etika dalihan natolu dalam masyarakat batak muslim
TRANSCRIPT
ETIKA DALIHAN NATOLU DALAM MASYARAKAT BATAK
MUSLIM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Suhaimy Pasaribu
NIM: 11150331000029
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
ii
ETIKA DALIHAN NATOLU DALAM MASYARAKAT BATAK
MUSLIM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Suhaimy Pasaribu
NIM: 11150331000029
Dosen Pembimbing
Drs. Ramlan Abdul Gani, M.A.
NIP. 19610614 1992 03 1002
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Suhaimy Pasaribu
NIM : 11150331000029
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ETIKA DALIHAN NA
TOU DALAM MASYARAKAT BATAK MUSLIM adalah benar merupakan
karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya.
Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan
sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses yang
semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata
skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.
Jakarta, 20 Agustus 2020
Suhaimy Pasaribu
NIM.11150331000029
iv
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
Menyatakan bahwa:
Nama : Suhaimy Pasaribu
NIM : 11150331000029
Program Studi : Aqidah dan Filsafat Islam
Judul Skripsi : ETIKA DALIHAN NA TOLU DALAM
MASYARAKAT BATAK MUSLIM
Dengan ini menyatakan bahwa mahasiswa tersebut di atas telah menyelesaikan
penulisan skripsi (bab 1-5) dan telah menjalani bimbingan skripsi selama ini. Oleh
karena itu, mahasiswa tersebut telah disetujui untuk maju ke tahap sidang skripsi.
Jakarta, 20 Agustus 2020
Dosen Pembimbing
Drs. Ramlan Abdul Gani, M.A.
NIP. 19610614 1992 03 1002
v
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Etika Dalihan Na Tolu dalam Masyarakat Batak Muslim”
telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal Juni 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada Program
Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Jakarta, 20 Agustus 2020
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Tien Rohmatin, MA Dra. Banun Binaningrum, M.Pd
NIP. 19680803 199403 2 002 NIP. 19680618 199903 2 001
Penguji I, Penguji II,
Dr. Kusen, Ph.D., M.A. Hanafi, S.Ag., M.A.
NIP. NIP.19691216 1996 03 1002
Pembimbing,
Drs. Ramlan Abdul Gani, M.A.
NIP. 19610614 1992 03 1002
vi
ABSTRAK
Suhaimy Pasaribu, “Etika Dalihan Na Tolu Dalam Masyarakat Batak
Muslim”, 2020
Tulisan ini fokus pada etika Dalihan na Tolu dalam masyarakat Batak Muslim.
Dalihan Na Tolu telah memberikan ajaran dan aturan terhadap unsur-unsur yang
terlibat, baik itu pihak kahanggi, anak boru, dan mora. Hal ini bertujuan untuk
menjaga hubungan baik antara pihak maupun dalam masyarakat. Adapun
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai ajaran etika
Dalihan Na Tolu sehingga menjadi falsafah hidup suku Batak Muslim, nilai inti
yang ditanamkan dalam Dalihan Na Tolu, nasehat-nasehat antar kerabat, serta
praktek ajaran Dalihan Na Tolu dengan ajaran Islam. Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah didasarkan pada riset yakni menemukan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian, seperti: merujuk
pada buku-buku, skripsi, jurnal, dan internet yang membahas tentang Dalihan Na
Tolu.
Adapun hasil penelitiannya, Dalihan Na Tolu menjadi falsafah hidup suku Batak.
Bahwa sistem kekerabatan ini lahir dari Dalihan Na Tolu karena ada perkawinan
dan lahir juga dari adanya marga. Hal ini juga bermaksud agar antara pihak saling
mengetahui tatakrama dan sopan santun dalam bertutur kata. Maka akan timbul
sikap saling menghormati diantara mereka. Ada tujuh nilai-nilai yang harus
ditanamkan oleh masyarakat batak yakni: Kekerabatan (hubungan kekerabatan),
nilai keagamaan, hagabeon (panjang umur), hamoraon (kehormatan), uhum dan
ugari (hukum dan adat), pengayoman (perlindungan), dan marsisarian (saling
mengerti). Adapula keutamaan yang ditanamkan kepada pihak yang terlibat dalam
Dalihan Na Tolu agar mencapai kebahagiaan yakni: manat markahanggi (saling
tenggang rasa kepada pihak kahanggi/semarga), elek maranak boru (bisa
mengambil hati/pihak mora harus mengambil hati anak borunya), dan somba
marmora (hormat kepada pihak mora/pihak anak boru harus hormat kepada pihak
mora). Adapun praktek ajarannya bahwa antara pihak yang terlibat dalam Dalihan
Na Tolu agar senantiasa tolong menolong, saling menghargai, dan saling
menghormati. Agar kehidupan di masyarakat Batak Muslim menjadi harmonis
dan sesuai juga dengan ajaran Islam.
Kata Kunci: Dalihan Na Tolu, nilai-nilai inti, keutamaan dan kebahagiaan,
ajaran
vii
KATA PENGANTAR
Dalam setiap hela nafas yang dihembuskan setiap manusia tidak bisa
dipungkiri bahwa itu adalah sebagian kecil dari nikmat Tuhan Yang Maha Esa.
Kebesaran Tuhan beserta nikmat-nikmat itu diberikan kepada setiap makhluk-Nya
tanpa terkecuali. Untuk itulah, selayaknya setiap manusia senantiasa bersyukur
atas setiap nikmat yang telah dianugerahkan oleh-Nya.
Shalawat beserta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
yang menjadi uswah hasanah bagi umatnya. Ia merupakan nabi yang tidak hanya
berdakwah melalui dialog dan ceramah-ceramah, namun ia juga tampil sebagai
sosok teladan.
Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Agama (S.Ag.) pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan baik berupa materi dan immateril. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Pembantu Dekan Bagian
Akademik.
3. Dra. Tien Rohmatin, M.A., selaku ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku sekretaris
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Ramlan Abdul Gani, MA., selaku dosen pembimbing skripsi, yang
telah bersedia meluangkan waktunya dan sabar membimbing penulis.
Terima kasih atas semua kritik dan saran yang membangun sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen khususnya Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah setia
melayani penulis dalam segala keperluan dalam penyelesaian skripsi ini.
viii
6. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Ayah
Salahuddin Pasaribu dan Umak Purnama Rambe yang telah memberikan
cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus sehingga skripsi
ini dapat selesai. Tak lupa kepada kedua adik tercinta Nur Hafifah Putri
Pasaribu dan Abdullah Dzil Ilmi Hasan Pasaribu yang telah menjadi
pemacu semangat.
7. Terimakasih kepada Etek Mariama Rambe dan Uda Jemy Aprianto yang
telah menjadi orang tua penulis selama menyelesaikan studi.
8. Terimakasih kepada Mamak Zuhruf Rambe dan Nantulang Eka yang telah
menjadi orang tua penulis selama menyelesaikan studi.
9. Terimakasih kepada calon istri penulis yakni Aisyah Hizzatul Hayati.
10. Terimakasih kepada keluarga besar Aqidah dan Filsafat Islam angkatan
2015, yang telah menemani berjuang dan belajar bersama di kampus
tercinta ini.
Terimakasih atas bantuan kepada semua pihak yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini,
semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda dan menjadikan amal
jariyah, Amin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya.
Jakarta, 20 Agustus 2020
Penyusun
Suhaimy Pasaribu
NIM.11150331000029
ix
DAFTAR ISI
Lembar Judul .................................................................................................. i
Lembar Persetujuan ........................................................................................ ii
Lembar Pernyataan Keaslian Karya .............................................................. iii
Lembar Pengesahan Pembimbing .................................................................. iv
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ................................................................. v
Abstrak ........................................................................................................... vi
Kata Pengantar ............................................................................................... vii
Daftar Isi......................................................................................................... ix
Pedoman Transliterasi .................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................ 7
F. Metodologi Penelitian ........................................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 11
BAB II TEORI ETIKA DAN ETIKA ISLAM ......................................... 13
A. Pengertian Etika ................................................................................. 13
B. Teori Etika .......................................................................................... 14
1. Etika Normatif .............................................................................. 14
2. Etika Deontologi .......................................................................... 15
3. Etika Teleologi ............................................................................. 16
C. Ukuran Baik dan Buruk Perspektif Aliran-Aliran Etika .................... 17
1. Aliran Naturalisme ...................................................................... 18
2. Eudaemonisme ............................................................................. 19
3. Vitalisme ...................................................................................... 20
4. Idealisme ...................................................................................... 21
x
5. Utilitarisme ................................................................................... 22
D. Etika dalam Islam ............................................................................... 22
1. Pengertian Etika dalam Islam....................................................... 22
2. Karakteristik Etika Islam.............................................................. 25
3. Kedudukan Akal dan Naluri......................................................... 26
4. Keutamaan Akhlak Terpuji .......................................................... 27
BAB III SUKU BATAK MUSLIM DAN DALIHAN NA TOLU ........... 30
A. Sejarah Suku Batak Muslim dan Penyebarannya............................... 30
1. Asal Usul Suku Batak dan Penyebarannya .................................. 30
2. Masuknya Agama Islam ke Tapanuli Selatan .............................. 32
B. Pengertian dan Terbentuknya Masyarakat Dalihan Na Tolu ............. 34
1. Pengertian Dalihan Na Tolu ......................................................... 34
2. Terbentuknya Masyarakat Dalihan Na Tolu ................................ 35
C. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu ............................................................ 37
1. Suhut/Kahanggi ............................................................................ 37
2. Anak Boru .................................................................................... 38
3. Mora ............................................................................................. 39
D. Sistem Kekerabatan (Marga).............................................................. 40
1. Pengertian Marga ......................................................................... 40
2. Tarombo (Silsilah) ....................................................................... 41
3. Partuturon (Tutur Sapa) ............................................................... 42
BAB IV INTI AJARAN DALIHAN NA TOLU DAN KESELARASANNYA
DENGAN AJARAN ISLAM ....................................................................... 46
A. Dalihan Na Tolu Sebagai Falsafah Hidup ......................................... 46
B. Nilai-Nilai Dalihan Na Tolu .............................................................. 47
1. Kekerabatan.................................................................................. 48
2. Agama .......................................................................................... 49
3. Hagabeon ..................................................................................... 51
4. Harmoraon ................................................................................... 52
5. Uhum dan Ugari ........................................................................... 53
xi
6. Pengayoman ................................................................................. 55
7. Marsisarian .................................................................................. 56
C. Keutamaan dan Kebahagiaan ............................................................. 57
1. Manat Markahanggi .................................................................... 57
2. Elek Maranak Boru ...................................................................... 58
3. Somba Marmora .......................................................................... 58
D. Ajaran Etika Dalihan Na Tolu dengan Ajaran Islam ......................... 59
1. Tolong Menolong ......................................................................... 59
2. Saling Menghargai ....................................................................... 61
3. Saling Menghormati ..................................................................... 63
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 65
A. Kesimpulan ........................................................................................ 65
B. Saran ................................................................................................... 67
Daftar Pustaka ............................................................................................... 68
Glosarium ....................................................................................................... 71
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 Tahun 2017 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Padanan Aksara
Huruf
Arab
Huruf
Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ث
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha ر
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis dibawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ى
w We و
h Ha ھـ
Apostrof ` ء
y Ye ي
xiii
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Vokal Tunggal
Vokal Panjang Vokal Rangkap
Fathah : a أ : â ى...´ : ai
Kasrah : i ى : î و....´ : au
Dhammah : u و : û
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي Ai a dan i
و Au a dan i
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ىآ
Î i dengan topi di atas ىي
Û u dengan topi di atas ىى
huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijal, bukan ar-
rijal, al-diwân bukan ad-diwân.
D. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi syaddah itu. Akan tetapi hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
xiv
yang diikuti oleh huruh-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis aḏ-
darûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.
E. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut
diikuti oleh datkata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah
diikuti kata benda), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat
contoh 3).
No Tanda Vokal Latin Keterangan
ṯarîqah طريقت 1
al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah الجاهعت الإسلاهيت 2
waẖdat al-wujûd وددة الىجىد 3
F. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid Al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dari EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin alRaniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xv
G. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam Bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan di atas.
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذھة الأستاذ
tsabata al-ajru ثبج الأجر
al-ẖarakah al-‘asriyyah الذرمت العصريت
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشهد اى لا إله إلا الله
maulâna Malik al-sâliẖ هىلانا هلل الصالخ
yu’atstsirukum Allâh يؤثرمن الله
العقليتالوظاھر Al-maẕâhir al-‘aqliyyah
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad
Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki wilayah yang luas dari Sabang hingga Merauke dan
memiliki penduduk yang sangat banyak, serta mempunyai adat budaya beragam
yang terbagi di beberapa pulau di Indonesia. Seperti adat budaya Batak, adat
budaya Minangkabau, adat budaya Melayu, adat budaya Jawa dan masih banyak
budaya yang lain. Di antara banyak adat budaya terdapat salah satu memiliki
banyak khas yaitu adat budaya Batak di Sumatera Utara. Kekhasan itu bisa
langsung terlihat dari perkawinan, kekerabatan, dan cara mereka bersosialiasi
dengan adat budaya lain serta yang paling penting adalah prinsip dan falsafah
hidup mereka.
Etika di Indonesia beragam, ada daerah yang kuat dengan etikanya
berpangkal kepada adatnya dan ada yang kuat dengan etikanya berpangkal
kepada agama yang berpengaruh di daerah itu.1 Etika secara umum mencakup
semua aktifitas manusia, dalam hal ini manusia di tuntut bagaimana dituntut
untuk hidup menjadi baik di masyarakat. Etika Dalihan Na Tolu lahir di Suku
Batak sebagai solusi terbaik dalam menjalankan hidup. Sehingga Suku Batak
memiliki pola hidup yang unik dibanding dengan suku yang lainnya di
Indonesia. Hal itu terlihat dalam sistem kekerabatannya.
Suku Batak berada di Pulau Sumatra yang terletak di provinsi Sumatra
Utara. Suku Batak terbagi lagi menjadi beberapa sub suku dan masing-masing
mempunyai wilayah masing-masing. Adapun sub sukunya sebagai berikut :
1Sahat Simamora, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), h.11
2
1. Batak Mandailing, yang mendiami wilayah Mandailing Natal dan
Panyabungan.
2. Batak Angkola, yang mendiami wilayah induk Angkola, Padang
Sidempuan, Sipirok, Padang Lawas, Batang Toru, Sibolga, dan Tapanuli
Tengah.
3. Batak Toba, yang mendiami wilayah daerah tepian Danau Toba, Pulau
Samosir, Si Borong-Borong, Sibolga, dan meliputi dataran tinggi Toba.
4. Batak Pak-Pak, yang mendiami wilayah Dairi, sebagian Tanah Alas, dan
Gayo.
5. Batak Simalungun, yang mendiami wilayah Simalungun.
6. Batak Karo, yang mendiami wilayah datarang tinggi Karo, Deli, Langkat,
Hulu, dan sebagian Tanah Dairi.2
Penduduk Muslim Batak yang mempunyai rata-rata penduduk terbanyak
mendiami wilayah Tapanuli Bagian Selatan: meliputi daerah Mandailing Natal,
Panyabungan, Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Padang Lawas, Sibolga,
dan Tapanuli Tengah.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, masyarakat Batak
sekarang ini sudah dapat ditemui diberbagai wilayah di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena masyarakat Batak memiliki tradisi merantau guna
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi meskipun sudah tidak
tinggal di wilayahnya, masyarakat Batak tetap memegang teguh adat Dalihan Na
Tolu dan Marga. Dalihan Na Tolu lah yang menjadi pedoman hidup masyarakat
orang Batak, atau tinggal di wilayah yang didiami sendiri dan di perantauan.
2 Nalom Siahaan, Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanannya, (Jakarta: Tulus Jaya, 1982),
h. 10
3
Setiap suku memiliki falsafah hidup masing-masing. Begitu juga suku
Batak Muslim menjadikan falsafah hidup mereka dengan falsafah Dalihan Na
Tolu, yang disebut “Tungku nan Tiga”. Dalihan Na Tolu adalah tungku masak
berkaki tiga, diibaratkan sebagai simbol dari tatanan sosial kemasyarakatan
orang Batak. Ketiga kaki itu sama tinggi dan sama besar supaya ada
keseimbangan. Dalihan na Tolu lah yang menyatukan hubungan kekeluargaan
pada suku Batak. Ada tiga unsur hubungan kekeluargaan yakni Suhut dan
Kanggi, Anak boru, dan Mora. Ketiga unsur ini selalu bergerak serta saling
berhubungan dan tetap tegu dengan adanya sistem kekerabatan ini.3
Sistem kekerabatan yang dimaksud dalam tatanan sosial adalah pola
tingkah laku berdasarkan pengalaman dan penghayatan yang menyatu secara
terpadu dalam wujud fisik dan ideal kebudayaan. Nilai Budaya merupakan
realitas yang ia pegang dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat yang
menyangkut hubungan antara anak dengan ayah, anak dengan ibu, dan pada
hubungan individu dengan individu lainnya serta kelompok. Sebagai sistem
kekerabatan, Dalihan Na Tolu dijadikan pedoman berkomunikasi (berbahasa dan
bertutur), bertindak dan menyelesaikan masalah sosial. Dalam pelaksanaannya
Dalihan Na Tolu lebih sering digunakan dalam acara perkawinan dan kematian.
Kebudayaan Batak Muslim itu memiliki nilai-nilai kehidupan di waktu-
waktu mendatang yakni penerusan dari nilai-nilai kehidupan lampau yang
menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Dalam menjalankan kehidupan,
suku Batak dalam interaksinya sesama manusia dibuatlah nilai-nilai, etika
maupun estetika. Suku Batak mempunyai sistem kekerabatan yang dikenal dan
3Doangsa P.L. Situmeang, Dalihan Na Tolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba,
(Jakarta: Kerabat, 2007), h. 205
4
hidup hingga sekarang yang dikenal dengan istilah Partuturon (Bertutur).
Peradaban suku Batak di Sumatera Utara maupun yang ada di luar
Sumatra Utara sangat memegang erat sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan ini
adalah tradisi peninggalan nenek moyang suku Batak terdahulu yang mana
bertujuan untuk menjaga keharmonisan di dalam kehidupan masyarakat. Maka
dari itu sistem kekerabatan inilah disebut Dalihan Na Tolu. Solidaritas yang
terdapat di suku Batak yakni wujud dari kesadaran masyarakat dalam
melakukan hubungan sosial serta untuk menjaga perdamaian dan keharmonisan.
Di kehidupan masyarakat Batak, Dalihan Na Tolu dijadikan sebagai patokan
dalam bermasyarakat serta juga menimbulkan sikap toleransi, menghargai,
menghormati dan tolong menolong. 4
Melaksanakan ajaran adat Dalihan Na Tolu akan memberikan
pengharapan bagi warga Batak untuk mampu mencapai derajat hatuaon, yakni
ini merupakan konsep kebahagiaan dalam wujud kehormatan dalam diri
seseorang di dalam suatu masyarakat. Hal ini terbukti dari kenyataan hidup
sehari-hari masyarakat Batak yang telah mampu mengatur kehidupannya dengan
mempraktekkan nilai-nilai luhur yang dalam pada Dalihan Na Tolu.5
Prinsip Dalihan Na Tolu dijadikan sebagai konsep dasar suku Batak
mau itu di kampung Halaman dan desa perantauan. Eratnya rasa kekeluargaan
merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang ke setiap anak yang
dilahirkan dari suku Batak. Salah satu yang membuat erat rasa kekeluargaannya
adalah adanya marga disetiap tali turunan. Dengan margalah diketahui kita
4Muhammad Novriansyah Lubis, dkk, “Dalihan Na Tolu Sebagai Kontrol Sosial dalam
Kemajuan Teknologi”, Jurnal Sejarah dan Kebudayaan, Vol. 13, No. 01, 2019, h. 25 5Mangapul Sagala, Injil dan Adat Batak, (Jakarta : Yayasan Bina Dunia, 2018), Cet 2,
h. 51
5
berasal dari tali keturunan siapa. Di dalam buku Horja (Adat Istiadat Dalihan
Na Tolu), Parsadaan Marga Harahap Dohot Anakboru yang diterbitkan pada
tahun 1993, yakni sejak kecil orang Batak sudah dididik untuk senantiasa
memelihara kemesraan dan kehangatan hubungan dengan saudara, kerabat dekat
dan masyarakat. Orang batak merasakan kebahagiaan dan rasa aman apabila
memiliki orang-orang yang dicintainya seperti satu marga. Kekuatan ikatan
kekeluargaan terjadi antara orang dalam satu marga yang berasal dari satu darah
(kandung) maupun satu marga dari keluarga yang berbeda.
Dalihan Na Tolu masih dijalankan oleh masyarakat Batak serta masih
relevan dijalankan pada masa sekarang, karena di dalamnya terkandung aspek
kebersamaan dalam keluarga sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.
Didalamnya juga terdapat aspek melayani dan menolong. Jika masyarakat Batak
tetap menerapkan Dalihan Na Tolu maka akan menumbuhkan rasa kasih sayang
yang tinggi satu sama lain. Dilihat dari perkembangan zaman, hilangnya
pengetahuan dan kesadaran pada generasi muda terhadap budayanya sendiri.
Apalagi tidak diajarkannya pelajaran ini di sekolah-sekolah. Sebenarnya masih
banyak terdapat nilai-nilai serta keutamaan-keutamaan yang mesti ditanamkan
oleh generasi muda.
Oleh karena itu, berdasarkan gambaran di atas sangatlah menarik untuk
dijadikan sebagai bahan untuk dibahas lebih lanjut maka penulis menelaahnya ke
dalam skripsi yang berjudul, "Etika Dalihan Na Tolu dalam Masyarakat
Batak Muslim".
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka muncul beberapa hal yang ingin
diketahui oleh penulis dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui Ajaran etika Dalihan Na Tolu menjadi falsafah hidup Suku
Batak Muslim.
2. Mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu.
3. Mengetahui keutamaan dan kebahagiaan dalam Dalihan Na Tolu.
4. Mengetahui keselarasan antara ajaran etika Dalihan Na Tolu dengan
ajaran Islam.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar proposal skripsi ini terarah, tersistemasi, penulis ingin memberi
batasan masalah yang akan dianalisis. Untuk itu pembatasan penulisan skripsi ini
adalah tentang etika Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Muslim.
Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, untuk mengetahui
jawaban dan masalah secara terarah maka dibuat sebuah pertanyaan :
1. Bagaimana Dalihan Na Tolu sehingga menjadi falsafah hidup Suku Batak
Muslim?
2. Apa saja nilai-nilai yang ada pada Dalihan Na Tolu?
3. Bagaimana keutamaan dan kebahagiaan Dalihan Na Tolu?
4. Apakah ajaran Dalihan Na Tolu ini selaras dengan ajaran Islam?
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi “Etika Dalihan Na Tolu
dalam Masyarakat Batak Muslim”, yang bertujuan untuk menceritakan secara luas
tentang Dalihan Na Tolu, yang terbentuk bukan karena kesepakatan, akan tetapi
Dalihan Na Tolu muncul sebagai kodrat karena adanya pernikahan dan marga.
Dalihan Natolu ini bagi masyarakat Muslim Batak disebut budaya yang tidak
lapuk karena panas dan tidak luntur karena hujan, tahan uji, selalu relevan, dan
sudah mendarah daging. Sehingga Dalihan Na Tolu disebut sebagai etika
deep culture.
Penelitian ini juga dilakukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Strata Satu (S1), namun juga memberikan manfaat pada para
pembaca dengan memperkaya pengetahuan falsafah khususnya Etika Dalihan Na
Tolu pada Masyarakat Muslim Batak. Penulis berharap penelitian ini memberikan
pengetahuan dan wawasan sehingga bisa diaplikasikan dalam masyarakat,
sehingga menjadi manusia yang bermoral.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan beberapa
buku yang membahas tentang Dalihan Na Tolu, seperti buku yang berjudul Adat
Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanaannya, yang ditulis oleh Drs. Nalom
Siahaan. Di dalam bukunya ia memaparkan tentang adat Batak Dalihan Na
Tolu, dan buku tersebut membahas keistimewaan orang Batak Karena adat
Dalihan Na Tolu. Diantara keistimewaan itu ialah, Pertama: orang Batak adalah
martutur (bertutur) sesamanya, artinya berdasarkan Dalihan Na Tolu merasa
8
berkerabat. Kedua: supaya absah menurut Dalihan Na Tolu maka pernikahan
orang Batak haruslah diresmikan secara adat Batak. Ketiga: marga adalah
warisan suci, dalam arti adat Dalihan Na Tolu tegas melarang diadopsi seorang
yatim piatu (orang Batak) oleh siapapun, kecuali yang semarga dengan sianak.
Selanjutnya yaitu buku yang berjudul Horja (Adat Istiadat Dalihan Na
Tolu), yang ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap yang diterbitkan pada tahun
1993. Di dalam bukunya membahas sejak kecil suku Batak sudah dididik untuk
senantiasa memelihara kemesraan dan kehangatan hubungan dengan saudara,
kerabat dekat, dan masyarakat setempat. Letak kebahagiaan bagi orang Batak
adalah apabila memiliki orang-orang yang dicintainya seperti satu marga
dengannya. Kekuatan ikatan kekerabatan terjadi antara orang dalam satu marga
yang berasal dari satu darah maupun satu marga dari keluarga yang berbeda.
Selain buku-buku dan karya-karya, penulis juga telah menemukan karya
akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Shinta Romaulina
Nainggolan mahasiswa Universitas Negeri Semarang Fakultas Ilmu Sosial
Program Studi Hukum dan Kewarganegaraan, angkatan 2007. Adapun skripsi
tersebut berjudul “Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu pada
Masyarakat (Studi Kasus Masyarakat Batak Perantauan di Kabupaten Brebes)”.
Di dalam skripsinya, ia membahas bagaimana eksistensi ada budaya Dalihan Na
Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di kabupaten Brebes?
Adapun hasil penelitiannya ialah masyarakat perantau di kabupaten Brebes
sangat menjunjung tinggi adat budaya yang mereka miliki mulai dari adat
perkawinan, adat kematian, sistem kekerabatan, dan falsafah hidup mereka.
Dalihan Na Tolu ini dijadikan sebagai sarana pengikat tali silaturahmi antar
9
masyarakat Batak.
Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk
skiripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Eric Evonsus Simbolon
mahasiswa Universitas Lampung Fakultas Hukum Program Studi Hukum
Perdata, angkatan 2013. Skripsi tersebut berjudul “Peranan Dalihan Na Tolu
dalam Hukum Perkawinan Adat Batak Toba (Studi pada Perkumpulan
Masyarakat Adat Batak Toba di Bandar Lampung)”. Di dalam skripsinya ia
menjelaskan bahwa hukum perkawinan masyarakat adat Batak mengatur tentang
peranan Dalihan Na Tolu. Peranan Dalihan Na Tolu ini merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam suatu
perkawinan yang sah, Dalihan Na Tolu telah menggariskan dan menetapkan
aturan dan ketentuan rinci mengenai berbagai hubungan sosial baik antara suami
dengan istri, antara orang tua dengan saudara-saudara kandung dari masing-
masing pihak. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa prinsip Dalihan Na
Tolu sangat mementingkan kerjasama antar peran dari unsur-unsur Dalihan Na
Tolu itu sendiri yaitu Kahanggi, Anak Boru, Mora.
Kemudian, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk
junal. Jurnal tersebut ditulis oleh Lelya Hilda yang dikeluarkan pada jurnal
Miqot, Vol. 40, No. 1, Tahun 2016. Jurnal tersebut berjudul “Revitalisasi
Kearifan Lokal Dalihan Na Tolu Masyarakat Muslim Mandailing Dalam
Menjaga Harmonisasi Lingkungan Hidup”. Di dalam jurnalnya ia menjelaskan
bahwa keharmonisan lingkungan hidup masyarakat Mandailing dengan kearifan
lokal Dalihan Na Tolu yang melindungi lingkungan, seperti: Marsialapai,
harangan rarangan, lubuk larangan, dan bahasa daun harus dijaga
10
kelestariannya. Kearifan lokal ini perlu disosialisasikan untuk kalangan pemuda
dengan memperlajarinya dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi sehingga
kelestariannya tetap terjaga. Penanaman nilai-nilai agama juga merupakan
faktor utama dalam mempertahankan kearifan lokal Dalihan Na Tolu.
Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan di
atas adalah bahwa penulis memfokuskan tulisan pembahasan terhadap Etika
Dalihan Na Tolu dalam Masyarakat Batak Muslim.
F. Metodologi Penelitian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
(library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang membuat informasi berkaitan
dengan masalah penelitian.6
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer,
Sekunder, dan lainnya. Data primer merujuk kepada buku berjudul Hukum Adat
Dalihan Na Tolu dan Buku berjudul Horja . Data sekunder, berupa tulisan-tulisan,
baik dalam bentuk buku ataupun artikel yang mengandung pembahasan Dalihan
Na Tolu yang di tulis oleh para Sarjana, peneliti, dan cendikiawan. Data yang lain
adalah jurnal, internet dan lain-lain. Metode yang digunakan oleh penulis yaitu
metode pendekatan kualitatif.
Teknik penulisan skripsi ini disesuaikan dengan pedoman penulisan
skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Buku Pedoman
Akademik tahun 2015.
6Consuelo G Sevilla dkk., Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1930),
h. 37
11
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penelitian dan memperoleh gambaran secara jelas,
maka dalam skripsi ini, dikelompokkan menjadi beberapa bab dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Pada bab pertama memuat tentang Pendahuluan yang terdiri dari: latar
belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan. Pada bab ini dimaksudkan sebagai acuan dalam penyusunan skripsi,
sehingga dalam penyusunannya dapat dijelaskan secara sistematis sesuai dengan
yang telah ditentukan.
Pada bab kedua memuat tentang Teori Etika dan Etika Islam, pada bab ini
diuraikan tentang pengertian etika, teori etika, ukuran baik dan buruk perspektif
aliran-aliran etika, etika dalam Islam. Sehingga dapat memberikan penjelasan
tentang etika dan etika Islam.
Pada bab ketiga memuat tentang suku Batak Muslim dan Dalihan Na Tolu.
Pada bab ini diuraikan sejarah suku batak muslim dam penyebarannya, sistem
kekerabatan, Pengertian dan terbentuknya masyarakat Dalihan Na Tolu, unsur-
unsur Dalihan Na Tolu dan sistem kekerabatan (marga). Sehingga dapat
memberikan penjelasan hal-hal yang berkaitan sejarah suku batak dan
terbentuknya adat Dalihan Na Tolu.
Pada bab keempat memuat tentang inti ajaran Dalihan Na Tolu dan
keselarasannya dengan ajaran Islam. Pada bab ini diuraikan Dalihan Na Tolu
sebagai falsafah hidup, nilai-nilai Dalihan Na Tolu, keutamaan dan kebahagiaan,
dan ajaran etika Dalihan Na Tolu dengan Ajaran Islam. Sehingga dapat
12
memberikan penjelasan inti dari ajaran etika Dalihan Na Tolu yang ajarannya
sesuai dengan ajaran Islam.
Pada bab kelima dalam penelitian skripsi ini merupakan penutupan dari
hasil penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
13
BAB II
TEORI ETIKA DAN ETIKA ISLAM
A. Pengertian Etika
Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua
kata yakni ethos dan ethikos. Ethos artinya watak, sifat, kebiasaan, dan tempat
yang biasa. Ethikos artinya keadaban, susila, kelakukan, dan perbuatan yang
baik.1 Istilah moral berasal dari kata latin yakni mores, merupakan bentuk jamak
dari mos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan
cara hidup.2 Sedangkan dalam bahasa Arab etika dikenal dengan istilah akhlak,
yang berarti budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata susila.3
K Bertens dalam buku etikanya menjelaskan lebih jelas bahwa etika berasal dari
bahasa Yunai kuno. Kata Yunani ethos mempunyai banyak arti: tempat tinggal
yang biasa; padang. dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan. maka dari
itu, etika berkaitan denga kebiasaan hidup yang baik dan tata cara hidup baik, baik
pada diri sendiri atau kepada masyarakat.
Etika se rumput; kandang; kebiasaan; adat; akhlak, watak; perasaan, sikap,
dan cara berfikir ring diidentikkan dengan moral (moralitas). Meskipun sama-
sama berkaitan dengan baik dan buruk suatu tindakan manusia, etika dan moral
memiliki perbedaan pengertian. Adapun moral lebih condong pada nilai baik dan
buruk suatu perbuatan manusia. Sedangkan Etika berarti ilmu yang mempelajari
tentang baik dan buruk. Dalam filsafat, etika dan moral terkadang disamakan.4
Etika membatasi diri dari disiplin ilmu lain dengan perntanyaan apa itu moral? hal
1Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2000), h. 217.
2 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 672.
3 Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1978), h.9.
4 Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2005), h. 189-190
14
ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar etika. Tetapi
di samping itu tugasnya adalah menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia.
Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat etika
memabahas yang harus dilakukan.5
Jadi, dapat disimpulkan bahwa etika yaitu suatu ilmu yang membahas
tentang arti baik dan buruk, benar dan salah suatu tindakan manusia
menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mencapai tujuan hidup yang dan
benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.
B. Teori Etika
Dalam Menelaah ukuran baik dan buruk suatu perbuatan manusia di dalam
masyarakat, ada beberapa teori etika, yaitu :
1. Etika Normatif
Etika ini mendasarkan diri pada sifat hakiki kesusilaan bahwa dalam
perilakunya, manusia menjadikan norma-norma kesusilaan sebagai
panutannya. Tetapi tidak memberikan tanggapan mengenai kelayakan
ukuran-ukuran kesusilaan. Benar atau tidaknya norma-norma tidak
dipersoalkan, yang diperhatikan hanya kelakukannya. Etika normatif
menunjukkan perilaku manakah yang baik dan dan perilaku manakah yang
buruk. Yang demikian ini kadang-kadang disebut ajaran kesusilaan. Etika
normatif memperhatikan kenyataan-kenyataan yang tidak dapat ditangkap
dan diverifikasi secara empirik.6
5 K Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 1993), h.27.
6 H. De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987), h. 10-13.
15
Etika normatif juga berusaha menelaah dan memberikan penilaian suatu
tindakan etis atau tidak, hal itu tergantung dengan kesesuaian terhadap
norma-norma yang sudah dilakukan di masyarakat. adapun norma rujukan
yang digunakan untuk menilai tindakan wujudnya bisa berupa tata tertib dan
juga kode etik. Contohnya: kebiasaan seseorang minum-minuman keras
harus ditolak, sebab dapat menghilangkan kesadaran dan merusak organ
tubuh.
2. Etika Deontologi
Pada dasarnya teori etika deontologi lebih kepada kewajiban moral
yang mana terkait dengan tugas wajib, keharusan, kebenaran, dan kecocokan.
Kewajiban ini menimbulkan suatu keharusan dalam melakukan suatu
tindakan, dalam artian tindakan ini dilakukan secara mutlak. Saya diharuskan
melakukan tugas wajib, hal ini diperlukan bertindak sebagai pernghormatan
kepada hukum moral.7
Etika deontologi merupakan suatu tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Dengan
kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik,
sehingga merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Juga sebaliknya suatu
tindakan dinilai buruk secara moral sebab tindakan itu memang buruk secara
moral, sehingga tidak menjadi kewajiban untuk dilakukan. Etika deontologi
tidak mempersoalkan akibat tindakan tersebut baik atau buruk. akibat dari
suatu tindakan juga tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas
7 Milton D. Hunnex, Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan Tematik, Terj. Zubair,
(Jakarta: Teraju, 2004), h. 62.
16
moral suatu tindakan. Sebab dasar itu etika deontologi sangat menekankan
motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat untuk melakukan tindakan
sesuai dengan kewajiban. 8
Etika deontologi sangat menekankan kewajiban manusia untuk
bertindak dengan baik. Maka, etika deontologi yaitu tindakan dikatakan baik
bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan
tindakan itu baik untuk dirinya sendiri.
Contohnya: Murid diberikan tugas dan melaksanakannya sesuai dengan
tugas, maka hal itu dianggap benar. hal itu dianggap salah jika tidak
melaksanakan tugas.
3. Etika Teleologi
Etika teleologi menilai baik atau buruk suatu tindakan berdasarkan
tujuan atau akibat dari tindakan tersebut. Suatu tindakan dinilai baik kalau
bertujuan baik dan mendatangkan akibat baik. Dapat dikatakan bahwa etika
teleologi lebih bersifat situasional dan subyektif. Tindakan kita bisa berbeda
dalam situasi yang lain tergantung dari penilaian kita tentang akibat dari
tindakan tersebut. Suatu tindakan yang jelas bertentangan secara norma dan
moral bisa dibenarkan hanya karena tindakan itu membawa akibat yang baik.9
Teleologi mengerti yang benar dan mana yang salah, tetapi hal ni
bukan ukuran yang terakhir. Sebab yang lebih penting adalah tujuan dan
akibat. Hal ini pertimbangan nilai moral menjadi prioritas daripada
8 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h.8-9.
9 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, h. 15.
17
pertimbangan kewajiban moral.10
Meskipun suatu tindakan dinilai salah
menurut hukum, tetapi jika bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu
dinilai baik. contohnya: Seorang ibu mencuri untuk membeli susu buat
bayinya. tindakan ini baik secara moral dan kemanusiaan, tetapi dilihat dari
aspek hukum tindakan ini melanggar hukum.
Teori teologis cenderung mengembangkan suatu kebaikan sebagai
standar moral. Hal ini untuk mencapai kebahagiaan. Penentuan baik atau
tidak baiknya suatu perbuatan dilihat dari hasil akhir yang hanya bersifat
duniawi.11
C. Ukuran Baik dan Buruk Perspektif Aliran-Aliran Etika
Kebaikan adalah sesuatu yang yang berhubungan dengan yang luhur,
bermartabat, menyenangkan, dan disukai oleh manusia. Sedangkan yang buruk
sesuatu yang tidak baik, tidak sempurna dalam kualitas, dan tidak disukai oleh
manusia. Baik dan buruk itu relatif karena bergantung pada penilaian masing-
masing orang. Ukuran adat istiadat tentu saja berbeda disetiap tempat. sebab,
sangat diperngaruhi oleh faktor geografis dan lingkungan yang berbeda antara
satu dan lainnya. Hal itu lah tidak heran jika muncul berbagai aliran etika yang
mempunyai standar masing-masing dalam mengukur baik dan buruknya suatu
perbuatan. 12
Adapun aliran-aliran etika yaitu:
10
Milton D. Hunnex, Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan Tematik, Terj. Zubair, h.
60. 11
Milton D. Hunnex, Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan Tematik, Terj. Zubair, h.
60-61. 12
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.
72.
18
1. Aliran Naturalisme
Naturalisme adalah aliran filsafat yang menerima “natura” sebagai
keseluruhan realitas. Istilah “natura” dalam dunia fisika adalah yang dapat
dilihat manusia sampai total dari fenomena ruang dan waktu. Natura
diungkapkan kepada kita oleh sains dan alam.13
Menurut aliran Naturalisme, ukuran baik dan buruk yaitu sesuatu itu
sesuai dengan fitrah (naluri) manusia, baik fitrah lahir maupun batin. Apabila
sesuai dengan fitrah belarti dikatakan baik, sedangkan kalau tidak dipandang
buruk. Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang menjadi tujuan setiap
manusia dalam hidup. Adapun pola pemikiran pada aliran ini menyangkut
baik dan buruk didasarkan pada adanya kelangsungan hidup di dunia ini.
Sebab manusia diberi akal, maka ia akan mampu bertahan hidup lebih lama di
dunia ini jika dia memenuhi suatu panggilan naturnya ke arah kesempurnaan
yang abadi. 14
Beberapa pandangan aliran Naturalisme yakni:
a. Segala sesuatu dalam dunia ini menuju pada tujuan tertentu.
Memenuhi panggilan natur setiap sesuatu dapat mengantarkan pada
kesempurnaan. Tumbuh-tumbuhan dan benda-benda menuju pada
satu tujuan, tetapi dapat dicapai secara otomatis tanpa pertimbangan
dan perasaan.
b. Hewan mencapai tujuannya melalui naluri dan manusia mencapai
tujuannya melalui akal. Sebab akal itulah yang menjadi perantara
13
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 72. 14
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 72-73
19
baginya untuk mencapai kesempurnaan. Atas dasar itu manusia
harus berpedoman kepada akal. 15
Adapun ukuran baik dan buruk yang digunakan oleh aliran Naturalisme
adalah apakah sesuatu itu sudah sesuai dengan fitrahnya atau tidak. Jika
sesuai dengan fitrah, sesuatu itu baik, begitu sebaliknya.
2. Eudaemonisme
Eudaemonisme atau Eudamonia berasal dari bahasa Yunani Kuno,
eudemonia yang berarti “bahagia” atau “kebahagiaan yang lebih tertuju pada
rasa bahagia”. Eudaemonia adalah konsep sentral dari ajaran etika Yunani
Kuno. Beberapa filsuf meyakini bahwa Eudamonia mengajarkan tujuan
tertinggi yang hendak dicapai manusia. Aliran ini ditemukan oleh Aristoteles.
Dalam bukunya Nicomedian Ethics, bahwa dalam setiap kegiatan manusia
mengejar suatu tujuan. Adapun tujuan tertinggi atau terakhir dalam hidup
manusia adalah kebahagiaan. Aristoteles beranggapan tidak semua hal bisa
diterima sebagai kebahagiaan. Ada yang menganggap keteranan sebagai
kebahagiaan dan ada pula yang menganggap kesenangan sebagai
kebahagiaan.16
Beberapa pandangan aliran Eudaemonisme:
a. Kesenangan dan kebahagiaan adalah satu-satunya hal yang baik dalam
dirinya, sedangkan kejahatan dianggap sebagai penyebab utama segala
bentuk rasa sakit dan kesedihan.
15
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 73. 16
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 74
20
b. Tujuan hidup manusia adalah tercapainya kebahagiaan dan
kesejahteraan dalam hidup yang sifatnya hanya sementara.
c. Yang dikatakan baik secara moral adalah hal yang mendatangkan
kegunaan dan keuntungan dalam upaya mencapai cita-citanya, yaitu
kebahagiaan dan kesuksesan sementara.
Eudaemonisme ada dua macam, yaitu yang bersifat pribadi dan sosial.
Pertama, Eudaemonisme yang bersifat pribadi hanya berhubungan dengan
kebahagiaan dan kesenangan pribadi, sedangkan yang bersifat sosial memiliki
sasaran, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan kelompok.17
3. Vitalisme
Tokoh utama aliran Vitalisme adalah Friedrich Niettsche (1844-1900)
yang filsafatnya menonjolkan eksistensi manusia sebagai “Ubermensh”
(manusia sempurna) yang berkemauan keras menempuh hidup baru. Corak
filsafatnya bersifat atheistis, tidak percaya kepada Tuhan. Aliran ini
merupakan bantaan terhadap aliran Naturalisme. Sebab menurut paham
Vitalisme, ukuran baik dan buruk bukan alam, tetapi “vitae” atau hidup (yang
diperlukan dalam hidup.18
Adapun pandangan aliran Vitalisme tentang baik dan buruk yakni:
a. Ukuran baik dan buruk adalah daya kekuatan hidup. Manusia dikatakan
baik apabila memiliki daya kekuatan hidup yang kuat sehingga dapat
memaksa manusia yang lemah untuk mengikutinya.
17
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 75. 18
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 76.
21
b. keburukan adalah ketika manusia tidak mempunyai daya kekuatan
hidup yang kuat yang memaksa manusia untuk mengikuti pola
kehidupan orang lain.19
4. Idealisme
Aliran ini sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran
manusia. Awalnya dalam filsafat Barat yang ditemui dalam ajaran murni
Plato yang mengatakan bahwa alam dan citat-cita adalah kenyataan yang
sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa
bayangan dari alam ide. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan
ajarannya yang menggambarkan alam ide adalah sebuah tenaga yang berada
dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Adapun
kaum agama dapat digolongkan sebagai penganut idealisme yang paling setia
sepanjang masa.20
Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant (1725-1804). Adapun
pandangannya yakni:
a. Wujud yang paling dalam dari kenyataan adalah kerohanian.
Seseorang berbuat baik bukan anjuran dari orang lain, melainkan atas
kemauan diri sendiri atau rasa kewajiban. Perbuatan baik itu dilakukan
karena adanya rasa kewajiban yang terdapat dalam nurani manusia.
b. Faktor penting yang paling memengaruhi manusia adalah kemauan
yang melahirkan tindakan yang konkret. Adapun pokoknya di sini
adalah kemauan baik.
19
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 76. 20
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 77.
22
c. Kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang
menyempurnakannya yaitu rasa kewajiban.21
5. Utilitarisme
Tokoh aliran ini adalah John Stuart Mill (1806 -1872). Aliran ini
dianggap sebagai etiksa sukses, yaitu etika yang menilai kebaikan orang dari
apakah perbuatannya menghasilkan sesuatu yang baik atau tidak. Adapun
pandangan aliran Utilitarisme adalah sebagai berikut:
a. Segala tingkah laku manusia selalu diarahkan pada perbuatan yang
membuahkan manfaat yang besar.
b. baik dan buruknya suatu perbuatan atas dasar besar dan kecilnya
manfaat yang ditimbulkan bagi manusia.
c. kebaikan yang tertinggi adalah utility (manfaat)
d. Tujuan dari perbuatan adalah kebahagiaan orang banyak. Pengorbanan
dipandang baik jika mendatangkan manfaat. Lain dari itu hanyalah sia-
sia belaka.22
D. Etika dalam Islam
1. Pengertian Etika dalam Islam
Ketika etika dihubungkan dengan Islam, selalu muncul pertanyaan
adakah sebenarnya yang disebut etika Islam itu? menurut Abdul Haq Anshari
dalam Islamic Ethics: Concepts and Prospect bahwa sesungguhnya etika
Islam sebuah disiplin ilmu yang mandiri tidak pernah ada pada hari ini.
21
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 77-78. 22
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, h. 78-79.
23
Maksudnya kita tidak pernah menjumpai karya-karya yang mendefenisikan
konsepnya, menggambarkan isu-isunya, dan mendiskusikan
permasalahannya. Apa yang ditemui justru diskusi yang dilakukan oleh
berbagai kalangan penulis, dari kelompok filosof, teolog, ahli hukum islam
dibidang mereka masing-masing tentang berbagai isu dan keilmuan mereka
yang relevan dengan etika Islam.23
Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa
etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan perbuatan atau tingkah laku
manusia yang dinilai mana yang baik dan mana yang jahat. Istilah lain dari
etika yaitu moral, susila, budi pekerti, dan akhlak. Etika dalam bahasa Arab
disebut akhlaq, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat
kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab, dan agama.24
Sedangkan dalam Wikipedia Indonesia, Etika Islam (bahasa Arab:
atau “adab dan akhlak Islamiyyah adalah etika dan moral yang (اخلق اسلامية
dianjurkan dalam ajaran Islam yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan
Hadist, dengan mengikuti contoh teladan dari Nabi Muhammad SAW. yang
mana dalam akidah Islamiyyah dinyatakan sebagai manusia yang paling
sempurna akhlaknya.25
Adapun menurut Al-Kindi, merupakan seorang filsuf pertama di dunia
Islam, bahwa tujuan terakhir filsafat terletak pada moralitas, sedangkan tujuan
etika adalah untuk mengetahui kebenaran, kemudian berbuat sesuai dengan
23
Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam: Sejarah Aliran dan Tokoh, (Malang: UMM Press,
2003), h. 64-65 24
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, (Bandung: CV. Pustaka Media,
2011), h. 17. 25
http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_Islam, diakses tanggal 22 Maret 2020, pukul 18.59
WIB.
24
kebenaran. Prinsip-prinsip utama etika Al-Kindi bersifat Platonis dan Islami.
maka kearifan, perbuatan, dan renungan merupakan aspirasi tertinggi manusia
yang terpadu dalam diri manusia. Orang bijaksana akan selalu memerhatikan
arahan-arahan kehidupan yang bermutu. Ia tidak perlu dipaksa karena orang
bijaksana akan tahu bahwa nilai terletak dimana dan kapan harus
dilaksanakan, sehingga ia menertibkan dirinya sendiri untuk hidup sampai
akhirnya nilai itu tercapai. Orang yang jahat dalam pandangan umum tidak
dikatakan jahat, tetapi dia tidak bijaksana atau bodoh.26
Dalam ranah agama Islam, kata “harus” tidak lagi dipakai karena tidak
memiliki otoritas yang pasti. padanya masih terdapat kemungkinan terjadinya
pelanggaran yang lolos dari sanksi. ia masi mengandung beberapa kelemahan.
Oleh sebab itu perkataan “harus” diganti dengan kata “wajib” yang memiliki
gambaran penentuan hukum yang lebih dalam, pasti, dan mutlak. Dengan
demikian, setiap kewajiban dalam artian agama mengandung arti bahwa
setiap pelaksanaan dan pelanggaran terhadap suatu norma pasti terkena
sanksi. Oleh karena itu, “kewajiban” berarti membebankan pada diri
seseorang secara mutlak, baik dia mau ataupun tidak, baik ikhlas maupun
tidak. Kata “wajib” itu tidak hanya suatu beban saja, tapi manusia mukmin
melihat kehormatan dibalik kewajiban yang dibebankan kepadanya dan
memiliki keyakinan dalam menjalankan kewajiban akan memperoleh
kebahagiaan.27
26
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 17-18. 27
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 22-23.
25
2. Karakteristik Etika Islam
Etika Islam berdasarkan atas kekuatan Al-Qur’an dan Hadist, yang
mana di dalamnya terkandung unsur keimanan dan kepercayaan kepada hari
pembalasan. Ketika itu, perbuatan-perbuatan yang baik akan mempunyai arti
yang sangat penting, sedangkan perbuatan yang buruk akan mendapatkan
hukuman. Sebagaimana Al-Qur’an diyakini sebagai pedoman bagi umat
manusia dalam menjalankan kehidupannya agar tindakannya sesuai yang
diperintahkan oleh Allah Swt. Dalam ayat Al-Qur’an sangat jelas pemilihan
antara yang mana yang baik dan mana yang buruk, antara pahala dan dosa,
antara kebenaran dan kesalahan. Apabila ia melakukan tindakan-tindakan
yang melanggar sesuai ketentuan Ilahi, maka ia akan mendapatkan
hukuman.28
Tuhan menciptakan manusia dan merencanakan etika yang sesuai
dengan cara hidup manusia. Etika Islam tidak memerlukan pengawasan yang
keras terhadap yang ingin melanggarnya. pengawasan hanyalah melalui
keimanan dan ketakwaan diri kepada Allah SWT. Hal ini yang menjadikan
manusia berasa bersalah dan tertekan jika berbuat keji. Etika ini yang
bersumberkan Al-Qur’an dan Hadist serta berasaskan akidah dan syariah
yang mantap, sehingga mempunyai pengawasan yang menyeluruh meliputi
harta, sikap, dan hati.
Adanya kesadaran manusia bahwa hukum yang berasal dari Tuhan
bersifat tegas serta menjadikan Al-Qur’an sebagai furqon, keseimbangan, dan
harmonisasi, maka kehidupannya akan terpelihara. Maka dari itu manusia
28
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 71.
26
akan menemukan kebahagiaan yang sejati di dunia dan dan akhirat. Doktrin
Al-Qur’an dan Hadist satu-satunya kekuatan yang memberikan pengetahuan
yang luas tentang etika dan moralitas manusia setelah ia mengimani Tuhan
dan Rasul-Nya. Dengan keimanan yang memadai dan melaksanakan amal
saleh hanya untuk Allah semata, maka kebahagiaan akan tercapai. Hal ini
hukum moral dalam Islam tidak hanya mengandalkan akal pikiran saja, akan
tetapi didasakan pada keimanan.29
3. Kedudukan Akal dan Naluri
Sebagaimana dalam teori etika yang mana memandang bahwa akal dan
nalurilah yang menjadi dasar untuk menentukan baik buruknya moral.
Adapun pandangan etika Islam berpendirian bahwa akal dan naluri manusia
merupakan anugerah dari Allah Swt. Akal manusia itu sangat terbatas
sehingga pengetahuan tentang yang maujud, manusia tidak akan mampu
memecahkannya.30
Al-Qur’an surah Al-Isra: 85, yakni:
...
Artinya:
“... Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.”
Maka dari itu, akal masih membutuhkan bimbingan dan petunjuk dari sumber
kebenaran yang mutlak, yakni Al-Qur’an dan Hadist. Hanya akal yang dapat
dipancari oleh cahaya Al-Qur’an dan petunjuk Rasul-Nya, sehingga
memperoleh kedudukan yang tepat dan menemukan kedudukan yang tepat
29
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 71-73. 30
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 75.
27
dan benar. Naluri manusia juga mendapatkan petunjuk dari Allah yang
dijelaskan dari kitab-Nya. Jika tidak, maka naluri akan salah dalam
penyalurannya. Contohnya: naluri makan, naluri seksual, dan lain-lain. Jika
kita memperturutkan saja maka akan menimbulkan kerusakan. Maka dari itu,
kedudukan akal dan naluri dalam pandangan Islam keduanya perlu
dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam bimbingan dan pengarahan dalam
Al-Qur’an dan Hadist.31
4. Keutamaan Akhlak Terpuji
Akhlak terpuji disebut dengan akhlaq al-karimah (akhlak mulia).
Menurut Ibnu Qayyim, akhlak terpuji merupakan ketundukan dan keinginan
yang tinggi. Ia memberikan gambaran tentang bumi yang tunduk pada
ketentuan Allah Swt. Ketika air turun menimpanya, maka bumi akan
merespon dengan kesuburan dan menumbuhkan tanaman-tanaman yang
indah. Begitu juga manusia, jika diliputi rasa ketundukan kepada Allah Swt.
Maka turun taufik dari Allah., ia akan meresponnya dengan sifat-sifat yang
terpuji.32
Ada beberapa macam akhlak terpuji yakni:
a. Aklah Terhadap Diri Sendiri
- Sabar
Yakni menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi menggapai
keridaan Tuhannya.
31
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 75-76. 32
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 87-88.
28
- Syukur
Sikap untuk tidak menggunakan nikmat yang telah diberikan oleh
Allah dalam melakukan kemaksiatan.
- Benar dan Jujur
Berlaku benar dan jujur baik itu dalam perkataan dan perbuatan.
- Memelihara Kesucian Diri
Menjaga diri dari segala tuduhan, fitnah, dan memelihara
kehormatan.33
b. Akhlak Terhadap Keluarga
- Berbakti kepada Kedua Orang Tua
Berbakti kepada orang tua merupakan faktor utama diterimanya doa
seseorang dan juga sebagai amal saleh yang harus dilakukan oleh
seorang Muslim.
- Bersikap Baik kepada Saudara
Hidup rukun dan damai dengan saudara akan dapat tercapai apabila
hubungan tetap terjalin dengan saling pengertian dan saling tolong
menolong. 34
c. Akhlak Terhadap Masyarakat
- Berbuat Baik kepada Tetangga
Dekat bukan belarti pertalian darah, dekat di sini merupakan orang
yang tinggal berdekatan dengan rumah kita.
33
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 96-104. 34
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 107-109
29
- Suka Menolong Orang Lain
Hidup ini jarang sekali orang yang tidak memerlukan pertolongan
orang lain dan semuanya saling membutuhkan. 35
35
Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., Filsafat Etika Islam, h. 111-113.
30
BAB III
SUKU BATAK MUSLIM DAN DALIHAN NATOLU
A. Sejarah Suku Batak Muslim dan Penyebarannya
1. Asal Usul Suku Batak dan Penyeberannya
Menurut sejarah, kakek moyang suku Batak awalnya berdiam disekitar
Danau Toba. Perkampungan leluhur Batak dahulunya berada di Sianjur Mula-
Mula, yang berada di kaki gunung Pusuk Buhit. Daerah ini tidak jauh dari
Kota Pangururan sekarang. Dari tempat inilah keturunan si Raja Batak mulai
menyebar hingga pergi ke selatan yang terkenal dengan daerah Tapanuli.1
Selama berabad-abad lamanya, pergaulan suku Batak semakin luas sehingga
masuklah pengaruh dunia luar melalui perdagangan. Karena ketika itu Bandar
Barus sebagai pelabuhan ekspor kapur barus yang terkenal di dunia sampai ke
Eropa.2
Selain dari Barus, ada yang datang dari sebelah selatan yang terkenal
dengan Tapanuli Selatan dengan kegiatan berdagang. Lambat laun suku
Batak mulai menyebar sampai ke daerah Tapanuli Selatan. Pada ketika itu,
Suku Batak masih menganut agama kedaerahan yang percaya kepada
animisme dan dinamisme. Adapun sistem pemerintahannya bersifat kerajaan
demokratis. Setiap huta (kampung) ada kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan
rajanya dipilih sendiri oleh masyarakat di huta itu. Masyarkat hidup satu
1 JC. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta: LkiS, 2004),
h. 1 2 Nalom Siahaan, Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanannya, (Jakarta: Tulus Jaya,
1982), h. 1
31
kampung dengan rasa kekeluargaan yang sangat erat dan silsilah dapat
dipelihara dengan baik.3
Seiring berjalannya waktu, kepadatan dan kecepatan pertumbuhan
penduduk di satu sisi dan melihat potensi sumber daya alam yang tersedia di
daerah lain yang masih kosong, menjadi pusat perhatian untuk menyebar ke
daerah-daerah sehingga menetap membuka huta-huta. Hal itu juga
disebabkan, pertambahan penduduk yang pesat hanya menimbulkan tekanan
terhadap lahan pertanian dan perkampungan. Sehingga dewasa ini, Suku
Batak terbagi-bagi menjadi beberapa sub suku dan masing-masing
mempunyai wilayah. Adapun sub sukunya sebagai berikut :
a. Batak Mandailing, yang mendiami wilayah Mandailing Natal dan
Panyabungan.
b. Batak Angkola, yang mendiami wilayah induk Angkola, Padang
Sidempuan, Sipirok, Padang Lawas, Batang Toru, Sibolga, dan
Tapanuli Tengah.
c. Batak Toba, yang mendiami wilayah daerah tepian Danau Toba, Pulau
Samosir, Si Borong-Borong, Sibolga, dan meliputi dataran tinggi Toba.
d. Batak Pak-Pak, yang mendiami wilayah Dairi, sebagian tanah alas, dan
Gayo.
e. Batak Simalungun, yang mendiami wilayah Simalungun.
f. Batak Karo, yang mendiami wilayah datarang tinggi Karo, Deli,
Langkat, Hulu, dan sebagian Tanah Dairi.4
3 Nalom Siahaan, Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanannya, h.1
4 Nalom Siahaan, Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanannya, h. 10
32
2. Masuknya Agama Islam ke Tapanuli Selatan
Semasa Pemerintahan Sutan Naga Bosar, di Huta Na Godang, yaitu
nenek dari Raja Gadombang. Banyak orang Minangkabau datang dari Luak
Agam ke Hulu Pungkut yang dikepalai seorang penghulu yang bergelar
Datuk Naga Piring, membuka perusahaan pertambangan emas. Karena daerah
Hulu Pungkut merupakan negeri yang banyak mengandung emas. Salah
seorang dari mereka adalah yang terkemuka dari Paderi adalah Tuanku
Mudo5
Semasa di Huta Na Godang, Pemuka Paderi Tuanku Mudo berinisiatif
mancilok gadih rancak (melarikan gadis cantik) putri raja yang bernama
ngolngol yang baru berumur 12 tahun. Gadis ini untuk dia jadikan istri kelak
sudah besar. Putri Raja saudara kandung dengan Raja Gadombang. Setelah
Raja Gadombang berumur 25 tahun, maka dia pergi ke Bonjol untuk
berunding dengan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Mudo untuk membawa
adiknya Ngolngol kembali ke Huta Na Godang. Kira-kira terlihatlah inisiatif
kaum Paderi untuk menguasai daerah Mandailing dan Tapanuli Selatan yang
bertindak secara paksa. Mereka mengatur sesuka hatinya dan merampas harta.
Timbullah keresahan bagi rakyat yang mengakibatkan adanya tantangan dan
perlawanan.6
Pada awal abad ke-19, tiga orang ulama Minangkabau pulang dari tanah
suci Mekkah, yaitu Haji Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang. Ulama dari
Minangkabau mempelajari dan mengembangkan aliran Wahabi yang telah
5Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Sejarah Masuknya Islam ke Tapanuli Selatan,
(Medan: CV. Mitra Medan, 2012), h. 16 6 Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Sejarah Masuknya Islam ke Tapanuli Selatan,
h. 17.
33
mereka pelajari di tanah suci. Setelah itu dengan membawa ide pembaharuan
di Sumatera barat yaitu gerakan yang menghendaki agama Islam
dilaksanakan secara murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Mengajak
umat Islam untuk membersihkan kehidupan agama dari pengaruh kebudayaan
setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam.7 Maka terjadilah
konflik antara kaum agama (Paderi) dengan kaum adat. Hal itu disebabkan,
timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk seperti sabung ayam, perjudian, dan
minum-minuman keras. Kebiasan ini makin meluas dan mempengaruhi
kelompok pemudanya di Minangkabau. 8
Gerakan Paderi ini kemudian meluas hingga ke Tapanuli Selatan.
Mereka menyebarkan Islam dengan kekuatan tentara yang sudah terlatih.
Daerah Huta Na Godang, Kota Nopan, Panyabungan, Padang Sidempuan,
Sipirok, dan Marancar habis di gilas tentara Paderi. Perkampungan di bumi
hanguskan dan ternak-ternak dirampok. Untuk memperkuat tentaranya,
mereka mengumpulkan laki-laki dan melatih menjadi tentara di bukit
Pamelean Sipirok, yang sekarang letaknya di sekitar kantor Camat Sipirok.9
Setelah itu, Hindia Belanda pun melakukan penyerangan terhadap kaum
Paderi besar-besaran yang menyebabkan banyaknya kaum Paderi terbunuh.
Sehingga daerah Tapanuli Selatan dikuasai oleh pemerintahan Hindia
Belanda. Akan tetapi agama Islam tetap berdiri kokoh dan menyebar hingga
ke Sibolga meskipun di bawah pemerintah Belanda.
7 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 377 8 Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm.
168 9 Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Sejarah Masuknya Islam ke Tapanuli Selatan,
h. 19-20.
34
B. Pengertian dan Terbentuknya Masyarakat Dalihan Na Tolu
1. Pengertian Dalihan Na Tolu
Dalihan Na Tolu, yang disebut “Tungku nan Tiga”. Dalihan Na Tolu
adalah tungku masak berkaki tiga, diibaratkan sebagai simbol dari tatanan
sosial kemasyarakatan orang Batak. Ketiga kaki itu sama tinggi dan sama
besar supaya ada keseimbangan. Dalihan na Tolu lah yang menyatukan
hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Ada tiga unsur hubungan
kekeluargaan yakni kahanggi, anak boru, dan mora. Ketiga unsur ini selalu
bergerak serta saling berhubungan dan tetap tegu dengan adanya sistem
kekerabatan ini.10
Di dalam adat, hubungan antara satu sama lain didasarkan kepada adat
Dalihan Na Tolu. Sesuai dengan sistem kekerabatan di suku Batak yang
sifatnya patrilineal. Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak mengandung
arti tiga kelompok masyarakat yang saling berkerabat. Ketiga unsur antara:
suhut/kahanggi, anak boru, dan mora mempunyai kedudukan yang berbeda-
beda satu sama lain. Perbedaan kedudukannya ditentukan apakah pada saat
itu berkedudukan sebagai suhut/kahanggi, anak boru, dan mora. Pada suatu
saat kedudukan dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi, kondisi, dan
tempat.
Dalihan Na Tolu mempunyai fungsi sebagai mekanisme untuk
melaksanakan adat dalam kehidupan suku Batak. Adapun perwujudannya
dalam melaksanakan adat menggunakan sistem sosial Dalihan Na Tolu
sebagai mekanismenya. Hal itu dapat dilihat dalam upacara adat seperti:
10
Doangsa P.L. Situmeang, Dalihan Na Tolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, h.
205
35
pernikahan. terlaksananya acara adat jika didukung bersama kahanggi, anak
boru, dan mora. Dasar adat Dalihan Na Tolu sebagai pranata hidup
masyarakat suku Batak ialah holong (cinta dan kasih sayang), domu
(keakraban). holong antara sesama manusia melahirkan domu antara satu
sama lain. Adanya domu antara manusia sebagai bukti mereka hidup dengan
holong. 11
2. Terbentuknya Masyarakat Dalihan Na Tolu
Pada masa pemerintahan Raja Sisimangaraja I, berita tentang masa
kelabu itu, sampailah kepada Raja Malim/Raja Uti VII, yang bermukim di
Pulau Munsung Babi, maka dianjurkannya kepada Raja Sisimangaraja I
supaya mengundang para pemuka masyarakat Batak untuk berkumpul
bermusyawarah dan meletakkan aturan hidup masyarakat yang dapat
memberikan kebaikan kepada seluruh keluarga keturunan si Raja Batak.
Sesuai dengan undangan tersebut, pertama kalinya diadakanlah sidang
permusyawaratan di Bakkara pada awal abad ke-16. Para peserta sidang
disebut Ompu Raja Ijolo (Raja Napinajolo) yang berarti para pemuka
masyarakat. Dalam persidangan tersebut, ditetapkanlah sistem kekebaratan
dan ditetapkan pemakaian marga yang menjadi dasar pengelompokan
masyarakat Batak. Adapun pengelompokan itu yakni:
a. Kelompok semarga disebut kahanggi
b. Kelompok penerima istri disebut anak boru
c. Kelompok pemberi istri disebut mora.
11
http:www.gogle.co.id.Dalihan-natolu-dalam-adat-mandailing.com, Diakses 25 Maret
2020, Pukul 17.16 WIB.
36
Seiring dengan pengelompokan itu, dijadikanlah tungku nan tiga
(Dalihan Na Tolu) sebagai simbol. Hal ini menggambarkan prinsip kerjasama
dalam tiga komponen masyarakat itu. Maka disebutlah masyarakat Dalihan
Na Tolu. Dalihan Na Tolu didirikan berdasarkan kesetaraan, duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi, dan bertanggung jawab sesuai dengan peran dan
fungsi kerabatnya masing-masing. 12
Adapun Lembaga Dalihan Na Tolu sangat berperan dalam
penyelenggaraan adat. Kedudukan suhut/kahanggi, anak boru, dan mora yang
dalam situasi dan kondisinya yang berbeda akan memberikan kedudukan
yang berbeda, akan saling menghormati, saling mendengar satu sama lain,
dan saling menerima. Hubungan dalam tiga unsur Dalihan Na Tolu sudah
diatur dalam hukum adat. Bagi lembaga Dalihan Na Tolu tanggung jawab
untuk mensukseskan suatu pekerjaan merupakan hak dan kewajiban. Dalam
pelaksanaan adat seperti pernikahan, ketiga unsur Dalihan Na Tolu harus
mardomu ni tahi (selalu mengadakan musyawarah mufakat). Musyawarah
mufakat akan tercapai jika ada rasa kesatuan, tanggung jawab, dan saling
memiliki.13
Jadi, berhasilnya suatu pekerjaan ditentukan oleh: adanya rasa
persatuan, kesatuan, dan memiliki. Jika ketiga faktor ini tidak saling
mendukung, maka segala pelaksanaan adat tidak akan berhasil dengan baik.
Nilai-nilai inilah yang terus diterapkan oleh oleh masyarakat Batak sehingga
begitu terlihat kompak dalam melaksanakan kegiatan adat.
12
Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Grafindo,
1882), h.23-24 13
Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, (Medan:
Forkala, 2005), h. 80.
37
C. Unsur-Unsur Dalihan Na Tolu
1. Suhut/Kahanggi
Suhut /Kahanggi disebut sebagai dongan tubu, artinya kelompok
kerabat yang semarga berdasarkan garis keturunan dari pihak ayah. Dongan
tubu disebut sebagai teman sependeritaan dan sepenanggungan di dalam suka
maupun duka. Pada hal berkaitan dengan adat, dongan tubu adalah teman
saparadatan (satu adat). Sehingga sewaktu menerima dan membayar adat
jika sedang melaksanakan acara adat, mereka secara bersama-sama
menghadapi serta menanggung segala resiko.14
Adapun Suhut/Kahanggi terdiri dari:
a. Suhut
Yaitu mereka yang merupakan tuan rumah dalam pelaksanaan adat
(yang punya hajatan). Kelompok ini menjadi penanggung jawab
segala berkaitan dalam pelaksanaan acara adat.
b. Kahanggi
Yaitu keluarga semarga dengan suhut tetapi tidak satu nenek.
Kahanggi tidak hanya berasal dari kampung yang sama, tetapi dari
luar kampung yang masih mempunyai hubungan keluarga dan
semarga.
c. Kahanggi Pareban
Yaitu kelompok keluarga yang satu marga maupun yang bukan satu
marga yang sama-sama mengambil istri dari keluarga yang sama.
14
Hilderia Sitanggang, Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah
Sumatra Utara, (Jakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah,
1986), h. 40.
38
Dalam status adat kahanggi pareban ini dianggap sebagai saudara
markahanggi berdasarkan perkawinan.
Suhut/Kahanggi diibaratkan seperti batang pohon yang saling
berdekatan saling menopang, walaupun saking dekatnya tetapi terkadang
saling gesek. Tapi pertikaian diantara mereka tidak membuat hubungan satu
marga menjadi terpisah. Diibaratkan air jika dibelah dengan pisau, maka akan
tetap menyatu. Namun dalam keluarga satu marga, dipesankan agar bijaksana
kepada saudara semarga. Tidak hanya itu, para pemuda batak jika pergi
merantau ke daerah lain selalu mempunyai keyakinan bahwa saudara semarga
akan memberikan bantuan jika seandainya dia mengalami kesulitan. Bahkan
Jika satu marga bertemu diperantauan yang belum kenal awalnya, maka
mereka akan solid dan merasa mereka ada keluarga. Memang suku batak
mempunyai rasa solidaritas dan persaudaraan yang kuat meskipun mereka
jauh dari daerah asalnya. Hal ini sesuai dengan falsafah yang dianut
masyarakat Batak yang tercermin dalam pepata sebagai berikut:
Tali papaut, tali panggoman
Taripar laut, sai tinanda do rupa ni dongan
artinya: sekalipun menyeberangi laut, namun kita tetap mengenal dongan
sabutuga (teman seperut) atau teman semarga.15
2. Anak Boru
Yaitu pihak keluarga yang menerima anak gadis (boru). Pihak anak
boru harus berlaku hormat kepada pihak mora.16
Pihak anak boru menempati
15
T.M. Sihombing, Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1986), h. 75.
39
posisi paling sebagai pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam
acara adat. Walaupun berfungsi sebagai pelayan, bukan berarti dapat
diperlakukan semena-mena. Melainkan pihak anak boru harus diambil
hatinya, dibujuk. dapat diistilahkan: elek marboru (harus selalu bersifat
membuju terhadap pihak si penerima anak gadis).
Dalam suku Batak, Anak boru ada dua macam yaitu hela (menantu) dan
bere (anak saudara perempuan) yang di dalam suku batak masuk pada unsur
boru mengikuti ibunya.
Menurut adat Batak, Pihak anak boru berkewajiban membantu mora
dalam segala hal, terutama dalam pekerjaan adat. Adat Batak
memperkenankan pihak mora untuk menerima sumbangan dari pihak
anak boru, sedangkan pihak anak boru akan selalu berusaha agar dapat
membantu moranya. Tetapi pihak mora harus memberikan imbalan kepada
pihak anak boru sebagai tanda kasih sayang.17
3. Mora
Yang dimaksud dengan mora yaitu pemberi anak gadis. Dalam arti
sempit, mora itu yaitu orang tua dari istri. Sedangkan dalam arti yang luas
adalah semua pihak yang semarga dengan orang tua istri. Pihak mora
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat, sehingga harusdi
hormati sekali oleh pihak anak boru.
16
Hilderia Sitanggang, Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah
Sumatra Utara, h. 41. 17
H. Sigalingging, Tinjauan Filosofi Tentang Dalihan Na Tolu sebagai Eksistensi
Masyarakat Batak, (Yogyakarta: Universitas Gajah mada, 2000), h. 17.
40
Adapun pihak-pihak yang termasuk dalam kelompok mora yaitu:
a. Tulang/Simatua, yakni mertua beserta abang (adiknya) atau saudara-
saudaranya.
b. Tulang/Simatua ni Ama, yakni mertua dari ayah beserta abang dan
adiknya, saudara-saudaranya dan keturunannya laki-laki.
c. Tulang/Simatua ni Oppung, yakni mertua dari oppung beserta abang
dan adiknya serta keturunan laki-laki.
d. Mora Pangalapan Boru, mertua dari putra-putra kita yang telah
berumah tangga beserta abang dan adiknya, saudara-saudaranya serta
keturunannya laki-laki.18
Pihak Mora menempati kedudukan yang terhormat dalam masyarakat
Batak. Penghormatan mesti selalu ditunjukkan dalam sikap, perbuatan, dan
perkataan. Dalam suasana musyawarah dan mencari mufakat dalam kegiatan
adat, biasanya keputusan dari mora sulit ditentang.
D. Sistem Kekerabatan (Marga)
1. Pengertian Marga
Marga adalah bagian nama yang merupakan tanda dari keluarga mana
berasal. Orang Batak selalu memiliki nama marga dibelakang namanya.
Marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) akan diteruskan
kepada keturunannya secara terus menerus. Marga juga menyangungkut
hubungan antar orang dalam pergaulan hidup. Dalam Suku Batak ada dua
bentuk kekerabatan yakni:
18
Marbun, M.A. dan I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1987), h. 61.
41
a. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi)
b. Bentuk kekerabatan berdasarkan sosiologis
Adapun bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi)
yaitu terlihat dari silsilah marga mulai dari si Raja Batak, yang mana semua
suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan bentuk kekerabatan
berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian pada marga tertentu maupun
karena perkawinan. 19
Dalam tradisi Batak, bahwa yang menjadi kesatuan
adat adalah ikataran sedarah dalam marga. Maksudnya ada marga Harahap,
kesatuan adatnya adalah marga Pasaribu, Batubara, Tanjung, Lubis, dan lain-
lain. Inilah yang disebut generasi si Raja Bor-Bor atau dalam suku batak
disebut bor-bor marsada.
2. Tarombo (Silsilah)
Dalam suku Batak, untuk dapat melihat silsilah garis keturunan marga
disebut tarombo. Suku Batak hingga kini masih meyakini bawah marga dan
tarombo penting untuk dicari dan diperjelas karena seluruh orang Batak,
mereka meyakini bahwa berasal dari rahim yang sama. Dengan Tarombo juga
kita dapat terlihat keturunan keberapa pada marga tersebut. Bagi mereka yang
tidak mengetahui silsilahnya maka akan dianggap sebagai orang batak yang
kesasar (nalilu).
Maka dari itu, orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal
nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya. Hal
ini untuk mengetahui letak kekerabatan dalam suatu marga.
19
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak, diakses 27 Maret 2020, pukul 15.03 WIB.
42
3. Partuturan (Tutur Sapa)
Dalam masyarakat Batak, pasti sangat banyak terjadi interaksi sosial
pada tetangga maupun masyarakat di kampung. Interaksi sosial dalam
bertutur sapa yang ada pada Suku Batak sangat banyak. Kita tidak bisa asal
panggil Bapak kepada orang lain, hal itu ada aturan yang berlaku dengan
sebutan sapa apa kita kepada lawan interaksi. Sebenarnya partuturan (tutur
sapa) ini terlahir dari Dalihan Na Tolu dan marga yang dimiliki.
Adapun sebutan partuturan (tutur sapa) ini adalah :
a. Amang
Panggilan kepada ayah kandung sehari-hari menggunakan kata Ayah
b. Inang
Panggilan kepada ibu kandung sehari-sehari menggunakan kata Umak
c. Amattua/Tobang
1) Panggilan kita terhadap saudara laki-laki yang lebih tua dari ayah
kita.
2) panggilan kita terhadap laki-laki yang semarga dengan kita yang
silsilah keturunannya setingkat dengan ayah kita. tetapi ayah kita
lebih muda dari dia.
3) Panggilan kita kepada suami dari kak perempuan ibu kita.
d. Inang Tua/Tobang
1) Panggilan terhadap istri dari saudara laki-laki yang lebih tua dari
ayah kita.
43
2) Panggilan terhadap istri dari orang yang semarga dengan kita yang
silsila keturunannya setingkat dengan ayah kita tetapi lebih muda
darinya.
3) Panggilan terhadap kakak perempuan ibu kita.
e. Uda
1) Panggilan terhadap adik laki-laki dari ayah kita.
2) Panggilan terhadap laki-laki yang semarga dengan kita yang urutan
silsilahnya setara dengan ayah kita tetapi ayah kita lebih tua
darinya.
3) Panggilan terhadap suami dari adik perempuan ibu.
f. Etek/Nanguda
1) Panggilan terhadap istri dari adik laki-laki ayah.
2) Panggilan terhadap istri dari orang yang semarga dengan kita yang
silsilahnya setingkat dengan ayah, namun ayah kita lebih tua
darinya,
3) Panggilan terhadap adik perempuan ibu kita yang sering dipanggil
Etek.
g. Tulang (Paman)
1) Panggilan terhadap saudara laki-laki dari ibu.
2) Panggilan terhadap laki-laki yang semarga dengan ibu yang urutan
silsilahnya setingkat dengan ibu kita.
h. Nantulang
1) Panggilan terhadap istri dari tulang/paman kita
44
i. Abang dan Akkang (Kakak)
1) Panggilan terhadap abang kandung maupun abang sepupu (anak
dari amattua) dan orang lain yang semarga dan setingkat dengan
abang-abang kita.
2) Panggilan kita kepada istrinya abang kita, biasa dipanggil
menggunakan akkang.
j. Anggi (Adik )
1) Panggilan terhadap adik kandung maupun adik sepupu (anak dari
uda) dan orang lain yang semarga dengan setingkatan dengan adik-
adik kita.
2) Panggilan kita kepada istrinya adik.
3) Panggilan kita kepad pariban kita yang lebih muda dari kita.
k. Bere (Keponakan)
1) Panggilan kita (laki-laki) terhadap anak dari saudara kita yang
perempuan.
2) Panggilan kita (laki-laki) terhadap anak dari saudara perempuan
suami kita.
l. Maen, Parumaen (menantu perempuan)
1) Panggilan kita (laki-laki) terhadap anak perempuan dari ipar kita.
2) Panggilan kita (perempuan) terhadap anak perempuan dari saudara
kita yang laki-laki.
3) Panggilan terhadap menantu perempuan (istri dari anak kita).
m. Amangboru
1) Panggilan kita terhadap suami dari saudara perempuan ayah.
45
2) Panggilan terhadap suami dari perempuan yang merupakan
keturunan semarga kita yang silsilahnya setingkat dengan ayah kita,
n. Bou (Bibi)
1) Panggilan terhadap saudara perempuan ayah kita.
2) Panggilan terhadap perempuan yang merupakan keturunan semarga
yang silsilahnya setingkat dengan ayah kita.
3) Panggilan terhadap istri dari amangboru.
o. Oppung
1) Panggilan terhadap kedua orang tua ayah dan ibu. Secara umu,
Panggilan terhadap orang tua yang usianya setara dengan orang tua
dari ayah dan ibu kita.
46
BAB IV
INTI AJARAN DALIHAN NA TOLU DAN KESELARASANNYA
DENGAN AJARAN ISLAM
A. Dalihan Na Tolu Sebagai Falsafah Hidup
1. Falsafah Hidup
Falsafah hidup suatu suku yaitu sebuah pencerminan kepribadian,
berbudi luhur, serta pandangan hidup suatu hidup yang telah mendarah
daging. Dengan adanya pegangan hidup dalam bermasyarakat sehingga suku
menjadi kuat, stabil, hidup rukun, dan harmonis. Dalihan Na Tolu dalam suku
Batak dijadikan sebagai pegangan hidup dan landasan hukum dalam
bermasyarakat yang diakui memiliki nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.1
Falsafah Dalihan Na Tolu berlaku terhadap semua masyarakat Batak
yang diatur menurut sistem kekerabatan atau garis keturunan Bapak.
Hubungan antara setiap orang didasarkan pada adanya jalinan persaudaraan
yang kuat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya marga. Seperti, jika ada
seseorang yang saling berjumpa baik itu di kampung atau di rantau, tindakan
yang pertama mereka lakukan adalah saling menanyakan marga. Hal itu
bermaksud agar mereka saling mengetahui tatakrama dan sopan santun dalam
bertutur kata. Bila mereka sudah saling mengenal berdasarkan marganya,
barulah mereka dapat bergaul sesuai dengan kekeluargaan berdasarkan
Dalihan Na Tolu.2 Hal itu jika kita mendapati orang Batak yang bertemu di
rantau bisa akrab seperti keluarga dekat layaknya, padahal mereka tidak ada
1 R. Tambun, Hukum Adat Dalihan Na Tolu, (Medan: Mitra Medan, 2009), h. 35
2 R. Tambun, Hukum Adat Dalihan Na Tolu, h.35
47
ikatan darah serta bukan satu kampung. Karena ada sistem kekerabatan
berdasarkan Dalihan Na Tolu lah itu bisa terjadi.
Dalam ajaran Islam juga diperintahkan agar menyambung tali
silaturahmi seperti sabda Nabi Muhammad SAW.
و صلىا بالليل لىا الارحاميا ايها الناس افشىا السلام واطعوىا الطعام واص
وصححو 1523الجنة بسلام )رواه ابن هاجو, رقن دحلىاوالناس نيام ت
الاءلباني في صحيح ابن هاجو(
Artinya:
“Wahai manusia, sebarkan salam, berikan makanan, sambung kerabat
(silaturahim), shalatlah malam hari dikala manusia tidur, maka kamu akan
masuksurga dengan selamat. (HR. Ibnu Majah, no. 3251, dinyatakan shahih
oleh Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Adapun inti dari ajaran Dalihan Na Tolu di sini yakni untuk menjadikan
masyarakat sebagai orang-orang yang saling bersaudara, saling mencintai dan
menyayangi, serta saling menasehati dalam kebaikan. Karena dengan inilah
antara unsur-unsur yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu bersatu sehingga
tercapailah kebenaran. Dalihan Na Tolu sampai sekarang masih berperan kuat
dalam membina khususnya masyarakat Batak yang menyangkut pergaulan
hidupnya. 3
3 R. Tambun, Hukum Adat Dalihan Na Tolu, h.35
48
2. Hombar Adat Dohot Ibadat
Bagi masyarakat Batak Muslim, Islam merupakan agama yang
akomodatif terhadap budaya lokal. Hombar adat dohot ibadat salah satu
bentuk perhubungan antara agama dan budaya. Agama tidak dapat dipisahkan
dari ruang lingkup budaya. Sehingga agama menjadi pedoman dalam setiap
tindakan. Falsafah di atas merupakan cerminan pandangan masyarakat Batak
mengenai fungsi Islam dalam kehidupan mereka. Adapun agama Islam
dijadikan sebagai:
a. Pedoman hidup yang paling mendasar, sumber keselamatan, dan
kesejahteraan hidup.
b. Islam sebagai sumber pemahaman kehidupan yang universal dan
bersifat promordial, serta Islam merupakan identitas yang esensial
dan primordial bagi masyarakat.4
Pandangan yang demikiran bisa saja benar apalagi mengacu terhadap
sumber pengetahuan Islam. Pengetahuan agama bagi masyarakat Batak dapat
diperoleh melalui pengajian-pengajian dan pengalaman pelaksanaan tata
budaya adat Batak sendiri seperti: pernikahan dan kematian. Bahwa tata
budaya Batak Muslim semuanya bersumber pada Islam. Jika ada yang
bersumber dari luar Islam, maka ia tidak dihapus dan diwarnai dengan Islam
atau diislamkan, Seperti budaya mangupa. Dengan demikiran, akultutrasi
4 Sumper Mulia Harahap, “Islam dan Budaya Lokal: Studi Terhadap Pemahaman ,
Keyakinan , dan Praktik Keberagaman Masyarakat Batak Angkola di Padang Sidempuan
Perspektif Antropologi, Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama,” Vol. 7, No. 2, 2015, h.
164.
49
Islam dengan budaya batak sudah terjadi sejak awal, sehingga budaya Batak
menjadi dua hal yang inheren dalam kehidupan masyarakat.5
B. Nilai-Nilai Inti Dalihan Na Tolu
Dalam suku bangsa, bahwa nilai inti yang ada biasanya mencerminkan jati
diri suku tersebut. Sedangkan jati diri itu merupakan gambaran khusus seseorang
yang meliputi jiwa dan semangat daya gerak spritual. Di dalam suku Batak, ada
tujuh nilai inti yang mesti ditanamkan, diantaranya:6
1. Nilai Kekerabatan
Nilai kekerabatan atau keakraban diletakkan pada posisi paling utama
dari tujuh nilai inti yang ditanamkan oleh orang Batak. Hal ini terlihat pada
sub suku Batak seperti: Angkola, Mandailing, Toba, dan sub suku lainnya,
bahwa semua menempatkan nilai kekerabatan pada urutan yang paling pokok.
Nilai inti kekerabatan ini terwujud dalam pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu.
Hubungan kekerabatan ini dapat terlihat pada tutur sapa, baik karena adanya
hubungan darah maupun pertalian perkawinan.7
Dalam Islam, bahwa Allah telah menjadikan manusia berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku yang mana diharapkan manusia itu bisa saling mengenal.
Allah berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 13:
5 Sumper Mulia Harahap, Islam dan Budaya Lokal: Studi Terhadap Pemahaman ,
Keyakinan , dan Praktik Keberagaman Masyarakat Batak Angkola di Padang Sidempuan
Perspektif Antropologi, Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, h. 164-165. 6 H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2017), h. 96. 7 H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
h. 96.
50
Artinya:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.8
2. Nilai Agama
Nilai agama pada suku Batak sangat kuat. Sedangkan agama yang
dianut mereka sangat bervariasi. Menurut data (Departemen Agama Sumatera
Utara, 1999), bahwa wilayah yang mayoritas penduduknya menganut agama
Islam seperti: wilayah Agkola dan Mandailing di daerah Tapanuli bagian
selatan. Ada wilayah yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen
seperti wilayah Batak Toba yang meliputi daerah Tapanuli Utara hingga
bantaran danau Toba. Adapun wilayah Suku Batak yang presentase penganut
agamanya seimbang seperti wilayah Batak Simalungun. 9
Ajaran agama telah disosialisasikan kepada anak-anak Suku Batak sejak
masa kecilnya dengan penuh pengawasan. Adapun pengajaran agama
khususnya agama Islam yang diberikan ialah pembelajaran membaca atau
8 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
(Bekasi: Cipta Bagus Segara, 2011), h. 514. 9 H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
h. 97.
51
mengaji Al-Qur’an sejak dini. Dalam acara perkawinan dan kematian sangat
menonjol. Dalam artian tidak ada yang dilebih-lebihkan dalam acara ini.
Apalagi masuknya Muhammadiyah sehingga acara-acara seperti pernikahan
meniadakan yang sifatnya lebih banyak mudhorat, seperti mangupa-upa
dalam prosesi adat (jamuan berupa kepala kambing, ikan mas, telur, dll), hal
ini merupakan ungkapan doa dan syukur agar keluarga senantiasa saling
menyayangi, bahagia, dan mendapatkan anak.
Fenomena kegamaan kadang-kadang menjadi lebih kuat daripada adat,
khususnya dilingkungan masyarakat Mandailing. Lebih dominannya agama
didukung oleh sarana pendidikan keagamaan yakni terdapat banyak pesantren
di daerah Mandailing, Angkola, Sipirok, dan Padanglawas. Bukti yang
terlihat pengaruh agama Islam dalam kehidupan masyarakat Batak
Mandailing yaitu diterimanya perjodohan atau pernikahan semarga. Padahal
pernikahan satu marga secara jelas melanggar adat karena masih berasal dari
satu tubuh. Hal itulah antara suku Batak Mandiling dan Batak Toba sangat
berbeda pendapat persoalan ini. Diterimanya kawin semarga oleh Batak
Mandailing dipengaruhi oleh keyakinan agama yang membolehkan itu. Hal
itu dalam Al-Quran Surah An-Nisa: 23:10
10
H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
h. 97.
52
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perepuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.11
3. Nilai Hagabeon
Hagabeon bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu. Nilai
budaya hagabeon diharapkan dapat menikah sehingga ia memperoleh anak,
11
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 81.
53
kemudian mengawinkan anak-anaknya sehingga dapat memperoleh cucu.
Kebahagiaan dalam Suku Batak tidak lengkap jika belum memperoleh
keturunan. Terlebih dapat anak laki-laki sehingga kelak dapat melanjutkan
cita-cita orang tua dan marganya. Jika seseorang tidak memperoleh keturunan
anak laki-laki, maka terputuslah keturunannya.12
Dalam Islam pun dapat dilihat bahwa tujuan pernikahan tidak lain untuk
memperoleh keturunan yang tentu akan mengharapkan dapat keturunan yang
sholeh dan sholehah sehingga dapat membentuk generasi yang berkualitas,
serta berguna bermanfaat bagi masyarakat.
Allah berfirman dalam surah Al-Furqon ayat 74:
Artinya:
“ Dan orang-orang yang berkata: “ya Tuhan kami , anugrahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”13
Adapun prakteknya hagabeon dalam suku Batak Muslim, yang mana
seseorang berkeinginan untuk dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci
(Mekkah). Apabila dia belum mampu dalam segi materi, maka anak-anaknya
12
H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
h. 98. 13
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 366.
54
dapat menunaikan cita-cita orang tuanya. sehinga terwujud keinginan untuk
dapat menunaikan ibadah haji.
4. Nilai Hamoraon
Hamoraon bermakna kehormatan. Nilai kehormatan dalam suku Batak
Muslim terletak pada aspek spritual, material, dan ilmu yang ada pada
seseorang. Banyak harta dan kedudukan jabatan yang tinggi tidak berarti jika
tidak ditopang dengan keutamaan spritual. Pengajarannya yaitu seseorang jika
mempunyai banyak harta, memiliki jabatan, mempunyai keturunan, harus
diiringi dengan jiwa keagamaan serta diiringi sifat tolong menolong. Maka
dia akan dipandang mora (terhormat). Hal ini di suku Batak Muslim sangat
menghormati orang yang memiliki ilmu keagamaan yang tinggi. 14
Dalam Islam, orang yang berilmu mendapatkan hak keistimewaan dari
Allah Swt. Dengan ilmu juga menjadikan kita lebih dihormati dan dihargai
oleh semua orang. Sebab dengan ilmu seseorang akan diangkat
derajatnya. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Mujadalah ayat 11:
Artinya:
“Wahai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “berlapang-
lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
14
H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
h. 98.
55
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “berdirilah kamu”, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antara kamu dan orang-orang yang beri ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.15
5. Nilai Uhum dan Ugari
Uhum bermakna hukum dan ugari bermakna kebudayaan. Nilai uhum
(hukum) bagi suku Batak sangat mutlak ditegakkan dan diakui sehingga
penerapannya adalah untuk menegakkan keadilan. Nilai keadilan ditentukan
ketaatan kepada ugari serta setia pada janji. Orang Batak yang menghormati
uhum, ugari, dan janjinya dipandang sebagai manusia yang sempurna.
Berkhianat terhadap kesepakatan adat amat tercela dan mendapat sangsi
hukum secara adat. Maka dari itu, orang Batak selalu terang-terangan dan apa
adanya serta tidak banyak basa basi.16
Dalam Islam, adil merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh
setiap manusia dalam rangka untuk menegakkan kebenaran kepada
siapapun,walaupun itu merugikan dirinya sendiri. Adil belarti berpihak dan
berpegang kepada kebenaran.17
Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 135:
15
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 543.
16
H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
h. 99. 17
Anonim, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
h.50-51.
56
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu, bapak, dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.18
6. Nilai Pengayoman
Pengayoman bermakna perlindungan. Dalam suku Batak, pengayoman
wajib diberikan kepada lingkungan keluarga maupun masyarakat. Tugas ini
dipegang oleh semua unsur Dalihan Na Tolu. Pengayom ini utamanya berada
pada pihak mora dan yang diayomi adalah pihak anak boru. Sebenarnya
semua unsur yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu, dipandang memilih daya
18
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 100.
57
untuk saling melindungi. Semua orang menjadi pengayom dan mendapatkan
pengayoman dari sesama kerabatnya.19
Allah SWT berfiman dalam Surah An-Nisa ayat 29-30:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantarakmu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.(29) Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan
aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam nereka. yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.(30)20
Dalam Masyarakat, potensi untuk berbuat jahat kepada orang lain
sangat besar jika mempunyai kesempatan. Agama Islam mengakui dan
melindungi hak milik seseorang. Maka tidak diperkenankan merampas,
menipu, mencuri, dan lain-lain yang dapat merugikan orang lain. Jadi sesama
19
H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
h. 99.
20
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 83
58
orang Batak yang terlibat mau itu posisinya pihak mora, mau itu pihak anak
boru, mereka harus jadi pengayom untuk mereka. Apabila perlindungan
terhadap hak milik dan nyawa dapat berjalan dengan baik, maka hidup
bermasyarakat menjadi tentram, damai, dan harmonis.
7. Nilai Marsisarian
Marsisarian bermakna saling mengerti, menghargai, dan saling
membantu. Dalam bermasyarakat terkhususnya dalam kerabat dekat harus
saling menghargai. Dalam hidup ini masing-masing orang mempunyai
kelebihan dan kekurangan sehingga butuh pengertian tanpa ada yang salah
menyalahkan antar sesama. Konflik memang kerab sering terjadi antar
kerabat dekat maupun orang lain. Hal ini yang harus dikedepankan ialah nilai
prinsip marsisarian.21
C. Keutamaan dan Kebahagiaan
Keutamaan dan Kebahagiaan hanya dapat dapat dimiliki oleh manusia
yang berakal budi. Bahwa mereka dapat menyadari dan mengerti kepuasan yang
mereka alami. Keutamaan selalu mengarahkan manusia serta menciptakan
kebaikan dan tindakan yang baik. Adapun keutamaan dalam hubungan tiga unsur
dalam Dalihan Na Tolu tetap dijaga dan dipelihara, serta hubungan antara unsur
berlangsung atas dasar keseimbangan yang serasi antara hak dan kewajiban.
21
H. Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama,
h. 100.
59
Adapun keutamaan yang selalu dipegang teguh oleh suku Batak agar
keharmonisan hubungan antar unsur Dalihan Na Tolu tetap terpelihara, yaitu:22
1. Manat Markanggi
Manat mempunyai arti teliti, hati-hati, sabar, dan bertenggang rasa.
Sikap maupun perilaku ini harus diperlukan dalam pergaulan sehari-sehari
dengan kerabat kahanggi ini. Karena potensi konflik dalam kalangan kerabat
ini jauh lebih besar jika dibandingan dengan potensi konflik dengan anak
boru dan mora.
Adapun potensi konflik yang sering terjadi dikalangan kerabat ini yakni
biasanya yang berkaitan dengan harta pusaka, iri hati, dan dengki. Sifat ini
dapat terjadi karena bersumber adanya sifat gutgut (nyinyir) dalam hatinya.
Namun, konflik ini dapat terhindar apabila kalangan kerabat kahanggi bersifat
berprilaku teliti, hati-hati, dan sabar. Maka dalam suku Batak, para leluhur
selalu menasehatkan agar keturunannya manat-manat markahanggi.
2. Elek Maranak Boru
Elek mempunyai arti malo mambuat roha (pandai mengambil hati).
Adapun tujuannya agar yang diambil hatinya tetap senantiasa baik dan setia.
Elek maranak boru bermaksud agar dari pihak mora pandai menyenangkan
hati pihak anak borunya. Hal ini penting, sebab anak boru adalah tulang
punggung serta guru segala kegiatan adat dikalangan kerabat mora. Apabila
anak boru tidak ada atau mogok, pasti kegiatan adat semisal pesta pernikahan
akan gagal.
22
Basyral Hamidy Harahap, dkk, Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu, (Jakarta: Tim
Koreksi, 1993), h. 102-203.
60
Anak boru bukan hanya sebagai tenaga kerja, pemberi bantuan modal,
dan material lainnya dalam menyukseskan kegiatan adat dalam kerabat mora.
akan tetapi anak boru memegang peranan penting sebagai juru damai dan
pemelihara ketentraman hidup untuk pihak moranya. Dalam menjaga agar
peranan ini berfungsi sebaik-baiknya, maka pihak mora harus elek kepada
anak borunya.
3. Somba Marmora
Somba Marmora maksudnya hormat kepada pihak mora. Yang mana
pihak anak boru harus senantiasa hormat dan tunduk kepada pihak moranya.
Mora dipandang sebagai sumber kehidupan serta kesejahteraan lahir dan
bathin bagi anak boru. Hal itu karena pihak mora telah memberikan anak
gadisnya kepada pihak anak boru yang kemudian melahirkan keturunan anak
boru.
Pihak mora menduduki posisi yang paling terhormat antara ketiga unsur
Dalihan Na Tolu. Leluhur orang Batak selalu menasehatkan keturunannya
agar selalu hormat kepada pihak mora agar kehidupan tetap serasi dan
harmonis. Hal ini dapat tercipta dengan cara senantiasa saling mencintai dan
menghormati.
Bahagia tidak hanya diukur dari kekayaan, kepintaran, dan punya jabatan
yang tinggi. Hidup yang baik selalu mensyaratkan tindakan yang baik, sebab
kodratnya manusia selalu menginginkan dan merindukan untuk berbuat baik.
Dalam halnya keutamaan yang selalu dipegang teguh oleh masyarakat Batak,
61
sehingga menciptakan hubungan antara ketiga unsur menjadi baik, harmonis, serta
tidak akan timbul perpecahan jika selalu menanamkan keutamaan di atas. Hal ini
jika sudah tercipta keutamaan di atas, maka dari pihak-pihak kahanggi, anak boru,
dan mora maka ini merupakan kebahagiaan yang sejati.
D. Ajaran Etika Dalihan Na Tolu dengan Ajaran Islam
1. Tolong Menolong
Dalihan Na Tolu dikenal ajaran untuk saling tolong menolong antara
kerabat sesuai dengan fungsi masing-masing, apakah kedudukannya sebagai
kahanggi, anak boru, dan mora. Adapun bentuk ajarannya seperti: pada acara
pernikahan adanya kerjasama yang baik dari pihak anak boru untuk moranya
dalam menjalankan proses pernikahan. Ini sangat sesuai dengan ayat
Al-Qur’an yang menganjurkan kita untuk saling tolong menolong. Dalam
Surah Al-Maidah ayat 2:
...
Artinya:
“ dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya”.23
23
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 106.
62
Selain itu, Dalihan Na Tolu dijadikan sebagai landasan bermusyawarah
untuk mencapai mupakat yang lebih dikenal dengan mardomu ni tahi, artinya
jika ada keperluan dalam acara adat atau konflik, maka antara pihak anak
boru dan mora dapat bermusyawarah dan mencari mufakat. Dalam surah
As-Syura ayat 38:
Artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka”.24
Dari ayat di atas jelas bahwa musyawarah sangat dianjurkan, dilihat
dari mekanisme kerjanya ada rasa persatuan, rasa persaudaraan yang tinggi,
rasa tanggung jawab, dan musyawarah. Hal itu, supaya berat sama dipikul,
dan ringan sama dijinjing.
2. Saling Menghargai
Sikap menghargai berarti memberi harga, mengindahkan, memandang
penting. Adapun menghargai orang lain berarti mengindahkan hak asasi diri
sendiri dan orang lain. Sikap saling menghargai adalah kecenderungan
seseorang untuk bereaksi dalam memandang penting orang lain. Manusia
diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai perbedaan. Dalam kehidupan
24
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 485.
63
masyarakat, masing-masing orang dituntut untuk dapat hidup dengan orang
lain dengan berbagai perbedaan. Ada golongan kaya dan ada golongan
miskin. Perbedaan yang ada diri sendiri maupun orang lain dapat
dimanfaatkan untuk saling menyempurnakan.25
Dalam Dalihan Na Tolu, hubungan antar kerabat mau itu pihak
kahanggi, anak boru, dan mora harus saling menghargai. Adat akan
menindak bagi pelaku yang mencemarkan nama baik, baik itu penghinaan
secara lisan ataupun tulisan. Jika terdapat seseorang yang melakukan
pencemaran nama baik maka diberikan hukuman. Adapun yang sangat
berperan dalam persidangan penghukuman ini adalah hatobangon (yang
dituakan), pihak kahanggi dan beserta anak boru dari pihak korban dan
pelaku. Adapun hukumannya berupa: denda atau memberikan makan
masyarakat setempat, bahkan diusir dari kampung karena telah menodai
kesucian. Hal ini tergantung kesepakatan hatobangon. Allah berfirman dalam
surah Al-Hujurat ayat 11:
Artinya:
25
Eddy Soewardi Kartawidjaja, Mengukur Sikap Sosial: Pegangan Untuk Peneliti dan
Praktisi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 4
64
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”.26
Allah juga berfirman dalam Al-Hujurat ayat 12:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhila kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? maka tentulah kami merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Alla. Sesungguhnya Alla Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang”.27
26
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 516.
27
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 517.
65
3. Saling Menghormati
Saling menghormati yaitu sikap dan perilaku untuk menghargai dalam
hubungan antar individu dan kelompok berdasarkan norma dan tata cara yang
berlaku. Sikap saling menghormati merupakan prinsip moral seseorang
dalam kehidupannya. Dia dituntut agar senantiasa menunjukkan sikap hormat
kepada orang lain dalam berbicara maupun dengan bertata krama yang
berlaku agar kelangsungan tatanan sosial terjamin.28
Dalam unsur-unsur pihak yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu, baik dia
berposisi sebagai anak boru, ataupun berposisi sebagai mora. Pihak mora
mesti lebih dihormati dalam kehidupan sehari-hari. Keberkahan yang
diperoleh jika menerapkan ajaran ini dan akan mendatangkan suka cita yang
tidak dapat dinilai dengan harta. Bagi mora, penghormatan yang diberikan
oleh pihak anak boru kepadanya menimbulkan kebahagiaan. Allah berfirman
dalam surah Al-Hujurat ayat 10:
Artinya:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.29
28
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 70. 29
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata,
h. 516.
66
Dalam ayat diatas, Islam sangat menganjurkan agar selalu memperbaiki
hubungan terhadap orang lain. Hormat menghormati menjadi sikap yang
wajib dilakukan agar terciptanya perdamaian dalam kehidupan.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan tentang
etika Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak Muslim, maka penulis
menyimpulkan yakni pertama, Dalihan Na Tolu adalah tungku masak berkaki
tiga, diibaratkan sebagai simbol dari tatanan sosial kemasyarakatan orang Batak.
Ketiga kaki itu sama tinggi dan sama besar supaya ada keseimbangan. Dalihan na
Tolu lah yang menyatukan hubungan kekeluargaan pada suku Batak.
Kedua, Dalihan Na Tolu menjadi falsafah hidup suku Batak. Bahwa
sistem kekerabatan ini lahir dari Dalihan Na Tolu karena ada perkawinan dan
lahir juga dari adanya marga. Hal ini juga bermaksud agar antara pihak saling
mengetahui tatakrama dan sopan santun dalam bertutur sapa kepada pihak
keluarga yang lain. Maka akan timbul sikap saling menghormati diantara mereka.
Ketiga, nilai-nilai inti Dalihan Na Tolu. Ada tujuh nilai yang harus
ditanamkan oleh masyarakat Batak yakni:
1. Nilai Kekerabatan, suku Batak meletakkan hubungan kekerabatan pada
posisi yang paling utama. Hubungan kekerabatan terlihat juga dari tutur
sapa, baik karena adanya hubungan darah maupun tali perkawinan.
2. Nilai Keagamaan, Posisi agama dalam suku Batak sangat kuat terutama
pada ajaran Islam. Ajaran agama telah disosialisasikan kepada anak-anak
suku Batak sejak masa kecil dengan penuh pengawasan.
66
3. Nilai Hagabeon, bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu,
sehingga kelak dapat melanjutkan cita-cita orang tuanya dan mewariskan
marga yang dibawa.
4. Nilai Hamoraon, bermakna kehormatan, nilai kehormatan dalam suku
Batak Muslim terletak pada aspek spritual material, dan ilmu pengetahuan.
5. Niali Uhum dan Ugari, bermakna hukum dan adat. Hukum mutlak
ditegakkan dan adat ditaati sesuai dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
6. Nilai Pengayoman, pihak kerabat harus saling memberikan
perlindungan/saling melindungi antar kerabat),
7. Nilai marsisarian, bermakna saling mengerti dan saling menghargai. Pihak
antar kerabat harus saling menghargai dan tidak saling menyalahkan.
Keempat, keutamaan dan kebahagiaan. Ada keuatamaan yang ditanamkan
kepada pihak yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu yakni: manat markahanggi
(saling tenggang rasa kepada pihak kahanggi/semarga), elek maranak boru (bisa
mengambil hati/pihak mora harus mengambil hati anak borunya), dan somba
marmora (hormat kepada pihak mora/pihak anak boru harus hormat kepada pihak
mora). Jika tercipta keutamaan ini, maka akan pihak keluarga akan merasa saling
senang sehingga ini merupakan kebahagiaan yang sejati.
Kelima, ajaran etika Dalihan Na Tolu dengan ajaran Islam. Bahwa antara
pihak yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu agar senantiasa tolong menolong,
saling menghargai, dan saling menghormati. Agar kehidupan di masyarakat Batak
Muslim menjadi harmonis dan sesuai juga dengan ajaran Islam.
67
B. Saran
Memahami akan budaya Batak terkait dengan etika Dalihan Na Tolu
sangat penting untuk di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
juga kita harus menumbuhkan sikap cinta terhadap budaya atau adat istiadat yang
berlaku. adapun upaya nyata yang harus dilakukan untuk menumbuhkan rasa cinta
terhadap budaya atau istiadat yakni:
1. Hatobangon (yang dituakan di adat Batak) agar peduli dan memberikan
wawasan pada masyarakat Batak dan generasi penerus agar dapat
melestarikan ada dan budaya daerah. Dihimbau agar masyarakat selalu
ikut serta dan berperan dalam pelaksanaan adat. Sehingga menjadi lebih
tau terhadap pelaksanaan adat.
2. Masyarakat Batak agar dapat memberikan wawasan kepada keluarga
dekat, misalnya memberikan pengetahuan kepada anak-anak dan kerabat
keluarga yang tidak mengerti akan budaya. Serta memberitahukan silsilah
penomoran pada marganya. Hal itu agar menjaga nilai kekerabatan pada
kerabat yang masih ada pertautan darah.
3. Pemerintah agar dapat memberikan edukasi kepada masyarakat Indonesia
mengenai pelestarian akan budaya sebagai bangsa yang beraneka ragam.
68
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa. 2012. Sejarah Masuknya Islam ke
Tapanuli Selatan. Medan: CV. Mitra Medan.
Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung: CV. Pustaka Media.
Anonim. 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Bakry, Hasbullah. 1978. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya.
Baqir, Haidar. 2005. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Bertens, K. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Djoened, Marwati. 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
G Sevilla, Consuelo dkk. 1930. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI
Harahap, Basyral Hamidy dkk. 1993. Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu.
Jakarta: Tim Koreksi.
Hunnex, Milton D. 2004. Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan Tematik,
Terj. Zubair. Jakarta: Teraju.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-. 1900.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, A. Sonny. 1991. Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi
Luhur. Yogyakarta: Kasnisius.
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Marbun dan I.M.T. Hutapea. 1987. Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai
Pustaka.
69
Nainggolan, Shinta Ramaulina. 2011. “Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na
Tolu Pada Masyarakat Batak (Studi Kasus Masyarakat Batak Perantauan
di Kabupaten Brebes)”. Skripsi diterbitkan Universitas Negeri Semarang.
Nasution, Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman,
Medan: Forkala.
P.L. Situmeang, Doangsa. 2007. Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan
Batak Toba. Jakarta: Kerabat.
Pongsibanne, Lebba Kadorre. 2017. Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi
Agama. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Sagala, Mangapul. 2018. Injil dan Adat Batak. Jakarta: Yayasan Bina Dunia.
Siahaan, Nalom. 1982. Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakata:
Tulus Jaya
Sigalingging, H. 2000. Tinjauan Filosofi Tentang Dalihan Na Tolu sebagai
Eksistensi Masyarakat Batak. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Sihombing, T.M. 1986. Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat
Istiadat. Jakarta: Balai Pustaka.
Simamora, Sahat. 1987. Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Sitanggang, Hilderia. 1986. Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan
Kekerabatan Daerah Sumatra Utara. Jakarta: Depdikbud Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Tambun, R. 2009. Hukum Adat Dalihan Na Tolu. Medan: Mitra Medan.
Vergouwen, JC. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta.
Vos, H. De. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
70
ZTF, Pradana Boy. 2003. Filsafat Islam: Sejarah Aliran dan Tokoh. Malang:
UMM Press.
Sumber Lain:
Kementrian Agama RI. 2011. Al-Qur’an Transliterasi Per Kata dan Terjemah
Per Kata. Bekasi: Cipta Bagus Segara.
Muhammad Novriansyah Lubis, dkk, “Dalihan Na Tolu Sebagai Kontrol Sosial
dalam Kemajuan Teknologi”, Jurnal Sejarah dan Kebudayaan, Vol. 13,
No. 01, 2019, h. 25
Sumper Mulia Harahap, “Islam dan Budaya Lokal: Studi Terhadap Pemahaman ,
Keyakinan , dan Praktik Keberagaman Masyarakat Batak Angkola di
Padang Sidempuan Perspektif Antropologi, Toleransi: Media Komunikasi
Umat Beragama,” Vol. 7, No. 2, 2015, h. 164.
http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_Islam, diakses tanggal 22 Maret 2020, pukul
18.59 WIB.
http:www.gogle.co.id.Dalihan-natolu-dalam-adat-mandailing.com, Diakses 25
Maret 2020, Pukul 17.16 WIB.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak, diakses 27 Maret 2020, pukul 15.03
WIB.
71
GLOSARIUM
Amang Ayah
Amang Boru Sapaan hormat kepada suami dari saudara perempuan
ayah.
Amattua Sapaan hormat kepada saudara laki-laki ayah yang lebih
tua.
Anak Boru Suami dari saudara perempuan dari ayah.
Anggi Adik
Bor-Bor Marsada Kelompok marga yang masih satu keturunan dengan si Raja
Bor-Bor, termasuk diantaranya: Harahap, Pasaribu,
Batubara, Tanjung, Lubis, dan lain-lain.
Bere Sapaan hormat kepada anak dari saudara perempuan.
Boru Gadis
Bou Sapaan hormat kepada saudara perempuan ayah.
Dalihan Na Tolu Tungku tempat memasak yang terdiri dari 3 (tiga) batu.
Dohot Dengan
Dongan Tubu Kelompok kerabat/satu keturunan semarga.
Elek Bujuk
Etek Sapaan hormat kepada saudara perempuan dari ibu yang
lebih muda.
Gadih Anak Gadis
Gutgut Nyinyir
Hagabeon Nilai Panjang umur
72
Hamoraon Nilai kehormatan
Hatobangon Yang dituakan di kampung
Hela Menantu
Holong Kasih sayang
Hombar Hubungan
Huta Kampung
Ibadat Ibadah Islam
Inang Ibu
Inang Tua/Tobang Panggilan kepada istri dari saudara laki-laki ayah yang
lebih tua.
Kahanggi Keluarga satu marga
Kahanggi Pareban Kelompok keluarga yang sama-sama mengambil istri dari
keluarga yang sama.
Malo Pandai
Mambuat Berbuat
Marga Bagian yang lebih kecil dari suku
Marsisarian Nilai saling pengertian
Manat Teliti, hati-hati
Mancilok Mencuri
Mangupa-upa Jamuan dalam acara adat
Maranak Beranak
Mora Kelompok keluarga pemberi istri
Nalilu Kesasar
Nantulang Sapaan hormat kepada istri dari tulang/paman.
73
Oppung Sapaan hormat kepada ayah dari bapak dan ibu.
Paderi Gerakan keagamaan di Sumatera Barat.
Parumaen Menantu Perempuan
Patrilinear Garis keturunan ayah
Rancak Cantik
Roha Hati/Perasaan
Somba Hormat
Suhut Keluarga yang melaksanakan acara adat
Tarombo Silsilah
Tulang Sapaan hormat kepada saudara laki-laki ibu.
Tungku nan tiga Merupakan lambang jika dilihat dengan sistem sosial Batak
yang juga memiliki tiga tiang penopang.
Tutur Sapaan hormat kepada kerabat
Uda Sapaan hormat kepada saudara laki-laki ayah yang lebih
muda.
Ugari Adat
Uhum Hukum