fungsi propofol

21
SEDASI PADA PASIEN NEUROCRITICAL: APAKAH BERMANFAAT? Abstrak Obat-obat anestesi digunakan secara luas dalam penatalaksanaan pasien neurocritical, meskipun belum terbukti manfaat penggunaan obat-obat ini dalam memperbaiki outcome pasien. Tujuan penulisan tinjauan ini adalah untuk mengevaluasi manfaat penggunaan anestesi yang diharapkan dalam perubahan fisiologi yang terjadi akibat kerusakan otak dengan mengingat komplikasi lain yang mungkin terjadi. Kata kunci: Sedasi dalam - Hipnosis dan sedasi - Fisiologi, standar PENDAHULUAN Pasien di Intensive Care Unit (ICU) yang membutuhkan ventilasi mekanik sering diterapi menggunakan sedatif atau analgetik, yang diberikan secara bolus berkelanjutan maupun berkala. Tujuan utama terapi ini adalah untuk mengurapi respon stress, konsumsi oksigen, nyeri, anxietas/kecemasan, dan ketidaknyamanan Komplikasi akibat sedasi sudah banyak diketahui, antara lain: pemeriksaaan neurologis tidak dapat

Upload: utami-murti-pratiwi

Post on 29-Jan-2016

235 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Propofol Dapat Mengurangi Laju Metabolik Oksigen Serebral

TRANSCRIPT

Page 1: FUNGSI PROPOFOL

SEDASI PADA PASIEN NEUROCRITICAL: APAKAH BERMANFAAT?

Abstrak

Obat-obat anestesi digunakan secara luas dalam penatalaksanaan pasien neurocritical,

meskipun belum terbukti manfaat penggunaan obat-obat ini dalam memperbaiki

outcome pasien. Tujuan penulisan tinjauan ini adalah untuk mengevaluasi manfaat

penggunaan anestesi yang diharapkan dalam perubahan fisiologi yang terjadi akibat

kerusakan otak dengan mengingat komplikasi lain yang mungkin terjadi.

Kata kunci: Sedasi dalam - Hipnosis dan sedasi - Fisiologi, standar

PENDAHULUAN

Pasien di Intensive Care Unit (ICU) yang membutuhkan ventilasi mekanik

sering diterapi menggunakan sedatif atau analgetik, yang diberikan secara bolus

berkelanjutan maupun berkala. Tujuan utama terapi ini adalah untuk mengurapi

respon stress, konsumsi oksigen, nyeri, anxietas/kecemasan, dan ketidaknyamanan

Komplikasi akibat sedasi sudah banyak diketahui, antara lain: pemeriksaaan

neurologis tidak dapat dilakukan, infeksi misalnya pneumonia-terkait-ventilator,

hipotensi, deep venous thrombosis/thrombosis vena dalam, dan akumulasi obat-

obatan saat dilakukan pemeberian yang berkelanjutan.

Beberapa tahun terakhir telah dilakukan berbagai usaha untuk meminimalkan

komplikasi pemberian sedatif intravena dalam jangka waktu yang lama, juga untuk

menyeimbangkan antara biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diberikan. Pada

tahun 2008, Girard et al dalam penelitiannya menemukan bahwa wake up test (WUt)

dan protokol pengurangan pernapasan harian agar pasien dapat terbangun secara

spontan (interupsi sedatif) dan percobaan bernapas spontan dapat memberikan luaran

klinis yang lebih baik pada pasien ICU yang mendapatkan ventilasi mekanik jika

Page 2: FUNGSI PROPOFOL

dibandingkan dengan pendekatan terapi standar yang saat ini berlaku. Pada tahun

2009, Kress et al menemukan bahwa interupsi harian pada infus sedatif hingga pasien

terbangun dapat mengurangi durasi penggunaan ventilasi mekanik. Sebuah penelitian

yang dipublikasikan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa pasien kritis yang

menggunakan ventilasi mekanik tanpa sedasi secara signifikan memiliki periode tidak

menggunakan ventilasi mekanik yang meningkat hingga mencapai 28 hari

dibandingkan dengan pasien yang menjalani interupsi sedasi harian. Manfaat tidak

diberikannya sedasi pada pasien juga berhubungan secara signikan dengan

berkurangnya lama perawatan pasien di ICU dan rumah sakit.

Penelitian-penelitian ini dilakukan di ICU pada pasien-pasien tanpa gangguan

otak akut akibat gangguan respirasi, jantung, sepsis ataupun trauma. Karakteristik

pasien dengan gangguan oaak yang kompleks dimasukkan ke neurointensive care

unit dan menimbulkan pertanyaan serta pertimbangan lain yang perlu diberikan untuk

perubhan fisiologi otak. Tujuan terapi neuro-ICU kemungkinan berbeda dengan

tujuan pemberian sedatif pada ICU umum.

Delirium, anxietas/kecemasan, dan rasa tidak nyaman bukan merupakan

masalah utama pada pasien koma dengan fungsi otak yang terganggu. Pada kelompok

pasien neurocritical yang spesifik ini, sedasi dipertimbangkan untuk diberikan

sebagai terapi spesifik dan bukan adjuvant.

Tipe lesi otak yang berbeda membutuhkan manajemen terapi yang berbeda

juga, misalnya gangguan akut dapat timbul akibat berbagai keadaan patologis seperti

traumatic brain injury/cedera otak traumatik, stroke, perdarahan subarachnoid,

kejang, dan infeksi. Manajemen pasien juga dibedakan berdasarkan usia, penyakit

yang menyertai dan keadaan neurologis.

Tujuan penulisan tinjauan ini yaitu sebagai berikut: 1) untuk klarifikasi efek

(serebral maupun sistemik) yang mungkin timbul akibat pemberian sedatif pada

Page 3: FUNGSI PROPOFOL

ppasin dengan gangguan otak akut, 2) komplikasi yang timbul akibat sedasi, dan 3)

karakteristik farmakologi obat-obat yang sering digunakan di ICU.

DASAR PEMIKIRAN PEMBERIAN SEDATIF DI NEURO-ICU: MENGAPA

SEDASI DIBUTUHKAN?

Obat-obat anestesi secara luas telah digunakan sebagai terapi untuk pasien-

pasien neurocritical, khususnya pada fase akut dan perawatan ICU. Berdasarkan

analisis data yang diperoleh dari Neuro-Link database, tampak bahwa dari total 678

pasien, sebanyak 521 pasien dengan cedera kepala berat diberikan sedatif pada hari

ketiga. Dengan kata lain, dapat dipertimbangkan bahwa pemberian sedatif belum

terbukti bermanfaat dalam memperbaiki outcome pasien. Penelitian terhadap pasien

post-trauma dengan cedera kepala berat dan sedang yang diberikan propofol 2% dan

diberikan morfin tampak tidak memiliki perbedaan dalam hal tekanan intrakranial

((ICP) harian dan tekanan perfusi serebral (CCP). Tekanan intrakranial yang rendah

kemudian tampak pada kelompok propofol di hari ketiga pemberian, sedangkan pada

kelompok morfin tampak Therapeutic Intensity Level (TIL) yang lebih tinggi. Analisi

post-hoc menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan propofol dosis tinggi secara

signifikan memberikan outcome yang lebih baik.

Pemberian sedatif merupakan hal yang penting dan penulis berpikir bahwa

sedatif dapat digunakan sebagai terapi pada fase akut pasien dengan gangguan otak.

Penulis menganalisis karakteristik sedatif berdasarkan efek serebral dan sistemik

yang ditimbulkan.

Efek Serebral Spesifik

Pasien cedera otak (trauma, stroke, hemoragik, infeksi) memiliki risiko

mengalami iskemik otak. CPP mengalami penurunan akibat peningkatan ICP ataupun

karena penurunan tekanan arteri yang dikenal sebagai autoregulasi yaitu mekanisme

Page 4: FUNGSI PROPOFOL

yang mempertahankan aliran agar tetap konstan, di mana autoregulasi ini mengalami

gangguan bahkan menghilang. Pengendalian ICP, apapun penyebab cedera otak yang

terjadi,merupaka kunci utama penanganan neurologis. Sedatsi menurunkan cerebral

metabolic rate (CMR) sehingga cerebral oxygen uptake juga akan menurun, dan

kerusakan iskemik pada area dengan aliran perfusi yang rendah dapat dicegah. Selain

itu, penurunan CMR juga sering dikaitkan dengan menurunnya cerebral blood flow

(CBF) pada area dengan perfusi yang normal, sehingga ICP juga ikut menurun.

Kejang dan epilepsi merupakan konsekuensi yang mungkin terjadi akibat

cedera otak akut karena stroke, trauma, hemoragik, anoksia serebral, neoplasma dan

infeksi system saraf pusat. Insidens kejang bervariasi berdasarkan tipe lesi dan

beratnya kerusakan yang terjadi yaitu berkisar antara 5% hingga 25%. Peningkatan

CMR selama kejang dapat meningkatkan CBF yang kemudian diikuti oleh

peningkatan ICP.

Kejang dini terjadi pada saat cedera otak terjadi atau selama 7 hari pertama,

sedangkan kejang yang lambat akan muncul setelah 1 minggu. Pemberian anti-

konvulsan tidak berhasil mencegah epilepsi yang muncul lambat, tetapi pemberian

obat-obat hipnosis dapat mencegah terjadinya kejang pada fase akut. Berbagai obat-

obat sedatif dan anestesi dapat digunakan untuk mengatasi kejang dan status epilesi

refrakter.

Efek Sistemik General

Berbagai efek sistemik dapat langsung timbul mengganggu fisiologi serebral

dan sering terjadi pada fase akut dan selama perawatan di ICU. Nyeri merupakan

konsekuensi yang sering dialami pasien kritis yang dapat menimbulkan gejala berupa

takikardi, hipertensi dan peningkatan konsumsi oksigen myocardium. Nyeri juga

sering dialami oleh pasien-pasien ICU dan disebabkan adanya patologi (seperti

trauma) ataupun prosedur diagnostik dan terapi. Laringoskopi dan intubasi trakea

Page 5: FUNGSI PROPOFOL

mengaktifkan sistem saraf simpatis, suction menimbulkan peningkatan ICP yang

progresif akibat hipoksia, hiperkapnia, dan batuk. Batuk meningkatkan tekanan

intratorakal dan menurunkan aliran balik vena. Pada keadaan demam dan hipotermia,

reflex menggigil akan muncul untuk mempertahankan homeostasis. Pada pasien yang

disedasi, hanya proses adaptasi ventilator yang sempurna serta sinkronisasi yang

dapat mempertahankan kontrol keseimbangan PaCO2 agar tetap konstan dan sesuai

yang dibutuhkan tubuh.

PENGETAHUAN AKAN KOMPLIKASI MEMUNGKINKAN PEMBERIAN

OBAT-OBATAN DILAKUKAN DENGAN AMAN

Pasien ICU sering membutuhkan sedasi yang dalam dalam jangka waktu yang

panjang. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi yang mengancam

jiwa.

Telah diketahui bahwa banyak komplikasi yang mungkin timpul pada pasien

yang mendapatkan sedasi dan anestesi, seperti infeksi, ileus, dan thrombosis.

Tinjauan ini akan difokuskan pada komplikasi-komplikasi mayor yang dapat

terjadi pada pasien yaitu: 1) pemeriksaan neurologis tidak mungkin dilakukan; 2)

hipotensi; 3) takifilaksis dan oversedasi.

1) Pasien dengan cedera otak akut kebanyakan diintubasi, menggunakan ventilator,

dan di bawah pengaruh sedatif; pemeriksaan neurologi sulit dilakukan serta derajat

parahnya cedera dapat over-estimated. Pemeriksaan CT-scan dan monitor serebral

perlu dilakukan secara kombinasi untuk evaluasi pasien. Lesi penyebab kerusakan

otak dapat berkembang selama jam-jam pertama. Perburukan keadaan ini sering tidak

tampak karena pengaruh sedasi, dan hanya bisa diidentifikasi melalui pemeriksaan

klinis standar baku. Karena alasan ini, WUt harian sering dilakukan sebagai

pemeriksaan yang dapat dipercaya. Deteksi segera akan keadaan akut (edema otak,

Page 6: FUNGSI PROPOFOL

peningkatan lesi hemoragik atau munculnya lesi baru) dan keadaan kronis (iskemik)

akan mengubah keputusan mengenai pembedahan ataupun pendekatan medis. WUt

dapat menimbulkan gejala withdrawal (sindrom putus obat), khususnya jika obat

diberikan dalam jangka waktu pendek dan dihentikan secara tiba-tiba.

Untuk mencegah peningkatan ICP dan konsumsi oksigen, dosis obat

dikurangi secara progresif sambil tetap memperthankan pemberian analgetik dosis

rendah melalui infus.

2) Obat-obat anestesi intravena dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular

tergantung dosis yang diberikan. Obat-obat ini menurunkan irama otonom dan

memiliki efek depresan terhadap miokardium dan otot polos vaskuler sehingga

menurunkan cardiac output (curah jantung) dan menimbulkan hipotensi.

Autoregulasi serebral dapat terganggu bahkan menghilang pada pasien yang

mendapat obat-obat anestesi dan sedasi, di mana hal ini dapat menimbulkan cedera

sekunder neuronal terkait cedera otak yang sudah ada sebelumnya. Penurunan CPP

akibat hipotensi arterial dapat terjadi dan menimbulkan berkurangnya CBF.

Fenomena ini akan semakin buruk jika disertai hypovolemia akibita kekurangan

darah, cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit serta lesi spinal. Jadi kerusakan

otak dapat menyebabkan disfungsi kardiak.

3) Berkurangnya respon terhadap obat serelah pemberian infus berkelanjutan

atau pengulangan dosis dalam periode waktu yang singkat timbul akibat

meningkatnya jumlah enzim metabolsme obat dalam mikrosom hepar. Peningkatan

dosis obat tidak akan meningkatkan respon farmakologi terhadap obat. Terapi

tambahan dengan sedatif lain (sinergitas antara dua obat) akan membantu untuk

mengurangi dosis obat yang dibutuhkan.

Dengan meningkatkan efek narkotik dan hipnotik, magnesium akan

mengurangi dosis sedatif yang dibutuhkan. Magnesium sebaiknya diberikan kepada

Page 7: FUNGSI PROPOFOL

semua pasien yang membutuhkan sedasi jangka panjang dengan tujuan untuk

menstabilkan potensial eksitasi saraf dan untuk mencegah aktivasi system

glutaminergik. Pemberian analgetik berperan penting dalam manajemen pasien ini:

peningkatan konsentrasi plasma menurunkan klirens obat-obat hipnotik yang

diberikan serta memberika proteksi spsifik terhadap nyeri. Banyak komplikasi lain

yang tidak biasa dan dapat timbul dalam keadaan sedasi dalam akibat akumulasi obat-

obat stabilisasi dosis tinggi. Komplikasi tambahan yang mungkin terjadi akibat sedasi

jangka panjang antara lain toleransi pasien terhadap obat akibat akumulasi obat dan

koma yang lama. Ketergantungan terhadap obat-obatan dan gejala withdrawal

(sindrom putus obat) dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan obat sedtif dalam

periode waktu yang panjang.pasien kritis yang disedasi dapat menjadi tidak responsif

dalam jangka waktu yang panjang, sehingga tes diagnostik perlu dilakukan untuk

menilai perubahan status mental pasien.

PENGETAHUAN MENGENAI KARAKTERISTIK FARMAKOLOGI

MEMBANTU PEMILIHAN OBAT YANG AKAN DIBERIKAN

Propofol dan benzodiazepine merupakan obat yang sering digunakan di

NICU. Propofol merupakan obat anestesi/sedatif intravena yang diklasifikasikan

sebagai agen hipnotik sedatif kerja singkat yang lipofilik. Sifat lipofilik propofol

memungkinkan obat ini sehingga dapat melewati sawar darah otak secara cepat.

Metabolisme propofol pada umumnya terjadi pada hati melalui proses konjugasi

untuk mengaktivasi metabolit, yang kemudian metabolit tersebut dikeluarkan melalui

ginjal. Laju bersihan propofol tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal; namun, pasien

yang mengalami gangguan hati memiliki waktu paru eliminasi yang lebih panjang,

hanya saja hal tersebut tidak mempengaruhi proses bersihan. Waktu paruh sensitif

propofol setelah diberikan melalui infus selama 8 jam adalah 40 menit. Onset kerja

yang cepat (1-2 menit) dan durasi kerja yang singkat membuat obat ini cocok

diberikan pada pasien di NICU sehingga WUt lebih mudah terprediksi. Obat ini dapat

Page 8: FUNGSI PROPOFOL

memperkuat efek sistem inhibisi dan mengurangi transmisi nosiseptif dengan cara

memblok reseptor NMDA secara non-spesifik melalui proses modulasi reseptor

GABA-A. Depresi pada neurotransmisi eksitasi yang termediasi oleh NMDA akan

menimbulkan efek anestesia, amnesik dan anti-epileptik.

Propofol dapat mengurangi laju metabolik oksigen serebral/cerebral

metabolic rate for oxygen (CMRO2 22-43%), CMRO2 regional, CBF (38-58%) dan

CBF regional, namun coupling metabolisme serebral dan aliran darah tetap dapat

dipertahankan selama masih berada pada dosis anestetik. Propofol dapat

mempertahankan autoregulasi serebral dan menjaga reaktivitas vaskuler serebral

terhadap perubahan tekanan karbon dioksida arterial sambil mempertahankan ICP

pada pasien yang dengan atau tanpa gangguan intrakranial.

Metabolisme serebral di seluruh otak atau area tertentu otak dapat diturunkan

dengan cara meningkatkan dosis propofol atau dengan cara menginduksi hipotermia

ketika proses pemberian propofol. Ketika dua intervensi tersebut dikombinasikan,

terjadi penurunan laju metabolisme yang bersifat aditif, sementara itu coupling

metabolisme serebral dan aliran darah tidak mengalami gangguan. Kombinasi

penggunaan kedua intervensi tersebut dapat menjadi alternatif, jika tindakan

pemberian propofol dosis tinggi atau hipotermia propofol tidak memungkinkan untuk

mereduksi CBF dan CMRO2.

Propofol berkaitan erat dengan hipotensi yang berasal dari efek vasodilatasi

sistemik dan reduksi kontraktilitas jantung. Dosis induksi sebesar 2-2.5 mg/kg dapat

menurunkan tekanan darah sistolik hingga sebesar 25-40%; karena alasan itulah

sehingga kita harus berhati-hati memberikan propofol ketika kita harus

memberikannya secara bolus atau jika sedang terjadi hipovolemia.

Propofol juga memiliki efek yang penting terhadap siklus respirasi di tingkat

mitokondrial dan dapat menimbulkan efek berupa propofol infusion syndrome (PrIS).

Page 9: FUNGSI PROPOFOL

PrIS pertama kali dilaporkan pada tahun 1992 melalui suatu serial kasus yang

terdiri atas 5 pasien pediatrik yang mendapatkan propofol dosis tinggi (>5 mg/kg/jam

selama >48 jam). Pasien-pasien tersebut mengalami asidosis metabolik yang disertai

bradiaritmia dan kegagalan miokardial yang berakhir pada kematian. Dari 38 pasien

yang mengalami PrIS di penelitian sebelumnya, diketahui bahwa angka mortalitas

sindrom tersebut cukup tinggi (>80%). Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada

sindrom tersebut antara lain: rhabdomiolosis, gagal ginjal akut, kegagalan miokardial,

asidosis metabolik berat, bradiaritmia, henti jantung, dislipidemia, dan hipotensi.

Faktor resiko PrIS antara lain penggunaan dosis propofol yang melebihi 5 mg/kg/jam,

durasi terapi yang melebihi 48 jam serta pengunaan propofol yang bersamaan dengan

penggunaan katekolamin dan steroid.

Propofol dosis tinggi (>5 mg/kg/jam) pada pasien yang mengalami trauma

kepala berat memiliki kecenderungan mengalami sindrom PrIS yang mencapai 2 kali

lipat. Katekolamin dan steroid, dua kelas obat-obatan yang terlibat dalam PrIS, juga

merupakan dua jenis produk utama yang dihasilkan oleh sistem stres tubuh. Resiko

potensial lain yang berhubungan dengan PrIS adalah adanya gangguan kongenital

pada oksidasi asam lemak mitokondrial atau pasien yang melakukan diet ketogenik.

Selain itu propofol memiliki efek anti-inflamasi yang berhubungan dengan sifat

antioksidan, hal itulah yang dapat menjelaskan timbulnya gangguan respon imunitas

dan kemotaksis makrofag serta mengganggu efek fagositosis E. coli. Efek ini dapat

terjadi karena hilangnya potensial membran mitokondria dan berkurangnya kadar

ATP makrofag. Jika terdapat infeksi maka efek propofol ini memiliki makna yang

penting dalam keadaan klinis pasien.

Midazolam merupakan agen benzodiazepine yang biasanyanya digunakan

pada pasien neurocritical untuk mendapatkan onset hipnosis yang cepat serta

pemulihan yang juga cepat. Midazolam dimetabolisme menjadi beberapa metabolit

aktif dan inaktif serta memiliki laju bersihan yang cukup tinggi (10-20 kali lebih

Page 10: FUNGSI PROPOFOL

tinggi dari diazepam) dan waktu paruhnya 2-3 jam. Namun, kerja singkat midazolam

dapat diperpanjang dengan pemberian infus kontinyu (berkelanjutan) selama lebih

dari 24 jam. Diazepam dan midazolam dapat menyebabkan penurunan CMRO2 dan

CBF yang bergantung pada besarnya dosis. Penurunan “ceiling effect” pada CBF dan

CMRO2 juga dapat terjadi jika reseptor benzodiazepine telah mencapai tahap saturasi.

Khasiat dan tingkat keamanan propofol 1% vs midazolam sudah pernah diteliti pada

pasien sakit berat di ICU: pada trauma kepala berat, tidak ditemukan adanya

perbedaan pada ICP, CPP, saturasi oksigen vena jugular dan TIL ketika

menggunakan dua jenis obat. Keadaan hipotermik dapat mempengaruhi metabolisme

midazolam dan konsentrasinya dapat berubah selama terjadi hipotermia moderat yang

ditandai oleh peningkatan kadar obat secara signifikan lalu kadar tersebut turun

dengan cepat. Peningkatan yang jelas pada kadar midazolam serum selama fase

hipotermik dapat menyebabkan beberapa masalah karena efek obat ini bergantung

pada besarnya dosis, sehingga hal ini akan menimbulkan beberapa masalah seperti

depresi hemodinamika. Di sisi lain, penurunan kadar midazolam secara tiba-tiba

dapat menimbulkan kejang pada pasien cedera otak.

Propofol dan benzodiazepine dapat bekerja secara komplementer pada

reseptor GABA dengan cara meningkatkan transmisi. Propofol memiliki afinitas yang

lebih kuat pada reseptor GABA-A, sedangkan benzodiazepine dapat berikatan dengan

dua reseptor lain, B dan C, dengan begitu terlihat jelas bahwa kedua obat tersebut

memiliki efek sinergi sehingga kita dapat menggunakannya secara kombinasi untuk

mengurangi jumlah dosisnya, namun tetap menghasilkan kualitas sedasi serta

menurunkan akumulasi dan redistribusi.

Diazepam merupakan jenis benzodiazepine pertama yang digunakan untuk

sedasi di unit penanganan intensif neurologi. Obat ini memiliki onset kerja ang cepat

dan waktu paruhnya 30-60 jam serta harus dimetabolisme untuk menjadi metabolit

Page 11: FUNGSI PROPOFOL

aktifnya. Waktu paruh obat ini dapat mengalami pemanjangan pada pasien yang

mengalami kegagalan hati dan pasien berusia tua.

Lorazepam merupakan suatu benzodiazepine larut air yang dapat mengalami

glukoronidasi. Kelarutannya yang bersifat moderat/sedang pada lipid berperan dalam

ambilan otak yang lebih lambat dan onset kerja yang lebih lama jika dibandingkan

dengan diazepam. Waktu paruh lorazepam adalah sekitar 14jam.

Opioid (morphine, fentanyl, sufentanil dan remifentanil) digunakan untuk

pasien sakit berat karena obat-obatan tersebut memiliki kualitas analgesia yang baik

dan dapat mempertahankan stabilitas hemodinamik. Remifentanil merupakan salah

satu jenis opioid yang sangat mudah dititrasi karena durasi kerjanya yang sangat

singkat (3-10 menit setelah pemberian dosis tunggal) serta waktu paruh distribusinya

yang juga singkat (1 menit). Sebuah penelitian acak melakukan evaluasi pada pasien

cedera otak yang diintubasi dan diventilasi secara mekanik atau pasien pasca-bedah

saraf yang mendapatkan remifentanil yang diikuti pemberian agen hipnotik (propofol

yang diikuti midazolam) dan pasien yang mendapatkan fentanyl atau morphine, yang

dikombinasikan dengan agen hipnotik (propofol yang diikuti midazolam). Waktu

yang diperlukan untuk penilaian neurologis pada remifentanil ternyata jauh lebih

singkat jika dibandingkan dengan fentanyl atau morphine. Waktu ekstubasi juga lebih

cepat pada kelompok remifentanil.

Pada pasien cedera kepala, remifentanil dapat memberikan sedasi yang efektif

selama menjalani prosedur intervensi yang menimbulkan nyeri dalam waktu singkat

(seperti saat melakukan fisioterapi, suction endotrakeal) tanpa menimbulkan efek

samping pada hemodinamika serebrovaskuler.

SARAN KAMI: SUATU ALGORITMA SEDASI

Page 12: FUNGSI PROPOFOL

Hingga saat ini belum ada obat sempurna yang dapat mengurangi ICP,

mempertahankan autoregulasi, dengan efek samping minimal pada sistem

kardiovaskuler, serta memiliki onset kerja yang cepat dan waktu paruh yang singkat.

Sehingga, kita harus memilih sedasi berdasarkan sifatnya dan kondisi klinis pasien.

Sebelum memulai terapi, kita harus menormalisasi parameter yang dapat

memodifikasi volume otak dan suplai oksigen, seperti: glikemia, osmolalitas, suhu,

tekanan darah, volume intravaskuler, hemoglobin, oksigenasi dan ventilasi.

Agen pemblok neuromuskuler jarang diperlukan ketika sedasi yang adekuat

telah tercapai. Kondisi paralisis harus digunakan dalam periode yang sesingkat-

singkatnya.

Sedasi yang berkepanjangan memiliki banyak efek samping, penggunaan

anestetik harus dilakukan seminimal mungkin; evaluasi neurologis (WUt) memainkan

peranan penting dalam pemilihan obat.

Kita memerlukan suatu algoritma yang dapat mencegah dan mengatasi

peningkatan ICP pada berbagai patologi otak akut.

Kami menyarankan suatu algoritma berdasarkan jenis hipnotik yang

sering digunakan di ICU-saraf, seperti: propofol, midazolam, dan

diazepam:

Sebelum dirawat inap: kita harus melakukan evaluasi klinis, atasi

kondisi hipovolemia, berikan analgesia: propofol 1-4 mg/kg/jam

Selama 24-72 jam pertama di ICU: harus dilakukan evaluasi klinis,

pemantauan ICP dan CPP, pertahankan analgesia selama melakukan

uji kesadaran: propofol tidak boleh melebihi 4 mg/kg/jam, awali

dengan pemberian midazolam (0.1-0.5 mg/kg/jam).

Page 13: FUNGSI PROPOFOL

Setelah 72 jam, jika ICP sulit dikontrol, pertimbangkan telah terjadi

depresi kardiovaskuler, atasi dengan pemberian inotropik atau

vasokonstriktor: awali dengan diazepam, pertimbangkan waktu paruh

obat dan pertahankan analgesia;

Hipertensi intrakranial, pertimbangkan kemungkinan terjadinya

depresi kardiovaskuler, atasi dengan pemberian inotropik atau

vasokonstriktor: laju infus diazepam yang tinggi harus dititrasi agar

dapat mengontrol ICP, mempertahankan analgesia, dan melakukan

pemberian kombinasi propofol dosis rendah.

Penyapihan (weaning): pertimbangkan efek oversedasi selama

melakukan evaluasi pada pasien, hindari sindrom putus obat pada

pasien.

Kurangi infus diazepam intravena secara progresif lalu gunakan rute

pemberian diazepam secara enteral.

KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan, meskipun hingga saat ini belum ada bukti yang dapat

mendukung perbaikan luaran pasien pasca penggunaan sedatif, namun sudah jelas

bahwa sedatif memiliki banyak keuntungan dalam penatalaksanaan pasien cedera

otak akut. Strategi sedasi yang baik bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi

dan melakukan pemberian obat sesuai dengan patologi dan situasi klinis pasien.