faktor-faktor penyebab dan konsekuensi dari kecurangan pelaporan keuangan suatu tinjauan teoritis

42
Faktor-faktor Penyebab dan Konsekuensi dari Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraud): Suatu Tinjauan Teoritis Pendahuluan Teori ekonomi neoklasik mengasumsikan bahwa manusia selalu berusaha memaksimalisasikan fungsi utilitas yang dimilikinya. Dalam konteks perusahaan dimana terdapat pemisahan antara pemilik sebagai prinsipal dan manajer sebagai agen yang menjalankan perusahaan maka akan muncul permasalahan agensi karena masing-masing pihak tersebut akan selalu berusaha untuk memaksimalisasikan fungsi utilitasnya tersebut. Jensen & Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai kontrak dimana satu orang atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu pemegang saham/ shareholder) menunjuk orang lain sebagai agen (yaitu manajer) untuk melakukan jasa untuk kepentingan prinsipal termasuk mendelegasikan kekuasaan dalam pengambilan keputusan kepada agen. Untuk meminimalisasi permasalahan agensi tersebut, maka dibuatlah kontrak-kontrak dalam perusahaan baik kontrak antara pemegang saham dengan manajernya maupun kontrak antara manajemen dengan karyawan, pemasok, dan kreditur. Teori kontrak (Contracting Theory) menyatakan bahwa perusahaan merupakan sekumpulan kontrak-kontrak (nexus of contracts) antara pemasok dan konsumen dari faktor-faktor produksi. Dalam memonitor implementasi kontrak-kontrak tersebut oleh manajemen dan untuk mengetahui apakah tujuan bersama antara manajemen dan pemegang saham telah tercapai, akuntansi memegang peranan penting sebagai media penyampaian informasi mengenai

Upload: dhini-hasibuan

Post on 19-Oct-2015

384 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Faktor-faktor Penyebab dan Konsekuensi dari Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraud): Suatu Tinjauan Teoritis

Faktor-faktor Penyebab dan Konsekuensi dari Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraud): Suatu Tinjauan TeoritisRatna Wardhani - 8605030045

Faktor-faktor Penyebab dan Konsekuensi dari Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraud): Suatu Tinjauan Teoritis

Pendahuluan

Teori ekonomi neoklasik mengasumsikan bahwa manusia selalu berusaha memaksimalisasikan fungsi utilitas yang dimilikinya. Dalam konteks perusahaan dimana terdapat pemisahan antara pemilik sebagai prinsipal dan manajer sebagai agen yang menjalankan perusahaan maka akan muncul permasalahan agensi karena masing-masing pihak tersebut akan selalu berusaha untuk memaksimalisasikan fungsi utilitasnya tersebut. Jensen & Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai kontrak dimana satu orang atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu pemegang saham/ shareholder) menunjuk orang lain sebagai agen (yaitu manajer) untuk melakukan jasa untuk kepentingan prinsipal termasuk mendelegasikan kekuasaan dalam pengambilan keputusan kepada agen. Untuk meminimalisasi permasalahan agensi tersebut, maka dibuatlah kontrak-kontrak dalam perusahaan baik kontrak antara pemegang saham dengan manajernya maupun kontrak antara manajemen dengan karyawan, pemasok, dan kreditur. Teori kontrak (Contracting Theory) menyatakan bahwa perusahaan merupakan sekumpulan kontrak-kontrak (nexus of contracts) antara pemasok dan konsumen dari faktor-faktor produksi. Dalam memonitor implementasi kontrak-kontrak tersebut oleh manajemen dan untuk mengetahui apakah tujuan bersama antara manajemen dan pemegang saham telah tercapai, akuntansi memegang peranan penting sebagai media penyampaian informasi mengenai kinerja perusahaan. Angka akuntansi sering dipakai sebagai ukuran kinerja misalkan laba, rasio hutang terhadap ekuitas dan lain-lain (Watts & Zimmerman, 1986). Dalam menyajikan angka akuntansi, prinsip akuntansi yang berlaku umum (Generally Accepted Accounting Principles) memberikan fleksibilitas bagi manajemen dalam menentukan metode maupun estimasi yang dapat digunakan. Dengan adanya fleksibilitas tersebut, maka menajemen akan memiliki diskresi, dimana diskresi tersebut kemudian dapat mengarahkan perilaku manajemen dalam pelaporan keuangan. Perilaku manajemen tersebut dapat bersifat efisien, dimana diskresi tersebut digunakan untuk meningkatkan nilai perusahaan dan dinilai positif oleh pasar. Namun, dilain pihak diskresi tersebut dapat mengarahkan perilaku manajemen menjadi oportunistik, dimana diskresi tersebut digunakan manajemen untuk kepentingan yang menguntungkannya secara pribadi tetapi merugikan perusahaan dan pemegang saham secara umum. Perilaku manajemen yang bersifat oportunistik ini lebih jauh dapat mendorong kemungkinan dilakukannya kecurangan dalam pelaporan keuangan (fraud). Kecurangan ini merupakan suatu tindakan yang sudah berada diluar koridor prinsip akuntansi yang berlaku umum. Bologna et al. (1993) mendifinisikan kecurangan sebagai: Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver yaitu kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat tersebut ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1) tindakan/the act., (2) Penyembunyian/theconcealment dan (3) konversi/the conversion.Secara lebih spesifik Rezaee (2005) mendefinisikan kecurangan pelaporan keuangan sebagai berikut:Financial statement fraud is a deliberate attempt by corporations to deceive or mislead

users of published financial statements, especially investors and creditors, by preparing and disseminating materially misstated financial statements.

Kecurangan pelaporan keuangan dapat berkaitan dengan beberapa skema seperti: (1) falsifikasi, pengubahan, atau manipulasi dari dari catatan keuangan, dokumen pendukung atau transaksi bisnis; (2) kesalahan pencatatan material yang disengaja (material intentional misstatements), penghapusan, atau kesalahan presentasi dari kejadian, transaksi, akun atau informasi signifikan lainnya yang merupakan sumber informasi pembuatan laporan keuangan; (3) kesalahan aplikasi dan kesalahan interpretasi yang disengaja dan eksekusi standar akuntansi yang salah dalam hal penerapan prinsip, kebijakan, dan metode yang digunakan untuk mengukur, mengakui, dan melaporkan kejadian ekonomis dan transaksi bisnis; (4) penghilangan secara sengaja dari pengungkapan atau penyajian pengukapan yang tidak memadai berkaitan dengan standar, prinsip, praktek akuntansi dan informasi keuangan yang berhubungan; (5) penggunaan teknik akuntansi yang agresif melalui pengelolaan laba yang tidak diperbolehkan; dan (6) manipulasi dari praktek akuntansi yang didasarkan pada standar akuntansi yang tersedia yang memiliki kelemahan atau celah yang dapat digunakan perusahaan untuk menutupi substansi ekonomi dari kinerjanya (Rezaee, 2005). IAI (2001) menjelaskan kecurangan akuntansi sebagai: (1) Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan, (2) Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara manajemen, karyawan, atau pihak ketiga (Wilopo, 2006).Pada dasarnya terdapat dua tipe kecurangan, yaitu eksternal dan internal. Kecurangan eksternal adalah kecurangan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap suatu perusahaan/entitas, seperti kecurangan yang dilakukan pelanggan terhadap usaha; wajib pajak terhadap pemerintah. Kecurangan internal adalah tindakan tidak legal dari karyawan, manajer dan eksekutif terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Dalam tabel berikut tipe kecurangan menurut Steve & Chad (2002):Tabel 1 Tipe-tipe kecurangan yang dilakukan perusahaan

Sumber: Albrecht W.Steve and Albrecht Chad O, 2002 . Fraud Examination Thomson South- Western, dikutip dari Amrizal, Ak, MM, CFE, Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan Oleh Internal Auditor, www.bpk.go.idAssociation of Certified Fraud Examinations (ACFE- 2000), salah satu asosiasi di USA yang mendarmabaktikan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan kecurangan, mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok sebagai berikut:a. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)

Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial.

b. Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation)

Penyalahagunaan aset dapat digolongkan ke dalam Kecurangan Kas dan Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement).

c. Korupsi (Corruption)Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).

Kecurangan yang terjadi pada tingkat perusahaan telah terjadi dimana-mana. Di USA, pelaku pasar modal dan masyarakat pada umumnya sempat digemparkan oleh skandal kecurangan yang melibatkan banyak perusahaan besar seperti Enron Corporation, WorldCom, Tyco, Lucent, Xerox, Global Crossing, dan lain-lain. Kolaps dari Enron telah menyebabkan kerugian kapitalisasi pasar sebesar $70 milyar yang menghancurkan sejumlah besar investor, karyawan maupun para pensiunan. Kolaps dari The WorldCom, yang dikatakan orang sebagai akibat dari kecurangan pelaporan keuangan, merupakan kasus kebangkrutan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Kerugian dari kapitalisasi pasar akibat dari kecurangan pelaporan keuangan yang dilakukan oleh Enron, WorldCom, Qwest, Tyco, dan Global Crossing diperkirakan mencapai $460 milyar (Cotton, 2002).Di Indonesia, kecurangan akuntansi ini juga banyak terjadi dalam level perusahaan, baik perusahaan swasta maupun pemerintah. Berdasarkan data dari Transparancy International (2005) Indonesia merupakan negara dengan peringkat korupsi tertinggi di dunia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus yang terkait dengan isu korupsi dan praktek kecurangan seperti likuidasi beberapa bank, diajukannya manajemen BUMN maupun swasta ke pengadilan, kasus kejahatan perbankan, manipulasi pajak, dan lain-lain (Wilopo, 2006). Kasus penggelembungan nilai asset yang dilkukan oleh Indofarma pada tahun 2004 merupakan salah satu contoh kasus yang sangat merugikan komunitas keuangan di Indonesia. Contoh lainnya adalah kesalahan atau kekurang hati-hatian manajemen Bank Lippo dalam memberikan informasi laporan keuangannya yang terjadi pada tahun 2002. Informasi yang menyesatkan tersebut sangat merugikan para investor dan merupakan indikasi besar terjadinya kecurangan pelaporan keuangan. Selain dua contoh tersebut masih banyak kasus-kasus yang diperiksa oleh BAPEPAM yang mengandung indikasi kecurangan yang merugikan banyak pihak dalam jumlah yang sangat signifikan. Tingginya tingkat kecurangan pelaporan keuangan dan skandal perusahaan tersebut menimbulkan tiga pertanyaan penting, yaitu (1) seberapa beratkah penyelewengan yang dilakukan oleh perusahaan?, (2) dapatkah laporan keuangan perusahaan dipercaya?, (3) bagaimanakah peran auditor dalam mengidentifikasi kemungkinan kecurangan tersebut? (Rezaee, 2005). Sebelum dapat menjawab ketiga pertanyaan tersebut, merupakan hal yang penting untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi terjadinya kecurangan dalam perusahaan dan bagaimana mendeteksi adanya kecurangan tersebut.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasikan faktor-faktor utama yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya kecurangan pelaporan keuangan. Faktor-faktor yang dijelaskan dalam tulisan ini berkaitan dengan implementasi corporate governance, efektivitas pengendalian internal, karakteristik manajemen, fungsi auditor dalam mencegah terjadinya kecurangan dan tekanan pajak yang mendorong manajemen untuk melakukan kecurangan demi meminimlisasikan beban pajaknya, sebagai faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kemungkinan dilakukannya kecurangan dalam perusahaan. Selain itu, tulisan ini juga akan membahas dampak/ konsekuensi dari kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pihak yang terkait dengan perusahaan, terutama pemegang sahamnya dan bagaimana reaksi pemegang saham tersebut terhadap perusahaan yang telah melakukan kecurangan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecurangan dalam Perusahaan1. Implementasi good corporate governanceBlair (1995) mendefinisikan corporate governance sebagai keseluruhan set aransemen legal, kebudayaan, dan institusional yang menentukan apa yang dapat dilakukan oleh perusahaan publik, yang berkaitan dengan siapa yang mengendalikan, bagaimana pengendalian dilakukan, dan bagaimana risiko dan imbal hasil saham dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dialokasikan (Darmawati, 2003; dalam Veronica, 2005). Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah menerbitkan dan mempublikasikan Principles of Corporate governance yang terdiri dari empat pilar utama yaitu fairness (keadilan), transparency (transparansi), accountability (akuntabilitas), dan responsibility (tanggungjawab). Keadilan berkenaan dengan keadilan dan kesetaraan perlakuan pemegang daham minoritas agar terlindungi dari kecurangan serta perdaganagan dan penyalahgunaan oleh orang dalam (self dealing atau insider wrong doing). Sedangkan transparansi dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Akuntanbilitas dilakukan melalui pengawasan efektif berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara pengawas, pengurus, pemegang saham dan auditor. Akhirnya, tanggung jawab perusahaan berkaitan dengan fungsi perusahaan sebagai anggota masyarakat yang harus menaati hukum dan bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat (Darmawati, 2003; dalam Veronica, 2005).

Sarbanes-Oxley Act tahun 2002 berisi beberapa provisi yang didesain untuk membuat eksekutif puncak pada perusahaan public lebih bertanggungjawab berkaitan kualitas, integritas, dan reliabilitas dari laporan keuangan. Provisi ini mensyaratkan: (1) CEO dan CFO perusahaan dapat mensertifikasi akurasi dan kelengkapan laporan keuangan; (2) manajemen bertanggungjawab untuk mengeluarkan dan menjaga tingkat pengendalian internal yang memadai dan efektif; (3) manajemen tidak mengambil tindakan yang secara curang mempengaruhi, memaksa, memanipulasi, atau menyesatkan auditor dalam melaksanakan audit terhadap laporan keuangan; (4) manajemen harus merekonsiliasi laporan pro forma dengan laporan keuangan; (5) Bagian diskusi dan analisis manajemen (Managements Discussion and Analysis/ MD&A) seharusnya mendiskusikan dan mengungkapkan secara lengkap estimasi akuntansi yang kritikal dan kebijakan akuntansi; (6) Eksekutif puncak harus mengembalikan segala keuntungan yang telah mereka terima apabila terbukti mereka salah menyajikan laporan keuangan perusahaan yang disampaikan pada SEC; (7) perusahaan harus menyampaikan pengungkapan secara cepat berkaitan dengan transaksi saham oleh pihak dalam; (8) perusahaan tidak boleh memberikan pinjaman kepada eksekutif dan direksinya. Implementasi yang tepat dari provisi ini diharapkan akan mempengaruhi perilaku dari eksekutif puncak dari perusahaan publik dan mendorong mereka untuk lebih berhati-hati dalam melaporkan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan.Implementasi dari corporate governance dilakukan oleh seluruh pihak dalam perusahaan, dengan aktor utamanya adalah manajemen puncak perusahaan yang berwenang untuk menetapkan kebijakan perusahaan dan mengimplementasikan kebijakan tersebut. Berikut adalah gambaran dari pihak-pihak utama yang terkait dengan implementasi corporate governance dan fungsi dari corporate governance yang dapat disumbangkan oleh pihak-pihak tersebut:

Gambar 1 Corporate governance dan Fungsinya

Sumber: Zabihollah Rezaee (2005), Causes, consequences, and deterence of financial statement fraud, Critical Perspectives on Accounting 16.

Apabila perusahaan menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance tersebut, maka perusahaan akan lebih transparan dalam pengungkapan seluruh informasi yang dimilikinya dan ada pengawasan yang lebih efektif atas semua aktivitas perusahaan sehingga pengendalian internal perusahaan dapat berjalan dengan baik dan akuntabilitas manajemen dapat dijamin. Praktik seperti itu dalam perusahaan akan memperkecil kesempatan dan itikad buruk manajemen untuk melakukan kecurangan. Mekanisme corporate governance yang banyak diteliti dalam mempengaruhi kemungkinan perusahaan melakukan kecurangan berkaitan dengan karakteristik dari dewan, struktur kepemilikan, dan fungsi auditor dalam meminimalisasi kecurangan. Pada bagian ini akan dibahas tinjauan teoritis dari mekanisme corporate governance yang berkaitan dengan karakteristik dewan dan struktur kepemilikan. Pembahasan tinjauan teoritis yang berkaitan dengan fungsi auditor dalam meminimalisasi kecurangan akan dibahas dalam bagian fungsi auditor pada bagian selanjutnya.

Karakteristik Dewan

Dengan adanya pemisahan peran antara pemegang saham sebagai prinsipal dengan manajer sebagai agennya, maka manajer pada akhirnya akan memiliki hak pengendalian yang signifikan dalam hal bagaimana mereka mengalokasikan dana investor (Jensen & Meckling, 1976; Shleifer & Vishny, 1997). Fungsi yang sangat penting dari dewan adalah untuk meminimalisasi biaya yang timbul karena adanya pemisahan antra kepemilikan dan pengendalian pada perusahaan modern saat ini (Fama & Jensen, 1983). Mizruchi (1983) juga menjelaskan bahwa dewan merupakan pusat dari pengendalian dalam perusahaan, dan dewan ini merupakan penanggung jawab utama dalam tingkat kesehatan dan keberhasilan perusahaan secara jangka panjang (Louden, 1982). Karena dewan memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan perusahaan, dewan dapat berperan sebagai koki dalam kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan. Oleh karena itu, karakteristik dewan sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya kecurangan pelaporan keuangan.

Laporan dari General Accounting Office (GAO) Amerika Serikat (2002) mengindikasikan bahwa hampir 75% dari 150 kasus akuntansi yang dilaporkan oleh SEC dari januari 2001 hingga Februari 2002 berkaitan dengan direksi, petugas, dan karyawan perusahaan, dan 25%nya berkaitan dengan perusahaan akuntansi dan CPA. Berdasarkan COSO Report (Beasley et al., 1999) menyatakan bahwa mayoritas dari kasus yang diperikasa (lebih dari 80%) mengindikasikan keterlibatan CEO dan CFO dalam kecurangan laporan keuangan. Pihak lain yang biasanya terlibat adalah Pengendali (controllers), direksi operasional, anggota dewan, dan auditor internal maupun eksternal. Mayoritas kecurangan laporan keuangan terjadi dengan partisipasi, dorongan, persetujuan dan sepengetahuan dari tim manajemen puncak termasuk didalamnya CEO, CFO, presiden, tresuri, dan pengendali. Peran dari dewan dalam perusahaan sebagai pelaksana utama dalam pengendalian internal juga didukung oleh Fama (1980) dan Fama & Jensen (1983) yang menyatakan bahwa peran dewan dalam mekanisme pengendalian internal diperkuat dengan adanya direksi luar (outside directors) karena mereka memiliki insentif untuk membangun reputasi sebagai ahli (experts) dalam keputusan pengendalian. Beasley (1996) meneliti pengaruh dari karakteristik dewan terhadap kecenderungan perusahaan melakukan kecurangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kecurangan laporan keuangan di Amerika Serikat lebih rendah untuk perusahaan yang memiliki proporsi direksi luar yang lebih tinggi, direksi luar yang masa jabatannya lebih panjang (longer tenure), kepemilikan oleh direksi luar yang lebih tinggi, dan direksi luar yang menjabat pada perusahaan lain (directorship) yang lebih rendah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa adanya komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kecenderungan melakukan kecurangan.

Sebaliknya penelitian oleh Dechow et al. (1996), McMullen (1996), dan Beasley et al. (2000) justru menyatakan bahwa adanya komite audit berhubungan dengan tingkat kecurangan yang lebih rendah. Dechow et al. (1996) melaporkan bahwa kecurangan lebih terjadi pada perusahaan dimana pemimpin dewan bertindak sebagai CEO, tidak memiliki blockholder yang besar, dan direksi dalam (inside directors) memiliki kepemilikan dalam jumlah yang subtansial. Farber (2005) juga menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan memiliki kualitas governance yang lebih jelek debandingkan dengan sampel kontrolnya dalam periode sebelum deteksi kecurangan. Secara spesifik hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan memiliki jumlah dan persentase anggota dewan luar yang lebih kecil, jumlah rapat komite audit yang lebih sedikit, jumlah ahli dalam komite audit yang lebih sedikit, persentase KAP Big 4 yang lebih kecil, dan persentase CEO yang juga menjabat sebagai ketua dewan direksi yang lebih besar. Uzun et al. (2004) meneliti perusahaan Amerika Serikat yang dituduh melakukan kecurangan pada periode 1978 hingga 2001. Sumber datanya berasal dari Wall Street Journal dan banyak dari kecurangan yang tidak berhubungan dengan SEC enforcement actions. Mereka meneliti hubungan antara kecurangan perusahaan dengan banyak variabel corporate governance. Hasil utama yang didapat adalah apabila dewan (dan komite audit) memiliki persentase direksi luar yang independen maka kemungkinan kecurangan akan semakin kecil. Karakteristik dewan lain (termasuk didalamnya adalah ukuran dewan, frekuensi rapat dewan, dan dualitas CEO/ ketua dewan) tidak signifikan mempengaruhi kecenderungan kecurangan. Kontras dengan ekspektasi mereka, ternyata perusahaan yang memiliki komisi nominasi justru memiliki kecenderungan kecurangan yang lebih besar. Penelitian lain dari Agrawal and Chadha (in press) meneliti perusahaan yang membuat laporan laba yang terkait dengan koreksi kesalahan laba periode sebelumnya atau manipulasi. Mereka menemukan bahwa apabila direksi luar memiliki paling tidak satu anggota dengan latarbelakang akuntansi atau keuangan maka kecenderungan melakukan restatement laba akan lebih tinggi. Ketiadaan ahli akuntansi atau keuangan membuat direksi luar menjadi tidak efektif dalam melakukan kesalahan akuntansi dan kecurangan. Serupa dengan hal tersebut, mereka menemukan bahwa kehadiran komite audit berhubungan dengan restatement laba yang lebih kecil hanya pada saat paling tidak satu dari anggota komite yang independent memiliki latarbelakang akuntansi atau keuangan. Mereka menyimpulkan bahwa hanya ketika direksi luar dan komite audit luar memiliki keahlian akuntansi atau keuangan maka dewan dan komite audit menjadi efektif dalam menghalangi penyataan laba yang salah (earnings misstatements). Denis et al. (2006) menunjukkan bahwa opsi saham bagi eksekutif dapat mengarahkan manajemen untuk melakukan kecurangan. Manajer akan melakukan tindakan yang dapat meningkatkan harga saham secara artifisial sehingga mereka dapat memaksimalkan keuntungan dari opsi tersebut.

Berdasarkan literatur-literatur di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteritik dewan sebagai agen pelaksana corporate governance memerankan peran yang sangat penting atas dilakukannya kecurangan dalam perusahaan. Struktur Kepemilikan

Investor institusional (perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan investment banking) sering disebut sebagai investor yang canggih (sophisticated) (Veronica, 2005). Financial Economists Roundtable Statement on Institutional Investors and Corporate governance (1999) menyatakan bahwa dengan peningkatan investor institusional dalam suatu entitas, maka kepentingan investor institusional untuk memonitor tindakan manajemen menjadi meningkat karena semakin besar kepentingan ekonomi mereka dalam entitas tersebut. Kepemilikan yang besar dalam suatu entitas memberikan insentif yang kuat pada institusi untuk secara aktif memonitor dan mempengaruhi tindakan manajemen dan berbagai kebijakannya.

Beberapa penelitian sebelumnya mengaitkan struktur kepemilikan dengan pengelolaan laba. Meskipun pengelolaan lab memiliki konteks yang berbeda dengan kecurangan dan masih bersifat legal, pengelolaan laba dapat bersifat oportunistik. Pengelolaan laba yang bersifat oportunistik ini dapat mengarah pada kecurangan akuntansi. Mitra (2002), dalam Veronica (2005) menemukan bahwa kehadiran kepemilikan institusional yang tinggi akan membatasi manajer untuk melakukan pengelolaan laba. Koh (2003), dalam Veronica (2005) melakukan penelitiannya di Australia, menemukan bahwa pada perusahaan dengan kepemilikan institusional yang tinggi akan menekan pengelolaan laba yang agresif dari perusahaan dimana kepemilikan institusional tersebut dapat bertindak sebagai salah satu mekanisme corporate governance. Sedangkan Veronica (2005) menyatakan bahwa pengelolaan laba pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi dan bukan perushaaan konglomerasi lebih tinggi dibandingkan pengelolaan laba pada perusahaan lain. Dilain pihak, Veronica (2005) menyatakan bahwa jenis pengelolaan laba yang diobservasinya cenderung bersifat efisien dan pengelolaan laba pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi dan bukan konglomerasi terbukti lebih bersifat efisien dibandingkan pada perusahaan lain. Chen et al. (2006) meneliti kecurangan akuntansi di China, dan menghubungkan kecurangan tersebut dengan variabel yang salah satunya adalah kepemilikan. Struktur kepemilikan yang diteliti dalam penelitian ini adalah kepemilikan oleh pemerintah, legal entity, individual, asing, dan blockholder. Kepemilikan legal entity akan mendorong perusahaan untuk meninggikan laba melalui tindakan-tindakan yang bisa jadi dapat dipertanyakan dan melanggar hukum karena legal entity dituntut untuk menghasilkan keuntungan sehingga mereka memiliki insentif untuk mengalihkan sumber daya dari perusahaan yang mereka investasikan. Sebaliknya kepemilikan pemerintah memiliki motivasi yang lebih kecil untuk mendorong perusahaan melakukan kecurangan. Lebih lanjut, investor individu memiliki kepentingan untuk menjaga perusahaan agar tidak melakukan kecurangan. Meskipun investor individual memiliki pengaruh yang terbatas karena adanya pemegang saham mayoritas, namun apabila kombinasi dari investor individu ini tinggi maka saham perusahaan tersebut akan selalu diawasi oleh para analis saham dan media sehingga dapat meminimalisasi kecurangan. Sementara itu, kepemilikan asing akan mendorong perusahaan untuk menerapkan standar corporate governance yang lebih tingi dan proteksi pada pemegang saham minoritas yang lebih baik (Khanna and Palepu, 2000) sehingga diekspektasikan bahwa perusahaan dengan kepemilikan asing akan lebih kecil kemungkinannya melakukan kecurangan. Pada akhirnya, kepemilikan yang bersifat blockholder akan mempengaruhi manajemen perusahaan. Dominasi dari blockholder ini dapat memberikan insentif dalam melakukan kecurangan atau justru mencegah kecurangan. Penelitian ini mengujinya dengan menggunakan rasio konsentrasi kepemilikan untuk pemegang saham kedua hingga kesepuluh terbesar. Namun, dari sekian banyak ukuran kepemilikan yang digunakan oleh peneliti ternyata tidak satupun dapat menjelaskan kecurangan secara signifikan. Jadi, tidak dapat dibuktikan dalam penelitian ini bahwa kepemilikan perusahaan di China akan mempengaruhi kecenderungan perusahaan untuk melakukan kecurangan. 2. Efektivitas pengendalian internal

Pengendalian dalam suatu perusahaan didesain untuk dapat menghilangkan bahaya yang mungkin terjadi dalam perusahaan karena penyalahgunaan aktiva, ketidakakuratan dan ketidakhandalan data akuntansi, inefisiensi dalam kegiatan operasional, dan deviasi dari kebijakan manajerial yang telah ditentukan. Secara ringkas, pengendalian didisain untuk menghilangkan inefisiensi dan tindakan yang tidak wajar (Mautz & Mini, 1966). AICPA (1947) menjelaskan bahwa pengendalian internal sangat penting, antara lain untuk memberikan perlindungan bagi entitas terhadap kelemahan manusia serta untuk mengurangi kemungkinan kesalahan dan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan (Boynton & Kell, 1996, dalam Wilopo, 2006). Wright (2003), penelitian ini berpendapat bahwa pengendalian internal yang efektif mempengaruhi kecenderungan kecurangan akuntansi.

Apabila pengendalian dilaksanakan secara efektif maka hal ini dapat mengurangi kesempatan manajemen maupun karyawan untuk melakukan segala bentuk tindakan yang akan merugikan perusahaan, termasuk kecurangan. Smith et al., (1997), Beasley (1996), Beasley et al., (2000), Reinstein (1998), Matsumura (1992), dan Abbot et al., (2002) menyatakan bahwa pengendalian internal yang efektif mengurangi kecenderungan kecurangan akuntansi.Wilopo (2006) meneliti kecenderungan kecurangan akuntansi di Indonesia. Ia menggunakan variabel keefektifan dari pengendalian internal sebagai salah satu variabel yang dapat menjelaskan kecenderungan kecurangan akuntansi. Dengan menggunakan data primer melalui survai ia mengukur keefektifan pengendalian internal melalui instrument yang dikembangkannya berdasarkan IAI (2001) perihal pengendalian internal. Lima elemen yang diukurnya untuk mengkonstruk variabel keefektifan pengendalian internal, yaitu: (1) penerapan wewenang dan tanggungjawab; (2) pencatatan transaksi; (3) pengendalian fisik; (4) sistem akuntansi; (5) pemantauan dan evaluasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengendalian internal yang efektif memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi di suatu perusahaan. Artinya semakin efektif pengendalian internal di perusahaan, semakin rendah kecenderungan kecurangan akuntansi oleh manajemen perusahaan.

3. Integritas manajemen

Manajemen memegang peranan penting atas terjadinya kecurangan dalam perusahaan. Integritas yang dimiliki oleh menejemen akan menentukan apakah manajemen memiliki dorongan untuk melakukan kecurangan atau tidak. Integritas tersebut berkaitan dengan moralitas manajemen, ketaatan manajemen terhadap aturan akuntansi, latar belakang manajemen dan lain-lain. Integritas manajemen tersebut dapat menjelaskan kemungkinan manajemen mengambil keputusan-keputusan yang bersifat kurang etis atau bahkan melanggar hukum. Tang et al., (2003) dalam penelitiannya menjelaskan indikator dari perilaku yang menyimpang atau tidak etis dalam perusahaan. Perilaku ini adalah terdiri dari perilaku yang menyalahgunakan kedudukan/posisi (abuse position), perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse power), perilaku yang menyalahgunakan sumber daya organisasi (abuse resources), serta perilaku yang tidak berbuat apa-apa (no action).

Dallas (2002) menyatakan bahwa berbagai kecurangan akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan Enron, WorldCom, Xerox, dan lain-lain di USA dikarenakan perilaku tidak etis manajemen perusahaan. Demikian pula CIMA (2002) berpendapat bahwa perusahaan dengan standar etika yang rendah memiliki risiko kecurangan akuntansi yang tinggi. Berbagai kajian dan penyampaian fakta, seperti oleh Green and Calderon (1999), Reinstein (1998) dan COSO (2002) menunjukkan bahwa perilaku tidak etis dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, kedudukan, dan sumberdaya perusahaan, mendorong manajemen melakukan kecurangan akuntansi (Wilopo, 2006).

Berkaitan dengan moral atau integritas manajemen, Kohlberg (1969), sebagaimana dikutip oleh Velasquez (2002), dalam Wilopo (2006) menyatakan bahwa moral berkembang melalui tiga tahapan, yaitu tahapan prakonvensional, tahapan konvensional, dan tahapan postkonvensional. Moralitas manajemen pada tahapan post konvensional menunjukkan kematangan moral manajemen yang tinggi. Bernardi (1994) menjelaskan bahwa kematangan moral menjadi dasar dan pertimbangan manajemen dalam merancang tanggapan dan sikap terhadap isu-isu etis. Hasil penelitian Trevino and Youngblood (1990) serta Goolsby and Hunt, (1992) menunjukkan bahwa perkembangan pengetahuan moral menjadi indikasi pembuatan keputusan yang secara etis serta positif berkaitan dengan perilaku pertanggung-jawaban sosial.

Wilopo (2006) juga berpendapat moralitas manajemen mempengaruhi kecenderungan kecurangan akuntansi. Artinya, semakin tinggi tahapan moralitas manajemen (tahapan postkonvensional), semakin manajemen memperhatikan kepentingan yang lebih luas dan universal daripada kepentingan perusahaan semata, terlebih kepentingan pribadinya. Oleh karenanya, semakin tinggi moralitas manajemen, semakin manajemen berusaha menghindarkan diri dari kecenderungan kecurangan akuntansi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa moralitas manajemen memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap perilaku tidak etis pada perusahaan dan kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan. Artinya semakin tinggi moralitas manajemen, maka semakin rendah kecenderungan kecurangan akuntansi.

Karakteristik manajemen juga berkaitan dengan tingkat ketaatan manajemen atas aturan yang berlaku. Hal ini akan mempengaruhi dorongan manajemen dalam melakukan hal-hal yang diluar aturan atau hokum yang berlaku. Semakin taat manajemen terhadap aturan yang berlaku maka dorongan untuk melakukan kecurangan akan semakin kecil. Foster (1986) menyatakan faktor-faktor yang mendorong perusahaan untuk menyediakan informasi laporan keuangan adalah kekuatan pasar serta kekuatan regulasi. Regulasi ini mensyaratkan perusahaan untuk menyampaikan laporan keuangan yang disusun sesuai aturan atau standar akuntansi kepada para pihak yang membutuhkan. Roberts et al., (2002) berpendapat bahwa cara profesi diorganisir, melalui antara lain kode etik, dan ketaatan atas aturan akuntansi, akan memberikan pengaruh serta mengendalikan perilaku manajemen perusahaan. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung pendapat tersebut di atas, di antaranya adalah dari Larkin (2000), DAquila (2001), serta Adams et al., (2001).

Wolk & Tearney (1997) menjelaskan bahwa kegagalan penyusunan laporan keuangan yang disebabkan karena ketidaktaatan pada aturan akuntansi, akan menimbulkan kecurangan perusahaan yang tidak dapat dideteksi oleh para auditor. Wilopo (2006) meneliti hubungan antara ketaatan akuntansi terhadap kecenderungan perusahaan melakukan kecurangan di Indonesia. Ia menggunakan survai untuk mengukur ketaatan akuntansi dan mengembangkan instrumennya berdasarkan kode etik akuntan dari IAI. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketaatan dari akuntan atau penanggung jawab penyusun laporan keuangan terhadap aturan akuntansi memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan. Artinya semakin manajemen perusahaan taat pada aturan akuntansi, semakin rendah kecenderungan kecurangan akuntansi perusahaan.

Berkaitan dengan latar belakang manajemen, Latham et al. (2000) meneliti perbedaan dalam lingkungan agensi (yang direpresentasikan oleh fungsi monitoring dan struktur insentif) dan karakteristik dari agen/ manajemen (yang direpresentasikan oleh tim manajemen) antara perusahaan yang melakukan kecurangan dalam hal pengungkapan dan perusahaan yang dianggap tidak mengeluarkan pengungkapan yang menyesatkan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa merupakan hal yang penting untuk memasukkan baik struktur agensi maupun karakteristik individu dari tim manajemen dalam menjelaskan lingkungan kecurangan dalam perusahaan. Penelitian ini membuktikan secara empiris bahwa variabel monitoring dan insentif merupakan indicator yang penting dalam kecurangan manajemen. Selain itu penelitian ini menyatakan bahwa terdapat perbedaan dalam karakteristik tim manajemen yang berkaitan dengan pengalaman militer dan latar belakang fungsional. Perusahaan yang melakukan kecurangan lebih cenderung memiliki tim manjemen dengan tingkat konsentrasi tinggi atas individu tanpa pengalaman militer dan latar belakang peripheral (hukum dan keuangan). Agrawal and Chadha (in press) juga menyatakan bahwa apabila direksi luar memiliki paling tidak satu anggota dengan latarbelakang akuntansi atau keuangan maka kecenderungan melakukan restatement laba akan lebih tinggi. Ketiadaan ahli akuntansi atau keuangan membuat direksi luar menjadi tidak efektif dalam melakukan kesalahan akuntansi dan kecurangan.

4. Fungsi Auditor

Auditor memiliki peran yang sangat besar dalam kecurangan perusahaan baik dengan menghalangi terjadinya kecurangan atau dengan mengkoreksi adanya kesalahan yang disengaja tersebut (dengan memaksa adanya revisi atau pelaporan kembali dari laporan keuangan). Peran dari auditor independen adalah untuk menyediakan verifikasi oleh pihak luar atas keakuratan angka akuntansi. Salah satu aset terbesar dari auditor tersebut adalah reputasi mereka. Watts & Zimmerman (1986) menggambarkan pentingnya reputasi bagi auditor dimana reputasi memberikan insentif untuk menjadi independen karena biaya untuk membangun reputasi tersebut sangat besar dan auditor akan kehilangan reputasinya apabila dia salah dalam melakukan proses auditnya. Oleh karena itu untuk menjaga reputasinya auditor akan selalu menjaga kualitas auditnya.DeAngelo (1981) mengemukakan bahwa kualitas audit meningkat dengan ukuran KAP karena KAP besar mempunyai kemampuan lebih untuk berspesialisasi dan berinovasi melalui teknologi sehingga meningkatkan kemungkinan KAP besar untuk menemukan pelanggaran dalam sistem akuntansi perusahaan. Dengan adanya sumberdaya dan keunggulan komperatif yang dimiliki oleh auditor dengan skala besar, maka auditor tersebut akan lebih dapat mendeteksi dan mengkoreksi kesalahan pelaporan keuangan perusahaan. Beberapa literatur sebelumnya menemukan bukti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara perusahaan yang melakukan kecurangan dengan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan dalam hal kualitas audit yang diukur dengan KAP Big 4 versus KAP non-Big 4 pada periode sebelum deteksi kecurangan (Dechow et al., 1996; Beneish, 1997). Penelitian sebelumnya (Deis and Giroux, 1992; Latham et al., 1998; Palmrose, 1987) menemukan asosiasi yang positif antara skala auditor (Big 5 vs Non Big 5) dan persepsi dari kualitas audit dan kemungkinan mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Persepsinya adalah bahwa KAP Big Five (saat ini Big Four) akan lebih cenderung dapat mendeteksi kecurangan laporan keuangan dibanding dengan non Big 5. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: (1) kemampuan untuk lebih dapat bertahan terhadap tekanan dari klien; (2) perhatian yang lebih besar terhadap reputasi mereka; (3) sumber daya yang lebih baik, berkaitan dengan kompetensi dan teknologi yang lebih canggih; (4) strategi dan proses audit yang lebih kuat (Rezaee, 2005).Sebaliknya, Chen et al. (2006) juga meneliti dampak dari kualitas audit terhadap kecurangan di China. Kualitas audit diproxi dengan skala auditor. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa kualitas audit tidak berbeda antara perusahaan yang melakukan kecurangan dan yang tidak melakukan kecurangan. Selain itu ternyata kualitas audit tidak signifikan dalam menjelaskan kemungkinan dan deteksi dari kecurangan yang dilakukan perusahaan. 5. Tekanan pajak

Manajer perusahaan menghadapi insentif yang saling bertentangan ketika hendak memanipulasi laba. Di satu sisi, manajer seringkali ingin meningkatkan laba yang dilaporkan kepada pemegang saham dan pengguna eksternal lainnya (Burgstahler and Dichev 1997; Barth et al. 1999; Beatty et al. 2000; Bartov et al. 2002), baik untuk tujuan mendapatkan bonus atau meningkatkan reputasinya. Namun, di sisi lain, manajer juga berkeinginan untuk meminimalisasikan laba kena pajak yang dilaporkan pada otoritas perpajakan (Mills and Newberry 2001). Manajer dapat mencapai kedua tujuan tersebut dengan menanipulasi secara simultan melalui peningkatan laba untuk pelaporan keuangan, tetapi tidak untuk pelaporan pajak. Hal ini akan menimbulkan perbedaan (gap) antara laba sebelum pajak berdasarkan buku perusahaan dengan laba kena pajak, sehingga menghasilkan perubahan hutang pajak tangguhan, biaya pajak tangguhan dan tariff pajak yang efektif. Oleh karena itu tekanan pajak dapat mempengaruhi kecenderungan perusahaan melakukan kecurangan, dan data mengenai pajak tangguhan dapat merefleksikan dampak dari peninggian laba financial yang mengandung kecurangan.

Untuk tujuan pelaporan keuangan, standar akuntansi memberikan manajer banyak diskresi dalam pemilihan metode dan estimasi akuntansi. Sementara itu, perpajakan biasanya memberikan tingkat diskresi yang lebih kecil. Oleh sebab itu, perbedaan antara laba buku dan laba kena pajak secara potensial dapat merefleksikan tingkatan diskresi yang digunakan oleh manajer dalam meninggikan laba (Mills 1998). Manajer yang melakukan peninggian laba ini tentunya tidak mau membayar pajak atas laba yang dimanipulasinya tersebut. Minimalisasi dari laba kena pajak, bersamaan dengan manipulasi dalam laba buku, akan meningkatkan gap antara keduanya. Gap antara buku dengan pajak tersebut merefleksikan pengelolaan laba yang agresif, namun belum pasti mengindikasikan kecurangan. Namun karena batasan dari kedua aktivitas tersebut belum jelas, maka perbedaan antara data buku dan data pajak dapat menghasilkan variabel yang dapat digunakan auditor dalam mengukur kualitas laba dan kemungkinan kecurangaan saat ini atau periode mendatang (Ettredge et al. 2006).

Belum banyak penelitian yang menghubungan antara pajak dengan kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan. Literatur sebelumnya banyak meneliti hubungan antara pajak dengan pengelolaan laba. Revsine et al. (1999) menyatakan bahwa rasio antara laba buku sebelum pajak terhadap laba kena pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat konservatisme atau agresifitas dalam akuntansi. Joos et al. (2000) berargumen bahwa perusahaan dengan perbedaan antara pajak dan buku yang besar akan secara oportunistik mengelolan laba, dan investor mengetahui hal tersebut.Ettredge et al. (2006) meneliti hubungan antara pajak dengan kecurangan. Mereka meneliti apakah perbedaan antara laba buku dengan laba kena pajak yang diskalakan dengan total asset dan biaya pajak tangguhan berhubungan dengan peninggian laba yang berindikasi kecurangan (earnings overstatement fraud) pada tahun sebelum terjadinya kecurangan dan pada tahun kecurangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pajak berasosiasi secara signifikan dengan peninggian laba yang berindikasi kecurangan. Secara spesifik kecurangan berasosiasi secara positif dengan: (1) tingkat perbedaan antara laba buku dengan laba kena pajak yang lebih tinggi pada tahun sebelum terjadinya kecurangan, dan (2) tingkat biaya pajak tangguhan yang lebih tinggi pada tahun terjadinya kecurangan. Dengan kata lain, perbedaan antara buku dan pajak dapat digunakan sebagai signal awal untuk terjadinya kecurangan di masa mendatang, sedangkan biaya pajak tangguhan dapat digunakan dalam mendeteksi terjadinya kecurangan saat ini. Berikut ini adalah tabel yang menyimpulkan hasil penelitian sebelumnya terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukannya kecurangan oleh perusahaan:

Faktor yang mempengaruhi kecuranganPenelitiHasil Penelitian

1. Implementasi good corporate governance Karakteristik Dewan

Struktur Kepemilikan

2. Efektivitas pengendalian internal

3. Integritas manajemen

4. Fungsi Auditor

5. Tekanan pajak

Beasley (1996)

Dechow et al. (1996), McMullen (1996), dan Beasley et al. (2000)

Dechow et al. (1996)Farber (2005)Uzun et al. (2004)

Agrawal and Chadha (in press)Denis et al. (2006)

Mitra (2002), dalam Veronica (2005)

Koh (2003), dalam Veronica (2005)

Chen et al. (2006)

Wright (2003)

Smith et al., (1997), Beasley (1996), Beasley et al., (2000), Reinstein (1998), Matsumura (1992), dan Abbot et al., (2002)

Wilopo (2006)

Green and Calderon (1999), Reinstein (1998) dan COSO (2002)

Wilopo (2006)

Foster (1986)

Roberts et al., (2002)

Wolk & Tearney (1997)

Wilopo (2006)

Latham et al. (2000)

Agrawal and Chadha (in press)DeAngelo (1981)

Chen et al. (2006)

Deis and Giroux, 1992; Latham et al., 1998; Palmrose, 1987Mills (1998)

Revsine et al. (1999)

Joos et al. (2000)

Ettredge et al. (2006)Meneliti pengaruh dari karakteristik dewan terhadap kecenderungan perusahaan melakukan kecurangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kecurangan laporan keuangan di Amerika Serikat lebih rendah untuk:

perusahaan yang memiliki proporsi direksi luar yang lebih tinggi,

direksi luar yang masa jabatannya lebih panjang (longer tenure),

kepemilikan oleh direksi luar yang lebih tinggi, dan direksi luar yang menjabat pada perusahaan lain (directorship) yang lebih rendah.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa adanya komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kecenderungan melakukan kecurangan.

Adanya komite audit berhubungan dengan tingkat kecurangan yang lebih rendah.

Kecurangan lebih terjadi pada perusahaan dimana pemimpin dewan bertindak sebagai CEO, tidak memiliki blockholder yang besar, dan direksi dalam (inside directors) memiliki kepemilikan dalam jumlah yang subtansial. Perusahaan yang melakukan kecurangan memiliki kualitas governance yang lebih jelek debandingkan dengan sampel kontrolnya dalam periode sebelum deteksi kecurangan. Secara spesifik hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan memiliki jumlah dan persentase anggota dewan luar yang lebih kecil, jumlah rapat komite audit yang lebih sedikit, jumlah ahli dalam komite audit yang lebih sedikit, persentase KAP Big 4 yang lebih kecil, dan persentase CEO yang juga menjabat sebagai ketua dewan direksi yang lebih besar.

Meneliti hubungan antara kecurangan perusahaan dengan banyak variabel corporate governance. Hasil utama yang didapat adalah: Apabila dewan (dan komite audit) memiliki persentase direksi luar yang independen maka kemungkinan kecurangan akan semakin kecil. Karakteristik dewan lain (termasuk didalamnya adalah ukuran dewan, frekuensi rapat dewan, dan dualitas CEO/ ketua dewan) tidak signifikan mempengaruhi kecenderungan kecurangan. Perusahaan yang memiliki komisi nominasi justru memiliki kecenderungan kecurangan yang lebih besar. Apabila direksi luar memiliki paling tidak satu anggota dengan latarbelakang akuntansi atau keuangan maka kecenderungan melakukan restatement laba akan lebih tinggi. Kehadiran komite audit berhubungan dengan restatement laba yang lebih kecil hanya pada saat paling tidak satu dari anggota komite yang independent memiliki latarbelakang akuntansi atau keuangan. Opsi saham bagi eksekutif dapat mengarahkan manajemen untuk melakukan kecurangan. Manajer akan melakukan tindakan yang dapat meningkatkan harga saham secara artifisial sehingga mereka dapat memaksimalkan keuntungan dari opsi tersebut.

Kehadiran kepemilikan institusional yang tinggi akan membatasi manajer untuk melakukan pengelolaan laba.

Pada perusahaan dengan kepemilikan institusional yang tinggi akan menekan pengelolaan laba yang agresif dari perusahaan dimana kepemilikan institusional tersebut dapat bertindak sebagai salah satu mekanisme corporate governance.

Meneliti kecurangan akuntansi di China, dan menghubungkan kecurangan tersebut dengan variabel yang salah satunya adalah kepemilikan. Struktur kepemilikan yang diteliti adalah kepemilikan oleh pemerintah, legal entity, individual, asing, dan blockholder. Dari sekian banyak ukuran kepemilikan yang digunakan oleh peneliti ternyata tidak satupun dapat menjelaskan kecurangan secara signifikan. Jadi, tidak dapat dibuktikan dalam penelitian ini bahwa kepemilikan perusahaan di China akan mempengaruhi kecenderungan perusahaan untuk melakukan kecurangan. Pengendalian internal yang efektif mempengaruhi kecenderungan kecurangan akuntansi.

Menyatakan bahwa pengendalian internal yang efektif mengurangi kecenderungan kecurangan akuntansi.

Meneliti kecenderungan kecurangan akuntansi di Indonesia. Ia mengukur keefektifan pengendalian internal melalui instrument yang dikembangkannya berdasarkan IAI (2001) perihal pengendalian internal.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengendalian internal yang efektif memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi di suatu perusahaan. Artinya semakin efektif pengendalian internal di perusahaan, semakin rendah kecenderungan kecurangan akuntansi oleh manajemen perusahaan.

Perilaku tidak etis dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, kedudukan, dan sumberdaya perusahaan, mendorong manajemen melakukan kecurangan akuntansi

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa moralitas manajemen memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap perilaku tidak etis pada perusahaan dan kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan. Artinya semakin tinggi moralitas manajemen, maka semakin rendah kecenderungan kecurangan akuntansi.

Menyatakan faktor-faktor yang mendorong perusahaan untuk menyediakan informasi laporan keuangan adalah kekuatan pasar serta kekuatan regulasi. Regulasi ini mensyaratkan perusahaan untuk menyampaikan laporan keuangan yang disusun sesuai aturan atau standar akuntansi kepada para pihak yang membutuhkan.

Cara profesi diorganisir, melalui antara lain kode etik, dan ketaatan atas aturan akuntansi, akan memberikan pengaruh serta mengendalikan perilaku manajemen perusahaan.

Kegagalan penyusunan laporan keuangan yang disebabkan karena ketidaktaatan pada aturan akuntansi, akan menimbulkan kecurangan perusahaan yang tidak dapat dideteksi oleh para auditor.

Meneliti hubungan antara ketaatan akuntansi terhadap kecenderungan perusahaan melakukan kecurangan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketaatan dari akuntan atau penanggung jawab penyusun laporan keuangan terhadap aturan akuntansi memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan. Artinya semakin manajemen perusahaan taat pada aturan akuntansi, semakin rendah kecenderungan kecurangan akuntansi perusahaan.

Meneliti perbedaan dalam lingkungan agensi (yang direpresentasikan oleh fungsi monitoring dan struktur insentif) dan karakteristik dari agen/ manajemen (yang direpresentasikan oleh tim manajemen) antara perusahaan yang melakukan kecurangan dalam hal pengungkapan dan perusahaan yang dianggap tidak mengeluarkan pengungkapan yang menyesatkan.

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa merupakan hal yang penting untuk memasukkan baik struktur agensi maupun karakteristik individu dari tim manajemen dalam menjelaskan lingkungan kecurangan dalam perusahaan.

Perusahaan yang melakukan kecurangan lebih cenderung memiliki tim manjemen dengan tingkat konsentrasi tinggi atas individu tanpa pengalaman militer dan latar belakang peripheral (hukum dan keuangan).

Apabila direksi luar memiliki paling tidak satu anggota dengan latarbelakang akuntansi atau keuangan maka kecenderungan melakukan restatement laba akan lebih tinggi. Ketiadaan ahli akuntansi atau keuangan membuat direksi luar menjadi tidak efektif dalam melakukan kesalahan akuntansi dan kecurangan.

Mengemukakan bahwa kualitas audit meningkat dengan ukuran KAP karena KAP besar mempunyai kemampuan lebih untuk berspesialisasi dan berinovasi melalui teknologi sehingga meningkatkan kemungkinan KAP besar untuk menemukan pelanggaran dalam sistem akuntansi perusahaan.

Meneliti dampak dari kualitas audit terhadap kecurangan di China. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa kualitas audit tidak berbeda antara perusahaan yang melakukan kecurangan dan yang tidak melakukan kecurangan. Selain itu ternyata kualitas audit tidak signifikan dalam menjelaskan kemungkinan dan deteksi dari kecurangan yang dilakukan perusahaan.

Menemukan asosiasi yang positif antara skala auditor (Big 5 vs Non Big 5) dan persepsi dari kualitas audit dan kemungkinan mendeteksi kecurangan laporan keuangan.

Persepsinya adalah bahwa KAP Big Five (saat ini Big Four) akan lebih cenderung dapat mendeteksi kecurangan laporan keuangan dibanding dengan non Big 5.

Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: (1) kemampuan untuk lebih dapat bertahan terhadap tekanan dari klien; (2) perhatian yang lebih besar terhadap reputasi mereka; (3) sumber daya yang lebih baik, berkaitan dengan kompetensi dan teknologi yang lebih canggih; (4) strategi dan proses audit yang lebih kuat (Rezaee, 2005).Perbedaan antara laba buku dan laba kena pajak secara potensial dapat merefleksikan tingkatan diskresi yang digunakan oleh manajer dalam meninggikan laba

Menyatakan bahwa rasio antara laba buku sebelum pajak terhadap laba kena pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat konservatisme atau agresifitas dalam akuntansi.

Perusahaan dengan perbedaan antara pajak dan buku yang besar akan secara oportunistik mengelolan laba, dan investor mengetahui hal tersebut.

Meneliti hubungan antara pajak dengan kecurangan. Mereka meneliti apakah perbedaan antara laba buku dengan laba kena pajak yang diskalakan dengan total asset dan biaya pajak tangguhan berhubungan dengan peninggian laba yang berindikasi kecurangan (earnings overstatement fraud) pada tahun sebelum terjadinya kecurangan dan pada tahun kecurangan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pajak berasosiasi secara signifikan dengan peninggian laba yang berindikasi kecurangan.

Secara spesifik kecurangan berasosiasi secara positif dengan: (1) tingkat perbedaan antara laba buku dengan laba kena pajak yang lebih tinggi pada tahun sebelum terjadinya kecurangan, dan (2) tingkat biaya pajak tangguhan yang lebih tinggi pada tahun terjadinya kecurangan.

Dengan kata lain, perbedaan antara buku dan pajak dapat digunakan sebagai signal awal untuk terjadinya kecurangan di masa mendatang, sedangkan biaya pajak tangguhan dapat digunakan dalam mendeteksi terjadinya kecurangan saat ini.

Konsekuensi dari kecurangan dalam perusahaan

Ketika perusahaan melakukan kecurangan, dan kecurangan tersebut diketahui oleh masyarakat baik oleh pengawas pasar modal, investor, media, dan masyarakat pada umumnya, maka perusahaan dan pihak-pihak yang terkait akan mengalami kerugian yang sangat besar. Beberapa pihak yang sangat dirugikan atas kecurangan tersebut diantaranya adalah perusahaan itu sendiri, pemegang saham, dan auditornya. Kecurangan yang dilakukan oleh Enron misalnya mengakibatkan perusahaan tersebut dituntut bangkrut, kerugian kapitalisasi pasar lebih dari $60 milyar, dan lebih dari 20 tuntutan hukum class action. Lebih lanjut kasus itu juga membawa konsekuensi bagi auditor eksternalnya yaitu Arthur Andersen dimana auditor tersebut dicabut izin usahanya karena tidak mendeteksi dan melaporkan kecurangan yang dilakukan kliennya tersebut (Rezaee, 2005).

Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan ini membawa kerugian yang sangat besar bagi pemegang sahamnya. Bagi pemegang saham, biasanya bentuk kerugiannya adalah berupa penurunan harga saham yang sangat drastis. Hal ini dapat dilihat dari nilai kapitalisasi pasar dari saham perusahaan yang melakukan kecurangan yang relatif menurun setelah perusahaan diidentifikasi melakukan kecurangan atau ketika pengawas pasar modal menyampaikan surat teguran atas suatu pelanggaran.

Selain konsekuensi berupa penurunan nilai kapitalisasi pasar, perusahaan (apabila tidak ada tuntutan bangkrut) harus melakukan perbaikan dalam berbagai aspek terutama yang menyangkut tingkat pengendalian internal dan corporate governance-nya. Perbaikan ini harus dilakukan untuk mengembalikan reputasi perusahaan yang cenderung menurun setelah kecurangan yang dilakukan terdeteksi oleh publik. Penelitian empiris sebelumnya menyatakan bahwa perbaikan dalam pengendalian internal sangatlah mahal bagi perusahaan dalam bentuk waktu dan upaya yang dibutuhkan dalam memperbaiki implementasi governance (Yermack, 1996; Klein, 2002). Namun, biaya yang timbul apabila perusahaan tidak melakukan perbaikan dalam mekanisme governance-nya akan lebih tinggi dibandingkan apabila perusahaan melakukan perbaikan. Farber (2005) meneliti hubungan antara kredibilitas perusahaan dengan corporate governance. Ia menggunakan sampel perusahaan yang diidentifikasikan oleh SEC sebagai perusahaan yang melakukan kecurangan dengan memanipulasi laporan keuangannya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan yang telah terdeteksi melakukan kecurangan tersebut mengambil tindakan untuk memperbaiki governance mereka. Tiga tahun setelah kecurangan mereka terdeteksi perusahaan ini memiliki karakteristik governance yang serupa dengan perusahaan pengendalinya (control firms) dalam hal jumlah dan persentase anggota luar dari dewan, namun lebih banyak dalam hal jumlah rapat komite audit dibandingkan dengan perusahaan pengendalinya. Penelitian ini juga mengindikasikan bahwa setelah dilakukannya kecurangan, analis yang mengikuti (analyst following) dan kepemilikan institusional tidak mengalami peningkatan, yang artinya bahwa kredibilitas masih merupakan masalah bagi perusahaan ini. Namun, penelitian ini juga mengindikasikan bahwa perusahaan yang mengambil tindakan untuk memperbaiki governance mereka memiliki kinerja saham yang lebih superior, yang berarti menunjukkan bahwa investor menghargai perbaikan dalam mekanisme governance perusahaan tersebut.KesimpulanKecurangan yang dilakukan oleh perusahaan terjadi dimana-mana dan sangat merugikan banyak pihak dalam jumlah yang tidak sedikit. IAI (2001) menjelaskan kecurangan akuntansi sebagai: (1) Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan (2) Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan). Tulisan ini mencoba mengidentifikasi faktor-faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kecurangan dan bagaimana konsekuensi dari kecurangan perusahaan berdasarkan literatur sebelumnya. Dari literatur sebelumnya dapat diidentifikasikan beberapa faktor yang berhubungan dengan kecurangan perusahaan. Faktor-faktor tersebut adalah implementasi corporate governance, efektivitas pengendalian internal, integritas manajemen, fungsi auditor dan tekanan pajak. Selain itu juga dibahas mengenai konsekuensi dari kecurangan perusahaan yang terdeteksi oleh pengawas pasar modal. Perusahaan yang melakukan kecurangan akan berusaha memperbaiki reputasinya dengan melakukan perbaikan mekanisme governance dalam perusahaannya.DAFTAR REFERENSIAbbott, L. J., Susan Parker, and Gary F. Peters, 2002. Audit Committee Characteristics and Financial Statement: A Study of the Efficacy of Certain Blue Ribbon Committee Recommendation. Working paper,. www.ssrn.com

Adams, J. S., Armen Tashchian and Ted H. Shore, 2001. Code of Ethics as Signals for Ethical Behavior. Journal of Business Ethics vol. 209: 199-211.Agrawal and Chadha, in press. Corporate governance and accounting scandals. Journal of Law and Economics.Amrizal, Ak, MM, CFE, Pencegahan dan pendeteksian kecurangan oleh internal auditor. www.bpk.go.idBeasley, M. S. , 1996. An Empirical Analysis of the Relation between the Board of Director Composition and Financial Statement Fraud. The Accounting Review, vol. 71 no. 4 (Oct.), pp: 443-465Beasley M.S., J.V. Carcello, D.R. Hermanson and P.D. Lapides, 2000. Fraudulent financial reporting: consideration of industry traits and corporate governance mechanisms, Accounting Horizons 14 (2000), pp. 441454 (December).Bernardi, Richard A., 1994. Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice & Theory, vol. 13. Supplement, pp: 68-84

Burgstahler, D., and I. Dichev. 1997. Earnings management to avoid earnings decreases and losses. Journal of Accounting and Economics, 24 (December): 99-126.

Chen, Gongmeng, Michael Firth, Gao, Oliver M. Rui, 2006. Ownership structure, corporate governance and Fraud: Evidence from China. Journal of Corporate Finance, Vol 12 (3), 424-448.

Cotton DL. 2002, Fixing CPA ethics can be an inside job. http://www.washingtonpost.comDAquila, J. M., 2001. Financial Accountants Perceptions of Managements Ethical Standards. Journal of Business Ethics. vol. 31: 233-244

Dallas, Lynne L., 2002. A Preliminary Inquiry into the Responcibility of Corporations and Their Directors and Officers for Corporate Climate: The Psichology of Enrons Climate. Working Paper, www.ssrn.com

DeAngelo, L., 1981. Auditor size and audit quality, Journal of Accounting and Economics 3 (1981), pp. 183199. Dechow, P.M., R.G. Sloan and A.P. Sweeney, 1996, Cases and consequences of earnings manipulations: an analysis of firms subject to enforcement actions by the SEC, Contemporary Accounting Research 13 (1996) (1), pp. 136.

Deis D, Giroux G. 1992, Determinants of audit quality in the public sector. Accounting Review; 67(Oct):46279.

Ettredge, Michael, Lili Sun, Picheng Lee, Asokan Anandarajan,. 2006. Do deferred tax data signal earning fraud?, Working paper. www.ssrn.comFarber, David B., 2005. Restoring trust after fraud: Does corporate governance matter?, Accounting Review, Vol 80 (2), 539-561. Foster, G., 1986. Financial Statement Analysis 2nd edition. New Jersey, USA: Prentice Hall International, Inc.

Jensen, Michael, and William Meckling, 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Cost, and ownership Structure, Journal of Financial Economics, 3, 305-360.

Joos, P., J. Pratt, and D.Young., 2000. Book-tax differences and the value relevance of earnings. Working paper. Massachusetts Institute of Technology, Indiana University and INSEAD.

Larkin, J. M., 2000. The Ability of Internal Auditors to Identify Ethical Dilemmas. Journal of Business Ethics 23: pp 401-409.

Latham C, Jacobs F, Roush, P., 1998, Does auditor tenure matter? Res Acc Regul;(Fall):165 78.

Latham C, Jacobs F. 2000a, Monitoring and incentives factors influencing misleading disclosures. Journal Managerial Issues;(Summer):16987.

Matsumura, E. M., and Robert R. Tucker, 1992. Fraud detection: A Theoretical Foundation. The Accounting Review, vol. 67 no. 4.

McMullen, D.A., 1996. Audit committee performance: an investigation of the consequences associated with audit committees, Auditing: A Journal of Practice and Theory 16, pp. 87103 (Spring).

Mills, L. 1998. Book-tax differences and Internal Revenue Service adjustments. Journal of Accounting Research (Autumn): 343-356.Mizruchi, M. S., 1983. Who Control Whom? An Examination of the Relation between Management and boards of Directors in Large American Corporation. Academy of Management Review, 8, 426-435.

Palmrose Z., 1987. Litigation and independent auditors: the role of business failures and management fraud. Aud: Journal Practice Theory;6(2):90103.

Reinstein, A., and Bayou, M. E., 1998. A Comprehensive Structure to Help Analyse, Detect and Prevent Fraud. Working paper, MBAYOU@SOM. UMD.EMICH.EDURevsine, L., D. Collins, and W.B. Johnson. 1999. Financial reporting and analysis, Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Rezaee, Zabihollah 2005, Cause, consequences, and deterence of financial statement fraud. Critical Perspective in Accounting, 16, 277-298.

Shleifer, Andrei., Robert Vishny. 1997. A Survey of Corporate Governance. The Journal of Finance. June, Vol. 52 (2), 737-783.

Smith, R., Sam Tiras, and Stan Vichitlekarn, 1997. The Interaction Between Internal Control Assessment and Substantive Testing in Audits for Fraud. Working Paper www.ssrn.comSteve, Albrecht W. and Albrecht Chad O, 2002. Fraud Examination. Thomson South-Western.Tang, T. L. P. and Randy K. Chiu, 2003. Income, Money Etic, Pay Satisfaction, Commitment, and Unethical Behavior: Is the Love of Money the Root of Evil for Hong Kong Employees? Journal of Business Ethics, 46, pp: 13-20.

Uzun, S.H. Szewczyk and R. Varma, Board composition and corporate fraud, Financial Analysts Journal 60 (2004), pp. 3343.Veronica, Sylvia. 2005. Pengaruh struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, dan praktek corporate governance terhadap pengelolaan laba (earnings management) dan kekeliruan penilaian pasar, Disertasi Program Studi Ilmu Manajemen Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Watts, R. dan J. Zimmerman. 1986 Positive Accounting Theory. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ.

Wilopo 2006, Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi: Studi pada perusahaan publik dan badan usaha milik negara di Indonesia, Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang, 21-69.

Wright, Patrick M., 2003. Restoring Trust: The Role of HR in Corporate Governance. September, 2003. www.ilr.cornell.edu/cahrs

Yermack, 1996 D. Yermack, Higher market valuations of companies with a small board of directors, Journal of Financial Economics 40 (1996), pp. 185211. PAGE 27