fakultas ilmu sosial dan ilmu politik …/program... · 2 bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
PROGRAM COMMUNITY POLICING
Disusun Oleh :
RULLY WIRASTANINGRUM
D0205122
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perubahan sebagai konsekuensi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah merambah ke hampir semua kehidupan manusia. Dewasa ini
perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia tengah mengalami perubahan
drastis yang melahirkan proses globalisasi yaitu perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi khususnya di bidang komunikasi dan informasi serta transportasi.
Bangsa Indonesia, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, mau atau
tidak mau, pasti terseret ke dalam era globalisasi. Karena itulah bangsa Indonesia
harus mampu memanfaatkan dampak positif dari globalisasi. Globalisasi ditandai
dengan munculnya berbagai karakteristik kehidupan masyarakat dunia, seperti
meningkatnya peran perusahaan swasta dalam perdagangan internasional,
melemahnya ikatan nasional, meningkatnya peranan informasi, pendayagunaan
modal asing, dan regionalisme yang menonjol.
Di tengah perubahan masyarakat yang berkembang dengan pesat sebagai
akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (informasi,
komunikasi dan transportasi) dan pengaruh globalisasi, menjadikan masyarakat
semakin kritis terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah. Bagi bangsa
Indonesia, proses globalisasi telah memacu tuntutan reformasi terhadap segenap
tatanan kehidupan bangsa.
3
Berkaitan dengan arus globalisasi yang melanda dunia dan tidak
terelakkan juga di Indonesia maka bermunculan protes dan reaksi masyarakat
yang dipelopori oleh mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat serta para aktifis
mahasiswa, politisi, dan para pakar pada tahun 1998 yang menuntut pemerintahan
Orde Baru yang cenderung otoriter untuk melepaskan kekuasaannya. Peralihan
dari rezim pemerintahan otoriter menuju pemerintahan reformasi yang mencirikan
demokrasi ditandai dengan perombakan di lingkungan birokrasi pada tingkat
administrasi publik termasuk berbagai peraturan perundang-undangan. Namun
realisasinya di masyarakat masih banyak diwarnai oleh adanya sifat curang dan
balas dendam serta terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat pro dan kontra
sehingga berpengaruh pada situasi Kamtibmas pada masa awal bergulirnya
reformasi.
Era reformasi menggugah semangat pembaharuan, semangat perbaikan,
penataan dan pembenahan secara sadar untuk menyoroti berbagai ketimpangan,
penyimpangan dan berbagai hal yang tidak proposional di semua lembaga
pemerintahan, termasuk institusi Kepolisian. Reformasi kepolisian sejalan dengan
era reformasi pemerintahan negara dan bangsa lebih ditujukan untuk perbaikan
pelayanan kepada masyarakat yang berkualitas terutama terkait dengan tugas
polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan maupun penegak hukum.
Selama institusi Polri berada di lingkungan Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan menyatu dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, aparat Kepolisian menjadi tidak terlatih
dalam menggunakan senjata hukum yang ada padanya karena menganggap kurang
4
dibutuhkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman dan kebiasaan yang berlaku di
lingkungan militer dengan sikap destruktif dan ofensif, yakni selalu menggunakan
kekerasan seperti melakukan penganiayaan terhadap tersangka untuk
mendapatkan pengakuan, melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat
perintah dan tanpa alasan hukum yang sah. Akibat pola kerja polisi yang bersikap
keras dan destruktif sebagai akibat dari militerisasi institusi Polri tersebut maka
menjadikan masyarakat selalu takut kepada polisi.
Keberadaan Polri sebagai bagian dari TNI/ ABRI tidak terjadi dengan
sendirinya namun didasarkan pada realitas sejarah dan perkembangan
pemerintahan negara dan bangsa Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1961 Polri
dinyatakan sebagai bagian dari ABRI dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden selaku Panglima tertinggi ABRI sesuai sistem yang dianut UUD 1945.
Penyatuan institusi Polri ke dalam tubuh TNI/ ABRI tidak dapat dilepaskan dari
terjadinya Peristiwa G 30 S/ PKI pada tahun 1965 yang disusul jatuhnya Soekarno
sebagai Presiden dan munculnya Ketua Presidium Kabinet, Jendral Soeharto yang
kemudian diangkat sebagai pejabat Presiden pada tahun 1967 dan ditetapkan
sebagai Presiden pada tahun 1968 melalui Sidang Umum MPRS. Pada masa
pemerintahan Soeharto dikenal dengan rezim “Orde Baru” yang berkuasa selama
lebih dari 32 tahun. Pada masa itu integrasi TNI/ ABRI diperketat dengan alasan
apabila institusi ABRI pecah maka negara akan ikut pecah. Oleh karena itulah
maka jabatan Panglima bagi TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan Polri dihapus
5
kemudian diciptakan jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam)
serta Panglima ABRI secara terpisah.1
Pada tanggal 1 Juli 1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI
dikembalikan menjadi Kepala Kepolisian Negara RI dan singkatannya adalah
Kapolri. Kedudukan Polri sebagai bagian dari ABRI pada waktu itu masih tidak
berubah dengan alasan integritas, sehingga segala hal ikwal yang berlaku di
lingkungan TNI/ ABRI juga diberlakukan di lingkungan Polri. Misalnya, masalah
pendidikan, sistem anggaran dan keuangan, materiil dan persoalan lainnya serta
hampir semua tugas-tugas Polri berdasarkan petunjuk dan perintah Panglima
ABRI. Modal seperti itu maka intervensi TNI terhadap pelaksanaan tugas Polri
terutama di bidang penyidikan tidak dapat dihindari, sehingga cita-cita
menjadikan hukum sebagai panglima cenderung hanya sebatas klise dan lip
service belaka. Kedudukan Polri dalam sistem pemerintahan Orde Baru hanya
sebagai alat kekuasaan dan merupakan sub-ordinat dari TNI/ ABRI, sehingga
meninggalkan ciri dan jati diri polisi sebagai pengayom, pelindung dan pelayan
masyarakat dan sebagai aparat penegak hukum.
Gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998 telah menimbulkan
perubahan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk juga
di lingkungan Kepolisian. Tuntutan rakyat agar Polri bersikap mandiri dan
profesional dalam menjalankan tugas, serta pelaksanaan fungsi dan peran sebagai
aparat penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat terjawab
1 Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian: Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hal 2-3
6
saat Presiden RI pada upacara HUT Bhayangkara ke 54 tanggal 1 Juli 2000
meresmikan reorganisasi Polri keluar dari Departemen Pertahanan dan
TNI/ABRI, untuk selanjutnya menjadi institusi independen dan mandiri yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara.
Mengenai tugas Polri berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 yang
merupakan revisi atas UU Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI,
telah ditegaskan tentang keberadaan Polri yang secara independen berada di
bawah Presiden dan tidak lagi berada di bawah Panglima ABRI. Hal tersebut
berdampak pada terjadinya perubahan struktur organisasi Polri baik dari tingkat
pusat maupun di tingkat kewilayahan (Polda, Polwil, Polres/Polresta).
Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma di tubuh Polri, yakni dari
sosok polisi yang sebelumnya bersikap militeristis karena menjadi bagian dari
ABRI kemudian menjadi polisi sipil setelah pisah dari ABRI, masyarakat
menghendaki agar Polri meningkatkan profesionalisme-nya dalam menjalankan
tugas dan kewajiban baik sebagai pemelihara Kamtibmas maupun sebagai aparat
penegak hukum.
Sulit rasanya memisahkan keeratan hubungan antara masyarakat dengan
polisi. Tidak ada masyarakat tanpa polisi. Sebaliknya, keberadaan polisi tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat. Dimana ada masyarakat, di situlah terdapat
institusi yang namanya polisi (ubi societas ubi politie).
Masyarakat adalah nyata-nyata komunitas yang dilayani oleh institusi
Kepolisian. Namun anehnya, seringkali masyarakat merasa tidak memiliki
keterkaitan dengan Polisi kecuali dalam beberapa hal, seperti tersangkut masalah
7
kriminal atau berhubungan dengan pelanggaran lalu lintas. Bahkan, sebagian
besar masyarakat kita cenderung segan, merasa tidak nyaman, dan takut ketika
mengunjungi kantor Polisi. Sebisa mungkin orang akan menghindar agar tidak
berurusan dengan Polisi. Di pihak Polisi sendiri, mereka jarang sekali
berhubungan langsung dengan masyarakat, kecuali terkait perkara kriminalitas
dan pelanggaran lalu lintas. Dari sinilah, kesenjangan jarak antara Polisi dengan
masyarakat sebetulnya mulai terpupuk.
Fenomena terjadinya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap Polri
telah diprediksi, sebagaimana dinyatakan dalam Grand Strategi Polri 2005-2025,
khususnya pada BAB II angka 2. Pada bagian tersebut tergambar krisis
kepercayaan terhadap Polri, antara lain:2
1. Saat ini banyak masyarakat yang tidak takut melanggar hukum
2. Masyarakat mengembangkan slogan-slogan yang melecehkan Polisi
3. Masyarakat menganggap kewibawaan Polri hanya pada senjata dan
wewenang formalnya
4. Masyarakat yang banyak uang menganggap Polisi tidak ada wibawa sama
sekali dan dapat dikendalikan
5. Di era kebebasan pers penyelewengan Polri semakin terbuka dan citra
Polri semakin terpuruk
Munculnya berbagai penilaian negatif terhadap performa Polri tentunya
menimbulkan berbagai pertanyaan terkait komitmen Polri untuk senantiasa
berupaya menampilkan paradigma baru dalam berperilaku dan bertindak.
2 http://www.batampos.co.id
8
Tindakan menyimpang dari sebagian anggota Polri tersebut seakan hendak
mempertanyakan kembali komitmen Polri yang konon sejak terpisah dari TNI
hendak berupaya mengubah perilaku dari sosok Polri yang antagonis menjadi
Polisi Sipil yang protagonis, yaitu polisi yang sopan, siap melayani dan dicintai
masyarakat.3
Untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat dalam
menciptakan dan menjaga Kamtibmas dan tentunya Polri dapat bertindak sebagai
polisi yang netral, jujur, terbuka bersih dan berwibawa yang dicintai dan
dihormati, dipercaya serta dibanggakan oleh masyarakatnya. Community Policing
adalah salah satu alternatif untuk menuju Polri sebagai polisi sipil yang
demokratis dan mandiri. Yang menentukan keberhasilan tugas polisi bukan hanya
pada menekan angka kejahatan tetapi manakala kejahatan atau gangguan
Kamtibmas tidak terjadi serta tercipta ketertiban dan keteraturan yang dapat
dirasakan oleh masyarakatnya yang dipercaya masyarakatnya.4
Jika selama ini citra yang ada dalam benak masyarakat adalah pelayanan
dan profesionalisme kerja polisi kurang baik dan kurang memuaskan, maka perlu
dilakukan usaha dan kegiatan untuk mengubahnya. Oleh karena itu, diperlukan
implementasi kegiatan public relations untuk memperbaiki citra tersebut. Maka
Polri membuat Grand Strategi 2005-2025 yaitu Perpolisian Masyarakat/
Community Policing (Polmas). Community Policing sebagai alternatif gaya
Kepolisian merupakan pilihan strategi yang dilakukan oleh Polri baik sebagai
3 http://www.batampos.co.id 4 http://www.dharana-lastarya.org
9
konsep maupun dalam aktivitasnya. Community Policing dilakukan karena
keterbatasan personil polisi dan institusi Polri menghendaki adanya jalinan
kerjasama yang harmonis dengan masyarakat dalam kegiatan pemeliharaan
Kamtibmas sehingga citra Polri di masyarakat dapat membaik.
Pemahaman konsep Perpolisian Masyarakat (Community Policing)
menurut Friedmann telah menghasilkan langkah penting dalam perbaikan strategi
Kepolisian yang berkaitan dengan bimbingan masyarakat. Apabila
pelaksanaannya terus dikembangkan dengan baik dan konsisten dapat memperluas
pemahaman tentang keterkaitan antara polisi dan masyarakat yang diamankan.
Konsep Community Policing banyak dirumuskan oleh beberapa ahli seperti
Trojanowicz (1998), Bayley (1988), Meliala (1999) dan Rahardjo (2001) yang
secara garis besar menekankan pada pentingnya kerja sama antara polisi dengan
masyarakat setempat dimana ia bertugas untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri. Pemolisian ini tidak dilakukan
untuk melawan kejahatan, tetapi mencari dan melenyapkan sumber kejahatan
melalui upaya-upaya pencegahan kejahatan maupun pendidikan bagi warganya.5
Community Policing dikembangkan dan disosialisasikan kepada
masyarakat oleh seluruh anggota Polri berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No.
Pol: SKEP/737/X/2005, tanggal 13 Oktober 2005, tentang kebijakan dan strategi
penerapan Polmas. Konsep Perpolisian Masyarakat (Polmas) yang tertuang dalam
Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep / 737 / X / 2005 tanggal 13 Oktober 2005
5 www.dharana-lastarya.org
10
mengadopsi sistem Koban atau Chuzaiso Jepang, sistem Neighbourhood Policing
dari Singapura dan Community Policing dari Amerika Serikat.
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2008, menjelaskan bahwa penerapan Polmas sebagai falsafah dan strategi
merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan Polri
kepada masyarakat melalui kemitraan dengan warga masyarakat untuk
mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam era
demokrasi dan penegakan hak asasi manusia.6
Jumlah anggota Polisi di Indonesia bila dibandingkan dengan jumlah
penduduk akan selalu tidak berimbang atau bahkan semakin ketinggalan, sehingga
untuk mencapai ratio ideal (1:400) akan dibutuhkan waktu yang lama. Sementara,
ratio polisi dan penduduk yang ideal pun tidak merupakan jaminan dapat
terwujudnya Kamtibmas. Membangun kemitraan dengan masyarakat adalah
strategi yang tepat untuk mengatasi kesenjangan ini. Menutupi kekurangan
personel Polri akan lebih efesien dengan penambahan kekuatan melalui pelibatan
masyarakat sebagai mitra yang setara.7
Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia dari Tentara Nasional Indonesia
(TNI) memberikan peluang bagi dilakukannya pemikiran ulang yang mendasar
terhadap peranan Kepolisian. Community Policing merupakan salah satu cara
yang paling inovatif untuk mendukung upaya-upaya reformasi Kepolisian yang
diupayakan baik oleh pihak Kepolisian sendiri maupun kelompok-kelompok
6 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7, Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Mayarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Jakarta, 2008, hal. 18 7 ibid. Hal. 13
11
masyarakat. Kekhasan Community Policing yang menekankan pada pentingnya
peran dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung terciptanya polisi sipil yang
profesional dan bertanggung jawab merupakan suatu bentuk dukungan yang
strategis terhadap program reformasi Kepolisian di Indonesia.
Dalam pelaksanaan Community Policing semua instansi Kepolisian
berperan dalam menyukseskan program ini, baik tingkat pusat maupun tingkat
kewilayahan (Polda, Polwil, Polres). Polres Boyolali sebagai salah satu instansi
Kepolisian juga melaksanakan kegiatan Community Policing untuk memperbaiki
citra Polri di wilayah hukum Boyolali.
Untuk menilai seberapa jauh program Community Policing dianggap
efektif, harus didasarkan pada seberapa jauh program tersebut dapat
mempengaruhi masyarakat. Usaha persuasif dan edukasi masyarakat bisa diawali
dengan berbagai hal. Proses edukasi biasa diawali dengan penyampaian informasi
atau sosialisasi mengenai Community Policing pada masyarakat. Proses tersebut
dilanjutkan dengan mempengaruhi dan mengarahkan tingkah laku kelompok
masyarakat kepada hal-hal tertentu sesuai dengan kebutuhan perubahan yang
diinginkan. Penyampaian informasi dapat dilakukan dengan banyak cara, baik
melalui komunikasi secara langsung maupun tidak langsung.
Persoalan yang muncul adalah selain sebagai usaha mewujudkan
profesionalisme Polri, bagaimana dan seperti apa Binamitra Polres Boyolali
menjalankan tugas pada masyarakat melalui program Community Policing
tersebut. Sebuah program yang disusun sebuah institusi, seharusnya merupakan
12
suatu investasi yang menguntungkan kedua belah pihak, masyarakat maupun
institusi.
Alasan peneliti mengambil tema penelitian evaluasi pada program ini
adalah meskipun program Community Policing merupakan program nasional yang
dimiliki Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), namun Binamitra Polres
Boyolali belum memiliki data secara pasti, seperti apa efektifitas pelaksanaan
program Community Policing yang telah dilaksanakan selama ini.
Penelitian ini akan mencoba melihat bagaimana dan seperti apa Binamitra
Polres Boyolali berusaha mewujudkan kemitraan antara polisi dengan masyarakat
untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat Boyolali terhadap Kepolisian.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mengevaluasi kegiatan Community
Policing yang dilakukan Binamitra Polres Boyolali dan mengetahui apa manfaat
program tersebut baik bagi masyarakat dan Binamitra Polres Boyolali sebagai
pelaksana program serta mengetahui faktor-faktor yang menghambat maupun
mendukung program ini.
13
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
pokok penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah efektifitas program Community Policing oleh Binamitra
Polres Boyolali dalam membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali?
2. Apa sajakah faktor yang menghambat maupun mendukung pelaksanaan
program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali dalam
membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali?
C. TUJUAN PENELITIAN
Atas dasar permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka dapat
ditetapkan bahwa tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui efektifitas program Community Policing oleh Binamitra Polres
Boyolali dalam membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali.
2. Mengetahui faktor yang menghambat maupun mendukung pelaksanaan
program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali dalam
membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali.
14
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat diperoleh manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
Mengetahui dan mendapatkan informasi atau gambaran tentang
praktik kegiatan komunikasi dalam pelaksanaan program Community
Policing oleh Binamitra Polres Boyolali dalam membentuk citra
positif Polri di Kabupaten Boyolali.
2. Manfaat Praktis
Sebagai masukan bagi Binamitra Polres Boyolali dalam
penyelenggaraan kegiatan komunikasi pada program-program
Community Policing berikutnya.
E. LANDASAN TEORI
1. Public Relations (Humas)
Daud Sirait dalam buku Webster’s New international Dictionary of The
English Languange melalui bukunya tentang hubungan masyarakat dan
periklanan niaga, seperti dikutip dalam buku Kustadi Suhandang, mengemukakan
tentang Public Relations.
Menurut Sirait, kamus internasional itu merumuskan Public Relations
sebagai:
“Aktivitas yang dilakukan oleh industri, perserikatan, perusahaan, perhimpunan, jawatan pemerintah, dan atau organisasi lainnya, untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan masyarakat tertentu (misalnya para langganan, para pegawai, atau para
15
pemegang saham) dan masyarakat pada umumnya dengan maksud menyesuaikan dirinya pada keadaan sekeliling dan memperkenalkan dirinya kepada masyarakat”8
Jadi, Public Relations merupakan aktivitas suatu perusahaan atau
organisasi kepada publiknya untuk menciptakan dan memelihara hubungan baik.
Inti dari kegiatan Public Relations adalah komunikasi, menurut Carl I. Hovland,
komunikasi adalah:
“Upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap”9
Pendapat Hovland di atas menunjukkan bahwa yang dijadikan objek bukan
saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum
(public opinion) dan sikap publik (public attitude).
Sedangkan menurut Onong Uchjana Effendy, public relations pada
dasarnya mempunyai dua pengertian10, yaitu:
1. Public relations sebagai “method of communications”, yaitu merupakan
suatu rangkaian atau sistem kegiatan, yaitu kegiatan berkomunikasi secara
khas. Kegiatan komunikasi yang khas tersebut mempunyai ciri dan aspek
sebagai berikut:
8 Kustadi Suhandang, Public Relations Perusahaan, Kajian, Program, Implementasi, Nuansa, Bandung, 2004, hal. 46. 9 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997, hal. 10. 10 Onong Uchjana Effendy, Human Relations dan Public Relations, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal. 94-96
16
a. Komunikasi yang dilaksanakan berlangsung dua arah secara timbal balik.
b. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari penyebaran informasi, pelaksanaan
persuasi, dan pengkajian organisasi itu sendiri.
c. Tujuan yang dicapai adalah tujuan organisasi itu sendiri.
d. Sasaran yang dituju adalah publik di dalam dan publik di luar organisasi.
e. Efek yang diharapkan adalah terjadinya hubungan yang harmonis antara
organisasi dengan publik.
Dalam pengertian sebagai metode komunikasi, terdapat makna bahwa setiap
pemimpin maupun karyawan di suatu organisasi, baik kecil maupun besar,
dapat melaksanakan public relations. Jadi, apabila seorang manager atau
pemimpin organisasi melaksanakan kegiatan dengan ciri-ciri dan aspek
sebagaimana di atas, berarti bahwa dia telah melaksanakan public relations
yang sebenarnya demi kepemimpinan (leadership) dia sendiri.
2. Public relations sebagai “state of being”, yaitu perwujudan dari kegiatan
berkomunikasi yang melembaga. Biasanya, semakin besar sebuah
organisasi, maka semakin rumit manajemennya. Semakin luas pula ruang
lingkup kegiatan public relations yang harus dilakukan. Jika demikian,
maka kadang tugas tersebut dilembagakan dalam bentuk biro, bagian, atau
divisi di dalam organisasi. Kegiatan berkomunikasi kepada publik telah
dilembagakan dalam bentuk biro, bagian, seksi, atau divisi itulah yang
dinamakan public relations sebagai “state of being”.
17
Pada dasarnya, pengadaan serta besar kecilnya divisi public relations,
tergantung pada manajemen perusahaan yang bersangkutan. Public relations
yang melembaga dari suatu perusahaan kecil biasanya tidak perlu merupakan
suatu bagian atau departemen yang khusus, bahkan kadang-kadang cukup
dirangkap oleh pemimpin perusahaannya sendiri. Dapat juga disatukan dengan
bagian lain yang sifat kerjanya setaraf dan sehaluan dengan sifat kerja public
relations. Dalam hal ini, S. K Bonar melalui bukunya yang berjudul Hubungan
Masyarakat / Public Relations Modern, seperti dikutip oleh Kustadi Suhandang,
mengemukakan bahwa bentuk hubungan masyarakat dibuat dengan cara-cara
sebagai berikut:
1. Suatu badan perusahaan atau jawatan dapat mengangkat seorang anggota
stafnya, yang termasuk dalam golongan pimpinan menjadi Kepala
Hubungan Masyarakat.
2. Dapat mengangkat seorang pegawai yang mengetahui urusan-urusan
kemasyarakatan, menjadi Kepala Hubungan Masyarakat.
3. Direktur perusahaan atau jawatan dapat merangkap pekerjaan Hubungan
Masyarakat.
4. Dapat pula menyerahkan pekerjaan itu kepada orang luar, pakar Hubungan
Masyarakat untuk melakukan tugas Hubungan Masyarakat itu.11
11 Kustadi Suhandang, Op.cit., hal 193.
18
Kegiatan public relations yang dilakukan menggunakan suatu metode
komunikasi. Metode komunikasi untuk public relations secara spesifik diutarakan
oleh Cutlip dan Center seperti dikutip oleh Rhenald Kasali, dimana komunikasi
yang efektif harus dilakukan melalui empat tahap, yaitu:
1. Fact Finding, merupakan tahapan pengumpulan fakta, data, dan informasi
yang beredar di masyarakat luas. Praktisi public relations perlu memantau
dan membaca terus pengertian, opini, sikap, dan perilaku mereka yang
berkepentingan dan terpengaruh oleh sikap dan tindakan perusahaan.
2. Planning and Program, merupakan tahap perencanaan dan program. Pada
tahap ini seorang praktisi public relations sudah menemukan penyebab
timbulnya permasalahan dan sudah siap dengan pemecahan atau
pencegahan.
3. Action and Communication, merupakan tahap aksi dan komunikasi
pelaksanaan dari perencanaan dan program yang telah disusun sebelumnya.
4. Evaluating, merupakan tahap evaluasi program yang telah dilakukan,
apakah sesuai rencana dan mampu mencapai tujuan yang diinginkan
perusahaan.12
Walaupun banyak definisi dari beberapa ahli tentang public relations,
sebenarnya ada beberapa kesamaan pokok pemikiran, yaitu:
1. Public relations merupakan suatu kegiatan yang bertujuan memperoleh
goodwill, kepercayaan, saling pengertian, dan citra yang baik dari publik.
12 Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations, PT. Temprint, Jakarta, 1994, hal. 82.
19
2. Sasaran public relations adalah menciptakan opini publik yang favourable
yang menguntungkan semua pihak.
3. Public relations merupakan unsur yang sangat penting dalam manajemen
guna mencapai tujuan yang spesifik dari organisasi.
4. Public relations adalah usaha untuk menciptakan hubungan yang harmonis
antara suatu badan atau organisasi dengan masyarakat melalui suatu proses
komunikasi timbal balik atau dua arah. Hubungan yang harmonis ini
timbul dari adanya mutual understanding, mutual confidence, dan image
yang baik. Ini semua merupakan langkah-langkah yang ditempuh public
relations untuk mencapai hubungan yang harmonis.
Menurut F. Rachmadi, pengertian public relations mengacu pada segenap
kegiatan yang dilakukan oleh sutau perusahaan atau lembaga, khususnya oleh
seorang petugas public relations dalam rangka mengorganisasikan dan
mengkomunikasikan segala sesuatu guna mencapai saling pengertian yang lebih
baik antara perusahaan dengan publik yang dituju, yaitu sejumlah orang dengan
siapa organisasi yang dimaksud ingin melakukan hubungan.13
Setiap perusahaan dalam melakukan kegiatan operasional sehari-hari
selalu berhubungan dengan berbagai pihak. Keberadaan pihak-pihak tersebut
sangat penting bagi perusahaan. Adanya publik di sekitar perusahaan akan
mempengaruhi kinerja di dalam perusahaan. Perusahaan perlu membina hubungan
dengan mereka dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan, pengertian, serta
dapat menciptakan dan memelihara suatu hubungan yang harmonis.
13 F. Rachmadi, Public Relations dalam Teori dan Praktek: Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal. 20.
20
Secara harfiah kata”publik” bisa diartikan masyarakat, rakyat, atau umum,
namun dalam konteks public relations, kata publik di sini diartikan sebagai
himpunan atau kumpulan orang-orang dan lembaga atau organisasi yang
berkepentingan serta berada di sekitar lembaga atau organisasi itu berada.14
Publik tersebut mencakup mereka yang berada di dalam dan di luar
perusahaan. Untuk publik yang di luar perusahaan disebut eksternal public.
Sedangkan publik yang di dalam perusahaan disebut internal public. Keberadaan
kedua publik tersebut adalah sama pentingnya. Perusahaan perlu membina
hubungan agar secara jangka panjang bisa menjaga eksistensi dan stabilitas
perusahaan.
Adanya kegiatan public relations dari perusahaan tentunya mempunyai
tujuan tertentu. Bagi perusahaan, kegiatan komunikasi dengan publiknya tidak
lain adalah untuk membangun suatu hubungan yang harmonis dengan mereka,
sehingga publik mempunyai kesan yang baik kepada perusahaan, dan pada
akhirnya akan membawa citra yang baik dan positif. Hal tersebut akan membawa
suatu kepercayaan kepada perusahaan.
PR merupakan aspek komunikasi yang bersifat: informatif dan edukatif.
Pada hakekatnya PR adalah kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk
menciptakan pemahaman, pengertian, dan dukungan terhadap suatu ikhwal.
Sehingga akan didapatkan respons positif dari masyarakat yang akan mampu
merubah sikap, opini dan persepsi yang pada akhirnya membentuk citra.
14 Kustadi Suhandang, Op.cit., hal. 32.
21
2. Peran Public Relations
Peran public relations secara konseptual dan metodologis adalah sama
pada setiap perusahaan. Peran utama dari PR dalam mewakili top manajemen
suatu perusahaan adalah menyelenggarakan kegiatan two way communications
yang merupakan ciri khas dari peran PR, karena salah satu tugas PR adalah “apa
dan bagaimana” bertindak sebagai narasumber informasi (source of
communications) dan saluran informasi (channel of informations). Peran PR
dalam menyelenggarakan kegiatan komunikasi dua arah dapat pula diartikan
sebagai proses komunikasi itu sendiri. meliputi pencarian informasi (fact finding
melalui observasi, riset, kepustakaan, media seeking, dan sebagainya), kemudian
mengolah informasi (meliputi kegiatan pengeditan, merangkum, identifikasi,
analisis data, dan sebagainya), kemudian mendistribusikan informasi baik verbal
tulis maupun verbal lisan dan nonverbal. Semua itu adalah komunikasi, yaitu
kegiatan yang berkaitan dengan proses pentransferan dan penerimaan ide,
gagasan, dan segala macam informasi dengan tujuan tertentu.
Menurut Everett M. Rogers, salah seorang Pakar Sosiologi Pedesaan
Amerika, yang telah banyak memberikan perhatian pada studi riset komunikasi
khususnya dalam penyebaran inovasi, membuat definisi komunikasi, yaitu:15
“Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”.
15 Prof. Dr. H. Hafield Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 19
22
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers dan D. Lawrence Kincaid,
sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa:
“Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam”.
Menurut kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada
studi komunikasi antar manusia (human communications) adalah sebagai berikut:
“Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan: (1) membangun hubungan antar sesama manusia, (2) melalui pertukaran informasi, (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu”.
Komunikasi merupakan komponen utama PR dalam menjalankan
perannya dalam suatu perusahaan. Sebagai salah satu unsur fungsional
manajemen dalam membangun citra yang baik bagi perusahaannya, maka
komunikasi dilakukan terus-menerus agar terjaga sikap saling pengertian dan
menghindarkan dari prasangka-prasangka yang bersifat negatif. Dengan
komunikasi, akan didapatkan persamaan persepsi dan pemahaman dengan
melakukan tukar-menukar pikiran, pendapat, dan perasaan dari satu pihak kepada
pihak lain. Komunikasi juga dapat diartikan dengan mengacu pada definisi yang
disampaikan oleh Harold D. Lasswell:
“Who says what in which channel to whom with what effect”.
23
Tabel 1.1
The Lasswell Formula
(Ruslan, 1999: 23)
Jika dijabarkan ke dalam peranan kampanye PR, maka akan nampak
komponen-komponen komunikan tersebut, yakni:16
a. Who says (siapa mengatakan) komunikator
Sebagai komunikator, mau tidak mau PR harus mampu menjelaskan atau
menyampaikan sesuatu kegiatan atau aktivitas dan program kerja kepada
publiknya, sekaligus ia bertindak sebagai mediator untuk mewakili
perusahaan terhadap publik dan sebaliknya. Kaitannya sebagai seorang
profesional, PR harus berkemampuan sebagai:
1) Creator, yaitu orang yang memiliki kreativitas dan pencipta ide atau
gagasan dalam berkomunikasi.
2) Conseptor, yaitu orang yang memiliki skill atau konseptor dalam
penyusunan program kerja PR, khususnya dalam berkampanye.
3) Problem solver, yaitu orang yang mampu untuk mengatasi permasalahan
yang dihadapinya, dinamis, solutif, dan proaktif dalam menjalankan
peranan PR, khususnya dalam mengantisipasi gangguan dalam
melaksanakan perannya. 16 Rosady Ruslan, Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi (Konsepsi & Aplikasi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 22-28
Who
S
Says What
M
In Which Channel
C
To Whom
R
With What Effect
E
24
b. Says what (mengatakan apa) pesan yang disampaikan kepada penerima
yang berupa ide, gagasan, informasi, aktivitas, atau kegiatan tertentu yang
dipublikasikan atau dipromosikan untuk diketahui, dipahami dan dimengerti
yang sekaligus diterima oleh publiknya.
c. In which channel (melalui saluran apa) media, sarana atau alat dalam
menyampaikan pesan atau sebagai mediator antara komunikator dengan
komunikannya.
Media atau alat khusus keperluan PR campaign dapat digolongkan atau
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Media umum, yaitu sarana-sarana seperti surat-menyurat, telepon, dan
sebagainya.
2) Media massa, yaitu berupa cetak seperti surat kabar, majalah, atau
elektronik seperti radio dan televisi. Media ini mempunyai efek serempak
dan cepat (smultaneity effect) dan mampu mencapai audience dalam
jumlah besar dan tersebar luas di berbagai tempat secara bersamaan.
3) Media khusus, seperti iklan, logo, nama perusahaan, ataupun produk
yang merupakan sarana atau media untuk tujuan promosi dan komersial
yang efektif.
4) Media internal, yaitu media yang digunakan untuk kepentingan kalangan
terbatas dan non komersial serta lazim digunakan dalam aktivitas PR.
Jenisnya antara lain:
25
a) House Journal, seperti majalah bulanan (in house magazine), profil
perusahaan (company profile), laporan tahunan perusahaan (annual
report), prospektus, buletin dan tabloid.
b) Printed materials, seperti barang cetakan untuk publikasi dan
promosi, berupa booklets, pamphlets, leaflets, kop surat, kartu nama,
memo dan kalender.
c) Spoken and visual words, seperti audio visual, video record, slide film,
broadcasting media, perlengkapan radio dan televisi.
d) Media pertemuan, seperti seminar, rapat, pertemuan, diskusi,
pameran, special events, sponsorship, dan gathering meet.
d. With what effect (dengan efek apa) efek dan dampak
Efek atau dampak merupakan respons atau reaksi setelah proses komunikasi
tersebut berlangsung yang bisa menimbulkan umpan balik atau feedback
berbentuk positif maupun negatif.
Model komunikasi yang diaplikasikan dalam PR adalah sebagai berikut:17
a. Sumber: perusahaan/ lembaga/ organisasi
b. Komunikator: bidang/ divisi public relations
c. Pesan: kegiatan-kegiatan
d. Komunikan: publik-publik PR
e. Efek: citra publik terhadap perusahaan/ lembaga/ organisasi
17 Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto, Dasar-dasar Public Relations, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 118
26
Dalam berbagai aktivitasnya yang selalu berhubungan dengan komunikasi,
seorang praktisi PR dapat menempuh berbagai cara dalam menyampaikan pesan-
pesannya terhadap komunikan (publik-publik PR). Hal ini sangat tergantung pada
macam-macam tingkat pengetahuan, pendidikan, maupun latar belakang sosial
budaya dari pihak komunikan. Sehingga, PR harus melihat metode apa yang
sebaiknya dipakai supaya pesan-pesan yang disampaikan mengenai sasaran
dengan tepat.
Komunikator, dalam hal ini adalah PR, akan selalu selektif terhadap ragam
komunikan yang dihadapinya antara lain dengan menggunakan:18
a. Komunikasi Satu Tahap (One Step Flow Communications)
Di mana komunikator dapat mengirim pesan (sesuai dengan tujuan
perusahaannya) langsung kepada komunikan, sehingga akan timbul
kemungkinan terjadi proses komunikasi satu arah (tidak ada respon dari
komunikan) atau proses komunikasi dua arah (terdapat umpan balik dari
komunikan). Dalam hal ini, PR harus dapat membedakan pesan-pesan yang
disampaikan dengan cara berkomunikasi satu tahap, karena pada umumnya
PR langsung bertatap muka dengan publiknya sehingga PR harus benar-benar
dapat menguasai medan.
18 A. W. Widjaja, Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 89-91
27
Tabel 1.2
One Step Flow Communications
b. Komunikasi Dua Arah (Two Step Flow Communications)
PR dalam menyampaikan pesannya tidak langsung kepada publik, tetapi
melalui orang-orang tertentu saja, misalnya melalui para pemuka masyarakat,
karena pemuka masyarakat ini lebih mengetahui sifat-sifat dari masyarakat.
Tabel 1.3
Two Step Flow Communications
( Widjaja, 1986: 90)
c. Komunikasi Banyak Tahap (Multi Step Flow Communications)
Ada jenis pesan yang bisa disampaikan melalui bermacam-macam cara,
misalnya PR dalam memperkenalkan program yang baru diluncurkan,
kegiatan produksi, maupun distribusi yang dilaksanakan oleh perusahaan
PR
publik publik publik
PR
one Pemuka Pemuka Pemuka step Masyarakat Masyarakat Masyarakat two step Publik Publik Publik
28
yang bersangkutan, dan sebagainya. Cara-cara penyampaian pesan bisa
dilakukan melalui tatap muka, melalui orang kedua, ataupun pemasangan
iklan serta pers release melalui media massa (media elektronik dan media
cetak).
Tabel 1.4
Multi Step Flow Communications
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi
merupakan proses, yaitu serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan PR dalam
manajemen, yang salah satunya adalah mendapatkan simpati dari publiknya
sehingga menimbulkan citra yang positif terhadap suatu perusahaan yang
bersangkutan.
Menurut Dozier & Broom, peranan PR dalam suatu organisasi dibagi ke
dalam empat kategori, yaitu:19
19 Rosady Ruslan, Op.cit., hal. 24
PR
Publik Pemuka Masyarakat Media massa
Publik Publik
29
a. Penasehat Ahli (Expert Prescriber)
Seorang praktisi PR yang berpengalaman dan memiliki kemampuan yang
tinggi dapat membantu mananjemen organisasi mencarikan solusi dalam
penyelesaian masalah hubungan dengan publiknya (public relationship).
Hubungan praktisi PR dengan manajemen organisasi seperti hubungan dokter
dengan pasiennya. Artinya, pihak manajemen bertindak pasif untuk menerima
atau mempercayai apa yang telah disarankan atau usulan dari pakar PR
tersebut dalam memecahkan dan mengatasi persoalan public relationship
yang tengah dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan.
b. Fasilitator Komunikasi (Communication Facilitator)
Dalam hal ini, praktisi PR bertindak sebagai komunikator atau mediator
untuk membantu pihak manajemen organisasi dalam hal untuk mendengar
apa yang diinginkan dan diharapkan oleh publiknya. Di pihak lain, dia juga
dituntut mampu menjelaskan kembali keinginan, kebijakan, dan harapan
organisasi kepada publiknya. Sehingga, dengan komunikasi timbal balik
tersebut dapat tercipta saling mengerti, mempercayai, menghargai,
mendukung dan toleransi yang baik dari kedua belah pihak.
c. Fasilitator Proses Pemecahan Masalah (Problem Solving Process Facilitator)
Peranan praktisi PR dalam proses pemecahan persoalan public relationship
ini merupakan bagian dari tim manajemen. Hal ini dimaksudkan untuk
membantu pimpinan organisasi, baik sebagai penasehat (advisor) hingga
mengambil tindakan eksekusi (keputusan) dalam mengatasi persoalan atau
krisis yang tengah dihadapi organisasi yang bersangkutan secara rasional dan
30
profesional. Biasanya, dalam menghadapi krisis yang terjadi, maka dibentuk
suatu tim posko yang dikoordinir praktisi PR dengan melibatkan berbagai
departemen dan keahlian dalam satu tim khusus untuk membantu organisasi,
perusahaan dan produk yang tengah menghadapi atau mengatasi persoalan
krisis tersebut.
d. Teknisi Komunikasi (Communication Technician)
Peranan ini menjadikan PR sebagai journalist in resident yang hanya
menyediakan layanan teknisi komunikasi atau dikenal dengan method of
communication in organization. Sistem komunikasi dalam organisasi
tergantung dari masing-masing bagian atau tingkatan, yaitu secara teknis
komunikasi, baik arus media komunikasi yang dipergunakan dari tingkatan
pimpinan dengan bawahan yang berbeda dari bawahan ke tingkat atasan.
Selain itu, terdapat beberapa kegiatan dan sasaran PR sebagai pendukung
fungsi manajemen perusahaan, yaitu:20
a. Membangun identitas dan citra perusahaan (building corporate identity and
image)
1) Menciptakan identitas dan citra perusahaan yang positif
2) Mendukung kegiatan komunikasi timbal balik dua arah dengan berbagai
pihak
b. Menghadapi krisis (facing crysis)
1) Menangani keluhan (complaint) dan menghadapi krisis yang terjadi
dengan membentuk manajemen krisis
20 Ibid, hal 25
31
2) Memperbaiki lost of image dan damage (PR recovery image)
c. Mempromosikan aspek kemasyarakatan (promotion public causes)
1) Mempromosikan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik
2) Mendukung kegiatan kampanye sosial anti merokok, menghadapi obat-
obat terlarang, dan sebagainya
Public Relations merupakan fungsi manajemen yang membantu
menciptakan dan saling memelihara alur komunikasi, pengertian, dukungan, serta
kerjasama suatu organisasi/perusahaan dengan publiknya dan ikut terlibat dalam
menangani masalah-masalah atau isu-isu manajemen. PR membantu manajemen
dalam penyampaian informasi dan tanggap terhadap opini publik. PR secara
efektif membantu manjemen memantau berbagai perubahan.21
PR sebagai alat manajemen modern, maka secara struktural merupakan
bagian dari suatu perusahaan, artinya PR bukanlah merupakan suatu fungsi yang
terpisah dari fungsi perusahaan tersebut. Jadi, fungsi PR adalah bersifat melekat
pada manajemen perusahaan, yaitu “bagaimana” PR dapat menyelenggarakan
komunikasi dua arah timbal balik antara perusahaan yang diwakilinya dengan
publiknya. Artinya, peranan turut menentukan sukses atau tidaknya visi, misi dan
tujuan bersama dari suatu perusahaan.
21 Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto, Op.cit, hal 13
32
3. Komunikasi Persuasif
Komunikasi merupakan proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku, baik langsung maupun tak langsung, serta mengandung suatu tujuan,
untuk memberitahu atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion) atau
perilaku (behaviour).22
Sedangkan asal kata persuasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu
“Persuasion” yang berinduk kepada kata kerja “to persuade” artinya membujuk,
merayu dan menghimbau. Kegiatan untuk membujuk, merayu dan menghimbau
atau sejenisnya adalah merangsang seseorang untuk melakukan sesuatu dengan
spontan, dengan senang hati dengan sukarela tanpa merasa dipaksa.23
Menurut Ernest G dan Nancy C. Borman, memberikan pengertian
persuasif sebagai berikut:24
1. Persuasif merupakan komunikasi untuk mempengaruhi pilihan seseorang.
2. Persuasif adalah komunikasi yang dimaksudkan untuk mendapat respons
dari penerima, untuk mengubah sikap atau keyakinan pendengar, dimana
sumber pesan, serta orang yang memberikan tanggapan ataupun pidato
yang bersifat persuasif, mempunyai tujuan khusus dan menampilkan pesan
yang bersifat membujuk untuk mencapai tujuan tersebut.
3. Persuasif tidak sama dengan paksaan, dimana paksaan akan melenyapkan
pilihan sedangkan bujukan akan mempengaruhi pilihan.
22 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, CV. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal 5 23 Ibid, hal 21 24 Ernest & Nancy Borman, Retorika : Suatu Pendekatan Terpadu, Erlangga, Jakarta, 1991, hal 210
33
Kata persuasif bilamana ditelusuri lebih lanjut, berasal dari bahasa Latin
“Persuadere” yang berarti menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu
dengan senang hati. Persuasif merupakan salah satu metode komunikasi sosial dan
dalam penerapannya menggunakan teknik/ cara tertentu.
Bahwa pada dasarnya persuasif, menunjukkan pada metode komunikasi
yang menggerakkan serta melakukan sesuatu dengan rasa senang, rasa sukarela
tanpa mempunyai perasaan disuruh/dipaksa oleh orang lain. Caranya adalah
dengan ajakan, himbauan, rayuan dan meminta. Beberapa metode persuasi
adalah:25
1. Asosiasi (association) artinya teknik ini menyangkutkan kepada sesuatu
peristiwa atau seseorang yang tenar, sedang populer yang ramai
dibicarakan secara positif.
2. Menumbuhkan kekhawatiran yang merangsang dengan kehendak sendiri
melakukan sesuatu pemecahan (fear arousing). Artinya teknik ini
bukanlah menimbulkan rasa takut, tegang atau sejenisnya, tetapi pada
dasarnya teknik ini bersifat sugesti yang menimbulkan kepada si penerima
sugesti, tanpa dipaksa melakukan sesuatu.
3. Mengubah pendapat dengan harapan, bahwa dengan perubahan itu akan
mendapat manfaat (pay off idea). Artinya bahwa manusia pada dasarnya
karena pendapat ataupun pengalamannya tidak jarang melakukan sesuai
berdasarkan frame of reference dan frame experience, tanpa memikirkan
25 R.A Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988, hal 246
34
akibat atau mencari usaha lain yang lebih baik. Sehingga, orang lain dapat
memberikan saran atau usul yang kalau diterimanya akan memberikan
suatu manfaat padanya.
4. Menimbuhkan keinginan, kehendak untuk memilih atau melakukan
sesuatu yang diistilahkan sebagai icing device and red herring atau disebut
sebagai iming-iming.
5. Menumbuhkan partisipasi serta peran serta.
Pada dasarnya beberapa teknik diatas dijelaskan mengenai cara ataupun
metode membujuk/mempersuasi orang lain, namun didalam komunikasi persuasi
diharapkan adanya suatu kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk mengubah,
serta mempunyai efek terhadap individu. Menurut Carl I. Hovland,
mengemukakan sifat dari komunikasi persuasif sebagai berikut:26
Efek utama dari komunikasi persuasif adalah menstimulasikan individu untuk berpikir sekaligus mengenai dua hal, yaitu pendapat asalnya dan pendapat baru yang direkomendasikan melalui komunikasi yang berkenan.
Demi berhasilnya komunikasi persuasif perlu dilaksanakan secara
sistematis, dengan menggunakan formula yang biasa disebut AIDDA yang
dijadikan landasan pelaksanaan. Formula AIDDA merupakan kesatuan singkatan
dari tahap-tahap komunikasi persuasifnya sebagai berikut:27
26 Robert S. Fieldman, Social Psychology, Prentice Hall, New Jersey, 1998, hal 393 27 Onong Uchjana Effendy, Op.cit, hal 25
35
A – Attention – Perhatian
I – Interest – Minat
D – Desire – Hasrat
D – Decision – Keputusan
A – Action – Kegiatan
Formula tersebut seringpula disebut A-A Procedure sebagai singkatan dari
Attention – Action Procedure, yang berarti agar komunikan dalam melakukan
kegiatan dimulai dengan menumbuhkan perhatian.
Berdasarkan formula AIDDA, komunikasi persuasif dimulai dengan upaya
perhatian. Upaya ini tidak hanya dilakukan dalam gaya bicara dengan kata-kata
yang baik tetapi juga dalam hal penampilan (appearance) ketika menghadapi
khalayak. Apabila perhatian sudah berhasil dibangkitkan, dilanjutkan dengan
upaya menumbuhkan minat. Upaya ini bisa berhasil dengan mengutarakan hal-hal
yang menyangkut kepentingan komunikan. Karena itu, komunikator harus
mengenal siap komunikan yang dihadapinya “know your audience”. Tahap
berikutnya adalah memunculkan hasrat pada komunikan untuk melakukan ajakan,
bujukan, atau rayuan komunikator, sehingga pada tahap berikutnya komunikan
mengambil keputusan untuk melakukan suatu kegiatan sebagaimana yang
diharapkan dari komunikator.
36
4. Community Relations
Salah satu publik yang dihadapi public relations adalah komunitas.
Komunitas merupakan kelompok sosial yang padu, dimana individu-individu
dipusatkan oleh nilai-nilai, kebiasaan dan kepentingan bersama dimana mereka
mempunyai status dan peran tertentu serta mempunyai perasaan solidaritas
dengan kelompok, rasa ikut memiliki dan ikut menjadi anggota. Sebagai satu
kelompok, mereka didukung dan mendukung kepentingan ekonomi yang sama
atau komplementer.28
Menurut Rhenald Kasali, komunitas adalah masyarakat yang bermukim
atau mencari nafkah di sekitar pabrik, kantor, gudang, tempat pelatihan, tempat
peristirahatan atau sekitar asset perusahaan lain.29 Yang terpenting disini adalah
bahwa komunitas merupakan kelompok kesatuan yang tinggal di lokasi, baik
pabrik maupun assetnya.
Kegiatan untuk membina hubungan dengan komunitas dalam PR dikenal
dengan istilah community relations. Community relations pada dasarnya
merupakan kegiatan komunikasi perusahaan dalam menjalankan hubungan
dengan komunitas lokal. Hubungan dengan komunitas merupakan usaha titip diri
kepada lingkungan, kepada khalayak penduduk sekitar, agar tidak mengganggu
dan dapat mempertahankan citra perusahaan di mata publik.30
Menurut Wilbur J. Bill Peak dalam karyanya, “Community Relations”
yang dimuat dalam Lesly Public Relations Handbook, mendefinisikan hubungan
28 Onong Uchjana Effendy, Human Relations & Public Relations, Op.cit, hal. 149 29 Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations, Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 127 30 Frazier Moore, Hubungan Masyarakat: Prinsip, Kasus dan Masalah, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988, hal. 153
37
dengan komunitas adalah “Hubungan dengan komunitas, sebagai fungsi hubungan
masyarakat merupakan partisipasi suatu lembaga yang berencana, aktif, dan
sinambung dengan dan didalam suatu komunitas untuk memelihara dan membina
lingkungannya demi keuntungan kedua belah pihak, lembaga dan komunitas.”31
Dari definisi Peak itu menunjukkan bahwa hubungan dengan komunitas
berorientasi pada kegiatan yang dilakukan oleh lembaga, dalam hal ini Kahumas
sebagai pelaksanaannya yang bersifat partisipatif. Dengan partisipasi itu, maka
keuntungan tidak hanya pada organisasi atau lembaga saja, tetapi juga pada
lingkungan di sekitarnya.
Dalam pelaksanaan PR, komunitas dipandang sebagai suatu kesatuan
dengan perusahaan yang memberikan manfaat timbal balik. Suatu lembaga tidak
akan dapat berfungsi efektif dan berhasil tanpa dukungan dari komunitas.
Dukungan komunitas mencakup kebutuhan bagi kegiatan konstruktif dalam
kepentingan umum yang meliputi hubungan masyarakat yang berhasil.
Komunitas mempunyai peranan penting bagi perusahaan karena mereka
dapat memberikan kontribusi positif, misalnya jasa penyewaan rumah bagi
karyawan, penyediaan bahan baku, penyediaan tenaga kerja, dan warung-warung
makan dengan harga terjangkau. Selain itu masyarakat juga merupakan pengguna
produk dan jasa perusahaan yaitu sebagai konsumen. Di lain pihak perusahaan
diharapkan dapat memenuhi harapan-harapan komunitasnya, yaitu menciptakan
lapangan kerja, fasilitas pendidikan yang memadai, adanya perhatian kepada
31 Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, hal. 23
38
masyarakat kesejahteraan komersial, pertumbuhan penduduk, perumahan dan
kebutuhan yang memadai, kesempatan berkreasi dan sebagainya.
Kehadiran suatu perusahaan, terutama yang sudah dianggap besar dengan
sumber daya manusia yang memadai dituntut oleh komunitas untuk dapat
memenuhi harapan-harapan tersebut. Kegiatan tersebut merupakan misi ekonomi
sekaligus misi sosial terhadap komunitas. Perusahaan diharapkan dan diwajibkan
untuk membantu, baik dalam hal fisik maupun materi demi kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Komunitas yang terdapat di sekitar lembaga terdiri atas kelompok-
kelompok, dan kelompok-kelompok yang berjenis-jenis ini masing-masing terdiri
atas individu-individu yang bermacam-macam pula dalam kepentingannya karena
masing-masing berbeda jenis kelamin, usia status sosial ekonomi, agama,
pendidikan, kebudayaan dan lain-lain.
Sedangkan media komunikasi yang digunakan dalam community relations
adalah:32
a. Iklan surat kabar
b. Media audio visual (radio dan TV)
c. Publikasi perusahaan
d. Wisata pabrik
e. Pertemuan dengan para pemuka pendapat
f. Kunjungan para pengusaha ke lembaga-lembaga komunikasi
g. Pameran
32 Op. Cit, hal. 67
39
Menurut penelitian, teknik berkomunikasi akan lebih efektif apabila secara
langsung berhadapan (face to face). Pesan yang disampaikan akan lebih mengena
bila dikemukakan secara eksplisit, dan dengan mengulang-ulang (repetif)
argumentasi yang mendukung sikap yang dituju.
Bila perusahaan sudah mendapatkan simpati dari publiknya, hubungan
yang terjalin akan lebih harmonis dengan komunitasnya sehingga dapat mengubah
persepsi dan pengetahuan masyarakat setempat. Kesan yang dulunya negatif akan
menjadi positif. Sehingga lambat laun akan timbul kepercayaan mereka akan
perusahaan dan mempunyai citra positif terhadap perusahaan.
5. Citra
Citra perusahaan adalah citra suatu organisasi secara keseluruhan, bukan
hanya citra atas produk dan pelayanan saja.33 Citra perusahaan terbentuk oleh
banyak hal. Hal-hal positif yang mampu meningkatkan citra suatu perusahaan
antara lain: perusahaan yang gemilang program kerja yang berkesinambungan,
keberhasilan event yang pernah diselenggarakan, memiliki hubungan baik dengan
publiknya.
Sedangkan Bill Canton mengemukakan bahwa citra adalah kesan
perasaan, gambaran dari publik terhadap perusahaan; kesan yang sengaja
diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi.34 Rhenald Kasali
mengungkapkan citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu
33 M. Linggar Anggoro, Teori dan Profesi Kehumasan, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 62 34 Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto, Op.cit., hal. 112
40
kenyataan. Pemahaman yang berasal dari suatu informasi yang tidak lengkap akan
menghasilkan citra yang tidak sempurna.35
Citra dengan sengaja perlu diciptakan agar bernilai positif karena
merupakan salah satu aset terpenting dari suatu perusahaan (favourable opinion).
Tugas perusahaan dalam rangka membentuk citranya adalah dengan
mengidentifikasikan citra seperti apa yang ingin dibentuk di mata publiknya.
Proses pembentukan citra berawal dari persepsi. Akar dari opini
sebenarmya tak lain adalah persepsi. Opini muncul ketika orang tersebut
mempunyai persepsi.36 Opini publik adalah suatu ungkapan keyakinan yang
menjadi pegangan di antara para anggota sebuah kelompok atau publik, mengenai
suatu masalah kontroversial yang menyangkut kepentingan umum.37
Untuk mengetahui seperti apa opini yang terbentuk di masyarakat
memang perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut dan berawal dengan
mempertanyakan opini publik yang berkembang, salah satu caranya dengan
mengadakan polling opini publik, dengan polling tersebut dapat menghapus
pendapat ekstrim tentang kebijakan dari instansi, sesuai yang diungkapkan Iginio
Gagliardone (London School of Economics) dan Nicole A. Stremlau (Stanhope
Centre for Communications Policy Research, UK)
“The public opinion polls were also used in an effort to “eliminate extreme opinions, map out common ground and areas of compromise and test comprehensive agreements as packages” (Irwin, 2001, p. 67).” 38
35 Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 28 36 Ibid, hal. 23 37 Frazier Moore, Humas Membangun Citra Dengan Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal. 54 38Public Opinion Research in a Conflict Zone:Grassroots Diplomacy in Darfur, International
41
Opini dapat dinyatakan secara aktif maupun secara pasif. Opini dapat juga
dinyatakan secara verbal, terbuka dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara
jelas, ataupun melalui pilihan kata yang halus dan tidak secara langsung dapat
diartikan. Opini dapat pula dinyatakan melalui perilaku, bahasa tubuh, raut muka,
simbol-simbol tertulis, pakaian yang dikenakan dan oleh tanda-tanda lain yang tak
terbilang jumlahnya melalui referensi, nilai-nilai, pandangan, sikap dan
kesetiaan.39
Citra menentukan sosok institusional dan citra perusahaan dalam pikiran
publik dengan mengetahui secara pasti sikap masyarakat terhadap sebuah
perusahaan. Berusaha untuk mengetahui bagaimana sebuah perusahaan dikenal
dengan baik reputasinya dan apa yang publik pikirkan tentang produk pelayanan,
harga, reklame, personalia dan praktiknya. Tugas perusahaan dalam rangka
membentuk citranya adalah mengidentifikasikan citra seperti apa yang ingin
dibentuk di mata masyarakat.
Citra sendiri terdiri atas berbagai macam atau jenisnya. Dalam bukunya
“Public Relations Edisi Keempat”, Frank Jefkins mengemukakan pendapatnya
mengenai jenis citra. Menurutnya citra dibagi atas lima jenis, yakni:
1) Citra Bayangan
Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi
(biasanya adalah pemimpin) mengenai anggapan pihak luar tentang
organisasinya. Citra bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam
Journal of Communication 2, 2008 39 Rhenald Kasali,Op.cit, hal 19
42
mengenai pandangan luar organisasinya. Citra seringkali tidak tepat, sebagai
akibat tidak memadainya informasi, pengetahuan, maupun pemahaman yang
dimiliki oleh kalangan dalam organisasi itu mengenai pandangan atau
pendapat pihak-pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif.
Memandang diri sendiri serba hebat.
2) Citra yang berlaku (current image)
Citra ini merupakan pandangan yang melekat pada pihak-pihak luar
mengenai suatu organisasi. Citra yang berlaku ini jarang sesuai dengan
kenyataan karena semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan
orang-orang luar yang bersangkutan biasanya tidak memadai. Citra ini
sepenuhnya ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi yang dimiliki oleh
mereka yang mempercayainya. Citra ini cenderung positif.
3) Citra yang diharapkan (wish image)
Citra ini diinginkan oleh pihak manajemen. Citra yang diharapkan
biasanya lebih baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada,
walaupun dalam keadaan tertentu, citra yang terlalu baik terkadang juga
merepotkan. Citra yang diharapkan biasanya dirumuskan dan diperjuangkan
untuk menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum
memiliki informasi yang memadai mengenai hal tersebut
4) Citra perusahaan (coorporate image)
Citra perusahaan (ada pula yang menyebutnya lembaga) adalah citra
suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan
pelayanannya. Citra perusahaan ini terbentuk oleh banyak hal, antara lain:
43
riwayat perusahaan yang gemilang, keberhasilan-keberhasilan yang diraih,
hubungan masyarakat yang baik, reputasi sebagai pencipta lapangan kerja
dalam jumlah yang besar, kesediaan turut memikul tanggung jawab sosial dan
sebagainya.
5) Citra majemuk (multiple image)
Setiap perusahaan atau lembaga pasti memiliki banyak unit dan
anggota. Masing-masing unit dan individu memiliki perangai dan perilaku
tersendiri, sehingga secara sengaja atau tidak, sadar atau tidak mereka pasti
memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan citra perusahaan
atau lembaga secara keseluruhan. Untuk menghindari berbagai hal yang tidak
diinginkan, variasi itu harus ditekan seminimal mungkin, dan citra
perusahaan atau lembaga itu secara keseluruhan harus ditegakkan. Caranya
antara lain mewajibkan semua karyawan mengenakan pakaian seragam,
simbol-simbol tertentu yang sama, menyamakan jenis dan warna alat
transportasi, dan sebagainya.
Citra perusahaan merupakan kesatuan dari aspek-aspek:
a. Kesan, yaitu pembentukan tanggapan dalam diri seseorang terhadap suatu
objek termasuk di dalamnya pemahaman tentang aktivitas-aktivitas yang
dilakukan objek.
b. Perasaan, yaitu perasaan suka atau tidak suka terhadap suatu objek.
c. Pengetahuan, yaitu menggambarkan perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang dari tidak tahu menjadi tahu yang diperoleh melalui suatu
44
pengalaman. Pengalaman ini menjadi suatu kebenaran yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari.
d. Kepercayaan, yaitu gagasan deskriptif yang dianut oleh seseorang tentang
sesuatu, di mana kepercayaan ini akan membentuk citra dalam hal ini
perusahaan.
Solomon mengemukakan bahwa efek kognitif dari suatu komunikasi
sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang.40 Citra terbentuk
berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang.
Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan
pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh John S. Nimpoeno sebagai
berikut:
Tabel 1.5
Model pembentukan citra
pengalaman mengenai stimulus
Kognisi
Stimulus Persepsi Sikap Respon
Rangsang Perilaku
Motivasi
Sumber: Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto, 2003, hal. 115
40 Soleh Soemirat dan Ardianto Elvinaro, Op.cit., hal.114.
45
Keterangan:
Input : stimulus rangsang
Kognisi : suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus
Persepsi : hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan yang dikaitkan dengan
proses pemaknaan.
Motivasi : keadaan yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan
tertentu agar mencapai suatu tujuan.
Sikap : kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa
dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai.
PR digambarkan sebagai input-output (input adalah stimulus yang
diberikan, sedangkan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu), di mana
proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra. Model pembentukan
citra tersebut menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar
diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Persepsi, kognisi, motivasi, dan sikap
merupakan komponen-komponen respresentation (citra) dari stimulus. Stimulus
yang diberikan dapat diterima maupun ditolak.
PR adalah salah satu metode komunikasi untuk menciptakan citra positif
dari mitra perusahaan atau organisasi atas dasar menghormati kepentingan
bersama. Citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan,
seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Citra adalah tujuan utama sekaligus
merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai bagi dunia PR.41 Setiap
perusahaan atau organisasi mempunyai citra sebanyak jumlah orang yang
41 Rosady Ruslan, Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi: Konsep dan Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal 70
46
memandangnya. Ada banyak citra tentang suatu perusahaan atau organisasi,
misalnya tepat dalam pengiriman produknya kepada konsumen, bervariasi dalam
produknya, inovatif, sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya, dan lain-
lain.
Pada akhirnya, dapat diperoleh gambaran bahwa usaha peningkatan citra
dalam suatu perusahaan adalah keharusan yang harus dilakukan. Citra yang baik,
nantinya akan mempengaruhi segala hal, baik di dalam maupun di luar perusahaan
itu sendiri.
6. Evaluasi Program
Program adalah sederetan kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.42 Evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
efektivitas pencapain tujuan, hasil atau dampak suatu kegiatan atau program dan
juga mengenai proses pelaksanaan suatu kebijakan yang telah direncanakan dan
dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu.43
Designing programs or communication campaigns to affect behaviors requiresfirst being able to understand why poople behave the way they do. Interventionsare more effective when they are based on research that tells us what factors influencea person’s decision to perform a specific behavior, or the ways in which an existing behavior can be channeled toward more desirable outcomes. For tunately, decades of research have taught us much about human behavior. Behavioral change theorists now agree on eight factors known to influence behavior:
1. Intention 2. Environmental constraints 3. Skills 4. Attitudes
42 Arikunto Suharsimi, Penilaian Program Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 11 43 H. B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002, hal. 113
47
5. Norms 6. Self-standards 7. Emotion 8. Self efficacy44
Evaluasi memberikan kontribusi yang besar bagi sebuah program. Wujud
hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk mengambil
keputusan (decision maker). Evaluasi dapat dipakai untuk mengetahui seberapa
luas program itu berhasil, sehingga dapat dibuat keputusan-keputusan seperti:
1. Menghentikan program karena dipandang bahwa program tersebut
tidak ada manfaatnya atau tidak dapat terlaksana sebagaimana
diharapkan.
2. Merevisi program karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai
dengan harapan.
3. Melanjutkan program karena pelaksanaan program menunjukkan
bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan
memberikan hasil yang bermanfaat.
4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat
lain atau mengulangi program di lain waktu), karena program tersebut
berhasil dengan baik, bermanfaat dan perlu dilaksanakan lagi di lain
waktu serta di tempat lain.45
Evaluasi program dapat dibedakan ke dalam berbagai jenis tergantung dari
tujuan evaluasi, jika berdasarkan tahap-tahap penyelenggaraan suatu program,
evaluasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
44 Anne Pollock, Using Behavioral Change Theory to Communicate Effectiverly, 2009 45 Arikunto Suharsimi, Op.cit, hal. 8
48
a. Pre-programme Evaluation (evaluasi yang diselenggarakan sebelum
program mulai dilaksanakan)
b. On-going Programme Evaluation (evaluasi yang diselenggarakan pada
saat program berlangsung)
c. Ex-post Programme Evaluation (evaluasi yang dilakukan setelah program
berakhir)
Penelitian tentang efektifitas program Community Policing ini tergolong
dalam On-going Programme Evaluation, sebab program Community Policing
sampai sekarang masih berlangsung. Dalam penelitian evaluasi ini, peneliti
menggunakan cara pendekatan model CIPP (Context, Input, Process, Product).
Pendekatan CIPP ini pada dasarnya merupakan pendekatan yang digunakan dalam
pengembangan program yang secara keseluruhann memperhitungkan keterkaitan
antar faktornya (CIPP).
Pendekatan model CIPP dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam dan
kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok ilmuwan Phi Delta Kapha
(1967) di Ohio State University Amerika Serikat, dengan empat sasaran penilaian,
yaitu:
1. Penilaian tentang Context (konteks)
Menurut Gilbert Sax, penilaian konteks merupakan penggambaran
dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum
terpenuhi, populasi dan sample dari individu yang dilayani dan tujuan
program. Atau bisa dikatakan penilaian konteks adalah penilaian
49
terhadap kebutuhan, tujuan pemenuhan kebutuhan dan karakteristik
individu yang menanganinya.
Penilaian konteks dilakukan untuk menjawab pertanyaan sebagai
berikut:
a. Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh kegiatan
program?
b. Tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan?
c. Tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan?
d. Tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan
kepentingan masyarakat?
e. Tujuan manakah yang paling mudah dicapai?
2. Penilaian tentang Input (masukan)
Meliputi pertimbangan tentang sumber daya dan strategi yang
diperlukan untuk mencapai tujuan umum dan tujuan khusus suatu
program. Informasi-informasi yang terkumpul selama tahap penilaian,
seharusnya digunakan oleh pengambil keputusan untuk menentukan
sumber dan strategi di dalam keterbatasan dan hambatan yang ada.
Penilaian masukan digunakan untuk menjawab pertanyaan sebagai
berikut:
a. Apakah strategi yang digunakan oleh program sudah sesuai
dengan pencapaian tujuan?
50
b. Apakah strategi yang diambil merupakan strategi resmi?
c. Strategi manakah yang sudah ada sebelumnya dan sudah
cocokkah untuk pencapaian tujuan program kampanye
sebelumnya?
d. Prosedur dan jadwal khusus mana yang digunakan untuk
melaksanakan strategi tersebut?
e. Apa ciri khusus dari kegiatan yang dilaksanakan di dalam
program dan apa akibat yang ditimbulkannya?
3. Penilaian tentang Process (proses)
Meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan
diterapkan dalam praktek. Dalam penilaian proses diperlukan catatan
tentang kejadian-kejadian yang muncul selama program berlangsung.
Catatan tersebut digunakan untuk menentukan kelemahan dan
kerkuatan pendukung dan penghambat program jika dikaitkan dengan
keluaran yang ditemukan. Tujuannya adalah membantu
penanggungjawaban pemantauan agar lebih mudah mengetahui
kelemahan-kelemahan program dari berbagai aspek untuk kemudian
dapat dengan mudah melakukan remidi. Penilaian proses digunakan
untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah kegiatan program sudah sesuai dengan jadwal yang
ditentukan?
b. Perlukah staf pelaksana diberi orientasi mengenai mekanisme
kegiatan program?
51
c. Apakah fasilitas dan bahan penunjang lain telah digunakan
secara tepat?
d. Hambatan apakah yang dijumpai selama pelaksanaan program
berlangsung dan perlu diatasi?
4. Penilaian tentang Product (hasil)
Penilaian yang dilakukan oleh penilai di dalam mengukur
keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian ini
berfungsi membantu penanggung jawab program dalam mengambil
keputusan, meneruskan, memodifikasi atau menghentikan program.
Penilaian hasil memerlukan perbandingan antara hasil program dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian hasil digunakan untuk
menjawab pertanyaan:
a. Tujuan mana yang sudah dicapai ?
b. Pernyataan seperti apa yang dapat dibuat yang menunjukkan
hubungan antara spesifikasi prosedur dengan hasil nyata dari
kegiatan program?
c. Kebutuhan individu manakah yang telah terpenuhi sebagai
akibat dari kegiatan program?
d. Hasil jangka panjang apakah yang nampak sebagai akibat dari
kegiatan program? 46
46 Ibid, hal. 39
52
Menurut Arikunto, ada tiga dimensi dalam penelitian evaluasi dengan
model CIPP, yaitu:
a. Tipe evaluasi
Konteks, input, proses, dan hasil.
b. Manfaat Evaluasi
Digunakan untuk pengambilan keputusan (decision making) dan bukti
pertanggungjawaban (accountability)
c. Tahap evaluasi
· Menggambarkan (delineating)
Berkaitan dengan pertanyaan “pertanyaan seperti apa yang akan
diajukan?”
· Memperoleh (obtaining)
Berkaitan dengan pertanyaan “bagaimanakah cara memperoleh
informasi yang diperlukan?”
· Menyediakan (providing)
Berkaitan dengan pertanyaan “bagaimanakah informasi yang
diperoleh akan dilaporkan?’
Alasan pemilihan model evaluasi CIPP, karena secara keseluruhan model
CIPP memperhatikan keterkaitan secara menyeluruh dari konteksnya yang
meliputi informasi dari beberapa faktor mengenai kondisi dan karakteristik
konteks sebelum dilaksanakan. Masukan yang diberikan sebagai persiapan
pelaksanaan program supaya berjalan lancar. Proses bagaiamana program
dilaksanakan dari awalnya dengan pendekatan apakah sesuai konteks dan
53
merupakan proses yang tepat untuk mencapai tujuan program. Dan akhirnya
bagaimana kualitas hasil yang telah dicapai selama pelaksanaan program yang
dievaluasi tersebut.
Dari kumpulan informasi tersebut, peneliti bisa menganalisis dengan
melihat kesesuaian antar faktornya, sehingga bisa diketahui kelemahan dan
kekuatan program yang sedang diteliti. Selanjutnya hasil tersebut dijadikan dasar
untuk menyusun secara operasional untuk memperbaiki program.
Stufflebeam mencoba menghubungkan evaluasi dengan pengambilan
keputusan dalam penelitian evaluasi model CIPP. Pengambilan keputusan adalah
konseptualisasi dari proses keputusan seperti kesadaran, pemilihan dan tindakan.
Stufflebeam mencoba menghubungkan evaluasi dengan pengambilan
keputusan dalam penelitian evaluasi CIPP. Pengambilan keputusan adalah
konseptualisasi dari proses keputusan seperti kesadaran, pemilihan dan tindakan.
Dalam proses tersebut peran evaluator adalah:
a. Memantau program mengidentifikasikan kebutuhan dan
kesempatan.
b. Mengidentifikasikan alternatif dari konsepsi persoalan yang
dipecahkan dalam memenuhi kebutuhan akan menggunakan
kesempatan.
c. Mengukur alternatif perumusan masalah dari berbagai posisi nilai
d. Mengukur atau mempertimbangkan situasi yang membutuhkan
perubahan dan apakah tersedia informasi yang cukup sehingga
dimungkinkan terjadinya perubahan kegiatan.
54
F. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini, digambarkan
berikut:
Tabel 1.6
Alur Efektifitas Pelaksanaan Program Community Policing
oleh Binamitra Polres Boyolali
Dari gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Konteks
· Latar belakang program Community Policing
· Tujuan program Community Policing
· Sasaran program Community Policing
· Perencanaan program Community Policing
· Kesesuaian program Community Policing dengan Tugas Pokok
Binamitra Polres Boyolali
INPUT PROSES PRODUK
KONTEK
DAMPAK
KE LUAR KE DALAM
NEGATIF POSITIF NEGATIF POSITIF
EFEKTIF
55
b. Input
· Pelaksana/SDM program Community Policing
· Pembagian tugas dan persiapan
· Sarana dan prasarana program Community Policing
· Strategi program Community Policing
c. Proses
· Bentuk-bentuk kegiatan program Community Policing
· Fokus kegiatan program Community Policing
· Kelancaran program Community Policing
· Continuity dan consistency program Community Policing
· Pendukung kelancaran program Community Policing
· Hambatan program Community Policing
d. Produk
· Pencapaian tujuan program Community Policing
· Parameter keberhasilan program Community Policing
e. Dampak ke dalam
Dampak yang ditimbulkan dari program Community Policing untuk
Binamitra Polres Boyolali. Dampak ke dalam dinilai dari sisi positif
internal program Community Policing terhadap Binamitra Polres Boyolali
secara khusus dan citra Polri secara umum.
f. Dampak ke luar
Dampak yang ditimbulkan dari program Community Policing untuk
masyarakat.
56
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluatif, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui efektivitas pencapaian tujuan, hasil, atau
dampak suatu kegiatan dan juga mengenai proses pelaksanaan suatu
kebijakan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam kurun waktu
tertentu, sehingga akan diketahui efektivitasnya.47
Penelitian tentang program Community Policing termasuk dalam formative
evaluation research, yaitu evaluasi yang dilakukan masih dalam masa
pelaksanaan program, sebagai bagian kegiatan untuk menemukan kekuatan
dan kelemahan pelaksanaan sehingga bertujuan untuk memperbaiki serta
mengembangkan pelaksanaannya lebih lanjut.48
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sebagai
penelitian deskriptif, penelitian ini melukiskan, memaparkan, menuliskan
dan melaporkan suatu keadaan, suatu objek penelitian atau suatu peristiwa.
Dengan menggunakan penelitian ini, maka peneliti dapat secara rinci
mengumpulkan informasi aktual, dan menggambarkan secara objektif
situasi yang ada.
47 H.B. Sutopo, Op.cit, hal. 113 48 ibid, hal. 114
57
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Polres Boyolali, terutama pada bagian Humas/
Binamitra. Alasannya adalah karena sebagai lembaga tertinggi Kepolisian
tingkat Kabupaten, Polres mempunyai tugas mengatur kinerja semua polisi
di Kabupaten Boyolali, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh
mengenai kegiatan public relations khususnya dalam lingkup lembaga
pemerintah yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan keamanan
dan ketertiban masyarakat terutama melalui kegiatan pencitraan yang
dijalankan, yaitu melalui program Community Policing
3. Populasi/ Sampel
Populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian yaitu seluruh staf
yang bekerja di Polres Boyolali. Dari keseluruhan populasi tersebut
kemudian ditarik bagian yang merupakan pengkhususan objek yang diteliti
yang disebut sebagai sampel.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling, yaitu tehnik pengambilan sampel dengan
kecenderungan peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui
informasi dan permasalahan secara mendalam dan dapat dipercaya untuk
menjadi sumber yang mantap.49
49 ibid, hal. 55
58
4. Sumber Data
a. Data primer
Data Primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti,
sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah
berupa manusia sebagai narasumber. Pengambilan data dalam
penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu kecenderungan
peneliti memilih informasinya berdasarkan anggapan bahwa informan
tersebut dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara
mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang kuat.
Data yang diperoleh langsung dari hasil observasi dan wawancara.
Informan dalam penelitian program Community Policing:
· Kepala Sub Bagian Bimmas, Binamitra Polres Boyolali
· Bagian Administrasi Bimmas, Binamitra Polres Boyolali
· Sasaran program Community Policing
b. Data sekunder
Data sekunder ini digunakan untuk mendukung dan melengkapi data
primer dan diperoleh dari literatur, arsip, jurnal yang relevan, dan
data-data yang mendukung data primer.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Pada penelitian ini, data dikumpulkan dengan melakukan wawancara,
jenis wawancara yang digunakan adalah in depth interview, dimana
wawancara dilakukan dengan mengadakan pertemuan dan
59
perbincangan secara mendalam dengan pihak yang terkait dengan
penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dan
memperoleh data yang jelas, terperinci serta mendetail mengenai
kegiatan Community Policing pada Binamitra Polres Boyolali.
Pertanyaan yang diajukan bersifat “open ended”, tidak formal
berstruktur dan mengarah pada kedalaman informasi.
Dalam penelitian program Community Policing, peneliti melakukan
wawancara dengan beberapa informan yang peneliti anggap mampu
memberikan informasi yang mantap. Berikut nama-nama informan
dalam penelitian program Community Policing:
· Ipda. Joko Lukito, Kepala Sub Bagian Bimmas, Binamitra Polres
Boyolali. Wawancara tatap muka dilakukan sekali di Polres
Boyolali pada 19 Januari 2010.
· Aiptu. Dalyamto, Ba Min Bimmas, Binamitra Polres Boyolali.
Wawancara tatap muka dilakukan sekali di Polres Boyolali pada 19
Januari 2010.
· Sejumlah sasaran program Community Policing, yaitu Oktaviani
Puspitasari, Setro Margono, Suyamto, Agus Setiawan dan Erna
Dwi Agustin. Wawancara tatap muka, masing-masing satu kali.
Peneliti memiliki batasan pertanyaan untuk setiap masing-masing
narasumber. Interview Guide digunakan untuk memberikan batasan
kepada peneliti agar pertanyaan yang diajukan tidak melebar juga
supaya pertanyaan yang diajukan menjadi lebih terarah. Narasumber
60
terbagi menjadi dua kategori, yaitu pelaksana program dan sasaran
program. Semua informan mendapatkan pertanyaan yang sama namun
sesuai dengan kemampuan atau jabatan mereka dan pengetahuan
mereka serta kebutuhan data berupa kontek, input, proses, produk dan
dampak program Community Policing.
Interview Guide yang digunakan juga menyesuaikan dengan
informan penelitian namun tetap berpegang pada kebutuhan data.
Kegiatan wawancara dengan informan pelaksana program serta
peserta program Community Policing dilakukan formal namun
menggunakan bahasa tidak kaku, menggunakan pemilihan kata yang
lebih sederhana dan mudah dipahami namun jawaban-jawaban yang
didapat tetap mampu memenuhi kebutuhan data serta kegiatan
wawancara dilakukan dengan santai dan informan merasa nyaman
untuk memberikan jawaban-jawaban yang menjadi kebutuhan data
bagi peneliti.
b. Observasi
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data
yang berupa peristiwa, tempat dan benda serta rekaman gambar.
Observasi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak
langsung.50
50 ibid, hal. 64
61
Dalam penelitian program Community Policing, observasi yang
dilakukan oleh peneliti yaitu observasi berperan pasif dimana peneliti
hanya mendatangi lokasi, tetapi sama sekali tidak berperan sebagai
apapun selain sebagai pengamat pasif, namun hadir dalam konteksnya.
c. Dokumentasi
Pengumpulan data dan teori dalam penelitian ini, peneliti
memanfaatkan berbagai macam data dan teori yang didapat melalui
buku-buku, majalah dan sumber informasi non manusia lainnya yang
menunjang penelitian, seperti dokumen, arsip, laporan, peraturan, dan
literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan penelitian. Teknik
dokumentasi digunakan dengan maksud melengkapi data yang tidak
diperoleh dari kegiatan wawancara.
6. Validitas Data
Validitas (validity) data dalam penelitian komunikasi kualitatif lebih
menunjuk pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara
akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti.51
Data yang berhasil dikumpulkan dan dicatat harus diusahakan kemantapan
dan kebenarannya. Penulis harus bisa menentukan cara yang tepat untuk
mengembangkan validitas data yang diperolehnya. Validitas merupakan
jaminan kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian.52
51 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2007, hal. 97 52 H.B. Sutopo, Op.cit, hal. 77
62
Validitas data dalam penelitian ini menggunakan tehnik trianggulasi.
Trianggulasi merupakan tehnik yang didasari pada pola pikir
fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Artinya untuk menarik
kesimpulan yang mantap diperlukan tidak hanya satu cara pandang.
Menurut Patton (1984) tehnik trianggulasi dibedakan menjadi empat
macam yaitu:53
a. Trianggulasi Data (Sumber) Teknik trianggulasi data menurut istilah Patton juga disebut sebagai trianggulasi sumber. Tehnik yang mengarah pada penggunaan beragam sumber data yang tersedia. Data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya apabila digali dari berbagai sumber data yang berbeda.
b. Trianggulasi Metode Mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan tehnik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Ditekankan pada penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda untuk menguji kemantapan informasinya pada sumber data yang sama.
c. Trianggulasi Peneliti Hasil penelitian, baik data ataupun simpulan bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti. Dari pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil penelitian.
d. Trianggulasi Teori Trianggulasi ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Dari beberapa perspektif teori tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih lengkap, tidak hanya sepihak sehingga bisa dianalisa dan ditarik kesimpulan yang lebih utuh dan menyeluruh. Setiap pandangan teori selalu memiliki kekhususan cara pandangan, maka dengan menggunakan beberapa perspektif teori akan menghasilkan simpulan yang multidimensi.
Dari keempat data yang dikemukakan Patton (1984), hanya trianggulasi
data(sumber) yang digunakan dalam penelitian ini. Hal ini untuk
mengetahui validitas data yang diperoleh. Penggunaan beberapa sumber
53 Ibid, hal 78-82
63
data yang berbeda sangat penting untuk penelitian ini guna mendapatkan
hasil penelitian atau kesimpulan yang valid.
7. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, proses analisa data dilakukan pada awal
mulanya bersamaan dengan proses pengumpulan data. Analisa data dalam
penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu:
a. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data (kasar) yang ada dalam fieldnote.
Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan riset yang dimulai
dari bahan reduction yang sudah dimulai sejak peneliti mengambil
keputusan. Data reduction adalah bagian dari analisis, suatu bentuk
analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus,
membuang hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian
rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.
b. Sajian data
Merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset untuk dilakukan.dengan melihat suatu penyajian
data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan
untuk mengejakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain
berdasarkan pengertian tersebut. Display meliputi berbagai jenis
matriks, gambar atau skema, jaringan kerja keterkaitan kegiatan, dan
64
tabel. Kesemuanya dirancang guna merakit informasi secara teratur
supaya mudah dilihat dan dimengerti.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Dalam awal pengumpulan data, peneliti sudah harus mulai
mengerti apa arti dari hal-hal yang ditemui dengan melakukan
pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, dan
proposisi-proposisi. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai
proses pengumpulan data berakhir.54
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah CIPP yaitu
analisis dengan empat sasaran penilaian, yaitu penilaian konteks, masukan,
proses, dan produk. Metode ini didefinisikan sebagai proses untuk
menggambarkan, mendapatkan dan menyediakan informasi-informasi
yang berguna sebagai alat pengambilan keputusan. Melalui CIPP, maka
proses evaluasi ini akan dapat dijelaskan satu persatu mulai dari konteks,
input, proses, dan produk.
54 Ibid, hal 91-93
65
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
A. GAMBARAN UMUM POLRI
1. Sejarah Polri
Di dunia dikenal 2 macam riwayat kelahiran polisi di masyarakat. Polisi
Negara, yaitu polisi yang dibentuk oleh sebuah pemerintahan, dan polisi
masyarakat yang dibentuk atas prakarsa dan menghamba pada aspirasi
masyarakat. Kebanyakan riwayat kelahiran Polisi Negara terjadi di daratan benua
Eropa yang memiliki latar belakang pemerintahan Absolut/Monarki, sehingga ada
beberapa pihak yang menyebutnya sebagai Kepolisian Eropa Kontinental.
Penyebutan ini tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya Eropa Kontinental
lebih termaksud pada sebuah sistem kepolisian, bukan sejarah kepolisian;
meskipun sebuah sistem kepolisian memang terbentuk dari sejarah kepolisian
tersebut.
Sedangkan riwayat kelahiran Polisi Masyarakat banyak terjadi di wilayah
Inggris dan bekas jajahannya, kecuali di Negara-negara commonwealth di benua
Asia yang menyesuaikan dengan tujuan awal pembentukan badan kepolisian
dinegara tersebut, yaitu penjajahan. Di Inggris sendiri, polisi berawal dengan
penunjukan Kin Police atau polisi warga. Posisi ini secara bertahap mengalami
peningkatan sesuai dengan perkembangan masyarakat sampai ke tingkat kota
yang organisasi kepolisiannya dipimpin oleh seorang shireeves, dan kemudian
lebih akrab dengan sebutan sheriff. Sedangkan di Amerika, sheriff atau marshall
66
dibentuk oleh koloni-koloni, sehingga mereka pun harus bekerja atas kehendak
koloni tersebut.
Di Indonesia, sepintas yang masih bisa terlihat dalam kehidupan saat ini
adalah semacam polisi masyarakat. Di Jawa misalnya, dikenal posisi Jagabaya
dalam pemerintahan desa tradisional, dan demikian pada suku-suku lainnya.
Namun jika kita kembali ke jaman penjajahan Belanda maupun Jepang, sistem
yang berlaku adalah Polisi Negara, yang bertujuan mengamankan kepentingan
penjajahan di Indonesia dari serangan “ekstrimis inlander”, atau pejuang
kemerdekaan.
a. Jaman Kerajaan Majapahit
Sejarah kepolisian di Indonesia akarnya pun ditarik hingga ke jaman
Majapahit, untuk mencari roh Bhayangkara Negara melalui sosok Mahapatih
Gajah Mada. Asal muasal Bhayangkara yang mengabdi untuk menjaga
keselamatan seluruh warga negeri. Setelah itu, Bhayangkara Negara mengambil
peran pengabdian berbagai masyarakat kerajaan di seluruh Nusantara.
Kerajaan di Nusantara mempunyai satuan-satuan khusus yang berperan
sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat istilah "Bhayangkara" yang
digunakan untuk menyebut polisi, berasal dari jaman Majapahit. Pada masa itu,
Mahapatih Gajah Mada membentuk satuan Bhayangkara yang bertugas sebagai
penjaga keselamatan pribadi raja. Anggota satuan ini berjumlah 15 orang, terdiri
dari orang-orang pilihan.
Menurut inskripsi sejarah, pada tahun I3l9 terjadi pemberontakan Ra Kuti
di Majapahit. Pemberontakan itu disusul kerusuhan yang merebak ke seluruh
67
wilayah kerajaan. Tetapi pasukan Bhayangkara berhasil menyelamatkan Raja
Jayanegara yang terancam, dan mengungsikan Raja ke Desa Bedander.
Agar persembunyian raja tidak tercium, satuan Bhayangkara diperintahkan untuk
tidak meninggalkan lokasi itu. Namun, ada anggota pasukan yang diam-diam
pergi meninggalkan Desa Bedander. Mahapatih Gajah Mada yang marah atas
pelanggaran disiplin itu memerintahkan pencarian hingga ketemu, dan anggota itu
dihukum mati.
Kepada anak buahnya, Gajah Mada menekankan empat prinsip
kebhayangkaraan, yang di kemudian hari diadopsi menjadi prinsip-prinsip
kepolisian Polri. Keempat prinsip yang dinamakan Catur Prasetya itu adalah:
Satya Haprabu (setia kepada pimpinan negara); Hanyaken Musuh (mengenyahkan
m negara); Cineung Pratidina (bertekad mempertahankan negara) dan Tan Sa
Trisna (ikhlas dalam bertugas). Empat prinsip Gajah Mada itu kemudian menjadi
pedoman kerja setiap anggota Polri, melalui ikrar Catur Prasetya yang pertama
kali diucapkan dalam Wisuda Sarjana PTIK Angkatan VI pada tanggal 4 April
1961 di istana Negara. Kini, dan untuk masa-masa mendatang, setiap Polisi
Indonesia harus menghayati keempat prinsip tersebut agar menjadi insan
Bhayangkara sejati.
Agar sifat-sifat keperwiraan Gajah Mada dapat memberi inspirasi kepada
roh seluruh jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia sepanjang masa, maka
di depan Markas Besar Polri yang berlokasi di Jalan Trunojoyo, Jakarta dibangun
patungnya. Sebuah patung yang bukan sekadar bernilai seni, tetapi lebih dari itu
adalah penanda roh kepolisian Indonesia.
68
Selain Majapahit, berbagai kerajaan lain di Nusantara juga mempunyai
institusi dan satuan yang berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat seperti satuan Bhayangkara. Tetapi, fungsi-fungsi dan filosofi
kepolisian ideal yang dibangun Gajah Mada lah yang terekam dalam inskripsi
sejarah, sehingga dianut oleh Polri.
b. Jaman Penjajahan Belanda
Ketika Nusantara dijajah Belanda, polisi mengalami metamorfosa. Satuan
penjaga keamanan dan ketertiban kerajaan di Nusantara yang masih terpisah-pisah
berubah menjadi satuan dengan ruang lingkup geografis yang luas. Pemerintahan
Hindia Belanda membangun kekuasaan dengan sentralisasi di Batavia (Jakarta),
sehingga ruang lingkup tugas polisi menjadi jauh lebih luas.
Namun, fungsi polisi relatif tetap, yaitu memberikan perlindungan kepada
warga, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian, penjarahan,
dan perampokan. Cakupan tugas yang lebih luas ini dapat ditafsirkan sebagai
pelayanan kepada kekuasaan kolonial, tetapi dapat pula dianggap memperkuat
keamanan dan ketertiban, sebagai modal sosial bangsa-bangsa Nusantara
menyumbang pembentukan bangsa Indonesia di kemudian hari.
Dalam menjalankan fungsinya, polisi kolonial berwenang menyidik kasus-kasus
kriminal. Tetapi, seringkali batas-batas antara apa yang disebut sebagai “tindakan
kriminalitas” dengan “ tindakan politik yang dianggap membahayakan keamanan
Negara” sangat tipis. Akibatnya, penjajah kerap menyalahgunakan polisi sebagai
alat kekuasaan (politik) untuk menghadapi para aktivis pergerakan kebangsaan
Indonesia.
69
Belanda mengendalikan kepolisian dengan mengijinkan penggunaan
senjata api hanya oleh orang Belanda. Anggota pribumi tidak diperbolehkan
membawa dan menggunakan senjata api. Tetapi, situasi ini berubah pada masa
perang dunia II, saat jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Penguasaan
penduduk Jepang mulai memperbolehkan polisi pribumi untuk menggunakan
senjata api. Pada masa itu, belum ada pemilahan yang tegas antara militer yang
bersenjata api, dengan polisi yang juga bersenjata api. Jadi, selain menjaga dan
memelihara ketertiban, polisi juga ikut bertempur (Combatant).
Ketika Jepang kalah dalam PD II, bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan nasionalnya dengan nama Republik Indonesia. Tetapi, Belanda
ingin kembali berkuasa di bekas Hindia Belanda, melalui tindakan yang
disebutnya aksi polisionil. Suatu sebutan bagi tindakan yang dianggap
“polisionil”, yaitu pemulihan “ketertiban” masyarakat eks jajahannya.
Namun, sebagai kekuatan bersenjata, polisi bergabung dengan seluruh
rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Perlawanan terhadap aksi
polisionil Belanda itu disebut sebagai perang kemerdekaan. Pengalaman polisi
bersenjata masa penduduk Jepang sangat bermanfaat dalam perang kemerdekaan
menentang kembalinya Belanda ke Bumi Nusantara.
c. Jaman Penjajahan Jepang
Ketika pecah perang Dunia II, tentara Jepang dengan sangat cepat
menyerbu dan menundukkan kekuasaan Belanda di wilayah Nusantara, yang oleh
Belanda disebut Hindia Belanda. Kedatangan "pasukan kuning" dari utara itu
meruntuhkan mitos kekuasaan kulit putih.
70
Karena masa perang, maka pemerintah pendudukah Jepang di Hindia
Belanda menerapkan pemerintahan militer dan hukum militer. Ciri-cirinya adalah
militeristik, keras, lugas, dan bahkan kejam. Di bawah konteks ini, pribumi yang
menjadi anggota polisi dibekali dengan senjata api. Secara otomatis, peran polisi
warisan Belanda pun menurun drastis dan mengalami degradasi tajam.
Patut dicatat, bahwa pada masa itu peran polisi sebagai penjaga keamanan
dan ketertiban juga dilakukan oleh tentara. Begitupun sebaliknya, polisi menjadi
bagian dari kekuatan tempur. Karena itu, "polisi" yang berperan aktif adalah Polisi
Militer, yang mengambil alih tugas-tugas polisi sipil (sekalipun belum disebut
sebagai "polisi sipil").
Polisi tidak mempunyai kewenangan apa-apa, sehingga fungsi polisi hanya
sebagai pelengkap, diwarnai dengan norma kekerasan melalui pendekatan
kekuasaan. Karena suasana peperangan pula, pemerintahan Jepang membentuk
dan memperkuat Polisi Rahasia yang disebut Ken Pel Tai, dengan sasaran utama
operasi pada perkara yang berlatar belakang politik (hususnya masalah infiltrasi,
sabotase provokasi politik.
Kemudian, pada bulan April 1944, Jepang membentuk pasukan paramiliter
yang dikenal dengan nama Tokubetsu Keisatsi-tai, dengan anggota terdiri dari
para politik muda dan pemuda polisi didikan Jepang Tokubetsu Keisatsu-tai ini
lebih terlatih dari pasukan polisi istimewa dengan tugas-tugas serupa, yang
dibentuk pada masa penjajahan Belanda. Selain diasramakan, polisi istimewa
Jepang ini memperoleh pendidikan dan latihan kemiliteran dari tentara Jepang.
71
Tokubetsu Keisatsu-tai memiliki tugas dan tanggung jawab dalam bidang
Kamtibmas, dan sekaligus bertugas di front pertempuran.
Tokubetsu Keisatsu-tai dikembangkan dengan persebaran dan
pembentukan satuan-satuan kewilayahan. setiap kesatuan Tokubetsu Keisatsu-tai
wilayah berada di bawah perintah Kepala Polisi Karesidenan (dulu, wilayah
administrasi di bawah provinsi yang mengkoordinasikan beberapa kabupaten).
Setiap wilayah memiliki variasi jumlah personel, yang berkisar antara 60 hingga
orang, tergantung pada kondisi dan situasi wilayah. Komandan kompi Tokubetsu
Keisatsu-tai tersebut umumnya berpangkat Itto Keibu (Letnan Satu/lnspektur
satu).
d. Jaman Kemerdekaan Republik Indonesia
Gema proklamasi kemerdekaan RI, mengakibatkan pemuda-pemuda yang
tergabung dalam kesatuan Keisatsu-tai (Polisi) dan Tekubetsu Keisatsu-tai (Polisi
Istimewa) bentukan Jepang menyatakan dengan tegas berdiri di belakang
pemerintah RI. Mereka melucuti persenjataan Jepang bersama TKR dan barisan
pemuda yang bertempur melawan Jepang dan menyerang NICA.
Dua hari setelah kemerdekaan RI dikumandangkan, sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan RI menetapkan Jawatan Kepolisian Negara RI berada di
bawah Kementrian Dalam Negeri. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1946 merupakan
hari yang bersejarah bagi Polri, karena pada waktu itu dikeluarkan Ketetapan
Pemerintah No. 11/SD/1946 yang memutuskan bahwa Jawatan Kepolisian Negara
RI merupakan jawatan tersendiri yang berada langsung dibawah Perdana Menteri.
72
Sehingga, sejak saat itu, tanggal 1 Juli 1946 diperingati sebagai Hari Kepolisian
atau Hari Bhayangkara.
Antara tahun 1947 sampai dengan 1964, sejalan dengan perubahan
institusi serta bentuk susunan pemerintahan, kedudukan Polri beberapa kali
dialihkan dari lembaga pemerintahan yang satu ke lembaga pemerintahan yang
lain. Selama itu, Polri pernah berada dibawah Presiden, Perdana Menteri, Jaksa
Agung, Menteri Dalam Negeri, Komisi Kepolisian dan Menteri Pertahanan/
Koordinator Kemanan dan Ketertiban sampai diintegrasikannya Polri dalam tubuh
ABRI, secara utuh pada tahun 1964, berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun
1961. Sehingga bisa dikatakan, Kepolisian merupakan fungsi Pemerintahan
Negara yang unik yang seringkali dialihkan dan dalam sejarahnya yang panjang
itu, Polri berada dibawah Menteri Pertahanan atau Menhankam/ Panglima ABRI
dan dibawah Presiden ataupun Perdana Menteri.
Integrasi Polri ke dalam tubuh ABRI sebenarnya mulai ditetapkan pada
tanggal 1 Agustus 1947, yakni dengan dimiliterisasikannya Kepolisian
berdasarkan Penetapan Dewan Pertahanan No.112/1947. Sejalan perkembangan
situasi keamanan dan perubahan susunan pemerintahan, integrasi tersebut hanya
berjalan beberapa tahun.
Pada tahun 1960 MPRS mengeluarkan Ketetapan No. II/PRS/1960 yang
antara lain berisi: Angkatan Perang dan Polisi Negara sebagai pertahanan/
keamanan. Kepolisian Negara adalah alat revolusi untuk pengamanan dalam
negeri. Dari segi ketatanegaraan dan tata usaha negara, status kepolisian dan status
hukum kepegawaian diletakkan diantara sipil dan militer. Kedudukan Polri
73
sebagai unsur ABRI kemudian dipertegas dalam UU No. 3/1961. Tap MPRS
tersebut kemudian dirubah atau disempurnakan dalam sidang MPR berikutnya,
sementara UU No.3/1961 diganti dengan UU No. 28 th 1997 tentang Polri sebagai
realisasi dari UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan Negara
(Hankamneg). Sedangkan status keprajuritan personil Polri diperkuat dengan UU
No. 2 Tahun 1988 tentang prajurit ABRI.
Dengan demikian secara yuridis status Polri sebagai ABRI dilegalisasi
oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Dan keABRI-an Polri bukan saja
telah melembaga secara struktural tetapi juga membudaya dalam hampir setiap
aspek organisasi, manajemen dan perilaku setiap personil Polri.
Namun, perjalanan sejarah telah menentukan lain, dengan kedudukannya
sebagai unsur ABRI kadang-kadang menimbulkan hambatan dalam
penyelenggaraan fungsi kepolisian oleh Polri. Walau beberapa kebijakan diambil,
seperti pembenahan sistem pendidikan dan upaya mengedepankan Polri dalam
tugas-tugas Bimmas, ternyata masih dirasakan adanya kelemahan dalam
kinerjanya, terutama dalam kapasitasnya sebagai agen penegak hukum.
2. Polri di Era Reformasi
Pada perkembangan Polri selanjutnya, adalah di Era Reformasi, yakni
dengan berpisahnya Polri dari ABRI pada tanggal 1 April 1999.
Adapun alasan dipisahkannya Polri dari ABRI adalah:55
55 Anton Tabah dan Prof. Ir. Eko Budiharjo, M.Sc, Reformasi Kepolisian (Pakar Menjawab : POLRI harus otonom dan terpisah dari ABRI), CV. Sahabat, Klaten, 1998, hal 25
74
a. Polri adalah institusi publik yang berwatak sipil serta dituntut untuk
menjalankan peranannya tersebut.
b. Polri menghadapi masyarakat sebagai sasaran kontrol yang harus
dilindungi.
c. Kultur polisi berbeda dengan kultur militer.
d. Doktrin Polri adalah melindungi, sedang doktrin militer adalah
menghancurkan (musuh). Keduanya tidak dapat dipersatukan.
e. Polri berurusan dengan hukum dan menjadi bagian dari hukum. Oleh
sebab itu, demi efisien dan kerapian struktur harus dipertegas bahwa
tempat Polri adalah bagian dari penegakan hukum.
f. Kapolri harus memegang puncak komando kepolisian, karena hanya
seorang yang berasal dari kalangan polisi profesional akan mampu
memahami dan menjalankan fungsi kepolisian dengan baik.
Bilamana sebelum reformasi Kapolri berada dibawah Menhankam, namun
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dari pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002, dikatakan bahwa
Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Pada
ayat 2, usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden
kepada DPR disertai dengan alasannya. Ini berarti, Kapolri berada dibawah
Presiden, serta diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Era reformasi saat ini juga menjadikan perlindungan HAM, demokratisasi
serta masalah lingkungan hidup menjadi isu sentral. Untuk itu di era reformasi,
dengan pemisahan Polri secara total dari ABRI diharapkan agar Polri menjadi
75
lebih mandiri. Dengan kemandirian Polri tersebut, diharapkan agar Polri dapat
mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang profesional serta dekat dengan
masyarakat dalam menuju perubahan tata kehidupan nasional ke arah masyarakat
yang demokratis, aman, tertib, adil, dan sejahtera.
3. Visi dan Misi Polri
Menurut Kamus Bahasa Indonesia yang ditulis oleh WJS.
Poerwadarminta, visi adalah daya lihat; penglihatan; atau kemampuan untuk
melihat serta mengetahui inti/ pokok dari suatu hal atau persoalan. Visi Polri
adalah cita-cita yang harus diwujudkan dalam setiap derap langkah kehidupan
anggota Polri untuk mengayunkan langkah sebagai pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat maupun sebagai penegak hukum.
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh
Prof. Dr. Js. Badudu, misi adalah sesuatu yang dianggap sebagai tugas dan
kewajiban yang harus dilaksanakan.
Untuk visi dan misi Polri, yang digunakan sebagai dasar adalah Surat
Keputusan KAPOLRI No. Pol : Kep/01/0/2001, Tanggal 2 Januari 2002. Isi dari
visi serta misi Polri dibuat sama untuk seluruh jajaran Kepolisian di Indonesia, hal
ini dibuat agar ada kesamaan visi dan misi serta kerjasama dengan jajaran tingkat
kepolisian yang lain. Karena dibuat oleh Kapolri, maka untuk setiap pergantian
Kapolri, visi dan misi dapat diubah dan disesuaikan dengan perkembangan jaman.
a. Visi Polri adalah:
Polri mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang
selalu dekat dan bersama-sama dengan masyarakat, serta aparat penegak
76
hukum yang profesional dan proporsional yang selalu menjunjung tinggi
supremasi hukum dan hak azasi manusia, pemelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam
suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.
b. Misi Polri adalah:
1) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat yang meliputi aspek security, surety, safety dan peace
sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis.
2) Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif
dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta
kepatuhan hukum masyarakat (Law Abiding Citizenship).
3) Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan
menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju
adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
4) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap
memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
5) Mengelola Sumber Daya Manusia Polri secara profesional dalam
mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri
sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai
kesejahteraan masyarakat.
77
6) Meningkatkan upaya konsolidasi ke dalam (internal Polri) sebagai
upaya menyamakan visi dan misi Polri kedepan.
7) Memelihara solidaritas institusi Polri dari berbagai pengaruh eksternal
yang sangat merugikan organisasi.
8) Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah
konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
9) Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari
masyarakat yang berbhineka tunggal ika
Selain visi dan misi, terdapat pula tujuan Polri, yaitu terwujudnya
keamanan dalam negeri, yang mendorong gairah kerja masyarakat untuk
mencapai kesejahteraannya.
4. Pedoman Hidup Tri Brata dan Pedoman Kerja Catur Prasetya
Tri Brata dan Catur Prasetya dipakai sebagai pedoman hidup dan pedoman
kerja Polri, Tri Brata menjadi pedoman hidup Polri yang diprakarsai oleh Guru
Besar dan Dekan PTIK Prof. Djoko Soetono, SH. Dalam menyongsong pra
rancangan Undang-Undang Kepolisian sebelum Indonesia Merdeka.
Kata-kata Tri Brata pada awalnya dikemukakan oleh Maha Guru Sastra
sekaligus Dekan Fakultas Sastra UI yang merangkap sebagai Mendikbud saat itu,
yaitu Prof. Dr. Priyono. Kemudian secara resmi diucapkan oleh seorang
mahasiswa PTIK pada prosesi wisuda kesarjanaan PTIK Angkatan II tanggal 3
Mei 1954, yang diresmikan sebagai Kode Etik pelaksanaan tugas Polri (yang
dahulu disebut Pedoman Hidup) pada tanggal 1 Juli 1955. Selain pedoman hidup
78
Tri Brata, Polri juga memiliki pedoman kerja yang disebut Catur Prasetya yang
dipakai sejak tahun 1961.56
a. TRI BRATA adalah:
1) Rastra Sewakottama, artinya abdi utama daripada nusa dan bangsa
2) Nagara Janottama, artinya warga negara teladan daripada negara
3) Yana Anucacana Dharma, artinya wajib menjaga ketertiban pribadi
daripada rakyat
b. CATUR PRASETYA adalah:
1) Satya Haprabu, artinya setia kepada negara dan pemimpin
2) Hanyaken Musuh, artinya mengenyahkan musuh-musuh negara dan
masyarakat
3) Gineung Pratidina, artinya mengagungkan negara
4) Tan Satrisna, artinya tidak terikat trisna kepada sesuatu
5. Lambang Polri
Gambar 2.1
Lambang Polri
56 http://www.polri.go.id, Kepolisian Negara Republik Indonesia-Tri Brata dan Catur Prasetya
79
Lambang Polri bernama Rastra Sewakottama yang berarti Polri adalah
abdi utama rakyat. Sebutan itu adalah Brata pertama Tri Brata yang diikrarkan
sebagai pedoman hidup Polri sejak 1 Juli 1954. Polri yang tumbuh dan
berkembang oleh dari rakyat dan untuk rakyat, memang harus berinisiatif dan
bertindak sebagai abdi sekaligus sebagai pelindung dan pengayom rakyat.
Prinsip itu diwujudkan dalam bentuk logo, dengan rincian makna sebagai
berikut:57
a. Perisai bermakna pelindung rakyat dan negara.
b. Tiang dan nyala obor bermakna penegasan tugas Polri, disamping
memberi sesuluh atau penerangan juga bermakna penyadaran hati nurani
masyarakat agar selalu sadar akan perlunya kondisi Kamtibmas yang
mantap.
c. Pancaran obor yang berjumlah 17 dengan 8 sudut pancar berlapis 4 tiang
dan 5 penyangga bermakna 17 Agustus 1945, hari Proklamasi
Kemerdekaan.
d. Tangkai padi dan kapas menggambarkan cita-cita bangsa menuju
kehidupan adil dan makmur, sedang daun kapas dengan 9 putik dan 45
butir padi merupakan suatu pernyataan tanggal pelantikan Kapolri pertama
29 September 1945 yang dijabat oleh Jenderal Polisi Raden Said Soekanto
Tjokrodiatmodjo.
e. Tiga bintang di atas logo bernama Tri Brata adalah pedoman hidup Polri.
f. Sedang warna hitam dan kuning adalah warna legendaris Polri.
57 http://www.polri.go.id, Kepolisian Negara Republik Indonesia-Lambang Polri
80
g. Warna kuning keemasan melambangkan kebesaran jiwa dan keagungan
hati nurani segenap prajurit Polri.
h. Warna hitam adalah lambang keabadian dan sikap tenang mantap yang
bermakna harapan agar Polri selalu tidak goyah dalam situasi dan kondisi
apapun.
6. Doktrin Polri
Sebelum berintegrasi dalam ABRI, doktrin Polri adalah “Tata Tentrem
Kerta Raharja.” Dengan integrasi ABRI, semua doktrin Angkatan Perang dan
Polri diintegrasikan dan diberlakukan doktrin ABRI “Catur Dharma Eka Karma”
yang di dalam perkembangannya ternyata tidak sesuai lagi dengan pelaksanaan
tugas pokok Polri. Dengan pemisahan Polri dari ABRI, maka Polri kembali
kepada doktrin “Tata Tentrem Kerta Raharja”.58
a. “Tata Tentrem Kerta Raharja”
Berisi ajaran bahwa untuk mencapai tujuan nasional yang berupa
masyarakat Indonesia yang adil makmur, adapun artinya adalah:
1) Tata, artinya ketertiban yang berdasarkan hukum
2) Tentrem, artinya terwujudnya keamanan dalam negeri ataupun
terwujudnya security, surety, safety dan peace (rasa tenang, aman,
tentram dan damai)
3) Kerta, artinya diwujudkan melalui pembinaan
4) Raharja, artinya dipersyaratkan adanya suasana gairah untuk
membangun
58 http://www.polri.go.id, Kepolisian Negara Republik Indonesia-Doktrin Polri
81
Dengan demikian, Tata Tentrem Kerta Raharja dapat diartikan sebagai
terwujudnya keamanan dalam negeri, serta ketertiban yang berdasarkan hukum
melalui pembinaan, supaya tercipta rasa aman, tenteram dan damai. Dengan
situasi tersebut, diharapkan masyarakat mempunyai gairah untuk membangun.
Yang menjadi harapan dari pelaksanaan doktrin “Tata Tentrem Kerta Raharja” ini
terdapat perilaku yang menjunjung tinggi supremasi hukum, hak asasi manusia,
budaya hukum menjadi acuan dalam mewujudkan keamanan dalam negeri.
Doktrin Polri merupakan pandangan yang diyakini kebenarannya dan
mempengaruhi perilaku anggota Polri atau kelompok pada organisasi dalam
menjalankan misi serta untuk mencapai tujuan organisasi Polri.
b. Mengacu pada visi Polri maka doktrin Polri juga memuat dua aspek
penting, yaitu:
1) Aspek inward looking, bagian doktrin Polri yang memuat tentang
doktrin pembinaan Polri, bersifat pandangan tentang penyusunan
kemampuan dan pembangunan kekuatan yang sesuai dengan tuntutan
tugas.
2) Aspek out ward looking, bagian doktrin Polri yang memuat tentang
doktrin operasional Polri, mengidentifikasikan bentuk-bentuk tugas,
pengembangan sistem, metode, taktik dan teknik pelaksanaan tugas
pokok, serta pandangan Polri tentang lingkungan (masyarakat)
menurut pandangan operasional Polri.
82
B. GAMBARAN UMUM POLRES BOYOLALI
1. Sejarah Polres Boyolali
Dimulai pada tahun 1942 hingga tahun 1945, sebelum bernama Polres
diberi nama Komres (Komando Resort). Seiring dengan perkembangan jaman
maka semenjak tahun 1980-an diganti menjadi Polres (Kepolisian Resort). Polres
Boyolali ini didirikan dengan tujuan mengatasi masalah Kamtibmas, masalah
tersebut meliputi lalu-lintas, tertib dalam melaksanakan kegiatan masyarakat dan
sebagainya.
2. Lokasi
a. Letak wilayah
Terletak diantara 110’.22 – 110’.50 bujur timur dan 7’.36 – 7’.11 lintang
selatan dengan ketinggian antara 1500 s/d 2200 meter dari permukaan laut.
b. Luas wilayah
Luas wilayah seluruhnya 1.015.100.965 Ha dibagi menjadi 19 kecamatan
terdiri dari 267 desa dan tercakup dalam 5 kawedanan.
c. Batas wilayah Polres Boyolali:
1) Sebelah Utara : Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Sragen
2) Sebelah Selatan : Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo
3) Sebelah Barat : Kabupaten Magelang dan Kabupaten Salatiga
4) Sebelah Timur : Kabupaten Karanganyar dan Kodya Surakarta
83
d. Jumlah penduduk:
Jumlah penduduk yang ada di daerah Boyolali ini 944.181 jiwa yang terdiri
dari laki-laki 461.806 jiwa (48,9%) dan perempuan 482.375 jiwa (51,1%)
dengan kepadatan penduduk rata-rata 930 jiwa/ Km2.
Tabel 2.1
Daftar Polsek di Kabupaten Boyolali
NO DAFTAR POLSEK DI KABUPATEN BOYOLALI
LETAK KECAMATAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Polsek Selo
Polsek Ampel
Polsek Cepogo
Polsek Musuk
Polsek Boyolali
Polsek Mojosongo
Polsek Teras
Polsek Sawit
Polsek Banyudono
Polsek Sambi
Polsek Ngemplak
Polsek Nogosari
Polsek Simo
Polsek Karanggede
Polsek Klego
Polsek Andong
Polsek Kemusu
Polsek Wonosegoro
Polsek Juwangi
Kec. Selo
Kec. Ampel
Kec. Cepogo
Kec. Musuk
Kec. Boyolali
Kec. Mojosongo
Kec. Teras
Kec. Sawit
Kec. Banyudono
Kec. Sambi
Kec. Ngemplak
Kec. Nogosari
Kec. Simo
Kec. Karanggede
Kec. Klego
Kec. Andong
Kec. Kemusu
Kec. Wonosegoro
Kec. Juwangi
84
3. Struktur Organisasi Polres Boyolali
Tabel 2.2 Struktur Organisasi Polres Boyolali
DASAR SKEP KAPOLRI NO POL. : KEP/54/X/2002 TANGGAL 17 OKTOBER 2002
4.
Tugas dan tanggung jawab berdasarkan pada struktur organisasi Polres
Boyolali:
a. Kapolres
Kapolres mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Pembantu dan pelaksana utama Kapolda atau Kapolwil pada tingkat
kewilayahan, dalam pelaksanaan pembinaan kemampuan Polri dan
segenap komponen lain dari kekuatan pertahanan dan keamanan negara
dibidang penertiban dan penyelamatan masyarakat serta penyelenggaraan
operasional kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Polres.
KAPOLRES WAKA POLRES
BAG OPS BAG BINAMITRA BAG MIN
URTELEMATIKA UNIT P3 D UR DOKKES TAUD BENSAT
SPK SAT INTELKAM SAT RESKRIM SAT SAMAPTA SAT LANTAS
19 POLSEK
85
b. Wakapolres
Wakapolres mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Sebagai pembantu dan penasehat utama Polres terutama dalam
penyelenggaraan pembinaan kemampuan termasuk koordinasi dan sebagai
pengawas serta mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugas
Kapolres secara terbatas dan mewakili Kapolres apabila Kapolres
berhalangan.
c. Kabagmin (Kepala Bagian Administrasi)
Kabagmin mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Sebagai unsur pembantu pimpinan dan staf pada Polres yang bertugas
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi pembinaan personil dan
pembinaan logistik serta latihan dalam rangka mendukung pelaksanaan
tugas Polres.
d. Kabag Binamitra
Kabag Binamitra mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Sebagai unsur pelaksana tingkat Mapolres yang bertugas
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi Binamitra yang berifat
terpusat pada tingkat Resor atau antar sektor, termasuk memberikan
dukungan operasional terhadap pelaksanaan fungsi tersebut pada tingkat
polsek.
86
e. Kabagops (kepala Bagian Operasional)
Kabagops mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Sebagai unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf pada Polres yang
bertugas menyelenggarakan dan melaksanakan segala kegiatan dalam
rangka pengendalian terhadap pelaksanaan operasional Polres termasuk
penyelenggaraan pekerjaan staf dalam bidang manajemen operasional
Polres yang bersifat terpadu serta pelayanan masyarakat dan pengendalian
atas pelaksanaan tindakan pertama di tempat kejadian.
f. Kaurtelematika
Kaurtelematika mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Memimpin staf telekomunikasi dan informatika dalam rangka
meningkatkan kemampuan para anggota untuk menggunakan alat-alat
komunikasi secara profesional, efektif, efisien, modern serta proaktif.
Sehingga, apabila terjadi gangguan dalam bentuk Crime Intelligence serta
adanya hakekat ancaman akan lebih berhasil bila dilengkapi dengan alat
komunikasi prima dan modern.
g. Kataud (Kepala Tata Usaha dan Urusan Dalam)
Kataut mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Memimpin bidang tata usaha, serta urusan dalam yang berkaitan dengan
data-data serta laporan kegiatan yang dikerjakan oleh tiap unit baik harian,
minggguan ataupun bulanan pembukuan diserahkan kepada bidang usaha
ini, dan sebagainya yang kemudian untuk diarsipkan.
87
h. Kasat Intelkam (Kepala Intelegen dan Keamanan Kepolisian)
Kasat Intelkam mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Sebagai unsur pelaksana pada tingkat Mapolres yang bertugas
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi Intelijen dan keamanan
Kepolisian dalam seluruh wilayah Polres termasuk memberikan dukungan
operasional terhadap pelaksanaan fungsi tersebut pada tingkat polsek.
i. Kasat Reskrim (Kepala Satuan Reserse dan Kriminal)
Kasat Reskrim mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Unsur pelaksana pada tingkat Mapolres yang bertugas menyelenggarakan
dan melaksanakan fungsi reserse kepolisian yang bersifat terpusat pada
tingkat resor atau antar sektor termasuk memberikan dukungan operasional
atas pelaksanaan fungsi tersebut pada tingkat Polsek. Reserse juga
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi yang meliputi kegiatan
represif kepolisian melalui upaya penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana, baik kejahatan umum maupun kejahatan ekonomi, termasuk tindak
pidana penyelundupan, kejahatan uang palsu dan kejahatan narkoba. Serta
melaksanakan fungsi kriminalistik lapangan dalam rangka pembuktian
secara ilmiah kasus-kasus kejahatan yang ditanganinya.
j. Kepala Unit P 3 D
Kepala unit P 3 D mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Sebagai unsur pelaksana staf pada Mapolres yang bertugas membantu
pimpinan Polres dalam rangka penegakan hukum, disiplin, tata tertib dan
pengamanan dalam lingkungan Polres. Selain itu, mempunyai wewenang
88
untuk menindak dan memeriksa anggota Polri maupun sipil yang
melanggar tindak pidana dan pelanggaran disiplin khususnya dalam
lingkungan Mapolres.
k. Kasat Samapta
Kasat Samapta mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Memimpin Samapta Bhayangkara, juga termasuk salah satu dari fungsi
operasional Polri yang mengemban tugas utama bersifat preventif, atau
pencegahan. Melalui patroli, pengaturan, penjagaan dan pengawalan serta
pelayanan masyarakat.
Tugas tersebut merupakan tugas esensial bagi satuan Samapta ini. Sasaran
utamanya adalah menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalisir
bertemunya niat dan kesempatan terjadinya pelanggaran atau kejahatan.
Tugas utama Samapta adalah patroli, karena dengan patroli yang benar,
bukan saja dicegah bertemunya niat dan kesempatan berbuat jahat dari
penjahat, tetapi sekaligus menarik simpati masyarakat, untuk
membangkitkan partisipasi masyarakat terhadap polisi. Selain itu, daerah
“lampu merah” ataupun tempat hiburan serta tempat rawan kejahatan
lainnya merupakan sasaran utama petugas patroli ini. Pada jam-jam sibuk
dan usai sekolah, petugas Samapta bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan keamanan dan ketertiban baik di sekolah, kantor-kantor
umum lainnya.
89
l. Kasat Lantas
Kasat Lantas mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
Sebagai pimpinan dalam satuan lalu-lintas baik dalam hal penegakan
hukum lalu lintas (Police Traffic Law Enforcement) baik dalam upaya
preventif maupun represif, pendidikan masyarakat tentang lalu lintas
(Police Traffic Education), rekayasa lalu lintas (Police Traffic
Engineering) serta registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan
bermotor.
C. GAMBARAN UMUM BINAMITRA POLRES BOYOLALI
1. Struktur Organisasi Binamitra Polres Boyolali
Struktur organisasi Binamitra Polres Boyolali dijelaskan pula mengenai
tugas setiap unit, dimulai dari Kepala Bagian Binamitra hingga pada unit-unit
terkecil. Dimana dalam struktur ini juga dibagi berdasarkan kepangkatan
personel Polri. Struktur ini penting, agar ada pembagian pelimpahan wewenang
serta tugas yang jelas, baik yang dimulai dari pimpinan hingga bawahan.
Yang menjadi bentuk struktur organisasi Binamitra Polres Boyolali adalah
sebagai berikut:
90
Tabel 2.3 Struktur Organisasi Bagian Binamitra
Keterangan:
KABAG BINAMITRA : Kepala Bagian Binamitra
KASUBBAG BIMMAS : Kepala Sub Bagian Bimbingan Masyarakat
KASUBBAG KERMA : Kepala Sub Bagian Kerjasama Masyarakat
BAN UM : Bantuan Umum
BAN MIN : Bantuan Admistrasi
KOMPOL : Komisaris Polisi
AKP : Ajun Komisaris Polisi
Ipda : Inspektur Dua
Aiptu : Ajun Inspektur Satu
Briptu : Brigadir Satu
Bripda : Brigadir Dua
KABAG BINAMITRA KOMPOL SUWARNO, SH
KASUBBAG BIMMAS IPDA JOKO LUKITO
KASUBBAG KERMA IPTU SUTANTO
BAN UM AIPTU JOKO W
BA MIN AIPTU DALYAMTO
BAN UM AIPTU BUDI WASITO
BA MIN AIPTU L. MURTIJO
BAN UM BRIPTU SETYAWAN E S
BA MIN BRIPDA ADI NEGARA
BAN UM BRIPTU RAHMAD B.L, S.Pd, MH
BA MIN BRIPDA SATRIO A
BAMBANG SURYANTO PENGATUR 1
ENI RAHAYU PENGATUR 1
91
2. Tugas dan Wewenang Binamitra Polres Boyolali
Binamitra Polres Boyolali adalah unsur pelaksana tingkat Mapolres yang
bertugas menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi Binamitra yang berifat
terpusat pada tingkat Resor atau antar sektor, termasuk memberikan dukungan
operasional terhadap pelaksanaan fungsi tersebut pada tingkat polsek.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut, dengan memperhatikan arahan
Kapolres dan petunjuk pembina fungsi pembina, fungsi Binamitra Polres Boyolali
adalah:
a. Memberi bimbingan teknik atas pelaksanaan fungsi Binamitra pada tingkat
polsek
b. Menyelenggarakan dan melaksanakan Binkamswakarsa untuk memelihara
dan menciptakan suasana aman tertib dalam lingkungan masyarakat
melalui usaha pam yang tumbuh dan berkembang atas kehendak dan
kemampuan masyarakat itu sendiri termasuk mencegah dan
menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat
c. Menyelenggarakan dan melaksanakan pembinaan potensi masyarakat
untuk memelihara serta meningkatkan situasi dan kondisi masyarakat yang
menguntungkan bagi pelaksanaan tugas kepolisian serta cegah timbulnya
faktor kriminogen
d. Menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan badan-badan di
dalam dan di luar Polri pada tingkat Mapolres
92
e. Menyelenggarakan dan melaksanakan koordinasi serta kerjasama dengan
badan/ organisasi pemerintah, swasta, LSM dan lain-lain pada tingkat
pusat maupun daerah dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat.
Binamitra Polres dipimpin oleh Kepala Bagian Binamitra Polres disingkat
Kabag Binamitra yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas kewajibannya
kepada Kapolres, dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari dikoordinasi oleh
Wakapolres.
a. KABAG BINAMITRA
Tugas dan wewenangnya adalah:
1) Mengatur penyelenggaraan dan mengawasi atau mengarahkan
pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan pembinaan pam swakarsa oleh
satuan fungsi yang berkompeten
2) Membina hubungan kerjasama dengan organisasi/ lembaga/ tokoh
sosial/ kemasyarakat dan instansi pemerintah, khususnya instansi
polsus/ PPNS dan pemerintahan daerah. Bertanggung jawab kepada
Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali
Wakapolres
b. KASUBBAG BIMMAS
Tugas dan wewenangnya adalah:
1) Merencanakan penyusuanan rencana kerja dibidang kegiatan bimbingan
masyarakat serta pembinaan dalam rangka program perpolisian
masyarakat
93
2) Menyusun kegiatan dan strategi dalam rangka pemberdayaan
masyarakat dan pemberdayaan Pam swakarsa melalui ksk/ fsk
3) Mengadakan kegiatan bimbingan penyuluhan keamanan dan hukum
terhadap masyarakat
c. KASUBBAG KERMA
Tugas dan wewenangnya adalah:
Merencanakan penyususnan rencana kerja dibidang kegiatan kerjasama
dengan organisasi/ lembaga/ tokoh sosial/ kemasyarakatan dan instansi
pemerintah dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga
masyarakat pada hukum dan perundang-undangan.
Beberapa Program Unggulan yang dimiliki oleh Binamitra adalah:
Pemberdayaan community policing
1) Kegiatan Bintibmas (pembinaan dan penyuluhan hukum, kecelakaan
lalu lintas, narkoba dan lain-lain)
2) Kegiatan Binredawan (pembinaan dan penyuluhan terhadap remaja,
karang taruna, pelajar, mahasiswa tentang kenakalan remaja, narkoba
dan KDRT)
3) Kegiatan Binkamsa (pembinaan, penyuluhan, sambang dan pelatihan
terhadap pos kamling)
4) Kegiatan Bin Kor Polsus
94
Peluang/ Potensi Dukungan terhadap Binamitra Polres Boyolali, yang
meliputi:
a. Pemerintah Daerah Boyolali
b. Tokoh agama
c. Tokoh masyarakat
d. Pengusaha atau pelaku bisnis
e. Instansi terkait
f. Sekolah, kampus dan potensi masyarakat lainnya
BAB III
PENYAJIAN DATA
A. Informan
Dalam penelitian yang menjadi informan, yaitu pelaksana program
Community Policing (Polmas), yaitu Binamitra Polres Boyolali, dan sasaran
program Community Policing, yaitu masyarakat peserta program Community
Policing. Berikut informan yang menjadi narasumber dalam penelitian ini:
1. Pelaksana Program Community Policing
Community Policing adalah program Kepolisian dalam membangun
kemitraan dengan masyarakat. Binamitra selaku Humas Polres Boyolali
mempunyai peranan yang besar dalam kegiatan ini. Staf pelaksana
program Community Policing di Binamitra Polres Boyolali, yaitu:
· Kasubbag Bimmas, Binamitra Polres Boyolali
95
IPDA Joko Lukito, 51 tahun, jabatan beliau di Polres Boyolali adalah
sebagai Kepala Sub Bagian Bimmas yang bertugas membantu Kabag
Binamitra dalam penyusunan rencana kerja di bidang kegiatan
bimbingan masyarakat serta pembinaan dalam rangka program
Perpolisian Masyarakat/ Polmas/ Community Policing.
· Ba Min Bimmas, Binamitra Polres Boyolali
AIPTU Dalyamto, 46 tahun, jabatan beliau di Polres Boyolali adalah
sebagai Ba Min Bimmas yang bertugas menyusun laporan hasil
kegiatan harian, mingguan dan bulanan Binamitra Polres Boyolali.
2. Sasaran Program Community Policing
Sasaran Program Community Policing adalah seluruh Warga Negara
Indonesia. Tanggung jawab pelaksanaan program ini diserahkan kepada
masing-masing institusi Kepolisian yang ada di seluruh Indonesia. Untuk
Polres Boyolali bertanggung jawab atas pelaksanaan program Community
Policing pada masyarakat yang ada di wilayah kerja Polres Boyolali.
Wilayah kerja Polres Boyolali yaitu Kabupaten Boyolali dengan
membawahi 19 Polsek.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih narasumber secara purposive dan
mendapatkan pembinaan langsung secara tatap muka (face to face).
Berikut daftar nama narasumber dari peserta program Community
Policing:
a. Oktaviani Puspitasari, 26 tahun, pendidikan sarjana pendidikan,
berprofesi sebagai guru Play Group, berdomisili di Ampel, Boyolali.
96
b. Setro Margono, 45 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan sebagai
Kepala Desa Keposong, berdomisili di Musuk, Boyolali.
c. Suyamto, usia 38 tahun, pendidikan sarjana pendidikan, pekerjaan
sebagai guru SLTP, berdomisili di Ampel, Boyolali.
d. Agus Setiawan, 35 tahun, pendidikan SMA, bekerja sebagai Satuan
Pengamanan (Satpam) BNI Sunggingan, berdomisili di Teras,
Boyolali
e. Erna Dwi Agustin, 17 tahun, pendidikan terakhir SLTP, sekarang
masih terdaftar sebagai siswi SMA Negeri 3 Boyolali, berdomisili di
Mojosongo, Boyolali.
Tabel 3.1
Informan Peserta Program Community Policing
No. Nama Usia Pendidikan Pekerjaan
1. Oktaviani Puspitasari 26 tahun Sarjana pendidikan Guru Play Group
2. Setro Margono 45 tahun SMA Kepala Desa
3. Suyamto 38 tahun Sarjana pendidikan Guru SLTP
4. Agus Setiawan 35 tahun SMA Satpam
5. Erna Dwi Agustin 17 tahun SLTP Pelajar
B. Perencanaan Program Community Policing
1. Latar Belakang Community Policing
Sebelum konsep Community Policing diluncurkan terutama di
negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas Kepolisian baik dalam
pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum,
97
dilakukan secara konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya semata-
mata sebagai pemegang otoritas dan institusi kepolisian dipandang semata-
mata sebagai alat negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan
represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian.
Walaupun prinsip-prinsip “melayani dan melindungi” (to serve and to
protect) ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik,
serba sama/seragam mewarnai penyajian layanan kepolisian. Gaya
perpolisian tersebut mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari
pemerintah pusat dan mengabaikan ‘persetujuan’ masyarakat lokal yang
dilayani. Selain itu polisi cenderung menumbuhkan sikap yang
menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal dan eksklusif dari
anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat pada
memudarnya legitimasi kepolisian di mata publik pada satu sisi, serta
semakin berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanaan tugas kepolisian
maupun buruknya citra polisi pada sisi lain.
Kondisi di atas, juga terjadi di Indonesia, lebih-lebih ketika Polri
dijadikan sebagai bagian integral ABRI dan polisi merupakan prajurit
ABRI yang dalam pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan tindakan yang
kaku bahkan militeristik yang tidak proporsional. Perpolisian semacam itu
juga ditandai antara lain oleh pelaksanaan tugas kepolisian, utamanya
penegakan hukum, yang bersifat otoriter, kaku, keras dan kurang peka
terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat. Di sisi lain pelaksanaan tugas
kepolisian sehari-hari, lebih mengedepankan penegakan hukum utamanya
98
untuk menanggulangi tindak kriminal. Berdasarkan TAP MPR Nomor
II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang berkaitan
dengan Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Swakarsa, Polri
dibebani tugas melakukan pembinaan Kamtibmas yang diperankan oleh
Babinkamtibmas sebagai ujung tombak terdepan. Pendekatan demikian
memposisikan masyarakat seakan-akan hanya sebagai objek dan posisi
polisi sebagai subjek yang ‘serba lebih’ sehingga dianggap figur yang
mampu menangani dan menyelesaikan segenap permasalahan kamtibmas
yang dihadapi masyarakat.59
Pola penyelenggaraan pomolisian yang bertumpu kepada konsep
peningkatan jumlah polisi dan/atau peningkatan intensitas kegiatan polisi
tidak mampu mengatasi atau menekan angka gangguan Kamtibmas yang
berkembang pesat di dalam masyarakat.
Sejalan dengan pergeseran peradaban umat manusia, secara
universal terutama di negara-negara maju, masyarakat cenderung semakin
‘jenuh’ dengan cara-cara lembaga pemerintah yang birokratis, resmi,
formal/kaku, general/seragam dan lain-lain dalam menyajikan layanan
publik. Terdapat kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan
pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan
masalah dari pada sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku.
Dalam bidang penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian
antar warga, penyelesaian dengan mekanisme informal dipandang efektif
59 Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005, hal 4
99
dari pada proses sistem peradilan pidana formal yang acapkali kurang
memberikan peranan yang berarti bagi korban dalam pengambilan
keputusan penyelesaian masalah yang dideritanya.
Kondisi sebagaimana diutarakan di atas mendorong diluncurkannya
program-program baru dalam penyelenggaraaan tugas Kepolisian terutama
yang disebut Community Policing. Lambat laun, Community Policing tidak
lagi hanya merupakan suatu program dan/atau strategi melainkan suatu
falsafah yang menggeser paradigma konvensional menjadi suatu model
perpolisian baru dalam masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya
menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai objek tetapi mitra
Kepolisian dan pemecahan masalah (pelanggaran hukum) lebih merupakan
kepentingan dari pada sekedar proses penanganan yang formal/prosedural.
Dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang
terkandung dalam konsep Community Policing pada hakekatnya bukan
merupakan hal yang asing. Kebijakan Siskamswakarsa diangkat dari nilai-
nilai sosial dari sosio-kultural masyarakat Indonesia, yang lebih menjujung
nilai-nilai sosial dari pada individu. Pelaksanaan pengamanan lingkungan
secara swakarsa pernah/masih efektif berjalan. Pada bagian-bagian
wilayah/etnik tertentu nilai-nilai kultural masih efektif (bisa diefektifkan)
dalam penyelesaian masalah sosial pada tingkat lokal. Nilai saling
memaafkan dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia yang religius.
Pada zaman dahulu dikenal adanya “Hakim Perdamaian” desa. Kondisi itu
semua merupakan modal awal yang dapat berperan sebagai faktor
100
pendukung yang efektif dalam pengembangan Community Policing “ala”
Indonesia, jika dikelola secara tepat sesuai ke-kini-an dan sejalan dengan
upaya membangun masyarakat madani khususnya kepolisian “sipil” yang
menekankan pada pendekatan kemanusiaan khususnya perlindungan hak-
hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas kepolisian.
2. Pengertian Program Community Policing
Konsep Community Policing (Polmas) mencakup 2 (dua) unsur:
perpolisian dan masyarakat.60
a. Secara harfiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata
“Policing” berarti segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi
kepolisian. Dalam konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkut
operasionalisasi (taktik/teknik) fungsi Kepolisian tetapi juga
pengelolaan fungsi Kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran
manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk
pemikiran-pemikiran filsafati yang melatarbelakanginya.
b. Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata “Community”
(komunitas) dalam konteks Polmas berarti:
1) Warga masyarakat atau komunitas yang berada di dalam suatu
wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geographic-community).
Batas wilayah komunitas ini harus dilakukan dengan
60 Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005, hal 5
101
memperhatikan keunikan karakteristik geografi dan sosial dari
suatu lingkungan dan terutama keefektifan pemberian layanan
kepada warga masyarakat. Wilayah tersebut dapat berbentuk RT,
RW, desa, kelurahan ataupun berupa pasar/pusat belanja/mall,
kawasan industri, pusat/kompleks olahraga, stasiun bus/kereta api
dan lain-lain.
2) Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan
Polmas diterapkan juga bisa meliputi sekelompok orang yang hidup
dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti kecamatan bahkan
kabupaten/kota, sepanjang mereka memiliki kesamaan
kepentingan. Sebagai contoh kelompok berdasar agama, kelompok
berdasar profesi, hobby dan sebagainya. Kelompok ini dikenal
dengan nama komunitas berdasar kepentingan (community of
interest).
Sebagai suatu strategi, Polmas berarti: model perpolisian yang
menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan
masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan
sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta
ketenteraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk
mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan serta
meningkatkan kualitas hidup warga setempat.
a. Dalam pengertian ini, masyarakat diberdayakan sehingga tidak lagi
semata-mata sebagai objek dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian
102
melainkan sebagai subjek yang menentukan dalam mengelola sendiri
upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib bagi ketenteraman
dan keselamatan kehidupan bersama mereka yang difasilitasi oleh
petugas kepolisian yang berperan sebagai petugas Polmas dalam suatu
kemitraan.
b. Dalam pengertian pengelolaan terkandung makna bahwa masyarakat
berusaha menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari
jalan keluar pemecahan masalah-masalah gangguan keamanan dan
ketertiban termasuk pertikaian antar warga serta penyakit masyarakat
dan masalah sosial lain yang bersumber dari dalam kehidupan mereka
sendiri bagi terwujudnya suasana kehidupan bersama yang damai dan
tenteram.
c. Operasionalisasi konsep Polmas pada tataran lokal memungkinkan
masyarakat setempat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan
sendiri pengelolaan keamanan dan ketertiban yang didasarkan atas
norma-norma sosial dan/atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan
mengindahkan peraturan-peraturan hukum yang bersifat nasional dan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM (Hak Asasi Manusia) dan
kebebasan individu yang bertanggung jawab dalam kehidupan
masyarakat yang demokratis.
Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam konsep Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan
dengan ke-kini-an penyelenggaraan fungsi Kepolisian masyarakat madani,
103
sehingga tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep
“Community Policing”.
Mengacu pada uraian di atas, Polmas hakekatnya mengandung 2
(dua) unsur utama, yaitu:61
a. Membangun kemitraan antara polisi dan masyarakat.
b. Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat
lokal.
Sebagai suatu falsafah, Polmas mengandung makna “suatu model
perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai
sosial/kemanusiaan dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai
antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang
menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi Kepolisian dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat”.
Pembentukan Polmas mempersyaratkan:
a. Adanya seorang petugas Polmas yang ditugaskan secara tetap untuk
model kewilayahan dan sejumlah petugas yang ditugaskan secara tetap
untuk model kawasan.
b. Model kawasan mempersyaratkan adanya “pos” (balai) sebagai pusat
layanan kepolisian sedangkan model wilayah dapat memanfaatkan
fasilitas yang tersedia pada kantor desa/kelurahan atau tempat tinggal
petugas Polmas.
61 ibid, hal. 7
104
c. Adanya suatu forum kemitraan yang keanggotaannya mencerminkan
keterwakilan semua unsur dalam masyarakat termasuk petugas Polmas
dan pemerintah setempat.
Perwujudan Polmas sebagai suatu falsafah merasuk dalam sikap dan
perilaku setiap anggota Polri yang mencerminkan pendekatan
kemanusiaan baik dalam pelaksanaan tugas layanan Kepolisian maupun
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
3. Tujuan Penerapan Polmas (Community Policing)
Tujuan penerapan Polmas adalah terwujudnya kerjasama polisi dan
masyarakat lokal (komunitas) untuk menanggulangi kejahatan dan
ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketenteraman umum
dalam kehidupan masyarakat setempat.
Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung
makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar
pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
keamanan dan ketertiban yang bersumber dari komunitas itu sendiri serta
dalam batas-batas tertentu mengambil tindakan pertama jika terjadi
kejahatan atau bahkan menyelesaikan pertikaian antar warga sehingga
tidak memerlukan penanganan melalui proses formal dalam sistem
peradilan pidana.
105
Menciptakan ketenteraman umum mengandung makna bahwa yang
dituju oleh Polmas bukan hanya sekedar ketiadaan faktual terhadap
keamanan dan ketertiban tetapi juga perasaan takut warga dalam
kehidupan bersama dalam komunitas mereka.
Kerjasama polisi dan masyarakat mengandung makna bukan sekedar
bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan
ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang
mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai
pengawasan/ pengendalian dan analisis/ evaluasi atas pelaksanaannya.
Karena itu, sebagai suatu tujuan, kerjasama tersebut merupakan proses
yang terus menerus tanpa akhir.
4. Sasaran Penerapan Program Community Policing
Yang menjadi sasaran dalam program Community Policing adalah
segenap warga negara Indonesia. Untuk memungkinkan terbangunnya
kerjasama yang menjadi tujuan penerapan Polmas maka sasaran yang
harus dicapai adalah membangun Polri yang dapat dipercaya oleh warga
setempat dan membangun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri
dalam meniadakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban serta
menciptakan ketenteraman warga setempat.
Polri yang dapat dipercaya tercermin dari sikap dan perilaku segenap
personel Polri, baik dalam kehidupan pribadi sebagai bagian dari
komunitas maupun dalam pelaksanaan tugas mereka, yang menyadari
106
bahwa warga komunitas adalah stakeholder kepada siapa mereka dituntut
untuk menyajikan layanan kepolisian sebagaimana mestinya.
Komunitas yang siap bekerjasama adalah kesatuan kehidupan
bersama warga yang walaupun dengan latar belakang kepentingan yang
berbeda memahami dan menyadari bahwa kepentingan penciptaan situasi
keamanan dan ketertiban umum merupakan tanggung jawab bersama antar
warga dan antara warga dengan polisi.
Tabel 3.2
Sasaran Program Community Policing
Sasaran
Membangun Polri yang dapat dipercaya
masyarakat setempat
Membangun masyarakat yang siap kerjasama
dengan Polri
Tiada gangguan Kamtibmas & menciptakan
ketentraman masyarakat
Sikap dan perilaku polisi (pribadi/pelaksanaan tugas) yang
menyadari bahwa warga setempat adalah stakeholder yang dilayani
Warga masyarakat dengan latar belakang kepentingan berbeda yang
paham dan sadar bahwa kepentingan kamtibmas merupakan
107
5. Strategi Penerapan Community Policing
Polmas bukan hanya semacam program dalam penyelenggaraan
fungsi kepolisian tetapi merupakan suatu metafora yang menuntut
perubahan. Oleh karena itu, kebijakan dasar yang harus diletakkan adalah
bahwa penerapan Polmas hanya direalisasikan pada level lokal terutama
lingkungan komunitas yang mencerminkan kehidupan bersama yang
komunitarian. Sebagai pelaksana Polmas tingkat Polres, Binamitra Polres
Boyolali dalam penerapan Polmas mempunyai beberapa langkah/tahapan,
yaitu:
a. Tahap persiapan:
Dalam tahap persiapan ini yang ditekankan Binamitra adalah sosialisasi
Polmas kepada semua jajaran dan masyarakat. Adapun strategi yang
digunakan yaitu:
1) Strategi internal (Polri)
a) Mengembangkan sistem pembinaan sumber daya manusia
khususnya bagi petugas Polmas yang meliputi:
· Rekruitmen
· Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih (master
trainers) maupun petugas Polmas
· Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan
sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres
dan seterusnya.
108
· Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik
untuk perorangan maupun kesatuan.
· Penghargaan dan penghukuman
b) Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan
Polmas secara bertahap sesuai dengan kualifikasi yang
dibutuhkan.
c) Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas
Polmas.
d) Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam
pelaksanaan tugas Polmas.
e) Meningkatkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang
kondusif bagi penerapan Polmas sehingga:
· Setiap aktivitas penyajian layanan kepolisian mencerminkan
suatu pendekatan yang berorientasi kepada kepentingan
masyarakat dalam rangka menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap Polri.
· Setiap anggota Polri dalam tampilan di tempat umum
menunjukkan sikap dan perilaku yang baik serta dalam
kehidupan di lingkungan pemukiman/ kerja senantiasa
berupaya membangun hubungan yang harmonis dalam rangka
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
109
f) Mengembangkan program-program yang sejalan dengan program
Polmas pada satuan-satuan fungsi operasional kepolisian tingkat
Polres ke atas.
2) Strategi Eksternal (Masyarakat)
a) Mengadakan kerjasama dengan pemerintah daerah, DPRD dan
instansi terkait lainnya.
b) Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial
termasuk pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dalam rangka memberikan dukungan bagi
kelancaran dan keberhasilan program-program Polmas.
c) Meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan
petugas Polmas dan setiap petugas pada satuan-satuan fungsi
guna meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat
terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas Kamtibmas.
d) Membentuk Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM)
sebagai wadah kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang
mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya.
e) Menyelenggarakan program-program Polmas pada komunitas-
komunitas sehingga secara bertahap dapat diimplementasikan
pada setiap lingkungan kehidupan masyarakat lokal.
f) Membangun jaringan koordinasi dan kerjasama antara Forum
Kemitraan Polisi-Masyarakat dengan kesatuan Polri setempat
termasuk memantau, mengawasi/mengendalikan, memberikan
110
bimbingan teknis dan arahan serta melakukan penilaian atas
keefektifan program Polmas.
b. Tahap Operasional
Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) bersama segenap
warganya melakukan kegiatan yang meliputi:
1) Audit internal terhadap masalah-masalah yang dihadapi di
lingkungannya melalui survey berkala
2) Penyusunan dan pelaksanaan program kerja Forum
3) Pembahasan dan pemecahan masalah-masalah kamtibmas/ sosial
yang terjadi
4) Penyelesaian konflik/ pertikaian antar warga yang difasilitasi oleh
petugas Polmas
5) Penetapan dan penegakan peraturan lokal yang mengacu pada nilai-
nilai tradisi/ adat setempat
Program pengembangan Community Policing 2006-2009, yaitu:
a. Tahun 2006: Tahap Sosialisasi
1) Mensosialisasikan falsafah strategi, prinsip-prinsip dan program-
program Polmas dalam lingkungan Polri dan masyarakat.
2) Mendidik dan melatih master trainers sebagai agen perubahan yang
nantinya bertugas untuk mendidik para petugas Polmas dan polisi
pada satuan kewilayahan dan satuan fungsi lainnya.
111
3) Menyiapkan petugas Polmas yang akan mengawasi pelaksanaan
program Polmas baik dengan meningkatkan kemampuan
Babinkamtibmas yang sudah ada maupun mendidik petugas baru.
4) Mendorong percepatan penciptaan kondisi internal yang kondusif
dalam rangka menumbuh-kembangkan kepercayaan masyarakat
terhadap Polri.
5) Menyesuaikan operasionalisasi program-program Bimmas/
Binkamtibmas/ Siskamwakarsa dengan konsep Polmas secara
bertahap.
6) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/ kawasan yang
ditetapkan oleh masing-masing Polres secara prioritas.
7) Membangun dan membina kemitraan dengan pihak terkait baik
dengan masyarakat, pejabat pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah, pelaku bisnis, media massa dan lembaga-
lembaga sosial lainnya.
b. Tahun 2007: Tahap pengembangan
1) Memelihara dan meningkatkan segala sesuatu yang telah disiapkan
dan dicapai pada tahun 2006.
2) Meningkatkan jumlah petugas Polmas.
3) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/kawasan sebagai
kelanjutan dari program yang dilaksanakan.
4) Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah
dilaksanakan pada tahun 2006.
112
c. Tahun 2008: Tahap Peningkatan
1) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/ kawasan sebagai
kelanjutan dari program yang dilaksanakan sehingga warga
masyarakat dapat berpartisipasi dan mendukung program Polmas.
2) Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah
dilaksanakan pada tahun 2007.
d. Tahun 2009: Tahap Pemantapan
1) Polres dan jajarannya telah mengimplementasikan Polmas seoptimal
mungkin.
2) Pengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan
pada tahun 2008.
6. Sumber Daya
a. Sumber Daya Manusia
Pada dasarnya Community Policing (Polmas) dilaksanakan oleh seluruh
anggota Polri mulai dari semua petugas di lapangan sampai pucuk
Pimpinan Polri. Bentuk kegiatan yang dilakukan anggota Polri berbeda
sifatnya sesuai kedudukan dan batas kewenangan masing-masing.
Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2008 tentang pedoman dasar strategi dan implementasi
pemolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas Polri, petugas
Polmas mempunyai tugas:
113
1) Menyelenggarakan fungsi deteksi permasalahan masyarakat
2) Melaksanakan fungsi-fungsi bimbingan dan penyuluhan
masyarakat
3) Melaksanakan tugas-tugas kepolisian umum
4) Melaksanakan fungsi Reserse Kriminal secara terbatas
Wewenang petugas Polmas:
1) Mengambil tindakan Kepolisian secara proporsional dalam
perbuatan melawan hukum
2) Menyelesaikan perkara ringan/pertikaian melalui FKPM
3) Melaksanakan penertiban dalam memelihara keamanan
lingkungan
Tabel 3.3
DATA PERSONIL BINAMITRA POLRES BOYOLALI
No Nama Pangkat Jabatan
1 Suwarno, SH Kompol Kabag Binamitra
2 Joko Lukito Ipda Kasubbag Bimmas
3 Sutanto Iptu Kasubbag Kerma
4 Sukiman, SE Aipda Ban Um Bimmas
5 Dalyamto Aiptu Ba Min Bimmas
6 Budi Wasito Aiptu Ban Um Kerma
114
7 Rahmad, SPd. MH Briptu Ban Um Kerma
8 Setyawan Eka S Briptu Anggota
9 Adi Negara Bripda Anggota
10 Anik M Bripda Anggota
11 Warno, SH Briptu Anggota
12 Satrio Anggun S Bripda Anggota
13 Suryanto PNS Pengatur
14 Eni Rahayu PNS Pengatur
Sumber: Binamitra Polres Boyolali Th 2010
b. Sumber Biaya Operasional
Perhitungan rencana anggaran Polri mengalokasikan biaya operasional
yang selayaknya untuk menjamin aktivitas dan dinamika penerapan
strategi Polmas di seluruh Indonesia termasuk biaya manajemen pada
setiap tingkatan organisasi dalam rangka secara terus menerus
memantau, mengawasi/mengendalikan, mengarahkan dan menilai
keberhasilan pelaksanaan penerapan Polmas. Untuk menjamin
keberlangsungan Polmas, masing-masing kesatuan kewilayahan
(Polres) perlu melakukan kerjasama dengan Pemda setempat sehingga
operasionalisasi Polmas dapat merupakan program Pemda yang
didukung dengan APBD.
c. Sumber Perlengkapan
115
Tidak ada perlengkapan khusus dalam program Community Policing.
Perlengkapan yang digunakan hanya berupa laptop, layar/screen, sound
system dan buku pedoman.
7. Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi yang dipakai Binamitra Polres Boyolali dalam
menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat adalah secara lisan,
melalui penyuluhan-penyuluhan maupun pembinaan secara langsung.
Wahana yang digunakan untuk mempermudah pelaksanaan Polmas di
masyarakat maka dibentuklah FKPM, melalui FKPM komunikasi antara
polisi dengan masyarakat lebih terorganisir.
Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) adalah wahana
komunikasi antara Polri dan warga yang dilaksanakan atas dasar
kesepakatan bersama dalam rangka pembahasan masalah Kamtibmas dan
masalah-masalah sosial yang perlu dipecahkan bersama oleh masyarakat
dan petugas Polri dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang
kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas
hidup masyarakat.62
Tugas dari FKPM yaitu:
a. Merencanakan rapat secara periodik
b. Menentukan skala prioritas memecahkan masalah sosial atau
kejahatan
c. Memonitor sikon dan mengidentifikasi masalah 62 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, hal. 10
116
d. Mempelajari bentuk-bentuk gangguan keamanan dan ketertiban
e. Mengkaji dan menganalisa setiap masalah
f. Menetapkan program kerja memcahkan masalah
g. Menampung atau menyalurkan laporan masyarakat yang berkaitan
dengan masalah sosial, kejahatan dan pelanggaran
Wewenang FKPM:
a. Membuat kesepakatan yang merupakan peraturan lokal dalam
lingkungan dan melaksanakannya
b. Secara kelompok/ perorangan mengambil tindakan kepolisian
dalam hal tertangkap tangan
c. Memberi saran pendapat kepada Kapolsek tentang pengelolaan/
peningkatan kualitas keamanan
d. Selesaikan perkara ringan/ pertikaian antar warga bersama petugas
Polmas
Larangan FKPM:
a. Membentuk suatu satuan tugas
b. Menggunakan atribut dan emblem (lambang/simbol) Polri
c. Tanpa bersama petugas Polmas, menangani sendiri penyelesaian
kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran
d. Melakukan tindakan Kepolisian (upaya paksa terhadap kasus
kejahatan)
117
e. Mengatasnamakan atau mengkait-kaitkan hubungan Polmas/FKPM
dalam melakukan kegiatan politik praktis
8. Monitoring Program Community Policing
Pelaksanaan pemantauan (monitoring) dilakukan melalui langkah-langkah:
a. Koordinasi antara Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM)
dengan Polsek
b. Membuat laporan secara berkala oleh petugas Polmas
c. Evaluasi oleh Polres bersama FKPM
d. Penilaian keberhasilan/keefektifan yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan pendapat masyarakat
C. Pelaksanaan Program Community Policing
Dalam melaksanakan peranannya, personil Binamitra Polres Boyolali
mempunyai tugas dan wewenang sebagai pelaksana yang mengacu pada Surat
Keputusan Kapolri No. Pol Kep/54/X/2002. Surat Keputusan Kapolri tersebut,
menjelaskan mengenai perumusan tugas pokok Binamitra, yang menjadi dasar
acuan personil Binamitra Polres Boyolali untuk dilaksanakannya. Dalam surat
Keputusan Kapolri No. Pol Kep/54/X/2002, menyatakan bahwa:63
Bagian Binamitra (Pembinaan Kemitraan), adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah Kapolres, yang bertugas menyelenggarakan dan mengawasi/mengarahkan pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa oleh satuan-satuan fungsi yang berkompeten, membina hubungan kerjasama dengan organisasi/lembaga/tokoh sosial/kemasyarakatan dan instansi pemerintah, khususnya instansi
63 Surat Keputusan Kapolri Nomor 54,Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres), Jakarta, 2002, hal. 6
118
Polsus/PPNS dan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah, dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat pada hukum dan peraturan perundang-undangan, pengembangan pengamanan swakarsa dan pembinaan hubungan Polri-masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas Polri.
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
tahun 2008 yang menjadi pedoman dasar pelaksanaan kegiatan Polmas
Binamitra Polres Boyolali disampaikan mengenai prinsip-prinsip
penyelenggaraan Polmas, yaitu:64
1. Komunikasi intensif: praktek pemolisian yang menekankan kesepakatan
dengan warga, bukan pemaksaan berarti bahwa Polri menjalin komunikasi
intensif dengan masyarakat melalui tatap muka, telekomunikasi, surat,
pertemuan-pertemuan, forum-forum komunikasi, diskusi dan sebagainya
di kalangan masyarakat dalam rangka membahas masalah keamanan.
2. Kesetaraan: asas kesejajaran kedudukan antara warga
masyarakat/komunitas dan petugas kepolisian yang saling menghormati
martabat, hak dan kewajiban, dan menghargai perbedaan pendapat, asas
kesetaraan juga mensyaratkan upaya memberi layanan kepada semua
kelompok masyarakat, dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
khusus perempuan, anak, lansia, serta kelompok-kelompok rentan lainnya.
3. Kemitraan: Polri membangun interaksi dengan masyarakat berdasarkan
kesetaraan/kesejajaran, sikap salaing mempercayai dan menghormati
64 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, hal 14
119
dalam upaya pencegahan kejahatan, pemecahan masalah keamanan dalam
komunitas/masyarakat, serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
4. Transparansi: asas keterbukaan polisi terhadap warga
masyarakat/komunitas serta pihak-pihak lain yang terkait dengan upaya
menjamin rasa aman, tertib dan tenteram, agar dapat bersaama-sama
memahami permasalahan, tidaj saling curiga dan dapat menumbuhkan
kepercayaan satu sama lain.
5. Akuntabilitas: penerapan asas pertanggungjawaban Polri yang jelas,
sehingga setiap tindakannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai prosedur
dan hukum yang berlaku dengan tolok ukur yang jelas, seimbang dan
objektif.
6. Partisipasi: kesadaran polisi dan masyarakat untuk secara aktif ikut dalam
berbagai kegiatan komunitas/masyarakat untuk mendorong keterlibatan
warga dalam upaya memelihara rasa aman dan tertib, memberi informasi,
saran dan masukan serta aktif dalam proses pengambilan keputusan guna
memecahkan permasalahan kamtibmas, sambil menghindari
kecenderungan main hakim sendiri.
7. Personalisasi: pendekatan Polri yang lebih mengutamakan hubungan
pribadi langsung daripada hubungan formal/birokrasi yang umumnya lebih
kaku, demi menciptakan tata hubungan yang erat dengan warga
masyarakat/komunitas.
120
8. Desentralisasi: penerapan polmas mensyaratkan adanya desentralisasi
kewenangan kepada anggota polisi di tingkat lokal untuk menegakkan
hukum dan memecahkan masalah.
9. Otonomisasi: pemberian kewenangan atau keleluasaan kepada kesatuan
kewilayahan untuk mengelola Polmas di wilayahnya.
10. Proaktif: segala bentuk kegiatan pemberian layanan polisi kepada
masyrakat atas inisiatif polisi dengan atau tanpa ada laporan/permintaan
bantuan dari masyarakat berkaitan dengan penyelenggaraan keamanan,
ketertiban dan penegakan hukum.
11. Orientasi pada pemecahan masalah: polisi bersama-sama dengan warga
masyarakat/komunitas melakukan identifikasi dan menganalisa masalah,
menetapkan prioritas dan respons terhadap sumber/akar masalah.
12. Orientasi pada pelayanan: bahwa pelaksanaan tugas Polmas lebih
mengutamakan pelayanan polisi kepada masyarakat berdasarkan
pemahaman bahwa pelayanan adalah hak masyarakat yang harus
dilaksanakan oleh anggota polisi sebagai kewajibannya.
Personil dari Binamitra polres Boyolali, memberikan Binluh (pembinaan
dan penyuluhan) kepada masyarakat disesuaikan dengan sasaran yang dituju,
baik itu untuk remaja, wanita, anak-anak, pelajar, satpam dan masyarakat
umum. Karena banyaknya sasaran dalam program Community Policing, maka
Binamitra Polres Boyolali mengelompokkan kegiatan sesuai dengan
sasarannya. Pengelompokan tersebut adalah:
1. Kegiatan Pembinaan Ketertiban Masyarakat (Bintibmas)
121
Untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri terus
membangun kemitraan dengan berbagai elemen masyarakat dalam upaya
mewujudkan keamanan dan ketertiban, salah satunya dalam bentuk
bimbingan dan penyuluhan. Dalam Binamitra Polres Boyolali
melaksanakan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat Boyolali
untuk menyampaikan pesan, informasi, dan permasalahan sosial
kamtibmas. Dalam melakukan kegiatan bimbingan penyuluhan kepada
masyarakat, petugas menempatkan dirinya sejajar dengan masyarakat.
a. Sosialisasi Polmas dan FKPM dengan tokoh agama, tokoh masyarakat
dan tokoh daerah
b. Penyuluhan pokdar (kelompok sadar) kamtibmas
c. Penyuluhan Kamtibcar Lantas
d. Penyuluhan hukum Polmas
e. Pembinaan dan penyuluhan langsung terhadap tukang parkir dan ojek
f. Kegiatan kemitraan dengan instansi terkait
2. Kegiatan Pembinaan Redawan (Remaja, Pemuda dan Wanita)
Pembinaan redawan diberikan mengingat para remaja dan pemuda rawan
dalam melakukan aksi-aksi kejahatan. Secara psikologi pada usia tersebut,
remaja dan pemuda bergejolak darah anak muda, dan bilamana
terpengaruh dengan lingkungan yang buruk akan mempengaruhi mereka.
Misalnya, maraknya bahaya narkotika, serta kenakalan remaja. Namun,
pembinaan yang dilakukan bukan hanya bagi para remaja dan pemuda
saja, tetapi juga meliputi pembinaan terhadap wanita. Pembinaan diberikan
122
kepada para wanita yang telah terjaring pada operasi khusus jajaran Polres
Boyolali, mengenai masalah pelacuran yang merupakan tindak pidana
ringan. Pembinaan yang dilakukan Binamitra Polres Boyolali bukan hanya
bagi remaja dan pemuda saja, tetapi juga meliputi pembinaan terhadap
anak-anak yang dimulai sejak Taman Kanak-kanak yang diberi nama
Polisi Sahabat Anak (PSA). Disini anak-anak TK diberi pembinaan serta
pelatihan untuk mengenal rambu-rambu lau-lintas, menanamkan semenjak
dini pengenalan terhadap polisi sehingga sosok polisi bukan menjadi sosok
yang menakutkan bagi anak-anak. Sebab kadangkala, orang tua menakut-
nakuti anak-anak bahwa sosok polisi itu menakutkan. Oleh sebab itu,
Binamitra Polres Boyolali bekerjasama dengan Play Group ataupun
Taman Kanak-kanak yang ada di wilayah Kabupaten Boyolali. Oleh sebab
itu Polres Boyolali bertanggung jawab memberikan pembinaan melalui
penyuluhan-penyuluhan, yaitu:
a. Penyuluhan hukum
b. Penyuluhan kenakalan remaja
c. Penyuluhan narkoba dan dampak penyalahgunaannya
d. Penyuluhan KDRT
e. Pembinaan dan latihan Pramuka Saka Bhayangkara
f. Pelatihan PKS dan OSIS
g. Pembinaan PSA (Polisi Sahabat Anak)
3. Kegiatan Pembinaan Keamanan Swakarsa (Binkamsa)
123
Binamitra Polres Boyolali senantiasa mengajak masyarakat Boyolali, agar
dapat mengamankan wilayahnya masing-masing, supaya tercipta suasana
aman dan tertib, baik di lingkungan dimana ia tinggal maupun di
lingkungan tempat ia bekerja. Dengan membentuk keamanan swakarsa,
masyarakat diajak untuk secara aktif dapat mengamankan lingkungannya,
sehingga tugas Polri dalam memberikan perlindungan serta pengamanan
akan dibantu oleh partisipasi aktif dari masyarakat, sebab adanya
pengamanan masyarakat itu sendiri. Prinsip pengamanan swakarsa dan
swadaya yaitu penampilan dari kegiatan nyata masyarakat didalam
membina keamanan di lingkungannya masing-masing atas dasar
kebutuhan sendiri sesuai dengan intensitas berbagai macam/jenis ancaman
dan gangguan kamtibmas yang terjadi dan dirasakan. Untuk melaksanakan
prinsip ini, menjadi tugas dari Binamitra untuk memberikan pembinaan
terhadap masyarakat Boyolali, agar dapat membantu dan mendukung
tugas-tugas kepolisian.
Bentuk pembinaan keamanan swakarsa yang dilakukan oleh Binamitra
Polres Boyolali terhadap masyarakat, meliputi:
a. Sambang dan kontrol pos kamling
b. Pembinaan anggota satuan pengamanan (satpam)
c. Pembinaan dan penyuluhan anggota pos kamling
d. Kegiatan kemitraan dengan Senkom (Sentral Komunikasi)
Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling) adalah tempat atau bangunan
sebagai salah satu sarana dalam penyelenggaraan siskamling, yang
124
berfungsi sebagai pusat kegiatan dalam pelaksanaan siskamling, dan
pembentukannya berdasarkan kesepakatan dalam musyawarah warga.65
Pembinaan terhadap para calon satpam di wilayah Boyolali oleh Binamitra
Polres Boyolali, dilakukan dengan cara memberikan pendidikan dan
pelatihan (Diklat) satpam. Meskipun bentuk pembinaan kepada satpam
tidak hanya memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon satpam,
tetapi untuk lebih memperlengkapi pengamanan, bagi satpam diadakan
pertemuan-pertemuan dalam bentuk penyuluhan.
Dalam pendidikan dasar satpam ini, meliputi beberapa bahan pokok atau
materi tentang kesatpaman. Pelajaran mengenai kesatpaman adalah:
1) Pengantar/ orientasi pendidikan satpam
2) Pembinaan kepribadian
3) Pengetahuan dan ketrampilan
4) Perundang-undangan
5) Kesamaptaan
4. Kegiatan Pembinaan dan Koordinasi Polisi Khusus (POLSUS)
Binamitra Polres Boyolali mengadakan kerjasama dan koordinasi serta
mengawasi dan memberikan pembinaan terhadap POLSUS. Yang
dimaksud dengan POLSUS adalah aparat kepolisian yang berdasarkan
Undang-undang serta atas kuasa Undang-undang mempunyai kewenangan
kepolisian terbatas dalam bidang tertentu. Yang menjadi bagian POLSUS
adalah polisi khusus yang menjaga di kereta api dan kehutanan.
65 Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Sistem Keamanan Lingkungan
125
Binamitra Polres Boyolali menjadi wakil institusi Polres, yang
mengadakan pendekatan dengan masyarakat sekitar, agar masyarakat mau
berpartisipasi dan bekerjasama dengan Polri, karena Polri membutuhkan
masyarakat dan masyarakat tetap membutuhkan kehadiran Polri di tengah-
tengah masyarakat. Caranya adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dan
efektif dengan masyarakat, baik dengan penyuluhan ataupun dengan
pembinaan kepada masyarakat wilayah Kabupaten Boyolali. Dengan adanya
hubungan yang baik antara polisi dengan masyarakat maka tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap Polri akan meningkat.
126
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, peneliti akan menyajikan analisa dan pembahasan hasil
penelitian dari rencana awal penyusunan program sampai pada hasil yang
diperoleh dari pelaksanaan program. Untuk mengetahui efektifitas program,
deskripsi data yang diperoleh dari lapangan akan dievaluasi dengan menggunakan
pendekatan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) dan Dampak
Seperti yang diungkapkan dalam Bab I, CIPP merupakan pendekatan
evaluasi yang bisa digunakan dalam pengembangan sebuah program yang secara
keseluruhan memperhitungkan keterkaitan antar faktornya. Sehingga akan bisa
ditemukan solusi untuk pemecahan masalah yang ditemukan pada saat
pelaksanaan program. Dan pada akhirnya bisa disusun serangkaian saran dan
rujukan untuk proses perbaikan dan pengembangan program selanjutnya.
127
Evaluasi dengan menggunakan model pendekatan CIPP memperhatikan
keterkaitan program secara menyeluruh, mulai dari konteksnya yang meliputi
informasi dari beberapa faktor mengenai kondisi dan karakteristik konteks
sebelum suatu program dilaksanakan. Masukan yang diberikan sebagai penilaian
atas persiapan program supaya bisa berjalan lancar.
Proses bagaimana program dilakukan, apakah sesuai dengan konteksnya
dan merupakan proses yang tepat untuk mencapai tujuan program.
Dari informasi yang meliputi 4 faktor tersebut, peneliti akan mencoba
menganalisa data yang diperoleh dari lapangan dengan melihat kesesuaian antar
faktornya, sebagai berikut:
A. Analisa dan Pembahasan Data Konteks
Penilaian konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang
lingkungan program. Kebutuhan yang belum terlayani, populasi dan sampel
dari individu yang dilayani dan tujuan program. Penilaian konteks terbagi
dalam lima komponen yaitu, latar belakang pelaksanaan program, tujuan
program, sasaran program, perencanaan program dan kesesuaian antara
program dengan tugas pokok Binamitra Polres Boyolali sebagai pelaksana
program Community Policing.
1. Latar Belakang
Penilaian terhadap latar belakang prograsm Community Policing
diperoleh melalui wawancara dengan pelaksana program dengan
mengajukan pertanyaan :
128
Apa latar belakang dilaksanakannya Program Community Policing ?
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
”Dalam rangka menciptakan situasi kondisi keamanan masyarakat dimana jumlah polisi dengan jumlah masyarakat ibaratnya 1:1000, yang sudah tidak relevan lagi sehingga perlu adanya keterlibatan dari masyarakat. Keamanan dan ketertiban bukan semata-mata hanya tugas polisi tetapi jadi tanggung jawab bersama. Untuk menyikapi kebutuhan jumlah warga masyarakat dengan polisi yang tidak relevan tersebut maka polisi melakukan terobosan-terobosan dalam rangka menciptakan situasi kondisi kamtibmas dengan cara menggandeng masyarakat, menjalin suatu kemitraan untuk mewujudkan keamanan ketertiban yang menjadi dambaan masyarakat itu sendiri.” 66
Sedangkan data dari buku pedoman Community Policing, latar
belakang (dasar pertimbangan penerapan) program Community
Policing, yaitu:
a. Pola penyelenggaraan pemolisian yang bertumpu kepada konsep peningkatan jumlah Polisi dan/atau peningkatan intensitas kegiatan Polisi (misalnya patroli dan penindakan pelanggaran) tidak mampu mengatasi atau menekan angka gangguan Kamtibmas yang berkembang pesat di dalam masyarakat.
b. Pemolisian lebih efektif dengan mengalihkan pendekatan konvensional ke pendekatan modern yaitu penerapan Polmas menekankan upaya pemecahan masalah yang terkait dengan kejahatan dan ketidaktertiban secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat.
c. Praktek keterlibatan masyarakat tradisional dalam pemolisian sudah di kenal di Indonesia diantaranya dalam bentuk: ronda kampung, jogo boyo, jogo tirto, pecalang dan sebagainya.
d. Pola-pola penyelesaian masalah masyarakat melalui adat kebiasaan sudah umum diterapkan di dalam masyarakat tradisional, yang kesemuanya merupakan pola-pola pemecahan maslaah dan pencegahan serta pembinaan ketentraman dan
66 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
129
kerukunan masyarakat yang mendasarkan pada asas kemitraan, kebrsamaan dan keharmonisan di dalam masyarakat.
e. Paradigma Reformasi dalam negara demokrasi yang plural menuntut agar Polri mampu melaksanakan tugas dengan berpegang pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, berperan sebagai pelindung dan pelayan masyarakat, bukan mengambil peran sebagai penguasa. Reformasi juga menghendaki keterbukaan Polri serta kepekaan Polri terhadap aspirasi rakyat serta memperhatikan kepentingan, kebutuhan dan harapan warga.
f. Penerapan Polmas sebagai falsafah dan strategi merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan Polri kepada Masyarakat melalui kemitraan dengan warga masyarakat untuk mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam era demokrasi dan penegakam Hak Asasi Manusia.67
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, latar belakang program
Community Policing ini dilatari oleh kenyataan bahwa sumber daya
manusia kepolisian yang terbatas tidak mungkin mengamankan
masyarakat secara solitair atau seorang diri. Polisi membutuhkan
peran serta masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Syarat utama program ini adalah terjalinnya kedekatan hubungan
antara polisi dan masyarakat. Tepatnya, kemitraan yang harmonis dan
upaya–upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang
terjadi dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan keamanan
dan ketertiban warga masyarakat (kamtibmas).
67 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, hal. 12
130
Latar belakang pelaksanaan adalah hal yang paling utama dalam
menjalankan suatu program. Latar belakang merupakan suatu
permasalahan yang harus segera dipecahkan atau diselesaikan melalui
perencanaan dan pelaksanaan program. Jadi, latar belakang digunakan
untuk menentukan langkah selanjutnya dalam perencanaan suatu
program. Dari data wawancara dan dokumen, membuktikan bahwa
latar belakang dari program Community Policing kuat. Dengan latar
belakang yang kuat, maka perencanaan akan menjadi lebih terarah.
2. Tujuan Program
Penilaian terhadap tujuan program Community Policing diperoleh
melalui hasil wawancara dengan pelaksana program dengan mengajukan
pertanyaan sebagai berikut:
Apakah tujuan diadakannya program Community Policing?
Jawaban dari Aiptu. Dalyamto, yaitu:
“Adapun tujuan dari penerapan Polmas:
1. Mewujudkan adanya kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang sifatnya simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara pihak polri dengan masyarakat. Dengan adanya program Polmas kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat dapat diciptakan antara masyarakat dan Polri. Masing-masing pihak merasa diuntungkan, masyarakat dapat menjalankan aktifitas tanpa ada gangguan kamtibmas. Polisi diuntungkan dengan adanya keamanan, yang secara tidak langsung mengurangi beban tugas polisi dalam melaksanakan
131
tugas dan kewenangannya, baik tugas-tugas perventif dan reprentif.
2. Memecahkan suatu permasalahan-permaslahan yang terjadi di lingkungan, baik itu di lingkungan masyarakat, di lingkungan kawasan perusahaan maupun komunitas suatu perkumpulan, contohnya paguyupan ojek, pedagang kaki lima maupun kaitannya dengan jasa angkutan. Permasalahan yang dimaksud adalah permasalahan tindak pidana ringan, yang bisa diselasaikan sesuai porsi kewenangan FKPM yang ditoleransi dalam Perkap. Nomor 7 tahun 2008. Salah satu kewenangannya adalah menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di kawasan maupun wilayah yang sifatnya ringan.
3. Mewujudkan adanya kemitraan antara Polri dan masyarakat, yang mana dulu Polri sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek, sekarang kita sama-sama, polisi sebagai subjek, masyarakat juga sebagai subjek, sebagai partnership sebagai mitra kerja dalam rangka mengeliminer permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat”.68
Sedangkan jawaban dari Ipda. Joko Lukito, yaitu:
“Sesuai dengan Perkap No. 7 tujuannya itu untuk mewujudkan kemitraan polisi dengan masyarakat dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat, kaitannya dengan permasalahan yang ringan”.69
Penilaian terhadap tujuan Program Community Policing juga diperoleh
melalui website, yaitu:
1. Terwujudnya model pemolisian yang protagonis dengan kedekatan polisi dan masyarakat sebagai pilar utamanya.
2. Terbinanya kerja sama dan tanggung jawab bersama antara Polri dan masyarakat dalam mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan kamtibmas.
3. Berkembangnya potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk
68 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
69 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
132
pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
4. Meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kamtibmas melalui cara-cara yang positif, proaktif, konstruktif, dan kreatif serta menguntungkan semua pihak yang berkecimpung dalam pembinaan kamtibmas.70
Telah disebutkan dengan jelas dalam Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia bahwa program ini memang bertujuan
untuk mewujudkan kemitraan polisi dan masyarakat yang didasari
kesadaran bersama dalam rangka menanggulangi permasalahan yang
dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat guna
menciptakan rasa aman, tertib dan tentram serta meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat. Upaya menanggulangi permasalahan yang
dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat
mencakup rangkaian upaya pencegahan dengan melakukan identifikasi
akar permasalahan, menganalisis, menetapkan prioritas tindakan,
melakukan evaluasi dan evaluasi ulang atas efektifitas tindakan.71
Kemitraan polisi dan masyarakat, meliputi mekanisme kemitraan
yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari
perencanaan, pengawasan, pengendalian, analisis dan evaluasi atas
pelaksanaannya. Kemitraan tersebut merupakan proses yang
berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang aman,
tertib dan tenteram, warga masyarakat diberdayakan untuk ikut aktif
70 http://www.dharana-lastarya.org
71 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, hal. 17
133
menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar
bagi masalah-masalah yang menggangu keamanan, ketertiban dan
masalah sosial lainnya. Masalah yang dapat diatasi oleh masyarakat
terbatas pada masalah yang ringan, tidak termasuk perkara pelanggaran
hukum yang serius. Yang dimaksud tindak pidana ringan yaitu
ancaman hukum tindak pidana tersebut masa kurungannya tidak lebih
dari 3 bulan dan denda tidak lebih dari Rp 7.500,00 namun dalam
Perda tidak lebih dari Rp 50.000,00.
3. Sasaran program
Sasaran Program Community Policing adalah semua lapisan
masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat merupakan kebutuhan bagi setiap individu, kelompok bahkan
negara untuk menjaga kelangsungan hidup dan terselenggaranya
pemerintahan. Menyadari akan pentingnya rasa aman dan adanya
berbagai keterbatasan sumberdaya kepolisian maka peran serta
masyarakat membantu tugas-tugas keamanan tidak dapat dielakkan. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ipda. Joko Lukito:
“Keamanan dan ketertiban adalah tanggung jawab seluruh warga masyarakat bukan hanya tugas polisi. Jadi masyarakat harus membantu tugas polisi agar kamtibmas bisa terwujud”.72
Kegiatan program Community Policing yang dilaksanakan oleh
Binamitra Polres Boyolali difokuskan kepada sasaran-sasaran potensial,
72 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
134
yang memang penting untuk mendapatkan sosialisasi Community
Policing. Contoh sasaran kelompok potensial itu adalah Satpam, anggota
poskamling, remaja SMA, kelompok sadar kamtibmas, dan komunitas-
komunitas tertentu seperti tukang ojek dan parkir.
Binamitra Polres Boyolali juga memperhatikan sasaran dari anak-
anak. Binamitra melakukan kerjasama dengan Taman Kanak-kanak dan
Play Group yang ada di Boyolali untuk dilakukan sosialisasi kepada
anak-anak. Pada usia dini, anak-anak tersebut dikenalkan mengenai
sosok polisi. Hal ini ditujukan untuk menumbuh-kembangkan
pengetahuan anak-anak mengenai kamtibmas. Meskipun sosialisasi yang
diberikan masih dalam tahap pengenalan polisi, diharapkan anak-anak
dapat ikut serta dalam penciptaan kamtibmas di Boyolali.
4. Perencanaan Program
Penilaian terhadap perencanaan program Community Policing
diperoleh melalui hasil wawancara dengan pelaksana program dengan
mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Seperti apakah awal perencanaan program Community Policing?
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
”Sebelum Binamitra terjun langsung ke masyarakat, terlebih dahulu dilakukan sosialisasi pada seluruh personil agar tahu apa saja tugas mereka. Setelah itu dilaksanakan sosialisasi-sosialisasi pada masyarakat dan melakukan pendekatan-pendekatan pada toga (tokoh
135
agama), tomas (tokoh masyarakat), maupun perangkat desa. Kita juga harus menentukan wilayah mana saja yang akan dijadikan sasaran, kita lakukan koordinasi dengan Polsek setempat sehingga akan memudahkan kita dalam melakukan kegiatan-kegiatan di masyarakat.73
Awal perencanaan program Community Policing merupakan tahap
persiapan yang harus dilakukan Binamitra Polres Boyolali. Dalam tahap
persiapan ada dua strategi yang dilaksanakan, yaitu strategi internal
(Polri) dan strategi eksternal (masyarakat). Strategi eksternal yang harus
dilakukan kepolisian, salah satunya adalah membentuk Forum Kemitraan
Polisi-Masyarakat (FKPM) sebagai wadah komunikasi dalam program
ini. Langkah-langkah pembentukan FKPM adalah sebagai berikut:
a. Bersama-sama Camat dan aparat pemerintah desa atau
komunitas kawasan melaksanakan sosialisasi Polmas kepada
masyarakat
b. Bersama-sama tokok/aparat desa merencanakan pertemuan
dalam pembentukan FKPM
c. Kapolsek dan petugas Polmas memfalisitasi pembentukan
FKPM dalam pertemuan umum sampai terbentuk FKPM
5. Kesesuaian Program dengan Tugas Pokok Binamitra Polres Boyolali
73 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
136
Program Community Policing merupakan program yang
mendukung kelancaran dan keberhasilan tugas dan tanggung jawab
utama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), khususnya
Binamitra Polres Boyolali. Sesuai dengan Surat Keputusan Kapolri No.
Pol Kep/54/X/2002, perumusan tugas pokok Binamitra, yang menjadi
dasar acuan personil Binamitra Polres Boyolali untuk dilaksanakan
tugasnya, yaitu:74
Bagian Binamitra (Pembinaan Kemitraan), adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah Kapolres, yang bertugas menyelenggarakan dan mengawasi/mengarahkan pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa oleh satuan-satuan fungsi yang berkompeten, membina hubungan kerjasama dengan organisasi/lembaga/tokoh sosial/kemasyarakatan dan instansi pemerintah, khususnya instansi Polsus/PPNS dan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah, dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat pada hukum dan peraturan perundang-undangan, pengembangan pengamanan swakarsa dan pembinaan hubungan Polri-masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas Polri.
Tujuan dari program Community Policing sesuai dengan tugas dan
tanggung jawab dari Binamitra Polres Boyolali. Hal tersebut sesuai
dengan yang diungkapkan Ipda. Joko Lukito:
”Yang menjadi tugas pokok dalam program Polmas itu adalah pembinaan terhadap masyarakat, itu memang sudah menjadi kewajiban Binamitra Polres Boyolali”.75
74 Surat Keputusan Kapolri Nomor 54,Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres), Jakarta, 2002, hal. 6
75 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
137
Sejak tahun 1970an di Indonesia tugas-tugas kepolisian ditetapkan:
represif, preventif, dan pre-emtif. Tugas-tugas dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan fungsi Pembinaan Masyarakat (Binmas) atau
Bimbingan Masyarakat (Bimmas). Unit Bimmas berada pada berbagai
tingkat organisasi Polri. Proses lahirnya Polmas (Community Policing) di
lingkungan Polri adalah menyempurnakan konsep, kebijakan, dan
praktek Pembinaan Masyarakat dan praktek masyarakat sebagai mitra
sejajar Polri dalam memecahkan masalah merupakan hal yang baru bagi
Polri.
B. Analisa dan Pembahasan Data Input
Penilaian terhadap input atau masukan yang meliputi, pertimbangan
tentang sumber daya dan strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan
suatu program. Penilaian ini dilakukan terhadap hal-hal yang terlibat dalam
pelaksanaan program. Data tersebut didapat dari wawancara, observasi dan
dokumentasi yang berhubungan dengan masalah penelitian.
1. Pelaksana Program (Software)
Program Community Policing adalah tugas dan kewajiban seluruh
anggota Kepolisian tanpa terkecuali. Untuk wilayah Kabupaten Boyolali
yang menjadi pusat pengaturan program ini adalah Polres Boyolali.
Setiap bagian di Polres Boyolali mempunyai tugas masing-masing dalam
program ini, begitu pula dengan Bagian Binamitra Polres Boyolali yang
bertugas dalam pembinaan dan penyuluhan masyarakat. Binamitra Polres
Boyolali terdiri dari 14 staf yang menangani semua hal yang terkait
138
perencanaan, persiapan sampai dengan pelaksanaan program Community
Policing di wilayah Boyolali.
Agar program dapat berhasil dan efektif maka harus dilaksanakan
oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam bidang manajemen
sumber daya manusia, kebijakan yang digariskan meliputi:
a. Penambahan kekuatan personel Polri harus secara bertahap
memperhitungkan pemenuhan kebutuhan tenaga petugas
Polmas sehinggga setiap desa/kelurahan diharapkan dapat
terisi dengan sekurang-kurangnya seorang petugas Polmas.
b. Kurikulum setiap program pendidikan pertama dan
pengembangan umum harus mencakup mata pelajaran/mata
kuliah Polmas yang silabus dan satuan acara
pelajaran/perkuliahanya disesuaikan dengan jenjang dan jenis
pendidikannya.
c. Pada setiap Polda atau sekurang-kurangnya gabungan dari
beberapa polda tetangga harus diselenggarakan sekurang-
kurangnya satu kali program pelatihan khusus tentang Polmas
setiap tahun dalam rangka penyegaran pengetahuan dan/ atau
regenerasi petugas Polmas.
d. Pemilihan personel Polri untuk ditugaskan sebagai petugas
Polmas harus memperhitungkan latar belakang pengalaman
tugas pada satuan-satuan fungsi operasional dan aspek
139
moral/kepribadian yang mendukung pelaksanaan misalnya
sebagai petugas Polmas.
e. Sistem pembinaan personel harus menjamin terbukanya
peluang peningkatan karier yang proaktif bagi
petugas/pembina Polmas yang dinilai berhasil membina dan
mengembangkan Polmas.
2. Pembagian Tugas dan Persiapan
Pembagian tugas dan tanggung jawab dalam sebuah kelompok
kerja penting dilaksanakan untuk kelancaran dan kesuksesan pelaksanaan
sebuah program. Setiap personil Binamitra Polres Boyolali mempunyai
tugas masing-masing. Sehingga program akan berjalan lancar sesuai
dengan perencanaan yang sudah dibuat.
Tabel 4.1
Pertelaan Tugas Bagian Binamitra Polres Boyolali
No Nama Jabatan Tugas
1 Suwarno, SH Kabag
Binamitra
Mengatur penyelenggaraan dan
mengawasi/ mengarahkan pelaksanaan
penyuluhan masyarakat dan pembinaan
PAM swakarsa, membina hubungan
kerjasama dengan organisasi/ lembaga/
tokoh sosial/ kemasyarakatan dan
instansi pemerintah.
140
2 Joko Lukito Kasubbag
Bimmas
Merencanakan penyusunan rencana
kerja dibidang kegiatan bimbingan
masyarakat serta pembinaan dalam
rangka program Perpolisian
Masyarakat
3 Sutanto Kasubbag
Kerma
Merencanakan penyusunan rencana
kerja dibidang kegiatan kerjasama
dengan organisasi/ lembaga/ tokoh
masyarakat dan instansi pemerintah.
4 Sukiman, SE Ban Um
Bimmas
Membuat usulan/ merencanakan
pengusulan anggota Babinkamtibmas,
merencanakan kegiatan sambang dan
penyuluhan paguyuban tukang ojek,
merencanakan/ menyusun penyuluhan
terhadap Polhut, menyusun kegiatan
sambang dan patroli pada obvit/provit
yang menggunakan jasa anggota
satpam dan menyusun kegiatan
pembekalan Polmas dan HAM
5 Dalyamto Ba Min
Bimmas
Membuat laporan hasil kegiatan harian,
mingguan dan bulanan untuk mengukur
kinerja Binamitra Polres Boyolali
6 Budi Wasito Ban Um Mengagendakan serta menyusun
141
Kerma program pembinaan dan latihan
terhadap Pramuka Saka Bhayangkara,
mendata jumlah personil anggota PKS
serta merencanakan kegiatan latihan di
sekolah-sekolah
7 Rahmad, SPd. MH Ban Min
Kerma
Membuat rencana dan menyusun
kegiatan PSA dalam rangka pengenalan
figur Polri secara dini
8 Setyawan Eka S Anggota Menyusun kegiatan sambang terhadap
tukang parkir, memprogramkan
kegiatan sambang dan pembinaan
anggota poskamling
9 Adi Negara Anggota Melaksanakan kegiatan pembinaan
kepada PSA dalam rangka pengenalan
figur Polri secara dini, melaksanakan
kegiatan pembinaan dan latihan
Pramuka Saka Bhayangkara
10 Anik M Anggota Membuat jadwal kegiatan pelaksanaan
pembinaan dan penyuluhan di Polsek-
polsek secara kontinue, menyusun
kegiatan penyuluhan hukum terhadap
lapisan masyarakat berkaitan dengan
kesadaran hukum dalam rangka
142
menciptakan situasi kondusif.
11 Warno, SH Anggota Membuat jadwal kegiatan pelaksanaan
pembinaan dan penyuluhan di Polsek-
polsek secara kontinue, menyusun
kegiatan penyuluhan hukum terhadap
lapisan masyarakat berkaitan dengan
kesadaran hukum dalam rangka
menciptakan situasi kondusif.
12 Satrio Anggun S Anggota Pelaksana kegiatan sambang terhadap
tukang parkir, pelaksana kegiatan
sambang dan pembinaan anggota
poskamling
13 Suryanto Pengatur Mengagendakan surat-surat masuk/
keluar
14 Eni Rahayu Pengatur Mengagendakan surat-surat masuk/
keluar
Sumber: Binamitra Polres Boyolali Th 2010
3. Sarana dan Prasarana (Hardware)
· Sarana/fasilitas
Program Community Policing tidak akan berjalan lancar tanpa
dukungan sarana/fasilitas yang memadai di setiap kegiatannya.
Beberapa sarana yang dibutuhkan antara lain:
- Laptop dan software
143
- Layar atau screen
- Seperangkat sound system
- Kamera untuk dokumentasi
- Buku pedoman
Keterangan mengenai sarana/ fasilitas diperoleh melalui
wawancara dengan Ipda. Joko Lukito:
“Untuk sarana dan fasilitas, tidak ada masalah karena sarana-sarana yang diperlukan sama dengan sarana yang dipakai sebelum program ini ada. Jadi kita tidak perlu menyiapkan alat-alat yang baru.”76
Keterangan juga diperoleh dari Aiptu. Dalyamto:
”Kalau di Boyolali sendiri, pelaksanaan program dilakukan dengan tatap muka langsung. Jadi tidak banyak sarana yang dibutuhkan, yang penting kita menyiapkan materi secara lengkap dan koordinasi dengan masyarakat.”77
Dari hasil jawaban di atas menunjukkan bahwa sarana yang
tersedia untuk pelaksanaan program ini untuk sangat memadai dan
juga sudah dimanfaatkan dengan baik oleh pelaksana program.
Sarana yang telah disediakan tersebut sangat cukup untuk melakukan
program Community Policing di Kabupaten Boyolali.
76 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
77 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
144
Fasilitas yang digunakan telah sesuai dengan yang
diperlukan/memadai. Namun, lebih baik jika diperlengkap lagi
sehingga menunjang pelaksanaan program. Keterangan tersebut
diperoleh melalui wawancara dengan Aiptu. Dalyamto:
“Sudah cukup memadai. Mungkin yang perlu ditambah itu sarana sosialisasinya, seperti brosur, pamflet biar kita lebih mudah menyampaikan ke masyarakat.”78
· Dana
Selain perencanaan yang matang, alokasi dana operasional
memegang peran penting dalam sebuah program. Perencanaan
anggaran merupakan hal vital yang harus dilakukan agar program
berjalan sesuai rencana.
Dalam bidang manajemen anggaran/keuangan, kebijakan yang
digariskan Polri meliputi:
a. Perhitungan rencana anggaran Polri harus
mengalokasikan biaya operasional yang selayaknya
untuk menjamin aktivitas dan dinamika pelaksanaan
tugas Polmas termasuk biaya manajemen pada setiap
tingkatan organisasi dalam rangka secara terus menerus
memantau, mengawasi/mengendalikan, mengarahkan
dan menilai keberhasilan pelaksanaan penerapan Polmas.
78 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
145
b. Untuk mengembangkan program-program Polmas,
masing-masing kesatuan kewilayahan dapat mengadakan
kerjasama dengan lembaga-lembaga donor baik
internasional maupun nasional dan lokal.
c. Untuk menjamin keberlangsungan Polmas masing-
masing kesatuan kewilayahan perlu melakukan
kerjasama dengan pemerintah daerah setempat sehingga
operasionalisasi Polmas dapat merupakan program
pemerintah daerah yang didukung dengan anggaran
pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan program Community Policing, dana yang
digunakan adalah anggaran khusus yang telah ditetapkan oleh Polri.
Binamitra Polres Boyolali mendapat alokasi dana dari pusat dalam
program ini, sehingga tinggal melaksanakan kegiatan sesuai
anggaran yang sudah diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Ipda. Joko Lukito:
“Dana sudah diatur dari pusat, Binamitra tinggal mengalokasikannya saja. Dana yang dari pusat kita alokasikan untuk tiap program-program Polmas yang dilaksanakan Binamitra. Banyaknya kegiatan tergantung dana yang ada, kalau dana sedikit kegiatannya juga sedikit, begitu juga sebaliknya.”79
Dana merupakan salah satu kendala dalam program Community
Policing Binamitra Polres Boyolali. Hal ini dikarenakan, Pemda
79 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
146
Boyolali belum memasukkan anggaran program ini dalam APBD,
sedangkan dana yang dialokasikan dari pusat belum mencukupi.
Seperti keterangan Aiptu. Dalyamto:
”Belum memadai. Dana yang pas-pasan itu kita alokasikan ke tiap kegiatan, kadang kita harus mengubah rencana kerja karena dananya kurang. Ini yang menyebabkan kegiatan kita tidak optimal.”80
4. Strategi
Untuk mencapai tujuan diperlukan strategi yang tepat. Strategi
merupakan pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan
pelaksanaan perencanaan program dalam kurun waktu tertentu.
Dilaksanakan dengan mengkoordinasikan tim kerja, memilih tema faktor
pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip untuk melaksanakan
gagasan strategis secara rasional dan dapat dilaksanakan secara efektif
dan efisien.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito dinyatakan
bahwa:
“Strategi kita dalam menciptakan kemitraan dengan masyarakat yaitu dengan melakukan komunikasi persuasif. Kita gencar melakukan pembinaan dan penyuluhan terhadap semua lapisan masyarakat. Sosialisasi-sosialisasi program telah kita rencanakan sejak awal sehingga kegiatan yang dilaksanakan terarah dan diharapkan bisa efektif. Pendekatan-pendekatan personal juga kita lakukan, diusahakan tiap kecamatan terdapat FKPM sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat.”81
80 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
81 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
147
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Aiptu. Dalyamto:
”Strategi kita yaitu binluh (pembinaan dan penyuluhan) masyarakat lewat FKPM tentunya. Dan pembinaan-pembinaan sesuai dengan kegiatan yang sudah direncanakan Binamitra, kegiatan tersebut dilaksanakan guna melakukan pendekatan terhadap masyarakat untuk menjalin kemitraan.”82
Kegiatan untuk membina hubungan dengan komunitas dalam PR
dikenal dengan istilah Community Relations. Community Relations pada
dasarnya merupakan kegiatan komunikasi perusahaan dalam
menjalankan hubungan dengan komunitas lokal. Hubungan dengan
komunitas merupakan usaha titip diri kepada lingkungan, kepada
khalayak penduduk sekitar, agar tidak mengganggu dan dapat
mempertahankan citra perusahaan di mata publik.
Sebagai suatu strategi, Community Policing merupakan model
perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar antara polisi
dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap
permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban
masyarakat serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat dengan
tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan
serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.
82 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
148
Untuk teknik pendekatan Binamitra Polres Boyolali, dalam
melakukan pendekatan terhadap masyarakat, bentuk komunikasi yang
disampaikan bersifat:
a. Informatif, artinya menjelaskan sesuatu secara tepat, cepat
dan benar.
b. Persuasif, artinya dilakukan dengan cara-cara yang baik,
memikat hati, bujukan, ajakan, pujian dan sebagainya.
c. Motivatif, artinya memberi harapan-harapan kepada
masyarakat dan mendorong untuk bisa berbuat sesuatu yang
positif.
d. Edukatif, artinya bersifat mendidik, meningkatkan
wawasan, untuk mengembangkan sikap positif serta
meningkatkan kemampuan.
e. Komunikatif, artinya sesuai dengan semboyan yang
dikembangkan di lingkungan Polri, yaitu menggunakan pola
3 S (Senyum, Sapa dan Salam), yaitu komunikasi yang
ramah, sopan, sesuai dengan norma yang berlaku di wilayah
tugasnya masing-masing dengan lebih terbuka dan akrab.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi dalam
program Community Policing yang telah digunakan oleh Binamitra
Polres Boyolali sesuai dengan yang diungkapkan oleh R.A Santoso
Sastropoetro dalam bukunya Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan
Disiplin dalam Pembangunan Nasional, metode persuasi yaitu; (a)
149
asosiasi; (b) menumbuhkan kekhawatiran yang merangsang dengan
kehendak sendiri melakukan sesuatu pemecahan; (c) mengubah pendapat
dengan harapan; (d) menumbuhkan keinginan, kehendak untuk memilih
atau melakukan sesuatu; (e) menumbuhkan partisipasi serta peran serta.
Program Community Policing lebih menekankan cara dalam mewujudkan
kemitraan dengan komunitas melalui komunikasi persuasif yang
dilakukan lewat kegiatan pembinaan dan penyuluhan.
C. Analisa dan Pembahasan Data Proses
Berisi catatan tentang kegiatan-kegiatan yang muncul selama program
berlangsung. Data tersebut digunakan untuk proses penilaian, penyesuaian
strategi dan bentuk kegiatan dengan tujuan program, kelemahan, kekuatan,
faktor pendukung, dan hambatan selama proses program berlangsung.
Sumber data ini didapat dari pelaksana program, wawancara dengan peserta
dan observasi pesneliti. Penilaian proses meliputi:
1. Bentuk Kegiatan
Kegiatan inti dari Program Community Policing yang dilaksanakan
Binamitra Polres Boyolali adalah program pembinaan dan penyuluhan
melalui komunikasi persuasif. Artinya, yang dilakukan personil
Binamitra Polres Boyolali dalam membujuk/membina masyarakat tanpa
merasa dipaksa, sehingga melaksanakannya secara sukarela dilakukan
dengan teknik-teknik membujuk atau persuasi, karena pada dasarnya
persuasi, menunjukkan pada bentuk komunikasi yang menggerakkan
serta melakukan sesuatu dengan rasa senang, rasa sukarela tanpa
150
mempunyai perasaan disuruh/dipaksa oleh orang lain. Caranya adalah
dengan ajakan himbauan, rayuan dan meminta.
Dalam Community Policing, komunikasi yang dilakukan personil
Binamitra Polres Boyolali bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi
serta peran serta masyarakat, agar masyarakat mempunyai kesadaran
dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Bilamana masyarakat
menyadari bahwa masyarakat membutuhkan rasa aman, maka
masyarakat diberikan motivasi dari Binamitra Polres Boyolali untuk
menggerakkan masyarakat dalam menumbuhkan keamanan secara
swakarsa. Untuk menumbuhkan rasa kesadaran masyarakat dilakukan
dengan membujuk atau membina masyarakat agar mau terlibat dalam
menciptakan keamanan.
Bentuk yang dilakukan Binamitra Polres Boyolali dalam
mempersuasikan program Community Policing adalah melalui
komunikasi langsung. Komunikasi langsung adalah bentuk dari
komunikasi dengan cara bertatap muka (face to face) antara komunikator
dengan komunikan, dalam proses ini yang disebut komunikator adalah
Binamitra Polres Boyolali sedangkan komunikannya adalah publik
terutama masyarakat di wilayah Kabupaten Boyolali. Bentuk kegiatan
komunikasi langsung yang diselenggarakan oleh Binamitra Polres
Boyolali, sebagai berikut:
5. Kegiatan Pembinaan Ketertiban Masyarakat (Bintibmas)
151
· Sosialisasi Polmas dan FKPM dengan tokoh agama, tokoh
masyarakat dan tokoh daerah
· Penyuluhan pokdar (kelompok sadar) kamtibmas
· Penyuluhan Kamtibcar Lantas
· Penyuluhan hukum Polmas
· Pembinaan dan penyuluhan langsung terhadap tukang parkir dan
ojek
6. Kegiatan Pembinaan Redawan (Remaja, Pemuda dan Wanita)
· Penyuluhan hukum
· Penyuluhan kenakalan remaja
· Penyuluhan narkoba dan dampak penyalahgunaannya
· Penyuluhan KDRT
· Pembinaan dan latihan Pramuka Saka Bhayangkara
· Pelatihan PKS dan OSIS
· Pembinaan PSA (Polisi Sahabat Anak)
7. Kegiatan Pembinaan Keamanan Swakarsa (Binkamsa)
· Sambang dan kontrol pos kamling
· Pembinaan anggota satuan pengamanan (satpam)
· Pembinaan dan penyuluhan anggota pos kamling
· Kegiatan kemitraan dengan Senkom (Sentral Komunikasi)
8. Kegiatan Pembinaaan dan Koordinasi Polisi Khusus (POLSUS)
152
Dari analisis kegiatan Polmas Binamitra Polres Boyolali,
dinyatakan bahwa tugas-tugas dari Kepolisian untuk mengamankan
lingkungannya diserahkan kepada masyarakat, salah satunya dilakukan
oleh satpam. Dengan demikian, pembinaan kepada satpam lebih
diintensifkan. Agar satpam (satuan pengamanan), yang mengamankan
wilayah di lingkungan kerjanya, memiliki bekal serta kemampuan yang
cukup yang diperoleh pada saat pembinaan yang diberikan oleh personil
Binamitra Polres Boyolali. Dalam pembinaan juga disampaikan
informasi-informasi terbaru mengenai gangguan-gangguan yang
sekiranya mengganggu keamanan, serta memberikan solusi atas
gangguan tersebut, sehingga satpam yang merupakan bagian dari
jaringan informasi dari Kepolisian akan membantu efektifitas kerja
Binamitra Polres Boyolali. Adanya kesediaan dari instansi untuk
mengundang Binamitra Polres Boyolali serta memberikan bantuan dana
yang diperlukan bagi terselenggaranya pendidikan satpam, merupakan
salah satu bentuk begian dari wujud partisipasi masyarakat dalam
menciptakan Kamtibmas. Artinya, Binamitra Polres Boyolali dibutuhkan
untuk memberikan pembinaan keamanan kepada satpam.
Sedangkan bentuk pembinaan yang lainnya, yang tidak kalah
penting adalah pembinaan anggota poskamling. Poskamling merupakan
wujud pengamanan swakarsa yang dilakukan masyarakat untuk menjaga
keamanan dan ketertiban lingkungan masing-masing. Pembinaan anggota
siskamling diharapakan dapat meningkatkan Kamtibmas serta
153
meminimalisir gangguan-gangguan yang muncul dalam masyarakat.
Apabila para anggota siskamling memiliki kemampuan mengenai
kamtibmas maka tugas personil Binamitra Polres Boyolali akan lebih
ringan dan masyarakatpun lingkungannya akan lebih aman dan tertib.
Pembinaan kepada satpam dan anggota poskamling merupakan
program Polmas dalam kegiatan Bintibmas (pembinaan ketertiban
masyarakat). Dalam kegiatan pembinaan ini masyarakat dijadikan mitra
polri untuk menciptakan atau memelihara keamanan dan ketertiban.
Dalam kegiatan Polmas Binamitra Polres Boyolali lainnya,
Binredawan (pembinaan remaja, pemuda dan wanita) yang menjadi
prioritas dalam pembinaan terhadap siswa-siswa SMA dan SLTP.
Kepada para siswa diberikan pembinaan karena pada usia remaja mereka
mengalami suatu bentuk transisi secara psikologi. Untuk mencegah
terjadinya kenakalan remaja maka Binamitra Polres Boyolali
memberikan pembinaan dan dan penyuluhan mengenai hukum,
kenakalan remaja, dan dampak penyalahgunaan narkoba. Melalui
pembinan ini diharapakan tingkat kenakalan remaja di wilayah
Kabupaten Boyolali dapat menurun.
Selain melakukan pencegahan terhadap kenakalan remaja,
Binamitra Polres Boyolali juga mengajak para siswa untuk melalukan hal
positif. Binamitra Polres Boyolali memberikan suatu bentuk pembinaan
melalui PKS (Patroli Keamanan Sekolah). PKS membantu dalam hal
kelancaran lalu-lintas di saat para siswa pergi ke sekolah maupun disaat
154
pulang sekolah. Karena pada jam-jam tersebut, sangat diperlukan
pengaturan lalu-lintas. Polisi merasa terbantu dengan adanya kelancaran
lalu-lintas yang dilakukan oleh PKS di sekitar sekolah masing-masing.
Sehingga polisi akan lebih efektif dalam mengatur lalu-lintas yang
lainnya. Bilamana hanya terfokus kepada pengaturan lalu-lintas di sekitar
sekolah-sekolah yang ada di wilayah Boyolali yang sangat banyak, maka
dengan keterbatasan personil Polri tidak memungkinkan untuk mengatur
lalu-lintas di wilayah Kabupaten Boyolali yang begitu luas khususnya
pada pagi hari. Maka dari pihak SLTP di wilayah Boyolali , diberikan
kepercayaan dengan menerima pembinaan, pelatihanserta penyuluhan
untuk dapat mengatur lalu-lintas, mengatasi kecelakaan lalu-lintas serta
kemacetan di jalan raya. Personil Binamitra Polres Boyolali datang serta
mengadakan pembinaan kepada siswa-siswa SLTP yang ada si wilayah
Boyolali, bilamana diminta pihak sekolah untuk memberikan pembinaan
kepada mereka ataupun sebaliknya, Binamitra Polres Boyolali
mengundang para siswa ke Polres untuk dilakukan pembinaan.
Pembinaan yang lain adalah pembinaan kepada anak-anak TK
(Taman Kanak-kanak) atau Play Group melalui Polisi Sahabat Anak
(PSA). Anak-anak TK mulai diperkenalkan dengan sosok polisi serta
tugas-tugasnya. Cara penyampaiaan pesan oleh PSA yang sekiranya
dapat dimengerti oleh anak-anak TK, oleh sebab itu membutuhkan
adanya bentuk kreatifitas dari personil Binamitra Polres Boyolali sepaya
pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh anak-anak TK tersebut.
155
Pembinaan kepada anak-anak TK juga menjadi salah satu prioritas
dari program Polmas Binamitra Polres Boyolali dengan bentuk
pembinaan dan penyuluha. Permintaan untuk mengadakan pembinaan
dilakukan oleh pihak TK (Taman Kanak-kanak), yang mengudang
personil dari Binamitra Polres Boyolali untuk memberikan pembinaan
dan penyuluhan, kadang anak-anak TK juga melakukan kunjungan ke
Polres Boyolali untuk pengenalan secara langsung figur polisi, akibatnya
ada suatu bentuk kerjasama dalam memberi pendidikan kepada anak,
yaitu antara pihak pengelola TK dengan pihak Binamitra Polres Boyolali.
2. Fokus Kegiatan
Informasi mengenai fokus kegiatan diperoleh melalui wawancara
dengan mengajukan pertanyaan:
Apa yang menjadi fokus utama dalam pelaksanaan program Community Policing?
Jawaban Ipda. Joko Lukito:
”Menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan membentuk hubungan kesejajaran antara polisi dan masyarakat. Hal ini dalam kaitannya mengeliminer masalah-masalah ringan yang ada di masyarakat dengan mencari solusi bersama. Kalau memperbaiki citra Polri itu hanya efek samping dari program ini, bukan fokus/tujuan utama program ini. Tapi tidak dipungkiri, program ini memang mengarah pada perbaikan citra Polri.”83
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
83 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
156
”Menjalin kemitraan dengan masyarakat kaitannya dalam menciptakan kondisi situasi kamtibmas dan problem solving agar permasalahan-permasalahan di masyarakat tidak muncul ke permukaan.”84
Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fokus
utama dari program ini adalah menciptakan kemitraan antara polisi
dengan masyarakat dan pemecahan masalah (problem solving).
Community Policing bukanlah hubungan masyarakat (humas) atau
sebuah program yang dirancang khusus untuk memperbaiki citra polisi.
Hubungan yang baik dengan masyarakat dan perbaikan citra polisi
hanyalah efek samping dan bukan tujuan utama.
Memang pada dasarnya komponen-komponen Community Policing
adalah sebagai berikut:
a. Kemitraan – Community Policing mendorong sebuah
kemitraan baru antara masyarakat dengan polisi yang slaing
menghargai, sopan santun, memberi dukungan dan saling
menguntungkan.
b. Pemecahan masalah – Community Policing mendefinisikan
kembali misi polisi agar terarah pada pembangunan
masyarakat dan pemecahan masalah.
84 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
157
3. Kelancaran Pelaksanaan Program
Kesuksesan sebuah program tidak terlepas dari kinerja tim
pelaksana yang solid. Data tentang kelancaran pelaksanaan program
diperoleh melalui wawancara dengan mengajukan pertanyaan:
Bagaimana dengan tingkat kelancaran pelaksanaan kegiatan Community Policing?
Jawaban Ipda. Joko Lukito:
”Sudah cukup lancar, sesuai dengan perencanaan yang dibuat anggota kita.”85
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
”Lancar-lancar saja karena masyarakat mendukung program ini.”86
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kegiatan ini memang sudah
berjalan secara lancar tetapi kurang optimal karena belum seluruh
wilayah di Kabupaten Boyolali mendapat sosialisasi. Pembentukan
FKPM pun hanya di daerah-daerah tertentu saja.
4. Continuity dan Consistency
Community Policing merupakan Grand Strategi Polri 2005 – 2025
dalam rangka melaksanakan tugas pokok Polri sebagai pemelihara
85 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
86 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
158
kamtibmas, penegak hukum, pelindung, pengayom serta pelayan
masyarakat. Sehingga program ini wajib dilaksanakan oleh seluruh
personil Polri sesuai dengan bagian masing-masing. Pelaksanaan
program ini di Binamitra Polres Boyolali pun telah dilaksanakan
semenjak Peraturan Kapolri dikeluarkan, yaitu Oktober 2005. Dari tahun
2005, penerapan Community Policing telah dilaksanakan sesuai rencana,
mulai dari tahap persiapan sampai tahap operasional. Hal ini dapat dilihat
dari laporan tahunan yang dibuat oleh Binamitra Polres Boyolali.
Tabel 4.2
Data Kegiatan Binamitra Polres Boyolali
Bulan Oktober - Desember Tahun 2009
No Sasaran Pembinaan
Bentuk Pembinaan
Tujuan dari Pesan yang Disampaikan
Frekuensi
1 Satpam Binluh Agar para personil satpam memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya di wilayah kerjanya masing-masing. Serta memberi informasi yang baru yaitu cara mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban.
15 kali
2 Anggota poskamling
Binluh Agar para anggota poskamling memiliki kemampuan untuk menjaga lingkungan masing-masing demi menciptakan kondisi kamtibmas.
12 kali
3 Pelajar SMA Binluh Agar para siswa mengerti akan bahaya narkoba serta akibatnya. Memberi bimbingan sebagai upaya pencegahan kenakalan remaja.
12 kali
4 Pelajar SMP Binluh Agar para anggota PKS (Patroli 9 kali
159
Keamanan Sekolah) memiliki kemampuan untuk melaksanakan pengaturan lalu-lintas di wilayah sekolahnya masing-masing. Sebagai upaya pencegaham kenakalan remaja dan juga para remaja tidak terlibat pada bahaya nakorba.
5 Anak-anak TK/Play Group
Binluh Agar siswa dapat mengenal keberadaan Polri secara lebih dekat serta mengerti rambu-rambu lalu-lintas yang ada di jalan raya.
9 kali
6 Saka Bhayangkara
Binluh Mewujudkan remaja yang terampil melalui kegiatan yang lebih positif yaitu melalui kegiatan pramuka.
12 kali
7 Tokoh masyarakat
Binluh Agar masyarakat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kamtibmas sehingga keamanan swakarsa dapat berjalan dengan baik.
9 kali
8 Kelompok sadar kamtibmas
Binluh Agar kelompok ini memiliki kemampuan untuk membantu polisi dalam menciptakan kamtibmas.
6 kali
9 Tukang parkir
Binluh Agar tukang parkir dapat menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan berkerjanya.
6 kali
10 Tukang ojek Binluh Agar tukang ojek dapat menjaga wilayah kerja masing-masing dari gangguan keamanan dan ketertiban sehingga lingkungan kerja mereka akan lebih kondusif.
6 kali
11 Pengurus FKPM
Binluh Agar para pengurus FKPM dapat memaksimalkan peranannya di wilayah masing-masing sehingga permasalahn-permasalahan yang ditimbul di masyarakat tidak muncul kepermukaan dan dapat
15 kali
160
segera diatasi. 12 Polisi
Kehutanan Binluh Melakukan koordinasi dengan
Polhut agar dapat bekerjasama dalam menjaga keamanan hutan.
6 kali
SUMBER: Kegiatan Polmas Binamitra Polres Boyolali
Program ini dapat terus berjalan karena untuk anggaran telah
ditentukan dari Polri. Untuk Binamitra Polres Boyolali, konsistensi
perencanaan tergantung dari dana yang diberikan pusat, seperti yang
diungkapkan oleh Aiptu. Dalyamto:
”Konsistensi perencanaan semua tergantung anggaran yang ada.”87
Sedangkan data mengenai frekuensi pelaksanaan program
Community Policing diperoleh melalui wawancara dengan pertanyaan:
Bagaimana frekuensi pelaksanaan program Community Policing?
Jawaban Ipda. Joko Lukito:
”Tahun kemarin (2009) semua rencana kegiatan bisa tercapai. Ini bisa dilihat di laporan pencapaian tahun 2009.”88
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
”Sudah terjadwal dengan baik.”89
87 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
88 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
89 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
161
Dilihat dari segi kontinyuitas dan konsistensinya, pelaksanaan
program Community Policing sudah cukup efektif, karena dilaksanakan
atau dijadwalkan secara berkesinambungan, meskipun pelaksanaan
kadang tidak sesuai dengan perencanaan karena kendala dana. Tetapi
untuk tahun 2009, semua perencanaan yang dibuat dapat direalisasikan
semua.
5. Pendukung Kelancaran Program
Kelancaran dan kesuksesan suatu program tidak terlepas dari
dukungan faktor eksternal. Pihak-pihak yang mendukung program ini
adalah:
· Pemda Boyolali
· Asosiasi pengusaha/pedagang
· Lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah: Perguruan
Tinggi, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain
· Masyarakat umum
Seperti yang diungkapkan oleh Ipda. Joko Lukito:
”Banyak sekali pihak yang mendukung program ini, contohnya saja toga, tomas, perguruan tinggi di Boyolali, sekolah-sekolah dan Pemda.”90
90 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
162
Demikian pula yang diutarakan Aiptu. Dalyamto:
”Semua pihak mendukung terutama Pemda, kalau sudah ada dukungan dari Pemda maka program ini akan lebih baik."91
Bentuk dukungan dari Pemda mengenai anggaran untuk program
Community Policing sedang di usahakan. Binamitra Polres Boyolali
sedang melakukan pendekatan dengan Bupati agar anggaran untuk
program ini dimasukkan dalam APBD.
Selain adanya dukungan dari pihak-pihak terkait, program
Community Policing dapat berjalan lancar karena adanya dukungan dari
masyarakat. Masyarakat butuh program Community Policing karena
mereka dapat merasakan manfaat dari program ini dengan harapan
permasalahan yang ada di masyarakat akan dapat terselesaikan dengan
baik melalui kemitraan Polisi dan masyarakat dan masyarakat sangat
mengharapkan upaya pemeliharaan kamtibmas dari pihak kepolisian.
6. Hambatan Program Community Policing
Dalam setiap pelaksanaan suatu program tentu ada kendala ataupun
hambatan dan yang menjadi kendala dalam program Community Policing
didapat dari hasil wawancara dengan pelaksana program, secara
keseluruhan untuk pelaksana program memang ada kendala yang
dihadapi, seperti yang diungkapkan oleh Ipda. Joko Lukito:
91 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
163
“Sejauh ini tidak ada kendala yang berarti, hanya saja kita masih kekurangan dana. Saat ini masih diupayakan melobi Pemda agar mau memasukkan anggaran program ini dalam APBD.”92
Kendala yang dihadapi dalam program ini hanyalah masalah dana.
Dana yang berasal dari pusat masih kurang memadai untuk semua
kegiatan yang dilaksanakan Binamitra Polres Boyolali. Hal ini
menyebabkan adanya kegiatan yang harus dikurangi dan menyebabkan
kegiatan kurang optimal. Binamitra Polres Boyolali sedang
mengupayakan pendekatan kepada Pemda agar bersedia memasukkan
anggaran program Community Policing dalam APBD. Karena memang
sudah seharusnya, Polres bekerjasama dengan Pemda mengenai anggaran
program ini.
Dari pihak masyarakat tidak ada kendala dalam pelaksanaan
program Community Policing, karena masyarakat mendukung adanya
program ini. Namun tidak semua masyarakat mengetahui program ini.
Hal ini bisa dilihat dari daerah-daerah mana saja yang terdapat FKPM,
tidak semua daerah terdapat FKPM.
D. Analisa dan Pembahasan Data Produk
Penilaian produk dilakukan untuk melihat hasil dari pelaksanaan
Program Community Policing. Penilaian ini meliputi:
1. Pencapaian Tujuan
92 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
164
Pengukuran terhadap pencapaian tujuan merupakan perbandingan
dari hasil yang direncanakan dan yang telah dicapai. Pengukuran
terhadap pencapaian tujuan program digunakan sebagai kajian atas tujuan
khusus program dan membandingkan antara hasil nyata dengan hasil
yang direncanakan. Sumber data utama dalam penulisan ini adalah hasil
wawacara dengan pelaksana program atas pertanyaan:
Bagaimana tingkat keberhasilan dari program Community
Policing?
Jawaban Ipda. Joko Lukito:
”Sejauh ini tanggapan dari masyarakat sangat mengharapkan sekali program Polmas ini tetap dilanjutkan. Karena manfaat daripada program ini sangat positif sekali. Katakan saja, yang kemarin lomba FKPM yang dimana tingkat Polda juara 2, tingkat Polwil juara 1 untuk FKPM di desa Sembungan, Nogosari. Atensi dari masyarakat sangat tinggi sekali, bagus dan maju sekali, sehingga permasalahan-permasalahan bisa diantisipasi di tingkat bawah. Ini menunjukkan bahwa program Polmas berhasil.”93
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
”Hasil dari program ini ya sangat positif sekali. Permasalahan-permasalahan di masyarakat bisa dieliminer, dan masyarakat secara swakarsa dapat melakukan pengamanan di lingkungan masing-masing.”94
93 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
94 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
165
Data mengenai pencapaian juga diperoleh dari wawancara dengan
mengajukan pertanyaan tentang pendapat peserta program Community
Policing:
Bagaimana pendapat Anda tentang program Community
Policing?
Jawaban Oktaviani Puspitasari:
“Program ini bagus ya, karena dengan begini masyarakat akan lebih mengenal polisi secara dekat. Pendapat-pendapat miring mengenai polisi juga bisa diluruskan. Masyarakat kan sudah ada perasaan antipasi dulu dengan polisi, kalau ada pendekatan seperti ini kan mereka bisa mengubah penilaiannya.”95
Jawaban Setro Margono:
”Ya kalau menurut saya Polmas sangat bermanfaat. Desa kami ini lebih aman dan warga bisa diajak menjaga keamanan bersama.”96
Jawaban Suyamto:
”Untuk di daerah sini mungkin saged dikembangkan lagi ya.”97
Jawaban Agus Setiawan:
”Cukup efektif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menciptakan ketrtiban dan keamanan di lingkungan masing-masing. Kalau untuk satpam seperti saya ini, program ini bisa menambah pengetahuan saya dalam mengamankan lingkungan, kan ada pembinaan dan penyuluhan dari Polres.”98
95 Hasil wawancara dengan Oktaviani Puspitasari, Rabu, 20 Januari 2010
96 Hasil wawancara dengan Setro Margono, Kamis, 21 Januari 2010
97 Hasil wawancara dengan Suyamto, Kamis, 21 Januari 2010
98 Hasil wawancara dengan Agus Setiawan, Rabu, 20 Januari 2010
166
Dari hasil wawancara di atas, semua peserta program memiliki
pandangan positif tentang program Community Policing. Memang bila
ditinjau dari hasil kuantitatif, yaitu peningkatan jumlah FKPM yang
terbentuk di masyarakat, bisa disebut program ini berhasil. Namun ke
depannya, jika ada program baru lagi yang akan dilaksanakan
seyogyanya juga mempertimbangkan dari sisi sasaran program, semua
masyarakat berhak mendapat pelayanan yang sama. Sehingga program
dapat berhasil baik secara kuantitas maupun kualitas, yaitu terbinanya
hubungan kemitraan antara masyarakat dengan Polri.
Pada dasarnya pelaksanaan Community Policing untuk
menumbuhkan hubungan kemitraan dengan masyarakat, sehingga dapat
membangun dan membina rasa saling percaya. Sejalan dengan dibentuk
dan dipeliharanya hubungan kemitraan polisi dan masyarakat, kedua
belah pihak akan memiliki kemampuan yang semakin baik saat
bekerjasama dalam mengidentifikasi dan menangani masalah-masalah
yang mempengaruhi mutu kehidupan di lingkungan mereka. Pihak
kepolisian akan membangun rasa tanggung jawab atau komitmen untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di lingkungan tersebut.
Dalam rangka memfasilitasi pengenanlan Community Policing dan
menciptakan sebuah kemitraan dengan masyarakat yang memperkuat
komunikasi antara Polri dan masyarakat, maka didirikan FKPM. Forum
kemitraan ini tidak dengan sendirinya merupakan perpolisian
167
masyarakat, namun untuk memfasilitasi komunikasi dan implementasi
praktis Community Policing secara terstruktur. Forum-forum merupakan
sarana utama dalam mewujudkan tujuan program Community Policing.
Tabel 4.3
Data FKPM di Boyolali
NO POLSEK /
KECAMATAN JML DESA
MODEL POLMAS
WIL KWSN
1. Boyolali 9 4 1
2. Sawit 12 6 1
3. Sambi 16 2 -
4. Selo 10 3 -
5. Simo 13 7 -
6. Ngemplak 12 4 -
7. Juwangi 10 8 -
8. Teras 13 4 -
9. Banyudono 15 10 1
10. Karanggede 16 4 -
11. Nogosari 13 7 -
12. Ampel 20 6 -
13. Kemusu 13 7 -
14. Mojosongo 13 8 -
15. Wonosegoro 18 7 -
16. Musuk 20 9 1
168
17. Cepogo 15 4 -
18. Andong 16 7 -
19. Klego 13 5 -
JUMLAH 267 110 4
Dari data tersebut, program Community Policing telah mampu
meningkatkan kemitraan dan kepercayaan masyarakat terhadap polisi.
Melalui FKPM. Komunikasi antara polisi dan masyarakat lebih baik dan
intensif.
2. Parameter Keberhasilan Program
Pada dasarnya yang menjadi ukuran keberhasilan Polri tidak hanya
ditentukan oleh kemampuannya menekan angka kriminalitas dan
menaikkan angka penyelesaian kasus kejahatan, tetapi juga oleh
kemampuan Polri dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat sebagai
upaya untuk mewujudkan Kamtibmas. Bentuk partisipasi ini lebih
difokuskan pada kesadaran masyarakat dalam mengamankan dan
menertibkan baiknya pribadi masing-masing maupun lingkungannya.
Lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan dimana ia tinggal
maupun lingkungan kerjanya. Dari pernyataan tersebut, ternyata
partisipasi masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam
membantu pihak kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.
169
Berdasarkan Pasal 14 ayat 1c dalam Undang-Undang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, tertulis bahwa:99
Dalam melaksanakan tugas pokoknya, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina masyarakat, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dari dasar Undang-Undang yang baru ini, tugas pokok Polri adalah
membina masyarakat serta meningkatkan partisipasi masyarakat agar
timbul suatu kesadaran hukum di dalam masyarakat sehingga masyarakat
taat terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku.
Untuk mendapat data tentang parameter keberhasilan program
Community Policing diperoleh melalui wawancara dengan mengajukan
pertanyaan:
Apa yang menjadi parameter keberhasilan program Community
Policing?
Jawaban Ipda. Joko Lukito:
”Kepercayaan masyarakat meningkat, masyarakat ikut berpartisipasi dalam menjaga kamtibmas, tingkat pelanggaran hukum menurun, ada hubungan harmonis antara masyarakat dan polisi, kegiatan FKPM meningkat. Mungkin yang paling penting masyarakat lebih terbuka pada polisi dan percaya terhadap kinerja polisi.”100
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
99 Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002
100 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
170
”Salah satu indikator/tolak ukur keberhasilan program ini, adanya suatu pertemuaan secara rutin baik itu sebulan sekali maupun setengah bulan sekali yg mana FKPM yang ada di wilayah, kawasan maupun komunitas ada pertemuan secara rutin. Agendanya adalah membahas/mengklarifikasi permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Yang kedua adalah kaitannya masalah kunjungan, sejauh mana rencana kegiatannya, kegiatan-kegaiatan yang sudah dilakukan itu apa saja merupakan suatu penilaian dari keberhasilan program Sehingga FPKM bisa dikatakan berhasil apabila organaisasi/lembaga tersebut mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya. Indikator keberhasilan lainnya, gannguan kamtibmas tingkat polsek/polres bisa dieliminer, permasalahan-permasalahan yang ringan bisa diselesaikan ditingkat kawasan, wilayah maupun komunitas, sehingga tidak menjadi beban institusi polisi.”101
Kriteria yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan
Polmas:102
a. Intensitas komunikasi antara petugas dengan masyarakat meningkat.
b. Keakraban hubungan petugas dengan masyarakat meningkat. c. Kepercayaan masyarakat terhadap Polri meningkat. d. Intensitas kegiatan forum komunikasi petugas dan masyarakat
meningkat. e. Kepekaan/ kepedulian masyarakat terhdap masalah Kamtibmas
meningkat. f. Daya kritis masyarakat terhadap akuntabilitas penyelesaian
masalah Kamtibmas meningkat. g. Ketaatan warga masyarakat terhadap aturan yang berlaku
meningkat. h. Partisispasi masyarakat dalam hal deteksi dini, peringatan dini,
lapotan kejadian meningkat. i. Kemampuan masyarakat mengeleminir akar masalah
meningkat.
101 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
102 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008, hal 56-57
171
j. Keberadaan dan berfungsinya mekanisme penyelesaian masalah oleh polisi dan masyarakat.
k. Gangguan Kamtibmas menurun.
Berdasar data hasil wawancara di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa parameter keberhasilan program Community Policing hanya
melihat dari sisi kualitas semata, yaitu terbentuknya kemitraan antara
polisi dan masyarakat sehingga masalah di masyarakat dapat teratasi.
E. Analisa dan Pembahasan Data Dampak
Efektifitas pelaksanaan program Community Policing dapat dilihat dari
dampak yang ditimbulkan. Dampak dari pelaksanaan program Community
Policing dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Dampak Internal (ke dalam)
Penilaian dampak internal pelaksanaan program Community
Policing diperoleh melalui wawancara dengan pelaksana program, yaitu:
Adakah dampak positif yang dirasakan setelah adanya program
Community Policing terhadap Binamitra Polres Boyolali selaku
pelaksana program ini sendiri?
Jawaban Ipda. Joko Lukito:
172
”Dampak positif dari program ini, personil kita lebih mudah dalam melakukan pengamanan ketertiban dan keamanan masyarakat karena masyarakat mau diajak bekerjasama.”103
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
”Dampak positif, kerjasama antara polisi dengan masyarakat berjalan baik. Masyarakat mampu melaksanakan pengamanan swakarsa jadi tugas polisi lebih ringan.”104
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa program
Community Policing menjadi jembatan untuk menjalin hubungan
kemitraan antara Binamitra Polres Boyolali dengan masyarakat. Sebagai
Public Relations dari Polres Boyolali, sudah menjadi tugas Binamitra
untuk menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Sirait, dalam Kamus Internasional yang merumuskan
Public Relations sebagai:
“Aktivitas yang dilakukan oleh industri, perserikatan, perusahaan, perhimpunan, jawatan pemerintah, dan atau organisasi lainnya, untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan masyarakat tertentu (misalnya para langganan, para pegawai, atau para pemegang saham) dan masyarakat pada umumnya dengan maksud menyesuaikan dirinya pada keadaan sekeliling dan memperkenalkan dirinya kepada masyarakat”105
Adanya kegiatan public relations dari perusahaan tentunya
mempunyai tujuan tertentu. Bagi perusahaan, kegiatan komunikasi
103 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
104 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa 19 Januari 2010
105 Kustadi Suhandang, Public Relations Perusahaan, Kajian, Program, Implementasi, Nuansa, Bandung, 2004, hal. 46.
173
dengan publiknya tidak lain adalah untuk membangun suatu hubungan
yang harmonis dengan mereka, sehingga publik mempunyai kesan yang
baik kepada perusahaan, dan pada akhirnya akan membawa citra yang
baik dan positif. Hal tersebut akan membawa suatu kepercayaan kepada
perusahaan.
Dalam program Community Policing yang dilaksanakan oleh
Binamitra Polres Boyolali, secara tidak langsung tujuan yang ingin
dicapai adalah pembentukan citra positif Polri.
Citra adalah tujuan utama sekaligus merupakan reputasi dan
prestasi yang hendak dicapai bagi dunia PR.106 Sebuah instansi yang
paham akan pentingnya citra, perlu memberi perhatian yang cukup untuk
membangun citra yang menguntungkan bagi instansi tersebut, tidak
hanya melepaskan diri terhadap terbentuknya suatu kesan publik yang
bersifat negatif terhadap instansi yang bersangkutan. Demikian pula
dengan Binamitra Polres Boyolali, melalui program Community Policing
akan menimbulkan dampak yang berimbas terhadap citra Polri di wilayah
Kabupaten Boyolali. Seperti yang diungkapkan oleh Ipda. Joko Lukito:
“Sejauh ini keberhasilan Polmas dalam meningkatkan citra polri di wilayah Boyolali, masyarakat lebih percaya kepada kepolisian, lebih ada keterbukaan antara masyarakat dengan Polri.”107
106 Rosady Ruslan, Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi: Konsep dan Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal 70
107 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
174
Agar kegiatan PR Binamitra Polres Boyolali melalui program
Community Policing efektif diperlukan teknik komunikasi yang tepat.
Teknik komunikasi seorang Public Relations Officer di instansi
pemerintah, termasuk Binamitra Polres Boyolali tidak berbeda dengan
teknik komunikasi yang digunakan public relations di bidang lainnya,
yaitu teknik komunikasi persuasif (komunisuasif). Komunikasi persuasif
dapat dilakukan oleh Binamitra Polres Boyolali dengan mengaplikasikan
formula AIDDA, yaitu:108
A - Attention : menarik perhatian
I - Interest : membangkitkan minat
D - Desire : menumbuhkan hasrat
D - Decision : membuat keputusan
A - Action : melakukan penggiatan
Dengan formula AIDDA, akan terjadi proses transfer public
relations yang bisa mengubah opini negatif menjadi positif, dan dari
prasangka menjadi menerima. Apalagi program Community Policing,
jika tidak melakukan teknik komunikasi persuasif yang benar justru dapat
berpengaruh buruk terhadap citra dari instansi kepolisian sendiri.
Komunikasi merupakan komponen utama PR dalam menjalankan
perannya di suatu instansi. Sebagai salah satu unsur fungsional
manajemen dalam membangun citra yang baik bagi Polri, maka
108 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, CV. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal 25
175
komunikasi dilakukan terus menerus agar terjaga sikap saling pengertian
dari masyarakat sebagai sasaran program Community Policing dan
menghindarkan dari prasangka-prasangka yang bersifat negatif. Sesuai
dengan definisi Public Relations yang dikemukakan oleh Fraser P. Seitel:
”Public Relations merupakan fungsi manajemen yang membantu menciptakan dan saling memelihara alur komunikasi, pengertian, dukungan, serta kerjasama suatu organisasi/perusahaan dengan publiknya dan ikut terlibat dalam menangani masalah-masalah atau isu-isu manajemen. PR membantu manajemen dalam penyampaian informasi dan tanggap terhadap opini publik. PR secara efektif membantu manjemen memantau berbagai perubahan.”109
Proses pembentukan citra berawal dari persepsi. Akar dari opini
sebenarnya tak lain adalah persepsi. Opini muncul ketika orang tersebut
mempunyai persepsi.110 Untuk mengetahui seperti apa opini yang
terbentuk di masyarakat tentang Polri terkait program Community
Policing memang perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut dan berawal
dengan mempertanyakan opini publik yang berkembang, salah satu
caranya dengan mengadakan polling opini publik atas program
Community Policing, dengan polling tersebut dapat menghapus pendapat
ekstrim tentang instansi kepolisian, sesuai yang diungkapkan Iginio
Gagliardone (London School of Economics) dan Nicole A. Stremlau
(Stanhope Centre for Communications Policy Research, UK)
109 Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto, Dasar-dasar Public Relations, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal 13
110 Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 28
176
“The public opinion polls were also used in an effort to “eliminate extreme opinions, map out common ground and areas of compromise and test comprehensive agreements as packages.”111
Dari perumusan di atas ini, disimpulkan bahwa komunikasi
mengenai soal-soal tertentu, apabila dibawa dalam bentuk tertentu
kepada orang-orang tertentu akan memberikan efek tertentu pula. Justru
dalam perumusan ini sifat khas komunikasi yaitu mempelajari efek
dinyatakan dengan jelasnya.
Tujuan adanya Polmas dalam Binamitra adalah agar Polri lebih
menekankan pada adanya suatu hubungan antara masyarakat dan Polri.
Dan, Polri menjembatani hubungan antara keduanya. Karena kedua
hubungan ini diibaratkan sebagai ikan dan air yang saling memberi
kehidupan, mereka berinteraksi satu dengan yang lain serta
membutuhkan. Oleh karena itu, hubungan masyarakat dan Polri praktis
seyogyanya dibina dengan tujuan agar tercapainya kesuksesan dalam hal
kinerja Polri ditengah masyarakat, dan juga pihak Polri sudah memiliki
sistem kerja yang khusus berkaitan langsung dengan Binamitra hingga
ditingkat Polsek bahkan penugasannya sampai ke pelosok desa atau
sering disebut sebagai Babinkamtibmas (Bintara Pembina Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat). Hal ini sebagai upaya nyata dalam bidang
pembinaan oleh Polri agar memberikan bimbingan terhadap masyarakat
111 Public Opinion Research in a Conflict Zone:Grassroots Diplomacy in Darfur, International Journal of Communication 2, 2008, p.5
177
sampai ke tingkat bawah. Sehingga, Polri akan lebih cepat dan tepat
dalam menerima masukan-masukan dari masyarakat baik secara
langsung ataupun tidak langsung, sehingga terjalin suatu kerjasama
dengan masyarakat dalam upaya menciptakan kamtibmas.
Meskipun tanpa disadari, bahwa Polri sebenarnya banyak
menghadapi faktor lain yang juga mempengaruhi untuk menjamin
keberhasilan Polri dalam bertugas serta mengabdi pada kepentingan
negara dan masyarakat, salah satu hubungan yang perlu dijaga adalah
hubungan antara Polri dengan masyarakat yang seyogyanya hubungan
diantara keduanya dapat berjalan dengan baik dan erat.
Kedua hubungan ini begitu penting mengingat bahwa hubungan
tersebut akan menentukan citra polisi dimata masyarakat. Menurut Alan
Coffrey, Edward Elfonso dan Walter Hartinger dalam bukunya Police
And Community In Transition (1980), dikatakan bahwa semakin erat
hubungan persahabatan antara Polri dengan Masyarakat, maka semakin
positif citra polisi. Sebaliknya, kian merenggang hubungan keduanya
akan semakin negatiflah citra polisi di mata masyarakat.112
2. Dampak Eksternal (ke luar)
Apabila kita melihat dampak pelaksanaan Program Community
Policing bagi masyarakat dari perspektif dampak komunikasi adalah
perubahan dalam opini dan pengetahuan, pandangan dan ide, sikap dan
112 Majalah Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Caraka Candi bulan Desember 2002, hal 29
178
tingkah laku serta kepercayaan dan citra. Hal ini bisa dijabarkan sebagai
berikut:
· Dampak Kognitif
Merupakan dampak yang timbul pada komunikan sehingga
meningkatkan pengetahuan dan intelektualitas. Dalam konteks ini
dampak kognitif yang ditimbulkan dari adanya program Community
Policing adalah peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat
mengenai peran, tugas dan wewenang kepolisian dalam menciptakan
ketertiban masyarakat.
Meskipun dampak kognitif sudah cukup baik di kalangan peserta
program Community Policing, namun pemahaman detail tentang
peran, tugas dan wewenang Kepolisian belum terwujud, terutama
masyarakat umum yang tidak menjadi sasaran program secara
langsung.
· Dampak Afektif
Dampak afektif pelaksanaan program Community Policing dapat
dilihat dari kesadaran masyarakat mengenai Kamtibmas. Sehingga
mereka peduli untuk menjaga keamanan dan ketertiban demi
menciptakan kondisi yang aman dan tertib. Dampak afektif program
Community Policing juga bisa dibilang cukup baik. Setselah adanya
program Community Policing, masyarakat menjadi lebih percaya
kepada polisi dan bersedia menjalin kemitraan dalam mewujudkan
Kamtibmas.
179
· Dampak Behavioral
Merupakan dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk
perubahan tingkah laku, tindakan dan kegiatan. Dampak behavioral
ini nampak dari perilaku masyarakat yang bersedia melakukan
pengamanan swakarsa pada lingkungannya masing-masing. FKPM
yang dibentuk mampu melaksanakan tugas dengan baik, mereka
memecahkan permasalahan-permasalahan ringan yang timbul di
masyarakat sehingga tidak muncul ke permukaan.
Tindak pidana ringan yang dimaksud adalah tindak pindana yang
ancaman hukum kurungan penjara tidak lebih dari 3 bulan dan denda
tidak lebih Rp 7.500,00 dan dalam Perda tidak lebih Rp 50.000,00.
Contoh-contoh tindak pidana ringan yaitu percekcokan,
penganiayaan ringan, pencurian ringan dan lain-lain. Tindak pidana
ringan yang ditangani petugas Polmas dan FKPM Binamitra Polres
Boyolali, antara lain:
1. Pengancaman
2. Sengketa pembuatan saluran air
3. Kesepakatan jual beli tanah yang tidak jadi
4. Penganiayaan terhadap anak
5. Perselingkuhan
6. Menjual tanah keluarga secara sepihak
7. Penyerobotan tanah
8. Perselisihan dengan pemerasan
180
9. Kesalahpahaman: pemukulan
10. Pencemaran nama baik
11. Pengerusakan
12. Kecelakaan lalu lintas ringan
13. Penguasaan tanah secara sepihak
Berdasarkan data yang diperoleh dari Binamitra Polres Boyolali,
pada tahun 2009 terdapat 28 permasalahan yang ditangani.
Walaupun permasalahan-permasalahan tersebut ringan namun
apabila tidak segera ditangani maka akan menimbulkan gangguan
Kamtibmas dan dapat pula memicu timbulnya tindak pidana berat.
Setiap ada permasalahan yang terselesaikan maka akan dibuat Surat
Keputusan Bersama (SKB), yaitu surat kesepakatan antara pihak-
pihak yang berselisih sehingga keputusan yang diambil bersama
memiliki kekuatan hukum.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dan analisis yang telah
dilakukan, dapat ditarik kesimpulan dan juga merupakan jawaban dari
181
pertanyaan yang telah diajukan. Adapun kesimpulan yang didapat sebagai
berikut:
1. Dengan menggunakan dasar analisis secara keseluruhan yang meliputi
CIPP dan Dampak dari program Community Policing, maka dapat
diketahui mengenai efektifitas dari program tersebut, ditinjau dari
pelaksaan program, maka program Community Policing bisa dikategorikan
cukup efektif, karena mampu menciptakan kemitraan antara polisi dengan
masyarakat dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
Kepolisian. Namun bila pengertian keefektifan pelaksanaan program
Community Policing dilihat dari sisi sasaran program maka pelaksanaan
program Community Policing belum dapat dikategorikan efektif, karena
belum semua masyarakat dilibatkan dalam program ini.
2. Bentuk komunikasi yang digunakan dalam program Community Policing
sudah tepat, yaitu komunikasi persuasif dengan komunikasi langsung
(tatap muka) melalui pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat.
Penyampaian pesan-pesan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dan
dengan kemampuan dana serta pemahaman materi yang didasarkan pada
pengalaman personil Binamitra Polres Boyolali.
3. Faktor yang mendukung dalam pelaksanaan program Community Policing
oleh Binamitra Polres Boyolali, antara lain:
b. Adanya dukungan dari masyarakat Kabupaten Boyolali karena mereka
merasa program Community Policing bermanfaat dalam mewujudkan
182
kamtibmas di lingkungan mereka. Apresiasi yang tinggi dari
masyarakat sangat mendukung kelancaran program ini.
c. Adanya dukungan dari kerjasama yang baik dari pihak eksternal,
pihak-pihak tersebut antara lain: Pemda Boyolali, asosiasi pengusaha,
lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah.
3. Faktor yang menjadi hambatan dalam penerapan program Community
Policing oleh Binamitra Polres Boyolali, antara lain:
a. Belum memadainya dana yang diberikan oleh kantor pusat, sedangkan
Pemda belum memasukkan anggaran program Community Policing
dalam APBD. Binamitra Polres Boyolali sedang melakukan
pendekatan kepada Pemda agar segera memasukkan anggaran dana
program ini ke APBD.
b. Pembentukan Forum Kemitraan Polisi – Masyarakat baru di sebagian
wilayah Boyolali, belum merata di semua daerah. Sehingga masih
terdapat masyarakat yang belum mengetahui tentang program ini.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas maka peneliti memiliki beberapa saran yang bisa
dijadikan pertimbangan untuk melakukan program-program
PR masa mendatang dan sebagai saran untuk peneliti lain yang ingin
melakukan penelitian serupa, saran tersebut yaitu:
183
1. Kepada Binamitra Polres Boyolali
a. Lebih mematangkan perencanaan dari strategi yang diambil, serta
melakukan monitoring dan evaluasi terutama dampak terhadap citra
instansi Kepolisian di Boyolali serta untuk setiap kegiatan yang sudah
dilaksanakan sehingga dapat diketahui kekurangannya dan dijadikan
tolok ukur bagi kegiatan selanjutnya.
b. Meningkatkan kualitas kerja personil Binamitra Boyolali dalam
berkomunikasi dengan masyarakat sehingga setiap program yang
dilaksanakan akan lebih efektif.
c. Tanggap terhadap kritik dan saran serta opini publik yang terbentuk di
masyarakat. Tanggapan positif dengan meningkatkan pelayanan polisi
terhadap masyarakat akan menumbuhkan rasa kepuasan masyarakat
atas kinerja polisi.
2. Kepada peneliti lain
Penelitian ini belum mampu menggali lebih dalam tentang ukuran
efektivitas suatu program PR, sehingga disarankan kepada peneliti lain
supaya dapat mengkaji ulang penelitian ini dengan teknik penelitian yang
berbeda, mengingat penelitian ini masih jauh dari sempurna. Penelitian
tersebut bisa berupa:
a. Meneliti secara mendalam mengenai ukuran efektivitas program baik
dari sisi pelaksana program maupun sasaran program Community
Policing.
184
b. Evaluasi dan orientasi proses program kerja Binamitra Polres Boyolali
dalam melaksanakan program Community Policing.
3. Kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kerjasamanya dengan pihak
kepolisian karena keamanan dan ketertiban masyarakat adalah tanggung
jawab bersama, bukan hanya pihak kepolisian saja. Dan tidak selalu
berpikiran negatif terhadap kinerja Polri.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, M. Linggar. 2002. Teori dan Profesi Kehumasan. Jakarta: Bumi Aksara.
Cangara, Hafield. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effendy, Onong Uchjana. 1992. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Bandung: CV Remaja Rosdakarya.
. 1993. Human Relations & Public Relations. Bandung: Mandar Maju.
. 1997. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
. 2000. Dinamika Komunikasi. Bandung: CV Remaja Rosdakarya.
Ernest dan Nancy, B. 1991. Retorika: Suatu Pendekatan Terpadu. Jakarta: Erlangga.
Fieldman, R.S. 1998. Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall.
185
Khasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Moore, Frazier. 1988. Hubungan Masyarakat, Prinsip, Kasus dan Masalah,(edisi) Satu. Bandung: PT. Remadja Karya.
. 2005. Humas: Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Rachmadi, F. 1994. Public Relations dalam Teori dan Praktek: Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Rahardi, Pudi. 2007. Hukum Kepolisian: Profesionalisme dan Reformasi Polri. Surabaya: Laksbang Mediatama.
Ruslan, Rosady. 1999. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi: Konsep dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sastropoetro, R.A.S. 1988. Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soemirat, Soleh dan Elvinaro A. 2002. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suhandang, Kustadi. 2004. Public Relations Perusahaan: Kajian Program Implementasi. Bandung: Nuansa.
Suharsimi, Arikunto. 1988. Penilaian Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Sutopo, H.B. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Widjaja, A.W. 1986. Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara.
Website
Heryawan, Herry. Polisi Sipil yang Dipercaya. Diakses Kamis, 13 Agustus 2009 17:27:36 http://harianbatampos.com/web/index.php?option=com_content&task=view&id=73265&Itemid=374
186
Wahyudi, Hudit. Setiap Polisi Adalah Pelaksana Polmas. Diakses Senin, 11 Januari 2010 14:30:41 http://www.dharana-lastarya.org/index.php?query=setiap+polisi+adalah+pelaksana+polmas&pilih=search
http://www.polri.go.id
http://www.isiindonesia.com
http://bhayangkaraindonesia.blogspot.com
http://inorsiswanto.blogspot.com
http://www.komisikepolisianindonesia.com
Majalah
Majalah Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Manekha Tunggal Dharma, Mei 1999
Majalah Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Caraka Candi, Desember 2002
Jurnal Internasional
Gagliardone, I. dan Nicole A. 2008. Public Opinion Research in a Conflict Zone:Grassroots Diplomacy in Darfur. p. 5. International Journal of Communication 2. Diakses Kamis, 15 Oktober 2009, 11:02:26. http://ijoc.org/ojs/index.php/ijoc/article/view/407
Pollock, Anne. 2009. Journal of Public Relations Research Volume 21, pages 404 – 42. Diakses Minggu, 14 Maret 2010. 09:59:18. http://www.hfrp.org/content/advancedsearch?SearchText=public+communications+campaign+and+evaluation&SearchContentClassID=-1&x=0&y=0
Unpublished
Galingga, Herald. 2009. Skripsi. Efektivitas Program Kampanye Sunset Policy. Jurusan Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
187
Hernitawidyastuti, Pungki. 2009. Skripsi. Efektifitas Program Kampanye “Hemat LIistrik 17-22”. Jurusan Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Peraturan Polri:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat Kewilayahan.
Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.