ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
TRANSCRIPT
1
EKSTRADISI SEBAGAI SEBUAH PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. Pendahuluan
Dalam konteks globalisasi dan internasionalisasi saat ini, perkembangan kompleksitas
pola hubungan antar negara, komunikasi lintas batas nasional, dan hubungan antar
masyarakat global telah mendorong berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan lintas batas
negara atau kejahatan transnasional. Perkembangan kejahatan transnasional yang begitu
cepat, menuntut negara-negara dunia, dalam kerangka penegakan hukum nasional dan
mendorong terciptanya keamanan internasional, untuk memiliki sebuah instrumen hukum
yang diakui secara bersama atau umum berdasarkan kebiasaan internasional dalam rangka
memerangi dan memberantas kejahatan transnasional.
Salah satu hambatan dalam mengatasi bentuk-bentuk kejahatan transnasional adalah
kesulitan untuk menangkap pelaku kejahatan dan membawanya ke hadapan persidangan.
Hal ini dikarenakan seringkali seorang pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di
suatu negara, untuk menghindari jeratan hukum, maka pelaku kejahatan tersebut pergi ke
negara lain sehingga berada di luar yurisdiksi hukum negara dimana dia melakukan tindak
pidana sebelum dapat dilakukannya proses hukum terhadap tindak pidana yang telah
dilakukan. Untuk bisa menangkap dan membawa pelaku tindak pidana tersebut kembali ke
negara dimana tindak pidana dilakukan, negara bersangkutan perlu melakukan koordinasi
dengan negara dimana pelaku tindak pidana bersembunyi, untuk kemudian meminta
kepada negara tersebut agar bersedia menyerahkan pelaku tindak pidana tersebut.
Ilustrasi tersebut memperlihatkan bahwa karakteristik kejahatan transnasional yang
melibatkan dua negara atau lebih menuntut adanya interaksi dua atau lebih sistem hukum
nasional dalam rangka penanganan kejahatan transnasional tersebut, khususnya dalam hal
menentukan dan menempatkan kembali pelaku pidana pada yurisdiksi hukum yang paling
berwenang untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana tersebut.
Mekanisme penyerahan kembali pelaku tindak pidana ke negara yang memiliki kewenangan
untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah ekstradisi.
Interaksi diantara dua negara atau lebih dalam berjalannya ekstradisi ini mengandung
2 aspek utama yaitu aspek hukum dan aspek politik. Aspek hukum merujuk kepada
terjadinya interaksi 2 atau lebih sistem hukum nasional yang memungkinkan terjadinya
2
ekstradisi. Sedangkan aspek politik merujuk kepada orientasi politik luar negeri masing-
masing negara yang terlibat dan kemudian menentukan apakah akan terjadi ekstradisi atau
tidak. Jika melihat kepada sejarah munculnya ekstradisi dan prakteknya selama ini, dapat
dilihat bahwa ekstradisi pada hakikatnya adalah kesepakatan diantara dua negara atau lebih
atau paling tidak menunjukan adanya hubungan kerjasama bilateral maupun multilateral
diantara dua negara atau lebih.
Ekstradisi tidak akan terjadi jika diantara dua negara atau lebih yang terlibat tidak
memiliki sebuah kesepakatan formil maupun hubungan bilateral dan multilateral. Ada atau
tidaknya kesepakatan dan hubungan bilateral maupun multilateral tersebut sangat
tergantung kepada orientasi kebijakan politik luar negeri masing-masing negara, sehingga
dalam kerangka ini, ekstradisi sebagai sebuah instrumen hukum internasional pada
dasarnya sangat tergantung kepada aspek politik yang dimanifestasikan dalam bentuk
kesepakatan dan hubungan bilateral maupun multilateral diantara dua negara atau lebih.
Di sisi lain, ekstradisi juga muncul dan dapat terjadi akibat dari dorongan kebutuhan
negara-negara dalam rangka penegakan hukum. Berkembangnya modus operandi tindak
pidana, perkembangan teknologi informasi, dan semakin mudahnya lalu lintas manusia dan
aset melewati batas-batas wilayah negara, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
menjadikan ekstradisi sebagai sebuah pilihan instrumen hukum internasional yang memang
dibutuhkan negara untuk menunjang penegakan hukum. Dalam kerangka ini, dimana aspek
penegakan hukum lebih dominan dibandingkan aspek politik, ekstradisi dipandang sebagai
sebuah bentuk perjanjian internasional yang memiliki kekuatan mengikat dan mensyaratkan
adanya hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat di dalamnya.
B. Tinjauan Pustaka
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional merupakan salah satu bagian penting yang membentuk
hukum internasional. Perjanjian internasional menunjukan keberadaan hubungan antar
negara-negara dalam berbagai bidang, dimana untuk melindungi hak dan kewajiban masing-
masing negara yang terlibat dalam hubungan antar negara tersebut dibuatlah sebuah
pengaturan dan kesepakatan bersama yang mengikat para pihak. Dengan demikian, dalam
perjanjian internasional telah melekat aspek hukum yang ditunjukan dengan pengaturan
pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban serta mekanisme sanksi. Aspek hukum inilah
3
yang kemudian menempatkan perjanjian internasional sebagai salah satu instrumen yang
membangun hukum internasional.
Merujuk kepada Konvensi Wina Tahun 1969, pengertian perjanjian internasional
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie adalah sebagai berikut:1
“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”.
Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam
bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau
dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.
Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional
dengan rumusan yang lebih luas, yaitu:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”.2
Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang digunakan
sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi untuk dapat ditetapkan
sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu:
1) an international agreement;
Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik internasional
yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum internasional atau
permasalahan lintas negara.
2) by subject of international law (termasuk entitas di luar negara);
Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi
internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat
internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.
1 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition, 1979), hlm.
602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969. 2 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 84.
4
3) in written form;
Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina
1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian yang
tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang
tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement
seperti yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969.
4) governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);
Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang sering
menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional. Dalam
pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional
(International Law Committee) yang merancang konvensi tersebut merasakan
rumitnya pengertian “governed by international law”. Komisi ini mengatakan
suatu dokumen disebut sebagai governed by international law jika sudah
memenuhi dua elemen, yaitu:
a. Adanya maksud untuk menciptakan kewajiban dan hubungan hukum;
b. Tunduk pada rezim hukum internasional.
5) whatever form.
Definisi perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian
daripada sekedar judul perjanjian internasional itu sendiri. Dengan kata lain,
penamaan atau judul dari suatu perjanjian internasional bisa berbeda, tetapi
pengaturannya tetap bersumber pada hukum perjanjian internasional
sebagaimana yang dituangkan di dalam Konvensi Wina 1969.
2. Ekstradisi
Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para sarjana Hukum Internasional
sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hal ini memang bisa
dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua.3
Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa terdapat sebuah
perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II
3 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya, 2004), hal.
28.
5
dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang isinya kedua
pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri
atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lain.4
Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari bahasa latin
“ekstradere”. Ex berarti ke luar, sedangkan Tradere berarti memberikan, yang arti dan
maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya adalah extradition berarti penyerahan.5
Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki
tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya,
baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral, multilateral regional, maupun
berbentuk peraturan perundang-undangan nasional Negara-negara. Bahkan pada tanggal 14
Desember 1990, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang
Model Treaty on Extradition, meskipun hanya berupa model hukum saja, dan belum
merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai acuan oleh Negara-
negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua Negara
di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini.6
Meskipun terdapat banyak perjanjian internasional maupun peraturan perundang-
undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semuanya itu menganut asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan di dalam prakteknya, ada
Negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua
Negara tersebut belum terikat pada perjanjian ekstradisi, atau mungkin juga belum memiliki
peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus
ekstradisi tersebut, mereka berpegangan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang
ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar Negara-negara
di dunia.
Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik
berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan
prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan
(tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang
4 Arthur Nusbaum; A Concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Sam Suhaedi Admawirya, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Cetakan I, (Bandung: Bina Cipta, 1969), hal. 3)
5 I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 12.
6 I Wayan Parthiana, Op.Cit., Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, hal. 128.
6
telah mempunyai kekuatan mengikat dan pasti (terhukum, terpidana), oleh Negara
tempatnya berada (Negara-diminta) kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk
mengadili atau menghukumnya (Negara-peminta), atas permintaan dari Negara-peminta,
dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.7
Berdasarkan rumusan ekstradisi di atas, maka dapat ditarik beberapa unsurnya, yaitu:
1) Unsur subyek, yaitu Negara-diminta dan Negara/Negara-negara peminta;
2) Unsur obyek, yaitu orang yang diminta, yang bisa berstatus sebagai tersangka,
tertuduh, terdakwa, atau terhukum/terpidana;
3) Unsur prosedur atau tata cara, yaitu harus dilakukan menurut prosedur atau tata
cara atau formalitas tertentu; dan
4) Unsur tujuan, yaitu untuk tujuan mengadili dan atau penghukumannya
(pelaksanaan hukuman).8
Selain unsur-unsur tersebut, ekstradisi memiliki beberapa asas yang telah diakui
secara internasional, yaitu sebagai berikut:9
1) Asas kejahatan ganda (double criminality principle), yaitu bahwa kejahatan yang
dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah
merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum Negara-peminta
maupun hukum Negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun
unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing
Negara berbeda-beda. Sudah cukup apabila hukum kedua Negara sama-sama
mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana.
Setidaknya ada tiga puluh dua jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi10;
2) Asas kekhususan (principle of speciality), yaitu apabila orang yang diminta telah
diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang
yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk
meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili atau dihukum atas kejahatan
7 Ibid., hal. 129. 8 Ibid. 9 Ibid., hal. 130. 10 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2000), Hal.
229-230.
7
lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta
ekstradisinya;
3) Asas ne bis in idem atau non bis in idem, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan
untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau
dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti, maka
permintaan Negara-peminta harus ditolak oleh Negara-diminta11;
4) Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political
criminal). Jika Negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan
sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh Negara-peminta adalah tergolong
sebagai kejahatan politik, maka Negara-diminta harus menolak permintaan
tersebut. Tentang apa yang disebut kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga
saat ini belum ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam
praktek Negara-negara;
5) Asas tidak menyerahkan warga Negara (non extradition of nationals). Jika orang
yang diminta ternyata adalah warga Negara dari Negara-diminta, maka Negara-
diminta “dapat” menolak permintaan dari Negara peminta. Asas ini berlandaskan
pada suatu pemikiran, bahwa Negara berkewajiban melindungi warga negaranya
dan sebaliknya warga Negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan
dari negaranya;
6) Asas daluwarsa, yaitu bahwa permintaan Negara-peminta harus ditolak apabila
penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan alasan
untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta sudah daluwarsa menurut
hukum dari salah satu atau kedua belah pihak.
Selain keenam asas tersebut, dalam ekstradisi juga diakui asas resiprositas atau prinsip
timbal balik. Jika suatu Negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari Negara lain,
maka Negara tersebut juga harus memberikan perlakuan yang baik terhadap Negara yang
bersangkutan. Dalam konteks ekstradisi, jika kita mengharapkan Negara lain akan
menyerahkan tersangka, terdakwa atau terpidana yang diminta untuk diproses atau
dieksekusi menurut hukum nasional Negara kita, maka harus ada jaminan yang seimbang
bahwa Negara kita pada suatu saat diminta oleh Negara tersebut untuk menyerahkan
11 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang asas ini lihat kepada Pasal 20 Statuta Roma Mahkamah Pidana
Internasional.
8
tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk diproses atau dieksekusi menurut hukum
nasional Negara tersebut.12
C. Pembahasan
Sebagai sebuah instrumen hukum dalam hukum internasional, keberadaan ekstradisi
dalam perkembangannya telah ditunjang oleh berbagai konvensi internasional. Dalam
konvensi-konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuh puluhan dan
sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya.
Konvensi-konvensi tersebut diantaranya adalah:13
1) Konvensi Menentang Kejahatan Perbudakan (Slavery Convention 1926, beserta
dengan protokol-protokolnya);
2) Konvensi Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atas
Prostitusi (Convention for The Suppression of The Traffic in Persons and of The
Exploitation of The Prostitution of Others, 1949);
3) Konvensi Tentang Kejahatan Genocide (Convention on The Prevention and The
Punishment of the Crime of Genocide, 1948);
4) Kejahatan Penerbangan yang diatur di dalam tiga konvensi, yaitu:14
a. Konvensi Tokyo, 14 September 1963 (Kejahatan-kejahatan dan Tindakan
Tertentu Lainnya yang Dilakukan di dalam Pesawat Udara/Convention of
Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft);
b. Konvensi Den Haag, 16 Desember 1970 (Penanggulangan Pembajakan atau
Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum /Convention for the
Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft );
c. Konvensi Montreal, 23 September 1971 (Penanggulangan Perbuatan Melawan
Hukum Terhadap Keamanan Penerbangan Sipil / Convention for the
Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation).
12 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda dan
Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 401. 13 Sapto Handoyo, Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional, Jurnal Academia, Vol. 6, 2010, hal. 8. 14 Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), hal. 64-
65.
9
5) Konvensi Tentang Kejahatan Terhadap Orang-orang yang Dilindungi Secara
Internasional (Convention on The Prevention and Punishment of Crimes Against
Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973);
6) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Perlakuan atau
Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau yang Merendahkan Martabat
Kemanusiaan (Convention Against Torture and Others Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment, 1987);
Keberadaan pengaturan tentang ekstradisi dalam konvensi-konvensi internasional
seperti beberapa konvensi yang dinyatakan di atas menjadi indikasi bahwa ekstradisi pada
hakikatnya adalah sebuah aturan hukum yang memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak
yang terikat di dalamnya. Seluruh negara yang terikat dan/atau meratifikasi konvensi-
konvensi internasional di atas, memiliki hak sekaligus kewajiban secara hukum untuk
menggunakan ekstradisi dalam upaya penegakan hukum.
Konvensi sebagai bentuk dari sebuah perjanjian internasional berarti juga bahwa
konvensi-konvensi tersebut menjadi sumber hukum internasional, hal ini dikarenakan
perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.15 Perjanjian
Internasional apabila dibandingkan dengan sumber hukum internasional lainnya menjadi
sumber yang paling utama dan ini dapat terlihat dari Pasal 38 Statuta ICJ yang meletakkan
perjanjian internasional pada urutan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian
internasional menduduki posisi tertinggi dalam hierarki sumber hukum internasional. Selain
itu, banyak sumber hukum internasional lain seperti kebiasaan internasional yang sudah
dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian internasional. Dalam kerangka ini, ekstradisi
tidak lagi dilihat sebagai sebuah kebiasaan internasional, akan tetapi sebuah perjanjian
internasional yang diturunkan dari perjanjian internasional sebelumnya.
Karakter dan tujuan ekstradisi sejak pertengahan abad ke-19 telah sangat maju dan
manusiawi dimana tujuan yang bersifat diskriminatif baik atas dasar etnis, ras, dan latar
belakang politik dalam perjanjian ekstradisi masa lampau telah ditiadakan dan sekaligus
15 Sumber-sumber hukum internasional terdiri dari : perjanjian internasional (international convention),
kebiasaan internasional (international custom), prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab (general principles of law recognized by civilized nations), keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli.
10
dimuat sebagai prinsip-prinsip yang wajib dipenuhi oleh para negara pihak dalam perjanjian
tersebut.16
Sudah tidak adanya tujuan-tujuan ekstradisi yang bersifat diskriminatif, rasialis,
maupun politis, menunjukan bahwa saat ini ekstradisi benar-benar dijadikan instrumen
hukum internasional yang digunakan dalam rangka menunjang upaya penegakan hukum,
khususnya dalam rangka membantu mengatasi kejahatan transnasional yang terus
berkembang pesat. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi, seperti yang dinyatakan di atas,
bahwa dalam ekstradisi terdapat prinsip-prinsip yang wajib ditaati oleh para pihak.
Penggunaan kata “wajib” dalam sebuah perjanjian internasional yang memiliki kekuatan
hukum, berarti bahwa ada unsur paksaan dalam menjalankan ketentuan yang bersifat wajib
tersebut, dengan kata lain ada kewajiban hukum dalam sebuah perjanjian ekstradisi, dimana
dalam setiap kewajiban hukum akan ada sanksi hukum bagi segala tindakan yang melanggar
kewajiban hukum tersebut.
Saat ini, perkembangan praktik hukum internasional dalam perjanjian ekstradisi
mencerminkan satu persepsi yang sama yaitu bahwa penyerahan seseorang dari suatu
negara ke negara tertentu lainnya dapat diwujudkan baik berdasarkan suatu perjanjian
maupun resiprositas atau berdasarkan suatu “comity” semata-mata. Sekalipun masih
banyak negara yang lebih suka melaksanakan ekstradisi melalui suatu perjanjian, akan tetapi
masih terjadi penyerahan/ekstradisi didasarkan atas dasar asas resiprositas atau comity
saja.17 Ekstradisi yang didasarkan kepada asas resiprositas dan/atau comity inilah yang
membuat ekstradisi dipandang sebagai bagian dari kebiasaan internasional. Akan tetapi jika
dilihat dari sudut pandang penegakan hukum, dimana ekstradisi dibutuhkan untuk dapat
menjamin berjalannya proses penegakan hukum, maka dalam sebuah ekstradisi harus ada
kewajiban hukum yang dapat mengikat para pihak dan hal ini hanya dapat dimungkinkan
jika ekstradisi dipandang sebagai sebuah perjanjian internasional yang memiliki kekuatan
mengikat secara hukum.
Dalam kaitannya dengan upaya pelaksanaan ekstradisi untuk meminta diserahkannya
seseorang yang menjadi terdakwa/tersangka sebuah kasus tindak pidana dari Negara-
diminta kepada Negara-peminta, maka pertanyaan besar yang muncul adalah apakah
16 Romli Atmasasmita, Ekstradisi Dalam Meningkatkan Kerjasama Penegakan Hukum, Jurnal Hukum
Internasional, Vol. 5 No. 1 Oktober 2007, hal. 6. 17 Ibid.
11
Negara-diminta wajib melaksanakan permintaan penyerahan seseorang tersebut kepada
Negara-peminta?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui teori perjanjian pada umumnya,
sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional (UN
Convention on the Law of the Treaty) tahun 1969, dan dapat dijawab berdasarkan praktik
hubungan internasional. Pertama, berdasarkan prinsip-prinsip umum perjanjian
internasional yang berlaku, “pacta sunt servanda” (Pasal 26) dan ketentuan bahwa, suatu
negara tidak boleh menolak pelaksanaan suatu perjanjian dengan alasan bertentangan
dengan sistem hukum nasional (Pasal 27), maka permintaan ekstradisi wajib dipenuhi
sebagai suatu kewajiban mutlak bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Namun di dalam
praktik hubungan internasional, khususnya di dalam perjanjian ekstradisi bilateral, prinsip-
prinsip umum di atas dapat disimpangi sepanjang penyimpangan tersebut disepakati kedua
belah pihak yang terikat dalam perjanjian ekstradisi tersebut.18 Penyimpangan tersebut
dapat diketahui dari ketentuan mengenai “refusal” (penolakan) atau “exception”
(kekecualian) di dalam perjanjian ekstradisi. Semakin banyak syarat penolakan suatu
permintaan ekstradisi dimuat dalam suatu perjanjian ekstradisi maka semakin sulit
perjanjian tersebut dapat diwujudkan secara efektif.19
Penolakan dan pengecualian terhadap prinsip-prinsip umum perjanjian internasional
dalam sebuah perjanjian ekstradisi pada dasarnya bukanlah sebuah hal yang prinsip dan
seharusnya diminimalisir jika berbicara dalam konteks penegakan hukum. Ketentuan
penolakan dan pengecualian yang justru akan menghambat berjalannya sebuah proses
ekstradisi, dalam cara pandang yang sederhana, justru hanya akan membuat perjanjian
ekstradisi tersebut sama sekali tidak berguna, karena tujuan utama dari munculnya
ekstradisi adalah mempermudah proses penyerahan seseorang tersangka atau terdakwa
kasus tindak pidana dengan cara menjembatani perbedaan sistem hukum diantara dua
negara atau lebih yang terlibat dalam proses ekstradisi tersebut. Dengan demikian jika
ternyata sebuah perjanjian ekstradisi justru “menambah” perbedaan diantara dua sistem
hukum nasional, maka seharusnya perjanjian ekstradisi tersebut tidak diperlukan karena
pada akhirnya akan mempersulit upaya penegakan hukum yang akan dijalankan.
18 Penyimpangan semacam ini dapat dibenarkan sepanjang dilakukan atas dasar “itikad baik” (in good
faith), dan tidak juga bertentangan dengan prinsip “state souvereignty” sebagaimana dicantumkan dalam setiap perjanjian bilateral atau multilateral pada umumnya, baik secara eksplisit maupun implisit.
19 Romli Atmasasmita, Op.Cit., 2007, hal. 7-8.
12
Sebagai contoh, di dalam perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura tahun 2007,
pada Pasal 1 ditegaskan:
“Each Party agrees to extradite to other...any person who is found in the territory of the Requested Party and is wanted in Requesting Party for any prosecution or for the imposition or enforcement of a sentence in respect of an extraditable offence, as described in Article 2of this Treaty, committed within the jurisdiction of the Requesting Party”.
Ketentuan tersebut diperkuat Pasal 2 ayat (4) yang menegaskan bahwa perjanjian ini
dapat berlaku surut 15 (lima belas) tahun sejak perjanjian ini berlaku efektif. Kedua
ketentuan tersebut secara tersurat memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk
mengusut kembali para pelaku kejahatan, termasuk korupsi yang terjadi di masa lampau.
Namun demikian, ketentuan yang terlihat “menguntungkan” Indonesia tersebut
dikesampingkan oleh banyaknya kewajiban masing-masing negara terutama Indonesia,
untuk dapat melaksanakan perjanjian ini secara efektif. Pertama, dalam Pasal 4 tentang
“Mandatory Exception to Extradition”, dimuat sebanyak 9 (sembilan) syarat penolakan yang
bersifat wajib pada ayat (1) dan ayat (2); sedangkan di dalam Pasal 5, tentang “Discretionary
Exception to Extradition”, telah dimuat sebanyak 8 (delapan) syarat penolakan opsional,
dengan pengecualian pada ayat (2) dan ayat (3). Sebagai perbandingan, dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia
dan Australia, hanya memuat 5 (lima) syarat penolakan, baik yang bersifat “Mandatory
obligation” maupun yang bersifat “Non-mandatory obligation” (Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2)).
Kemajuan dan “keberuntungan” Indonesia dalam Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan
Singapura tersebut adalah diterimanya ketentuan penolakan prinsip nasionalitas dengan
bersyarat sebagaimana tampak dalam Pasal 5 ayat (3) dihubungkan dengan bunyi ketentuan
Pasal 5 ayat (1) huruf c. Kedua ketentuan tersebut merupakan celah hukum bagi Indonesia
yang dapat digunakan untuk memulangkan pelaku kejahatan asal warga negara Indonesia.
Dalam perjanjian ini, masih ada ketentuan yang menguntungkan Indonesia, yaitu prinsip
penolakan menyerahkan warga negara dapat diterobos dengan menetapkan bahwa status
kewarganegaraan seseorang di negara yang diminta ditetapkan ketika orang yang
bersangkutan melakukan kejahatan (lex tempus delicti) sehingga kemungkinan untuk
13
meminta WNI yang telah berubah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura masih
dapat dilakukan.
Keuntungan kedua bagi Indonesia adalah, ketentuan penolakan dengan alasan
kewarganegaraan (nasionalitas) dikesampingkan untuk perkara-perkara terorisme dan
perkara suap atau korupsi (Pasal 5 ayat (2)). Keuntungan ketiga, walaupun perjanjian
ekstradisi tersebut masih mempertahankan prinsip “dual criminality” dengan sistem daftar
enumerative (enumerative list) akan tetapi masih dimungkinkan untuk tidak ditafsirkan
secara ketat (kaku) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2). Namun demikian, syarat
penolakan lainnya yang bersifat wajib (Mandatory obligation) in casu Pasal 4 dan yang
bersifat “non-mandatory” (Pasal 5), menghambat pelaksanaan bunyi ketentuan Pasal 5 ayat
(1) huruf c dan Pasal 5 ayat (3).
Terlepas dari keuntungan dan kerugian masing-masing pihak seperti yang
digambarkan dalam contoh perjanjian ekstradisi di atas, permasalahan serius yang harus
disadari dan dicermati bersama adalah bahwa ekstradisi kemudian dalam praktiknya tidak
lagi menjadi instrumen penegakan hukum, tetapi telah dijadikan instrumen bargaining
untuk kepentingan nasional dan politik luar negeri suatu negara. Hal ini berbeda jika
ekstradisi benar-benar dipandang dan diperlakukan sebagai sebuah perjanjian internasional
yang mengikat yang merupakan turunan dari konvensi-konvensi internasional, maka
“pertarungan” kepentingan nasional tersebut dapat dikesampingkan dengan
mengedepankan penegakan hukum pemberantasan kejahatan transnasional sebagai tujuan
utama dari diadakannya sebuah perjanjian ekstradisi.
Mengutip pendapat Ketut Mandra20, yang mengatakan bahwa peranan atau fungsi
perjanjian internasional dalam pembentukan dan perkembangan hukum internasional dapat
diperinci atau digolongkan ke dalam tiga macam, yakni:
1) Merumuskan atau menyatakan (declare) atau menguatkan kembali
(confirm/restate) aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing
rules of international law);
2) Merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan (abolish)
kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada untuk mengatur tindakan-
tindakan yang akan datang (for regulating future conducts);
20 I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum Internasional, Pro
Justicia, No. Ke-16, 1981, hlm. 16.
14
3) Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali, yang
belum ada sebelumnya.
Berdasarkan kepada pendapat di atas, jika ekstradisi dipandang sebagai sebuah
perjanjian internasional, maka ekstradisi harus menguatkan kembali prinsip-prinsip hukum
yang telah ada sebelumnya, dalam hal ini adalah prinsip-prinsip hukum yang ada dalam
berbagai konvensi internasional yang mengatur ketentuan tentang ekstradisi. Penguatan
kembali prinsip-prinsip hukum ini pada dasarnya adalah untuk menegaskan kembali apa
sebenarnya tujuan dari keberadaan ekstradisi dan bagaimana peranannya dalam
perkembangan hukum internasional.
Ekstradisi yang muncul atas dasar kebutuhan untuk memudahkan proses penegakan
hukum dalam mengatasi berbagai bentuk kejahatan transnasional, haruslah benar-benar
secara konsisten dipandang dalam kerangka hukum pada tataran implementasinya,
sehingga tujuan utama penegakan hukum yang ada dalam ekstradisi dapat tercapai.
Pelaksanaan ekstradisi yang tidak berdasarkan atas perjanjian internasional, yaitu hanya
berdasarkan kepada asas resiprositas atau comity saja, haruslah dipandang sebagai sesuatu
yang bersifat alternatif ketika memang perjanjian internasional belum memungkinkan untuk
terjadi. Dalam hal ini, keberadaan asas resiprositas dan comity pada dasarnya adalah untuk
memudahkan berjalannya proses ekstradisi itu sendiri, sehingga tujuan penegakan hukum
dapat tercapai tanpa terkendala faktor-faktor lain seperti hubungan diplomatik, perbedaan
kepentingan nasional, kebijakan politik luar negeri, dan faktor-faktor lain yang lebih bersifat
politis.
D. Kesimpulan
Berdasarkan kepada pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1) Ekstradisi memiliki tujuan utama penegakan hukum, dimana ekstradisi berperan
sebagai instrumen internasional yang membantu menjamin terlaksananya
penegakan hukum meskipun terdapat hambatan-hambatan yang bersifat politis
maupun teknis (seperti perbedaan sistem hukum nasional, perbedaan kebijakan
dan politik hukum, dan lain-lain);
2) Untuk dapat menjamin berjalannya penegakan hukum melalui ekstradisi, maka
ekstradisi haruslah dipandang sebagai sebuah perjanjian internasional yang
15
diturunkan dari konvensi-konvensi internasional yang telah ada sebelumnya,
dengan sifat mengikat secara hukum sehingga di dalamnya terdapat kewajiban
mutlak dan bersifat prinsip terkait dengan pencapaian tujuan utama dari
ekstradisi;
3) Keberadaan asas resiprositas dan comity harus dipandang sebagai sebuah alat
bantu untuk menjamin berjalannya ekstradisi dalam rangka penegakan hukum
meskipun tidak terdapat perjanjian ekstradisi diantara dua negara terkait; bukan
sebaliknya, dianggap sebagai pilihan utama dalam menjalankan ekstradisi yang
pada akhirnya membuat aspek politis dalam pelaksanaan ekstradisi lebih besar
dibandingkan aspek hukum itu sendiri.
16
E. Daftar Pustaka
Buku:
Arthur Nusbaum; A Concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawirya, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I,
Cetakan I, (Bandung: Bina Cipta, 1969).
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009).
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition,
1979).
I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung:
Mandar Maju, 1990).
------------------------, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya,
2004).
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda
dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Aditama,
2000).
Jurnal:
I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Internasional, Pro Justicia, No. Ke-16, 1981.
Romli Atmasasmita, Ekstradisi Dalam Meningkatkan Kerjasama Penegakan Hukum, Jurnal
Hukum Internasional, Vol. 5 No. 1 Oktober 2007.
Sapto Handoyo, Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional, Jurnal Academia, Vol. 6,
2010.