eksistensi kitab fikih dalam pertimbangan...
TRANSCRIPT
EKSISTENSI KITAB FIKIH DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN
HAKIM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN TAHUN 2010
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ZAHROTUL KAMILAHNIM : 1111044100077
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M APROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJ A K A R T A1436 H/2015 M
a
,
EI$ISTENSI KITAB FIKIH DALAM PERTIMBANGAN PUTUSANrl
HAKIM PERKARA CERAI TAI"AK DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN TAIIUN 2O1O
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
ZAHROTUL KAMILAHNIM: 1111044100077
aKONSENTRASI PERADILAN AGAMPROGRAM STUDI IIUKUM KELUARGA
FAKI'LTAS SYARIAII DAN IIUKUMUNWERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF IIIDAYATULLAHJAKARTA
1436 Ht2015 M
-I
I
I
LEMBAR PER}TYATA.AI\T
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan untuk memenuhi gelar Stata Satu (SD di Universitas Islam
Negeri runD Syarif flidayatullah Jalorta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri ([mD
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bt*u karya ini bukan hasil karya asli saya atau
menrpakan hasil jiplakan dmi karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islarn Negeri (uhD Syarif Hidayatullatr
Jakarta.
rttt0ut00077
i
ABSTRAK
Zahrotul Kamilah. 1111044100077. “Eksistensi Kitab Fikih dalamPertimbangan Putusan Hakim Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama JakartaSelatan Tahun 2010.” Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi HukumKeluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015,vii + 77 + 29.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi kitab fikih dalampertimbangan hukum pada putusan cerai talak di Pengadilan Agama JakartaSelatan tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptifkualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Sumber penelitian terdiri dari dataprimer berupa salinan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta selatan dan datasekunder berasal dari buku-buku. Subyek dalam penelitian ini adalah individuyaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Teknik pengumpulan data yangdigunakan adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan berupawawancara, dan observasi.
Berdasarkan data yang telah penulis jelaskan maka dapat diambilkesimpulan bahwa penggunaan kitab fikih di Pengadilan Agama Jakarta Selatantahun 2010 dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara cerai talaksebanyak 6% sebagai landasan hukum. Hal ini sesuai dengan data perkara ceraitalak pada tahun 2010. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan lebih banyakmenggunakan KHI sebagai dasar pertimbangan putusan, diketahui bahwasebanyak 100% KHI digunakan sebagai landasan hukum perkara cerai talak, PPNo. 9 Tahun 1975 menempati 94% sebagai landasan hukum, UU No. 1 Tahun1974 menempati 86% sebagai landasan hukum, UU No. 7 Tahun 1989sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-IIdengan UU No. 50 Tahun 2009 menempati 80% sebagai landasan hukum danYurisprudensi menempati 3% sebagai landasan hukum. Dari hasil persentasetersebut menandakan bahwa hakim agama hanya merujuk pada peraturanperundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai rujukan atau sumberutama dalam memutus perkara. Tidak lagi melakukan ijtihad dengan mencaridasar dalam kitab fikih, dengan demikian bahwa hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara menganut teori hukumpositivisme, dimana hakim dalam melakukan pertimbangan terfokus padaperaturan perundang-undangan.
Kata Kunci : Fikih, Cerai Talak, Pengadilan Agama, Teori HukumPositivisme, Teori Hukum Progresif dan Teori PenegakanHukum.
Pembimbing : Kamarusdiana, S.Ag., M.H.Daftar Pustaka : 1986 s.d 2013.
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الر حمن الر حیم
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang
senantiasa memberi rahmat, taufik, dan hidayah-Nya-lah penulis dapat
menyelesaikan skripsi dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar
Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW., kepada segenap keluarganya, sahabat-
sahabatnya serta ummatnya sepanjang zaman.
Selama proses dan perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini tidaklah
mudah. Banyak hambatan dan rintangan yang penulis temui dan alami, berkat
kesungguhan hati dan kerja keras serta doa, akhirnya penulis sampai pada titik
akhir penulisan skripsi ini.
Penulis juga tidak menutup mata akan peran berbagai pihak yang telah
banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Asep Saepudin Jahar, MA.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
3. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang
tak pernah lelah membimbing dan meluangkan waktunya untuk memberikan
arahan dan saran-saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selama menjalani aktifitas di kampus yang selalu memberikan motivasi dan
dukunga serta dorongan agar selalu bekerja dan berusaha maksimal demi
menggapai mimpi.
5. Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan pemberitahuan, pemahaman dan pelayanan selama
melaksanakan studi.
6. Bapak Drs. Mustofa, SH., dan Bapak Saifuddin selaku Hakim, Bapak
Pahrurrozi, SH., selaku panitera muda hukum dan seluruh Staf Pengadilan
Agama Jakarta Selatan yang telah membantu dan memberikan izin untuk
melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan
penelitian.
7. Yang tercinta Ayahanda (H. Mukhtar Rosyidi, S.Ag), yang telah ikhlas
memotivasi dengan moril maupun materil dan menjadi inspirasi penulis
dalam penulisan skripsi ini. Demikian pula, yang tercinta Ibunda (Hj. Siti
Hodijah), yang dengan ikhlas mencurahkan kasih sayang untuk penulis, yang
tiada henti-hentinya mendoakan agar menjadi wanita yang tegar dalam
menghadapi cobaan hidup dan menjadi kebanggaan Ayah dan Bunda. Amin.
8. Untuk kakak dan adik-adikku yang tersayang: Arifudi, S.Pd.I., Nur’Aeni
Murtafi’ah, S.H.I., Hasyim Asy’ari, S.Pd.I., Nur Wardatul Chilmi, S.Pd.,
iv
Muhammad Sahlan Arrosid dan Ahmad Izuddin Ihsan, yang dengan ikhlas
mendoakan, memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
9. Untuk sahabat-sahabatku: Diah Yuniardi, Nurfitria Harnia, Muzdalifah, S.Sy.,
Juniarti Harahap, Intan Pratiwi, Vemi Zauhara, Ai Siti Wasillah, Burhanatut
Diana, Viviet Alfianita, Denise Nurhidyani, Am.Keb., Hatoli, S.Sy., Ana
Matopani, S.H.I., dan Wawan Solihin, S.Sy., yang selalu sedia mendengarkan
keluh kesah penulis selama penyususnan skripsi serta tiada hentinya
memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis dikala penulis
sedang terpuruk dalam penyusunan skripsi.
10. Kawan-kawan seperjuangan Keluarga Besar Peradilan Agama dan
Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2011 yang telah memberikan
warna serta pengalaman dalam menjalani perkuliahan selama ini. Serta semua
pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima
kasih atas dukungan dan bantuannya.
Akhirnya tiada kata yang paling berharga kecuali ucapan Alhamdulillah atas
Rahmat dan Karunia serta Ridha-Nya dan ucapan terima kasih penulis kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.
Besar harapan penulis bahwa penulisan ini dapat memberikan kontribusi
yang positif untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan peradilan agama.
Jakarta, 1 April 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ...................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................................v
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................................8
D. Review Studi Terdahulu ........................................................................................8
E. Metode Penelitian ................................................................................................10
F. Sistematika Penulisan ..........................................................................................14
BAB II TINJAUAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
..................................................................................................................................15
A. Teori Hukum Positivisme ....................................................................................15
B. Teori Hukum Progresif ........................................................................................18
1. Pengertian .......................................................................................................18
2. Hukum Sebagai Teks .....................................................................................18
3. Hukum Sebagai Perilaku ................................................................................21
C. Teori Penegakan Hukum......................................................................................23
vi
BAB III KAJIAN UMUM TENTANG FIKIH SEBAGAI SUMBER HUKUM
PERKARA CERAI TALAK .................................................................................29
A. Pengertian dan Dasar Hukum Cerai Talak ..........................................................29
1. Pengertian Cerai Talak ....................................................................................29
2. Dasar Hukum Cerai ........................................................................................32
B. Konsep Fikih tentang Cerai Talak .......................................................................34
1. Macam-macam Perceraian .............................................................................34
2. Syarat-syarat Talak .........................................................................................38
3. Hukum Perceraian ..........................................................................................39
C. Cerai Talak di Pengadilan Agama .......................................................................40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................................................45
A. Statistik Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.....................45
B. Posisi Kitab Fikih dalam Putusan Perkara Cerai Talak Tahun 2010 ...................50
C. Pendekatan Teori Hukum dalam Putusan Cerai Talak ........................................63
D. Analisis Penulis....................................................................................................68
BAB V PENUTUP ...............................................................................................................73
A. Kesimpulan........................................................................................................73
B. Saran-saran ........................................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................75
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradilan Agama adalah salah satu dari empat peradilan di lingkungan
Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia.1
Peradilan Agama bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutuskan
dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
beragama Islam, yaitu di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf
dan sedekah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana diatur
dalam pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Peradilan Agama Pasal 49,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Intruksi
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan
hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan
bagi mereka yang mencari keadilan, yang beragama Islam, berdasarkan
hukum Islam.2
Dalam catatan sejarah, sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, cerai talak tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, penyelesaian cukup dilaksanakan di Kantor Urusan
1 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan PasangSurut, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 15.
2 Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, (Fakultas Syariah dan Hukum UINSyarif Hidayatullah: Jakarta, 2013), h. 2.
2
Agama Kecamatan setempat. Cerai talak baru diatur secara rinci dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam bagian-bagian sendiri
dengan sebutan “cerai talak”, demikian juga Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama lebih mempertegas lagi mengenai keberadaan
cerai talak.3
Mengenai perkara perceraian, dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2)
UUPA, dibedakan antara perceraian talak, dan gugatan perceraian. Dilihat
dari pihak-pihak yang mengajukan, perceraian karena talak adalah
permohonan cerai yang diajukan oleh suami, sedangkan gugatan perceraian
adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri. Menghindari
perkara perceraian, suami dan isteri haruslah dapat membentuk keluarga yang
sejahtera, dan bahagia, hal tersebut diperlukan norma agama dan tata aturan
yang berlaku. Persoalan perkara cerai talak dalam pertimbangan hakim pada
putusan cerai talak, dalam regulasi hukum di Indonesia selain mengacu pada:
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juga diatur dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Melihat kepada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 38, dijelaskan ada tiga sebab yang menjadi
penyebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang
isteri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan yaitu karena
3 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Kencana: Jakarta,2006), h. 18.
3
kematian, karena perceraian, dan atas keputusan pengadilan.4 Selanjutnya
ketentuan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 66 ayat (1)
menjelaskan, bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan
menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.5
Berkaca pada kehidupan rumah tangga saat ini, seringkali antara
suami isteri terjadi silang pendapat, percekcokan, dan pertengkaran terus
menerus hingga berujung pada perceraian, hal ini sesuai dengan Pasal 39 ayat
(2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 19 huruf (f) PP No. 9
Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f ) KHI. Dimana alasan tersebut dijadikan
oleh suami sebagai jalan terakhir untuk memutuskan hubungan perkawinan
dengan cara perceraian. Maka, penggunaan hak talak oleh suami hanya
diperkenankan apabila mempunyai alasan tersebut.6
Hukum Islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang
memegang kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara
kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan
memikul nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan
menjamin nafkah isteri selama ia menjalankan masa iddahnya. Hal-hal
tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak dengan
4 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h.117.
5 Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang PeradilanAgama, cet. V, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 28.
6 Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN JakartaPress, 2007), h. 120.
4
sesuka hati.7 Meskipun suami memiliki hak untuk menjatuhkan talak, namun
dalam pelaksanaannya hak itu harus dibatasi. Qur’an memberikan prosedur
perceraian yang baik yaitu apabila dikhawatirkan percekcokan antara suami
isteri akan menyebabkan putusnya ikatan perkawinan, maka tunjuklah dua
juru damai dari masing-masing pihak. Hal pertama kali yang dilakukan juru
pendamai ialah harus mengusahakan kerukunan kembali antara keduanya,
dan jika itu gagal, barulah ditempuh perceraian.8 Oleh karena itu, Islam hanya
mengijinkan perceraian karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran
ketegangan yang terus menerus dalam rumah tangga.9
Dapat diambil kesimpulan bahwa, cerai talak jika dilihat dari segi
pihak-pihak yang mengajukannya dibedakan menjadi dua yaitu cerai gugat
dan cerai talak. Perceraian yang diajukan oleh suami yaitu cerai talak dalam
perkembangannya tidak hanya diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1975 tetapi juga diatur pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada sejumlah Peraturan Perundang-
undangan tersebut jelas mengatur aturan cerai talak. Dimana Peraturan
Perundang-undangan tersebut dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara cerai talak. Sejumlah putusan cerai talak pada tahun
2010 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, mencatat pada dasar
pertimbangan hukumnya, hakim menggunakan sumber pada; Undang-undang
7 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 205.
8 Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h. 30-31.
9 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam HukumNasional, cet. II, h, (Jakarta: RMBooks, 2012), 173.
5
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam hukum Islam ada beberapa syarat bagi seseorang yangmenalak, di antaranya: (1) Baligh, (2) Berakal Sehat, (3) AtasKehendak sendiri, (4) Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Talakseseorang yang sedang marah dianggap sah manakala terbukti bahwadia memang mempunyai maksud menjatuhkan talak. Sementara,Imamiyah menukil hadits dari Ahlilbait yang mengatakan bahwa tidakdianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksudmenjatuhkan talak dan tidak ada talak kecuali disertai niat. Adapunpengarang kitab Al-Jawahir mengatakan bahwa kalau seseorang telahmenjatuhkan talak dan sesudah mengucapkan talaknya itu diamengatakan “saya tidak bermaksud menjatuhkan talak”, makapernytaannya ini diterima sepanjang si istri masih dalam masa ‘iddah.Sebab, yang demikian itu merupakan informasi tentang niatnya yangtidak bisa diketahui siapa pun kecuali melalui pemberitahuannyasendiri.10
Persoalan cerai talak dapat dipahami mengingat banyaknya perkara
yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan minimnya
ketersediaan waktu pada persidangan membuat para hakim kurang efesien
dalam memutuskan perkara cerai talak, dan lebih mengacu pada peraturan
perudang-undangan saja. Sehingga, membuat keberadaan kitab fiqih menjadi
semakin terbelakang.
Peradilan menurut istilah ahli fiqih, adalah (1) lembaga hukum,
dimana seseorang yang beragama Islam dapat mengajukan permohonan
keadilan (2) perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang
yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar
harus mengikutinya. Dari pengertian tersebut membawa kesimpulan bahwa
10Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. XXVI, (Jakarta: Lentera, 2010),h. 441-442.
6
tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila
dikatakan menetapkan sesuatu hukum. karena hukum itu sebenarnya telah ada
dalam hal yang dihadapi hakim, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada
sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada.
Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada
dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.11
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu lembaga
peradilan, mempunyai wewenang untuk menerima, mengadili dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu tingkat pertama bagi masyarakat
Jakarta Selatan yang beragama Islam, diantaranya perkara permohonan cerai
talak. Berdasarkan penelitian awal yang penyusun lakukan di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, diketahui bahwa umumnya dari putusan cerai talak
tahun 2010 dalam pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim mengacu
pada: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun `1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Namun, penulis belum melihat eksistensi kitab-kitab fikih dalam putusan
cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sehingga penulis tertarik
pada tema “EKSISTENSI KITAB FIKIH DALAM PERTIMBANGAN
PUTUSAN HAKIM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN TAHUN 2010”.
11 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan PasangSurut, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 3.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Sejumlah Peraturan Perundang-undangan tentang perkawinan
dijadikan rujukan oleh hakim dalam pertimbangan hukum pada perkara
cerai talak. Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas,
maka dalam penelitian ini, penulis memfokuskan dan membatasi pada
salinan putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun
2010 dengan jumlah putusan sebanyak 549 perkara cerai talak.
Pengambilan sampel 10% dari jumlah salinan putusan dan dilakukan
secara acak, sehingga jumlah putusan yang diteliti sejumlah 50 putusan.
Adapun yang dimaksud dengan kitab fikih klasik adalah kitab asli hasil
ijtihad para ulama yang salah satu pembahasannya tentang masalah-
masalah perkawinan, seperti: kitab Al-Mahalli dengan karangan Imam
Jalaluddin al Mahalli, kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karangan Prof.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kitab Fiqh as-Sunnah karangan as-Sayyid Sabiq,
kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, kitab Fathul Baari
karangan Ibnu Hajar Al-Asqalani dan kitab Kifayatul Akhyar karangan Al-
Imam Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini.
2. Perumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana posisi
kitab fikih dalam pertimbangan hukum pada putusan cerai talak di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
mengetahui posisi kitab fikih dalam pertimbangan hukum pada putusan cerai
talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010.
Sementara manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
keilmuan hukum keluarga dalam masalah perceraian pada masyarakat
luas.
2. Secara praktisi, (a) diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan
pengetahuan bagi mahasiswa UIN syarif Hidayatullah Jakarta dan
khusunya bagi mahasiswa Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah sserta masyarakat
luas lainnya. (b) penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para
praktisi hukum terutama di lingkungan Pengadilan Agama dan juga pihak-
pihak yang berminat terhadap masalah-masalah perceraian.
D. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap beberapa sumber
kepustakaan, penulis perlu melengkapi ataupun menyempurnakan penelitian
ini karena dengan melakukan review studi terdahulu dapat menghindarkan
penulis dari tuduhan duplikasi dan penjiplakan. Adapun review studi yang
mirip dengan fokus penelitian adalah:
No. Penulis dan Judul Isi Perbedaan
1. Moch. Fahmi Firmansyah,
Eksistensi Peradilan
Skripsi ini membahas bahwa
sistem penyelenggaraan
Skripsi ini
mengangkat
9
Agama Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No.
93/PUU-X/2012, SAS,
2013.
kekuasaan kehakiman di
Indonesia saat ini tidak lagi
dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung dan badan-badan
peradilan yang berada
dibawahnya.
permasalahan
tentang bagaimana
eksistensi kitab fikih
dalam pertimbangan
hukum perkara cerai
talak.
2. Miftahul Arwani,
Pertimbangan Hakim
dalam memutuskan
Perceraian Karena
Perselingkuhan (Studi
terhadap putusan di
Pengadilan Agama
Ponorogo tahun 2007),
SAS, 2008.
Skripsi ini membahas tentang
hakim dalam pemerikasaan
suatu perkara juga
memerlukan adanya
pembuktian, dimana hasil
dari pembuktian itu akan
digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam
memutus perkara karena
pembuktian merupakan
tahapan yang penting dalam
pemeriksaan di Persidangan.
Skripsi ini
membahas dasar
pertimbangan yang
digunakan hakim
dalam pertimbangan
hukum pada perkara
cerai talak yang
mengacu pada
peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
3. Asmiroh, Pelaksanaan
Pasal 41C Undang-
undang No. 1 Tahun 1974
Oleh Hakim Terhadap
Perkara Cerai Talak di
Skripsi ini mengenai
ketidakkonsistenan hakim di
Pengadilan Agama Bantul
dalam melaksanakan Pasal 41
c Undang-undang Nomor 1
Dalam pertimbangan
hukum pada perkara
cerai talak yang
dilakukan oleh
hakim juga
10
Pengadilan Agama Bantul
Tahun 2010, SAS, 2002.
Tahun 1974 menggunakan asas
keadilan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan penulis
dalam melakukan pendalaman secara kritis dan bijaksana. Metode penelitian
pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan
dan kegunaan tertentu.12 Dalam pengumpulan bahan atau data penyusunan
skripsi ini agar menemukan suatu kebenaran yang objektif, penulis
menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dengan memakai pendekatan
yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah suatu penelitian
yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian
yang terjadi di lapangan.13 Sehingga dapat menggambarkan secara
mendalam terhadap masalah yang diteliti14 dengan melakukan metode
kualitatif, seperti observasi dimana peneliti mengumpulkan data dengan
12 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, cet. XV, (Bandung: CVAlfabeta, 2012), h. 2.
13 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:RajaGrafindo, 2001), h. 26.
14Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (t.t.,: t.p., t.th), h. 27.
11
cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan data-data di tempat
penelitian.15
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif
kualitatif, yakni bertujuan untuk mengetahui apa yang terjadi dilingkungan
yang akan diteliti,16 hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
yang baik, jelas dan dapat memaparkan hasil-hasil penelitian yang
bersumber dari dokumen tertulis berupa putusan serta hasil wawancara.
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sikap, dan persepsi Hakim di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam mengambil rujukan pada putusan
cerai talak.
2. Sumber Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data yang berhubungan
dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sumber data yang penulis
gunakan terbagi dalam tiga bagian yaitu:
a. Data primer
Data primer ini berupa salinan putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam perkara cerai talak tahun 2010.
b. Data sekunder
Data ini didapat dari hasil penelitian lapangan di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan yang tidak hanya mengadakan penelitian
langsung melalui wawancara dengan salah satu Hakim yang bertugas di
15Syamsudin dan Vismala S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahas, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 73.
16Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 174.
12
Pengadilan Agama Jakarta Selatan tetapi juga dengan menggunakan
beberapa literatur seperti buku-buku dan jurnal.
c. Data tersier
Data ini diperoleh dengan cara mengumpulkan dan menelaah
beberapa literatur buku-buku ilmiah, kamus, ensiklopedia ataupun
internet.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai tindak lanjut dalam rangka memperoleh data
sebagaimana di harapkan, maka penulis melakukan pengumpulan dengan
dua teknik penelitian yaitu:
a. Penelitian kepustakaan (library research), dalam hal ini penulis
mengadakan penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya
dengan penulisan skripsi ini, yang berupa putusan cerai talak 2010
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, buku, artikel, jurnal, skripsi, surat
kabar dan lain sebagainya. Hal yang dilakukan dalam melaksanakan
penelitian kepustakaan ini adalah dengan cara membaca, mengutip,
menganalisa dan merumuskan hal-hal yang dianggap perlu dalam
memenuhi data dalam penelitian ini.
b. Penelitian lapangan (Field research), dalam hal ini untuk mendapatkan
data-data dan informasi tentang eksistensi kitab dalam putusan hakim
perkara cerai talak tahun 2010, penulis langsung turun kelapangan pada
obyek penelitian yaitu Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dengan
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
13
1) Wawancara
Wawancara dapat diartikan sebagai tukar-menukar pandangan
antara dua orang atau lebih17. Dalam penelitian ini, teknik yang
digunakan untuk mengumpulkan data yaitu dengan cara tanya jawab
secara langsung menggunakan instrument pengumpulan data.
Wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh data atau informasi
dari pihak terkait yaitu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2) Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan
pengamatan langsung pada salinan putusan perkara cerai talak tahun
2010, yang kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penulisan
skripsi ini.
4. Analisis data
Data yang diperoleh yaitu data primer dan data sekunder, diolah
kemudian dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya disajikan secara
deskriptif.
5. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Lokasi dipilih karena Pengadilan Agama yang berada di Jakarta
Selatan merupaka kota yang komplek dan masyarakatnya metropolis.
17 Arief Subyantoro dan Fx. Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial, (Yogyakarta:C.V ANDI Offset, 2007), h. 97.
14
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari sub-
sub yang dirinci sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab Kedua, membahas tentang teori positivisme, teori hukum
progresif, dan teori penegakan hukum.
Bab Ketiga, membahas tentang pengertian dan dasar hukum cerai
talak, konsep fikih tentang cerai talak, dan cerai talak di Pengadilan Agama.
Bab Keempat, berisi data statistik perkara cerai talak, posisi kitab
fikih terhadap dalam putusan perkara cerai talak tahun 2010, pendekatan teori
hukum dalam putusan cerai talak dan analisis penulis.
Bab Kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
15
BAB II
TINJAUAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA
A. Teori Hukum Positivisme
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan positivisme sebagai aliran
filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan
pengalaman dan ilmu yang pasti.1 Positivisme adalah sebuah posisi filosofis yang
menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah yang berasal dari observasi terhadap data
dari pengalaman dan bukan dari spekulasi yang berusaha untuk “melihat ke
balik” fakta-fakta yang diobservasi untuk mengetahui sebab utama, makna
ataupun esensi.2
Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat
jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas daari dinamika
sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada dibelakang hukum.
Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, namun
perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kearah-arah tertentu.
Masyarakat berubah, hukum juga harus berubah. Jika masyarakat Indonesia
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III, (Jakarta:Balai Pustaka, 2005), h. 890.
2 Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 12.
16
sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka hukumnya juga harus bersejalan
dengan perubahan itu.3
H.L.A. Hart mengemukakan ciri-ciri positivisme, sebagai berikut:
1. Hukum hanyalah perintah penguasa,
2. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum, moral dan etika,’
3. Analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan
sejarah dan sosiologi,
4. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang
diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik,
moral, maupun etika.4
Positivisme hukum dalam perkembangannya terbagi menjadi 2 (dua)
aliran, yaitu: aliran Hukum Positif Analitis (Analitical Jurisprudence) dengan
tokohnya John Austin, dan aliran Hukum Murni (Reine Rechts Lehre) dari Hans
Kelsen. Austin mengemukakan tiga hal pokok positivisme hukum, yaitu:
1. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi pada suatu
negara. Dengan demikian, hukum adalah perintah dari kekuatan politik di
suatu negara yang memegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan) di suatu
negara,
3 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 219-220.
4 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet. II, (Jakarta: PT Kompas MediaNusantara, 2007), h. 162.
17
2. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (Closed
Logical system). Oleh karena itu, sebagai objek kajian, maka hukum harus
dilepas dari unsur nilai,
3. Hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
Tidak terpenuhinya keempat unsur tersebut, berarti hal tersebut bukanlah
hukum, akan tetapi berupa moral positif.5
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa, apabila
disarikan maka bagi penganut mazhab positivisme hukum, dari segi bentuk maka
“hukum dilihat sebagai undang-undang”, dari segi isi sebagai “perintah
penguasa”, dan dari segi persyaratan terdiri dari “sanksi, perintah, kewajiban dan
kedaulatan”, dengan demikian, otoritas yang membentuk hukum adalah
penguasa yang berdaulat, yang bentuknya diidentikkan dengan undang-undang
dan diberlakukan terhadap pihak yang dikuasi.6 Dengan demikian, hukum yang
baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat,
hukum haruslah berfungsi sebagai sarana penggerak, hukum sebagai penegak
keadilan. Untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian sistem nilai
kemasyarakatan yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga keberlakuan hukum
berguna bagi masyarakat.
5 Ibid., h. 163.
6 Ibid., h. 164.
18
B. Teori Hukum Progresif
1. Pengertian
Progresif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
kearah kemajuan, berhalu kearah perbaikan keadaan sekarang, bertingkat
tingkat naik.7 Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara
cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum,
serta melakukan berbagai terobosan. Terobosan tersebut di dasarkan pada
prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum
itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas
yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan
manusia.
2. Hukum Sebagai Teks
Manusia tidak memulai kehidupan bersamanya dengan membuat
sistem hukum, melainkan membangun suatu masyarakat. Baru dari kehidupan
bersama yang bernama masyarakat itu dilahirkan hukum. Modal pertama
untuk membangun suatu kehidupan bersama adalah adanya saling percaya
antara para anggotanya, tanpa modal tersebut yang ada hanyalah kumpulan
dari sejumlah manusia yang tinggal pada suatu wilayah geografi tertentu yang
7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III, (Jakarta:Balai Pustaka, 2005), h. 897.
19
biasa disebut dengan komunitas. Selanjutnya kehidupan bersama yang lebih
luas disebut sebagai masyarakat.8
Untuk mengerti hukum dengan baik kita perlu mengawalinya dengan
perbincangan mengenai masyarakat. Hukum bermula dari masyarakat dan
sepanjang waktu akan terus seperti itu. Persoalan-persoalan timbul manakala
hukum diabstrakkan, yaitu dengan mengabaikan konteks kemasyarakatannya.
Masyarakat manusia itu adalah otentik, sedang hukum itu institut yang lebih
artifisial. Sejak hukum itu berbasis masyarakat (manusia), maka dari dalam
kehidupan bersama itulah bahan-bahan untuk membangun sistem hukum
diambil. Hukum menjadi institut yang otentik, oleh karena ia berangkat dari
realitas masyarakat dan manusia. Hukum yang baik adalah yang ditimba dari
bahan kehidupan bersama itu sendiri.9
Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana di jumpai dalam
teks atau perundang-undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja
secara rasional. Sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya
(Lex dura sed tamen scripta-hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat
tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka
perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai sebuah
dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah
8 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 5-6.
9Ibid., h. 9-10.
20
keadilan atau pencarian keadilan, maka hukum itu sendiri dihadapkan kepada
teks, pembacaan teks dan permaknaan teks.10
Beberapa praktisi dan pemikir hukum, seperti hakim Agung Oliver
Wendell Holmes, meyadari ketidakadilan yang akan muncul dari penerapan
rumusan yang umum atau teks-teks itu secara begitu saja. Karena banyak hal
yang tidak terwadahi dalam teks tertulis, seperti suasana dan kebutuhan-
kebutuhan yang ada pada suatu saat, serta moral yang dipeluk masyarakat
pada suatu kurun waktu tertentu, tidak mungkin tertulis dalam teks hukum
tersebut. Menurut Holmes hukum itu juga merupakan endapan dari
pengalaman sejarah suatu bangsa selama berabad-abad, sehingga hukum tidak
boleh digarap menggunakan silogisme. “it cannot be dealt with as if it
contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics.”
Puchta dan Von Savigny mengatakan bahwa, hukum itu tidak dibuat
secara sengaja, tetapi muncul dari dalam masyarakat sendiri. Maka hukum itu
akan selalu ada selama masyarakatnya juga masih ada. Hukum itu akan lenyap
seiring dengan punahnya masyarakat. Aliran ini dikenal sebagai Aliran
Sejarah (Historische school, Historical Jurisprudence). Eugen Ehrlich juga
berpendapat sama dan mengatakan, bahwa hukum itu tidak muncul dalam
10 Ibid., h. 11-14.
21
teks, dalam pengadilan dan dalam ilmu hukum, melainkan dalam
masyarakat.11
3. Hukum Sebagai Perilaku
Pada awalnya, hukum disebut sebagai folkways (kebiasaan). Kebiasaan
merupakan perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku
tersebut menjadi pola perilaku yang kemudian disebut norma. Misalnya
kebiasaan untuk tidak makan di depan pintu, atau kebiasaan untuk melempar
daun sirih dalam suatu upacara perkawinan adat jawa.12
Mengetahui perilaku manusia jika dilihat sebagai hukum, maka
diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenal hukum, yaitu
tidak hanya sebagai peratuan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Selama
kita bersikukuh, bahwa hukum itu adalah peraturan dan tidak ada yang lain,
maka sulitlah untuk memahami, bahwa hukum itu juga muncul dalam bentuk
perilaku. Pada waktu para mahasiswa turun ke jalan di tahun 1998 mendesak
Presiden Soeharto turun, secara sosiologis dapat dibaca, para mahasiswa
sedang menulis teks konstitusi untuk memberhentikan Pemerintahan Soeharto.
Apa yang kemudian dilakukan oleh MPR yang membuat putusan menurunkan
Presiden Soeharto, hanyalah menyalin teks yang sudah di tulis para
mahasiswa melalui perilaku berdemonstrasinya itu.
11 Ibid., h. 15-17.
12 Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan PustakaObor Indonesia, 2012), h. 9.
22
Hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan
manusialah ia menjadi “hidup”. Dalam kepustakaan sosiologi hukum
perantaraan seperti itu disebut sebagai mobilisasi hukum. Perilaku atau
tindakan manusia itu dapat menambah dan mengubah teks. Penegakan hukum
(law enforcement) adalah konsep normatif, di mana orang hanya tinggal
mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan.13
Hukum merupakan suatu produk budaya apabila dilihat sebagai suatu
norma sosial, hukum hadir dalam masyarakat dengan bentuk budaya apapun.
Pada masyarakat primitif pun sudah dijumpai hukum. Malinowski
menegaskan, bahwa pada suatu masyarakat primitf, hukum timbul dari
kebutuhan masyarakat. Gagasan itu terungkap bahwa ketika masyarakat
tertentu hidup bersama, masyarakat tersebut menghasilkan pola tingkah laku
tertentu. Anggota-anggota masyarakat harus memenuhi kebutuhan fisik,
biologis, dan sosial sehingga mereka harus berusaha untuk bekerja sama
dengan sesamanya dalam suatu kehidupan bermasyarakat.14
Hukum sebagai perilaku itu muncul secara merta-merta atau spontan
lewat interaksi antara para anggota masyarakat sendiri. Di situ masyarakat
sendirilah merupakan pabrik yang memproduksi hukum, yaitu melalui
perilaku. Indonesia mempunyai pengalaman dengan fenomena “hukum di-
13 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2010), h. 15.
14 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (t,t.,: t,tp., t.th), h. 53.
23
luar-teks”, seperti diuraikan mengenai penurunan Presiden Soeharto oleh para
mahasiswa di muka. Perilaku hukum yang tampak sebagai mematuhi hukum,
tidak selalu bertolak dari kesadaran untuk patuh kepada hukum. Perilaku
tersebut dapat berupa sebuah perilaku yang mandiri tanpa ada hubungannya
dengan kepatuhan hukum. Dengan demikian, hukum bereksistensi sebagai
hasil kerja sama suatu masyarakat. Oleh karena itu, hidup bermasyarakat
merupakan modus survival bagi manusia, hukum merupakan suatu yang
inheren dengan kehidupan masyarakat manusia.15
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tiada hukum tanpa
masyarakat. Karena hukum tercipta dan diciptakan oleh masyarakat untuk
dijadikan pedoman bertingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya
dengan sesamanya.16 Hukum merupakan kebiasaan dari perilaku yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola
perilaku yang lahir karna kebutuhan masyarakat yang disebut dengan hukum
kebiasaan.
C. Teori Penegakan Hukum
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan penegakan sebagai
proses, cara, perbuatan menegakkan.17 Penegakan hukum adalah proses
15 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, h. 16.
16 Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan PustakaObor Indonesia, 2012), h. 9.
17 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III, (Jakarta:Balai Pustaka, 2005), h. 1155.
24
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jimly
Asshiddiqie menyatakan:
Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatanuntuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakanhukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yangdilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupunmelalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.Bahkan, dalam artian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukummencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagaiperangkat kaidah normaif yang mengatur dan mengikat para subjekhukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegarabenar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimanasemestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkutkegiatan penindakan terhadap segala pelanggaran atau penyimpanganterhadap peraturan perUndang-undangan, khususnya yang lebih sempitlagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparatkepolisian, kejaksaan, advokat, atau pengacara, dan badan-badanperadilan.18
Masa transisi lazimnya dikatakan masa peralihan dari masa lalu ke masa
depan, masa yang penuh konflik-konflik sosial dan konflik norma-norma.
Peranan hukum dalam masa transisi lazimnya hanya ditujukan untuk mengisi
kekosongan hukum sebagai dampak pemberlakuan hukum baru dalam konteks
hukum lama untuk memelihara kelangsungan kehidupan masyarakat.19
18 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum &Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 243-244.
19 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,(Bandung: Mandar Maju, 2001), h. 16.
25
Pada negara-negara yang sedang dalam masa transisi menuju demokrasi
dan menuju ke negara yang menganut prinsip “Rule of law” atau “Rechtstaat”,
hukum yang berlaku belum sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Karena hukum-hukum tersebut (kepastian dan keadilan hukum) beluma spiratif
(belum sepenuhnya dapat menyuarakan dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup
di masyarakat.20
Era kabinet reformasi pembangunan yang dibentuk sejak pengangkatan
Habibie sebagai Presiden R.I ketiga dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan
R.I merupakan era transisi, baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan
sosial budaya. Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat
dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak
hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara
yang tidak demokratis dimana transparansi, supremasi hukum, promosi dan
perlindungan HAM dikesampingkan. Penegakan hukum dalam era transisi tidak
boleh surut karena dalam dunia akademis, para juris selalu berkata “sekalipun
langit akan runtuh hukum tetap harus ditegakkan”. Oleh karena itu, masa transisi
bukanlah alasan untuk tidak menegakkan secara baik, benar dan bertanggung
jawab.21
20 Sutan Remy Sjahdeini dan dkk. Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Prestasi PustakaPublisher, 2006), h. 120.
21 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, h. 54.
26
Proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses
pembentukan hukum nasional (law making process) saling berkaitan satu sama
lain karena proses penegakan hukum yang baik, benar, dan bertanggung jawab
dapat dipengaruhi oleh proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif dan
kredibel pada masanya. Proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif, dan
kredibel hanya dapat berlangsung dengan baik jika dilaksanakan dengan
memenuhi 3 (tiga) koridor utama yaitu koridor akademik (penyusunan naskah
akademik), koridor administrative (koordinasi horizontal antar departemen
terkait), dan koridor sosial politik (pembahasan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR), sehingga dalam proses pembentukan hukum perlu dimasukkan
dan dipertimbangkan pula kendala-kendala dalam penegakan hukumnya.
Proses pembentukan hukum itu sendiri, berawal dari partisipasi
masyarakat luas yang perlu ditingkatkan sebagai bagian penting dalam upaya
sosialisasi hukum secara merata (law illumination process). Faktor-faktor yang
menghambat efektifitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap
masyarakat atau mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan
penasehat hukum) akan tetapi, juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang
sering diabaikan. Ketimpangan-ketimpangan dalam proses penegakan hukum di
Indonesia pada khususnya, sesungguhnya dapat dikembalikan pada masalah
kesenjangan antara proses pembentukan hukum (law making process/LPM),
27
proses sosialisasi hukum (law illumination process/LIP) dan proses penegakan
hukum (law enforcement process/LEP).22
Penyiapan suatu perangkat hukum yang demokratis memerlukan
beberapa syarat, yaitu: suatu masyarakat yang terbuka/transparan dan
demokratis, suatu kelembagaan politik (partai-partai politik) yang terbuka dan
demokratis, suatu kelembagaan perwakilan rakyat yang dihasilkan oleh suatu
proses pemilu yang demokratis, dan sesuatu pemerintah (eksekutif) yang lahir
dari proses pemilu yang demokratis.23 Penegakan hukum menjadi tugas dan
tanggung jawab masyarakat itu sendiri, dan lembaga-lembaga peradilan yang
terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta lembaga-lembaga advokasi
yang ada.
Terwujudnya penegakan hukum yang adil dan menjamin kepastian
hukum merupakan harapan seluruh warga masyarakat yang memiliki rasa
keadilan dan telah lama mengharapkan instansi/lembaga-lembaga tersebut
berperan aktif dengan menjungjung tinggi rasa keadilan masyarakat.24
Sesungguhnya penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian serta ketentraman di dalam masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu, masyarakat bukan saja dapat memengaruhi tetapi sangat
22 Ibid., h. 55.
23 Sutan Remy Sjahdeini dan dkk. Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Prestasi PustakaPublisher, 2006), h. 120.
24 Ibid., h. 133.
28
menentukan penegakan supremasi hukum. Dengan demikian, tidaklah cocok
kalau aparat pembuat dan penegak hukum hanya berkiblat kepada aliran legisme
atau legal positivisme.25 Selain masyarakat bagian penting dalam pelaksanaan
penegakan hukum lainnya adalah peranan dari para penegak hukum26 karena
tujuan dari pada penegakan hukum bukan menimbulkan disintegrasi di antara
lembaga penegakan hukum, tetapi bagaimana memaksimalkan penegakan hukum
yang nondiskriminatif.27
Penegakan hukum dapat terwujud dimulai dari partisipasi masyarakat itu
sendiri, kemudian dibantu oleh aparat penegak hukum dalam menerapkan
keadilan. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam membentuk keadilan.
Masyarakat mengharapkan terciptanya rasa keadilan dan aparat menginginkan
adanya kontribusi baik dari masyarakat dalam bekerja sama membangun
kehidupan lebih baik lagi, kehidupan masyarakat lebih tertib lagi, dan terciptanya
rasa keadilan. Kedua faktor tersebut berperan penting dalam penegakan hukum.
25 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum &Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 239.
26 Sutan Remy Sjahdeini dan dkk. Penegakan Hukum di Indonesia, h. 136.
27Indriyanto Seno Adji, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2009), h. 5.
29
BAB III
KAJIAN UMUM TENTANG FIKIH SEBAGAI SUMBER HUKUM
PERKARA CERAI TALAK
A. Pengertian dan Dasar Hukum Cerai Talak
1. Pengertian Cerai Talak
Talak secara etimologi adalah ل وأالرسالاحل yang mempunyai arti
“melepaskan atau meninggalkan”.1 Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al-Fiqh
Al-Islami Wa Adillatuhu” memberikan definisi talak sebagai berikut:
حل قيد النكاح او حل عقد النكاح بلفظ الطالق وحنوه
Talak ialah “Melepaskan ikatan pernikahan atau melepaskan tali akadnikah dengan lafaz at-talak dan semisalnya.”2
Abdurrahman Al-Jaziry dalam kitabnya “Al-Fiqh Ala Mazahib Al
Arba’ah mendefinisikan talak sebagai berikut:
ن حله بلفظ خمصوصاالة النكاح او نقصالطالق از
Talak ialah “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangipelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu.”3
1 Imam Al-Allamah ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h. 630.
2 Wahbah Zuhaily, Al-Fikh Al-Islamy Wa Adillatuhu, Juz IX (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2007), h.6873
3 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al Arba’ah, (Mesir: Dar Al Haisam, t.th), h.964.
30
Secara harfiyah talak itu berarti lepas dan bebas. Dalam
mengemukakan arti talak secara terminologis kelihatannya ulama
mengemukakan rumusan yang berbeda namun essensinya sama. Al-Mahalli
dalam kitabnya “Syarh Minhaj al-Thalibin” merumuskan:
طالق وحنوهالالنكاح بلفظ عقدحل
“Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dansejenisnya.”4
Talak dapat terjadi bila diantara suami dan isteri sudah tidak dapat
mempertahankan mahligai rumah tangganya. Islam memang membolehkan
talak tersebut dengan catatan bahwa dalam perkawinan tersebut sudah tidak
ada manfaatnya, justru yang terlihat lebih banyak mudharatnya, barulah pintu
perceraian dapat terbuka.
Kata talak secara terminologi terdapat beberapa para ulama
mendefiniskannya, sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mendefinisikan talak sebagai
pelepasan ikatan perkawinan secara langsung
b. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan
lafadz talak atau semakna dengan lafaz itu.
c. Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang
menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.
4 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 125-126.
31
d. Prof. Subekti, S.H. mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan itu.5
e. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Al-Fiqhu Sunnah mendefinisikan:
قة الزو جيهلعالااء حل ر
Talak adalah “Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungansuami isteri.” (fotenote)
f. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 117, bahwa talak adalah ikrar
suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan.6
g. Sahlani Hensyah mendefinisikan perceraian dalam hukum positif ialah
suatu keadaan dimana antara seorang suami dan seorang isteri telah terjadi
ketidakcocokan batin yang berakibat pada putusnya suatu perkawinan,
melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan.7
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa talak adalah
sebuah lafaz yang di ucapkan seorang suami kepada isterinya untuk
melepaskan ikatan perkawinan yang terjadi akibat ketidakcocokan diantara
mereka.
5 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXXIII, (Jakarta: Intermasa, 2011), h. 42.
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat danUndang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 227.
7 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam HukumNasional, cet. II, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 174.
32
2. Dasar Hukum Cerai Talak
Dasar hukum yang digunakan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist,
penulis akan mencantumkan beberapa ayat Al-Qur’an serta hadist yang
menjadi dasar hukum cerai talak, antara lain:
a. Firman Allah SWT:
33
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagidengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidakhalal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikankepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapatmenjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidakada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untukmenebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamumelanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah merekaItulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya(sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginyahingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lainitu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suamipertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akandapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah(2): 229-230).
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masaiddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawinlagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepadaorang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan harikemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah, (2): 232).
b. Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim, berbunyi:
ىل اهللا الطالق إض احلالل ابغ: عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال: عن ابن عمر رضي اهللا عنه قال
)رواه ابو داود وابن ما جه وصححه احلاكم ورجح ابو حامت ارسا له(
34
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. berkata: dari Nabi SAW., bersabda:perbuatan halal yang dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu Daud danHakim dan disahkan olehnya)
B. Konsep Fikih tentang Cerai Talak
1. Macam-macam Perceraian
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai
matinya salah seorang suami isteri. Inilah yang dikehendaki agama Islam.
Namun, dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putus
perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka
kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya
perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.
Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.8
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan
suami isteri. Dilihat dari sisi pihak-pihak yang berakad, maka sebab putusnya
ikatan perkawinan ada yang merupakan hak pada suami dan ada juga yang
merupakan hak pada isterinya.9 Putusnya perkawinan atas kehendak dari
suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan
tertentu disebut dengan talak yang merupakan haknya. Sedangkan putusnya
perkawinan atas kehendak isteri dan merupakan haknya disebut dengan
8 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 124.
9 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 117.
35
khulu’.10 Untuk lebih jelasnya perceraian dalam kitab fikih kifayatul akhyar
dibagi menjadi dua macam, yaitu:11
a. Talak
Talak menurut bahasa arab adalah melepaskan ikatan, yang
dimaksud dalam penulisan adalah melepaskan ikatan perkawinan. Secara
garis besar, dilihat dari boleh tidaknya dirujuk, talak terbagi dua yakni
sebagai berikut:
1) Raj’i yakni talak satu dan talak dua. Talak ini suami masih mempunyai
hak untuk merujuk isterinya setelah talak dijatuhkan. Merujuk lagi
isterinya itu tidak memerlukan persetujuan isteri, sama seperti mentalak,
suami tidak memerlukan persetujuan isteri.
2) Ba’in. talak ini terbagi menjadi dua bagian, yakni:12 Pertama, bai’in
sugra yaitu talak yang jatuh karena akumulasi talak raj’i sehingga
menjadi talak tiga. Dalam talak ini suami tidak dapat menikah dengan
mantan isterinya kecuali telah terselangi oleh laki-laki lain kemudian
diceraikan dan nikah lagi dengannya. Atau talak yang diminta oleh isteri
melalui prosedur khulu’. Dalam talak ini suami tidak boleh kembali
10 Amir Syarifuddin, Hukum Perikatan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat danUndang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, t.th), h. 197.
11 Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II,penerjemah Achmad Zaidun, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456-466.
12 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam HukumNasional, cet. II, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 185.
36
dengan isterinya, kecuali dengan akad baru. Kedua, ba’in kubra yaitu
talak yang sama sekali tidak boleh dirujuk selamanya. Perceraian ini
terjadi karena li’an.13
Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan
jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan
jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, ajaran Islam tidak
menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah SWT.,
memandang talak yang terjadi antara suami-isteri sebagai perbuatan halal
yang sangat dimurkai-Nya. Hadist Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah
SAW., bersabda:
)رواه أبو داود واحلاكم(أبغض احلالل إىل اهللا الطالق
Artinya: “Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah
SWT.”14 (HR Abu Daud dan Hakim)
b. Khulu’
Kata khulu’ berasal dari kata خلع خيلع yang berarti melepaskan atau
meninggalkan.15 Khulu’ juga dapat berarti “fidaaun” atau tebusan. Karena
dalam hal ini, isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar
13 Ibid., h. 186.
14 Hasanuddin AF, Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Nusantara Damai Press,2011), h. 57.
15 A. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),h. 361.
37
sejumlah uang tebusan atau imbalan.16 Pada dasarnya wewenang talak
hanya berada pada tangan suami. Namun, dalam keadaan tertentu Al-
Qur’an membolehkan adanya khulu’ dari pihak isteri. Dengan demikian,
bagi pihak isteri pun tidak tertutup kemungkinan sama sekali untuk
memiliki semacam wewenang dalam hal talak. Adapun asbabun nuzul
dasar pembolehan khulu’ yaitu At Tirmidzi dan Al Hakim dan lainnya dari
Aisyah berkata: Ada laki-laki mencerai isterinya semaunya, ia cerai
isterinya dan ruju’ lagi di saat isteri dalam iddahnya, tak ada masalah
baginya walaupun mencerainya hingga seratus kali. Malah ia berkata
kepada isterinya: Demi Allah kau akan kucerai dan nanti akan kurujuk lagi,
walaupun aku tidak menggauli kau. Isterinya bertanya: Mengapa begitu?
Ya… aku cerai dan bila waktu iddah akan habis aku kawini lagi. Wanita
itupun pergi menghadap Nabi dan melapor. Nabi SAW., diam dan turunlah
ayat ini:17
Artinya: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang imbalan yangdiberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”18 (Q.S. Al-Baqarah: 229).
16 Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini, Kifayatul Akhyar jilid II, (Surabaya: PT BinaIlmu Offset, 1997), h. 456.
17 Jalaluddin As Suyuthi, Terjemah Asbabun Nuzul, penerjemah Rohadi Abu Bakar, (Semarang:Wicaksana-Berkah Ilahi, 1986), h. 56.
18 Hasanuddin AF, Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an, h. 75.
38
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan
'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran
yang disebut 'iwadh.
Hadist dari Ibnu Abbas r.a.:
يا رسول اهللا ثابت بن قيس ما أعتب : أن امرأة ثابت بن قيس أتت النىب صلى اهللا عليه وسلم فقالت
أتردين عليه : فقال النىب صلى اهللا عليه وسلمعليه ىف خلق وال دين ولكىن أكره الكفر ىف االسالم،
رواه (اقبل احلد يقة وطلقها تطليقة : يقته؟ قالت نعم، فقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلمدح
)ير االبخ
Artinya: “Bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW.,lalu bekata: “saya tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qais, tetapisaya membenci kekufuran setelah berada dalam agama Islam.” KemudianNabi SAW., bertanya kepada perempuan itu: “Sanggupkah engkaumengembalikan kepada Qais kebunnya?” Perempuan itu menjawab: “ya.”Maka Rasulullah SAW., berkata kepada Tsabit bin Qais: “Terimalahkebun itu dan talak lah ia (isterimu) sekali talak.19
2. Syarat-syarat Talak
Menjatuhkan talak dianggap sah apabila suami memenuhi syarat-
syarat talak,20 sebegai berikut:
a. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun
dia telah pandai,
b. Berakal sehat. Talak yang dijatuhkan oleh orang gila, baik penyakitnya itu
akut maupun jadi-jadian (insidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu
19Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II,penerjemah Achmad Zaidun, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456.
20 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. IV, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 202
39
pula halnya dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar, dan
orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang amat tinggi
sehingga ia meracau.
c. Atas kehendak sendiri, talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa
(menceraikan istrinya), menurut kesepakatan ulama mazhab, tidak
dinyatakan sah. Hal ini berdasarkan hadis sebagai berikut:
هوا عليهن أميت اخلطاء والنسيان ومااستكر رفع ع
“Ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan perbuatannyakarena keliru, lupa dan dipaksa.”
d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Menurut Imamiyah mengatakan
bahwa seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-
main maka talaknya dinyatakan tidak jatuh. Pernyataan Imamiyah tersebut
menukil hadis dari Ahlilbait yang mengatakan:
إال ملن أراد الطالق ال طالق إال بنيةالطالق
“Tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memangbermaksud menjatuhkan talak dan tidak ada talak kecuali disertai niat.”21
3. Hukum Perceraian
Perceraian diambil dari kata “cerai” dan dalam kata bahasa Arab, cerai
sering disebut “talak”.22 Dilihat dari situasi, kondisi, kemaslahatan dan
kemudharatan maka hukumnya dapat menjadi lima (5) macam:23
21 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. XXVI, (Jakarta: Lentera, 2010), h.441-443.
40
a. Wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sedangkan dua
hakam yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu bercerai.
Bahkan memandang perceraian itulah satu-satunya jalan untuk pasangan
suami isteri tersebut, kalau tidak terjadi perceraian, maka salah seorang
atau keduanya akan masuk pada kondisi yang membahayakan.
b. Sunah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi
kewajibannya (nafkah), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.
Atau talak terhadap isteri yang menyia-nyiakan kewajibannya terhadap
Allah.
c. Mubah, yaitu suami boleh menceraikan isterinya karena isteri tidak dapat
menjaga diri dikala tidak ada suami dirumahnya, isteri yang berbahaya
terhadap suami atau yang tidak baik akhlaknya.
d. Haram, yaitu seperti suami yang menceraikan isterinya tanpa sebab yang
jelas. Kemudian juga menjatuhkan talak sewaktu isterinya dalam keadaan
haid, kedua menjatuhkan talak sewaktu suci tetapi sudah dicampuri ketika
waktu suci itu.
22 Ahmad Palahudin, “Cerai Talak Suami Murtad: Analisis Putusan Pengadilan AgamaTigaraksa No. 2431/Pdt.G/2011/PA.TGRS dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No.967/Pdt.G/2010/PA.JP),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta, 2012), h. 15.
23 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam HukumNasional, cet. II, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 180.
41
e. Makruh, yaitu suami yang menceraikan isterinya, padahal isteri taat kepada
suami, rajin beribadah dan shalihah.24
C. Cerai Talak di Pengadilan Agama
Hukum acara yang digunakan mengenai tata cara pemeriksaan sengketa
perkawinan dapat ditemukan dalam peraturan dan Perundang-undangan sebagai
berikut: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Perubahan ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang aturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi
Presiden Nomor I Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan aturan lain
berkenaan dengan sengketa perkawinan serta kitab fikih Islam sebagai sumber
penemuan hukum.25
Perceraian tidak dapat dilakukan oleh suami atau isteri dengan semaunya,
tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang telah diatur oleh Undang-undang
dan Peraturan Pemerintah sebagaimana tersebut dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 115 Inpres Nomor 1 Tahun 1991
menjelaskan bahwa, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
24 Ibid., h. 181.
25 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2012), h. 3.
42
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Kewenangan pengadilan dalam melaksanakan proses perceraian dapat
dilihat dari agama yang dianut oleh suami isteri. Jika perkawinan mereka
dilakukan menurut agama Islam, maka yang berwenang memeriksa dan
mengadili adalah Pengadilan Agama. Bagi suami isteri yang melaksanakan
pernikahan menurut agama selain Islam dan perkawinannya dicatat di Kantor
Catatan Sipil, maka yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.
Perceraian di lingkungan Peradilan Agama sebagaimana telah diatur
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pada Bab IV Bagian kedua
paragrap 2 dan 3 bahwa perceraian itu ada dua bentuk: pertama, cerai talak
adalah pemecahan perkawinan atau perceraian yang datang dari pihak suami,
kedua, cerai gugat adalah pemecahan perkawinan atau perceraian yang diajukan
oleh isteri.26 Kedua bentuk tersebut hasil akhirnya memang sama-sama
perceraian, akan tetapi prosedurnya menurut perundang-undangan adalah
berbeda.
Perundang-undangan memberikan pembedaan terhadap perkara
perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Hal ini disebabkan karena
karakteristik perundang-undangan menghendaki demikian, sehingga proses atas
kehendak suami berbeda dengan proses atas kehendak isteri. Yang dimaksud
26 Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), h. 139.
43
dengan cerai talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.27
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66
ayat (1) menjelaskan bahwa, pengertian cerai talak yaitu “Seorang suami yang
beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”.
Dengan demikian, apabila suami hendak mengucapkan ikar talak, ia tidak
mengajukan gugatan cerai melainkan mengajukan permohonan izin untuk
mengucapkan ikrar talak.28 Sedangkan cerai gugat yaitu perceraian suami isteri
yang inisiatif perceraiannya itu berasal dari isteri.29 Dalam UU No. 7 Tahun 1989
Pasal 73 ayat (1), menjelaskan bahwa “Gugatan perceraian diajukan oleh isteri
atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat”. Pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 132 ayat (1) menerangkan bahwa “Gugatan perceraian diajukan
oleh isteri atau kuasanya, pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
27 Undang-undang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2003), h. 46.
28 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1996), h. 41.
29 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:Fakultas Syariah dan Hukum UIN JKT, 2006), h. 65.
44
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin suami.”30
Berdasarkan uraian diatas, bahwasannya suami untuk menyatakan talak
kepada isteri harus dilaksankan dihadapan sidang Pengadilan Agama, jika
dilaksanakan diluar sidang maka perceraian cerai talak dianggap tidak sah, masih
berstatus suami isteri. Bagi suami isteri yang beragama Islam dalam
melaksanakan proses perceraian untuk memeriksa dan mengadili menjadi
kewenangan Pengadilan Agama. Sedangkan unt[uk suami isteri yang melakukan
perkawinan berdasarkan selain agama Islam dan perkawinannya dicatat di Kantor
Catatan Sipil maka yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.
Cerai talak dan cerai gugat apabila dilihat dari segi perbedaanya maka
diketahui bahwa cerai talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami,
suami sebagai Permohon dan Isteri sebagai Termohon. Sedangkan cerai gugat
adalah gugatan yang inisiatifnya berasal dari isteri, isteri sebagai Penggugat dan
suami sebagai Tergugat.
30 Undang-undang Kompilasi Hukum Islam, h. 50.
45
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Statistik Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta
Selatan maka perkara perceraian yang diterima oleh Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam kurun waktu lima tahun yaitu dari tahun 2010 sampai
dengan tahun 2014 sebanyak 14.916 perkara yang diterima dan yang diputus
sebanyak 12.512 perkara.
Tabel 4.1
Perkara Perceraian Yang Diterima dan Diputus Pada Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2010-2014
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Data statistik perkara perceraian di atas adalah perkara cerai talak dan
cerai gugat. Adapun rincian perkara cerai talak selama kurun waktu lima
tahun yaitu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 terlihat dalam tabel
data statistik dibawah ini:
Tahun Diterima Diputus
2010 2511 2170
2011 2799 2366
2012 2936 2508
2013 3092 2573
2014 3578 2895
46
Tabel 4.2
Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan Diputus Tahun 2010-2014
Tahun Diterima Diputus
2010 778 666
2011 848 713
2012 858 684
2013 948 737
2014 965 800
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Data di atas merupakan data statistik perkara cerai talak yang diterima
dan diputus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dari tahun 2010 sampai
dengan tahun 2014. Adapun rincian perkara pertahunnya adalah sebagai
berikut:
1. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2010 adalah sebanyak 778
perkara atau 17.6% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 666 perkara atau
18.5%.
2. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2011 adalah sebanyak 848
perkara atau 19.2% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 713 perkara atau
19.8%.
3. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2012 adalah sebanyak 858
perkara atau 19.5% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 684 perkara atau
19%.
4. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2013 adalah sebanyak 948
perkara atau 21.5% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 737 perkara atau
20.4%.
47
5. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2014 adalah sebanyak 965
perkara atau 22% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 800 perkara atau
22.2%.
Data statistik perkara cerai talak dari bulan Januari sampai dengan
bulan Desember pada tahun 2010 terlihat dalam tabel data statistik dibawah
ini:
Tabel 4.3
Perkara Cerai Talak Yang Diterima Bulan Januari-Desember Tahun
2010
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Berdasarkan data-data statistik perceraian di atas, diketahui
perbandingan jumlah perkara perceraian yang diterima maupun yang diputus
dalam kurun waktu lima tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014
Bulan Diterima Diputus
Januari 77 60
Februari 72 57
Maret 71 51
April 69 50
Mei 80 69
Juni 66 58
Juli 62 83
Agustus 53 66
September 45 31
Oktober 63 48
November 61 47
Desember 59 46
48
sebanyak 14.916 perkara yang diterima dan sebanyak 12.512 perkara yang
diputus. Jumlah perkara cerai talak dari tahun 2010 berkisar antara 600
sampai dengan 900 perkara yang diterima maupun yang diputus, artinya
intensitas perkara yang terjadi dari tahun 2010 sampai dengan 2014
mengalami peningkatan disetiap tahunnya, peningakatan tersebut tidak jauh
berbeda. Dengan demikian, dalam kurun waktu lima tahun jumlah perkara
cerai talak dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 mengalami
peningkatan yang tidak jauh beda. Selanjutnya, data statistik dari bulan
Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2010 menunjukkan perkara
cerai talak yang diterima mengalami penurunan.
Perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
khususnya cerai talak, pada umumnya disebabkan oleh faktor:
a. Tidak ada keharmonisan
Dari wawancara dengan hakim1 diketahui informasi bahwa salah
satu faktor penyebab terjadinya perceraian adalah tidak ada keharmonisan,
hal tersebut menjadi faktor yang paling dominan di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, jika keharmonisan sudah tidak ada lagi maka mudah sekali
percekcokan terjadi diantara mereka. Hal tersebut sejalan dengan Pasal
116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
1 Wawancara Pribadi dengan Saifuddin. Jakarta, 26 Maret 2015.
49
b. Ekonomi
Ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perselisihan
dan pertengkaran anatar suami isteri. Ketika kebutuhan keuangan dalam
rumah tangga tidak terpenuhi, sering kali memicu amarah diantar
keduanya, isteri yang tidak sabar dengan penghasilan suami karena tidak
merasa cukup akhirnya terjadi perselisihan.2
c. Tidak ada tanggung jawab
Tidak ada tanggung jawab pada cerai talak di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan maksudanya adalah si isteri sudah tidak lagi bertanggung
jawab sebagai ibu rumah tangga, sudah tidak memenuhi kewajiban-
kewajiban sebagai isteri kepada suami. Hal ini bertentangan dengan Pasal
83 Kompilasi Hukum Islam bahwa kewajiban utama bagi seorang isteri
ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh hukum Islam.3 Apabila isteri sudah tidak taat dan patuh
kepada suami maka alasan tersebut dapat dijadikan alasan bagi suami
untuk mengajukan permohonan perceraian ke Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
d. Gangguan pihak ketiga
Gangguan pihak ketiga merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri. Perceraian
karena pihak ketiga ini dikarenakan isteri memiliki laki-laki idaman lain
dan sering meninggalkan rumah dengan hadirnya orang ketiga tersebut.
2 Wawancara Pribadi dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
3 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. IV, (Jakarta; Kencana, 2010), h. 164.
50
Dibawah ini data statistik faktor penyebab perceraian tahun 2010 di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Tabel 4.4
Faktor Cerai Talak (2010)
Sebab cerai talak Jumlah Prosentase
Tidak ada keharmonisaى 721 33.2%
Ekonomi 594 27.3%
Tidak ada tanggung jawab 517 23.8%
Gangguan pihak ketiga 338 15.5%
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
B. Posisi Kitab Fikih dalam Putusan Perkara Cerai Talak Tahun 2010
Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya pengertian cerai
talak diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama Pasal 66 ayat (1) menjelaskan bahwa, pengertian cerai talak yaitu
“Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna penyaksian ikrar talak”.4
Hal ini sesuai dengan pendapat Hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan mengenai pengertian cerai talak adalah cerai yang inisiatifnya datang
dari suami dengan posisi suami sebagai Pemohon dan posisi isteri sebagai
Termohon yang diajukan ke Pengadilan Agama.5 Pendapat lain juga
diungkapkan oleh Hakim bahwa cerai talak adalah salah satu cara untuk
4 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1996), h. 41.
5 Wawancara Pribadi dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
51
memutuskan perkawinan yang diajukan oleh pihak suami di hadapan sidang
Pengadilan.6
Berdasarkan hasil wawancara tersebut cerai talak adalah permohonan
cerai yang diajukan oleh suami dengan suami sebagai Permohon dan Isteri
sebagai Termohon yang pernyataan talak suami kepada isteri harus dilakukan
dihadapan sidang Pengadilan Agama.
Hukum acara yang digunakan mengenai tata cara pemeriksaan
sengketa perkawinan dapat ditemukan dalam peraturan dan perundang-
undangan sebagai berikut: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam dan aturan lain berkenaan dengan sengketa
perkawinan serta kitab fikih Islam sebagai sumber penemuan hukum.7
Serupa seperti yang dikatakan oleh hakim di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam memutus suatu perkara merujuk dasar hukum pada Al-
Qur’an, Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
Yurisprudensi, dan boleh juga pendapat hakim itu sendiri8, kemudian yang
6 Wawancara Pribadi dengan Saifuddin. Jakarta, 26 Maret 2015.
7 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 3.
8 Wawancara Pribadi dengan Saifuddin. Jakarta, 26 Maret 2015.
52
paling pokok adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,9
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Maka berdasarkan hasil
wawancara sumber hukum yang digunakan hakim di Pengadilan Agama
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara menggunakan peraturan
perUndang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Salinan putusan cerai talak tahun 2010 di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan merujuk pada peraturan Perundang-undangan yang telah dijelaskan di
atas, adapun analisa yang penulis lakukan pada salinan putusan cerai talak
tahun 2010 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dibawah ini data statistik dasar pertimbangan hakim perkara cerai talak yang
penulis ambil secara acak pada tahun 2010 sebanyak 50 putusan terlihat
dalam tabel data statistik dibawah ini:
Tabel 4.5
Data Eksistensi Fikih dalam Putusan Cerai Talak
No. No. Perkara Dasar Pertimbangan1. 0010/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1)
dan (2).2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat
(1) dan (4) sebagaimana telah diubah denganUndang-undang No. 3 Tahun 2006 Pasal 76 ayat
9 Wawancara Pribadi dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
53
(1).2. 0011/Pdt.G/2010/PA.JS 1. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 143.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat(1) dan (4) sebagaimana telah diubah denganUndang-undang No. 3 Tahun 2006.
4. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.3. 0011/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. 0034/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 39
ayat (1).2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).
5. 0042/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 39.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 3.
6. 0055/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
2. KHI Pasal 116 huruf (f).7. 0067/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).2. KHI Pasal 116 huruf (f).3. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat
(1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006.
8. 0074/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
2. KHI Pasal 116 huruf (f).3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat
(1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006.
9. 0093/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 39ayat (1).
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f).10. 0109/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f).
54
11. 0111/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (b).
2. KHI Pasal 116 huruf (b) dan Pasal 3.3. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal
76 ayat (1) dan (2).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimanatelah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun2006.
12. 0122/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f), Pasal 149 dan Pasal 153huruf (b)
13. 0140/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 dan Pasal39.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimanatelah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun2006.
14. 0144/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
2. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 7 ayat (1).3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89.
15. 0157/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
2. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 7 ayat (1).3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89.4. Undang-undang No. 1 Tahun 1975 Pasal 1.
16. 0180/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, 2 danPasal 39.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 65sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
4. KHI Pasal 116 huruf (f), Pasal 105, Pasal 149 danPasal 152.
17. 0182/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal39 ayat (2).
2. KHI Pasal 3 dan Pasal 116 huruf (f).
55
3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
18. 0192/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 3.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (b).3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006
19. 0210/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (b).3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
20. 0211/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (b).3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
21. 0226/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (b).3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimanatelah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun2006.
22. 0221/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2).2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f) dan Pasal 22 ayat (1).3. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 134.4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
23. 0868/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f)4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
56
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
24. 0243/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Qur’an Al-Ahzab: 49.5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
25. 0260/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
2. KHI Pasal 116 huruf (f).26. 0329/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
27. 0348/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
2. KHI Pasal 116 huruf (f).28. 0359/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f) dan Pasal 31.
3. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 143.4. Qur’an Al- Baqarah: 241.5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82.6. Kaidah fiqhiyah: “menolak kerusakan itu
didahulukan dari meraih kemaslahatan.”29. 0366/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 134.4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
30. 0378/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal2 ayat (1) dan (2).
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (b).
3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimanatelah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun
57
2006.31. 0398/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Kitab Ahkam Al-Qur’an juz II h. 405: “barang siapa
yang dipanggil oleh hakim Islam didalampersidangan sedangkan orang tersebut tidakmemenuhi panggilan itu maka dia termasuk orangdholim dan gugurlah haknya.”
5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
32. 0401/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
33. 0411/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2).2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Qur’an Al- Baqarah: 227.5. Undang-undang No. 7 Tahun 1975 Pasal 89 Ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
6. Yurisprudensi MA RI Nomor: 1287 K/sip/1995tanggal 27 April 1297 demikian pula denganYurisprudensi MA RI Nomor: 38/K.AG/1990 yangmenyatakan “pecahnya perkawinan antaraPemohon/suami dengan isteri, hakim tidak perlumeneliti siapa yang bersalah, melainkan yang perluditeliti apa perkawinannya dapat dirukunkan apatidak”.
34. 0423/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2).2. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 149 huruf (a) dan
(b).3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
35. 0986/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal2 ayat (1) dan (2).
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (b).
58
3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimanatelah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun2006.
36. 0994/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1)dan (2).
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
5. Yurisprudensi MA RI Nomor: 38 K/AG/1991tanggal 22 Agustus 1991 “alasan bercerai tidak lagimempersoalkan siapa yang salah, akan tetapi lebihmenekankan pecahnya perkawinan itu sendiri.”
37. 1007/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2).2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Qur’an Al- Baqarah: 227.5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
6. Yurisprudensi MA RI Nomor: 1287 K/sip/1995tanggal 27 April 1297 demikian pula denganYurisprudensi MA RI Nomor: 38/K.AG/1990 yangmenyatakan “pecahnya perkawinan antaraPemohon/suami dengan isteri, hakim tidak perlumeneliti siapa yang bersalah, melainkan yang perluditeliti apa perkawinannya dapat dirukunkan apatidak”.
38. 1022/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
39. 1037/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Kitab Ahkam Al-Qur’an juz II h. 405: “barang siapa
yang dipanggil oleh hakim Islam didalampersidangan sedangkan orang tersebut tidakmemenuhi panggilan itu maka dia termasuk orangdholim dan gugurlah haknya.”
5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
59
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
40. 1041/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal39 ayat (2).
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f), Pasal 105 huruf (a) danPasal 156 huruf (a).
4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
41. 1059/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
5. Kaidah fiqhiyah: “menolak kerusakan itudidahulukan dari meraih kemaslahatan.”
42. 1069/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2).2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
5. Qur’an Al-Baqarah: 227.43. 1178/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2).
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (f).
3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Qur’an Al- Baqarah: 227.5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
44. 1181/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.Peraturan
2. Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b).3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Kitab Ahkam Al-Qur’an juz II h. 405: “barang siapa
yang dipanggil oleh hakim Islam didalampersidangan sedangkan orang tersebut tidakmemenuhi panggilan itu maka dia termasuk orangdholim dan gugurlah haknya.”
5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
60
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006 yang dirubah lagi (perubahankedua) dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009.
45. 1197/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 12. Kaidah fiqhiyah: “menolak kerusakan itu
didahulukan dari meraih kemaslahatan.”Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (b).
3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
46. 0398/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2).2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (b).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
5. Qur’an Al-Baqarah: 227.47. 1246/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (b).
3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
dan 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimana telahdiubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006.
48. /Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1)dan (2).
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19huruf (b).
3. KHI Pasal 116 huruf (b).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
49. 2169/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 12. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).
50. 2165/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39.2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19
huruf (f).3. KHI Pasal 116 huruf (f).4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undangNo. 3 Tahun 2006.
61
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Berdasarkan data yang didapat bahwa dalam pertimbangan hukum
perkara cerai talak pada tahun 2010 sebanyak 50 perkara sudah menjadikan
KHI sebagai produk fikih Indonesia yang menjadi rujukan utama sebagai
mana pendapat Mustofa:
Sekarang isi kitab fikih yang terkait seperti cerai talak dan pernikahansudah diterjemahkan atau sudah dialih bahasakan dalam sebuhKompilasi Hukum Islam jadi, para hakim itu merujuk kesana yaitufikih Indonesia. Sebetulnya isi dari pada Kompilasi Hukum Islam itusebagai bentuk pengembangan dari fikih-fikih yang sudah ada selamaini dari berbagai mazhab, kemudian didiskusikan dandimusyawarahkan oleh para ulama. Dari kitab-kitab fikih yang ada didunia Islam itu diintisari kemudian dibuatlah dalam formulasiKompilasi Hukum Islam. Bisa dikatakan bahwa Kompilasi HukumIslam itu fikihnya Indonesia, itu yang dijadikan rujukan oleh hakim.Jadi eksistensi kitab fikih dalam pertimbangan hakim pada putusanperkara cerai talak yaitu kitab fikih sekarang ini sudah diformulasikankedalam bentuk Kompilasi Hukum Islam, jadi pada intinya tetapkitab-kitab fikih yang dipergunakan oleh Pengadilan. Kenapadiformulasikan dalam sebuah KHI karena berdasarkan penelitianselama ini putusan hakim Pengadilan Agama dalam memutus satuperkara yang sama pendapatnya tidak sama, karena tergantung kepadahakim itu menganut mazhab apa dan akan diputus sesuai denganmazhabnya. Sekarang sudah ada Kompilasi maka putusan PengadilanAgama akan seragam dalam menangani perkara yang sama. Kalausebelum ada kompilasi itukan putusan berbeda-beda antara satu hakimdengan hakim yang lain itu tergantung hakim menganut mazhab apa.Tapi dengan adanya Kompilasi Hukum Islam ini putusan hakim sudahseragam.10
Kompilasi Hukum Islam yang merupakan fikihnya Indonesia pada
semua perkara dijadikan rujukan oleh hakim dalam memutus perkara cerai
talak karena kitab-kitab fikih melalui ulama bekerja sama dengan pemerintah
terbentuklah Kompilasi Hukum Islam. Dengan diadakannya Kompilasi
Hukum Islam oleh pemerintah diharapkan tidak ada lagi perbedaan dalam
10 Wawancara Pribad dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
62
memutus perkara yang permasalahannya sama tetapi, menghasilkan hukum
yang berbeda, dengan begitu putusan hakim akan seragam dan tercipta
kepastian hukum di lingkungan Peradilan agama.
Namun, dari beberapa perkara tersebut terdapat beberapa perkara yang
mengambil sumber kaidah fiqhiyah dan kitab Ahkam Al-Qur’an juz II. h.
405, dengan nomor perkara:
1. 0359/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kaidah fiqhiyah: “menolak
kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.”
2. 0398/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kitab Ahkam Al-Qur’an juz II. h.
405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan
sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia
termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.”
3. 1037/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kitab Ahkam Al-Qur’an juz II. h.
405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan
sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia
termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.”
4. 1059/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kaidah fiqhiyah: “menolak
kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.”
5. 1181/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kitab Ahkam Al-Qur’an juz II. h.
405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan
sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia
termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.”
63
6. 1197/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kaidah fiqhiyah: “menolak
kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.”
Berdasarkan uraian di atas, terbukti bahwa keberadaan kitab fikih
yang dijadikan rujukan dalam menyusun KHI tidak lagi digunakan oleh
hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara cerai talak tahun 2010. Hal ini terbukti dari 50 perkara yang
dijadikan sumber data tidak ada satupun sumber rujukan asli dari kitab-kitab
fikih karya para ulama klasik. Tentu saja hal ini menggambarkan bahwa
hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan hanya merujuk kepada sumber
perundang-undangan yang berlaku dan tidak mengkaji kembali kitab-kitab
fikih yang pernah dipelajarinya, yang pada kenyataanya penguasaan dalam
membaca kitab fikih bagi hakim merupakan syarat utama calon hakim bagi
yang ingin menjadi hakim. Apabila kitab-kitab fikih sudah tidak lagi
digunakan, maka syarat utama bagi calon hakim bukan lagi hakim diharuskan
dapat membaca dan memahami isi kitab fikih melainkan memahami dari KHI
dan peraturan perundang-undangan.
C. Pendekatan Teori Hukum dalam Putusan Cerai Talak
Disamping peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai
cerai talak memiliki kelebihan dan kelemahan dikarenakan produk hukum
yang dibuat oleh manusia tidak pernah lengkap atau sempurna, isi dari
perundang-undangan umumnya mencerminkan keadaan pada saat
pembuatannya, dan bentuk hukum yang tidak fleksibel. Hal tersebut
merupakan implementasi bagi hakim yang menerapkan peraturan perundang-
64
undangan, disisi lain apabila penerapan tersebut tidak sesuai dengan fakta,
keadaan bahkan tujuan hukum maka akan timbul ketidakadilan. Untuk
memungkinkan tercapainya keadilan bagi seseorang yang mencari keadilan,
hakim diharuskan melakukan penafsiran dan berijtihad. Terdapat berbagai
metode yang digunakan hakim dalam berijtihad atau melakukan penafsiran
salah satunya dengan pendekatan teori hukum, diantaranya: teori hukum
positivisme, teori hukum progresif dan teori penegakan hukum.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan positivisme sebagai
aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata
berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.11 Menurut mazhab positivisme
hukum berserat dengan masyarakat, masyarakat berubah, hukum juga harus
berubah. Jika masyarakat Indonesia sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka
hukumnya juga harus sejalan dengan perubahan itu.12 Artinya, bentuk hukum
itu tertulis yang diidentikkan dengan undang-undang dan otoritas yang
membentuk hukum adalah penguasa yang berdaulat yang dibuat sesuai
dengan keadaan yang sejalan dengan perkembangan pada masyarakat
berdasarkan pengalaman yang diperoleh atas dasar logika dan ilmu yang
pasti.
Progresif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
kearah kemajuan, berhalu kearah perbaikan keadaan sekarang, bertingkat
11 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III,(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 890.
12 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum &Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 219-220.
65
tingkat naik.13 Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara
cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum,
serta melakukan berbagai terobosan. Terobosan tersebut di dasarkan pada
prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum
itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas
yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan
manusia, dapat diartikan bahwa tiada hukum tanpa masyarakat. Karena
hukum tercipta dan diciptakan oleh masyarakat untuk dijadikan pedoman
bertingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya dengan
sesamanya,14 dengan demikian, hukum merupakan kebiasaan dari perilaku
yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola
perilaku yang lahir karena kebutuhan masyarakat yang disebut dengan hukum
kebiasaan.
Jimly Asshiddiqie menyatakan:
Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakupkegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum sertamelakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran ataupenyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baikmelalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase danmekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Bahkan, dalam artian yanglebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segalaaktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidahnormaif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalamsegala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benarditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana semestinya.Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan
13 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III,(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 897.
14 Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis, (Jakarta: YayasanPustaka Obor Indonesia, 2012), h. 9.
66
penindakan terhadap segala pelanggaran atau penyimpangan terhadapperaturan perUndang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi,melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparatkepolisian, kejaksaan, advokat, atau pengacara, dan badan-badanperadilan.15
Proses pembentukan hukum itu sendiri, berawal dari partisipasi
masyarakat luas yang perlu ditingkatkan sebagai bagian penting dalam upaya
sosialisasi hukum secara merata (law illumination process). Faktor-faktor
yang menghambat efektifitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada
sikap masyarakat atau mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi,
dan penasehat hukum) akan tetapi, juga terletak pada faktor sosialisasi hukum
yang sering diabaikan.16 Dengan begitu, keadilan dapat ditegakkan apabila
dari masyarakat ataupun dari aparatur penegakan hukum seperti hakim dapat
bersikap bijak dalam menetukan hukaman kepada para pelaku atau para
pencari keadilan.
Dari ketiga teori tersebut: teori hukum positivisme, teori hukum
progresif dan teori penegakan hukum dengan melakukan pendekatan teori
hukum terhadap pertimbangan hakim pada perkara cerai talak di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan maka tentu dalam rangka memeriksa, memutus dan
mengadili perkara cerai talak mengacu kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, kecuali ada hal-hal lain yang memang menurut pertimbangan
hakim itu terdapat Pasal perUndang-undangan yang kurang pas untuk
diterapkan, tentunya hakim harus mencari jalan keluarnya agar tetap putusan
15 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, h. 54.
16 Ibid., h. 55.
67
hakim tersebut adil terhadap para pencari keadilan dengan melakukan
penafsiran hukum17 dengan menggunakan salah satu dari ketiga teori tersebut
atau dengan menggabungkan antara undang-undang yang berlaku dengan
ketiga teori tersebut.
Contoh ketika suami isteri sudah tidak ada lagi kecocokan dan ingin
memutuskan hubungan perkawinan dengan jalan cerai, dalam proses
perceraian tersebut memperselisihkan harta bersamanya ketika didapat selama
perkawinan dengan singkat cerita bahwa diketahui: perempuan kewajibannya
di dapur dan suami kewajibannya bekerja ketika hal ini berjalan normal
berarti Kompilasi menentukan bahwa penghasilan menjadi 50:50. Jika hakim
memutus berdasarkan KHI bahwa suami dan isteri mendapatkan bagiannya
50:50 ini menjadi putusan yang tidak adil bagi isteri. Hakim tidak memutus
seperti itu, maka hakim tersebut sudah keluar dari Kompilasi. Ketika keluar
dari Kompilasi barulah kita kaitkan dengan pendapat ulama, kitab-kitab fikih,
bisa juga hakim berpendapat sendiri. Artinya, kadang hakim menggunakan
KHI, kadang menggunakan kitab-kitab fikih, kadang hakim menggunakan
analog, kadang menggunakan yurisprudensi dan terkadang hakim
menggabungkan semuanya.18 Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui
bahwasannya perundang-undagan memiliki kelebihan dan kekurangannya
sendiri ketika dihadapkan dengan suatu masalah. Suatu masalah apabila
dirasa adil dengan menggunakan perundang-undangan yang berlaku maka
17 Wawancara Pribadi dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
18 Wawancara Pribadi dengan Saifuddin. Jakarta, 26 Maret 2015.
68
bisa dikatakan bahwa undang-undang tersebut sudah efektif. Tetapi apabila
undang-undang dihadapkan dengan suatu masalah yang apabila tetap
menggunakan undang-undang tersebut tidak terciptanya rasa adil, maka
hakim diharuskan menggunakan penafsirannya dalam memutus perkara.
D. Analisis Penulis
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya bahwa perkara cerai talak
pada tahun 2010 yang diputus sebanyak 666 perkara dengan rincian: bulan
Januari sebanyak 60 perkara, Februari 57 perkara, Maret 51 perkara, April 50
perkara, Mei 69 Perkara, Juni 58 Perkara, Juli 83 Perkara, Agustus 66
Perkara, September 31 perkara, Oktober 48 perkara, November 47 perkara
dan Desember 46 perkara. Dari jumlah perkara tersebut penulis mengambil
sample sebanyak 10% dari jumlah yang ada. Maka dapat diketahui dasar
pertimbangan hakim yang digunakan pada perkara cerai talak tahun 2010 di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah sesuai menggunakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Peradilan Agama diantaranya: Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II
dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 Tentang Aturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi
Presiden Nomor I Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,
Yurisprudensi. Dalam hal ini hakim telah tepat menerapkan hukum acara
mengenai tata cara pemeriksaan dan penyelesaian sengketa cerai talak.
69
Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-
undangan yang digunakan hakim sebagai dasar pertimbangan hukum pada
perkara cerai talak 2010, sebagai berikut: KHI digunakan sebanyak 50 atau
100% pada perkara cerai talak, PP No. 9 Tahun 1975 digunakan sebanyak 47
atau 94 % pada perkara cerai talak, UU No. 1 Tahun 1974 digunakan
sebanyak 43 atau 86% pada perkara cerai talak, UU No. 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Perubahan ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 digunakan
sebanyak 40 atau 80% pada perkara cerai talak, kitab Ahkam Al-Qur’an juz II
atau kaidah fiqhiyah digunakan sebanyak 3 atau 6% pada perkara cerai talak,
dan Yurisprudensi digunakan sebanyak 3 atau 6% pada perkara cerai talak.
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa hakim di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
cerai talak tahun 2010 menganut teori hukum positivisme telihat pada semua
dasar pertimbangan hukum menggunakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia, yang pada dasarnya teori hukum positivisme
adalah hukum positif di Indonesia yang tertulis yang beranggapan bahwa
ilmu pengetahuan itu pasti karena hukum merupakan perintah dari penguasa,
bersifat tetap dan sistem hukum haruslah sistem yang bersifat logis. Dari sisi
sumber hukum yang digunakan dalam memutus perkara hakim di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan hanya menggunakan rujukan Undang-undang atau
hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi teori positivisme adalah hukum yang
diputus berdasarkan aturan yang berlaku dengan istilah hakim menjadi corong
70
undang-undang tidak lagi berijtihad. Hanya sedikit hakim agama yang
menganut teori hukum progresif yaitu hakim menggunakan pemikiran hukum
atau ijtihad dalam pertimbangannya, hakim tidak hanya menggunakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga menggunakan dalil-
dalil diluar perundang-undangan, karena teori hukum progresif ini diartikan
sebagai kearah kemajuan yang melakukan terobosan pembebasan.
Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa hukum itu untuk
manusia bukan sebaliknya, hukum ada karena kebutuhan manusia. Hakim
bisa dengan bebas berijtihad menggunakan pemikirannya atau tafsirannya
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang disesuaikan dengan
kebutuhan saat itu, dengan demikian teori progresif ini merupakan terobosan
hukum yang menegaskan bahwa hukum itu tidak dibuat secara sengaja, tetapi
ada dari manusia itu sendiri dengan mengutamakan asas keadilan.
Namun dari sini, penulis menganalisa bahwa sesungguhnya syarat
lulus menjadi hakim yaitu dapat membaca kitab kuning, tidak terlalu relevan
bahkan tidak digunakan kembali oleh hakim ketika mereka membuat
pertimbangan hukum. Namun demikian, penulis menilai hakim di Pengadilan
Agama tetap menggunakan asas teori keadilan dalam memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara. Keadilan ini merupakan sebuah harapan dari para
pencari keadilan yang mempercayakan kepada hakim untuk memutus perkara
dengan seadil-adilnya tidak peduli pertimbangan hakim tersebut bersumber
dari perundang-undangan yang berlaku atau sebuah ijtihad hakim itu sendiri.
Karena hukum mempunyai fungsi untuk memberikan keadilan atau
71
perlindungan terhadap kepentingan manusia. Hal ini terlihat pada kepala
putusan yang menyatakan “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang
Maha Esa.” Oleh karena itu, hukum harus dilaksanakan agar kepentingan
manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanannya, hukum terkadang
berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi terkadang juga terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini, hukum
yang dilanggar harus ditegakkan dalam penegakan hukum karena penegakan
hukum ini menyangkut kegiatan penindakan terhadap segala pelanggaran atau
penyimpangan terhadap perundang-undangan melalui proses peradilan. Ada
tiga unsur yang harus diperhatikan dalam menegakkan hukum yaitu:
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Setiap orang mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi masalah atau sengketa karena
hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, dengan adanya kepastian hukum
maka masyarakat akan merasa lebih aman dan sejahtera. Dari pelaksanaan
atau penegakan hukum masyarakat mengharapkan manfaat karena dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Lain halnya dengan hukum
atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh
perkara yang timbul dalam masyarakat, sehingga menyulitkan aparat penegak
hukum dalam hal ini adalah hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.
Adakalanya hakim dihadapkan dengan suatu masalah yang belum ada hukum
atau peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan masalah yang
bersangkutan. Dengan menggunakan metode penafsiran hakim atau ijtihad
72
para ulama dalam kitab fikih klasik hakim diharapkan dapat menyelesaikan
masalah dengan cara menganalogikannya.
Segenap pertimbangan putusan hakim diatas hanya menggunakan
konsep perundang-undangan tidak lagi kitab fikih digunakan sebagai sumber
rujukan pada putusan cerai talak. Hal ini sangat disayangkan mengingat
syarat menjadi seorang hakim adalah dapat membaca kitab kuning artinya
seorang hakim dituntut untuk bisa memahami isi dari kitab-kitab fikih klasik
hasil para ijtihad ulama agar hakim di Pengadilan Agama dapat berijtihad
berdasarkan kitab fikih dalam membuat pertimbangan putusan dan lebih
menggali lagi dari hukum yang telah ada, tidak dengan semata-mata hanya
merujuk kepada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saja, dengan
tidak diterapkannya kembali kitab fikih dalam pertimbangan putusan maka
hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak lagi membuat
pertimbangan selain dari peraturan perundang-undangan atau ijtihad baru dan
hakim hanya lebih menerapkan aturan dari yang telah ada.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang telah penulis jelaskan maka dapat diambil
kesimpulan bahwa penggunaan kitab fikih di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tahun 2010 dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara cerai
talak sebanyak 6% sebagai landasan hukum. Hal ini sesuai dengan data
perkara cerai talak pada tahun 2010. Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan lebih banyak menggunakan KHI sebagai dasar pertimbangan putusan,
diketahui bahwa sebanyak 100% KHI digunakan sebagai landasan hukum
perkara cerai talak, PP No. 9 Tahun 1975 menempati 94% sebagai landasan
hukum, UU No. 1 Tahun 1974 menempati 86% sebagai landasan hukum, UU
No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006
dan Perubahan ke-II dengan UU No. 50 Tahun 2009 menempati 80% sebagai
landasan hukum dan Yurisprudensi menempati 3% sebagai landasan hukum.
Dari hasil persentase tersebut menandakan bahwa hakim agama hanya
merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
sebagai rujukan atau sumber utama dalam memutus perkara. Tidak lagi
melakukan ijtihad dengan mencari dasar dalam kitab fikih, dengan demikian
bahwa hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa, mengadili
dan memutus perkara menganut teori hukum positivisme, dimana hakim
74
dalam melakukan pertimbangan terfokus pada peraturan perundang-
undangan.
B. Saran-saran
Dari kesimpulan yang telah dipaparkan maka diajukan beberapa saran
yang perlu disampaikan sebagai berikut:
1. Kepada para hakim di Pengadilan Agama hendaknya selalu menerapkan
kitab fikih sebagai sumber landasan hukum dalam memeriksa, mengadili
dan memutus perkara, dengan diterapkannya kitab fikih eksistensi kitab
fikih akan selalu terjaga. diharapkan semua putusan hakim di Indonesia
menggunakan kitab fikih sebagai sumber landasan hukum ijtihad hakim.
2. Kepada para akademisi hukum, diharuskan mempelajari dan memahami
secara mendalam segala pembahasan yang ada di kitab fikih agar
menjadikan kitab fikih sebagai landasan hukum disamping peraturan
perundang-undangan. Hal demikian sangat membantu para mahasiswa
yang akan terjun di dunia hukum dan peradilan.
3. Bagi peneliti selanjutnya, agar lebih jauh lagi meneliti tentang efektifitas
KHI sebagai landasan hukum yang digunakan oleh hakim.
75
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anulkarim.
Adi, Rianto. Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis. Jakarta: YayasanPustaka Obor Indonesia, 2012.
Adji, Indriyanto Seno. Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum. Jakarta: PTKompas Media Nusantara, 2009.
Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum.Bandung: Mandar Maju, 2001.
AF, Hasanuddin. Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Nusantara DamaiPress, 2011.
Al-Allamah ibn Manzur, Imam. Lisan al-Arab. Kairo: Dar Al Hadis, 2003.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh Ala Mazahib Al Arba’ah. Mesir: Dar Al Haisam,t.th.
Arto, A. Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996.
As Suyuthi, Jalaluddin. Terjemah Asbabun Nuzul, penerjemah Rohadi Abu Bakar.Semarang: Wicaksana-Berkah Ilahi, 1986.
Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.
Cotterrell, Roger. Sosiologi Hukum. Bandung: Nusa Media, 2012.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III, edisi III,Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Emzir. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2008.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2010.Rahardjo,Satjipto. Hukum dan Perilaku. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009.
76
Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama. Fakultas Syariah dan Hukum UINSyarif Hidayatullah: Jakarta, 2013.
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UINJakarta Press, 2007.
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Mahmud Marzuki, Peter. Pengantar Ilmu Hukum. t,t.,: t,tp., t.th.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Kencana:Jakarta, 2006.
Manan, Abdul. dan M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang PeradilanAgama, Cet. V. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Munawwir, A. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif,1997.
Mugniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, Cet. XXVI. Jakarta: Lentera,2010.
Nur, Djaman. Fiqih Munakahat. Semarang: Dina Utama, 1993.
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, cet. II. Jakarta: PT Kompas MediaNusantara, 2007.
----------. Hukum dan Perilaku. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009.
----------. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Remy Sjahdeini, Sutan dan dkk. Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: PrestasiPustaka Publisher, 2006.
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:RajaGrafindo, 2001.
Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam HukumNasional, Cet. II. Jakarta: RMBooks, 2012.
----------. Pengantar Metode Penelitian. t.t.,: t.p., t.th.
77
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2011.
Subyantoro, Arief dan Fx. Suwarto. Metode dan Teknik Penelitian Sosial.Yogyakarta: C.V ANDI Offset, 2007.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet. XV. Bandung:CV Alfabeta, 2012.
Syamsudin dan Vismala S. Damaianti. Metode Penelitian Pendidikan Bahas.Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Sutarmadi, A. dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga.Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN JKT, 2006.
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.
----------. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat danUndang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007.
----------. Hukum Perikatan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media, t.th.
Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini, Al-Imam. Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II.penerjemah Achmad Zaidun, dkk Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997.
Utsman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum &Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Zuhaily, Wahbah. Al-Fikh Al-Islamy Wa Adillatuhu, Juz IX. Damaskus: Dar Al-Fikr,2007.
Zuhriah, Erfaniah. Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah danPasang Surut. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
TRANSKIP WAWANCARA
Narasumber : Saifuddin
Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Hari/Tanggal : Kamis, 26 Maret 2015
Waktu : Pukul 15.45 – 16.05 WIB
1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan cerai talak dan cerai gugat?
Jawaban:
Cerai talak itu salah satu cara untuk memutuskan perkawinan yang diajukan
oleh pihak suami. Sedangkan cerai gugat itu adalah diajukan oleh isteri. Itu
perbedaannya dari segi yang mengajukan
2. Apa faktor penyebab terjadi cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawaban:
Banyak, hampir semua alasan perceraian itu kena, yang paling dominan adalah
terdapat dalam Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, yaitu perselisihan
terus menerus. Alasan ini yang paling banyak dari sekian banyak orang yang
mengajukan perceraian.
3. Berapa lama perkara cerai talak baru bisa diselesaikan?
Jawaban:
Tidak ada, namanya pengadilan tidak bisa diprediksi waktu. Ada yang sekali
sidang selesai, ada yang sekali sidang setelah 4 bulan, ada 2x sidang selesai,
ada 10x sidang baru selesai bahkan ada tahunan baru selesai jadi, tidak bisa
diprediksi itu. Semua bentuk peradilan itu tidak bisa diprediksi. Satu prinsip
bahwa hakim tidak boleh menunda sidang tanpa alasan dan alasan itu tidak
boleh alasan hakim harus alasan oleh para pihak. Contoh sidang pertama
keduanya hadir berarti hakim melakukan mediasi, berarti ditunda karena
mediasi, setelah mediasi kita akan baca gugatan, setelah dibaca gugatan apakah
Termohonnya siap dengan jawaban? “belum”, kalau belum ya berarti ditunda
lagi. Jadi semua penundaan itu karena alasan para pihak. Tetapi kalau misalnya
sidang pertama setelah pembacaan gugatan artinya setelah mediasi ya
Termohon menyatakan “saya terima semua” berarti tidak perlu jawabankan,
tidak perlu replik dan duplik nah menjadi pendekkan. Kemudian masuk
pembuktian, setelah pembuktian barulah kesimpulan. Kesimpulan inipun 2
macam: ada orang yang menyampaikan hari itu lisan, ada yang meminta
ditunda 2 minggu karena ingin menyampaikan secara tertulis, hal itukan waktu
lagi jadi semua bentuk penundaan itu adalah atas permintaan para pihak.
Waktunya tidak bisa diprediksi berapa lamanya.
4. Alasan-alasan apa saja yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dari suami yang mengajukan cerai talak?
Jawaban:
Semua bisa, tapi yang dominan tetap perselisihan. Misalnya perselisihannya
penyebabnya apa: isteri tidak taat, ada pria idaman lain, isteri dipenjara dan
lain sebagainya. Kalau dipenjara itu harus diatas 5 tahun alat buktinya hanya
putusan pengadilan.
5. Apa dasar hukum bagi Hakim dalam memutuskan perkara cerai talak?
Jawaban:
Yang pertama itu Al-Qur’an, yang kedua Undang-undang, Inpres,
yurisprudensi, boleh juga pendapat hakim itu sendiri. Semua Undang-undang,
jadi prinsipnya adalah semua Undang-undang yang berkaitan dengan masalah
yang hakim hadapi itulah yang dipakai. Contoh KDRT, ketika suami
melakukan KDRT maka masuklah Undang-undang KDRT, jika hanya spesipik
di cerai talak itu tidak bisa, cerai talak itukan hanya istilah, mereka itu cerai
alasannya karena apa? alasannya karena isteri melakukan KDRT, berarti hakim
melibatkan Undang-undang KDRT. Tetapi yang pokok adalah Undang-undang
Perkawinan ini yang mutlak ya karena memang itu adalah hukum dasar,
Undang-undang Peradilan Agama sendiri, kemudian Kompilasi Hukum Islam
dan semua Undang-undang yang berkaitan dengan masalah yang menjadi
alasan perceraian. Undang-undang anak bisa masuk, siapa yang memelihara
anak, siapa yang mengasuh anak, itu kan termasuk disitu.
6. Apa yang menjadi syarat talak?
Jawaban:
Yang pasti mereka adalah suami istri buktinya buku nikah, itu persyaratan
administrasi. Pendaftaran itu hanya menerima gugatan, permohonan talak dari
suami dan gugatan cerai dari isteri. Sementara yang namanya buku nikah, ktp
dan lain sebagainya itu merupakan bukti ketika persidangan tapi ketika pertama
sekali mengajukan adalah hanya gugatan atau permohonan Cuma kadang-
kadang orang kan buta hukum ya, mereka diarahkan langsung membawa buku
nikah. Kenapa? Karena buku nikah termasuk kedalam permohonan nomornya,
tanggalnya, hal itu kan dicantumkan dalam permohonan.
7. Perceraian terbagi dua macam: cerai talak dan cerai gugat. Perkara mana yang
sering diputus oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawaban
Tetap yang dominan adalah cerai gugat yang diajukan oleh isteri.
8. Menurut Bapak apa yang dimaksud teori progresif, teori positivisme dan teori
penegakan hukum? jelaskan!
Ini tidak usah, kamu nanti hanya menganalisa, kamu analisa sendiri nanti,
kamu pahami dulu apa teori-teori itu kemudian coba masukkan kedalam
konsep atau tata cara hakim menerapkan hukum itu. Contoh, menurut hukum
anak-anak yang dibawah umur diasuh oleh ibunya nah ada kasus-kasus tertentu
anak yang diasuh oleh bapaknya, ini adalah tata cara hakim menarik
pertimbangan hukum, bisa berguna teori-teori tersebut apabila kasusnya seperti
itu.
9. Apakah hakim menggunakan kitab fikih dalam memutus perkara cerai talak?
jelaskan!
Dulu pada pengadilan yang lama itu orang menggunakan kitab fikih kemudian
didalam kitab fikih itu muncul hukum yang berbeda. Ketika satu hakim
menghadapi suatu masalah kemudian dia menerapkan kitab tertentu sementara
hakim yang lain juga menghadapi masalah yang sama juga menggunakan kitab
yang lain akibatnya adalah putusan menjadi berbeda, karena melihat kondisi
seperti itu maka ulama bekerja sama dengan pemerintah (Menteri Agama),
terbentuklah Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Munculnya Kompilasi itu dimasksudkan dan diharapkan agar tidak terjadi
perbedaan lagi, sebab kalau terjadi perbedaan masyarakat yang bingung karena
kitab yang diterapkan berbeda maka disusunlah Kompilasi. Apakah sekarang
kembali lagi kesana, jika kembali lagi kesana akan terjadi seperti itu
menghadapi kasus yang sama boleh jadi putusannya berbeda, hasilnya
masyarakat menjadi bingung, kepastian hukum menjadi hilang. Tetapi dalam
kenyataannya dalam praktek masih ada hakim yang menggunakan sepenggal-
sepenggal isi kitab, tetap hakim mengacu kepada Kompilasi. Dengan begitu
hakim tetap mengkaitkan kitab-kitab fikih karena dimaksudkan agar kekhasan
keIslamannya tidak hilang. Hanya saja di Kompilasi itu kadang hakim juga
berbeda, contohya pembagian waris itu 2:1 laki-laki mendapatkan 2 dan
perempuan mendapatkan 1 didalam praktek tidak semuanya sama, sama halnya
di Kompilasi dikatakan bahwa harta bersama itu 50:50 nah ketika berbeda
dengan Kompilasi maka rujukannya kembali ke kitab fikih, jadi ada hal kenapa
kembali kekitab fikih atau melenceng dari Kompilasi karena ada pertimbangan
lain. Contoh lain ketika suami isteri, perempuan kewajibannya di dapur dan
suami kewajibannya bekerja ketika hal ini berjalan normal berarti Kompilasi
menentukan bahwa penghailan menjadi 50:50. Sekarang saya tambah,
perempuanya kerja dirumah juga kerja di luar, sementar laki-lakinya kerja satu.
Sekarang saya Tanya kamu adilkah kalau 50:50? “engga” nah, berarti anda
sudah keluar dari Kompilasi. Ketika keluar dari Kompilasi ini sebetulnya boleh
jadi kita kaitkan dengan pendapat ulama, kitab-kitab fikih, bisa jadi hakim
berpendapat sendiri. Artinya, kadang hakim menggunakan KHI, kadang
menggunakan kitab-kitab fikih, kadang hakim menggunakan analog, kadang
menggunakan yurisprudensi dan terkadang hakim menggabungkan semuanya.
Jakarta, 31 Maret 2015
Narasumber
Saifuddin
TRANSKIP WAWANCARA
Narasumber : Drs. Mustofa, SH
Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Hari/Tanggal : Kamis, 26 Maret 2015
Waktu : Pukul 15.15 – 15.40 WIB
1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan cerai talak?
Jawaban:
Cerai talak adalah cerai yang inisiatifnya datang dari suami, posisi suami
sebagai Pemohon dan posisi isteri sebagai Termohon. Jadi cerai talak itu
permohonan cerai yang diajukan suami ke Pengadilan.
2. Apa faktor penyebab terjadi cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawaban:
Sebetulnya banyak faktor ya, diantaranya bahwa si isteri sudah tidak
bertanggung jawab lagi sebagai ibu rumah tangga sehingga isteri mempunyai
pria idaman lain, ada juga isteri yang meninggalkan rumah, kemudian isteri
tidak sabar dengan penghasilan suami karena tidak merasa cukup akhirnya
terjadi perselisihan. Jadi bisa disimpulkan faktor penyebabnya yaitu karena
ekonomi dan pria idaman lain.
3. Berapa lama perkara cerai talak baru bisa diselesaikan?
Jawaban:
Itu relatif, tidak bisa dipastikan selesai 1 bulan, 2 bulan itu tergantung kepada
para pihaknya. Misalkan kalau si isteri sudah dipanggil minimal 2x berturut-
turut tidak hadir tanpa alasan ketidakhadirannya itu kemudian permohonannya
sudah diperiksa akhirnya 2x sidang sudah putus, tapi itu untuk sebatas
memberikan izin belum sampai jatuh talak. Karena proses dari cerai talak itu
pertama, adalah kalau dikabulkan memberi izin dulu kepada suami, jadi
putusannya itu memberi izin kepada suami untuk menyatakan talak kepada
isterinya dihadapan sidang Pengadilan Agama. Setelah itu nunggu dulu
samapai putusan itu berkekuatan hukum tetap, kalau sudah berkekuatan tetap
barulah dipanggil kembali untuk sidang ikrar. Jadi, selesainya perkara cerai
talak itu relatif. Apabila si isterinya tidak pernah hadir sampai ikrar itu ya
kurang lebih 2 bulan selesai kerana putusannya verstek maka diputusnya cepat.
Tetapi kalau isterinya ngeyel dalam persidangan tidak mau pisah selesainya itu
bisa berbulan-bulan, bisa 2 bulan, bisa 3 bulan. Tergantung kadang-kadang
dalam proses pemeriksaan ada gugatan balik dari isteri jadi itu bisa lebih lama
lagi putusnya.
4. Alasan-alasan apa saja yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dari suami yang mengajukan cerai talak?
Jawaban:
Semua alasan bisa diterima kalau bisa dibuktikan. Alasan perceraian itu kan
pada garis besarnya dalam pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Itu yang menjadi
alasan-alasan perceraian yang pada umumnya dipakai. Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam itulah yang lebih dominan di Pengadilan Agama, bahwa
penyebab perceraian karena adanya pertengkaran dan perselisihan terus
menerus.
5. Apa dasar hukum bagi Hakim dalam memutuskan perkara cerai talak?
Jawaban:
Tentu dasarnya itu Undang-undang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam. Kalau
sudah sesuai dengan Peraturan tersebut ya dikabulkan.
6. Apa yang menjadi syarat talak?
Jawaban:
Persyaratan talak itu apabila permohonan suami itukan beralasan, kemudian
permohonan dikabulkan, kemudian suami diberi izin. Jadi persyaratan cerai
talak itu ya harus terbukti dahulu alasan-alasannya.
7. Perceraian terbagi dua macam: cerai talak dan cerai gugat. Perkara mana yang
sering diputus oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawaban:
Cerai ada dua macam: cerai talak dan cerai gugat. Cerai gugatkan inisiatif dari
pihak isteri, dalam cerai gugat isteri sebagai Penggugat dan suami sebagai
Tergugat. Sedangkan dalam cerai talak suami sebagai Permohon dan isteri
Sebagai Termohon. Jadi syarat jatuh cerai talak itu mentalak isteri harus
dihadapan sidang ga bisa sembarangan di luar sidang sesuai dengan bunyi
putusan Pengadilan yaitu memberi izin kepada suami untuk mentalak isteri
dihadapan sidang. Tapi masih banyak masyarakat yang pemahamannya seperti
itu, orientasinya ke fkih. Kalau fikihkan dulu, fikih konvensional istilahnya
dimana suami bisa menjatuhkan talak kepada isteri tidak mesti dihadapan
sidang. Kadang-kadang masih ada yang beranggapan seperti itu sehingga,
masih banyak isteri yang membawa surat pernyataan talak suami ke pengadilan
“pak saya sudah cerai, ini buktinya” maka, itu jatuhnya tidak dianggap cerai
tetap masih suami isteri. Dilihat dari presentasinya lebih banyak cerai gugat,
jadi isteri yang lebih banyak menggugat suami. Faktor-faktornya yaitu: isteri
ditelantarkan, suami kawin lagi, suami main perempuan, suami ada yang
dipenjara.
8. Menurut Bapak apa yang dimaksud teori progresif, teori positivisme dan teori
penegakan hukum? jelaskan!
Jawaban:
Teori progresif sebetulnya itu di pendidikan hukum ya, jadi teori progresif itu
sebetulnya bagaimana penegakan hukum itu yang mampu dirasa keadilan.
Progresif itu adanya dipidana sebenarnya, selama ini penjatuhan hukumkan
lebih dominan bagaimana hukum si pelaku kejahatan kedepannya nanti akan
lebih dipertimbangkan dan orang yang teraniaya itu akan diperhatikan.
Teori Progresif itu adalah suatu teori bahwa hukum itu tertulis, yang disebut
hukum itu ya yang tertulis.
9. Apakah dari ketiga teori hukum tersebut: teori progresif, teori positivisme dan
penegakan hukum. mana yang lebih digunakan hakim dalam memutus perkara
cerai talak?
Jawaban:
Kalau dikaitkan di Pengadilan Agama tentu dalam rangka menerima,
memeriksa dan memutus mengacu kepada Peraturan yang berlaku, kecuali ada
hal-hal lain yang memang menurut pertimbangan hakim itu Pasal ini kurang
pas untuk diterapkan, tentu ada penafsiran hukum.
10. Apakah hakim menggunakan kitab fikih dalam memutus perkara cerai talak?
jelaskan!
Sekarang isi kitab fikih yang terkait seperti cerai talak dan pernikahan sudah
diterjemahkan atau sudah dialih bahasakan dalam sebuh Kompilasi Hukum
Islam jadi, para hakim itu merujuk kesana yaitu fikih Indonesia. Sebetulnya isi
dari pada Kompilasi Hukum Islam itu sebagai bentuk pengembangan dari
fikih-fikih yang sudah ada selama ini dari berbagai mazhab, kemudian
didiskusikan dan dimusyawarahkan oleh para ulama. Dari kitab-kitab fikih
yang ada di dunia Islam itu diintisari kemudian dibuatlah dalam formulasi
Kompilasi Hukum Islam. Bisa dikatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam itu
fikihnya Indonesia, itu yang dijadikan rujukan oleh hakim. Jadi eksistensi kitab
fikih dalam pertimbangan hakim pada putusan perkara cerai talak yaitu kitab
fikih sekarang ini sudah diformulasikan kedalam bentuk Kompilasi Hukum
Islam, jadi pada intinya tetap kitab-kitab fikih yang dipergunakan oleh
Pengadilan. Kenapa diformulasikan dalam sebuah KHI karena berdasarkan
penelitian selama ini putusan hakim Pengadilan Agama dalam memutus satu
perkara yang sama pendapatnya engga sama, karena tergantung kepada hakim
itu menganut mazhab apa dan akan diputus sesuai dengan mazhabnya.
Sekarang sudah ada Kompilasi maka putusan Pengadilan Agama akan seragam
dalam menangani perkara yang sama. Kalau sebelum ada kompilasi itukan
putusan berbeda-beda antara satu hakim dengan hakim yang lain itu tergantung
hakim menganut mazhab apa. Tapi dengan adanya Kompilasi Hukum Islam ini
putusan hakim sudah seragam.
Jakarta, 31 Maret 2015
Narasumber
Drs. Mustofa, SH