gangguandisosiatifmelisa
DESCRIPTION
ihibTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan disosiasi adalah perubahan kesadaran mendadak yang
mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan
disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama
beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Disosiasi timbul sebagai suatu pertahanan terhadap trauma. Pertahanan disosiatif
memiliki fungsi ganda untuk menolong korban melepaskan dirinya sendiri dari
trauma sambil juga menunda menyelesaikannya.1
Pada penderita didapatkan hilangnya fungsi seperti memori (amnesia
psikogenik), berjalan-jalan dalam keadaan trans (fugue), fungsi motorik (paralisis
dan pseudoseizure) atau fungsi sensorik (anesthesia sarung tangan dan kaus
kaki).2 Gangguan tersebut cukup lazim terjadi sebagai suatu pertahanan terhadap
trauma, khususnya timbul pada orang yang masa kanak-kanaknya mengalami
kekerasan fisik atau seksual dan sering timbul dalam bentuk komorbiditas dengan
depresi mayor, gangguan somatisasi, gangguan stress pasca trauma,
penyalahgunaan zat, gangguan kepribadian ambang, gangguan konduksi dan
gangguan kepribadian antisosial.3
Hal yang paling umum terlihat pada gangguan disosiatif adalah adanya
kehilangan (sebagian/seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan masa lalu,
kesadaran akan identitas dan penghayatan dan kendali terhadap gerakan tubuh.
Onset dan berakhirnya keadaan disosiatif sering kali berlangsung mendadak akan
1
tetapi jarang sekali dapat dilihat kecuali dalam interaksi atau prosedur teknik-
teknik tertentu seperti hipnosis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan
sebagai sekumpulan gejala kejiwaan yang ditandai adanya gangguan pada
kesadaran, identitas, memori, kebiasaan motorik atau kepekaan terhadap
lingkungan. Atau dapat juga diartikan adanya kehilangan (sebagian atau seluruh)
dari integrasi normal (dibawah kendali sadar) meliputi ingatan masa lalu,
kesadaran identitas dan penginderaan segera (awareness of identity and immediate
sensations) serta kontrol terhadap gerak tubuh.4,5
Dalam penegakan diagnosis gangguan disosiatif harus ada gangguan yang
menyebabkan kegagalan mengkordinasikan identitas, memori persepsi ataupun
kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial,
pekerjaan dan memanfaatkan waktu senggang.
2.2 Epidemiologi
Gangguan disosiatif bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam
masyarakat. Tetapi juga gangguan disosiatif ini tidak jarang ada dalam kasus-
kasus psikiatri. Prevelensinya hanya 1 berbanding 10.000 kasus dalam populasi.
Dalam beberapa referensi bisa terlihat bahwa ada peningkatan yang tajam dalam
kasus-kasus gangguan disosiatif yang dilaporkan, dan menambah kesadaran para
ahli dalam menegakkan diagnosis, menyediakan kriteria yang spesifik, dan
3
menghindari kesalahan diagnosis antara gangguan disosiatif, schizophrenia atau
gangguan personal.
Orang-orang yang umumnya mengalami gangguan disosiatif ini sangat
mudah dihipnotis dan sangat sensitif terhadap sugesti dan lingkungan budayanya,
namun tak cukup banyak referensi yang membetulkan pernyataan tersebut.
Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan disosiatif ini
mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan disosiasi bisa terkena oleh orang di
belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.
2.3 Etiologi
Gangguan disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun
biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan
organik yang dialami. Pendekatan psikoanalitik menyatakan amnesia terutama
sebagai mekanisme pertahanan di mana orang mengubah kesadarannya sebagai
cara untuk menghadapi suatu konflik emosional atau stresor eksternal. Gangguan
ini dapat terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum bisa
teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa
terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-
ulang sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif.
Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa:
Kepribadian yang labil
Pelecehan seksual
Pelecehan fisik
4
Kekerasan rumah tangga ( ayah dan ibu cerai )
Lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan
Identitas personal terbentuk selama masa kecil dan selama itupun, anak-
anak lebih mudah melangkah keluar dari dirinya dan mengobservasi trauma
walaupun itu terjadi pada orang lain.
2.4 Patofisiologi
(a) Genetik
Hingga saat ini, tidak ada penelitian yang membuktikan adanya
keterkaitan genetik dengan gangguan disosiatif. Gangguan disosiatif lebih utama
disebabkan karena peristiwa traumatik.
(b) Neurobiologi
Proses neurobiologi mengenai gangguan disosiatif belum sepenuhnya
diketahui. Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara perubahan
fisiologis dengan gejala disosiatif. Menurut hipotesis yaitu semakin awal terkena
kekerasan atau trauma psikologis, maka perkembangan dari perubahan fisiologis
akan semakin cepat. Beberapa sistem neurotransmitter berkaitan dengan
perkembangan gangguan disosiatif, seperti : Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA)
Aksis, reseptor Glutamat/N-methyl-D-aspartat, Serotonin 5-HT2a, 5-HT2c,
Gama-aminobutyric acid (GABA), dan reseptor Opioid.
5
HPA aksis diketahui memiliki peran dalam mengatur respon stress.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa individu dengan gejala disosiatif
memiliki hiperaktivitas HPA aksis basal dengan meningkatnya kortisol dan
berkurangnya inhibisi dari feedback-negatif pituitari.
Menurut penelitian menggunakan neuroimaging, baik pada hewan atau
manusia, stress saat usia muda memperlihatkan hubungan dengan perubahan
struktur dari hippocampus. Volume amygdala dan hippocampal yang kecil
dilaporkan terdapat pada pasien dengan gejala disosiatif. Menurunnya volume
hippocampal dapat dijelaskan dengan pemaparan stress; hippocampus adalah
organ target utama untuk glukokortikoid, yang akan dilepaskan selama peristiwa
”stressful”, dan memperpanjang pemaparan untuk glukokortikoid terhadap
hippocampus yang dapat mengakibatkan atrofi progresif dari hippocampus.
Mekanisme yang jelas mengenai berkurangnya volume amygdala belum
diketahui. Mungkin terdapat neurotransmiter lain yang berperan dalam perubahan
ini. Berdasarkan penelitian D’Souza et al., gejala disosiatif mirip dengan psikosis,
yang berhubungan dengan menurunnya inhibitor GABA sehingga mengakibatkan
stimulasi reseptor serotonin terus menerus. Lysergic acid diethylamide (LSD),
dimethyltryptamine (DMT) bekerja sebagai agonis dari reseptor serotonin 5-HT2a
dan 5-HT2c juga mungkin berperan pada perubahan serotoin pada gejala
disosiatif.
Mekanisme serupa juga terdapat pada penggunaan obat antagonis reseptor
NMDA, ketamin, yang menyebabkan timbulnya fase disosiatif pada individu yang
sehat. Reseptor NMDA tersebar luas di korteks, juga di hippocampus dan 6
amygdala; berkurangnya neurotransmisi yang berkaitan dengan NMDA mungkin
berhubungan dengan fase disosiatif. Efek dari cannabinoids menjelaskan hipotesis
ini dimana cannabinoids memblok reseptor NMDA diluar antagonis non-
kompetitif NMDA dan tetap menyebabkan timbulnya gejala disosiatif.
7
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan PPDGJ III, gangguan disosiatif dibedakan atau
diklasifikasikan atas beberapa pengolongan yaitu6 :
F44.0 Amnesia Disosiatif
F44.1 Fugue Disosiatif
F44.2 Stupor Disosiatif
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
F44.4-F44.7 Gangguan Disosiatif dari gerakan dan Penginderaan
F44.4 Gangguan motorik Disosiatif
F44.5 Konvulsi Disosiatif
F44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif8
F44.7 Gangguan Disosiatif campuran
F44.8 Gangguan Disosiatif lainnya
F44.80 Sindrom Ganser
F44.9 Gangguan disosiatif YTT
Sedangkan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi keempat (DSM IV) ada 4 diagnostik spesifik gangguan
dissosiatif:
1. Amnesia Disosiatif
2. Fugue Disosiatif
3. Gangguan Identitas Disosiatif
4. Gangguan Depersonalisasi
Berikut ini akan dijelaskan mengenai :
1. Amnesia Disosiatif
2. Fugue Disosiatif
3. Stupor Disosiatif
4. Gangguan Trans dan Kesurupan
5. Gangguan Motorik Disosiatif
6. Gangguan Konvulsi Disosiatif
7. Gangguan Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif, dan
8. Sindrom Ganser
9
F 44.0 Amnesia Disosiatif
Definisi
Berdasarkan DSM IV, ciri penting amnesia disosiatif adalah
ketidakmampuan mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya terkait
traumatik atau tekanan, yang terlalu luas untuk dijelaskan sebagai kelupaan biasa.
Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan identitas
disosiatif, fugue disosiatif, posttraumatic stress disorder (PTSD), gangguan stress
akut, atau gangguan somatik, dan bukan hasil dari efek psikologi langsung dari zat
atau saraf atau kondisi medis umum. Gangguan mungkin disebabkan oleh
perubahan neurobiologik di otak karena stress traumatik.
Pada amnesia disosiatif, kehilangan ingatan biasanya mempengaruhi
informasi yang secara normal sebagai bagian dari keadaan sadar yang rutin, yang
salah satunya adalah apa yang dilakukan, kemana perginya, dengan siapa bicara,
apa yang dikatakan, berpikir dan merasa, dan sebagainya. Kadang kala informasi
tersebut lupa diingat yang selanjutnya mempengaruhi tingkah laku orang tersebut.
Orang dengan amnesia disosiatif biasanya memiliki satu atau lebih celah
ingatan yang hilang beberapa menit sampai beberapa jam atau hari. Meskipun
begitu, celah ingatan yang hilang setahun atau bahkan sepanjang hidup seseorang
bisa terjadi. Kebanyakan orang dengan amnesia disosiatif menyadari benar bahwa
mereka telah kehilangan beberapa waktu, tetapi beberapa orang menyadari
kehilangan waktu hanya ketika mereka sadar atau dihadapkan pada fakta bahwa
mereka telah melakukan hal-hal yang mereka tidak ingat. Beberapa orang dengan
amnesia disosiatif lupa pada beberapa hal tetapi tidak semua peristiwa yang
10
melebihi jangka waktu tertentu, yang lainnya tidak dapat mengingat seluruh
kehidupan yang telah berlalu atau lupa hal-hal yang mereka alami.
Epidemiologi
Amnesia disosiatif dilaporkan terjadi pada sekitar 6% dari populasi. Tidak
ada perbedaan insiden yang berarti antara pria dan wanita. Kasus umumnya mulai
dilaporkan pada akhir masa remaja atau dewasa. Amnesia disosiatif dapat sangat
sulit dinilai pada anak pra remaja karena keterbatasan kemampuan mereka dalam
menggambarkan pengalaman subyektif.
Etiologi
1. Amnesia dan konflik intrapsikis yang ekstrim
Pada beberapa kasus amnesia disosiatif akut, lingkungan
psikososial dari perkembangan amnesia adalah konfliktual masal, pasien
dengan pengalaman rasa malu tak tertahankan, salah, putus asa, marah,
depresi. Hal ini biasanya merupakan hasil dari konflik atau impuls
mendesak yang tidak dapat diterima, seperti kegiatan seksual yang intens,
dorongan bunuh diri atau kekerasan.
2. Pengingkaran trauma
Pengingkaran trauma merupakan upaya untuk menjelaskan amnesia
karena trauma yang hebat dan karena kejadian yang negatif. Pengingkaran
diperkirakan untuk mempengaruhi jalan dimana suatu kejadian diproses
dan diingat. Informasi tentang perlakuan yang tidak pantas tidak
11
berhubungan dengan mekanisme mental yang mengendalikan keterikatan
dan perilaku.
Gejala Klinik
1. Gejala klasik
Gangguan klasik jelas, gangguan klinis dramatis yang sering
mengakibatkan pasien dibawa cepat untuk perhatian medis khusus untuk
gejala yang terkait gangguan disosiatif. Biasanya ditemukan pada mereka
yang mempunyai pengalaman trauma ekstrem akut. Pasien mungkin
menunjukkan gejala kekambuhan atau konversi somatoform, perubahan
kesadaran, depersonalisasi, derealisasi, trance states, dan bahkan amnesia
disosiatif anterograde lanjutan. Tidak ada profil kepribadian tunggal atau
latar belakang yang dilaporkan secara konsisten pada pasien, walaupun
latar belakang pribadi sebelumnya atau keluarga dari somatoform atau
gejala disosiatif menunjukkan predisposisi individu dalam perkembangan
amnesia akut selama suasana traumatik. Beberapa pasien pernah mandapat
pelecehan atau trauma di masa anak-anak atau remaja. Dalam kasus
perang, seperti bentuk lain dari perseteruan yang berhubungan dengan
gangguan pasca trauma, variable paling penting dalam perkembangan
gejala disosiatif, namun, tampaknya intensitas meningkat.
2. Gejala non klasik
Pasien sering datang untuk terapi dengan gejala bervariasi, seperti
depresi atau perubahan mood, penyalahgunaan zat, gangguan tidur, gejala
12
somatoform, cemas dan panik, impuls bunuh diri atau mutilasi diri dan
tindakannya, kekerasan, gangguan makan, dan masalah interpersonal.
Lima pola yang berbeda dari kehilangan daya ingat telah
dilaporkan pada pasien dengan amnesia disosiatif :
1. Lokal
Pasien tidak dapat mengingat peristiwa yang terjadi dalam jangka waktu
terbatas (biasanya beberapa jam atau 1-2 hari) setelah peristiwa traumatis.
Sebagai contoh, beberapa korban serangan World Trade Center tidak ingat
bagaimana mereka keluar dari bangunan yang rusak atau apa jalan yang
mereka ambil untuk pergi dari daerah tersebut.
2. Selektif
Pasien dapat mengingat beberapa, tetapi tidak semua peristiwa yang terjadi
selama periode waktu yang terbatas. Sebagai contoh, seorang pejuang
mungkin ingat beberapa detail, seperti mengambil tahanan, tetapi tidak
yang lain (melihat teman terbunuh, kehilangan komandan).
3. Umum
Orang tidak ingat sesuatu dalam hidupnya atau sepanjang hidupnya. Orang
dengan amnesia umum biasanya ditemukan oleh polisi atau diambil orang
lain dan dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit.
4. Terus menerus
Amnesia ini mencakup seluruh periode tanpa gangguan dari peristiwa
traumatis di masa lalu untuk saat ini.
13
5. Sistematis
Amnesia hanya mencakup kategori informasi tertentu, seperti semua
kenangan yang berhubungan dengan lokasi tertentu atau orang tertentu.
Faktor Resiko
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun
emosional semasa kecil sangat beresiko besar mengalami gangguan amnesia
disosiatif. Anak-anak dan dewasa yang juga memiliki pengalaman kejadian yang
traumatik, misalnya perang, bencana, penculikan, dan prosedur medis yang invasif
juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya gangguan amnesia disosiatif.
Diagnosis
Kriteria diagnosis amnesia disosiatif berdasarkan DSM IV antara lain1 :
1. Gangguan dominan adalah satu atau lebih episode ketidakmampuan
mengingat kembali informasi pribadi penting, biasanya pada trauma atau
stress alami yang terlalu luas untuk dijelaskan oleh lupa biasa.
2. Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan
identitas disosiatif, fugue disosiatif, gangguan stress post trauma,
gangguan stress akut, atau gangguan somatic dan tidak disebabkan oleh
efek psikologi secara langsung dari zat (seperti penyalahgunaan obat,
pengobatan), atau kondisi neurologic atau kondisi medis secara umum
(seperti gangguan amnesia karena trauma kepala).
14
3. Gejala menyebabkan distress yang bermakna atau hendaya dalam bidang
sosial, pekerjaan atau fungsi area yang penting.
Kriteria diagnosis amnesia disosiatif berdasarkan PPDGJ-III antara lain6 :
1. Amnesia, baik total atau parsial, mengenai kejadian yang ‘stressful’ atau
traumatik yang baru terjadi (hal ini mungkin hanya dapat dinyatakan bila
ada saksi yang memberi informasi)
2. Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi, atau kelelahan berlebihan
(sindroma amnesik organik, F 04, F 1x.6).
F 44.1 Fugue Disosiatif
Defenisi
Fugue disosiatif merupakan kondisi ketika seseorang yang mengalami
amnesia disosiatif tiba-tiba melakukan perjalanan yang jauh dari rumah atau
tempat kerjanya tanpa direncanakan. Pada pasien fugue terdapat ketidakmampuan
untuk mengingat aspek penting identitas sebelumnya (nama, keluarga, pekerjaan)
dan terkadang pasien fugue mengadopsi sebagian atau lengkap identitas baru.
Selain itu, ingatan terhadap peristiwa traumatik terakhir atau keadaan yang penuh
tekanan juga hilang.1
Epidemiologi
Data epidemiologi untuk semua gangguan disosiatif terbatas dan fugue
disosiatif sendiri jarang ditemukan9. Fugue disosiatif biasanya disebabkan oleh
15
peristiwa traumatik atau penuh tekanan sehingga insidennya mungkin meningkat
atau paling sering terjadi selama perang, setelah bencana alam, dan krisis pribadi
dengan konflik internal yang berat1. Angka prevalensi fugue dissosiatif menurut
DSM-IV-TR pada populasi umum sekitar 0,2 persen.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien rawat inap psikiatri
di Dayton, Ohio Wright Patterson Air Force Medical Center pada tahun 1973,
fugue disosiatif ditemukan di hanya 0,3% dari prajurit dan keluarga perempuan
yang ditinggalkan. Pada sebuah penelitian lebih baru yang dilakukan di Winnipeg,
Kanada, tidak ditemukan kasus fugue disosiatif pada 502 anggota dari populasi
umum.2 Fugue disosiatif banyak dialami oleh dewasa terutama pada tahun kedua
dekade ke empat dan distribusinya hampir sama antara laki-laki dan perempuan.1
Etiologi
Berbagai stressor dan faktor pribadi menjadi predisposisi seseorang untuk
mengalami fugue disosiatif. Fugue disosiatif memiliki faktor motivasi yang
penting berupa keinginan menarik diri dari pengalaman yang menyakitkan secara
emosi. Pasien dengan gangguan mood dan kepribadian tertentu (misalnya skizoid)
juga memiliki predisposisi mengalami fugue disosiatif.9
Faktor-faktor lain yang juga merupakan predisposisi seseorang menderita
fugue disosiatif antara lain faktor psikososial meliputi stresor perkawinan,
keuangan, pekerjaan dan stresor akibat perang. Adapun ciri predisposisi terkait
fugue disosiatif lainnya, seperti depresi, upaya bunuh diri, riwayat trauma kepala,
dan riwayat penyalahgunaan zat.9
16
Gejala Klinik
Sama halnya dengan amnesia disosiatif, pada pasien fugue disosiatif
ditemukan amnesia yaitu ketidakmampuan mengingat kembali informasi identitas
personal namun individu masih dapat belajar sesuatu yang baru. Pasien fugue
disosiatif berkelana bertujuan, biasanya jauh dari rumah, selama beberapa hari
tiap kalinya, sangat jarang terjadi hingga berbulan-bulan1.
Selama berkelana pasien akan mengalami amnesia secara menyeluruh
terhadap kehidupan masa lalunya. Lupa akan idetitas, seperti nama, keluarga dan
tempat dia tinggal sebelumnya. Pada saat onset fugue terjadi, pasien tidak akan
menyadari dirinya terkena amnesia. Jika pasien kembali ke dirinya sebelumnya,
pasien dapat mengingat hal-hal sebelum onset fugue terjadi, namun pasien tetap
lupa pada apa yang terjadi selama periode fuguenya.1
Pada awalnya, pasien dengan fugue disosiatif mungkin terlihat normal
sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, kebingungan mulai tampak terlihat.
Kebingungan ini mungkin hasil dari realisasi bahwa pasien tidak mampu
mengingat masa lalunya. Pasien kemudian menyadari ada sesuatu yang salah tidak
lama setelah mereka melarikan diri dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
Pada beberapa kasus, pasien mungkin menelepon ke rumah atau meminta bantuan
polisi setelah mengalami kesukaran saat menemukan diri mereka berada di tempat
yang tak dikenal dan dalam keadaan yang tidak dapat mereka jelaskan.9
Pasien dengan fugue disosiatif tidak menunjukkan kelakuan patologis atau
memperlihatkan adanya ingatan tertentu dari kejadian yang traumatik, mereka
17
biasanya tenang, biasa, bekerja dengan pekerjaan sederhana, hidup sederhana, dan
umumnya tidak melakukan hal-hal yang dapat menarik perhatian ke arahnya.2,5
Diagnosis
Kriteria diagnostic untuk fugue disosiatif berdasarkan PPDGJ III antara
lain6 :
Untuk diagnosis pasti harus ada:
(a) Ciri-ciri amnesia disosiatif (F44.0);
(b) Melakukan perjalanan tertentu melalui hal yang umum dilakukannya
sehari-hari;
(c) Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada (makan, mandi, dsb)
dan melakukan interaksi social sederhana dengan orang-orang yang
belum dikenalnya (misalnya membeli karcis atau bensin, menanyakan
arah, memesan makanan).
Harus dibedakan dari “postictal fugue” yang terjadi setelah serangan
epilepsy lobus temporalis, biasanya dapat dibedakan dengan cukup jelas
atas dasar riwayat penyakitnya, tidak adanya problem atau kejadian yang
“stressful”, dan kurang jelasnya tujuan (fragmented) berkepergian serta
kegiatan dari penderita epilepsy tersebut.
Kriteria diagnostik untuk fugue disosiatif bedasarkan DSM IV antara
lain1 :
18
1) Gangguan yang predominan adalah terjadinya perjalanan mendadak yang
tidak diharapkan berupa meninggalkan rumah, tempat, pekerjaan dan ia tidak
mampu mengingat masa lalunya.
2) Kebingungan tentrang indetitas persoanal atau perkiraan dari indetitas baru
(sebagian atau utuh).
3) Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan indetitas
dan tidak disebabkan efek fisiologis langsung dari penggunaan zat (misalnya
penyalahgunaan zat, pengobatan) atau kondisi medik umum (misalnya
epilepsi lobus temporalis).
4) Gejala menyebabkan distress yang bermakna atau hendaya dalam bidang
sosial, pekerjaan atau fungsi area yang penting.
F.44.2 Stupor Disosiatif
Perilaku individu memenuhi kriteria untuk stupor, akan tetapi dari
pemeriksaan tidak didapatkan adanya tanda penyebab fisik. Seperti juga pada
gangguan-gangguan disosiatif lain, didapat bukti adanya penyebab psikogenik
dalam bentuk kejadian-kejadian yang penuh stress ataupun masalah sosial atau
interpersonal yang menonjol.
Stupor disosiatif bisa didefinisikan sebagai sangat berkurangnya atau
hilangnya gerakan-gerakan voulunter dan respon normal terhadap rangsangan luar
seperti cahaya, suara dan perabaan ( sedangkan kesadaran dalam artian fisiologis
tidak hilang ).
Untuk diagnosis pasti harus ada :
19
1. Stupor, seperti yang sudah disebutkan tadi.
2. Tidak ditemukan adanya gangguan fisik atau gangguan psikiatrik lain yang
dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut.
3. Adanya masalah atau kejadian-kejadian baru yang penuh stress.
Kriteria diagnostik stupor disosiatif berdasarkan PPDGJ III antara lain6 :
Untuk diagnosis pasti harus ada:
(a) Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter
dan respon normal terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya,
suara, dan perabaan (sedangkan kesadaran tidak hilang);
(b) Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun gangguan jiwa lain
yang dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut;
(c) Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yg ”stressful”
(psychogenic causation).
Harus dibedakan dari stupor katatonik (pada skizofrenia), dan stupor
depresif atau manik (pada gangguan afektif, berkembang sangat lambat,
sudah jarang ditemukan.
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
Definisi
20
“Trans” yang disebut juga “twilight state” adalah suatu keadaan yang
ditandai oleh perubahan kesadaran atau hilangnya penginderaan dari identitas diri
dengan atau tanpa suatu identitas alternatif.
“Trans” adalah suatu perubahan status kesadaran dan menunjukkan
penurunan responsivitas terhadap stimulus lingkungan1.
Epidemiologi
Kesurupan atau possesion dan trance, kasusnya banyak dijumpai di negara
dunia ketiga. Di India yang kultur dan budayanya mirip Indonesia, kesurupan atau
possesion syndrome atau possesion hysterical merupakan bentuk disosiasi yang
paling sering ditemukan. Angka kejadiannya kurang lebih 1 – 4% dari populasi
umum.
. Kondisi trans biasanya terjadi pada perempuan dan seringkali
dihubungkan dengan stress atau trauma. Hal ini terbukti dari kasus-kasus yang
terjadi sebagian besar adalah perempuan. Hal ini mungkin karena perempuan
lebih sugestible atau lebih mudah dipengaruhi dibandingkan lakilaki. Mereka
yang mempunyai kepribadian histerikal yang salah satu cirinya sugestible lebih
berisiko untuk disosiasi atau juga menjadi korban kejahatan hipnotis. Berdasarkan
usia, sebagian besar korban disosiasi berusia remaja dan dewasa muda. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa mereka yang berisiko untuk disosiasi adalah
perempuan usia remaja atau dewasa muda yang mudah dipengaruhi.
Kemungkinan besar disosiasi terjadi setelah kejadian-kejadian yang membuat
individu sangat stress. Mungkin juga terjadi ketika psikis seseorang melemah atau
21
mengalami tekanan mental. Banyak jenis penelitian menyatakan suatu hubungan
antara peristiwa traumatik, khususnya penyiksaan fisik dan seksual pada masa
anak-anak dengan gangguan disosiatif1.
Etiologi
Etiologi dari gangguan disosiasi ini diduga bersifat psikologis. Faktor
predisposisinya antara lain:
Keinginan untuk menarik diri dari pengalaman yang menyakitkan secara
emosional,
Berbagai stressor dan faktor pribadi, seperti finansial, perkawinan,
pekerjaan, dan peperangan,
Depresi,
Usaha bunuh diri,
Riwayat penyalahgunaan zat.
Gejala Klinis
Terdapat dua macam keadaan yang dinamakan kesurupan oleh masyarakat,
yaitu:
a. Orang itu merasa bahwa di dalam dirinya ada kekuatan lain yang berdiri di
samping “aku”-nya dan yang dapat menguasainya. Jadi simultan terdapat
dua kekuatan yang bekerja sendiri-sendiri dan orang itu berganti-ganti
menjadi yang satu dan yang lain. Kesadarannya tidak menurun. Perasaan
ini berlangsung kontinu.
22
b. Orang itu telah menjadi lain, ia mengidentifikasikan dirinya dengan orang
yang lain, binatang atau benda. Jadi pada suatu waktu tidak terdapat dua
atau lebih kekuatan di dalam dirinya (seperti dalam hal yang pertama), tapi
terjadi suatu metamorphosis yang lengkap. Ia telah menjadi orang yang
lain, binatang atau barang, dan ia juga bertingkah laku seperti orang,
binatang atau barang itu. Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian.
Keadaan yang kedua ini adalah disosiasi. Bila disosiasi itu terjadi karena
konflik dan stress psikologik, maka keadaan itu dinamakan reaksi disosiasi. Bila
disosiasi ini terjadi karena pengaruh kepercayaan dan kebudayaan, maka
dinamakan kesurupan. Tidak jarang kedua keadaan ini secara ilmiah sukar
dibedakan karena kepercayaan dan kebudayaan juga dapat menimbulkan konflik
dan stress.
Gejala-gejala beberapa waktu sebelum kesurupan antara lain kepala terasa
berat, badan dan kedua kaki lemas, penglihatan kabur, badan terasa ringan, dan
ngantuk. Perubahan ini biasanya masih disadari oleh subjek, tetapi setelah itu ia
tiba-tiba tidak mampu mengendalikan dirinya. Melakukan sesuatu di luar
kemampuan dan beberapa di antaranya merasakan seperti ada kekuatan di luar
yang mengendalikan dirinya.
Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya bukanlah
dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan
saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari sebagian,
dan ada pula yang tidak menyadari sama sekali. Dalam keadaan kesurupan korban
23
melakukan gerakan-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental,
dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk
mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan
menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi,
mental mereka mendapat kepuasan hebat.
Ada tiga stadium yang dialami orang kesurupan, antara lain sebagai
berikut:
Pertama, irradiation (subjek tetap menyadari dirinya tetapi ada perubahan
yang dirasakan pada tubuhnya)
Kedua being diside, subjek berada dalam dua keadaan yang berbeda,
namun ada sebagian yang dialaminya disadarinya.
Stadium ketiga disebut stadium incorporation, subjek sepenuhnya dikuasai
oleh yang memasukinya dan semua keadaan yang dialami tidak
diingatnya.
Diagnosis
Kriteria diagnostic gangguan trans berdasarkan PPDGJ III antara lain6 :
Gangguan ini menunjukkan adanya kehilangan sementara aspek
penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungannya;
dalam beberapa kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan
dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan
lain”
24
Hanya gangguan trans yang “involunter” (diluar kemauan individu)
dan bukan merupakan aktivitas yang biasa, dan bukan merupakan
kegiatan keagamaan ataupun budaya, yang boleh dimasukkan dalam
pengertian ini.
Tidak ada penyebab organic (misalnya epilepsy lobus temporalis,
cedera kepala, intoksikasi zat psikoaktif) dan bukan bagian dari
gangguan jiwa tertentu (misalnya skizofrenia, gangguan kepribadian
multiple).
F44.4-F44.7 Gangguan Disosiatif dari gerakan dan Penginderaan
Di dalam gangguan ini terdapat kehilangan atau gangguan dari gerakan
ataupun kehilangan pengideraan. Oleh sebab itu pasien biasanya mengeluh
tentang adanya penyakit fisik, meskipun tidak ada kelainan fisik yang dapat
ditemukan untuk menjelaskan keadaan-keadaan itu. Selain itu, penilaian status
mental pasien dan situasi sosialnya biasanya menunjukkan bahwa
ketidakmampuan akibat kehilangan fungsinya membantu pasien dalam upaya
untuk menghindar dari konflik yang kurang menyenangkan atau untuk
menunjukkan ketergantungan atau penolakan secara tidak langsung. Diagnosis
harus ditegakkan dengan sangat hati-hati apabila terdapat gangguan sistem saraf
atau pada individu yang tadinya menunjukkan kemampuan penyesuaian yang baik
dengan hubungan keluraga dan sosial yang normal.
Untuk diagnosis pasti :
1. Tidak didapatkannya tanda kelainan fisik.
25
2. Harus diketahui secara memadai mengenai kondisi psikologis dan sosial serta
hubungan interpersonal dari pasien, agar memungkinkan menyusun suatu
formulasi yang meyakinkan perihal sebab gangguan itu timbul.
F44.4 Gangguan Motorik Disosiatif
Gangguan Motorik Disosiatif adalah adanya gangguan untuk menggerakan
seluruh atau sebagian dari anggota gerak. Paralisis dapat bersifat parsial, dengan
gerakan yang lemah atau lambat atau total berbagai bentuk dan taraf inkoordinasi
(ataksia) dapat terjadi, khususnya pada kaki, ketidakmampuan berdiri tanpa
dibantu. Dapat juga terjadi gemetar yang berlebih pada satu ekstremitas, atau
lebih, atau seluruh badan.
Kriteria diagnostik gangguan motorik disosiatif berdasarkan PPDGJ III
antara lain6 :
Bentuk yang paling umum dari gangguan ini adalah ketidak mampuan
untuk menggerakkan seluruh atau sebagian dari anggota gerak (tangan
atau kaki).
Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita
mengenai gangguan fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik maupun
anatomik.
F.44.5 Konvulsi Disosiatif
26
Kriteria diagnostik konvulsi disosiatif berdasarkan PPDGJ III antara lain6 :
Konvulsi disosiatif (pseudoseizures) dapat sangat mirip dengan kejang
epileptik dalam hal gerakan-gerakannya, akan tetapi sangat jarang disertai
lidah tergigit, luka sering karena jatuh saat serangan dan mengompol. Juga
tidak dijumpai kehilangan kesadaran atau hal tersebut diganti dengan
keadaan seperti stupor atau trans.
F.44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
Kriteria diagnostik anestesia dan kehilangan sensorik disosiatif
berdasarkan PPDGJ III antara lain6 :
Gejala anestesi pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang
tegas (menggambarkan pemikiran pasien mengenai fungsi tubuhnya
dan bukan menggambarkan kondisi klinis sebenarnya).
Dapat pula terjadi perbedaan antara hilangnya perasaan pada berbagai
jenis modalitas penginderaan yang tidak mungkin disebabkan oleh
kerusakan neurologis, misalnya hilangnya perasaan dapat disertai
dengan keluhan parestesia.
Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, lebih banyak berupa
gangguan ketajaman penglihatan, kekaburan atau ”tunnel vision” (area
lapangan pandangan sama, tidak tergantung pada perubahan jarak mata
27
dari titik fokus). Meskipun ada gangguan penglihatan, mobilitas
penderita dan kemampuan motoriknya seringkali masih baik.
Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi dibandingkan
dengan hilang rasa dan penglihatan.
F44.8 Gangguan Disosiatif lainnya
Sindrom Ganser
Ciri-ciri dari gangguan ini adalah “jawaban kira-kira”, yang biasanya
disertai beberapa gejala disosiatif lainnya, sering kali dalam keadaan yang
menunjukkan kemungkinan adanya penyebab yang bersifat psikogenik
dan harus dimasukkan di sini.
Kriteria diagnostik sindrom Ganser berdasarkan DSM IV antara lain1 :
Pemberian jawaban ”kira-kira” jika diberikan pertanyaan (misalnya 2
ditambah 2 sama dengan 5) dan tidak berhubungan dengan amnesia
disosiatif atau fugue disosiatif.
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila
tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan
pendekatan psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada.
Masuk rumah sakit diindikasikan bagi pasien yang memiliki
kecenderungan untuk membahayakan dirinya atau orang lain, ketika efek dari
28
penggunaan terapi obatnya harus dipantau atau ketika diagnosis sementara belum
dapat ditentukan. Perawatan di rumah sakit memungkinkan pasien untuk
memisahkan diri dari pengaruh lingkungan, penganiayaan fisik dan seksual, dan
stress yang mungkin telah memicu reaksi atau episode amnesia, kelakuan
kompulsif. Hal ini juga melindungi mereka disaat masa membingungkan dalam
hidup mereka. Indikasi lain adalah ketika mereka pernah mencoba atau memiliki
tanda atau ide untuk bunuh diri.5
Psikoterapi
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan disosiatif ini.
Bentuk terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi psikososial, meliputi
berbicara tentang gangguan yang diderita oleh pasien jiwa. Terapinya akan
membantu terapis mengerti penyebab dari kondisi yang dialami. Psikoterapi untuk
gangguan disosiasi sering mengikutsertakan teknik seperti hipnotis yang
membantu kita mengingat trauma yang menimbulkan gejala disosiatif.
Terapi kesenian kreatif.
Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe terapi ini menggunakan
proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit mengekspresikan pikiran dan
perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu meningkatkan kesadaran diri.
Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama dan puisi.
Terapi obat
Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penanganan awal, walaupun tidak
ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif ini. Biasanya pasien
diberikan resep berupa anti-depresan karena sebagian besar pasien juga
29
mengalami depresi, antipsikotik digunakan jika timbul tingkah laku pasien yang
membahayakan (psikotik), dan obat anti-konvulsan sebagai mood stabilizer.
Obat-obat antipsikotik atipikal golongan Benzioxazole seperti
Aripiprazole (Abilify), golongan Dibenzodiazepine seperti Olanzapine (Zyprexa),
Quetiapine (Seroquel) dan golongan Fenotiazine seperti Ziprasidone (Geodon)
dapat menjadi obat pilihan dalam mengobati gangguan disosiasi. Obat
antidepressan golongan Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti
Escitalopram dapat mengurangi gejala cemas pada gangguan disosiasi. Selain itu,
dapat pula digunakan obat antikonvulsan golongan Benzodiapine seperti Keppra
(Levetiracetam) dan golongan Feniltriazin seperti Lamotrigine (Lamictal)5.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai obat-obatan yang digunakan dalam
menangani gangguan disosiasi :
1. Aripiprazole (Abilify)5
Mekanisme : Memblok beberapa reseptor neurotransmitter di saraf otak,
seperti reseptor dopamin dan serotonin
Sediaan : Tablet 10mg, 15mg, 20mg, dan 30mg
Dosis : Digunakan 1x sehari. Dosis awal 10-15mg sekali sehari, kemudian
ditingkatkan hingga mencapai efek yang diinginkan. Dapat diminum sebelum
atau sesudah makan.
Interaksi Obat :
(a) Karbamazepin, Fenitoin, Rifampin, Fenobarbital : menurunkan kadar
aripiprazole akibat meningkatnya enzime CYP3A4 di hati
30
(b) Ketokonazol, Quinidine : menurunkan kadar aipiprazole akibat
menghambat enzim CYP3A4 di hati.
Efek Samping : cemas, pandangan kabur, konstipasi, batuk, sakit kepala,
insomnia, mual muntah, tremor, peningkatan BB.
Ibu Hamil dan Menyusui : belum ada penelitian mengenai efek aripiprazole
pada ibu hamil dan menyusui.
2. Olanzapine (Zyprexa)5
Mekanisme : memblok beberapa reseptor neurotransmitter dengan
berikatan pada reseptor alpha-1, reseptor dopamin, reseptor histamin H-1,
reseptor muskarinik, dan reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2).
Farmakokinetik : Olanzapin diabsorbsi dengan baik setelah pemberial oral,
dengan kadar plasma tercapai setelah 4-6 jam pemberian, metabolisme di
hepar oleh enzim CYP2D6, dan diekskresi lewat urin10.
Sediaan : Tablet 2.5mg, 5mg, 7.5mg, 10mg, 15mg, 20mg
Dosis : Dosis awal 10mg sekali sehari, dosis pemeliharaan 7.5-17.5mg
sehari11.
Interaksi Obat : (a) Karbamazepin, Omeprazol, Rifampin, kebiasaan
merokok : menurunkan kadar olanzapine dalam darah
(b) Siprofloksasin, Diltiazem, Eritromisin : meningkatkan kadar
olanzapine dalam darah
(c) kombinasi dengan Diazepam : mengurangi gejala hipotensi ortostatik
31
Efek Samping : akathisia, konstipasi, pusing, insomnia, mulut kering,
hipotensi ortostatik, tremor, peningkatan BB. Olanzapine dapat
meningkatkan kadar hormon prolaktin (mentruasi abnormal, disfungsi
seksual, pembesaran payudara).
Ibu Hamil dan Menyusui : belum ada penelitian mengenai efek olanzapine
pada ibu hamil. Olanzapine dapat dieksresi melalui ASI, jadi jangan
diberikan pada ibu menyusui.
3. Quetiapine (Seroquel)5
Mekanisme : Memblok reseptor dopamin tipe 2 (D2) dan reseptor
serotonin tipe 2 (5-HT2).
Farmakokinetik : absorbsi cepat setelah pemberian oral, kadar plasma
tercapai setelah 1-2 jam pemberian. Ikatan protein sekitar 83%.
Metabolismenya lewat hati oleh enzim CYP3A4. Ekskresi sebagian besar
lewat urin dan sebagian kecil lewat feses10.
Sediaan : Tablet 25mg, 50mg, 100mg, 200mg, 300mg, 400mg
Dosis : digunakan 2-3x sehari. Dosis ditingkatkan setiap minggu secara
bertahap hingga mencapai efek yang diinginkan. Dapat diminum sebelum
atau sesudah makan.
Interaksi Obat :
(a) Fenitoin, Thioridazine : menurunkan kadar quetiapine dan dapat
menurunkan efektivitas quetiapine.
(b) Barbiturat : quetiapine dapat meningkatkan efek sedasi pada barbiturat.
32
(c) Ketokonazol, Eritromisin, Diltiazem : meningkatkan efek toksik
olanzapine.
Efek Samping : sakit kepala, agitasi, pusing, peningkatan BB, hipotensi
ortostatik, kejang (1 dari 25 pasien) dan hipotiroid (1 dari 250 pasien).
Ibu Hamil dan Menyusui : dapat digunakan pada ibu hamil. Jangan
diberikan pada ibu menyusui karena quetiapine dieksresi pada ASI.
4. Ziprasidone (Geodon)5
Mekanisme : memblok reseptor dopamin dan reseptor serotonin,
menghambat ambilan kembali serotonin dan norepinefrin seperti pada
antidepressan.
Farmakokinetik : absorbsi cepat setelah pemberian oral. Metabolismenya
di hati dan diekskresi sebagian kecil lewat urin dan sebagian besar lewat
feses. Ikatan protein plasmanya kuat berkisar lebih dari 99%10.
Sediaan : Kapsul 20mg, 40mg, 60mg, 80mg
Dosis : Digunakan 2x sehari. Dosis awal 20mg dua kali sehari. Dosis
ditingkatkan hingga mencapai efek yang diinginkan. Harus diminum
setelah makan.
Interaksi Obat :
(a) Thioridazine, Quinidine, Sotalol : prolongasi interval QT pada EKG
(b) Karbamazepin, Eritromisin, Diltiazem : meningkatkan kadar
ziprasidone dengan menghambat enzim P450 3A4 yang mengeliminasi
ziprasidone.
33
Efek Samping : selalu merasa lelah, mual, konstipasi, pusing, diare,
tremor, hipotensi ortostatik.
Ibu Hamil dan Menyusui : jangan digunakan pada ibu hamil dan
menyusui.
5. Escitalopram (Lexapro)5
Mekanisme : termasuk SSRI, menghambat ambilan kembali serotonin.
Selektivitasnya terhadap transporter serotonin paling tinggi10.
Farmakokinetik : metabolisme oleh CYP 3A410
Sediaan : Tablet 5mg, 10mg, 20mg
Dosis : Dosis awal 10mg sekali sehari pada pagi atau malam hari. Dosis
dapat ditingkatkan hingga 20mg sekali sehari setelah 1 minggu pemberian
dosis awal. Dapat diminum sebelum atau setelah makan.
Interaksi Obat :
(a) Kombinasi dengan MAOI : menimbulkan gejala pusing, peningkatan
tekanan darah, demam tinggi, tremor.
(b) Kombinasi dengan Triptophan : menimbulkan gejala sakit kepala,
mual, berkeringat, pusing.
(c) Aspirin, NSAID : meningkatkan resiko perdarahan pada sistem
gastrointestinal.
Efek Samping : agitasi, pandangan kabur, diare, sulit tidur, mulut kering,
demam, sering BAK, sakit kepala, mual, tremor.
Ibu Hamil dan Menyusui : jangan diberikan pada ibu hamil dan menyusui.
34
6. Levetiracetam (Keppra)5
Mekanisme : merupakan obat antikejang (antiepilepsi) dengan
menghambat penyebaran aktivitas kejang pada otak. Berperan pada
reseptor GABA, kanal Ca2+ dan K+.10
Sediaan : Tablet (immediate release) 250mg, 500mg, 750mg, 1000mg.
Tablet (extended release) 500mg, 750mg.
Dosis : Dosis rekomendasi 3000mg/hari. Dosis awal 1000mg sehari
(500mg dua kali sehari) dan ditingkatkan 1000mg/hari setiap 2 minggu
hingga mencapai dosis maksimum 3000mg/hari.
Interaksi Obat : Probenecid : menurunkan eliminasi levetiracetam
sehingga dapat meningkatkan kadar levetiracetam pada tubuh.
Efek Samping : sakit kepala, lemah, pusing, infeksi, sulit berjalan,
iritabilitas, mood swing, cemas, halusinasi.
Ibu Hamil dan Menyusui : jangan digunakan pada ibu hamil dan
menyusui.
7. Lamotrigine (Lamictal)5
Mekanisme : inaktivasi kanal Na+, Ca2+, dan mencegah pelepasan
neurotransmitter glutamat dan aspartat10.
Farmakokinetik : diabsorbsi sempurna 2.5 jam setelah pemberian oral.
Volume distribusinya 1-1.4L/kg. Hanya 55% yang terikat pada protein
35
plasma. Dimetabolisme dengan glukoronidase menjadi 2-N-glukoronida
dan diekskresikan melalui urin. Waktu paruhnya 24 jam10.
Sediaan : Tablet 25mg, 100mg, 150mg, 200mg. Tablet kunyah 2mg, 5mg,
25mg.
Dosis : Dosis awal 100mg dua kali sehari dan dapat ditingkatkan hingga
40mg sehari11.
Interaksi Obat :
(a) Kombinasi dengan Asam Valproat : menurunkan kadar asam valproat
dalam darah, tetapi kadar lamotrigine meningkat. Dapat menimbulkan
gejala kulit kemerahan yang berat.
(b) Kombinasi dengan Karbamazepin : menimbulkan gejala pusing,
penglihatan ganda, penglihatan kabur.
(c) Estrogen, Fenobarbital, Fenitoin, Rifampin : menurunkan kadar
lamotrigine dalam darah.
Efek Samping : pusing, sakit kepala, penglihatan ganda, penglihatan
kabur, mual muntah.
2.7 Prognosis
Prognosis untuk gangguan disosiatif berbeda-beda untuk setiap jenisnya.
Prognosis bergantung pada waktu timbulnya gejala. Semakin lama gejala yang
timbul, maka prognosis akan semakin buruk. Amnesia disosiatif dan fugue
disosiatif memiliki prognosis yang baik apabila waktu timbulnya gejala tidak
terlalu lama dan memberikan respon yang baik terhadap pengobatan.
36
2.8 Pencegahan
Anak- anak yang secara fisik, emosional dan seksual mengalami
gangguan, sangat beresiko tinggi mengalami gangguan mental yang dalam
hal ini adalah gangguan disosiatif. Jika terjadi hal yang demikian, maka
segeralah diberikan penanganan, karena diketahui bahwa jika menanamkan
sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil
yang maksimal, dengan penanganan yang minimal.
37
BAB III
KESIMPULAN
Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan
sebagai adanya kehilangan ( sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah
kendali sadar) meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan peng-inderaan-
an segera (awareness of identity and immediate sensations) serta kontrol terhadap
gerak tubuh.
Gangguan disosiatif bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam
masyarakat. Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan disosiatif ini
mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan disosiatif bisa terkena oleh orang di
belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.
Ada beberapa penggolongan dalam gangguan disosiatif, antara lain adalah
Amnesia Disosiatif, Fugue Disosiatif, Stupor Disosiatif, Gangguan Trans dan
Kesurupan, Gangguan Motorik Disosiatif, Konvulsi disosiatif dan juga Anestesia
dan Kehilangan Sensorik Disosiatif.
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila
tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan
pendekatan psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI,Sadock BJ. 2010. Sinopsis Psikiatri jilid 2. Bina Rupa Aksara:
Tangerang.
2. Maramis WF, Maramis AA. 2009. Edisi 2. Airlangga University Press:
Surabaya.
3. Santrock, J. W. 2007. Child Development. New York: McGraw-Hill.
Available on: www.wikipedia.org.
4. Mansjoer, A. dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid
Media Aesculapius: Jakarta.
5. Sharon I. 2010. Dissociative Disorders Etiology and Introduction.
Available on: http://emedicine.medscape.com
6. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ III), Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik, 1993. Cetakan Pertama.
7. Lahey, B. B. 2007. Psychology: An introduction. 9th edition. New York:
Mc Graw-Hill . Available on: www.wikipedia.org
8. Lindzey, G. Hall, C.S. 1957. Introduction to Theory of Personality.1 st
edition. Available on: www.wikipedia.org
9. Dissociative Fugue. Encyclopedia Of Mental Dissorder. Diunduh tanggal
20 Februari 2013 dari
(http://www.minddisorders.com/Del-Fi/Dissociative-fugue.html)
39
10. Gunawan, S. dkk. 2007. Edisi 5. Farmakologi dan Terapi. Universitas
Indonesia : Jakarta
11. Tjay. T. H. dkk. 2001. Edisi 5. Obat-obat Penting. Elex Media
Komputindo : Jakarta
12. Dissociative Disorders: Introduction (LANGE: current diagnosis and
treatment in psychiatry, Michael H.ebert, Peter T.Loosen, Barry
Nurcombe, 2000)
40