan Jerome Bruner (1960)
mengatakan bahwa perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk
merancang pembelajaran yang efektif di kelas. Menurut pandangan Bruner teori belajar itu bersifat
deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif.
Hal ini menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan adalah orang yang terampil
memecahkan masalah, mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam menguji hipotesis dan
menarik generalisasi dengan benar. jadi belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun
kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu
sumbernya dan luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan tidak diperoleh
dengan cara diberikan atau ditransfer dan orang Jam, tetapi “dibentuk dan dikonstruksi” oleh individu
itu sendiri, sehingga siswa itu mampu mengembangkan intelektualnya. Pembelajaran mempunyai dua
karakteristik yaitu Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara
maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar :pendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki
aktivitas siswa dalam proses berpikir Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan
proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan
berfikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat membantu siswa untuk
memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Proses pembelajaran atau pengajaran kelas (Classroom Teaching) menurut Dunkin dan Biddle
(1974 38) berada pada empat variabel interaksi yaitu (1) variabel pertanda (presage variables) berupa
pendidik, (2) variabeles konteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah, dan masyarakat;
(3) variabeles proses (process variables) berupa interaksi peserta didik dengan pendidik; dan (4)
variabel produk (product variables) berupa perkembangan ini peserta didik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Dunkin dan Biddle selanjutnya mengatakan proses pembelajaran akan
berlangsung dengan baik jika pendidik mempunyai dua kompetensi utama yaitu: (1) kompetensi
substansi materi pembelajaran atau penguasaan materi pelajaran; dan (2) kompetensi metodologi
pembelajaran.
Artinya jika guru menguasai materi pelajaran, diharuskan juga menguasai metode pengajaran
sesuai kebutuhan materi ajar yang mengacu pada prinsip pedagogik, yaitu memahami karakteristik
peserta didik. Jika metode dalam pembelajaran tidak dikuasai, maka penyampaian materi ajar
menjadi tidak maksimal. Metode yang digunakan sebagai strategi yang dapat memudahkan peserta
didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Hal ini menggambarkan bahwa
pembelajaran terus mengalami perkembangan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Karena itu dalam merespon perkembangan tersebut, tentu tidaklah memadai kalau sumber
belajar berasal dan guru dan media buku teks belaka. Dirasakan perlu ada cara baru dalam
mengomunikasikan ilmu pengetahuan atau materi ajar dalam pembelajaran baik dalam sistem yang
mandiri maupun dalam sistem yang terstruktur. Untuk itu perlu dipersiapkan sumber belajar oleh
pihak guru maupun para ahli pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran aktivitasnya dalam bentuk interaksi belajar mengajar dalam suasana
interaksi edukatif, yaitu interaksi yang sadar akan tuju)n, artinya interaksi yang telah dicanangkan
untuk suatu tujuan tertentu setidaknya adalah pencapaian tujuan instruksional atau tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan pada satuan pelajaran. Kegiatan pembelajaran yang
diprogramkan guru merupakan kegiatan integralistik antara pendidik dengan peserta didik. Kegiatan
pembelajaran secara metodologis berakar dan pihak pendidik yaitu guru, dan kegiatan belajar secara
pedagogis terjadi pada diri peserta didik. Menurut Knirk dan Gustafson (1986:15) pembelajaran
merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan perancangan pembelajaran.
Selanjutnya Knirk dan Gustafson (1986:18) mengemukakan teknologi pembelajaran
melibatkan tiga komponen utama yang saling berinteraksi yaitu guru (pendidik), siswa (peserta
didik), dan kurikulum. Komponen tersebut melengkapi struktur dan lingkungan belajar formal. Hal
ini menggambarkan bahwa interaksi pendidik dengan peserta didik merupakan inti proses
pembelajaran (Instructional). Dengan demikian pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang
oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru dalam
suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks
kegiatan belajar mengajar. Dalam proses pembelajaran itu dikembangkan melalui pola pembelajaran
yang menggambarkan kedudukan serta peran pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Guru sebagai sumber belajar, penentu metode belajar, dan juga penilai kemajuan belajar meminta
para pendidik untuk menjadikan pembelajaran lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan
pembelajaran itu sendiri.
2. Resource Based Learning
Belajar berdasarkan sumber (resource based learning) ialah segala bentuk belajar yang
langsung menghadapkan murid dengan suatu atau sejumlah sumber belajar secara individual atau
kelompok dengan segala kegiatan belajar ,yang bertalian dengan itu, jadi bukan dengan cara yang
konvensional dimana guru menyampaikan bahan pelajaran pada murid, tetapi setiap komponen yang
dapat memberikan informasi seperti perpustakaan, laboratorium, kebun, dan semacamnya juga
merupakan sumber belajar. Dalam “resource based learning” guru bukan merupakan sumber belajar
satu-satunya. Murid dapat belajar dalam kelas, dalam laboratorium, dalam ruang perpustakaan, dalam
“ruang sumber c1ajar yang khusus” bahkan di luar sekolah, bila ia mempelajari lingkungan
berhubung dengan tugas atau masalah tertentu.
Dalam segala hal, murid itu sendiri aktif, apakah ia belajar menurut langkah-langkah tertentu,
seperti dalam belajar berprograma, atau menurut pemikirannya sendiri untuk memecahkan masalah
tertentu. Jadi “resource based earning” dipakai dalam berbagai anti, apakah dalam pelajaran
berprogram atau modul yang mengikuti langkah4angkah yang telah ditentukan, atau dalam
melakukan tugas yang bebas berdasarkan teknik pemecahan masalah, penemuan, dan penelitian,
bergantung kepada putusan guru serta kemungkinan tang ada dalam rangka kurikulum yang berlaku
di sekolah. Resource based canning biasanya bukan satu-satunya metode yang digunakan di suatu
sekolah.
Di samping itu masih dapat digunakan metode pembelajaran lainnya, metode belajar ini hanya
merupakan salah satu diantara metode-metode lainnya, adi metode yang lain bukan tidak perlu
ditiadakan sama sekali. Perubahan yang besar yang diakibatkan oleh metode belajar ini antara lain
pentingnya peranan diri perpustakaan dan mereka yang memproduksi bahan, media atau sumber
belajar. Sumber belajar tidak sama antinya dengan audio visual aids. Dengan audio visual aids
dimaksud adalah alat-alat yang membantu guru dalam kegiatan pembelajaran, karena itu juga disebut
instructional aids, atau alat pengajaran. Terserah kepada guru untuk menggunakannya atau tidak,
kebanyakan guru tidak merasa perlu untuk membuat atau menggunakannya. Akan tetapi “learning
resources” atau sumber belajar yang esensial harus digunakan oleh murid. Jadi sumber belajar
ditujukan kepada murid, bukan kepada guru. Belajar berdasarkan sumber atau “resource based
learning” bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan bertalian dengan sejumlah perubahan-
perubahan yang mempengaruhi pembinaan kurikulum.
Perubahan-perubahan itu mengenai: (1) perubahan dalam sifat dan pola ilmu pengetahuan
manusia; (2) perubahan dalam masyarakat dan tafsiran kita tentang tuntunannya; (3) perubahan
tentang pikiran kita mengenai pengertian kita tentang anak dan caranya belajar; dan (4) perubahan
dalam media komunikasi. Sumber yang sejak lama digunakan dalam pembelajaran adalah buku-buku
dan hingga sekarang buku-buku masih memegang peranan yang penting. Oleh sebab itu ahli
perpustakaan mendapat peranan yang penting sekali dalam resource based learning ini. Kerja sama
antara guru dan ahli perpustakaan menjadi syarat yang penting dalam pembelajaran. Di samping itu
para ahli perpustakaan harus mendapat pendidikan khusus untuk menjalankan peranannya sebagai
pustakawan dan memberikan pelayanan kepada para siswa yang membutuhkan.
Guru dan para pustakawan di sekolah harus saling mengenal kemampuan masing-masing. Di
samping itu diperlukan pula “media spesialis”, yakni ahli dalam bidang media, karena sumber tidak
hanya terbatas pada buku-buku saja. Resource based learning adalah cara belajar yang bermacam-
macam bentuk dan segi-seginya. Metode ini dapat dipersingkat atau diperpanjang, berlangsung
selama satu jam pelajaran atau selama setengah semester dengan pertemuan diri kali seminggu,
selama satu atau dua jam. Metode ini penggunaannya dalam pembelajaran begitu neksibel atau lugas,
tergantung pada kemampuan guru menggunakannya. Belajar berdasarkan sumber mi, dapat diarahkan
oleh guru atau berpusat pada kegiatan murid, dapat mengenai satu mata pelajaran tertentu atau
melibatkan berbagai disiplin, dapat bersifat individual atau klasikal, dapat menggunakan audio visual
yang diamati secara individual atau diperlihatkan kepada seluruh kelas.
Metode ini tampaknya sebagai sesuatu yang terdiri atas berbagai komponen yang meliputi
pengajaran langsung oleh guru, penggunaan buku pelajaran, latihan-latihan formal, maupun kegiatan
penelitian, pencarian bahan dan berbagai sumber, latihan memecahkan soal dan penggunaan alat-alat
audio visual. Metode mi dapat pula didasarkan atas penelitian, pengajaran proyek, pengajaran unit
yang terintegrasi, pendekatan interdisipliner, pelajaran individual dan pelajaran aktif. Dalam belajar
berdasarkan sumber diutamakan tujuan untuk mendidik murid menjadi seorang yang sanggup belajar
dan meneliti sendiri, maka ia harus dilatih untuk menghadapi masalah-masalah yang terbuka bagi
jawaban-jawaban yang harus diselidiki kebenarannya berdasarkan data yang dikumpulkan dan
berbagai sumber, baik dan penelitian perpustakaan, eksperimen dalam laboratorium, maupun sumber-
sumber lain.
Metode ini dapat pula didasarkan atas penelitian, pengajaran proyek, pengajaran unit yang
terintegrasi, pendekatan interdisipliner, pengajaran ‘ndividua1, dan pengajaran aktif yang penting
setiap metode yang digunakan bertalian dengan tujuan yang akan dicapai. Resource based learning
tidak hanya Sesuai bagi pelajaran ilmu sosial, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan alam (Nasution,
2000:19). Belajar berdasarkan sumber tidak meniadakan peranan guru, juga tidak berarti bahwa guru
dapat duduk bermalas-malasan dan pembiarkan murid belajar di perpustakaan atau laboratorium.
Guru itu terlibat dalam setiap langkah proses belajar, dan perencanaan, penentuan dan
mengumpulkan sumber-sumber informasi, memberi motivasi, memberi bantuan, dan memperbaiki
kesalahan. Ada yang menganggap team eaching sebagai pendahuluan “Resource based learning”
akan tetapi ada yang sebaliknya memandang team teaching sebagai kulminasi belajar berdasarkan
sumber. Akan tetapi keduanya melenyapkan isolasi guru dalam kelasnya masing-masing, seperti di
sekolah konvensional. Dalam kelompok atau team guru dapat saling bertukar pengalaman, saling
membantu dalam mengatasi kesulitan pendidikan. Dengan demikian guru cepat tumbuh dalam
profesinya dan tidak terjerat oleh kegiatan rutin yang tidak mendapat kesempatan untuk Ditinjau
kembali dan diperbaiki berkat pengalaman orang lain, tetapi merupakan aktivitas pembelajaran yang
dinamis.
Agar pembelajaran tetap pada suasana yang dinamis, guru perlu merumuskan dengan jelas
tujuan apa yang ingin dicapainya dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan ini bukan hanya
mengenai bahan materi ajar yang harus dikuasai oleh guru, akan tetapi juga keterampilan emosional
dan sosial dalam menggunakan metode dan pendekatan pembelajaran. Belajar berdasarkan sumber
berarti kerja sama antara seluruh staf dan penggunaan secara fasilitas yang tersedia seperti buku-buku
perpustakaan alat pengajaran, keahlian dan keterampilan guru serta anggota masyarakat yang
bersedia memberi sumbangannya.
B. Pendekatan Belajar dan Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam
mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu. Pendekatan pembelajaran
merupakan aktivitas guru dalam memilih kegiatan pembelajaran, apakah guru akan menjelaskan
suatu pengajaran dengan materi bidang studi yang sudah tersusun dalam urutan tertentu, ataukah
dengan menggunakan materi yang terkait satu dengan lainnya dalam tingkat kedalaman yang
berbeda, atau bahkan merupakan materi yang terintegrasi dalam suatu kesatuan multi disiplin ilmu.
Pendekatan pembelajaran mi sebagai penjelas untuk mempermudah bagi para guru memberikan
pelayanan belajar dan juga mempermudah bagi siswa untuk memahami materi ajar yang disampaikan
guru, dengan memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Pada pokoknya pendekatan pembelajaran dilakukan oleh guru untuk menjelaskan materi
pelajaran dan bagian-bagian yang satu dengan bagian lainnya berorientasi pada pengalaman-
pengalaman yang dimiliki siswa untuk mempelajari konsep, prinsip atau teori yang baru tentang
suatu bidang ilmu. Program pembelajaran merupakan rencana kegiatan yang menjabarkan
kemampuan dasar dan teori pokok secara rinci yang memuat alokasi waktu, indikator pencapaian
hasil belajar dan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan setiap materi pokok mata pelajaran.
Sistem dan pendekatan pembelajaran dibuat karena adanya kebutuhan akan sistem dan
pendekatan tersebut untuk meyakinkan (1) ada alasan untuk belajar; (2) siswa belum mengetahui apa
yang akan diajarkan, oleh karena itu guru menetapkan hasil-hasil belajar atau tujuan apa yang
diharapkan akan dicapai. Pada prinsipnya ada dua macam tujuan pembelajaran yaitu: (1) tujuan
jangka panjang atau yang dinamakan tujuan terminal, tujuan ini biasanya merupakan jawaban atas
masalah atau kebutuhan yang telah diketahui berdasarkan analisis sebelumnya; dan (2) tujuan jangka
pendek atau biasa disebut tujuan instruksional khusus, tujuan ini merupakan hasil pemecahan atau
operasionalisasi dan tujuan terminal yang disusun secara hierarkis dalam upaya pencapaian tujuan
terminal.
Tujuan instruksional yang dinyatakan dengan baik dalam satuan pelajaran dapat
mengomunikasikan suatu usaha instruksional agar tingkah laku tertentu dapat dicapai. Dalam upaya
pencapaian tujuan tersebut akan menghasilkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
hal ini akan memberikan dampak tertentu terhadap sistem pembelajaran, sehingga pengajaran beralih
pendekatannya dan cara lama ke cam baru yang lebih meyakinkan Beberapa perubahan dalam
pendekatan tersebut antara lain adalah : (1) penerapan prinsip-prinsip belajar mengajar yang lugas
dan terencana (2) mengacu pada aspek-aspek perkembangan sesuai tingkatan peserta didik; (3) dalam
proses pembelajaran betul-betul menghormati Individu peserta didik, (4) memperhatikan kondisi
objektif individu bertitik tolak pada perkembangan pribadi peserta didik; (5) menggunakan metode
dan teknik mengajar yang sesuai dengan kebutuhan materi pelajaran; (6) memaparkan konsep
masalah dengan penuh disiplin, (7) menggunakan pengukuran dan evaluasi basil belajar yang standar
untuk mengukur kemajuan belajar; dan (8) penggunaan alat-alat audio Visual dengan memanfaatkan
fasilitas maupun perlengkapan yang tersedia secara optimal.
Perubahan ini betul-betul mempertimbangkan pendekatan ilmiah yaitu menggunakan fakta-
fakta dan informasi sebagai dasar melakukan tindakan-tindakan adakan dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Penguatan mesti kontingen Ani berkaitan dengan segera begitu respons yang benar
muncul. Secara umum dapat digambarkan misalnya di sekolah penguat akan tampak pada nilai hasil
belajar yang tertuang dalam ijazah. Penguat seperti si Ani memberi isyarat pada temannya mengenai
kemajuan melalui suatu sistem, namun hubungan antara penguat ini dan bentuk tingkah laku tertentu
tidak secara khusus tersebutkan, makanya diperlukan penguatan tambahan. Penguat alami,
merupakan suatu pertimbangan penting dalam menggunakan penguatan secara aktif dengan
mengenali penguat-penguat yang sudah ada di kelas.
Waktu memberi penguatan ini penting diperhatikan karena jangan sampai disalahgunakan
kepada anak yang suka dipuji tetapi kurang disiplin, nanti hasilnya malah tidak optimal. Jika
memberi pujian terhadap anak harus perhatikan bahwa anak itu memang pantas dan layak dipuji atas
dasar prestasi yang ditampilkannya dalam belajar. Situasi pembelajaran yang memungkinkan
terjadinya kegiatan belajar mengajar yang optimal, akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru
menciptakan situasi belajar (learning situation) sehingga peserta didik dapat berinteraksi dengan guru
secara intensif berdasarkan agenda yang telah diprogramkan guru. Situasi belajar mengajar akan lebih
hidup atau harmonis bila ditunjang oleh penggunaan metode-metode pengajaran yang serasi dan
media yang tepat.
Kegiatan belajar melibatkan beberapa komponen atau unsur yaitu peserta didik, pendidik atau
guru, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar yang digunakan, media pembelajaran yang
sesuai untuk digunakan dan evaluasi kemajuan belajar siswa menggunakan tes yang standar. Semua
komponen mi saling berinteraksi dalam proses pembelajaran yang berakhir pada tujuan
pembelajaran. Karena itu kegiatan belajar dan mengajar (KBM) merupakan suatu sistem yang
integral, dalam suatu sistem pembelajaran atau system instructional di sekolah. Dilihat dan sudut
institusional sekolah, dalam hal mendukung kelancaran aktivitas pembelajaran, kepala sekolah
memainkan peran yang cukup penting, karena berkontribusi signifikan terhadap perolehan mutu hasil
belajar. Meskipun setiap guru mempunyai kemampuan profesional yang tinggi dalam melaksanakan
tugas profesionalnya, tetapi tidak didukung pelayanan institusional yang memadai, tentu saja kegiatan
pembelajaran itu tidak akan maksimal.
Peran kepala sekolah untuk menyediakan fasilitas pembelajaran, melakukan pembinaan
pertumbuhan jabatan guru, dan dukungan profesionalitas lainnya menjadi suatu kekuatan tersendiri
bagi guru melaksanakan tugas profesionalnya. Setelah guru mendapat dukungan institusional, hal
selanjutnya yang perlu dipersiapkan oleh guru adalah berkaitan dengan pendekatan belajar yang
menjadi otonomi profesional keguruan. Para ahli psikologi belajar dan ahli kependidikan telah
banyak menyampaikan sejumlah teori maupun konsep pendekatan pembelajaran. Pendekatan ini pada
umumnya mengacu pada pendekatan psikologi yang berkaitan dengan kemampuan peserta didik
untuk menangkap ataupun menerima pelajaran dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan
pembelajaran menjadi suatu hal yang amat penting, karena dilihat dan sudut psikologi setiap anak
mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menerima pelajaran, untuk itu diperlukan pendekatan
yang sesuai potensi anak didik.
Pendekatan belajar (approach to learning) dan strategi atau kiat melaksanakan pendekatan
serta metode belajar dalam proses pembelajaran termasuk faktor-faktor yang turut menentukan
tingkat keberhasilan belajar siswa. Pendekatan tersebut bertitik tolak pada aspek psikologis dilihat
dan pertumbuhan dan perkembangan anak, kemampuan intelektual, dan kemampuan lainnya yang
mendukung kemampuan belajar. Pendekatan mi dilakukan sebagai strategi yang dipandang tepat
untuk memudahkan siswa memahami pelajaran dan juga belajar yang menyenangkan.
Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus menggunakan pendekatan tertentu, tetapi
sifatnya lugas dan terencana, artinya memilih pendekatan disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar
yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran. Adapun pendekatan pembelajaran yang sudah
umum dipakai oleh para guru antara lain pendekatan konsep dan proses, deduktif dan induktif,
ekspositon dan heuristik, pendekatan kecerdasan serta ; pendekatan kontekstual.
1. Pendekatan Konsep dan Pendekatan Proses
a. Pendekatan Konsep
Pendekatan konsep adalah suatu pendekatan pengajaran yang secara langsung menyajikan
konsep tanpa memberi kesempatan kepada siswa untuk menghayati bagaimana konsep itu diperoleh.
Konsep merupakan buah pemikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi
sehingga melahirkan produk pengetahuan mehputi pnnsip, hukum, dan teori.
Konsep diperoleh dan fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan berpikir abstrak,
kegunaan konsep untuk menjelaskan dan meramalkan. Konsep menunjukkan suatu hubungan antar
konsep-konsep yang lebih sederhana sebagai dasar perkiraan atau jawaban manusia terhadap
pertanyaan pertanyaan yang bersifat asasi tentang mengapa suatu gejala itu bisa terjadi. Konsep
merupakan pikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga
menjadi produk pengetahuan yang meliputi prinsip-prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dani
fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi, dan berpikir abstrak. Konsep dapat mengalami
perubahan disesuaikan dengan fakta atau pengetahuan baru, sedangkan kegunaan konsep adalah
menjelaskan dan meramalkan.
Para ahli psikologi menyadari akan pentingnya konsep-konsep, dan suatu definisi yang tepat
mengenai konsep belum diberikan. Oleh karena itu konsep-konsep itu merupakan penyajian-
penyajian internal dan sekelompok stimulus-stimulus konsep-konsep itu tidak dapat diamati, konsep-
konseP harus disampulkan dalam perilaku Walaupun kita dapat memberikan suatu definisi verbal dan
suatu konsep, suatu definisi tidak mengungkapkan semua hubungan-hubungan antara konsep itu
dengan konsep-konsep yang Lain. Dalam pendekatan konsep ini Syamsudin Makmur (2003:228)
mengemukakan bahwa dengan diperolehnya kemahiran mengadakan diskriminasi atas pola-pola
stimulus respons (S-R) itu. siswa belajar mengidentifikasikan persamaan perusahaan karakteristik dan
sejumlah pola-pola S-R tersebut. Selanjutnya berdasarkan persamaan ciri-ciri dan sekumpulan
stimulus dan juga objek-objeknya ia membentuk suatu pengertian atau konsep-konsep. Secara
eksternal. adanya persamaan-persamaan ciri tertentu dan sejumlah perangsang dan obyek-obyek yang
dihadapkan pada individu. Navell (1970) menyarankan. bahwa pemahaman terhadap konsep-konsep
dapat dibedakan dalam tujuh dimensi yaitu:
1. Atribut. setiap konsep mempunyai atribut yang berbeda, contoh-contoh konsep harus mempunyai
atribut-atribut yang relevan; termasuk juga atribut-atribut yang tidak relevan. Contoh-contoh
konsep, meja harus mempunyai suatu permukaan yang datar, dan sambungan-sambungan yang
mengarah ke bawah yang mengangkat permukaan itu dan lantai. Atribut-atribut dapat berupa
fisik, seperti warna, tinggi, atau bentuk, atau dapat juga atribut-atribut itu berupa fungsional.
2. Struktur, menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya atribut-atribut itu. Ada tiga macam
struktur yang dikenal. Konsep-konsep konjungtif adalah konsep-konsep dimana terdapat dua atau
lebih sifat-sifat, sehingga dapat memenuhi syarat sebagai contoh konsep. Seorang aktnis adalah
seorang wanita yang main dalam film. Dua atribut yaitu wanita dan main dalam film harus ada
agar dapat mewakili konsep aktris. Konsep-konsep disjungtif adalah konsep-konsep dimana satu
dani dua atau lebih sifat-sifat harus ada. Konsep paman merupakan konsep disjungtif. Parnan
dapat merupakan kakak dan ibu atau ayah, atau seorang pria yang menikah dengan kakak wanita
dan ayah atau ibu. Konsep-konsep relasional menyatakan hubungan tertentu antara atnibut-atribut
konsep. Kelas sosial adalah suatu contoh dan konsep relasional, kelas sosial ditentukan oleh
hubungan antara pendapatan, pendidikan, jabatan atau pekerjaan. dan faktor-faktor lainnya.
3. Keabstrakan. yaitu konsep-konsep dapat dilihat dan konkret. atau konsep-konsep itu terdini dan
konsep-konsep lain. Suatu segi tiga dapat dilihat, keinginan adalah lebih abstrak.
4. Keinklusifan (inclusiveness), yaitu ditunjukkan pada jumlah contoh-contoh yang terlibat dalam
konsep itu. Bagi seorang anak kecil, konsep kucing ditujukan pada seekor hewan tertentu yaitu
kucing keluarga. Bila anak itu telah mengenal beberapa kucing lainnya, konsep kucing akan
menjadi lebih luas. termasuk lebih banyak contoh-contoh.
5. Generalitas atau keumuman, yaitu bila diklasifikasikan, konsep-konsep dapat berbeda dalam
posisi superordinat atau subordinatnya. Konsep wortel adalah subordinat terhadap konsep
sayuran, selanjutnya konsep sayuran subordinat dan konsep tanaman yang dapat dimakan. Makin
umum suatu konsep, makin banyak asosiasi yang dapat dibuat dengan konsep-konsep lainnya.
6. Ketepatan, yaitu suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan aturan-aturan untuk
membedakan contoh-contoh dari noncontoh-noncontoh suatu konsep. Klausmeier (1977)
mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep (concept attainment), mulai dan tingkat konnik
ke tingkat formal. Konsep-konsep pada tingkat formal yang paling tepat, sebab pada tingkat ini
atribut-atribut yang dibutuhkan konsep dapat didefinisikan.
7. Kekuatan (power), yaitu kekuatan suatu konsep oleh sejauh mana orang setuju bahwa konsep itu
penting.
Konsep seperti tersebut di atas, memberi gambaran bahwa sulit rasanya untuk sampai pada
suatu definisi konsep. Rosser (1984) menyatakan bahwa konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili
satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang
mempunyai atribut-atribut yang sama. Orang mengalami stimulus-stimulus berbeda-beda,
membentuk konsep sesuai pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara tertentu. Konsep-konsep
itu adalah abstraksi-abstraksi berdasarkan pengalaman, dan karena tidak ada dua orang yang
mempunyai pengalaman yang persis sama, maka konsep-konsep yang dibentuk orang mungkin
berbeda. Menurut Ausubel (1968) konsep-konsep diperoleh dengan cara formasi konsep (concept
formation) merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah. Menurut
Gagne (1977) formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-konsep konkret, dan asimilasi
konsep (concept assimilation) merupakan cara utama memperoleh konsep-konsep selama dan
sesudah sekolah.
Pendekatan pembelajaran ini oleh para ahli pendidikan didasarkan pada pengorganisasian bahan
pengajaran, yang meliputi pengajaran linier dan pengajaran komulatif Pengajaran linear materi
bidang studi terbagi atas urutan linier dengan kedalaman yang sama, pendekatan linier ini sering kali
membuat murid cepat bosan dan sukar mengingat fakta atau konsep yang diajarkan. Pada pendekatan
kumulatif ini diorganisasikan menurut urutan tertentu dengan jenjang kesulitan yang berbeda, yaitu
meningkat. Jumlah unit yang diajarkan tidak sebanyak pendekatan linier, bahan ajar yang berupa
konsep dan fakta menjadi banyak berkurang dibandingkan pada pendekatan dengan pengajaran linier.
Pada pendekatan komulatif, pemahaman konsep atau fakta lebib ditekankan sebagai suatu pengertian
konsep secara mendalam dan menyeluruh.
b. Pendekatan Proses
Pendekatan proses adalah suatu pendekatan pengajaran memberi kesempatan kepada siswa
untuk ikut menghayati proses penemuan atau penyusunan suatu konsep sebagai suatu keterampilan
proses. Pembelajaran dengan menekankan kepada belajar proses dilatarbelakangi oleh konsep-konsep
belajar menurut teori “Naturalisme-Romantis” dan teori “Kognitif Gestalt”. Naturalisme-Romantis
menekankan kepada aktivitas siswa, sedangkan Kognitif Gestalt menekankan pemahaman dan
kesatupaduan yang menyeluruh. Pendekatan proses dalam pembelajaran dikenal pula sebagai
keterampilan proses. guru menciptakan bentuk kegiatan pengajaran yang bervariasi, agar siswa
terlibat dalam berbagai pengalaman. Siswa diminta untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai
sendiri suatu kegiatan. Siswa melakukan kegiatan percobaan, pengamatan, pengukuran, perhitungan,
dan membuat kesimpulan-kesimpulan sendiri.
Dalam pendekatan proses ini siswa tidak hanya belajar dan guru, tetapi juga dan sesama
temannya, dan dari manusia-manusia sumber di luar sekolah. Kegiatan-kegiatan yang dapat
dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan proses adalah: (1)
mengamati gejala yang timbul, (2) mengklasifikasikan sifat sifat yang sama, serupa; (3) mengukur
besaran-besaran yang bersangkutan; (4) mencari hubungan antar konsep konsep yang ada; (5)
mengenal adanya suatu masalah, merumuskan masalah; (6) memperkirakan penyebab suatu gejala,
merumuskan hipotesa; (7) meramalkan gejala yang mungkin akan terjadi; (8) berlatih menggunakan
alat-alat ukur; (9) melakukan percobaan; (10) mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan data;
(11) berkomunikasi; dan (12) mengenal adanya variabel, mengendalikan suatu variabel.
Pelaksanaan proses dimulai dan yang sederhana, selanjutnya diikuti dengan proses yang lebih
kompleks makin banyak komponennya dan makin sulit. Keunggulan pendekatan proses adalah: (1)
memberi bekal cara memperoleh pengetahuan, ha! yang sangat penting untuk pengembangan
pengetahuan dan masa depan; dan (2) pendahuluan proses bersifat kreatif, siswa aktif dapat
meningkatkan keterampilan berfikir dan cara memperoleh pengetahuan. Sedangkan kelemahannya
adalah: (1) memerlukan banyak waktu sehingga sulit untuk dapat menyelesaikan bahan pengajaran
yang ditetapkan dalam kurikulum; (2) memerlukan fasilitas yang cukup baik dan lengkap sehingga
tidak semua sekolah dapat menyediakannya; dan (3) merumuskan masalah, menyusun hipotesis,
merancangkan suatu percobaan untuk memperoleh data yang relevan adalah pekerjaan yang sulit,
tidak setiap siswa mampu melaksanakannya. Pendekatan proses pada hakekatnya adalah memproses
informasi, yaitu informasi pembelajaran. Menuntut para ahli psikologi pemrosesan informasi
menggunakan peristiwa-peristiwa psikologi sebagai transformasi-transformasi informasi dan input ke
output. Proses informasi mula-mula diterima oleh reseptor, lalu masuk keregistor penginderaan:
Sebagian dan seluruh informasi yang terdapat dalam registor penginderaan dipindahkan ke
memori kerja, selebihnya hiking (lancar kaji karena diulang). Memon kerja terbatas kapasitasnya, bila
informasi di dalamnya tidak diulang-ulang atau diberi kode, informasi itu akan hilang. Informasi
yang telah diberi kode masuk ke dalam memori jangka panjang, yang mempunyai kapasitas besar
sekali. Informasi belajar yang tersimpan dikeluarkan, lalu disuruh oleh generator respons menjadi
pola-pola perilaku yang membimbing efektor-efektor menghasilkan serangkaian tindakan-tindakan
sebagai hasil belajar. Hasil belajar bukan hanya berupa penguasaan pengetahuan, tetapi juga
kecakapan dan keterampilan dalam melihat, menganalisis dan memecahkan masalah, membuat
rencana dan mengadakan pembagian kerja. Dengan demikian aktivitas dan produk yang dihasilkan
dan aktivitas belajar in mendapatkan penilaian.
Penilaian tidak hanya dilakukan secara tertulis, melainkan juga secara lisan dan penilaian
akan perbuatan. Pengetahuan disajikan secara mental dalam berbagai bentuk yaitu preposisi,
produksi, dan gambaran mental. Hasil belajar yang baik, akan diperoleh melalui proses yang baik,
dan proses belajar yang akan memberi basil yang baik pula, hasil yang baik ini
menggambarkan .mutu pendidikan. Dalam kenyataan proses pembelajaran sering kali terjadi
kekeliruan, karena yang diutamakan hasil maka proses belajar kurang diperhatikan, demikian juga
sebaliknya, karena yang diutamakan proses maka basil diabaikan. Jadi hasil dan proses dalam
kegiatan pembelajaran mempunyai kedudukan yang sama kuat, guru tidak dapat memperlakukannya
berat sebelah, harus seimbang di antara keduanya.
Proses diukur melalui basil, dan hasil akan kelihatan melalui proses, jadi bersifat
komplementer atau saling melengkapi. Diasumsikan bahwa jika proses pembelajaran dilaksanakan
dengan baik sesuai dengan rencana yang disusun sebelumnya, maka hasilnya pun diperkirakan akan
baik dan memuaskan. Tetapi jika prosesnya tidak baik, hanya melaksanakan kegiatan rutin belaka,
yang penting ada guru dalam kelas dan siswa tidak berkeliaran, maka hasilnya pun tidak akan
memuaskan. Pendekatan proses mi menggambarkan bahwa, kegiatan belajar yang berlangsung di
sekolah bersifat formal. prosesnya disengaja dan direncanakan dengan bimbingan guru dan pendidik
lainnya agar siswa mencapai tujuan dan menguasai bahan belajar yang diberikan guru sesuai
kurikulum untuk dipelajari.
2. Pendekatan Deduktif dan Pendekatan Induktif
a. Pendekatan Deduktif
Pendekatan Deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum kekeadaan
khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum
diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu ke dalam keadaan
khusus. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran
adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif, (2)
menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya; (3) disajikan
contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan
aturan, prinsip umum; dan (4) disajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan
bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dan keadaan umum.
Sedangkan berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme terdiri dan
tiga preposisi statement yang terdiri dan “premise” yaitu dasar penarikan kesimpulan sebagai
pernyataan akhir yang mengandung suatu kebenaran. Berpikir deduktif prosesnya berlangsung dan
yang umum menuju ke yang khusus. Dalam berpikir deduktif ini orang bertolak dan suatu teori,
prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum. Dan situ diterapkan
kepada fenomena-fenomena yang khusus, dan mengambil kesimpulan khusus yang berlaku bagi
fenomena tersebut.
b. Pendekatan Induktif
Pendekatan Induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Inggris Prancis Bacon (1561)
yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak
mungkin, sistem ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu
cara mduktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja tanpa diteliti
secara rasional. Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang ber1angsung dan khusus
menuju ke yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dani berbagai fenomena,
kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena.
Tepat atau tidaknya kesimpulan atau cara berpikir yang diambil secara jnduktif im menurut
Purwanto (2002:47) bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil mewakili
fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil berarti makin representatif dan
makin besar pula taraf dapat dipercaya (validitas) dan kesimpulan itu, dan sebaliknya. Taraf
kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyektivitas dan si pengamat dan homogenitas
dan fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam konteks pembelajaran pendekatan Induktif adalah
pendekatan pengajaran yang bermu1a dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat -
disimpu1kan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan.
Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif da1ah: (1) memilih
konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktil (2) menyajikan contoh-
contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis)
sifat umum yang terkandung dalam contoh-contoh itu; (3) disajikan bukti-bukti yang berupa contoh
tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun pernyataan mengenai
sifat umum yang telah terbukti berdasarkan j1angkah-1angkah yang terdahulu. Pada tingkat ini
menurut Syamsudin Makmun 2003:228) siswa belajar mengadakan kombinasi dan berbagai konsep
atau pengertian dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif. deduktif, analisis,
sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat kesimpulan
(kongklusi) tertentu yang mungkin e1anjuthya dapat dipandang sebagai “rule” (prinsip, dali!, aturan,
hukum. kaidah, dan sebagainya).
Pendekatan yang tidak bersifat demokratis ialah pendekatan deduktif yang agak lebih banyak
mengandung sifat otoriter. Dalam kegiatan pembelajaran mi guru dalam mengajar tidak memberikan
siswa kesempatan sepenuhnya menemukan, membuktikan sendiri prinsip, hukum dan sebagainya
tentang bahan belajar yang harus ditelaah. Kondisi yang diisyaratkan
kemungkinan tercapainya proses belajar seperti mi, Gagne menyarankan: (1) siswa
diberitahukan tentang bentuk “performance” yang diharapkan jikalau yang bersangkutan telah
mengalami proses belajar; (2) siswa diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang pengingatannya
(recall) terhadap konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkapkan
perbendaharaan pengetahuannya; (3) siswa diberikan beberapa kata-kata kunci (kode) yang
menyatakan ke arah pembentukan rule tertentu yang diharapkan; (4) diberikan kesempatan kepada
siswa mengekspressikan dan menyatakan rule tersebut dengan kata-kata sendiri; dan (5) siswa
diberikan kesempatan selanjutnya untuk membuat rumusan rule tersebut dalam bentuk-bentuk
statement formal bersifat optional sukarela.
3. Pendekatan Ekspositori dan Pendekatan Heuristik
a. Pendekatan Ekspositori
Pendekatan mi bertolak dan pandangan, bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran
pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru pengajar. Hakekat mengajar menurut pandangan mi
adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Siswa dipandang sebagai objek yang
menerima apa yang diberikan guru. Biasanya guru menyampaikan informasi mengenai bahan
pengajaran dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istilah, kuliah,
ceramah, dan lecture. Dalam pendekatan mi siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat
informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkapkan kembali apa yang dimilikinya melalui
respons yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh guru.
Komunikasi yang digunakan guru dalam interaksinya dengan siswa, menggunakan komunikasi satu
arah atau komunikasi sebagai aksi. Oleh sebab itu kegiatan belajar siswa kurang optimal, sebab
terbatas kepada mendengarkan uraian guru, mencatat, dan sekali-sekali bertanya kepada guru. Guru
yang kreatif biasanya dalam memberikan informasi dan penjelasan kepada siswa menggunakan alat
bantu seperti gambar, bagan, grafik, dan lain-lain di samping memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengajukan pertanyaan.
Kegiatan belajar yang bersifat menerima terjadi karena guru menggunakan pendekatan
mengajar yang bersifat ekspositori, baik pada tahap perencanaan maupun pada pelaksanaannya.
Pendekatan ekspositori (expository) menempatkan guru sebagai pusat pengajaran, karena guru lebih
aktif memberikan informasi, menerangkan suatu konsep, mendemonstrasikan keterampilan dalam
memperoleh pola, aturan, dalil, memberi contoh soal beserta penyelesaiannya, memberi kesempatan
siswa untuk bertanya, dan kegiatan guru lainnya dalam pembelajaran ini.
Dalam pendekatan ini menunjukkan bahwa guru berperan lebih aktif, lebih banyak melakukan
aktivitas dibandingkan siswanya, karena guru telah mengelola dan mempersiapkan bahan ajaran
secara tuntas, sedangkan siswanya berperan lebih pasif tanpa banyak melakukan pengolahan bahan,
karena menerima bahan ajaran yang disampaikan guru. Pendekatan ekspositori disebut juga mengajar
secara konvensional seperti metode ceramah maupun ernonstnasi. Pada pendekatan mi tidak terus
menerus memberi informasi tanpa peduli apakah siswa memahami informasi itu atau tidak. Guru
hanya memberi informasi pada saat tertentu jika diperlukan, misalnya pada permulaan e1ajaran,
memberi contoh soal, menjawab pertanyaan siswa, dan sebagainya. ‘Pendekatan ekspositori
membawa siswa dapat belajar bermakna sehingga dapat merupakan pendekatan yang efektif dan
efisien. Dalam pendekatan ekspositori 4ni Syamsudin Makmun (2003:233) mengemukakan bahwa
guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematik dan lengkap
sehingga siswa tinggal menyimak dan mencernanya secara teratur dan tertib.
Secara garis besar prosedurnya ialah: (1) persiapan (preparation) yaitu guru menyiapkan
bahan selengkapnya secara sistematik dan rapi; (2) pertautan aperception) bahan terdahulu yaitu guru
bertanya atau memberikan uraian ngkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang telah
diajarkan; 43) penyajian (presentation) terhadap bahan yang baru, yaitu guru menyajikan dengan cara
memberi ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah 4ipersiapkan diambil dan buku,
teks tertentu atau ditulis oleh guru; dan (4) evaluasi (resitation) yaitu guru bertanya dan siswa
menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari, atau siswa yang disuruh menyatakan kembali dengan
kata-kata sendiri pokok-pokok yang telah dipelajari lisan atau tulisan.
Pendekatan ekspositoni digunakan guru untuk menyajikan bahan pelajaran secara utuh atau
menyeluruh, lengkap, dan sistematis dengan penyampaian secara verbal. David Ausubel (1975) telah
banyak mencurahkan perhatian terhadap materi pembelajaran verbal yang banyak dikritik para ahli
psikologi kognitif, meski sebenarnya Ausubel termasuk “cognitivists”, tetapi ia mempunyai resep
khusus dalam mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar mengajar verbal yang
dikenal dengan “expository learning”.
Dengan demikian pendekatan ekspositori dengan proses belajar yang berorientasi pada prinsip
belajar tuntas (mastery learning) ini Harus dimulai dengan penggunaan “mastery” bagian terkecil,
untuk kemudian baru dapat melanjutkan kedalam satuan belajar unit berikutnya. Pendekatan
pembelajaran ekspositori dengan menyiasati dan merencanakan agar semua komponen pembentukan
sistem mstruksional mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada peserta didik Pendekatan
mi semua fakta. prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan. Dengan tercapainya tingkat penguasaan
hasil pelajaran yang tinggi, maka akan menunjukkan sikap mental yang sehat pada siswa yang
bersangkutan. Pada pendekatan heuristik, guru tidak secara langsung menyajikan produk
pengetahuan yang harus dipelajari melainkan menuntun siswa agar dapat menemukan, mencapai
produk pengetahuan itu. Guru memperkenalkan atau mengerahkan siswa kepada data, siswa diminta
untuk membuat kesimpulan berdasarkan data itu. Jika kesimpulan itu benar, berarti tujuan telah
tercapai dan prosespun selesai. Tetapi jika kesimpulan itu tidak tepat, maka guru memberikan data
atau informasi yang lebih lengkap dan diperlukan agar siswa dapat mencapai kesimpulan yang benar.
b. Pendekatan Heuristik
Kata heuristik berasal dan bahasa Yunani yaitu “heuriskein” yang berarti “saya menemukan”.
Pengertian mi menurut Rusyan (1993:114) adalah semacam fakta psikologis yang muncul sebagai
kodrat manusia yang memiliki nafsu untuk menyelidiki sejak bayi. Keinginan memperoleh
pengetahuan dan informasi dan orang lain adalah dorongan wajar yang terdapat pada setiap manusia.
Metode heunistik iiii dipromosikan oleh Professor Amstrong abad ke 19, menurut metode ini peserta
didik sendiri yang harus menemukan fakta ilmu pengetahuan. Strategi belajar mengajar heunistik
adalah merancang pembelajaran dan berbagai aspek dan pembentukan sistem instruksional mengarah
pada pengaktifan peserta didik mencari dan menemukan sendiri fakta, prinsip, dan konsep yang
mereka butuhkan. Pendekatan heuristik adalah pendekatan pengajaran yang menyajikan sejumlah
data dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan menggunakan data tersebut, implementasinya
dalam pengajaran menggunakan metode penemuan dan metode inkuiri. Metode penemuan didasarkan
pada anggapan, bahwa materi suatu bidang studi tidak saling lepas, tetapi ada kaitan antara materi-
materi itu.
Dengan metode mi akan dicari hubungan antar materi-materi yang sebelumnya belum
diketahui oleh siswa. Sedangkan metode inkuiri adalah para siswanya bebas memilih atau menyusun
objek yang dipelajarinya, mulai dan menentukan masalah, menyimpulkan data, analisis data hingga
pada kesimpulannya yaitu anak menemukan sendiri. Ciri metode inkuiri dalam pembelajaran sesuai
dengan metode ilmiah, dalam pelaksanaannya siswa tidak terikat oleh waktu, tidak ada ikatan untuk
menyelesaikan suatu unit pelajaran dalam waktu tertentu.
Prinsip pendekatan heunistik oleh Rusyan (1993:115) adalah: (1) aictivitas peserta didik
menjadi fokus perhatian utama dalam belajar; (2) berpikir logis adalah cara yang paling utama dalam
menemukan sesuatu; (3) proses mengetahui dari sesuatu yang sudah diketahui menuju kepada yang
belum diketahui adalah jalan pelajaran yang paling rasional dalam pelajaran di sekolah; (4)
pengalaman yang penuli tujuan adalah tonggak dan usaha pembelajaran peserta didik kearah belajar
berbuat bekerja dan berusaha; dan (5) perkembangan mental seseorang berlangsung selama ia
berpikir dan belajar mandiri. Dengan prinsip mu menunjukkan bahwa pendekatan heuristik dapat
mendorong peserta didik bersikap berani untuk berpikir ilmiah dan mengembangkan berpikir
mandiri.
Pendekatan heuristik mi mempunyai kelemahan antara lain adalah: (1) tidak semua peserta
didik cocok dengan pendekatan mi, kadang-kadang peserta didik lebih senang diberi pelajaran oleh
gurunya melalui ceramah dan tanya jawab; (2) guru kurang biasa menggunakan pendekatan ini dalam
penye1enggaraan disekolah karena faktor kemampuan; (3) pendekatan ini kurang cocok bagi peserta
didik yang lamban; dan (4) pendekatan mi menuntut er1engkapan yang memadai, terutama bagi
pekerjaan di laboratorium. Untuk mengatasinya, maka prosedur heunistik, yang menemukan jawaban
dengan cara yang tidak ketat, misalnya menganjurkan murid-murid menemukan jawaban atas
masalah yang pelik dengan memikirkan masalah yang ada persamaannya yang lebih sederhana atau
berpikir secara analogi, berdasarkan simetri. atau dengan melukiskannya atau membuat diagram.
Siswa dibimbing oleh guru agar dapat menemukan sendiri konsep yang dicari, tetapi konsep itu
belum tentu telah diketahui oleh guru sebelumnya.
Kemacetan pendekatan heuristik yang diterapkan dalam pembelajaran, ialah jika siswa sama
sekali tidak memiliki apersepsi material yang mendasar tentang bahan yang akan diterangkan guru.
Sebaliknya guru tidak dapat menyajikan materi awal untuk memulai pertanyaan yang mudah dan
sederhana.. sehingga mampu mengungkap pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Pendekatan
heuristime menuntut guru terampil merangsang siswa mengungkapkan dan mengaktifkan siswa
terhadap materi belajar yang dikuasai dan dimiliki. Tidak ada pendekatan yang paling baik dan cocok
untuk segala keadaan. setiap pendekatan mempunyai keunggulan dan kelemahan. Melalui berbagai
pendekatan yang sesuai dengan bidang studi, diperlukan kegigihan guru untuk mendesain pendekatan
yang sesuai dengan mata ajar yang menjadi tanggung jawab guru.
Dengan kegigihan guru menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa menjadi
lebih kreatif dan berinisiatif, dampaknya kegiatan pembelajaran menjadi lancar dan bermanfaat. Perlu
diingat bahwa mengajar dengan menggunakan berbagai pendekatan yang relevan, mengharuskan
terjadinya perubahan perubahan pola tingkah laku instruksional yang diharapkan. Dengan demikian
siswa harus melakukan interaksi terhadap lingkungan instruksional yang diharapkan untuk
menunjang dan memperlancar serta memotivasi proses belajar siswa. Salah satu usaha untuk
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan proses pembelajaran dikenal dengan strategi
menggunakan pendekatan, metode dan media pendidikan dalam pembelajaran.
4. Pendekatan Kecerdasan
Hal yang perlu diketahui para guru antara lain adalah kecerdasan siswa agar dapat menolong
kesulitan belajarnya. Untuk mengetahui kecerdasan para siswanya tentu guru tidak melakukannya
sendiri, untuk hal yang sederhana dapat dilakukan oleh konselor yang mempunyai latar belakang
pendidikan dan keahlian untuk itu. Bagi sekolah-sekolah yang berada diperkotaan dan tersedia
psikolog, maka dapat dimintakan bantuan para ahli psikologi tersebut untuk melakukan tes
kecerdasan, dengan demikian hasilnya dapat lebih akurat, dan tindakan belajarpun dapat disesuaikan
dengan kemampuan siswa oleh guru. Mun.zert, A. W. (1994) mengartikan kecerdasan sebagai sikap
intelektual mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyelesaian, dan kemampuan memecahkan
masalah. David Weschler memberikan rumusan tentang kecerdasan sebagai suatu kapasitas umum
dan individu untuk bertindak, berpikir rasional dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif.
Kecerdasan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan sukses gagalnya peserta didik
belajar di sekolah. peserta didik yang mempunyai taraf kecerdasan rendah atau dibawah normal sukar
diharapkan berprestasi tinggi. Tetapi tidak ada jaminan bahwa dengan taraf yang kecerdasan tinggi
seseorang secara otomatis akan sukses belajar di sekolah.
Intelegensi dapat dirumuskan dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan dan mencapai
prestasi-prestasi yang didalamnya berpikir memainkan peranan utama. Dan tingkah laku seseorang,
pembicaraan, aksi, reaksinya, orang dapat menilainya apakah orang itu cerdas, cerdik, pintar atau
sebaliknya bodoh, bebal, lamban. Walaupun untuk memperoleh informasi yang lebih dapat 4ipercaya
melalui tes kecerdasan melalui uji psikotes oleh ahli psikologi. Tingkah laku yang inteligen oleh
sejumlah ciri sebagai berikut mi: (1) tingkah laku yang siap melakukan perubahan-perubahan yang
perlu terhadap kondisi-kondisi baru, tidak kaku; (2) tingkah laku yang bertujuan; (3) tingkah laku
yang cepat, reaksi-reaksi yang segera; (4) tingkah laku yang terorganisir, yakni ada koordinasi yang
baik antara kondisi-kondisi pribadi dalam lingkungan yang memecahkan persoalan, (5) tingkah laku
yang dikendalikan oleh motivasi yang kuat; dan (6) tingkah laku yang “success oriented”.
Berdasarkan test-test jntelegensi yang dilaksanakannya, Binet mengelompokkan tingkat-
tingkat ,kecerdasan (intelegence Quotient-IQ) seperti berikut ini.
Peserta didik perlu menyadari potensi kecerdasan dan mengaktualisasikan secara optimal.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa untuk berhasil belajar dijenjang pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi 1dcngan baik perlu ditunjang untuk kecerdasan yang memadai, misalnya pada
tahap cerdas ke atas. Howard Gardner memberikan ringkasan pendek tentang kecerdasan pribadi atau
antarpribadi. Kecerdasan antar pribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain apa yang
memotivasi mereka. bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja bahu membahu.
Guru cenderung orang yang mempunyai tingkat kecerdasan antar pribadi yang tinggi.
Spearrnan mendefinisikan kecerdasan adalah
inteligence consist of general ability that wothng cojuntion with special abilines ada dua penekanan
penting yang dapat dimaknai dan definisi diatas yaitu kapasitas umum meliputi kecepatan merespon
setiap stimulus dan kemampuan memecahkan masalah dengan kapasitas khusus dikenal sebagai bakat
(aptitude). Howard Gardner. psikolog yang membantu pelaksanaan riset tersebut. menganggap
kecerdasan sebagai kemampuan memecahkan masalah atau menciptakan produk (Goleman.
1999:50). Ia mewariskan daftar berikut yang memuat delapan bentuk kecerdasan:
1. Kecerdasan verballbahasa (verbal linguistic intelligence). Bentuk kecerdasan mi dinampakkan
oleh kepekaan akan makna dan urutan kata serta kemampuan membuat beragam penggunaan
bahasa untuk menyatakan dan memaknai anti yang kompleks. Percakapan spontan, dongeng,
humor. dan kelakar adalah kemampuan alamiah yang berkaitan dengan kecerdasan verbal/bahasa.
Kemampuan membujuk seseorang untuk mengikuti tindakan, atau memberikan penjelasan, atau
mengajar. Guru dalam memimpin pembelajaran diperlukan kemampuan melakukan negoisasi
kepada pihak-pihak terkait untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan pembelajaran. Will
Rogers memiiki bentuk kecerdasan mi, demikian pula pam jumalis hebat, alili bahasa. sastrawan,
orator, penyair juga memiliki kecerdasan ini.
2. Kecerdasan logika/matematika-logis (logical-mathematical intelligence). Bentuk kecerdasan ini
termasuk yang paling mudah distandarisasikan dan diukur. kecerdasan ini sebagai pikiran analitik
dan sainstifik, dan bisa melihatnya dalam diri ahli sains dan programer komputer, akwttan, ahli
hukum, bankir, dan tentu saja ahli matematika, mereka semua pemecah masalah dan pemain
hebat. Mereka bekerja sebagai simbol-simbol abstrak dan bisa melihat koneksi antara potongan-
potongan informasi yang oleh orang lain mungkin terlewatkan. Einstein adalah salah satu contoh
terbaik mengenai orang dengan bentuk kecerdasan mi. Guru dan profesi pendidikan memerlukan
kecerdasan mi meski dalam ukuran yang relatif khusus dalam pengambilan keputusan dan
penetapan kebijakan pembelajaran.
3. Kecerdasan spasial/visual (visual-spatial intelligence). Kecerdasan mi umumnya terampil
menghasilkan imaji mental dan menciptakan representasi grafis, mereka sanggup berpikir tiga
dimensi, mampu mencipta ulang dunia visual. Picasso, yang lukis-lukisannsya menantang cara
kita memandang kenyataan, dikaruniai bakat memvisualisasikan obyek-obyek dani beragam
perspektif dan berbagai sudut. Selain pada pelukis dan pematung, bentuk kecerdasan mi
ditemukan juga pada para programer komputer atau desainer dan arsitek. Pendidik membutuhkan
kecerdasan ini khususnya berkaitan dengan program dan perencanaan pembelajaran yang sesuai
dengan harapan perolehan mutu.
4. Kecerdasan tubuh/kinestetik (kinesthetic intelligence). Kecerdasan mi memungkinkan terjadinya
hubungan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan untuk berhasil dalam aktivitas-aktivitas
seperti menari. melakukan pantomim, berolah raga. menguasai seni bela diri, dan memainkan
drama. Martha Graham dan Michael Jordan mempesona pam penonton dengan penggunaan tubuh
secara sensitif dan eksplosif, mereka tahu cara manusia bergerak. Para penemu dibidang ini
pahami bagaimana mengubah fungsi menjadi bentuk, mereka secara intuitif merasakan apa yang
mungkin dilakukan dengan proses dan peralatan. Keterampilan mi dibutuhkan oleh pendidik
khususnya berkaitan dengan tampilan didepan peserta didiknya, jika guru kaku atau tudak lentur
akan menimbulkan kesan tidak akrab atau kaku, tidak lugas, makanya guru dalam memimpin
pembelajaran perlu menjaga dirinya dan sikap kaku dan harus berpenampilan lugas.
5. Kecerdasan musikal/ritmik (mucical intelligence). Seseorang dengan bentuk kecerdasan mm
mendengarkan pola musik dan ritmik secara natural dan kemudian dapat memproduksinya.
Bentuk kecerdasan mi sangat menyenangkan, karena musik memiliki kapasitas untuk mengubah
kesadaran kita, menghilangkan stres, dan meningkatkan fungsi otak. Sebagai contoh pelajar yang
mendengarkan musik karya Mozart mencetak nilai lebih tinggi dalam standar tes IQ
dibandingkan pelajar yang pada waktu yang sama menghabiskan waktu dengan meditasi atau
berdiam diri. Peneliti meyakini bahwa pola-pola dalam tema-tema musik, bagaimana pun,
menjalankan jaringan kerja saraf yang sama yang oleh otak dipekerjakan untuk menyelesaikan
tugas-tugas visual-spasial yang kompleks. Bagi pemimpin pendidikan dan guru kecerdasan
demikian diperlukan agar mereka dapat mengolah jiwanya sehingga tetap sehat dan tidak stres.
Makanya guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yang memiliki sedikit rasa
humor tampilannya relatif kaku, sedangkan mereka yang memiliki rasa humor relatif memadai
tampilannya relatif lugas dan neksibel.
6. Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence). Manager, konselor. terapis, politikus,
mediator, dan spesialis hubungan manusia menunjukkan bentuk kecerdasan mi. Bentuk
kecerdasan mi wajib dimiliki bagi tugas-tugas di tempat kerja seperti negosiasi dan menyediakan
umpan balik atau evaluasi. Individu-individu dengan bentuk kecerdasan mi memiliki kemampuan
intuitif yang kuat. Mereka biasanya pintar membaca suasana hati, temperamen, inotivasi, dan
maksud orang lain. Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, dan Martin Luther King, Jr.,
memanfaatkan kecerdasan interpersonal untuk mengubah dunia. Kecerdasan ini dibutuhkan guru
agar diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hal mi menurut Nurhadi (2003) dilakukan dengan melibatkan komponen utama pembelajaran
yang efektifyakni:
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan
kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-
fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstniksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk
memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide,
yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Esensi dan teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu
menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar mi pembelajaran harus dikemas menjadi proses
mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda
dengan pandangan kaum objektifitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam
pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak
siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses
tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi
kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar
menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
b. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dan bertanya, karena bertanya
merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis pendekatan kontekstual. Dalam sebuah
pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: (1) menggali informasi, baik
administrasi maupun akademis; (2) mengecek pemahaman siswa; (3) membangkitkan respon pada
siswa; (4) mengetahui sejauh mana keinginan tahuan siswa; (5) mengetahui hal- hal yang sudah
diketahui siswa; (6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; (7) untuk
membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
“Masyarakat-belajar” bisa terjadi apabila ada proses komunikasj dua arah. “Seorang guru
yang mengajari siswanya” bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu
arah, yaitu informasi hanya datang dan guru ke arah siswa, tidak ada anus informasi yang perlu
dipelajari guru yang datang dan arah siswa. Dalam contoh mi yang belajar hanya siswa bukan guru.
Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran
saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberikan informasi
yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dan
teman belajarnya. Kegiatan saling belajar juga bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan
dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang
menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa
setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu
dipelajari.
e. Pemodelan (Modeling)
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa
ditiru. Model itu, memberi peluang yang besar bagi guru untuk memberi contoh cara mengerjakan
sesuatu, dengan begitu guru memberi model tentang bagaimana cara belajar. Sebagian guru memberi
contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas, misalnya cara menemukan
kata kunci dalam bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan
kata kunci dalam bacaan dengan menelusuri bacaan secara cepat, dengan memanfaatkan gerak mata
(scaning). Ketika guru mendemonstrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa mengamati guru
membaca dan membolak balik teks.
Gerak mata guru dalam menelusuri bacaan, menjadi perhatian utama siswa. Dengan begitu
siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melakukan scaning. Kata kunci yang ditemukan
guru disampaikan kepada siswa, sebagai hasil kegiatan pembelajaran menemukan kata kunci secara
cepat. Secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya, ada model yang bisa ditiru dan
diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci. Dalam kasus itu, guru menjadi
model. Dalam pendekatan kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa, seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh temannya, cara
melafalkan suatu kata, jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau
memenangkan kontes berbahasa Inggris, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan
keahliannya. Siswa contoh tersebut dikatakan sebagai model, siswa lain dapat menggunakan model
tersebut sebagai standar kompetensi yang harus dicapai.
f. Reneksi (Refeiction)
Reneksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dalam hal belajar di masa yang lalu. Siswa mengendapkan
apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau
revisi dan pengetahuan sebelumnya. Reneksi merupakan respons terhadap kejadian. aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung “Kalau begitu,
cara saya menyimpan file selama ini salah, ya! Mestinya dengan cara yang baru saya pelajari ini, file
komputer saya lebih tertata dan lebih rapi”.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses belajar. Pengetahuan Yang dimiliki siswa
diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit sehingga
semakin berkembang. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan reneksi itu, siswa
merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang harus dipelajarinya.
f . Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran
perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan Ljar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa
memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang
dikumpulkan mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, cara guru
segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dan kemacetan belajar. Karena
gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan panjang proses pembelajaran, maka assessment
tidak dilakukan diakhir periode seperti akhir semester.
Pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi basil belajar seperti fo4atif dan sumatif, tetapi
dilakukan bersama dengan cara terintegrasi, yaitu tid4k terpisahkan dan kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu
mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin
informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka
data yang dikumpulkan harus diperoleh dan kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat
melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa Inggris
misalnya bagi para siswanya harus mengumpulkan data dan kegiatan nyata saat para siswa
menggunakan bahasa Inggris, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Inggris. Data yang
diambil dan kegiatan siswa saat siswa melakukan kegiatan berbahasa Inggris baik dalam kelas
maupun di luar kelas, itulah yang disebut data autentik.
Kemajuan belajar dinilai dan proses, bukan melalui hasil, dan dengan berbagal cara. Tes
hanya salah satunya, itulah hakekat penilaian yang sebenarnya. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa
juga teman lain atau orang lain. Karakteristik authentic assessment adalah: (1) dilaksanakan selama
dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (2) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif (3)
yang diukur keterampilan dan performansi, bukan hanya mengingat fakta; (4) berkesinambungan; (5)
terintegrasi; dan (6) dapat digunakan sebagai feed back. Dengan demikian pembelajaran yang benar
memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how
to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode
pembelajaian (Depdiknas, 2003:10).
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan komponen
utama pembelajaran efektif mi dalam pembelajarannya. Untuk melaksanakan hal itu dapat diterapkan
dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimana pun keadaannya.
Penerapan pendekatan kontekstual secara garis besar langkah-langkahnya adalah: (1) kembangkan
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri,
dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) laksanakan sejauh mungkin
kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan; (3) mengembangkan sikap ingin tahu Siswa dengan
bertanya; (4)menciptakan masyarakat belajar; (5) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran;
(6) melakukan reneksi di akhir pertemuan (7) melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai
cara.
Dengan konsep itu, hasil hasil pembelajaran diharapkan lebih bermutu bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
transfer pengetahuan dan guru ke siswa, strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil,
dimana siswa belajar mengkonstruksikan sendiri. Karena diasumsikan dengan strategi dan
pendekatan yang baik, maka akan memperoleh hasil yang baik pula. Dalam konteks mi siswa perlu
mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya. dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya.
Para siswa menyadari bahwa yang mereka pelajar akan berguna dan sebagai bekal hidupnya
kemudian hari. Para siswa mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya
menanggapinya, itulah sebabnya para siswa tersebut memerlukan tenaga pengajar yang profesional
sebagai pengarah dan pembimbing mereka dalam belajar.
Ada beberapa alasan mengapa pendekatan kontekstual menurut Depdiknas (2003) menjadi
pilihan yaitu: (1) sejauh mi pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan
sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber
utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan
sebuah strategi belajar ‘baru’ yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak
mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri; (2) melalui landasan filosofi
konstruksivisme, Cli dipromosikan’ menjadi altematif strategi belajar yang barn. Melalui strategi
belajar pendekatan kontekstual, siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami, bukan ‘menghafal; (3)
knowledge is constructed by humans. Knowladge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be
discovered. It is not something that exists independent of a knower. Humans create or construct
knowledge as ‘they attempt to bring meaning to their experience, everything that we know, we have
made (Zahorik, 1995); dan (4) knowledge is konjectural and fallible. Since knowledge is a
construction of humans-and humans constantly undergoing new
, ‘experiences, knowledge can never by stable. The understandings and incomplete. Knowledge
grows through exposure. Understand become deeper and stronger if one tes it against new encounters
(Zahorik, 1995)
Ada lima elemen belajar yang konstruktivistik yang harus diperhatikan dalam pembelajaran
kontekstual menurut Zahonk (1995 14-22) yaltu (1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada
(activating knowledge); (2) Pemerolehan pengetahian ban, (Acquiring knowledge) dengan cara
mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya; (3) Pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis),
melakukan sharing kepada orang lain agar dapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu,
dan konsep direvisi dan dikembangkan; (4) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut
(applying knowledge); dan (5) Melalcukan reneksi (renecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan tersebut.
C. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak
Pernahkah anda memperhatikan seorang bayi yang meneliti dengan seksama sebuah mainan
bani miliknya. Anak itu memasukkan mainannya itu ke dalam mulut untuk mengetahui rasanya,
kemudian menggoyangnya, mengangkat, membantingkan, dan memilah-milah yang bisa ia lakukan,
serta membongkarnya untuk diselidiki satu persatu. Proses yang demikian mi disebut belajar secara
menyeluruh (global learning) yang merupakan cara efektif dan alamiah bagi seseorang manusia untuk
mempelajari bahwa otak seorang anak hingga usia enam atau tujuh tahun mampu menyerap berbagai
fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa (DePorter dan Hernacki, 1999:22). Para ahli berbeda
pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, karena memang sudut
pandang maupun pendekatannya berbeda.
Kata perkembangan sering kali digandengkan dengan pertumbuhan dan kematangan,
ketiganya memang mempunyai hubungan yang sangat erat. Pertumbuhan dan perkembangan pada
dasarnya adalah perubahan menuju ke tahap-tahap yang lebih tinggi dan lebih baik. Pertumbuhan
lebih banyak berkenaan dengan aspek-aspek jasmaniah atau fisik, menunjukkan perubahan atau
penambahan secara kuantitas, yaitu penambahan dalam ukuran besar atau tinggi. Sedangkan
perkembangan berkaitan dengan aspek-aspek psikhis atau rohaniah, berkenaan dengan kualitas yaitu
peningkatan dan penyempumaan fungsi (Syaodih Sukmadinata, 2003:111). Dengan demikian dapat
ditegaskan bahwa pertumbuhan berkenaan dengan struktur, sedangkan perkembangan berkenaan
dengan fungsi yang berhubungan dengan kematangan. Pada dasarnya dilihat dan aspek psikologis
penyelenggaraan pendidikan khususnya mengenai pembelajaran, para ahli mengemukakan ada
digunakan untuk mengkaji faktor-faktor perkembangan anak dalam belajar yaitu:
1. Pandangan Nativisme
Nativisme (Nativism) yaitu “Nativzts” atau pembawaan adalah sebuah doktrin filosofis yang
berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Pandangan nativisme ini berpendapat bahwa
perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa semenjak lahir.
Salah satu tokoh yang menganut teori nativisme ini adalah Arthur Schopenhouer (1788-1880),
seorang filsuf bangsa Jerman. Beliau berpendapat bahwa bayi itu lahir telah memiliki sifat-sifat dasar
tertentu yang disebut sifat pembawaan yang baik dan pembawaan buruk. Setiap anak memiliki sifat
bawaannya sendiri, sifat-sifat itu tidak bisa dirubah dengan pengalaman. Pengalamian, lingkungan
atau pendidikan, oleh karena itu hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah
dibawa sejak lahir.
Berdasarkan pandangan ini keberhasilan pendidikan ditentukan .oleh nak didik itu sendiri.
Istilah nativisme dan asal kata “native” yang artinya adalah terlahir, bagi nativisme lingkungan
sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan
anak. Jadi, perkembangan anak merupakan hasil perubahan dan sifat-sifat pembawaan itu Sendiri.
Jika dikatakan secara ekstrem, paham ini tidak mempercayai pengaruh pendidikan terhadap
perkembangan anak.
Jika ada ilmu pendidikan yang berlandaskan pada paham ini, dikatakan bagai pedagogik yang
pesimistis. Paham ini juga sering disebut sebagai biologisme, karena hanya menekankan pada
kehidupan anak sendiri sebagai makhluk biologi dalam perkembangannya. Penganut pandangan ini
menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat, maka dia akan menjadi jahat.
eba1iknya kalau anak mempunyai pembawaan baik, maka dia akan menjadi baik. Pembawaan buruk
dan baik mi tidak dapat diubah dan kekuatan luar, jadi hasil pendidikan tergantung pada pembawaan.
Dengan demikian dapat ditegaskan pandangan nativisme bahwa perkembangan manusia itu
ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan enga1aman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa.
Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti mi disebut “pesimisme pedagogis”. Aliran ‘nativisme
bertolak dan “Leibnitzian Tradition” yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor
lingkungan, termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Dalam
individu terdapat suatu inti pribadi yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong
manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai
makhluk aktif yang mempunyai kemauan bbas. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh
pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Tiitarahardja dan Sula (2000:196) berpendapat
pembawaan itu bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan, masih banyak faktor
yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
2. Pandangan Naturalisme
Nature yaitu alam atau kodrat, pandangan naturalisme mi dipelopori oleh seorang filsuf
Prancis J. J. Rouseau (17 12-1778). Pandangannya lebih ditekankan pada sifat hakekat anak, sehingga
mempengaruhi konsepnya mengenai pembinaan terhadap perkembangannya atau perkembangannya.
Rouseau berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik dan
tidak ada seorang pun yang lahir dengan pembawaan buruk. Namun pembawaan baik itu, akan
menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan atau pengaruh kebudayaan manusia itu sendiri.
Rouseau berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak
pembawaan anak yang baik itu.
Pandangan naturalisme tidak memandang penting pendidikan, aliran ini juga disebut
“negativisme”, karena berpendapat pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam,
dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. Rouseau dengan gigihnya mengajak agar kembali ke
alam (nature), yang baik itu (back to nature), dengan menjauhkan anak dan lingkungan kebudayaan.
Ia ingin menjauhkan anak dan segala keburukan masyarakat yang serba di buatbuat (artificial),
sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak lahir dapat tampak secara spontan
dan bebas.
Rouseau mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan
pembawaannya, kemampuan-kemampuannya, dan kecenderungan-kecenderungannya. Pendidikan
yang baik adalah memberikan kebebasan kepada anak untuk berkembang menurut kodrat dan
alamnya yang baik itu. Hukuman bagi anak pun harus dengan hukuman alam, sebagai contoh anak
yang memecahkan kaca jendela, dibiarkan tidur di kamar tanpa jendela berkaca itu, agar merasakan
dinginnya malam karena angin yang masuk ke kamar lewat jendela itu, maka ia mendapat hukuman
dan alam. Namun menurut Tirtarahardja dan Sula (2000:198) bahwa seperti diketahui, gagasan
naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan, sampai saat mi tidak terbukti. malahan terbukti
sebaliknya, yaitu pendidikan makin lama makin diperlukan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Herbart (1776-1841) adalah seorang paturalis, hal ini tampak pada
pandangannya: (1) teori tahap-tahap perkembangan budaya yang menyatakan bahwa ras manusia
berkembang melalui tahap perkembangan budaya tertentu. dan tahap-tahap tersebut akan diulangi
dalam perkembangan individu; (2) seorang manusia yang baik memerintahkan dirinya sendiri, sifat
dasar manusia terdini dan dua faktor yaitu dari yang memerintah dan diri yang menolak. Mendidik
orang muda agar ingin berbuat baik. bebas dan mantap, terwujud apabila sifat dasarnya mau
melakukan perbuatan tersebut; dan (3) jika dibekali suatu kemampuan khusus untuk mereaksi
terhadap hal-hal yang ada terhadap lingkungannya.
3. Pandangan Empirisme
Empiria atau pengalaman, tokoh perintis pandangan empirisme adalah seorang filsuf Inggris
bernama John Locke (1632-1704). Faham empirisme ini bertentangan dengan paham nativisme dan
berpendapat, bahwa anak itu sejak lahir belum memiliki sifat-sifat pembawaan apapun. John Locke
mengembangkan suatu teori yang terkenal dengan teori “Tabula rasa dimana beliau berpendapat
bahwa anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Maka diatas kertas putih itu orang dapat
membuat coretan menurut kehendaknya Oleh karena itu lingkungan (environment), anak memperoleh
pengalaman-pengalaman empirik, dan pengalaman empirik yang diperoleh dan lingkungan inilah
yang berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak.
Penganut pandangan ini menyatakan bahwa perkembangan anak gantung kepada lingkungan,
sedangkan pembawaan tidak dipentingkan sebab pada waktu lahir seorang anak masih bersih.
Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dan dunia sekitarnya yang
berupa imulan-stmmu1an yang berasal dan alam bebas maupun diciptakan oleh orang dewasa dalam
bentuk program pendidikan. Dalam hal ini para penganut empirisme menganggap setiap anak lahir
seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong. tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak
menjadi apa anak kelak bergantung pada pengalaman maupun lingkungan yang mendidiknya.
Seorang pendidik dapat membentuk menjadi apapun yang dikehendakinya, apakah akan dibentuk
menjadi seorang sarana. seorang montir di bengkel. Atau bahkan seorang penjahat. Jika ada ilmu
pendidikan yang mendasarkan pada paham ini, maka dikatakan sebagai pedagogik optimistis. Paham
ini juga sering disebut sosiologisme, karena hanya menekankan arti pengaruh lingkungan dalam
perkembangan anak. Mengacu pada model-model pendidikan yang berkembang di Indonesia, tidak
tampak pengikut nativisme maupun empirisme yang murni, tetapi mengkombinasi nativisme dan
empirisme maupun teori-teori lainnya yang relevan bagi pendidikan anak.
4. Pandangan Konvergensi atau Interaksionisme
Paham nativisme, naturalisme dan empirisme memang merupakan paham-paham yang
bersifat filsafat yang dikembangkan menjadi filsafat pendidikan. Pada akhir abad 19 dan awal abad
20 ilmu-ilmu telah banyak berkembang, sehingga pandangan mengenai perkembangan yang semula
bersifat filsafat ini didekati dan sudut ilmu pengetahuan menjadi bersifat terapan. Perkembangan ini
khususnya tampak pada ilmu genetika, diamana genetika mulai mengalami kemajuan yang pesat,
demikian pula ilmu-ilmu pengetahuan sosial, seperti sosiologi, dan antropologi yang menjadi dasar
pengembangan ilmu pendidikan, dan sebagainya. Maka muncullah teori konvergensi, dimana tokoh
pandangan konvergensi atau interaksionisme ini adalah Louis William Stern (1871-1939) seorang
ahli pendidikan, filosof, dan psikolog bangsa Jerman. Teori ini disebut konvergensi karena
berpendapat bahwa perkembangan bukan hanya dilihat dari salah satu faktor pembawaan (hereditas)
atau lingkungan. Tetapi dapat dikatakan bahwa penganti kerja sama antara faktor internal dan
eksternal, ataupun antara faktor-faktor dasar dan faktor ajar (nature and nurture).
William Stem berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan didunia sudah disertai dengan
pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Dalam proses perkembangan anak baik faktor
pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting.
Pandangan mi tidak memisahkan peranan faktor yang lain. Bakat yang dibawa waktu lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan
bakat itu. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang
optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan
potensi dan kemampuan anak yang diharapkan. Berdasarkan pandangan konvergensi itu, William
Stem membuat suatu kesimpulan bahwa hasil pendidikan itu tergantung dri pembawaan dan
lingkungan, seakan-akan dua garis yang menuju kesatu titik pertemuan seperti bagan berikut:
Dua garis yang menuju kesatu titik pertemuan mi memberi gambaran bahwa pendapat William Stem
disebut teori konvergensi yang intinya memusat kesatu titik. Jadi menurut teori konvergensi (1)
pendidikan mungkin untuk dilaksanakan; (2) pendidilcan diartikan sebagai pertolongan yang
diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah
berkembangnya potensi yang kurang baik; dan (3) yang membatasi basil pendidikan adalah
pembawaan dan lingkungan. Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai
pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Aliran ini implementasinya
dalam hal belajar mengajar terlatih menyebabkan munculnya berbagai teori-teori belajar dan teori
atau model mengajar seperti: (1) model behavioral yang terdiri dan belajar atas belajar kontrol diri
sendiri, simulasi, dan belajar asertif, (2) model pemrosesan 1jaformasi yang terdiri dan model
mengajar inkuiri, presentase kerangka atau “advance organizer”, dan model pengembangan berpikir;
litan (3) lain sebagainya. Model perilaku dan pemrosesan informasi ini merupakan kajian psikologi
yang menggambarkan tingkah laku manusia dalam pembelajaran.
Teori konvergensi ini membuka kesempatan yang luas bagi melaksananya pendidikan sebagai
pertolongan belajar kepada peserta didik. Alasannya potensi intelektual yang dimiliki anak dapat
ditumbuhkembangkan melalui proses belajar, meskipun dilain pihak pembawaan si anak akan
pembatasi perkembangan itu. Pendekatan dalam teori konvergensi mi antara lain melalui pendekatan
tingkah laku (behavioral), dimana guru dapat menangkap apakah anak sudah dapat menerima
pelajaran atau tidak melalui perilaku si anak. Tingkah laku itu mencerminkan apakah anak mampu
menerima dan memproses informasi belajar yang diterimanya, dan jika tidak mampu guru dapat
mencari tahu akan informasi sebagai kendalanya, melalui data dan informasi tersebut guru menyusun
langkah-langkah untuk mengatasinya. Teori konvergensi mi bukan sekedar memadukan antara
nativisme. naturalisme dan empirisme, melainkan mempunyai landasan pikir yang berbeda dengan
paham tersebut. Didukung oleh pesatnya ilmu pengetahuan, teori konvergensi mi melakukan studi
psikologi dan pendidikan menjadi konvergen antara pembawaan yang dipelajari sebagai hereditas dan
lingkungan budaya maupun pendidikan yang berkonvergensi dengan faktor pertama.
D. Motivasi Menciptakan Suasana Belajar yang Fun (Menyenangkan)
Motivasi tidak sama dengan motif, meskipun akar katanya sama yaitu “motivum”. Motivasi
dapat dipahami sebagai suatu variabel penyelang yang digmiakan untuk menimbulkan faktor-faktor
tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan
tingkah laku menuju suatu sasaran. Sedangkan motif dipahami sebagai suatu keadaan ketegangan di
dalam individu, yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju suatu
tujuan atau sasaran. Pengertian motif tidak dapat dipisahkan daripada kebutuhan (needs), seseorang
atau suatu organisme yang berbuat melakukan sesuatu, sedikit banyaknya ada kebutuhan di dalam
dirinya atau ada sesuatu yang hendak dicapainya.
Pam ahli psikologi berusaha menggolong-golongkan motif dalam diri manusia atau suatu
organisme ke dalam beberapa golongan seperti (a) Sertain membagi motif menjadi (1) psychological
drive yaitu dorongan-dorongan yang bersifat fisiologis jasmaniah seperti lapar, haus, seks, dan
sebagainya dan (2) social motives yaitu dorongan-dorongan yang ada hubungannya dengan manusia
yang lain dalam masyarakat seperti dorongan estetis, dorongan ingin selalu berbuat baik (etika), dan
sebagainya; (b) Woodworth mengadakan klasifikasi motif-motif yaitu (1) unlearned motives yaitu
motif-motif yang tidak dipelajari merupakan motif yang pokok yang biasa disebut “drive”
(dorongan), yang termasuk unlearned motives ialah motif-motif yang timbul disebabkan kekurangan-
kekurangan kebutuhan-kebutuhan dalam tubuh seperti lapar, haus, sakit, dan sebagainya. Semuanya
hal itu menimbulkan dorongan dalam diri untuk minta supaya dipenuhi, atau menjauhkan diri
daripadanya seperti perasaan suka dan tidak suka. Motif-motif itu berkembang melalui kematangan,
pelatihan, dan melalui belajar, dan (2) learned motives yaitu motif-motif yang dipelajari melalui
latihan dan kehidupan sehari-hari motif-motif seseorang makin berkembang dan mengalami
perubahan-perubahan yaitu tujuan-tujuan dan motif-motif menjadi lebih khusus, motif-motif itu
makin berkombinasi menjadi motif-motif yang lebih kompleks, tujuan-tujuan sementara dapat
berubah menjadi tujuan sebenarnya, dan motif-motif itu dapat timbul karena adanya perangsang baru.
Woodworth selanjutnya menggolongkan motif itu menjadi kebutuhan kebutuhan organis
seperti lapar, bergerak, istirahat dsb., motif-motif yang tumbuh sekonyong-konyong seperti kejutan,
dan motif objektif seperti dorongan menyelidiki. Dan penelitian-penelitian menunjukkan, bahwa
sukses belajar tidak hanya tergantung pada inteligensi anak, tetapi tergantung pada banyak hal di
antaranya motif-motifnya, upaya menimbulkan tindakan belajar yang bermotif adalah penting. Siswa
yang belajar harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar akan memperoleh
hasil. Siswa haru memberikan perhatikan pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kejadian
instruksional. Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia terlalu siap untuk
menerima pelajaran. Informasi baru yang diperoleh haru dipindahkan dari memoni jangka pendek ke
memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal), peraktek
(practice), dan elaborasi atau lain-lain.
Misalnya guru memberikan pujian atau hadiah bagi siswa yang menunjukkan usaha yang
baik, memberikan angka tinggi terhadap prestasi yang dicapainya, tidak menyalahkan pekerjaan atau
jawaban siswa secara terbuka sekalipun pekerjaan atau jawaban tersebut belum memuaskan, tidak
menghukum siswa di depan kelas, menciptakan suasana belajar yang memberi kepuasan dan
kesenangan pada siswa dan usaha lain dipandang pantas dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
belajar siswa. Motivasi intrinsik, adalah dorongan siswa agar mencapai tujuan yang terkandung
dalam perbuatan itu sendiri. Motivasi mi berkenaan dengan kebutuhan siswa sendiri.
Siswa harus menyadari pentingnya melakukan kegiatan belajar untuk kepuasan dan
kebutuhan dirinya untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai modal hidupnya
kelak jika telah dewasa. Kedua motivasi diatas yakni ekstrinsik dan intrinsik dapat digunakan guru
saat berlangsungnya proses belajar mengajar. Menjelaskan tujuan instruksional khusus kepada siswa
sebelum mengajar dimulai, serta menemukan kesadaran pentingnya siswa menguasai materi tersebut
merupakan upaya motivasi instrinsik. Demikian pula kesadaran siswa agar belajar sungguh-sungguh
untuk meraih kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang adalah contoh motivasi intrinsik. Motif
merupakan suatu faktor yang amat penting dalam pendidikan, sehingga sering dikatakan bahwa
tindakan yang sadar, dilakukan oleh anak didik adalah tindakan yang bermotif.
Tindakan belajar yang memotif dapat dikatakan sebagai tindakan belajar yang dilakukan oleh
anak didik didorong kebutuhan yang dirasakannya. sehingga tindakan itu tertuju ke arah suatu tujuan
yang diharapkan. Kebutuhan itu timbul sebagai akibat berbagai macam hal seperti dorongan nafsu,
minat, hasrat. keinginan, dan sebagainya. Abraham Maslow mengungkapkan bahwa kebutuhan
manusia dapat disusun dalam suatu hierarkhi kebutuhan terendah sampai tertinggi, jika kebutuhan
yang lebih rendah dapat dipenuhi, maka kebutuhan yang berada pada tingkatan diatasnya akan
muncul dan minta dipenuhi. Kebutuhan yang telah dipenuhi menjadi motivator utama dan perilaku.
Dengan demikian kegiatan belajar siswa dapat terjadi bila siswa ada perhatian dan dorongan terhadap
stimulus belajar. Untuk itu maka guru harus berupaya menimbulkan dan mempertahankan perhatian
dan dorongan siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Upaya memberikan dorongan dan perhatian
belajar kepada siswa dilakukan guru sebelum memulai belajar, pada saat berlangsungnya proses
belajar mengajar terutama pada saat siswa melakukan kegiatan belajar dan pada saat siswa
mengalami kemunduran.
Perhatian siswa terhadap stimulasi belajar dapat diwujudkan melalui beberapa upaya seperti
penggunaan media pengajaran atau alat-alat peraga, memberikan pertanyaan kepada siswa membuat
variasi belajar pada siswa, melakukan pengulangan informasi yang berbeda sifatnya dengan cara
sebelumnya, memberikan stimulus belajar dalam bentuk lain sehingga tidak bosan. Sedangkan
motivasi belajar siswa dapat dilakukan melalui dua bentuk motivasi, yakni motivasi ekstrinsik dan
motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik, adalah dorongan yang timbul untuk mencapai tujuan yang
datang dari luar dirinya. Abraham Maslow Bapak psikologi modern menyatakan bahwa motif- motif
manusiawi itu membentuk suatu hierarki (the hierarchy of needs), setiap individu mempunyai
kebutuhan-kebutuhan yang dapat digolongkan kedalam urutan prioritas, yaitu lima tingkatan
kebutuhan manusia. Kelima tingkatan kebutuhan pokok milah yang kemudian dijadikan pengertian
kunci dalam mempelajari motivasi manusia. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut.
Hierarki kebutuhan mi digambarkan dengan piramida berkotak yang paling bawah adalah
kebutuhan fisiologis merupakan yang paling dasar, sedangkan yang tertinggi adalah kebutuhan
actualization sebagai pemenuhan : kebutuhan yang bersifat kompetitif. Adapun kelima tingkatan
kebutuhan pokok : dimaksud, adalah (1) dengan dorongan-dorongan primer atau fisiologis ada Di
bagian dasar. Kebutuhan mi merupakan kebutuhan dasar yang bersifat primer dan vital, yang
menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar dari organisme manusia seperti kebutuhan akan pangan,
sandang dan papan, kesehatan fisik, kebutuhan seks dan sebagainya; (2) keselamatan dan jaminan
keamanan perlindungan pada lapisan berikutnya seperti terjamin keamananya, terlindung dan bahaya
dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan kelaparan, perlakuan tidak adil, dan sebagainyp (3)
dorongan hidup berkelompok atau diakui sebagai anggota kelompok, cinta, diperhitungkan sebagai
pribadi, rasa setiakawan, kerjasama; (4) afeksi sebagai kategori tertinggi berikutnya yaitu kebutuhan
akan penghargaan, dihargai karena prestasi, prestise, kemampuan, kedudukan atau status, kekuasaan
dan pemilikan adalah langsung lebih tinggi daripada dorongan berkumpul, cinta, dan afeksi; (4)
kemudian aktualisasi diri (self actualisaion) yaitu mempertinggi potensi-potensi yang dimiliki,
pengembangan din secara maksimum, kreatifitas, ekspressi, kebutuhan untuk mengenal dan
mengetahui, serta kebutuhan estetis yang ada dipuncak hierarki.
Tingkatan atau kebutuhan dan Maslow ini menurut Purwanto (2002:78) tidak dimaksudkan
sebagai kerangka yang dapat dipakai setiap saat, tetapi lebih merupakan kerangka acuan yang dapat
digunakan sewaktu-waktu bilamana diperlukan. Sehingga dapat dipertimbangkan dan diperkirakan
tingkat kebutuhan mana yang dapat mendorong seseorang yang akan dimotivasi sehingga ia
bertindak melakukan sesuatu. Penelitian psikologi banyak menghasilkan teori-teori motivasi tentang
perilaku. Para ahli berpendapat bahwa motivasi perilaku manusia berasal dan kekuatan mental umum,
insting, dorongan, kebutuhan, proses kognitif, dan interaksi, perilaku penting bagi manusia adalah
belajar dan bekerja (Dimyati dan Mudjiono, 1999:84). Menyadarkan si anak didik terhadap
kebutuhan yang diperlukan berarti menimbulkan motif belajar anak. Belajar menimbulkan perubahan
mental pada diri siswa, sedangkan bekerja menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri pelaku
dan orang lain, motivasi belajar dan motivasi bekerja merupakan penggerak kemajuan masyarakat.
Kedua motivasi tersebut perlu dimiliki oleh para siswa dan guru untuk memperlancar
pembelajaran. Kaitannya dengan pembelajaran, motivasi merupakan faktor yang sangat besar
pengaruhnya pada proses belajar siswa, tanpa adanya motivasi, maka proses belajar siswa akan sukar
berjalan secara lancar. Dalam konsep pembelajaran motivasi berarti seni mendorong peserta didik
untuk terdorong melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Motivasi adalah
syarat mutlak dalam belajar, hal mi berarti dalam proses pembelajaran. Adakalanya guru
membangkitkan dorongan, desire, incentive, atau radah murid untuk aktif ambil bagian dalam
kegiatan belajar (Rasyad, 2003:92). Upaya menggerakkan, mengarahkan, dan mendorong kegiatan
murid untuk belajar dengan penuh semangat dan vitalitas yang tinggi dinamakan memberi motivasi.
Banyak bakat anak tidak berkembang hal mi menurut Purwanto (2002:61) dikarenakan tidak
diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapat motivasi yang tepat, maka lepaslah
tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai hasil-hasil yang semula tidak terduga. Dalam proses
pembelajaran para guru perlu mendesain motivasi yang tepat terhadap anak didik agar para anak
didik itu belajar atau mengeluarkan potensi belajarnya dengan baik memperoleh hasil yang maksimal.
Dari sejumlah teori belajar yang telah di kemukakan para ahli pendidikan maupun psikologi
pendidikan, belakangan mi ada pendekatan belajar yang populer disebut “Quantum learning” berakar
dan upaya Dr. Georgi Lozanov seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria. Beliau ini mengadakan
penelitian dengan pendekatan eksperimen dan hasil penelitian itu ditemukannya model balajar yang
disebutnya “sugestology” atau “sugestopedia” yang pada prinsipnya sugesti dapat dan pasti
mempengaruhi hasil situasi belajar. Istilah lain yang dapat dipertukarkan dengan “sugestology”
adalah pemercepatan belajar (accelerated learning) yang diartikan sebagai memungkinkan siswa
untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan (Impressive), dengan upaya yang normal
dibarengi dengan kegembiraan. Setiap detail apapun memberikan sugesti positif maupun negatif
dalam belajar dan pembelajaran. Sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman dan
menyenangkan dalam belajar, didukung oleh guru-guru yang terlatih dalam seni pengajaran dan
pembelajaran. Konsep penting Quantum learning oleh DePorter dan Hemnacki (2000:16)
mendefinisikannya sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.
Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program ‘neurolinguistik yaitu
bagaimana otak mengatur informasi yang diperoleh dalam belajar. Artinya dalam belajar siswa dan
guru dapat meningkatkan motivasi, meningkatkan nilai belajar, memperbesar keyakinan diri,
mempertahankan sikap positif, dan melanjutkan keberhasilan dengan memanfaatkan keterampilan
orang diperoleh. Motivasi yang demikian ini memberi semangat yang kuat bagi guru untuk
melaksanakan tugas profesionalnya, dan juga memberi semangat kepada siswa untuk memperoleh
hasil belajar yang bermutu.
Model ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku sehingga dapat digunakan untuk
menciptakan jalinan pengertian antara siswa dan guru dalam proses belajar dan pembelajaran. Model
atau pendekatan Quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik percepatan belajar, dan
neurolinguistik dengan teori-teori pembelajaran, keyakinan akan mampu menerima pelajaran, dan
metode yang sesuai dengan tuntutan materi pelajaran. Model ini dapat digunakan untuk semua mata
pelajaran pada semua jenjang dan jenis pendidikan, hanya saja beberapa di antaranya disesuaikan
dengan siapa yang menjadi peserta didik dan apa mata pelajarannya. Lingkungan dan sumber belajar
model quantum learning mempertimbangkan dengan cermat lingkungan positif, aman, mendukung,
santai, penjelajahan, dan menggembirakan, sedangkan gerakan fisik dalam belajar yaitu gerakan,
terobosan, perubahan keadaan. permainan-permainan, fisiologi, estafet, dan partisipasi.
Kemudian iklim belajarnya diciptakan nyaman, cukup penerangan. enak dipandang, dan jika
diperlukan ada musiknya. DePorter dan Hernacki menggambarkan model quantum learning sebagai
mana diilustrasikan pada gambar 2.3. Teori belajar quantum learning ini dapat berkembang dimulai
dan adanya dorongan yang disebut motivasi dan dalam diri siswa sebagai motif berprestasi. Sudah
barang tentu teori motivasinya quantum learningnya DePorter dan Hernacki ini tidak sepenuhnya
sesuai dengan iklim belajar di Indonesia. Tetapi jika dicermati ada beberapa prinsip dan pendekatan
yang patut dipertimbangkan dalam pembelajaran seperti konsep lingkungan belajar yang
menyenangkan dan nyaman, terobosan-terobosan dalam pembelajaran, interaksi pembelajaran untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, menggunakan pendekatan yang membangkitkan kreatifitas
belajar, dan sebagainya. Hal yang demikian ini tentu penting dan dapat diterapkan sesuai iklim
pembelajaran di Indonesia.
Quantum learning sebagai suatu proses pembelajaran yang akrab dan menyenangkan baik
bagi peserta didik maupun pendidik dalam proses pembelajaran adalah diperlukan. Oleh karena itu
proses pembelajaran seperti ini sangat memerlukan guru yang menguasai materi ajar dan mempunyai
sifat perarah, bukan pemarah. Beberapa gambaran aplikasi dalam quantum learning yaitu berpikir
logis, berpikir kreatif, membaca cepat, mencatat akurat, dan menulis dengan penuh percaya diri.
Sebagai guru tentu harus sudah menyadari bahwa untuk menghasilkan siswa yang kreatif, inovatif,
inisiatif, dan sebagainya maka kelas harus menyenangkan dan penuh dengan gerakan-gerakan
keilmuan.
Oleh karena itu yang menjadi masalah adalah bagaimana cara menjadikan murid agar mampu
menyerap ilmu pengetahuan yang disampaikan guru dengan cara yang menyenangkan. Kemudian
bagaimana cara mengelola kelas secara baik, sehingga guru dapat mengajar dengan gembira dan
siswa mampu mengoptimalkan kemampuannya tanpa rasa takut dan terancam, tetapi tetap dalam
suasana menyenangkan.
Proses belajar dan mengajar menurut Lazanov (1978) adalah fenomena yang kompleks.
segala sesuatunya berarti, setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi dan sampai sejauh mana anda
mengubah lingkungan belajar, presentasi, dan rancangan pengajaran, sejauh itu pula proses belajar
berlangsung (DePorter. At al. 2000:3). Quantum teaching adalah mengubah belajar yang meriah
dengan segala nuansanya, juga menyertakan segala kaitan, interaksi, dan perbedaan yang
memaksimalkan momen belajar. Quantum teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam
lingkungan kelas, interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka untuk belajar.
Quantum berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya, jadi quantum teaching
adalah pengubahan bermacam-macam interaksi yang ada dalam dan sekitar momen belajar. Interaksi-
interaksi mi mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa.
Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan
bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain. Segala hal yang dilakukan dalam kerangka
quantum teaching yaitu setiap interaksi dengan siswa, setiap rancangan kurikulum, dan metode
instruksional dibangun di atas prinsip bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antar dunia kita ke
dunia mereka. Betapa pentingnya pada langkah awal memasuki dunia murid, untuk mendapatkan hak
mengajar yang pertama harus dilakukan adalah membangun jembatan autentik memasuki kehidupan
murid.
Sertifikat mengajar atau dokumen yang mengizinkan seseorang untuk mengajar atau melatih,
hanya berarti bahwa anda memiliki wewenang untuk mengajar, hal mi tidak berarti bahwa seseorang
itu mempunyai hak untuk mengajar. Karena itu mengajar adalah hak yang harus diraih dan diberikan
oleh siswa, bukan oleh Departemen Pendidikan, belajar dan segala definisinya adalah kegiatan “Full
contact”. Dengan kata lain belajar melibatkan semua aspek kepribadian manusia yaitu pikiran,
perasaan, dan bahasa tubuh disamping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya serta persepsi
masa yang akan datang. Bagi guru peranan motivasi mi sangat penting dalam proses belajar
mengajar, karena dapat menimbulkan kemauan, memberi semangat, dan menimbulkan semangat
untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Pentingnya motivasi belajar bagi siswa adalah untuk: (1)
menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil akhir; (2) menginformasikan tentang
kekuatan usaha belajar yang dibandingkan dengan teman sebaya; (3) mengarahkan kegiatan belajar
sehingga anak mengubah cara belajarnya lebih tekun; (4) membesarkan semangat belajar, seperti
mempertinggi semangat untuk lulus tepat waktu dengan hasil yang memuaskan; dan (5) menyadarkan
tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja yang bersinambungan, :individu dilatih
untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat berhasil (Dimyati dan Mudjiono,
1999:85). Motivasi tersebut memberi gambaran betapa pentingnya motivasi disadari oleh pelakunya
agar belajar dan bekerja dapat diselesaikan dengan baik.
Proses motivasi diawali dan kebutuhan yang tidak terpuaskan seperti diilustrasikan oleh
Ivancevich (1984:310) pada gambar 2.4 berikut ini.
Kekurangan yang dirasakan individu akan mendorong serta memberikan tekanan secara fisik
dan psikologis sehingga mengarahkan perilakunya untuk mencapai tujuannya. Perilaku tersebut
memungkinkan individu memenuhi kebutuhannya, sehingga kebutuhan tersebut terpuaskan.
Kebutuhan (need) itu hanyalah sebagai suatu istilah yang berarti adanya suatu kekurangan tertentu di
dalam sesuatu organisme, kebutuhan bagi manusia bersifat fisiologi dan psikis. Kebutuhan dan
keinginan dalam belajar yang timbul dalam diri individu merupakan titik awal yang menimbulkan
perilaku individu untuk berbuat dan bertindak, selanjutnya menyebabkan terjadinya dorongan-
dorongan dalam diri. Dorongan-dorongan ini akan mengarahkan perilaku individu untuk melakukan
sesuatu sehingga tercapainya tujuan.
Dilihat dari sudut psikologis motivasi adalah kecenderungan emosi yang mengantar atau
memudahkan peraihan sasaran. Robbins (1996) mengemukakan motivasi merupakan suatu konstruk
yang menjelaskan awal, arah, mtensitas dan kehadiran perilaku individu yang bertujuan. Motivasi
mencakup konsep-konsep kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk bekerja sama. kebiasaan,
ketidakcocokan dan keingintahuan. Motivasi manusia menurut Thomas L. Good dan Jere E. Bropy
(1990:360) dikembangkan berdasarkan tiga kerangka teoritik utama yaitu:
1. Behaviorism, percaya bahwa motivasi berawal dan situasi, kondisi dan objek yang
menyenangkan, jika hal ini memberi kepuasan yang berkelanjutan (reinforcement contingncies)
maka akan menimbulkan tingkah laku yang siap untuk melakukan sesuatu.
2. Cognitif (cognitivists) penganut mi meyakini bahwa yang mempengaruhi perilaku individu
adalah proses pemikiran, karena itu penganut faham kognitif mi memfokuskan pada bagaimana
individu memproses informasi dan memberikannya penafsiran untuk situasi khusus.
3. Humanists, penganut paham ini percaya bahwa orang bertindak dalam suatu lingkungan dan
membuat pilihan mengenai apa yang dikerjakannya.
Dalam konteks belajar dan pembelajaran tampak pada proses dinamis yang mengoptimalkan
perpaduan tujuan pengajaran, potensi peserta didik, materi ajar, metode pengajaran, media
pengajaran, dan lingkungan belajar. Hal mi didorong oleh kemampuan kognitif yaitu pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Kemampuan afeksi yaitu penerimaan,
penanggapan, penilaian, pengorganisasian dan karakterisasi.
Kemudian kemampuan psikomotorik yaitu kesiapan, meniru, membiasakan, menyesuaikan,
dan menciptakan. Sampai pada tahap tertentu individu menikmati kepuasan yang telah dicapainya,
tetapi setelah itu kepuasan itu menjadi sesuatu yang biasa, hal mi menyebabkan timbulnya kebutuhan
dan keinginan baru yang kadarnya lebih tinggi dibandingkan kebutuhan yang telah dicapai.
Kebutuhan individu menimbulkan perilaku yang mendorongnya untuk mencapai tujuan sebagai
pemenuhan kebutuhan. Dorongan yang kuat membawa dirinya langsung pada sasaran kebutuhan,
dengan diperolehnya kebutuhan yang dimaksud, maka akan memberi kepuasan kepada yang
bersangkutan. Terry dan Franklin (1982:299) menggambarkan prosesnya sebagaimana dilukiskan
pada gambar 2,5. Gambar tersebut menjelaskan bahwa ada ketegangan-ketegangan tertentu bagi
individu dikarenakan kebutuhan yang tidak terpuaskan.
Kebutuhan yang tidak terpuaskan akan menimbulkan ketegangan dan selanjutnya akan
mendorong pencanan untuk menemukan formula yang tepat untuk mencapai tujuan. Perilaku
pencarian yang memungkinkan tujuan tercapai akan menyebabkan pengurangan ketegangan. Rantai
kebutuhan, keinginan, dan kepuasan dimulai dani timbulnya kebutuhan, yaitu sesuatu yang ingin
dihasilkan. Kebutuhan bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena kebutuhan manusia adalah
bervariasi dan bertingkat-tingkat, selain itu kebutuhan juga tidak bebas dan individu lain dan dani
lingkungan.
Berangkat dan teori-teori kebutuhan tersebut bahwa belajar yang menyenangkan itu berkaitan
dengan lingkungan belajar yang tepat yaitu: (1) menciptakan suasana yang nyaman dan santai tapi
serius; (2) bila perlu menggunakan musik yang sesuai bagi siswa supaya terasa santai, terjaga, dan
siap untuk berkonsentrasi; (3) menggunakan teknik mengingat visual untuk mempertahankan sikap
positif dan (4) melakukan interaksi dengan lingkungan sehingga siswa terpanggil untuk belajar yang
lebih baik. Dengan suasana belajar yang menyenangkan mi akan memotivasi belajar lebih aktif
dengan ciri-ciri: (1) belajar apa saja dan setiap situasi; (2) menggunakan apa yang dipandang
menguntungkan untuk dipelajari; (3) mengupayakan agar segalanya dapat dilaksanakan dengan baik;
dan (4) bersandar pada kehidupan. Belajar aktif mi bertolak belakang dengan belajar pasif dengan
ciri-ciri: (1) tidak dapat melihat adanya potensi belajar; (2) mengabaikan kesempatan untuk
berkembang dan suatu pengalaman belajar; (3) membiarkan segalanya terjadi; dan (4) menarik diri
dan kehidupan.
Motivasi belajar juga penting diketahui oleh guru, karena pemahaman dan pengetahuan
motivasi belajar siswa bermanfaat bagi guru untuk: (I) membangkitkan, meningkatkan, dan
memelihara semangat belajar siswa untuk belajar sampai berhasil, membangkitkan jika belajar siswa
tidak bersemangat. meningkatkan bila semangat belajar siswa timbul tenggelam, memelihara bila
semangat belajar siswa telah kuat untuk mencapai tujuan belajar; (2) mengetahui dan memahami
motivasi belajar siswa di kelas yang bermacam-macam seperti ada siswa yang acuh tak acuh, ada
yang tidak memusatkan perhatiannya pada pelajaran, ada yang hanya ingin bemain, ada yang
memang bersemangat untuk belajar, dan beragam perilaku lainnya; (3) meningkatkan dan
menyadarkan guru untuk memilih satu diantara bermacam-macam peran dan pendekatan belajar yang
sesuai dengan mata ajar yang menjadi tanggung jawabnya; dan (4) memberi peluang bagi guru untuk
memantapkan unjuk kerja dalam konteks rekayasa pedagogis sehingga guru membuat siswa berhasil
dalam belajar (Dimyati dan Mudjiono,1999:86).
Motivasi belajar dari sisi guru ini berada pada lingkup program belajar dan pembelajaran.
Oleh karena itu guru berpeluang untuk meningkatkan, mengembangkan dan memelihara motivasi
belajar dengan optimalisasi terapan prinsip belajar, dinamisasi pribadi siswa, pemanfaatan dan
pengalaman dan kemampuan siswa, aspirasi dan cita-cita, dan tindakan pembelajaran sesuai rekayasa
pedagogis.
Pembelajaran berkaitan dengan konteks dan isi, dilihat dani sisi konteks akan dapat dilihat
bagian-bagian yang dibutuhkan untuk mengubah suasana yang membudayakan, landasan yang
kukuh, lingkungan yang mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Sedangkan dilihat dan isi
akan dapat ditemukan keterampilan penyampaian untuk kurikulum apapun, disamping strategi yang
dibutuhkan siswa untuk bertanggung jawab atas apa yang meneka pelajari yaitu penyajian yang
prima, fasilitasi yang luwes. keterampilan belajar untuk belajar, dan keterampilan hidup yang
memperkuat informasi dan menerapkan apa yang dipelajari guru dalam situasi pendidikan sehari-
hari. Masih banyak teknik-teknik belajar yang menyenangkan, dan mungkin saja tidak ada suatu teori
atau model yang baku atau yang paling jitu untuk digunakan.
Hal ini terpulang kembali kepada kreasi dan kemampuan para guru menggunakan berbagai
metode yang sesuai dan kesiapan para siswa untuk dapat menerima teknik-teknik belajar yang
digunakan. Dalam psikologi perkembangan dipahami bahwa setiap manusia itu berbeda baik dilihat
dan perkembangannya, kemampuan dan keterampilan, kematangan, kecepatan menangkap informasi,
kemampuan menyelesaikan berbagai permasalahan dan lainnya yang berkaitan dengan
perkembangannya. Makanya dipahami bahwa manusia itu menjadi unik dan penanganannya pun unik
pula Sifat motivasi: Motivasi intrinsik yaitu merupakan dorongan dalam diri siswa yang akan dapat
membuat siswa selalu ingin untuk belajar dan mengajar prestasi yang diharapkan. Kemudian motivasi
ekstninsik merupakan sesuatu yang perlu dimanipulasi oleh guru atau perancang dan pengembang
pembelajaran sehingga siswa merasakan adanya dorongan untuk mempelajari mateni yang diajarkan.
Motivasi dalam belajar dilakukan dengan mengatur situasi atau atmosfir pembelajaran yang
kondusif. Kondisi yang diciptakan mi dapat menjadi penguatan (reinforcement). Karena itu motivasi
belajar penning bagi siswa dimaksudkan untuk: (1) menyadarkan kedudukan awal balajar, proses dan
hasil akhir; (2) menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar bila dibandingkan dengan teman
sebaya; (3) mengarahkan kegiatan kearah pembelajaran yang lebih berkualitas; dan (4) membesarkan
semangat belajar bagi para siswa; (5) menyadarkan tentang adanya perjalanan yang harus ditempuh
dalam proses belajar; dan sebagainya.
Motivasi belajar ini memberi gambaran bahwa jika motivasi yang dilakukan oleh guru dan
juga siswanya sesuai dengan peruntukannya, maka akan menimbulkan semangat yang tinggi untuk
mencapai keberhasilan yang bermutu. Adanya pandangan beberapa ahli yang menekankan segi-segi
tertentu pada motivasi tersebut justru mengisaratkan agar guru bertindak taktis dan kreatif dalam
mengelola motivasi belajar siswa. Motivasi belajar dihayati dialami dan perlu dihidupkan terus untuk
mencapai hasil belajar optimal dan dijadikan dampak pengiring yang selanjutnya menimbulkan
program belajar sepanjang hayat sebagai perwujudan emansipasi kemandirian tersebut terwujud
dalam cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi, kemampuan siswa, mengatasi kondisi
lingkungan negatif, dinamika siswa dalam belajar. Mc. Dougall berpendapat bahwa tingkah laku
terdiri dan pemikiran tentang tujuan, perasaan subjektif, dan dorongan mencapai kepuasan. Tujuan
motivasi dalam belajar adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan
dan kemauannya untuk melakukan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai hasil belajar.
Teknik-teknik yang perlu dikembangkan dalam hal ini antara lain adalah menumbuhkan minat
belajar dengan memuaskan, menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat
dimengerti oleh semua pelajar, menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, dan strategi sebuah
masukan, menyediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu,
menunjukkan kepada pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan bahwa ia mengetahui isi
pelajaran, dan pengakuan untuk penyelesaian, antisipasi, perolehan keterampilan dan ilmu
pengetahuan. Penelitian Lazanov ( 1978) menunjukkan bahwa pengaruh guru sangat jelas terhadap
kesuksesan belajar siswa, kemampuan atau keterampilan baru akan berkembang jika diberikan
lingkungan model yang sesuai. Guru merupakan faktor penting dalam lingkungan belajar dan
kehidupan siswa, jadi peran guru lebih dan sekedar pemberi ilmu pengetahuan, tetapi guru juga
adalah rekan belajar, model, pembimbing fasilitator, dan mengubah kesuksesan siswa mempercepat
belajar. Pemercepatan belajar adalah menyingkirkan hambatan yang menghalangi V proses belajar
alamiah dengan menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif dalam penyajian pelajaran, dan
keterlibatan aktif mendorong motivasi belajar siswa.
Guru harus dapat mempertahankan minat siswa untuk belajar lebih lama, memantapkan
motivasi mereka, dan menyebabkan proses belajar terjadi secara alamiah lanjutan dan pengalaman.
Bagi seorang kepala sekolah motivasi adalah untuk menggerakkan para guru dan personel sekolah
lainnya dalam usaha meningkatkan prestasi pembelajaran, prestasi itu diperoleh setelah melalui
proses belajar yang menyenangkan bagi para siswanya sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang
menjadi tanggung jawabnya. Pada gilirannya secara institusional bagi kepala sekolah tercapai tujuan
institusi yang dipimpinnya. Bagi seorang guru tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau
memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauan untuk meningkatkan prestasi belajaruya.
Para siswa tersebut dibangunkan semangat belajarnya, sehingga semangat belajar itu membuat
mereka asyik belajar baik di sekolah maupun di rumah. Jika keasyikan itu melanda para siswa
memang bisa saja membuat guru menjadi kewalahan, karena selesai belajar yang satu mereka akan
minta yang lain segera pula dipelajari. Hal yang demikian ini dapat terjadi apabila guru mampu
membangkitkan semangat belajar para siswanya dengan memberi dorongan motivasi belajar yang
tepat dan menyenangkan.
Semangat belajar tersebut memberi jaminan akan tercapainya tujuan pendidikan sesuai yang
diharapkan dan ditetapkan dalam kurikulum sekolah. setiap tindakan motivasi mempunyai tujuan,
makin jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, maka jelas pula bagaimana tindakan
motivasi itu dilakukan. Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil jika tujuannya jelas dan
disadari oleh orang yang dimotivasi serta sesuai dengan kebutuhan orang yang dimotivasi. Bagi
setiap guru penting sekali mengetahui motivasi belajar gunanya adalah untuk: (1) membangkitkan,
meningkatkan, dan neme1ihara semangat belajar sampai berhasil; (2) mengobarkan semangat fr1ajar
siswa; (3) mengingatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu di antara bermacam-macam
peran yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya; dan (4) memberi peluang guru untuk
“unjuk kerja” rekayasa pedagogis tugas guru adalah membuat semua siswa belajar sampai berhasil.
BAB III
KONSEP DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN
A. Arti dan Makna Psikologi dalam Pendidikan
Psikologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa, sebab kata psikologi
berasal dan bahasa Yunani “psyche” yang berarti jiwa, roch, atau sukma. Sedangkan “logy” atau
“logos” berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi psikologi berarti “ilmu tentang jiwa, atau ilmu yang
mempelajari jiwa”. Psikologi menurut Woodward dan Marquis (1955:3) adalah studi tentang
kegiatan-kegiatan atau tingkah laku individu dalam keseluruhan ruang hidupnya. dan dalam
kandungan sampai balita. dan masa kanak-kanak sampai dewasa serta masa ini. Psikologi adalah
suatu ilmu yang berusaha menyelidiki semua aspek kehidupan dan tingkah laku manusia, baik yang
bersifat jasmaniah maupun rohaniah, baik secara teoritis maupun dengan melihat kegunaannya dalam
praktek. Menurut Thonthowi (1993:2) psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
organisme dalam hubungan dengan lingkungannya.
Sedangkan Syaodih Sukmadinata (2003: 18) berpendapat bahwa psikologi adalah “Sebagai
suatu studi atau ilmu yang mempelajari kegiatan atau perilaku individu dalam interaksi dengan
lingkungannya”. Organisme dalam psikologi dimaksudkan, bahwa tingkah laku yang dipelajari oleh
psikologi pada hakekatnya tidak hanya tingkah laku manusia saja, melainkan juga tingkah laku
hewan. Hal yang berkaitan dengan lingkungan (environment) adalah segala faktor yang ada diluar
individu yang mempunyai hubungan bermakna bagi tingkah laku itu. Pengertian tingkah laku dalam
batasan mi mempunyai arti yang luas, meliputi tingkah laku yang nyata seperti berbicara, membaca,
tertawa, melompat, berjalan, dan sebagainya. Kemudian tingkah laku yang tidak nyata seperti
berfikir, mengingat, berfantasi, merasakan. menghendaki, dan sebagainya.
Tingkah laku tertutup itu merupakan proses, sebagai proses tidak bisa diamati. proses itu baru
dapat diamati setelah berubah atau dimanifestasikan dalam bentuk gejala, kemudian gejala itu
menjadi tingkah laku yang terbuka. Oleh karena itu jika disebut-sebut kata psikologi sebelum masa
itu, maka maksudnya adalah sebagai pemikiran tentang jiwa, atau sebagai pengetahuan yang belum
berkedudukan sebagai ilmu pengetahuan. Setelah berdiri psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang
otonom. timbullah aliran-aliran psikologi dan cabang-cabang psikologi.
Ada beberapa aliran-aliran psikologi itu misalnya strukturalisme. isosiasionisme,
fungsionalisme, behaviorisme, psikologi dalam, psikologi personalistik, dan sebagainya. Semua
aliran-aliran mi yang mempengaruhi cabang-cabang psikologi. karena aliran itu terutama bergerak
dalam bidang pemikiran dan pandangan. Adapun cabang-cabang psikologi misalnya psikologi,
psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi kepribadian. ssiko1ogi industri, psikologi
sosial, dan sebagainya. Adanya cabang-cabang mikologi ini memberi gambaran bahwa ada
perbedaan-perbedaan lapangan orang dipelajari. Cakupan psikologi itu cukup luas, meliputi hampir
semua aspek kepribadian dan tingkah laku manusia. Sebagian para ahli berpendapat Psikologi
Pendidikan” adalah sub disiplin psikologi, bukan psikologi itu .diri. Oleh karena itu dapat ditegaskan
bahwa, psikologi ialah disiplin ilmu membahas prilaku manusia, baik sebagai individu maupun
kelompok dalam hubungannya dengan lingkungan.
Secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa, akan tetapi jiwa itu abstrak, sehingga tidak
mungkin dipelajari secara langsung, karena itu psikologi itu katakan sebagai ilmu yang mempelajari
perilaku atau kegiatan individu manusia tertentu yang memiliki karakteristik dan keunikan tertentu
yang bersifat spesifik atau khas. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang otonom baru diakui pada
tahun 1886, sebelumnya belum berhak dikatakan sebagai ilmu Pengetahuan. Dalam pandangan
Arthur S. Reber (1988) psikologi pen-didikan adalah sebuah sub disiplin ilmu psikologi yang
berkaitan dengan teori dan lnasa1ah kependidikan yang berguna dalam: (1) penerapan prinsip-prinsip
belajar dalain kelas; (2) pengembangan dan pembaharuan kurikulum; (3) ujian dan evaluasi bakat dan
kemampuan (4) sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan
ranah kognitif; dan (5) penyelenggaraan pendidikan melalui aktivitas keguruan.
Pandangan Arthur S. Reber ini memberi gambaran bahwa fokus psikologi pendidikan adalah
penerapan prinsip-prinsip belajar sebagai upaya menumbuhkembangkan ranah kognitif melalui
pengembangan kurikulum dalam pembelajaran. Witherington (1978) mendefinisikan psikologi
pendidikan “A systematic study of the process and factors involved in the education of human being
is called educational psychology”. Psikologi pendidikan ialah suatu studi yang sistematis tentang
proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.
Sedangkan Tardif (1987) berpendapat bahwa psikologi pendidikan ialah sebuah bidang studi
yang berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha
kependidikan. Psikologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku-tingkah
laku yang terjadi dalam proses pendidikan. Psikologi pendidikan (educational psychology) ialah
penyelidikan masalah-masalah psikologis di bidang pendidikan, dan penerapan metode yang telah
dirumuskan untuk memecahkan masalah tersebut (James P. Chaplin, 1989:158). Definisi psikologi
pendidikan menurut Barlow (1985) adalah “....a body of knowledge grounded in psychological
research which provides a repertoire of resources to aid you in functioning more effectively in
teaching learning process”. Definisi ini memberi penjelasan bahwa psikologi pendidikan adalah
sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang menyediakan serangkaian sumber-sumber
untuk membantu anda melaksanakan tugas sebagai seorang guru dalam proses belajar mengajar
secara lebih efektif (Muhibinsyah, 2003:12).
Para ahli psikologi cenderung menganggap psikologi pendidikan sebagai sub disiplin
psikologi yang bersifat praktis, bukan teoritis. Psikologi dan pendidikan masing-masing memiliki
konsep, teori, dan pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah belajar
peserta didik maupun proses mengajar bagi para guru sebagai profesi kependidikan. Psikologi dalam
hubungannya dengan pendidikan, atau kegunaan psikologi dalam pendidikan dimaksudkan untuk
menolong keberhasilan para pendidik membimbing para peserta didik dalam belajar. Hal mi sejalan
dengan pendapat Wooltolk dan Nicolick psikologi pendidikan ialah studi ilmiah tentang faktor atau
aspek individu dalam pendidikan, sehingga pembahasannya berkenaan dengan pendidikan yaitu
belajar siswa, proses belajar, proses mengajar, evaluasi hasil belajar untuk mengukur kemajuan
belajar, dan kebutuhan-kebutuhan sosial guru dan siswa dalam belajar.
Adapun ruang lingkupnya meliputi: (1) situasi atau tempat yang berhubungan dengan
mengajar dan belajar (context of teaching and learning); (2) tahapan-tahapan dalam mengajar dan
belajar (process of teaching and learning): dan (3) hasil-hasil yang dicapai oleh proses mengajar dan
belajar (outcomes of teaching and learning). Proses disini menurut Muhibinsvah (2003:13) adalah
yang berhubungan langsung dengan proses belajar dan proses mengajar yang dilakukan oleh
manusia. Jadi. ruang lingkup psikologi pendidikan mi menggambarkan proses belajar dan
pembelajaran.
Pengertian tentang psikologi pendidikan akan lebih konkret, apabila dibahas tentang hal-hal
apa saja yang dipelajari dalam psikologi pendidikan. hiti isi penyajian psikologi pendidikan antara
lain meliputi: (1) hereditas; (2) lingkungan fisiologis; (3) pertumbuhan dan perkembangan; (4) sifat
dan hakekat kejiwaan manusia; (5) proses-proses tingkah laku; (6) hakekat dan ruang lingkup belajar;
(7) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar; (8) prinsip-prinsip dan teori belajar; (9) pengukuran
dan evaluasi hasil belajar; (10) transfer belajar/latihan; (11) teknik-teknik pengukuran dan evaluasi;
(12) kesehatan rental; (13) dan lain sebagainya (Soemanto, 1998:8). Dan sejumlah pokok
pembahasan psikologi pendidikan tersebut, ternyata perihal belajar menjadi pembahasan yang amat
penting dalam psikologi pendidikan.
Withenngton (1978) menegaskan bahwa psikologi pendidikan bukan adanya sebagai
psikologi terapan yang seolah-olah tidak memiliki hak hidup sendiri. Alasan bahwa psikologi
pendidikan sebagai science adalah mengacu pada ciri-ciri berikut: (I) susunan prinsip-prinsip dan
kebenaran-kebenaran besar yang tersendiri; (2) faktor-faktor yang bersifat objektif dan dapat
diperiksa kebenarannya; dan (3) teknik-teknik khusus yang berguna untuk melakukan penyelidikan
dan asetnya sendiri (Muhibinsyah, 2003:14). Perdebatan apakah psikologi pendidikan bersifat
praktis, teoritis, atau praktis teoritis tidaklah penting.
Terlepas dari konsep sebagai ilmu terapan atau ilmu yang berdiri sendiri, tetapi yang penting
adalah isi dan kajiannya itu sendiri. Fokus utama kajian psikologi pendidikan adalah interaksi antara
pendidik (guru) dengan peserta didik (siswa) untuk meningkatkan kemampuan para peserta didik,
dengan dukungan sarana dan fasilitas tertentu yang berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu
(Syaodih Sukmadinata, 2003:29). Psikologi pendidikan berusaha untuk mewujudkan tindakan
psikologis yang tepat dalam interaksi antar setiap faktor pendidikan. Pengetahuan psikologis tentang
anak didik menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan. Karena itu, pengetahuan tentang
psikologi pendidikan seharusnya menjadi kebutuhan bagi para pendidik, bahkan bagi tiap orang yang
menyadari peranannya sebagai pendidik. Mengenai pengembangan subjek didik dapat dilakukan
dengan penerapan psikologi pendidikan. Psikologi tergolong ke dalam kelompok ilmu perilaku dan
dengan sendirinya mempelajari tingkah laku manusia.
Tindakan manusia beserta apa yang dirasa dan dipikirkannya menjadi objek psikologi. Teori
belajar, baik yang lama maupun yang modem, mendominasi proses belajar mengajar di sekolah.
Teori lama yang perlu diidentifikasi adalah psikologi fakultas dan apersepsi. Sedangkan yang baru
adalah asosialisme, stimulus respons, dan kognitif. Psikologi yang diterapkan dalam pendidikan
menurut Bemadib (1996: 13) pada umumnya atau pendidikan di sekolah pada khususnya disebut
psikologi pendidikan.
1. Arti Pentingnya Psikologi Pendidikan
Proses pendidikan adalah mempelajari situasi pendidikan dengan fokus utama interaksi
pendidikan, yaitu interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang berlangsung dalam lingkungan
belajar. Pendidikan selain merupakan prosedur juga merupakan lingkungan yang menjadi tempat
terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam interaksi antar individu ini baik antara guru dan
para siswa maupun antara siswa dengan siswa lainnya, terjadi proses dan peristiwa psikologis.
Syaodih Sukmadinata (2003:31) mengatakan bahwa seluruh kegiatan interaksi pendidikan diciptakan
bagi kepentingan siswa, yaitu membantu pengembangan semua potensi dan kecakapan yang
dimilikinya setinggi-tingginya. Sehubungan dengan hal itu, maka hal-hal yang berkenaan dengan
perkembangan, potensi dan kecakapan, dinamika perilaku serta kegiatan siswa terutama perilaku
belajar menjadi kajian utama dan penting bagi psikologi pendidikan.
Psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya memahami keadaan dan perilaku manusia,
termasuk para siswa yang satu sama lainnya berbeda, pengetahuan mengenai psikologi mi amat
penting bagi para guru pada semua jenjang satuan pendidikan. Para ahli psikologi dan pendidikan
pada umumnya berkeyakinan bahwa dua orang anak (yang kembar sekalipun) tak pernah memiliki
respons yang sama persis terhadap situasi belajar mengajar di kelas. Keduanya sangat mungkin
berbeda dalam hal pembawaan, kematangan jasmani. inteligensi, dan keterampilan motorik. Anak-
anak itu seperti juga anak lainnya, relatif berbeda dalam kepribadian sebagaimana yang tampak
dalam penampilan dan cara berpikir atau memecahkan masalah mereka masing-masing. Dimana pun
proses pendidikan berlangsung, alasan utama kehadiran guru adalah untuk membantu siswa agar
dapat belajar sebaik-baiknya.
Oleh karena itu adalah hal yang mendasar bagi guru untuk mengetahui dan memahami
sepenuhnya karakteristik dan sifat-sifat para siswanya secara psikologis. Dengan memahaminya
secara psikologis, guru akan dapat memahami proses dan tahapan-tahapan belajar yang terjadi bagi
para siswanya. Pengetahuan mengenai psikologi pendidikan bagi para guru berperan penting dalam
menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah. Pengetahuan yang sifat psikologis mengenai
peserta didik dalam proses belajar dan proses belajar mengajar sesungguhnya tidak hanya diperlukan
calon guru atau guru yang sedang bertugas di lembaga pendidikan dasar dan menengah, melainkan
juga para dosen di perguruan tinggi (Muhibinsyah, 2003:16). Pekerjaan guru adalah lebih bersifat
psikologis daripada pekerjaan seorang dokter, insinyur, atau ahli hukum. Untuk itu guru hendaknya
mengenal anak didik serta menyelami kehidupan kejiwaan anak didik di sepanjang waktu. Guru
menurut Soemanto (1998:7) hendaknya tidak jemu dengan pekerjaannya, meskipun ia tidak dapat
menentukan atau meramalkan secara tegas tentang bentuk manusia orang bagaimanakah yang akan
dihasilkannya kelak di kemudian hari. Hal ini menjadi kenyataan bahwa guru tak pernah mengetahui
hasil akhir dan pekerjaannya.
2. Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Psikologi Pendidikan
Ada dua tujuan utama dan studi tentang psikologi pendidikan menurut Syaodih Sukmadinata
(2003:22) yaitu: (1) agar seorang mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang individu, baik
dirinya sendiri maupun yang lain; dan (2) dengan hasil pemahaman tersebut seseorang diharapkan
dapat bertindak ataupun memberikan perlakuan yang lebih bijaksana. Sementara itu Chaplin (1972)
menitikberatkan manfaat atau kegunaan mempelajari psikologi pendidikan untuk memecahkan
masalah-masalah yang terdapat dalam dunia pendidikan dengan cara menggunakan metode-metode
yang telah disusun serarapi dan sistematis. Kemudian Lindgren berpendapat bahwa manfaat
mempelajari psikologi pendidikan ialah untuk membantu para guru dan calon guru dalam
mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai pendidikan dan prosesnya. Pemecahan
berbagai masalah pendidikan tidak perlu dibedakan apakah masalah-masalah psikologis itu dan pihak
guru, siswa, atau situasi belajar mengajar yang dihadapi guru dan siswa dalam pembelajaran.
Secara umum manfaat dan kegunaan psikologi pendidikan menurut pendapat Muhibinsyah
(2003:18) bahwa psikologi pendidikan merupakan alat bantu yang penting bagi penyelenggara
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Psikologi pendidikan dapat dijadikan landasan
berpikir dan bertindak bagi guru, konselor, dan juga tenaga profesional kependidikan laiannya dalam
mengelola proses belajar dan mengajar. Sedangkan proses pembelajaran tersebut adalah unsur utama
dalam pelaksanaan setiap sistem pendidikan. Manfaat dan kegunaan psikologi pendidikan juga
membantu untuk memahami karakteristik peserta didik apakah termasuk anak yang lambat belajar
atau yang cepat belajar, dengan mengetahui karakteristik mi guru dapat mendesain pendekatan
belajar untuk anak didik yang berbeda-beda tersebut, sehingga pembelajaran dapat dilaksanakan
secara optimal untuk seluruh karakteristik anak didik.
3. Kekuatan Kekuatan Umum Jiwa Manusia
Hakekat kejiwaan manusia terwujud dengan adanya kekuatan-kekuatan serta aktivitas-
aktivitas kejiwaan dalam diri manusia, yang semua itu menghasilkan tingkah laku yang lebih
sempurna daripada makhluk-makhluk lain. Kekuatan-kekuatan umum jiwa manusia telah dibahas
para tokoh ilmu jiwa dan pendidikan (Soemanto, 1998:12). Berdasarkan observasi dan penyelidikan
yang dilakukan oleh Plato (428-348 SM) mengungkapkan bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga
kekuatan yaitu: (1) akal sebagai kekuatan terpenting dari jiwa manusia, akal adalah bagian jiwa
manusia yang merupakan kekuatan untuk menemukan kebenaran dan kesalahan. Dengan akal,
manusia dapat mengarahkan seluruh aktivitas jasmani dan kejiwaannya, sehingga manusia mampu
memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera; (2) spirit sebagai kekuatan penggerak kehidupan pribadi
manusia. Spirit adalah kekuatan untuk menjalankan gagasan-gagasan yang telah diputuskan oleh akal
melalui pemilihan berbagai alternatif gagasan; dan (3) nafsu sebagai stimuli gerakan fisik dan
kejiwaan dan merupakan kekuatan paling konkret dalam diri manusia. Nafsu mi terbentuk dan
segenap keinginan dan selera yang sangat erat berhubungan dengan fungsi-fungsi jasmaniah. Plato
membedakan antara keinginan-keinginan yang berguna dan konstruktif dengan keinginan-keinginan
yang tidak berguna dan merugikan.
John Locke (1632-1704) menekankan pembahasan tentang akal sebagai gudang dan
pengembang ilmu pengetahuan, karena akal merupakan kekuatan vital untuk mengembangkan diri.
Akal mempunyai kekuatan-kekuatan serta materiil untuk melatih kekuatan-kekuatan itu, ada dua
kekuatan akal manusia yaitu: (1) kekuatan berpikir yang disebut pengertian. segala peristiwa yang
terjadi dalam akal dapat dikenal dan dikehendaki oleh manusia. Pengertian terjadi dan proses
aktivitas pengamatan yang mencakup kegiatan mengindera. mengenal, menalar, dan meyakini.
Mengamati berarti menerima ini presiimpresi dari dalam dan dari luar diri, dengan kata lain
mengamati berarti memasukkan ide-ide dan konsep-konsep kedalam kesadaran dengan menggunakan
berbagai macam cara. Pengamatan hanyalah kapasitas awal dan manusia, pengertian memerlukan
keterlibatan dari enam kekuatan mental manusia yang meliputi mengamati atau pengamatan,
mengingat atau • ingatan, imajinasi, kombinasi aktivitas psikis, abstraksi atau pikiran, dan pemakaian
tanda atau simbolisasi; dan (2) kekuatan kehendak yang disebut kemauan, manusia sering
mengimajinasikan sesuatu tindakan yang berhubungan dengan suatu pilihan diantara berbagai
alternatif. Tindakan memilih ini disebut sebagai istilah “volition” dapat terjadi apabila kita
menggerakkan kekuatan kehendak atau kemauan. Jadi kemauan adalah kekuatan untuk memilih,
bukan keinginan. Keinginan adalah ide renektif yang melibatkan sesuatu keadaan dimasa mendatang,
sedangkan kemauan adalah kekuatan untuk memilih sesuatu keadaan atau tindakan dimasa sekarang.
Meskipun kemauan tidak sama dengan keinginan, namun keduanya berhubungan erat. Kekuatan
kejiwaan manusia Menurut Jean Jacques Rousseau (1712-1778) ada lima yang terdiri dan lima
kekuatan jiwa manusia yaitu: (1) penginderaan terjadi apabila objek-objek eksternal berinteraksi
dengan organ-organ indera; (2) perasaan sangat erat hubungannya dengan penginderaan; (3)
keinginan sangat erat kaitannya dengan perasaan senang atau tidak senang, cocok atau tidak cocok,
dan setuju atau tidak setuju; (4) kemauan sangat erat hubungannya dengan keinginan; dan (5) akal
sebagai kekuatan penemu ide umum maupun kebenaran sesuatu ide, memiliki dua kapasitas yaitu
Pertama kapasitas penalaran indera yang disebut “common sense”, penalaran indera memberikan ide
tertentu tentang benda tertentu di alam sekitar. Kedua, kapasitas penalaran intelektual, bila kita
dengan akal sehat menyimpulkan ide tentang sesuatu benda, maka terhadap setiap benda yang sejenis
dapat dimasukkan ke dalam ide umum itu.
Menurut (Soemanto, 1998:17) pengetahuan tentang kekuatan-kekuatan kejiwaan ini sangat
perlu untuk dipelajari oleh para guru atau pendidik demi kelancaran memberi pelayanan yang sesuai
dengan sifat umum jiwa anak didik. Pengetahuan mi juga sangat bagi guru dan tenaga kependidikan
lainnya penting dalam rangka memotivasi tingkah laku belajar anak didik di dalam proses belajar
mengajar.
B. Aktivitas Kejiwaan
Mempelajari psikologi berarti mempelajari tingkah laku manusia, baik yang teramati maupun
yang tidak teramati. Segenap tingkah laku manusia mempunyai latar belakang psikologis, karena itu
secara umum aktivitas-aktivitas manusia itu dapat dicari hukum psikologis yang mendasarinya. Ada
beberapa aktivitas kejiwaan yang berhubungan erat dengan psikologi pendidikan yaitu:
1. Pengamatan Indera
Setiap manusia yang sehat mentalnya dapat mengenal lingkungan fisik yang nyata, baik di
dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya dengan menggunakan organ-organ inderanya. Cara
mengenal dua luar seperti ini disebut mengamati secara indera, organ-organ indera yang ada pada diri
manusia disebut “modalitas pengamatan”. Pengamatan merupakan fungsi sensoris yang
memungkinkan seseorang menangkap stimuli dan dunia nyata sebagai bahan yang teramati.
Pengamatan sebagai suatu fungsi primer dari jiwa dan menjadi awal dari aktivitas intelektual. Objek
pengamatan memiliki sifats-ifat keinginan, kesendirian, lokalitas, dan bermateri. Subjek dapat
mengadakan orientasi terhadap suatu objek, karena objek itu dapat ditangkap dengan tidak tergantung
kepada adanya saja.
Untuk memungkinkan subjek mengadakan orientasi, maka subjek dapat menggambarkan
dunia pengamatan menurut aspek pengaturan tertentu berupa sudut-sudut tinjauan: (1) ruang, yaitu
menggambarkan dunia pengamatan dalam konsep-konsep seperti atas bawah, kanan kiri, jauh dekat,
muka belakang, dan sebagainya; (2) waktu, dunia pengamatan digambarkan dalam hubungannya
dengan jarak waktu, jarak ruang, stabilitas benda tetap maupun tidak tetap, waktu dulu, sekarang dan
akan datang dan sebagainya; (3) Gestalt, dunia pengamatan digambarkan sebagai bentukan-bentukan
atau medan psikologis yang tersusun dalam kebulatan, kesatuan, dan kesamaan dari bagian-bagian
dalam konteks keseluruhan; dan (4) arti, medan pengamatan digambarkan dengan hubungan arti atau
struktur arti. Berbagai objek atau peristiwa yang sama, apabila ditinjau dari sudut arti dan masing-
masing akan menunjukkan hal-hal yang sangat berbeda misalnya bentuk gedung sekolah, gedung
asrama, gedung markas tentara, rumah sakit, perkantoran yang bersamaan, namun artinya berbeda-
beda meskipun sama-sama gedung. Para ahli psikologi membedakan lima macam alat indera menurut
lima macam modalitas pengamatan yakni:
a. Penglihatan
Ada tiga macam penglihatan yaitu: (1) penglihatan terhadap bentuk, yaitu penglihatan
terhadap penglihatan yang berdimensi dua. Setiap objek penglihatan tidak dilibat secara terpisah-
pisah, melainkan sebagai objek yang saling berhubungan, misalnya objek yang dekat dan yang jauh,
objek yang pokok dan yang melatarbelakangi, objek yang menjadi bagian dan .keseluruhannya; (2)
penglihatan terhadap warna yaitu objek psikhis dan warna menyangkut nilai-nilai psikologis warna
meliputi nilai efektif suatu objek yang mempengaruhi tingkah laku manusia dan nilai lambang atau
simbolis misalnya merah adalah lambang keberanian, putih adalah lambang kesucian dan ketulusan,
hitam lambang kesedihan, kuning lambang pengharapan, biru lambang kasih sayang atau kesetiaan,
hijau lambang kesejahteraan, ungu lambang kebesaran dan kemuliaan, abu-abu lambang keraguan
atau kesabaran dan lain-lain; (3) penglihatan terhadap dalam objek yang berdimensi tiga, gejala
penting yang tampak dan penglihatan ini adalah kontansi volume dan jarak yang berbeda kita melihat
sesuatu benda, ternyata memperoleh kesan ,bahwa volume benar itu tidak berbeda, melainkan sama,
tidak berubah sifatnya melainkan konstan besarnya. Ini terjadi karena objek yang kita hadapi selalu
dilihat dalam konteks sistemnya dan proporsi atau perbandingan benda-benda satu sama lain serta
terhadap tempatnya adalah sama.
b. Pendengarannya
Mendengar adalah menangkap bunyi-bunyi (suara) dengan indera pendengar, pendengaran
dan suara itu memelihara komunikasi vokal antara makhluk yang satu dengan lainnya. Bunyi suara
binatang dan manusia sebenarnya adalah pernyataan, dan dimengerti oleh binatang dan manusia lain
dalam suatu arti tertentu. Karena itu, makna bunyi dapat berfungsi dua macam yaitu sebagai tanda
(signal) dan sebagai lambang karena itu yang kita tangkap adalah artinya bukan bunyi atau suaranya.
Mendengar atau mendengarkan adalah menangkap atau menerima suara melalui indera pendengaran.
Pendengaran terhadap bunyi-bunyian, mi berarti apa yang baru saja didengar atau terdengar tidak
akan segera hilang, melainkan masih terngiang dan masih turut bekerja dalam apa yang didengar atau
terdengar pada saat berikutnya.
2. Tanggapan
Tanggapan menurut Bigot at al (1950:72) biasanya didefinisikan sebagai bayangan yang
tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan. Suryabrata (200 1:36) berpendapat
sebenarnya definisi mi kurang menggambarkan materinya, sebab hanya menunjuk kepada sebagian
saja dan tanggapan itu. Linschoten mencoba memberikan definisi yang lebih memadai, walaupun
agak sukar dipahami, dia mengemukakan bahwa tanggapan adalah melakukan kembali sesuatu
perbuatan atau melakukan sebelumnya sesuatu perbuatan tanpa hadirnya objek fungsi primer yang
merupakan dasar dan modalitas tanggapan itu. Kemudian tanggapan juga bisa didefinisikan sebagai
bayangan yang menjadi kesan yang dihasilkan dari pengamatan. Kesan tersebut menjadi isi kesadaran
yang dapat dikembangkan dalam hubungannya dengan konteks pengalaman waktu sekarang serta
antisipasi keadaan untuk masa yang akan datang. Ada tiga macam tanggapan yaitu: (1) tanggapan
masa lampau yang sering disebut sebagai tanggapan ingatan; (2) tanggapan masa sekarang sebagai
tanggapan imajinatif dan (3) tanggapan masa mendatang sebagai tanggapan antisipatif. Menganggap
dapat diartikan sebagai mereaksi stimuli dengan membangun kesan pribadi yang berorientasi kepada
pengamatan masa lalu, pengamatan masa sekarang, dan harapan masa yang akan datang.
Tanggapan diperoleh dari penginderaan dan pengamatan. Johann Frederich Herbart (1776-
1841) mengemukakan bahwa tanggapan ialah merupakan unsur dasar dan jiwa manusia. Tanggapan
dipandang sebagai kekuatan psikologis yang dapat menolong atau menimbulkan keseimbangan,
ataupun merintangi atau merusak keseimbangan. Tanggapan-tanggapan ada yang berada dalam
kesadaran, dan kebanyakan dibawah sadar, diantara kedua kesadaran ini terdapat batas pemisah yang
disebut “ambang kesadaran”.
3. Fantasi
Tanggapan yang mengendap di bawah kesadaran dapat muncul kembali ke dalam kesadaran
dan yang semula memang berada diambang kesadaran itu Selalu ada dan muncul secara mekanis
(Soemanto, 2000:26). Dalam tanggapan kita tidak hanya dapat menghidupkan kembali apa yang telah
kita amati di masa lampau, akan tetapi kita juga dapat mengantisipasikan yang akan datang, atau
mewakili yang sekarang. Untuk memudahkan penafsiran tanggapan biasanya ditempuh dengan jalan
membuat perbandingan antara tanggapan dan pengamatan. Biasanya orang mengemukakan deretan
gejala dan yang paling, dengan berpangkal pada pengamatan, sampai ke paling yang kurang peraga
yaitu berpikir.
Fantasi dapat didefinisikan sebagai aktivitas imajinasi untuk berbentuk tanggapan-tanggapan
baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan. Fantasi lama yang telah ada, dan tanggapan yang
baru itu tidak harus sama sesuai dengan benda-benda yang ada. Dengan demikian fantasi itu,
menggabungkan sebagai fungsi yang memungkinkan manusia untuk berorientasi lain alam mainan,
dimana aktivitas imajinasi itu melampaui dunia nyata, dapat dibedakan atas sengaja atau yang
disadari. Menurut Suryabrata, :39) biasanya fantasi didefinisikan sebagai daya untuk membentuk
tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang telah ada, dan tanggapan
baru itu tidak harus sesuai dengan benda-benda yang ada. Fantasi dapat dikatakan sebagai fantasi
sengaja atau disadari yang merupakan usaha imajinasi dari subjek secara sengaja dan disadari.
Fantasi disengaja ini dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: (1) fantasi sengaja secara pasif, yaitu
tidak dikendalikan oleh pikiran dan kemauan; dan (2) fantasi sengaja aktif, yaitu yang dikendalikan
oleh pikiran dan kemauan.
Baik fantasi sengaja maupun tidak sengaja, keduanya dapat bersifat mengabstraksikan,
mendeterminasikan yaitu apabila fantasi itu membentuk gambaran baru dengan menggunakan skema
tertentu, ataupun mengombinasikan yaitu apabila fantasi itu menggabungkan beberapa anggapan.
Fantasi mencipta yaitu fantasi yang mengadakan tanggapan-tanggapan yang benar-benar baru,
misalnya orang mengarang cerita, anak menciptakan alat mainan, dan sebagainya. Kegunaan fantasi
antara lain adalah (1) orang dapat memahami, mengerti dan menghargai kultur orang lain; (2) orang
dapat keluar dani ruang dan waktu, sehingga dengan demikian ia dapat membami hal-hal yang ada
dan terjadi di tempat lain dan diwaktu yang lain, misalnya dalam mempelajari sejarah atau peristiwa
sebelumnya yang telah terjadi; (3) dapat melepaskan diri dan kesukaran dan permasalahan serta
melupakan kegagalan atau kesan-kesan buruk; (4) dapat membantu seseorang dalam mencari
keseimbangan bathin dengan melupakan kegagalan-kegagalan di masa lampau; (5) fantasi
memungkinkan orang untuk menyelesaikan konnik ini secara imajinir, sehingga dapat mengurangi
ketegangan psikhis dan menjaga keseimbangan bathin; dan (6) memungkinkan seseorang untuk dapat
membuat perencanaan untuk dilaksanakan di masa mendatang dan berusaha merealisasikannya.
Karena itu pendidikan dalam kegiatan pembelajaran hendaknya berusaha mengembangkan fantasi
anak secara sehat. Hal mi akan memberi arah kepada anak untuk mengembangkan kemampuan
intelektualnya menjadi lebih bermakna dan mampu menentramkan suasana bathinnya.
4. Ingatan
Pribadi manusia beserta aktivitas-aktivitasnya tidak semata-mata ditentukan oleh pengaruh
dan proses-proses yang berlangsung waktu kini, tetapi juga oleh pengaruh-pengaruh dan proses-
proses di masa yang lampau. Pengaruh-pengaruh dan proses-proses yang lampau ikut menentukan
perkembangan kepribadian dalam suatu sejarah di mana hal yang lampau dalam cam tertentu dapat
diaktifkan kembali. Mengingat berarti menyerap atau melekatkan pengetahuan dengan jalan secara
aktif, fungsi ingatan itu meliputi tiga aktivitas yaitu: (1) mencamkan, yaitu menangkap atau
menerima kesan-kesan; (2) menyimpan kesan-kesan; dan (3) mereproduksi kesan-kesan. Atas dasar
kenyataan inilah biasanya ingatan didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan, dan
memproduksikan kesan-kesan. Sifat dan ingatan yang baik adalah cepat berlaku untuk aktivitas
mencamkan, sifat setia, kuat, dan luas berlaku untuk menyimpan, sedangkan sifat siap berlaku dalam
hal memproduksi kesan-kesan.
Dengan demikian kita dapat menyebutkan adanya berbagai sifat ingatan yang baik. Ingatan
dikatakan cepat apabila dalam mencamkan kesan-kesan tidak mengalami kesulitan. Ingatan dikatakan
setia apabila kesan yang telah dicamkan itu tersimpan dengan baik dan stabil. Ingatan dikatakan kuat
apabila kesan-kesan yang tersimpan bertahan lama, ingatan dikatakan luas, apabila kesan-kesan yang
tersimpan sangat bervariasi dan banyak jumlahnya. Ingatan dikatakan siap, apabila kesan-kesan yang
tersimpan sewaktu-waktu mudah direproduksikan ke alam kesadaran. Mencamkan terhadap sesuatu
kesan akan lebih kuat apabila: (1) kesan-kesan yang dicamkan dibantu dengan penyuaraan; (2)
pikiran subjek lebih terkonsentrasi kepada kesan-kesan itu; (3) teknik belajar yang dipakai oleh
subjek adalah efektif; (4) subjek menggunakan titian ingatan; dan (5) struktur bahan dan kesan-kesan
yang dicamkan adalah jelas.
Ingatan cepat artinya mudah dalam mencamkan sesuatu hal tanpa - kesukaran, penggunaan
metode belajar yang tepat akan mempertinggi pencaman. Dalam hubungan dengan ini dikenal ada
tiga macam metode belajar yaitu: (1) metode keseluruhan yaitu metode menghafal dengan mengulang
berkali-kali dan permulaan sampai akhir; (2) metode bagian yaitu menghafal sebagian demi sebagian,
masing-masing bagian itu dihafal; dan (3) metode campuran yaitu menghafal bagian-bagian yang
sukar lebih dahulu, selanjutnya dipelajari dengan metode keseluruhan. Secara umum pencaman
diperkuat oleh faktor struktur bahan yang dicarikan dan sikap bathin orang mengenai bahan itu.
5. Pikiran dan Berpikir
Pikiran dapat diartikan sebagai kondisi letak hubungan antar bagian pengetahuan yang telah
ada dalam diri yang dikontrol oleh akal. Akal adalah sebagai kekuatan yang mengendalikan pikiran.
Sedangkan berpikir berarti meletakkan hubungan antar bagian pengetahuan yang diperoleh manusia.
Berpikir sebagai proses menentukan hubungan-hubungan secara bermakna antara aspek-aspek dan
suatu bagian pengetahuan. Sedangkan bentuk aktivitas berpikir merupakan tingkah laku simbolis,
karena seluruh aktivitas ini hubungan dengan atau mengenai penggantian hal-hal yang konkret.
Berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir yaitu: (1) pembentukan
pengertian yaitu melalui proses mendeskripsi ciri-ciri objek yang sejenis mengklasifikasi ciri-ciri
yang sama mengabstraksi dengan menyisihkan, membuang, dan menganggap ciri-ciri yang hakiki;
(2) pembentukan pendapat, yaitu meletakkan hubungan antar dua buah pengertian atau lebih yang
hubungan itu dapat dirumuskan secara verbal berupa pendapat menolak, pendapat menerima atau
mengiakan, dan pendapat asumtif yaitu mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan suatu sifat pada
suatu hal; dan (3) pembentukan keputusan, yaitu penarikan kesimpulan yang berupa keputuSai1
sebagai hasil pekerjaan akal berupa pendapat baru yang dibentuk berdasarkan pendapat-pendapat
yang sudah ada.
6. Perhatian
Perhatian bukannya suatu fungsi, melainkan suatu modus fungsi, jadi jika perhatian diartikan
sebagai aktivitas jiwa tidak sepenuhnya tepat. Hal-hal yang termasuk sebagai fungsi jiwa yaitu
pengamatan, tanggapan, fantasi, ingatan, dan pikiran, jadi fungsi memberi kemungkinan dan
perwujudan aktivitas Perhatian adalah cara menggerakkan bentuk umum cara bergaulnya jiwa dengan
bahan-bahan dalam medan tingkah laku. Dilihat dan versi lain perhatian dapat diartikan dua macam
yaitu: (1) perhatian adalah pemusatan tenaga kekuatan jiwa tertuju kepada sesuatu objek (Stern,
1950:653 dan Bigot, 1950:163); dan (2) perhatian adalah pendayagunaan kesadaran untuk menyertai
sesuatu aktivitas yang dilakukan.
Pada pokoknya ada bermacam-macam perhatian yang meliputi: (1) perhatian menurut cara
kerjanya terdiri dan perhatian spontan yaitu perhatian yang tidak sengaja atau tidak sekehendak
subjek dan perhatian reneksif yaitu perhatian yang disengaja atau sekehendak subjek; (2) perhatian
menurut intensitasnya terdiri dan perhatian intensif yaitu perhatian yang banyak dikuatkan oleh
banyaknya rangsang atau keadaan yang menyertai aktivitas atau pengalaman bathin dan perhatian
tidak intensif yaitu perhatian yang kurang diperkuat oleh rangsangan atau beberapa keadaan yang
menyertai aktivitas atau pengalaman bathin; dan (3) perhatian menurut luasnya terdiri dari perhatian
terpusat atau konsentratif yaitu perhatian yang tertuju kepada lingkup objek yang sangat terbatas dan
perhatian terpencar yaitu perhatian yang pada suatu saat tertuju kepada lingkup objek yang luas dan
tertuju kepada bermacam-macam objek.
Ditinjau dan segi kepentingan pendidikan dan belajar, pemilihan jenis perhatian yang efektif
untuk memperoleh pengalaman belajar adalah hal yang penting bagi subjek yang belajar. Pemilihan
cara kerja perhatian oleh anak didik dapat dibimbing oleh pihak pendidik atau lingkungan belajarnya
dalam proses pembelajaran. Salah satu usaha untuk membimbing perhatian anak didik yaitu melalui
pemberian rangsangan atau stimuli yang menarik perhatian anak didik. Untuk memudahkan
persoalan, maka dalam mengemukakan perhatian mi dapat ditempuh cara dengan menggolong-
golongkan perhatian tersebut menurut cara tertentu.
Adapun golongan-golongan atau macam-macam perhatian itu adalah: (1) atas dasar
intensitasnya yaitu banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas atau pengalaman
bathin; (2) atas dasar cara timbulnya dibedakan menjadi perhatian spontan atau perhatian tak sengaja
yang timbul begitu saja dan perhatian sekehendak atau perhatian yang disengaja karena usaha dengan
sekehendak; dan (3) atas dasar luasnya objek yang dikenai perhatian yang dibedakan menjadi
perhatian terpencar yaitu suatu saat dapat tertuju kepada macam-macam objek dan perhatian terpusat
pada suatu saat dapat tertuju kepada objek yang sangat terbatas.
Dipandang dan segi praktis adalah sangat penting untuk mengetahui hal-hal apa yang menarik
perhatian itu, dalam melihatnya dapat dilihat dan dua segi yaitu objek yang diperhatikan dan dani
segi subyek yang memperhatikan. Dipandang dan segi objek, maka dapat dirumuskan bahwa “hal
yang menarik perhatian adalah hal yang keluar dan konteksnya atau yang lain dari yang lain”.
Sedangkan dipandang dan segi subyek yang memperhatikan maka dapat dirumuskan bahwa hal yang
menarik perhatian adalah yang sangat bersangkut atau dengan pribadi si subyek. Hal yang bersangkut
paut dengan diri si subyek itu dapat bermacam-macam yaitu yang bersangkut paut dengan kebutuhan,
yang bersangkut paut dengan kegemaran, yang bersangkut paut dengan pekerjaan atau keahlian,
bersangkut paut dengan sejarah hidup sendiri, dan lain sebagainya kesemuanya ini menarik perhatian.
7. Perasaan
Secara sederhana perasaan dapat diartikan sebagai pengalaman yang bersifat efektif, yang
dihayati sebagai suka (pleasentness) atau ketidaksukaan pleasentness) yang timbul karena adanya
perangsang-perangsang tertentu. berangsang yang menyenangkan adalah perasaan yang disukai, yang
diingini, sehingga diusahakan untuk memperolehnya, sebaliknya perangsang yang tidak
menyenangkan adalah perasaan yang tidak disukai, yang tidak diingini sehingga mengusahakan
untuk menghindarinya. Perasaan dapat diartikan sebagai suasana psikis yang mengambil bagian
pribadi dalam situasi, dengan jalan membuka diri terhadap suatu hal yang berbeda dengan keadaan
atau nilai dalam diri. Apabila berpikir itu bersifat objektif, maka perasaan itu bersifàt subjektif karena
lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan diri. Apa yang baik, menarik, dan indah menurut seseorang
belum tentu demikian bagi orang lain, penilaian subjek terhadap suatu objek, membentuk perasaan
subjek yang bersangkutan. Perasaan umumnya bersangkutan dengan fungsi mengamati, menanggap,
membayangkan, mengingat, atau memikirkan sesuatu. Perasaan banyak mendasari dan juga
mendorong tingkah laku manusia.
Perasaan dapat dibagi atas: (1) perasaan-perasaan jasmaniah sering disebut perasaan rendah
seperti perasaan sensoris yaitu perasaan yang berhubungan dengan stimuli terhadap indera misalnya
dingin, hangat, pahit, masam, dan sebagainya. Kemudian perasaan vitas yang berhubungan dengan
kondisi jasmani seperti lelah, lesu, letih, lemah, segar, sehat, dan sebagainya: (2) perasaan-perasaan
rohaniah sering disebut sebagai perasaan luhur yang terdiri dan perasaan intelektual yaitu perasaan
yang berhubungan dengan kesanggupan intelektual dalam mengatasi sesuatu masalah, perasaan etis
yaitu perasaan yang berhubungan dengan baik dan buruk atau norma, perasaan estetis yaitu perasaan
yang berhubungan dengan penghayatan dan apresiasi tentang sesuatu yang indah dan tidak indah,
perasaan sosial yaitu perasaan yang cenderung untuk meningkatkan diri dengan orang lain, dan
perasaan harga diri yaitu perasaan yang berhubungan dengan penghargaan diri seseorang.
Perasaan bereaksi terhadap lingkungan atau stimulinya atas dorongan emosi sebagai kekuatan
jiwa, emosi mi erat hubungannya dengan jasmani. Karena itu, perubahan-perubahan jasmani, baik
jasmani luar maupun dalam diikuti dengan timbulnya emosi. Perubahan pernafasan, perubahan
denyut jantung, perubahan darah, perubahan pencernaan dalam perut, perubahan kesehatan badan,
dan sebagainya semuanya mempengaruhi timbulnya emosi. Keadaan emosi yang stabil maupun
goncang amat mempengaruhi perasaan, karena itu pendidikan hendaknya mengenal serta
mengusahakan stabilitas emosi anak didik dengan jalan menyeimbangkan emosi anak didik. Perasaan
anak didik dapat diwujudkan dalam bentuk ekspresi, yaitu pernyataan emosi atau perasaan yang
dapat diamati oleh orang lain misalnya tersenyum, tertawa, menangis, murung, murani, nanar, tunduk
kepala, mengelus dada, cemberut, merengut, dan sebagainya. Karena itu ekspressi ini dapat
membantu pendidik dalam usaha mengenal emosi dan perasaan anak didiknya, Perasaan dapat pula
dibedakan dengan perasaan merdeka dan perasaan terikat. Perasaan menjadi merdeka, apa bila tidak
terdapat stimuli dan gangguan yang merintangi dan atau menekan jasmani dan rohani. Perasaan dapat
terikat, apabila terdapat stimuli dan gangguan yang merintangi dan atau menekan jasmani atau
rohani, sedangkan cara bekerja perasaan lebih bersifat internal
8. Kemauan
Kemauan bukanlah aktivitas maupun usaha kejiwaan, melainkan kekuatan atau kehendak
untuk memilih dan merealisasi suatu tujuan yang merupakan pilihan di antara berbagai tujuan yang
bertentangan. Pemilihan dan relasi tujuan memerlukan suatu kekuatan yang disebut kemauan, dan
kemauan :itu bukan keinginan. Kemauan dapat bekerja baik secara paksaan maupun di dalam bentuk
pilihan sendiri. Kemauan yang bebas adalah kemauan yang sesuai keinginan diri, sedangkan
kemauan yang terikat adalah kemauan yang menimbulkan oleh kondisi kebutuhan yang terbatasi oleh
norma sosial ataupun kondisi lingkungan.
Kekuatan kemauan bereaksi, apabila dipancing oleh adanya usaha memenuhi kebutuhan. Bila
ditekankan pada kepentingan pribadi, maka Kemauan mengaktualisasikan diri sebagai kekuatan yang
mendorong perbuatan mencapai tujuan. Bila ditekankan pada segi lainnya, maka kemauan
mengaktualisasikan diri sebagai kekuatan yang menarik perbuatan yang mencapai tujuan. Kekuatan
kemauan dapat diterangkan berupa dorongan-dorongan pemilihan yang dilatarbelakangi oleh nilai-
nilai, kebutuhan-kebutuhan, pengetahuan, ketrampilan sikap, dan kebiasan yang dimiliki pribadi.
Kuat atau lemahnya kemauan seseorang dilatarbelakangi oleh pengalaman atau hasil belajarnya.
Karena itu pendidikan mempunyai peranan penting dalam kemauan anak didik untuk belajar
lebih lanjut. Pendidikan hendaknya mampu memberikan pengalaman belajar sedemikian rupa,
sehingga itu memperkuat kemauan anak didik untuk belajar lebih rajin dan lebih baik.
C. Pentingnya Pengetahuan Psikologi Pendidikan bagi Guru
Guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam melaksanakan tugas pembelajaran ternyata
perlu memiliki pengetahuan psikologi. Karena psikologi mempersoalkan aktivitas manusia, baik
yang dapat diamati maupun yang tidak, secara umum aktivitas-aktivitas dan penghayatan itu dapat
dicari hukum-hukum psikologis yang mendasarinya. Bagi para pendidik penting sekali mengetahui
hukum-hukum tersebut sehingga dengan demikian dapat membantu guru dan tenaga kependidikan
lainnya untuk memahami tingkah laku belajar anak didiknya lebih baik. Kemampuan memahami
tingkah laku belajar anak didiknya akan memberi penjelasan bahwa anak sedang dalam keadaan
belajar dengan baik atau tidak, pemahaman ini akan dapat mengukur kemampuan belajar dan
kemampuan menerima materi pelajaran bagi para siswanya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa, psikologi sebagai ilmu pengetahuan masih muda
usianya, tentu psikologi pendidikan lebih muda lagi, artinya psikologi pendidikan masih menghadapi
berbagai problematika dan perkembangan sebagai suatu ilmu pengetahuan, dalam perkembangannya
ini masih banyak hal-hal yang dapat dilengkapi sebagai ilmu pengetahuan yang dinamis. Namun pada
prinsipnya psikologi pendidikan merupakan alat yang cukup penting untuk memahami tingkah laku
belajar anak. Dalam hal ini setiap guru harus senantiasa memahami dan mengikuti perkembangan
psikologi pendidikan, karena dengan modal ini para guru dapat tertolong memahami pertumbuhan
dan perkembangan belajar peserta didik, dan para guru dapat meningkatkan kemampuan belajar
peserta didiknya sesuai potensi yang dimiliki masing-masing. Psikologi pendidikan ini sebagai alat
bagi guru untuk mengendalikan dirinya, dan juga memberi bantuan belajar kepada peserta didik
dalam kegiatan pembelajaran.
BAB IV
PERENCANAAN PENGAJARAN DALAM PEMBELAJARAN
A. Perencanaan Pengajaran dalam Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal, disengaja, direncanakan,
dengan bimbingan guru, dan bantuan pendidik lainnya. Apa yang hendak dicapai dan dikuasai oleh
siswa dituangkan dalam tujuan belajar, dipersiapkan bahan apa yang harus dipelajari, dipersiapkan
juga metode pembelajaran yaitu yang sesuai bagaimana cam siswa mempelajarinya, dan melakukan
evaluasi untuk mengetahui kemajuan belajar siswa. Persiapan ini telah direncanakan secara seksama
oleh guru mengacu pada kurikulum mata pelajaran. Penjelasan ini memberi gambaran bahwa
kegiatan belajar yang secara sengaja dipersiapkan dalam bentuk perencanaan pengajaran, persiapan
pengajaran ini sebagai kegiatan integral dan proses belajaran di sekolah.
Penyusunan program pembelajaran dapat dibedakan menjadi program tahunan, program
semester, program mingguan, dan program harian. Program tahunan merupakan rencana
pembelajaran yang disusun untuk setiap mata pelajaran yang berlangsung selama satu tahun ajaran
pada setiap mata pelajaran kelas tertentu yang disusun menjadi bahan ajar. Langkah-langkah
penyusunan program tahunan adalah: (1) membaca dan memahami kurikulum silabusnya; (2)
menganalisis kemampuan dasar yang ada pada kurikulum; dan (3) menentukan alokasi waktu setiap
kemampuan dasar berdasarkan kalender pendidikan yang ditetapkan. Adapun tim yang menyusun
program tahunan terdiri dari tim perekayasa kurikulum, ahli mata pelajaran, dan kelompok kerja guru
yang terdiri guru mata pelajaran, tim mi idealnya difasilitasi oleh Pemerintah Daerah dimana program
pembelajaran itu berada. Program semester disusun dengan merancang kegiatan pembelajaran untuk
semua mata pelajaran dan kelas yang dilakukan pada satu semester. Perencanaan mi akan merespon
pemenuhan target pembelajaran baik diukur dan prestasi belajar siswa melalui sejumlah tes dan alat
evaluasi yang digunakan maupun pelayanan belajar siswa oleh para pendidik dilihat dan kesiapan dan
strategi yang digunakan. Untuk mencapai target dan tujuan yang ditetapkan, maka secara teknis dan
operasional dijabarkan dalam program mingguan dan juga harian.
1. Pengertian dan Tujuan Perencanaan Pengajaran
Proses pembelajaran bisa disebut interaksi edukatif yang sadar akan tujuan, artinya interaksi
yang telah dicanangkan untuk suatu tujuan tertentu, setidaknya adalah tercapainya tujuan
instruksional atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam satuan pelajaran. Proses pembentukan
setiap rencana latihan maupun pembelajaran yang baik mulai dengan penentuan tujuan pelajaran
yang tepat. Hal ini berlangsung dengan mengidentifikasi setiap mata pe1ajain pokok atau topik yang
harus dicakup untuk mencapai tujuan ini. Kemudian pokok-pokok ini harus disesuaikan yang satu
dengan yang lain untuk membentuk pelajaran itu. Perencanaan pengajaran merupakan suatu program
bagaimana mengajarkan apa-apa yang sudah dirumuskan dalam kurikulum. Acuan utama penyusunan
perencanaan program pengajaran adalah kurikulum.
Perencanaan pengajaran (Instructional Design) dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
yaitu: (1) perencanaan pengajaran sebagai sebuah proses adalah pengembangan pengajaran secara
sistematik yang digunakan secara khusus teori-teori pembelajaran dan pengajaran untuk menjamin
kualitas pembelajaran. Dalam perencanaan ini menganalisis kebutuhan dan proses belajar dengan alur
yang sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Termasuk di dalamnya melakukan evaluasi
terhadap materi pelajaran dan aktivitas-aktivitas pengasanan; (2) perencanaan pengajaran sebagai
sebuah disiplin adalah cabang dari pengetahuan yang senantiasa memperhatikan hasil basil penelitian
dan teori-teori tentang strategi pengajaran dan implementasinya terhadap strategi-strategi tersebut; (3)
perencanaan pengajaran sebagai sains (Science) adalah mengkreasi secara detail spesifikasi dan
pengembangan, implementasi, evaluasi, dan pemeliharaan akan situasi maupun fasilitas pembelajaran
terhadap unit-unit yang luas maupun yang lebih sempit dan materi pelajaran dengan segala tingkatan
kompleksitasnya; (4) perencanaan pengajaran sebagai realitas adalah ide pengajaran dikembangkan
dengan memberikan hubungan pengajaran dan waktu ke waktu dalam suatu proses yang dikerjakan
perencana secara cermat bahwa semua kegiatan telah sesuai dengan tuntutan sains dan dilaksanakan
secara sistematik; (5) perencanaan pengajaran sebagai suatu sistem adalah sebuah susunan dan
sumber-sumber dan prosedur-prosedur untuk menggerakkan pembelajaran. Pengembangan sistem
pengajaran melalui proses yang sistematik selanjutnya diimplementasikan mengacu pada sistem
perencanaan itu; dan (6) perencanaan pengajaran sebagai teknologi adalah suatu perencanaan yang
mendorong penggunaan teknik-teknik yang dapat mengembangkan tingkah laku kognitif dan teori-
teori konstruktif terhadap solusi dan problem-problem pengajaran.
Mengacu pada berbagai sudut pandang tersebut, maka perencanaan program pengajaran harus
sesuai dengan konsep pendidikan dan pengajaran yang dianut dalam kurikulum. Penyusunan
perencanaan program pengajaran sebagai sebuah proses, disiplin, ilmu pengetahuan, realitas, sistem,
dan teknologi pembelajaran bertujuan agar pelaksanaan pengajar berjalan lebih lancar dan hasilnya
lebih baik. Kurikulum khususnya GBPP, menjadi acuan utama dalam penyusunan perencanaan
program pengajaran, namun kondisi sekolah dan lingkungan sekitar, kondisi siswa dan guru
merupakan hal-hal penting yang perlu diperhatikan. Dalam GBPP telah tercantum tujuan kurikuler,
tujuan instruksional, pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan alokasi waktu untuk mengajarkan
pokok bahasan tersebut. Persiapan mengajar disusun mencakup semua tujuan yang telah ditetapkan
tersebut.
Tujuan pendidikan ini mengacu pada tujuan pendidikan nasional sebagaimana dituntun oleh
UUSPN No. 20 tahun 2003 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Dalam penyusunan program caturwulan dan juga semester, rincian pokok
bahasan menjadi sub pokok bahasan dengan memperhatikan waktu yang tersedia. Jika waktu yang
tersedia cukup banyak, maka sub pokok bahasan yang akan disampaikan dibatasi dengan memilih
yang amat penting untuk disampaikan. Demikian juga pada waktu menyusun rencana pelajaran dalam
satuan pelajaran. Luasnya bahan, penggunaan media pengajaran dan banyaknya aktivitas belajar
perlu disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Jumlah pertemuan penyampaian pelajaran dalam satu
semester dapat dihitung, maka dalam merinci pokok bahasan untuk setiap hari pertemuan perlu
diperhatikan alokasi waktu yang tersedia, perlu pengelompokan pokok bahasan sehingga akhirnya
dapat dihasilkan unit-unit satuan bahasan dalam satu semester yang bersangkutan yang masing-
masing akan dikembangkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Perencanaan program pengajaran juga perlu memperhatikan keadaan sekolah dimana
pembelajaran itu berlangsung. Terutama ketersediaan sarana, prasarana, kelengkapan, dan alat bantu
pelajaran menjadi pendukung terlaksananya berbagai aktivitas belajar siswa. Guru tidak mungkin
melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan bak pasir jika di sekolah tidak tersedia bak pasir
yang diperlukan tersebut. Guru juga tidak akan mungkin meminta siswa untuk mengamati tanaman
jika di sekolah tersebut tidak ada kebun sekolah.
Dalam menyusun rencana program pengajaran komponen siswa perlu mendapat perhatian
yang memadai. Apakah program pembelajaran satu semester yang dilaksanakan dalam bentuk
aktivitas belajar menggunakan waktu harian dan mingguan dipandang sebagai suatu skenario tentang
apa yang harus dipelajari oleh siswa dan bagaimana mempelajarinya. Agar bahan dan cara belajar mi
sesuai dengan kondisi siswa, maka penyusunan skenario program pembelajaran dan keluasan maupun
kedalaman bahan ajar perlu disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan siswa. Aktivitas
belajar yang direncanakan guru disesuaikan dengan keadaan kelas yang pandai atau cepat belajar,
sedang dan kelompok kurang atau lambat belajar, guru dalam menyusun rencana pelajaran harus
menggunakan kriteria siswa yang akan menerima pelajaran tersebut. Untuk mengatasi variasi
kemampuan siswa, maka guru perlu menggunakan metode atau bentuk kegiatan mengajar yang
bervariasi pula.
Data atau informasi tentang siswa dapat dimanfaatkan untuk penyusunan dan perencanaan
penyempurnaan pengajaran. Pengajaran yang baik hendaknya disusun dengan berpedoman kepada
keadaan, kemampuan,, minat dan kebutuhan siswa. Hal ini secara riil dapat diketahui melalui proses
dan hasil pengumpulan data. Sebelum menyiapkan rencana pelajaran, atau satuan pelajaran guru
hendaknya mempelajari dulu record siswa. Melalui pemanfaatan record tersebut, guru akan
memperoleh gambaran umum tentang kondisi dan masalah siswa, record siswa juga dapat digunakan
untuk mengadakan berbagai usaha penyesuaian pelajaran dengan perbedaan individu. Tiap siswa
mempunyai kemampuan, kondisi, kecepatan belajar, dan lain-lain yang berbeda. Karenanya perlu
dikembangkan sistem mentor, yaitu bantuan belajar bagi siswa pandai atau kelas tinggi.
Dalam proses pembelajaran guru dituntut memiliki kemampuan dalam segala hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan pengajaran. Jika seorang guru pada suatu saat memiliki
kekurangan dalam hal-hal tertentu, maka segera guru yang bersangkutan belajar untuk meningkatkan
kompetensinya baik melalui jalur pendidikan dan latihan maupun belajar mandiri dengan melakukan
diskusi dengan teman sejawat secara intensif. Dalam program semester guru menyusun rencana
penyampaian bahan ajar, dimana bahan ajar tersebut telah benar-benar dikuasai oleh guru baik
pengajaran di kelas maupun suatu percobaan yang akan dilaksanakan di laboratorium atau tempat lain
yang ditunjuk sebagai tempat belajar siswa.
Suatu program pengajaran mulai dengan tujuan menyeluruh, yang akan dicapai sebagai hasil
dan belajar atau latihan. Tujuan mi terpecah ke dalam berbagai-bagai aspek dan mata pelajaran yang
harus dicakup untuk memperoleh tujuan itu. Tujuan perencanaan pembelajaran bukan hanya
penguasaan prinsip-prinsip fundamental pembelajaran, tetapi juga mengembangkan sikap yang
positif terhadap program pembelajaran, meneliti, dan menemukan pemecahan masalah pembelajaran.
Tujuan perencanaan pembelajaran secara ideal menguasai sepenuhnya bahan dan materi ajaran,
metode dan penggunaan alat dan perlengkapan pembelajaran, menyampaikan kurikulum atas dasar
bahasan dan mengelola alokasi waktu yang tersedia, dan membelajarkan murid sesuai yang
diprogramkan.
2. Fungsi-Fungsi Manajemen Dalam Pembelajaran
Ketika seorang guru merancang pengajaran, maka guru harus sudah mempertimbangkan
pertanyaan apakah tersedia kelengkapan yang cukup untuk digunakan siswa dalam program
pembelajaran yang dirancang ?. Guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran harus dapat
mengenali kebutuhan-kebutuhan dan mewaspadai kendala-kendala serta batasan-batasan yang
barangkali dijumpai dalam realitas. Dalam mengkaji kebutuhan-kebutuhan belajar saat suatu program
pembelajaran direncanakan atau mulai dipertimbangkan, guru sebagai perencana sering mendapat
informasi tentang kendala yaitu: (1) keterbatasan dana atau anggaran untuk mendukung
pembelajaran; (2) penyesuaian waktu dan program yang harus dipersiapkan untuk dilaksanakan pada
tahun depan, semester depan, minggu depan, atau besok; (3) keterbatasan perlengkapan pembelajaran
yang siap untuk digunakan; (4) ruangan belajar yang tersedia; dan (5) keterbatasan kebutuhan belajar
lainnya. Kendala dan keterbatasan tersebut mempengaruhi dukungan perencanaan pembelajaran,
karena itu guru harus benar-benar dapat mengenali secara hati-hati dan mempertimbangkan
kebutuhan yang masih mungkin dapat diperoleh dan digunakan untuk pembelajaran dan dapat
dimasukkan secara riil dalam perencanaan pembelajaran dengan menggunakan sumber-sumber yang
masih memungkinkan, selanjutnya diambil keputusan.
Untuk memahami materi perencanaan pengajaran atau pembelajaran ada baiknya lebih dulu
memahami apa itu manajemen, karena perencanaan merupakan bagian dan fungsi-fungsi manajemen.
Sebagaimana dikemukakan oleh Terry manajemen merupakan proses yang khas terdiri dan tindakan-
tindakan perencanaan, pengorganisasian, pergerakkan, dan pengawasan yang dilaksanakan untuk
menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya
manusia serta sumber daya lain (Winardi, 1986). Pendapat mi dipertegas lagi oleh Gibson,
Ivancevich, dan Donnely (1982) mengatakan bahwa manajemen adalah suatu tindakan, kegiatan, atau
tindakan dengan tujuan tertentu melaksanakan pekerjaan manajerial dengan tiga fungsi utama yaitu
perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian. Jadi, manajemen adalah suatu tindakan atau
kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan atau melakukan
pengawasan.
Konsep manajemen tersebut jika diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran, maka manajemen
pembelajaran dikaitkan sebagai usaha dan tindakan kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional di
sekolah dan usaha maupun tindakan guru sebagai pemimpin pembelajaran di kelas dilaksanakan
sedemikian rupa untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan program sekolah dan juga
pembelajaran. Artinya manajemen pembelajaran di sekolah merupakan pengelolaan pada beberapa
unit pekerjaan oleh personel yang diberi wewenang untuk itu yang muaranya pada suksesnya
program pembelajaran. Dengan demikian mengacu pada prinsip yang dikemukakan tersebut, maka
keefektifan manajemen pembelajaran dapat dicapai jika fungsi perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, dan pengawasan dapat diimplementasikan dengan baik dan benar dalam program
pembelajaran.
a. Penerapan Fungsi Perencanaan dalam Kegiatan Pembelajaran
Perencanaan adalah proses penetapan dan pemanfaatan sumber daya secara terpadu yang
diharapkan dapat menunjang kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang akan dilaksanakan secara
efisien dan efektif dalam mencapai tujuan. Dalam hal ini Gaffar (1987) menegaskan bahwa
perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan berbagai keputusan yang akan dilaksanakan
pada masa yang datang untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Sedangkan Banghart dan Trull
(1973) mengemukakan bahwa perencanaan adalah awal dari semua proses yang rasional, dan
mengandung sifat aptimisme yang didasarkan atas kepercayaan bahwa akan dapat mengatasi berbagai
macam permasalahan dalam konteks pembelajaran perencanaan dapat diartikan sebagai proses
penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pengajaran, penggunaan pendekatan atau metode
pengajaran, dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa satu semester yang akan
datang untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Proses perencanaan dilaksanakan secara kolaboratif atau kerja sama, artinya dengan
mengikutsertakan personel sekolah dalam semua tahap perencanaan. Bentuk kerja sama dalam
perencanaan adalah dengan terlibat personel sekolah. Hoyle (1985) berpendapat bahwa sangat perlu
bagi semua pengajar dan personel lain yang berkepentingan dengan tujuan sekolah dilibatkan dalam
perencanaan, karenanya masyarakat sekolah bertanggung jawab atas perencanaan yang telah
ditetapkan (Moedjiarto, 1990).
Pengikutsertaan ini akan menimbulkan perasaan ikut memiliki (sense of heloning) yang dapat
memberikan dorongan kepada guru dan personel sekolah yang lain untuk berusaha agar rencana
tersebut berhasil. Sudah barang tentu lingkup perencanaan ml meliput komponen administrasi
pendidikan dalam kurikulum, supervisi, kemudian, keuangan, sarana rana, kepegawaian, layanan
khusus, hubungan masyarakat, fasilitas proses belajar mengajar, dan ketatausahaan sekolah. Untuk
membangun kerja sama yang baik dan perencanaan yang tepat diperlukan personel yang
berpengalaman berpengetahuan dalam bidang perencanaan agar dapat menentukan dengan tepat apa
yang harus dikerjakan. Banghart dan Trull (1973) mengemukakan rencana sekolah merupakan
kegiatan menyeleksi kebutuhan dana, memilih dan melatih tenaga, serta menilai unjuk kerja
organisasi untuk memenuhi tujuan.
Perencanaan pembelajaran memainkan peranan penting dalam memandu guru untuk
melaksanakan tugas profesionalnya sebagai pendidik dalam melayani kebutuhan belajar para
siswanya. Perencanaan pengajaran juga dimaksudkan sebagai langkah awal sebelum proses
pembelajaran berlangsung. Seorang guru sebelum masuk ke ruang kelas, sudah mempersiapkan
sejumlah materi dan bahan ajar yang akan disampaikan kepada siswa, agar penyampaian materi
tersebut sesuai arah dan tujuan yang ditetapkan, maka lebih dulu disusun suatu perencanaan yang
feasible dan matang. Dengan kesiapan perencanaan yang matang ini permasalahan teknis dapat
diatasi, tinggal guru mengatur skenario pembelajaran yang efektif di kelas sesuai rencana tersebut.
Guru sebagai perencana pembelajaran, sering mengabaikan tuntutan atas layanan yang
diperlukan, peralatan tertentu, ruangan tertentu, jumlah anggaran yang tersedia, bantuan profesional,
dan bantuan teknis yang harus ada pada waktu yang diperlukan. Guru mengabaikan hal tersebut
karena beberapa alasan antara lain pemerintah tidak atau belum menyediakan anggaran untuk
keperluan pembelajaran tersebut. Prosedur perencanaan pembelajaran ini tentu tidak mudah untuk
diterapkan dalam proses perencanaan pembelajaran. Jika dukungan tertentu seperti dana atau fasilitas
kelengkapan pembelajaran tidak tersedia, maka keberhasilan dan penerapan dari suatu program baru
yang telah dirancang dalam perencanaan pembelajaran menjadi sangat terbatas.
Sesudah memiliki konsep-konsep yang akan diajarkan, guru hendaknya merencanakan
strategi-strategi pengajaran untuk mengajarkan konsep-konsep itu. Dalam merencanakan, guru harus
memutuskan tingkat pencapaian konsep yang mana yang dapat diharapkan dan para siswa. Analisis
konsep akan dapat menolong guru dalam hal mi, dan memilih materi pelajaran yang akan diberikan.
Jadi perencanaan pembelajaran adalah awal dan semua proses yang rasional sebagai proses
penetapan, penyusunan berbagai keputusan penyelenggaraan pembelajaran yang akan dilaksanakan
pada masa yang akan d4tang untuk mencapai tujuan pembelajaran dan pemanfaatan sumber sumber
daya pendidikan yang tersedia secara terpadu.
Artinya perencanaan pembelajaran pada prinsipnya meliputi: (1) menetapkan apa yang mau
dilakukan oleh guru, kapan dan bagaimana cara melakukannya dalam implementasi pembelajaran;
(2) membatasi sasaran atas dasar tujuan instruksional khusus dan menetapkan pelaksanaan kerja
untuk mencapai hasil yang maksimal melalui proses penentuan target pembelajaran; (3)
mengembangkan alternatif-alternatif yang sesuai dengan strategi pembelajaran; (4) mengumpulkan
dan menganalisis informasi yang penting untuk mendukung kegiatan pembelajaran; dan (5)
mempersiapkan dan mengomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan pembelajaran kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Jika prinsip-prinsip ini terpenuhi,
secara teoritik perencanaan pembelajaran itu akan memberi penegasan untuk mencapai tujuan sesuai
skenario yang disusun.
b. Penerapan Fungsi Pengorganisasian dalam Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pengorganisasian pembelajaran bagi tiap guru dalam institusi sekolah dimaksudkan
untuk menentukan siapa yang akan melaksanakaii tugas sesuai prinsip pengorganisasian, dengan
membagi tanggung jawab setiap personel sekolah dengan jelas sesuai bidang, wewenang, mata
ajaran, dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini Gorton (1976) mengemukakan pengorganisasian
adalah terbaginya tugas ke dalam berbagai unsur organisasi, dengan kata lain pengorganisasian yang
efektif adalah membagi habis dan menstrukturkan tugas-tugas ke dalam sub-sub atau komponen-
komponen organisasi. Sedangkan Oteng Sutisna (1983:174) menyatakan bahwa pengorganisasian
sebagai kegiatan menyusun struktur dan membentuk hubungan-hubungan agar diperoleh kesesuaian
dalam- usaha mencapai tujuan bersama.
Pengorganisasian ini memberi makna adanya unsur-unsur yang mempersatukan dan
memisahkan dengan tujuan, keselarasan, dan keseimbangan. Unsur-unsur yang mempersatukan di
antaranya tujuan bersama yang menjadi iktikat bersama untuk mewujudkannya, sedangkan unsur-
unsur yang memisahkan di antaranya kewenangan membagi-bagikan kekuasaan yang dimiliki,
menyerahkan tanggung jawab kepada pihak tertentu, dan memberi pengarahan kepada anggota atau
unit dibawah tanggung jawabnya. Jika ditelusuri hubungan pengorganisasian dengan pembelajaran,
tampak pada adanya unsur-unsur yang mempersatukan yaitu tujuan bersama yang menjadi iktikat
bersama antara guru sebagal pendidik untuk mencapai tujuan pembelajaran dan siswa sebagai peserta
didik untuk mencapai tujuan belajar yang dilaksanakan bersama oleh pendidik dan peserta didik.
Sedangkan unsur yang memisahkan adalah adanya kewenangan guru dalam menyampaikan
pelajaran di lain pihak adanya kewajiban peserta didik untuk mematuhi aturan dalam mengikuti
pelajaran. Hal inilah yang harus dijalankan oleh pendidik dan peserta didik dalam proses
pembelajaran. Bagi guru dalam merencanakan program pembelajaran dan melaksanakan tugas
pembelajaran perlu menstrukturkan model dan perencanaan pembelajaran sesuai aturan atau kaidah
pembelajaran, dan memenuhi aspek-aspek edukatif dengan memperhatikan unsur-unsur persatuan
dan juga unsur-unsur yang memisahkan. Berikan kesempatan kepada murid-murid untuk mencoba
memperaktekkan prinsip-prinsip dan prosedur belajar.
Pengorganisasian pembelajaran mi memberi gambaran bahwa kegiatan belajar dan mengajar
mempunyai arah dan penanggung jawab yang jelas. Artinya dilihat dan komponen yang terkait
dengan pembelajaran pada institusi sekolah memberi gambaran bahwa jelas kedudukan kepala
sekolah dalam memberikan fasilitas dan kelengkapan pembelajaran, jelas kedudukan guru untuk
menentukan dan mendesain pembelajaran dengan mengorganisasikan alokasi waktu, desain
kurikulum, media dan kelengkapan pembelajaran, dan lainnya yang berkaitan dengan suksesnya
penyelenggaraan kegiatan belajar. Kemudian jelas kedudukan siswa dalam mengikuti kegiatan
belajar baik di kelas maupun belajar di rumah, di bawah koordinasi guru dan juga orang tua siswa
yang berkaitan dengan belajar.
Mereka melaksanakan fungsi tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik berangkat dan
kebersamaan untuk memenuhi tujuan pembelajaran sebagai bagian dan tujuan sekolah, dan juga
tujuan pendidikan nasional. Dengan kejelasan masing-masing unsur dan komponen pembelajaran mi
dimungkinkan kegiatan belajar dan mengajar akan sesuai dengan yang direncanakan baik proses
maupun kualitas yang dipersyaratkan. Pengorganisasian pembelajaran mi dimaksudkan agar materi
dan bahan ajaran yang sudah direncanakan dapat disampaikan secara maksimal.
Dengan demikian jelaslah, pengorganisasian pembelajaran meliputi aspek: (1) menyediakan
fasilitas, perlengkapan dan personel yang diperlukan untuk .penyusunan kerangka yang efisien dalam
melaksanakan rencana-rencana melalui suatu proses penetapan pelaksanaan pembelajaran yang
diperlukan untuk menyelesaikannya; (2) pengelompokan komponen pembelajaran dalam struktur
sekolah secara teratur; (3) membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi pembelajaran;
(4) merumuskan dan menetapkan metode dan prosedur pembelajaran; dan (5) memilih, mengadakan
latihan dan pendidikan dalam upaya pertumbuhan jabatan guru dilengkapi dengan sumber-sumber
lain yang diperlukan. Pengorganisasian pembelajaran mi memberi gambaran apakah seorang guru
mampu mengelola kelas dengan menggunakan teknik dan langkah tertentu seperti yang tertuang
dalam perencanaan pengajaran orang dibuatnya sendiri, sehingga proses pembelajaran, berlangsung
dengan suasana yang harmonis, edukatif, meaning full, berkualitas, dan mengarah pada pencapaian
tujuan yang telah ditentukan.
c. Penerapan Fungsi Penggerakan dalam Kegiatan Pembelajaran
Menggerakkan (actuating) menurut terry (1977) berarti merangsang anggota-anggota
kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas dengan antusias dan kemampuan yang baik. Dalam
konteks pembelajaran di sekolah tugas menggerakkan dilakukan oleh kepala sekolah sebagai
pemimpin instruksional, sedangkan dalam konteks kelas pengerakkan dilakukan oleh guru sebagai
penanggung jawab pembelajaran. Oleh karena itu kepala sekolah sebagai pemimpin dan guru sebagai
penanggung jawab pembelajaran mempunyai peran yang sangat penting dalam menggerakkan orang-
orang yang terlibat dalam melaksanakan program belajar dan mengajar pada institusi sekolah.
Dengan demikian penggerakan juga dapat diartikan sebagai pelaksanaan dan kepemimpinan bagi
sekolah maupun dalam kegiatan pembelajaran.
Penggerakan dalam proses pembelajaran dilakukan oleh pendidik dengan suasana yang
edukatif agar siswa dapat melaksanakan tugas belajar dengan penuh antusias, dan mengoptimalkan
kemampuan belajarnya dengan baik. Peran guru sangat penting dalam menggerakkan dan memotivasi
para siswanya melakukan aktivitas belajar baik itu dilakukan di kelas, di laboratorium, di
perpustakaan, peraktek kerja lapangan, dan tempat lainnya yang memungkinkan para siswa
melakukan kegiatan belajar. Guru itu tidak hanya berusaha menarik perhatian murid, tetapi juga ia
harus meningkatkan aktivitas murid-muridnya melalui pendekatan dan metode pembelajaran yang
sesuai pada apa materi pelajaran yang sedang disajikan oleh guru.
Sedangkan kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional menggerakkan semua personel dan
potensi sekolah untuk mendukung sepenuhnya kegiatan pembelajaran yang dikendalikan oleh guru
dalam upaya membelajarkan anak didik. Penggerakan yang dilakukan kepala sekolah sebagai
pemimpin instruksional dan guru sebagai pemimpin pembelajaran paling tidak meliputi: (1)
menyusun kerangka waktu dan biaya yang diperlukan baik untuk institusi maupun pembelajaran
secara rinci dan jelas; (2) memprakarsai dan menampilkan kepemimpinan dalam melaksanakan
rencana dan pengambilan keputusan; (3) mengeluarkan instruksi-instruksi yang spesifik ke arah
pencapaian tujuan; dan (4) membimbing, memotivasi, dan melakukan supervisi oleh kepala sekolah
terhadap guru. Membimbing, memotivasi, dan memberi tuntunan atau arahan yang jelas bagi guru
terhadap pelayanan belajar terhadap peserta didiknya.
d. Penerapan Fungsi Pengawasan dalam Kegiatan Pembelajaran
Pengawasan adalah suatu konsep yang luas yang dapat diterapkan pada manusia, benda, dan
organisasi. Anthony, Dearden, dan Bedford (1984) mengemukakan bahwa pengawasan dimaksudkan
untuk memastikan agar anggota organisasi melaksanakan apa yang dikehendaki dengan
mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi serta memanfaatkannya untuk
mengendalikan organisasi. Jadi pengawasan mi dilihat dan segi input, proses, dan output bahkan
outcome. Dalam konteks pembelajaran pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah terhadap seluruh
kelas apakah terjadi kegiatan belajar mengajar. Kemudian mengawasi pihak-pihak yang terkait
dengan pembelajaran apakah dengan sungguh-sungguh memberikan pelayanan kebutuhan
pembelajaran.
Sedangkan guru melakukan pengawasan terhadap program yang ditentukannya apakah sudah
dilaksanakan sesuai rencana yang ditetapkannya sendiri. Jika ada kekeliruan atau ada program yang
tidak dapat diselesaikan segera dilakukan perbaikan dalam perencanaannya, sehingga tujuan yang
sebelumnya ditentukan tetap secara maksimal dapat dipenuhi. Kaitannya dengan siswanya guru perlu
untuk memastikan apakah para siswanya itu melaksanakan kegiatan belajar sesuai yang
direncanakan. Untuk keperluan pengawasan ini guru mengumpulkan, menganalisis, dan
mengevaluasi informasi kegiatan belajar serta memanfaatkannya untuk mengendalikan pembelajaran
sehingga tercapai tujuan belajar.
Perbaikan dapat dilakukan baik sedang berlangsungnya proses pembelajaran, maupun pada
program pembelajaran berikutnya sebagai implikasi dan pengawasan pembelajaran yang dilakukan
oleh guru maupun kepala sekolah. Jadi, pengawasan dalam perencanaan pembelajaran meliputi: (1)
mengevaluasi pelaksanaan kegiatan, dibanding dengan rencana; (2) melaporkan penyimpangan untuk
tindakan koreksi dan merumuskan tindakan koreksi, menyusun standar-standar pembelajaran dan
sasaran-sasaran; dan (3) menilai pekerjaan dan melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan-
penyimpangan baik insutusional satuan pendidikan maupun proses pembelajaran. Guru harus
mengatur pikirannya sendiri yang kacau, ia harus dapat melihat dengan jelas apa-apa yang sedang ia
usahakan untuk dikerjakan, dan mengutarakannya dengan cara yang paling logis dan teratur dengan
landasan yang benar.
e. Tenaga Kependidikan
Dalam kegiatan pembelajaran tenaga kependidikan merupakan suatu komponen yang penting
dalam penyelenggaraan pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidik adalah seseorang atau sekelompok
orang yang berprofesi mengelola kegiatan belajar dan mengajar serta seperangkat peran lainnya yang
memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang lebih efektif, melalui transfonnasi.
Tenaga pendidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti,
mengembangkan, mengelola dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Salah
satu unsur tenaga pendidikan adalah tenaga pendidik sebagai tenaga pengajar yaitu guru yang tugas
utamanya adalah mengajar. Kehadiran guru atau pendidik merupakan motivator, stabilisator, dan
komunikator dalam pembelajaran yang tentunya bertujuan mensosialisasikan materi pembelajaran
kepada peserta didik, baik berlangsung dalam kelas (sekolah) maupun di luar kelas atau sekolah.
Karena tugasnya mengajar, maka dia harus mempunyai wewenang mengajar berdasarkan
kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Kedudukan guru dipahami demikian penting sebagai ujung
tombak dalam pembelajaran dan pencapaian mutu hasil belajar peserta didik. Guru bukan lagi pemain
tunggal atau sebagai tenaga pendidik satu-satunya yang menentukan gairah belajar dalam proses
pembelajaran di sekolah, melainkan Ia mempunyai banyak mitra, yaitu tenaga kependidikan bukan
guru (non teaching slaffi.
Tenaga kependidikan bukan guru tidak hanya menyangkut mereka yang bertugas di sekolah
saja, tetapi juga yang bertugas di luar sekolah. Tenaga kependekan dapat dibedakan sebagai tenaga
fungsional kependidikan dan tenaga teknis. Tenaga fungsional merupakan tenaga-tenaga
kependidikan yang menempati jabatan-jabatan fungsional, yakni jabatan-jabatan yang dalam pelakan
pekerjaan keahlian akademis kependidikan seperti guru, konselor, supervisor, ahli kurikulum, peneliti
pendidikan, dan sebagainya, Sedangkan tenaga teknis kependidikan merupakan tenaga kependidikan
yang dalam pelaksanaan pekerjaan lebih dituntut kecakapan-kecakapan teknis operasional dan
administratif seperti pustakawan, laboran sekolah, teknisi bengkel kerja di sekolah, dan lain
sebagainya.
Semua tenaga kependidikan tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
dan menentukan kinerja sekolah. Sebagai tenaga kependidikan dan tenaga pengajar, setiap guru
dalam melaksanakan tugas pengajar harus memiliki kemampuan profesional dalam proses belajar
mengajar atau pembelajaran. Kemampuan mi sebagai gambaran bahwa guru itu merupakan pekerjaan
yang membutuhkan keahlian. Dengan kemampuan itu, guru dapat melakukan perannya sesuai standar
kinerja guru sebagai tenaga profesional. Profesional guru dikembangkan dan kompetensi dasar yang
memiliki ciri-ciri: (1) kepribadian yang prima; (2) kemampuan untuk memotivasi peserta didik; (3)
kemampuan manajemen pembelajaran secara utuh; (4) kemampuan untuk mengekspressikan
gagasan-gagasan; dan (5) memiliki kemampuan menggunakan media maupun peralatan belajar
terkini, pendekatan belajar, dan metodologi pendidikan.
Guru dikatakan kompeten jika ia menguasai dan memiliki kecakapan profesional keguruan,
ditandai dengan keahliannya selaras dengan tuntutan bidang ilmu yang menjadi tanggung jawabnya.
Atas dasar kedudukan profesional itu guru mempunyai wewenang dalam pelayanan belajar dan
pelayanan sosial di masyarakat. Standar kinerja guru menurut Gaffar (1987:159) ada tiga bidang,
yakni: (1) content knowledge; (2) behavior skills; dan (3) human relation skills. Sementara itu
Rochman dan Sanusi (1991) menyebutkan tugas dan kinerja guru mencakup aspek: (1) kemampuan
profesional, yang meliputi penguasaan materi ajar dan hulu hingga hum, dan filosofi, konsep dasar,
landasan keilmuan, keguruan, dan proses pembelajaran; (2) kemampuan sosial, meliputi kemampuan
untuk berinteraksi dengan lingkungan dan menyesuaikan diri dengannya; dan (3) kemampuan
individual, yang meliputi sikap, penampilan, pemahaman, dan penghayatan terhadap materi ajar,
serta kesediaan menjadi teladan atau panutan bagi para siswanya.
Kompetensi atau kemampuan adalah performansi yang mengarah pada pencapaian tujuan
secara tuntas menuju kondisi yang diinginkan. Makna dan kondisi performansi mengandung perilaku
yang bertujuan dan melebihi dan apa yang dapat diamati, mencakup proses berpikir, menilai, dan
mengambil keputusan Kompetensi dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kompetensi dasar untuk
memelihara dan memenuhi kebutuhan hidup; (2) kompetensi umum untuk bisa hidup bersama di
masyarakat; (3) kompetensi teknis maupun keterampilan untuk melakukan suatu pekerjaan atau
kegiatan; dan (4) kompetensi profesional untuk penentuan keputusan, berisi serangkaian kegiatan
analisis sintesis, penggunaan pengetahuan dan pengalaman, pemikiran dan kreativitas.
Kompetensi bersifat unik untuk setiap orang, mengingat isi kompetensi-kompetensi teknis dan
profesional berbeda, demikian juga spektrum setiap komponen potensi tiap individu berbeda.
Kompetensi keguruan termasuk kompetensi profesional, sebab dalam melaksanakan tugasnya
membutuhkan analisis dan sintesis atas dasar pengetahuan dan pengalamannya, dalam melaksanakan
pelayanan belajar membutuhkan pemikiran dan kreativitas. Dengan demikian mengajar adalah
mengusahakan agar terjadi perubahan perilaku siswa yang spesifik. Tenaga pendidikan pada
umumnya terdiri dari guru, pengelola kurikulum, konselor, supervisor, kepala sekolah dan tenaga
fungsional kependidikan lainnya sesuai aturan.
B. Prinsip Perencanaan Pengajaran
1. Prinsip- Prinsip Pengajaran dalam Perencanaan Pengajaran
Setiap teori belajar mempunyai prinsip-prinsip belajar mengajar sendiri, yang mungkin sama
ataupun berbeda dengan teori yang lain. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak hanya
menggunakan satu pendekatan ataupun metode mengajar, tetapi menggunakan beberapa metode yang
mungkin berasal dan teori psikologi atau teori belajar mengajar yang sama, mungkin juga dan teori
yang berbeda. Ada beberapa prinsip pengajaran yang secara relatif berlaku umum di antaranya adalah
prinsip perkembangan, perbedaan individu, minat dan kebutuhan aktivitas, dan motivasi.
a. Prinsip Perkembangan
Pada prinsipnya siswa yang sedang belajar di kelas berada dalam proses perkembangan, dan
akan tents berkembang yang berarti perubahan. Kemampuan anak pada jenjang usia dan tingkat kelas
berbeda-beda sesuai perkembangannya. Anak pada jenjang usia atau kelas yang lebih tinggi,
memiliki kemampuan lebih tinggi dan yang di bawahnya. Pada waktu memilih bahan dan metode
mengajar, guru hendaknya memperhatikan dan menyesuaikan dengan kemampuan anak. Karena
perubahan ada yang cepat dan ada yang lambat. Oleh karena itu guru hendaknya mengerti dan
bersabar dalam melaksanakan tugas pelayanan belajar bagi para muridnya. Bila pada suatu saat siswa
belum memperhatikan kemajuannya, mungkin membutuhkan satu minggu atau lebih baru kemudian
anak dapat mengalami kemajuan yang berarti. Tantangan inilah yang menjadi bagian penting dan
profesi seorang guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran.
b. Prinsip Perbedaan Individu
Seorang guru yang menghadapi 30 orang siswa di kelas, sebenarnya bukan hanya menghadapi
ciri-ciri satu kelas siswa, melainkan juga menghadapi 30 perangkat ciri-ciri siswa. Tiap orang siswa
memiliki ciri-ciri dan pembawaan-pembawaan yang berbeda, menerima pengaruh dan perlakuan dan
keluarganya yang masing-masing juga berbeda. Ada siswa yang memiliki badan tinggi kurus, gemuk
pendek, cekatan atau lamban, kecerdasan tinggi atau sedang, berbakat dalam beberapa mata pelajaran
tertentu, dalam mata pelajaran lainnya kurang berbakat, tabah dan ulet, mudah tersinggung, periang
atau pemurung, bersemangat, acuh tak acuh, dan ciri-ciri perilaku lainnya.
Untuk dapat memberikan bantuan belajar bagi siswa, maka guru harus dapat memahami
dengan benar ciri-ciri para siswanya tersebut. Baik dalam menyiapkan dan menyajikan pelajaran
maupun dalam memberikan tugas-tugas dan pembimbingan belajar siswa. Guru hendaknya dapat
menyesuaikan dengan ciri-ciri siswanya masing-masing, dalam model pengajaran berprogram atau
modul, penyesuaian belajar dengan perbedaan individu mi sepenuhnya dapat dilakukan oleh guru,
karena cara belajarnya individual. Dalam pembelajaran bersifat klasikal, seperti yang umumnya
dilaksanakan di sekolah-sekolah, penyesuaian pelajaran dengan perbedaan individual sangat terbatas.
Pada model pembelajaran klasikal umumnya guru-guru pada jam pelajaran yang sama, dalam
suatu kelas guru mengajarkan bahan dan materi yang sama dengan cara yang sama untuk semua
siswa pada kelas tersebut, sehingga perbedaan individu tersebut cenderung diabaikan. Karena itu
guru harus mampu mengombinasikan kegiatan pelayanan kelas dengan pelayanan belajar individual
dengan serasi, yaitu mendesain prosedur maupun alokasi tanggung jawabnya.
Pembelajaran model klasikal mi dapat disempurnakan dengan cara: (1) guru menggunakan
metode atau strategi belajar mengajar yang bervariasi, sebab dengan variasi tersebut diharapkan
beberapa perbedaan kemampuan anak dapat terlayani; (2) menggunakan alat dan media pengajaran
yang dapat membantu siswa khususnya yang mempunyai kelemahan tertentu. Anak yang
kemampuan berpikir abstraknya kurang, dapat dibantu dengan peraga yang konkret, anak yang
pendengarannya kurang dapat dibantu dengan penglihatan, dan sebagainya; (3) guru memberikan
bahan pelajar n tambahan kepada anak-anak yang pandai, untuk mengimbangi kepandaiannya.
Bahan-bahan tersebut dapat berupa bahan bacaan, soal-soal yang harus dipecahkan, dan sebagainya;
(4) guru memberikan bantuan atau bimbingan khusus kepada anak-anak yang kurang pandai atau
lambat dalam belajar yang dilakukan dalam jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran; dan (5)
pemberian tugas-tugas disesuaikan dengan minat dan kemampuan anak. Anak yang lebih pandai
bobot tugasnya lebih sukar dibanding anak yang kurang pandai. Kelima cara-cara tersebut
penerapannya tidaklah kaku, tetapi neksibel atau lugas, untuk lebih memberi dinamika belajar yang
lebih bervariasi, cara-cara tersebut telah dimasukkan dalam perencanaan pembelajaran.
c. Minat dan Kebutuhan Anak
Setiap anak mempunyai minat dan kebutuhan sendiri-sendiri, anak di kota misalnya berbeda
minat dan kebutuhan dengan anak di desa, demikian juga anak di daerah pantai berbeda minat dan
kebutuhannya dengan anak di, demikianlah seterusnya. Dalam hal pembelajaran, bahan ajaran dan
sampaian sedapat mungkin disesuaikan dengan minat dan kebutuhan tersebut. Walaupun hampir
tidak mungkin menyesuaikan pengajaran dan minat dan kebutuhan setiap siswa, meskipun demikian
sedapat mungkin perbedaan-perbedaan minat dan kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Pembelajaran
perlu memperhatikan minat dan kebutuhan, sebab keduanya akan di penyebab timbulnya perhatian.
Sesuatu yang menarik minat dan dibutuhkan anak, tentu akan menarik perhatiannya, dengan
demikian mereka akan bersungguh-sungguh dalam belajar.
d. Aspek Motivasi dalam Perencanaan Pembelajaran
Setiap perbuatan termasuk perbuatan belajar didorong oleh sesuatu atau beberapa motif. Motif
atau biasa juga disebut dorongan atau kebutuhan, merupakan suatu tenaga yang berada pada din
individu atau siswa yang mendorongnya untuk berbuat mencapai suatu tujuan. Tenaga pendorong
atau motif pada seseorang mungkin cukup besar, sehingga tanpa motivasi dan luar dia sudah bisa
berbuat. Orang atau siswa tersebut disebut memiliki motif internal, pada orang atau siswa lain,
mungkin saja tenaga pendorong internal mi kecil sekali, sehingga ia membutuhkan motivasi dan luar,
yaitu dan guru, orang tua, teman, buku-buku, dan sebagainya. Orang atau siswa seperti itu
membutuhkan motif eksternal atau dorongan motivasi dan luar dirinya.
Motif memiliki peranan yang cukup besar dalam upaya belajar Tanpa motif hampir tidak
mungkin siswa melakukan kegiatan belajar. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guru dalam
perencanaan pengajaran untuk membangkitkan belajar para siswa yaitu: (1) mempersiapkan untuk
menggunakan cara atau metode dan media mengajar yang bervariasi. Dengan metode dan media yang
bervariasi kebosanan dapat dikurangi atau dibilangkan; (2) merencanakan dan memilih bahan yang
menarik minat dan dibutuhkan siswa. Sesuatu yang dibutuhkan akan menarik perhatian, pemenuhan
kebutuhan belajar ini akan membangkitkan motif untuk mempelajarinya; (3) memberikan sasaran
antara, sasaran akhir belajar adalah lulus ujian atau naik kelas. .Sasaran akhir baru dicapai pada akhir
tahun, untuk membangkitkan motif, diadakan sasaran antara seperti ujian semester, tengah semester,
ia1ast akhir, kuis, dan sebagainya; (4) memberikan kesempatan untuk sukses. Bab atau soal-soal yang
sulit hanya bisa diterima atau dipecahkan oleh siswa pandai, siswa kurang pandai sukar menguasai
atau memecahkannya, itu perencanaan pembelajaran harus dilihat dan kesesuaian minat kemampuan
belajar anak.
Agar siswa yang kurang pandai juga bisa menguasai dan memecahkan soal, maka berikan
bahan/soal yang sesuai dengan kemampuannya. Keberhasilan yang dicapai siswa dapat menimbulkan
kepuasan dan kemudian membangkitkan motif, (5) diciptakan suasana belajar yang menenangkan,
suasana belajar yang hangat berisi rasa persahabatan, ada rasa humor, pengakuan akan keberadaan
siswa, terhindar dani celaan dan makian, dapat membangkitkan motif, dan (6) adakan persaingan
sehat, peisalng3n atau kompetisi yang sehat dapat membangkitkan motivasi belajar. Siswa dapat
bersaing dengan hasil belajarnya sendiri atau dengan basil yang dicapai oleh orang lain. Dalam
persaingan mi dapat diberikan ujian, ganjaran ataupun hadiah.
2. Konsep Pendekatan Sistem dalam Pengajaran
Pengajaran sebagai suatu sistem merupakan suatu pendekatan mengajar yang menekankan
hubungan sistematik antara berbagai komponen dalam pengajaran. Hubungan sistematik mi
mempunyai arti bahwa komponen yang terpadu dalam suatu pengajaran sesuai dengan fungsinya
saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu kesatuan. Dalam pengajaran sebagai suatu
sistem, langkah perencanaan program pengajaran memegang peranan yang sangat penting, sebab
menentukan langkah pelaksanaan dan evaluasi.
Keterpaduan pengajaran sebagai sistem bukan hanya antara komponen-komponen proses
belajar mengajar, tetapi juga antara langkah yang satu dengan langkah berikutnya. Dilihat dan konsep
pendekatan sistem, bahwa bahan ajar berkaitan dengan kurikulum, kegiatan belajar mengajar, teknik
dan metode pengajaran, kenyamanan dan suasana pembelajaran, sarana dan prasarana belajar yang
layak dan mendukung berlangsungnya pembelajaran dengan baik dan menyenangkan.
a. Perencanaan Tujuan-TUjuan Instruksional
Program semester merupakan rencana pembelajaran yang disusun untuk setiap mata pelajaran
yang berlangsung selama satu semester. Langkah-langkah penyusunan program semester ini hampir
sama dengan program tahunan yaitu: (1) membaca dan memahami program semester dalam satu
tahun; (2) menganalisis kemampuan dasar dan materi pokok dengan merumuskan indikator
pencapaian hasil belajar siswa pada setiap semester yang diprogram; dan (3) menentukan alokasi
waktu setiap kemampuan dasar berdasarkan kalender pendidikan yang ditetapkan.
Program mingguan merupakan rencana pelajaran yang disusun untuk satu minggu yang
merupakan bagian integral dan program semester untuk setiap mata pelajaran. Perlu dihitung bahwa
pertemuan pada satu semester itu terdiri dari 18 minggu, untuk itu perlu dicermati apakah ada
kemungkinan pada minggu tertentu tidak efektif untuk belajar seperti bertepatan pada hari besar
nasional ataupun hari besar keagamaan, karena itu perlu dihitung secara cermat pertemuan efektif
yang dapat dilakukan dalam satu semester dalam menentukan alokasi waktu penyampaian pokok
bahasan. Sebagai solusinya harus hati-hati dalam merumuskan program harian yaitu rencana
pelajaran yang disusun untuk setiap mata pelajaran yang berlangsung selama satu hari dalam mata
pelajaran tertentu.
Pembelajaran merupakan aktivitas guru dan peserta didik sebagai proses interaksi untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Karena itu, rancangan pembelajaran yang efektif terletak pada dua hal
yaitu: (1) pemilihan stimulus diskriminatif dan penggunaan penguatan. Pemilihan stimulus dalam
pembelajaran di kelas meliputi dua hal penting yaitu diskriminasi stimulus dan generalisasi stimulus,
hal mi merupakan prasyarat penting bagi pembelajar untuk dapat memperoleh tingkah laku verbal
yang lebih rumit; dan (2) memberikan penguatan agar belajar lebih efektif. Apabila seorang guru
akan mengajarkan bahan pengajaran mengenai setiap pokok bahasan kepada siswa-siswanya, maka
guru tersebut harus mengadakan persiapan terlebih dahulu.
Hal ini dimaksudkan agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar, sehingga
tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Pembelajaran di sini merupakan interaksi semua
komponen atau yang terdapat dalam upaya belajar mengajar yang satu sama saling berhubungan
dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Komponen pembelajaran ini antara lain meliputi tujuan
pengajaran yang hendak dicapai, belajar mengajar, media dan alat pengajaran, dan evaluasi belajar
yang standar sebagai alat ukur kemajuan belajar siswa: Tujuan merupakan penjabaran dani tujuan
pendidikan nasional. Tujuan didikan nasional menggambarkan kepribadian ideal seorang warga
negara Indonesia. karena itu, dalam mempersiapkan rencana pembelajaran, yang pertama dilakukan
oleh guru adalah merumuskan tujuan umum pelajaran yang akan dicapai.
Langkah berikutnya adalah menyiapkan pokok-pokok materi dan bahan ajar dalam kegiatan
pembelajaran, menetapkan media dan alat pengajaran yang dapat digunakan memperjelas dan
mempermudah memahami materi pelajaran oleh siswa yang disampaikan oleh guru, kemudian
menyusun alat evaluasi yang akan digunakan dalam menilai seberapa jauh tujuan-tujuan
pembelajaran telah atau belum tercapai. Tujuan pengajaran merupakan titik awal yang sangat penting
dalam pembelajaran, sehingga baik arti maupun jenisnya perlu dipahami betul oleh setiap guru
maupun calon guru. Tujuan pengajaran pakan komponen utama yang terlebih dahulu harus
dirumuskan oleh guru dalam pembelajaran, karena merupakan sasaran dan proses pembelajaran.
Karena itu tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional sering juga makan sasaran belajar.
Sebelumnya tujuan pembelajaran diartikan sebagai suatu upaya perididik atau guru dalam hubungan
dengan tugas-tugasnya membina peserta didik seperti meningkatkan kemampuan baca siswa melatih,
keterampilan tangan siswa, atau menumbuhkan sikap disiplin dan percaya diri dikalangan siswa.
Dewasa ini menurut Ibrahim dan Nana Syaodih 1996:69) tujuan pembelajaran lebih diartikan sebagai
perilaku hasil belajar yang diharapkan dimiliki para siswa setelah mereka menempuh proses
pembelajaran seperti siswa-siswa: (1) memiliki kemampuan membaca yang lebih. baik; (2) bersikap
disiplin dan percaya diri; (3) dapat memecahkan persamaan kuadrat; (4) gemar membuat kerajinan
tangan dan tanah liat; (5) dapat mengemukakan cara-cara yang tepat untuk mencegah timbulnya
penyakit disentri (6) dapat menuliskan contoh-contoh kalimat tunggal dalam bahasa Indonesia; (7)
dan lain sebagainya.
Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa pada waktu yang lalu tujuan pengajaran diartikan
sebagai suatu proses yang dilakukan oleh guru, sedangkan dewasa mi tujuan pembelajaran lebih
diartikan sebagai suatu produk atau hasil yang dicapai oleh siswa. Dengan kata lain, tujuan
pembelajaran pada waktu yang lalu berpusat pada pendidik atau guru, sedangkan tujuan pembelajaran
dewasa mi selalu berpusat pada peserta didik atau siswa. Dengan berpusatnya tujuan pembelajaran
kepada siswa, keberhasilan pembelajaran lebih banyak dinilai dan seberapa jauh perubahan-
perubahan perilaku yang diinginkan telah terjadi pada diri siswa. Tentu saja tugas seorang guru tidak
berakhir jika para siswanya telah memiliki perilaku yang diharapkan sebagai hasil dan proses
pembelajaran yang telah ditempuh.
Tujuan pembelajaran yang berpusat pada siswa dirasakan dapat memberikan petunjuk yang
terarah bagi perkembangan alat evaluasi belajar, memilih materi dan kegiatan pembelajaran,
penetapan media dan alat pengajaran. Dilihat dan kawasan (domain) atau bidang yang dicakup,
tujuan-tujuan .pendidikan dapat dibagi atas:
1) Tujuan Kognitif
Beberapa ahli psikologi dan ahli pendidikan berpendapat, bahwa konsepsi-konsepsi tentang
belajar yang telah dikenal, tidak satupun yang mempersoalkan proses-proses kognitif yang terjadi
selama belajar. Proses-proses semacam itu menyangkut “insight”, atau berpikir dan “reasoning”, atau
menggunakan logika deduktif dan induktif. Walaupun konsepsi-konsepsi lain tentang belajar dapat
diterapkan pada hubungan-hubungan stimulus dan respons yang erbitrer dan tak logis. para ahli
psikologi dan pendidikan mi berpendapat, bahwa lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan belajar
tentang hubungan-hubungan yang logis, rasional, atau non anbitrer.
Pendekatan-pendekatan kognitif tentang belajar memusatkan pada proses perolehan konsep-
konsep, pada sifat dan konsep-konsep, dan pada bagaimana konsep-konsep itu disajikan dalam
struktur kognitif. Walaupun pada teori awan kognitif memikirkan kondisi-kondisi yang
memperlancar pembentukan konsep, penekanan mereka ialah pada proses-proses internal yang
digunakan dalam belajar konsep-konsep. Tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi,
yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Segala upaya yang
menyangkut kegiatan atau aktivitas otak termasuk ke dalam ranah kognitif. Dalam situasi belajar,
seseorang terlibat langsung dalam situasi kognitif dan memperoleh insight untuk memecahkan
masalah: Tujuan-tujuan kognitif adalah tujuan-tujuan yang lebih banyak berkenaan dengan perilaku
dalam aspek berpikir/intelektual.
Menurut Benjamin Bloom ada enam tingkatan dalam domain kognitif yang berlaku
juga .untuk tujuan-tujuan dalam domain ini yaitu: (1) pengetahuan/ingatan (knowledge), aspek ini
mengacu pada kemampuan mengenal dan mengingat materi yang sudahi dipelajari dan yang
sederhana sampai pada hal-hal yang sukar. Pada umumnya unsur pengetahuan ini menyangkut hal-
hal yang perlu diingat seperti bahasan, peristilahan, ide, gejala, rumus-rumus, pasal, hukum, dan,
nama orang, nama tempat, dan lain-lain.
Penguasaan hal tersebut memerlukan hapalan dan ingatan, akan hal-hal yang pernah dipelajari
meliputi fakta, kaidah, prinsip, dan metode yang diketahui. Tujuan dalam tingkatan pengetahuan mi
termasuk kategori paling rendah dalam domain kognitif (2) pemahaman (comprehension), aspek
pemahaman mi mengacu pada kemampuan untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu
diketahui atau diingat dan memaknai arti dari bahan maupun materi yang dipelajari. Pada umumnya
unsur pemahaman ini menyangkut kemampuan menangkap makna suatu konsep dengan kata-kata
sendiri. Pemahaman dapat dibedakan menjadi tiga kategori yakni penerjemahan (translation)
misalnya dari lambang ke anti, penafsiran (interpretation), dan ekstrapolasi (extrapolation) yaitu
menyimpulkan dan sesuatu yang telah diketahui. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk memahami atau
mengerti .apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sering dikomunikasikan, dan dapat
memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkannya dengan hal-hal yang lain. Aspek ini
setingkat lebih tinggi dan pengetahuan sehingga untuk mencapai tujuan dalam tingkatan pemahaman
ini dituntut keaktifan belajar murid yang lebih banyak; (3) penerapan/aplikasi (application), aspek ini
mengacu pada kemampuan menggunakan atau menerapkan pengetahuan atau menggunakan ide-ide
umum, metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori, dan sebagainya yang sudah
dimiliki pada situasi baru dan konkret. yang menyangkut penggunaan aturan, prinsip, dan sebagainya
dalam memecahkan persoalan tertentu. Dalam aplikasi harus ada konsep, teori, hukum, rumus,
kemudian diterapkan atau digunakan dalam memecahkan suatu persoalan. Tujuan dalam aspek
setingkat ini lebih tinggi daripada tujuan dan aspek pemahaman, sehingga kegiatan pembelajaran
yang dituntut pun lebih tinggi (4) analisis (analysis), aspek ini mengacu pada kemampuan mengkaji
atau menguraikan sesuatu bahan atau keadaan ke dalam komponen-komponen atau bagian-bagian
yang lebih spesifik, serta mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lain,
sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dipahami. Kemampuan ini merupakan akumulasi atau
kumpulan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Kemampuan analisis ini dapat di klasifikasikan
menjadi tiga kelompok yaitu analisis unsur, analisis hubungan. dan analisis prinsip-prinsip yang
terorganisasi. Dengan demikian, keaktifan belajar siswa lebih tinggi daripada keaktifan belajar yang
dituntut aspek aplikasi; (5) sintesis (synthesis), aspek mengacu pada kemampuan memadukan
berbagai konsep atau komponen, sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Sintesis
menuntut adanya kriteria untuk menemukan pola dan struktur organisasi yang dimaksud, sintesis
adalah lawan dan analysis. Aspek sintesis ini memerlukan tingkah laku yang kreatif, kemampuan
sintesis (membentuk) relatif lebih tinggi dan kemampuan analisis (menuraikan), sehingga untuk
menguasainya diperlukan kegiatan belajar yang lebih kompleks; dan (6) evaluasi (evaluation), aspek
mi mengacu pada kemampuan memberikan pertimbangan atau penilaian terhadap gejala atau
peristiwa berdasarkan norma-norma atau patokan-patokan berdasarkan kriteria tertentu.
Kriteria yang digunakan dapat bersifat intern yaitu berasal dan situasi atau keadaan yang
dievaluasi itu sendiri, dan kriteria ekstern yaitu kriteria yang berasal dan luar keadaan atau situasi
yang dievaluasi tersebut. Hasil belajar dalam tingkatan ini merupakan basil belajar yang tertinggi
dalam domain kognitif, sehingga memerlukan semua tipe hasil belajar tingkatan sebelumnya yaitu
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analysis, dan sintesis. Dengan demikian, kegiatan belajar yang
dituntut untuk mencapai tujuan dalam tingkatan mi jelas lebih tinggi lagi.
2) Tujuan Afektif
Tujuan-tujuan afektif adalah tujuan-tujuan yang banyak berkaitan dengan aspek perasaan,
nilai, sikap, dan minat perilaku peserta didik atau siswa. Sikap seseorang dapat diramalkan
perubahannya apa bila ia telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri belajar afektif
akan tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran etika
dan moral yang akan meningkatkan kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran lainnya di sekolah.
Menurut Krathwohl, Bloom, dan Manusia bahwa domain afektif berdasar lima kategori yaitu:
(1) penerimaan (receiving), aspek ini mengacu pada kepekaan dan kesediaan menerima dan menaruh
perhatian terhadap nilai tertentu, seperti kesediaan menerima norma-norma disiplin yang berlaku di
sekolah. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif (2) pemberian
respons (responding), aspek mi mengacu pada kecenderungan memperlihatkan reaksi terhadap norma
tertentu. Menunjukkan kesediaan dan kerelaan untuk merespons, memperhatikan secara aktif, turut
berpartisipasi dalam suatu kegiatan, serta merasakan kepuasan dalam merespons, misalnya mulai
berbuat sesuai tata tertib disiplin yang telah diterimanya, aspek mi satu tingkat di atas penerimaan;
(3) penghargaan/penilaian (valuing), aspek mi mengacu pada kecenderungan menerima suatu norma
tertentu, menghargai suatu norma, memberikan penilaian terhadap sesuatu dengan memposisikan dii
sesuai dengan penilaian itu, dan mengikat diri pada suatu norma. Siswa misalnya, telah
memperlihatkan perilaku disiplin yang menetapkan dan waktu ke waktu. Tujuan-tujuan dalam aspek
ini dapat diklasifikasikan sebagai “sikap” dan “apresiasi”, aspek mi berada satu tingkat diatas
pemberian respons; (4) pengorganisasian (organization), aspek mi mengacu pada proses membentuk
konsep tentang suatu nilai serta menyusun suatu sistem nilai-nilai dalam dininya. Pada taraf mi
seseorang mulai memilih nilai-nilai yang ia sukai, misalnya tentang norma- norma disiplin tersebut,
dan menolak nilai-nilai yang lain, aspek mi satu tingkat di atas penghargaan; dan (5) karakterisasi
(characterization) yaitu pembentukan pola hidup, aspek ini mengacu pada proses mewujudkan nilai-
nilai dalam pribadi sehingga merupakan watak, dimana norma itu tercermin dalam pribadinya. Dalam
taraf ini perilaku disiplin, misalnya betul-betul telah menyatu dalam dininya, aspek ini merupakan
tingkat paling tinggi dani domain afektif.
Belajar afektif berbeda dengan belajar intelektual dan ketrampilan atau disebut belajar
kognitif, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi
khusus yang harus dipelajari, karena lebih menekankan segi penghayatan dan apresiasi. Setiap orang
memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Nilai-nilai yang
demikian mi ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit, nilai juga
bersifat multi dimensional ada yang relatif dan ada yang absolut. sifat-sifat yang demikian inilah yang
menjadi penting dalam merumuskan tujuan belajar afektif.
3) Tujuan Psikomotor
Ranah psikomotorik adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau
kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Tujuan-tujuan
psikomotor adalah tujuan-tujuan yang banyak berkenaan dengan aspek keterampilan motorik atau
gerak dan peserta didik atau siswa. Hasil belajar psikomotor mi sebenarnya merupakan kelanjutan
dan hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (kecenderungan untuk
berperilaku).
Menurut Elizabeth Simpson domain psikomotor terbagi atas tujuh kategori yaitu: (I) persepsi
(perception), aspek mi mengacu pada penggunaan alat drior untuk memperoleh kesadaran akan suatu
objek atau gerakan dan mengalihkannya ke dalam kegiatan atau perbuatan. Dalam bermain
badminton misalnya, siswa menggunakan indera penglihatan, pendengaran, dan sentuhan untuk dapat
menyadari unsur-unsur fisik dan permainan tersebut. Aspek ini merupakan tingkatan yang paling
rendah dalam domain psikomotor: (2) kesiapan (set), aspek ini mengacu pada kesiapan memberikan
respons secara mental. fisik, maupun perasaan untuk suatu kegiatan. Kesiapan fisik dan mental
misalnya, pada saat seseorang sedang mengambil ancang-ancang sebelum melakukan “service” pada
permainan badminton, aspek mi berada satu tingkat diatas persepsi: (3) respons terbimbing (guided
response), aspek mi mengacu pada pemberian respons perilaku, gerakan-gerakan yang diperlihatkan
dan didemonstrasikan sebelumnya. Siswa-siswa yang memperhatikan pukulan-pukulan service dalam
permainan badminton dengan cara tertentu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diperlihatkan oleh
gurunya. merupakan salah satu contoh dan respons terbimbing, aspek ini berada satu tingkat di atas
kesiapan: (4) mekanisme (mechanical response), aspek ini mengacu pada keadaan dimana respons
fisik yang dipelajari telah menjadi kebiasaan. Siswa yang selalu melakukan pukulan service dalam
permainan badminton dengan cara-cara tertentu sesuai dengan apa yang dipelajarinya, merupakan
contoh dan aspek mekanisme. aspek ini berada satu tingkat di atas respons terbimbing; (5) respons
yang kompleks (complex response), aspek ini mengacu pada pemberian respons atau penampilan
perilaku atau gerakan yang cukup rumit dengan terampil dan efisien. Siswa yang terampil melakukan
pukulan service secara akurat. Tanpa membuat kesalahan selama permainan, merupakan salah satu
contoh respons yang kompleks, aspek mi berada satu tingkat diatas mekanisme; (6) penyesuaian pola
gerakan atau adaptasi (adjustment), aspek ini mengacu pada kemampuan menyesuaikan respons atau
perilaku gerakan dengan situasi yang baru. Setelah menguasai permainan badminton dengan lawan-
lawan tertentu. siswa dapat menerapkan dan menggunakan keterampilan yang telah dikuasainya
dalam menghadapi lawan-lawan yang lain aspek ini berada satu tingkat diatas respons yang
kompleks; dan (7) organisasi, aspek ini mengacu pada kemampuan menampilkan pola-pola gerak
gerik yang baru, dalam arti menciptakan perilaku dan gerakan yang baru dilakukan atas prakarsa atau
inisiatif sendiri. Setelah cukup lama belajar dan berlatih badminton, siswa dapat menciptakan cara
pukulan service yang unik berbeda dan yang lain (original), aspek mi menduduki tingkatan yang
paling tinggi dalam domain psikomotor (Ibrahim dan Nana Syaodih, 1996:77).
Di samping cara-cara penggolongan di atas, terdapat pula cara-cara penggolongan yang
dikemukakan oleh ahli-ahli yang lain. Dengan memperhatikan penggolongan tujuan-tujUan tersebut,
diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang lingkup dan tingkatan tujuan4UJU pengajaran yang
dapat dikembangkan dalam penyelenggaraan pembelajaran. Karena itu perencanaan program
pembelajaran baik dalam penyusunan bahan, penentuan metode dan pendekatan, penentuan media
dan perlengkapan pengajaran, dan penentuan alokasi waktu belajar mengacu pada penggolongan
tujuan-tujUan tersebut yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
b. Perencanaan Materi dan Bahan-Bahan Pengajaran
Untuk mencapai hasil yang memuaskan dalam penyajian bahan pembe1ajaran telah diadakan
penelitian yang menyatakan bahwa pengalaman praktis para guru selama beberapa generasi dapat
dibuktikan bahwa, prosedur pemanfaatan alat dan bahan pengajaran haruslah: (1) pemeriksaan awal,
bahan pengajaran yang akan digunakan harus diperiksa lebih dahulu, supaya guru dapat menentukan
apakah bahan tersebut dapat berguna bagi siswa dalam mencapai tujuan; (2) persiapan lingkungan,
dimanapun penyajian bahan pengajaran akan berlangsung, semua perlengkapan harus ditempatkan
pada tempat yang baik dan benar. Hal-hal penting yang pendukung suasana-belajar harus dipikirkan
betul-betul. Dalam menggunakan media yang memakai tenaga listrik dalam penyampaian bahan
peralatan harus dicek apakah semua peralatan dapat bekerja dengan baik, dan guru harus mengatur
peralatan tersebut sedemikian rupa sehingga semua siswa dapat melihat dan mendengar dengan baik;
(3) persiapan siswa, dan pengalaman dan penelitian dapat membuktikan bahwa apa yang dapat
dipelajari dan sesuatu sangat tergantung dan “bagaimana para siswa dipersiapkan” untuk menerima
bahan dan materi pelajaran yang disajikan. Dan segi pendidikan, guru harus mempunyai pandangan
yang luas tentang bahan yang diajarkan dan bagaimana cara menyajikan bahan tersebut, topik harus
rasional dan ada motivasi. Bagaimana siswa tetap merasa tertarik dan selalu memusatkan perhatian
mereka kepada bahan yang disajikan oleh guru; dan (4) penyajian bahan pengajaran, suatu hal yang
harus dipersiapkan oleh guru dan ia harus mampu melaksanakannya ialah, menyajikan bahan
pelajaran. Sebagaimana seorang pemain sandiwara menarik perhatian penonton, demikian pula
seorang guru harus mampu menarik perhatian dalam kelas.
Bukan dalam arti menarik perhatian karena pakaiannya yang seronok, akan tetapi karena
penguasaannya terhadap bahan dan materi pelajaran yang ia sajikan, metode yang digunakan,
keterampilan memanfaatkan media sampai kepada penggunaan bahasa yang baik dan benar. Materi
dan bahan pelajaran dirumuskan setelah penentuan TIU dan TIK serta penyusunan alat eva1uasi
belajar. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran (1) materi
pelajaran hendaknya sesuai dengan atau dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional; (2) materi
pelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan siswa pada umumnya; (3)
materi pelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan; dan (4) materi
pelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Materi dan bahan
pengajaran ditetapkan dengan mengacu pada tujuan-tujuan instruksional yang ingin dicapai. Materi
yang diberikan bermakna bagi para siswa, dan merupakan bahan yang betul-betul penting, baik
dilihat dan tujuan yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk mempelajari bahan berikutnya.
c. Perencanaan Alat dan Media Pengajaran
Dalam membahas kedudukan media pengajaran dalam perencanaan pengajaran, diperlukan
pengetahuan tentang merumuskan dan menganalisis tujuan pengajaran, menetapkan prosedur, jenis
dan alat penilaian. Selanjutnya menetapkan langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam
penyajian dan mempelajari bahan pelajaran secara sistematik dan teratur. Pengetahuan tentang media
pengajaran sangat berguna untuk menyusun perencanaan program pengajaran. Karena program
pengajaran adalah seluruh rencana kegiatan yang saling terkait untuk mencapai suatu tujuan
pengajaran.
Dengan mengenal media pengajaran dan memahami cara-cara penggunaannya akan sangat
membantu tugas para guru dalam meningkatkan efektivitas proses pembelajaran. Jerome Bruner
(1960) membagi alat instruksional dalam empat macam menurut fungsinya yaitu:
1. Alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”, yaitu menyajikan bahan kepada murid-murid
yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim di sekolah.
Ini dapat dilakukan melalui film, televisi, rekaman suara, dan lain-lain “vicarious” berarti sebagai
substitusi untuk pengganti pengalaman yang langsung.
2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala,
misalnya model molekul atau alat pemafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi, juga
program yang memberikan langkah untuk memahami prinsip, atau struktur pokok.
3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film tentang
alam yang memperlihatkan perjuangan untuj( hidup, untuk memberi perhatian tentang suatu ide
atau gejala.
4. Alat automatisasi seperti “teaching mechine” atau pelajaran berprograma menyajikan suatu
masalah dalam urutan yang teratur dan memberi balikan atau feedback tentang respons murid.
Alat ini dapat meringankan beban guru, alat ini tidak akan dapat menggantikannya seperti halnya
buku. Selain itu alat mi segera memberikan feedback dan memberi jalan untuk memperbaiki
kesalahan yang dibuat oleh murid.
Telah banyak alat maupun media yang tersedia bagi guru, namun yang penting dalam
merencanakan pembelajaran dan mengimplementasikannya dalam mengajar ialah bagaimana
menggunakan alat-alat media pendidikan ini sebagai suatu sistem yang terintegrasi dalam
pembelajaran. Tugas seorang pendidik adalah tugas profesional, selalu menghadapi menjadi pendidik
yang kreatif, dinamis, kritis dan ilmiah. Sebelum ia menentukan bahan pelajaran, ia harus
menentukan tujuan instruksional yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, kemampuan apa
yang akan dikembangkan, menyusun kegiatan belajar mengajar, untuk mi ia harus mampu
menentukan media dan metode pengajaran yang tepat.
Banyak media pendidikan sekarang ini telah diprogram melalui media masa, kenyataan ini
jelas menuntut seorang pendidik untuk serba bisa menyerap segala macam informasi, khususnya
informasi yang relevan dengan bidang studinya, demi perkembangan lebih lanjut. Sebagai
konsekwensi perkembangan media pendidikan yang pesat dewasa ini, pendidik dituntut untuk
mampu memanfaatkan media pendidikan yang tersedia di sekolah dan lingkungan.
Sebagai pendidik dalam bidang studi apa saja, ia harus mampu pula menggunakan lingkungan
sekitar sebagai media belajar. Pendidik di zaman sekarang seharusnya mampu memanfaatkan media
belajar yang sangat kompleks seperti video, televisi dan film, di samping media pendidikan yang
sederhana. Agar supaya proses pembelajaran tidak mengalami kesulitan maka masalah perencanaan,
pemilihan dan pemanfaatan media perlu dikuasai dengan baik oleh guru. Bahkan tidak mustahil dapat
mengakibatkan kegagalan mencapai tujuan, bila tidak dikuasai sungguh-sungguh oleh guru.
d. Perencanaan Evaluasi Pengajaran
Maksud dan tujuan dan evaluasi adalah, menentukan hasil yang dicapai oleh siswa.
Bagaimanapun, penetapan proses pembelajaran secara keseluruhan, termasuk tujuan yang akan
dicapai oleh siswa, media pembelajaran, teknik pendekatan dalam pembelajaran, balikan sifat efektif
seorang guru memerlukan evaluasi. Dimana evaluasi adalah suatu proses yang berlangsung secara
berkesinambungan. Evaluasi dilakukan sebelum, selama, dan sesudah suatu proses pembelajaran.
Evaluasi sebelum proses pembelajaran, misalnya karakteristik siswa, kemampuan siswa, metode dan
materi pembelajaran yang digunakan. Evaluasi selama proses pembelajaran ialah evaluasi yang
digunakan untuk melacak dan memperbaiki masalah belajar mengajar serta kesulitannya, baik dalam
penyampaian materi maupun strategi pendekatan yang digunakan.
Feedback atau umpan balik diberikan melalui tes-tes formatif mula-mula bahan pelajaran
dibagi dalam satuan-satuan pelajaran, misalnya meliputi-meliputi bahan pelajaran satu bab atau
bahan yang dapat dikuasai dalam waktu satu atau dua minggu. Evaluasi pencapaian hasil belajar
siswa, dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Tes formatif bersifat diagnotis yang serentak
menunjukkan kemajuan atau keberhasilan anak, tes formatif ini bermacam-macam fungsinya.
Evaluasi formatif dapat diadakan setiap saat, dalam arti pada saat penyajian pelajaran, guru setiap
saat dapat berhenti sebentar. untuk mengajukan pertanyaan yang menyangkut bahan yang baru
disajikan. Tujuan evaluasi formatif untuk mengetahui sampai sejauh mana siswa mampu menerima
apa yang disajikan atau tidak, sehingga guru dapat mengetahui apakah materi tersebut sesuai dengan
kemampuan siswa untuk menerima atau terlalu mudah. atau terlampau sulit.
Dengan demikian mudah bagi guru untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh
para siswa. dapat mengadakan penekanan-penekanan pada bagian tertentu serta pengayaannya.
Fungsi utama dan evaluasi formatif adalah mengumpulkan data dan informasi untuk memperbaiki
hasil dan suatu kegiatan pembelajaran. Tes formatif itu menjamin bahwa tugas pelajaran tertentu
dikuasai sepenuhnya sebelum beralih kepada tugas berikutnya Bagi murid yang masih kurang
menguasai bahan pelajaran tes formatif merupakan alat untuk mengungkapkan dimana sebenarnya
letak kesulitannya. Jadi tes formatif adalah alat untuk mendiagnosis kelemahan, kesalahan dan
kekurangan murid dalam menguasai materi pelajaran, sehingga ia dapat memperbaikinya.
Di samping menunjukkan kekurangan murid perlu pula diberikan petunjuk bagaimana
caranya ia dapat memperbaikinya. Karena itu tes formatif merupakan bagian yang integral dan proses
belajar. Evaluasi formatif mi diadakan sebagai suatu proses yang konstruktif dan positif. Pada saat
yang sama guru harus pula menentukan apakah pekerjaan tepat guna atau tidak. Untuk mencapai hal
tersebut, maka evaluasi sumatif harus diadakan.
e. Penyusunan Satuan Pelajaran (Model-Model Lesson Plan)
Satuan pelajaran adalah program belajar mengajar dalam satuan terkecil memuat tujuan
instruksional, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode dan alat bantu mengajar, serta
evaluasi kemajuan hasil belajar. Pada dasarnya yang menjadi isi dan program semester adalah yang
tercantum dalam GBPP, tetapi beberapa pengaturan kembali serta perluasan dan kelengkapan
sehingga membentuk suatu program kerja pembelajaran. Adapun unsur-unsur yang biasanya
terkandung dalam program pembelajaran pada satu semester tertentu meliputi:
1) Tujuan Pembelajaran
Tujuan adalah arah pembelajaran yang dicantumkan dalam program Semester, tujuan-tujuan
tersebut masih bersifat umum yang diangkat dari GBPP, yaitu tujuan kurikuler dan tujuan
instruksional umum. Sedangkan tujuan instruksional khusus disebut sebagai sasaran belajar siswa,
sebab rumusan tujuan tersebut diorientasikan bagi kepentingan siswa.
Tujuan instruksional umum dan khusus dijabarkan dan kurikulum yang berlaku secara resmi
di sekolah mengacu pada kondisi belajar yang diperlukan. Acuan pada kurikulum yang berlaku
tersebut berkaitan erat dengan bahan ajar yang baru dijabarkan oleh guru dalam bentuk materi
pelajaran. Dalam penyusunan perencanaan pembelajaran sasaran belajar siswa harus
memperhitungkan pengetahuan awal dan kebutuhan belajar siswa, dilihat dan sudut siswa bisa saja
siswa yang mempelajari mata pelajaran yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Sedangkan dan segi
guru, tujuan pembelajaran merupakan pedoman tindak mengajar dengan acuan yang berbeda.
Keberhasilan belajar siswa berarti tercapainya tujuan belajar siswa dan juga tercapainya tujuan
instruksional, hal ini merupakan prasyarat bagi program belajar selanjutnya. Dianjurkan agar tujuan
dirumuskan dalam bentuk kelakuan yang dapat diamati.
Karena itu, guru harus merumuskan dengan jelas tujuan apa yang ingin dicapai dengan
pelajaran itu. Tujuan mi tidak hanya mengenai bahan yang harus dikuasai, akan tetapi juga
keterampilan, tujuan emosional, dan sosial. Tujuan belajar untuk memenuhi kebutuhan dikemudian
hari, sangat penting artinya bagi siswa. Misalnya, siswa mempunyai semangat yang kuat untuk
belajar dengan harapan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, atau siswa lainnya
berharap setelah tamat dapat diterima bekerja untuk memenuhi nafkah hidupnya. Dengan demikian
dapat ditegaskan bahwa siswa belajar didorong oleh keingintahuan dan keinginan untuk memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan tujuan mengajar pada prinsipnya untuk mengadakan perubahan yang
dikehendaki dalam tingkah laku sebagai hasil belajar bagi siswa. Pengajaran dapat membuat seorang
siswa menjadi orang lain, dalam hal apa yang ia lakukan dan yang dapat dicapainya. Perubahan mi
biasanya dilakukan oleh guru dengan menerapkan strategi menggunakan pendekatan belajar, metode
mengajar, media pengajaran, dan kelengkapan pengajaran lainnya yang memungkinkan dapat
dilakukan.
Dalam pengembangan kurikulum dan pengajaran, dibedakan antara tujuan-tujuan
instruksional umum (TIU) dan tujuan-tujuan instruksional khusus (TIK). Salah satu langkah penting
yang perlu dilakukan guru dalam kegiatan perencanaan pengujaran ialah menetapkan dan
merumuskan TIK. TIU dapat dilihat di dalam GBPP, sedangkan TIK harus dirumuskan sendiri oleh
guru mata pelajaran yang bersangkutan berdasarkan TIU berisi sejumlah kemampuan yang lebih
spesifik yang dijabarkan dalam bahan atau materi ajar untuk menunjang pencapaian kemampuan
yang terkandung dalam TIU.
Susunan kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam rumusan TIK yang dijabarkan dan
TIU, mengandung beberapa sifat antara lain: (1) bertingkat atau hierarkikal, dimana kemampuan-
kemampuan tersebut tersusun dan yang lebih sederhana atau mudah ke yang lebih kompleks atau
sulit, dan pada umumnya kemampuan yang lebih sederhana merupakan prasyarat untuk menguasai
kemampuan yang lebih kompleks, misalnya pengertian tentang penjumlahan merupakan prasyarat
untuk mempelajari dan memahami perkalian; (2) setara, atau merupakan kelompok (cluster) dimana
kemampuan-kemampuan tersebut mencakup hal-hal yang sejenis tanpa mengandung hubungan
prasyarat; (3) berurutan atau prosedural, dimana kemampuan yang satu merupakan kelanjutan dan
kemampuan yang lain secara berurutan, tetapi tidak merupakan prasyarat; dan (4) kombinasi dan dua
atau lebih sifat tersebut di atas.
Adanya sifat bertingkat, setara, dan berurutan dalam susunan kemampuan-kemampuan yang
terkandung dalam rumusan TIK perlu diperhatikan, baik dalam menelapkan tata ruang TIK maupun
proses belajar untuk mencaparnya. Sebagai kemampuan-kemampuan yang dijabarkan dan TIU, TIK
memiliki ciri-ciri: (1) spesifik atau khusus, dalam anti bahwa perilaku yang terkandung di dalamnya
sudah dibatasi lingkupnya; (2) operasional, dalam anti bahwa perilaku yang terkandung di dalamnya
konkret dan dapat diamati; dan (3) dapat diukur, dalam anti bahwa terwujud tidaknya perilaku yang
dimaksud dalam diri siswa dapat diukur melalui alat ukur yang ada.
Langkah pertama yang harus dibuat guru dalam merencanakan pengajaran untuk suatu pokok
bahasan dalam kurikulum adalah merumuskan TIK yang menjabarkan dan TIU yang ingin dicapai
melalui pokok bahasan yang bersangkutan. Mengingat TIU adalah tujuan yang penting untuk dicapai
oleh para siswa, perlu diupayakan agar TIK yang dijabarkan daripadanya betul-betul mencerminkan
apa yang dimaksud oleh TIU tersebut. Untuk itu dalam menjabarkan TIK dari TIU perlu ditempuh
prosedur kerja sebagai berikut: .menelaah TIU, menentukan sub kemampuan, dan merumuskan TIK.
Penting tidaknya suatu kemampuan serta perilaku awal siswa dipertimbangkan dalam merumuskan
TIK.
2) Pokok Bahasan
Dalam membuat perencanaan pembelajaran untuk setiap pokok bahasan, guru dapat memilih
cara mengajar berdasarkan teori-teori belajar yang sesuai dengan materi pelajaran yang tertuang
dalam pokok bahasan. Sebelum menuliskannya dalam perencanaan pembelajaran lebih dulu
dipertimbangkan, apakah cara itu cocok untuk mengajarkan pokok bahasan tersebut. Pokok atau
satuan bahasan menunjukkan judul materi pelajaran yang akan dipelajari atau diajarkan dalam suatu
semester tertentu. Pokok bahasan tersebut diambil dan GBPP tanpa atau dengan beberapa
penyesuaian dan pengaturan kembali oleh guru yang bersangkutan. Pokok bahasan mi dielaborasi
sedemikian rupa menjadi bahan ajar yang disusun dalam bentuk materi pelajaran diuraikan mengacu
pada alokasi waktu yang tersedia.
Jadi, pokok bahasan menjadi dasar pengajaran dan menggambarkan ruang lingkupnya. Pokok
bahasan untuk SD, biasanya lebih sederhana atau lingkupnya tidak terlalu luas dibanding pokok
bahasan SLTP dan sekolah menengah. Perencanaan pengajaran menyusun pokok bahasan dan sub
pokok bahasan dalam satu semester, dengan perhitungan dapat dipenuhi dalam satu semester dengan
kualitas yang dipersyaratkan. Pada jenjang pendidikan tertentu dan kelas tertentu ada yang
memadukan berbagai disiplin ilmu seperti bahasa Inggris dengan seni, sosiologi dan ekonomi, hukum
dan politik, kimia dan biologi, dan sebagainya. Pokok bahasan yang campuran tersebut penyusunan
perencanaan pengajarannya perlu dibuat bersama para pakar yang berasal dan berbagai disiplin ilmu
(interdiciplinary). Dalam hal ini mereka akan mempertimbangkan berapa banyak pokok bahasan
yang akan diajarkan, sejauh mana luas lingkup dan kedalamannya. Sudah tentu pokok bahasan itu
disesuaikan dengan jenis sekolah, kelas, waktu, karakteristik siswa, keterbatasan biaya, fasilitas,
sumber pengajaran, tenaga administrasi dan hubungannya dengan pelajaran lain.
3) Metode Mengajar
Sekalipun masih bersifat tentatif atau sementara, dalam perencanaan pembelajaran program
satu semester hendaknya dicantumkan pula metode-metode mengajar yang direncanakan akan
digunakan dalam mengajarkan setiap pokok bahasan yang telah ditetapkan. Metode pengajaran
banyak ditentukan oleh tujuan yang dirumuskan oleh guru. Bila topik yang akan dibahas itu luas
seperti dalam pengajaran unit, berbagai ragam metode akan perlu digunakan. Biasanya metode
mengandung unsur-unsur: (1) uraian tentang apa yang akan dipelajari (2) diskusi dan pertukaran
pikiran; (3) kegiatan-kegiatan yang menggunakan berbagai alat instruksional, laboratorium, dan lain-
lain; (4) kegiatan-kegiatan dalam lingkungan sekitar sekolah seperti kunjungan, kerja lapangan,
eksplorasi, dan penelitian; (5) kegiatan-kegiatan dengan menggunakan berbagai sumber belajar
seperti buku perpustakaan, alat audio visual. dan lain-lain; dan (6) kegiatan kreatif seperti drama, seni
rupa, musik, pekerjaan tangan dan sebagainya.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa metode mengajar adalah cara yang digunakan oleh
guru dalam mengorganisasikan kelas pada umumnya atau dalam menyajikan bahan pelajaran pada
khususnya. Dalam berbagai kegiatan dalam metodologi pembelajaran itu murid-murid berlatih untuk
mengadakan observasi yang sistematis, membuat catatan, dan membuat laporan tertulis. Para siswa
dapat pula belajar menggunakan berbagai alat audio visual, menggunakan perpustakaan, mengadakan
wawancara dengan menggunakan tape recorder, menggunakan camera untuk melengkapi observasi
dan laporan.
4) Media dan Sumber
Media pendidikan lazim disebut sebagai alat-alat belajar atau mengajar. Metode yang tepat
untuk bahan pelajaran tertentu dapat lebih efektif jika disertai dengan media pendidikan yang tepat
pula. Pada dasarnya sesuai dengan perkembangan siswa sebagai anak, pengajaran lebih
mengutamakan sifat konkret, sehingga alat mengajar pun dimulai pemilihannya dan sifat itu seperti
yang digambarkan oleh Edgar Dale pada gambar tampak sebuah kerucut yang bertingkat sifatnya
mulai dan yang paling abstrak sampai yang paling konkret jika dilihat dan atas ke bawah.
Kerucut pengalaman Edgar Dale ini memberi arti bahwa dalam menggunakan media
pendidikan mula-mula berupaya dengan media yang paling konkret, yaitu Direct Purposeful
Experiences atau pengalaman sengaja yang langsung. Demikian selanjutnya sehingga bagi peserta
didik pada tingkatan perguruan tinggi. yang telah mampu menjelajahi dunia abstrak media yang
digunakan dapat yang paling abstrak yaitu verbal symbol atau lambang kata.
Pendidikan yang disertai media yang tepat, selain memudahkan siswa dalam mengalami.
memahami, mengerti, dan melakukan juga menimbulkan motivasi yang lebih kuat ketimbang semata-
mata dengan menggunakan kata-kata yang abstrak. Dalam merencanakan pengajaran, di samping
menentukan media yang akan digunakan, juga menetapkan alat pengajaran yang akan dipakai.
Untuk setiap pokok bahasan di samping metode mengajar dicantumkan pula media, alat
bantu, dan buku sumber yang digunakan dalam pembelajaran. Pencantuman buku sumber meliputi
judul buku, idea dan topik bahasan buku, nama penulis, tahun terbit, dan juga penerbit, dalam
perencanaannya guru menjelaskan bagian-bagian yang gunakan dalam pembelajaran sesuai pokok
bahasan yang dipilih. Guru dan lembaga pendidikan biasanya mencari media yang murah dan
ekonomis, sehingga media yang paling ampuh tetapi mahal jarang digunakan.
5) Evaluasi Pengajaran
Dalam perencanaan pengajaran yang tertuang dalam satuan pelajaran, evaluasi selalu
memegang peranan penting dalam segala bentuk pengajaran yang efektif. Dengan evaluasi diperoleh
balikan atau feedback yang dipakai untuk memperbaiki dan merevisi bahan atau metode pengajaran,
atau untuk menyesuaikan bahan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Guru menilai hingga
manakah pengetahuan yang diperoleh dan transformasi dapat dimanfaatkan untuk memahami hasil
belajar. Dalam program semester tersebut sebaiknya dapat dilihat kegiatan-kegiatan evaluasi belajar
yang dilaksanakan di luar pokok babasan masing-masing seperti tes sumatif dan evaluasi formatif
Evaluasi pembelajaran berguna untuk mengetahui hingga manakah siswa telah mencapai tujuan-
tujuan pelajaran yang telah ditentukan dalam perencanaan pembelajaran.
6) Alokasi Waktu
Untuk setiap pokok bahasan dan kegiatan evaluasi dalam satu semester bersangkutan, perlu
dicantumkan jumlah waktu yang dialokasikan, sehingga sejak awal sudah dapat diketahui apakah
program semester yang dibuat itu dapat diselesaikan pada waktunya. Jika melebihi waktu yang
tersedia, maka perlu diadakan penyesuaian-penyesuaian dalam materi maupun alokasi waktu. Isi dan
alokasi waktu setiap satuan pelajaran tergantung pada luas dan sempitnya pokok bahasan yang
dicakupnya. Pokok bahasan yang membutuhkan waktu 2 jam pelajaran, mungkin selesai diajarkan
dalam satu pertemuan saja. Pokok bahasan yang membutuhkan .waktu 4 jam pelajaran, perlu
disamping dalam dua pertemuan penyajian,demikian seterusnya.
Pada bagian awal format program pembelajaran sebaiknya dituliskan judul program,
semester, kelas, sekolah, dan nama mata pelajaran. Perencanaan program pembelajaran suatu
semester tersebut dapat disusun seperti berbentuk matriks sesuai ketentuan yang diberikan oleh
sekolah bersangkutan. Program semester dijadikan pegangan untuk mengajar di kelas, program
semester ini masih perlu dijabarkan dalam program jangka pendek dalam bentuk jumlah pertemuan
mengacu pada pokok bahasan yang ditetapkan sebelumnya. Perencanaan program ini pada dasarnya
memuat kegiatan mingguan dan harian dalam program satuan pelajaran.
3. Refleksi Penyusunan Perencanaan Pengajaran
Kekuatan dan kelemahan perencanaan program pengajaran yang telah disusun guru biasanya
dapat diketahui dengan lebih jelas, setelah program tersebut dilaksanakan di kelas dan dievaluasi
dengan seksama Hasil yang diperoleh dan evaluasi program pembelajaran tersebut, memberi
petunjuk kepada guru, tentang bagian-bagian mana dan perencanaan pembelajaran tersebut yang
berhasil dilaksanakan, dan mana pula yang tidak berhasil dalam upaya mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Setelah pembelajaran dilaksanakan, maka guru kembali meneliti perencanaan pelajaran
yang memuat pokok bahasan dan sub pokok bahasan, alokasi waktu, tujuan instruksional umum dan
khusus, materi dan bahan pelajaran, metode dan kegiatan belajar mengajar, media dan alat
pengajaran, sumber dan bahan pengajaran, dan evaluasi kemajuan belajar siswa.
Jika komponen-komponen tersebut telah memiliki kekuatan dan dapat membelajarkan anak,
maka oleh guru perlu dipertahankan dan juga diteruskan. tetapi jika di antara komponen tersebut
mempunyai titik lemah atau kurang mendukung keberhasilan belajar anak, maka guru perlu
melakukan perbaikan seperlunya. Guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam proses dan
misi pendidikan secara umum, serta proses pembelajaran secara khusus, sangat rentan dengan
berbagai persoalan yang mungkin muncul. Hal ini dapat terjadi, jika sejak awal rencana pembelajaran
dan proses pembelajaran ini tidak direncanakan secara matang dan arif, perencanaan pembelajaran
yang tidak matang akan berimplikasi pada gagalnya sistem pembelajaran. Oleh karena itu, sejak awal
guru sudah membuat perencanaan pembelajaran yang matang dan teruji, sehingga muara
pembelajaran adalah kualitas belajar ditandai dengan hasil evaluasi kemajuan belajar siswa dengan
tes yang standar.
BAB V
MODEL MENGAJAR DALAM PEMBELAJARAN
Menyampaikan bahan pelajaran berarti melaksanakan beberapa kegiatan, tetapi kegiatan itu
tidak akan ada gunanya jika tidak mengarah pada tujuan tertentu. Artinya seorang pengajar harus
mempunyai tujuan. dalam kegiatan pengajarannya, karena itu setiap pengajar menginginkan
pengajarannya dapat diterima sejelas-jelasnya oleh para peserta didiknya. Untuk mengerti suatu hal
dalam diri seseorang, terjadi suatu proses yang disebut sebagai proses belajar melalui model-model
mengajar yang sesuai dengan kebutuhan proses belajar itu. Melalui model mengajar itu pengajar
mempunyai tugas merangsang serta meningkatkan jalannya proses belajar. Untuk dapat
melaksanakan tugas itu dengan baik, pengajar harus mengetahui bagaimana model dan proses
pembelajaran itu berlangsung.
Model dan proses pembelajaran akan menjelaskan makna kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh pendidik selama pembelajaran berlangsung. Setiap pengajar atau pendidik akan alasan-alasan
mengapa ia melakukan kegiatan [dalam pembelajaran dengan menentukan sikap tertentu. Rooijakkers
(2003:13) mengemukakan bilamana pengajar tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam
pikiran peserta didiknya untuk mengerti sesuatu, kiranya dia pun tidak akan dapat memberi dorongan
yang tepat kepada mereka yang sedang. Para murid akan mudah melupakan pelajaran yang
diterimanya. jika pengajar tidak memberi penjelasan yang benar dan menyenangkan.
Dalam pikiran murid tidak terjadi gerak proses belajar, kalau hal baru dalam materi pelajaran
itu disajikan secara tidak jelas. Sejalan dengan hal itu Rooijakkers (2003:15) menjelaskan bahwa
keberhasilan seorang pengajar akan terjamin, jika pengajar itu dapat mengajak para muridnya
mengerti suatu masalah melalui semua tahap proses belajar, karena dengan cara begitu murid akan
memahami hal yang diajarkan. Desigan begitu dalam proses pembelajaran pengajar harus dapat
menggunakan model-model dan pendekatan mengajar yang dapat menjamin pembelajaran berhasil
sesuai yang direncanakan. Model mengajar dan proses belajar dalam pembelajaran merupakan
masalah yang kompleks, karena itu bagi para guru dan tenaga kependidikan lainnya perlu
memperkaya pemahamannya yang berkaitan dengan model mengajar.
A. Arti Model Mengajar dalam Pembelajaran
1. Problematika dan Kasus Model Pengajaran
Pengalaman di antara pengajar dalam proses pembelajaran menunjukkan, bahwa ada pada
beberapa sekolah model pengajarannya mengkondisikan muridnya disibukkan oleh kegiatan-kegiatan
yang kurang perlu seperti mencatat bahan pelajar akan yang sudah ada dalam buku menceritakan hal-
hal yang tidak perlu, dan sebagainya. Sering pula ditemukan waktu kontak antara guru dengan murid
tidak dimanfaatkan secara baik, guru lebih suka memaksakan kehendakinya dalam belajar muridnya
sesuai keinginannya dan ada juga guru untuk memudahkan kerjanya meminta salah seorang
muridnya untuk mencatat di papan tulis kemudian murid lainnya mencatat apa yang dicatat dipapan
tulis dan kegiatan-kegiatan lainnya yang kurang perlu dan sebagainya.
Sedangkan guru yang bersangkutan istirahat di ruang guru atau duduk di kelas asik dengan
kegiatannya sendiri. Model mengajar seperti mi tentu saja dipandang tidak mendidik seperti di
kemukakan A. S. Neil (1973) menuturkan bahwa “saya percaya bahwa memaksa apapun dengan
kekuasaan adalah salah, seorang anak seharusnya tidak melakukan apapun sampai ia mampu
berpendapat dengan mengemukakan pendapatnya sendiri” (Hobson dalam Palmer, 2003:1). Pendapat
Neil jp memberi gambaran bahwa para siswa diminta untuk berpikir dan belajar tanpa tekanan, tetapi
bimbingan dan arahan yang menganut prinsip-prinsip kemerdekaan dan demokrasi.
Dilihat dan segi pemanfaatan sumber daya, sering kali sarana dan prasarana proses belajar
mengajar di kelas, laboratorium, perpustakaan, dan di peraktek kerja dengan berbagai alasan belum
dimanfaatkan secara baik. Kelengkapan dan fasilitas belajar tidak memadai dengan alasan anggaran
yang tidak memadai, diantara guru tidak terampil menggunakannya, manajemen sekolah yang kaku,
dan sebagainya. Masalah lainnya adalah kepala sekolah tidak memanfaatkan kesempatan yang ada
untuk melakukan evaluasi tentang program pembelajaran. Kepala sekolah tersebut membiarkan para
guru menggunakan model mengajar yang telah lama dilaksanakan atau bersifat belaka, sehingga
kepala sekolah tidak mengetahui mana yang harus diperbaiki dan mana yang dikembangkan dalam
program pembelajaran.
Seharusnya kepala sekolah mendorong para guru menggunakan model- model mengajar yang
dapat memberi jaminan bahwa pembelajaran dilakukan atas dasar prinsip-prinsip pedagogik.
Dukungan kepala sekolah mi diwujudkan dalam bentuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk
program pembelajaran. Sejalan dengan pendapat tersebut, maka pijakan utama bagi praktek
pembelajaran yang bijak dan seorang pendidik yang terlatih menurut Susan Issacs (1948) adalah
memberikan suatu kerangka kerja yang kokoh untuk kontrol dan rutin serta bantuan nyata sesuai
aturan-aturan sosial, namun tetap dengan kebebasan pribadi yang luas (Hinsheiwood dalam Palmer,
2003:11). Artinya keterampilan guru dalam menggunakan sarana dan prasarana belajar secara
optimal adalah penting.
2. Arti dan Makna Model Model Pengajaran
Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan
model-model mengajar yang dipandang mampu mengatasi kesulitan guru melaksanakan tugas
mengajar dan juga kesulitan belajar peserta didik. Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model dapat dipahami sebagai: (1) suatu
tipe atau desain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses
visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem asumsi-asumsi, data-
data dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu obyek atau
peristiwa; (4) suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas
yang disederhanakan, (5) suatu deskripsi dati suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6)
penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya
(Komaruddin, 2000:152).
Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya. walaupun model itu sendiri
bukanlah realitas dan dunia yang sebenarnya. Atas dasar pengertian tersebut, maka model mengajar
dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang
sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan
belajar tertentu. dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam
melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Model mengajar menurut Joyce dan Weil (2000:13) adalah suatu deskripsi dan lingkungan
belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum. kursus-kursus, desain unit-unit pelajaran dan
pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran. buku-buku kerja, program multimedia, dan
bantuan belajar melalui program komputer. Sebab model-model ini menyediakan alat-alat belajar
yang diperlukan bagi para siswa. Hakekat mengajar (teaching) menurut Joyce dan Weil adalah
membantu para pelajar memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, sarana untuk
mengekspressikan dirinya, dan belajar bagaimana cara belajar. Hasil akhir atau hasil jangka panjang
dan mengajar adalah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif
di masa yang akan datang. Model mengajar tidak hanya memiliki makna deskriptif dan kekinian,
akan tetapi juga bermakna prospektif dan berorientasi kemasa depan.
Joyce dan Weil (2000) mengemukakan ada empat kategori yang penting diperhatikan dalam
model mengajar, yakni model informasi, model personal, model interaksi dan model tingkah laku.
Model mengajar yang telah dikembangkan dan dites keberlakuannya oleh para pakar pendidikan
dengan mengklasifikasikan model pembelajaran pada empat kelompok yaitu:
1. Model pemrosesan informasi (Information Processing Models) meiijelaskan bagaimana cara
individu memberi respon yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data,
memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah serta
penggunaan simbol-simbol verbal dan non verbal. Model ini memberikan kepada pelajar
sejumlah konsep, pengetesan hipotesis, dan memusatkan perhatian pada pengembangan
kemampuan kreatif. Model pengelolaan informasi mi secara umum dapat diterapkan pada sasaran
belajar dan berbagai usia dalam mempelajari individu dan masyarakat. Karena itu model mi
potensial untuk digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan yang berdimensi personal dan sosial
disamping yang berdimensi intelektual.
2. Model personal (Personal Family) merupakan rumpun model pembelajaran yang menekankan
kepada proses mengembangkan kepribadian individu siswa dengan memperhatikan kehidupan
emosional. Proses pendidikan sengaja diusahakan untuk memungkinkan seseorang dapat
memahami dirinya sendiri dengan baik. memikul tanggung jawab. dan lebih kreatif untuk
mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Model mi memusatkan perhatian pada pandangan
perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif, sehingga manusia
menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya.
3. Model sosial (Social Family) menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan siswa agar
memiliki kecakapan untuk berhubungan dengan orang lain sebagai usaha membangun sikap siswa
yang demokratis dengan menghargai setiap perbedaan dalam realitas sosial. Inti dan sosial model
ini adalah konsep “synergy” yaitu energi atau tenaga (kekuatan). yang terhimpun melalui kerja
sama sebagai salah satu fenomena kehidupan masyarakat. Dengan menerapkan model sosial
pembelajaran di arahkan pada upaya melibatkan peserta didik dalam menghayati, mengkaji,
menerapkan dan menerima fungsi dan peran sosial. Model sosial mi dirancang untuk
memanfaatkan fenomena kerja sama, membimbing para siswa mendefinisikan masalah.
mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah, mengumpulkan data yang relevan, dan
mengembangkan serta mengetes hipotesis. Karena itu guru seyogiyanya mengorganisasikan
belajar melalui kerja kelompok dan mengarahkannya, kemudian pendidikan dalam masyarakat
yang demokratis seyogiyanya mengajarkan proses demokratis secara langsung, jadi pendidikan
harus diorganisasikan dengan cara melakukan penelitian bersama (cooperative inquiry) terhadap
masalah-masalah sosial dan masalah-masalah akademis.
4. Model sistem perilaku dalam pembelajaran (Behavioral Model of Teaching) dibangun at4s dasar
kerangka teori perubahan perilaku. melalui teori ini siswa dibimbing untuk dapat memecahkan
masalah belajar melalui penguraian perilaku ke dalam jumlah yang kecil dan berurutan.
Sejalan dengan hal itu teori konvergensinya William Stem implementasinya dalam hal belajar
mengajar telah menyebabkan munculnya berbagai teori-teori belajar dan teori atau model mengajar
seperti: (1) model behavioral yang terdiri dan belajar tuntas. belajar kontrol diri sendiri. Simulasi dan
belajar asertif (2) model pemrosesan informasi yang terdiri dan model mengajar inkuiri, presentase
kerangka dasar atau “advance organizer”, dan model pengembangan berpikir; dan (3) lain sebagainya
yang dapat dijadikan pendekatan yang efektif dalam pengajaran. Dalam program pengajaran yang
menggunakan model satuan pelajaran, guru masih mempunyai kemungkinan untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang dipandang penting dalam pelaksanaannya. Model satuan pelajaran
merupakan model yang paling sederhana, tetapi memberikan peranan yang lebih besar kepada guru-
guru sebagai perencana pembelajaran.
Tetapi model pengajaran dengan modul, model pengajaran dengan kaset video, kaset audio,
komputer, dan pengajaran berprogram pelaksanaannya dalam pembelajaran benar-benar harus sesuai
dengan yang telah direncanakan dalam perencanaan program pengajaran yang disusun oleh guru.
Kelima model pengajaran yang digunakan tersebut termasuk ke dalam pengajaran sebagai sistem,
memiliki ciri-ciri atau prinsip-prinsip yang sama. Perbedaannya adalah terletak pada penggunaan
perangkat keras atau alat-alat teknologi yang digunakan dalam mengimplementasikan model-model
mengajar.
Kembali kepada model satuan pelajaran, bahwa dalam model satuan pelajaran yang disusun
oleh guru dengan menjabarkan tujuan instruksional umum yang ada dalam kurikulum atau GBPP
menjadi tujuan instruksional khusus. Model satuan pelajaran mi guru menentukan dan menyusun alat
evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar siswa, memilih dan merumuskan bahan ajaran,
merencanakan proses belajar mengajar atau pembelajaran, serta menentukan media dan alat
pengajaran. Penggunaan model mi selain sederhana juga tidak menuntut biaya yang tinggi, karena
disusun oleh guru sendiri baik mengenai isi, media yang digunakan, dan kegiatan pembelajaran.
Sedangkan model pembelajaran dengan kaset video, kaset audio, komputer, dan pengajaran
berprograma disusun oleh tim atau lembaga khusus yang terdiri dan beberapa ahli. Peran guru dalam
model mi adalah sebagai pelaksana atau fasilitator belajar, karena semua komponen pengajaran telah
disusun secara terpadu dalam pusat teknologi pembelajaran.
Model pengajaran ini menuntut biaya yang tinggi, tetapi memungkinkan pengajaran
dilaksanakan secara individual, sehingga beberapa prinsip pengajaran yang baik hampir seluruhnya
dapat dilaksanakan. Beberapa prinsip pengajaran yang baik menurut Ibrahim dan Nana Syaodih
(1996:53) yaitu penyesuaian pengajaran dengan perbedaan individual siswa, maju berkelanjutan.
kenaikan kelas secara otomatis, belajar tuntas, program pengayaan dan program perbaikan. Dalam
model ini, guru dapat memilih topik atau kegiatan yang akan disajikan di kelas. tetapi tidak dapat
mengubah dan menyesuaikannya dengan keadaan lingkungan.
a. Pendekatan atau Model Interaksi Sosial
Dalam uraian mengenai tahapan instruksional telah dijelaskan bahwa dalam proses
pengajaran, intinya adalah belajar para siswa. kadar tingginya kegiatan belajar banyak dipengaruhi
oleh pendekatan dan model belajar mengajar yang digunakan guru. Ada beberapa pendapat mengenai
pendekatan mengajar antara lain sebagaimana di kemukakan oleh Richard Anderson (1959:201)
mengajukan dua pendekatan yang berorientasi kepada guru atau disebut teacher centered dan
pendekatan yang berorientasi kepada siswa atau disebut student centered. Pendekatan pertama
disebut pula tipe otokratis karena pendekatannya satu arah dan guru dan pendekatan kedua disebut
tipe demokratis karena guru memberi peluang murid mengajukan pendapatnya.
Pendapat lainnya di kemukakan oleh Massialas (1975 :21) yang mengajukan dua pendekatan
yakni pendekatan ekspositorz dan pendekatan inquiry. Kedua pendapat di atas pada hakikatnya sama,
hanya istilahnya saja yang berbeda. Pendekatan interaksi sosial hampir memiliki persamaan dengan
pendekatan inquiry terutama “social inquiry”. Pendekatan mi menekankan terbentuknya hubungan
antara individu/siswa yang satu dengan siswa yang lainnya sehingga dalam konteks yang lebih luas
terjadi hubungan sosial individu dengan masyarakat. Oleh sebab itu proses belajar mengajar
hendaknya mengembangkan kemampuan dan kesanggupan siswa untuk mengadakan hubungan
dengan orang lain!siswa lain, mengembangkan sikap dan perilaku yang demokratis, serta
menumbuhkan produktivitas kegiatan belajar siswa.
Metode-metode belajar yang paling diutamakan dalam pendekatan ini antara lain diskusi,
problem solving, metode simulasi, bekerja kelompok, dan metode lain yang menunjang
berkembangnya hubungan sosial siswa. Pendekatan interaksi sosial pada hakikatnya bertolak dan
pemikiran pentingnya hubungan pnbadi (interpersonal relationship) dan hubungan sosial atau
hubungan individu dengan lingkungan sosialnya. Proses belajar pada hakikatnya adalah mengadakan
hubungan sosial dalam pengertian siswa berinteraksi dengan siswa lain dan berinteraksi dengan
kelompoknya. Langkah yang ditempuh guru dalam pendekatan mi adalah: (1) guru melemparkan
masalah dalam bentuk situasi sosial kepada para siswa; (2) siswa dengan bimbingan guru menelusuri
berbagai macam masalah yang terdapat dalam situasi tersebut, (3) siswa diberi tugas atau
permasalahan untuk dipecahkan. dianalisis, dikerjakan yang berkenaan dengan situasi tersebut; (4)
dalam memecahkan masalah belajar tersebut siswa diminta untuk mendiskusikannya (5) siswa
memuat kesimpulan dan hasil diskusinya; dan (6) pembahasan kembali hasil-hasil kegiatannya.
Contoh pendekatan ini antara lain adalah menggunakan metode sosiodrama atau bermain
peran (role playing). Ktterlibatan siswa dalam melakukan kegiatan belajar cukup tinggi terutama
dalam bentuk partisipasi dalam kelompoknya, partisipasi ini menggambarkan adanya interaksi sosial
di antara sesama murid dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu pendekatan ini boleh dikatakan
berorientasi kepada siswa dengan mengembangkan sikap demokratis, artinya sesama mereka mampu
saling menghargai, meskipun di antara mereka ada perbedaan;
b. Model Pembelajaran Alam Sekitar
Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan alam sekitarnya adalah gerakan
pengajaran alam sekitar, perintis gerakan ini antara lain adalah Fr. Finger (1808-1888) di Jerman
dengan “heimatkunde” (pengajaran alam sekitar), dan J. Ligthart (1859-1916) di Belanda dengan
“Het Voile Leven” (kehidupan senyatanya). Beberapa prinsip gerakan “heimatkunde” adalah: (1)
dengan pengajaran alam sekitar itu, guru dapat memperagakan secara langsung sesuai dengan sifat-
sifat atau dasar-dasar pengajaran; (2) pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-
banyaknya agar anak aktif atau giat tidak hanya duduk, dengar, dan catat saja; dan (3) pengajaran
alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas, yaitu suatu bentuk dengan ciri-
ciri: (a) suatu pengajaran yang tidak mengenai pembagian mata pengajaran dalam daftar pengajaran,
tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan mengarahkan usahanya untuk mencapai tujuan. (b)
suatu pengajaran yang menarik minat, karena segala sesuatu dipusatkan atas suatu bahan pengajaran
yang menarik perhatian anak dan diambilkan dan alam sekitarnya, dan (c) suatu pengajaran yang
memungkinkan segala bahan pengajaran itu berhubung-hubungan satu sama lain seerat-eratnya
secara teratur: (4) pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang
kukuh dan tidak verbalitas; dan (5) pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional. karena
alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.
Alam sekitar tidak berbeda untuk anak maupun orang dewasa, segala kejadian di alam
sekitarnya merupakan sebagian dan hidupnya sendiri dalam suka maupun duka seperti kelahiran,
kematian, pesta, panen, gotong royong. berladang. dan sebagainya. Alam sekitar sebagai fundamen
pendidikan dan pengajaran memberikan dasar emosional, sehingga anak menaruh perhatian yang
spontan terhadap segala sesuatu yang diberikan kepadanya asal itu didasarkan atas dan diambil dan
alam sekitar. J. Ligthart (1859-1916) mengemukakan pegangan dalam “Het Voile Leven” yaitu: (1)
anak harus mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya; (2) pengajaran
sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus
dipusatkan atas pengajaran itu; dan (3) haruslah diadakan perjalanan memasuki hidup senyatanya
kesemua jurusan, agar murid paham akan hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam
hidupnya.
Pokok-pokok pendapat pengajaran alam sekitar tersebut telah banyak dilakukan di sekolah,
baik dengan peragaan, penggunaan bahan lokal dalam pengajaran dan lain-lain. Mengacu pada
konsep pendidikan alam sekitar Tirtarahandja dan Sula (2000:202) berpendapat bahwa beberapa
tahun terakhir ini telah ditetapkan adanya materi pelajaran muatan lokal dalam kurikulum, termasuk
penggunaan alam sekitar. Dengan kurikulum muatan lokal tersebut diharapkan anak semakin dekat
dengan alam sekitar dan masyarakat lingkungannya. Di samping alam sekitar sebagai isi bahan ajar,
alam sekitar juga menjadi kajian empirik melalui percobaan, studi banding, dan sebagainya. Dengan
memanfaatkan sumber-sumber dan alam sekitar dalam kegiatan belajar dan mengajar, dimungkinkan
anak akan lebih menghargai, mencintai, dan melestarikan lingkungan alam sekitar sebagai sumber
kehidupannya.
c. Model Pembelajaran Pusat Perhatian
Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovide Decroly (1871-1932) dan Belgia dengan
pengajaran melalui pusat-pusat minat (Centres d ‘interet), disamping pendapatnya tentang pengajaran
global. Pendidikan menurut Decroly berdasar pada semboyan “Ecole pour la vie, par la vie” (sekolah
untuk hidup dan oleh hidup). Anak harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan
dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus di arahkan kepada pembentukan individu dan anggota
masyarakat. Karenanya, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri seperti hasrat dan
cita-citanya, kemudian pengetahuan tentang dunianya seperti lingkungannya dan tempat hidup di hari
depannya. Menurut Decroly dunia mi terdiri dan alam dan kebudayaan, dan dunia itu harus hidup
yang dapat mengembangkan kemampuan untuk mencapai cita-Cita.
Hasil penelitian yang mendalam oleh Ovide Decroly menyumbangkan dua pendapat yang
berguna bagi pendidikan dan pengajaran yaitu: (I) metode global (keseluruhan) hasil yang diperoleh
dan observasi dan tes, menunjukkan bahwa anak mengamati dan mengingat secara global
(keseluruhan). Mengingat keseluruhan lebih dulu baru bagian-bagian sama dengan prinsip psikologi
Gestalt. Dalam mengajarkan membaca dan menulis ternyata mengajarkan kalimat lebih mudah
daripada kata-kata lepas, sedangkan kata lebih mudah diajarkan ketimbang huruf-huruf secara
mandiri. Metode mi bersifat video visual sebab arti sesuatu kata yang diajarkan itu selalu
diasosiasikan dengan tanda (tulisan) atau gambar yang dapat dilihat; dan (2) centre d ‘interet
(pusatpusat minat). Hasil penelitian psikologiknya menunjukkan bahwa anak-anak mempunyai minat
yang spontan (sewajarnya).
Bagi Decroly sekolah merupakan suatu laboratorium guna mengadakan penyelidikan demi
kebaikan sistem pendidikan dan pengajaran. Pada sekolah tersebut diuji berbagai dasar aliran dalam
dunia pengajaran modern seperti: (1) sekolah berhubungan langsung dengan alam dan penghidupan
sekitarnya; (2) pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas perkembangan anak. Tiap-tiap anak
mempunyai perbedaan antara lain kesanggupan, tingkat kepandaian, tempo mama perkembangan,
perhatian, pembawaan, bakat, dan sebagainya; (3) sekolah kerja; (4) pendidikan yang fungsional dan
praktis; (5) pendidikan kesosialan dan kesusilaan dengan memberi kesempatan untuk beker jasama;
(6) kerja sama antar rumah dan sekolah; (7) koedukasi; dan (8) mempergunakan alat baru seperti
percetakan, pengumpulan alat pelajaran oleh siswa sendiri. Semua hal mi telah dipraktekkan Decroly
di sekolahnya.
Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat spontan, sebab apabila tidak, maka
pengajaran itu tidak akan banyak hasilnya anak mempunyai minat-minat spontan terhadap diri sendiri
yang dibedakan menjadi dorongan mempertahankan diri, dorongan mencari makan dan minum, dan
dorongan memelihara diri. Sedangkan minat terhadap masyarakat (biososial) ialah dorongan sibuk
bermain-main dan dorongan meniru orang lain. Dorongan-dorongan inilah menurut Tirtarahardja dan
Sula (2000:204) yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan pendidikan dan pengajaran
harus selalu dihubungkan dengan pusat-pusat minat tersebut. Gerakan pengajaran pusat perhatian
tersebut telah mendorong berbagai upaya agar dalam kegiatan belajar mengajar diadakan berbagai
variasi cara mengajar agar perhatian para siswa tetap terpusat pada bahan ajaran. Peluang untuk
memvariasikan pengajaran terbuka luas dengan kemajuan teknologi, hal ini menyebabkan upaya
menarik minat belajar menjadi lebih besar. Pemusatan perhatian dalam pengajaran dilakukan bukan
hanya pada pembukaan pelajaran, tetapi pada setiap pembahasan materi pelajaran sehingga tidak ada
waktu yang disia-siakan dan pengajaran berlangsung dengan penuh anti.
d. Model Pembelajaran Sekolah Kerja
Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dan pandangan-pandangan
yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. Tokoh pendidikan sekolah kerja mi
adalah G. Kerschensteiner (1854-1932) dengan konsep “Arbeitschule”-nya (Sekolah Kerja) di
Jerman. Perlu di kemukakan bahwa sekolah kerja itu bertolak dan pandangan bahwa pendidikan tidak
hanya demi kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain
sekolah berkewajiban menyiapkan warga negara yang baik yakni: (1) tiap orang adalah pekerja dalam
salah satu lapangan jabatan; (2) tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan
negara; dan (3) dalam menunaikan kedua tugas tersebut haruslah selalu diusahakan
kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut membantu mempertinggi dan
menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan negara.
Tujuan sekolah kerja mi menurut G. Kerschensteiner adalah: (1) menambah pengetahuan
anak, yaitu pengetahuan yang didapat dan buku atau orang lain, dan yang didapat dan pengalaman
sendiri; (2) agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu; dan (3) agar anak dapat
memiliki pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam mengabdi negara. G. Kerschensteiner
berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk dapat bekerja.
Bekerja di sini bukan pekerjaan otak yang dipentingkan, melainkan pekerjaan tangan, sebab
pekerjaan tangan adalah dasar dan segala pengetahuan adat, agama. bahasa, kesenian. ilmu
pengetahuan. Dan lain-lain.
Dengan banyaknya macam pekerjaan yang menjadi pusat pelajaran. maka sekolah kerja
dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu: (1) sekolah-sekolah perindustrian seperti tukang cukur,
tukang cetak, tukang kayu, tukang daging, masinis, dan lain-lain; (2) sekolah-sekolah perdagangan
seperti makanan, pakaian bank, asuransi, pemegang buku, porselin, pisau, gunting. dan lain-lain; dan
(3) sekolah-sekolah rumah tangga bertujuan mendidik para calon ibu yang diharapkan akan
menghasilkan warga negara yang baik. Setiap pekerjaan itu dilaksanakan di sekolah, oleh karena itu
sekolah idealnya dipersyaratkan harus mempunyai alat-alat lengkap dan tempat atau ruang yang
cukup, dapur, laboratorium, perpustakaan, kebun sekolah, tempat bertukang, dan sebagainya tersedia
di sekolah.
Pengikut G. Kerschensteiner antara lain adalah Leo de Paeuw seorang direktur jenderal
pengajaran normal di Belgia mendirikan sekolah kerja seperti Kerschensteiner yaitu: (1) sekolah
teknik kerajinan; (2) sekolah dagang; (3) sekolah pertanian bagi anak laki-laki; (4) sekolah rumah
tangga kota; dan (5) sekolah rumah tangga desa. Kedua yang terakhir mi khusus untuk para gadis,
dan dapat berhasil baik. Sedangkan sekolah-sekolah lainnya bersifat intelektualistik. Peranan sekolah
kejuruan pada tingkat menengah inilah menurut Tirtarahardja dan Sula (2000:206) merupakan tulang
punggung penyiapan tenaga terampil yang diperlukan negara-negara membangun seperti Indonesia.
Bagi para generasi muda Indonesia pendidikan keterampilan itu sangat diperlukan terlebih lagi bagi
setiap orang yang akan memasuki lapangan kerja.
e. Model Pembelajaran Individual
Sejak lama diketahui adanya perbedaan di antara berbagai individu siswa yang tak dapat tiada
harus diperhatikan. Perbedaan terdapat juga dalam gaya belajar murid, karena itu pengajaran
individual akan senantiasa merupakan masalah yang menarik perhatian para pendidik untuk dikaji
dan dianalisis. Tugas-tugas yang dikerjakan para murid di rumah kebanyakan menuntut kegiatan
secara individual, beberapa kegiatan dan pemberian tugas di sekolah juga dapat dikerjakan secara
individual, seperti memecahkan soal, melakukan pengamatan atau percobaan di laboratorium, dan
sebagainya.
Pembelajaran secara individual tampak pada perilaku atau kegiatan guru dalam mengajar
yang menitikberatkan pada pemberian bantuan dan bimbingan belajar kepada masing-masing siswa
secara individual. Susunan suatu tujuan belajar yang didesain untuk belajar mandiri harus disesuaikan
dengan karakteristik individual dan kebutuhan tiap siswa. I3entuk-bentuk belajar mandiri antara lain
adalah: (1) self instruction semacam modul; (2) independent study; (3) individualized prescribed
instruction; dan (4) self pacet learning. Untuk tujuan belajar meningkatkan kemampuan kognitif dan
psikomotorik lebih banyak ditempuh dengan belajar mandiri. Pada model pembelajaran secara
individual, guru memberikan bantuan belajar kepada masing-masing pribadi siswa sesuai mata
pelajaran yang diajarkan oleh guru yang bersangkutan. Perilaku pembelajaran individual ini guru
akan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada masing-masing individu siswa untuk dapat
belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswanya.
Kemudian ada kesempatan bagi masing-masing individu siswa untuk mengembangkan
kemampuan yang dimiliki siswa, artinya setiap individu siswa memiliki paket belajar secara
individual yang sesuai dengan tujuan belajarnya secara individual juga. Dalam pembelajaran secara
individual, masing-masing siswa menyusun program belajarnya sendiri, siswa mempunyai
keleluasaan belajar berdasarkan kemampuannya sendiri, mempunyai kedudukan yang bersifat sentral,
yang menjadi pusat pelayanan dalam pembelajaran. Posisi guru dalam model pembelajaran individual
adalah membantu siswa membelajarkan siswa, membantu merencanakan kegiatan belajar siswa
sesuai dengan kemampuan dan daya dukung yang dimiliki siswa.
Guru membicarakan kepada siswa mengenai pelaksanaan belajarnya, mengemukakan kriteria
keberhasilan belajar, dan menentukan alokasi waktu maupun kondisi belajar yang tepat bagi siswa
secara individual. Peran guru selanjutnya adalah sebagai penasehat atau pembimbing belajar,
membantu siswa untuk mengadakan penilaian belajar dan kemajuan yang telah dicapainya. Guru
mengorganisasikan kegiatan belajar yaitu mengatur dan memonitor kegiatan belajar siswa sejak awal
sampai akhir sesuai schedul yang disepakati. Model pelayanan belajar secara individual mi
menggunakan pendekatan yang terbuka antara guru dan siswa, yang bertujuan untuk menimbulkan
perasaan bebas dalam belajar sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara guru dengan siswa
dalam belajar.
f. Model Pembelajaran Klasikal
Gioup presentation adalah kegiatan penyampaian pelajaran kepada sejumlah siswa, yang
biasanya dilakukan oleh pengajar dengan berceramah di kelas. Model pembelajaran individual
menurut Nasution (2000) lebih sukar dijalankan daripada model pengajaran klasikal. Pembelajaran
klasikal mencerminkan kemampuan utama guru, karena pembelajaran klasikal ini merupakan
kegiatan belajar dan mengajar yang tergolong efisien. Pembelajaran secara klasikal ini memberi arti
bahwa seorang guru melakukan dua kegiatan sekaligus yaitu mengelola kelas dan mengelola
pembelajaran. Pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya
kegiatan pembelajaran secara baik dan menyenangkan yang dilakukan di dalam kelas diikuti
sejumlah siswa yang dibimbing oleh seorang guru.
Dalam hal ini guru dituntut kemampuannya menggunakan teknik-teknik penguatan dalam
pembelajaran agar ketertiban belajar dapat diwujudkan. Pengajaran klasikal dirasa lebih sesuai
dengan kurikulum yang uniform. yang dinilai melalui ujian yang uniform pula. Hasil penelitian J. H.
Pestalozzi (1746- 1827) mengajarkan bermacam-macam mata pelajaran pertukaran di sekolahnya.
Sejak Pestalozzi pengajaran kiasikal menjadi populer sebagai pengganti pengajaran individual oleh
seorang tutor. Pengajaran klasikal merupakan keharusan dalam menghadapi jumlah murid yang
membanjiri sekolah sebagai akibat demokrasi, industrialisasi, pemerataan, dan pendidikan atau
kewajiban belajar. Dengan sendirinya dicari usaha untuk memperbaiki pengajaran klasikal itu.
Kurikulum dijadikan uniform bagi seluruh negara, ujian akhir dan tes masuk sedapat mungkin
disamakan untuk semua jenis sekolah.
Buku pelajaran yang diterbitkan oleh pemerintah sama bagi semua, bila diizinkan buku-buku
lain dapat digunakan asalkan dasarnya sama yaitu mengacu pada kurikulum yang telah ditentukan
pemerintah. Dicari metode pendidikan klasikal yang paling efektif dan paling baik bagi kelas atau
kelompok. Guru yang dipersiapkan adalah guru yang baik bagi kelas. Pestalozzi diakui sebagai tokoh
yang melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pendidikan antara lain : (1) mendemokrasikan
pendidikan dengan menyatakan adalah hak mutlak dan setiap anak untuk mengembangkan potensi
dirinya sepenuhnya; (2) mempsikologikan pendidikan, yaitu teori dan praktek pendidikan harus
didasarkan pada psikologi atau ilmu tentang karakteristik jiwa individu manusia; (3) mendasarkan
pendidikan pada perkembangan organik daripada pemindahan gagasan-gagasan; (4) pendidikan mulai
dengan persepsi tentang objek-objek yang konkrit, pembentukan tindakan-tindakan yang konkrit, dan
pengalaman terhadap respon-respon emosional yang aktual; (5) perkembangan adalah sebuah
pembangunan potensi secara berangsur-angsur. Setiap bentuk pengajaran harus dilakukan dengan
perlahan-lahan, melalui yang berangsur-angsur, sesuai dengan pemekaran kemampuan-kemampuan
dan anak; (6) perasaan-perasaan keagamaan dibentuk mendahului dan kata-kata atau simbol-simbol
yang dimiliki anak; (7) perlu ada pandangan yang revolusioner tentang disiplin, yang didasarkan pada
kemamuan baik dan kerja sama antar pelajar dengan pengajar; dan (8) diperlukan alat baru dalam
pendidikan guru dan studi tentang pendidikan sebagai sebuah ilmu (Mudyahardjo, 2001:121)
Pendapat Pestalozzi tersebut implementasinya dalam pendidikan dilakukan dalam pengajaran
klasikal jangan sampai merugikan bagi kepentingan anak sebagai individu dalam belajar, hal yang
diperhatikan adalah kelas sebagai keseluruhan. Guru mencoba menyesuaikan pengajarannya dengan
kemampuan rata-rata anak, Ia tahu bahwa Ia terpaksa menghambat kemajuan anak-anak yang cepat
serta mengabaikan anak-anak yang lambat, hal ini penting untuk diketahui bagi setiap guru, agar ia
dapat menentukan solusi yang paling arif. Walaupun pengajaran klasikal sangat umum dijalankan, ini
tidak berarti bahwa perbedaan individual dapat diabaikan. Nasution (2000:41) berpendapat bahwa
justru karena pengajaran kita bersifat klasikal, harus lebih diperhatikan perbedaan individual, yaitu
guru dengan sadar memaksa dirinya memberi perhatian kepada setiap anak secara individual di
kelasnya.
Kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat menerima atau menghafal pada umumnya diberikan
secara klasikal. Siswa yang berjumlah kurang lebih 30 atau 40 orang siswa, pada waktu yang sama
menerima bahan yang sama, umumnya kegiatan ini diberikan dalam bentuk ceramah. Dalam
mengikuti kegiatan belajar ini, murid-murid dituntut untuk selalu memusatkan perhatian terhadap
pelajaran. kelas harus sunyi dan semua murid duduk ditempat masing-masing mengikuti uraian guru.
Pengelolaan pembelajaran yang bertujuan untuk mencapai tujuan belajar, dapat dilakukan melalui
tindakan penciptaan tertib belajar di kelas. Penciptaan suasana menyenangkan dalam belajar ini
dilakukan dengan pemusatan perhatian pada bahan pelajaran dengan menggunakan pendekatan yang
sesuai dengan materi pelajaran, dan mengikutsertakan siswa secara aktif sesuai dengan kondisi siswa.
Belajar secara klasikal cenderung menempatkan siswa dalam posisi pasif. sebagai penerima
bahan ajaran. Upaya rnengaktifkan siswa clapat
menggunakan metode tanya jawab. demonstrasi, diskusi, dan lain-[ain yang sesuai bagi para murid-
muridnya. Sehubungan dengan hal itu Pestalozzi mengatakan tujuan pendidikan adalah tercapainya
perkembangan anak yang serasi mengenai daya jiwa. Untuk membantu peserta didik memikul
tanggung jawab atas perilakunya dan tanggung jawab lingkungan sosialnya sehingga dapat digunakan
dalam lingkungan kelas. Model ini dalam kelas diwujudkan dalam bentuk suatu pertemuan dimana
kelompok bertanggung jawab untuk membangun sistem sosial yang sesuai.
Penerapan model ini dimaksudkan untuk melaksanakan unsur perbedaan perseorangan dengan tetap
menghargai tugas-tugas bersama dan hak-hak orang lain. Model mi memberikan metode langsung
untuk mengelola suasana pengajaran atau “instructional setting” dan untuk mengorganisasikan
peserta didik agar dapat bertanggung jawab atas situasi kelas dalam proses pembelajaran. Model mi
sering disebut “Classroom Management Model”. Model ini memiliki karakteristik yang memberikan
suasana belajar individual dan kelompok, serta pencapaian keterampilan sosial. Model mi juga dapat
digunakan untuk mencapai tujuan yang bersifat akademis.
g. Model Konstruktivis dalam Mengajar
Prinsip yang paling umum dan paling esensial yang dapat diturunkan dan konstruktivisme,
ialah bahwa anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah, dan pendidikan seharusnya
memperhatikan hal itu dan menunjang proses alamiah ini. Untuk dapat melaksanakan proses belajar
mengajar semacam ini, di bawah ini disarankan beberapa prinsip mengajarkan sains di sekolah dasar
(Kamii, 1979). Untuk tingkat sekolah yang lebih tinggi, akan diberikan pula suatu strategi mengajar
yang akan dibahas dibagian lain. Model konstruktivisme yang dikemukakan Piaget ini memberi
arahan kepada guru untuk membangkitkan kemampuan berpikir anak dalam belajar, adapun prinsip-
prinsip yang perlu diperhatikan menurut Piaget adalah hal-hal berikut ini.
1) Menyiapkan Benda-Benda Nyata untuk Digunakan Siswa
Ada dua alasan bagi prinsip ini, yaitu pengetahuan fisik diperoleh dengan berbuat pada benda-
benda, dan melihat bagaimana benda-benda itu beraksi. Misalnya, untuk mengetahui apakah sebuah
bola yang dibuat dari tanah atau dapat terapung dalam tanah, anak itu harus berbuat sesuatu pada
benda-benda itu dan memperoleh jawaban dan benda-benda itu. Sambil ia mengubah-ubah perbuatan
atau tindikannya,. ia menghubungkan perubahan-perubahan dalam perbuatannya dan perubahan-
perubahan dalam reaksi benda-benda itu. Bukan hanya mengetahui nsik yang dikembangkannya,
melainkan juga pengetahuan logiko-matematik. Alasan yang kedua pam siswa harus bekerja dengan
benda–benda ialah, bahwa inilah satu-satunya cara mereka dapat menglogiko-matematikkan
kenyataan. Bukan dengan cara belajar kata-kata, para siswa menjadi lebih baik berfikir mengenai
alam nyata.
2) Memperhatikan Empat Cara Berbuat Terhadap Benda
Ada empat cara berbuat terhadap benda-benda yaitu: (1) berbuat terhadap benda-benda dan
melihat bagaimana benda-benda itu beraksi; (2) berbuat terhadap benda-benda untuk menghasilkan
suatu efek yang diinginkan; (3) menjadi sadar bagaimana seorang menghasilkan efek yang
diinginkan; dan (4) menjelaskan. Mengenai pendekatan ketiga Piaget menemukan, bahwa di sekitar
umur 4 atau 5 tahun, anak-anak dapat melakukan banyak hal pada tingkat inteligensi praktis, tetapi
mereka tidak menyadari bagaimana menghasilkan sesuatu yang diinginkan itu. Cara yang keempat
dapat berupa penjelasan langsung dan suatu peristiwa, atau berupa menguji suatu hipotesis secara
sistematis. Bila dipusatkan hanya untuk pada penjelasan-penjelasan, adanya bahaya karena kerapkali
timbul verbalisme.
Bila digunakan dua pendekatan yang pertama, para siswa dapat diminta menjelaskan apa yang
menyebabkan mereka berpikir. Dalam pelajaran “terapung, melayang, dan tenggelam”, misalnya
waktu mereka disuruh membuat “kapal-kapal dan tanah liat”, guru menggunakan pendekatan kedua,
bila ia meminta para siswa untuk membuat kapal tanah hal yang dapat terapung dalam air. Kemudian,
bila guru bertanya apa yang akan terjadi bila anak menempatkan benda-benda dalam kapal tanah hal
itu, maka guru menggunakan pendekatan yang pertama. Kedua pendekatan ini dan juga pendekatan
yang ketiga, mengandung unsur penjelasan dan pada umumnya lebih baik daripada mengajar
menjelaskan, yang bagaimanapun juga sulit bagi para siswa dalam periode-periode konkret.
Pendekatan yang ketiga, yaitu sadar bagaimana seseorang menghasilkan efek yang diinginkan, dapat
digunakan bila guru menganjurkan siswa untuk bertanya pada siswa yang lain bagaimana ia
menyelesaikan tugasnya. Ini merupakan suatu contoh. situasi yang secara edukatif, baik bagi siswa
yang mengajarkan dan bagi siswa yang diajari.
3) Memperkenalkan Kegiatan
Kegiatan-kegiatan itu mungkin menarik bagi para siswa, tetapi jangan dipaksakan pada
mereka. Para siswa hendaknya mempunyai kebebasan untuk mengikuti perhatian mereka sendiri,
oleh karena pikiran itu hanya akan dapat untuk menolak saran-saran guru.
Karena itu menurut Susan Issacs (1946) kerangka. ini merupakan koreksi terhadap ide bahwa
seorang anak tak akan pernah belajar jika ia tidak dibentak atau dipukul, juga bagi gagasan anak tidak
membutuhkan belajar, namun hanya perlu menunjukkan kebaikannya. Kegiatan utama pembelajaran
menurut Susan Issacs adalah memberikan suatu kerangka kerja yang kokoh untuk kegiatan
pembelajaran, karena perkembangan intelektual anak berhubungan erat dengan perkembangan
emosional. Oleh karena itu kebebasan di ruang kelas akan menghilangkan hambatan proses belajar
atau distorsi perkembangan watak dan anak didik.
4) Menciptakan Pertanyaan, Masalah-Masalah dan Pemecahannya
Dewasa ini para pendidik kerap kali menganjurkan “pemecah masalah”. tetapi jarang kita
dengar tentang pentingnya penciptaan masalah-masalah dan pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Selain
para siswa mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan atau memecalikan masalah-masalah mereka,
mereka juga termotivasi untuk bekerja keras. Menurut Piaget, perumusan pertanyaan-pertanyaan
merupakan salah satu dan bagian-bagian yang paling penting dan paling kreatif dan sains yang
diabaikan dalam pendidikan sains.
5) Siswa Saling Berinteraksi
Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan
penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat
distimulasi oleh konfrontasi kritis, khususnya dengan teman-teman setingkat. Seperti halnya
perbedaan pendapat itu esensial untuk konstruksi sains, demikian pula hal mi tidak dapat dihindari
untuk mengkonstruksi pengetahuan fisik dan pengetahuan logiko-matematik. Menurut Piaget, para
siswa hendaknya dianjurkan untuk mempunyai pendapat sendiri (walaupun pendapat itu mungkin
‘6salah”), mengemukakannya, mempertahankannya, dan merasa bertanggung jawab atasnya.
Ungkapnya keyakinan secara jujur, akhirnya memupuk ekuilibrasi konstruktif dan membuat para
siswa lebih cerdas dan lebih termotivasi untuk terus belajar, dibandingkan dengan belajar jawaban
“benar”.
Adakalanya guru dapat menganjurkan para siswa untuk membandingkan berbagai gagasan.
Pada kesempatan lain guru membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memecahkan masalah
tertentu. Cara ketiga untuk membangkitkan interaksi ialah dengan meminta seluruh kelas seluruh
kelas membandingkan sebagai masalah, pengamatan, dan interpretasi.
6) Hindari Istilah Teknis dan Tekankan Berpikir
Hasil penelitian mengungkapkan, bahwa bahasa dapat memperjelas dan memperkaya
gagasan-gagasan bila para siswa sudah pada tingkat perkembangan yang tinggi. Tetapi, kerapkali
kata-kata dan istilah-istilah teknis merintangi berpikir, oleh karena itu guru hendaknya dapat
membangkitkan gagasan-gagasan untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir siswa.
Adakalanya siswa-siswa membandingkan hal-hal yang salah, walaupun demikian, mereka harus
dianjurkan untuk berpikir dengan cara mereka sendiri. Sebagian dan intuisi-intuisi mereka itu ada
yang salah, dan sebagian ada yang betul. dan gagasan-gagasan mi harus ditelusuri dan
dikoordinasikan agar para siswa menjadi pemikir-pemikir yang diharapkan.
7) Memperkenalkan Kembali (Reintroduce) Materi Kegiatan
Anak yang sama bila melihat mobil, atau benda lain apapun juga atau peristiwa, tidak akan
melihat kenyataan yang sama pada umur 6, 10, dan 14 tahun. Alasannya ialah, karena anak yang
lebih tua mengasimilasikan benda-benda ke dalam pengetahuan terstruktur yang lebih baik daripada
anak yang lebih muda. Jadi, pengurutan ketat dan isi tidak perlu, menurut Piaget. Kecuali itu,
penelitian Piaget menunjukkan bahwa anak-anak memperoleh pengetahuan dengan cara-cara yang
amat berbeda dan cara orang dewasa.
Pernyataan bahwa urutan ketat tidak perlu, tidak berarti bahwa semua urutan harus dihindari.
Misalnya, pelajaran “kapal tanah liat” diharuskan untuk kelas 2 hingga kelas 6. Dalam jangka umur
yang panjang ini, guru diberitahu bahwa bagi anak-anak yang lebih muda masalahnya ialah membuat
benda yang akan terapung. Sebaliknya, untuk anak-anak yang lebih tua masalahnya ialah menemukan
mengapa bentuk benda tertentu dapat memuat lebih banyak daripada benda yang lain, dan apa yang
membuat suatu benda itu tenggelam atau terapung.
Suatu urutan yang Lain ditunjukkan oleh dua sasaran berikut, disarankan sesudah para siswa
dapat membuat kapal tanah liatnya terapung: (1) guru dapat menanyakan pada para siswa apakah
mereka mempunyai benda apa saja dalam bangku mereka yang mereka mau tempatkan pada kapal
mereka; dan (2) guru memberi siswa beberapa benda kecil dan menyarankan agar siswa tersebut
menemukan berapa jumlah benda yang dapat dimuat oleh kapalnya. Dalam setiap saran di atas guru
telah membawa “terapung dan tenggelam” ketingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya, dan
yang penting ialah guru tidak memaksakan gagasan-gagasan ini.
Jika saran yang tepat dibuat pada waktu yang tepat, maka hal mi akan membawa siswa ke
pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi, seperti pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) apakah kapal yang
sama akan selalu memuat jumlah yang sama, benda-benda yang menyebabkan tenggelam ?; (2)
haruskah benda-benda itu ditempatkan pada posisi yang sama?; (3) apakah yang terjadi bila air
masuk ke dalam kapal ?; dan (4) apa yang terjadi, bila benda-benda itu dilemparkan kedalam kapal ?
(Wihis Dahar, 1996:160-162). Dapat dilihat bahwa ada suatu derajat interaksi yang tinggi antara
pengurutan yang dilakukan guru dan pengurutan yang dilakukan para siswa.
Seni mengajar terletak pada bagaimana memikirkan saat yang tepat, kapan akan mengajukan
suatu pertanyaan yang baik. yang akan memberikan stimulasi pada siswa untuk pindah ketingkat
berpikir yang lebih tinggi, dan akan menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan. Jadi dalam
bentuk pengajaran klasikal menurut Rooijakkers (2003:73) pada intinya pengajar melakukan berbagai
kegiatan seperti berbicara, menjelaskan, menulis. memikirkan, mempertimbangkan, berjalan,
mendengarkan, bertanya. membaca. membenahi diri, dan sebagainya dalam pembelajaran model
klasikal. Kegiatan model klasikal ini pengajar memberi tahu, mengadakan kontak pada murid dalam
kelas. memberi tugas. dan melakukan evaluasi untuk mengukur sampai dimana para muridnya dapat
menguasai materi pelajaran yang sudah disampaikan.
h. Model Pengembangan Sistem Pengajaran
Prosedur pengembangan sistem instruksional merupakan perwujudan dan penerapan
pendekatan sistem ke dalam sistem pendidikan ke dalam kurikulum sekolah dasar, sekolah lanjutan
pertama, sekolah menengah dan kejuruan. Istilah sistem instruksional yang dipergunakan dalam
prosedur pengembangan sistem instruksional (PPSI) menunjukkan makna sistem, yaitu sebagai suatu
kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri dan sejumlah komponen yang saling bergantung satu sama
lain dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. PPSI pada dasarnya ialah
salah satu prosedur mengajar dan belajar yang dipandang dan sudut sistem, sehingga mengajar itu
menunjukkan suatu sistem yang saling terkait antara satu komponen dengan komponen lainnya dalam
pembelajaran.
Sistem ialah seperangkat objek yang memiliki sejumlah komponen, yang setiap komponennya
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai suatu sistem, PPSI
mengandung sejumlah komponen, antara lain materi, metode, dan evaluasi yang saling berinteraksi
satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
Pengembangan sistem instruksional mempunyai lima langkah pokok yaitu: (1) adalah
merumuskan tujuan institusional khusus, yaitu rumusan mengenai kemampuan atau perilaku yang
diharapkan dimiliki oleh para siswa sesudah mengikuti suatu program pembelajaran. Kemampuan
atau perilaku itu harus dirumuskan secara spesifik dan operasional, sehingga dapat diamati atau
terukur. Perilaku yang spesifik itu dijabarkan dalam tiga kawasan yaitu kognitif, afektif. dan
psikomotorik: (2) adalah pengembangan kegiatan pembelajaran, yaitu menentukan kegiatan belajar
mengajar yang dijabarkan berdasarkan tujuan instruksional khusus yang telah disusun dengan cara
merumuskan semua kemungkinan. kegiatan belajar yang diperlukan guna mencapai tujuan tersebut,
menentukan mana dan sejumlah kegiatan belajar yang perlu siswa. Selanjutnya menetapkan kegiatan
belajar yang masih perlu di1aksanak oleh siswa guna memantapkan pemahaman mereka: (3)
pengembangan kegiatan pembelajaran, yaitu merencanakan program kegiatan pembelajaran. Pada
perencanaan program pembelajaran ini adalah pokok pelajaran yang diambil dan kurikulum. Dalam
hal mi perlu dirumuskan pokok. pokok materi pengajaran yang akan diberikan kepada siswa sesuai
dengan jenis-jenis kegiatan belajar yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perlu untuk setiap materi
pengajaran diberikan uraian singkat untuk memudahkan para guru, menyampaikan pelajaran.
Selanjutnya disusun strategi pembelajaran dengan merumuskan peranan serta kegiatan pembelajaran
yang disusun secara sistematis sesuai dengan situasi kelas. Metode mengajar pun dipilih mana yang
paling sesuai dengan tujuan, termasuk juga di dalamnya alat bantu buku sumber yang diperlukan; (4)
pelaksanaan, yaitu melaksanakan program pembelajaran melalui fase yaitu mengadakan pra-tes,
menyampaikan bahan dan materi: pelajaran, melakukan pos-tes, dan perbaikan pembelajaran
seperlunya pra-tes sudah terkandung seperangkat alat evaluasi yang akan mengukur kemampuan-
kemampuan yang tercantum di dalam tujuan-tujuan instruksional yang telah dijabarkan sebelum para
siswa mengikuti program pembelajaran. Bilamana para siswa telah menguasai kemampuan yang
terdapat dalam tujuan instruksional yang ingin dicapai itu, maka bahkan tidak perlu lagi diajarkan
kepada siswa dalam program pengajaran. Selanjutnya proses pengajaran, dilaksanakan dengan
berpegang kepada perencanaan program kegiatan instruksional, baik dalam hal materi, metode,
maupun media instruksional yang akan dipakai. Sebelum para guru menyajikan materi instruksional,
hendaknya dijelaskan dulu tujuan instruksional khusus yang akan dicapai, sehingga siswa mengetahui
kemampuan-kemampuan apa yang harus dikuasainya setelah selesai mengikuti pengalaman belajar.
Pos-tes diberikan sesudah mereka selesai mengikuti program pembelajaran. Pertanyaan yang
diberikan dalam postes identik dengan pra-tes, hanya berbeda dalam waktu dan fungsinya. Pra-tes
berfungsi menilai kemampuan awal para siswa tentang materi instruksional sebelum pengajaran
diberikan. Sedangkan pos-tes berfungsi menilai kemampuan mereka dalam menguasai materi
instruksional setelah pengajaran diberikan. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana
keberhasilan program pengajaran yang diberikan itu dapat dicapai oleh para siswa dengan
membandingkan hasil pra-tes dengan pos-tes, dan (5) evaluasi kemajuan belajar. penentuan alat
evaluasi dirumuskan berdasarkan tujuan-tujuan instruksional.
Fungsi evaluasi adalah untuk menilai sejauh mana kemajuan hasil belajar siswa dengan
mengukur kemampuannya menguasai kemampuan-kemampuan yang telah dirumuskan dalam tujuan
instruksional khusus. Dalam model mi pengembangan alat evaluasi tidak dilakukan pada langkah
akhir dan kegiatan pengajaran, tetapi pada langkah kedua sesudah tujuan instruksional khusus
ditentukan. Hal mi didasarkan atas prinsip yang berorientasi kepada tujuan atau hasil, bahwa
penilaian terhadap suatu sistem pengajaran didasarkan atas hasil yang akan dicapai yang pertama.
Untuk mengecek apakah rumusan tujuan instruksional tersebut bisa diukur atau tidak, maka
perlu dikembangkan lebih dahulu alat evaluasi sebelum melangkah lebih jauh. Dan pengembangan
alat evaluasi pada langkah ini mungkin dijumpai beberapa jenis tujuan instruksional khusus yang
perlu diganti. mempertegas atau diubah rumusannya. sehingga dapat diukur. Dalam pengembangan
alat evaluasi, perlu ditentukan jenis-jenis tes yang akan dipergunakan. apakah tes tertulis, tes lisan,
atau tes perbuatan. Apakah akan dipergunakan suatu jenis tes, dua jenis tes. atau ketiga-tiganya hal
itu tergantung pada hakikat tujuan instruksional yang hendak dicapai.
Paradigma pengajaran menurut Sujono (1979:30) adalah: (1) adanya beberapa dasar
pengajaran sebagai pusat perhatian/minat yang terpenting adalah pengajaran harus berdasarkan
kebutuhan yang tumbuh dan perhatian siswa yang menentukan pangkal dan guru halnya mempunyai
tugas untuk membimbing; (2) bahan yang diajarkan merupakan suatu keseluruhan dengan mengambil
salah satu kebutuhan sebagai pusat, di kelas rendah dipakai hubungan simbiotis bukan hubungan
secara keilmuan; (3) dalam mengolah bahan pelajaran siswa harus aktif baik jasmani maupun rohani;
dan (4) bahan pengajaran diambil dan lingkungan hidup agar siswa dapat mengamati, mengetahui
menyelidiki menghayati dan mencintai lingkungan.
B. Pendekatan dalam Model Mengajar
1. Pendekatan Inqiury/Discovery atau Model Personal
Pendekatan ini bertolak dan pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar,
mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan yang
dimilikinya. Proses pembelajaran harus di pandang sebagai stimulus yang dapat menantang siswa
untuk melakukan kegiatan belajar. Peranan guru lebih banyak menetapkan diri sebagai pembimbing
atau pemimpin belajar dan fasilitator belajar. Dengan demikian, siswa lebih banyak melakukan
kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan permasalahan dengan bimbingan guru.
Pendekatan inquiry merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan
mengembangkan cara berfikir ilmiah, pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak belajar
sendiri, mengembangkan kekeratifan dalam memecahkan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan
sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan inquiry adalah pembimbing belajar dan
fasilitator belajar. Tugas utama guru adalah memilih masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas
untuk dipecahkan oleh siswa sendiri.
Tugas berikutnya dan guru adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka
pemecahan masalah. Sudah barang tentu bimbingan dan pengawasan dan guru masih tetap
diperlukan. namun campur tangan atau intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah
harus dikurangi. Pendekatan inquiry dalam mengajar termasuk pendekatan modem, yang sangat
didain bakau untuk dilaksanakan di setiap sekolah. Adanya tuduhan bahwa sekolah menciptakan
kultur bisu, tidak akan terjadi apabila pendekatan mi digunakan. Pendekatan inquiry dapat
dilaksanakan apabila dipenuhi syarat-syarat berikut: (1) guru harus terampil memilih persoalan yang
relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan bersumber dan bahan pelajaran yang menantang
siswa problematik) dan sesuai dengan daya nalar siswa; (2) guru harus terampil menumbuhkan
motivasi belajar siswa dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan; (3) adanya fasilitas dan
sumber belajar yang cukup: (4) adanya kebebasan siswa untuk berpendapat. berkarya, berdiskusi; (5)
partisipasi setiap siswa dalam setiap kegiatan belajar; dan (6) guru tidak banyak campur tangan dan
intervensi terhadap kegiatan siswa.
Ada lima tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan pendekatan inquiry/discovery yakni:
(1) perumusan masalah untuk dipecahkan siswa; (2) menetapkan jawaban sementara atau lebih
dikenal dengan istilah hipotesis; (3) siswa mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk
menjawab permasalahan/hipotesis; (4) menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi; dan (5)
mengaplikasikan kesimpulan! generalisasi dalam situasi baru. Metode mengajar yang biasa
digunakan guru dalam pendekatan ini antara lain metode diskusi dan pemberian tugas, diskusi untuk
memecahkan permasalahan dilakukan oleh sekelompok kecil siswa antara tiga sampai lima orang
dengan arahan dan bimbingan guru.
Kegiatan ini dilaksanakan pada saat tatap muka atau pada saat kegiatan terjadwal. Dengan
demikian dalam pendekatan inquiry/discoveni model komunikasi yang digunakan, bukan komunikasi
satu arah atau komunikasi sebagai aksi, tetapi komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai
peranaksi. Studi dan penelitian terhadap kedua pendekatan mi telah banyak dilakukan. Berbagai studi
tersebut antara lain menyimpulkan bahwa pendekatan ekspositoni dan inquiry tidak berbeda
efektifnya dalam mencapai hasil belajar yang bersifat informasi, fakta dan konsep, tetapi berbeda
secara signifikan dalam mencapai keterampilan berfikir, pendekatan inquiry lebih efektif dan
pendekatan ekspositori.
Pendekatan inquiry/discovery dalam pembelajaran dapat lebih membiasakan kepada anak
untuk membuktikan sesuatu mengenai materi pelajaran yang sudah dipelajari. Membuktikan dengan
melakukan penyelidikan sendiri oleh siswa dibimbing oleh guru, penyelidikan itu dilakukan oleh para
siswa baik dilapangan seperti laboratorium, situs purbakala, hewan yang berkeliaran sesuai mata ajar
yang dipelajari di sekolah. Setelah diselidiki melalui tempat-tempat tersebut kemudian dianalisis oleh
para siswa bersama menggunakan buku-buku referensi, ensikiopedia, kamus dan lainnya yang
berkaitan dengan materi tersebut. Dengan menggunakan pendekatan inquiry dan discoveri ini
pengembangan kognitif siswa lebih terarah dan dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan
secara motorik.
2. Pendekatan Tingkah Laku (Behavioral Models)
Beberapa istilah yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain behavioral modification,
behavioral therapy, social learning theory. Pendekatan ini menekankan pada teori tingkah laku.
sebagai aplikasi dari teori belajar behaviorisme. Tingkah laku individu pada dasarnya dikontrol oleh
stimulus dan respon yang diberikan individu. Penguatan hubungan stimulus dengan respon
merupakan proses belajar yang menyebabkan perubahan tingkah laku. Teori mi dimulai oleh Pavlov
dengan teori klasikal conditioning. Thorndike dengan teori instrumental conditioning dan
dikembangkan oleh Skiner dengan teori operant conditioning. Paradigma utama dalam proses belajar
adalah stumulus-respon. Uraian lebih lengkap mengenai teori ini dapat ditemukan dalam teori tentang
belajar. Namun yang penting dalam bahasan ini adalah aplikasinya bagi guru dalam proses belajar-
mengajar. Dalam pendekatan ini langkah guru mengajar adalah sebagai berikut: (I) guru menyajikan
stimulus belajar pada siswa; (2) mengamati tingkah laku siswa dalam menanggapi stimulus yang
diberikan oleh guru (respon siswa); (3) menyediakan atau memberikan latihan-latihan kepada siswa
dalam memberikan respon terhadap stimulus; dan (4) memperkuat respon siswa yang dipandang
paling tepat terhadap jawaban dan stimulus.
Tahapan instruksional ini mengacu pada tujuan instruksional, yaitu rumusan pernyataan
mengenai kemampuan atau tingkah laku yang diharapkan dimiliki atau dikuasai siswa, bila
dilukiskan dalam bentuk bagan penerapan pendekatan tersebut untuk mencapai tujuan instruksional
dalam strategi mengajar adalah sebagaimana dijelaskan pada gambar 5.4 secara diagramatik.
Memperhatikan langkah di atas maka aspek penting dan pendekatan ini melatih siswa dan
memperkuat respon belajar siswa yang paling tepat terhadap stimulus sehingga memiliki pemahaman
yang jelas. Pemahaman memerlukan kemampuan menangkap makna atau arti dan sesuatu konsep
yang menjadi kajian dan pembahasan dalam suatu materi pelajaran.
Untuk itu dalam pendekatannya diperlukan adanya hubungan atau pertautan antara konsep
dengan makna yang ada dalam konsep tersebut. Pendekatan-pendekatan pembelajaran yang dibahas
di atas hanya sebagai contoh, digunakan pada fase kedua (tahapan instruksional). Pendekatan yang
kemukakan mi masih dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan aspek-aspek lain yang lebih
memudahkan siswa untuk dapat memahami materi pelajaran dengan baik dan benar. Bagan di atas
menggambarkan pendekatan mengajar dalam pembelajaran digunakan pada tahapan instruksional
atau tahapan kedua dan tiga tahapan mengajar. Pendekatan mengajar mana yang :dipilih diserahkan
sepenuhnya kepada guru dengan mempertimbangkan kondisi dan suasana belajar-mengajar. Namun
pendekatan manapun yang akan dipilih hendaknya diperhatikan bahwa inti dan proses belajar-
mengajar ialah adanya kegiatan siswa belajar, artinya harus berpusat kepada siswa, bukan kepada
guru pengajar.
Dalam pendekatan tingkah laku dimulai dan menyusun tahapan mengajar (Strategi) yang
digunakan dalam pembelajaran. Strategi mi dimulai dan prainstruksional yaitu persiapan dan
perencanaan pembelajaran pada satu mata pelajaran yaitu bagaimana siswa dapat mengikuti pelajaran
dan apa saja yang mungkin dapat dilakukannya sebelumnya sudah direncanakan dan
dipertimbangkan. Setelah model pembelajarannya dapat ditetapkan sedemikian rupa, maka masuklah
pada tahap instruksional yaitu pelaksanaan pembelajaran sesuai yang ditentukan sebelumnya. Untuk
mengukur kemajuannya selanjutnya dilakukan evaluasi tindak lanjut pembelajaran dan mengetahui
kemajuan belajar siswa dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model mengajar yang
dipersiapkan sebelumnya.
C. Menggunakan Berbagai Metode dalam Proses Belajar Mengajar
Dalam menggunakan model mengajar sudah barang tentu guru yang tidak mengenal metode
mengajar jangan diharap bisa melaksanakan proses belajar mengajar sebaik-baiknya. Untuk
mendorong keberhasilan guru dalam proses belajar-mengajar, di bawah mi disajikan pengertian,
fungsi, dan langkah-langkah pelaksanaan metode mengajar. Hal yang penting dalam metode ialah.
bahwa setiap metode pembelajaran yang digunakan bertalian dengan tujuan belajar yang ingin
dicapai. Tujuan untuk mendidik anak agar sanggup memecahkan masalah-masalah dalam belajarnya,
memerlukan metode yang lain, bila tujuannya mengumpulkan informasi. Oleh karena itu untuk
mendorong keberhasilan guru dalam proses belajar-mengajar, guru seharusnya mengerti akan fungsi,
dan langkah-langkah pelaksanaan metode mengajar. Ada sejumlah metode-metode mengajar yang
mungkin dapat dilakukan oleh guru antara lain sebagai berikut:
1. Model Mengajar Menggunakan Metode Ceramah
Ceramah adalah sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan lisan dan guru
kepada peserta didik. Dalam pelaksanaan ceramah untuk menjelaskan uraiannya, guru dapat
menggunakan alat-alat bantu seperti gambar, dan audio visual lainnya. Ceramah adalah penuturan
lisan dan guru kepada peserta didik, ceramah juga sebagai kegiatan memberikan informasi dengan
kata-kata sering mengaburkan dan kadang-kadang ditafsirkan salah. Kadang-kadang terjadi pula
orang baru saja mengikuti ceramah, jika ditanya, tidak tahu apa-apa. Kemungkinan terjadinya hal ini
adalah karena penceramahnya kurang pandai menyampaikan informasi dan mungkin bila karena
khalayaknya bukan pendengar yang baik. Karena itu alat utama dalam metode ceramah mi adalah
berhubungan dengan siswa menggunakan bahasa lisan.
Peranan siswa dalam metode ceramah adalah mendengarkan dengan teliti mencatat pokok
penting yang dikemukakan oleh guru. Di samping itu. mungkin pula disebabkan oleh sifat metodenya
sendiri, yaitu: (1) metode ceramah tidak dapat memberikan kesempatan untuk berdiskusi
memecahkan masalah sehingga proses menyerap pengetahuannya kurang tajam; (2) metode ceramah
kurang memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk mengembangkan keberanian
mengemukakan pendapatnya; (3) pertanyaan lisan dalam ceramah kurang dapat ditangkap oleh
pendengarannya, apalagi digunakan kata-kata asing; dan (4) metode ceramah kurang cocok dengan
tingkah laku kemampuan anak yang masih kecil. Taraf berpikir anak masih berada dalam taraf yang
kurang konkret.
Agar ceramah itu menjadi metode yang baik, perlu diperhatikan hal berikut: (1) metode
ceramah digunakan jika jumlah khalayak cukup banyak; (2) metode ceramah dipakai jika guru akan
memperkenalkan materi pelajaran baru: ((3) metode ceramah dipakai khalayaknya telah mampu
menerima informasi melalui kata-kata; (4) sebaiknya ceramah diselingi oleh penjelasan melalui
gambar dan alat-alat vaisual lainnya; dan (5) sebelum ceramah dimulai, sebaiknya guru berlatih dulu
memberikan ceramah.
Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah metode ceramah paling populer dikalangan guru.
Sebelum metode lain yang dipakai untuk mengajar, metode ceramah yang paling dulu digunakan.
Bagi kita bukanlah metode ceramah itu harus dihilangkan sama sekali, melainkan bagaimana
menggunakan metode ceramah yang efektif dan efisien. Oleh karena itu disarankan agar guru-guru
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: Pertama: Melakukan pendahuluan sebelum bahan baru
diberikan dengan cara sebagai berikut: (1) menjelaskan tujuan lebih dulu kepada peserta didik dengan
maksud agar peserta didik mengetahui arah kegiatannya dalam belajar, bahkan tujuan itu dapat
membangkitkan motivasi belajar jika bertalian dengan kebutuhan mereka; (2) setelah itu baru di
kemukakan pokok-pokok materi yang akan dibahas. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik melihat
luasnya bahan pelajaran yang akan dipelajarinya; dan (3) memancing pengalaman peserta didik yang
cocok dengan materi yang akan dipelajarinya. Caranya ialah dengan pertanyaan-pertanyaan yang
menarik perhatian mereka. Kedua: Menyajikan bahan baru dengan memperhatikan faktor-faktor
sebagai berikut: (1) perhatian peserta didik dan awal sampai akhir pelajaran harus tetap terpelihara.
Semangat mengajar memberi bantuan sepenuhnya dalam memelihara perhatian peserta didik kepada
pelajaran: (2) menyajikan pelajaran secara sistematis. tidak berbelit-belit, dan tidak meloncat-loncat;
(3) kegiatan belajar mengajar diciptakan secara variatif. jangan membiarkan peserta didik hanya
duduk dan mendengarkan, tatapi kesempatan untuk berpikir, dan berbuat. misalnya pelatihan
mengerjakan tugas. mengajukan pertanyaan. berdiskusi. atau melihat peragaan. (4) memberi ulangan
pelajaran kepada responsi. Jawaban yang salah dan benar perlu ditanggapi sebaik-baiknya; (5)
membangkitkan motivasi belajar secara terus menerus selama pelajaran berlangsung. Motivasi belajar
akan selalu tumbuh jika situasi belajar menyenangkan: dan (6) menggunakan media pelajaran yang
variatif yang sesuai dengan tujuan pelajaran. Ketiga: Menutup pelajaran pada akhir pelajaran.
Kegiatan yang penn diperhatikan pada penutupan itu adalah sebagai berikut: (I) mengambil
kesimpulan dan semua pelajaran yang telah diberikan, dilakukan oleh peserta didik di bawah
bimbingan guru; (2) memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menanggapi meteri pelajaran
yang telah diberikan terutama mengenai hubungan dengan pelajaran lain; dan (3) melaksanakan
penilaian secara komprehensif untuk mengukur perubahan tingkah laku.
2. Model Mengajar Menggunakan Metode Tanya-Jawab (Respons)
Pendekatan dalam mengajar umumnya menempuh dua macam cara, yaitu memberikan
stimulasi dan mengadakan pengarahan aktivitas belajar. Banyak yang dapat kita bicarakan mengenai
teknik mengajar yang baik, antara lain teknik bertanya. Pertanyaan adalah pembangkit motivasi yang
dapat merangsang peserta didik untuk berpikir. Melalui pertanyaan peserta didik didorong untuk
mencari dan menemukan jawaban yang tepat dan memuaskan. Dalam mencari dan menemukan itu ia
berpikir menghubung-hubungkan bagian -pengetahuan yang ada pada dirinya dengan isi pertanyaan
itu. Jawaban yang dapat segera diperoleh jika isi pertanyaan banyak kaitannya dengan pengetahuan
yang ada pada dirinya. Jika jawaban yang diminta belum siap dimilikinya, maka hal mi mendorong
untuk menemukannya. Ia akan menjelajahi data-data jawaban melalui berbagai cara yang tepat.
Proses yang dilakukan adalah dengan membaca, meneliti atau diskusi. Membaca informasi
dan berbagai sumber ada]ah salah satu teknik untuk menemukan jawaban. Penelitian di laboratorium,
di lapangan, di musium, atau di tempat-tempat sumber belajar lainnya juga merupakan cam untuk
menemukan jawaban. Jika pencarian jawaban dilakukan melalui penelitian atau membaca informasi
atau berbagai sumber sebanyak-banyaknYa maka guru telah berhasil menciptakan suasana belajar
yang baik. Kegiatan belajar seperti itu sangat membantu dalam membina manusia seutuhnya.
Jika kita hayati pengalaman kita mengajar di sekolah, kadang-kadang kita berintrospeksi,
apakah yang dilakukan itu telah cukup memberi stimuli pada peserta didik untuk belajar
sesungguhnya, apakah peserta didik terbangkit atau mendorongnya untuk belajar yang baik di
sekolah atau di rumah. Kunci pokok kehadiran stumuli belajar antara lain adalah pertanyaan yang
diajukan oleh gurunya. Orang berpendapat bahwa pendapat itu adalah membuka jalan kearah yang
baik dalam belajar. Dengan pertanyaan itu peserta didik akan segera mulai belajar sesungguhnya
(menaingful learning).
Jika dilihat dan intensitasnya, pertanyaan itu ada yang baik dan ada yang jelek. Pertanyaan
yang baik ditandai oleh: (1) adanya respon dan pihak peserta didik untuk menjawabnya, jika
jawabannya sulit ditemukan, peserta didik tidak putus semangat untuk mencarinya dan berbagai
sumber. Kadang-kadang melakukan penelitian atau membaca informasi dan buku, surat kabar, atau
majalah. Jadi, pertanyaan yang baik itu akan menumbuhkan berbagai respon untuk mencari dan
menemukan jawaban yang tepat; (2) adanya rasa tidak puas atas pertanyaan yang diberikan.
Dorongan yang menumbuhkannya adalah antara lain persaingan di antara mereka untuk memperoleh
pujian dan nilai yang baik. Karenanya mereka selalu giat untuk selalu mencari dan menemukan
jawaban yang tepat; (3) adanya pertanyaan yang tidak terlampau menghendaki jawaban “ya” atau
“bukan”. Pertanyaan seperti “apakah ibukota Sumatera Utara ?“ akan lain fungsinya dengan
pertanyaan “apa persyaratan bagi berdirinya suatu negara ?“. dan kedua pertanyaan itu dapat
dibedakan bahwa pertanyaan pertama hanya meminta jawaban berdasarkan ingatan, jawabannya
bersifat fakta, dan untuk menjawabnya tidak memerlukan proses pemikiran yang dalam dan
karenanya, jawabannya mudah ditemukan. Lain halnya dengan pertanyaan kedua. Pertanyaan mi
banyak menuntut pikiran yang mendalam. Dalam menjawabnya selain harus membaca informasi
sebanyak banyaknya, peserta didik harus menjelajahi pembuktian-pembuktian yang menunjang
kebenaran jawaban tersebut. Jika pertanyaan tersebut kita telaah secara mendalam, tampak bahwa
pertanyaan kedua mengundang banyak aktivitas belajar: dan (4) pertanyaan yang jelas dan mudah
dipahami. Pertanyaan yang jelas biasanya ditandai oleh pemakaian bahasa yang sederhana, singkat
dan padat.
Pertanyaan yang mudah ditandai oleh pertanyaan yang selalu berpusat pada tujuan dan materi
pelajaran, ruang lingkupnya tidak terlalu luas, dan cukup menggambarkan keseluruhan materi
pelajaran. Pertanyaan itu harus bermakna, maksudnya: (1) dapat membangkitkan aktivitas kegiatan
belajar yang sesungguhnya; dan (2) dapat membentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
dibutuhkan melalui kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar dan mengajar pertanyaan yang baik
bergantung pada: (1) cara seseorang atau guru bertanya pada para siswanya mengenai hal pelajaran;
(2) sikap seseorang guru mengajukan pertanyaan adalah sikap yang edukatif, dan (3) cara memberi
giliran dalam menjawab pertanyaan mengacu pada asas keadilan dan demokrasi.
Cara seseorang mengajukan pertanyaan, hasil pengalaman menunjukkan bahwa cara
seseorang mengajukan pertanyaan itu banyak ragamnya. Caranya ialah ada yang dengan: (1)
memberikan pengarahan ulang (redirecting); dan (2) ada yang dengan membimbing untuk
memberikan jawaban (probing). Pada pertanyaan bentuk pengarahan ulang terdapat proses
pengalihan jawaban dan seseorang terhadap peserta didik lainnya. Maksudnya untuk memperoleh
jawaban yang tepat dan para peserta didik. Secara diagramatik Rusyan (1993:69) menggambarkan
bahwa guru mengajukan pertanyaan terhadap seseorang atau peserta didik, dan kemudian
mengalihkan pertanyaan itu terhadap peserta didik lainnya untuk dikomentari dan diberi penjelasan
seperlunya. Ganis interaksi antara pertanyaan dan jawaban dalam kegiatan belajar tersebut dapat
dilukiskan sebagai berikut:
Contoh Pertanyaan:
Guru: Amat, apakah yang akan terjadi bila logam dijatuhkan kedalam air?
Amat: Tenggelam, Pak Guru.
Guru: Amin, apakah kamu setuju dengan pendapat Amat itu? (atau bisa juga:
Amin, dapatkah kamu menjelaskan pendapat Amat itu?)
Pada pertanyaan yang bersifat mendidik, maka bagi peserta didik untuk menemukan jawaban
terdapat upaya untuk memberikan pengarahan, namun tidak sambil mengulang (clarification), dan
generalisasi (generalization). Pertanyaan berbentuk isyarat menolong peserta didik agar jawabannya
sampai kepada yang diharapkan atau sekurang-kurangnya bisa sampai jawaban yang tidak terlampau
menyimpang dati yang sebenarnya. Pertanyaan berbentuk penjelasan dapat berguna untuk para
peserta didik dalam memberikan pendapatnya agar lebih jelas daripada yang diungkapkannya,
terutama mengenal pengertian-pengertian.
Pertanyaan-pertanyaan bentuk tunggu mi, memerlukan waktu rata-rata 5 detik. Ia berpendapat
jika waktu ini secara konsekuen dilaksanakan, akibatnya dapat membina kreativitas peserta didik
dalam menemukan jawaban. Kalimat-kalimat yang digunakan lambat laun akan menjadi sempurna,
dan peserta didik yang lambat pun akan dapat memberikan jawaban, sehingga anak yang cepat
menangkap pertanyaan dan yang lambat mendapat perhatian yang sama. Contoh tiga jehis pertanyaan
probing tersebut adalah sebagai berikut:
Pertanyaan probing dalam bentuk isyarat Guru : Amin, Berapa 25 X 25?
Ainin: (lama berpikir tidak menjawab). Tidak tahu.
Guru: Coba pikirkan, berapa 20X 25?
Amin: (dengan mudah menjawab) 500.
Guru: Berapa 5 X 25? Amin: 125
Guru: Sekarang, jadi berapa 25 X 25’?
Amin: (ia menghitungnya) 500 + 125 = 625 Pertanya probing dalam bentuk penjelasan
Guru: Tidak jauh dan sekolah kita akan didirikan pabrik obat. Setujukah kamu semua?
Beberapa murid menjawab: Tidak setuju.
Guru: Mengapa tidak setuju, Anif?
Arif: Sebab air yang mengalir di sungai kita akan mengandung racun.
Guru: Apa yang dimaksud racun itu, Arif? Dan seterusnya.
Pertanyaan Probing dalam bentuk generalisasi, Guru: Ada tiga buah segitiga A, B, dan C.
Ukurlah berapa besar sudutnya, ukurlah besar masing-masing sudut segitiga itu. Kemudian tariklah
kesimpulan berapa besar jumlah sudut suatu segitiga. Banyak hal yang kita lakukan dalam
mengajukan pertanyaan agar pertanyaan itu dapat dengan mudah dipahami. antara lain dengan diikuti
oleh pemantapan atau reinforcement yang tinggi yang dapat merangsang peserta didik untuk berpikir.
Pemantapan itu bisa dilakukan dalam bentuk: (1) verbal, yaitu mengucapkan kata-kata yang
tidak monoton tetapi beralun disertai dengan tekanan yang menegaskan seperti pada kalimat: siapa
yang menemukan listrik?: (2) gestural. yaitu pengucapan pertanyaan yang disertai dengan gerak dan
mimik tertentu tanda emosional; (3) parsial, yaitu bagian-bagian tertentu dalam pertanyaan seperti:
kapan proklamasi Indonesia diucapkan? Siapa yang mengucapkannya? Di mana? Dalam menjawab
pertanyaan itu guru perlu memperhatikan masa tunggu yang disarankan oleh Dr. Rowe itu. Sikap
guru bertanya kepada seseorang berbeda sikap guru bertanya kepada kelompok atau kelas. Menurut
teori, sikap guru kepada kelas lebih berhasil dalam menelaah jawaban yang diminta karena dorongan
untuk menjawabnya lebih besar jika dibandingkan dengan kepada perseorangan.
Para peserta didik banyak terlibat dalam menentukan jawaban itu. Oleh karena itu pertanyaan
sebaiknya diarahkan kepada seluruh kelas walaupun pertanyaan itu memerlukan pertanyaan dan
perseorangan atau seorang peserta didik. Sikap lain dalam mengajukan pertanyaan yang perlu
dikembangkan ialah sebagai berikut: (1) pertanyaan yang pernah diucapkan jangan sering diulang.
Pengulangan pertanyaan bisa membuat pertanyaan menjadi kabur, apalagi jika kalimat yang pertama
tidak sama strukturnya dengan kalimat kedua; (2) isi pertanyaan hendaknya berkisar pada pokok
bahasan tertentu. Pertanyaan diluar bahasan akan mengaburkan jawaban yang diminta, dan akibatnya
kan membuat antipati dan pihak peserta didik; dan (3) selalu menuntun peserta didik dalam
menjawab pertanyaan kepada pokok pelajaran. Tidak jarang peserta didik yang menjawab pertanyaan
diluar pokok pelajaran. Cara guru memberikan giliran: Cara guru memberikan giliran dalam
memberikan menjawab pertanyaan dapat berpengaruh dalam menciptakan kadar jawaban yang
diharapkan. Kadar jawaban akan lebih tinggi jika pertanyaan dapat dijawab oleh banyak peserta
didik.
Pertanyaan yang hanya di jawa boleh peserta didik jangan diharapkan jawaban pertanyaan itu
lengkap dan memadai. Maksud pertanyaan pada hakikatnya tidak ingin adanya jawaban yang tepat,
tetapi juga agar pertanyaan itu dapat menciptakan proses belajar yang baik. Untuk itu maka
diperlukan cara memberikan jawaban dengan bergilir. Cara memberikan giliran itu dapat dilakukan
sebagai berikut: (1) dengan pertanyaan yang ditujukan kepada seseorang dan gilirannya kepada orang
lain; (2) dengan pertanyaan yang diberikan kepada kelompok dan gilirannya kepada kelompok lain;
(3) dengan pertanyaan yang ditujukan kepada siapapun dan diarahkan secara tersebar. Pertanyaan itu
tidak ditujukan kepada peserta didik atau kelompok tertentu tetapi kepada peserta didik yang bersedia
menjawabnya. Semua bersedia menjawabnya akan diberikan giliran secara teratur; dan (4) dengan
pertanyaan yang ditujukan kepada seluruh kelas dan dijawab secara spontan oleh siapa saja. Yang
menjawab mungkin hanya peserta didik atau seseorang wakil dan kelas yang bersangkutan. Guru bisa
memberikan giliran yang lebih adil untuk menjawab pertanyaan yang diajukan melalui wakil
kelompok itu
3. Metode Mengajar Menggunakan Metode Diskusi
Diskusi ialah percakapan ilmiah yang responsif berisikan pertukaran pendapat yang dijalin
dengan pertanyaan-pertanyaan problematis pemunculan ide-ide dan pengujian ide-ide ataupun
pendapat dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok itu yang diarahkan untuk
memeperoleh pemecahan masalahnya dan untuk mencari kebenaran. Dalam diskusi selalu ada suatu
pokok yang dibicarakan. Dalam percakapan itu diharapkan para pembicara tidak menyimpang dan
pokok pembicaraan. Mereka harus selalu senantiasa kembali kepada pokok masalahnya. Pada
hakikatnya diskusi berbeda dengan percakapan, situasi lebih santai kadang diselingi dengan humor.
Dalam diskusi, semua anggota turut berpikir dan diperlukan disiplin yang ketat.
Manfaat diskusi antara lain adalah sebagai berikut: (1) peserta didik memperoleh kesempatan
untuk berpikir; (2) peserta didik mendapat pelatihan mengeluarkan pendapat, sikap dan aspirasmya
secara bebas; (3) peserta didik belajar bersikap toleran terhadap teman-temannya; (4) diskusi dapat
menumbuhkan partisipasi aktif dikalangan peserta didik; (5) diskusi dapat mengembangkan sikap
demokratif, dapat menghargai pendapat orang lain; dan (6) dengan diskusi, pelajaran menjadi relevan
dengan kebutuhan masyarakat. Diskusi selalu dipakai dalam pergaulan sehari-hari, dan karenanya
merupakan sebagian dan kehidupan sehari-hari.
Di samping manfaat menggunakan metode diskusi, tentu terdapat kelemahan-kelemahannya.
Adapun kelemahan-kelemahannya itu antara lain adalah sebagai berikut: (1) diskusi terlampau
menyerap waktu. Kadang-kadang diskusi larut dengan keasikannya dan dapat mengganggu pelajaran
lain; (2) pada umumnya peserta didik tidak berlatih untuk melakukan diskusi dan menggunakan
waktu diskusi dengan baik, maka kecenderungannya mereka tidak sanggup berdiskusi; dan (3)
kadang-kadang guru tidak memahami cara-cara melaksanakan diskusi, maka kecenderungannya
diskusi menjadi tanya jawab. Kelemahan mi menunjukkan bersumber dan guru yang kurang
menguasai penggunaan dana manfaat metode diskusi dalam membahas materi pelajaran. Kelemahan
juga datang dan peserta didik yaitu kurang mampu melaksanakan diskusi dengan baik, karena
terjebak dengan tanya jawab atau debat kusir, sehingga makna diskusi sebagai suatu teknik untuk
memahami materi pelajaran tidak terpenuhi dengan baik.
Usaha apa yang dapat dilakukan oleh guru supaya diskusi bisa berhasil dengan baik? Antara
lain adalah: (1) masalahnya harus kontroversial, artinya mengandung pertanyaan dan peserta didik.
Masalah itu menarik perhatian mereka karena bertalian erat dengan pengalaman mereka; (2) guru
harus menempatkan dirinya sebagai pemimpin diskusi. Ia harus membagi-bagi pertanyaan dan
memberi petunjuk tentang jalannya diskusi. Guru juga berperan sebagai penangkis terhadap
pertanyaan yang diajukan peserta didik; dan (3) guru hendaknya memperhatikan pembicaraan agar
fungsi guru sebagai pemimpin diskusi dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Beberapa jenis diskusi yang lazim dilakukan yaitu: (1) diskusi panel. Diskusi mi hanya
dilakukan oleh beberapa orang yang terpilih sebagai wakil orang banyak. Mereka adalah pakar di
bidangnya masing-masing dan memiliki wawasan yang berbeda. Diskusi terjadi diantara diskusi
panel. Jika diskusi melibatkan peserta diskusi lainnya, maka diskusi itu disebiiF1biiiii2) simposium.
Jalan diskusinya sama dengan panel, namun diakhiri dengan sebuah keputusan. Tiap pembicaraan
mengemukakan pendirian dan pandangan yang berbeda. Pada diskusi mi peserta juga diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat (forum); (3) diskusi seminar. Dalam seminar terdapat
jenis pengarahan yang memberi garis pembicaraan nanti dalam diskusi. Setelah pengarahan
disampaikan, baru disajikan kertas kerja oleh beberapa orang ahli.
Bahan yang di terima dan pengarahan dan kertas kerja menjadi bahan untuk didiskusikan; (4)
diskusi lokakarya. Konsep hasil seminar diturunkan kepada yang bersifat praktis seperti pada
kegiatan penulisan modul. Sebelum kegiatan mi dilakukan, dibicarakan dulu dalam lokakarya,
terutama cara-cara menulis modul, bahan-bahan tulisannya, serta pemakaian bahasa yang cocok
dengan perkembangan peserta didik. Kadang-kadang lokakarya digabung dengan kegiatan penatalan
dan disebut penlok; dan (5) diskusi formal. Diskusi ini mengikuti cara-cara yang dilakukan dalam
rapat formal seperti pada rapat guru dan kepala sekolah atau pertemuan periodik antara guru dan
kepala peserta didik. Dikelas diskusi ini bisa juga dilakukan dengan cara sebagai berikut: (a) guru
menjelaskan permasalahan dihadapkan peserta didik untuk di pecahkan; (b) setelah peserta didik
memahami masalahnya diskusi dimulai, dan setiap peserta didik diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya; dan (c) pengambilan kesimpulan; (6) Bila memungkinkan, pimpinan
diskusi diserahkan kepada peserta didik; (7) diskusi kuliah. Diskusi mi dilakukan setelah kuliah
selesai, dimulai dan sebuah urutan singkat tentang pokok bahasan. Berbagai masalah dan uraian itu
didiskusikan; (8) brainstorming. Diskusi ini dimaksudkan untuk menampung sejumlah pendapat dan
para anggota diskusi sebagai bahan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Semua pendapat,
tanpa didiskusikan lebih jauh, ditampung saja. Pemimpin diskusi atau pihak yang ditunjuk mencoba
memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai pendapat tadi. Diskusi mi jarang dipakai dalam
mengajar.
4. Model Mengajar Menggunakan Metode Demonstrasi
Metode demostrasi merupakan metode yang paling sederhana dibandingkan dengan metode-
metode mengajar lainnya. Metode demostrasi adalah pertunjukan tentang proses terjadinya suatu
peristiwa atau benda sampai pada penampilan tingkah laku yang dicontohkan agar dapat diketahui
dan dipahami oleh peserta didik secara nyata atau tiruannya. Metode ini adalah yang paling pertama
digunakan oleh manusia yaitu tatkala manusia purba menambah kayu untuk memperbesar nyala
unggun api, sementara anak-anak mereka memperhatikan dan menirunya. Metode demonstrasi mi
barang kali lebih sesuai untuk mengajarkan bahan-bahan pelajaran yang merupakan suatu gerakan-
gerakan, suatu proses maupun hal-hal yang bersifat rutin. Dengan metode demonstrasi peserta didik
berkesempatan mengembangkan kemampuan mengamati segala benda yang sedang terlibat dalam
proses serta dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan yang diharapkan. Dalam demonstrasi
diharapkan setiap langkah pembelajaran dan hal-hal yang didemonstrasikan itu dapat dilihat dengan
mudah oleh dan melalui prosedur yang benar dan dapat pula dimengerti materi yang diajarkan.
Meskipun demikian murid-murid perlu juga mendapatkan waktu yang cukup lama untuk
memperhatikan sesuatu yang didemonstrasikan itu. Dalam demonstrasi, terutama dalam rangka
mengembangkan sikap-sikap, guru perlu merencanakan pendekatan secara lebih berhati-hati dan ia
memerlukan kecakapan untuk mengarahkan motivasi dan berpikir siswa. Dalam hal mi ada dua
macam demonstrasi, yaitu : (1) demonstrasi formal dan (2) demonstrasi informal. Dari uraian di atas
dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan metode demonstrasi dalam belajar dan
mengajar ialah metode yang digunakan oleh seorang guru atau orang luar yang sengaja didatangkan
atau murid sekali pun untuk mempertunjukkan gerakan-gerakan suatu proses dengan prosedur yang
benar disertai keterangan-keterangan kepada seluruh dunia. Dalam metode demonstrasi murid
mengamati dengan teliti dan seksama serta dengan penuh perhatian dan partisipasi.
a. Kebaikan-kebaikannya
Tujuan pengajaran menggunakan metode demonstrasi adalah untuk memperlihatkan proses
terjadinya suatu peristiwa sesuai materi ajar, cara pencapaiannya, dan kemudahan untuk dipahami
oleh siswa dalam pengajaran kelas. Metode demonstrasi mempunyai kebaikan-kebaikan, antara lain
ialah: (1) perhatian murid dapat dipusatkan kepada hal-hal yang dianggap penting oleh guru sehingga
hal yang penting itu dapat diamati secara teliti. Di samping itu perhatian siswa pun lebih mudah
dipusatkan kepada proses belajar mengajar dan tidak kepada yang lainnya; (2) dapat membimbing
peserta didik ke arah berpikir yang sama dalam satu saluran pikiran yang sama; (3) ekonomis dalam
jam pelajaran di sekolah dan ekonomis dalam waktu yang panjang dapat diperlihatkan melalui
demostrasi dengan waktu yang pendek; 4) dapat mengurangi kesalahan-kesalahan bila dibandingkan
dengan hanya membaca atau mendengarkan, karena murid mendapatkan gambaran yang jelas dan
hasil pengamatannya: (5) karena gerakan i1n proses dipertunjukkan maka tidak memerlukan
keterangan-keterangan yang banyak: dan (6) beberapa persoalan yang menimbulkan pertanyaan atau
keraguan dapat diperjelas waktu proses demonstrasj.
b. Kelemahan-kelemahannya
Metode demonstrasi mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sebagai berikut: (I) derajat
visibilitasnya kurang, peserta didik tidak dapat melihat atau mengamati keseluruhan benda atau
peristiwa yang didemonstrasikan, kadang-kadang terjadi perubahan yang tidak terkontrol; (2) untuk
mengadakan demonstrasi diperlukan alat-alat yang khusus. Kadang-kadang alat itu sukar didapat.
Demonstrasi merupakan metode yang tak wajar bila alat yang didemonstrasikan tidak dapat diamati
secara seksama; (2) dalam mengadakan pengamatan terhadap hal-hal yang didemonstrasikan
diperlukan pemusatan perhatian. Dalam hal mi banyak diabaikan oleh murid-murid; (3) tidak semua
hal dapat didemonstrasikan di dalam kelas; (4) memerlukan banyak waktu, sedangkan hasilnya
kadang-kadang sangat minimum; (5) kadang-kadang proses yang didemonstrasikan di dalam kelas
akan berbeda jika proses itu didemonstrasikan dalam situasi nyata/sebenarnya; dan (6) agar
didemonstrasi mendapatkan hasil yang baik diperlukan ketelitian dan kesabaran. Kadang-kadang
ketelitian dan kesabaran itu diabaikan sehingga apa yang diharapkan tidak tercapai sebagaimana
mestinya.
c. Cara Mengatasi Kelemahan Metode Demonstrasi
Ada berbagai cara yang dapat dilakukan mengatasi kelemahan-kelemahan metode
demonstrasi yakni: (1) tentukan terlebih dahulu hasil yang ingin dicapai dalam jam pertemuan itu; (2)
guru mengarahkan demonstrasi itu sedemikian rupa sehingga murid-murid memperoleh pengertian
dan gambaran yang benar, pembentukan sikap dan kecakapan praktis; (3) pilih dan kumpulkan alat-
alat demonstrasi yang akan dilaksanakan; (4) usahakan agar seluruh murid dapat mengikuti
pelaksanaan demonstrasi itu sehingga memperoleh pengertian dan pemahaman yang sama; (5)
berikan pengertian yang sejelas-jelasnya tentang landasan teori dan yang didemonstrasikan. Hindari
pemakaian istilah yang tidak dipahami murid; (6) sedapat mungkin bahan pelajaran yang
didemonstrasikan adalah hal-hal bersifat praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari; dan (7)
menetapkan garis-garis besar langkah-langkah demonstrasi yang akan dilaksanakan. Dan sebaiknya
demonstrasi itu dimulai, guru telah mengadakan uji coba (try out) supaya kelak dalam melakukannya
tepat dan secara otomatis.
5. Model Mengajar Menggunakan Metode Sosiodrama
Sosiodrama (role playing) berasal dan kata sosio dan drama. Sosio berarti sosial menunjuk
pada objeknya yaitu masyarakat menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial, dan drama berarti
mempertunjukkan, mempertontonkan atau memperlihatkan. Sosial atau masyarakat terdiri dan
manusia yang satu sama lain terjalin hubungan yang dikatakan hubungan sosial. Drama dalam
pengertian luas adalah mempertunjukkan atau mempertontonkan suatu keadaan atau peristiwa-
peristiwa yang dialami orang. Orang dan tingkah laku orang. Metode sosiodrama berarti cara
menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan dan mempertontonkan atau
mendramatisasikan cara tingkah laku dalam hubungan sosial. Jadi sosiodrama ialah metode mengajar
yang dalam pelaksanaannya peserta didik mendapat tugas dan guru untuk mendramatisasikan suatu
situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah
yang muncul dan suatu situasi sosial.
a. Kebaikan-kebaikannya
Metode sosiodrama oleh Mansyur (1996:104) mempunyai kebaikan-kebaikan antara lain
ialah: (1) murid melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat bahan yang akan
didramakan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama
untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian daya ingatan murid harus tajam dan tahan
lama; (2) murid akan terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain drama para
pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia; (3) bakat
yang terpendam pada murid dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau timbul bibit
seni dan sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan jadi
pemain yang baik kelak; (4) kerja sama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-
baiknya: (5) murid memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan
sesamanya; dan (6) bahasa lisan murid dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami
orang lain.
b. Kelemahan-kelemahannya
Metode sosiodrama mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain: (1) sebagian besar anak
yang tidak ikut bermain drama mereka menjadi kurang aktif; (2) banyak memakan waktu, baik waktu
persiapan dalam rangka pemahaman isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukan; (3)
memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit menyebabkan gerak para kurang
bebas; dan (4) kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang
bertepuk tangan dan sebagainya.
c. Cara-cara mengatasi Kelemahan-kelemahan Metode Sosiodrama
Usaha-usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan metode sosiodrama, antara lain
ialah: (1) guru harus menerangkan kepada siswa, untuk memperkenalkan metode ini, bahwa dengan
jalan sosiodrama siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual ada di
masyarakat. Kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang berperan, masing-masing akan mencari
pemecahan masalah sesuai dengan perannya, dan siswa yang lain menjadi penonton dengan tugas-
tugas tertentu pula; (2) guru harus memilih masalah yang urgen sehingga menarik minat anak. Ia
dapat menjelaskan dengan baik dan menarik, sehingga siswa terangsang untuk memecahkan masalah
itu: (3) agar siswa memahami peristiwanya maka guru harus bisa menceritakan sambil mengatur
adegan pertama; dan (4) bobot atau luasnya bahan pelajaran yang akan didramakan harus sesuai
dengan waktu yang tersedia. Oleh karena itu harus diusahakan agar para pemain berbicara dan
melakukan gerakan jangan sampai banyak variasi yang kurang berguna.
6. Model Mengajar Menggunakan Metode Karyawisata
Karyawisata (Jield trip) ialah pesiar (ekskursi) yang dilakukan oleh para peserta didik untuk
melengkapi pengalaman belajar tertentu dan merupakan bagian integral dan kurikulum sekolah.
Dengan karyawisata sebagai metode belajar mengajar, anak didik dibawah bimbingan guru
mengunjungi tempat-tempat tertentu dengan maksud untuk belajar. Berbeda halnya dengan tamasya
dimana manusia terutama pergi untuk mencari liburan, dengan karya wisata manusia diikat oleh
tujuan dan tugas belajar.
Kendati pun karyawisata menurut Rusyan (1993:82) banyak memiliki nilai non akademis,
tetapi tujuan umum pendidikan dapat dicapai, terutama mengenai wawasan dan pengalaman tentang
dunia luar seperti kunjungan ketempat-tempat situs bersejarah, museum, peternakan yang sistematis,
dan sebagainya.
a. Kebaikan-kebaikannya
Metode karyawisata mempunyai beberapa kebaikan, antara lain ialah: (1) anak didik dapat
mengamati kenyataan-kenyataan yang beraneka ragam dan dekat; (2) anak didik dapat menghayati
pengalaman-pengalaman baru dengan mencoba turut serta di dalam suatu kegiatan; (3) anak didik
dapat menjawab masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan dengan melihat, mendengar, mencoba
dan membuktikan secara langsung; (4) anak didik dapat memperoleh informasi dengan jalan
mengadakan wawancara atau mendengarkan ceramah yang diberikan on the spot; dan (5) anak didik
dapat mempelajari sesuatu secara integral dan komprehensif.
b. Kelemahan-kelemahannya
Adapun kelemahan-kelemahan dan metode karyawisata ini antara lain: (1) memerlukan
persiapan yang melibatkan banyak pihak; (2) jika karyawisata sering dilakukan akan mengganggu
kelancaran rencana pelajaran, apalagi jika tempat-tempat yang dikunjungi jauh dan sekolah; (3)
kadang-kadang mendapat kesulitan dalam bidang pengangkutan; (4) jika tempat yang dikunjungi itu
sukar diamati, akibatnya siswa menjadi bingung dan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Misalnya untuk mempelajari proses kimia yang dikerjakan oleh mesin yang diamati; (5) memerlukan
pengawasan yang ketat; dan (6) memerlukan biaya yang relatif tinggi.
c. Cara-cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Metode Karyawisata
Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan metode
karyawisata, antara lain: (1) perlu merumuskan tujuan-tujuan yang jelas dan tegas; (2) buatlah
rumusan tujuan yang jelas dan konkret; (3) penentuan tugas-tugas yang harus dilakukan sewaktu dan
sesudah pelaksanaan karyawisata; (4) rencana penilaian pengalaman-pengalaman dan hasil
karyawisata; dan (5) rencana selanjutnya sebagai kelanjutan pengalaman hasil karyawisata.
7. Model Mengajar Menggunakan Metode Kerja Kelompok
Istilah kerja kelompok dipakai untuk merangkum pengertian dimana anak didik dalam satu
kelompok dipandang sebagai satu kesatuan tersendiri. untuk mencari satu tujuan pelajaran yang tentu
dengan bergotong royong. Metode kerja kelompok atau bekerja dalam situasi kelompok,
mengandung pengertian bahwa siswa dalam suatu kelas dipandang sebagai satau kesatuan
(kelompok) tersendiri, ataupun dibagi atas kelompok-kelompok kecil atau sub-sub kelompok.
Sebagai metode kerja kelompok dapat dipakai mengajar untuk mencapai bermacam macam tujuan di
sekolah. di dalam praktek ada banyak jenis kerja kelompok yang dapat dilaksanakan yang
kesemuanya bergantung pada beberapa faktor, misalnya pada tujuan khusus yang akan dicapai, umur
dan kemampuan siswa-siswa, serta fasilitas pelajaran-pelajaran di kelas. Kelompok bisa dibuat
berdasarkan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, perbedaan minat dan bakat belajar,
jenis kegiatan, wilayah tempat tinggal, random, dan sebagainya.
a. Kebaikan-kebaikannya
Sebaiknya kelompok menggambarkan yang heterogen, baik dan segi kemampuan belajar
maupun jenis kelamin. Hal ini dimaksudkan agar kelompok-kelompok tersebut tidak berat sebelah
yaitu ada kelompok terdiri dan anggota yang berkemampuan baik dan ada kelompok dengan anggota
yang berkemampuan kurang baik, hal ini harus dihindari. Ada beberapa kebaikan dan metode kerja
kelompok, antara lain adalah: (1) membiasakan siswa bekerja sama menurut paham demokrasi,
memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan sikap musyawarah dan bertanggung
jawab; (2) kesadaran akan adanya kelompok menimbulkan rasa kompetitif yang sehat. sehingga
membangkitkan kemauan belajar dengan sungguh-sungguh; (3) guru tidak perlu mengawasi masing-
masing murid secara individual, cukup hanya dengan memperhatikan kelompok saja atau ketua-ketua
kelompoknya. Penjelas tentang tugas pun dapat dilakukan hanya melalui ketua kelompok; dan (4)
melatih ketua kelompok menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan membiasakan anggota-
anggotanya untuk melaksanakan tugas kewajiban sebagai warga yang patuh pada aturan,
b. Kelemahan-kelemahannya
Di samping kebaikannya tentu saja metode mi mempunyai pula kelemahan-kelemahan.
Kelemahan itu dapat ditinjau dan dari segi, yaitu: (1) segi penyusunan kelompok yakni: (a) sulit
untuk membuat kelompok yang homogen, baik inteligensi, bakat dan minat, atau daerah tempat
tinggal (b) murid-murid yang oleh guru telah dianggap homogen, sering tidak merasa cocok dengan
anggota kelompoknya itu; dan (c) pengetahuan guru tentang pengelompokan itu kadang-kadang
masih belum mencukupi; dan (2) segi kerja kelompok yakni: (a) pemimpin kelompok kadang-kadang
sukar untuk memberikan pengertian kepada anggota, sulit untuk menjelaskan dan mengadakan
pembagian kerja; (b) anggota kadang-kadang tidak mematuhi tugas-tugas yang diberikan oleh
pemimpin kelompok; dan (c) dalam belajar bersama kadang-kadang tidak terkendali sehingga
menyimpang dan rencana yang berlarut-larut.
c. Cara-cara Mengatasi Kelemahan-kelemahan Metode Kerja Kelompok
Kelemahan-kelemahan yang melekat dan yang akan ditemui. dalam metode ini, bukanlah
berarti untuk melemahkan penggunaannya, melainkan agar dapat diambil langkah buat mengatasinya.
Langkah-langkah buat mengatasinya menurut Mansyur (1996:108) antara lain adalah: (1) guru
haruslah berusaha memperoleh pengetahuan yang luas dalam hal cara menyusun kelompok, baik
melalui buku atau dengan bertanya kepada mereka yang telah berpengalaman; (2) kumpulan data
tentang siswa untuk menunjang tugas-tugas guru; (3) adakan tes sosiometri dan buatlah sosiogram
dari kelas bersangkutan untuk mengetahui klik atau ada murid yang terisolasi; (4) bimbingan
terhadap kelompok harus dilakukan terus menerus; (5) usahakan agar jumlah kelompok itu tidak
terlalu besar dan anggotanya dalam waktu tertentu berganti-ganti; dan (6) dalam memberikan
motivasi haruslah menuju kepada kompetisi yang sehat.
8. Model Mengajar Menggunakan Metode Latihan
Metode latihan (drill) atau metode training merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk
menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Juga sebagai sarana untuk memperoleh suatu
ketangkasan, ketepatan, kesempatan dan keterampilan. Metode latihan pada umumnya digunakan
untuk memperoleh suatu ketangkasan atau ketrampilan dan apa yang telah dipelajari. Mengingat
latihan ini kurang mengembangkan bakat atau inisiatif siswa untuk berpikir, latihan-disiapkan-untuk
mengembangkan kemampuan yang sebelumnya dilakukan diagnosis agar kegiatan itu bermanfaat
bagi pengembangan motorik siswa.
a. Kebaikan-kebaikannya
Metode latihan mempunyai kebaikan-kebaikan, antara lain adalah: (I) pembentukan kebiasaan
yang dilakukan dengan mempergunakan metode ini akan menambah ketepatan dan kecepatan
pelaksanaan; (2) pemanfaatan kebiasaan-kebiasaan tidak memerlukan banyak konsentrasi dalam
pelaksanaannya; dan (3) pembentukan kebiasaan membuat gerakan-gerakan yang kompleks. rumit
menjadi otomatis, habitation makes complex movement more automatic.
b. Kelemahan-kelemahannya
Adapun kelemahan-kelemahan metode ini antara lain: (1) metode ini dapat menghambat bakat
dan inisiatif murid, karena murid lebih banyak dibawa kepada konformitas dan diarahkan kepada
uniformitas; (2) kadang-kadang latihan yang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang
monoton. mudah membosankan; (3) membentuk kebiasaan yang kaku, karena murid lebih banyak
ditujukan untuk mendapatkan kecakapan memberikan respons secara otomatis. tanpa menggunakan
inteligensia: dan (4) dapat menimbulkan verbalisme karena murid-murid lebih banyak dilatih
menghafal soal-soal dan menjawabnya secara otomatis.
c. Cara mengatasi kelemahan-kelemahan metode latihan
Ada bermacam-macam usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
metode latihan mi yaitu antara lain: (L) latihan hanya untuk bahan atau tindakan yang bersifat
otomatis; (2) latihan harus memiliki arti yang luas, karenanya: (a) jelaskan terlebih dahulu tujuan
latihan tersebut; (b) agar murid dapat memahami manfaat latihan itu bagi kehidupan siswa; dan (c)
murid perlu mempunyai sikap bahwa latihan itu diperlukan untuk melengkapi belajar; (3) masa
latihan relatif harus singkat, tetapi harus sering dilakukan pada waktu-waktu tertentu; (4) latihan
harus menarik, gembira dan tidak membosankan. Untuk itu perlu: (a) dibandingkan minat intrinsik;
(b) tiap-tiap kemajuan yang dicapai murid harus jelas; dan (c) hasil latihan terbaik dengan sedikit
menggunakan emosi; dan (3) proses latihan dan kebutuhan-kebutuhan harus disesuaikan dengan
proses perbedaan individual: (a) tingkat kecakapan yang diterima pada satu tidak perlu sama; dan (b)
perlu diberikan perorangan dalam rangka menambah latihan kelompok. Cara mengatasi kelemahan
mi tentu harus disesuaikan dengan kondisi objektif dimana pembelajaran itu berlangsung, dan jika
dengan menggunakan beberapa langkah tertentu tampak sudah dapat mengatasi masalah, maka
kegiatan belajar dilanjutkan sesuai skenario yang telah disiapkan.
9. Model Mengajar Menggunakan Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas dan resitasi adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana guru
memberikan tugas tertentu agar murid melakukan kegiatan belajar, kemudian harus di
pertanggungjawabkannya. Tugas yang diberikan oleh guru dapat memperdalam bahan pelajaran, dan
dapat pula mengecek bahan yang telah dipelajari. Tugas dan resitasi merangsang anak untuk aktif
belajar baik secara individual maupun kelompok.
a. Kebaikannya
Metode pemberian tugas mempunyai beberapa kebaikan antara lain: (1) pengetahuan yang
diperoleh murid dan hasil belajar, hasil percobaan atau hasil penyelidikan yang banyak berhubungan
dengan minat atau bakat yang berguna untuk hidup mereka akan lebih meresap, tahan lama dan lebih
otentik; (2) mereka berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif,
bertanggung jawab dan berdiri sendiri; (3) tugas dapat lebih meyakinkan tentang apa yang dipelajari
dan guru, lebih memperdalam, memperkaya atau memperluas wawasan tentang apa yang dipelajari;
(4) tugas dapat membina kebiasaan siswa untuk mencari dan mengolah sendiri informasi dan
komunikasi. Hal ini diperlukan sehubungan dengan abad informasi dan komunikasi yang maju
demikian pesat dan cepat; dan (5) metode mi dapat membuat siswa bergairah dalam belajar dilakukan
dengan berbagai variasi sehingga tidak membosankan.
b. Kelemahannya
Beberapa kelemahan dan metode pemberian tugas ini dalam pembelajaran adalah: (1) sering
kali siswa melakukan penipuan diri di mana mereka hanya meniru hasil pekerjaan orang lain, tanpa
mengalami peristiwa belajar; (2) adakalanya tugas itu dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan:
(3) apabila tugas terlalu diberikan atau hanya sekedar melepaskan tanggung jawab bagi guru, apalagi
bila tugas-tugas itu sukar dilaksanakan ketegangan mental mereka dapat terpengaruh; dan (4) karena
kalau tugas diberikan secara umum mungkin seseorang anak didik akan mengalami kesulitan karena
sukar selalu menyelesaikan tugas dengan adanya perbedaan individual. Kelemahan ini lebih
dititikberatkan pada siswa, tetapi ada juga kelemahan guru.
c. Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Metode Pemberian Tugas
Ada beberapa cara untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan metode pemberian tugas ini,
antara lain: (1) tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya jelas, sehingga mereka mengerti apa
yang harus dikerjakan (2) tugas yang diberikan kepada siswa dengan memperlihatkan perbedaan
individu masing-masing; (3) waktu untuk menyelesaikan tugas harus cukup; (4) adalah kontrol atau
pengawasan yang sistematis atas tugas yang diberikan sehingga mendorong siswa untuk belajar
dengan sungguh-sungguh; dan (5) tugas yang diberikan hendaklah mempertimbangkan: (a) menarik
minat dan perhatian siswa: (b) mendorong siswa untuk mencan, mengalami dan menyampaikan; (c)
diusahakan tugas itu bersifat praktis dan ilmiah; dan (d) bahan pelajaran yang ditugaskan agar
diambilkan dan hal-hal yang dikenal siswa.
10. Model Mengajar Menggunakan Metode Eksperimen
Kadang-kadang menurut Rusyan (1993:110) orang mengaburkan pengertian eksperimen
dengan kerja laboratorium, meskipun kedua pengertian ini mengandung prinsip yang hampir sama,
namun berbeda dalam konotasinya. Ekspenmen adalah percobaan untuk membuktikan suatu
pertanyaan atau hipotesis tertentu. Eksperimen bisa dilakukan pada suatu laboratorium atau di luar
laboratorium, pekerjaan eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat
dimasukkan ke dalam metode pembelajaran. Metode eksperimen adalah cara penyajian bahan
pelajaran di mana siswa melakukan percobaan dengan mengalami untuk membuktikan sendiri
sesuatu pertanyaan atau hipotesis yang dipelajari.
Dalam proses belajar mengajar dengan metode eksperimen mi siswa diberi kesempatan untuk
mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti proses, mengamati suatu objek, menganalisis,
membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses sesuatu.
Peran guru dalam metode eksperimen ini sangat penting, khususnya berkaitan dengan ketelitian dan
kecermatan sehingga tidak terjadi kekelinian dan kesalahan dalam memaknai kegiatan eksperimen
dalam kegiatan belajar dan mengajar. Jadi, peran guru untuk membuat kegiatan belajar ini menjadi
faktor penentu berhasil atau gagalnya metode eksperimen ini.
a. Kebaikan-kebaikannya
Metode eksperimen mempunyai kebaikan sebagai berikut: (1) metode ini dapat membuat
siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri dan pada
hanya menerima kata guru atau buku saja; (2) dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi
eksploratoris tentang sains dan teknologi, suatu sikap dan seseorang ilmuwan; (3) metode ini
didukung oleh asas-asas didaktik modem, antara lain: (a) siswa belajar dengan mengalami atau
mengamati sendiri suatu proses atau kejadian; (b) siswa terhindar jauh dan verbalisme; (c)
memperkaya pengalaman dengan hal-hal yang bersifat objektif dan realistis; (d) mengembangkan
sikap berpikir ilmiah; dan (e) hasil belajar akan tahan lama dan internalisasi.
b. Kelemahan-kelemahannya
Selain kebaikan tersebut, metode eksperimen mengandung beberapa kelemahan sebagai
berikut: (1) pelaksanaan metode mi sering memerlukan berbagai fasilitas peralatan dan bahan yang
tidak selalu mudah diperoleh dan murah; (2) setiap eksperimen tidak selalu memberikan hasil yang
diharapkan karena mungkin ada faktor-faktor tertentu yang berada diluar jangkauan kemampuan atau
pengendalian; dan (3) sangat menuntut penguasaan perkembangan materi, fasilitas peralatan dan
bahan mutakhir. Sering terjadi siswa lebih dahulu mengenal dan menggunakan alat bahan tertentu
dan pada guru.
c. Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Metode Eksperimen
Ada beberapa cara untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan metode manusia dan metode
eksperimen: (1) hendaknya guru menerangkan sejelas jelasnya tentang hasil yang ingin dicapai
sehingga ia mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dengan eksperimen; (2)
hendaknya guru membicarakan bersama-sama dengan siswa tentang langkah yang dianggap baik
untuk memecahkan masalah dalam eksperimen, serta bahan-bahan yang diperlukan, variabel yang
perlu dikontrol dan hal-hal yang perlu dicatat; (3) bila perlu, guru menolong siswa untuk memperoleh
bahan-bahan yang diperlukan; dan (4) guru perlu merangsang agar setelah eksperimen berakhir, ia
membanding-bandingkan hasilnya dengan hasil eksperimen orang lain dan mendiskusikannya bila
ada perbedaan-perbedaan atau kekeliruan-kekeliruan.
D. Strategi dalam Model Mengajar
1. Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar
Konsep dasar strategi belajar mengajar ini meliputi hal-hal: (1) menetapkan spesifikasi dan
kualifikasi perubahan perilaku belajar; (2) menentukan pilihan berkenaan dengan pendekatan
terhadap masalah belajar mengajar, memilih prosedur, metode dan teknik belajar mengajar: dan (3)
norma dan kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Strategi dapat diartikan sebagai suatu
garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Dikaitkan dengan belajar mengajar. strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru,
murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.
Menurut Newman dan Mogan, strategi dasar setiap usaha meliputi empat masalah masing-masing.
1. Pengidentifikasian dan penetapan spesifiakasi dan kualifikasi hasil yang harus dicapai dan
menjadi sasaran usaha tersebut. dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang
memerlukannya.
2. Pertimbangan dan pemilihan pendekatan utama yang ampuh untuk mencapai sasaran.
3. Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang ditempuh sejak awal sampai akhir.
4. Pertimbangan dan penetapan tolok ukur dan ukuran baku yang akan digunakan untuk menilai
keberhasilan usaha yang dilakukan.
Kalau diterapkan dalam konteks pendidikan, keempat strategi dasar tersebut bisa
diterjemahkan menjadi: (1) mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan
tingkah laku kepribadian peserta didik yang bagaimana yang diharapkan; (2) memilih sistem
pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat; (3) memilih dan
menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat, efektif,
sehingga dapat dijadikan pegangan oleh para guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya; dan (4)
menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria dan standar keberhasilan
sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar
mengajar, yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional
yang bersangkutan secara keseluruhan. Dan uraian di atas tergambar bahwa ada empat masalah
pokok yang sangat penting yang dapat dan harus dijadikan pedoman buat pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar supaya sesuai dengan yang diharapkan.
Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku yang bagaimana yang diinginkan
sebagai hasil belajar mengajar yang dilakukan itu. Dengan kata lain apa yang harus dijadikan sasaran
dan kegiatan belajar mengajar tersebut. Sasaran ini harus dirumuskan secara jelas dan konkrit
sehingga mudah dipahami oleh peserta didik. Perubahan perilaku dan kepribadian yang bagaimana
yang kita inginkan terjadi setelah siswa mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar itu harus jelas,
misalnya dan tidak bisa membaca lembah menjadi dapat membaca. Suatu kegiatan belajar mengajar
tanpa sasaran yang jelas, berarti kegiatan tersebut dilakukan tanpa arah atau tujuan yang pasti. Lebih
jauh suatu usaha atau kegiatan yang tidak punya arah atau tujuan pasti, dapat menyebabkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dan tidak tercapainya hasil yang diharapkan.
Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif
untuk mencapai sasaran. Bagaimana cara kita memandang suatu persoalan, konsep, pengertian dan
teori apa yang kita gunakan dalam memecahkan suatu kasus akan mempengaruhi hasilnya. Suatu
masalah yang dipelajari oleh dua orang dengan pendekatan berbeda, akan menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan yang tidak sama. Norma-norma sosial seperti baik, benar, adil, dan sebagainya akan
melahirkan kesimpulan yang berbeda bahkan mungkin bertentangan kalau dalam cara pendekatannya
menggunakan berbagai disiplin ilmu. Pengertian-pengertian, konsep, dan teori ekonomi tentang baik,
benar, atau adil, tidak sama dengan baik, benar atau adil ini menurut pengertian konsep dan teori
antropologi. Juga akan tidak sama apa yang dikatakan baik, benar atau adil kalau kita menggunakan
pendekatan agama karena pengertian, konsep, dan teori agama mengenai baik, benar atau adil itu
jelas berbeda dengan konsep ekonomi maupun antropologi. Begitu juga halnya dengan cara
pendekatan terhadap kegiatan belajar mengajar dalam pembelajaran.
Konsep belajar menurut teori asosiasi, tidak sama dengan konsep belajar menurut teori
problem solving. Suatu topik tertentu dipelajari atau dibahas dengan cara menghafal akan berbeda
hasilnya kalau dipelajari atau dibahas dengan teknik diskusi atau seminar. Juga akan lain hasilnya
andaikata topik yang sama dibahas dengan menggunakan kombinasi berbagai teori. Ketiga, adalah
memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat
dan efektif Metode atau teknik penyajian untuk memotivasi siswa agar mampu menerapkan
pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, berbeda dengan cara atau supaya
murid-murid terdorong dan mampu berpikir bebas dan cukup keberanian untuk mengemukakan
pendapatnya sendiri. Perlu dipahami bahwa suatu metode mungkin hanya cocok dipakai untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi dengan sasaran yang berbeda hendaknya jangan menggunakan
teknik penajian yang sama.
Keempat. menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai
pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan tugas-tugas
yang telah dilakukannya. Suatu program bani bisa diketahui keberhasilannya setelah dilakukan
evaluasi. Sistem penilaian dalam kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu strategi yang tidak
bisa dipisahkan dengan strategi dasar lain. Apa yang harus dinilai dan bagaimana penilaian itu harus
dilakukan termasuk kemampuan yang harus dimiliki oleh guru. Seorang siswa dapat dikategorikan
sebagai murid yang berhasil bisa dilihat dan berbagai segi. Bisa dilihat dan segi kerajinannya
mengikuti tatap muka dengan guru, perilaku sehari-hari di sekolah, hasil ulangan. hubungan sosial,
kepemimpinan, prestasi olah raga, keterampilan dan sebagainya atau dilihat dan berbagai aspek.
Keempat dasar strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh antara dasar yang satu dengan
dasar yang lain saling menopang dan tidak bisa dipisahkan.
2. Sasaran Kegiatan Belajar Mengajar
Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan itu bertahap dan
berjenjang, mulai dan yang sangat operasional dan konkret yakni tujuan pembelajaran khusus, tujuan
pembelajaran umum, tujuan kurikuler. tujuan nasional, sampai pada tujuan yang bersifat universal.
Persepsi guru atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir kegiatan belajar mengajar akan
mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran antara serta sasaran kegiatan. Sasaran itu harus
diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan. Pada tingkat sasaran atau
tujuan yang universal, manusia yang diidamkan tersebut harus memiliki kualifikasi: (1)
pengembangan bakat secara optimal; (2) hubungan antar manusia; (3) efisiensi ekonomi; dan (4)
tanggung jawab selaku warga negara.
Sedangkan tujuan pendidikan Indonesia sejalan dengan dasar negara dan pandangan hidup
kita, sasarannya adalah terbinanya warga negara yang cakap, memahami, menghayati, dan
mengamalkan sila-sila (I) ke Tuhanan Yang Maha Esa; (2) kemanusiaan yang adil dan beradab; (3)
persatuan Indonesia; (4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan; dan (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pandangan hidup
para” guru maupun siswa turut mewarnai berkenaan dengan gambaran karakteristik sasaran manusia
idaman.
Konsekwensinya akan mempengaruhi juga kebijakan tentang perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, serta penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar. Belajar mengajar selaku suatu sistem
instruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu
sama lain untuk mencapai tujuan. Selaku suatu sistem belajar mengajar meliputi sejumlah komponen
antara lain tujuan pelajaran, bahan ajar. siswa yang menerima pelayanan belajar. guru, metode dan
pendekatan, situasi. dan evaluasi kemajuan belajar. Agar tujuan itu dapat tercapai semua komponen
yang ada harus diorganisasikan dengan baik sehingga sesama komponen itu terjadi kerja sama.
Karena itu guru tidak boleh hanya memperhatikan komponen-komponen tertentu saja
misalnya metode, bahan dan evaluasi saja, tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara
keseluruhan. Berbagai persoalan yang biasa dihadapi guru antara lain adalah: (1) tujuan-tujuan apa
yang ingin dicapai; (2) materi pelajaran apa yang perlu diberikan; (3) metode alat mana yang harus
dipakai; (4) prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan evaluasi. Secara khusus dalam proses
belajar mengajar guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat,
administrator dan lain-lain. Untuk itu wajar bila guru memahami dengan segenap aspek pribadi anak
didik seperti: (I) kecerdasan dan bakat khusus; (2) prestasi sejak permulaan sekolah; (3)
perkembangan jasmani dan kesehatan; (4) kecenderungan emosi dan karakternya; (5) sikap dan minat
belajar; (6) cita-cita; (7) kebiasaan belajar dan bekerja; (8) hobi dan penggunaan waktu senggang; (9)
hubungan sosial di sekolah dan di rumah; (10) latar belakang keluarga; (11) lingkungan tempat
tinggal; dan (12) sifat-sifat khusus dan kesulitan belajar anak didik. Usaha untuk memahami anak
didik mi bisa dilakukan melalui evaluasi selain itu guru mempunyai keharusan melaporkan
perkembangan hasil belajar para siswa kepada kepala sekolah, orang tua, serta instansi yang terkait.
3. Tahapan Mengajar
Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan guru dalam melaksanakan strategi mengajar
yalta: (1) tahapan mengajar; (2) penggunaan model atau pendekatan mengajar; dan (3) penggunaan
prinsip mengajar. Secara umum ada tiga pokok dalam strategi mengajar. yakni tahap permulaan
(prainstruksional). tahap pengajaran (instruksional). dan tahap penilaian dan tindak lanjut.
Ketiga tahapan mi harus ditempuh pada setiap saat melaksanakan pengajaran. Jika, satu
tahapan tersebut ditinggalkan, maka sebenarnya tidak dapat dikatakan telah terjadi proses pengajaran.
a. Tahap Prainstruksional
Tahap prainstruksional adalah tahapan yang ditempuh guru pada saat ia memulai proses
belajar dan mengajar. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru atau oleh siswa pada
tahapan ini:
1. Guru menanyakan kehadiran siswa, dan mencatat siapa yang tidak hadir. Kiranya tidak perlu
diabsensi satu persatu, cukup ditanya yang tidak hadir saja, dengan alasannya. Kehadiran siswa
dalam pengajaran, dapat dijadikan salah satu tolok ukur kemampuan guru mengajar. Tidak selalu
ketidak hadiran siswa, disebabkan kondisi siswa yang bersangkutan (sakit, malas, bolos, dan lain-
lain), tetapi bisa juga terjadi karena pengajaran dan guru tidak menyenangkan, sikapnya tidak
disukai oleh siswa, atau karena tindakan guru pada waktu mengajar sebelumnya dianggap
merugikan siswa (penilaian tidak adil, memberi hukuman yang menyebabkan frustasi, rendah diri
dan lain-lain).
2. Bertanya kepada siswa, sampai dimana pembahasan pelajaran sebelumnya. Hal ini bukan soal
guru sudah lupa, tapi menguji dan mengecek kembali ingatan siswa terhadap bahan yang telah
dipelajarinya. Dengan demikian guru mengetahui ada tidaknya kebiasaan belajar siswa di
rumahnya sendiri. setidak-tidaknya kesiapan siswa menghadapi pelajaran hari itu.
3. Mengajukan pertanyaan kepada siswa di kelas, atau siswa tertentu tentang bahan pelajaran yang
sudah diberikan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sampai di mana pemahaman
materi yang telah diberikan. Apakah tahan lama diingat, atau tidak. Data dan informasi ini bukan
hanya berguna bagi siswa, tapi juga bagi guru. Jika ternyata siswa dapat menjawabnya. sangat
bijaksana bila guru memberi pujian dan penghargaan.
4. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai bahan pelajaran yang belum
dikuasainya dan pengajaran yang telah dilaksanakan sebelumnya.
5. Mengulang kembali bahan pelajaran yang lalu (bahan pelajaran sebelumnya) secara singkat tapi
mencakup semua bahan aspek yang telah dibahas sebelumnya. Hal mi dilakukan sebagai dasar
bagi pelajaran yang akan dibahas hari berikutnya nanti, dan sebagai usaha dalam menciptakan
kondisi belajar siswa.
Tujuan tahapan ini, pada hakikatnya adalah mengungkapkan kembali tanggapan siswa
terhadap bahan yang telah diterimanya, dan menumbuhkan kondisi belajar dalam hubungannya
dengan pelajaran hari itu. Tahap prainstruksional dalam strategi mengajar mirip dengan kegiatan
pemanasan dalam olah raga. Kegiatan ini akan mempengaruhi keberhasilan siswa. Seperti seorang
pemain bulu tangkis, melakukan pukulan pemanasan, sebelum ia bermain yang sebenarnya. Oleh
karena itu tak pernah terjadi seorang pemain langsung bertanding tanpa melakukan pukulan
pemanasan.
b. Tahap Instruksional
Tahap kedua adalah tahap pengajaran atau tahap inti. Yakni tahapan memberikan bahan
pelajaran yang telah disusun guru sebelumnya. Secara umum dapat diidentifikasi beberapa kegiatan
sebagai berikut.
1. Menjelaskan pada siswa tujuan pengajaran yang harus di capai siswa. Informasi tujuan penting
diberikan kepada siswa, sebab tujuan tersebut untuk siswa dan harus dicapai setelah pengajaran
selesai. Berdasarkan pengamatan, masih banyak guru yang tidak melaksanakan mi, sebaiknya
tujuan tersebut ditulis secara ringkas di depan papan tulis sehingga dapat dibaca dan dapat
dipahami oleh semua siswa.
2. Menuliskan pokok materi yang akan dibahas hari itu yang diambil dan buku sumber yang telah
disiapkan sebelumnya. Sudah barang tentu materi tersebut sesuai silabus dan tujuan pengajaran,
sebab materi bersumber dan tujuan.
3. Membahas pokok materi yang telah dituliskan tadi. Dalam pembahasan materi itu dapat ditempuh
dua cara yakni: Pertama pembahasan dimulai dan gambaran umum materi pengajaran menuju
kepada topik secara lebih khusus. Cam kedua dimulai dan topik khusus menuju topik umum.
Mana cara yang paling baik untuk melakukannya, tentu bergantung pada guru masing-masing.
Namun demikian, cara pertama diduga akan lebih efektif sebab siswa diberikan gambaran
keseluruhan materi, sehingga siswa tahu arah bahan pengajaran yang akan dibahas selanjutnya.
Pembahasan tidak harus oleh guru tapi lebih baik lagi dibahas oleh siswa.
4. Pada setiap pokok materi yang dibahas sebaiknya diberikan contoh-contoh konkret. Demikian
pula siswa harus diberikan pertanyaan atau tugas, untuk mengetahui tingkat pemahaman dan
setiap pokok materi yang telah dibahas. Dengan demikian nilai pengajaran tidak hanya pada akhir
pelajaran saja, tetapi juga pada saat pengajaran berlangsung. Jika ternyata siswa belum
memahaminya, maka guru mengulang kembali pokok materi tadi, sebelum melanjutkan pada
pokok materi berikutnya. Demikian sistemnya sampai semua pokok materi yang telah di tulis tadi
selesai dibahas. Harus diperhatikan bahwa siswa harus banyak terlibat dalam membahas pokok
materi.
5. Penggunaan alat bantu pengajaran untuk memperjelas pembahasan setiap pokok materi sangat
diperlukan. Alat bantu seperti alat peraga grafis, model atau alat peraga yang diproyeksikan
(kalau ada) sudah barang tentu harus sudah disiapkan sebelumnya. Alat mi digunakan dalam
empat fase kegiatan yakni: (a) pada waktu guru menjelaskan kepada siswa; (b) pada waktu guru
menjawab pertanyaan siswa, sehingga jawaban lebih jelas; (c) pada waktu guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa atau pada waktu memberi tugas kepada siswa; dan (d) digunakan siswa
pada waktu ia mengerjakan tugas yang diberikan guru dan pada waktu siswa melakukan kegiatan
belajar. Dengan demikian alat peraga tersebut dapat digunakan oleh guru dan oleh siswa.
6. Menyimpulkan hasil pembahasan dan pokok materi. Kesimpulan ini dibuat oleh guru dan
sebaiknya pokok-pokoknya ditulis di papan tulis untuk dicatat siswa. Kesimpulan dapat pula
dibuat guru bersama-sama siswa, bahkan kalau mungkin diserahkan sepenuhnya kepada siswa.
Pada kegiatan ini siswa diberi waktu untuk mencatat kesimpulan pelajaran bertanya kepada
teman-temannya, atau mendiskusikannya dalam kelompok. Harus diperhatikan bahwa kegiatan
yang ditempuh dalam tahapan instruksional, sebaiknya dititikberatkan pada siswa yang harus
lebih aktif melakukan kegiatan belajar. Untuk itu maka haruslah dipilih pendekatan mengajar
yang berorientasi kepada cam belajar siswa aktif.
c. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut
Tahapan yang ketiga atau yang terakhir dan strategi menggunakan model mengajar adalah
tahap evaluasi atau penilaian dan tindak lanjut dalam kegiatan pembelajaran. Tujuan tahapan ini,
ialah untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan tahapan kedua (instruksional), kegiatan yang
dilakukan pada tahapan ini antara lain:
1. Mengajukan pertanyaan kepada kelas, atau kepada beberapa siswa. mengenai semua pokok
materi yang telah dibahas pada tahapan kedua. Pertanyaan yang diajukan bersumber dan bahan
pengajaran. Pertanyaan dapat diajukan kepada siswa secara lisan maupun secara tertulis.
Pertanyaan mi disebut posttest. Berhasil tidaknya tahapan kedua, dapat terlihat dan dapat tidaknya
siswa menjawab pertanyaan yang diajukan guru, Salah satu patokan yang dapat digunakan adalah
apabila kira-kira 70% dan jumlah siswa di kelas tersebut dapat menjawab setiap pertanyaan yang
diajukan, maka proses pengajaran (tahapan kedua) dikatakan berhasil.
2. Apabila pertanyaan yang diajukan belum dapat dijawab oleh siswa kurang dan 70%, maka guru
harus mengulang kembali materi yang belum dikuasai siswa. Teknik pembahasan bisa ditempuh
dengan berbagai cara yakni: (1) menguasai untuk menjelaskannya pada kegiatan terjadwal; (2)
diadakan diskusi kelompok membahas pokok materi yang belum dikuasai; dan (3) memberikan
tugas pekerjaan rumah, yang berhubungan dengan pokok materi yang belum dikuasai melalui
kegiatan mandiri. cara mana yang dipilih diserahkan sepenuhnya kepada guru.
3. Untuk memperkaya pengetahuan siswa, materi yang dibahas, guru dapat memberikan
tugas/pekerjaan rumah yang ada hubungannya dengan topik atau pokok materi yang telah
dibahas. Misalnya tugas memecahkan masalah, menulis karangan/makalah, membuat kliping dan
koran dan lain- lain yang erat hubungannya dengan bahan yang telah dibahas.
4. Akhiri pelajaran dengan menjelaskan atau memberi tahu pokok materi yang akan dibahas pada
pelajaran berikutnya. Informasi ini perlu agar siswa dapat mempelajari bahan tersebut dan
sumber-sumber yang dimilikinya.
Ketiga tahap yang telah dibahas di atas, merupakan satu rangkaian kegiatan yang terpadu,
tidak terpisahkan satu sama lain. Guru dituntut untuk mampu dan dapat mengatur waktu dan kegiatan
secara neksibel, sehingga ketiga rangkaian tersebut diterima oleh siswa secara utuh. Di sinilah letak
keterampilan profesional dan seorang guru dalam melaksanakan strategi mengajar. Kemampuan
mengajar seperti dilukiskan dalam uraian di atas secara teoritis mudah dikuasai, namun dalam
prakteknya tidak semudah seperti digambarkan. Hanya dengan latihan dan kebiasaan yang terencana,
kemampuan itu dapat diperoleh.
BAB VI
PENGEMBANGAN KURIKULUM DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
1. Pendahuluan
Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi kurikulum, tetapi
banyak juga yang mengemukakan bahwa pembelajaran itu sendiri merupakan kurikulum sebagai
kegiatan. Pembangunan Nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia melalui proses pendidikan. Dengan demikian
pembangunan pendidikan diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang memungkinkan warganya mengembangkan diri mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya dan selanjutnya mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia
Indonesia seutuhnya.
Untuk mewujudkan pembangunan nasional dibidang pendidikan tersebut diperlukan suatu
peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan masyarakat, tantangan global, serta
kebutuhan pembangunan. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka disusunlah
suatu kurikulum, dalam perjalanannya kurikulum ini senantiasa mengalami perkembangan dan
penyesuaian sesuai dengan kemajuan. Seperti kita ketahui bahwa pendidikan sebagai suatu sistem
adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional (UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 3).
Hal ini merupakan serangkaian tindakan yang saling terkait antara satu dengan yang lain, dan
merupakan suatu usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
bahan latihan bagi peranannya terhadap kehidupan di masa akan datang. Dengan demikian kurikulum
merupakan salah satu indikator yang menentukan berhasil tidaknya suatu pendidikan. oleh karena itu
kurikulum harus dikelola secara baik dan profesional. Secara langsung maupun tidak, penyampaian
kurikulum dalam program pendidikan menuntut adanya tanggung jawab guru sebagai pelaksana
proses belajar mengajar di sekolah, tanggung jawab guru mi khusus dalam hubungannya dengan
layanan belajar siswa.
Karenanya dalam melaksanakan tugas guru dituntut memiliki keterampilan profesional yang
tinggi dalam mengembangkan kurikulum. Permasalahannya sekarang, adalah bagaimanakah kita
menyampaikan kurikulum melalui kegiatan mengajar anak-anak agar dapat menjadi anggota
masyarakat yang baik, sehingga kualitas, lulusan/output pendidikan kita bertambah tinggi. Untuk
menjawab permasalahan ini, seluruh sistem yang berkaitan dengan pendidikan dan guru sebagai
pendidik hendaknya memahami betul masalah-masalah yang berhubungan dengan kurikulum.
Masalah yang harus diantisipasi adalah perubahan dan pengembangan kurikulum, karena kurikulum
berkaitan erat dengan tinggi dan rendahnya mutu pendidikan. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan
ialah bagaimana mengelola dan mengembangkan kurikulum? sehingga bermanfaat bagi kehidupan
sehari-hari.
Bagaimana meningkatkan kualitas lulusan sehingga dapat diterima kualitasnya di masyarakat.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan suatu pembahasan sehingga mencapai titik terang dalam
melihat permasalahannya. Perlu diingat oleh para pendidik bahwa apabila terjadi perubahan
kurikulum dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka hendaknya jangan hanya
sekedar mengubah kurikulum secara parsial atau hanya harus dilihat dan berbagai aspek dalam suatu
sistem yang menyeluruh, seperti segala sesuatu yang berhubungan dengannya seperti guru, kebutuhan
siswa, persaingan global, biaya, sarana dan prasarana perlu disiapkan agar betul-betul dirasakan
manfaatnya oleh semua pihak. Jadi dengan kata lain perubahan - kurikulum itu tidak bersifat parsial,
atau tidak dirasakan manfaatnya, bahkan hanya dianggap menjadi beban bagi masyarakat ataupun
bagi guru dan murid itu sendiri.
UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 1 menegaskan bahwa pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Perubahan dan pengembangan kurikulum yang dilakukan pemerintah hendaknya mengacu
kepada standar nasional yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan pembelajaran dan perolehan
mutu yang kompetitif dalam rangka meningkatkan kualitas SDM melalui proses pendidikan.
Kemudian sejauh mana perubahan kurikulum membawa dampak positif terhadap peningkatan
kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.
Apakah perubahan itu dapat direspons oleh sekolah dan kurikulum yang dikembangkan bisa
diimplementasikan di sekolah atau tidak. Artinya jangan melakukan perubahan kurikulum hanya atas
dasar kepentingan pemegang kebijakan atau karena perubahan suhu politik. Karena pendidikan
dilaksanakan dalam rangka menyongsong masa depan anak bangsa yang lebih baik, jadi kurikulum
harus disiapkan dan diterapkan melalui proses belajar mengajar yang berorientasi ke masa depan
bukan berdasarkan kepentingan sesaat.
2. Konsep Pengembangan Kurikulum
Kurikulum tidak hanya sekedar mempelajari mata pelajaran, tetapi lebih mengembangkan
pikiran, menambah wawasan, serta mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Ia lebih
mempersiapkan peserta didik atau subjek belajar yang baik dalam memecahkan masalah
individualnya maupun masalah yang dihadapi oleh lingkungannya. Karena itu kurikulum diberi
konotasi sebagai usaha sekolah untuk mempengaruhi anak agar mereka dapat belajar dengan baik di
dalam kelas, di halaman sekolah, di luar lingkungan sekolah atau semua kegiatan untuk
mempengaruhi subjek belajar sehingga menjadi pribadi yang diharapkan. Proses pengembangan
kurikulum ialah kebutuhan untuk menspesifikasi peranan-peranan lulusan yang harus dilaksanakan
dalam bidang pekerjaan tertentu. Pada dasarnya kurikulum dirancang dengan maksud
mengembangkan siswa agar mampu melaksanakan peranan-peranan itu. Setelah diadakan spesifikasi
peranan yang meletakkan batas-batas di sekitar keseluruhan domain dalam kurikulum tertentu, yang
memungkinkan dilakukannya identifikasi tugas-tugas spesifik dalam lingkup peranan tersebut.
Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang sifatnya berkesinambungan. Kurikulum tersebut
di desain sedemikian rupa sehingga tidak terjadi jurang yang memisahkan antara jenjang pendidikan
dasar dengan jenjang pendidikan selanjutnya. Kata Kurikulum berasal dan bahasa latin “curriculum”
semula berarti “a running course, or race corse, especially a chariot race course” yang berarti jalur
pacu dan secara tradisional kurikulum disajikan seperti itu (ibarat jalan) bagi kebanyakan orang,
terdapat pula dalam bahasa Perancis “courier” artinya “to run” atau berlari.
Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah “courses” atau mata pelajaran yang harus ditempuh
untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Seperti halnya dengan istilah-istilah lain yang banyak
digunakan, kurikulum juga mengalami perkembangan dan tafsiran yang berbagai ragam. Hampir
setiap ahli kurikulum mempunyai rumusan sendiri, walaupun diantara berbagai definisi itu terdapat
aspek-aspek persamaan. Secara tradisional kunikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah. Dalam perkembangannya kurikulum sebagai suatu kegiatan pendidikan, timbul
berbagai definisi yang menentukan apa yang termasuk dalam ruang lingkupnya. Berikut ini di
kemukakan beberapa pengertian kurikulum yaitu:
1. Saylor dan Alexander (1956:3) merumuskan kurikulum sebagai “the total effort of the school to
going about desired outcomes in school and out of school situations” yaitu kurikulum tidak
sekedar mata pelajaran tetapi segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Zais (1976) mengemukakan berbagai pengertian kurikulum, yakni: (1) kurikulum sebagai
program pelajaran; (2) kurikulum sebagai isi pelajaran; (3) kurikulum sebagai pengalaman belajar
yang direncanakan; (4) kurikulum sebagai pengalaman di bawah tanggung jawab sekolah (5)
kurikulum sebagai rencana tertulis untuk dilaksanakan.
3. Dalam UU No. 20 tahun 2003 dikemukakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
4. Pengertian kurikulum menurut pandangan lama: kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah. Kurikulum lama berorientasi pengalaman
masa lampau, tidak berdasarkan suatu filsafat pendidikan yang jelas, mengutamakan
perkembangan pengetahuan akademik dan keterampilan, terpusat pada mata pelajaran, teks book,
dan dikembangkan oleh guru secara perorangan.
5. Pendapat yang baru atau modem tentang kurikulum adalah: kurikulum diartikan bersifat luas
bukan saja terdiri dan mata pelajaran (courses) tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman
yang menjadi tanggung jawab sekolah.
6. Konsep kurikulum menurut Tanner & Tanner (1980) adalah: (1) kurikulum sebagai modus
mengajar; (2) kurikulum sebagai pengetahuan yang diorganisasikan; (3) kurikulum sebagai arena
pengalaman; (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar terbimbing “all planned learning
outcomes for which the school is responsible”, semua rencana hasil belajar (learning outcomes)
dan kurikulum sebagai hasil belajar merupakan tanggung jawab sekolah dan merupakan
serangkaian hasil belajar yang diharapkan; (5) kurikulum sebagai suatu rencana kegiatan
pembelajaran sudah selayaknya mencakup komponen-komponen kegiatan pembelajaran, namun
demikian komponen-komponen kegiatan pembelajaran yang dirancang dalam kurikulum masih
umum oleh karena itu perlu dielaborasi dan dikaji oleh guru; dan (6) kurikulum sebagai jalan
meraih ijazah merupakan syarat mutlak dalam pendidikan formal.
Dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai sisi dan bahan pelajaran serta cam yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Isi kurikulum pendidikan dasar merupakan susunan
bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan dasar. Menurut UUSPN No. 20 tahun
2003 isi kurikulum pendidikan dasar wajib memuat sekurang-kurangnya memuat bahan kajian dan
pelajaran (1) pendidikan agama; (2) pendidikan kewarganegaraan; (3) bahasa; (4) matematika; (5)
ilmu pengetahuan alam; (6) ilmu pengetahuan sosial; (7) seni dan budaya; (8) pendidikan jasmani dan
olahraga; (9) keterampilan/kejuruan; dan (10) muatan lokal.
Mata pelajaran pada hakikatnya adalah pengalaman nenek moyang masa lampau.
Pengalaman-pengalaman itu dipilih, dianalisa, kemudian disusun secara sistematis dan logis,
sehingga timbullah mata pelajaran seperti sejarah ilmu bumi, ilmu hayat dan sebagainya. Oleh karena
itu mata pelajaran adalah sejumlah informasi pengetahuan sehingga penyampaian mata pelajaran
kepada para siswa akan membentuk mereka menjadi intelektualitas. Pada jenjang pendidikan formal
terdapat jenjang-jenjang pendidikan yang selalu berakhir dengan ijazah atau surat tanda tamat belajar
(STTB). Uraian tersebut menunjukkan kurikulum merupakan jalan yang berisi sejumlah mata
pelajaran/bidang studi yang harus dilalui untuk meraih ijazah.
UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 36 ayat I menyatakan pengembangan kurikulum dilakukan
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Artinya kurikulum itu tidak boleh liar, tetapi harus mempedomani standar kurikulum nasional,
adapun pengembangan melebihi standar nasional hal itu adalah sesuatu yang dianjurkan, tentu saja
memperhatikan potensi daerah dan juga potensi peserta didik. Karena itu, kurikulum sebagai jalan
untuk meraih izajah mengisyaratkan adanya sejumlah mata pelajaran/bidang studi dan isi pelajaran
yang harus diselesaikan oleh siswa. Menurut Schubert penyebutan kurikulum sama dengan mata
pelajaran. Kurikulum sebagai “all the means employed by the school to provide the students with
opportunities for desirable learning experiences” menurut Zais (1976:8) menunjukkan bahwa semua
yang dipakai oleh sekolah untuk menyediakan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman
belajar yang diperlukan adalah kurikulum.
Dengan demikian kurikulum sebagai pengalaman belajar mencakup pula tugas-tugas belajar
yang diberikan oleh guru untuk dikerjakan siswa di rumah. Guru dapat memilih satu atau lebih
konsep kurikulum yang dijadikan acuannya. kurikulum tidak terbatas pada intra dan ekstra kurikulum
saja, tetapi secara luas yang dapat membentuk pribadi anak dan belajar cam hidup dalam masyarakat.
Kurikulum baru berorientasi pada masa sekarang sebagai persiapan untuk menghadapi masa
datang, berdasarkan pada filsafat pendidikan yang jelas yang dapat diajarkan ke dalam serangkaian
tindakan yang nyata sehari-hari. Bertujuan untuk mengembangkan seluruh pribadi siswa, disusun
berdasarkan masalah atau topik di mana siswa belajar dengan pengalaman sendiri.
Kurikulum juga bertitik tolak dan masalah kehidupan yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan dan minat serta kebutuhan individu, dan dikembangkan oleh tim guru bersama-sama
atau suatu departemen tertentu. Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan
secara sistematis mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan para siswa. Paling tidak
ada tiga peranan kurikulum yakni: (1) peranan konservatif yaitu mentransmisikan dan menafsirkan
warisan sosial kepada generasi muda; (2) peranan kritis atau evaluatif yaitu aktif berpartisipasi dalam
kontrol sosial dan menekankan pada unsur berpikir kritis; dan (3) peranan kreatif yaitu mencipta dan
menyusun suatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam
masyarakat. Ketiga peranan tersebut berjalan secara seimbang, dalam arti terdapat keharmonisan di
antara ketiganya. Dengan demikian kurikulum akan dapat memenuhi tuntunan waktu dan keadaan
dalam membawa para siswa menuju kepada kebudayaan masa depan.
Di samping memiliki peranan kurikulum juga memiliki fungsi yakni: (1) penyesuaian (the
adjustive of adaptive function) yaitu kemampuan individu menyesuaikan din terhadap lingkungan
secara keseluruhan; (2) pengintegrasian (the integrating function) yaitu mendidik pribadi yang
terintegrasi dengan masyarakat; (3) deferensiasi (the defferensiating function) yaitu memberikan
pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat; (4) persiapan (the
propaedeutic function) yaitu mempersiapkan siswa untuk dapat melanjutkan studi kejenjang yang
lebih tinggi untuk suatu jangkauan yang lebih jauh; (5) pemilihan (the selective function) yaitu
memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memilih apa yang diinginkannya dan menarik
perhatiannya; dan (6) diagnostik (the diagnostic function) yaitu membantu siswa memahami dan
menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.
Pendekatan dalam pengembangan kurikulum terdiri dan: (1) pendekatan mata pelajaran yaitu
bertitik tolak dan mata pelajaran (subjeck matter) yang masing-masingnya berdiri sendiri; (2)
interdisipliner yaitu suatu gejala sosial yang saling tali temali baik dan segi sosial, politik, ekonomi,
budaya, dan sebagainya; (3) integratif atau terpadu yaitu bertitik tolak dan suatu keseluruhan atau
suatu kesatuan yang bermakna dan berstruktur; dan (4) sistem yaitu suatu totalitas yang terdiri dan
sejumlah komponen atau bagian-bagian. Sebagai upaya pengembangan kurikulum untuk memperoleh
mutu yang bersaing oleh institusi satuan pendidikan dapat melakukan perampingan dan dapat juga
melakukan perluasan. Dalam hal mi seperti, institusi satuan pendidikan dasar dapat menambah mata
pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
Upaya pengembangan mi, dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional dan
tidak menyimpang dan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian satuan pendidikan dasar dapat
menjabarkan dan menambah bahan kajian dani pelajaran sesuai dengan kebutuhan setempat.
Pengembangan kurikulum menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 dilakukan dengan mengacu
pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional. Sejalan dengan hal itu,
langkah pengembangan kurikulum menurut Tyler (1949) mencakup aspek (1) tujuan sekolah: (2)
pengalaman belajar sesuai dengan tujuan; (3) pengelolaan pengalaman belajar dan penilaian tujuan
belajar sebagai komponen yang dijadikan perhatian utama. Pada perkembangan selanjutnya, Taba
(1962) mengembangkan model pengembangan kurikulum yang dapat dikatakan sebagai reneksi dani
tradisi pengembangan kurikulum modern. Hankins and Hammull (1995:19) mengemukakan langkah
pengembangan kurikulum akan banyak bergantung pada peranan guru sebagai pengembang
kurikulum.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa ada 7 langkah pengembangan kurkulum sebagai
pengembangan lebih lanjut yaitu (1) mengembangkan langkah diagnosa kebutuhan (diagnosis of
needs); (2) merumuskan tujuan (formulation of objectives); (3) menyeleksi konten (selection of
content); (4) mengorganisasikan konten (organization of content); (5) menyeleksi pengalaman belajar
(selection of learning experiences); (6) mengorganisasikan pengalaman belajar (organization of
learning experiences); dan (7) mengevaluasi dan makna evaluasi (evaluation and means of
evaluation).
Pada model pendekatan teknik scieitific, pengembangan kurikulum mencakup langkah dalam
menyusun perencanaan, menyusun struktur lingkungan belajar, mengordinasikan sumber daya
manusia, bahan dan peralatan sehingga memiliki derajat objektifitas, universalitas dan logika yang
tinggi, dapat menjelaskan kenyataan secara simbolis, percaya pada efisiensi dan efektintas sistem.
Sedangkan pada model non teknik/non scientific, pengembangan kurikulum diorientasikan pada hal
yang subjektif, pribadi, penalaran, transaksi dan keindahan, diorientasikan pada peserta didik dengan
belajar secara aktif.
Adanya rencana diberlakukan kurikulum sekolah dengan berbasis pada kemampuan dasar,
pada hakikatnya mendasarkan. pada pemikiran sebagai upaya memberdayakan peserta didik dalam
kedudukannya sebagai subjek belajar agar siap menghadapi tantangan kehidupan kini dan masa
depan. Oleh karena itu adanya hasil belajar yang diharapkan dalam proses pembelajaran layak dimuat
dalam kurikulum. Memang harus diakui bahwa titik lemah pendidikan di sekolah selama mi, terletak
pada proses pembelajarannya (learning process). Arah dan pengembangan kurikulum masa depan,
selayaknya mampu dipersepsi secara mudah dan luwes oleh para guru maupun peserta didik serta
mudah disesuaikan dengan kondisi lingkungan belajar. Artinya kepentingan dan kebutuhan peserta
didik memperoleh mutu layanan belajar menjadi dasar pertimbangan utama dalam pengembangan
kurikulum sekolah.
Dengan adanya pengembangan kurikulum yang mengacu pada kemampuan dasar siswa yang
diimplementasikan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Pada dasarnya
pengembangan kurikulum mi akan berdampak pada perlunya langkah pembaharuan dalam proses
pembelajaran pada setiap mata pelajaran di setiap jenjang sekolah. Arah penyusunan dan
pengembangan kurikulum berbasis kemampuan dasar yang akan diberlakukan di sekolah di
Indonesia, disusun dengan pendekatan efektif. Langkah penyusunan dan pengembangan perangkat
kurikulum tersebut dilakukan dengan mengambil semua hal yang baik dan pandangan pengembangan
kurikulum yang dikenal. Hasan (2002:3) mengemukakan model proses pengembangan kurikulum
masa depan seperti terlihat dalam gambar 6.1. Diagram ini menggambarkan bahwa pengembangan
kurikulum berangkat dan penetapan visi masa depan pendidikan yang akan melahirkan manusia yang
diharapkan sesuai kualitas yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Untuk penetapan visi masa depan tersebut disesuaikan dengan filsafat kurikulum, sehingga
pada gilirannya standar kurikulum yang dikembangkan tersebut difokuskan pada kualitas pendidikan
yang harus dikembangkan. Kerangka pengembangan kurikulum tersebut memuat tujuan sebagai
sasaran kualitas peserta didik yang diharapkan, materi yang tertuang dalam silabus maupun bahan
ajar, proses dalam kegiatan belajar dan mengajar, evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar, dan
pedoman pelaksanaan yang dipandang dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sesuai standar
yang ditentukan. Langkah pengembangan kurikulum dalam rangka mewujudkan kurikulum berbasis
kemampuan dasar yang akan menjadi arah kurikulum sekolah di Indonesia masa depan, pada
hakekatnya mendasarkan pada standar tertentu sesuai yang diharapkan. Standar ini dapat berlaku
secara nasional. serta dapat berlaku di daerah masing-masing.
Standar dalam konteks ini dimaksudkan sebagai kriteria keberhasilan dan aspek kualitas
dalam hal antara lain: (a) apa yang diketahui dan yang dapat dilakukan oleh peserta didik, (b)
program pembelajaran yang mengembangkan cara-cara belajar, (c) program pengajaran ilmu-ilmu
dasar dan budi pekerti, serta (d) indikator penilaian (Bodiono, at al. 2000:2). Standar dalam konteks
ini dapat bermakna sebagai kemampuan minimum yang dapat ditujukan peserta didik sebagai hasil
belajarnya sehingga dapat diterima oleh masyarakat atau dunia kerja.
Selanjutnya standar atau kemampuan dasar ini dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan
penetapan dan pengembangan kompetensi keilmuan dalam proses pendidikan di sekolah yang
diuraikan ke dalam beragam rumpun bidang keilmuan. Kompetensi yang dikembangkan dalam
rumpun bidang keilmuan di sekolah disebut dengan kompetensi umum, yang harus dikuasai peserta
didik di setiap jenjang sekolah. Berdasarkan pengembangan kompetensi umum yang telah disepakati,
selanjutnya dikategorisasikan menjadi kompetensi tiap jenjang dan kompetensi umum mata pelajaran
pada tiap jenjang dan tiap pelajaran.
3. Diversifikasi Kurikulum
Kurikulum pendidikan merupakan aspek yang penting untuk menjaga kepentingan nasional
maupun untuk memberikan kesempatan kreativitas dan menampung kepentingan daerah. Untuk itu,
pemerintah pusat mempunyai tugas dan kewenangan untuk menetapkan visi dan misi pendidikan
nasional (outputs) setiap jenjang pendidikan yang indikator keberhasilnya jelas (key. resuli areas),
sebagai kurikulum nasional. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 2 menyatakan bahwa
kurikuluni pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
sesuai dengan. satuan pendidikan. potensi daerah, dan peserta didik. UUSPN memberi petunjuk
bahwa dalam pengembangan kurikulum perlu diperhatikan potensi daerah, hal ini menunjukkan
bahwa kurikulum itu tidak sentralistik tetapi lebih lugas dan dapat menyesuaikan diri dan dapat
berkembang melebihi standar yang ditentukan pemerintah. Di lain pihak kurikulum juga harus
memperhatikan potensi peserta didik, artinya diberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi anak.
didik untuk berkembang melebihi standar yang ditentukan Jika anak itu memiliki kemampuan dan
kecerdasan yang sesuai dengan perkembangan itu.
Sejalan dengan hal itu dalam Pasal 2 butir 3 PP No. 25 tahun 2000 ditegaskan bahwa
kewenangan pemerintahan pusat bidang kurikulum menyangkut empat hal yaitu: (1) penetapan
standar kompetensi siswa dan warga belajar; (2. pengaturan kurikulum nasional; (3) pengaturan
penilaian hasil belajar secara nasional; dan (4) pedoman pelaksanaan kegiatannya. Daerah
kabupaten/kota yang selama ini kurang berperan dalam pengembangan kurikulum yang ditetapkan
pusat, sekarang harus menerjemahkan kurikulum nasional tersebut kedalam visi, misi, tujuan, dan
pokok-pokok bahasan utama yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan. Visi dan misi
tingkat lokal dan kurikulum berisi garis-garis besar program pengajaran menjadi kewenangan
masing-masing sekolah untuk dikembangkan dan diimplementasikan sesuai kebutuhan dan
kemampuannya memaknai kurikulum dimaksud. Rancangan yang dikembangkan pada tingkat
sekolah mencakup seluruh komponen intrakurikuler, ekstrakurikuler, kurikulum yang tampak secara
jelas maupun kurikulum tersembunyi (hidden curricullum) dalam rangka pengembangan potensi
peserta didik secara utuh. Sedangkan penterjemahannya dalam bentuk satuan pelajaran (satpel) dan
bimbingan menjadi tugas dan kewenangan masing-masing guru didampingi Kepala Sekolah dan
pengawas sekolah.
Guru karena alasan profesinya sering terlibat dalam kegiatan pengembangan kurikulum
menurut Sergiovanni dan Starratt (1983) yaitu dengan merubah, mempenluas, mengorganisasi ulang,
dan menginterpretasikan apa yang telah disusun oleh pengembang kurikulum di luar kelas. Dalam
mengembangkan kurikulum dikelompokkan dalam sejunilah model yaitu model memproses
informasi, pengembangan personil yang menekankan pada pengembangan diri dan kesadaran
interpersonal, interaksi sosial yang menekankan pengembangan keterampilan dinamika kelompok,
dan perubahan perilaku yang menekankan pada prinsip kontrol stimulus dan penguatan.
Dalam implementasi kebijakan otonomi daerah kewenangan pemerintah menurut PP No.25
Tahun 2000 tentang kebijakan kurikulum adalah menetapkan standar nasional, kemudian dijelaskan
GBHN 1999 pemerintah melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan
kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan
kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi
jenis pendidikan secara profesional. Untuk itu dapat di kemukakan diversifikasi kurikulum berikut
ini.
a. Kurikulum Nasional
UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19 menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Prinsip-prinsip umum kurikulum dan pengajaran adalah siswa diberi kesempatan mempraktekkan
perilaku menurut tujuan, pengalaman belajar memberikan kesempatan bagi siswa menghadapi isi
pelajaran, siswa memperoleh kepuasan menerima pelajaran, level pelajaran dalam rentang yang
dimungkinkan bagi siswa untuk dilibatkan, pengalaman belajar memberikan hasil yang nyata, dan
pembelajaran siswa akan diperkuat, diperdalam, dan diperluas. Dengan demikian pada prinsipnya
kurikulum didesain untuk dapat diterima siswa dengan baik, karena jika siswa tidak mampu
mengikuti kurikulum yang disampaikan maka kurikulum tersebut tidak akseptabel.
Untuk memenuhi kurikulum yang bermutu dalam rangka pemberdayaan pendidikan kebijakan
kurikulum haruslah memberi ruang kreativitas tingkat tinggi kepada instansi yang berkaitan dengan
pendidikan di daerah, sekolah-sekolah, maupun LPTK sebagai implementasi desentralisasi mengacu
pada standar kompetensi. Kreatifitas meliputi pengaturan kurikulum dan mengelaborasinya menjadi
bahan ajar, evaluasi belajar mengacu pada standar yang dipersyaratkan, penyelesaian studi semua
jenjang sekolah tepat waktu, standar materi buku pelajaran pokok pada semua bidang studi, dan
pengembangan teknologi komunikasi serta informasi memenuhi kebutuhan kurikulum.
Kurikulum nasional akan memberi arti yang penting bagi sekolah pada suatu daerah, jika
daerah itu mampu memberi ruang kreativitas tingkat tinggi pada tim ahli yang dimilikinya bersama
sekolah. Para siswa diberi kesempatan mempraktekkan perilaku menurut tujuan yang tertuang dalam
kurikulum, siswa mampu memahami isi pelajaran dan memperoleh kepuasan menerima pelajaran,
level pelajaran dapat disesuaikan menurut tingkat kecerdasan siswa dengan rentang yang
dimungkinkan bagi siswa untuk dilibatkan. Tegasnya desain kurikulum nasional diadaptasi oleh
daerah untuk memberikan pengalaman belajar dengan basil yang nyata, dan pembelajaran siswa
dapat diperkuat, diperdalam, dan diperluas.
b. Muatan lokal
Kewenangan pemerintah dalam kebijakan kesiswaan disesuaikan dengan keadaan di setiap
daerah, secara kualitas setiap daerah dapat melampaui standar nasional. Penetapan kebijakan
persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, serta
penerimaan siswa SD, SLTP, SLTA, dan SLB yang standar penting bagi setiap .institusi sekolah.
Kewenangan pemerintah provinsi menurut PP No. 25 Tahun 2000 tentang pengembangan kurikulum
diarahkan untuk menggali potensi andalan daerah secara optimal. Cara yang efektif untuk
pengembangannya adalah dengan menyusun menjadi mata pelajaran muatan lokal (mulok) di
sekolah. Kantor pendidikan tingkat provinsi perlu membentuk tim ahli profesional menyusun
kurikulum muatan lokal yang siap diajarkan dan ada manfaatnya di semua daerah lingkungan
provinsi dimana satuan pendidikan itu berada.
Secara teoritik maupun konsep desentralisasi pemerintahan, maka pemerintah provinsi
sebagai daerah otonom lintas kabupaten/kota dapat menyusun kurikulum muatan lokal untuk
diterapkan di daerah yang menjadi wilayahnya. Pemerintah provinsi bersama Kabupaten/Kota
menyediakan tenaga ahli kurikulum untuk mempermudah desain pengembangan kurikulum yang
sesuai dengan potensi lokal, terlebih lagi kurikulum muatan lokal. Karena pengembangan kurikulum
yang asal jadi atau tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat akan menjadi sia-sia yaitu rugi
waktu dan material. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, untuk mendapat kualitas yang
dipersyaratkan dalam pengembangan kurikulum perlu diatur sistem kontrol, evaluasi pelaksanaan,
dan monitoring kurikulum sehingga pada waktu yang ditentukan dapat diperbaiki baik kurikulum
muatan lokal maupun kurikulum nasional pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Model ini
mengacu pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.
c. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Dalam perkembangannya untuk mempersiapkan para peserta didik menghadapi tantangan
masa depan, Depdiknas menerbitkan model kurikulum berbasis kompetensi yang merupakan reaksi
pemikiran atau pengkajian ulang penilaian terhadap kurikulum pendidikan dasar 1994 beserta
pelaksanaannya. Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang ditujukan untuk
menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya.
Kurikulum berbasis kompetensi pada pendidikan kejuruan oleh Suderadjat (2004::41) adalah sebagai
pengembangan program pendidikan dan latihan berdasarkan analisis jabatan, pekerjaan, tugas, dan
kegiatan di dunia kerja, baik di dunia usaha maupun dunia industri. Hasil pendidikan baik pendidikan
kejuruan, akademik, maupun keagamaan adalah kemampuan atau kompetensi yang bermanfaat bagi
kehidupan. Semua hasil pendidikan merupakan pemilikan pengetahuan dan konsep-konsep keilmuan,
nilai, sikap, dan keterampilan yang terintegrasi, yang dapat digunakan dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena semua bidang ilmu yang dipelajari di sekolah untuk digunakan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka kurikulum berbasis kompetensi dapat diterapkan untuk semua
jenjang dan jenis-satuan pendidikan sesuai kadar dan bobotnya masing-masing.
Semua bidang studi mempunyai nilai yang menggambarkan kecakapan, kemampuan dan
kompetensi bagi para siswa yang menuntutnya. Karena itu, penggunaan kurikulum berbasis
kompetensi, selain agar meningkatkan mute pendidikan di Indonesia, juga untuk menciptakan dasar
yang sama bagi semua peserta didik. Sehingga mereka mampu melakukan lompatan yang sama ke
depan. McAshan (1981:45) mengartikan bahwa kompetensi adalah sebagai pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dan dirinya,
sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-
baiknya.
Kurikulum berbasis kompetensi memberi gambaran bahwa para siswa yang telah mengikuti
kegiatan belajar menguasai konsep pengetahuan, dan mampu menganalisis kebutuhan menggunakan
pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya di sekolah setelah mengikuti berbagai materi
pelajaran. Kompetensi mi memiliki tiga dimensi yakni: (1) pemilikan nilai dan sikap dengan
menghargai dan menyenangi materi pelajaran itu; (2) penguasaan konsep dengan menguasai ilmu
pengetahuan sehingga mampu berpikir secara rasional, kemampuan dan kecakapan berkomunikasi,
serta mampu memecahkan masalah secara sistematis dalam hidupnya; dan (3) kecakapan
mengaplikasikannya dengan menggunakan teknologi dan pengukuran yang tepat dalam kehidupan.
Adapun hal-hal yang dikembangkan dalam konsep kurikulum berbasis kompetensi terdiri atas
kompetensi akademik, keterampilan hidup, pengembangan moral, pembentukan karakter yang kuat,
kebiasaan hidup sehat, semangat bekerja sama, dan aspirasi estetika terhadap dunia sekitarnya.
Dengan konsep ini menunjukkan bahwa kurikulum berbasis kompetensi menuntut kualitas guru yang
memadai. Kurikulum berbasis kompetensi ini menekankan pada pengembangan kemampuan
melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat
dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Model
kurikulum berbasis kompetensi ini sudah disosialisasikan mulai tahun ajaran 2002-2003 oleh sekolah
yang ditunjuk pemerintah sebagai uji coba.
Kebijaksanaan ini sesuai dengan Pasal 36 UUSPN No 20 tahun 2003 “Kurikulum disusun
sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan: (1) peningkatan iman dan takwa; (2) peningkatan akhlak mulia; (3) peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; (4) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (5)
tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (6) tuntutan dunia kerja; (7) perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; (8) agama; (9) dinamika perkembangan global; dan (10) persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian jelas bahwa pengembangan kurikulum mi
sangat memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan,
kebutuhan pembangunan, pengetahuan teknologi, kesenian, sesuai jenis dan jenjang masing-masing
satuan pendidikan.
Dalam kurikulum berbasis kompetensi terjadi pergeseran penekanan dan sisi apa yang
tertuang ke kompetensi bagaimana harus berpikir, belajar, dan melakukan. Guru dan siswa
diharapkan mengetahui apa yang harus dicapai dan sejauh mana efektivitas belajar telah dicapai.
Pendapat ml dipertegas oleh McAshan (1981) yang mengemukakan bahwa ada tiga hal yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yaitu: (1) penetapan kompetensi
yang akan dicapai; (2) pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi; dan (3) evaluasi terhadap
kompetensi tersebut. Kurikulum berbasis kompetensi ini berupa platform nasional yang disusun
untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan bakat dan kemampuannya mencakup
kemampuan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial dengan memberikan pengalaman belajar
yang dapat membangun integritas sosial, membudayakan dan mewujudkan karakter nasional untuk
tumbuh menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Pemberlakuan
kurikulum berbasis kompetensi menurut para ahli kurikulum pada pusat kurikulum Balitbang
Depdiknas kelak memungkinkan setiap daerah atau sekolah mengembangkan atau menyusun silabus
sendiri berdasarkan kompetensi 4isar yang telah dibuat oleh pemerintah pusat.
Dengan sistem ini diharapkan kurikulum akan lebih relevan dengan kondisi dan kepentingan
masing-masing daerah, sekaligus dalam sistem desentralisasi pemerintahan di daerah dapat
memberdayakan stakeholders di daerah masing-masing. Pengembanan kurikulum berbasis
kompetensi secara utuh dan menyeluruh mencakup pembentukan karakter, penguasaan ketrampilan
hidup dan akademik, hidup sehat, dan mengapresiasi seni melalui kegiatan intra maupun
ekstrakurikuler yang telah dirinci oleh sekolah. Namun. dalam perjalanan panjang kurkulum sejak
tahun 1945 sampai sekarang belum membuktikan pendidikan di negara kita menjadi unggul dan
berkualitas, hal ini terbukti dan berbagai hasil penelitian berbagai badan internasional dan nasional
yang menunjukkan Indonesia selalu menempati urutan terakhir dalam berbagai hal mengenai mutu
pendidikan. Jika dicermati sejak merdeka tahun 1945 Indonesia pernah mengalami perubahan
kurikulum yang pertama 1947 (rencana pelajaran), kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1975
yang disempumakan, kurikulum 1994, kurikulum 1999, dan kurikulum 2004 yang disebut kurikulum
berbasis kompetensi (KBK).
Dalam perkembangannya, pendidikan di Indonesia belum sejajar dengan negara-negara maju
di Asia Tenggara, apalagi pada tingkat dunia, mi artinya produk pendidikan Indonesia belum mampu
bersaing di pasar bebas. Pada masa lalu proses belajar mengajar selalu berfokus pada guru atau
pengajaran dan materi kurang berfokus pada kompetensi pembelajaran siswa. Oleh karena itu pola
pikir pembelajaran perlu diubah dan sekedar memahami konsep dan prinsip keilmuan, menjadi siswa
memiliki kemampuan berbuat sesuatu, dengan menggunakan konsep dan prinsip keilmuan yang telah
dikuasai. Dalam rangka mempersiapkan para peserta didik menghadapi tantangan masa depan,
Departemen Pendidikan Nasional menghadapi dengan menerbitkan Kurikulum berbasis kompetisi
yang merupakan reneksi, pemikiran atau pengkajian ulang dan penilaian terhadap Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Menengah 1994 beserta pelaksananya.
Hasil analisis yang mendalam terhadap keadaan peserta didik di masa sekarang dan yang akan
datang memerlukan kualitas keterampilan dan intelektualitas yang kompetitif menunjukkan perlunya
Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dapat membekali peserta didik untuk menghadapi tantangan
kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis, rasional dan kreatif. Pengertian, Prinsip-prinsip, struktur dan
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi mi mempunyai tujuan: (1) meningkatkan kualitas hidup
anak didik pada tiap jenjang sekolah; (2) mendorong kehidupan aktual anak ke arah perkembangan
hidup yang bulat dan menyeluruh (all round living) yang berkualitas tinggi; dan (3) mengembangkan
aspek kehidupan kreatif pada anak didik sebagai pembuktian keberhasilan pendidikan di sekolah
sehingga anak didik mampu berkembang secara aktif, yang secara aktual mampu memikirkan dan
menciptakan hal-hal yang baru dan positif bagi kehidupannya.
Dokumen kurikulum berbasis kompetensi ini disusun untuk memberikan kemudahan bagi
para pembina dan pelaksana pendidikan dalam mengelola kurikulum sesuai dengan karakteristik
pendidikan. Secara prinsip isi kurikulum harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan yang menjadi
pedoman proses kependidikan serta mengandung pengarahan kepada terciptanya suatu jenis metode
yang tepat guna. Karena itu menurut Kilpatnick pada dasarnya isi kurikulum mencakup: (1) isi
kurikulum harus bermanfaat untuk menafsirkan dan memahami makna lingkungan hidup anak didik
dan memberi kemudahan bagi anak didik memanfaatkannya; (2) isi kurikulum harus dapat memenuhi
tuntutan dan mengembangkan sikap, bakat, minat, dan kebutuhan murid; (3) isi kurikulum harus
memiliki relevansi atau bercorak integrated dengan bidang studi lainnya dan lingkungannya; dan (4)
isi kurikulum harus dapat mendorong murid lebih aktif dalam belajar dan dapat merangsang murid
untuk lebih giat belajar serta menganalisis pengalaman belajar (Arifin, 1991:82).
Dalam kurikulum berbasis kompetensi terjadi penekanan dan isi (apa yang tertuang) menjadi
kompetensi (bagaimana harus berpikir, belajar, dan melakukan). Guru dan siswa diharapkan
mengetahui apa yang harus dicapai dan sejauh mana keefektifan belajar telah dicapai. Dengan adanya
perubahan fundamental ini persoalan-persoalan yang terjadi harus diselesaikan dengan cara-cara baru
dan paradigma baru serta dengan wawasan baru. Kurikulum berbasis kompetensi harus sesuai dengan
kebijakan otonomi daerah, termasuk otonomi di bidang pendidikan. Dalam hal mi kebijakan
pengembangan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan berubah dan sistem sentralistik menjadi
desentralistik. Dalam otonomi daerah ini, daerah dan sekolah diberi kewenangan menentukan dan
mengembangkan sistem pembelajaran yang akan digunakan dalam mencapai standar kompetensi.
Namun ada beberapa hal yang oleh pusat yaitu kompetensi siswa, kurikulum, materi pokok,
pedoman penilaian, dan kalender pendidikan (bagian II. PP No 25/2000) menjadi tanggung jawab
pemerintah, agar mutu dan standar pendidikan secara nasional tetap terjaga. Pada prinsipnya
perumusan materi kurikulum menurut beberapa ahli pendidikan harus mencerminkan tuntutan hidup
baik anak didik maupun masyarakat serta lingkungannya. Herman H. Home menyarankan agar
substansi materi yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum mencakup: (1) the ability and needs of
children yaitu kecakapan yang diperoleh dan belajar dan kebutuhan-kebutuhan anak didik; (2) the
legitimate demands of society yaitu tuntutan yang sah dan masyarakat sekitar; dan (3) the kind of
universe in which we live yaitu jenis-jenis lingkungan jagad raya di mana kita hidup yaitu lingkungan
alam yang dapat dikelola oleh manusia untuk kepentingan kesejahteraan hidup bersama (Arifin,
1991:80).
4. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan wahana belajar mengajar yang dinamis sehingga perlu dinilai dan
dikembangkan secara terus menerus dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan yang ada dalam
masyarakat. Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan bagaimana pembuatan
kurikulum akan berjalan. Hal tersebut menurut Zais (1976:17) meliputi pertanyaan sebagai berikut:
(1) siapa yang akan dilibatkan dalam pembuatan kurikulum dan (2) prosedur apa yang akan
digunakan dalam pembuatan kurikulum. Pengembangan kurikulum yang terbaik menurut Hilda Taba
(1962:6) adalah proses yang meliputi banyak hal yakni: (1) kemudahan suatu analisis tujuan; (2)
rancangan suatu program; (3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan dan (4)
peralatan dalam evaluasi proses ini. Singkatnya pengembangan kurikulum adalah suatu perbuatan
kompleks yang mencakup berbagai jenis keputusan. Formulasi ini diimplementasikan dengan
menegaskan tujuan yang akan dicapai, materi pelajaran yang terukur, waktu yang disediakan, media
pendidikan yang diperlukan, kompetensi guru yang diperlukan, peralatan yang diperlukan, dan sarana
belajar yang mendukung.
Dilihat dan faktor filosofis, yaitu kebijakan pemerintah di bidang pendidikan nasional yang
digariskan dalam GBHN menuntut implementasi yang sesuai dengan formulasi dan dapat di evaluasi.
Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang dituangkan dalPan1 TAP MPR Republik Indonesia
no. IV/MPRJI973. Tap tersebut direalisasikan dengan Repelita II Bab 22, tentang pendidikan dan
pembinaan generasi muda. Dilihat dan faktor sosiologis dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) adanya
inovasi dan gagasan-gagasan baru yang memasuki dunia pendidikan mempengaruhi sistem
pendidikan nasional sebagai dampak dan pembinaan dan pembaharuan pendidikan sejak Rcpelita I;
(2) basil analisis dan penelitian pendidikan nasional telah mendorong Departemen Pendidikan
Nasional untuk melakukan perubahan kurikulum dan (3) keluhan-keluhan masyarakat tentang mutu
lulusan pendidikan mendorong lembaga pendidikan untuk melakukan perubahan dan pengembangan
kurikulum yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Dengan pemikiran yang demikian
ini, maka praktek pelaksanaan pendidikan termasuk kurikulum perlu ditinjau kembali atau dilakukan
perbaikan terus menerus.
Kemudian dilihat dan faktor psikologis, maka inovasi dalam proses pembelajaran yang efisien
dan efektif telah langsung berpengaruh terhadap praktek pendidikan. Inovasi tersebut antara lain
menggambarkan: (1) hasil proyek penulisan buku pelajaran; (2) hasil proyek perubahan kurikulum
dan metode mengajar (PKMM). Perubahan dan pengembangan kurikulum kualitas lulusan
pendidikan meningkat; (3) berlakunya jual sistem dalam pendidikan, yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas output pendidikan: dan (4) inovasi di bidang metode mengajar terutama
prosedur pengembangan sistem instruksional (PPSI) inovasi tersebut muncul dan peralihan persepsi
mengenai psikologi belajar.
Setelah kita mengetahui landasan pengembangan kurikulum yang menunjukkan beberapa
faktor tentang penyebab perubahan kurikulum, maka selanjutnya kita harus mengetahui tentang
strategi perubahan kurikulum dan hubungan antara perubahan kurikulum dengan sistem sosial. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perubahan kurikulum tersebut, kita seharusnya
berpegang teguh kepada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum sebagai berikut: (1) berorientasi
pada tujuan, yaitu kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang bertitik tolak dan tujuan
pendidikan nasional; (2) relevansi (kesusaian), yaitu pengembangan kurikulum harus sesuai dengan
kebutuhan dan keadaan masyarakat, pengembangan siswa dan IPTEKS; (3) efisiensi dan efektivitas,
yaitu pengembangan kurikulum harus berorientasi kepada seberapa satu biaya yang dikeluarkan
dengan hasil yang di capai dan seberapa lama waktu yang diperlukan dikaitkan dengan tujuan yang
telah di capai; (4) fleksibilitas (keluwesan), yaitu mencakup fleksibilitas program bagi murid dalam
menempuh program belajar dan guru dalam mengembangkan program pengajaran: (5)
berkesinambungan, yaitu kesinambungan antara bidang studi yang satu dengan bidang studi yang
lain. Kesinambungan antara kelas dengan kelas dan kesinambungan antara jenjang sekolah; (6)
keseimbangan, yaitu program pengembangan kurikulum harus seimbang antara berbagai program dan
sub program, antara semua mata pelajaran dan aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan; (7)
keterpaduan, yaitu pengembangan kurikulum harus terpadu. yaitu bertitik tolak dan masalah atau
topik dan konsistensi antara unsur-unsurnya; dan (8) mutu, yaitu program pengembangan harus
berorientasi kepada mutu, berarti pelaksanaan pembelajaran yang bermutu, sedang mutu pendidikan
berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas.
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum ini telah mempertimbangkan berbagai aspek yang
melingkupinya. Adapun faktor-faktor penentu pengembangan kurikulum adalah:
a. Landasan filosofis: Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat, sehingga apa yang
dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan dalam arti
seluas-luasnya (Raka Joni 1983;13) Segala kehendak yang dimiliki oleh masyarakat merupakan
sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan
yang ada dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan. Filsafat
boleh jadi didefinisikan sebagai suatu studi tentang; hakekat realitas, hakekat ilmu pengetahuan,
hakekat sistem nilai kebaikan hakekat keindahan dan hakekat pikiran. (Winecoff 1988; 13)
b. Landasan sosial Budaya: Realita sosial budaya agama yang ada dalam masyarakat merupakan
bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan sebagai landasan pengembangan
kurikulum. Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri
kedalam kelompok-kelompok berbeda (Zais 1976). Masyarakat sebagai kelompok individu
mempunyai pengaruh terhadap individu dan sebaliknya individu pada taraf tertentu juga
mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. (Raka Jom 1983;5). Nilai sosial budaya masyarakat
bersumber pada basil karya akal budi manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan,
melestarikan atau melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Nilai keagamaan berhubungan
erat dengan kepercayaan masyarakat terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang mereka anut.
Oleh karena itu nilai sosial budaya lebih bersifat sementara bila dibandingkan dengan nilai
keagamaan. Oleh karena itu jelas dalam pengembangan kurikulum kita harus berpijak pada nilai
sosial budaya dan agama.
c. Landasan Pengetahuan Teknologi dan Seni: Pendidikan merupakan usaha penyiapan subyek didik
menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat. Perubahan
masyarakat mencakup nilai yang disepakati oleh masyarakat tersebut. Sedangkan seluruh nilai
yang telah disepakati oleh masyarakat dapat pula disebut sebagai kebudayaan. Oleh karena itu
kebudayaan dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang memiliki kompleksitas tinggi (Zais 1976;
157). ilmu pengetahuan dan teknologi adalah nilai-nilai bersumber pada pikiran atau logika,
sedangkan seni bersumber pada perasaan atau estetika. Mengingat pendidikan merupakan upaya
penyiapan siswa menghadapi perubahan yang semakin pesat, termasuk di dalamnya perubahan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS)
d. Landasaan Kebutuhan masyarakat; Pengembangan kurikulum juga harus ditekankan pada
pengembangan individu yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan sosial
setempat, .karena pada hakekatnya pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang
dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan.
e. Landasan Perkembangan Masyarakat: Ciri utama masyarakat adalah selalu berkembang.
Perkembangan mi bisa lambat bisa juga cepat bahkan sangat cepat. Ipteks sangat mendukung
perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan membantu menetapkan
perkembangan yang dilaksanakan. Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses
pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, maka diperlukan perancangan berupa
kurikulum yang landasannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.
Pengembangan kurikulum dan landasan pengembangan kurikulum seperti telah diuraikan
sebelumnya, akan merupakan dasar untuk mengkaji pembelajaran dan pengembangan kurikulum
lebih lanjut.
Berkaitan dengan kelugasan dan fleksibilitas kurikulum Duke L. Daniel (1999) mengutip
pendapat Kirt’s dan Glattorn’s mengelompokkan kurikulum yaitu: (1) apa seharusnya diajarkan pada
peserta didik; (2) pedoman pengajaran yang disepakati; (3) direfleksikan dan dibentuk oleh sumber
daya yang dialokasikan; (4) mencakup isi dimana siswa akan menjalankan tes; dan (5) belajar
mengungkap semua perubahan nilai maupun persepsi dan perilaku siswa sebagai hasil yang diajarkan
di sekolah. Pedoman perencanaan kurikulum dapat merujuk pada pokok-pokok kebijaksanaan
pendidikan tentang tujuan dan misi kurikulum lokal yang jelas, tawaran materi pelajaran, konsistensi
kurikulum dan kurikulum yang responsif. Rancangan kurikulum dalam konteks desentralisasi
bertujuan untuk memberi peluang pada peserta didik memperoleh keterampilan. pengetahuan, dan
sikap yang dapat memberikan kontribusi pada masyarakat.
5. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Berbagai prinsip pengembangan kurikulum tersebut di antaranya: prinsip berorientasi pada
tujuan, prinsip relevansi, prinsip efisiensi, prinsip efektivitas. prinsip fleksibilitas. prinsip integritas,
prinsip kontinuitas. prinsip sinkrouisasi, prinsip objektivitas, prinsip demokrasi dan prinsip praktis
(Depdikbud, 1982: 27-28; Nana Sy. Sukmadinata. 1988: 167-168).
a. Prinsip Relevansi Relevansi berarti sesuai antara komponen tujuan. Isi pengalaman belajar,
organisasi dan evaluasi kurikulum, dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik dalam
pemenuhan tenaga kerja maupun warga masyarakat yang diidealkan. Proses penyampaian dan
evaluasi.
b. Prinsip kontinuitas. Evaluasi dikembangkan secara berkesinambungan. Prinsip Kontinuitas atau
berkesinambungan menghendaki pengembangan kurikulum yang berkesinambungan secara
vertikal dan berkesinambungan secara horizontal. Secara vertikal antara jenjang pendidikan yang
satu dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikembangkan kurikulumnya secara
berkesinambungan tanpa ada jarak di antara keduanya, dan tujuan pembelajaran sampai ke tujuan
pendidikan nasional juga berkesinambungan, demikian pula komponen yang lain. Sedangkan
berkesinambungan horisontal dapat diartikan pengembangan kurikulum jenjang pendidikan dan
tingkat/kelas yang sama tidak terputus-putus.
c. Prinsip Fleksibilitas. Para pengembang kurikulum harus menyadari bahwa kurikulum harus
mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan waktu yang selalu berkembang
tanpa merombak tujuan pendidikan yang harus dicapai (Depdikbud, 1982: 27).
d. Prinsip Berorientasi pada Tujuan. Tujuan kurikulum mengandung aspek-aspek pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai; yang selanjutnya menumbuhkan perubahan tingkah laku peserta
didik yang mencakup ketiga aspek tersebut dan bertalian dengan aspek-aspek yang terkandung
dalam tujuan pendidikan.
e. Prinsip Efisiensi dan efektivitas. Pengembangan Kurikulum harus mempertimbangkan segi
efisien dalam pendayagunaan dana. waktu. tenaga dan sumber-sumber yang tersedia agar dapat
mencapai hasil optimal. Dana yang terbatas harus digunakan sedemikian rupa dalam rangka
mendukung pelaksanaan pembelajaran. Waktu yang tersedia bagi siswa belajar di sekolah juga
terbatas harus dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan mata ajaran dan bahan pembelajaran yang
diperlukan.
f. Prinsip Keseimbangan. Dengan keseimbangan tersebut diharapkan terjalin perpaduan yang
lengkap dan menyeluruh. yang satu sama lainnya saling memberikan sumbangannya terhadap
pengembangan pribadi.
g. Prinsip Keterpaduan. Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuknya pribadi yang bulat dan
utuh. Di samping itu juga dilaksanakan keterpaduan dalam proses pembelajaran, baik dalam
interaksi antara siswa dan guru maupun antara teori dan praktik.
h. Prinsip Mutu. Pendidikan yang bermutu ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan belajar
mengajar, peralatan/media yang bermutu..
6. Strategi Perubahan Kurikulum.
Strategi perubahan kurikulum merupakan suatu metode, teknik, siasat atau alat yang
dipergunakan untuk melancarkan proses belajar mengajar (PBM), suatu perubahan kurikulum dalam
konteks sosial. Dalam hal mi para pendidik dan tenaga kependidikan lainnya harus memahami apa
yang dimaksud dengan perubahan kurikulum dan sejauh mana peran dalam perubahan tersebut
berpengaruh terhadap pembelajaran pada satuan pendidikan seperti dijelaskan berikut ini.
a. Perubahan Kurikulum
Pengertian kurikulum meliputi objek kurikulum.. sasaran, substansi, metode dan cara menguji
hasil belajar. Dalam konteks tersebut kasus perubahan kurikulum faktor yang perlu diperhatikan
adalah mata pelajaran, dan faktor lingkungan serta tingkat pendidikan tertentu. Perubahan mata
pelajaran mencakup perubahan baik isi maupun cara mengorganisasi mata pelajaran. Dalam
perubahan ini, masalah yang timbul adalah “lingkup persoalan” mana yang perlu disesuaikan dengan
kenyataan yang ada. Salah satu contoh untuk memajukan dan mengembangkan kebudayaan
pendidikan adalah bagaimana sekolah dibuat, sehingga murid lebih mengembangkan sendiri
dibandingkan dengan mempelajari dan mengembangkan kebudayaan asing.
Akibat perubahan kurikulum, terjadi perubahan yang menyangkut proses pembelajaran, hal
yang perlu diperhatikan adalah apa yang ingin dicapai dengan kurikulum tersebut. Bagaimana
mencapai tujuan kurikulum, serta ukuran/kriteria mana yang dapat digunakan untuk mengukur
pencapaian tujuan kurikulum. Dengan adanya kemajuan jaman dan kepentingan dalam peningkatan
sumber daya manusia yang merupakan tuntutan dalam Era globalisasi mi maka guru dihadapkan pada
masalah dimana kenyataan banyaknya inovasi yang memasuki dunia pendidikan. Juga timbulnya
kesenjangan yang mengakibatkan “Kehausan” pengetahuan, di satu pihak dan belum dikuasainya
pengetahuan baru di pihak lain sebagai tuntutan pembaharuan tersebut.
Dalam keadaan tersebut bila kita ingin memperkecil kesenjangan, karenanya kita harus siap
menghadapi kenyataan itu, yang merupakan tantangan, sekaligus peluang untuk memperluas
wawasan guru dalam bidang yang ditanganinya. Wawasan yang dimaksud yaitu wawasan tentang
kesiapan terhadap kemungkinan perubahan yang ada. Kemungkinan tersebut kita tinjau dan segi
filosofis, sosiologis dan psikologis., yang akan menjadi pedoman bagi kita dalam bertindak. Sebagai
contoh kita ambil uraian kurikulum sekolah dasar tahun 1975. Prosedur pembaharuan kurikulum pada
pokoknya ada dua prosedur utama untuk mengubah kurikulum yaitu pertama, apa yang disebut
dengan “Administrative Approach” yaitu yang direncanakan oleh pihak atas untuk kemudian
diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru. Jadi dari atas ke bawah, atas
inisiatif para administrator. Kedua, adalah “grass roots approach” yaitu yang dimulai dan bawah
yakni dari pihak guru atau sekolah secara individual prosedur manakah yang dilaksanakan banyak
bergantung pada sistem pendidikan serta organisasi dan struktur organisasinya. Di Indonesia
pendekatan yang dipakai adalah pendekatan administratif.
Pendekatan administratif banyak menggunakan panitia-panitia untuk merencanakan
kurikulum baru, menyusun buku pelajaran, menyebarluaskan dan sebagainya. Partisipasi diusahakan
seluas mungkin agar tercapai konsensus dan keterlibatan pribadi dan instansi dalam usaha
pembaharuan kurikulum. Walaupun pendekatan administratif mempunyai banyak kebaikan namun
ditinjau dan segi tertentu mempunyai kelemahan antara lain di kemukakan bahwa cara ini otoriter
atau otokratis karena hanya merupakan keputusan atasan yang harus dilaksanakan oleh guru-guru,
guru kurang dilibatkan dalam proses perencanaannya, karena itu guru-guru. kurang berusaha untuk
mendalaminya dan memahaminya, guru akan mudah kembali kepada praktek-praktek yang lama,
oleh karena sulit melakukan perubahan, di lapangan perubahan kurikulum hanya bersifat teori saja.
guru kurang berinisiatif (bersifat pasif). Perubahan kurikulum pada hakekatnya berarti mengubah
manusia dan lembaga-lembaga. Perencanaan, perubahan kurikulum harus merupakan dialog antara
pengambil kebijakan dan pelaksana dalam suasana saling menghargai pendapat. Perubahan
kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan harus dilakukan karena perubahan yang terus menerus
dalam masyarakat dan kehidupan, serta sifat pendidikan sangat dinamis.
Berbagai jalan praktis ditempuh untuk mengadakan pembaharuan kurikulum: (1) pilot project,
yaitu seorang guru dapat mengadakan percobaan dengan suatu kurikulum baru dalam suatu bidang
studi tertentu; (2) membina kader, dilaksanakan dengan mendidik kader yang menguasai seluk beluk
pembaharuan kurikulum yang ditempatkan berbagai sekolah untuk mengadakan pembaharuan-
pembaharuan, (3) memanfaatkan guru, yaitu guru dan sekolah yang telah menjalankan kurikulum
baru dapat diminta bekerja pada sekolah yang belum melaksanakannya sehingga dapat disaksikan
pelaksanaan pembaharuan itu; (4) menyediakan alat pengajaran, yaitu dengan adanya laboratorium
akan mendorong guru untuk menggunakan metode dan bahan pelajaran baru; (5) memperbaharui
buku pelajaran, yaitu buku pelajaran dapat memberikan informasi oleh karenanya buku memegang
peranan yang penting dalam terjadinya perubahan kurikulum, cara mengajarnya bahkan metodenya;
(6) kerja sama antara sekolah dan mahasiswa, yaitu Universitas dapat menyediakan tenaga ahli dan
berbagai aspek kurikulum yaitu bertindak sebagai konsultan, sedangkan sekolah memberikan bahan
tentang keadaan yang ini mengenai murid dan sekolah; (7) pembaharuan kurikulum guru, yaitu
pendidikan guru dalam pembaharuan akan lebih efektif daripada penataran akan tetap diperlukan,
karena pada suatu ketika setiap kurikulum akan memerlukan pembaharuan; (8) mendemonstrasikan
serta pembaharuan, yaitu mencobakan suatu unit pelajaran dan sekolah ternyata berhasil lalu
mendemonstrasikannya kerja ada guru-guru lain dengan harapan agar pembaharuan ini dapat diterima
baik dan disebarluaskan; dan (9) memulai dan satuan pelajaran. Perubahan tak mungkin dilakukan
dalam seluruh program jadi baru memulai dengan bagian yang kecil dan terbatas dan satuan pelajaran
yang eksperimental ini kemudian dikembangkan suatu kerangka yang lebih luas berdasarkan prinsip-
prinsip dasar teoritis, cara menentukan bahan, mengevaluasi dsb.
a. Tujuan. Tujuan sebagai komponen kurikulum merupakan kekuatan-kekuatan fundamental yang
peka sekali, karena hasil kurikuler yang diinginkan tidak hanya sangat mempengaruhi bentuk
kurikulum, memberikan arah dan fokus untuk seluruh program pendidikan. Hierarki vertikal
tujuan kurikulum di Indonesia, paling tinggi adalah Tujuan Pendidikan Nasional, kemudian
Tujuan Kelembagaan, diikuti Tujuan Kurikuler, dan Tujuan Pengajaran. Tujuan Pendidikan
Nasional merupakan tujuan kurikulum tertinggi bersumber pada falsafah bangsa (Pancasila) dan
kebutuhan masyarakat tertuang pada falsafah bangsa (Pancasila) dan kebutuhan masyarakat
tertuang dalam UUSPN.
b. Materi/Pengalaman Belajar. Hal yang merupakan fungsi khusus dan kurikulum pendidikan
formal untuk memilih dan menyusun isi (komponen dan kedua kurikulum) supaya keinginan
tujuan kurikulum dapat dicapai dengan cara paling efektif dan supaya yang paling penting
pengetahuan yang diinginkan pada jalurnya dapat disajikan secara efektif (Zais, 1976:322).
c. Organisasi. Jika kurikulum merupakan suatu rencana untuk belajar, maka isi dan pengalaman
belajar membutuhkan pengorganisasian sedemikian rupa sehingga berguna bagi tujuan-tujuan
pendidikan (Taba, 1962:290). Pengorganisasian kurikulum merupakan kegiatan yang sulit dan
kompleks. Sukar dan kompleksnya pengorganisasian kurikulum dikarenakan kegiatan tersebut
bertalian dengan aplikasi semua pengetahuan yang ada tentang pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik, dan masalah proses pembelajaran (Sumantni, 1988: 23).
d. Evaluasi. Evaluasi ditunjukkan untuk melakukan evaluasi terhadap belajar siswa (hasil dan
proses) maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran. Lebih lanjut Zais (1976:378)
mengemukakan evaluasi kurikulum secara luas merupakan suatu usaha sangat besar yang
kompleks yang mencoba menantang untuk mengkodifikasi proses salah satu dari istilah sekuensi
atau komponen-kOmPonen Evaluasi kurikulum secara luas tidak hanya menilai dokumen tertulis,
tetapi yang lebih penting adalah kurikulum yang diterapkan sebagai bahan-bahan fungsional dan
kejadian-kejadian yang meliputi interaksi siswa, guru, material dan lingkungan.
b. Sistem Sosial
Dalam strategi perubahan dan pengembangan kurikulum, konteks sosial tidak dapat terlepas,
artinya sistem sosial yang ada di masyarakat berpengaruh langsung dalam perubahan kurikulum.
Sistem sosial tersebut mengandung konsep eksistensi individu di masyarakat dalam hubungannya
dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Sejalan dengan hal itu John Dewey memandang
pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial yang paling efektif, dengan membentuk individu dapat
membentuk masyarakat. Pendidikan merupakan badan yang konstruktif untuk memperbaiki
masyarakat dan membina masa depan yang lebih baik. Jadi kurikulum sebagai rekonstruksi sosial
mengutamakan kepentingan sosial di atas kepentingan individu. Tuannya menurut Nasution
(1990:24) ialah perubahan sosial atas tanggung jawab tentang masa depan masyarakat.
Tugas kurikulum yang demikian itu bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi selalu merupakan
suatu bagian dan fungsi pendidikan, karena pendidikan selalu berkaitan tujuannya dengan masa
mendatang. Sekolah biasanya dipandang sebagai “agent of social change” badan untuk mengadakan
perubahan sosial. Sekolah merupakan jembatan antara masa kini dengan masa mendatang, antara
realitas masa kini dengan ideal atau cita-cita masa mendatang. Perubahan kurikulum harus
mempertimbangkan bagaimana peran serta subjek dalam lingkungannya, bagaimana supaya ia dapat
diterima oleh masyarakat. Dengan demikian jelas baik individu maupun kelompok sebagai unit
sistem sosial berpengaruh dalam perubahan kurikulum. Pengaruh tersebut kadang-kadang bersifat
negatif atau juga positif Agar strategi perubahan kurikulum searah dengan harapan yang diinginkan,
dibutuhkan pribadi pelaksana yang terampil. Pribadi tersebut ditugasi untuk melengkapi sarana dan
prasarana bagi penyempurnaan sistem pendidikan. Sarana yang dimaksud adalah buku teks baru,
sistem evaluasi yang bani, pengembangan guru-guru serta metode dan pendekatan baru dalam bentuk
eksperimen dan adanya sumber penunjang lainnya seperti berupa insentif yang cukup untuk
menunjang kelancaran perubahan, dan bagaimana implementasi kurikulum di lapangan.
7. Komponen Pelaksana Kurikulum.
Untuk menetapkan semua tugas yang relevan dalam pengembangan kurikulum ada beberapa
komponen pelaksana kurikulum yang memainkan peranan penting. Jika tidak ada pemahaman yang
memadai mengenai peran dan masing-masing komponen pelaksana kurikulum ini, maka akan
menemukan kesulitan yaitu peranan masing-masing menjadi kompleks, sehingga derajat
pertimbangan menjadi meluas ketimbang pengetahuan mengenai prosedur, prilaku kognitif
bertambah dalam hubungan perilaku psikomotorik, tugas generalisasi menjadi penting untuk
perilaku. Sedangkan waktu untuk menserasikan antara ketiga komponen tersebut terbatas. Adapun
komponen pelaksana kurikulum menurut Dewan Konsorsium Pendidikan Indonesia.
a. Masyarakat adalah: (1) kehidupan bermasyarakat berlandaskan nilai-nilai keagamaan, sosial,
budaya, sebagian nilai-nilai tersebut lestari. Sebagian lagi terus berubah sesuai dengan
perkembangan IPTEK; (2) masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah normatif
terhadap dunia pendidikan; dan (3) kehidupan bermasyarakat ditingkatkan mutunya oleh individu
yang telah mampu mengembangkan dirinya melalui pendidikan.
b. Subjek Didik yaitu: (1) bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri berdasarkan wawasan
pendidikan seumur hidup; (2) subjek didik memiliki potensi (fisik/psikis) yang berbeda sehingga
setiap subjek didik masing-masing merupakan insan yang unik; (3) subjek didik memelihara
pembinaan secara individual dan perlakuan yang manusiawi; dan (4) subjek didik pada dasarnya
adalah insan yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya.
c. Pendidik/guru yaitu: (1) guru adalah agen pembaharuan, karena itu diharapkan, guru jangan
ketinggalan informasi; (2) guru berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai
masyarakat; (3) guru sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik untuk
belajar para subjek didik; dan (4) Guru bertanggung jawab secara profesional untuk selalu
meningkatkan dirinya.
Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dimana dituntut
adanya suatu kerja sama yang baik dalam mencapai suatu tujuan yang telah digariskan dalam
kurikulum. Diharapkan dengan adanya usaha yang semaksimal mungkin ini dapat meningkatkan taraf
pendidikan di negara kita, sehingga kualitas sumber daya manusianya pun dapat diandaikan dalam
berbagai bidang. Di sisi lain dalam era reformasi maka informasi dalam bidang pendidikan menjadi
hal yang sangat penting. Untuk itu pemberdayaan guru menjadi hal yang sangat urgent, terlebih-lebih
dalam era globalisasi yang menuntut persaingan yang sangat ketat, sehingga harus dihasilkan sumber
daya manusia yang siap bersaing.
Dalam pemberdayaan guru harus diupayakan terjadi perubahan visi guru, dimana guru harus
menjadi sosok intelektual yang cerdas, menguasai bidang ilmu yang digeluti dan menguasai
metodologi pengajaran. Guru harus ditempatkan pada posisi utama bukan sekedar
pelaksanaicunikulun1 tetapi harus dilibatkan dalam perancangan kurikulum itu sendiri khususnya
pada tingkat satuan pendidikan. Penyelenggaraan kurikulum dalam pengajaran. guru harus
mengutamakan rasio bukan dogma, mitos dan ketundukan absolut, sehingga output yang dihasilkan
merupakan output yang mampu berpikir kritis, berwawasan luas menjadi sumber belajar terlebih pada
kondisi sekarang di mana kadang-kadang siswa lebih banyak menyerap informasi karena sama yang
dimiliki di rumah memungkinkan untuk itu. Pada prinsipnya pengembangan kurikulum menjadi
kurikulum berbasis kompetensi dimaksudkan untuk membekali peserta didik dengan berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan melalui proses pembelajaran agar kelak mampu menghadapi dan
mengatasi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis, rasional, kreatif, dan menjunjung tinggi
akhlak mulia.
BAB VII
PENUTUP
Setiap pendidikan selalu berurusan dengan manusia, karena hanya manusia yang dapat dididik
dan harus selalu dididik. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dikarunia potensi untuk selalu
menyempurnakan diri melalui proses belajar. Tentu sangat logis bagi manusia memilih jalur
pendidikan untuk meningkatkan potensi belajarnya. Karena itu, pendidikan di arahkan pada
pembentukan manusia yang diidamkan, sosok manusia yang diharapkan adalah manusia yang mampu
mandiri atau tanggung jawab sendiri. Sedangkan pengajaran yang tugasnya dilaksanakan oleh guru
adalah salah satu alat atau usaha untuk membentuk manusia tersebut. Titik berat pendidikan masa-
masa mendatang adalah peningkatan mutu dan perluasan kesempatan belajar untuk semua jenjang
dan jenis pendidikan.
Pembelajaran yang menimbulkan interaksi belajar mengajar antara guru-siswa mendorong
perilaku belajar siswa. Siswa merupakan kunci terjadinya pembelajaran atau perilaku belajar dan
pencapaian sasaran belajar. Dengan demikian bagi siswa perilaku belajar merupakan proses belajar
yang dialami dan dihayati sekaligus merupakan aktivitas belajar tentang bahan belajar dan sumber
belajar di lingkungannya. Bagi siswa dalam kegiatan belajar tersebut melalui tahap sebelum belajar,
kegiatan selama proses belajar, dan kegiatan sesudah belajar.
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru berpangkal pada suatu kurikulum, dan
dalam proses pembelajaran guru juga berorientasi pada tujuan kurikulum. Pada suatu sisi guru adalah
pengembang kurikulum, sedangkan pada sisi lainnya guru adalah pembelajar siswa yang secara
kreatif merbe1ajarican siswa sesuai dengan kurikulum sekolah. Untuk mengukur pencapaian tujuan
pembelajaran sebagai ukuran daya serap kurikulum, guru perlu melakukan pengukuran. Pengukuran
ini untuk melihat kemajuan belajar siswa materi ajar yang telah disampaikan, dalam mengukur
kemajuan belajar ini guru menggunakan test-test yang standar yang dapat menggambarkan kemajuan
belajar untuk semua materi pelajaran yang telah disajikan oleh guru. Oleh karena itu guru dalam
melaksanakan tugas pembelajaran dipersyaratkan memahami kurikulum, kemudian mampu
menyusun dan menguasai penggunaan test-test yang standar untuk mengukur kemajuan belajar siswa.
Guru sebagai pembelajar memiliki kewajiban mencari, menemukan, dan diharapkan
memecahkan masalah-masalah belajar siswa. Dalam pencarian dan penemuan masalah-masalah
tersebut secara profesional guru dapat melakukan langkah-langkah berupa: (1) pengamatan perilaku
belajar dalam kegiatan belajar mengajar; (2) ma1igis hasil belajar untuk memberi makna apakah
pembelajaran berlangsung sesuai yang direncanakan dan (3) melakukan test basil belajar untuk
mengukur kemajuan belajar siswa. Dengan langkah-langkah tersebut guru memperoleh peluang
menghimpun data siswa berkenaan dengan proses belajar dan basil belajar. Sebagai guru profesional,
diharapkan guru memiliki kemampuan melakukan penelitian secara sederhana yang berkaitan dengan
belajar dan pembelajaran agar dapat menemukan masalah-masalah belajar dan memecahkan masalah-
masalah belajar.
Mempelajari ilmu mendidik menurut M. J. L.angeveld berarti mengubah diri sendiri, artinya
dengan mempelajari ilmu mendidik seseorang dapat membenahi tindakan-tindakannya, sehingga
terhindar dan kesalahn-kesa1ahan mendidik. Pendidikan itu adalah suatu proses jangka panjang, lama
baru terlihat hasilnya, sehingga jika terjadi salah didik hal itu tidak segera dapat diketahui. Karena itu
teori pendidikan dan juga teori belajar yang digunakan harus benar-benar sesuatu yang
diperhitungkan dengan cermat, teori tersebut dipakai sebagai pedoman yang memungkinkan
dilakukannya antisipasi ke masa depan. M. J. Langeveld selanjutnya mengatakan bahwa membahas
pendidikan berarti memahami bagaimana implementasi proses pengoperan nilai-nilai, dengan
menggunakan metode dan pendekatan fenomenologis.
Berkaitan dengan konsep belajar, dalam hal ini banyak orang beranggapan, bahwa yang
dimaksud dengan belajar adalah semata-mata mencari ilmu atau menuntut ilmu saja. Ada lagi yang
secara lebih khusus mengartikan belajar adalah tingkah laku menyerap ilmu pengetahuan. Pendapat
yang demikian ini tentu tidak salah, karena memang belajar itu akan menghasilkan ilmu pengetahuan
yang tampak pada kemampuan sebagai hasil belajar. Prinsip ini juga berlaku pada pendidikan
prasekolah, karena bagi mereka yang mengikuti pendidikan prasekolah juga diharapkan akan tampak
kemampuan yang berarti sebagai hasil belajarnya di prasekolah. Kemampuan yang diperoleh ini,
tentu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak pada usia prasekolah.
Untuk memperlancar proses belajar dan memperoleh mutu yang sesuai diharapkan diperlukan
pengetahuan mengenai ciri-ciri, prinsip-prinsip, dan teori belajar, pengetahuan ini penting guna
menentukan pendekatan yang sesuai baik dilihat dan bidang keilmuan maupun anak didik sebagal
subjek belajar. Teori dan konsep-konsep belajar tersebut memberi kontribusi bagi para pendidik
dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Karena itu belajar yang teratur terarah sesuai prinsip-
prinsip belajar dapat dikatakan sebagai upaya menuntut ilmu untuk meningkatkan kemampuan
sebagai hasil belajar. Guru sebagai satu komponen dalam proses belajar dan pembelajaran serta
pelaksana kurikulum memiliki beberapa kemampuan yang dipersyaratkan seperti: (1) kemampuan
meningkatkan kompetensi pribadi; (2) kompetensi profesional yang menyangkut kemampuan
mengatasi landasan-landasan pendidikan, kemampuan menguai bahan pengajaran, kemampuan
merencanakan pengajaran, kemampuan melaksanakan KBM, dan kemampuan melaksanakan evaluasi
dalam belajar dan pembelajaran; dan (3) kompetensi sosial.
Dalam melaksanakan tugasnya, guru harus menyadari betul tentang peran yang harus
dilakukan bahwa dia bukan hanya sekedar pengajar tetapi juga sebagai pendidik, jadi bukan hanya
sekedar menyampaikan informasi, tetapi juga harus melihat sejauh mana terjadi perubahan sikap,
agar terlihat adanya peningkatan kualitas pada diri setiap individu peserta didik. Perubahan dan
pengembangan kurikulum, tidak hanya sekedar mengubah materi saja, tetapi ada hal yang lebih
penting bagaimana mengubah perilaku guru-guru agar dapat berkiprah dalam merespon perubahan
itu. Agar tujuan yang telah ditetapkan tercapai, jadi kalau terjadi perubahan kurikulum hendaknya
terjadi perubahan secara komprehensif termasuk materi, metode, guru, sarana dan hal lain yang ada
kaitannya dengan kurikulum, belajar, dan pembelajaran sehingga dampak positif dari perubahan akan
dirasakan manfaatnya oleh semua pihak.
SEKOLAH DEMOKRATIS
A. Mengapa revormasi dalam Pendidikan
MEMASUKI abad ke-21 isu tentang perbaikan sektor pendidkan di Indonesia mencuat ke
permukaan, tidak hanya dalam jalur dan jenjang pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur
pendidikan yang dikelola oleh beberapa departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat
yang tidak hanya disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan
tersebut, tapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan
sumber daya manusia, karena semua jenis jalur, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur
yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian,
kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks
keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.
Bersamaan dengan itu, di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh
di bawah negara-negara asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia. Bahkan jika dilihat
dari indeks sumber daya manusia, yang salah satu indikatornya adalah sektor pendidikan, posisi
Indonesia kian menurun dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari
masyarakat dunia yang sudah tidak bisa dihindari. Indonesia kini sudah menjadi bagian dari
kompetisi masyarakat dunia. Jika tidak bisa menjadi pemenagng, maka akan menjadi yang kalah serta
tertinggal dari masyarakat yang lainnya, khususnya dalam meraih pasar dan peluang kesempatan
kerja yang tidak dibatasi oleh garis wilayah kewarganegaraan, tapi bergerak kian meluas, dan ini
dimulai dari wilayah Asia Tenggara yang akan terus bergerak menjadi wilayah dunia. Oleh sebab itu,
penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif serta memiliki berbagai keunggulan
komparatif menjadi sebuah keharusan yang mesti menjadi perhatian dalam sektor pendidikan.
Lemahnya SDM hasil pendidikan juga mengakibatkan lambannya Indonesia bangkit dari
keterpurukan sektor ekonomi yang merosot secara signifikan di tahun 1998. Namun saat negara-
negara ASEAN lainnya sudah pulih, Indonesia masih belum mampu melakukan recovery dengan
baik. Dody Heriawan Priatmoko, dengan mengutip pernyataan Schutz dan Solow, menegaskan
bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
kualitas SDM. Hal ini dapat dilihat pada negara Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang didapatnya
sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. Sistem pendidikan Jepang yang baik telah menghasilkan
manusia-manusia yang berkualitas sehingga walaupun hancur setelah kekalahan dalam perang dunia
II, mereka dapat cepat bangkit maju dan bahkan bersaing dengan negara yang mengalahkannya
dalam perang. Negara asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga
memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari negeri matahari terbit ini, dimana kemajuan
ekonomi mereka yang dapatkan adalah karena tingginya kualitas SDM-nya. Keadaan di Indonesia
berbeda jauh dengan negara-negara tersebut. Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang relatif
lebih banyak, negara kita ternyata jauh tertinggal (Priatmoko, 2003:1). Semuanya itu merupakan
akibat dari kekeliriuan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada masa orde baru yang
menekakan pada pembangunan fisik dan kurang serius dalam pembinaan sumber daya manusia.
Masalah lain sebagaimana dikemukakan Dody Heriawan Priatmoko (Priatmoko,2003:3)
adalah rendahnya mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada
prestasi siswa. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia tahun 1992, studi IEA
(international association for evaluation of educational achivement) di asia timur menunjukkan
bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringakat terendah. Rata-rata skor tes
membaca untuk siswa SD:75,5 (Hongkong),74,0 (Singapura), 65,1(Thailand), 52,6 (Filipina) dan
51,7 (Indonesia. Anaka-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30 % dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.
Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dsn mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu hasil study The Third international Mathematic and science study-Repeat-TIMMS-R, tahun
1999 memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 di Indonesia
berada pada urutan ke –32 untuk IPA dan ke-34 untuk matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi
menurut majalah Asia week dari 77 Universitas yang disurvei di asia pasifik ternyata 4 Universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73, dan ke-75.
Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat
dilihat dari data UNESCO tahun 2000 tentang peringkat indeks pengembangan manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan
penghasilan per kepala yang menunjukkkan bahwa index pengembnagan manusia Indonesia makin
menurun, Diantara 174 negara didunia, Indonesia menempat urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99
tahun 1997, ke-105 pada tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999, dan menurun ke urutan 112 pada tahun
2000. Menurut survei political and Economic Risk Consultant (PERC) kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di asia.
Inilah kutipan dari tulisan yang dimuat dalam website-nya Balitbang Depdiknas tahun 2003.
Dengan demikan, gagasan-gagasan tentang revormasi pendidikan di indonesia menjadi sangat
relevan, terutama dalam konteks penyiapan SDM yang berkualitas yang harus dimulai dengan
perbaikan pendidikan pada semua jenjang dan jalur, dengan perbaikan komprehensif meliputi
perbaikan perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat dan sarana pembelajaran, serta perbaikan
manajemen, yang semuanya itu perlu dilakukan untuk mencapai perbaikan pada hasil pendidikan.
Keluaran pendidikan kedepan harus siap berkompetisi dalam memasuki pasar tenaga kerja dan tidak
saja dalam negeri tapi juga di negara-negara lain di dunia. Mereka harus memiliki wawasan global,
berpikir yang mendunia, memahami berbagai karakteristik kultur masyarakat dunia, memiliki
penguasaan bahasa untuk komunikasi global, menguasai keterampilan dalam penggunaan alat-alat
teknologi modern, serta memiliki basis keahlian yang sesuai serta relevan dengan kebutuhan pasar.
Kemudian bila dilihat dalam kerangka perkembangan dunia, memasuki abad ke-21 ini, semua
penduduk dunia menghadapi persoalan yang sama, yang mengkerucut pada tiga persoalan besar,
yaitu persoalan kependudukan, interdependensi negara dan dunia usaha, serta kemajuan sain dan
teknologi ( Bondel, 1998:3). Masalah kependudukan, walaupun disatu sisi merupakan keberhasilan
pembangunan sektor kesehatan dengan menurunnya angka kematian, namun menjadi masalah bar,
karena penetrasi kemajuan sub sektor kesehatan yang dapat menurunkan angka-angka kematian pada
negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, telah mengakibatkan ledakan penduduk dunia,
dan secara dialektis telah menimbulkan persoalan baru yakni kemampuan sektor jasa dalam
menyerap tenaga kerja, yang masing-masing negara sudah tidak bisa menutup pintu terhadap tenaga
kerja dari negara lain. Daniel Blondel lebih jauh menegaskan, sasaran terbesar sekarang adalah
negara-negara maju yang diserbu tenaga kerja asing dari negara-negara berkembang dan negara-
negara miskin, sehingga persaingan tenaga kerja semakin menglobal, karena negara tidak bisa
menutup sama sekali kedatangan tenaga-tenga asing tersebut, yang mereka tidak diserap semuanya di
negara mereka masing-masing. Fenomena itu kini telah menimbulkan ketakutan dan senofobia di
beberapa negara maju, yang perkembangannya menunjukan peningkatan (Blondel, 1998:15). Mereka
khawatir dengan masuknya tenaga kerja imigran, bukan hanya dalam konteks mengancam peluang
mereka dan menurunkan posisi bargaining-nya dihadapan para pemilik modal, namun lebih jauh dari
itu, berupa efek samping dari latar belakang kultur yang berbeda, yang sering kali menimbulkan
kekahwatiran-kekahwatiran dengan berbagai tindak kekerasan.
Kemudian ketergantungan negara dengan negara lain, atau pengusaha sebuah negara dengan
pengusaha yang sama di negara lain, juga sangat kuat, terutama setelah berkembangnya keterbukaan
ekonomi dunia dan berkembangnya sistem ekonomi liberal hampir di seluruh pelosok dunia, saling
ketergantungan politik, ekonomi, dan berbagai aktivitas kultural sudah tidak bisa dielakkan, seperti,
fenomena pasar uang dan pertukaran mata uang dunia, akan mebangkitkan solidaritas antar bangsa
untuk menjaga stabilitas mata uangnya, atau sebaliknya, yang terkadang dipicu oleh persoalan politik
dengan menggunakan stabilitas pasar uang sebagai senjatanya. Demikian pula dengan
mengembangkan sektor-sektor industri multinasional, yang mendorong solidaritas politik antar
bangsa, untuk menjaga stabilitas persaingan dalam perebutan pasar, serta pengembangan penggunaan
teknologi komunikasi, atau infra struktur lainnya (Bondel, 1998:6).
Persoalan lain adalah berkembangnya sains dan temuan-temuan teknologi baru, yang selalu
menimbulkan paradoks, seperti temuan-temuan bahan kimiawi yang mampu meningkatkan dan
mengembangkan berbagai model dan jenis industri manufaktur, yang sering menimbulkan
pencemaran lingkungan, sehingga pihak industri selalu berhadapan dengan kelompok-kelopmpok
humanis yang anti pencemaran dan perusakan lingkungan. Atau temuan-temuan alat baru dalam
proses pelayanan dan industrialisasi telah mengakibatkan tergesernya tenaga manusia oleh daya kerja
mesin yang lebih cepat, akurat dan dengan biaya yang lebih murah, sehingga perkembangan sains
dan teknologi berhadapan dengan serikat tenaga kerja, atau dengan manusia sendiri, karena
mengancam posisi tenaga kerja manusia (Blondel,1998:16). Gejala-gejala ini banyak terjadi di dunia,
terutama di negara-negara maju dan berkembang.
Inilah berbagai kemajuan dunia yang harus disikapi dan diresponi oleh pendidikan , walaupun
secara teoritik berbagai kemajuan ekonomi yang didukung oleh berbagai kemajuan sains dan
teknologi, juga akibat kemajuan dalam bidang pendidikan yang melahirkan sumberdaya manusia
dengan kemampuan pengembangan sains dan teknologi tersebut, persoalannya, bagaimana
pendidikan merancang perubahan-perubahan kedepan yang tetap ditandai dengan kemajuan sains dan
teknologi, dengan peningkatan solidaritas internasional, dan keseimbangan komitmen antara
prokduktuifitas, kemjuan sains dan teknologi, yang ada gilirannya dapat mengembangkan sektor
perekonomian, namun tetap memperhatikan pemeliharaan lingkungan dan misi kemanusiaan,
sehingga mampu menetrealisir ketegangan–ketegangan sosial, dan mampu menjaga kelestarian alam
yang tidak semata menjadi kubutuhan seluruh umat manusia dengan keseimbangan ekosisitemnya,
tapi juga akan diwariskan pada generasi yang akan mendatang.
Terkait dengan persoalan serta pandangan diatas, ada beberapa pemikiran tentang
pengembangan konteks pendidikan kedepan dalam memasuki abad ke 21 yang membawa
problematika ekonomi, sosisal dan politik sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pemikiran-
pemikiran tersebut adalah ( papadopoulos, 1998; 26-30 ) sebagai berikut :
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknoliogi serta informasi membuat bahan-bahan ajar yang
harus disampaikan dalam proses pendidikan menjadi sangat banyak dan bisa dikahwatirkan akan
membuat stagnasi pengembangan ilmu dan peradaban khususnya pada level pendidikan tinggi.
Oleh sebab itu, struktur program pendidikan tinggi harus mampu memberikan jaminan pemberian
reward dan insentif yang memadai untuk pengembangan ilmu dan teknologi pada level
pendidikan tinggi tersebut, sehingga temuan-temuan baru dalam bidang sains dan teknologi
bertambah, dan peradaban terus meningkat.
2. Perkembangan teknologi akan terjadi terus menerus dan bisa terjadi dalam percepatan yang tinggi
diberbagai dinegara yang berbeda-beda, dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi melalui
industri dan jasa. Oleh sebab itu , melalui updating skill dan keterampilan serta bebagai temuan
baru yang dikuasai oleh pekerja yang terkait dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
3. Perubahan demografis akan terjadi dimana-mana akan membawa implikasi pada distribusi
penduduk berdasarkan usia. Di negara-negara tertinggal akan memiliki indeks kelahiran yang
tinggi. Dengan demikian angka usia sekolah dasar juga tinggi, dan akan terus meminta perhatian
untuk memperoleh perioritas. Sementara di negara-negara maju angka kelahiran menurun.
Dengan demikian pada dekade-dekade awal diabad ke-21 ini, negara-negara maju akan
kekurangan usia-usia angkatan kerja,angka pensiun konstan akan mungkin meningkat, dan
membutuhkan jaminnan sosial dan kesehatan. Dengan demikian negara-negara maju akan terus
meningkatkan pendapatan negaranya melalui sektor pajak dari sektor usaha jasa agar tetap
memberikan jaminan bagi mereka yang pensiun, namun pada saat yang sama, negara maju akan
sangat bergantung pada negara berkembang atau negara tertinggal, untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja. Oleh sebab itu, negara-negara berkembang harus merancang outcome pendidikan
agar bisa memasuki pasar global untuk angkatan tenaga kerja, mereka harus memiliki skill dan
keterampilan, menguasai bahasa komunikasi global, dan memahami kultur negara-negara yang
dikunjunginya.
4. Negara-negara terus akan menjadi saling ketergantungan satu dengan yang lainnya, yang tidak
saja dalam sektor ekonomi dengan dibukanya pasar uang disetiap negara, tapi juga sektor politik
dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu pendidikan harus mampu membuka
cakrawala global tersebut, dan mampu mengarahkan sikap-sikap multikulturalisme,yang harus
mereka miliki ketika akan memasuki pasar tenaga kerja di dalam maupun diluar negeri.
5. Kemajuan ilmu dan teknologi yang mendorong kemajuan sktor ekonomi dengan keterbukan pasar
secara global, akan membawa implikasi terbentuknya masyarakat dunia baru. Pendidikan harus
mampu mendesain masyarakat tersebut sebagai masyarakat humanis, cinta lingkungan,
mnemelihara kestabilan ekosistem, anti drug, dan senantiasa hidup sehat.
Pendidikan di Indonesia, memang menghadapi dua masalah besar sekaligus, yakni persoalan
internal dan ekstrnal. Secara internal sedang dilakukan berbagai penataan restrukturisasi strategi
pengembangan yang jauh lebih tepat, akkurat dan akselaratif, sementara secara eksternal, berbagai
tantangan dan peluang justru menunggu peningkatan tersebut agar mereka kompetitif, karena pasar
negar-negara utara akan diserbu ramai-ramai oleh tenaga muda energik dan berbakat dari belahan
selatan, Amerika latin, Afrika yang sudah menunjukkan global worldview-nya secara agresif dan
efektif, begitu juga tenaga muda energik dari beberapa negara di Timur jauh.
Skill dan keterampilan adalah hak semua anak bangsa, semua siswa berhak memperoleh
keterampilan, dan skill untuk memasuki pasar tenaga kerja, sebagaimana mereka juga berhak untuk
memasuki perguruan tinggi.Dengan demikian, paradigma pemisahan program pendidikan. menengah
sebagai persiapan untuk memasuki perguruan tinggi, sebagai pendidikan akademik, serta pendidikan
keterampilan untuk memasuki pasar tenaga kerja, pada abad ke-21 ini sudah tidak. relevan lagi,
karena semua outcome pendidikan akan memasuki pasar tenaga kerja, dan menuntut skill serta.
keterampilan yang memadai (Haas, 1994: 21). Oleh sebab itu, semua siswa pada jenjang sekolah
menengah harus memperoleh perlakuan yang sama, dengan memperoleh pendidikan akademik untuk
bisa memasuki perguruan tinggi, serta memiliki keterampilan untuk memasuki pasar tenaga. kerja.
Semua sekolah dan perguruan tinggi harus mempersiapkan para. siswa dan mahasiswanya dengan
berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan serta basis keilmuan yang memadai. Sekolah bukanlah
sebuah formalitas untuk memiliki ijazah, tapi justru adalah proses penguatan kompetensi. Keluaran
pendidikan harus memiliki kompetensi yang memadai sesuai jenjang dan basis keahlian atau
keterampilannya. Untuk itulah, reformasi pendidikan di Indonesia merupakan sebuah keharusan,
dengan perbaikan menyeluruh dalam semua. aspeknya, agar dapat menghasilkan. lulusan yang
cerdas, kompetitif dan memiliki daya saing yang tinggi di pasar tenaga kerja, dalam level dan jenis
apa pun profesinya.
Pandangan dan analisis di atas setidaknya merefleksikan beberapa faktor penting yang
mendasari pentingnya. reformasi pendidikan, yaitu:
1. Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam. dengan. indikator rendahnya
kualitas rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi.
2. Perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global, yang semuanya itu
merupakan peluang sekaligus ancaman, yang harus dihadapi dengan kesiapan kualitas SDM
kompetitif.
Di samping itu ada beberapa analisis rational mengapa reformasi pendidikan itu mutlak
dilakukan dalam menghadapi era globalisasi di abad ke-21, dengan mengadaptasi terhadap
argumen-argumen, William J. Mathis dari Vermont University (Mathis, 1994:12-19), yaitu:
1. Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus Perpenetrasi pada seluruh aspek
kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada masyarakat
konstituennya secara fair, karena mereka adalah stakeholder-nya, dan sekaligus client dari
sekolah tersebut. Masyarakat adalah kontributor terhadap sekolah (tidak terkecuali sekolah
negeri, karena budgeting sekolah negeri dari anggaran pemerintah, yang juga adalah uang dari
rakyat), dan mereka.memiliki hak untuk dilayani.
2. Perubahan dunia yang sangat cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi
berbagai perubahan tersebut, tidak hanya dalam aspek kemampuan komunikasi, tapi juga
kecakapan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Tantangan
ke depan adalah keragaman permintaan pasar, dan sekolah harus mampu mempersiapkan
orang-orang yang akan mengisi kebutuhan tersebut. Sumber daya manusia yang diserap sekolah
juga membawa keragaman tersebut. Dengan demikian tidak fair kalau semua siswa harus
memiliki hanya satu keterampilan yang sama, dan jika terjadi, itu merupakan tragedi dalam
masyarakat demokratis, karena masyarakat demokratis menghargai keragaman.
3. Kemajuan teknologi dalam semua sektor industri dan pelayanan jasa akan kian menggeser posisi
manusia. kecanggihan alat-alat teknologi semakin mengefisiensikan proses industri dan layanan
jasa. Dengan demikian, pendidikan harus mempersiapkan SDM agar tidak tergeser oleh alat-alat
modern itu, tapi justru menjadi bagian dari kemajuan-kemajuan tersebut.
4. Penurunan standar hidup, yakni bahwa pada generasi sebelum mereka, cadangan natural
resource sangat kuat, dan seluruh umat manusia terpenuhi berbagai kebutuhan hidupnya oleh
cadangan alam semesta. Pada generasi mereka, cadangan tersebut akan semakin menipis dan
akan semakin habis. Dengan demikian akan terjadi penurunan standar hidup dan mereka harus
diberitahu tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut, yang bisa diatasi dengan penemuan-
penemuan teknologi baru, serta dengan adanya kerjasama global antar satu bangsa dengan
lainnya. Inilah intinya kehidupan demokratis dengan penguatan jaringan antar bangsa.
5. Perkembangan ekonomi akan semakin mengglobal, berbagai perusahaan yang berkantor pusat di
Amerika atau Jepang misalnya, memiliki kantor-kantor perwakilan di berbagai negara melalui
kerjasama investasi bersama pengusaha lokalnya masing-masing. Ini adalah trend perkembangan
ekonomi global ke depan, yang harus diketahui oleh para siswa sebagai sebuah kenyataan yang
tidak mungkin dihindari.
6. Peranan wanita semakin kuat, posisi wanita tidak lagi marginal. Mereka memiliki hak dan
peluang yang sama dalam karir dan pekerjaan dengan pria. Tidak ada diskriminasi pekerjaan atas
dasar gender.
7. Pemahaman doktrin keagamaan kian terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi penghalang
kemajuan, tapi justru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan.
8. Peran media massa yang terus menguat, baik dalam mensosialisasikan berbagai perubahan sosial,
mengkritik berbagai kebijakan maupun sebagai media untuk memperoleh berbagai hiburan
alternatif atau sumber informasi tambahan, melalui berbagai program televisi, yang semuanya
bisa merjadi kontributor pendidikan yang positif, dan bisa juga.menjadi kendala yang negatif
bagi program-program pendidikan.
Ini semua adalah perubahan yang tidak mungkin dihindari, tapi harus disikapi dalam
merancang reformasi pendidikan, karena sekolah akan melahirkan keluaran yang tidak boleh gagal
dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, dan sebaliknya harus mampu menyesuaikan
diri, bahkan mampu menjadikan perubahan sebagai sebuah kekuatan untuk artikulasi diri mereka,
sehingga diakui oleh publik sebagai SDM unggul yang mampu bersaing dan memiliki berbagai
keungulan komparatif dengan lainnya.
B. APA REFORMASI PENDIDIKAN
ISU reformasi pendidikan bukan sesuatu yang baru. Gagasan pembaharuan pendidikan sudah bergulir
lama di Indonesia. Akan tetapi, reformasi di Indonesia merupakan sebuah gerakan yang memiliki
perspektif sejarah politik monumental, karena era reformasi sebagai.sebuah era pemerintahan
substitusi pemerintahan orde baru. Dengan demikian, gagasan reformasi pendidikan saat ini memiliki
momentum yang amat mendasar, dan berbeda dengan gagasan yang sama pada era sebelumnya.
Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi ini adalah lahirnya UU
No. 22 tahun 1999, serta Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Kedua undang-undang tersebut membawa perspektif baru. yang amat revolusioner dalam
konteks perbaikan sektor pendidikan yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan
masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik dalam kebijakan kurikulum,
manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. Arah
refoimasi pendidikan di awal A'bad ke-21 ini adalah demokratisasi dalam pengembangan dan
pengelolaan pendidikan, didukung oleh komunitasnya sebagai kontributor dalam penyelenggaraan
pendidikan tersebut.
Gagasan reformasi dalam pendidikan tidak mutlak hanyadilakukan negara-negara perkembang
tapi juga berbagai negara maju, karena reformasi adalah refleksi pemikiran untuk melakukan
berbagai pembaharuan dengan perubahan-perubahan komprehensif sebagai respon terhadap
perubahan dunia yang sedang terjadi, dan atau hasil analisis prediktif yang dilakukan secara saksama
dan cermat. Kemudian, reformasi juga adakalanya dilakukan dalam bentuk bagian-bagian partial dari
keseluruhan aktivitas pendidikan, dan ada juga yang dilakukan dalam skala yang lebih besar atau
bahkan mungkin perubahan yang holistik (Walker, 1997.77). Akan tetapi, reformasi pada umumnya
menjadi isu besar jika dilakukan holistik menyentuh seluruh aspek dalam: kegiatan pendidikan dan
didasari oleh sebuah argumentasi yang mendasar. Joseph Murphy umpamanya menyatakan bahwa
reformasi pendidikan sangat dipengaruhi oleh faktor per,kembangan ekonomi negara. Menurutnya
kemunduran ekonomi sebuah negara merupakan akibat langsung dari lemahnya sektor pendidikan.
Oleh sebab itu, jika ekonomi negara ingin bangkit, maka sektor pendidikan harus diperbaiki, karena
SDM yang akan diluluskannya dapat mempengaruhi maju mundurnya perkonomian bangsa.
(Murphy, 1992:4). Terkait dengan teorinya itu, maka dia menegaskan, bahwa reformasi adalah
gagasan awal yang mendasari restrukturisasi, karena reformasi menurutnya tiada lain adalah
restrukturisasi pendidikan,.yakni memperbaharui pola hubungan sekolah dengan lingkungannya dan
dengan pemerintah, pola pengembangan perencanaan serta pola pengelolaan manajerialnya,
pemberdayaan guru dan restrukturisasi model-model pembalajaran (Murphy,1992: 10).
Sejalan dengan Joseph Murphy, Decker F. Walker menegaskan bahwa reformasi pendidikan itu
menjangkau semua. Orang kelompok dan unsur-unsur yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan
yakni siswa-siswa sekolah itu sendiri, para guru, orang tua siswa, pimpinan sekolah, kantor
pemerintah, buku teks dan penerbit buku teks, serta unsur-unsur lainnya (Walker, 1997.80). Dengan
demikian, reformasi pendidikan tidak cukup hanya perbaikan dan perubahan dalam sektor kurikulum,
baik struktur maupun prosedur perumusannya, serta pola pengelolaan sekolah yang berbasis pada
masyarakat, namun siswa-siswanya sendiri harus diberi arah pandangan tentang belajar itu sendiri
bahwa bersekolah bukanlah sebuah formalitas sebagai warga negara yang baik, tapi mereka harus
memperoleh kompetensi-kompetensi yang telah disepakati oleh kepala sekolah, guru, orang tua, serta
user dari pendidikan itu sendiri. Mereka harus memiliki etos dan tanggung jawab belajar agar
mencapai kompetensi minimal yang telah digariskan sehingga tidak ada lagi (umpamanya) siswa
yang keluar dari sekolah dengan skor E 6,9. Mereka bisa keluar dan lulus dengan skor minimal setiap
mata pelajaran 7,00- atau 8,00. Dengan kata lain para siswa disadarkan bahwa reformasi ini menuju
pada pola mastery learning, dan mereka harus memperbaiki kompetensi di saat liburan, jika skor
mata pelajaran tertentu belum menjangkau angka minimal lulus yang ditetapkan sekolah, melalui
program remedial atau reinforcement.
Demikian pula dengan guru, mereka harus mengubah filosofi bekerja sebagai guru, karena
tugas guru bukan selesai saat telah memenuhi tugas dan jam wajib untuk masuk kelas, tapi mengubah
siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak bisa menjadi
bisa, dan tidak memiliki kompetensi menjadi memiliki
kompetensi, dari tidak aktif belajar menjadi aktif belaJar, dari tidak terlibat dalam diskusi dan
penyelesaian tugas sekolah menjadi terlibat dengan aktif dalam penyelesaian tugas-tugas tersebut.
Dalam konteks ini, reformasi bukan menghadirkan pola baru, tapi menghidupkan doktrin klasik
keguruan dan menghidupkannya dalam. kultur kerja keguruan. Namun bersamaan dengan itu, ada
tugas-tugas. guru yang baru dalam konteks reformasi yang mendorong penyelenggaraan sekolah
berbasis masyarakat adalah, keterlibatan guru dalam restrukturisasi kurikulum, bahkan perumusan,
kurikulum operasional adalah mutlak kompetensi guru, setelah meng-assess permintaan-permintaan
dari stakeholder dan user dari pendidikan tersebut.
Demikian pula dengan pimpinan sekolah, masyarakat sebagai pengguna sekolah serta
pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap pengembangan dan kemajuan Sekolah harus
mengubah paradigma berpikirnya dari menunggu petunjuk pelaksanaan pemerintah pusat menuju
inisiasi yang dinamis, konstruktif, sehingga dapat melahirkan sekolah yang kompetitif, unggul,
dengan mengoptimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimiliki sekolah tersebut.
Berbagai dari upaya-upaya reformasi ini adalah perubahan-perubahan yang tidak bisa
dielakkan. Seperti menurunnya peran birokrasi dalam kebijakan kurikulum operasional karena lebih
banyak ditentukan oleh sekolah bersama. komite sekolahnya sendiri. Demikian pula, bila suatu. saat
mata pelajaran tertentu memperoleh posisi sangat kuat dan prestigious, mungkin suatu saat tergeser
oleh mata pelajaran lain yang menjadi aksentuasi dan benchmark sekolah tersebut. Setiap perubahan
membawa konsekuensi, dan konsekuensi itu harus dihadapi bukan ditakuti, karena pasti terjadi.
C. APA DAN MENGAPA SEKOLAH DEMOKRATIS
ISU tentang sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru. dan belum terbiasa dalam wacana
akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan mungkin
sejak zaman orde baru, walaupun belum spesifik. Istilah, demokratis, sebagaimana dalam literatur
pofitik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang bermakna
rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna. kekuasaan di
tangan rakyat (Tarcov, 1996: 2). Istilah demokrasi memang muncul dan dipakai dalam kajian politik,
yang bermakna. kekuasaan negara berada di tangan rakyat melalui undang-undang yang diputuskan
rakyat, bukan oleh kekuasaan raja atau sultan. Kemudian, presiden diangkat oleh rakyat dan harus
bertanggung jawab terhadap rakyat melalui mekanisme perwakilan.
Mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam
kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif, sekolah demokratis adalah membawa
semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Dalam konteks ini James A. Beane dan Michael W Apple, menjelaskan,
berbagai kondisi yang sangat perlu. dikembangkan, dalam upaya membangun sekolah demokratis
(Beane dan Apple,1995: 7) adalah:
I. Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal
mungkin.
2. Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka
miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan-sekolah.
3. Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide,
problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4. Memperlihatkan kepedulian terhadap Kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan
publik.
5. Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6. Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang
diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa. membimbing keseluruhan
hidup manusia.
7. Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup
demokratis.
Inti dari teori James A. Beane dan Michael W. Apple di atas adalah, bahwa Sekolah
demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stakeholder
sekolah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah Pengembangan sekolah, berbagai problem
yang dihadapinya, serta-langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh. Dengan demikiaq, mereka
akan bisa menganalisis relevansi kebijakan-kebijakan tersebut, memahami, mengkritisi dan memberi
masukan, serta menentukan kontribusi serta partisipasi yang akan diberikannya untuk kesuksesan
pelaksanaan program-program sekolah tersebut. Kemudian tidak cukup hanya sampai di situ sekolah
demokratis juga harus dikembangkan dengan sikap trust atau kepercayaan, yakni orang tua percaya
pada kepala sekolah untuk mengembangkan program-program sekolah menuju idealitas yang
diinginkan, kemudian, kepala sekolah juga percaya pada guru untuk mengembangkan
program-program kurikulernya serta mengorganisir pelaksanaan program-programnya itu.
Kemudian, sekolah demokratis juga harus diimbanngi dengan perhatian yang kuat terhadap
hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, persoalan kesejahteraan para guru, serta
semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus; menjadi perhatian serius, dan manajemen
harus dilakukan secara terbuka khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah publik harus
dikelola secara transparan, sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan
bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam
komunitas sekolah yang harus diperhatikar sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan
ras agama atau warna kulit.
Sejalan dengan itu, James A. Beane dan Michael W. Apple mendefinisikan, bahwa sekolah
demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah,
yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur
tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai
pengalaman tentang praktik-praktik demokratis (Beane and Michael W. Apple, 1995: 9). Dengan kata
lain, sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan sruktur yang memungkinkan
praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stakeholder dan
user sekolah) dalam membahas program-program sekolah,dan prosedur pengambilan keputusan juga
memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya
kepada publik. Demikian pula dengan pola
pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian
yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar den
gan yang belum pintar, tidak membedakan antara yang rajin dan yang belum rajin, semuanya
memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi
waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya di saat liburan. umum, sehingga
kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah memberi pengalaman-pengalaman
praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa
membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam sekolahnya.
Pengembangan sekolah menuju model sekolah demokratis ini relevan untuk dilakukan karena
berbagai argumentasi, yang secara garis besar dapat dikategorisasi menjadi dua, yaitu tipologi
sekolah abad ke-21, dan model pembelajaran yang sesuai. Dalam konteks pertama, Lyn Haas (Haas,
1994: 21) menjelaskan, bahwa sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi
ideal, yaitu:
I . Pendidikan untuk semua yakni semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh
pelajaran sehingga. memperoleh Peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas
kurikuler, serta memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta.
sesuai Pula dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Paradigma yang memisahkan Pendidikan
akademik sebagai calon untuk memasuki perguruan tinggi, dan pendidikan keterampilan untuk
memasuki pasar tenaga kerja, sudah tidak relevan lagi, karena perubahan yang menuntut
masyarakat untuk menjadi bagian dari kontribusi untuk kemajuan.
2. Memberikan skill dan keterampilan yang Sesuai dengan kemajuan teknologi terkini karena pasar
menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki keterampilan pengunaan alat-alat teknologi termodern,
kemampuan komunikasi globa matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan.
3. Penekanan pada kerjasama, yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan
kerjasama dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran,
sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama, karena trend pasar kedepan
adalah pengembangan kerjasama, baik antara perusahaan, atau antara perusahaan dengan
masyarakat dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam
artikulasi diri di lapangan profesi mereka.
4. Pengembangan kecerdasan ganda yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk
mengembangkan multiple intelligence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan
skill dan keterampilan yang beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga
kerja.
5. Integrasi program, pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka
memiliki kepekaan sosial.
Kelima point di atas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progresif dan
peka terhadap berbagai kemajuan dan perkembangan. teknologi di luar sekolah sehingga jika
kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang kaku, sekolah
bisa. tertinggal oleh kemajuan, dan sekolah akan kehilangan relevansinya dengan berbagai
perubahan, yang pada akhimya akan ditinggalkan oleh stakeholder-nya sendiri. Oleh sebab itu,
argumen-argumen di atas memperkuat bahwa model sekolah demokratis itu amat relevan untuk
dikembangkan
Demikian Pula. dalam. aspek pelaksanaan proses Pembelajaran, sebagaimana dikemukakan
oleh John I. Goodlad, bahwa terpenuhinya. misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru
untuk menanamkan seting demokrasi pada siswa, dengan memberi kesempatan seluas-luasnya pada
siswa untuk belajar (Goodlad, 1996: 113), yakni bahwa sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi
siswa untuk semaksimal mungkin mereka belajar. Sekolah bukan tempat pertunjukan bagi guru, tapi
tempat siswa. untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya. Oleh sebab itu, guru harus
mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang memberi peluang lebih besar bagi siswa untuk
belajar. Inilah makna lain dari sekolah demokratis, yakni sekolah itu untuk siswa bukan untuk guru
dan kepala sekolahnya. Sekolah harus menjadi second home bagi para siswa, mereka betah
menghabiskan waktunya di sekolah, dengan belajar, berdiskusi menyelesaikan tugas-tugas kelompok,
membaca dan aktivitas, Pembelajaran lainnya.
Tesis Goodlad ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan Jerry Aldridge dan Renitta
Goldman, yang menurutnya, belajar itu harus memberi peluang besar bagi anak untuk berpikir,
bekerja dan biarkan mereka bergerak, terutama bagi anak-anak yang membangun keilmuannya
melalui interaksi dengan lingkungan. Pengetahuan apa saja, matematika sosial atau lainnya, akan
lebih efektif dengan pendekatan ativitas (Aldirdge and Renitta, Goldman, 2002:103). Model
pembelajaran humanis ini terwadahi hanya dalam model sekolah demokratis, yakni pendidikan
dengan konsep bahwa sekolah itu utuk siswa atau anak-anak belajar, bukan untuk guru
mempertontonkan kepintarannya di hadapan siswa yang dibiarkannya menjadi penonton.
Berbagai keunggulan model sekolah demokratis ini, sebagaimana dikemukakan oleh Dwight W.
Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang (ke-21), dalam kerangka penguatan model
sekolah demokratis (Allen, 1992:86),. antara lain adalah:
1. Akuntabilitas; yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah di pertanggungawabkan pada publik,
yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian, yang kemudian
teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan Pegajaran di sekolah. Guru yang diangkat
harus; yang memiliki keahlian dalam bidang ilmu yang akan diajarkannya, memiliki keterampilan
mengajar yang memadai, serta memiliki loyalitas keguruan yang teruji. Kemudian manajemen
sekolah juga dapat dipertanggungjawabkan pada publik, dapat meminimalisir bias individual
dalam berbagai keputusan, dan promosi seseorang benar-benar didasarkan pada keahlian dan
pengalaman yang memadai. Dan dalam konteks akuntabilitas juga, sekolah demokratis selalu
menjunjung tinggi collective judgement, yakni keputusan diambil bersama-sama.
2. Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan
pada siswa secara individual. Berbagai kesulitan siswa akan menjadi perhatian guru, dan dengan
senang hati guru akan terus membantu. sehingga siswa dapat menyelesaikan berbagai
kesulitannya.
3. Keterlibatan masyarakat dalam sekolah; yakni dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan
merupakan refleksi dari keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi dalam
pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan responsif dengan
berbagai persoalan sekolah. Dengan demikian, para guru bekerja juga akan merasa tenang karena
senantiasa bersama-sama dengan masyarakatnya, keputusan pimpinan sekolah juga akan menjadi
keputusan yang bulat, karena disepakati bersama.Terkontrol oleh oleh masyarakatnya, dan
sekolah akan selalu mekanisme yang diatur dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut.
Berbagai keuntungan tersebut bisa menjadi sebuah perspektif positif untuk pengembangan
sekolah ke depan, karena jika pendidikan di Indonesia itu berkualitas rendah, penyelesaiannya adalah
perbaikan mendasar, yakni kurikulum, bahan ajar dan guru sebagai pengajar. Dalam kerangka
sekolah demokratis, guru dan pimpinan sekolah harus menginformasikan pada orang tua tentang
besaran kurikulum yang akan, diajarkan pada siswa, setidaknya berbagai kompetensi yang akan
diberikan, serta berbagai perlakuan dalam pengembangan pengalaman belajar siswa dalam upaya
mencapai kompetensi-kompetensi tersebut. Setiap guru harus siap untuk dievaluasi, diberi masukan
dan dikritisi secara positif baik oleh siswa maupun orang tua siswa, sehingga mereka benarbenar
menjadi profesional, dan bukan seorang tokoh penguasa feodal.
Memang ini gagasan reformasi radikal, namun Indonesia harus memulai, dan kini gagasan
reformasi tersebut memperoleh tempat yang ideal di Indonesia, terutama setelah lahirnya UU No. 22
tahun 1999 tentang otonomi daerah yang meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu yang
diotonomisasikan, pendidikan memasuki era baru dengan semangat demokratis, karena
undang-undang tersebut disambut oleh daerah dengan memberi peluang pada sekolah untuk
mengembangkan networking horizon tal-nya dengan stakeholder dari user sekolah, dalam proses
mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum maupun penetapan berbagai
kebijakan mendasar dari sekolah, tidak terkecuali sekolah negeri.
Persoalan besar dalam UU No. 22 tahun 1999 adalah perubahan radikal dalam otoritas
Pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah Pusat melalui
Depdiknasnya, kini terdelegasikan pada pemerintah daerah. Dan kini perubahan radikal tersebut
memperoleh penguatan dengan diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas), yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini
adalah Penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya, bahwa keterlibatan
masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya akan lebih besar
daripada Pemerintah pusat.
Bersamaan dengan itu pula dalam pasal 9 dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta
dalam perencanan, pelaksanaan, Pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Keikutsertaan
masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk keterlibatan mereka dalam komite Sekolah atau dewan
pendidikan daerah. Komite sekolah berhak ikut serta dalam merumuskan perencanaan pendidikan,
tidak saja dalam perencanaan makro tapi sampai pada kebijakan restrukturisasi kurikulum, walaupun
dalam batas-batas gagasan besar dan tidak harus memasuki wilayah teknis, karena itu sudah menjadi
otoritas guru dan kepala sekolahnya. Demikian pula dengan evaluasi keberhasilan sekolah. Menurut
pasal 9 di atas, masyarakat berhak untuk melakukan evaluasi terhadap sekolah, tidak saja dalam
kerangka program pendidikan secara, makro, tapi pada wilayah mikro, kebijakan pengembangan
sekolah dalam semua aspeknya.
Kemudian pemerintah daerah juga diberi kewenangan oleh undang-undang sebagaimana
dicantumkan dalam pasal 10 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak
mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada pasal 11 ayat I dan 2 dinyatakan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap, warga negara tanpa diskriminasi.
Kemudian pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap, warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas
tahun.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah memberi arah dan wadah
pengembangan sekolah yang lebih demokratis, bahkan dalam rumusan tujuan pendidikan dinyatakan
secara tegas pada pasal 3, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada. Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Undang-undang sudah mengamanatkan agar pendidikan mampu mengarahkan peserta didik
menjadi warga negara yang demokratis. Oleh sebab itu, selain diberi pengetahuan tentang life skill
sebagai warga. negara demokratis melalui pendidikan kewarganegaraan, juga mereka harus
mengalami langsung bagaimana watak dan kultur demokrasi itu mewujud dalam kenyataan sekolah,
yang mereka alami sehari-hari. Mereka harus memiliki pengetahuan dan pengalaman bahwa
masyarakat ikut terlibat dalam penyelenggaraan sekolah, baik dalam konteks sebagai kontributor
pemikiran, konsep dan gagasan, maupun sebagai kontributor fasilitas dan yang lainnya. Masyarakat
juga terlibat dalam pembahasan program-program sekolah, dan masyarakat juga terlibat dalam
evaluasi keberhasilan sekolah menyelenggarakan pendidikan untuk siswa dan siswinya.
SOAL JAWAB
1. Mengapa pendidikan di Indonesia perlu direformasi ?
Jawab:
Pendidikan perlu di revormasi untuk perbaikan disemua aspek agar dapat menghasilkan lulusan
yang cerdas, kompetitif dan memiliki daya saing yang tinggi di pasart tenaga kerja, dalam level
dan jenis apapun profesinya.
2. Faktor-faktor penting apakah yang mendasari pentingnya revormasi?
Jawab:
Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam dengan indikator rendahnya
kualitas rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi. Dan
perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global yang semuanya itu
merupakan peluang sekaligus ancaman yang harus dihadapi dengan kesiapan SDM kompetitif.
3. Apakah yang dimaksud dengan sekolah demokratis?
Jawab:
Sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan prktek-
praktek demokratis itu terlaksana seperti pelibatan masyarakat dalam membahas program-
program sekolah dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi
publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik. Demikian pula
dengan pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan
perhatian yang sama pada semua siswa, semuanya memperoleh perlakuan walaupun bentuknya
mungkin berbeda.
4. Sebutkan bebrapa kondisi yang perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah
demokratis
Jawab:
1. Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi
seoptimal mungkin.
2. Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang
mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan-sekolah.
3. Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap
ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4. Memperlihatkan kepedulian terhadap Kesejahteraan orang lain dan terhadap
persoalan-persoalan publik.
5. Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6. Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang
diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa. membimbing
keseluruhan hidup manusia.
7. Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara
hidup demokratis.
DEMOKRATISASI
PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. KURIKULUM; PENGERTIAN DAN MACAM-MACAMNYA
MAU dibawa ke mana anak-anak oleh sekolah, siapa yang paling berhak menentukan arah dan
kebijakan sekolah. Ini merupakan pertanyan-pertanyaan mendasar dalam penyelenggaraan sekolah,
dalam sistem atau pendekatan apa pun. Semangat demokratis dalam penyelenggaraan sekolah akan
menginspirasi bahwa publik sekolah memiliki hak yang sangat kuat dan sangat besar dalam
penetapan arah kebijakan kurikulum sekolah, barangkali sama kuatnya" dengan pemerintah sendiri
karena client sekolah adalah publiknya dan pemerintah yang juga dalam konteks lain sebagai user,
bukan terbatas dalam aspek penerimaan tenaga kerja pada instansi pemerintah saja, tapi lapangan
kerja secara lebih luas di semua sektor, pertanian, industri, jasa atau lainnya, di dalam negeri maupun
di luar negeri. Semakin kompetitif SDM bangsa, maka akan semakin meningkat dignity bangsa
tersebut di hadapan bangsa-bangsa lainnya. Sebaliknya semakin merosot daya saingnya, maka akan
semakin menurun pula nation dignity-nya. Dengan demikian, publik sekolah dan pemerintah
sama-sama memiliki kepentingan dalam penetapan arah dan pendidikan anak-anak di sebuah sekolah.
Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan pada
publiknya, dengan dukungan SDM guru berkualitas, serta sarana sumber belajar lainnya yang
memadai. Diskursus tentang kurikulum masih terus berjalan, apakah kurikulum itu hanya bermakna
Course Out Line atau GBPP, atau mencakup seluruh pengalaman yang diberikan pada anak dalam
proses pendidikannya oleh guru. Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum
sudah tidak lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari Serta urutan pelajaran yang
akan dipelajari siswa, tapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di
bawah arahan dan bimbingan:sekolah (Doll, 1964:15). Pengalaman yang diperoleh siswa dari
program-program yang ditawarkan sekolah amat variatif, tidak sebatas hanya pembelajaran di
dalam"Kelas, tapi juga lapangan tempat mereka. bermain di sekolah, kantin, dan bahkan bis sekolah.
Semua itu memberikan kontribusi pengembangan pengalaman siswa, yang mempengaruhi
perubahan-perubahan pada mereka.
Melalui kesimpulannya ini, Doll hendak menegaskan bahwa kurikulum itu adalah perencanaan
yang ditawarkan, bukan yang diberikan, karena. pengaIaman yang diberikan guru belum tentu.
ditawarkan. Dengan demikian seluruh konsep pendidikan di sekolah itu bisa dan harus ideal.
Kurikulum harus bicara keharusan, dan bukan kemungkinan. Kemudian bimbingan dan arahan tidak
saja tugas dan kewajiban guru, tapi menjadi tugas dan kewajiban sekolah, yang komponennya tidak
Sekadar guru, tapi juga kepala sekolah, karyawan sekolah dan juga unsur lain yang terkait langsun
dengan proses pendidikan. Sesuai pengertian di atas, maka. kurikulum, sebagaimana dikemukakan
Sukznadinata memiliki beberapa karakteristik (SukMadinata, 1997.27) yaitu:
1. Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah Sebuah rencana kegiatan
belajar para siswa di sekolah, yang mencakup rumusan-rumusan tujuan, bahan ajar, proses
kegiatan pembelajaran, jadwal dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum. tersebut merupakan sebuah
konsep yang telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan pendidikan
serta oleh masyarakat sebagai user dari hasil pendidikan.
2. Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang
berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara
koheren dengan lainnya, dan bahwa kurikulum itu sendiri memiliki keterkaitan dengan semua
unsur dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.
3. Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan konsep
yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan
pasar atau. tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia.
Akan tetapi, bukan menghindari diskursus tentang apa itu kurikulum, namun dengan
menyerap pemahaman publik terhadap kurikulum, tampaknya definisi-definisi yang dikemukakan
oleh Hilda Taba dan Robert Gagne, yang dikemukakan oleh Allan A. Glathorn dalam bukunya
berjudul Curiculum Leadersip, (Glatthorn, 1987: 2) lebih mendekati pemahaman fragmatis tentang
kurikulum. Menurut Taba Kurikulum. biasanya terdiri dari pernyataan-pernyataan tentang tujuan
umum, tujuan khusus, yang mengindikasikan kelompok bahan-bahan ajar terpilih, yang juga
menyatakan tentang model-model pelaksanaan proses pembelajaran, dan juga mencakup program
evaluasi hasil belajar. Sementara Robert Gagne menegaskan, bahwa kurikulum adalah sekwensi isi
dan bahan pelajaran yang dideskripsikan sedemikan rupa sehingga pembelajaran setiap unitnya itu
dapat diselesaikan sebagai sebuah satuan utuh, dan masing-masing unit tersebut juga
mendeskripsikan kapabilitas (kompetensi) siswa yang harus dikuasai mereka.
Kedua tokoh amat berpengaruh dalam kajian pendidikan ini memberikan sebuah gambaran
bahwa kurikulum berkaitan langsung dengan proses pembelajaran dalam kelas, hanya saja, Taba
lebih menekankan pada struktur kurikulumnya itu sendiri yang diawali dengan perumusan tujuan dan
diikuti dengan perumusan bahan-bahan ajar, model pembelajaran, serta evaluasi hasil belajar.
Sementara. Gagne lebih menekankan pada sekwensinya, yakni bahwa bahan ajar itu harus disusun.
dalam sebuah sekwensi yang sistematis, dan masing-masing unit pembelajaran harus mampu
mendeskripsikan kompetensi yang bisa diperoleh siswa, sehingga jelas dan rasional, dan siswa harus
menyelesaikannya dengan baik sampai menguasai benar dan mencapai kompetensi yang
dirumuskannya itu.
Walaupun berbeda dalam membuat rumusan, namun Doll, Taba dan, Gagne memiliki
pandangan. yang sama, bahwa kurikulum adalah pengalaman-pengalaman belajar yang ditawarkan
sekolah pada siswa, kemudian Doll juga sebagaimana Taba dan Gagne, wenyampaikan sebuah teori
kurikulum. yang standar bahwa program pembelajaran siswa itu. harus dimulai dengan perumusan
tujuan, bahkan. menurutnya, kurikulum tersebut harus dianalisis benar, apakah tujuannya itu bisa
tercapai oleh sekolah, berapa. lama bisa dicapai dan bagaimana. susunan sekwensi bahan-bahannya
(Doll, 1964: 22). Pandangan tersebut nampak sejalan dengan. rumusan yang dikemukakan Taba dan
Gagne, hanya saja, Doll melihat bahwa lingkungan sekolah, serta pengalaman-pengalaman lain yang
ditawarkan sekolah pada siswa termasuk dalam kategori kurikulum yang harus menjadi wilayah
kajian evaluatif dalam perbaikan dan pengembangan sekolah.
Akan tetapi, lingkungan, kultur dan berbagai kebijakan sekolah, walaupun diakui memiliki
pengaruh terhadap perubahan siswa, namun proses mempengaruhi perkembangan kepribadian
siswanya terjadi secara tidak langsung, dan dikembangkan bukan sebagai bahan ajar untuk
membentuk perilaku siswa, tapi semata sebagai sebuah pekerjaan, sikap, kebijakan dan penataan
lingkungan dengan kepentingan rnasing-masing, namun. memiliki pengaruh bermakna terhadap
perkembangan siswa. Oleh sebab itulah, Allan A. Glatthorn menyebutnya sebagai The Hidden
Curriculum (kurikulum terselubung), yakni kurikulum yang tidak menjadi bagian untuk dipelajari,
yang secara lebih definitif digambarkan sebagai berbagai aspek dari sekolah di luar kurikulum yang
dipelajari, namun mampu memberikan pengaruh dalam perubahan nilai, persepsi dan perilaku siswa
(Glatthorn, 1987: 2,0). Kebiasaan sekolah menerapkan disiplin terhadap siswanya, seperti ketepatan
guru memulai pelajaran, kemampuan dan cara-cara guru menguasai kelas, kebiasaan guru
meperlakukan mereka yang melakukan kenakalan di dalam kelas, semuanya itu merupakan
pengalarnan-pengalaman yang dapat mengubah cara berpikir dan perilaku siswa. Demikian pula
dengan lingkungan sekolah yang teratur, rapi, tertib dan mampu menjaga lingkungan yang bersih
serta asri, merupakan pengalaman. yang dapat mempengaruhi kultur siswa. Itulah intinya hidden
curriculum sebagaimana dikemukakan. di atas.
Tampaknya Glatthorn mencoba membuat rumusan bijak dengan memperkuat formulasi dan
cara pandang Taba yang menekankan tentang perencanaan pembelajaran, namun tetap, memberi
tempat pada. Doll yang menganggap penting berbagai pengalaman di luar proses pembelajaran dalam
kelas.,Glatthorn mengangkat hidden curriculum, sebagai formulasi lain tentang berbagai pengalaman.
yang ditawarkan sekolah pada. siswa di luar pernbelajaran. dalam kelas, dan memiliki kontribusi
signifikan terhadap berbagai perubahan. perilaku. siswa, dalam konotasi perilaku yang lebih luas.
Oleh sebab itu., rencana perlakuan siswa di luar kelas tersebut harus sejalan. dengan rencana.
pembelajaran formal dalam kelas, sehingga. tidak terjadi kontradiksi yang Pontra produktif terhadap
hasil pendidikan.
Bersamaan dengan itu, Allan A. Glatthorn juga menjelaskan tiga variabel penting dalam
pengelolaan dan pengembangan sekolah, dan menjadi bagian integral dari hidden curriculum
(Glatthorn, 1987:22), yaitu:
1. Variabel organisasi; yakni kebiajkan penugasan guru dan pengelompokan siswa untuk proses
pembelajaran, yang dalam konteks ini ada empat isu yang pantas menjadi perhatian, yakni
team teaching, kebijakan promosi (kenaikan kelas), pengelompokan siswa berdasarkan
kemampuan, dan pemfokusan kurikulum. Team teaching merupakan salah satu kebijakan
dalam penugasan guru (dengan pemberian tugas pada beberapa prang guru dalam satu mata
pelajaran tertentu dalam kelas yang sama). Kendati belum terbukti bahwa hasil belajar siswa
dengan team teaching itu lebih baik, namun kebijakan ini rasional dan dapat diterima, karena
akan memberikan pelayanan akademik terbaik untuk siswa, dan guru. mengajarkan dalam
pokok-pokok bahasan yang benar-benar menjadi keahliannya. Kemudian kebijakan dalam
promosi (kenaikan kelas) untuk siswa, sekolah bisa menerapkan kebijakan promosi
didasarkan pada pencapaian individual siswa, namun kebijakan tersebut belum terbukti lebih
baik dilihat dari outcome pendidikan yang diharapkan, tapi justru promosi didasarkan pada
indikator-indikator sosial, seperti sikap siswa terhadap; sekolah self image yang baik
merupakan bagian-bagian penting dalam perubahan perilaku, di samping pencapaian prestasi
akademik itu sendiri. Kemudian, pangelompokan siswa berdasarkan kemampuan juga tidak
memiliki perbedaan-perbedaan hasil yang significant daripada pengelompokan secara acak,
walaupun ada indikasi mereka yang dikelompokan dalam tingkat kemampuan dan talenta
yang sama, memiliki efek positif terhadap sikap mereka pada pelarannya yang
diajarkan.Demikian pula efeknya terhadap sekolah itu sendiri, dan juga konsep diri mereka,
walaupun perbedaannya tidak significant. Sedangkan pemokusan kurikulum sebagai implikasi
dari pengelompokan berdasarkan kemampuan dan kecenderungan, masih merupakan sesuatu
yang problematik, karena siswa yang berdasarkan temuan konselor memiliki talenta dan
kemampuan tertentu, belum tentu menjadi besar dalam karir profesional sesuai dengan
temuan konselor tersebut. Kendatipun demikian, pemfokusan kurikulum tetap menjadi bagian
penting, karena kelompok dengan tingkat kemampuan tinggi akan menuntut perlakuan yang
lebih intensif daripada kelompok dengan kemampuan di bawahnya.
2. Variabel sistem sosial; yakni suasana sekolah yang tergambar dari pola-pola hubungan semua
komponen sekolah. Banyak faktor sistem sosial di sekolah yang dapat membentuk sikap dan
perilaku siswa, yakni pola hubungan guru dengan tenaga administrasi, keterlibatan kepala
sekolah dalam pembelajaran, keterlibatan guru dalam proses pengambilan keputusan, hubungan
yang baik antar sesama guru, hubungan guru dengan siswa, interaksi guru dengan siswa,
keterlibatan siswa dalam proses pengambilan keputusan, dan keterbukaan kesempatan bagi siswa
untuk melakukan berbagai aktivitas, yang semuanya ini sangat dipengaruhi oleh efektivitas
kepemimpinan sekolah.
3. Variabel budaya; yakni dimensi sosial yang terkait dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai dan
struktur kognitif. Berbagai faktor yang terkait dengan variabel kultur dan menjadi bagian penting
dalam hidden curriculum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Rumusan tujuan sekolah yang jelas dan dapat dipahami oleh semua unsurnya, sebagai hasil
konsensus antara pengelola. administrasi dan guru.
b. Pengelola administrasi memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap guru dan begitu juga
sebaliknya, guru memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap tenaga administrasi.
c. Pengelola administrasi dan guru memiliki ekspektasi yang baik terhadap para siswa yang
diartikulasikan dengan penguatan pelayanan akademik pada mereka. Pernberian hadiah
terhadap mereka yang mencapai prestasi terbaik, dan pemberian hadiah serta hukuman yang
dilakukan secara fair dan konsisten kepada para siswa.
Tiga variabel di atas merupakan bagian-bagian penting hidden curriculum yang secara
teoretik akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku siswa. Semakin konsisten tiga
variabel tersebut terpelihara dalam konsep-konsep idealnya, maka akan semakin besar peluang
sekolah melahirkan siswa-siswa sesuai ekspektasi masyarakat penggunanya.
Dengan demikian, kurikulum yang mengantarkan siswa sesuai harapan idealnya, tidak
cukup hanya kurikulum yang dipelajari saja (written curriculum), tapi juga hidden curriculum yang
secara teoretik sangat rasional mempengaruhi siswa, baik menyangkut lingkungan sekolah, suasana.
kelas, pola interaksi guru dengan siswa dalam kelas, bahkan pada kebijakan serta manajemen
pengelolaan sekolah secara lebih luas dan perilaku dari semua komponen sekolah. dalam hubungan
interaksi vertikal dan horizontal mereka. Sedangkan. kurikulum yang dipelajari terbatas pada
kurikulum; tertulis yang disusun sedemikian rupa secara sistematis, dengan rumusan-rumusan
kompetensi standar serta indikator-indikator kompetensi yang terukur, dan materi belajar yang sesuai
untuk mencapai indikator-indikator kompetensi tersebut
Dua kelompok kurikulum ini merupakan bagian-bagian integral yang tidak terpisahkan dalam
proses pendidikan, karena kurikulum tertulis yang pada umumnya menjabarkan berbagai kompetensi
akademik, skill, dan keterampilan yang diawali dengan. Pengetahuan, dan penguasaan bidang-bidang
keilmuan, memberikan arah pada penguasaan ilmu. Akan tetapi, ketika tujuan, pembelajaran itu.
untuk pembentukan sikap dan kebiasaan, memerlukan dukungan kultur lingkungan di mana para
siswa itu. menghabiskan banyak waktu-waktunya. Interaksi siswa dengan guru dan para pegawai
adminsitrasi serta dengan para pimpinan sekolah, sangat potensial untuk mendukung pembentukan
sikap dan kebiasaan tersebut karena banyak waktu potensial. mereka dihabiskan di sekolah dengan
para guru dan pegawai sekolah, sehingga jika teradi akulturasi dari lingkungan sekolah terhadap para.
siswanya, itu merupakan implikasi .rasional. Jika kultur yang mereka alami itu negatif, maka
akulturasinya pun akan menghasilkan nilai-nilai negatif. Sementara jika kultur positif yang mereka
alami, maka akan terjadi akulturasi nilai-nilai positif.
Aspek-aspek keilmuan dan keterampilan yang selayaknya dikembangkan untuk anak-anak,
harus sesuai dengan basis psikologisnya, artinya kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan
psikologis anak untuk menerima dan memahami pelajaran, sesuai usia kronologisnya, dan
disesuaikan pula dengan kebutuhan kemajuan ilmu dan teknologi. dalam konteks ini Paul Westmeyer
menggambarkan bahwa yang harus menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kurikulum
adalah perkembangan psikologis anak, baik dalam mempertimbangkan materi pelajaran. yang akan
disampaikan, maupun dalam mengembangkan aktivitas belajar mereka. bersamaan dengan itu,
kurikulum juga. harus disusun setelah melakukan analisis kebutuhan. Dalam konteks ini, analisis juga
mempertimbangkan aspek-aspek psikologis anak dan permintaan client (Westmeyer, 1981: 5), yang
terartikulasikan dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan pemakai baik sektor swasta
maupun pemerintah dengan berbagai pertimbangannya, termasuk peningkatan rating SDM national
dignity dan yang sebangsanya. Bila dikaitkan dengan analisis awal tentang tipologi sekolah. abad.
ke-21 ini, maka analisis kebutuhan client itu harus mempertimbangkan berbagai kemajuan teknologi
yang ada. di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, pengembangan kurikulum, selain harus
mempertimbangkan perkembangan psikologis anak, juga harus mempertimbangkan kemajua-
kemajuan i1mu dan teknologi, sehingga anak tidak mengalami kegagalan penyesuaian diri di luar
sekolah.
Dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan psikologis anak tersebut, serta diperkuat
dengan analisis terhadap kebutuhan client dan pemakai, maka rancangan kurikulum sudah bisa
dikembangkan dengan merumuskan berbagai standar kompetensi yang diawali pada identifikasi
kompetensi untuk setiap jenjang pendidikan, yang akan menjadi rujukan untuk menyusun standar
kompetensi pada setiap level dan pada setiap
mata pelajaran. Dan dengan standar kompetensi tersebut juga bisa disusun indikator-indikator
kompetensi serta materi-materi pokok yang bisa dikembangkan oleh para guru, baik pada aspek
indikator kompetensinya, maupun pengembangan materi bahan ajarnya.
Untuk bisa lebih mengaksentuasi kompetensi yang bisa dikembangkan pada siswa melalui
proses pembelajaran, maka kini Indonesia mengembangkan model kurikulum baru yang populer
dengan nama kurikulum berbasis kompetensi, karena model ini amat jelas memberikan gambaran
kompetensi siswa setelah mempelajari berbagai materi pelajaran, dan. dapat dengan mudah dikritisi
oleh stakeholder dan bahkan oleh siswa sendiri. Kemudian, bahwa pendidikan juga menekankan
pembinaan sikap dan kebiasaan. Oleh sebab itu, kurikulum ideal adalah yang mengintegrasikan
antara kurikulum tertulis untuk dipelajari serta hidden curriculum yang mendukung perkembangan
sikap, dan kebiasaan-kebiasaan siswa tersebut.
Pergeseran kurikulum berbasis tujuan pada kurikulum berbasis kompetensi, tidak membawa
implikasi filosofis yang signifikan, karena outcome dari kurikulum berbasis tujuan juga adalah
rangkaian kompetensi siswa, dan rumusan-rumusan tujuan yang dikemukakan dalam kurikulum
tersebut menggambarkan. kompetensi yang terukur. Dengan demikian, kurikulum berbasis
kompetensi sebenamya adalah penegasan terhadap berbagai tujuan yang lazim. dalam kurikulum
berbasis tujuan. Hanya saja, kompetensi siswa lebih tampak dalam pemetaan konsep hasil. belajar
Akan tetapi kurikulum berbasis kompetensi menjadi sangat signifikan, karena dikembangkan
bersamaan dengan perubahan paradigma dari kurikulum top-down menjadi pola perumusan yang
demokratis. Berbagai kompetensi yang harus dibelajarkan pada siswa disiapkan secara komprehensif
dari pemerintah sendiri yang mewakili cita-cita bangsa, para pemakai lulusan, serta dengan orang tua
siswa sebagai client sekolah. Hanya saja idealisme tersebut harus disusun dengan bijak sehingga
tidak mengabaikan aspek psikologis dari siswa-siswa sendiri, karena tingkat kematangan kejiwaan
mereka juga berkorelasi dengan kesiapannya untuk mernperoleh pelajaran pada level-level. tertentu.
Gambar 1
Tentang Model perumusan kurikulum yang relevan untuk dikembangkan adaptasi dari
westmeyer
PS
YC
HO
LO
GY
CA
L
BA
SE
D F
OR
C
UR
RIC
UL
UM
AN
ALY
SIS
OF
NE
ED
S
OF
CL
IEN
TE
, AN
D
US
ER
S
IDENTIFIKASI MASALAH
INDIKATOR KOMPETENSI
MATERI PELAJARAN
ANALISIS SEKWENSI DAN RANAH
PILIHAN STRATEGI
AN
AL
ISIS
KE
BU
TU
HA
N S
ISW
A
DA
PE
RM
INTA
AN
OR
AN
G T
UA
MA
TE
RI D
AS
AR
Gambar di atas menunjukkan tentang model kurikulukm yang relevan untuk dikembangkan
sebagai wujud gagasan penyelenggaraan sekolah yang demokratis, dengan memberi posisi yang
seimbang antara otoritas pemerintah dengan masyarakat sebagai client dari sekolah. Akan tetapi,
gambat\ran di atas terbatas hanya pada kurikulum tertulis untuk di pelajari yang dapat mengantarkan
siswa untuk mencapai berbagai kompetensi keilmuwan dan atau keterampilan. Kemudian gambar di
atas juga memberikan aksentuasi pada pertimbangan-pertimbangan demokratis untuk
memperhatiakan permintaan client serta perkembangan psikologis siswa, sementara filosofinya tidak
menjadi perhatian, karena pendidikan harus selalu berbasis filosofi (philosofical base),
Gambar 2
Bidang-bidang yang mempengaruhi keputusan kurikulum
(Adaptasi wiles-Bondi, 1989:12)
PILIHAN ALAT PILIHAN EVALUASI
FILOSOFI DAN TUJUAN
SISTEM PEMBELAJARA
N
CONCERN
PENGEMBANGAN MATERI
PENDIDIKAN GURU
MANAJEMEN PEMBELAJARAN
Inti dari putaran ranah-ranah pendidikan dalam. gambar di atas adalah "concerns", yakni
kurikulum yang menjadi kepedulian. dan perhatian, dan proses penetapan keputusannya akan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor acuan filosofis, rumusan. berbagai tujuan dalam pendidikan,
perkembangan. sistem pembelajaran, yakni semakin maju sistem pembelajaran yang dapat
dikembangkan, maka akan semakin baik kurikulum yang disusun, karena penyusunannya akan sangat
memperhatikan. perkembangan sistem pembelajaran yang dapat dikembangkan saat itu. Demikian
pula dengan unsur-unsur lainnya, seperti pendidikan guru, semakin baik pendidikan guru, maka akan.
semakin baik kurikulum yang disusun karena guru adalah arsitek penyusunan kurikulum dan gurulah
yang mengontrol kurikulum. operasional dalam kelas. Demikian pula dengan manajemen
pembelajaran, serta kemajuan i1mu dan teknologi, keduanya sam a-sama mempengaruhi perubahan
dan pengembangan kurikulum tersebut.
Dari lima ranah di atas, tampaknya hanya ranah filosofi yang lebih eternal, konstan dan tidak
banyak perubahan, sementara lainnya senantiasa mengalami perubahan dan kemajuan, yang
karenanya pula kurikulum harus terus dievaluasi dan dikembangkan. Perumusan filsafat pendidikan,
yaitu pada hakikatnya adalah menjawab tiga pertanyaan what is good? What is true? Dan what is
real? Atau. pertanyaan tentang aksiologi, epistimologi dan. ontologi (Wiles, 1989: 46).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sederhana, baik dalam konteks merumuskan
jawaban-jawabannya maupun mengimplementasikan jawaban tersebut dalam aktivitas pendidikan,
yakni penyusunan kurikulum dan pelaksanaan proses pembelajaran. Sebelum kurikulum. disusun,
pertanyaan-pertanyaan tentang kenapa sekolah ini ada? Apa yang akan diajarkan? Apa peran guru
dan siswa? Bagaimana sekolah memperhatikan. berbagai perubahan? semuanya harus mampu
dijawab dalam konteks penyusunan kurikulum.
Setidaknya ada lima aliran filsafat yang mempengaruhi pendidikan. di dunia ini, baik dalam
konteks kini maupun waktu lalu, yaitu perenialisme, idealisme, realisme, eksperimentalisme, dan
eksistensialisme. Kelima aliran ini digambarkan secara simpel oleh Wiles dan Bondi (Wiles, 1989:
47-48), dalam konteks kepentingan penyusunan dan penetapan kurikulum. Aliran perenialisme
berprinsip bahwa pendidikan adalah persiapan. untuk hidup, dan hidup harus dihadapi dengan
kemampuan rasional, karena kebaikan atau keburukan ditentukan oleh logika manusia, dan juga oleh
Tuhan melalui proses pewahyuan. Kebenaran ditransformasikan lewat pendidikan dan terkadang
lewat kegiatan suci. Sedangkan aliran idealisme berpandangan. bahwa pendidikan harus dilakukan
untuk mempertajam kemampuan. proses intelektual setiap anak untuk mewujudkan kebijakan pada.
zamannya dan untuk mewujudkan. perilaku yang patut dicontoh, karena aliran ini berpandangan
bahwa kebaikan adalah pernyataan ideal yang ada dalam otak dan harus diperjuangkan untuk dicapai
melalui transfonnasi nilai-nilai dalam proses pembelajaran disertai dengan contoh-contoh yang
diperlihatkan guru di sekolah. Sementara aliran realisme berpandangan bahwa kebenaran terdapat di
alam semesta dan alam. adalah sebagaimana adanya. Untuk mengetahui kebenaran diperlukan
kajian. dan penelitian terhadap alam. semesta tersebut, karena ilmu. terdapat dalam hukum alam itu
sendiri. Oleh sebab itu, aliran realisme ini menekankan pada pengembangan sains yang merupakan.
rumusan ilmiah tentang hukum alam, dan sekolah diharapkan akan menjadi pusat penyampaian sains
tersebut pada siswa-siswa agar mereka tidak hanya menguasai rumusan-rumusan sains yang telah
ada, tapi juga dapat melakukan studi dan penelitian tentang kehidupan alam. semesta ini. Lain halnya
dengan eksperimentalisme yang memiliki pandangan bahwa. alam ini terus dalam, perubahan, akan
tetapi perubahan itu sebenarnya merupakan hasil eksperimen, dan kebenaran adalah apa yang
benar-benar berfungsi saat itu, dan kebalikan adalah apa yang benar-benar diterima oleh publik.
Sekolah bagi aliran ini diharapkan mengajarkan ilmu-ilmu sosial serta. berbagai pengalaman yang
telah diterima. sebagai kebenaran. Sementara alifan ekststensialisme memandang bahwa kebenaran,
kebaikan serta alam semesta. merupakan definisi-definisi personal, setiap orang memiliki kebebasan
untuk menentukan ukuran-ukuran kebenaran dan kebaikannya. Dengan demikian. sekolah diharapkan
untuk mendidik siswa untuk dapat menentukan dirinya sendiri, menganut kebenaran yang
dipercayainya
Sementara. itu Glenys G. Unruh dan Adolph Unruh mengedepankan empat aliran filsafat
yang mempengaruhi penyusunan dan penetapan kurikulum, yaitu perenialisme, essensialisme,
progresifisme, dan rekonstruksionisme. Perenialisme memiliki ciri rasionalistik dan akademis,
esensialisme lebih memiliki ciri pengembangan proses kognitif, Trogresifisme menekankan pada
pengembangan teknologi sedangkan rekonstruksionisme menekankan rekonstruksi sosial dan
aktualisasi diri (Unruh, 1984: 99). Perbedaan mendasar dari keempat aliran tersebut digambarkan
oleh Unruh dalam diagram Taksonomi pilihan kurikulum sebagaimana berikut:
Gambar 3
Tasonomi pilihan kurikulum (unruh, 19984:99)
PE
RE
NIA
LIS
ME
ES
EN
SIA
LIS
ME
P
RO
GE
SIF
ISM
ER
EK
ION
ST
RU
KS
ION
ISM
E
RA
SIO
NA
LIS
ME
PE
RK
EM
BA
NG
AN
KU
RIK
UL
UM
RE
KO
NS
TR
UK
SI
AK
TU
AL
ISA
SI
AK
AD
EM
IS
PR
OS
ES
KO
GN
ITIF
S
BG
T
EK
NO
LO
GI
S
OS
IAL
DIR
I
BE
RC
OR
AK
BE
RC
OR
AK
BE
RC
OR
AK
BE
RC
OR
AK
BE
RC
OR
AK
KL
AS
IKA
LD
ISIP
LIN
AN
AL
ITIS
F
UT
UR
IST
IK
PS
YC
HO
LO
GY
CA
LH
UM
AN
IST
IK
Reg
resi
f
Kon
serf
atif
Lib
eral
E
kspe
rim
enat
si
Reg
ener
atif
Diagram Unruh ini dikembangkan dengan mengutip distingsi antara satu aliran dengan
lainnya yang dikembangkan oleh Elliot Eisner dan Ellizabeth Vallance, yang keduanya membedakan
antara empat aliran, yakni perenialisme lebih menekankan pada pembinaan kemampuan berpikir
rasionalisme akademik, esensialisme pengembangan proses kognitif, progresfiisme pada
pengembangan teknologi, sementara rekonstruksionisme pada rekonstruksi sosial dan aktualisasi diri.
Walaupun tidak terjabarkan dengan baik tentang aliran-aliran tersebut, khususnya lima aliran yang
diintrodusir Willes dan Bondi dan empat yang diintrodusir Unruh, yang keduanya mengangkat
aliran-aliran tersebut dalam konteks perancangan kurikulum, namun setidaknya ide-ide pokok dari
aliran-aliran tersebut memperlihatkan sebuah garis pemikiran yang bisa bertemu satu sama lain.
Keempat aliran tersebut mengedepanken beberapa pilihan yang bisa dijadikan landasan filosofi dalam
penyusunan kurikulum. Piihan-pilihan tersebut berada pada ranah filsafat yang lebih cenderung
substantif dan menjadi nilai spirit yang eternal dari sebuah kurikulum. Keempat aliran tersebut,
menurut Unruh (Unruh, 1984: 98-104), menawarkan beberapa landasan konseptual dalam
penyusunan kurikulum, yaitu pengembangan proses kognitif, pengembangan teknologi, aktualisasi
diri, rekonstruksi sosial, dan rasionalisme akademik.
Pembinaan Proses kognitif ini diangkat aliran esensialisme yang Cenderung konservatif dan
menekankan bahwa pendidikan adalah proses pembinaan skill dan kemampuan kognitif, seperti John
Dewey yang menekankan bahwa siswa-siswa harus dilatih untuk berpikir reflektif, yakni mencoba
melatih mereka untuk mengaplikasikan teori pada kasus dan situasi yang baru. Konsep tersebut juga
diangkat oleh Bloom dengan taksonominya yang masih populer sampai sekarang. Bloom mengangkat
teori kognitifnya dalam gradasi knowledge, comprehension, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi
Kemudian aliran progresif yang cenderung liberal menekankan bahwa. kurikulum. itu. harus
mampu mengembangkan Demokratis Paradigma Pendidikan teknologi. Aliran ini berkembang
setelah terbukti bahwa perkembangan sains dan teknologi yang digunakan oleh bisnis dan industri
mempengaruhi orientasi praktis dan teori-teori dalam pendidikan. aliran ini dikembangkan terutama
oleh Ralph Tyler dalam bukunya Basic Principles OfCurriculum and Instructions, yang
mengembangkan empat pertanyaan dalam penyusunan kurikulum, yaitu:
1. Apa tujuan pendidikan yang hendak dicapai sekolah?
2. Bagaimana mengembangkan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan?
3. Bagaimana mengembangkan pengalaman belaiar Yang efektif dalam proses pembelajaran?
4. Bagaimana proses pembelajaran efektif itu. bisa dievaluasi?
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan Tyler yang sampai kini masih dijadikan acuan dalam
pengembangan kurikulum, sebagai artikulasi dari semangat dan gagasan pokok aliran progresif yang
cenderung liberal, dengan melihat keterkaitan kurikulum pada perkembangan teknologi yang
dibutuhkan dunia bisnis dan industri.
Kemudian Unruh juga menjelaskan bahwa aliran lain menawarkan landasan self actualization,
atau aktualisasi diri, yakni bahwa pendidilkan itu harus memberikan peluang bagi setiap siswa untuk
bisa menemukan talenta dan identitasnya. Untuk kepentingan tersebut, kurikulum harus
learner-centered, dan Activity Oriented approach, dan bahkan kurikulum untuk konteks kurikulum
operasional yang akan dijalankan dalam proses pembelajaran dalam kelas bisa disusun secara
bersama antara guru dengan siswa-siswanya. karena kurikulum tersebut disediakan agar siswa dapat
menemukan minat, bakat, dan kemampuan serta kecenderungannya. Landasan teoretik tersebut
dikembangkan oleh William Kilpatrik melalui aliran filsafat rekonstruksionalisme. Aliran ini juga
mengusung landasan konsepsional, bahwa kurikulum harus mampu mengantarkan siswa-siswanya
untuk bisa hidup sesuai dengan
perkembangan nilai, dan kultur yang berkembang di tengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan
adalah sebuah aktivitas dari sebuah pembebasan, yakni pembebasan dari ketertinggalan, ketakutan,
alienasi serta berbagai social desease lainnya. Bahkan lebih jauh, bahwa pendidikan. harus mampu
mempengaruhi proses perubahan sosial, dengan pengembangan nilai serta kultur yang dikehendaki
untuk dikembangkan dalam bentuk berbagai perilaku sosial oleh para siswanya.
Tampaknya sangat ragam aliran filsafat yang diadopsi dalam pengembangan kurikulum
pendidikan, namun pada hakikatnya landasan teoretik filosofis yang ditawarkannya sama, yaitu
kemampuan berpikir kognitif, intelektualistik dan. akademik agar mampu melahirkan
pemikiran-pemikiran bijak bagi masyarakat zamannya. Atau pendidikan itu dikembangkan untuk
mengembangkan sains dan teknologi yang sesuai dengan perkembangan bisnis dan industri, atau
kurikulum itu dikembangkan denggri memberi peluang bagi siswa untuk mengartikulasikan diri
sehingga, mampu menjadi dirinya sendiri. Inilah pokok-pokok landasan teoritik filosofis yang hendak
dikemukakan Unruh dan Willes-Bondi melalui berbagai aliran filsafat yang mereka kutip. Landasan
teoretik filosofis tersebut memang diperlukan untuk menentukan kebijakan arah kurikulum sekolah,
dan biasanya landasan filsafat tersebut menjadi nilai substantif, cenderung eternal, dan tidak dikritik
atau dievaluasi setiap saat karena akan memiliki ciri-ciri konstan. Berbeda dengan permintaan pasar
umpamanya, atau permintaan user dan stakeholder yang akselarasi perubahannya bisa lebih cepat.
Oleh sebab itu, variabel-variabel tersebut biasa menjadi variabel. inti yang, dianalisis dalam aktivitas
rutin evaluasi dan pengembangan kurikulum.
Aliran-aliran filsafat yang berkembang dalam wacana pendidikan ini bisa dijadikan titik tolak
dalam pengembangan kurikulum., apakah berpijak pada realisme, eksperimentalisme,
eksistensialisme atau mengkombinasikan beberapa aliran dalam
satu konsep yang dapat menginspirasi penyusunan program kurikulum sebagai aliran konvergensi.
kebijakan tersebut diperlukan tidak hanya untuk penyusunan kompetensi, indikator kompetensi dan.
sekwensi materi pelajaran, tapi juga selanjutnya untuk pengembangan kebijakan dalam proses
pembelajaran, apakah pengembangan strategi, penyiapan alat maupun berbagai penugasan dalam
proses pembelajaran siswa.
Kurikulum memang merupakan. jantungnya pendidikan, dengan kurikulumlah sekolah dapat
menggambarkan dan merumuskan kualifikasi dan kompetensi outcome dari program pendidikannya,
dan dengan kurikulum pulalah, sekolah merancang upaya-upaya untuk mencapai kompetensi tersebut
(Wiles, 1989: 13). Kurikulum. merupakan salah satu yang dijual sekolah pada pelanggannya,
semakin baik kurikulum yang dirancang sekolah, maka akan semakin tinggi daya tarik sekolah
tersebut bagi masyarakat. Kemudian. kurikulum. pulalah yang menjadi salah satu quality assurance
dari sekolah, dan dikontrol dengan efektif oleh guru dengan kepala sekolahnya, Sehingga bisa
mencapai harapan-harapan sebagaimana dikehendaki dan dirumuskan bersama antara manajemen
sekolah, stakeholder serta unsur-unsur masyarakat lain yang memberikan dukungan pada sekolah
tersebut.
B. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI, APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA
Bergulirnya UU No. 22 tahun 1999 membawa perubahan banyak pada kebijakan berbagai sektor
pembangunan, dan salah satunya adalah sektor pendidikan. yang menjadi bagian dari sektor-sektor
yang diotonomisasikan pada daerah. Kajian dan pembahasan tentang otonomisasi sektor pendidikan
kemudian memunculkan sebuah paradigma baru, karena. jika pengalihan otoritas ppmerintah pusat
pada daerah, maka pemerintah daerah akan menjadi kekuatan birokrasi baru yang membelenggu
dinamika serta kinerja para pelaksanaan dan pengelola pendidikan di tingkat sekolah. Oleh sebab itu,
kebijakan yang cukup, cerdas dan kini telah bergulir di daerah-daerah dalam rangka implementasi
otonomi dalam, pengelolaan Pendidikan adalah, menugaskan pemerintah daerah untuk memfasilitasi
program perluasan serta pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, sementara berbagai
kebijakan akademisnya, baik dimensi pengembangan kurikulum. maupun pengelolaan berbegai
aspek operasional. pendidikan, menjadi tugas dari setiap unit ssekolah. Dengan demikian, otonomi
pendidikan, pada aspek-aspek, akademik, inisiasi pengembangan networking horizontal, serta
peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan layanan administrasi pendidikan, berada pada tingkat
sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Semangat otonomisasi sektor pendidikan, sebagaimana telah dikemukakan di atas, didasari
oleh kegagalan sentralisasi hanya menimbulkan formalisme dalam pendidikan,yang kurang
menghargai pluralitas, dan kebenaran hanya ada pada pemerintah pusat, top down dan telah
menimbulkan arogansi sekolah negeri. terhadap, sekolah swasta, sementara kualitas proses dan hasil
pendidikan tidak terdongkrak dan tidak terangkat (Rahim, 2003), bahkan dengan ketatnya kualifikasi
kelulusan sesuai standar nasional yang telah dirumuskan dan ditetatpkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional, serta indikator kineja guru pada pencapaian target kurikuler, akhirnya ijazah itu
diberikan. kepada setiap siswa yang telah menamatkan belajarnya di setiap jenis dan jenjang
pendidikan, dan kelulusan menjadi tidak penting, karena kalau sudah selesai, kendati rata-rata
nilainya 2,5 tetap diberi ijazah. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi salah satu. faktor yang
menurunkan posisi Indeks SDM Indonesia, yang secara kualitatif memang tidak kompetitif, baik
karena kemampuan ilmu dan keterampilannya, maupun basis, pengetahuan kultur dan kemampuan
komunikasi globalnya. Kini sedang terus ditingkatkan dengan penetapan indeks angka kelulusan
ujian akhir nasional, yang setiap tahun. terus ditingkatkan standar minimalnya.
Kebijakan sentralisasi sektor pendidikan, memang secara teoritik memudahkan untuk
melakukan kontrol terutama pencapaian standar mutu. yang diharapkan. Akan tetapi pada
kenyataannya, etos guru dalam. mengajar tidak semuanya sesuai dengan harapan, karena mereka
mengejar pencapaian target kurikulum, bukan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran. Demikian
pula dengan relevansi program pendidikan dengan kebutuhan. dasar. Oleh sebab itu, paradigma baru.
dalam reformasi pendidikan adalah otonomi pada tingkat sekolah. Kepala sekolah bersama para guru
diberi kewenangan yang besar untuk mengembangkan berbagai kebijakan dalam upaya preningkatan
kualitas hasil. belajar. End-product pendidikan adalah para siswa yang memiliki kompetensi sesuai
harapan ideal yang diminta stakeholder, pengguna lulusan serta pemerintah sendiri.
Untuk kepentingan itulah, pemerintah menggulirkan berbagai paket kebijakan pendidikan
yang secara keseluruhan merupakan rangkaian utuh, simbiotik dan memiliki keterkaitan sistemik
antara satu. dengan lainnya. Salah satu. kebijakan tersebut adalah Kurikutum Berbasis Kompetensi
(KBK), yang pada hakikatnya merupakan penguatan terhadap kebijakan kurikulum. sebelumnya yang
berbasis tujuan dan juga menekankan pencapaian. kompetensi-kompetensi dengan rumusan-rumusan
tujuan instruksional atau pembelajaran pada setiap pokok bahasan, tujuan kurikuler untuk setiap mata
pelajaran dan rumpun. mata pelajaran, serta tujuan institutional untuk setiap jenis; dan jenjang
sekolah.
1. APA ITU KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Kalau Doll mendefinisikan. bahwa kurikulum itu adalah seluruh pengalaman yang ditawarkan pada
peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah, lalu apakah KBK juga mempunyai definisi
yang sama, karena intinya juga kurikulum., hanya aksentuasinya saja yang berbeda. Siskandar kepala
pusat kurikulum Depdiknas mengemukakan, bahwa kurikulum berbasis kompetensi tiada lain adalah
pengembangan kurikulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah
menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan. pola berpikir serta
bertindak sebagai refleksi dari pemahaman. dan pengbayatan dari apa yang telah dipelajari siswa
(Siskandar, 2003). Demikian pula dengan Abdurrahman Saleh, dia menyatakan bahwa kurikulum
berbasis kompetensi adalah perangkat standar program pendidikan yang dapat mengantarkan siswa
untuk menjadi kompeten dalam berbagai bidang kehidupan yang dipelajarinya (Shalek 2003).
Dengan demikian fokus perhatian KBK adalah pada kurikulum dalam. aspek penyusunan
rangkaian course outline yang akan diajarkan pada siswa dengan merumuskan secara detail
kompetensi-kompetensi yang akan diberikan sesuai kebutuhan
yang diminta oleh client, user, stakeholder serta arah dan kebijakan, pembinaan dan pengembangan
SDM yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara, yang memiliki cita-cita peningkatan produktivitas
dan daya saing baik secara regional maupun global. Berbagai mata pelajaran yang tidak memiliki
relevansi dengan kebutuban-kebutuhan kompetensi tersebut, bisa ditinggalkan dan diabaikan dalam
penyusunan struktur kurikulum dalam kerangka KBK ini, dengan kebijakan semakin ramping sebuah
kurikulum, semakin efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka pembahasan KBK terbatas pada pertimbangan
penyusunan struktur kurikulum serta silabus dari setiap, subjek mata pelajaran, termasuk berbagai
kegiatan pembelajaran yang merupakan implikasi dari penekanan KBK tersebut. Dengan demikian,
kompetensi merupakan pusat perhatian dalam perarcangan kurikulum, berbagai kebijakan untuk
perancangan berbagai aktivitas belajar lainnya, mengikuti arah dan tujuan dari pembinaan
kompetensi-kompetensi yang diharapkan.
Lalu apa sebenarnya kompetesi itu. Siskandar rnengemukakan, bahwa kompetensi itu adalah
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam. kebiasaan berpikir dan bertindak
(Siskandar, 2003). Demikian pula dengan rumusan yang dikemukakan dalam buku standar kurikulum
nasional, pendidikan keagamaan, bahwa-kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai yang direfleksi
kan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dan kebiasaan-kebiasaan itu harus mampu dilaksanakan
secara konsisten dan terus-menerus, serta mampu untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan
berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan, baik profesi, keahlian, maupun lainnya (Mapenda,
2003: 7).
Kemudian, perumusan kompetensi dalam kurikulum juga harus memenuhi beberapa aspek penting
(Mapenda, 2,003:7), yaitu:
1. Kompetensi tersebut harus dapat didefinisikan secara jelas dalam standar yang dapat dicapai serta
performance yang terukur.
2. Kompetensi itu harus memiliki konteks, apakah konteks profesionalisme yang memerlukan
keahlian-keahlian tertentu, keterampilan yang digunakan dalam lapangan pekerjaan, kompetensi
komunikasi global, atau kompetensi akademik untuk studi lanjut.
3. Kompetensi merupakan learning outcome yang mendeskripsikan apa yang dapat dibuat seseorang
setelah melalui pembelajaran.
4. Terkait dengan itu, rraka kompetensi juga harus mendeskripsikan proses pernbelajaran yang
harus dilalui siswa untuk mencapai kompetensi harapan.
Secara umum kompetensi vang harus dimiliki dan atau dapat dikembangkan untuk para siswa,
serta warga belajar lainnya bisa diklasifikasi menjadi empat, yakni kompetensi tamatan, kompetensi
mata pelajaran,kompetensi rumpun mata pelajaran, dan kompetensi lintas kurikulum. Kompetensi
tamatan adalah pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan belajar pada suatu jenjang tertentu. Sedangkan
kompetensi mata pelajaran, adalah rumusan kompetensi siswa dalam berpikir, bersikap, dan
bertindak setelah menyelesaikan mata pelajaran tertentu (Yulaelawati, 2003).
Kompetensi-kompetensi yang dihasilkan dari setiap mata pelajaran itu akan menghasilkan
kompetensi rumpun mata pelajaran, dan kumpulan kompetensi rumpun mata pelajarant, akan
menghasilkan kompetensi lulusan, dan kompetensi yang dapat dilatihkan untuk beberapa rumpun
mata pelajaran, lazim disebut dengan kompetensi lintas kurikulum (Karhami, 2003).
Dalam perspektif praksis, perumusan berbagai kompetensi tersebut bisa dilakukan dalam batas
wilayah kewenangan, umpamanya kompetensi tamatan harus dirumuskan oleh kepala sekolah
bersama-sama komite sekolah, stakeholder dan shareholder dari sekolah tersebut, dan amat terkait
dengan pengembangan benchmark dari sekolah. itu, serta kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang telah merumuskan kompetensi dasar untuk setiap jenjang dan jenis
pendidikan. Sedangkan kompetensi mata pelajaran. dirumuskan oleh guru yang bersangkutan setelah.
menelaah kompetensi dasar yang ditetapkan oleh pengelola pendidikan di tingkat pusat dan daerah,
serta disesuaikan dengan kondisi siswa dan benchmark sekolah. Sementara kompetensi rumpun mata
pelajaran dirumuskan oleh konsorsium mata pelajaran, dan kompetensi lintas kurikulum dirumuskan
bersama-sama antar berbagai konsorsium.
Bila kompetensi-kompetensi itu dapat diidentifikasi dan didefinisikan dengan baik, maka
sekolah akan mengajarkan mata pelajaran yang benar-benar relevan dengan kebutuhan. dinamika
vertikal, diagonal, dan horizontal pengguna lulusan, serta disesuaikan pula dengan kondisi siswa
dengan penguatan implementasi paradigma mastery learning sebagai pasangan seharusya dari
kurikulum berbasis kompetensi.
2. MENGAPA KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Setiap kurikulum disusun dengan end-product berbagai kompetensi, termasuk kurikulum
1994, dan kurikulum-kurikulum sebelumnya, hanya saja, pada kurikulum-kurikulum tersebut
rumusan kompetensi diformat dalam bentuk rumusan tujuan, yang disusun secara hirarkis dari tujuan
nasional, institusional, tujuan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan khusus. Kompetensi terlihat
dalam rumusan tujuan pembelajaran khusus yang akan terakumulasi menjadi tujuan pembelajaran
umum, dan seterusnya sampai tujuan nasional. Rangkaian isi tujuan pada masing-masing tahap itu
berisi berbagai rumusan kompetensi yang diharapkan sebagai hasil pembelajaran.
Kendati demikian, ada beberapa perbedaan distingtif antara kurikulum 94 dengan kurikalum
berbasis kompetensi, yaitu:
1. Kurikulum 94 disusun oleh pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional (dulu
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), dan daerah hanya diberi kewenangan menyusun
kurikulum muatan. lokal maksimal 20 %. Sedangkan dalam KBK, pemerintah hanya menyusun
kompetensi standar, sementara elaborasi sylabus-nya diserahkan pada daerah, yang selanjutnya
diserahkan pada sekolah dengan para gurunya. Dan pada KBK sekolah dengan para gurunya juga
memiliki otoritas, tidak hanya menyusun sekwensi kurikulum tersebut yang lebih sistematis dan
sistemik, namun mereka juga memiliki otoritas untuk memberikan penguatan-penguatan content
of learning, baik atas dasar pertimbangan penguasaan siswa, maupun dalam upay a mengejar
benchmark sekolahnya.
2. Kurikulum 94 pendekatan pembelajaran dan pengembangan kurikulum berbasis tujuan dan
content, sedangkan pada KBK pengembangan kurikulum berbasis pada. pengembangan
kompetensi (Karhami, 2003: 1).
Aspek-aspek lain yang juga menjadi ciri KBK dibandingkan dengan kuaulum 94 adalah:
1. Sebagai konsekuensi perumusan kurikulum oleh pemerintah pusat, maka guru harus mampu
memahami strukturnya dengan baik, serta merancang penyampaiannya pada siswa. Untuk itu
semua, guru harus melakukan analisis materi pelajaran (AMP) untuk melakukan penyesuaian
metode, alat dan waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pembelajaran, serta diikuti
dengan penyusunan Program Satuan Pelajaran (PSP) dan Rencana Pembelajaran (RP). Sedangkan
dalam kurikulum berbasis kompetensi, guru harus merancang silabus yang relevan dengan
kompetensi yang diharapkan, serta menetapkan strategi pembelajaran dan penugasan-penugasan
pada siswa.
2. Dalam proses pembelajaran, kurikulum 94 juga pada hakikatnya menuntut siswa lebih aktif untuk
melakukan proses pembelajaran dan menjadikan sekolah sebagai center for lecarning bukan
centerfor teaching. Akan tetapi, implementasi active learning yang semata bertumpu pada lembar
kerja siswa (LKS ), proses pembelajaran menjadi sangat monoton dan kurang menyenangkan,
serta kurang memberi ruang bagi siswa untuk rnengartikulasikan diri sehingga memperoleh
pengakuan lingkungannya. Oleh sebab itu, dalam KBK active learning akan menjadi aksentuasi
dengan perluasan pada model cooperative dan colaborative leaming yang perancangan strategi
serta sistem penilaiannya dibicarakan dengan siswa yang dituangkan dalam bentuk kontrak
belajar, sehingga proses pembe!ajaran berjalan secara demokratis, dan menjangkau seluruh ranah
yang diharapkan dalam proses pembelajaran.
3. Demikian Pula dengan penilaian; pada periode keberlakuan kurikrulum 94, penilaian lebih
menekankan aspek kognitif dengan akumulasi antara nilai formatif, sumatif, sub-sumatif, serta
prosedur tes lainnya. Sementara pada kurikulum berbasis kompetensi penilaian harus dilakukan
secara variatif dan holistik tergantung kompetensi yang harus dicapainya. Untuk kompetensi
kognitif penilaian kognitif dengan mengagunakan instrumen tes, sedangkan kompetensi afektif
harus diukur dengan instrumen pengukuran sikap yang diassess dengan instrumen non-tes,
sementara adaptasi pengetahuan pada kebiasaan dinilai dengan instrumen-instrumen observasi,
portofolio, serta model penilaian lainnya
Sebenarnya, kurikuIum berbasis tujuan juga mengkonsepsionalisasikan berbagai prosedur
yang hendak dikembangkan dalam KBK, hanya saja, kurikulum 94 disusun dalam suasana kebijakan
politik pendidikan yang masih sentralistik dan kurang melibatkan masyarakat akar rumput.
Sementara. dalam KBK, masyarakat menjadi mitra. dan bersama-sama dengan pemerintah sebagai
stakeholder dalam pendidikan (sekolah). Mereka memiliki posisi yang sama kuatnya dengan
pemerintah dalam merancang perencanaan kurikulum, khususnya kurikulum. operasional di sekolah
masing-masing. Pelibatan itu, dihipotesiskan sebagai sebuah langkah untuk mendongkrak kualitas
hasil pendidikan, dengan melibatkan masyarakat secara luas, baik dalam perumusan
program-program sekolah secara umum, kurikulum, maupun dalam evaluasinya, sehingga sekolah
terus memperoleh kontrol yang kuat dari masyarakatnya sendiri.
Pelibatan masyarakat dalam proses perancangan kurikulum, dan memberi kepercayaan pada
guru yang sangat besar dalam perumusan kurikulum operasional tersebut, menjadi sangat signifikan
untuk peningkatan kualitas proses pembelajaran menuju pencapaian kuafitas hasil belajar yang
optimal, karena sekolah akan memperoleh masukan obyektif dari pelanggannya serta dari para
pemakainya, dan kemudian distrukturisasi olel, mereka yang memiliki pengalaman lapangan dengan
baik, sehingga susunan bahan ajar akan terstruktur dengan baik sesuai dengan perkembangan
psikologis siswa yang didukung oleh pengalaman lapangan Para guru berinteraksi dengan para
siswanya. Bersamaan dengan itu, guru juga harus benar-benar memiliki kompetensi untuk
melaksanakan tugas-tugas keguruannya itu., termasuk dalam menyelenggarakan tes pengukuran, baik
dalam konteks entry level assessment untuk mengukur input behavior dalam rangka penetapan
starting point silabus yang akan disampaikan pada siswa untuk semester yang akan berjalan, serta
melakukan evaluasi hasil belajar, untuk mengukur pencapaian penguasaan siswa terhadap bahan ajar
yang mereka pelajari, serta berbagai perubahan sikap dan perilaku sebagai dampak dari perubahan
pengetahuan dan pengalamannya itu.
Terkait dengan itu, pemerintah, khususnya pemerintah daerah harus bisa merancang program
pembinaan SDM guru secara terencana sesuai kebutuhan nyata di lapangan. Guru tidak bisa.
menyalahkan pemerintah pusat, atau pemerintah daerah, jika Ada kelemahan kurikulum atau hasil
belajar siswa, karena semuanya itu merupakan tanggung jawab guru di lapangan. Pemerintah sebagai
penanggung jawab pembinaan SDM bangsa hanya menyampaikan kompetensi standar yang harus
dicapai setiap lulusan sekolah di bangsa ini, yang kemudian berusaha memfasilitasi berbagai kegiatan
yangdapat memenuhi harapan kompetensi yang diidealkannya itu.
3. KERANGKA DASAR KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Dengan mengadaptasi Pernyataan-pernyataan Yulaelawati dan Karhami sebagaimana. telah
disinggung di muka, bahwa struktur kompetensi yang diharapkan.adalah, setiap siswa memiliki
kompetensi lulusan dari jenjang dan jenis sekolah tertentu, yang kompetensi lulusan tersebut
diperoleh dengan memiliki kompetensi berbagai rumpun bidang studi yang didukung oleh
kompetensi bidang studi. Kemudian, dengan memperhatikan perbedaan signifikan dan prinsipil
dalam KBK yang memberikan. aksentuasi pada kompetensi sebagai substitusi dari perumusan tujuan
dalam kurikulum sebelumnya, serta pelibatan client dan stakeholder dalam. perumusan berbagai
kompetensi. Kemudian diilhami pula dengan distribusi kewenangan yang ditawarkan Wiles dan
Bondi, bahwa pemerintah pusat hanya memberi guideline terhadap model dan pola penyusunan
kurikulum, pemerintah daerah memfasilitasi, sementara kurikulumnya sendiri disusun oleh sekolah,
dan pada level terakhir sebagai kurikulum operasional disusun oleh guru (Wiles, 1989: 17), maka
bayangan struktur sebagai kerangka dasar KBK adalah sebagai berikut.
GAMBAR 4
STRUKTUR KOMPETENSI DALAM KBK
(ADAPTASI DARI YULAELAWATI DAN KARHAMI, 2003)
KOMPETENSI LULUSAN
KOMPETENSI RUMPUN MATA PELAJARAN
I
KOMPETENSI RUMPUN MATA PELAJARAN
II
KOMPETENSI RUMPUN MATA PELAJARAN
III
KMP I KMP II
KMP I KMP II
KMP I KMP II
Pada level pertama (1) kompetensi lulusan, yang dalam term Yulaelawati disebut sebagai
kurikulum. dan hasil belajar, disusun dengan input gagasan, pandangan serta harapan dari pemerintah
baik sebagai shareholder, stakeholder, maupun. User dari pendidikan, yang harus dilengkapi dengan
permintaan client yaitu orang tua siswa, serta user di luar pemerintah, yang meliputi unsur-unsur
dunia usaha dan studi lanjut, yakni institusi
pendidikan pada jenjang berikutnya, tempat para lulusan akan melanjutkan studinya. Dengan
pelibatan mereka, maka gagasan-gagasan kurikulum akan semakin komprehensif dan. memiliki
keterwakilan ide dan. permintaan, sehingga para pelanggan. tersebut merasa terwakili aspirasinya.
Akumulasi berbagai ide, gagasan, pandangan dan permintan tersebut dilakukan di tingkat sekolah,
dipimpin oleh kepala sekolah yang diikuti oleh semua unsur.
kemudian pada level kedua (11) penyusunan kurikulum sudah memerlukan pengetahuan.
teknis, karena sudah menggambarkan kompetensi secara elaboratif yang diinspirasi dari kompetensi
lulusan, serta analisis keperluan alat, strategi, dan Oleh bahkan waktu untuk menjangkau kompetensi
harapan. Oleh sebab itu, pada level ini, kurikulum disusun dan dikembangkan oleh kelompok guru
sejenis.
Pada level ketiga (111) kompetensi mata pelajaran dilakukan oleh masing-masing guru yang
tidak sekadar menurunkan berbagai kompetensi dari rumpun mata pelajaran, tapi juga disesuaikan
dengan kompetensi input. Oleh sebab itu, ada baiknya sebelum kurikulum operasional yang akan
melahirkan silabus itu disusun dan dikembangkan oleh guru, dia harus melakukan pengukuran
kompetensi siswanya terlebih dahulu, dan melakukan restrukturisasi bahan ajar secara sekwentif
sesuai kebutuhan input. Kemudian mereka juga harus sudah merencanakan strategi yang akan
digunakan serta alat-alat dan waktu. yang dibutuhkan, penggunaan strategi yang fleksibel dan
dibicarakan dengan sering melibatkan siswa dalam penetapan kegiatan pembelajaran, yang
dikembangkan di atas prinsip belajar tuntas, dan tidak membiarkan ada anak yang tertinggal.
Kerangka kerja inti dalam penyusunan kurikulum berbasis kompetensi pada level ketiga ini
dikembangkan dengan memuat perencanaan pengembangan kompetensi siswa berupa performance
dari learning outcome yang teridentifikasi dan dapat diukur, kemudian Penilaian berbasis kelas, yang
memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian secara. terpadu dengan kegiatan pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran yang memuat gagasan-gagasan pokok tentang pembelajaran untuk mencapai
kompetensi, serta pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (Yulaelawati,.2003), yakni kurikulum
yang disusun sesuai kebutuhan dan permintaan stakehokler sekolah serta realitas siswa sebagai input
sekolah yang bersangkutan.
Kerangka kerja pada level ketiga yang dikembangkan oleh guru mata pelajaran didasarkan
pada konsep kurikulum dan hasil belajar sebagai rumusan kompetensi lulusan yang kemudian
dielaborasi dalam bentuk uraian tentang kompetensi rumpun mata pelajaran. Guru menderivasi
kompetensi-kompetensi tersebut, lalu mengukur input siswa yang akan mereka ajar, dan berbasis
penilaian kelas itulah, strukturisasi kurikulum operasional dan silabusnya dikembangkan guru, yang
harus disusun dalam prinsip otonomi, fleksibilitas dalam penggunaan waktu, dan demokratis dalam
pengembangan strategi serta berbagai penugasan yang terkait dengan peningkatan kompetensi
siswa-siswanya.
Pola hubungan kerja antara satu aspek dengan lainnya dalam pengembangan program
pembelajaran dalam kelas dalam konteks KBK adalah sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini.
GAMBAR 5
POLA HUBUNGAN KERJA UNSUR-UNSUR PENDUKUNG KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI ANTARA SATU DENGAN LAINNYA.
KURIKULUMDAN HASIL BELAJAR
PENGELOLAAN KURIKULUM
BERBASIS SEKOLAH
PENILAIAN BERBASIS
KELAS
KURIKULUM DASAR KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI
KEGIATAN PEMBELAJARAN
Dalam kerangka KBK,otoritas penyusunan kurikulum diberikan seluas-luasnya pada sekolah
melalui para gurunya, dengan rnengacu pada kompetensi standar yang telah disusun oleh pemerintah
melalui departemen, pendidikan nasional. Otoritas standarisasi kurikuler diberikan pada pemerintah
tersebut dengan pertimbangan masih perlunya rekayasa perubahan dan kemajuan dari pemerintah
melalui pembinaan sumber daya manusianya lewat jalur pendidikan. Akan tetapi, kapasitas
pemerintah pusat juga amat terbatas untuk mempertimbangkan berbagai variabel yang mempengaruhi
kualitas proses dan hasil belajar. Oleh sebab itu, otoritas penyusunan sekwensi silabus dari
kompetensi standar tersebut sepenuhnya dipercayakan pada sekolah, bahkan para guru boleh
menambah scope materi pelajaran jika diperjukan pengulangan dan penguatan, serta penambahan
keunggulan untuk penguatan benchmark sekolahnya
Sejalan dengan itu, KBK dimulai dengan penyusunan sekwensi silabus oleh guru dan diawah
perumusan berbagai kompetensi harapan yang harus dicapai dari proses; pembelajaran siswa. Atas
dasar kompetensi-kompetensi itulah disusun berbagai topik bahasan, strategi pembelajaran serta
berbagai penugasan yang akan diberikan pada siswa, dan juga prosedur evaluasi dan penilaian
prestasi hasil belajamya, dengan paradigma menggeser penekanan terhadap isi ke kompetensi, yakni
bagaimana siswa harus berpikir, belajar, bersikap dan melakukan. Oleh sebab itu, guru harus
mengetahui apa yang harus dicapai dan sejauh mana efektivitas belajar telah dicapai.
Sedangkan penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang dilakukan guru terhadap kemajuan
siswa dalam mencapai kompetensi yang diharapkan dan telah ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian
tersebut perlu dilakukan untuk memastikan bahwa siswa telah mengalami banyak perubahan sebagai
hasil dari proses pembelajarannya (Yulaelawati, 2003). Penilaian dilakukan secara individual dengan
signifikansi sebagai berikut:
1. Untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan dari masing-masing siswa.
2. Untuk memonitor kemajuan siswa
3. Untuk memberikan kualifikasi dan nilai kemajuan prestasi siswa.
4. Menilai efektivitas proses pembelajaran.
Tidak hanya itu, penilaian berbaisis kelas juga diperlukan untuk mengetahui posisi input
dalam setiap proses pernbelajaran, sehingga diketahui siapa yang harus memperoleh pemulihan dan
siapa yang perlu memperoleh pengayaan. Dengan demikian, setiap perencanaan pembelajaran harus
senantiasa didasarkan pada pencapaian hasil belajar. jika hasil penilaian itu menunjukkan bahwa para
siswa belum menguasai bahan ajar, yakni indeks penguasaan mereka belum mencapai minimal 80%
atau 70% atau batas penguasaan minimal dalam kerangka mastery learning yang telah disepakati
bersama, maka aktivitas belajar berikutnya adalah pemulihan. Sedangkan jika para siswa sudah
menguasai dengan baik, yakni penguasaan dalam. batas indeks di atas, siswa cukup diberi pengayaan,
dan kemudian bisa melanjutkan pada unit pembelajaran berikutnya. Pola ini akan terlihat dalam
gambar pada pembahasan berikut tentang kurikulum berbasis kompetensi dan prinsip, mastery
learning.
Kegiatan pembelajaran harus berpusat pada siswa, berlangsung dalam suasana yang
mendidik, menyenangkan dan menantang dengan berbasis pada prinsip paedagogis dan andragogis.
Dengan pendekatan tersebut siswa diharapkan secara aktif dapat berkembang menjadi pribadi yang
berwatak matang dan utuh serta memiliki kompetensi yang selaras dengan perkembangan
kejiwaannya (Siskandar, 2003). Suasana belajar harus dirancang sedemikian rupa sehingga anak
mampu menggunakan seluruh. potensinya secara optimal, buat suasana yang menyenangkan, dan beri
kesempatan, Para siswa untuk memperbanyak belajar mengembangkan pengetahuan, sikap dan
pengalamannya, di bawah bimbingan serta arahan guru.
Kemudian, pengelolaan kurikulum harus berbasis sekolah.Otoritas pengembangan kurikulum
bukan pada pemerhitah pusat atau pemerintah daerah, tapi sekolah. pemerintah daerah hanya bertugas
memfasilitasi perluasan dan pengembangan sekolah. Keterlibatan substantif dalam pelaksanaan
proses pendidikan hanyalah pada eskalasi kompetensi standar serta berbagai masukan dari dewan
pendidikan daerah, pembinaan SDK serta supervising melalui tenaga supervisor yang diangkat dari
kalangan tenaga guru itu sendiri. Sedangkan penyusunan design kurikulum operasional dan silabus
untuk setiap mata pelajaran, menjadi otoritas sekolah dengan para gurunya. Oleh sebab itu, guru
melalui kepala sekolahnya, harus bertanya pada stakeholder tentang apa harapan mereka terhadap
sekolahnya, dan bertanya juga pada user tentang kualitas end-product dari SDM yang akan dihasilkan
dari proses pendidikan tersebut.
Dengan demikian dalam KBK akan terjadi perubahan dalam pola pemberdayaan tenaga
kependidikan, baik dalam konteks menyusun sekwensi dan scope sylabus, menyusun kebijakan untuk
pemantapan pelaksanaan mastery learning, karena. kunkulum. berbasis kompetensi dikembangkan
untuk peningkatan pencapaian konsep dan gagasan belajar tuntas, yakni belajar sampai semua
pembelajar itu. memahami secara keseluruhan. bahan-bahan yang mereka ihh untuk dipelari.
Kemudian, kurikulum berbasis kompetensi memiliki hubungan yang kuat dengan perubahan
pola penugasan guru dalaw. pelaksanaan. tugas dari mengajar untuk mengejar target pencapaian.
kurikulum. pada pencapaian target penguasaan. Perubahan tersebut berimplikasi pada soal
pengaturan waktu. yang harus dirancang secara fleksibel, karena ada peluang dan tuntutan bagi guru
untuk melakukan reteaching bagi siswa-siswa yang belum mencapai target penguasaan kompetensi
bahan ajar sesuai rencana, sebagai program penguatan. Sementara mereka yang telah menguasai
dengan baik, harus menunggu temannya mencapai penguasaan ideal dengan melakukan berbagai
pengayaan kompetensi, baik dalam. bidang yang sama, atau bidang lain yang relevan sehingga terjadi
pengayaan yang positif bagi siswa sendiri, atau menyelesaikan tugas-tugas individual siswa, atau.,
diberdayakan oleh guru sendiri untuk melakukan peer teaching dalam. bentuk tutorial sebaya,
sehingga. mereka tidak dirugikan dengan proses penungguan tersebut, tapi ada proses pengayaan
kompetensi.
Itulah kerangka dasar pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, dengan pemberian otoritas
yang sangat besar pada sekolah untuk perancangan, pelaksanaan, evaluasi dan pengelolaannya. Oleh
sebab itu, setiap jenjang dari setiap satuan pendidikan, harus melakukan komunikasi secara horizontal
dengan komite sekolah atau majelis madrasah, serta pasar tenaga. kerja untuk jenjang SLTA yang
akan melahirkan lulusan siap kerja, serta komunikasi vertikal dan diagonal untuk kepentingan studi
lanjut.
4. KURIKULUM BERBASIS KOMPETESI DAN BELAJAR TUNTAS
Belajar tuntas adalah sebuah pola pembelajaran yang mengharuskan pencapaian penguasaan.
siswa secara tuntas, terhadap setiap unit pembahasan dengan. pemberian tes formatif pada setiap
pembelajaran baik sebelum maupun. sesudahnya untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap
bahan ajar yang telah mereka pelajari, serta. penguasaan. minimal 80% dari isi kurikulum. (Ellis,
1993:108). Belajar tuntas ada dua. model, yaitu. model individual dan model kelompok. Model
individual memperbolehkan siswa untuk melakukan proses pembelajaran dalam rate-nya, tanpa
terganggu oleh. yang lain, dan mengikuti tes untuk setiap unit bahasan yang telah dia pelajari dan
terus maju sesuai kemampuannya dengan bantuan dan arahan guru, atau mengulang proses
pembelajaran pada unit yang sama. sampai mencapai penguasaan minimal 80%. Angka 80% adalah
angka yang diterapkan di sakolah-sekolah di Amerika, sementara negara-negara lain ada yang
menetapkan angka 70%, dan ada juga yang 65 %. Semuanya tergantung kesepakatan bersama tentang
target idealisasi standar kelulusan tersebut, yang diputuskan oleh mereka yang memiliki otoritas,
apakah melalui pemerintah pusat atau daerah, atau. kesepakatan yang dibuat di sekolah antara
manajemen. sekolah dengan para. stakeholder dan user-nya, walaupun harus dibatasi jangan sampai
65%.
Sedangkan belajar tuntas model kelompok adalah proses pembelajaran yang dilakukan
berkelompok oleh siswa yang berada dalam taraf kemampuan yang sama, dan mereka tetap memiliki
peluang untuk terus melakukan mutasi kelompok secara, dinamis, sampai mencapai skor penguasaan
bahan ajar minimal 80%, atau. batas minimal yang telah ditetapkan sebagai hasil kesepakatan.
Kegiatan dalam kelompok bisa berbentuk cooperative learning (b~lajar bersama dan saling
membantu satu sama lain) atau. peer teaching (pengajaran sebaya, yakni satu di ,antara mereka
melakukan tugas pengajaran sebagaimana gurunya). Sebagaimana. dalam model individual, dalam.
belajar tuntas model kelompok juga ditetapkan tujuan atau batas-batas kompetensi yang harus
tereapai, lalu dilakukan tes formatif, lalu penguatan jika perlu, atau terus pengayaan jika telah
mencapai penguasaan, penuh, yang terakhir dilakukan tes sumatif untuk semua pokok bahasian dari
sebuah mata pelajaran. Akhir sumatif harus memiliki indeks penguasaan minimal sesuai ketetapan
yang disepakati.
Kemudian dari itu, dalam konteks pelaksanaan belajar tuntas model kelompok, ada beberapa
prinsip harus diperhatikan oleh setiap anggota, dan komponen yang harus dilalui dalam. proses
pembelajaran sampai mencapai kompetensi yang diharapkan, yaitu (Ellis, 1993:109):
1. Prinsip-prinsip Belajar tuntas model kelompok:
a. Semua siswa memiliki kemampuan sama dalam belajar
b. Bahan pelajaran yang dipelajari dapat di-breakdown pada sub-sub pokok bahasan, atau
unit-unit materi pelajaran yang tersusun dan sistematis.
c. Proses pembelajarannya harus sekwensial, yakni berurutan sesuai urutan silabus.
2. Komponen-komponen Belajar Tuntas model kelompok
a. Perencanaan, yakni rangkaian bahan ajar atau berbagai keterampilan yang harus dipelajari, yang
telah diurai dan dibagi-bagi secara sistematis pada unit-unit bahasan terkecil, yang memiliki
keterkaitan satu sama lain dalam membentuk kriteria umum yang dikehendaki. Sebelum
pernbelajaran dimulai, sebaiknya dilakukan pengukuran tingkat kemampuan kelompok, untuk
menentukan titik awal mulai pembelajaran.
b. Proses pembelajaran; yakni guru menggunakan strategi yang tepat untuk membelajarkan
mereka, yang disesuaikan dengan sekwensi bahan ajar yang akan mereka pelajari. Dan untuk
pengembangan proses pembelajaran guru harus mengarahkan mereka agar efektif
c. Evaluasi formatif, yakni guru melakukan tes untuk setiap unit pembahasan yang telah mereka
pelajari untuk mengetahui kesiapan mereka memasuki sekwensi kurikulum. berikutnya.
d. pengajaran kembali, yakni pemberian perlakuan belajar dalam unit-unit yang perlu
memperoleh pemulihan dan Penguatan, dengan strategi dan penugasan, yang berbeda, serta
dengan contoh-contoh yang berbeda.
e. Evaluasi akhir, yakni evaluasi yang dilakukan setelah semua sekwensi unit-unit pembahasan
telah terlalui, yang hasilnya digunakan sebagai indeks akhir hasil belajar, atau sebagai
prerequisit untuk memasuki materi pelajaran lain.
Rangkaian prosedur pelaksanaan pola belajar tuntas atau mastery learning adalah
sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini.
. GAMBAR 6
RANGKAIAN KEGiATAN MENUJU POLA BELAJAR TUNTAS
DIKUTIP DARI YULAELAWATI (YULAELAWATI, 2003)
HASIL BELAJAR
PEMBELAJARAN
PENILAIAN
SUDAHKAH PELAJAR
MENGUASAI?
AKTIVITAS PEMBELAJARAN SELANJUTNYA
AKTIVITAS PENGAYAANAKTIVITAS PEMULIHAN
Pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi harus seiring dengan penetapan standar kelulusan
dari sekolah yang mengacu pada kualifikasi belajar tuntas, yakni penguasaan minimal bahan ajar
80%, sebagaimana didefinisikan Ellis, atau sesuai dengan kebijakan yang telah diputuskan oleh
otoritas sekolah. Implikasi belajar tuntas, akan ada siswa-siswa dalam kelas yang sama, dari grup
belajar yang sama memperoleh indeks hasil tes yang berbeda dengan penguasaan di bawah standar
minimal. Mereka yang belum. mencapai penguasaan tersebut, harus diberi pengajaran ulang, dengan
strategi dan penugasan yang berbeda, serta contoh-contoh yang berbeda pula, sehingga mereka
mengerti dan memahami pelajaran serta memperoleh kompetensi sesuai harapan Untuk pelaksanaan
penguatan-penguatan tersebut, guru harus membicarakannya dengan kepala sokolah, dan kepala
sekolah membicarakannya dengan komite sekolah, bukan dengan pemerintah daerah, karena sumber
dana untuk menunjang program-program penguatan tersebut adalah dari masyarakat sendiri,, baik
sebagai client sekolah, maupun sebagai donasi peminat dan pemerhati pendidikan.
5. BERBAGAI PENDEKATAN DALAM PENYUSUNAN KBK
Dalam konteks penyusunan kurikulum, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
konteks pengembangan kurikulum, (Dimyati, 1998:278), yaitu:
1. Relevansi; yakni bahwa upaya pengembangan atau perubahan tujuan, bahan ajar, proses
pembelajaran serta evaluasi itu, sesuai dengan kebutuhan publik, baik dalam konteks pasar tenaga
kerja, maupun kualifikasi ideal dari warga dan anggota masyarakat.
2. Kontinuitas; yakni bahwa perubahan dan pengembangan kurikulum itu harus dilakukan secara
berkesinambungan, baik dari segi isi dan muatan maupun dari segi waktu dan periodisasi
evaluasinya. Dari segi substansi, kurikulum harus berkesinambungan antara satu jenjang dengan
yang lainnya, sehingga tidak terjadi replikasi. Sedangkan dari segi waktu, bahwa perubahan sosial
itu selalu terjadi secara dinamis. Oleh sebab itu, kurikulum juga harus terus dievaluasi secara
dinamis, agar mampu melakukan rekayasa perubahan-perubahan sosial.
3. Fleksibel; yakni bahwa pengembangan kurikulum harus mampu menjabarkan respon perubahan
yang terus dinamis, dan mampu pula melakukan proyeksi-proyeksi ke masa depan.
Sementara. itu, untuk pengembangan kurikulum ini, dalam prinsip KBK dikemukakan, dalam
buku kebijakan pengembangan kurikulum madrasah, bahwa pengembangan kurikulum itu harus
dilakukan secara. komprehensif dengan memperhatikan berbagai pendekatan sebagai berikut
(Mapenda, 2003).
1. Sistematis dan sistemik;yakni kurikulum itu harus dikembangkan secara sistematis, berkaitan
antara satu topik dengan lainnya, dan kemunculan setiap topik memiliki logika dialektika yang
kuat sehingga dapat diterima secara rasional,baik oleh stakeholder, user maupun shareholder dari
pendidikan tersebut.
2. Kemitraan; yakni bahwa penyusunan kurikulum itu harus semaksimal mungkin melibatkan
berbagai unsur yar, terkait dengan sekolah, stakeholder, user, shareholder, para pakar setempat,
kalangan profesi dan lainnya.
3. Pengembangan; yakni bahwa kurikulum merupakan instrumen bagi, perubahan mendasar dalam
mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dilakukan
secara dinamis dan berorientasi pada produk yang mampu meningkatkan keunggulan.
4. Relevansi; yakni bahwa kurikulum itu harus relevan dengan kebutuhan pembangunan dan potensi
daerah serta kebutuhan siswa yang dituangkan dalam tujuan jenjang dan satuan pendidikan. Oleh
karena itu, kurikulum harus; memberikan substansi belajar dan mengajar yang menyempurnakan
visi dan misi sekolah dan atau madrasah.
5. Validasi; yakni bahwa kurikulum itu harus tervalidasi secara menyeluruh dan meluas dengan
mengakomodasikan berbagai harapan dari siswa, orang tua, masyarakat, kalangan bisnis, wakil
rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, dalam proses penyusunan kurikulum dilakukan melalui
pemasaran gagasan sosialisasi konsep dan penyebaran informasi secara. terarah.
Berbagai pendekatan yang dituntut dalam penyusunan KBK sebagaimana telah dikemukakan
di atas adalah, bahwa kurikulum itu harus disusun secara sistematis dan sistemik, yakni antara satu
urut pembahasan dengan lainnya memiliki keterkaitan dialektis dan gradual, sehingga memudahkan
bagi siswa untuk memahaminya. Dan pemilihan berbagai kompetensi yang akan diberikan pada siswa
harus dilakukan secara sistemik, yakni memiliki argumentasi rasional, mengapa kompetensi tersebut
diberikan lalu dengan kompetensi itu seseorang akan mampu apa, dan bisa menambah kompetensi
apa. Semuanya itu mampu terjabarkan dalam proses penyusunan kurikulum.
Prosedur kerjanya agak kompleks, oleh sebab itu memerlukan kemitraan dengan unsur-unsur
di luar sekolah. Guru sebagai tonggak utama tersusunnya kurikulum yang baik, harus berkomunikasi
pertama dengan orang tua, lalu mencari second opinion dari orang yang memiliki pengalaman dan
keahlian dalam bidang-bidang pendidikan dan pengajaran serta bidang keilmuan yang dirancangnya,
dan menjadi komunitas sekolah, lalu dikomunikasikan dengan para pengguna lulusan, dalam hal ini
tidak selalu pasar tenaga kerja, tapi juga perguruan tinggi bagi sekolah lanjutan tingkat atas, atau
SLTA bagi.,SLTP, dan seterusnya. Oleh sebab itulah ditekankan prinsip kemitraan dengan
melibatkan banyak unsur dalam penyusunan kurikulum operasional, sehingga sesuai dengan harapan
semua pihak, termasuk pemerintah yang amat berkepentingan dengan peningkatan kualitas sekolah.
Inilah prinsip validasi dalam penyusunan dan perumusan kurikulum, yakni kurikulum tersebut sudah
valid sesuai dengan harapan.
Kemudian dalam KBK juga ditekankan kandungan unsur dinamika, yakni bahwa kurikulum
itu. harus dinamis mengikuti berbagai perubahan dan kemajuan peradaban umat manusia, serta
mampu membawa berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat, karena perubahan itu. setiap
saat akan terjadi. jika tidak mengikuti kemajuan, maka output sekolah akan teralienasi oleh
kemajuan-kemajuan. Bahkan lebih jauh, justru kurikulum didesain untuk membawa berbagai
perubahan, jika tidak dirancang, maka perubahan akan memasuki arah yang tidak diharapkan.
Melalui kurikulum sekolah, perubahan itu. didesain agar tetap dalam arah yang benar sesuai harapan
masyarakat dengan basis kepercayaan dan kulturnya, direncanakan secara sistematis, dialektis,
bertahap, dan harus tetap progresif untuk membawa kebaikan di masa. yang akan datang.
6. PROSEDUR PENGEMBANGAN KBK Di TINGKAT SEKOLAH
Kendati sekolah diberi otoritas besar dalam pengembangan kurikulum, namun struktur dari
kurikulum sudah disusun sedemikian rupa oleh departemen pendidikan nasional atau departemen
teknis yang menyelenggarakan program pendidikan, seperti Departemen Agama dengan pendidikan
madrasahnya. Akan tetapi, struktur kurikulum tersebut tidak diberi deskripsi secara kaku.
Masing-masing mata pelajaran hanya diberi penjelasan tentang kompetensi-kompetensi standarnya,
serta indikator-indikator pencapaiannya. Sementara penyusunan silabusnya menjadi otoritas penuh
dari sekolah melalui para gurunya. Dan otoritas sekolah juga tidak sekadar menyusun silabus
tersebut, tapi juga memberi penguatan pada bidang-bidang tertentu yang akan dijadikan
benchmark-nya, dengan pengembangan dan penguatan kompetensi-kompetensi tertentu.
Sejalan dengan itu semua, maka langkah-langkah pengembangan kurikulum. yang harus
dilakukan sekolah adalah sebagai berikut (Shaleh, 2003):
1. Merumuskan kompetensi lulusan dengan menganalisis kompetensi yang dirumuskan oleh
Depahemen Pendidikan Nasional atau. Departemen Teknis yang menyelenggarakan pendidikan,
dikombinasikan dengan permintaan stakeholder, user serta. kalangan profesi dan para pakar yang
mendukung lembaga pendidikannya itu.
2. Merumuskan kompetensi dan indikator kompetensi mata pelajaran dengan mempertimbangkan
kompetensi standar serta permintaan stakeholder, user dan kalangan profesi, serta kemampuan
dasar anak sebagai input, sehingga seluruh aspirasi tertampung dengan baik tanpa membebani
siswa di luar batas kemampuannya, kemudian merumuskan kompetensi rumpun mata pelajaran,
dan lintas kurikululum
3. Penyusunan mata pelajaran, silabus sesuai kompetensi dan indikator kompetensi yang telah
dirumuskan untuk setiap mata pelajaran, dan pengalokasian waktu sesuai dengan target
kompetensi yang hendak dicapai melalui mata pelajaran, rumpun mata pelajaran, atau lintas
kurikulum.
4. Melaksanakan pembelajaran; yakni pembelajaran berbasis siswa, memberi ruang dan kesempatan
bagi siswa untuk belajar dalam suasana yang kondusif, menyenangkan dan memberi peluang bagi
para siswa untuk mengartikulasikan kemampuan dan potensinya tanpa ada tekanan. Dengan
demikian strategi pembelajaran harus menggunakan berbagai pilihan cerdas yang dapat
menggerakan siswa untuk belajar, serta tidak membuat mereka jenuh.
5. Melakukan penilaian secara terus-menerus dengan tidak semata memperhatikan kemampuan
kognitif siswa melalui evaluasi, tapi juga kemajuan afektif, kognitif serta berbagai pengalaman
implementasi dari kompetensi yang telah dicapai siswa. Dengan demikian evaluasi tidak semata
dilakukan dengan menggunakan instrumen tes, tapi juga non-tes.
Penerjemahan kompetensi yang dirumuskan dari permintaan pemerintah, stakeholder, user
dan client sekolah juga harus didasarkan pada teori, dan teori yang relevan sampai saat ini masih
berbasis pada teori Benjamin S. Bloom yang populer dengan taksonomi bloom. Dengan mengadaptasi
teori Bloom tentang tujuan-tujuan pendidikan, maka dapat diklasifikasi beprbagai kompetensi yang
hendak dicapai oleh guru melalui prroses pembelajaran pada setiap unit. Bloom, sebagaimana
dikemukakan oleh Wiles dan Bondi (Wiles, 1989: 96) membagi tujuan pembelajaran menjadi tiga,
kognitif, afektif dan psikomotorik, yang masing-masing memiliki 6, 5, dan 4 level kompetensi.
1. Kompetensi Kognitif
a. Knowledge; yakni kemampuan untuk mengingat, dan mengetehui sesuatu secara benar.
b. Comprehension; yakni kemampuan untuk memahami apa yang sedang dikomunikasikan dan
mampu mengimplementasikan ide tanpa harus mengaitkannya dengan ide lain, dan juga tanpa
harus melihat ide itu secara mendalam. Untuk level ini, diperlukan dukungan knowledge.
c. Application; yakni kemampuan untuk menggunakan sebuah ide, prinsip-prinsip dan teori-teori
pada kasus baru pada situasi yang spesifik. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge,
dan comprehension.
d. Analysis; yakni kemampuan untuk menguraikan ide-ide pada bagian-bagian konstituen, agar
semua unsur dalam organisasi itu menjadi jelas. Untuk level ini diperlukan dukungan
knowledge, comprehension, dan application.
e. Synthesis; yakni kemampuan untuk memosisikan seluruh bagian menjadi satu kesatuan yang.
utuh. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge, comprehension, application, dan
analysis.
f. Evaluation; yakni kemampuan untuk menilai apakah ide, prosedur dan metode yang
digunakan itu sudah sesuai dengan kriteria atau belum. Untuk level ini diperlukan dukungan
knowledge, comprehension, application, dan synthesis.
Secara lebih sederhana, kompetensi pada tingkat pertama. anak-anak itu tahu, mengenal, dan
dapat mengingat apa yang telah diketahuinya dengan baik. Kategori ini berlaku untuk mata pelajaran
apa saja, dan pada setiap jenjang pendidikan, hanya pengembangannya berbeda-beda. Demikian juga
dengan level kedua, yakni pemahaman, atau dengan kata lain, dia mengerti maknanya, dan mengerti
pula kegunaannya. Sedangkan level ketiga. aplikasi adalah kemampuan menggunakan teori yang
sudah diketahuinya pada kasus lain yang sama. Level keempat analysis adalah kemampuan
menguraikan menjadi bagian-bagian dan unit-unit, beserta kegunaan dan pemakaiannya, dan diikuti
kemudian dengan level kelima, sintesis yakni menyatukan kembali bagian-bagian yang terurai
tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh, baru kemudian dinilai, semua pekerjaannya itu sudah benar
atau belum, apakah pada dasar teori, metode maupun prosedur pelaksanaannya.
Guru harus mampu merumuskan level kompetensi yang akan diberikan pada anak pada setiap
unit pembelajaran, pada kognitif level ke berapa, apakah pertama, kedua, ketiga, keempat dan
seterusnya, serta keterkaitan antara kompetensi sebelumnya dan kompetensi berikutnya, sehingga
sekwensinya menjadi rasional. Perumusan komptensi kognitif ini menjadi amat penting, karena akan
berpengaruh dengan rancangan metode yang akan digunakan, alat yang dibutuhkan dan instrumen
evaluasi untuk mengukur tingkat kompetensi yang telah dicapai siswa-siswanya.
2). KOMPETENSI AFEKTIF
Dengan mengutip teori Bloom, Wiles dan Bondi menjelaskan bahwa perilaku atau kecakapan
afektif terbagi lima level, yang secara graduatif yang lebih tinggi dipengaruhi oleh level-level di
bawahnya (Wiles, 1989: 97), yang secara lebih detail dapat dilihat dalam uraian berikut:
a. Receiving; yakni mendatangi, menjadi peduli terhadap sebuah ide, sebuah proses atau sesuatu
yang lain, dan ada keinginan untuk memperhatikan sebuah fenomena yang khusus.
b. Responding; yakni memberikan respon pada tahap pertama dengan kerelaan, dan berikutnya
dengan keinginan untuk menerima dengan penuh kepuasan. Untuk level responding diperlukan
dukungan receiving
c. Valuing; yakni menerima nilai dari sesuatu, ide, atau perilaku, memilih salah satu nilai yang
menurutnya paling benar, selalu konsisten dalam menerimanya, dan bahkan terus berupaya untuk
meningkatkan konsistensinya. Untuk pengembangan level valuing diperlukan dukungan receiving
dan responding.
d. Organization; yakni kemampuan mengorganisasikan nilai-nilai, menentukan pola-pola hubungan
antara satu nilai dengan lainnya, dan mengadaptasikan perilaku pada sistem nilai. Untuk level ini
diperlukan dukungan receiving dan responding, dan
valuing.
e. Characterization; yakni kemampuan mengeneralisasi nilai-nilai dalam tendensi kontrol,
penekanan pada konsistensi, dan kemudian mengintegrasikan semua nilai menjadi filosofi hidup
atau world view mereka. Untuk level ini diperlukan dukungan receiving dan responding, valuing
dan organizing of values.
Melalui unit-unit pembahasan, bisa dijangkau berbagai kompetensi tidak sekadar
pengembangan kompetensi kognitif, tapi juga berkembang pula kompetensi afektif. Umpamanya
penjelasan tentang demokrasi dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa tahu tentang
demokrasi, tahu pula pola pelaksanaan demokrasi dalam praktik politik sekolah, dan memahami
implementasi praktik demokrasi dalam politik ke-RT-an, atau yang sejenisnya, sampai memahami
dengan baik tentang demokrasi secara holistik dan dapat menilai atau mengkritisi
kesalahan-kesalahan dalam praktik berdemokrasi. Mereka tidak hanya peduli dengan praktik
demokrasi tersebut, tapi juga mengikutinya, kemudian menjadikan nilai penting dalam dirinya,
sehingga menjadi world view-nya, dan sikapnya menjadi demokratis. Inilah berbagai gambaran
tentang kompetensi yang harus dikembangkan melalui proses pembelajaran dalam kelas, yang untuk
aspek afektif tersebut tidak cukup hanya dengan proses pembelajaran yang lebih melibatkan mereka
dalam pembahasannya, tapi juga contoh-contoh nyata sehingga mereka dapat memperlihatkan respon
yang terukur.
3). KOMPETENSI PSIKOMOTORIK
Sebagaimana dalam penjelasan ranah kognitif dan afektif, dengan mengutip teori Bloom,
Wiles dan Bondi menjelaskan bahwa perilaku (kompetensi) psikomotorik terbagi empat level, dan
secara graduatif vang lebih tinggi dipengaruhi oleh level-level di bawahnya (Wiles, 1989: 98).
Berbagai kompetensi pikomotorik tersebut lebih detail dapat dilihat dalam uraian berikut.
1. Observing; yakni mengamati proses, memberikan perhatian terhadap step-step dan teknik-teknik
yang dilalui dan yang digunakan dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan atau mengartikulasikan
sebuah perilaku.
2. Imitating; yakni mengikuti semua arahan, tahap-tahap dan teknik-teknik yang diamatinya dalam
menyelesaikan sesuatu, dengan penuh kesadaran dan dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Untuk level ini perlu dukungan observing.
3. Practicing; Mengulang tahap-tahap dan teknik-teknik yang dicoba diikutinya itu, sehingga
menjadi kebiasaan. Untuk ini diperlukan kesungguhan upaya, dan memperlancar
langkah-langkah tersebut melalui pembiasaan terus menerus. Untuk ini diperlukan dukungan
obeserving dan imitating.
4. Adapting; yakki melakukan penyesuaian individual terhadap tahap-tahap dan teknik-teknik yang
telah dibiasakannya, agar sesuai dengan kondisi dan situasi pelaku sendiri. Untuk level ini
diperlukan dukungan observing, imitating dan practicing.
Ada perbedaan mendasar antara afektif yang aksentuasinya pada penerimaan, penyerapan dan
penguatan nilai pada setiap orang, sehingga nilai-nilai itu menjadi karakteristiknya, pada ranah
psikomotorik lebih pada implementasi nilai dalam. bentuk tindakan dan perilaku, yang dimulai dari
pengamatan, peniruan, pembiasaan dan penyesuaian. Kompetensi siswa yang dapat dicapai dari
setiap unit sebaiknya sudah terbaca dan terlihat pada jabaran-jabaran indikator kompetensi, sehingga
memudahkan untuk proses berikutnya, baik dalam. merancang strategi alat maupun instrumen
evalua.si. Dengan itu pula, akuntabilitas kerja guru dapat dipertanggungjawabkan di hadapan
client-nya.
7. SIAPA YANG HARUS TERLIBAT DALAM PENYUSUNAN KURIKULUM
Pada masa lalu pemerintah memiliki otoritas yang sangat kuat dalam penentuan kurikulum,
dan hampir tidak ada ruang bagi guru untuk melakukan inovasi-inovasi penyesuaian baik atas
pertimbangan psikologis anak, ataupun tuntutan lokal dari daerah di mana sekolah berada, sehingga
guru tidak memiliki keterlibatan emosional terhadap kurikulum yang diajarkannya, dan begitu pula
sekolah yang hanya berada pada subordinasi untuk melaksanakan paket-paket pelajaran yang
dirancang dari pusat. Lebih ironis lagi, adalah buku teks yang disusun berbasis kurikulum tersebut,
karena disusun di ibukota, dengan ilustrasi ibukota pula, sehingga kehilangan konteksnya ketika buku
itu didistribusikan dan dipakai serta dipelajari di daerah. Itulah sebabnya, semangat reformasi
sekarang ini mengubah paradigma dengan memperbesar formasi pemberdayaan potensi-potensi yang
ada di sekolah dan masyarakat, serta memperbesar relevansi pendidikan terhadap kebutuhan
komunitasnya.
Untuk itu, pandangan progresif yang mengemuka di kalangan aliran-aliran progresif seperti
yang dikemukakan Wiles-Bondi amat relevan untuk diangkat sebagai salah satu opsi pemikiran
dalam memberlakukan UU No. 22 tahun 1999. Dalam teorinya itu Bondi menyebutkan, bahwa
pengembangan kurikulum adalah pekerjaan dan usaha bersama-sama. Pengembangan kurikulum
harus melibatkan banyak kelompok, agensi dan individu, baik dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Guru yang akan melaksanakan kurikulum akan lebih besar menentukan sukses dan tidaknya
perubahan kurikulum. Demikian pula dengan siswa, dia harus menjadi bagian dari proses
pengembangan kurikulum. Orang tua dan kelompok anggota masyarakat (komite sekolah) yang harus
mendukung perubahan dan pengembangan kurikulum harus terlibat dalam perubahan dan,
pengembangan kurikulum tersebut sejak dari awal. Demikian pula dengan para pengawas, pelaksana
adminsitrasi kurikulum, juga harus terlibat (Wiles, 1989: 119). Semakin banyak orang yang terlibat
dalam pengembangan kurikulum tersebut, maka akan semakin tinggi tingkat keberhasilan
pendidikan, baik dilihat dari sudut psikologis, kebutuhan client maupun relevansinya dengan
kebutuhan pemakai hasil pendidikan.
Sejalan dengan Wiles, Walker menegaskan pula, bahwa guru pada hakikatnya memiliki
kewenangan yang amat besar untuk melakukan inovasi kurikulum, mengujicobakannya dalam kelas,
lalu mereka memiliki kurikulum operasional yang kuat untuk diterapkannya dalam proses
pembelajaran. Mereka dapat melakukan itu, karena didukung dengan kepercayaan masyarakat
pengguna sekolah, dan bahkan mereka diberi dukungan untuk melakukannya. Akan tetapi, guru juga
tidak bisa bermain-main dalam pengembangan dan inovasi kurikulumnya itu, karena siswa, orang tua
siswa, para pengguna juga memiliki hak untuk terlibat dalam mengkritisi kurikulumnya itu. Dalam
sekolah demokratis, kekuasaan dan kewenangan, termasuk dalam strukturisasi kurikulum, harus
didistribusi pada kelompok-kelompok yang memiliki ketertarikan dan keterlibatan dalam aspek
kurikulum dan aspek-aspek pendidikan lainnya dalam sekolah bersangkutan. Orang tua memiliki
ekspektasi terhadap anak-anaknya sehingga mereka harus diikutkan dalam perabahasan kurikulum di
sekolah tersebut. Dengan demikian sekolah harus terbuka dengan orang tua tersebut. Demikian pula
universitas yang akan menerima lulusan sekolah menengah, boleh menyampaikan berbagai
kualifikasi yang diperlukannya, sebagaimana pasar tenaga kerja juga. punya hak untuk
menyampaikan kualifikasi keilmuan, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkannya. Bahkan siswa
juga dapat mengontrol kurikulum sekolah dengan tidak mengikutif pelajaran yang menurut mereka
tidak relevan dengan kompetensi yang dibutuhkannya (Walker, 1997: 5). Dan distrik atau pemerintah
daerah pada tingkat provinsi boleh menyampaikan usulan mengikat yang diputuskan lewat prosedur
legal untuk memperkuat aspek-aspek tertentu dalam kurikulum sekolah, khususnya sekolah
menengah sesuai dengan aspirasi rakyat mereka wakili.
Inilah hakikat dari sekolah demokratis, yang otoritas kurikulum itu, secara ekstrem sudah
tidak ada lagi pada pemerintah pusat, tapi lebih banyak ditentukan oleh sekolah yang didukung oleh
komunitasnya, baik orang tua siswa, para praktisi, akademisi universitas maupun dunia usaha,
dengan. memberi masukan tentang kualifikasi yang Mereka minta. Namun bersamaan dengan itu,
Pemerintah daerah juga memiliki hak untuk berkontribusi dalam kurikulum penguatan daerahnya.
Akan tetapi, dalam praktiknya saat ini,untuk penguatan organisasi Pemerintah masih sangat
kuat, dan masih bermanfaat besar untuk memikirkan pengembangan kurikulum ini, karena sekolah
juga membawa nama baik bangsa, semakin baik sekolahnya, maka akan semakin baik nama
bangsanya. Oleh sebab itu, progresivitas pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah di Indonesia,
masih terlihat memiliki pemihakan pada paradigma strukturalisme fungsional, yakni memberi peran
yang proporsional pada kekuatan struktur pemerintah, sambil terus memberdayakan
kekuatan-kekuatan masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah pusat akan memberikan standarisasi
nasional, dan sekolah mengembangkan benchmark-nya, sesuai dengan kekuatan yang dimilikinya.
Akan tetapi, standarisasi nasional juga. perlu penerjemahan dan penjabaran lebih detail tentang
indikator-indikator kompetensi, serta perlu pengembangan, baik untuk penguatan maupun dalam
membangun benchmark sekolah. Untuk itulah sekolah harus berkomunikasi dengan stakeholder dan
user-nya.
Hasil komunikasi dengan semua unsur tersebut, tidak mungkin menghasilkan rumusan
sistematis tentang sekwensi materi pelajaran, peta kompetensi yang akan dicapai melalui unit
pembahasan, serta rumusan-rumusan strategi pembe!ajaran, alat yang dibutuhkan serta evaluasi yang
akan digunakan. Komunikasi dengan client sekolah hanya sebatas menjaring ide, gagasan dan
permintaan yang harus diolah lagi di tingkat sekolah sehingga menjadi kurikulum operasional. Pada
fase ini sudah menjadi otoritas dan tugas guru bersama tim yang dibentuk oleh sekolah sendiri.
Dengan demikian, posisi masing-masing otoritas, sesuai dengan arah pengembangan
otonomisasi pendidikan adalah, kurikulum operasional serta rangkaian silabusnya merupakan otoritas
guru yang disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan psikologis siswa, kemudian
dikonsultasikan dengan stakeholder dan user pendidikan, lalu didiskusikan dengan tim kurikulum
sekolah untuk diimplementasikan. Namun kurikulum operasional dan silabus tersebut disusun dengan
mempertimbangkan standar kompetensi yang disusun oleh pemerintah. Sementara kewenangan
pemerintah daerah adalah fasilitasi. Urutan kewenangan tersebut dapat dilihat dalam gambar di
bawah ini.
GAMBAR 7
Kewenangan Masing-masing unit
Adaptasi dari wiles (wiles, 1989:17)
a. Penyiapan peraturan pemerintah
b. Penyiapan standart kompetensi tingkat
nasional
c. Penyiapan anggaran
a. Penyesuaian buku teks
b. Penyesuaian aturan-aturan
a. Komite pendidikan
b. Pengalokasian anggaran
c. Fasilitasi pendidikan
a. Koordinasi program
b. Komite kurikulum
c. Pelayanan administrasi
a. Rancangan kompetensi dan indikator
kompetensi serta materi pelajaran
b. Perencanaan pembelajaran
c. Strategi pembelajran dan evaluasi
PEMERINTAH PUSAT
PEMERINTAH PROPINSI
PEMERINTAH TINGKAT
KABUPATEN
SEKOLAH
KELAS/GURU
Sesuai gambaran di atas, lapisan yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menyusun
kurikulum secara hierarkis adalah pemerintah pusat sebagai wujud dari cita-cita mencerdaskan
kehidupan bangsa. Namun tuntutan fleksibilitasnya yang membuat Depdiknas memberi ruang Cukup
besar pada daerah untuk mengembangkan. sektor pendidikannya agar menjadi yapg terbaik di bangsa
ini, dan relevan dengan kebutuhan daerah, serta sesuai pula dengan benchmark yang hendak
dikembangkannya. Oleh sebab itu, kewenangan berikutnya adalah pada daerah, yang dipercayakan
penuh pada sekolah dengan membangun jaringan horizontal bersama akademisi, praktisi, birokrat,
serta kelompok masyarakat peduli pendidikan, yang bergabung bersama orang tua siswa dalam
komite sekolah.
Sementara pemerintah daerah hanya memiliki tugas memfasilitasi berbagai kepentingan
sekolah, dari mulai prasarana fisiknya, sarana pembelajaran, perpustakaan ' laboratorium dan
pembinaan SDM, baik guru, kepala sekolah, maupun para pengelola yayasan, sehingga. mampu
mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelolanya menjadi yang terbaik, dapat melahirkan
generasi bangsa yang cerdas, terampil. dan memiliki kemampuan daya saing yang unggul di era
globalisasi. .
Model proses perumusan kurikulum yang memberdayakan potensi-potensi horizontal sekolah,
sudah menuju pada model sekolah demokratis, yakni sekolah yang lebih banyak ditentukan oleh
komunitasnya sendiri, bukan oleh kekuasaan pusat yang jauh dari kenyataan lokal. Namun,
sebagaimana telah dikemukakan dalam peta kompetensi, bahwa harapan masyarakat terhadap sekolah
untuk anak-anaknya itu bukan semata pengetahuan, tapi juga sikap dan pembiasaan. Oleh sebab itu,
peran hidden curriculum menjadi sangat signifikan, karena siswa akan melihat, mengalami, dan
mengimitasi berbagai perilaku yang dikembangkan oleh semua unsur sekolah tersebut. Dan sekolah
juga harus memberi kesempatan pada siswas-siswanya, khususnya untuk siswa-siswa SLTP dan
SLTA untuk mencoba membahas persoalan-persoalan current event, seperti problem-problem law
enforcement, lingkungan, konflik etnis, masa depan masyarakat, serta pajak dan kontrol masyarakat
terhadap pemerintah (Apple, 1995: 16). Ini semua untuk memperkuat pembiasaan mereka menjadi
bagian masyarakat demokratis, karena inti demokrasi adalah kekuasaan pada rakyat, dan untuk itu
perlu keterbukaan. Mereka harus menjadi bagian dalam kultur keterbukaan tersebut.
C. PENGEMBANGAN KURIKULUM
PERADABAN umat manusia terus berubah dan berkembang, dan perubahan tersebut juga
merupakan implikasi dari kemajuan ilmu dan teknologi, yang merupakan hasil dari sebuah penelitian,
kajian dan pengembangan hasil-hasil kajian dalam perubahan dan pengembangan perilaku sosial dan
kehidupan. Semua orang akan terjun dalam kehidupan nyata tersebut, dan mereka harus mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan dan kemajuan. Jika tidak, mereka akan teralienasi, tersingkir
dari kemajuan dan menjadi kelompok yang tertinggal. Oleh sebab itulah, sekolah harus terus dinamis,
dan kurikulumnya harus terus dievaluasi, untuk dilakukan perubahan-perubahan dan pengembangan,
pengembangan agar sesuai dengan harapan. masyarakat, baik pelanggan maupun. pemakai jasa hasil
pendidikan. Paradigma inilah yang kemudian melahirkan kebijakan evaluasi kurikulum, yang harus
dilakukan setidaknya setiap dua tahun, untuk
kemudian dilakukan berbagai penyesuaian.
Pengembangan kurikuluim sebagaimana Unruh katakan adalah proses yang kompleks terdiri
dari berbagai kegiatan mengasses kebutuhan, mengidentifikasi harapan hasil belajar, mempersiapkan
proses pembelajaran untuk mencapai harapan outcome hasil belajar, dan menyesuaikan program
pernbelaiaran dengan budaya, sosial, dan berbagai kebutuhan orang-orang yang untuk merekalah.
kurikulum tersebut disiapkan (Unruh, 1934: 97). Pengembangan kurikulum tersebut menjadi sangat
signifikan dilihat dari sangat cepatnya perubahan sains dan teknologi yang digunakan dalam dunia
usaha dan industri serta berbagai pasar tenaga kerja potensial lainnya, sehingga sekolah tidak
tertinggal oleh berbagai kemajuan yang terjadi di luar sekolah.
Kemudian Unruh juga mengemukakan aspek-aspek yang harus dianalisis dalam konteks
pengembangan kurikulum tersebut antara lain adalah (Unruh, 1984: 178-179):
1 . Kebijakan, yakni kebijakan pokok tentang kurikulum itu sendiri yang meliputi tujuan (kini dalam
term kurikulum Indonesia menjadi kompetensi-kompetensi), struktur kurikulumnya sendiri akan
diubah atau tidak, dan kemudian prosedurnya. Dan untuk itu, kepala sekolah, guru, pegawai serta
perwakilan orang tua siswa harus duduk bersama membicarakan perubahan-perubahan
kebijakannya itu.
2. Standar kelulusan.yang diharapkan serta pencapaiannya hari itu, keduanya. harus dianalisis untuk
mencari kesenjangan antara keduanya, dan kurikulum. disusun untuk menutup dan
mempersempit gap tersebut.
3. Meng-assess berbagai opsi rumusan tujuan (kompetensi) dengan orang-orang terkait dengan
kepentingan kurikulum tersebut untuk menetapkan prioritas yang akan dijadikan rumusan akhir
untuk kurikulum hasil perbaikan dan pengembangan.
Sejalan dengan pandangan Unruh tersebut, Ralph Tyler sebagaimana dikutip oleh Decker F.
Walker mengedepankan empat pertanyaan pokok dalam konteks evaluasi dan perubahan kurikulum
(Walker, 1.997:56), yaitu:
1. Apa tujuan-tujuan yang sekolah hendak capai?
2. Pengalaman-pengalaman pendidikan apa yang hendak disiapkan sekolah pada siswa-siswanya
untuk mencapai tujuan-tuju an tersebut?
3. Bagalimana pengalaman-pengalaman.tersebut bisa secara efektif diorganisasi dengan baik?
.4. Apa yang harus dilakukan agar semua tujuan tersebut tercapai?
Sementara itu, John C. Hill dalam bukunya CurriculumEvaluation for School Improvement,
menginventarisir beberapa pertanyaan pokok yang harus dikembangkan dalam. evaluasi dan
pengembangan kurikulum (Hill, 1986: 89), yaitu:
1. Tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai dengan kurikulum
tersebut?
2. Tujuan mana yang akan menjadi prioritas?
3. Apa kebutuhan masyarakat, dan para pembelajar yang harus dilayani dengan kurikulum?
4. Pengetahuan apa yang penting untuk dipelajari?
5. Outcome seperti apa yang seharusnya dihasilkan dengan kurikulum tersebut?
6. Apa yang seharusnya diharapkan dari lulusan?
7 Nilai-nilai apa yang amat penting yang bisa dipengaruhi oleh program tersebut?
8. Apakah kita cukup up to date dengan perumusan tujuan dalam kurikulum berjalan? Dan apakah
kita cukup up to date dengan ekspektasi terhadap kurikulum ini atau program pembelajaran yang
akan dikembangkan berdasar pada kurikulum tersebut?
Walaupun perbedaan antara satu pertanyaan dengan lainnya itu terlihat amat tipis seperti
perbedaan antara nomor 5 dan 6, keduanva menanyakan tentang outcome atau lulusan, yakni tipe
outcome seperti apa yang dapat diharapkan dengan kurikulum yang ada, dan outcome seperti apa
yang sebenarnya diharapkan dapat diluluskan, sehingga akan ditemukan gap antara keduanya, dan
pembaharuan kurikulum justru mengisi gap tersebut sehingga semakin menyempit dan semakin
tertutupi. Namun pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan Hill sangat rasional, sehingga
pernbaharuan kurikulum itu didasarkan pada hasil survey client dengan mencoba meng-asses apa
harapan mereka, dan apakah kurikulum yang ada belum mampu memberikan jaminan pencapaian
terhadap harapan tersebut. Demikian pula dengan tujuan yang hendak dicapai, yang perumusannya
juga sangat dipengaruhi dengan permintaan client yang dipadukan dengan visi sekolah tersebut.
Tampaknya empat pertanyaan pokok yang dikembangkan Tyler tercakup dalam
pertanyaan-pertanyaan Hill, dan pertanyaan-pertanyaan Hill juga bisa direduksi menjadi:
1. Apa tujuan yang hendak dicapai, sebagai artikulasi harapan client sekolah, yang telah
dikombinasikan dengan tujuan sekolah, sehingga mampu menggambarkan sosok citra lulusan
yang diharapkan untuk dihasilkan?
2. Apakah tujuan-tujuan yang dirumuskan untuk kurikulum tersebut cukup up to date atau tidak?
3. Pengetahuan-pengetahuan apa yang seharusnya diberikan untuk mencapai tujuan tersebut,
termasuk di dalamnya knowledge, skill dan values!
4 Sampai di mana kemampuan kurikulum yang ada untuk menjangkau tujuan tersebut?
5. Apakah program pernbelajaran yang seharusnya dikembangkan berbasis pada kurikulum tersebut
sudah cukup up to date atau tidak?
Lima pertanyaan pokok ini tampaknya sudah merepresentasi berbagai kepentingan dalam
konteks pernbaharuan kurikulum sekolah. Dan dalam konteks kurikulum berbasis kompetensi,
pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi, kompetensi-kompetensi apa yang hendak diberikan sekolah
pada siswa-siswanya.? Dan apakah kompetensi tersebut cukup up to date atau tidak, bila dikaitkan
dengan kebutuhan outcome sekolah yang harus bersaing dalam pasar global atau berbagai
kepentingan fragmatis lainnya? Lalu pengalaman-pengalaman belajar apa saja yang harus diberikan
untuk mencapai kompetensi tersebut, termasuk di dalamnya pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai dan bagaimana caranya. agar semua kompetensi tersebut yakin bisa terjangkau? Inilah
berbagai pertanyaan mendasar yang harus dikedepankan dalam konteks pengembangan kurikulum,
dan apakah berbagai rencana pembelajaran dan strategi yang seharusnya dikembangkan darl
kurikulum tersebut sudah merupakan rencana yang up to date atau belum.
Pertanyaan pertama dan utama adalah kompetensi apa yang hendak diberikan pada siswa.
Persoalan pokok untuk menjawab ini adalah siapa yang paling berhak untuk menjawab pertanyaan
pokok tersebut. John I. Goodlad sebagaimana dikutip oleh Walker mengemukakan, ada tiga level
penentu kurikulum, yakni instruksional, institutional, dan societal. Pada level instruksional,
kurikulum ditentukan bersama-sama antara guru, siswa, dan orang-orang yang dapat membantu guru
dari mereka yang memiliki pengalaman cukup baik dalam pembelajaran untuk mata pelajaran
danjenjang yang sama. Sedangkan pada level institusional, kurikulum disusun atas dasar hasil curah
pandangan dan pendapat antara sekolah dengan komite sekolah, stakeholder dan user sekolah.
Mereka tidak harus memiliki kemahiran tentang struktur kurikulum, peta kompetensi serta berbagai
strategi yang seharusnya digunakan,. namun gagasan besarnya perlu disajikan untuk diterjemahkan
secara operasional oleh guru untuk dibawa ke dalam proses pembelajaran dalam kelas. Pada level
societal. kurikulum ditinjau dan dikritisi oleh unsur-unsur pemerintah yang mendanai pendidikan,
atau oleh institusi yang mengeluarkan akreditasi dan yang sebangsanya (Walker, 1997: 64). Dengan
demikian, semua unit terlibat namun dalam kapasitas yang berbeda -beda. Bahkan LSM pendidikan
baleh melakukan kontrol terhadap kurikulum sebuah sekolah yang berada di wilayah kerjanya,
namun mereka tidak memasuki wilayah teknis strukturisasi kurikulum yang menjadi otoritas guru
dan sangat berorientasi kelas. Demikian pula parlemen daerah dapat melakukan kontrol terhadap
kurikulum sekolah di daerahnya, agar bisa meyakinkan masyarakatnya bahwa pendidikan di
daerahnya menggapai berbagai kemajuan.
Rumusan-rumusan kompetensi yang komprehensif, bijak, jelas dan terukur, akan dapat
menginspirasi penyusunan bahan ajar yang sekwentif dan terorganisasi dengan baik untuk menjamin
pemberian pengalaman-pengalaman bagi siswa dalam mencapai kompetensi idealnya. Perumusan
bahan ajar, dan pengorganisasian bahan ajar secara holistik integratif, serta penyusunan berbagai
strategi agar pengalaman-pengalaman tersebut dapat tercapai untuk menjangkau kompetensi ideal.
Itulah inti kurikulum sekolah yang harus senantiasa dievaluasi dan dikembangkan secara reguler dan
periodik.
Terkait dengan itulah, Paul Westmeyer menekankan teorinya, bahwa pengembangan
kurikulum harus selalu dilandaskan pada tinjauan psikologis aan analisis kebutuhan client
(Westmeyer,.1981: 13). Tinjauan psikologis sangat terkait dengan teori Gestalt bahwa sebuah
persepsi itu akan terbentuk secara efettif ketika unit pembahasan disajikan secara utuh dan
terorganisir, bahkan dari pengalaman-pengalaman sebelunmya pada stimulus berikutnya, karena.
pengalaman sekarang sangat terkait dengan pengalaman kemarin. Dan perubahan-perubahan terus
terjadi berdasarkan pengalaman-pengalaman, yang akan terus, yang memperkuat satu sarna lain
(Westmeyer, 1981:33). inilah teori Gestalt yang mendasari konsep bahwa bahan-bahan ajar yang
akan membentuk pengalaman siswa untuk mencapai kompetensi idealnya, harus diorganisasikan
secara utuk agar mudah dipahami.
Kemudian, Westmeyer juga menekankan bahwa pengembangan kurikulum itu harus
didasaran pada hasil analisis terhadap berbagai permintaan client. Siapakah sebenarnya client dari
sebuah sekolah? Ini adalah sebuah pertanyaan yang amat penting. Client utama sekolah adalah
siswa, merekalah yang paling harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, dengan
menganalisis tingkat usia, kemampuan intelegensia, latar belakang yang terkait
dengan ,pengembangan kurikulum pada mata pelajaran tertentu, arah kompetensi yang akan
diberikan, cita-cita ke depan, apakah akan meneruskan ke perguruan tinggi atau memasuki lapangan
pekerjaan, motivasi mempelajari mata palajaran tersebut, serta berbagai permasalahan yang dihadapi
siswa (Westmeyer, 1981: 39).
Berikutnya adalah masyarakat, yang secara umum ada tiga kategori, yakni masyarakat yang
lekat dengan sekolah yaitu orang tua siswa, kemudian masyarakat luas, yakni dunia profesi, unsur
pendidikan lanjut, kalangan ilmuwan dan pemerhati pendidikan, serta pemerintah dan legislatif. Dan
ketiga adalah kultur. Orang tua siswa termasuk masyarakat sekolah yang paling pertama harus
ditanya tentang ekspektasi mereka pada sekolah untuk menginspirasi sekolah dalam menyusun
kurikulumnya, demikian pula dengan kalangan profesi, pemerintah pendidikan lanjut, bahkan seting
budaya masyarakat, baik untuk konservasi maupun perubahan dengan arah kemajuan. Kendatipun
demikian, aspek konsep keilmuan jangan dikorbankan, pengembangan kurikulum harus tetap
memperhatikan struktur keilmuan, karena para siswa harus diberi pelajaran yang benar dalam setiap
bidang ilmu, sehingga mereka memiliki peluang untuk mengembangkan ilmu tersebut, setelah
mempelajarinya lebih mendalam pada jenjang perguruan tinggi, dan mereka bisa menjadi bagian
yang akan mengembangkan ilmu tersebut, melalui riset dan penulisan buku dalam.bidang ilmu yang
ditekuninya. Oleh sebab itu, unsur sekwensi dan scope keilmuan harus menjadi perhatian penting
dalam pengembangan kurikulum tersebut (Westmeyer, 1981: 39-41). Komposisi dari masing-masing
aspek tersebut dapat dililiat dalam gambar berikut ini.
.
GAMBAR 8
ASPEK-ASPEK YANG HARUS DIANALISIS DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULLUUM
ADAPTASI DARI WESTMEYER (WESTMEYER, 1981: 41).
MASYARAKAT LUAS
MASYARAKAT LOKAL
SISWA
BUDAYA
DISIPLIN
HARAPAN
KURILULUM
Pengembangan kurikulum merupakan tugas rutin dari sekolah, karena harus dilakukan secara
reguler, berkala dan konsisten. Oleh sebab itu, sekolah harus mempunyai tim yang bertanggung
jawab dalam pengembangan kurikulum. Mereka harus menyerap banyak informasi dari siswa, orang
tua serta berbagai kalangan terkait dengan kurikulum sehingga mampu merekonstruksi kurikulum
sekolah yang memiliki validitas
dengan dukungan masyarakat yang sangat kuat. Hasil kajian tim inilah yang akan diimplementasikan
oleh guru dalam kelas, setelah diadaptasikan sedemikian rupa dengin mempertimbangkan berbagai
perkembangan dan permintaan siswa, serta berbagai aspek yang perlu memperoleh perhatian
signifikan.
Tampaknya Westmeyer ini meneruskan teorinya Ronald; C. Doll yang menekankan tiga
aspek yang harus diperhatikan dalam pembaharuan kurikulum, yaitu perkembangan psikologi siswa,
perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan (Doll, 1964:18). Kemampuan siswa
itu berkembang sesuai perkembangan usianya, dan masing-masing fase perkembangan usia
kronologis mereka merefleksikan kemampuan dan kebutuhan yang berbeda. Oleh sebab itu,
penyajian materi dan sekwensi kurikulum harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan. serta
kebutuhan. psikologis mereka. Demikian pula dengan kultur dalam masyarakat yang terus
berkembang, dan siswa dipersiapkan untuk bisa menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial. Oleh
sebab itu, kurikulum harus disajikan sesuai dengan perkembangan sosial tersebut. Kalau kini identik
dengan fase informasi maka kurikulum sekolah harus mempersiapkan siswa-siswanya hidup dalam
dunia informasi tersebut. Kalau tidak, mereka akan gagal dalam. penyesuaian diri, dan tidak mampu
bersaing dalam pasar tenaga kerja. Kemudian Doll juga memperhatikan bahwa sains berkembang
sangat cepat, dan bahkan terjadi ledakan dalam. ilmu pengetahuan, dan. dalam. rentang 8,5-12 tahun
terjadi pelipatan. cabang-cabang keilmuan (Doll, 1964: 74). Jika kurikulum yang disajikan itu masih
merujuk pada perkembangan sains 10 sampai 20 tahun yang lalu, maka siswa yang akan diluluskan
akan shock ketika memasuki sekolah lanjut atau perguruan tinggi, karena tertinggal oleh berbagai
kemajuan terkini.
Lebih lanjut, dengan mengadaptasi rumusan-rumusan Ronald C. Doll, ada beberapa langkah
penting yang harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan evaluasi dan pembaharuan kurikuluin (Doll,
1964:322), yaitu:
1. Tetapkan berapa program yang akan dievaluasi!
2. Rumuskan tujuan dari evaluasi dan pembaharuan kurikulum dengan menyesuaikan pada
program-program yang akan dievaluasi tersebut!
3. Pertegas tujuan (kompetensi) dengan merumuskan berbagai indikator kompetensi yang akan
diperoleh saat tujuan tersebut tercapai. Sebaiknya dinunuskan berbagai indikator kompetensi
untuk setiap kompetensi (tujuan)!
4. Rumuskan pula kriteria pencapaian dan kemajuan kegiatan evaluasi sebagai standar kerja agar
tidak menyimpang dari tujuan dan signifikansi evaluasi dan pembaharuan kuriklum!
5. Sebaiknya disiapkkan proses pengerjaan perumusan tujuan dan kriteria-kriteria ketercapaiannya,
serta siapkan pula instrumen untuk kepentingan keduanya!
6. Pilih dan terapkan proses serta instrumen yang dapat menghasilkan data lengkap sesuai
kebutuhan serta dapat menggali berbagai informasi secara mendalam!
7. General lisasikan berbagai data dan temuan agar bisa menghasilkan berbagai poin penting untuk
perbaikan kurikulum berikutnya, sebagai upaya penting untuk mencapai tujuan
Inilah beberapa langkah penting dalam, upaya mewujudkan kurikulum. yang baik, karena
sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa kurikulum. adalah jantungnya pendidikan. Jika
kurikulumnya baik, setidaknya sekolah telah memiliki konsep penyelenggaraan yang baik dalam
konteks perencanaan akademiknya. Namun kurikulum. bukan segalanya, kurikulum hanya satu dari
sekian komponen sekolah yang juga harus diperbaiki untuk menjadi sekolah efektif. Sekolah harus
melakukan perbaikan SDM-nya, proses pembelajarannya, berbagai fasilitas belajar, serta
manajemennya, yang semuanya itu bisa dikembangkan dengan meningkatkan pelibatan masyarakat
sebagai proses pewujudan semangat undang-undang Sisdiknas, yakni sekolah diselenggarakan secara
demokratis.
SOAL JAWAB
1. Sebutkan dan jelaskan tiga variabel yang penting dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah
Jawab:
Variabel organisasi; yakni kebijakan penugasan guru dan pengelompokan siswa untuk proses
pembelajaran, yang dalam konteks ini ada empat isu yang pantas menjadi perhatian, yakni team
teaching, kebijakan promosi (kenaikan kelas), pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan,
dan pemfokusan kurikulum.
Variabel sistem sosial; yakni suasana sekolah yang tergambar dari pola-pola hubungan semua
komponen sekolah. Banyak faktor sistem sosial di sekolah yang dapat membentuk sikap dan
perilaku siswa, yakni pola hubungan guru dengan tenaga administrasi, keterlibatan kepala sekolah
dalam pembelajaran, keterlibatan guru dalam proses pengambilan keputusan, hubungan yang baik
antar sesama guru, hubungan guru dengan siswa, interaksi guru dengan siswa, keterlibatan siswa
dalam proses pengambilan keputusan, dan keterbukaan kesempatan bagi siswa untuk melakukan
berbagai aktivitas, yang semuanya ini sangat dipengaruhi oleh efektivitas kepemimpinan sekolah.
Variabel budaya; yakni dimensi sosial yang terkait dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai dan
struktur kognitif.
2. Sebutkan aliran yang mempengaruhi penyusunan dan penetapan kurikulum
Jawab:
Perenialisme. Perenialisme memiliki ciri rasionalistik dan akademis, essensialisme, essensialisme
memiliki ciri pengembangan proses kognitif. progresifisme, progresifisme menekankan pada
pengembangan teknologi.dan rekonstruksionisme. rekonstruksionisme menekankan rekonstruksi
sosial dan aktualisasi diri .
3. Sebutkan perbedaan kurikulum 1994 dan kurikulum berbasis kompetensi
Jawab:
Kurikulum 94 disusun oleh pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional, dan daerahnya
hanya diberi kewenangan menyusun kurikulum muatan lokan maksiamal 20 %. Kurikulum 94
pendekatan pembelajaran dan pengembangan berbasis tujuan dan content. Sedangkan pada KBK
pemerintah hanya menyusun kompetensi standar, semntara elaborasi silabusnya diserahkan pada
daerah dan selanjutnya diserahkan pada sekolah dengan para gurunya. dan pada KBK sekolah dengan
para gurunya juga memiliki otoritas untuk memberikan penguatan-penguatan contec of learning baika
atas dasar penguasaan siswa maupun dalam upaya mengejar benchmark sekolah. Juga pada KBK
pengembangan berbasis pada pengembangan kompetensi.
4. sebutkan dan jelaskan beberapa pendekatan yang harus diperhatikan dalam pengembangan
kurikulum
Sistematis dan sistemik;yakni kurikulum itu harus dikembangkan secara sistematis, berkaitan
antara satu topik dengan lainnya, dan kemunculan setiap topik memiliki logika dialektika yang
kuat sehingga dapat diterima secara rasional,baik oleh stakeholder, user maupun shareholder dari
pendidikan tersebut.
Kemitraan; yakni bahwa penyusunan kurikulum itu harus semaksimal mungkin melibatkan
berbagai unsur yang terkait dengan sekolah, stakeholder, user, shareholder, para pakar setempat,
kalangan profesi dan lainnya.
Pengembangan; yakni bahwa kurikulum merupakan instrumen bagi, perubahan mendasar dalam
mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dilakukan
secara dinamis dan berorientasi pada produk yang mampu meningkatkan keunggulan.
Relevansi; yakni bahwa kurikulum itu harus relevan dengan kebutuhan pembangunan dan potensi
daerah serta kebutuhan siswa yang dituangkan dalam tujuan jenjang dan satuan pendidikan. Oleh
karena itu, kurikulum harus; memberikan substansi belajar dan mengajar yang menyempurnakan
visi dan misi sekolah dan atau madrasah.
Validasi; yakni bahwa kurikulum itu harus tervalidasi secara menyeluruh dan meluas dengan
mengakomodasikan berbagai harapan dari siswa, orang tua, masyarakat, kalangan bisnis, wakil
rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, dalam proses penyusunan kurikulum dilakukan melalui
pemasaran gagasan sosialisasi konsep dan penyebaran informasi secara. terarah.
MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH
SEBAGAI SEBUAH AGENDA PERUBAHAN
A. POSISI MANAJEMEN DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH
PENGEMBANGAN, peningkatan dan perbaikan pendidikan harus dilakukan secara holistic
dan silmutan, boleh persial walaupun mungkin dilakukan bertahap. Perbaikan sektor kurikulum,
tenaga guru dan fasilitas serta sarana pembelajaran, tidak akan terlalu membawa perubahan signifikan
jika tidak disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajamen yang mendukung perubahan-
perubahan tersebut. Dinamika guru dalam pengembangan program pembelajaran tidak akan
bermakna bagi perbaikan proses dan ahsil belajar siswa, jika manajamen sekolahnya tidak memberi
peluang tubuh dan berken\mbangnya kreativitas guru tersebut. Demikian pula penambahan dan
penguatan sumber belajar berupa perpustakaan dan laboratorium tidak akan terlalu bermakna jika
manajemen sekolahnya tidak memberi perhatian serius dalam optimalisasi pemanfaatan sumber
belajar tersebut dal;am proses belaajar siswa. Manajemen, memang merupakan sesuatu yang amat
bermakna dalam perubahan menuju sebuah perbaikan.
Sekolah merupakan sebuah organisasi, yakni unit sosial yang sengaja dibentuk oleh beberapa
orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam melaksanakan pekerjaannya untuk mencapai tujuan
bersama (adaptasi dari Carlisle,1987:3). Sekolah merupakan sebuah unit sosial, karena didalannya
terdiri dari beberapa orang yang menyatu bukan oleh faktor kebetulan tapi dengan sebuah
kesengajaan, yakni mereka sengaja untuk menyatu walaupun melakukan tugas yang berbeda satu
sama lain dalam rangka mencapai sebuah tujuan utama, yakni mendidik anak-anak dalam mengantar
mereka menuju ke fase kedewasaan, agar mereka mandiri baik secara psikologis, biologis, maupun
sosial. Oleh sebab itulah mereka harus senantiasa berkoordinasi antar satu dengan lainnya dalam
pelaksanaan tugas dan pekerjaan masing-masing agar terkonstrol dalam upaya menuju tujuannya itu.
Itulah karakteristik dari sebuah organisasi.
Sebagai sebuah organisasi sekolah akan memiliki ciri keorganisasian adaptasi dari Carlisle,
1987 : 4), yaitu :
1. Memiliki ciri-ciri distingtif d alam proses dan prosedur kerja yang didasarkan pada tugas dan
kewenangan masing-masing dan unit kerjanya.
2. Organisasi sekolah juga akan memiliki hierarki kewenangan, antar kepala sekolah dengan
wakil kepala sekolah, dengan guru, tata usaha dan lainnya.
3. Sekolah juga akan memiliki sistem organisasi dan kontrol serta pengawasan yang berbeda
dengan organisasi jasa lainnya.
4. kemudian, sebagai sebuah organisasi, sekolah juga akan memiliki identitas kolegtif yang
menjadi ciri dan membedakannya dari komunitas dari organisasi lainnya.
5. Dan terakhir sekolah memiliki tujuan bersama antar kepala sekolah, guru, tata usaha, dan
unsur-unsur sekolah lainnya.
Pendidikan Indonesia kini telah memasuki era perubahan yang ketiga, setelah sebelumnya
pendidikan itu milik masyarakat yang menyatu dalam lembaga-lembaga keagamaan, surau, masjid,
dan pesantren-pesantren sebagai pengembangan fungsi dari masjid menjadi lembaga pendidikan.
Kemudian pendidikan menjadi program pemerintah, dan dikelola secara sentralistik baik perencana,
pendanaan maupun berbagai kebijakan kurikulum dan pembinaan sumber daya manusia serta
berbagai sumber daya pendidikan lainnya. Lahirnya UUSPN No. 2 tahun 1989 telah memperkuat
sentralisasi tersebut, tidak hany standar kualitas tapi juga kurikulum, metode dan evaluasi hasil
belajar kini dengan diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, rakyat memperoleh kembali
hak partisipatifnya dalam mengembangkan kualitas pendidikan., sebagaimana dikemukakan pada
pasal IV ayat I yang berbunyi “Pendidikan di selenggarakan secara demokratif dan keadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kutural dan
kemajemukan”. Gagasan dasar tersebut diperjelas dengan ayat ke VI pasal yang sama, yang berbunyi
pendidikan diselenggarakan dengan pemberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
sertda dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”.
Reformasi radikal tersebut dikembangkan dengan dilandasi dengan sebuah keperhatikan
dengan lemahnya sektor pendidikan di Indonesia dan rendahnya rata-rata prestasi lulusan sekolah
pada jenjang , sehingga peringkat SDM Indonesia terpuruk tidak saja ditingkat dunia tapi bahkan di
tingkat asia tenggara kini pendidikan didorong kebawah, sebagai otoritas antar pemerintah pusat,
pemerintah daerah serta stakeholder-nya infrastruktur berbagai aturan hukum telah disiapkan dengan
diundangkannya undang-undang sikdiknas No 20 tahun 2003 yang berbasis pola pendidikan
demokratif serta didukung pula oleh undang-undang No. 22 tahun 1999, tantang Pemerintahan daerah
yang meletakan sektor pendidika sebagai salah satu sektor yang diotonomisasikan, yang
implementasinya akan lebih banyak didorong kesekolah bersama stakeholder –nya.
Salah satu harapan demokratiasasi sektor pendidikan dalah agar seluruh komponen dan
kekuatan masyarakat terlihat dalam melakukan berbagai perubahan dan perbaikan sektor pendidikan
menuju hasil pendidikan yang berkualitas. Demokratisasi pengelolaan pendidikan berarti mendorongt
tanggung jawab peningkatan dan perbaikan kualtas pada tenaga guru dan kepala sekolahnya untuk
mengorganisir berbagai program peningkatabn kualitas hasil belajar melalui perbaikan proses
pembelajaran, dengan didukung para stakeholder serta pemerintah daerah yang bertugas melakukan
fasilitasi terhadap berbagai upaya pengembangan sekolah sehingga SDM lulusan sekolah kompetitif
dipasar tenaga kerja, lokasl, nasional, regional dan bahkan global, yang terus kian terbuka bagi
masyarakat dunia. Akan tetapi jika SDM hasil pendidikannya itu tidak kompetitif, bukan saja tidak
bisa meraih peluang dan kesempatan dalam kompetisi regional, dan global, bahkan kesempatan lokal
pun akan diambil orang lain. demokratisasi sekolah tidak cukup hanya dengan pelibatan stakeholder
dalam perumusan berbagai kebijakan kurikulum,perlibatan siswa dalam kebijakan pengembangan
proses pembelajaran,serta tidak pernah membiarkan ada siswa tertinggal, tapi juga harus didukung
dengan iklim demokratis dalam organisasi sekolah sendiri, agar semua untuk ekolah mempunyai
rasa memiliki terhadap berbagai program perbaikan tersebut , serta meningkatkan tanggung
jawab dan partisipasinya untuk perbaikan – perbaikan tersebut. Ciri-ciri organisasi sekolah
demokratis, sebagaimana dipaparkan Tony Bush adalah sebagai berikut (Bush, 1986: 48-50).
1. Sangat berorientasi normatif, yakni bahwa manajemen harus selalu didasarkan pada
kesepakatan , apa pun program yang hendak dikembangkan dan diimplementasikan harus
didasarkan pada kesepakatan, dan tidak hanya menjadi values tapi juga sebagai sebuah
keyekinan, bahwa model inilah yang terbaik.
2. Pendekatan demokratis sangat layak untuk organisasi dengan para anggota dari
kalangan profesional, yakni mereka yang memiliki kemampuan teknis dan ketrampilan,
mereka memiliki otoritas dalam keahliannya.Organisasi sekolah harus dikelola oleh
kalangan – kalangan profesional, karena siswa memerlukan pembinaan dan pelayanan
dari mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.
3. Penanaman nilai, kultur dan kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi dilakukan oleh
anggota organisasi itu sendiri,yang sudah dimulai sejak dalam fase pendidikan dan
tahun- tahun pertama mereka bekerja.
4. Pengambilan putusan tentang berbagai kebijakan penting dilakukan oleh sebuah komite
dan tidak dilakukan secara individual oleh seseorang kepala dengan menggunakan
otoritas kepemimpinannya. Dan semua unsur memiliki wakil dalam komite tersebut,
yang harus mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam komite terhadap
konstituennya.
5. Senua putusan ditetapkan dengan cara konsensus dan atau kompromi dan sedapat
mungkin dihindari polarisasi organisasi karena perbedaan pendapat dan
pandangan.Perbedaan dalam proses harus diakhiri dengan konsensus dan atau
kompromi, walaupun terkadang harus menghargai kecenderungan mayoritas.
Untuk mewujudkan ciri- ciri tersebut, seorang kepala sekolah yang meiliki peran
sentral dalam kepemimpinan sekolah, harus memiliki kualifikasi- kualifikasi sebagai berikut
(Bush,1986: 60) :
1. Memiliki sikap yang responsive terhadap kebutuhan dan harapan dari para anggotanya,
menghargai keahlian dan ketrampilan dari para guru dan selalu berusaha untuk
mengoptimalkan pemanfaatan keahlian koleganya itu untuk siswa –siswanya.Untuk itu,
sebaiknya mereka itu diangkat dalam posisi kepala sekolah setelah sukses menjadi
profesional sebagai guru dalam waktu yang cukup lama,sehingga mereka cukup sensitive
terhadap profesi keguruan dan cukup memiliki pengalaman untuk melakukan optimalisasi
pemanfaatan keahlian dan skill guru tersebut untuk para siswanya.
2. Seorang kepala sekolah demokratis juga harus selalu mencari dan menciptakan forum-
forum formal maupun informal untuk menguji dan mengelaborasi inisiatif kebijakan.Semua
ini dilakukan untuk mendorong inovasi dan untuk memaksimalkan akseptabilitas dari
putusan- putusan sekolah.
3. Seorang kepala sekolah demokratis harus lebih menonjolkan keahlian daripada otoritas
official, yakni pengambilan putusan tentang sesuatu harus dipertimbangkan berdasarkan
pandangan dan pendapat mereka yang memiliki pengetahuan dan keahlian tentang hal
tersebut daripada menggunakan otoritas kepemimpinannya.
Sesuai karateristik tersebut,maka kepala sekolah atau pimpinan sebuah lembaga
pendidikan hanyalah sebagai fasilitator terhadap proses partisipasi internal.Mereka bertugas
memfasilitasi berbagai gagasan, pandangan untuk kemudian diputuskan secara konsensus atau
kompromi, lalu diimplementasikan bersama – sama.Namun bersamaan dengan itu, mereka juga
harus mampu menginterpretasi berbagai harapan dan permintaan external client, lalu
mengkomunikasikannya pada staf internal, dan melakukan pengambilan berbagai putusan
kebijakan untuk dilaksanakan sebagai wujud pelayanan terhadap permintaan client tersebut.
Model kepemimpinan demokratis ini bukan sebuah dokrin mutlak benar. Tetapi sebuah
konsep dan gagasan alternatif yang memiliki berbagai kekuatan dan kelemahan. Secara objektif Tony
Bush memaparkan berbagai kekuatan dan kelemahan model kepemimpinan organisasi sekolah yang
demokratis (Bush, 1986 : 61-62), yakni :
1. Kekuatan model kepemimpinan disekolah yang demokratis adalah sangat normatif dan
idealistic.
2. Guru dapat mengartikulasikan keahlian dan otoritas mereka yang memperkuat legitimasinya
untuk keterlibatan mereka dalam proses pengambilan putusan.
3. Dalam suasana demokratis, guru dapat mengembangkan berbagai kebijakan melakukan
ujicoba, baik dalam pengembangan implementasi kurikulum, strategi, assignment serta evaluasi,
sehingga inovasi dan kreativitas mereka selalu memperoleh tempat pengarahan dari kepala
sekolah, karena kepala sekolah bukan seorang superman, dia hanyalah fasilitator yang dapat
memberi peluang untuk semuanya berkembang.
4. Kemudian para teoritisi juga berargumentasi bahwa model kepemimpinan sekolah demokratis
sangat prospektif untuk berbagai perubahan ke depan, karena guru dapat memberikan konstribusi
pemikiran-pemikirannya untuk fomulasi berbagai kebijakan.
Kepemimpinan demokratis itu sangat normatif, yakni bahwa pola kepemimpinan demokratis
tersebut memiliki berbagai aturan dan sistem yang kuat, baik dalam proses pemilihan kepala sekolah,
tugas dan kewenangan struktur dalam sekolah tersebut, serta prosedur pengambilan berbagai
keputusan tentang kebijakan sekolah, semuanya diatur oleh sebuah sistem, bukan oleh common sense
kepala sekolah belaka. Berbeda dengan kepemimpinan tradisional yang berbasis kekuasaan, tidak ada
sistem pengambilan keputusan semua berbasis otoritas dan kekuasaan. Karena berbasis sistem yang
kuat dari kepemimpinan demokratis, maka putusan-putusan yang akan dihasilkan bisa kuat dan
memperoleh jaminan untuk bisa diimplementasikan. Berbeda dengan pengambilan putusan berbasis
otoritas yang bisa menimbulkan resistansi serta akan memperluas penolakan dan sikap reluctant
terhadap putusan tersebu. Kemudian kepemimpinan demokratis juga sangat idelistik, yakni sangat
sesuai dengan cita dan harapan publik karena pelibatan mereka secara penuh, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun impelementasinya.
Kendati demikian, sebagaimana dikatakan diatas, bahwa demokrasi itu bukan doktrin yang
tidak bisa dikritik. Berbagai kelemahan yang meliputi model kepemimpinan demokratis di sekolah
(Bush, 1986 : 61 – 62), yaitu :
1. Kepemimpinan sekolah yang demokratis itu terlalu normatif, padahal belum tentu aspirasi
semua anggota tersebut mampu menggambarkan realita, dan pada akhirnya gagasan untuk lebih
banyak menyerap aspirasi publik justru bercampur dengan sikap dan pandangan personal dari
anggota perwakilan dan komite.
2. Model pengambilan keputusan yang demokratis itu justru lamban dan tidak praktis, karena
semua usulan kebijakan harus menunggu persetujuan bersama dari komite, yang semua itu akan
memakan waktu dan biaya.
3. pengambilan keputusan secara demokrasi akan efektif jika semua peserta komite memiliki
pendidikan yang sama atau mendekati sama.
4. Kemudian kritik tehadap kepemimpinan demokratis juga cenderung elitis, dan bahwa
pengambilan putusan yang harus selalu consensus merupakan sesuatu yang tidak biasa digaransi
karena semua orang akan memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda.
5. Pada akhir, kepemimpinan demokratis, sangat tergantung pada kepala sekolah. Apakah kepala
sekolah akan mendorong persoalan-persoalannya menjadi otoritas publik atau tidak, dan apakah
kepala sekolah akan memperhatikan pendangan-pendanganpara stafnya, karena pada akhirnya
implementasi berbagai kebijakan tersebut menjadi tanggung jawabnya.
Memang secara ideal, kepemimpinan demokratis belum terkritik, walaupun secara teknis
membawa berbagai implikasi yang diprediksi akan menimbulkan berbagai kesulitan dan efisiensi,
walaupun diakui efektif untuk mengembangkan partisipasi para guru serta unsur-unsur lain dari
sekolah, termasuk staf administrasi, dalam upaya menuju cita sekolah efektif , yakni sekolah yang
dapat mencapai cita output sesuai level yang diharapkan serta dengan biaya yang sangat murah
(Scheerens, 1997 : 4). Namun bersamaan dengan itu, menurut Scheerens bahwa untuk mencapai
efektivitas tersebut, tidak cukup dengan model kepemimpinan yang demokratis sebagai mana
terpapar diatas, tapi juga harus memiliki rumusan tujuan yang jelas, struktur organisasi serta
pembagian tugas yang jelas serta memiliki clearcut antara satu unit dengan lainnya, serta didukung
oleh prosedur kerja dari mulai perencanaan, koordinasi, kontrol dan evaluasi hasil, kemudian
didukung pula oleh kultur serta lingkungan (Scheerens,1997:21).
Model kepemimpinan demokratis lebih memfokuskan perhatiannya pada struktur organisasi
yang memberi garansi untuk lebih aspiratif serta prosedur dalam pengambilan putusan dan distribusi
penugasan serta kewenangan yang lebih fair. Tujuan akhir dari semuanya sebenarnya adalah
pencapaian tujuan agar sekolah menjadi efektif mencapai tujuannya, yang untuk sekolah harus
mencapai performa terbaiknya. Setidaknya ada dua element yang hasrus di perbaiki untuk
mengembangkan sekolah agar memiliki performa terbaik (Mohrman,1994: 5), yaitu :
1. Keberlanjutan organisasi yang terkait erat dengan kualitas outcome harus di tetapkan oleh
stakeholder yang menyediakan seluruh sumber daya serta mendukung organisasi, bukan oleh
anggota organisasi sekolah itu sendiri.
2. Pengembangan sekolah agar mencapai performa terbaik bukan sebuah pernyataan lip service
belaka, tapi justru kemajuan yang terus bergerak menuju standar performa yang di harapkan.
Sekolah sebagai sebuah organisasi tidak boleh mengevaluasi dirinya oleh dirinya sendiri,
tidak boleh menggagas pengembangan dirinya hanya oleh anggota internal organisasinya
sendiri,tanpa melibatkan stakeholder, karena justru merekalah yang mempunyai obsesi tentang
sekolah tersebut, dan mereka tidak akan terkontaminasi oleh berbagai pertimbangan teknis yang akan
mengganggu imajinasi gagasan – gagasan. Oleh sebab itu, perumusan berbagai gagasan ke depan
harus di serahkan pada stakeholder sekolah, yakni, kalau sekolah negeri adalah pemerintah daerah,
siswa dan orangtua siswa,serta para guru dan tat usaha di sekolah yang bersangkutan. Kesepakatan-
kesepakatan dan ri forum inilah yang harus menjadi acuan pengembangan kedepan, yang dapat
mencerminkan gagasan-gagasan ideal serta petimbangan-pertimbangan aturan, norma dan pernyataan
prkatis dilapangan.
Gagasan-gagasan besar untuk mengembangkan sekolah dengan performa terbaik, agar
menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan memiliki berbagai keunggulan komparatif ,
setidaknya harus didukung oleh lima karakteristik (Wohlstetter, 1994 : 81), yakni :
1. Kepemimpinan yang kuat
2. Memiliki ekspektasi yang tinggi pada siswa
3. Memberi penguatan pada basic skills
4. Suasana yang terkontrol dan bisa diatur
5. tering melakukan tes terhadap performa siswa
Sekolah akan mencapai performa terbaik jika di pimpin oleh seorang kepala sekolah yang kuat,
visioner, konsiten, demokratis dan berani mengambil putusan-putusan strategis.
Kemudian ia mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar sekolah nya serta prestasi siswa-
siswanya pada semua anggota organisasi, dan mampu mendorong motivasi guru, staf dan siswa-
siswanya untuk terus berprestasi dan menunjukan prestasi terbainya. Selain itu, sekolah juga harus
mencurahkan perhatian kepada pembelajaran siswa, dan siswa-siswanya menyadari bahwa mereka
diharapkan untuk berprestasi. Semua unsur dalam sekolah itu pimpinan, guru, tata usaha, bekerja
secara serius dan profesional, demikian pula dengan siswa-siswanya belajar serius, dan guru bersama
siswa mengembangkan kerjasama proses pembelajaran secara efektif dalam prinsip collaborative
learning, guru mengajar dengan konsisten, tidak meninggalkan tugas mengembangkan strategi yang
membelajarkan siswa serta mampu mendorong siswa-siswanya untuk mencapai hasil belajar yang
optimal. Kemudian kehadiran stafnya juga baik, tidak sering bolos dan mampu memberikan
pelayanan yang tegas namun beradab, hingga tercipta suasana kerja yang dinamis dan profesional
penuh keharmonisan. Disamping itu, sekolah juga harus memberikan perhatian yang tinggi terhadap
penguatan basic skill para siswanya, serta mengembangkan suasana yang mendukung pengembangan
basic skill tersebut, dan disertai dengan tes yang teratur, untuk mengevaluasi pencapaian siswa,
sehingga bisa di kembangkan program-program penguatan bagi mereka yang belum mencapai
penguasaan minimal dari terget kurikulum serta program pengayaan bagi mereka yang memiliki
kemampuan belajar cepat (accelerated learning).
Gambara diatas menunjukan betapa posisi pemimpin itu amat penting, hampir-hampir
kemajuan dan kemunduran sekolah sangat tergantung pada pimpinan, karena peran dan fungsinya
untuk mengkoordinasikan kerja semua unsur dalam organisasinya,. Dengan demikian kepala sekolah
harus memiliki bekal agar dapat mengelola semua sumber daya yang ada sehingga menjadi kekuatan-
kekuatan kontributif untuk sebuah kemajuan. Kepala sekolah harus dipercaya oleh semua angota
timnya, dan dia pun harus memberi kepercayaan kepada timnya untuk mengerjakan tugas sesuai
kewenangannya. Kepala sekolah juga harus memiliki pengalaman kepemimpinan, serta memiliki
pengetahuan dasar tentang manajemen, karena bidang tugas dia adalah mengelola semua sumber
daya yang ada, baik sumber daya manusia, fisik dan sarana, maupun sumber daya keuangan.
Manajemen sebagaimana dibahas dalam kajian-kajian teoritis adalah, proses mengarahkan,
mengkoordinasikan, dan mempengaruhi operasional organisasi untuk memperoleh hasil keseluruhan
(Carlisle, 1987 : 10). Pengertian tersebut menekankan bahwa lingkup tugas manajemen adalah
mengarahkan dan mengkoordinasikan seluruh anggota organisasi untuk melakukan sesuatu sesuai
kapasitasnya masing-masing untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Jika proses ini berjalan
dan memperlihatkan hasil yang berarti, maka performa organisasi juga akan meningkat sebagai
organisasi yang baik, kuat dan solid, serta akan menghasilkan output atau outcome sesuai harapan.
Dalam konteks pendidikan, manajemen sekolah adalah proses koordinasi yang terus menerus
dilakukan oleh seluruh anggota organisasi untuk menggunakan seluruh sumber daya dalam upaya
memenuhi berbagai tugas organisasi yang dilakukan dengan efisien (Bush, 1986 : 1). Koordinasi
dimaksud adalah koordinasi antara guru dengan kepala sekolah, dan dengan tata usaha, serta antara
tata usaha dengan kepala sekolahnya. Inti kedua pengertian tersebut sama, yaitu koordinasi yang
dilakukan untuk mencapai tujuan. Jika tujuannya adalah peningkatan performa sekolah, maka
koordinasi tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan. Jika tujuannya adalah peningkatan performa
sekolah, maka koordinasi tersebut dilakukan untuk mencapai performa terbaik dari sekolah. Dengan
demikian, inti manajemen dalam bidang apapun sama, hanya saja variabel yang dihadapinya bisa
berbeda, tergantung pada bidang apa manajemen tersebut digunakan dan dikembangkan.
Manajemen pendidikan memiliki karakteristik yang membedakannya dengan manajemen dalam
bidang layanan jasa lainnya. Menurut Tony Bush, perbedaan-perbedaan tersebut meliputi (Bush,
1986 : 5-6).
1. Tujuan dari lembaga pendidikan berbeda dengan layanan jasa lainnya, dan tidak mudah untuk
didefinisikan disbanding dengan manajemen perdagangan umpamanya, karena pendidikan
bertugas mendidik anak-anak agar memiliki berbagai nilai, bahkan kepercayaan yang semuanya
sukar untuk diukur. Beda dengan perdagangan, berapa barang terjual dan berapa keuntungan,
sangat mudah untuk dihitung. Kendati banyak pula yang sukar untuk mengukurnya.
2. Kemudian dalam pendidikan aspek tujuan termasuk yang sukar pula diukur tingkat
ketercapaiannya, apakah tujuan pendidikan itu telah tercapai atau belum saat seorang siswa telah
menyelesaikan pendidikannya pada jenjang dan jenis tertentu.
3. Anak-anak atau siswa-siswa sebagai vocal point dari pendidikan justru anjadi ambiguistik,
karena itu di satu sisi mereka adalah client atau pelanggan yang harus memperoleh pelayanan
terbaik, namun di sisi lain mereka diharapkan dikembangkan dan diubah karakteristiknya dengan
penanaman nilai-nilai baru. Oleh sebab itu, mereka harus diberi berbagai penghalaman baru.
Kemudian bersamaan dengan itu pula, siswa-siswa adalah manusia, yang pembentukannya tidak
sama dengan benda atau barang, yang midah untuk di redisn, sementara anak-anak adalah
manusia yang tidak mudah untuk dibentuk baru atau dimanipulasi.
4. Kepala sekolah dan guru berasal dari kalangan profesi yang sama, yaitu sama-sama
profesional dan sama-sama guru dari latar belakang pendidikan keguruan yang sama. Oleh sebab
itu, sebagai profesional guru biasa menuntut otonomi dalam pelaksanaan proses pembelajaran
bagi siswa-siswanya. Dengan demikian, sistem koordinasi antara guru dengan kepala sekolah
berbeda dengan koordinasi antara atasan dan bawahan dalam sebuah instansi pemerintah
umpamanya, atau perusahaan yang bergerak dalam industri barang atau jasa lainnya.
5. Manajemen sekolah juga menghadapi persoalan fragmentatif, karena suasana pengambilan
putusan sekolah senantiasa dipengaruhi oleh unsur-unsur agensi luar, seperti perwakilan orang tua
siswa, perwakilan pemerintah, politisi dan unsur lainnya. Keragaman unsur-unsur yang terlibat
ini, akan menyulitkan kepala sekolah dalam mendistribusikan tanggung jawab terhadap putusan-
putusan yang dihasilkan rapat sekolah, karena unsur-unsur yang mempengaruhi pengambilan
putusan tersebut justru tidak berada dalam jajaran jajaran manajemen, padahal mereka sangat
vokal dalam penyampaian berbagai saran dan pendapat untuk diputuskan kepala sekolah.
6. Problem manajemen sekolah yang juga spesifik adalah kesibukan kepala sekolah dalam
mengajar. Banyak senior manajer hanya memiliki waktu yang sangat sedikit untuk menajerial
karena sibuk dengan tugas mangajar. Bahkan untuk tingkat primary school (sekolah dasar) sering
kali semua tim manajemen adalah pengajar, dan memiliki tugas mengajar dikelas, sehingga
sangat sedikit waktu untuk manajemen sekolah. Oleh sebab itulah, ada problematika
implementasi teori-teori manajemen secara umum pada manajemen sekolah.
Argumen-argumen diatas memperlihatkan bahwa manajemen pendidikan tidak bisa
mengadopsi secara utuh teori manajemen industri barang atau jasa lainnya, tapi memiliki ciri dan
karakteristik sendiri. Unsur yang dihasilkan adalah sumber daya manusia dalam kualitas tertentu.
teamwork-nya adalah guru yang agaliter, cenderung idependen, walaupun harus tetap akuntabel,
mitra kerjanya adalah orang tua, pemerintah, atau tokoh masyarakat, yang hanya sharing pandangan,
pendapat dan gagasan, lalu bersama-sama dengan kepala sekolah mengambil berbagai putusan
strategi, tapi setelah itu mereka pergi meninggalkan sekolah, dan membiarkan kepala sekolah, dengan
timnya mengatur pelaksanaan putusan mereka. Itulah karakteristik manajemen sekolah yang harus
dibahas khusus sebagai manajemen pendidikan.
Kendatipun demikian, sekolah harus dikelola secara profesional, yakni kepala sekolah dan
unsur pimpinan lainnya harus memiliki kemampuan teknis dalam pendidikan dan memiliki
keterampilan manajerial, sehingga bisa memberikan layanan terbaik bagi lient-nya. Apalagi dalam
konteks peningkatan performa sekolah yang tidak cukup dengan mempermegah sarana fisik, serta
konsep kurikulum yang baik, tapi juga harus diimbangi dengan manajemen yang visioner, inovatif ,
dan terus menerus dalam perbaikan secara bertahap menuju kualitas ideal.
Tanggung jawab manajemen adalah pada manajer, yakni koordinator atau direktur dari
sebuah organisasi, atau dalam konteks sekolah adalah kepala sekolah, yang memperoleh tanggung
jawab individual untuk melakukan monitoring aliran kerja, mengintegrasikan berbagai usaha dan
upaya, mencapai tujuan dan memimpin sekolah secara efektif dan efisien, yakni mempu melakukan
pengambilan pilihan yang tepat, dan mendorong berbagai aktivitas agar organisasinya bisa mencapai
tujuan, serta mapu menggunakan semua sumber daya untuk mencapai semua tujuan organisasi itu
(Carlisle, 1987 : 6). Sesuai bidang tanggung jawabnya itu, maka seorang kepala sekolah, sebagai
manajer harus memiliki dua kriteria utama, yakni pengetahuan teknis adalah kemampuan atau
pengetahuan yang dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas serta pelayanan, seperti
pengetahuan tantang sarana dan prasarana pendukung pendidikan yang ideal, proses pembelajaran
yang baik, model evaluasi pembelajaran, pengembangan alat belajar, pengetahuan tentang keuangan,
quality control, pengetahuan tentang inventarisasi dan administrasi pengetahuan. Sedangkan
keterampilan manajerial, adalah keterampilan mengarahkan semua anggota organisasinya untuk
mengerjakan tugas sesuai bidang dan kewenangannya, kemudian mengoordinasikan unit-unit kerja
agar melakukan upaya-upaya untuk mencapai tujuan yang sama, serta melakukan kontrol terhadap
semua anggota organisasinya itu melalui supervisi, baik terhadap tenaga guru maupun tanaga
administrative.
Demikian Howard M. Carlisle dalam bukunya Management Essentials. Sementara Lesly
Kydd dalam bukunya. Profesional Develoment for educational Management menegaskan (Kydd ,
1996 : 15 – 17), bahwa seorang manajer seklah yang akan mengelola pendidikan itu harus memiliki
tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan, yaitu kecerdasan profesional , kecerdasan personal, dan kecerdasan
manajerial. Kecerdasan profesional adalah kecerdasan yang diperoleh melalui pendidikan, yang akan
menghasilkan pengetahuan dan keahlian atau keterampilan teknis yang spesifik untuk melakukan
pekerjaan profesional yang berbeda dengan dokter, pengacara, perawat, atau lainnya. Kecerdasan ini
menjadi kunci pelaksanaan tugas dalam organisasi. Sesuai dengan kriteria tersebut, maka seorang
kepala sekolah harus memiliki pengetahuan tentang pendidikan, dari mulai kurikulum,
pengembangan kurikulum, perencanaan pembelajaran strategi pembelajaran, evaluasi proses dan
hasil belajar, serta berbagai sarana pendukung pembelajaran.
Sedengkan kecerdasan personal adalah kemampuan, skil dan pengetahuan untuk melakukan
hubungan sosial yang amat diperlukan agar tetap dapat menjalin hubungan sosial yang amat
diperlukan agar tetap menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, baik dalam konteks tata
hubungan profesional maupun sosial, kecerdasan personal ini diakui amat penting bagi siapapu ,
apalagi bagi konfesional dalam memajukan pengorganisasinya namun sampai saat ini hampir tidak
ada mata pelajaran atau mata kuliah yang mengajarkan secara khusus pengembangan tat hubungan
sosial tersebut bahkan juga dalam latihan-latihan sehingga tidak sedikit orang mengalami kegagalan
karir profesionalismenya, hanya karena kelemahan dalam kecerdasan personal tersebut kesuksesan
seseorang dalam mengelola sebuah organisasi tidak saja di tentukan oleh kesadaran tentang
pentingnya peningkatan kecerdasan personal ini tapi justru peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dalam pengembangan tata hubungan sosial ini yang akan sangat kontributif terhadap
kesuksesan profesionalnya.
Demikian pula dengan kecerdsasan manajerial yang sangat diperlukan bagi seorang kepala
sekolah untuk di bisa bekerja sama dengan dan mengerjakan sesuatu melalui orang lain. berikut
adalah berbagai klasifikasi kemampuan manajerial yang amat berguna untuk dipertimbangkan
sebagai langkah awal mengerjakan berbagai tugas manajerial, yaitu :
1. Kemampuan mencipta , yang meliputi :
a. selalu mempunyai indeks-indeks bagus.
b. Selalu memperoleh solusi –solusi untuk berbagai problem yang biasa dihadapi.
c. Mampu mengantisipasi berbagai kunsekuensi dari pelaksanaan berbagai keputusan
d. Mampu mempergunakan kemampuan berpikir imajinatif (lateral thinking) untuk
menghubungkan sesuatu dengan yang lainnya, yang tidak bisa muncul dari analisis dan
pemikiran-pemikiran empirik.
e. Menggunakan imajinasi ynag intuisi.
2. Kemampuan membuat perencanaan yang meliputi :
a. Mampu menghubungkan kenyataan sekarang dengan kebutuhan esok.
b. Mampu mengenali apa-apa yang penting saat itu dan apa –apa yang benar mendesak.
c. Mampu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan mendatangkan.
d. Mampu mengantisipasi
3. Kemampuan-kemampuan mengorganisasi yang meliputi
a. Mampu mendistribusikan tugas-tugas dan tanggung jawab yang fair (adil)
b. Mampu membuat keputusan secara tepat
c. Selalu berada dimuka saat pertanggung jawaban
d. Selalu bersikap tenang dalam menghadapi kesulitan
e. Mampu mengenali pekerjaan itu sudah selesai dan sempurna di kerjakan
4. Kemampuan-kemampuan berkomunikasi yang meliputi
a. Mampu memahami orang lain
b. Mampu dan mau mendengarkan orang lain
c. Mampu menjelaskan sesuatu kepada orang lain
d. Mampu berkomunikasi melalui tulisan
e. Mampu membuat orang lain berbicara
f. Bijak
g. Toleran terhadap kesalahan orang lain
h. Mampu mengucapkan terima kasih kepada orang lain dan selalu mendorong orang lain
untuk maju
i. Selalu memelihara agar setiap orang memperoleh informasi yang diperlukan
j. Selalu mengikuti dan memanfaatkan teknologi informasi
5. Mampu memberi motivasi yang meliputi
a. Mampu memberi inspirasi pada orang lain
b. Menyampaikan tantangan yang realistis
c. Membantu orang lain untuk mencapai tujuan dan target
d. Membantu orang lain untuk menilai konstribusi dan mencapai sendiri
6. Mampu melakukan evaluasi yang meliputi :
a. Mampu membandingkan antara hasil yang dicapai dengan tujuan
b. Mampu melakukan evaluasi diri
c. Mampu melakukan evaluasi terhadap pekerjaan orang lain
d. Mampu melakukan tindakan pembenaran saat diperlukan
Tampaknya Kydd memerikan uraian yang lebih detail dari Carlisle, walapun bertolak dari
paradigma yang sama, yaitu setiap menejer harus memiliki pengetahuan teknis dan skil manajerial.
Kalau kydd menegaskan bahwa kreteria pertama seorang menejeradalah memiliki kecerdasan
profesional tersebut sma dengan kemampua teknis dala rumusan Carlisle, sementara keterampilan
manajerial tercakup dalam dua kecerdasan lainnya. Dengan demikian, sesuai analisis dan teori-teori
diatas, seorang kepala sekolah harus memiliki tiga kecerdasan pokok, yakni kecerdasan profesinal,
kecerdasan prosonal, dan kecerdasan manajerial, dengan indikator sebagai mana telah diuraikan di
atas.
Kapabilitas ideal tersebut tidak selalu dimiliki secara sempurna oleh setiap guru. Pada
umumnya mereka memiliki kemampuan teknis yang memadai karena pendidikan keguruan telah
memberikan kompetensi tersebut dengan maksimal. Namun para guru tersebut kurang memiliki
keterampilan managerial karena pembinaan kompetensi managerial skill tersebut kurang memperoleh
penekanan dan program pendidikan keguruan oleh sebab itulah seorang kepala sekolah, selain harus
linier antara tugas dengan basis keahlian, juga harus memiliki berbagai pengalaman manajerial,
dengan menjabat tangan yang lebih rendah serta mengikuti berbagai latihan yang relevan sehingga
memahami bidang-bidang tugasnya itu serta proses manajemen secara keseluruhan tidak hanya
teoretik tapi juga implementasi lapangannya.
Pertanyaan mendasar yang akan disampaikan pada kepala sekolah sebagai seorang manajer
adalah fungsi-fungsi apa yang harus dilaksanakan kepada sekolah untuk memulai sebuah kegiatan
serta melibatkan semua unsur dalam organisasi sekolah untuk mencapai tujuan yang harapkan,.
Pertanyaan tersebut biasa dan wajib dilakukan secara teoretik amat mudah pula menjawabnya, karena
secara simple sudah diketahi oleh banyak kalangan bawah fungsi manajemen sekolah itu adalah
perencanaan , pengorganisasian, pelaksanaan, program dan kontrol akan tetapi empat fungsi
tersebut terus di kembangkan dan menimbulkan diskursus dalam wacana ilmu manajemen, sampai
akhirnya Carlisle menyimpulkan menjadi lima (5) fungsi yang harus dilakukan kepala sekolah dalam
melaksanakan proses manajemennya, yaitu planning, organizing, staffing, derecting controlling
(Adaptasi dari Carlisle, 1987 : 14).
Planning atau perencanaan adalah fungsi pertama dan utama yang harus dilakukan kepala
sekolah sebelum mengerjakan yang lain. kalau tidak ada perencanaan atau program, maka perjalanan
sekolah tidak akan terarah, tidak jelas apa yang akan dituju, dan tidak jelas pula apa yang akan
dikerjakan. Oleh sebab itu, kegiatan pertama yang harus dilakukan kepala sekolah adalah menyusun
perencanaan, baik rencana-rencana strategis berjangka panjang dan menengah, maupun rencana
operasional tahunan. Dalam perencanaan tersebut harus sudah tercakup penjabaran apa-apa yang
akan dihasilkan. Kemudian bagaimana mencapai hasil-hasil tersebut, dari mana akan diperoleh
dukungan dana, siapa pemakainya, apa sumber daya yang akan diperlukan, kapan sumber daya
tersebut bisa diperoleh. Semua itu merupakan perencanaan. Dan semua itu harus dijawab dengan
penjabaran program yang komprehensif agar sekolah menjadi efektif.
Perencanaan sekolah itu dikembangkan bukan dengan cara melamun atau menghayal, tapi
harus didasarkan pada visi apa yang akan diwujudkan dalam beberapa tahun ke depan, lalu misi apa
yang akan dikembangkan, value apa yang dimiliki, dan apa tujuan yang akan dicapai dalam waktu
tertantu, lalu apa permintaan-permintaan pelanggan. Semuanya itu merupakan variabel-variabel yang
perlu dipertimbangkan dalam menyusun sebuah perencanaan, sehingga program-program tersebut
benar-benar sesuai dengan permintaan pelanggan dan sesuai pula dengan arah kebijakan
pengembangan instuisi dalam beberapa tahun ke depan. Berbagai variabel yang perlu
dipertinbangkan tersebut, lebih dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
Gambar 21
Model Pengembangan Program Sekolah (Davies, 1999 : 8)
Elemen inti adalah unsur-unsur utama dari kegiatan pendidikan, yakni mensejahterakan siswa
dengan indikator mereka bisa belajar dengan baik sehingga menjadi cerdas, pintar, terampil dan
memiliki pengetahuan serta keterampilan baru yang tidak akan mereka miliki jika tidak sekolah.
Kemudian sumber daya manusia, khususnya guru, yaknibahwa manajemen sekolah itu bertujuan
memperbaiki sumber daya manusia, baik pada aspek kualitas keilmuan, pengalaman, maupun
loyalitas profesionalisme mereka. Bersamaan dengan itu, manajemen sekolah juga bertujuan
meningkatkan memperbaiki kurikulum agar efektif membuat siswa-siswa menjadi cerdas. Semua
tujuan tersebut harus diupayakan untuk diwujudkan, dikembangkan diringkatkan diperbaiki untuk
mencapai visi dan misi sekolah, dan akan diimplementasikan dengan dukungan sumber daya fisik
dan sarana, besaran siswa mendaftar serta jangkauan pemasaran sekolah pada masyarakat, struktur
dan pendekatan dalam manajemen sekolah, dan kekuatan sumber daya keuangan.
Betapa pentingnya perumusan tujuan dalam pengembangan perencanaan sekolah, baik jangka
panjang, menengah atau jangka pendek. Namun semua termin tujuan tersebut tidak akan terarah pada
satu tujuan utama tanpa didahului dengan perumusan sebuah visi, yakni sebuah gagasan besar tantang
Manajemen
Sekolah dan
Pengembangan
Program
Sumber Daya Fisik
Daftar Siswa dan Pemasaran
Struktur dan Pendekatan Manajemen
Sumber Daya Keuangan
Kurikulum dan Pengembangan Kurikulum
Sumber Daya Manusia
Kesejahteraan Siswa
Monitoring dan Mekanisme Evaluasi
Pendidikan Efektif
Visi, Misi, dan Tujuan sekolah
Elemen Inti Elemen Pendukung
harapan-harapan masa depan yang telah dirumuskan secara komprehensif, berbasis pada data dan
bisa dicapai. Bagaimana visi itu bisa dicapai, diterjemahkan secara operasional dalam perumusan
visi, yang kemudian diturunkan kembali dalam perumusan tujuan. Berbasis visi, misi, dan tujuan
itulah, kemudian dikembangkan berbagai perencanaan. Akan tetapi, jika perencanaan tersebut
dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan sekolah, tentang kemampuan daya dukung masyarakatnya,
kekuatan sumber daya manusianya, serta dukungan sarana yang ada, dan rencana tersebut disusun
sesuai hasil survei terhadap berbagai permintaan client, maka perencanaan model itu, kini lazim
disebut sebagai rencana-rencana strategis, karena akan memosisikan organisasinya itu dalam posisi
yang baik dan kuat.
Brent Davies dan Linda Ellison mendefinisikan, bahwa rencana strategis adalah sebuah
analisis yang sistematis dari sekolah untuk mencapai visinya dengan perumusan berbagai kunci
strategis yang didukung oleh lingkungan serta nilai dan kekuatan sumber daya yang dimiliki (Davies,
1999 : 48). Dalam konteks yang berbeda, Davies menegaskan bahwa rencana strategis adalah proses
penyesuaian aktivitas sekolah dengan lingkungan yang ada dan terakhir dalam pikiran tentang apa-
apa yang mungkin dicapai dengan sumber daya yang ada dan atau yang dapat dibangkitkan (Davies,
1999 : 12). Kedua rumusan pengertian tersebut menegaskan bahwa rencana strategis itu tiada lain
adalah sebuah rencana yang disusun untuk mencapai visi dengan berbasis pada kekuatan yang ada
dan atau yang dapat dikembangkan serta dibangkitkan dengan dukungan lingkungan yang kuat, yakni
pemerintah pusat, daerah, dan komunitas sekolah, serta sarana fisik, sumber daya keuangan, sumber
manusia, nilai maupun berbagai dukungan lainnya. Disebut rencana strategis karena manajemen
organisasi sudah mampu merumuskan secara detail apa yang akan dicapai, dan bagaimana cara
mencapai harapan tersebut, serta memperoleh dukungan sumber daya yang akan diperlukan untuk
mewujudkan rencana tersebut.
Dengan demikian, rencana strategis itu bisa berjangka menengah maupun panjang, bahkan
Carlisle menyatakannya bahwa rencana strategis itu adalah nama lain dari long range planning atau
perencanaan berjangka panjang (Carlisle, 1987 : 178), karena rencana strategis tidak berbicara terin
waktu, tapi bicara soal metode dan cara-cara mencapai tujuan. Sejauh teridentifikasi bahwa tujuan itu
bisa tercapai dengan rencana yang tersusun, serta dukungan lingkungan dan berbaghai sumber daya
yang sudah dimiliki atau yang bisa dibangkitkan, maka rencana tersebut biasa disebut dengan rencana
strategis. Akan tetapi untul rentang waktu 6 – 15 tahun Davies ragu bahwa berbagai strategi yang
dipakai dalam lima tahun kedepan, dengan dukungan semua kekuatan yang ada, akan efektif untuk 5
tahun kedua dan ketiga, sehingga untuk rentang waktu 6 – 15 tahun, dia menyebutkan future thinking,
dan jik asudah disertai dengan berbagai metode yang akan digunakan serta pemanfaatan berbagai
sumber daya yang ada atau yang akan dibangkitkan maka Davies menyebutnya dengan maksud
strategis (strategic intent) bukan rencana strategis, karena masih ada kemungkinan berubah yang
disebabkan berbagai faktor eksternal. Sedangkan untuk rencana satu (1) tahun, dia menyebutnya
sebagai rencana operasional. Dengan demikian, rencana strategis hanya terbatas pada jarak waktu
menengah sampai maksimal 5 tahun (Davies, 1999 : 10) keraguan tersebut cukup rasional, karena
perubahan yang sangat cepat baik ilmu, teknologi, maupun perkembangan ekonomi dunia yang
sering mempengaruhi perkembangan ekonomi lokal. Akan tetapi, sejauh dapat dianalisis bebragai
kekuatan yang ada, serta dukungan kemampuan tersebut untuk mencapai visi, maka perencanaan
jangka panjang juga bisa disebut dan dinamai dengan rencana strategis, dan ini lazim di Indonesia.
Iraian diatas memperlihatkan bahwa sebuah rencana strategis memerlukan analisis terhadap
data-data pendukung untuk membuat rencana itu rasional dan dapat tercapai. Dalam konteks ini
W.S. Berry menyatakan bahwa struktur dasar sebuah perencanaan itu harus meliputi evaluasi dimana
posisi sekolah sekarang kemudian mengenali perubahan yang diinginkan, susunan perencanaan
sebagai jalan menuju perubahan beserta perkirakan hasil yang akan dicapai, dan terakhir cara
melakukan evaluasi untuk yang akan dicapai, dan terakhir cara melakukan evaluasi untuk mengukur
perubahan-perubahan yang dihasilkan (Berry, 1992 : 43). Oleh sebab itu, sebelum rencana itu disusun
dan dikembangkan diperlukan kajian dan analisis terhadap, kenyataan sekolah sekarang , harapan-
harapan pemakai, serta peluang untuk mengembangkan berbagai perencanaan strategis. Setidaknya
ada empat variabel yang harus dianalisis dalam rangka menyusun sebuah rencana, yaitu sebagaimana
terlihat dalam tabel berikut ini :
Tabel
8
No Hasil
Analisis
Data yang dibutuhkan Pendekatan
01.
02.
03
04..
Lingkungan
Hasil
Pesaing
Kecendrungan internasional
kecendrungan nasional
Kecendrungan lokal
Clients yang ada saat ini dan
potensi ke depan.
Harapan dan permintaan mereka
kekuatan, kelemahan
Perkembangan , dan penyusutan
persepsi dari sekolah
Produk dan pelayanan yang
ditawarkan kekuatan dan
kelemahan mereka
Persepsi para pengguna pesaing
Politik, ekonomi, sosiokultur,
teknologi, hukum dan pendidikan
Segmen pasar dan data demografi
serta hasil survei lainnya
Survey tentang pilihan harapan
dan permintaan analisis SWOT
Evaluasi internal inspeksi
eksternal, dan survey sikap
Analisis SWOT dan survei data
pelanggan
Analisis pesaing dan laporan
survei
Taksonomi Data Rancana Strategis (Davies, 1999 : 61)
Variabel-variabel tersebut merupakan unsur-unsur penting yang dapat dijadikan titik tolak
dalam penyusunan rencana strategis. Hasil-hasil analisis tentang kecendrungan politik ekonomi,
sosial dan hukum, serta identifikasi segmen pengguna dan potensi pengembangan pengguna, hasil
analisis SWOT, serta evaluasi internal dan eksternal merupakan unsur-unsur yang harus
dipertimbangkan dalam penyusunan rencana strategis menuju cita dari visi besar sekolah. Kemudian,
hasil-hasil analisis berupa kesimpulan-kesimpulan abstrak itu harus dikongkretkan ketika enjadi
sebuah rencana, tantang apa yang akan dikerjakan siapa yang akan mengerjakan, kapan dikerjakan,
alat apa yang dibutuhkan, serta berapa dana yang dibutuhkan, sumber dana serta sistem administrasi,
harus terurai secara detail agar penundaan pelaksanaan program dapat diminimalisir (Haddad, 1995 :
35).
Susunan rencana strategis sekolah tersebut harus disiapkan bukan didasarkan oleh ambisi
personal dari pimpinan sekolah untuk menaikan citra diri atau kepentingan lainnya, tapi harus benar-
benar didasarkan pada kebutuhan dan harapan para stakeholder sekolah itu sendiri, serta dengan
mengembangkan berbagai gagasan proaktif bukan reaktif, baik untuk jangka panjang menengah
maupun jangka pendek sebagai rencana operasional. Sekwensi penyusunan rencana strategis
dimaksud adalah sebagaimana terlihat dalam gambar berikut :
Gambar 22
Sekwensi Prosedur Penyusunan Program Strategi
(Sallis, 1993 : 109)
Apa yang hendak di capai sekolah beberapa tahun ke depan, apa
yang akan dikerjakan, apa tujuan dan apa yang dimiliki
Apa yang diminta orang tua siswa, pemerintah, dunia usaha, studi
lanjut, perguruan tinggi, dan masyarakat.
Analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan, serta
faktor-faktor kritis untuk mencapai tujuan.
Bagaimana bisa mencapai sukses.
Bagaimana bisa mengetaui bahwa sekolah telah mencapai sukses.
Masukan-masukan apa yang perlu untuk perecanaan berikutnya.
Untuk penyusunan perencanaan progran serta detail, Berry menawarkan 10 langkah
operasional (Berry, 1992 : 43-44), kendati ini bukan sebuah rumusan definitive dan bisa di keritik,
baik subtansi maupun sekwensinya, yaitu :
1. Planning the schedule; yakni membuat perencanaan waktu untruk, menyusun
serta melaksanakan pelaksaaan program.
2. outline of content; yakni menyiapka outline perencanaan program secara
keseluruhan, yang tidak semata hanya pada aspek implementasi kurikulum, tapi termasuk
assessment, pengembangan kurikulum, pengembangan sarana, membangkitkan sumber dana serta
evaluasi pelaksanaan
3. Fleshing the Bones; yakni membuat uraian detail tentang masing-masing
kegiatan yang sudah dicantumkan dalam outline kegiatan sehingga bisa dipahami oleh semua
unsur intim dalam organisasi sekolah. Tahap ini disebut oleh Berry sebagai tahap organisasi
sekolah. Tahap ini disebut oleh Berry sebagai tahap fleshing the Bones, yakni mendagingi tulang-
tulang dan masih merupakan tugas dari anggota senior dalam organisasi sekolah.
VISI, MISI , TUJUANDAN NILAI
ANALISIS PERMINTAAN PELANGGAN
ANALISIS SWOT DAN FAKTOR UNTUK MENCAPAI SUKESE
BERBAGAI RENCANA STRATEGIS
EVALUASI DAN UMPAN BALIK
4. First Introduction; yakni pemaparan draft pada semua anggota organisasi,
dengan seluruh guru, dan staf agar memperoleh berbagai masukan untuk penguatan pada tujuan-
tujuan yang akan digapai.
5. Close Consideration; petimbangan secara mendalam berbagai masukan dari
seluruh anggota organisasi sekolah, tambahkan usulan-usulan rasional, dan hilangkan bagian-
bagian yang mereka kritik, serta untuk dihilangkan.
6. Draft Audit; yakni mengaudit draft yang usdah diperkaya dan dikritisi oleh
seluruh unsur organisasi sekolah, sehingga memperoleh susunan perencanaan yang realistic,
dapat dikelola dan diselesaikan dalam rentang waktu yang tersedia.
7. Action Plan; yakni menyusun rencana tindakan yang sudah lebih detail untuk
masing-masing kegiatan, siapa penanggung jawabnya, berapa laa harus diselesaikan, kapan harus
dimulai dan kapan harus selesai, perlu tim kepanitiaan atau tidak, bahkan sebainya ada guideline
sebagai rujukan implementasi dan evaluasinya.
8. Publication ; yakni mempublikasikan perencanaan yang sudah diaudit dan
dibuat dalam bentuk rencana tindakan itu dikomunikasikan pada unsur-unsur stakeholder, dengan
pemerintah daerah, orang tua siswa, serta unsur-unsur komite sekolah lainya
9. Evaluation; yakni penyampaian bebagai pandangan dari stakeholder terhadap
rencana-rencana tindakan yang sudah disiapkan oleh menajemen sekolah bersama para guru dan
staf tata usahanya
10. Audit again ? ; yakni melakukan audit kembali setelah dikritisi oleh
stakeholder, walaupun secara praktis tampaknya tidak perlu, karena evaluasi tersebut sudah
merupakan putusan terakhir untuk memulai kegiatan, namun secara teoretik kegiatan itu harus
kegiatan itu harus ada, kendati dilakukan secara simultan saat evaluasi.
Inilah sepuluh langkah penyiapan sebuah perencanaan, baik untuk konteks perencanaan
strategis berjangka panjang, menengah ataupun berjangka pendek sebagai sebuah rencana
operasional. Akan tetapi, langkah-langkah tersebut dilakukan setelah sebelumnya pembahasan
tentang visi dan misi, serta analisis values, dan kebutuhan serta permintaan pelanggan yang dengan
itu semua kepala sekolah bisa merumuskan tujuan, dan diikuti dengan analisis SWOT untuk
memperoleh rumusan-rumusan tentang faktor-faktor kritis untuk mencapai sukses, serta cara-cara
mencapai sukses tersebut yang disesuaikan dengan kemampuansumber daya internal. Itulah rumusan
program-program strategis yang harus dirumuskan dengan mempertimbangkan langkah-langkah di
atas.
Ketika rencana program itu telah tersusun maka proses manajemen selanjutnya adalah
mengorganisir seluruh kekuatan untuk mengimplemantasikan rencana-rencana tersebut. Tugas
manajer adalah mendeskripsikan tugas pada seluruh anggota organisasi serta mengkoordinir seluruh
usaha dan upaya yang dilakukan staf untuk bisa menjamin bahwa seluruh tujuan yang telah
ditemukan itu dapat dicapai secara efisien (Hodgetts, 1986 : 138). Dan manajer yang baik adalah
yang bisa membagi habis seua program-program pada tim manajemennya demikian pula dengan
manajemen sekolah yskni bahwa seorang kepala sekolah harus mendinstribusikan implementasi
kegiatan itu pada guru dan staf administrafnya. Dia harus memberi kepercayaan penuh kepada timnya
bahwa mereka bisa melakukan program-program yang menjadi tanggung jawabnya kemudian kepala
sekolah juga harus mampu memberi motivasi kepada semua anggota timnya agar berbuat yang
terbaik untuk institusinya mencurahkan semua kemampuan dan perhatiannya serta meningkatkan etos
kerjanya sehingga performas sekolah meningkat dan image dimasyarakatnya juga baik. Jika
imagenya baik, maka kepercayaan masyarakatnya menguat, dan sekolah menjadi harapan mereka.
Lebih lanjut Hodgetts menegaskan, bahwa sebuah perencanaan strategis tidak akan bermakna
bagi peningkatan produktivitas organisasi jika tidak diimbangi dengan pengorganisasian yag rapi
(Hotgetts, 1996 : 139). Demikian pula dengan sekolah yang tuntutan profesionalismenya kini kian
meningkat. Sekolah dituntut untuk mengembangkan kualitas dirinya dengan mengurangi
ketergantungan mereka pada pemerintah, bukan soal pendanaan, tapi pengembangan kurikulum, serta
berbagai program pengembangan lainnya. Akan tetapi, bagaimana bentuk organisasinya bisa
disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan komposisi SDM yang dimiliki sekolah tersebut.
Berbagai bentuk organisasi ditawarkan, ada yang berbentuk departemental, dan biasanya dipakai
untuk mendukung pelayanan jasa yang variatif atau pelaksanaan program yang beragam, dan ada
juga model komite yang tidak hirarkis namun sangat temporer dan dibubarkan saat selesai
melaksanakan tugas (Hodgetts, 1986 : 146).
Dalam upaya meningkatkan prosuktivitas tim manajemennya, kepala sekolah dan bahkan
harus mendelegasikan tanggung jawab dan otoritas pada para stafnya, inilah inti dari pola manajemen
partisipatif, yakni pendelegasian otoritas tersebut pada anggota tim manajemennya. Untuk
peningkatan model manajemen partisipatif tersebut, Hotgetts menyampaikan beberapa prinsip
(Hotgetts, 1986 : 168), yaitu :
1. Biarkan staf anda mengetahui apa yang sedang terjadi seorang manajer tidak boleh selalu
bicara problem, bicaralah target dan tujuan, dan biarkan para staf mengarahkan perhatian pada
target tersebut.
2. kembankan hubungan yang saling mempengaruhi di antara para staf. Agar semua program itu
di kerjakan dengan baik, seorang menejer harus mengembangken sikap keterbukaan, memberi
kepercayaan dan dia sendiri memiliki rasa percaya diri yang baik.
3. gunakan pendekatan tim yang saling berbagi tangung jawab,seorang yang baik adalah yang
bisah berbagi otoritas dan tanggung jawab bersama dengan stafnya .
4. kebangkan skill, keterampilan dan pengtehuan staf dengan pelatihan – pelatihan, baik dalam
konteks pengembengan skill manajerial, personal maupun pengetahuan teknis.
5. pertahanan komitmen staf terhadap organisasi, karene antusiasme yang tinggi dan moralitas
staf amat menentukan untuk mencapai kesuksesan
Lima prinsip yang ditawarkan Hotggets tersebut terkait dengan upaya mengekfektifkan
pengorganisasian staf elalui pola manajemen pertisipatif, yangmemberikan penekanan pada trust,
yakni berikan kepercayaan pada staf untuk engebangkan kreatifitas mereka dalam menjalankan
program dalam upay mencapai tujuan. Terkait dengan itu pula, maka seorang menejer haruus
melakukan penataan staf yakni memilih staf yang memiliki pendidikian relevan dengan
melaksanakan tugas sesuai bdang keahlian (Carlise, 1986 : 15). Untuk menetapkan bahwa keahlian
seseorang itu sesuai dengan kebutuhan tugas dan pekerjaan, seorang menejer harus melakukan
analisis pekerjan dan penugasan, untuk memutuskan kualifikasi staf seperti apa yang dibutuhkan, dan
staf dalam kualifikasi apa yang dimilikinya sekarang. Signifikasi analisis tersebut adalah untuk
memutuskan staf kualifikasi apa yang akan direkrut, apa dalam kompetensi apa mereka akan
dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan.
Semua itu perlu dilakukan kerena pengangkatan staf berarti infestasi sumber daya manusia
dalam sebuah organisasi, dan investasi sumber daya manusia tersebut merupakan salah satu yag
penting dalam organisasi tersebut, karena beberapa alasan (Cunningham, 2003: 259), yaitu:
1. Kualitas program pendidikan dalam beberapa bagian sangat sipengaruhi oleh
kualitaas sumberdaya manusia yang dimiliki sekolah tersbut.
2. Kemudian kualitas pendidikan juga dipengaruhi seberapa besar sekolah itu
mampu mengembangkan jaringan kerja yang produktif.
3. Kemudian kualitas pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh pengembangan,
motivasi dan optimalisasi pemberdayaan sumber manusia yang ada.
Sehubungan denga posisinya yang penting ini, maka pengangkatan dan atau pemberdayaan
serta pengembangan staf itu harus dilakukan dengan cara yang bijak, yakni melalui analisis
pekerjaan, klasifikasi pekerjaan dan perencanaan rekruitmen seta pengembangan staf. Analisis
pekerjaan (job anlysis) adalah sebuah proses dari pengumpulan dan analisis berbagai informasi
tentang pekerjaan-pekerjaan serta tugas-tugas pokok yang akan dan harus diselesaikan, serta berbagi
posisi dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan-pekerjaan tersebut
(Cunningham, 2003 : 261). Dalam proses ini sudah dianalisis kualifikasi keilmuan dan ketrampilan
apa yang diperlukan, serta berbagai kemampuan dan atribut-atribut lain yang secara objektif
dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan tersebut. Orang yang diangkat, apakah
pengangkatan baru atau mutasi yang akan diangkat, apakah pengangkatan baru atau mutasi dari staf
yang ada harus tahu apa pekerjaan yang akan dan harus diselesaikannya, kualifikasi apa yang harus
diacapai, dan apa yang akan dia dapatkan dengan mengerjakan tugas dan pekerjaannya itu.
Analisis tugas dan pekerjaan ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu observasi
dokumen-dokumen, yakni berbagai dokumen tentang pekerjaan yang sama dalam waktu-waktu
sebelumnya, kemudian juga dengan interview, atau bahkan mungkin dengan questionnaire. Analisis
tugas dan pekerjaan, pada akhirnya akan menghasilkan uraian pekerjaan yang harus diselesaikan oleh
staf, yang nantinya staf itu akan dipilih dari yang telah ada, disesuaikan dengan kualifikasi yang
dibutuhkan. Kemudian, analisis tugas dan pekerjaan tersebut diteruskan dengan melakukan
pengelompokan tugas-tugas yang mirip dan pendekatan menjadi satu kelompok, dan pekerjaan
berkarakter berbeda berada pada kelompok lain. tahap inilah yang dalam proses analisis pekerjaan
disebut dengan klasifikasi tugas dan pekerjaan.
Hasil analisis tugas dan pekerjaan serta klasifikasi antara satu dengan lainnya itulah yang
menginspirasi staffing, yakni pengaturan dan atau pengangkatan staf. Dalam konteks sekolah,
pertimbangan pengaturan dan atau pengangkatan staf adalah program-program pengembangan
pendidikan apa yang akan diberikan pada siswa-siswanya, dan untuk pelaksanaan program tersebut,
sekolah memerlukan staf guru dan tata usaha dalam kualifikasi seperti apa. Berbagai kemungkinan
pertanyaan yang relevan terkait dengan analisis tugas dan pekerjaan, serta klasifikasi satu dengan
lainnya, yang terkait dengan efisiensi penempatan dan atau pengembangan tenaga guru dan tata
usaha, adalah sebagai berikut (Cunningham, 2003 : 264).
1. Berapa banyak, dan kategori seperti apa siswa-siswa yang akan dilayani.
2. Program pendidikan seperti apa yang diperlukan untuk siswa-siswa tersebut.
3. Dimana siswa-siswa tersebut akan ditempatkan, dan apakah staf yang ada akan mampu
melayani mereka
4. Dukungan layanan seperti apa yang dibutuhkan untuk melayani siswa dan program-program
yang akan dilaksanakan.
5. Berapa banyak biaya yang akan digunakan
6. Kategori orang seperti apa dan berapa banyak yang akan diangkat.
Beberapa pertanyaan yang menjadi Guideline job analysis dan job classification ini bukan
sesuatu yang mutlak dan rigid karena masing-masing sekolah mempunyai permasalahannya sendiri,
serta program-program pengembangan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Pertanyaan-
pertanyaan stimulatif diatas, hanyalah sebuah ilustrasi untuk menggambarkan tentang penugasan
gurudan tata usaha, pengangkatan atau pengembangan yang ada. Pengembangan staf (staff
defelopment) baik bagi guru maupun tenagaadministrasi merupakan sesuatu yang mutlak selalu
dikerjakan oleh sekolah, karena kemajuan sebuah sekolah sangat tergantung pada kapabilitas dan
loyalitas guru-gurunya. Semakin baik penguasaan bahan ajar dan skil keguruan seorang guru, maka
akan semakin baik proses pembelajaran, dan akan semakin baik pula hasil belajar siswa=siswanya.
Dengan kompetensi guru harus terus ditingkatkan sehingga semakin luas pula pengetahuan tentang
skil keguruan mereka.
Pengembangan staf sebenarnya adalah sebuah proses yang dimaksudkan untuk meningkatkan
keterampilan, sikap dan pengetahuan guru atau pegawai administrasi, dalam rangka peningkatan
performa mereka baik dalam pelaksanaan tugas-tugasnya saat ini, maupun dalam pengabilan peran
dimasa yang akan datang (Cunningham, 2003:273). Pelatihan bagi para guru merupakan sesuatu yang
penting, tidak sekedar pengenalan berbagai materi baru, tapi juga penguaatan terhadap penguasaan
materi-materi yang sedang berjalan, agar menjadi lebih baik dan mencapai kesempurnaan.
Penguasaan materi tidak sekedar pemahaman bahan-bahan ajaran secara parsial, tapi juga menguasai
bangunan keilmuannya, sehingga mampu menyampaikan dengan baik pada siswa. Kemudian
dilengkapi pula dengan skill keguruan dan bahkan keterampila manajerial, sehingga sekolah kian
kuat dengan memiliki sumber daya manusia yang bagus.
Kita tidak bisa bicara pengembangan sekolah tanpa pengembangan sumber daya manusianya.
Berbicara pengembangan sekolah, berarti berbicara pengembangan sumber daya manusia. Sekolah
adalah orang. Ketika kita membahas kemajuan sekolah,sebenarnya kita harus membahas kemajuan
sekolah, sebenarnya kita harus membahas pembinaan sumber daya manusianya yang akan mampu
memajukan sekolah tersebut. Hanya satu jalan ketika kita hendak menuju sebuah perbaikan sekolah,
yaitu pengembangan kulitas guru dan tenaga administrasi, baik ilmu, keterampilan maupun sikap dan
loyalitasnya.
Kemudian setelah melakukan pembenahan,pengengkatan dan pembinaan staf sesuai yang
direncanakan, proses manajemen selanjutnya dalah mengerahkan (directing) agar masing-masing
individu atau divisi bergerak dalam jalur tugas dan kewenangannya. Tugas directing tersebut meliputi
pengarahan, pengawasan serta bimbingan kepala sekolah terhadap para guru dan staf administrasi
dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan sehari-hari, membuat putusan-puyusan untuk dilaksanakan
para stafnya itu, serta memimpin mereka agar sekolah terus bergerak menuju tujuan yang telah
dirumuskan bersama,dalam bentuk program stategis atau perencanaan operasional. Pengarahan
tersabut tidak sebatas hanya memberi arahan-arahan serta bimbingan, tapi juga pengawasan dan
bahkan membangkitkan motivasi guru dan karyawan agar terus meningkatkan dedikasinya untuk
sekolah yang dia pimpin, dan merupakan tempat mereka bekerja serta mengembengkan karir.
Hanya ada dua kunci peningkatan produktivitas staf, baik guru maupun pegawai administrasi,
yaitu kapabilitas dan loyalitas. Kapabilitas atau kecakapan didukung oleh ilmu dan keterampilan,
sedangkan loyalitas atau ketaatan didukung oleh motivasidan integritas mereka pada institusi.
Motivasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, salah satunya adalah iklim kerja, seperti pelibatan guru
dan staf dalam penyusunan perencanaan dan proses pengambilan keputusan, terbukanya kesempatan
yang sama bagi guru dan staf untuk mengikuti pelatihan dalam upaya peningkatan kualitas dan skill
mereka, serta faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi motivasi mereka untuk meningkatkan
kontribusinya pada institusi (Nicholls, 1993:113). Iklim manajerial yang terbuka, fair berpijak pada
prinsip keadilan, merupakan sebuah kondisi yang akan mampu membangkitkan motivasi guru dan
karyawan untuk memdedikasikan kemampuannya pada sekolah tersebut, karena mereka merasa
dilibatkan dan mereka juga terlindungi oleh sisten manajerial yang profesional tersebut. Sebaliknya
jika manajemen tersebut berpijak pada pola-pola nepotis, maka guru dan karyawan yang bukan dan
tidak dalam lingkaran teman atau kerabat kepala sekolah,akan teraniyaya karena tidak akan
memperoleh kesempatan yang sama dengan pimpinan tersebut, sehingga mereka merasa tidak aman
dan tidak nyaman, dan kemudian motivasi mereka akan merosot.
Inilah teori yang diangkat Nicholls, yakni motivasi kerja guru dan karyawan sekolah itu
sangat berkorelasi dengan iklim kerja sekolah itu sendiri, yakni semakin baik iklim kerjanya, maka
akan semakin tinggi pula motivasi mereka.bersamaan dengan itu, ada pula teori lain yang lebih
melihat korelasi antara motivasi dengan terpenuhinya kebutuhan hidup, yakni emakin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan hidup seseorang, maka akan semakin baik motivasi kerjanya.dalam ungkapan
yang lebih spesifik, bahwa sekolah yang dapat memberikan berbagai kepuasan bagi guru dan
karyawannya dalam memenuhi kebutuhan hidip mereka ,maka motivasi guru dan karyawannya untuk
mendedikasikan seluruh kemampean mereka pada sekolah itu akan semakin tinggi. Teori tersebut
diangkat oleh banyak ahli, antara lain Howard M.Carlisle (1986) dalam bukunya Management
Essential, Wayne K.Hoy (1996)dalam bukunya Educational Administration, serta Ricard Hodgetts
(1986) dalam bukunya berjudul Management.kemudian kebutuhan tersebut, sebagaimana
dikemukakan Carlisle ada dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer
meliputi kebutuhan-kebutuhan biologis yang tidak dielajari, bersifat natural,dan stabil mempengaruhi
mempengaruhi prilaku setiap orang, seperti kebutuhan makan, minum,seks, dan istirahat atau tidur.
Sadangkan kebutuhan sakunder adalah kebutuhan psikologis yang sangat dipengaruhi oleh
pengalaman, kultur dan bisa dipelajari,seperti rasa cinta, pengakuan, rasa sukses, kemerdekaan dan
keinginan untu berkuasa (Carlisle,1986:292).
Maslow, sebagaimana dikutip Carlisle menyusun kebutuhan kebutuhan manusia tersebut
secara hirakris, dan membaginya menjadi lima (5) tingkatan (Carlisle.1986:294) yaitu:
1. Kebutuhan fisiologis, yakni kebutuhan-kebutuhan biologis, seperti makan, minum, seks, air,
udara, dan kebutuhan untuk istirahat.
2. Kebutuhan rasa aman, seperti terlepas dari ancaman, terlepas dari bahaya, hidup stabil, penuh
rasa aman, dan terhindar dari penderitaan.
3. Kebutuhan sosial, seperti kebutuhan kasih sayang, cinta, afiliasi, penerimaan, dan rasa saling
memiliki dan dimiliki.
4. Kebutuhan harga diri, perti kebutuhan akan pengakuan, kedudukan, kebutuhan untuk
dihormati, kebutuhan untu diakui kemapuannya, dan kebutuhan untuk diakui kesuksessannya.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri, seperti kebutuhan realisasi diri, kebutuhan akan kemajuan,
realisasi potensi, perkembangan dan kebutuhan untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan
sendiri.
Melalui teorinya ini, Moslow menegaskan, bahwa sebelum mencari rasa aman, setiap orang
akan mencari dan memenuhi kebutuhan biologisnya terlebih dahulu, yakni memenuhi kebutuhannya
untuk bisa makan, minum, bisa istirahat dengan tenang dan bisa memperoleh kebutuhan seksnya.
Setelah semuanya terpenuhi baru mereka berpikir untuk memenuhi kebutuhan rasa aman, yakni
kebutuhan rasa aman, terhindar dari ancaman, stabil dan terhindar dari penderitaan. Dan setelah rasa
amannya terpenuhi baru berusaha untuk memenuhi kebutuhan sosial, harga diri dan aktualisasi diri.
Dengan demikian, jika seorang kepala sekolah mengkhehandaki agar semua guru dan staf
administrasinya itu dapat bekerja maksimal untuk institusinya, maka dia harus berusaha untuk
memprioritaskan pemenuhan seluruh kebutuhan pokok yang yang dibutuhkan oleh para guru dan
stafnya itu, yakni memenuhi kebutuhan makan, minum, mampu berkeluarga dan bisa mempunyai
tempat tinggal yang layak sehingga bisa tidur dengan tenang dan nyaman.kemudian, jika motivasinya
itu ingin ditingkatkan lagi, penuhi kebutuhan pada thap kedua, yakni rasa aman, yakinkan semua guru
dan karyawan bahwa mereka aman bekerja ditempat tersebut, tidak ada pemberhentian tanpa alasan
pelanggaran etika dan profesi, berikan jaminan hari tua, jaminan kesehatan, cuti melahirkan dan
sebangsanya, serta perhatikan berbagai kebutuhan primernya sehingga terhindar dari penderitaan.jika
motivasi kerjanya ingin ditingkatkan lagi, penuhi kebutuhan sosialnya, begitulah seterusnya sampai
kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri. Jika semua kebutuhan tersebut terpenuhi oleh sekolah
yempat para guru dan karyawan tersebut bekerja, maka mereka akan memiliki motivasi yang kuat
untuk bekerja dan berdedikasi untuk pendidikan disekolah tempat mereka mengabdi.Tapi, sebaliknya,
jika pemenuhan kebutuhan itu hanya pada tingkat paling rendah, maka seperti itu pulalah, motivasi
kerjanya, tidak ada rasa memiliki dan tidak ada kebanggaan terhadap institusi tempat ia bekerja.
Pendekatan Nicholls yang lebih menekankan pada iklim kerja, secara implicit terakomodasi
dalam teori psikologi Maslow dalam upaya meningkatkan motivasi kerja staf, namun tidak spesifik.
Oleh sebab itu, dalam konteks iklim kerja ini, Carlisle menegaskan (Adaptasi terhadap Carlisle, 1986
: 299), bahwa seorang manajer harus mampu menyesuaikan pola-pola manajernya pada keragaman
SDM yang dikelolanya, karena setiap orang masuk membawa latar belakang ilmu dan keterampilan,
sikap dan nilai, kebiasaan kerja, kondisi fisik dan kekuatan tubuh, keragaman dan intensitas
kebutuhan, aspirasi personal dan citra diri. Semua aspek tersebut, selain pengetahuan dan
ketrampilan sukar untuk diubah. Dan jika manajemen hendak mengubah secara totalitas untuk
mendapatkan hasil maksimal, maka itu langkah keliru, karena justru hasilnya akan sangat minimal,
karena perubahan itu sendiri akan memakan waktu yang sangat panjang. Oleh sebab itu, tugaskan
mereka sesuai keahlian, biarkan mereka menyelesaikan tugas pokok dalam batas kewenangan yang
diberikan kepadanya sesuai dengan pengalaman dan kebiasaan yang mereka miliki, dengan terus
disupervisi agar tidak keluar dari arah pencapaian tujuan.
Bersamaan dengan itu, iklim kerja lainnya juga amat berpengaruh terhadap motivasi pegawai,
yakni penugasan, pola pembagian dan pembayaran uang tambahan, kesempatan peningkatan karir,
paraturan dan kebijakan, hubungan sesama guru dan pegawai, lingkungan fisik dan psikologis serta
reward lain dari organisasi. Pola penugasan harus sesuai dengan bidang keahlian (right man on the
right place), serta seimbang antara satu dengan lainnya, dilakukan secara transparan, dan terhindar
dari indikasi-indikasi nepotis. Demikian pula dengan kebijakan pemberian uang tambahan serta pola
pembagiannya, serta aspek-aspek diatas, merupakan unsur-unsur yang dapat mempengaruhi motivasi.
Dengan demikian, kedua teori ini bermakna dalam upaya meningkatkan motivasi kerja guru
dan karyawan sekolah, baik negeri maupun swasta, yakni bahwa motivasi mereka itu sangat
dipengaruhi oleh iklim kerja dan kemampuan sekolah memenuhi kebutuhan-kebutuhan guru dan
karyawannya. Semakin baik iklim kerjanya, dan semakin besar kebutuhan mereka yang dapat
dipenuhi sekolah, maka akan semakin besar kebutuhan mereka yang dapat dipenuhi sekolah, maka
akan semakin tinggi motivasi mereka untk mendedikasikan kemampuannya untuk sekolah tersebut,
karena mereka nyaman, tenang dan tidak merasa perlu untuk mencari tugas tambahan diluar tugas
pokok di sekolah tempat mereka mengabdi. Oleh sebab itu, tugas kepala sekolah dalam konteks
directing ini, tidak cukup hanya memberi arahan, bimbingan dan pembinaan pada guru dan karyawan
sekolahnya, tapi juga membina dan mengembangkan motivasi mereka untuk mendedikasikan
kemampuan dan energinya untuk sekolah tempat mereka bekerja.
Proses manajemen selanjutnya setelah planning, organizing, staffing dan directing adalah
controlling, yakni memeriksa apakah semua program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana awal
yang sudah disepakati, sesuai dengan perintah yang telah disampaikan, dan sesuai dengan prinsip-
prinsip yang telah dipaparkan, dengan tujuan untuk melihat berbagai kesalahan dan kekeliruan agar
segera diperbaiki dan tidak terulangi lagi (Hodgetts, 1986 : 234). Dengan kata lain, controlling adalah
sebuah proses manajemen yang dilakukan untuk melihat apakah program-program yang telah
disepakati dan didistribusikan pada staf telah dilaksanakan sesuai rencana semula atau tidak, dan
apakah sesuai dengan standar kualitas yang diharapkan atau tidak. Pemeriksaan yang dilakukan oleh
manajer tersebut bukan untuk mencari-cari kesalahan staf, tapi untuk memperbaiki proses dalam
upaya perbaikan hasil, dan agar kesalahan tersebut tidak terjadi lagi. William G. Cuningham
menegaskan, bahwa pegawai merasa perlu untuk menegaskan, bahwa pegawai merasa perlu untuk
memperoleh kebenaran terhadap apa yang telah mereka lakukan, agar mereka tahu apa yang harus
diperbaik. Jika tidak, mereka akan terus terjebak dalam kesalahan yang pertumpuk dalam pekerjaan
mereka (Cunningham, 2003 : 270). Proses controlling tersebut ada tiga, yaitu penetapan standar,
membandingkan performa pelaksanaan program dengan standar tersebut, dan perbaikan terhadap
kesalahan-kesalahan yang terjadi.
Standar sebagaimana ditegaskan Hodgetts adalah basis ukuran yang dapat digunakan untuk
menilai performa hasil implementasi sebuah perencanaan. Ukuran tersebut merupakan hasil rumusan
dari tujuan yang dikembangkan organisasi pada fase perencanaan. Ukuran-ukuran tersebut bisa
sangat spesifik dan bersifat kuantitatif, seperti biaya yang digunakan, hasil margin yang diperoleh,
jumlah jam akan digunakan, dan terkadang juga bersifat kualitatif seperti harapan untuk memelihara
moralitas pegawai agar tetap memperoleh resepsi terbaik dari masyarakat (Hotgetts, 1986 : 234).
Dengan demikian, standar itu adalah rumusan ukuran-ukuran pencapaian implememtasi program,
apakah berupa jumlah unit pekerjaan yang terselesaikan, dana yang terserap untuk kegiatan, Margin
yang di peroleh dari hasil kegiatan, itu yang digunakan, atau kualitas yang diukur dengan kepuasan
pelanggan dalam konteks pendidikan adalah kenaikan prestasi hasil belajar siswa, sehingga ada
tanggapan posiotif dari orang tua. Semua itu merupakan standar pelaksanaan program. Demikian pula
dengan moralitas guru dan karyawan yang dapat menjaga hubungan baik antara sekolah dan
masyarakat,. Semua standar tersebut harus disusun berdasarkan pada rumusan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai organisasi dan dirumuskan pertama kali saat fase perencanaan.
Membandingkan performa pelaksanaan program dengan standart adalah tahap
lanjutansetelah perumusan standart dengan membandingkan pencapaian pelaksanaan program
terhadap standar yang telah dirumuskan berdasarkan pada tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan
program-program tersebut. Tahap ini akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan, bahwa pekerjaan
yang dilaksanakan staf itu telah mencapai tujuan dengan hasil sesuai harapan, atau belum mencapai
tujuan karena ada beberapa kelemahan dalam proses pelaksanaan program. Untuk tahap,
sebagaimana Hodgetts katakana terdapat problem yang cukup berarti bagi manajer, karena ada
bagian-bagian yang mudh untuk diukur dengan hanya membandingkan performa pada ukuran
standart yang telah dirumuskan diawal fase perencanaan, sementara sebagian lagi justru memerlukan
penilaian dengan menggunakan instrumen-instrumen yang harus disusun khusus seperti motivasi,
moralitas dan sebangsanya yang menjadi variabel intervening dalam menghasilkan sesuatu untuk
mencapai tujuan (Hodgetts, 1986 : 235).
Untuk menghindari berbagai kendala yang akan dihadapi, sebaiknya seorang manajer atau
kepala sekolah sudah memprediksikan berbagai persoalan yang akan muncul dalam pelaksanaan
program-program tersebut. Biasanya tahap ini di inspirasikan oleh berbagai pengalaman setelah
melaluinya, atau berdasarkan hasil curah pendapat diantara semua staf. Seorang manajer, kompeten
biasanya menggunakan opsi pengecualian dalam menghadapi situasi-situasi yang diprediksikan akan
mengganggu pelaksanaan program. Dia akan menghindari resiko bahaya menghadapi situasi yang
tidak diinginkannya itu.
Perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi, adalah proses manajemen dalam
konteks controlling dengan melakukan berbagai perbaikan terhadap kesalahan yang mengakibatkan
terjadinya penyimpangan dari arah yang dikehendaki oleh tujuan, dan akan menyebabkan tidak
tercapainya hasil yang diharapkan. Perbaikan harus dimulai bukan dengan hanya merumuskannya
kesalahan-kesalahan, tetapi juga hasil investigasi, mengapa kesalahan itu terjadi, apa faktor-faktor
yang menjadi penyebab utama terjadinya kesalahan tersebut. Dengan teridentifikasinya berbagagsi
faktor tersebut, manajer bisa melakukan perbaikan dari hulu sampain ke hilir.
Dengan demikian, controlling itu harus dilakukan bukan diakhir dari pelaksanaan program,
tapi haru dimulai saat staf akan memulai dengan melakukan kontrol terhadap persiapan-persiapan
yang akan mereka kerjakan, kemudian evaluasi pertengahan untuk melihat prestasi yang telah
dicapai, berbagai penyimpangan dari arah yang diharapkan untuk kemudian diperbaiki. Hasil-hasil
evaluasi tersebut kemudian menjadi feetback (umpan balik) untuk perbaikan pada pelaksanaan
berikutnya, serta menjadi masukan untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi defiasi kembali pada
implementasi berbagai program yang akan dilaksanakan pada fase berikutnya. Berbagai implikasi
kebijakan manajerial biasa dikembangkan, apakah rotasi penugasan, atau penambahan dan
pengurangan tugas, atau kebijakan-kebijakan strategis lainnya. Namun semua itu bisa dilakukan oleh
manajer setelah mempelajari secara saksama, apa penyebab dari terjadinya deviasi tersebut, dan apa
akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Prosedur controlling tersebut bisa dilihat dalam gambar
berikut ini.
GAMBAR 33
Freedback Sederhana Dari Proses Controlling
(Hotgetts, 1986 : 236)
Input Uang, SDM alat
Sesuai gambar diatas, proses cotrolling yang dilakukan manajer, dalam konteks sekolah
adalah kepala sekolah sendiri diharapkan akan mampu memberikan rumusan feeback yang dapat
memberikan inspirasi perbaikan, bahkan tidak cukup hanya dengan rumusan tentang poin-poin yang
diperbaiki, tapi juga harus dilengkapi dengan tahap-tahap perbaikan yang harus dilakukan silmutan
dengan implemantasi program lanjutan
B. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
MANAJEMEN Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu isu yang kuat didorong ke
permukaan dalam konteks implementasi gagasan reformasi pendidikan yang direfleksikan dalam UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai kebijakan terhadap UU No. 22
Tahun 1999 yang mengotomisasikan sektor pendidikan pada daerah. Akan tetapi, setelah sampai
pada daerah tingkat II, kewenangan tersebut menjadi wacana, apakah akan memberi kewenangan
terbesar pada sekolah, atau daerah akan menjadi subsitusi pemerintah pusat, dan menjadi penguasa
sektor pendidikan secara sentralistik di daerah. Tampaknya, pemerintah mendorong otonomi itu
untuk diimplementasikan pada tingkat sekolah, dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk
memfasilitasi berbegai program perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah
yang ada di daerahnya itu. Untuk itulah,berbagai wacana kini terus dikembangkan dari mulai
community based edication, sampai school based management. Uji coba manajemen berbasis sekolah
di Amerika pada tahun 1987, memperlihatkan bahwa rata-rata hasil belajar sekolah ujicoba lebih baik
RumusanPerencanaan
Pelaksanaan Rencana
Evaluasi Terhadap Hasil
Rumusan Berbagai Kebijakan
Proses Berbagai Perbaikan
Langkah-langkah
Proses Perbaikan
Informasi Umpan Balik
daripada sekokah non ujicoba. Demikian pula dengan rata-rata kehadiran siswanya lebih baik
daripada sekolah non-ujicoba, serta berbagai variabel pengamatan lainnya (Ogawa, 1994 : 54). Oleh
sebab itu, kemudian kebijakan school based management (SDM) berpenetrasi ke hampir seluruh
negara bagian di Amerika Serikat. Pada saat yang sama beberapa negara lain juga mengembangka
kebijakan yang sama, seperti Canada , Australia, new Zealand, dan bahkan Hongkong yang
memulai SDM pada awal decade 1990 –an (Duhou, 1999 : 37).]
Keberhasilan SBM di beberapa negara tersebut kini didorong pulan untuk negara-negara
berkebang, bahkan Indonesia yang kini sedang melakukan reformasi pendidikan, mengangkat konsep
SBM sebagai salah satu dari peket reformasi pendidikan, walaupun belum ada ujicoba, dan bahkan
belum ada hasil ujicoba lokal yang memperkuat serta mendukung implementasi SBM tersebut
sebagai sebuah kebijakan. Akan tetapi ini su dah menjadi wacana publik, dan sudah dilakukan
diseminasi nasional melalui bebagai pelatihan. Oleh sebab itu, arah kajian manajemen pendidikan
sekarang ini, lebih banyak difokuskan pada manajeen berbasis sekolah tersebut, walaupun msih ban
yak pro dan kontra di kalangan akademisi dan pemerhati pendidikan sendiri.
School based management atau manajemen berbasis sekolah, sebagaimana dikemukakan
Joseph Murphy (Murphy, 1995:13) secara konsepsional masih belum jelas. Kendati demikian, para
ahli pendidikan telah menyampaikan berbagai pengertian, seperti Etheridge menyatakan bahwa
SBM adalah sebuah proses formal yang melibatkan kepala sekolah, guru, orang tua siswa, siswa dan
masyarakat yang berada dekat dengan sekolah, dalam proses pengambilan berbagai keputusan.
Sementara Short and Greer mendefinisikan, bahwa SBM adalah sebuah startegi yang mengangkat
konsep ten tang pemberdayaan dan memberdayakan semua individu di sekolah. Inilah dua dari
sekian definisi yang dikutip Murphy dan tampaknya keduanya berbasis paradigma yang sama, bahwa
SBM (School Based Management) yang terkadang juga dipanjangkan menjadi Site-Based
Management, pada intinya menberi otonoi yang sangat luas pada sekolah untuk membuat
perencanaan, budgeting, dan impelementasi berbagai programnya, dengan memberdayakan unsur-
unsusr yang terlibat disekolah tersebut, guru, karyawan, orang tua siswa, siswa dan bahkan
masyarakat yang mendukung pengembangan sekolah tersebut. Dengan demikian, dlam konteks
perencanaan serta pengembangan sekolah, titk sen tarl berada disekolah itu sendiri dan semaksimal
mungkin mengembangkan networking horizontal dengan staeholder dan school community yang
peduli terhadap pengembangan sekolahnya.
SDM ini diadopsi dan diangkat serta didorong ke permukaan sebagai sebuah substitusi
terhadap pola pengambilan berbagai kebijakan pengembangan sekolah, dari mulai kurikulum,
strategi, evaluasi serta berbagai sarana pembelajaran lainnya, yang semula lebih banyak ditentukan
oleh pemerintah pusat atau daerah, dalam SBM, semua itu lebih banyak digagasoleh sekolah bersama
dengan stakeholder dan bahkan user-nya relevan dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut, Murphy
menyampaikan beberapa kutipan, tentang unsur esensial dalam otonomi sekolah dengan pola SDM
sebagai berikut (Murphy, 1995 : 13).
1. Menurut Lindquist dan Maurel dalam tulisannya berjudul School Based Management, ciri
fundamental dari SBM adalah delegasi.
2. Menurut Garms dalam tulisannya berjudul School Finance; The Economic and Politics of
public education, esensi SBM adalah pemindahan tanggung jawab pengambilan putusan sekolah
dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah itu sendiri.
3. Menurut Crosby dalam tulisannya berjudul Teacher’s Opinions of school Based Management,
fondasi SBM adalah distribusi kewenangan dalam pengambilan putusan.
4. Menurut David J. L. dalam tulisannya berjudul Educational Leadership, tulang punggung dari
SBM adalah pendelegasian otoritas manajemen dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah.
5. Menurut Mojkowski dan fleming dalam tulisannya berjudul School Site – Management, inti
dari SBM adalah pengembangan tanggung jawab pengambilan putusan terhadap Stakeholder
sekolah dan dilakukan disekolah.
Kelima kutipan Murphy diatas menyampaikan sebuah gagasan yang sama, bahwa SBM itu
adalah pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan sekolah, dari pemerintah pada sekolah.
Hanya saja, aspek-aspek apa yang didelegasikan tersebut. Dalam konteks ini, ibtisam Abu Duhou,
dengan mengutip tulisan Caldwell Bj, and Spink (1992) dalam tulisannya berjudul Leading the self
Managing School, menyatakan, bahwa dalam SBM, kewenangan sekolah tidak sebatas pengaturan
alokasi waktu, serta implementasi kurikulum dan strategi, tapi diperluas meliputi (Duhou, 1999 30 –
31) :
1. Pengetahuan; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan susunan
kurikulum, termasuk rumusan kompetensi siswa dari setiap mata pelajaran, serta kompetensi
mereka setelah lulus dari sekolah tersebut.
2. Teknologi; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan alat-alat yang
diperlukan untuk memutuskan alat-alat yang diperlukan untuk proses pembelajaran siswa.
3. kekuasaan; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk menetapkan berbagai
keputusan.
4. material ; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan penggunaan
berbagai fasilitas, serta alat-alat pembelajaran.
5. Orang; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan tentang komposisi
SDM, serta proses peningkatan komposisi mereka baik dalam penguasaan bahan ajar, strategi
pembelajaran, teknik evaluasi maupun berbagai keterampilan keguruan lainnya.
6. Waktu; pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan untuk mengatur alokasi
penggunaan waktu.
Kemudian Ibtisam Abu Duhou juga mengutip pernyataan Bullok dan Thomas (1997 yang
menyatakan bahwa dalam SBM kewenangan sekolah sangat luas meliputi :
1. Penerimaan siswa; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan siswa-
siswa yang dapat diterima disekolah tersebut.
2. Assessment; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan begaimana
teknik pengukuran yang akan mereka kembangkan dalam mengevaluasi proses dan hasil belajar
siswa.
3. Informasi; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan data-data yang
bisa dipublikasikan tentang performa sekolah.
4. Funding; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan biaya retributive
dari pendaftaran siswa baru.
Sementara itu Murphy menegaskan, bahwa kewenangan sekolah untuk secara otonom
memutusakan sendiri bersama mitra horizontalnya, ada lima (5), yaitu, perumusan tujuan
perencanaan pembiayaan, personalia, kurikulum dan struktur organisasi (Murphy, 1995 : 48). Tujuan
dimaksud adalah tujuan sekolah sebagai sebuah institusi, yang dikembangkan dari visi, misi dan
kemudian dapat dituangkan dalam bentuk program-program strategis sekolah itu sendiri. Implikasi
dari perumusan tujuan dan program adalah pembiayaan. Oleh sebab itu, jika perumusan visi, misi dan
tujuan serta program strategis sekolah diserahkan pada sekolah sendiri, maka demikian pula dengan
perencanaan pembiayaan. Otonomi sekolah adalah merancang pembiayaan mengontrol pemakaian
dan pertanggungjawabkan penggunaannya itu pada stakeholder yang terlibat dalam penyusunan dan
pemenuhan seluruh kebutuhan pembiayaan sekolah. Otonomisasi budgeting sekolah menurut adanya
kekuatan SDM untuk tugas-tugas fundrizing, sehingga sekolah juga harus diberi otonomisasi dalam
penyusunan struktur organisasi serta memilih dan mengangkat SDM sesuai keperluan program.
Semua perencanaan serta dukungan fasilitas, alat dan sumber daya manusia serta keuangan semata
dikembangkan untuk memberikan quality assurance terhadap proses pembelajaran agar dapat
menghasilkan lulusan yang kompetitif. Oleh sebab itu, sekolah juga harus diberi otonomisasi dalam
penyusunan kurikulum, pengembangan strategi pembelajaran, alat yang digunakan untuk belajar serta
berbagai fasilitas pembelajaran lainnya, bahkan juga penetapan standar kelulusan, instrumen yang
akan digunakan untuk meng-asses keberhasilan siswa, serta keleluasaan pengalokasian waktu.
Enam aspek yang diotonomisasikan menurut versi Duhou meliputi pengetahuan, teknologi,
kekuasaan, material, orang dan waktu, ditambah empat lainnya yaitu penerimaan siswa baru,
assessment, informasi dan funding, sebenarnya tercakup dalam lima (5) aspek yang disimpulkan
Murphy, yaitu, tujuan, budgeting, kurikulum, personalia, dan struktur organisasi. Dengan demikian,
kelima aspek yang ditawarkan Murphy ini merupakan aspek-aspek yang acceptable untuk
dikembangkan menjadi unsur-unsur kegiatan sekolah yang dapat diotonomisasikan.
Perumusan berbagai tujuan merupakan otoritas yang seharusnya diotonomisasikan pada
sekolah, karena sekolah beserta para stakeholder-nya sangat mengetahui apa yang harus diperbaiki,
ditingkatkan dan atau diadakan serta dikembangkan. Perumusan tujuan tersebut, sebagaimana
Murphy tegaskan (Murphy, 1995 : 49), harus bertolak dari visi dan misi sekolah serta values yang
dimilikinya. Memang untuk sekolah yang sama didistrik yang sama, visi dan misi sekolah bisa sama,
namun values yang mereka miliki bisa berbeda, sehingga mereka bisa merumuskan tujuan yang
berbeda-beda untuk mencapai visi dan misi yang sama. Kemudian bersamaan dengan itu pula,
program-program yang dapat dikembangkan antar satu sekolah dengan lainnya bisa berbeda. Dan
justru SBM itu dikembangkan untuk memberi kewenangan pada sekolah untuk merumuskan
program-program strategis untuk mencapai visi dan misi dari sekolah, dan juga visi sekolah di tingkat
daerah.
Dalam pola SBM, penyusunan program-program strategis yang harus berbasis pada
kenyataan objektif sekolah dan harapan-harapan para client, analisis kebutuhan dan permintaan client
harus dilakukan dengan menganalisis kebutuhan dan permintaan stakeholder sekolahnya sendiri.
Analisis kondisi objektif sekolah juga adalah posisi sekolah saat itu. Dengan demikian, program
strategis tersebut secara rasional bisa dijangkau, karena berbasis pada kekuatan sekolah sendiri.
Budgeting merupakan jantungnya manajemen berbasis sekolah. Kontrol terhadap kurikulum
dan personalia sangat tergantung pada keuangan (Murphy, 1995 : 49), yakni bahwa kurikulum itu
bisa dikembangkan dan diimplementasikan secara sempurna pada siswa, bahkan dilaksanakan dalam
prinsip mastery learning, jika didukung oleh sumber daya keuangan. Demikian pula dengan
pengaturan dan penugasan personalia untuk melaksanakan reinforcement, penguatan dan pengayaan,
semua sangat terkait dengan dukungan sumber daya keuangan. Struktur keuangan sekolah belum
tentu sekuat program-program yang hendak dikembangkannya. Oleh sebab itulah, sekolah diberi
kewenangan untuk berkomunikasi dengan stakeholdernya bukan untuk menarik berbagai retribusi
tambahan dari mereka, tapi untuk membahas program-program yang rasional untuk dikembangkan
serta strategi fundrising yang dapat dikembangkan untuk mendukung struktur keuangan sekolah.
Aspek ketiga yang juga disarankan untuk diotonomisasi pada tingkat sekolah adalah
personalia, yakni kewenangan sekolah untuk menentukan rencana pengadaan, serta pembinaan
tenaga yang ada, karena sekolahlah yang peling tahu kebutuhan tenaga pengajarnya. Jika soal guru
ini diserahkan sepenuhnya pada pemerintah, termasuk proses seleksinya, maka bisa terjadi terangkat
orang dengan keahlian yang tidak diperlukan, dan justru yang diperlukan tidak diangkat, atau diberi
tugas yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Paradigma sekolah dari dulu tidak pernah
berubah, baik tingkat dasar menengah maupun perguruan tinggi, bahwa yang dikejar oleh orang tua
siswa adalah guru atau dosen. Jika sebuah sekolah memiliki image dengan komposisi guru yang kuat,
maka akan dicari oleh orang tua siswa, sebagaimana juga perguruan tinggi, jika mampu menyediakan
tenaga pengajar yang berkualitas, maka dia akan dicari oleh para mahasiswa. Sejalan dengan prinsip
tersebut, Murphy menegaskan, jika kepala sekolah hendak merajut program sekolah sesuai harapan
masyarakat, maka dia harus mampu mengelola dan mengontrol guru-gurunya (Murphy, 1995 : 51).
Aspek keempat yang juga patut untuk diotonomisasikan adalah kurikulum. Biasanya,
pembiayaan disusun untuk mendukung pelaksanaan kurikulum yang disusun oleh pemerintah pusat.
Dalam paket SBM otonomi secara totalitas termasuk kurikulum. Namun tampaknya Indonesia belum
berani melepas penuh penyusunan kurikulum pada sekolah bersama dengan stakeholder dan user-
nya, sehingga kini, Depdiknas telah menyajikan outline tentang kompetensi yang harus dijangkau
beserta berbagai indikator kompertensinya dengan tetap memberi ruang pada sekolah untuk
mengembangkan keunggulan-keunggulannya. Bersamaan dengan itu, sesuai prinsip pembelajaran
demokratis, maka rancangan kurikulum operasional yang telah disiapkan guru harus
dikomunikasikan pada siswa, dan siswa-siswa yang sudah mempu ekspresif dan mampu menentukan
pilihan, bisa diberi beberapa opsi strategi dan kagiatan pembelajaran, sehingga belajar bagi mereka
tetap menyenangkan, produktif dan tidak membosankan. Termasuk dalam kategori kurikulum adalah
penggunaan alat dan sumber belahar, serta pengalokasian waktu.
Aspek kelima adalah struktur organisasi yang mendukung terhadap proses pendelegasian
kewenangan tersebut, agar ada divisi yang dapat melakukan pengelolaan sarana dan prasarana,
pengembangan teknologi dalam pelayanan administrasi maupun sumber belajar, sehingga sekolah
mampu berkembang serta maju seiring kemajuan teknologi, dan siswa-siswa tidak tertinggal oleh
berbagai kemajuan dunia. Inilah aspek-aspek yang sebaiknya sekolah diberi otonomi penuh untuk
mengambil putusan-putusan strategisnya. Akan tetapi kemudian munsul sebuah pertanyaan, untuk
apa SBM tersebut serius didorong untuk diimplementasikan di sekolah, mengapa dan untuk apa SBM
ini dikembangkan untuk sekolah.
Dalam konteks terakhir ini, duhou menyampaikan beberapa argumentasi, pertama, bahwa
sekolah itu dikembangka untuk memenuhi permintaan berbagai pihak kontituen, yakni pemerintah,
para ahli pendidikan, orang tua siswa, siswa itu sendiri, serta berbagai anggota masyarakat yang
menaruh harapan-harapan terhadap pada pendidikan. Dengan demikian, sangat fair jika mereka yang
memiliki harapan-harapan terhadap sekolah tersebut ikut serta dalam merumuskan ide-ide dan
pemikiran-pemikiran dalam proses penetapan keputusan tentang berbagai kebijakan sekolah untuk
meningkatkan kualitas hasil pendidikan siswa-siswa disekolah tersebut, kedua, bahwa reformasi
pendidikan diarahkan agar penyelengaraan pendidikan itu semakin demokratis, yakni memperluas
pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting untuk
diimplementasikan dalam pengembangan program, sehingga sekolah semakin aspiratif terhadap ide
dan gagasan publiknya, kemudian dukungan masyara kat meningkat, dan tanggung jawab mereka
terhadap pendidikan juga tinggi, karena mereka dilibatkan secara aktif. Ketiga, semakin pendidikan
itu didorong ke bawah dan semakin masyarakat dilibatkan untuk berpartisipasi dalam pendidikan,
maka aliran dana masyarakat untuk sekolah akan semakin lebar, dan akan semakin menguntungkan
bagi siswa, karena banyak proses pembelajaran yang dapat dibiayai. Bersamaan dengan itu
manajemen sekolah juga akan terkontrol oleh banyak pihak, karena setiap donasi menuntut
pertanggungjawaban manajemen, sehingga administrasi keungannya akan semakin akuntabel dan
efisien (Duhou,1999:32-33).
Argumen-argumen ditas merupakan alasan rasional mengapa SBM didorong untuk dijadikan
sebagai sebuah pilihan dalam reformasi pendidikan, yakni pengelolaan pendidikan yang lebih
demokratis, melibatkan masyarakat pemakai sekolah, para ahli pendidikan, serta masyarakat yang
peduli pada pendidikan. Pelibatan tersebut tidak sebatas dalam penyusunan program, kebijakan
kurikulum, dan proses pembelajaran lainnya, tapi juga dalam budgeting serta berbagai upaya yang
dapat memenuhi kebutuhan anggaran untuk peningkatan kualitas pelayanan pembelajaran bagi siswa.
Pelibatan masyarakat dalam budgeting tersebut bukan dalam konteks pengelolaan serta
pengadministrasian, tapi lebih pada upaya-upaya fundrising serta berbagai kebijakan untuk
mendorong partisipasi masyarakat pada sekolah dalam upaya memperbesar saluran uang masuk ke
sekolah, dan sebagai implikasinya, mereka punya hak untuk memperoleh pelaporan dari manajemen
sekolah tersebut, setidaknya annual report sebagai bukti pertanggungjawaban serta akses kontrol
masyarakat terhadap akuntabilitas manajerial-nya. Semakin akuntabel manajemen sekolah, maka
akan semakin tinggi kepercayaan masyarakat. Dan semakin tinggi kapercayaan masyarakat maka
akan semakin tinggi pula partisipasi mareka.
Pendelegasian kewenagan tersebut, memang kini sudah menjadi trend didunia pendidikan di
beberapa ngara yang mengembangkan kultur demokrasi dalam kehidupan sosial politik mereka.
Dengan otonomisasi tersebut, kini tanggung jawab pengembangan sekolah berada pada senior official
dari sekolah, yakni kepala sekolah bersama para gurunya, yang harus mengembangkan komunikasi
dengan orang tua siswa. Posisi pemerintah lebih banyak pada penyiapan SDM yang akan dikirim ke
sekolah, mengembangkan kualitas SDM melalui in-service training, bahkan sekolah harus
melakukan reorientasi agar tetap sustainabel manakalah suatu saat semua pelayanan tersebut tidak
siapkan lagi oleh pemerintah pusat (Hokins, 1994 : 15). Padangan Hopkins ini memang terlalu maju
tentang desentralisasi, karena untuk kasus Indonesia, kini baru pada tahap pelibatan masyarakat
sekolah dalam program-program internal sekolahnya.
Siapakah sebenarnnya masyarakat sekolah sebenarnya? Ada dua kategori masyarakat
sekolah, yaitu pertama, Unsur-unsur sekolah, yang jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka
proses persekolahan tersebut menjadi terganggu, inilah yang biasa disebut sebagai stakeholder. Oleh
sebab itu, dalam konotasi ini, guru, kepala sekolah, siswa, orang tua siswa dan pemerintah termasuk
didalamnya. Namun bersamaan dengan itu, siswa, orang tua siswa dan pemerintah, dalam salah satu
konteks biasa disebut sebagai client sekolah, yakni pelanggan sekolah, karena merekalah yang
dilayani oleh sekolah. Siswa membawa harapan-harapan pengalaman, sebagaimana harapan yang
disampaikan orang tuanya. Demikian pula dengan pemerintah, Khususnya pemerintah daerah yang
memiliki kewengana dalam penembangan seolah tersebut. Kedua, unsur-unsur yang diharapkan dapat
memberikan masukan dalam pengembangan program sekolah, peningkatan fundrising,
pengembangan kurikulum, dan bahkan memberikan pertimbangan –pertimbangan dalam
pengembangan serta pembinaan personalia.Kelompok ini, biasa disebut dengan komite sekolah.
Keanggotaan komite sekolah bervariasi, ada yang hanya memperluas stakeholder denga unsur-unsur
pakar dan toko masyarakat setempat, dan ada lagi yang lebih proporsional, sehingga tidak semua
unsur stakeholder otomatis memiliki perwakilan dalam komite sekolah, karena seperti siswa,apa
relevansinya, bahkan orangf tua siswa belum tentu memiliki pandangan-pandangan yang progresif
tentang sekolah. Mereka tidak berpatokan pada keterwakilan unsur, tapi keterwakilan gagasan
sehingga tidak terlalu menganggap penting unsur (Hatry, 1994 : 44 : 46). Bagi aliran ini, unsur-unsur
penting dalam komite sekolah justru adalah mereka yang benar-benar memahami pengembangan
sekolah, apakah para pakar, unsur perguruan tinggi atau yang sejenisnya.
Di Indonesia sendiri, wacana yang muncul dan berkembang tentang komite sekolah sebagai
substitusi BP3 meliputi unsur-unsur stakeholder dan masyarakat pedidikan, yang tersiri dari unsur
pakar pendidikan, pengusaha, LSM dan toko masyarakat disekitar sekolah. Kebijakan tersebut
dikembangkan dalam upaya memperluas kontribusi dan pelibatan masyarakat dalm pendidikan, baik
dalam konteks manampung ide dan gagasan untuk pengembangan program sekolah, maupun dalam
membantu sekolah memperlebar akses dana untuk membiayai proses pembelajaran siswa, sehingga
mencapai kualitas ideal.
Apakah sebenarnya tugas-tugas komite sekolah tersebut? Dalam konteks ini Hatry menjelaskan
bahwa tugas-tugas dari komite sekolah antara lain adalah sebagai berikut ( Harty, 1994: 42 ):
1. Mengembangkan akses sekolah pada dana, sehjingga sekolah mampu membangkitkan berbagai
sumber dana potensial untuk mendukung proses pembelajaran siswa.
2. Mengembangkan budgeting sekolah dalam konteks pngembangan kemampuan pembiayaan
untuk mkendanai berbagai program sekolah.
3. memutuskan struktur anggaran sekolah.
4. Berpartisipasi dalam pemilihan kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah.
5. Ikut serta dalam curah pendapat tentang kurikulum dalm konteks peningkatan kualitas hasil
pembelajaran, dan memberi masukan-masukan pada sekolah tentang kualifikasi kompetensi
siswa yang akan dihasilkan sekolah.
Relevan dengan fokus tugas komite sekolah, Duhou ketika menjelaskan salah satu
pengalaman tentang sekolah yang telah menjalankan SBM disalah satu sekolah di Australia, Yakni
Victoria’s School, dan dinamai dengan SOF atau School of Future, memaparkan bahwa tugas-tugas
yang dikembangkan untuk komite sekolahnya adalah sebagai berikut ( Duhou, 1999:66):
1. Komite4 sekolah terlibat dalam membuat dan menyusun berbagai kebijakan pendidikan dari
sekolahnya.
2. Mendirikan komite pendidikan tingkat regional, dan mendorong keterwakilan tiap sekolah
pada komite regional tersebut.
3. Pada komite regional diperkuat de4ngan expert dalam bidang-bidang yang diperlukan, dan
komite tersebut independent tidak terikat dengan birokrasi pendidikan, namun bertanggung
jawab denga materi.
Dalam konteks tugas operasionalnya, komite sekolah terlibat tidak hanya dalam soal
budgeting dalam konteks fundrising sebagaimana sebagaimana digambarkan oleh Hatry, tapi justru
dalam penetapan berbagai kebijakan sekolah, khususnya tentang perencanaan strategis sekolah, yang
harus dimulai dari hulu sejak dari visi,misi, tujuan dan berbagai program strategis, baik jangka
panjang, menengah, maupun program operasional sebagai program jangka pendek, mereka harus
terlibat sehingga memahami pentingnya membantu berkontribusi dalan fundrising untuk sekolah.
Lalu mereka juga berhak untuk memperoleh pelaporan, walaupun tidak berada dalam struktur
birokrasi sekolah, namun mereka harus diberi pelaporan agar akuntabilitas manajemen sekolah dapat
diketahui oleh publik.
C. Total Quality Management Dala Pendidikan
Total Quality Management (TGM) sempat menjadi isu yang hangat dalam reformasi pendidikan
di Indonesia, kendati menudian agak mereda kembali dan tidak sebagaimana isu-isu lainnya
seperti School-Based Management, Student-Based Education, Competence-Based Curriculum
dan Community-Based Education yang terus mendorong dalam konteks reformasi oendidikan di
Indonesia. TQM sempat mengisi wacana reformasi pendidikan melalui perbaikan terus menerus
dalam seluruh bagian dari rangkaian aktivitas layanan pendidikan.
Walaupun dikembangkan secara serius sejak awal decade 1990-an oleh para peneliti
pendidikan di USA dan UK sebagai upaya emncari jawaban untuk pengembangan dan peningkatan
kualitas pendidikan (Sallis, 1993:18), namun TQM selalu dikaitkan dengan teori William Edward
Deming kelahiran tahun 1900, dan merupakan salah seorang yang telah berhasil membuat revolusi
dalam pengembangan berbagai industri di Jepang. Sebenarnya dia adalah seorang sarjana ilmu fisika
bergelar Ph.D., yang lulus tahun 1927 dari Yale University, lalu bekerja di perusahaan listrik Western
Electric’s Hawthorne yang saat itu sedang diteliti oleh seorang penelitia dari Harvard untuk melihat
hubungan antara motivasi dalam lingkungan kerja dengan produktivitas pegawai. Dan Deming pun
tertarik untuk melanjutkan observasi tersebut diperusahaannya itu, lalu diteruskan di laboratorium
perusahaan Tilpon (Bell Laboratory) New Jersy, dan berjumpa dengan Walter A. Shewhart yang
memiliki teori lingkaran spesifikasi, produksi dan inspeksi, yang kemudian dikembangkan oleh
Deming dengan lingkaran PDSA. Deming mengangkat teori tersebut sebagaio subtitusi terhadap teori
Frederick Winslow Taylor, dan menekankan work harder do their best (Bonstingl, 2001:7). Kritik
Deming terhadap teori Taylor adalah bahwa teorinya itu menurunkan semangat dan kontra produktif
terhadap interest pegawai, manajemen dan prusahaan. Dalam lingkar PDSA, seluruh pekerjaan
dimulai dengtan plan atau perencanaan, kemudia diikuti dengan “do”, yakni mengerjakan
perencanaan tersebut dalam skala kecil kemudian diikuti dengan study untuk mengonfirmasi
perencanaan dengan hasil uji lapangan, kemudian dimodifikasi sesuai hasil studi untuk digunakan
dalam skala yang lebih besar, itulah yang dalam teorinya disebut act (Bonstingl, 2001:9-10).
Melalui teorinya ini Deming menekankan perbaikan-perbaikan yang tidak pernah henti, dan
setiap apa yang dikerjakan selalu diawali dengan perencanaan, dan perencanaan tersebut diilhami
dengan hasil yang telah tercapai sebelumnya, sehingga ada perbaikan-perbaikan untuk implementasi
rencana berikutnya. Apa sebenarnya yang mendasari kemunculan lingkaran perbaikan terus-menerus
ini. Menurut Sallis, Deming melihat kelemaham manajerial zamannya dengan menginventarisir
beebrapa penyakit manajemen (Sallis, 1993:46-47), antara lain yaitu :
1. Kurang konsisten dalam perumusan tujan, yakni perumusan tujuan institusi sering berganti.
2. Sering berpikir jangka pendek, dan ini berkait dengan penyakit pertama, bahwa sering kali
perumusan tujuan selalu berorientasi jangka pendek, sehingga mudah berubah-ubah.
3. Evaluasi personal yang selalu didasarkan pada hasil rating evaluasi tahunan. Pendekatan ini akan
megakibatkan guru dan pegawai mengejar target indikator penilaian dari pada kualitas outcome.
Mereka akan berkompetisi untuk menjadi yang terbaik dalam indikator-indikator tersebut, dari
pada meningkatkan kebanggan dengan tugas dan institusi sekolahnya.
4. Lompatan tugas, ini yang juga dikritik oleh Deming, bahwa manajemen Eropa sering
menekankan talenta, dengan mengabaikan pengalaman, sehingga seorang manajemen bisa
diangkat dari pegawai junior tapi memiliki talenta yang baik untuk tugasnya itu. Sementara
manajemen Jepang lebih menekankan stabilitas, sehingga unsur pengalaman menjadi sangat
penting. Menurut Deming, anajer itu harus diangkat dengan mempertimbangkan kemapuannya
menjaga konsistensi tujuan.
5. Penggunaan gambaran visual untuk mengukur sebuah keberhasilan. Ini juga merupakan penyakit
dalam manajeen, dabn masih banyak sekolah-sekolah yang menganggap keberhasilan
manajemennya itu dengan memiliki gambaran hasil ujian akhir yang baik. Menurut Sallis dengan
mengadaptasi teori deming pola ini salah, dan tidak menjamin perbaikan kualitas. Indikator
keberhasilan justru adalah ktika sekolah mampu memberi kepuasan dan kebahagiaan pada
pelanggannya.
Untuk menjamin perbaikan total pada semua orang, di semua unit dan dilakukan terus
menerus, Sallis dengan mengadaptasi doktrin Deming menawarkan langkah-langkah penting dalam
pengembangan TQM di sekolah (Sallis, 1993:48-49), yaitu :
1. Rumuskan tujuan yang konstan untuk perbaikan dalam produk layanan, dengan tujuan agar
menjadi kompetitif, tetap bisa menjalankan usaha (sekolah), dan bisa menyediakan lapangan
pekerjaan! Banyak organsasi yang hanya memiliki tujuan jangka pendek, dan tidak merumuskan
apa yang hendak dicapai dalam 20 sampai 30 tahun ke depan, dengan berdasarkan pada visi dari
institusinya.
2. Gunakan filosofil baru! Sebuah sekolah tidak akan mampu berkompetsni jika harus menerima
dan memaafkan keterlambatan, kesalahan, atau melahirkan hasil yang tidak tepat. Mereka harus
melakukan perubahan dan menggunakan cara barud alam melakukan pekerjaan, sehingga tidak
mengulangi kesalahan.
3. Berhentilah menggunakan pengawasan publik untuk mencapai kualitas! Pengawasan publik yang
dilakukan oleh unit inspeksi tidak menjamin kualitas. Manajemen harus memepersiapkan staf
mereka dengan training teknik analisis statistik untuk memonitor da mengembangkan kualitas
mereka secara mandiri dan dilakukan oleh mereka masing-masing.
4. Tingkatkan terus kualitas pelayanan dan produk layanan! Tugas manajemen adalah meningkatkan
kualitas layanan, dan menjamin bahwa proses perbaikan akan terus dilakukan.
5. lakukan on the job training! Pelatihan merupakan salah satu yang paling penting untuk
peningkatan kualitas. Memang, sekolah harus mengeluarkan dana untuk kepentingan pelatihan
tersebut, tapi sama pentingnya untuk selalu melawan standar kualitas yang permanen. Oleh sebab
itu, pegawai dan guru harus diberi training untuk supaya bisa melakukan perubahan-perubahan
untuk kemajuan.
6. Tugas manajemen adalah memimpin bukan mengawasi, pemimpin harus mampu berperan untuk
emdnorong kemajuan dalam proses pelaksanaan pekerjaan agar menghasilkan layanan dan
produk terbaik.
7. Hindari rasa takut, yakni bahwa produktivitas pegawai juga diperngaruhi oleh perasaan bekerja di
tempat dia bekerja. Oleh sebab itu, diciptakan susan tentram, dan nyaman, sehingga guru dan
pegawai merasa dirinya aman untuk bekerja di tempatnya itu.
8. Atasi berbagai kendala hubungan antara unit atau departemen, karena mereka yang berada dalam
unit yang berbeda tersebut memerlukan kerjasama sebagai sebuah tim. Organisasi tidak boleh
membiarkan ada departemen atau unit yang terdorong dalam arahan yang berbeda.
9. Kurangi slogan, nasihat, target dan permintaan untuk peningkatan produktivitas baru tanpa ada
pengarahan pada para pegawai tentang metode-metode baru untuk menghasilkan pekerjaan yang
lebih baik. Kebanyakan kelemahan proses pekerjaan itu sistematik dan itu tugasnya menajer
untuk mencarikan jalan keluarnya.
10. Kurangi standarisasi pekerjaan dengan indikator angka numeric, karena standarisasi numeric atau
kuantitas sering kali akan mengurangi kualitas.
11. Hilangkan berbagai kendala yang akan mengurangi kebanggaan pegawai terhadap pekerjaannya,
yakni instuisi harus menghilangkan kebiasaan melakukan penilaian terhadap perstasi pegawai,
karena justru akan menimbulkan persaingan diantara pegawai satu dengan lainnya, dan kontra-
produktif terhadap pengembangan team-work !
12. Lembagakan pendidikan dan pelatihan pegawai yang dapat meningkatkan semangat kerja
pegawai dan meningkatkan semangat kerja pegawai dan peningkatan kualitas dengan dirinya
sendiri. Staf yang terdidik dengan baik, akan mampu melakukan peningkatan kualitas
pekerjaannya!
13. Posisikan setiap orang dalam instuisi untuk bekerja dan melaksanakan transformasi ! kultur
berkualitas merupakan tugas setiap orang, dan juga tugas personal dari manajer sendiri.
Teori deming kemudian diteruskan Joseph M. Juram mendefinisikan bahwa kualitas itu
adalah “kesesuaian untuk pemakaian”, kualitas adalah “terbatas dari kesalahan”. Dan sebagaimana
Deming, Juran juga menekankan pentingnya memperhatikan permintaan dan kebutuhan pelanggan
dalam konteks ukuran-ukuran kualitas. Juran mengembangkan lingkaran kualitas yang dinamainya
dengan “spiral of progress in quality“ yang meliputi, customer, product development,
operation,marketing,customer, further development,dan lain-lain. Proses kualitas itu dimulai dari dan
berakhir pada pelanggan (Bonstingl,2001:14).Dengan teori lingkaran spiral tersebut, Juran
sebagaimana Deming menekankan perbaikan terus–menerus dalam kualitas, dengan merujuk pada
permintaan serta kebutuhan pelanggan.Siklus spiral Juran adalah sebagaimana terlihat pada gambar
berikut ini:
Gambar 25
Customers( 5 )
Further ProductDevelopment
( 6 )
Marketing( 4 )
Costumers( 1 )
Operation( 3 )
Product Development
( 2 )
Ada dua inti dari teori Juran sebagaimana dikutip oleh Sallis,yaitu aturan 85/15.Juran,
menurutnya adalah guru manajemen pertama yang secara luas menekankan kualitas.Sebagaimana
Deming, berbagai problem kualitas bisa diperbaiki dengan kembali pada perbaikan berbagai putusan
manajemen.Induk teori Juran adalah 85% dari problem kulitas organisasi adalah hasil kesalahan
dalam rancangan proses. Penetapan sistem secara benar akan memperoleh kualitas secara benar.
Selanjutnya Juran berpendapat, bahwa 85% problem terkait dengan manajemen, sebagaimana
manajemen itu mengontrol 85%dari sistem dalam organisasi (Sallis,1993:52).
Kemudian teori yang lain,sebagaimana dikemukakan Sallis adalah bahwa untuk membantu
meningkatkan kualitas perencanaan,atau dalam istilah diatas adalah perancangan proses, Juran
menyampaikan teori Strategic Qualiy Management (SQM), bahkan setip bagian dalam organisasi
memiliki kontribusi terhadap peningkatan kualitas. Juran membagi pegawai pada tiga level, yaitu
manajersenior,manajer kelas menengah dan lapisan pegawai. Manajer senior memiliki kontribusi
tentang peningkatan pandangan-pandangan srategis dalam organisasi, manajer menengah memiliki
kontribusi dalam operasionalisasi pandangan-pandanga strategi stersebut, sedangkan lapisan pekerja
memiliki kontribusi dalam mengontrol kualitas (Sallis,1993:53). Bila diadaptasi pada struktur sekolah
di Indonesia menjadi problematik, karena kepala sekolah langsung dengan guru. Namun gagasan
dasarnya sangat rasional, bahwa semua unsur dalam lapisan memiliki kontibusi yang sama dalam
pengembangan kualitas, dan perbedaannya hanya pada wilayah kewenangan
Teori-teori tentang pengembangan kulitas manajenyang kemudian banyak diadaptasi pada
manajemen pendidikan sangat kaya, dan tidak hanya Deming serta Juran. Namun keduanya adalah
pemula, maka keduanya senantiasa menjadi rujukan utama.setelah Deming dan Juran dalam
khazanah manajemen masih terdapat nama-nama seperti Arman Feingenbaum, Phillip Crosby,
serta nama-nama besar lainnya.namun yang penting adalah, upaya mengadaptasikan teori-teori
tersebut dalam manajemen pendidikan, dalam konteks pengembangan danpeningkatan kualitas
pendidikan itu sendiri,yang dilakukan secara holistic, komrehensif, namun bertahap dalam prinsip
perbaikan tiada henti sebagai inti dari Total Quality Manajement (TQM), yakni peningkatan kualitas
dalam semua sektor dan dilakukan semua orang dalam organisasi serta dilakukan secara terus-
menerus.semua orang dalam TQM adalah manajer untuk bidang kewenangannya (Sallis,1993:35).
Dalam konteks sekolah, perbaikan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah sebagai shareholder,bagi
sekolah-sekolah negri, yang menyediakan berbagai sarana fisik dan lingkungn, serta sumber daya
manusia dan keuangannya, tapi juga dilakukan oleh jajaran staf administrasi dengan perbaikan sistam
dan kultur layanan administrasinya, dan juga oleh guru dengan perbaikan perencanaan serta proses
pembelajarannya.
Berbagai teori perbaikan kualitas tersebut, kini diangkat dalam wacana akademik dan
penelitian, khususnya dalam mencoba mereformulasi manajemen pendidikan, untuk meningkatkan
kualitas, baik dalam proses pelaksanaan pelayanannya maupun outcome hasil pendidikannya , yang
keduanya saling berkorelasi. Dalam konteks ini terdapat beberapa nama antara lain John Jay Bostingl,
Edward Sallis, Malcolm S. Greenwood, Robert Kapland serta beberapa nama lainnya yang cukup
marak baik di Amerika maupun Inggris.
Dalam pada itu, kulitas sebagaimana dikemukakan Sallis, ada dua macam, yaitu kualitas
absolut dan relatif. Dalam konotasi absolut kualitas adalah pencapaian standar tertinggi dalam
sesuatupekerjaan, produk, atau layanan yang tidak mungkin dilampaui, dan sudah mecapai tingkat
kesempurnaan sehingga tidak ada peluang untuk paningkatan (Sallis,1993:22). Kualitas dala makna
absolut ini sering identik dengan harga tinggi, dan menjadi kebanggaan bagi pemilik atau
pemakainya, dan masih identik pula dengan kemewahan. Akan tetapi, jika kualitas tersebut identik
dengan harga mahal dan kemewahan, maka tidak ada peluang bagi yang tidak mahal untuk
berkualitas. Oleh sebab itu,Sallis membuat definisi kedua , yaitu kualitas dalam pengertian relatif,
yakni kualitas yang masih ada peluang untuk peningkatan.kualitas dalam konotasi ini adalah
pencapaian sandar kualitas tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, baik dalam sebuah pekerjaan,
maupun produk barang atau jasa (Sallis,1993:23). Dengan demikian, menurut definisi ini, kualitas
bukanlah sebuah akhir yang tidak ada peluang perbaikan. Kualitas adalah sesuatu yang masih terus
ditingkatkan. Akan tetepi, jika dalam tahap peningkatan itu, pelaksanaan sebuah pekerjaan
umpamanya, telah mencapai standar tertentu yang telah ditetapkan sebelumna, maka pekerjaan
tersebut berkualitas.
Kualitas dalam konotasi kedua ini memiliki dua aspek, yaitu pengukuran untuk mencapai
spesifikasi tertentu, dan kedua terpenuhinya permintaan dan harapan-harapan pelanggan. Kulifikasi-
kualifikasi yang dijadikan ukuran kualitas biasanyadisusun oleh omployers, kalau dalam sekolah,
standar kualitas guru mengajar disusun oleh kepala sekolah bersama tim manajemen lainnya.
Demikian pula dengan kualitas layanan administasi pendidikan, disusun oleh kepala sekolah. Semua
standar kualitas tersenut menjadi bahan publikasi pada pelanggan,tentang jaminan kualitas layanan,
atau bisa disebut dangan quality assurance, dan setiap sekolah harus memiliki sistem layanan yang
dapat memberikan jaminan kualitas pada para pelanggannya. Komposisi SDM dan sitem pelayanan
itulah yang dapat dijadikan selling pointbagi sekolah, sehingga masyarakat membelinya, sedangkan
standar kedua, adalah terpunuhinya harapan dan permintaan pelanggan tersebut bisa berkelindan.
Akan tetapi bisa terjadio mereka menghendaki indikator-indikator tambahan sehingga semua harapan
dan permintaan mereka itu sebaiknyadi-assess oleh manajemen sekolah. Problematika pencapaian
unsur kedua ini justru karena tidak semua pelanggan penyampaikan harapan-harapan yang
dikehendakinya, diluar yang telah sekolah tawarkan.
Sejalan dengan pandangan-pandanganSallis tersebut Greenwood menyampaikan bahwa
kualitas itu tiada lain adalah “terpenuhinya permintaan permintaan pelanggan, tercapainya tujuan
serta dapat menyenangkan para pelanggan tersebut” (Greenwood, 1994 : 26). Greenwood telah
membiat rumusan kualitas dalam konteks TQM dan tidak mengitroduksi kualitas absolut yang sudah
tidak perlu diperbaiki lagi, karena disamping keluar dari konteks TQM, ukuran kualitas seperti itu
probabailitasnya kecil, kalau tidak mungkin untuk dikatakan utopia sesuai dengan definisi tersebutm,
sesuatu itu dikatakan berkualitas jika sesuai dengan rumusan kualifikasi-kualifikasi yang telah
ditetapkan sebelumnya dan dapat memenuhi permintaan pelanggan dalam konteks pendidikan,
sekolah itu berkualitas jika mampu melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan
rancangan-rancangan yang ditetapkan bersama antara sekolah dengan komite sekolah, mencapai hasil
belajar sesuai dengan target yang direncanakan serta sesuai pula dengan harapan-harapan orang tua
siswa pemerintah, para pengguna lulusan baik sekolah atau perguruan tinggi tempat siswa
melanjutkan studinya maupun dunia kerja. Bahkan lebih jauh dari itu, siswa senang dan orang tua
juga senang karena tidak hanya tercapai apa yang mereka inginkan tapi siswa juga merasa at home
disekolahnya itu. Jika indikator-indikator itu terjadi maka sekolah tersebut berkualitas atau mencapai
kualitas yang diharapkan pelanggan sesuai dengan devinisi diatas.
Kemudian dari itu, TQM merupakan sebuah kelanjutan dalam perjalanan konsep manajemen
untuk memiliki kualitas memperbaiki kualitas produk serta memberi kepuasan bagi pelanggan, baik
dalam produk barang, jasa maupun pelayanan lainnya, yakni quality control, quality assurance dan
total coality management menurut Sallis, (Sallis, 1993 : 26), ketiganya memiliki aksentuasi yang
berbeda dan lahir secara dialegtis. Seczara histories, quality control merupakan konsep kualitas yang
peling tua. Modal quality control diperkenalkan sebelum yang lainnya secara praktis, quality control
dilakukan managemen untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas, baik barang maupun jasa
yang dilakukan manajer dalam proses pelaksanaan atau diakhir pekerjaan. Oleh sebab itu, dalam
sistem ini selalu ada unit inspeksi dengan para inspektur yakni sebuah unit yang bertugas melakukan
kontrol terhadap pelaksanaan pekerjaan atau terhadap barang yang dihasilkan. Demikian pula dengan
sekolah yang selalu mengadakan evaluasi akhir nasional akan tetapi, sistem ini dianggap tidak
efisien, karena harus ada pengulangan pekerjaan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang salah atau
terhadap produk yang gagal oleh sebab itu, kemudian para peneliti dan para ahli manajemen
mengubah/mengembangkan sisterm kontrol kualitas dengan menyusun sistem kerja dimuka sebelum
proses pekerjaan atau proses produksi dimulai, dengan sebuah struktur yang ketat dan memungkinkan
tidak ada kesalahan sama sekali yang diikuti dengan mekanisme kontrol dalam prose pelaksanaan
pekerjaan. Mereka menyebutnya dengan sistem nol kerusakan / kesalahan. Itulah kualitas dari
generasi kedua yang populer dengan quality assurance.
Sebenarnya model quality assurance masih efekti untuk dikembangkan, dengan menggunakan
prangkat sistem dan peran manajer yang masih kuat untuk terus mengawasi dan menjaga jangan
sampai ada kesalahan dalam proses pekerjaan atau pelayanan, karena dalam sistem quality assurance
kualitas itu ditentukan sebelum pekerjaan di mulai dan sampai saat pekerjaan sedang dikerjakan.
Akan tetapi daslam quality assurance belum menekankan aspek-aspek pembudayaan kerja dan
pelayanan terbaik, dan belum menekankan secara aksentuatif tentang perlindungan dan
pembahagiaan pelanggan, melalui perbaikan holistic dan terus menerus. Oleh sebab itu, kemudian
dikembangkan model total quality management, sebagai penguatan sebagai konsep quality assurance
yakni pengembangan kultur agar semua pegawai itu, pada semua lini dan tingakatan memiliki sebuah
moto yang sama, bagaimana mereka mencapai standar kualitas yang telah ditetapkan, dan mampu
membuat pelanggan itu senang dan merasa puas dengan layanan yang mereka berikan, melalui
perbaikan terus-menerus. Dalam TQM pelanggan itu banar-benar dilindungi agar mereka merasa
puas dengan layanan yang diberikan, atau mereka puas dengan barang dan produk yang dihasilkan
untuk mereka gunakan. Apa yang mereka butuhkan kapan mereka memerlukannya dan bagaimana
menggunakannya semua terlayani secara tepat, cepat dan akurat, sehingga mereka itu benar-benar
terlindungi keperluannya.
Dalam konteks pengembangan TQM untuk layanan pendidikan, berarti semua prangkat
sekolah dari kepala sekolah, guru, karyawan dan tenaga keberhasilan serta keamanan, harus benar-
benar memiliki kultur pelayanan terbaik terhadap siswa dan orang tua siswa sehingga mereka puas,
tidak saja diakhir setelah putera-puterinya lulus, tetapi sejak awal mereka masuk kehalaman sekolah,
merasa nyaman, aman, terlindungi, terhargai, dan terlayani, oleh perangkat sekolah yang berada di
front line. Kemudian layanan administrasinya efisien dan efektif, cepat, tepat dan akurat, dan para
pegawai yang berada difront linernya bisa menghadapi pelanggan dengan ramah. Kemudian guru
mengajar dengan persiapan yang baik, memperhatikan keragaman siswa, bersikap demokratis dalam
pengembangan strategi tidak membiarkan ada anak yang tertinggal, sehingga end-product dari mata
pelajarannya memiliki kompetensi penguasaan yang baik. Demikian pula dengan kepala sekolahnya
selaindimanis progresif dia juga aspiratif, terbuka dengan saran-saran kemajuan, dan mampu
menkomunikasikan gagasan serta berbagai persoalan sekolahnya itu pada komite sekolah, untuk
disampaikan pada client yang lebih luas serta kelompok peduli sekolah dari masyarakat
lingkungannya.
Lalu siapakah pelanggan (client) sekolah itu? Pelanggan sekolah sebagaimana di kemukakan
oleh Greenwood adalah sebagai berikut (Greenwood, 1994 : 27).
1. Siswa-siswa yang memperoleh pelajaran
2. Orang tua siswa yang membayar baik langsung maupun tidak langsung untuk biaya
pendidikan anaknya
3. pendidikan lanjut atau institusi pendidikan temapt siswa melanjutkan studi.
4. para pemakai tenaga kerja yang perlu untuk merekrut staf trampil, memiliki keahlian dan
berpendidikan sesuai dengan kebutuhan.
5. Negara yang memerlukan pegawai terdidik dengan baik.
Dari lima kategori school client ini, Greenwood tampaknya tidak memasukkan pemerintah
dalam posisi pemesan-pembayar, dan hanya diposisikan sebagai pemakai outcome pendidikan,
padahal di Indonesia, bahkan dibanyak negara didunia, sekolah dasar dan menengah itu, sebagiannya
dibiayai oleh anggaran pemerintah, khususnya untuk sekolah negeri untuk sekolah swasta. Oleh
sebab itu, Sallis memasukkan unsur pemerintah sebagai salah satu dari pelanggan dalam kategori
pemesan dengan enyiapkan pembayaran (Sallis, 1993, 31). Bersamaan dengan itu pula, Sallis lebih
jauh melihat, bahwa kelima unsur client ini memperoleh layanan yang berbeda, siswa dengan orang
tua siswa memiliki indikator kepuasan yang berbeda, demikian pula dengan employer dan
pemerintah, serta institusi pendidikan lanjutan. Oleh sebab itu Sallis membagi client ini dalam tiga
kategori, yaitu pelanggan premier, pelanggan sekunder, dan pelanggani tertier. Pelanggan primer
adalah siswa yang memperoleh layanan langsung yang berupa pembelajaran dari sekolah, pelanggan
sekunder adalah orang tua siswa, pemerintah yang menyediakan anggaran untuk sekolah,, serta
employer yang membayarkan uang sekolah untuk orang-orng yang diutusnya untuk belajar. Terakhir
pelanggan tertier yakni pemerintah sebagai institusi yang embutuhkan tenaga kerja, employer yang
akan menampung para lulusan sekolah di perusahaan atau unit-unit layanan jasa, dan masyarakat
secara keseluruhan, yang senantiasa membutuhkan pendidikan untuk menyiapkan anak-anak didik
agar bisa menjadi anggota masyarakat yang baik (Sallis, 1993 : 31).
Harapan masing-masing pelanggan tersebut terhadap sekolah pasti berbeda, dan sangat tidak
mungkin bagi sekolah dapat memenuhi seluruh permintaan pelanggannya itu. Kendati demikian,
semua harapan dapat direhonsiliasikan, sehingga dapat menampung seluruh aspirasi, walaupun tidak
dapat memberi kepuasan secara penuh, dan inilh problem dalam TQM yang mengusung konsep
kepuasan. Salah satu problem yang sering kali dihadapi sekolah, khususnya sekolah negri yang
dibiayai pemerintah adalah, berbenturan entaraharapan pemerintah sebagai penyedia anggaran
kegiatan rutin, dengan harapan siswa untuk meningkatkan itensitas proses pembelajaran mereka.
Pemerintah sering menekankan aspek afasiansi dan pengurangan sektor-sektor tertentu,sementara
siswa menghendaki terus berekspansi dalam kegiatan pembelajarannya. Walaupun demikian TQM
tetap bisa berjalan, dengan penetapan standar kualitas sesuai kapasitas yang dimiliki oleh institusi
masing-masing, karena TQM tidak berbicara kualitas absolut,tapi kualitas relatif yang disesuaikan
dengan tingkat kemampuan,dan harus terus ditingkatkan setiap saat.
Hanya saja, dalam TQM diperlukan seorang leaderatau pemimpin yang kuat, memiliki visi
dan misi yang jelas serta mampu menerjemahkan visi dan misinya itu pada rumusanrumusan
kebijakan serta tujuan-tujuan yang terukur. Pimpinan sekolah dalam kultur manajerial Indonesia
biasa disebut sebagai kepala sekolah dibantu oleh beberapa wakil kepala sekolah dan seorang kepala
tata usaha. Inilah pimpinan sekolah sebagai sebuah tim.akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh
Vilstern, pimpinan sekolah adalah seorang yang berada dalam posisi yang paling atas disekolah itu
(Vilstern,1999:173). Dangan demikian pimpinan sekolah adalah kepala sekolah. Dialah yang
mempertanggungjawabkan pelaksanaan program-program sekolahnya itu pada masyarakat,
pemerintah,dan para pengguna sekolah tersebut.
Dalam konteks upaya mencapai berbagai kemajuan dan peningkatan-peningkatan kulits
secara berkelanjutan dalam semua sektor aktivitas sekolah, sekolah harus dipimpin oleh seorang
kepala sekolah dengan beberapa kriteria sebagai berikut (Vilstern,1999:179)
1. Mereka harus memiliki visi yang kuat sebagai gambaran organisasi di masa yang akan datang,
dan mereka juga harus berorientasi pada outcome.
2. Mereka juga harus mampu mengomunikasikan visinya pada anggota tim kerjanya, dan secara
kreatif menggunakan cara-cara tidk langsung untuk menyampaikan visinya itu.
3. Mereka adalah orang yang tepat untuk berada dalam posisi sesuai pilihan, tapi juga
merupakan orang yang mampu menjadikan kesalahan sebagai pelajaran untuk bisa lebih baik.
4. Selalu memperoleh jalan untuk mampu melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi.
5. Mereka mampu menciptakan dan suasana kerja yang memberdayakan pegawai untuk
melakukan yang terbaik,karena mereka adalah orang-orang yang dapat dikembangkan untuk
menjangkau sukses.
Walaupun Vilstern mengangkat pandangan dan gagasan-gagasan dalam konteks
pengembangan sekolah menuju performa terbaik, namun sangat relevan dengan konsep
pencapaian kualitas melalui TQM, karena performa terbaik merupakan tujuan atau kualitas idela
yang hendak dicapai melalui Total Quality Managemant tersebut. Hanya saja untuk poin kelima
perlu memperoleh penguatan, bahwa kepala sekolah tersebut harus memiliki kemampuan untuk
menciptakan suasana kerja yang dapat mendorong seluruh anggota organisasinya untuk
menciptakan suasana kerja yang dapat mendorong seluruh anggota organisasinya untuk
berprestasi dan memberikan layanan pada client-nya dengan baik, sehingga mencapai standart
kualitas yang diharapkan dan mampu membahagiakan pelanggannya itu.
Kemudian dalam upaya menuju cita idealnya sebagai sekolah dengan performa terbaik,
dengan pendekatan total quality management yang secara konsepsional amat demokratis, karena
memberikan pemihakan pada client dan masyarakat penggunanya, maka kepala sekolah harus
melakukan beberapa tugas pokok (Vilstern, 1999 : 208), yaitu :
1. Mengelola kurikulum dan kegiatan pembelajaran.
2. Melakukan kerjasama yang baik dengan guru dalam menetapkan kurikulum dan proses
pembelajaran.
3. Mendorong semua guru untuk melakukan yang terbaik dalam bidang dan kewenangannya.
4. Melakukan bimbingan pada guru agar terus melakukan perbaikan dalam pelaksanaan
tugasnya.
5. melakukan peningkatan skill, keahlian dan profesionalisme guru dengan memberikan
berbagai pelatihan dan pendidikan.
6. Menyedikan sumber-sumber belajar, alat serta berbagai fasilitas belajar yang dapat
mendukung peningkatan kualitas.
7. Meningkatkan iklim kerja yang stimulatif dan sesuai dengan berbagai kebutuhan kemajuan.
8. Memberikan layanan dengan mudah bagi para guru, mudah diakses dan dapat memberikan
berbagai jalan keluar dalam berbagai jalan keluar dalam berbagai persoalan yang dihadapi
guru di dalam kelasnya. Dengan demikian, seorang kepala sekolah memang adalah mereka
yang harus memiliki pengalaman dalam profesi keguruan, bukan seorang ahli manajemen
atau kurikulum belaka.
Dalam konteks terakhir ini, Sallis juga menegaskan bahwa kepala sekolah harus mampu
memberikan layanan terbaik bagi guru, tidak boleh menyalahkan mereka sebelum dianalisis terlebih
dahulu kesalahan-kesalahannya, memberi kepercayaan yang penuh pada guru untuk mengembangkan
kualitas dalam batas kewenangannya, dan harus berusaha mengusahakan berbagai fasilitas untuk
mendukung kreativitas guru (Sallis, 1993 : 88).
Selain itu, kepala sekolah juga harus memberdayakan guru dan staf lainnya, dengan mencoba
mengembangkan beberapa perlakuan sebagai berikut (Sallis, 1993 : 89).
1. Libatkan guru dan staf dalam menyelesaikan masalah.
2. Tanya mereka bagaimana pandangannya tentang sesuatu dan tanya bagaimana pekerjaan itu
bisa diselesaikan, dan hindari melakukan instruksi pada mereka untuk melakukan ini dan itu,
begini dan begitu.
3. Libatkan dalam manajemen semaksimal mungkin untuk mempercepat peningkatan komitmen
mereka.
4. Tanya staf sistem dan prosedur yang bagaimana yang dapat menjaga kualitas pelayanan bagi
siswa, orang tua, dan bahkan juga diantara mereka sendiri.
5. Pahami bahwa kemajuan berarti yang diharapkan dari guru itu tidak tepat untuk disampaikan
degan cara pendekat manajemen top-down.
6. Laksanakan komunikasi sistemik dan berkelanjutan diantara semua yang terlibat dalam
sekolah.
7. Tingkatkan kemampuan guru dalam resolusi konflik, mengatasi masalah, dan negosiasi
sambil terus mengebangkan toleransi yang tinggi untuk mengatasi konflik.
8. Kembangkan konsep pendidikan berkualitas, seperti pembentukan tim, proses manajeme,
pelayanan pelanggan, komunikasi dan kepemimpinan.
9. Belajarlah untuk lebih menyerupai seorang pelatih daripada menjadi seorang boss.
10. Kembangkan otonomi dan biarkan staf atau guru mengambil resiko dengan tetap dalam
koridor kejujuran dan memberikan layanan terbaik bagi orang lain.
11. Kembangkan sikap lembut terhadap para pelanggan seperti siswa, orang tua, serta masyarakat
lainnya, dengan tetap memberikan perhatian terhadap berbagai kebutuhan pelanggan internal,
yakni guru, anggota pimpinan, dan pekerja lainnya.
12. Dan terakhir, kepala sekolah bersama pimpinan lainnya harus mampu mengembangkan
kurikulum, strategi pembelajaran serta teknik evaluasi, dengan mendiskusikannya antara sesama
tim dalam bidang ilmu yang sama. Demikian pula, dengan pegawai administrasi secara horizontal
tapi juga secara vertical dalam unit yang sama, untuk mengerjakan tugas-tugas layanan terbaik,
serta dilakukan dengan kebanggaan untuk memberikan kepuasan bagi pelanggannya.
Kemudian, bersama seluruh timnya kepala sekolah menyusun dan mengembangkan rencana
strategis, dengan langkah-langkah sebagaimana telah dikemukakan diawal, diawali dengan
penegasan, analisis values,permintaan pelanggan, analisis SWOT untuk menggambarkan kenyataan
itu, baik kekuatan maupun kelemahannya, tantangan dan peluang eksternal, sehingga akan
menghasilkan faktor-faktor kritis untuk mencapai tujuan, lalu dirumuskan progaram strategi jangka
panjang yan sebisa munkin secara konsisten dapat terus dilaksanakan , dan dari sitilah dapat
dikembangkan berbagai rencana operasioanl tahunan.
Dalam konteks pendidikan, ada dua wilayah kerja yang harus terus diperbaiki dalam kerangka
TQM, yakni layanan administrasi dan layanan akademik. Peningkatan kualitas layanan administrasi
tidak cukup dengan hanya senyum dan sikap ramah dihadapan orang tua siswa, siswa sendiri,
pemerintah atau lainnya, tapi dialog, apa yang kurang , dan apa yang perlu diperbaiki dan apa yang
perlu ditingkatkan. Selain diinspirasi denganberbagai literatur, hasil penelitian atau lainnya, juga
harus diperkuat dengan assessment terhadap mereka langsung, sehingga memperoleh masukan yang
sesuai dengan kebutuhan riil pelanggan primer, sekunder dan tertiernya.
Implementasi TQM dalam layanan administrasi disekolah harus delakukan secara sistematis
untuk mencapai perubahan pada level kualitas tertentu yang dapat ditunjukkan secara konsisten,
sehingga dapat memenuhi harapan dan permintaan pelanggan. TQM adalah perubahan yang tak
pernah berakhir yang hanya dapat dicapai oleh dan melalui orang. Dengan demikian, TQM menuntut
perubahan permanen, selalu ada inovasi, dan selalu ada rencana apa yang akan dikembangkan dan
ditingkatkan selanjutnya. Untuk memperoleh hasil optimal, manajer harus mempercayai stafnya, dan
mendelegasikan kewenangan pada staf sesuai kapasitasnya untuk bertanggung jawab penuh dan
melakukan pengambilan putusan pada level dan area tanggung jawabnya. Staf memerlukan
kebebasan untuk bekerja, sehingga inovatif dan kreatif dalam mendukung pencapaian tujuan
organisasi (Sallies, 1995: 36).
Tampaknya perbaikan layanan administrasi harus dilakukan dalam paradigma step by step
improvement dan allembracing at small-scale implementation, yang keduanya menjadi teori utama
dalam TQM, yakni perubahan itu dilakukan bertahap tapi konsisten, namunsemua pekerjaan dicakup
dalam manajemen dengan penugasan yang spesifik. Dengan demikian, pola-pola penugasan harus
spesifik dan jelas perbedaan antarasatu dengan yang lainnya, karena tidak hanya menyangkut
pelaksanaan tugas, tapi juga kewenangan untuk pengambilan keputusan.
Berbagai strategi yang dapatdikembangkan untuk dapat memenuhi harapan pelanggan dan
dapat memberikan layanan terbaik pada mereka adalah, dekat dengan pelanggan, kolega adalah
pelanggan, internal marketing, dan fokus pada pelanggan dengan sikap yang profesional (Sallis,
1995: 39-41). Pegawai dan staf sekolah hares berusaha dekat dengan pelanggan, siswa, orang tua
siswa, pemerintah maupun unsur-unsur employer yang biasa datang kesekolah. Semua itu harus
dilakukan agar dapat memahami benar apa permintaan mereka dan apa harapan mereka, apa yang
belum dan sudah tercapai, dan yang paling penting mereka merasa terbantu, terlindungi dan
terpuaskan.
Sikap yang sama juga harus diberikan diantara sesama staf, karena mereka memerlukan
suasana bekerja yang nyaman sehingga bisa produktif, dan dapat memberikan layanan terbaiknya
pada pelanggan sekolah. Keudian, semua staf harus memperoleh infaormasi tentang institusi sekolah,
karena mereka akan menjadi juru bicara sekolah pada masyarakat. Jika mereka tidak menguasai
seluruh informasi, maka akan terjadi distorsi informasi tentang sekolah pada masyarakat, baik
masyarakatpelanggan maupun potensial untuk menjadi pelanggan. Dan terakhir, seluruh staf harus
memiliki sikap profesional. Memang sering kali profesionalisme seseorang dihubungkan dengan
jenjang pendidikan yang mereka miliki, namun itu tidak mutlak, karena profesionalisme itu adalah
mengetahui bidang tugasnya, dan dapat mengerjakan bidang tugasnya itu dengan baik. Oleh sebab
itu, pelatihan staf merupakan sesuatu yang vital dalam TQM, baik dalam keterampilan manajerial
maupun teknis ssuai bidang tugasnya. Kemudian, mereka juga harus mau mendengar apa yang
diinginkan, dikeluhkan atau diusulkan pelanggan, sehingga pelayanan yang diberikannya benar-benar
sesuai dengan harapan mereka.
Dalam konteks layanan akademik, guru selain harus profesional yang ditandai dengan
penguasaan berbagai strategi pembelajaran dan teknik-teknik evaluasi, juga harus mampu
pmengembangkan strategi pembelajaran yang membelajarkan siswa, dan tidak membiarkan siswa
tertinggal, sehingga tidak ada siswa yang kompetensi ideal, bahkan bagi siswa-siswa yang memiliki
kemampuan belajar akselaratif, guru harus memberi mereka peluang untuk memperkaya pengalaman
keilmuannya dengan mempelajari berbagai bahan ajar lain, saat teman lainnya melakukan
reinforcement atau penguatan bersama gurunya.
EPILOG
DEMOKRATISASI penyelenggaraan sekolah kini bukan lagi sekedar gagasan akademik, tapi
sudah menjadi sebuah keputusan politik yang memperoleh landasan legal dan dukungan
konsepsional, bahkan telah memiliki teori-teori yangholistik serta sudah terintrumentasi untuk
diimplemantasikan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Secara akademik,
demokratisasi penyelenggaraan sekolah memiliki argumentasi yang rasionaldan sistematis, karena
inti dalam demokratisasi adalah pelibatan semua unsur dalam penyelenggaraan pendidikan, baik
dalam konteks mendorong aspirasi publik dalam evaluasi dan pengembangan kurikulum yang sesuai
dengan permintaan client dan perkembangan ilmu serta teknologi, maupun dalam pendelegasian
kewenangan dan pemberian kepercayaan pada staf pengajar dan layanan administrasi untuk
melakukan sesuatu dalam wilayah kewenangannya itu. Gagasan tersebut perlu dikembangkan, karena
pendidikan itu adalah hak semua warga negara, dan mereka memiliki harapan dengan
menyekolahkan putra dan putrinya. Harapan-harapan dan keinginan itulah yang perlu ditampung dan
dianalisis oleh sekolah sehingga mampu terakomodasi dalamstrukutu kurikulum, serta
terimplementasi dalam proses pembelajaran. Sungguh sebuah kekeliruan jika birokrasi pemerintahan
secara arogan mengaku sebagai representasi rakyat dan menetapkan struktur kurikulum untuk semu
jenis dan jenjang pendidikan, bahkan mengatur prosedur pembelajaran dalam kelas, karena mereka
hanay fasilisator yang diberi tugas oleh rakyat untuk menfasilitasi proses pendidikan dalam
memenuhi harapan dan permintaan client sekolah.
Demokratisasi harus dimulai dari proses evaluasi dan pengembangan kurikulum, dan tidak
hanya dalam konteks penyusunan kurikulum sekolah secara keseluruhan, tapi juga dalam proses
implementasinya pada setiap mata pelajaran disetiap level tertentu. sebaiknya guru melakukan tes
kompetensi siswanya diawal pembelajaran untuk menetapkan batas-batas awal kurikulum yang harus
dibelajarkan, serta mengukur waktu yang diperlukan untuk mencapai batas kompetensi tertentu
dengan kualitas input yang mereka terima. Semua itu sebaiknya disampaikan pada orang tua siswa
oleh kepala sekolah, sehingga resiko biaya bisa dibicarakan bersama. Itulah salah satu bentuk
demokratisasi pendidikan dalam konteks penetapan kebijakan silabus yang akan diajarkan guru pada
siswanya.
Kemudian, demokraatisasi juga harus dikembangkan pada proses pembelajaran. Guru tidak
boleh membiarkan ada siswa yang tertinggal dalam kelasnya, dan guru juga tidak boleh mengurangi
pelayanan terhadap siswa-siswanya yang memiliku kemampuan daya serap lebih baik dan lebih cepat
dari lainnya. Proses pembelajaran harus demokratis, yakni semua siswa dalam semua kategori
memperoleh layanan yang wajar dari guru, bahkan guru sebaiknya bertanya pada siswanya tentang
pokok bahasan yang mereka ingin pelajari, berikut bentuk-bentuk penugasannya, lalu dibahas
bersama sehingga sampai pada kesepakatan dengan tidak mengabaikan tujuan pembelajaran, dan
target-target kurikuler yang harus dicapai. Pendekatan collaborative tersebut semata dikembangkan
untuk menumbuhkan rasa memiliki siswa terhadap program pembelajaran itu, serta memberikan
penghargaan yang wajar pada siswa, sehingga gairah mereka untuk belajar bisa terus ditingkatkan.
Perbaikan dalam restrukturisasi kurikulum yang berbasis pada permintaan stakeholder serta
user dari sekolah, tidak akan berjalan dengan baik tanpa disertai dengan perubahan dalam model dan
pola pengelolaan sekolah. Oleh sebab itu bersamaan dengan perubahan pola evaluasi dan
pengembangan kurikulum tersebut, juga perlu dilakukan perubahan pada pola pengelolaan sekolah,
yang semula berpola sentralistik, yakni kebijakan-kebijakan senantiasa dikembangkan oleh
pemerintah pusat, kini otoritas itu didorong ke daerah dan didelegasikan pada sekolah dengan
harapan mereka melakukan pembahasan kebijakan sekolah bersama mitra horizontalnya, yaitu unsur-
unsur stakeholder dan user yang diwakili oleh komite sekolah.
Legalisasi gagasan akademik untuk mendorong penyelenggaraan sekolah yang demokratis,
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, yang
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan, tidak saja dalam konteks bayaran
uang sekolah, tapi mereka juga diharapkan untuk bersama-sama memberi masukan bagar outcome
sekolah tersebut menjadi kelompok well educated society yang kompetitif dengan masyarakat lainnya
didunia, serta memiliki berbagai keunggulan komperatif dengan masyarakat lainnya didunia, serta
memiliki berbagai keunggulan komperatif. Mereka diharapkan produktif dalam mendorong ide-ide
untuk pengembangan sekolah, dan mereka juga diharapkan kritis terhadap sekolahnya itu sehingga
bias-bias dalam realisasi program bisa semaksimal mungkin dieliminasi.
Akan tetapi, semua prakarsa harus dimulai dari dalam sekolah sendiri, karena otoritas
manajemen sekolah berada pada kepala sekolah dengan timnya. Oleh sebab itu, kepala sekolah
sebagai otoritas yang memiliki kewenangan di sekolah, harus membuka peluang tersebut pada
masyarakat, setidaknya dalam konteks evaluasi dan pengembangan kurikulum yang harus
dikembangkan dalam paradigma Pendidikan Berbasis Masyarakat, yakni bahwa pendidikan itu harus
dikembangkan dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan nyata dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian, pelibatan masyarakat juga harus dikembangkan dalam kerangka pengembangan
programprogram sekolah dalam upaya peningkatan kualitas proses untuk memperoleh hasil
pendidikan yang bermutu. Berbagai sarana pembelajaran yang dibutuhkan sekolah, perbaikan
lingkungan dan suasana sekolah, serta berbagai aspek yang berkorelasi dengan proses pendidikan,
sebaiknya dibahas dan dibicarakan bersama komite sekolah.
Dengan demikian seluruh gagasan pengembangan sekolah dikembangkan dan dimunculkan
dari sekolah sendiri. Itulah inti dari paradigma Manajemen Berbasis Sekolah sendiri. Itulah inti
daripardigma Manajemen Berbasis Sekolah, yang kini terus dikembangkan dan terus didorong pada
sekolah dikembangkan oleh sekolah sendiri bersama mitra horisontalnya kemudian mereka juga
memiliki hak untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas dan akuntabilitas manajerialnya itu.
Semakin baik manajemen sebuah sekolah, maka akan semakin besar kepercayaan masyarakat
kepadanya. Sebaliknya semakin buruk manajemen sebuah sekolah, maka akan semakin kecil
kepercayaan masyarakat kepadanya
Konsep, teori dan implementasi sekolah demokratis inilah yang dicoba dielaborasi secara
detail dalam buku ini, dengan penekanan dalam tiga aspek, kurikulum, proses pembelajaran, dan
manajemen sekolah, sebagai aspek-aspek pokok dalam penyelenggaraan sekolah. Konsep dan teori
tersebut bisa diterima sebagai sebuah kebenaran ilmiah karena telah menampilkan dimensi-dimensi
praktiknya, kendati masih perlu diuji kebenaran dan efektivitasnya dalam mengangkat kualitas proses
dan hasil pendidikan di Indonesia.
GLOSSARY
Active Learning :
Belajar aktif, yakni sebuah model pembelajaran yang memberi peluang sangat luas bagi
siswa untuk belajar dengan mengurangi porsi guru untuk ceramah, dan memperbanyak
penugasan pada siswa, baik untuk diskusi, penyelesaian tugas, menyelesaikan masalah atau
lainnya.
Annual report :
Laporan tahunan yang harus disampaikan manajemen sekolah pada seluruh stakeholder dan
shareholder-nya sehingga akuntabilitas manajerialnya dapat dikembangkan, dan
kepercayaan client pada sekolahnya juga akan meningkat.
Assessment :
Penilaian dan penaksiran, yakni sebuah proses yang biasa dilakukan dalam pendidikan
untuk menaksir kebutuhan siswa dalam belajar, tingkat pemahaman dan daya serap siswa
terhadap hasil belajar mereka.
Assignment :
Penugasan yang diberikan guru pada siswanya, khususnya penugasan yang diberikan untuk
pelaksanaan proses pembelajaran dalam kelas, namun assigment juga lazim untuk tugas
yang dibawah pulang.
Benchmark :
Keunggulan menonjol dari sebuah institusi pendidikan dan menjadi dan menjadi ciri yang
membedakannya dengan sekolah lainnya seperti kekuatan pada pengajaran sains, bahasa
atau lainnya. Keunggulan tersebutlah yang kemudian dijual sekolah pada masyarakat.
Boarding school :
Sekolah yang mengasramakan seluruh siswanya, sehingga mempermudah untuk
mengontrol aktivitas mereka.
Center for learning :
Pusat untuk kegiatan belajar, yakni sekolah adalah pusat kegiatan belajar bukan pusat
kegiatan mengajar. Oleh sebab itu, siswa harus memiliki kesempatan dan peluang untuk
belajar seluas-luasnya.
Center for teaching :
Pusat pengajaran. Jika sekolah masih menggunakan paradigma active teaching, yakni
pengajaran guru aktif, maka sekolah tersebut menjadi pusat pengajaran, bukan pusat
pembelajaran, dan guru lebih banyak berperan menyampaikan bahan ajarnya pada siswa.
Model ini memang pernah populer di awal paroan ke-2 abad ke-20 seiring kuatnya aliran
behaviorisme mempengaruhi pola pengajaran, tapi kini sudah banyak dikritik seiring
dengan dikembangkannya model pembelajaran demokratis.
Client :
Pelanggan, yakni orang-orang yang memerlukan pelayanan dari sekolah yaitu, siswa, orang
tua siswa, dan pemerontah.
Collaborative Learning
Kerjasama yang dikembangkan guru dengan siswanya yang tidak sebatas dalam
menyelesaikan berbagai persoalan d alam bahan ajar yang mereka hadapi, tapi juga dalam
menentukan pokok bahasan yang akan dipelajarinya, strategi yang akan digunakan, dan alat
yang dibutuhkan. Istilah collaborative learning juga terkadang digunakan untuk pengertian
cooperative learning.
Command style :
Model pengajaran yang lebih didominasi dengan ceramah dan disadari oleh sebuah
paradigma, bahwa pengajaran adalah transformasi nilai dari orang dewasa pada anak-anak
menuju kedewasaannya.
Cooperative learning :
Belajar bersama dan saling membantu anatara satu siswa dengan lainnya. Dalam sraregi
active learning guru dapat memeberiokan tugas pada siswa-siswanya untuk diselesaikan
secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Dan adakalanya pula, sekelompok
siswa belum mencapai kemampuan sesuai batas minimal penguasaan, sementara kelompok
lainnya sudah mencapai penguasaan ideal, dalam keadaan seperti ini, guru dapat
menugaskan mereka yang telah memiliki penguasaan yang baik, mengajari temannya yang
rendah melalui tutorial sebaya. Gguru berperan melakukan supervising dalam proses
pembelajaran dan membantu berbagai kesulitan yang dihadapi para siswanya.
Course out line:
Rangkaian topik-topik yang akan disampaikan guru pada siswa. Dalam bahasa lain adalah
syllabus
Critical thinking:
Kemampuan berpikir kritis, yakni kemampuan siswa menggunakan potensi-potensi
intelektualnya dalam menyelesaikan permasalahan secara sistenatis, rational dan empiris,
yakni dapat menghubungkan permasalahan dengan penyebabnya, mampu enampilkan
logika yang rasional dan dapat diterima oleh pikiran orang lain, dan semua berbasis pada
data.
Creative thinking:
Adalah berpikir kreatif yang merupakan kelanjutan dari berpikir kritis, dengan kemampuan
menciptakan suatu yang abru sbagai hasil analisisnya.
Curriculum as transaction :
Transaksi kurikulum, yakni setelah melakukan assessment terhadap para siswanya, guru
menawarkan berbagai perlakuan untuk mencapai batas-batas kompotensi harapan. Model
ini lazim dilakukan dalam kerangka sekolah demokratis dengan kurikulum berbasis
kompotensi.
Crriculum as inqury:
Kurikulum sebagai hasil penelitian, yakni bahwa kurikulu itu disusun bukan semata hasil
imajinasi para pengolah pendidikan serta para tenaga ahli yang berpengalam, tapi harus
dikembangkan sebagai hasil penelitian terhadap kebutuhan-kebutuhan client serta kemajuan
sains dan teknolgi.
Signity:
Martabat bangsa, yakni martabat dan harga diri bangsa yang bisa dibangun dengan
kekuatan sumber daya menusianya.
Discovery style:
Belajar dengan model penemuan, yakni siswa diberi tugas oleh gurunya untuk melakukan
penelitian baik diperpustakaan, dilaboratorium atau dalam kehidupan nyata ditengah-tengah
masyarakat, lalu melaporkannya pada guru.
Education for all:
Pendidikan untuk semua, yakni sebuah prinsip yang biasa dikembangkan sekolah-sekolah
tertentu dalam menyerap para pelamarnya. Bahwa semua pelamar diterima tanpa diseleksi
bardasarkan skor nilai yang dibawanya.
Entry level assessment:
Menaksir atau mengukur tingkat kemampuan siswa diawal periode pengajaran untuk
menentukan awal silabus yang akan dibelajarkan pada siswa, serta menentukan berapa
pekan waktu dibutuhkan untuk mencapai kompotensi yang diharapkan.
Fundrising:
Upaya pencarian dana yang harus dilakukan sekolah untuk membiayai seluruh proses
pembelajaran, yang tidak saja untuk mendanai biaya aktivitas rutin tapi juga pengembangan
sarana dan alat-alat yanh dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran.
Gender :
Jenis kelamin: isu ini menguat dalam pendidikan karena sering kali penyerapan outcome
pendidikan dalam pasar tenaga kerja dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dan
perlakuan terhadap perempuan dalam pendidikan juga sering kali dibedakan.kebiasaan
tersebut dikritik karena telah mengabaikan potensi anak bangsa, dan merugikan bangsa itu
sendiri.
Global worldview:
Cara pendang dalam hidup yang melihat bahwa semua negara didunia merupakan wilayah
yang mungkin mereka tuju, dan tidak berprinsip hanya negaranya saja wilayah kehidupan
mereka.
Hidden assurance:
Kurikulum tersembunyi, yakni kurikulum pendidikan yang tidak tertulis, dan menyebar
pada berbagai aktivitas serta lingkungan pendidikan, seperti lingkungan sekolah,
kedisiplinan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran, serta konsistensi kepala sekolah
dalam melaksanakan tata tertib sekolah.
Interactive learning:
Pembelajaran interakif, yakni aktivitas belajar yang dilakukan siswa bersama-sama dengan
gurunya, dan saling membanut antara siswa dengan siswa lainnya,serta antara siswa dengan
gurunya. Guru adalah pembelajar senior yang membantu siswa sebagai pembalajar
juniornya.
Komite sekolah:
Organisasi mitra sekolah dalam pengembangan program-program sekolah yang terdiri dari
unsur-unsur orang tua siswa, unsur pemerintah daerah, tokoh masyarakat setempat, tenaga
ahli pendidikan, serta representasi dari pemakai lulusan sekolah.
Mastery learning:
Belajar tuntas, yakni prosese pembelajaran yang menekan .pada penguasaan siswa terhadap
seluruh bahan ajar. Sebelum mereka menguasai penuh terhadap satu pokok bahasan yang
dipelajarinya, tidak akan berpindah pada pokok bahasan berikutnya.
Metakognisi:
Level kompetensi hasil bhasil belajar siswa diatas kemampuan yang terukur melalui pola
pengukuran taksonomi bloom. Kompetensi metakkognisi adalah kemampuan sisiwa untuk
berpikir kritis dan kemampuan mereka berpikir kreatif.
Multikulturalisme:
Adalah pandangan dalam pendidikan yang memberikan penghargaan terhadap perbedaan-
perbedaan latar kultur dengan tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam upaya
mencapai tujuan bersama.
Multipe intelegence:
Kecerdasan ganda, yakni kecerdasan siswa yang tidak hanya diukur dengan kemampuan
logika tapi juga bahasa, musik, ruang, kinestetik, interpersonal dan interpersonalnya
intelegensinya.
Natural resource:
Suber daya alam yang dapat dijadikan suber kehidupan bagi manusia, seperti air, tanah
serta berbagai kekayaan yang dikandung alam semesta ini, dan berguna untuk kehidupan
manusia.
Outcome pendidikan:
Hasil proses pendidikan yang dapat didayagunakan dalam lapangan kerja sesuai
keterampian mereka.
Peer teaching:
Pengajaran dala kelompok-kelompok kecil yang dilakukan oleh tutor sebaya, yakni
pengajaran dengan guru dari teman sekelas mereka yang telah memiliki penguasaan cukup
baik terhadap bahan ajar yang mereka pelajari.peer teaching biasanya dilakukan dalam
program reteaching.
Portofolio:
Kumpulan karya siswa yang dapat dijadikan sumber penilaian dalam mata pelajaran
tertentu.adakalanya portofolio dilakukan secara terstruktur oleh dalam bentuk lembar kerja
siswa, studi kasus, atau aktivitas sosial.
Quality assurance:
Jaminan kualitas , yakni jaminan yang diberikan manjemen bahwa produk yang akan
dihasilkannya itu berkualitas, karena manjemen telah menciptakan sistim yang dapat
memberikan jaminan kualitas tersebut.
Quality control:
Proses manajemen yang memberikan penekanan pada kontrol kualitas produk diakhir
kegiatan sebelum didistribusikan ke pasar. Model quality control ini dikritik tidak efisien
dan menberi peluang kebohongan. Olah sebab itu, dikembngkan sistem kontrol dengan
model qulity assurance yang memberi kepercayaan pada sistem yang memberikan jaminan
kualitas.
Reciprocal style:
Model pembelajaran yang memberikan keseimbangna antara ceramah dan penugasan,
dengan harapan para siswa bisa memperoleh informasi yang cukup dari gurunya dan juga
dapat meningkatkan kompetensinya melalui pelaksanaan tugas-tugas yang diberikan
gurunya itu.
Recovery:
Pemulihan. Istilah ini populer digunakan dalam kajian ilmu ekomomi, khususnya ketika
Indonesia dalam keterpurukan eknomi. Program-program pemulihan tersebut dinamai
dengan recovery.
Reinforcement:
Penguatan, yakni program pembelajaran yang dilakukan guru untuk memulihkan
kelemahan-kelemahan dalam pemahamannya melalui proses pembelajaran baru dengan
strategi dan penugasan yang baru.
Reflective teaching:
Proses pembejaran yang tidak semata terpaku pada rancangan yang disusun sebelum proses
pembelajaran dimulai, tapi juga dikembangkan ketika proses pembalajaran tersebut.
Reformasi:
Pembaharuan, yakni melakukan perubahan-perubahan berbagai kebijakan pendidikan untuk
mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
Remedial:
Perbaikan, yakni perbaikan penguasaan bahan ajar melalui proses pembelajaran baru
dengan strategi dan penguasaan baru.
Reteaching:
Pengajaran kembali, yakni program pemulihan yang diberikan pada siswa yang belum
mencapai kopentensi minimal dari target kurikuler yang direncanakan.
Senofobia:
Rasa takut dan benci pada orang-orang asing karena perbedaan budaya, gaya dan pola
hidup mereka.
Socratic teaching :
Model pengajan dengan strategi ceramah namun dimulai dengan pertanyaan,lalu ada
jawaban,dan dari jawabn itu dimunculkan kembali pertanyaan, sampai pada akhir
pemahaman yang diharapkan.
Social equity:
Keadilan sosial yang implementasinya adalah perhatian yang seimbang, wajar dan
memenuhi rasa keadilan terhadap semua kelampok sosial.
Stakeholder :
adalah unsur-unsur pokok dalam setiap proses kegiatan, seperti stakeholder pendidikan
adalah guru, siswa, orang tua siswa, serta unsur-unsur pokok lainnya yang menunjang
keberlangsungan proses pendidikan.
Task style:
Model pembelajaran yang menekankan pada pemberian tugas bagi para siswa agar
penguasan bahan ajar dapat ditingkatkan.
Team teaching:
Proses pengajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru dalam pelajaran yang sama.
Praktik team
Tearching diperguruan tinggi adalah distribusi tugas pada beberapa orang dosen untuk satu
mata kuliah ,sesuai keahliannya . disekolah dasar dikenal tea tearching untuk kelas – kelas
rendah untuk penguasa kelas .untuk sekolah menengah , team tearching bisa dikembangkan
untuk mata pelajaran yang relatif kompleks dengan keragaman pencapaian hasil belajar
siswa serta guru membuat kelas multidimensional ,untuk peningkatan pelayanan pada siswa
.
Updating skills :
Pembaharuan dan penyesuaian keterampilan terhadap berbagai perkembangan dan
kemajuan aktual.
Work harder to do their best :
Kerja keras ,lakukan yang terbaik . ini moto dalam scientific management yang dipelopori
oleh Frenderick Winslow Taylor , dan dikritik oleh Deming yang kemudian melahirkan
Total Quality Management , yang menekankan pada perbaikan semua ini , sehingga dapat
memberikan kepuasan bagi pelanggan .