Download - China's Peaceful Rise: A Controversy
Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional 1
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA
KONTROVERSI KEBANGKITAN CINA DALAM DUNIA INTERNASIONAL: DEFENSIF ATAU OFENSIF?
Binar Sari Suryandari 1006664685
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama sepuluh terakhir ini, fenomena kebangkitan Cina merupakan sebuah drama besar
yang terjadi dalam dunia internasional. Kebangkitan dan perkembangan Cina di bidang ekonomi
memang sebuah fenomena yang sangat luar biasa. Fenomena ini, tidak diragukan lagi, telah
menjadi bahan pembicaraan bagi hampir seluruh masyarakat dunia. Sebelumnya Cina merupakan
salah satu negara di Asia Timur yang sejak lama memang dapat dianggap sebagai negara maju.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kapabilitas Cina di Asia Timur merupakan salah satu yang terhebat
bersama Jepang dan Korea Selatan. Namun demikian, pertumbuhan dan kebangkitan Cina yang
luar biasa selama sepuluh tahun terakhir ini membuat Cina menjadi salah satu power yang
diperhitungkan tidak hanya di kawasan Asia, tetapi juga dalam dunia internasional. Tak hanya itu,
kebangkitan Cina ini pun seringkali dinilai dapat menggeser Amerika Serikat dari posisinya
sebagai negara hegemon.
Walaupun kebangkitan Cina ini merupakan sebuah fenomena yang luar biasa, Cina
berusaha menjelaskan kepada masyarakat dunia bahwa negaranya sama sekali tidak memiliki niat
untuk menjadi negara hegemon dalam sistem internasional. Jenderal Chen Bingde, seorang kepala
staf umum dari People’s Liberation Army mengatakan bahwa Cina tidak bermaksud untuk
menantang dan melawan Amerika Serikat.1 Tak hanya itu, sejak tahun 2003 pun Cina telah
memperkenalkan dunia tentang istilah ‘peaceful rise’ yang tengah dilakoninya.2 ‘Peaceful rise’
atau ‘peaceful development’ ini pada dasarnya merupakan kebijakan Cina yang muncul sebagai
bentuk respon dari istilah “China’s threat” dan tekanan dari Amerika Serikat.3
Niat dan intensi kebangkitan Cina yang dikemukakan oleh pemerintah Cina tersebut
nyatanya tidak menghindarkan Cina dari anggapan-anggapan beberapa pihak yang merasa
1 “China 'will not match' US military power – general” yang diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-
13450316 pada 20 Desember 2011 pukul 19.17 WIB. 2 Sujian Guo, China's "Peaceful rise" in the 21st Century: Domestic and International Conditions (Burlington: Ashgate
Publishing Company, 2006), hlm. 1. 3 Ibid.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
2
terancam akan perkembangan luar biasa yang tengah dilakukan oleh Cina tersebut. Hal ini
memunculkan kontroversi dan pertanyaan terkait masa depan kondisi dunia internasional. Dalam
makalah ini, penulis akan berusaha membahas tentang kebangkitan Cina dan anggapan beberapa
pihak terkait fenomena tersebut. Penulis juga akan menganalisis kondisi masa depan dunia
internasional dengan adanya perkembangan hebat yang saat ini tengah dijalankan oleh negara
Cina.
1.2 Pertanyaan Permasalahan
Dalam makalah ini, pertanyaan yang berusaha dijawab adalah “Apakah fenomena
kebangkitan Cina yang tengah terjadi tidak berpotensi menimbulkan konflik sesuai dengan
konsep ‘peaceful rise’ yang dikemukakannya?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis
menggunakan perspektif realisme struktural yang didukung dengan data-data dan dianalisis
menggunakan teori offensive realism dan asumsi tentang sistem internasional.
1.3 Kerangka Teori
a. Asumsi tentang Sistem Internasional4
John J. Mearsheimer mengemukakan adanya lima asumsi tentang sistem internasional.
Asumsi-asumsi ini pada dasarnya merupakan penjelasan mengapa negara menginginkan
power. Lima asumsi tentang sistem internasional tersebut adalah :
1. Great powers merupakan aktor utama dalam politik dunia dan mereka beroperasi
dalam sistem yang anarki.
2. Semua negara memiliki kapabilitas militer yang ofensif. Dengan kata lain, setiap
negara memiliki power untuk dapat mengakibatkan kehancuran pada negara-negara
lainnya.
3. Negara tidak dapat benar-benar yakin akan intensi atau niat dari negara lain.
4. Tujuan utama dari negara adalah untuk dapat survive.
5. Negara adalah aktor yang rasional, dengan demikian negara mampu melakukan
strategi-strategi untuk memaksimalkan prospek mereka untuk meraih survivability.
4 John J. Mearsheimer, “Structural Realism”, dalam Dunne, Kurki, & Smith (ed.), International Relations Theories:
Discipline and Diversity (New York: Oxford University Press, 2010), hlm. 79-80.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
3
Dalam makalah ini, asumsi-asumsi ini akan digunakan untuk dapat menganalisis
perkembangan kebangkitan Cina dalam dunia internasional. Namun demikian, asumsi utama
yang digunakan dalam makalah ini adalah asumsi tentang sistem internasional yang kedua
dan ketiga.
b. Offensive Realism
Teori Offensive realism ini pertama kali diperkenalkan oleh John J. Mearsheimer dalam
karyanya The Tragedy of Great Power Politics pada tahun 2001. Teori ini berbeda dengan
realisme struktural yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz yang diklasifikasikan sebagai
bentuk defensive realism oleh Mearsheimer. Teori yang dikemukakan oleh Mearsheimer ini
pada dasarnya merupakan teori yang menjelaskan mengenai seberapa banyak sebuah negara
membutuhkan power untuk menjamin survivability yang ingin dicapainya. Offensive realisme
Mearsheimer mengatakan bahwa negara akan terus berusaha mencari dan mendapatkan power
sebanyak-banyaknya. Power diperlukan oleh setiap negara dalam sistem internasional yang
anarki ini untuk dapat menjamin keselamatan negaranya.5 Dalam realisme ofensif, great
powers akan selalu berusaha mencari kesempatan untuk meraih keuntungan dari satu sama
lain, dengan tujuan akhir menjadi negara hegemon.6 Pendekatan yang lebih agresif inilah
yang membedakan kajian Mearsheimer dengan apa yang telah dikemukakan oleh Waltz
sebelumnya.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pada dasarnya realisme ofensif memiliki
asumsi bahwa untuk dapat mempertahankan survivability yang dimilikinya, negara harus terus
meningkatkan power-nya. Dalam hal ini, realisme ofensif merasa bahwa untuk dapat
menjamin keselamatan negara seutuhnya, negara harus terus meraih power sebesar-besarnya
dan berusaha menjadi negara hegemon dalam dunia internasional.7 Asumsi realisme ofensif
ini memang tergolong cukup agresif dan mengemukakan bahwa terdapat kemungkinan akan
terjadinya kompetisi keamanan di antara negara dan perang antara great powers dapat saja
terjadi.
5 John J. Mearsheimer, “The Tragedy of Great Power Politics”, dalam Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International
Relations Theory (New York: Longman-Pearson, 2010), hlm. 100-101. 6 John J. Mearsheimer, “Structural Realism”, Op. Cit., hlm. 83. 7 Ibid., hlm. 102.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bagian ini, penulis akan membagi pembahasan menjadi tiga bagian. Bagian pertama
akan membahas mengenai sifat perkembangan dan kebangkitan Cina yang sangat agresif. Dalam
bagian ini, penulis akan memberikan beberapa data yang menggambarkan pergerakan agresif Cina
dalam dunia internasional. Kemudian pada bagian kedua, penulis akan memaparkan anggapan-
anggapan dari negara lain terkait perkembangan Cina yang luar biasa. Dalam bagian tersebut pula
akan digunakan teori offensive realism untuk menjelaskan bagaimana keagresifan perkembangan
Cina dan anggapan dari negara lain mengindikasikan adanya pursuit of hegemony dari Cina. Pada
bagian ketiga, akan dikemukakan analisis penulis mengenai data-data yang telah disajikan serta
anggapan-anggapan yang muncul. Dalam bagian ini pula akan digunakan asumsi tentang sistem
internasional untuk membantu menganalisa fenomena yang terjadi.
2.1 Cina dan keagresifan kebangkitannya
Perkembangan Cina yang banyak disorot memang merupakan perkembangannya di sektor
ekonomi. Namun demikian, tentu perkembangan pesat Cina di bidang ekonomi tersebut memiliki
dampak pada sektor-sektor lain, termasuk militer. Hal tersebut tercermin dalam data di bawah
ini8:
8 “Increased spending before and even during global economic crisis”, yang diakses dari
http://www.globalissues.org/article/75/world-military-spending pada 22 Desember 2011 pukul 22.10 WIB.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
5
Grafik tersebut menunjukkan bagaimana Cina mengalami peningkatan yang luar biasa
dalam bidang milliternya. Peningkatan yang dilakukan Cina sangat besar dan paling menonjol di
antara negara-negara lain yang dituliskan dalam grafik tersebut (direpresentasikan dengan garis
merah pada grafik). Amerika Serikat memang masih mendominasi pembelian alat-alat militer di
dunia, namun peningkatan yang dilakukan Cina sangatlah luar biasa. Hal ini menempatkan Cina
sebagai salah satu negara dengan peningkatan military expenditure tertinggi di dunia bersama
Amerika Serikat.
9 10
Figur di atas menunjukkan peran Cina dalam distribusi dari military expenditure secara
global pada tahun 2010. Tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat tetap mendominasi
belanja militer dunia, namun peran Cina pun dapat dianggap cukup berarti. Figur kedua pun
membandingkan belanja militer yang dilakukan oleh Cina dan Amerika Serikat. Walaupun
9 “World Military Spending”, yang diakses dari http://www.globalissues.org/article/75/world-military-spending pada 22
Desember 2011 pukul 22.03 WIB. 10 “Chinese Military Modernization Program Continues Apace, Though Persistent Domestic Development Problems
Remain”, yang diakses dari http://strategic-discourse.com/2010/12/chinese-military-modernization-program-continues-apace-though-persistent-domestic-development-problems-remain/ pada 22 Desember 2011 pukul 23.07 WIB.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
6
Amerika Serikat tetap berada di tingkat yang jauh dari apa yang Cina lakukan, tapi dapat terlihat
bahwa Cina pun melakukan peningkatan dari tahun ke tahun yang cukup terlihat.
Selain dapat dilihat dari statistiknya, keagresifan Cina juga dapat dilihat melalui tindakan-
tindakannya. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan strategi balancing atau soft balancing
yang dilakukan Cina, salah satunya terlihat dalam kasus Irak pada tahun 2003. Cina yang
memang tidak setuju dengan aksi militer yang dilancarkan oleh Amerika Serikat nyatanya men-
challenge Amerika Serikat secara lebih terang-terangan dibanding Rusia, Jerman, dan Prancis.11
Hal ini menunjukkan bahwa secara kebijakannya Cina terkesan lebih percaya diri, berani, lebih
tegas. Keagresifan Cina juga terlihat melalui pembangunan angkatan militer Cina yang tengah
dilakukannya. Pembangunan militer ini memiliki proyeksi power yang cukup signifikan. Hal ini
dibuktikan melalui fakta bahwa saat ini Cina sedang membangun naval forces yang dapat
memproyeksikan power hingga sampai ke 'Second Island Chain' yang terletak di Pasifik Barat.12
Dikatakan pula bahwa Cina sedang merencanakan untuk membangun 'blue water navy' yang
dapat beroperasi di daerah Laut Arab dan Samudera Hindia.13
Pergerakan Cina yang agresif juga dapat ditinjau dari usaha dan manuvernya terkait isu di
kawasan Asia Pasifik, yaitu di kawasan Laut Kuning dan Laut Cina Selatan. Pada akhir Juli 2010,
Angkatan Laut Korea Selatan dan Amerika Serikat melakukan latihan angkatan laut bersama
sebagai respon dari dugaan adanya penenggelaman kapal angkatan laut Korea Selatan oleh Korea
Utara. Latihan ini direncanakan akan dilaksanakan di Laut Kuning yang berdampingan dengan
batas laut Cina. Namun, protes keras dari Cina memaksa Amerika Serikat untuk memindahkan
latihan tersebut hingga ke Laut Jepang.14 Pengusiran Cina terhadap Amerika Serikat ini terjadi
pula di kawasan sengketa Laut Cina Selatan. Pada Maret 2010, petugas Cina berkata pada para
pembuat keputusan Amerika Serikat bahwa Amerika Serikat tidak lagi diperbolehkan untuk
mencampuri urusan di Laut Cina Selatan, yang dianggap Cina sebagai 'core interest' seperti
Taiwan dan Tibet.15 Pengusiran yang dilakukan oleh Cina terhadap Amerika Serikat di kawasan-
11 Ian Clark, “China and the United States: a succession of hegemonies?” dalam International Affairs : 87 : I : 2011, hlm.
22. 12 John J. Mearsheimer, “The Gathering Storm: China’s Challenge to US power in Asia” dalam The Chinese Journal of
International Politics, Vol. 3, 2010, hlm. 384. 13 Ibid. 14 Michael Sainsbury, “Don’t Interfere with Us: China Warns US to Keep its Nose Out” dalam The Australian, Edisi 6
Agustus 2010. 15 Edward Wong, “Chinese Military Seeks to Extend its Naval Power”, New York Times, Edisi 23 April 2010.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
7
kawasan tersebut menunjukkan sebuah keberanian Cina yang meningkat seiring dengan
perkembangannya.
Manuver terbesar Cina yang sangat terlihat adalah pergerakannya di kawasan Laut Cina
Selatan yang memang tengah diwarnai persengketaan selama bertahun-tahun. Pada dasarnya
konflik di kawasan ini adalah konflik perebutan wilayah dan teritori. Cina merupakan salah satu
negara yang sangat vokal dalam menyuarakan klaimnya terhadap wilayah Laut Cina Selatan.
Bahkan diberitakan di Global Times, salah satu juru bicara Cina mengatakan bahwa Filipina yang
dibantu oleh Amerika Serikat telah berusaha "mengambil daerah laut Cina" yang pada nyatanya
belum dapat diputuskan demikian.16 Kepercayaan diri Cina ini nyatanya merupakan bentuk
keagresifan Cina yang ditunjukkannya. Segala klaim yang diajukan oleh Cina terkait
persengketaan ini dapat dinilai sangat berapi-api dan sangat vokal. Terlebih lagi keagresifannya
dapat dilihat melalui klaim kawasan di Laut Cina Selatan yang ditunjukkan melalui gambar di
bawah ini:17
16 Tom Allard, “Tension Rise on South China Sea Dispute”, yang diakses dari http://www.smh.com.au/world/tensions-
rise-on-south-china-sea-dispute-20111116-1nj4v.html pada 29 Desember 2011 pukul 23.38 WIB. 17 “Wen warns US on South China Sea dispute” yang diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-15790287
pada 6 Januari 2012 pukul 19.55 WIB.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
8
Gambar tersebut menjelaskan bahwa Cina melakukan klaim yang sangat luar biasa dalam
persengketaan Laut Cina Selatan (direpresentasikan dengan garis berwarna merah). Jika
diperhatikan, UNCLOS telah menetapkan zona ekonomi eksklusif yang direpresentasikan dengan
garis warna biru. Namun kenyataannya, Cina mengemukakan klaimnya yang sangat agresif. Hal
ini terlihat dari garis merah yang merupakan kawasan yan diklaim oleh Cina sebagai wilayah
teritorinya. Garis berbentuk huruf ‘U’ yang sangat besar ini jelas mengindikasikan bagaimana
manuver Cina yang sangat agresif terkait persengketaan di kawasan tersebut. Klaim semacam ini
tidak pernah dilakukan oleh negara manapun, dan tentu saja hal ini merupakan sebuah tindakan
luar biasa yang cukup mengkhawatirkan banyak pihak lainnya. Dari kasus ini, keagresifan Cina
jelas sangat terlihat.
2.2 Anggapan dunia internasional akan kebangkitan Cina dan offensive realism
Pada bagian latar belakang, telah dikatakan bahwa Cina sebenarnya berusaha menanamkan
pada dunia bahwa kebangkitannya tersebut tidaklah perlu dianggap sebagai ancaman karena pada
dasarnya mereka tidak memiliki maksud demikian. Cina mengatakan bahwa kebangkitannya
merupakan suatu hal yang memang dibutuhkan oleh Cina demi tercapainya kesejahteraan kondisi
domestik negaranya. Hal ini dituangkan oleh Cina dalam ‘kertas putih’ pertahanan negaranya
pada tahun 2010. Dalam ‘kertas putih’ tersebut, Cina mengatakan bahwa kebijakan pertahanan
nasionalnya murni ‘defensif’, dan dengan kata lain mengatakan bahwa Cina tidak akan mengejar
hegemony.18 Namun demikian, nyatanya, hal ini tidak disambut baik oleh pihak-pihak lain dalam
dunia internasional. Walaupun perkembangan besar-besaran yang dilakukan oleh Cina ini ditutupi
dengan topeng ‘peaceful rise’ yang diusung oleh Cina, mayoritas negara di dunia tetap merasa
Cina merupakan sebuah ancaman dengan perkembangannya yang luar biasa tersebut.
Nyatanya apa yang dilakukan oleh Cina ini tetap dianggap sebagai sebuah ancaman bagi
dunia internasional, terutama Amerika Serikat yang merupakan negara hegemon di masa ini. Cina
memang masih menunjukkan keinginannya untuk menghindari konflik besar terkait dengan
kebangkitannya. Namun demikian, pihak Amerika Serikat khawatir bahwa keinginan tersebut
18 David Axe, “China's 'Ripples of Capability': An Interview with Andrew Erickson”, yang diakses dari
http://defense.aol.com/2011/08/29/unchinas-ripples-of-capability-an-interview-with-andrew-eric/ pada 23 Desember 2011 pukul 20.17 WIB.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
9
tidak akan terus bertahan.19 Kekhawatiran Amerika Serikat ini tentu diakibatkan oleh adanya
peningkatan yang cukup signifikan dari militer Cina. Selain itu, Amerika Serikat juga menuding
tidak adanya transparansi yang dilakukan Cina terkait dengan perkembangan besar-besaran yang
dilakukannya tersebut.20 Kapabilitas Cina yang semakin membesar dan menguat di bidang militer
ini, menurut The Pentagon, akan menimbulkan ketegangan dan kekhawatiran baik dalam skala
regional maupun global.21
Australia pun yang selama ini merupakan negara yang cukup secure atau aman,
mengemukakan kekhawatirannya terhadap kebangkitan Cina. Kekhawatiran ini dituangkan oleh
pemerintah Australia dalam ‘Defense White Paper’-nya. Dalam buku putih pertahanannya
tersebut pemerintah Australia menyatakan bahwa dengan adanya kebangkitan dari power lain
(Cina), kedudukan Amerika Serikat akan diuji dan power relations antara negara-negara di dunia
pun akan berubah. Dan ketika hal ini terjadi, aka nada kemungkinan akan terjadinya miskalkulasi
yang dapat menyebabkan munculnya konfrontasi di antara power tersebut.22 Negara-negara
tetangga Cina di kawasan Asia Pasifik pun tentunya sangat mengkhawatirkan kebangkitan Cina
tersebut. Terdapat beberapa bukti kekhawatiran dari negara-negara seperti India, Jepang, dan
Rusia, serta negara lain seperti Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam akan perkembangan besar-
besaran yang dilakukan oleh Cina. Sebagai contoh, India dan Jepang menandatangani sebuah
‘Joint Security Declaration’ pada Oktober 2008 yang sebagian besar dikarenakan kekhawatiran
negara tersebut akan perkembangan power Cina.23
Terkait dengan manuver yang dilancarkan oleh Cina yang cukup agresif dalam
persengketaan Laut Cina Selatan, pihak Filipina dan Amerika Serikat pada Maret 2011 lalu
menandatangani sebuah deklarasi yang pada dasarnya bermaksud untuk memperkuat kerjasama
di bidang pertahanannya.24 Anggapan lain nyatanya juga datang dari India dan Amerika Serikat
yang sejak Perang Dingin pada dasarnya tidak memiliki hubungan yang dapat dikatakan baik.
Namun demikian, akibat adanya keagresifan Cina yang muncul seiring dengan 19 J.M., “China's military power: Modernisation in sheep's clothing “ yang diakses dari
http://www.economist.com/node/21527010 pada 24 Desember 2011 pukul 09.38 WIB. 20 Ibid. 21 Ibid. 22 Department of Defence, Australian Government, Defending Australia in the Asia Pacific Century: Force 2030, hlm. 33
yang diakses dari http://www.defence.gov.au/whitepaper/docs/defence_white_paper_2009.pdf, pada 28 Desember 2011 pukul 20.11 WIB.
23 David Brewster, “The India–Japan Security Relationship: An Enduring Security Partnership” dalam Asian Security, Vol. 6, No. 2 (2010), hlm. 95–120.
24 Tom Allard, Loc.Cit.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
10
perkembangannya, kedua negara ini pun akhirnya memperbaiki hubungan di antara negara
mereka. Bahkan kedua negara ini seolah telah menjadi ‘teman baik’ sebagian besar karena
kekhawatiran mereka terhadap Cina.25 Keinginan Amerika Serikat untuk memperoleh dukungan
dari negara lain dalam usahanya menjaga posisi dalam tatanan sistem internasional nyatanya juga
terlihat melalui pergeseran hubungannya dengan Indonesia. Amerika Serikat mengemukakan
bahwa negaranya melanjutkan kembali hubungannya dengan pasukan khusus Indonesia, terlepas
dari sejarah kelam Indonesia mengenai diskriminasi HAM yang sangat dibenci oleh Amerika
Serikat pada masa itu. Hal ini dilakukan oleh Amerika Serikat karena negaranya menginginkan
Indonesia untuk berada di pihaknya seiring dengan semakin kuatnya Cina.26
Singapura yang terletak dekat dengan Selat Malaka yang sangat ramai dan sibuk, nyatanya
juga merasa khawatir dengan kebangkitan Cina. Oleh karena itu, Singapura berkeinginan untuk
meng-upgrade hubungannya yang memang sudah dekat dengan Amerika Serikat. Selaras dengan
hal tersebut, Singapura bahkan membangun sebuah dermaga laut dalam (deep-water pier) di
Changi Naval Base-nya yang baru sehingga angkatan laut Amerika Serikat dapat mengoperasikan
kapal lautnya di kawasan Singapura jika memang dibutuhkan.27 Ternyata, tidak hanya Singapura,
Jepang pun juga melakukan hal yang sama. Jepang membiarkan angkatan laut Jepang untuk tetap
di berada di Okinawa karena Jepang pada dasarnya menginginkan negaranya tetap berada di
bawah payung keamanan Amerika Serikat, terkait dengan kekhawatirannya akan keagresifan
Cina.28
Tak hanya itu, bahkan media pun menyorot kebangkitan Cina ini sebagai bentuk ancaman
bagi negara-negara Barat. Kapabilitas Cina yang besar konon dikatakan dapat menggeser negara-
negara Barat dari posisi mereka yang saat ini cukup aman dalam politik internasional. Cina juga
diprediksi akan menggunakan pengaruh dari perkembangannya untuk membentuk ulang
peraturan-peraturan yang ada dalam institusi internasional agar lebih menguntungkan
kepentingannya dan negara-negara lain dalam sistem internasional akan menganggap Cina
25 John J. Mearsheimer, “The Gathering Storm: China’s Challenge to US power in Asia”, Op.Cit., hlm. 390. 26 Robert Dreyfuss, “Containing China is A Fool’s Errand. Yet Obama’s Deal with Indonesian Thugs is Aimed at Exactly
That” dalam The Nation, Edisi 23 Juli 2010. 27 “Singapore Changi Naval Base” yang diakses dari http://www.globalsecurity.org/military/facility/singapore.htm pada
3 Januari 2012 pukul 22.14 WIB. 28 “Japan Agrees to Accept Okinawa Base” yang diakses dari http://www.upi.com/Top_News/US/2010/05/23/Japan-
agrees-to-accept-Okinawa-base/UPI-72831274623169/ pada 8 Januari 2012 pukul 23.09 WIB.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
11
sebagai ancaman terhadap keamanan mereka.29 Ketiadaan transparansi dalam militer dan
hubungan keamanan Cina pun memperkuat ketidak-pastian dan kekhawatiran, hal ini juga akan
meningkatkan potensi akan kesalahpahaman antar negara di dunia.30
Dari pernyataan kekhawatiran yang telah dikemukakan oleh beberapa pihak tersebut,
tercermin bahwa pada dasarnya publik internasional tidak dapat percaya dengan apa yang diusung
oleh Cina sebagai ‘peaceful rise’ tersebut. Nyatanya, beberapa pihak pun tetap merasa
kebangkitan Cina ini sebagai sebuah ancaman global. Hal ini menunjukkan adanya asumsi bahwa
dunia internasional merasakan kebangkitan Cina sebagai langkah yang ofensif. Kekhawatiran
masyarakat internasional ini sebenarnya masuk akal dan sesuai dengan asumsi realisme ofensif
yang dikemukakan oleh Mearsheimer. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada
dasarnya setiap negara akan terus mengejar power sebanyak-banyaknya untuk dapat meraih
survivability negaranya. Hal ini pulalah yang oleh pihak internasional dilihat sebagai usaha Cina
terkait kebangkitannya. Walaupun Cina berusaha menjelaskan maksud dan niatnya yang terkesan
“peaceful” dan ketidak-inginannya mengejar status negara hegemon, hal ini bertentangan dengan
realisme ofensif yang dikemukakan oleh Mearsheimer. Dalam hal ini, realisme ofensif
menjelaskan bahwa Cina melakukan perkembangan negaranya secara besar-besaran tersebut
untuk menjadi negeara hegemon agar keselamatannya terjamin.
Offensive realism dalam kasus ini tentu mengemukakan kebangkitan Cina sebagai salah satu
bentuk imitasi terhadap Amerika Serikat dan usaha untuk meraih posisi sebagai negara
hegemon.31 Sesuai dengan yang dikatakan oleh Mearsheimer, posisi hegemon ini menjadi penting
dan krusial karena posisi tersebut merupakan garansi terbaik akan kelangsungan hidup dan
keselamatan suatu negara. Keofensifan dan keagresifan Cina dalam kebangkitannya yang telah
disebutkan pada bagian sebelumnya pun menunjukkan bagaimana Cina pada dasarnya
berkembang dalam kerangka realisme ofensif. Tindakan dan statistik yang menunjukkan
perkembangan Cina yang luar biasa sekaligus menunjukkan keagresifannya tersebut menjadi
sebuah bukti kemungkinan adanya usaha Cina untuk menjadi negara hegemon.
29 G. John Ikenberry, “The Rise of China and the Future of the West” yang diakses dari
http://www.foreignaffairs.com/articles/63042/g-john-ikenberry/the-rise-of-china-and-the-future-of-the-west pada 23 Desember 2011 pukul 18.19 WIB.
30“US says China's military has seen secret expansion” yang diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-10995111 pada 23 Desember 2011 pukul 19.01 WIB.
31 John J. Mearsheimer, “Structural Realism”, Op. Cit., hlm. 89.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
12
Walaupun Cina berusaha mengemukakan kebijakannya yang terkesan defensif, nyatanya
dunia internasional tidak melihatnya demikian. Dunia internasional melihat perkembangan Cina
sebagai suatu tindakan yang ofensif. Hal ini terutama ditunjukkan oleh Amerika Serikat yang
merupakan negara hegemon yang ‘berkuasa’ pada masa ini. Baik secara implisit maupun
eksplisit, Amerika Serikat menunjukkan bahwa negaranya menganggap kebangkitan Cina
tersebut sebagai ancaman terhadap negaranya dan dunia internasional secara umum. Walaupun
kapabilitas Cina masih di bawah Amerika Serikat saat ini, namun jika Cina terus berkembang
secara pesat, Cina dapat saja menyusul Amerika Serikat dan menggesernya dari posisi hegemony.
Hal inilah yang secara tidak langsung dikhawatirkan oleh pihak Amerika Serikat, karena pada
dasarnya Amerika Serikat sadar akan asumsi realisme ofensif yang dapat menjelaskan
kebangkitan Cina dalam kerangka yang agresif.
Anggapan dari negara-negara lain, terutama negara tetangga Cina di kawasan Asia yang
telah disebutkan sebelumnya pun merupakan sebuah bentuk bukti kekhawatiran dunia terkait
dengan perkembangan Cina yang terkesan agresif. Perilaku agresif Cina, yang telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya, nyatanya menuai keresahan bagi negara-negara di dunia terutama
negara-negara di kawasan Asia. Anggapan negara-negara tersebut bahkan mengindikasikan
bahwa negara-negara tersebut seolah sadar akan asumsi realisme ofensif yang tengah dijalankan
oleh Cina dan negara-negara tersebut nyatanya berusaha menyelamatkan negaranya dengan
mengikuti dan memperkuat hubungannya dengan Amerika Serikat. Koalisi pun menjadi terbentuk
dan hal ini merupakan benefit baik bagi Amerika Serikat yang mendapatkan dukungan, maupun
bagi negara-negara lainnya yang dapat memperoleh perlindungan dari Amerika Serikat.
2.3 Analisis kebangkitan Cina dan masa depan dunia internasional
Kebangkitan Cina ini memang mengundang banyak kontroversi di kalangan masyarakat
dunia, terutama mendorong adanya pertanyaan terkait masa depan dunia internasional. Jika dilihat
dari kerangka offensive realism, seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya,
kebangkitan Cina ini akan terlihat sebagai suatu langkah agresif. Cina dinilai tengah berusaha
mengejar posisi hegemony dalam tatanan sistem internasional. Sesuai dengan kerangka realisme
ofensif, hal ini tentu dapat menyebakan terjadinya konflik. Terdapat potensi yang sangat besar
akan timbulnya konflik di masa depan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya tiap negara berusaha
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
13
meraih posisi hegemony tersebut. Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap sebagai negara
superpower dan ‘pemegang’ posisi hegemony di masa ini tentu akan sangat merasa terganggu
dengan usaha Cina tersebut. Sebagai negara hegemon, Amerika Serikat secara alamiah tentu tidak
menginginkan adanya kompetitor bagi negaranya. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan akan
terjadinya konflik atau bahkan perang antar great powers seperti yang diprediksikan oleh
offensive realist. Sesuai dengan offensive realism, perilaku Cina mengindikasikan keinginannya
untuk menjadi negara hegemon baik di tingkat regional atau bahkan global untuk mengamankan
posisinya.
Tak hanya itu, negara-negara tetangga Cina tentu juga merasakan kekhawatiran akan
kebangkitan Cina yang sangat luar biasa tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui perilaku negara-
negara Asia yang merasa terancam dan saat ini berusaha membentuk dan mengikuti koalisi yang
dipimpin oleh Amerika Serikat sebagai pihak pemegang posisi hegemon yang terancam. Negara-
negara tersebut tentu juga akan melakukan apapun untuk mencegah Cina meraih posisi
hegemony. Hal inilah yang melatarbelakangi negara-negara tersebut untuk bergabung dengan
Amerika Serikat untuk mem-balance kekuatan dan kapabilitas dari Cina. Dengan demikian,
perang skala besar pun tidak dapat terhindarkan. Mearsheimer menambahkan bahwa kondisi ini
dapat menyebabkan Amerika Serikat bertindak sama seperti apa yang dilakukannya terhadap Uni
Soviet selama Perang Dingin.32 Amerika Serikat ingin mempertahankan posisinya sebagai negara
hegemon, karena hal itulah yang dapat menjamin keselamatan negaranya secara sepenuhnya.
Oleh karena itu, Amerika Serikat akan berusaha untuk mencegah kebangkitan Cina yang lebih
besar lagi serta berusaha melemahkan Cina hingga pada titik sebagaimana Cina tidak lagi
dianggap sebagai ancaman terhadap kondisi hegemony-nya.33
Keagresifan Cina, menurut penulis, sangat terlihat melalui manuvernya di kawasan Asia
Pasifik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini terutama sangat terlihat pada
persengketaan Laut Cina Selatan yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Dalam kasus ini,
pergerakan Cina dapat dilihat sangat ofensif dengan segala klaimnya di kawasan tersebut. Tingkat
keberanian dan kepercayaan diri Cina pun juga semakin meningkat seiring dengan perkembangan
yang terjadi pada negaranya. Cina nyatanya sangat vokal dalam menyuarakan seluruh klaimnya
dan secara langsung mengusir pihak-pihak yang menurutnya mengganggu negaranya, seperti
32 Ibid., hlm. 90. 33 Ibid.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
14
yang dilakukannya terhadap Amerika Serikat. Hal ini mengindikasikan kemajuan luar biasa
dalam kapabilitas power Cina. Kasus ini paling tidak dapat menggambarkan bagaimana Cina
bergerak dan berusaha menjadi regional hegemon di kawasan Asia Pasifik. Namun demikian,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Amerika Serikat tentu akan sangat terganggu dengan
kemajuan Cina ini karena pada dasarnya negaranya tidak menginginkan adanya peer competitor
sehingga kemungkinan balancing dari pihak Amerika Serikat yang didukung oleh negara-negara
lainnya sangat mungkin terjadi. Hal inilah yang menurut offensive realism akan menyebabkan
perang atau konflik besar antara great power.
Bagaimana dengan ketiadaan maksud dari Cina untuk menjadi negara hegemon seperti yang
dikemukakan terkait dengan kebangkitannya? Hal ini dapat dijelaskan melalui asumsi dasar
terhadap sistem internasional. Asumsi yang berperan besar dalam fenomena ini terutama adalah
asumsi sistem internasional yang kedua dan ketiga. Seperti yang telah dituliskan pada bab
sebelumnya, asumsi kedua mengatakan bahwa setiap negara memiliki kapabilitas militer yang
ofensif terhadap negara lain dalam sistem internasional. Setiap negara yang melakukan
enhancement atau peningkatan kapabilitas militer memiliki potensi untuk dapat menghancurkan
negara-negara lainnya. Hal inilah yang ditakutkan oleh negara-negara lain di dunia, termasuk
Amerika Serikat. Asumsi ini menjelaskan kekhawatiran negara-negara lain terhadap peningkatan
kapabilitas militer yang dilakukan oleh Cina. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
walaupun kapabilitas militer Cina masih jauh di bawah Amerika Serikat, jika peningkatan terus
dilakukan, bukan tidak mungkin terdapat potensi konflik dan kehancuran yang besar dalam
tatanan sistem internasional.
Asumsi ketiga dalam sistem internasional menyebutkan bahwa tidak ada negara yang dapat
benar-benar yakin akan maksud dan tujuan dari negara lain. Hal ini menjelaskan bahwa walaupun
Cina selalu menjelaskan kebangkitannya ini dengan istilah ‘peaceful rise’, hal ini nyatanya tidak
semata-semata membuat pihak lain percaya dan yakin akan maksud yang disampaikan oleh Cina
tersebut. Oleh karena itulah, asumsi ini menjelaskan bahwa respon dari negara-negara dalam
dunia internasional terkait kebangkitan Cina tersebut merupakan sebuah respon yang wajar. Cina
mungkin memang menuangkan intensi, maksud, serta tujuan kebangkitannya dalam pidato-pidato
dan dokumen-dokumen kebijakannya. Namun demikian, sesuai dengan yang dikatakan oleh
Mearsheimer, pembuat kebijakan dapat saja berbohong dan tidak mengatakan maksud dan tujuan
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
15
yang sebenarnya.34 Hal inilah yang mungkin saja terjadi dalam fenomena ini, terutama didukung
dengan pendapat pihak Amerika Serikat yang menganggap Cina tidak transparan terkait dengan
kebangkitannya, seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Cina mungkin saja tidak
mengemukakan maksud dan tujuan sebenarnya dari kebangkitan yang tengah negaranya lakukan.
Mungkin saja Cina hanya menggunakan istilah ‘peaceful rise’ tersebut sebagai ‘topeng’ agar
maksud dan tujuan sebenarnya tidak diketahui dan dunia internasional tidak perlu khawatir. Jika
memang maksud dan tujuan Cina saat ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pihak
pemerintah negaranya, masyarakat internasional pun tidak akan dapat mengetahui maksud dan
tujuannya di masa yang akan datang. Hal inilah yang perlu diwaspadai.
Dengan demikian, kebangkitan Cina ini pada dasarnya memunculkan respon-respon wajar
dan masuk akal dari kalangan masyarakat internasional. Tidak dapat disangkal bahwa
kebangkitan Cina memiliki dampak yang besar terhadap balance of power secara global.
Kebangkitan Cina ini pun mengindikasikan adanya penyempitan power gap antara Cina dengan
Amerika Serikat yang merupakan negara hegemon saat ini.35 Tak hanya itu, kebangkitan Cina
yang terus meningkat secara pesat sangat mungkin dapat menyebabkan konflik di masa depan
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karena pada dasarnya pergeseran balance of power di
dunia berkemungkinan memiliki dampak buruk pada peace. Nyatanya, ‘peaceful rise’ yang
diusungnya tidak semata-mata dapat dipercayai begitu saja oleh masyarakat dunia. ‘Peaceful rise’
yang diusung oleh Cina nyatanya tidak dapat benar-benar menjanjikan kondisi dunia yang damai
di masa depan. Tidak ada negara yang secara sepenuhnya memahami maksud dari kebangkitan
Cina tersebut. Terdapat potensi yang cukup besar akan terjadinya konflik di masa depan, apapun
maksud yang dikemukakan oleh Cina.
34 Ibid., hlm. 79. 35 John J. Mearsheimer, “The Gathering Storm: China’s Challenge to US power in Asia”, Op. Cit., hlm. 381.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
16
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan yang telah dilakukan di bagian-bagian sebelumnya, dapat dilihat bahwa pada
kenyataannya kebangkitan Cina yang tengah terjadi ini merupakan sebuah fenomena yang cukup
dikhawatirkan oleh pihak-pihak lain dalam tatanan sistem internasional. Kebangkitan Cina dianggap
sebagai sebuah ancaman yang cukup berarti bagi negara-negara di dunia internasional. Walaupun Cina
terus berusaha menjelaskan kebangkitannya sebagai sebuah langkah yang damai dan tidak memiliki
maksud untuk menantang pihak manapun, pihak-pihak dalam dunia internasional tetap merasa
keamanan negaranya akan terancam jika Cina tetap melakukan perkembangan yang sepesat ini. Hal ini
memungkinkan adanya perlawanan dari pihak-pihak yang terancam tersebut terhadap Cina dan
kebangkitannya.
Sebagai kesimpulan, kebangkitan Cina ini berpotensi menciptakan konflik seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Kebangkitan Cina tidak akan terjadi secara damai karena adanya pihak-pihak
lain yang merasa terancam dengan eksistensi kebangkitan Cina tersebut. Asumsi tentang sistem
internasional dan kerangka teori realisme ofensif dalam makalah ini menjelaskan akan kondisi dunia
internasional di masa depan yang tidak mungkin ‘peaceful’ sesuai dengan yang dikemukakan dan
dijanjikan oleh pihak Cina. Nyatanya, apapun maksud dari perkembangan Cina tersebut, fenomena ini
tetap menuai kekhawatiran dan dapat berujung pada great power war di masa yang akan datang sesuai
dengan asumsi realisme ofensif dalam hubungan internasional.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
17
DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN JURNAL
Brewster, David. 2010. “The India–Japan Security Relationship: An Enduring Security Partnership”
dalam Asian Security, Vol. 6, No. 2.
Clark, Ian. 2011. “China and the United States: a succession of hegemonies?” dalam International
Affairs : 87 : I.
Dunne, Tim, Milja Kurki, dan Steve Smith (ed.). 2010. International Relations Theories: Discipline
and Diversity. New York. Oxford University Press
Dreyfuss, Robert. 2010. ‘Containing China is A Fool’s Errand. Yet Obama’s Deal with Indonesian
Thugs is Aimed at Exactly That’ dalam The Nation, Edisi 23 Juli 2010.
Guo, Sujian. 2006. China's "Peaceful rise" in the 21st Century: Domestic and International
Conditions. Burlington. Ashgate Publishing Company.
Mearsheimer, John J. 2010. “The Gathering Storm: China’s Challenge to US power in Asia” dalam The
Chinese Journal of International Politics, Vol. 3.
Sainsbury, Michael. 2010. “Don’t Interfere with Us: China Warns US to Keep its Nose Out”dalam The
Australian, Edisi 6 Agustus 2010.
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. 2010. International Relations Theory. New York. Longman-
Pearson.
Wong, Edward. 2010. “Chinese Military Seeks to Extend its Naval Power” dalam New York Times,
Edisi 23 April 2010.
ARTIKEL INTERNET
--, “China 'will not match' US military power – general” yang diakses dari
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-13450316
--, “Chinese Military Modernization Program Continues Apace, Though Persistent Domestic
Development Problems Remain”, yang diakses dari http://strategic-
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
18
discourse.com/2010/12/chinese-military-modernization-program-continues-apace-though-
persistent-domestic-development-problems-remain/
--, “Increased spending before and even during global economic crisis”, yang diakses dari
http://www.globalissues.org/article/75/world-military-spending
--, “Japan Agrees to Accept Okinawa Base” yang diakses dari
http://www.upi.com/Top_News/US/2010/05/23/Japan-agrees-to-accept-Okinawa-base/UPI-
72831274623169/
--, “Singapore Changi Naval Base” yang diakses dari
http://www.globalsecurity.org/military/facility/singapore.htm
--, “US says China's military has seen secret expansion” yang diakses dari
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-10995111
--, “Wen warns US on South China Sea dispute” yang diakses dalam
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-15790287
--, “World Military Spending”, yang diakses dari http://www.globalissues.org/article/75/world-
military-spending
Allard, Tom. “Tension Rise on South China Sea Dispute”, yang diakses dari
http://www.smh.com.au/world/tensions-rise-on-south-china-sea-dispute-20111116-
1nj4v.html
Axe, David. “China's 'Ripples of Capability': An Interview with Andrew Erickson”, yang diakses dari
http://defense.aol.com/2011/08/29/unchinas-ripples-of-capability-an-interview-with-andrew-
eric/
Department of Defence, Australian Government, Defending Australia in the Asia Pacific Century:
Force 2030, hlm. 33 yang diakses dari
http://www.defence.gov.au/whitepaper/docs/defence_white_paper_2009.pdf
Ikenberry, G. John. “The Rise of China and the Future of the West” yang diakses dari
http://www.foreignaffairs.com/articles/63042/g-john-ikenberry/the-rise-of-china-and-the-
future-of-the-west
J.M., “China's military power: Modernisation in sheep's clothing“ yang diakses dari
http://www.economist.com/node/21527010