fermentasi_kinetika_kloter a_cindy kusuma_universitas soegijapranata semarang

38
1 KINETIKA FERMENTASI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama : Cindy Kusuma NIM : 11.70.0053 Kelompok A4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA Acara

Upload: james-gomez

Post on 24-Nov-2015

54 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Cider merupakan minuman yang mengandung kadar alkohol rendah yang diperoleh melalui fermentasi sari buah atau bahan lainnya yang mengandung pati dengan atau tanpa penambahan gula oleh sel khamir. Jenis yeast yang digunakan dalam pembuatan cider saat praktikum adalah Saccharomyces cerevisiae.

TRANSCRIPT

Acara IKINETIKA FERMENTASI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR

laporan resmi praktikum teknologi fermentasi

Disusun oleh:Nama : Cindy KusumaNIM : 11.70.0053Kelompok A4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

20131

1. 1

2. HASIL PENGAMATAN

2.1. Kinetika Fermentasi dalam Produksi Minuman VinegarHasil pengamatan kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1. Hasil Kinetika Fermentasi dalam Produksi Minuman VinegarKelompokPerlakuanWaktu MO tiap petakRata-rata/ MO tiap petakRata-rata/ MO tiap ccOD pHTotal Asam (mg/ml)

1234

A1Sari Apel + S. cerevisiaeN0119151011,254,5 x 1070,52952,9025,344

N244125182226,51,06 x 1080,26832,8823,808

N485357625155,752,23 x 1080,55542,9723,424

N7260868292803,2 x 1081,04763,1819,2

N962081722441802018,04 x 1081,47082,9119,584

A2Sari Apel + S. cerevisiaeN02623222824,759,9 x 1071,04172,9525,436

N242624222519,257,7 x 1070,67792,8821,312

N482940398247,51,9 x 1080,84743,0121,696

N7224118106104105,54,22 x 1080,87233,1622,08

N961401891451181485,92 x 1081,41373,0720,16

A3Sari Apel + S. cerevisiaeN014171514156 x 1070,82412,9025,152

N242250505644,51,78 x 1080,22172,8723,616

N481101221191171174,68 x 1081,00592,9919,2

N72112103112104107,754,31 x 1081,28913,1220,16

N9684626874722,88 x 1080,93423,1120,16

A4Sari Apel + S. cerevisiaeN0810201212,55 x 1070,77782,9624,96

N244350503243,751,75 x 1080,79772,8821,12

N4899829810094,753,79 x 1081,09843,0428,8

N72108101929899,753,99 x 1080,96303,2129,76

N96115117111112113,754,55 x 1080,91693,2419,2

KelompokPerlakuanWaktu MO tiap petakRata-rata/ MO tiap petakRata-rata/ MO tiap ccOD pHTotal Asam (mg/ml)

1234

A5Sari Apel + S. cerevisiaeN02320211920,758,3 x 1070,91692,9323,424

N2442465256491,96 x 1080,71962,8822,08

N487178827476,253,05 x 1080,61733,0430,72

N7282103106115101,54,06 x 1081,45403,2622,08

N96131207125154154,256,17 x 1081,24873,2120,16

Keterangan : MO = mikroorganisme OD = optical density

Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa pada kelompok A1 hingga kelompok A5 diberi perlakuan yang sama, dimana sari apel ditambahkan dengan Saccharomyces cereviceae. Pada kelompok A1, A4 dan A5 mengalami peningkatan nilai rata-rata/ MO tiap petak dari jam ke- 0, 24, 48, 72 dan 96. Pada kelompok A2, terjadi penurunan nilai rata-rata/ MO tiap petak pada jam ke- 24, sedangkan jam ke- 48, 72 dan 96 selanjutnya mengalami peningkatan nilai rata-rata/ MO tiap petak. Sedangkan pada kelompok A3, pada awalnya nilai rata-rata/ MO tiap petak mengalami peningkatan ketika jam ke- 0, 24 dan 48. Akan tetapi, ketika jam ke- 72 dan 96 mengalami penurunan pada nilai rata-rata/ MO tiap petaknya. Nilai rata-rata/ MO tiap petak berbanding lurus dengan nilai rata-rata/ MO tiap cc. Pada kelompok A1 dan A2 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke- 96, dan pada kelompok A3 dan A5 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke- 72. Sedangkan pada kelompok A4 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke-48. Dari keseluruhan kelompok, nilai absorbansi terbesar dihasilkan oleh kelompok A1 pada jam ke- 96, yaitu 1,4708. Pada kelompok A1, A2, A3, dan A5 pun dihasilkan nilai pH tertinggi pada jam ke- 72, sedangkan pada kelompok A4 dihasilkan nilai pH tertinggi pada jam ke- 96. Nilai pH tertinggi dari keseluruhan kelompok dihasilkan oleh kelompok A5 pada jam ke- 72, yaitu 3,26. Selain itu, pada kelompok A1, A2 dan A3 dihasilkan total asam tertinggi pada jam ke- 0, kemudian pada kelompok A4 dihasilkan total asam tertinggi pada jam ke- 72, sedangkan pada kelompok A5 dihasilkan total asam tertinggi pada jam ke- 48. Total asam tertinggi dari keseluruhan kelompok dihasilkan oleh kelompok A5 pada jam ke- 48, yaitu 30,72 mg/ml.

2.2. Grafik Kinetika Fermentasi dalam Produksi Minuman Vinegar

2.2.1. Hubungan OD dan Waktu

Pada grafik 1, dapat dilihat bahwa secara umum nilai OD pada jam ke- 24 mengalami penurunan dari jam sebelumnya, yaitu jam ke- 0. Kemudian, pada jam ke- 48 dan jam ke- 72 secara umum mengalami peningkatan nilai OD yang cukup signifikan. Pada jam ke- 96, terdapat nilai OD yang beberapa kelompok mengalami peningkatan nilai OD dan adapula yang mengalami penurunan nilai OD. Secara keseluruhan, seiring bertambahnya waktu maka akan dihasilkan nilai OD yang semakin besar meskipun terdapat sebagian kelompok dalam beberapa titik waktu tertentu mengalami penurunan nilai OD. Pada kelompok A1 dan A2 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke- 96, dan pada kelompok A3 dan A5 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke- 72. Sedangkan pada kelompok A4 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke-48.

2.2.2. Hubungan Jumlah Sel dan Waktu

Pada grafik 2, dapat dilihat bahwa secara umum seiring dengan bertambahnya waktu menghasilkan jumlah sel yang semakin meningkat. Akan tetapi, pada kelompok A2 terjadi penurunan jumlah sel pada jam ke- 24, kemudian pada jam selanjutnya mengalami peningkatan jumlah sel secara signifikan. Pada kelompok A3 pun pada awalnya mengalami peningkatan jumlah sel dari jam ke- 0 hingga jam ke- 48, tetapi selanjutnya mengalami penurunan jumlah sel pada jam ke- 72 dan 96. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A1 pada jam ke- 96. Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 pada jam ke-0. Pada umumnya, seluruh kelompok menghasilkan jumlah sel terbesar pada jam ke- 96, kecuali pada kelompok A3 dimana jumlah sel terbesar dihasilkan pada jam ke- 48.

2.2.3. Hubungan Jumlah Sel dan pH

Pada grafik 3, dapat dilihat bahwa secara umum peningkatan jumlah sel seiring dengan peningkatan pH, akan tetapi pada beberapa kelompok ditemukan saat titik pH yang rendah justru mengalami peningkatan jumlah sel. Terjadinya penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok tidak menentu seiring dengan meningkatnya pH. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A1 pada pH sebesar 2,91.

2.2.4. Hubungan Jumlah Sel dan OD

Pada grafik 4, dapat dilihat bahwa secara umum semakin bertambahnya jumlah sel yang dihasilkan akan mengalami peningkatan pada OD (optical density). Namun, terdapat kelompok yang justru mengalami penurunan jumlah sel ketika nilai OD bertambah. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A1 pada nilai OD sebesar 1,4708. Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 pada nilai OD sebesar 0,5295.

2.2.5. Hubungan Jumlah Sel dan Total Asam

Pada grafik 5, dapat dilihat bahwa secara umum semakin rendah total asam akan dihasilkan jumlah sel yang semakin meningkat. Namun, terjadinya penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok tidak menentu seiring dengan meningkatnya total asam. Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A1 pada nilai total asam sebesar 19,584 mg/ml. Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 pada nilai total asam sebesar 25,344 mg/ml.

3. PEMBAHASAN

Cider merupakan minuman yang mengandung kadar alkohol rendah yang diperoleh melalui fermentasi sari buah atau bahan lainnya yang mengandung pati dengan atau tanpa penambahan gula oleh sel khamir (Ranganna, 1978). Menurut Noguiera et al (2008), proses fermentasi cider dapat menjadi lebih terkontrol dengan cara mengurangi biomassa yang ada di dalamnya. Biomassa dapat dikurangi dengan cara melewatkannya pada suatu filter. Selain itu, kematian sel yeast yang berguna dalam proses fermentasi pun dapat dikurangi. Winarno et al (1984) menambahkan bahwa proses fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi. Hasil fermentasi sangat dipengaruhi oleh jenis substrat dan jenis mikroorganisme yang digunakan serta proses metabolisme yang terjadi selama fermentasi.

Dalam pembuatan cider, terjadi proses fermentasi alkohol karena menggunakan yeast atau khamir dan produk yang dihasilkan berupa minuman beralkohol (mengandung alkohol). Dolge et al. (2012) mengungkapkan bahwa cider merupakan minuman fermentasi yang dibuat dari jus apel. Pada umumnya, cider dapat diproduksi dengan mengunakan 2 metode yang berbeda. Metode pertama menggunakan metode tradisional dimana pada pembuatannya tidak ditambahkan gula dan CO2, cider ini diperoleh dari pengepresan apel cider. Jenis cider ini disebut dengan natural cider. Sedangkan metode yang kedua menggunakan jus konsentrat apel atau apel segar yang ditambahkan dengan gula dan CO2 yang diijinkan serta menggunakan proses stabilisasi. Jenis cider ini disebut dengan sparkling cider. Realita & Debby (2010) mengungkapkan bahwa dalam pembuatan cider, sari apel akan mengalami proses fermentasi dimana ragi akan mengubah gula pada apel menjadi etil alkohol dan karbon dioksida. Proses ini dilakukan dalam dua langkah. Langkah pertama, ragi akan mengubah gula ke alkohol dan kemudian bakteri asam laktat mengubah asam malat menjadi karbon dioksida.

Pada praktikum kali ini, jenis cider yang digunakan adalah natural cider, dimana cider terbuat dari sari apel malang hasil juicer tanpa adanya penambahan gula yang diberi kultur yeast secara aseptis. Realita & Debby (2010) mengungkapkan bahwa pada prinsipnya dalam pembuatan cider hampir semua jenis buah dapat digunakan asalkan jumlah gulanya mencukupi. Varietas apel juga dapat mempengaruhi kualitas cider yang dihasilkan. Kulit apel banyak mengandung senyawa yang berkontribusi terhadap rasa sari apel, sehingga dalam praktikum ini kulit apel tidak perlu dikupas dalam pembuatan cider. Ferreira et al (2006) menambahkan bahwa buah-buahan seperti apel mengandung gula dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan oleh yeast selama proses fermentasi berlangsung. Konsentrasi gula, suhu temperatur, konsentrasi SO2, dan jenis yeast yang digunakan merupakan beberapa faktor kunci yang menentukan keberhasilan dalam proses fermentasi.

Aroma cider dipengaruhi oleh tipe dan konsentrasi komponen aromatik yang terkandung di dalamnya. Aroma tersebut dapat ditimbulkan dari buah apel itu sendiri dimana varietas apel yang digunakan akan ikut mempengaruhi, komponen yang dihasilkan oleh yeast selama fermentasi alkohol, serta komponen yang dihasilkan selama proses ageing. Komponen aromatik tersebut terdiri dari ester, alkohol, asam lemak, aldehid, keton, terpene, dan lactone. Dalam fermentasi alkohol, produk utama yang dihasilkan adalah etanol dan gliserol, kemudian diikuti dengan ester. Ester yang paling utama disini adalah etil asetat. Selain itu, kandungan polifenol pada apel juga berkontribusi terhadap kualitas sensori cider. Tinggi rendahnya kandungan polifenol tersebut dipengaruhi oleh varietas apel, iklim, tingkat kematangan, penyimpanan, dan pengolahan. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Dolge et al. (2012).

Jenis yeast yang digunakan dalam pembuatan cider saat praktikum adalah Saccharomyces cerevisiae. Kultur yeast Saccharomyces cerevisiae sudah sejak lama diaplikasikan dalam proses pembuatan minuman. Saccharomyces cerevisiae merupakan golongan khamir murni, yaitu khamir yang dapat berkembang biak secara seksual dengan pembentukan askospora. Hal tersebut diungkapkan oleh Volk & Wheeler (1993). Selain itu, Saccharomyces cerevisiae dapat menfermentasi glukosa dalam buah dan hasil pemecahan pati, menghasilkan alkohol dan CO2. Adanya aktivitas Sachharomyces cerevisiae yang mengubah gula menjadi alkohol dan beberapa hasil metabolit lain juga menyebabkan warna substrat bertambah keruh. Dalam proses fermentasi alkohol terjadi perubahan-perubahan pada bahan berkadar pati tinggi. Perubahan tersebut disebabkan karena adanya proses sakarifikasi pati oleh enzim amilase yang kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi alkohol oleh khamir. Cider hasil fermentasi sari buah apel biasanya mengandung alkohol sekitar 6,5-8% (Rahman,1992). Menurut Sharma & Caralli (1998), fermentasi alkohol merupakan proses anaerobik dari dekomposisi heksosa yang menghasilkan etanol dan CO2. Fermentasi yeast pada gula akan menghasilkan larutan yang mengandung alkohol 10-15 %. Minuman yang mengandung alkohol tinggi akan membunuh yeast itu sendiri.

Berdasarkan teori dari Galaction et al (2010), proses fermentasi alkohol dilakukan dengan menggunakan sel Saccharomyces cereviceae yang telah diimobilisasi. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan bioreactor yang dilengkapi dengan stirred bed. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan untuk dapat menggunakan sistem biokatalis tersebut dari lima hingga lebih dari sembilan siklus fermentasi. Berdasarkan penelitian, seiring dengan meningkatnya produksi etanol maka substrat (glukosa) akan semakin sedikit. Hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan sel yeast, dimana semakin lama akan menyebabkan jumlah yeast berkurang karena substratnya semakin habis. Okpokwasili (2005) menambahkan bahwa terdapat hubungan antara kecepatan pertumbuhan spesifik () dan besarnya konsentrasi substrat. Mikroorganisme akan tumbuh dengan maksimum pada konsentrasi substrat yang tinggi.

Menurut Wang et al. (2004), penggunaan gula yang berbeda dapat mempengaruhi proses fermentasi alkohol. Pada jus apel mengandung beberapa jenis gula, antara lain fruktosa, glukosa, dan sukrosa. Fruktosa merupakan kandungan gula tertinggi dalam jus apel dengan kadar hingga 70%. Saccharomyces cerevisiae yang ditambahkan dalam pembuatan cider ini berguna untuk mempercepat katalisis dan menyempurnakan konversi gula menjadi alkohol tanpa menyebabkan pembentukan off-flavor. Namun, kandungan fruktosa yang tinggi dapat menyebabkan konsentrasi residu gula tinggi, sehingga menimbulkan off-taste pada produk akhir. Hal ini dikarenakan Saccharomyces cerevisiae bersifat lebih glucophilic (suka glukosa) sehingga proses pemecahan fruktosa yang lama atau lambat. Dengan kata lain, proses fermentasi akan berlangsung lebih cepat apabila gula yang digunakan adalah glukosa.

Canbas et al (2007) mengungkapkan bahwa kinetika pertumbuhan sel Saccharomyces cereviceae dapat dipengaruhi oleh temperatur. Pada suhu 25oC, waktu hidup dari Saccharomyces cereviceae akan lebih lama apabila dibandingkan pada suhu 18oC. Selain itu, kecepatan pertumbuhan dan pengkonversian sumber karbon akan bertambah seiring dengan meningkatnya temperatur. Namun, peningkatan temperatur memiliki batasan tertentu, dimana batasan tersebut berada pada suhu 27oC. Di atas suhu tersebut, sel-sel yeast tidak dapat bertumbuh dengan baik. Terdapat 2 cara dalam penentuan jumlah sel, yaitu secara langsung maupun tidak langsung. Penentuan jumlah sel secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan haemocytometer. Hal tersebut didukung oleh Pigeau et al (2007) bahwa pengukuran konsentrasi sel yeast dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan haemocytometer. Chen & Chiang (2011) menyatakan bahwa haemocytometer merupakan suatu alat untuk menghitung sel secara cepat dan digunakan untuk konsentrasi sel yang rendah. Haemocytometer biasanya diletakkan diatas spesimen pentas (tempat objek) dan digunakan untuk menghitung jumlah suspensi sel. Semakin lama waktu fermentasi yeast akan membuat jumlah sel semakin meningkat namun pada titik tertentu sel akan mengalami penurunan karena pertumbuhannya telah maksimal (fase stasioner).

Sedangkan penentuan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengukur tingkat kekeruhan larutan menggunakan spektrofotometer. Berdasarkan teori dari Fardiaz (1992), intensitas cahaya yang ditransmisikan dan diabsorbansi oleh larutan dapat ditentukan dengan hukum Lambert-Beer. Rasio intensitas yang diteruskan (I) dengan intensitas cahaya mula-mula (I0) disebut dengan persen transmitansi (%T). Semakin keruh suatu suspensi maka jumlah cahaya yang diteruskan akan semakin kecil sehingga nilai %T pun akan semakin kecil yang kemudian dijabarkan dengan hukum Lambert-Beer sebagai berikut:A = log (I0/It) = log(I0/It) = log T = abc

Pada praktikum pembuatan cider kali ini, mula-mula sari apel malang hasil juicer disiapkan terlebih dahulu sebanyak 250 ml ke dalam erlenmeyer kemudian disterilisasi selama 30 menit. Tujuan dari sterilisasi tersebut adalah untuk mematikan mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam proses fermentasi (Potter & Hotchkiss, 1995). Sari apel yang telah disterilisasi kemudian ditambahkan dengan 30 ml biakan yeast secara aseptis. Menurut Hadioetomo (1993), dengan menggunakan teknik aseptik maka organisme yang akan tumbuh dalam biakan hasil pemindahan hanyalah organisme yang diinginkan atau dengan kata lain tidak terkontaminasi. Kemudian, campuran tersebut diinkubasi dengan perlakuan shaker atau dengan penggoyangan selama 5 hari pada suhu ruang (25-30oC), dimana setiap 24 jam dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 ml secara aseptis untuk mengetahui tingkat pertumbuhan sel yeast dengan dilakukan uji OD, haemocytometer, pH, dan total asam. Tujuan dilakukannya shaker adalah untuk meningkatkan laju alir udara sehingga laju transfer O2 tidak terhambat. Dengan adanya O2 tersebut, proses metabolisme sel pada sel yeast akan optimal sehingga Saccharomyces cerevisiae akan tumbuh dengan baik. Hal tersebut diungkapkan oleh Winarno et al. (1984). Said (1987) menambahkan bahwa shaker juga berfungsi sebagai agitasi yang dapat menjamin suspensi sel mikroba dan medium nutrient dalam keadaan seragam atau homogen.

Setelah itu, dilakukan uji tingkat kepadatan Saccharomyces cerevisiae pada N0, N24, N48, N72, dan N96 dengan menggunakan alat Haemocytometer. Menurut Hadioetomo (1993), haemocytometer merupakan ruang hitung yang terdiri atas petak petak berukuran kecil untuk menghitung jumlah sel di bawah mikroskop. Alat tersebut umumnya digunakan untuk menghitung sel yang berukuran sebesar sel darah merah, selain itu juga untuk menghitung sel dengan densitas >104 sel/ml. Chen & Chiang (2011) menambahkan bahwa haemocytometer terdiri dari 2 ruang hitung dengan kedalaman tertentu dimana pada masing-masing ruangan tersebut terdapat kotak-kotak mikroskopik yang tergores pada permukaan kaca. Kotak-kotak tersebut dibatasi dengan 3 garis dengan ukuran 4 x 4 kotak, sehingga dalam 1 kotak terdiri dari 16 kotak kecil. Dengan adanya kotak-kotak tersebut maka memungkinkan untuk dapat menghitung jumlah sel dalam volume spesifik cairan.

Pengambilan sampel sebanyak 30 ml dari tahap sebelumnya, dilakukan juga uji total asam pada N0, N24, N48, N72, dan N96. Pengukuran total asam ini dilakukan dengan menggunakan metode titrasi. Sampel diambil sebanyak 10 ml kemudian dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N. Sebelum dilakukan titrasi, dilakukan penambahan indikator PP terlebih dahulu. Titrasi dihentikan apabila larutan sampel berubah menjadi warna merah muda. Berikut merupakan rumus untuk menentukan nilai total asam:Total Asam =

Selain itu juga, dilakukan pengukuran pH pada cider apel ketika N0, N24, N48, N72, dan N96. Larutan sampel sebanyak 10 ml diukur pHnya dengan menggunakan pH meter. Kemudian, sisa sampel selanjutnya dilakukan penentuan OD dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang sebesar 660 nm. Penentuan OD ini juga dilakukan pada N0, N24, N48, N72, dan N96. Jomdecha & Prateepasen (2006) mengungkapkan bahwa optical density kultur yeast merupakan pengukuran terhadap jumlah sel yeast yang ada di kultur cair. Nilai OD merupakan banyaknya sinar yang dapat diteruskan oleh kultur cair. Menurut Ewing (1985), spektrofotometer merupakan seperangkat alat yang digunakan untuk mengukur penyerapan radiasi oleh larutan. Absorbansi adalah nilai konstan dari intensitas penyerapan. Nilai absorbasi tersebut akan dipengaruhi oleh konsentrasi, tebal media, dan intensitas penyinaran. Hal tersebut didukung oleh Wilford (1987). Fox (1991) menambahkan bahwa metode absorbansi dipengaruhi oleh konsentrasi dan kejernihan larutan. Apabila suatu larutan sangat pekat dan keruh, maka nilai absorbansinya akan semakin tinggi.

Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh secara umum bahwa semakin bertambahnya jumlah sel yang dihasilkan akan mengalami peningkatan pada OD (optical density). Hal tersebut sesuai dengan teori dari Pelezar & Chan (1976) yang mengungkapkan bahwa jumlah sinar yang dihambat proporsional dengan massa sel yang ada, sehingga semakin banyak massa sel yang ada dalam suspensi maka sinar yang disebarkan akan semakin banyak. Maka dari itu, nilai OD (absorbansi) akan berbanding lurus dengan jumlah sel yang ada. Jomdecha & Prateepasen (2006) menambahkan bahwa pada awalnya pertumbuhan sel yeast berlangsung lambat karena sel berusaha untuk beradaptasi pada lingkungan media baru. Setelah itu, volume sel membengkak dan metabolisme sel meningkat, akan tetapi proliferasi sel berlangsung lambat. Fase tersebut disebut dengan fase lag. Setelah fase lag, pertumbuhan sel akan menjadi semakin cepat karena sel telah beradaptasi dengan lingkungan media dan substansi makanan yang dapat lebih cepat masuk ke dalam sel dibandingkan pada fase lag. Akibatnya, pertumbuhan yeast meningkat dengan cara bertunas atau membelah diri. Fase ini disebut dengan fase eksponensial. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A1 pada nilai OD sebesar 1,4708. Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 pada nilai OD sebesar 0,5295.

Wang et al. (2004) mengungkapkan bahwa nilai absorbansi diukur berdasarkan tingkat kekeruhan larutan. Tingkat kekeruhan suatu larutan akan mempengaruhi seberapa banyak cahaya yang dapat melewati suatu larutan tersebut. Pertumbuhan yeast yang semakin meningkat menyebabkan cider menjadi semakin keruh karena jumlah sel yeast yang semakin banyak. Semakin keruh suatu larutan, maka absorbansi akan semakin besar. Besarnya absorbansi atau nilai OD ini menunjukkan semakin besar jumlah sel yang ada di dalamnya. Namun pada praktikum kali ini, terdapat kelompok yang justru mengalami penurunan jumlah sel ketika nilai OD bertambah. Kesalahan tersebut dapat saja terjadi karena kuvet yang digunakan kurang bersih, penempatan kuvet yang tidak tepat, adanya gelembung udara dalam larutan, panjang gelombang yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang tertera pada alat, kurang sempurna dalam penyiapan larutan sampel dan blanko sehingga menyebabkan pembacaan spektrofotometer menjadi kurang tepat. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Pomeranz & Meloan (1994). Namun, ketidaksesuaian tersebut juga dapat disebabkan oleh hal lain seperti suspensi yang tidak homogen sehingga sel yeast mengendap di dasar wadah, sehingga suspensi yang terukur pada spektrofotometer maupun pada haemocytometer adalah suspensi yang mengandung sedikit sel yeast.

Menurut Fardiaz (1992), pada awalnya mikroorganisme akan mengalami fase lag. Setelah itu, mikroba mengalami fase logaritmik dimana selnya akan membelah dengan cepat. Selanjutnya, terjadi suatu fase pertumbuhan diperlambat yang dimana pertumbuhan mikroba akan menurun atau berkurang. Setelah fase pertumbuhan diperlambat, sel akan menuju fase stasioner, yaitu pada kondisi dimana jumlah sel yang hidup kurang lebih sama dengan jumlah sel yang mati.Fase terakhir yang akan dilalui oleh mikroorganisme adalah fase kematian. Pada fase terakhir ini terjadi penurunan jumlah mikroorganisme secara drastis. Berikut merupakan grafik dari pertumbuhan mikroorganisme:

Pada pengujian, seiring dengan bertambahnya waktu menghasilkan jumlah sel yang semakin meningkat. Hal tersebut didukung teori dari Shafaghat et al (2009) bahwa pertumbuhan kultur Saccharomyces cerevisiae menunjukkan semakin lama proses fermentasi berlangsung, maka konsentrasi sel yang dihasilkan akan semakin tinggi namun pada waktu tertentu dimana pertumbuhan sudah mencapai fase stasioner, akan terjadi penurunan jumlah konsentrasi sel. Pada kelompok A2 terjadi penurunan jumlah sel pada jam ke- 24, kemudian pada jam selanjutnya mengalami peningkatan jumlah sel secara signifikan. Pada kelompok A3 pun pada awalnya mengalami peningkatan jumlah sel dari jam ke- 0 hingga jam ke- 48, tetapi selanjutnya mengalami penurunan jumlah sel pada jam ke- 72 dan 96. Pada kelompok A3 ini, grafik yang dihasilkan hampir mirip dengan grafik pada fase pertumbuhan mikroorganisme. Sedangkan grafik dari kelompok lain kurang sesuai dengan grafik fase pertumbuhan mikroorganisme.

Jumlah sel tertinggi dihasilkan oleh kelompok A1 pada jam ke- 96. Sedangkan jumlah sel terendah dihasilkan juga oleh kelompok A1 pada jam ke-0. Pada umumnya, seluruh kelompok menghasilkan jumlah sel terbesar pada jam ke- 96, kecuali pada kelompok A3 dimana jumlah sel terbesar dihasilkan pada jam ke- 48. Apabila berdasarkan fase pertumbuhan, seharusnya pada jam ke- 96 mengikuti grafik pertumbuhan mikroorganisme, yaitu terjadi penurunan jumlah sel. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dari Triwahyuni et al. (2012), bahwa selama fermentasi berlangsung, yeast akan mengalami percepatan pertumbuhan pada 24-48 jam. Fase eksponensial yeast akan terjadi pada 48 jam. Selama fase ini, populasi yeast bertambah dan pertunasan akan terjadi dengan tingkat tinggi. Saat yeast mengalami percepatan pertumbuhan, yeast akan membutuhkan sumber gula yang tinggi pula untuk pertumbuhannya. Ketika jumlah gula terbatas, yeast akan kehilangan kemampuannya untuk memfermentasi. Hal ini disebabkan oleh penurunan energi seluler secara cepat. Apabila energi berkurang, maka sel yeast akan berhenti bertunas dan laju produksi alkohol menurun. Setelah fermentasi melebihi 48 jam, sel yeast akan mengalami fase stasioner karena faktor pertumbuhan dalam media menjadi semakin terbatas. Selama fase ini, yeast akan berhenti bertunas dan lama-kelamaan yeast akan mati karena sumber makanan telah habis. Ketidaksesuaian ini dapat saja terjadi karena adanya mikroorganisme lain dalam bahan sehingga jumlah sel yang terbaca pun menjadi lebih tinggi, ataupun pada jam ke- 96 masih terdapat substrat yang cukup banyak untuk pertumbuhan sel yeast. Hal lain dapat disebabkan karena ketidaktelitian praktikan dalam menghitung jumlah sel dengan menggunakan haemocytometer. Penghitungan jumlah sel yang salah akan mempengaruhi hasil perhitungan jumlah sel tiap cc.

Berikut ini merupakan foto kelompok A4 hasil haemocytometer pada jam ke- 0 hingga jam ke- 96 :

N96N72NoN24N48Damtew (2012) mengungkapkan bahwa kinetika pertumbuhan dan hasil biomassa pada strain yang menggunakan konsentrasi substrat yang berbeda dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi gula oleh yeast yang akan meningkatkan konversi substrat menjadi etanol dan by-product lainnya. Berdasarkan grafik yang terdapat pada jurnal dapat dilihat bahwa semakin lama waktu fermentasi akan meningkatkan nilai absorbansinya. Hal tersebut sesuai dengan hasil praktikum yang ada, bahwa secara keseluruhan kelompok, seiring bertambahnya waktu maka akan dihasilkan nilai OD yang semakin besar. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Jomdecha & Prateepasen (2006), bahwa semakin lama waktu inkubasi, akan semakin banyak sel yeast yang bertunas atau membelah diri sehingga jumlah sel dalam kultur semakin meningkat. Semakin banyak jumlah sel, maka akan semakin tinggi juga nilai OD.

Akan tetapi, terdapat juga sebagian kelompok dalam beberapa titik waktu tertentu mengalami penurunan nilai OD. Ketidaksesuaian tersebut dapat saja terjadi karena proses shaker yang kurang sempurna. Rahman (1992) mengungkapkan bahwa kecepatan shaker harus diatur supaya gerakan berputar shaker dapat menyebabkan media bergolak sehingga terjadi aerasi. Apabila proses shaker ini tidak berjalan baik, maka laju transfer udara atau O2 akan terhambat akibatnya Saccharomyces cerevisiae tidak dapat tumbuh secara optimal. Kesalahan lain dapat saja terjadi karena sampel yang digunakan untuk pengujian absorbansi tidak dilakukan pengadukan terlebih dahulu, hal tersebut dapat mengakibatkan banyak sel yeast yang berada di bagian bawah wadah (mengendap) dan tidak terikut saat dituang dalam kuvet. Hal ini akan menyebabkan sampel yang terukur kemungkinan adalah sampel yang hanya mengandung sedikit sel yeast. Tentunya hal tersebut akan mempengaruhi nilai OD yang terukur.

Pada umumnya, nilai OD pada jam ke- 24 mengalami penurunan dari jam sebelumnya, yaitu jam ke- 0. Kemudian, pada jam ke- 48 dan jam ke- 72 secara umum mengalami peningkatan nilai OD yang cukup signifikan. Pada jam ke- 96, terdapat nilai OD yang beberapa kelompok mengalami peningkatan nilai OD dan adapula yang mengalami penurunan nilai OD. Pada kelompok A1 dan A2 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke- 96, dan pada kelompok A3 dan A5 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke- 72. Sedangkan pada kelompok A4 dihasilkan nilai OD terbesar pada jam ke-48. Pada kelompok A3 dan A4 dihasilkan bentuk grafik OD dan waktu yang hampir sama dengan grafik pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini menunjukkan bahwa grafik yang didapatkan sudah sesuai dengan teori yang ada.

Selain itu, dalam praktikum kali ini pun diperoleh hasil hubungan antara jumlah sel dengan pH dan total asam. Berdasarkan teori dari Galaction et al (2010), selama proses fermentasi akan terjadi perubahan gula menjadi alkohol dan CO2 yang melibatkan organisme fermentative. Seiring dengan meningkatnya produksi etanol maka substrat (glukosa) akan semakin sedikit. Hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan sel yeast, dimana semakin lama akan menyebabkan jumlah yeast berkurang karena substratnya semakin habis. Triwahyuni et al. (2012) juga menambahkan bahwa selama fermentasi berlangsung, yeast akan mengalami percepatan pertumbuhan pada jam ke- 24 dan 48, yang juga diikuti dengan peningkatan pH karena semakin banyak senyawa alkohol yang dihasilkan. Akan tetapi, pada jam ke- 96, jumlah sel yeast akan berkurang karena substrat yang digunakan oleh yeast semakin sedikit seiring dengan semakin meningkatnya produksi alkohol. Pada titik tertetu, kandungan alkohol yang tinggi akan membunuh yeast itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan hasil percobaan dari beberapa kelompok dimana ditemukan saat titik pH yang tinggi mengalami penurunan jumlah sel. Akan tetapi, pada keseluruhan kelompok secara umum terjadi peningkatan jumlah sel seiring dengan peningkatan pH. Terjadinya penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok tidak menentu seiring dengan meningkatnya pH. Ketidaksesuaian dengan teori dapat saja terjadi karena kesalahan praktikan yang tidak teliti saat mengukur pH dengan menggunakan pH meter.

Berdasarkan percobaan pula, diperoleh data bahwa secara umum semakin rendah total asam akan dihasilkan jumlah sel yang semakin meningkat. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dari Galaction et al (2010), bahwa seharusnya ketika proses fermentasi berlangsung akan dihasilkan pH yang semakin meningkat karena adanya kandungan alkohol. pH yang tinggi akan menghasilkan total asam yang rendah. Ketika total asam yang dihasilkan terlalu rendah atau dengan kata lain mengandung kadar alkohol yang sangat tinggi dapat terjadi penurunan jumlah sel, karena substrat yang digunakan oleh yeast semakin sedikit seiring dengan semakin meningkatnya produksi alkohol. Dari hasil percobaan, justru terjadi penurunan atau peningkatan jumlah sel pada tiap kelompok yang tidak menentu seiring dengan meningkatnya total asam. Kesalahan tersebut dapat terjadi karena ketidaktelitian praktikan saat melakukan titrasi, yang akan mempengaruhi nilai dari total asam. Berikut merupakan salah satu gambar hasil praktikum sebelum dan sesudah di titrasi pada fermentasi cider apel ketika jam ke- 96:

Sesudah titrasiSebelum titrasi

4. KESIMPULAN

Fermentasi adalah perubahan gula menjadi alkohol dan CO2 yang melibatkan organisme fermentative. Selama fermentasi, ragi akan mengubah gula menjadi alkohol dan bakteri asam laktat akan mengubah asam malat menjadi karbon dioksida. Cider merupakan minuman beralkohol rendah yang diperoleh melalui fermentasi sari buah atau bahan lainnya yang mengandung pati dengan atau tanpa penambahan gula oleh sel khamir. Pada praktikum kali ini, jenis cider yang digunakan adalah natural cider. Konsentrasi gula, suhu temperatur, konsentrasi SO2, dan jenis yeast yang digunakan merupakan beberapa faktor kunci yang menentukan keberhasilan dalam proses fermentasi. Jenis yeast yang digunakan dalam pembuatan cider adalah Saccharomyces cerevisiae. Fermentasi alkohol merupakan proses anaerobik dari dekomposisi heksosa yang menghasilkan etanol dan CO2. Penentuan jumlah sel dapat dilakukan dengan menggunakan haemocytometer dan spektrofotometer. Tujuan dari sterilisasi adalah untuk mematikan mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam proses fermentasi. Tujuan dilakukannya shaker adalah untuk meningkatkan laju alir udara sehingga laju transfer O2 tidak terhambat, serta untuk menjamin suspensi sel mikroba dan medium nutrient dalam keadaan seragam atau homogen. Pertumbuhan sel yeast harus mengikuti kurva pertumbuhan mikroorganisme yaitu fase lag, log, stasioner, dan kematian. Semakin keruh suatu larutan, maka nilai OD akan semakin meningkat. Nilai OD yang semakin meningkat menunjukkan semakin bertambahnya jumlah sel yeast. Waktu fermentasi yang semakin lama akan dihasilkan nilai OD dan jumlah sel yang semakin besar juga. Selama proses fermentasi berlangsung, yeast akan mengalami percepatan pertumbuhan pada jam ke- 24 dan 48. Fase eksponensial yeast terjadi pada jam ke- 48. Setelah fermentasi melebihi 48 jam, sel yeast akan mengalami fase stasioner karena faktor pertumbuhan dalam media menjadi semakin terbatas. Mikroorganisme akan tumbuh dengan optimal pada konsentrasi substrat yang tinggi. Substrat (glukosa) yang digunakan oleh yeast akan semakin sedikit seiring dengan semakin meningkatnya produksi alkohol. Pada pH yang terlalu tinggi atau mengandung kadar alkohol tinggi dapat mengalami penurunan jumlah sel. pH yang tinggi akan menghasilkan total asam yang rendah. Ketika total asam terlalu rendah atau mengandung kadar alkohol yang sangat tinggi dapat terjadi penurunan jumlah sel.

Semarang, 21 Mei 2014Asisten Dosen: Andriani Cintya Salim Stella Mariss H Meilisa Lelyana

Cindy Kusuma 11.70.0053

5. DAFTAR PUSTAKA

Canbas, Ahmet; Aysun Sener and M.Umit Unal. (2007). The Effect of Fermentation Temperature on the Growth Kinetics of Wine Yeast Species. Turk J Agric for 31, 349-354.

Chen, Y. W. and Chiang, P. J. (2011). Automatic Cell Counting for Hemocytometers through Image Processing. World Academy of Science, Engineering and Technology 58.

Damtew, W; S.A. Emire; A.B. Aber. (2012). Evaluation of Growth Kinetics and Biomass Yield Efficiency of Industrial Yeast Strains. Scholars Research Library. Ethiopia.

Dolge, R. R.; Z. Kruma; and D. Karklina. (2012). Aroma Composition and Polyphenol Content of Ciders Available in Latvian Market. World Academy of Science, Engineering and Technology 67.

Ewing, G.W. (1985).Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc Growhill Book Company. USA

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Ferreira et al. (2006). The Effect of Copper and High Sugar Concentration on Growth Fermentation Efficiency and Volatile Acidity Production of Different Commercial Wine Yeast Strains. Australian Journal of Grape and Wine Research. South Africa.

Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.

Galaction, Anca-Irina; Anca-Marcela Lupasteanu and Dan Cascaval. (2010). Kinetic Studies on Alcoholic Fermentation Under Substrate Inhibition Conditions Using a Bioreactor with Stirred Bed of Immobilized Yeast Cells. The open Systems Biology Journal,3,9-20.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Jomdecha, C. and Prateepasen, A. (2006). The Research of Low-Ultrasonic Energy Affects to Yeast Growth in Fermentation Process. Asia-Pacific Conference on NDT, 5th 10th Nov 2006, Auckland, New Zealand.

Nogueira, A; J.M.Le Quere; P.Gestin; A.Michel; G.Wosiacki and J.F.Drilleau. (2008). Slow Fermentation in French Cider Processing due to Partial Biomass Reduction. J.Inst.Brew.114(2),102-110.

Okpokwasili, G. C. & C.O. Nweke. (2005). Microbial Growth and Substrate Utilization Kinetics. African Journal of Biotechnology. Nigeria.

Pelezar, Michael J. & Chan. E.C.S. (1976). Turbidimetric Measurement of Plant Cell Culture Growth. Massachussets : MIT.

Pigeau et al. (2007). Concentration Effect of Riesling Icewine Juice on Yeast Performance and Wine Acidity. Journal of Applied Microbiology. Canada.

Pomeranz,Y. & C. E. Meloan. (1994). Food Analysis Theory and Practice. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Potter. N.N. & Hotchkiss.J.H. (1995). Food Science 5th.Chapman &Hall.inc. NewYork.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.

Ranganna. (1978). Analysis of Fruit and Vegetable Product. The AVI Publ. Co. Inc.

Realita, Tita dan M. Sumanti, Debby. 2010. Teknologi Fermentasi. Penerbit : Widya Padjajaran. Bandung.

Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Shafaghat et al. (2009). Growth Kinetics and Ethanol Productivity of Saccharomyces cerevisiae PTCC 24860 on Various Carbon Sources. World Applied Sciences Journal. Iran.

Sharma, J.L. & S. Caralli. (1998). A Dictionary of Food & Nutritions. CBS Publishers & Distributors. New Delhi.

Triwahyuni, E.; N. Ariani; H. Hendarsyah; T. Idiyanti. (2012). The Effect Of Dry Yeast Saccharomyces cereviceae Concentration On Fermentation Process For Bioethanol Production From Palm Oil Empty Fruit Bunches. Proceeding of ICSEEA 31 34.

Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Wang, D.; Y. Xu; J. Hu; and G. Zhao. (2004). Fermentation Kinetics of Different Sugars by Apple Wine Yeast Saccharomyces cerevisiae. Journal of the Institute of Brewing 110(4), 340346.

Wilford, L. D. R. (1987). Chemistry for First Examinations. Blackie. London.

Winarno, F. G.; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1984). Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

6. 7. LAMPIRAN

7.1. Perhitungan (kelompok A4)

Rata-rata/ tiap ccRumus : Jumlah sel/ cc = x rata-rata jumlah MO tiap petakVolume petak = 0,05 mmx 0,05mmx 0,1 mm = 0,00025 mm3 = 2,5 x 10-7 cc

N0 :Jumlah sel/cc = x 12,5 = 50.000.000N24:Jumlah sel/cc = x 43,75 = 175.000.000N48:Jumlah sel/cc = x 94,75 = 379.000.000N72:Jumlah sel/cc = x 99,75 = 399.000.000N96:Jumlah sel/cc = x 113,75= 455.000.000

Total Asam

Rumus : Total Asam =

N0 :Total Asam = = 24,96 mg/mlN24:Total Asam = = 21,12 mg/mlN48:Total Asam = = 28,8 mg/mlN72:Total Asam = = 29,76 mg/mlN96:Total Asam = = 19,2 mg/ml

7.2. Jurnal (Abstrak)

7.3. Laporan Sementara