gambaran keberhasilan pengobatan pada...
TRANSCRIPT
GAMBARAN KEBERHASILAN PENGOBATAN PADA PASIEN
TUBERKULOSIS PARU BTA (+) DI WILAYAH KECAMATAN
CIPUTAT, KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2015
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh :
Dewi Citra Murni
NIM : 1113101000001
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2017
i
LEMBAR PERNYATAAN
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
Skripsi, September 2017
Dewi Citra Murni, NIM : 1113101000001
Gambaran Keberhasilan Pengobatan Pada Pasien TB Paru BTA (+) di Wilayah
Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Xi + 106 halaman + 11 tabel + 11 gambar+ 5 lampiran
ABSTRAK
Keberhasilan pengobatan merupakan indikator yang digunakan diantara pasien
sembuh dan pengobatan lengkap. Pada Puskesmas Kampung Sawah keberhasilan
pengobatan sebesar 68%, sedangkan di Puskesmas Ciputat sebesar 32%.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keberhasilan pengobatan pada
pasien TB Paru BTA (+) di Wilayah Kecamatan Ciputat yaitu Puskesmas
Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun 2015. Desain studi yang
digunakan adalah Case series, menggunakan telaah dokumen formulir TB 01
serta wawancara dengan kuesioner. Analisis yang digunakan adalah analisis
univariat. Karakteristik individu pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan
berhasil yang memiliki proporsi sama. Sebagian besar jenis PMO berasal dari
keluarga (61,3%) dibandingkan petugas kesehatan (38,7%). Sebagian besar juga
telah mendapatkan peran PMO (96%). Akses pasien ke Puskesmas Kampung
Sawah dan Puskesmas Ciputat yaitu kurang dari 30 menit menggunakan
kendaraan (45,3%). Pasien telah mendapatkan motivasi tinggi dari diri sendiri
(45%) maupun keluarga (51%) dan dari petugas kesehatan (46%). Oleh karena itu,
saran bagi puskesmas untuk PMO pasien TB Paru BTA (+) lebih diprioritaskan
kepada keluarga, dikarenakan keluarga merupakan orang yang paling dekat dan
mempunyai waktu lebih banyak dengan pasien, sehingga keluarga lebih berperan
penting dalam mengawasi pasien untuk teratur berobat dan menelan obat sesuai
yang telah dianjurkan petugas kesehatan.
Kata kunci: Keberhasilan pengobatan, Puskesmas Kampung Sawah, Puskesmas
Ciputat
Daftar Bacaan : (1993-2016)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY
Epidemiology
Undergraduate Thesis, September 2017
Dewi Citra Murni, NIM : 1113101000001
Description of Successful Treatment among Patients of Tuberculosis BTA (+) At
District of Ciputat, South Tangerang City 2015
Xi + 106 page + 11 table + 11 picture + 5 attachment
ABSTRACT
The success of treatment is an indicator used among patients recovered and
complete treatment. At Puskesmas Kampung Sawah the success of treatment is
68%, whereas in Puskesmas Ciputat is 32%. This study aims to see the
description of the of Successful Treatment among Patients of Tuberculosis BTA
(+) at Ciputat Subdistrict namely Puskesmas Kampung Sawah and Puskesmas
Ciputat in 2015. The study design used is Case series, using document review
form 01 and interview with questionnaire. The analysis used is univariate
analysis. Individual characteristics of patients with TB BTA (+) with successful
treatment who have the same proportion. Most types of PMO come from families
(61.3%) than officer of health (38.7%). Most have also received the role of PMO
(96%). Access to Puskesmas Kampung Sawah and Puskesmas Ciputat is less than
30 minutes by vehicle (45.3%). Patients were highly self-motivated (45%) and
family (51%) and from health workers (46%). Therefore, the suggestion for
puskesmas for PMO of TB patient (+) is more priority to family, because family is
the closest person and have more time with patient, so that family more important
role in supervise patient to regularly medication and swallow medicine as
recommended by health workers.
Keywords:Successful Treatment,Puskesmas Kampung Sawah,Puskesmas Ciputat
Reading List: (1993-2016)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
GAMBARAN KEBERHASILAN PENGOBATAN PADA PASIEN
TUBERKULOSIS PARU BTA (+) DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT
TAHUN 2015
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh :
Dewi Citra Murni
1113101000001
Jakarta, Oktober 2017
Mengetahui,
Pembimbing
Meilani M.Anwar, M.T
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
v
PANIT
IA SIDANG SKRIPSI
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Dewi Citra Murni
Tempat/Tanggal lahir : Sei sakat, 06-12-1995
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
Kewarganegaraan : WNI
Alamat : Jalan PLN Dusun I Sei Sakat, Kec.Panai Hilir,
Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara
Nomor Hp : 0852-0613-7370
E-mail : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
2013-2017 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Prodi Kesehatan
Masyarkat
2010-2013 : MAN 2 Model Medan
2007-2010 : MTs.S Al-Washliyah Merbau
2000-2006 : SDN 116250 Kampung Baru, Kecamatan Panai
Hilir, Sei Sakat.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT. karena atas berkah, kemudahan, kelancaran, dan rahmat-Nya, skripsi ini
dapat terselesaikan dengan judul Gambaran Keberhasilan Pengobatan pada Pasien
Tuberkulosis Paru BTA (+) di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat Tahun 2015. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bentuk Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :
1. Kedua orang tua, ayah dan umi yang telah memberikan motivasi, do’a
tulus yang tiada henti setiap harinya, serta dukungan penuh baik secara
moril maupun materi.
2. Kakak saya (Suci) yang telah memberikan arahan, pengetahuannya,
motivasi serta do’a tulus yang tiada henti. Dan kedua adik saya (Putri dan
Wina) yang selalu memberikan motivasi dan do’a yang tulus selama
skripsi berlangsung.
3. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Kepala Prodi Kesehatan
Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Ibu Hoirun Nisa M.Kes, Ph.D dan Ibu Meilani M.Anwar M.Epid selaku
dosen pembimbing yang telah sabar dalam memberikan arahan serta
bimbingannya kepada penulis, selama menyelesaikan proposal skripsi.
viii
6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan
izin untuk melakukan penelitian di Puskesmas Kampung Sawah dan
Puskesmas Ciputat, wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan
7. Ubaydillah selaku petugas puskesmas yang bersedia dan meluangkan
waktunya kurang lebih dua bulan menjadi ojek selama penelitian
berlangsung di wilayah Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat.
8. Rista dan sabrina teman seperjuanganku yang selalu memberikan energi
positif kepada penulis selama skripsi berlangsung.
9. Seluruh teman-teman Epidemiologi 2013 (narita, wanti, ririn, mutia, wio,
mila, fitul, rai, upi, dedes, rina, fatih, ndun, dina, anggi, ica,) yang selalu
memberikan semangat dan bantuannya.
10. Seluruh teman-teman Pathisity Kesmas 2013 yang selalu memberikan
semangat kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis membutuhkan saran dan kritik yang
membangun agar skripsi ini lebih baik lagi. Semoga dengan disusunnya
skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi banyak pihak, khususnya
penulis dan pembaca.
Jakarta, September 2017
Dewi Cita Murni
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. ii
ABSTRACT .......................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv
PANITIA SIDANG SKRIPSI .............................................................................. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 9
1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 10
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 10
1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 10
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 10
1.5 Manfaat .......................................................................................................... 10
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................. 11
BAB II .................................................................................................................. 13
x
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 13
2.1 Tuberkulosis ................................................................................................... 13
2.1.1 Etiologi Tuberkulosis .............................................................................. 13
2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis Paru............................................................. 14
2.1.3 Gejala dan Penularan Tuberkulosis Paru ................................................ 17
2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis Paru ................................................................. 19
2.2 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis .................................................................... 21
2.2.1 Pengobatan Tuberkulosis Paru Dewasa .................................................. 21
2.2.2 Keberhasilan Pengobatan TB Paru ......................................................... 27
2.2.3 Gambaran Pasien TB Paru terhadap Keberhasilan Pengobatan .............. 27
2.3 Uji Statistik ..................................................................................................... 38
2.4 Kerangka teori ................................................................................................. 39
BAB III ................................................................................................................. 41
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........................... 41
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................ 41
3.2 Definisi Operasional........................................................................................ 43
BAB IV ................................................................................................................. 49
METODE PENELITIAN ................................................................................... 49
4.1 Desain Penelitian ............................................................................................. 49
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................... 49
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................................... 49
4.4 Metode dan Instrumen Penelitian.................................................................... 53
4.5 Pengumpulan Data .......................................................................................... 59
4.6 Pengolahan Data.............................................................................................. 59
4.7 Analisis Data ................................................................................................... 60
xi
4.8 Validitas ......................................................................................................... 61
4.9 Reliabilitas ...................................................................................................... 62
BAB V ................................................................................................................... 63
HASIL .................................................................................................................. 63
5.1 Gambaran Umum Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat ....... 63
5.2 Analisis Univariat............................................................................................ 65
5.2.1 Gambaran Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil berdasarkan Wilayah ................................................................ 65
5.2.2 Gambaran Karakeristik Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 66
5.2.3 Gambaran Tipe Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015............................. 68
5.2.4 Gambaran Kategori Pengobatan Pasien TB Paru BTA (+) dengan
Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 68
5.2.5 Gambaran Faktor Perilaku Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 69
BAB VI ................................................................................................................. 79
PEMBAHASAN .................................................................................................. 79
6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................................... 79
6.2 Gambaran Karaktristik Individu Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat .............................................. 80
6.4 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................................... 86
6.5 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................................... 88
xii
6.6 Gambaran Akses dari Rumah Ke Pelayanan Kesehatan pada Pasien TB Paru
BTA (+) dengan Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Tahun 2015 .................................................................................................... 90
6.7 Gambaran Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................................... 91
BAB VII ............................................................................................................... 95
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 95
7.1 Simpulan ......................................................................................................... 95
7.2 Saran ................................................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 98
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 .................................................... 24
Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1 ............................................ 24
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 .................................................... 25
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2 ............................................ 26
Tabel 4.1 Besar sampel minimal ........................................................................... 51
Tabel 4.2 Pengkodean data ................................................................................... 60
Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Individu Pasien dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 66
Tabel 5.2 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 70
Tabel 5.3 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 .................... 70
Tabel 5.4 Gambaran Akses Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan CiputatTahun 2015 ..................... 72
Tabel 5.5 Distribusi Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat
Tahun 2015 ............................................................................................. 75
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis ..................... 15
Gambar 2.2 Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis Menurut
Provinsi tahun 2015 .............................................................................................. 16
Gambar 3.1 Kerangka Teori .................................................................................. 40
Gambar 3.2 Kerangka Konsep .............................................................................. 41
Gambar 5.1 Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang Berhasil
berdasarkan Wilayah .......................................................................... 65
Gambar 5.2 Tipe Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ............................................ 68
Gambar 5.3 Kategori Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ................ 69
Gambar 5.4 Distribusi Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 ............... 71
Gambar 5.5 Motivasi Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ............................................ 73
Gambar 5.6 Motivasi dari Keluarga Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ................ 73
Gambar 5.7 Motivasi dari Petugas Kesehatan Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+)
dengan Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat ... 74
xv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 SURAT IZIN PENELITIAN
LAMPIRAN 2 KUESIONER
LAMPIRAN 3 VALIDITAS DAN RELIABILITAS
LAMPIRAN 4 OUTPUT SPSS UNIVARIAT
LAMPIRAN 5 HASIL WAWANCARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang
serius secara global. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2012
menyatakan terdapat sembilan juta penduduk dunia menderita TB, dan terjadi
peningkatan pada tahun 2014 menjadi 9,6 juta penduduk. Wilayah dengan
jumlah kasus TB paru terbanyak adalah Afrika (37%), Asia Tenggara (28%),
dan Mediterania Timur (17%) (WHO, 2014). Indonesia pada tahun 2015
merupakan negara kedua kasus TB tertinggi di dunia (10%) setelah negara
India (23%).(WHO, 2015)
Laporan data Riskesdas tahun 2013, menemukan bahwa prevalensi
penduduk Indonesia yang didiagnosis TB adalah 0,4%. Lima propinsi dengan
TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta
(0.6%), Gorontalo (0.5%) dan Banten (0.4%) (Balitbangkes, 2013).
Berdasarkan Angka Case Detection Rate (CDR) kasus TB paru BTA (+) di
Indonesia terjadi peningkatan yaitu pada tahun 2009 (73,1%), tahun 2010
(78,3%) dan tahun 2011 (83,5%). WHO menetapkan standar angka CDR
sebesar 70%. Propinsi dengan angka CDR tertinggi diatas 70% yaitu Jawa
Barat, Sulawesi Utara, Maluku, DKI Jakarta, dan Banten (Kemenkes RI,
2011a).
2
Berdasarkan angka keberhasilan pengobatan TB paru diantara pasien
sembuh dan lengkap atau disebut dengan Treatment Success Rate (TSR) pada
tahun 2014 sebesar 90,1%, terjadi penurunan pada tahun 2015 hanya 85%.
Walaupun terjadi penurunan, angka tersebut sudah mencapai target nasional
(85%). Pada provinsi Banten jumlah kasus TB Paru BTA (+) sebanyak 7.357
kasus, dengan angka Treatment Success Rate (TSR) cukup tinggi yaitu sebesar
89,2% (Kemenkes RI, 2015).
Angka penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan merupakan
indikator yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan upaya dalam
pendeteksian kasus TB. Jika pasien TB paru tidak berhasil dalam
pengobatannya, maka pasien tersebut berpotensi besar untuk menularkan ke
orang lain yang berdampak pada penyebaran dan peningkatan kasus TB di
masyarakat, serta berdampak pada pasien tersebut untuk terjadi resistensi obat
atau yang disebut dengan Multi drug resisten (MDR TB). Pasien TB MDR di
Indonesia sebesar 8.900 kasus dan 2% kasus TB MDR diperkirakan berasal
dari kasus TB baru, dan 14,7% dari kasus TB yang mendapatkan pengobatan
ulang dikarenakan tidak tuntas dalam pengobatan TB Paru
sebelumnya.(Kemenkes RI, 2011b)
Untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian TB, bahwa pada tahun
1995-an WHO mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal
sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Fokus
utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien. Prioritas diberikan
pada pasien TB paru BTA (+) yang menular sangat cepat. Strategi ini akan
3
memutuskan rantai penularan TB dengan cara menemukan dan
menyembuhkan pasien agar dapat menurunkan insiden kasus TB. (Kemenkes
RI, 2014a)
Salah satu komponen dari DOTS yaitu pengobatan yang standar dengan
supervisi dukungan bagi pasien. Dukungan bagi pasien yang sudah ditetapkan
dengan strategi DOTS tersebut yaitu adanya pengawas menelan obat (PMO)
bagi pasien, agar selalu teratur minum obat anti TB (OAT) secara lengkap
selama 6 bulan pada penderita dengan kriteria kategori 1, dan pengobatan
selama 8 bulan pada penderita dengan kriteria kategori 2 (Kemenkes RI,
2014a).
Peran PMO (pengawas menelan obat) sangat penting dalam keberhasilan
pengobatan pasien. Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.Kariadi
Semarang, menemukan bahwa peran PMO secara baik mendapatkan hasil
keberhasilan pengobatan pada 18 pasien (100%) dibandingkan pasien yang
mendapat dukungan PMO secara tidak baik dengan keberhasilan pengobatan
hanya 8 pasien (66,7%) (Jumaelah, 2013).
Penelitian yang sama dilakukan di Puskesmas Sukoharjo menemukan
bahwa peran PMO sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan.
PMO yang berperan (56%) lebih mempengaruhi keberhasilan pengobatan
pasien dibanding PMO yang tidak berperan hanya (19%) mempengaruhi
keberhasilan pengobatan pasien. (Firdaus, 2012)
Berdasarkan karaktersitik umur, dari hasil penelitian yang dilakukan di
10 daerah di Ethiopia, menemukan bahwa kasus TB yang terdeteksi sebesar
4
131.071 pasien pada juli 2012 – juli 2015. Pasien dengan kasus TB Paru BTA
(+) paling banyak adalah umur >15 tahun sebesar 30,2%, daripada umur 5-14
sebesar 18,3% dan <0-4 tahun hanya 10,7%. Dengan hasil akhir pengobatan
selama tahun 2011-2014 yang paling banyak ditemukan yaitu pasien dengan
hasil akhir sembuh dan pengobatan lengkap yang meningkat secara fluktuatif
dari tahun 2011 (88,9%), tahun 2012 (90,6%), tahun 2013 (93,5%) dan tahun
2014 (92,5%) (Z. G. Dememew dkk., 2016) .
Berdasarkan jenis kelamin, hasil penelitian yang dilakukan di Rumah
Sakit Uganda, menemukan bahwa pasien dengan hasil akhir pengobatan TB
sembuh, banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki sebesar 37% (A.
Nakanwagi-Mukwaya dkk.,2013). Penelitian sama yang dilakukan di bagian
Barat Ethiopia, bahwa sebagian dari pasien treatment succes adalah
perempuan sebesar 32,5% dibanding laki-laki hanya 27,0% (Belay Tessema
dkk., 2009). Sedangkan penelitian yang dilakukan di bagian Utara Ethiopia
pada pasien TB paru BTA (+) sebesar 89,2% dengan karakteristik pasien lebih
banyak terjadi pada pasien laki-laki sebanyak 221 pasien daripada perempuan
hanya 186 pasien (Berhe dkk., 2012).
Berdasarkan tipe pasien dari hasil Meta-analysis pada 197 artikel terkait
hasil akhir pengobatan tuberkulosis di Eropa, bahwa keberhasilan pengobatan
lebih banyak pada pasien kasus baru sebesar 73,5%, daripada pasien yang
sudah ditangani sebelumnya atau pasien kambuh hanya 42,3% (A. Faustini
dkk.,2005). Sedangkan berdasarkan kategori pengobatan, pada penelitian yang
dilakukan di Morocco, bahwa keberhasilan pengobatan pada pasien
5
pengobatan kategori 2 sebesar 93% (Dooely dkk., 2011). Hal tersebut berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Deli Serdang menemukan
bahwa sabagian besar pasien yang berhasil pengobatannya adalah pasien
dengan kategori 1 dengan pengobatan sembuh sebesar 99,4% (Tri Hartini
dkk., 2012)
Berdasarkan karakteristik pendidikan, dari hasil penelitian yang
dilakukan di Pekan Baru, bahwa karaktristik pendidikan yang paling banyak
berhasil pengobatannya adalah pendidikan menengah atas (41,38%), SMP
(27,58%), SD (24,14%) dan perguruan tinggi (6,9%). Selain itu, hasil
penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sokaraja menemukan bahwa
keberhasilan pengobatan lebih banyak terjadi pada pendidikan rendah sebesar
68,4% (Natalia dkk., 2012)
Selain dari pendidikan, dilihat dari karakteristik pekerjaan bahwasanya
pasien TB paru BTA (+) yang paling banyak mengalami keberhasilan
pengobatan adalah pekerja wiraswata sebesar 65,51%, diikuti tidak bekerja
sebesar 27,58% dan pegawai negeri sipil sebesar 6,9% (Imelda Atika dkk.,
2015). Penelitian yang sama dilakukan di Jawa Tengah menemukan bahwa
keberhasilan pengobatan lebih banyak terjadi pada mereka yang memiliki
pekerjaan tidak berisiko sebesar 86,7% (Bertin Tanggap Tirtana, 2011).
Selain faktor pekerjaan dilihat juga dari status ekonomi. Dalam hal ini
status ekonomi dari pasien dilihat dari penghasilan ataupun pengeluaran yang
diperoleh selama satu bulan. Dari hasil penelitian sebelumnya ditemukan
bahwa pasien TB Paru yang sembuh sebagian besar memiliki stastus ekonomi
6
rendah sebanyak 36 orang (94,7%) dibanding pasien dengan penghasilan yang
tinggi hanya 2 orang (5,3%). (Kholifah, 2009)
Faktor lain berdasarkan akses pasien ke pelayanan kesehatan untuk
mendapatkan pengobatan, bahwa penelitian yang dilakukan di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Salatiga dengan, menyatakan bahwa
jarak jauh (90%) dapat meningkatkan risiko terhadap pasien untuk terjadinya
drop out,daripada pasien dengan jarak rumahnya dekat (10%), sehingga
pasien dengan jarak jauh dari rumahnya berpotensi untuk mengalami dropout
(Fauziyah, 2010).
Berdasarkan pengetahuan, penelitian yang dilakukan di BP4 Salatiga
Semarang, menemukan bahwa pasien TB Paru yang berhasil pengobatan
memiliki pengetahuan cukup sebesar 63,1%, dibanding mereka yang memiliki
pengetahuan baik (5,31% ) dan kurang (31,6%) (Kholifah, 2009). Penelitian
yang sama dilakukan di Jakarta bahwa sebagian dari pasien TB Paru yang
patuh untuk berobat adalah memiliki pengetahuan baik sebesar 80,5%
daripada pengetahuan kurang baik hanya 58,5%.(Maesaroh, 2009).
Selain itu, dilihat dari karakteristik motivasi, bahwasanya motivasi
merupakan dorongan dari dalam diri maupun dari luar individu untuk
melakukan tindakan atau perilaku. Motivasi yang diterima dari diri individu
maupun dari luar dapat membentuk dirinya untuk berperilaku sehat yang
menuntutnya untuk sembuh dari penyakit yang dideritanya. Dari hasil
penelitian sebelumnya didapatkan bahwa pasien dengan motivasi untuk
7
sembuh yaitu rendah (36,2%) cenderung tidak patuh minum Obat Anti TB
(OAT) (Margaretha, 2012)
Dari Laporan BPS Kota Tangerang Selatan, jumlah penduduk Kota
Tangerang Selatan tahun 2015 adalah 1.543.209 penduduk, dengan 25
puskesmas yang semuanya telah melaksanakan Program TB DOTS.
Penemuan angka CDR pada kasus TB Paru BTA (+) pada penduduk Kota
Tangerang Selatan tahun 2015 sebesar 52%. Angka tersebut masih rendah dari
standar program nasional yaitu 70%. Sedangkan, angka keberhasilan
pengobatan di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2014 dan 2015 masih
dibawah angka standar nasional program TB (85%) dengan persentase
sebesar 74% pada tahun 2014 dan sebesar 83% pada tahun 2015. (Dinkes
Tangerang Selatan, 2015).
Dari pemaparan diatas serta beberapa hasil penelitian terkait gambaran
pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan, dapat diketahui bahwa
rendahnya angka keberhasilan pengobatan, membuat pasien TB Paru BTA (+)
yang berhasil pengobatan juga sedikit, yang berdampak negatif pada
kesehatan masyarakat. Dikarenakan jika pasien tidak berhasil pengobatan
(sembuh dan pengobatan lengkap) maka pasien tersebut memberikan peluang
untuk menularkan penyakitnya ke anggota keluarga dan masyarakat
sekitarnya, serta memungkinkan terjadinya resisten OAT bagi pasien tersebut
(Amiruddin, 2006).
Agar pasien TB Paru BTA (+) bisa berhasil pengobatan, dibutuhkan
ketersediaan OAT yang memadai di Puskesmas maupun dukungan dari
8
seorang PMO untuk pasien bisa sembuh dengan pengobatan lengkap atau
disebut dengan berhasil pengobatan (Kemenkes RI, 2011).
Walaupun paduan OAT yang digunakan sudah baik dan memadai di
Puskesmas, serta program TB DOTS yang dijalankan dari Puskesmas juga
sudah baik. Akan tetapi, apabila penderita tidak berobat secara teratur dan
tidak adanya dukungan dari PMO ataupun motivasi dari diri sendiri untuk
sembuh, maka pasien tidak bisa berhasil pengobatan (Prasetya, 2009). Oleh
karena itu, jika adanya dukungan dari PMO dan mendapatkan motivasi dari
dalam diri sendiri maupun dorangan dari luar, maka pasien akan teratur
berobat dan bisa berhasil pengobatan. Sehingga, nantinya berdampak pada
peningkatan keberhasilan pengobatan di Puskesmas.
Menurut Notoadmojo (2012), motivasi merupakan kunci keberhasilan
atau dorongan dalam diri indivu yang dapat merubah perilaku. Semakin tinggi
motivasi seseorang, maka semakin patuh orang tersebut. Yang mana dalam hal
ini adalah semakin tinggi motivasi yang diberikan oleh keluarga sebagai
PMO maupun dari petugas kesehatan, maka semakin patuh pasien dalam
pengobatan TB, yang berdampak pada seseorang tersebut berhasil pengobatan.
Dari hasil observasi yang dilakukan bahwasnya wilayah kecamatan
ciputat merupakan wilayah yang keberhasilan pengoabatan TB Parunya
tertinggi di Kota Tangerang Selatan. Pada Wilayah tersebut juga belum pernah
dilakukan penelitian tersebut, sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB Paru BTA (+)
di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015.
9
1.2 Rumusan Masalah
Pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil merupakan
ukuran indikator dari program TB yang berdampak pada pemutusan rantai
penularan kuman TB, yang dapat menurunkan kejadian kasus TB paru di
masyarakat. Angka keberhasilan pengobatan TB paru di wilayah Kecamatan
Ciputat tertinggi ditemukan di Puskesmas Kampung Sawah sebesar 91,11%,
diikuti Puskesmas Ciputat sebesar 78,5%.
Dalam hal ini dilakukan penelitian pada dua puskesmas dikarenakan
tidak memenuhi sampel minimal dari penelitian ini, sehingga perlu ditambah
sampel pada puskesmas lain yang memiliki karakteristik pasien yang sama
dengan puskesmas kampung sawah dan dalam satu wilayah yang berdekatan,
yaitu puskesmas ciputat. Keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru BTA
(+) dari beberapa hasil penelitian dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, kategori pengobatan, jenis PMO, peran
PMO, akses, status ekonomi dan motivasi.
Dari hasil observasi yang dilakukan di Puskesmas Kampung Sawah dan
Puskesmas Ciputat, berdasarkan umur sebagian besar adalah umur produktif
bagi pasien TB Parunya, sebagian besar jenis kelamin laki-laki dan sebagian
besar tipe pasiennya tipe baru dengan pengobatan kategori satu. Serta
keterjangkauan akses untuk berobat secara teratur juga mudah pada masing-
masing puskesmas. Dikarenakan sebagian besar puskesmas ciputat memiliki
karakteristik pasien dan wilayah yang sama, maka perlu dilakukan penelitian
10
secara khusus terkait gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru
BTA (+) di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana distribusi proporsi gambaran keberhasilan pengobatan pada
pasien TB paru BTA (+) di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015 yang
dilihat dari karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, pengetahuan, status ekonimi ) tipe pasien, kategori pengobatan,
jenis PMO, Peran PMO, distribus peran PMO, akses motivasi, dan distribusi
motivasi ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB Paru
BTA (+) di Wilayah Kecamatan Ciputat tahun 2015
1.4.2 Tujuan Khusus
Diketahuinya gambaran karakteristik individu (umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan status ekonomi) tipe
pasien, kategori pengobatan, dan faktor perilaku (akses, jenis PMO, peran
PMO, distribusi peran PMO, motivasi pasien dan distribusi motivasi) pada
pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil di Wilayah
Kecamatan Ciputat Tahun 2015
1.5 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
11
1.5.1 Puskesmas
Sebagai bahan evaluasi pada kegiatan program pengendalian tuberkulosis,
untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan yang dapat dilihat dari
gambaran pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan yang
nantinya akan berdampak pada penurunan kejadian kasus TB di Wilayah
Puskesmas tersebut.
1.5.2 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Sebagai bahan pertimbangan kebijakan pada program pengendalian TB,
untuk melakukan edukasi dan informasi terkait keberhasilan pengobatan
TB di wilayah puskesmas.
1.5.3 Peneliti selanjutnya
Sebagai bahan informasi untuk melanjutkan penelitian terkait gambaran
keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru BTA (+) dengan metode
penelitian yang berbeda.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deksriptif
dengan desain studi Case series, untuk mengetahui bagaimana distribusi
proporsi gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB Paru BTA (+) di
Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015. Responden dalam penelitian ini
adalah pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan. Penelitian ini
menggunakan data laporan laporan kartu pengobatan pasien TB (TB.01) di
wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah dan Ciputat, Kota Tangerang
12
Selatan tahun 2015 serta melakukan wawancara dengan membagikan
kuesioner ke responden.
Penelitian ini juga mempertimbangkan beberapa variabel dari
karaktersitik pasien TB paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil di
Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat yaitu umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, tipe pasien TB, kategori
pengobatan, akses, jenis PMO, peran PMO, distribusi peran PMO, motivasi
dan distribusi motivasi. Analisis yang digunakan adalah analisis Univariat.
Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni tahun 2017.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Berikut merupakan penjelasan dari tuberkulosis yang dilihat dari
etiologi tuberkulosis, epidemiologi tuberkulosis, gejala dan penularan
tuberkulosis serta klasifikasi pasien tuberkulosis.
2.1.1 Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tuberculosis, termasuk dalam family
Mycobacteriaceace dan termasuk dalam ordo Zctinomycetales.
Mycobacterium Tuberculosis ini merupakan jenis bakteri yang paling
sering dijumpai. Sebagian besar bakteri TB ini menyerang paru, tetapi
dapat menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus
dan ginjal) yang disebut dengan tuberkulosis ekstra paru.(Kemenkes RI,
2011)
Bakteri ini berukuran 0,5-4 mikron X 0,3-0,36 mikron dengan
bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak
memiliki selubung, tetapi memiliki lapisan luar yang tebal yang terdiri dari
lipoid (terutama asammikolat). Bakteri ini disebut sebagai bakteri tahan
asam (BTA) yang disebut sebagai Droplet Nuclei yang sangat halus dan
tidak dapat dilihat oleh mata. Droplet Nuclei tersebut melayang di udara
untuk waktu yang lama sampai terhisap oleh orang lain yang ada disekitar
14
penderita TB, dengan masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai terjadinya sakit diperikirakan selama 4 sampai 6 minggu
(Widoyono, 2008).
Bakteri ini juga dapat hilang dengan suhu 60oC selama 20 menit,
dapat pula segera mati pada pemanasan basal pada suhu 100oC. Jika
terkena sinar matahari akan mati dalam waktu 2 jam, mati dengan tincture
iodii dalam 5 menit, dengan etanol 80% dalam waktu 2 sampai 10 menit
dan juga dapat dimatikan oleh larutan fenol 5% dalam waktu 24 jam
(Widoyono, 2008).
2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis Paru
TB paru masih menjadi masalah yang serius di masyarakat,
dikarenkan jumlah kasusnya yang terus mengalami peningkatan. Laporan
WHO (2013) menyatakan terdapat 9 juta penduduk dunia menderita TB,
dan terjadi peningkatan pada tahun 2014 menjadi 9,6 juta penduduk. Pada
tahun 2015 Indonesia merupakan negara penyumbang kedua kasus TB di
dunia (10%) setelah negara India (23%) dan diikuti negara China urutan
ketiga (10%) (WHO, 2015).
Laporan data Riskesdas tahun 2013 menemukan bahwa prevalensi
penduduk Indonesia yang didiagnosis TB adalah 0,4%. Lima propinsi
dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI
Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) (Balitbangkes, 2013).
Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910
15
kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang
ditemukan pada tahun 2014 hanya 324.539 kasus (Kemenkes RI, 2015).
Dilihat dari angka Case Detection Rate (CDR) kasus TB paru
BTA (+) di Indonesia terjadi peningkatan yaitu pada tahun 2009 (73,1%),
tahun 2010 (78,3%), tahun 2011 (83,5%). WHO menetapkan standar
angka penemuan kasus sebesar 70%. Dengan demikian, penemua kasus
untuk TB Paru BTA (+) sudah mencapai target. Provinsi dengan angka
CDR tertinggi diatas 70% yaitu Jawa Barat, Sulawesi Utara, Maluku, DKI
Jakarta, Banten (Kemenkes RI, 2011a). Sedangkan angka keberhasilan
pengobatan yaitu pengobatan lengkap dan sembuh atau disebut dengan
Treatment Success Rate (TSR) pada tahun 2015 sebesar 85%.
(Kemenkes RI, 2015). Berikut merupakan angka keberhasilan pengobatan
TB Paru BTA (+) di Indonesia dari tahun 2008-2015.
Gambar 2.1 Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis
di Indonesia tahun 2008-2015
Sumber : Ditjen P2PL, Kemenkes RI 2016
91 91 92
90 90 90 90
85
80
82
84
86
88
90
92
94
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
%
Tahun
16
Dari grafik diatas diketahui bahwa angka keberhasilan pengobatan
TB Paru BTA (+) di Indonesia mengalami fluktuatif. Namun, angka
tersebut sudah memenuhi standar nasional yaitu sebesar 85%. Pada
tingkat provinsi, angka keberhasilan pengobatan TB paru di Indonesia
dapat dilihat pada grafik dibawah yang mana pada provinsi Banten
jumlah kasus TB Paru BTA (+) sebesar 7.357 kasus, dengan angka
Treatment Success Rate (TSR) sebesar 89,2%.
Gambar 2.2 Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien Tuberkulosis Menurut
Provinsi tahun 2015
Sumber : Ditjen P2PL, Kemenkes RI, 2016
17
Epidemiologi TB paru merupakan suatu penyakit yang terjadi
dikarenakan adanya interaksi anatara kuman (agent) Mycobacterium
Tuberkulosis dengan host (manusia) dan lingkungan (environment)
(Achmadi, 2005). Berdasarkan karakteristik host (manusia) bahwa jumlah
kasus TB paru pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,5
kali dibandingkan perempuan. Menurut kelompok umur, kasus
tuberkulosis pada tahun 2015 paling banyak ditemukan pada kelompok
umur 25-34 tahun yaitu sebesar 18,65%, diikuti dengan kelompok umur
45-54 tahun sebesar 17,33% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar
17,18%
Sedangkan berdasarkan lingkungan bahwa kejadian TB paru lebih
banyak terjadi pada lingkungan yang lembab, kumuh dan kotor. Dapat
disimpulkan bahwa epidemiologi TB paru mempelajari tiga proses khusus
yang menyebabkan terjadinya penyakit TB paru : (Aditama, 2002)
1. Penyebaran atau penularan dari kuman TB
2. Perkembangan dari kuman TB yang mampu menularkan pada orang
lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman TB.
3. Perkembangan lanjut dari kuman TB sampai penderita sembuh atau
meninggal karena penyakit ini.
2.1.3 Gejala dan Penularan Tuberkulosis Paru
Gejala utama TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
18
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes RI,
2014a). Oleh karena itu, jika seseorang mengalami gejala tersebut,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB paru, sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI,
2011a).
Jika seseorang ditemukan mengalami gejala TB paru dengan hasil
pemeriksaan mikroskopis terdiagnosis TB paru BTA positif, maka
seseorang tersebut berisiko untuk menularkan penyakitnya kepada orang
lain. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB paru dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal
tersebut bisa saja terjadi karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji dahk ≤ dari 5.000 kuman/cc, sehingga sulit dideteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien TB paru dengan BTA negatif
juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat
penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, sedangkan pasien TB
dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
Penularan utama TB paru BTA positif adalah melalui cara dimana
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tersebar diudara melalui percik
renik dahak saat pasien TB paru berbicara, bersin maupun bernyanyi.
Percik renik tersebut melayang diudara berukuran antara 1-5 mikron
hingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara
untuk waktu yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman
19
TB pada umumnya hanya ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak
permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik
renik yang mengandung kuman TB masuk kedalam saluran pernafasan.
Setelah kuman TB Paru masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan,
kuman TB paru tersebut dapat menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau
penyebaran ke bagian tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2014b).
Kontak penularan yang paling cepat yaitu keluarga melalui droplet.
Kerentanan pasien TB paru adalah memperoleh infeksi dengan
konsekuensi menimbulkan penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi
orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel
bergantung pada kontak dengan sumber-sumber kuman penyebab infeksi
terutama dari penderita tuberkulosis denga BTA positif (Machfoedz,
2008).
2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis Paru
Penyakit tuberkulosis paling sering menyerang jaringan
parenchyme paru (tidak termasuk pleura) disebut TB paru, sedangkan
yang menyerang organ lain disebut TB ekstra paru. Berdasarkan hasil
pemeriksaan pada kasus TB paru dapat dibedakan menjadi beberapa
kriteria diantaranya adalah :
20
1. Tuberkulosis paru BTA positif
Jika seseorang didiagnosis sebagai penderita TB paru BTA
positif, harus memenuhi pemeriksaan sebagai berikut :
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak sewaktu pagi
sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik
non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Jika seseorang didiagnosis sebagai penderita TB paru BTA
negatif, harus memenuhi pemeriksaan sebagai berikut :
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis..
c. Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Sedangkan Klasifikasi berdasrkan tipe pasien yang ditentukan
berdasarkan hasil riwayat pengobatan sebelumnya adalah :
1. Kasus baru
21
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi
kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan
atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atu kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan. (Kemenkes RI, 2011a)
2.2 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis
Berikut merupakan penjelasan dari tatalaksana pasien tuberkulosis yang
dilihat dari etiologi tuberkulosis, epidemiologi tuberkulosis, gejala dan
penularan tuberkulosis serta klasifikasi pasien tuberkulosis.
2.2.1 Pengobatan Tuberkulosis Paru Dewasa
Penyakit TB paru termasuk penyakit yang serius jika tidak ditangani
secara cepat dan tepat, sehingga untuk mencegah terjadinya peningkatan
kasus TB paru, maka pasien dengan terdiagnosis TB paru harus melakukan
pengobatan secara teratur dengan waktu kurang lebih 6 bulan untuk paseien
baru, dan pengobatan selama 8 bulan untuk pasien yang kambuh, gagal
22
pengobatan dan dropout . Pengobatan TB paru disebut juga sebagai OAT
(obat anti TB). Pengobatan pasien TB paru ini memiliki beberapa tujuan
diantaranya :
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Menegah terjadinya dan penularan TB resisten obat
Pengobatan TB paru harus selalu meliputi pengobatan tahap awal
dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap dimana pasien menderita TB
paru untuk minum obat setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan
tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu. Sedangkan tahap lanjutan adalah
pengobatan tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat
semubuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. (Kemenkes RI, 2014a)
23
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi
WHO dan ISTC) pada pasien tuberkulosis paru dewasa terbagi menjadi
kategori 1 dan kategori dua. Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2
disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Selain itu, paket kombipak
adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT
KDT sebelumnya.(Kemenkes RI, 2014a)
A. Kategori 1
Pada kategori 1 OAT ini diberikan untuk pasien baru yang
terkonfirmasi bakteriologis dan terdiagnosis klinis serta pasien TB ekstra
paru. Pemberian obat kategori 1 tahap intensif (awal) selama 2 bulan
sedangkan tahap lanjutan diberikan selama 4 bulan. Berikut merupakan
dosis dan lamanya pengobatan kategori 1 OAT KDT yang disesuaikan
dengan Berat Badan (BB) pasien. Dosis paduan OAT KDT kategori 1
dapat dilihat pada tabel 2.1
24
Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1
Berat Badan Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16
minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber : Pedoman TB Nasional 2014
Paduan OAT tidak hanya diberikan dalam bentuk kombinasi dosis
tepat (KDT). Namun, bisa diberikan dengan paduan OAT kombipak.
Adapun dosis paduan OAT Kombipak kategori 1 dapat dilihat pada tabel
2.2
Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Dosis per hari / kali Jumlah
hari/
kali
menelan
obat
Tablet
Isoniasid
@
300mgr
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Tablet
Etambutol
@ 250mgr
Intensif
Lanjutan
2 Bulan
4 Bulan
1
2
1
1
3
-
3
-
56
4
Sumber : Pedoman TB Nasional 2014
B. Kategori 2
Pada kategori 2 OAT diberikan untuk pasien TB BTA posistif yang
pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yang diberikan pada pasien
kambuh, pasien gagal pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya dan pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow up). Pada kategori 2 OAT diberikan selama 8 bulan kepada pasien.
25
Berikut merupakan dosis dan lamanya pengobatan kategori 2 OAT KDT
yang disesuaikan dengan Berat Badan (BB) pasien. Paduan OAT KDT
tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
Berat Badan Tahap Intensif
tiap hari RHZE (150/75/400/275)+ S
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) +
E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 Minggu
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
≥71 kg
2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin inj.
2 tab 4KDT
3 tab 4KDT
4 tab 4KDT
5 tab 4KDT
(> do maks)
2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol
Sumber : Pedoman TB Nasional 2014
Selain paduan OAT KDT kategori 2, paduan OAT kombipak kategori 2
juga diberikan pada pasien gagal pengobatan, kambuh maupun dropout dapat
dilihat pada tabel 2.4
26
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniasid
@ 300 mgr
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Etambutol
Streptomi
sin injeksi
Jumlah
hari/kali
menelan
obat Tablet
@
250 mgr
Tablet
@
400 mgr
Tahap
Awal
(dosis
harian)
2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
1 bulan 1
1 3 3 - - 28
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)
5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Untuk
memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji
dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2
uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu uji positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. (Kemenkes RI,
2011a)
Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu
cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah
pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif,
pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT
sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA
Sumber : Pedoman TB Nasional 2014
27
positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis
pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada
akhir pengobatan. (Kemenkes RI, 2011a)
2.2.2 Keberhasilan Pengobatan TB Paru
Keberhasilan pengobatan TB Paru merupakan indikator pencapaian
utama pengendalian program TB di Pelayanan Kesehatan. Angka
keberhasilan pengobatan pada target nasional yaitu 85%. Seseorang pasien
dikatakan berhasil yaitu jika pasien tersebut melakukan pengobatan
lengkap dan dinyatakan sembuh. Pengobatan lengkap adalah pasien TB
paru yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, tapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Sedangkan sembuh adalah
pasien TB paru yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
dengan pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan dan pemerikasaan
ulang dahak sebelumnya menghasilkan negatif. Oleh karena itu, jika
pasien tersebut dinyatakan sembuh dan lengkap maka pasien tersebut
masuk kedalam pencatatan angka keberhasilan pengobatan Treatment
Success Rate (TSR). Adapun rumus keberhasilan pengobatan TB paru
BTA positif adalah : (Kemenkes RI, 2014a)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑇𝐵 𝑃𝑎𝑟𝑢 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 (𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ+𝑝𝑒𝑛𝑔𝑜𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑇𝐵 𝑃𝑎𝑟𝑢 𝐵𝑇𝐴 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑎𝑡𝑖 x 100%
2.2.3 Gambaran Pasien TB Paru terhadap Keberhasilan Pengobatan
Pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil dapat
memberikan dampak positif. Seperti halnya dapat memutuskan rantai
28
penularan TB di Masayarakat yang berpotensi pada penurunan kejadian
kasus TB dan mengurangi risiko bagi pasien tersebut untuk terjadi resistensi
obat. Adapun karakteristik dari pasien terhadap keberhasilan pengobatan TB
paru menurut beberapa penelitian diantaranya adalah :
1. Umur
Penyakit TB paru kebanyakan ditemukan pada pasien yang usia
muda maupun pasien dengan usia produktif yaitu 15-50 tahun. Hal
tersebut dikarenakan sistem imunologis pada usia lanjut diatas 45 tahun
mengalami penurunan dan sangat rentan terhadap berbagai penyakit
termasuk penyakit TB paru. (Amiruddin, 2006)
Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada formulir TB.01 di
Puskesmas Kampung Sawah bahwa sebagian dari pasien yang mengalami
TB paru dan berhasil dalam pengobatan adalah pasien dengan usia
produktif. Hasil penelitian sebelumnya, di wilayah kerja Puskesmas Tanah
Kalikedinding, menyatakan bahwa umur produktif lebih banyak patuh
untuk melakukan pemeriksaan dahak sebesar 79,2% dibanding pasien
dengan umur lansia yaitu hanya 20,8% (Ruditya, 2015) .
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status biologi
seseorang, yang terdiri dari tampilan fisik yang dapat membedakan
perempuan dan laki-laki. Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-
laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu hampir 1,5 kali dibandingkan
kasus BTA+ pada perempuan. Hal ini dikarenakan jenis kelamin laki-laki
29
memiliki aktivitas kegiatan dliuar lebih banyak yang membuat risiko laki-
laki untuk terkena TB lebih besar dibanding perempuan.
Dalam pencarian pengobatan atau perawatan kesehatan
bahwasanya jenis kelamin perempuan cenderung lebih banyak dibanding
laki-laki, dikarenakan laki-laki akan mencari pengobatan jika sudah
mengalami sakit yang cukup parah dan adanya dukungan atau motivasi
dari diri sendiri maupun dari luar yang membuat laki-laki akan mencari
pengobatan (Bastable, 2002). Dari hasil penelitian sebelumnya
menemukan bahwa Proporsi pasien yang berhasil pengobatan lebih banyak
ditemukan pada pasien dengan jenis kelamin perempuan (96,2%) daripada
laki-laki hanya 93,2% (Mengistu Endris dkk., 2014).
3. Pendidikan
Menurut Dictionary of Education (1984) bahwa pendidikan adalah
proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk
tingkah laku lainya dalam lngkungan masyarakat. Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai proses yang digunakan
untuk merubah perilaku manusia untuk mengembangkan pemahaman dan
kemampuan yang diperoleh. Pendidikan adalah proses perubahan dan
sikap seseorang dalam usaha pengajaran.
Menurut Mukhsin (2006) bahwa semakin tinggi pendidikan pasien,
maka akan semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan dan
penyakitnya sehingga tuntas untuk berobat dan penyembuhan. Namun hal
tersebut berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan di
30
Kecamatan Sokaraja bahwa keberhasilan pengobatan lebih banyak terjadi
pada pendidikan rendah sebesar 68,4% dibanding pendidikan tinggi
(31,7%) (Natalia dkk., 2012)
4. Pekerjaan
Menurut Purwanto (2007) bahwa seseorang yang mempunyai latar
belakang tertentu seperti bekerja atau tidak bekerja maka akan memiliki
pandangan tersendiri terhadap pencarian pengobatan. Termasuk
diantaranya pada pasien TB Paru yang bekerja maupun tidak bekerja akan
mencari pengobatan untuk bisa sembuh. Dari hasil penelitian sebelumnya
didapatkan bahwa keberhasilan pengobatan bagi pasien yang resisten obat
TB lebih banyak terjadi pada mereka yang memiliki pekerjaan tidak
berisiko seperti pegawai swasta, PNS, wiraswasta, pelajar sebesar 86,7%
dibanding mereka yang bekerja risiko hanya 13,3% (Bertin Tanggap
Tirtana, 2011).
5. Pengetahuan
Menurut Notoatdmojo (2010) pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek. Sedangkan menurut aditama (2000) dalam Maesarah (2009)
mengatakan bahwa pengetahuan penderita tentang penyakit TB paru masih
kurang diantaranya masih banyak penderita yang mengatakan bahwa
penyakit ini menular melalui kontak langsung dan melalui makanan
pasien. Pengetahuan TB paru akan menimbulkan persepsi seseorang dalam
berperilaku sehat dan mematuhi pengobatannya.
31
Dari hasil penelitian yang dilakukan di BP4 Salatiga Semarang
menemukan bahwa pasien TB Paru yang sembuh dan berhasil pengobatan
memiliki pengetahuan baik (5,31%) dibanding mereka yang memiliki
pengetahuan dan kurang (31,6%) (Kholifah, 2009)
6. Status ekonomi
Status ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan,
perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan
tersebut berkaitan dengan penghasilan. Menurut (Koentjaraningrat,1981)
dari penghasilan tersebut dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial
ekonomi rendah, sedang, dan tinggi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Semarang tingkat sosial
ekonomi dilihat dari pendapatan UMR di kota tersebut yang dibagi
menjadi pendapatan rendah dan tinggi. Yang mana ditemukan bahwa
proporsi pasien TB Paru yang sembuh sebagian besar memiliki stastus
sosial ekonomi rendah sebanyak 36 orang (94,7%) dibanding pasien
dengan penghasilan yang tinggi hanya 2 orang (5,3%). (Kholifah, 2009).
7. Tipe pasien
Tipe pasien adalah klasifikasi dari pasien TB paru berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya yang dibagi menjadi pasien baru, gagal,
kambuh, putus berobat. Dari hasil penelitian menyatakan bahwa
keberhasilan pengobatan lebih banyak terjadi pada pasien kasus baru
32
sebesar 73,5%, daripada pasien yang sudah ditangani sebelumnya atau
pasien kambuh hanya 42,3% (A. Faustini dkk 2005)
8. Kategori pengobatan
Kategori pengobatan TB paru dibagi menjadi dua yaitu kategori satu
dan dua. Kategori satu diberikan pengobatan selama enam bulan,
sementara itu pada kategori dua diberikan pengobatan selama delapan
bulan. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Riau bahwa kapatuhan
pasien untuk teratur berobat lebih banyak ditemukan pada pasien dengan
kategori 1 (93,3%) (Kurniawan dkk., 2015). Sedangkan penelitian yang
dilakukan di Morocco bahwasanya sebagian besar pasien yang berhasil
pengobatannya adalah berasal dari pasien dengan kategori 2 atau pasien
pengobatan ulang (pasien kambuh, gagal pengobatan dan dropout) sebesar
93% (Dooely dkk., 2011).
9. Jenis PMO
Pengawas menelan obat dibutuhkan pasien, agar selalu teratur dan
tepat waktu dalam minum OAT. Sebaiknya yang menjadi seorang PMO
adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya,
Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
guru, anggota PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
Adapun Persyaratan PMO diantaranya adalah : (Kemenkes RI, 2014a)
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan
33
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien
Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada formulir TB 0.1 dan
hasil dari wawancara dengan pemegang program TB bahwasanya sebagian
besar jenis PMO bagi pasien TB Paru BTA (+) berasal dari keluarga untuk
Puskesmas Kampung Sawah dan sebagian besar dari petugas kesehatan
untuk pasien yang berada di wilayah Puskesmas Ciputat.
10. Peran PMO
Keberhasilan pengobatan TB sangat ditentukan oleh adanya
keteraturan minum obat anti tuberkulosis (Sukana dkk., 2010). PMO
dalam program TB DOTS dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan
TB yang tercermin dari meningkatnya angka kesembuhan serta
menurunnya angka drop out. Adapun tugas seorang PMO adalah : (Nizar,
2010)
a. Mengawasi pasien tuberkulosis agar menelan obat secara teratur
sampai selesai masa pengobatannya
b. Memberikan dorongan kepada pasien agar mau berobat secara
teratur
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan
34
d. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien
tuberkulosis yang mempunyai gejala tersangka TB agar
memeriksakan kepada petugas kesehatan terdekat
e. Membantu atau mendampingi pasien dalam pengambilan OAT di
pelayanan kesehatan
f. Membantu petugas kesehatan dalam rangka memantau
perkembangan penyakit tuberkulosis di desanya.
Dari beberapa penelitian menemukan bahwa karakteristik
penderita TB paru yang berhasil dalam menjalani pengobatan dan
dinyatakan sembuh salah satunya adanya pengaruh PMO. Seperti
penelitian yang dilakukan di Padang, bahwa peran PMO secara
baik mendapatkan keberhasilan pengobatan pada penderita sebesa
(87,5%) daripada PMO yang mendapatkan peran kurang baik
hanya berhasil pengobaan sebesar 66,7 % (Nurmadya dkk., 2015).
Penelitian yang sama terkait kinerja seorang PMO terhadap
kesembuhan pasien TB di Puskesmas Arcamanik Bandung
ditemukan bahwa sebanyak 23 pasien (100%) penderita TB Paru
yang sembuh mendapatkan kinerja dari seorang PMO secara baik
(Hayati and Elly Musa, 2016) .
11. Akses
Menurut Marzuki (2000) dalam Maesarah (2009) menyebutkan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian kesehatan
individu/masyarakat adalah faktor keterjangkauan sarana pelayanan
35
kesehatan. Selain itu, menurut dever (1984) salah satu faktor yang
mempengaruhi seseorang dalam menggunakan fasilitas kesehatan adalah :
a. Faktor sosiokultural yang terdiri dari : norma dan nilai sosial yang ada
di masyarakat, dan teknologi yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan.
b. b. Faktor Organisasi yang terdiri dari : 1) ketersediaan sumber daya.
Yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan
kualitas, sangat mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan. 2)
keterjangkauan lokasi. Keterjangkauan lokasi berkaitan dengan
keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan tempat diukur
dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan. 3)
keterjangkauan sosial. Dalam hal ini adalah pasien memperhatikan
bagaimana sikap dari petugas kesehatan yang dapat memicu pasien
untuk lebih baik dalam pemafaatan pelayanan kesehatan.
Dari hasil penelitan yang dilakukan di Puskesmas Depok bahwa
penderita TB Paru yang patuh atau teratur dalam berobat lebih banyak
ditemukan dengan jarak pasien yang dekat saat ke Puskesmas sebesar
66,7% dibanding pasien yang mengatakan jarak jauh hanya 33,3%
(Felly, Philipus, 2002)
12. Motivasi Pasien
Menurut Notoatmodjo (2012) motif atau motivasi berasal dari kata
latin moreve yang berarti dorongan dari dalam diri manusia untuk
bertindak atau berperilaku. Menurut skinner (1938) dalam Notoadmojo
36
seorang ahli psikologi menyatakan bahwa perilaku merupakan respons
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Salah satu
stimulus atau rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi perilaku
seseroang adalah dari Faktor lingkungan seperti halnya dukungan motivasi
dari lingkungan keluarganya. Dimana faktor lingkungan ini merupakan
faktor dominan yang dapat mempengaruhi perilaku.
Menurut Spencer bahwa perilaku yang baik didukung dari motivasi
yang tinggi, tanpa motivasi orang tidak akan dapat berbuat apa-apa dan
tidak akan bergerak. Motivasi merupakan tenaga penggerak, dengan
adanya motivasi manusia akan lebih cepat melakukan kegiatan, hal ini
penting dan dirasakan sebagai suatu kebutuhan. Motivasi juga merupakan
kunci keberhasilan, semakin tinggi motivasi seseorang maka semakin
patuh yang mana dalam hal ini adalah semakin patuh dalam pengobatan
TB yang berdampak pada seseorang tersebut menjadi sembuh. (Spencer,
Lyle M., 1993)
Dari penelitian menemukan bahwa sebagian besar responden yang
patuh dalam mengikuti program pengobatan TB tersebut memiliki
motivasi rendah (74,14%) dibanding motivasi tinggi (25,86%). Hal
tersebut dikarenakan sebagian pasien mengalami drop out, yang membuat
motivasi pasien untuk patuh dalam mengikuti program TB sebagian
besarnya juga rendah (Prasetya, 2009).
13. Motivasi Keluarga
37
Keluarga merupakan peran penting dalam penentuan keputusan
untuk mencari dan mematuhi anjuran pengobatan. Begitupula keluarga
juga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu seperti memberi dukungan dan
membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.
(Neil, 2000)
Dukungan atau motivasi dari keluarga sangat mempengaruhi
pasien untuk taratur dalam berobat yang berdampak pada keberhasilan
pengobatan pasien. Yang mana untuk mengingatkan dan mendampingi
pasien selama berobat salah satunya dibutuhkan pengawasa menelan obat
(PMO) dari keluarga (Kemenkes RI, 2014b). Selain itu juga, keluarga juga
memberikan motivasi seperti dukungan moril maupu materi, memberikan
semangat dan pengertian kepada pasien agar pasien tetap teratur minum
OAT dan berobat ke pelayanan kesehatan (Amira, 2005).
Seperti halnya dari hasil penelitian yang dilakukan di Semarang,
bahwa sebagian besar responden yang teratur berobat adalah pasien yang
telah mendapat motivasi dari keluarganya tinggi sebanyak 16 pasien
(80%) dibanding pasien yang tidak teratur berobat hanya 4 pasien (20%)
mendapat motivasi dari keluaga rendah. (Fauziyah, 2010).
14. Motivasi Petugas Kesehatan
Dukungan dari petugas kesehatan memberikan dorongan kepada
pasien untuk teratur berobat agar pasien bisa sembuh. Petugas kesehatan
juga berhak memberikan motivasi dan dukungan kepada pasien TB seperti
38
menjadi PMO jika keluarga terdekat pasien tidak bisa menjadi seorang
PMO. Adapun peran petugas memberikan dukungan kepada pasien yaitu
untuk memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien untuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping
OAT, serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada
petugas kesehatan. Selain itu, petugas kesehatan harus selalu melakukan
pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka
datang ke fasyankes untuk mengambil obat. (Kemenkes RI, 2014)
Dari hasil penelitian di ketahui bahwa sebagian besar pasien TB
yang patuh dalam berobat secara teratur mendapat motivasi cukup dari
petugas kesehatan sebanyak 20 orang (46,5%) dan tidak jauh dengan
pasien yang mendapat motivasi baik sebanyakk 19 orang (44,2%) daripada
pasien yang mendapat motivasi kurang hanya 4 paisen (9,3%) (Pandapotan
dkk., 2015).
2.3 Uji Statistik
Uji statisitik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis univariat. Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karaktersitik pada masing-masing variabel yang diteliti.
Selain itu, analisis univariat berguna untuk mengasumsi stastsitik lanjut atau
analisis lebih lanjut. Pada analisis univariat biasanya untuk data numerik nilai
statsitik yang dikeluarkan adalah nilai mean, median, standar deviasi,
minumum, maksimum dan lain-lain tergantung dari tujuan penelitian.
39
Dalam menggunakan mean dan median pada suatu data numerik, maka
diperlukan uji normalitas. Jika nilai Pvalue lebih dari 0,05 maka data tersebut
normal, sehingga yang digunakan adalah nilai mean. Dan sebaliknya jika
nilai Pvalue kurang dari 0,05 maka data tersebut tidak normal, maka yang
digunakan adalah nilai median. Adapun rumus dari mean dan median, antara
lain :
Mean = Jumlah datum (x1+ x2+ x3+ x4+ x5+ x6.........+xn)
Banyak datum (n)
Median = x ( 𝑛+1
2)
Sedangkan untuk data kategorik hanya menggunakan persentase atau
proporsi. Proporsi merupakan bentuk pecahan yang mana enumeratornya
merupakan bagian dari denumerator. Bentuk ini sering diinyatakan dalam
persen, yaitu mengalikannya (k) dengan 100%.(Sugiyono, 2010). Adapun
rumus dari proporsi antara lain :
Proporsi = 𝑥
(𝑥+𝑦)X k
2.4 Kerangka teori
Kerangka teori dari penelitian ini merupakan hasil modifikasi dari
pedoman pengendalian Tuberkulosis tahun 2011, dari beberapa teori serta
mengambil dari beberapa hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan
40
karakteristik pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan. Berikut
merupakan bagan kerangka teori dari penelitian ini.
Faktor Perilaku
Jenis PMO
Peran PMO
Motivasi
Akses pasien ke Pelayanan Kesehatan
TB
10% Malnutrisi
Sumber: (HL. Blum)(Notoadmojo,2012) (Kemenkes RI, 2011), (A. Faustini dkk
2005), (Dooely dkk., 2011) (Jumaelah, 2013)
Pasien TB
Paru BTA (+)
yang Berhasil
Pengobatan
Tipe pasien : baru, kambuh,
gagal, putus berobat, pasien
MDR
Kategori Pengobatan :
kateogori 1 dan kategori 2
Karakteristik Individu: Umur, Jenis kelamin,
Pendidikan, Pekerjaan,
Pengetahuan, Status
ekonomi dan asal wilayah.
Infeksi KumanTB
Gambar 3.1 Kerangka Teori
41
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan
1.Karakteristik individu
- Umur
- Jenis Kelamin
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Pengetahuan
-Status ekonomi
-Asal wilayah
2.Kategori Pengobatan
-Kategori 1
-Kategori 2
3.Tipe Pasien TB
-Baru
-Kambuh
- Gagal
- Putus Berobat
3.Faktor perilaku
-Akses
-Jenis PMO
-Peran PMO
-Motivasi
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
42
Dari kerangka konsep tersebut, ada beberapa variabel yang tercantum
dalam kerangka teori yang tidak termasuk dalam konsep penelitian ini, antara lain:
1. Pasien TB Paru BTA (+) berhasil pengobatan
Pada variabel ini bukan bagian dari variabel dependen penelitian,
melainkan bagian dari populasi dan sampel dari penelitian saya, yang
dilihat dari semua variabel yang ada di kerangka konsep seperti
karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
pengetahuan, status ekonomi) tipe pasien, kategori pengobatan, PMO,
peran PMO, akses dan motivasi sudah termasuk bagian pasien TB Paru
BTA (+) yang berhasil pengobatan, yang dilihat pada dua Puskesmas yaitu
Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat.
2. Malnutrisi
Malnutrisi pada pasien TB disebabkan oleh dua hal diantaranya
yaitu efek tuberkulosis terhadap status gizi dan efek malnutrisi terhadap
manifestasi klinis dari tuberkulosis sebagai akibat dari kelemahan sistem
imun. Pada kerangka teori bahwasanya dijelaskan yang menyebabkan TB
adalah karena adanya efek malnutrisi seperi status imun menurun dan
berat badan menurun yang menyebabkan seseorang sangat cepat untuk
tertular TB (Nasution, 2015). Pada variabel malnutrisi tidak diteliti, dilihat
dari kerangka teori bahwasanya malnutrisi tersebut mempengaruhi
seseorang untuk terjadinya TB, bukan mempengaruhi pasien yang berhasil
pengobatan TB.
43
Walaupun malnutrisi bisa dilihat dari efek pasien TB terhadap
status gizinya, namun berdasarkan dari laporan data TB.01 tidak diketahui
status gizi pasien atau tidak tercatat dalam laporan tersebut, dan yang
diketahui hanya berat badan pasien bukan status gizinya. Oleh karena itu,
variabel ini tidak diteliti dikarenakan dapat menyebabkan bias informasi.
3. Pasien TB MDR
Pasien TB MDR merupakan tipe pasien TB yang resisten terhadap
OAT dikarenakan sebagian besar pasien tersebut tidak tuntas dan teratur
dalam minum OAT pada pengobatan sebelumnya. Tipe pasien TB MDR
tidak dimasukkan dalam konsep variabel penelitian ini dikarenakan pada
laporan data TB 0.1 di Puskesmas Kampung Sawah dan ciputat tahun
2015 tidak ditemukan pasien yang mengalami MDR dan belum ada
pelayanan khusus untuk pasien TB MDR pada tahun 2015 dari kedua
puskesmas tersebut yaitu Puskesmas Ciputat dan kampung sawah.
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No.
Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Asal
wilayah
Domisili
wilayah pasien
TB paru BTA
(+) yang
berhasil
pengobatan
Telaah
dokumen
kartu
pengobatan
pasien
(TB.01)
Kueioner 1.Kampung
Sawah
2. Ciputat
Nominal
44
No.
Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
2. Umur Umur pasien
TB paru pada
saat mulai
pengobatan TB
sampai selesai
dan dinyatakan
berhasil
Telaah
dokumen
kartu
pengobatan
pasien
(TB.01)
Kuesioner Umur dalam
tahun
Rasio
3. Jenis
kelamin
Identitas dari
responden yang
dilihat dari
bentuk, sifat
dan fungsi
biologinya
Telaah
dokumen
kartu
pengobatan
pasien
(TB.01)
Kuesioner 1.Laki-laki
2.Perempuan
Nominal
4. Pendidikan lamanya
pendidikan
terakhir dari
responden
Wawancara
terstruktur
Kuesioner Pendidikan
dalam tahun
Rasio
5. Pekerjaan Kegiatan yang
dilakukan
responden
untuk
menunjuang
kehidupannya
Wawancara
terstruktur
Kuesioner 1. Bekerja
2. Tidak bekerja
Ordinal
6. Pengetahuan Pemahaman
umum pasien
Wawancara
terstruktur
Kuesioner
1. Baik :
≥ 75%
Ordinal
Lanjutan tabel 3.1
45
No.
Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
terkait penyakit
TB Paru dan
tatalaksana
pengobatan
TB
2. Cukup : 56-
74%
3. Kurang :
<55%
(Arikunto,2006)
7. Tipe pasien
TB
Klasifikasi
pasien TB paru
BTA (+) yang
dilihat dari
riwayat
pengobatan
sebelumnya
Telaah
dokumen
kartu
pengobatan
pasien
(TB.01)
Kuesioner
1.Pasien baru
2.Pasien
kambuh
3.Pasien gagal
4.Pasien putus
berobat
Ordinal
8. Kategori
pengobatan
lamanya
pengobatan
yang harus
dipatuhi pasien
berdasarkan
tipe pasien
Telaah
dokumen
kartu
pengobatan
pasien
(TB.01)
Kuesioner 1. Kategori 1
2. Kategori 2
Ordinal
9. Peran PMO Seseorang yang
memberikan
peranan penuh
terhadap pasien
agar pasien
teratur untuk
berobat selama
Wawancara
terstruktur
Kuesioner
1. Ya, jika
responden
menjawab lebih
dari sama
dengan 6
pernyataan
2. Tidak, jika
Ordinal
Lanjutan tabel 3.1
46
No.
Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
masa
pengobatan TB
yang
dijalankannya
responden
menjawab
kurang dari 6
pernyataan
10. Jenis PMO Seseorang yang
telah dipercayai
oleh pasien,
keluarga dan
petugas
kesehatan
untuk
memberikan
dukungan
penuh selama
masa
pengobatan TB
sampai dengan
selesai
Telaah
dokumen
kartu
pengobatan
pasien
(TB.01) dan
Wawancara
Kuesioner 1.Keluarga
2.Petugas
kesehatan
Nominal
11 Akses ke
pelayanan
kesehatan
Jarak dan
waktu yang
ditempuh oleh
pasien ke
pelayanan
kesehatan
selama
menjalani
pengobatan TB
Wawancara
terstruktur
Kuesioner 1. lebih dari 60
menit
menggunakan
kendaraan
2.30-60menit
menggunakan
kendaraan
3.kurang dari 30
menit
Ordinal
Lanjutan tabel 3.1
47
No.
Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
dengan
menggunakan
kendaraan atau
tidak
menggunakan
menggunakan
kendaraan
4. kurang dari
30 menit jalan
kaki (Fauziyah,
2010)
12. Motivasi
pasien
Dorongan dari
dalam diri
pasien selama
pengobatan TB
sehingga bisa
berhasil
pengobatan
Wawancara
terstruktur
Kuesioner Tinggi : Jika
Skor 28-35
Sedang : Jika
Skor 21-27
Rendah : Jika
Skor 7-20
(Azwar, 2007)
Ordinal
13. Motivasi
Keluarga
Dorongan atau
dukungan dari
keluarga
selama
menjalani
pengobatan TB
yang bisa
membuat
pasien berhasil
pengobatan
Wawancara
terstruktur
Kuesioner Tinggi : Jika
Skor 28-35
Sedang : Jika
Skor 21-27
Rendah : Jika
Skor 7-20
(Azwar, 2007)
Ordinal
14. Motivasi
Petugas
Keseatan
Dorongan atau
dukungan dari
petugas
Wawancara
terstruktur
Kuesioner Tinggi : Jika
Skor 28-35
Sedang : Jika
Ordinal
Lanjutan tabel 3.1
48
No.
Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
kesehatan
selama
menjalani
pengobatan TB
yang bisa
membuat
pasien berhasil
pengobatan
Skor 21-27
Rendah : Jika
Skor 7-20
(Azwar 2007)
15. Status
ekonomi
Penghasilan
ataupun
pengeluaran
yang diperoleh
responden
selama sebulan
untuk
menunjang
kehidupannya
Wawancara
terstruktur
Kuesioner a.≥1.500.000
b.<1.500.000
Ordinal
Lanjutan tabel 3.1
49
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain
Case series. Penelitian desain Case series ini bertujuan melihat bagaimana
distribusi proporsi gambaran keberhasilan pengobatan pasien TB Paru BTA (+) di
Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun 2015 yang dilihat dari
variabel karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
pengetahuan, status ekonomi) tipe pasien, kategori pengobatan, jenis PMO, peran
PMO, distribusi peran PMO, akses, motivasi dan distribusi motivasi.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah
dan Puskesmas Ciputat, Kota Tangerang Selatan pada bulan April-Juni 2017.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA
(+) di Kecamatan Ciputat, populasi sumber dalam peneltian ini
diantaranya pasien TB paru BTA (+) yang berhasil pengobatan (sembuh
dan pengobatan lengkap) di Puskesmas kampung Sawah sebanyak 62
pasien dan Puskesmas Ciputat sebanyak 33 pasien. Kemudian sampel
eligible dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA (+) yang berhasil
pengobatan (sembuh dan pengobatan lengkap) yang memenuhi kriteria
50
inklusi dan eksklusi, serta responden yang menjadi sampel dalam
penelitian ini sebanyak 95 responden yang telah memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA
(+) yang berhasil pengobatan yang terdaftar pada laporan TB.01, dengan
umur >15 tahun, pasien yang bersedia menjadi responden penelitian.
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien yang pindah dari
alamat rumah sebelumnya.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru BTA
(+) yang berhasil pengobatan yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Untuk mengetahui besar sampel minimal yang dibutuhkan
dalam penelitian ini menggunakan rumus :
n= [ Z21-α/2 x P (1-P) ]
Keterangan : n= Jumlah Sampel
Z1-α/2 = Derajat kepercayaan 90% (1,64)
P = Proporsi pasien yang berhasil pengobatan
d = Presisi mutlak sebesar 10%
d2
51
Dari rumus diatas, bahwa nilai P didapatkan dari proporsi
penelitian sebelumnya yang dilihat dari beberapa variabel. Hasil
perhitungan besar minimal sampel adalah :
Tabel 4.1 Besar sampel minimal
No Variabel Peneliti p N
1. Umur (Ruditya, 2015) 0,792 45
2.. Jenis Kelamin (A. Nakanwagi-
Mukway et al., 2013)
0,37 64
3. Pendidikan (Natalia dkk., 2012) 0,684 59
4. Pekerjaan (Imelda Atika et al.,
2015)
0,6551 62
5. Pengetahuan (Kholifah, 2009) 0,631 63
6. Status ekonomi (Kholifah, 2009) 0,947 14
7. Tipe pasien (Faustini A. dkk.,
2005)
0,735 53
8. Kategori
pengobatan
(Dooely et al., 2011) 0,93 18
9. Akses (Fauziyah, 2010) 0,90 25
10. Jenis PMO (Jufrizal dkk., 2016) 0,86 33
11. Peran PMO (Firdaus, 2012) 0,56 67
12. Motivasi pasien (Prasetya, 2009) 0,7441 52
13. Motivasi
keluarga
(Fauziyah, 2010) 0,80 44
52
14. Motivasi
petugas
kesehatan
(Pandapotan dkk.,
2015)
0,465 68
Berdasarka hasil perhitungan besar minimal sampel, maka sampel
minimal dari penelitian ini yaitu 68 sampel. Pada Wilayah Kecamatan
Ciputat, keberhasilan pengobatan paling tinggi ditemukan di Puskesmas
Kampung Sawah sebanyak 62 pasien yang tercatat di formulir TB.01.
Dikarenakan keberhasilan pengobatan pasien TB paru BTA (+) di
Puskesmas Kampung Sawah tidak memenuhi sampel minimal penelitian,
maka ditambah dari puskesmas lain yang memiliki karaktersitik pasien TB
yang sama dan berdekatan wilayahnya dengan Kampung Sawah, yaitu
Puskesmas Ciputat. Pada Puskesmas Ciputat pasien TB Paru BTA (+)
yang berhasil pengobatan yang tercatat di formulir TB.01 sebanyak 33
pasien.
Dari perhitungan sampel minimal tersebut, maka teknik sampel
yang akan digunakan untuk memenuhi sampel minimal tersebut adalah
menggunakan total sampling dari keseluruhan populasi pasien TB Paru
BTA (+) yang berhasil pengobatan pada puskesmas kampung sawah dan
puskesmas ciputat yaitu sebesar 95 responden.
Pada pelaksanaannya dilapangan dari kedua Puskesmas, bahwa
sampel yang ditemukan melebihi dari sampel minimal penelitian yaitu
sebanyak 75 responden. Di Puskesmas Kampung Sawah ditemukan
sebanyak 51 responden. Sedangkan di Puskesmas Ciputat ditemukan
53
sebanyak 24 responden. Dari beberapa responden yang tidak ditemukan
tersebut, dikarenakan responden tidak memenuhi kriteria inklusi seperti
pasien meninggal saat akan dilakukan wawancara, pasien pindah dari
alamat rumah sebelumnya, pasien bekerja diluar kota, pasien bukan
domisili wilayah kerja dari dua puskesmas.
4.4 Metode dan Instrumen Penelitian
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan telaah
dokumen dan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner kepada
responden. Sebelum digunakan untuk pengumpulan data, kuesioner tersebut
terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan realibilitas pada variabel
pengetahuan, peran PMO dan motivasi. Berikut merupakan metode dan
instrumen yang digunakan pada penelitian ini, antara lain :
1. Umur
Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01,
dengan melihat umur pasien TB paru BTA (+) yang dinyatakan berhasil
pengobatan. Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis
univariat untuk melihat rata-rata umur pasien TB Paru BTA (+) yang
berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat tahun 2015.
2. Jenis kelamin
Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01.
Dalam menganalisis atau mengkode data, jenis kelamin laki-laki
dikategorikan dengan angka satu dan perempuan dikategorikan dengan
54
angka dua, untuk mempermudah peneliti dalam analisis data. Analisis
yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat, untuk
mengetahui proporsi jenis kalamin pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil
pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun
2015.
3. Pendidikan
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan
wawancara kepada responden terkait lama waktu pendidikan yang
ditempuh pasien sampai pada saat pasien dinyatakan berhasil pengobatan
TB. Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat
untuk mengetahui rata-rata lamanya pendidikan pasien TB Paru BTA (+)
yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat tahun 2015
4. Pekerjaan
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan
wawancara kepada responden terkait pekerjaan yang dilakukan pasien
yang dikategorikan sebagai bekerja (wiraswasta atau pelayan jasa, buruh,
pegawai swasta dan PNS), sedangkan tidak bekerja (ibu rumah tangga dan
siswa/mahasiswa). Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah
analisis univariat untuk mengetahui proporsi pekerjaan pasien TB Paru
BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan
Puskesmas Ciputat tahun 2015.
5. Pengetahuan
55
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan
wawancara kepada responden terkait pengetahuan responden pada saat
menjalani pengobatan TB yang berdampak pada pasien bisa berhasil
pengobatan. Kuesioner ini dimodifikasi dari penelitian sebelumnya terkait
faktor yang berhubungan dengan kesembuhan pasien TB paru yang
dilakukan di Semarang oleh (Kholifah, 2009). Variabel Pengetahuan
dibuat sebanyak 12 item pertanyaan (A1-A12). Variabel ini dikategorikan
menjadi pengetahuan baik, cukup, kurang.
Pengetahuan baik (≥ 75%), jika pasien menjawab benar sebanyak
10-12 pertanyaan, pengetahuan cukup (56-74%) jika pasien menjawab
benar sebanyak 7-9 pertanyaan, sedangkan pengetahuan kurang (<55%)
jika pasien menjawab benar kurang dari sama dengan 6 pertanyaan.
Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat, untuk
mengetahui proporsi pengetahuan pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil
pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun
2015.
6. Kategori pengobatan
Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01
yang dikategorikan menjadi kategori satu pada pasien baru yang menjalani
pengobatan selama 6 bulan, dan kategori dua diberikan pengobatan selama
8 bulan pada pasien gagal pengobatan, kambuh, dan dropout. Analisis
yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat untuk
mengetahui proporsi kategori pengobatan pasien TB Paru BTA (+) yang
56
berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat tahun 2015.
7. Tipe pasien
Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01
yang dikategorikan menjadi tipe pasien baru, gagal pengobatan, kambuh,
dan dropout. Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis
univariat, untuk mengetahui proporsi tipe pasien TB Paru BTA (+) yang
berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat tahun 2015.
8. Status ekonomi
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan
wawancara kepada responden terkait penghasilan atau pengeluaran yang
diperoleh responden salam satu bulan. Variabel ini tidak berdistribusi
normal, sehingga yang digunakan adalah median penghasilan pasien di
Puskesmas Kampung Sawah dan Ciputat, (Rp ≥ 1.500.000,00). Analisis
yang digunakan pada variabel ini adalah analisis univariat untuk
mengetahui proporsi status ekonomi pasien TB Paru BTA (+) yang
berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat tahun 2015.
9. Akses
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan
wawancara kepada responden terkait jarak dan waktu tempuh dari rumah
pasien ke Puskesmas Kampung Sawah dan ciputat, yang dikategorikan
57
menjadi 1) lebih dari 60 menit menggunakan kendaraan, 2) 30-60menit
menggunakan kendaraan, 3) kurang dari 30 menit menggunakan
kendaraan, 4) kurang dari 30 menit jalan kaki. Analisis yang digunakan
pada variabel ini adalah analisis univariat untuk mengetahui proporsi akses
pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas
Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun 2015.
10. Jenis PMO
Variabel ini diukur menggunakan telaah dokumen formulir TB.01,
maupun metode wawancara untuk responden yang tidak tertulis PMO nya
di Formulir TB.01. Dalam menganalisis atau mengkode data, keluarga
sebagai PMO dikategorikan dengan angka satu dan petugas kesehatan
sebagai PMO dikategorikan dengan angka dua, untuk mempermudah
peneliti dalam analisis data. Analisis yang digunakan pada variabel ini
adalah analisis univariat untuk mengetahui proporsi jenis PMO pasien TB
Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah
dan Puskesmas Ciputat tahun 2015.
11. Peran PMO
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan
wawancara kepada responden terkait peran PMO yang diambil dari
pedoman program pengendalian TB dan dimodifikasi dari buku
pemberantasan dan penanggulangan TB (Nizar, 2010) yang berisi
pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan (B1-B10). Kategori yang digunakan
adalah 1) Ya, jika responden menjawab lebih dari sama dengan enam
58
pertanyaan, 2) Tidak, jika responden menjawab kurang dari dengan enam
pertanyaan. Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis
univariat untuk mengetahui proporsi peran PMO pasien TB Paru BTA (+)
yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat tahun 2015.
12. Motivasi
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan melakukan
wawancara kepada responden terkait motivasi yang diperoleh pasien
sehingga bisa berhasil pengobatan. Motivasi tersebut dibagi menjadi
motivasi pasien, motivasi dari keluarga maupun motivasi dari petugas
kesehatan sebanyak 21 item pernyataan (C1-C21), yang dimodifikasi dari
penelitian sebelumnya. Kuesioner ini dimodifikasi dari penelitian
sebelumnya terkait faktor yang berhubungan dengan kesembuhan pasien
TB paru yang dilakukan di Semarang oleh (Kholifah, 2009) dan dari
penelitian yang dilakukan oleh (Trisnawati, Ovaria 2014).
Pengukuran variabel motivasi menggunakan rumus telah baku
pada lima item skala likerd (sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju
dan sangat tidak setuju) yang dikategorikan menjadi tinggi, sedang dan
rendah. Adapun rumus dari kategori motivasi pada 5 item skala likerd
tersebut antara lain : (Azwar, 2007)
a. Tinggi : ≥ (µ+1,0 (σ))
b. Sedang : (µ-1,0 (σ)) ≤ X < (µ+1,0 (σ))
c. Rendah : < (µ-1,0 (σ))
59
Keterangan : µ (mean) dan σ (standard deviasi)
Adapun Analisis yang digunakan pada variabel ini adalah analisis
univariat untuk mengetahui proporsi motivasi pasien, keluarga, dan
petugas kesehatan pada pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan
di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat tahun 2015.
4.5 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Data primer pada penelitian ini diperoleh langsung dari responden
dengan wawancara menggunakan kuesioner untuk variabel independen
seperti karakteristik individu (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, status
ekonomi), akses, jenis PMO, peran PMO dan motivasi.
2. Data Sekunder
Data sekunder dilakukan dengan cara telaah dokumen pada
formulir kartu pengobatan paisen TB (TB.01), di Puskesmas Kampung
Sawah dan Puskesmas Ciputat untuk memperoleh informasi terkait jumlah
pasien TB paru BTA (+) yang berhasil dalam pengobatan (sembuh dan
pengobatan lengkap), nama, alamat, umur pasien, jenis kelamin, kategori
pengobatan, tipe pasien, dan jenis PMO.
4.6 Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan SPSS VERSI
16.00 dengan tahap berikut :
1. Pemeriksaan data (Editing)
60
Melakukan pemeriksaan kelengkapan data dari pertanyaan
kuesioner yang telah dikumpulkan, maupun kelengkapan data dari
responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
2. Pemberian kode (Coding)
Pemberian kode dilakukan pada saat membuat kuesioner untuk
masing-masing pertanyaan sesuai dengan tujuan pengumpulan data,
agar mempermudah dalam melakukan pengolahan data.
Tabel 4.2 Pengkodean data
3. Pemasukan data ( Data entry)
Melakukan entry data pada setiap pertanyaan sesuai dengan kode
yang telah dibuat pada software Epidata atau SPSS.
4. Pembersihan data ( Data cleaning)
Untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan pada data, baik
dalam pengkodean maupun membaca kode, dan melengkapi data yang
tidak lengkap. Pembersihan data dilakukan sebelum melakukan
analisis data.
4.7 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah univariat, yang bertujuan
untuk melihat distribusi proporsi pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil
pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Ciputat yang dilihat melalui
No. Variabel Kode
1. Identitas Responden IR
2. Pengetahuan A
3. Peran PMO B
4. Motivasi C
61
variabel dengan skala ordinal dan nominal (jenis kelamin, pekerjaan,
pengetahuan, status ekonomi, tipe pasien TB, kategori pengobatan, akses,
jenis PMO, peran PMO, distribusi peran PMO, motivasi dan distribusi
motivasi).
Pada variabel dengan skala rasio seperti umur dan pendidikan akan
digunakan nilai mean, median, max-min dan SD. Pada variabel umur setelah
dilakukan analisis distribusi normalitas, dengan hasil data berdistribusi
normal maka yang digunakan nilai mean, sedangkan pada pendidikan data
tidak berdistribusi normal, maka interpretasi yang digunakan nilai median.
Sedangkan pada variabel kategorik dengan skala ordinal mapun nominal
maka analisis yang digunakan akan distrbusi frekuensi (%).
4.8 Validitas
Validitas merupakan indeks yang digunakan untuk menunjukkan alat
ukur yang dapat mengkur objek secara tepat. Adapun pengujian validitas ini
dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun tidak valid.
Item kuesioner yang tidak valid, tidak dapat digunakan untuk pengukuran dan
pengujian. Item pertanyaan dikatakan valid jika nilai r dari hasil perhitungan
lebih besar dari nilai r tabel, dan begitu juga sebaliknya untuk pertanyaan
yang tiak valid (Hastono, 2016). Instrumen kuesioner pada penelitian ini
dimodifikasi dari penelitian terdahulu, sehingga diperlukan uji validitas dari
setiap item pertanyaan dari variabel pengetahuan, peran PMO dan Motivasi.
Uji validitas ini dilakukan pada 17 pasien yang berhasil pengobatan di
Wilayah Puskesemas Pisangan. Untuk melihat nilai r tabel menggunakan df
62
(N-2), sehingga nilai df dari 17 responden adalah 15 dengan nilai r tabelnya
adalah 0,482. Dari hasil yang diperoleh, bahwa kuesioner pengetahuan dari
15 item pertanyaan ada 3 item pertanyaan yang tidak valid dengan nilai r hasil
perhitungan statsistiknya nya (<0,482). Pada variabel peran PMO dari 10 item
pertanyaan ada 1 pertanyaan yang tidak valid (0,406).
Pada variabel motivasi yang dibagi menjadi motivasi pasien, motivasi
keluarga dan motivasi petugas kesehatan. Yang mana motivasi pasien dari 7
item pertanyaan, ada 1 item pertanyaan yang tidak valid, dan pada variabel
motivasi keluarga dari 7 item pertanyaan semuanya valid, sama halnya
dengan variabel motivasi petugas kesehatan semua item pertanyaannya valid
dengan nilai r hasil (> 0,482). Oleh karena itu, dari item pertanyaan yang
tidak valid pada kuesioner pengetahuan dihapus, dan pada kuesioner motivasi
dan peran PMO diganti dengan pernyataan yang baru.
4.9 Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Reliabilitas ini biasanya dilakukan
untuk melihat apakah pengukuran tersebut dapat terlihat konsisten bila
dilakukan berulang kali dengan menggunakan kuesioner yang sama. Suatu
kuesioner dikatakan reliabel jika mempunyai nilai Cronbach’s Alpha lebih
besar dari Cronbach’s Alpha Table (Hastono, 2016). Dalam hal ini semua
item pertanyaan kuesioner dari variabel pengetahuan (0,856), peran PMO
(0,892), Motivasi pasien (0,762), Motivasi keluarga (0,841), motivasi petugas
kesehatan (0,860) sudah reliabel
63
BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Umum Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat
Puskesmas Kampung Sawah berada di kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang Selatan, provinsi Banten. Mempunyai luas wilayah sebesar 261
ha dengan jumlah penduduk 27.943 jiwa. Berdasarkan distribusi jumlah
penduduk menurut jenis kelamin yaitu lebih banyak laki-laki dibandingkan
perempuan. Dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 14.174 jiwa dan
perempuan hanya 13.769 jiwa. Untuk batas wilayah kerja Puskesmas
Kampung Sawah antara lain : (PKM Kampung Sawah, 2016)
Sebelah utara : Pondok Jaya
Sebelah selatan : Serua Indah / Kedaung
Sebelah barat : Sawah Baru
Sebelah Timur : Pondok Ranji / Cempaka Putih
Sebelah Timur : Wilayah kerja Puskesmas Ciputat timur
Puskesmas Ciputat terletak kurang lebih dari 6 km sebelah Utara,
Kota Tangerang Selatan yang terdiri dari 2 kelurahan yaitu kelurahan
ciputat dan kelurahan cipayung. Adapun luas wilayahnya sekitar 13.311 H.
Puskesmas Ciputat salah satu dari 3 Puskesmas yang berada di wilayah
kecamatan ciputat. Letaknya berhubungan dengan :
64
Sebelah utara : Wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah
Sebelah selatan : Wilayah kerja puskesmas pamulang
Sebelah barat : Wilayah kerja puskesmas benda baru
Sebelah Timur : Wilayah kerja Puskesmas Ciputat timur
Berikut merupakan peta atau maps dari puskesmas Kampung Sawah ke
Puskesmas Ciputat
: Puskesmas
65
5.2 Analisis Univariat
Analisis univariat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui rata-rata
pada variabel numerik seperti umur, pendidikan dan status ekonomi. Sementara
itu pada variabel kategorik untuk melihat distribusi proporsi pasien TB Paru
BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan
Puskesmas Ciputat yang dilihat dari karakteristk individu (jenis kelamin,
pekerjaan, pengetahuan, status ekonomi) tipe pasien, kategori pengobatan dan
faktor perilaku (jenis PMO, peran PMO, distribusi peran PMO Akses, Motivasi
pasien, Motivasi petugas kesehatan dan Motivasi keluarga dan disrtibusi
Motivasi pasien, keluarga dan petugas kesehatan).
5.2.1 Gambaran Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil berdasarkan Wilayah
Berikut merupakan gambaran pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan
yang berhasil pengobatan berdasarkan tempat wilayah, dapat dilihat pada gambar
5.1
Gambar 5.1 Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang Berhasil
berdasarkan Wilayah
68%
32%
Kampung Sawah
Ciputat
66
Berdasarkan gambar 5.1 diketahui bahwa pasien TB paru BTA (+)
yang berhasil pengobatan yang ditemukan di Puskesmas Kampung Sawah
sebesar 68%, sedangkan di Puskesmas Ciputat sebesar 32%.
5.2.2 Gambaran Karakeristik Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Distribusi proporsi karakteristik individu pasien TB Paru BTA (+) dengan
pengobatan yang berhasil di Puskesmas Kampung Sawah yang dapat dilihat pada
tabel 5.1 dibawah ini.
Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Individu Pasien dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Karakteristik Individu Pasien TB paru
BTA (+) yang berhasil Pengobatan
(N=75)
N %
Umur
Mean ± SD
Min - Maks
40,68 ± 13,418
17 – 65 tahun
Remaja 12 16,0
Dewasa 37 49,3
Lansia 26 34,7
Pendidikan
Median ± SD
Min - Maks
6,0 ± 4,434
0 – 12 tahun
Tidak Sekolah 27 36,00
SD 12 16,00
SMP 19 25,3
67
Karakteristik Individu Pasien TB paru
BTA (+) yang berhasil Pengobatan
(N=75)
N %
SMA 17 22,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 45 60,0
Perempuan 30 40,0
Pekerjaan
Bekerja 43 57,3
Tidak bekerja 32 42,7
Pengetahuan
Baik 40 53,3
Cukup 26 34,7
Kurang 9 12,0
Status ekonomi
Median ± SD
Min – Maks
1.500,000 ± 681,901
500.000-2.850,000
≥ 1.500,000 45 60,0
<1.500,000 30 40,0
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian besar pasien
dengan pengobatan yang berhasil adalah pasien laki-laki (60,0%), dengan
rata-rata umur sebagian besar produktif sebesar (49,3%) dan sebagian
besar juga tidak sekolah (36%). Berdasarkan karakteristik pekerjaan
sebagian besar pasien yang berhasil pengobatan adalah bekerja dengan
proporsi (57,3%) dengan penghasilan responden sebagian besar memiliki
penghasilan lebih dari sama dengan Rp1.500.000,00 sebesar (60,0%).
Sedangkan berdasarkan pengetahuan sebagian besar pasien menjawab
Lanjutan tabel 5.1
68
benar ≥ 75% pertanyaan, sehingga mereka memiliki pengetahuan baik
(53,3%).
5.2.3 Gambaran Tipe Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut merupakan gambaran tipe pasien TB Paru BTA (+) dengan
pengobatan yang berhasil pengobatan dapat dilihat pada gambar 5.2
Gambar 5.2 Tipe Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Berdasarkan gambar 5.2 diketahui bahwa tipe pasien TB paru BTA (+)
yang berhasil pengobatan lebih banyak ditemukan pada pasien tipe baru sebesar
98% dibandingkan pasien kambuh hanya 2%
5.2.4 Gambaran Kategori Pengobatan Pasien TB Paru BTA (+) dengan
Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut merupakan gambaran kategori pengobatan pasien TB Paru BTA
(+) dengan pengobatan yang berhasil pengobatan dapat dilihat pada gambar 5.3
98%
2%
Baru
Kambuh
69
Gambar 5.3 Kategori Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Berdasarkan gambar 5.3 diketahui bahwa kategori pengobatan pasien TB
paru BTA (+) yang berhasil pengobatan lebih banyak ditemukan pada pasien
kategori satu sebesar 98% dan kategori dua hanya 2%
5.2.5 Gambaran Faktor Perilaku Pasien TB Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Gambaran faktor perilaku pasien TB paru BTA (+) yang berhasil
pengobatan dibagi menjadi jenis PMO, Peran PMO, Akses dan Motivasi yang
dapat dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini.
5.2.5.1 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut merupakan gambaran jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil yang dapat dilihat pada tabel 5.2
98%
2%
Kategori 1
Kategori 2
70
Tabel 5.2 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Jenis PMO Pasien TB paru BTA (+)
yang berhasil Pengobatan
n %
Keluarga 46 61,3
Petugas Kesehatan 29 38,7
Total 75 100
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa sebagian besar PMO
pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil berasal dari
keluarga (61,3%) dibandingkan petugas kesehatan hanya (38,7%).
5.2.5.2 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut merupakan gambaran peran PMO Pasien TB Paru BTA (+)
dengan Pengobatan yang Berhasil yang dapat dilihat pada tabel 5.3
Tabel 5.3 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Peran PMO Pasien TB paru BTA (+)
yang berhasil Pengobatan
n %
Ya 72 96,0
Tidak 3 4,0
Total 75 100
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa sebagian besar pasien TB
paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil di Puskesmas Kampung
Sawah dan Puskesmas Ciputat telah mengaku mendapatkan peran PMO
(96,0%) dan hanya (4,0%) mengaku tidak mendapatkan peran PMO.
71
5.2.5.3 Distribusi Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut distirbusi peran PMO pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan
yang berhasil di Kecamatan Ciputat, dapat dilihat pada Gambar 5.4
Gambar 5.4 Distribusi Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berdasarkan gambar 5.4 diketahui bahwa sebagian besar pasien TB Paru
BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas
Ciputat telah mendapatkan peran PMO terkait informasi tata cara pengobatan
secara lengkap (B10), dengan persentese (96%). Sedangkan yang mendapatkan
distirbusi peran terendah dari PMO pada masing-masing puskesmas yaitu terkait
PMO memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala suspek TB untuk segera memeriksakan diri ke puskesmas
terdekat (B4), dengan persentase (61,3%).
84 90,7 92
61,3
86,7 90,7
82,7 84 89,3
96
16 9,3 8
38,7
13,3 9,3
17,3 16 10,7
4
0
20
40
60
80
100
120
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10
Per
senta
se (
%)
Distribusi peran PMO
Ya
Tidak
72
5.2.5.4 Gambaran Akses Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Gambaran akses pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil
ke pelayanan kesehatan di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat
dapat dilihat pada tabel 5.4 dibawah ini
Tabel 5.4 Gambaran Akses Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan CiputatTahun 2015
Dari tabel 5.4 diketahui bahwa sebagian besar akses dari rumah
pasien ke pelayanan kesehatan saat menjalani pengobatan adalah
menempuh waktu < 30 menit ke puskesmas sebesar 45,3%, diikuti dengan
30-60 menit sebesar 40,0% dan yang berjalan kaki sebesar 14,7%.
5.2.5.5 Gambaran Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Gambaran motivasi pasien TB Paru BTA (+) dengan pengobatan yang
berhasil yang dibagi menjadi motivasi dari pasien, keluarga dan petugas kesehatan
dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Akses Pasien TB paru
BTA (+) yang berhasil
Pengobatan
n %
30-60 menit menggunakan
kendaraan
30 40,0
<30 menit menggunakan kendaraan 34 45,3
<30 menit jalan kaki 11 14,7
Total 75 100
73
Gambar 5.5 Motivasi Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Berdasarkan gambar 5.5 diketahui bahwa sebagian besar motivasi pasien
dengan pengobatan yang berhasil yang memiliki motivasi tinggi sebesar 45%,
diikuti motivasi sedang sebesar 16% dan rendah sebesar 39%.
Gambar 5.6 Motivasi dari Keluarga Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
45%
39%
16%
Tinggi
Sedang
Rendah
51%
36%
13%
Tinggi
Sedang
Rendah
74
Berdasarkan gambar 5.6 diketahui bahwa sebagian besar pasien dengan
pengobatan yang berhasil mendapatkan motivasi tinggi dari keluarga sebesar
51%, diikuti motivasi sedang sebesar 36% dan rendah sebesar 13%.
Gambar 5.7 Motivasi dari Petugas Kesehatan Pasien Tuberkulosis Paru BTA (+)
dengan Pengobatan yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Berdasarkan gambar 5.7 diketahui bahwa sebagian besar pasien dengan
pengobatan yang berhasil mendapatkan motivasi tinggi dari keluarga sebesar
46%, diikuti motivasi sedang sebesar 43% dan rendah sebesar 11%.
5.2.5.6 Distribusi Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Berikut distribusi motivasi pasien keberhasilan pengobatan pada pasien
Tuberkulosis Paru BTA (+) di Puskesmas Kampung Sawah yang dapat dilihat
pada tabel 5.5
46%
43%
11%
Tinggi
Sedang
Rendah
75
Tabel 5.5 Distribusi Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan yang
Berhasil di Puskesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat Tahun 2015
No Pernyataan Setuju Ragu-
ragu
Tidak
setuju
n % n % N %
Motivasi pasien
C3. Selama pengobatan teratur
untuk kontrol dan
mengambil OAT
kepuskesmas walaupun
sedang demam
44 58,7 16 21,3 15 2,0
C4. Selama pengobatan tetap
mengambil OAT dan kontrol
ke puskesmas menggunakan
kendaraan umum,
dikarenakan tidak punya
kendaraan sendiri.
27 36,0 21,0 28,0 27 36,0
C5. Selama pengobatan
berusaha, berdoa dan pasrah
untuk selalu bersyukur
kepada Tuhan
56 74,7 19 25,3 - -
C6. Pengobatan TB paru
membosankan karena
membutuhkan waktu yang
lama
3 4,0 12 16,0 60 80,0
C7. Efek samping dari OAT TB
(mual, menggigil, muntah
dll) dapat mengganggu
aktifitas sehari-hari saya.
13 17,3 26 34,7 36 48,0
Motivasi Keluarga
C8. Selalu diingatkan oleh 62 82,7 10 13,3 3 4,0
76
No Pernyataan Setuju Ragu-
ragu
Tidak
setuju
n % n % N %
keluarga untuk minum OAT
secara teratur dan
mengambil kembali ke
puskesmas jika sudah habis
C9. Keluarga sering menemani
saat kontrol ke puskesmas
56 74,7 15 20,0 4 5,3
C10. Dukungan keluarga terhadap
pengobatan pasien sangat
besar
72 96,0 3 4,0 - -
C11. Kesembuhan pasien sangat
diharapkan oleh keluarga
66 88,0 9 12,0 - -
C12. Selama pengobatan keluarga
menginformasikan tentang
manfaat dan risiko jika tidak
patuh minum OAT
44 58,7 19 25,3 12 16,0
C13. Kelurga acuh terhadap
pengobatan TB yang saya
jalani
11 14,7 10 13,3 54 72,0
C14. Keluarga tidak perduli
apakah saya sudah minum
OAT atau belum
13 17,3 12 16,0 50 66,7
Motivasi petugas
kesehatan
C15. Petugas dalam melayani
pasien selama pengobatan
cukup baik
57 76,0 18 24,0
C16. Petugas selalu bertindak
tegas kepada saya jika tidak
52 69,3 23 30,7 - -
Lanjutan tabel 5.5
77
No Pernyataan Setuju Ragu-
ragu
Tidak
setuju
n % n % N %
mengikuti arahannya
C17. Petugas sering memberikan
penjelasan tentang apa saja
yang harus dilakukan selama
menjalani pengobatan agar
cepat sembuh seperti
dilarang merokok, makanan
bergizi, dll
46 61,3 23 30,7 6 8,0
C18. Petugas sering
menyampaikan untuk
megambil OAT dan
memeriksakan dahak
kembali selama menjalani
pengobatan
45 60,0 19 25,3 11 14,7
C19. Petugas jarang
menyampaikan penjelasan
seperti efek samping obat,
hal-hal yang harus dihindari
selama menjalani
pengobatan
8 10,7 28 37,3 39 52,0
C20. Petugas memberi
kesempatan kepada saya
untuk menyampaikan
keluhan selama menjalani
pengobatan
3 4,0 20 26,7 52 69,3
C21. Petugas tidak pernah
menanyakan kemajuan
7 9,3 16 21,3 52 69,3
Lanjutan tabel 5.5
78
No Pernyataan Setuju Ragu-
ragu
Tidak
setuju
n % n % N %
penyakit dan keluhan yang
saya alami selama menjalani
pengobatan.
Dari tabel 5.5 diketahui bahwa sebagian besar pasien TB Paru BTA (+)
yang berhasil pengobatan telah mendapatkan motivasi tinggi dari diri pasien, yang
mana terlihat bahwa sebagian besar pasien menjawab setuju (58,7%) terkait
pernyataan selama pengobatan tetap kontrol ke puskesmas walaupun sedang
demam. Sedangkan berdasarkan motivasi keluarga sebagian besar pasien telah
mendapatkan motivasi tinggi yang mana dilihat dari pernyataan terkait keluarga
acuh terhadap pengobatan TB yang dijalani pasien sebagian besar menjawab tidak
setuju (72,0%) Untuk motivasi dari petugas kesehatan bahwa pasien yang berhasil
pengobatan sebagian besar mendapat motivasi tinggi, yang mana sebagian besar
menjawab tidak setuju (69,3%) terkait petugas tidak pernah menanyakan
kemajuan penyakit dan keluhan yang dialami pasien
79
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Adapun beberapa keterbatasan penelitian ini antara lain :
1. Penelitian ini menggunakan data 2015 dengan sampel yang diambil adalah
dari keseluruhan jumlah pasien yang berhasil pengobatan TB di
Puskesmas Kampung Sawah dan ciputat sebesar 95 pasien. Namun dari 95
pasien yang berhasil pengobatan dari kedua puskesmas, hanya 75 pasien
yang ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar dari pasien
sudah pindah dari alamat sebelumnya karena urusan pekerjaan, sudah
meninggal, dan bukan termasuk bagian wilayah kerja dari Puskesmas
Kampung Sawah dan ciputat.
2. Pada variabel pengetahuan rentan bias informasi, dikarenakan yang ingin
diketahui adalah pengetahuan pasien saat menjalani pengobatan yang
membuat pasien tersebut menjadi berhasil pengobatan. Walaupun, sudah
diminimalisir oleh peneliti dengan mewawancarai atau memprobbing
pengetahuan pasien saat menjalani pengobatan.
3. Kuesioner dari penelitian ini dimodifikasi dari beberapa penelitian
terdahulu sehingga bukan kuesioner baku.
80
6.2 Gambaran Karaktristik Individu Pasien TB Paru BTA (+) dengan
Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini membutuhkan pengobatan yang
cukup lama, dibagi menjadi dua kategori pengobatan yaitu kategori satu dan
kategori dua. Kategori satu dilakukan pengobatan selama enam bulan bagi pasien
baru, sementara itu pasien dengan kategori dua merupakan pasien yang
sebelumnya sudah mendapatkan pengobatan tetapi tidak tuntas antara lain pasien
gagal pengobatan, putus berobat (dropout), dan kambuh, yang diberikan
pengobatan ulang kembali selama delapan bulan.
Pasien yang dikatakan berhasil pengobatan adalah pasien TB Paru yang
terkonfirmasi bakteriologis (BTA+) yang menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dan sembuh dengan hasil akhir pemeriksaan ulang dahak pada akhir
pengobatan dan dua bulan sebelumnya menunjukkan hasil negatif. (Kemenkes RI,
2014). Berdasarkan hasil penelitian di Puskesmas Kampung Sawah pasien TB
Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan sebesar 68%, dan di Puskesmas Ciputat
sebesar 32%. Hal tersebut dikarenakan pada saat dilapangan masih ada pasien
yang tidak ditemukan karena tidak memenuhi kriteria inklusi seperti pasien
meninggal, pasien pindah dari alamat rumah sebelumnya, pasien bukan domisili
wilayah kerja puskesmas tersebut serta pasien bekerja diluar kota.
Berdasarkan kategori pengobatan dan tipe pasien didapatkan bahwa dari
laporan TB.01 sebagian besar pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan
81
adalah pasien tipe baru. Pasien tipe baru adalah pasien yang belum pernah
mengalami sakit TB Paru pada saat sebelumnya dan ditemukan satu pasien
kambuh. Pasien kambuh tersebut sebelumnya sudah menjalani pengobatan
kembali dan dinyatakan berhasil pengobatan pada tahun 2015. Jika sebagian besar
pasien adalah pasien dengan tipe baru, maka sebagian besar pasien tersebut
termasuk dalam kategori pengobatan satu. Kategori pengobatan satu diberikan
pada pasien baru TB Paru BTA (+) maupun pasien BTA (-).
Dilihat dari karakterstik umur, dari hasil penelitian diketahui bahwa
sebagian besar pasien yang berhasil pengobatan adalah pasien dengan umur
produktif. Dengan rata-rata umur 41 tahun, dengan umur yang paling muda adalah
17 tahun dan paling tua 65 tahun. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian
sebelumnya di wilayah kerja Puskesmas Tanah Kalikedinding, menyatakan bahwa
sebagian besar pasien patuh untuk melakukan pemeriksaan dahak adalah pasien
dengan umur produktif sebesar 79,2% dibandingkan pasien dengan umur lansia
hanya 20,8% (Ruditya, 2015). Jika pasien patuh untuk memeriksakan dahak
selama pengobatan, maka dapat diketahui hasil akhir dari pengobatannya. Sebab
pemeriksaan dahak selama pengobatan merupakan indikator pasien dikatakan
sembuh atau tidak sembuh (Kemenkes RI, 2014).
Dari hasil Riskesdas tahun 2013, kasus TB Paru paling banyak ditemukan
pada umur produktif (21-40 tahun) sebesar 61%. Umur produktif merupakan
umur seseorang berada pada tahap untuk bekerja menghasilkan sesuatu, baik
untuk diri sendiri maupun orang lain. Dan pada umur produktif mobilisasinya juga
cukup tinggi, yang membuat umur produktif tersebut lebih sering berinteraksi
82
dengan orang lain, sehingga berisiko untuk tertular kuman TB (Nurjana, 2015).
Selain itu, dari hasil observasi yang dilakukan pada formulir TB.01 bahwa
sebagian kasus TB Paru BTA (+) ditemukan pada umur produktif, sehingga
sebagian besar pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan adalah pasien
dengan umur produktif juga.
Sama halnya berdasarkan jenis kelamin, dari hasil penelitian diketahui
bahwa sebagian besar pasien yang berhasil pengobatan adalah pasien dengan jenis
kelamin laki-laki. Hal tersebut dikarenakan dari hasil laporan TB.01, bahwasanya
kejadian kasus TB Paru BTA (+) lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-
laki dibanding perempuan, sehingga keberhasilan pengobatan juga demikian,
bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak yang berhasil daripada perempuan.
Walaupun dalam pencarian pengobatan, perempuan cenderung lebih
banyak dibanding laki-laki, dikarenakan laki-laki akan mencari pengobatan jika
sudah mengalami sakit yang cukup parah. Namun, karena ada tuntutan dari
seorang laki-laki yang harus bekerja untuk menunjang kehidupan keluarganya.
Sehingga, laki-laki menjadi termotivasi untuk mencari pengobatan terhadap
penyakit yang dideritanya (Bastable, 2002). Seperti halnya pada suatu keadaan
laki-laki menderita penyakit TB, maka penderita tersebut berusaha untuk
melakukan pengobatan secara teratur dan bisa berhasil pengobatan.
Dilihat dari karakteristik pekerjaan bahwasanya sebagian besar pasien TB
Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan adalah bekerja. Sebagian besar pekerjaan
pasien pada masing-masing puskesmas adalah wirasawata, seperti memiliki usaha
83
sendiri dengan berdagang, tukang ojek, dan asisten rumah tangga. Proporsi pasien
bekerja paling banyak adalah sebagai wiraswata (46,7%), diikuti dengan tidak
bekerja yaitu (40%).
Dari hasil wawancara, sebagian besar pasien menyatakan pekerjaan
mereka bukan sebagai penghalang pasien untuk teratur dalam menelan obat setiap
harinya. Dikarenakan pasien tersebut mempunyai waktu luang untuk berobat
secara teratur maupun melakukan pemeriksaan dahak secara teratur ke Puskesmas
Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat, sehingga pasien bisa berhasil pengobatn
(sembuh dan pengobatan lengkap).
Selain dari karakteristik pekerjaan, berdasarkan tingkat status sosial
ekonomi bahwasanya sebagian besar pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil
pengobatan memiliki penghasilan lebih dari sama dengan Rp 1.500.00,00 per
bulannya. Penghasilan tersebut masih dibawah rata-rata UMR Tangerang Selatan
(Rp 3.000.000,00). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan
di Puskemas Tanah Kalikedinding menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang
memiliki penghasilan rendah lebih patuh untuk memeriksakan dahak selama
pengobatan (54,2%) (Ruditya, 2015).
Dari hasil wawancara, sebagian besar pasien menyatakan tidak merasakan
keberatan untuk menjalani pengobatan TB, dikarenakan pengobatan TB dari
program pemerintah sudah gratis tidak dibebankan biaya. Hanya saja diperlukan
biaya untuk pemeriksaan rontgen pada masa awal terdiagnosis penyakit TB,
84
sehingga pasien disarankan untuk melakukan rontgen sebagai penunjang hasil
dari pemeriksaan dahak saat pertama kali ke Puskesmas.
Menurut BPOM (2006) dalam Ruditya (2015) selain kondisi sosial
ekonomi, dukungan sosial seperti keluarga, petugas kesehatan merupakan hal
yang terpenting dapat mempengaruhi pasien untuk patuh dalam berobat. Setelah
dilakukan analisis lebih lanjut, walaupun penghasilan pasien yang berhasil
pengobatan di Kecamatan Ciputat dibawah rata-rata UMR yaitu lebih dari sama
dengan Rp 1.500.000,00. Akan tetapi pasien telah mendapatkan peran dari PMO
sebesar 95,6% serta mendapatkan motivasi tinggi dari keluarga (51,1%). Oleh
karena itu, walaupun status ekonomi yang didapatkan rendah, namun dikarenakan
adanya dukungan dari PMO maupun motivasi dari dalam diri sendiri dandari luar,
sehingga hal tersebutlah yang dapat mendukung pasien bisa berhasil pengobatan.
Selain tingkat ekonomi yang dibawah rata-rata UMR, berdasarkan tingkat
pendidikan, ditemukan bahwa rata-rata pendidikan pasien TB Paru BTA (+) yang
berhasil pengobatan adalah pasien telah menempuh pendidikan selama enam
tahun. Dan ternyata masih ada pasien TB paru BTA (+) yang berhasil pengobatan
yang tidak pernah menempuh pendidikan sebanyak (36%).
Dari hasil wawancara dengan pasien yang tidak pernah sekolah tersebut,
dikarenakan adanya tuntutan dari keluarga yang mana lingkungan sosial dan
kondisi ekonomi dari mereka yang menuntut mereka tidak sekolah. Walaupun
pendidikan pasien sebagian besar tidak sekolah, akan tetapi motivasi pasien untuk
85
sembuh juga tinggi, karena adanya dukungan dari keluarga dan petugas kesehatan
yang membuat pasien bisa berhasil pengobatan.
Selain dari faktor pendidikan, dilihat juga dari karaktersitik pengetahuan.
Menurut Notoadmojo bahwasanya pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” yang
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu, melalui
penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Yang mana dari pengetahuan
tersebut seseorang mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan kembali apa
yang diketahuinya dalam bentuk bukti jawaban baik lisan atau tulisan
(Notoadmojo, 2012).
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pengetahuan pasien TB Paru BTA
(+) yang berhasil pengobatan memiliki pengetahuan baik. Pasien yang memiliki
pengetahuan baik dapat mengubah sikapnya untuk patuh dalam pengobatan dan
bisa menyelesaikan pengobatannya, dibandingkan pasien yang memilki
pengetahuan rendah (Okanurak dkk., 2008).
Dari hasil observasi dan wawancara di kedua wilayah puskesmas. Pada
variabel pengetahuan dapat menjadi bias informasi. Dikarenakan pengetahuan
dalam hal ini adalah pengetahuan pasien saat menjalani pengobatan dan bisa
berhasil pengobatan pada tahun 2015, namun ditanyakan saat ini. Hal tersebut
yang membuat dari kedua puskesmas memiliki pengetahuan baik, dikarenakan
pada saat sebelumnya pasien sudah terpapar informasi terkait TB.
Setelah dilakukan analisis lebih lanjut untuk melihat distribusi proporsi
pengetahuan pasien terkait setelah menjalani pengobatan dan dinyatakan berhasil
pengobatan agar tidak tertular kembali, didapatkan bahwa sebagian besar pasien
86
TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Kecamatan Ciputat sudah
menjawab benar. Proporsi pasien yang menjawab benar sebanyak 64 pasien
(85,3%)
Selain itu, hanya dari beberapa pasien yang menjawab tidak benar (14,7%)
dan yang menjawab terkait menjaga kondisi fisik rumah agar terkena sinar cahaya
matahari tanpa harus menjaga kondisi fisik tubuh seperti mengkonsumsi makanan
yang bergizi sebanyak lima pasien. Sedangkan yang hanya menjawab dengan
menjaga kondisi fisik tubuh seperti mengkonsumsi makanan sehat tanpa menjaga
kondisi fisik rumah adalah enam pasien. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa pasien telah mendapatkan pengetahuan dan pemahaman secara baik pada
saat menjalani pengobatan, agar pasien tersebut tidak dapat tertular kembali.
6.4 Gambaran Jenis PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Pada tahun 1995-an WHO telah mengembangkan strategi program
pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan
penyembuhan pasien. Prioritas diberikan pada pasien TB paru BTA (+) yang
menular sangat cepat.
Dalam peningkatan penyembuhan pasien dibutuhkan seorang PMO yang
telah dipercayai oleh pasien dan petugas kesehatan. Adapun orang yang berhak
menjadi seorang PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada
petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
87
guru, anggota PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
(Kemenkes RI, 2014a).
PMO sudah ditetapkan atas keputusan bersama antara pasien dan petugas
kesehatan. PMO sebaiknya adalah orang yang terdekat dengan pasien (tinggal
satu rumah atau dekat dengan rumah pasien), sehingga pengawasan dalam
pengobatan akan lebih teratur dan bisa mengawasi pasien setiap harinya (Hadifah,
2009). Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten
Wonosobo, bahwa semakin tinggi peran PMO dari keluarga, maka akan diikuti
oleh membaiknya perilaku pasien TB untuk pasien dapat teratur dalam menelan
OAT, sehingga pasien tersebut bisa sembuh dan dapat melakukan pencegahan
penularan kepada orang lain (Istiawan Rochmati dkk 2006).
Keluarga juga dapat memberikan dukungan dengan cara menemani pasien
berobat, mengingatkan tentang berobat secara teratur dan memberi makanan
maupun nutrisi bagi penderita TB selama menjalani pengobatan (Kaulagekear-
Nagarkar dkk 2012). Selain itu, menurut Limbu dan Marni (2006) dalam Jufrizal
dkk (2016) menyebutkan bahwa peran dari keluarga dapat memberikan partisipasi
terhadap proses pengobatan penderita TB paru, seperti halnya membantu
penderita melakukan pemeriksaan dahak di laboratorium, pemenuhan kebutuhan
penderita, mengingatkan penderita untuk minum obat dan melakukan
pengambilan obat untuk pesediaan, serta mengantarkan penderita malakukan
pengontrolan di puskesmas.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar PMO pasien yang
berhasil pengobatan berasal dari keluarga. Dikarenakan pada saat pertama kali
88
pasien didiagnosis dengan hasil pemeriksaan dahak pertama kali sebagai kasus TB
BTA (+) maupun BTA (-) yang didukung dengan hasil rontgen, dan setelah itu
akan menjalani pengobatan.
Pada saat akan menjalankan pengobatan, dari petugas pemegang program
TB menyarankan untuk adanya seorang pendamping yang berasal dari keluarga
atau tetangga dekat dari pasien yang telah dipercayai pasien dan petugas
kesehatan untuk diberikan arahan dan informasi terkait keteraturan pemeriksaan
dahak selama pengobatan, cara mengeluarkan dahak bagi pasien yang merasakan
kesulitan, serta teratur dalam menelan obat dan tepat waktu untuk mengambil obat
jika habis.
Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan di Aceh, bahwasanya peran keluarga sebagai PMO dengan
kategori baik sebesar 86% dapat membuat pasien berhasil pengobatan, daripada
peran keluarga tidak baik hanya 23,1% dapat mempengaruhi pasien berhasil
pengobatan. Peran keluarga secara baik dapat meningkatkan keberhasilan
pengobatan penderita TB paru, baik dalam keberhasilan kelengkapan penderita
dalam minum obat, hasil pemeriksaan dahak menunjukkan negatif pada akhir
pengobatan, maupun dapat meningkatkan berat badan penderita TB saat menjalani
pengobatan (Jufrizal dkk 2016).
6.5 Gambaran Peran PMO Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan
Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Seperti diketahui bahwa PMO memberikan peranan penting dalam
keberhasilan pengobatan TB paru. Seorang PMO memiliki peran sebagai 1)
89
Mengawasi pasien tuberkulosis agar menelan obat secara teratur sampai selesai
masa pengobatannya, 2) Memberikan dorongan kepada pasien agar mau berobat
secara teratur, 3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan, 4) Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien
tuberkulosis yang mempunyai gejala tersangka TB agar memeriksakan kepada
petugas kesehatan terdekat, 5) Membantu atau mendampingi pasien dalam
pengambilan OAT di pelayanan kesehatan 6) Membantu petugas kesehatan dalam
rangka memantau perkembangan penyakit tuberkulosis di desanya (Nizar, 2010).
Seorang PMO harus mempunyai pengetahuan atau informasi tentang
tuberkulosis, Penyebab TB, cara penularan TB, gejala TB, pencegahan TB,
anggapan masyarakat yang salah tentang TB (bukan keturunan atau kutukan), TB
dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur, dan efek samping dari OAT. Yang
mana informasi tersebut disampaikan kepada pasien maupun keluarga pasien yang
dipilih sebagai PMO. (Kemenkes RI, 2014).
Dari hasil penelitian diketahui bahwasanya secara keseluruhan pasien TB
Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan sebagian besar pasien telah mendapatkan
peran PMO. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian sebelumnya di
Puskesmas Purwodadi, bahwasanya tingkat kesembuhan dari pasien yang telah
mendapatkan peran PMO dari keluarga secara baik sebesar 89,7%, dikarenakan
peran dan dukungan emosional dari PMO yang berasal dari keluarga memberikan
semangat dan mempunyai andil yang besar dalam kesembuhan pengobatan pasien
TB Paru BTA (+) (Harnanik, 2016).
90
Dari hasil wawancara dengan pasien, bahwasanya PMO sangat memiliki
peranan penting bagi pasien, seperti jika pasien sedang sakit atau tidak bisa ke
Puskesmas untuk mengambil obat, maka PMO bisa menggantikan pasien untuk
mengambil obat ke puskesmas. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian
bahwasanya sebesar 90,7% PMO mendampingi pasien dalam pengambilan OAT,
dikarenakan sebagian besar dari PMO pasien berasal dari keluarga, sehingga
PMO memberikan peranan penting untuk mengingatkan pasien maupun
mendampingi pasien jika sedang berhalangan untuk mengambil OAT ke
Puskesmas jika sudah habis.
6.6 Gambaran Akses dari Rumah Ke Pelayanan Kesehatan pada Pasien TB
Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang Berhasil di Wilayah Kecamatan
Ciputat Tahun 2015
Akses pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau dapat meningkatkan
kemanfaatannya. Menurut andersen dalam Notoadmojo (2007) bahwasanya ada
tiga hal penting dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan antara lain 1) mudahnya
menggunakan pelayanan yang tersedia 2) adanya faktor-faktor yang menjamin
terhadap pelayanan kesehatan yang ada, dan 3) adanya kebutuhan untuk ke
pelayanan kesehatan. Selain itu, menurut Dever (1984) bahwasanya faktor yang
mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan dalam pencarian pengobatan
untuk meningkatkan kesehatan, dipengaruhi oleh keterjangkauan lokasi yang
berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu yang dapat diukur melalui
jarak tempuh, waktu tempuh, dan biaya.
91
Dari hasil penelitian diketahui bahwa akses pasien TB Paru BTA (+) yang
berhasil pengobatan menempuh waktu selama kurang dari 30 menit menggunakan
kendaraan. Hal tersebut didukung dengan penelitan yang dilakukan di RS
Persahabatan Jakarta bahwasanya sebagian besar pasien TB paru sebesar 86%
ternyata memilih fasilitas kesehatan yang terdekat dari rumahnya untuk
melakukan pengobatan dengan waktu tempuh kurang dari 30 menit menggunakan
kendaraan (Aditama, 2008).
6.7 Gambaran Motivasi Pasien TB Paru BTA (+) dengan Pengobatan Yang
Berhasil di Wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015
Motivasi merupakan keinginan yang terdapat pada diri seorang individu
yang mendorongnya melakukan tindakan untuk mencapai suatu tujuan (Terry and
Leslie W.Rue, 2009). Motivasi tersebut dapat timbul dari dalam diri sendiri,
maupun pengaruh dari luar individu karena adanya ajakan, suruhan atau paksaan
dari orang lain. Oleh karena itu, motivasi yang diperoleh dari dalam diri sendiri
maupun dari luar dapat membentuk individu tersebut untuk berperilaku sehat dan
menuntutnya untuk sembuh dari penyakit yang dideritanya.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar motivasi pasien TB
Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Kecamatan Ciputat memiliki motivasi
tinggi. Hasil penelitian tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Eka Hospital BSD Tangerang, bahwasanya pasien dengan motivasi
kesembuhan rendah sebesar 36,2% untuk tidak patuh minum OAT, daripada
pasien dengan motivasi kesembuhan tinggi maka patuh minum OAT (29,3%)
(Margaretha, 2012).
92
Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien yang berhasil pengobatan TB
paru, bahwasanya selama pengobatan pasien memiliki keinginan atau dorongan
dari diri sendiri untuk sembuh, walaupun ada dari beberapa pasien selama
pengobatan mengalami efek samping OAT (mual, muntah dan demam). Selain itu
juga, karena adanya tuntutan dari keluarga seperti tuntutan seorang laki-laki harus
tetap bekerja untuk menunjang kehidupan keluarganya, dan perempuan sebagai
ibu rumah tangga harus mengurus keluarganya, sehingga membuat pasien menjadi
termotivasi untuk teratur dalam berobat yang mengakibatkan pasien bisa berhasil
pengobatan.
Motivasi yang didapatkan selama pengobatan, tidak hanya dari individu
saja. Sebagian besar pasien mendapatkan motivasi atau dukungan dari keluarga,
terutama keluarga yang menjadi PMO untuk pasien. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan telah
mendapatkan motivasi tinggi dari keluarga.
Menurut Niven (2002) bahwa salah satu yang dapat mendukung kepatuhan
pada pasien adalah faktor lingkungan dan sosial yang berarti membangun
dukungan sosial dengan keluarga maupun teman. Dalam hal ini keluarga
memberikan dukungan seperti mengingatkan untuk kontrol, minum obat secara
teratur dan memperhatikan keluhan pasien. Oleh karena itu motivasi dari keluarga
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan pada pasien.
Setelah dilakukan analisis lebih lanjut bahwasanya motivasi dari keluarga
tinggi di Kecamatan Ciputat, dikarenakan sebagian besar PMO pasien berasal dari
93
keluarga (71,1%). Selain itu, bukan hanya dari keluarga dekat pasien yang
memberi dukungan, akan tetapi tetangga dari pasien tersebut juga ikut berperan,
seperti halnya memberikan semangat kepada pasien agar bisa sembuh dan sering
menemani pasien untuk mengambil obat ke puskesmas jika obatnya sudah habis,
sehingga membuat pasien menjadi termotivasi untuk bisa sembuh dan pengobatan
lengkap.
Selain motivasi dari keluarga, motivasi dari petugas kesehatan juga
diperlukan untuk menunjang pasien teratur kontrol berobat ke puskesmas dan
nantinya bisa berhasil pengobatan. Dikarenakan angka keberhasilan pengobatan di
Puskesmas merupakan salah satu indikator dari program nasional yang dapat
menentukan program pengendalian TB di Puskesmas tersebut sudah berhasil. Jika
di wilayah puskesmas tersebut angka keberhasailnya tinggi, maka dapat
memutuskan rantai penularan TB di wilayah puskesmas yang berdampak pada
penurunan kejadian kasus TB..
Dari hasil penelitian diketahui bahwa motivasi dari petugas kesehatan
pada pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Kecamatan Ciputat
mendapatkan motivasi tinggi. Hasil penelitian tersebut didukung dengan
penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pasien yang mendapatkan motivasi
cukup dari petugas kesehatan (46,5%) dapat mendorong pasien untuk teratur
berobat daripada pasien yang mendapat motivasi rendah hanya (9,3%) untuk
teratur berobat (Pandapotan dkk., 2015).
Dukungan petugas kesehatan memberikan pengaruh terhadap kepatuhan
pasien. Pasien yang telah mendapatkan dukungan motivasi dari petugas kesehatan
94
untuk selalu tepat waktu mengambil obat ke puskesmas dan memperhatikan
perkembangan kesehatan pasien TB, maka pasien TB tersebut akan merasa
diperhatikan oleh petugas dan menerima semua anjuran petugas selama
pengobatan (Darmawanti, 2014).
Dari hasil wawancara pada salah satu pasien, bahwasanya sebagian besar
pasien TB paru BTA (+) yang berhasil pengobatan yang sering berperan itu lebih
ke petugas kesehatan, seperti mengingatkan pasien untuk melakukan pemeriksaan
dahak ke puskesmas, memberitahu efek samping obat dan risiko yang dialami jika
pasien tidak minum obat. Dibandingkan pada keluarga biasanya hanya memberi
motivasi atau berperan seperti mengingatkan minum obat dan makan-makanan
yang sehat yang harus dikonsumsi pasien, tanpa mengingatkan yang lainnya .
Dari pemaparan tersebut diketahui bahwa selain pentingnya motivasi dari
petugas kesehatan, motivasi dari keluarga juga sangat dibutuhkan untuk pasien
bisa berhasil pengobatan, dikarenakan keluarga selalu mempunyai waktu lebih
lama dengan pasien, sehingga bisa memotivasi pasien untuk berobat secara
teratur, dan keluarga juga dapat memberikan dukungan moril maupun materi
terhadap pengobatan yang dijalani pasien.
95
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Adapun simpulan dari penelitian terkait karakteristik pasien TB Paru
BTA (+) dengan pengobatan yang berhasil di Kecamatan Ciputat antara lain :
1. Proporsi pasien TB Paru BTA (+) yang berhasil pengobatan di Puskesmas
Kampung Sawah sebanyak 51 pasien (68%) dan di Puskesmas Ciputat
sebanyak 24 pasien (32%)
2. Berdasarkan karakteristik individu pasien yang berhasil pengobatan di
Kecamatan Ciputat sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (60%), tipe
pasien baru dan kategori pengobatan satu (98%), denga rata-rata
pendidikan menempuh selama 6 tahun, dan memiliki pengetahuan baik
(53,3%) dikarenakan telah menjawab benar ≥ 75% pertanyaan
pengetahuan, dan sebagian besar umurnya produktif (49,3%), sebagian
besar bekerja (57,3%) dengan penghasilan ≥ Rp 1.500,000 per bulannya
(60%).
3. Berdasarkan PMO, sebagian besar berasal dari keluarga (61,3%) dan telah
mendapatkan motivasi tinggi dari diri pasien (45%) dari keluarga (51%)
dan mendapat motivasi tinggi dari petugas kesehatan (46%).
4. Motivasi dari keluarga sangat penting bagi keberhasilan pengobatan pada
pasien, terutama keluarga yang menjadi PMO. Dikarenakan keluarga
merupakan orang yang paling dekat dan selalu berada dengan pasien,
96
sehingga keluarga bisa selalu mengawasi, mengingatkan untuk teratur
minum obat, mengingatkan untuk melakukan pemeriksaan dahak,
membantu pengambilan OAT ke Puskesmas dan dapat memberikan
dukungan penuh berupa materi dan moril yang nantinya dapat membuat
pasien bisa sembuh dan pengobatan lengkap.
7.2 Saran
Adapun saran dari peneliti terkait gambaran keberhasilan pengobatan
pada pasien TB Paru BTA (+) di Kecamatan Ciputat antara lain :
1. Bagi Puskesmas
a. Diharapkan petugas kesehatan khususnya pemegang program TB,
aktif dalam upaya keteraturan pengobatan bagi penderita TB Paru
BTA (+) dengan melakukan pelacakan bagi pasien yang mengalami
dropout, agar dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan pada
pasien dan dapat memutuskan rantai penularan TB yang berdampak
pada penurunan kejadian kasus TB.
b. Untuk PMO pasien TB Paru BTA (+) lebih diprioritaskan kepada
keluarga, dikarenakan keluarga merupakan orang yang paling dekat
dan mempunyai waktu lebih banyak dengan pasien. Sehingga keluarga
lebih berperan penting dalam mengawasi pasien untuk teratur berobat
dan menelan obat sesuai yang telah dianjurkan petugas kesehatan.
97
2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Memfasilitasi dan mengarahkan puskesmas untuk memberikan
informasi dan edukasi kepada PMO terutama PMO yang berasal dari
keluarga.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Diharapkan peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian terkait
keberhasilan pengobatan TB Paru dengan melihat faktor dari
pelayanan kesehatannya.
b. Untuk melakukan penelitian dengan desain case control dengan
melihat perbedaan gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien
TB Paru yang berhasil pengobatan dengan pasien yang tidak berhasil
pengobatan.
98
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Buku Kompas,
Jakarta.
Aditama, T.., 2002. Tuberkulsosis Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya Edisi ke-4.
Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
Aditama, T.Y., 2008. Tuberkulosisi Masalah dan Perkembangannya 57 Th, VI.
A. Faustini, Hall, A.J., C.A. Perucci, 2005. Tuberculosis treatment outcomes in
Europe: a systematic review. Eur. Respir. J.
doi:10.1183/09031936.05.00103504
Amira, P., 2005. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS (Skripsi).
FK USU, Medan.
Amiruddin, 2006. Faktor Keberhasilan Konversi Pada Penderita TB Paru di
Puskesmas Jongaya Tahun 2006 (Skripsi). UNHAS, Makassar.
A. Nakanwagi-Mukwaya, Reid, A.J., P. I. Fujiwara, Mugabe, F., R. J. Kosgei,
Tayler-Smith, K., W. Kizito, 2013. Characteristics and treatment outcomes
of tuberculosis retreatment cases in three regional hospitals, Uganda. Int.
Union Tuberc. Health Solut. Poor Vol. 3 No. 2.
doi:http://dx.doi.org/10.5588/pha.12.0105
99
A. Nakanwagi-Mukway, Reid, A.J., P. I. Fujiwar, Mugabe, F., R. J. Kosge,
Tayler-Smith, K., W. Kizito, 2013. Characteristics and treatment outcomes
of tuberculosis retreatment cases in three regional hospitals, Uganda. Int.
Union Tuberc. Health Solut. Poor. Int Union Tuberc Health Solut 3(2).
doi:doi:http://dx.doi.org/10.5588/pha.12.0105
Azwar, S., 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Balitbangkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Bastable, 2002. Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-Prinsip Pengajaran dan
Pembelajaran. EGC, Jakarta.
Belay Tessema, Muche, A., Assegedech Bekele, Reissig, D., Frank Emmrich,
Ulrich Sack, 2009. Treatment outcome of tuberculosis patients at Gondar
University Teaching Hospital, Northwest Ethiopia. A five - year
retrospective study. BioMed Cent. doi:10.1186/1471-2458-9-371
Berhe, G., Fikre Enquselassie, Abraham Aseffa, 2012. Treatment outcome of
smear-positive pulmonary tuberculosis patients in Tigray Region,
Northern Ethiopia. BioMed Cent.
Bertin Tanggap Tirtana, 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resisten Obat
Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah (Artikel Ilmiah). UNDIP.
100
Darmawanti, 2014. Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan
Terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas
Sunggal Medan Tahun 2014. (Tesis). USU, Medan.
Dinkes Tangerang Selatan, 2015. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Tangerang
Selatan.
Dooely, K., Lahlaou, Ghali, Knudsen, El Aoud, 2011. Risk factors for
tuberculosis treatment failure, default, or relapse and outcomes of
retreatment in Morocco. Biomed Cent.
Faustini A., A.J, H., C.A. Perucci, 2005. Tuberculosis treatment outcomes in
Europe: a systematic review. Eur Respir J.
doi:doi:10.1183/09031936.05.00103504
Fauziyah, N., 2010. Faktor Yang Berhubungan Dengan Dropout Pengobatan Pada
Penderita TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Salatiga
(Skripsi). UNNES, Semarang.
Felly, Philipus, 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat
Penderita TB Paru di Puskesmas Depok. Buletin Penelitian Kesehatan
Vol.30 No.1.
Firdaus, K.M., 2012. Pngaruh PMO Terhadap Keberhasilan Pengobatan TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta.
101
Hadifah, Z., 2009. Pemenuhan tugas pengawas Menelan Obat (PMO) bagi
Penderita Tuberkulosis (TB) Sebagai Indikator Penyakit Menular di
Puskesmas Kota Sigli. Aceh.
Harnanik, 2016. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pengobatan TB Paru di Puskesmas Purowdadi II Kabupaten Grobogan
(Skripsi). Yogyakarta.
Hastono, S.P., 2016. Analisis Data Bidang Kesehatan. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Hayati, D., Elly Musa, 2016. Hubungan Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO)
dengan Kesembuhan Penderit TB di Puskesmas Arcimanik Bandung. J.
Ilmu Keperawatan Vol.4 No.1.
Imelda Atika, Munir, S.M., Inayah, 2015. Gambaran Angka Kesembuhan Pasien
Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Petala Bumi
PekanBaru Periode Januari 2011-Desember 2013. JOM FK 2 No. 1.
Istiawan Rochmati, S, J., Adang, B, 2006. Hubungan Peran Pengawas Minum
Obat Oleh Keluarga dan Petugas Kesehatan terhadap Pengetahuan,
Perilaku Pencegahan dan Kepatuhan Klien TBC dalam Konteks
Keperawatan Komunitas di Kabupaten Wonosobo. J. Keperawatan
Soedirman 1 No.2.
102
Jufrizal, Hermansyah, Mulyadi, 2016. Peran Keluarga Sebagai Pengawas Minum
Obat (Pmo) Dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan Penderita
Tuberkulosis Paru.
Jumaelah, N., 2013. Hubungan Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap
Keberhasilan Pengobatan TB paru dengan DOTS di RSUP Dr, Kariadi
Semarang. Medica Hosp. 2 (1).
Kaulagekear-Nagarkar, Dhake, Preeti, 2012. Perspective of Tuberculosis Patients
on Family Support and care in Rural Maharashtra. Indian J. Tuberc. 224–
230.
Kemenkes RI, 2015a. Profil Kesehatan Indonesia.
Kemenkes RI, 2015b. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014.
Kemenkes RI, 2014a. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI, 2014b. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI, 2011a. Strategi Pengendalian TB Nasional 2010-2014. Jakarta.
Kemenkes RI, 2011b. Rencana Aksi Nasional Programmatic Management of
Drug Resistance Tuberculosis Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kholifah, N., 2009. Analis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesembuhan
Penderita TB Paru (Skripsi). UNNES.
103
Kurniawan, N., Siti Rahmalia, Ganis Indriati, 2015. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan TB Paru. JOM Vol.5 No.1.
Machfoedz, I., 2008. Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai Penyakit, Bagian
Dari Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, Sanitasi Perkotaan
dan Pedesaan. Yogyakarta.
Maesaroh, S., 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat
Pasien Tuberkulosis Paru di Klinik Jakarta Respiratory Centre PPTI tahun
2009 (Skripsi). UIN Jakarta, Jakarta.
Margaretha, 2012. Hubungan Motivasi Kesembuhan dengan Kepatuhan Minum
Obat Pada Pasien TB Paru Dewasa di RS Eka Hosipital BSD (Skripsi).
Esa Unggul, Jakarta.
Mengistu Endris, Moges, F., Yeshambel Belyhun, EleniWoldehana, Ahmed
Esmael, Chandrashekhar Unakal, 2014. Treatment Outcome of
Tuberculosis Patients at Enfraz Health Center, Northwest Ethiopia: A
Five-Year Retrospective Study. Hindawi Publ. Corp.
doi:http://dx.doi.org/10.1155/2014/726193
Nasution, S.D., 2015. Malnutrisi dan Anemia Pada Penderita Tuberkulosis.
Majority 4 (08).
Natalia, N. asitrit, Indri Hapsari, Ika Yuni, 2012. Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis di Puskesmas Sukaroja
tahun 200-2011. PHARMACY Vol.09 No.3.
104
Neil, N., 2000. Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat & Profesional
Kesehatan Lain. EGC, Jakarta.
Nizar, M., 2010. Pemberantasan dan Penanggulangan Tuberkulosis. Gosyen
Pubishing, Yogyakarta.
Notoadmojo, S., 2012. Promosi Kesehatan & Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta,
Jakarta.
Nurjana, M.A., 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia Produktif
(15-49 tahun) di Indonesia. Media Litbangkes Vol.25 No.3, 165–170.
Nurmadya, Medison, I., Hafni Bachtiar, 2015. Hubungan Pelaksanaan Strategi
Directly Observed Treatment Short Course dengan Hasil Pengobatan
Tuberkulosis Paru Puskesmas Padang Pasir Kota Padang 2011-2013. J.
Kesehat. Andalas 4 (1).
Okanurak, K., Kitayaporn, P.Akarasewi, 2008. Factors contributing to treatment
success among tuberculosis patients: a prospective cohort study in
Bangkok. INT Journal Tuberculosis Lung Disease 1160–1165.
Pandapotan, Kintoko, Alam Bakti, 2015. Gambaran Peran Serta Petugas
Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan
Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014. USU, Medan.
PKM Kampung Sawah, 2016. Profil Puskesmas Kampung Sawah Tahun.
Puskesmas, Tangerang Selatan.
105
Prasetya, J., 2009. Hubungan Motivasi Pasien TB Paru dengan Kepatuhan dalam
Mengikuti Program Pengobatan TB DOTS di WIlayah Puskemas Genuk
Semarang. Visikes Vol.08 No.1.
Ruditya, D., 2015. Hubungan Antara Karateristik Pendrita dengan Kepatuhan
Memeriksakan Dahak Selama Pengobatan. Berkala Epidemiologi 3 No.02.
Spencer, Lyle M., 1993. Competence Work: Model for Superior Performance.
John Willy & Sons, Canada.
Subakhti, Arneliwati, Erwin, 2011. Hubungan Dukungan Keluarga dengan
Tindakan Penderita TB Paru Melakukan Kontrol Ulang di Puskesmas
Sidomulyo. UNRI, Riau.
Sugiyono, 2010. Statistika Untuk Penelitian. IKAPI, 2010.
Sukana, Heryanto, Supraptini, 2010. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Pengetahuan
Penderita TB Paru di Kabupaten Tangerang. Tangerang.
Terry, G.R., Leslie W.Rue, 2009. Dasar-Dasar Manajemen. Bumi Aksara, Jakarta.
Tri Hartini, Sarumpaet, S.M., Rasmaliah, 2012. Karakteristik Penderita
Tuberkulosis Paru BTA Positif dan Hasil Pengobatannya di Poli Paru
RSUD Deli Serdang Tahun 2011-2012. USU, Medan.
WHO, 2015. Global Tuberculosis Report.
WHO, 2014. Global Tuberculosis Report.
106
Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Erlangga, Jakarta.
Z. G. Dememew, Habte, D., M. Melese, Hamusse, S.D., G. Nigussie, 2016.
Trends in tuberculosis case notification and treatment outcomes after
interventions in 10 zones of Ethiopia. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 20 (9).
doi:http://dx.doi.org/10.5588/ijtld.16.0005
LAMPIRAN
Lampiran 1 surat izin penelitian
Lampiran 2 Kuesioner
INFORMED CONSENT
Assalamualaikum Wr.Wb
Saya mahasiswi Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sedang
melakukan penelitian terkait gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien
tuberkulosis paru BTA (+)di Pukesmas Kampung Sawah dan Puskesmas Ciputat
Tahun 2015
Dalam penelitian ini, Bapak/ibu terpilih sebagai responden/partisipan
penelitian berdasarkan laporan data formulir TB 01 dari Puskesmas Kampung
Sawah dan Puskesmas Ciputat. Bapak/ibu diharapkan dapat memberikan
informasi terkait umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, peran
PMO, Jenis PMO, motivasi dan akses yang ditempuh pada saat ke pelayanan
kesehatan. Pertanyaan dari beberapa kuesioner ini bersifat sedikit sensitif,
sehingga Bapak/ibu tidak perlu khawatir untuk ikut berpartisiapasi dalam
penelitian ini, karena kami akan menjaga kerahasiaan dari informasi yang
Bapak/ibu berikan.
Penelitian ini nantinya juga bermanfaat pada pemegang program TB di
Puskesmas Kampung Sawah dan ciputat, sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan terutama dalam peningkatan edukasi dan promosi
kesehatan terkait TB paru BTA (+) dan pentingnya untuk melakukan pengobatan
secara lengkap dan teratur. Oleh karena itu, partisipasi dari Bapak/ibu untuk
melakukan penelitian ini sangat diharapkan. Namun, Bapak/ibu mempunyai hak
kebebesan untuk menyetujui ataupun menolak sebagai partisipan penelitian.
Kejujuran informasi dari Bapak/ibu sangat kami harapkan. Jika ada
kesulitan dan perlu untuk dipertanyakan, silahkan menghubungi.
Dengan ini saya menyatakan setuju untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini
Tangerang Selatan, 2017
Partisipan
( )
IR. Identitas Responden
Ientitas Responden (IR)
Tanggal Pengisian
Kuesioner
IR1 Nama
IR2 No.Telepon ______________________________
IR3 Alamat JL._______________RT___RW___K
ELURAHAN_______
IR4 Tanggal lahir Tanggal_____Bulan____Tahun____
IR5 Umur
IR6 Jenis Kelamin 1.Laki-laki
2.Perempuan
( )
IR7 Pendidikan terakhir 1. Tidak bersekolah
2. SD
3. SMP
4. SMA
5.Perguruan Tinggi
( )
IR8 Pekerjaan 1.Tidak bekerja
2.Buruh
3.Wiraswasta/pedagang/pelayan/jasa
4. PNS
5.Pegawai Swasta
6.Pelajar
( )
IR9 Tipe Pasien 1.Pasien baru
2.Pasien kambuh
3.Paisen gagal
4.Pasien putus berobat
( )
IR10 Kategori pengobatan 1.Kategori 1
2.Kategori 2
( )
IR11 Pengeluaran pasien
perbulan
( )
IR12 Jenis PMO 1.keluarga
2.petugas kesehatan
IR13 Akses pasien ke pelayanan
kesehatan selama
pengobatan
1.lebih dari 60 menit menggunakan
kendaraan
2.30-60menit menggunakan kendaraan
3.kurang dari 30 menit menggunakan
kendaraan
4. kurang dari 30 menit jalan kaki
( )
A. Pengetahuan
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan cara melingkari jawaban menurut
anda yang benar
1. Menurut anda penyakit tuberkulosis paru disebabkan oleh ?
a. Kutukan dari Tuhan
b. Adanya virus dan terpapar oleh asap kendaraan
c. Adanya kuman atau bakteri
d. Semua salah
2. Penularan penyakit TB Paru melalui ?
a. Udara
b. Pakaian
c. Makanan/minum
d. Kontak kulit
3. Menurut anda penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular kepada anggota
keluarga lain karena :
a. Memakai pakaian keluarga anda yang terkena TB
b. Berdekatan dan kontak kulit dengan keluarga anda yang terkena
TB
c. Berbicara dengan menggunakan masker pada penedrita
tuberkulosis
d. Terhirup percikan ludah atau dahak penderita Tuberkulosis
4. Bagaimana Pemeriksaan diagnosis pasien yang masih terduga mengidap
penyakit TB paru maka dilakukan dengan cara ?
a. Pemeriksaan dahak pasien dengan 3 kali ( Sewaktu-Pagi-Sewaktu)
dan didukung dengan hasil rontgen
b. Pemeriksaaan rontgen saja
c. Langsung diberikan obat TB tanpa melakukan pemeriksaan dahak
d. b & c benar
5. Menurut yang anda ketahui, pengobatan untuk TB Paru sebaiknya ?
a. Minum obat secara teratur selama 6 bulan untuk pasien baru, dan
pengobatan 8 bulan untuk pasien kambuh, gagal, putus berobat
sampai dinyatakan sembuh.
b. Tidak boleh berhenti sebelum pengobatan selesai
c. Boleh berhanti apabila obat tidak tersedia
d. a & b benar
6. Menurut saudara apakah tujuan dari pengobatan TB Paru ?
a. Menyembuhkan pasien TB Paru
b. Mencegah kematian akibat TB Paru
c. Dapat menularkan kepada orang lain
d. a & b benar
7. Berapa lama pengobatan TB harus anda jalani agar bisa sembuh dari
penyakit ?
a. 2 bulan
b. 4 bulan
c. 6 bulan dan 8 bulan untuk pasien kambuh, gagal dan putus berobat
d. Semua benar
8. Pasien dengan menjalani pengobatan TB minimal selama 6 bulan
dikategorikan sebagai ?
a. Pasien baru
b. Pasien gagal
c. Pasien putus berobat
d. Pasien kambuh
9. Menurut anda, apa yang anda lakukan jika anda sudah berhasil pengobatan
dari penyakit TB Paru agar tidak tertular kembali ?
a. Menjaga kondisi fisik rumah dan lingkungan sekitarnya tetap
bersih dan terkena cahaya sinar matahari
b. Tidak memakai masker saat berkomunikasi dengan pasien TB
c. Menjaga kondisi fisik tubuh agar tetap sehat degan mengkonsumsi
makanan yang sehat
d. a & c benar
10. Sebelumnya pada masa anda menjalani pengobatan, menurut anda selain
minum obat secara teratur dan lengkap agar cepat sembuh, sebaiknya apa
yang anda lakukan ?
a. banyak istirhat terutama ditempat yang sejuk tidak terkena sinar
cahaya matahari
b. tetap merokok, bila anda perokok
c. makan makanan bergizi
d. banyak istirahat terutama ditempat dengan ventilasi baik terkana
cahaya sinar matahari, makan teratur dengan makanan yang sehat
dan bergizi.
11. Sebelumnya pada masa anda menjalani pengobatan, menurut anda
Pemeriksaan ulang dahak selama menjalani pengobatan dilakukan berapa
kali ?
a. Sebanyak 5 kali (pertama kali datang, akhir minggu ke 5, pada
akhir pemberian obat sisipan bagi pasien yg mengalami konversi,
akhir bulan kelima, dan akhir pengobatan)
b. Sebanyak 3 kali (pertama kali datang, akhir minggu kelima, akhir
pengobatan)
c. Tidak dilakukan pemeriksaan dahak lagi
d. Semua salah
12. Sebelumnya pada masa anda menjalani pengobatan, menurut anda pasien
TB Paru dengan pengobatan yang berhasil adalah ?
a. Pasien yang sudah sembuh
b. Pasien yang sembuh dan pengobatan lengkap sesuai anjuran
petugas kesehatan
c. Pasien yang sudah sembuh dan pengobatan tidak sampai habis
d. Pasien dengan pengobatan lengkap
B. Peran PMO
Berilh tanda cheklist (√) pada masing-masing pertanyaan dibawah ini
terkait peran PMO yang diberikan kepada Bapak/ibu ketika Bapak/ibu
masih dalam pengobatan TB.
No Peran PMO Ya Tidak
1. Apakah PMO selalu mengingatkan
saudara agar menelan obat secara teratur
atau setiap hari sampai selesai masa
pengobatannya
2. Apakah PMO Memberikan dorongan
kepada saudara agar mau berobat secara
teratur
3. Apakah PMO mengingatkan kepada
saudara untuk periksa ulang dahak pada
waktu yang telah ditentukan
4. Apakah PMO juga memberikan
penyuluhan pada anggota keluarga pasien
TB yang mempunyai gejala suspek TB
untuk segera memeriksakan diri ke
puskesmas terdekat
5. Apakah PMO Membantu atau
mendampingi saudara dalam
pengambilan OAT di pelayanan
kesehatan
6. Apakah PMO pernah menyampaikan
kepada saudara bahwa penyakit TB Paru
dapat disembuhkan.
7. Apakah PMO menginformasikan terkait
efek samping yang akan ditimbulkan saat
menelan OAT TB
8. Apakah PMO juga menginformasikan
terkait tindakan yang akan dilakukan
apabila terjadi efek samping obat
9. Apakah PMO menginformasikan terkait
risiko yang akan dialami ketika menelan
obat tidak secara teratur
10. Apakah PMO menginformasikan kepada
saudara tentang tata cara pengobatan TB
secara lengkap
C. MOTIVASI
Petunjuk pengisian : Berikan tanda centang (√) pada masing-masing
pernyataan yang menurut anda paling sesuai.
Keterangan:
SS= Sangat Setuju
S = Setuju
RR= Ragu-Ragu
TS = Tidak Setuju
STS= Sangat Tidak Setuju
No. Pernyataan SS S RR TS STS
Motivasi Pasien
C1. Saya selalu makan-makanan bergizi
selama menjalani pengobatan TB
seperti minum susu, makan sayur,
makan daging dll
C2. Saya selama minum OAT (obat anti
TB) bekerja keras setiap hari, seperti
berladang, bekerja sebagai buruh
bangunan dll
C3. Selama pengobatan saya teratur untuk
kontrol dan mengambil OAT
kepuskesmas walaupun sedang
demam
C4. Selama pengobatan saya tetap
mengambil OAT dan kontrol ke
puskesmas menggunakan kendaraan
umum, dikarenakan tidak punya
kendaraan sendiri.
C5. Selama pengobatan saya berusaha,
berdoa dan pasrah untuk selalu
bersyukur kepada Tuhan
C6. Pengobatan TB paru sangat
membosankan karena membutuhkan
waktu yang lama
C7. Efek samping dari OAT TB (mual,
menggigil, muntah dll) dapat
mengganggu aktifitas sehari-hari
saya.
Motivasi Keluarga
C8. Selalu diingatkan oleh keluarga untuk
minum OAT secara teratur dan
mengambil kembali ke puskesmas
jika sudah habis
C9. Keluarga saya sering menemani saya
saat kontrol ke puskesmas
C10. Dukungan keluarga terhadap
pengobatan saya sangat besar
C11. Kesembuhan saya sangat diharapkan
oleh keluarga
C12. Selama pengobatan keluarga saya
menginformasikan tentang manfaat
dan risiko jika saya tidak patuh
minum OAT
C13. Kelurga saya acuh terhadap
pengobatan TB yang saya jalani
C14. Keluarga saya tidak perduli apakah
saya sudah minum OAT atau belum
Motivasi petugas kesehatan
C15. Petugas dalam melayani saya selama
pengobatan cukup baik
C16. Petugas juga selalu bertindak tegas
kepada saya jika tidak mengikuti
arahannya
C17. Petugas sering memberikan
penjelasan tentang apa saja yang
harus dilakukan selama menjalani
pengobatan agar cepat sembuh seperti
dilarang merokok, makanan bergizi,
dll
C18. Petugas sering menyampaikan untuk
megambil OAT dan memeriksakan
dahak kembali selama menjalani
pengobatan
C19. Petugas jarang menyampaikan
penjelasan seperti efek samping obat,
hal-hal yang harus dihindari selama
menjalani pengobatan
C20. Petugas kesehatan memberi
kesempatan kepada saya untuk
menyampaikan keluhan selama
menjalani pengobatan
C21. Petugas tidak pernah menanyakan
kemajuan penyakit saya dan keluhan
yang saya alami selama menjalani
pengobatan.
Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas
A. Pengetahuan
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.855 15
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
A1 11.5882 9.632 .556 .843
A2 11.6471 10.118 .247 .859
A3 11.5882 10.632 .068 .865
A4 11.6471 9.243 .625 .839
A5 11.6471 10.493 .095 .867
A6 11.6471 9.368 .569 .842
A7 11.6471 9.493 .513 .845
A8 11.7059 9.096 .608 .839
A9 11.5882 9.632 .556 .843
A10 11.6471 9.243 .625 .839
A11 11.6471 9.368 .569 .842
A12 11.7647 8.816 .664 .835
A13 11.6471 9.243 .625 .839
A14 11.5882 9.757 .493 .846
A15 11.5882 9.632 .556 .843
B. Peran PMO
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.892 10
Item-Total Statistics
Scale Mean
if Item
Deleted
Scale
Variance if
Item
Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if
Item
Deleted
B1 10.4118 5.882 .545 .890
B2 10.4706 5.640 .729 .874
B3 10.5882 6.007 .754 .874
B4 10.4706 6.265 .406 .899
B5 10.6471 6.493 .642 .884
B6 10.5882 6.257 .589 .884
B7 10.4706 5.765 .662 .880
B8 10.5882 6.007 .754 .874
B9 10.5882 6.257 .589 .884
B10 10.5294 5.640 .831 .867
C. Motivasi pasien
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.762 7
Item-Total Statistics
Scale Mean
if Item
Deleted
Scale
Variance if
Item
Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
C1_1 20.1765 14.654 .510 .733
C2_1 22.0588 11.309 .507 .743
C3_1 20.3529 13.243 .678 .698
C4_1 21.1765 13.654 .489 .732
C5_1 20.5294 12.890 .683 .693
C6_1 20.4118 14.632 .520 .731
C7_1 22.4706 15.265 .195 .796
D. Motivasi keluarga
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.841 7
Item-Total Statistics
Scale Mean
if Item
Deleted
Scale
Variance if
Item
Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if
Item
Deleted
C1_2 22.6471 16.993 .737 .806
C2_2 24.2941 13.721 .553 .833
C3_2 22.8235 16.654 .673 .810
C4_2 23.7059 16.346 .509 .835
C5_2 23.0000 16.875 .580 .822
C6_2 22.8824 17.235 .697 .811
C7_2 22.6471 16.993 .737 .806
E. Motivasi petugas kesehatan
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.860 7
Lampiran 4 Output SPSS Univariat
PKM
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Kampung sawah 51 68.0 68.0 68.0
Ciputat 24 32.0 32.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
Item-Total Statistics
Scale Mean
if Item
Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
C1_3 23.8824 11.985 .635 .840
C2_3 24.0588 12.934 .487 .858
C3_3 24.0588 11.184 .689 .832
C4_3 24.8824 11.235 .555 .856
C5_3 24.2353 11.066 .651 .838
C6_3 24.1176 11.610 .731 .828
C7_3 24.1765 11.904 .710 .832
Statistics
umur
N Valid 75
Missing 0
Mean 40.68
Median 42.00
Std. Deviation 13.418
Minimum 17
Maximum 65
Statistics
tamat_didik
N Valid 75
Missing 0
Mean 6.75
Median 6.00
Std. Deviation 4.334
Minimum 0
Maximum 12
Statistics
penghasilan
N Valid 75
Missing 0
Mean 1588.00
Median 1500.00
Std. Deviation 681.901
Minimum 500
Maximum 2850
pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak sekolah 27 36.0 36.0 36.0
SD 12 16.0 16.0 52.0
SMP 19 25.3 25.3 77.3
SMA 17 22.7 22.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
kategori_umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Remaja 12 16.0 16.0 16.0
Dewasa 37 49.3 49.3 65.3
Lansia 26 34.7 34.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
jenis_kel
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid laki-laki 45 60.0 60.0 60.0
perempuan 30 40.0 40.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
pekerja
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak kerja 32 42.7 42.7 42.7
bekerja 43 57.3 57.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
tipe_pasien
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid baru 73 97.3 97.3 97.3
kambuh 2 2.7 2.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
kat_obat
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid kategori 1 73 97.3 97.3 97.3
kategori 2 2 2.7 2.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
status_ekonomi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid lebihdarisamadengan 1500 45 60.0 60.0 60.0
kurangdari1500 30 40.0 40.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
skor_tahu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid baik 40 53.3 53.3 53.3
cukup 26 34.7 34.7 88.0
kurang 9 12.0 12.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
PMO
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Keluarga 46 61.3 61.3 61.3
Petugas kesehatan 29 38.7 38.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
Peran_PMO
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ya 72 96.0 96.0 96.0
tidak 3 4.0 4.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
motivasi_pasien
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tinggi 34 45.3 45.3 45.3
Sedang 29 38.7 38.7 84.0
Rendah 12 16.0 16.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
motivasi_keluarga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tinggi 38 50.7 50.7 50.7
Sedang 27 36.0 36.0 86.7
Rendah 10 13.3 13.3 100.0
motivasi_keluarga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tinggi 38 50.7 50.7 50.7
Sedang 27 36.0 36.0 86.7
Rendah 10 13.3 13.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
motivasi_nakes
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tinggi 35 46.7 46.7 46.7
Sedang 32 42.7 42.7 89.3
Rendah 8 10.7 10.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
B1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 12 16.0 16.0 16.0
ya 63 84.0 84.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
B2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 7 9.3 9.3 9.3
ya 68 90.7 90.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
B3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 6 8.0 8.0 8.0
ya 69 92.0 92.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
B4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 29 38.7 38.7 38.7
ya 46 61.3 61.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
B5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 10 13.3 13.3 13.3
ya 65 86.7 86.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
B6
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 7 9.3 9.3 9.3
ya 68 90.7 90.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
B7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 13 17.3 17.3 17.3
ya 62 82.7 82.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
B8
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 12 16.0 16.0 16.0
ya 63 84.0 84.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
B9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 8 10.7 10.7 10.7
ya 67 89.3 89.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
B10
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 3 4.0 4.0 4.0
ya 72 96.0 96.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak setuju 15 20.0 20.0 20.0
ragu-ragu 16 21.3 21.3 41.3
setuju 44 58.7 58.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
C4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak setuju 27 36.0 36.0 36.0
ragu-ragu 21 28.0 28.0 64.0
setuju 27 36.0 36.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ragu-ragu 19 25.3 25.3 25.3
setuju 56 74.7 74.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
C6
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid setuju 3 4.0 4.0 4.0
ragu-ragu 12 16.0 16.0 20.0
tidak setuju 60 80.0 80.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid setuju 13 17.3 17.3 17.3
ragu-ragu 26 34.7 34.7 52.0
tidak setuju 36 48.0 48.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C8
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak setuju 3 4.0 4.0 4.0
ragu-ragu 10 13.3 13.3 17.3
setuju 62 82.7 82.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
C9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak setuju 4 5.3 5.3 5.3
ragu-ragu 15 20.0 20.0 25.3
setuju 56 74.7 74.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
C10
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ragu-ragu 3 4.0 4.0 4.0
setuju 72 96.0 96.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C11
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ragu-ragu 9 12.0 12.0 12.0
setuju 66 88.0 88.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C12
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak setuju 12 16.0 16.0 16.0
ragu-ragu 19 25.3 25.3 41.3
setuju 44 58.7 58.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
C13
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid setuju 11 14.7 14.7 14.7
ragu-ragu 10 13.3 13.3 28.0
tidak setuju 54 72.0 72.0 100.0
C13
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid setuju 11 14.7 14.7 14.7
ragu-ragu 10 13.3 13.3 28.0
tidak setuju 54 72.0 72.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C14
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid setuju 13 17.3 17.3 17.3
ragu-ragu 12 16.0 16.0 33.3
tidak setuju 50 66.7 66.7 100.0
Total 75 100.0 100.0
C15
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ragu-ragu 18 24.0 24.0 24.0
setuju 57 76.0 76.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C16
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ragu-ragu 23 30.7 30.7 30.7
setuju 52 69.3 69.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
C17
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak setuju 6 8.0 8.0 8.0
ragu-ragu 23 30.7 30.7 38.7
setuju 46 61.3 61.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
C18
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak setuju 11 14.7 14.7 14.7
ragu-ragu 19 25.3 25.3 40.0
setuju 45 60.0 60.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C19
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid setuju 8 10.7 10.7 10.7
ragu-ragu 28 37.3 37.3 48.0
tidak setuju 39 52.0 52.0 100.0
Total 75 100.0 100.0
C20
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak setuju 3 4.0 4.0 4.0
ragu-ragu 20 26.7 26.7 30.7
setuju 52 69.3 69.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
C21
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid setuju 7 9.3 9.3 9.3
ragu-ragu 16 21.3 21.3 30.7
tidak setuju 52 69.3 69.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
A9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid salah 11 14.7 14.7 14.7
benar 64 85.3 85.3 100.0
Total 75 100.0 100.0
status_ekonomi * Peran_PMO Crosstabulation
Peran_PMO
Total ya tidak
status_ekonomi lebihdarisamadengan 1500 Count 43 2 45
% within status_ekonomi 95.6% 4.4% 100.0%
kurangdari1500 Count 29 1 30
% within status_ekonomi 96.7% 3.3% 100.0%
Total Count 72 3 75
% within status_ekonomi 96.0% 4.0% 100.0%
motivasi_keluarga * PMO Crosstabulation
PMO
Total
Keluarga Petugas
kesehatan
motivasi_keluarga Tinggi Count 27 11 38
% within motivasi_keluarga 71.1% 28.9% 100.0%
Sedang Count 13 14 27
% within motivasi_keluarga 48.1% 51.9% 100.0%
Rendah Count 6 4 10
% within motivasi_keluarga 60.0% 40.0% 100.0%
Total Count 46 29 75
% within motivasi_keluarga 61.3% 38.7% 100.0%
status_ekonomi * motivasi_keluarga Crosstabulation
motivasi_keluarga
Total Tinggi Sedang Rendah
status_ekonomi lebihdarisamadengan 1500 Count 23 15 7 45
% within status_ekonomi 51.1% 33.3% 15.6% 100.0%
kurangdari1500 Count 15 12 3 30
% within status_ekonomi 50.0% 40.0% 10.0% 100.0%
Total Count 38 27 10 75
% within status_ekonomi 50.7% 36.0% 13.3% 100.0%
Lampiran 5 Hasil Wawancara
Wawancara Pemegang Program TB Puskesmas Ciputat
P : Pewawancara
Nakes : Petugas kesehatan
P : Bagaimana pemilihan PMO pada pasien, kenapa lebih banyak PMO berasal
dari petugas kesehatan?
Nakes : Untuk PMO iya mba, memang biasanya bekerja sama dengan kader pada
masing-masing wilayah pasien. Kadernya kita kader posyandu, soalnya untuk TB
memang ga ada kadernya. Seperti nanti jika ada kasus TB biasanya kader
posyandu laporin ke Puskesmas.
P : oiya bu, tapi kalau dari keluarga sendiri berperan gasih bu terkait pengobatan
yang dijalani pasien?
Nakes : Kalau keluarga sebenarnya juga ikut serta mendampingi pasien, tapikan
mba biasanya keluarga hanya pada saat itu saja atau masa pengobatan saja ikut
berperan dengan pasien, selebihnya tidak kan kalau pasien sudah tidak menjalani
pengobatan, yaudah gitu aja. Makanya lebih mengembangkan kader di wilayah
masing-masing pasiennya mba.. ntar biar bisa bantu pasiennya juga.
P : Oiyaa bu.. berarti kalau begitu ada pelatihan atau penyuluhan gitu ya
sama kader?
Nakes : oiya mba ada, soalnya kita juga ada pelatihan dengan kader jugakan
namanya refreshing kader untuk posyandu dan posbindu dilakukan setahun 2 kali,
atau penyuluhan penyakit termasuk diantaranya penyakit TB yang disampaikan ke
kader, nanti dari kader posyandu dan posbindu kita undang ke Puskesmas.
P : Oiyaa bu, kan untuk Puskesmas sendiri kan dilihat dari datanya pada tahun
2015 masih belum mencapai keberhasilan pengobatannya, itu kenapa ya bu ?
Nakes : yaa itu mba, karena masih ada yang dropout yang bukan dari wilayah
kita, makanya terkadang saya malas suka gitu kadang pasien datang bukan dari
wilayah kita
P : tapi seharusnya dilakukan pelacakan kan bu kalau begitu ? dan kalau dropout
berarti sipasien sudah pernah menjalani pengobatan sebelumnya selama 2 bulan ?
Nakes : iyaa, karena dia bukan berasal dari wilayah kita yaudah ga dilakukan
pelacakan
P : oogitu ya bu, terus bagaimana sikap dari dinkes sendiri terkait keberhasilan
pengobatan di Puskesmas yang ga mencapai target bu ?
Nakes : yaa paling kita disuruh memperbaik kegiatan programnya mba, yang
biasanya kita lakukakan evaluasi setahun sekali. Tapi emang kalau kaya gitu
balik lagi ke pasien sih mba, soalnyakan pengobatannya lama, jadi emang harus
dari pasiennya yang ambisius semangat untuk minum obat biar sembuh..
P : oogitu yaa bu, berarti memang harus ada dukungan terus ya bu pasiennya
biar bisa sembuh.. hmm itu ajasih bu yang saya ingin tanyakan. Makasih banyak
sebelumnya bu
Nakes : iya sama-sama mba..
Wawancara Kader Ciputat
P : Pewawancara
K : Kader
P : Ini bu, katanyakan ibu sendiri kader posyandu dan ngerangkep bantu pasien
TB juga. Nah saya ingin menanyakan bagaiman peran ibu sebagai kader dalam
membantu mengawasi pasien TB ?
K : iya neng, sebenarnya saya kader posyandu ngerangakap gitu, bisa untuk
mendampingi pasien TB. Karenakan kalau kita biasanya ada kasus ni TB,
keluarga ngelaporin cerita ke saya kalau ada tanda-tanda dari gejala TB, nanti
saya laporin ke puskesmas. ntar saya bawa tu dia pasiennya ke puskesmas supaya
biar dicek dahaknya.
P : oiya bu, kalau kaya gitu misal ada pasien yang positif TB, ibu ikut bantu
pasien itu juga ga ngedampingi atau mengawasi pasien tersebut selama menjalani
pengobatan ?
K : iya neng, kadang kita disuruh juga sama petugas puskesmas, disuruh ngawasi
pasien kalau ada yang obat pasien habis, pasien gabisa ni, saya bantu ambilin,
ngasi tau juga pasiennya obatnya diminum tiap hari gaboleh terlambat..
Atau pas posyandu juga saya sering nyampein sama ibu-ibu lain gimana gejala
TB, kalau ada apapa terlihat ada gejala lapor ke saya atau ke Puskesmas langsung
P : emm gitu, kalau gitu ibu kader diberikan pelatihan atau penyuluhan juga dong
sama puskesmas ?
K : yaa neng, kita lumayan lah sering ke puskesmas dapat undangan dari
puskesmas atau ke kelurahan dikasi penyuluhan gitu informasi penyakit ini itu,
termasuk TB..
P : oogitu ya bu, iya bu saya cuma pengen tahu gimana peran ibu sebagai kader
terhadap pasien TB di wilayah ibu saja..makasih banyak ya bu sebelumnya, maaf
mengganggu
K : iya sama-sama
Wawancara Responden Ciputat
P : Pewawancara
R : Responden
P : iya mba, saya ingin menanyakan kembali untuk yang sering mengingatkan
minum obat itu siapa ? dan pertama kali pengobatan di puskesmas itu seperti apa ?
apakah dijelasin harus ada pendamping atau gimana
R : kalau yang pertama kali berobat saya sendiri, ga ditemani siapasiapa. Cuma
dikasih tau pemeriksaa dahak, dikasi obat. Disuruh minum obat 6 bulan, yaudah..
kalau ngingetin itu biasanya mamah dan dokternyalah mba
P : itu mamanya ngasi informasi apa aja ? ada ga ngasi informasi efek samping
obat, suruh pemeriksaan dahak, risiko yang dialami kalau ga minum obat? Itu ada
aga mba
R : yah paling mama gitu aja ngingetin minum obat, makan, hal-hal kaya biasa
sih.
P : itu berarti kalau kaya gitu yang ngingetin pemeriksaan dahak, efek samping,
itu petuga kesehatannya ya mba atau giman ?
R : iya kalau hal-hal kaya gitu, sih lebih ke dokternya mba.
P :hemm gitu, berarti lebih ke dokternya ya ? bukan mama
R : ya waktu itu pernah sih, Cuma bilang yaudah sana periksa lagi. Udah gitu
ajasih
P : oo gitu, berarti lebih mengingatkan sehari hari aja ya mba mamanya, kaya
minum obat dan makan sehat. Kalau kaya hal-hal lain yang harus dipatuhi pasien
selama pengobatan gitu lebih ke petugas kesehatan atau seperi apa ? dan dari
petugas kesehatannya pernah ga melakukan kunjungan rumah gitu ?
R : iyaa mba kalau hal-hal lain biasanya dokternya. ya gaperna sih mba.. cuma
datang ke Puskemas saja saya ambil obat, udah gitu aja. Kadang juga ga ketemu
ibunya, diwakili sama bidan lain.
P : kalau untuk kadernya sendiri gimana mba ?
R : ya ada sih itu, karena saya tahu sakit ngomong sama mamah, suruh saya
berobat jangan lupa minum obat gitu mba..
P : oogituu ya mba, pernah mengalami efek samping obat gitu ga ?
R : ya pernah sih, awal-awal mual ga nafsu makan, pusing..
P : berarti pernah mengalami penurunan berat badan ?
R : iya pernah pas awal-awal
P : kalau kaya gitu, dari petugas kesehatannya sering ngingetin ga kalau berat
badan turun harus ginii, makan sehat minum susu gitu mba?
R : iya mba ngingetin petugasnya dokternya suruh minum susu, makan yang sehat
bergizi gitulah mba,
P : kalau begitu, petugas kesehatannya kan sering ngingetin itu, tapi menurut mba
petugasnya cuekkah atau tegas ?
R : ya biasa aja sih mba, standar-standar aja ga cuek biasa aja, tapi tegas yaa
lumayan mba.
P : oo gitu.. tapi mbanya dikasi taukan kaya risiko yang dialami kalau gak minum
obat itu kaya apa ?
R : iya paling dibilangin disuruh ngulang kalau ga minum obat..
P : emm, tapi mba maksudunya termotivasi ga, atau dapat motivasi ga dari
dokternya selama mba menjalani pengobatan ?
R : iyalah mba termotivasi, walaupun kadang juga jarang ketemu pas ngambil
obat. Tapikan yang sering mengingatkan saya untuk ini itu dari dokternya
P : oo gitu yaa, alhamdulillah ya mba sekarang sudah sembuh.. yaudah mba itu
aja, makasih banyak yaa telah meluangkan waktunya..
R : iya sama-sama mba...
Wawancara Pemegang Program TB Puskesmas Kampung Sawah
P : Pewawancara
Nakes : Petugas kesehatan
P : Bagaimana pemilihan PMO pada pasien, kenapa lebih banyak PMO
berasal dari keluarga?
Nakes : Untuk PMO sendiri dari keluarga,biar enak aja gitu soalnya kan selalu
dekat dengan pasien, saya tunjuk ni keluarganya untuk jadi PMO. Dikasi
informasi kalau harus minum obat terus, kalau habis ke puskesmas ambil obat,
pemeriksaan dahak dll...
P : kalau pasiennya ga ada keluarga gimana bu?
Nakes : yaa kalau pasiennya ga ada keluarga biasanya yang jadi PMO nya
tetangganya tu, saya tanya punya tetangga yg dekat ga ? kalau ada saya suruh ke
puskesmas, saya jelasin ke dia gimana cara ngawasi ni pasien, kalau ada apapa
lapor ke saya. Kaya itu ada pasien saya ditinggal istrinya karena sakit-sakitan,
untung ada tetangganya yg peduli datang ke puskesmas bawa kartu kontrol pasien,
minta obat karena katanya obatnya sudah habis pantesan berapa hari ni ga datang,
biasanya diambilin istrinya atau anaknya. Eh untung aja ada tetangganya yang
baik..kebetulan tetangganya juga dulunya pernah sakit TB, tapi udh sembuh jadi
tau neng..
P : oo gitu ya bu... berarti emang lebih ditekankan kekeluarga sendiri ya atau
tetangga si pasien ?
Nakes : iyaa, neng benar..soalnya kadang kan saya sendiri banyak tugas
dipuskesmas, jadi agak keribetan sendiri ntarnya. Paling kalau ada pasien mangkir
saya kunjungi atau ga saya telpon, kalau gabisa ditelpon baru datengi
kerumahnya.
P : oo gitu ya bu, emang dari hasil wawancara saya juga pas turun lapangan
katanya sebagaian besar PMO nya dari keluarga. Kalau begitu makasih banyak ya
bu sebelumnya
Nakes : oiya neng iya bener, samasama...
Wawancara Responden Kampung Sawah
P : Pewawancara
R : Responden
P : Ibu, saya ingin menanyakan terkait pendamping atau yang ngawasi ibu minum
obat itu siapa ? ada ga dari petugas kesehatan menyampaikan harus ada
pendamping ?
R : oo iya dari ibu haji ipad dulunya, sekarang bu niken.
P : iya bu, ada gak yang harus ngingetin ibu minum obat, dari keluarga atau siapa
gitu ?
R : iya ada.. oo itu anak ibu yang ngingetin
P : itu anak ibu nginngetin apa aja bu, kan minum obatnya setiap hari itu bu ?
R: iya diingetin harus minum obat jam 9, jangan telat ke puskesmas kan ada
jadwal-jadwalnya gitu kan neng.
P : kalau dari petugas kesehatannya itu ngingetin gitu ga bu ? ibu harus periksa
dahak, terus ngasi informasi apa lagi ?
R : harus minum obat 6 bulan, kalau udah sehat udah berhenti ya bu udah 6 bulan.
udah ga ada lagi...
P : Kalau selama pengobatan gimana bu, diingetin ga ? dan nyampein apa aja ?
R : iya neng diingetin minum obatnya jangan lupa sekalipun, ntar bakal ngulang
lagi...
P : terus ngasi tau ga kaya harus makan-makanan bergizi, minum susu gitu ga bu ?
R : iya disuruh minum susu, kaya susu beruang, saya pernah dikasi neng. Disuruh
makan enak bu, makan telur rebus. Diingetin sama bu niken.
P : tapi dari ibu sendiri pernah ga ngalamin sakit, efek samping obat lainnya ?
R : iya bu sendiri mah gapernah, tapi dari bu niken ngingetin gitu bilang ke saya
ni ibu mah obatnya keras, ada efek sampingnya kaya mual.
P : tapi anak ibu sering ga ngingetin datang ke puskesmas, atau dari bu niken atau
haji ipadanya yang ngomong ke anak ibu. Ni bu nya harus diingetin minum obat,
ntar kalau obatnya habis disuruh ambil ke puskesmas. pernah ga bu gitu ?
R : iya neng, pernah pertama kali sama kakak saya sama anak saya. ntar kalau
jadwalnya saya ke puskesmas, anak saya ngingetin. Mah waktunya ke puskesmas
gitu neng...
P : terus ibu nikennya pernah melakukan kunjungan ga ? dan ibunya pernah telat
ngambil obat ga ?
R : gapernah neng, iya saya gapernah telat ngambil obatnya.
P : terus kaya keluarga gitu, ngasi semangat atau motivasi gitu ga ke ibu selama
menjalani pengobatan ?
R : ya semuanya itu dukung neng, orang saya pertama meriksa dahak rontgen
kakak saya yang nganter ke RS UIN tadinya, terus disuruh pengobatan ke
puskesmas, dan obatnya gratis jugakan. Ya dukung lah neng, apalagi anak saya
yang pertama atau kakak saya sendiri tu, suaminya juga sama kaya saya sakit
paru-paru kaya saya, minum obat selama 6 bulan juga. Jadi sering diingetin.
P : tapi bu, yang lebih sering ngingetin itu anak ibu atau dari petugas kesehatan ?
R : iya keluarga neng, tetangga saya juga kalau mau kepuskesmas kadang ngajak
saya ayokk saya anterin ngambil obat, ngingetin gitu kalau sakit jangan dirasain
sendiri yaudah ayok ronsen...
P : tapi bu haji ipadnya atau bu nikennya tegas ga bu ?
R : iya neng, ya tegas sering bercanda juga ngingetin minum susu kaya tadi
P : tapi kalau kadernya sendiri ada ga ngingetin bu ?
R : ya kadernya juga keluarga ibu juga tu, tapi lebih sering ke posyandu atau
posbindu gitu sih neng, kan ada posbindu lansia tu.. ya paling itu aja neng
P : emm gitu ya bu,... tapi dari keluarga ada yang ngejauhin ibu ga ?
R : ya alhamdulillah sih neng, anak ibu keluarga ibu juga udah pada ngerti yaa ga
ngejauh, malah dukung saya terus biar sehat. Yaa paling tetangga taunya sakit
paru-paru gitu aja biasalah. Tapi yaa selebihnya kita baik-baik aja. Gapapa..
P : iyayabu.. kalau dari petugas kesehatan nanyak keluhan ga ?
R : ya kalau nanya keluhan sih iya neng, tapi kadang-kadang aja. cuma kalau
datang dikasi obat, timbang berat badan, kasi obat yaudah itu aja neng. Ga setiap
ibu datang ngambil obat, ditanyain keluhannya, cuma bilang kau sakit harus
diobatin jangan dirasain sendiri, biar sembuh.
P : oo gitu ya bu, tapi ibu tahukan sebelumnya kalau sakit paru-paru bisa
disembuhkan ?
R : iya neng tau, bu haji ipad ngomong kalau udah minum obat 6 bulan bisa
sembuh, terus tu anak saya juga kakak saya ngingetin kalau minum obat pasti
sembuh mah katanya gitu..
P : oo gitu ya bu, jadi selama pengobatan banyak dukungan dari keluarga nya ibu
ya biar bisa sembuh..
R : iya neng... alhamdulillah
P: oh iyaa bu, syukurlah sekarang sudah sembuh. Hemm udah sih ibu itu aja,
makasih banyak ya bu sebelumnya sudah meluangkan waktunya..
R : iya neng, samaasamaa.. amiinn