evaluasi implementasi clinical pathway pada penyakit
TRANSCRIPT
EVALUASI IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY PADA PENYAKIT DENGUE HEMORRHAGIC FEVER ANAK DI RSUP
FATMAWATI TAHUN 2016
Nur Rohmah, Masyitoh Administrasi Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan. Pengisian clinical pathway Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) anak di RSUP Fatmawati masih belum optimal. Jumlah kasus DHF anak di RSUP Fatmawati dari bulan Januari-Juni 2016 sebanyak 359 kasus, namun clinical pathway yang terisi hanya 198 kasus (55,15%) sehingga perlu dilakukannya evaluasi implementasi clinical pathway DHF anak di RSUP Fatmawati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan evaluasi input (format, sumber daya, ketersediaan formulir), proses, dan outcome (lama hari rawat, pemeriksaan penunjang, gizi, asuhan keperawatan, dan pengobatan) implementasi clinical pathway pada kasus DHF anak serta mengetahui hambatannya. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan operational research. Hasil penelitian didapatkan format clinical pathway DHF anak sudah ringkas dan jelas namun belum lengkap dengan kriteria hasil. Belum optimalnya sosialisasi SPO, edukasi clinical pathway, serta imbalan dan sanksi. Formulir clinical pathway selalu tersedia di ruang rawat inap. Terdapat beberapa masalah dalam proses implementasi clinical pathway yaitu tidak adanya pengisian clinical pathway di IGD atau ruang lain, belum optimalnya kolaborasi antar tenaga kesehatan, belum adanya monitoring dan evaluasi untuk meningkatkan kepatuhan dan kelengkapan pengisian clinical pathway. Evaluasi outcome dari implementasi clinical pathway DHF anak yaitu terdapat variasi pada lama hari rawat 12%, pemeriksaan penunjang DTL, Urine, Feses 99 %, Anti Degue, IgG/IgM 6%, pemeriksaan CXR RLD 55%, gizi 35%, pengobatan parasetamol 40% dan IVFD 2%. Dalam proses implementasi clinical pathway diperlukan sosialisasi dan komunikasi kepada seluruh pihak yang terlibat untuk meningkatkan pengisian clinical pathway DHF anak. Kata Kunci: Clinical pathway; Dengue Hemorrhagic Fever (DHF); Evaluasi.
Evaluation of Clinical Pathway Implementation in Children’s Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Disease RSUP at Fatmawati in 2016
Abstrack
Clinical pathway is a pathways that shows in detail the essential stages of health services, including the expected results. Clinical pathways admission filling with patient in children’s Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) disease at RSUP Fatmawati still not optimum. Total cases in children’s DHF disease at RSUP Fatmawati in January-June 2016 are 359 cases, but clinical pathways are filled only 198 cases (55.15%) so that it is a must to evaluate clinical pathways implementation in children’s DHF disease at RSUP Fatmawati. This research aims to get input evaluation (format, resources, availability of forms), process, and outcomes (length of stay, investigations , nutrition, nursing care, and treatment) clinical pathways implementation in children’s DHF disease. This is a quantitative and qualitative research that using operational research. The result shows clinical pathway’s form in children’s DHF disease are concise and clear but yet no outcome criteria. SPO’s socialization, clinical pathways educating, reward, and punishment are not optimum. Clinical pathway’s form are always available at inpatient unit. There are some problems in the process of clinical pathways implemention, there is no filling clinical pathways in the ER or the other room, the lack of collaboration among health proffesional, no monitoring and evaluation to improve compliance and completeness of clinical pathways. Outcome evaluation of clinical pathways implementation in children’s DHF are variations of length of stay 12%, DTL, Urine, Feses investigation 99 %, Anti Degue, IgG/IgM 6%, CXR RLD 55%, nutrition 35%, parasetamol treatment 40% and IVFD 2%.
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Keywords : Clinical pathway; Dengue Hemorrhagic Fever (DHF); Evaluation. Pendahuluan
Clinical Pathway merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang
merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan
medis dan asuhan keperawatan dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu
selama di rumah sakit (Firmanda, 2006). Tujuan dari clinical pathway untuk mengurangi
keragaman perawatan, mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan kualitas
perawatan pasien. Clinical Pathway adalah protokol klinis terintegrasi antar dokter, perawat
dan penunjang.
Berdasarkan Permenkes Nomor 12 tahun 2012 Tentang Akreditasi Rumah Sakit,
menyebutkan bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dilakukan
Akreditasi yang terdiri dari Akreditasi Nasional dan Internasional. Standar akreditasi rumah
sakit dari KARS versi 2012 dan standar internasional dari JCI edisi 4 juga mengharuskan
rumah sakit memiliki dan menerapkan setidaknya 5 clinical pathway setiap tahunnya. Oleh
karena itu clinical pathway sangat penting dan harus dimiliki oleh rumah sakit.
Pada awal tahun 2016, Kementerian Kesehatan RI mengumumkan bahwa terjadi Kejadian
Luar Biasa (KLB) penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). Bulan Januari-Februari
tercatat jumlah penderita sebanyak 8.487 orang, penderita DHF dengan jumlah kematian 108
orang (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Di RSUP Fatmawati, pada bulan Januari-Juni
2016, penyakit DHF masuk dalam lima besar penyakit di rawat inap dan Instalasi Gawat
Darurat (IGD). Banyaknya kasus penyakit DHF di RSUP Fatmawati maka perlu penanganan
yang sesuai dengan standar pelayanan kedokteran.
Pada bulan Januari-Juni 2016 jumlah kasus DHF anak di RSUP Fatmawati sebanyak 359
kasus, namun clinical pathway yang terisi hanya 198 kasus (55,15%). Sebanyak 62,7% pasien
DHF di RSUP fatmawati adalah DHF anak (Instalasi Rekam Medis dan Pusat Data Informasi
RSUP Fatmawati, 2016). Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan pengisian formulir clinical
pathway DHF anak oleh DPJP, PPJP, Farmasi dan dokter terkait masih belum optimal.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengevaluasi implementasi clinical pathway
penyakit Dengue Hemorrhagic Fever anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendapatkan evaluasi input (format, sumber daya, ketersediaan formulir), proses, dan
outcome (lama hari rawat, pemeriksaan penunjang, gizi, asuhan keperawatan, dan
pengobatan) implementasi clinical pathway pada kasus Dengue Hemorrhagic Fever anak
serta mengetahui hambatannya.
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Tinjauan Teoritis
Clinical pathway adalah alat yang digunakan untuk sebagai panduan perawatan kesehatan
berbasis bukti yang telah dilaksanakan secara internasional sejak tahun 1980an (Kinsman &
dkk, 2010). Clincal Pathway digunakan sebagai rencana perawatan yang terstruktur, yang
digunakan oleh institusi pelayanan kesehatan yang berisi langkah-langkah detil perawatan
pasien, pada kasus-kasus yang spesifik (Cochrane, 2010).
Clinical pathway merupakan sebuah tools yang digunakan untuk peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. Clinical pathway dapat mencegah keberagaman process dan outcome,
sehingga kualitas pelayanan dapat ditingkatkan. Tujuan clinical pathway adalah untuk
mengurangi keberagaman perawatan, mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi, dan
meningkatkan kualitas perawatan pasien (Kusuma, 2013). Menurut Campbel dkk (1998)
clinical pathway ditempatkan pada catatan klinis pasien atau rekam medis. Clinical pathway
harus mudah digunakan dan lengkap, ringkas, agar dapat memberikan data dan informasi
untuk RS. Idealnya clinical pathway harus diisi oleh seluruh tenaga kesehatan profesional
yang memberikan perawatan pada pasien yaitu dokter, perawat, gizi, dan farmasi.
Evaluasi merupakan salah satu fungsi dalam siklus manajemen. Menurut American Public
Health Association evaluasi adalah suatu proses menentukan nilai atau besarnya sukses dalam
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya (Azwar, 1996). Proses dalam hal ini
mencakup langkah-langkah yang dimulai dari menformulasikan tujuan, mengidentifikasi
kriteria untuk mengukur kesuksesan, menentukan besarnya kesuksesan, dan rekomendasi
untuk kegiatan program selanjutnya. Menurut OECD (Organization for Economic
Cooperation & Development) (2002) dalam Maulana, Supriyono, & Hermawan (2013)
evaluasi bertujuan untuk menentukan relevansi dan pemenuhan dari tujuan, pengembangan
efisiensi, efektivitas, dampak, dan kesinambungan dari suatu program atau kebijakan.
Terdapat beberapa model atau teori evaluasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
sebuah program atau kegiatan, diantaranya adalah model CIPP oleh Daniel L. Stufflebeam
dan Key Evaluation Checklist oleh Scriven. Daniel L. Stufflebeam dkk (1967) dalam
Maulana, Supriyono, & Hermawan (2013) membagi evaluasi menjadi empat jenis yang
disebut dengan model CIPP (contect, input, process, product), yaitu:
1. Contect Evaluation (Evaluasi Konteks) : Mencakup analisis masalah yang berkaitan
dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan.
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
2. Input Evaluation (Evaluasi Masukan) : Meliputi analisis personal yang berhubungan
dengan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, alternatif-alternatif
strategi yang harus mencapai suatu proram. Mengidentifikasi dan menilai kapabilitas
sistem, strategi program, desain prosedur untuk strategi implementasi, pembiayaan
dan penjadwalan
3. Process Evaluation (Evaluasi Proses) : Merupakan evaluasi yang dirancang dan
diaplikasikan dalam praktik implementasi kegiatan. Termasuk mengidentifikasi
permasalahan prosedur baik tatalaksana kejadian maupun aktivitas.
4. Product Evaluation (Evaluasi Hasil) : Evaluasi ini merupakan catatan pencapaian hasil
dan keputusan-keputusan untuk perbaikan dan aktualisasi.
Key Evaluation Checklist merupakan evaluasi yang dapat digunakan untuk evaluasi
produk, evaluasi organisasi seperti unit organisasi, pusat penelitian, konsultan, asosiasi,
perusahaan, evaluasi jasa dalam hal ini dilihat dari program-program yang dimiliki sebagai
proses, serta evaluasi proses, kebijakan, praktik, atau prosedur yang merupakan bagian tersirat
dari sebuah program (Scriven, 2007). Scriven membagi Key Evaluation Checklist (CEK)
menjadi empat tahapan, yaitu:
Tabel 1. Key Evaluation Checklist
No Tahapan Dimensi
1 Preliminaries (Persiapan) (a) Executive Summary, (b) Preface, (c) Methodology.
2 Foundations (Dasar) (a) Background and Context, (b) Descriptions and
Definitions, (c) Consumers, (d) Resources, (e) Values.
3 Sub evaluation (Sub
evaluasi)
(a) Process, (b) Outcomes, (c) Costs, (d) Comparisons, (e)
Generalizability.
4 Conclusions (Kesimpulan) (a) Synthesis, (b) Recomendations and explanations, (c)
Responsibility and Justification, (d) Report and Support,
(e) Metaevaluation.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif yaitu meneliti masalah secara mendalam
dengan observasi, telaah dokumen, wawancara mendalam dan terstruktur. Jenis penelitian ini
adalah operational research. Operational research adalah penelitian yang bertujuan
memberikan solusi terhadap masalah-masalah operasional dalam suatu kegiatan yang hasilnya
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
untuk membantu pemecahan masalah tersebut dengan tetap menggunakan metode ilmiah
(Universitas Yarsi, 2013). Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah format clinical
pathway, sumber daya manusia, ketersediaan formulir clinical pathway, proses implementasi
clinical pathway, lama hari rawat, pemeriksaan penunjang, gizi, asuhan keperawatan, dan
pengobatan.
Populasi dalam penelitian ini adalah formulir clinical pathway pasien kasus Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) anak bulan Januari-Juni 2016 di RSUP Fatmawati yaitu sebanyak
198 kasus. Sampel dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu keseluruhan dari jumlah
formulir clinical pathway tersebut. Informan penelitian ini adalah individu-individu yang
berkaitan dengan proses implementasi clinical pathway kasus Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) anak RSUP Fatmawati. Informan dipilih dengan menentukan key narasumber
kemudian menggunakan metode snowball sampling untuk memilih narasumber selanjutnya.
Hasil dan Pembahasan
1. Evaluasi input
Dalam penelitian ini evaluasi input yang dilihat adalah format clinical pathway,
sumber daya manusia, dan ketersediaan formulir.
a. Format Clinical Pathway
Berdasarkan persepsi DPJP dan PPJP, format clinical pathway penyakit DHF
anak sudah berorientasi waktu, terdapat rencana perawatan, adanya catatan variasi,
jelas, ringkas dan mudah dimengerti, hanya saja untuk kelengkapan masih kurang
yaitu tidak adanya poin kondisi pasien yang diharapkan dari waktu ke waktu. Pada
formulir clinical pathway DHF anak terdapat kondisi pasien yang diharapkan pada
komponen outcome yang terdiri dari febris, pendarahan, dan syok, hal tersebut
bertujuan untuk memantau kondisi pasien. Kriteria hasil baik jangka menegah atau
panjang harus ada di dalam formulir clinical pathway DHF anak karena hal
tersebut merupakan salah satu komponen dari clinical pathway.
Menurut Campbel dkk (1998) clinical pathway harus mudah digunakan,
lengkap, dan ringkas agar dapat memberikan data dan informasi untuk RS. Berikut
ini merupakan komponen yang harus ada pada clinical pathway yaitu (1) berisi
rencana perawatan untuk pasien, (2) terdapat rincian tugas daftar semua tindakan
yang perlu dilakukan (3) berurutan dan skala waktu, (4) memasukan kondisi
pasien yang diharapkan dari waktu ke waktu atau kriteria hasil (5) merupakan
paper based dan membutuhkan teks bebas yang harus diisi. Menurut Ricardo C.
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Zotomayor dan Life Fellow (2014) clinical pathway merupakan panduan yang
menyediakan secara detail setiap tahapan manajemen pasien dengan kondisi klinis
yang spesifik memiliki jangka waktu dan terdapat kemajuan atau progres serta
rincian hasil. Menurut Mallock dan Braithwaite (2005) terdapat indikator hasil
pada format clinical pathway dimana indikator hasil tersebut dapat menunjukan
jenis hasil yang diharapkan pada seluruh tahapan yang berbeda.
b. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dalam pengisian clinical pathway DHF anak di RSUP
Fatmawati adalah dokter penanggung jawab pasien (DPJP) dan perawat
penanggung jawab pasien (PPJP). Pengisian clinical pathway oleh farmasis selama
ini tidak pernah dilakukan, hal ini terjadi karena tidak adanya intruksi bagi petugas
farmasi untuk mengisi clinical pathway. Lebih lanjut mengenai sumber daya
manusia dalam pengisian clinical pathway dilihat berdasakan pengetahuan, waktu,
imbalan, dan sanksi.
Pengetahuan Pengetahuan dokter dan perawat sudah cukup baik terhadap implementasi
clinical pathway, dapat dilihat bahwa mereka mengetahui manfaat dan
cara pengisian clinical pathway. Hal yang perlu diperhatikan adalah
bahwa dokter dan perawat tidak mengetahui tentang SPO clinical
pathway dan siapa saja tenaga kesehatan yang seharusnya mengisi
formulir clinical pathway, hal tersebut terjadi karena belum optimalnya
sosialisasi SPO dan edukasi clinical pathway.
Waktu Pengisian clinical pathway DHF anak dilakukan pada saat selesai
perawataan atau ketika dokter visit dan saat pasien pulang. Pengisian yang
dilakukan setelah pasien pulang dilakukan apabila pasien DHF anak
banyak atau jika terdapat pasien dari PICU/NICU. Waktu yang diperlukan
untuk melakukan pengisian clinical pathway setelah selesai perawatan
hanya sebentar yaitu sekitar 1-5 menit. Berbeda waktu jika pengisiannya
setelah pasien pulang, yaitu sekitar 5-10 menit. Dilihat dari tujuan clinical
pathway yaitu untuk memilih pola praktik terbaik dari berbagai macam
variasi, menetapkan penggunaan prosedur klinis yang seharusnya, dan
menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data
proses pelayanan (Rahma, 2013), maka idealnya clinical pathway diisi
setiap kali selesai perawatan atau setiap dokter visit. Waktu tidak menjadi
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
masalah bagi dokter dan perawat dalam mengisi formulir clinical pathway
DHF anak karena untuk mengisi clinical pathway tidak membutuhkan
waktu yang lama
Imbalan Imbalan untuk pengisian clinical pathway sudah diberikan oleh RS
kepada dokter karena pengisian clinical pathway merupakan salah satu
tanggung jawab dokter. Imbalan tersebut masuk dalam komponen IKI
dokter di tahun 2016, hanya saja masih banyak dokter yang belum
mengetahui hal tersebut dikarenakan sosialisasi terkait imbalan yang tidak
merata. Imbalan pengisian clinical pathway untuk perawat, farmasi, dan
tenaga kesehatan lainnya belum ada. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Rahmawati (2012) terdapat hubungan yang kuat antara
imbalan dan kinerja karyawan di Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan
artinya semakin besar imbalan semakin tinggi kinerja karyawan.
Sanksi Tidak ada sanksi secara formal yang diterapkan dalam proses
implementasi clinical pathway di RS. Jika terjadi pelanggaran dalam
prosesnya, maka yang dilakukan hanya berupa teguran antar tenaga
kesehatan. Teguran yang dilakukan hanya sebatas mengingatkan untuk
mengisi atau melengkapi formulir clinical pathway. Sanksi dibutuhkan
untuk meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melakukan
pengisian clinical pathway DHF anak. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Regaletha (2009) terdapat hubungan yang signifikan
antara sistem sanksi dengan kepatuhan dokter terhadap formularium RS.
c. Ketersediaan Formulir
Berdasarkan pedoman penyusunan standar pelayanan kedokteran (Kemenkes
RI, 2014) format clinical pathway adalah dokumen tertulis. Ketersediaan formulir
merupakan tersedianya formulir clinical pathway DHF anak yang digunakan untuk
perawatan pasien di ruang rawat inap. Berdasarkan hasil peelitian, formulir
clinical pathway DHF anak di ruang rawat inap selalu tersedia. Tidak pernah
terjadi masalah terhadap ketersediaan formulir clinical pathway.
Fasilitas merupakan segala sesuatu yang dapat memudahkan dan melancarkan
pelaksanaan suatu usaha (Wahyuningrum, 2010). Fasilitas dapat menjadi
pendukung atau hambatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan di RS.
Formulir clinical pathway merupakan fasilitas atau sarana prasarana yang
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
digunakan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
Pada penerapan clinical pathway DHF anak di RSUP Fatmawati, ketersediaan
formulir clinical pathway merupakan faktor pendukung karena formulir selalu
tersedia di ruang rawat inap.
2. Evaluasi proses
Proses merupakan elemen penting dalam evaluasi program. Evaluasi proses dinilai
dari sisi manajemen dilihat proses pelaporan, memenuhi standar yang sesuai atau tidak
serta memeriksa semua kegiatan dan prosedur (Scriven, 2007).
Proses implementasi clinical pathway
Unit yang terlibat dalam proses implementasi clinical pathway DHF anak adalah
Instalasi Rawat Inap, Instalasi Rekam medik, dan Kelompok staf medik anak. Proses
implementasi clinical pathway merupakan alur proses yang dimulai dari pengisian clinical
pathway DHF anak hingga clinical pathway diberikan ke KSM anak. Berikut ini
merupakan flwchart alur proses implementasi clinical pathway DHF anak: Proses Implementasi Clinical Pathway DHF Anak
KSM AnakInstalasi Rekam MedikInstalasi Rawat InapIGD
Phase
Pasien Datang
Ditegakan diagnosis
Pasien mendapatkan perawatan
Pengisian CP oleh DPJP dan PPJP
Melanjutkan perawatan
Pemantauan kelengkapan CP
CP dimasukan ke dalam rekam medis
Rekam medis tiba di bagian pengolahan
rekam medis
Registrasi, analisis kelengkapan RM, dan kodingan INA-‐
CBGs
Assembling/perakitan RM
Pencabutan dan pengumpulan CP dari rekam medis
Pembagian CP sesuai KSM di
bagian administrasi
Pengembalian CP ke KSM anak
CP tiba di KSM
Rekam medis dikembalikan ke
IRMPDI
Ada Varian?
Selesai
Pasien di rujuk ke rawat inap
CP diberikan ke bagian adm. Kolegal
rekam medik
Pasien selesai perawatan
Gambar 1. Flowchart Alur Implementasi Clinical Pathway DHF Anak
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Terdapat beberapa proses implementasi clinical pathway yang belum sesuai dengan
kebijakan RS, yaitu:
1. Belum adanya pengisian clinical pathway DHF anak di IGD atau ruang lain pada
pasien yang telah ditegakan diagnosis. Hal tersebut tidak sesuai dengan SPO RS
yang menyebutkan bahwa instalasi menyediakan format clinical pathway pada
setiap penyakit dan kondisi yang telah ditetapkan. Instalasi yang terlibat dalam
proses implementasi clinical pahway adalah Instalasi Gawat Darurat (IGD),
Instalasi Rawat Inap, Instalasi Faramasi, Instalasi Gizi, Instalasi Radiologi,
Instalasi Laboratorium, dan Instalasi Rehabilitasi Medik.
2. Pengisian clinical pathway DHF anak hanya diisi oleh DPJP dan PPJP. Dalam
formulir clinical pathway terdapat komponen pengisian yang seharusnya
dilakukan oleh dokter, perawat, farmasis, dan dokter gizi. Farmasi tidak ada
pelayanan secara langsung kepada pasien, farmasi hanya melakukan pengecekan
obat pasien melalui rekam medis. Dokter gizi untuk konsultasi gizi tidak pernah
memberikan pelayan karena dianggap untuk nutrisi DPJP yang memberikan
pelayanan sudah cukup. Konsultasi gizi hanya dilakukan pada pasien yang
memiliki masalah gizi seperti obesitas atau gizi buruk. Dapat disimpulkan bahwa
proses kolaborasi antar tenaga kesehatan belum terlihat dalam memberikan
pelayanan kepada pasien DHF anak.
3. SDM yang melakukan aktivitas tidak sesuai dengan SPO. Pemantauan
kelengkapan dilakukan oleh kepala ruangan dan PJPP. Hal tersebut tidak sesuai
dengan SPO, dimana dalam SPO pemantauan kelengkapan clinical pathway
dilakukan oleh PPJP. PPJP dan PJPP di RSUP Fatmawati memiliki tugas yang
berbeda. PPJP merupakan penanggung jawab pasien secara individu, bertanggung
jawab terjadap satu pasien atau lebih. PJPP bertanggungjawab terhadap pelayanan
pasien sesuai asuhan keperawatan secara keseluruhan dalam satu ruangan.
4. Tidak ada monitoring dari manajemen terhadap kepatuhan dan kelengkapan
pengisian clinical pathway DHF anak. Berdasarkan hasil observasi, tidak ada
pencatatan khusus tentang pengumpulan clinical pathway di IRMPDI dan KSM
anak. Monitoring dan pencatatan penting dilakukan sebagai bentuk pengendalian
dalam sebuah proses kegiatan.
5. Pengisian clinical pathway yang selama ini dilakukan oleh dokter tidak ada
evaluasi dan feedback dari manajemen. Dokter tidak mengetahui apa tujuan dan
hasil dari pengisian clinical pathway sehingga tidak ada yang menjadikan dasar
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
perbaikan untuk peningkatan pengisian clinical pathway DHF anak oleh dokter.
Tidak adanya evaluasi dan feedback terhadap kepatuhan dan kelengkapan
pengisian clinical pathway DHF anak merupakan hambatan dalam implementasi
clinical pathway. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti
Sultoni (2014) di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang mengatakan bahwa salah
satu hambatan penerapan clinical pathway adalah tidak adanya audit terhadap
kepatuhan penerapan clinical pathway dan hasil audit dikomunikasikan kepada
semua staf yang terlibat.
3. Evaluasi outcome
Evaluasi outcome meliputi pencapaian indikator klinis sebagai parameter peningkatan
mutu. Parameter yang digunakan untuk menilai penyimpangan atau ketidaktepatan
clinical pathway disebut varian atau variasi (Aryanti & Lestarini, 2013). Variasi yang
diteliti meliputi lama hari rawat (LOS), pemeriksaan penunjang (Laboratorium dan
Radiologi), gizi, Asuhan keperawatan, serta tata laksana atau pengobatan.
a. Lama Hari Rawat
Pada pasien DHF anak rencana rawat berdasarkan formulir clinical pathway
adalah 5 hari. Berikut ini merupakan distribusi lama hari rawat pasien DHF anak:
Tabel 2. Distribusi Lama Hari Rawat Pasien DHF Anak Bulan Januari-Juni 2016
Variabel Standar
deviasi
Mean Maksimal Minimal Median
Lama hari
rawat
1,5 3,95 12 1 4
Lama hari rawat dikelompokan menjadi tiga, yaitu kelompok yang kurang dari
5 hari, kurang atau sama dengan 5 hari, dan lebih dari 5 hari. Berikut ini
merupakan tabel kesesuaian lama hari rawat. Tabel 3. Persentase Kesesuaian Lama Hari Rawat Pasien DHF Anak Dengan Formulir
clinical pathway Bulan Januari-Juni 2016
Lama Hari Rawat N Persentase (%)
LOS < 5 hari 148 75
LOS ≤ 5 hari 174 88
LOS > 5 hari 24 12
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Terjadinya variasi pada lama hari rawat dapat terjadi karena kondisi perjalanan
penyakit, penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical
errors). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sebuah RS di Murcia Spanyol,
clinical pathway dapat menurukan lama hari rawat pasien dari 4,8-2,1 hari menjadi
3,6-1,9 hari (Aledo & dkk, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rini Dwi Primasari (2016) yang
berjudul Analisis Lama Hari Rawat Pada Pasien BPJS Kasus Demam Berdarah
Dengue di Instalasi Rawat Inap RSUP Fatmawati periode Januari-Juni Tahun 2015
didapatkan rata-rata lama rawat pasien DHF adalah 5,32 hari. Lama hari rawat
yang sesuai dengan formulir clinical pathway sebesar 63,6%. Dalam waktu satu
tahun terdapat pengurangan length of stay pasien DHF anak dari 5,32 hari menjadi
3,95 hari. Terjadi peningkatan kesesuaian lama hari rawat dengan rencana rawat
formulir clinical pathway dari 63,6% menjadi 88%. Berdasarkan penelitian yang
sama, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi lama rawat adalah umur, adanya
diagnosa penyakit lain, frekuensi pemeriksaan dokter, dan tindakan medis.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pada formulir clinical pathway terdapat pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan oleh pasien DHF anak. Berikut ini merupakan persentase pemeriksaan
penunjang pasien DHF anak pada formulir clinical pathway: Tabel 4. Persentase Pemeriksaan Penunjang Pasien DHF Anak Dengan Formulir clinical
pathway Bulan Januari-Juni 2016
Pemeriksaan penunjang N Persentase (%)
Laboratorium Hb, Ht, Tromb, Leko 198 100
DTL, Urine, Feses 1 1
Anti Degue, IgG/IgM 187 94
Radiologi CXR RLD 89 45
Berdasarkan Panduan Praktik Klinis (PPK) RSUP Fatmawati kasus Demam
Berdarah Dengue KSM anak, pemeriksaan trombosit dan hematrokit dapat
dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium Hb, Ht, Tromb, Leko. Pemeriksaan
Foto toraks lateral dekubitus dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi CXR
RLD atau chest x-ray. CXR merupakan suatu proyeksi radiografi dari thorax untuk
mendiagnosis kondisi-kondisi yang mempengaruhi thorax, isi dan struktur-struktur
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
di dekatnya. Serologi dengue dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium Anti
Degue, IgG/IgM.
Pemeriksaan DTL, Urine, Feses memiliki persentase yang sangan rendah yaitu
sebesar 1% namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena dalam PPK tidak
menyebutkan harus melaksanakan pemeriksaan tersebut. Terdapat pemeriksaan
tambahan pada pemeriksaan laboratorium pasien DHF anak yang dilakukan pada
bulan Januari-Juni 2016, yaitu: Tabel 5. Laboratorium Tambahan yang Dilakukan Oleh Pasien DHF Anak Bulan Januari-
Juni 2016
No Lab tambahan Jumlah Persentase (%)
1 NS-1 4 2
2 Elektrolit 17 9
3 Fungsi Hati 6 3
4 IgM Salmonella 4 2
5 Fungsi Ginjal 5 3
6 GDS 13 7
7 IgG/IgM Leptospirosis 1 1
8 Golongan darah 1 1
9 BMP 1 1
10 Widal test 1 1
11 Diff. Count 1 1
12 AGD 2 1
13 LED 1 1
14 Komponen besi 1 1
15 Profil lipid 1 1
16 asam urat 1 1
Jumlah pemeriksaan 60 30
Jumlah clinical pathway 198
Persentase pemeriksaan penunjang tambahan pada pasien DHF anak adalah 30%
dan yang sering dilakukan adalah pemeriksaan elektrolit sebesar 9%.
c. Gizi
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Komponen gizi pada formulir clinical pathway DHF anak merupakan
konsultasi gizi. Gizi pada pasien DHF anak ditangani oleh dokter anak subspesialis
gizi. RS hanya memiliki satu dokter anak subspesialis gizi yang masih dalam
proses pendidikan sehingga untuk konsultasi gizi DHF anak dilakukan oleh DPJP.
Gizi dibagi menjadi dua yaitu sesuai dengan clinical pathway dan yang tidak
sesuai. Gizi yang sesuai dengan clinical pathway adalah yang minimal satu kali
pernah melakukan konsultasi gizi. Tabel 6. Persentase Kesesuaian Gizi Pasien DHF Anak Dengan Formulir clinical pathway
Bulan Januari-Juni 2016
Gizi N Persentase (%)
Sesuai clinical pathway 129 65
Tidak sesuai clinical pathway 69 35
Jumlah 198 100
Pada penelitian yang berjudul “Clinical Pathway Dalam Pelayanan Stroke
Akut: Apakah Pathway Memperbaiki Proses Pelayanan?” terdapat perbaikan
dalam hal konsultasi gizi pada sebelum dan sesudah penggunaan clinical pathway.
Sebelum penggunaan clinical pathway indikator konsultasi gizi dilakukan pada
82% kasus sedangkan sesudah penggunaan clinical pathway konsultasi gizi
dilakukan pada 100% kasus (Pinzon & dkk, 2009). Dapat dikatakan bahwa dengan
menggunakan clinical pathway dapat meningkatkan konsultasi gizi.
d. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan pada formulir clinical pathway DHF anak terdiri dari
monitoring tanda vital, monitoring jumlah cairan masuk, dan monitoring tanda
pendarahan yang dilakukan oleh PPJP. Asuhan keperawatan dibagi menjadi dua
yaitu sesuai dengan clinical pathway dan yang tidak sesuai. Termasuk sesuai
dengan clinical pathway adalah asuhan keperawatan yang melakukan ketiga
kegiatan tersebut. Tabel 7. Persentase Kesesuaian Asuhan Keperawatan Pasien DHF Anak Dengan Formulir
clinical pathway Bulan Januari-Juni 2016
Asuhan Keperawatan N Persentase (%)
Sesuai clinical pathway 198 100
Tidak sesuai clinical pathway 0 0
Jumlah 198 100
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pelayanan asuhan keperawatan pada
pasien DHF anak yang sesuai dengan clinical pathway adalah sebesar 100%.
Terdapat pengaruh asuhan keperawatan yang diberikan terhadap kepuasan pasien
yang dirawat inap di RS Umum Sigli (Kamaruzzaman, 2008). RS harus
meminimalisir variasi pada asuhan keperawatan karena hal tersebut dapat
berpengaruh pada kepuasan pasien. Pada penelitian ini komponen asuhan
keperawatan tidak terjadi variasi atau penyimpangan pada asuhan keperawatan
sehingga dapat disimpulkan bahwa asuhan keperawatan pasien DHF anak telah
sesuai dengan clinical pathway.
e. Pengobatan
Obatan atau tata laksana pasien DHF anak pada formulir clinical pathway
adalah Parasetamol dan pasang IVFD. Berikut ini merupakan persentase
pengobatan atau tata laksana pasien DHF anak pada formulir clinical pathway. Tabel 8. Persentase Pengobatan Pasien DHF Anak Dengan Formulir clinical pathway Bulan
Januari-Juni 2016
Obat-obatan N Persentase (%)
Parasetamol 118 60
IVFD 195 98
Pemberian terapi pengobatan yang optimal pada penderita DBD dapat
menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini (Chen & dkk, 2009).
Pengobatan DBD bersifat suportif dan simptomatik. Pengobatan suportif berupa
pengobatan dengan pemberian cairan pengganti seperti cairan intavena dengan
memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium, sehingga diharapkan penatalaksanaannya dapat dilakukan secara
efektif dan efisien (Chen & dkk, 2009). Pengobatan simptomatik pada penderita
DBD merupakan pemberian terapi untuk mengatasi gejala yang timbul. Terdapat
beberapa jenis terapi simptomatik yang diberikan antara lain: terapi antipiretik,
terapi antasida dan antiulcer, terapi antiemetika, terapi diuretik dan terapi sedatif
(Andriani, Tjitrosantoso, & Yamlean, 2014). Pengobatan simptomatik berupa
pemberian antipiretik misalnya parasetamol bila suhu >38,50C (Hadinegoro &
dkk, 2004).
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Pengobatan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien, sehingga tidak semua tata
laksana dalam PPK RS harus diberikan kepada pasien. Terdapat obat tambahan
pada tata laksana pengobatan pasien DHF anak yang dilakukan pada bulan
Januari-Juni 2016, yaitu: Tabel 9. Obat Tambahan yang Diberikan Pada Pasien DHF Anak Bulan Januari-Juni 2016
No Obat tambahan Jumlah Persentase (%)
1 Omeprazol inj 1 1 2 Isoprinosin 1 1 3 Ringer asetat 1 1 4 Cespan 1 1 5 Ondansetron 2 1 6 Omeprazole 4 2 7 Ranitidin 23 12 8 Ceftriaxone 3 2 9 Inhalasi 1 1 10 Diazepam 2 1 11 Transfusi Tc 2 1 12 NaCL 1 1 13 Ambroxol 2 1 14 Gelofusin 1 1 15 Metyl Prednisolon 1 1 16 Domperidon 2 1 17 Stesolid supp 1 1 18 Cetrizine 1 1 19 Prednison 1 1 20 Cavit 1 1 21 Furosemid 1 1 22 Phenitoin 1 1 23 OAT 1 1 Jumlah obat 55 28
Jumlah clinical pathway 198
Persentase obat tambahan pada pasien DHF anak adalah 28%. Obat tambahan
yang sering digunakan pada pasien DHF anak adalah Ranitidin sebesar 12%.
Ranitidin termasuk terapi simptomatik. Obat tambahan dapat diberikan kepada
pasien tergantung pada kodisi klinis individu. berikut ini merupakan persentase
obat tambahan yang diberikan pada pasien DHF anak yang kurang sama dengan 5
hari (sesuai rencana lama rawat clinical pathway), yaitu: Tabel 10. Persentase Pemakaian Obat Tambahan berdasarkan Lama Hari Rawat Pasien
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Lama Hari Rawat Persentase lama hari
rawat (%)
Persentase obat
tambahan (%)
LOS ≤ 5 hari 88 17
LOS > 5 hari 12 50
Berdasarkan tabel di atas terdapat 17% pemakaian obat tambahan dari 88%
pasien DHF anak yang memiliki lama hari rawat kurang sama dengan 5 hari dan
terdapat 50% pemakaian obat tambahan dari 12% pasien DHF anak yang memiliki
lama hari rawat lebih dari 5 hari. Dapat disimpulkan bahwa obat tambahan lebih
sering digunakan pada pasien yang memiliki lama hari rawat lebih dari 5 hari.
Dalam beberapa tahun ini, terjadi peningkatan kasus demam berdarah dengue
(DBD) komorbid dengan penyakit lain, seperti kelainan hati dan kelainan ginjal
(Lardo, 2013). DBD dengan Komorbid tersebut dapat menyebabkan lama hari
rawat memanjang dan membutuhkan obat tambahan.
Dari hasil penelitian didapatkan variasi pada lama hari rawat (LOS),
pemeriksaan penunjang, gizi, dan pengobatan. Pelayanan kesehatan diberikan
dalam sebuah proses pelayanan yang sangat kompleks, mudah terjadi variasi, dan
rentan terhadap kesalahan. Variasi dari implementasi clinical pathway dapat
terjadi selama perawatan pasien berlangsung (Cheah, 2000). Variasi dalam
pelayanan kesehatan untuk kondisi klinis yang sama disebabkan oleh banyak hal.
Perubahan kondisi klinis, kompleksitas masalah klinis, perbedaan sumber daya
antar institusi, dan kemampuan pasien merupakan sebab munculnya variasi dalam
pelayanan medis (Pinzon & dkk, 2009). Hal yang perlu ditekankan adalah
penerapan clinical pathway dapat mengurangi lama hari rawat sehingga dapat
meminimalisir sumber daya dan biaya yang digunakan RS.
Kesimpulan
1. Evaluasi input implementasi clinical pathway DHF anak yaitu:
a. Format clinical pathway DHF anak sudah berisi rencana perawatan pasien,
mudah dibaca, dimengerti, ringkas, dan jelas namun belum lengkap karena
belum terdapat kriteria hasil kondisi pasien yang diharapkan.
b. Pengisian clinical pathway oleh farmasis belum pernah dilakukan
c. Kepatuhan dokter dan perawat cukup rendah dalam pengisian clinical pathway
DHF anak disebabkan karena belum optimalnya sosialisasi SPO dan edukasi
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
clinical pathway kepada dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang terlibat,
serta belum optimalnya imbalan dan sanksi bagi pengisian clinical pathway
d. Pengetahuan dan waktu tidak menjadi penyebab belum optimalnya kepatuhan
pegisian clinical pathway DHF anak.
e. Formulir clinical pathway DHF anak di ruang rawat inap selalu tersedia.
2. Evaluasi proses implementasi clinical pathway DHF anak secara keseluruhan berjalan
dengan baik, namun masih terdapat beberapa masalah yaitu:
a. Tidak adanya pengisian clinical pathway DHF anak di IGD atau ruang lain
pada pasien yang telah ditegakan diagnosis.
b. Clinical pathway DHF anak hanya diisi oleh dokter dan perawat sehingga
kolaborasi antar tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien
belum optimal.
c. Belum adanya monitoring dan pencatatan yang dilakukan untuk memantau
kepatuhan pengisian clinical pathway DHF anak.
d. Belum adanya evaluasi dan feedback / komunikasi terhadap pengisian dan
kelengkapan clinical pathway DHF anak di RS.
3. Gambaran outcome dari implementasi clinical pathway DHF anak, yaitu:
a. Rata-rata lama hari rawat pasien DHF anak adalah 3,95 hari dengan standar
deviasi 1,5, maksimal adalah 12 hari dan minimal adalah 1 hari. Lama hari
rawat pasien DHF anak yang kurang dari 5 hari adalah 75%, kurang atau
sama dengan 5 hari adalah 88%, dan yang lebih dari 5 hari adalah 12%.
b. Persentase pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaaan Hb, Ht, Tromb, Leko
adalah 100%, DTL, Urine, Feses hanya 1 % dan Anti Degue, IgG/IgM
sebesar 94%, kemudian untuk pemeriksaan CXR RLD adalah 45%.
Persentase pemeriksaan penunjang tambahan pada pasien DHF sebesar 30%
dan pemeriksaan yang sering dilakukan adalah pemeriksaan elektrolit 9%.
c. Pelayanan gizi pada pasien DHF anak yang sesuai dengan clinical pathway
adalah sebesar 65%.
d. Pelayanan asuhan keperawatan pada pasien DHF anak yang sesuai dengan
clinical pathway adalah sebesar 100%.
e. Persentase pengobatan pasien DHF anak yang diberikan parasetamol sebesar
60% dan yang diberikan pemasangan IVFD sebesar 98%. Persentase obat
tambahan sebesar 28% dan yang sering digunakan adalah Ranitidin sebesar
12%.
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dapat diberikan yaitu:
1. Formulir clinical pathway perlu dilengkapi dengan kriteria hasil yang
diharapkan pada setiap tahapan pelayanan sehingga dapat mengetahui
kemajuan kondisi pasien.
2. Diperlukan sosialisasi SPO kepada dokter, perawat dan tenaga kesehatan
lainnya yang terlibat secara rutin untuk meningkatkan pengetahuan terhadap
clinical pathway DHF anak.
3. Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi tentang clinical pathway DHF anak
bagi tenaga kesehatan yang terlibat agar dapat dihasilkan pengertian dan
pemahaman yang sama antar tenaga kesehatan sehingga integrasi dalam
implemetasi clinical pathway dapat berjalan dengan maksimal.
4. Dijadikannya kepatuhan pengisian clinical pathway sebagai salah satu
komponen dalam IKI (Indikator Kinerja Individu) bagi seluruh tenaga
kesehatan yang terlibat atau IKU (Indikator Kinerja Unit) bagi satuan kerja
yang terlibat implementasi clinical pathway DHF anak sebagai imbalan dan
sanksi untuk meningkatkan kepatuhan pengisian clinical pathway.
5. Diperlukan monitoring dengan membuat catatan atau rekapan pengumpulan
clinical pathway di setiap satuan kerja yang terlibat untuk meningkatkan
kepatuhan pengisian dan kelengkapan clinical pathway sehingga proses
implementasi clinical pathway dapat terlaksana dengan baik.
6. Dilakukan evaluasi implementasi clinical pathway dan evaluasi tata laksana
secara rutin dengan membuat pertemuan setiap perwakilan tenaga kesehatan
yang terlibat setiap bulan serta hasil evaluasi diinformasikan kepada seluruh
elemen yang terlibat dalam proses tersebut.
7. Menurunkan rencana lama rawat pasien DHF anak dalam fomulir clinical
pathway untuk meminimalisir sumber daya dan biaya yang digunakan RS
dalam memberikan pelayanan kesehatan.
8. Melakukan simplifikasi formulir yang harus diisi oleh dokter, perawat dan
tenaga kesehatan lainnya seperti formulir rekam medis dan clinical pathway
sehingga dapat memudahkan dan mengurangi beban kerja dokter dan perawat,
kemudian mengembangkan sistem elektornik untuk formulir-formulir tersebut
sehingga data pasien dapat terintegrasi.
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Daftar Pustaka
Aledo, V. S., & dkk. (2008). Evaluation and Monitoring of The Clinical Pathway for Thyroidectomy. The American Surgeon, 29-36.
Andriani, N. W., Tjitrosantoso, H., & Yamlean, P. V. (2014). Kajian Penatalaksanaan Terapi Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) Pada Penderita Anak Yang Menjalani Perawatan Di Rsup Prof. Dr. R.D Kandou Tahun 2013. Jurnal Ilmiah Farmasi, 57-61.
Aryanti, L., & Lestarini, D. (2013). Implementasi Panduan Praktik Klinik dan Clinical Pathway Pada Pelayanan . Workshop Meningkatkan Kendali Mutu Layanan RS melalui Clinical Pathway dan Panduan Praktik Klinik, CHAMPS FKMUI. Depok.
Azwar, A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta : Binarupa Aksara.
Campbell, H., & dkk. (1998). Integrated care pathways. BMJ, 133-137.
Cheah, J. (2000). Development and implementation of a clinical pathway programme in an acute care general hospital in Singapore. International Journal for Quality in Health Care, 403-412.
Chen, & dkk. (2009). Diagnosis dan terapi cairan. Jakarta: FK UI RS Dr. Cipto Mangunkusumo.
Firmanda, D. (2006). Clinical Pathways Kesehatan Anak. sari pediatri, 195-208.
Hadinegoro, & dkk. (2004). Tatalaksana Demam Berdarah dengue Di Indonesia. . Jakarta: Depkes RI.
Kamaruzzaman. (2008). Pengaruh Asuhan pelayanan Keperawatan Terhadap Kepuasan Pasien di Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Sigli Tahun 2008. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kemenkes RI. (2014). Pedoman Penyusunan Standar pelayanan Kedokteran.
Kementerian Kesehatan RI. (2016, Maret Senin). WILAYAH KLB DBD ADA DI 11 PROVINSI. Retrieved Agustus Minggu, 2016, from Departemen Kesehatan : http://www.depkes.go.id/
Kepmenkes Nomor 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal RS
Kinsman, L., & dkk. (2010, May 27). What is a clinical pathway? Development of a definition to inform the debate. Retrieved from BioMed Central: https://bmcmedicine.biomedcentral.com/articles/10.1186/1741-7015-8-31
Kusuma, A. J. (2013). Clinical Pathway : Strategi Untuk Meningkatkan Mutu Pelayanan Medis. Meningkatkan Kendali Mutu Layanan RS melalui Clinical Pathway dan Panduan Praktik Klinik, CHAMPS FKMUI, (p. 3). Jakarta.
Lardo, S. (2013). Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit. Jakarta: CDK (Cermin Dunia Kedokteran).
Mallock, N., & Braithwaite, J. (2005). A template for clinical pathway design based on international evidence. Clinical Governance Bulletin .
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016
Maulana, S., Supriyono, B., & Hermawan. (2013). Evaluasi Penyediaan Layanan Kesehatan di Daerah Pemekaran Dengan Metode CIPP (Studi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Tidung). Wacana, 16(4), 186-196.
Panduan Praktik Klinik Demam Berdarah KSM Anak RSUP Fatmawati
Permenkes Nomor 1438 tentang Standar Pelayanan kedokteran
Permenkes Nomor 12 tahun 2012 Tentang Akreditasi Rumah Sakit
Pinzon, R., & dkk. (2009). Clinical Pathway Dalam Pelayanan Stroke Akut: Apakah Pathway Memperbaiki Proses Pelayanan? Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 20-23.
Primasari, R. D. (2016). Analisis Lama Hari Rawat Pada Pasien BPJS pada Kasus Demam Berdarah Dengue di Instalasi Rawat Inap RSUP Fatmawati Periode Januari-Agustus tahun 2015. Depok: Universitas Indonesia.
Rahma, P. A. (2013). Implementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu dan Kendali Biaya Pelayanan Kesehatan. Retrieved Agustus Minggu, 2016, from Mutu Pelayanan Kesehatan: http://mutupelayanankesehatan.net/
Rahmawati, P. (2012). Analisis Kinerja Pegawai Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010. Depok: Universitas Indonesia.
Regaletha, T. A. (2009). Faktor-Faktor Internal Dan Eksternal Yang Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Dokter Dalam Menulis Resep Pasien Rawat Jalan Berdasarkan Formularium Di Rsud Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. Semarang: Universitas Diponogoro.
Scriven, M. (2007). Key Evaluations Checklist . Retrieved from Western Michigan University: http://www.michaelschttp://www.wmich.edu/sites/default/files/attachments
Stufflebeam, D. L. (2007, Maret). CIPP Evaluation Model Checklist. Diambil kembali dari Western Michigan University: http://www.wmich.edu/evaluation/checklists
Sultoni, S. (2014). Evaluasi Implementasi Clinical Pathway Pada Pasien Infark Miokard Akut Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tesis. Yogyakarta: UGM.
Universitas Yarsi. (2013). Pedoman Penelitian Operasional/Operational Research. Retrieved Agustus Minggu, 2016, from Yarsi TB care: http://www.yarsi.ac.id/tb-care/pedoman-penelitian-operasionaloperational-research/
Wahyuningrum. (2010). Manajemen Fasilitas. Jakarta: Decentralized Basic Education.
Zotomayor, R. C., & fellow, l. (2014). Integrated Clinical Pathways. Retrieved from Asian Pacific Society of Respirology: http://www.apsresp.org/pdf/esap/esap-201408-lectures/cs-4-1.pdf
Evaluasi Implementasi ..., Nur Rohmah, FKM UI, 2016