fenomenologi pengantar - · pdf filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia....
TRANSCRIPT
1
BAGIAN I
FENOMENOLOGI
1.1. Pengantar
Fenomenologi secara umum adalah studi tentang
kenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran
manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari
kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang berarti
penampilan atau yang “tampak”, memperlihatkan diri
(phainein) dan logos (Yun) yang berarti: kata, ilmu,
ucapan, rasio, pertimbangan. Arti luas fenomenologi
adalah ilmu tentang fenomena-fenomena atau apa
saja yang tampak. Arti sempit: ilmu tentang
fenomena-fenomena yang menampakkan diri kepada
kesadaran kita.
Fenomenologi sebagai metode ilmu bermula
sejak G.W.F Hegel mendeklarasikan karyanya The
Phenomenology of Spirit, 1807.1 Sejak itu banyak 1 Hegel memakai istilah fenomenologi seperti yang diartikan oleh
Lambert dan Kant. Ia memperluas cakrawala pengertian fenomenologi sebagai ilmu mengenai pengalaman akan kesadaran, yakni suatu pemaparan yang dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak (absolut). Menurut Hegel, fenomen tidak lain adalah penampakan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomen merupakan manifestasi
2
pemikir menaruh minat serius untuk mempelajari
agama. Hanya saja metode studi terhadap agama
terlampau metafisik, sehingga persoalan agama lantas
menjadi objek kajian filsafat. Tidaklah mengherankan
bahwa para pemikir yang merujuk studi agama pada
karya Hegel itu lantas tergiring pada metode kerja
yang a priori dan metafisik. Mereka mengolah konsep-
konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran
agama dalam rangka menangkap hakikat agama. Sejak
saat itu pula studi atas agama mendapat sambutan
kritis, yang bernuansa mencibir dan merendahkan
agama, dari kubu ilmu-ilmu positif (positivistik) yang
memang sedang naik daun pada masa itu juga. Kaum
positivistik, yang meyakini ilmunya adalah cermin dari
realitas (mirror of nature) dan dapat diverifikasi
kepastiannya, tanpa ragu menendang agama keluar
dari arena yang ilmiah. Di hadapan kaum positivistik,
agama adalah tanda kesia-siaan manusia (kemalasan
manusia) dalam mengoptimalkan potensi berpikir
kritisnya dalam menghadapi kenyataan hidup. Karl
Marx, yang begitu alergi terhadap agama,
memandang agama tidak lebih dari pada warisan
budaya manusia yang belum kritis, khayalan dunia
yang terasing dari dunianya, sublimasi dari keinginan-
konkret dan historis perkembangan pikiran manusia. Lih. Lorens Bagus, 1992. Diktat Fenomenologi Agama, hlm. 2.
3
keinginan manusia yang tak akan pernah terwujud
dalam kenyataan. 2
Lantas, adakah pembelaan berarti terhadap
agama setelah dikritik oleh para pemikir positivistik
(ateistik)? Mungkinkah agama itu ilmiah (empirik)?
Rupanya kritik kaum positivistik itu tidak berhasil
mengakhiri (menyudahi) minat studi atas agama.
Kritik atas agama dari kubu ilmuan positivistik itu
diimbangi oleh studi agama di bidang ilmu-ilmu lain
seperti antropologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi.
Ilmu-ilmu itu melakukan studi atas agama dengan
cara meneliti kehidupan dan tradisi suku-suku primitif
dan menemukan dasar-dasar ilmiah dari agama.
Penelusuran atas fakta-fakta agama berupa praktik
peribadatan, ritus, upacara-upacara yang konkret
sehingga tidak semata-mata konseptual, apriori atau
metafisik menjadikan agama sungguh realistis. Fakta-
fakta agama itu sungguh real dan tidak sebatas ajaran
konseptual. Ia adalah cermin pengalaman langsung
orang-orang primitif akan yang Absolut. Dalam
konteks kajian ini, fokus pencarian para ilmuan adalah
asal-usul agama dengan mengartikan aktivitas
keagamaan sebagai tindakan simbolis penuh arti.3 Dan
fenomena agama adalah fenomena sosio-kultural.
2 Bdk. A. Sudiarja, dalam buku Mariasusai Dhavamony, hlm. 5-6. 3 Loc Cit.
4
Walaupun demikian, perkembangan ilmu
antropologi belakangan ini menunjukkan gelagat baru
bahwa para antropolog cenderung tidak lagi
menggunakan metode-metode antropologis untuk
menyelidiki masyarakat pra-tulis, tetapi menganalisis
kehidupan masyarakat-masyarakat yang modern dan
kompleks terutama berkaitan dengan simbolisme
dalam agama dan mitos, serta mengembangkan
metode baru yang tepat untuk studi agama dan
mitos.4
Dalam konteks perkembangan ilmu-ilmu lain
yang mempelajari agama, fenomenologi agama selalu
menempatkan diri sebagai mitra kerja ilmu-ilmu lain
tanpa harus kehilangan identitas diri (menyamakan
dirinya dengan yang lain). Artinya, meskipun
fenomenologi agama menggunakan hasil-hasil ilmu
lain untuk bahan risetnya, ia tidak seperti ilmu-ilmu
lain yang masing-masing merasa memiliki wilayah
kebenaran hakiki tersendiri di mana pihak lain harus
tunduk dan mengakuinya. Fenomenologi agama
mengajarkan mereka (ilmu-ilmu lain yang
mempelajari agama) untuk mengekang diri dan saling
menghormati batas-batas penelitian.5 Pentingnya
4 Mariasusai Dhavamony, hlm. 22. 5 Walaupun demikian, Fenomenologi Agama tetap membedakan
diri dari disiplin-disiplin ilmu lain yang mempelajari agama. Ia
5
menghormati batas-batas yang dimaksud supaya apa
yang menjadi ciri khas (aspek keunikan) dan tekanan
masing-masing disiplin ilmu tidak menjadi sirna atau
kabur. Maka, sejauh fenomenologi agama
menggunakan hasil-hasil ilmu manusia lainnya seperti
psikologi religius, sosiologi dan antropologi religius
yang selalu berkembang sebagai bahan yang
mendukung aktifitas studinya, ia adalah ilmu empiris.6
Sebagai suatu mazhab dalam filsafat abad ke-20,
fenomenologi pun berkembang pesat dan muncul
dalam berbagai macam bentuknya, misalnya,
fenomenologi transendental (E. Husserl),
fenomenologi eksistensial (J.P. Sartre dan M. Merleau
Ponty), fenomenologi hermeneutik (M. Heidegger dan
P. Ricoeur).7 Luasnya medan kajian dan beragamnya
bentuk-bentuk fenomenologi sejatinya menjadi
kekayaan dalam berfilsafat secara fenomenologis.
Namun, dalam tulisan ini kami tidak hendak mengulas
semua bentuk-bentuk itu secara komprehensif.
bahkan berupaya mengajar mereka mengekang diri agar tidak angkuh satu terhadap yang lain. Artinya, masing-masing disiplin ilmu agama penting untuk tetap menjaga batas-batas penelitian supaya unsur hakiki yang menjadi identitas dirinya tidak menjadi kabur. Bdk. Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Dikta Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm. 15.
6 Ibid., hlm. 43. 7 Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Diktat Kapita Selektat
Fenomenologi Agama, hlm. 8.
6
Ulasan kami di sini lebih merupakan upaya membuat
peta fenomenologi E. Husserl secara sederhana.
1.2. Sekilas Sejarah Fenomenologi
Pengalaman akan yang Absolut, baik dalam
masyarakat primitif maupun masyarakat modern, di
hadapan fenomenologi dipandang sebagai data
pengalaman yang menawarkan diri pada subjek di
mana subjek dituntut untuk melepaskan diri dari
asumsi-asumsi sementara berkaitan dengan data
pengalaman tersebut. Sesuai dengan prinsip yang
dicanangkan oleh Edmund Husserl sebagai tokoh
besarnya,8 fenomenologi haruslah kembali kepada
data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri
(fenomen) yang harus menampakan dirinya. Husserl
sepertinya berupaya memberi penjelasan kepada
tradisi berpikir filosofis sebelumnya dan sekaligus
memberi tanggapan atas kritik kubu positivistik 8 Dalam khazanah studi fenomenologi, Edmund Husserl seringkali
dirujuk sebagai tokoh besarnya. Ia dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam mengembangkan fenomenologi. Walaupun demikian, istilah fenomenologi dalam pengertian filosofis digunakan pertama kali bukan oleh Husserl melainkan oleh Johann Heinrich Lambert (1764). Lambert memasukan ajaran mengenai gejala (fenomenologia) ke dalam masalah kebenaran (aletheologia). Maksudnya ialah, bahwa dalam masalah kebenaran menurut Lambert terdapat sebab-sebab subjektif dan objektif dari ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomena). Lih. Lorens Bagus, Op.Ci, hlm.1.
7
terhadap agama, bahwa pengetahuan hakiki adalah
kehadiran data dalam kesadaran murni subjek, dan
bukan konstruksi spekulatif daya pikiran dalam
membangun konsep-konsep abstrak. Artinya, ia
hendak menekankan pentingnya relasi-relasi
eksistensial untuk menghadirkan “eidos” dalam
kesadaran murni dan bukan dalam teori-teori.9
Gagasan Husserl itu jelas merupakan paradigma
baru dalam ilmu fenomenologi. Ia menebas tradisi
fenomenologi yang sudah dirintis sejak Descartes
hingga Hegel, di mana pengetahuan melulu dibangun
secara spekulatif di dalam akal budi. Imannuel Kant,
dalam suratnya kepada Johann Heinrich Lambert pada
tahun 1770, bahkan menegaskan bahwa “metafisika
perlu didahului dan diperkenalkan oleh sebuah ilmu
yang seutuhnya bersifat partikular”. Dalam ilmu itu
diharapkan agar ditemukan keabsahan dan batas-
batas prinsip penginderaan.10 9 E. Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisa
deskriptif-introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung: religius, moral, estetis, konseptual, serta inderawi. Dalam konteks itu, perhatian fenomenolog hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Lih. Lorens Bagus, Ibid., hlm. 8.
10 Dalam karyanya Prinsip-Prinsip pertama Metafisika (1786) Kant memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan kaitan antara
8
Dalam konteks fenomenologi Husserl, fakta-fakta
dan fenomena-fenomena agama adalah objek kajian
bagi kesadaran setelah keduanya membangun relasi-
relasi timbal balik (subjek mengarahkan diri pada
objek dan sebaliknya juga).11 Dalam relasi itu prinsip
epoche tetap berlaku bahwa yang bertindak sebagai
subjek tetap menyortir atau memilah-milah lapisan
demi lapisan setiap unsur sementara yang tidak hakiki
dari objek kesadaran agar hakikatnya (eidos) dapat
ditangkap oleh kesadaran murni. Perspektif ini jelas
memungkinkan kita berdialog dengan pengalaman
dan kesadaran murni (pra-reflektif). Artinya, di sana
tersedia ruang luas dimana kita tidak perlu terjebak
dalam tuntutan kepada yang hakiki atau “yang
esensial” semata.
Dengan demikian, yang harus dilakukan para
fenomenolog ketika mereka berhadapan dengan
setiap fenomena (kenyataan yang tampak) adalah
sebatas membuat deskripsi atas fenomena
sebagaimana ia hadir dan dialami dalam kesadaran.
konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dari representasi, yakni fenomen indera-indera lahiriah. Ibid., hlm. 1-2.
11 Metode yang dikembangkan Husserl tampak menyajikan cara pandang dan kerangka berpikir (paradigma) refleksif-deskriptif secara timbal-balik (dialogal) dimana relasi-relasi antara subjek-objek, objek-objek, subjek-subjek dimungkinkan berlangsung setaraf.
9
Deskripsi yang dimaksudkan itu dibuat berdasarkan
ketulusan dan kesadaran subjek. Maka deskripsi itu
sejatinya mencerminkan sisi eksistensial fenomena
secara utuh dan unik. Kondisi ini menunjukkan
kesetaraan antara fenomena dengan subjek yang
menganalisis dan mendeskripsikannya. Dalam relasi
yang dialogal itu tidak lagi aspek yang hakiki yang
hendak diburu, ditangkap dan ditunjukan subjek
dalam dan melalui kesadarannya, melainkan
kehadiran masing-masing pihak (subjek dan
fenomena) sebagai “subjek bebas”.
Oleh karena itu, fenomenologi Husserl akhirnya
tidak lagi berkutat pada perkara mencari yang
esensial, tapi justru mendeklarasikan fenomena
secara deskriptif dan “apa adanya”. Ia bertindak
sebagai metode studi dan sekaligus disiplin ilmu yang
ilmiah karena mendeskripsikan fenomena-fenomena
yang menyergap kesadaran subjek. Dalam konteks
studi agama, fenomenologi merupakan metode studi
yang paling berpengaruh karena berupaya
mendeskripsikan fenomena agama sebagaimana
fenomena tersebut dialami dalam kesadaran
eksistensial. Jadi, fenomena merupakan data
pengalaman yang dianalisis dan dideskripsi.
Dalam perspektif itu, Husserl akhirnya menyadari
bahwa ternyata tidaklah mungkin untuk menangkap
10
apa yang hakiki dari fenomena. Sebab apa yang
disebut hakikat fenomena (yang esensial itu)
sebetulnya selalu merupakan “ia yang hadir dalam
dirinya sendiri” (thing in its self) secara utuh dan
unik.12 Kesadaran itu kelak menggiring Husserl
menjadi “anti-esensialisme” (anti eidos). Husserl
kemudian berpendirian teguh bahwa yang dapat
dilakukan para fenomenolog ketika berhadapan
dengan fenomena adalah memberikan deskripsi yang
perlu mengenai apa yang ada sebagaimana dialami
dalam kesadaran. Dalam tekanan yang terakhir ini
fenomenologi Husserl lebih tepat disebut
“fenomenologi transendental”.13
Berangkat dari uraian di muka, terobosan baru
fenomenologi dalam seni berpikir deskriptif-
introspektif, sejak Edmund Husserl, sebetulnya lebih
tepat dipandang sebagai ungkapan protes yang nyata
terhadap metode-metode filsafat barat yang
12 Immanuel Kant membedakan antara fenomena dan “noumena”
(benda dalam dirinya sendiri yang terlepas dari aktifitas kognitif pikiran).
13 Disebut fenomenologi transendental karena bidang telahaannya adalah kesadaran transendental, yakni kesadaran akan makna yang menjadi esensi benda. Kesadaran demikian jelas melampaui kategori kognitif, konsep terdalam dan dasariah matematika dan logika, serta kegiatan psikis real. Kesadaran transendental berangkat dari keterarahan (intensionalitas) pada obyek tertentu demi menguak makna universal yang menjadi esensinya .
11
tradisional sejak J.H. Lambert dan Immanuel Kant
yang memuncak pada Hegel di satu sisi karena
terlampau abstrak, konseptual dan metafisik.
Sementara pada sisi lain, fenomenologi Husserl juga
dapat dipandang sebagai ungkapan pembelaan
terhadap agama dari serangan kaum positivistik yang
memandang agama sebagai wilayah yang non-
ilmiah.14 Munculnya bentuk-bentuk baru studi agama
secara fenomenologis dapat dipahami sebagai
berkembangnya minat ke arah studi agama secara
empiris.
1.3. Metode epoche Edmund Husserl
Epoche adalah metode yang dicanangkan oleh
Husserl ketika subjek berhadapan dengan fenomena
agar subjek mampu melepaskan diri dari asumsi-
asumsi yang non-ilmiah terhadap fenomena.
Tujuannya adalah agar subjek menghadapi fenomena
dengan kesadaran murni.
Bagi Husserl, ketika subjek berhadapan dengan
fenomena maka ia sebetulnya bergumul dengan
pengalaman akan yang lain (sebagai objek
kesadarannya). Pergumulan itu pada awalnya
dipahami atau dikira bersifat subjek-obyek (subjek
mencari tahu esensi objek). Tetapi kemudian Husserl 14 Harold H Titus, dkk., 1979. Living Issues in Philosophy, 7th Edition,
12
menegaskan bahwa sesungguhnya yang terjadi dalam
pergumulan antara subjek dan fenomena adalah relasi
subyek-subyek (intersubyektif). Artinya, pergumulan
pengalaman tentang yang lain yang tertangkap oleh
kesadaran subjek.
Dalam pusaran pergumulan dengan fenomena,
subjek belumlah sampai menangkap hakikat
fenomena (belum memberi kepastian pengetahuan
akan fenomena). Untuk mencapai kepastian, kita
perlu mencarinya dalam ‘pengalaman yang sadar’,
yakni bermula dari aku murni yang mengatasi semua
pengalaman, dan bukan aku empiris.15 Bagaimana
caranya supaya aku bisa mencapai aku murni? Proses
pencapaian aku murni itu ditempuh dengan metode
epoche.
Proses pencarian hakekat fenomena melalui
metode epoche terjadi ketika subjek dengan sadar
mau memasukan ke dalam tanda kurung (epoche)
segala asumsinya terhadap fenomena (“aku-
empirisnya”) sehingga tinggallah subjek sebagai “aku
murni”. Proses demikian oleh Husserl disebut metode
epoche. Setelah proses epoche (pemurnian diri) ini
15 Aku empiris artinya aku yang tidak murni karena masih
dipengaruhi oleh pengalaman pergaulan dengan dunia benda. Kondisi ini perlu dimurnikan dengan cara memasukan seluruh pengalamanku itu ke dalam tanda kurung (epoche) sehingga kini tinggallah aku murni.
13
ditempuh, kini pergaulan subjek dengan fenomena
sungguh-sungguh mandiri dalam artian tidak lagi
diintervensi oleh pengertian, pemahaman dan
praduga-praduga tertentu.
Pandangan Husserl dengan epoche membuatnya
sebidang dengan metode keragu-raguan (cogito ergo
sum) Descartes. Dalam hal ini, Husserl melihat bahwa
dalam ukuran tertentu, fislafat yang dibangun
Descartes sudah mengantisipasi fenomenologi. Ia
menekankan pula bahwa eksistensi dari diri dalam
pengertian sebagai substansi rohani/spiritual, atau
seperti dikatakan Descartes res cogitans mesti
dikurung supaya mencapai kepastian, yakni eksistensi
diri murni.
Perbedaan Husserl dari Descartes terletak pada
pemahaman mengenai kesadaran. Bidang kesadaran
transendental (kesadaran akan makna, yang menjadi
esensi benda), bukan dalam cogito (abstrak) seperti
yang ditemukan dalam filsafat Descartes.
1.4. Tiga Macam Reduksi
Berkaitan dengan metode epoche di atas, dalam
rangka menemukan hakikat fenomena, Husserl
membedakan tiga macam reduksi, yakni: reduksi
fenomenologis, reduksi eidetik dan reduksi
transendental. Itulah sebabnya fenomenologi yang
14
dikembangkan Husserl kemudian lebih dikenal dengan
fenomenologi transendental karena memuncak pada
kesadaran murni, yakni kesadaran akan makna yang
menjadi esensi fenomena. Ketiga jenis reduksi ini
perlu dilakukan ketika berhadapan dengan fenomena
agar kita dapat menangkap esensinya (hakekatnya)
dengan intuisi.
a. Reduksi fenomenologis: ketika berhadapan
dengan fenomena kita perlu menyingkirkan
semua yang bersifat subyektif. Kita harus terbuka
terhadap fenomena (reflektif).
b. Reduksi eidetis: ketika berhadapan dengan
fenomena, kita perlu menyingkirkan semua
pengetahuan dan pengertian sebelumnya
mengenai fenomena (melalui metode epoche),
supaya kita sampai pada hakekat fenomena
(eidos).
c. Reduksi transendental. Ketika berhadapan
dengan fenomena kita harus berdiri sebagai
subjek yang memiliki kesadaran murni akan
fenomena. Kita sampai pada kesadaran murni
tentang fenomena ketika kita tidak lagi
dipengaruhi oleh pengetahuan lain tentang
fenomena. Dalam konteks itu, kita mampu
mengintuisi makna esensial fenomena.
15
1.5. Fenomen
Fenomenologi seperti diuraikan di muka
merupakan ilmu yang mempelajari fenomen.
Fenomen ialah apa yang tampak. Dari pengertian ini
terdapat implikasi rangkap tiga. Pertama, mesti ada
sesuatu. Kedua, sesuatu itu menampak, mencuat
keluar. Ketiga, justru karena sesuatu menampak maka
menjadi fenomen.
Fenomen sendiri mempunyai dua segi: segi
obyektif dan segi subyektif. Segi obyektif
dimaksudkan, pefenomenan sesuatu mengacu pada
sesuatu yang tampak. Segi subyektif, proses
pefenomen itu ada karena sesuatu mesti menampak
pada seorang pribadi. Jadi, fenomen itu tidak murni
obyektif yang menyangkut realitas aktual, juga tidak
murni subyektif, sebagai gejala psikologis semata-
mata. Fenomen perlu dilihat sebagai hubungan antara
subyek dan obyek. Dalam fenomen mesti dipahami
obyek yang dihubungkan dengan subyek dan subyek
dihubungkan dengan obyek. Fenomen bukanlah
produk dari subyek. Hakekat dari fenomen justru
terdapat dalam penampilan, pencuatan itu sendiri.
Pencuatan itu tertuju pada seseorang dan kalau
seseorang mulai mendiskusikannya, muncullah
fenomenologi.
16
Berkaitan dengan seseorang, yang kepadanya
fenomen menampak, terdapat tiga aras (inti)
fenomenalitas.16 Pertama, ada yang rahasia,
tersembunyi. Kerahasiaan dari sesuatu itu merupakan
sesuatu yang relatif saja. Sesuatu menjadi rahasia
karena belum mencuat keluar dan belum
menampakkan diri dan belum ditangkap oleh subyek.
Kedua, pelan-pelan membuka atau mewahyukan diri.
Ketiga, adanya kebeningan (transparansi). Dalam aras
yang ketiga kita menembus ke inti. Tiga aras ini dapat
dikaitkan, walaupun tidak sama dengan aras
kehidupan: pengalaman, pemahaman dan kesaksian.
“Pengalaman” bukanlah realitas hidup dalam arti
murni. Pengalaman dikonstruksi secara obyektif oleh
kondisi dan rangkaian peristiwa tertentu yang belum
tentu melewati proses negosiasi secara sadar. Ada
16 Terkait dengan tiga aras fenomen ini, kita bisa
mengilustrasikannya dengan buah durian. Ia mengeluarkan aroma yang harum seakan-akan menyampaikan pesan kepada kita bahwa ada sesuatu yang lezat di balik kulitnya yang tampak berbahaya itu (aspek rahasia, tersembunyi). Aroma yang harum itu secara pelan tapi pasti membuka rahasia tentang durian (menyatakan diri durian). Dari aroma yang harum itu ada kejelasan bahwa durian itu pasti enak kalau disantap (bagi orang tertentu lho). Tetapi, kita tidak pernah mengetahui secara pasti bagaimana enaknya rasa durian kalau kita tidak pernah berani membauinya, membukanya untuk kemudian menyantapnya. Bila kita melakukan itu, maka kita memiliki pengalaman tentang durian, memahami durian, dan memberi kesaksian bahwa durian itu enak.
17
kalanya peristiwa yang kemudian menjadi
pengalaman terjadi di luar harapan kita dan
berlangsung begitu cepat tanpa permisi kepada
kesadaran dan akal sehat kita. Itulah sebabnya kita
mesti mengajukan sikap atas pengalaman kita berupa
interpretasi kritis atasnya sebagai pengalaman.
“Kehidupan” itu sendiri adalah rangkaian peristiwa
yang membentuk pengalaman, tetapi ia tidak dapat
dipahami seluruhnya. Apa yang dibuka, bukanlah
kehidupan tetapi bentuk-bentuk tertentu kehidupan.
Artinya, ada sisi-sisi tertentu kehidupan yang
membangun keutuhan kehidupan. Sisi-sisi kehidupan
itu sejauh bisa kita interpretasi (dan pahami secara
sadar maknanya), itulah pengalaman. Artinya, yang
disebut pengalaman itu selalu menuntut interpretasi,
pemahaman dan kemudian memberikan makna
(esensi) bagi kita. Itulah sebabnya pengalaman
disebut sebagai “guru yang baik”.
“Pengalaman pertama” yang sebenarnya tidak
dapat disebut pengalaman,17 merupakan dasar dari
pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman pertama
selalu berlalu begitu saja. Misalnya, pengalaman saya
menulis dalam buku harian dua menit yang lalu,
17 Apakah ada yang disebut “pengalaman pertama” dalam arti yang
sesungguhnya? Rasanya sulit bagi kita untuk mengingat dan menyebutkan apa dan bagaimana “pengalaman pertama” kita.
18
dimensi keberlaluannya sama dengan tulisan saya
setahun yang lalu. Mengapa? Karena pengalaman-
pengalaman tersebut tidak dapat saya “ulangi”.
Semuanya sudah berlalu. Pengalaman hanya sekali
terjadi dan sudah selesai. Ia selau terkait dengan
kondisi tertentu dalam rentang peristiwa, ruang,
waktu dan nuansa emosi tertentu. Pengalaman
menulis yang baru kubuat tidaklah lebih dekat padaku
daripada naskah tulisan peninggalan orang-orang
terdahulu, misalnya, tulisan orang Mesir empatribu
tahun yang lalu. Seorang Mesir dan saya merupakan
“yang lain” untuk sebuah tulisan yang sudah dibuat.
Artinya, antara tulisan dan penulisnya sudah berjarak.
Kehidupan itu menembus batas, selalu terlepas,
sulit dikurung.18 Kehidupan adalah sesuatu yang
berlangsung (berproses) tidak pernah muncul begitu
saja. Yang berlangsung itu selalu direkonstruksi
(dimaknai) dan bagi kita sendiri, kita tidak dapat
menemukan jalan masuk untuk bagian yang paling
18 Meskipun kehidupan itu terbatas oleh kenyataan fisik, tetapi ia
sesungguhnya menembus batas, sulit digenggam dan dikurung. Namun, kita mesti menjalani kehidupan yang menembus batas itu dalam batas-batas tertentu dalam konteks sosial (secara normatif) sehingga ekspresi kehidupan itu memberi makna bagi diri kita dan orang lain. Dalam konteks itu, kehidupan yang menembus batas itu mesti dijalani secara tahu batas dalam pengertian melakukan perubahan sehingga kehidupan menjadi unik dalam batasan tertentu.
19
sublim. Kehidupan bukanlah ruang hampa atau
tertutup di mana kita tinggal bebas tanpa batas atau
aman tanpa gangguan. Kehidupan bukanlah sebatas
tubuh, yang dengan segala pesona kelebihan
potensinya memungkinkan kita menaklukan dunia.
Namun, tubuh kita pada kenyataannya tidak pernah
mampu menggenggam kehidupan menjadi milik kita
selamanya. Sebaliknya, di hadapan kehidupan,
keutuhan diri kita seolah-olah hadir sendiri
berhadapan dengan sesuatu yang lain tanpa bantuan.
Kita rupanya selalu terlambat untuk memahami esensi
kehidupan. Ringkasnya, kita itu rapuh, fana, terbatas
oleh ruang dan waktu.
Namun, seluruh kenyataan ini sebetulnya
merupakan hal yang “biasa”. Di antara yang aku dan
yang bukan aku, orang atau benda, dan seterusnya,
yang nampaknya memuat perbedaan mendasar
sesungguhnya adalah hal “biasa”. Eksistensi segala
sesuatu adalah perkara “biasa”. Jadi, perbedaan yang
tampak ada di antara saya dan yang lain, jarak dekat
dan jarak jauh, kemarin dan beribu-ribu tahun
lampau. Semuanya itu adalah hal “biasa”. Mengapa?
Karena eksistensi masing-masing sesuatu itu memuat
dimensi “biasa” pada dirinya sendiri, yang
sesungguhnya menjangkau kita pun mengalami
20
dilema: antara segala yang ada itu berbeda atau
sama-sama “biasa” pada dirinya sendiri.
Kita menemukan diri kita sendiri kalau kita mau
mendekati kehidupan itu. Tetapi apa yang nampaknya
terdapat perbedaan yang besar antara saya dan yang
lain, sesama, baik yang dekat maupun yang jauh,
kemarin atau beribu-ribu tahun yang lalu, semuanya
merupakan hal yang sama-sama “biasa”. Seluruh yang
sama-sama biasa yang kita kira berbeda-beda itu
dipertemukan dan hadir secara serentak dalam diri
kita sendiri. Kita rupanya sibuk bergulat dengan diri
kita untuk meyakinkan diri kita bahwa ada perbedaan
di antara segala yang ada. Padahal, segala yang ada itu
sama-sama “biasa”, yakni sama-sama diadakan:
adanya segala yang ada karena ada yang
mengadakannya, sementara yang mengadakan segala
yang ada itu adanya tidak diadakan, adanya adalah
adanya. Interpretasi kita tentang perbedaan segala
yang ada bermuara pada pergulatan diri kita sendiri.
Kita bisa belajar dari pengalaman seorang sejarahwan.
Ia dapat memulai penelitiannya tentang sesuatu atau
seseorang dari mana saja dan terkait dengan apa dan
siapa saja. Akan tetapi, sehebat apa pun penelitiannya
itu, tidak bisa luput dari kenyataan bahwa sang
sejarawan itu pada akhirnya berjumpa dengan dirinya
sendiri. Dirinya adalah titik simpul pertemuan segala
21
peristiwa yang direkamnya. Ia sesungguhnya
mengadakan rekonstruksi peristiwa yang sudah
berlalu dan tidak mungkin dipanggil kembali.
1.6. Tahap-Tahap Pemilahan Fenomena
Fenomenologi merupakan metode diskusi yang
sistematis dan ilmiah mengenai fenomena untuk
menyingkapkan esensinya. Selaras dengan itu,
fenomenologi menelaah fenomena dalam beberapa
tahap seperti dirunut di bawah ini:
a. Memberi nama
Sesuatu yang menampakkan diri pertama-tama
harus menerima nama. Semua tuturan pertama-tama
terdiri dari memberi nama: penggunaan nama penting
karena ia menjadi dasar untuk membangun suatu
bentuk berpikir yang bersifat antara memahami dan
membayangkan. Dengan memberi nama, kita
memisahkan fenomen-fenomen dan sekaligus
memilahnya. Dengan kata lain, kita mengadakan
klasifikasi. Kita menggabungkan fenomena-fenomena
atau menyeleksi dan menyortirnya. Upaya demikian
lebih tepat dinamakan sebagai pemurnian (purifikasi).
Sejak manusia memberi nama, sesungguhnya kita
menunjukkan diri kita dalam bahaya. Kita menjadi
limbung atau puas dengan nama. Untuk itu, kita atasi
22
bahaya ini dengan tahap berikut, yakni menyisipkan
fenomena dalam hidup kita.
b. Fenomen masuk ke dalam hidupku
Kita menyisipkan fenomen dalam hidup kita.
Penyisipan ini bukan tindakan main-main. Realitas
adalah realitasku, sejarah adalah sejarahku. Kita mesti
sadar bahwa apa yang sedang kita buat bila kita mulai
mengatakan apa yang nampak kepada kita dan yang
kita namakan. Lebih lanjut perlu diingat bahwa apa
yang nampak pada kita, tidak tunduk pada kita secara
langsung, tuntas, tetapi hanya sebagai simbol suatu
makna untuk kita interpretasikan (pahami), sebagai
sesuatu yang menyerahkan diri kepada kita untuk
diinterpretasikan. Interpretasi ini menjadi mustahil
manakala kita tidak mengalami penampakan, dan
interpretasi ini dilakukan bukan dengan paksaan dan
setengah sadar, tetapi secara intensional (keterarahan
yang sadar) dan metodis.
d. Tidak Tuntas
Ketika fenomen masuk kedalam hidupku, pada
saat yang sama juga kesadaranku tak sampai pada
eksistensinya. Untuk itu, fenomenologi perlu
memperhatikan metode pengurungan (epoche) dan
pemahamannya mengenai peristiwa-peristiwa
23
tergantung pada “pengurungan-pengurungan”. Dalam
konteks itu, fenomenologi berkutat hanya dengan
fenomen, yang menampakkan dirinya. Ia menggumuli
seluruh fenomen apa adanya, tidak semata-mata
yang ada “di belakang” fenomen. Metode
pengurungan ini bukan semata-mata alat untuk
bersikap terhadap realitas, tapi merupakan sebuah ciri
khas sikap seluruh manusia pada realitas. Tujuannya
adalah untuk mendapatkan “essenstia” fenomen
(yang hakiki dari fenomen). Dalam hal ini, seseorang
menjadi pasti hanya dengan memberi bentuk dan
makna pada benda-benda yang menampakan diri
pada kesadarannya. Maka fenomenologi sebenarnya
berdiri di samping dan memahami apa yang nampak
dalam pandangan, meski pemahamannya tidak
tuntas.
d. Klarifikasi
Memperhatikan apa yang nampak berarti
membuat klarifikasi mengenai apa yang diperhatikan.
Semua yang ada dalam satu tatanan mesti disatukan,
tetapi yang berbeda dalam tipe mesti dipisahkan.
Pembedaan ini, seharusnya tidak diputuskan dengan
mengacu pada hubungan kausal (A muncul dari B
sementara C mempunyai asalnya yang
menyatukannya dengan D), tetapi semata-mata
dengan memanfaatkan hubungan struktural, bagaikan
24
pelukis yang melukiskan pemandangan dengan
menyatukan obyek-obyek kedalam kelompok atau
memisahkan mereka satu dengan yang lain. Ini berarti
kita mencari interrelasi tipikal ideal, dan berusaha
mengatur ini dengan keseluruhan yang lebih besar
makna dan sebagainya.
e. Pemahaman Lebih Murni
Semua aktivitas yang dialami bersama dan
serentak, menghasilkan suatu pemahaman sejati.
Realitas yang bersifat kaotik dan kasar menjadi sebuah
manifestasi, sebuah revalasi (penyingkapan). Fakta
empiris, metafisik menjadi sebuah data, obyek,
tuturan hidup, rigiditas, ekspresi. Ilmu-ilmu didasarkan
pada hubungan antara pengalaman, ekspresi dan
pemahaman. Dalam konteks itu, tampaknya
pengalaman yang tak dapat diraba dalam dirinya
sendiri, tak dapat ditangkap atau dikuasai, tetapi ia
menampilkan sesuatu kepada kita, pencuatan:
mengatakan sesuatu, perkataan/tuturan. Tujuan dari
ilmu tidak lain adalah memahami logos, secara hakiki
ilmu pengetahuan merupakan hermeneutik
(penafsiran atas realitas).
f. Koreksi terus menerus
25
Kalau fenomenologi harus menyempurnakan
tugasnya, secara imperatif fenomenologi menuntut
suatu koreksi terus-menerus oleh penyelidikan
filologis (ilmu tentang manuskrip atau naskah kuno)
dan arkeologis secara sadar. Fenomenologi harus
selalu siap dikonfrontasikan dengan fakta-fakta
material, dan ini berlangsung dalam interpretasi;
berkutat dengan teks dan kemudian dengan fakta
yang secara konkret termuat di dalamnya: sesuatu
yang diterjemahkan dengan kata-kata lain.
g. Obyektivitas Murni
Prosedur yang seluruhnya dan kelihatannya rumit,
pada akhirnya mempunyai tujuan ke obyektivitas
murni. Fenomenologi berusaha untuk mencapai jalan
masuk pada fakta-fakta; untuk ini fenomenologi
membutuhkan makna, karena ia tidak dapat
mengalami fakta sesuai dengan kesenangannya.
Makna ini, murni obyektif. Artinya, semua reduksi,
baik empiris, logis maupun metafisik tidak dapat
dimasukkan. Fenomenologi memperlakukan semua
peristiwa dengan cara yang sama “dalam hubungan
langsung dan serentak dengan Allah” sehingga
hasilnya tidak tergantung pada hasil darinya, tetapi
pada eksistensinya sedemikian, pada dirinya sendiri.
Dalam konteks ini, hanya satu keinginan
26
fenomenologi: memberi kesaksian pada apa yang
telah ditunjukkan padanya. Hal ini dapat dilaksanakan
dengan metode:
Tidak langsung
Pengalaman kedua mengenai peristiwa
Rekonstruksi yang cermat
Dalam konteks itu, fenomenologi dapat mengeluarkan
semua kalangan demi mencapai keinginannya, yakni:
memberi kesaksian. Melihat dari wajah ke wajah
ditolak. Tetapi melihat dalam cermin dan sesuatu
yang mungkin untuk berbicara mengenai benda yang
dilihat.
27
BAGIAN II
AGAMA DAN FENOMENOLOGI AGAMA
2.1. Pengantar
Usia agama itu setua umur umat manusia. Dapat
dipastikan bahwa tidak ada komunitas manusia yang
hidup tanpa agama atau suatu kepercayaan tertentu
kepada adanya Yang Mahatinggi, yang oleh agama
monoteis disebut Allah atau Tuhan itu.
Telah banyak definisi yang diberikan kepada
agama. Ia dinalar baik dari segi etimologis, maupun
dari segi esensi. Penalaran atas agama dapat
dilakukan dengan dua pendekatan, yakni vertikal dan
horizontal. Semua definisi dan pendekatan dilihat
dalam konteks fenomenologis. Maka definisi atas
agama dapat beraneka ragam. Keanekaragaman
definisi atas agama menunjukkan bahwa agama
memang multi faset, sehingga cukup sulit dikemas
dalam sebuah definisi yang baku dan seragam. Maka,
apa pun definisi yang diberikan kepadanya,
sebetulnya bermaksud untuk melukiskan secara lain
tentang esensi yang sama dari agama-agama.
28
2.2. Definisi Agama
Sebagai hal yang multi faset, agama (religio) cukup
sulit dikemas dalam sebuah definisi tunggal. Setiap
definisi atasnya menyajikan sebuah pemahaman
tertentu saja tentang esensi yang sama. Dalam
bahasa Latin, religio berarti perasaaan, yang
tersatukan dengan rasa takut dan ragu dalam
menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan
dewa-dewi. Supaya kita terbantu dalam memahami
definisi agama, berikut akan diuraikan secara esensial
dan etimologis.
Secara esensial agama pada umumnya dipahami
sebagai kumpulan keyakinan atau tindakan
penyembahan yang menunjukkan hubungan dengan
yang kudus dan hubungan dengan keilahian.
Secara etimologis, definisi atas agama menjadi
bahan diskusi. Terkait dengan etimologi agama
terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat
mengenai akar kata agama yang dalam bahasa Latin
disebut religio.
Agustinus, Lattansius dan Servius mengatakan
bahwa kata religio berasal dari kata RELIGARE
(mengikat) dan ‘reeligere’, yang berarti memilih lagi.19
Di sini agama dilihat sebagai suatu hubungan dengan 19 Heuken, A., ENSIKLOPEDI GEREJA, IA-G, hlm. 31.
29
kewajiban menjalankan praktik-praktik tertentu.
Cicero berpendapat bahwa agama berasal dari kata
dalam bahasa Latin ‘relegere’, (membaca kembali). Di
sini agama memberi peluang kepada umatnya untuk
melihat dengan penuh perhatian medan kehidupan
(dievaluasi) dalam kaitannya dengan yang ilahi.
Berdasarkan penelusuran secara etimologis di
atas kita dapat menalar makna agama dalam tiga
perspektif, yakni: mengikat, memilih dan membaca
kembali. Pertama, religi merupakan cara (jalan yang
selalu terbuka) untuk manusia “mengikat lagi” relasi
yang sempat terputus dengan Allah karena keegoisan
manusia. Manusia yang pernah melepaskan diri dari
Allah diberi kesempatan untuk senantiasa kembali
kepada-Nya melalui religi. Kedua, agama bisa juga
dimaknai sebagai wahana untuk manusia menentukan
pilihan hidup secara tepat dan benar dalam konteks
horizontal dalam rangka penghayatan relasi vertikal
(dengan yang ilahi). Ketiga, agama juga diyakini
sebagai institusi yang selalu memberikan ruang
evaluasi untuk mengkritisi kembali lembaran-
lembaran pengalaman hidup dan berdasarkan itu pula
dimungkinkan adanya rekonsiliasi untuk segala
kekeliruan (dosa). Berdasarkan itu pula, agama
bagaikan energi yang membebaskan manusia dari
belenggu akibat tiranik tuntutan diri yang egois,
30
pongah, dan serakah. Manusia yang menyesali dosa-
dosanya dan bertobat mendapat pengampunan Allah.
Walaupun agama merupakan suatu institusi,
tetapi ia perlu dibedakan dari institusi sosial yang lain.
Pembedaan ini didasarkan pada ciri-ciri khusus yang
ada pada agama. Ciri-ciri agama dapat dikenali melalui
tiga hal, yakni:
Pertama, pengikutnya menjalankan secara
teratur “ritus-ritus” tertentu dan mengucapkan
rumus-rumus tertentu untuk mengekspresikan
keyakinan atas agama atau ajarannya. Kedua, iman
(ungkapan iman) pada suatu nilai absolut (mutlak).
Iman ini merupakan obyek yang dipertahankan oleh
komunitas beragama. Ketiga, adanya kemungkinan
(peluang) untuk individu (umat beriman) untuk
menjalin relasi dengan satu kekuatan spiritual (ilahi,
rohani) yang mengatasi manusia. Kekuatan spiritual
itu diterima sebagai sesuatu yang memancar dan
menyinari segala sudut semesta yang pada akhirnya
memuncak dan bersatu dengan Allah.
2.3. Dua Pendekatan Untuk Memahami Agama
Sebagai hal yang multi faset, agama perlu
dipahami melalui dua pendekatan, yakni pendekatan
horisontal (berlangsung mendatar dalam ranah
31
kehidupan) dan pendekatan vertikal (berlangsung dari
atas ke bawah atau sebaliknya).
Kita bisa mencoba memahami agama dari suatu
bidang horisontal, yakni dari diri kita sendiri sebagai
pusat (pengalaman manusia sebagai pribadi: sebab
pengalaman agama tidak terlepas dengan
pengalaman masing-masing pribadi). Kendati
demikian, kita juga bisa memahami esensi agama
sebagai anugerah pengertian yang hanya datang dari
atas. Artinya berangkat dari inisiatif Allah kepada
manusia. Dengan kata lain, kita bisa mengerti agama
sebagai pengalaman yang bisa masuk akal karena
anugerah dari Allah. Berbeda dari hal ini, kita juga
dapat memandang agama dari perspektif wahyu
sebagai hal yang tidak bisa dipahami secara tuntas.
Secara relasi vertikal, pengalaman beragama
sebetulnya bisa dipahami bahwa wahyu turun kepada
manusia atas inisiatif Allah sendiri. Tetapi “refleksi
atas pengalaman tersebut sebagai sebuah tannggapan
iman mentransformasikannya menjadi sebuah
fenomen, meskipun wahyu pada dirinya sendiri
bukanlah sebuah fenomen. Jawaban manusia kepada
wahyu (pernyataan imannya) merupakan suatu
fenomen. Dari fenomen ini secara tidak manusia
langsung lantas menarik kesimpulan-kesimpulan atas
wahyu.
32
a. Pendekatan Horizontal
Telaah atas agama berdasarkan pendekatan
horisontal dan vertikal menunjukkan bahwa agama
secara implisit hendak menggarisbawahi
kecenderungan manusia, yakni: manusia tidak begitu
saja menerima hidup yang diberikan kepadanya.
Seluas rentang hidup manusia ditandai oleh niat serius
untuk mencari sang Kuasa. Manusia telah selalu
berusaha menarik Sang Ilahi kepada hidupnya sendiri.
Ia berusaha mengangkat hidup, meningkatkan
nilainya, memberinya suatu makna lebih dalam dan
lebih luas dalam kerangka keyakinannya akan yang
Ilahi. Inilah yang disebut garis horisontal agama.
Dengan cara ini insan beragama mengalami
agama sebagai perluasan hidup kepada batasnya yang
paling jauh. Agama rupanya memotivasi manusia
untuk menggapai hidup yang lebih kaya, lebih dalam
serta lebih luas. Dalam konteks itu, agama menjadi
semacam instrumen suci untuk memenuhi hasrat
abadi manusia, yakni memiliki keutuhan diri dengan
Sang Daya (power) Ilahi yang kekal.
Lantas, manusia yang tidak begitu saja menerima
hidupnya apa adanya selalu berusaha mendekatkan
dirinya pada Sang Kuasa agar ia menemukan suatu
makna terdalam dari hidupnya. Dalam rangka itu,
33
manusia pun menata hidup ke dalam suatu
keseluruhan yang bermakna. Proses demikian
berlangsung secara evolutif hingga bermuara pada
“kebudayaan”. Sebetulnya, upaya manusia yang abadi
adalah mengejar makna hidup. Dalam rangka itu pula,
manusia menebarkan gagasan dan kreasi yang
dirajutnya secara sistematis agar dapat merengkuh
hidup yang bermakna. Kreasi-kreasi manusia pun
tampil dalam pelbagai variasi desain: karya seni baik
yang bercorak religius dan non-religius, adat,
ekonomi, pertanian (patung dari batu batu dan kayu,
seperangkat perintah dan aturan sebagai rujukan
hidup bersama, tanah garapan dari hutan belantara).
Semuanya itu terjadi dalam rangka manusia
mengembangkan daya, yang kian lama kian dalam dan
luas. Maka agama menyiratkan kodrat manusia
sebagai makhluk yang tak pernah puas. Seluruh
rentang hidupnya diwarnai dengan pencarian akan
makna hidup yang sejati. Manusia selalu menanyakan,
mencari, dan berusaha menyimpulkan makna
teraklhir yang merupakan dasar yang paling dalam.20
20 Misalnya, meskipun manusia mengetahui bahwa sekuntum bunga
indah dan menghasilkan buah, ia selalu terdorong untuk mencari dan menanyakan makna bunga yang lebih dalam dari bunga tersebut, makna yang terakhir. Bila ia tahu bahwa istrinya cantik; terampil bekerja dan dapat melahirkan keturunan atau bila ia memahami bahwa ia harus menghargai istri orang lain,
34
Oleh karena itu, makna religius dari segala
sesuatu di muka bumi inj merupakan makna terakhir.
Artinya, tidak ada lagi makna apa pun yang lebih
dalam setelah makna religius sebab makna religius
adalah makna dari suatu keseluruhan; makna terakhir.
Sayangnya, makna religius ini tak pernah dimengerti
secara tuntas. Ia merupakan suatu rahasia yang tak
henti-hentinya menyingkapkan dirinya, namun terus-
menerus lolos dari tangkapan inderawi manusia
secara tuntas. Makna religius menyiratkan adanya
suatu gerak maju ke arah batas terakhir, suatu batas
di mana seluruh pengertian manusia “dilampaui”
sehingga ia dengan sendirinya merupakan batas
makna.
Meskipun demikian, manusia beragama selalu
berupaya menempuh jalan menuju suatu yang
mahakuasa, yang kepadanya ia yakinkan dirinya untuk
memperoleh suatu pengertian yang penuh akan
makna terakhir. Manusia pun dengan senang hati
mencoba menangkap hidup, untuk menguasainya.
Oleh karena itu, manusia tak henti-hentinya mencari
sebagaimana ia menginginkan orang lain menghargai istrinya, ia lalu terus mencari dan menanyakan makna terakhir istrinya. Dengan begitu ia menemukan rahasia bunga dan rahasia istri (wanita). Dan dengan begitu pula ia menemukan makna religius. Makna itu berangkat dari makna yang ada, makna yang paling mendasar.
35
keunggulan-keunggulan baru sebagai bukti bahwa ia
mampu menguasai hidup ini. Upaya demikian
berlangsung terus sampai pada akhirnya manusia
berdiri pada batas terakhir dan ia memahami bahwa
keunggulan terakhir tidak akan pernah ia gapai, tetapi
keungulan terakhir itu menjamahnya secara misterius
dan tak bisa dimengerti. Tuhan adalah keunggulan
final hidup manusia. Agama memberi peluang lebar
bagi manusia untuk terserap oleh keunggulan terakhir
itu.
b. Pendekatan Vertikal
Bila pendekatan horisontal memahami agama
bertolak dari pengalaman beragama manusia dalam
bidang datar, pendekatan vertikal berusaha
memahami agama dari bawah ke atas dan dari atas ke
bawah. Meski demikin, pendekatan ini tidak seperti
pendekatan horisontal yang bertolak dari suatu
pengalaman yang melintas di depan suatu batas.
Pendekatan vertikal merupakan suatu wahyu, yang
datang dari seberang batas itu. Pendekatan horisontal
merupakan pengalaman yang tentunya merupakan
suatu persiapan atau pratanda wahyu, tetapi tidak
pernah sampai pada wahyu. Di lain pihak, pendekatan
vertikal berangkat dari suatu wahyu, yang tidak
36
pernah dimengerti sepenuhnya kendati ia mengambil
bagian dalam pengalaman.
Pendekatan horisontal memang bukan suatu
fenomen yang dapat di raba, tetapi lebih merupakan
suatu fenomen yang dalam batas tertentu dapat
dimengerti. Sementara pendekatan kedua (vertikal),
sama sekali bukanlah fenomen dan tidak pernah bisa
dicapai dan dimengerti. Maka, apa yang bisa kita
peroleh dari pendekatan kedua secara fenomenologis
hanyalah cerminannya dalam pengalaman. Tuhan
tidak pernah bisa pahami dengan kemampuan
intelektual belaka. Apa yang bisa kita pahami
tentangNya hanyalah sebatas jawaban yang kita
konsepsikan sendiri.Pengertian kita tentang Tuhan
hanyalah sebatas dunia yang kita alami saja.
Maka upaya manusia dalam mencari yang ilahi,
yang Kuasa dalam hidup tidak pernah mencapai
batas. Dalam rentang pencariannya, ia sebatas
menyadari bahwa dirinya bergerak menuju suatu
wilayah yang sama sekali berbeda, sama sekali asing.
Dalam pengertian ini, manusia yang sedang dalam
perjalanan pencarian akan sang Kuasa itu memang
berada dalam wilayah yang menawarkan suatu
prospek tersingkapnya jarak tak terbatas itu
kepadanya, tetapi ia juga serentak tahu bahwa
perjalannanya itu dikitari oleh hal-hal yang sangat
37
mengagumkan dan jauh sekali. Ia menyadari
kehadirsan sang Kuasa dan digenggam olehNya.
Meskipun manusia sadar bahwa ia menuju wilayah
yang menakutkan karena merupakan “rumah Tuhan”
dan “gerbang Surga”, tetapi ia sungguh tahu pasti
bahwa sesuatu menemuinya di jalan itu. Mungkin
malaikat yang berjalan di depannya dan
membimbingnya dengan aman: mungkin malaikat
dengan pedang menyala yang melarangnya melewati
jalan itu. Akan tetapi, yang pasti ialah bahwa sesuatu
yang asing telah melintasi jalan itu dengan segala
Kuasanya sendiri.
Yang asing ini tidak mungkin di beri nama sebab
tidak dijumpai di sepanjang jalan manusia sendiri.
Rudolf Otto telah mengusulkan “Yang Numinous”,
mungkin sekali karena ungkapan ini tidak mengatakan
apa apa. Lagi-lagi unsur yang asing ini hanya bisa
didekati lewat jalan negatif (per viam negationis: jauh
lebih mudah untuk mengatakan Alah itu bukan ini-itu
ketimbang berusaha membahasakannya bahwa ia
adalah ...). Lantas Rudolf Otto kembali mengajukan
istilah yang tampaknya begitu netral, yakni: “the
wholly Other” (Yang Lain Sama Sekali). Namun
demikian, untuk yang asing ini agama-agama sendiri
telah menciptakan istilah “holy” (kudus). Istilah
Jermannya diambil dari Heil, “penuh Kuasa”; bahasa
38
Latin, sanctus, dan ungkapan kuno, tabu punya arti
dasariah “terpisah”, “menyendiri”. Semua istilah tadi
adalah upaya untuk melukiskan pengalaman
beragama sebagai: suatu Yang Lain Sama Sekali, asing,
Sang Daya yang merasuki kehidupan. Sikap manusia
terhadapnya pertama-tama adalah kagum dan
bermuara pada pengakuan, penerimaan secara tulus
dan ikhlas, yakni: iman.
2.4. Perpaduan Dua Pendekatan
Kesimpulannya, batas keberdayaan manusia serta
mulainya yang ilahi bersama-sama merupakan tujuan
yang telah dicari dan ditemukan dalam agama segala
zaman: keselamatan. Keselamatan ini mungkin saja
peningkatan hidup, kemajuan, pengindahan,
pendalaman, serta perluasan hidup. Tetapi dengan
istilah “keselamatan” bisa juga dimaksudkan suatu
hidup baru sepenuhnya, suatu penciptaan kehidupan
baru yang telah diterima dari “tempat lain”. Akan
tetapi, bagaimanapun juga, agama selalu diarahkan
kepada keselamatan, tidak pernah kepada kehidupan
sendiri sebagaimana sudah diberikan. Dan, dalam hal
ini, semua agama tanpa kecuali merupakan agama
keselamatan (pembebasan).
2.5. Makna Konotatif Agama
39
Dilihat dari aspek substantifnya, agama memiliki
makna konotatif, yakni: berisi seperangkat nilai dan
norma, perintah dan larangan, nasihat dan anjuran,
serta perumpamaan-perumpamaan didaktis.
Semuanya itu dicakupkan sebagai suatu ajaran suci
yang mampu mempertemukan manusia beriman
dengan Tuhan yang diimaninya.
Seperangkat ajaran suci itu membuka hati
manusia beriman untuk mampu melihat tanda-tanda
zaman dengan mata imannya secara teliti. Ia juga
merupakan wadah dan sarana untuk meningkatkan
rasa persatuan; solidaritas antar-ciptaan yang berskala
sosio-kosmik, yakni kesadaran manusia bahwa segala
sesuatu berakar di dalam dan dinaungi oleh satu
Realitas absolut dan Agung, yang oleh manusia
beriman disebut Allah. Religi juga menggugah
kesadaran manusia akan panggilan hakikinya sebagai
manusia, yakni menjadi sosok manusia yang
“humanum”, meminjam istilah Hans Küng, yakni
manusia yang merasa bahwa sesamanya adalah
tanggungjawabnya juga. Manusia yang bersatu secara
utuh dan penuh dengan Allah dan sesamanya dalam
suasana penghayatan iman, pengharapan, dan kasih.21
21 Küng, Hans, 1986, Christianity and the World Religions: Paths of
Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism. Trans. Peter Heinegg. New York: Doubleday, hlm. xvi.
40
Dilihat dari aspek konotatifnya, istilah agama atau
religi memuat penalaran secara dualistik terhadap
realitas: ada tempat sakral dan ada tempat profan,
ada roh baik dan roh jahat, halal dan haram, ada
dunia nyata dan dunia gaib, ada surga dan ada neraka,
ada Tuhan sebagai penguasa Surga dan ada setan
sebagai penguasa neraka.
Konotasi lainnya adalah pemikiran tentang yang
suci, mistis, ilahi, tabu, pantang, puasa, berkat, dan
rahmat, dll. Pemahaman religi atau agama seperti itu
erat kaitannya dengan penghayatan iman seseorang
berdasarkan ajaran-ajaran agamanya.
Singkatnya, istilah religi atau agama tertuju pada
sikap percaya dan pasrah kepada realitas transenden
yang diyakini bisa hadir secara imanen dalam dan
melalui aktifitas-aktifitas spiritual. Adanya Wujud
Tertinggi dan kelompok manusia yang percaya
kepada-Nya sebagai penyangga kehidupan semua
makhluk di alam semesta ini.
Namun secara konotatif pula, istilah religi
menyiratkan adanya sosok pribadi yang figuratif untuk
diteladani karena taat dan saleh dalam mentaati
ajaran agama, yang disebut sebagai manusia religius.
Jadi, secara konotatif agama atau religi
menghantar seseorang ke arah “to be religious”. Tolok
ukurnya adalah mencintai Allah di atas segala-galanya
41
dan mencintai sesama manusia melalui perbuatan
nyata: amal, bersedekah, pengampunan dan
penerimaan dalam persaudaraan, (toleran dan
solider), serta berkomitmen etis, aktif dan proaktif
dalam memelihara lingkungan alam dalam praksis
kehidupan.
2.6. Makna Kualitatif Agama
Sebagai sistem kepercayaan, agama memiliki
beberapa makna bagi kehidupan para penganutnya,
yakni mengarahkan manusia pada kondisi hidup
sanitas (kesehatan jiwa), integritas (keutuhan
psikologis), unitas (keutuhan diri secara lahir dan
batin, jasmani dan rohani), sosialitas (kebersamaan
secara bertanggungjawab), dan eskatologis
(keselamatan pada akhir jaman, akhirat). Berikut ini
adalah deskripsi singkat atas makna-makna di atas.
Pertama, Sanitas, dalam artian bahwa manusia
mengalami kesehatan jiwa tatkala ia menghayati
religinya. Jadi, bukan sebaliknya seperti yang
ditegaskan oleh Sigmund Freud bahwa religi itu
menyeret manusia ke arah sakit jiwa dan mental
kekanak-kanakan.
Kedua, Integritas, memuat makna bahwa berkat
penghayatan di dalam nilai dan norma religi, manusia
beriman dapat mengalami keutuhan psikis, tidak
42
dirobek-robek oleh konflik psikis dan sosial. Manusia:
individu dengan individu, individu dengan kelompok,
dan kelompok dengan kelompok sanggup hidup
berdampingan secara damai, saling menghargai dan
mengasihi sehingga terciptalah persatuan dan
solidaritas atas dasar kesadaran kesamaan hak,
martabat, dan derajat antar manusia.
Ketiga, Unitas, memuat makna bahwa religi
adalah sumber kekuatan yang menyatukan. Manusia
bisa hidup dalam suasana penuh persatuan dan
kedamaian dalam penghayatan religi yang benar atas
dasar kesadaran bahwa poros dan sentral setiap religi
adalah satu, yakni Allah. Di sini perbedaan
pemahaman dan ajaran tentang Allah dipahami tidak
sebagai sumber pertentangan dan masalah,
melainkan sebagai kekayaan khazanah iman atau
cakrawala iman dan pemahaman akan Allah sebagai
sosok yang misterium. Aspek unitas ini merupakan
peluang bagi penghargaan terhadap hak, harkat, dan
martabat manusia secara sama. Pemahaman dalam
kadar seperti itu membuka peluang lebar bagi
suasana hidup yang diliputi oleh keadilan, kedamaian,
dan kerukunan.
Keempat, Sosialitas, artinya setiap manusia yang
menghayati religi atau agamanya dengan benar akan
memiliki kesadaran tinggi tentang keberadaan
43
sesamanya sebagai bagian integral dari eksisntensi
dirinya sendiri. Kesadaran akan koeksistensi itu
membuat setiap manusia merasa bertanggungjawab
terhadap siapa pun dalam realitas sosial ini.
Kelima, eskatologis, mengandung makna bahwa
insan beriman, berkat penghayatan imannya secara
baik dan benar berdasarkan ajaran agamanya,
berkembang dalam keyakinan imannya sehingga ia
yakin dan percaya akan adanya kebangkitan jiwa dan
raga kelak di Surga. Dalam tataran ini, insan beriman
melihat akhir zaman atau kematian bukan sebagai
garis final eksistensi hidupnya di dunia, melainkan
sebagai langkah awal menuju hidup baru dalam
suasana hidup yang firdaus, di sisi Allah di Surga.22
Berdasarkan makna kualitatif agama di atas,
otentisitas kehidupan manusia beragama terletak
pada kesediaannya secara sadar, tahu, dan mau
menghayati dan mewujudkan ajaran agama yang ia
yakini dan imani secara bertanggungjawab terhadap
kehidupan dalam realitas sosialnya, dan alam semesta
ini, serta mau bersikap dan berperilaku toleransi
terhadap penganut agama lain. Akhirnya, setiap
manusia diharapkan mampu saling menerima satu
dengan yang lainnya sebagai ciptaan Allah; bahwa
22 Bdk. Agus Rachmat., Diktat Teologi Keselamatan I, Universitas
Katolik Parahyangan, Fakultas Filsafat, hlm. ii-iv.
44
setiap manusia adalah ciptaan Allah yang bermartabat
luhur, sebab semua agama mengajarkan umatnya
untuk saling menghormati dan memelihara kehidupan
di bawah kolong langit dan di segenap alam semesta
ini.
Perspektif kualitatif agama seperti dideskripsikan
di atas menunjukkan eksistensi agama secara esensial
berpihak pada terciptanya kondisi hidup sosial yang
harmonis. Kondisi hidup yang harmonis itu identik
dengan kondisi hidup yang manusiawi secara utuh
dan penuh. Persoalannya adalah, bagaimanakah
mewujudkan kondisi hidup sosial yang harmonis dan
manusiawi dalam realitas sosial yang majemuk?
Bagaimana upaya memahami agama yang benar
sebab perjumpaan antara agama-agama yang
berbeda kerapkali diwarnai dengan sikap curiga, klaim
kebenaran sepihak sehingga agama dirasa sebagai
wilayah rentan konflik?
2.7. Fungsi Agama Bagi Manusia Dan Masyarakat
Manusia beragama bukan semata-mata karena ia ikut-
ikutan. Pada tataran kesadaran reflektifnya, manusia
tetap beragama karena ia menyadari bahwa agama
memberi fungsi tertentu baginya yang penting demi
kelangsungan dan pemaknaan hidupnya. Dalam
45
bukunya Sosiologi Agama, D. Hendropuspito23
menampilkan 5 fungsi agama, yakni: Edukatif,
penyelamatan, pengawasan sosial, profetis atau kritis,
dan memupuk persaudaraan. Selain fungsi-fungsi itu,
agama juga memuat fungsi transformatif dan
penjelasan. Berikut adalah ulasan singkat terhadap
fungsi-funsi agama itu.
a. Fungsi Edukatif
Bagi umat beragama, ajaran-ajaran agama bersifat
didaktis. Maka tugas agama sebagai institusi, antara
lain, mengajar dan membimbing umatnya kea rah
yang benar. Agama dinilai sanggup memberikan
pengajaran yang otoritatif ; bahkan dalam hal-hal
yang sacral, tidak dapat salah. Bentuk-bentuk fungsi
edukatif agama itu, antara lain, khotbah, renungan,
meditasi, pendalaman rohani. Untuk menjalani
fungsinya ini, agama harus memiliki fungsionaris
seperti syaman, dukun, kyai, pedanda, pendeta,
pastor, imam, guru agama, bahkan seorang nabi.
Selain itu tugas bimbingan yang diberikan petugas-
petugas agama juga dibenarkan dan diterima
berdasarkan pertimbangan yang sama.
b. Fungsi Penyelamatan 23 Drs. D. Hendropuspito, op. cit., 38-56
46
Setiap manusia mendambakan keselamatan. Salah
satu syarat untuk mencapai keselamatan adalah hidup
dalam kesucian dan kedamaian, lahir dan batin dalam
relasi vertikal dan horizontal. Agama memberi
jaminan bahwa keselamatan abadi yang bersyarat itu
dapat direngkuh manusia beriman melalui cara-cara
tertentu yang khas dan sakral, yakni berkomunikasi
dengan Yang Suci, sebagai penjamin keselamatan
abadi itu dalam dan melalui upacara-upacara
keagamaan dan tindakan nyata kepada sesama. Selain
itu, agama juga menunjukkan cara-cara untuk
“mendamaikan kembali” manusia yang salah dengan
Tuhannya melalui upacara rekonsiliasi (pemulihan dan
pendamaian kembali) dalam bentuk tobat.
c. Fungsi Pengawasan Sosial
Kebanyakan agama di dunia menyarankan kepada
kebaikan. Tuntutan agama kepada kebaikan adalah
mutlak. Setiap agama memuat kode etik perihal kehi-
dupan sosial, yang pada umumnya menuntut para
penganutnya untuk berperi-laku baik terhadap
sesama manusia, baik yang seagama maupun yang
berbeda agama. Dalam konteks itu, agama merasa
bertanggungjawab atas adanya norma-norma susila
yang baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia
umumnya. Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah
47
susila yang ada dan mengukuhkan yang baik sebagai
larangan atau tabu. Agama memberi juga sangsi-
sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang
melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang
ketat atas pelaksanaannya.
d. Fungsi Profetis atau Kritis
Fungsi ini diperankan baik oleh tokoh agama maupun
oleh umat beragama bertolak dari keyakinan terdlam
atas ajaran agama yang telah terinternalisasi dalam
kehidupannya. Dalam praksis kehidupan fungsi
profetis ini berupa kritik dan penyadaran kepada
pihak-pihak yang sedang berkuasa atau pemegang
tampuk pemerintahan yang dalam kedudukannya
melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kaidah-
kaidah susila sehingga menimbulkan kerugian dan
penderitaan baik moral maupun material kepada
rakyat bawahannya.
e. Fungsi Memupuk Persaudaraan
Secara ideal normatif agama memang menghantar
orang untuk saling mencintai dan mengasihi:
bersaudara. Tak satupun agama yang mengajarkan
dan membolehkan sifat permusuhan. Agama justru
terus-menerus menentang sifat-sifat destruktif yang
merenggangkan manusia satu terhadap yang lain, baik
48
yang sama agamanya, etnisnya, bangsanya,
negaranya, alran politiknya, maupun yang berbeda.
Agama dengan segala aspek-aspek ajarannya
merangkul setiap manusia ke dalam persaudaraan.
Tapi pernyataan ini bisa segera ditampik sebagai
sebuah “kegombalan suci” mengingat catatan sejarah
menunjukkan bahwa hamper semua kekerasan dan
kejahatan terhadap manusia bertautan erat dengan
penghayatan ajaran-ajaran agama. Konflik
antaragama yang terjadi hamper diseluruh dunia
seakan-akan membantah fungsi agama sebagai “yang
memupuk persaudaraan”.
f. Fungsi Transformatif
Fungsi ini lebih bernuansa mengubah mentalitas
kehidupan insane beragama dari mentalitas yang
terbentuk oleh nilai-nilai tradisioal ke mentalitas baru
yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai religiusitas.
Maka, fungsi transformative agama berarti juga
mengubah kesetiaan manusia kepada nilai-nilai adat
yang kuran manusiawi dan membentuk kepribadian
manusia yang ideal. Bersamaan dengan itu,
transformasi berarti pula membina dan
mengembangkan nilai-nilai social adapt yang pada
intinya baik dan dimanfaatkan untuk kepentingan
yang lebih luas.
49
g. Fungsi Penjelasan
Fungsi penjelasan agama terletak pada
kemampuannya untuk memberi penjelasan mengenai
asal-usul dunia (sebagai satu keseluruhan) dan
kedudukan manusia di dalam dunia. Dalam konteks
ini, peranan filsafat sangat membantu. Contohnya,
agama-agama monoteisme menjelaskan kepada
manusia bahwa dunia beserta isinya diciptakan oleh
Tuhan dan setiap manusia harus menaati Tuhan.
Sementara itu, fungsi keterikatan terletak pada
ajarannya yang memberi rasa keterikatan kepada
suatu kelompok manusia. Adalah Emile Durkheim,
sosiolog kenamaan yang menegaskan fungsi agama
sebagai kohesi sosial. Kendati pandangannya itu
menuai kritik dari kalangan tokoh agama sebab
mengabaikan dimensi transendental agama, tapi
Durkheim punya alasan tertentu berkaitan dengan
sistem agama yang menimbulkan keseragaman sikap
dan iman (kepercayaan) dan tingkah laku, pandangan
dunia dan nilai yang sama.
2.8. Mengapa Manusia Beragama?
Seperti diutarakan di atas sebagian besar
penghuni planet bumi kita menganut salah satu
agama dan dengan berbagai cara berusaha
50
mengungkapkan serta menghayatinya.
Pertanyaannya, mengapa manusia menganut agama?
Meski berbeda dalam agama dan bentuk serta cara
menganutnya. Ada berbagai macam alasan yang
mendorong atau yang memotivasi manusia beragama,
antara lain:
a. Mendapatkan Keamanan
Hidup manusia di dunia ini sungguh sangat
menarik, tapi tidak selalu aman. Alam tidak selalu
ramah pada manusia. Gempa bumi bisa kapan saja
terjadi. Gunung berapi bisa saja meletus tanpa
diketahui. Wabah penyakit bisa berkecamuk dan
menular begitu cepat. Peredaran musim bisa saja tak
menentu, berubah di luar musim. Kekereingan bisa
berkepanjangan, sementara curah hujan bisa saja
berlebihan sampai terjadi bencana banjir.
Mereka yang hidup di tepi pantai setiap kali bisa
diterjang gelombang pasang yang dahsyat dan
menghapus apa saja yang ada (tsutnami), sementara
di daratan bisa saja diporakporanda oleh angin taufan
sehingga rumah dan gedung serta pohon-pohon bisa
runtuh dan mematikan. Banyak hal yang bisa diatasi
manusia berkat kecanggihan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tapi masih banyak juga yang tak terpahami
dan tak terdeteksi solusi alternatifnya demi keamanan
51
hidup. Dalam situasi seperti itulah manusia berpaling
kepada Allah, memohon kepada-Nya agar mendapat
perlindungan dan dijauhkan dari segala marabahaya
dan malapetaka akibat bencana alam, penderitaan
berbagai penyakit, dan perbuatan jahat sesama
manusia.
b. Mencari Perlindungan
Hidup manusia penuh dengan ketidakpastian dan
ketidaktentuan. Manusia tidak menemukan sesuatu
yang dapat sungguh-sungguh diandalkan dalam
melindungi dirinya dari berbagai ketidakpastian dan
ketidaktentuan. Mereka yang bersandar pada
lingkungan, ternyata tak cukup membantu kalau
dibutuhkan. Mereka yang berlindung di balik harta,
pangkat dan jabatan ternyata mendapat ketentraman
semu belaka, sebab tidak semua persoalan hidup bisa
diselesaikan dengan harta kekayaan. Mereka yang
belindung pada orang-orang berkuasa ternyata sering
malah dimanfaatkan demi kekuasaan, atau hanya
merasa aman sewaktu yang berkuasa itu masih kuat
kekuasaannya. Mujur kalau orang berkuasa itu bisa
selalu mengatasi persoalan hidup mereka yang
berlindung kepadanya, tapi tidak jarang malahan
orang kuat dan kuasa itu tidak mampu atau tidak mau
turun tangan mengatasi masalah orang-orng yang
52
berlindung kepadanya. Dalam situasi seperti itulah
manusia mencari perlindungan kepada Allah,
menyerahkan hidupnya kepada Allah, sebagai sumber
kepastian dan ketentuan hidup yang dapat dipercaya
dan diandalkan.
c. Misteri Kehidupan
Manusia lahir dan hadir ke dunia tanpa melalui
proses negosiasi; konsultasi, dan wawancara dengan
Sang Penciptanya. Dalam kehidupannya, manusia
menemukan dan menghadapi berbagai macam
persoalan hidup yang menimbulkan pertanyaan
seputar hidupnya dan menuntut jawaban segera.
Manusia mempertanyakan kehidupannya: dari mana
asal hidup ini? Untuk apa manusia hidup? Mengapa
manusia lahir-hidup-mati? Sesudah mati manusia ke
mana? Manusia juga ingin tahu tentang alam
semsesta. Apakah alam semesta itu? Berapa lama
alam ini akan berlangsung? Dsb..Pertanyaan-
pertanyaan itu menuntut jawaban. Namun, tidak ada
yang mampu memberi penjelasan atau jawaban yang
memuaskan. Dalam kepenasarannya itu, manusia
mencari agama karena bergerak di bidang
pertanyaan-pertanyaan fundamental itu. Agama
mengajarkan bahwa Allah adalah alasan di balik
semua misteri kehidupan ini. Allah adalah awal dan
53
akhir dari semua yang ada (alfa dan omega). Oleh
karena itu, manusia mengacu pada ajaran agama
untuk mencari kejelasan atas makna hidup dan alam
raya yang dihuninya.
d. Memperoleh Pembenaran Praktik Hidup
Dalam masyarakat terdapat berbagai praktik hidup
yang baik dan berguna: rajin bekerja, sopan santun,
gotong royong, setia kawan, jujur dalam perkataan
dan perbuatan, dll. Semuanya itu memang menarik
dan berguna, tapi agar orang lebih terdorong untuk
melakukan praktik-praktik hidup tersebut maka
ditambahkanlah “motivasi agama”. Bekerja rajin
merupakan ibadah, turut menyempurnakan ciptaan
Allah; “sopan santun” terhadap sesama secara tidak
langsung adalah menghormati pencipta-Nya.
e. Meneguhkan Tata Nilai
Dalam masyarakat terdapat berbagai nilai kehidupan
etikal dan moral. Nilai-nilai itu (kehidupan, kejujuran,
keadilan, kebenaran, kesabaran dll) berhubungan
dengan kehidupan pribadi dan sesama dalam konteks
sosial. Namun, agar lebih terdorong menghayati nilai-
nilai itu manusia membutuhkan motivasi keagamaan:
contoh mencuri adalah jahat. Manusia terdorong
untuk tidak mencuri karena tindakan itu jahat, tapi
54
supaya rasa terdorong untuk tidak mencuri
bertambah kuat, mencuri dijadikan larangan dalam
ajaran agama.
f. Memuaskan Kerinduan
Salah satu kecenderungan manusia adalah selalu
berupaya memuaskan kerinduannya (kebutuhannya)
akan sesuatu yang tidak semata-mata menyangkut
kodrat jasmaninya, tapi juga rohaninya. Itulah
sebabnya meskipun kebutuhan jasmani, biologis,
inderawi, duniawi, dan mentalnya terpenuhi, manusia
selalu merasa terjerat oleh kerinduan untuk
memuaskan kebutuhan pada aspek rohaninya.
Kebutuhan rohani yang paling sublime, paling luhur
adalah merasa dekat dengan Allah. Manusia tidak
merasa puas dengan nilai-nilai manusiawi seperti
kebebasan, keadilan, kejujuran, keadilan, cinta kasih,
tapi ingin juga nilai rohani dan adikoderati yang
mampu memuaskan hasratnya yang paling dalam,
yakni merasa dekat dengan yang ilahi; “menemukan”
Tuhan sendiri, dan merasakan kehadiran-Nya dalam
setiap ritme kehidupannya sehingga ia yakin bahwa
hidupnya yang fanna tidak bakal berakhir dengan sia-
sia, tapi memperoleh jaminan akan hidup yang baka
bersama Allah di surga. Oleh karena itulah manusia
beragama.
55
g. Melepaskan Diri Dari Rasa Frustrasi
Pandangan ini diungkapkan oleh Sigmund Freud.
Menurut Freud, manusia beragama karena ia
mengalami frustrasi alam, sosial, moral dan maut.
Keempat ranah itu membuat manusia merasa
frustrasi sehingga dia memerlukan media untuk
mengalihkan rasa frustrasinya itu sekaligus
menemukan ketenangan hidup.24
h. Memperoleh Keselamatan
Tujuan semua agama pada umumnya adalah
keselamatan. Artikulasi keselamatan ini juga begitu
luas dan beranekaragam. Mariasusai Dhavamony
menguraikan tujuan agama ini sbb: Keselamatan dari
kondisi-kondisi manusia yang eksistensinya
terbelnggu; dari situasi keterikatan pada kemalangan
karena kelahiran kembali; dari semua kejahatan yang
merupakan semua dari jenis-jenis eksistensi diri;
keselamatan dari penderitaan dan hasrat atau nafsu
yang menjadi penyebab kesengsaraan dan
ketidakbahagiaan; keselamatan dari pembangkangan
terhadap kehendak Allah, yaitu dosa; keselamatan 24 Pandangan Freud ini perlu diberi catatan kritis menyangkut
kenyataan bahwa ada orang yang beragama kerana ia mengalami kebahagiaan dalam agama. Artinya, ia beragama sebagai ungkapan syukurnya kepada Allah.
56
dari penyelewengan dari ketaatan terhadap hukum
dan perintah ilahi; keselamatan dari perbudakan
egoisme pribadi dan pementingan diri sendiri. Dalam
semua tujuan itu, struktur fundamental
keselamanatan tampaknya adalah pembebasan dari
kesia-siaan dan permainan nafsu serta hasrat manusia
yang tak pernah ada akhirnya, dan dari perbudakan
dosa.
Perspektif alasan dan tujuan manusia beragama
di atas memang dapat dikatakan bermuara pada
keselamatan. Hal itu menunjukkan bahwa agama
memberikan harapan akan perdamaian dan
pengutuhan kembali relasi manusia dengan Allah.
Semua ajaran agama dan usaha manusia beragama
untuk menyingkirkan yang jahat supaya manusia
menjadi satu dengan yang ilahi secara definitif
merupakan jalan-jalan keselamatan dan pencapaian
terakhir dari tujuan ini adalah keselamatan sendiri.
Tentu saja ada bermacam-macam jenis keselamatan,
tergantung pada gagasan-gagasan yang berbeda
tentang yang jahat dan pada sarana-sarana untuk
mengusir yang jahat itu. Hal itu mengandaikan juga
ada berbagai definisi tentang keselamatan. Tapi, di
sini kita dapat mengartikulasi keselamatan sebagai
kondisi eksistensi manusia secara utuh dan penuh di
57
hadapan Allah sebagai konsekuensi penghayatan
imannya dan ketaatannya pada perintah Allah.
2.9. Fenomenologi Agama
Secara sederhana fenomenologi agama dapat
dipahami sebagai metode berpikir ilmiah yang
berlatarbelakang filsafat untuk memahami dan
menalar fenomena agama. Tekanan dalam penalaran
itu adalah bersandar dan berakar pada suatu
pengalaman yang berkaitan dengan kehidupan
beragama (secara terlepas dari asumsi, anggapan,
doktrin sebelumnya). Maka, fenomenologi agama
dapat pula dipahami sebagai telaah atau diskusi
sistematik tentang esensi agama yang tampak dalam
berbagai manifestasinya (melalui doa, ritus, kurba,
mitos. dll) yang berkaitan dengan sikap dan perilkau
manusia dalam setiap upayanya mengalami dan
menghadirkan Tuhan dalam kesadaran
eksistensialnya.25
2.9. Perbedaan Fenomenologi Agama Dengan
Pendekatan Lain
25 Lih. Fransiskus Borgias, 1994-1996. Diktat Kapita Selekta
Fenomenologi Agama (Bahan kuliah untuk Fenomenologi Agama di Lingkungan UNPAR), hlm.15.
58
Pokok bahasan dari setiap penyelidikan ilmiah
terhadap agama adalah fakta agama dan
pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari
pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan
keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-
sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti
doa, upacara-upacara seperti kurban dan sakramen,
konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat
dalam mitos-mitos dan simbol-simbol, kepercayaan-
kepercayaannya berkenaan dengan yang suci,
makhluk-makhluk supernatural, dewa-dewa dsb.
Penyelidikan ilmiah terhadap fenomena agama ini
dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu. Meskipun
membahas pokok pembicaraan yang sama, berbagai
disiplin tersebut memeriksanya dari aspek-aspek
khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya.
a. Jangkauan Dari Berbagai Ilmu Agama
Sosiologi Agama : Studi tentang interrelasi dari
agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi
yang terjadi antar-mereka. Sosiolog menyelidiki
tentang bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan
dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama,
sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi
mereka.
59
Antropologi-sosiologi Agama: berkaitan dengan soal-
soal upacara, kepercayaan, tindakan dan kebiasaan
yang tetap dalam masyarakat sebelum mengenal
tulisan, yang menunjuk pada apa yang dianggap suci
dan supernatural. Kecenderungan akhir-akhir ini para
antropolog memanfaatkan metode-metode
antropologis untuk menyelidiki agama, tidak hanya
dalam masyarakat pra tulisan tapi juga dalam
masyarakat yang sudah kompleks dan maju. Mereka
menganalisis simbol-simbol dalam agama dan mitos,
serta mencoba mengembangkan metode baru yang
lebih tepat untuk studi agama dan mitos. Di sini
agama dipandang sebagai fenomena kultural yang
pengungkapannya beraneka ragam.
Psikologi Agama: Adalah studi mengenai aspek
psikologis dari agama. Artinya, penyelidikan mengenai
peran religius dari budi. Sebagian berkaitan dengan
peran budi individu dalam konteks religius, sebagian
lainnya berkaitan dengan pengaruh dari kehidupan
sosial religius terhadap anggota-anggotanya.
Anggapan dasar psikologi agama adalah bahwa motif-
motif psikologis dan tanggapan-tanggapanya bersifat
umumbagi semua bentuk agama yang dikenal, baik
yang primitif, sudah sangat berkembang, atau bersifat
historis.
60
Filsafat Agama: refleksi filosofis mengenai agama
dengan mempergunakan metode filsafat secara
sistematis. Misalnya:
Dengan memeriksa secara kritis nilai kebenaran
bahan-bahan yang begitu luas dari mitos, simbol
dan upacara-upacara yang berasal dari sejarah,
filsafat agama menemukan makna mereka,
menyatakan hubungan mereka dan mengakui
dasar-dasarnya.
Dengan menganalisis isi pokok sejarah agama
seperti Yang Suci, Tuhan, Keselamatan, ibadah,
kurban, doa, upacara, dan simbol, filsafat agama
menentukan hakikat agama serta pengalaman
dan ungkapan religius.
Teologi Agama: suatu bidang studi baru, yang mulai
digemari pemikir-pemikir Kristen yang ingin
mengadakan dialog dengan agama-agama nonKristen.
Studi ini diharapkan akan menghasilkan banyak
manfaat dan menyumbangkan sesuatu untuk
pemahaman yang lebih baik mengenai dunia agama.
Bagaimanakah dunia agama lain dihubungkan
dengan Kristianitas
Masih dapatkah agama Kristen merasa diri
sebagai agama yang unik, padahal kenyataannya
61
agama-agama lain pun menawarkan diri sebagai
sarana untuk keselamatan akhir manusia?
Apakah yang menjadi dasar teologis dari
hubungan Kristianitas dengan agama-agama
besar lainnya?
Dapatkah ia sekaligus bersifat Injili dan terbuka
terhadap apa yang oleh Karl Jasper disebut
sebagai “komunikasi tanpa batas” dengan
Hinduisme, Budhisme dan Islam, ?
Fenomenologi Historis Agama: adalah penyelidikan
secara sistematis terhadap sejarah agama. Sebagai
demikian, ia bertugas mengklasifikasi dan
mengelompokkan menurut cara tertentu sejumlah
data yang tersebar luas sehingga suatu pandangan
menyeluruh dapat diperoleh dari isi agama tersebut
dan makna religius yang dikandungnya. Jadi, langkah-
langkahnya adalah sbb:
Penyelidikan atas sejarah agama tertentu
Mengelompokkan, mengklasifikasikan data
(informasi, benda-benda religius, dll).
Menarik pandangan menyeluruh
Mendapatkan makna religius dari agama
Dalam fenomenologi historis agama, kesamaan sama
pentingnya dengan perbedaan antaragama, serta
sifat-sifat khusus dan khas dari setiap agama harus
62
dipertahankan. Ia memperbandingkan agama-agama
hanya untuk memperdalam pengertian dari gejala-
gejala religius yang dipelajarinya. Dalam rangka itu,
fenomenologi historis agama bersifat empiris dan
tidak normatif, dalam arti bahwa dengan
memperbandingkan berbagai macam agama, dia tidak
mencoba memperlihatkan seolah satu agama lebih
baik atau lebih unggul dari yang lain. Apa yang kita
sebut fenomenologi historis agama kadang-kadang
disebut juga sejarah agama, atau fenomenologi
agama, tergantung pada sudut pandang dan
penekanan dari masing-masing pengarang.
Sejarah Agama Fenomenologi Agama
Hanya membawa pada
pengertian
kekhususannya berkaitan
dengan sejarah agama
Memperlihatkan
pandangan sistematik dari
fenomena-fenomena
agama (fenomena doa,
kurban, ritus, simbol,
mitos, dll).
Berkaitan dengan relasi antara sejarah agama dan
fenomenologi ini, Raffaele Pettazzoni dengan tepat
mengatakan:
“fenomenologi dan sejarah saling melengkapi satu
sama lain. Fenomenologi tak dapat bekerja tanpa
63
etnologi, filologi dan disiplin sejarah lainnya.
Fenomenologi di lain pihak memberikan kepada ilmu
sejarah, pengertian keagamaan yang tak dapat
dicapai olehnya. Bila kita mengerti demikian, maka
fenomenologi agama adalah pemahaman religius
mengenai sejarah; adalah sejarah dalam dimensi
religiusnya. Fenomenologi agama dan sejarah
bukanlah dua ilmu melainkan dua aspek yang saling
melengkapi dari suatu ilmu yang menyeluruh
mengenai agama, dan ilmu agama yang demikian ini
mempunyai suatu ciri yang pas yang ditentukan
baginya oleh objek penyelidikannya yang khas”.
Jadi, masalahnya bukan memilih “antara
fenomenologi agama dan sejarah agama”, melainkan
menaruh keduanya dalam kerjasama, analogi dan
hubungan timbal balik.
2.10. Bidang Telaahan Fenomenologi Agama
Sebagaimana ditegaskan sebelumnya, yang harus
dilakukan fenomenologi agama dalam rangka
telaahannya adalah: pertama, fenomenolog harus
memberikan nama-nama pada suatu fenomena
agama, misalnya: kurban, doa, Sang Penyelamat,
mitos, ritus, simbol, dst. Dengan cara ini,
fenomenologi memerlukan apa yang tampak. Kedua,
ia harus menyisipkan apa saja yang tampak itu di
64
dalam hidupnya sendiri dan mengalaminya secara
sistematis. Ketiga, ia harus menunggu dan berusaha
mengamati apa yang tampak sembari menunjukkan
sikap “penangguhan” intelektual (memasukan ke
dalam kurung segala yang bersifat konseptual).
Keempat, ia mencoba menjelaskan apa yang telah
dilihat secara apa adanya, dan lagi-lagi
(menggabungkan semua kegiatannya sebelumnya)
berusaha menangkap apa yang telah tampak.
Akhirnya, ia harus menghadapi kenyataan yang chaos,
serta tanda-tanda kenyataan yang belum ditafsirkan,
dan akhirnya memberikan kesaksian tentang apa yang
sudah ia mengerti. Kendati demikian semua jenis
masalah yang mungkin sangat menarik dalam dirinya
sendiri harus ditiadakan. Dengan begitu,
fenomenologi tidak tahu apa-apa tentang
“perkembangan” historis agama, apa lagi tentang
“asal-usul” agama. Tugas abadinya ialah
membebaskan dirinya dari setiap pendirian non-
fenomenologis dan mempertahankan
kemerdekaannya sendiri, sembari selalu berusaha
memperjuangkan agar posisi dirinya (nilai dirinya)
selalu baru.
2.11. Penutup
65
Agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang
sangat berkaitan. Tetapi Agama mempunyai makna
yang lebih luas, yakni merujuk pelembagaan sistem
kepercayaan berkaitan dengan fenomena Ilahi yang
diyakini. Kita menyebutnya sebagai fenomena
beragama. Dasar dari fenomena itu adalah ajaran
agama dan wahyu yang diwartakan para tokoh agama,
tapi bisa juga pengalaman iman yang diterima oleh
masing-masing insan beragama.
Agama adalah fenomena masyarakat yang boleh
dikesan melalui fenomena seperti:
1. perlakuan sembahyang, membuat sesajian untuk
perayaan dan upacara;
2. sikap sikap hormat, kasih ataupun takut kepada
kuasa yang luar biasa dan anggapan suci dan bersih
terhadap agama;
3. pernyataan kalimat suci, dan mantera; dan benda-
benda material seperti bangunan untuk ibadah.
Ciri umum pembentukan agama adalah muatan
ajaran. Dengan menerima ajaran dan menjalankan
ritual-ritual tertentu, orang yang percaya dapat
mengharapkan keabadian jiwa dan kehidupan yang
kekal. Suatu wawasan yang menyangkut hakikat sejati
alam semesta dapat menjadi sama pentingnya dengan
upacara agama untuk mendapatkan keselamatan.
Salah satu lagi ciri agama ialah ia berkaitan dengan
66
tatasusila masyarakat. Makna agama bukan saja
merupakan soal hubungan antara manusia dengan
tuhan, malah merupakan soal hubungan manusia
dengan manusia. Ciri-ciri ini lebih menonjol di dalam
agama universal.
67
BAGIAN III
AGAMA DAN TUHAN
3.1. Pengantar
Kepercayaan pada “yang adikodrati”, dengan
siapa manusia berhubungan dalam pengalaman
religiusnya, merupakan gambaran khas semua agama
dan dianggap sebagai yang umum dan merata (ada
dalam setiap agama). Kendati demikian, kepercayaan
pada Tuhan ada dalam banyak manifestasi yang
berbeda dalam hampir semua agama. Dalam bagian
ini akan dipaparkan beberapa ungkapan, konsepsi,
penghayatan, sumber pengetahuan dan tanggapan
tentang Tuhan yang berkembang dalam agama-agama
dewasa ini.
3.2. Beberapa Ungkapan Tentang Tuhan26
Sebagian besar manusia yang hidup di planet
bumi ini percaya kepada Yang Mahatinggi, sebagai
asal dan tujuan dari segala yang ada. Tetapi
bagaimana konsepsi dan ekspresi manusia tentang
Tuhan, terutama dalam ibadat dan hidup sehari-hari, 26 Mariasusai Dhavamony, op. cit., 129-134
68
serta bagaimana penyebutan atas Sosok yang
dipercayai itu, adalah soal lain. Konsepsi setiap
komunitas manusia tentang Yang Mahatinggi pada
umumnya memang berbeda-beda, sebab terkait erat
dengan kondisi sosio-kultural masing-masing. Namun,
secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap
komunitas manusia memiliki keyakinan akan Yang
Mahatinggi. Berikut adalah beberapa upaya untuk
mendeskripsikan Sosok Yang Mahatinggi.
Pertama, Tuhan adalah pencipta dan pemberi
nafas hidup manusia. Dia menganugerahkan roh atau
hidup ini pada saat kelahiran manusia. Maka Tuhan
biasanya ditampilkan sebagai Sosok yang Mahamurah,
baik sebagai Ayah maupun Ibu, tempat bersandar
sehingga manusia tidak jatuh. Tuhan adalah Bapa,
sejauh Ia adalah pencipta dan penyelenggara. Ia
adalah Bapa segala nenek moyang manusia.
Komunitas manusia yang mempunyai sistem
kekerabatan matrilineal seperti Orang Nuba selatan
(Afrika), tentu saja menyebut Tuhan sebagai ‘Ibu yang
Agung’. Konsep ini menunjukkan bahwa orang Nuba
memahami Tuhan sebagai pengasuh, pencipta dan
pemberi kelahiran bagi dunia dan umat manusia. Ia
memelihara, mencukupi kebutuhan mereka di kala
perlu.27 27 John Mbiti, Concepts of God in Afrika, New York, 1970, hlm 91-3
69
Kedua, Tuhan itu maha dahsyat. Kedahsyatan-
Nya tampak di alam, sebab Ia menciptakan segala
yang ada di alam semesta sejak awal mula. Ia hadir
dalam fenomena alam seperti badai dan pergantian
musim. Segala yang mempunyai ciri terbaik dari
kehidupan merupakan sesuatu yang mengandung
kuasa tertinggi dan keseimbangan.
Ketiga, Tuhan merupakan misteri. Pengakuan
pada kemisterian Yang Mahatinggi itu menunjukkan
bahwa: eksistensiNya tidak tergantung pada
penjelasan, pengakuan, dan penyangkalan manusia.
Dia melampaui segala syukur; tidak dapat dijelaskan;
tidak dapat dipuaskan dengan puji dan syukur;
mengatasi segalanya. Keluasan-Nya adalah satu-satu-
Nya yang tidak terbatas dan sekaligus mengisi
segenap ruang’; Ia melingkupi segalanya, di dalam
angin dan di langit.”28
Keempat, Tuhan adalah pemberi aturan moral
dan hakim atas tindakan-tindakan manusia. Bagi
Orang Abaluyia (Afrika), Tuhan adalah pemberi aturan
kehidupan komunitasnya. Maka setiap orang yang
melanggar atau menolak aturan tersebut dihukum
oleh-Nya. Orang Abaluyia percaya bahwa, roh-roh
berperan sebagai pelaksana dan penjaga hukum suku
dan membantu Tuhan dalam menjatuhkan hukuman 28 Op. cit., hlm. 12-6.
70
kepada siapa pun yang melanggar hukum tersebut.
Kecuali itu, Tuhan juga diimani sebagai penganugerah
dan hakim terakhir. Ia juga adalah ‘pembagi’ karena ia
menganugerahkan bagian untung dan malang bagi
setiap orang. Itu misalnya tampak dalam kepercayaan
orang Azande (Afrika) bahwa mereka yang mencuri
akan dihukum dengan guntur oleh Tuhan. Mereka
menjuluki-Nya sebagai ‘yang menyelesaikan
persoalan-persoalan di antara manusia’.29
Kelima, Sosok Tuhan diyakini mewujud dalam
bulan dan matahari. Dalam kepercayaan Orang Fon
dari Dahome, misalnya, Tuhan mewujud sebagai
bulan (Mawu) yang memiliki sifat-sifat seperti ibu,
ramah dan bijaksana. Mawu kemudian menikah
dengan matahari (Lisa), yang memiliki sifat-sifat yang
kuat dan kasar. Dari pasangan ini muncul pasangan
lain, yaitu dewa, badai, bumi, besi dan air.30
3.3. Konsepsi Manusia Tentang Tuhan31
Setiap komunitas manusia meyakini adanya
Realitas Tertinggi yang menjadi basis semesta dan
asal-usul segala yang hidup. Kepercayaan pada 29 Ibid., hlm. 71 dst. 30 E.G. Parrinder, Religions of Illiterate Peoples: Africa, op. cit., hlm.
558-9 31 Mariasusai Dhavamony, op. cit., 121-142
71
Realitas Tertinggi itu sudah ada sejak manusia ada di
bumi ini. Maka dimensi historis paham Ketuhanan
dalam religi adalah sama tuanya dengan dimensi
eksistensial manusia. Sejarah peradaban manusia
adalah juga sejarah evolutif pemahaman dan
penghayatan spiritualitas religi. Kiranya itulah yang
menimbulkan aneka macam konsep manusia tentang
Allah dalam suatu religi seperti, monoteisme,
politeisme, henotisme, monolatri, panteisme (di
Barat) pan-en-teisme (di Timur), monisme, dll.
Berikut adalah uraian sekilas tentang beberapa paham
Ketuhanan dalam religi.
3.4. Monoteisme32
Ketika satu Tuhan dipercayai dan disembah
sebagai Yang Mahatinggi, baik secara implisit maupun
ekplisit, tindakan itu meminggirkan keberadaan Yang
Mahatinggi yang lain. Itulah yang kita namakan
monoteisme. Secara historis dikatakan bahwa
monoteisme ekplisit, yaitu kepercayaan semata-mata
pada satu Tuhan, yang dengan terang-terangan 32 Monoteisme (Yunani, Monos berarti tunggal, sendiri, satu-
satunya, dan tak ada yang lain, theos berarti Allah, Tuhan). Aliran pemikiran ini dengan tegas mengatakan bahwa Realitas Tertinggi itu hanya satu. Tidak ada allah selain Allah. Tidak ada tuhan selain Tuhan. Dalam Islam, penegasan konsep monoteisme ini amat kentara pada paham dan penghayatan akan: tiada tuhan selain Allah. Lih. Mariasusai Dhavamony, ibid., 121-128.
72
mengecualikan dewa-dewa lain, merupakan
pengakuan paling akhir, karena dalam konteks
politeisme, kepercayaan pada satu Tuhan selalu
dinyatakan.33
Pemujaan pada Matahari sebagai penguasa
tunggal oleh raja Mesir, Ikhnaton, merupakan wujud
monoteisme yang pertama secara historis, tegas dan
ekplisit (pertengahan abad ke-14 sebelum Masehi).
Hal ini berdasarkan kenyataan sejarah yang hingga
kini kita terima. Dalam himne-himne penghormatan
pada aten, dewa Matahari, mencolok bahwa semua
dewa yang lain ditolak dan disangkal, dan bentuk
kultus apa pun yang ditunjukan kepada mereka juga
ditinggalkan. Aten adalah satu-satunya Tuhan.
Pencipta dan pengatur dunia dan kehidupan di dunia.
Dialah kehidupan dalam semua yang hidup. Semua
yang di atas bumi muncul berkat kehidupan, cahaya
dana kehangatan sang matahari. Matahari adalah
sumber dari semua kehidupan di atas bumi; ia
menciptakan buah dalam kandungan ibu Pertiwi dan
menyebabkannya tumbuh: “Engkau berada jauh
(dalam surga), namun cahayamu bekerja di atas
bumi”,”Engkau pergi beristirahat, dan dunia pun
dalam kegelapan seperti kegelapan dalam kematian:
33 Lih R. Pettazoni, Essays on the History of Religions, Leiden, 1954,
hlm. 1-10
73
engkau terbit, dan manusia terbangun: engkau telah
memanggil mereka dalam kehidupan”. Lagipula Aten
dipandang bukan hanya sebagai Tuhan bagi bangsa
Mesir, melainkan Tuhan bagi semua orang: “Bahasa
mereka, tubuh mereka, dan warna kulit mereka
berbeda”. Engkau telah menciptakan mereka semua
secara berbeda”. “Engkau berada dalam hatiku:
Engkaulah (tentu saja) yang telah menganugerahiku
kebijaksanaan, Engakaulah yang membuat rencana
dan Engakaulah kekuatan (dalam pelaksanaannya).
“Ikhnaton bukanlah seorang nabi, juga bukan seorang
tokoh religius”. Hal ini menjelaskan kenyataan
mengapa monoteismenya tidak pernah menjadi
populer. Akan tetapi, pentinglah unutk memperhatika
bahwa monoteisme semacam ini, merupakan
penolakan terhadap politeisme secara eksplisit dan
terang-terangan.34 Juga merupakan suatu hal yang
mencolok bahwa Aten tidak diidentikan dengan
realitas fisik matahari, karena Aten sang dewa
Matahari dianggap sebagai pencipta segala sesuatu,
termasuk matahari.
Dalam agama Israel, monoteisme yang tegas dan
eksplisit, dimaksud dan dipeluk hanya dalam konteks
34 Lih. W. Brede Kristensen, The Meaning of Religion, The Hague,
1960, hlm. 76-7. Kutipan-kutipan perkataan Ikhnaton diambil dari karya yang penting dan mempunyai kewibawaan ini.
74
lingkungan politeisme. Yahwe mewahyukan dirinya
secara langsung sebagai Tuhan yang tidak dapat
diperbandingkan. Di hadapan-Nya, dewa-dewa yang
lain langsung tenggelam dan terlupakan. Kita baca
dalam kidung Laut Merah:
“Siapakah yang seperti Engkau, di anatar para
Allah, ya Tuhan;
Siapakah seperti Engkau, mulia karena
kekudusan-Mu,
Menakutkan karena perbuatan-Mu yang
masyhur, Engkau pembuat keajaiban “.35
Dengan suatu keyakinan bahwa Yahwe adalah
satu-satunya Tuhan seluruh bumi, orang-orang Israel
mengungkapkan kepercayaannya yang monoteis
dalam kata-kata berikut ini:
“Sebab Allah manakah di langit dan di bumi,
yang dapat melakukan perbuatan perkasa seperti
engkau ?... bangsa manakah yang mempunyaia
Allah yang demikian dekat kepadanya seperti
Tuhan, Allah kita setiap kali kita memanggil
kepada-Nya ?”36
35 Keluaran 15:11 36 Ulangan 3:24:4:7
75
Pernyataan Yitro: “sekarang saya tahu bahwa
Tuhan lebih besar dari segala Allah”37 sama dengan
banyak pernyataan lain dalam Kitab Perjanjian Lama
yang mengungkapkan monoteisme eksplisit. Dalam
Kitab suci, ungkapan ini digunakan secar eksklusif
dalam pengertian monoteis. Hal yang sama berlaku
untuk ungkapan : “Yahwe, Tuhan dari segala allah”.38
Dalam hubungan ini, terutama dalam usaha
untuk menjelaskan pertumbuhan monoteisme Israel,
kita dapat membuat perbedaan antara tipe afektif
monoteisme dengan tipe rasional dan filosofis.
Monoteisme afektif berarti bahwa dewa yang berdiri di
pusat, kepada siapa si pemuja berdoa dan
mempersembahkan kurban serta kepada siapa ia
mengarahkan diri, pada kenyataannya juga dianggap
sebagai satu-satunya Tuhan.39 Tipe monoteisme yang
demikian adalah sifat khas dalam zaman Musa dan
zaman para bapa bangsa. Apa yang disebut
”monoteisme profetis” bukanlah ciptaan baru tetapi
sesuatu yang dapat dipandang sebagai perkembangan
sikap eksklusif yang merupakan unsur kuat dalam
gambaran tradisional tentang Tuhan di Israel.
37 Keluaran 18:11 38 Ul 10:17:Yos 22:22: Mzm 135: 2 dst; Dan 2:47 39 Ivan Engnell, 1970. Critical Essays on the Old Testament, London.
76
Monoteisme rasional dan filosofis yang berdasarkan
akal tidak terdapat di dalam bidang pengalaman dan
pemikiran profetis. Monoteisme para nabi adalah
hasil dari pengalaman afektif mereka sendiri dengan
Tuhan Yahwe.
Dalam agama Islam, ajaran monoteisme yang
keras ditunjukan dengan jelas dalam Qur’an maupun
sesudahnya. Akan tetapi, ajaran monoteisme ini
hanya mempunyai arti dalam latar belakang
politeisme Arab sebelum Islam. Dalam Qur,an banyak
kutipan yang memperlihatkan Allah sebagi satu-
satunya Tuhan dan dibicarakan dalam bagian
tersendiri, terpisah dari semua bagian dewa yang
lain.40 Jelaslah bahwa suku-suku pra-Islam
menghormati dewa-dewa partikular seperti al-Uzza,
Manat, atau Manah.41 Dalam kesempatan-
kesempatan yang biasa mereka lebih memuja dewa-
dewa tersebut dari pada Allah; persembahan-
persembahan lebih ditujukan kepada mereka dari
pada kepada Allah, dan menurut Qur’an, Allah
dikelabuhi.42 Tetapi dalam kesempatan-kesempatan
istimewa, mereka kembali kepada Allah. Tentu saja
cukuplah bahwa nabi Muhammad memandang diri
40 Sura 6:109; 16:38, 35:42. Sura 6:136 41 Sura 53:19-20 42 Sura 6:136 dst.
77
sebagai pembaru yang mengajarkan kebenaran iman
monoteisme. Ia merumuskan ajaran pokok dari iman
Islam sebagai berikut : “Tidak ada tuhan selain Allah.”
Bagi Muhammad dan penduduk Mekah, ini berarti
dari semua dewa yang mereka sembah, Allah adalah
satu-satunya Tuhan yang benar.
Dalam Hinduisme, ide Tuhan yang personal
berkembang perlahan-lahan. Pada permulaan periode
Vedis ada politeisme yang mencolok. Kendati
demikian, tampaklah gejala henoteisme dengan jelas.
Sering dilakukan permohonan kepada dewa-dewa
individual yang dianggap sebagai yang tertinggi dan
yang paling kuasa. Professor Max Muller
menyebutnya “Henoteisme” atau “Kathenoteisme”,
yang ia definisikan sebagai ‘kepercayaan akan dewa-
dewa individual’ satu sesudah yang lain yang dianggap
sebagai tertinggi’,43 dewa yang disembah pada saat
itu diperlakukan sebagai dewa tertinggi. Ungkapan
monoteisme murni dilihat terutama dalam
pengalaman cinta pada Tuhan secara konkret dan
mendalam (bhakti). Bhakti Hindu berarti cinta dan
penyerahan pada Tuhan, itu berarti Tuhan dibayangkan
sebagai Pribadi Mahatinggi. Dalam pengalaman bhakti,
kita menemukan perlunya pertobatan dan penyucian
hati berkat rahmat Allah yang menjadi nyata, 43 The Six System of Indian Philosophy, London, 1899, hlm.40.
78
kebutuhan akan terwujudnya persahabatan dengan
Tuhan dalam kesatuan dengan-Nya, serta perasaan
takut dan hormat karena ketergantungan kepada-Nya
dan pengabdian yang setia dan penyerahan diri pada-
Nya. Monoteisme Hindu tampak berbeda dengan
monoteisme Yahudi atau Islam sebab monotesime
Hindu menekankan “kesadaran akan Tuhan” sebagai
ciri khas sifatnya, sedangkan yang lain didasarkan
“hasrat akan keadilan”. Motif utama teisme Hindu
adalah pengalaman religius akan ilahi, sedang aspek
etis dari pengalaman tersebut bersifat sekunder.
Teisme yang lain (Yahudi, Kristen, Islam) bersifat etis
seluruhnya, di samping aspek religius dan etis;
keduanya merupakan unsur yang pokok. Teisme
Hindu lebih mencurahkan perhatian utama pada
imanensi (kedekatan dan kehadiran) ilahi dalam jiwa
manusia daripada dalam alam semesta secara
keseluruhan.
3.5. Politeisme44
44 Politeisme (Yunani:Polys berarti beberapa atau banyak. Theos,
berarti Tuhan, Allah). Jadi, politeisme merupakan aliran kepercayaan yang meyakini adanya dan memuja banyak Tuhan, banyak dewa
79
Kepercayaan pada pluralitas dewa disebut
politeisme. Artinya, mengakui adanya banyak (Yun:
poly) dewa (theos) dan dewi, yang jumlah, kedudukan
dan pemujaannya berubah-ubah.45 Fenomena
kepercayaan kepada berbagai dewa personal, yang
masing-masing memegang kekuasaan atas bidang
kehidupan yang berlainan, dapat diterangkan dari
berbagai sudut pandang.
Pertama, bagi kesadaran religius bahwa seluruh
jalan hidup eksistensi manusia berada dalam
hubungan dengan Tuhan. Kehidupan sehari-hari
mempunyai arti religius dan segala sesuatu dipandang
sebagai bagian dari keagungan Tuhan. Dari sini,
berkembang suatu praktik yang cenderung ke arah
politeisme dan henoteisme.
Kedua, pemahaman religius tentang alam,
terutama di antara masyarakat kuno, telah mengantar
pada pemikiran bahwa fenomena alam merupakan
manifestasi kekuatan ilahi. Politeisme mungkin
merupakan akibat dari pengalaman semacam itu
dalam diri mereka.
Ketiga, dalam agama-agama yang menganggap
kehidupan kosmos sebagai wilayah pokok pewahyuan
ilahi, kehidupan kosmik adalah kehidupan surga dan
45 Heuken, A. 1994, Ensiklopedi Gereja IV Ph – To, Cipta Loka Caraka,
Jakarta, hlm. 20.
80
bumi, kuasa air dan api, serta berbagai macam
fenomena yang mempunyai peranan pasti dalam
kehidupan manusia. Jadi, manusia mengabdi para
dewa dengan mempersembahkan kurban dan
melakukan ritus, dimana ia mengakui dan menyatakan
ketergantungan dan kesatuannya dengan kosmos.
Keempat, kita memperoleh beberapa
pemahaman nilai religius politeisme kalau yang keluar
di sana bukannya refleksi mengenai misteri kehidupan
pada umumnya, melainkan suatu persepsi intuitif
mengenai berbagai bentuk dari misteri tersebut yang
berbeda satu sama lain. 46
3.6. Cara-Cara Manusia Menghayati Tuhan
Bila ditelusuri secara saksama, penghayatan
manusia akan Tuhan tampak dalam berbagai cara
(penghayatan asli, penghayatan Hinduisme,
penghayatan Budhisme, keagamaan Tionghoa, Agama
Abrahamistik, dll.). Di bawah ini akan dijelaskan tiga
cara untuk manusia berelasi dengan dan menghayati
Tuhan dalam konteks penghayatan imannya, yakni
monisme dan dualisme.47
46 D. Howard Smith op.cit., hlm. 209, 212, 237, 252. Dalam
Mariasusai Dhavamony, op. cit., 141. 47 Franz Magnis-Suseno, 2006. Menalar Tuhan, Kanisius. Yogyakarta,
hlm. 27-37.
81
a. Monisme48
Secara etimologis monisme berasal dari kata
Monism (Yun. ‘satu’). Istilah yang diciptakan oleh
Christian Wolf (1679-1754) bagi setiap usaha untuk
menafsirkan realitas berdasarkan satu prinsip (satu
kenyataan) saja dengan menghilangkan keragaman
dan perbedaan. Kenyataan yang dimaksudkan dapat
bersifat roh sehingga segala-galanya dipandang
sebagai roh atau bersifat benda sehingga segala
sesuatu adalah benda. Monisme roh melahirkan
paham panteisme.
b. Panteisme49
Panteisme adalah ajaran yang menyatakan,
bahwa segala sesuatu merupakan (bagian dari)
Allah.50 Pandangan ini misalnya, diketengahkan
48 Monisme, suatu sikap batin/kepercayaan adalah disebut monisme
manakala meyakini, mengimani hanya satu kekuatan suci dan ilahi sebagai daya universal. Bertolak dari panteisme yang merupakan unsur tersembunyi dalam politeisme, monisme mencari yang satu di dalam yang banyak, atau juga memikirkan yang satu, yang sama sekali tidak punya batas-batas dan definisi, sampai menjadi tidak terkondisikan begitu saja.
49 Panteisme (di Barat), merupakan suatu kepercayaan, pandangan, ajaran, yang melihat di dalam segala sesuatu ada Tuhan. Artinya, Tuhan dipahami sebagai energi yang merasuki segala sesuatu.
50 Heuken, A. 1993, Ensiklopedi Gereja III Kons – Pe, Cipta Loka Caraka, Jakarta, hlm. 266.
82
dengan mengumpamakan Allah itu identik dengan
satu kekuatan yang bagaikan udara merasuki segala
sesuatu. Kesadaran yang tajam mengenai hal ini
cenderung mengidentikkan Tuhan dengan segala
sesuatu, karena kehadirannya yang langsung dan aktif
di dunia ini mengenakan bentuk yang nyata. Di
samping itu, dalam sistem-sistem pewahyuan besar,
objek pewahyuan bisa meluas meliputi segala
Realitas. Tidak setiap objek dapat menjadi objek
pewahyuan, tetapi dapat menjadi demikian kalau
yang ilahi tinggal padanya.
Jadi, panteisme sebagai sebuah ajaran rupanya
merupakan hasil konsep pewahyuan yang seperti itu,
sebagaimana terjadi dalam beberapa ibadah misteri.
Tambahan pula banyak kaum religius menganggap
bahwa ada ‘kesadaran kosmik’ atau ‘ketidaksadaran’
kolektif di atas jiwa individu: yakni prinsip nonrasional
yang menjiwai alam semesta, seperti anima, prana,
pneuma. Pengalaman mistik, setidak-tidaknya
beberapa jenis tertentu, cenderung ditafsirkan dalam
pengertian panteistis, karena hidup mistik merupakan
pengalaman kesatuan dengan yang ilahi. Panteisme
Timur (misalnya dalam Hinduisme) berbeda dengan
panteisme Barat karena panteisme Timur tidak
mengatakan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan,
tetapi segala sesuatu ada dalam Tuhan (pan-en-
83
theism). Ini berarti bahwa Tuhan dan makhluk-
makhluk ciptaan disatukan seperti badan dan jiwa
dalam diri manusia, meskipun ciptaan bergantung dan
berbeda dengan Tuhan. Sementara Pan-en-theisme
(panteisme Timur), merupakan suatu kepercayaan,
sikap, pandangan, dan ajaran yang mengatakan
bahwa segala sesuatu ada dalam Tuhan.51
c. Dualisme
Dualisme adalah paham yang menegaskan bahwa
segala sesuatu dengan dua prinsip dasar yang tak
tergantung satu sama lain, melainkan saling
berlawanan (seperti Yin dan Yang).52 Dualisme adalah
kebalikan dari monisme. Monisme menghadapi
masalah bagaimana menjelaskan pluralitas.
Sebaliknya, dualisme dapat menjelaskan pluralitas
berdasarkan dua prinsip dasar yang saling
bertegangan/berlawanan.
3.7. Sumber Pengetahuan Manusia Tentang Tuhan
Darimana orang mendapat pengetahuannya akan
Tuhan? Sulit memang kita melacak sumber
pengetahuan setiap orang akan Tuhan. Namun, yang
bisa kita rujuk sebagai informasi awal secara
51 Mariasusai Dhavamony, op. cit., 141. 52 Franz Magnis-Suseno, Ibid., hlm. 36-37.
84
horisontal adalah lingkungan (keluarga, sekolah,
masyarakat) dan pengalaman hidup (perjumpaan
dengan orang-orang lain), dan sikap hati (pengolahan
pengalaman hidup).53 Namun, secara vertikal, sumber
pengetahuan manusia akan Tuhan adalah wahyu
Tuhan, yakni inisiatif dari Tuhan untuk menyapa
manusia. Tanggapan manusia atas wahyu-Nya
biasanya disebut iman sebagai tanda keterbukaan
(hati, budi dan pikirannya) untuk setiap sapaan Tuhan.
Agar penalaran sumber pengetahuan vertikal dan
horisontal itu mudah dipahami, kita ringkaskan saja
bahwa secara vertikal sumbernya adalah wahyu
Tuhan dan secara horisontal adalah pengalaman
(hidup) yang sudah diolah dan direfleksikan sehingga
menjadi pengalaman Iman.
a. Wahyu
Wahyu atau penyingkapan oleh Allah mengenai
segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Wahyu Allah pertama-tama disampaikan dengan kata-
kata (Yer 23:18.22) dan peristiwa-peristiwa dalam
sejarah (Kel: 15-21) dan kemudian lewat dunia
ciptaan (Mzm 19:2). Sebagai pengantara wahyu Allah
yang utama, para nabi juga berbicara mengenai
53 Konfrensi Wali Gereja Indonesia, 1996. Iman Katolik, Kanisius,
Yogyakarta, hlm. 121-122.
85
pewahyuan yang akan datang. Dalam perspektif ini
wahyu adalah penyingkapan diri Allah kepada
manusia. Inisiatif pewahyuan itu berasal dari Allah
sendiri. Manusia hanya mungkin mengetahui rahasia-
rahasia yang Ilahi manakala Allah berkenan
mewahyukan diri.54
b. Akal budi
Rasionalitas atau akal budi memaninkan peranan
penting dalam segala ranah pengetahuan dan
pemahaman manusia. Bila wahyu dimengerti sebagai
tindakan yang bermula dari Allah untuk menyapa
manusia, akal budi merupakan anugerah istimewa
dari Allah kepada manusia yang bersifat terberi.
Melalui akal budinya, manusia mampu menganalisis
alasan-alasan mengapa ia percaya dan menyerahkan
dirinya kepada Allah sebagaimana Ia mewahyukan
diriNya kepada manusia. Dengan demikian,
rasionalitas atau akal budi menjadi kekuatan bagi
manusia untuk membangun sebuah prespektif
tentang Allah berdasarkan pengalaman-pengalaman
konkretnya.
b. Pengalaman Iman
54 Gerald O’Collins, Sj & Edward G Farrugia, Sj, 1996. Kamus Teologi,
Kanisius, Yogyakarta, hlm.350.
86
Manusia juga dapat mengenal Allah lewat
pengalaman hidupnya. Itulah sebabnya mengapa
pengalaman hidup seringkali, dalam batas tertentu,
dipandang sebagai dasar penghayatan religiositas.
Pengalaman hidup yang dimaksudkan adalah
pengalaman hidup sehari-hari dalam berbagai
coraknya. Artinya, dapat berkaitan dengan alam
semesta (flora dan fauna) dan sesama manusia.
Pengalaman hidup tidak selalu positif atau negatif,
affirmatif atau kontras. Maka pengalaman hidup,
berkaitan dengan apa pun dan siapa pun juga, dapat
menimbulkan gejolak perasaan tertentu, misalnya,
senang (gembira), bangga, sedih, prihatin, dan
kecewa. Namun, satu hal yang pasti bahwa, setiap
pengalaman memuat makna tertentu untuk
kehidupan selanjutnya. Makna di balik pengalaman
hidup hanya bisa terkuak ketika ia direfleksikan
(direnungkan). Makna yang ditemukan itu menjadi
berdaya rohani ketika makna itu dihayati
(diinternalisasi, dibatinkan) dan diaktualkan
(diekspresikan dan diwujudkan) dalam semangat dan
terang iman berdasarkan ajaran agama yang diyakini.
Buah-buahnya adalah kearifan (prudensia) dan
kebahagiaan (eudaimonia).
Pengalaman iman dapat tumbuh juga dari
pengalaman hidup yang mengatasi batas-batas
87
lingkup hidup manusia, misalnya pengalaman takut
atau tak berdaya menghadapi realita, yang bermuara
pada pengakuan akan Tuhan. Selain itu, pengalaman
iman juga dapat bermula dari refleksi terhadap aspek
misteri kehidupan yang terkadang menyergap
kehidupan kita, dengan alasan atau tanpa alasan yang
jelas: sepi, bahagia, cinta. Perenungan manusia akan
pengalaman ini secara serius dan mendasar disertai
kerendahan hati dapat bermuara pada pengetahuan
dan keyakinan akan adanya Tuhan.
Pengalaman iman juga dapat berupa pengalaman
akan Yang Suci. Pengalaman demikian, meminjam
ungkapan Rudolf Otto, membuat manusia mengalami
situasi yang lain sama sekali, misterius,
menggetarkan/menakutkan (tremendum) dan
sekaligus mempesona (fascinosum). Pengalaman akan
Yang Suci ini begitu menyergap manusia sehingga
manusia merasa ciut, kecil, tak berdaya yang
membuatnya pasrah dan berserah diri untuk tersedot
oleh kuasa-Nya dan menyatu dengan-Nya.
3.8. Tanggapan Terhadap Tuhan
Walaupun setiap komunitas manusia diyakini
memiliki agamanya masing-masing dan menaruh sikap
percaya pada Tuhan, tetapi tanggapan manusia
terhadap konsep Ketuhanan dalam agama-agama
88
tidak selalu sama atau dapat berbeda. Ada sementara
pihak yang percaya pada Tuhan, ada juga yang tidak
percaya dan bahkan ada yang merasa tidak mau sok
tahu tentang Tuhan. Uraian berikut akan membahas
tiga tanggapan manusia akan Tuhan, yakni deisme,
ateisme, dan agnostisisme.
a. Deisme
Secara etimologi istilah deisme berasal dari
bahasa Latin “deus”, yakni Allah. Deisme berkembang
pesat pada abad pencerahan. Semula deisme
mempunyai arti yang sama dengan teisme (Yun:
“theos” = Tuhan), dalam arti sebagai yang berlawanan
dengan politeisme.55 Sejak abad ke-18 deisme
dipandang sebagai paham yang meyakini bahwa pada
awalnya Tuhan memang menciptakan dunia beserta
isinya. Namun, sesudah penciptaan dunia, Tuhan tidak
lagi memperdulikannya atau membiarkannya berjalan
sendiri. Deisme mengakui Tuhan sebagai Pencipta
tetapi bukan sebagai penyelenggara dunia dan segala
isinya. Tuhan tidak lagi turut campur urusan dunia
beserta isinya setelah Ia menciptakannya. Jadi, dunia
dan manusia pasca penciptaan Tuhan terlepas dari
Tuhan.
55 A.M. Hardjana, Ibid., hlm. 34-35.
89
Bagi penganut deisme, Tuhan diibaratkan sebagai
tukang pembuat jam yang canggih. Ia membuat jam,
menyetel irama waktunya dan membiarkan jam itu
bekerja sesuai dengan irama yang telah
ditentukannya. Jadi, jam itu bekerja tanpa campur
tangan pembuatnya. Dalam konteks pemikiran ini,
Tuhan tidak lagi bekerja mengurus dunia dan segala
isinya. Ia menjadi penganggur: Deus otiosus atau
useless God.
Deisme membuka jalan ke arah ateisme. Kalau
Tuhan hanya diperlukan untuk permulaan saja dan
dapat dilupakan maka Ia juga dapat dianggap tidak
perlu dipermulaan alias dapat ditiadakan. Jadi, deisme
dapat dianggap langkah pertama ke ateisme.56 Secara
praktis orang yang menganut paham deisme adalah
penganut ateisme karena menyangkal Tuhan dalam
hidupnya.
b. Atheisme
Menyingsingnya modernitas melahirkan
skeptisme tentang Allah. Maka dalam filsafat abad ke-
19 dan ke-20 muncul ateisme. Beberapa tokoh
terkemuka ateisme, yang tidak dibahas pandangannya
dalam tulisan ini, adalah Ludwig Feuerbach, Karl Marx,
Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, dan Jean-Paul 56 Franz Magnis-Suseno, Ibid., hlm.53-54.
90
Sartre.57 Ateisme (Yun) a berarti tanpa dan theos yang
berarti Allah. Atheisme adalah paham yang
mengingkari adanya Allah.
Dipandang dari sifatnya, atheisme dapat
dibedakan secara negatif dan positif. Atheisme negatif
adalah paham yang menyangkal adanya Tuhan karena
tidak tahu, kurang tahu tentang adanya Allah, atau
mengakui ateis semata-mata karena ikut-ikutan
sehingga tanpa dasar yang jelas. Sementara atheisme
positif adalah paham yang secara sadar menyangkal
adanya Allah. Alasanya karena Tuhan tidak dapat
dibuktikan keberadaannya.
Dipandang dari coraknya atheisme dapat berupa
teoretis dan praktis. Atheisme teoretis
berargumentasi bahwa Tuhan tidak ada berdasarkan
teori-teori tertentu. Misalnya teori monisme kosmis
yang berpendapat bahwa dunia adalah satu-satunya
kenyataan. Atheisme praktis adalah paham yang tidak
menyangkal Tuhan secara teoretis, tetapi secara
praktis tidak mengakui keberadaan-Nya dan tidak
menyembah-Nya. Penganut atheisme praktis hidup
seolah-olah Tuhan itu tidak ada, bukan karena ia
menyangkal keberadaan-Nya melainkan karena tidak
perduli saja. Atheisme praktis inilah yang melanda
57 Ibid., hlm. 64-100.
91
kehidupan orang-orang beragama.58 Mengakui
beragama tapi tidak mau atau malas menunaikan
tuntutan-tuntutan agama.
c. Agnostisisme59
Sebagai arus berpikir, ateisme-ateisme abad ke-
20 (dan juga abad ke 19) tidak lagi dianggap alias
berakhir karena bersifat ideologis dan bukan ilmiah.
Namun kenyataan ini tidak lantas berarti bahwa
filsafat kembali ke ketuhanan. Sebaliknya, sebagian
filsafat abad ke-20 (kecuali filsafat dalam kalangan
agama seperti Neo-Thomisme) mengesampingkan
Tuhan dalam ranah analisis dan refleksinya. Di
hadapan sebagian besar filosof abad ke-20, Tuhan
dipandang tak dapat diketahui secara filosofis atau
tepatnya tidak mau terlampau sok tahu tentang
Tuhan. Pandangan demikian disebut agnostisisme.
Agnostisisme sebetulnya bukanlah berhasrat
menyangkal Tuhan seperti ateisme. Agnostisisme
dapat dipandang sebagai cara pandang yang lebih
netral dan jujur perihal Tuhan, bahwa Tuhan itu bukan
wilayah yang dapat diketahui secara filosofis alias
nalar kritis. Di hadapan agnostisisme, menyangkal
58 A.M. Hardjana, Ibid., hlm. 36-37. 59 Untuk lebih memahami agnostisme lih. Franz Magnis-Suseno,
Ibid., hlm. 102-123.
92
adanya Tuhan adalah sikap dan keputusan yang
ketinggalan jaman. Namun, agnostisisme juga tidak
mengakui rasionalitas wacana Tuhan, sebab baginya
Tuhan itu tidak dapat diketahui (dinalar secara
rasional). Agnostisisme lebih cenderung untuk
menunda keputusan untuk mengatakan Tuhan itu ada
atau tidak ada. Atau tidak mau terlalu sok tahu
tentang eksistensi Tuhan. Maka, di hadapan
agnostisisme, orang boleh saja percaya kepada Tuhan
sejauh sebagai selera pribadi dan bukan sebagai sikap
kolektif yang mengikat apalagi memaksa. Dalam
konteks itu, yang tidak diterima oleh agnostisme
adalah kecenderungan ke arah claim kebenaran
terkait dengan hal ketuhanan. Mengapa? Karena di
hadapan agnostisme kepercayaan kepada Tuhan
adalah urusan pribadi. Konsekuensinya, debat antar
agama-agama terkait dengan klaim kebenaran dan
semangat penyebarannya dipandang agnostisme
sebagai kemunduran taraf berpikir kritis atau
kampungan. Implikasi pandangan agnostisme
memang bisa mengarah pada kemerosotan minat
untuk mendalami ketuhanan, bahkan ia bisa
bermuara pada relativisme agama secara radikal dan
sekularisadi kehidupan secara total. Namun, terkait
dengan konsepsi tentang Tuhan, baik ateisme
maupun agnostisisme, kiranya tidak perlu sampai
93
membuat kita khwatir, apalagi bersikap ikut-ikutan.
Sebab, yang harus kita yakini dan imani adalah bahwa
keberadaan Tuhan sungguh tidak tergantung pada
cara pandang dan sikap atau pengakuan manusia.
Tuhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan
konsepsi ateisme dan agnostisisme.
3.9. Penutup
Demikian, aneka ragam tanggapan manusia
kepada Realitas Tertinggi begitu menarik untuk
dicermati. Dari sekian tanggapan di atas, monoteisme
dan politeisme merupakan konsep atau paham
Ketuhanan yang telah sering dipandang sebagai cikal-
bakal bagi lahirnya religi modern (religi dewasa ini).
Bahkan ada semacam pendapat umum yang
menempatkan politeisme sebagai indung semang bagi
monoteisme. Benarkah demikian? Adakah
pembuktian yang kurang lebih ilmiah, berdasarkan
penelitian atas data-data historis yang mendukung
pernyataan politeisme merupakan awal sebuah
keyakinan yang kelak melahirkan sebuah pemahaman
religi baru, yakni religi monoteistis? Apakah tidak
sebaliknya bahwa monoteismelah yang melahirkan
politeisme?
Berdasarkan studi agama mutakhir, terutama
oleh kelompok historiko-fenomenologis, monoteisme
94
merupakan paham awal dan asli yang kemudian
berkembangan menjadi paham politeistis. Kelompok
historiko-fenomenologis menegaskan bahwa faktor
utama adanya pergeseran pemahaman tentang
Realitas Tertinggi itu, dari monoteisme ke politeisme,
adalah perubahan cara hidup dan budaya. Artinya,
ada pergeseran paradigma berpikir tentang Realitas
Tertinggi pada setiap perubahan cara hidup manusia.
Ketika cara dan budaya hidup berkembang dari
nomadis (pengembara) ke pastoral (penggembala),
maka peranan Allah sendiri turut berubah.
Dalam kebudayaan nomadis, Allah adalah sentral
kehidupan. Tetapi ketika kebudayaan nomadis itu
berubah menjadi kebudayaan pastoral, peranan Allah
terasa merosot. Dikatakan merosot karena kerap kali
masyarakat mengalami kedekatan justru dengan
kekuatan-kekuatan langit, yang disebut dewa-dewa.
Bahwa dewa-dewa yang mereka sembah justru dapat
memenuhi harapan mereka seperti, mengubah
musim, iklim, dan cuaca, dan mendatangkan hujan,
halilintar, petir, dan taufan, ketika mereka
membutuhkannya. Maka, dewa-dewa, sesuai dengan
nama dan peranannya masing-masing sebagaimana
diyakini manusia, disembah dan dipuja. Akan tetapi,
ketika dewa-dewa itu ternyata tidak mampu
membantu mereka, terutama pada saat-saat gawat,
95
misalnya, ketika dilanda wabah penyakit menular baik
pada manusia, maupun pada ternak, juga tatkala
musim kering berkepanjangan atau musim hujan
kelewat batas sehingga menyebabkan bencana sosial,
atau peperangan antarsuku, mereka menyeru dan
berbalik kembali meminta pertolongan Allah. Dan
ketika mereka kembali menaruh kepercayaan kepada
Allah, bahwa Dialah Sang Penguasa yang menciptakan
segala-galanya dan mengatur dinamika semesta ini,
memberikan perdamaian, perlindungan, dan
keselamatan, di situlah spiritualitas monoteisme
dipertegas secara baru dan sekaligus melahirkan religi
monoteistis. Biasanya Kesadaran untuk kembali
kepada Allah dalam religi monoteistis selalu erat
kaitannya dengan tampilnya tokoh Spiritualitas baru,
yang diyakini suci dan punya relasi sangat mendalam
dengan Allah. Orang beriman menyebutnya sebagai
nabi. Artinya, Manusia terpilih dan suci yang
mendapat wahyu dan kemurahan Allah. Tugas
seorang nabi adalah menjadi “penyambung lidah”
Allah kepada manusia. Pada titik inilah sebuah religi
mengalami transformasi spiritualitas. Kehadiran Allah
coba dialami secara baru dan otentik, dengan sebuah
keyakinan bahwa Allah adalah alfa dan omega, bagi
segala yang ada di bumi ini. Sosok-Nya pun dialami
sebagai yang: misterium (tak terselami oleh daya
96
nalar dan indera secara utuh), tremendum
(menggetarkan, menakutkan, penuh kuasa), tapi
sekaligus fascinosum (memikat, mempesona, dan
penuh kasih sayang).
97
BAGIAN IV
PENGALAMAN DAN PENGALAMAN BERAGAMA
4.1. Pengantar
Salah satu alasan mengapa orang menjadi atheis
adalah karena ia belum pernah ada pengalaman
religiusnya atau belum pernah merefleksikan
pengalaman hidupnya sampai pada tataran religius. Di
sini menjadi jelas bahwa pengalaman (yang
direfleksikan) merupakan pilar penting untuk
membangun kehidupan religius. Bahkan, salah satu
alasan mengapa orang menganut agama tertentu
atau menjadi penganut agama tertentu adalah karena
ia memiliki pengalaman religius.60 Artinya,
pengalaman adalah dasar utama untuk pengetahuan,
pemahaman dan keyakinan akan esensi sesuatu.
Itulah sebabnya ilmuan begitu yakin bahwa,
pengalaman adalah dasar bagi pengetahuan
seseorang akan sesuatu. Pengalaman adalah pintu
masuk menuju pengetahuan akan sesuatu dan
selanjutnya membangun kesadaran seseorang akan
makna sesuatu.
60 Dr. Nico Syukur Dister Ofm, 1998, Pengalaman dan Motivasi
Beragama, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 21.
98
4.2. Pengalaman
Apakah yang dimaksudkan dengan pengalaman?
Dr. Nico Syukur Dister mencatat pengalaman sebagai
“suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama
dari pikiran, melainkan terutama dari pergaulan
praktis dengan dunia”.61 Pergaulan tersebut bersifat
langsung, intuitif dan afektif. Dalam konteks
pengalaman religius, yang transenden menyingkapkan
dirinya kepada manusia sementara manusia
pasif/pasrah mengalami ketersingkapan itu. Artinya,
seseorang merasa terkena atau tertimpa oleh sesuatu
hal (yang diluar rencananya). Oleh karena itu,
keinderawian, afeksi, dan emosi memainkan peranan
untuk mengolah pengalaman macam itu.
Agama dalam arti tertentu merupakan salah satu
bentuk pengalaman. Sebagai pengalaman agama
memuat pula pertemuan antara saya sebagai subyek
dan yang lain sebagai obyek. Pertemuan itu
dijembatani oleh kesadaran ( tidak soal tingkat
kesadaran itu, apakah pra-refleksif atau refleksif ).
Agama sebagai pengalaman tidak dapat disamakan
dengan bentuk pengalaman yang lain: pengalaman
dalam melihat pohon, pengalaman dalam memelihara
binatang, pengalaman dalam mencintai seseorang.
61 Loc. Cit.
99
Berikut ini diurutkan beberapa ciri khas pengalaman
beragama.
4.3. Pengalaman Akan Yang Misteri
Para pemikir (agamawan dan filsuf) memulai
analisa mereka atas pengalaman beragama dengan
menalar apa itu agama. Para pemikir itu bersepakat
bahwa obyek agama adalah sesuatu ‘yang sangat luar
biasa dan amat mengesankan’. Ciri pokok dari obyek
itu ialah bahwa Ia bukan saja satu hal di antara hal-hal
lain, melainkan sesuatu yang luar biasa, yang pada
hakekatnya meminta tempat sentral dalam
keberadaan manusia di dunia. Maka hakekat agama
biasanya dipahami sebagai Yang ‘Misteri’. Agama
menujukan kepada yang transenden, melampaui
kategori akal, pikiran dan perasaan manusiawi dan
mengatasi kerangka ‘normal’ eksistensi manusia.
Dalam perspektif itu, agama bisa dipahami terkait erat
dengan perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan
pengalaman manusia perorangan dalam
kesendiriannya, sejauh mereka memahami dirinya
sendiri berada dalam hubungan dengan apa saja yang
mereka anggap Ilahi. Maka agama sebetulnya
mengandung suatu kesadaran yang hidup mengenai
hubungan manusia dengan yang Ilahi. Kesadaran ini
bukan berdasarkan penalaran intelektual, melainkan
100
berdasarkan pengalaman yang istimewa dan luar
biasa.
Dalam karyanya The Idea of Holy, Rudolf Otto
berbicara mengenai sesuatu yang ‘tak bernama’ yang
terletak pada inti semua pengalaman beragama. Ia
menegaskan bahwa tidak ada agama di mana ‘sesuatu
yang tak bernama’ tidak ada sebagai intinya. Tanpa
‘sesuatu yang tidak bernama’ itu, tidak satu pun
agama boleh menyebut dirinya agama.
Dengan kata lain, agama adalah pengalaman
akan Yang Misteri. Yang Misteri itu dikenal, karena
tidak mungkin dapat mengalaminya kalau tidak
dikenal, tetapi tidak tuntas diuraikan. Ia dikenal dan
dialami dalam berbagai macam pengalaman
beragama.
4.4. Macam-Macam Pengalaman Beragama
Pengalaman religius, merupakan hubungan yang
langsung dan pribadi dengan Allah dan dengan hal-hal
yang berasal dari Allah. Menurut St. Ignatius dari
Loyola (1491-1556) doa akan membuat “kita
merasakan dan mencecap dalam-dalam” hal-hal yang
berasal dari Allah. Berkaitan dengan pengalaman
religius ini, tiga bentuk pengalaman religius yang
menjadi penopang gerakan dinamis penghayatan
101
manusia atas ajaran agama dan eksistensi yang Ilahi,
yakni doa, meditasi dan mistisisme.
a. Doa
Doa merupakan gejala umum yang ditemukan
dalam semua agama. Dalam berbagai macam
bentuknya, doa muncul dari kecenderungan kodrati
manusia untuk memberikan ungkapan dari pikiran
dan rasa dalam hubungannya dengan yang Ilahi.
Sebagaimana manusia berkomunikasi secara kodrati
dengan manusia-manusia lain dengan berbicara,
demikian pula ia menyapa yang ilahi dengan cara yang
sama, sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya.
Doa merupakan bentuk pemujaan universal, dengan
diam ataupun dengan bersuara, pribadi maupun
umum, spontan maupun menurut aturan.
Doa merupakan suatu hubungan yang asimetris.
Dalam bentuk-bentuk doa yang berbeda, entah
seseorang dihubungkan dengan yang ilahi sebagai
Guru, Teman, Bapa atau Mempelai, selalu ada rasa
ketergantunangan. Inilah yang membedakan doa dari
rumus-rumus atau tindakan magis. Hubungan
asimetris ini merupakan suatu komunikasi, karena
betapapun yang kudus dipandang sebagai yang
transenden, suatu komunikasi masih dibuka dalam
doa. Jurang antara yang ilahi dan yang profan justru
102
dijembatani dengan tindakan doa. Inilah pertemuan
antara yang ilahi dengan yang manusiawi, suatu
kehadiran ilahi yang dirasakan di antara manusia dan
oleh manusia. Selalu ada gerak dari hubungan
asimetris ke hubungan simetris, tetapi tidak pernah
mencapai yang simetris secara penuh.
Dalam doa permohonan untuk berkat dan
karunia jasmani maupun rohani, ada pengakuan
bahwa yang Ilahi merupakan Penguasa atas karunia-
karunia ini dan bahwa Ia maha Kuasa untuk
menganugrahkannya dan bebas untuk
menganugrahkannya atau tidak. Dengan kata lain,
dalam doa ada kepercayaan yang mendalam, bahwa
alam sendiri merupakan sumber rohani setiap
fenomena dalam kosmos dan masyarakat.
Keberadaan manusia dapat dirunut pada sumber
rohaninya kembali. Di sanalah keselamatan manusia
di temukan.
Dalam semua doa, sikap dasarnya adalah suatu
penyerahan kepada dan kepercayaan dalam
bimbingan Roh yang menciptakan serta mengatur
manusia dan kosmos. Bahkan dalam doa yang paling
sederhana pun, situasi-situasi saat ini dan kejadain-
kejadian yang akan datang dinilai sub specie
aeternitatis. Artinya, bergerak sebagaimana
diinginkan dan diarahkan oleh Roh yang mandiri.
103
Orang yang berdoa telah mencapai kemenangan atas
dunia, dan telah mewujudkan ketergantungannya
pada Allah semata. Orang yang berdoa adalah yang
paling kuat di dunia karena ia dipindahkan ke alam
yang kudus, yang ialahi, yang paling kuat dan
partisipasinya pada yang ilahi membuat orang itu
turut ambil bagian dalam kekuatan yang ilahi.
Sesungguhnya, ketergantungan orang sebagai
makhluk yang terbatas dibawa oleh doa ke dalam
suatu dimensi yang baru: suatu ketergantungan pada
yang tak terbatas yang merangkumkan semua
keterbatasan manusia dan kosmos. Manusia menarik
diri sendiri ke dalam dasar rohaninya dan di situ
mencapai kebebasannya yang sejati, sementara dunia
telah kehilangan kuasa atasnya.
b. Meditasi
Pengalaman akan imanensi dan transendensi
Allah ditekankan melalui berbagai tingkat dalam
agama yang berbeda. Dalam agama-agama Timur,
imanensi Allah sangat menonjol, sementara dalam
tradisi-tradisi Islam dan Yahudi transedensi jelas lebih
tampak. Pengalaman doa tergantung pada aspek-
aspek ini dan mengambil bentuk perwujudan yang
mendalam akan keagungan dan kemahakuasaan
Allah, atau bentuk kekariban dan keakraban dengan
104
Allah, sebagai hal yang mungkin. Ungkapan-ungkapan
doa nonteistis menekankan kesatuan dan hubungan
erat dengan yang ilahi atau yang kudus atau
pencapaian keadaan kebahagiaan, keabadian,
kekekalan yang intristik pada manusia sendiri, seperti
dalam nirvāna, persoalannya lebih dalam hal meditasi
daripada doa. Meditasi dalam Hindu dapat bersifat
teistis atau nondualistis. Dalam hal yang teistis,
meditasi mendukung kesatuan dengan Tuhan yang
pribadi dalam cinta, sebagaimana telah kita lihat.
Dalam hal nondualistis (tidak menduakan), meditasi
mencapai pengalaman lewat kesatuan pengetahuan
yang lebih tinggi dengan Yang Mutlak. Dalam kedua
hal di atas, meditasi merupakan perwujudan yang ilahi
dalam diri manusia, dengan ”yang ilahi” dimaksudkan
adalah Tuhan maupun Yang Mutlak.
Meditasi adalah salah satu model doa yang pada
awalnya diterapkan para pengikut ajaran Budha (dalam
berbagai alirannya) Satu-satunya doa yang dimiliki
orang-orang Theravada adalah meditasi, sedangkan
aliran Mahayana menambahkan juga doa-doa
permohonan, permintaan dan penyebutan nama
Buddha. Meditasi merupakan pendekatan Buddha
yang paling utama mengenai agama.
Tujuan tertinggi dari meditasi adalah penerangan.
Pada umumnya meditasi dimaksudkan untuk
105
memperkembangkan kesempurnaan spiritual,
mengurangi akibat penderitaan, menenangkan pikiran
dan membuka kebenaran mengenai eksistensi dan
hidup bagi pikiran. Keramahan dan simpati bersama
dengan sikap yang terang atas fakta kematian dan arti
hidup adalah hasil-hasil meditasi. Meditasi membantu
untuk menyadari kefanaan segala sesuatu yang ada
dan mencegah keterlibatan dalam keberadaan
semacam itu.
c. Mistisisme
Mistisisme adalah pengalaman yang khusus dan
mendalam akan kesatuan dengan realitas ilahi dan
pemahaman mengenai realitas itu, yang
dianugerahkan secara bebas oleh Allah. Pengalaman-
pengalaman mistik yang mungkin disertai dengan
ekstase, penglihatan dan gejala-gejala semacam itu
biasanya diawali oleh kontemplasi dan askese yang
sungguh-sungguh. Mistisisme dapat ditemukan dalam
agama besar. Mistisisme yang sejati selalu
mengembangkan cinta yang semakin besar kepada
sesama dan rupanya sering dialami oleh orang-orang
beriman yang sangat memperhatikan doa dan peka
terhadap kehadiran Allah dalam hidup mereka.62
62 Gerald O,Collins, SJ & Edward G. Farrugia, SJ, op. cit, 202.
106
Fenomenologi memungkinkan kita untuk melihat
pengalaman mistis, seperti yang ada dalam pelbagai
agama dan sebagaimana digambarkan oleh para
mistikus sendiri. Pengalaman mistik pertama-tama
merupakan sebuah fakta yang penuh dengan makna
bagi kehidupan religius para mistikus. Seorang
mistikus merasa bahwa dirinya memiliki persepsi yang
lebih mendalam dan penerangan yang lebih besar
dalam pengalamannya akan kenyataan yang agung,
misalnya Tuhan.
Pengalaman mistik merupakan pengamatan
langsung atas sesuatu yang kekal. Pengalaman mistis
ini bersifat suprarasional, meta-empiris, intuitif, dan
unitif (menyatu) terhadap sesuatu yang tak ber-ruang,
tak berwaktu, tak bisa mati, entah itu dipandang
sebagai Tuhan, yang mutlak, yang adi pribadi atau
sekadar keadaan kesadaran tertentu saja. Artinya,
artikulasi pengalaman mistik bertaut erat dengan
hilangnya rasa kepribadian atau kesadaran-ego dalam
suatu keseluruhan yang lebih besar. Mistikus akan
merasakan dirinya dipindahkan mengatasi dimensi
ruang dan waktu ke suatu “ke-kini-an” yang abadi, di
mana kematian tak akan dipersoalkan, dan keadaan
kodrati manusia tampak menjadi sesuatu yang tak
bisa binasa. Berkaitan dengan perspektif mistisisme
107
yang umum ini, dapat kita bedakan tiga jenis
pengalaman mistik, yakni: ekstasis, enstatis, teistis.
Pertama, pengalaman ekstasis: Jiwa merasakan
dirinya disatukan dengan kehidupan segala sesuatu
yang tak terjamah oleh maut. Dalam pengalaman ini,
batas antara si “aku” dan “ yang bukan-aku”, subjek
yang mengalami dan dunia objektif lenyap, serta
segala sesuatu tampak sebagai yang satu dan yang
satu sebagai semua. Inti pengalaman ini ialah bahwa
individualitas sendiri tampaknya larut dan mengabur,
serta hal ini membawa kegembiraan dan kedamaian.
Pengalaman ini bisa dimiliki oleh orang-orang dari
semua agama dan bahkan mereka yang tak memiliki
agama sama sekali. Oleh karena itu, sering pula
disebut mistisisme alam. Sebagai ungkapan religius,
tampaknya hal itu berkaitan dengan pencerahan
dalam Zen.
Kedua, pengalaman enstatis, yakni: terserapnya
jiwa ke dalam kedalaman hakikatnya sendiri, dari
mana semua yang fenomenal, bersifat sementara,
yang terkondisikan melenyap, dan jiwa itu melihat
dirinya sebagai sesuatu yang satu utuh serta
mengatasi segala dualitas kehidupan duniawi. Inilah
pengalaman mengenai kesatuan mutlak atau hakikat
rohani yang paling mendasar dalam lubuk
keberadaannya. Pengalaman enstasis ini sama dengan
108
yang ekstasis, dalam hal bahwa dalam keduanya
mengatasi dimensi ruang dan waktu. Namun,
sementara dalam pengalaman ekstasis jati diri
melebur ke dalam dunia dan dunia ke dalam jati diri,
dalam pengalaman enstasis semua keberagaman
hilang dan tiada yang lain kecuali kesatuan yang tak
terceraiberaikan. Dalam pengalam enstasis, kesatuan
yang ada dialami dalam jati diri, suatu pengalaman
akan hadirnya kebesaran yang ilahi di dalam jiwa.
Inilah pengalaman jati diri rohani dalam universalitas,
totalitas dan keluasannya.
Ketiga, pengalaman teistis, yakni: mistisisme cinta
akan Tuhan. Dalam pengalaman Hindu dari bhakti
(cinta akan Tuhan) yang mulia, kita temukan jenis
pengalaman dari partisipasi jiwa yang dapat dirasakan
dalam keberadaan Tuhan. Berkat bhakti, orang yang
dibebaskan menyadari atau mengalami Tuhan melalui
pengertian intuitif karena ia mengenal Tuhan
sebagaimana dia ada di dalam dirinya sendiri. Jati diri
yang terdalam berada di seberang pengalaman yang
(masih) berucap: “aku ingin”, “aku cinta”, “aku tahu”.
Ia memiliki caranya sendiri dalam mengetahui,
mencintai, dan mengalami yang merupakan cara yang
ilahi dan bukan cara manusiawi, suatu cara
persekutuan, kesatuan, ‘dukungan’, di mana tiada lagi
individualitas psikologis yang terpisah, yang menarik
109
semua kebaikan dan semua kebenaran ke dalam
dirinya sendiri, sehingga dia mencintai dan mengerti
demi dirinya sendiri. Di sini tampaklah bahwa rahmat
adikodrati dari Tuhan berkarya karena jenis
pengalaman ini tak bisa diusahakan oleh kekuatan
manusia sendiri. Betapapun besar usaha manusia
dalam menggunakan segala sarana dan teknik, ia tak
akan pernah mencapai mistisisme cinta ini, yang
dialami sebagai rahmat Tuhan yang sungguh-sungguh
merupakan anugerah. Namun berkenaan dengan
jenis-jenis pengalaman yang lain, pengalaman
transendental ini dapatlah dibantu dengan teknik
tertentu, Yoga misalnya, dan juga sarana yang lain.
4.5. Sisi Paradoks Pengalaman Beragama
Meskipun pengalaman dikatakan berdimensi
kebertubuhan, tapi ia pada dasarnya memuat sisi
paradoks. Artinya, dalam pengalaman selalu ada sisi
yang dapat ditangkap indera dan ada sisi yang tidak
dapat ditangkap. Sebagai contoh, pengalaman kita
melihat pohon. Dalam pengalaman ini ada pohon
yang dapat kita lihat dan dapat kita sentuh. Tapi pada
saat melihat pohon, kesadaran diri kita bahwa kita
melihat pohon tidak dapat kita ungkapkan. Selain itu,
kita tidak tahu persis bagaimana pohon itu dalam
dirinya sendiri. Termasuk pada saat kita melihat
110
pohon, kita tidak dapat melihat seluruh sisi dari
pohon; kita hanya melihat satu sisi pohon dari
totalitas pohon. Jadi, pengalaman kita melihat pohon
adalah pengalaman yang belum tuntas atau belum
utuh. Kita hanya melihat pohon pada sisi tertentu
saja.
Ilustrasi di atas juga berlaku untuk pengalaman
beragama. Apa yang kita sebut pengalaman beragama
selalu juga memuat sisi paradoks. Sebetulnya, sisi
paradoks dalam pengalaman beragama lebih rumit
karena bercorak misteri. Artinya, kita mengalami
sesuatu yang bersifat misteri (rahasia, tak terpahami),
tetapi sekaligus jelas; bersifat transenden, tapi juga
imanen (terasa menyentuh dan dekat dengan rasa
terdalam atau terasa begitu intim dengan diri kita
sehingga begitu personal tapi sekaligus menuntut
adanya komunitas), menakutkan tapi sekaligus
mempesona, menggetarkan tapi sekaligus
menaburkan rasa damai dan tentram.
a. Pengalaman Akan Sang Lain
Pengalaman beragama ditandai oleh sifat Sang
Lain, sosok yang misteri. Sebagai demikian,
pengalaman akan Sang Lain itu menuntut tanggapan
subjek pengalaman terhadap keberadaan-Nya. Oleh
111
karena itu, pengalaman beragama senantiasa
bercorak misteri dan berorientasi terbuka keluar
kepada SANG LAIN. Dalam konteks itu, pengalaman
beragama bukan murni sebuah pengalaman psikologis
(meskipun ia dapat ditafsirkan secara psikologis),
tetapi secara esensial ia lebih merupakan pengalaman
akan Sang Lain yang menyergap sang subjek sehingga
ia mengalaminya sebagai Yang Agung, Mahakuasa.
Dalam konteks itu, Berkaitan dengan pengalaman
akan Sang Lain ini, peran Agama adalah
mengafirmasikan keberadaan Sang Lain sebagai
sesuatu Yang Agung atau Mahakuasa. Meskipun
demikian, Keberadaan Sang Laain Yang Agung itu
mendahului pengakuan dan peneguhan (afirmasi)
manusia (melalui dogma agama) dan sama sekali tidak
tergantung pada pengakuan dan peneguhan (afirmasi)
manusia. Singkatnya, Sang Lain (Yang Mahakuasa) itu
sama sekali tidak membutuhkan dogma agama untuk
menegaskan keberadaan diriNya.
Ketika manusia mengalami kehadiran Sang Lain,
ia diliputi oleh sisi-sisi paradoks Sang Lain. Di satu sisi
Sang Lain itu sama sekali berbeda dari manusia
(mengatasi manusia), tapi di sisi lain Ia bisa
berkomunikasi dengan manusia sebagai ciptaan-Nya
dan bahkan membuat manusia kagum padaNya;
menyadari kodrat dirinya sebagai citra-Nya. Manusia
112
lantas menyadari kemiripan dirinya dengan Sang Lain
yang memungkinkan dirinya untuk untuk
berkomunikasi denganNya.
Berkaitan dengan pengalaman akan Sang Lain ini,
manusia dilanda oleh dua ekstrim pemikiran yang
berpotensi mereduksi keyakinannya akan Sang Lain.
Pertama, aspek pemikiran yang bercorak
antropomorfisme. Artinya, manusia berpikir bahwa
Sang Lain (Tuhan, Allah, God, Deus, Theos...itu)
seutuhnya memiliki kemiripan dengan manusia.
Pemikiran demikian tentu dapat membahayakan
keyakinan sebab memandang Sang Lain itu berakar
dalam pengalaman manusiawi semata-mata. Kedua,
aspek pemikiran yang bercorak pesimisme, yang
kemudian bermuara pada agnostisisme. Artinya,
ketika manusia berpikir bahwa Sang Lain itu sama
sekali berbeda dan tak terjangkau oleh manusia maka
ia lantas merasa tidak mungkin untuk menjalin
komunikasi denganNya (pesimistis).
b. Perasaan Ketergantungan Religius
Keyakinan manusia bahwa Sang Lain itu adalah
Pencipta dan dirinya adalah citraNya membuat para
pemikir berusaha memberi penjelasan deskriptif
perihal pengalaman Akan Sang Lain. Pemikir seperti
Schleimacher, misalnya, mengilustrasikan pengalaman
akan Sang Lain sebagai suatu perasaan
113
ketergantungan. Sementara Hegel justru kurang
sepakat dengan apa yang dilontarkan Schleimacher itu
dan lantas mengkritiknya dengan ungkapan bahwa
“seekor anjing pun mempunyai rasa ketergantungan
pada tuannya, tapi perasaan ketergantungan itu tidak
dapat dijadikan bukti untuk menegaskan bahwa anjing
itu mempunyai pengalaman akan tuannya”. Meskipun
demikian, kedua pemikir itu sama-sama
mengutarakan hal yang memiliki makna. Kritik yang
dilontarkan Hegel memiliki makna secara horisontal
(menyangkut pengalaman yang menimbulkan
perasaan yang bersifat duniawi), sementara
pernyataan Schleimacher mempunyai makna vertikal
(pengalaman yang menimbulkan perasaan firdausi,
perasaan religius, keyakinan Ilahiyah). Perasaan
ketergantungan yang dimaksudkan Schleimacher lebih
bermakna religius untuk menunjukkan betapa agama
memainkan peranan penting dalam kehidupan
manusia dalam membahasakan pengalamannya akan
Sang Lain. Sementara kritik Hegel sebetulnya hendak
menyoroti perasaan ketergantungan sebagai
kenyataan yang belum memadai untuk mematok
alasan utama bagi relasi manusia dengan Sang Lain.
Rudolf Otto menampilkan secara gamblang di mana
letak kekurangan pernyataan Schleimacher. Bagi Otto,
kekurangan pandangan Scheleimacher terletak pada
114
ketidakmampuannya untuk membedakan
ketergantungan religious dari ketergantungan–
ketergantungan yang bercorak duniawi ( misalnya
perasaan tergantung pada orang tua, kakak, adik,
teman, kekasih, atau ketergantungan pada hal-hal
tertentu seperti makanan, minuman, musik, mainan,
dst).
Perihal perasaan ketergantungan itu sebetulnya
menyelimuti setiap manusia sejak ia dilahirkan ke
dunia ini. Kodrat manusia sebagai makhluk individual
dan sosial dengan sendirinya menegaskan adanya
perasaan ketergantungan pada pihak lain. Sebagai
makhluk sosial, setiap manusia secara kodrati berada
dan bergantung pada pihak lain (orangtua, kerabat,
teman sejawat, dan alam). Kendati demikian,
ketergantungan pada pihak lain tidak pernah dalam
arti secara total. Ketergantungan itu selalu bersifat
parsial. Artinya, selalu ada kemungkinan bagi manusia
untuk menampilkan keunikan dirinya sebagai makhluk
individual. Aspek individual itu memampukan setiap
manusia untuk menyadari bahwa dirinya lebih tinggi
dari pada sesuatu di mana ia bergantung. Keyakinan
demikian tampaknya dibahasakan secara tepat oleh
Blaise Pascal bahwa, manusia akan tetap lebih luhur
dari pada alam yang membunuhnya. Sebab ia
mengetahui bahwa suatu saat ia pasti akan mati. Dan
115
manusia masih lebih tinggi dari keuntungan atas
kematiannya yang dimiliki alam raya karena alam raya
tidak sadar sedikit pun tentang hal itu.
Meskipun secara kodrati manusia selalu
tergantung pada hal–hal yang tak terelakan demi
kebaradaan dan kelangsungan hidupnya, misalnya,
tergantung pada oksigen, pada orang lain, tapi
ketergantungan itu sama sekali berbeda dan tidak
setara dengan perasaan ketergantungan religius.
Perasaan ketergantungan religius itu berbeda secar
kualitatif dari perasaan ketergantungan yang non
religius. Mengapa? Karena ketergantungan religius itu
menyangkut totalitas keberadaan manusia dan
menyentuh eksistensi dirinya yang paling dalam. Untuk
mengilustrasi perasaan ketergantungan religius ini,
Rudolf Otto menyetir kembali kata–kata Abraham
dalam Kitab Perjanjian Lama : “lihatlah aku telah
berusaha bicara kepada Tuhan, aku yang hanya debu
dan abu ini.”
Ungkapan Abraham diatas menegaskan bahwa
makna kehidupan manusia hanya ada dan terletak
pada pengakuannya secara religius bahwa Sang Lain
adalah satu-satunya sumber keberartian dalam hidup.
Hidup manusia menjadi terasa memiliki makna,
memiliki kepastian dan arah yang jelas ketika ia
mengakui bahwa Sang Lain adalah alfa dan omega.
116
c. Kesadaran Sebagai Makhluk Yang “Terciptakan”
Perasaan ketergantungan pada Sang Lain seperti
diulas di atas berakar pada kenyataan bahwa manusia
diliputi oleh perasaan ke-fana-an. Hidup manusia itu
terbatas, sementara, dan fana. Perasaan demikian
berangkat dari kenyataan bahwa manusia itu dari
tiada menjadi ada. Perasaan ketergantungan
sebetulnya mengungkapkan proses ke-ada-an
manusia: Bahwa manusia itu dari tiada menjadi ada
karena “terciptakan”. Eksistensi dan kesadaran
manusia akan realitas berangkat dari kesadaran
sebagai makhluk yang “terciptakan”. Kesadaran
demikian begitu memintal erat dan mendasar dalam
totalitas keber-ada-an manusia sehingga
memungkinkan dirinya untuk memiliki pengalaman
religius yang penting untuk membangun kesadaran
religius. Artinya, kesadaran sebagai makhluk yang
terciptakan adalah dasar penting bagi pengalaman
dan kesadaran reigius. Berkaitan dengan hal itu,
Rudolf Otto menegaskan bahwa, ‘keasadaran manusia
sebagai makhluk yang terciptakan’ ini merupakan
suatu fenomen yang menyertai pengalaman religius.
Dengan demikian, esensi pengalaman religius adalah
kesadaran manusia akan ke-fana-an dirinya (sebagai
makhluk yang terciptakan) di hadapan SESUATU yang
117
mempunyai kekuatan atau tenaga yang sangat kuat
dan mutlak. Sementara itu segala sesuatu mengakui
sifat kekuatan yang luar biasa ini, dan menyadari
dirinya sebagai makhluk yang terciptakan.
Kesadaran diri sebagai makhluk yang terciptakan
merupakan kesadaran religius sehingga tidak bisa
dipahami sebatas kesadaran biasa. Itulah sebabnya
kesadaran itu hanya dialami oleh orang-orang yang
membuka dirinya dengan rendah hati untuk Sang Lain
(Tuhan) dan memahaminya sebagai anugerah yang
istimewa dariNya. Orang-orang yang memandang
kesadaran sebagai makhluk terciptakan identik
dengan perendahan diri sendiri tidak akan pernah
mendapat anugerah istimewa dari Tuhan berupa
pengalaman religius.
d. Tidak Tuntas Terkatakan
Aspek misteri yang melekat pada pengalaman
beragama sebab menyangkut Sang Lain membuatnya
tidak mungkin terrekam secara utuh. Kenyataan ini
membuat pengalaman beragama selalu bersifat
paradoks dalam arti bahwa ia bisa dialami tapi tidak
bisa diuraikan atau diungkapkan secara tuntas.
Pengalaman akan kehadiran Sang Lain itu memang
disadari dan dirasakan dalam keadaan sadar, tetapi
ketika kita hendak membahasakan atau
mengkomunikasikannya dalam untaian kalimat,
118
ternyata manusia berhadapan dengan kenyataan
bahwa bahasa/kata-kata manusia selalu terbatas dan
bahkan selalu tidak tuntas dalam mengungkapkan
pengalaman yang paling berharga itu.
Ambisi manusia untuk membahasakan
pengalamannya secara tuntas justru berbahaya sebab
mereduksi keutuhan pengalaman sehingga terbuka
peluang ke arah penjelasan yang keliru atau
menyesatkan sebab pengalaman religius selalu utuh
dalam dirinya sendiri, dan akan selalu parsial dalam
penjelasan melalui kata-kata. Penjelasan dalam dan
melalui bahasa berupa untaian kata-kata dalam
kalimat memang bisa membantu manusia untuk
sekadar menghadirkan kembali pengalaman itu dalam
rangka memenuhi kebutuhan dialogal dan horisontal
subjek yang mengalaminya. Sebagai demikian, ia
bermanfaat sejauh dimaksudkan untuk
“memperdalam” perenungan dan “meneguhkan”
iman pihak lain yang terlibat dalam dimensi dialogal
tersebut.
4.6. Aspek Intensionalitas Dalam Pengalaman Akan
Yang Numinous
Penjelasan di atas menunjukkan sisi misteri atau
aspek kerahasiaan pengalaman beragama sehingga ia
tidak mungkin dapat dijabarkan secara tuntas.
119
Meskipun demikian, seperti yang diyakini oleh Rudolf
Otto, pengalaman beragama itu selalu berdimensi
kesadaran akan dan keterarahan pada Sesuatu Yang
Lain. Berangkat dari keyakinan itu, Rudolf Otto lantas
menyimpulkan bahwa pengalaman beragama itu
selalu bercorak intensionalitas, yakni: menimbulkan
kesadaran akan sesuatu yang lain. Berdasarkan
keyakinan itu, Otto lantas meyakini bahwa, perasaan
religius muncul ketika subjek menanggapi tawaran
Numen (obyek pengalaman religius). Tanggapan subjek
selalu ditandai oleh kenyataan bahwa tanggapannya
itu ditujukan kepada pihak luar dirinya. Artinya,
manusia mengarahkan totalitas dirinya untuk
mengalami Numen yakni obyek pengalaman religius.
Dalam interaksi yang sadar itu, manusia menyadari
sisi-sisi temporal dirinya sebagai makhluk yang fana
(kefanaannya. Namun, kesadaran akan kefanaan itu
hanyalah sebuah fenomen penyerta dan bukan
tempat pengalaman di mana pengalaman itu bergulir.
Keyakinan Rudolf Otto itu senada dengan
pandangan Edmund Husserl. Menurut Husserl
perasaan religius itu selalu merupakan suatu
kesadaran mengenai obyek. Obyek itu perlu agar
suatu pengalaman terjadi. Perasaan religius tidak
dapat disamakan dengan dorongan kebutuhan
biologis berupa rasa lapar dan haus. Perasaan yang
120
muncul dari dorongan biologis dapat dipisahkan dari
apa yang menyebabkannya sehingga perasaan itu
tidak bersifat internasional. Namun berbeda dengan
perasaan yang mendalam, misalnya, perasaan cinta
yang pasti tidak dapat dialami tanpa suatu kesadaran
akan sesuatu atau seseorang yang dicintai. Artinya,
pengalaman cinta selalu bersifat intensional sebab
terarah kepada sesuatu yang lain. Demikian pun
pengalaman religius.
Jadi, Rudolf Otto hendak menegaskan bahwa hal
utama dalam konteks pengalaman beragama adalah
menyadari pertemuan dengan Sesuatu yang Indah,
misteri yang menggetarkan, dan misteri yang
mepesona (Pengalaman yang bercorak Mirum,
misterium tremendum et fascinosum). Sifat
pengalaman ini di luar yang diperkirakan sehingga
tidak bisa dibandingkan dengan pengalaman–
pengalaman murni manusia. Tidak ada pengalaman–
pengalaman murni manusia yang sebanding
kualitasnya dengan keindahan, kegentaran, dan
kekaguman yang dialami manusia ketika ia dilingkupi
oleh sang numinous (yang Ilahi). Perasaan yang
menyergap manusia meskipun menggentarkan tapi
tidak membuat manusia lantas menjauh. Bahkan
setelah mengalami pengalaman yang misteri itu,
manusia ingin agar perasaan tersebut terus
121
terpelihara dan menghiasi hidupnya. Keinginan itu
membuat manusia terdorong untuk semakin
mendekatkan diri dan berada pada lingkup yang
Numinous (Ilahi). Dalam keadaan seperti itu jiwa
manusia masuk ke dalam inti keberadaan yang
terdalam sebab ia begitu terpikat dan terpesona oleh-
Nya. Rudolf Otto menyebutnya sebagai Mysterium et
Fascinosum.
Deskripsi Otto bahwa yang Numinous itu
bercorak Mysterium et Fascinosum sebetulnya
merupakan upayanya untuk menunjukkan aspek
paradoks pada pengalaman beragama bila
dibandingkan dengan pegalaman biasa. Istilah
tersebut serentak pula menggarisbawahi adanya daya
tarik yang kuat yang hanya menjadi ciri khas
pengalaman beragama. Kecuali itu, melalui istilah
misterium fascinosum, Otto sepertinya hendak
menegaskan bahwa obyek rasa tertarik itu di luar (tak
terjangkau oleh) pemahaman manusia. Artinya, yang
Numinous itu mengatasi pemahaman manusia.
Interpretasi manusia atasNya selalu tidak tuntas dan
kurang memuaskan.
4.7. Ruang dan Waktu Suci
Meskipun konsep ruang dan waktu menurut
Aristoteles memiliki dimensi kontinuitas (tidak
122
merupakan fakta yang dibatasi), tapi dalam konteks
pengalaman beragama kita perlu memberi batasan
kepada konsep ruang dan waktu menjadi menjadi
ruang sakral dan waktu sakral. Artinya, manakala
suatu ruang tertentu diberi batasan sehingga menjadi
ruang sakral (atau karena ia merupakan wahyu, atau
karena disucikan, atau karena beberapa alasan lain),
hukum kontinuitas menjadi tidak berlaku. Dengan
demikian, ketika kita masuk ke dalam wilayah ruang
sakral, kita seakan-akan masuk ke dalam dunia yang
lain (dunia khusus), kita bagaikan masuk kedalam
peralihan wilayah: dari ruang profan (biasa) ke ruang
sakral. Ketika kita berada dalam ruang sakral, kita
sesungguhnya berada dalam kenyataan lain yang di
luar lingkup kenyataan sehari–hari.
Oleh Karena itu, kita tidak boleh memasuki ruang
sakral secara serampangan. Perlu adanya persiapan
batin, pikiran, dan perasaan sebelum kita memasuki
ruang sakral. Misalnya, persiapan hati nampak dalam
hal lahiriah seperti: memakai penutup kepala,
pakaian – pakaian tertentu, menundukan kepala,
merebahkan diri, membuka kasut, menyucikan diri
dengan air. Persiapan ini mempunyai nilai simbolis,
nilai kesucian, dan penting untuk membangun
hubugan yang utuh dan total dengan yang ilahi.
123
Berkaitan dengan ruang dan waktu sakral ini, kita
perlu menyadari bahwa setiap agama memiliki tempat
ziarah, tempat doa, kenisah dan memiliki waktu-
waktu suci yang dijadikan saat doa, saat merenung,
saat meditasi.. Ruang sakral itu bukan semata-mata
indah, tapi memikat dan mengagumkan. Itulah
sebabnya, misalnya, orang Yunani memilih untuk
membangun kuil – kuil di tempat yang begitu
mengagumkan. Biasanya, pembangunan tempat suci
dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya
keharmonisan dengan lingkungan alam. Misalnya,
menunjukkan hubungan khusus dengan fenomena
alam: matahari terbit atau terbenam. Fenomena ini
menunjukkan bahwa sejak dahulu umat beragama
meyakini bahwa, keharmonisan dengan alam penting.
Alam adalah arsitek utama yang penting diteladani
dan diikuti dalam pembangunan kuil – kuil. Fenomena
ini dapat kita jumpai kini bahwa tempat – tempat
ibadat agama-agama terdahulu pada umumnya
diliputi oleh keserasian dengan alam sehingga
memancarkan keanggunan, kekokohan, keindahan,
keagungan, keluhuran, dan ketenangan. Sayangnya,
spiritualitas pembangunan tempat ibadah terdahulu
yang mesti berguru pada alam itu tampaknya tidak
diteruskan dalam proyek-proyek pembangunan
rumah ibadah pada jaman sekarang. Dewasa ini
124
pembangunan tempat ibadah tidak lagi berorientasi
pada keharmonisan dengan alam dan tidak berguru
pada alam.
Senada dengan konsep ruang suci di atas adalah
konsep mengenai waktu yang suci. Menurut
Aristoteles, waktu adalah rangkaian gerakan dalam
hubungan dengan masa sebelum dan masa sesudah.
Konsepsi Aristoteles mengenai waktu menunujukkan
adanya pengulangan yang berkesinambungan dari
realitas yang sama. Jadi, berkaitan dengan waktu
sebetulnya tidak ada suatu penilaian dalam skala
kualitatif. Namun, ketika waktu diberi batasan
menjadi “waktu suci” maka hukum kontinuitas
menyangkut waktu seperti dikonsepsikan oleh
Aristoteles menjadi tidak berlaku.
Ketika kita memberikan pembatasan terhadap
waktu menjadi waktu suci maka kita pun lantas
membuat suatu penilaian yang berifat kualitatif
terhadap waktu. Dalam waktu yang suci, realitas
menjadi tercirikan dengan nama dan menjadi sesuatu
tertentu yang berbeda secara radikal dari waktu yang
sebelum dan sesudahnya.
Dalam perspektif waktu suci, upacara-upacara
keagamaan (hari raya, pesta, peringatan) tidak
dimasukan dalam waktu, tetapi mengenai waktu.
Misalnya, ketika orang Yahudi merayakan Paskah,
125
orang Kristen merayakan Natal maka perayaan yang
dilakukan mereka tersebut bukan semata-mata untuk
mengenang peristiwa historis, yang terjadi dulu dan
kini dikenang kembali, tapi lebih darin itu adalah
upaya mereka dalam menghidupkan kembali waktu
yang sebelumnya dalam dimensi waktu kekinian
sehingga batas–batas waktu dihapus. Batas-batas
waktu biasa diatasi dalam peristiwa pengulangan
dalam upacara-upacara keagamaan dimana para
penganutnya mengambil bagian dalam peristiwa
tersebut. Dalam keyakinan dan konsepsi umat
beragama pada umumnya, keabadian tidak ditarik ke
dalam dimensi waktu, tetapi waktu menyentuhnya.
4.8. Penutup
Uraian di atas menunjukkan bahwa
pengalaman beragama adalah pengalaman
perjumpaan dengan yang Ilahi. Suatu perjumpaan
yang luar biasa sebab melampaui kategori inderawi,
tapi sekaligus memberi arti secara mendalam kepada
hal-hal yang dialami secara inderawi. Keistimewaan
pengalaman rohani justru terletak pada nilainya itu,
yang mampu merangkai antara rasio dengan intuisi,
antara yang imanen dan yang transenden. Bahkan
salah satu alasan mengapa manusia tetap beragama
adalah karena ia memiliki pengalaman beragama.
126
Tanpa pengalaman rohani hampir dapat dipastikan
bahwa seseorang sulit mencapai kedewasaan iman.
Jadi, pengalaman beragama selain merupakan salah
satu alasan kuat yang mendorong manusia tetap
beragama, juga memungkinkan orang untuk mencapai
kematangan penghayatan dan perwujudan imannya.
Pengalaman beragama merupakan energi yang
mendorong atau memotivasi manusia tetap beragama
dan menghayati agamanya dalam seluruh ritme
kehidupannya.
BAGIAN V
SAKRAL DAN PROFAN
5.1. Pengantar
Konsepsi mengenai yang sakral (suci, kudus)
ditemukan dalam setiap agama. Pembagian dunia ke
dalam dua bidang, yang sakral dan yang profan,
merupakan ciri khas pemikiran religius. Ciri nyata dari
fenomena religius ialah bahwa fenomen-fenomen itu
selalu mengandaikan suatu pembagian seluruh alam
raya atas dua bagian, yang dikenal dan yang tidak
dikenal, kedalam dua kelompok yang merangkumi
segala sesuatu yang ada, tetapi saling meniadakan
secara radikal. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang
dillindungi dan dipisahkan oleh larangan-larangan.
127
Sementara hal-hal yang profan adalah hal-hal yang
padanya larangan-larangan ini diterapkan dan harus
tetap jauh dari hal-hal sakral. Keyakinan-keyakinan
religius merupakan gambaran-gambaran yang
mengungkapkan sifat hal-hal dengan yang lain atau
dengan hal-hal profan.
Pada dasarnya yang sakral itu bersifat hakiki bagi
setiap agama. Sebagai demikian, kesakralan menjadi
begitu penting bagi kelangsungan agama. Tanpa
kesakralan, agama dapat dipastikan tidak bakal
bertahan. Artinya, kesakralan adalah nilai yang
mengukuhkan agama sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri. Meskipun ciri hakiki agama itu membuatnya
terpisah dari atau berbeda sama sekali dari aspek
kehidupan yang lain, tapi hal itu tidak merintangi
agama untuk berelasi dengan bidang kehidupan lain
yang nota bene non-agama.
Dalam perspektif yang lebih luas, hal yang sakral
adalah hal yang dijaga, dilindungi supaya luput dari
pelanggaran dan pencemaran. Hal yang sakral adalah
hal yang dihargai, dimuliakan, dan tidak dapat
diganggu gugat. Dalam pengertian ini, kesakralan
tidak hanya menjadi milik agama saja. Di luar agama
dapat ditemukan pula yang sakral: benda-benda,
praktek-praktek, tempat-tempat, adat-istiadat,
gagasan religius, dan non-religius.
128
Kesakralan dalam arti khusus adalah semua yang
dilindungi secara khusus oleh agama terhadap
pelanggaran, gangguan atau pencemaran. Sesutu
yang sakral adalah yang kudus, sudi. Oleh karena itu,
sesuatu yang sakral adalah lawan dari yang sesuatu
yang profan. Sesuatu yang profan merupakan sesuatu
yang biasa, umum, tidak disucikan, sementara, atau
wilayahnya berada di luar yang religius.
Berdasarkan pandangan di atas, apa yang kita
sebut sebagai sesuau yang sakral adalah sesuatu yang
hendaknya tidak dapat disentuh oleh yang profan.
Dalam khasanah agama, perilaku religius ditandai oleh
kompleks-kompleks lain dengan sikap istimewa
tertentu dari para penganutnya. Berkaitan dengan itu,
pertanyaannya adlah: apakah yang menjadi ciri khas
agama atau perilaku manusia terhadap yang sakral?
Apakah secara apriori (konsepsi abstrak,pengertian
abstrak) kita mengenakan kategori yang sakral kepada
seperangkat keyakinan dan praktek tertentu sehingga
hal-hal itu menjadi religius?
Dalam pembahasan di muka, elaborasi atas
kesakralan dikaitkan dengan istilah Mysterium
tremendum et fascinosum. Sumber kesakralan bukan
dari hal-hal yang fana, melainkan dari Yang Baka, yang
Transenden. Oleh karena itu, kesakralan hanya dpat
dipahami dalam dan melalui pengalaman akan yang
129
Transenden. Orang yang tidak memiliki pengalaman
akan yang Sakral pastilah sukar memahami kesakralan
secara mendalam.
Dalam rangka memahami kesakralan, pertama-
pertama kita terlebih dahulu menyadari bahwa yang
sakral itu bercorak mirum, misterium tremendum et
fascinosum. Artinya, objek sakral itu indah,
menimbulkan perasaan “gentar”, dan sekaligus
perasaan yang “kagum”. Perasaan demikian memberi
kesadaran baru berupa sikap hormat yang tiada
taranya terhadap objek sakral; mendesak manusia
beragama untuk sujud dan menyembah dan
bersimpuh di hadapan-Nya.
Penghayatan terhadap yang sakral selain
berkaitan dengan Allah, juga dapat diekspresikan pada
sesuatu yang bercorak adikodrati misalnya malaikat
yang begitu sering disebut dalam Kitab Suci. Kecuali
itu, aspek kesakralan pun diyakini melekat erat dalam
diri para nabi dan Orang suci, karena mereka diyakini
dapat menjadi saluran rahmat Allah kepada manusia
beragama. Tanda-tanda kehadiran yang sakral dapat
berupa mukjizat-mukjizat sebab Allah bekerja
melaluinya.
5.2. Sekilas Tentang Pengalaman Mengenai Yang Sakral
130
Pengalaman akan Yang Sakral dalam kehidupan
beragama mempunyai struktur yang unik. Dalam
konteks kehidupan beragama, struktur dasar
pengalaman akan yang Sakral tampak dalam ungkapan
iman, misalnya,: Saya mengalami Yang Lain sebagai
hal yang transenden, hal yang misteri dan
pengalaman itu sungguh menyergap totalitas diri
sehingga tidak mungkin dapat saya ungkapkan secara
tuntas. Struktur pengalaman akan yang sakral itu
memperoleh bentuknya dalam agama-agama.
a. Dalam Agama Tradisional
Dalam agama tradisional, unsur yang
menunjukan arti yang sakral, misalnya: Bahwa yang
sakral itu tidak dapat diraba, kehadiranNya
menimbulkan perasaan was-was dan hati-hati, menyita
perhatian lebih besar daripada perhatian kepada yang
profan. Kehadiran yang Sakral itu menimbulkan rasa
kagum dan hormat, diam dan gemetar. Dalam
suasana seperti itu, manusia biasanya mengucapkan
kata-kata sakral, pujian dan hormat kepadaNya.
Dengan kata lain, orang-orang tradisional
menyadari yang sakral sebagai Sosok yang lain sama
sekali dari hal-hal yang biasa, lain dari pengalaman
mengenai hidup sehari-hari. Pengalaman akan yang
Sakral adalah pengalaman pribadi tapi sekaligus
131
pengalaman bersama. Dikatakan sebagai pengalaman
pribadi karena pengalaman tersebut mendorong
manusia untuk mencoba menjalin relasi denganNya.
Dikatakan sebagai pengalaman bersama karena
kehadirannNya sama sekali berbeda dari tatanan alam
sehingga meliputi masyarakat manusia dan wakil-
wakil kolektifnya. Sejarah masyarakat (sejarah
komunitas beragama) sudah selalu dilingkupi Yang
Ilahi. Itulah sebabnya Mircea Eliade mengatakan
bahwa, seluruh sejarah agama – sejak yang paling
terdahulu hingga yang terkini, ditentukan oleh
perwujudan-perwujudan dari yang sakral dalam
berbagai manifestasinya (hierofani), mulai dari yang
terendah hingga yang paling tinggi, yakni penjelmaan
Allah dalam diri seorang pribadi manusia.
b. Dalam Agama Hindu
Perspektif mengenai yang sakral memang tidak
seragam dalam setiap agama. Dalam agama Hindu,
misalnya, yang sakral dihayati sebagai yang ilahi (Allah
atau Yang Mutlak), Sementara Yang ilahi itu
merupakan sesuatu Yang Terang, Abadi, Kekal, Imanen
dalam dunia dan manusia dan merupakan kodrat
tertinggi dari segala sesuatu yang ada dan diri yang
paling dalam dari alam raya yang obyektif dan
subyektif. Artinya, ia menjadi dasar terdalam bagi
132
sesuatu yang ada. Yang ilahi adalah ‘yang nyata dari
yang nyata’, ‘pengendali batin’, diri yang terdalam’. Ia
melihat tetapi ia sendiri tidak kelihatan, Ia mendengar
tetapi tidak didengar, memikirkan tetapi tidak
difahami, Ia lain daripada dunia, tetapi mengendalikan
dunia dari dalam.
Singkatnya, yang ilahi adalah sekaligus Sang Ada
yang kekal dan sumber segala peristiwa, awal dari
yang hidup dan yang mati. Ia merupakan inti diri
manusia atau inti diri individual. Dalam tradisi
Upanishad yang paling tua, dimana tidak ada dualism,
masalah ini diatasi dengan menekankan adanya Allah
yang Maha Tinggi yang pribadi sebagai Tuhan bagi
dunia yang dicita-citakan dan bagi dunia nyata
sekarang ini. Maka Sang Ada Ilahi itu bersifat
transenden dan imanen. Atribut yang diberikan sang
ilahi ini diambil dari kualitas-kualitas pribadi dan
kesempurnaan-kesempurnaan moral.
Dalam Upanishad ditemukan ajaran yang
bercorak teistis: bahwa Allah yang berdiam selama-
lamanya dalam kekekalanNya tetap berkarya dalam
dunia kita ini. Allah yang diam itu tetap Allah yang aktif
untuk kita. Dalam Bhagawadgita arah teistis ini,
menjadi teisme yang diterima secara penuh.
Perubahan itu terletak pada sikap manusia bahwa ia
tidak berbalik kedalam dirinya sendiri secara eksklusif
133
dalam usaha mencari dasar yang kekal dari jiwanya
melainkan berpaling keluar untuk menemukan
Tuhannya yang transenden dalam cinta dan
kepercayaan dan ia mendapatkan jawaban cinta dan
kepercayaan di pihak Allah. Tujuan ideal
kehidupanmanusia tidak lagi untuk
mengidentifikasikan diri individual dengan Diri Yang
mutlak. Keilahian yang Maha Tinggi, melainkan
mencari kesatuan dan penyerahan total individual
kepada Tuhan yang mencintai dan maha kuasa.
Teisme Hindu memiliki dua pandangan yang semakin
berkembang hingga sekarang: pertama, Yang Mutlak
atau Sang Ilahi yang disebut Brahman. Ini ditemukan
dalam trend Hindu yang non-dualistis. Kedua, ialah
Allah personal yang disebut Bhagawan atau Iswara.
Dalam konteks Hindu, yang profan adalah
sesuatu yang ditentukan oleh waktu, ruang,
perubahan dan kematian (termasuk yang bersifat
empiris, yang terus menerus bergulat dengan
bermacam-macam eksistensi dan kelahiran). Supaya
lolos dari perangkap yang profan, manusia harus
masuk ke dalam dunia untuk bekerja di dalamnya
berdasarkan kehendak dan bekerjasama dengan yang
Ilahiuntuk menghancurkan yang jahat dan menolak
pengaruh yang tidak benar.
134
c. Dalam Agama Buddha
Struktur yang sakral menurut agama Buddha,
tidak ada hubungannya dengan Allah atau dengan
yang mutlak. Inti ajaran Budha mengenai hidup
manusia tersimpul dalam CATUR ARYA SATYA (empat
kesunyataan atau kebenaran mulia), yaitu: (1) Dukha-
Satya (hidup dalam segala bentuk adalah
penderitaan); (2) Samudaya-Satya (sebab penderitaan
adalah karena manusia memiliki keinginan dan nafsu);
(3) Nirodha-Satya (penderitaan itu dapat dilenyapkan
(moksha) dan orang mencapai Nirvana ); (4) Marga-
satya (jalan untuk mencapai pelenyapan penderitaan
sehingga dapat masuk ke dalam Nirvana adalah
depalan jalan utama (asta-arya-marga), yakni:
keyakinan yang benar, pikiran yang benar, perkataan
yang benar, perbuatan yang benar, penghidupan yang
benar, daya upaya yang benar, perhatian yang benar,
dan semedi yang benar.63
Penganut agama Buddha mengalihkan struktur
sakral kepada pembebasan dari kematian dan
penderitaan. Hal ini lazim disebut keadaan
nirvana.Yang profan merupakan alam yang
diperbudak oleh kelahiran kembali. Penderitaan
disebabkan oleh adanya keinginan, nafsu dan hasrat.
63 Konfrensi Waligereja Indonesia, 1996. Iman Katolik, Buku
informasid an Refrensi, Kanisius, Yogyakarta. hal.177.
135
Keberadaan yang profan bersifat sementara, tidak
permanen, dan penuh dengan penderitaan dan
sengsara. Dalam Budhisme Mahayana yang sakral
adalah Kebudhaan. Artinya, keadaan di mana ada
pencerahan, kebijaksanaan dan kasih bagi yang
merasakannya. Semuanya itu dicapai karena adanya
pemahaman atau pengertian terhadap eksistensi
profan dan sadar akan mencapai kenyataan terakhir
yang berada di atas eksistensi profan.
d. Dalam Kepercayaan Cina64
Struktur yang sakral menurut orang Cina
merupakan kekuatan adikodrati yang merupakan dasar
kemuliaan T’ien. Kekuatan adikodrati itu dipercayai
sebagai sesuatu yang dimiliki oleh para raja dan
orang-orang penting. Sementara Dewa tertinggi Ti’en
adalah Tuhan personal yang ada di puncak pimpinan
dari struktur hierarkis dunia supranatural dan suci.
Kekuatan adikodrati yang menjadi dasar
kemuliaan T’ien itu dipercayai sebagai sesuatu yang
dimiliki oleh para raja dan orang-orang penting. Yang
sakral seiring dengan kesalehan seorang anak.
Akhirnya, yang sakral merupakan jalan surga, aturan-
aturan surgawi yang harus ditaati dalam kehidupan
seseorang. T’ien adalah kekuatan adikodrati para raja, 64 Mariasusai Dhavamony, 1995., hal. 95-96.
136
orang-orang terpandang dan berpengaruh,
kesalehan/ketaatan anak-anak dan aturan-aturan
surgawi merupakan ungkapan dan perwujudan T’ien
sendiri. Raja-raja dahulu menerima dan memegang
perintah T’ien lewat Tê (kualitas suci, kekuatan
kepribadian yang perlu dimiliki para dewa dan orang-
orang yang memperolehnya dengan caya yang
istimewa).
Tao merupakan prinsip lain dalam kepercayaan
Cina. Tao adalah tatanan yang kekal dari alam raya.
Prinsip demikian adalah prinsip kosmos dan jalan
kehidupan dalam alam raya.Tao bertindak dalam
pikiran dan materi jasmani. Tao merupakan prinsip
yang telah menjadikan alam raya, memelihara dan
mengaturnya. Tao merupakan jalan, cara bagaimana
segala sesuatu dilakukan. Tao, misalnya, merupakan
jalan yang dipakai raja untuk memerintah menuju
keadaan surgawi. Tao merupakan prinsip tertinggi
mengatur sesuatu dan menentukan seluruh
perjalanan proses dunia, maka manusia harus
menyesuaikan diri dengan hukum ini dan meniru sifat-
sifat Tao. Sebagaimana Tao, manusia hendaknya
diliputi kebaikan, kesederhanaan, kemurahan dan
kedamaian.
e. Dalam Agama Yahudi
137
Struktur yang sakral menurut orang Yahudi
didasarkan atas pandangan bahwa Yahwe adalah
Tuhan yang berkuasa dan pandangan manusia sebagai
hamba Yahwe. Manusia wajib menyembah dan
mencintai Allah, yang dialami manusia, meminjam
istilah R. Otto, sebagai sosok yang tremendum et
fascinosum. Karena itu, dalam diri manusia terdapat
dua sikap yang saling melengkapi: takut akan Allah
dan sekaligus mencintainya.
Dalam kesatuan antara ketakutan dan cinta
kepada Allah itu terungkap sifat hakiki keyakinan
Perjanjian Lama mengenai Allah. Dapat dikatakan
pula, bahwa takut dan cinta merupakan dua kutub
yang diantaranya bergerak reaksi manusia yang tepat.
Sikap ini memuat pengertian ketakutan yang
mendalam mengenai kekudusan Allah. Yang Kudus
adalah gagasan religius yang mendalam yang
menunjukan apa yang termasuk bidang Ilahi dan
karenanya tidak dapat diganggu-gugat.
Jadi, kesakralan dalam kepercayaann orang
Yahua dalah kualitas, yang karena strukturnya itu juga,
berakar dalam keilahian. Kalau dilihat dari segi positif,
kekudusan berarti kemurnian dan berkah. Dari segi
negatif kekudusan merupakan kutukan. Berhadapan
dengan kekudusan Allah tidak ada jalan tengah.
138
f. Dalam Agama Islam
Dalam agama Islam, struktur sakral diungkapkan
dalam kesadaran iman yang mendalam bahwa
manusia tergantung pada Allah. Pengakuan iman ini
membuat manusia harus takluk kepada perintah
Allah. Artinya, manusia harus menyembah Allah.
Meskipun dalam ajaran agama Islam menegaskan
pentingnya pengakuan iman bahwa Allah adalah
sosok yang suci, Maha Besar dan memikat manusia,
tapi pengertian “penghambaan” kepadaNya sebagai
sikap taat merupakan unsur hakiki. Aspek
“penghambaan” (menjadi hamba yang Ilahi)
memainkan peranan penting dalam pengalaman dan
ungkapan religius Islam.
Setiap penganut Islam mengimani Allah sebagai
Allah yang hidup, maharahim secara nyata kepada
kita. Ia transenden sekaligus memperhatikan sejarah
hidup manusia dan dunia. Allah adalah kelihatan dan
sekaligus tersembunyi. Kendatipun Allah mempunyai
kekuatan, kemuliaan, dan menghakimi secara keras,
namun di pihak lain, Allah adalah sabar, pemurah,
belas kasih dan Maha Rahim. Bila dibandingkan
dengan pengalaman keagamaan orang Israel
mengenai yang sakral, kekudusan Allah, yang dominan
ialah hubungan timbal balik, dimama terdapat
kesetiaan dan cinta disertai rasa takut dan hormat.
139
Dalam pengalaman Islam, hubungan manusia dengan
Allah ditandai oleh sikap tunduknya kepada Kehendak
Suci Allah. Penganut Islam harus taat kepada
Kehendak dan Perintah Allah dan beriman kepadaNya
dan pada Sabda-Nya yang termuat di dalam Qur’an.
5.3. Gagasan Mengenai Yang Numinous (Yang Ilahi,
Yang Suci)
Pengalaman beragama adalah pengalaman yang
sakral. Maka Rudolf Otto menyebutnya dengan istilah
pengalaman mengenai yang numinous. Ia mengulas
konsep numinous itu dalam bukunya Das Heilige ( The
Idea of Holy). Melalui buku tersebut Rudolf Otto
memaparkan unsur rasional sekaligus non-rasional
dari agama.
Namun, penting diingat bahwa apa yang
dikatakan oleh Rudolf Otto bukanlah hal baru. Inti
persoalannya tetap sama, yakni: pengalaman akan
yang misteri, yang bersifat paradoksal. Hal yang
membedakan Rudolf Otto dari tokoh-tokoh yang lain
ialah pendekatan terhadap persoalan yang sama ini.
Dalam kerangka yang numinous, Rudolf Otto
melihat yang sakral (suci) sebagai unsur khas (unik)
dari agama-agama. Unsur ini memberi ciri dasar
pengalaman religius bagi masing-masing penganut
agama. Unsur unik inilah yang mewarnai pengertian
140
dan perasaan yang berubah-ubah dalam pengalaman
agama. Pengalaman religius yang unik ini adalah
pengalaman akan yang ‘numinous’ sehingga
menimbulkan perasaan akan yang ‘numinous’, yang
non-rasional menjadi unsur hakiki dalam setiap
agama. Yang ‘numinous’ itu merupakan mysterium
tremendum et fascinosum. Ketika seseorang
berhadapan dengan yang numinous, dapat dipastikan
bahwa orang tersebut merasa ciut, takut, kagum,
merasakan sesuatu yang mulia, kuat dan sekaligus
memikat.
Di pihak lain, obyek numinous (yang Ilahi) bukan
hanya melingkupi atau menyelimuti kita dengan rasa
kagum, takut, melainkan juga menarik dan
mempesona. Pengalaman akan yang nimunous itu
juga mengasyikan, yang menggejala dalam perasaan
bersemangat, gembira tak terkira hingga kadang-
kadang mengalami kondisi tak sadarkan diri. Rasa
tertarik ini juga membuat orang merasa heran dan
takjub, serta terpesona.
Konsepsi mengenai yang numinous juga memuat
makna ‘Yang Lain sama sekali’. Maksudnya yang
numinous itu melampaui yang biasa, mengatasi yang
lumrah, berbeda total dari yang profan. Pengalaman
manusia akan yang numinous membuatnya lantas
menjadi gagap, gentar dan seolah-olah mati rasa. Bila
141
kita hanya menekankan segi takut ketika berhadapan
dengan yang ilahi, maka agama itu mengajarkan atau
menekankan segi penebusan dan kerahiman. Tetapi
bila kita hanya menekankan segi tertarik dan
mempesona dari sang Ilahi, maka agama itu
menekankan segi penyerahan diri, cinta dan kesatuan
dengan yang ilahi. Tetapi dalam agama-agama
terdapat dua segi ini yang saling mengisi dan
membangun suatu pengalaman mengenai yang
misteri dalam diri manusia .
Rudolf Otto menekankan bahwa perasaan-
perasaan religius tidak semata-mata suatu reaksi
psikologis, tetapi memandang perasaan-perasaan ini
sebagai cara memahami yang Ilahi. Ketakutan dalam
pengalaman beragama bersifat eksistensial, ketakutan
yang menyentuh seluruh eksistensi saya. Pengalaman
itu menyangkut segi psikologis, pikiran, dan kehendak.
Yang numinous sekaligus rasional dan non-
rasional. Kondisi-kondisi psikologis masuk dalam
pengalaman religius dan yang numinous sebagai yang
non-rasional diungkapkan dengan gagasan-gagasan
rasional. Selain itu, yang numinous merupakan
sesuatu yang sakral dalam arti kekudusan non-moral
sebagai kategori nilai, dan suatu keadaan pikiran dan
pengalaman rohani yang khas segi pengalaman
religius. Harus diyakini bahwa yang sakral termasuk
142
bidang Ilahi dan tidak dapat diganggu gugat sehingga
menjadi tabu.
5.4. Penutup
Pengalaman religius adalah pengalaman tentang
yang numinous, pengalaman akan yang sakral,
pengalaman yang menimbulkan ketakutan dan cinta
secara serentak dalam diri seseorang. Pandangan ini
sesuai dengan agama Yahudi, Islam dan juga agama
tradisional.
Yang numinous mengatasi yang rasional semata-
mata. Ia tidak dapat difahami secara penuh oleh
pikiran manusia, tidak juga dapat diungkapkan secara
penuh dengan kata-kata atau cara-cara manusia. Oleh
karena itu, yang numinous itu disebut ‘Yang Rahasia’;
‘Yang Tidak Terungkapkan’; ‘Yang sama sekali lain’;
‘Yang Melampaui’.
Pengalaman akan yang ilahi itu dapat
dibahasakan dan dipahami sejauh diungkapkan dalam
simbol-simbol yang berada dalam bidang profan, yang
dengannya yang ilahi dicapai. Dengan simbol-simbol
yang kita angkat dari tatanan yang bukan religius, kita
mengungkapkan pengalaman religius kita kepada
orang lain dan mengarahkan diri kita pada yang
numinous.
143
BAGIAN VI
MITOS, SIMBOL, DAN RITUS
6.1. Pengantar
Berkaitan dengan konsepsi manusia tentang
Tuhan, ada beberapa bentuk pengungkapan intuisi
religius manusia untuk mengalami dan menghadirkan
yang Ilahi itu ke dalam kesadaran dan pengalaman
rohani, yakni: simbol, mitos, ritus, dan upacara
kurban.
6.2. Mitos65
Secara etimologi, mitos berasal dari bahasa
Yunani muthos, yang secara harafiah diartikan sebagai
cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang. Mitos
sebagaimana dimaksudkan Prof. Dr. C. A. Van Peursen
merupakan ungkapan bakat manusiawi, yakni bakat
bercerita demi memberi pedoman atau arah kepada
sekelompok orang.66 Sementara dalam bahasa Inggris,
kata mythology menunjuk pada pengertian, baik
sebagai studi atas mitos atau isi mitos, maupun bagian
tertentu dari sebuah mitos.
65 Ibid., 71-105 66 C.A. Van Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius,
Yogyakarta, hlm. 34.
144
Dalam pengertian yang lebih luas, mitos berarti
suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu
drama. Kecuali itu, mitos juga dipahami sebagai kisah
simbolis mengenai realitas-realitas asali (asal mula
dari yang ada). Seringkali juga mitos dimengerti
sebagai cerita mengenai pribadi, peristiwa atau hal-
hal yang “tidak sungguh-sungguh ada” ( mitos
khayali), misalnya, mengenai tindakan dewa-dewi
yang buruk, meskipun kadang-kadang menyenangkan
sebenarnya palsu.67 Sementara logos menyajikan kisah
yang rasional dan benar mengenai realitas dan sebab-
sebabnya. Berkaitan dengan perbedaan antara mitos,
legenda, dan cerita lihat tabel di bawah.
Perbedaan antara mitos, legenda dan dongeng menurut
pandangan B. Malinowski
Mitos Legenda Dongeng
Merupakan
pernyataan
atas suatu
kebenaran
yang lebih
tinggi dan
lebih penting
Cerita yang diyakini
seolah-olah
merupakan
kenyataan sejarah,
meskipun sang
pencerita
menggunakannya
mengisahkan
peristiwa-
peristiwa ajaib
tanpa dikaitkan
dengan ritus.
Dongeng juga
tidak diyakini
67 Gerald O,Collins, SJ & Edward G. Farrugia, SJ, op. cit, 202.
145
tentang
realitas asali,
yang masih
dimengerti
sebagai pola
dan fondasi
dari
kehidupan
primitif
untuk mendukung
kepercayaan-
kepercayaan dari
komunitasnya.
NB: sebatas
berfungsi untuk
menggugah rasa
terdalam agar setia
pada nilai-nilai yang
diajarkan oleh
komunitas.
sebagai peristiwa
yang sungguh-
sunguh terjadi. Ia
lebih menjadi
bagian dari dunia
hiburan.
NB: berfungsi
untuk menghibur
tapi muatannya
juga pesan-pesan
didaktis
Mitos menceritakan bagaimana suatu keadaan
menjadi sesuatu yang lain: Misalnya, ia menceritakan
bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni;
bagaimana situasi yang kacau menjadi teratur;
bagaimana yang tak dapat mati menjadi mati;
bagaimana manusia yang semula hanya sepasang
menjadi beranekaragam suku dan bangsa; bagaimana
makhluk-makhluk tak berkelamin menjadi berjenis
kelamin lelaki dan perempuan; dsb. Singkatnya, mitos
tidak hanya menceritakan asal mula dunia, binatang,
tumbuhan, dan manusia, tapi juga kejaidan-kejadian
yang menyebabkan manusia menemukan dirinya ada
seperti ia temukan sekarang ini.
146
Berkaitan dengan mitos, Mircea Eliade meyakini
bahwa mitos mengungkapkan cara beradanya dunia.
Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan
karena itu sulit untuk memberikan batasan-batasan
yang definitif terhadapnya. Eliade memandang mitos
sebagai usaha manusia arkhais untuk melukiskan
lintasan yang supra natural ke dalam dunia.68
6.3. Tipe-Tipe Mitos69
Mitos dapat dibedakan menjadi beberapa tipe,
yaitu mitos kosmogoni, mitos asal-usul, mitos
mengenai dewa-dewa dan makhluk-makhluk Ilahi,
mitos androgini dan mitos akhir dunia. Berikut adalah
ulasan sekilas tentang tipe-tipe tersebut.
a. Mitos-Mitos Kosmogoni
Mitos kosmogoni mengisahkan proses penciptaan
alam semseta secara keseluruhan. Mitos kosmogoni ini
diyakini sebagai model paling utama dari segala
macam penciptaan dan pembangunan. Ada dua
macam mitos kosmogoni. Pertama, mitos-mitos yang
mengisahkan penciptaan alam semesta yang tidak
bereksistensi dalam bentuk apa pun juga sebelum 68 John A Saliba 1976, ‘Homo Religious’ In Mircea Eliade, An
Anthropological Evaluation, Leiden, E. J. Brill, hlm 155. Dalam tulisan ini dikutip dari P.S. Harry Susanto, op. cit, 74.
69 P.S. Hary Susanto, op. cit., 74-90
147
penciptaan itu. Mitos-mitos ini mengisahkan
penciptaan dunia melalui buah pikiran, perkataan,
atau tenaga panas dari sang surya. Contohnya, mitos
kosmogoni di Polynesia yang mengisahkan bagaimana
dewa tertinggi yang disebut Io menciptakan alam
semesta, surga dan bumi melalui perkataannya
(sabdanya). Kedua, Mitos kosmogoni yang
mengisahkan penciptaan alam semesta dengan pra-
eksistensi bahan dasar dan membutuhkan
pertolongan si pelaku yang melaksanakan penciptaan
itu.
b. Mitos-Mitos Asal-Usul
Mitos-mitos asal-usul ini mengisahkan asal mula
segala sesuatu. Artinya, ia mengisahkan bagaimana
suatu realitas itu muncul dan bereksistensi;
bagaimana kosmos mula-mula dibentuk; bagaimana
asal-mula adanya takdir kematian bagi manusia;
bagaimana manusia mempunyai jenis seks tertentu;
dsb. Peristiwa-peristiwa model itu memberikan ciri
tertentu kepada keadaan masyarakat dan kehidupan
manusia.
Contoh mitos asal-usul manusia: Pada suku
Yoruba di Nigeria, manusia diciptakan dari lumpur;
dalam mitos-mitos Indonesai dan Melanesia: manusia
diciptakan dari batu; pada suku-suku Oceania:
148
manusia diciptakan dari tanah atau juga dari telur;
pada suku-suku di Asia Tenggara: manusia diciptakan
dari seekor binatang. Sementara menurut tradisi
mesopotamia, manusia diciptakan dari UZU (daging),
SAR (ikatan), dan KI (tempat, bumi). Pendududuk asli
Taiwan, suku tagalog di Filipina, suku Ya-Lang di Yunan
dan suku di Jepang memuja pohon bambu yang
dianggap sebagai nenek moyang mereka. Suku-suku
asli Australia di sekitar Melbourne meyakini bahwa
manusia pertma dilahirkan dari tanaman kumis
kucing. Suku Antaivandrika di Madagaskar
menganggap bahwa mereka berasal dari pohon
pisang.70
c. Mitos-Mitos tentang Dewa-Dewa dan Makhluk-
Makhluk Ilahi
Mitos-mitos ini mengisahkan pergeseran/
penggantian kekuasaan dan jabatan dari dewa
tertinggi ke dewa-dewa lainnya. Pergantian itu
disebabkan terjadinya penurunan kekuatan/daya
kekuasaan dewa tertinggi setelah ia menciptakan
dunia dan kehidupan manusia. Karena itu, jabatannya
diserahkan kepada makhluk-makhluk ilahi yang lain,
yaitu anak-anaknya atau wakil-wakilnya. Misalnya, 70 Mariasusai Dhavamony, op.cit.,
149
pada suku Indo-Arya kuno, dewa surga Dyaus
digantikan oleh dewa varuna dan dewa Parjanya,
dewa topan. Di Mesopotamia, dewa Anu digantikan
oleh anak-anaknya yaitu, dewa Enlil atau Bêl, dewa
topan dan kesuburan serta suami dari dewi ibu
pertiwi. Pada suku Asli di Bank, Melanesia, makhluk
tertinggi langit digantikan oleh dewa matahari. Di
Yunani kedudukan dewa Quranos digantikan oleh
Zeus, yang mendapat julukan dewa tertinggi dan
dewa topan. Di Indonesia, dewa tertinggi langit
tercampur dengan atau digantikan oleh dewa
matahari, misalnya, dewa I-lai di Sulawesi
digabungkan dengan dewa matahari.
Pengunduran diri dewa tertinggi itu, di beberapa
tempat, diikuti oleh putusnya hubungan antara langit
dan bumi atau adanya garis pemisah antara surga dan
bumi. Kedekatan orisinal dengan langit, persahabatan
dan hubungan yang erat antara dewa dengan manusia
merupakan kebahagiaan tertinggi dan keabadian bagi
manusia.
d. Mitos-Mitos Androgini
Androgini merupakan suatu rumusan arkhais dan
universal untuk mengungkapkan suatu keseluruhan,
ko-eksistensi dari hal-hal yang bertentangan. Ada dua
macam mitos andorgini, yaitu mitos androgini ilahi
150
dan mitos androgini manusiawi. Dalam mitos
androgini ilahi dilukiskan bahwa para dewa
mempunyai dua jenis seks sekaligus (biseksualitas).
Misalnya dewa Attis, dewa Adonis, Dionysos (mereka
adalah dewa-dewa tumbuh-tumbuhan). Dewa atau
dewi yang mempunyai seks tunggal juga termasuk
androginis, mempunyai dua jenis seks.
Sementara itu, dalam mitos androgini manusiawi
lebih mengisahkan tentang sifat para leluhur mitis,
manusia primordial, raksasa-raksasa kosmis.
e. Mitos-Mitos Akhir Dunia
Mitos-mitos Akhir dunia mewarnai kepercayaan
manusia arkhais. Pada umumnya, mitos-mitos ini
mengisahkan peristiwa dahsyat yang menghancurkan
kehidupan di dunia ini, misalnya, air bah, gempa bumi,
kebakaran besar, runtuhnya gunung-gunung, wabah
penyakit, dll. Indikasi mitos ini adalah berakhirnya
suatu periode kehidupan dan munculnya periode baru
sebagai pengganti. Kehancuran dunia diikuti oleh
munculnya dunia yang baru.
Pada dasarnya, semua mitos tentang akhir dunia
itu mengandung suatu ide bahwa dunia ini mengalami
suatu degradasi progresif dan karena itu perlu diakhiri
agar dengan demikian dapat diciptakan kembali.
Penghancuran dan penciptaan dunia kembali ini juga
151
mengikuti pola kosmogoni, yaitu kembali pada
keadaan khaos dan kemudian diikuti dengan
penciptaan kembali. Dunia baru yang terjadi sesudah
malapetaka itu merupakan dunia yang murni, segar
dan penuh daya (seperti dunia yang diciptakan untuk
pertamakalinya).
6.4. Fungsi Mitos
Mitos bertaut erat dengan sistem kepercayaan
baik yang bersifat ilahi maupun manusiawi. Dalam
kontesk mitos ini, tujuan mitos adalah menghadirkan
kembali dimensi terdahulu dalam realitas kehidupan
kembali ke dalam realitas kehidupan terkini, berkaitan
dengan pengetahuan perihal bagaimana menggapai
kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan abadi.
Maka, fungsi mitos adalah:
1. Memberikan pedoman atau arah kepada
sekelompok orang.
2. Memberi jaminan bagi masa kini
3. Memberi arah dan orientasi spiritual dan mental
untuk berhubungan dengan yang ilahi.
4. Menyingkapkan tindakan kreatif para dewa atau
makhluk supra natural dan mewahyukan
kekudusan karya-karya mereka.
5. Menetapkan contoh model bagi semua tindakan
manusia, baik dalam upacara-upacara maupun
152
dalam kegiatan sehari-hari yang bermakna,
misalnya makan, seksualitas, pekerjaan,
pendidikan, dsb.
Fungsi-fungsi di atas dapat diringkas sebabagi berikut:
mitos berfungsi untuk menampakkan kekuatan-
kekuatan, menjamin hari ini, memberi pengetahuan
tentang dunia.71
6.5. Simbol72
Secara etimologi (asal kata), kata simbol berasal
dari akar kata kerja symbollein dalam bahasa Yunani,
yang berarti mencocokkan, “materai persetujuan”
atau “pengakuan”. Dalam pengertian itu, simbol
dapat kita maknai sebagai ikatan yang menandai
persetujuan di antara keduabelah pihak untuk sesuatu
yang mereka sepakati bersama. Dalam konteks itu,
simbol menjadi sarana yang dapat dikatakan sebagai
alat bukti bagi keteguhan komitmen atau persetujuan
di antara kedua belah pihak.
Dalam masyarakat Yunani kuno, simbol bisa
berwujud kepingan tembikar yang dibagi dua atau
pasangan cincin yang bentuk dan ukurannya sama.
Misalnya, apabila dua orang membuat persetujuan
71 C. A. Van Peursen, op. cit. 41-42 72 P.S. Hary Susanto, 1987, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade,
Kanisius, yogyakarta, 61-64
153
untuk sesuatu hal, maka mereka membuat simbol
kesepakatan dengan meterai berupa cincin ( dua buah
cincin persis sama) atau kepingan tembikar. Masing
masing pihak yang bersepakat itu menyimpan
sekeping simbol. Apabila kedua belah pihak
menginginkan untuk persetujuan dihormati, maka ia
atau wakilnya mengidentifikasikan dirinya dengan
cara “mencocokan” kepingan simbol yang ia simpan
dengan kepingan simbol lainnya yang disimpan oleh
pihak lain.
‘Mencocokan’ dalam bahasa yunani disebut
symbollein dan dua keping itu disebut symbola. Kata
itu lambat laun akhirnya berarti tanda pengakuan
dalam arti luas. Jadi, simbol pada mulanya merupakan
sesuatu benda, tanda yang digunakan bagi pengakuan
timbal balik dan mempunyai arti yang dimengerti dan
disetujui bersama. Karena itu, simbol dapat
berperanan untuk menghubungkan atau menyatukan
dua identitas atau lebih atau untuk menarik makna
dari relasi di antara kedua belah pihak.
6.6. Simbol Dalam Konteks Religiositas
Dalam konteks kehidupan beragama, simbol
dibutuhkan oleh manusia karena yang Ilahi itu bersifat
misteri dan transenden. Artinya, manusia tidak dapat
secara langsung mengenal Yang Ilahi. Oleh karena itu,
154
simbol memainkan peranan penting untuk manusia
mengilustrasikan pengalamannya akan Yang Ilahi.
Dalam konteks itu, Yang Ilahi dapat dikenal sejauh ada
upaya manusia untuk mengenalnya melalui simbol
atau sejauh disimbolkan. Namun, perlu dicatat pula
bahwa manusia dapat juga mengenal Yang Ilahi
melalui peristiwa pewahyuan diri Yang Ilahi (peristiwa
hierofani). Peristiwa perwahyuan merupakan
pernyataan diri Yang Ilahi kepada manusia dalam
bahasa simbol. Dan melalui simbol itu Yang Ilahi, Yang
Transenden itu dimanifestasikan kepada manusia.
Simbol merupakan suatu cara untuk manusia
mengenal Yang Ilahi. Karena hal itu pula, Mircea
Eliade menegaskan bahwa simbol merupakan cara
pengenalan yang bersifat khas religius.
Beberapa contoh tindakan simbolisme dalam
religiositas adalah menyembah batu, pohon karena
dipandang sebagai hierofani dari Yang Ilahi. Dalam
konteks penyembahan itu, batu dan pohon berubah
menjadi suatu kenyataan yang supra-natural. Jadi,
simbol mengubah suatu benda atau tindakan menjadi
sesuatu yang lain dari benda atau tindakan yang
nampak bagi pengalaman profan.
Simbol menjadi begitu penting dalam religiositas
karena simbol berbicara lebih banyak daripada yang
bisa diungkapkan dengan kata-kata dan pengetahuan
155
biasa. Simbol memberikan informasi yang sering
sangat sulit untuk diungkapkan. Simbol merupakan
tanda yang berupaya menghadirkan realitas
transenden dan memberikan suatu pandangan yang
jernih tentang cara berada Yang Ilahi.
Simbolisme religius memberikan makna-makna
yang trans-obyektif kepada manusia. Fungsi simbol
secara dasariah adalah bersifat religius: menghadirkan
Yang Ilahi ke dalam kesadaran dan pengalaman rohani
manusia. Tuhan yang transenden dialami sebagai
realitas imanen (dekat) berkat simbol religius yang
dihayati sebagai sarana perjumpaan dengan Yang Ilahi
itu. Maka bagi manusia arkhais, simbol selalu bersifat
religius karena menunjuk pada sesuatu yang nyata
atau pada model dunia. Simbol mewahyukan realitas
Yang Ilahi agar menghasilkan suatu kesatuan erat yang
kekal antara manusia dengan-Nya. Contoh simbol
dalam agama Kristen adalah salib. Berdasarkan
penalaran di atas, simbol dapat dianggap sebagai :
1. Kata atau obyek atau benda atau tindakan atau
peristiwa atau pola atau pribadi atau hal
partikular tertentu.
2. Tanda yang menghadirkan di dalam dirinya,
menghidupkan kembali, atau berkaitan dengan
Yang Lain/Ilahi.
156
3. Sesuatu yang lebih besar, Yang transeden atau
Yang tertingg
6.7. Simbol dan Tanda
Perlu diakuai bahwa, terdapat banyak pendapat
mengenai simbol. Agar lebih jelas, kita perlu
membandingkan simbol dengan tanda. Tanda
memiliki suatu arti, pengertian. Tanda merupakan
hasil patokan akal budi, tanda tidak mengambil bagian
dalam kenyataan yang lain, karena tanda hanya
menunjukan proses akal budi. Misalnya, tanda lalu
lintas atau lampu lalu lintas. Orang memahami tanda
ini dan bentuknya mudah dimengerti. Syarat agar
sesuatu dapat menjadi tanda yang baik, ialah harus
jelas dan hanya mempunyai satu arti, maksudnya
supaya tidak ada kesalahan faham dan dengan
demikian seperti dalam tanda lalu lintas, tidak terjadi
kecelakaan. Tanda dipakai untuk melancarkan
hubungan dan itu berarti jika ia tidak berlaku lagi,
maka harus dibuang.
Simbol tidak dapat dibuang semuanya. Simbol itu
dengan satu dan lain cara memiliki kenyataan yang
mau ditunjukannya. Simbol-simbol memang tidak
dirancang oleh seorang arsitek di belakang meja.
Simbol diperoleh dan ditentukan. Atau menurut
Fawcett, simbol tidak diciptakan tetapi lahir dari
157
kehidupan. Simbol tidak seperti tanda dihasilkan dari
kemampuan kreatif imajinasi kepada manusia.
Pengalaman manusia menangkapnya dengan satu
cara dan manusia tidak dapat berpura pura tidak tahu
simbol-simbol ini merupakan daya yang begitu kuat
menerpa keberadaan manusia. Manusia tidak mampu
mengelak kehadiran simbol, ia menerimanya (suka
atau tidak suka).
Simbol kuat, bersifat universal. Manusia berusaha
mencpai realitas melalui unsur unsur yang ada dalam
pengalaman. Unsur-unsur itu menjadi perantara.
Tetapi bagi simbol simbol kuat, kesepakatan sosial
memainkan peranan sekunder. Misalnya, matahari
dipahami sebagai simbol kekuatan kreatif yang dapat
ditemukan dalam masyarakat mesir, Yunani dan
Amerika. Sifat universal dari simbol ditekankan pula
oleh psikolog, khususnya C.G.Jung bahwa universalitas
motif simbol dapat ditemukan dalam masyarakat
kuno dan juga modern. Memang sifat universal dari
simbol tidak jelas bersama menjawab pengalaman itu.
6.8. Kategori Simbol
Simbol simbol terdiri dari dua kelompok utama,
yakni kognitif dan non kognitif. Kedua kelompok ini
masing-masing memiliki fungsi fungsi khusus dan
mempunyai cara kerja yang sangat berbeda.
158
Simbol simbol kognitif berfungsi dengan berbagai
cara dalam proses pengetahuan, dalam penelitian,
simbol simbol itu meliputi simbol matematis dan logis,
yang menurut kata kata Dewey, dilembagakan secara
artifisial dan dapat dimanipulasi secara bebas simbol
simbol kognitif semacam ini bekerja dalam kegiatan
kegiatan yang sendiri bersifat kognitif dan yang
menghasilkan pengetahuan dan kebenaran. Tubuh
konsep konsep ilmiah hipotesis, dan teori teori penuh
dengan simbol simbol yang non representatif tetapi
kognitif semacam ini, misalnya gagasan mengenai
kecepatan sesaat.
Sedangkan simbol simbol non kognitif, termasuk
simbol simbol yang berperan dalam proses proses
sosial, dalam seni, dan dalam agama, tidak berfungsi
untuk berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan yang
menghasilkan pengetahuan dan kebenaran. Simbol
simbol ini berfungsi menghasilkan jenis konsekuensi
lain dari pada pengetahuan, bukan menyimbolkan hal
lahiriah, bukan juga evidensi. Simbol simbol tersebut
menyimbolkan apa yang mereka perbuat, fungsi
fungsi yang pantas. Contoh simbol non-kognitif adalah
simbol-simbol social yang mencangkup sistem sistem
legal, kode kode moral, dan ideal ideal, simbol simbol
artistik semacam ini sering ditarik dari bidang bidang
lain. Simbol simbol religius merupakan simbol simbol
159
yang berfungsi secara khusus sebagai sarana dalam
situasi religious atau dalam mengekspresi religiusitas.
Peranan dari simbol simbol non kognitif (simbol
sosial, artistik, religius) dapat dikatakan sebagai
berikut. Pertama, membangkitkan sesuatu tanggapan
emosional di dalam manusia dan merangsang
kegiatan-kegiatan manusia yang pantas. Kedua,
membangkitkan di tanggapan bersama dalam
masyarakat dimana simbol simbol itu berguna
(merangsang kegiatan bersama atau umum). Ketiga,
mengkomunikasikan pengalaman kualitatif atau
pengalaman bersama pengalaman yang sulit
digambarkan dengan kata kata atau pertanyaan
pertanyaan yang tepat.
6.9. Ritus
Arti kata ritus dapat ditelusuri secara etimologis,
secara umum, secara metaforis dan secara teknis.
Secara etimologi ritus dapat diartikan sebagai jumlah,
seri. Sedangkan secara umum ritus dapat dimaknai
sebagai setiap tindakan atau gabungan tindakan yang
pelaksanaannya diatur oleh norma-norma yang sudah
disusun dan disetujui. Sementara secara metaforis,
ritus merujuk pada tindakan dalam sebuah upacara
160
seperti wisuda, pelantikan pejabat publik, upacara-
upacara seremonial lainnya. Sedangkan, secara teknis,
istilah ritus dimengerti sebagai tindakan yang
berkaitan dengan agama. Yang terakhir itu merupakan
pengertian paling awal dan asali dari kata ritus.
Ritus juga acapkali dikaitkan dengan mitos dan
Yang Kudus berdasarkan norma-norma yang sudah
ditentukan. Melalui ritus terjadi aktualisasi kembali
segala upacara-upacara pesta, peristiwa, kata-kata
dan mitos-mitos yang berasal dari tradisi agama
sehingga bermakna dan menjadi sesuatu yang
normatif bagi umat. Misalnya, ritus untuk menghadapi
kelahiran, perkawinan, perang dan kematian.
Dalam konteks pengertian teknisnya, ritus juga
dimaknai sebagai tindakan simbolik religious. Artinya,
ritus adalah sebuah tindakan primordial orang
beragama yang menjadi awal bagi sebuah refleksi
mendalam atas makna agama yang dianut dan
diyakininya, yang kemudian melahirkan ide-ide
mengenai agama itu sendiri. Dalam pengertian itu
pula, ritus yang dapat dikatakan “berdaya cipta”
adalah ritus yang diciptakan secara langsung,
primordial dari orang-orang yang berefleksi dan
berpikiran religius di mana mereka telah secara aktif
merealisasikan kaitan diri mereka dengan yang ilahi.
Akhirnya, pemaknaan ritus sebagai tindakan simbolik
161
religius ini bermuara pada suatu keyakinan bahwa
pada setiap waktu dan pada setiap tempat, upacara-
upacara ritual adalah pekerjaan para dewa. Ritus
diterima keberadaannya sebagai rangkaian tindakan
yang terlembagakan, sah, dan wajib dirayakan karena
telah dilembagakan oleh para dewa yang merupakan
pelaku-pelaku nyata dari ritus-ritus tersebut. Jadi,
dalam upacara-upacara ritual para dewalah yang
bekerja melalui para imam dan sekaligus melampaui
tindakan para imam.
Oleh karena itu, setiap upacara ritual keagamaan
hendaknya disertai dengan keyakinan ex opera
operato. Artinya, suatu keyakinan bahwa yang Ilahi
tetap merupakan pembawa sesungguhnya upacara
ritual tersebut. Bila keyakinan ini tidak disertakan
dalam upacara ritual maka upacara ritual menjadi
tindakan hampa makna atau sirna substansinya.
a. Dua Tipe Ritus
Menurut Gerardus van der Leeuw, seorang
fenomenolog, ada dua tipe pokok ritus dalam semua
agama. Pertama, tindakan-tindakan ritus-ritus adalah
tindakan yang khas menghadirkan Yang Ilahi
sedemikian rupa sehingga kaum beriman dapat turut
serta di dalamnya. Kedua, adalah tindakan-tindakan
162
biasa dalam kehidupan manusia yang seakan-akan
telah dibawa ke dalam lingkungan sakral.
Dasar pembedaan ini adalah dua reaksi yang
terpisah tetapi saling melengkapi yang diberikan
manusia terhadap apa yang dianggap sakral. Reaksi
yang pertama berfokus pada aspek “mysterium
tremendum” dari Yang Ilahi, sebagaimana
dikonsepsikan oleh Rudolf Otto. Di sini Yang Ilahi
dimengerti dan diterima sebagai sosok Yang Berdaulat
dan Yang Lain sama sekali, sehingga seseorang
mengalamin orientasi mistis.73 Sebaliknya, reaksi yang
kedua menggambarkan yang mysterium sebagai yang
fascinosum. Artinya, Yang Ilahi itu memang misteri
tetapi sekaligus memikat, memiliki daya tarik sehingga
manusia terdorong untuk mendekati dan bersatu
dengan-Nya.
b. Upacara Kurban Sebagai Tindakan Ritual
73 Meminjam istilah Friedrich Heiler, orientasi mistis adalah ketika
seseorang yang menarik seorang manusia keluar dari dunianya sendiri dan terus menerus mendorongnya untuk mengintegrasikan dirinya dengan suatu dunia yang melebihi kemampuan-kemampuannya yang alami dan yang mengasingkannya dari tempat tinggalnya yang terdahulu, suatu dunia yang bukan saja tempat Allah memerintah sebagai yang mahatinggi tetapi juga merupakan tempat yang hanya didiami oleh Allah saja.
163
Upacara kurban dapat digambarkan sebagai
persembahan ritual berupa makanan atau minuman
atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk
supernatural. Ini berbeda dengan persembahan ritual
kepada penguasa-penguasa manusiawi dan juga
dengan persembahan-persembahan lain kepada
makhluk supernatural yang bukan berupa makanan,
misalnya pembaktian pekerjaan seseorang bagi
pelayanan Tuhan, penyucian hewan secara
sederhana.
Dalam konteks tindakan ritual-religius, upacara
kurban merupakan suatu bentuk komunikasi
nonverbal yang religius karena pada saat yang sama
terjadi pertukaran barang dan jasa pada taraf religius.
Melalui upacara kurban manusia memberikan barang-
barangnya kepada Yang Ilahi sebagai tanda iman
kepadaNya dan sekaligus sebagai silih atas dosa-
dosanya. Kecuali itu, upacara kurban juga menjadi
tanda ungkapan syukur kepada Yang Ilahi atas
anugerah keselamatan.
Dalam konteks yang sama, upacara kurban juga
dimaksudkan untuk memelihara hubungan yang baik
dengan Yang Ilahi. Dalam konteks itu, pandangan H.
Hubert dam M. Mauss tentang upacara kurban
sungguh mendasar, bahwa upacara kurban adalah
“suatu tindakan religius yang, melalui penyucian
164
kurban, mengubah keadaan moral orang-orang yang
melaksanakannya ataupun keadaan benda-benda
tertentu yang ia maksudkan”. Upacara Kurban
membuka ruang bagi Yang Kudus dan Yang Profan
untuk berkomunikasi.
6.10. Penutup
Ritus merupakan sarana bagi manusia religius
untuk bisa beralih dari waktu profan ke waktu kudus.
Di dalam ritus, manusia meniru tindakan yang kudus
yang melampaui kondisi manusiawinya, ia keluar dari
waktu kronologisnya dan masuk ke dalam dimensi
waktu awal-mula yang kudus. Ritus juga membawa
manusia religius ke dalam tempat kudus yang menjadi
pusat dunia.74 Menurut Whitehead, ritus adalah
“pelaksanaan yang sudah membiasa dari sejumlah
tindakan yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kelangsungan hidup fisis pelakunya”. Ritus
adalah sebuah kebiasaan yang tidak langsung
berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan fisis
manusia. Ritus berasal dari dan dilakukan untuk
memenuhi sebuah kebutuhan lain, misalnya berkaitan
dengan perasaan tertentu.
74 Ibid., 56
165
Perasaan-perasaan yang ditimbulkan dan
dialami secara baru di dalam ritus secara istimewa
mengungkapkan keanggotaan satu individu di dalam
masyarakat. Ritus merupakan pula bentuk
pengungkapan rasa religius dan pengalaman rohani.
Dapat pula dikatakan bahwa, ritus adalah penilaian
perasaan atas pengalaman rohani dan perumusannya
yang diteruskan dari pendiri agama kepada pemeluk-
pemeluknya sehingga menimbulkan perasaan
tertentu pada para pemeluk agama tersebut.75
Beberapa contoh ritus:
1. Ritus-ritus pembersihan, penyucian, pengakuan
dosa-dosa, pengusiran setan, pengusiran si jahat
keluar dari desa, dsb.
2. Ritus kelahiran, permandian, perkawinan,
3. Ritus pertanian: menanam, memanen hasil
pertanian
4. Ritus pelantikan pejabat publik
5. Ritus penerimaan seseorang ke dalam kelompok
atau komunitas tertentu.
Masih banyak ritus-ritus lainnya yang digunakan
manusia untuk menumbuhkan keyakinan akan suatu
peristiwa yang menguntungkan baginya. Misalnya,
ritus perang, ritus menyelamatkan hasil panen, ritus
ketika hendak berlayar, dll. 75 Budi Kleden, Paulus. op. cit,. 137-138
166
167
BABGIAN VII
PLURALISME AGAMA DAN TANTANGANNYA
7.1. Pengantar
Sejak masa agama-agama arkhaik (terdahulu) dan
dinamika perkembangannya sampai pada eksistensi
agama-agama yang dipandang modern dan universal
pada masa kini, nuansa religiusitas manusia dan
model-model pengungkapannya sudah dalam
keadaan pluralistik. Hal itu berarti bahwa, pluralitas
agama adalah fakta sejarah kehidupan dan peradaban
manusia religius. Maka, kondisi itu membawa serta
tuntutan baru pada setiap manusia religius yakni
kesadaran akan pentingnya bersikap terbuka pada
pluralisme agama. Kesadaran demikian menuntut
semua pihak untuk menghargai eksistensi pihak lain,
bersikap terbuka serta berani menjalin interaksi
secara setaraf dengan pihak lain.
Kesadaran akan pluralisme agama itu sendiri
sebetulnya bukanlah peristiwa yang datang secara
tiba-tiba. Ia berproses sedemikian rupa dalam hidup
manusia melalui perkembangan pengetahuan dan
peradaban bangsa-bangsa. Ia juga bertumbuh melalui,
rentetan sejarah kelam dalam relasi antar-agama
pada masa lampau seperti banyaknya perang dan
perebutan kekuasaan atau pengaruh antar-agama.
168
Itulah sebabnya kesadaran akan pluralisme agama
senantiasa perlu dikembangkan dan dipelihara.
7.2. Beberapa Dasar Pluralitas Agama76
Salah satu tantangan yang dihadapi manusia
adalah kenyataan pluralitas agama. Sejarah
perjumpaan agama-agama yang juga diwarnai konflik
senantiasa melontarkan pertanyaan mendasar
mengenai sebab adanya pluralitas agama itu. Upaya
demikian mengisyaratkan pentingnya semua pihak
untuk mengkritisi kenyataan sejarah. Tujuannya
adalah untuk mencari dasarnya agar orang
memperoleh sumbangan untuk memahami pluralitas
agama dan mampu menjalin hubungan yang dialogis
dan berdayaguna antara agama-agama. Berikut
adalah beberapa dasar untuk memahami pluralitas
agama.
Pertama, bila ditelusuri secara historis
rupanya semua tradisi religius bermula dari konteks
pluralisme. Dapat dipastikan bahwa setiap tradisi
religius berkembang dalam upaya menanggapi
pluralisme itu. Jadi, masing-masing tradisi religius
sebetulnya adalah produk dari konfrontasi dengan
76 Bdk. Paulus Budi Kleden, 2002, Dialog Antar Agama Dalam terang
Filsafat Proses Alfred North Whitehead, hlm. 155-158
169
pluralisme. Aspek universal dari ajaran tradisi-tradisi
religius tersebut ditegaskan dan diperkokoh dalam
kodifikasi dogma, tata cara ritual, dan hukum-hukum
yang baku melalui konfrontasi itu pula. Dengan
demikian, pluralisme dapat dikatakan sebagai fakta
yang memang sudah ada dan telah menghidupi
tradisi-tradisi religius dengan pelbagai muatan
maknanya.77
Kedua, setiap agama bertolak pengalaman
spiritual seorang manusia yang istimewa, seorang
pendiri agama (seorang nabi). Corak dasar
pengalaman spiritual kenabiannya adalah wahyu
Allah. Itulah sebabnya, muatan pengalaman spiritual
seorang nabi menjadi semacam karakter semesta,
sebagai penjamin keharmonisan dan keselarasan
bersama umat manusia.78 Ketiga, keterkaitan
77 Walaupun demikian adanya, pluralisme agama tetap menimbulkan
reaksi-reaksi baik positif maupun negatif dalam konteks kehidupan beragama. Hal itu terjadi karena aneka cara pandang dan tafsiran atas ajaran agama. Keadaan demikian dapat menimbulkan ketegangan manakala semua pihak menutup diri untuk berkontak dengan pihak lain. Dalam konteks itulah kiranya dialog antar umat beragama menjadi perlu dan berguna untuk redefinisi agama tanpa meninggalkan esensi ajarannya yang unik satu terhadap yang lain.
78 Meskipun Pengalaman spiritual para nabi adalah pengalaman akan Allah, tapi Allah sendiri tidak dapat dialami sebagai satu keseluruhan yang utuh, sebab Dia sendiri begitu transenden bagi manusia. Sebab itu, pengalaman akan Allah selalu merupakan,
170
duniawi dari pengalaman spiritual setiap pendiri
agama dan dari agama itu sendiri. Walaupun memiliki
pengalaman spiritual yang istimewa, seorang pendiri
agama tidak akan pernah terlepas dari lingkungannya.
Dia mengalami pengalaman imannya dalam
lingkungan tertentu yang mempengaruhinya secara
positif atau negatif. Sebab itu pengalaman konkret
akan dunia sekitar memberi warna tersendiri kepada
cara bagaimana dia menginterpretasikan pengalaman
spiritualnya.
Selanjutnya, lingkungan sekitar tidak hanya
merupakan awal, tetapi juga tujuan pertama, ke mana
seorang pendiri utama menerjemahkan pengalaman
spiritualnya. Dia akan menggunakan pengertian,
perumpamaan, dan sarana-sarana bantu lainnya
untuk merumuskan apa yang telah dialaminya.
Berkaitan dengan itu, lingkungan sekitar akan menjadi
panggung pertama bagi proses penjadian agama.
Khususnya tuntutan-tuntutan moral dari sebuah
agama akan sangat mencerminkan dan dipengaruhi
oleh lingkungan konkret pendiri agama itu. Sang
pendiri mengamati di dalam lingkungannya, apa dan
tindakan mana yang menopang terwujudnya
keharmonisan dan solidaritas dan mana yang tidak.
meminjam istilah Rudolf Otto, pengalaman yang bersifat misterium, tremendum et fascinosum.
171
Apabila di dalam agama tertentu Allah digambarkan
sebagai Sosok yang bebas dan mandiri, maka
penggambaran tersebut adalah sebuah kesimpulan
rasional manusia atas pengalaman sebuah
masyarakat, bahwa pribadi manusia yang bebas dan
mandiri adalah kondisi ideal yang perlu dihadapi.
Keempat, perbedaan Pengalaman Spiritual
masing-masing pendiri agama menjadi salah satu
alasan adanya perbedaan dalam menyapa atau
menyebut sosok Yang ILAHI.79 Pengalaman yang
terbatas dari sosok yang terbatas terhadap Realitas
Ilahi yang tak terbatas juga menjadi alasan penting
bagi adanya perbedaan dalam menyebut atau
menamai Yang ILAHI.80 Pluralitas pengalaman Spiritual
pendiri agama akan Allah dan perbedaan lingkungan
yang menentukan pengalaman rohaninya terungkap 79 Pengalaman Spiritual pendiri agama menjadi alasan kuat bagi
penamaan Allah atau Realitas Tertingi pada sebuah agama. Lantas pula, melalui pengalaman sang pendiri itu agama-agama menggambarkan Allah dengan menggunakan berbagai model: Allah sebagai wujud keteraturan semesta yang tak berpribadi, Allah sebagai satu pribadi yang telah menciptakan dan akan menyelamatkan dunia, Allah sebagai yang Esa, di mana segala sesuatu melebur, Allah sebagai instansi yang menjamin kekekalan individualitas masing-masing, Allah sebagai kasih yang merangkul dan menyelamatkan, atau Allah sebagai penjaga keteraturan yang mempertahankan keteraturan itu dengan segala cara.
80 John Hick. 1980, God Has Many Names, The Westminster Press Philadelphia, Pennsylvania. Terj. Amin Ma’aruf dan Taufik Aminudin, DIAN/Interfidei, Yogyakarta, hlm. 105-115
172
secara jelas di dalam berbagai gambaran tentang
Allah, dan aneka sebutan untuk Allah. Contoh, nama-
nama yang merujuk pada esensi yang sama dalam
tradisi dan literatur India (Rudra, Agni, Mitra, Indra,
Varuna), dari Timur Dekat (Osiris, Isis, Horus, Ra,
Yahweh), dan dari Eropa Selatan (Jupiter, Apollo,
Dionysius, Poseidon), Dari Eropa Utara (Odin, Thor,
Balder, Vali, Woden), dari Afrika (Nabongo, Luhanga,
Nyame, Lesa, Ruhanga), dan aneka macam nama lagi
dari belahan dunia lain.81
Kelima, Pluralitas agama mesti juga kita yakini
sebagai fakta yang terkait dengan keharusan
metafisis, bahwa setiap pandangan akan Allah hanya
bersifat sepihak, dan tergantung pada lingkungan
konkret. Keyakinan ini menjadi landasan bagi agama-
agama untuk tidak saling menjauhkan diri, sebab
pandangan yang sepihak dan perspektif yang
berbeda-beda itu selalu merupakan pandangan 81 Walaupun ada sekian banyak perbedaan di dalam pandangan
manusia tentang Allah, tapi Allah itu sendiri adalah Allah yang satu dan universal yang keberadaan dirinya diserap oleh intuisi dan pengalaman manusia. Allah semacam ini merupakan elemen perekat dalam dunia, yang sanggup dan bersedia mengubah dan mengangkat partikularitas kita ke dalam universalitas, yang memadukan keunikan dan keberadaan kita ke dalam harmoni yang sempurna, yang menyempurnakan cinta kita yang parsial menjadi cinta yang merangkul kepadanya. Allah yang universal ini hanya akan mewujudkan diriNya bersama dengan dunia. Lih. Ibid., 113.
173
tentang Allah yang sama. Setiap agama, melalui
pendirinya, memang menangkap kemungkinan murni
yang ditawarkan oleh obyek abadi yang diserapnya
itu. Oleh sebab itu, aneka pandangan akan Allah di
dalam agama-agama mesti dibaca sebagai kekayaan
Allah yang universal, sekaligus menjadi alasan bagi
agama-agama untuk merasa saling bergantung dan
melengkapi sebagai perwujudan konkret dari satu
Allah. Dalam perspektif itu pula, dalam upaya kita
memahami persoalan pluralitas agama ini kita dapat
belajar dari pandangan Claude Goldsmid Montefiore
bahwa, “Banyak jalan menuju Tuhan, dan dunia ini
telah sangat kaya dengan berbagai jalan tersebut,
sesuatu yang bukan hal baru lagi”.82
7.3. Makna Pluralisme Agama
Terminologi Pluralisme agama merujuk pada
pengakuan atas keberadaan agama-agama lain
sebagai cara unik dan berbeda untuk menuju pada
Realitas Tunggal yang sama atau Tuhan. Perspektif
demikian mengisyaratkan bahwa pluralisme agama
adalah paham yang merujuk pada pengakuan akan
Sunatullah.83 Oleh karena itu, fakta pluralitas agama
82 Ibid., 39. 83 H. Sudarto, 1999, Konflik Islam-Kristen, hlm. 1
174
harus dihargai dan diterima, dan bukan dihindari
apalagi diperlawankan satu terhadap yang lain.
Pemaknaan atas pluralisme agama tentu tidak
diterima begitu saja oleh semua pihak baik dalam
tataran konseptual teoretis, maupun dalam tataran
praksis hidup umat beragama sebab ia bersentuhan
dengan perkara teologis. Artinya, tidak semua
penganut agama sepakat mengakui bahwa ada
kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran Kitab Suci
masing-masing agama memiliki keunikan dan
pengaruh besar dalam mengarahkan pemeluknya
untuk mengimani hanya agama yang paling benar,
atau paling tidak hanya Kitab Suci yang diimaninyalah
yang merupakan jalan menuju Kebenaran (Tuhan).
Keyakinan itu misalnya yang melatarbelakangi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang
mengharamkan paham pluralisme agama (termasuk
sekularilsme dan liberalisme).84 Padahal, seperti 84 Berkaitan dengan pluralisme agama ini, dari sisi teologis pun
sebetulnya terdapat kontroversi dan silang pendapat. Pada Islam, misalnya, ada beberapa ayat Al-quran yang secara tekstual menyatakan pluralisme merupakan sesuatu yang sah di satu sisi dan tidak sah di sisi lain. Perhatikan kutipan ayat Quran berikut ini: “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabiun, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan beramal baik, maka pahalanya ada pada sisi Allah. Tidak ada ketakutan dan tidak ada kesedihan pada diri mereka” (Qs. Al-Baqarah *2+: 62). Ayat lainnya adalah, “Siapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya maka agama itu tidak akan diterima oleh
175
ditegaskan oleh H. Sudarto, Islam menghormati
kemajemukan. Islam memang tidak membedakan
umat manusia dengan dasar perbedaan etnis,
kebangsaan, warna kulit, bahasa, adat istiadat,
ataupun agama.85
Selain karena bersentuhan dengan perkara
teologis, aneka macam pemahaman akan Tuhan juga
memang berpotensi menimbulkan diskursus yang
panjang seputar pluralisme agama. Berkaitan dengan
itu, ada baiknya kita belajar secara arif dari
pernyataan Ibnu Arabi. Menurut Ibnu Arabi, ada tiga
cara memahami Tuhan. Pertama, Tuhan yang mutlak
Allah. Di akhirat ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi” (Qs. Alu Imran *3+: 85) Paham pluralisme agama tampak tercakup dan terakomodasi dalam dan melalui kedua ayat Al-Quran itu. Tapi hal itu juga lantas dibantah pada ayat lainnya, “Sesungguhnya, agama yang paling diridhai di sisi Allah hanyalah agama Islam” (Qs. Alu Imran *3+: 19). Dalam ayat ini tampak bahwa pluralisme tak diakui sebab kebenaran hanya ada pada Islam, tidak ada kebenaran di luar Islam. Ketiga kutipan ayat Al-Quran itu menurut masing-masing pihak yang pro dan kontra terhadap pluralisme agama, menjadi justifikasi teologis. Dengan kata lain, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pluralisme agama memiliki landasan konkret dalam kitab suci yang diimaninya. Konsekuensinya, kedudukan paham pluralisme agama adalah sama sahnya dengan paham anti-pluralisme agama. Dengan demikian, paham pluralisme sendiri sebetulnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dilarang. Pluralisme sebetulnya adalah hasil dari membaca dan mengkritisi teks-teks suci dalam kitab suci yang diimani.
85 H. Sudarto, op.cit., 17
176
dalam ‘kesendirian’ (Aku adalah Aku). Tuhan dalam
tingkatan ini tak terjangkau oleh siapa pun juga.
Hanya Dia sendiri yang tahu akan diri-Nya sendiri.
Kedua, Tuhan yang sudah tersifati. Misalnya, ada sifat
al-rahman, al-rahim, dan lain-lainnya. Sifat-sifat Tuhan
membantu manusia dalam mengenal dan
mengimaniNya. Ketiga, Tuhan yang telah
‘bersemayam di dalam akal pikiran manusia’.
Sesungguhnya setiap manusia dianugerahi semacam
kemampuan kodrati untuk berbicara tentang Tuhan.
Akal budi manusia menuntun dirinya untuk berbicara
tentang dan mengakui keberadaan Tuhan. Potensi
kodrati akal budi inilah yang melahirkan aneka ragam
bentuk dan pola penafsiran, perspektif dan
pendekatan untuk memahami Tuhan. Dengan
demikian, kita bisa memaklumi bahwa Tuhan yang
dipahami oleh kalangan filsuf bisa jadi sangat berbeda
dengan Tuhan yang dipahami oleh kalangan sufi
ataupun ahli fikih. Sementara setiap pembicaraan
tentang Tuhan merupakan hasil dari pergulatan
pemikiran dan refleksi yang mendalam ketika dan
setelah orang membaca teks-teks suci.
Pada hakekatnya, tak seorang pun yang mampu
memahami Tuhan dalam ‘realitasNya’ yang konkret
dan hakiki secara utuh. Manusia hanya dapat
mendekati Tuhan, dan tidak akan mampu
177
menjangkau-Nya secara utuh. Ungkapan Al-Ghazali
benar bahwa, “semakin aku mencoba mendekat untuk
memahami Tuhan, semakin aku sadar kalau aku tidak
mampu untuk memahamiNya”. Oleh sebab itu, yang
pantas kita yakini bersama adalah bahwa, setiap
manusia sejatinya sedang menuju Tuhan. Tidak ada
manusia yang dapat mengklaim bahwa dirinya dapat
menunjukkan jalan ke kebenaran yang pasti dan
mutlak untuk menuju Tuhan.
7.4. Pandangan Tokoh Tentang Pluralisme Agama
Konsepsi Pluralisme Agama di atas jelas bukan
dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai suatu
metode atau upaya sistematik ke arah penyeragaman
pola pikiran tentang Tuhan. Ia justru menawarkan
ruang bagi sebuah refleksi mendalam tentang fakta
yang ada berkaitan dengan agama-agama. Sebagai
demikian, ia membuka peluang bagi setiap intensi
manusia beragama untuk merawat keberbedaan yang
kondisinya kian terdesak karena tuntutan ke arah
penyeragaman. Maka pluralisme agama sebagai
sebuah kerangka pikiran layak dipahami sebagai “kran
emosi rohani” atau sebagai corong baru bagi
penyaluran hasrat spiritual yang terhambat oleh pola-
pola dogmatik agama yang monolitik. Pernyataan ini
setidaknya benar berkaitan dengan keyakinan bahwa
178
defenisi pluralisme agama itu sendiri tidaklah bersifat
tunggal (monolotik). Banyak ahli agama yang
menjelaskan pengertian pluralisme agama secara
masuk akal dan inklusif. Berkaitan dengan perspektif
pluralisme agama di atas, berikut dipaparkan secara
sekilas pandang tokoh-tokoh yang memberi perhatian
pada pluralisme agama.
Pertama, Karl Rahner, yang oleh banyak kalangan
disebut sebagai teolog terbesar agama Katolik di abad
20, yang pemikirannya memiliki pengaruh yang sangat
signifikan terhadap Kosili Vatikan II (1962-1965), telah
menuntun Gereja Katolik Roma keluar dari pandangan
lamanya dan berani membuka lembaran baru seputar
doktrin dan liturgi. Proses modernisasi Gereja Katolik
yang oleh Paus Yohanes XXIII disebut sebagai
aggiornamento secara eksplisit memasukkan unsur
penilaian terhadap pandangan Gereja kepada agama
lain, selain Katolik. Pemikiran Rahner mempengaruhi
pernyataan Konsili Vatikan II, di antaranya, tentang
kehadiran karunia Tuhan di luar Gereja, suatu kerangka
pandang yang justru bertolak belakang dengan
rumusan Konsili Vatikan I yang begitu ekstrim
mengatakan bahwa, extra eclessiam nulla salus (di luar
Gereja tidak ada keselamatan). Lebih dari itu,
pemikiran teologis Rahner berpengaruh lebih jauh
melalui artikulasinya secara pasti dalam tafsiran-
179
tafsirannya terhadap doktrin Kristen. Dalam
pandangan Rahner, penganut agama lain mungkin
menemukan Karunia Yesus melalui agama mereka
sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen.
Perspektif itulah yang oleh Rahner selanjutnya
disebut sebagai orang Kristen Anonim (anonymous
Christian). Yesus Kristus dalam pandangan Rahner
tetap menjadi norma di mana kebenaran berada dan
di mana jalan keselamatan diperoleh. Akan tetapi,
orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi
penganut agama Kristen agar mendapatkan
kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. Rahner
memandang agama lain di luar Kristianitas adalah
bentuk implisit dari agama Kristen. Pandangan Rahner
ini setidaknya bisa diterima manakala kita meyakini
bahwa Tuhan sebagi sumber kebenaran dan
keselamatan yang bersifat imanen dan transenden.
Pada dimensi transendenNya itulah pandangan
Rahner ini terasa mengena sekali.
Kedua, John Harwood Hick, filsuf agama
kontemporer yang peduli pada masalah hubungan
antaragama. Mengenai definisi pluralisme agama,
Hick menghindari klaim kebenaran satu agama atas
agama lain secara normatif dan menghindari
menggunakan istilah tertentu untuk membedakan diri
dari penganut agama lain. Maka dalam perspektif
180
teologis Hick, tidak ada yang disebut sebagai orang
orang Kristen anonim, seperti yang dipahami Kar
Rahner. Menurut Hick, cara yang arif untuk
memahami kebenaran agama lain dalam konteks
pluralitas agama adalah dengan menerima bahwa
semua agama mempresentasikan jalan tersendiri
menuju ke suatu Realitas Tunggal (Tuhan). Dalam
perspektif itu, benar bahwa agama-agama menuntun
manusia pada kebenaran dan keselamatan. Maka,
tidak ada satu agama pun yang dapat diklaim sebagai
lebih benar daripada yang lain. Setiap agama sama
dekat dan sama jauhnya dari Tuhan sebagai Realitas
Tunggal tersebut.86 Perbedaan konsep tentang
Realitas Tunggal itu terjadi karena keterbatasan
manusia dan faktor-faktor budaya. Itulah yang
membuat manusia akhirnya mewujudkan the Real in-
it-self (Realitas Tunggal) itu pada gambaran the Real
as humanly thought-and-experienced (sebagaimana
86 Konsep Hick bahwa Tuhan adalah Realitas Tunggal berangkat dari
penalarannya atas dualisme Immanuel Kant tentang the Real in-it-self (an sich) dan the Real as humanly thought-and-experienced. The Real in it self sesungguhnya adalah realitas tunggal yang dituju oleh semua agama. Namun, realitas tunggal yang dimaksudkan itu bersifat maha baik, maha besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas, maha misteri, maha suci, maha tinggi, dll. Sifat-sifat itulah yang membuat manusia (yang fana dan terbatas) mengalami kesulitan untuk mengenal dan memahamiNya secara utuh dan penuh.
181
dipikirkan dan dialami manusia). Persoalannya adalah
bagaimana menjembatani antara kedua realitas itu?
Menurut Hick, semua agama menuju Realitas Tunggal
itu asalkan tetap menampilkan dan menghadirkan
fungsi soteriologis (keselamatan) yang dikandungnya
ke dalam praksis kehidupan. Implikasinya, agama-
agama harus mampu mempengaruhi penganutnya
secara moral dan etik agar pengaruh keselamatan
yang diembannya terwujud dalam praksis kehidupan.
Itulah sebabnya Hick meyakini bahwa setiap agama
adalah jalan yang sah untuk menuju pada kebenaran
dan keselamatan yang bersumber dari the Real in-it-
self itu.
Ketiga, John Coob Jr, yang melalui
keterlibatannya dalam dialog Kristen dan Budha
sampai pada pemahaman yang berbeda dengan Hick.
Menurutnya, seseorang tidak dapat mengklaim bahwa
agama Kristen, Budha, Islam, Hindu dan sebagainya
adalah berbicara tentang atau menuju kepada realitas
tunggal yang sama. Pandangan Cobb itu jelas bertolak
belakang dengan pandangan John Hick dan juga Karl
Rahner. Coob justru menenolak gagasan kesamaan
validitas kebenaran di antara agama-agama. Menurut
Coob, jika kita mau memahami dan menilai dengan
sungguh-sungguh agama lain maka kita harus
mendengarkan apa yang mereka katakan dan
182
mengevaluasinya tanpa berasumsi bahwa apa yang
dibicarakan itu adalah benar-benar tentang Realitas
Tunggal yang sama. Konsekuensinya, harus ada
keterbukaan dalam agama-agama dan keberanian
untuk menerima kemungkinan adanya aneka ragam
gambaran tentang Tuhan seperti yang diyakini
politeisme. Sampai di sini pandangan Karl Rahner
bahwa setiap agama yang satu adalah bentuk implisit
dari agama yang lain tidak cocok dengan pandangan
Coob. Demikianpun, pandangan Hick yang
mengatakan bahwa setiap agama sama dekat dan
sama jauhnya dari Tuhan sebagai Realitas Tunggal.
Dengan cara demikian, menurut Coob, ketika
beberapa agama berdialog maka mereka masing-
masing akan saling memperkaya khasana pengetahuan
tentang agama-agama lain. Dalam konteks itulah
semua pihak dituntut untuk rendah hati dalam
menerima kenyataan akan pluralisme agama, belajar
satu dari yang lain yang memang berbeda tanpa
meninggalkan kenyataan bahwa terdapat keunikan
masing-masing di antara mereka.
Keempat, Raimundo Pannikar, yang menegaskan
bahwa, “kita harus bekerja keras untuk memahami
setiap agama dalam bahasanya dan konsep-
konsepnya masing-masing yang berbeda-beda.
Baginya, ungkapan “semua agama-agama
183
mengandung hal-hal esensial yang sama” tidak dapat
diterima sebab justru mereduksi konsep pluralisme
agama.87 Berangkat dari pandangan tersebut, ia
menegaskan bahwa seorang penganut agama
tertentu tidak dapat mengatasi ataupun
menjembatani perbedaan-perbedaan antar agama-
agama tersebut dengan sebuah kesimpulan yang
semata untuk menjaga perasaan pihak lain semisal
“semua agama adalah sama atau satu”. Kesimpulan
demikian, menurut Pannikar, selain mereduksi hakikat
pluralisme agama sebab tidak menjelaskan pluralisme
itu sendiri, juga mengabaikan ungkapan agama lain
tentang kelainannya atau keunikannya. Menurut
Pannikar, pluralisme agama mengisyaratkan adanya
kesediaan semua pihak untuk menyadari bahwa
“masing-masing agama mengekspresi sebuah bagian
penting dari kebenaran. Ekspersi itu bisa refleksi,
koreksi, pelengkap, tantangan antar-agama yang
berbeda-beda itu. Oleh karena itu, perlu dialog antar-
umat beragama.
87 Raimundo Pannikar adalah seorang imam Katolik. Ia dilahirkan
dalam keluarga dimana ayahnya beragama Hindu dan ibunya beragama Katolik Roma. Kepeduliannya pada pluralitas agama diungkapkannya dalam tulisan sebagai berikut “ saya meninggalkan ke-Kristen-an saya, menemukan diri saya sebagai penganut Hindu, dan kembali menjadi seorang penganut Budha tanpa berhenti menjadi seorang penganut Kristen. Pluralitas agama baginya adalah media untuk setia pada iman.
184
Kelima, Wilfred Cantwell Smith, yang
memandang sikap eksklusif sebagai penghalang untuk
memahami pluralisme agama, mengawali pernyataan
teologisnya tentang pluralisme agama dengan
menjelaskan adanya implikasi moral dan konseptual
pemahaman atas wahyu. Pada tataran moral, wahyu
Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa
kebersamaan yang mendalam. Sementara pada
tataran konseptual, wahyu Tuhan, yang berkaitan
dengan rumusan iman suatu agama, harus pula
meliputi doktrin tertentu tentang agama lain.
Pendirian teologisnya itu secara lebih jauh dipaparnya
dalam karyanya The Meaning and End of Religion,
menyangkut cara kita menggunakan istilah agama dan
memandang agama lain. Di situ Smith menjelaskan
bahwa penggunaan teologi yang eksklusif
mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai
penyembah berhala dan menyamakan Tuhan mereka
dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip
pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang
menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain
senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga
beberapa kaum Muslim yang memandang, Yesus
sebagai Kristus adalah suatu berhala. Contoh-contoh
sikap eksklusif seperti itu adalah wujud dari
keangkuhan agama yang mereduksi fakta pluralitas
185
agama sehingga tidak dapat kita terima. Padahal,
menurut Smith, semua agama mengarah pada tujuan
akhir yakni Tuhan. Maka Smith memahami semua
agama (Hindu, budha Islam Kristen dan sebagainya)
merupakan perjumpaan yang penting dan berubah-
ubah antara yang Ilahi dengan manusia. Dengan
pernyataan itu, Smith sebetulnya menegaskan
pentingnya toleransi antarumat beragama yang
berbeda-beda.
Bertolak dari uraian atas pluralisme agama di
atas, kita dapat memetik empat penegasan penting.
Pertama, kenyataan bahwa dalam dunia dan
masyarakat terdapat beranekaragam agama. Kedua,
kenyataan bahwa masing-masing orang dalam salah
satu tradisi keagamaan tertentu mempunyai persepsi
personal tentang agama. Ketiga, kenyataan bahwa
terdapat aliran-aliran rohani dan spiritualitas dalam
agama-agama atau dalam suatu agama. Keempat,
pentingnya bersikap terbuka dan berani mengakui
dan menerima keberadaan pihak lain yang memang
berbeda-beda dan memiliki keunikan.
7.5. Beberapa Kemungkinan Ekses dari Pluralisme
Agama
Pluralisme agama memberi ruang bagi agama-
agama yang hidup dan berkembang dalam suatu
186
wilayah tertentu, atau di seluruh wilayah di dunia. Di
Indonesia, misalnya, sampai saat ini terhitung ada
enam agama yang diterima dan diakui negara, yakni
Hindu, Budha, Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan
Konghucu. Selain keenam agama resmi negara itu, ada
juga penghayat kepercayaan (penghayat agama asli)
yang turut memperkaya khasanah pemahaman dan
penalaran spiritualitas tentang Tuhan. Dalam konteks
itu, baik penganut agama-agama maupun penghayat
kepercayaan masing-masing memiliki reaksi atau sikap
tertentu atas keberadaan pihak lain. Berikut adalah
beberapa ekses yang mungkin terkait dengan
pluralisme agama.
a. Sinkretisme
Istilah sinkretisme berasal dari kata dalam bahasa
Yunani synkretismos, yang berarti penggabungan
ajaran dan praktik hidup. Dalam aspek keagamaan,
sinkretisme ini merupakan upaya mencampuradukan
aneka pemikiran/ajaran/praktik keaagamaan, yang
berbeda dan bahkan kadang-kadang bertolak
belakang asal-usul dan maknanya.88 Proses
sinkretisme dalam konteks pluralitas agama terjadi
ketika pertemuan agama-agama menghasilkan
88 Heuken, A, 1994, Ensiklopedi Gereja IV Ph – To, Cipta Loka Caraka,
Jakarta, hlm. 242.
187
percampuran isi iman, ajaran, ibadat dan praktik-
praktik keagamaan yang baru dan merelatifkan
bentuk yang aslinya. Sinkretisme yang terjadi dalam
konteks pluralitas agama memang lebih bersifat
inklusif dan kerukunan antar-agama pun berkembang.
Namun, perkembangan yang terjadi justru ke arah
yang relatif dan tidak jelas karena identitas agama lain
dicampur-adukkan. Artinya, sinkretisme itu
berdekatan dengan relativisme.89
Dalam proses sinkretisme agama-agama yang
bertemu saling mengambil alih unsur-unsur penting
dalam agama mereka, seperti nama Tuhan, ajaran-
ajaran pokok, bentuk ibadat, adat kebiasaan dan
praktik keagamaan. Hasil sinkretisme adalah agama
baru, dan bisa jadi juga nama baru untuk menyebut
Tuhan. Agama yang lahir dari proses sinkretis ini tidak
memiliki identitas aslinya lagi sebab melebur kedalam
bentuk agama yang baru. Proses sinkretisme bukan
saling memperkembangkan agama-agama yang
bertemu. Sebaliknya malah mengaburkan identitas
orisinilnya. Tapi, terlepas dari sisi negatif yang
diidapnya, harus diakui bahwa sifat sinkretisme
membawa ke situasi yang lebih akur dan menghindari
konflik.
89 H. Sudarto, Ibid., 180-181
188
b. Adaptasi
Adaptasi berasal dari kata adaptare yang berarti
menyesuaikan. Dalam konteks pluralitas agama, istilah
adaptasi menunjuk pada proses penyesuaian agama
dengan kebudayaan masyarakat di mana agama itu
hidup dan berkembang. Penyesuaian yang
dimaksudkan itu bisa jadi berkaitan dengan agama
tradisional (agama suku) masyarakat tertentu. Proses
penyesuaian itu bisa dengan menyampaikan isi ajaran,
cara beribadat dan praktik-praktik keagamaannya
secara selarasi dengan situasi dan kondisi sosial,
budaya, dan cara hidup di tempat agama itu
berkembang. Proses adaptasi merupakan cara untuk
mempermudah dan memperlancar masuknya suatu
agama ke dalam budaya atau agama lain. Jadi,
adaptasi merupakan penyesuaian agama terhadap
segi-segi dan hal-hal tertentu dari budaya masyarakat
tertentu tanpa mengubah unsur-unsur yang hakiki
(dari agama itu sendiri).90
Proses adaptasi ini selalu ditandai tiga hal berikut
ini. Pertama, isi ajaran agama dirumuskan dalam kata
dan istilah yang khas dari kebudayaan masyarakat di
tempat agama itu beradaptasi. Kedua, ritus
peribadatan (ibadat dan tindakan ritual) dilakukan
90 Heuken, A, 1991, Ensiklopedi Gereja I A – G, Cipta Loka Caraka,
Jakarta, hlm. 23.
189
sesuai dengan bahasa, gerak-gerik, dan pakaian yang
ada dalam budaya setempat. Ketiga, moral agama
dipraktikkan sesuai dengan cara dan gaya hidup serta
latar belakang budaya yang ada di tempat itu atau
untuk mendukung kesuksesan penghayatan dan
penerapan aturan-aturan budaya setempat.
Ringkasnya, semua tindakan keagamaan sesuai
dengan kondisi, situasi dan budaya setempat.
Kelemahan adaptasi adalah bahwa proses
penyesuaian yang dilakukan agama terhadap budaya
atau agama tradisional masih bersifat lahiriah dan
sebatas kulit saja. Artinya, besar kemungkinan upaya
adaptasi yang dilakukan agama tertentu gagal masuk
ke dalam agama yang lain secara terintegrasi.
c. Akulturasi
Akulturasi berasal dari kata Latin acculturare yang
berarti tumbuh dan berkembang bersama. Akulturasi
akan terjadi manakala dua agama yang bertemu saling
mempengaruhi dan saling tukar-menukar nilai-nilai
religius yang dimiliki masing-masing, tapi tidak
melahirkan agama yang baru. Selanjutnya, nilai-nilai
religius yang sudah ditukar itu saling dimasukan ke
190
dalam tubuh agama-agama tersebut untuk
memperkaya diri masing-masing.
Walaupun demikian, masing-masing agama tetap
berpegang pada inti atau esensi kepercayaan dan isi
ajarannya. Nilai positif dari akulturasi adalah bahwa,
masing-masing agama yang bertemu dan saling
mempengaruhi itu kian diperkaya entah dalam sisi inti
ajaran, ibadat, praktik keagamaan lain, atau
pengamalannya dalam masyarakat. Ini jelas berbeda
dengan sinkretisme yang menghasilkan agama baru.
d. Inkulturasi
Inkulturasi berasal dari kata Latin inculturare,
yang berarti tumbuh dan berkembang di dalam.
Inkulturasi agama adalah proses penyebaran agama
kepada masyarakat tertentu yang belum menganut
agama tersebut dengan memasukan nilai-nilai budaya
sebagai bagian integral ibadah dan tata cara
keagamaan itu. Dalam prosesnya, nilai-nilai budaya
dimasukkan ke dalam proses beragama. Tujuannya
adalah agar para penganutnya dapat menerima dan
menghayati imannya dengan gembira karena merasa
nilai-nilai budayanya tetap diakomodasi di dalam ritus
keagamaan dan tidak adanya pemaksaan, perusakan
dan penjajahan atas nama agama terhadap budaya
setempat. Dalam konteks inkulturasi ini, nilai-nilai
191
budaya setempat dalam batasan tertentu mengalami
integrasi di dalam ritual-ritual agama.
Dalam konteks misi Kristen, istilah inkulturasi
dimaknai sebagai kehrusan untuk
mengkontekstualisasikan warta dan hidup Kristiani
dalam pelbagai kebudayaan manusia yang berbeda-
beda. Santo Paulus dan para pewarta Injil yang lain
pada masa Gereja perdana (awal) berhadapan dengan
tantangan untuk melakukan penyesuaian dengan
kebutuhan orang-orang beriman yang berasal dari
lingkungan bukan Yahudi (Kis 15: 1-29; 17: 16-34; Gal
2:1-10). Setelah berakar kuat di Eropa, Kristianitas lalu
diidentifikasikan dengan kebudayaan Eropa. Gereja
Katolik, misalnya, melalui Konsili Vatikan II (1962-
1965) mengajarkan bahwa Injil tidak menjadikan salah
satu kebudayaan normatif, melainkan harus
dijelmakan dalam setiap kebudayaan demi
penyelamatan seluruh umat manusia (Lumen
Gentium 13; 17; 23).91
7.6. Beberapa Tantangan Pluralisme Agama
Dalam konteks pluralitas agama, relasi antar
agama-agama tidak selalu dalam kondisi saling
menghargai. Secara ideal normatif, masing-masing
agama menunjukkan sikap menghargai dan 91 Gerald O’Collins SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, op. cit., 119
192
menghormati agama lain. Namun, perjumpaan antar
agama-agama dalam konteks pluralitas bisa muncul
dalam berbagai sikap yang menjadi tantangan
pluralisme agama sebab berpotensi memudarkan
cahaya keluhuran agama atau bahkan memundurkan
intensitas penghayatan dan perwujudan nilai-nilai
agama. Misalnya, indiferentisme, relativisme, dan
radikalisme dan fanatisme sempit.
a. Indiferentisme
Secara umum istilah indiferentisme dipahami
sebagai pendirian yang mengatakan bahwa “ada atau
tidak adanya agama tidak banyak arti dan manfaat
bagi manusia”. Agama tidak dipandang memberi
sumbangan bagi kehidupan manusia dan juga tidak
merugikan kehidupan manusia. Jadi, beragama dan
tidak beragama tidak ada perbedaannya.
Dalam konteks pluralitas agama, sikap
indiferentisme muncul ke permukaan ketika penganut
agama tertentu tidak peduli pada kehadiran agama
lain (tidak menolak dan tidak menerima juga). Sikap
indiferentisme tampak dalam prinsip ada atau tidak
adanya “agama lain” sama sekali tidak memberikan
perbedaan bagi agama yang dihayatinya (agama lain
tidak merugikan dan tidak juga menguntungkan).
193
Dalam praksis kehidupan sehari-hari, sikap ini
tampak pada perilaku yang tidak berupaya membatasi
keberadaan agama lain.92 Bahkan, sikap ini justru
memberi peluang kepada dan membiarkan penganut
agama lain untuk berbeda dalam cara menjalankan
ajaran agamanya asal tidak mengganggu ketertiban
umum.
Sikap indiferentisme ini tentu tidak lepas dari
kelemahan, sebab tidak peduli dan sekaligus tidak
mengakomodasi kemajuan dan perkembangan agama
lain. Sikap ini lebih bernuansa cuek atas keberadaan
agama lain. Namun, terlepas dari perspektif itu, yang
menarik dari sikap indiferentisme ini adalah tidak
melihat kehadiran agama lain sebagai tandingan atau
saingan dalam berbagai segi kehidupan beragama. Ini
bisa dibaca sebagai segi positif sikap indiferentisme,
sebab memberi keleluasaan kepada agama lain, meski
tidak mengetahui alasan-alasan sikap seperti itu.
b. Relativisme93
Relativisme adalah istilah yang menunjukkan
sikap yakin atas tidak adanya kebenaran atau nilai
mutlak. Secara etimologis, terminologi relativisme
berasal dari kata Latin relativismus, yang berarti
92 A.M. Hardjana, op., cit., 106 93 Ibid., 107
194
dibandingkan atau dalam perbandingan dengan, atau
ditempatkan bersama yang lain. Dalam perspektif itu,
relativisme dalam agama dapat dipahami sebagai
pemikiran tentang kebenaran dan nilai itu ditentukan
oleh zaman, kebudayaan, masyarakat dan pribadi
tertentu.94 Dalam konteks pluralisme agama, sikap
relativisme dipandangn negatif karena menunjukkan
inkonsistensi iman.
Relativisme murni (bahwa segala kebenaran
klaim kebenaran selalu relatif) sebenarnya
bertentangan dengan dirinya sendiri. Bentuk
relativisme yang lebih halus (dalam konteks agama)
menekankan bahwa pandangan yang dicanangkan
oleh agama tentang kebenaran dan nilai memiliki latar
belakan kebudayaan, masyarakat, pengalaman
personal. Itulah sebabnya, Ernst Troeltsch, penggarap
teori relativisme agama secara sistematis,
berpandangan bahwa iman Kristen relatif bagi agama-
agama lain. Troeltsch mengajukan tantangan besar
kepada teologi untuk menjelaskan kedudukan Kristus
yang mutlak bagi orang Kristen sebagai kepenuhan
wahyu Ilahi bagi semua orang dari segala zaman. Di
hadapan teori relativismenya, Troeltsch menegaskan
bahwa semua agama sama saja. Agama apapun juga
tidak pernah menjadi mutlak agama yang lain. Sebab 94 Ibid., hal. 277
195
kemunculan semua agama adalah proses evolutif dari
kerinduan manusia akan kesempurnaan. Di haddapan
teori relativisme Troeltsch tidak ada tempat bagi
eksklusivisme. Artinya, di hadapan relativisme paham
eksklusivisme ditolak.95
Bertolak dari uraian di atas, fakta bahwa agama
yang satu berbeda dari agama yang lainnya dilihat
sebagai proses yang manusiawi. Proses demikian bisa
jadi berkaitan dengan perbedaan latar belakang iklim,
sejarah, adat-kebiasaan, dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Bagi pembela paham relativisme,
Agama adalah suatu medium atau metoda untuk
menuju ke Kebenaran Abadi atau Tuhan. Orang bisa
berbeda-beda jalan atau medium, tapi tujuannya
sama dan satu jalan menuju Tuhan.96 Paham demikian
bisa berkembang dalam masyarakat manapun juga.
Tapi, perlu disadari bahwa paham relativis ini tidak
bermaksud meragukan kemutlakan Tuhan, tapi
menegaskan bahwa kemutlakan Tuhan itu bukan
karena pengaruh ajaran agama tertentu juga bukan
milik satu agama tertentu. Kemutlakan Tuhan adalah
abadi, dan agama agama berperan menjembatani
95 Ernest Troeltsch, The Place of Christianity among the World
Religions”, dalam E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 269-270.
96 H. Sudarto, op.cit., hal. 178-179
196
manusia untuk mengambil bagian secara utuh dan
penuh dalam kemutlakan Tuhan itu. Dengan
demikian, kaum relativis tidak bisa disebut sebagai
kelompok yang mengacaukan paham keagamaan atas
Tuhan, apa lagi mengaburkan kemutlakan Tuhan itu
sendiri.
c. Radikalisme dan Fanatisme Sempit
Secara etimologi fanatisme berakar dalam kata
Latin, fanum, yang berarti tempat suci. Maka secara
harafiah, orang fanatik adalah orang yang rajin
mengunjungi tempat ibadat dari agama yang
dianutnya. Namun, pemaknaan kata fanatisme itu
dewasa ini berkonotasi negatif. Ia ditafsirkan sebagai
sumber dari sikap sektarian yang hendak memisahkan
diri dari yang lain dan eksklusif mau sibuk dan
perhatian hanya pada diri sendiri. Fanatisme model
itu adalah fanatisme sempit yang bisa jadi bermula
dari radikalisme dalam kehidupan beragama.
Radikalisme agama yang melahirkan fanatisme
sempit kerapkali bermuara pada kekerasan atas nama
agama. Kecuali tiu, wajah fanatisme juga tergurat
dalam kecenderungan untuk menutup diri pada pihak
lain sembari memperalat agama untuk mendapatkan
identitas diri dan sosial. Keeratan identitas dengan
bentuk agama itu membuat orang menjadi fanatik
197
sempit.97 Sikap fanatisme model itulah yang
mendorong penganut agama tertentu menganggap
agamanya paling benar sembari menolak adanya
kebenaran pada agama lain. Maka ia pun melawan
segala hal yang mengancam eksistensi kebenaran
agamanya dengan berbagai cara, termasuk dengan
kekerasan atas nama agama. Ketika penganut agama
diterpa angin fanatisme destruktif, maka agama bisa
saja menjadi ajang kekerasan atau kejahatan,
peperangan, tirani dan penindasan, sebab kehadiran
agama lain dipandang sebagai ancaman dan
menganggu rasa aman.
Dalam sejarah agama-agama besar di dunia,
hampir tidak ada agama yang luput dari sikap fanatik
ini. Marx menggambarkan agama sebagai candu
rakyat, tapi fenomena fanatisme dalam agama yang
menimbulkan perilaku destruktif itu menunjukkan
bahwa agama jauh lebih berbahaya dari pada candu.
Penghayatan iman yang infantil dan destruktif
(ditandai kekerasan) sebagai akibat dari fanatisme
telah mencoreng keluhuran agama. Radikalisme
agama dalam berbagai coraknya (yang seringkali
97 Agama dapat dipergunakan sebagai alat untuk mendapatkan
kemapanan diri dan social. Dengan label agama, orang dapat merasa mendapatkan ketegasan diri dan tempat dalam masyarakat. Ibid., hal. 109
198
mengatasnamakan Tuhan) adalah muara dari sikap
fanatis.
Dalam sejarah relasi antara Kristen dengan Islam,
misalnya, fanatisme agama itu ditandai dengan
Perang Salib. Peristiwa Perang Salib mengisyaratkan
adanya penolakan terhadap fakta pluralitas agama
sebagai akibat dari fanatisme radikal. Peristiwa Perang
Salib bukan semata bertautan dengan perkara politis
Gereja, tapi juga kerangka teologis (yang polemis) dan
paradigma misi agama tertentu yang merugikan pihak
lain (koersif). Singkatnya, fanatisme agama dapat
bermuara pada kekerasan atas nama agama.
Menurut Charles Kimball tanda utama fanatisme
agama yang potensial menyebabkan “agama bisa
menjadi jahat” atau menjurus pada tindak kekerasan
adalah, antara lain: Pertama, adanya klaim-klaim
kebenaran (truth claim),98 yang bisa dalam bentuk
pengakuan secara sepihak bahwa “Tuhan hanya milik
agama saya saja”. Truth claim ini tidak bisa dipisahkan
dari kaum radikal berkaitan dengan persepsi mereka
terhadap Tuhan. Truth claim menjadi semacam trade
mark kaum radikal dalam mengimani Tuhan.
Munculnya truth claim diduga di samping karena
worldview kaum radikal yang berbeda dengan kaum
98 Kimball, Charles, 2003, Kala Agama Jadi Bencana, Mizan,
Bandung, 84-119.
199
non radikal, juga karena cara beragama mereka yang
sangat tekstual-skriptual. Worldview sangat
menentukan bagaimana kaum radikal bersikap dan
bertindak dalam beragama. Kaum radikal
beranggapan bahwa keberagamaan yang paling benar
dan sempurna adalah yang sesuai dengan
keberagamaan tekstual pada zaman para nabi dan
rasul dulu kala, bukan melakukan kontekstualisasi
alias beragama secara kontekstual: terbuka pada fakta
pluralitas agama. Kontektualisasi agama dipandang
sebagai rekayasa manusia yang tidak lagi menghargai
keagungan Tuhan dan para nabi yang telah diturunkan
ke muka bumi oleh Allah. Kontekstualisasi inilah yang
paling ditentang oleh kaum radikal. Mereka
berpedoman hendak mengembalikan ajaran agama ke
ajaran para nabi dan rasul seperti semula jadi. Klaim
kebenaran atas dasar worldview yang bersifat mutlak
ini menjadi fondasi iman di mana struktur keagamaan
berdiri. Bersamaan dengan itu, klaim kebenaran ini
menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi.
Perbedaan penafsiran, apalagi perbedaan dalam
pemahaman keimanan, mengakibatkan agama tidak
toleran. Maka muncul istilah-istilah bida’ah, kafir,
heterodoks, dan sebagainya untuk
mengekskomunikasi mereka yang menyimpang.
Menurut Kimball, ketika penafsiran-penafsiran
200
tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran itu
dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan
sebagai satu-satunya kebenaran yang menuntut
keseragaman maka inilah awal dari bahaya yang
merusak agama, membuat agama (ekspresi iman)
menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan
manusia. Kedua, berkaitan dengan klaim kebenaran
yang mutlak itu, ada semangat misionarisme yang
militan (koersif), dengan menggunakan segala macam
cara untuk “menyelamatkan orang-orang yang
berdosa”, baik di lingkungan sendiri maupun (apalagi)
agama lain. Tujuan ini bisa membenarkan cara apa
pun, termasuk kekerasan atas nama agama. Untuk
maksudk ini sering disertai dengan declaration of holly
war (seruan perang suci), yang jelas bertentangan
dengan maksud suci agama yang mau membawa
kedamaian dan keselamatan. Ketiga, penerbitan
tulisan-tulisan oleh agama tertentu tentang agama
lain, yang dipandang tidak sesuai dengan apa yang
mereka imani. Karena itu, agama lain dipandang
mencemarkan agama mereka; termasuk di sini
penyebaran pamflet mengenai rencana penyebaran
agama. Apalagi kalau hal itu sudah menjadi usaha
penyebaran agama secara agresif, penggunaan rumah
sebagai tempat ritual secara bersama-sama, atau
201
pembangunan rumah ibadah di lingkungan penganut
agama tertentu.
7.7. Penutup
Pluralisme agama sebagai sebuah paham
mengenai hakikat agama dan keberadaanya di dunia
ini sejatinya tidak menimbulkan persoalan sebab ia
merupakan hasil dari kegiatan membaca teks-teks suci
itu sendiri untuk mengkontekstualisasikannya. Sebagai
demikian, pluralisme agama sebetulnya menjadi tanda
bagi kekayaan potensi suci yang diidap oleh setiap
agama. Potensi suci agama-agama justru terkuak
dalam daya tawar relevansinya untuk menyikapi dan
mengatasi pelbagai persoalan kehidupan manusia
dalam kondisi dan tuntutan zaman yang terus
berubah ini.
Perspektif atas pluralisme agama di atas
setidaknya menyatakan bahwa ia adalah keniscayaan
sejarah eksistensi agama. Ia bukanlah upaya
penyeragaman pola pikir tentang Tuhan, melainkan
tawaran bagi keleluasaan kerangka pikiran untuk
memaknai setiap ayat-ayat suci tentang Tuhan.
Sebagai demikian, pluralisme agama adalah bagian
dari peradaban manusia untuk memaknai esensi
Tuhan melalui agama sehingga tidak perlu disanggah
dengan metode berpikir apa pun.
202
203
BAGIAN VIII
KEBEBASAN BERAGAMA DAN PEROSALANNYA
8.1. Pengantar
Salah satu tuntutan terhadap fakta pluralitas
agama adalah pentingnya menghormati kebebasan
beragama masing-masing pihak. Tanpa sikap hormat
terhadap agama lain niscaya relasi antar agama-
agama diwarnai sikap merasa paling benar sendiri.
Sikap demikian justru menjadi momok yang
menakutkan sebab bukan hanya menghambat
perwujudan kebebasan beragama dalam praksis
kehidupan, tapi juga berpotensi memunculkan
kekerasan atas nama agama. Akibatnya, praksis
beragama menimbulkan persoalan yang mendera
kemanusiaan umat beragama.
Kebebasan beragama sejatinya bernuansa
imperatif bahwa, perjumpaan antar agama agama
mestilah dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi
hidup yang harmonis dan manusiawi. Oleh karena itu,
salah satu tuntutan kebebasan beragama adalah
keberanian untuk berdialog dengan pihak lain. Dalam
perspektif itu, dialog antarumat beragama menjadi
kebutuhan untuk semakin mematangkan religiusitas
masing-masing. Dengan demikian, kebebasan
204
beragama adalah kenyataan hidup beragama yang
diwarnai oleh sikap, penghayatan, dan perwujudan
iman yang proaktif dalam mewujudkan kondisi huidup
yang humanum (manusiawi).
8.2. Perspektif Kebebasan Beragama
Istilah kebebasan beragama mengandung makna
tidak adanya tekanan dalam menentukan pilihan
beragama, bahkan juga untuk tidak beragama.
Setidaknya itu yang dipersepsi oleh masyarakat Eropa
dan Amerika pada umumnya, yang biasanya dicap
sebagai masyarakat sekuler itu. Artinya, untuk
mereka kebebasan beragama adalah hak seseorang
untuk memilih beragama atau tidak beragama. Tapi
perspektif itu tampaknya tidak cocok diterapkan di
Indonesia. Kebebasan beragama untuk konteks
Indonesia bukanlah berarti bahwa orang bebas untuk
beragama atau tidak beragama. Konsep kebebasan
beragama di Indonesai mengandung makna kewajiban
bagi masyarakat Indonesia untuk memilih menganut
salah satu agama yang diterima dan diakui secara
hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks perspektif kebabasan beragama di
Indonesia itu, makna kebebasan beragama jadinya
bahwa setiap orang berhak dan bebas untuk memilih,
mengganti dan menjalankan tuntutan/kewajiban
205
agamanya sejauh ungkapan kebebasanya itu tidak
melanggar hak beragama orang lain. Maka, batas yang
wajar dan manusiawi bagi kebebasan beragama
adalah hak dan kebebasan orang lain, yang tuntutan
praksisnya dibatasi juga oleh norma moral dalam
realitas sosial.
8.3. Dasar-Dasar Kebebasan Beragama
Berkaitan dengan perspektif kebebasan
beragama untuk konteks Indonesia di atas, terdapat
dua dasar yang menjadi landasan bagi praksis
kebebasan beragama di Indonesia, yakni martabat
pribadi dan hakekat iman sejati.
Pertama, martabat pribadi adalah nilai-nilai
mendasar dan luhur yang menyatu erat dalam diri
seseorang sebagai ciptaan Tuhan, sehingga
eksistensinya di dunia ini merupakan karunia Tuhan.
Oleh karena itu, tak seorang pun boleh dipaksa untuk
bertindak secara bertentangan dengan
kepercayaannya sebab jika dipaksa berarti
merendahkan martabat pribadinya. Hal yang sama
juga, msalnya, tak seorang pun boleh dihalang-halangi
secara paksa untuk bertindak sesuai dengan
kepercayaannya.
Kedua, hakekat iman sejati yang menuntut setiap
manusia religius tidak hanya beragama dalam batasan
206
ritual saja, tapi sampai kepada penyerahan diri secara
total dan ikhlas kepada Allah.
8.4. Beberapa Persoalan Kebebasan Beragama
Perspektif kebebasan beragama di atas
menyiratkan makna bahwa agama itu sejatinya
menghantar umatnya kepada kedamaian dan
kebahagiaan. Namun, dalam praksis kehidupan
beragama kerapkali muncul ketegangan yang bisa
bermuara pada konflik. Artinya, kebebasan beragama
ternyata memuat persoalan dalam praksis kehidupan.
Hal itu bisa berakar dalam kecenderungan tertentu
masing-masing penganut agama, misalnya: paradigma
misi yang koersif, klaim kebenaran, sikap saling curiga,
kompetisi yang tidak sehat, proselitisme dan
fundamentalisme.
pertama, adanya paradigma misi yang koersif,
yang dalam praksisnya berupa penyebaran agama
dengan kekerasan atau pemaksaan kepada orang-
orang yang telah memeluk agama tertentu.
Penyebaran agama dengan tindak kekerasan bukan
hanya melanggar Undang-Undang Kerukunan Hidup
Beragama, tapi juga tidak selaras dengan nilai-nilai
yang terkandung di dalam agama tersebut.
Kedua, klaim kebenaran agama secara sepihak
(agamaku adalah yang paling benar) merupakan
207
persoalan kebebasan beragama sebab menyangkal
keberadaan pihak lain, agama lain. Penyangkalan pada
pihak lain dapat melahirkan persoalan kebebasan
beragama yang mengancam keluhuran agama dan
keharmonisan hidup beragama. Turunan dari sikap
demikian adalah eksklusivisme dan kekerasan atas
nama agama dan Tuhan. Sikap yakin akan kebenaran
agama yang dianut adalah baik dan sewajarnya
demikian, tapi menimbulkan persoalan manakala
sikap itu disertai dengan penyangkalan atas nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran yang ada pada agama lain.
Ketiga, sikap saling curiga dan prasangka
terhadap agama lain. Sikap ini bisa jadi merupakan
akibat dari adanya paradigma misi yang bercorak
pemaksaan dengan berbagai cara (kasar dan halus,
eksplisit dan implisit). Muara dari sikap ini adalah
menyerang agama lain dengan berbagai cara untuk
menjatuhkannya atau untuk mengalahkannya.
Keempat, pertemuan antar-umat beragama
menimbulkan persaingan keagamaan (religious
competition). Bentuk persaingan dapat tertutup
ataupun terbuka. Persaingan tertutup apabila terjadi
secara diam-diam, misalnya, para penganut agama
menyusun rencana dan strategi untuk saling
mengalahkan. Mereka saling berebutan posisi-posisi
strategis dalam masyarakat, baik di dalam maupun di
208
luar pemerintah. Mereka saling berlomba
mendapatkan pengaruh dan ketenaran dalam
masyarakat lewat gerakan ilmiah, seni dan budaya,
dan penggunaan segala media tertulis, audio, audio
visual. Mereka saling mengamati apa yang dibuat atau
kira-kira dibuat pihak lain yang tentunya untuk
disaingi atau dikalahkan. Persaingan tertutup itu
dengan mudah memicu persaingan terbuka dan
kekerasan keagamaan. Bila persaingan antar-umat
beragama itu sudah menjurus ke persaingan terbuka,
di situlah muncul persoalan kebebasan beragama,
yakni masing-masing pihak berlomba-lomba
menunjukkan kebaikan agamanya. Secara beramai-
ramai mereka mencari dan menarik simpati masa
dengan berbagai cara. Misalnya, dengan program
pelayanan misi yang bercorak sosial atas nama
agama.99
Persaingan tertutup dan terbuka itu pada saatnya
dapat meletus menjadi kekerasan keagamaan
(terbuka ataupun tertutup). Kekerasan tertutup
terjadi bila para penganut agama saling menghambat
99 Misi yang dimaksudkan ditandai dengan berbagai pelayanan sosial
atas nama agama yang ditujukan kepada penganut agama lain. Pelayanan-pelayanan yang diberikan itu pada umumnya bersifat gratis atau super murah.Misalnya, sekolah gratis, pengobatan gratis atau bantuan sosial lainnya yang meringankan beban hidup secara ekonomis yang ditujukan kepada penganut agama lain.
209
kehidupan dan perkembangan agama masing-masing.
Para penganut agama saling memaksa isi iman, ajaran
agama, ibadat dan praktik keagamaan agar diterima
dan dilaksanakan. Kekerasan terbuka terjadi bila para
penganut agama saling menyerang secara fisik,
membunuh dan merusak harta benda milik para
penganut agama masing-masing.
Persaingan dan kekerasan keagamaan itu muncul
bila para penganut agama bersifat fanatik dan
membuat agamanya menjadi mutlak, absolut. Sifat
fanatik, seperti ditegaskan di atas, bersumber pada
sikap fanatis, fanatisme. Bila agama dijadikan
absolute, para pengikutnya terkena sikap absolutis,
absolutisme. Sikap ini muncul bila para pengikut
agama sampai pada keyakinan bahwa agama mereka
merupakan satu-satunya agama yang paling benar
dan menjadi satu-satunya ajaran untuk mengartikan,
menjelaskan dan menghadapi kenyataan hidup.
Dengan sikap itu, para penganut agama terdorong
untuk mengatur hidup, masyarakat dan dunia
berdasarkan agama mereka.
Sikap kompetitif yang didorong oleh
kecenderungan fanatis itu tentu dapat bermuara pada
kekerasan. Sikap demikian akan mendorong agama
menjadi otoriter yang berciri utama kekuasaan dan
kontrol. Penganut agama pun lantas sibuk
210
memperkarakan agama sebagai aturan dan tidak
melihatnya lagi sebagai sarana perjumpaan dengan
Tuhan dan sumber semangat serta inspirasi untuk
pengabdian kepada sesama dan masyarakat. Agama
akhirnya menjadi ideologi yang memegang monopoli
kebenaran. Umat harus membenarkan hidup dan
perilakunya berdasarkan ajaran, kaidah, hukum dan
peraturan agama saja. Hebatnya lagi, segala ajaran
dan peraturan agama itu dianggap berlaku tetap
untuk semua orang di segala jaman, situasi dan
kondisi.
Kelima, proselitsme (proselytism), yakni tindakan
memaksa pihak lain untuk berpindah agama atau
meninggalkan agamanya dan memeluk agama baru.
Tindakan proselit ini terjadi dalam perjumpaan
dengan agama-agama lain di mana agama seseorang
‘dipaksa’ atau ‘terpaksa’ berpindah pada keagamaan
yang ditemuinya atau sebaliknya. Agama sendiri
ditinggalkan dan mengikuti sepenuhnya agama pihak
lain karena dipaksa atau terpaksa oleh dorongan pihak
lain tersebut.100
Keenam, fundamentalisme. Istilah
fundamentalisme agama sebagai suatu aliran 100 Gerald O’Collins SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, 1991, A
CONCISE DICTIONARY OF THEOLOGY, Paulist Press, New Jersey. Alih bahasa, I. Suharyo, Pr, 2005, Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 266
211
pemikiran dalam menghayati ajaran agama bisa
dipandang dari dua sisi. Pertama, dari sisi positif,
misalnya, penghayatan seseorang atas ajaran
agamanya secara mendasar dan tanpa melupakan
sedikitpun penghayatan dan perwujudan imannya
dalam praksis kehidupannya, tapi tanpa pernah
menghakimi dan menyalahi praktik keagamaan orang
lain, baik yang seagama dengannya maupun yang
berbeda agama. Kedua, fundamentalisme negatif
(destruktif) adalah yang menjadi sorotan dan citra
istilah itu dalam praksis hidup beragama dewasa ini.
Fundamentalisme jenis ini persis kebalikan dari yang
pertama. Dalam konteks yang kedua ini, seseorang
yang menganut aliran atau paham fundamental
menganggap kemurnian ajaran agama yang
diimaninya dapat terjaga dengan cara menolak untuk
berhubungan dengan pihak lain atau dikaitkan dengan
setiap gerakan keagamaan yang bersifat ekstrem.
Bahkan, menyalahi praktik keagamaan orang lain,
terlebih yang tidak seagama dengannya.
Namun, menurut Karen Armstrong, pandangan
bahwa fundamentalisme itu seakan-akan negatif
melulu bisa menyesatkan, sebab ketika orang-orang
Kristen mengunakan istilah “fundamentalisme”,
mereka merujuk pada sebuah gerakan yang kembali
kepada dasar-dasar keimanan serta apa yang mereka
212
lihat sebagai semangat Injil. Memang gerakan Kristiani
seperti itu cenderung berpikiran sangat literal dan
agresif dalam menafsirkan Alkitab. Pemikiran literal-
agresif seperti ini tentunya bisa bermuara pada
tindakan atau gerakan ekstrem seperti dalam
beberapa gerakan Yahudi saat ini.101
Gerakan fundamentalisme dalam Protestantisme
pada abad keduapuluh di Amerika Serikat, misalnya,
pada umumnya membela keyakinan-keyakinan dasar
seperti Keilahian Kristus dan kebangkitan tubuh-Nya.
Gerakan ini juga menafsirkan Kitab Suci tanpa
memberikan perhatian cukup pada sejarah
terbentuknya Kitab Suci, berbagai jenis sastra yang
ada di dalamnya, dan maksudnya yang asli. Hal itu
dapat menimbulkan masalah-masalah yang
sebenarnya tidak perlu.
8.5. Mengatasi Persoalan Kebebasan Beragama
Berkaitan dengan persoalan kebebasan
beragama di atas, perlu adanya dilog antarumat
beragama. Dalam konteks kebebasan beragama,
dialog antarumat beragama adalah suatu keharusan.
Dialog secara lintas agama itu penting karena Allah 101 Karen Armstrong, 2001, Holly War: The Crusades and Their
Impact on Today’s World, Anchor Books, New York. Alih bahasa, Hikmat Darmawan, 2003, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, SERAMBI, Jakarta, hlm. 834.
213
mewahyukan diri-Nya tidak hanya untuk golongan
tertentu, tapi untuk umat manusia pada umumnya.
Keharusan dialog antar-umat beragama dapat
dijelaskan pula dari hubungan yang dinamis di antara
agama-agama. Sebuah agama selalu didasarkan pada
intuisi pendirinya dan pengungkapan intuisi itu.
Sebagai satu kenyataan duniawi, agama sudah
selalu merupakan sebuah perpaduan antara yang ilahi
dan manusiawi, yang baka dan yang fana, yang kekal
dan yang berubah. Alasan perlunya dialog juga
berkaitan dengan agama itu sendiri yang bersifat
perspektival dan relatif. Sifat itulah yang mendasari
pentingnya dialog antarumat beragama demi
mewartakan Allah universal yang mengungkapkan diri
kepada masing-masing pendiri agama.
8.6. Bingkai Dialog Antar-umat Beragama
Dialog antar-umat beragama, sesuai dengan
makna katanya dialogos (Yunani: pembicaraan atau
perbincangan) hendaknya dipahami sebagai tukar
menukar pengalaman dan pemahaman akan Allah,
yang bermanfaat bagi peningkatan intensitas
pencerapan dan pemakluman ajaran agama itu
sendiri.102 Dalam dialog para penganut agama yang 102 Budi Kleden, Paulus, op.cit., 181.
214
berbeda bertemu dan mengadakan pembahasan
bersama untuk saling mencari pengertian dan
pemahaman. Karena kedua belah pihak sadar bahwa
Tuhan yang diimani adalah maha besar. Tuhan tak
mungkin dapat seluruhnya ditangkap dan dipahami
oleh satu agama. Pengertian tentang Dia tak mungkin
termuat seluruhnya dalam kumpulan ajaran salah satu
agama. Tuhan tak mungkin disembah secara
sempurna dalam bentuk-bentuk ibadah satu agama.
Perintah dan kehendakNya di dunia tak mungkin
terpenuhi oleh pelaksanaan hukum dan peraturan
satu agama. Artinya, setiap agama selalu mengandung
“kekurangan” baik dalam pemahaman, perumusan
pengertian tentang Tuhan dalam ajaran-ajaranNya,
dalam praktik ibadah maupun pengamalannya dalam
masyarakat. Maka perlu berdialog untuk memperkaya
pengalaman dan pemahaman akan Allah yang
mahabesar itu.
Berkaitan dengan itu pula, menurut Harold
Coward,103 ada enam praanggapan yang harus
membingkai dialog atau yang juga membuat dialog itu
perlu diadakan, yakni:
Pertama, bahwa dalam semua agama ada
pengalaman mengenai suatu realitas yang mengatasi
103 Coward, Harold, 1989. Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-
Agama, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 185
215
konsepsi manusia. Kedua, bahwa realitas itu dipahami
dengan berbagai cara baik dalam masing-masing
agama maupun di kalangan semua agama dan bahwa
pengakuan terhadap pluralitas diperlukan baik untuk
melindungi kebebasan beragama maupun untuk
menghormati keterbatasan manusiawi. Ketiga, bahwa
bentuk-bentuk pluralistis agama berfungsi sebagai
alat. Keempat, pentingnya pengakuan akan
keterbatasan itu dan sekaligus kebutuhan kita akan
komitmen terhadap suatu pengalaman partikular
mengenai realitas yang transenden, maka
pengalaman partikular kita, meskipun terbatas, akan
berfungsi dalam arti yang sepenuhnya sebagai kriteria
yang mengabsahkan pengalaman keagamaan pribadi
kita sendiri. Kelima, bahwa ajaran Budha mengenai
toleransi kritis dan keharusan moral harus selalu
diperhatikan. Keenam, bahwa melalui dialog yang
kritis terhadap diri sendiri kita harus menerobos lebih
jauh ke dalam pengalaman partikular kita sendiri
mengenai realitas transenden (dan mungkin ke dalam
realitas transenden orang lain).
Demikianlah dialog antaragama mestinya
dipahami satu agama terhadap agama yang lain dan
hubungan antarpara penganut agama yang berbeda-
beda dapat terwujud dalam berbagai bentuknya
dalam praksis kehidupan.
216
8.7. Mengapa Berdialog Penting?
Idealnya, agama-agama tidak perlu mengadakan
dialog sebab intensi setiap tradisi agama-agama besar
di dunia ini sama, yakni menghadirkan perdamaian
dan mewartakan keselamatan. Tetapi dalam
praksisnya, perjumpaan antar agama-agama kerapkali
menunjukkan ketegangan interaktif satu terhadap
yang lain. Dialog antar-umat beragama perlu diadakan
secara intensif selain karena kenyataan adanya
persoalan-persoalan kebebasan beragama di atas,
juga karena kecenderungan apologetis dan polemis
dari setiap agama.
a. Apologetis104
Apologetis berasal dari bahasa Yunani apo, yang
berarti dari, jauh dari, dan logos yang berarti kata,
pikiran, alasan. Apologos berarti pembelaan. Sikap
apologetis adalah sikap membela agama yang dianut.
Dalam pergaulan antar-umat beragama tidak jarang
terjadi bahwa para penganut agama yang satu
menyerang isi iman dan ajaran agama yang dianut
oleh penganut agama lainnya (berpolemik). 104 Hardjana,A.M. op., cit., 110-111
217
Dalam membela agama sendiri, para penganut
agama yang diserang itu mengambil sikap apologetis:
membela isi iman dan ajaran agama yang diserang
oleh penganut agama lain. Dalam sejarah agama,
sikap saling menyerang dan saling membela isi iman
dan ajaran agama pernah menjadi ciri dominan relasi
pergaulan dan perjumpaan antar-umat beragama di
dunia. Oleh karena itu, dalam lingkungan agama-
agama tertentu sikap membela ajaran agama sendiri
karena diserang, berkembang menjadi ilmu khusus,
disebut ilmu apologetik. Dalam ilmu itu, dibahas
metode dan teknik untuk membela dan menjelaskan
isi iman dan ajaran agama secara ilmiah, guna
menangkis serangan penganut agama lain. Jadi,
apologetik adalah pembelaan iman secara ilmiah atas
keyakinan iman kepada Tuhan.
b. Polemis
Polemis berasal dari kata Yunani polemos yang
berarti perang. Sikap polemis menciptakan “senjata”
untuk mengalahkan para penganut agama lain dan
melumpuhkan kegiatan mereka. Senjata itu dapat
berupa media tertulis (edaran, buletin, majalah, surat
kabar) dan audio (radio, pita kaset) serta audio-visual
(tv, film) di mana isi iman dan ajaran agama yang
dianut orang lain dibeberkan untuk dicari
218
kelemahannya dan kemudian diserang. Tindakan
polemis dapat berupa pengacauan, sabotase, dan
serangan untuk mengganggu, melawan dan
menggagalkan kegiatan yang diadakan oleh para
penganut agama lain, entah kegiatan keagamaan
seperti ibadat dan pendirian rumah ibadat maupun
kegiatan kegiatan pengamalan agama seperti
pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.
Jika digabungkan dengan sikap apologetis, sikap
polemis ini dapat begitu ampuh untuk merusak
hubungan antar-umat beragama. Dalam kedua sikap
itu, para penganut agama bertahan dalam lingkungan
sendiri dan tidak keluar utnuk menjumpai penganut
agama lain.
8.8. Syarat-Syarat Dialog
Paul F. Kniter, seperti dipaparkan I. Bambang
Sugiharto,105 menekankan tiga syarat dialog
antarumat beragama (dialog agama agama), yakni:
Pertama, dialog itu haruslah berdasarkan
pengalaman religius personal dan klaim yang kokoh
tentang kebenaran. Maksudnya, dialog baru positif
bila pesertanya sungguh-sungguh orang yang
105 I. Bambang Sugiharto & Agus Rachmat W, 2000. Wajah Baru
Etika & Agama, hlm. 164-167
219
beriman. Tentu tanpa mengabaikan sikap intelektual
akademis pula.
Kedua, dialog harus didasarkan pada keyakinan
bahwa religi lain sangat mungkin memiliki kebenaran
pula. Maka peserta dialog harus pula memiliki taraf
pendidikan dan penguasaan yang cukup atas ajaran
agama masing-masing.
Ketiga, dialog harus didasari keterbukaan pada
kemungkinan perubahan yang tulus. Perubahan yang
dimaksud terutama adalah perubahan pemahaman.
Maka keterbukaan di sini berarti keberanian untuk
melepas anggapan-anggapan semula, baik tentang
tradisi religius kita sendiri, maupun tentang tradisi
lain. Keterbukaan pada pihak lain tentu tanpa
bermaksud ke arah peleburan atau sinkretisme.
Keterbukaan ini bisa dipahami juga sebagai kemauan
untuk menghargai kekhasan masing-masing agama.
Dalam konteks keterbukaan ini, peserta dialog harus
setia pada intuisi awal pendiri agamanya dan juga
kesediaan mengubah diri, membiarkan diri ditentukan
dan ditempa oleh agama yang lain. Tuntutan ke arah
itu menunjukkan pentingnya sikap saling percaya dan
kehendak baik untuk mencari bersama kehendak
Tuhan bagi dunia dan berusaha melaksanakannya
lewat agama dan kelompok agama masing-masing. 106 106 Budi Kleden, Paulus op. cit., 182-189
220
8.9. Fokus Dialog
Dialog yang berlangsung berdasarkan syarat-
syarat di atas akan berhasil baik bagi masing-masing
pesertanya manakala memiliki fokus yang jelas,
inklusif dan relevan dengan tantangan agama-agama
masa kini. Maka fokus dialog, seperti ditegaskan I.
Bambang Sugiharto,107 hendaknya untuk mengatasi
pelbagai persoalan konkret yang menjadi tantangan
real semua tradisi religius, yakni:
pertama, bagaimana menghadapi ‘berhala-
berhala’ baru (idols) dan distorsi-distorsi atas
kebenaran yang telah diyakini sebagai ‘wahyu’.
Kedua, bagaimana merumuskan kebenaran dari
tradisi-tradisi agama itu ke dalam kategori-kategori
zaman ini. Artinya, bagaimana nilai-nilai agama itu
bisa menjawab tantangan-tantangan jaman,
menjawab kebutuhan manusia modern. Dalam
konteks itu, tafsir atas agama yang bertanggungjawab
dan dapat dipertanggungjawabkan senantiasa
dibutuhkan.
Ketiga, bagaimana memecahkan masalah-
masalah kemanusiaan global yang diakibatkan oleh
struktur-struktur yang tidak manusiawi saat ini.
107 Ibid., 166
221
8.10. Tema-Tema Dialog108
Dialog dalam konteks kebebasan beragama perlu
fokus agar sasaran dialog tercapi. Manakala dialog
antar-umat beragama dimaksudkan untuk, antara lain,
mewujudkan keharmonisan hidup beragama dalam
konteks pluralitas agama atas keyakinan hak dan
kebebasan beragama, maka tema-tema dialog yang
tepat adalah menyangkut manusia dan lingkungan
dan gambaran tentang Allah, antara lain:
Pertama, manusia bukanlah sebuah monade
tanpa jendela (bukan dunia yang tertutup). Pada
hakikatnya manusia mempunyai hubungan yang erat
dengan segala yang membentuknya dan dibentuknya,
yakni sesama dan lingkungannya. Termasuk kedalam
lingkungan ini adalah bidang-bidang kehidupan politik,
sosial dan ekonomi di mana agama menawarkan
bantuan bagi perwujudan diri manusia secara
manusiawi dan menghargai kemanusiaan sesamanya.
Dalam konteks itu pula, dialog harus mempromosikan
penghargaan terhadap subyek manusia sebagai
instansi yang bebas dalam menentukan dirinya. Itu
berarti dialog menjadi kekuatan untuk menolak dan
melawan segala macam upaya untuk memanipulasi
manusia, untuk memaksa dan menipunya, untuk
membuatnya tetap kerdil dan tak berdaya. 108 Ibid., 189-192
222
Kedua, Dialog antar-umat beragama hendaknya
pula mengangkat tema seputar gambaran tentang
Allah. Dalam konteks itu, dialog dipahami sebagai
pertukaran pengalaman akan Allah secara jujur, dapat
memperkaya gambaran dan pemahaman tentang
Allah yang ada di dalam sebuah agama.
8.11. Jenis-Jenis Dialog109
Dalam rangka dialog antar-umat beragama ini,
ada tiga jenis dialog yang dapat dilakukan sebagai
ajang untuk memahami disposisi batin pihak lain dan
belajar memahaminya, yakni:
Pertama, dialog tematis, yakni dialog yang
berpretensi untuk memahami bersama suatu konsep
tertentu yang diyakini dalam konteks agama tertentu.
Dialog ini biasanya dilaksanakan dalam tingkat
lembaga tertentu dan melibatkan ahli keagamaan
dalam bidang tertentu pula (teolog, ahli tafsir,
sejarawan agama, dll). Kecenderungan dasar dialog ini
adalah teoretis-konseptual.
Kedua, adalah dialog karya, yaitu kerjasama
dalam bidang sosio-ekonomis dan sosio-kultural.
Dalam konteks dialog ini, harus dijelaskan juga fungsi-
109 Fransiskus Borgias, 1994-1996. Diktat Kapita Selekta
Fenomenologi Agama (Bahan kuliah Fenomenologi Agama di lingkungan UNPAR), hlm. 73-74
223
fungsi sosial agama, relevansi agama-agama dengan
masalah keadilan sosial, dengan masalah
kesejahteraan umum, dengan cita-cita keadilan dan
kemakmuran, dengan cita-cita perdamaian, serta
pembangunan dan perkembangan yang manusiawi.
Ketiga, dialog batin, yaitu upaya memahami dan
mendalami pengalaman rohani orang-orang yang
beragama atau berkeyakinan lain. Dialog yang satu ini
tidak bisa dijalankan pada tingkat lembaga atau
organisasi dan sistem, melainkan berjalan pada
tingkat kesadaran dan penghayatan hidup individual
sehari-hari. Oleh karena itu, dialog jenis ini bersifat
terselubung. Ia mewujudkan diri dalam sikap hormat
pada pihak lain berdasarkan kesadaran dan refleksi
pribadi atas penghayatan dan perwujudan ajaran
agamanya.
8.12. Tujuan Dialog
Dialog adalah ajang komunikasi iman
antarpenganut agama-agama. Berkaitan dengan itu,
tujuannya adalah:
Pertama, untuk menemukan bersama pola
kehidupan beragama yang mengakomodasi semua
pihak untuk semakin dewasa dalam iman.
Kedua, untuk mencari bersama kekuatan-
kekuatan pada masing-masing agama, bukan mencari
224
kelemahan yang dimanfaatkan di luar dialog,
misalnya, untuk saling berebut orang untuk dijadikan
penganut agamanya.110 Berkaitan dengan tujuan itu,
setiap orang yang terlibat aktif dalam dialog harus
berusaha untuk saling memahami dan bersama-sama
mencapai suatu pengertian yang lebih sempurna
mengenai satu sama lain; memahami pihak lain apa
adanya.
Ketiga, untuk membangun kesadaran akan
pentingnya bersikap toleransi, yakni hormat terhadap
kebebasan beragama. Khusus untuk tujuan yang
ketiga, kita patut memuji tindakan pemerintah yang
berhasil membuat beberapa kemajuan dalam
meningkatkan sikap hormat terhadap kebebasan
beragama pasca konflik di beberapa wilayah di
Indonesia111.
8.13. Praksis Iman Pasca Dialog
Sikap toleransi yang tumbuh berkat dialog antar-
umat beragama tampak dalam praksis iman, sebagai
berikut:
Pertama, sikap iman yang tepat adalah percaya
bahwa Allah adalah asal-usul kehidupan dan hormat
110 Hardjana, A.M. op. cit., 115-116 111 Ibid., hlm. , 7
225
penuh kepada manusia dan keluhuran martabatnya
sebagai makhluk ciptaan Allah yang mulia.
Kedua, penghayatan iman yang benar terekspresi
dalam ketulusan doa, pantang, dan puasa yang
dilakukan dalam suasana penuh khidmat.
Ketiga, perwujudan iman yang proaktif pada
kehidupan; hidup dalam suasana kasih persaudaraan,
cinta damai, menolak kelaliman dan kemaksiatan,
suka menolong, memberi sedekah, zakat, derma, dan
lain-lain bentuk kemurahan hati terhadap sesama
yang malang, miskin, dan tak berdaya dalam
kehidupan ini.
Demikian, tujuan dialog hendaknya dipahami
sebagai upaya bersama-sama untuk mencari
kebenaran universal yang terdapat dalam agama
masing-masing. Hasil dialog adalah hubungan yang
erat, sikap saling menghargai, saling percaya dan
saling membantu dalam penghayatan agama. Dialog
menjadi medium pertemuan antara pendekatan dan
penyembahan Tuhan dengan cara yang berbeda, tapi
pro kehidupan, memanusiawikan dan berpihak
kepada kelestarian alam semesta.
8.14. Penutup
Perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak
atas kebebasan beragama di mana pun juga
226
merupakan tuntutan yang urgen di segala jaman.
Implementasi hak atas kebebasan beragama
menuntut kesadaran semua pihak akan pentingnya
hormat kepada pihak lain yang berbeda dengan diri
sendiri. Maka perlu menempatkannya sebagai skala
prioritas tindakan dalam praksis kehidupan beragama.
Kiranya, apapun bentuk aturan yang mengatur
pemenuhan dan perlindungan kebebasan beragama,
ia hanyalah sarana semata yang akan menjadi
fungsional manakala ada niat dan komitmen semua
manusia beragama yang hidup dalam wilayah
pluralitas agama untuk menghargai iman dan
kepercayaan orang lain. Undang-Undang Kebebasan
Beragama, misalnya, dengan kedudukannya sebagai
fungsi kontrol bagi praksis kehidupan keagamaan di
Indonesia, akan tampak mandul jika setiap manusia
beragama tidak secara eksplisit dan proaktif menaati
dan melaksanakannya dalam praksis kehidupan
sehari-hari.
227
228
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, 1996. Diktat Fenomenologi Agama,
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Borgias, Fransiskus, 1994-1996, Diktat Kapita Selekta
Fenomenologi Agama (Bahan kuliah
Fenomenologi Agama di lingkungan
UNPAR).
Caputo, John D. 2001. On Religion., Alih Bahasa:
Martin Lukito Sinaga, “Agama Cinta
Agama Masa Depan”, 2003. Mizan,
Bandung.
Chaudhuri, M. K. De. 1969, God in Indian Religion,
Calcutta.
Collins, Gary R. 1999. The Soul Search, Alih Bahasa:
Dra Connie Item Corputty, “Mencari Jiwa
Kita”, Interaksara, Batam.
Coward, Harold, 1989. Pluralisme: Tantangan Bagi
Agama-Agama, Kanisius, Yogyakarta,
Daradjat, Zakiah.,1970, Ilmu Jiwa Agama, Bulan
Bintang, Jakarta.
Dhvamony, Mariasusuai. 1995. Fenomenologi Agama,
Kanisius, Yogyakarta
Dister, Nico Syukur. 1994. Pengalaman dan Motivasi
Beragama, Kanisius Yogyakarta
229
Dunlop, Knight. 1946. Religion, Its Function In Human
Life, New York, Paulist Press
Eliade, Mircea ,1962, The Two and the One, London.
Heuken, A, 1994, Ensiklopedi Gereja IV Ph – To, Cipta
Loka Caraka, Jakarta.
James, E. O.19962, The Concept of Deity, London.
-------------------, 1959, The Cult of the Mother Goddes,
New York.
Fairchid, H.P., et al. 1964. Dictionary of Sociology and
Related Sciences, New Jersey,
Littlefield, Adam & Co
Gerald O’ Collins & Edward G. Farugia. 1991. A
Concise Dictionary of Theology, Paulist
Press, New Jersey. Alih Bahasa: I. Suharyo,
Kanisius, Yokyakarta, 2002.
Harjana, A.M. 1993. Penghayatan Religi Yang Otentik
dan Tidak Otentik, Kanisius, Yogyakarta
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama, Kanisius,
Yogyakarta.
Heuken, Adlof. 1991, 1993, 1994. Ensiklopedi Gereja I,
III, dan IV, Jakarta: Cipta Loka Caraka.
Hick, John. 1980, God Has Many Names, The
Westminster Press Philadelphia,
Pennsylvania. Terj. Amin Ma’aruf dan
230
Taufik Aminudin, DIAN/Interfidei,
Yogyakarta.
John S. Mbiti, 1970, Conceps of God in Africa, London.
Kaufman, Gordon D. 1976, In Face of Mistery: A
Constructive Theology, Cambridge, Mass.:
Harvard University Press.
Kimball, Charles. 2002. When Religion Becomes Evil.,
Alih Bahasa: Nurhadi, “Kala Agama Jadi
Bencana”, 2003. Mizan, Bandung.
Kleden, Paulus Budi, 2002, Dialog Antaragama Dalam
Terang Filsafat Proses Alfred North
Whithead, Ledalero, Maumere.
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Di
Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Komprensi Waligereja Indonesia, 1996. Iman Katolik,
Kanisius, Yogyakarta
Krech, Crutchfield, Ballachey. 1982. Individual In
Society, McGraw Hill, Kogakusha, Ltd.
Tokyo
Küng, Hans, Christianity and the World Religions:
Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and
Buddhism. Trans. Peter Heinegg. New York:
Doubleday, 1986, hlm. xvi.
Magnis-Suseno, Franz, 2006. Menalar Tuhan, Kanisius,
Yogyakarta.
231
Montemayor, Felix M. 1994. Ethics: The Philosophy of
Life. Manila: National Book
Store Inc
O’DEA, Thomas F. 1961. The Sosiology of Religion,
Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New
Jersey
Panikkar, Raimundo. 1978. The Interreligious
Dialogue. Alih Bahasa: Dr. A. Sudiarja,
1994, Kanisius, Yokyakarta.
Pettazzoni, R. “The Supreme Being:
Phenomenological Structure and Historical
Development”, dalam The History of
Religions, editing oleh Mircea Eliadi dan
Joseph Kitagawa, Chicago, 1959, hlm. 59-
66.
-----------------------, Essays in the History of Religions,
Leiden, 1954, hlm. 1-10
-----------------------, L’Essere Supremo nelle Religioni
Primitive, Torino, 1957.
-----------------------, L’Onniscienza di Dio, Torino, 1955.
------------------------, “Monotheismus und
Polytheismus”, dalam Die Religion in
Geschichte und Gegenward, IV (1930).
232
Peursen, C. A. Van, Prof. Dr, 1976, Strategi
Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta,
Rahmat, Agustinus. Diktat Teologi Keselamatan I,
Universitas Katolik Parahyangan: Fakultas
Filsafat.
Schmidt, Wilhelm. 1970, “Der Monotheismus der
Primitiven”, dalam Anthropos, XXV hlm.
703-709.
-------------------, 1926-35, Der Ursprung der Gottesidee,
6 volume, Munster.
-------------------, “L’Origine de l’idée de Dieu”, dalam
Anthropos, III, IV.
Shih, J. 1969, “The Notions of God in the ancient
Chinese religion”, dalam Numen, Calcutta.
Smith, Edwin M. (ed.), 1950, African Ideas of God,
London.
Thouless, Robert H. 1992. Pengantar Psikologi Agama,
terj. Machnun Husein, Rajawali, Jakarta.
Tillich, Paul. 1967. Dynamics of Faith, New York:
Harper & Row
Whitehead, Alfred North. 1967. Science and the
Modern World, New York: The Free Press.
Nathan, Soderblom, 1962, The Living God, Boston.
233
J. E. Carpenter, 1921, Theism in Medieval India,
London.
Paul Radin, 1924, Monotheism among the Primitive
Peoples, London
Varii, “La Réalité Suprême dans les Religions non-
chrétiennes”, 1968, dalam Studio
Missionalia, XVII, Roma.
Vicente Hernández Catalá, 1972, La Realidad Suprema
como “ Coincidentia Oppositorum” en la
Historia de las Religioners, Madrid.
www.usembassyjakarta.org/press_rel/kebebasan_ber
agama2.html