“ekor” yang sangat “pendek” - repository.ipb.ac.id v... · brachyura sendiri berasal dari...
TRANSCRIPT
V GAMBARAN UMUM KOMODITAS KEPITING
5.1 Karakteristik Kepiting
Berdasarkan taksonomi, kepiting tergolong ke dalam kelas crustacea karena
tubuhnya yang dilindungi oleh kerangka luar yang sangat keras, tersusun dari kitin,
dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Hewan berkaki sepuluh dari infraordo
Brachyura ini memiliki perut (abdomen) yang sama sekali tersembunyi di bawah
dada (thorax). Brachyura sendiri berasal dari bahasa Yunani yang artinya mempunyai
“ekor” yang sangat “pendek” (brachy = pendek, ura = ekor). Brachyura mencakup
kepiting, ketam, dan rajungan. Beragam jenis kepiting tersebar di semua samudera
dunia. Ada pula beberapa jenis kepiting air tawar dan darat, khususnya di wilayah-
wilayah tropis. Kepiting beraneka ragam ukurannya dari ketam kacang, yang
lebarnya hanya beberapa millimeter hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan
rentangan kaki hingga 4 m.
5.2 Kandungan dan Manfaat Kepiting
Kepiting mengandung nutrisi yang penting bagi kesehatan tubuh. Daging
kepiting rendah kandungan lemak jenuh serta merupakan sumber niacin, folate,
pottassium, sumber protein, vitamin B12, phosphorous, zinc, copper, dan selenium
yang sangat baik untuk tubuh. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker,
perusakan kromosom, serta meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan
bakteri (Kasry, 1996).
Fisheries Research and Development Corporation di Australia berpendapat,
bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau terkandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58
mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang sangat penting untuk
pertumbuhan dan kecerdasan anak. Kandungan asam lemak yang lebih besar dimiliki
oleh rajungan, yaitu sebesar 137 mg Omega-3 (EPA), 90 mg Omega-3 (DHA), dan
86 mg Omega-6 (AA) untuk setiap 100 gram dagingnya.
Selain dagingnya, kulit kepiting juga memiliki nilai komersial. Kulit kepiting
umumnya diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan
karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat,
kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memiliki peran sebagai anti
virus, anti bakteri, dan digunakan sebagai obat untuk meringankan serta mengobati
luka bakar. Selain itu, bahan tersebut dapat juga digunakan untuk bahan pengawet
makanan yang murah dan aman.
5.3 Jenis-Jenis Kepiting Komersial di Indonesia
Moosa (1980) menyebutkan bahwa di Indo Pasifik Barat, jenis kepiting dan
rajungan diperkirakan ada 234 jenis, sedangkan di Indonesia terdapat sekitar 124
jenis. Tidak semua jenis kepiting dan rajungan merupakan jenis yang dapat dimakan
(edible crab) karena ukuran tubuhnya yang tidak cukup besar ataupun menimbulkan
keracunan. Di Indonesia, kepiting bakau dan rajungan merupakan jenis kepiting
konsumsi yang mendominasi ekspor komoditas kepiting Indonesia. Kepiting banyak
terdapat di area pesisir dimana terdapat mangrove dan air payau. Habitat kepiting
bakau terdapat di perairan yang memiliki hutan mangrove. Hutan mangrove menjadi
habitat berbagai jenis organisme yang memiliki kemampuan beradaptasi terhadap
perubahan ekosistem. Kepiting bakau ditemukan di daerah estuari dan kebanyakan
ditangkap di daerah pesisir seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
dan Papua (Sulistiono et al., 1994).
Kepiting bakau dapat dibagi dalam 4 golongan (tiga spesies dan satu
subspesies) yaitu S. serrata, S. oceanica, S. tranquberica dan S. serrata var.
paramamosain. Kepiting bakau hijau (Scylla serrata) dikenal sebagai “giant mud
crab”, karena ukurannya yang dapat mencapai 2-3 kg per ekor. Scylla serrata dapat
dibedakan dengan dua jenis lainnya berdasarkan morfologi terutama bentuk duri baik
pada carapace maupun pada bagian capitnya serta warna dominan pada tubuhnya.
Scylla serrata memiliki duri yang relatif pendek dibanding dua species lainnya.
Warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya, sedangkan pada
jenis lain dominan warna ungu pucat atau kehitaman. Ciri lain yaitu pada Scylla
oceanic berwarna kehijauan dan terdapat garis-garis biru coklat hampir pada bagian
seluruh tubuhnya kecuali bagian perut. Scylla transquebarica berwarna kehijauan
sampai kehitaman dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada kaki
renangnya. Secara umum Scylla oceanica, dan Scylla transquebarica memiliki
ukuran lebih besar daripada S. serrata untuk umur yang sama. Kepiting jantan
dicirikan oleh bagian abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segitiga sama
kaki, sedangkan pada kepiting betina dewasa agak membundar dan melebar. Pada
kepiting dewasa, yang jantan memiliki ukuran capit lebih besar dibandingkan dengan
betina untuk umur yang sama demikian pula halnya dengan ukuran tubuhnya.
Selain kepiting bakau, jenis lain yang memiliki nilai ekspor adalah rajungan
atau dikenal dengan nama “swimming crab.” Kepiting bakau cukup mudah dibedakan
dengan famili lainnya, khususnya rajungan. Perbedaan kepiting bakau dengan
rajungan (Portunus pelagicus) dapat terlihat cukup dengan melihat warna karapas dan
jumlah duri-duri pada karapasnya. Rajungan memiliki warna yang menarik pada
karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas rajungan relatif lebih panjang dan
lebih runcing dari duri akhir pada kepiting bakau. Rajungan bila tidak berada di
lingkungan air laut hanya tahan hidup beberapa jam saja (Kasry, 1996). Jenis
rajungan yang umum dimakan (edible crab) ialah jenis-jenis yang termasuk cukup
besar yaitu sub famili Portuninae dan Podopthalminae. Jenis-jenis lainnya walaupun
dapat dimakan, tetapi berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Jenis-
jenis rajungan yang umum terdapat di pasar-pasar Indonesia adalah Portunus
pelagicus. Jenis yang kurang umum tetapi masih sering dijumpai di pasar adalah
rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalamus vigil),
rajungan karang (Charybdis feriatus). Jenis-jenis lainnya yang berukuran cukup besar
dan biasa dimakan, tetapi jarang dijumpai dipasar-pasar adalah Charybdis callanassa,
Charybdis lucifera, Charybdis natatas, Charybdis tunicata, Thalamita crenata,
Thalamita danae, Thalamita puguna, dan Thalamita spimmata.
Rajungan jantan memiliki abdomen yang sempit, berbentuk T pada sisi
abdomen dan capit berwarna biru. Sedangkan rajungan betina yang belum matang
memiliki bentuk abdomen “V” atau rajungan dewasa memiliki bentuk abdomen “U”.
Pada hewan ini terlihat adanya perbedaan yang mencolok antara jantan dan betina.
Jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dan capit yang lebih panjang
dibandingkan dengan rajungan betina.
5.4 Perkembangan Luas Areal Budidaya Tambak
Wilayah perairan Indonesia memiliki hutan bakau yang sangat banyak dan
tersebar. Keadaan laut Indonesia penuh kekayaan alam menciptakan habitat untuk
kepiting bisa bertahan hidup. Produksi kepiting di Indonesia sebagian besar masih
berasal dari hasil tangkap laut dan hanya sebagian kecil saja yang dihasilkan dari
budidaya tambak. Permintaan kepiting yang terus meningkat setiap tahunnya,
menyebabkan sistem produksi yang berbasi pada penangkapan menjadi tidak lagi
sustainable. Menurunnya kualitas dan ukuran kepiting hasil tangkap setiap tahunnya
menjadi pertanda telah terjadi penangkapan berlebih. Kondisi ini menyebabkan
beberapa tahun Indonesia mengalami penurunan produksi pada sektor penangkapan
kepiting di laut. Cara budidaya tambak diharapkan dapat memberi solusi untuk
mengatasi masalah ini, sehingga total produksi kepiting Indonesia setiap tahunnya
dapat kembali meningkat.
Tabel 9 menunjukkan luas lahan yang digunakan untuk budidaya tambak di
Indonesia. Lahan tersebut tiap tahunnya terus meningkat, namun sebagian besar lahan
tersebut masih digunakan untuk budidaya tambak udang dan bandeng. Hal ini
disebabkan teknik pembudidayaan kepiting yang masih tergolong baru dan belum
dikenal secara luas oleh masyarakat seperti halnya budidaya tambak udang ataupun
bandeng.
Tabel 9. Luas Lahan Berpotensi untuk Budidaya Tambak Tahun 1997-2010
Tahun Luas Lahan (Ha) Tahun Luas Lahan (Ha)
1997 390.182 2004 489.811
1998 357.331 2005 512.524
1999 393.196 2006 612.530
2000 390.182 2007 611.889
2001 438.010 2008 613.175
2002 458.107 2009 -
2003 480.762 2010 682.857
Laju (%/tahun) 4,63
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2007 telah
mengembangkan klaster industri perikanan khusus komoditi kepiting di beberapa
kabupaten diseluruh Indonesia guna mengangkat komoditas perikanan unggulan di
wilayah tersebut. Pengembangan klaster industri perikanan sebenarnya sudah
diterapkan pula di negara lain seperti Jepang dan Vietnam yang menggunakan sistem
satu desa satu komoditas. Beberapa daerah yang mengembangkan sistem klaster
industri kepiting dan rajungan antara lain di Medan (Sumatera Utara), Sambas
(Kalimantan Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Pemalang (Jawa Tengah), dan
Gresik (Jawa Timur).
5.5 Perkembangan Produksi Kepiting Indonesia
Perkembangan produksi subsektor perikanan Indonesia selama ini dapat
dikatakan dalam kondisi baik. Permintaan hasil perikanan Indonesia tiap tahunnya
meningkat setelah Indonesia melakukan pemasaran ke pasar dunia. Aneka macam
komoditi hasil laut dikirim ke negara lain sesuai kebutuhan tiap negara. Konsumsi
akan sumber daya laut masyarakat global mengalami peningkatan disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu: Pertama, meningkatnya jumlah penduduk disertai dengan
meningkatnya pendapatan masyarakat. Kedua, meningkatnya apresiasi terhadap
makanan sehat (healthy good) sehingga mendorong konsumsi daging dari pola red
meat ke white meat. Terakhir, karena berjangkitnya penyakit pada hewan yang
menjadi sumber protein hewani lainnya selain ikan dan sumberdaya laut sehingga
sumber daya laut menjadi sumber alternatif terbaik.
Produksi kepiting dari hasil tangkap laut sejauh ini tersebar di provinsi
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Pada Tabel 10
terlihat lokasi produksi kepiting tangkap di Indonesia yang dihasilkan tidak tersebar
secara merata dari seluruh provinsi yang ada. Hanya terdapat beberapa provinsi yang
berpotensi menghasilkan komoditi kepiting tangkap yaitu provinsi yang memiliki
perairan dengan hutan mangrove.
Tabel 10. Delapan Provinsi Berpotensi Produksi Kepiting Hasil Tangkap di
Indonesia Tahun 2008-2010
Nama Provinsi 2008 2009 2010 Laju (%/tahun)
Jawa Timur 5.649 8.832 10.886 39,80
Bangka Belitung 6.363 6.209 7.547 9,56
Jawa Barat 8.666 4.077 6.718 5,91
Sulawesi Tenggara 6.483 6.658 6.410 -0,51
Kalimantan Timur 3.935 4.080 5.053 13,77
Sumatera Utara 4.309 4.564 4.809 5,64
Kalimantan Selatan 5.549 2.635 2.160 -35,27
Sumatera Barat 1.788 1.486 901 -28,13
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011
Produksi kepiting di Indonesia awalnya lebih dari 70% berasal dari hasil
tangkap kekayaan laut, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah diberlakukan usaha
budidaya kepiting di Indonesia. Pada tahun 1994 dan 1998, terjadi penurunan
produksi kepiting karena terdapat beberapa permasalahan seperti penurunan hasil
tangkapan nelayan karena keadaan laut yang tidak terurus serta adanya keterbatasan
dalam hal teknologi maupun dalam hal pengelolaan penangkapan. Oleh sebab itu,
budidaya tambak kepiting masih merupakan solusi terbaik untuk permasalahan
produksi tersebut. Usaha untuk menggalakan budidaya tambak kepiting ini
sebenarnya sudah ada sejak tahun 1990-an, namun perluasan wilayah tangkap masih
lebih banyak dipiih oleh para pelaku bisnis ini pada masa itu karena dinilai relatif
lebih mudah, murah, dan cepat menghasilkan.
Kendala yang dihadapi dalam usaha budidaya kepiting antara lain kurangnya
minat para investor menanamkan modal karena biaya operasionalnya yang tinggi,
risiko kerugian dianggap besar, serta ketersediaan teknologi yang belum mendukung.
Namun usaha budidaya ini sangatlah potensial dan menguntungkan mengingat terus
menurunnya kualitas dan jumlah kepiting hasil tangkap. Hal ini dibuktikan dengan
semakin pesatnya pertumbuhan usaha budidaya tambak kepiting pada beberapa tahun
terakhir seperti di daerah pantai utara (Pantura) Pulau Jawa, Sulawesi Selatan, serta
Cilacap.
5.6 Negara Pesaing Indonesia dalam Ekspor Kepiting
Filipina, Vietnam, dan Thailand merupakan beberapa negara pengekspor
produk perikanan di kawasan Asia Tenggara. Letak geografis yang berdekatan serta
sumberdaya alam yang hampir sama dengan Indonesia menjadikan kedua negara
tersebut sebagai pesaing utama dalam hal ekspor komoditas perikanan. Kedua negara
tersebut juga banyak mengekspor komoditas perikanan seperti ikan bandeng, udang,
dan kepiting yang selama ini menjadi komoditas unggulan Indonesia. Dalam hal
ekspor komoditas kepiting, Filipina merupakan ancaman terbesar bagi Indonesia
karena mengekspor jenis komoditas yang sama yakni rajungan dan kepiting bakau
dalam jumlah yang cukup besar.
Berdasarkan data FAO, pada tahun 2009, Filipina menyumbang sekitar 20%
dari total 28 ribu ton produksi kepiting rajungan di dunia. Jumlah tersebut
menempatkan Filipina sebagai produsen kepiting rajungan terbesar di dunia di atas
Indonesia (16%). Sedangkan untuk komoditas kepiting bakau, Indonesia pada tahun
2007 menjadi produsen tangkap terbesar yakni sebesar 25.640 ton, jauh di atas
Thailand dan Filipina yang hanya sebesar 3.340 ton dan 1.800 ton. Namun sebaliknya
dalam hal budidaya kepiting bakau, Indonesia hanya mampu menghasilkan 6.630 ton
dan berada di bawah Filipina yang mampu menghasilkan 9.300 ton per tahun.
Tabel 11. Volume dan Nilai Ekspor Kepiting Segar Dunia Tahun 2008-2010
2008 2009 2010
Negara Volume
(Ton) Nilai
(1000 $) Negara
Volume (Ton)
Nilai (1000 $)
Negara
Volume (Ton)
Nilai (1000 $)
Indonesia 8.676 91.139 Indonesia 7.743 54.281 Indonesia 9.347 78.049
Inggris 11.222 51.986 Kanada 6.292 50.099 Kanada 7.859 67.987
Kanada 8.340 50.785 Inggris 12.242 46.469 Inggris 11.922 49.777
India 4.737 26.493 India 6.198 31.644 USA 7.755 39.610
USA 5.836 24.681 USA 5.941 26.049 RRC 3.583 23.208
Irlandia 3.654 19.174 RRC 3.590 19.157 Filipina 4.533 22.088
RRC 3.535 16.404 Filipina 4.145 18.222 India 3.545 20.827
Perancis 2.602 15.045 Irlandia 3.163 14.356 Irlandia 3.212 15.809
Vietnam 2.002 12.193 Perancis 2.258 12.872 Hongkong 3.057 15.634
Korea 1.081 10.446 Hongkong 2.360 11.871 Pakistan 6.361 13.769
Jerman 1.202 10.145 Vietnam 1.597 10.808 Perancis 2.052 11.791
Filipina 2.207 9.834 Korea 549 9.032 Korea 495 11.701
Australia 560 7.477 Australia 616 7.742 Jepang 808 10.470
Thailand 3.227 7.224 Pakistan 4.042 7.020 Australia 506 7.813
Sumber: United Nations Commodity Trade, 2012
Produksi kepiting Indonesia memang sejauh ini mampu mendominasi para
pesaing tersebut. Berdasarkan Tabel 11, nilai ekspor Indonesia menjadi yang terbesar
di dunia selama beberapa tahun terakhir. Filipina dan Thailand hanya mampu
menempati peringkat ke 13 dan 15 pada tahun 2008. Namun ekspor dari Filipina terus
meningkat secara signifikan hingga pada tahun 2010, menempati peringkat ke 6
dalam hal ekspor kepiting segar. Melihat fakta tersebut, Indonesia harus segera
berbenah terutama dalam hal kesinambungan produksi maupun efisiensi
pemasarannya agar tetap mampu bersaing dan mempertahankan dominasinya. Pada
Tabel 11 juga terdapat beberapa negara yang menjadi tujuan utama ekspor kepiting
Indonesia seperti Amerika Serikat, RRC, dan Korea Selatan. Hal tersebut disebabkan
oleh perbedaan jenis spesies yang diekspor dan diimpor oleh mereka dari Indonesia
(mud crabs dan blue swimming crabs). Ekspor kepiting RRC didominasi oleh mitten
crabs sedangkan Amerika Serikat banyak mengekspor jenis king crabs, stone crabs,
dan dungeness crabs.
5.7 Harga Kepiting
5.7.1 Harga Kepiting Indonesia
Indonesia memiliki kualitas kepiting yang baik untuk diekspor ke pasar
internasional. Harga kepiting di dalam negeri (domestik) tergolong salah satu
komoditi perikanan dengan harga jual yang tinggi. Di pasar internasional, harga
kepiting Indonesia merupaka salah satu yang paling tinggi. Pada Tabel 12 terlihat
perbedaan harga kepiting di pasar domestik dan di pasar dunia. Hal ini disebabkan
komoditas kepiting yang diekspor merupakan komoditas dengan grade yang lebih
baik dari yang ada di pasar domestik sehingga harganya pun menjadi lebih mahal.
Selain itu, kepiting yang diekspor tentunya memiliki berbagai tambahan biaya yang
dibebankan pada produk tersebut seperti biaya administrasi sebelum akhirnya bisa
dikirim sampai ke konsumen.
Tabel 12. Perkembangan Harga Kepiting Indonesia (FOB) di Pasar Domestik dan
Pasar Ekspor Tahun 2002-2008
Tahun Harga Domestik
(Rp/Kg)
Harga Domestik
(US$/Kg)
Harga Ekspor
(US$/kg)
2002 9.674,06 1,035 8,05
2003 10.767,52 1,253 7,63
2004 21.623,70 2,417 6,43
2005 15.782,71 1,623 7,04
2006 16.694,56 1,818 7,53
2007 19.880,21 2,175 8,36
2008 19.585,53 2,022 10,35
2009 - - 7,01
2010 - - 8,35
Laju (%/tahun) 18.08 17.62 3.79
Sumber: Kementerian Kelautan Perikanan, 2009 dan United Nations Commodity Trade, 2012
Harga ekspor kepiting Indonesia di pasar dunia juga terus berfluktuasi dari
tahun 2002 hingga 2008. Pada tahun 2008 terjadi kenaikan harga ekspor mencapai
10,35 US$/ton yang disebabkan oleh kenaikan harga kepiting di pasar dunia (KKP,
2009). Harga ekspor kepiting tidak bisa dikendalikan secara langsung oleh
pemerintah karena harga yang terbentuk merupakan hasil dari permintaan dan
penawaran kepiting di pasar dunia.
5.7.2 Harga Kepiting Negara Pesaing
Thailand dan Filipina merupakan dua pesaing utama Indonesia dalam ekspor
kepiting. Hal ini disebabkan oleh kesamaan pada jenis komoditas kepiting yang
diekspor serta letak geografisnya yang cukup dekat dengan Indonesia. Selain itu,
keduanya juga memiliki mitra dagang yang hampir sama dengan Indonesia. Harga
kepiting di kedua negara pesaing tersebut ternyata jauh lebih murah bila
dibandingkan dengan Indonesia. Pada Tabel 13 terlihat perkembangan harga kepiting
di negara tersebut. Secara kasat mata, harga kepiting Indonesia bisa mencapai dua
hingga empat kali lipat harga kepiting yang ditawarkan oleh negara tersebut.
Meskipun demikian, jumlah ekspor Indonesia masih jauh mengungguli kedua negara
tersebut. Hal ini ternyata disebabkan oleh kualitas kepiting Indonesia yang dinilai
tinggi sehingga lebih sering dipergunakan untuk bahan baku masakan restoran di
negara tujuan ekspornya, khususnya Amerika Serikat.
Tabel 13. Perkembangan Harga Ekspor Kepiting (FOB) Thailand dan Filipina
Tahun 2008-2010
Tahun Harga Ekspor Kepiting
Thailand (US$/kg) Tahun
Harga Ekspor Kepiting
Filipina (US$/kg)
2008 1,59 2008 4,45
2009 2,40 2009 4,40
2010 3,35 2010 4,87
Laju (%/tahun) 45,26
4,78
Sumber: United Nations Commodity Trade, 2012
5.8 Gambaran Ekspor Kepiting Indonesia
Kepiting yang diproduksi dipasarkan ke pasar domestik dan dunia. Pasar
produk kepiting Indonesia telah memasuki beberapa negara yaitu Amerika Serikat,
RRC, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan beberapa negara Eropa seperti Belanda
dan Inggris. Sejauh ini, Amerika Serikat masih merupakan pasar utama tujuan ekspor
kepiting Indonesia. Komoditas kepiting tersebut diekspor dalam bentuk segar, beku,
kering, maupun dalam kemasan. Beberapa perusahaan importir dari Amerika Serikat
seperti Philips Foods bahkan sengaja mendirikan perusahaan eksportir di Indonesia
untuk menjamin kelancaran pasokan kepitingnya. Philips Foods, perusahaan di
Amerika Serikat yang paling banyak mengimpor kepiting dari Indonesia mendirikan
perusahaan Philips Seafoods Indonesia yang juga merupakan eksportir kepiting
terbesar ke Amerika Serikat (Urner Barry Foreign Trade Data). Philips Seafoods pada
tahun 2008 mengekspor sebesar 23% dari total ekspor kepiting Indonesia diikuti oleh
Tongga Tiur Putra (19,43%), Windika Utama (7,09%), dan Kelola Mina Laut
(6,40%).
Tabel 14. Perkembangan Ekspor Kepiting Indonesia Tahun 2001-2010
Year Volume Ekspor Kepiting Indonesia (kg) Nilai (US$)
2001 7.267.042 63.657.003
2002 8.056.297 74.403.889
2003 7.600.851 72.361.560
2004 9.018.865 76.599.829
2005 12.645.717 84.849.089
2006 11543.145 81.737.430
2007 10.539.397 72.332.860
2008 8.676.013 91.139.446
2009 7.743.459 54.281.371
2010 9.346.589 78.048.881
Laju (%/tahun) 4.33 4.99
Sumber: United Nations Commodity Trade, 2012
Berdasarkan Tabel 14, perkembangan ekspor kepiting Indonesia selama
periode tahun 2001-2010, mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, baik dalam hal
nilai maupun volume ekspornya. Pada tahun 2005, volume ekspor kepiting Indonesia
adalah sebesar 12.645 ton dengan nilai sebesar US$ 84.849.089, kemudian terus
mengalami penurunan hingga tahun 2009 volume ekspornya hanya sebesar 7.743 ton
dan nilai perdagangan terendah sebesar US$ 54.281.371. Hal ini tidak terlepas dari
adanya dampak dari krisis global yang bermula di Amerika Serikat dan Eropa
sehingga menyebabkan kondisi perdagangan dunia menjadi tidak stabil dan
cenderung menurun.
5.8.1 Kasus Penolakan terhadap Ekspor Komoditas Perikanan Indonesia
Amerika Serikat merupakan salah satu negara tujuan utama Indonesia dalam
mengekspor kepiting. Sebesar 60% komoditi kepiting yang diekspor Indonesia
dikirim ke Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan restoran seafood di Amerika Serikat
menggunakan kepiting asal Indonesia (KKP, 2011). Selain Amerika Serikat, negara
lainnya seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Belanda juga
merupakan negara-negara yang selama 10 tahun terakhir menjadi pengimpor utama
produk kepiting Indonesia.
Seperti usaha ekspor produk perikanan lainnya, ekspor kepiting Indonesia juga
tidak terlepas dari adanya risiko penolakan dari negara tujuan. Indonesia sebagai
negara eksportir utama produk perikanan juga mengalami berbagai kasus penolakan.
Berdasarkan data yang dilansir oleh Uni Eropa melalui Rapid Alert System for Food
and Feed (RASSF), sejak tahun 2003 sampai 2008, sering kali ditemukan kasus
detention/penahanan terhadap produk perikanan yang diekspor ke uni eropa,
meskipun kecenderungannya mulai menurun.
Tabel 15. Jumlah Kasus Penolakan terhadap Produk Komoditas Perairan Indonesia
Negara 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Uni Eropa 127 152 174 429 252 332 259
Jepang 0 181 0 0 0 246 29
Amerika Serikat 0 0 667 1.927 1.505 2.282 1.644
Kanada 170 121 125 174 459 445 404
Sumber: Ababouch (2006)
Kecenderungan notifikasi yang menunjukkan peningkatan selama periode
2003-2005 mengakibatkan ditetapkannya CD 235 tahun 2006 yang mewajibkan
seluruh produk perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa harus diuji terlebih
dahulu sehingga meningkatkan biaya ekspor. Terdapat 4 penyebab utama penolakan
produk perikanan Indonesia, yaitu penggunaan bahan kimia seperti antibiotic,
nitrofuran, maupun chloraphenicol melebihi ambang batas yang diperbolehkan,
kandungan mikrobiologi (salmonella) yang tinggi, histamin, serta kandungan logam
berat.
Selain dari Uni Eropa, penolakan produk perikanan Indonesia juga dilakukan
oleh Amerika Serikat dan Jepang. Berbeda dengan jenis kasus penolakan dari Uni
Eropa yang dominan disebabkan oleh kondisi bahan baku, maka di Amerika Serikat
penahanan produk oleh USFDA lebih disebabkan oleh kondisi pengolahan produk
yang terkontaminasi secara fisik (filthy). Amerika Serikat dengan sistem automatic
detention yang dikendalikan oleh USFDA membuka fakta bahwa sejak tahun 2003
sampai tahun 2008 ditemukan lebih dari 100 kasus penahanan setiap tahunnya,
puncaknya pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 442 kasus. Positifnya sejak tahun
2005 baik di Uni Eropa, Amerika Serikat, maupun Jepang terdapat kecenderungan
kasus penolakan produk perikanan yang menurun.
5.8.2 Regulasi dan Standar Internasional untuk Ekspor Produk Perikanan
Peno lakan yang dilakukan oleh beberapa negara importir tersebut dilakukan
guna memproteksi konsumennya dari produk-produk impor yang tercemar. Dalam
konteks perdagangan Internasional, konsep proteksi ini dikenal dengan istilah
Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement dan Sanitary and Phytosanitary (SPS)
Agreement. Dalam impelementasi TBT dan SPS, terdapat mekanisme untuk menolak
bahkan memusnahkan produk-produk yang tidak sesuai dengan standar kualifikasi
yang telah ditentukan oleh masing-masing negara. Standar tersebut diwujudkan
dalam bentuk regulasi teknis sebagai berikut:
1. Uni Eropa
• EC No.178/2002 tentang persyaratan utama undang-undang pangan serta
prosedur keamanan pangan
• EC No.882/2004 tentang pengawasan oleh pemerintah
• EC No.852/2004 tentang keamanan bahan pangan
• EC No.853/2004 tentang peraturan khusus untuk keamanan bahan
baku
• EC No.854/2004 tentang badan pengawas keamanan asal bahan pangan
• EC No.446/2001 tentang batas maksimum kontaminasi dalam bahan pangan
• EC No.2073/2005 tentang ktiteria mikrobiologi bagi bahan pangan
2. Amerika Serikat
• Federal Food, Drug and Cosmetic Act (FDA)
• Code of Federal Regilation (CFR) 123
• Bioterorism Act (TBA)
3. Kanada
• Food and Drug Act
• Canadian Food Inspection Agency Act
• Fish Inspection Act
• Consumer and Labelling Act
• Fish Inspection Regulation
4. Jepang
• Food Sanitation law
5. China (RRC)
• Food Hygine of the People’s Republic of China
Secara garis besar, poin penting yang tertera dari masing-masing regulasi
teknis adalah bagaimana eksportir membuktikan bahwa produk yang dipasarkan telah
memenuhi persyaratan standar yang dibutuhkan. Biasanya masing-masing negara
mengembangkan prosedur monitoring, pengujian maupun pemeriksaaan yang dapat
menjamin bahwa produk sesuai standar yang diinginkan. Umumnya pembuktian
terhadap kesesuaian standar diwujudkan dalam bentuk sertifikasi.
Selain persyaratan yang bersifat wajib (regulasi teknis), beberapa negara
terkadang juga memiliki persyaratan pasar yang bersifat sukarela (voluntary).
Beberapa persyaratan standar yang sifatnya sukarela adalah:
1. Marine Stewardship Council (MSC), fokus pada isu lingkungan seperti chain of
custody produk perikanan dan fisheries management. Dipersyaratkan oleh
beberapa importir dari Amerika Serikat, Jepang maupun Australia.
2. Aquaculture Certification Council (ACC), fokus pada isu praktek-praktek
budidaya perikanan yang baik mencakup aspek teknis, lingkungan dan sosial.
Importir dari Amerika Serikat merupakan pendukung utama standar ini.
3. International Standardisation Organisation (ISO), fokus pada isu kemanan
pangan (ISO 22000), lingkungan (ISO 14001) serta kualitas (ISO 9001). Standar
yang ditetapkan oleh skema ISO umumnya dipersyaratkan oleh masing-masing
importir di banyak negara.
4. British Retail Consortium (BRC), fokus pada keamanan pangan produk,
pengemasan sampai penyimpanan dan distribusi. Dipersyaratkan terutama oleh
importir Uni Eropa.
Meskipun bersifat sukarela, meningkatnya kepedulian konsumen di negara-
negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat dan Eropa terhadap konservasi habitat
kepiting sering kali secara halus memaksa eksportir untuk memiliki berbagai
sertifikasi tersebut. Sebagian besar konsumen tidak mau membeli kepiting Indonesia
jika cara penangkapannya merusak lingkungan. Bahkan terdapat wacana mulai tahun
2012, produk kepiting Indonesia baru diperbolehkan masuk ke pasar Amerika Serikat
jika eksportir memiliki sertifikat Marine Stewardship Council (MSC).
Saat ini komoditi kepiting Indonesia yang diekspor sudah merupakan hasil
produksi yang tempat penangkapannya (laut) sudah diterapkan konservasi habitatnya
(KKP, 2011). Pemerintah melakukan konservasi untuk mengatasi permasalahan
penurunan produksi kepiting di laut. Pemberian label pada produk kepiting yang
berasal dari pengelolaan ramah lingkungan akan menyebabkan kepiting yang
diperoleh sesuai standar internasional yang diminta negara importir utama.
Kondisi penerapan ecolabeling nantinya akan menguntungkan para nelayan
dan pembudidaya ikan, karena pendapatan nelayan akan meningkat. Hal ini
disebabkan para nelayan akan menjual kepiting dengan ukuran yang besar saja.
Nelayan dapat menjaga volume kepiting yang akan diproduksi dalam jangka waktu
yang panjang.