giwu dalam masyarakat adat pamona gambaran …
TRANSCRIPT
42
BAB III
GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA
Gambaran umum lokasi penelitian
1. Sejarah Desa Buyumpondoli1
Nama Desa Buyumpondoli diambil dari nama gunung atau bukit yang ada
daerah ini, yaitu Gunung mPondoli. Gunung mPondoli berada, kurang lebih 1 km
di bagian barat Desa Buyumpondoli sekarang ini. Sesudah diresmikan kampung ini
oleh Swa Praja Poso (Raja Poso) pada tahun 1901, desa ini di beri nama
Buyumpondoli. Nama Buyumpondoli terdiri dari tiga kata, yaitu: 1. Buyu, dalam
bahasa Indonesia artinya: Gunung / bukit; 2. mPo atau Po, sebagai kata depan
yang menunjuk pada arti subyek; 3. nDoli atau Doli, dalam bahasa Indonesia
artinya : cantik, molek, indah, manis, bercahaya, dipandang mata, disayangi dan
dikenang. Jadi, Buyumpondoli artinya adalah gunung/bukit yang indah, cantik,
molek, manis, disayangi dan bercahaya dipandang mata, baik dekat maupun dari
kejauhan, dan selalu dikenang. Secara resmi, Desa Buyumpondoli pada tanggal 19
Desember 1901dengan seorang pemimpin yang disebut kepala kampung atau
kepala desa.
1Pdt. Jackson Ranteola, “Sejarah Buyumpondoli dan kepemimpinanannya”, Makalah yang
tidak diterbitkan dan ditulis dalam rangka HUT Desa Buyumpondoli ke-113, 2014, Penulis
merupakan Pendeta GKST sejak, 1996. Saat ini bekerja di Kantor Sinode GKST sebagai Sekretaris
Departemen Kesaksian dan Pelayanan GKST Periode 2013 – 2016. Beliau juga tercatat
sebagaiwarga masyarakat Desa Buyumpondoli dan diberi kepercayaan oleh Pemerintah Desa untuk
menjabat sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), sejak 2007 – sekarang.
43
Desa (bhs. Pamona: lipu)2 Buyumpondoli adalah salah satu desa yang
masih memegang erat tradisi budaya Pamona di Kabupaten Poso adalah Desa
Buyumpondoli. Desa Buyumpondoli yang ada sekarang lahir dari tiga atau empat
kumpulan rumpun besar yang ada di diwilayah ini yang sudah lama ada,
menyatukan hati, komitmen dan kultur untuk mendirikan dan membangun desa dari
masa ke masa.
Sejak dulu Buyumpondoli terkenal dengan lahan pertanian (sawah) dan
hasil pertaniannya yang melimpah, bahkanAlbertus Christian Kruyt berucap pada
tahun 1916 bahwa: “Ri Buyumpondoli maria pae anu napobalu santa’u-santa’u”
(artinya, di Buyumpondoli banyak hasil panen padi yang dijual setiap tahun)3. Hal
ini menunjukkan betapa dekatnya penduduk desa ini dengan tanaman padi yang
diyakini oleh orang Pamona memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam
gaib.4 Penduduk yang mendiami desa Buyumpondoli pertama kali adalah berasal
dari rumpun Bada (to Bada) yang sudah bermukim di Gunung Buyumpondoli.5
2Lipu atau kampung artinya, sama saja dengan Desa. Jadi kalau kita menemukan kata Lipu
atau kampung, dalam tulisan ini, menunjukkan keterikatan emosional penulis dan informan dalam
penyusunan sejarah desa Buyumpondoli dari periode sebelumnya ke periode selanjutnya. 3Albertus Christian Kruyt, WAWO nTANA; SURA PAMPEGURU POWAWO NTANA RI
BASA BARE’E (Ditulis Kembali Oleh Drs. Wl. Sigilipu-Vibra Tentena, 2014), hlm. 26. 4Tanaman padi diyakini oleh orang Pamona sebagai tanaman yang berasal dari alam dewa
yang ada di atas. Oleh sebab itu dalam setiap acara yang berhubungan dengan pertaniannya, mereka
menengadah ke langit (band. J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso, Sejarah Gereja Kristen Sulawesi
Tengah sampai th. 1947, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977, hal. 62). 5To Bada (orang yang datang dari Bada) bermukim di Gunung-Bukit Buyumpondoli
dianggap sebagai penduduk asli dari Gunung Buyumpondoli karena sudah lama menetap disana.
Mereka menetap, karena kepentingan perang suku (bahasa Pamona; Manga’e = berperang), yaitu
antara To Bada dan To Pamona (To Wale) yang bermukim di Pesisir Timur Danau Poso dan juga
berperang dengan To Kinadu (suku Mori). Salah satu panglima perang yang dikenal saat itu Ngkai
Janggo – Uma Dupa atau Sama To’ii. Lokasi peperangan itu di Pada Bangke (lokasi persawahan
penduduk Buyumpondoli sekarang ini). Ada juga kisah mengenai peperangan antara To Bada dan
To Wale, suatu ketika To Wale, melakukan penyerangan di markas To Bada di Di Seputar Siuri –
Kapatea. Sementara mereka istirahat di Lobo, maka tiba-tiba orang To Wale menyerang dengan
merobohkan Lobo dan menawan seorang prajurit To Bada sambil memancung kepalanya. Balasan
dari penyerangan ini, suatu waktu Towale mengadakan penanaman padi ladang (Mompaho) di
Gunung mPondoli, di keluarga Uma Rehe –Toggelo, maka datanglah serombongan To Bada (k/l.
44
Dalam sejarah Desa Buyumpondoli dicatat bahwa pada suatu saat
penduduk Desa Buyumpondoli mengalamipenyakit sampar atau penduduk
setempat menyebutnya dengan ju’a Lele, yaitu sejenis penyakit kulit dan perut yang
menular dan sangat berbahaya karena dalam hitungan jam penderita bisa meninggal
dunia. Sesuai informasi yang diterima, penyakit sampar yang dialami oleh
penduduk saat itu di bawah oleh seekor rusa. Rusa itu masuk dalam kampung dan
jinak sekali. Penduduk kampung tidak membunuhnya karena masuknya rusa ke
dalam kampung dianggap tidak lazim dan apa yang tidak lazim itu selalu dikaitkan
dengan alam gaib. Oleh karena itu mereka hanya mengusirnya ke arah Danau Poso.
Setelah rusa itu menghilang di Danau Poso maka hilang pula penyakit itu dari
penduduk kampung. Bagi penduduk saat itu, jenis penyakit ini dipahami sebagai
bagian dari hukuman atas kesalahan (dosa) manusia kepada Yang Maha Kuasa atau
dalam bahasa Pamona disebut Pue mPalaburu. Karena itu harus dibuat ritual
penghapusan/ pembersihan dosa yang ada di kampung, yaitu moandu sala atau
menghanyutkan dosa. Pemimpin ritual adalah imam laki-lakidibantu oleh beberapa
orang imam perempuan. Sehari sebelum pelaksaanaan ritual moandu sala, para
perempuan melakukan pembersihan kampung dengan memakai daun soi6 disertai
mantra-mantra ritual. Para imam (bhs. Pamona: Tadumburake) memiliki
30 orang), untuk menyerang mereka di malam mpolanggo. Melihat hal ini, mereka mengutus orang
untuk menyampaikan hal ini di To Wale, maka malam itu juga, datanglah Ta’enggi bersama
prajuritnya mengawal kegiatan warga dalam penanaman padi itu dengan sebuah senjata sederhana
yang ada waktu itu. Melihat keadaan ini, To Bada tidak menyerang dan kembali kemarkasnya.
Inilah cikal bakal perdamaian To Bada dan To Wale. Hal yang lain yang perlu dicermati bahwa To
Bada sudah mengenal pertanian di lahan basa-sawah (momparuja). Jadi, mungkin pada awalnya
masyarakat yang ada di Buyumpondoli belajar cara bersawah dari orang Bada. 6Daun soi (ira nCoi), sejenis tanaman bunga warna merah yang selalu hidup di pekuburan,
memiliki makna gaib. Daun Soi ini, juga dipakai dalam acara kesenian Motaro yaitu penyambutan
pejabat yang datang di Desa Buyumpondoli.
45
kepercayaan kuat terhadap kuasa-kuasa gaib yang ada di alam ini yang sewaktu-
waktu dapat mencelakakan manusia. Tetapi sebelum ritual dilaksananakan, mereka
yang akan memimpin ritual itu mengadakan pertemuan di Mamongo - pinggir
sungai Tadanci - arah Utara desa Buyumpondoli sambil membawa sesajen
(beberapa sajian makanan) untuk dipersembahkan pada roh-roh gaib yang
melindungi manusia. Kegiatan pembersihan kampung dari roh jahat dilaksanakan
setiap tahun, sekitar bulan Oktober atau November. Namun, ritual seperti ini tidak
lagi dilakukan. Pelaksanaan ritual ini dilakukan di sungai atau di Danau Poso- di
Hilir Sungai Tadanci (baca: Baba nTadanci).
2. Penduduk Desa Buyumpondoli
Tabel 2. Data Penduduk desa Buyumpondoli
Data Penduduk menurut Umur Tahun 2015 Tahun 2016
0-12 Bulan 19 27
1-5 Tahun 99 104
6-10 Tahun 199 210
11-15 Tahun 122 1 46
16-20 Tahun 148 167
21-25 Tahun 168 173
26-30 Tahun 149 154
31-35 Tahun 156 161
36-40 Tahun 185 190
41-45 Tahun 158 163
46-50 Tahun 155 160
51-55 Tahun 157 162
56-60 Tahun 132 1 43
60 Tahun keatas 117 135
Jumlah 1.833 1.964
Data Penduduk Berdasarkan Gender Tahun 2015 Tahun 2016
Jumlah Penduduk 1.833 1.964
Jumlah Laki-laki 891 949
Jumlah Perempuan 942 1.015
Jumlah Kepala Keluarga 512 KK 569 KK
Data Desa Buyumpondoli
46
Tabel 3. Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Desa Buyumpondoli
Jenis Pekerjaan Tahun 2014 Tahun 2015
Petani 1.012 1.030
Pegawai Negeri Sipil 30 43
Pengrajin Industri Rumah Tangga 2 2
Peternak 5 5
Nelayan 5 5
POLRI 2 2
Pensiunan PNS/ POLRI/TNI 10 10
Pengusaha Kecil dan Menengah 40 40
Dosen Swasta 2 4
Karyawan Perusahaan Swasta 3 15
TKI/TKW 2 2
Pengemudi/Tukang Ojek 22 27
Tukang Kayu/Batu 25 25
Bengkel 2 3
Service Elecktronik 1 1
Pedagang 4 Data Desa Buyumpondoli
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa
Buyumpondoli memiliki mata pencaharian sebagai petani.
3. Peran Majelis Adat Desa Buyumpondoli
Secara faktual, umumnya Ketua adat di desa, adalah mitra kerja utama
dalam kepemimpinan Kepala desa atau Kepala kampung. Keduanya bertugas untuk
menata kehidupan sosial dan kultur masyarakat desa. Terutama dalam hal
perjodohan, pertunangan, perkawinan adat, penyelesaian kasus-kasus sosial dan
tanah yang ada di kampung atau desa dan pelaksanaan ritual-ritual adat. Tujuannya,
agar tatanan hidup masyarakat desa berjalan dengan baik sesuai, kaidah, norma
adat, kultur yang telah dicanangkan dan dilestarikan oleh parah leluhur sehingga
47
masyarakat, hidup damai dan saling menghormati sesuai norma yang telah
disepakati bersama. Baik dikalangan anak-anak, orang muda dan yang tua dan
dalam hubungan antar dan inter keluarga serta penduduk yang datang dari luar desa.
Menjadi catatan penting bahwa peran Ketua adat, diluar Kepala desa baru
terlaksana secara baik, setelah Indonesia merdeka. Sedangkan sebelumnya, peran
ketua adat dilaksanakan langsung oleh Kepala desa atau Kepala kampung, yakni
pemimpin tunggal di kampung atau di desa. Jika ada pelanggaran terhadap hukum
adat, Kepala desa atau Kepala kampung menjadi pengambilan keputusan atas
perkara. Namun sekarang sudah berjalan sesuai tugas dan perannya masing-masing.
Secara kelembagaan adat Pamona, Ketua adat masuk dalam kepengurusan yang
disebut Majelis Adat Pamona, baik itu yang ada di tingkat Kabupaten, Kecamatan,
dan Desa/ Kelurahan. Majelis adat inilah yang kemudian menyelesaikan berbagai
pelanggaran adat yang terjadi dalam masyarakat adat, termasuk juga menetapkan
sanksi adat (giwu) sesuai dengan yang disepakati bersama oleh masyarakat adat.
Menurut Bpk. Rameode selaku Ketua Majelis Adat Desa Buyumpondoli,
ada beberapa langkah-langkah menyelesaikan pelanggaran adat, yaitu:7
a) Ada laporan tertulis atau lisan tentang pelaku pelanggar adat dan jenis pelanggaran
yang dilakukan.
b) Berdasarkan laporan lisan tersebut Majelis Adat mendatangi orang yang dilaporkan
untuk mencari keterangan dan memastikan kebenaran dari laporan yang diterima.
Dalam bagian ini dilakukan percakapan dengan orang yang dilaporkan itu dan
majelis adat juga menyampaikan tetntang adat istiadat yang berlaku dan
7Hasil wawancara dengan Bpk. Rameode, tanggal 23 Agustus 2016
48
konsekuensi yang diterima bagi yang melanggar. Namun Majelis Adat selalu
menempatkan orang yang dilaporkan itu sebagai manusia yang harus dihargai,
sehingga sebelum masuk dalam pokok pembicaraan, Majelis Adat akan mengawali
percakapan dengan pernyataan, misalnya: “semua manusia tidak luput dari
kesalahan”, “saya tahu tidak ada seorangpun yang tidak menginginkan kedamaian
dan kebahagiaan, dll. Kalimat pembuka seperti itu menciptakan situasi yang aman
dan nyaman bagi orang yang dilaporkan untuk menyampaikan apapun yang
dirasakan dan dialami. Rasa aman dan nyaman itu tercipta karena ada rasa percaya
yang mendalam dari orang yang dilaporkan tadi kepada Majelis Adat. Rasa percaya
itu memotivasnya untuk berkata jujur selama proses percakapan selanjutnya.
Keberanian berkata jujur tidak hanya berkaitan dengan mengakui perbuatannya,
tetapi juga berani berkata tidak untuk perbuatan yang tidak dilakukan. dalam proses
ini ada kemungkinan Majelis adat mendapat informasi tambahan tentang kebenaran
dari orang yang sedang dikunjungi tersebut. Apabila ternyata orang yang dilaporkan
tadi mengakui bahwa benar dia telah melakukan pelanggaran seperti apa yang
dilaporkan, maka Majelis Adat mengambil langkah selanjutnya, yaitu
mempertemukan kedua belah pihak yang bermasalah dalam suasana kekeluargaan.
Biasanya pertemuan ini dilakukan di tempat yang dianggap aman dan nyaman,
misalnya di rumah Majelis Adat. Dalam pertemuan ini akan dilakukan percakapan
dari hati ke hati antara pihak-pihak yang bermasalah dan juga konsekuensi
pelanggaran yang akan diterima oleh pihak yang melanggar. Sekalipun dalam
percakapan yang terjadi telah terjadi kesepakatan untuk berdamai kembali, namun
49
apabila pelanggaran itu dianggap memberikan dampak terhadap keseimbangan
kosmos maka giwu tetap di berikan kepada yang melanggar.
c) Selanjutnya, permasalahan itu dibawa ke sidang adat yang dilaksanakan di tempat
pertemuan desa yang biasa disebut baruga. Dalam pertemuan ini dibacakan
keputusan terhadap persoalan yang terjadi dan penetapan giwu juga akan dilakukan.
Biasanya giwu berwujud binatang atau uang, yang jumlahnya telah disepakati oleh
masyarakat adat. Namun Majelis adat selalu menyampaikan permohonan kepada
semua pihak bahkan masyarakat yang hadir untuk tidak membicarakan persoalan
ini karena masih dalam proses penyelesaian.
d) Langkah-langkah penyelesaian persoalan tidak berhenti sampai disitu saja tetapi
Majelis Adat tetap melanjutkan tanggung jawanya dalam mendampingi kedua belah
pihak yang bermasalah tadi. Majelis adat memberikan kekuatan untuk menjalani
proses penyelesaian persoalan. Biasanya Majelis Adat pergi mengunjungi pihak-
pihak yang bermasalah tadi.
e) Ketika giwu telah diberikan, maka tidak ada seorangpun yang boleh mengungkit-
ungkit persoalan itu. Jika ada yang melakukannya, maka ia akan dikenakan giwu.
Dengan demikian persoalan dianggap telah selesai dan orang yang melakukan
pelanggaran tadi dianggap telah sembuh dan menjadi anggota komunitas yang
bersih.
Asal Usul Giwu
Sebagai mahluk sosial, manusia selalu membangun relasi dengan orang lain.
Dalam membangun relasi dengan orang lain itu, masyarakat adat Pamona
berpegang pada sebuah falsafah hidup yang mengakar dan dihidupi dalam
50
kehidupan bersama, yaitu sintuwu. Sintuwu berarti “hidup bersama” atas dasar
“kesamaan kehidupan”.8 Hal ini didasari oleh suatu pola kehidupan bersama yang
menyebabkan orang berjalan bersama-sama, mengambil jalan yang sama,
memperlihatkan diri dengan seperasaan. Sintuwu berasal dari kata tuwu yang berarti
hidup. Kata ini bisa dilihat sebagai sebuah kata sifat dan sekaligus juga intransitif.
Dalam komposisi bahasa Pamona, Pemberian imbuhan sin terhadap sebuah kata
kerja merupakan kasus khusus bagi beberapa kata kerja. Dengan mendapat imbuhan
sin maka kata kerja itu menunjuk pada perilaku timbal balik dari dua subjek yang
berhadap-hadapan. Sehingga kata sintuwu berarti saling menghidupkan.9 Dengan
demikian sintuwu mengandung makna kesedian untuk berbagi kehidupan dengan
orang lain dengan orang lain demi kehidupan itu sendiri. Hal ini didasarkan pada
pola kehidupan kolektif yang menyebabkan semua orang harus berjalan bersama,
menanggung beban bersama, menghadapi ancaman dan tantangan bersama, dan
bahkan memiliki perasaan yang sama. Inilah dasar solidaritas sosial orang Poso
dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masyarakat dan yang sekaligus
membentuk identitas kolektif mereka.10
Dalam perkembangan selanjutnya, kata sintuwu berkembang menjadi sintuwu
maroso. Maroso yang berarti kuat. Jadi sintuwu maroso secara etimologis berarti
hidup yang kuat atau dengan hidup secara bersama kita menjadi kuat. Persatuan
yang kuat disini bukan berarti membentuk satu kelompok-kelompok tertentu untuk
memperkuat diri akan tetapi membaur bersama dalam masyarakat dalam berbagai
8 J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977, hal. 71
9Toni Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial Dan Rekontruksi identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat
Elim Salon Kele’I di Poso, (Salatiga: Satya Wacana University PREES, 2014), hal. 221
10 Toni Tampake, Redefinisi Tindakan ..........hal. 222.
51
perbedaan. Sintuwu maroso berfungsi sebagai pedoman atau pandangan hidup
(falsafah hidup) baik dalam bentuk sikap mental maupun dalam cara berpikir dan
bertingkah laku, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat juga
termaksud bagi para pemimpin atau tokoh-tokoh dalam masyarakat.
Sekalipun telah ada pandangan hidup, namun pelanggaran terhadap pandangan
hidup itu dapat saja terjadi sehingga merusak keharmonisan kehidupan/
keseimbangan kosmos. Pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku dalam
alam semesta diterjemahkan sebagai pelanggaran terhadap garis keseimbangan
kosmos tersebut. Bagi setiap orang yang dianggap menjalani norma-norma yang
berlaku dalam alam semesta, garis keseimbangan kosmos ini harus dijalani secara
serta merta. Jika garis ini tidak dijalankan walaupun hanya oleh seorang individu
maka baik masyarakat maupun orang tersebut akan menderita karena berada diluar
garis tersebut. Perbuatan ini yang disebut sebagai pelanggaran adat.11 Dalam situasi
seperti itu diperlukan adanya giwu sebagai upaya mengembalikan keseimbangan
kosmos dan dalam konteks masyarakat Poso, giwu dapat menjadi alat yang dapat
mengembalikan keadaaan yang rusak akibat pelanggaran kepada keadaan sintuwu
maroso.
Melalui penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis dari
giwu adalah sintuwu maroso. Sintuwu maroso yang menjadi pedoman hidup
masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, dan kehidupan yang
harmonis itu harus didukung oleh berlakunya aturan-aturan yang mengikat tiap
anggota masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya. Sebab jika tidak ada aturan
11 Widnyana, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, (Bandung: Eresco,1995),
hal. 27
52
yang disepakati bersama, maka masing-masing anggota dengan bebas
mengaktualisasikan dirinya sehingga hal ini dapat menimbulkan kekacauan.
Kekacauan itu dapat dikembalikan menjadi harmonis seperti sedia kala jika ada
sanksi dan dalam masyarakat adat Pamona sanksi itu dikenal dengan istilah giwu.
Selain membutuhkan falsafah hidup, pola kehidupan kolektif juga
membutuhkan adanya nilai-nilai spiritual agar kehidupan yang dijalani lebih
terarah. Dalam falsafah sintuwu maroso terdapat nilai-nilai spiritual yang sangat
dalam, yaitu:
1. Tuwu Mombepatuwu (hidup saling menghidupi).
Dalam hidup baik individu maupun kelompok harus ada saling kepedulian terutama
didalam menjalankan kesempatan untuk hidup baik dalam membuka lapangan
kerja, membantu yang berkekurangan, menolong orang yang menghadapi masalah
dan sebagainya. Tidak berlebihan jika nilai dasar yang satu ini mengandung makna
kewajiban antar sesama untuk saling memberdayakan.
2. Tuwu siwagi (hidup saling menopang).
Suatu kehidupan yang dibangun berdasarkan prinsip satu kesatuan/ persaudaraan
antar sesama yang utuh dan kokoh.
3. Tuwu mombetubunaka (hidup saling menghargai dan sopan santun).
Dalam masyarakat Adat Pamona menjunjung tinggi kehidupan untuk saling
menghormati dan saling menghargai terutama dalam kehidupan antar individu,
kehidupan kekerabatan, kehidupan antar masyarakat dan lembaga-lembaga
pemerintahan berdasarkan tata krama dan adat istiadat setempat.
4. Tuwu Malinuwu (hidup subur kekal abadi).
53
Masyarakat adat Pamona tetap menumbuh kembangkan suasana kehidupan yang
dibangun berdasarkan prinsip bersatu padu, saling menopang dan saling
menghidupi satu dengan lainnya demi keberlangsungan hidup secara utuh.
Giwu dalam masyarakat adat Pamona
Dalam sebuah masyarakat, pasti terdapat ukuran mengenai apa yang baik
dan apa yang buruk. Ukuran baik dan buruk itu adalah kesepakatan masyarakat itu
sendiri. Kesepakatan masyarakat yang dilanggar oleh anggotanya akan
menyebabkan anggota masyarakat menerima reaksi dari masyarakat berupa sanksi.
Sehubungan dengan hal ini Soepomo mengemukakan bahwa segala perbuatan atau
kejadian yang mencemarkan suasana batin dan menentang kesucian masyarakat
merupakan pelanggaran terhadap masyarakat seluruhnya. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa pelanggaran yang paling berat adalah pelanggaran yang
memperkosa perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib, serta pelanggaran
yang memperkosa dasar susunan masyarakat.12 Hal ini sejalan dengan apa yang
dinyatakan oleh Howard Zehr tentang pelanggaran yang dilihat dari sudut padang
keadilan restoratif sebagai:
“Viewed through a restorative justice lens, "crime is a violation of
people and relationships. It creates obligations to make things right.
Justice involves the victim, the offender, and the community in a
search for solutions which promote repair, reconciliation, and
reassurance."13
Definisi di atas menggambarkan pandangan keadilan restoratif tentang makna
pelanggara yang pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada
12Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hal 122 13Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Scottdale,
Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990, hal. 181.
54
umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan
kemasyarakatan.
Pelanggaran itu dapat membawa dampak negatif, seperti bencana,
perasaan malu dari individu yang melanggar terhadap masyarakat, rusaknya
hubungan antara di dalam masyarakat sehingga berdampak pada hilangnya
kehidupan yang harmonis.14Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Bpk.
Yafet bahwa pelanggaran yang telah dilakukannya telah menghadirkan tekanan
mental yang sangat berat dirasakan karena hubungan dengan keluarga yang
dirugikan menjadi rusak dan masyarakatpun memberikan stigma negatif
kepadanya. “Kuncani yaku masalaa mo, paikannya ne’e mo kana na rangani
pepaku se’i pai pau-pau tau sondo.Sangko kasangkompoku ngkalio bemoo na
pedulikan yaku se’i, anakku se’e na paguru tau se’e danaka be’e mo naengge mosu
pai yaku. Ode Pue...mapari kojo katuwuku se’i....(“saya memang bersalah tapi
janganlah menambah berat pergumulanku ini dengan gunjingan. Keluargaku
sendiri tidak lagi mempedulikanku. Anakku juga mereka ajarkan untuk tidak dekat-
dekat denganku. Ya Tuhan, sungguh berat hidupku ini....”)15 Pernyataan ini
dikuatkan pula oleh Bpk. Lande yang menyatakan bahwa pelanggaran yang
dilakukan oleh anaknya telah menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga yang
gagal karena tidak bisa mendidik anak dengan baik dan juga ada perasaan malu
yang teramat besar terhadap masyarakat.16 Berdasarkan pernyataan dari dua orang
14WL Sigilipu dan PDO Sigilipu, Limbayo Ntana Pai Ada Nto Pamona i Piamo, VIBRA,
2015, hal. 187. 15Wawancara dengan Bpk. Yafet sebagai individu yang dikenai giwu, tanggal 29
September 2016 16Wawancara dengan Bpk. Lande, tanggal 26 September 2016
55
bapak yang penulis wawancarai, ada beberapa hal penting yang perlu menjadi
catatan, yaitu adanya perasaan malu17 yang dirasakan sehingga mereka merasa jauh
dari keluarga dan masyarakat dan karena perasaan ini mereka merasa tidak lagi
dipedulikan dan dianggap sebagai orang-orang yang tidak layak untuk berada
dalam sebuah komunitas.
Dalam masyarakat adat Pamona, giwu dilihat sebagai reaksi masyarakat
terhadap pelanggaran yang terjadi. Oleh karena itu giwu di tetapkan sesuai dengan
kesepakatan masyarakat adat. Masyarakat adat diwakili oleh lembaga adat yang
kepengurusannya disebut majelis adat. Majelis adat yang kemudian berperan dalam
mengurus setiap perkara secara adat, termasuk penetapan giwu. Penetapan giwu
sangat erat kaitannya dengan kepercayaan animisme masyarakat Pamona pada
zaman dahulu, sebelum agama masuk yang disebut molamoa. Dalam kepercayaan
molamoa, ada keyakinan bahwa ketika Pue Mpalaburu18 menciptakan manusia-
manusia pertama, ia telah menentukan giwu dan besarannya dengan kata-kata sala
mpale sang koro papilu, artinya, kesalahan dengan tangan (sala mpale) dikenakan
giwu lima buah, kesalahan dengan mulut (sala nguju) dikenakan giwu tiga buah,
dan untuk kesalahan dari seluruh badan (sala sangkoro) dikenakan giwu tujuh
17Dalam bahasa Pamona ada beberapa kata untuk menyebut kata malu, antara lain: ea,
longko, nggoya, ngira. Untuk menjelaskan arti kata malu, ada sebuah ungkapan ngenjomo
ponturonginya yang berarti ia malu. Sebab ngenjo berarti “pincang, timpang” dan paturo (dari akar
kata turo) artinya “firasat, pengertian, pandangan ke masa depan”. Jadi ungkapan ini berarti menjadi
ragu-ragu, tidak tahu lagi apa yang akan dikerjakan selanjutnya. Bandingkan dengan tulisan J. Kruyt
dalam “Kabar Keselamatan di Poso”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977, hal. 73. 18Dalam masyarakat adat Pamona terdapat banyak dewa dan dewa tertinggi orang Pamona
ialah Pue mPalaburu. Pue Mpalaburu sering dikatakan sebagai lamoa yang mempunyai peranan
yang sangat penting dalam kerajaan. Pue mPalaburu berarti “tuan peramas”, dan ini menunjukkan
pekerjaannya sebagai pembuat manusia.
56
buah.19 Adapun giwu dapat berbentuk hewan, seperti kerbau, babi, kambing, ayam
dan ada juga yang berbentuk barang-barang, seperti kain, piring tembaga (dula),
dan lain sebagainya. Namun dalam perkembangannya, saat ini giwu dalam bentuk
binatang dapat diganti (ndakamba) dengan membayar sejumlah uang yang
besarannya ditetapkan sebagai berikut:
1. Satu ekor ayam dapat diganti dengan uang Rp. 50.000
2. Satu ekor kambing dapat diganti dengan uang Rp. 350.000
3. Satu ekor kerbau dapat diganti dengan uang Rp. 3.000.000
Terkait dengan penggantian itu, maka sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada saat ini kerbau dapat diganti dengan sapi. Sulitnya mendapatkan kerbau
menjadi tantangan tersendiri bagi pembayaran giwu. Menurut Bpk. T. Silele, istilah
“disesuaikan” sebenarnya lebih tepat untuk menjelaskan arti dari ndakamba karena
harga seekor kerbau tidak akan sebanding dengan uang Rp. 3.000.000.20 Penetapan
kerbau sebagai denda tertinggi dari sebuah pelanggaran sesungguhnya berangkat
dari sebuah filosofi yang berhubungan dengan pertanian. Menurut WL. Sigilipu dan
PDO. Sigilipu dalam bukunya Limbayo Ntana Pai Ada nTo Pamona I Piamo,
penggunaan kerbau sebagai giwu didasarkan pada kehidupan nenek moyang suku
Pamona yang hidup dari pertanian. Kegiatan bertani saat itu masih sangat
tradisional dan mereka menggunakan tenaga kerbau untuk membantu pekerjaan
mereka di sawah. Selain itu ketika mereka pulang dari sawah dan harus
menyeberangi sungai, mereka menungganggi kerbau agar tidak dimangsa oleh
19N. Adriani dan Alb. C. Kruyt ORANG TORAJA YANG BERBAHASA BARE’E , Jilid I,
Batavia: Percatakan Negara, 1912 , hal. 364, hal. 398 20Wawancara dengan Bpk. T. Silele, tanggal 13 September 2016
57
buaya. Jadi kerbau menjadi seperti “sahabat” bagi mereka untuk melaksanakan
berbagai aktivitas dan ketika mereka melakukan pelanggaran terhadap adat istiadat
yang berlaku, maka kerbau sebagai “sahabatnya” akan diambil daripadanya.
Dengan demikian setiap orang akan berpikir panjang untuk melakukan suatu
pelanggaran karena kemungkinan dia akan kehilangan “sahabat” yang sudah sangat
banyak membantu dalam mempertahankan kehidupan.21
Berdasarkan kepercayaan orang Pamona akan otoritas Pue mPalaburu
yang telah menetapkan giwu, Bpk. O. Pomatu mencatat bahwa pelanggaran adat
terdiri atas tiga hal, yaitu: sala nguju, sala mpale dan sala sangkoro.22 Pelanggaran
itu sangat bersifat nisbi jika mengacu pada pemahaman orang Pamona tentang
otoritas dewata, dimana suatu hal dapat disebut pelanggaran jika dewata
mempertimbangkan itu sebagai sebuah pelanggaran dan itu dapat dilihat pada
akibat yang ditimbulkan. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pimpinan
adat sebagai wakil dewata untuk memutuskan perkara yang terjadi. Tantangan itu
terletak pada bagaimana mengetahui secara pasti bahwa itu adalah keputusan
dewata atau bukan, apalagi dalam banyak kejadian didapati bahwa untuk perkara
yang sama tidak terdapat keputusan yang sama. Jika kenyataan ini terjadi dewata
dianggap tidak adil sekalipun mereka tetap menerima keputusan yang ditetapkan.
Penetapan giwu biasanya dilakukan terhadap perbuatan yang menghina adat,
perzinahan, mempermainkan adat, merugikan orang lain, menghina orang lain atau
21WL Sigilipu dan PDO Sigilipu, Limbayo Ntana Pai Ada Nto Pamona i Piamo, VIBRA,
2015, hal.191. 22O. Pomatoe, “Soera Podede Awili nTaoe Toea Ri Pamona Poea” ( catatan harian yang
tidak diterbitkan, Poleganyara-Onda’e, 1937-1938, hal. 28)
58
orang yang dihormati dalam masyarakat, merugikan masyarakat dan lain
sebagainya.23
Adapun perbuatan yang dapat menimbulkan giwu, yaitu:24
1. Kejahatan ringan
a. Pencurian ringan
Seseorang pencuri diharuskan mengganti/ membayar barang curiannya. Apabila di
pengadilan adat ia menyangkal, maka ia harus memasukkan jarinya di damar yang
sedang menyala. Apabila tangannya tak terbakar berarti tidak benar mencuri.
Sebagai hukumannya ia harus membayar/ mengganti barang curiannya ditambah
seekor ayam.
b. Kamale punga (salah ambil). Seorang menangkap sapi atau kerbau
kepunyaan orang lain didenda dengan seekor kambing atau sebatang pohon sagu.
2. Kejahatan sedang
a. Bolea ncombori. Seorang laki-laki atau perempuan yang menggaggu rumah tangga
orang lain yang mengakibatkan rumah tanggga itu kacau, ia harus didenda berupa
seekor kerbau. Denda tersebut diarahkan kepada keluarga yang terganggu tersebut.
b. Rinci ngkayupa. Suami yang main-main dengan wanita lain diwajibkan membayar
seekor kerbau terhadap isterinya dan seekor kerbau untuk wanita tersebut.
23WL Sigilipu dan PDO Sigilipu, Limbayo Ntana Pai Ada Nto Pamona i Piamo, VIBRA,
2015, hal. 188. 24Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tengah Bidang
Kebudayaan dengan bantuan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Tengah, ADAT ISTIADAT RAKYAT
DI SULAWESI TENGAH, Team Prasurvey Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu: 1973, hal.
68-73
59
c. Pelogesi (mengotori). Seorang laki-laki/ perempuan yang mengganggu suami/
isteri dalam suatu keluarga yang tenteram didenda/ membayar dengan seekor
kerbau terhadap keluarga yang bersangkutan.
d. Tambal Bela (pembalut luka). Seorang yang melukai orang lain, misalnya kena
ranjau di kebun, ia harus didenda dengan seekor kerbau. Denda tersebut diserahkan
kepada yang terkena ranjau.
e. Tambang kinaea (penutup malu). Seorang suami/ isteri yang berzinah dengan
perempuan/ laki-laki lain, bila ia kembali kepada isteri/ suaminya diwajibkan
membayar seekor kerbau. Kerbau itu dipotong untuk dimakan oleh seluruh
masyarakat desa/ kampung. Selesai makan ketua adat memberikan pengumuman
yang berbunyi: “Jam ini kita makan kerbau yang diberi si Anu, kita tidak boleh
menyebut kejadian ini diluar karena sudah didamaikan. Barangsiapa yang
menyebut-nyebut akan dikenakan denda.”
f. Pedasi Ama (pendamai api). Kebakaran yang disebabkan oleh seseorang dikenakan
denda sesuai dengan kerugian.
g. Karapa banga. Perempuan yang memegang celana laki-laki sampai robek
diharuskan membayar denda sebesar kerugian laki-laki tersebut.
h. Palisi mpale (mencuci tangan). Seorang yang memukul/ malukai orang lain (tidak
mati), didenda seekor kerbau.
i. Karonu ngkinaa (kerusakan makanan). Pihak laki-laki (pesta perkawinan) yang
terlambat datang saat waktu pelaksanaan pesta perkawinan sehingga menyebabkan
kerugian pihak perempuan, diwajibkan membayar kerugian pihak perempuan
tersebut sebelum perkawinan diteguhkan.
60
j. Saru mpedonge. Seorang yang merampas hak orang lain diwajibkan mebayar denda
selembar sarung atau seekor kerbau.
3. Kejahatan berat
Dungka bente (merobohkan benteng). Jika dalam sebuah peperangan ada sesorang
yang merobohkan benteng tempat perlindungan sehingga menimbulkan banyak
korban, maka orang tersebut dikenakan hukuman mati.
Jenis-jenis peraturan yang diuraikan di atas dapat digolongkan sebagai
peraturan pidana. Adapun peraturan perdata yang dapat menimbulkan giwu dalam
masyarakat adat pamona adalah:25
1. Torobaka eja. Seorang suami yang rujuk lebih dahulu harus membayar seekor
kerbau terhadap isterinya. Pembayaran inilah yang dimaksud torobaka eja yang
berarti “pembuka jalan naik tangga”
2. Poyue ntomponya. Apabila terjadi perceraian akibat perselingkuhan dalam rumah
tangga, maka kepada yang menghendaki perceraian tersebut harus membayar
seekor kerbau.
3. Venci ntida. Seorang laki-laki/ perempuan yang menghendaki kawin dengan
kemenakannya menurut adat pamona tidak diperkenankan, tetapi jika keadaan
mengharuskan untuk dilaksanakan, maka ia harus membayar dengan seekor kerbau.
4. Lumpia ntida. Seorang laki-laki yang ingin kawin dengan bibi/ tantenya, sebelum
sampapitu di setujui, ia harus membayar dengan seekor kerbau.
25 Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan......., hal. 71-73
61
5. Pompakangura. Seorang laki-laki tua yang menghendaki kawin dengan seorang
gadis harus memberikan seekor kerbau kepada pihak keluarga si gadis.
Pompakangura dapat diartikan mengubah laki-laki tua menjadi muda.
6. Pelusoki. Seorang laki-laki yang telah berjanji untuk kawin dengan seorang wanita
tetapi mengingkari janjinya, kepadanya dikenakan denda seekor kerbau.
7. Peliunaka. Seorang yang akan kawin dengan seorang gadis, sedangkan kakak
perempuan gadis itu belum kawin, sebelum memberikan sampapitu lebih dahulu
menyerahkan selembar kain pelekat kepada kakak gadis tersebut karena dianggap
telah melanggar hak kakak perempuan bakal isterinya.
8. Vusoi ntabo (pencuci piring). Seorang perempuan yang ingin kawin dengan bekas
suami tantenya harus membayar seekor kerbau sebelum perkawinan
dilangsungkan.
9. Vusoi ncuke (pencuci gelas). Seorang laki-laki yang ingin kawin dengan bekas isteri
pamannya harus membayar seekor kerbau sebelum perkawinan dilangsungkan.
10. Peiviti. Seorang menjual binatang (sapi, kerbau, kuda, dll) dalam keadaan
bunting, namun apabila suatu saat dia menginginkan anak binatang itu, maka ia
harus menyerahkan selembar sarung kepada si pembeli.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemberian giwu tidak lagi berlaku untuk
semua hal-hal di atas. Melalui Hasil Keputusan Lokakarya dan Rapat Kerja Adat
Pamona Kabupaten Poso tanggal 22-23 Januari 2008 di Desa Tagolu, maka
perbuatan yang dapat menimbulkan giwu dapat dibagi dalam:26
1. Masalah yang berhubungan dengan adat perkawinan
26Majelis Adat Pamona Kabupaten Poso, Hasil Keputusan Lokakarya dan Rapat Kerja Adat
Pamona Kabupaten Poso Tanggal 22-23 Januari 2008 di Tagolu. Poso, 2008
62
a. Owosi Buyu (tidak dapat diganti). Sebelum dilangsungkan pernikahan, harus dilihat
terlebih dahulu hubungan kekerabatan yang mungkin terjalin antara pihak laki-laki
dan perempuan yang akan menikah. Hubungan kekerabatan itu dilihat dari empat
sisi, yaitu dari jalinan kekrabatan ayah dan ibu pihak laki-laki serta jalinan
kekerabatan dari ayah dan ibu pihak perempuan. Apabila ditemui adanya jalinan
kekerabatan antara pihak laki-laki dan perempuan pada tiga sisi yang dapat
menghalangi terjadinya pernikahan, maka pihak laki-laki-laki harus memberikan
seekor kerbau agar pernikahan dapat dilangsungkan.
b. Owosi Mbata. Jika ditemukan adanya hubungan kekerabatan antara pihak laki-laki
dan perempuan dari dua sisi, maka pihak laki-laki harus memberikan satu buah kain
yang diletakkan di atas nampan.
c. Katotambe. Jika ditemukan adanya hubungan kekerabatan antara pihak laki-laki
dan perempuan hanya pada satu sisi saja, maka pernikahan dapat dilangsungkan
tetapi pihak laki-laki harus memberikan sebuah kain.
d. Ndapanga/Ndawogoi. Jika ditemukan hubungan kekerabatan pada empat sisi yang
menghalangi terjadinya pernikahan, maka pernikahan sama sekali tidak boleh
dilakukan. Namun jika laki-laki dan perempuan itu tetap memaksa untuk menikah,
maka mereka akan diikat menjadi satu dan ditenggelamkan di dalam air. Akan
tetapi saat ini tidak lagi dilakukan.
e. Pelego-lego. Jika lamaran telah diterima oleh pihak perempuan dan selanjutnya
salah satu pihak calon pengantin memilih membatalkan lamaran yang telah
disepakati, maka pihak yang membatalkan harus membayar giwu berupa seekor
kerbau yang akan diberikan kepada pihak yang menerima pembatalan.
63
f. Petengosi Ri Ada. Ada aturan dalam masyarakat adat Pamona bahwa jika
perempuan telah hamil sebelum menikah, maka laki-laki yang menikahinya tidak
perlu mengajukan lamaran. Namun dalam banyak kasus seringkali kehamilan itu
disembunyikan oleh pihak perempuan dan laki-laki, sehingga prosesi lamaran tetap
dilakukan. Apabila kehamilan pihak perempuan itu diketahui setelah prosesi
lamaran berlangsung, maka kedua belah pihak harus memberikan seekor kerbau
karena telah membohongi adat. Kerbau itu diberikan untuk desa/ kampung.
g. Pebualosi
1. Jika lamaran telah berlansung dan dalam masa penantian pesta pernikahan ternyata
laki-laki menghamili perempuan, maka mereka harus memberikan seekor kerbau
karena telah menghina adat.
2. Jika seorang perempuan yang telah menerima lamaran dari seorang laki-laki
kedapatan berselingkuh dan laki-laki yang melamar tidak mau menerima
perempuan itu lagi, maka laki-laki yang telah berselingkuh dengannya harus
memberikan seekor kerbau kepada laki-laki yang telah melamar tadi.
h. Poruta
1. Jika seorang laki-laki berzinah dengan kemenakannya, maka laki-laki itu harus
memberikan seekor kerbau untuk desa/ kampung.
2. Jika berzinah dengan saudara kandung, laki-laki dan perempuan itu harus
memberikan dua ekor kerbau untuk desa/ kampung. Hal ini juga berlaku ketika
seorang laki-laki berzinah dengan ibu atau anak kandungnya.
3. Jika seseorang berhubungan intim dengan binatang peliharaan, maka ia harus diusir
dari desa/ kampung.Pada zaman masyarakat Pamona masih beragama suku,
64
perzinahan dengan ibu dan anak kandung serta binatang peliharaan akan
mendatangkan sanksi ditenggelamkan. Sanksi seperti ini tidak dilakukan lagi
sekarang.
i. Petianasi (menghamili)
1. Jika seorang laki-laki menghamili seorang perempuan atas dasar suka sama suka
dan mereka akan menikah, maka mereka harus memberikan seekor kerbau sebagai
jalan pelaksanaan perkawinanan adat.
2. Jika laki-laki tidak menikahi perempuan yang dihamilinya, maka ia harus
memberikan seekor kerbau karena mengotori desa/ kampung, seekor kerbau karena
tidak menikahi perempuan itu, dan seekor kerbau lagi jika ia mengakui anak telah
atau akan lahir sebagai anaknya.
j. Perceraian
1. Polebolusu dapat dilihat dari dua hal, yaitu: a) Jika perceraian terjadi atas
kesepakatan bersama, maka kedua belah pihak harus memberikan seekor kerbau
sebagai penghargaan kepada adat; b) Jika kedua pihak didapati bersalah dan salah
satu pihak tetap menginginkan perceraian, maka pihak yang menginginkkan
perceraian itu harus memberikan seekor kerbau.
2. Taji damata. Jika seorang suami meninggalkan istrinya tanpa sebab yang jelas,
maka ia harus memberikan tiga ekor kerbau, seekor untuk desa/ kampung dan dua
ekor untuk istri yang ditinggalkannya. Namun jika istri yang meninggalkan
suaminya, maka ia harus memberikan empat ekor kerbau, seekor untuk desa/
kampung dan tiga ekor untuk suami yang ditinggalkannya.
65
3. Salara (perselingkuhan) dapat dilihat dari empat hal yaitu: a) Jika istri tetap
menerima suaminya yang telah berselingkuh, maka sang suami harus memberikan
seekor kerbau kepada istrinya. b) Jika suami tetap menerima istrinya yang telah
berselingkuh, maka laki-laki yang menjadi selingkuhan sang istri harus
memberikan seekor kerbau kepada sang suami yang diselingkuhi. c) Jika pihak
yang diselingkuhi tidak mau memperbaiki kembali rumah tangga mereka, maka
pihak yang berselingkuh harus memberikan tiga ekor kerbau kepada pihak yang
diselingkuhi dan satu ekor kerbau lagi untuk desa/ kampung. d) Jika laki-laki dan
perempuan yang berselingkuh telah memiliki rumah tangga masing-masing, maka
mereka harus membayar tujuh ekor kerbau apabila mereka memilih bercerai dari
pasangan masing-masing atau pasangan mereka masing-masingpun menginginkan
hal yang sama. Laki-laki yang berselingkuh membayar empat ekor dan perempuan
membayar tiga ekor kerbau: enam ekor kerbau akan diberikan kepada pasangan
yang di selingkuhi, masing-masing tiga ekor, dan seekor kerbau diberikan untuk
desa/kampung.
4. Kolika Eja bara Torabaka Eja. Jika suami istri telah sah bercerai namun suatu
saat igin kembali menikah, maka laki-laki atau suaminya harus membayar seekor
kerbau kepada istri atau pihak istrinya.
5. Polangari bara Tambangkinaeya.Jika ada orang yang membuat suami atau
istrinya marah, maka ia harus memberikan seekor kerbau agar hubungannya
menjadi harmonis kembali. Namun jika seekor kerbau belum diterima, maka ia
harus menambah seekor kerbau lagi. Demikian pula selanjutnya, jika dua ekor
kerbau belum diterima dan ia masih ingiin bersama dengan isteri atau suaminya,
66
maka ia dapat menambah satu ekor kerbau lagi dan seterusnya sampai diterima.
Apabila ia tidak ingin lagi meneruskan hubungan itu, maka ia dapat menghentikan
pemberiannya.
Selain hal-hal praktis tentang pemberlakuan giwu diatas, Majelis Adat
Pamona Kabupaten Poso juga menambahkan catatan tantang pelanggaran lain yang
dapat menimbulkan giwu yaitu dalam bentuk ritual sekalipun hal itu tidak lagi
dilakukan saat ini. Menurut Bpk. Drs. J. Santo sebagai Ketua Umum Majelis Adat
Pamona Kabupaten Poso saat itu, ritual-ritual itu sengaja dicantumkan dalam
catatan hasil keputusan Lokakarya dan Rapat Kerja Adat Pamona tahun 2008 agar
masyarakat adat Pamona khususnya generasi muda tetap mengetahui bahwa ritual-
ritual itu pernah ada dan dilakukan dengan tujuannya masing-masing.27 Tentu hal
ini dilihat sebagai upaya melestarikan adat istidat Pamona. Adapun pelanggaran
yang lain dan cara memulihkanya, yaitu:28
a. Tambu tana
Jika ada seseorang mengatakan kebohongan yang dapat mempermalukan orang
lain, maka ia di giwu dengan membayar seekor kerbau atau babi yang akan di
sembelih dan dimakan bersama-sama ketika permasalahan itu diselesaikan oleh
pemuka adat. Setelah masalah itu diselesaikan, maka tidak ada seorangpun yang
boleh mengungkit-ungkitnya karena dianggap telah selesai. Apabila itu terjadi,
maka orang yang mengungkit-ungkitnya akan diberikan sanksimengikuti giwu
sebelumnya.
27 Hasil wawancara dengan Bpk. J. Santo, tanggal 5 Agustus 2016 28O. Pomatoe, Soera: salinan asli, foto oengka ri Toea Pandita A. C. Kruyt, Pendolo 1932,
Pamona, 1938, hal. 167
67
b. Maganggo silo
Apabila ada seseorang yang dicurigai memiliki ilmu hitam tetapi ia
menyangkalinya, maka orang itu diminta untuk menggenggam bara api yang masih
menyala. Jika tangannya tidak melepuh, maka benar dia tidak memiliki ilmu hitam
dan orang yang mengatakan ia memiliki ilmu hitam harus di giwu dengan
membayar seekor kerbau. Kerbau itu akan disembelih dan dimakan bersama-sama
dengan orang banyak sehingga masalah itu tidak akan diungkit-ungkit lagi. Namun
jika tangan orang yang dicurigai memiliki ilmu hitam tadi melepuh, maka benar ia
memiliki ilmu hitam. Ketika masyarakat Pamona masih menganut agama suku,
orang itu akan dibunuh atau diusir dari kampung/ desa tetapi hal itu tidak lagi
dilakukan saat ini.
c. Mogego29
Hukum dewata yang terbanyak diterapkan oleh orang Pamona adalah menancapkan
lembing-lembing ke dalam tanah (mogego). Ritual ini dilakukan oleh dua pihak,
yaitu yang menuntut dan yang dituntut. Mereka harus melemparkan lembing
kedalam tanah dari tempat yang agak tinggi. Apabila lembing jatuh disisi yang salah
dari batas kayu atau mengenai batas kayu tersebut, maka pihak itu dinyatakan kalah.
Cara lain adalah bagian lembing yang telah menancap ke dalam tanah, di ukur siapa
yang lembingnya paling dalam menancap, dialah yang menjadi pihak yang
dibenarkan.
d. Moandu sala30
29N.Adriani dan Alb. C. Kruyt ORANG TORAJA YANG BERBAHASA BARE’E , Jilid I,
Batavia: Percatakan Negara, 1912 , hal. 364 30N.Adriani dan Alb. C. Kruyt ORANG TORAJA YANG BERBAHASA BARE’E , Jilid II,
Batavia: Percatakan Negara, 1912, hal. 276-278
68
Pada zaman dahulu, semua orang Pamona adalah petani, tidak terkecuali
mulai dari pemimpin sampai dengan para budak mereka. Semua pikiran mereka
selalu dicurahkan kepada aktivitas bertani. Bahkan segala kepercayaan yang
berhubungan dengan dewa-dewa dan para arwah selalu berhubungan dengan usaha
bagaimana yang akan berakibat baik terhadap sawah mereka. Setiap terjadi
pelanggaran terhadap adat kebiasaan, maka para dewa selalu akan menghukum
mereka pada ladangnya.31 Oleh karena itu setiap tahun, sebelum bertanam padi,
diberikan sebuah kurban kepada Pue mPalaburu yang disebut moandu sala.
Pemberian kurban ini dilakukan dalam sebuah ritual yang disebut ritual moandu
sala. Ritual ini ditujukan untuk pembersihan dosa-dosa. Pengertian dosa dalam hal
ini ialah berhubungan dengan pelanggaran suatu pantangan yaitu perzinahan atau
perkawinan antara orang tua dan anaknya sendiri, antara paman atau bibi dengan
keponakannya, antara saudara kandung dan perbuatan zinah yang lain. Pelanggaran
pantangan ini dipercaya akan mengakibatkan kemurkaan alam berupa bencana
kekeringan yang akan menggagalkan panen.
Upacara moandu sala dilakukan oleh semua penghuni desa baik tua, muda
dan anak-anak tanpa terkecuali di sebuah sungai yang tidak terlalu besar. Semua
orang harus mengenakan ikat kepala yang terbuat dari bahan kulit kayu. Pada saat
ini jalan menuju desa ditutup dengan menggunakan sebuah batu besar, sebuah meja
sesajian dibuat dan pada meja ini diikatkan seekor babi. Semua orang duduk
mengelilingi meja sesajian ini dengan beralaskan kain katun. Seorang pemimpin
akan berdiri menghadap ke arah timur dan menginjakkan salah satu kakinya pada
31N. Adriani dan Alb. C. Kruyt ORANG TORAJA......... hal. 256-257
69
babi yang sudah diikat di atas meja sesajian. Ia akan mengunyah siri pinang
sebanyak 7 kali dan menyemburkannya ke atas sambil memanggil para dewa. Kata-
kata yang diucapkan untuk pemanggilan ini berbeda antara suku satu dan lainnya
akan tetapi dibawah ini akan diberikan salah satu contohnya yaitu:
“Wahai, Pue mPalaburu, dengarkanlah apa yang saya katakan.
Kalian para dewa yang tinggal di atas langit dan di bawah bumi
dengarkanlah apa yang akan saya katakan. Disini kami yang
mungkin sudah berdosa dengan tingkah laku kami yang
menggunakan mulut kami, tangan kami atau kaki kami ataupun juga
telinga kami yang sudah mendengar suatu dosa orang lain meminta
maaf kepada kalian. Ini kami memberi babi, kerbau dan kambing
untuk memohon kepada kalian agar diturunkan hujan. Jika kalian
tidak menurunkan hujan maka tahun ini tidak ada yang dapat kami
makan. Wahai Sareo dan Sarengge (nama dua arwah laki-laki dan
wanita yang menumbuhkan padi) terimalah pemberian kami ini dan
turunkanlah hujan untuk kami”32
Sesudah pemanggilan arwah ini maka babi disembelih dengan cara ditusuk
dan darahnya akan dioleskan pada pipi dan dahi setiap orang yang hadir. Sesudah
itu binatang korban lainnya akan disembelih dan dagingnya akan dimakan bersama-
sama. Hanya bagian hati dari binayang korban tersebut yang akan diletakkan di atas
meja sesajian.
Pada saat itu juga akan dibuat perahu-perahuan kecil yang didalamnya akan
diisi dengan sedikit padi, telur ayam, beberapa keping uang logam, sesobek kain
katun atau kain tenun dari orang yang hadir, lidah hewan korban, sirih pinang dan
tembakau. Perahu-perahuan ini selanjutnya akan dihanyutkan di atas sungai sanpai
ke bagian hilir. Kemudian orang-orang akan memukul-mukulkan daun tetari dan
32Boo Pue mPalaburu, pedongeka da kuto’o. Anu ncilau, pedongeka wo’u da kuto’o, anu
sindate pendongeka da kuto’o. Se’i kami, bara masala ri nguju, bara masala ri pale, bara masala
ri witi, bara talinga mami madonge sala ntau anu salipunya, mayali talinga mami, mayali nguju
mami. Se’i mbawu samba’a pai baula pai mbula, kaperapika ri komi da niwai uja. Ane bare’e niwai
uja, nunjaa da kakoni santa’u se’i. Boo Sareo, Sarengge, kawaika anu nce’i nipawaika kami uja.
70
lokaya (sejenis daun yang tajam) ke badan dengan maksud untuk mengeluarkan
semua dosa-dosa dan membuannya bersama perahu-perahuan kecil tadi. Acara
selanjutnya ialah membiarkan perahu-perahuan itu untuk dihanyutkan air sungai
dan mencari jalan sendiri. Sesudah mereka kembali ketempat diadakannya upacara
semula maka mereka akan saling menyemprotkan air (mompejempi). Hal ini
dimaksudkan untuk merangsang agar hujan segera turun.
Kemudian batu besar yang dipergunakan untuk menutup jalan desa
disingkirkan dengan mengucapkan: manga’a ri watu, matomo ri pae (sekarang
batunya menjadi tingan dan padi menjadi berat). Hal ini dimaksudkan untuk
memberi sugesti bahwa padi yang akan mereka panen hasilnya bagus dan berisi
bayak buli-bulir padi. Pada saat mereka pulang kembali ke desa maka mereka akan
memasang batu-batu kecil pada ikat kepala yang menempel di dahinya sebagai
lambang kekuatan yang diibaratkan keras seperti batu. Ritual ini sama dengan ritual
morambulangi.
e. Mencili, meloyo (menyelam)
Di bawah air ditanamkan dua buah tongkat yang dipegang erat-erat oleh dua orang
yang berada pada pihak yang bermasalah. Mereka harus menyelam di dalam air dan
siapa yang terlebih dahulu muncul di permukaan air, dialah pihak yang kalah dan
dianggap bersalah.
Dari beberapa ritual yang telah disebutkan di atas, hanya ada tiga ritual
yang dikenal sebagai hukuman dewata, yaitu moganggo silo, mogego, mencili/
moloyo. Ritual-ritual yang disebutkan diatas tidak lagi dilaksanakan saat ini dan
giwu yang diberikan saat ini kebanyakan dengan memberikan denda berupa
71
binatang, kain, dan sebagainya. Sekalipun telah mengalami pergeseran dalam hal
cara pelaksanaan giwu, namun makna dan tujuannya tidak berubah yaitu
mengembalikan harmonisasi kehidupan. Bahkan sesuai dengan perkembangan
zaman, giwu dalam bentuk binatang dapat diganti/ disesuaikan dengan sejumlah
uang. Menurut Ketua Majelis Adat Desa Buyumpondoli, pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi dan menimbulkan giwu saat ini didominasi oleh masalah di seputar
perkawinan, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, perzinahan,
kehamilan di luar nikah, dan lain sebagainya.
B. Tempat menyelesaikan pelanggaran adat dalam masyarakat adat Pamona
Sesuai dengan adat istiadat suku Pamona, setiap ada perkara adat yang
harus dibicarakan dan diselesaikan harus dilakukan di rumah adat yang dikenal
dengan Lobo. Menurut O. Pomatoe mengatakan: “Lobo mampakaroso pai
mapakanoto po ada ngkatuwu ri Lemba Poso”, artinya “Lobo memperkuat dan
menegaskan hidup yang ber-adat di tanah Poso”. “Lobo ince’e tampa potunda ada
sintuwu maroso, tuwu siwagi pai tuwu malinuwu”, artinya “Lobo adalah tempat
menyatakan adat sintuwu maroso (persatuan yang kuat), tuwu siwagi (hidup saling
menopang) dan tuwu malinuwu(hidup yang subur kekal abadi)”.33 Namun
sayangnya Lobo tidak dapat ditemui wujudnya saat ini dan menurut O. Pomatoe,
inilah alasan mengapa kehidupan adat istiadat Pamona tidak kuat lagi saat ini.34
Oleh karena itu ada upaya yang terus dilakukan oleh orang-orang suku Pamona
untuk menghidupkan kembali simbol persatuan masyarakat adat Pamona ini. Upaya
ini juga dilakukan oleh Pemerintah Desa Buyumpondoli, diawali dengan
33 Ompioni Pomatoe, Soera Pdede Awili-nTau Toe’a Ri Pamona Poea , hal 342 34 Ompioni Pomatoe, Soera............,hal 342
72
menghadirkan ornamen-ornamen adat Pamona pada bangunan Kantor Desa dan
Baruga (tempat pertemuan Desa). Saat ini fungsi Lobo digantikan oleh Baruga,
dimana segala pembicaraan yang berhubungan dengan penyelesaian adat dilakukan
di tempat ini. Menurut Ketua Majelis Adat Desa Buyumpondoli, penyelesaian
perkara Baruga dilakukan dalam rangka pengambilan dan penetapan keputusan
adat terhadap sebuah perkara, termasuk penetapan giwu.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan beberapa hal penting
sehubungan dengan giwu dalam dalam masyarakat adat Pamona, yaitu:
1. Landasan filosofis dari giwu adalah sintuwu maroso karena giwu lahir dari
kesadaran kolektif masyarakat Poso secara khusus masyarakat adat Pamona.
Selanjutnya landasan filosofis giwu melahirkan beberapa nilai-nilai yang dapat
menjadi nilai spiritual dari giwu, antara lain: tuwu mombepatuwu, tuwu siwagi,
tuwu mombetubunaka, tuwu malinuwu.
2. Individu dan kelompok yang dikenai giwu merasa disingkirkan dari komunitas
masyarakat, dalam hal ini masyarakat cenderung tidak peduli dengan mereka yang
dikenai giwu. Dalam hal ini ada masalah yang ditimbulkan karena adanya giwu,
yaitu masalah hilangnya kepedulian.
3. Ketidakpedulian terhadap mereka yang dikenai giwu lahir dari stigma yang
diberikan oleh masyarakat kepada pelanggar adat sebagai orang yang tidak ber-adat
(bhs. Pamona: be’e mo ada). Orang yang tidak ber-adat dapat dimaknai sebagai
orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang adat dalam konotasi negatif (bhs.
Pamona: be’e nancani ada) dan orang-orang seperti ini perlu diberikan
pengetahuan mendalam tentang adat istiadat yang berlaku, sehingga bagaimana
73
mendidik orang tentang adat istiadat yang berlaku menjadi persoalan yang harus
dijawab selanjutnya.
4. Dalam kaitan dengan persoalan mendidik di atas, maka perlu juga
mempertimbangkan akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang
terhadap adat istiadat yang berlaku terhadap hubungan-hubungan dengan sesama
masyarakat. Pelanggaran yang dilakukan telah merusak hubungan-hubungan dalam
masyarakat sehingga keseimbangan antara aspek-aspek kehidupan terganggu dan
menimbulkan hilangnya kedamaian yang diharapkan bersama. Oleh karena itu
bagaimana memperbaiki hubungan-hubungan yang telah rusak adalah masalah
yang harus diatasi selanjutnya.
5. Ketika hubungan-hubungan yang rusak itu telah diperbaiki, maka persoalan
selanjutnya adalah bagaimana mengutuhkan kembali hubungan-hubungan yag
telah retak tersebut sehingga kebebasan dari masalah sungguh dapat dirasakan dan
kedamaian serta kebahagiaan bersama dapat dinikmati. Dalam hal ini persoalan itu
tidak diungkit-ungkit lagi dan semuanya telah kembali seperti sedia kala, artinya
kehidupan harmonis telah kembali. Jadi persoalan yang terakhir yang menjadi fokus
untuk diselesaikan adalah bagaimana mengembalikan sintuwu maroso di dalam
kehidupan masyarakat adat.