esofagoskopi

Upload: ventrix-gunawan

Post on 10-Oct-2015

65 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

esofagoskopi

TRANSCRIPT

ESOFAGOSKOPI

Disusun oleh :

Linda HerlianaBAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARETSURAKARTA2014BAB IPENDAHULUAN Esofagus merupakan saluran pencernakan bagian atas. Sedemikian pentingnya fungsi esofagus yang setiap hari dipergunakan sebagai saluran makanan, sehingga gangguan pada esofagus akan segera dirasakan oleh penderita. Keluhan yang paling sering ditemui adalah rasa sakit dan sukar menelan karena adanya gangguan diatas berakibat makanan yang biasanya cukup akan berkurang, disebabkan rasa sakit maupun makanan sukar masuk. Akibat dari keadaan ini makin lama karena makanan jumlahnya berkurang. Akibat dari keadaan ini makin lama karena makanan jumlahnya berkurang, mengakibatkan keadaan pasien juga makin memburuk.

Hal ini perlu segera ditangani atau dicari penyebabnya. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai indikasi dan cara esofagoskopi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI ESOFAGUS Esofagus merupakan saluran pencernaan makanan bagian atas, terletak antara kartilago krikoidea setinggi vertebra servikalis(VC) VI sampai pintu masuk ke gaster setinggi vertebra thorakalis (VTh) X atau XI, dengan panjang 23 25 cm.

Gambar 1. Anatomi esofagus terhadap organ sekitar

Esofagus dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pars servikalis, pars torakalis dan pars abdominalis. Pada keadaan normal esofagus mempunyai 4 penyempitan, yaitu:

1). Setinggi VC VI, sesuai dengan introitus esofagus, yang disebabkan adanya m. krikofaringeus, yang selalu dalam keadaan tonus, 2). Setinggi VTh IV, pada persilangan dengan arkus aorta, 3). Setinggi VTh V, tempat persilangan dengan bronkus kiri, 4). Setinggi VTh X, tempat esofagus melewati hiatus diafragma.

Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan yaitu: 1). Paling dalam adalah tunika mukosa yang terdiri atas epitel skuamosa komplek, 2). Sebelah luarnya tunika submukosa yang terdiri atas serabut kolagen yang tersusun longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, pleksus neuralis mienterikus Meissneri, 3). Sebelah luarnya lagi adalah tunika muskularis yang terdiri atas 2 lapisan, yaitu: lapisan dalam serabut muskularis yang berjalan sirkuler dan lapisan luarnya berjalan longitudinal. Serabut muskularis sirkuler di bagian proksimal melanjutkan diri sebagai spincter esofagus atas atau disebut spincter faringo-esofagealis dan pada bagian distal sebagai spincter asofagus bawah disebut spincter gastro-esofagealis, 4). Lapisan paling luar adalah tunika adventia atau tunika fibrosa yang terdiri atas jaringan ikat longgar. (gambar 2)

Gambar 2. Diagram potongan lintang esofagusTunika muskularis pada sepertiga bagian atas esofagus terdiri atas otot seran lintang, sepertiga bagian tengah terdiri atas otot campuran seranlintang dan otot polos, dan sepertiga bawah terdiri atas otot polos.

Inervasi esofagus secara ekstrinsik oleh: 1). Parasimpatis n. vagus yang berasal dari nukleus dorsalis n. vagi melalui rami thorakalis n. vagus, dan dilanjutkan ke pleksus esofagealis, 2). Simpatis berasal dari trunkus simpatikus dan n. splanknikus torasikus. Sedangkan inervasi esofagus secara intrinsik oleh pleksus neuralis mienterikus Auerbachii, yang terletak diantara serabut otot sirkuler dengan longitudinal

Terdapatnya beberapa otot di faring dan hipofaring yang letaknya berdekatan dengan introitus esofagus yang berperan dalam proses menelan: m. konstriktor faringeus superior, m. konstriktor faringeus medius dan m. konstriktor faringeus inferior. M. konstriktor faringeus inferior terdiri dari serabut oblik, disebut m. tirofaringeus dan serabut sirkuler disebut m. krikofaringeus. (gambar 3 dan 4)

Gambar 3. Fasia dan otot dinding posterior faring

Gambar 4. Fasia dan otot dinding lateral faring

Semua muskulus faring berinsersio pada rafe faringealis, kecuali serabut sirkuler dari m. konstriktor faringeus inferior/krikofaringeus. Otot ini selalu dalam keadaan tonus dan bersama dengan serabut sirkuler otot esofagus membentuk spincter faringoesofagealis.

B. Fisiologi esofagus Esofagus mempunyai fungsi untuk menelan dan drainase. Propses menelan dibagi menjadi 3 fase, yaitu: 1). Fase oral, meliputi pembentukan bolus makanan dalam mulut dan transfer makanan dari mulut ke faring dengan gerakan yang disadari.; 2)Fase faringeal, meliputi transfer makanan dari faring ke esofagus. Pada fase ini terjadi relaksasi spincter esofagus bagian atas kemudian diikuti peristaltik yang mendorong makanan ke esofagus. Gerakan ini mula-mula disadari dan selanjutnya secara reflek; 3). Fase esofageal, meliputi transfer bolus makanan dari esofagus ke lambung.

Gerakan peristaltik merupakan gerakan kontraksi esofagus yang dimulai dari faring, yaitu pertemuan antara esofagus dengan faring sampai pertemuan esofagus dengan gaster. Menurut Meyer dan Castell (1983) peristaltik esofagus ada 3 macam, yaitu: 1). Peristaltik primer , yang dimulai dari daerah pertemuan faring dengan esofagus, yang merupakan suatu mekanisme normal pengosongan esofagus dengan adanya kontraksi progresif dari proksimal ke distal sesudah dimulainya proses menelan; 2). Peristaltik sekunder, merupakan kontraksi progresif esofagus yang timbul sebagai reaksi regangan dinding esofagus oleh bolus makanan. Peristaltik ini terjadi setempat di esofagus; 3). Peristaltik tersier, merupakan kontraksi oleh otot polos sirkuler.

Esofagus mempunyai 2 spincter, yaitu: 1). Spincter faringo-esofagealis di bagian proksimal, yang berfungsi mencegah masuknya udara ke dalam esofagus saat inspirasi dan mencegah kembalinya makanan dari esofagus ke hipofaring; 2). Spincter gastroesofagealis di bagian distal, berfungsi mencegah refluk isi gaster ke esofagus. Spincter esofagus akan terbuka pada proses menelan, sehingga memungkinkan makanan dari faring ke esofagus dan dari esofagus ke gaster. Fungsi drainase dari esofagus biasanya terjadi secara pasif, untuk mencegah terjadinya pengaliran sekret ke faring.

C. KORPUS ALIENUM ESOFAGUS

a. Definisi: adalah suatu bahan yang tertinggal atau terdapat pada tempat yang tidak semestinya.

b. Klasifikasi Terdapat beberapa kriteria untuk mengklasifikasikan korpus alienum pada saluran nafas, tergantung kriteria yang digunakan.

- Berdasarkan asal bahan:

Eksogen: berasal dari luar tubuh

Endogen: berasal dari dalam tubuh - Berdasarkan jenis bahan:

Vegetal: dari bahan makanan sehari-hari, misalnya: biji-bijian, daging,dll

Non vegetal: bahan yang tidak termasuk dalam makanan sehari-hari.

Misalnya: paku, kelereng dan sebagainya.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya korpus alienum pada esofagus, yaitu:

Karena naluri, kecerobohan dan kurang perhatian.

Biasanya anak-anak 2-5 tahun secara naluri sering memasukkan sesuatu ke dalam mulut, sehingga secara tidak sengaja dapat tertelan yang akan mengakibatkan obstruksi di esofagus. Karena kecelakaan Pada umur 5 17 tahun adanya korpus alienum biasanya disebabkan karena kecelakaan.

Gangguan alat-alat pencernakan

Pada orang tua dengan gigi-gigi geraham yang tidak lengkap disertai kelemahan otot-otot di esofagus, pada waktu menelan dapat terjadi bolus makanan terhenti dan menyumbat.

Korpus alienun sering terjadi pada penyempitan I (setinggi VC VI/ m. krikofaringeus) . 75% kejadian ini disebabkan karena pada bagian tersebut:

selalu dalam keadaan kontraksi tonis

hanya relaksasi pada waktu ada reflek menelan

Macam benda asing yang sering ditemukan pada anak adalah logam, peniti, kancing baju dan lain-lain. Sedangkan pada dewasa sering ditemukan daging koyor, tulang, dll c. Gejala klinik Gambaran gejala klinik adanya korpus alienun pada esofagus, dapat berupa:

Odinofagi, merupakan gejala yang predominan. Sering dirasakan di retrosternal , kadang-kadang seperti rasa tercekik.

Disfagia karena obstruksi, kadang-kadang penderita mengeluh menelan air ludah saja tidak bisa. Tergantung dari berat obstruksinya dapat menimbulkan afagia. Regurgitasi, terutama pada obstruksi total, misalnya olek karena daging koyor.

Hipersalivasi, air ludah terkumpul dalam mulut terutama disekitar daerah resesus piriformis

Sesak nafas dan parau, dapat timbul bila benda asing menekan ke depan (ke trakea). Bila ada over flow (regurgitasi)dapat terjadi aspirasi. Lambat laun dapat terjadi fistulayang berhubungan dengan trakea.

Rasa ngilu yang terbatas pada daerah leher pada bagian bawah terutama pada gerakan pasif.

Bengkak lokal dapat terjadi supraklavikular , terutama pada sisi kiri yang disebabkan oleh pembentukan abses.

d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar :

Anamnesa, dapat membantu bila dilakukan dengan baik, cermat. Mungkin perlu dilakukan hetero anamnesa pada penderita anak-anak.

Foto rontgen. Dibuat plain foto posisi anterior-posterior dan lateral, kadang-kadang perlu dilakukan posisi oblik. Pada pemeriksaan benda asing yang tidak radioopaque perlu dilakukan pemeriksaan dengan menelan barium atau dengan serpihan kain yang dicelupkan dengan bahan kontras tidak ditelan. Dapat juga dilakukan fluroskopi untuk mengetahui fungi esofagus.

Esofagoskopi Ballenger berpendapat bahwa pemeriksaan rontgen dan endoskopi mutlak dilakukan untuk memperoleh kepastian. e. Terapi Perlu pertimbangan untuk tidak tergesa-gesa menangani, hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada esofagus merelaksasikan sendiri, disamping bahaya yang diakibatkan korpus alienum tidak fatal pada kasus-kasus dini. Terapi dapat dibedakan dalam 2 jenis, sebagai berikut:

1. Non operatif

Diberikan muskle relaxan, misalnya papaverib HCl, diazepam bila perlu sedative untuk menghilangkan spasme esofagus.

Diberikan pepsis/papayenum untuk korpal daging koyor, sehingga koyor dapat lunak dan dapat ditambahkan NaHCO3 untuk mempercepat pencrnakan.

Esofagpskopi dengan bantuan tang

Cara yang lebih selektif:dengan ekstrksi menggunakan kateter foleey, atau dengan bantuan magnet

Dibiarkan saja, karena kemungkinan akan keluar sendiri melalui anus pada 4 hari 2. Operatif

Dilakukan torakotomi eksternal , bila cara non operatif tak berhasil.

f. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi:

Empisema para esofageal, selulitis dan abses sekitar leher

Empisema mediastinitis, mediastinitis, abses mediastinum/para esofageal yang terbatas pada torak

Pneumothorak, pleuritis

Edema pada laring

Septikemia

Perforasi aorta, striktura esofagei

Fistula trakeoesofageal.

D. ESOFAGOSKOPI Esofagoskopi adalah suatu cara pemeriksaan esofagus dengan menggunakan esofagoskop. Adapun indikasinya adalah untuk diagnostik dan terapi. Diagnostik contohnya adalah pemeriksaan untuk menilai keadaan intralumen atau melakukan biopsi. Sedangkan untuk terapi yaitu dengan melakukan businasi dan pengambilan korpus alienum.

Indikasi esofagoskopi

Esofagoskopi dilakukan untuk diagnostik dan terapi. Untuk keperluan diagnostik ditujukan untuk :

1. mengevaluasi keluhan disfagia, odinofagia, nyeri dada, rasa panas di dada dan perdarahan yang menetap.

2. mengevaluasi perjalanan penyakit atau kelainan esofagus, antara lain esofagitis, luka bakar korosif, akhalasia, spasme difus esofagus dan tumor esofagus.

3. mengevaluasi kelainan seperti divertikulum, varises, stenosis, kelainan mukosa esofagus dan hitus hernia.

4. mengevaluasi pasien pasca operasi esofagus, seperti menilai anastomosis esofagus, mencari dan melihat sumber perdarahan, mencari kemungkinan penyebab disfagia, menilai adanya tanda-tanda residif tumor ganas.

Esofagoskopi juga dilakukan sebagai tindakan terapi pada dilatasi striktur esofagus, mengeluarkan benda asing, skleroterapi untuk varises esofagus, koagulasi diatermi, pemasangan protesis esofagus dan miotomi endoskopik. Esofagoskopi dilakukan dengan menggunakan alat esofagoskop kaku, terutama untuk terapi seperti mengambil benda asing, mengangkat tumor jinak, hemostasis, pemberian obat sklerosing untuk varises, dan dilatasi striktur. Selain itu juga untuk menilai keadaan bagian proksimal esofagus yaitu didaerah taut faring-esofagus (pharyngo-esophageal junction). Alat ini juga digunakan untuk menilai kelainan esofagus pada bayi dan anak kecil serta untuk mengambil foto kelainan esofagus.

Esofagoskop lentur memberi kemudahan untuk memeriksa pasien dengan kelainan tulang vbertebra, terutama di daerah servikal dan torakal. Untuk kelainan esofagus yang disertai dengan kecurigaan adanya kelainan di lambung, maka esofagoskop lentur merupakan alat pilihan untuk diagnostik. Fungsi kedua alat ini saling menutupi, sehingga ahli endoskopi diharapkan dapat menggunakan keduanya.

Prosedur tindakan esofagoskopi ini dapat dilakukan dengan analgesia topikal, analgesia neurolep atau dalam narkosis, tergantung pada keadaan pasien dan alat yang akan digunakan. Agar pemeriksaan esofagoskopi ini dapat berlangsung dengan baik dan untuk menghindari timbulnya komplikasi, maka perlu diperhatikan persiapan yang optimal, baik dari segi pasien, operator, alat dan ruang pemeriksaan.

Persiapan pasien

Esofagoskopi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dalam keadaan syok atau menderita infark miokard akut. Dalam keadaan seperti ini sebaiknya keadaan umum diperbaiki terlebih dahulu. Indikasi kontra absolut dari tindakan ini tidak ada, sedangkan indikasi kontra relatif adalah bila terdapat aneurisma aorta dan kantong faring (pharyngeal pouch) yang besar. Pasien pasca esofagoskopi atau bila diduga menderita perforasi esofagus, maka tindakan esofagoskopi harus dilakukan lebih hati-hati.

Sebelum tindakan esofagoskopi dilakukan, maka persiapannya adalah pasien dipuasakan 4-6 jam sebelumnya. Khususnya untuk pasien dengan riwayat sumbatan esofagus seperti akalasia maka 5 hari sebelum tindakan pasien hanya diberi makanan cair. Pemeriksaan darah rutin, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan faktor pembekuan dan perdarahan. Pemeriksaan fisik ditujukan khusus untuk jantung, ginjal, paru dan pemeriksaan radiologik esofagus.

Posisi penderita berbaring terlentang dengan kepala disanggah dan bahu berada pada ujung meja.

Persiapan pasien

Esofagoskopi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dalam keadaan syok atau menderita infark miokard akut. Dalam keadaan seperti ini sebaiknya keadaan umum diperbaiki terlebih dahulu. Indikasi kontra absolut dari tindakan ini tidak ada, sedangkan indikasi kontra relatif adalah bila terdapat aneurisma aorta dan kantong faring (pharyngeal pouch) yang besar. Pasien pasca esofagoskopi atau bila diduga menderita perforasi esofagus, maka tindakan esofagoskopi harus dilakukan lebih hati-hati.

Sebelum tindakan esofagoskopi dilakukan, maka persiapannya adalah pasien dipuasakan 4-6 jam sebelumnya. Khususnya untuk pasien dengan riwayat sumbatan esofagus seperti akalasia maka 5 hari sebelum tindakan pasien hanya diberi makanan cair. Pemeriksaan darah rutin, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan faktor pembekuan dan perdarahan. Pemeriksaan fisik ditujukan khusus untuk jantung, ginjal, paru dan pemeriksaan radiologik esofagus.

Posisi penderita berbaring terlentang dengan kepala disanggah dan bahu berada pada ujung meja.

Persiapan operator

Sebelum tindakan esofagoskopi haruslah ditetapkan indikasi tindakan, metode dan jenis anastesia disiapkan terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat dipersiapkan alat-alat yang akan dipakai. Selain itu pemeriksaan tambahan seperti foto rontgen atau yang lebih spesifik esofagografi akan sangat membantu menentukan lokasi lesi atau benda asing pada esofagus. Hal ini dapat mempermudah operator pada saat melakukan diagnosis atau menentukan terapi selanjutnya dengan esofagoskopi.

Ruangan dan alat-alat

Pada pemeriksaan esofagus yang menggunakan alat esofagoskop kaku, tindakan harus dilakukan di kamar operasi yang dilengkapi dengan alat anestesia dan resusitasi, oksigen serta alat penghisap. Diperlukan asisten untuk memegang dan mengatur posisi kepala pasien.

Pemeriksaan esofagus dengan menggunakan esofagoskop lentur memungkinkan tindakan tindakan ini dilakukan disisi tempat tidur pasien dengan pemberian anelgesia topikal. Dibandingkan dengan esofagoskop kaku, pemeriksaan dengan esofagoskop lentur lebih ringan dan kurang menimbulkan rasa nyeri. Untuk diagnosis kelainan esofagus serta pemeriksaan lambung secara langsung, penggunaan esofagoskop lentur ini sangatlah tepat.

Alat-alat yang digunakan meliputi esofagoskop standar atau universal esofagoskop (Storz) atau esofagoskop kaku Halinger. Pada prinsipnya ketiga alat tersebut hampir sama yaitu merupakan suatu tabung yang mempunyai lumen dengan saluran cahaya dan aspirator ditepinya (lihat gambar). Pipanya ada yang berbentuk bulat atau lonjong. Alat-alat tambahan yang melengkapi berupa forcep, lumen finder dan bougie.

Gambar 5. Esofagoskop Kaku HaslingerUkuran esofagoskop disesuaikan dengan umur penderita, misalnya pada bayi prematur menggunakan ukuran 3,5 mm x 23 cm. Bayi baru lahir 4,0 mm x 35 cm, usia 3-6 bulan 4,0 mm x 35 cm, usia 1-2 tahun 5,0 mm x 35 cm, 4 usia 4-12 tahun 6,0 mm x 35 cm, sedangkan penderita dewasa menggunakan ukuran 9,0 mm x 30 cm.

Komplikasi

Jika esofagoskopi dilakukan dengan hati-hati biasanya jarang menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang pernah dilaporkan berupa patah gigi seri, robeknya mukosa esofagus, perdarahan dan perforasi esofagus.Pelaksanaan Esofagoskopi

Setelah pasien dalam kondisi anastesi umum stadium III, kepala pasien diposisikan pada posisi ekstensi. Esofagoskop dipegang dengan tangan kanan seperti memegang tongkat bilyar, jari tengah dan jari manis membuka bibir atas dan mengait pada gigi insisivus. Sementara itu ibu jari tangan kiri memegang bagian distal esofagoskop dengan gigi.

Esofagoskop dimasukkan kedalam rongga mulut dengan terlebih dahulu melindungi gigi dengan kassa. Esofagoskop dimasukkan menyusuri palatum sampai ke uvula, lalu esofagoskop didorong perlahan-lahan menyusuri dinding posterior faring dibagian lateral sampai menemukan introitus esofagus.

Daerah introitus esofagus merupakan daerah yang paling berbahaya untuk dilewati esofagoskop. Dengan ibu jari tangan kiri, ujung distal esofagoskop diangkat dan digerakkan ke depan (jangan dengan kekuatan) ke arah fosa suprasternal, sehingga tampak introitus esofagus yang berbentuk seperti bulan sabit.

Selanjutnya esofagoskop dimasukkan ke dalam lumen esofagus pars servikalis. Selama pemeriksaan di daerah ini instrumen membentuk sudut 45 derajat. Selanjutnya bila didorong lebih kedalam, akan ditenmukan esofagus pars thorakalis. Jika dirasa kurang panjang, esofagoskop dapat disambung dengan esofagoskop penyambung sampai ukuran tertentu. Bila posisi penderita benar, esofagoskop biasanya dengan mudah menyusup masuk. Pada waktu esofagoskop mencapai penyempitan aorta dan bronkus kiri, lumen akan menghilang di anterior. Kemudian kepala penderita harus diturunkan sampai mendatar untuk menyesuaikan sumbu esofagus sehingga lumen tetap tampak.

Untuk melakukan evakuasi benda asing di dalam esofagus, diperlukan cunam (tang) model tertentu sesuai dengan yang dibutuhkan, lalu benda asing tersebut dipegang dengan cunam tersebut dan ditarik bersamaan dengan menarik esofagoskop. Bila benda asing tersebut tidak mungkin untuk dikeluarkan maka dapat dilakukan pemasukan businase untuk mendorong benda asing tersebut masuk ke dalam lambung. Businase juga dapat dilakukan untuk melebarkan bagian esofagus yang menglami penyempitan seperti pada akalasia. Businase tersebut dapat dilakukan dengan diameter yang lebih kecil terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan ukuran diameter yang lebih besar.

Setelah melakukan esofagoskopi, perlu dilakukan evaluasi pada dinding esofagus untuk meyakinkan bahwa tidak ada perdarahan atau kelainan lain yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Pasca operasi, follow-up perlu dilakukan untuk melihat tanda-tanda perdarahan baik melalui rongga mulut (berupa muntah darah) maupun dari buang air besar pasien (melena). Bila dicurigai adanya perforasi esofagus, pemeriksaan darah rutin perlu dilakukan, terutama angka lekosit yang biasanya mengalami peningkatan paling awal bila terjadi peritonitis.

Gambar 6. Cara memasukkan esofagoskop

Gambar 7. Gambaran lumen esofagus di pars cervikalis dan pars thorakalis

DAFTAR PUSTAKA

Ballenger,H.C. dan Ballenger, j.j.: Diseases of the Nose Throat and Ear. 10th ed.,Lea Febinger, Philadelphia, 1957:944-946

Barret, J.H. Fopreign bodies in the aior and food passage. Archof Otolaringol 1951; 54: 651-665

Boies , R.L. Fundamental of otolaryngology. 3th ed . W.B. Sounders Company. Philadelphia,1960

Jackson, C. Bronchoesophagology. W.B. Saunder Co. Philadelphia, 1950

Ellis, P.D.M., Ardran ,C.M.. Oesophageal foreign body in infant. Laryngol and Otol 1973; 87; 69- 693

Fennel, G. DArcy,F. Failure to thrive. Laryngol and Otol. 1976; 90: 883- 886

Ono, J .Foreign bodies in air and food passage in the Japanese. Arch of Otolaryngl 1965; 81: 416 420.

23