efek anestesia umum terhadap neuroplastisitas …
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
EFEK ANESTESIA UMUM TERHADAP
NEUROPLASTISITAS PASIEN PEDIATRIK
dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn.,M.Si
PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………….…………..i
Daftar isi…………………………………………………………………….………...iii
Daftar Tabel………………………………………………………………….………..iv
Daftar Gambar……………………………………………………………..…..……...v
BAB I Pendahuluan………………………………………………………..…..……...1
BAB II Kajian Pustaka……………………………………………………..…..……..3
2.1. Sejarah Neuroplastisitas ………………………………………..…..…...3
2.2. Definisi…………………………………………………………..…..…...3
2.3. Dasar Neurobiologi Neuroplatisitas……………………………………..5
2.3.1. Tahap-tahap Perkembangan Otak…………………………..….…5
2.3.2. Jenis-jenis Umum Plastisitas Otak……………………………......10
2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Otak Normal...11
2.3.4. Perkembangan Otak Pasca Cedera Otak Dini……………...……..14
2.4. Neurotoksisitas dan Neuroplastisitas Pada Anestesia Pasien Pediatrik…16
2.4.1. Definisi……………………………………………………………17
2.4.2. Studi eksperimental……………………………………………….17
2.4.3. Patogenesis………………………………………………………..19
2.4.4. Studi klinis………………………………………………………...27
BAB III Kesimpulan………………………………………………………………….30
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………..31
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tahap-tahap Perkembangan Otak 6
Tabel 2 Tingkat Analisis Plastisitas 10
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Perkembangan embrio hari ke 20 dan 21 7
Gambar 2 :Perkembangan embrio hari ke 23 7
Gambar 3 :Migrasi sel saraf 8
Gambar 4 : Perkembangan embrio minggu ke 8 8
Gambar 5 : Susunan lapisan korteks 9
BAB I
PENDAHULUAN
Plastisitak otak atau neuroplastisitas diartikan sebagai kemampuan otak untuk berubah,
melakukan remodeling, dan reorganisasi dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan
yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi baru. Faktanya, jaringan saraf
tidak bersifat statis, melainkan muncul dan hilang secara dinamik disepanjang kehidupan
manusia, tergantung dari pengalaman yang mereka alami. Ketika kita melatih suatu
kemampuan tertentu seperti melakukan suatu rangkaian gerakan tertentu atau memecahkan
soal-soal matematika, suatu sirkuit saraf akan terbentuk, yang menyebabkan timbulnya
kemampuan untuk melakukan suatu keahlian dengan lebih baik dan dengan energi yang
lebih sedikit. Begitu kita berhenti melakukan suatu aktivitas tertentu, otak akan mengatur
ulang sirkuit saraf dengan prinsip “pakai atau hilang”. Neuroplastisitas berkaitan dengan
perubahan fungsional yang meliputi fenomena seperti memori, adiksi, timbulnya suatu
kebiasaan tertentu, sensitisasi terhadap posisi tertentu, toleransi terhadap obat-obat tertentu,
bahkan pemulihan pasca cedera otak.1,2
Otak normal yang sedang berada dalam masa perkembangan mempunyai kapasitas yang
sangat besar untuk mengalami perubahan plastisitas sebagai respon terhadap berbagai
rangsangan seperti pengalaman sensorik dan motorik, obat-obat psikoaktif, hubungan orang
tua dan anak, hubungan dengan anggota kelompok yang sama, stres, hormon gonadal, flora
usus, diet, dan trauma. Efek trauma sangat bervariasi tergantung usia saat terjadinya trauma,
dimana secara umum trauma saat fase migrasi sel dan maturasi neuron memberikan hasil
akhir fungsional yang buruk, sedangkan trauma atau cedera yang sama yang terjadi pada saat
fase sinaptogenesis mempunyai hasil akhir yang jauh lebih baik.1,3
Beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak publikasi yang menunjukkan dampak
negatif anestesia terhadap otak yang sedang berada dalam masa perkembangan. Anestesi
banyak diterapkan pada pasien-pasien pediatrik untuk operasi, proses pencitraan, dan
prosedur-prosedur invasif lainnya. Beberapa bukti preklinis dan klinis retrospektif
menunjukkan bahwa pajanan terhadap anestesi umum dapat mengganggu perkembangan
kognitif pada subjek usia muda. Yang lebih khusus lagi, jika anestesi umum diberikan pada
periode kritis (4 tahun pertama) dan jika diberikan dalam konsentrasi besar atau berulang
kali, dapat menimbulkan efek negatif pada otak yang sedang berada dalam masa
perkembangan baik itu secara akut maupun dalam jangka waktu panjang, walaupun hal ini
belum dapat diklarifikasi sepenuhnya. Anestesi umum sendiri seringkali tidak dapat dihindari
pemberiannya pada kelompok usia pediatrik, sehingga diperlukan strategi untuk menghindari
atau membatasi terjadinya cedera otak potensial melalui pendekatan yang memiliki bukti
ilmiah.4,5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Neuroplastisitas
Sekitar 120 tahun yang lalu, William James adalah orang pertama yang
mengemukakan teori neuroplastisitas dalam karyanya Principles of Psycology. Ia
mengemukakan bahwa otak manusia dapat terus menerus mengalami perubahan
fungsional. Seorang ahli saraf berkebangsaan Polandia, Jerzy Konorski adalah yang
pertama menggunakan istilah “neuroplastisitas” pada tahun 1948. Konorski
mengemukakan sebuah teori bahwa neuron yang diaktivasi oleh kedekatannya dengan
sirkuit saraf yang aktif, akan berubah dan menggabungkan dirinya ke dalam sirkuit
tersebut. Donald Hebb, seorang ahli psikologi berkebangsaan Kanada menekankan
bahwa perubahan proses biokimia pada satu neuron dapat menstimulasi aktivasi sinaps-
sinaps disekitarnya. Hal ini merupakan prinsip dasar plastisitas sinaptik. Paul Bach-y-
Rita adalah yang pertama mendemonstrasikan neuroplastisitas pada kasus nyata, ia
mengklaim bahwa bagian otak yang sehat dapat mengambil alih fungsi bagian otak
yang mengalami cedera. Hal ini menjadi dasar dari terapinya untuk pasien-pasien yang
mengalami kerusakan vestibular.
Edward Taub membuktikan pertama dengan percobaan terhadap kera rhesus lalu
pada manusia bahwa dengan mengikat separuh bagian tubuh yang sehat pada kasus
hemiplegia akan “memaksa” bagian otak yang rusak untuk mempercepat proses
rehabilitasi.
Michael Merzenich, seorang ilmuwan saraf juga mencatatkan namanya dalam
dunia neuroplastisitas dengan merancang sebuah perangkat lunak untuk membantu
orang-orang dengan kesulitan belajar.
Neuroplastisitas adalah hal yang menandai Dekade otak yaitu antara tahun 1990-
2000 dimana Presiden Amerika George H.W Bush mencoba meningkatkan kesadaran
masyarakat akan manfaat yang dihasilkan oleh penelitian mengenai otak.2
2.2 Definisi
Plastisitak otak atau neuroplastisitas diartikan sebagai kemampuan otak untuk
berubah, melakukan remodeling, dan reorganisasi dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi
baru. Kemampuan otak ini berlangsung disepanjang kehidupan suatu individu1,2.
Neuroplastisitas secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu neuroplastisitas
struktural dan fungsional2
a) Neuroplastisitas struktural
Plastisitas sinaps merujuk pada perubahan pada kekuatan antar neuron (sinaps),
titik pertemuan kimiawi atau elektrik antar sel-sel otak yang dapat meliputi banyak
proses spesifik seperti perubahan jangka panjang pada jumlah reseptor untuk
neurotransmitter tertentu, atau perubahan dimana beberapa protein disintesis lebih
banyak di dalam sel.
Sinaptogenesis merujuk pada pembentukan dan penyatuan sinaps atau kelompok
sinaps ke dalam sirkuit saraf. Plastisitas struktural merupakan ciri neuron janin
selama masa perkembangan otak dan disebut juga plastisitas masa perkembangan
meliputi neurogenesis dan migrasi neuron.
Migrasi neuron merupakan proses dimana neuron berpindah dari “tempat
kelahirannya” di ventrikel janin atau daerah subventrikel menuju posisi akhir
mereka di daerah korteks.
Selama masa perkembangan, area otak menjadi terspesialisasi untuk tugas-tugas
tertentu seperti memproses sinyal dari area sekitar melalui reseptor sensorik.
Sebagai contoh pada area oksipital otak, lapisan keempat korteks mengalami
hipertrofi untuk menerima sinyal dari jalur visual.
Neurogenesis adalah pembentukan neuron-neuron baru. Proses ini berlangsung
terutama selama masa perkembangan otak. Sebaliknya, kematian neuron
berlangsung disepanjang masa kehidupan baik itu akibat kerusakan otak atau karena
kematian sel yang terprogram. Bentuk lain neuroplastisitas stuktural meliputi
perubahan pada tingkat kepadatan substansia grisea atau alba yang dapat dilihat
dengan MRI.
b) Neuroplastisitas fungsional
Neuroplastisitas fungsional bergantung pada dua proses dasar yaitu belajar dan
memori. Mereka mewakili plastisitas neural dan sinaptik jenis khusus, berdasarkan
pada plastisitas sinaptik jenis tertentu, menyebabkan perubahan permanen pada
efektivitas sinaptik. Selama proses belajar dan mengingat, perubahan permanen
terjadi pada hubungan sinaptik antar neuron akibat penyesuaian struktural atau
proses biokimia intraseluler.
2.3 Dasar Neurobiologi Neuroplastisitas
Bila melihat neuroplatisitas pada tingkat molekuler, semua jenis plastisitas sinaptik
mengalami modulasi eksositosis neurotransmitter baik itu pada tingkat satu sinaps atau
pada jaringan saraf yang lebih besar. Plastisitas sinaptik terutama bergantung pada
neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor. Aktivitas mental mengaktifkan jalur
molekuler saraf yang besar meliputi faktor-faktor regulator yaitu DNA dan RNA.
Penelitian terhadap perubahan jangka panjang di dalam sinaps mempertimbangkan
berbagai jenis memori berdasarkan mekanisme yang berbeda-beda. Di dalam korteks,
reseptor glutamate berperan penting karena glutamate merupakan neurotransmitter
eksitatorik paling penting. Jika muncul beberapa impuls dari neuron-neuron tetangga,
dalam waktu yang singkat terjadi aktivasi reseptor glutamate metabolik (NMDA). Hal
ini memungkinkan terjadinya influks kalsium yang juga berpartisipasi dalam sintesis
protein dan merubah neuron postsinaptik secara permanen.2
2.3.1 Tahap-Tahap Perkembangan Otak
Perkembangan otak dan perilaku tidak hanya dipandu oleh cetakan genetik dasar
tetapi juga oleh berbagai rangsangan yang ikut membentuk otak yang sedang
berkembang. Otak yang terpajan oleh berbagai stimulus lingkungan seperti rangsangan
sensorik, stress, trauma, diet, obat-obatan, dan hubungan sosial menunjukkan pola
perkembangan yang unik. Banyaknya studi epigenetik dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan bahwa stimulus pada masa prenatal bahkan prekonseptual mempengaruhi
susunan jaringan saraf.1
Perkembangan otak dapat dibagi menjadi dua fase. Pada mamalia, fase pertama
adalah in utero dan merupakan cerminan dari rangkaian kejadian yang sudah
ditentukan secara genetik yang dapat dimodulasi oleh lingkungan maternal. Tahap
perkembangan yang hakiki di fase ini adalah pembentukan dan migrasi neuron. Fase
kedua, yang berlangsung sebagian besar pada periode postnatal pada spesies seperti
tikus, namun pada periode pre dan post natal pada manusia yang tahap perkembangan
otaknya lebih panjang. Fase kedua ini merupakan periode dimana konektivitas otak
yang sedang bermunculan bersifat sangat sensitif tidak hanya terhadap stimulus
lingkungan namun juga terhadap pola aktivitas otak yang dihasilkan oleh stimulus-
stimulus dari pengalaman sebelumnya.1,2
Tabel 1 merangkum tujuh tahap perkembangan otak pada manusia.1,6
Tabel 1 Tahap-tahap perkembangan otak
1. Kelahiran sel (produksi sel-sel yang akan menjadi jaringan saraf
2. Proliferasi sel (reproduksi sel / mitosis)
3. Migrasi sel (lokalisasi sel pada area otak yang sesuai)
4. Diferensiasi sel (perkembangan otak menjadi jenis tertentu)
5. Sinaptogenesis (pembentukan koneksi sinaps yang sesuai)
6. Kematian sel dan pemotongan sinaps (eliminasi sel-sel yang mengalami
mislokasi dan gagal membentuk konektivitas sinaps yang sesuai)
7. Validasi fungsional (penguatan sinaps yang dipakai, pelemahan sinaps yang
tidak dipakai)
Kegagalan dalam proses migrasi meliputi proliferasi sel yang abnormal, timing atau
migrasi yang abnormal, atau organisasi korteks yang abnormal berperan dalam
terjadinya gangguan seperti epilepsi, autism, dan skizofrenia diantara gangguan-
gangguan lainnya. Bahkan pajanan saat periode prenatal terhadap obat-obatan seperti
diazepam (agonist GABA) dapat merubah pola migrasi.1,2
a) Delapan Minggu Pertama
Pada periode inilah organ-organ, sistem, dan jaringan mulai dibentuk,
berdiferensiasi, dan diletakkan pada tempat yang sesuai. Sisa 30-40 minggu
kehamilan didedikasikan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan perbaikan organ-
organ, sistem, dan jaringan tersebut. Jika terjadi masalah dalam 8 minggu pertama
ini maka akan berakibat pada kesalahan rancangan struktur atau sistem. Jika
masalahnya timbul setelah minggu ke-8 maka akan mengakibatkan terjadinya
kegagalan pertumbuhan, perkembangan, dan perbaikan dari struktur atau sistem
terkait. Pada minggu ke 23 terbentuklah neural tube yang merupakan basis dari
seluruh sistem saraf. Pada tahap ini neural tube mengandung sekitar 125.000 sel.
Saat lahir, otak manusia mengandung kurang lebih 100 juta neuron. Dari informasi
ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa neuron-neuron baru dibentuk dengan
kecepatan sekitar 250.000 per menit selama 9 bulan kehamilan. Korteks serebral
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat selama 8 minggu pertama
ini, yang pertama terbentuk adalah lobus frontalis, kemudian lobus parietal, dan
terakhir lobus temporalis dan oksipitalis secara bersamaan. Sistem limbik terbentuk
dengan baik pada periode ini dan semua akan terus berlanjut tumbuh dan
berkembang selama periode berikutnya.6
Gbr 1. Perkembangan embrio hari ke 20 dan 211
Gbr 2. Perkembangan embrio hari ke 231
Gbr 3. Migrasi sel saraf1
Gbr 4. Perkembangan embrio minggu ke-81
b) Trimester Kedua
Mielinisasi serat-serat saraf dimulai pada bulan ketiga. Enam lapisan yang
berbeda berdiferensiasi di dalam korteks serebral dan hampir semua neuron di
dalam sistem saraf pusat sudah ada saat akhir bulan keenam dan sirkuit saraf akan
terus berkembang.6
Gbr 5. Susunan lapisan korteks
c) Trimester Ketiga
Bulan ketujuh kehamilan ditandai dengan pertumbuhan, perkembangan, dan
perbaikan susunan yang sangat cepat. Pada bulan kedelapan, janin akan
memperkuat sistem saraf pusat dengan meningkatkan jumlah koneksinya dan
menerima lebih banyak input sensorik serta kontrol motorik.6
d) Proses Persalinan dan Melahirkan
Proses persalinan dan melahirkan merupakan bagian dari kelanjutan pendidikan
pada janin dalam hal persepsi dan integrasi sensorik dan motorik. Saat lahir, semua
refleks berasal dari batang otak dengan kontrol korteks yang minimal.6
e) Perkembangan Otak Postnatal
Berat otak neonatus kurang lebih 300 gram (sekitar 10% dari berat badan),
berbeda dengan otak orang dewasa yang mempunyai berat kurang lebih 1400 gram
(hanya sekitar 2% dari berat badan). Berat otak akan bertambah seiring dengan usia
dan akan mencapai berat otak orang dewasa pada saat usia 6 sampai 14 tahun.
Perkembangan otak postnatal terjadi sebagai akibat dari peningkatan ukuran neuron
dan jumlah sel-sel pendukung (glia), berkembangnya sinaps, serta proses
mielinisasi. Sinaps –sinaps terbentuk dengan sangat cepat pada bulan-bulan awal
kehidupan dan mencapai tingkat kepadatan maksimum antara enam sampai dua
belas bulan pasca kelahiran. Terjadi penurunan jumlah sinaps setelah periode ini
akibat tidak dipakai atau karena erosi alami. Otak bayi hanya membentuk dan
mempertahankan sinaps yang sering dipakai. Maka dari itu pengalaman sensorik
awal sangatlah penting untuk pembentukan dan mempertahankan sinaps. Pada
neonatus, aktivitas metabolik paling jelas pada korteks sensori-motorik dan batang
otak, area yang diperlukan untuk fungsi refleks. Pada usia 2 sampai 3 bulan,
aktivitas metabolik paling jelas pada korteks visual dan korteks parietal disekitarnya
yang berhubungan dengan perkembangan fungsi integratif visual-spatial. Antara
usia 6 bulan sampai satu tahun, aktivitas metabolik paling jelas terlihat pada korteks
frontal yang berhubungan dengan perkembangan fungsi kortikal yang lebih tinggi
seperti interaksi segera dengan lingkungan, kecemasan terhadap orang asing, dll.
Studi pencitraan menunjukkan bahwa stimulasi awal akan meningkatkan fungsi otak
dan kurangnya stimulasi awal akan mengakibatkan hilangnya fungsi otak tertentu.6
2.3.2 Jenis-Jenis Umum Plastisitas Otak
Perubahan otak dapat dilihat pada berbagai tingkat analisis (Tabel 2) mulai dari
perilaku sampai tingkat molekular. Tidak ada tingkat analisis yang benar, pengukuran
plastisitas harus disesuaikan dengan pertanyaan penelitian yang ditanyakan.1
Tabel 2 Tingkat Analisis Plastisitas
Perilaku
Organisasi fungsional (cth: peta)
Struktur sel (cth: organisasi dendrite)
Struktur sinaps
Aktivitas mitotic (cth: neurogenesis)
Struktur molekuler (cth: protein)
Ekspresi gen
Tiga jenis plastisitas dapat dibedakan pada otak normal : experience-independent,
experience-expectant, dan experience-dependent. Plastisitas experience-independent
sebagian besar merupakan suatu proses perkembangan prenatal. Tidaklah praktis bagi
genome untuk menspesifikasi konektivitas setiap koneksi pada fase perkembangan
neuron. Namun, otak membentuk struktur kasar dimana terdapat overproduksi neuron
dan nantinya koneksi-koneksi akan dibentuk berdasarkan stimulus internal dan
eksternal.1
Plastisitas experience-expectant sebagian besar terjadi selama tahap pertumbuhan.
Contoh yang bagus adalah perkembangan kolom dominan okular pada korteks visual
primer. Wiesel dan Hubel (1963) menunjukkan apabila salah satu mata anak kucing
ditutup sejak lahir, mata yang terbuka akan memperluas teritorinya, yang menyebabkan
penyusutan kolom pada mata yang tertutup. Jika mata yang tertutup pada akhirnya
dibuka maka penglihatan akan terganggu.1
Akhirnya, plastisitas experience-dependent merupakan proses merubah susunan
neuron yang sudah ada. Kuncinya adalah bahwa perubahan sinaps merupakan cerminan
dari modifikasi fenotipe dasar yang terbentuk pada masa perkembangan. Penting untuk
diketahui bahwa pada plastisitas jenis ini terjadi penambahan maupun pemotongan
sinaps namun pada regio otak yang berbeda.1
2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Otak Normal
a) Lingkungan Yang Kompleks
Cara yang paling mudah dan dramatik untuk memanipulasi pengalaman adalah
dengan membandingkan struktur otak pada hewan yang ditempatkan di lingkungan
yang kompleks (lingkungan yang sarat keragaman) dengan yang ditempatkan di dalam
kandang di laboratorium standard. Hal ini menimbulkan perubahan pada ukuran otak,
ketebalan korteks, ukuran neuron, percabangan dendrite, kepadatan medulla spinalis,
jumlah sinaps untuk tiap neuron, jumlah dan kompleksitas glia, ekspresi
neurotransmitter dan faktor-faktor pertumbuhan, serta percabangan vaskular.
Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan peningkatan kemampuan kognitif dan
motorik dalam rentang yang luas.1,3
Penempatan pada lingkungan yang kompleks sejak lahir juga mempercepat maturasi
ketajaman visual. Menariknya, lingkungan yang kompleks dapat merangsang
perkembangan sistem visual tanpa stimulasi visual pada hewan yang ditaruh dalam
kegelapan. Nyatanya, studi menunjukkan bhawa efek-efek nonvisual dari lingkungan
yang kompleks dapat membalikkan efek dari membesarkan hewan dalam kegelapan.
Mekanisme yang mendasari efek ini belum diketahui, namun salah satu
kemungkinannya adalah bahwa hewan yang dibesarkan di lingkungan yang kompleks
mendapatkan perawatan maternal yang lebih banyak, yang merupakan faktor kuat yang
dapat merubah perkembangan otak. Lingkungan yang kompleks memberikan efek
kualitatif yang berbeda-beda pada usia pertumbuhan yang berbeda-beda pula.1,3
Pada intinya, penempatan pada lingkungan yang kompleks selama masa
pertumbuhan mempunyai efek yang signifikan dan bertahan lama terhadap
perkembangan otak.1,3
b) Pengalaman Sensorik dan Motorik
Schanberg dan Field (1987) menunjukkan bahwa stimulasi taktil pada bayi prematur
mempercepat pertumbuhan dan waktu keluar dari rumah sakit. Penelitian yang lebih
terkini menunjukkan bahwa stimulasi taktil pada bayi-bayi prematur mempercepat
maturasi EEG dan fungsi visual, serta meningkatkan kadar insulin growth factor I (IGF-
I) dan growth hormone. Stimulasi taktil secara signifikan mempercepat pemulihan dari
cedera kortikal dini.1,3
c) Obat-obat Psikoaktif
Alkohol telah lama berkaitan dengan gangguan perkembangan otak, akan tetapi
banyak obat-obat psikoaktif lain, termasuk obat-obatan resep mempengaruhi
perkembangan otak. Pajanan terhadap obat-obat psikoaktif pada masa dewasa
menghasilkan perubahan struktural sel yang bersifat menetap pada mPFCdan korteks
prefrontal orbita (OFC) serta nucleus accumbens. Terdapat bukti-bukti yang semakin
banyak saat ini bahwa pemberian obat-obat psikoaktif pada masa prenatal termasuk
nikotin, diazepam, dan fluoxetine secara kronis merubah struktur neuron, kognitif, dan
perilaku motorik. Hampir serupa, pemberian amphetamine, methylphenidate,
haloperidol, dan olanzapine pada periode kanak-kanak juga mengakibatkan gangguan
perilaku dan erosi dendrite pada tikus yang diperiksa saat masa dewasanya.1,3
d) Hubungan Orang Tua dan Anak
Mamalia yang sedang dalam masa pertumbuhan sangat bergantung pada orang tua
mereka dan hubungan orang tua dengan anak sangatlah penting untuk perkembangan
otak. Meaney dkk telah membuktikan bahwa interaksi maternal-bayi mempengaruhi
perilaku emosional dan kognitif pada saat dewasa, sebagian melalui mekanisme
modifikasi respons stress hipotalamus-adrenal begitu pula dengan ekspresi gen pada
hippocampus. Studi lain juga menunjukkan adanya perubahan terkait interaksi
maternal-bayi pada hipotalamus dan amygdala, serta mPFC dan OFC.1,3
e) Hubungan Dalam Kelompok Yang Sama
Hubungan dalam kelompok yang sama khususnya permainan, telah diketahui
mempengaruhi proses perkembangan. Korteks prefrontal berperan sentral dalam
perilaku main dan akibatnya, perkembangannya sangat dipengaruhi oleh permainan.
Cedera perinatal pada regio mPFC dan OFC mengganggu perilaku main. Lebih lanjut,
pengalaman dini termasuk stress prenatal dan stimulasi taktil merubah perilaku main
dan korteks prefrontal. Nampaknya, sangat mungkin terapi apapun yang merubah
perilaku main akan merubah fungsi dan perkembangan prefrontal. Sebagai contoh,
manipulasi perilaku main kanak-kanak juga merubah respons otak terhadap stimulant
psikomotor.1,3
f) Stress
Walaupun telah lama diketahui bahwa stress merubah otak dan perilaku orang
dewasa, namun baru diketahui bahwa stress perinatal ternyata memegang peranan.
Sebagai contoh, stress prenatal sekarang diketahui menjadi faktor resiko dalam
perkembangan skizofrenia, gangguan hiperaktivitas dan defisit fokus (ADHD), depresi,
dan kecanduan obat. Studi terhadap hewan di laboratorium juga menunjukkan bahwa
stress perinatal menghasilkan serangkaian gangguan perilaku, termasuk respons stress
yang meningkat dan memanjang, gangguan belajar dan memori, perubahan perilaku
sosial dan main, meningkatnya kecemasan, defisit perhatian, dan peningkatan
ketertarikan terhadap alkohol.1,3
Stress telah lama diketahui dapat merubah korteks prefrontal orang dewasa, namun
menjadi semakin jelas bahwa perubahan pada korteks prefrontal yang sedang
berkembang sangatlah berbeda. Sebagai contoh, stress pada orang dewasa
menyebabkan penurunan kepadatan medulla spinalis pada mPFC, akan tetapi
peningkatan pada korteks orbital, sedangkan Murmu dkk menemukan bahwa stress
prenatal pada tikus menghasilkan penurunan tingkat kepadatan dan panjang dendrite
medulla spinalis baik pada mPFC maupun OFCsaat masa dewasa. Sehingga, efek stress
perinatal bervariasi sesuai sifat stress, usia embrio saat stress terjadi, dan usia saat otak
diperiksa.1,3
g) Hormon Gonad
Selama masa perkembangan, efek yang paling jelas dari pajanan terhadap hormon
gonad adalah diferensiasi alat kelamin prenatal. Akan tetapi ditemukan reseptor hormon
gonad yang sama di otak, sehingga akan mengejutkan bila tidak ada perbedaan jenis
kelamin di sana juga. Terdapat perbedaan yang jelas pada otak manusia dewasa dan
studi MRI pada anak-anak manusia menunjukkan perbedaan yang besar dalam hal
kecepatan perkembangan otak pada dua jenis kelamin, dimana otak perempuan
mencapai volume dewasa 2-4 tahun lebih awal daripada otak laki-laki.1,3
h) Flora Usus
Mikrobiota usus telah beradaptasi terhadap hubungan simbiotik dengan banyak
hewan. Segera setelah lahir, usus mamalia dihuni oleh berbagai mikroba yang
mempengaruhi baik fungsi usus maupun hati. Terdapat banyak kesamaan pada
organisasi neurokimia sistem enteric dan saraf pusat, sehingga sangat beralasan untuk
berspekulasi bahwa mikrobiota usus dapat mempengaruhi fungsi otak. Studi
epidemiologis menunjukkan hubungan antara gangguan perkembangan saraf dan
termasuk autisme dan skizofrenia dengan infeksi mikroba pada awal kehidupan.
Penemuan ini sangat penting karena memberikan mekanisme dimana infeksi selama
masa pertumbuhan dapat mempengaruhi perkembangan otak.1,3
i) Diet
Terdapat banyak literatur perihal efek kalori dan/atau diet rendah protein terhadap
perkembangan otak dan perilaku, namun sedikit penelitian perihal plastisitas otak dan
restriksi diet. Suplementasi choline selama periode perinatal menyebabkan peningkatan
memori spatial pada berbagai tugas navigasi spatial dan meningkatkan kadar nerve
growth factor di hippocampus dan neocortex.1,3
2.3.4 Perkembangan Otak Pasca Cedera Otak Dini
Studi sistematis pertama mengenai efek cedera otak yang masih dalam tahap
perkembangan dilakukan oleh Margaret Kennard yang dimulai pada tahun 1930an.
Beliau membuat lesi korteks motorik unilateral pada bayi dan kera dewasa dan
menemukan kecacatan yang lebih ringan pada hewan yang lebih muda usianya. Hal ini
membuat dirinya berasumsi ada perubahan pada organisasi korteks bayi yang lebih
mendukung perilaku normal. Namun Hebb mempunyai kesimpulan yang berbeda.
Beliau mempelajari efek cedera lobus frontal pada anak-anak dan berkesimpulan bahwa
anak-anak tersebut mempunyai hasil akhir yang lebih buruk dibandingkan orang
dewasa dengan cedera yang serupa. Ia berpendapat bahwa cedera frontal dini
mengganggu perkembangan normal jaringan saraf yang dibutuhkan untuk mendukung
banyak perilaku orang dewasa. Kedua kesimpulan Kennard dan Hebb hanya bersifat
benar sebagian. Hasil akhir tergantung dari usia pasti pada saat cedera terjadi ,
pengukuran perilaku yang dipakai, usia saat diperiksa, dan apakah cederanya bersifat
uni atau bilateral.1,3
a) Usia Saat Terjadinya Cedera
Usia saat terjadinya cedera bukan berarti usia postnatal aktual hewan tetapi usia
perkembangan. Hewan pengerat dan karnivora dilahirkan lebih dewasa dibandingkan
primata, sehingga waktu kelahiran tidak bermanfaat dalam membandingkan antar
species. Dapat dikatakan bahwa hasil akhir fungsional lebih baik jika cedera terjadi
selama periode akhir neurogenesis dan buruk bila terjadi selama migrasi dan awal
sinaptogenesis. Akan tetapi, pemulihan tidak selalu sama di semua regio, dimana cedera
posterior lebih buruk pemulihannya dibandingkan lesi anterior.1,3
b) Spesifisitas Perilaku
Fungsi kognitif menunjukkan pemulihan fungsional yang lebih baik ketimbang
fungsi motorik, yang sebaliknya menunjukkan pemulihan yang lebih baik daripada
perilaku khas species yang tidak menunjukkan pemulihan tanpa memandang usia saat
terjadi cedera. Nampaknya otak lebih mudah membentuk kelompok saraf baru untuk
memecahkan tugas kognitif daripada tugas motorik dan sirkuit saraf yang mendasari
perilaku khas species relatif lebih sulit diganti.1,3
c) Usia Saat Pemeriksaan
Salah satu tantangan dalam menilai efek cedera otak dini adalah mengetahui
kapan menyelidiki perilaku. Kolb dan Gibb melakukan observasi pada tikus yang dibuat
mengalami lesi mPFC pada periode P1 dan P10. Tikus-tikus tersebut dites perilakunya
pada P22-25, dan hasilnya kedua kelompok mengalami gangguan yang berat. Namun,
ketika tikus-tikus tersebut diperiksa pada P52-55, tikus-tikus P10 tidak lagi mengalami
gangguan, sedangkan tikus-tikus P1 masih mengalami gangguan. Pemulihan yang
dialami tikus-tikus P10 adalah akibat hipertrofi neuron-neuron pyramidal korteks yang
tidak terjadi saat usia P25. Hewan tidak hanya dapat terpuruk akibat defisitnya namun
juga bisa keluar dari defisit yang dialaminya.1,3
d. ) Cedera Unilateral VS Bilateral
Suatu perbedaan yang jelas antara cedera unilateral dan bilateral adalah bahwa pada
kasus cedera unilateral terdapat daerah utuh yang homolog terhadap daerah yang
mengalami cedera, sedangkan pada kasus cedera bilateral, tidak ada. Dua prediksi dari
perbedaan ini adalah kita mengharapkan pemulihan yang lebih baik dari cedera
unilateral dan sekuele pasca cedera otak nampaknya juga berbeda. Walaupun lesi fokal
unilateral memberikan keuntungan dalam hal pemulihan, keuntungan ini berkurang bila
ukuran lesi bertambah. Dan lagi, semakin besar lesi, semakin besar pula gangguan
bukan hanya pada anggota gerak kontralateral tetapi juga anggota gerak ipsilateral.1,3
2.4. Neurotoksisitas dan Neuroplastisitas Pada Anestesia Pasien Pediatrik
Jutaan neonatus dan bayi mendapatkan obat-obat anestesi, sedatif, dan analgetika
setiap harinya untuk operasi dan prosedur-prosedur yang menimbulkan rasa nyeri.
Sistem organ neonatus (kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan pernapasan) yang belum
matur sangatlah sensitive terhadap efek depresan dari obat-obat anesthesia. Walaupun
sebelumnya dianggap bersifat reversible penuh, saat ini anestesi umum dipandang
berpotensi menimbulkan resiko yang signifikan terhadap fungsi kognitif pada
kelompok usia pediatrik. Beberapa laporan penelitian di laboratorium secara jelas
menunjukkan bahwa obat-obat anestesia dan sedatif memicu terjadinya neuroapoptosis
dan defisit neurokognitif pada subjek penelitian di laboratorium. Yang lebih khusus
lagi, jika anestesi umum diberikan pada periode kritis (4 tahun pertama) dan jika
diberikan dalam konsentrasi besar atau berulang kali, dapat menimbulkan efek negatif
pada otak yang sedang berada dalam masa perkembangan baik itu secara akut maupun
dalam jangka waktu panjang, walaupun hal ini belum dapat diklarifikasi sepenuhnya.
Hal ini menarik untuk para anestesiologi dan intensivist pediatrik karena
mempertanyakan tingkat keamanan anestesia pada pasien pediatrik. Anestesi umum
sendiri seringkali tidak dapat dihindari pemberiannya pada kelompok usia pediatrik,
sehingga diperlukan strategi untuk menghindari atau membatasi terjadinya cedera otak
potensial melalui pendekatan yang memiliki bukti ilmiah.4,5,6,7
2.4.1 Definisi
Neurotoksisitas obat-obat anestesi terhadap otak yang sedang dalam masa
pertumbuhan ditentukan oleh reduksi atau berkurangnya tingkat kepadatan neuron dan
apoptosis pada studi eksperimental serta oleh gangguan memori, perhatian, proses
belajar, dan aktivitas motorik pada studi klinis. Walaupun obat-obat anestesi yang
dipakai pada neonatus mempunyai efek neurotoksik, ada alasan yang kuat untuk tetap
menggunakannya bahkan pada pasien-pasien yang rentan sekalipun. Karena nyeri itu
sendiri mempunyai efek neurotoksik, penerapan anesthesia-analgesia pada kondisi yang
dapat menimbulkan nyeri hebat dapat memberikan efek neuroprotektif. Penting juga
untuk diperhatikan bahwa pada kasus-kasus hipoksia-iskemia atau trauma, pemberian
anestesia mengurangi volume infark dengan menurunkan laju metabolik, menurunkan
tekanan intrakranial, menghilangkan radikal-radikal oksigen bebas, dan mengurangi
cedera sekunder. Anestesia hanyalah salah satu dari sekian banyak sumber-sumber
potensial neurotoksisitas perioperatif. Faktor-faktor terkait pasien seperti anomali
genetik, pematuritas, sepsis, infeksi, dan penyakit-penyakit vaskular dapat
menimbulkan neurotoksisitas perioperatif. Faktor-faktor lain seperti perubahan
hormonal, metabolik, inflamasi, atau kardiovakular akibat trauma atau pembedahan,
gangguan hemodinamik, hipoksia, hipo/hiperkapnia, hipo/hiperglikemia, gangguan
elektrolit, dan variasi suhu yang terjadi akibat anestesia dapat pula menyumbang untuk
terjadinya neurotoksisitas perioperatif.4,6
2.4.2 Studi Eksperimental
a) Anestesi inhalasi
Pada studi eksperimental oleh Shen dkk, sevoflurane diberikan pada tikus neonatus
(PND3, PND7, dan PND14) dan dewasa (PNW7) dengan konsentrasi antara 1%-4%.
Memori spatial kemudian diperiksa saat masa dewasa dengan menggunakan uji Morris
water maze (MWM). Tikus dewasa (PNW7) kurang senstif terhadap sevoflurane bila
dibandingkan dengan tikus-tikus neonatus. Defek memori jelas tampak pada kelompok
tikus yang mendapat anestesi dosis rendah berulang kali atau dosis tinggi namun hanya
diberikan sekali. Penulis menyimpulkan bahwa pajanan neonatus terhadap sevoflurane
dapat menghasilkan defisit memori pada masa dewasa, dengan defisit yang lebih besar
pada hewan yang mendapat anestesia berulang dalam periode yang singkat. Penulis
menyarankan bahwa pajanan neonatus terhadap anestesia selama periode neonatus
harus dibatasi dosis dan durasinya. Studi lain menunjukkan bahwa pajanan selama 4
jam terhadap sevoflurane (2,5%) mengakibatkan berkurangnya tingkat kepadatan
postsinaps hippocampus tanpa menyebabkan hilangnya neuron dan hal ini berkaitan
dengan gangguan belajar dan memori.4,5
Studi eksperimental lain melaporkan bahwa pemberian 0,5% MAC sevoflurane
selama 6 jam tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap apoptosis dan kadar
S100β. Sebaliknya, isoflurane yang diberikan dalam kondisi yang sama terbukti
meningkatkan tingkat apoptosis dan kadar S100β. Pada studi lain, yang mengevaluasi
efek anestesi inhalasi pada tikus neonatus, terbukti bahwa sevoflurane, isoflurane, dan
desflurane meningkatkan kadar caspase-3. Yang menarik, pemberian nitrous oxide
(sampai konsenstrasi 150%) tidak menimbulkan neuroapoptosis; namun, tingkat
apoptosis meningkat bila nitrous oxide diberikan bersama dengan isoflurane.
Neurotoksisitas ini diakibatkan oleh blokade reseptor NMDA oleh nitrous oxide yang
bermanifestasi sebagai pembengkakan masif organel-organel neuron termasuk
mitokondria dan reticulum endoplasmic. Nitrous oxide juga meningkatkan kadar
homosistein plasma yang disebabkan oleh oksidasi methionine sintase. Karena kadar
homosistein dalam darah dapat dengan mudah diukur, mereka dapat digunakan sebagai
biomarker modulasi aktivitas methionine sintase oleh nitrous oxide. Setelah 8 jam
pajanan terhadap nitrous oxide, terjadi peningkatan kadar homosistein dalam darah
sebanyak delapan kali lipat. Peningkatan ini dapat dapat dicegah dengan infus kontinyu
vitamin B12, yang merupakan co-factor enzim dari methionine sintase.6,7
Halothane yang diberikan selama periode neonatal berkaitan dengan
neurodegenerasi dan perubahan perilaku. Xenon tidak menimbulkan neuroapoptosis
bila digunakan secara tunggal; sebaliknya, xenon mengurangi efek anesthesia inhalasi
lain bila diberikan terlebih dahulu.6
b) Anestesi Intravena
Zou dkk meneliti efek durasi anestesia ketamine pada kera rhesus yang baru lahir
(PND5, PND6). Tiga jam pajanan terhadap ketamine tidak menimbulkan perubahan
histokimia yang signifikan, sedangkan kematian sel jelas ditemukan pada korteks
frontal pada subjek yang mendapat paparan ketamine selama 9 sampai 24 jam. Pada
kultur sel yang dilakukan oleh Bosnjak dkk ditemukan bahwa ketamine mengurangi
waktu viabilitas neuron dan menimbulkan abnormalitas ultrastruktural neuron yang
bersifat tergantung pada dosis yang diberikan, menimbulkan depolarisasi potensial
membran mitokondria, merangsang jalur apoptosis, menyebabkan pelepasan sitokrom C
dari mitokondria ke sitosol, dan merangsang produksi radikal oksigen bebas.4,5
Yu dkk mengamati neuroapoptosis dan perubahan perilaku jangka panjang pada
tikus PND7 yang diberikan propofol dosis tunggal dan berulang. Hasil penemuan
mereka adalah berkurangnya kepadatan neuron, perubahan morfologi pada sel-sel
piramida, apoptosis, dan penekanan pelepasan neurotransmitter eksitatorik. Efek ini
lebih jelas terlihat pada kelompok yang mendapat propofol berulang kali.4,5
Benzodiazepine (clonazepam, diazepam, midazolam) yang merupakan obat anestesi
intravena mempunyai efek yang kontroversial terhadap apoptosis; namun, barbiturate
(pentobarbital, phenobarbital) secara jelas meningkatkan proses apoptosis. Beberapa
studi yang jumlahnya tidak banyak melaporkan bahwa pajanan terhadap sodium
thiopental tidak menimbulkan peningkatan apoptosis. Thompson menyarankan
pemakaian anestesi narkotik dosis tinggi untuk neonatus dan bayi, namun pajanan
kronis opioid terhadap janin dan neonatus berkaitan dengan perubahan neuron.
Walaupun anestesia berbasis opioid dan opioid yang diberikan bersama dengan
anesthesia inhalasi terbukti mengurangi tingkat apoptosis, namun tingkat keamanannya
belum terbukti. Studi-studi ini semua masih kontroversial dan tingkat keamanannya
masih dipertanyakan. Studi lain menunjukkan bahwa dexmedetomidine mengurangi
tingkat toksisitas prenatal akibat propofol.6,7
2.4.3 Patogenesis
Patogenesis molekuler dari neurotoksisitas akibat anestesi telah pula diteliti
dalam studi eksperimental. Neonatus dilahirkan dengan kurang lebih 100 milyar neuron,
dan jumlah ini tidak bertambah seiring waktu. Berat otak neonatus kurang lebih 300-400
g. Peningkatan myelinisasi, pembentukan sinaps, maturasi neuron, dan proliferasi sel-sel
glia menambah berat otak menjadi 1100 gram pada usia 3 tahun dan 1300-1400 gram
saat dewasa. Bayi yang baru lahir mempunyai kurang lebih 50 triliun sinaps, meningkat
menjadi 1000 triliun dalam 1 tahun pertama kehidupan dan berkurang menjadi 500
triliun saat masa dewasa. Periode kritis pertumbuhan otak adalah saat periode
intrauterine, 3 tahun pertama kehidupan dan masa pubertas.4,6
Maturasi otak belumlah lengkap saat lahir, dan terjadi proses maturasi heterogen
pada otak setelah lahir. Maturasi berlangsung lambat di daerah korteks dan sistem
limbik. Perubahan neurotransmisi pada otak imatur akibat pajanan terhadap anestesia
dapat mengakibatkan gangguan di masa yang akan datang.6
a) Peran pembedahan, inflamasi, dan nyeri pada neurotoksisitas masa
pertumbuhan akibat anestesia
Walaupun insisi kulit dan injeksi formalin merupakan stimulus yang sangat nyeri,
mereka tidak dapat mensimulasikan kondisi pembedahan yang sebenarnya dimana
selain nosisepsi yang kuat, peran inflamasi, infeksi, kehilangan darah, dan pergeseran
cairan sangatlah bermakna. Bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa stimulus
pembedahan memperburuk neuroapoptosis masa pertumbuhan akibat isoflurane dan
defisit kognitif akibat anestesia. Namun, stimulasi nyeri perifer yang bersifat inflamasi
bersamaan dengan pemberian anestesia ketamine memperlemah proses apoptosis bila
dibandingkan dengan anestesia ketamine tanpa stimulus nyeri. Walaupun mekanisme
yang mendasarinya belum jelas, pembedahan merupakan propagator aditif atau
sinergistik dari neurotoksisitas masa pertumbuhan akibat anestesia.Sebagai contoh,
faktor proinflamasi utama interleukin 1 beta (IL-1β) yang meningkat selama operasi,
meningkatkan lalu lintas reseptor GABAA pada permukaan neuron di hippocampus
dengan hasil akhir berupa peningkatan ekspresi reseptor GABAA pada neuron yang
dapat meningkatkan neurotoksisitas terkait aktivasi reseptor ini.5
b) Efek anestesi umum terhadap pembentukan jaringan neuron
Beberapa grup peneliti menunjukkan bahwa pajanan terhadap anestesia pada masa
dini pertumbuhan otak menyebabkan penurunan jumlah sinaps yang signifikan dan
menetap pada beberapa regio otak pada kelompok hewan pengerat. Hal yang justru
berlawanan, obat-obat anestesia yang sama malah meningkatkan jumlah kontak sinaps
ketika diberikan pada periode puncak sinaptogenik yang lebih akhir (antara hari ke 15
dan ke 30 pasca kelahiran).4
GABA merupakan neurotransmitter inhibisi utama utama pada otak dan reseptor
GABA subtype A merupakan target utama dari obat-obat anestesia umum yang sering
dipakai. Pada fase awal pertumbuhan otak, GABA justru berperan sebagai
neurotransmitter eksitatorik. Nantinya pada periode puncak sinaptogenik akhir, terjadi
pergeseran fungsi reseptor GABA menjadi bersifat inhibitorik. Perubahan ini berkaitan
dengan perubahan pada symporter klorida-kalium spesifik neuron yang berperan
menciptakan gradient klorida pada neuron dan pemeliharaan konsentrasi klorida
intraseluler yang rendah yang diperlukan untuk inhibisi influx klorida. Neuronal
potassium-chloride cotransporter (KCC) mengalami pergeseran perkembangan dari
NKCC1 sodium-potassium-chloride cotransporter, suatu bentuk imatur yang berperan
dalam eksitabilitas neuron, menjadi suatu bentuk matur, KCC2 yang berperan dalam
inhibisi neuron. Ekspresi KCC2 meningkat tajam sejak usia kehamilan 30 minggu pada
manusia. Pada neuron manusia dewasa normal, peningkatan hantaran reseptor GABAA
yang bersifat tajam dan menetap dapat menyebabkan respons bifasik sehingga
hiperpolarisasi membran saat awal diikuti oleh depolarisasi. Selama periode aktivasi
kuat reseptor GABAA (seperti yang terjadi pada pajanan terhadap kebanyakan obat
anestesi) dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas neuron bahkan dengan adanya
jumlah normal co-transporter KCC2 pada orang dewasa.4,6
Anestesia menghasilkan efeknya dengan memperkuat aktivitas neurotransmitter
inhibisi mayor gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glycine atau mengantagonis
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dari neurotransmitter eksitatorik mayor
glutamate. Selama masa perkembangan otak, GABA memfasilitasi proliferasi sel,
migrasi neuroblast, dan maturasi dendritik, dan tidak seperti orang dewasa, GABA
berperan sebagai neurotransmitter eksitatorik selama periode bayi ketimbang sebagai
neurotransmitter inhibitorik. Hal ini karena kedua mediator ini meningkatkan
permeabilitas membran sel terhadap ion klorida melalui pori-pori ion konduksi klorida
intrinsik. Selain itu, saluran ion ligand-gated terhadap klorida juga meningkat,
kotransporter KCC2 K+/Cl-2 membantu influks ion klorida sehingga neuron menjadi
terhiperpolarisasi dan aktivitasnya ditekan. Namun, karena ekspresi KCC2 rendah
selama periode awal pertumbuhan, potensial aksi klorida dibalikkan oleh aktivitas
reseptor GABAA dan glycine, menyebabkan depolarisasi neuron dan peningkatan
permeabilitas terhadap klorida. Studi klinis menunjukkan bahwa sevoflurane,
isoflurane, dan propofol menimbulkan eksitabilitas pada elektroensefalogram pada
neonatus. Neurotransmitter mayor glutamate dan aspartate terdapat di otak dalam
konsentrasi yang sangat tinggi (glutamate 10 mmol/L dan aspartate 4 mmol/L).
Glutamate dan aspartate mengarahkan sinyal sinaps pada terminal saraf dan
mengendalikan intake ion ke dalam neuron. Neurotransmitter-neurotransmitter tersebut
ternyata mempengaruhi sinaptogenesis , plastisitas neuron, proses belajar, dan memori.
Walaupun neurotransmitter eksitatorik normalnya bertanggung jawab terhadap hantaran
saraf, mereka juga merupakan sumber potensial neurotoksisitas. Penurunan jumlah
glutamate secara abnormal dapat mengganggu proses eksitasi yang normal,dan
peningkatan yang abnormal dapat menimbulkan eksitotoksisitas dan kematian sel
dengan mengganggu homeostasis kalsium. Glutamate dan asam amino serupa terbukti
menyebabkan pembengkakan akut pada badan neuron, dendrite, dan glia serta
merangsang degenerasi neuron selama periode waktu tertentu. Karena alasan inilah,
terdapat mekansme yang rumit dalam kondisi normal untuk mengatur kadar glutamate
pada celah sinaps berupa ambilan kembali kelebihan glutamate dari celah sinaps
melalui reseptor yang terdapat di ujung presinaps dari terminal saraf dan sel-sel glia.
Walaupun glutamate merupakan toksin yang kuat dan bekerja cepat pada kondisi
fisiologis, mekanisme ini memastikan bahwa bahkan penerapan langsung ke otak tidak
menyebabkan kerusakan. Kondisi patologis yang mengakibatkan insufisiensi sistem ini
atau menyebabkan pelepasan glutamate dalam jumlah besar akan mengakibatkan
kematian neuron. Karena alasan inilah, pemberian anestesiadipercaya mengganggu
keseimbangan antara neurotransmisi eksitatorik dan inhibitorik sehingga menimbulkan
cedera neuron.4,6
Sinaptogenenesis merupakan periode paling penting dalam masa pertumbuhan otak,
yang merupakan “periode rentan” atau “periode kritis.” Sinaptogenesis terdiri dari 5
tahap. Lompatan pembentukan sinaps yang paling besar terjadi pada fase 3, yang
terkadang disebut sebagai “big bang.” Fase 3 ini terjadi pada periode neonatal. Pasca
fase 3, sinaptogenesis berlanjut dengan kecepatan yang sama selama fase 4. Fase ini
disebut sebagai fase plateau yang terjadi pada masa bayi dan remaja. Selama fase 5,
yang terjadi pada masa dewasa, sinaptogenesis berlanjut, namun terbatas dan
terlokalisasi. Permulaan, masa berlangsung, dan akhir dari periode kritis (fase 3 dan 4)
dikendalikan oleh mekanisme genetik dan epigenetik. Sensitivitas otak terhadap
rangsang lingkungan maksimal selama periode neonatal dan bayi ketika proses
sinaptogenesis juga maksimal.4,5,6
Dua faktor penting menjadi penentu neurotoksisitas akibat anestesia : tahap
perkembangan otak pada saat terjadi pajanan, dan derajat pajanan anesthesia meliputi
frekuensi pajanan dan dosis anestesi kumulatif. Sedangkan faktor-faktor sekunder yang
mungkin bersifat sekunder meliputi obat anestesi yang digunakan, status kesehatan,
atau prosedur tertentu. Studi pada hewan memberikan bukti yang jelas bahwa derajat
keparahan perubahan patomormofologis yang merupakan tanda dari proses
neuroapoptosis atau gangguan perkembangan sinaps yang berat terjadi bersamaan
dengan proses pembentukan sinaps yang cepat (sinaptogenesis). Penting untuk
diketahui bahwa periode puncak sinaptogenesis tidak terjadi pada saat yang sama pada
semua regio otak bahkan pada species yang sama. Sehingga, regio otak yang berbeda
mengalami masa rentan pada masa perkembangan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
pajanan terhadap berbagai agen anestesia menyebabkan timbulnya apoptosis berat pada
hari ke-7 pasca kelahiran pada thalamus, hippocampus, dan neocortex tikus, sedangkan
populasi neuron lain seperti girus dentate tidak terpengaruh pada periode perkembangan
ini. Namun pajanan anestesia pada hari ke-21 pasca kelahiran menyebabkan terjadinya
neuroapoptosis di daerah girus dentate, sedangkan tingkat kerentanan daerah neocortex
sudah menurun secara signifikan.4,5,6
Bahkan pada regio otak yang sama, tingkat kerentanan tidak seragam. Sebagai
contoh pada hari ke-7 pasca kelahiran, proses neuroapoptosis akibat anestesia terjadi
paling banyak di lapisan superficial II dan III. Dan terlebih lagi, subtype neuron yang
berbeda mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda-beda pula terhadap anestesia,
sebagai contoh tingkat kerentanan neuron-neuron glutamatergik dan GABAergik lebih
tinggi bila dibandingkan dengan neuron-neuron cholinergik di daerah neocortex pada
tikus usia 7 hari. 4,6
c) Peran faktor-faktor neurotropik terhadap efek anestesia pada tingkat
kepadatan sinaps
Terkait viabilitas dan perkembangan neuron, satu dari neurotropin yang paling
banyak diteliti pada neonatus adalah brain-derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF
matur dibentuk dari destruksi proBDNF pada celah sinaps oleh aksi plasmin.. BDNF
matur berikatan dengan reseptor TrkB yang terdapat di membran post sinaps dan
meningkatkan viabilitas sel target. Namun, pada kondisi-kondisi di mana pelepasan
plasmin berkurang atau dihambat, seperti saat pemberian anestesia, pro BDNF tidak
dapat dikonversi ke bentuk matur, dan hal ini merangsang reseptor p75NTR ketimbang
reseptor TrkB. Aktvasi reseptor p75NTR yang juga disebut sebagai “reseptor kematian”
, mengakibatkan depolimerisasi aktin dan apoptosis. Head dkk menunjukkan bahwa
isoflurane menyebabkan apoptosis pada otak tikus neonatus melalui mekanisme ini.4,7
Apoptosis merupakan kematian sel yang terporgram yang dapat terjadi baik pada
kondisi fisiologis dan patologis. Apoptosis secara fisiologis ada pada otak yang sedang
berkembang, dengan kecepatan kurang lebih 1%. Namun, apoptosis yang terjadi pada
kondisi patologis seperti hipoksia dan iskemia menimbulkan masalah. Beberapa studi
eksperimental menunjukkan bahwa apoptosis meningkat pasca pajanan terhadap
anestesia. Namun, tidaklah memungkinkan untuk melakukan studi semacam itu pada
manusia. Sehingga, sulit untuk memperkirakan kecepatan apoptosis pasca pajanan
terhadap anesthesia pada manusia, seberapa jauh apoptosis ini mempengaruhi maturasi
otak yang sedang berkembang. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa anestesi
merangsang apoptosis via jalur ekstrinsik dan intrinsik. Pemberian anestesi
menyebabkan kebocoran sitokrom C dan translokasi protein Bax ke mitokondria,
sehingga menimbulkan aktivasi apaf-1 dan jalur caspase. Hal ini nantinya akan
menimbulkan terjadinya peroksidasi lipid via pelepasan radikal-radikal oksigen bebas.
Apoptosis tidak hanya terjadi melalui jalur instrinsik tetapi juga melalui jalur ekstrinsik
yang mengaktivasi protein Fas.4,6
Nampaknya faktor-faktor neurotropik pada umumnya dan brain-derived neutrophic
factor (BDNF) khususnya, berperan dalam penurunan tingkat kepadatan sinaps akibat
isoflurane dan propofol pada hippocampus yang sedang berkembang. Penurunan
densitas ini diikuti oleh aktivasi RhoA dan reseptor growth factor p75NTR sebagai
bagian dari rentetan peristiwa yang berujung pada depolimerisasi aktin, hilangnya
microtubule, dan gangguan transport akson. Gangguan integritas microtubule pasca
pajanan terhadap propofol mengakibatkan inhibisi lalu lintas BDNF. Sistem
microtubule sangat penting dalam proses transport bukan hanya elemen-elemen
metabolik yang penting untuk kelangsungan hidup neuron, namun juga untuk
transportasi organel-organel sel (khususnya mitokondria) dari soma ke kompartemen
yang jauh seperti akson dan dendrite dimana integritas mereka diperlukan untuk
memastikan fungsi neuron dan pembentukan sirkuit yang benar.4,6
d) Efek anestesi pada neurogenesis
Ketika gas anestesi isoflurane diberikan selama 35 menit setiap hari selama 4 hari
kepada tikus yang masih sangat muda dan tikus dewasa, tikus muda mengalami
gangguan fungsi memori sedangkan yang dewasa tidak. Defisit memori ini semakin
jelas seiring dengan bertambahnya umur tikus muda tersebut. Defisit memori ini sesuai
dengan penurunan jumlah sel punca dan menurunnya tingkat neurogenesis di
hippocampus. Neurogenesis terus berlanjut seumur hidup pada dua regio otak yang
terpisah, girus dentate hippocampus dan zona subventrikular. Pembentukan neuron-
neuron baru pada hippocampus diduga penting untuk proses mengingat dan belajar.
Kematian sel-sel punca serta penurunan tingkat neurogenesis akibat isoflurane terjadi
tanpa disertai timbulnya tanda-tanda kematian sel yang jelas. Mekanisme yang
mendasarinya belum diketahui. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa sel-sel yang
sekarat sudah disingkirkan oleh microglia sebelum marker kematian sel dapat dideteksi.
Kemungkinan yang lain adalah bahwa pada kondisi patologis, sel-sel progenitor
berdiferensiasi menjadi sel-sel glia ketimbang menjadi neuron. Kemungkinan yang
ketiga adalah bahwa proses menghilangnya sel-sel punca saraf di hippocampus,
munculnya astrosit-astrosit baru, dan penurunan produksi neuron-neuron baru yang
normal dan sesuai usia dipercepat oleh isoflurane. Mekanisme apapun yang
mendasarinya, masih dalam tanda tanya mengapa hilangnya sel-sel punca dan
penurunan tingkat neurogenesis terjadi pada otak kelompok usia muda tetapi tidak pada
otak kelompok usia dewasa.5
Terdapat tiga publikasi yang menunjukkan hubungan antara microRNAdan
neurotoksisitas akibat anestesi; menurut publikasi ini propofol mendownregulate
microRNA-21, ketamine mengupregulate microRNA-34a, microRNA-34c, dan
microRNA-124 serta mendownregulate microRNA-137.4,6
Pada model kultur, ditunjukkan bahwa perkembangan neuron sangat tergantung dari
sitoskeleton aktin, dan anestesia berbahaya untuk regulasi aktin.4
Hiperfosforilasi protein Tau pada serine 404 menunjukkan neurodegenerasi dan
dirangsang oleh ketamine. Sehingga, microtubule mengalami kerusakan.4
Protein translokator (TSPO, 18kDa) merupakan biomarker yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi gliosis reaktif dan aktivitas microglia dan mempunyai potensi
untuk digunakan pada pencitraan noninvasive. Hubungan antara neurotoksisitas terkait
anestesia dan metilasi DNA serta ekspresi gen telah diteliti. Periode kerentanan
terhadap neurotoksistas akibat anestesia pada manusia belum diketahui dan subjek ini
masih diperdebatkan diantara pada ilmuwan bidang neurologi. Periode maksimal
perkembangan otak pada manusia terjadi saat trimester akhir kehamilan sampai usia 3
tahun dan periode ini dipercayai sebagai periode yang rentan.4,6
Strategi terapi untuk menurunkan tingkat neurodegenerasi akibat anestesia telah
banyak diteliti. Lithium, melatonin, estradiol, pilocarpine, dexmedetomidine, xenon,
eritropoietin, L-carnitine, gas hidrogen, dan pramipexole adalah beberapa diantara
kandidat terdepan untuk terapi baru ini.4,5,6
e) Peran aktivasi komplemen dalam anestesia
Molekul-molekul rentetan peristiwa inflamasi termasuk komplemen berperan
penting dalam pembentukan dan modifikasi hubungan sinaptik selama masa
pertumbuhan. Bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa isoflurane mengaktivasi
rentetan peristiwa komplemen dan jalur inflamasi via modulasi C1q+ dan C3
sertadengan menginduksi berbagai sitokin dan chemokine. Efek terhadap C1q nampak
pasca pajanan yang relatif singkat terhadap isoflurane (sesingkat 2 jam). Hasil ini
mengungkapkan bahwa efek anesthesia jauh lebih kompleks daripada aktivasi apoptosis
selama fase sinaptogenesis.5,7
f) Rentang waktu kerentanan terhadap kerusakan akibat anestesia
Rentang waktu kerentanan harus dinilai dengan seksama ketika membandingkan
tingkat kerentanan terhadap anestesia antar spesies. Sebagai contoh, maturasi otak pada
kera pada usia kehamilan 120 hari (trimester akhir) umumnya dianggap sebanding
dengan minggu pertama pasca kelahiran pada manusia (usia 0-6 hari). Di sisi lain,
maturasi otak pada PD 6 dan 35 pada kera sebanding dengan usia 6 dan 12 bulan pada
bayi manusia. Ketika primata bukan manusia terpajan isoflurane, ketamine, atau
propofol baik itu in utero (120 hari usia kehamilan) atau pasca kelahiran (usia 6 hari),
pola kerusakan neuron pada otak berbeda karena tingkat kerentanan regio-regio otak
berbeda-beda tergantung tahap pertumbuhannya. Pada primata bukan manusia, pola
apoptosis fetal pasca anestesia dengan ketamine lebih menyebar luas dan mengenai
cortex, basal ganglia, thalamus, amygdala, cerebellum, dan batang otak, sedangkan
pola apoptosis neonatal pasca anestesia yang sama dengan ketamine nampaknya lebih
jelas pada substantia grisea dan alba cortical serta basal ganglia bila dibandingkan
dengan regio otak lain.5,7
Pada kera neonatus, terdapat perbedaan agen spesifik dalam hal tingkat keparahan
neurotoksisitas – isoflurane lebih merusak bila dibandingkan dengan propofol, dan
propofol lebih merusak bila dibandingkan dengan ketamine pada substantia alba dan
grisea. Perbedaan agen spesifik ini juga tergantung usia. Ketamine lebih toksik pada
fetus ketimbang pada otak neonatus, sedangkan isoflurane lebih merusak otak neonatal
daripada otak fetus. Ketika dilakukan penelitian pada substantia alba pasca 5 jam
pajanan terhadap anestesia isoflurane, terlihat adanya aktivasi caspase pada
oligodendrosit premielinisasi dan termielinisasi pada kera neonatus. Di sisi lain, astrosit
tidak mengalami cedera oleh pajanan terhadap obat anestesi. Pada PD 35, kera tidak
menunjukkan adanya kematian sel neuron pasca 24 jam anestesia dengan ketamine.5,7
Ketika membandingkan neurotoksisitas dari berbagai obat anestesia yang berbeda
(i.v dan inhalasi), dosis dari obat-obat yang berbeda tersebut harus dinormalisasi untuk
melihat potensinya. Cara yang relevan secara klinis adalah dengan memberikan dosis
yang ekuipotent sehingga kedalaman anestesinya sebanding. Pendekatan yang dipakai
sejauh ini adalah titrasi pemberian obat anestesi untuk mencapai hilangnya respon
terhadap stimulus yang menyakitkan terhadap keempat ekstremitas tanpa menimbulkan
respon motorik apapun atau peningkatan tekanan arteri atau laju detak jantung > 10%
dari nilai basal, dengan penilaian dilakukan setiap 30 menit.4,6
2.4.4 Studi Klinis
Walaupun telah banyak dilakukan studi eksperimental, namun tidaklah cukup bukti
untuk menyimpulkan bahwa anestesi umum mempunyai efek neurotoksik pada otak
manusia yang sedang dalam masa perkembangan. Bahkan di dalam golongan mamalia
sendiri, terdapat variasi yang besar dalam hal kecepatan dan waktu perkembangan otak.
Maturasi otak secara total hanya memerlukan waktu beberapa minggu pada tikus,
sedangkan pada manusia memerlukan waktu bertahun-tahun. Dan lagi, dosis dan durasi
anestesi yang digunakan pada model eksperimental tidaklah proporsional dengan
prosedur yang dijalani pasien. Pada beberapa kasus, dosis eksperimental dapat sampai
20 kali lebih besar daripada dosis klinis standard. Disesuaikan dengan jangka waktu
hidup tikus, 6 jam anestesia dapat disamakan dengan jangka waktu 1 bulan pada
manusia. Dan lagi, beberapa observasi dari studi-studi diatas seperti asidosis laktat,
hiperkarbia, dan hipoglikemia tidak dihiraukan. Kemampuan belajar juga terganggu
pada subjek-subjek yang dipuasakan sebelum dilakukan anestesi.4,6,7,8
Pada satu studi kohort kelahiran retrospektif yang menggunakan data medis Negara
Bagian New York yang dikumpulkan antara tahun 1999 sampai 2002, 383 anak-anak
yang menjalani operasi koreksi hernia inguinalis dengan anestesi umum sebelum usia 3
tahun dievaluasi bersama dengan 5050 anak-anak yang tidak menjalani operasi. Hazard
ratio terkait gangguan perilaku dan pertumbuhan dilaporkan 2,3 dengan pajanan
terhadap anesthesia; 1,0 untuk usia; 2,7 untuk jenis kelamin; 1,2 untuk ras; dan 1,6
untuk komplikasi kelahiran. Dengan pertimbangan bahwa operasi elektif dapat ditunda,
pajanan terhadap anestesia merupakan resiko yang dapat dihindari pada sebagian besar
bayi.4,6,7
Pada laporan lain, pasien yang terlalu banyak terpajan anestesia mengalami lebih
banyak kesulitan belajar dibandingkan mereka yang mendapat pajanan dengan dosis
yang normal. Resiko kesulitan belajar secara progresif meningkat seiring dengan
pajanan anestesia yang berulang. Efek anestesi yang digunakan pada operasi Caesar
diteliti pada anak-anak. Bayi yang lahir dibawah anestesia regional mengalami lebih
sedikit kesulitan belajar pada tingkat kehidupan mereka selanjutnya.4,7
Satu studi retrospektif meneliti 10.450 saudara kandung yang lahir atara tahun 1999
dan 2005 dan mengevaluasi gangguan perkembangan serta perilaku pada mereka yang
mendapat dan tidak mendapat anestesia sebelum usia 3 tahun. Insidens terjadinya
gangguan perkembangan dan perilaku adalah 128,2/1000/tahun pada mereka yang
terpajan anestesia dan 56,3/1000/tahun pada mereka yang tidak terpajan anestesia.
Sehingga, gangguan perilaku 60% lebih sering pada mereka yang terpajan anestesia
bila dibandingkan dengan mereka yang tidak terpajan anestesia. Perkiraan Hazard ratio
untuk gangguan perkembangan dan perilaku adalah 1:1 pada mereka yang terpajan
anestesia satu kali sebelum usia 3 tahun, 2:9 pada mereka yang terpajan dua kali, dan 4
pada mereka yang terpajan tiga kali atau lebih.4,6
Meyer dkk mengamati perkembangan terjadinya kejang dengan ciri-ciri klinis yang
sama pada tiga bayi dibawah usia 2 bulan, yang terjadi setelah 23-30 jam anestesia
menggunakan rumatan propofol. Mereka melaporkan bahwa kejang tidak terjadi
berulang; namun, dua bayi mengalami mikrosefali progresif dan gangguan kognitif
serta perilaku. Pencitraan MRI juga menunjukkan abnormalitas substantia alba.
Perusahaan pembuat propofol tidak menganjurkan pemakaian propofol sebagai agen
anestesia umum untuk anak-anak dibawah usia 3 tahun.4,6
Obat-obat anestesi umum seperti nitrous oxide, sevoflurane, dan isoflurane yang
diberikan pada anak-anak berusia < 12 bulan nampaknya mengganggu fungsi rekoleksi
saat anak-anak ini berusia 6-11 tahun. Rekoleksi merupakan komponen penting dari
memori pengenalan dan didukung oleh struktur otak anatomik yang dipengaruhi oleh
kematian sel yang diakibatkan oleh obat anestesi. Ketika uji coba terhadap tugas-tugas
spatial dilakukan, anak laki-laki lebih terpengaruh daripada anak-anak perempuan,
walaupun kesulitan dalam hal pengenalan warna dinilai sama pada anak laki-laki atau
perempuan. Namun performa yang lebih buruk nampak bila anak-anak terpapar obat
anestesi dalam jangka waktu yang lebih lama (beberapa jam). Studi awal ini tidak
menemukan adanya perbedaan antara paparan tunggal dengan multipel dalam hal defisit
memori pengenalan.6,7
Pediatric Anesthesia and Neurodevelopmental Assesment (PANDA) menekankan
bahwa jumlah anestesi inhalasi dan tingkat sedasi dapat dikurangi dengan
menggunakan metode anestesia berimbang, metode anestesi regional, dan pemakaian
analgetika opioid dan non opioid. Namun kelompok ini belum berhasil mencapai
konsensus untuk penerapan yang terbaik.6,7,8
General Anesthesia Study (GAS) dan studi Pediatric Anesthesia and
Neurodevelopmental Assesment (PANDA) menujukkan bahwa anestesia sevoflurane
satu kali dalam durasi yang singkat (dibawah 1 jam) pada bayi tidak menimbulkan
neurotoksisitas yang lebih berat bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat
anestesia regional dalam kondisi terbangun. Namun, studi ini masih terbatas pada
paparan tunggal (satu kali) terhadap gas anestesia dan durasinya yang singkat.6,7,8
BAB III
KESIMPULAN
Hasil studi pada hewan menunjukkan bahwa pajanan anestesia terhadap otak yang imatur
mengakibatkan defisit anatomik dan perilaku dalam jangka panjang. Data yang terbatas dari
studi hewan prenatal menunjukkan bahwa otak rentan terhadap pajanan anestesia selama
masa kehamilan, terutama saat trimester kedua dan selanjutnya. Studi pada manusia masih
terbatas dan masih kurang bukti. Saat ini belum ada cukup bukti untuk merubah pola praktek
anestesi pada pasien pediatrik, namun di sisi lain hal ini juga berpotensi menimbulkan cedera
pada pasien pediatrik. Diperlukan lebih banyak lagi studi internasional multicentre untuk
lebih memahami resiko anestesia pada kelompok pasien pediatrik, khususnya janin dan
neonatus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kolb B, Mychasiuk R, Muhammad A, Gibb R. Brain Plasticity in the Developing
Brain. Progress in Brain Research. 2013;7:35-64
2. Demarin V, Morovic S, Bene R. Neuroplasticity. Period Biol. 2014; 116:2, 209-11
3. Kolb B, Gibb R, Robinson T. Brain Plasticity and Behavior. Current Directions in
Psychological Science. 2003; 12:1,1-5
4. Ozer AB, Ozcan S. Anesthetic Neurotoxicity in Pediatric Patients. Current Topics in
Anesthesiology. 2017. http:www.intechopen.com/books/current-topics-in-
anesthesiology.
5. Todorovic VJ, et al. Anaesthetic neurotoxicity and neuroplasticity: an expert group
report and statement based on the BJA Salzburg Seminar. 2013. BJA. 111:2,143-51
6. McCann ME, Soriano SG. General anesthetics in pediatric anesthesia: Influences on
the developing brain. Curr Drug Targets. 2012. 13:7,944-51
7. Prozesky J. Anaesthesia and the Developing Brain. SAJAA. 2014; 20:4,167-69
8. Andropoulos DB, Greene MF. Anesthesia and Developing Brains – Implications of
the FDA Warning. N Engl J Med. 2017. 376;10.