efektivitas pelaksanaan mediasi dalam perkara...
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PERKARA
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOGOR DAN
PENGADILAN AGAMA CIBINONG
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Fahlil Umam
1112044100033
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/ 2019 M
v
ABSTRAK
FAHLIL UMAM, NIM: 1112044100033, Efektivitas Pelaksanaan Mediasi
dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama
Cibinong. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M.
Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang
terjadi antara dua pihak atau lebih dengan melibatkan pihak ketiga sebagai
mediator dengan tujuan membantu tercapainya perdamaian antara yang
bersengketa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; proses dan penerapan
mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan
Agama Cibinong, tingkat keberhasilan mediasi, faktor penghambat dan
pendukung mediasi. Metode yang digunakan adalah Mixed Method, dengan
cara menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif dalam satu penelitian.
Sumber data yang didapat yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara,
data sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku-buku, dan dokumen-
dokumen resmi. Dan tehnik pengumpulan data dengan cara dokumentasi dan
interview.
Kesimpulan penelitian ini adalah pelaksanaan mediasi di Pengadilan
Agama Bogor dan Pengadilan Agama Cibinong sudah dilakukan sesuai dengan
PERMA No.1 Tahun 2016, namun para pihak yang bersengketa tidak memiliki
itikad baik untuk melanjutkan pernikahan. Tingkat keberhasilan mediasi dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama
Cibinong masih belum menunjukan hasil yang maksimal dalam menekan angka
perceraian. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah: a)
terbatasnya keterampilan hakim mediator dalam melaksanakan mediasi, b) para
pihak yang berperkara bertahan dari sudut pandangnya masing-masing.
Kata Kunci : Efektivitas Mediasi, Perceraian, Pengadilan Agama
Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1977 s.d Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
memberikan nikmat, rahmat, taufik, hidayah dan ridha-Nya kepada penulis tanpa ada
batasan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat seta Salam
mengalir deras kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, mahluk yang paling sempurna
sebagai suri tauladan umatnya, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang
senantiasa selalu patuh dan ta’at dalam menjalankan perintah Allah SWT dan Rosul-
nya.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah banyak
membantu penulis baik dari segi moral maupun materil, oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanudin Lubis, Lc., M.A. Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh jajaran pengurus Rektorat yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S-1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Prodi Studi Hukum Keluarga yang selalu
memberikan pelayanan terbaik dan motivasi-motivasi kepada penulis.
4. Indra Rahmatullah, S.H.I., M. H. Selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga yang selalu memberikan pelayanan prima.
5. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Selaku Dosen Pembimbing
skripsi, yang telah meluangkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala
keikhlasannya. Semoga apa yang telah beliau berikan dapat bermanfaat bagi
penulis dan dibahas dengan kebaikan yang berlimpah.
vii
6. Dr. JM Muslimin, M.A., Ph.D. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang tak
pernah mengenal lelah dalam mengarahkan penulis.
7. Selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan, masukan, kritik dan
saran kepada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.
8. Seluruh Staf pengadilan Agama Bogor dan Cibinong yang telah mau
memberiakan data dan dokumentasi untuk terpenuhinya kesempurnaan
penelitian dalam skripsi ini.
9. Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta staf Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memfasilitasi penulis dalam
mencari referensi penelitian skripsi ini.
10. Seluruh bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Hukum Keluarga
yang dengan ikhlas dan sabar memberikan ilmunya kepada penulis, semoga
bermanfaat. Aamiin
11. Kepada Ayahanda Aban Sobana Hamid dan Ibunda Tati Sugesti yang tak
pernah henti meneteskan air matanya di setiap sujudnya dan senantiasa
memberikan Ziyadah doa untuk kesuksesan putranya dalam menuntut ilmu
khususnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dimana pun berada.
12. Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Sindangsari Kersamanah Garut dan
Pondok Pesantren Fajrussalam Babakan Madang Bogor beserta para staf
pengajarnya, yang selalu memberikan dukungan, motivasi, serta doa harapan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
13. Kelurga Besar Ma’had Al-Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Khusunya
Risris, Randi, Juadir, Irfan, Imron, Abdullah Maulani, Qomari dkk,
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Forum Mahasiswa Bidik
Misi yang memberikan dukungan baik moril maupun materiil yang sangat
mensupport atas terselesaikannya masa studi di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ini.
14. Teman-teman seperjuangan Pengadilan Agama (PA) dan Administrasi
Keperdataan Islam (AKI) angkatan 2012 terkhusus Muchlisin Anam (Terbaik),
viii
Ali Firdaus (Keren), Wahid Hasyim, Sayyid Rifai, Faisal Kamal, Asep
Awaludin, Sodikin Febrianto, Reinaldi Dzulkarnain, Nabil Asrof, Hilmi, Ziyad,
Rahmat Muhajir, Nanik, April, Malik, Luthfan, Ilham H, Ilham F, Rizky, Fauzi
Nabawi, Akrom, Rival, Martin, Sufyan, Putri, Nisa, Alfida, Nafis, Syarifah,
Deza, Aisyah, Abdul Qodir, Dani, Latif, Roni, Ridwan, Ayi, Atmam Huda,
Septian, Faisal Amin, Fadli, Iffah, Didin, Faiq, Rakha, Shaul haq, Adlul (Alm)
Ulfah, Husnul dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu tapi tidak
mengurangi rasa terimakasih atas semangat dan bantuannya.
15. Teman-teman Azka dan Annizhamy yang selalu memberi masukan Positif baik
moril maupun materiil yang sangat mensupport atas terselesaikannya skripsi
ini. Jazzakumullah khoirul jaza
16. Keluarga Besar Komunitas Musik Mahasiswa Ruang Inspirasi Atas
Kegelisahan (KMM RIAK) Syarif Hidayatullah Jakarta Khususnya Progeni 11
Adam Daud, Faqih Maulana, Imam Zamahsyari, Hendrik Aditya, Habibur
Rahman, Jakfar, Nifo, Muhtari, Wirda, Icha, Mawaddah, Mega dan Yuni yang
bersama-sama berjuang untuk menyelesaikan masa studi dan terselesaikannya
skripsi ini.
Semoga amal dan kebaikan mereka semua dibalas oleh Allah SWT dan penulis
berharap semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat yang besar bagi penulis
maupun bagi pembaca.
Ciputat, 10 Mei2019
Fahlil Umam
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………….... ii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………………. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ………………………………………………… iv
ABSTRAK ………………………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………….... 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………... 6
C. Tujuan dan Manfaat Masalah ………………………………. 7
D. Kerangka Teori ……………………………………………… 8
E. Metode Penelitian ………………………………………...... 10
F. Review Studi Terdahulu …………………………………… 13
G. Sistematika Penulisan ……………………………………… 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI
A. Pengertian Mediasi ……………………………………….... 16
B. Dasar Hukum Mediasi ……………………………………... 18
C. Prinsip-prinsip Hukum Mediasi ……………………………. 21
D. Tahapan Pramediasi dan Prosesnya ....……………………. 25
E. Tujuan dan Manfaat Mediasi ………………………………. 29
F. Tinjaun Tentang Mediator …………………………………. 33
BAB III PROFIL MASYARAKAT, PENGADILAN AGAMA BOGOR DAN
PENGADILAN AGAMA CIBINONG
A. Sejarah Singkat Kota Bogor dan Kabupaten Bogor ……… 38
x
B. Letak Geografis ……………………………………………. 43
C. Keadaan Demografis ………………………………………. 45
D. Profil Pengadilan Agama Bogor dan Cibinong………….…. 47
BAB IV PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA BOGOR
DAN PENGADILAN AGAMA CIBINONG
A. Data Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Bogor dan
Pengadilan Agama Cibinong ………………………………. 53
B. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan
Agama Cibinong …………………………………………… 56
C. Hambatan dan Tantangan dalam Pelaksanaan Mediasi ……. 58
D. Analisis Penulis …………………………………………. 65
BAB V PENUTUPAN
A. Kesimpulan ………………………………………………… 70
B. Saran-saran ……………………………………………….... 71
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Lembar Bimbingan Skripsi
2. Surat Permohonan data Wawancara
3. Surat Keterangan
4. Pedoman Wawancara
5. Data-data
6. Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filosofi dasar perkawinan adalah upaya menciptakan kehidupan suami isteri
yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina rumah tangga sakinah,
mawadah, dan rahmah. Setiap suami isteri tentu saja mendambakan kehidupan rumah
tangga langgeng sepanjang hayat dikandung badan1
Tujuan perkawinan berdasarkan penjelasan Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan Pasal 1 adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal (menapatkan keturunan) berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa.
Hakim memegang peran yang sangat penting dalam system pengadilan.
Hakim tidak hanya sebagai penegak hukum dan keadilan, tetapi hakim juga sebagai
pejabat negara yang mempunyai tugas mulia dalam rangka mewujudkan negara
hukum dan selalu berupaya memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat melalui putusan hukumnya di Pengadilan2
Tahapan pertama yang harus dilakukan oleh hakim dalam menyidangkan
suatu perkara yang diajukan kepadanya adalah mengadakan perdamaian pada pihak-
pihak yang bersengketa.
Dalam kenyataan menunjukan bahwa hubungan suami istri tidak selamanya
dapat dipelihara secara harmonis, kadang-kadang suami isteri itu gagal dalam
mendirikan rumah tangganya karena menemui beberapa masalah yang tidak dapat
diatasi. Yang pada akhirnya upaya mengakhirkan kemelut berkepanjangan tersebut
diselesaikan melalui alternatif talak (perceraian).
1 Baharudin Ahmad, Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis Metodologis, (Jakarta:
Gaung Persada Press) h.4 2 Jaenal Aripin, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasio Hukum di Indonesia, (Jakarta;
Kencana) h.464
2
Islam dengan tegas menyatakan dalam Al-Quran bahwa perceraian itu adalah
suatu perbuatan halal, tetapi paling dibenci oleh Allah. Nmun disisi lain, perkawinan
diorientasikan sebagai komitmen selamanya dan kekal. Tapi, faktanya, perceraian itu
menjadi fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia. Meskipun demikian,
terkadang muncul keadaan-keadaan yang menyebabkan cita-cita suci perkawinan
gagal terwujud.3
Oleh karena itu, Allah memberikan solusi yang sangat bijak agar menunjuk
seorang hakam atau mediator yaitu juru penengah. Keberadaan mediator dalam kasus
perkawinan merupakan penjabaran dari perintah Al-Quran. Dalam Al-Quran
disebutkan bahwa jika ada permasalahan dalam perkawinan, maka diharuskan
diangkat seorang hakam yang akan menjadi mediator. Dengan demikian, keberadaan
hakam menjadi penting adanya.
Dalam Hukum Islam secara terminologi, perdamaian disebut dengan istilah
islah atau sulh yang artinya adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut
syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan
antara dua belah pihak yang saling bersengketa4
Upaya perdamaian dalam Pengadilan Agama disebut Mediasi. Mediasi adalah
suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih memulai perundingan
atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan
memutus5. Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan
procedural dan substansial. Pendekatan mufakat dalam proses mediasi mengandung
pengertian bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi mengandung
pengertian bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus
merupakan hasil dari kesepakatan atau persetujuan para pihak.
3 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2013), h. 228 4 As Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr,1977), h.305 5 Takbir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalaui Pendekatan Mufakat, (Rajawali
Press: Jakarta,2011), h.12
3
Dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan
pengadilan dianggap sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berperan sebagi
katup penekan atas segala pelanggaran dan ketertiban masyarakat. Peradilan dapat
dimaknai juga sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan (to enforce
the truth justice)6
Meskipun demikian, kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini
adalah ketidakefektivan dan ketidakefisienan dalam sistem penelitian. Penyelesaian
perkara membutuhkan waktu yang lama. Hal ini menjadi sesuatu yang bertolak
belakang dengan apa yang termaktub dalam Undangundang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan salah satu asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman pasal 2 ayat (4) yaitu asa sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 130 HIR ayat (1) berbunyi: “jika pada hari yang ditentukan itu kedua
belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya
akan mendamaikan mereka”. Upaya perdamaian yang dimaksud oleh pasal 130 HIR
ayat (1) bersifat imperatif.7 Artinya hakim berkewajiban mendamaikan pihak-pihak
yang bersengketa sebelum dimulai persidangan. Sang hakim berusaha mendamaikan
dengan cara-cara yang baik agar ada titik temu sehingga tidak perlu ada proses
persidangan yang lama dan melelahkan.
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam pasal 2
Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama dinyatakan:
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang ini, yaitu: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infak, shadaqah dan ekonomi syariah”.
6 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet VII, (Jakarta: Sinar Grafika,2008) h. 229 7 R Tresna, Komentar HIR cet XVIII. (Jakarta: Paradya Paramita.2005) h.100
4
Dalam penjelasan Undang-undang tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
warga negara yang beragama Islam dan tunduk kepada hukum Islam, yang
mempunyai masalah perkawinan dan perceraian harus diselesaikan melalui
pengadilan agama. Pengadilan Agama Bogor yang memiliki kompetensi relative di
Kota madya lebih kecil wilayah hukumnya daripada kabupaten Bogor akan tetapi
angka perceraianya relatif tinggi. Pengadilan Agama Bogor sebagai badan peradilan
pelaksana kekuasaan kehakiman, tentunya memiliki kewenangan untuk menerima,
memeriksa, dan memutus suatu perkara. Selanjutnya, hakim sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman, harus selalu mengupayakan perdamaian bagi pihak yang
berperkara, yang biasa disebut mediasi, yang berdasarkan pada Pasal 130 HIR/154
RBg, SEMA Nomor 1 tahun 2002 yang diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, sebagaimana telah direvisi dengan PERMA No.1
tahun 2008, dan telah diubah terakhir dengan PERMA No.1 Tahun 2016. PERMA
inilah yang dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan mediasi.
Mediasi sebagai salah satu metode penyelesaian konflik pada lembaga
peradilan merupakan salah satu cara dalam menekan angka perceraian. Mediasi
tumbuh dan berkembang sejalan dengan tumbuhnya keinginan manusia dalam
menyelesaikan sengketa secar cepat, dan memuaskan bagi kedua belah pihak dan
juga berkeadilan. Dalam pelaksanaan mediasi di Peradilan agama dan negeri, jumlah
persentase angka keberhasilan mesiasi relatif masih kecil, seperti halnya di Peradilan
Agama Bogor, pada tahun 2017 angka keberhasilan mediasi masih minim begitu pula
di Pengadilan Agama Cibinong, pada tahun 2017 angka keberhasilan mediasi masih
relatif rendah yakni 26 % dari jumlah perkara perceraianyang terdaftar. Total dari
1712 perkara perceraian, yang berhasil dimediasi hamya 449 perkara.8 Begitu pula di
Pengadilan Agama Cibinong, pada tahun 2017 angka keberhasilan mediasi masih
8 SIPP Peradilan Tinggi Agama Jawa Barat
5
relatif minim yakni 30,7% dari jumlah perkara yang terdaftar. Total dari 5.230
perkara yang berhasil dimediasi hanya 1.604 perkara9
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa upaya yang
dilakukan oleh hakim merupakan suatu keutamaan atau kewajiban bagi hakim dan
mediasi tersebut harus dilakukan sungguh-sungguh.
Sebagai upaya untuk mencapai perdamaian yang diharapkan, dibutuhkan
kesungguhan hakim dalam mengupayakan imbauan perdamaian. Hakim merupakan
perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di tengah masyarakat dan mampu
menyelami perasaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dengan
demikian, hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan. Disamping itu, sifat-sifat yang jahat maupun sifat-sifat yang baik dari para
pihak yang berperkara wajib diperhatikan dalam mempertimbangkan keputusan yang
akan dijatuhkan. Hakim juga dapat memberikan resep penyelesaiannya yang
melegakan kedua belah pihak, yang dapat diupayakan dengan penguasaan bidang
materi hukum Islam dan peraturan perundangan yang berlaku.10
Hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara pada pengadilan
terbatas pada anjuran nasihat, penjelasan dan memberi bantuan dalam perumusan
sepanjang itu diminta oleh kedua belah pihak. Sebab mediasi ditinjau dari sudut
hukum Islam maupun hukum perdata barat (KUH Perdata) termasuk bidang hukum
perjanjian diantara kedua belah pihak yang berperkara.11
Akhir dari proses mediasi menghasilkan dua kemungkinan, yaitu para pihak
mencapai kesepakatan perdamaian atau gagal mencapai kesepakatan perdamaian.
Oleh karena itu, dalam proses mediasi diperlukan seorang mediator yang benar-benar
propesional. Kecendrungan ini tampak dari adanya ketentuan pada Nomor 1 Tahun
9 SIPP Peradilan Tinggi Agama Jawa Barat 10 Masburiyah & Bakhtiar Hasan, Upaya Islah dalam Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Kota Jambi, Jurnal Media Akademika, Vol.26, No.1, Januari 2011, Fakultas Syariah IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, h.4 11 Sulaikin Lubis, Wismar A. Marzuki dan Germala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h.69
6
2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan, bahwa pada asasnya setiap orang yang
menjalankan fungsi mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh
setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah
memperoleh akreditas dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.12
Peranan hakim mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sangatlah penting,
karena peranannya terbatas sampai anjuran, nasehat, penjelasan, memberi bantuan
dalam perumusan sepanjang itu diminta kedia belah pihak, hasil akhir harus benar-
benar hasil kesepakatan dari kedua belah pihak. Perdamaian dalam perkara perceraian
mempunyai nilai keluhuran tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian anytara suami
dan istri dalam perkara perceraian, bukan hanya keutuhan ikatan perkawinan saja
yang dapat diselamatkan, sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan
pembinaan anak-anak secara normal.
Meskipun, secara presentase tingkat keberhasilan mediasi masih kecil, tapi
ampu menunjukan bahwa mediasi dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa.
Walaupun terdapat perubahan-perubahan aturan tentang mediasi, diharapkan dapat
membantu meningkatkan produktifitas para hakim mediator dalam meyelesaikan
perkara dengan mediasi. Namun, berdasarkan fakta dilapangan, mediasi belum bisa
menjadi sebuah alternatif penyelesaian sengketa yang tingkat keberhasilannya tinngi.
Hal ini bisa dibuktikan dari lebih banyaknya perkara yang gagal dimediasi, dibanding
dengan keberhasilanya, terutama dalam perkara perceraian. Hal inilah yang menjadi
salah satu pendorong penulis untuk tertarik meneliti dan menganalisis perbandingan
terhadap efektifitas peleksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama Bogor dan Pengadilan Agama Cibinong tahun 2017.
B. Rumusan Masalah
12 Takbir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalai Pendekatan Mufakat, (Jakarta;
Rajawali Press,2011), h.162
7
Yang menjadi permasalahan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana angka
perceraian tinggi padahal proses mediasi tetap dijalani di Pengadilan Agama Bogor
dan Pengadilan Agama Cibinong.
Untuk menjawab permasalahan pokok diatas, penulis mengajukan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama Cibinong?
2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat proses pelaksanaan mediasi
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan
Agama Cibinong?
3. Bagaimana upaya serta strategi Pengadilan Agama Bogor dan Cibinong
dalam mendamaikan pasangan yang bersengketa?
4. Bagaimana perbandingan efektivitas proses pelaksanaan mediasi dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama
Cibinong?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana angka perceraian tinggi
padahal proses mediasi tetap dijalani di Pengadilan Agama Bogor maupun
Pengadilan Agama Cibinong diantaranya adalah, sebagai berikut:
a. Proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama Cibinong.
b. Faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat proses
pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama Bogor dan Pengadilan Agama Cibinong.
c. Upaya serta strategi Pengadilan Agama Bogor dan Cibinong
dalam mendamaikan pasangan yang bersengketa.
8
d. Perbandingan efektifitas proses pelaksanaan mediasi dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan
Agama Cibinong.
2. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak,
terutama bagi pasangan suami isteri yang ingin melakukan perceraian agar
mereka benar-bener berpikir dan mempertimbangkan secara matang sebelum
mengambil keputusan untuk bercerai dan bagi para mediator untuk lebih
meningkatkan kinerja mediasi di Pengadilan baik secara teoritis maupun
praktis.
D. Kerangka Teori
Di Indonesia, Pancasila sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakatnya,
telah mengisyaratkan banwa penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk
mufakat lebih diutamakan, seperti tesirat juga dalam Undang-Undang Dasar 1945.13
Kekuasaan Negara Indonesia sebagai negara hukum secara konstitutional telah
mengakui adanya kekuasaan kehakiman atau peradilan yang bebas. Adanya peradialn
yang bebas ini adalah hal yang mendasar dan sanagt penting dalam rangka untuk
menjamin atau memelihara sistem tertib hukum, tugas fungsi kelembagaan negara
dan menjamin perlindungan hakhak dasar atau hak asasi termasuk dalam hal
perlindungan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian sengketa atas pelenggaran
haknya oleh pihak lain.
Kewenagan pengadilan agama dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
(yudicial power) keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
dengan diperbaharui Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 serta perubahan kedua
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
13 Rahmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (JakartaTimur:
SinarGraffika.2012) h.2
9
Di dalam perkara perceraian, hakim bertugas memriksa dari awal proses
persidangan hingga jatuhnya putusan. Berdasarkan HIR Pasal 130 ayat (1), hakim
berkewajiban mendamaikan para pihak yang bersengketa. Apabila para pihak yang
bersengketa tetap pada pendiriannya, hakim menunda persidangan dan para pihak
yang bersengketa dipersilahkan untuk menunjuk mediator.
Istilah mediasi merupakan konsep baru yang dikenal dalam tradisi Islam,
meskipun secara praktik sebenernya istilah mediasi itu telah lama dikenal dalam
praktik hukum Islam melalui konsep tahkim. Yang digunakan sebagi istilah bagi
seseorang atau kelompok yang ditunjuk untuk mendamaikan sengketa yang terjadi
diantara dua belah pihak atau lebih. Tahkim dimaksudkan sebagi uoaya untuk
menyelesaikan sengketa para pihak, dengan memberi kebebasan untuk memilih
seorang hakam (Mediator/ Juru damai) sebagai penengah atau sebagai orang yang
dianggap netral yang mampu mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.14
Adapun kewajiban untuk mendamaikan, dibebeankan kepada hakim mediator.
Hakim mediator sebagai pihak ketiga yang berposisi netral, diharapkan dapat
mendamaikan para pihak yang berperkara.
Dalam hukum Islam, perdamaian disebut denagn al-Sulh.15 Islam
menganjurkan para pihak untuk menyelesaikan sengketa secara damai, baik melalui
jalur pengadilan atau luar pengadilan. Sulh memberikan kesempatan bagi para pihak
yang untuk memikirkan jalan terbaik dalam pemecahan suatu masalah. Konsep Sulh
juga dianjukan nabi Muhammad SAW sebagai sarana untuk orang yang bersengketa
dalam upaya mendapatkan keadilan dengan cara yang damai, dan tidak bersifat
memenangkan salah satu, akan tetapi memberikan keadilan bagi para pihak yang
bersengketa.16
14 Oyo Sunaryo Mukhlis, Pranata Sosial Hukum Islam, Bandung: Refika Aditama, 2015,
h.232 15 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h.201 16 Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, cet I, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009 h.159-160
10
Pengadilan agama sebagai badan pelaksana Peradilan Islam di Indonesia,
tentunya menjadikan konsep sulh sebagai dasar hukum dalam proses mendamaikan
pihak yang berperkara. Adapun para pengadilan agama istilah perdamaian lebih
dikenal dengan mediasi yang berarti penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan para pihak denagn dibantu oleh mediator. Tanpa mengurangi arti
perdamaian dalam segala bidang persengketaan, makna perdamaian dalam sengketa
perceraian mempunyai nilai keluhuran tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian
antara suami isteri dalam sengketa perceraian, maka keutuhan rumah tangga dapat
diselamatkan, juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.17
Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan atau
kemajuan/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu tidak terlepas dari
penganalisaian terhadap karakteristik dua variable terkait yaitu: karakteristik/dimensi
dari objek sasaran yang dipergunakan. 18Ketika berbicara sejauh mana efektivitas
hukum maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu
ditaati atau tidak ditaati. Jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target
yang mendai sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang
bersangkutan adalah efektif. Derajat dari efektivitas hukum ditentukan oleh taraf
kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya, sehingga
dikenal asumsi bahwa taraf, kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu
berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda
hukum tersebut mencapai tujuan hukim yaitu berusaha untuk mempertahankan dan
melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.19
E. Metode Penelitian
17 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet.ke-
5, Jakarta Kencana.2008, h.152 18 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya 2013), h.67 19 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, (Bandung: Remaja Karya,1985)
h.7
11
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk meyusun skripsi ini,
maka penulis menggunakan beberapa metode, antara lain:
1. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
memakai pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang data dan hasil
penelitiannya berupa deskripsi kata, skema, dan gamabar.20 Pendekatan
kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan
pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
manusia21. Dilihat dari sudut penerapannya, penelitian ini termasuk kedalam
penelitian sosiologis dan empiris, yaitu penelitian terhadap efektifitas huku.
Pada penelitian ini yang diteliti awalnya adalah data sekunder, untuk
kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap dan primer di lapangan atau
terhadap masyarakat.22
2. Sumber Data
Sumber data adalah tempat dimana dapat diketemukannya data-data
penelitian.23 Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan skunder.
a. Data primer
Merupakan data utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian
terdiri dari:
1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
2) Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
3) Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R. Bg)
4) PERMA Nomor 1 tahun 2008 dan tahun 2016
20 Saharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta.2006), h. 45 21 Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktik Pembuatan Proposal dan Laporan
penelitian, (Malang: UMM Press, 2004), h.14 22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum cet.3 (Jakarta:UI Press,1986) h.51- 23 M Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Graffindo Persada.2007) h.
113-114
12
b. Data sekunder
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, misalnya Rancangan Undang-undang, hasil penelitian hasil
karya ilmiah dari kalangan hukum, dll. Data sekunder adalah data yang
diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.
3. Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Wawancara (Interview) atau wawancara yakni tanya jawab
lisan antara dua oarang atau lebih secara langsung antara
pewawancara denagn pihak-pihak yang ada kaitanya dengan
judul skripsi ini. Wawancara dilakukan penulis dengan Hakim
yang ditunjuk sebagai mediator di Pengadilan Agama Bogor
dan Pengadilan Agama Cibinong yang mampu mengkaji,
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalanya
proses mediasi.
b. Dokumentasi yaitu proses pengumpulan data-data dari arsip
atau berkas-berkas yang diperlukan untuk penelitian.
Kemudian diinventarisir untuk dipelajari dan dikaji guna
keperluan penelitian.
4. Teknis Analisis Data
Metode data dilakukan dengan Cara mendeskripsikan data-data
tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan mangunakan content
analysis. Kemudian diinterpretasikan denagn menggunakan bahasa penulis
sendiri, dengan demikiankan nampak rician jawaban atas pokok permasalahan
yang diteliti.
13
Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.”
F. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh
mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang
akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa skripsi
tersebut ada perbedaan pembahasan yang cukup signifikan. Sehingga dalam
penulisan skripsi ini intinya tidak ada timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah
ini akan penulis kemukakan 3 buah skripsi yang pernah ditulis oleh mereka,
diantaranya sebagai berikut:
Pertama, skripsi dengan judul “Aplikasi Perma No.1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi Dalam Putusan Perkara Perdata Pengadilan Agama Jakarta
Selatan” (Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan) Penulis: Nusra Arini 24/P.H/
PMH/2009. Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah skripsi ini
lebih menekankan pada bagaimana aplikasi atau peranan PERMA No,1 Tahun 2008
tentang prosedur mediasi dalam perkara perdata, sedangkan judul yang penulis angkat
membahas tentang keefektifan mediasi dalam proses perceraian dengan
pengaplikasian PERMA No. 1 tahun 2016.
Kedua, skripsi dengan judul “Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah
Agung No.1 tahun 2016 tentang Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Purwakarta tahun 2016” Penulis: Acep Iwan/201725. Perbedaan skripsi ini
dengan judul yang penulis angkat ialah skripsi ini menekankan keefektifan mediasi di
24 Nusra Arini, Aplikasi PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Dalam
Putusan Perkara Perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009 25 Acep Iwan, Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016 tentang
Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Purwakarta tahun 2016, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2017
14
satu peradilan saja yaitu di Peradilan Agama saja, berbeda dengan yang penulis bahas
yaitu dengan melakukan perbandingan dengan dua peradilan yaitu Peradilan Agama
yang terletak di Kota dan Peradilan Agama yang terletak di Kabupaten.
Ketiga, skripsi dengan judul “Efektifitas Mediasi Melalui Badan Penasihat
Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Dalam Menekan Angka Perceraian
(Studi Pada BP4 Pusat Tahun 2009)” Penulis: Tubagus Chaerul Laily / 201226.
Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat adalah membahas efektifitas
BP4 dalam memediasikan sengketa yang terjadi setelah perkawinan dilangsungkan,
berbeda dengan yang penulis bahas lebih menekankan kepada keefektifan mediasi di
dalam perkara perceraian di Peradilan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut:
Bab pertama pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, kerangka
teori, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi kajian teori tentang mediasi yang mencakup pengertian
mediasi dan dasar hukumnya, serta prinsip-prinsip hukum mediasi, prosedur, tahapan
putusan serta tujuan dan manfaat mediasi
Bab ketiga berisi tentang profil masyarakat mencakup sejarah singkat, letak
geografis dan keadaan demografisnya serta profil Pengadilan Agamanya
Bab keempat merupakan isi skripsi yang berisi tentang data yang ditangani
yang meliputi data perkara perceraian di Peradilan Agama dan Peradilan Negeri
26 Tubagus Chaerul Laily, Efektifitas Mediasi Melalaui Badan Penasihat Pembinaan dan
Pelestarian Perkawinan (BP4) Dalam Menekan Angka Perceraian (Studi Pada BP4 Pusat Tahun
2009), Fahultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012
15
Bogor beserta prosesnya, tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan mediasi,
pandangan hakim mediasi terhadap efektivitas mediasi serta analisi penulis mengenai
pengaruh mediasi
Bab kelima sebagai penutup yang membahas dua hal yaitu kesimpulan dari
hasil penelitian dan saran-saran.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI
A. Pengertian Mediasi
Dalam bahasa Inggris mediasi disebut dengan mediation yang berarti
penyelesaian sengketa dengan menengahi1
Penyelesaian sengketa dengen menengahi menunjukan pada peran yang
ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya untuk
menengahi dan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak yang
bersengkata2
Mohammad Anwar mendefinisikan perdamaian (sulhu) menurut lughot ialah
memutuskan pertentangan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu perjanjian untuk
mendamaikan orang-orang yang berselisih.3
Sedangkan menurut Ranuhandoko dalam bukunya “Terminologi Hukum”
mediasi diartikan dengan pihak ketiga yang ikut campur dalam perkara untuk mencapai
penyelesaian.4
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses
pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu penyelesaian sebagai
penesehat.5
Menurut Rahmadi Usman, mediasi adalah Cara penyelesaian sengketa melalaui
perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat nertal (non-intervensi) dan
tidak berpihak (imparsial) kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut
“mediator” atau “penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang
1 Sujadi F.X., Penunjang Keberhasilan Proses Menejement, (Jakarta CV Masagung, 1990), cet
3, h.36 2 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, (Jakarta Kencana Prenada Media Grup, 2009), h.2 3 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta; Rineka Cipta, 2001), cet. 2, h. 487
4 I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.399 5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, 1998), h.569
17
bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai keyenangan
untuk mengambil keputusan. Dengan perkataan lain, mediator disini hanya bertindak
sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian
masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya Akan dituangkan
sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator,
tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.6
Kata perdamaian atau ishlah merupakan istilah denotatif yang sangat umum,
dan istilah ini bias berkonotasi perdamaian dalam lingkup keharta bendaan, perdamaian
dalam lingkup khusumat dan permusuhan, perdamaian dalam urusan rumah tangga,
perdamaian antar sesama Muslim, dan sebagainya.7
Dalam perdamaian perlu adanya timbal balik dan pengorbanan dari pihak-pihak
yang berselisih dan bersengketa, atau dengan kata lain pihak-pihak yang berperkara
harus menyerahkan kepada pihak yang lebih dipercayakan untuk menyelesaikan
perkara yang sedang diperselisihkan oleh keduanya agar permaslahannya dapat
diselesaikan secara damai dan tidak ada permusuhan diantara keduanya.
Dengan demikian perdamaian adalah merupakan putusan berdasarkan
kesadaran bersama dari pihak-pihak yang berperkara, sehingga tidak ada kata menang
ataupun kalah, semuanya sama-sama baik, kalah maupun menang.8
Kemudian dalam pasal 3 PERMA No.1 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa
setiap hakim, mediator, para pihak dan/ atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi.9
Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum
pembacaan gugatan dari penggugat, hakim wajib memerintahkan para pihak untuk
6 Rahmadi Usman, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PTAditya
Bakri,2003), h.82 7 Hilmi Karim, Fikih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), cet.1, h.49 8 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1993), cet.2, h.47 9 Lihat PERMA No.1 Tahun 2016 Tentang Pedoman Mediasi di Pengadilan
18
lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemerikaan
perkara.
Apabila perdamaian di muka sidang pengadilan dapat dicapai, maka acara
berakhir dan majlis hakim memuatkan akta perdamaian (certificate of reconciliation)
antara pihak-pihak berperkara yang memuat isi perdamaian. Dan majlis hakim
memerintahkan para pihak memetuhi dan memenuhi isi perdamaian tersebut. Akta
perdamaian mempunyai kekuatan berlaku (force of execution) dan dijalankan
samadengan putusan (Pasal 130 ayat (2) HIR ayat (2) RBg).10
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik menjadi beberapa pengertian
mediasi adalah sebagai berikut:
1. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh
pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu
para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara
sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.
2. Mediasi adalah suatu proses dimana pihak dengan bantuan seseorang
atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan
yang disengketakan untuk mencari anternatif dan mencapai
penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.
B. Landasan Hukum Mediasi
Dalam kitab suci Al Quran ayat yang berhubungan dengan perdamaian
(mediasi) antara lain dalam QS. An Nisa’ (4): 35
ن أهله بعثوا ٱوإن خفتم شقاق بينهما ف حا و ۦحكما م ن أهلها إن يريدا إصل لل ٱوفق ي حكما م
كان عليما خبيرا لل ٱبينهما إن
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya.
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan hakam dari
keluarga perempuan, jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
10 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h.94
19
perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada suami-istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (QS. An Nisa’
4:35)
Dan Firman-Nya dalam QS. An Nisa’: 128
لحا ناح عليهما أن يصلحا بينهما ص خافت من بعلها نشوزا أو إعراضا فل ج مرأة ٱ وإن
لح ٱو وأحضرت لص ح ٱ لنفس ٱخير يراون خب ن بما تعمل كا لل ٱتتقوا فإن و وإن تحسنوا لش
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuzdan sikap tak acuh). Maka sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.An Nisa’:
128)11
Kemudian dasar hukum mediasi berdasarkan peraturan Perundang-undangan
seperti dalam pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yang berbunyi:
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan. Ketua majlis hakim diberi
wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang berperkara. Tawaran
perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan perkara sebelum majlis hakim
menjatuhkan putusan. Perdamaian ditawarkan bukan hanya pada sidang hari pertama,
melainkan juga pada setiap kali sidang. Hal ini sesuai dengan sifat perkara bahwa
inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak, karenanya pihak-pihak juga yang dapat
mengakhirinya secara damai melalui perantaraan majlis hakim dimuka sidang
pengadilan. Menurut ketentuan pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun
11 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Jakarta; Pustaka
Agung Harapan, 2006)
20
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak
menutup kemungkinan untuk upaya penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.12
Lalu mengenai pemeriksaan perkara perceraian di Pengadilan, ada pasal-pasal
lain yang mengatur maslah perdamaian ini, yaitu dalam pasal 56 ayat (2), 65, 83
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan pasal 31, 33, PP
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menganjurkan kepada
Hakim agar selalu berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara di dalam
persidangan, yaitu dalam pasal 143 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim mendamaikan kedua
belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
setiap sidang pemeriksaan.
Di dalam Hukum Perdata (BW) juga mengatur masalah perdamaian ini.
Diantaranya Pasal 1851 BW tentang perdamain mempunyai definisi sendiri mengenai
perdamaian itu. Perdamain yakni saatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak,
dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam
perkara ini juga dijelaskan tentang perdamaian pasal 1853 BW perdamaian yang
menjelaskan tentang kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan atau
pelanggaran, dapat diadakan perdamaian.
Dalam pasal 202 BW tentang pembubaran perkawinan juga menjelaskan
perdamaian yaitu “…Pengadilan Negeri harus memerintahkan kedua suami istri,
supaya bersama-sama dan dengan diri sendiri, mengahdap di muka seorang anggota
atau lebih dari Pengadilan, yang mana nanti akan mencoba mendamaikan kedua belah
pihak.” Dan juga pasal yang membahas hal yangsama yaitu pasal 203 BW tentang
12 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h.93
21
pembubaran perkawinan menjelaskan “… sementara itu Pengadilan leluasa, setelah
selesainya pemeriksaan, mempertangguhkan putusnya selama enam bulan, jika kiranya
nampak olehnya kemungkinan-kemungkinan akan masih tercapainya perdamaian.”
Begitu juga dalam Pasal 130 HIR/ 154 RBg13 disebutkan bahwa apabila pada
hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka Pengadilan dengan
peantaraan kedua sidang berusaha mendamaikan mereka.
1. Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta
perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk
melaksanakan perjanjian itu. Akta perdamaian tersebut berkekuatan dan
dapat dijalankan sebagaimana putusan yang biasa.
2. Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan
banding.
Dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2008 tentang prosedur
mediasi di Pengadilan pada pasal 1 butir 7 disebutkan bahwa: “Mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh mediator”
Dalam suatu sengketa anatara dua belah pihak atau beberapa pihak, maka dapat
diupayakan untuk perdamaian. Perdamaian dapat dilakukan di luar pengadilan dan di
dalam pengadilan.
C. Prinsip-prinsip Hukum Mediasi
Dalam berbagai literature ditemukan beberapa prinsip mediasi, baik untuk
menerapkan mediasi dalam proses persidangan ditingkat pertama, tingkat banding,
maupun kasasi. Mediasi memiliki prinsip-prinsip hukum dalam menangani kasus
melalui pengadilan (litigasi). Yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan mediasi bersifat kerahasiaan (confidentiality)
13 Muhammad Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), h.61
22
Kerahasian yang dimaksud adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi
dalam pertemuan yang diselenggarakanoleh mediator dari pihak-pihak yang
bersengketa tidak boleh disiarkan kepada public oleh masing-masing pihak.14
Karena proses mediasi ini bersifat rahasia maka, sang mediator harus
menjaga kerahasian dari isi mediasi tersebut, juga mediator tidak dapat
dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang Ia tangani
penyelesaiannya melalui mediasi. Begitu juga masing-masing pihak yang
bersengketa diharapkan saling menghormati kerahasiaan tiap-tiap isu dan
kepentingan masing-masing pihak.
b. Upaya damai melalui mediasi bersifat imperative
Imperatif artinya bersifat memerintah atau memeberi koamndo, bersifat
mengharuskan.15 Hal ini dapat ditarik dari ketentuan pasal 131 ayat (1) HIR,
yang menyatakan: “Jika hakim tidak dapat mendamaikan para pihak, maka
hasil ini mesti disebutkan dalam berita acara sidang, kelalaian menyebutkan hal
itu dalam berita acara mengakibatkan pemeriksaan perkara. Mengandung cacat
formal dan mengakibatkan pemeriksaan batal demi hukum, oleh karena itu
upaya perdamaian ini tidak boleh diabaikan dan dilalaikan.”16
Karena proses mediasi dalam penyelesaian perkara yang disengketakan
bersifat memaksa (compulsory), maka para pihak yang bersengketa
tidakmempunyai pilihan selain mesti dan wajib mentaati (comply) aturan
sebagai acuan bahwa setiap penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan,
wajib lebih dahulu ditempuh proses mediasi atau harus lebih dahulu
diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Oleh karena itu,
penyelesaian melalui proses litigasi tidak boleh di pengadilan, sebelum ada
14 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana.2009), h.28 15 Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001, h.427 16 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.239
23
pernyataan tertulis dari mediator yang menyatakan proses mediasi gagal
mencapai kesepakatan perdamaian.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 18 ayat (2) PERMA: Pengadilan baru
dibolehkan memeriksa perkara melalui proses hukum acara perdata biasa,
apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.
c. Proses mediasi bersifat teknis
Artinya mediasi merupakan prosedur yang wajib ditempuh oleh para
pihak yang bersengketa, dimana mediasi adalah prosedur awal dalam
penyelesaian sengketa di pengadilan. Dilakukan secara sistematis oleh pihak-
pihak berperkara dengan dibantu mediator.
d. Proses mediasi bersifat pemberdayaan
Berdasarkan pada asumsi bahwa setiap orang yang mau datang ke
mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah
mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
Penyelesaian sengketa harus muncul dari pemberdayaan masing-masing pihak,
karena hal ini akan lebih memungkinkan para pihak menerima solusinya.17
e. Proses mediasi bersifat sukarela atas dasar iktikad baik para pihak
Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi
tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan
mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan
berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian, pada prinsipnya
pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang
bersengketa. Mediasi tidak bias dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang
meginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada
kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai
17 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana.2009), h.30
24
acara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka
untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela
yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para
pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi
yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki
kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya
seorang hakim atau arbiter.18
f. Dalam proses mediasi bersifat netralitas
Artinya di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya memfasilitasi
prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa.
Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya
mediasi. Dan juga seorang mediator dalam mediasi, tidak bertindak layaknya
seorang hakim atau juri yang memutuskan salah satu benarnya salah satu pihak
atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan
penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.
g. Hasil mediasi bersifat yuridis kecuali telah menjadi keputusan hakim19
Yuridis artinya berdasarkan hukum setelah proses mediasi ditempuh,
para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukankesepakata para pihak.20
Jika dicapai kesepakatan perdamaian, para pihak dan mengajukan
kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Disetujui dari
segi ketentuan pasal 130 ayat (1) HIR pilihan ini yang paling efektif, karena
akta perdamaian itu langsung mengikat para pihak sekaligus pada akta itu
melekat kekuatan eksekutorial, karena berdasarkan pasal 130 HIR, akta
18 Susanti Adi Nugraha, Naskah Akademis: MEDIASI, (Jakarta: Peslitbang Hukum dan
Peradilan MA-RI, 2007), h.18 19 Rumusan hasil diskusi Hukum Hakim Peradialan Agama se-DKI Jakarta pada tanggal 23
Januari 2009 20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h.569
25
perdamaian disamakan kualitasnya sebagai putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dan tertutup upaya banding.
Oleh kare itu, untuk menghindari hambatan atas pelaksanaan
kesepakatan di belakang hari, sebaiknya dituangkan dalam bentuk akta
perdamaian. Para pihak menyampaikan hasil kesepakatan yang telah mereka
tandatangani kepada hakim, seraya meminta agar diterbitkan penetapan dalam
akta perdamaian.
D. Tahapan Pramediasi dan Prosesnya
1. Tahapan pramediasi
Ruang lingkup pramediasi di atur dalam PERMA Nomor 1 tahun 2016
Bab IV yang terdiri dari pasal 17-23, tahap ini merupakan proses tahap mediasi.
Pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh para pihak, Hakim
pemeriksa perkara mewajibakan para pihak untuk menempuh mediasi.
a. Kewajiban hakim pemeriksa perkara
Langakah pertama yang mesti dilakukan hakim pada tahap
pramediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 pasal 17 ayat (1)
adalah mewajibakan para pihak untuk menempuh mediasi, menjelaskan
prosedur mediasi kepada para pihak, penjelasan mengenai mediasi serta
menandatangani formulir penjelasan mediasi dan memuat penjelasan
tersebut dalam berita acara sidang.
b. Kewajiban kuasa hukum
Kemudian tahap pramediasi selanjutnya mengenai kewajiban
kuasa hukum yaitu membantu para pihak melaksanakan hak dan
kewajiban dalam proses mediasi meliputi menyampaikan penjelasan
hakim, mendorong para pihak berperan secara aktif, membantu para
pihak mengidentifikasi kebutuhan selama proses mediasi dan
merumuskan rencana dan usulan kesepakatan perdamaian dan
menjelaskan kepada pihak terkait kewajiban kuasa hukum.
26
c. Hak para pihak memilih mediator
Para pihak berhak memilih seorang atau lebih mediator yang
tercatat dalam daftar mediator di pengadilan.
d. Batas waktu pemilihan mediator
Hakim pemeriksa perkara mewajibakan para pihak pada hari itu
juga, atau paling lama dua hari berikutnya untuk berunding guna
memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan
penggunaan mediator nonhakim dan bukan pegawai pengadilan21
e. Pemanggilan para pihak
Mediator menentukan hari dan tanggal pertemuan mediasi,
mediator atas kuasa hakim pemeriksa perkara melalui panitera
melakukan pemanggilan para pihak dengan bantuan juru sita atau juru
sita pengganti untuk menghadiri pertemuan mediasi.
f. Akibat hukum pihak tidak beriktikad baik
Apabila penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam
proses mediasi, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim
pemeriksa perkara dan dikenai pula kewajiban pembayaran biaya
mediasi. Biaya mediasi sebagai penghukuman kepada penggugat dapat
diambil dari panjar biaya perkara atau pembayaran tersendiri oleh
penggugat dan diserahkan kepada tergugat melalui kepaniteraan
pengadilan. Kemudian apabila tergugat yang dinyatakan tidak
beriktikad baik dikenai kewajiban pembayaran biaya mediasi, sebelum
melanjutkan pemeriksaan, hakim pemeriksa perkara dalam persidangan
yang ditetapkan berikutnya wajib mengeluarkan penetapan yang
menyatakan tergugat tidak beriktikad baik dan menghukum tergugat
untuk membayar biaya mediasi yang wajib disebutkan dalam amar
putusan akhir. Dalam perkara perceraian di lingkungan peradilan
21 Ketua Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2006
27
agama, tergugat dihukum membayar biaya mediasi, sedangkan biaya
perkara dibebankan kepada penggugat. Dalam hal para pihak secara
bersama-sama dinyatakan tidak beriktikad baik oleh mediator, gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim pemeriksa perkara tanpa
penghukuman biaya mediasi.22
2. Tahapan proses mediasi
Tahapan proses mediasi diatur dalam Bab V yang terdiri pasal 24-32
dan subtansinya meliputi:
3. Penyerahan resume perkara dan jangka waktu proses mediasi
Dalam waktu paling lama 5 hari terhitung sejak penetapan yang memuat
perintah untuk melakukan mediasi dan menunjuk mediator dan proses mediasi
berlangsung paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari
terhitung sejak berakhir jangka waktu mediasi.
4. Ruang lingkup materi pertemuan mediasi
Materi perundingan dalam mediasi tidak terbatas pada posita dan
petitum gugatan, dalam hal mediasi mencapai kesepakatan atas permaslahan
tersebut, penggugat mengubah gugatan dengan memasukkan kesepakatan
tersebut di dalam gugatan
5. Keterlibatan ahli dan tokoh masyarakat
Atas persetujuan para pihak dan/ atau kuasa hukum, mediator dapat
menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau
tokoh adat. Kemudian para pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan
tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan/ atau
penilaian ahli dan/ atau tokoh masyarakat
6. Mediasi mencapai kesepakatan
22 Ketua Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 pasal 22-23 Tahun
2006
28
Jika mediasi berhasil mencapai kesepakatan, para pihak dengan bantuan
mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis yang tidak memuat
ketentuan yang bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/ atau
kesudilaan, merugikan pihak ketiga dan tidak dapat dilaksanakan dalam
kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
Dan kesepakatan perdamaian ini hanya dapat dilakukan apabila terdapat para
pihak secara tertulis yang memuat persetujuan atas kesepakatan yang dicapai
dan diajukan kepada hakim pemeriksa perkara agar dikuatkan dalam akta
perdamaian apabila para pihak tidak menghendaki dimuat dalam akta
perdamaian, kesepakatan perdamain wajid memuat pencabutan gugatan.
Hakim pemeriksa perkara telah menerima kesepakatan perdamaian dari
mediator atas keberhasilan mediasi segera mempelajari dan menelitinya dalam
waktu paling lama 2 hari.
Dalam hal kesepakatan perdamaian diminta dikuatkan dalam akta
perdamaian belum memenuhi ketentuan, hakim wajib mengembalikan
kesepakatan perdamaian kepada mediator dan para pihak disertai petunjuk.
Setelah mengadakan pertemuan dengan para pihak, mediator wajib mengajukan
kembali kesepakatan perdamaian yang telah diperbaiki kepada hakim paling
lama 7 hari terhitung sejak tanggal penerimaan petunjuk perbaikan. Paling lama
3 hari setelah menerima kesepakatan perdamaian yang telah memenuhi
ketentuan, hakim pemeriksa perkara menerbitkan penetapan hari sidang untuk
membacakan akta perdamaian.
7. Kesepakatan perdamaian sebagian
Dalam hal proses mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan
sebagian pihak tergugat, penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi
mengajukan pihak tergugat yang tidak mencapai kesepakatan sebagian pihak
lawan.23
23 Ketua Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 pasal 29 Tahun 2006
29
8. Mediasi tidak berhasil atau tidak dapat dilaksanakan
Mediator wajib menyatakan mediasi tidak berhasil mencapai
kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis kepada hakim pemeriksa
perkara, dalam hal para pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas
waktu paling lama 30 hari berikut perpanjangannya dan para pihak dinyatakan
tidak beriktikad baik.
Adapun mediasi tidak dapat dilaksanakan dalam hal melibatkan aset,
harta kekayaan atau kepentingan nyata-nyata dengan pihak lain, melibatkan
wewenang kementrian/ lembaga/ instansi di tingkat pusat/ daerah dan/ atau
Badan Usaha Milik Negara/ Daerah yang tidak menjadi pihak berperkara, dan
para pihak dinyatakan tidak beriktikad baik.
E. Tujuan dan Manfaat Mediasi
Mediasi merupakan salah satu bentuk proses penyelesaian sengketa yang
melibatkan pihak ketiga, dan wajib ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan
masalahnya di pengadilan. Dalam litigasi, mediasi memberikan beberapa tujuan antara
lain:
a. Untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan sukarela sebelum
proses litigasi dilaksanakan sehingga proses litigasi tidak perlu dilanjutkan.
Dengan demikian mediasi dapat mengatasi penumpukan perkara
dilembaga peradilan. Secara umum ada beberapa sebab yang dapat dianggap
sebagai penyebab penumpukan perkara kasasi di Mahkamah Agung yaitu:
a. Tidak ada ketentuan yang membatasi perkara-perkara yang
dapat dimohonkan kasasi
b. Kurangnya kepercayaan pencari keadilan terhadap putusan
badan peradilan tingkat lebih rendah baik karena anggapan mutu
putusan rendah atau karena putusan dibuat dengan cara-cara
30
yang tidak sehat seperti akibat suap atau cara-cara tidak terpuji
lainnya.
c. Mekanisme perdamaian tidak dijalankan secara maksimum,
sehingga mengurangi jumlah perkara yang perlu disidangkan24
Pentingnya mediasi dimaknai bukan sekedar upaya untuk
meminimalisir perkara-perkara yang masuk ke pengadilan baik itu pada
pengadilan tingkat pertama maupun pada tingkat banding sehingga badan
pengadilan dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari
itu mediasi daipahami dan diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa
secara menyeluruh dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu
sengketa yang tengah berlangsung25
b. Menyelesaikan sengketa merupakan hakikat (inti) menyelesaikan
perkara secara efektif dan efisien.
Penyelesaian melalui pengadilan tidak selalu memberikan kepuasan.
Selain ongkos, waktu, reputasi dan lain-lain, tidak jarang dijumpai bagitu
banyak rintangan yang dihadapi menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
Bukan saja kemungkinan keputusan tidak saja memuaskan. Suatu kemenangan
yang telah ditetapkan itupun belum tentu secara cepat dapat dinikmati karena
berbagai hambatan seperti hambatan eksekusi. Bahkan kemungkinan ada
perkara baru, baik dari pihak yang kalah atau pihak ‘kepentingan’ lainya.
Dalam keadaan seperti itu, putusan pengadilan, sekedar sebagai
putusan, tetapi tidak berhasil menyelesaikan sengketa. Berbeda dengan
penyelesaian sengketa diluar proses peradilan seperti mediasi, bukan semata-
mata mencapai putusan, tetapi putusan yang menyelesaikan sengketa.26
24 Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI, h. 39-41 25 Mahyudin Igo, Tujuan Terhadap Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perkara
Perdata, Varia Peradilan, Tahun keXXI No.235 (Desember2006), h.51 26 Bagir Manan, Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa, Varia Pengadilan, Tahun
keXXI No248 (Juli 2006), h.14-15
31
“Menang jadi arang kalah jadi abu” begitulah pribahasa yang
menggambarkan jika suatu sengketa diselesaikan denagn menggunakan jalur
litigasi. statement tersebut mencerminkan putusan pengadilan terkadang tidak
serta merta menyelesaikan persoalan.27 Maka dikembangkan wacana untuk
sebisa mungkin menyelesaikan persoalan sengketa melalui jalur perundingan,
karena dengan melakukan hal itu akan mencegah kerugian yang lebih besar,
baik kerugian yang berupa moril maupun maril. Sehingga tercipta penyelesaian
perkara secara efektif dan efisien.
c. Penyelesaian secara damai lebih baik daripada putusan yang
dipaksakan.
Karena mediasi jika berhasil menghasilkan kesepakatan yang sesuai
dengan keinginan para pihak sehingga dalam perumusan kesepakatan tidak ada
paksaan dari pihak manapun. Berbeda dengan putusan yang bersifat memaksa,
karena penyelesaian perkara melalui pengadilan pada hakikatnya hanyalah
penyelesaian yang bersifat formalitas belaka. Pihak-pihak yang bersengketa
dipaksakan untuk menerima putusan tersebut walau terkadang putusan badan
peradilan itu tidak memenuhi rasa keadilan28
d. Perdamaian yang dikukuhkan dalam litigasi akan berkekuataan hukum
dan mengikat baik secara yuridis maupun psikologis
Menurut M. yahya Harahap tidak ada putusan pengadilan yang
mengantar para pihak yang bersengketa kearah penyelesaian masalah, putusan
pengadilan bersifat problem solving diantara para pihak yang bersengketa
melainkan putusan pengadilan cenderung menempatkan kedua belah pihak
pada dua sisi ujung yang saling berhadapan, karena menempatkan salah satu
pihak pada posisi pemenang (the winner) dan menyudutkan pihak yang lain
27 Mahyudin Igo, Tujuan Terhadap Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perkara
Perdata, Varia Peradilan, Tahun keXXI No.235 (Desember2006), h.47 28 Tim Peneliti, Laporan Penelitian: Prinsip-prinsip Hukum Islam (Fiqih) Dalam Transaksi
Ekonomi Pada Perbankan Syariah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Bekerjasama dengan Direktorat
Hukum BI,2003), h.136
32
sebagai pihak yang kalah (the losser), selanjutnya dalam posisi ada pihak yang
menang dan kalah, bukan kedamaian dan ketentraman yang timbul, tetapi pihak
yang kalah timbul dendam dan kebencian.29
Oleh sebab itu, hasil kesepakatan mediasi yang telah dilakukan dalam
akta perdamaian diharapkan menimbulkan kedamaian anatar para pihak dan
bersifat mengikat. Karena mediasi dapat mengantarkan para pihak pada
perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat
penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada
posisi yang sama tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang
dikalahkan (win-win solution).30
Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang
melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah manfaat sebagai
berikut:
a. Mediasi dapat mengurangi masalah penumpukan perkara.
b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada
kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi
atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan hanya tertuju
pada hak-hak hukumnya
c. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk
berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam
menyelesaikan perselisihan mereka
d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan
control terhadap proses dan hasilnya
e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan mampu
menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para
29 Muhammad Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan
Penyelesaian Sengketa, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 1997), h.158 30 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h.24
33
pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang
memutuskannya.
f. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang
hamper selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa
yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbitrase pada
lembaga arbitrase.31
F. Tinjauan tentang Mediator
1. Peran dan Fungsi Mediator
Keberhasilan proses mediasi banyak ditentukan oleh seberapa cerdas
dan cerdiknya seorang mediator dalam menciptakan kemungkinan terjadinya
proses komunikasi, karena mediator akan memegang kendali dalam proses
mediasi ini, dengan strategi-strategi yang ampuh dan mampu meluluhkan
pendirian.32
Mediator sebagai pihak ketiga yang netral, melayani kepentingan para
pihak yang bersengketa. Mediator harus membangun interaksi dan komunikasi
yang positif. Tindakan sepereti ini amat penting dilakukan mediator dalam
rangka mempertahankan proses mediasi. Komunikasi dan interaksi dapat
dilakukan mediator secara terbuka dan dihadiri bersama para pihak.
Dalam memimpin pertemuan yang dihadiri kedua belah pihak, mediator
berperan mendampingi, mengarahkan dan membantu para pihak untuk
membuka komunikasi positif dua arah, kemudian lewat komunikasi yang
terbangun akan memudahkan proses mediasi selanjutnya. Pada peran ini
mediator harus menggunakan Bahasa-bahasa yang santun, lembut dan tidak
31 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h.25-26. 32 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h.26.
34
menyinggung kedua pihak, sehingga para pihak terkesan santai dalam
berkomunikasi satu sama lain.
Menurut fuller, mediator memiliki beberapa fungsi yaitu katalisator,
pendidik, penerjemah, narasumber, penyandung berita jelek, agen realitas,
fungsi sebagai katalisator, mediator tidak perlu mengetahui siapa yang benar
ataupun salah, dan tidak pula untuk mempertajam perbedaan itu dalam forum
perundingan, mengesampingkan kondisi yang benar dan salah merupakan cara
efektif untuk mencipotakan prioritas pada konsep resolusi yang telah
direncanakan. Mediator berperan sebagai penerjemah, mediator juga harus
berusaha dalam menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu
kepada pihak lainya melalui Bahasa atau ungkapan yang enak didenagr oleh
pihak lainya, tetapi tanpa mengurangi maksud dan sasaran yang hendak
dicapai.33
2. Kewajiabn dan Tugas Mediator
Kewajiban dan tugas-tugas mediator dalam proses mediasi di
Pengadilan, ketentuan terdapat dalam Pasal 15 Nomor 1 Tahun 2008
menyatakan sebagai berikut:
a. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan
mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati
b. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung
berperan dalam proses mediasi
c. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus
d. Mediator wajib mendororng para pihak untuk menulusuri dan
menggali kepentingan mereka dan berbagai pilihan
penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.34
33 Takbir Rahmadi, Penyelesaian Sengketa Mediasi Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta; PT.
Grafindo Persada.2011), h.15 34 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,2008, h.10
35
Hal pertama yang harus dilakukan sebagai mediator adalah
berkewajiban untuk menyusun dan memberikan usulan jadwal pertemuan
mediasi tersebut dibahas dan harus mendapatkan kesepakatan bersama anatara
mediator dan para pihak berperkara.
Kesepakatan jadwal mediasi ini perlu dilakukan mengingat baik
mediator maupun para pihak mempunyai kegiatan-kegiatan di luar proses
mediasi, sehingga dengan adanya jadwal pertemuan yang disepakati bersama
diharapkan para pihak dapat menghindari pertemuan. Jika dihubungkan dengan
proses yang dianut mediasi adalah expedited procedur atau proses penyelesaian
yang cepat pada suatu segi, dikaikan dengan batas proses mediasi yang
ditentukan.35
Jadwal pertemuan dapat disusun sefleksibel mungkin, namun alangkah
baiknya jika rentang waktu antara satu pertemuan dengan pertemuan lainya
tidak terlalu jauh agar persoalan yang tertunda tidak sampai mengendap
kembali.36 Seorang mediator dari kalangan non hakim dapat menentukan
jadwal pertemuan ditempat-tempat tertentu yang disepakati oleh para pihak
dengan resiko mungkin akan memerlukan biaya. Jika para pihak menghendaki
pertemuan dilakukan di kantor pengadilan, maka pengadilan akan menfasilitasi
ruang khusus untuk melakukan pertemuan secara Cuma-Cuma. Mediator harus
memiliki catatan pada tiap pertemuan diklakukan agar tidak terjadi
pengulangan pembahasan pada satu materi perundingan, misalnya
permasalahan yang sudah disepakati pada pertemuan yang lalu tidak perlu
dibuka kembali pada pertemuan berikutnya, agar persoalan tidak mentah
kembali, dengan catatan dari setiap peretemuan juga akan membantu mediator
dalam melakukan evaluasi pada setiap tahapan proses sebagai bahan
35 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan Persidangan Penyitaan Pembuktian dan
Putusan Pengadilan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011), h.262 36 D.Y. Wiranto, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum dan Peradialan Agama Menurut No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
(Bandung: Alfabeta,2012), h.159
36
pertimbangan dan untuk membantu menentukan strategi perundingan pada
pertemuan –pertemuan berikutnya. Jadwal mempunyai peran membantu para
piahak dalam memahami pandangan masing-masingdan membantu mencari
persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi mereka. Mediator
mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-
perbedaan kepentingan, persepsi, penefsiran terhadap situasi, dan mengatur
pengungkapan emosi. Mediator membantu para pihak memperioritaskan
persoalan-persoalan dan menitikberatkan pembahsan mengenai tujuan dan
kepentingan umum.37
3. Tipologi Mediator
Untuk mengetahui integritas, kemampuan atau pengetahuan dan skill
mediator, berikut dikemukakan tipologi mediator sebagai berikut;38
a. Mediator jaringan social
Yaitu mediator yang berasal dari lingkungan para pihak, dipilih
karena dikenal para pihak sebagai tikoh yang dipercaya dapat
membantu menyelesaikan sengketa. Di Indonesia bila dilihat secara
mendalam, dalam tata cara penyelesaian sengketa secara damai dalam
hukum adat pada zaman dahulu dan masih berlaku sampai sekarang.
b. Mediator Otoritatif
Yaitu mediator yang berasal dari kalangan yang berpengaruh
atau mempunyai kedudukan yang kuat, serta memiliki kapasitas untuk
mengarahkan hasil rundingan
c. Mediator Mandiri
37 Rahmat Muhajir, Efektivitas Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Ternate Kelas 1B, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2017), h,50 38 I. Made Sukadana, Mediasi Peradilan Mediasi dalam Sistem Pengadilan Perdata Indonesia
Dalam Rangka Mewujudkan Proses Pengadilan Yang Sederhana, Cepat dan Ringan, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2012), h 191
37
Yaitu mediator yang dipilih karena profesinya, tidak memiliki
hubungan dengan para pihak, seta tidak memiliki wewenang untuk
memutus.
38
BAB III
PROFIL MASYARAKAT DAN PENGADILAN AGAMA KOTA BOGOR
DAN KABUPATEN BOGOR
A. Sejarah Singkat Kota Bogor dan Kabupaten Bogor
1. Kota Bogor
Hamper secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa
Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota
Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah
ini adalah hasil penulusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan
waktu:
a. Naskah Carita Waruga Guru (1750-an)
b. K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te
Buitenzorg
c. G.P. Rouffaer (1919)
d. R.Ng. Poerbatjaraka (1921)
e. H. Ten Dam (1957). Sebagai insinyur pertanian, Ten Dam ingin
meneliti kehidupan sosial ekonomi petani Jawa Barat dengan
pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalm tulisannya,
Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar
Pajajaran), pengertian “pakuan” ada hubunganya dengan
“lingga” (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti
Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa
dalam cerita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Huluwesi
dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai
pengertian “paku”
Dia berpendapat bahwa “pakuan” bukanlah Nama, melainkan
kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus
39
dibedakan dari keratin. Kata “Pajajaran” ditinjaunya
berdasarkan keadaan topografi. Itu merujuk laporan Kapiten
Wikler (1690) yang memberitakan bahwa Dia melintasi istana
pakuan di pajajaran yang terletak antara sungai besar dengan
sungai Tanggerang. Ten Dam menarik kesimpulan bahwa Nama
“pajajaran” muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung
dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, pakuan pajajaran dalam
pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau “Dayeuh
Pajajaran”. Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan
“Pakuan” untuk Nama ibukota dan “Pajajaran” untuk Nama
Negara. Seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
1
Pada saat ini Kota Bogor sedang dipimpin oleh seorang walikota
bernama Bima Arya yang lahir di Paledang Bogor 17 Desember 1972.
Pendidikan dasar hingga SMA ditamatkan di Bogor. Setelah menamatkan SMA
pada 1991, Bima mengambil jurusan hubungan Internasional, Universitas
Parahyangan, Bandung. Pada tahun 1998 Bima menjadi salah satu deklarator
berdirinya PAN dan menjabat sebagai Sekretaris DPD PAN Kota Bandung
pada tahun 1998-2000. Saat ini Bima menjabat sebagi ketua DPP bidang politik
dan komunikasi.
Sebagai wakilnya Ir. Usmar Hariman lahir di Bndung pada 26 Maret
1963. Kecintaanya kepada dunia pertanian membawanya untuk melanjutkan
studi ke Institut Pertanian Bogor (IPB) dan berhasil lulus pada tahun 1983.
Karir politik Usmar lumayan mulus, ketegasan dan kualitas kepemimpinannya
membawanya menjadi ketua DPC PD Kota Bogor pertama pada tahun 2002-
2007. Pengabdianya pada partai dan kota Bogor ia menifestasikan dalam wujud
keikutsertaannya untuk mencalonkan sebagai anggota DPRD Bogor tahun 2004
1 tps://kotabogor.go.id/index.php/page/detail/5/sejarah-bogor
40
dimana ia berhasil menduduki kursi anggota selama dua periode berturut-turut
yaitu 2004-2009, 2009-2014 dimana kini ia duduk dikomisi C.
Visi Kota bogor ialah “Kota Bogor yang nyaman, beriman, dan transparan”
Makna nyaman adalah kondisi yang dirasakan masyarakat dalam
melakukan berbagai aktivitas, seperti bekerja, berusaha, belajar, tumbuh dan
aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan di dalam kota oleh setiap elemen
masyarakat.
Makna beriman, merupakan perwujudan dari masyarakat yang memiliki
nilai-nilai agama dan moral yang tidak hanya sebagai cerminan nilai pribadi,
namun terimplementasikan ke dalam kehidupan bersosialisai antar sesame dan
kepedulian terhadap lingkungan hidup yang dijadikan tempat tinggal dan
berlangsungnya berbagai aktivitas.
Makna transparan, menuntut kecakapan dan peran aktif pemerintah
dalam membuka diri, melayani, bekerja sama dengan berbagai pihak dalam
pelaksanaan program-program pembangunan, sehingga pemenuhan target
pembangunan menjadi sebuah aksi kolaboratif bersama elemen masyarakat
lain. Adapun misi kota Bogor sebagai berikut;
a. Menjadikan Bogor kota yang cerdas dan berwawasan teknologi
informasi dan komunikasi;
b. Menjadikan Bogor kota yang sehat dan makmur;
c. Menjadikan Bogor kota yang berwawasan lingkungan;
d. Menjadikan Bogor kota yang berorientasi pada kepariwisataan
dan ekonomi kreatif;
e. Mewujudkan pemerintah yang bersih dan transparan;
f. Mengokohkan peran moral agama dan kemanusiaan untuk
mewujudkan masyarakat madani.
2. Kabupaten Bogor
Dari sisi dejarah, Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang
menjadi pusat kerajaan tertua di Indonesia. Catatan dinasti Sung di Cina dan
41
prasasti yang ditemukan di tempuran sungai Ciaruteun dengan sungai Cisadane,
memperlihatkan bahwa setidaknya pada paruh awal abad ke-5 M di wilayah ini
telah ada sebuah bentuk pemerintahan. Sejarah lama Dinasti Sung mencatat
tahun 430, 433, 434, 437, dan 452 kerajaan Holotan mengirimkan utusannya ke
Cina. Sejarawan Prof. Dr Slamet Muljana dalam bukunya dari Holotan ke
Jayakarta menyimpulkan Holotan adalah Transliterasi Cina dari kata Aruteun,
dan kerajaan Aruteun adalah salah satu kerajaan Hindu tertua di Pulau Jawa.
Prasasti Ciaruteun merupakan bukti sejarah perpindaha kekuasaan dari kerajaan
Aruteun ke kerajaan Tarumanegara dibawah Raja Purnawarman, sekitar paruh
akhir abad ke-5.
Prasasti-prasasti lainya peninggalan Purnawarman adalah prasasti
Kebon Kopi di Kecamatan Cibungbulang, Prasasti Jambu di Bukit Koleangkak
(Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang), dan Prasasti Lebak (di tengah sungai
Cidanghiang, Provinsi Banten). Pada abad ke-6 dan ke-7 kerajaan
Tarumanegara merupaka penguasa tunggal di wilayah Jawa Barat. Setelah
Tarumanegara, pada abad-abad selanjutnya kerajaan terkenal yang pernah
muncul di tanh pasundan (Jawa Barat) adalah Sunda, Padjadjaran, galuh, dan
Kawali. Semuanya tak terlepas dari keberadaan wilayah Bogor dan sekitarnya.
Sejarah mula berdirinya Kabupaten Bogor, ditetapkan tanggal 3 Juni yang
diilhami dari tanggal pelantikan Raja Pajajaran yang terkenal yaitu Sri Baduga
Maharaja yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1482 selama Sembilan hari
yang disebut dengan upacara “Kedabhakti”.
Nama Bogor menurut berbagai pendapat bahwa kata Bogor berasal dari
kata “Buitenzorg” Nama resmi dari penjajah Belanda. Pendapat lain berasal
dari kata “Bahai” yang berarti Sapi, yang kebetulan ada patung sapi di Kebun
Raya Bogor. Sedangkan penndapat ketiga menyebutkan bahwa Bogor berasala
dari kata “Bokor” yang berarti tunggal pohon enau (kawung). Dalam versi lain
menyebutkan bahwa nama Bogor telah tampil dalam sebuah dokumen tanggal
42
7 April 1952, tertulis “Hoofd Van de Negorij Bogor” yang berarti kurang lebih
Kepala Kampung Bogor, yang menurut informasi kemudian bahwa Kampung
Bogor itu terletak di dalam lokasi Kebun Raya Bogor yang mulai dibangun
pada tahun 1817. Asal mula adanya Masyarakat Kabupaten Bogor, cikal
bakalnya adalah dari penggabungan Sembilan kelompok pemukiman oleh
Gubernur Jendral Baron Van Inhof pada tahun 1745, sehingga menjadi
kesatuan masyarakat yang berkembang menjadi besar di waktu kemudian.
Kesatuan masyarakat itulah yang menjadikan inti masyarakat kabupaten
Bogor.Pusat pemerintahan semula masih berada di wilayah Kota Bogor yaitu
tepatnya di Panaragan, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6
tahun 1982, ibukota Kabupaten Bogor dipindahkan dan ditetapkan di Cibinong.
Sejak tahun 1990 pusat kegiatan pemerintahan menempati Kantor
Pemerintahan di Cibinong.2
Hj. Nurhayanti, S.H., M.M., M.Si. adalah Bupati Bogor yang
menggantikan Rahmat Yasin karena tersandung kasus korupsi. Pada tanggal 8
Desember 2014, Nurhayanti ditunjuk menjadi pelaksana tugas (Plt) bupati
Bogor. Nurhayanti resmi dilantik menjadi Bopati Bogor defenitif oleh
Geburnur Jawa Barat Ahmad Heryawan di Gedung Sate Bandung, Jawa barat,
tanggal 16 Maret 2015.
Visi kabupaten Bogor ialah “Kabupaten Bogor Menjadi Kabupaten
Termaju di Indonesia”. Adapun Misinya ialah
a. Meningkatkan kesalehan social dan kesejahteraan masyarakat;
b. Meningkatkan daya saing perekonomian masyarakat dan
pengembangan usaha berbasis sumber daya alam dan pariwisata;
c. Meningkatkan integritas, koneksitas, kualitas, dan kuantitas
infrastruktur wilayah dan pengolahan lingkungan hidup yang
berkelanjutan;
2 http://bogorkab.go.id/index.php/page/detail/1/sejarah-kabupaten-bogor#.W5p-g84zZdg
43
d. Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas penyelenggaran pendidikan
dan pelayana kesehatan;
e. Meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan kerjasama
antar daerah dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik.
B. Letak Geografis
1. Kota Bogor
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106° 48° BT dan
6°26°LS, kedudukan geografis Kota Bogor di tengah- tengah wilayah
Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara,
merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industry, perdagangan,
transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Luas wilayah Kota Bogor sebesar
11.850 Ha terdiri dari 6 Kecamatan dan 68 kelurahan. Kemudian secara
administrative Kota Bogor terdiri dari 6 wilayah Kecamatan, 31 Kelurahan dan
37 Desa (lima diantaranya termasuk Desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan,
Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW,
2.712 RT dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede,
dan Kec. Sukaraja Kabupaten Bogor
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi
Kabupaten Bogor
c. Sebelah Barat berbatasan dengan kec. Dermaga dan
Kec.Ciomas, Kabupaten Bogor
d. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec.
Caringin, Kabupaten Bogor
2. Kabupaten Bogor
Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas kurang lebih 298.838,31 Ha.
Secara geografis terletak diantara 6?18’0” – 6?47’10” Lintang Selatan dan
44
106?23’45” – 107?13’30” Bujur timur, dengan tipe morfologi wilayah yang
bervariasi, dari dataran yang relative rendah sekitar 29,28% berada pada
ketinggian 15 – 100 meter di atas permukaan laut (dpl), merupakan kategori
ekologi hilir. Dataran bergelombang sekitar 43,62% berada pada ketinggian
100 – 500 meter dpl, merupaka kategori ekologi tengah. Sekitar 19,53% daerah
pegunungan berada pada ketinggian 500 – 1.000 meter dpl, merupakan kategori
ekologi hulu. Daerah pegunungan tinggi sekitar 8,43% berada pada ketinggian
1.000 – 2.000 meter dpl, merupakan kategori ekologi hulu dan 0,22% berada
pada ketinggian 2.000 – 2.500 meter dpl, merupakan kategori hulu. Batas-batas
wilayah Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara, Berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kota
Tangerang Selatan, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi;
b. Sebelah Barat, Berbatasan Dengan Kabupaten Lebak;
c. Sebelah Timur, Berbatasan dengan Kabupaten Karawang,
Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;
d. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Cianjur;
e. Bagian tengah berbatasan dengan Kota Bogor.
Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa
dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya
didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari endesit, tufa dan basalt.
Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relative lulus air
dimana kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan
batuan ini relative rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman
curah hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup dominasi oleh
material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain
Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Oelh karena itu, beberapa
wilayah rawan terhadap tanah longsor. Secara klimatologi, wilayah Kabupaten
Bogor termasuk iklim tropis sangat basah dibagian Selatan dan iklim tropis di
45
bagian utara, rata-rata curah tahunan 2.500 – 5.000 mm/tahun, kecuali
diwilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang
dari 2.500 mm/tahun. Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20° –
30°C, dengan suhu rata-rata tahunan sebesar 25° kelembaban udara 70% dan
kecepatan angina cukup rendah, dengan rata-rata 1,2 m/detik dengan evaporasi
di daerah terbuka rata-rata sebesar 146,2 mm/bulan.
Sedangkan secara hidrologis, wilayah Kabupaten Bogor terbagi
kedalam 7 (tujuh) buah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: (1) DAS Cidurian;
(2) DAS Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub DAS Kali
Bekasi; (6) Sub DAS Cipamingkis; (7) DAS Cibeet. Selain itu juga terdapat 32
jaringan irigasi pemerintah, 794 jaringan irigasi pedesaan, 93 situ dan 96 mata
air.
C. Keadaan Demografis
1. Kota Bogor
Kependudukan Kota Bogor berjumlah 1.064.687 jiwa, yang tersebar
dalam 6 Kecamatan, mayoritas penduduk Kota Bogor ialah bersuku Sunda,
meskipun terdapat beberapa penduduk dari suku dan etnis lain. Adapun rincian
dari penduduk Kota Bogor sebagai berikut:
TABELI
Jumlah penduduk Kota Bogor menurut Jenis Kelamin
No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio
jenis
kelamin
01 Bogor Selatan 101.972 97.276 199.248 104,83
02 Bogor Timur 52.855 51.882 104.737 101.88
03 Bogor Utara 97.765 95.047 192.812 102.86
04 Bogor Tengah 52.827 51.855 104.682 101.87
46
05 Bogor Barat 119.816 116.486 236.302 102.86
06 Tanah Sareal 115.053 111.853 226.906 102.86
Total 540.288 524.399 1.064.687 103.03
(Sumber; Badan Pusat Statistika Kota Bogor)
2. Kabupaten Bogor
Adapun untuk wilayah Kabupaten Bogor berjumlah 5.715.009 jiwa,
yang tersebar dalam 40 kecamatan. Adapun rinciannya sebagai berikut;
TABEL II
Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor
No Kecamatan Jumlah Penduduk
1 Nanggung 87.220
2 Leuwiliang 122.352
3 Leuwisadeng 74.687
4 Pamijahan 141.923
5 Cibungbulang 133.845
6 Ciampea 160.487
7 Tenjolaya 59.066
8 Dramaga 111.119
9 Ciomas 180.823
10 Tamansari 104.912
11 Cijeruk 87.989
12 Cigombong 103.690
13 Caringin 125.712
14 Ciawi 117.427
15 Cisarua 124.614
16 Megamendung 107.668
17 Sukaraja 205.599
47
18 Babakan Madang 124.719
19 Sukamakmur 79.547
20 Cariu 45.921
21 Tanjungsari 51.842
22 Jonggol 144.291
23 Cileungsi 347.414
24 Klapanunggal 121.218
25 Gunungputri 453.696
26 Citeureup 231.492
27 Cibinong 427.014
28 Bojonggede 336.547
29 Tajurhalang 123.272
30 Kemang 111.554
31 Rancabungur 54.260
32 Parung 143.174
33 Ciseeng 114.199
34 Gunungsindur 131.838
35 Rumpin 140.465
36 Cigudeg 125.977
37 Sukajaya 57.824
38 Jasinga 96.613
39 Tenjo 71.698
40 Parungpanjang 131.301
Jumlah 5.715.009
(Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor)
D. Profil Pengadilan Agama Bogor dan Cibinong
48
1. Profil Pengadilan Agama Bogor
Pengadilan Agama Bogor Kelas 1A bertempat di Jalan K.H. Abdullah
bin Nuh Bogor Barat Kota Bogor yang terletak diantara 106°43,30° Bujur
Timur dan 30’30° Lintang Selatan 6°41’00” Lintang Selatan yang berlokasi di
Provinsi Jawa Barat.
Pengadilan Agama Bogor kelas 1A memiliki yurisdiksi Kota Bogor
yang terdiri dari 6 Kecamatan dan 68 Kelurahan dengan jumlah penduduk ±
1.064.687 jiwa dan 93,42 % nya adalah beragama Islam.
Status tanah Kantor Pengadilan Agama Bogor Kelas 1A adalah Hak
Pakai sesuai dengan sertifikat No.10.09.05.10.4.00003 atas nama Pemerintah
Republik Indonesia Cq. Mahkamah Agung RI dibangun di atas tanah seluas
2.900 m² dengan ukuran bangunan 1.000 m².
Visi Pengadilan Agama Bogor adalah merupakan penjabaran dari Visi
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dirumuskan sebagai berikut;
“Terwujudnya pengadilan Agama Bogor yang Agung”.
Untuk mewujudkan visi tersebut diatas, maka misi Pengadilan Agama
Bogor kelas 1A dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Memberikan pelayana hukum dan keadilan bagi semua lapisan
masyarakat (justice for all);
b. Memberikan Akses public seluas-luasnya tentang informasi
demi terwujudnya transparansi pengadilan;
c. Mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat
dan dengan biaya ringan;
d. Mewujudkan putusan/penetapan yang memenuhi rasa lkeadilan,
kepastian hukum dan dapat dilaksanakan;
e. Berupaya menciptakan aparatur Pengadilan Agama Bogor yang
jujur, bersih, dan berwibawa.
Struktur organisasi Pengadilan Agama Bogor diatur berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan
49
peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
tata kerja kepaniteraan dan kesekretariatan Peradilan yakni terdiri dari: Ketua,
Wakil Ketua, Hakim, Pejabat fungsional Kepaniteraan dan Pejabat Struktural
Kesekretariatan. Kepaniteraan dipimpin oleh seorang panitera yang
membawahi Panitera Muda Permohonan, Panitera Muda Gugatan, Panitera
Muda Hukum, Panitera pengganti dan Juru Sita/ Juru Sita Pengganti.
Sedangkan kesekretariatan dipimpin oleh seorang Sekretaris yang membawahi
Kepada Sub Bagian Perencanaan, Teknologi Informasi dan Pelaporan, Kepala
Sub Bagian Umum dan Keuangan, serta Kepala Sub Bagian kepegawaian,
Organisasi dan Tata laksana.
Dalam rangka mendukung dan mewujudkan visi dan misi Pengadilan
Agama, maka dalam tahun 2018 Pengadilan Agama Bogor telah melkukan
beberapa hal diantaranya:
a. Survelience Akreditasi Penjaminan Mutu (APM)
b. Posbakum (Pos Bantuan Hukum)
50
c. Siding keliling/ Pelayana Terpadu
d. Perkara Prodeo (pembebasan biaya perkara)3
2. Profil Pengadilan Agama Cibinong
Pengadilan Agama Cibinong merupakan salah satu lembaga yang
melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakan
hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang
selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat dan biaya ringan.
Pengadilan Agama Cibinong mempunyai wilayah hukum Daerah
Tingkat II Kabupaten Bogor yang terdiri dari 417 Desa dan 17 kelurahan serta
40 Kecamatan. Dengan jumlah penduduk sebanyak 5.715.009 jiwa. Dengan
beban kerja rata-rata tiap bulan menerima 559 perkara.
Dalam melaksankan tugasnya Pengadilan Agama Cibinong dengan
kekuatan pegawai sebanyak 38 orang dengan menempati gedung seluas 1650
m² x 2 lantai di atas tanah seluas 1.682 m².
Secara formil untuk mewujudkan harapan dari para pencari keadilan
tersebut, Pengadilan Agama Cibinong dalam rangka melaksanakan tugasnya
terlebih dahulu harus membuat suatu perencanaan yang matang. Pelaksanaan
yang tepat dan pengawasan yang ketat diikuti dengan evaluasi yang cermat,
pelaksanaan tugas Pengadilan Agama tersebut harus dipertanggung jawabkan
dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat selaku atasan.
Visi adalah gambaran tentang keadaan masa depan yang berisikan cita-
cita dan citra yang ingin diwujudkan Pengadilan Agama Cibinong di masa
mendatang. Dlam merumuskan visinya, Pengadilan Agama Cibinong
menyelaraskan dengan visi mahkamah Agung RI yang dicanangkan untuk
tahun 2010-2035.sebagai hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI
Tahun 2019 yaitu: “Terwujudnya Peradilan Agama Cibinong yang Agung”
3 Laptah 2018 PA Bogor
51
Untuk meencapai visi tersebut, Pengadilan Agama Cibinong dalam
konteks organisasi yang telah ditetapkan dalam kebijakan mutu organisasi
menjelaskan bahwa untuk terwujudnya Peradilan Agama Cibinong yang Agung
harus dapat “Mewujudnya kesatuan Hukum dan Aparatur Pengadilan Agama
Cibinong yang Profesional dan Akuntabel”
Misi adalah sesuatu yang diemban atau dilaksanakan sesuai dengan visi
yang telah ditetapkan bersama sebelumnya yang merupakan tujuan organisasi
sehingga dapat terlaksana dan terwujud dengan baik. Misi Pengadilan Agama
Cibinong adalah:
1. Menjaga kemandirian Aparatur Pengadilan Agama Cibinong
2. Meningkatkan Kualitas Pelayanan hukum yang Berkeadilan,
Kredibel dan Transparan
3. Mewujudkan kesatuan Hukum sehingga diperoleh kepastian
hukum bagi Masyarakat
4. Meningkatkan Pengawasan dan Pembinaan
Sehinga dengan adanya penjabaran tujuan rencana strategis yang
terukur, Pangadialan Agama Cibinong mempunyai sasaran target capaian
yanga akan dihasilkan dalam kurun waktu lima tahun kedepan terhitung tahun
2015 sampai dengan tahun 2019
Sasaran target capaian yang hendak dicapai oleh Pengadilan Agama
Cibinong adalah:
1. Terwujudnya proses peradilan yang pasti, transparan dan
akuntabel
2. Peningkatan efektivitas pengelolaan penyelesaian perkara
3. Meningkatnya kepatuhan terhadap putusan Pengadilan
4. Meningkatnya pelayanan sistem informasi menejemen yang
terintegrasi dalam menunjang sistem peradilan yang sederhana,
transparan dan akuntabel
52
5. Meningkatnya pengelolaan menejerial lembaga peradilan secara
akuntabel, efektif dan efisien
6. Meningkatnya akses peradilan bagi masyarakat miskin dan
terpinggirkan
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 50 tahun 2009
tentang perbahan kedua atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama disebutkan bahwa “tugas serta tanggung jawab, susuna
organisasi dan tata kerja kepaniteraan dan kesekretariatan Pengadilan diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Agung”. Kemudian susunan organisasi dan tat
kerja kepaniteraan dan secretariat diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisai dan Tata Kerja Kepaniteraan dan
Kesekretariatan Pengadilan.
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Cibinong Tahun 2017.4
4 Laptah PA Cibinong 2017
53
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN TERHADAP EFEKTIVITAS
PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA BOGOR
DAN PENGADILAN AGAMA CIBINONG
A. Data Perkara Perceraian di Peradilan Agama Bogor dan Pengadilan
Agama Cibinong
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 bahwa Mediasi merupakan cara penyelesaian
sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas
kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta
berkeadilam. Oleh karena itu, jika para pihak maupun hakim pemeriksa tidak mematuhi
peraturan tersebut, maka hal ini dimaknai sebagai bentuk pelanggaran terhadap
PERMA yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Penggunaan mediasi secara
wajib tidak diartikan bahwa para pihak diwajibkan mencapai atau menghasilkan
perdamaian. Perdamaian tidak dapat dipaksakan atau diwajibkan, tetapi harus
merupakan hasil kesadaran dan keinginan bersama.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
tentang Pedoman Mediasi di Peradilan yang berbunyi: setiap Hakim, Mediator, Para
Pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melaui
mediasi.
Dengan demikian mediasi tersebut bersifat wajib atas seluruh perkara yang
diajukan kepada Pengadilan Agama Bogor dan Cibinong. Dalam pelaksanaan mediasi,
mediator memegang peranan penting dan strategis. Oleh karenanya mediator selalu
mentaati kode etiknya dalam pelaksanaan fungsinya yang bersifat netral.
Adapun menyangkut masalah dokumen, apabila mediasi gagal selanjutnya
dokumen tersebut dimusnahkan yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat
bukti, catatan mediator yang terkait dengan sengketa dan dokumen-dokumen penting
lainya.
54
Berdasarkan sejumlah perkara yang telah diselesaikan oleh majlis hakim di
Pengadilan Agama Bogor dan Cibinong, maka dapat diketahui bahwa hanya sebagian
kecil dari beberapa perkara yang mampu dan dapat diselesaikan dengan upaya damai.
Untuk membuktian akan dikemukakan keadaan perkara perceraian di Pengadilan
Agama Bogor dan Cibinong dari tahun 2016, 2017 dan 2018 sebagai berikut:
TABEL III
Jumlah Perkara masuk dari tahun 2016-2018:
No Tahun Peradilan
Agama
Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah
1 2016 Bogor 371 1204 1575
Cibinong 1229 3054 4283
2 2017 Bogor 377 1343 1720
Cibinong 981 3310 4291
3 21018 Bogor 303 1141 1444
Cibinong 1176 3984 5160
Melihat data dalam tabel tersebut memberikan peluang dan kemungkinan
pelaksanaan upaya damai oleh Hakim Pengadilan. Dengan demikian seorang hakim
menjadi tumpuan para pencari keadilan untuk menyelesaikan dan memberikan
penyelesaian secara tuntas dan memuaskan para pihak yang berperkara.
Dari perkara yang diterima oleh Pengadilan, ada beberapa perkara yang tidak
bisa dimediasi dikarenakn berbagai alasan. Disinilah peranan hakim mediator dalam
mendamaikan perkara, para hakim selalu mengupayakan perdamaian, demikian upaya
perdamaian yang diperintahkan oleh ketentuan hukum acara yang harus dilaksanakan
pada awal persidangan. Akan tetapi melihat dari data-data yang diterima di Pengadilan,
ditemukan begitu minimnya presentase keberhasilan di kedua Pengadilan ini.
Selanjutnya untuk mengetahui presentase keberhasilan mediasi, dapat dilihat dari tabel
berikut ini:
55
TABEL IV
Presentase Keberhasilan Mediasi
No Tahun PA Perkara yang di
Mediasi
Perkara yang
berhasil di
mediasi
Presentase
Keberhasilan
(%)
1 2016 Bogor 288 29 10%
Cibinong 749 171 22,8%
2 2017 Bogor 234 10 4,2%
Cibinong 790 147 18,6%
3 2018 Bogor 290 25 8,62%
Cibinong 859 207 24,09%
Tabel diatas menunjukan bahwa presntase terkecil Pengadilan Agama terjadi di
Tahun 2017 dan presentase keberhasilan terbesar ada di tahun 2016 untuk Pengadilan
Agama Bogor dan Tahun 2018 untuk Peradilan Agama Cibinong.
Melihat dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberhasilan mediasi
masih kurang efektif.
Penyelesain perkara perdamaian tidak akan menemukan keberhasilan bila para
pihak berperkara sangat kukuh dalam memegang alasan tersebut. Adapun alasan yang
menjadikan para pihak berperkara memutuskan untuk bercerai adalah sebagai berikut;
1. Poligami tidak sehat
2. Krisis akhlak
3. Cemburu
4. Kawin paksa
5. Ekonomi
6. Tidak ada tanggung jawab
7. Kawin dibawah umur
8. Penganiyayaan
56
9. Dihukum
10. Cacat biologis
11. Politis
12. Gangguan pihak ketiga
13. Tidak ada harmonis
14. Lain-lain
Adapun dari faktor tersubut ada 3 faktor besar yang menjadi alasan para pihak
berperkara untuk penyebab terjadinya perceraian:
TABEL V
Faktor terjadinya perceraian
No Tahun PA Tidak ada tanggung
Jawab
Ekonomi Tidak ada
Keharmonisan
1 2016 Bogor 168 161 182
Cibinong 850 851 1053
2 2017 Bogor 602 193 240
Cibinong 892 1064 1643
3 2018 Bogor 162 386 730
Cibinong 956 1353 2094
B. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama
Cibinong
Mediasi di Pengadilan Agama adalah suatu proses usaha perdamaian antara
suami dan istri yang telah mengajukan gugatan cerai, dimana mediasi ini dijembatani
oleh seorang hakim yang ditunjuk di Pengadilan Agama1
Pada praktiknya, proses mediasi ini dilaksanakan jika salah satu pasangan nikah
ada yang tidak setuju untuk cerai. Jadi, jika yang mengajukan cerai si istri, tapi si suami
1 www.google.com,Mediasi, diakses pada tanggal 7 November 2018
57
menyatakan tidak mau bercerai pada saat siding pertama, maka dilaksanakanlah acara
mediasi tersebut.
Penerapan mediasi di Pengadilan Agama Bogor dan Cibinong menggunakan
system court connected mediation. Penerapan mediasi di lembaga pengadilan tersebut
berdasarkan PERMA. Maka sebelum dilaksanakan proses siding, perkara gugatan yang
didaftarkan harus dilakukan proses mediasi.2
Adapun tahapan proses mediasi sesuai dengan PERMA No 1 tahun 2016 pasal
24 yaitu:
1. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak penetapan
sebagaimana di maksud dalam pasal 20 ayat (5), para pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada pihak lain dan mediator.
2. Proses mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak penetapan perintah melakukan mediasi.
3. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhir
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
4. Mediator atas permintaan para pihak mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) kepada haklim pemeriksa perkara disertai dengan alasannya.
Di Pengadilan Agama Bogor maupun Cibinong menyatakan bahwa para pihak
yang hendak memilih mediator non Hakim atau mediator di luar Pengadilan, maka
harus dengan persyaratan adanya sertifikat mediator yang dimilikinya. Dan para pihak
tidak memilih mediator dan menyerahkannya kepada Hakim maka hakim yang akan
menunjuk mediator yang akan memediasi para pihak yang berperkara.
Setelah selesai menunjuk mediator, maka mediator akan diperkenalkan kepada
para pihak yang berperkara kemudian siding akan ditunda untuk diadaklan mediasi
2 Hasil wawancara dengan mediator PA Cibinong Azmi Muhammad Adil, S.H di ruang mediasi
Pengadilan Agama Cibinong pada tanggal 16 Oktober 2018
58
terlebih dahulu. Penentuan hari siding selanjutnya diperkirakan kurang lebih dua atau
tiga minggu lamanya. Batas lamanya mediasi selam 40 hari kerja ditambah 14 hari
kerja berdasarkan PERMA No 1 Tahun 2016.
Mediator menjadi pemeran penting dalam keberhasilan Mediasi dan menjadi
penggerak atas kelancaran dan kesesuaian prosedur mediasi yang telah diatur dalam
PERMA No 1 Tahun 2016.
Berbeda dengan Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Agama Bogor
bahwasannya institusi mediator itu berdiri sendiri, jadi yang menangani mediasi
tersebut idealnya dari akademisi bukan dari Hakim. Karena di PA Bogor pernah jadi
bahan referensi dari universitas lain untuk mengadakan penilaian karena
keefektivitasaanya karena mediator dari akademisi. Dinilai bahwa akademisi lebih all
out dalam mendamaikan para pihak perkara. Para pihak bahkan ada yang mencabut
gugatannya setelah paham di mediasi oleh akademisi tersebut. Ataupun dengan cara
win win solution seperti cerai talak, kewajiban suami untuk memberikan nafkah di
jelaskan oleh mediator dan mediator memfasilitasi apa yang diinginkan kedua belah
pihak terkabulkan. Walaupun berakhir dengan perceraian akan tetapi kedua belah pihak
merasa tercukupi keinginannya dan pihak pengadilan pun mampu mewujudkan asas
pengadilan dengan biaya ringan dan singkat, karena para pihak tidak mengajukan
banding ataupun kasasi.3
C. Hambatan dan Tantangan Dalam Pelaksanaan Mediasi
Secara sederhana faktor yang mempengaruhi keberhasilan upaya penerapan
asas perdamaian terhadap perkara perceraian baik dengan pendekatan mediasi atau non
mediasi adalah faktor SDM (kualitas dan kuantitas mediator), dukungan kelembagaan
dan sikap para pihak (suami-isteri yang berperkara). Kualitas SDM kemampuan
personal mediator (pengetahuan dan pemahaman terhadap mediasi/ perdamaian dan
3 Hasil wawancara dengan Panmud Hukum PA Bogor Agus Yuspian, S. Ag., M.H. di ruang
sidang Pengadilan Agama Bogor pada tanggal 2 Januari 2019
59
efektivitas teknik mediasi/perdamaian yang digunakan). Sedangkan, kuantitas SDM
adalah jumlah pihak yang digunakan dalam proses perdamaian yang dipandang
strategis posisinya dalam melaksanakan proses mediasi. Dukungan kelembagaan
adalah sarana dan prasarana yang disediakan pihak pengadilan yang dipandang penting
dalam proses perdamaian dan sikap para pihak adalah sikap suami isteri yang
berperkara terhadap proses pelaksanaan mediasi dan non mediasi yang dilaksanakan
pihak pengadilan terhadap perkara mereka.
1. Sumber Daya Manusia (SDM)
Kedudukan dan peranan Sumber Daya Manusia pada institusi sangat
penting dan menetukan, karena Sumber Daya Manusia adalah roda penggerak
sistem yang telah dikembangkan oleh institusi tersebut. Untuk itu diperlukan
Sumber Daya Manusia yang bias bekerjasama, Integritas tinggi, berwibawa,
kuat, cakap, berkualitas, professional, berdaya guna dan sabar akan tanggung
jawabnya dalam menggerakan roda institusi. Oleh karena itu, sanagtlah penting
untuk mengelola Sumber Daya Manusia dengan tepat dan cermat serta sesuai
dengan bidang tugasnya.
Sumber daya manusia (hakim mediator) sebenernya telah menjalankan
tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan dalam menerpakan asas
perdamaian terhadap perkara perceraian baik melalui mediasi ataupun non
mediasi, namun secara umum terkendala pada segi teknik atau skill dalam
melakukan pendekatan terhadap para pihak. Padahal ini sangat menentukan
dalam proses perdamaian. Mediator sebagai pihak penengah yang berusaha
memfasilitasi para pihak yang bersengketa memiliki sifat-sifat tertentu yang
mempengaruhi jalannya proses mediasi hal ini ditentukan berdasarkan
tipologinya yang dibedakan menjadi tiga, yaitu; Pertama Social Network
Mediator ialah sebuah jalinan atau hubungan sosial yang ada atau tengah
berlangsung sebagai upaya untuk mempertahankan keserasian atas hubungan
baik dalam sebuah komunitas, karena mediator maupun para pihak sama-sama
menjadi bagian di dalamnya. Kedua Authoritative Mediator adalah mereka
60
yang berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
perbedaan-perbedaan mereka, tetapi mediator sesungguhnya memiliki potensi
atau kapasistas untuk mempengaruhi hasil akhir dari sebuah proses mediasi.
Akan tetapi, seorang mediator authoritative selama ini menjalankan peran
sebagai mediator tidak menggunakan kewenangan dan pengaruh yaitu karena
didasarkan pada keyakinan atau pandangannya, bahwa pemecahan yang terbaik
terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya sebagai pihak yang
berpengaruh dan berwenang. Tetapi harus dihasikan upaya-upaya pihak-pihak
yang bersengketa sendiri. Ketiga independent Mediator yang menjaga jarak
anatara para pihak maupun dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh para
pihak. Mediator tipologi ini lebih banyak ditemukan dalam masyarakat atau
budaya yang telah mengembangkan tradisi kemandirian dan menghasilakan
mediator-mediator professional.
Selain itu, terdapat Sembilan keterampilan yang mesti dimiliki seorang
mediator, yaitu
a. Kemampuan untuk memahami proses negosiasi dan peran
advokasi:
b. Kemampuan untuk melahirkan kepercayaan dan mempertahankan
tanggung jawab;
c. Kemamnpuan untuk mengubah posisi pihak-pihak kedalam
kebutuhan dan kepentingan;
d. Kemampuan untuk menyelidiki masalah-masalah non-mediasi
e. Kemempuan untuk membantu pihak-pihak menetapkan pilihan
kreatif;
f. Kemampuan untuk membantun pihak-pihak mengidentifikasi
prinsip dan kriteria yang akan mengarahkan pembuatan
keputusan;
g. Kemampuan untuk membantu pihak-pihak menetapkan
alternative non-penyelesaian;
61
h. Kemampuan untuk membantu pihak-pihak membuat pilihan-
pilihan kusus; dan
i. Kemampuan untuk membantu pihak-pihak menetapkan apakah
perjanjian dapat dilaksanakan atau tidak.
Seorang mediator, ia berperan sebagai pemimpin dan fasilitator proses
perundingan dalam mediasi, dimana para pihak memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Ia harus berupaya menyelaraskan dan mengharmonisasikan
kepentingan-kepentingan yang berbeda untuk tercapai suatu kesepakatan
bersama.
Untuk menjadi mediator professional diperlukan adanya pelatihan
khusus mediasi, di dalam pasal 5 ayat (1) No.1 menekankan perlunya seorang
mediator memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti
pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga yang telah terakreditas dari
Mahkamah Agung RI.
Adapun di Pengadilan Agama Bogor para mediator memiliki jadwal
dalam memberikan mediasi tersebut antara lain:
TABEL VI
Jadwal Mediator PA Bogor
No Nama Mediator No. Sertifikat Jadwal
Mediasi
1 Alun Brahma Santi,
S.H.,M.H
177/8-P/BP4/IV/2017 Senin dan
kamis
2 Syakhruddin, S.HI.,M.H 1626/PMN/102/2017 Selasa
3 Dr. Sulhan,
S.Pd.,S.H.,M.Si.,M,kn
136/KMA/SK/VIII/2016 Rabu
2. Dukungan Kelembagaan.
62
Usaha peningkatan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Peradilan
Agama ditempuh dengan jalan meningkatkan semua aspek kegiatan dalam
organisai yang meliputi organisasi, kelembagaan, kepegawaaian, keuangan,
perlengkapan dan fasilitas kerja lainnya.
Kelancaran, ketertiban, dan kesempurnaan dalam melaksanakan tugas
Peradilan Agama, sebagian besar ditentukan oleh kelancaran dan ketertiban
jalannya administrasi perkantoran dari masing-masing unit kerja yang berada
didalamnya.
Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam administrasi perkantoran
tersebut selalu diperlukan adanya sarana prasarana kantor yang dapat menjamin
pelaksanaan tugas yang harus dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Faktort dukunagan kelembagaan yang mempengaruhi penerapan asas
perdamaian
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum adalah bagaimana
terjadinya sebuah keselarasan hubungan nilai-nilai yang terjebarkan dalam
kaidah-kaidah, hukum dapat tercapai dalam jiwa masyarakat sehingga tercipta
kedamaian, ketertiban dan ketentraman.
Wayne La Favre sebagaimana dikutip oleh soejono Soekamto menilai
bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
diskresi,4 yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur
oleh kaidah hukum akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi5
Ganguan terhadap penegakan hukum dapat terjadi apabila terdapat
ketidakselarasan antara nilai, kidah dan pola perilaku dalam masyarakat.
Penegakan hukum dikatakan bukanlah semata-mata pelaksanaan Undang-
undang. Walupun dalam kenyataannya cenderung demikian. Maka dapat terjadi
4 Kamus Hukum Indonesia 5 Soejono Soekamto, Factor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2007), h.7
63
gangguan kedamaian dalam pergaulan hidup bila pelaksanaan peraturan dalam
Undang-undang malah cenderung menyulitkan masyarakat.
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soejono Soekamto,
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh factor. Factor-faktor ini
memiliki arti netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi
factor-faktor tersebut. Factor-faktor tersebut adlah sebagai berikut:6
a. Faktor Hukum (Undang-undang)
Maksud dari factor hukum dalam poin pertama menurut Soejono
Soekamto dengan undang-undang dalam arti materiil adalah peraturan
tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun
daerah yang sah
b. Faktor Penegak Hukum
Ruang lingkup dari istilah penegak hukum adalah luas sekali,
oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan tidak langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum
c. Faktor Sarana dan Fasilitas
Tanpa adanya sarana prasarana maka tidak mungkin hukum
dapat berlangsung dengan lancer. Sarana dan Fasilitas tersebut antara
lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memedai, keuangan yang cukup
dan sebagainya
d. Faktor Masyarakat
Kepatuhan masyarakat akan hukum sangat dipengaruhi oleh
factor-faktor tersebut diatas. Masyarakat kebanyakan kurang
mempedulikan aturan hukum yang sedang berlaku, namun mereka
hanya ingin mendapatkan keadilan dan kepastian hukum terhadap
6 Soejono Soekanto, Factor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2007), h.8
64
perkara yang sedang mereka hadapi. Begitu pula dalam hal mediasi.
Kedua belah pihak bersengketa akan memiliki harapan kepada penegak
hukum yakni mediator, agar sengketa diantara mereka dapat selesai
dengan baik. Peran mediator sangat penting dalam proses mediasi yang
berlangsung antara kedua belah pihak. Kemampuan mediator tentang
nilai-nilai dan kaidah yang berlaku dikalangan masyarakat sangatlah
penting untuk diketahui, agar mediator dapat mencari solusi atas
sengketa dan bukan malah memperkeruh suasana akibat
ketidaktahuannya akan nilai-nilai dan kebiasaan yang terdapat di sebuah
masyarakat.
e. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yang sebenarnya menjadi satu dengan factor
masyarakat dibedakan karena di dalam pembahasannya diutamakan
dalam masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan
spiritual maupun material. Sebagai suatu sistem atau subsistem dari
sistem kemasyarakatan.
Mediasi di Pengadilan Agama yang diketahui oleh para pencari keadilan
adalah nilai-nilai islam yang menjadi syarat akan pedoman, karena telah
mendarah daging dalam kehidupan masyarakat muslim.
Demikian lima factor keberhasilan mediasi yang dijadikan penulis
sebagai alat ukur penelitian ini. Adapun teori efektivitas ini bersifat netral,
maka dikatakan efektif apabila berhasil dijalankan dan dikatakan tidak efektif
apabila tidak dijalankan. Demikianlah teori efektivitas hukum hasil pemikiran
Soejono Soekamto.
Mengacu pada lima faktor yang dikemukakan oleh Soedjono Soekanto
diatas yang menjadikan kurang efektifnya sebuah mediasi di Pengadilan Agama
Bogor dan Pengadilan Agama Cibinong ialah faktor sarana dan fasilitas yaitu
sebuah ruang mediasi yang kurang begitu privat sehingga kenyamanan para
65
pihak untuk mengutarakan kegelisahan menjadi terganggu. Kemudian
ditambah faktor masyarakat yang kurang begitu patuh akan hukum berupa tidak
adanya I’tikad baik dari para pihak yang berperkara dalam melakukan
perdamaian.
3. Sikap Para Pihak
Ada beberapa kondisi sosial yang menentukan para pihak berperkara
dalam menentukan keberhasilan sebuah mediasi. Seperti kondisi Sosiologis
dalam menggugat suami, seorang isteri yang tidak memiliki pekerjaan akan
berpikir ulang untuk menggugat cerai suaminya berbeda dengan isteri yang
memiliki pekerjaan tetap atau penghasilan yang cukup. Kondisi psikologis para
pihak dapat mempengaruhi keberhasilan mediasi. Seseorang yang ingin
berpisah dengan pasangannya tentu telah merasakan ketidaknyamanan atau
mungkin penderitaan fisik maupun psikis yang berlangsung lam. Semakin besar
tekanan pada diri seseorang, maka semakin besar pula keinginannya untuk
berpisah dengan pasangannya. Begitupun dengan tingkat Moral dan
Kerohanian para pihak.
D. Analisis Penulis
Menempuh jalur Mediasi dalam menyelesaikan sengketa sebenarnya memiliki
beberapa keuntungan bagi para pihak, diantaranya adalah;
1. Proses Cepat
Sengketa-sengketa yang ditangani oleh mediasi publik dapat
dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung antara dua sampai
tiga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan pada setiap kali pertemuan
hanya berkisar satu sampai satu setengah jam saja, ini sangat jauh berbeda
dengan jangka waktu yang digunakan dalam proses arbitrase dan litigasi.
2. Tertutup/ Rahasia
66
Segala sesuatu baik yang diucapkan maupun data-data pemeriksaan
selama mediasi bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses
mediasi, pemeriksaannya tidak dihadiri oleh publik. Hal tersebut sangat
berbeda dengan pemeriksaan lewat proses litigasi. Untuk perkara-perkara yang
pemeriksaannya atau persidangannya terbuka untuk umum dapat dihadiri oleh
publik atau diliput oleh pers, sehingga sebelum pengambilan keputusan dapat
muncul berbagai opini publik yang pada gilirannya dapat berpengaruh pada
sikap para pihak yang bersengketa dalam menyikapi putusan majlis Hakim.
3. Murah
Sebagai besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan pelayanan
sanagt murah dan juga tidak perlu menggunakan jasa pengacara. Karena dalam
proses mediasi, kehadiran pengacara kurang begitu dibutuhkan.
4. Adil
Dalam proses mediasi, jalan kaluar masalah dapat dibicarakan/
diserasikan dengan kebutuhan-kabutuhan atau keinginan-kenginan para
pihakyang bersengketa. Maka dari itu, keputusan yang diambil atau dihasilkan
dapat memberikan keadilan kepada pihak yang bersengketa.
5. Pemberdayaan Individu
Seorang yang mengalokasikan sendiri masalah sering kali merasa mempunyai
lebih banyak kuasa dari pada mereka yang melakukan advokasi melalui wakil
dan pengacara.
Keuntungan-keuntungan tersebut tentu saja dapat terjadi jika mediasi
dilaksankan sesuai dengan prosedur dan aturan yang ada. Misalnya dengan
memaksimalkan waktu pelaksanaan mediasi dengan iktikad baik para pihak yang
berperkara.
Penerapan PERMA No. 1 Tahun 2016 yang juga dipraktikan di Pengadilan
Agama Bogor maupun Pengadilan Agama Cibinong, dalam proses penyelesaian
sengketa perkawinan sejalan dengan hukum Islam, dimana perceraian adalah suatu
67
perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Meskipun upaya perdamaian telah
diupayakan secara maksimal.
Dalam hal ini, mediasi menjadi media Pengadilan untuk menekan angka
perceraian di Kota dan Kabupaten Bogor.
Sejak pemberlakuan PERMA No.1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi maka
proses persidangan perkara perdata diwajibkan kepada para pihak yang berperkara
untuk menempuh proses mediasi, dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu tahap
pramediasi dan tahap proses mediasi. Tahap pramediasi diawali ketika pada
persidangan pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak, hakim menjelaskan tujuan
mediasi dan memerintahkan untuk menempuh proses mediasi. Setelah para pihak
menentukan mediator, baik dari daftar Pengadilan yang tersedia maupun dari luar.
Mediator menentukan jadwal pertemuan mediasi dan mewajibkan para pihak
menyerahkan resume perkara. Selanjutnya hari pertemuan para pihak dengan mediator
disebut tahap proses mediasi. Proses mediasi berlangsung selama 40 hari. Jika mediasi
berhasil dibuatkan akta perdamaian, jika masalah harta benda dan jika masalah
perceraian dicabut perkaranya. Namun jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan
sesuai hukum acara yang berlaku. Pengadilan Agama Bogor dan Peradilan Agama
Cibinong sudah menerapkan PERMA No.1 Tahun 2016 secara fleksibel.
Sejauh ini dengan berdasarkan data dan wawancara dengan narasumber dari
mediator dan Panitera Muda Hukum bahwa proses mediasi di kedua Pengadilan Agama
Bogor dan Cibinong sesuai dengan PERMA No 1 tahun 2016. Para Mediator pun
memenuhi syarat sebagai mediator karena memiliki sertifikat mediator apabila
mediator diambil dari luar Pengadilan ditambah dengan fasiliats Pengadilan yang
memadai. Adapun keberhasilan mediasi yang masih jauh dari harapan keberhasilannya
dikarenakan para pihak yang bersisikukuh untuk menempuh sidang perceraian
meskipun sudah melalui tahapan mediasi yang sesuai prosedur. Meskipun berakhir
dengan perceraian para mediator mengusahakan adanya win win solution antar kedua
belah pihak, agar tidak mengajukan banding ataupun kasasi.
68
Mediator selalu mengusulkan untuk melakukan perdamai meskipun masalah
yang dihadapi para pihak sangatlah pelik baik KDRT, masalah ekonomi,
perselingkuhan dan sebagainya, mediator selalu menengahi permasalahan tersebut
dengan menyajikan perdamaian. Akan tetapi para pihak masih bersikukuh untuk
melakukan perceraian walupun ada yang berhasil dimediasi tapi itu masih relative
rendah.
Dari kedua Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama Cibinong.
Pengadilan Agama Bogor memiliki presentase keberhasilan yang rendah di tahun 2017
dengan 4,2 % mengingat masyarakat Kota yang notabene masyarakat yang
berpendidikan, bewawasan dalam segi informasi, lingkungan yang modern dan
sebagainya, akan tetapi kesadaran dalam beriktikad baik untuk menyelesaikan perkara
masih jauh dari kata sadar. Dari 1720 perkara yang masuk di Pengadilan Agama Bogor,
234 perkara yang bisa di mediasi, dan 10 perkara saja yang berhasil di mediasi. Ini
menunjukan bahwa masyarakat Kota yang identik dengan modernisasi tidak
berpengaruh akan keberhasilan sebuah mediasi. Akan tetapi, masyarakat Kabupaten
yang masyarakatanya bermacm-macam dikarenakan luas wilayah yang begitu luas
tidak mempengaruhi mereka akan kesadaran dalam terjadinya perceraian.
Tetapi itu merupakan data yang dimiliki oleh sebuah Pengadilan yang sudah di
rekap oleh panitera. Sedangkan sebuah keefektivitasan mediasi yang diteliti oleh
penulis di Pengadilan Agama ialah para mediator yang bersertifikat dan memiliki
wawasan spiritual yang mumpuni karena merupaka dari kalangan akademisi, dan untuk
kurang efektifnya sebuah mediasi yaitu kurang privatnya ruang mediasi yang
menjadikan para berperkara kurang nyamanya untuk mengutarakan kegelisahanya dan
tidak adanya I’tikad baik dari para pihak yang berperkara yang menghasilkan
perdamaian.
Mediasi menjadi suatu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang bersifat
Consensus (kooperatif/ kerjasama). Pilihan penyelesaian sengketa dalam bentuk
mediasi merupakan tehnik atau mekanisme penyelesaian sengketa yang mendapat
perhatian serta diminati dengan beberapa alasan yang melatarbelakangai yaitu:
69
perlunya mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel dan responsif bagi
kebutuhan para pihak yang bersengketa. Untuk memperkuat keterlibatan masyarakat
dalam proses penyelesaian sengketa, serta memperluas akses untuk mencapai atau
mewujudkan keadilan sehingga setiap sengketa yang memiliki ciri-ciri tersendiri,
terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu dengan penyelesaian
yang lain dan para pihak dapat memilih mekanisme penyelesaian sengketa yang terbaik
dan sesuai dengan sengketa yang dipersengketakan.
Dengan demikian, tindakan Mahkamah Agung yang mengatur masalah mediasi
yang dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016 tentang
prosedur mediasi ini sejalan dengan konsep tahkim dalam literatur Islam yang secara
etimologi berarti menjadikan seseorang atau pihak ketiga atau disebut Hakam sebagai
penengah suatu sengketa.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Upaya Hakim dalam memediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama
Bogor dan Cibinong secara keseluruhan terlaksana sesuai dengan Undang-
undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No.50 Tahun
2009, Perubahan kedua atas Undang-undang No.7 Tahun 1999 tentang
Pengadilan Agama, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1
tahun 2016 tentang Mediasi, Namun dalam kasus perceraian masih belum
dikatakan berhasil untuk mendamaikan para berperkara, dilihat dari indikasi
perkara perceraian.
2. Keberhasilan maupun kegagalan dalam sebuah mediasi di Pengadilan Agama
Bogor dan Cibinong dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain;
a. Kualitas Sumber Daya Manusia (kualitas dan Kuantitas Mediator),
meskipun para mediator melaksanakan tugasnya sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan, namun secara umum masih belum
maksimal dalam pendekatan dengan para pihak berperkara.
b. Dukungan kelembagaan di Pengadilan Agama Bogor dan Cibinong
sangat memadai. Kelengkapan ruangan mediasi pun sangat tertutup dan
difasilitasi dengan Air Conditioner (AC) yang sejuk.
c. Sikap para pihak (suami istri yang berperkara) yang bersikukuh untuk
menempuh perceraian.
3. Adapun upaya Pengadilan Agama dalam mendamaikan pasangan yang
bersengketa ialah dengan cara win win solution apabila para berperkara
bersikukuh untuk melakukan perceraian dengan difasilitasi oleh Pengadilan dan
mediator.
4. Dengan presentase keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Bogor yang
relative rendah yaitu 4,2% di tahun 2017 menunjukan kurang efektifnya
71
pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama tersebut dibandingkan dengan
Pengadilan Agama Cibinong yang presentase keberhasilannya 18,6% di tahun
2017 tersebut, dengan skala 1:5 dari total populasi di daerah keduanya.
B. Saran-saran
1. Kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama yang
membawahi Kantor Urusan Agama (KUA) dan Badan Penasihat,
Pembinaan, dan Pelestarian Pernikahan (BP4), agar memberikan
pelatihan dan pembinaan kepada para calon pasangan yang ingin
menikah. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan yang
cukup serta kesiapan mental yang baik. Sehingga dapat memperkecil
kemungkinan perceraian yang disebabkan ketidaksiapan mereka
menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini merupakan tindakan
preventif terhadap perceraian.
2. Kepada Pengadilan Agama, agar menjalankan proses mediasi dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan prosedur yang ada serta mengoptimalkan
kinerja dari mediator dari hakim yang telah ditetapkan. Dan melakukan
evakuasi kinerja para mediator secara rutin demi memaksimalkan hasil
mediasi.
3. Kepada Hakim yang menjadi mediator, agar melaksanakan tugas
dengan baik sesuai dengan pelatihan mediasi yang telah diberikan oleh
MA, dan bagi yang belum mendapatkan pelatihan hendaknya belajar
secara mandiri sehingga meningkatkan kualitas individu dalam
menjalankan mediasi.
4. Kepada para pihak yang berperan di Pengadilan agar memenuhi aturan
yang telah ditetapkan, sehingga tidak menghambat prosedur
Pengadilan. Karena selain bermanfaat untuk masa sekarang, mediasi
juga bermanfaat untuk kehidupan para pihak di masa mendatang.
Karena penyelesaian sengketa lewat mediasi mengutamakan prinsip-
72
prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang selaras dengan
budaya bangsa Indonesia, maka sudah selayaknya mediasi ditetapkan
secara maksimal dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan.
5. Kepada para akademisi Hukum, agar memberikan pelajaran mediasi
secara komprehensif disertai dengan praktikum tehnis bermeditasi. Hal
demikian sangat membantu para mahasiswa yang akan terjun di dunia
hukum dan pengadilan.
73
DAFTAR PUSTAKA
A. Kitab Suci
Alquran dan Terjemahan, Departemen Agama Republik Indonesia
B. Buku
Abbas, Syahrizal, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan
Hukum Nasional, Jakarta Kencana Prenada Media Grup, 2009.
Arief, Nawawi, Barda, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
2013.
Arikunto, Saharismi, Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktik, Jakarta
Rineka Cipta.2006.
Aripin, Jaenal, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasio Hukum di
Indonesia, Jakarta; Kencana, tt.
Baharudin, Ahmad, Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis
Metodologis, Jakarta: Gaung Persada Press, tt.
Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Indonesia, Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2001
F.X., Sujadi, Penunjang Keberhasilan Proses Menejement, Jakarta CV
Masagung, 1990, cet 3.
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktik Pembuatan Proposal
dan Laporan penelitian, (Malang: UMM Press, 2004), h.14
Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan
Penyelesaian Sengketa, Bandung; Citra Aditya Bakti, 1997.
______________, Hukum Acara Perdata Gugatan Persidangan Penyitaan
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta; Sinar Grafika, 2011.
______________, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Pustaka Kartini, 1993, cet.2.
Igo, Mahyudin, Tujuan Terhadap Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perkara Perdata, Varia Peradilan, Tahun keXXI No.235,
Desember2006.
Kamus Hukum Indonesia
74
Karim, Hilmi, Fikih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993,
cet.1.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2013
Lubis, Sulaikin, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2008.
Makaro, Muhammad Taufik, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2004.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, cet.ke-5, Jakarta Kencana.2008.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, tt.
Mukhlis, Oyo Sunaryo Pranata Sosial Hukum Islam, Bandung: Refika
Aditama, 2015.
Rahmadi, Takbir, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalai Pendekatan
Mufakat, Jakarta; Rajawali Press,2011.
Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,2003.
Sabiq, As Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz III Beirut: Dar al-Fikr,1977.
Sabiq, Sayyid, Tarjamah Fiqh Sunnah Juz 2, Kairo: Dar al-Fath 1990.
Soekamto, Soerjono, Factor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada,2007.
______________, Pengantar Penelitian Hukum cet.3, Jakarta:UI Press,1986.
______________, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Bandung: Remaja
Karya,1985.
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta; Rineka Cipta, 2001, cet. 2.
Sukadana, I. Made, Mediasi Peradilan Mediasi dalam Sistem Pengadilan
Perdata Indonesia Dalam Rangka Mewujudkan Proses Pengadilan
Yang Sederhana, Cepat dan Ringan, Jakarta Prestasi Pustaka, 2012.
Syamsudin, M, Operasional Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Graffindo
Persada.2007.
75
Tim Peneliti, Laporan Penelitian: Prinsip-prinsip Hukum Islam (Fiqih) Dalam
Transaksi Ekonomi Pada Perbankan Syariah, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Bekerjasama dengan Direktorat Hukum BI,2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: DepartemenPendidikan dan
Kebudayaan, 1998.
Tresna, R, Komentar HIR cet XVIII. Jakarta: Paradya Paramita.2005
Usman, Rahmadi, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik,
JakartaTimur: Sinar Graffika.2012.
______________, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung:
PTAditya Bakri,2003
Wiranto, D.Y, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradialan Agama Menurut No.1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Bandung: Alfabeta,2012.
C. Interview
Interview Pribadi dengan Azmi Muhammad Adil, S.H., Mediator PA Cibinong,
Bogor, 16 Oktober 2018
Interview Pribadi dengan Agus Yuspian, S.Ag., M.H., Panmud Hukum PA
Bogor, Bogor, 2 Januari 2019
D. Artikel
http://bogorkab.go.id/index.php/page/detail/1/sejarah-kabupaten-bogor#.W5p-
g84zZdg
https://kotabogor.go.id/index.php/page/detail/5/sejarah-bogor
Laptah 2018 PA Bogor
Laptah PA Cibinong 2017
E. Jurnal
Masburiyah dan Bakhtiar Hasan, Upaya Islah dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Kota Jambi, Jurnal Media Akademika, Vol.26,
No.1, Januari 2011, Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
76
Nugraha, Susanti Adi, Naskah Akademis: MEDIASI, Jakarta: Peslitbang
Hukum dan Peradilan MA-RI, 2007.
Nugraha, Susanti Adi, Naskah Akademis: MEDIASI.
Rumusan hasil diskusi Hukum Hakim Peradialan Agama se-DKI Jakarta pada
tanggal 23 Januari 2009.
F. PERMA
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2008.
PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang Pedoman Mediasi di Pengadilan.
G. Skripsi
Arini, Nusra, Aplikasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
Dalam Putusan Perkara Perdata di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009
Chaerul Laily, Tubagus, Efektifitas Mediasi Melalaui Badan Penasihat
Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Dalam Menekan Angka
Perceraian (Studi Pada BP4 Pusat Tahun 2009), Fahultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012
Iwan, Acep, Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun
2016 tentang Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Purwakarta tahun 2016, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2017
Muhajir, Rahmat, Efektivitas Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Ternate Kelas 1B, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Azmi Muhammad Adil, S.H
NIP :
Jabatan : Mediator Non-Hakim Pengadilan Agama Cibinong
Tanggal Wawancara : 16 Oktober 2018 M
Tempat Wawancara : Ruang Mediasi Pengadilan Agama Cibinong
A. Wawancara kepada Mediator
1. Apakah yang dimaksud dengan mediasi? Dan apakah fungsi dari
mediator itu sendiri?
Jawab:
a. Mediasi merupakan proses penyelesaian antara kedua belah
pihak atau beberapa pihak dengan dibantu seorang mediator atau
pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketanya untuk mencapai
kesepakatan.
b. Fungsi Mediator ialah mencarikan solusi-solusi yang terbaik
bagi kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan diantara
para pihak dengan saling menguntungkan tidak dengan saling
merugikan para pihak dalam penyelesaian sengketanya.
2. Apakah dengan diberlakaukannya PERMA No.1 tahun 2016
berpengaruh signifikan terhadap perceraian di Pengadilan Agama
Cibinong? Dan Bagaimana Proses mediasi dilaksanakan?
Jawab:
a. Tidak ada pengaruh yang signifikan dlam tingkat volume
perceraian di Pengadilan Agama Cibinong, tetapi para mediator
berupaya untuk menjalankan mediasi sesuai PERMA No.1
tahun 2016.
b. Proses mediasi dilaksanakan pada persidangan pertama dengan
menunjuk hakim mediator oleh hakim ketua majlis, para pihak
melakukan mediasi dengan mediator yang telah ditunjuk,
laporan hasil mediasi dari mediator, dan jika gagal perkara
diperiksa lebih lanjut, jika berhasil perkara dicabut untuk
perkara perceraian dan dibuatkan akta perdamaian untuk
perkara perdata lain.
3. Apa saja hambatan dan tantangan yang ditemukan dalam melakukan
proses mediasi?
Jawab:
a. Hambatanya ialah ruang mediasi yang tidak terlalu private
sehingga kenyamanan para pihak untuk mengutarakan
kegelisahan menjadi terganggu dan tidak adanya I’tikad baik
dari para pihak yang berperkara dalam melakukan perdamaian.
b. Adapun tantangannya ialah menjadi mediator yang ideal,
mengenal karakter masing-masing, memberikan saran yang
mendukung dan permasalahan psikologi dan sosiologi masing-
masing pihak
4. Menurut pandangan Bapak apakah pelaksanaan mediasi sudah efektif
dalam mengatasi masalah perkara perceraian?
Jawab:
Menurut saya cukup efektif dalam pelaksanaan walupun tidak
berpengaruh terhadap tingkat volume perceraian. Setidaknya dapat
memberikan pencerahan rohani bagi para pihak, sehingga para pihak
dapat menyadari betapa pentingnya sebuah perdamaian walaupun
berujung perceraian tetapi kami selalu memfasilitasi dalam
mengupayakan win win solution.
Nama : Agus Yuspian, S.Ag., M.H.
NIP :
Jabatan : Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Bogor
Tanggal Wawancara : 02 Januari2019 M
Tempat Wawancara : Ruang Sidang Pengadilan Agama Bogor
B. Wawancara kepada PanMud Hukum
1. Menurut bapak apa tujuan sebenarnya dari mediasi?
Jawab:
Mediasi sebagai upaya dari lembaga pengadialan untuk menyelesaikan
masalah sebelum lebih lanjut ke pengadilan dan untuk mengurangi
perkara agar tidak menumpuk.
2. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah dikeluarkannya PERMA No.1
tahun 2016?
Jawab:
Pengadilan Agama sudah mengaplikasikan mediasi sesuai dengan
PERMA No.1 Tahun 2016.
3. Apa faktor yang mendukung proses mediasi?
Jawab:
Dilihat dari faktor usia, ada para pihak yang memiliki i’tikad baik untuk
mengakhiri sengketa melalui mediasi dan para pihak memiliki
kesadaran untuk berdamai dan menyadari kekeliruannya, ruang mediasi
yang tertutup dan memadai
4. Bagaimana efektivitas mediasi di pengadilan Agama Bogor?
Jawab:
Efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Bogor bukan diukur dari
tingkat keefektivitasannya melaikan dilihat dari presentase
keberhasilan, walaupun presentase keberhasilan mediasi masih rendah.
DOKUMENTASI
Foto Peneliti dengan Mediator Pengadilan Agama Cibinong Bapak Azmi Muhammad
Adil, S.H pada tanggal 16 Oktober 2018 M
Foto Peneliti dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Bogor Bapak Agus
Yuspian, S.Ag., M.H pada tanggal 02 Januari 2019 M