gali dan perkembangannya di surakarata: dari … filemembuat situasi dan kondisi surakarta menjadi...
TRANSCRIPT
BAB III
GALI DAN PERKEMBANGANNYA DI SURAKARATA:
DARI KARAKTER HINGGA POLA OPERASI TAHUN 1980-1985
A. Pengertian GALI
Jago adalah istilah umum yang digunakan dalam masyarakat Indonesia
terhadap tukang pukul. Di Indonesia, dalam sejarahnya ada banyak istilah
semacam jago, seperti blater, weri, benggolan, berandal, parewa, GALI
(Gabungan Anak Liar), atau bromocorah. Istilah itu bergantung pada daerah,
waktu dan fungsi masing-masing. Menurut Ong Hok Ham, jago sebenarnya
merupakan benang merah sejarah Indonesia sejak zaman raja-raja kuno
prakolonial.1
GALI dipahamkan sebagai singkatan dari Gabungan Anak Liar yang
banyak berkumpul bergerombol di simpang jalan besar, di pinggir-pinggir jalan
maupun lorong kota.2 Menurut Kamus Java Tattoo Club Yogyakarta, GALI
merupakan asal kata dari Gabungan Anak Liar, nama geng tahun 1970-an,
konotasi kriminal, liar, dan preman.3
GALI tahun 1980-an identik dengan seseorang atau kelompok yang
melakukan tindakan kekerasan mengarah kepada kriminalisme, seperti
perampokan, penjambretan, penganiayaan, perkelahian, dan pembunuhan. Pada
1Ong Hok Ham., Dari Saat Priyayi Sampai Nyi Blorong, (Jakarta:
Kompas, 2002), hlm. 101. 2Darmanto Jatman., Sekitar Masalah Kebudayaan, (Bandung: Alumni,
1993), hlm. 159. 3Nuraini Juliastuti dan Antariksa., http://www.google.com/javatattooclub
yogyakarta/kamus, 3 Januari 2015 pukul 14.20 WIB.
tahun tersebut tidak ada istilah preman, melainkan hanya GALI untuk
mengistilahkan seseorang atau kelompok yang melakukan aktivitas tersebut.4
Istilah GALI merupakan sebutan untuk sekelompok orang atau individu
yang mempunyai keberanian bernyali melakukan tindak kejahatan seperti
merampok dengan nilai yang besar dan membunuh karena menyangkut harga diri
atau membunuh seseorang dengan bayaran yang mahal. GALI biasanya
mempunyai wilayah atau daerah operasi di kota dan mayoritas melakukan
tindakan kejahatan karena berhubungan dengan ekonomi atau finansial.5 Adanya
gejala GALI muncul dari golongan orang-orang yang sudah buntu jalan hidupnya,
kemudian menerobos jalan yang sewajarnya dengan tingkah laku yang keras.
GALI dipahamkan sebagai sosok petarung atau pemimpin genk, serta selalu
mempunyai konotasi kemaskulinan dan keberanian.
Kota Surakarta sekitar tahun 1980-an memang dirasakan sangat
mencekam. GALI pada waktu itu tidak mengenal siang atau malam untuk
melakukan aksinya dan dilakukan secara terang-terangan di muka umum. Di saat
malam tidak ada orang yang berani keluar melakukan aktivitas karena terlalu
berisiko, padahal sebelumnya Surakarta termasuk kota yang tidak pernah tidur.
Apabila terjadi tindak kriminal dan ada warga masyarakat yang melihat pun tidak
berani untuk membantu atau menolong korban, karena para GALI di samping
4Wawancara dengan Badung, 46 tahun, mantan GALI, 24 Februari 2015.
5Wawancara dengan Agung Nugroho (Nemlik), 41 tahun, mantan
narapidana, 16 Desember 2014. Kecu: perampok rumahan yang mempunyai
daerah operasi di desa. Preman: melakukan tindak kejahatan karena masih
mencari jatidiri atau mendapat tekanan dari keluarga dan karena ada dukungan,
jenis kejahatan yang biasa dilakukan preman adalah memalak. Bandit: atau biasa
disebut mafia, melakukan tindak kejahatan dengan lebih terkoordinir dan biasa
melakukan negosiasi dengan oknum terdekat yang berorientasi uang, jenis
aktivitasnya sebagai bandar narkoba atau biasa disebut gembong.
beroperasi tidak menggunakan tangan kosong juga terkenal kejam dan tidak
tanggung-tanggung untuk melakukan tindakan penganiayaan hingga
pembunuhan.6
Angka kejahatan di Jawa Tengah pada tahun 1982 jumlah kejahatan
mencapai 14.000 kali per-bulan. Untuk wilayah Eks-Karesidenan Surakarta,
khususnya di Kabupaten Klaten, pada periode tahun 1981 sampai dengan awal
1982, Koresta 957 Klaten tercatat ada 60 kali tindak kejahatan dengan kekerasan
tiap bulannya. Kejahatan yang terjadi di Klaten merupakan yang tertinggi kedua
di Jawa Tengah setelah kota Surakarta. Kota Surakarta oleh Danwil 95 Kolonel
Polisi FX. Yudomo, merupakan asal mula GALI yang kemudian menyebar ke
berbagai wilayah untuk melakukan operasinya. Kota Surakarta sampai dengan
tahun 1982 disebut sebagai “kota neraka” dan menjadi sumber berita negatif di
bidang keamanan serta menempati kota pertama di Jawa Tengah dalam hal tindak
kejahatan dengan kekerasan.7
Aktivitas kriminal di tahun 1980-an memang meningkat dan dilakukan
secara terang-terangan. Tindakan kriminal seperti penodongan, penjambretan,
pembajakan, perampokan, hingga pembunuhan yang dilakukan para GALI
membuat situasi dan kondisi Surakarta menjadi tidak aman. Di sisi lain, respon
masyarakat yang tidak melaporkan tindakan kriminal tersebut kepada pihak
berwajib, membuat pihak kepolisian sendiri juga tidak dapat bertindak. Hal ini
6Wawancara dengan narasumber yang dikarenakan alasan tertentu tidak
dapat disebutkan. Namun, isi wawancara berfungsi sebagai data primer dalam
skripsi ini. Identitas narasumber ada pada penulis, 69 tahun. 21 Februari 2015. 7Harian Suara Merdeka, 16 Juli 1983. Koleksi Pustaka Yogyakarta.
dikarenakan Polisi bertindak atas dasar laporan dari masyarakat yang telah merasa
terganggu keamanan dan kenyamanannya.8
1. Tahun 1980–Paruh 1982: Tindak Kejahatan Hingga Operasi
Pemberantasan Kejahatan
A. Pola, Perkembangan dan Motif Tindak Kejahatan GALI
Seseorang yang sudah buntu jalan hidupnya karena tuntutan ekonomi,
maka mereka akan memiliki potensi melakukan sesuatu hal yang nekat dan
berani, bahkan melakukan tindakan yang menyimpang seperti merampok.
Aktivitas kriminal tersebut terjadi di Kantor Pos Besar Jl. Jend. Sudirman
Surakarta pada akhir tahun 1980. Perampok yang masuk dengan dengan cara
memecahkan kaca dan berhasil mengambil uang Rp. 5000,00. Kejadian
perampokan tersebut baru pertama kali terajdi di Kantor Pos Besar yang berdiri
sejak tahun 1957.9 Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa seseorang telah berani
mengambil risiko dengan melakukan aktivitas yang menyimpang karena
keterbatasan masalah finansial ataupun terbukanya peluang untuk melakukan
tindakan tersebut.
Letak Surakarta yang strategis secara geografi tidak dapat dipungkiri
menjadi kota perlintasan antarprovinsi. Dari segi letak geografis ini menambah
keragaman dalam jenis aktivitas tindak kejahatan yang terjadi di Surakarta,
tingginya tingkat gangguan kejahatan di dalam bus menjadikan Surakarta
pemegang rekor terbanyak memiliki kasus kejahatan di dalam bus dibandingkan
8Wawancara dengan narasumber yang dikarenakan alasan tertentu tidak
dapat disebutkan. Namun, isi wawancara berfungsi sebagai data primer dalam
skripsi ini. Identitas narasumber ada pada penulis, 50 tahun. 21 Januari 2015. 9Harian Kompas, 5 Januari 1981, hlm. 8, Pusat Informasi Kompas,
Jakarta.
dengan daerah-daerah lain. Dalam waktu dua minggu terjadi delapan kali
kejahatan di dalam bus yang sebagian besar dalam bentuk pembajakan. Bus “Estu
Putro” AD 2548 G jurusan Pracimantoro-Surakarta mengalami pembajakan yang
dilakukan oleh sepuluh orang. Mereka naik ke dalam bus saat memasuki kota
menuju arah terminal, dari kejadian tersebut 16 penumpang terkuras hartanya.10
Tercatat Bus “Gunung Giri” AD 2696 G dibajak oleh sembilan pemuda bersenjata
tajam. Pembajakan terjadi di daerah Loji Wetan hingga Gading, Sopir bus ini
bernama Karimo menjadi korban, karena mencoba melawan, lengannya terkena
sabetan clurit.11
Umumnya pembajakan dilakukan di dalam kota Surakarta, jumlah
tersebut belum termasuk yang dilaporkan kepada pihak kepolisian. Dari daftar
yang tercatat, tindak kejahatan itu umumnya menimpa bus-bus dengan nama
tertentu, Bus “Ismo” misalnya selama bulan februari-Maret saja sudah empat kali
mengalami pembajakan, sedangkan Bus “Giri Indah” mengalami tiga kali
pembajakan.12
Setelah kejahatan di dalam bus, kejahatan dengan merampok
pertokoan dan rumah makan juga merebak. Terjadi tujuh perampokan hanya
dengan waktu empat jam. Perampokan dilakukan secara terang-terangan ketika
toko atau rumah makan sedang beroperasi. Tiga rumah makan yang letaknya
tidak berjauhan di Jl. Gajahmada, “Populer” di Jl. KH. Dachlan, kemudian Rumah
makan “Gaya Baru” yang terletak di perempatan Nonongan, menjadi sasaran
pertama, dari ketiga tempat tersebut jumlah kerugian mencapai Rp. 400.000,00.
Dilanjutkan di Jl. Pasar Nongko dua buah toko kelontong dan bahan makanan
10
Harian Kompas, 18 Maret 1982. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta. 11
Harian Kompas, 26 Maret 1982. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta. 12
Harian Kompas, 28 Maret 1982. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta.
menjadi sasaran, Hendro Wiharjo pemilik toko mengalami kerugian sebesar Rp.
335.000,00. dan tetangganya Lie Cing Kok mengalami kerugian Rp. 50.000,00.
Kemudian di Jl. Mertolulutan sebuah toko makanan ternak “Mini” milik Ny.
Effendi menjadi korban. Selain mengambil uang Rp. 50.000,00, kawanan
perampok juga mengobrak-abrik dagangan dan memecahi dagangan telur ayam.
Korban ketujuh menimpa Ny. Mari Siswanti di Jl. Gilingan, yang mengalami
kerugian uang Rp. 50.000,00. Dari tujuh tempat perampokan tersebut, kawanan
perampok berjumlah sepuluh orang dan diperkirakan jumlah dari perampokan
tersebut senilai Rp. 1.000.000,00. Pihak kepolisian menduga, pelaku perampokan
merupakan kawanan yang sama dengan perampokan yang dilakukan terhadap
toko kelontong di Jl. Sidomukti, rumah makan “Eltanna” di Jl. Slamet Riyadi, dan
seorang pemilik jam tangan di Ledoksari. Kawanan perampok yang bersenjata
clurit itu tidak hanya merampok pemilik toko, tetapi juga harta para pembeli.13
Kemudian terjadi perampokan uang Rp. 25.000.000,00. yang terjadi di halaman
rumah korban sendiri, pemilik uang baru saja mengambilnya dari bank, korban
tidak berdaya karena di ancam dengan senjata api.14
Tindak kejahatan GALI di Surakarta dari waktu ke waktu tergolong
mempunyai kecenderungan pola yang sama. Aksi yang dilakukan merupakan
bentuk pengembangan dari aksi sebelumnya. GALI melakukan tindakan kriminal
dengan mengikuti perkembangan jaman. Mereka melakukan inovasi dalam hal
teknis operasi atau eksekusi, tergantung dari apa dan siapa targetnya. Dahulu,
13
Harian Kompas, 18 Juli 1982, hlm. 1. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta. 14
Harian Kompas, 21 Maret 1983, hlm. 4. Koleksi Pusat Informasi
Kompas, Jakarta.
GALI hanya melakukan tindak kejahatan berupa pencopetan saja, kemudian
meningkat menjadi penjambretan, penodongan, pembajakan, hingga perampokan.
Dengan melakukan pengembangan aksi tindak kejahatan maka secara otomatis
akan menambah penghasilan dari tindakan tersebut, di samping sisi resiko yang
dihadapi juga semakin berat, Undang-Undang tindak kriminal yang menjerat juga
akan semakin meningkat bahkan berlapis. Karena selain meresahkan, untuk
melancarkan operasinya tidak terelakkan akan diiringi dengan penganiayaan
hingga menghilangkan nyawa korban. Sebagai gambaran, catatan Polri mengenai
kualitas kejahatan serta identitas penjahatnya. Sebanyak 115 orang di Surakarta
tercatat sebagai penjahat berkualitas berat dan mempunyai wilayah operasi di
Surakarta dan sekitarnya.15
Di era 1980-an, muncul kelompok yang disegani di kalangan para GALI,
yaitu “Solo Satu”. Kelompok ini mempunyai spesialisasi melakukan tindakan
kriminal berupa perampokan nasabah bank, kelompok yang mempunyai
koordinator atau otak di setiap operasi bernama Ranto Benjo dikenal dengan
Robin ini di setiap operasinya sudah tidak menggunakan senjata tajam, melainkan
telah didukung dengan senjata api dan menggunakan alat transportasi berupa
mobil. Mereka tidak memiliki anak buah karena ketika mereka mempunyai anak
buah dirasa justru akan merugikan mereka. Prinsipnya anak buah jika tertangkap,
akan dapat membongkar jati diri sampai operasi mereka sendiri. Oleh karena itu,
“Solo Satu” hanya tergabung dalam satu grup solid yang mempunyai tugas
masing-masing seperti koordinator yang bertugas sebagai otak atau konseptor
15
Harian Kompas, 27 Juli 1982, hlm 8. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta.
operasi hingga menentukan target. Ada pengemudi dan beberapa eksekutor, untuk
itu tidak hanya dibutuhkan kematangan persiapan, melainkan orang-orang tersebut
tergolong sudah ahli dalam bekerja dan mempunyai nyali yang tinggi. Disamping
itu mereka wajib menjaga rahasia satu sama lain. Di setiap operasi yang dilakukan
“Solo Satu” setidaknya merampok nasabah bank dengan nilai mencapai Rp.
2.000.000,00. Kemudian setelah “Solo Satu” disusul dengan munculnya “Solo
Dua” dengan koordinator Slamet Gundul yang mempunyai pola tindak kejahatan
yang sama yaitu perampokan nasabah bank16
Kota Surakarta sendiri dianggap menjadi tempat yang strategis untuk
melakukan tindakan kejahatan sekaligus dengan melakukan pengembangannya.
Kemudian ada GALI yang membuat bentuk kejahatan baru lebih inovatif waktu
itu, bentuk kejahatannya berupa penipuan yang disebut dengan markayak.
Penipuan yang dilakukan benar-benar terkonsep rapi dan halus. Dalam melakukan
aksi markayak, para GALI menggunakan umpan berupa modal untuk
mengelabuhi korbannya, bahkan modal yang dipakai juga tidak tanggung-
tanggung demi untuk melancarkan aksi tersebut, seperti membeli pakaian yang
rapi hingga menyewa mobil, tergantung dari target operasi yang akan mereka
kelabui. Dari modal tersebut mereka gunakan untuk mendapatkan simpati dan
kepercayaan dari korban, hingga korban dirasa sudah masuk ke perangkap, maka
mereka akan langsung menguras habis hartanya. Modus penipuan ini dapat
dilakukan secara individu, tetapi lebih sering dilakukan secara kelompok karena
akan semakin mendukung untuk mengelabui korban. Para GALI dalam
16
Wawancara dengan narasumber yang dikarenakan alasan tertentu tidak
dapat disebutkan. Namun, isi wawancara berfungsi sebagai data primer dalam
skripsi ini. Identitas narasumber ada pada penulis. 21 Februari 2015.
melakukan markayak secara berkelompok biasanya mereka sudah membagi tugas
masing-masing. Ada yang bertugas mengintai, menentukan target sekaligus
membaur dengan korban, hingga menyamar sebagai warga biasa. Kasus semacam
ini tergolong sulit untuk diungkapkan, apalagi dibawa ke proses hukum. Tindak
kejahatan ini dilakukan dengan begitu rapi dan hampir tidak meninggalkan jejak.
Korban markayak biasanya cenderung enggan untuk memprosesnya secara
hukum. Disamping kronologi kejadian begitu rumit, juga terkendala masalah
wilayah operasi markayak yang tidak hanya merambah satu wilayah saja untuk
setiap aksinya melainkan lintas wilayah. Di kalangan GALI, bentuk kejahatan
markayak dianggap kurang bernyali, karena tidak perlu dengan kekerasan dan
terang-terangan, tetapi di sisi lain, markayak merupakan bentuk inovasi dari
tindak kejahatan yang sudah ada dan cenderung memiliki tingkat risiko lebih
kecil. Di samping tidak dilakukan secara frontal, markayak tidak dapat dilakukan
dengan sembarangan tanpa konsep, modal, persiapan yang matang dan juga para
pelaku tergolong lihai dalam memerankan setiap tugasnya. Markayak juga telah
menunjukkan perkembangan hingga saat ini, bentuk tindak kejahatan berbeda
tetapi masih mempunyai aktivitas pola yang sama. Hanya pada saat sekarang
menjadi lebih inovatif karena disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Pada umumnya dapat dipisahkan dua kelompok teori yang menguraikan
motif GALI. Kelompok teori pertama lebih menunjuk pada struktur sosial
ekonomi demografi yaitu menunjukkan pada kelemahan struktur sosial
masyarakat yang eksploitatif yang mempersulit pemuda-pemuda lapisan bawah
untuk melakukan dinamika sosial ke atas. Kelompok teori yang kedua lebih
menunjuk pada mentalitas serta nilai-nilai kebudayaan, yaitu menunjukkan
kegagalan para pemuda untuk memenuhi tuntutan-tuntutan norma berperilaku
yang sah menurut masyarakat umum dan menunujuk pula pada perubahan-
perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat, baik karena pembangunan,
modernisasi, atau karena sekedar pengaruh nilai-nilai asing. Selain itu juga
disebutkan kelompok teori lain yang menunjuk pada interaksi antara struktur
sosial dengan mentalitas. Adanya kecemasan juga menjadi penyebab munculnya
kelompok-kelompok GALI, gejala ini disebabkan karena kegagalan dari para
pemuda kelas sosial bawah untuk mempertinggi status sosial ekonomi mereka,
atau kegagalan pemuda-pemuda untuk menemukan peranan sosialnya di dalam
keluarga dan masyarakat yang kemudian mencoba untuk menunjukkan kejantanan
mereka. Suasana lain yang dianggap sebagai penyebab munculnya perilaku
menyimpang tersebut adalah suasana heteromoni, dimana segala macam norma,
bahkan yang paling bertentangan pun berlaku.17
Berangkat dari minimnya pendidikan kemudian mendapat tekanan
kewajiban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi ditunjang dengan pengaruh
lingkungan yang kurang baik dan juga latar belakang keluarga yang tidak jelas
atau broken home, dari keadaan, situasi, dan kondisi tersebut maka menuntut
seseorang untuk melakukan tindakan nekat tanpa berfikir panjang dan tanpa
mempedulikan norma-norma yang ada, yaitu menjadi GALI atau mbajing.18
Di
satu sisi, seseorang melakukan tindakan kriminal karena untuk memenuhi
kebutuhan gaya hidup yang menyimpang, seperti berjudi, mempunyai wanita
simpanan, atau karena mengkonsumsi narkoba. Untuk memenuhi kebutuhannya
17
Darmanto Jatman, op. cit., hlm. 160-161. 18
Wawancara dengan Badung, 46 tahun, mantan GALI, 24 Februari
2015.
tersebut, mereka menggunakan jalan pintas, hanya mempunyai satu tujuan
bagaimana supaya kebutuhan mereka terpenuhi dengan cepat, maka dari itu,
mereka cenderung melakukan tindakan kriminal, seperti menjambret, menodong,
dan merampok. Kemudian ada GALI yang tidak memiliki motif apapun, hanya
karena ingin melakukan tindakan yang berani dan mendapatkan bayaran yang
tinggi yaitu menjadi pembunuh bayaran. Seperti menjual jasa, pelaku ini
melakukan aktivitasnya secara rapi dan profesional, dan biasanya mereka
memiliki tarif tertentu tergantung siapa yang menjadi targetnya.19
B. Mengenal wilayah GALI
Wilayah yang dimaksud merupakan kawasan atau tempat tinggal
bernaungnya GALI, yang pada umumnya orang akan segan atau sungkan untuk
berbuat keonaran apalagi melakukan tindakan kejahatan, baik di dalam ataupun di
sekitar kawasan wilayah tersebut. Tergantung dari tindak kejahatan yang
dilakukan oleh GALI, semakin tinggi dan berat tindakan kriminalitasnya maka
akan semakin menambah keangkeran wilayah tersebut bagi kalangan penjahat
khususnya yang masih melakukan tindak kejahatan di kelas bawah. Pada
prinsipnya, semakin banyak aktivitas tindak kriminal seorang GALI atau bisa
dikatakan jam terbang semakin tinggi maka akan banyak hasil yang didapatkan
dan juga akan semakin banyak relasi seprofesi, secara otomatis juga akan semakin
disegani.
Gali di Surakarta dalam melakukan operasi tindak kejahatan tidak
menghiraukan atau tidak mengenal batas wilayah, mereka tidak mempedulikan
19
Wawancara dengan Agung Nugroho (Nemlik), 41 tahun, mantan
narapidana, 16 Desember 2014.
siapa yang berkuasa dan termasuk di wilayah mana tempat yang akan mereka
jadikan target operasi. Apabila dirasa akan mendapatkan peluang dan hasil
ataupun sudah merupakan pesanan ketika GALI tersebut menjual jasanya, maka
mereka akan langsung bekerja melakukan tindakan kejahatan. Terlebih bagi GALI
yang memiliki bawahan, anak buah mereka akan semakin berani melakukan
tindakan kriminal hingga menjajah di luar wilayahnya ketika pamor atau nama
pemimpin mereka terkenal dan disegani di kalangan para GALI. Di dalam dunia
GALI, hukum yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang tangguh dan kuat
dialah yang akan menguasai dan disegani. Saat pendatang GALI baru muncul dan
menantang GALI penguasa lama, di situlah terjadi perebutan bendera kekuasaan
dan nama besar, tak jarang kejadian tersebut berlangsung dan siapa yang menjadi
pemenang dialah yang akan menjadi penguasa. Di sisi yang lain, ada kalangan
GALI yang saling menghormati dengan domisili wilayahnya masing-masing.
Ketika terjadi pertikaian di antara anak buah mereka dapat diselesaikan dengan
kepala dingin, karena adanya rasa saling menghormati di kedua belah pihak. 20
Kota Surakarta terbagi beberapa wilayah berdasarkan spesialisasi tindak
kejahatan yang dilakukan para GALI yang berdomisili di wilayah tersebut,
Seperti:
- Surakarta bagian utara : Spesialisasi tindakan kriminal berupa
perampokan nasabah bank, daerah yang terkenal yaitu Nusukan.
- Surakarta bagian selatan : Spesialisasi tindakan kriminal berupa
perampokan rumah, daerah yang terkenal yaitu Ndawung Kajen.
20
Wawancara dengan Badung, 46 tahun, mantan GALI, 24 Februari
2015.
- Surakarta bagian timur : Spesialisasi tindakan kriminal berupa
pencopetan, daerah yang terkenal yaitu Mondokan.
Sedangkan wilayah Surakarta bagian barat tergolong hunian orang-orang
kelas menengah ke atas maka justru cenderung kerap menjadi sasaran tindak
kejahatan. Kemudian Surakarta bagian tengah merupakan wilayah GALI
pimpinan Efendi 55 tahun, pria berdomisili di Pasar Pon ini dikenal sebagai
koordinator para pencopet. Selain itu, Efendi juga mempunyai kelebihan berupa
kesaktian. 21
Peta Pembagian Wilayah
Spesialisasi GALI di Surakarta Tahun 1980-1985
21
Wawancara dengan narasumber yang dikarenakan alasan tertentu tidak
dapat disebutkan. Namun, isi wawancara berfungsi sebagai data primer dalam
skripsi ini. Identitas narasumber ada pada penulis, 69 tahun. 21 Februari 2015.
C. Simbolisme Tattoo
Lukisan yang menghiasi tubuh para GALI yang dikenal dengan nama
tattoo pada sekitar tahun 1980-an di Surakarta khususnya masih tergolong tabu
dipandang khalayak umum, dan pada waktu orang bertattoo identik dengan GALI.
Tattoo yang melekat pada tubuh para GALI mengandung arti tertentu. Tattoo di
bagi menjadi beberapa macam atau golongan dalam kalangan para GALI. Tattoo
berwujud bunga, burung elang mencengkeram anak ayam, kelelawar, naga,
tengkorak, dan jaring laba-laba yang semuanya mengandung ciri dan arti kegiatan
masing-masing.
Tattoo berwujud bunga menyimbolkan profesi mereka sebagai pemetik
bunga atau lapangan kejahatannya banyak berhubungan dengan masalah wanita.
Mereka bukan saja perayu, tetapi juga sanggup membius lalu merampas perhiasan
yang dipakai korbannya. Tattoo bergambar bunga ini menghiasi tubuh Sukarno
yang diketemukan tewas di daerah Kandangsapi dan Sriyono yang diketemukan
tewas di Mojo. Di samping tattoo bunga, pada tubuh Sriyono juga terdapat tulisan
“matiku di ujung peluru” dan kata-kata kotor yang lain serta wanita telanjang.
Tattoo yang bergambar burung elang mencengkeram anak ayam, menandakan
profesinya sebagai penjambret dan penodong atau aktivitas kejahatan lain yang
berada di jalanan. Tattoo ini ditemukan pada tubuh Boy Purnomo yang tewas pada
8 Juli 1983. Kemudian tattoo yang bergambar kelelawar, memiliki profesi sebagai
pekerja malam hari atau pencuri. Gambar tattoo ini didapatkan pada tubuh
Rahmadi alias Bagong alias Dragon yang diketemukan tewas di Kandangsapi
pada 6 Juli 1983. Bagong termasuk pelaku perampokan di Jl. Tagore Manahan,
Surakarta. Lalu tattoo dengan gambar naga, menandakan profesinya sebagai
perampok dan umumnya terdiri para GALI kelas kakap atau yang telah
melakukan tindakan kriminal berat. Tattoo bergambar naga ini ditemukan pada
tubuh Suyatno alias Teko 27 tahun yang ditemukan tewas tertembak di pinggiran
kota Surakarta. Tattoo yang paling berbahaya adalah tengkorak. Dalam
lingkungan mereka yang bertattoo tengkorak ini mendapatkan tempat yang
terhormat di tiap kelompok, karena tattoo tengkorak ini mempunyai kedudukan
cukup tinggi dan merupakan kumpulan pembunuh berdarah dingin. Tattoo seperti
ini terdapat di tubuh Maryadi 25 tahun yang ditemukan tewas tertembak pada 10
Juli 1983 di pinggiran kota Surakarta.22
Gambar tattoo jaring laba-laba sendiri di
identitaskan kelompok GALI yang mempunyai profesi sebagai perampok nasabah
bank, melihat dari spesialisasi operasinya masuk dalam wilayah Surakarta bagian
timur.23
2. Akhir 1982-1985: Operasi Pemberantasan Kejahatan Dengan
Petrus. Hingga menurunnya Angka Kriminalitas.
A. Penembak Misterius atau Petrus
Surakarta menjadi kota yang panas pada era 1980-an dikarenakan
merajalelanya GALI di Surakarta telah melewati batas kewajaran. Tingkat
kriminalitas yang tinggi disebabkan oleh aktivitas para GALI yang saat itu
melakukan operasinya secara terbuka atau terang-terangan. GALI yang semakin
lama semakin nekat dan berani menjadi sangat berbahaya serta mengganggu
22
Harian Suara Merdeka, 16 Juli 1983, hlm. 4. Koleksi Perpustakaan
Yogyakarta. 23
Wawancara dengan narasumber yang dikarenakan alasan tertentu tidak
dapat disebutkan. Namun, isi wawancara berfungsi sebagai data primer dalam
skripsi ini. Identitas narasumber ada pada penulis, 69 tahun. 21 Februari 2015.
keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, pihak penegak hukum
Provinsi Jawa Tengah menggelar Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) di
sejumlah daerah kawasannya, khususnya di Surakarta yang disinyalir merupakan
daerah rawan GALI. Operasi kejahatan oleh penegak hukum tersebut dilakukan
beberapa kali dimulai pada 14 Agustus 1982 hingga Januari 1983 dengan sandi
operasi sebagai berikut, Operasi Cerah I sampai dengan Operasi Cerah IV yang
menghasilkan ditanggakapnya 107 pelaku kejahatan dan disitanya 164 barang
bukti, kemudian Operasi Parkit Merah berhasil menjaring 10 pelaku dan menyita
65 barang bukti, Operasi Clurit dapat menahan 130 pelaku dengan 274 barang
bukti sitaan, serta Operasi Dharma meringkus 91 pelaku dengan 132 barang
bukti.24
Dalam berlangsungnya proses Operasi Pemberantasan Kejahatan
khususnya di Surakarta, banyak terdapat pelaksanaan penegakan hukum secara
ilegal di luar proses hukum yang berlaku. Mulai dari penjemputan secara paksa
dengan target seseorang yang bertattoo mayoritas identik dengan GALI hingga
dilakukannya eksekusi langsung tanpa melalui jalur proses hukum. Sebelumnya
memang dilakukan pendataan orang-orang yang memiliki tattoo oleh pihak
kepolisian hingga Koramil, setelah pihak yang berwajib mendapatkan data,
selanjutnya mulai berlangsungnya operasi ilegal dengan menjemput sasarannya
untuk memberantas GALI yang dikenal Petrus atau Penembak Misterius.
Tindakan tersebut dikenal ekstrim, karena setelah dilakukan penjemputan, orang
yang dijemput tidak akan pernah pulang kembali, dan tidak jarang mayatnya
24
Harian Suara Merdeka, 16 Juli 1983, hlm. 3. Koleksi Perpustakaan
Yogyakarta.
hanya dibuang di pinggir-pinggir jalan, pasar, atau di teras-teras toko dengan
bekas luka tembak di kepala. Penjemput biasanya menggunakan mobil jenis jeep,
sebelum penjemputan biasanya para penjemput juga disinyalir telah mengetahui
aktivitas dan keberadaan korban. Jadi, dapat dikatakan semua yang terjadi mulai
dari pendataan hingga penjemputan seperti sudah dikondisikan. Di samping target
Petrus dari hasil pendataan juga ditambah laporan dari masyarakat. Ketika ada
seseorang di lingkungan tersebut yang meresahkan warga, maka orang tersebut
dapat menjadi target dari Petrus, di sisi lain justru ada GALI kelas kakap yang
lolos dari Petrus, karena GALI tersebut membaur dengan warga sekitar tempat
tinggalnya dan sering membantu apabila warga membutuhkan pertolongannya.25
Ketika masa Orde Baru berkuasa, jajaran Polri waktu itu masih satu
payung dengan ABRI yang sekarang telah berganti nama menjadi TNI. Jadi,
tongkat komando langsung kepada Panglima ABRI yang waktu itu sekaligus
menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Karena masih satu badan,
pihak kepolisian yang pada waktu itu jumlah personilnya masih minim dapat
meminta bantuan kepada ABRI, sehingga ABRI dapat menangani langsung di
TKP (Tempat Kejadian Perkara) apabila terjadi gangguan keamanan dan
ketertiban masyarakat yang sebenarnya menjadi tugas pokok Polri. Tahun 1980-
an awal mula adanya Petrus dikarenakan terjadinya pembunuhan terhadap
petinggi aparat penegak hukum di Jakarta dengan ciri-ciri pelaku pembunuhan
memiliki gambar tattoo pada tubuhnya. Dengan latar belakang itu, aparat penegak
25
Wawancara dengan narasumber yang dikarenakan alasan tertentu tidak
dapat disebutkan. Namun, isi wawancara berfungsi sebagai data primer dalam
skripsi ini. Identitas narasumber ada pada penulis, 69 tahun. 21 Februari 2015.
hukum kemudian melakukan pendataan secara menyeluruh kepada setiap orang
yang bertattoo lengkap dengan data kejahatan yang pernah dilakukan, karena
waktu itu tattoo identik dengan para pelaku tindak kriminal atau GALI. Setelah
mendapatkan data yang kemudian difilter lalu diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kriminalitas yang paling berat dan mencari indikasi yang mendekati sebagai
pelaku pembunuhan, dilanjutkan dengan penunjukkan orang-orang khusus sebagai
eksekutornya. Proses selanjutnya dilakukan penjemputan target dan dilakukan
eksekusi langsung tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu yang kemudian
mayatnya diletakkan di tempat-tampat umum dengan tujuan sekaligus
memberikan shock teraphy bagi para pelaku kejahatan atau GALI. Dikarenakan
operasi yang dilakukan adalah operasi rahasia, maka di kalangan masyarakat
umum dikenal dengan sebutan Petrus atau Penembak Misterius. Keberlangsungan
Penembak Misterius ini memiliki celah untuk ditunggangi kepentingan, baik
kelompok maupun individu.26
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Ali Murtopo,
berpendapat mengenai Penembak Misterius atau Petrus sebagai berikut:
Pemberantasan kejahatan dengan cara mengerahkan
Penembak Misterius atau Petrus adalah dapat
dipertanggungjawabkan dan menurut ketentuan yang
berlaku dalam pelaksanaan tugas pertahanan keamanan.
Jangan sampai persoalan kriminal yang dilakukan para
GALI tersebut jangan sampai berkembang menjadi
keadaan yang tidak dapat dikendalikan sebagaimana
yang terjadi di Italia dalam menghadapi Brigade Merah
atau Jepang dalam menghadapi Tentara Merah. Melihat
sistem konvensional sudah tidak bisa lagi mengatasi
persoalan kriminalitas di dalam negeri, maka harus
diambil tindakan untuk membasmi kejahatan, hukum
26
Wawancara dengan narasumber yang dikarenakan alasan tertentu tidak
dapat disebutkan. Namun, isi wawancara berfungsi sebagai data primer dalam
skripsi ini. Identitas narasumber ada pada penulis, 56 tahun, 25 Februari 2015.
harus ditegakkan. Maka pembasmian kejahatan
dilaksanakan menurut ketentuan dan akan
dipertanggungjawabkan kepada yang bersangkutan.
Penembak Misterius bukan masalah setuju atau tidak
setuju, dan juga bukan masalah selera karena ini
masalah nasional, cara seperti ini tentunya tidak akan
terus dipertahankan, karena Indonesia adalah negara
hukum, kalau memang sudah selesai akan dilaporkan
selesai dan tolak ukur yang tahu sudah selesai atau
belum adalah pihak yang bertanggungjawab.27
Pro dan kontra dilangsungkannya Petrus pun beredar, dari kalangan
masyarakat kelas atas dan para pengusaha setuju dilakukannya Petrus. Mereka
merasa aman karena aktivitas GALI waktu itu juga berangsur surut, akan tetapi
masyarakat kalangan bawah tidak setuju dengan tindakan ekstrim tersebut karena
melanggar Hak Asasi Manusia. Walaupun akibat dampak dari Petrus memang
benar-benar memberi efek jera kepada para GALI yang melakukan tindakan
kriminal secara brutal, namun hingga kini peristiwa Petrus belum dapat diungkap
siapa yang harus bertanggungjawab karena aktivitas ilegal tersebut telah
menghilangkan banyak nyawa.
Ketua Yayasan Bantuan Hukum LBH, Adnan Buyung Nasution, SH.
Berpendapat mengenai Penembak Misterius sebagai berikut:
Jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya
dengan main door-dooran tanpa melalui proses
pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya
kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah
tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan
orang sejak zaman Romawi kuno. Jika cara-cara itu
terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan
dibubarkan saja, jika pejabat apapun pangkatnya dan
kedudukannya, tindakan main tembak dor-doran itu
benar, saya tetap mengatakan hal itu salah.28
27
Harian Suara Merdeka, 25 Juni 1983. Koleksi Perputakaan Yogyakarta. 28 Harian Sinar Harapan 6 Mei 1983.
Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia
mereka berhak mendapat keadilan melalui lembaga
peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh
petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-
prinsip keadilan.29
B. Menurunnya Angka Kriminalitas GALI
Dengan dilakukanya Operasi Pemberantasan Kejahatan, tindak kejahatan
mengalami penurunan walaupun dalam operasi tersebut sudah banyak GALI yang
terjaring, namun masih banyak terjadi tindak kejahatan dengan kekerasan.
Menurut Kapolda IX/Jateng Mayjen (Pol) Montolulu, ditambah dengan adanya
laporan masyarakat yang sudah berani untuk melaporkan setiap tindakan
kejahatan, aparat keamanan kembali bertekad menurunkan angka kejahatan,
khususnya di wilayah Semarang dan Surakarta, walaupun harus ditempuh dengan
berbagai cara yang lunak sampai tindakan keras. Setelah dilakukannya Operasi
Pemberantasan Kejahatan sejak bulan Agustus 1982, masyarakat mulai berani dan
kooperatif ikut serta dalam memberantas aksi kejahatan. Dari perincian operasi
yang dilakukan aparat penegak hukum selama tiga bulan di Surakarta khususnya,
berhasil menangkap 538 pelaku kriminal yang enam orang diantaranya tewas
ditembak dan 45 orang lainnya berhasil ditangkap berkat bantuan dari masyarakat.
Aparat keamanan melakukan operasi tetap perpegang pada rasa kemanusiaan,
adanya perawatan kepada GALI yang tertembak dan selama operasi dilancarkan,
di Jawa Tengah telah ditindak lima anggota Polri yang menyalahi aturan, ini bukti
bahwa saat itu Polri masih berpegang pada proses hukum. Anggota Polri yang
29 Harian Sinar Harapan 14 Mei 1983.
ditindak antara lain karena menyalahi prosedur dan ceroboh misalnya, tembakan
mengenai orang yang bukan sasarannya. 30
Semenjak tiga bulan Operasi Pemberantasan Kejahatan di Semarang dan
Surakarta, pihak kepolisian berhasil menangkap 1091 penjahat atau GALI, di
antaranya 29 orang tewas tertembak dan empat lainnya tewas akibat amukan
massa karena tertangkap oleh warga. Setelah dilakukan operasi secara intensif,
angka kriminalitas di Jawa Tengah menurun drastis, data menunjukkan
menjukkan menurunnya angka kriminalitas tercatat sejak bulan Januari hingga
Juni tahun 1983, di Surakarta pada bulan Januari terdapat 92 kasus, Februari 49
kasus, dan di bulan Maret hanya 31 kasus.31
Data tersebut menunjukkan bahwa
tindak kejahatan berangsur munurun bahkan secara drastis, karena sebelumnya
pada tahun 1981 hingga September 1982 di Surakarta sendiri tercatat 33.496
kasus penodongan, penjambretan, dan perampokan, 665 kasus di antaranya
bersenjata api, sehingga muncul anggapan bahwa risiko dijambret di Jakarta lebih
aman dari pada di Surakarta.32
Terlebih lagi dengan adanya Penembak Misterius, membuat pelaku
tindak kriminal atau GALI berfikir lebih panjang apabila ingin melakukan
aksinya. Petrus merupakan faktor utama penekan turunnya angka kriminalitas dan
aktivitas GALI menjadi semakin sempit, karena Petrus merupakan tindakan tegas
yang tidak mengenal toleransi dan ditindak tidak melalui proses hukum yang
30
Harian Kompas, 23 Juni 1983, hlm. 1. Koleksi Pusat Informasi
Kompas, Jakarta. 31
Harian Kompas, 23 Juni 1983, hlm. 1. Koleksi Pusat Informasi
Kompas, Jakarta. 32
Harian Kompas, 19 Maret 1983, hlm. 1. Koleksi Pusat Informasi
Kompas, Jakarta.
berlaku, shock teraphy yang dilakukkan juga benar-benar tepat, bagaimana tidak,
ketika mengetahui tubuh temannya tergeletak sudah tidak bernyawa di tempat
umum dengan lubang bekas tembak di kepala yang dapat dilihat banyak orang,
jika ingin balas dendam juga tidak mungkin dilakukkan karena secara psikologis
pasti akan drop, dan enggan menjadi sasaran Petrus selanjutnya.33
33
Wawancara dengan narasumber yang dikarenakan alasan tertentu tidak
dapat disebutkan. Namun, isi wawancara berfungsi sebagai data primer dalam
skripsi ini. Identitas narasumber ada pada penulis, 50 tahun. 21 Januari 2015.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Ong Hok Ham. 2002. Dari Saat Priyayi Sampai Nyi Blorong. Jakarta: Kompas.
Darmanto Jatman. 1993. Sekitar Masalah Kebudayaan. Bandung: Alumni.
B. Daftar Informan
1. Nama : Badung
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : Wirausahawan
Alamat : Kepatihan
2. Nama : Agung Nugroho
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Pucangsawit
3. Nama : Data ada pada penulis
Umur : 69 tahun
Pekerjaan : -
Alamat : Gilingan
4. Nama : Data ada pada penulis
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Polisi
Alamat : -
5. Nama : Data ada pada penulis
Umur : 56 tahun
Pekerjaan : Purnawirawan TNI AD
Alamat : -
C. Surat Kabar, Majalah, Artikel, dan Internet
Suara Merdeka, 16 Juli 1983, 25 Juni 1983,
Kompas, 5 Januari 1981, 18 Maret 1982, 26 Maret 1982, 28 Maret 1982, 18 Juli
1982, 21 Maret 1983, 27 Juli 1982, 19 Maret 1983, 23 Juni 1983,
Sinar Harapan 6 Mei 1983, 14 Mei 1983.
Nuraini Juliastuti dan Antariksa. http://www.google.com/javatattooclub
yogyakarta/kamus, (diakses tanggal 3 Januari 2015 pukul 14.20)