hak pinjam pakai tanah magersari keraton yogyakarta
DESCRIPTION
Paper Hukum Kekerabatan & Perjanjian AdatTRANSCRIPT
KEMENTERIAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM
PENULISAN HUKUM
HAK PINJAM PAKAI TANAH MAGERSARI
KERATON YOGYAKARTA
BILAWAL ALHARIRI ANWAR 10/298962/HK/18419
GINANJAR JULIAN AZIZI 10/299352/HK/18462
PANDU ARIO BISMO 10/299647/HK/18492
RIZKY PRATAMA P. KARO KARO 10/299228/HK/18448
YOGYAKARTA
2012
LATAR BELAKANG
Yogyakarta terkenal dengan sistem khusus pengelolaan tanah. Bahkan, Undang-Undang No
5 Tahun 1960 (UUPA) seakan tidak kuasa menembus sistem pengelolaan mandiri terhadap tanah
keraton atau yang lebih dikenal dengan "Sultan Ground" .
Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan, "Sultan Ground"
merupakan tanah adat peninggalan leluhur yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta Hadiningrat.
Sedangkan Sultan Hamengkubuwono X menyebut tanah keraton sebagai tanah-tanah raja dan
keluarga keraton, situs, magersari, serta tanah garapan kosong.
Tanah keraton terhampar luas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Diperkirakan 60% tanah di
DIY adalah tanah milik Keraton. Tanah keraton inipun pemanfaatannya bermacam-macam,
salah satunya untuk tempat tinggal. Masyarakat bisa menggunakan tanah keraton sebagai tempat
tinggal dengan status "magersari".
Magersari pada awalnya adalah tanah yang ditujukan khusus untuk para abdi dalem, sebagai
tanda jasa atas pengabdiannya terhadap keraton. Namun pada perkembangannya masyarakat bisa
memanfaatkannya dengan alas hak pinjam pakai atas tanah magersari. Masyarakat boleh
memanfaatkan tanah, dengan kesadaran penuh bahwa status tanah itu adalah milik keraton.
Penduduk setempat yang menempati tanah itu tidak memiliki sertifikat. Mereka hanya
berbekal "Serat Kekancingan" atau surat ketetapan yang dikeluarkan oleh Panitikismo.
Panitikismo adalah lembaga agraria keraton yang memiliki otoritas mengelola pemanfaatan &
penggunaan tanah keraton untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Dari hal tersebut muncul akibat yang tidak sederhana terkait pertanahan. Masalah tanah yang
merupakan jurisdiksi Badan Pertanahan Nasional (BPN) digantikan oleh lembaga adat
(Panitikismo). Tidak hanya itu hukum positif yang ada seolah-olah dikesampingkan oleh hukum
& kebiasaan adat setempat. Hal ini tentu perlu penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana hukum
dan kebiasaan adat setempat menggantikan hukum positif terkait hak pinjam pakai tanah
magersari di Yogyakarta.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
a. Bagaimanakah cara mengajukan hak pinjam pakai tanah magersari?
b. Apa sajakah hak dan kewajiban penerima hak pinjam pakai tanah magersari?
c. Dapatkah penerima hak pinjam pakai mengalihkan haknya kepada orang lain?
d. Dapatkah hak pinjam pakai tanah magersari ditingkatkan menjadi hak milik?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui aspek-aspek yang terkait dengan hak pinjam pakai tanah magersari
2. Menyelesaikan tugas Hukum Kekerabatan dan Perjanjian Adat kelas C
MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi segenap civitas
akademika mengenai hak pinjam pakai tanah magersari
2. Dengan diketahuinya prosedur pengajuan hak pinjam pakai tanah magersari, maka
dikemudian hari pihak yang membutuhkan hak pinjam pakai dapat mengajukan kepada
keraton.
METODE PENELITIAN
1. Teknik dan Pengumpulan Data
a. Studi lapangan (wawancara)
Wawancara dilakukan dengan 4 narasumber sebagai berikut :
- Wiwik (39 tahun) Pengirit di Kantor Panitikismo Keraton Yogyakarta
- Wardono Giribawoko (66 tahun) abdi dalem Keraton Yogyakarta
- Sumardi (61 tahun) abdi dalem Keraton Yogyakarta
- Mulyono (64 tahun) penduduk Kelurahan Kadipaten Kecamatan Keraton
b. Studi Kepustakaan
2. Analisis Data
Data yang didapatkan baik dari studi lapangan maupun kepustakaan, diolah dan
dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu menjelaskan atau
menerangkan segala sesuatu yang didapat baik dari wawancara maupun studi
kepustakaan sehingga dapat ditemukan kebenaran yang konkrit dan ilmiah.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Singkat Tanah Keraton
Propinsi DIY berasal dari wilayah yang meliputi daerah bekas swapraja Kasultanan
Yogyakarta dan Pakualaman. Menurut Boedi Harsono, swapraja adalah suatu wilayah
pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang kepala wilayahnya
dengan sebutan Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain. Berdasarkan perjanjian dengan
Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan sendiri di wilayah yang
bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta adat istiadat daerahnya
masing-masing yang beraneka ragam.
Berdasarkan UU No.3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 1950
dan UU No.9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY mengalami
perubahan dari sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam
teritorial NKRI. Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada DIY adalah pada
hukum pertanahan. Aturan di DIY itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti UUPA
dan sebagainya. Alasannya adalah di DIY sudah ada dasar hukum yang mapan, yaitu
menggunakan hukum adat.
Sebagai daerah yang terkenal dengan kerajaannya, DIY hingga sekarang masih mempunyai
tanah bekas swapraja yang tersebar diberbagai wilayah di Yogyakarta. Tanah-tanah tersebut
terbagi di bawah dua kekuasaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Di Propinsi
DIY, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat hanya punya hak
sewa atau hak pinjam pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki, sewaktu-
waktu ia dapat mencabutnya kembali.
Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah
penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri. Tanah kas desa di DIY merupakan pemberian dari
pihak Keraton Yogyakarta. Karenanya, berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tanah kas
desa dapat diselesaikan dengan cara musyawarah sehingga pemanfaatan tanah tersebutdapat
dilakukan secara optimal. Sedangkan Tanah Keraton adalah tanah yang belum diberikan haknya
kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik Keraton sehingga
siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.
Pengaturan tentang tanah merupakan kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berdasarkan pada pasal 4 ayat (1) UU No.3 tahun 1950, DIY mendapat kewenangan untuk
mengurus beberapa hal dalam rumah tangganya sendiri, salah satu diantara urusan yang menjadi
kewenangan DIY adalah bidang keagrariaan atau pertanahan.
B. Hak Pakai
Menurut UUPA yang dimaksud hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat
yang berwenang memberikannya. Pemberian hak pinjam pakai tidak boleh disertai syarat-syarat
yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Hak pakai dapat diberikan :
a. Selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang
tertentu
b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun
Apabila tanah yang dimaksudkan adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak
pakai hanya dapat dialihkan pada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Sedangkan hak
pakai untuk tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan
dalam perjanjian yang bersangkutan.
PEMBAHASAN
A. Pengajuan Hak Pinjam Pakai
Pengelolaan dan pemanfaatan tanah keraton ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan
pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan
rakyat. Hal ini tercermin bagaimana keraton merelakan tanah keraton untuk berbagai keperluan
semisal berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM), kantor gubernur DIY (Kepatihan), Gedung
DPRD DIY, dan kantor-kantor bupati/wali kota yang tersebar di lima daerah. Selain itu, rakyat
juga dapat memanfaatkan tanah-tanah keraton tersebut untuk tempat tinggal dengan mengajukan
izin hak pinjam pakai tanah magersari kepada panitikismo.
Panitikismo atau kantor agraria keraton yang terletak di kelurahan Kadipaten ini bertugas
untuk mengurusi pemanfaatan tanah keraton oleh masyarakat dengan alas hak pinjam pakai.
Menurut Wiwik, pengirit di Panitikismo pengurusan hak pinjam pakai tanah magersari cukup
mudah. Pemohon harus datang sendiri, tidak boleh diwakilkan ke Panitikismo di saat jam kerja
yaitu jam 09.00 WIB-13.00 WIB dan memenuhi syarat administratif tertentu.
Syarat tersebut adalah identitas dan surat rekomendasi dari pejabat setempat, misalnya kepala
desa atau lurah yang menyatakan bahwa tanah yang ingin diajukan hak pinjam pakai adalah
benar-benar tanah keraton dan tidak dalam sengketa. Apabila yang mengajukan tinggal di kota
rekomendasinya bukan dari lurah/kepala desa melainkan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun apabila tanah yang mau dimintakan hak pinjam pakai berbatasan langsung dengan
tanah hak milik yang dimiliki pemohon maka, harus ada persetujuan terlebih dahulu dari pihak
keraton. Rekomendasi dari BPN lebih terjamin kepastian hukumnya karena benar-benar telah
jelas pembagian antara tanah keraton maupun tanah hak milik. Hal ini sangat berbeda
dibandingkan rekomendasi dari lurah/kepala desa yang seringkali tercampur antara tanah kas
desa dengan tanah keraton. Walaupun demikian rekomendasi dari keduanya tetap dilayani oleh
Panitikismo.
Luas tanah yang akan dimintakan hak pinjam pakai dibebaskan, akan tetapi keratonlah yang
akan menentukan berapa luas tanah yang akan diberikan. Hal ini semata-mata demi pemerataan,
mengingat yang mengajukan hak pinjam pakai itu banyak maka luas tanah keraton yang ada
dibagi sesuai pemohon.
Kemudian akan dimintakan ijin kepada ke Pengageng Kawedanan Ageng Wahono Sarto
Kriyo Keraton Yogyakarta, KGPH Hadiwinoto selaku kepala Panitikismo. Pemberian ijin harus
dilakukan oleh KGPH Hadiwinoto sendiri tidak ada wakil/lembaga pengganti. Proses ini
memakan waktu yang cukup lama mengingat KGPH Hadiwinoto sangat sibuk, tidak hanya
mengurusi masalah tanah tetapi juga masalah lainnya. Menurut narasumber, waktu yang
diperlukan tidak bisa ditentukan. Proses pengurusannya ada yang memakan waktu 1 tahun
adapula yang memakan waktu hingga 9 tahun.
Apabila disetujui maka akan diterbitkan serat kekancingan atau surat penetapan. Surat ini
sebagai tanda bukti hak pinjam pakai. Kekancingan ini dibuat oleh panitikismo dalam bentuk
baku atau sudah ditentukan. Jangka waktu surat ini adalah 10 tahun dan dapat diperpanjang.
Dalam hal perpanjangan surat kekancingan, warga disodori formulir dan melengkapi persyaratan
berupa fotokopi surat kekancingan lama, pisungsung tahun terakhir, KTP pemilik kekancingan,
dan persyaratan lainnya. Namun pengajuan tersebut tetap menunggu persetujuan keraton.
B. Hak & Kewajiban Penerima Hak Pinjam Pakai
Apabila surat kekancingan sudah diberikan maka penerima berhak untuk
menempati/memakai tanah magersari tersebut. Dalam pemakaiannya memang tidak ada
peraturan yang mengatur, akan tetapi ada norma tidak tertulis bahwa tidak diperbolehkan
menggunakan tanah itu untuk hal yang membahayakan atau mencoreng nama baik keraton.
Dalam penggunaannya ini tidak dilakukan pengawasan oleh pihak keraton, hanya berdasarkan
atas kepercayaan.
Penerima hak diwajibkan untuk membayar pisungsung atau penanggalan atau pajak kepada
keraton. Besar pisungsung yang diberikan setiap tahun ini berbeda satu sama lain, bergantung
dari perhitungan dengan dasar NJOP. Namun rata-rata sekitar 150 ribu rupiah hingga 200 ribu
rupiah. Apabila terlambat membayar maka panitikismo akan menngirimkan surat pemberitahuan.
Penerima hak yang terlambat membayar tidak dikenai sanksi sama sekali, walaupun dia telat
membayar hingga 20 tahun.
Apabila penerima hak tidak mau membayar pisungsung maka dia tidak akan bisa
mewariskan atau memindahtangankan hak yang pinjam pakai yang dimilikinya. Hal ini
dikarenakan panitikismo tidak akan mengijinkan hingga kewajiban-kewajibannya lunas
sepenuhnya.
Penerima hak juga harus bersedia pindah sewaktu-waktu. Didalam surat kekancingan terdapat
klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari
tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta oleh
keraton tanpa kompensasi/ganti rugi. Hal seperti ini pernah terjadi di Jalan Perwakilan terkait
pembangunan Malioboro Mall. Pada saat itu Keraton memberi surat pemberitahuan kepada
penerima hak pinjam pakai. Dengan adanya surat pemberitahuan maka hak pinjam pakainya
dianggap telah hapus dan dia tidak perlu membayar pisungsung lagi kepada keraton. Surat ini
juga sebagai pemberitahuan agar segera pindah. Akan tetapi, jangka waktu pemberitahuan inipun
cukup lama sekitar 5- 10 tahun sebelum tanah magersari itu digunakan.
C. Pemindahtanganan Hak Pinjam Pakai
Pemindahtanganan hak pinjam pakai dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Pemindahtanganan dengan perjanjian/Lier
Penerima hak pinjam pakai bebas untuk memindahtangankan, istilah memindahtangankan
disebut dengan lier. Yang akan dilierkan ini bukanlah tanah magersari melainkan hak pinjam
pakainya. Proses lier ini antara penerima hak dengan pihak ketiga sendiri, pihak keraton tidak
terlibat. Jangka waktu lier disesuaikan dengan jangka waktu hak pinjam pakai yaitu selama 10
tahun. Penerima hak yang melierkan haknya dikenai pisungsung sebesar 15% dari nilai lier.
Pisungsung 15% dianggap masih murah, ambil contoh lier tanah magersari seluas hampir 1
hektar kepada toko Atakrip di Jalan Kyai Mojo yang mencapai 1 milyar. Ini artinya pisungsung
yang harus dibayar hanya sebesar 150 juta. Sisanya untuk penerima hak pinjam pakai yang telah
melierkan haknya. Hal ini jelas menguntungkan mengingat biaya pengajuan hak pinjam pakai
hanya sekitar 300 ribu rupiah.
2. Pewarisan
Apabila penerima hak pinjam pakai meninggal maka haknya diwariskan ke anak-anaknya.
Dalam praktek proses ini berlangsung secara kontinyu hingga ke derajat yang sulit ditentukan.
Hal ini tentu dapat dimengerti mengingat hak pinjam pakai dapat diperbaharui secara terus
menerus yang menjadi pemutus hanyalah apabila tanah diminta kembali oleh keraton.
Dalam pewarisan, harus lapor ke panitikismo tentang hal-hal terkait, misal siapa ahli waris
yang ditentukan. Setelah itu akan ada pencatatan dan pembuatan surat kekancingan baru untuk
ahli waris yang digunakan sebagai dasar penetapan.
Apabila pewaris mempunyai lebih dari satu ahli waris, maka hak pinjam pakai atas tanah
magersarinya bisa dipecah sesuai jumlah ahli waris. Namun, hal ini tentu saja diputus
berdasarkan pertimbangan keraton. Sedangkan apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris
maka tanah yang ditempatinya itu harus dikembalikan ke Keraton, untuk diberikan kepada pihak
lain yang membutuhkan.
Dalam pewarisan kadangkala muncul masalah misalnya pewaris sebenarnya tidak punya ahli
waris. Namun tiba-tiba muncul orang yang berpura-pura sebagai anak ataupun saudara pewaris.
Tujuannya tak lain adalah mendapatkan waris atas hak pinjam pakai pewaris. Hal ini diakui
banyak terjadi dan apabila bentuk kecurangan ini berhasil maka tentu saja akan merugikan pihak
keraton.
Dalam menyelesaikan masalah seperti ini dan masalah-masalah lain, tidak menggunakan
jalur jukum. Penyelesaian masalah lebih dititikberatkan kepada musyawarah &
pertimbangan/dawuh KGPH Hadiwinoto sebagai pemutus.
D. Peningkatan Ke Hak Milik
Penerima hak tanah magersari dapat meningkatkan haknya menjadi hak milik. Hal ini
berproses sedikit demi sedikit. Awalnya tanah magersari yang jangka waktunya 10 tahun
ditingkatkan menjadi hak pakai yang jangka waktunya 20 tahun. Dari hak pakai ditingkatkan
menjadi hak guna bangunan (HGB) dengan jangka waktu 25 tahun. Kemudian baru bisa
ditingkatkan menjadi hak milik. Ini artinya untuk menjadikan hak milik diperlukan waktu
minimal 55 tahun.
Dahulu hal ini jamak dilakukan, tengok saja kawasan pemandian Tamansari dan kawasan
Njeron Benteng sudah banyak bangunan mewah yang merupakan hak milik. Namun hal ini
sudah tidak memungkinkan. Semenjak tahun 2000 peningkatan hak pinjam pakai menjadi hak
milik sudah dihapus. Penerima hak hanya bisa melakukan perpanjangan hak bukan peningkatan.
Ahli pertanahan sekaligus anggota tim asistensi Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
DIY, Suyitno, mengungkapkan, seiring perkembangan zaman, tanah-tanah milik Keraton
Yogyakarta terus menyusut. Hingga saat ini, tanah yang terdaftar sebagai Sultan Ground dan
Paku Alam Ground hanya tinggal sekitar 3.900 hektar atau 1,2 persen dari 318.518 luas DIY.
Hal inilah yang membuat HB X melarang konversi ke hak milik. Sultan khawatir apabila tanah
keraton terus dikonversi menjadi hak milik lama kelamaan tanah keraton akan habis.
Para narasumber yang kami wawancarai semuanya tidak ada yang meningkatkan tanahnya
menjadi hak milik. Hak atas tanah yang mereka miliki semuanya hanya berupa pinjam pakai
yang jangka waktunya hanya 10 tahun. Walaupun ada dua narasumber (Wardono & Supardi)
yang bisa meningkatkan status haknya ke hal milik, karena memiliki hak pinjam pakai sebelum
tahun 2000 namun hal tersebut tidak mereka lakukan.
KESIMPULAN
1. Pengajuan hak pinjam pakai memakan waktu yang tidak bisa ditentukan. Panitikismo
juga tidak berperan sendiri, melainkan dibantu oleh Lurah/Kepala desa & BPN. Dalam
pengajuan hak hanya KGPH Hadiwinoto yang berwenang untuk menentukan.
2. Penerima hak berhak mendiami tanah keraton yang dibuktikan dengan serat kekancingan.
Mereka berkewajiban membayar pisungsung/pajak setiap tahun. Penerima hak harus siap
pindah sewaktu-waktu apabila Keraton membutuhkan tanah tersebut.
3. Pemindahtanganan hak dapat dilakukan dengan 2 cara yakni, lier & pewarisan. Dalam
lier pihak keraton tidak dilibatkan. Lier cukup dilakukan oleh para pihak saja, namun
pemilik yang melierkan haknya berkewajiban membayar pisungsung. Pemindahtanganan
hak dengan pewarisan melibatkan ahli waris dengan Panitikismo. Panitikismo akan
membuat serat kekancingan baru sebagai tanda bukti telah terjadi pewarisan.
4. Peningkatan hak pinjam pakai ke hak milik adalah suatu proses yang bertahap. Proses ini
memerlukan waktu setidaknya 55 tahun. Akan tetapi sejak tahun 2000 ketentuan tersebut
telah ditiadakan demi melindungi aset/tanah Keraton Yogyakarta
SARAN
1. Pemberian putusan atas pengajuan hak pinjam pakai tanah magersari sebaiknya tidak
hanya dilakukan oleh KGPH Hadiwinoto. Dibutuhkan perwakilan/lembaga pengganti
apabila KGPH Hadiwinoto berhalangan. Perwakilan/lembaga pengganti ditujukan agar
masyarakat diuntungkan karena jangka waktu yang diperlukan akan lebih cepat.
2. Perlu ada lembaga pengawasan yang bertugas mengawasi penggunaan hak pinjam pakai.
Hal ini sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta
Kurnianto, Harji, “Pendaftaran tanah Sultan Ground dan Pakualam Ground”,
publikasi.umy.ac.id/index.php/hukum/article/view/1885/387, diakses 18 Mei 2012
Kusumoharyono, Umar, ”Eksistensi Tanah Kasultanan Yogyakarta Setelah Berlakunya
Undang- undang Nomor.5 Tahun 1960”, http//www.pustaka_agraria.org, diakses 18 Mei 2012
Santi, Athanasia Dian, 2011, Konstruksi Hukum Pemberian Hak Guna Bangunan Dan Hak
pinjam pakai Diatas Tanah Kraton Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Tesis), Universitas
Gadjah Mada
Tamoluwu, Martinus, “Status Hak Atas Tanah Ciptaan Pemerintah Surakarta”,
http//www.perpustakaan.uns.ac.id, diakses 18 Mei 2012
Yudono, Jodhi, “Yogya dan Ancaman Kisruh Soal Tanah”,
http://nasional.kompas.com/read/2010/12/09/13312515/, diakses 18 Mei 2012
UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN
1. Apa yang dinamakan magersari?2. Berapa luas tanah magersari yang dimiliki oleh keraton?3. Bagaimana awal mula/sejarah rakyat boleh memakai tanah magersari?4. Apakah dasar hukum dari pembagian tanah magersari itu (kebiasaan/ketetapan sultan)? 5. Adakah kriteria-kriteria tertentu untuk tanah magersari yang bisa dimintakan hak pinjam
pakai?6. Saat ini kira-kira berapa persen /berapa hektar tanah magersari yang telah ditempati oleh
masyarakat?7. Rencana kedepannya hingga berapa persen/berapa hektar tanah magersari yang
diijinkan untuk dipakai?8. Bagaimana cara mengajukan hak pinjam pakai tanah magersari?9. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi?10. Dasar pertimbangan apa yang dipakai pihak keraton untuk menilai layak tidaknya izin
pemakaian tanah magersari diberikan?11. Siapa/lembaga apa yang berwenang memutuskan pemberian hak pinjam pakai tanah
magersari? Adakah perwakilan jika orang/pejabat berwenang dalam lembaga berhalangan?
12. Bagaimana mekanisme pemutusannya (musyawarah, survey)? 13. Dapatkah setiap warga yang mengajukan mendapatkan hak pinjam pakai tanah
magersari?14. Kalau tidak, mengapa?15. Adakah batas maksimal luas pemberian hak pinjam pakai tanah magersari untuk tiap
pemohon?16. Adakah larangan-larangan tertentu terhadap hak pinjam pakai tanah magersari oleh
masyarakat? Kenapa kok dilarang?17. Berapa lama jangka waktu pemakaian tanah magersari yang diperbolehkan?18. Adakah imbal balik tertentu dari masyarakat penerima hak pinjam pakai terhadap
keraton?19. Apakah ketentuan tentang hak pinjam pakai tanah magersari ini baku, dalam artian
masyarakat tidak boleh tawar menawar? Kalau tidak bagian mana yang bisa ditawar?20. Apa saja hak & kewajiban penerima hak pinjam pakai tanah magersari?21. Apa saja hak & kewajiban keraton terhadap penerima hak pinjam pakai?22. Bagaimana pengawasan terhadap hak pinjam pakai tanah magersari yang diberikan ke
masyarakat?23. Adakah masyarakat yang keberatan terhadap kebijakan terkait tanah magersari/hak
pinjam pakai tanah magersari?24. Sejauh ini adakah sengketa terkait tanah magersari/hak pinjam pakai tanah magersari?25. Jika ada bagaimanakah mekanisme penyelesaiannya (musyawarah/pengadilan adat)?26. Bisakah hak pinjam pakai atas tanah magersari ditingkatkan menjadi hak milik?
27. Apabila bisa, dasar pertimbangan apa yang dipakai pihak Keraton & prosedur peningkatannya?
28. Kira-kira berapa prosentase hak pinjam pakai tanah magersari yang telah berubah menjadi hak milik?
29. Apabila pemohon hak pinjam pakai tanah magersari meninggal bisakah hak pinjam pakai yang diperolehnya itu diwariskan?
30. Apabila bisa, pewarisannya secara otomatis atau ada prosedur tertentu yang harus dilakukan?
31. Adakah hal-hal yang dilarang dalam pewarisan hak pinjam pakai tanah magersari, (misal memecah hak pinjam pakai itu untuk anak-anaknya)?
32. Apabila sewaktu-waktu Keraton membutuhkan tanah magersari tersebut dapatkah memintanya kembali? Kalau bisa prosesnya bagaimana?
33. Adakah penggantian atas pencabutan hak tersebut (relokasi/ganti rugi)? Kalau ada seberapa besar?
34. Bisakah hak pinjam pakai tanah magersari ini diperjualbelikan/dikontrakkan?35. Kalau bisa bagaimana prosedurnya?36. Adakah pajak yang dikenakan oleh pemerintah saat tanah magersari ini dipakai rakyat?37. Adakah peran serta pejabat-pejabat setempat (RT, RW, Lurah, Kepala Desa) terkait tanah
magersari? Seperti apa?