garam dengan zat besi tekpng

23
Garam dengan Zat Besi, Strategi Praktis dan Efektif Menanggulangi Anemia Submitted by admin on 12 April 2008 - 9:29pm Kesehatan Selain busung lapar, ada lagi jenis kelaparan yang perlu kita cermati keberadaannya, yakni kekurangan zat gizi mikro, atau yang lebih sering disebut sebagai "kelaparan tersembunyi (hidden hunger) ". Zat gizi mikro (micronutrient) adalah zat gizi berupa vitamin dan mineral, yang walaupun kuantitas kebutuhannya relatif sedikit namun memiliki peranan yang sangat penting pada proses metabolisme dan beberapa peran lainnya pada organ tubuh. Kekurangan asupan dan absorbsi zat gizi mikro dapat mengakibatkan gangguan pada kesehatan, pertumbuhan, mental dan fungsi lain (kognitif, sistim imunitas, reproduksi, dan lain-lain). Salah satu zat gizi mikro yang terpenting adalah zat besi (Fe). Zat besi memiliki peran yang sangat penting pada pembentukan hemoglobin yakni protein pada sel darah merah yang bertugas mengantarkan oksigen dari paru-paru ke otak dan seluruh jaringan tubuh. Kekurangan zat besi dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya anemia gizi besi (iron deficiency anemia/IDA). Secara umum, dampak yang ditimbulkan dari anemia gizi besi adalah kelesuan sebagai akibat kurangnya pasokan oksigen dalam darah, lemahnya konsentrasi berfikir dan rendahnya produktivitas kerja. Selain itu, pada anak-anak anemia gizi besi dapat mengakibatkan kerusakan sel otak secara permanen, gangguan perkembangan psikomotorik serta gangguan pada sistem imunitas tubuh. Sedang pada ibu hamil anemia gizi besi dapat mengakibatkan kematian bayi dalam kandungan, lahir prematur atau lahir dengan berat badan rendah. Seperti halnya di negara berkembang lainnya, anemia gizi besi merupakan masalah gizi utama di Indonesia. Diperkirakan 25-35% penduduk Indonesia menderita anemia gizi besi, dengan prevalensi terbesar pada ibu hamil dan balita. Selain berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia, anemia gizi besi juga memberikan dampak yang besar pada

Upload: yohana-titoet

Post on 14-Dec-2014

58 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

Garam dengan Zat Besi, Strategi Praktis dan Efektif Menanggulangi AnemiaSubmitted by admin on 12 April 2008 - 9:29pm

Kesehatan

Selain busung lapar, ada lagi jenis kelaparan yang perlu kita cermati keberadaannya, yakni kekurangan zat gizi mikro, atau yang lebih sering disebut sebagai "kelaparan tersembunyi (hidden hunger) ". Zat gizi mikro (micronutrient) adalah zat gizi berupa vitamin dan mineral, yang walaupun kuantitas kebutuhannya relatif sedikit namun memiliki peranan yang sangat penting pada proses metabolisme dan beberapa peran lainnya pada organ tubuh. Kekurangan asupan dan absorbsi zat gizi mikro dapat mengakibatkan gangguan pada kesehatan, pertumbuhan, mental dan fungsi lain (kognitif, sistim imunitas, reproduksi, dan lain-lain). Salah satu zat gizi mikro yang terpenting adalah zat besi (Fe). Zat besi memiliki peran yang sangat penting pada pembentukan hemoglobin yakni protein pada sel darah merah yang bertugas mengantarkan oksigen dari paru-paru ke otak dan seluruh jaringan tubuh. Kekurangan zat besi dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya anemia gizi besi (iron deficiency anemia/IDA). Secara umum, dampak yang ditimbulkan dari anemia gizi besi adalah kelesuan sebagai akibat kurangnya pasokan oksigen dalam darah, lemahnya konsentrasi berfikir dan rendahnya produktivitas kerja. Selain itu, pada anak-anak anemia gizi besi dapat mengakibatkan kerusakan sel otak secara permanen, gangguan perkembangan psikomotorik serta gangguan pada sistem imunitas tubuh. Sedang pada ibu hamil anemia gizi besi dapat mengakibatkan kematian bayi dalam kandungan, lahir prematur atau lahir dengan berat badan rendah. Seperti halnya di negara berkembang lainnya, anemia gizi besi merupakan masalah gizi utama di Indonesia. Diperkirakan 25-35% penduduk Indonesia menderita anemia gizi besi, dengan prevalensi terbesar pada ibu hamil dan balita. Selain berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia, anemia gizi besi juga memberikan dampak yang besar pada perekonomian nasional. Diperkirakan setiap tahun Indonesia mengalami kerugian sekitar 8,9 triliun rupiah akibat anemia. Strategi Penanggulangan Ada 2 jenis pendekatan yang dapat dilakukan guna mengatasi dan mencegah kekurangan zat besi, yakni pendekatan berbasis medis (pharmaceutical based approach) yakni dengan suplementasi, dan pendekatan berbasis pangan (food based approach) yakni dengan perbaikan makanan pangan dan fortifikasi pangan. Penanganan defisiensi zat besi melalui suplementasi tablet besi merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan kadar zat besi dalam jangka pendek. Suplementasi biasanya ditujukan pada golongan yang rawan mengalami defisiensi besi seperti ibu hamil dan ibu menyusui. Di Indonesia, pemerintah melakukan program suplementasi gratis pada ibu hamil melalui Puskesmas dan Posyandu, dengan menggunakan tablet besi folat (mengandung 60 mg elemental besi dan 0,25 mg asam folat). Kendala utama dari efektifitas metoda ini adalah dibutuhkan biaya yang cukup tinggi dan perlu motivasi yang berkelanjutan dalam mengkonsumsi suplemen. Perbaikan pangan berupa modifikasi dan diversifikasi pangan merupakan metoda yang paling ideal. Namun, seringkali dalam prakteknya memiliki berbagai keterbatasan, antara lain sulitnya merubah kebiasaan kesukaan seseorang akan jenis makanan serta mahalnya bahan pangan yang kaya akan zat besi dengan bioavailabilitas tinggi seperti daging-dagingan. Fortifikasi atau penambahan satu atau lebih zat gizi mikro pada pangan yang lazim dikonsumsi merupakan strategi penting yang dapat digunakan untuk meningkatkan status zat gizi mikro di dalam pangan. Fortifikasi pangan

Page 2: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

umumnya digunakan untuk mengatasi masalah zat gizi mikro pada jangka menengah dan panjang. Beberapa kelebihan dari strategi ini adalah populasi sasarannya luas, tidak diperlukan sarana program khusus dalam pemberian, serta tingkat penerimaan dan tingkat kesinambungannya tinggi. Di negara-negara maju, fortifikasi pangan merupakan strategi yang terbukti paling efektif untuk mengontrol kekurangan zat gizi mikro. Sebagai contoh, program fortifikasi margarin dengan vitamin A berhasil menghilangkan ricket di Inggris, Kanada dan Eropa Utara. Fortifikasi garam dengan iodium yang merupakan program dunia yang terbukti mampu menekan goitre secara signifikan. Sedangkan untuk zat besi, Di Swedia dan Amerika Serikat fortifikasi pada tepung terigu berhasil menurunkan prevalensi penderita anemia gizi besi secara dramatis. Garam sebagai "Tunggangan" Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk penanggulangan anemia gizi besi, fortifikasi pangan dipandang oleh para ahli gizi sebagai strategi yang paling praktis, ekonomis dan efektif untuk memenuhi kebutuhan asupan harian zat besi. Di Indonesia, fortifikasi zat besi telah wajib diberlakukan pada beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang digunakan sebagai tunggangan (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan kontinyu oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Agar strategi fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari pangan "tunggangan" baru yang lebih umum dan banyak dikonsumsi masyarakat. Dilihat dari tingkat ekonomi dan kultur masyarakat Indonesia, kandidat yang sangat potensial sebagai tunggangan besi adalah garam. Sebagaimana diketahui, garam merupakan bahan pangan yang murah, mudah didapat dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat di segala tingkat ekonomi. Disamping itu, kadar dan cara konsumsi garam bisa dikatakan hampir seragam. Penggunaan garam sebagai pangan tunggangan pada fortifikasi iodium telah dilakukan secara nasional dan terbukti berhasil menanggulangi defisiensi iodium. Oleh karenanya, penambahan zat besi pada garam beriodium memiliki harapan besar dapat digunakan untuk menanggulangi dua masalah gizi utama di Indonesia sekaligus, yakni gangguan akibat kekurangan iodium (GAKY) dan anemia gizi besi (AGB). Permasalahan teknologi. Poin penting yang harus diperhatikan pada fortifikasi garam beriodium dengan zat besi adalah bioavailabilitas zat besi dan kestabilan iodium. Dibandingkan dengan zat gizi mikro lain, zat besi dikatakan sebagai mineral yang paling sulit difortifikasi. Permasalahan utamanya adalah senyawa besi larut air seperti besi sulfat, besi laktat dan sebagainya, yang diketahui paling mudah diserap tubuh, seringkali menyebabkan perubahan warna dan bau yang tidak diinginkan pada pangan tunggangannya. Sebagai contoh, penambahan pada garam kualitas rendah dengan cepat akan mengakibatkan perubahan warna dan bau tidak sedap, akibat reaksi antara ion besi dengan udara dan senyawa pengotor seperti magnesium klorida dan magnesium sulfat. Disisi lain, senyawa tidak larut air seperti besi elemen tidak menimbulkan perubahan warna dan bau, namun sulit diserap oleh tubuh sehingga nilai gizinya sangat rendah. Selain itu, permasalahan utama lainnya adalah terjadinya reaksi antara iodium dengan besi yang mengakibatkan berkurang atau hilangnya kandungan iodium. Oleh karenanya, pada pengembangan teknologi fortifikasi garam beriodium dengan zat besi, kedua permasalahan ini harus diatasi agar didapatkan garam fortifikasi yang dapat diterima secara organoleptik dan memiliki nilai gizi yang tinggi. Mikroenkapsulasi, solusi permasalahan. Untuk mencegah interaksi zat besi dengan senyawa lain dan kondisi lingkungan, metoda yang sekarang ini dipandang paling prospektif dan efektif adalah dengan memberikan pembatas fisik (physical barrier) pada ion besi dengan menerapkan teknologi mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulasi adalah

Page 3: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

teknologi untuk menyalut melapisi suatu zat inti dengan suatu lapisan dinding polimer sehingga menjadi partikel-partikel kecil berukuran mikro (seperseribu milimeter). Dengan adanya lapisan dinding polimer ini, zat inti akan terlindungi dari pengaruh lingkungan luar. Dengan demikian, sumber zat besi yang digunakan dapat dipilih senyawa besi larut air yang bioavailabilitasnya tinggi, lalu dengan mikroenkapsulasi, perubahan warna dan bau dapat dicegah serta stabilitas zat besi dan iodium dapat dipertahankan dalam jangka lama. Dalam kaitannya dengan ini, penulis dan tim sekarang ini tengah melakukan riset tentang pengembangan garam fortifikasi ganda (iodium dan besi) yang stabil dengan menerapkan teknologi mikroenkapsulasi. Dari penelitian ini diharapkan akan dihasilkan produk garam yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan gizi mikro utama di Indonesia. Semoga! Dr. Etik Mardliyati. Staf peneliti Pusat Teknologi Farmasi dan Medika - BPPT.

Agen Bola Ibc – Fortifikasi MakananHome » Agen Bola Ibc – Fortifikasi Makanan

24 Nov Posted by Arbetasseo in Uncategorized | Comments

Video tentang fortifikasi makanan

Makanan fortifikasi atau pengayaan – sebuah proses penambahan zat gizi mikro (trace elemen esensial dan vitamin) makanan.

Ini mungkin merupakan pilihan murni komersial untuk menyediakan nutrisi tambahan dalam makanan, atau kadang-kadang dalam kebijakan kesehatan, yang berusaha untuk mengurangi jumlah penyandang cacat dalam populasi dengan makanan.

Diet yang tidak memiliki berbagai mungkin dalam beberapa nutrisi. Kadang-kadang makanan pokok di wilayah tersebut tidak bisa spesifik nutrisi, karena tanah, daerah atau karena ketidakmampuan yang melekat dari diet. Menambahkan mikronutrien, staples dan bumbu dapat mencegah penyakit skala besar dalam kasus tersebut. [1]

Page 4: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

Meskipun benar bahwa benteng dan pengayaan menambahkan nutrisi untuk makanan, definisi yang tepat adalah sedikit berbeda. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), konsentrasi mengacu pada "praktek sengaja meningkatkan isi mikronutrien paling penting, vitamin yaitu dan mineral (termasuk bagian) dalam diet, terlepas dari apakah apakah nutrisi awalnya dalam makanan sebelum diolah atau tidak, dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pasokan makanan dan untuk menyediakan manfaat kesehatan masyarakat dengan risiko minimal untuk kesehatan, "sementara pengayaan didefinisikan sebagai" terkait dengan benteng dan kekhawatiran menambahkan mikronutrien untuk makanan, yang akan hilang selama pemrosesan. [2]

Fortifikasi makanan telah diidentifikasi sebagai strategi kedua, WHO dan FAO, empat awal dari kekurangan gizi pada tingkat global.

Sebagaimana dicatat oleh FAO, adalah makanan yang diperkaya yang paling umum:

* Sereal dan sereal berbasis * Susu dan produk susu * Lemak dan minyak * Tambahan makanan * Teh dan minuman lainnya * Anak rumus

4 metode utama pengayaan produk makanan (dengan nama, untuk menunjukkan prosedur yang digunakan untuk makanan):

* Biofortifikasi (yaitu, penciptaan tanaman baru, metode yang dimodifikasi secara genetik reproduksi) * Kuman biofortifikasi dan biologi sintetik (yaitu, bakteri probiotik menambah makanan) * Komersial dan industri fortifikasi (yaitu, tepung, beras, minyak (memasak Jumlah total)) * Home fortifikasi (yaitu, penurunan vitamin D)

Pembenaran

WHO dan FAO, di antara banyak organisasi lain yang diakui, diakui bahwa ada lebih dari 2 miliar orang di seluruh dunia yang menderita kekurangan berbagai. Pada tahun 1992, 159 negara telah berkomitmen untuk FAO / WHO Konferensi Internasional tentang Gizi bagi upaya untuk memerangi unsur-unsur masalah jejak, menekankan pentingnya mengurangi jumlah mereka dengan yodium, vitamin, dan menghilangkan cacat. [2 statistik yang signifikan, yang menyebabkan ini upaya adalah penemuan bahwa sekitar 1 dari 3 di seluruh dunia beresiko untuk orang yodium, vitamin A atau kekurangan zat besi. Meskipun diakui bahwa fortifikasi makanan tidak

Page 5: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

akan berurusan dengan kekurangan ini, itu adalah langkah untuk mengurangi prevalensi masalah ini dan ada yang berhubungan dengan kesehatan.

Di Kanada, makanan dan obat peraturan diuraikan kriteria tertentu yang membenarkan pengayaan produk makanan:

* Untuk menggantikan nutrisi yang hilang selama pembuatan produk (yaitu produksi tepung [6])

* Sebagai intervensi kesehatan masyarakat * Untuk memastikan kesetaraan produk daya pengganti (yaitu mentega dan margarin untuk konten yang sama, susu kedelai dan susu sapi, dll) * Memberikan vitamin yang tepat dan komposisi mineral gizi makanan diet khusus untuk penggunaan (yaitu Boost, bebas gluten produk, natrium rendah atau produk lain yang khusus dirancang untuk kebutuhan diet khusus individu).

Ada beberapa keuntungan mendekati kekurangan gizi di kalangan penduduk melalui fortifikasi makanan, dibandingkan dengan metode lain. Ini mungkin termasuk, namun tidak terbatas pada: pengobatan orang dengan tidak ada tindakan diet khusus, dan karenanya tidak memerlukan perubahan pola diet, kelangsungan penyediaan nutrisi, tidak memerlukan kepatuhan individu, dan potensi untuk pengawetan cadangan nutrisi lebih efisien bila dikonsumsi secara teratur.

I.   PENDAHULUAN

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha   pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar. Beberapa ahli bahkan menyatakan kebutuhan atas pangan merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar.

Dalam kaitan ini, penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 7  Tahun 1996 tentang Pangan, bahkan secara tegas  menyatakan bahwa “Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang  pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus   senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan  beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat”. Di   sini, pengertian pangan sebagai hak asasi manusia ini tidak hanya   bersifat kuantitatif saja, tetapi juga mencakup aspek kualitatif.  Pangan yang tersedia haruslah pangan yang aman untuk dikonsumsi,  bermutu dan bergizi. Dengan demikian pembicaraan tentang pangan memang   pada kenyataannya sulit dipisahkan dengan gizi.                Bentuk tidak terpenuhinya hak asasi atas pangan dan gizi yang paling   umum adalah kekurangan pangan alias kelaparan. Namun demikian, harus   disadari bahwa kelaparan mempunyai beberapa tingkatan, yang jika   terjadi secara cukup lama dan terus-menerus, akan berkontribusi pada   terjadinya kemunduran/penurunan status kesehatan, produktivitas, dan   akhirnya ikut pula mempengaruhi tingkat intelektualitas dan status   sosial. Tingkat-tingkat kelaparan itu sendiri

Page 6: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

antara lain dipengaruhi   oleh (i) jumlah konsumsi bahan pangan, (ii) jenis dan kualitas bahan   pangan yang dikonsumsi, atau (iii) kombinasi antara kedua faktor   tersebut.

Kekurangan akan tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient) iodium, besi, dan vitamin A secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi serius dari kekuarangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian.

Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan.

II.   PENGEMBANGAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN

Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.

The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Untuk mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan.

Istilah double fortijication dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atan campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle’, sementara zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Fortificant ‘. Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut:

1. Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan).

2. Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.

3. Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.

Page 7: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

4. Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega .

Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain

adalah:

1. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien2. Segmen populasi (menentukan segmen)

3. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan

4. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial

5. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan

6. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)

7. Mencari dukungan industri pangan

8. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)

9. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya

10.  Kembangkan teknologi fortifikasi

11.  Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas organoleptik dari produk fortifikasi.

12.  Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi

13.  Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan

14.  Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi

15.  Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan

16.  Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance

17.  Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.

Program fortifikasi sebaiknya dilaksanakan dan diikuti program gizi lainnya. Pendekatan program yang dapat disertakan diantaranya pendidikan gizi, suplementasi, aktivitas kesehatan masyarakat, dan perubahan konsumsi pangan.

Program fortifikasi memiliki peranan yang sangat penting, tentunya tidak sebatas pemenuhan gizi masyarakat tapi juga mempunyai arti peningkatan kualitas perekonomian suatu negara. Begitu pentingnya program ini, ada wacana penelitian untuk memulai melakukan biofortifikasi

Page 8: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

pangan. Biofortifikasi pangan bisa diterjemahkan sebagai fortifikasi prematur, yakni fortifikasi bukan diberikan pada produk tapi bahan-bahan hasil pertanian seperti padi sudah memiliki kandungan zat gizi yang sengaja “ditambahkan” mulai dari saat budidaya. Biofortifikasi baru mulai dilakukan peneitian terhadap padi.

Tabel 1. Keuntungan Fortifikasi Pangan Dibanding Dengan Suplementasi Dosis tinggi

Perubahan konsumsi diarahkan ke diversifikasi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan kaya besi. Perubahan akan terjadi bilamana disertai pendidikan gizi dengan penyampaian pesan yang sesuai target grup dan bisa diterima. Melalui peningkatan pemahaman tentang besi dan dampaknya diharapkan akan merubah perilaku pemilihan pangan yang dikonsumsi. Demikian pula dengan suplementasidan dan juga ASI eksklusif tetap harus dilakukan seiring dengan program perbaikan gizi yang lain.

III. MENGHITUNG NILAI EKONOMI GIZI

Bagi banyak orang, masalah gizi dianggap masalah kesehatan semata, dan bukan masalah ekonomi ataupun masalah pembangunan. Banyak perencana dan pengambil kebijakan pembangunan, kurang menghargai pentingnya investasi di bidang gizi untuk pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia (SDM). Mereka baru ramai-ramai bicara soal gizi ketika sedang terjadi kelaparan dan munculnya banyak balita yang bergizi buruk akibat kurang energi (kalori) dan protein yang dikenal dengan kurang energi protein (KEP). Dengan demikian, menurut Prof. Soekirman (Guru Besar Ilmu Gizi IPB), perlu adanya transformasi “bahasa gizi” ke dalam “bahasa ekonomi”.

Jika keluarga dan masyarakat menyandang masalah gizi maka bangsa ini akan kehilangan potensi sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah yang akan dihadapi antara lain banyak anak yang tidak maju dalam pendidikan di sekolah karena kecerdasannya berkurang, banyak anggota masyarakat dewasa yang produktivitasnya rendah karena pendidikan dan kecerdasannya kurang atau kemampuan kerja fisiknya juga kurang, keluarga dan pemerintah mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi karena banyak warganya mudah jatuh sakit akibat kurang gizi, serta meningkatnya angka kematian pada usia produktif sehingga merupakan penggerogotan sumber daya manusia.

Membangun masyarakat tidak cukup dengan membangun jalan, jembatan, gedung, pabrik, perkebunan, dan prasarana ekonomi lainnya. Investasi di bidang prasarana ekonomi tidak akan dinikmati rakyat banyak tanpa disertai investasi yang sepadan untuk pembangunan social terutama di bidang pangan, gizi, kesehatan, dan pendidikan. Bahkan beberapa penelitian menyatakan bahwa Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sekitar 8,9 triliun rupiah setiap tahun akibat anemia. Hal tersebut membuktikan bahwa masalah gizi bisa diterjemahkan sebagai masalah ekonomi.

IV. PERAN PEMERINTAH DALAM PROGRAM FORTIFIKASI

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional Indonesia telah pula   menghasilkan pembangunan bidang pangan dan gizi. Kini, masyarakat   Indonesia umumnya mampu

Page 9: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

mengkonsumsi jumlah bahan pangan yang cukup.   Namun dari segi jenis dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi, harus   pula diakui bahwa masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum   mampu mencukupi kebutuhan gizi minimumnya. Kondisi yang terakhir ini,   sering tidak menyebabkan individu yang mengalaminya merasakan adanya lapar. Namun, sebagaimana diungkapkan di depan, bila hal ini terjadi pada kurun waktu yang cukup panjang, maka akan menyebabkan gejala-gejala terganggunya kesehatan. Kondisi semacam ini sering   disebut sebagai kelaparan yang tersembunyi (hidden hunger), kelaparan   gizi, atau malnutrisi.

Program perbaikan gizi selama Repelita VI diprioritaskan untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat melalui peningkatan peranserta masyarakat dalam upaya memperluas cakupan dan sasaran penanggulangan gizi-kurang, terutama di desa-desa miskin dan tertinggal. Dalam pelaksanaannya program perbaikan gizi meliputi upaya meningkatkan mutu dari produk-produk makanan yang dihasilkan baik oleh sektor industri maupun olahan         masyarakat, dan melindungi masyarakat dari bahan makanan yang membahayakan kesehatan.

Program perbaikan gizi dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan (a) penyuluhan gizi masyarakat; (b) usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK); (c) usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (d) fortifikasi bahan pangan, dan (e) penerapan dan pengembangan     sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG).

Pada kenyataannya, hasil dari berbagai survei tentang kondisi gizi di masyarakat Indonesia masih menunjukkan adanya suatu segmen populasi   tertentu yang mengalami kelaparan gizi tersebut. Mereka itu terutama   terdiri dari anak-anak usia sekolah, golongan tua, wanita mengandung dan menyusui. Ada beberapa sebab yang membuat segmen populasi tersebut   muncul. Mungkin itu dikarenakan antara lain (i) oleh kebiasaan dan   kesukaan makan yang berbeda antara segmen populasi yang satu dengan segmen populasi yang lain, atau (ii) karena di daerah tertentu   tersebut memang tidak atau kurang tersedia produk pangan yang mampu berperan sebagai sumber zat gizi esensial yang diperlukan.

Dari berbagai hasil survai gizi di Indonesia, sampai saat ini Indonesia masih mengalami tiga (3) masalah malnutrisi zat gizi mikro,   yaitu masalah (1) gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) yang antara lain dapat menyebabkan penyakit gondok dan kretinisme; (2) anemia zat   besi, yang mengakibatkan menurunnya tingkat produktivitas kerja dan  ketahanan tubuh (mudah terkena infeksi); dan (3) kekurangan vitamin A yang dapat mengakibatkan terjadinya kebutaan.

Dapat diduga bahwa masalah malnutrisi atau kelaparan gizi ini umumnya   dialami oleh masyarakat lapisan bawah. Namun hal ini bukan berarti bahwa lapar gizi tidak terjadi di masyarakat kalangan atas di   perkotaan. Dengan adanya kecenderungan konsumen untuk mengkonsumsi makanan rendah kalori, kurang beragamnya produk pangan yang dikonsumsi (terutama hanya bertumpu pada produk pangan olahan saja) dapat pula   menyebabkan kondisi kelaparan gizi pada kalangan masyarakat yang   berpendapatan tinggi. Karena itu masalah kelaparan gizi ini dapat   terjadi pada semua kalangan masyarakat.

Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas hanya akan tercapai manakala ada kebijakan yang kondusif, progresif, dan berkesinambungan.Secara umum, walaupun usaha-usaha pemerintah

Page 10: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

untuk memerangi masalah   malnutrisi zat gizi mikro ini telah banyak dilakukan, antara lain   dengan program fortifikasi pangan dan program penyempurnaan pedoman   empat sehat lima sempurna. Namun indikasi kuat tetap menunjukkan bahwa   masalah-masalah malnutrisi ini secara nasional masih belum terselesaikan dengan tuntas. Mengingat akibat yang dapat ditimbulkan   cukup serius, maka usaha penanggulangannya perlu diusahakan dengan baik.

Tabel 2. Perkembangan Paradigma Ketahanan Pangan di Indonesia

Bicara kaitan gizi dan ekonomi, peraih Nobel Ekonomi, Armatya Sen mengatakan, terjadinya gizi buruk dan kelaparan bukan semata-mata terkait kurangnya bahan pangan di suatu negara, tapi juga akibat akses pangan yang rendah serta lemahnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, seperti temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab, masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik.

Saat ini fortifikasi pangan dianggap strategi yang cukup baik untuk perbaikan gizi mikro. Hasil konferensi internasional gizi di Roma Tahun 1992, fortifikasi pangan merupakan upaya perbaikan gizi yang dianjurkan. Di Jordan pada tahun 1996 juga merekomendasikan fortifikasi pangan dalam rencana aksi nasional gizi.

Pada umumnya penduduk di negara berkembang memiliki akses terhadap pangan rendah karena berkaitan dengan kemiskinan. Kebanyakan mereka mengkonsumsi pangan dari pangan yang ditanam atau pangan yang tersedia di pasar lokal. Pertanyaannya adalah bagaimana program fortifikasi bisa menjangkau para keluarga berpenghasilan rendah. Disisi lain fortifikasi akan menaikkan biaya produksi yang berimplikasi pada kenaikan harga jual.

Fortifikasi pangan merupakan aktivitas yang cukup luas melibatkan berbagai sektor, tidak hanya sektor kesehatan. Keefektifan dan keberlanjutan dari program fortifikasi bilamana terjadi kerjasama yang baik antara pemerintah, sektor publik, sektor swasta dan sektor sosial. Pada program fortifikasi peran swasta dan masyarakat cukup besar dan akan menentukan tingkat keberhasilan.

Pada tataran implementasi program fortifikasi perlu direncanakan dengan baik dalam suatu tahapan. Tahapan dalam implementasi sebagai berikut :

1. Identifikasi target grup dan penetapan kebutuhan untuk memperbaiki deficiensi besi yaitu kebutuhan untuk fortifikan dan pangan pembawa.

2. Mengkaitkan fortifikasi dengan strategi perbaikan gizi lainnya, terutama pendidikan gizi, supplementasi dan perubahan konsumsi ke arah peningkatan pangan kaya besi

3. Menentukan bentuk kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Menilai fisibility fortikasi dan scala produksi industri,

5. Menentukan lokasi untuk mendemonstrasikan fortifikasi pangan,

6. Mendesain materi pemasaran sosial yang baik untuk menyampaikan pesan tentang fortifikasi pangan

Page 11: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

7. Advokasi untuk mendapatkan dukungan politik dan financial.

8. Identifikasi dan pengembangan kebutuhan teknologi fortifikasi untuk menjamin qualitas produk dan biaya murah

9. Jaminan instalasi dari mesin dan kelengkapan sarana untuk fortifikasi dan untuk jaminan kontrol kualitas dan asuransi.

10.  Mendesain sistim monitoring dan evaluasi (MONEF) secara terukur, mekanisme jelas, dengan tujuan untuk bisa melihat perkembangan program fortifikasi.

Kondisi-kondisi yang perlu untuk suksesnya program fortifikasi, antara lain adalah:

1. dukungan politik,2. dukungan industri,

3. perangkat legislasi yang cukup termasuk pengendalian kualitas eksternal,

4. tingkat (taraf) fortifikasi yang tepat,

5. bioavailibilitas yang baik dari campuran,

6. tidak ada efek penghambat dari makanan asal (common diet),

7. pelatihan sumber daya manusia pada tingkat industri dan pemasaran ,

8. akseptibilitas (keterimaan) konsumen,

9. tidak ada penolakan secara kultural (dan yang lain) terhadap pangan hasil fortifikasi,

10.  penilaian laboratoris yang cukup (memadai) untuk status zat gizimikro,

11.  dalam kasus kekurangan gizi besi, ketidakhadiran paratisme dan nondiit lain yang menyebabkan anemi, dan,

12.  tidak ada kendala yang menyangkut usaha untuk mendapatkan gizimikro.

Salah satu contoh peran pemerintah adalah adanya Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 49/M-IND/PER/7/2008 Tentang Pemberlakuan SNI Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan Secara Wajib setelah sebelumnya mencabut pemberlakuan SNI yang diadopsi sebagai regulasi teknis yang diberlakukan wajib.

Keputusan Pemerintah ini disambut baik oleh Ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) Soekirman. Menurutnya, Peraturan Menteri Perindustrian ini lebih baik dan lebih sederhana, sehingga diharapkan tidak ada lagi importir tepung terigu yang menolak fortifikasi wajib tepung terigu dengan alasan ongkos yang tinggi dan dianggap tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Penetapan pemberlakuan SNI tepung terigu ini, lanjutnya, juga disambut baik oleh badan-badan dunia yang berkepentingan dengan program fortifikasi dan mereka yang membantu pendanaan

Page 12: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

program gizi di Indonesia, seperti Unicef, Bank Pembangunan Asia, WFP, Usaid, CIDA, Micronutrient Initiative (MI) di Kanada, Flour Fortification Initiative di Atlanta, Amerika Serikat, serta negara berkembang yang menyiapkan program fortifikasi wajib, seperti Malaysia, Vietnam, dan India.

Fortifikasi wajib atas komoditas pangan tertentu adalah bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan yang cost-effective. Kedepannya diharapkan agar pada periode pembangunan nasional dan daerah program fortifikasi wajib tidak terbatas pada fortifikasi wajib garam beryodium, dan tepung terigu seperti yang ada, tetapi juga raskin, minyak goreng curah, dan produk tepung lain yang nonterigu.

Di Indonesia, fortifikasi zat besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang digunakan sebagai tunggangan (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan kontinyu oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Agar strategi fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari pangan “tunggangan” baru yang lebih umum dan banyak dikonsumsi masyarakat.

Dilihat dari tingkat ekonomi dan kultur masyarakat Indonesia, kandidat yang sangat potensial sebagai tunggangan besi adalah garam. Sebagaimana diketahui, garam merupakan bahan pangan yang murah, mudah didapat dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat di segala tingkat ekonomi. Disamping itu, kadar dan cara konsumsi garam bisa dikatakan hampir seragam. Penggunaan garam sebagai pangan tunggangan pada fortifikasi iodium telah dilakukan secara nasional dan terbukti berhasil menanggulangi defisiensi iodium. Oleh karenanya, penambahan zat besi pada garam beriodium memiliki harapan besar dapat digunakan untuk menanggulangi dua masalah gizi utama di Indonesia sekaligus, yakni gangguan akibat kekurangan iodium (GAKY) dan anemia gizi besi (AGB).

V.   PERAN INDUSTRI DALAM PROGRAM FORTIFIKASI

Harus diakui bahwa, industri pangan di Indonesia telah berkembang  dengan cukup pesat. Ia telah berhasil membawa perubahan-perubahan  terhadap kebiasaan dan pola makan masyarakat konsumennya. Industri   pangan sudah berhasil pula menyajikan kepada konsumen beragam pilihan produk pangan olahan, termasuk yang menjanjikan kemudahan-kemudahan   dalam penyiapan, penyajian dan pembuangannya. Namun demikian,  pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah perubahan-perubahan  cukup mendasar yang diakibatkan oleh kegiatan pengembangan industri pangan tersebut membawa manfaat terhadap status gizi dan kesehatan  masyarakat konsumennya?.

Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program fortifikasi di setiap Negara.  Hal ini disebabkan karena industri pangan  memang memegang peranan yang penting dan strategis dalam membentuk  pola dan kebiasaan diet masyarakat. Apalagi dengan kegiatan promosi  yang didukung oleh dana yang besar, maka industri pangan mempunyai  kekuatan yang

Page 13: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

besar untuk mempengaruhi (secara positif atau pun   negatif) status gizi dan kesehatan masyarakat konsumennya.

Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industri pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehtan sering tidak dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari perusahaan pengolahan makanan. Pegawai pemerintah harus bertindak sebagai penasehat, konsultan, koordinator, dan supervisor yang memungkinkan industri pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara efektif dan menguntungkan.

lndustri pangan/makanan juga dapat memainkan peranan yang nyata dalam strategi fortifikasi jangka panjang melalui penyediaan tenik preservation yang dikembangkan dan melalui peningkatan (promosi) pangan yang kaya zat gizimikro yang tersedia secara lokal atau sebagai fortifikan. Spesifiknya, industri pangan (baik nasional manpun multinasional) perlu untuk:

1. berpartisipasi sejak permulaam perencanaan program, yang akan menetapkan strategi fortifikasi yang layak,

2. mengidentifikasi mekanisme untuk kolaborasi antara pemerintah, industri pangan dan sistem pemasarannya, dan organisasi non pemerintah dan perwakilan donor,

3. membantu dalam mengidentifikasi pangan pembawa dan fortifikan yang sesuai,

4. 4. menetapkan dan mengembangkan sistem jaminan mutu (quality assurance system),

5. 5. berpatisipasi dalam dukungan-dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai populasi sasaran.

V. PENUTUP

Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih nutrisi pada makanan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.

Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.

Di negara berkembang, yang memiliki masalah gizi dan kemampuan ekonomi masyarakat rendah, maka fortifikasi merupakan program wajib (intervensi pemerintah). Program pemerintah

Page 14: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

ini tentunya akan terlaksana dengan baik apabila didukung semua pihak, termasuk di dakamnya industri dan para pelaksana teknis di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Hariyadi, P. 1997. Pangan dan Gizi sebagai Hak Asasi Manusia. [email protected]. Diakses tanggal 9 Oktober 2009.

Nurhayati, S. 2009. Menghitung Nilai Ekonomi Gizi. Harian Pikiran Rakyat, Jumat 13 Februari 2009.

Prihananto. 2004.  Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemi Gizi Besi.

Siagian, A. 2003.  Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro, www.library.usu.ac.id. Diakses tanggal 8 Oktober 2009.

www.bsn.go.id. 2008. Pemberlakuan kembali SNI Tepung Terigu Disambut Baik. Diakses tanggal 7 Oktober 2009

6 Agustus 2010 - Tidak ada komentar

Fortifikasi Vitamin A Ke Dalam Minyak Goreng

Peningkatan kebutuhan minyak goreng untuk konsumsi masyarakat Indonesia semakin besar diperkirakan pada tahun 2020 mencapai 5 juta ton per tahun. Meningkatnya permintaan minyak goreng adalah adanya perkembangan variasi produk makanan yang memanfaatkan minyak goreng.

Produk makanan tradisional Indonesia sebagian besar menggunakan minyak goreng. Oleh sebab itu dalam rangka untuk mengurangi kekurangan zat gizi masyarakat baik makro maupun mikro, maka perlu adanya kebijakan yang tepat untuk memenuhi zat gizi tersebut. Salah satu kebijakan yang ditempuh melalui memasukan vitamin ke dalam minyak goreng.

Pada saat ini di Indonesia masih dinyatakan masyarakatnya masih kekurangan vitamin A, khususnya banyak terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun yang sangat mempengaruhi ketahanan tubuh. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 25 – 30 % kematian bayi dan balita disebabkan kekurangan vitamin A. Sedangkan di Indonesia sekitar 14,6% anak di atas usia 1 tahun mengalami kekurangan vitamin A dan berdampak pada penglihatan. Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng merupakan salah satu cara efektif untuk menyediakan vitamin A bagi anak-anak dan balita, termasuk masyarakat, mengingat sekitar 70% masyarakat Indonesia setiap harinya mengkonsumsi minyak goreng.Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng tidak berbahaya dan tidak akan menyebabkan keracunan karena bentuknya yang likuid ( cairan), dan juga tidak akan mengganggu pola makan masyarakat.

Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng, tidak akan banyak mempengaruhi harga, karena berdasarkan hasil analisa para pakar dari 8 ton minyak goreng curah, hanya membutuhkan 0,5 kg

Page 15: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

vitamin A.Jadi bila harga minyak goreng satu kg Rp 10.000,- maka hanya menambah biaya sebesar Rp 100, dan berdampak menambah manfaat yang sangat besar bagi masyarakat.

Pemerintah akan membuat peraturan yang mengharuskan seluruh produsen minyak goreng pada tahun 2011 memfortifikasi minyak goreng dengan tambahan vitamin A. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menanggulangi kekurangan vitamin A diantaranya pada 9 Juta balita dan 1 Juta wanita muda.

Oleh: Siti Rahayu RachmawatiMahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan 2011 IPB Bogor

 

Ada tiga masalah defisiensi gizi mikro di Indonesia, yaitu Kekurangan Iodium, Anemia Gizi Besi, dan Kekurangan Vitamin A. Salah satu cara untuk mengatasi gizi tersebut yaitu dengan fortifikasi. Tujuan utamanya untuk mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya (Siagian, 2003). Dilakukannya fortifikasi pada mie gleser karena mie merupakan makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat walaupun bukan merupakan makanan pokok.

Mie gleser dihasilkan oleh industri rumah tangga atau sering disebut perajin, yang hanya berkembang di Jawa Barat khususnya daerah Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Jenis produk ini terbuat dari pati sagu, Produk serupa juga beredar secara terbatas di Riau dan sekitarnya, namun justru belum dikenal di kawasan timur Indonesia yang merupakan sentra produksi sagu.

Menurut BB Pascapanen, sesungguhnya mie dari sagu mempunyai kandungan resistant starch (RS) atau pati tak tercerna yang lebih besar dibandingkan dengan mie instan atau mie terigu. RS dihasillkan pada saat proses perendaman helaian mie yang memicu rekristalisasi pati atau retrogradasi.

Mie gleser yang ada di pasaran berupa mie basah sehingga umur simpannya pendek atau mudah rusak oleh bakteri dan jamur. Untuk memperpanjang umur simpannya, sebagian air dalam bahan tersebut harus dihilangkan melalui pengeringan.

Menurut Rustanti (2009), Keberhasilan fortifikasi mie basah dipengaruhi oleh jenis sediaan zat besi yaitu zat besi anorganik atau zat besi organik serta interaksi dengan mikronutrien lain seperti vitamin A atau provitamin A. Sedangkan fortifikasi-karoten ke dalam mie dapat dilakukan dengan penambahan tepung wortel pada pembuatan mie.

Penambahan tepung wortel pada pembuatan mie selain untuk meningkatkan kandungan gizi juga dapat menggantikan pewarna sintetik yang sering digunakan dalam pembuatan mie karena pigmen kuning wortel dapat memberikan warna kuning pada mie sehingga dapat mengurangi biaya produksi dan menurunkan resiko kesehatan. 

Page 16: Garam Dengan Zat Besi TEKPNG

Jadi dengan mie gleser, yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah, yang mengandung zat besi dan vitamin A, akan bermanfaat untuk mengatasi penyakit akibat kekurangan zat besi, diantaranya anak-anak penderita anemia besi menderita gangguan perkembangan fisik dan mental.

Wanita hamil dan bayi akan mengalami pengurangan yang nyata akam kemampuannya melawan infeksi, dan pada orang dewasa menyebabkan kelelahan dan berdampak pada rendahnya kapasitas produktivitas kerja. Sementara Kekurangan vitamin A selain mengurangi daya penglihatan anak juga meningkatkan resiko terkena penyakit pada anak-anak, misainya campak, infeksi saluran pernafasan, dan penyakit diare. Semuanya itu akan berdampak terhadap perkembangan intelektual generasi muda Indonesia.

Teknologi pengolahan mie gleser dapat diterapkan untuk memperpanjang umur simpannya. Formula pembuatan mie sagu juga berpeluang dikembangkan menjadi produk setengah jadi berupa campuran kering (dry mix). Dalam bentuk ini, setiap rumah tangga mendapat kesempatan untuk membuat sendiri produk mie sagu.

Berbagai teknologi pengolahan mie berbahan baku sagu ini telah berhasil dikembangkan meski pada skala kecil. Pada skala laboratorium, seluruh teknologi yang tersedia tersebut telah mampu menunjukkan keberhasilan kinerjanya, namun untuk pengembangannya dalam skala yang lebih besar, beberapa teknologi tersebut masih memerlukan berbagai langkah penyempurnaan.

Untuk menuju pada tingkat kesiapan yang memadai dalam penerapannya di skala yang lebih besar, Teknologi ini juga perlu dilengkapi dengan pengkajian optimalisasi formula dalam hubungannya dengan teknik penyajian. Selain itu aspek rekayasa alat produksi juga menjadi titik perhatian penting. Hal ini mengingat teknologi mie ini memerlukan alat yang spesifik terkait dengan sifat atau perilaku proses produksinya. (*)