fakultas psikologi universitas kristen satya...
TRANSCRIPT
PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA ISTRI DITINJAU DARI
FAKTOR STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA
OLEH
MARCELIA DITA HERLANI
802010102
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian
Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA ISTRI DITINJAU DARI
FAKTOR STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA
MARCELIA DITA HERLANI
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, M.S.
Jusuf Tj. Purnomo, MA. Psi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan signifikan kepuasan perkawinan pada istri
ditinjau dari status sosial ekonomi keluarga. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling dengan subjek berjumlah 53 orang istri. Subjek terdiri
dari status sosial ekonomi tinggi sebanyak 27 orang dan status sosial ekonomi rendah sebanyak
26 orang. Pengumpulan data kepuasan perkawinan dilakukan dengan skala ENRICH Marital
Scale yang disusun oleh Olson, Fournier, dan Druckman (1985) dan telah dimodifikasi oleh
Carrano, Cleveland, Bronte, dan Moore (2003). Teknik analisa data menggunakan uji T
(Independent samples test). Hasil analisa dalam penelitian ini diperoleh nilai T Sig. sebesar 0,000
(p<0,05) yang berarti ada perbedaan signifikan tingkat kepuasan perkawinan pada istri ditinjau
dari faktor status sosial ekonomi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa istri dengan status
sosial ekonomi keluarga tinggi memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi daripada
istri dengan status sosial ekonomi keluarga rendah.
Kata Kunci : Kepuasan perkawinan, Status sosial ekonomi status, Istri
ii
ABSTRACT
This study aims to find significant differences of wives marital satisfaction in term of
socioeconomic status of the family. Using purposive sampling technique, the research subject
are 53 wives. The subjects consist of 27 wives with high socioeconomic status and 26 wives with
low socioeconomic status. Data collection was done with the marital satisfaction scale ENRICH
marital scale proposed by Olson, Fornier, and Druckman (1985) which modified by Carrano,
Cleveland, Bronte, and Moore (2003). T-test (Independent samples test) is used as data analysis
technique . Result obtained T-Sig.= 0,000 (p<0,05) which means that there are significant
differences of wives marital satisfaction in term of socioeconomic status of the family. The result
also shows that marital satisfaction of wife with high socioeconomic status is higher than
marital satisfaction of wife with low socioeconomic status of the family.
Keywords : Marital Satisfaction, Socioeconomic status, Wife
1
PENDAHULUAN
Seorang manusia pasti menginginkan perkawinan yang bahagia bersama pasangannya serta
mencapai tahap kepuasan dalam perkawinannya. Olson (2006) menyatakan bahwa perkawinan
adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang untuk saling berbagi
keintiman dan emosional, berbagi tanggung jawab, dan sumber pendapatan. Salah satu harapan
terpenting yang dimiliki seseorang dalam perkawinannya adalah mencapai perkawinan yang
memuaskan. Menurut Saxton (2012, dalam Larasati) kepuasan perkawinan adalah terpenuhinya
tiga aspek kebutuhan dasar dalam pernikahan yaitu, kebutuhan materil, kebutuhan seksual, dan
kebutuhan psikologis. Kebutuhan materil dapat memberikan kepuasan fisik, hal ini dapat
diwujudkan dengan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan, dan uang. Sedangkan
kebutuhan seksual dapat terpenuhi dengan keharmonisan rumah tangga dan kondisi hubungan
seksual yang baik antar pasangan. Sedangkan kebutuhan psikologis dapat terpenuhi dengan
tercapainya rasa aman, saling menghormati dan menghargai, saling pengertian, dapat menerima
satu sama lain, kerjasama, dan komitmen.
Santrock (2006) menyatakan bahwa kepuasan perkawinan memberikan pengaruh yang
sangat baik bagi pasangan antara lain dapat mengurangi tingkat stress, baik secara psikologis
maupun fisik. Pengaruh yang sangat baik bagi pasangan tersebut seperti mengurangi tingkat stres
baik fisik maupun psikologis sedangkan dalam perkawinan yang tidak memuaskan dapat
meningkatkan resiko sakit dan mengurangi kesempatan hidup (Gove, Style, & Hughes 2006,
dalam Santrock). Selain itu menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2002, dalam Mathew)
menyebutkan bahwa kepuasan perkawinan juga merupakan evaluasi subjektif seorang individu
terhadap hubungan perkawinannya. Dampak terburuk dari tidak tercapainya kepuasan
perkawinan adalah perceraian. Sulistyawati (2008, dalam Novita) menyatakan bahwa ada
2
beberapa faktor yang mempengaruhi perceraian seperti kurangnya kesiapan mental,
permasalahan ekonomi, kurangnya komunikasi antar pasangan, campur tangan keluarga
pasangan.
Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI pada tahun 2010
menyebutkan bahwa selama 2005 sampai 2010 rata-rata ada satu perceraian dari 10 perkawinan.
Semakin tingginya angka perceraian semakin menunjukkan bahwa banyak perkawinan
bermasalah. Selain itu pada tahun 2006 tercatat 528 orang bercerai hanya karena perbedaan
padangan. Penyebab perceraian lainnya antara lain: poligami, kawin paksa, pernikahan di bawah
umur, dan kekerasan dalam rumah tangga, menjadi tenaga kerja di luar negeri. Sedangkan pada
2010, masalah utama perceraian dipicu karena masalah ekonomi. Data yang dilansir Badilag
Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini menyebutkan, dari 285.184 perkara perceraian, sebanyak
67.891 kasus karena masalah ekonomi. Terbanyak di Jawa Barat dengan 33.684 kasus, disusul
Jawa Timur, yaitu sebanyak 21.324 kasus. Posisi ketiga Jawa Tengah dengan 12.019. Perceraian
di Indonesia 70%nya diajukan oleh pihak istri dengan alasan karena suami tidak bisa memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga.
Menurut Hurlock dalam Novita (2008) perceraian merupakan kulminasi dari penyesuaian
perkawinan yang buruk dan terjadi apabila diantara suami dan istri sudah tidak mampu lagi
mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang memuaskan kedua belah pihak.
Dalam hal ini kemampuan manajemen konflik dalam rumah tangga sangat dibutuhkan untuk
mempertahankan perkawinan.
Ketika seseorang memutuskan untuk menjalani kehidupan perkawinan ada 5 tahap proses
yang dilakukan oleh seseorang yaitu pemilihan pasangan, persiapan perkawinan, pemantapan
3
mental untuk memasuki kehidupan perkawinan, masukan dari pihak keluarga, dan pelaksanaan
perkawinan. Perkawinan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi berbagai
kebutuhan esensial seperti keintiman, persahabatan, perhatian atau kasing sayang, kebutuhan
seksual, serta kebersamaan (Papalia, Olds & Feldman, 2007).
Dalam kepuasan perkawinan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi. Hendrick dan
Hendrick dalam Rachmawati dan Mastuti (2013) membagi faktor-faktor tersebut menjadi 2 yaitu
faktor-faktor sebelum perkawinan (premarriage) dan sesudah perkawinan (postmarriage).
Adapun faktor-faktor yang terdapat dalam premarriage adalah latar belakang sosial ekonomi,
pendidikan, pekerjaan, pengaruh orang tua. Sedangkan faktor-faktor dalam postmarriage yaitu
anak dan lama perkawinan. Sedangkan menurut Olson dan Fowers (1989) mengemukakan
bahwa ada sepuluh area dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk melihat kepuasan
perkawinan yaitu komunikasi, aktivitas waktu senggang, orientasi keagamaan, pemecahan
masalah, manajemen keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kehadiran anak dan
menjadi orang tua, kepribadian, dan peran egalitarian.
Dalam budaya tradisional di India, seorang wanita memilih untuk menikahi pria yang
memiliki usia 4-5 tahun lebih tua darinya, memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi daripada
istrinya kelak, memiliki pendapatan lebih banyak dan status pekerjaan yang lebih baik, juga
memiliki keyakinan yang sama (Vaijayanthimala, Bharati, & Panda, 2004). Hal ini menunjukkan
bahwa faktor heterogami yang mempengaruhi seorang wanita dalam memilih pasangannya
adalah faktor pendidikan, usia, pekerjaan, dan agama.
Data di atas menunjukkan bahwa faktor status sosial ekonomi memang berperan penting
terhadap kepuasan perkawinan. Faktor status sosial ekonomi sendiri dipengaruhi oleh banyak hal
4
seperti pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan (Adi, 2004). Menurut Soerjono Soekanto (2003)
status sosial ekonomi seseorang dapat diukur dari ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan
ilmu pengetahuan.
Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil penelitian karya Eghbal, Hossein, dan Mohammad
(2012) menunjukkan bahwa ada hubungan korelasi yang signifikan yakni 0.210 terhadap
hubungan antara kepuasan perkawinan dan faktor-faktor sosial ekonomi. Pekerjaan laki-laki
berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil kepuasan
perkawinan terendah dialami oleh pasangan yang tidak bekerja.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Esti (2010) di Filipina, presentase dari
pendapatan istri terhadap kepuasan perkawinan memiliki korelasi yang tidak terlalu signifikan.
Pendapatan suami, pendapatan istri, dan pendapatan suami istri tidak memiliki korelasi yang
signifikan terhadap kepuasan perkawinan. Uang bukanlah suatu masalah yang krusial bagi
pasangan sehingga tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan perkawinan pada istri. Namun
saling memberikan dukungan, penghargaan, pengertian, dan penerimaan dengan suami akan
lebih meningkatkan tingkat kepuasan perkawinan pada istri.
Berdasarkan hasil dari beberapa hasil penelitian diatas yang masih menyatakan pro dan
kontra, penulis tertarik untuk meneliti perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada istri ditinjau
dari status sosial ekonomi keluarga untuk mengetahui apakah ada perbedaan kepuasan
perkawinan pada istri ditinjau dari status sosial ekonomi keluarga.
Penelitian memiliki beberapa manfaat secara teoritis maupun secara praktis. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada bidang psikologi
khususnya psikologi keluarga, perkembangan dan sosial. Manfaat praktis berdasarkan hasil
5
penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kita mengenai kepuasan perkawinan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keutuhan perkawinan yang dapat menjadi pertimbangan dalam
memutuskan untuk membina hubungan perkawinan. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan pengetahuan baru yang lebih obyektif tentang perkawinan.
Kepuasan Perkawinan
Kepuasan perkawinan adalah evaluasi subjektif individu terhadap hubungan
perkawinannya berupa perasaan bahagia dan kualitas perkawinan (Taylor, Peplau & Sears, 2002,
dalam Mathews). Menurut Olson dan Fowers (1989;1993) terdapat 10 aspek kepuasan
perkawinan yaitu :
a. Komunikasi (Communication)
Komunikasi dapat menjadi sarana bagi pasangan untuk sekedar memberikan perhatian
selain itu juga keterbukaan, saling memahami dengan cara mengungkapkan apa yang
diinginkan, menghargai pasangan, otonomi sebagai individu bersama pasangan,
kepercayaan, empati, dan ketrampilan mendengar.
b. Kegiatan mengisi waktu luang (Leisure Activity)
Kegiatan disini bertujuan untuk merefleksikan aktivitas baik personal maupun bersama
yang pernah dilakukan oleh pasangan. Pasangan yang mengisi waktu luang bersama-sama
menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi dimana kesempatan menghabiskan
waktu bersama akan menghasilkan perasaan yang lebih positif terhadap kehidupan
perkawinan.
c. Orientasi keagamaan (Religious Orientation)
6
Makna keyakinan beragama, pelaksanaan dalam kehidupan, memberikan teladan bagi
anaknya, mengajarkan dan membiasakan anggota untuk beribadah, dan ikut dalam
organisasi keagamaan.
d. Resolusi konflik (Conflict Resolution)
Cara pasangan memecahkan pemasalahan dan melihat persepsi mereka terhadap masalah
tersebut. Strategi yang digunakan oleh pasangan guna menghentikan perbedaan pendapat
diantara mereka, adanya keterbukaan dari masing-masing individu, membangun
kepercayaan, dan saling mendukung dalam mengatasi masalah.
e. Manajemen keuangan (Financial Management)
Pengaturan dan pembuatan keputusan dalam hal keuangan keluarga, cara pasangan
membelanjakan uang mereka dan keputusan finansial. Aspek ini dapat menimbulkan
konflik apabila salah satu pihak menguasai keuangan keluarga tanpa adanya keterbukaan
dan rencana keuangan untuk masa mendatang.
f. Hubungan seksual (Sexual Relationship)
Di sini pasangan dapat merefleksikan sikap yang berhubungan dengan masalah seksual,
tingkah laku seksual, dan kesetiaan tehadap pasangan serta dapat atau tidak individu
tersebut memuaskan pasangannya. Saling memahami dan mengetahui kebutuhan pasangan
masing-masing, saling mengungkapkan hasrat dan cinta, dan membaca tanda yang
diberikan pasangan dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan pada pasangan.
g. Keluarga dan teman (Family and Friends)
Merefleksikan harapan dan perasaan senang dalam mengisi waktu bersama dengan teman-
teman, kerabat, keluarga, mertua.
h. Kehadiran anak dan pengasuhan anak (Children and Parenting)
7
Aspek ini melihat bagaimana orang tua mengambil keputusan dalam mendisiplinkan anak,
melakukan kegiatan bersama anak, dan pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan
dengan pasangan. Jika cita-cita pribadi terhadap anak dapat terwujud akan mempengaruhi
kepuasan dalam perkawinan.
i. Masalah kepribadian (Personality Issues)
Di sini pasangan akan melihat kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian mereka masing-
masing. Kepribadian mereka yang sebenarnya akan muncul setelah menikah dan disinilah
pasangan akan menemukan banyak perbedaan yang dapat menyebabkan masalah. Tingkah
laku pasangan yang tidak sesuai dengan harapan akan memunculkan kekecewaan.
j. Peran egalitarian (Equalitarian Roles)
Penilaian di sini berupa perasaan dan sikap individu terhadap peran dan tugas mereka
setelah menikah seperti pekerjaa, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran
sebagai orang tua. Diharapkan pria dan wanita dapat bekerja sama dalam menjalankan
peran dan tugas rumah tangga mereka. Tidak mempermasalahkan atau merasa malu jika
wanita memiliki jabatan dan pendapatan yang lebih tinggi dari pria. Sebab suatu peran
seharusnya dapat mendatangkan kepuasan pribadi dalam suatu perkawinan.
Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi merupakan suatu kedudukan yang diatur secara sosial dan
menempatkan seseorang pada posisi tertentu di dalam struktur sosial masyarakat; pemberian
posisi ini disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dimainkan oleh si
pembawa status (Manasse Malo, dkk., 2004, dalam Adi).
Faktor yang digunakan untuk mengukur dan menentukkan tinggi atau rendah kedudukan
yang dimiliki :
8
a) Pendidikan
Menurut Soekanto (2003) pendidikan merupakan alat yang dapat membina dan mendorong
seseorang untuk berpikir secara rasional maupun logis dan dapat meningkatkan kesadaran
dalam penggunaan waktu sebaik mungkin dengan menyerap banyak pengalaman mengenai
keahlian dan ketrampilan sehingga lebih cepat tanggap terhadap gejala-gejala sosial yang
terjadi.
Adi (2004) mengklasifikasikan tingkat pendidikan menjadi 3 :
(1) Pendidikan rendah : tidak sekolah dan SD
(2) Pendidikan menengah : SMP dan SMA
(3) Pendidikan tinggi : Perguruan Tinggi
b) Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di
suatu tempat guna mengahasilkan barang atau jasa. Tujuan seseorang bekerja adalah untuk
mendapatkan penghasilan yang dapat berguna dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu perkerjaan merupakan suatu kewajiban yang yang harus dilakukan dan
dapat mempengaruhi kemampuan ekonominya.
Adi (2004) dalam bukunya mengklasifikasikan pekerjaan kedalam 3 golongan:
1) Pekerjaan rendah : tenaga tidak terampil dan semi terampil.
2) Pekerjaan menengah : tenaga terampil dan teknisi
3) Pekerjaan tinggi : tenaga profesional
c) Pendapatan/Penghasilan
9
Pendapatan atau penghasilan adalah upah yang diterima baik berupa uang maupun barang
pada saat seseorang sudah melaksanakan kewajiban atau pekerjaannya. Pendapatan ini
berguna untuk mencukupi kebutuhan dan dapat menambah jumlah kekayaan.
Adi (2004) dalam bukunya mengklasifikasikan pendapatan kedalam 3 golongan :
1) Pendapatan rendah : kurang dari 1 juta perbulan sampai 2,9 juta perbulan
2) Pendapatan menengah : 3 juta perbulan sampai 5,9 juta perbulan
3) Pendapatan tinggi : lebih dari 6 juta perbulan
d) Kekayaan
Kekayaan adalah harta yang dimiliki oleh seseorang yang berasal dari penghasilan sendiri
maupun harta warisan. Harta disini dapat berupa barang seperti tanah, rumah, perhiasan,
dan barang berharga lainnya. Namun juga dapat berupa uang simpanan. Orang yang
memiliki kekayaan yang tinggi akan semakin dihormati oleh orang-orang disekitarnya dan
masuk dalam golongan status sosial tinggi.
Adi (2004) dalam bukunya mengklasifikasikan kekayaan kedalam 3 golongan :
1) Kekayaan rendah : memiliki harta dan simpanan uang senilai kurang dari 5 juta Rupiah
pertahun.
2) Kekayaan menengah : memiliki harta dan simpanan uang senilai 5-15 juta Rupiah
pertahun.
3) Kekayaan tinggi : memiliki harta dan simpanan uang senilai lebih dari 15 juta Rupiah
pertahun.
10
Skor Untuk Kategori Status Sosial Ekonomi
SKOR KATEGORI
PENDIDIKAN PEKERJAAN PENGHASILAN KEKAYAAN
1
Tidak Sekolah
Tidak terampil
Kurang dari Rp 1
juta- 1,9 juta
perbulan
Memiliki kurang
dari Rp 5 juta
2 SD (sekolah dasar) Semi terampil Rp 2 juta-2,9 juta
perbulan
Memiliki kurang
dari Rp 5 juta
3 SMP (sekolah
menengah pertama)
Terampil Rp 3 juta-3,9 juta
perbulan
Memiliki Rp 5 juta-
9,9 juta
4 SMA (sekolah
menengah atas)
Teknisi Rp 4 juta- 5,9 juta
perbulan
Memiliki Rp 10 juta
– Rp 14,9 juta
5 PT (perguruan
tinggi)
profesional Diatas Rp 6 juta
perbulan
Memiliki Rp 15
keatas
Perbedaan Tingkat Kepuasan Perkawinan Ditinjau dari Status Sosial Ekonomi
Seorang manusia pasti menginginkan perkawinan yang bahagia bersama pasangannya
serta mencapai tahap kepuasan dalam perkawinannya. Kepuasan perkawinan adalah
terpenuhinya tiga aspek kebutuhan dasar dalam pernikahan yaitu, kebutuhan materil, kebutuhan
seksual, dan kebutuhan psikologis (Saxton, 2012, dalam Larasati). Dampak terburuk dari tidak
tercapainya kepuasan perkawinan adalah perceraian. Sulistyawati (2008, dalam Novita)
menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi perceraian seperti kurangnya
kesiapan mental, permasalahan ekonomi, kurangnya komunikasi antar pasangan, campur tangan
keluarga pasangan.
Olson dan Fowers (1989) mengemukakan bahwa ada sepuluh area dalam perkawinan
yang dapat digunakan untuk melihat kepuasan perkawinan yaitu komunikasi, aktivitas waktu
senggang, orientasi keagamaan, pemecahan masalah, manajemen keuangan, hubungan seksual,
keluarga dan teman, kehadiran anak dan menjadi orang tua, kepribadian, dan peran egalitarian.
11
Dalam kepuasan perkawinan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi. Hendrick dan
Hendrick (2013, dalam Mathews) membagi faktor-faktor tersebut menjadi 2 yaitu faktor-faktor
sebelum perkawinan (premarriage) dan sesudah perkawinan (postmarriage). Adapun faktor-
faktor yang terdapat dalam premarriage adalah latar belakang sosial ekonomi, pendidikan,
pekerjaan, pengaruh orang tua. Sedangkan faktor-faktor dalam postmarriage yaitu anak dan
lama perkawinan. Sedangkan menurut Olson dan Fowers (1989) mengemukakan bahwa ada
sepuluh area dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk melihat kepuasan perkawinan yaitu
komunikasi, aktivitas waktu senggang, orientasi keagamaan, pemecahan masalah, manajemen
keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kehadiran anak dan menjadi orang tua,
kepribadian, dan peran egalitarian.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada istri
ditinjau dari status sosial ekonomi keluarga yang bertempat tinggal di RW 3 kelurahan
Singopuran, Kartasura, Sukoharjo. Semakin tinggi status sosial ekonomi, maka semakin tinggi
pula tingkat kepuasan perkawinan.
12
METODE
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di RW 3 kelurahan Singopuran, Kartasura, Sukoharjo. Subjek
penelitian ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan pada suami
istri yang tinggal bersama. Dari kriteria tersebut penulis memutuskan 60 orang istri yang terdiri
dari 30 istri yang status sosial ekonomi keluarganya rendah dan 30 istri yang status sosial
ekonomi keluarganya tinggi sebagai subjek penelitian. Setelah menyebarkan angket sejumlah 92
kuisioner, 17 kuisioner gugur karena masuk dalam kriteria status sosial ekonomi menengah, 14
kuisioner tidak kembali, dan 8 kuisioner gugur karena beberapa aitem tidak diisi oleh subjek,
sehingga hanya 53 kuisioner yang kembali dan tidak gugur. 53 kuisioner tersebut terdiri dari 26
subjek yang status sosial ekonomi keluarganya rendah dan 27 dari subjek yang status sosial
ekonomi keluarganya tinggi. Karena proses pengambilan data sudah memakan waktu yang
cukup lama maka penulis memutuskan untuk berhenti melakukan pengambilan data dan
menggunakan 53 data yang sudah terkumpul.
Alat Ukur Penelitian
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan perkawinan pada istri ditinjau
dari faktor status sosial ekonomi keluarga adalah skala Enrich Marital Scale yang disusun oleh
Olson, Fournier, dan Druckman (1985) dan telah dimodifikasi oleh Carrano, Cleveland, Bronte,
dan Moore (2003). Dimana skala ini memiliki sepuluh aspek kepuasan perkawinan yang meliputi
: komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, resolusi konflik, manajemen
keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kehadiran anak dan pengasuhan anak, masalah
kepribadian, peran egalitarian. Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah
13
skala Likert dan terdiri dari 99 aitem pernyataan. Setelah dilakukan pengujian daya diskriminasi
menjadi 64 aitem (35 aitem gugur). Dari uji reliabilitas dengan Alpha Cronbach diperoleh hasil r
= 0,947.
Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Pengumpulan data dilaksanakan pada
tanggal 1 September 2014 s/d 3 Oktober 2014 dengan cara penulis langsung datang ke tempat
tinggal subjek. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive sampling untuk
pemilihan subjek penelitian dimana kriteria subjek dinilai dari tingkat pendidikan, pekerjaan, dan
penghasilan. Dari beberapa kuisioner yang penulis berikan kepada subjek hanya 53 kuisioner
yang kembali. Pada penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai, dimana subjek yang
digunakan untuk try out digunakan sekaligus untuk penelitian. Data yang diperoleh dalam
penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan program komputer SPSS 16.0 for windows.
Teknik Analisa Data
Metode analisis menggunakan uji-t untuk melihat perbedaan signifikan kepuasan
perkawinan pada istri ditinjau dari faktor status sosial ekonomi keluarga. Analisis data dilakukan
dengan bantuan program bantu komputer SPSS 16.0 for windows.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Uji Normalitas
Berdasarkan hasil dari uji normalitas Kolmogrov-Smirnov, didapatkan nilai signifikansi
kepuasan perkawinan pada istri berstatus sosial ekonomi tinggi sebesar p = 1,000 (p > 0,05).
Sedangkan hasil signifikansi kepuasan perkawinan pada istri berstatus sosial ekonomi rendah
sebesar p = 0.478 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data kepuasan perkawinan
pada istri yang memiliki keluarga berstatus sosial tinggi dan rendah merupakan sebaran data
yang berdistribusi normal.
Uji Homogenitas
Uji homogenitas pada penelitian ini menggunakan Levene Test Statistic. Dalam uji
homogenitas sampel dinyatakan homogen apabila nilai p lebih besar dari 0,05 (p > 0,05). Pada
penelitian ini nilai diperoleh nilai F pada Levene Statistic sebesar 5,810 dengan p sebesar 0,020
(p < 0,05). Dari hasil tersebut penelitian ini dinyatakan bersifat tidak bersifat homogen atau
tidak memiliki varians yang sama. Sehingga untuk membaca hasil analisis pada table uji t
menggunakan kolom equal variances not assued.
15
Analisis Deskriptif
Tabel 1.
Kriteria Tingkat Kepuasan Perkawinan Pada Istri yang Memiliki Keluarga Status Sosial
Ekonomi Tinggi
No Interval Kategori Frekuensi % Mean SD
1
2
3
4
5
268,8 ≤ x ≤ 320
217,6 ≤ x < 268,8
166,4 ≤ x < 217,6
115,2 ≤ x < 166,4
64 ≤ x < 115,2
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
5
22
18,52%
81,48% 255,96 17,024
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa kategori sangat rendah sebesar (0%), rendah (0%),
cukup (0%), tinggi (81,48%), dan sangat tinggi (18,52%). Kepuasan perkawinan pada istri yang
memiliki keluarga berstatus sosial tinggi memiliki skor minimum 234 dan skor maksimum 292.
Mean (rata-rata) sebesar 255,96dengan standar deviasi (SD) sebesar 17,024.
Tabel 2.
Kriteria Tingkat Kepuasan Perkawinan Pada Istri yang Memiliki Keluarga Status Sosial
Ekonomi Rendah
No Interval Kategori Frekue
nsi
% Mean SD
1
2
3
4
5
268,8 ≤ x ≤ 320
217,6 ≤ x < 268,8
166,4 ≤ x < 217,6
115,2 ≤ x < 166,4
64 ≤ x < 115,2
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
16
10
61,54%
28,46% 222,19 29,096
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa kategori sangat rendah sebesar (0%), rendah (0%),
cukup (28,46%), tinggi (61,54%), dan sangat tinggi (0%). Kepuasan perkawinan pada istri yang
memiliki keluarga berstatus sosial tinggi memiliki skor minimum 166 dan skor maksimum 270.
Mean (rata-rata) sebesar 222,19 dengan standar deviasi (SD) sebesar 29,096.
16
Uji T
Tabel 3.
Gambaran kepuasan perkawinan pada istri berdasarkan status sosial ekonomi keluarga
Kepuasan Perkawinan
SSE Tinggi SSE Rendah
N
Mean
Standar Deviasi
Standard Error Mean
27
255,96
17,024
3,276
26
222,19
29,096
5,706
Tabel 4
Hasil Perhitungan Uji T
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
skor_total Equal variances assumed
5.810 .020 -5.181 51 .000 -33.771 6.518 -46.856 -20.685
Tabel 3 menunjukkan bahwa mean kepuasan perkawinan pada istri yang berstatus sosial
ekonomi keluarganya tinggi lebih besar dibandingkan dengan istri yang status sosial ekonominya
rendah, yaitu sebesar 255,96 sedangkan mean kepuasan perkawinan istri yang status sosial
ekonomi keluarganya rendah sebesar 222,19.
Taraf signifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05 sehingga H0 ditolak dan
H1 diterima jika signifikasi <0,05 yang artinya terdapat perbedaan tingkat kepuasan perkawinan
pada istri ditinjau dari status sosial ekonomi keluarga. Namun apabila nilai signifikasi >0,05
maka H0 diterima dan H1 ditolak artinya tidak terdapat perbedaan tingkat kepuasan perkawinan
pada istri ditinjau dari status sosial ekonomi keluarga.
17
Berdasarkan keterangan tabel 4 diperoleh hasil signifikasi (2-tailed) 0,000 (p<0,05)
sedangkan nilai T -5.181, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikasi
tingkat kepuasan perkawinan pada istri ditinjau dari status sosial ekonomi keluarga yang tinggal
di RW 03 kelurahan Singopuran, Kartasura, Sukoharjo. Dari hasil tersebut dapat diketahui
bahwa istri yang status sosial ekonomi keluarganya tinggi memiliki tingkat kepuasan perkawinan
yang tinggi dan sebaliknya istri yang status sosial ekonomi keluarganya rendah memiliki tingkat
kepuasan perkawinan yang rendah.
Pembahasan
Hasil uji T dari penelitian ini diperoleh nilai signifikasi (2-tailed) sebesar 0,000 (p<0,05)
dan nilai T sebesar -5.181 hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikasi pada
tingkat kepuasan perkawinan pada istri ditinjau dari status sosial ekonomi keluarga yang tinggal
di RW 3 kelurahan Singopuran, Kartasura, Sukoharjo. Adanya perbedaan mean yang diperoleh
dari hasil penghitungan menggunakan SPSS menunjukkan adanya perbedaan signifikasi.
Dimana mean kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki status sosial ekonomi keluarga
tinggi sebesar 255,96 sedangkan mean kepuasan perkawinan istri yang status sosial ekonomi
keluarganya rendah sebesar 222,19. Hal ini menunjukkan bahwa istri yang status sosial ekonomi
keluarganya tinggi memiliki kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dari pada istri yang status
sosial ekonomi keluarganya rendah.
Dalam kepuasan perkawinan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi. Hendrick dan
Hendrick (2002, dalam Mathews) membagi faktor- faktor tersebut menjadi 2 yaitu faktor-faktor
sebelum perkawinan (premarriage) dan sesudah perkawinan (postmarriage). Adapun faktor-
faktor yang terdapat dalam premarriage adalah latar belakang sosial ekonomi, pendidikan,
18
pekerjaan, pengaruh orang tua. Sedangkan faktor-faktor dalam postmarriage yaitu anak dan
lama perkawinan.
Latar belakang ekonomi, faktor ini menyangkut harapan akan status sosial ekonomi
seseorang terhadap pasangannya. Jika harapan yang dimiliki sesuai dengan apa yang terjadi pada
perkawinannya maka akan membawa dampak yang baik. Sedangkan pendidikan mempengaruhi
cara berpikir dan penghasilan yang dapat diperoleh. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi umumnya akan berpikiran lebih terbuka dan memiliki penghasilan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah (Rachmawati dan Mastuti, 2013).
Pengaturan dan pembuatan keputusan dalam hal keuangan keluarga baik dalam cara
membelanjakan uang dan keputusan finansial dapat menimbulkan konflik apabila salah satu
pihak menguasai keuangan keluarga tanpa adanya keterbukaan dan rencana keuangan untuk
masa mendatang (Olson dan Fowers, 1989;1993).
Dari penjelasan diatas dapat disimpuklkan bahwa status sosial ekonomi keluarga dapat
berpengaruh pada tingkat kepuasan perkawinan. Status sosial ekonomi terdiri dari beberapa
faktor yang mempengaruhi yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan kekayaan. Pendidikan
memiliki peran penting terhadap cara berpikir yang rasional dan logis. Selain itu pendidikan juga
berhubungan dengan kemampuan intelektual seseorang yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup. Sebab tingkat pendidikan yang tinggi dapat mempengaruhi golongan pekerjaan dan
pendapatan yang akan didapatkan (Soekanto, 2003).
Ekonomi keluarga dapat dikatakan baik apabila pemenuhan kebutuhan pribadi maupun
keluarga dapat terpenuhi setidaknya kebutuhan primer dan sekunder. Dengan terpenuhinya
kebutuhan tersebut maka akan tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan anggota keluarga.
19
PENUTUP
Kesimpulan
Ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada istri ditinjau dari status sosial ekonomi
keluarga di RW 03 kelurahan Singopuran, Kartasura, Sukoharjo. Dimana istri yang status sosial
ekonomi keluarga tinggi memiliki tingkat kepuasan perkawinan lebih tinggi daripada istri yang
status sosial ekonomi keluarga rendah.
Saran
1. Bagi para istri yang merasa sudah mencapai kepuasan dalam perkawinannya agar tetap
mempertahankan keharmonisan dalam rumah tangga agar kepuasan perkawinan yang
sudah dicapai tidak berkurang.
2. Bagi istri yang merasa kurang atau belum mencapai tingkat kepuasan perkawinan seperti
yang diinginkan agar mau mendiskusikan secara terbuka dengan pasangan masing-
masing sehingga dapat saling mengerti dan memahami satu sama lain.
3. Peneliti selanjutnya disarankan untuk mewawancarai subjek terlebih dahulu untuk
menentukkan kriteria dalam golongan status sosial ekonominya. Dan memastikan aitem
pertanyaan telah diisi semua oleh subjek untuk menghindari jumlah kuisioner gugur yang
terlalu banyak. Selain itu lebih berhati-hati dalam melakukan meneliti tentang status
sosial ekonomi, sesuaikan alat ukur dengan kondisi terbaru saat penelitian.
4. Status sosial ekonomi bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepuasan
perkawinan. Oleh sebab itu sebaiknya perhatikan juga faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi kepuasan perkawinan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Adi, R. (2004). Metodelogi penelitian sosial dan hukum edisi 1. Jakarta: Granit. Diunduh pada
17 Maret 2014 dari http:// books.google.com/books?isbn=9794614785.
Azwar, S. (2010). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Carrano, B. Cleveland, K. Bronte-Tinkew, J. Moore, K. (2003). Conceptualizing and measuring
“healthy marriages” for empirical research and evaluation studies: a compendium of
measures- part II (task one). Washington: Departement of Health and Human Services.
Retrieved August, 7, 2014, from http://www.childtrends.org/wp-
content/uploads/2013/09/Healthy-Marriages-Part-II.pdf.
Devita, K. (2009). Perbedaan kepuasan perkawinan pada suami ditinjau dari usia perkawinan.
Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Duvall & Miller. (1985). Marriage and family development, (6th
ed). New York: Harper & Row,
Publishers. Retrieved March, 18, 2014, from
http://books.google.co.id/books/about/Marriage_and_Family_Development.
Esti, B. (2010). Socioeconomic variables in correlation with marital satisfaction among filipino
wives. Faculty of Psychology Satya Wacana Christian University. Retrieved June, 9, 2014,
from http://bertapsychologycorner.blogspot.com/2010/12/socioeconomic-variables-in-
correlation.html
Eghbal, Z. Hossein, Z. Mohammad, A. (2012). Relationship between the economic-social factors
and marital life satisfaction. Journal of Basic and Applied Scientific Research. Iran: Bandar
Abbas University of Hormozgan. Retrieved October, 23, 2013, from
http://www.textroad.com.
Fowers, B. J. & Olson, D. H. (1989). Enrich marital inventory: a discriminant validity & cross-
validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 15 (1). Retrieved August, 7,
2014, from https://www.prepare-enrich.com.
Fowers, B. J. & Olson, D. H. (1993). Enrich marital scale: a brief research and clinical tool.
Journey of Family Psychology, 7 (2). Retrieved August, 7, 2014, from https://www.prepare-
enrich.com/pe_main_site_content/pdf/research/study3.pdf.
Hurlock, E. B., 1999. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
RentangKehidupan. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga
Lamanna, M & Riedmann, A. (2008). Marriages & families: making choices in a diverse society
(10th
ed). USA: Thomson Higher Education.
21
Larasati, A. (2012). Kepuasan perkawinan pada istri ditinjau dari keterlibatan suami dalam
menghadapi tuntutan ekonomi dan pembagian peran dalam rumah tangga. Jurnal Psikologi
Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 03. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Mathews, M. (2002). Study of factor contributing to marital satisfaction. University of Zululand.
Retrived Januari, 24, 2014, from http://uzspace.uzulu.ac.za/handle/10530/449.
Marini & Julinda. (2010). Gambaran kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter
marriage. Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Diunduh 18 Maret 2014
dari http://www.google.com/url?repository.usu.ac.id.
Newman, B & Newman, P. (2006). Development through life (9th
ed). USA: Thomson Higher
Education.
Novita, P. (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian dalam perkawinan. Semarang:
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata. Diunduh 6 Mei 2014 dari
http://eprints.unika.ac.id.
Nurul, D. (2008). Gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang mengalami infertilitas.
Depok. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. diunduh 21 November 2013 dari
http://www.google.com/url.lontar.ui.ac.id.
Nurul, H & Rochman, N. (2006). Perbedaan kepuasan perkawinan antara wanita yang
mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Humanitas : Indonesian
Psychological Journal Vol. 3 No. 1. Fakultas Psikologi UAD, Fakultas Psikologi UGM.
Diunduh pada tanggal 17 Maret 2014 dari http://www.google.com/url?journal.uad.ac.id.
Olson, D. DeFrain, J. Skogrand, L. (2006). Marriages and families:intimacy, diversity, and
strengths (7th
ed). New York: Mc Graw Hill.
Papalia, Olds & Feldman, R.D., (2009). Human development, (7th
ed). New York: McGraw –
Hill International Edition. Retrieved March, 16, 2014, from http://books.google.co.id/books?
Rahcmawati, D & Mastuti, E. (2013). Perbedaan tingkat kepuasan perkawinan ditinjau dari
tingkat penyesuaian perkawinan pada istri brigif 1 marinir tni-al yang menjalani long
distance marriage. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Volume 02, No. 01.
Santrock. (2006). Remaja. Jakarta: Erlangga
Soerjono, S. (2003). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Vaijayanthimala, K. Bharati, K. Panda, B. (2004). Socio-Economic Heterogamy and Marital
Satisfaction. J. Hum.Ecol, 15(1):9-11 Department of Home Science,Womens
College;Department of Psychology, University of New Delhi; Department of Home Science
Sambalpur University. Retrieved October, 23, 2013, from www.krepublishers.com.